II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Silvikultur Di Indonesia Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal.
Menurut PP
Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Di dalam sistem silvukultur terdapat pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas umur, riap kegiatan penanaman/pengayaan (enrichment planting), pemangkasan (pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, rotasi tebang serta informasi silvikultur jenis (Pasaribu 2008). Menurut Nyland (2002) sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi atau hasil hutan lainnya.
Sedangkan menurut Mattews (1997)
sistem silvikultur merupakan
proses pemeliharaan, pemanenan, dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman.
Dengan
demikian definisi sitem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending), dan pemanenan (Harvesting/removing). Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan.
Berdasarkan umur
tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur (even-aged stands) seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged stands) dan tegakan semua umur (all aged-stands) seperti tebang pilih individu (TPI, TPTI, Bina Pilih), kelompok melingkar (tebang rumpang) dan kelompok dalam jalur (TPTJ dan TPTII). Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem tebang habis (clear cutting).
10
Menurut Manan (1976), sistem silvikultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : a. polycyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk polycyclic system karena menggunakan dua kali siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun. b. Monocyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang hanya sekali selama rotasi , seperti sistem silvikultur THPA dan THPB. Setelah pengelolaan hutan berjalan lebih dari dua puluh tahun, banyak hutan alam produksi yang mengalami fragmentasi (Indrawan 2008). Lanskap hutan hujan tropis telah membentuk mozaik (Pasaribu 2008; Suhendang 2008) yang terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multisistem silvikultur menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya. Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada satu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari kegiatan pemeliharaan, pemanenan, dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural system). Tehnik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut ekologi, ekonomi , sosial, dan administrasi menjadi pendekatan yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan (Soekotjo 2009). Tehnik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
11
a. Tehnik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies (genetik), memanipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu (intregated pest management).
Tehnik
pengendalian ini diterapkan dalam sistem TPTI intensif. b. Tehnik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama, penyakit dan kerusakan mekanis) c. Tehnik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan Sejarah perjalanan sistem silvikultur di Indonesia diawali dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 (yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri) yang menyebutkan bahwa hutan produksi dapat diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan. Sistem silvikultur yang dipakai dalam mengelola hutan alam produksi adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan surat keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972. Namun sistem ini mempunyai kelemahan pada ketidakpastian besaran limit diameter serta jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan per hektar. Pada tahun 1980, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan melakukan revisi terhadap ketentuan limit diameter dan jumlah pohon inti menjadi diameter 25 cm sebanyak 25 pohon per hektar serta menambah ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi hutan eboni campuran dan ramin campuran. Pada tahun 1987 dibentuk tim materi diskusi penyempurnaan pedoman TPI dari Badan Litbang Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB dan Fakultas Kehutanan UGM. Pergantian sistem TPI menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dilakukan
berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Kehutanan
Nomor
485/Kpts/II/1989 yang dijabarkan dalam Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Alasannya pergantian ini antara lain untuk menyeimbangkan porsi kegiatan pemungutan hasil (yang lebih menonjol pada sistem TPI) dengan kegiatan pembinaan hutan agar tercapai kelestarian hutan (Ditjen BPK 2005).
12
Pada tahun 1993 dilakukan revisi TPTI berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan
Hutan
Nomor
151/Kpts/IV-BPHH/1993
yang
memisahkan
organisasi pembinaan hutan dengan pemungutan hasil (produksi), alokasi anggaran kegiatan pembinaan hutan yang memadai serta pergeseran beberapa tahapan kegiatan pembinaan hutan. Sistem tebang pilih (TPI maupun TPTI) masih mempunyai beberapa kelemahan antara lain sulit mengontrol hasil kegiatan pembinaan hutan, terutama hasil penanaman/pengayaan (Enrichment/planting). Sistem ini juga tidak sesuai diterapkan pada hutan alam Duabanga moluccana di Nusa Tengagara Barat dan Lophopetalum multinervium di Kalimantan Timur (Ditjen BPK 2005). Sistem TPTI dinilai kurang luwes dan bersifat kaku sehingga sangat sedikit bidang gerak bagi tenaga kehutanan di lapangan (Suhendang 2008). Menurut Santoso et al. (2008) kelemahan sistem TPTI adalah: a. Masih menggunakan asumsi riap 1 cm per tahun, padahal riap diameter pohon sangat bervariasi tergantung jenis pohon dan kondisi tempat tumbuh. b. Penetapan siklus tebang yang sama untuk setiap kondisi tegakan hutan, yaitu 35 tahun.
Seharusnya siklus tebang ditentukan berdasarkan riap dan
dinamika struktur tegakan hutan. c. Penetapan etat volume berdasarkan volume tegakan tersedia (hasil survei) tanpa memperhitungkan riap tegakan. Cara seperti ini hanya dapat dilakukan di hutan primer namun tidak bisa pada hutan sekunder. Menurut Wahyono dan Anwar (2008) sistem TPTI hanya dapat diterapkan pada areal hutan yang potensial saja, sementara pada areal lain seperti hutan muda (potensi < 20 m3 /ha), semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong tidak bisa. Padahal kondisi hutan produksi saat ini sangat bervariasi. Kelemahan lain sistem TPTI adalah rendahnya produktivitas hutan, yaitu kurang dari 1 m3/ha/th (Ditjen BPK 2010). Menurut Santosa et al. (2008) dengan meningkatnya laju degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan tanaman, masih rendahnya perekonomian masyarakat di sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja pemegang IUUPHK dengan
13
menerapkan satu sistem silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan lestari. Minimnya keberhasilan penerapan pengelolaan hutan lestari menyebabkan kondisi hutan saat ini menyerupai mosaik, karena di dalam kawasan hutan alam terdapat berbagai tipe penutupan lahan berupa areal terbuka, hutan alam kurang produktif dan yang masih produktif. Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan yang berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem silvikultur (Indrawan 2008; Santoso et al. 2008). Menurut Pasaribu (2008) kondisi areal hutan produksi saat ini sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang untuk pembangunan non kehutanan, kebakaran hutan, perubahan akibat ekses ekonomi daerah serta pengaturan batas areal
yang
mengacu
pada
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
(RTRW).
Terfragmentasinya areal hutan produksi (Suhendang 2008), meningkatnya laju kerusakan hutan (Indrawan 2008) serta rendahnya riap hutan bekas tebangan pada sistem TPTI (Ditjen BPK 2005, 2010) telah memicu munculnya beberapa sistem silvikultur alternatif. Menurut Suhendang (2008) paradigma baru pengelolaan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam (close to natural forest). Menurut Mitlohner (2009) close to nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga kelestarian lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan keanekaragaman jenis. Menurut Coates dan Philip (1997) penebangan hutan dengan sistem celah (gap) lebih sesuai dengan kondisi hutan alam karena menyerupai fenomena pohon atau kelompok pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam yang baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk tegakan semua umur (all-aged stands) dengan penebangan dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar (rumpang) atau memanjang (strips). Menurut Pasaribu (2008) tehnik silvikultur tebang rumpang menunjukan hasil yang baik pada kebun percobaan Badan Litbang Kehutanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, karena dalam rumpang telah terjadi regenerasi alam dan membentuk tegakan seumur berlapis seperti tegakan primer.
14
Penelitian sistem gap memanjang (strips) telah dilakukan pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang selanjutnya berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK).
Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman
diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar 25-100 m .
Hambatan
pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang pembangunan hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK akhirnya berubah menjadi sistem Hutan Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 453/Kpts-II/1997) yang dijabarkan dalam pedoman teknis berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 220/Kpts/IV-BPH/1997. Dalam sistem ini jalur tanam dipersempit menjadi 3 meter namun dilakukan pembuatan jalur bebas naungan selebar 10 meter. Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter, sehingga membentuk jarak tanam 5x25 meter. Sistem Hutan Tanaman Industri-Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) kemudian diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 55/Kpts/IV-BPH/1998. Evaluasi sistem TPTJ menunjukan hasil yang memuaskan, karena regenerasi terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai salah satu sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam produksi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309/Kpts-II/1999.
Namun
pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1072/Kpts-II/2002 dan selanjutnya kembali kepada sistem TPTI kecuali PT. Sari Bumi Kusuma (Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 201/Kpts-II/1998) dan PT. Erna Juliawati (Surat Keputusan Menhutbun Nomor 15/Kpts-II/1999). Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua IUPHHK tersebut
telah
menginspirasi
para
pakar
dari
perguruan
tinggi
untuk
menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan menerapkan tehnik silvikultur intensif (silin) melalui penggunaan bibit unggul, tehnik manipulasi lingkungan
15
dan pengendalian hama terpadu (integrated pest management). Sistem silvikultur hasil penyempurnaan tersebut adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang dikeluarkan tahun 2005.
2.2. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan kombinasi sistem tebang pilih dengan limit diameter 40 cm ke atas dan tebang habis dengan penanaman buatan dalam jalur tanam selebar 3 m. Jarak tanam dalam jalur 2,5 m dengan lebar jalur antara 17 meter sehingga tanaman membentuk jarak tanam 2,5 m x 20 m (Ditjen BPK 2005). Sistem silvikultur yang menerapkan penanaman/pengayaan dalam jalur ini pertama kali diperkenalkan oleh Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah dan disempurnakan oleh Catinot.
Penanaman dalam jalur memungkinkan
terbentuk regenerasi dan pertumbuhan pohon yang baik sebagai respon dari tehnik silvikultur berupa pembukaan kanopi tajuk sehingga intensitas cahaya lebih banyak (Mitlohner 2009). Sistem ini juga sesuai dengan perkembangan anakan famili Dipterocarpaceae
yang bersifat semi toleran dengan tetap menjaga
kualitas tanah (Wahyudi 2009). Sejak tahun 2005 TPTII diujicobakan pada 6 IUPHHK termasuk di dalamnya PT. Sukajaya Makmur, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal BPK Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 dan pada tahun 2007 dikembangkan pada 25 IUPHHK berdasarkan surat keputusan Direktorat Jenderal BPK Nomor 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007. Pedoman teknis sistem silvikultur TPTII mengacu kepada Keputusan Dirjen BPK Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005. Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan dengan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar per tahun selama 30 tahun akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin dapat menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Dengan asumsi diameter pohon ditebang rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat dimanfaatkan.
16
Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTII (Ditjen BPK 2005) adalah : a.
Penataan areal (P-3)
b.
Risalah hutan (P-3)
c.
Pembukaan wilayah hutan (P-2)
d.
Pengadaan bibit (P-1)
e.
Penyiapan lahan yang terdiri dari tebang penyiapan lahan dan pembuatan Jalur Tanam (P-1)
f.
Penanaman (P)
g.
Pemeliharaan tanaman yang meliputi :
1) Penyiangan dan pemulsaan 1,II, III (P+1, P+2, P+3) 2) Penyulaman I dan II (P+0, P+1) 3) Pemupukan I dan II (P +0, P+1) 4) Pembebasan Vertikal I dan II (P+1 , P+3) h.
Penjarangan I dan II (P+5 dan P+10)
i.
Perlindungan tanaman (terus menerus)
j.
Penelitian dan pengembangan
k.
Pemanenan kayu (P+31) Sistem TPTII ini merupakan sistem silvikultur yang dalam pengelolaan
hutan alam dapat mengakomodasi beberapa tuntutan sekaligus, yaitu tuntutan terhadap peningkatan produktivitas (kayu), kepastian usaha, kepastian kawasan dan tuntutan sosial ekonomi masyarakat setempat (Soekotjo, 2005). Menurut Suparna (2005) sistem TPTII memiliki beberapa ciri-ciri mendasar, yaitu : a. Diterapkan sistem Reduced Impact Logging (RIL). b. Ruang tumbuh tegakan dibuka optimal dengan fleksibilitas dalam menetapkan limit diameter pohon yang ditebang sehingga kepentingan pertumbuhan, produksi dan lingkungan terakomodasi secara seimbang. c. Dilakukan penanaman sistem jalur secara intensif dengan memasukan teknologi yang memadai, dengan jarak antar Jalur Tanam 20-25 m. d. Dilakukan kegiatan bina pilih pada pohon-pohon inti tertentu pada tegakan alam yang terletak diantara jalur-jalur tanaman.
Jalur Tanam
Jalur Tanam
a-b
Jalur Antara
a-b
18
dengan interaksi dinamis antar komponen ekosistem dalam dimensi ruang dan waktu untuk melihat bagaimana mereka berinteraksi. Salah satu fungsi ekosistem hutan adalah produktivitas.
Produktivitas
dalam ekosistem didefinisikan sebagai laju tahunan produktivitas primer bersih (net primery productivity=NPP) yaitu total kuantitas fotosintesis (gross primary productivity = GPP) dikurangi respirasi (Bruenig 1996), sedangkan produktivitas primer kotor (GPP) adalah total produksi primer yaitu jumlah energi cahaya yang dirubah menjadi energi kimia.
Dengan kata lain produktivitas primer bersih
(NPP) dialokasikan pada beberapa bagian pohon dan disimpan atau digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan. Produktivitas suatu ekosistem bervariasi menurut tipe hutan, lanskap dan komposisi jenis (Perry 1994). Dua faktor utama yang menentukan perbedaan produktivitas menurut tipe hutan, yaitu energi matahari dan lama musim pertumbuhan.
Perbedaan produktivitas juga ditentukan oleh lanskap seperti
ketersediaan hara, air, suhu dan komposisi jenis. Ada saling keterkaitan antara faktor-faktor tersebut dalam mempengaruhi produktivitas suatu ekosistem, sebagai contoh suhu dan kelembaban berpengaruh secara langsung terhadap proses dekomposisi bahan organik yang penting perannya bagi suplai ketersediaan hara dalam suatu ekosistem.
Demikian juga dengan komposisi jenis, makin
beragam komposisi jenis suatu ekosistem maka makin optimal ekosistem tersebut dalam mengembangkan strategi yang efektif untuk mencegah hilangnya hara dari suatu ekosistem, sehingga dalam hubungannya dengan produktivitas maka ekosistem tersebut lebih stabil. Dipertahankannya
stabilitas
ekosistem
hutan
beserta
komponen-
komponennya dalam batas kapasitas produksi hutan optimum serta tidak terganggunya sistem ekologi merupakan sasaran yang harus dicapai guna kelestarian
ekosistem
hutan.
Stabilitas
ekosistem
merupakan
ukuran
keseimbangan dinamis dalam suatu struktur ekosistem. Perubahan mendasar pada struktur dan fungsi ekosistem akan terjadi jika stabilitas ekosistem mengalami gangguan.
19
Komponen stabilitas ekosistem meliputi : a. Resistensi, menunjukan kemampuan suatu ekosistem untuk melanjutkan fungsinya untuk tetap stabil ketika terjadi adanya suatu gangguan. b. Resiliensi, merupakan kemampuan suatu ekosistem untuk pulih kembali setelah mengalami gangguan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suatu ekosistem (Anonimous 2004), yaitu : a.
Frekwensi dan intensitas kerusakan ekosistem baik alami maupun yang diakibatkan oleh manusia
b.
Keragaman species dan interaksi antar komponen ekositem
c.
Laju perubahan hara Meskipun beberapa ahli ekologi setuju bahwa keragaman berperan penting
terhadap laju proses ekosistem seperti laju dekomposisi dan produktivitas, namun data terkini hanya didasarkan pada prediksi dan argumen yang berlaku umum (Bengtsson et al. 2000). Sedikit penelitian yang mendukung pendapat di atas. Tilman et al. (1996) dalam Bengtsson et al. (2000) mengatakan bahwa ada pengaruh positif antara keragaman dengan produktivitas, sementara Ruch dan Oesterheld (1997) dalam Bengtsson et al. (2000) mengatakan yang sebaliknya. Kaitannya dengan penurunan keanekaragaman jenis terhadap suatu ekositem ternyata ada overlapping kondisi ekologi suatu spesies sehinga meskipun terjadi pengurangan terhadap keanekaragaman spesies maka stabilitas ekosistem tersebut masih tetap bertahan.
Sementara itu ada pernyataan bahwa dengan makin
meningkatnya keragaman spesies maka makin stabil suatu ekosistem (Anonimous 2003). Alasan yang dikemukakan adalah bahwa dengan adanya penambahan spesies pada suatu ekosistem maka fungsi ekositem tersebut akan meningkat sehingga menjadi lebih stabil. Beberapa argumen menyatakan bahwa isu penebangan hutan mengundang kontraversi, pada satu sisi mengatakan bahwa kestabilan ekosistem hutan akan tetap terpelihara melalui pengelolaan yang tepat sementara pendapat lain justru mengkhawatirkan terjadinya bencana dan penurunan kualitas lahan secara cepat setelah dilakukan pembukaan lahan hutan (Lal 1986). Salah satu akibat dari
20
penebangan hutan pada tingkat regional adalah terganggunya fungsi hidrologi yang ditandai oleh adanya perbedaan debit air yang mencolok antar musim, yaitu besarnya fluktuasi aliran sungai pada musim hujan dan sebaliknya pada musim kemarau. Dalam kondisi ekstrim apabila hutan dibuka pada areal yang lebih luas akan meningkatkan kemungkinan banjir. Pada tingkat lokal (site) dapat terjadi perubahan tingkat iklim mikro, kesuburan tanah dan vegetasi (Lal 1995). Secara umum faktor lingkungan, terutama suhu dan kelembaban udara mengalami perubahan akibat berkurangnya tutupan vegetasi. Permukaan tanah menjadi lebih terbuka sehingga menyebabkan fluktuasi suhu dan kelembaban lebih besar.
Kondisi ini mempercepat laju dekomposisi dan pelepasan hara
(Vitousek 1981). Pelepasan Ammonium dari proses dekomposisi bahan organik merupakan sumber N dalam tanah hutan, dan penyerapan ammonium dan nitrat oleh tanaman dan mikroba sebagai pengikat N yang sangat besar. Proses lainnya yaitu masukan yang berasal dari atmosfir, pencucian dan denitrifikasi juga merupakan tambahan dan pengurangan N tetapi umumnya sedikit sekali (<10%) dibanding proses mineralisasi tahunan.
Intervensi manusia terhadap hutan
termasuk penebangan hutan untuk peruntukan lain menyebabkan peningkatan mineralisasi N di dalam tanah hutan. Pada saat yang sama penyerapan N oleh tanaman menurun hingga 2 atau beberapa tahun setelah penebangan. Ammonium diperkirakan meningkat pada ekosistem yang terganggu (Vitoseuk dan Matson 1985). Pembukaan lahan hutan atau pengurangan serapan N oleh pohon akan mengurangi juga kompetisi terhadap N dan akan menstimulasi produksi nitrat dan pencucian tetapi proses ini cenderung normal lagi ketika lahan mulai tertutup oleh vegetasi. Penebangan hutan menyebabkan sebagian besar N hasil mineralisasi (sekitar 85%) dioksidasi menjadi nitrit. N hasil mineralisasi dapat dikonversi menjadi nitrat jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Terdapat dua faktor utama yang mengendalikan laju nitrifikasi, yaitu keberadaan ammonium dan oksigen (Vitousek dan Matson 1985).
Selanjutnya ditambahkan oleh Van
Migroet dan Johnson (1993) bahwa laju nitrifikasi sangat berfluktuasi menurut besaran skala studi (regional, ekositem, atau tegakan hutan). Variabilitas tersebut sangat berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan seperti suhu dan
21
kelembaban tanah, komposisi dan tingkat keragaman vegetasi penutup tanah, kualitas serasah serta ketersediaan N.
Nitrat akan mengalami beberapa
kemungkinan diantaranya, yaitu tercuci oleh air perkolasi sehingga berada di luar jangkauan sistem perakaran, terkonversi ke dalam bentuk N gas atau diserap oleh tanaman (Robertson 1989).
Hilangnya Nitrat dari ekosistem terganggu
dikendalikan oleh meningkatnya proses mineralisasi, proses imobilisasi dan penundaan produksi nitrat sehingga tetap dalam bentuk ammonium yang kurang mobil dan penanaman kembali terutama dengan jenis yang mempunyai kebutuhan tinggi terhadap N. Dengan kata lain proses yang meregulasi pencucian Nitrat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan awal N pada tanah tersebut (Vitousek dan Matson 1985). Secara umum sistem silvikultur tebang pilih menyebabkan degradasi hutan dan tanah.
Definisi degradasi bersifat subyektif (Lamb 1994), memiliki
pengertian berbeda tergantung pada cara pandang suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian masyarakat mengartikan bahwa degradasi hutan sebagai hutan yang telah mengalami kerusakan sehingga pada satu titik dimana manfaat yang diperoleh baik kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat. Sebagian lain mendefinisikan degradasi hutan sebagai suatu kondisi dimana fungsi ekologis, ekonomis maupun sosial hutan tidak terpenuhi. Berkaitan dengan degradasi hutan, Brown dan Lugo (1994) memberikan illustrasi bahwa gangguan yang menimbulkan kerusakan kecil pada hutan tidak memerlukan intervensi manusia untuk memulihkan kembali produktivitas hutan. Namun sebaiknya areal yang telah mengalami kerusakan akibat penebangan memerlukan campur tangan manusia untuk memperoleh kembali produktivitasnya dengan melalui pendekatan restorasi, rehabilitasi dan reklamasi (Lamb 1994). Tanah di daerah hutan tropika basah termasuk ke dalam katagori miskin hara. Namun demikian, ekosistem hutan primer tidak menunjukan adanya gejala kekurangan hara karena siklus hara berada dalam kondisi keseimbangan yang dinamis dimana input dan output hara seimbang dan kebutuhan tanaman akan hara terpenuhi melalui recycling sistem yang efisien, perubahan dari kondisi yang stabil menjadi tidak stabil sebagai dampak penebangan hutan berakibat pada
22
berubahnya simpanan hara dan suplai hara bagi pertumbuhan pohon dan konsekwensinya untuk jangka panjang pada kelestarian penggunaan lahan tersebut. Kaitannya dengan kerusakan tanah, Oldeman (1992) menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah suatu proses dimana telah terjadi penurunan kapasitas tanah baik saat ini maupun masa yang akan datang dalam memberikan produk maupun jasa. Katagori pertama degradasi tanah berkaitan dengan pemindahan material tanah sedangkan katagori kedua berhubungan dengan degradasi tanah insitu yang berupa degradasi kimia (penurunan bahan organik tanah dan hilangnya hara) dan atau fisika tanah (pemadatan tanah) (Barrow 1991; Oldeman 1992). Kerusakan tanah didefinisikan sebagai proses atau fenomena penurunan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan tanaman yang dicirikan oleh menurunnya produktivitas tanah. Dengan demikian kerusakan tanah mencakup permasalahan penurunan rangking atau status lahan sebagai hasil dari rangkaian proses alami atau akibat dari intervensi manusia (Barrow 1991). Salah satu bentuk kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya bahan organik yang lebih cepat dibandingkan penambahannya pada lapisan tanah atas. Ketidakseimbangan antara masukan bahan organik dengan hilangnya yang terjadi melalui dekomposisi berdampak pada penurunan kadar bahan organik di dalam tanah.
Penurunan kandungan bahan organik tanah membawa dampak pada
kelestarian jangka panjang oleh karena bahan organik memainkan peranan penting bagi pertumbuhan pohon melalui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Faktor-faktor tersebut dalam gilirannya akan berpengaruh terhadap struktur tanah, laju infiltrasi, kapsitas pegang air, ketersediaan hara tanaman dan laju mineralisasi. Pada tanah yang diolah, lapisan tanah atas (0-30) kehilangan sekitar 20 – 60% dari karbon yang terdapat pada vegetasi alami. Terjadinya penurunan karbon dalam tanah yang begitu cepat mewakili adanya proses dekomposisi fraksi aktif yang begitu cepat. Pengaruh yang merugikan dari kerusakan tanah ini telah menyebabkan menurunnya kualitas tanah dengan cepat. Bentuk kerusakan tanah yang terjadi akibat penebangan hutan (Lal 1995) adalah :
23
a.
Perubahan struktur tanah seperti pemadatan tanah yang menyebabkan penurunan daya retensi air, aerasi tanah buruk dan terhambatnya pertumbuhan akar.
b.
Penurunan kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, dan terganggunya siklus C dan N
c.
Gangguan siklus hidrologi, bersama dengan deteriorasi struktur tanah menyebabkan erosi dan pencucian hara meningkat. Pemadatan dilaporkan sebagai bentuk kerusakan fisik tanah yang berkaitan
dengan lintasan alat-alat berat yang digunakan terutama dalam kegiatan penyaradan kayu dari lokasi penebangan ke tempat penampungan kayu sementara. Menurut Malmer (1993) berat isi tanah pada jalan sarad meningkat sebesar 5 % pada kedalaman 5 cm dibanding hutan primer. Berdasarkan hasil kajian Greacen dan Sands (1980) dilaporkan bahwa pemadatan tanah menyebabkan menurunnya aerasi tanah, infiltrasi air dan pertumbuhan akar tanaman. Dalam penebangan yang intensif di hutan tropika basah dataran rendah, hanya sekitar 10 % dari volume kayu yang dikeluarkan tergolong strata emergent dengan ukuran tajuk besar yang merusak strata pohon dibawahnya.
Setelah
penebangan, terbentuk luasan kecil yang tediri dari tegakan sisa yang mencapai sekitar 35 % dari luas areal penebangan, dan sekitar 55 % dari luasan termasuk katagori rusak (Whitmore 1984 dalam Anderson dan Spancer 1991). Anderson dan spencer (1991) memperkirakan akibat praktek penebangan di Asia Tenggara pada areal bekas tebangan sekitar 15-50 % nya merupakan tanah terbuka (bare soil). Kerusakan yang terjadi baik pada tanah maupun vegetasi berkaitan dengan intensitas penebangan, seperti dilaporkan oleh Jonkers (1987) dalam Anderson dan Spencer (1991) bahwa dengan intensitas penebangan sebesar 15 m3/ha terjadi kerusakan vegetasi sekitar 6 % untuk diameter diatas 5 cm dibandingkan 13 % untuk tebangan sebesar 46 m3/ha. Dalam kaitannya dengan regenerasi setelah penebangan di hutan tropika, peranan gap atau rumpang sangat penting. Brown (1992) menyatakan bahwa dalam gap terjadi peningkatan yang cepat terhadap radiasi dan suhu dan sebaliknya terjadi penurunan terhadap kelembaban relatif. Selanjutnya terdapat perbedaan antara spesies yang tergolong pioneer dan bukan pioneer dalam
25
menyatakan pertumbuhan tahunan berdasarkan interval waktu pengamatan terdiri tiga macam riap, yaitu : a. Riap Tahunan Berjalan (Current Annual Increament, CAI), yaitu riap yang diukur untuk setiap satuan waktu pengukuran yang terkecil, biasanya satu tahun. b. Riap Rata-Rata Tahunan (Meant Annual Increament, MAI), yaitu besarnya rata-rata tahunan yang sampai pada umur tertentu. c. Riap Periodik Tahunan (Periodic Annual Increament, PAI), yaitu besarnya rata-rata tahunan yang terjadi selama periode waktu tertentu diantara dua kali pengukuran kebanyakan periode yang digunakan adalah interval lima atau sepuluh tahun. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil (growth and yield) pohon adalah faktor genetik (Finkeldey 1989; Hani’in 1999; Kumar dan Matthias 2004; Na’iem dan Raharjo 2006), lingkungan atau tempat tumbuh (Fisher dan Binkey 2000; Kozlowky dan Pallardy 1997; Sukotjo 1995) dan tehnik silvikultur (Coates dan Philip 1997; Halle et al.1978; Pasaribu 2008; Santosa et al. 2008). Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon adalah iklim dan tanah.
Faktor iklim banyak ditentukan oleh curah hujan,
intensitas cahaya, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan letak geografis. Sedangkan faktor tanah banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta ketinggian kelerengan dan arah lereng. Faktor bawaan dan genetik pohon memegang peranan cukup penting dalam mengontrol pertumbuhan pohon.
Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan
tanaman diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali (Danida dan Dephut 2001).
Karakteristik genetik dalam suatu spesies
berhubungan erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, Zat pengatur tumbuh dan tingkat pembentukan serat (Kozlowki dan Pallardi 1997; Landsberg 1986). Upaya untuk meningkatkan kualitas genetik benih dan bibit tanaman hutan hingga saat ini masih mengandalkan pada tegakan benih dan kebun benih.
26
Menurut peratruran Menteri Kehutanan Nomor P.10/Menhut-II/2007 tanggal 13 maret 2007, tegakan benih teridentifikasi adalah sumber benih dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat diidentifikasikan dengan tepat.
Sedangkan tegakan benih terseleksi adalah
sumber benih dengan pohon fenotif bagus dan mempunyai sifat penting antara lain batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan. Kebun benih yang telah dikelola dengan baik serta mempunyai sekat isolasi yang memisahkan dengan tegakan lain dapat menjadi kebun benih.
Dengan
program pemuliaan pohon seperti ini diharapkan kualitas tegakan hutan akan semakin meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan menggunakan bibit unggul yang dilakukan setiap tahun. Pemilihan pohon induk dalam tegakan benih menggunakan kriteria antara lain sebagai pohon peninggi, mempunyai diameter paling besar diantara yang lain, bebas cabang yang tinggi, bentuk batang lurus dan silindris, bentuk tajuk silindris dan seimbang, riap tinggi dan bebas dari hama dan penyakit (Hani’in 1999; Soekotjo 2009). Lal (1995) telah menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya riap suatu tegakan, faktor itu adalah sebagai berikut: a. Tindakan silvikultur, Dalam hal ini tindakan silvikultur yang diutamakan adalah penjarangan. Hal ini mengingatkan tindakan penjarangan merupakan tindakan silvikultur yang sangat penting dalam pemeliharaan hutan. Dari penjarangan akan diperoleh dua keuntungan yaitu hasil kayu penjarangan dan hasil tegakan akhir yang baik. Masalah silvikultur ini akan berhubungan dengan produksi kemudian hari. b. Jenis, Setiap jenis pohon mempunyai sifat pertumbuhan yang berbeda-beda. Sebagian pohon mempunyai kecepatan tumbuh yang besar dan sebagian lagi cukup kecil. Pohon yang tumbuh lebih cepat akan mempunyai riap yang lebih besar dibandingkan dengan pohon-pohon yang mempunyai kecepatan tumbuh yang lebih kecil. c. Kualitas tempat tumbuh, merupakan ukuran tingkat kesuburan tanah untuk dapat menunjukkan produktivitas tanah, guna menghasilkan volume kayu jenis tertentu. Kualitas tempat tumbuh akan mempengaruhi pertumbuhan pohon. Pohon-pohon yang tumbuh pada tanah yang subur akan memberikan hasil yang
27
lebih besar dibandingkan dengan pohon yang tumbuh di tanah yang kurang subur. Menurut Soekotjo (1995) variabel yang mempengaruhi riap tanaman adalah jenis, sumber benih, jenis yang dimuliakan, manipulasi atribut lingkungan, tehnik silvikultur yang dipakai serta kelas diameter. Pemilihan jenis yang tepat untuk tujuan budidaya sangat berpengaruh terhadap nilai yang dihasilkan. Jenis unggul hasil pemuliaan pohon mempunyai riap yang lebih besar (inherent growth rate). Pada kelas diameter yang berbeda, meskipun pada pohon yang sama, dapat mempunyai riap yang berbeda (reit of growth).
Pada lokasi yang berbeda,
meskipun jenisnya sama, dapat mempunyai riap yang berbeda pula. Sebagai contoh, penelitian pertumbuhan Meranti di hutan Semengoh (Serawak) menunjukkan bahwa Shorea stenoptera mempunyai riap 79% lebih besar dibandingkan Shorea pinanga pada kondisi lingkungan yang sama. Penanaman Shorea macrophylla di Kalbar menunjukkan riap yang lebih besar dibandingkan penanaman di Kalimantan Selatan. Dengan demikian menurut Soekotjo (1995) informasi tentang riap harus dilengkapi dengan data inherent growth dan reit of growth dan informasi data riap bersifat spesifik untuk setiap tempat tumbuh sehingga tidak dapat digunakan untuk memprediksi riap tanaman sejenis pada tempat yang berbeda. Menurut Dirjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3/ha setelah 30 tahun dari pohon berdiameter 50.
Asumsi tersebut menyatakan bahwa MAI diameter tanaman
Meranti (Shorea spp) pada jalur tanam sistem TPTII sebesar 1,67 cm/th atau 13,33 m3/ha/th. Sementara itu data lain menunjukan bahwa MAI diameter Shorea platyclados di Sumatra Utara sebesar 1,32 cm/th (Ditjen Hut 1980) dan Shorea leprosula, Shorea ovalis serta Shorea parvifolia sebesar 10 m3/ha/th (Hutan Industri 1958 dalam Manan 1995). Soekotjo (1995) yang mengutip riap beberapa tanaman Shorea spp di komplek hutan Semengoh (Serawak) menyatakan bahwa Shorea pinanga umur 38 tahun yang ditanam dengan jarak 4,5 m x 4,5 m mempunyai diameter 31,35 cm dengan kisaran riap diameter 0,49 – 1,24 cm/th. Shorea splendica umur 35 tahun
28
yang ditanam dengan jarak 3,6 m x 3,6 m mempunyai diameter 31,62 cm dengan kisaran riap diameter 0,53 – 1,39 cm/th. Shorea stenoptera umur 34 tahun yang ditanam dengan jarak 3,5 m x 3,6 m mempunyai kisaran riap diameter 0,53 – 1,39 cm/th.
Meskipun tidak menyebutkan data kuantitatif, Soekotjo (1995)
menyebutkan bahwa pertumbuhan Shorea macrophylla di Kalimantan Barat lebih tinggi dibanding di Kalimantan Selatan dan sebaliknya Shorea stenoptera di Kalimanatan Selatan tumbuh lebih baik dibanding di kalimantan Barat.
2.5. Kualitas Tanah Penentu Keberhasilan Penerapan Sistem Silvikultur Dalam beberapa tahun terakhir, karena keprihatinan terhadap kerusakan tanah dan tuntutan pengelolaan tanah secara berkelanjutan, terjadi perubahan perhatian terhadap beberapa peubah tanah. Seiring dengan hal tersebut, penggunaan tanah ditekankan pada nilai dan karakteristik tanah untuk suatu tujuan tertentu. Secara umum perhatian terhadap kualitas tanah berkembang pada seputar bahasan tentang fungsi tanah yang menjadi prioritas utama dari suatu ekosistem. Tanah dikenal sebagai komponen penting dari suatu ekosistem. Oleh karena itu, kualitas tanah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan bahkan menjadi kunci indikator dari konsep pengelolaan lahan secara berkelanjutan (Carter, 1997). Kualitas tanah merupakan gambaran utuh dari suatu kondisi spesifik tanah untuk melakukan fungsinya (Karlen, 1997). Kemudian definisi ini mengalami perluasan, bahwa kualitas tanah sebagai gabungan ciri tanah yang menyatakan kemampuan alami untuk melakukan fungsinya di dalam ekosistem alami maupun yang dikelola untuk mencapai kelestarian produktivitas tanaman dan binatang, mempertahankan kualitas lingkungan (air dan udara) dan memacu kesehatan tanaman (Soil Science Society of America, 1995). Definisi ini mirip dengan konsep yang diajukan oleh Doran et al. (1996) yang menyatakan bahwa kualitas tanah sebagai kemampuan tanah untuk melakukan fungsinya, dalam suatu ekosistem dan batasan penggunaan lahan untuk kelestarian produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan memacu kesehatan tanaman, binatang dan manusia. Definisi tersebut mempunyai implikasi bahwa kualitas tanah terdiri atas dua bagian, yaitu intrinsic part yang mencakup sifat atau kapasitas yang melekat pada tanah tersebut untuk mendukung pertumbuhan tanaman, dan
29
dynamic part yang dipengaruhi oleh tindakan pengelolaan terhadap tanah tersebut oleh manusia (Carter, 1997). Sifat yang melekat pada tanah merupakan gabungan atau integrasi dari beberapa faktor pembentuk tanah seperti iklim, topografi, vegetasi, bahan induk dan waktu. Dengan demikian tiap tanah mempunyai kapasitas yang baik. Gambar kedua kualitas tanah berkaitan dengan kemampuan alami tanah untuk melakukan fungsinya, nilai kegunaannya dan tindakan pengelolaan yang memiliki arti penting dalam penilaian kualitas tanah. Fungsi utama tanah menurut Karlen (1997) meliputi : a. Sebagai sumberdaya dalam menyimpan dan mendaur hara dalam biosfer tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan hijauan makan ternak. b. Sebagai matriks, tempat akar berpegang serta tumbuh dan tempat menyimpan dan meregulasi aliran air dan larutan. c. Menyaring, mencegah, mendegradasi dan menurunkan kadar racun dari material organik maupun anorganik. Ada kesepakatan umum bahwa kualitas tanah mencakup 3 isu utama, yaitu 1) produktivitas tanaman secara berkelanjutan, 2) kualitas lingkungan, baik tanah, air maupun udara, dan 3) kesehatan mahluk hidup (Parr, 1992 dalam Doran dan Parkin, 1994). Oleh karena itu penilaian atau assessment terhadap suatu sistem pengelolaan lahan khususnya terhadap fungsi tanah harus terkait dengan salahsatu dari isu di atas. Penilaian terhadap kualitas tanah adalah sesuatu yang sangat penting dalam menentukan sistem pengelolaan lahan yang lestari baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Hal ini diperlukan untuk, 1) identifikasi problem produksi untuk tujuan estimasi produksi secara realistik dan 2) memonitor perubahan yang terjadi terhadap ekosistem kaitannya dengan pengelolaan lahan (Doran dan Parkin, 1994). Dengan kata lain penilaian kualitas tanah memberikan pemahaman yang mendasar tentang evaluasi kelestarian sistem pengelolaan lahan. Tanah memiliki berbagai level kualitas yang secara mendasar didefinisikan sebagai sumberdaya alam stabil atau yang melekat dengan faktor pembentukan tanah dan perubahan yang dinamis sebagai dampak dari pengelolaan tanah. Deteksi terhadap perubahan dari komponen dinamis adalah hal penting dalam evaluasi kinerja dan kelestarian pengelolaan tanah (Doran dan Parkin, 1994).
30
Konsep kualitas tanah umumnya digunakan untuk mengevaluasi atau mengkaji aspek kelestarian dari suatu penggunaan lahan dalam agroekosistem (Carter, 2002). Dengan kata lain kualitas tanah merupakan satu kesatuan dengan prinsip kelestarian. Ditambahkan oleh Handayani (2001) bahwa perubahan kualitas menunjukan respon suatu jenis tanah terhadap penggunaan dan pengelolaannya. Oleh karena itu suatu penggunaan lahan hanya akan lestari jika kualitas tanah tetap dipertahankan atau ditingkatkan. Pemilihan indikator kualitas tanah sangat tergantung pada konteks permasalahan yang ingin diteliti. Isu yang penting adalah bagaimana mengevaluasi kualitas tanah oleh karena hasil tersebut akan digunakan untuk mengklasifikasikan kapabilitas lahan, melihat dampak dari suatu sistem penggunaan lahan, sebagai basis untuk membuat regulasi dan sebagai data untuk memonitor perubahan lingkungan (Parr, 1992 dalam Halvorson, 1997). Oleh karena itu diperlukan identifikasi terhadap sifat tanah yang berkaitan dengan kualitas tanah (Smith, 1993). Para ilmuwan sepakat bahwa untuk mengevaluasi kualitas tanah membutuhkan integrasi dari beberapa jenis data tanah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Doran et al. 1994 dalam Halvorson et al. 1997). Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa indikator kualitas tanah harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut : a.
Berkorelasi secara baik dengan proses ekosistem dan berorientasi modelling.
b.
Sebagai satu-kesatuan dari sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pendekatan harus secara holistik tidak dilakukan per bidang yang cenderung sempit (reductionistis).
c.
Indikator harus dapat diakses atau diaplikasikan di lapangan oleh banyak pihak
d.
Peka terhadap perubahan pengelolaan dan iklim. Indikator yang tidak sensitif kurang bermanfaat dalam memonitor perubahan kualitas tanah dan dalam pengajuan rekomendasi dalam rangka meningkatkan kualitas tanah.
e.
Jika mungkin, indikator merupakan komponen data yang sudah ada yang berasal dari data base.
31
Indikator kualitas tanah yang diajukan oleh Doran dan Parkin (1994) terdiri dari : a. Fisik tanah yang meliputi, tekstur tanah, kedalaman tanah, bobot isi tanah dan infiltrasi, kapasitas pegang air, karakteristik air, kadar air, suhu tanah. b. Kimia tanah yang mencakup, total C-organik dan total N, pH, N mineral, P dan K c. Biologi tanah yang meliputi, C-mic, N-mic, N mineralisasi potensial, respirasi tanah, rasio C biomasa terhadap total C-org, rasio respirasi terhadap biomasa. Menurut Halvorson et al. (1997) terdapat variabilitas indikator tanah menurut waktu (temporal) dan tempat (spatial) yang mempengaruhi kualitas tanah. Beberapa sifat tanah yang perubahannya cepat atau bersifat sementara (highly dynamic) adalah bobot volume, total porositas, suhu tanah, kadar air, kapasitas lapangan, pH, unsur yang mudah larut (Ammonium dan Nitrat), biomassa C dan N, dan lain-lain. Sifat-sifat tanah lainnya yang mempunyai sifat relatif statis, antara lain kandungan bahan organik dan tekstur. Selain itu ada beberapa sifat tanah yang sifatnya intermediate, diantara kapasitas tukar kation, stabilitas agregat dan mikro dan meso fauna (Coleman et al, 1992 dalam Halvorson et al.1997). Meskipun banyak sifat-sifat tanah yang potensial untuk dijadikan sebagai indikator kualitas tanah namun pemilihan sifat-sifat tanah yang akan digunakan sangat tergantung pada tujuan dilakukannya evaluasi. Karlen et al (1997) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan penilaian kualitas tanah perlu dilakukan identifikasi terhadap indikator-indikator yang sensitif terhadap karakter pengelolaan lahan. Selanjutnya Islam dan Weil (2000) mengklasifikasikan sifat-sifat tanah yang turut membantu kualitas tanah yang didasarkan atas sifat kepermanenannya dan tingkat kepekaan terhadap pengelolaan. Beberapa sifat tanah dapat berubah dalam waktu harian atau mudah berubah dari hari ke hari sebagai hasil dari praktek pengelolaan secara rutin atau adanya pengaruh iklim. Sifat tanah lainnya adalah sifat-sifat yang permanen yang merupakan sifat bawaan (inherent) tanah atau lokasi (site) dan sedikit terpengaruh oleh pengelolaan.
32
Berdasarkan
sifat
kepermanenannya,
Islam
dan
Weil
(2000)
mengklasifikasikan sifat-sifat tanah yang memiliki kontribusi terhadap kualitas tanah sebagai berikut : a. Ephemeral (berubah dalam jangka waktu harian atau rutin), seperti kadar air, respirasi tanah, pH, N mineral, K tersedia, P tersedia, dan berat isi tanah. b. Intermediate (dampak dari suatu pengelolaan lebih dari beberapa tahun), seperti agregasi tanah, biomasa mikroba, basal respirasi, specific respiration quotient, C aktif dan kandungan bahan organik c. Permanent (sifat bawaan), seperti kedalaman tanah, lereng, iklim, restictive layers, tekstur, batuan dan mineralogi. Selama ini evaluasi terhadap kualitas tanah lebih dititikberatkan pada sifat fisik dan kimia karena metode pengukurannya sederhana (Larson dan Pierce, 1991). Akhir-akhir ini telah disepakati bahwa sifat biologi dan biokimia dapat diidentifikasikan lebih awal atau cepat dan merupakan indikator sensitif terhadap kerusakan atau perubahan produktivitas tanah (Kennedy dan Papendick, 1995). Bahan organik tanah mempunyai peranan besar dalam menentukan sifat tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah. Bahan organik penting dalam perbaikan sifat-sifat fisik tanah, terutama melalui peningkatan ukuran dan stabilitas agregat. Peningkatan ukuran dan stabilitas agregat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik tanah lainnya, antara lain peningkatan kapasitas retensi air dan jumlah air tersedia, peningkatan pori makro dan meso, peningkatan porositas total, peningkatan aerasi dan peningkatan permeabilitas serta infiltrasi. Di dalam tanah, bahan organik akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi yang hasilnya dapat berupa senyawa organik yang relatif resisten terhadap dekomposisi lanjutan (senyawa humat) dan sebagian akan dilepaskan sebagai unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Dengan demikian hasil akhir tersebut merupakan senyawa-senyawa yang dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat kimia tanah. Melihat demikian besarnya peranan tersebut maka penurunan kadar bahan organik tanah perlu diwaspadai.
33
Menurut Karlen et al. (1999) perubahan bahan organik tanah yang diakibatkan oleh praktek pengelolaan lahan dapat dideteksi melalui pengukuran biomassa
mikroorganisme
tanah
(C-mic).
Bahan
organik
yang
diukur
perubahannya adalah bagian bahan organik tanah aktif. Indikasi perubahan bahan organik tanah biasanya diukur juga dari kadar total karbon. Indikator ini berguna untuk mengevaluasi perubahan kualitas tanah dalam jangka panjang tetapi kurang peka untuk mendeteksi perubahan jangka pendek (Woomer dan Swift, 1994), sedangkan peubah N total dan N tersedia untuk melihat kemampuan lahan dalam mensuplai N bagi ekosistem dan N yang tercuci atau hilang dari profil tanah (Handayani, 1999). Salah-satu sifat tanah yang juga direkomendasikan sebagai indikator kualitas tanah adalah stabilitas agregat atau distribusi ukuran agregat dan bobot isi. Stabilitas agregat berkaitan dengan resistensi agregat yang berkaitan dengan fungsi tanah lainnya seperti sifat biologi, kimia dan fisik tanah (Karlen et al. 1999). Selain itu bobot isi juga dimasukkan kedalam indikator kualitas tanah karena pengaruhnya terhadap penetrasi akar tanaman dan pori-pori yang terisi oleh air dan udara (Karlen et al. 1997).