KAJIAN HUKUM MENGENAI PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN KEGIATAN PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) Oleh : Riza Endriyana NPM : 5205220025 A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan perekonomian dunia yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Demikian juga Indonesia mengalami perkembangan perekonomian seiring dengan berkembangnya globalisasi perdagangan dunia sebagai akibat semakin meningkatnya kebutuhan akan barang dan jasa serta terbukanya komunikasi internasional yang didukung dengan teknologi modern. Perkembangan tersebut mendorong munculnya beraneka ragam kegiatan bisnis terutama di bidang perbankan dan dari kegiatan tersebut dapat mengakibatkan adanya kejahatan dalam perbankan. Salah satunya adalah kegiatan Money Laundering yang merupakan suatu “kejahatan kerah putih” (white collar crime) di bidang perbankan. Pengertian money laundering dalam bahasa Indonesia sering juga diterjemahkan dengan istilah “pemutihan uang” atau “pencucian uang”. Uang yang diputihkan atau dicuci tersebut umumnya berasal dari kegiatan-kegiatan: 1) Korupsi 2) Penyuapan 3) Penyelundupan barang 4) Penyelundupan tenaga kerja 5) Penyelundupan imigran 6) Perbankan 7) Narkotika 8) Psikotropika 9) Perdagangan budak, wanita dan anak 10) Perdagangan senjata gelap 11) Penculikan 12) Teororisme 13) Pencurian 14) Penggelapan 15) Penipuan1 Sehingga diharapkan setelah pencucian tersebut uang tadi tidak terdeteksi lagi sebagai uang hasil kejahatan dan telah menjadi uang seperti yang bersih lainnya. Untuk itu hal utama yang dilakukan dalam kegiatan money laundering adalah menghilangkan jejak dan asal usul uang tersebut. Dengan proses kegiatan money laundering ini, uang yang semula merupakan uang kotor (dirty money) diproses sehingga menghasilkan uang bersih (clean money). Dalam proses ini uang tersebut disalurkan melalui jalan penyesatan.
1
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 2.
Sungguhpun model kejahatan yang menghasilkan uang kotor yang kemudian uang tersebut diputihkan begitu banyak ragamnya, tetapi pada prinsipnya uang tersebut berasal dari tiga kelompok kegiatan ilegal, yaitu : 1. Uang yang berasal dari kegiatan kriminal, uang dari pencurian, perampokan, penipuan, perdagangan narkotika, korupsi atau penyuapan. 2. Uang hasil dari penghindaran pajak yang biasa dikenal Tax Heaven Countries, seperti yang dilakukan Cayman Islands, Cook Islands, Macow dan wilayah Pasific Selatan seperti Vanuatu. Negara yang disebut terakhir ini merupakan pusat domisili Dragon Bank International, yang pernah beroperasi di Indonesia.2 3. Uang yang berasal dari berbagai penyimpangan aturan lain Sistem moneter di Indonesia yang pada prinsipnya menganut rezim devisa bebas, bisa juga relatif aman sebagai tempat mencuci uang, sehingga disinyalir banyak uang kotor (dirty money) beredar di Indonesia. Namun demikian, kegiatan money laundering di Indonesia dapat dijerat dengan berbagai ketentuan yang menyangkut dengan pidana atau acara pidana, antara lain: a. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perbankan Pasal 42. b. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 39 (1) c. Undang-Undang No. 31/1999 jo No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. d. Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. e. Undang-Undang No. 8 Tahun 1996 yang meratifikasi Konvensi Jenewa tentang Psikotropika. f. Undang-Undang No. 13 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. g. Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa h. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana khusus Pasal 480 dan Pasal 481. Selain undang-undang tersebut di atas Bank Indonesia telah menetapkan prinsip Know Your Customer (Kenali Nasabah) sebagai pencegahan secara hukum terhadap praktek money laundering. Kegiatan money laundering dengan prinsip kerahasiaan bank saling berkaitan karena prinsip kerahasiaan bank yang diterapkan secara ketat oleh sebuah negara tanpa diimbangi dengan perangkat hukum yang memadai dalam mencegah tindak kriminal, akan menjadi sangat rentan terhadap munculnya tindak “kejahatan kerah putih” (white collar crime), khususnya dalam kasus tindak kejahatan pencucian uang (money laundering). Untuk mengantisipasinya maka prinsip Know Your Customer (KYC) sebagai salah satu usaha untuk mengenal nasabahnya, bukan hanya sebatas mengenal identitas pemilik rekening dari suatu bank. KYC juga dapat memonitor kegiatan ke dalam (incoming) dan keluar (outgoing) dalam setiap kegiatan transaksi nasabahnya. Tujuan utama penerapan prinsip KYC di dunia perbankan adalah agar bank dapat mendeteksi secara dini adanya indikasi kegiatan transaksi yang melanggar
2
Rijanto, “Efektifkah Pencucian Uang”, Bisnis Indonesia (27 Juni 2001).
hukum (ilegal) dari nasabahnya, sehingga bank dapat dilindungi dari sasaran kejahatan kerah putih termasuk kegiatan pencucian uang. Bank Indonesia selaku institusi pengawasan perbankan di Indonesia telah menetapkan peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 diubah dengan PBI No. 3/23/PBI/2001 diubah dengan PBI No.5/23/PBI/2003 tertanggal 23 Oktober 2003 mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) sebagai bagian upaya hukum yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam mencegah digunakannya perbankan nasional sebagai media kegiatan pencucian uang. Peraturan ini sejalan dengan rekomendasi internasional seperti Komite Basel untuk pengawasan perbankan (The Basel Committee on Banking Supervision) dan FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering) suatu badan khusus yang dibentuk oleh kelompok tujuh negara (G7) untuk memerangi kejahatan pencucian uang.3
B. Pokok Permasalahan Dalam penelitian hukum ini, obyek penelitian adalah Bank Indonesia sebagai bank moneter di Indonesia yang mempunyai otoritas dalam pengaturan perbankan. Pokok permasalahan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh pemerintah dalam menangkal kegiatan money laundering melalui penerapan prinsip-prinsip Know Your Customer (KYC) pada dunia perbankan di Indonesia.. Berdasarkan uraian masalah utama di atas, maka judul penelitian adalah: “KAJIAN HUKUM MENGENAI PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN KEGIATAN PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING).” Adapun penelitian tesis utama di atas difokuskan kepada pertanyaanpertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan Know Your Customer? Dan bagaimana interpretasi terhadap prinsip-prinsipnya? 2. Bagaimana Bank Indonesia menerapkan peraturan Know Your Customer pada dunia perbankan? Apakah pengawasan yang dilakukan efektif? 3. Bagaimana Bank Indonesia mengkaitkan KY dengan pencegahan terhadap kejahatan pencucian uang? Dan bagaimana kerjasamanya dengan PPATK? C. Tujuan Penelitian Penelitian atas pelaksanaan peraturan prinsip KYC yang dibuat oleh Bank Indonesia dalam upaya pencegahan secara hukum terhadap kegiatan money laundering dalam penelitian, yaitu bertujuan untuk : 1. Penelitian terhadap peraturan Bank Indonesia No. 5/23/2003 dengan UndangUndang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pencucian Uang.
3
Yunus Husein, “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah oleh Bank Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan Pencucian Uang”, dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 16 (November 2001): 30
2. Penelitian terhadap kendala Bank Indonesia dalam menerapkan PBI No. 3/10/2001 jo PBI No. 3/23/BI/2001 dan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pencucian Uang. D. Kerangka Konsepsional Dalam penelitian hukum untuk mengembangkan konsep disarankan agar sebaiknya mempergunakan kerangka konsepsional. Di dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Hal ini dapat dilihat dari definisi konsepsional Oleh sebab itu untuk lebih memahami istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini diperlukan batasan operasional, peristilahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) Prinsip Mengenal Nasabah diartikan sebagai prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan.4 2. Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. 3. Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.5 4. Money Laundering adalah suatu proses dengan mana aset-aset si pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak pidana, dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset-aset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah.6 E. Metodologi Penelitian Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji : “Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis, dan konsisten melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpul dan diolah.”7 Seperti yang telah diketahui bahwa penyusunan tesis merupakan kegiatan ilmiah yang antara lain berdasarkan suatu penelitian normatif. Penelitian normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan penelitian empiris atau sosiologis adalah penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat. Dalam penelitian dibedakan antara data yang pertama disebut data primer dan data kedua yang disebut data sekunder.8 1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 4
Yunus Husein, Loc.Cit. Undang-Undang No. 3/2004 tentang Bank Indonesia, Pasal 1 (18). 6 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Cet. 2, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 148. 7 Soekanto dan Mamudji, Loc. Cit., hlm. 1 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta : Press UI, 1989), hlm.53. 5
c. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. d. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. e. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perbankan. f. Peraturan Bank Indonesia No. 5/23/PBI/2003 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu memberikan penjelasan pada bahan hukum primer yang meliputi buku ilmu hukum dan berbagai artikel yang berkaitan dengan penulisan tesis ini. 3. Bahan hukum tertier, yang terdiri dari buku yang digunakan sebagai pedoman penelitian dan buku acuan lainnya. Kemudian untuk penelitian empiris yaitu melakukan penelitian pada Bank Mandiri, karena Bank tersebut mempunyai skala usaha yang luas dan kemungkinan memiliki kendala yang kompleks dalam menerapkan KYC serta sebuah bank asing yang beroperasi di Indonesia sebagai perbandingan. Penulis dalam penelitian empiris menggunakan data primer dengan mewawancarai beberapa nara sumber yang berkompeten dalam bidang Money Laundering dan KYC dan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer). Penulis berencana melakukan wawancara dengan Bapak Sutan Remy. Selain itu penulis melakukan wawancara dengan Bapak Yunus Husain selaku Kepala PPATK. Adapun pertanyaan yang diajukan penulis kepada nara sumber adalah mengenai hal yang berkaitan dengan tema tesis, yaitu diantaranya: 1. Bagaimana penerapan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Prinsip Mengenal Nasabah (KYC) di Indonesia dan khususnya bagi perbankan. 2. Kendala yang dihadapi dalam menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer). 3. Langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi kegiatan money laundering. Setelah data terkumpul, kemudian dilanjutkan dengan menganalisis data dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Artinya apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata diteliti dan dipelajari sepanjang hal ini mengenai manusia.9 F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan tesis ini, penulis membagi dalam lima bab. Adapun sistematika dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kerangka konsepsional, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
9
Ibid., hlm. 32.
BAB II
: TINJAUAN UMUM MENGENAI PENCUCIAN UANGDAN PRINSIP MENGENAL NASABAH Dalam bab ini dibagi atas dua kelompok, pertama mengenai money laundering yang terdiri dari pengertian, bersifat internasional, aktivitas dan mekanisme money laundering, perbankan sebagai sarana pencucian uang, faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencucian uang, upaya penanggulangan, dan pengaturan money laundering. Kedua mengenai Prinsip Mengenal Nasabah yang unsurunsurnya adalah pengertian, Prinsip Mengenal Nasabah sebagai suatu keharusan, tujuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer), data yang diperlukan dalam rangka mengenal nasabah, dan elemenelemen dalam Prinsip Mengenal Nasabah.
BAB III
: PENEGAKAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Dalam bab ini membahas upaya Pemerintah dalam penegakan dan pemberatasan tindak pidana pencucian uang, know you customer dan kaitannya dengan Bank Indonesia dan Bapepam, Standar Financial Action Task Force (FATF) mengacu Kepada Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan peranan PPATK sebagai Financial Intelligence Unit dalam penanganan tindak pidana pencucian uang.
BAB IV
: PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH DALAM RANGKA MENCEGAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Dalam bab ini dibahas tentang permasalahan yang dihadapi bank dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (KYC), perbedaan pengaturan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) dalam PBI No. 3/10/PBI/2001 jo PBI No.3/PBI/2001 dengan UndangUndang No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan kendala Bank Indonesia dalam menerapkan PBI No. 3/10/PBI/2001 jo PBI No. 3/23/PBI/2001 dan UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. : PENUTUP Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya dan saransaran penulis mengenai pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) dan Undang-undang TPPU.
BAB V
Tindak pidana pencucian uang dianggap terjadi bilamana: 1. Terdapatnya uang sebagai hasil kejahatan tertentu 2. Uang tersebut digunakan atau diputar ke dalam transaksi-transaksi bisnis. 3. Transaksi-transaksi tersebut dilakukan dengan tujuan : a. Melanjutkan aktivitas kriminalnya dengan tujuan memperbanyak kekayaan. b. Menyembunyikan kepemilikan atas kekayaan yang diperoleh dari aktivitas kejahatan. c. Menghindari dari kewajiban pelaporan sebagaimana dipersyaratkan oleh hukum di negara-negara tertentu. Telah disebutkan bahwa uang yang dicuci atau diputihkan dengan jalan money laundering umumnya berasal dari kegiatan illegal. Akan tetapi dikebanyakan negara besar seperti Amerika Serikat, menurut suatu perhitungan, maka 95% dari uang yang dicuci di sana adalah hasil dari perdagangan narkotika. Fakta menunjukkan bahwa dari seluruh perdagangan gelap di dunia, maka perdagangan gelap narkotika merupakan perdagangan gelap nomor dua terbesar, setelah perdagangan gelap nomor satu berupa perdagangan gelap senjata.10
1. Bersifat Internasional Kegiatan money laundering dewasa ini telah digolongkan sebagai suatu tindak pidana. Bahkan yang modus operandinya yang umumnya bersifat lintas negara, maka money laundering telah diakui sebagai tindak pidana internasional (international crime). Seperti terlihat pada pasal 3 ayat 1 dari United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance (konvensi PBB) yang disahkan sejak tanggal 19 Desember 1988, dan mulai berlaku efektif sejak November 1990. Indonesia telah meratifikasi konvensi sejak tanggal 31 Januari 1997 dengan Undang-Undang No. 8 tahun 1996. A. Upaya Pemerintah Dalam Penegakan dan Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pembangunan rejim anti pencucian uang Indonesia secara formal ditandai dengan diberlakukannya Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.25 Tahun 2003 (UU TPPU). Keseriusan upaya Pemerintah dan DPR dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang ini merupakan langkah nyata dari dimasukkannya Indonesia dalam daftar negara/teritori yang dinilai tidak kooperatif di dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang (Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs), karena memiliki 4 (empat) discrepancies terhadap 40 recommendation FATF on Money Laundering. Keempat discrepancies tersebut adalah:11
10
Ibid, hlm. 151 Yunus Husein, Bunga Rampai – Anti Pencucian Uang, Penerbit: Books Terrace & Library, 2007, hal. 173
11
1) tidak adanya ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai tindak pidana; 2) tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) untuk lembaga keuangan non bank; 3) rendahnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang, dan 4) kurangnya kerjasama internasional dalam penanganan kejahatan pencucian uang. Dalam rangka menyikapi kelemahan-kelemahan tersebut berbagai upaya telah dilakukan antara lain mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) dan focal point penanganan money laundering di Indonesia, regulator dan pengawas Penyedia jasa Keuangan (PJK), mengeluarkan ketentuan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer), PPATK melakukan kerjasama dengan FIU negara lain, membentuk Komite Koordinasi Nasional Pemberantasan TPPU (National Coordination Committee-NCC), mengikutsertakan aparat terkait untuk mengikuti pelatihan/workshop/seminar dalam rangka meningkatkan capacity building baik di dalam maupun luar negeri, mewajibkan kepada setiap PJK untuk menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau suspicious transaction report (STR) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) yang nilainya lima ratus juta ke atas atau cash transaction report (CTR) kepada PPATK. Canggihnya transaksi bisnis internasional telah memfasilitasi berbagai bentuk money laundering yang akhirnya mengaburkan semua uang-uang haram itu. Sebagian besar uang haram, misalnya hasil korupsi di Indonesia disembunyikan atau disamarkan ke berbagai negara penadah hasil kejahatan melalui berbagai transaksi keuangan dan transaksi bisnis yang kompleks, dengan cara penempatan, pentransferan, pelapisan maupun pengintegrasian. Oleh karena itu diperlukan adanya kerjasama dengan FIU negara lain. Sampai saat ini PPATK telah menandatangani 18 Memorandumof Understanding (MoU) dengan FIU negara lain. Upaya-upaya yang telah dilakukan akhirnya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Indonesia dari daftar NCCTs pada tanggal 11 Februari 2005. Walaupun telah dikeluarkan dari blacklist, namun FATF tetap meminta Indonesia untuk melanjutkan pembangunan rezim anti pencucian uang dan akan dilakukan monitoring selama 1 (satu) tahun terhadap upaya-upaya yang dilakukan dalam memenuhi 40+9 recommendations, dengan memfokuskan pada 6 (enam) hal berikut:12 a. mendorong agar small banks (seperti BPR dan bank-bank umum berskala kecil lainnya) menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan; b. meningkatkan capacity building terutama kepada para penegak hukum yang melakukan penanganan perkara tindak pidana pencucian uang; c. meningkatkan pelaksanaan penanganan kasus tindak pidana pencucian uang dengan tepat waktu; d. melaksanakan pemeriksaan terhadap PJK dan mengenakan sanksi secara tegas; 12
Yunus Huesein, Ibid, hal. 175
e. mengundangkan RUU tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) serta melaksanakan kerjasama internasional di bidang penegakan hukum; dan f. memenuhi komitmen untuk mendukung operasional PPATK (penyediaan anggaran, gedung perkantoran, sistem pengajian dan kewenangan pengangkatan pegawai tetap). Keenam hal di atas, sejalan dan merupakan bagian dari arah kebijakan pembangunan rezim anti pencucian uang nasional, sehingga pelaksanaannya menjadi komitmen bersama seluruh instansi Pemerintah terkait. Selanjutnya dalam Second Plenary Meeting FATF on Money Laundering di Cape Town, Afrika Selatan tanggal 13-17 Febuari 2006, antara lain status Indonesia ditetapkan tidak lagi dalam monitoring FATF. Dikeluarkannya Indonesia dari daftar NCCTs dan monitoring FATF ini diharapkan berdampak positif terhadap menurunnya country risk Indonesia sehingga dapat menurunkan biaya transaksi dengan pihak luar negeri dan juga dapat lebih menarik minat investor asing melakukan investasi di Indonesia. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang juga merupakan pelaksanaan dari amanat PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No.7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius. Di bawah ini adalah beberapa langkah yang telah diambil oleh Pemerintah RI untuk menindaklanjuti komitmen pemberantasan kegiatan pencucian uang. Rejim anti pencucian uang di Indonesia dibangun dengan melibatkan berbagai komponen, yaitu : pihak pelapor (reporting parties – penyedia jasa keuangan), pengawas dan pengatur industri keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, PPATK, aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan) serta pihak lain yang mendukungnya yaitu Presiden, DPR, Komite Koordinasi TPPU, Publik, lembaga internasional dan insansi terkait dalam negeri seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Kehutanan dan sebagainya. Di bawah ini diuraikan secara singkat peran, tugas, dan tanggung jawab setiap komponen tersebut: 1. Pihak Pelapor atau Penyedia Jasa Keuangan (Reporting Parties) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang mendefinisikan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi dan kantor pos.
PJK memiliki kewajiban menyampaikan kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LKTM) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) di atas Rp 500 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU TPPU. 2. Pengawas dan Pengatur Industri Keuangan a. Bank Indonesia Bank Indonesia adalah bank sentral yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Sesuai UU tersebut, Bank Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab utama menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki kewenangan menetapkan kebijakan moneter, memelihara dan mengatur sistem pembayaran dan mengatur serta mengawasi bank. Dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan bank, sesuai UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 Bank Indonesia memiliki kewenangan memberikan izin, mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi terhadap bank (Bank Umum dan BPR). Sebagai pengawas bank, Bank Indonesia bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan anti-money laundering (AML) policy, termasuk didalamnya adalah pelaksanaan KYC principles. b. BAPEPAM (Capital Market Pedoman, pengaturan dan pengawasan terhadap pasar modal menjadi tanggung jawab BABEPAM agar kegiatan pasar modal dilaksanakan secara fair dan efisien serta dapat melindungi kepentingan investor dan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Di samping itu, sebagai regulator Bapepam juga turut berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan KYC Principles bagi industri pasar modal. c. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) DLJK adalah Direktorat Jenderal di bawah Menteri Keuangan yang bertanggung jawab dalam mengawasi lembaga keuangan non bank seperti perusahaan asuransi, lembaga pembiayaan, an dana pensiun. Selain sebagai pengawas dan pengatur, DJLK bertanggungjawab pula terhadap pelaksanaan KYC Principles yang telah dikeluarkan bagi lembaga keuangan non bank. 3. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) PPATK adalah lembaga independen, bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sesuai dengan UU TPPU. PPATK merupakan lembaga intelejen di bidang keuangan (financial intelligence unit-FIU) yang dipimpin oleh seorang Kepala dan dibantu paling banyak 4 Wakil Kepala (Pasal 20 UU TPPU). Dalam Pasal 26,
PPATK antara lain bertugas mengumpulkan informasi, melakukan analisis dan mengevaluasi informasi. Dalam pengumpulan informasi, disamping menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan dan laporan transaksi keuangan tunai, PPATK juga menerima dari Ditjen Bea dan Cukai berupa laporan pembawaan uang tunai keluar masuk wilayah pabean Republik Indonesia senilai Rp 100 juta atau lebih. Apabila dari hasil analisis terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang, maka hasil analisis tersebut disampaikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam melakukan analisis, agar analisis memiliki nilai tambah maka PPATK mengumpulkan informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi dalam negeri yang telah atau belum menandatangani MoU dengan PPATK. 4. Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan) Berdasarkan laporan hasil analisis PPATK, Kepolisian selaku penyidik melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk membuat terang suatu kasus dengan mencari bukti untuk menentukan apakah terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang atau tidak. Apabila dalam penyidikan diperoleh bukti yang cukup, selanjutnya berkas perkara diteruskan kepada Kejaksaan untuk membuat dakwaan atau tuntutan dalam sidang pengadilan. 5. Presiden, DPR, Publik dan Komite Koordinasi TPPU Di samping DPR, setiap 6 bulan sekali Presiden menerima laporan kinerja pembangunan rezim anti pencucian uang dari PPATK. Laporan ini akan digunakan oleh Pemerintah dan DPR dalam mengevaluasi pembangunan rezim anti pencucian uang guna menetapkan kebijakan umum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Sementara itu, laporan kinerja PPATK khususnya dan pembangunan rezim anti pencucian uang pada umumnya juga dilaporkan ke publik dalam rangka transparansi dan akuntabilitas PPATK. Mengingat badan pelaksana (implementing agency) pembangunan rezim anti pencucian uang cukup banyak, diperlukan koordinasi yang efektif dan berkesinambungan. Oleh karena itu, melalui Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2004 tanggal 5 Januari 2004 dibentuk Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU), dengan ketua Menko Polhukkam, Wakil Ketua Menko Perekonomian, sekretaris Kepala PPATK, dan beranggotakan 17 pimpinan instansi terkait. A. Upaya Pemerintah Dalam Penegakan dan Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pembangunan rejim anti pencucian uang Indonesia secara formal ditandai dengan diberlakukannya Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.25 Tahun 2003 (UU TPPU). Keseriusan upaya Pemerintah dan DPR dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang ini merupakan langkah nyata dari dimasukkannya Indonesia dalam daftar negara/teritori yang dinilai tidak kooperatif di dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang (Non-Cooperative Countries and
Territories (NCCTs), karena memiliki 4 (empat) discrepancies terhadap 40 recommendation FATF on Money Laundering. Keempat discrepancies tersebut adalah:13 5) tidak adanya ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai tindak pidana; 6) tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) untuk lembaga keuangan non bank; 7) rendahnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang, dan 8) kurangnya kerjasama internasional dalam penanganan kejahatan pencucian uang. Dalam rangka menyikapi kelemahan-kelemahan tersebut berbagai upaya telah dilakukan antara lain mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) dan focal point penanganan money laundering di Indonesia, regulator dan pengawas Penyedia jasa Keuangan (PJK), mengeluarkan ketentuan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer), PPATK melakukan kerjasama dengan FIU negara lain, membentuk Komite Koordinasi Nasional Pemberantasan TPPU (National Coordination Committee-NCC), mengikutsertakan aparat terkait untuk mengikuti pelatihan/workshop/seminar dalam rangka meningkatkan capacity building baik di dalam maupun luar negeri, mewajibkan kepada setiap PJK untuk menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau suspicious transaction report (STR) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) yang nilainya lima ratus juta ke atas atau cash transaction report (CTR) kepada PPATK. Canggihnya transaksi bisnis internasional telah memfasilitasi berbagai bentuk money laundering yang akhirnya mengaburkan semua uang-uang haram itu. Sebagian besar uang haram, misalnya hasil korupsi di Indonesia disembunyikan atau disamarkan ke berbagai negara penadah hasil kejahatan melalui berbagai transaksi keuangan dan transaksi bisnis yang kompleks, dengan cara penempatan, pentransferan, pelapisan maupun pengintegrasian. Oleh karena itu diperlukan adanya kerjasama dengan FIU negara lain. Sampai saat ini PPATK telah menandatangani 18 Memorandumof Understanding (MoU) dengan FIU negara lain. Upaya-upaya yang telah dilakukan akhirnya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Indonesia dari daftar NCCTs pada tanggal 11 Februari 2005. Walaupun telah dikeluarkan dari blacklist, namun FATF tetap meminta Indonesia untuk melanjutkan pembangunan rezim anti pencucian uang dan akan dilakukan monitoring selama 1 (satu) tahun terhadap upaya-upaya yang dilakukan dalam memenuhi 40+9 recommendations, dengan memfokuskan pada 6 (enam) hal berikut:14 g. mendorong agar small banks (seperti BPR dan bank-bank umum berskala kecil lainnya) menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan; 13
Yunus Husein, Bunga Rampai – Anti Pencucian Uang, Penerbit: Books Terrace & Library, 2007, hal. 173 14 Yunus Huesein, Ibid, hal. 175
h. meningkatkan capacity building terutama kepada para penegak hukum yang melakukan penanganan perkara tindak pidana pencucian uang; i. meningkatkan pelaksanaan penanganan kasus tindak pidana pencucian uang dengan tepat waktu; j. melaksanakan pemeriksaan terhadap PJK dan mengenakan sanksi secara tegas; k. mengundangkan RUU tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) serta melaksanakan kerjasama internasional di bidang penegakan hukum; dan l. memenuhi komitmen untuk mendukung operasional PPATK (penyediaan anggaran, gedung perkantoran, sistem pengajian dan kewenangan pengangkatan pegawai tetap). Keenam hal di atas, sejalan dan merupakan bagian dari arah kebijakan pembangunan rezim anti pencucian uang nasional, sehingga pelaksanaannya menjadi komitmen bersama seluruh instansi Pemerintah terkait. Selanjutnya dalam Second Plenary Meeting FATF on Money Laundering di Cape Town, Afrika Selatan tanggal 13-17 Febuari 2006, antara lain status Indonesia ditetapkan tidak lagi dalam monitoring FATF. Dikeluarkannya Indonesia dari daftar NCCTs dan monitoring FATF ini diharapkan berdampak positif terhadap menurunnya country risk Indonesia sehingga dapat menurunkan biaya transaksi dengan pihak luar negeri dan juga dapat lebih menarik minat investor asing melakukan investasi di Indonesia. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang juga merupakan pelaksanaan dari amanat PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No.7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius. Di bawah ini adalah beberapa langkah yang telah diambil oleh Pemerintah RI untuk menindaklanjuti komitmen pemberantasan kegiatan pencucian uang. Rejim anti pencucian uang di Indonesia dibangun dengan melibatkan berbagai komponen, yaitu : pihak pelapor (reporting parties – penyedia jasa keuangan), pengawas dan pengatur industri keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, PPATK, aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan) serta pihak lain yang mendukungnya yaitu Presiden, DPR, Komite Koordinasi TPPU, Publik, lembaga internasional dan insansi terkait dalam negeri seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Kehutanan dan sebagainya. Di bawah ini diuraikan secara singkat peran, tugas, dan tanggung jawab setiap komponen tersebut: 1. Pihak Pelapor atau Penyedia Jasa Keuangan (Reporting Parties) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang mendefinisikan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah setiap orang yang menyediakan jasa dibidang
keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi dan kantor pos. PJK memiliki kewajiban menyampaikan kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LKTM) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) di atas Rp 500 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU TPPU. 2. Pengawas dan Pengatur Industri Keuangan a. Bank Indonesia Bank Indonesia adalah bank sentral yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Sesuai UU tersebut, Bank Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab utama menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki kewenangan menetapkan kebijakan moneter, memelihara dan mengatur sistem pembayaran dan mengatur serta mengawasi bank. Dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan bank, sesuai UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 Bank Indonesia memiliki kewenangan memberikan izin, mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi terhadap bank (Bank Umum dan BPR). Sebagai pengawas bank, Bank Indonesia bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan anti-money laundering (AML) policy, termasuk didalamnya adalah pelaksanaan KYC principles. b. BAPEPAM (Capital Market Pedoman, pengaturan dan pengawasan terhadap pasar modal menjadi tanggung jawab BABEPAM agar kegiatan pasar modal dilaksanakan secara fair dan efisien serta dapat melindungi kepentingan investor dan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Di samping itu, sebagai regulator Bapepam juga turut berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan KYC Principles bagi industri pasar modal. c. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) DLJK adalah Direktorat Jenderal di bawah Menteri Keuangan yang bertanggung jawab dalam mengawasi lembaga keuangan non bank seperti perusahaan asuransi, lembaga pembiayaan, an dana pensiun. Selain sebagai pengawas dan pengatur, DJLK bertanggungjawab pula terhadap pelaksanaan KYC Principles yang telah dikeluarkan bagi lembaga keuangan non bank. 3. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
PPATK adalah lembaga independen, bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sesuai dengan UU TPPU. PPATK merupakan lembaga intelejen di bidang keuangan (financial intelligence unit-FIU) yang dipimpin oleh seorang Kepala dan dibantu paling banyak 4 Wakil Kepala (Pasal 20 UU TPPU). Dalam Pasal 26, PPATK antara lain bertugas mengumpulkan informasi, melakukan analisis dan mengevaluasi informasi. Dalam pengumpulan informasi, disamping menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan dan laporan transaksi keuangan tunai, PPATK juga menerima dari Ditjen Bea dan Cukai berupa laporan pembawaan uang tunai keluar masuk wilayah pabean Republik Indonesia senilai Rp 100 juta atau lebih. Apabila dari hasil analisis terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang, maka hasil analisis tersebut disampaikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam melakukan analisis, agar analisis memiliki nilai tambah maka PPATK mengumpulkan informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi dalam negeri yang telah atau belum menandatangani MoU dengan PPATK. 4. Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan) Berdasarkan laporan hasil analisis PPATK, Kepolisian selaku penyidik melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk membuat terang suatu kasus dengan mencari bukti untuk menentukan apakah terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang atau tidak. Apabila dalam penyidikan diperoleh bukti yang cukup, selanjutnya berkas perkara diteruskan kepada Kejaksaan untuk membuat dakwaan atau tuntutan dalam sidang pengadilan. 5. Presiden, DPR, Publik dan Komite Koordinasi TPPU Di samping DPR, setiap 6 bulan sekali Presiden menerima laporan kinerja pembangunan rezim anti pencucian uang dari PPATK. Laporan ini akan digunakan oleh Pemerintah dan DPR dalam mengevaluasi pembangunan rezim anti pencucian uang guna menetapkan kebijakan umum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Sementara itu, laporan kinerja PPATK khususnya dan pembangunan rezim anti pencucian uang pada umumnya juga dilaporkan ke publik dalam rangka transparansi dan akuntabilitas PPATK. Mengingat badan pelaksana (implementing agency) pembangunan rezim anti pencucian uang cukup banyak, diperlukan koordinasi yang efektif dan berkesinambungan. Oleh karena itu, melalui Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2004 tanggal 5 Januari 2004 dibentuk Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU), dengan ketua Menko Polhukkam, Wakil Ketua Menko Perekonomian, sekretaris Kepala PPATK, dan beranggotakan 17 pimpinan instansi terkait.