1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tema tentang etnisitas sebagai simbol identitas yang kerap dimanfaatkan sebagai alat untuk merebut kekuasaan politik dan ekonomi di tanah air, masih kontemporer hingga kini untuk dibicarakan. Setidaknya, pernyataan ini dilandasi oleh dua argumen yang mendasar, yakni (1) setiap pemilihan pemimpin seperti; pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilaksanakan 5 tahun sekali, isu tentang asal etnis (geopolitik) kandidat tidak lepas dari kerangka ―pertarungan politik‖ antar kandidat; (2) penguasaan dan akses terhadap aset-aset ekonomi tertentu oleh entitas sosial tertentu (baca: etnis), juga tidak pernah lepas dari bahan pembicaraan kalangan intelektual sosial, politikus sampai dengan masyarakat biasa. Secara sosiologis, gejala sosial (fakta sosial) seperti ini mengundang pertanyaan substantif perihal apakah kenyataan ini hadir begitu saja ataukah suatu gejala yang berhistori? Merujuk kasus Sulawesi Selatan (khususnya etnis Bugis dan Makassar) sebagai lokasi studi menunjukkan bahwa pertarungan elite baik pada ranah politik maupun ekonomi antar etnis tidak lepas dari dimensi histori (masa lalu). 1 Meski demikian, persaingan yang kemudian berwujud dalam pertarungan politik maupun ekonomi tersebut, memberikan gambaran bahwasanya pertarungan yang terjadi adalah pertarungan yang sepenuhnya dilakukan oleh lapisan atas (elite) antar etnis dalam menguasai sumberdaya tertentu. Lalu bagaimanakah dengan posisi lapisan bawah (masyarakat biasa) dalam pertarungan elite tersebut? Dan apakah memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal pada lapisan sosial masyarakat di dua etnis tersebut?
1
Ricklefs, 1991 dan Hall, 1988 menyatakan bahwa dari empat etnis terbesar di Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja), Bugis dan Makassar merupakan dua etnis yang saling bersaing untuk menjadi yang paling berkuasa di Sulawesi Selatan. Setidaknya ada kesan bahwa sebelum abad 17 masyarakat Bugis merasa tidak nyaman di bawah kekuasaan Kesultanan Gowa. Ada semacam anggapan di kalangan masyarakat Bugis bahwa merekalah yang menguasai sistem produksi pertanian beras dan mereka pulalah yang seharusnya menguasai ekonomi beras. Namun dalam kancah sistem perdagangan beras antar pulau, kemampuan etnis Bugis umumnya masih kalah dibanding etnis Makassar. Lebih-lebih sebelum abad 16, kemampuan Kesultanan Gowa mengendalikan sistem politik dan perdagangan hasil pertanian di Kawasan Indonesia Timur relatif kuat.
1
Pertarungan para
elite di dua etnis (Bugis-Makassar)
di Sulsel
memperebutkan kekuasaan politik dan ekonomi cenderung berakhir dengan konflik, baik itu konflik tertutup maupun terbuka. Konflik ini cenderung ―laten,‖ karena kedua kelompok etnis memiliki cara pandang yang tertutup, kontras dan mendalam, mengenai kulturnya masing-masing, terutama mengenai pemahaman kekuasaan. Kondisi ini akan berujung pada ketidaksiapan pada salah satu etnis menerima etnis lain untuk mengelola kekuasaan politik dan ekonomi secara bersama. Konflik terbuka antara etnis Bugis dengan Makassar dimulai pada abad 17, tepatnya pada 1667, ketika Sultan Hassanuddin (Sultan Gowa yang menguasai secara politik dan ekonomi sebagian besar jazirah Sulsel) ditantang oleh Arung Palakka (Raja Bone yang menjadi simbol dan representasi etnis Bugis). Arung Palakka yang mendapat dukungan kuat dari Belanda, berhasil menggulingkan kekuasaan politik dan ekonomi Sultan Hasanuddin. Sejak ―kekalahan‖ itu etnis Makassar mengalami penurunan peranan politik dan ekonomi, sebaliknya sejak era itu, etnis Bugis menjadi pengendali kekuasaan politik dan ekonomi di Sulawesi Selatan. Beberapa cacatan penting untuk melihat konflik elite etnis Bugis dan etnis Makassar dapat diurai dengan memotret karakter elite yang memanggul kekuasaan politik dan ekonomi. Dari sini terlihat dengan jelas bagaimana elite Bugis dan Makassar memainkan pola kekuasaan yang bersifat tradisional, nuansa Islam dan praktek kekuasaan modern untuk menapaki posisi politik dan ekonomi mereka. Atau memodifikasi tiga pola kekuasaan tersebut sekaligus. Selian itu, terdapat juga bentuk dan jenis kekuasaan yang dimainkan para elite Bugis dan Makassar, yakni kekuasaan yang bersifat tersembunyi dan tersediakan (terberikan). Dari jenis-jenis kekuasaan ini, kemudian terbentuk sistem sosial yang sangat mempengaruhi pola hubungan antara elite sebagai penguasa dengan pengikutnya. Tentang hal ini, konsep hubungan elite dengan pengikutnya yang paling menonjol di dalam etnis Bugis dan Makassar adalah konsep Ajjoareng2 dan
2
2
Ajjoa‟raeng adalah orang yang menjadi ikatan atau panutan dan ini bisa seorang punggawa, aru ataupun pemuka masyarakat lainnya. Pendeknya dia merupakan tokoh pemimpin, yang menjadi sumbu kegiatan orang-orang disekitarnya, yang mengikuti kemauan serta kehendaknya dengan patuh.
Joa‟3 yang dikenal oleh tradisi Bugis, atau Karaeng dan Taunna yang dikenal oleh etnis Makassar. Secara sosiologis konsep ini merupakan nama lain dari hubungan patron-client yang umumnya berlaku pada masyarakat pedesaan di Indonesia. Meski demikian, untuk kasus Sulawesi Selatan, ketundukkan joa‟ atau taunna (klien) kepada ajjoareng atau karaeng (patron) merupakan penjelmaan nilai siri ‟ yang berlaku pada dua entitas sosial tersebut.4 Dengan demikian, siri ‟ tidak sekedar simbol nilai yang berlaku pada lapisan tertentu, melainkan sebagai faktor penting untuk mendorong terjadinya mobilisasi antar lapisan sosial yang ada dalam dua etnis tersebut. Hal ini dikarenakan siri ‟ sebagai ideologi dan simbol budaya berlaku pada lapisan sosial manapun. Selanjutnya pada arena politik maupun ekonomi, ikatan patron-klien pada dua etnis ini dapat dimaknai sebagai modal sosial (social capital) yang dapat digunakan oleh elite untuk mempertahankan kekuasaan politik maupun ekonominya. Hal lain yang tak kalah menariknya adalah kepemimpinan kaum elite (ajjoareng atau karaeng) menjaga solidaritas massa (joa‟ atau taunna) melalui karismanya. Karisma yang dimaksud adalah kemampuan elite menjaga ideologi atau mitos sebagai shared value system yang memungkinkan elite dan massa berkomunikasi satu sama lain serta untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan (Pareto, Mosca, dan Michels dalam Pelras, 2006). Tentang hal ini, asumsi yang dapat dikembangkan adalah pemaknaan atas ideologi atau mitos dapat dijadikan sebagai kekuatan elite dalam konteks pertarungan untuk mencapai kekuasaannya. Pemaknaan atas simbol
atau mitos dalam etnis Bugis dan Makassar
menarik dapat dijelajahi melalui system pengetahuan simbolik yang tumbuh pada entitas masyarakat Bugis dan Makassar. Melalui system pengetahuan simbolik yang berkembang tersebut, beragam citra dan stereotip yang tersebar luas ditujukan untuk etnis Bugis, dan Makassar, banyak diantaranya yang berlawanan satu sama lain. Penduduk Sulawesi Selatan dilukiskan sebagai pelaut yang berani, perantau yang lihai, bangsawan feudal, dan para pengikutnya penganut paham 3 4
Joa‟ adalah pengikut Ajjoa‟raeng yang berasal dari golongan maradeka (orang merdeka) yang setia. Hubungan minawang (kepengikutan) ini antara patron dan klien lebih bersifat sukarela. Untuk itu, hubungan mereka sangat erat. Mereka saling membela dan melindungi jika salah satu pihak mendapat kesulitan atau bahaya. Sebagai misal, penghinaan terhadap pengikut seorang karaeng akan dipandang juga sebagai penghinaan dari karaeng itu sendiri.
3
kebebasan demokratis yang hanya mengakui pemerintahan yang berdasarkan kontrak sosial, pemeluk agama Islam yang fanatik, pemuja benda-benda pusaka kerajaan tradisional dan pelaksana upacara-upacara ritual bagi para leluhur dan dewa yang turun ke bumi. Kesan dan stereotip itu tentu masih memerlukan pembahasan lebih lanjut. Pembahasan tentang Sulawesi Selatan meliputi berbagai macam topik, mulai dari perspektif budaya dan politik; hubungan antara status dan kekuasaan; kepemimpinan dan hubungan patron-klien; pengaruh asing dan budaya lokal; perdagangan maritim dan posisi Sulawesi Selatan dalam jaringan perdagangan internasional; kultur daerah dan pembangunan sosial-ekonomi; serta diaspora. Topiktopik tersebut sebagian besar saling berkaitan. Semua topik itu berhubungan dengan transaksi, tradisi, dan teks-berhubungan dengan kekuasaan politik dan ekonomi. Sejauh mana berbagai kesan dan stereotip itu bukan sekadar informasi dari dokumen kolonial dan pasca-kolonial tetapi juga merupakan bagian dari naskah atau teks asli yang dilahirkan oleh ilmuwan Sulawesi Selatan sendiri, dan bagaimana halnya dengan pandangan mengenai keseragaman sosial budaya di Sulawesi Selatan jika diperhadapkan dengan tingkat keberagaman lokal yang tampak nyata? Penggunaan istilah 'Bugis-Makassar' secara konsisten oleh para ilmuwan dari Sulawesi Selatan telah memperkuat kecenderungan untuk menekankan adanya: keseragaman budaya, untuk tidak mengatakan keseragaman sosial di wilayah ini. Memang ada beberapa hal yang secara fundamental memiliki kemiripan, misalnya pandangan mengenai otoritas yang mendasari kekuasaan para penguasa kerajaan tradisional khususnya kontrak simbolis dengan penguasa awal keturunan dewata (to manurung atau tu manurung) yang dianggap telah turun ke dunia ini untuk menciptakan ketenteraman di masa kacau-balau yang kemudian diakui sebagai leluhur oleh kalangan bangsawan. Perkawinan antar-bangsawan adalah faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap bukan hanya keseragaman budaya, tetapi juga sistem sosial tunggal yang terdapat di sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan. Kendati terdapat argumen kuat yang mendukung adanya keseragaman, namun di sisi lain terdapat pula berbagai perbedaan besar dalam hal struktur politik dan sosial. Bentuk konfederasi beberapa kerajaan Makassar untuk tidak
4
membandingkannya dengan kerajaan Bugis Wajo misalnya, memiliki perbedaan dengan bentuk kerajaan Bugis Bone dan Luwu yang cenderung lebih sentralistik. Begitu pula halnya perbedaan bahasa, struktur sosial dan budaya (sebagai contoh, status sosial seseorang yang relatif berbeda dalam hubungan patron-klien) mengurangi kesan umum tentang Sulawesi Selatan sebagai suatu wilayah yang memiliki identitas budaya yang seragam. Ini mengantar kepada pertanyaan tentang ciri-ciri umum apa yang sebenarnya harus dimiliki agar seseorang dapat disebut sebagai orang Bugis atau Makassar: apakah penampilan luar yang kasatmata (model pakaian, bentuk rumah, dan proses keterlibatan dalam kegiatan adat tertentu serta peribadahan Islam) ataukah sikap dan orientasi yang kurang kasatmata, seperti menegakkan kehormatan dan rasa malu (siri‟)? Di antara konsep yang terkenal dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Selatan, yang banyak dibahas dalam literatur ilmiah, adalah konsep status dan kekuasaan. Memiliki pengetahuan (paddisengeng), khususnya pengetahuan esoterik (gaib), dan pusaka-pusaka kerajaan atau benda-benda yang dikeramatkan orang berperan penting dalam meraih dan memiliki kekuasaan. Konsep tentang status dan kekuasaan kemudian melahirkan konsep tentang hubungan antara pemimpin dengan pengikut (patron-client). Dari pengembangan konsep patron-client, masyarakat Bugis dan Makassar lebih banyak dilihat sebagai masyarakat yang memiliki struktur sosial-politik yang didominasi oleh ikatan solidaritas vertikal. Pandangan-pandangan seperti ini sayang sekali tidak berusaha mengelaborasi perbedaan wilayah yang ikut menjadi variabel yang mempengaruhi hubungan antara ikatan kekerabatan yang dapat menjadi dasar interaksi sosial. Pembahasan terkait pola-pola kepemimpinan juga tidak menjadi pertimbangan sejumlah ilmuwan selama ini untuk melihat apakah etnis Bugis dan etnis Makassar benarbenar memiliki persamaan atau justru memiliki kekhususan dalam membangun konstruksi sosial politiknya. Beberapa
ilmuwan
memang
memperdebatkan
pengaruh
interaksi
kebudayaan lokal dengan budaya luar terhadap konstruksi sosial yang ada. Misalnya, pengaruh Islam terhadap legitimasi otoritas para penguasa, pengaruh praktik dan konsep ajaran Hindu, Buddha, dan pengaruh India yang dalam taraf
5
tertentu telah mewarnai agama dan kepercayaan serta konsep kepemimpinan etnis Bugis dan Makassar. Menurut Errington (1989) pengaruh-pengaruh tersebut seharusnya tidak diremehkan. Sedangkan Macknight (1975), Caldwell (1991), dan Reid (1981), berpendapat bahwa pengaruh unsur-unsur tersebut relatif kurang penting. Hal itu akan mengarah kepada perbedaan dalam hal konsep kekuasaan dan konsep kebudayaan lainnya yang ada di wilayah Sulawesi Selatan (terutama dalam kasus ini antara etnis Bugis dengan etnis Makassar). Pengaruh intensitas komunikasi antar entitas sosial, dan terbukanya sistem ekonomi dunia, telah melanda sebagian besar kehidupan sosial politik masyarakat dunia, tidak terkecuali masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Meskipun ada yang beranggapan bahwa Sulawesi Selatan memiliki bentuk manajemen sosial, politik dan ekonomi yang kontras dengan manajemen komersial modern. Namun tidak dapat disangkal bahwa interaksi sosial modern yang mengandung nilai-nilai komersial dan penetrasi institusi-institusi negara modern, ikut mengubah pola hubungan antara pemimpin dan pengikut dalam struktur kekuasaan yang ada di dalam etnis Bugis dan etnis Makassar. Penetrasi institusi-institusi modern, dan komersialisasi hubungan yang terus meningkat telah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi transformasi hubungan sosial yang mendasar. Situasi sosial yang terjadi di Sulawesi Selatan seperti ini, akan mendorong pola interaksi sosial yang berbeda antara satu etnis dengan etnis yang lainnya (terutama dalam tulisan ini antara etnis Bugis dan Makassar), yang pada akhirnya juga akan membentuk proses yang berbeda dalam kelahiran pemimpin (elite), dan hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya. Kebanyakan ilmuwan; antropolog maupun sosiolog, terutama dari Sulawesi Selatan, menuliskan etnis Bugis dan etnis Makassar secara bergabung, BugisMakassar. Tak pernah, setidaknya kita menemukan penjelasan mengapa mereka melakukan itu. Padahal suku Bugis dan Makassar adalah dua suku yang berbeda. Keduanya memiliki bahasa dan adat istiadat yang jelas tidak sama. Memiliki wilayah dan ekologi yang berbeda. Etnis Makassar menempati bagian selatan Sulawesi Selatan, sementara etnis Bugis mendiami bagian Utara dan Tengah jazirah Sulawesi Selatan. Secara kuantitatif etnis Bugis mencapai 46% dari populasi,
6
sedangkan etnis Makassar hanya berkisar 35%. Sisanya diisi oleh suku-suku lain, seperti Mandar, dan Toraja. Ahimsa-Putra dalam bukunya, Struktualisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra (2006), yang menganalisis tentang mitos etnis Bugis dan Makassar, juga tidak memberi penjelasan mengapa menggunakan terminologi etnis ‖BugisMakassar‖ dan tidak memisahkan istilah etnis Bugis dan etnis Makassar. Padahal penulisan itu dapat menimbulkan kekaburan paham atas suku Bugis dan Makassar. Semakin banyak literatur yang menulis menggabungkan Bugis dan Makassar, semakin dapat mengaburkan pemahaman orang tentang kedua suku ini. Seolah keduanya adalah nama dari satu suku yang sekaligus satu budaya. Cara penulisan seperti itu, diduga sebagai akibat pengaruh kuat politik Orde Baru. Ketika Orde Baru berkuasa, politik persatuan dan kesatuan bangsa cenderung dipaksakan. Sehingga etnis Bugis dan etnis Makassar yang berdekatan secara geografis sekaligus banyak berinteraksi, ditulis menjadi satu. Dugaan lain, pertimbangan rasa atau ―etik‖.5 Merasa tak enak bila menulis Bugis tanpa mengikutkan Makassar atau sebaliknya. Selain itu, penyederhanaan atau penyatuan itu memang disebabkan karena keterbatasan antropolog atau sosiolog di masa itu. Sebab, kalau orang Bugis atau Makassar yang paling awam sekalipun, bisa mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bugis atau Makassar. Walau mungkin bukan kekeliruan, penggabungan itu kemudian juga berdampak pada dibaurnya istilah-istilah Bugis dan Makassar dalam penelitian antropolog atau sosiolog. Dalam buku Ahimsa-Putra (2006), istilah Bugis seperti assialang marola, assialanna memeng, maupun ripaddeppe mabelae, bercampur dengan istilah Makassar seperti sampo sikali, sampo pinruan, dan sampo pintallu. Kesemua istilah itu berbeda dalam kedua bahasa di atas, sampo sikali, sampo pinruang, dan sampo pintallu, dalam bahasa Bugis adalah sappo wekkasiseng, sappo wekkadua, sappo wekkatellu. 5
Titik tolak konsep besar pembangunan Orde Baru (1968-1998) adalah pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keamanan dan politik. Pada aspek pertumbuhan ekonomi Orde Baru mengusung mazhab moderenisasi yang mendorong pendekatan sentralisasi, massal dan keseragaman. Sedangkan pada aspek stabilitas, Orde Baru memprioritaskan NKRI. Itu sebabnya istilah-istilah seperti; suku Sunda diganti dengan sebutan Jawa Barat, suku Dayak dikenal dengan panggilan komunitas Kalimantan, suku Bugis dan dan suku Makassar dipanggil sebagai orang Sulawesi. Dengan pendekatan seperti itu, Orde Baru dapat mengontrol multi etnis menjadi kelompok-kelompok sosial yang lebih besar, dan dapat menghindari faksi-faksi yang bersumber dari spirit etnisitas.
7
Mengacu pada pandangan tentang posisi sosial, budaya, politik dan ekonomi etnis Bugis dan Makassar (misalnya ada yang mengatakan kebudayaan, sistem sosial, politik dan ekonomi etnis Bugis dan Makassar sulit dibedakan), padahal faktanya, terdapat keragaman kebudayaan, sistem sosial dan politik yang tajam yang menjadi ciri khas kedua etnis yang berbeda ini. Keragaman itu secara konsisten, terutama sejak Orde Sekularisme mengalami eskalasi yang meningkat dari masing-masing etnis. Ini menjadi latar bagi penulis untuk mengeksplorasi karakter sosial, budaya dan politik etnis Bugis dan Makassar, sebagai modal pluralitas budaya, sistem sosial, politik dan demokrasi. Latar kedua, konflik antar etnis semakin mungkin terjadi, karena dipicu oleh kepentingan elite yang memanfaatkan semangat etnisitas, dalam konteks ini, elite Sulawesi Selatan menjadikan basis etnis sebagai senjata pamungkas untuk meraih kekuasaan politik dan ekonominya. Dengan menjelaskan pola-pola interaksi sosial kedua etnis, terutama antara
elite dengan pengikutnya tersebut, penulis berharap dapat
menemukan faktor lain (capacity dan competency) bagi calon pemimpin yang dijadikan sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan. Alasan ini sesuai dengan sistem sosial politik yang dianut oleh leluhur Bugis-Makassar, yaitu hubungan antara pemimpin dan pengikut yang bersifat kontraktual. Penggabungan itu juga dapat mengaburkan hasil penelitian tentang Bugis dan Makassar. Penelitian TH Chabot –yang dijadikan acuan dalam buku Ahimsa— tentang pelaksanaan perkawinan ideal di Bontoramba Makassar, apakah benar dapat diterapkan untuk mendukung pendapat tentang perkawinan ideal di Bugis? Dalam masyarakat Bugis, pembagian perkawinan ideal berdasarkan darah keturunan yang digambarkan Mattulada lebih mengacu ke kalangan bangsawan tinggi atau turunan datuk, bukan masyarakat Bugis kebanyakan. Dalam kebanyakan masyarakat Bugis, di mana pernikahan tidak bermotif kekuasaan, tapi bertujuan ―selamat dan sejahtera‖, ada istilah sienrekeng dalle‟. Istilah itu ditujukan kepada pasangan yang kalau dinikahkan, dipercaya akan saling ―menaikkan‖ rejeki bagi keduanya. Syarat pasangan ini adalah: si perempuan merupakan anak bungsu dalam keluarganya dan si laki-laki adalah anak sulung dalam keluarganya.
8
Berbeda dengan kawin ideal dengan sepupu sekali di kalangan bangsawan tinggi, semisal para datuk untuk mempertahankan garis kebangsawanannya. Kebanyakan orang Bugis justru memandang menikah dengan sepupu sekali tidak akan mendatangkan rejeki. Sementara sienrekeng dalle‟ merupakan hal yang penting bagi orang Bugis yang cenderung memandang kehormatan dari jumlah harta yang dimiliki. Sementara kawin ideal yang dipertontonkan oleh etnis Makassar melalui prosesi perkawinan yang dilangsungkan oleh keluarga Sultan Hasanuddin, lebih menunjukkan sebuah upacara yang memperlihatkan makna perkawinan sebagai perluasan kekuasaan, meski tidak selalu diikuti oleh perluasan faktor ekonomi dan kesejahteraan. Sejumlah prosesi ini dapat disaksikan melalui perkawinan silang antara keturunan Sultan Gowa dengan Sultan Bima dan Sumbawa, semuanya perkawinan ini bermotif (salah satunya, mungkin utama) adalah memperluas dan memperkokoh kekuasaan politik Sultan Hasanuddin. 1.1.1 Beberapa Temuan tentang Etnis Bugis dan Makassar Beberapa penelitian dan tulisan mengenai topik ini (elite; kepemimpinan dan struktur kekuasaan di dalam etnis Bugis dan Makassar), paling kurang telah dieksplorasi oleh beberapa penulis dan ilmuwan antara lain; Pola hubungan elite etnis Bugis dan Makassar dan pengikutnya digambarkan dengan jelas oleh; Kooreman, (1883); Mattulada (tt); Pelras (2000) menurut mereka, hubungan elite Bugis-Makassar dan pengikutnya disebut dengan istilah; hubungan patron-klien, dengan menggunakan konsep Ajjoareng dan joa‟. Ajjoa‟raeng menurut mereka adalah orang yang menjadi ikatan atau panutan dan ini bisa seorang punggawa, aru ataupun pemuka masyarakat lainnya. Pendeknya dia merupakan tokoh pemimpin atau elite, yang menjadi sumbu sosial, politik dan ekonomi bagi para pengikutnya. Para pengikutnya, harus tunduk dan patuh pada kemauan ajjoarengnya. Pengikut-pengikut ini dikenal dengan sebutan joa‟ dan mereka berasal dari golongan maradeka (orang merdeka) yang setia. Sedangkan studi tentang struktur kekuasaan dan politik di Sulawesi Selatan banyak dilakukan oleh Ijzereef (1987); Millar (1992). Untuk melihat hal ini lebih jauh kita kembali dulu melihat ke masa lalu. Kajian tentang struktur kekuasaan
9
dan politik di kerajaan Bone di pertengahan abad ke 19 hingga pertengahan abad 20 bisa menjadi model yang menunjukkan kepada kita bagaimana kekuasaan bekerja di provinsi ini. Menurut Ijzereef, masyarakat Sulawesi Selatan adalah masyarakat yang sangat hierarkis, yang tersusun berdasarkan ‗kemurnian darah‘ kebangsawanan. Hierarki ini tentu tidak berdiri sendiri, setiap unit kekuasaan punya hierarki dan unit kekuasaan ini sendiri berada di dalam hierarki yang lebih besar, hingga tingkat antar-kerajaan. Dengan demikian, kompetisi atau persaingan menuju puncak hierarki berlangsung terus menerus, dan hal ini tentu akan memancing konflik. Menurutnya, semakin berdekatan posisi dua pihak dalam suatu hierarki maka potensi konfliknya semakin besar. Dan semakin berjauhan posisi hierarkis dua pihak semakin kecil potensi konflik yang bisa terjadi. Millar (1992), lebih banyak mengurai dan menggambarkan konsep pelapisan sosial. dia secara spesifik mengurai konsep ‗lokasi sosial‘—yang terpampang jelas ketika masyarakat Bugis mengadakan pesta pernikahan. Lokasi, tempat seseorang duduk secara fisik selama prosesi tertentu sebuah pernikahan menunjukkan posisinya dalam hierarki sosial. Sebagaimana penelitian Millar, Pelras (2000) juga menekankan pentingnya hubungan patron-klien yang dalam hal ini diwakili hubungan ‗Joa‟ dan ‗Ajjoareng‟ atau ‗Punggawa‟ dan ‗Sawi‟. Hubungan ini, menurut Pelras adalah hubungan yang tidak terlalu timpang. Para patron memang punya kekuasaan menentukan banyak hal bagi kliennya namun mereka juga mempunyai banyak kewajiban terhadap mereka, termasuk memberi jaminan finansial ketika shock dalam berbagai bentuk menghantam sang klien. Apabila patron tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka klien bisa dengan bebas berpindah ke patron lain. Meski pun tindakan itu bukan tanpa risiko bagi sang klien, namun yang terpenting adalah mereka masih punya pilihan. Caldwell (1999;2005), menganalisis beberapa naskah silsilah BugisMakassar berkesimpulan bahwa secara tekstual genealogi kerajaan Bugis (Soppeng Barat) merujuk pada penguasa yang hidup lebih awal dari penguasa Luwu. Setidaknya ini menunjukkan adanya kekuatan yang muncul nyaris bersamaan di jazirah ini. Unit-unit politik ini setidaknya muncul mulai pada abad
10
ke 12 dan 13. Sementara pada etnis Makassar, Cummings (2002) mengakui Gowa sebagai awal dari asal-usul para penguasa di kawasan Makassar. Pembentukan organisasi sosial dan ekonomi serta kelahiran teknologi ditunjukkan oleh penelitian Caldwell dan Bulbeck (2000), mereka sudah menemukan permintaan beras sebagai barang dagangan untuk ekspansi ekonomi dan intensifikasi pertanian dan perambahan hutan. Pada abad itu pula (abad ke 13), Sulawesi Selatan telah bergabung ke dalam jaringan perdagangan jarak jauh yang berujung di India dan Cina. Caldwell dan Nur (2005); Caldwell dan Bougas (2004), hipotesanya kemudian bisa berarti bahwa di pesisir selatan provinsi Sulawesi Selatan sudah terbentuk kelompok-kelompok masyarakat yang cukup terorganisir. Mereka adalah kelompok yang bergantung pada perdagangan antar-pulau. Beberapa abad kemudian, yakni pada abad ke 14 kita sudah melihat pertumbuhan kelompokkelompok ini menjadi lebih besar. Bagaimana proses terbentuknya kelompok elite dan bagaimana cara etnis Bugis-Makassar mengelola dan mempertahankan kekuasaannya? Caldwell (2004) berpendapat bahwa penguasaan terhadap sumberdaya alam seperti sawah yang subur, membuat seorang penguasa bisa mengkonsolidasi kekuatannya. Baginya, ideologi dan religi adalah faktor sekunder dari terbentuknya sebuah kekuasaan yang dipegang oleh segelintir elite. Dia mencontohkan bahwa sejak dikuasainya daerah lembah sungai besar di kawasan itu oleh sekelompok bangsawan, maka terbentuklah unit-unit politik yang lebih besar. Sementara Gibson (2005;2007) menuliskan bahwa cara masyarakat Makassar mempertahankan kekuasaannya adalah dengan mengaktifkan sebanyak mungkin pengetahuan simbolik yang dipercaya masyarakat. Lewat mitos dan ritual, para elite merelegitimasi dan mereproduksi kekuasaan mereka. Mereka misalnya mengadakan ritual yang melibatkan banyak orang dimana leluhur pendiri kerajaan tertentu menjadi subyek sesembahan. Sehingga hal ini kembali menegaskan legitimasi kekuasaan para keturunannya di masa sekarang. Pelras misalnya mengatakan bahwa para raja baru memeluk Islam setelah datang model yang lebih cocok bagi para raja. Secara spesifik Gibson (2005, 2007) mengatakan bahwa raja Tallo memeluk Islam menurut ajaran Ibnu Arabi
11
yang salah satu doktrinnya adalah bahwa raja merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Ajaran ini telah dipegang oleh beberapa raja di Nusantara karena menjamin kekuasaan politis, selain religius, raja-raja tersebut. Namun sambung Gibson (2007), teori lain tentang perkembangan Islam di Sulawesi Selatan dikemukakan oleh Cummings (2001). Dia mengajukan argumen bahwa di awal masuknya Islam pada abad ke 17 di Gowa-Tallo, yang terjadi adalah sebuah gerakan tekstual beraksara Arab. Lewat manipulasi teks menjadi benda keramat dan menjadi bahan ritual pembacaan yang dikeramatkan, ‗Islam‘ menjadi semacam ‗benda pusaka‘ yang digunakan oleh para bangsawan istana untuk memperluas atau mengokohkan kekuasaannya. Gibson (2007), menuliskan bahwa model kekuasaan versi Eropa tiba di Sulawesi Selatan dibawa oleh VOC khususnya setelah Perang Makassar pada paruh ke dua abad ke tujuh belas6. Namun model kekuasaan ini baru benar-benar berefek dan diadopsi oleh masyarakat Sulawesi Selatan setelah sebagian besar kerajaan di kawasan ini ditaklukkan langsung oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1906. Sejak takluknya Gowa di tahun 1669, masyarakat di Sulawesi Selatan mulai terekspose jenis pemerintahan modern besutan VOC. Ketika Sulawesi Selatan benar-benar berada di bawah kekuasaan langsung pemerintah kolonial, model kekuasaan tradisional dan Islam tidak hilang dengan sendirinya. Menurut Gibson (2005), mereka hidup berdampingan hingga sekarang. Dalam hal ini dia membantah tesis Weber bahwa ketiga model relasi kekuasaan ini merupakan sebuah proses sejarah dengan model kekuasaan rasional-legal sebagai titik akhirnya. Pola kekuasaan baru di Bugis dan Makassar diawali dengan hadirnya Muhammadiyah (1937). Pada awal 1937, Muhammadiyah telah mempunyai enam belas cabang di Sulawesi Selatan. Dan pada tahun 1941, ketika invasi Jepang di mulai di Nusantara, Muhammadiyah menyatakan telah mempunyai 7000 anggota dan 30.000 simpatisan di Sulawesi Selatan. Inilah organ Islam paling besar di Sulawesi Selatan pada masa itu. Kehadiran organisasi Islam ini menurut Gibson (2005), relatif mempengaruhi perubahan peta kekuasaan di Sulsel. Ini dibuktikan 6
Perang Makassar menjadi titik awal bagi etnis Makassar dan etnis Bugis untuk melakukan ekspansi atau diaspora, dalam berbagai bentuk, dengan menjadikan idiologi ‗Siri‘ sebagai spiritnya. Untuk halini lihat tulisan Dr. Muhlis Paeni.
12
dengan mulainya sejumlah orang biasa (bukan bangsawan) bisa mendapatkan posisi tinggi secara politis maupun ekonomi. Namun peran ini menurut Millar (1989) belum terlalu kuat mengubah peta kekuasan di Sulsel, bahkan menurut temuannya, menjadi kurang relevan lagi, sehingga nilai penting organisasinya pun menjadi surut. Akhirnya Millar menyimpulkan bahwa, selama dekade 1970-an, terjadi peralihan gagasan tentang status di wilayah Bugis. Sifat dan pencapaian pribadi sudah menjadi faktor yang lebih penting dalam melihat kualitas seseorang ketimbang di masa sebelumnya. Karena kalangan non-bangsawan pada masa itu tidak kekurangan peluang untuk melakukan mobilisasi sosial, maka ketegangan dan persaingan memperebutkan pengaruh di antara tau matoa, lebih spesifik lagi, antara tau matoa bangsawan atau dan tau matoa orang kebanyakan, tetap berlangsung sengit. (Millar 1989: 66). Pergeseran status di dalam etnis Bugis berlangsung lebih cepat pada sektor ekonomi, akan tetapi sangat lamban terjadi pada kekuasaan politik.
Hal yang nampak berbeda terjadi di dalam etnis
Makassar, pergeseran status kekuasaan politik dan ekonomi berlangsung lebih terbuka dan dinamis, dibandingkan dengan etnis Bugis. Penelitian Chabot –yang dijadikan acuan dalam buku Ahimsa— tentang pelaksanaan perkawinan ideal di Bontoramba Makassar, apakah benar dapat diterapkan untuk mendukung pendapat tentang perkawinan ideal di Bugis? Dalam masyarakat Bugis, pembagian perkawinan ideal berdasarkan darah keturunan yang digambarkan Mattulada lebih mengacu ke kalangan bangsawan tinggi atau turunan datuk, bukan masyarakat Bugis kebanyakan. Dalam kebanyakan masyarakat Bugis, di mana pernikahan tidak bermotif kekuasaan, tapi bertujuan ―selamat dan sejahtera‖, ada istilah sienrekeng dalle‟. Istilah itu ditujukan kepada pasangan yang kalau dinikahkan, dipercaya akan saling ―menaikkan‖ rejeki bagi keduanya. Syarat pasangan ini adalah: si perempuan merupakan anak bungsu dalam keluarganya dan si laki-laki adalah anak sulung dalam keluarganya. Buku yang ditulis Amin, dengan judul Syair Perang Mangkasar (2008), adalah satu dari sedikit buku yang secara jelas memberikan perbedaan yang sangat nyata antara etnis Bugis dengan etnis Makassar. Bahkan Amin menggambarkan sangat nyata perilaku politik etnis Bugis yang dipresentasikan oleh Arung Palaka, dan Sultan Hasanuddin mewakili etnis Makassar. 13
Meskipun buku ini melahirkan banyak keraguan terhadap kesimpulan yang diambil oleh Amin karena posisi individual Amin yang pada saat menulis syair sebagai ―sekretaris‖ pribadi Sultan Hasanuddin, dinilai tidak memiliki kemampuan untuk menulis secara objektif, bahkan syair ini dipandang lebih sebagai ekspresi kekesalan emosionalnya terhadap Arung Palakka dan VOC. Tapi apapun yang dihasilkan oleh Amin, syair ini salah satu bukti yang dapat dipegang untuk menunjukkan perbedaan antara etnis Bugis dan Makassar, dari sekian banyak perbedaan yang ada. Sudut Pandang Encik Amin selaku pengarang Syair Perang Mengkasar, dapat dikatakan linear dengan sudut pandang orang-orang Makassar (pada masa itu) memandang perang Makassar. Melalui dua sudut pandang itulah, muncul berbagai metafora tiga dimensi dalam Syair Perang Mengkasar.
Dimensi
pertama adalah posisi Sultan Hasanuddin mewakili Makassar; dimensi Kedua adalah posisi Arung Palakka mewakili Bugis; dimensi ketiga adalah Cornelys Speelman mewakili Belanda (VOC). Bagi Masyarakat Makassar, melalui sisi subjektif Encik Amin dalam Syair Perang Mengkasar, terdapat perbedaan memahami orang Bugis (melalui Arung Palakka) dengan orang Belanda (melalui C. Speelman). Tabel 1
Memahami Perbedaan Etnis Bugis dan Makassar
Sultan Hasanuddin (etnis Makassar) Sempurna Arif bijaksana Sakti Suci dan ikhlas Berani dan adil Sabar dan gemar ibadah Tampan Dapat dipercaya
Arung Palakka (etnis Bugis) Suka perempuan Pendendam Kesatria pemberani Cerdik dan garang Kaya Siasat Sportif Bebal Pencuri Hantu
C. Speelman (Belanda) Kafir Pendusta Kasar Iblis Najis Setan Terkutuk Bakhil, Bengis, Gila
Encik Amin, Syair Perang Mengkasar (2008). Komposisi dimensi sudut pandang tersebut, akan melahirkan rumus yang sangat rasional dari runtuhnya kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin harus melawan sekaligus dua tokoh representasi Bugis dan Belanda yang sangat berat. Arung Palakka mewakili perlawanan berdasarkan dendam dengan keberanian yang luar biasa (―mengamuk‖ dalam penjelasan Encik Amin ). C. Speelman mewakili
14
sebuah kepentingan kolonial yang sangat mendasar dengan karakter yang minim sisi kemanusiaan. Bagi orang-orang Makassar, pada Syair Perang Mengkasar, orang Bugis adalah pemberontak yang ingin menguasai Gowa, sementara orang Belanda adalah penjajah yang kejam dan lalim serta memerangi Gowa atas nama agama (Nasrani). Bagi orang Bugis, orang-orang Makassar dipandang sebagai agresor sementara kehadiran Belanda adalah sebuah peluang untuk menghancurkan kekuatan agressor Makassar. Itulah sebabnya Arung Palakka tidak sepenuhnya terdiskreditkan
dalam
Syair
Perang
Mengkasar.
Arung
Palakka
juga
digambarkan pemberani dan sportif, sebagaimana ditegaskan ketika menolak melucuti senjata orang Makassar. Berdasarkan latar belakang dan sejumlah temuan tentang Bugis dan Makassar, seperti diuraikan di atas, maka pola elite etnis Bugis dan Makassar meraih kekuasaan dapat dilihat pada gambar berikut;
Gambar 1. Pola Elite Bugis Dan Makassar Meraih Kekuasaan 1.2 Rumusan Masalah Sebagai negara yang terbentuk dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi, Indonesia selalu berada pada posisi yang rentan terhadap semangat separatisme etnik. Meskipun, keragaman sering dianggap sebagai modal sosial
15
bagi keberadaan negara, akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah. Futurolog terkemuka seperti
Naisbitt dan
Toffler juga memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousness) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terakhir abad ke-20 memang menunjukkan adanya fenomena perlawanan terhadap dominasi negara, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok etnik, terutama etnis minoritas dalam pentas kekuasaan.. Berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilization.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Masyarakat, terutama yang mempunyai karakter multi-etnis dan multiagama perlu senantiasa menggali wawasan kebangsaannya untuk menghindari ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di Indonesia (Ambon, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok, Tasikmalaya, Jakarta, Solo, Surabaya, dan lain-lain) seharusnya menggugah bangsa ini untuk kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar. Apakah pola hidup dalam keberagaman sudah membudaya dalam alam kesadaran orang Indonesia? Sedalam apakah pemahaman kita akan keragaman orientasi, referensi, dan tindakan-tindakan dalam pengambilan kebijakan? Apakah kesadaran etnik yang bermunculan di berbagai wilayah tanah air akan mengarah pada perbenturan peradaban bangsa kita? Indonesia telah mengalami beberapa bentuk pemerintahan dengan nuansa demokrasi yang berbeda-beda. Pemerintahan Orde Lama melihat keragaman budaya di Indonesia sebagai sebuah bentuk pluralisme. Konsep pluralisme adalah buah dari kompromi Alisjahbana dengan Pane yang ditengahi oleh Dewantara, sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, dan seterusnya. Kesadaran akan pluralisme kebudayaan membuat pemerintah Orde Lama berkeinginan mengkonservasi pencapaian budaya-budaya daerah, sehingga mengabaikan unsur dinamika dalam kebudayaan.
16
Selama tiga dekade kekuasaan rezim Orde Baru, Indonesia dipaksa untuk menukar kebebasan politik dengan kemajuan ekonomi. Selama pemerintahan yang otoriter dan militeristik ini, pembicaraan seputar SARA (Suku, Agama, dan Ras) merupakan hal tabu. Permasalahan di ranah tersebut hampir tidak pernah diangkat atau didialogkan secara terbuka. Bangsa ini seolah-olah bersembunyi di balik slogan “Bhinneka Tunggal Ika” yang hanya sekedar mengukuhkan otoritas penguasa dalam melakukan penyeragaman, uniformalitas dan menyepelekan perbedaan. Kebijakan Orde Baru menyimpan potensi konflik sebagai sebuah bom waktu. Begitu Orde Baru runtuh, konflik bernuansa SARA bermunculan dan mewarnai era reformasi. Deretan peristiwa kerusuhan berbau SARA itu sesungguhnya merupakan perwujudan dari menguatnya apa yang disebut revolusi identitas (identity revolution). Batas-batas identitas (etnis, juga agama, ras, dan antar golongan) yang selama rezim Orde Baru ditabukan, justru pada era reformasi sudah mulai bangkit sebagai sebuah kekuatan basis. Kebijakan era sekularisme memberikan otonomi daerah tidak serta-merta menyelesaikan masalah keragaman ini. Satu hal yang unik di Indonesia, sebuah pemerintahan di Daerah Tingkat II umumnya didominasi satu suku. Kondisi masyarakat daerah seperti ini bisa menjadikan orang daerah menjadi lebih kental rasa kesukuan dan etnosentrisnya. Contoh yang paling mudah diamati adalah Pilkada langsung, yang cenderung diikuti dengan demonstrasi jalanan dan perusakan fasilitas umum. Perilaku ini membuat budaya daerah tertentu kehilangan nilai-nilai, mereka berubah jadi buas dan brutal. Contoh yang lain adalah konflik-konflik bermotif etnik, seperti: Aceh, Kalimantan, Poso, dan Maluku. Semua konflik ini berlatar pada spirit membangkitkan eksistensi etnisitas. Inilah kondisi yang tengah terjadi di Indonesia dan masih terus berpotensi untuk muncul kembali jika kesadaran sektarian dan etnisitas dikelola dengan kepentingan untuk semata-semata meraih kekuasaan politik dan ekonomi. Apakah Indonesia dapat menjamin bahwa desentralisasi benar-benar akan menjadi perekat bagi persatuan nasional dan memperkuat komitmen nasional terhadap pembangunan manusia? Ataukah justru akan memperkokoh primordialisme dan etnosentrisme? Dengan meningkatnya semangat solidaritas etnis (terutama sejak era sekularisme), maka permasalahan yang mulai menampak adalah terancamnya
17
eksistensi demokrasi pluralitas, yakni demokrasi yang mengutamakan hak-hak kesetaraan dan keadilan, untuk semua. Kedua, kualitas demokrasi menjadi sangat minim, karena proses demokrasi tidak lagi berlangsung berdasarkan rasionalitas dan kesadaran logis, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dan pengaruh etnisitas. Di Sulawesi Selatan, permasalahan ini tidak berhenti sampai di sini, karena di daerah ini, terdapat paling kurang empat etnis besar yang memiliki potensi untuk terus mengembangkan akar-akar ‖perbedaan,‖ sebagai alat bargaining untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi. Lebih khusus, potensi konflik perebutan kekuasaan politik dan ekonomi diperkirakan sangat berpeluang terjadi antara dua etnis besar (Bugis dan Makassar). Dua etnis ini secara historis memiliki tradisi berkompetisi dan kontestasi politik sejak lama. Etnis Bugis melalui simbol utamanya Arung Palakka, menurunkan semangat pencapaian ‖kekuasaan‖ dan ‖materi‖ untuk mewujudkan kesejahteraan berlangsung bersamaan. Di sini terlihat etnis Bugis mengembangkan kekuatan tradisi ”material power.” Sementara etnis Makassar melalui pesan Sultan Hasanuddin terus mempertahankan kebiasaannya membangun tradisi ”immaterial power,” sebuah kebiasaan memperluas wilayah kekuasaan (ekspansi kekuasaan), meskipun tidak disertai dengan kelimpahan materi. Perwujudan kesejahteraan etnis Makassar ditandai dengan kekuasaan untuk ‖menguasai.‖ Kedua semangat yang berbeda ini, akan memberi kontribusi untuk mempertajam arah konflik antara kedua etnis ini. Dengan berpangkal pada permasalahan di atas, maka studi ini mengangkat tematik elite di dalam etnis Bugis dan etnis Makassar memproduksi dan mereproduksi dirinya untuk bersaing dalam akses dan pengaruh terhadap sumbersumber kekuasaan maupun ekonomi. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan menjawab beberapa permasalahan, sebagai berikut: 1. Bagaimana proses transformasi dan pola interaksi sosial
elite Bugis dan
Makassar dengan pengikutnya, dalam upayanya meraih, menjaga dan memperluas ekuasaan politik dan ekonominya mulai dari fase tradisional hingga fase sekularisme.
18
2. Bagaimana dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar, terutama dalam membangun komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok masing-masing dalam melakukan proses perubahan? 3. Bagaimana simbol-simbol budaya, kuasa dan uang
dimanfaatkan
dan
diorganisasikan oleh elite untuk mempertahankan dan mereproduksi posisinya sebagai elite pada etnis Bugis maupun Makassar untuk meraih kekuasaan? 1.3 Tujuan Penelitian Berangkat dari permasalahan yang diajukan di atas, terdapat tiga tujuan dari penelitian ini, yaitu; 1. Mengetahui proses transformasi dan pola interaksi elite Bugis dan Makassar dengan pengikutnya dalam usahanya meraih, menjaga dan memperluas kekuasaan politik dan ekonominya, mulai dari fase tradisional hingga fase sekularisme. 2. Mengetahui dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar terutama dalam komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok, dan menjaga dinamika politik pada masing-masing aras; desa, kabupaten, provinsi/nasional. 3. Mengetahui dan memahami proses elite Bugis dan elite Makassar memanfaatkan simbol-simbol budaya, kuasa, uang dan budaya sosiologi politik lainnya untuk meraih dan memelihara (mereproduksi) kekuasaannya mulai dari level mikro, mezzo dan makro.
19