i
ii
iii
Editor Disain/Layout
: Fathuddin Muchtar : Yadi de Wiryo
© Hak cipta yang dilindungi undang-undang All rights reserved Cetakan Pertama, Desember 2007 Diterbitkan oleh:
Kutipan Pasal 27 : Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta (UU No.19 Tahun 2002)
iv
1.
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2.
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Kata Pengantar
Kapolwiltabes Semarang
v
vi
Kapolda DIY
vii
viii
Daftar Isi
ix
x
Bagian I
Hak Anak dan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
“…anak, berhubung ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum selayaknya, sebelum dan sesudah kelahiran,…” (Pembukaan Konvensi Hak Anak) Perhatian dunia internasional terhadap hakhak anak dimulai pada tahun 1923, atau setelah berakhirnya perang dunia pertama. Pada waktu itu Eglantyne Jebb merumuskan 10 butir hakhak anak. Pada tahun 1924, Liga Bangsa-bangsa mengadopsi rumusan tersebut sebagai Deklarasi Hak Anak. Pada tahun 1979, diputuskan sebagai Tahun Anak Internasional dan Perserikatan Bangsabangsa (PBB) membentuk Komite untuk menyusun Konvensi Hak Anak (KHA). Rancangan
1
KHA dibahas dan langsung diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 dan pada tanggal 2 September 1990 mulai berlaku sebagai hukum internasional. Pemerintah Indonesia turut serta meratifikasi konvensi tersebut melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Konsekuensi atas ratifikasi KHA, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalam KHA tersebut. Sejauh mana pelaksanaan dan pencapaian yang berhasil diraih, dua tahun setelah ratifikasi, Indonesia wajib menyerahkan laporan awal dan selanjutnya menyerahkan laporan secara periodik setiap lima tahun sekali kepada Komite Hak Anak PBB. Sebagaimana halnya dengan perjanjianperjanjian internasional khususnya yang terkait dengan Hak Asasi Manusia, ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dinyatakan sebagai standar minimal. Artinya, Negara Peserta setidaktidaknya harus melaksanakan sesuai dengan standar yang terkandung, tidak boleh kurang. Namun apabila menggunakan standart yang lebih tinggi dari ketentuan yang diatur, tentunya akan sangat dihargai. Komite Hak Anak telah mengembangkan isi dari KHA menjadi delapan kelompok, yaitu:
2
1. Langkah-langkah implementasi umum 2. Definisi Anak 3. Prinsip-prinsip Dasar 4. Hak Sipil dan Kemerdekaan 5. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar 7. Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya 8. Perlindungan Khusus Anak yang berkonflik dengan hukum masuk dalam kelompok delapan (d), yaitu perlindungan khusus. Akibat tindakan pidana yang dilakukan oleh seorang anak, dimungkinkan adanya penangkapan, penahanan dan pemenjaraan sejauh untuk kepentingan terbaik bagi anak. Anak akan kehilangan hak kebebasannya. Namun perlu disadari bahwa hal ini tidak berarti menghilangkan hak-hak anak lainnya sebagaimana diatur dalam KHA atau peraturan perundangan yang berlaku. Gambaran singkat di atas menunjukkan bahwa persoalan-persoalan anak sudah merupakan persoalan internasional. Perlakuan buruk terhadap anak, dengan sendirinya akan memberikan catatan buruk bagi pemerintah Indonesia di mata dunia internasional.
3
Pengertian Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan istilah yang digunakan terhadap anak yang disangka, didakwa maupun dipidana atau divonis bersalah melakukan tindak pidana. Sementara di dalam hukum nasional dikenal dengan istilah anak nakal. Ini bisa dilihat di dalam UU. No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pada pasal 1 ayat 2 (a dan b) disebutkan: Anak Nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau, b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Di dalam UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak digunakan istilah anak yang berhadapan dengan hukum, meliputi anak yang melakukan tindak pidana dan anak korban tindak pidana. Meskipun demikian, pada pasal lain dalam undang-undang ini, digunakan juga istilah anak yang berkonflik dengan hukum (pasal 64 ayat 1). Penggunaan istilah anak yang berkonflik dengan hukum adalah untuk menghilangkan stigma nakal bagi anak-anak. Istilah anak nakal cenderung menempatkan posisi
4
anak dalam situasi negatif. Penamaan anak nakal juga dapat memberikan ruang baru bagi anak untuk menyesuaikan perilaku mereka sesuai dengan label nakal (kejahatan).
Situasi Umum Mencermati pemberitaan media massa baik media cetak maupun elektronik, kasukasus kejahatan yang melibatkan anak tampaknya semakin marak. Ini merupakan keprihatinan tersendiri mengingat anak-anak inilah yang akan menjadi penerus bangsa dan menentukan kokohnya Negara ini. Analisis situasi mengenai anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia Yang dilakukan oleh Purnianti, Mamik S. Supatmi dan Ni Made Martini, mengutip data statistik kepolisian tahun 1998–2000 menemukan bahwa pada tahun 1998–1999 terjadi penurunan kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak. Tetapi pada tahun 1999–2000 terjadi peningkatan sebesar 5,315 atau 88,15% dibandingkan periode sebelumnya. (Mabes Polri-UNICEF, 2004). Tahun-tahun berikutnya, kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak diyakini semakin meningkat. Tanpa bermaksud menggeneralisir situasi, data kasus anak-anak yang berkonflik dengan hukum dari BAPAS Kelas I
5
Yogyakarta 1 bisa memberikan gambaran tersebut. Tahun
Jumlah Kasus
2004
75
2005
76
2006
78
2007
118
Hal yang patut menjadi perhatian, penanganan terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum dinilai belum memadai. Perlakuan, penyediaan fasilitas dan langkah-langkah agar anak-anak tersebut tetap terjaga dan terpenuhi hakhaknya kerapkali terabaikan. Kasus-kasus yang mengemuka justru menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak-hak anak seperti tindakan kekerasan, penahanan dan pemenjaraan yang tidak memisahkan anak dengan orang dewasa, proses pengadilan yang tidak singkat, dan sebagainya.
Mengapa Mereka Melakukan Tindak Pidana? Dimulai dari pertanyaan sederhana, mengapa seorang anak melakukan tindak pidana? Jawaban yang muncul bisa berbeda-beda, dan sangat tergantung dari pemahaman kita
6
terhadap sosok anak itu sendiri. Jika mencermati pembukaan tulisan di atas, setidaknya memberikan gambaran ringkas bahwa sosok anak adalah sosok yang sesungguhnya belum matang secara fisik dan psikologis. Sosok anak adalah sosok yang sangat terpengaruh oleh orang dewasa dan lingkungan. Menarik untuk mencermati data yang disampaikan oleh Kepala Bapas Kelas I Yogyakarta tentang penyebab anak-anak melakukan tindak pidana2. Dari hasil penelitian kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh Bapas terhadap anak yang disangka melakukan tindak pidana, pengaruh lingkungan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap anak. Pada tahun 2006, terdapat 78 anak yang dimintakan litmas oleh penyidik, sejumlah 49 anak atau 62,82% yang melakukan tindak pidana karena pengaruh lingkungan. Kemudian pada tahun 2007 (sampai bulan November 2007), terdapat 118 anak, sejumlah 67 anak atau 56,78% yang melakukan tindak pidana karena situasi dan pengaruh lingkungan. Angka-angka tersebut di atas sekali lagi memberikan gambaran bahwa anak-anak melakukan tindak pidana sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang membesarkan dan mendidik mereka. Anak melakukan tindak pidana, bu-
7
kan karena watak anak tersebut, sebagaimana selama ini cenderung dipersepsikan oleh banyak orang, termasuk kalangan penegak hukum. Anak melakukan karena meniru lingkungan dimana mereka bersosialisasi. Bahkan ada seorang anak ditanya tentang motif melakukan tindak pidana, dengan santai menjawab tidak tahu bahwa hal tersebut melanggar hukum. Ada juga yang mengatakan hanya sekedar iseng dan demi solidaritas kawan-kawan satu kelompok mereka. Jika demikian, apakah adil jika hanya memberikan hukuman kepada anak, dan hukuman tersebut cenderung merusak masa depan mereka? “Dalam segala tindakan yang menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial milik pemerintah maupun swasta, pengadilan, pejabat-pejabat pemerintah maupun badan-badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Konvensi Hak Anak, pasal 3 ayat 1).” Dari beberapa AKH yang menjadi dampingan SAMIN, kebanyakan mereka dibesarkan dalam lingkup keluarga yang mengalami masalah baik rumah tangga maupun sosial. Beberapa anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak harmonis, seperti orang-
8
tua mereka yang tidak pernah akur bahkan sudah bercerai. Anak tidak menemukan sosok “tokoh” dari kedua orangtua yang setiap hari bertengkar di hadapannya. Kondisi ini membuat anak mencari pelarian dari kesumpekan yang terjadi di rumah mereka dan akhirnya menemukan dunia yang bisa menjadi tumpuannya. Seperti pengakuan AN di bawah ini: “saya bosen dengan situasi yang ada di rumah. Setiap hari bapak dan ibu saya bertengkar terus. Bapak saya sering memukuli ibu. Harusnya ibu yang marah, karena bapak itu punya pacar lagi. Hal ini yang membuat saya sangat kecewa dan akhirnya melakukan kejahatan. Saya hanya ingin memperlihatkan pada mereka berdua bahwa saya butuh perhatian sebagai anak”.3
Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak Pada umumnya tindak pidana yang dilakukan anak berkisar pada tindak pidana konvensional, yang juga umum dilakukan oleh orang dewasa. Meskipun demikian, modus operandinya belum secanggih dan semahir dengan pelaku dewasa. Sebut saja misalnya meninggalkan barang bukti di TKP, masuk melalui pintu atau jendela yang terbuka dan sebagainya.
9
Memang juga terdapat kejahatan-kejahatan yang cukup berat, akan tetapi dilakukan bersama dengan orang dewasa. Selama kurun waktu 2005-2007, AKH yang menjadi dampingan SAMIN sebanyak 71 anak. Dari jumlah tersebut, yang paling banyak adalah tindak pidana pencurian sebanyak 47 atau 66.19%. Kemudian data dari Bapas Kelas I Yogyakarta menunjukkan kenaikan angka tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Pada tahun 2006 terdapat 83 anak yang menjadi klien Bapas. Kemudian pada tahun 2007 meningkat menjadi 122 anak. Data Bapas juga menunjukkan bahwa tindak pidana pencurian menempati angka tertinggi. Dua sumber data diatas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tindak pidana anak. Jika tidak ada perhatian khusus dari semua pihak dalam menangani AKH, maka pada saat memasuki dewasa akan sangat rentan menjadi pelaku tindak pidana. Hal ini bisa terjadi mengingat anak sudah memiliki pengalaman, apalagi dengan menempatkan AKH bersama dengan tahanan/narapidana dewasa. Fakta tingginya angka kriminalitas yang dilakukan oleh anak tidak bisa dilihat secara sepotong-potong. Bagaimanapun faktor-faktor so-
10
sial (hasil litmas Bapas) harus menjadi pertimbangan penyidik dalam menangani AKH. Hal ini sesuai dengan UU. No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 42 ayat 1 dan 2 sebagai berikut: 1. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan. 2. Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.
Penanganan AKH Polisi sebagai penyidik tindak pidana dituntut profesional dan menghormati hak asasi manusia tersangka baik dewasa maupun anak. Profesionalisme dan penghargaan terhadap HAM merupakan semangat dan tujuan yang diamanatkan dalam UU. No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Meskipun demikian, masih juga terjadi praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh penyidik ketika memeriksa AKH. Seperti yang ditulis oleh Purnianti, Mamik S. Supatmi dan Ni Made Martini di bawah ini:
11
“Dalam hal penanganan masalah anak, polisi seringkali melakukan kekerasan dan penganiayaan saat menangkap dan memeriksa dalam proses penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), juga ketika anak-anak ini berada dalam tahanan kantor polisi, meskipun tidak seintens saat pemeriksaan, yang oleh anak-anak disebut dengan istilah diverbal, dan menyebut digulung untuk mengidentifikasi kekerasan fisik yang mereka terima. Perlakuan Polisi yang menangkap dan menginterogasi (memeriksa perkara anak) untuk pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sangat lekat dalam benak anak-anak. Kenangan ini lebih diingat sebagai pengalaman buruk yang menyakitkan tanpa ada sisi positif bagi kepentingan anak.” (Mabes Polri-UNICEF, 2004, halaman 24) Untuk menghilangkan praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh penyidik di dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dan guna mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak serta mengindahkan hak-hak anak, pada tahun 2004 Mabes Polri bekerjasama dengan UNICEF menyusun panduan tentang penanganan AKH. Sementara pada tingkat lokal, pada tahun 2006-2007 SAMIN bekerjasama dengan Kepolisian Daerah DIY melakukan training Penyi-
12
dik Anak, dengan melibatkan penyidik di tingkat polsek dan polres/poltabes. Hal serupa dilakukan oleh Yayasan Setara yang bekerjasama dengan Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Semarang. Endnote: 1)
2)
3)
BAPAS Kelas I Yogyakarta membawahi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo. Makalah Diskusi Publik “Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Wilayah DIY dan Jawa Tengah” disampaikan oleh Drs. Sukamto, Kepala Bapas Kelas I Yogyakarta, Yogyakarta, 6 Desember 2007. Catatan pendampingan SAMIN tahun 2006.
13
14
Bagian II
Definisi Anak
Di dalam kehidupan terdapat berbagai pengertian mengenai anak baik secara sosial, agama, maupun secara hukum. Pada pembahasan buku ini, pengertian yang digunakan terkait dengan peraturan perundangan. Pengertian mengenai anak biasanya menggunakan batasan umur. Di Indonesia, kita masih menjumpai adanya perbedaan batasan umur anak kendati ada perkembangan di mana pada produk perundang-undangan yang dihasilkan pada tahun 2000-an, mulai mengacu kepada KHA, yaitu seseorang yang berumur di bawah 18 tahun. Adanya perbedaan pengertian/batasan umur anak inilah yang tampaknya menjadi salah satu penghambat bagi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus tindak pidana yang melibatkan anak-anak. Berikut adalah batasan umur anak yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia:
15
1. KUH Pidana ; orang yang belum dewasa adalah belum berumur 16 (enam belas) tahun. 2. KUH Perdata pasal 330; bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya. 3. UU. No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1; bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai 16 (enambelas) tahun. Karena perkawinan adalah peristiwa perdata, maka sebelum umur tersebut di atas dianggap belum dewasa dan segala tindakana hukum yang dilakukan dianggap tidak syah. 4. Keppres RI. No. 36 tahun 1990 tentang ratifikasi (pengesahan) Konvensi Hak Anak PBB; anak adalah setiap orang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun. 5. UU. No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pasal 1 ayat 1; bahwa yang dimaksud dengan anak adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin 6. UU. No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 1 ayat 5; bahwa anak adalah setiap
16
manusia yang berumur di bawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak yang ada dalam kandungan 7. UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat 1; bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun termasuk anak yang di dalam kandungan Jika terjadi perbedaan aturan antara satu dengan lainnya, di dalam hukum dikenal beberapa asas hukum, antara lain; 1. Bahwa ketentuan hukum yang khusus mengalahkan ketentuan hukum yang umum (lex specialis derogate lex generalis). Dalam menetapkan batasan umur yang masuk kategori anak, maka seharusnya yang menjadi acuan adalah UU. No. 3 tahun 1997 dan UU. No. 23 tahun 2002, karena kedua undang-undang tersebut secara khusus mengatur tentang anak. 2. Bahwa ketentuan hukum yang baru mengalahkan ketentuan hukum yang lama (lex posteriori derogate legi prior). Jadi sebaiknya aturan acara pidana yang digunakan adalah UU. No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
17
Usia Pertanggungjawaban Pidana Usia pertanggungjawaban pidana adalah usia dimana seorang anak dianggap mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatan hukumnya di depan hukum. Di dalam UU. No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat 3 (tiga) kategori anak, yaitu: 1. Anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun jika disangka melakukan tindak pidana, maka hanya dapat dilakukan pemeriksaan/penyidikan pada tingkat kepolisian dan kemudian dikembalikan kepada orangtuanya. 2. Anak yang telah berumur 8 (delapan) tahun tetapi belum berumur 12 tahun dapat dihadapkan di pengadilan, akan tetapi hanya dapat dikenai tindakan (tidak dapat dijatuhi hukuman pidana). 3. Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun dapat dipidana maksimal 1/2 dari pidana orang dewasa, dan tidak dapat dipidana seumur hidup dan pidana mati. Dari uraian tentang definisi anak dan usia pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa; 1. Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun secara hukum dianggap belum matang dan belum
18
mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. 2. Jika seorang anak disangka melakukan tindak pidana, maka proses penyidikan dan penyelidikannya harus dibedakan dengan orang dewasa.
19
20
Bagian III
Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Pendahuluan “Dalam segala tindakan yang menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial milik pemerintah maupun swasta, pengadilan, pejabat-pejabat pemerintah maupun badan-badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama“ (pasal 3 ayat 1 Konvensi Hak Anak)” Pemerintah RI melalui Keppres No. 36 tahun 1990 telah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Dengan demikian, secara moral dan politis, pemerintah terikat dan memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut.
21
Aturan internasional lainnya yang menjadi acuan banyak negara dalam menangani AKH adalah Peraturan Minimum Standar PBB tentang Administrasi Peradilan bagi Anak yang dibuat pada tahun 1985. Peraturan ini dikenal dengan nama “Beijing Rules”. Konvensi Hak Anak mewajibkan agar dalam penanganan AKH memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Ditegaskan bahwa: “penangkapan, penahanan dan pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum dan dilakukan sebagai upaya terakhir untuk jangka waktu yang paling singkat”. Pada tingkat nasional beberapa aturan khusus yang berkaitan dengan anak (AKH) adalah: 1. UU. No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 2. UU. No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 3. UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Sedangkan pada pelaksanaan penanganan AKH di tingkat kepolisian tentunya juga memperhatikan aturan-aturan hukum seperti; 1. UU. No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP 2. UU. No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI
22
3. Peraturan/keputusan internal kepolisian Keseluruhan aturan hukum di atas menjadi landasan bagi penyidik dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap AKH. Jika hal itu terpenuhi, maka berbagai perlakuan yang dinilai “merendahkan harkat dan martabat anak” dapat terhindari. kepolisian sebagai institusi negara diharapkan dapat bekerja secara profesional dan menjadi kebanggaan masyarakat sesuai dengan UU. No. 2 tahun 2002.
Penyidik Anak Menurut UU. No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 angka 5 dan pasal 41 angka 1 dan 2 penyidik yang menangani AKH adalah penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan Kapolri atau pejabat lain yang ditunjuk Kapolri. Ada persyaratan untuk menjadi penyidik anak, yaitu: 1. Berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. 2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Undang-undang ini dengan jelas memberikan persyaratan khusus bagi penyidik yang akan menjadi penyidik anak. Bukan hanya pengalaman menjadi penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, akan tetapi
23
juga penyidik harus mempunyai perhatian dan pemahaman masalah anak. Pada UU No. 2 tahun 2002 mengenai Kepolisian RI, secara tegas juga dinyatakan bahwa dalam proses penyidikan dan penyelidikan, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (Pasal 16, ayat 2.d) Aturan di atas semakin memperjelas bahwa penanganan AKH harus dilakukan secara cermat dan teliti sehingga tidak merugikan dan melanggar hak-hak anak. Penyidik yang tidak memenuhi kriteria di atas, besar kemungkinan akan memperlakukan anak-anak sebagaimana menangani orang dewasa.
Tugas dan Kewenangan UU. No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 16 1. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
24
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
25
l.
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2. Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.
Pemanggilan Penyidik memiliki wewenang untuk memanggil seseorang baik sebagai saksi maupun tersangka pelaku tindak pidana. Dalam hal tersangkanya adalah usia anak, sebaiknya penyidik melayangkan surat panggilan kepada anak. Untuk menghindari terjadinya kesalahan pemahaman surat panggilan untuk seorang anak maka, surat panggilan sebaiknya dilampiri dengan surat pengantar yang ditujukan ke orangtua/wali supaya membawa anaknya ke kepolisian.
26
Dalam Konvensi Hak Anak pasal 40 ayat 2 (b) disebutkan bahwa: Setiap anak yang disangka atau dituduh telah melakukan pelanggaran hukum mempunyai setidaknya jaminan-jaminan sebagai berikut; i.
Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum;
ii.
Diberi dengan segera dan secara langsung tentang tuduhan-tuduhan yang ditimpakan kepadanya dan, jika perlu, melalui orangtuanya atau walinya, serta mendapat bantuan hukum atau bantuan lain yang diperlukan bagi penyiapan dan penyampaian pembelaannya;
Penangkapan Penangkapan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan menjadi wewenang polisi. Hal ini sesuai dengan pasal 17 KUHAP. Demikian juga di dalam UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI dalam pasal 16 ayat (1) huruf a. Penangkapan mempunyai arti ”suatu tindakan penyidik yang berupa pengekangan untuk sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
27
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini”. Berdasarkan uraian di atas telah sangat jelas bahwa penangkapan merupakan tindakan perampasan kebebasan yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai perundang-undangan. Di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menjelaskan bahwa setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang. Begitu juga dalam setiap peraturan perundangundangan di Indonesia menegaskan bahwa setiap penangkapan harus didasarkan atas permulaan bukti permulaan yang cukup. Prosedur perampasan kebebasan (penangkapan, penahanan dan pemenjaran) diberlakukan pembedaan antara orang dewasa dengan anak-anak. Hal ini didasarkan atas kepentingan yang terbaik bagi anak, karena mengingat anak merupakan seorang individu yang belum matang baik fisik, mental, spritual, moral dan sosialnya sehingga sangat rawan sekali terhadap berbagai macam perlakukan yang dapat berakibat terhambatnya perkembangan anak baik secara fisik, mental, spiritul, moral dan sosial. Undangundang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 23 th 2002 tentang Perlindungan Anak dan
28
Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa penangkapan, penahanan dan atau pemidanaan penjara bagi anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Meskipun penangkapan menjadi wewenang kepolisian, akan tetapi sebaiknya untuk kasus-kasus AKH penangkapan dihindarkan, kecuali untuk kasus-kasus yang berat. Dan yang perlu diperhatikan bahwa penangkapan seorang anak adalah upaya terakhir dan demi kepentingan terbaik bagi anak.
Prosedur Penangkapan: 1. Penangkapan hanya bisa dilakukan sebagai upaya terakhir 2. Upaya penangkapan sebaiknya didahului dengan mengirimkan surat panggilan melalui orangtua/keluarga 3. Sebisa mungkin pelaksana penangkapan tidak menggunakan seragam dan perlengkapan persenjataan kepolisian dan menjunjung Hak Asasi Manusia, khususnya hak anak 4. Penangkapan hanya bisa dilakukan terhadap anak yang dinyatakan atau diduga keras melakukan suatu tindak pidana dan dengan bukti awal yang cukup
29
5. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang menyatakan identitas tersangka serta menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan serta tempat ia diperiksa 6. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat 7. Tembusan surat perintah penangkapan diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan 8. Penangkapan hanya dapat dilakukan paling lama 1 x 24 jam (kecuali UU menyebutkan lain)
Dasar Hukum Penangkapan: Konvensi Hak Anak: Pasal 37 ayat b: Tidak seorang anakpun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan
30
undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat Pasal 40 ayat 2 huruf a: Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh, atau diakui telah melanggar hukum pidana, karena alasan telah berbuat atau tidak berbuat yang tidak dilarang oleh hukum nasional dan internasional pada waktu perbuatan-perbuatan itu dilakukan UU. No.39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 34: Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikuciilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang. Pasal 66 ayat 4: Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 16 ayat 1 huruf a: Tentang wewenang kepolisian dalam melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaaan.
31
Pasal 19 ayat 1: Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. KUHAP Pasal 16 ayat 1: Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berhak melakukan penangkapan. Pasal 17: Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan permulaan bukti yang cukup. Pasal 18 ayat 1: Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang menyatakan identitas tersangka serta menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan serta tempat ia diperiksa.
32
Pasal 18 ayat 2: Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat. Pasal 18 ayat 3: Tembusan surat perintah sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Pasal 19 ayat 1: Penangkapan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17, dapat dilakukan paling lama satu hari. Pasal 19 ayat 2: Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah terpanggil 2 kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu dengan alasan yang sah. UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: Pasal 16 ayat 3: Penahanan, penangkapan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila
33
sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak: Pasal 43 ayat 1: Penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan KUHAP. Pasal 43 ayat 2: Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu) dilakukan untuk pemeriksaan dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) hari.
Pemeriksaan (BAP) Pemeriksaan merupakan bagian dari rangkaian penyidikan oleh penyidik. Dalam UU. No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ditegaskan bahwa penyidikan terhadap anak yang disangka melakukan tindak pidana dilakukan oleh penyidik anak. Penyidik anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Penyidik anak selain harus sudah berpengalaman menyidik orang dewasa juga harus mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Untuk memperoleh keterangan dari anak yang berkonflik dengan hukum penyidik
34
dituntut untuk selalu mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak. Mabes Polri dan UNICEF telah mengembangkan model pemeriksaan terhadap anak melalui metode wawancara. Metode wawancara1 ini dianggap sebagai salah satu cara memperoleh informasi penyelidikan dan penyidikan yang ramah terhadap AKH. Metode interogasi bagi tersangka anak dianggap tidak ramah terhadap anak dan cenderung melanggar hak anak. Hal ini terjadi karena prosesnya yang cenderung memojokkan anak, sehingga anak mengalami tekanan yang sangat hebat. Demikian juga ditemukan praktek-praktek penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka. Praktek-paraktek ini sangat bertentangan dengan hukum yang ada dan juga melanggar HAM. Pengertian wawancara menurut M. Kemal Darmawan merupakan bentuk interaksi verbal yang dirancang untuk dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu. Dengan kata lain wawancara merupakan percakapan yang direncanakan oleh pewawancara agar dapat memperoleh data tertentu. Secara umum tujuan dari wawancara disini hampir sama dengan tujuan pemeriksaan untuk orang dewasa, yaitu untuk:
35
1. mengumpulkan informasi. 2. mengumpulkan bukti-bukti. 3. mendapatkan kesempatan untuk melakukan observasi. 4. untuk menentukan fakta yang beraneka dalam berbagai keadaan atau situasi kontekstualnya. 5. untuk dapat kejelasan mengenai pendapat sikap maupun kecenderungan tentang sesuatu hal yang sedang diselidiki. Dalam pelaksanaan wawancara dilaksanakan secara bebas atau tidak berstruktur atau wawancara mendalam. Dalam wawancara ini anak dibebaskan memberikan informasinya dan menyatakan pemikiran-pemikirannya. Diusahakan dalam wawancara, kondisi anak tidak dalam keadaan tertekan (pewawancara harus dapat memahami hal ini). Terlebih dahulu tanyakan kepada anak bagaimana dia bisa nyaman saat wawancara berlangsung (mungkin dia perlu didampingi seseorang yang membuatnya bisa lebih nyaman). Akan lebih baik lagi jika pada saat wawancara, anak didampingi oleh orangtua mereka, penasehat hukum atau pendamping anak dari LSM.
Prosedur Wawancara Langkah-langkah wawancara dapat digolongkan dalam 3 hal:
36
1. Kontak awal. Kesan pertama sangat menentukan. Perkenalkanlah diri anda dengan baik dan beri senyum pada anak. Akan lebih baik bila memanggil dengan nama aslinya dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak. 2. Pada saat wawancara. - Jadilah sebagai pendengar yang simpatik. Interupsi hanya bisa dilakukan untuk memerjelas cerita yang sedang diungkapkan bukan utuk mengarahkan atau mengkritik. Selama wawancara berlangsung, pewawancara juga dapat sesekali melakukan cross-chek tentang: - hal baru yang tidak diduga oleh anak - pernyataan anak yang tidak sesuai dengan informasi yang telah diketahui sebelumnya detil-detil yang dianggap perlu diperjelas, misalnya tentang tempat, nama orangtua, waktu dan lainlain 3. Akhir wawancara. Akhiri wawancara dengan situasi yang bersahabat dan menyenangkan. Jangan pernah beranggapan bahwa ini adalah yang terakhir anda akan membutuhkan si anak
37
Teknik dalam Pencatatan Pencatatan harus dilakukan secara akurat. Tetapi apabila pencatatan dilakukan ketika wawancara berlangsung, hal tersebut dapat menghambat kelancaran wawancara karena akan mengganggu konsentrasi anak. Catatlah jawaban anak secara singkat dan gunakan symbol-simbol yang dapat membantu pencatatan. Segera setelah wawancara selesai lengkapilah catatan tersebut. Apabila memungkinkan, penggunaan alat rekam akan sangat membantu. Di bawah ini adalah pedoman dalam menerapkan metode wawancara: 1. sesuaikan pertanyaan dengan tingkat pemahaman anak, gunakan pilihan kata yang mudah dimengerti anak seusianya. 2. minta anak untuk menyebut beberapa istilah yang tidak mereka pahami menggunakan bahasa mereka sendiri, jangan cuma menanyakan apakah mereka mengetahui istilah tersebut. 3. hindari pertanyaan yang menimbulkan makna ganda dan pilihan jawaban yang terikat pada ya atau tidak saja. 4. pertanyaan akan menjadi rumit bila kemampuan anak untuk memahaminya belum berkembang.
38
Hindari
Gunakan
Kalimat bertingkat
Kalimat pendek
Perumusan kalimat yang rumit
Perumusan kalimat yang sederhana
Tidak menawarkan topik baru
Menawarkan topik baru (sekarang mari kita bicarakan sekolahmu)
Nada pasif (apakah ia Nada aktif (apakah dipukul oleh anak itu?) anak itu memukulnya) Kalimat negatif
Kalimat positif
Negasi ganda (tidakkah ibumu mengatakan untuk tidak pergi)
Negasi tunggal (apakah ibumu mengatakan padamu untuk tidak pergi)
Situasi hipotetik (kalau Pendekatan langsung kau lelah beritahu aku) (apakah kamu lelah)
Aturan dasar wawancara bagi anak yang disangka melakukan tindak pidana: 1. jangan pernah mengarahkan pertanyaan 2. anak harus mengetahui tujuan wawancara 3. apabila diperlukan untuk/oleh anak, perlu menghadirkan/menyertakan orangtua/pendamping 4. kalau orangtua berhalangan dapat diwakilkan oleh anggota keluarga lain yang sudah dewasa Setelah proses wawancara selesai, kemudian penyidik menyalin kembali dalam format
39
BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dan menandatanganinya. Dasar hukum pemeriksaan/wawancara: Konvensi Hak Anak: A. Pasal 3 (1): Mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak B. Pasal 12 (1): Anak yang memiliki kemampuan untuk menyatakan pendapatnya sendiri memiliki hak untuk secara bebas mengekspresinya pendapatnya dalam segala hal menyangkut anak tersebut KUHAP: Pasal 52; dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikan keterangan secara bebas lepada penyidik atau hakim Pasal 54; guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 55; untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
40
Pasal 56; 1. Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. 2. Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Pasal 110; (1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 41 ayat; 1. Penyidikan terhadap Anak Nakal, dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang
41
ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. 2. Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Pasal 42 ayat: 1. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan. 2. Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. 3. Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 16 ayat 2: Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan
42
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut : a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.
Penahanan Penahanan oleh penyidik dilakukan setelah memperoleh bukti yang cukup bahwa seseorang diduga kuat melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan. Sementara penahanan terhadap seseorang selalu disebutkan alasan penahanannya, yaitu: 1. Dikhawatirkan akan melarikan diri. 2. Dikhawatirkan akan merusak barang bukti. 3. Dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana. 4. Ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 5. Melakukan tindak pidana dalam pasal khusus sesuai pasal 21 ayat 4 hurup b KUHAP
43
Seharusnya jika hal-hal tersebut di atas diyakini tidak terjadi, maka penahanan menjadi hal yang tidak perlu dilakukan. Atau dengan kata lain, jika terdapat pihak lain (keluarga, pengacara dan atau orang lain) yang menjamin bahwa tersangka tidak akan melakukan halhal sesuai dengan surat perintah penahanan, maka penangguhan penahanan bisa dilakukan. Khusus bagi AKH, prasyarat penahanannya menjadi lebih ketat dibanding dengan orang dewasa. Adapun syarat-syarat tersebut adalah: 1. Penahanan adalah upaya terakhir yang terpaksa dilakukan dan demi kepentingan terbaik bagi anak. 2. Alasan penahanan harus disebutkan secara detail dalam surat perintah penahanan, dan tembusannya harus segera disampaikan kepada kelaurga anak. 3. Jangka waktu penahanan bagi AKH harus sesingkat mungkin yaitu maksimal 20 (dua puluh hari). Jika memungkin waktu ini tidak perlu dihabiskan, mengingat tindak pidana yang dilakukan oleh AKH pada umumnya tidak memerlukan waktu penyidikan yang panjang. 4. AKH yang terpaksa ditahan, wajib dipisahkan dengan tahanan dewasa untuk menghindari kekerasan dari sesama tahanan.
44
Pemisahan ini juga bertujuan agar AKH tidak semakin rusak moralnya akibat pergaulan dengan tahanan dewasa. 5. AKH yang terpaksa ditahan, wajib dipenuhi hak-hak dasarnya. Ingat bahwa penahanan hanya mengurangi hak kebebasan seseorang untuk bergerak, sementara hak-hak lainnya tetap wajib dipenuhi. Dampak penahanan bagi seorang anak: 1. anak merasa trauma akibat proses-proses yang dijalaninya. 2. anak merasa takut dan tertekan. 3. kesehatan anak tidak terperhatikan. 4. anak kehilangan kepercayaan diri. 5. anak semakin “pintar” berbuat kriminal karena dicampur dengan tahanan dewasa. 6. anak putus sekolah karena umumnya sekolah mengeluarkan anak tersebut dan susah mencari sekolah lagi. Di samping itu anak menjadi tidak memiliki keinginan untuk sekolah lagi. 7. stigmatisasi dari masyarakat sehingga anak tidak bisa bersosialisasi kembali. Masyarakat sulit menerima anak yang pernah ditahan.
45
Dasar Hukum Penahanan KUHAP Pasal 20 ayat 1; untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan. Pasal 21; 1. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. 2. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencatumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
46
3. Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya. 4. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun
47
1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). Pasal 22; 1. Jenis penahanan dapat berupa : a. penahanan rumah tahanan negara; b. penahanan rumah; c. penahanan kota. 2. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. 3. Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan. 4. Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 5. Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan
48
rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan. Pasal 24 ayat (1); Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak Pasal 1 ayat 4; Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu. Pasal 44; 1. Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 2. Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. 3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penyidik dapat
49
diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari. 4. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum. 5. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. 6. Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu. Pasal 45; 1. Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. 2. Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. 3. Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa. 4. Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani,
50
rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi. UU. No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 59 ayat; 1. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak. 2. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang. Pasal 66 ayat; 1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. 3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. 4. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai
51
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. 5. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. 6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. 7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. UU NO. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 16: 1. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
52
3. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasal 17: 1. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. 1. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Pasal 18: Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Pasal 59: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
53
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 64; 1. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. 2. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
54
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus; d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Diversi Dalam menangani kasus pidana, penyidik memiliki hak untuk menghentikan penyidikan sebuah perkara atau mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Kewenangan ini dinamakan diskresi yang berarti sesuatu yang dilakukan berdasarkan hukum atau pertimbangan dan keyakinan penyidik dan lebih mementingkan pertimbangan moral dari pada hukum. Kewenangan ini diatur di dalam KUHAP dan UU. No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Untuk kasus AKH, kewenangan ini dipertegas di dalam Konvensi Hak Anak, Beijing Rules dan UU. No. 3 tahun 1997 tentang
55
Pengadilan Anak. Penyidik disarankan agar menghindarkan AKH dari proses hukum formal dengan menghentikan penyidikan perkara dengan membebaskan tersangka anak, dengan melakukan pengalihan (diversi) dari hukum formal ke non formal. Semangat ini bertujuan untuk menghindarkan AKH dari proses hukum formal dengan alasan bahwa penghukuman formal dewasa ini masih belum ramah terhadap anak. Konsep yang ada selama ini adalah penghukuman seseorang yang masih bersifat balas dendam (restributive justice). Jika seseorang melakukan tindak pidana, maka yang terjadi adalah si pelaku diberikan tindakan penghukuman dengan harapan akan jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Sayangnya walaupun terjadi penghukuman, akan tetapi terbukti bahwa hal tersebut tidak bisa mengurangi angka kriminalitas. Padahal yang dibutuhkan oleh pelaku tindak pidana, khususnya anak adalah koreksi atau pemulihan atas perilaku yang melanggar hukum. Koreksi ini tidak bisa hanya dengan penghukuman fisik, akan tetapi memberikan pembelajaran atas perbuatan yang dilakukannya melalui kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Di Indonesia, otoritas diskresi diakomodasikan dalam UU No. 2/2002 tentang Kepolisian
56
Negara Republik Indonesia, Pasal 18. Dengan demikian, polisi lebih leluasa mengembangkan model pendekatan restorative justice dalam menangani perkara yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Hal ini juga selaras dengan konvensi hak-hak anak (Artikel 40) dan The Beijing Rules (butir 6 dan butir 11.1.2.3.4) yang memberikan peluang bagi diberlakukannya diversion (pengalihan) oleh polisi dan penuntut umum, serta pejabat lain yang berwenang menjauhkan anak dari proses peradilan formal, penahanan dan pemenjaraan. Program diversi ini dapat dilakukan dengan cara menempatkan anak di bawah pengawasan badan sosial tertentu yang membantu anak memecahkan masalah yang menyebabkan dirinya terlibat dalam tindak pidana. Di Indonesia, lembaga sosial yang dimaksud adalah Balai Pemasyarakatan (Bapas). Pengalihan juga dapat diwujudkan dalam bentuk keadilan restoratif, misalnya melalui mediasi korban pelaku, pertemuan kelompok (rekonsiliasi) atau hal-hal lainnya. Semakin terlihat insan polisi dan aparat hukum lainnya harus memiliki wawasan yang berorientasi pada kearifan lokal atau wawasan sosio-psiko-antropologis. Menurut Direktur I KAM dan Trans Nasional Bareskrim Mabes Polri2, penerapan diversi dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori:
57
1. Undiverted (tidak dapat diterapkan diversi) adalah kasus-kasus yang serius seperti; pembunuhan, perampokan/pencurian dengan kekerasan, penganiayaan berat yang berakibat kematian, perkosaan 2. Diversi dengan diskusi yang melibatkan banyak pihak termasuk korban. Untuk kategori ini disebutkan bahwa diterapkan terhadap kasus-kasus yang agak serius dan mendapatkan pengampunan/maaf dari korban dan masyarakat. Bentuknya dilakukan pelibatan semua pihak yang terkait melalui musyawarah 3. Diversi langsung terhadap kasus-kasus ringan yang tidak ada efek/resiko dikemudian hari Pada tahun 2006, Kapolri mengeluarkan perintah kepada seluruh kapolda melalui TR No. Pol. 1124/XI/2006, tentang penanganan AKH di tingkat penyidik. Kapolri memerintahkan agar dalam menangani AKH, penyidik mengedepankan azas kepentingan yang terbaik bagi anak dan sebisa mungkin menjauhkan anak dari proses hukum formal. Polda DIY kemudian menindaklanjutinya dengan Telegram Rahasia Polda DIY, TR 83/4/ 2007 tanggal 9 April 2007. Isi dari TR tersebut adalah memerintahkan jajaran kepolisian agar
58
dalam menangani AKH, sebisa mungkin menyelesaikannya pada proses awal, tanpa harus melanjutkan ke tingkat penuntutan. Kebijakan lainnya adalah instruksi lisan yang disampaikan oleh Kapolri Jenderal (Pol) Sutanto pada tanggal 10 November 2007 di Surabaya. Pada forum tersebut, Kapolri mengatakan “Saat ini, saya mebuat diskresi bahwa para pemakai narkoba terutama anak-anak, jangan diperlakukan sebagai tersangka. Mereka lebh layak disebut korban,” kata Kapolri yang juga ketua Badan Narkotika Nasional (BNN).3 Kebijakan kapolri ini sejalan dengan Konvensi Hak Anak pasal 33 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak dari penyalahgunaan narkoba. Demikian juga dengan UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 59, 67, 78 dan 89, yang kesemuanya menempatkan anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika dan semua pihak wajib melindunginya. Pengalaman diversi juga pernah dilakukan oleh penyidik di wilayah Polwiltabes Semarang. Seperti yang diungkapkan dibawah ini:
Polsek Ngaliyan Semarang Barat Di wilayah Polsek Ngaliyan, sekitar bulan Februari 2007 terjadi pencurian handphone di
59
kolam renang Ngaliyan. Tersangkanya berusia 14 tahun dan masih sekolah. Modus operandinya adalah tersangka menggeledah tas pengunjung kolam renang. Dalam kasus ini penyelesaiannya tidak dilakukan penahanan dan penangkapan terhadap tersangka. Setelah melalui pemeriksaan, tersangka mengatakan bahwa dia sangat ingin memiliki handphone. Kemudian penyidik mempertemukan tersangka dengan pihak korban. Pihak korban menginginkan agar tersangka tidak perlu diproses selanjutnya, karena masih berusia anak, mengakui perbuatannya dan mengembalikan barang bukti (handphone). Tersangka selanjutnya dikembalikan kepada orangtua untuk dilakukan bimbingan lebih lanjut4.
Polsek Ngemplak Sleman Pada tanggal 19 Mei 2007, Kanit Reskrim Polsek Ngemplak Sleman menghubungi SAMIN dan memberitahukan bahwa ada dua orang anak yang ditahan di polsek. Kedua anak tersebut tertangkap tangan melakukan pencurian di wilayah Polsek Ngemplak. Dari pembicaraan dengan penyidik diupayakan agar kedua anak tersebut dapat dibebaskan, mengingat keduanya masih berusia anak
60
dan masih sekolah. Sepuluh hari setelah penahanan, keduanya ditangguhkan penahanannya, dengan jaminan dari kedua orangtua mereka. Kedua anak tersebut diwajibkan untuk apel dua kali seminggu. Kemudian pada bulan September 2007, SAMIN bertemu dengan penyidik dan mendorong agar penyidik menghentikan kasus tersebut melalui diskresi. Penyidik akhirnya setuju dengan usulan SAMIN dan kasus kedua anak tersebut dianggap selesai.
Polsek Dukuh Magelang Melalui komunikasi yang intensif, SAMIN, Sahabat Perempuan Muntilan dan Polsek Dukun Magelang berhasil menyelesaikan sebuah kasus yang cukup pelik. Kasus ini terjadi pada bulan Agustus 2005 dan baru dapat diselesaikan pada Maret 2006. Kasus ini adalah pencabulan yang diduga kuat dilakukan oleh seorang anak berumur 8 (delapan) tahun. Korbannya adalah seorang anak perempuan berumur 5 (lima) tahun. Dari pemeriksaan awal, pemeriksaan saksi korban dan visum et repertum dugaan kuat mengarah kepada terlapor. Mengingat kedua-duanya masin berusia anak, seluruh pihak, LSM yang mendampingi korban dan pelaku, penyidik dan keluarga korban dan
61
pelaku sepakat untuk menyelesaikan kasus ini dan tidak melanjutkan pada proses selanjutnya5.
Dasar Hukum Diversi Konvensi Hak Anak Pasal 40; 1. Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif dalam masyarakat. 2. Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam instrumeninstrumen internasional yang relevan, maka Negara-negara Pihak, terutama, harus menjamin bahwa: a. Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh, atau diakui telah melanggar hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak
62
dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada waktu perbuatan-perbuatan itu dilakukan; b. Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum pidana, paling sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut: i. Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum; ii. Diberi informasi dengan segera dan langsung mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali hukumnya, dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat dalam mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya; iii. Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang berwenang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu pemeriksaan yang adil menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam kepentingan terbaik si anak,
63
terutama, dengan memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya; iv. Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah; untuk memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-syarat keadilan; v. Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka putusan ini dan setiap upaya yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali oleh penguasa lebih tinggi yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan pengadilan menurut hukum; vi. Mendapat bantuan seorang penerjemah dengan cuma-cuma kalau anak itu tidak dapat mengerti atau berbicara dengan bahasa yang digunakan; vii. Kerahasiaannya dihormati dengan sepenuhnya pada semua tingkat persidangan.
64
3. Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana, terutama: a. Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana; b. Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya; 4. Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan pengawasan, perintah, penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan dengan keadaan-keadaan mereka maupun pelanggaran itu.
65
Beijing rules: Pasal 11: Pengalihan 1. Pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal oleh pihak berwenang yang berkompeten, yang dirujuk pada peraturan 14.1 di bawah ini. 2. Polisi, penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-perkara remaja akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara-perkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal formal sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam peraturan-peraturan ini. 3. Pengalihan apapun yang melibatkan perujukan kepada pelayanan-pelayanan masyarakat atau pelayanan lain akan memerlukan persetujuan remaja itu, atau orangtua atau walinya, dengan syarat keputusan merujuk perkara itu tergantung pada kajian pihak berwenang yang berkompeten atas permohonan.
66
4. Agar mempermudah pelulusan kebebasan membuat keputusan pada perkara-perkara remaja, upaya-upaya akan diambil untuk mengadakan persiapan bagi programprogram masyarakat, seperti pengawasan dan bimbingan sementara, pemulihan dan ganti rugi korban-korban.
Penjelasan Pengalihan, yang melibatkan pemindahan dari pemrosesan peradilan kriminal dan, seringkali pengarahan kembali pada pelayanan-pelayanan pendukung masyarakat, secara umum berguna untuk menghalangi pengaruh-pengaruh negatif dari proses-proses peradilan selanjutnya dalam administrasi peradilan bagi remaja (misalnya cacat karena pernyataan bersalah dan vonis hukuman). Dalam banyak perkara, non-intervensi akan merupakan jawaban terbaik. Dengan demikian pengalihan pada awal dan tanpa perujukan pada pelayanan-pelayanan alternatif (sosial) tidak bersifat serius dan dimana keluarga, sekolah atau lembaga-lembaga pengendali sosial informal lainnya telah bereaksi, atau kemungkinan akan bereaksi, dalam cara yang memadai dan membangun. Sebagaimana dinyatakan pada peraturan 11.2 pengalihan dapat digunakan pada setiap tahap pembuatan keputusan oleh Polisi,
67
penuntut umum atua badan-badan lain seperti pengadilan-pengadilan itu dapat dilakukan oleh satu dan beberapa atau semua pihak berwenang, berdasarkan peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan sistem-sistem masing-masing dan sejalan dengan peraturan-peratutan ini. Pengalihan tidak harus selalu dibatas pada perkara-perkara kecil, dengan demikian membuat pengalihan suatu instrumen yang penting. Peraturan 11.3 menekankan persyaratan yang penting untuk memperoleh persetujuan pelanggar hukum berusia muda (atau orangtua atau walinya) terhadap langkah-langkah pengalihan yang disarankan. (Pengalihan pada pelayanan masyarakat tanpa persetujuan ini tidak dapat dibiarkan tak tersanggah, karena persetujuan itu dapat saja diberikan karena keputusasaan belaka di pihak remaja itu. Peraturan ini menggaris bawahi bahwa perhatian perlu diberikan untuk memperkecil potensi pemeriksaan dan intimidasi pada semua tahap proses pengalihan. Remaja-remaja tidak boleh merasa tertekan (misalnya agar menghidar dari kehadiran di pengadilan) atau ditekan agar menyetujui program-program pengalihan. Dengan demikian, disokong agar dibuat ketentuan untuk penilaian yang obyektif atas kelayakan pelulusan-pelulusan yang melibatkan pelanggarpelanggar hukum berusia muda oleh sebuah
68
pihak berwenang yang berkompeten atas permintaan. (Pihak berwenang yang berkompeten, dapat berbeda dari yang dirujuk pada peraturan 14). Peraturan 11.4 menyarankan penyediaan alternatif yang dapat dijalankan bagi pemrosesan peradilan bagi remaja dalam bentuk pengalihan yang bertumpu pada masyarakat. Terutama disarankan program-program yang melibatkan kesepakatan dengan ganti rugi terhadap korban serta mereka yang ingin menghindarkan pertentangan dengan hukum di masa depan melalui program pengawasan dan bimbingan sementara. Keunggulan-keunggulan perkara-perkara individual dapat membuat pengalihan sesuai, walau pelanggaran-pelanggaran yang lebih serius telah dilakukan. (misalnya pelanggaran hukum yang pertama, tindakan itu dilakukan di bawah tekanan teman, dan lain-lain). Endnote: 1)
2)
3)
Materi-materi tentang wawancara pada bagian ini dikutip dari “Manual Pelatihan untuk Polisi” terbitan UNICEF-Mabes Polri tahun 2004, halaman 295/modul 09. Makalah Diskusi dengan judul “Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Penanganan Kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Bandar Lampung 3–4 Mei 2005. http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=Berita &op=detail_berita&id=1026&mn=6&smn=a
69
4)
Catatan pertemuan Yayasan Setara Semarang dan Polsek Ngaliyan Semarang Barat 2007.
5)
Catatan pendampingan SAMIN tahun 2005 dan 2006.
70
Bagian IV PENUTUP
71
72
Daftar Pustaka Konvensi Hak Anak. Beijing Rules. UU.No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. UU. No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. UU. No. 39 tahun 1999 tentang HAM. UU. No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI. UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Manual Pelatihan untuk Polisi” terbitan UNICEF-Mabes Polri tahun 2004. Makalah Diskusi Publik “Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Wilayah DIY dan Jawa Tengah” disampaikan oleh Drs. Sukamto, Kepala Bapas Kelas I Yogyakarta, Yogyakarta, 6 Desember 2007. Makalah Diskusi dengan judul “Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Penanganan
73
Kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Bandar Lampung 3–4 Mei 2005. Kapolri Buat Terobosan Sidik Narkoba, Jawa Pos, 12 November 2007. [http:// www.bnn.go.id/konten.php?nama= Berita&op=detail_berita&id=1026&mn= 6&smn=a]. Catatan pendampingan SAMIN tahun 2005 dan 2006.
74