Dokumentasi Lukisan
Trisno Sumardjo Munculnya negara muda di dunia adalah karena dorongan kuat akan memenuhi sesuatu kebutuhan bersama. Kebutuhan ini ditanah kita lazim dinamakan persatuan kebangsaan, yang digunakan untuk merebut hak‐hak yang mutlak bagi perkembangan bangsa: hak kemanusiaan, hak kemerdekaan, hak menyatakan keinginan, hidup dan kebangsaannya sendiri. Dorongan kuat guna mencapai ini bagi tiap‐tiap bangsa diperolehnya dari zaman‐zaman kejayaan dalam sejarahnya: keperwiraan pahlawan‐pahlawannya, jiwa‐besar dan kepandaian seniman‐seniman dan orang‐orang lainnya yang digunakan. Dengan bebas dan penuh gairah, penghargaan kepada sejarah dunia ini dilakukan oleh bangsa‐bangsa yang telah merdeka dan maju; jiwa kebangsaan mereka diisi oleh kebudayaan yang gilang‐gemilang, pada hakikatnya menuruti arus besar hendak merebut hak‐hak yang mutlak tadi. Isi sejarah sesuatu bangsa ini merupakan dokumentasi yang bukan main besarnya. Buah kebangsaan dalam artian yang baik, dorongan serta teladan bagi tiap‐tiap tenaga kratif, sumber ilham dan semangat jiwa bagi manusia yang tak mau musnah dengan tiada berjasa dan mempertahankan hak hidupnya, pernyataan dirinya dan pernyataan bangsanya untuk dapat penghargaan yang layak sebagai bangsa yang terhormat, pun juga pernyataan jiwa hendak memberi sumbangan berupa hasil‐hasil kebudayaan dan kesenian kepada dunia, yakni hasil‐hasil manusia kreatif. Semuanya ini merupakan isi sejarah tadi yang kita ketemukan dokumentasinya dalam buku‐buku yang dihasilkannya, dalam museum‐museum, dalam koleksi negara dan koleksi partikelir, pendeknya dalam segala hal yang membentuk kebudayaan bangsa kita.
Kini bangsa Indonesia telah merebut kemerdekaannya; permulaan status baru ini selain ikut mengisi sejarah dan kebudayaan dunia adalah juga menghendaki pemeliharaan isi itu. Sayang sekali yang diketahui dan dihargai orang pada umumnya setelah taraf baru yang gemilang sesudah tahun 1945 itu hanya usaha pergerakan dan pemimpin‐pemimpin politik, yakni usaha membentuk kekuasaan saja, padahal hasrat menyatakan mau merdeka itu bukannya soal merebut kekuasaan politik belaka, melaikan memupuk semangat jiwa selengkap‐lengkapnya disegala lapangan pernyataan manusia. Maka selain di gelanggang politik kita juga mesti mempunyai banyak tenaga di lapangan‐lapangan lain, misalnya filsafat, kesenian, dan lain‐lain. Persiapan menyatakan diri, memang sudah ada sebelumnya saat proklamasi, ialah dekat sebelum zaman Jepang, pada tahun 1937 (Persagi=Persatuan Ahli‐Ahli Gambar). Revolusi dan terbukanya kemerdekaan adalah wujud‐wujud pernyataan kita untuk menunjukkan pada dunia: inilah bangsa kita. Pada saat itu kaum pelukis sudah betul‐betul sadar akan mengemukakan segala macam perjuangan bangsanya dalam bentuk kesenian. Maka di sinilah perjuangan seni berjalinan erat dengan kebangunan bangsa, kesadaran diri dan kesadaran akan semangat zaman. Seni lukis Indonesia adalah salah satu dari lapangan‐lapangan yang sedikit jumlahnya di tanah air kita yang dengan lantang serta meyakinkan sekali membunyikan trompet Rẻveil! Sebagai pembaca dan peminat, kami ikut bersyukur bahwa Mimbar Indonesia dalam nomor Hari Pahlawan‐nya memuat produksi beberapa lukisan yang memang dengan sengaja dibikin untuk memperingati dan menghargai perjuangan kita di tahun‐tahun 1945 dan selanjutnya sebagai pushing power menuju kebahagian bangsa, seperti belum pernah sebelumnya kita kenal dalam sejarah tanah air kita. Lukisan‐lukisan ini adalah sebagian dari 65 buah lukisan, buah tangan 25 orang pelukis, yang empat tahun yang lalu semuanya tergabung dalam perkumpulan kesenian Seniman Indonesia Muda.
Dengan bantuan materi oleh Biro Perjuangan dari Kementrian Pertahanan, S.I.M, dalam tahun 1947 mengadakan seteleng besar‐besaran di Yogyakarta dengan koleksi dokumentasinya itu yang telah menjadi milik Negara. Masih segar dalam arus kebangsaan di waktu itu, kerjasama antar kaum seniman dengan serentak dan serempak itu adalah juga unik dalam sejarah kita pada umumnya, maupun dalam sejarah kesenian kita dalam hal ini kita patut bergembira hati atas jasa mereka serta jasa pemimpinnya S. Sudjojono. Eksplosi kegiatan secara spontan, sebagaimana cocok dengan watak seniman! Waktu itu mereka masih dalam taraf mencari dalam saat permulaannya, bahkan ada yang baru mulai belajar mengerakkan pensil di atas kanvas, dan kini pun meraka masih belum lepas dari taraf mencari itu. Apakah yang dicari? “Berontak terus melawan penjajah”, “ Menegakkan kemerdekaan”, adalah semboyan‐semboyan yang dewasa itu berkumandang di mana‐mana. Potriotisme di masa Sturm und Drang1, didalam hati yang baru terbuka bagi nilai‐nilai universal yang samar‐samar dalam jiwa yang baru belajar atau mencari apa artinya kesenian itu dan apa kedudukannya dalam masyarakat dan perjuangan hebat menghadapi musuh yang berabad‐abad. Dalam keadaan begitu belum dapat kita sebut adanya kesadaran yang bermakna penuh. Kita hargai usaha mereka seperti usaha kanak‐kanak yang memulai masa puberteitnya, tapi dalam artian baik, yakni spontan, murni, dengan elan vital yang mengagumkan. Kita boleh mengatakan: “belum sempurna, mereka masih harus belajar banyak”, tapi tidak boleh diingkarkan bahwa kita patut berbangga pula. Timbulnya kegiatan pelukis‐pelukis ini selaras dengan sifat jiwa Proklamasi Kemerdekaan oleh pemuda‐pemuda kita dan perjuangan rakyat kita selanjutnya, yakitu: meskipun cerai‐berai belum teratur rapi, disana‐sini sektaristis, ruwet, kacau, riuh dengan segala macam bentakan dan teriak‐teriak, namun berisi anasir‐anasir yang menyebabkan dunia luar kagum dan mengapa Belanda 1
.Strum und Drang (Jer.): masa pancaroba
akhirnya menyerah, yakni: jujur, spontan, berani dan serempak. Jujur berarti: taat mendengarkan kata‐hati, spontan dengan tiada memperhitungkan kepentingan diri sendiri, serempak dengan persatuan kebangsaan pemuda‐pemuda dan rakyar jelata; disinilah letaknya kekuatan bangsa kita pada masa yang lalu, sekarang dan di zaman yang akan datang! Kekuatan Indonesia tidaklah pada tingginya intelek; kaum intelek itu pun sebagian terbesar tidak tidak mempunyai sifat‐sifat tersebut di atas, meskipun mereka dengan dipelopori oleh perjuangan diplomasinya akhirnya memegang pimpinan di segala lapangan yang tadinya banyak dipegang oleh pemuda. Kita saksikan keadaan yang begini: pertama‐tama kegiatan berujung yang spontan, didukung oleh patriotism tulen, walaupun tidak teratur namun dimana‐mana kita lihat pemuda dan rakyat, pelajar‐pelajar dan laskar‐laskar tidak resmi melanjutkan pergulatan untuk kemerdekaan ini dengan pesat dan tiada mengecewakan, sampai saat terakhir dalam peperangan grilya yang total. Merekalah orang‐orang kreafif, pembentuk pondamen kebudayaan Indonesia Baru, yang kini menjadi the forgotten men!2 Sebagai gambaran tentang semangat jiwa dan semangat zaman yang kami uraikan diatas, pernyataan segerombolan pelukis ini sungguh sangat berharga. Tapi sayang sekali, mereka dalam keadaan Sturm und Drang dalam jiwanya, rupa‐ rupanya belum sadar akan nila‐nilai bersejarahnya atau pun kesadaran itu hanya samar‐samar belaka. Sebab kini koleksi lukisan ini (hampir) seluruhnya telah hilang, karena kurang perhatian untuk menyimpannya dan memeliharanya, sedangkan perhatian ini kita harapkan paling banyak dari pihak mereka sebagai pencipta‐penciptanya. Sehingga kini hanya satu‐dua lukisan saja yang selamat. Janganlah pelukis‐pelukis yang bersangnkutan menyalahkan saja keadaan zaman yang serba keruh. Tanggung jawab dan minat besar mestinya memungkinkan mereka menyelamatkan milik negara yang berharga itu, sekurang‐kurangnya sebagian agak besar dari koleksi tadi. Betul Sudjojono dan teman‐temannya yang kini jauh lebih kecil jumlahnya itu dalam tahun yang lalu mengerjakaan pula dokumentasi kedua. Tetapi pada 2
. the forgotten men (Ing.): orang‐orang terlupakan.
mereka kurang kelihatan adanya sifat‐sifat spontaniteit dan kemurnian yang tadinya kita saksikan pada koleksi pertama, yang dijalankan dengan keikhlasan hati, jauh dari percekcokan serta keinginan hendak dengan sengaja melantingkan ide sealiran yang disangkanya baru, jauh dari kehendak menempatkan diri sendiri di latar depan dan mengejar keuntungan material. Hendaknya para seniman insaf bahwa membuat seni itu dimulai tidak dengan ide tertentu tentang suatu aliran tetapi sebaliknya, ide dengan sendirinya timbul sewaktu bekerja, sambil menyelami kita tahu barang‐barang berharga apakah yang ada di dalam laut, tidak terutama dengan tinjauan dari atas permukaan air. Memang bangsa Indonesia, sekarang banyak kena penyakit menghargakan diri terlalu tinggi (zelfoverschatting) serta kecondongan kepada tidak hendak mengakui hak hidup, hak pernyataan hidup serta keindahan dan kebenaran yang ada pada gerombolan lain, aliran lain dan seniman lain. Akibat kepicikan serta masa puberteit yang belum sanggup mereka atasi. Sambil ber‐revolusi kita hendaknya memelihata terus kejujuran dan kemurnian dari mulanya sudah ada kita miliki. Istimewa dari kaum seniman kita harapkan manusia‐manusia yang tidak tenggelam dalam arus statisch3, birokrasi dan petit‐bourgeoisie yang kini merajalela di masyarakat kita. Kejujuran, kemurnian dan kehendak baik inilah, disamping keseniannya yang mulai berkembang‐‐‐lanjur atau kurang lanjur, dalam bebebrapa hal hanya karena kurang sempurna tekniknya‐‐‐ yang direproduksi dalam halaman‐halaman majalah ini semoga tidak luntur !
3
. statisch (Bld.): mandek Sumber: Majalah Indonesia, No 4, TH.II, April 1951