BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) 2.1.1 Definisi Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala yang didapat akibat dari penurunan respon sistem kekebalan tubuh akibat infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang bereplikasi didalam sistem imun tubuh dan merupakan salah satu retrovirus karena dapat mengubah urutan sistem rantai Deoxyribonucleic Acid
(DNA) menjadi Ribonucleic Acid (RNA) setelah masuk ke dalam sel inang (Price & Wilson, 2006; Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008).
2.1.2 Etiologi Penyebab terjadinya AIDS berasal dari infeksi virus HIV. Virus ini dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (Human T Lympotrophic Virus III / HTLVIII) atau virus limfadenopati, adalah suatu retrovirus manusia dari famili lentivirus (Price & Wilson, 2006). Terdapat dua tipe virus HIV yang sudah teridentifikasi berdasarkan susunan genom dan hubungan filogeniknya, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang keduanya memiliki penyebaran epidemiologis yang berbeda. Virus HIV-1 merupakan tipe yang paling umum dan virulen menginfeksi manusia dimana
11
12
sebanyak 90% kejadian infeksi HIV yang terjadi di dunia berasal dari HIV-1 (Phangkawira, dkk., 2009). 2.1.3 Patofisiologi Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen dan sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus (HIV) tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya (Price & Wilson, 2006; Pasek, dkk., 2008; Wijaya, 2010). Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Price & Wilson, 2006; Departemen Kesehatan RI, 2003).
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah CD4 dan peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load (jumlah virus HIV dalam darah) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti timbulnya infeksi
13
oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun (Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008). Secara ringkas, perjalanan virus HIV dapat dilihat di bagan berikut:
Gambar 2.1 Patofisiologi HIV/AIDS
14
Tabel 2.1 Klasifikasi infeksi HIV yang didasarkan pada patofisiologi penyakit seiring memburuknya secara progresif fungsi imun Kelas Grup I
Kriteria 1.
Infeksi akut HIV
2.
Gejala mirip influensa, mereda sempurna
3.
Antibodi HIV negatif
HIV asimtomatik
1.
Antibodi HIV positif
Grup II
2.
Tidak ada indikator klinis atau laboratorium adanya imunodefisiensi
HIV simtomatik
1.
Antibodi HIV positif
Grup III
2.
Limfadenopati generalisata persisten
Grup IV-A
1.
Antibodi HIV positif
2.
Penyakit konstitusional (demam atau diare menetap, menurunnya BB > 10% dibandingkan berat normal
Grup IV-B
1.
Sama seperti grup IV-A
2.
Penyakit neurologik (demensia, neuropati, mielopati)
Grup IV-C
Grup IV-D
1.
Sama seperti grup IV-B
2.
Hitung limfosit CD4+ kurang daripada 200/µl
1.
Sama seperti grup IV-C
2.
Tuberkolosis paru, kanker serviks, atau keganasan lain
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2011
2.1.4 Cara Penularan Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu (Wijaya, 2010). Terdapat dua cairan utama dalam transmisi virus HIV yakni, transmisi seksual dan non seksual. Transmisi seksual melalui hubungan seksual baik heteroseksual, homoseksual, oral seks maupun anal seks. Transmisi nonseksual dibedakan menjadi parenteral dan transplasental. Transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik dan alat
15
tato) yang telah terkontaminasi darah yang terinfeksi virus HIV. Transmisi transplasental yakni penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak yang dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui (Siregar, 2004; Wijaya, 2010). 2.1.5 Manifestasi Klinis Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) memiliki beragam manifestasi klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi opurtunistik. Jenis keganasan yang paling sering dijumpai pada keganasan lain yang pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV adalah myeloma multipel, leukemia limfositik akut sel B, limfoma limfoblastik T, penyakit Hodgkin, karsinoma anus, karsinoma sel skuamosa di lidah, karsinoma adenoskuamosa paru, adenokarsinoma kolon dan pankreas, kanker serviks, dan kanker testis (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2010).
Pasien AIDS rentan terhadap terhadap infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan virus. Pneumonia Pnuemocytis Carinii (PPC) adalah infeksi serius yang paling sering dijumpai dengan gejala panas yang pendek, sesak nafas, batuk, nyeri dada, dan demam. Hal ini hampir serupa tanda dan gejalanya dengan pasien AIDS yang disertai Tuberkulosis (TB) karena Mycobacterium tuberculosis. Infeksi lainnya seperti fungus antara lain kandidiasis, kriptokokosis, dan histoplasmosis. Infeksi opurtunistik yang disebabkan oleh virus sangat beragam dan merupakan penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2014).
16
2.1.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan infeksi HIV/AIDS menggunakan kombinasi tiga kelas obat antiviral. Tipe obat yang pertama yang digunakan secara luas adalah analog nukleotida yang menghambat aktivitas reverse transcriptase yaitu perubahan pada rantai DNA menjadi RNA pada virus HIV. Obat ini secara signifikan menurunkan level plasma RNA dari HIV untuk beberapa bulan tetapi tidak menghentikan progresivitas HIV akibat virus yang berevolusi dan menjadi resisten (Pasek, dkk., 2008). Melihat hal tersebut, tentunya pencegahan penularan HIV/AIDS menjadi fokus tindakan yang perlu dilakukan untuk memutus transmisi HIV (Permenkes RI, 2013). Pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan pada tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier (Murti, 2010). Dalam pencegahan dan perawatan HIV/AIDS, ketiga program pencegahan tersebut perlu dilakukan secara optimal. Bagan berikut menyajikan tentang tingkat pencegahan penyakit HIV/AIDS.
Tabel 2.2 Tabel tingkat pencegahan HIV/AIDS Tingkat
Jenis intervensi
Tujuan intervensi
pencegahan
Bentuk intervensi pada HIV/AIDS
Pencegahan
Modifikasi determinan
Mencegah atau
primer
/faktor risiko/kausa
menunda penyakit
1) Peningkatan kesehatan
dengan
penyakit, sebelum
pendidikan
dimulainya perubahan
kesehatan
patologis, dilakukan pada
reproduksi
tahap suseptibel dan
HIV/AIDS,
induksi penyakit, promosi
standarisasi nutrisi,
kesehatan terkait penyakit
menghindari bebas
tentang
seks
17
2) Perlindungan khusus,
misalnya
imunisasi, kebersihan pribadi, pemakaian kondom Pencegahan
Deteksi dini penyakit
Memperbaiki
Teknik skrining
sekunder
dengan skrining dan
prognosis kasus
(pemeriksan
pengobatan segera
(memperpendek
laboratorium serum
durasi penyakit,
darah dengan tehnik
memperpanjang
enzyme-linked
hidup)
immunosorbent assay (ELISA) atau Western Bolt rutin untuk kelompok risiko tinggi) dan pengobatan penyakit pada tahap dini
Pencegahan
Pengobatan, rehabilitasi
Mengurangi dan
Kegiatan pencegahan
tersier
dan pembatasan kecacatan
mencegah sekuel
tersier pada HIV/AIDS
dan disfungsi,
ditujukan untuk
mencegah serangan
melaksanakan
ulang, meringankan
rehabilitasi, pembuatan
akibat penyakit, dan
diagnosa dan tindakan
memperbaiki
penatalaksanaan
kualitas hidup
penyakit. Perawatan pada tingkat ini ditujukan untuk membantu orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mencapai tingkat fungsi optimal sesuai dengan keterbatasan yang terjadi akibat HIV/AIDS
Sumber: Murti, 2010; Aminah, 2010
18
2.2. Wanita Penjaja Seks dan Seksualitas 2.2.1 Definisi Wanita Penjaja Seks Menurut Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011, wanita penjaja seks (WPS) dibagi menjadi dua yaitu wanita penjaja seks langsung (WPSL) adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial dan wanita penjaja seks tidak langsung (WPSTL) adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidangbidang pekerjaan tertentu seperti bar, panti pijat, dan sebagainya. 2.2.2 Seksualitas 2.2.2.1 Definisi Seks dan Seksualitas Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional tahun 2006 mendefinisikan seks sebagai perbedaan badani atau biologis jasmani perempuan dan laki-laki yang sering disebut jenis kelamin, yaitu penis untuk laki-laki dan vagina untuk perempuan. Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, perilaku dan kultural. Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin. Termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual (BKKBN, 2006). Dimensi sosial berkaitan dengan seksualitas muncul dalam hubungan manusia. Dimensi perilaku menjelaskan bahwa seksualitas merupakan salah satu bentuk perilaku manusia. Dimensi kultural menerangkan bahwa seksualitas terkait budaya dalam kehidupan manusia yang beragam (BKKBN, 2006).
19
2.2.2.2 Identitas Seksual Identitas seksual merupakan penerimaan seseorang terhadap kategori jenis kelamin tertentu, apakah seseorang mengaku sebagai laki-laki atau perempuan. Identitas seksual ini ada beberapa macam, yang dikenal masyarakat umum adalah identitas seksual sebagai laki-laki dan perempuan. Namun ada beberapa identitas seksual menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta tahun 2009, seperti: 1) Transeksual merupakan seseorang yang hidup atau menginginkan hidup sebagai lawan dari jenis kelamin yang dimilikinya. Biasanya seseorang baru disebut transeksual ketika sudah berganti kelamin. 2) Questioning merupakan istilah yang digunakan bagi seseorang yang sedang dalam proses mempertanyakan siapa dirinya, apa identitas seksualnya termasuk apa orientasi seksualnya. 3) Interseksual merupakan seseorang yang memiliki kelamin ganda atau yang sering disebut dengan hemaprodit. Penentuan kecondongan dari identitas seksualnya sangat tergantung dari pandangan dan identifikasi diri seseorang tersebut. 4) Queer merupakan istilah yang muncul untuk merangkul banyaknya variasi seksualitas manusia yang tidak bisa ataupun tidak mau dimasukkan dalam suatu kelompok tertentu
2.2.2.3 Identitas Gender Identitas gender merupakan definisi kelaki-lakian atau keperempuanan yang dikonstruksikan secara kultural. Seseorang yang menginginkan hidup sebagai
20
anggota gender yang lain dan tidak menginginkan pergantian kelamin dinamakan transgender atau waria (PKBI DIY, 2009).
2.2.2.4 Orientasi Seksual Orientasi seksual adalah suatu keadaan emosional dimana seseorang tertarik secara seksual dengan jenis kelamin tertentu. Orientasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu heteroseksual (orang yang secara seksual tertarik dengan lawan jenis) dan homoseksual (orang yang secara seksual lebih tertarik dengan orang lain yang sejenis kelamin) (BKKBN, 2006).
2.2.2.5 Perilaku Seksual Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual. Bentuk perilaku seksual bermacam-macam mulai dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, bercumbu berat sampai berhubungan seks (BKKBN, 2006). Perilaku seksual mencangkup orang-orang yang melakukan keintiman dengan orang lain maupun dirinya sendiri (autoseksual) dan juga mencangkup perilaku yang diarahkan untuk memperoleh kenikmatan seksual. Ramadhani (2010) menyebutkan perilaku seksual terdiri atas hubungan seksual (intercourse) dan selain hubungan seksual (nonintercourse) diantaranya berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, dan masturbasi. Hubungan seksual (intercourse) terdiri dari: 1) Orogenital merupakan hubungan seksual dengan melakukan rangsangan melalui mulut pada organ seks pasangannya dan sering disebut oral seks yang berarti hubungan seksual secara oral (mulut) dan dengan alat kelamin.
21
2) Anogenital merupakan hubungan seksual yang dilakukan dengan memasukkan penis kedalam anus aau anal, sehingga disebut juga anal seks 3) Genitogenital merupakan hubungan seksual yang dilakukan antara kelamin dengan kelamin yaitu hubungan seksual yang memasukan penis ke dalam vagina.
2.3. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan 2.3.1. Konsep Perilaku Kesehatan 2.3.1.1 Batasan Perilaku Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010). Manusia adalah makhluk individual maupun sosial, serta sebagai subjek sekaligus objek dalam kehidupan dan tidak bersifat pasif dalam menerima keadaan hidup. Proses perkembangan perilaku manusia sebagian ditentukan oleh kehendaknya sendiri dan sebagian bergantung pada alam, sedangkan makhluk lain sepenuhnya bergantung pada alam (Sunaryo, 2004). Notoatmodjo (2010) mengelompokkan aktivitas manusia menjadi dua yakni aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain dan aktivitas yang tidak dapat diamati oleh orang.
Menurut Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus, organisme, dan respon, sehingga teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respon). Teori ini
22
menjelaskan adanya dua jenis respon, yaitu refleksif (respondent respons) dan instrumental respon (Operant respon). Refleksif (respondent respons) adalah respon yang ditimbulkan oleh rangsanganrangsangan (stimulus) tertentu yang disebut electing stimuli, karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap dan mencangkup perilaku emosional. Instrumental respon (operant respon), yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan lain. Perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforce, karena berfungsi untuk memperkuat respon (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) Perilaku Tertutup (Covert Behavior) Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk unobservable behavior atau covert behavior dapat diukur dari pengetahuan dan sikap. 2) Perilaku Terbuka (Overt Behavior) Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable behavior. Bentuk dari perilaku terbuka ini adalah tindakan nyata ataupun dalam bentuk praktik.
23
Gambar 2.2 Bagan teori “S-O-R” Skiner
STIMULUS
ORGANISME
RESPON TERTUTUP Pengetahuan Sikap RESPON TERBUKA Praktik Tindakan
2.3.1.2 Perilaku kesehatan Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayana kesehatan, makanan, dan lingkungan (Wawan & Dewi, 2011). Perilaku kesehatan sama halnya dengan segala aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati dan berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Oleh karena itu, perilaku kesehatan dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: 1) Perilaku orang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini disebut perilaku sehat (healthy behavior), yang mencangkup perilaku-perilaku dalam mencegah atau menghindari suatu penyakit dan penyebab penyakit/masalah, atau penyebab masalah kesehatan (perilaku preventif), dan perilaku yang mengupayakan meningkatnya kesehatan (perilaku promotif). 2) Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Perilaku ini mencangkup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepas dari masalah
24
kesehatan yang dideritanya. Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan, baik tradisional maupun modern
Backer (1979) dalam Wawan dan Dewi (2011) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan sebagai berikut: 1) Perilaku kesehatan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih tekanan, sanitasi, dan sebagainya. 2) Perilaku sakit, yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseoran individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini adalah kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit, serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut. 3) Perilaku peran sakit, yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu dan sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan/kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain.
2.3.1.3 Domain Perilaku Bloom (1908) dalam Notoatmojo tahun 2010 membedakan adanya tiga domain perilaku, yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan tindakan atau praktik (practice). Kemudian oleh para ahli pendidikan di Indonesia, ketiga domain ini diterjemahkan ke dalam cipta (kognitif), rasa (afektif), dan karsa (psikomotor).
25
1) Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi menjadi enam tingkat pengetahuan, yaitu tahu (know), memahami (comprehention), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). 2) Sikap (Attitude) Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Sikap merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain (Notoatmodjo, 2010). Menurut Allport (1954) dalam
Notoatmodjo
(2010) sikap itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu: (a) kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek; (b) kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek; (c) kecenderungan untuk bertindak. 3) Tindakan atau Praktik (Practice)
26
Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut kualitasnya, yaitu: a. Praktik terpimpin (guided response) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan panduan. b. Praktik secara mekanisme (mechanism) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. c. Adopsi (adoption) Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.
2.3.2. Bentuk Perilaku Bentuk perilaku dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Bentuk Pasif Bentuk pasif adalah respon internal yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir tanggapan atau sikap batin, dan pengetahuan (Wawan & Dewi, 2011). Perilaku ini sebatas sikap dan belum ada tindakan nyata (Sunaryo, 2004). 2) Bentuk Aktif
27
Bentuk aktif apabila perilaku jelas dapat diobservasi secara langsung (Wawan & Dewi, 2011). Perilaku ini bersifat terbuka dan sudah berupa tindakan yang nyata (Sunaryo, 2004)
2.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Perilaku manusia dalam melakukan kegiatan atau aktivitas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sunaryo (2004) membagi faktor yang memperngaruhi perilaku manusia ke dalam dua bagian, yaitu: 1) Faktor Genetik atau Faktor Endogen Faktor genetik atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk kelanjutan perkembangan perilaku makhluk hidup. Faktor genetik ini dibagi menjadi beberapa hal yang terkait dari dalam diri individu, antara lain: a. Jenis ras, setiap ras di dunia memiliki perilaku spesifik dan berbeda satu dengan yang lainnya. b. Jenis kelamin, perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara berpakaian dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Pria berperilaku atas dasar pertimbangan rasional atau akal, sedangkan wanita atas dasar pertimbangan emosional atau perasaan. c. Sifat fisik, perilaku individu jika diamati akan berbeda-beda karena sifat fisiknya, misalnya perilaku individu yang pendek dan gemuk berbeda dengan individu yang memiliki fisik yang tinggi kurus. d. Sifat kepribadian, menurut masyarakat awam adalah bagaimana tampil dan menimbulkan kesan bagi individu lainnya.
28
e. Bakat pembawaan, merupakan interaksi dari faktor genetik dan lingkungan serta bergantung pada adanya kesempatan untuk pengembangan. f. Intelegensi, sesuatu terkait kemampuan berpikir abstrak dan kemampuan untuk membuat kombinasi. Maka dikenal tindakan seseorang yang memiliki intelegensi tinggi akan bertindak cepat dan tepat, sebaliknya seseorang dengan intelegensi rendah akan bertindak lambat. 2) Faktor Luar Individu atau Faktor Eksogen Faktor eksogen merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi yang berasal dari luar individu, antara lain: a. Faktor lingkungan, menyangkut segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang karena sebagian besar dari proses perkembangan perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. b. Pendidikan, secara luas pendidikan mencangkup seluruh proses kehidupan individu sejak dari kecil, berupa interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal maupun informal. c. Agama, merupakan tempat mencari makna hidup yang terakhir atau penghabisan. Agama sebagai suatu keyakinan hidup yang telah masuk ke dalam kontruksi kepribadian individu dan mempengaruhi proses berpikir, bersikap, bereaksi, dan berperilaku. d. Sosial ekonomi, lingkungan seseorang dengan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap perilaku, sebagai contoh seseorang dengan sosial ekonomi berkecukupan akan mampu memenuhi kebutuhan hidup, dan
29
sebaliknya pada seseorang dengan sosial ekonomi rendah akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. e. Kebudayaan, hasil kebudayaan manusia akan mempengaruhi perilaku manusia itu sendiri di setiap daerah atau wilayah.
2.3.4. Teori Perilaku Kesehatan 2.3.4.1. Teori Karr Karr (1983) dalam Notoatmodjo (2010) mengidentifikasi determinan perilaku, yaitu: 1) Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan objek atau stimulus di luar dirinya. 2) Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak memperoleh dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak nyaman. Demikian pula, untuk berperilaku kesehatan orang memerlukan dukungan masyarakat sekitarnya. 3) Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang. 4) Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil keputusan. Kebebasan pribadi masih terbatas, khususnya di pedesaan Indonesia. Contohnya, seorang istri dalam mengambil keputusan masih tergantung kepada suami. 5) Adanya kondisi atau situasi yang memungkinkan (action situation), kondisi dan situasi mempunyai pengertian yang luas, baik fasilitas yang tersedia serta kemampuan yang ada. Meskipun determinan yang lain tidak ada masalah, tetapi
30
apabila kondisi dan situasinya tidak mendukung, maka perilaku tersebut tidak akan terjadi. Secara matematik, teori Karr ini dapat dirumuskan sebagai berikut: B = F (Bi, Ss, Ai, Pa, As) B = Behavior F = Fungsi Bi = Behavior Intention Ss = Social support Ai = Accessibility Information Pa = Personal Autonomy As = Action Situation
2.3.4.2. Teori Green Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) membedakan adanya suatu determinan antara faktor perilaku dengan faktor non perilaku. Tiga faktor utama yang dapat dianalisis mengenai faktor perilaku, yaitu: 1) Faktor-faktor
predisposisi
(predisposing
factors),
yaitu
faktor-faktor
mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya. 2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factor), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor pemungkin yang dimaksud adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, dan lain sebagainya.
31
3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Seseorang yang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya.
2.3.4.3. Teori World Health Organization (WHO) World Health Organization (WHO) merumuskan determinan perilaku ini secara sederhana dan memiliki alasan pokok (Notoatmodjo, 2010), yaitu: 1) Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), hasil pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus yang merupakan model awal untuk bertindak atau berperilaku. 2) Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai (personal reference), tatanan masyarakat dengan sikap paternalistik masih kuat, maka perubahan perilaku masyarakat dengan sikap tergantung dari perilaku acuan yang pada umumnya adalah para tokoh masyarakat setempat. 3) Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Jika dibandingkan dengan teori Green, sumber daya ini sama dengan faktor enabling (sarana dan prasarana atau fasilitas). 4) Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku seseorang. Faktor sosio-budaya merupakan faktor eksternal untuk terbentuknya perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku tiap-tiap etnis di Indonesia yang berbeda-beda, karena memang
32
masing-masing etnis mempunyai kebudayaan berbeda-beda yang khas (Sutardi, 2007). Dari uraian tersebut, teori WHO ini dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut: B = F (Tf, Pr, R, C) B = Behavior F = Fungsi Tf = Thoughts and Feeling Pr = Personal refrences C = Culture
2.3.5. Pelayanan Kesehatan Pada WPS 2.3.5.1. Klinik Voluntary Counceling and Testing (VCT) Klinik VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan berdasarkan prinsip sukarela dalam melaksanakan testing HIV, saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas (Suherman, 2009). Layanan VCT dapat diimplementasikan dalam berbagai keadaan dan sangat bergantung pada kondisi dan situasi daerah setempat, kebutuhan masyarakat dan profil klien seperti individual atau pasangan, perempuan atau laki-laki, dewasa atau anak muda (Depkes RI, 2008). Konseling VCT mampu memberikan keuntungan, baik bagi mereka yang positif terinveksi virus HIV, maupun bagi mereka yang negatif (Suherman, 2009). Voluntary Counseling and Test dapat mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan mereka
33
tentang faktor-faktor risiko infeksi HIV, mengembangkan perilaku, dan dukungan termasuk akses terapi ART (anti-retro viral) (Dewi, 2008).
2.3.5.2. Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Pelayanan VCT dapat dikembangkan di berbagai layanan terkait yang dibutuhkan, misalnya klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) (Suherman, 2009). Layanan kesehatan IMS merupakan kegiatan pemeriksaan dan pengobatan bagi pasien yang mengalami kebutuhan IMS. Layanan kesehatan IMS memiliki fungsi kontrol terhadap IMS pada populasi berisiko dapat diminimalisir. Pelayanan kesehatan IMS bertujuan untuk menjalankan fungsi kontrol dan menekan penyebaran IMS pada laki-laki maupun perempuan (KPAN, 2008). Standar minimum yang harus dilakukan sebuah klinik IMS menurut Clinical Services Unit Family Health International Indonesia (2007) adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan pencegahan, seperti promosi kondom dan seks yang aman. 2) Pelayanan ditargetkan kepada kelompok berisiko. 3) Pelayanan yang efektif. 4) Program penatalaksanaan mitra seksual. 5) Sistem monitoring dan surveilan yang efektif.