ABSTRACT Cut Meurah Rosnelly, F 361 050 051. The Design Process of Cellulose Acetate Ultrafiltration Membrane Production by Phase Inversion Method of Cellulose Pulp from Wood of Sengon (Paraserianthes falcataria. ). Under supervision of A. Aziz Darwis, Erliza Noor, and Kaseno
Cellulose acetate ultrafiltration membrane has been utilized in a variety of separation and purification processes, including in agro-industry sector. In general, cellulose acetate is obtained from acetylation of cotton cellulose and wood pulp (abaca, straw, sawdust). In this study, cellulose from wood pulp of Sengon (Paraserianthes falcataria) was used. This plant is fast growing species and has potential as a raw material from its high cellulose content. The purpose of this study was to find a cellulose acetate manufacturing process conditions, to characterize cellulose diacetate and its performance on ultrafiltration process. There are three steps of cellulose diacetate manufacturing process. They are: (1) activation of cellulose using acetic acid, (2) acetylation, cellulose in acetic acid solvent is reacted with acetic anhydride reactant using sulfuric acid as catalyst, (3) hydrolysis to obtain cellulose diacetate. At each operating processes acetyl content was observed at temperature 50 oC. In addition, effect of variation of anhydride acetate reactant and cellulose ratio, namely (3.35:1), (4:1) (5:1), and (6:1) were also investigated. Asymmetric cellulose diacetate membrane preparation by phase inversion method was carried out by the addition of cellulose diacetate (SDA) as a polymer, N, N-Dimethil formaida (DMF) as solvent, water as a non-solvent, and polyethylene glycol (PEG) as additive. At this stage, effect of PEG / SDA ratio (10%, 20%, 30%), PEG molecular weight variation (1450, 4000, and 6000 Da), and coagulation temperature (15 oC, room temperature, and 50oC) were also investigated. Membrane pore size was determined by by measuring Molecular Weight Cut Off ( MWCO) using a standard solution of dextran (12 kDa) and Bovin Serum Albumin (67 kDa). Membrane morphology was observed by Scanning Electron Microscope (SEM). Cellulose acetate of acetyl content of 39.66% and number average molecular weight 130,221 Da was obtained at the activation time 30 minutes; one hour acetylation process for acetic anhydride to cellulose ratio 3.35:1; and 15 hours hydrolysis process. The addition of PEG produced a thicker layer and greater tensile strength membranes and suppress the formation of macrovoid. SEM analysis shows a denser structure of membrane morphology with better regularity of pore shape, so has a better pore density (porosity) distribution of large and visible pores. The addition of PEG with higher molecular weight produces a denser morphological structure with larger pore size, but smaller porosity with large pore distribution. The addition of PEG with the increasing of PEG / SDA ratio resulted in a denser pore structure and greater number of pores with a greater porosity and large pore distribution. Coagulation at higher temperatures produced a thinner layer and low tensile strength membrane. The structure of membrane morphology is more
tenuous with a bigger pore size and greater number of pores so large porosity and pore distribution. Flux (water, dextran, and BSA) and rejection (dextran and BSA) are determined by the porosity and pore distribution of the membrane. High flux and rejection generated by large porosity and small pore distribution membrane. Membrane having small porosity and pore distribution produces low flux but high rejection. Conversely, high flux with low rejection obtained from the membrane with greater porosity and pore distribution. MWCO determination was based on the value of 80% rejection of dextran and BSA standard solution and the obtained pore size ranges obtained ≤ 67 kDa, and is still categorized as ultrafiltration membrane. For further research needs to use more standard solution so that the more precise determination of MWCO could be achieved. Cellulose diacetate membrane formulation produced by the addition of PEG 1450, PEG / SDA ratio 30% and coagulation at room temperature was applicated for patchouli alcohol (Pogostemon cablin Benth) to improve the content of patchouli alcohol and separation of the components of the sugarcane juice solution. Improvement of the essential oil of patchouli alcohol was carried out using the hydrophobicity difference principle. Results showed that there were elevated levels of 41,68% patchouli alcohol at a transmembrane pressure of 1.4 bar, patchouli oil flux of 134 L/m2. hour. Meanwhile, the permeate resulting from the separation of sugarcane juice solution components, with the increasing of transmembrane pressure from 0.6 to 1.8 bar obtained the increasing of flux solution from 36 to 165 L/m2.hour. Characteristics of permeate juice at 1.8 bar of transmembrane pressure increased the pH from 5.25 - 6 and decreased the turbidity about 34,95% from 90-54% (A) compared to raw sugarcane juice (nira). Keywords: wood pulp, sengon (Paraserinathes falcataria), cellulose diacetate, phase inversion, cellulose diacetate membrane, ultrafiltration, patchouli alcohol, sugar cane
RINGKASAN
Cut Meurah Rosnelly, F 361050051. Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat secara Inversi fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria). Dibawah bimbingan A.Aziz Darwis, Erliza Noor, dan Kaseno
Membran dapat diartikan sebagai penyaring atau penghalang berupa lapisan tipis dengan kemampuan selektifitas tinggi sehingga dapat memisahkan antara komponen satu dengan yang lainnya secara spesifik. Membran selulosa asetat merupakan salah satu membran yang banyak digunakan dalam berbagai proses pemisahan, seperti untuk pemisahan larutan senyawa-senyawa terlarut, pemisahan campuran gas atau uap pelarut, partikel/molekul dalam larutan, pemisahan ion-ion dan sebagainya. Pada bidang agroindustri, pemisahan menggunakan membran banyak dilakukan dengan jenis proses ultrafiltasi. Material membran berupa bahan organik yang banyak digunakan adalah polimer selulosa asetat yang dapat diperoleh dari kapas dan pulp kayu ( abaka, jerami, serbuk gergaji, tandan kosong sawit), namun selulosa asetat sendiri di Indonesia masih didatangkan dari luar (impor). Hal ini merupakan kendala dalam memproduksi membran di Indonesia sehingga membran yang digunakan pada dunia industri juga masih berupa membran impor. Sejauh ini selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) belum dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan polimer membran. Di Indonesia, tanaman ini mudah tumbuh dan memiliki potensi sebagai bahan baku pembuatan polimer membran karena kandungan selulosa yang tinggi sehingga dapat mengatasi kendala kelangkaan membran lokal. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi proses pembuatan selulosa diasetat (SDA) berbasis selulosa pulp kayu sengon serta mendapatkan kondisi rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat dengan penambahan polietilen glikol (PEG) sebagai porogen pada berbagai berat molekul PEG dan rasio PEG/SDA serta suhu koagulasi serta karakter membran. Membran selulosa diasetat bersifat hidrofilik dengan jenis ultrafiltrasi diharapkan dapat meningkatkan kadar patchouli alkohol dari minyak nilam serta pemurnian larutan nira. Pembuatan selulosa diasetat diperoleh melalui tiga tahapan proses, yaitu: (1) aktivasi selulosa pulp kayu sengon menggunakan asam asetat, (2) asetilasi selulosa dengan anhidrida asetat sebagai reaktan, asam asetat sebagai pelarut serta menggunakan katalis asam sulfat. Pada proses asetilasi dilakukan variasi rasio reaktan anhidrida asetat terhadap selulosa untuk setiap satuan berat selulosa yang digunakan, (3) hidrolisis untuk mendapatkan selulosa diasetat dengan menambahkan air dan asam sulfat. Pada tiap tahap operasi diamati kadar asetil terhadap waktu pada suhu 50oC. Kadar asetil ditentukan menggunakan metoda titrasi dan berat molekul selulosa asetat menggunakan metoda viskometer Ubbelohde. Pembuatan membran asimetrik selulosa diasetat dilakukan dengan teknik inversi fasa. Inversi fasa adalah suatu proses pengubahan bentuk polimer dari fasa cair menjadi fasa padat dengan kondisi terkendali. Pada proses tersebut, polimer selulosa diasetat (SDA) dilarutkan dalam pelarut dimetilformamida
(DMF) dengan perbandingan 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6 untuk memperoleh larutan polimer homogen. Perancangan proses pembuatan membran dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan pembuatan membran dari selulosa diasetat (SDA) dengan penambahan polietilen glikol (PEG) pada berat molekul 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da dengan rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30%. Pembuatan membran dilakukan pada suhu air koagulasi tetap (suhu kamar). Tahap kedua dilakukan pembuatan membran dengan rasio PEG/SDA tetap (20%) tetapi pada suhu kaogulasi berbeda (15oC, suhu kamar, dan 50oC) dan pada berat molekul PEG 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da. Porogen polietilen glikol (PEG) ditambahkan pada larutan polimer dengan memvariasikan rasio PEG/SDA (10, 20, dan 30%), berat molekul PEG (1450, 4000, dan 6000 Da). Larutan polimer tersebut dicetak di atas plat kaca dengan ketebalan ± 0,2 mm kemudian didiamkan selama 30 detik dan selanjutnya dicelupkan dalam bak koagulasi yang berisi air sebagai bukan-pelarut (non solvent) pada 15oC, suhu kamar, dan 50oC. Membran yang dihasilkan selanjutnya dianalisis sifat fisik berupa ketebalan dan kuat tarik. Fluks air, dekstran, dan Bovin Serum Albumin (BSA) serta rejeksi dekstran dan BSA termasuk parameter yang ditentukan. Penentuan porometer membran dilakukan dengan menentukan Molecular Weight Cut Off (MWCO) menggunakan larutan standar dekstran (12 kDa) dan Bovin Serum Albumin (67 kDa). Morfologi membran diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM). Salah satu formulasi membran dilakukan pengujian aplikasi terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol (PA) dari minyak nilam dan pemurnian nira tebu. Rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) telah diperoleh sebagai berikut: selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11% dapat dijadikan bahan baku polimer membran berupa selulosa asetat. Selulosa asetat dengan kadar asetil 39,66% dan berat molekul 130.221 Da telah diperoleh melalui tahapan proses aktivasi selama 30 menit; asetilasi selama satu jam dengan rasio reaktan anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35; dan hidrolisis selama 15 jam. Masing-masing proses berjalan pada suhu 50oC. Membran selulosa asetat hasil inversi fasa diperoleh melalui tahapan proses pencampuran larutan polimer dengan perbandingan SDA terhadap pelarut DMF 1:6 pada suhu kamar selama 2 jam. Proses dilanjutkan dengan pendiaman larutan cetak selama 1 jam pada suhu kamar, lama penguapan 30 detik, perendaman larutan cetak pada bak koagulasi berisi air selama 2 jam. Penambahan PEG menghasilkan membran dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki lapisan yang lebih tebal, kuat tarik yang lebih besar, dan menekan terbentuknya makrovoid. Analisis SEM menunjukkan struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapat dengan tingkat keteraturan bentuk pori yang lebih baik sehingga kerapatan (porositas) besar serta terlihat distribusi pori semakin kecil. Penambahan PEG dengan berat molekul yang semakin besar menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan ukuran pori yang lebih besar, akan tetapi porositas lebih kecil dengan distribusi pori besar. Penambahan PEG dengan rasio PEG/SDA yang semakin meningkat menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan porositas yang lebih besar dan distribusi pori besar. Koagulasi pada suhu lebih tinggi menghasilkan membran dengan lapisan yang lebih tipis dan kuat tarik yang lebih rendah.
Struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapuh namun ukuran dan jumlah pori lebih besar sehingga porositas dan distribusi pori besar. Fluks (air, dekstran, dan BSA) dan rejeksi (dekstran dan BSA) sangat ditentukan oleh porositas dan distribusi pori membran. Fluks dan rejeksi tinggi dihasilkan oleh membran dengan porositas besar dan distribusi pori kecil. Membran dengan porositas kecil dan distribusi pori besar menghasilkan fluks rendah tetapi rejeksi tinggi. Sebaliknya, fluks tinggi dengan rejeksi rendah diperoleh dari membran dengan porositas dan distribusi pori besar. Penentuan MWCO membran didasari oleh nilai rejeksi 80-90% dari larutan standard dekstran (12 kDa) dan BSA (67 kDa) diperoleh ukuran pori maksimal 67 kDa, dan masih dalam katagori membran jenis proses ultrafiltrasi. Disarankan untuk penelitian lanjutan perlu penggunaan larutan standar yang lebih banyak sehingga dalam penentuan MWCO membran lebih tepat. Membran hasil penambahan PEG 1450 Da dengan rasio PEG/SDA 30% serta koagulasi suhu kamar diuji terhadap penerapan atau uji aplikasi pada minyak nilam (Pogostemon cablin Benth) dalam usaha peningkatan kadar patchouli alkohol dan pemurnian nira tebu. Peningkatan patchouli alkohol dari minyak nilam dilakukan menggunakan prinsip perbedaan hidrofobisitas (sifat kepolaran). Hasil menunjukkan terjadi peningkatan kadar patchouli alkohol sebesar 41,68% pada tekanan transmembran 1,4 bar dengan fluks minyak nilam diperoleh sebesar 134 L/m2.jam. Uji aplikasi terhadap pemurnian nira menghasilkan fluks yang semakin meningkat dari 36 menjadi 165 L/m2.jam dengan naiknya tekanan transmembran dari 0,6 – 1,8 bar. Karakteristik permeat nira pada tekanan transmembran 1,8 bar terjadi peningkatan pH dari 5,25 -6 dan penurunan turbiditi sebesar 39,45% dari 90-54% (A).