No. 15/40/DKMP
Jakarta, 24 September 2013
SURAT
EDARAN
Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA
Perihal :
Penerapan
Manajemen
Risiko
pada
Melakukan
Pemberian
Kredit
atau
Bank
yang
Pembiayaan
Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun
Properti,
dan
Kredit
atau
Pembiayaan
Bank
Indonesia
Kendaraan Bermotor.
Sehubungan
dengan
Peraturan
Nomor
5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029), Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5247), dan dalam rangka meningkatkan kehati-hatian bagi Bank yang melakukan aktivitas pemberian kredit atau pembiayaan
pemilikan
properti,
kredit
atau
pembiayaan
konsumsi
beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor maka perlu untuk mengatur pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit
atau ...
atau
pembiayaan
kendaraan
bermotor
dalam
Surat Edaran
Bank
Indonesia sebagai berikut:
I.
KETENTUAN UMUM A. Sejalan dengan tingginya pertumbuhan kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor yang berpotensi
menimbulkan
meningkatkan
berbagai
kehati-hatian
Risiko
dalam
maka
Bank
perlu
penyaluran
kredit
atau
pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun
properti,
dan
kredit
atau
pembiayaan
kendaraan
bermotor. B. Pertumbuhan kredit atau pembiayaan pemilikan properti dan kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti yang terlalu tinggi dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak
mencerminkan
harga
yang
sebenarnya
sehingga
meningkatkan Risiko Kredit bagi Bank dengan eksposur kredit atau pembiayaan properti yang besar. C. Dalam rangka menjaga perekonomian yang produktif dan mampu menghadapi kebijakan
tantangan
yang
dapat
di
sektor
keuangan,
memperkuat
sektor
perlu
keuangan
adanya untuk
meminimalisir sumber-sumber kerawanan yang mungkin timbul, termasuk
pertumbuhan
kredit
atau
pembiayaan
pemilikan
properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor yang berlebihan. D. Kebijakan dalam rangka meningkatkan kehati-hatian Bank dalam pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit konsumsi kendaraan
beragun
properti,
bermotor,
serta
dan
kredit
kebijakan
atau
untuk
pembiayaan memperkuat
ketahanan sektor keuangan dilakukan melalui penetapan besaran loan to value atau financing to value untuk kredit atau pembiayaan pemilikan properti dan kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, serta down payment untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor.
II. CAKUPAN ...
II.
CAKUPAN PENGATURAN Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum, yang selanjutnya disebut Bank, adalah Bank Umum Konvensional termasuk Unit Usaha Syariah, dan Bank Umum Syariah. 2. Properti terdiri dari rumah tapak, rumah susun, rumah toko, dan rumah kantor. 3. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. 4. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, antara lain griya tawang, kondominium, apartemen, dan flat. 5. Rumah Kantor atau Rumah Toko adalah tanah berikut bangunan yang izin pendiriannya tujuan
komersial
sebagai rumah tinggal sekaligus untuk
antara
lain
perkantoran,
pertokoan,
atau
gudang. 6. Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti yang selanjutnya disebut KPP atau KPP iB adalah kredit atau pembiayaan yang diberikan bank untuk pembelian Rumah Tapak, Rumah Susun, Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor. 7. Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Rumah, yang selanjutnya disebut KPR atau KPR iB, adalah kredit atau pembiayaan yang ditujukan untuk pembelian Rumah Tapak. 8. Kredit
atau
Pembiayaan
Pemilikan
Rumah
Susun,
yang
selanjutnya disebut KPRS atau KPRS iB, adalah kredit atau pembiayaan yang ditujukan untuk pembelian Rumah Susun.
9. Kredit ...
9. Kredit
atau
Pembiayaan
Pemilikan
Rumah
Kantor,
yang
selanjutnya disebut KPRukan atau KPRukan iB adalah kredit atau pembiayaan yang ditujukan untuk pembelian Rumah Kantor 10. Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Rumah Toko, yang selanjutnya disebut KPRuko atau KPRuko iB adalah kredit atau pembiayaan yang ditujukan untuk pembelian Rumah Toko. 11. Kredit
atau
Pembiayaan
Konsumsi
Beragun
Properti,
yang
selanjutnya disebut KKBP atau KKBP iB adalah kredit atau pembiayaan konsumsi di luar KPP atau KPP iB dengan agunan berupa Properti. 12. Rasio Loan to Value atau Financing to Value, yang selanjutnya disebut LTV atau FTV, adalah angka rasio antara nilai kredit atau pembiayaan yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan
berupa
Properti
pada
saat
pemberian
kredit
atau
pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir. 13. Musyarakah Mutanaqisah, yang selanjutnya disebut MMQ, adalah musyarakah atau syirkah dalam rangka kepemilikan Properti antara Bank dengan nasabah, dimana penyertaan kepemilikan Properti oleh Bank akan berkurang yang disebabkan pembelian secara bertahap oleh nasabah. 14. Uang Jaminan, yang selanjutnya disebut Deposit, adalah uang yang harus diserahkan oleh nasabah kepada Bank dalam rangka kepemilikan
Properti
yang
dilakukan
dengan
akad
Ijarah
Muntahiya Bittamlik (IMBT). 15. Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disebut KKB atau KKB iB, adalah kredit atau pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian kendaraan bermotor. 16. Uang Muka Kredit atau Pembiayaan atau Down Payment, yang selanjutnya disingkat DP, adalah pembayaran di muka secara tunai yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah (self financing) dalam rangka pembelian kendaraan bermotor melalui fasilitas kredit atau pembiayaan.
III. PENERAPAN ...
III.
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PEMBERIAN
PROPERTI,
KREDIT
PROPERTI,
DAN
KREDIT ATAU
ATAU
PEMBIAYAAN
PEMBIAYAAN
KREDIT
ATAU
PEMILIKAN
KONSUMSI
PEMBIAYAAN
BERAGUN
KENDARAAN
BERMOTOR Bank yang menyalurkan KPP atau KPP iB, KKBP atau KKBP iB, dan KKB atau KKB iB wajib: A. menerapkan Manajemen Risiko sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, mengingat adanya berbagai Risiko yang melekat pada aktivitas tersebut, terutama Risiko Kredit dan Risiko Likuiditas; B. menyusun kebijakan dan prosedur secara tertulis yang akan menjadi acuan dalam pemberian KPP atau KPP iB, KKBP
atau
KKBP iB, dan KKB atau KKB iB dengan berpedoman pada: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei
2003
tentang
Penerapan
Manajemen Risiko bagi
Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009; 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tanggal 2 November 2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tanggal 25 September 2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah; 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7
Desember
2009
tentang
Pelaksanaan
Good
Corporate
Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
5. Surat ...
5. Surat
Keputusan
Direksi
Bank
Indonesia
Nomor
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan
dan
Pelaksanaan
Kebijaksanaan
Perkreditan
Bank bagi Bank Umum; 6. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008 perihal Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah; 7. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/38/DPNP tanggal 31 Desember 2010 perihal Pedoman Penyusunan Standard Operating Procedure Administrasi Kredit Pemilikan Rumah dalam Rangka Sekuritisasi; 8. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP tanggal 18
Februari
2011
perihal
Pedoman
Perhitungan
Aset
Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar; dan 9. Surat Edaran Bank Indonesia ini.
IV.
PENGATURAN LTV ATAU FTV PADA KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PEMILIKAN PROPERTI DAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KONSUMSI BERAGUN PROPERTI A. Ruang lingkup pengaturan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mencakup KPP atau KPP iB dan KKBP atau KKBP iB. B. Perhitungan nilai kredit atau pembiayaan dan nilai agunan dalam perhitungan LTV atau FTV untuk : 1. Bank Umum Konvensional a. Nilai kredit ditetapkan berdasarkan plafon kredit yang diterima
oleh
debitur
sebagaimana
tercantum
dalam
perjanjian kredit. b. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran Bank terhadap Properti yang menjadi agunan. Bank dalam melakukan taksiran dapat menggunakan penilai intern Bank atau penilai independen dengan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aset Bank umum.
2. Bank ...
2. Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah a. Nilai pembiayaan berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’ ditetapkan berdasarkan harga pokok pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sebagaimana tercantum dalam akad pembiayaan. b. Nilai pembiayaan berdasarkan akad MMQ ditetapkan berdasarkan penyertaan Bank dalam rangka kepemilikan Properti sebagaimana tercantum dalam akad pembiayaan. c.
Nilai pembiayaan berdasarkan akad IMBT ditetapkan berdasarkan hasil pengurangan harga Properti dengan Deposit sebagaimana tercantum dalam akad pembiayaan.
d. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran Bank terhadap Properti yang menjadi agunan. Bank dalam melakukan taksiran dapat menggunakan penilai intern Bank atau penilai independen dengan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aktiva bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. C. LTV atau FTV untuk Bank yang memberikan kredit atau pembiayaan sebagaimana dalam huruf A ditetapkan paling tinggi sebagai berikut: 1. Fasilitas kredit atau pembiayaan pertama sebesar: a. 70% (tujuh puluh persen) untuk KPR dan KPRS, serta KPR iB dan KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’, dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). b. 80% (delapan puluh persen) untuk: 1) KPRS dan KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’ dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan 2) KPR iB dan KPRS iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
c. 90% ...
c.
90% (sembilan puluh persen) untuk KPRS iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
2. Fasilitas kredit atau pembiayaan kedua sebesar: a. 60% (enam puluh persen) untuk KPR dan KPRS, serta KPR iB dan KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’, dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). b. 70% (tujuh puluh persen) untuk : 1) KPR dan KPR iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’, dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2) KPRS dan KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’, dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 3) KPR iB dan KPRS iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan 4) KPRuko dan KPRukan, serta KPRuko iB dan KPRukan iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’. c.
80% (delapan puluh persen) untuk : 1) KPR iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2) KPRS iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan 3) KPRuko iB dan KPRukan iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT.
3. Fasilitas ...
3. Fasilitas kredit atau pembiayaan ketiga dan seterusnya sebesar: a. 50% (lima puluh persen) untuk KPR dan KPRS, serta KPR iB dan KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’, dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). b. 60% (enam puluh persen) untuk : 1) KPR dan KPR iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’, dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2) KPRS dan KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’, dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 3) KPR iB dan KPRS iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan 4) KPRuko dan KPRukan, serta KPRuko iB dan KPRukan iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’. c.
70% (tujuh puluh persen) untuk : 1) KPR iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2) KPRS iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan 3) KPRuko iB dan KPRukan iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT.
4. Penentuan
urutan
fasilitas
kredit
atau
pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3 harus memperhitungkan seluruh fasilitas KPP atau KPP iB dan KKBP atau KKBP iB yang telah diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun Bank lainnya.
5. Contoh ...
5. Contoh perhitungan dan penetapan LTV atau FTV untuk : a. KPP atau KPP iB sebagaimana tercantum pada Lampiran I; dan b. KKBP
atau
KKBP
iB
sebagaimana
tercantum
pada
Lampiran II, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. D.
Dalam hal perjanjian KPP atau KPP iB antara Bank dan debitur atau nasabah mengikat lebih dari 1 (satu) unit Properti pada saat bersamaan dan/atau beberapa perjanjian KPP atau KPP iB terhadap beberapa Properti yang
dilakukan pada tanggal yang
sama, maka perhitungan LTV atau FTV berlaku ketentuan sebagai berikut. 1. Bank
wajib
menetapkan
urutan
fasilitas
kredit
atau
pembiayaan berdasarkan urutan nilai agunan dimulai dari nilai agunan yang paling rendah. 2. Penentuan
urutan
fasilitas
kredit
atau
pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam butir C.1, butir C.2, dan butir C.3 harus memperhitungkan seluruh fasilitas KPP atau KPP iB dan KKBP atau KKBP iB yang telah diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun Bank lainnya. 3. Perhitungan LTV atau FTV dilakukan dengan mengacu pada butir C.1, butir C. 2, dan butir C.3. 4. Bank memberitahukan penentuan urutan fasilitas kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 kepada calon debitur atau nasabah atau debitur atau nasabah secara tertulis. 5. Contoh penentuan urutan fasilitas kredit atau pembiayaan sebagaimana tercantum pada Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
E. Dalam ...
E.
Dalam rangka memenuhi ketentuan LTV atau FTV dalam Surat Edaran ini, berlaku ketentuan sebagai berikut : 1. Bank meminta kepada calon debitur atau nasabah tambahan dokumen
berupa
surat
pernyataan
yang
paling
kurang
memuat keterangan mengenai fasilitas KPP atau KPP iB dan/atau KKBP atau KKBP iB yang sudah diterima maupun yang sedang dalam proses pengajuan permohonan baik di Bank yang sama maupun di Bank lain. 2. Apabila
calon
debitur
atau
nasabah
tidak
bersedia
menyerahkan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 maka Bank wajib menolak permohonan fasilitas kredit atau pembiayaan yang diajukan. 3. Bank mencantumkan klausula dalam perjanjian kredit atau pembiayaan sebagai berikut : “Dalam hal debitur atau nasabah menyampaikan pernyataan yang tidak benar maka debitur atau nasabah bersedia melaksanakan langkah-langkah yang ditetapkan oleh Bank dalam
rangka
pemenuhan
ketentuan
Bank
Indonesia
mengenai LTV atau FTV” 4. Bank memperlakukan debitur atau nasabah suami dan istri sebagai 1 (satu) debitur atau nasabah kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta yang disahkan oleh notaris. 5. Dalam hal Bank memberikan : a. fasilitas kredit tambahan dari fasilitas kredit yang masih berjalan (top up); atau b. fasilitas pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih menjadi agunan dari fasilitas KPP iB sebelumnya; berlaku ketentuan sebagai berikut : a. pemberian
fasilitas
kredit
atau
pembiayaan
tersebut
diperlakukan sebagai pemberian kredit atau pembiayaan baru; b. perhitungan LTV atau FTV diperlakukan sebagai urutan fasilitas kredit atau pembiayaan berikutnya; dan
c. jumlah ...
c.
jumlah fasilitas kredit tambahan atau pembiayaan baru yang diberikan oleh Bank paling banyak sebesar selisih antara hasil perhitungan LTV atau FTV berdasarkan nilai properti yang menjadi agunan dengan baki debet dari fasilitas
kredit
atau
pembiayaan
sebelumnya
yang
menggunakan agunan yang sama. 6. Contoh perhitungan dalam angka 4 dan angka 5 sebagaimana tercantum pada Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. F.
Dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian KPP atau KPP iB dan KKBP atau KKBP iB, Bank melakukan halhal sebagai berikut : 1. Bank dilarang memberikan fasilitas kredit atau pembiayaan untuk pemenuhan uang muka pembelian Properti yang dibiayai dengan KPP atau KPP iB dan/atau KKBP atau KKBP iB. 2. Bank hanya dapat memberikan fasilitas KPP atau KPP iB jika Properti yang dijadikan agunan telah tersedia secara utuh, yaitu telah terlihat wujud fisiknya sesuai yang diperjanjikan dan siap diserahterimakan. 3. Ketentuan
sebagaimana
dimaksud
dalam
angka
2
dikecualikan untuk pemberian fasilitas KPP atau KPP iB yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. fasilitas KPP atau KPP iB merupakan fasilitas KPP atau KPP iB pertama bagi debitur atau nasabah dari seluruh fasilitas yang diterima baik di Bank yang sama maupun Bank lainnya; b. adanya
perjanjian
kerjasama
antara
Bank
dengan
pengembang yang paling kurang memuat kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan debitur atau nasabah; c.
adanya jaminan (corporate guarantee) dari pengembang kepada Bank bahwa pengembang akan menyelesaikan kewajiban kepada debitur atau nasabah penerima fasilitas
KPP ...
KPP atau KPP iB apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak diserahterimakan sesuai perjanjian; d. pencairan fasilitas KPP atau KPP iB hanya dapat dilakukan secara
bertahap
sesuai
perkembangan
pembangunan
Properti yang menjadi agunan. Laporan perkembangan pembangunan Properti tersebut berdasarkan laporan dari: 1) pengembang, apabila nilai kredit atau pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama
sampai
dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau 2) penilai
independen,
apabila
nilai
kredit
atau
pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), yang telah diverifikasi kebenarannya oleh Bank; dan e.
apabila pengembang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan dari Bank, dan pengembang tidak dapat menyelesaikan pembangunan Properti dalam waktu yang telah diperjanjikan maka Bank menurunkan kualitas kredit atau pembiayaan kepada pengembang tersebut.
4. Ketentuan dalam angka 2 dan angka 3 berlaku untuk semua jenis dan tipe Properti. 5. Contoh penerapan ketentuan dalam angka 2 dan angka 3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. G.
Pengaturan mengenai LTV atau FTV sebagaimana dimaksud dalam huruf C, huruf D, huruf E, dan huruf F dikecualikan terhadap KPP atau KPP iB dalam rangka pelaksanaan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sepanjang didukung dengan dokumen yang menyatakan bahwa fasilitas kredit atau pembiayaan tersebut merupakan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
V. PENGATURAN ...
V.
PENGATURAN DOWN PAYMENT PADA KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR A.
Ruang lingkup KKB atau KKB iB dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mencakup kredit atau pembiayaan yang diberikan Bank kepada debitur atau nasabah untuk pembelian kendaraan bermotor.
B.
DP ditetapkan sebesar persentase tertentu dari harga pembelian kendaraan bermotor yang dibiayai oleh Bank. DP untuk Bank yang memberikan KKB atau KKB iB sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini ditetapkan sebagai berikut: 1. DP paling rendah 25% (dua puluh lima persen), untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua. 2. DP paling rendah 30% (tiga puluh persen), untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan non produktif. 3. DP paling rendah 20% (dua puluh persen), untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif, yaitu apabila memenuhi salah satu syarat sebagai berikut: a. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang
atau
barang
yang
dikeluarkan
oleh
pihak
hukum
yang
berwenang; atau b. diajukan
oleh
perorangan
atau
badan
memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya. C.
Bank dilarang memberikan fasilitas kredit atau pembiayaan untuk pemenuhan DP dari KKB atau KKB iB.
VI.
TATA CARA PENGENAAN SANKSI A.
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.E.1, butir IV.E.2, dan butir IV.E.3 dikenakan sanksi
administratif ...
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Peraturan Bank
Indonesia
Nomor
5/8/PBI/2003
tentang
Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 atau Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, berupa teguran tertulis. B.
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C, butir IV.D, butir IV.E.4, butir IV.E.5, butir IV.F, butir V.B, dan butir V.C dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
sebagaimana
telah
diubah
dengan
Peraturan
Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 atau Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, berupa teguran tertulis dan kewajiban menyampaikan : 1. komitmen
tertulis
untuk
tidak
melakukan
pelanggaran
kembali atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir butir IV.C, butir IV.D, butir IV.E.4, butir IV.E.5, butir IV.F, butir V.B, dan butir V.C; 2. action plan yang antara lain terdiri dari : a. rencana
perbaikan
Operating
Procedure
atau (SOP)
evaluasi
terhadap
termasuk
Standar
batasan
waktu
pelaksanaan perbaikan atau evaluasi dimaksud; dan/atau b. upaya-upaya untuk memastikan bahwa SOP telah efektif dijalankan, sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia. C.
Dalam hal Bank : 1. tidak menyampaikan action plan atau tidak menyelesaikan action plan sebagaimana dimaksud dalam huruf B; dan/atau 2. melakukan pelanggaran kembali atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C, butir IV.D, butir IV.E.4, butir
IV.E.5, ...
IV.E.5, butir IV.F, butir V.B, dan butir V.C setelah action plan disampaikan sebagaimana dimaksud dalam butir B, dikenakan
sanksi
administratif
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 atau Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. D.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf C dapat berupa: 1. Penurunan tingkat kesehatan Bank Penurunan tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mencakup penurunan faktor penilaian tingkat kesehatan Bank, antara lain faktor profil risiko dan/atau faktor Good Corporate Governance (GCG); 2. Pembekuan kegiatan usaha tertentu Pembekuan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain mencakup larangan pemberian KPR atau KPR iB, KPRS atau KPRS iB, KPRuko atau KPRuko iB, KPRukan atau KPRukan iB, KKBP atau KKBP iB dan/atau KKB atau KKB iB untuk jangka waktu tertentu di Bank/cabang/unit tertentu; dan/atau 3. Pencantuman Pejabat Eksekutif, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau Pemegang Saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi
Bank
Indonesia
sebagaimana
diatur
dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. E.
Pelanggaran atas kewajiban penyampaian penyesuaian kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam angka VIII dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009
tanggal ...
tanggal 1 Juli 2009 dan Pasal 88 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
VII.
KETENTUAN LAIN-LAIN Pelaksanaan KPP iB, KKBP iB dan KKB iB oleh Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah selain memenuhi ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, juga wajib memenuhi Prinsip Syariah
VIII.
KETENTUAN PERALIHAN Bank wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur tertulis pemberian KPP atau KPP iB, KKBP atau KKBP iB dan/atau KKB atau KKB iB serta menyampaikannya kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah Surat Edaran Bank
Indonesia ini berlaku yang
dialamatkan kepada: a.
Departemen Pengawasan Bank terkait, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta, 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
IX.
KETENTUAN PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka : a.
Surat
Edaran
Bank
Indonesia
Nomor
14/10/DPNP
tanggal
15 Maret 2012 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit/pembiayaan Pemilikan Rumah dan Kredit/pembiayaan Kendaraan Bermotor; dan b.
Surat 27
Edaran
Bank
Indonesia
November
2012
perihal
Nomor
14/33/DPbS
Penerapan
Kebijakan
tanggal Produk
Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat ...
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 September 2013. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH DEPUTI GUBERNUR
LAMPIRAN I SURAT EDARAN BANK INDONESIA NO.15/40/DKMP TANGGAL 24 SEPTEMBER 2013 PERIHAL
PENERAPAN
MANAJEMEN
RISIKO
PADA BANK YANG MELAKUKAN PEMBERIAN KREDIT
ATAU
PROPERTI,
PEMBIAYAAN
KREDIT
ATAU
PEMILIKAN PEMBIAYAAN
KONSUMSI BERAGUN PROPERTI, DAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
PENETAPAN LTV ATAU FTV UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PEMILIKAN PROPERTI
Pengaturan LTV/FTV mengacu pada tabel sebagai berikut : a. Untuk kredit, pembiayaan murabahah, dan pembiayaan istishna’ Kredit/Pembiayaan & Tipe Agunan KPR Tipe > 70
LTV/FTV Maksimum FK/FP 1 FK/FP 2 FK/FP 3 dst 70% 60% 50%
KPRS Tipe > 70
70%
60%
50%
KPR Tipe 22- 70
-
70%
60%
80%
70%
60%
KPRS Tipe sd 21
-
70%
60%
KP Ruko/Rukan
-
70%
60%
KPRS Tipe 22 – 70
b. Untuk pembiayaan MMQ dan pembiayaan IMBT LTV/FTV Maksimum FP 2 FP 3 dst 70% 60%
Pembiayaan & Tipe Agunan KPR Tipe > 70
FP 1 80%
KPRS Tipe > 70
80%
70%
60%
KPR Tipe 22- 70
-
80%
70%
90%
80%
70%
KPRS Tipe sd 21
-
80%
70%
KP Ruko/Rukan
-
80%
70%
KPRS Tipe 22 – 70
Keterangan : FK = Fasilitas Kredit, FP = Fasilitas Pembiayaan
Contoh ...
Contoh 1 Debitur A mendapatkan fasilitas KPR untuk pembelian rumah tapak X dengan luas bangunan 100m2 pada bulan Januari 2012. Pada saat KPR masih berjalan, debitur A mengajukan lagi fasilitas KPR untuk pembelian rumah tapak Y dengan luas bangunan 150m2 pada Juni 2013. Dalam hal ini perhitungan LTV adalah sebagai berikut : Properti
Fasilitas Kredit/Pembiayaan
LTV
Rumah Tapak X
Pertama
70%
Rumah Tapak Y
Kedua
60%
Contoh 2 Debitur A mendapatkan fasilitas KPRS untuk pembelian apartemen X dengan luas bangunan 60m2 pada bulan Januari 2012. Pada saat KPRS masih berjalan, debitur A mengajukan lagi fasilitas KPRS untuk pembelian apartemen Y dengan luas bangunan 90m2 pada Oktober 2013. Dalam hal ini perhitungan LTV adalah sebagai berikut : Properti
Fasilitas Kredit/Pembiayaan
LTV
Apartemen X
Pertama
80%
Apartemen Y
Kedua
60%
Contoh 3 Debitur A mendapatkan fasilitas KPRuko untuk pembelian Rumah Toko X pada bulan Januari 2012. Pada saat KPRuko masih berjalan, debitur A mengajukan lagi fasilitas KPRukan untuk pembelian Rumah Kantor Y pada Juni 2013. Selanjutnya pada bulan Desember 2013, debitur A kembali mengajukan fasilitas KPR untuk Rumah Tapak Z dengan luas bangunan 48m2. Dalam hal ini perhitungan LTV adalah sebagai berikut : Properti
Fasilitas Kredit/Pembiayaan
LTV
Rumah Toko X
Pertama
Tidak dikenakan
Rumah Kantor Y
Kedua
70%
Rumah Tapak Z
Ketiga
60%
Contoh ...
Contoh 4 Nasabah A mendapatkan fasilitas KPR iB dengan akad murabahah untuk pembelian rumah tapak X dengan luas bangunan 100m2 pada bulan Januari 2012. Pada saat KPR masih berjalan, nasabah A mengajukan lagi KPR untuk pembelian apartemen Y dengan luas bangunan 60m2 pada bulan Juni 2013. Selanjutnya pada bulan Desember 2013, nasabah A kembali mengajukan KPR iB dengan akad MMQ untuk rumah toko Z. Dalam hal ini perhitungan LTV atau FTV adalah sebagai berikut: Properti
Fasilitas Kredit/pembiayaan
LTV/FTV
Rumah Tapak X
Pertama
70%
Apartemen Y
Kedua
70%
Rumah Toko Z
Ketiga
70%
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH DEPUTI GUBERNUR
LAMPIRAN II SURAT EDARAN BANK INDONESIA NO.15/40/DKMP TANGGAL 24 SEPTEMBER 2013 PERIHAL
PENERAPAN
MANAJEMEN
RISIKO
PADA BANK YANG MELAKUKAN PEMBERIAN KREDIT
ATAU
PROPERTI,
PEMBIAYAAN
KREDIT
ATAU
PEMILIKAN PEMBIAYAAN
KONSUMSI BERAGUN PROPERTI, DAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
PENETAPAN LTV ATAU FTV UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KONSUMSI BERAGUN PROPERTI
Pengaturan LTV atau FTV untuk Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti pada dasarnya sama dengan pengaturan LTV atau FTV untuk Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti yang perhitungannya disesuaikan dengan jenis agunannya.
Contoh 1 Debitur A bermaksud mengajukan kredit konsumsi dengan skema multiguna dan agunannya berupa Rumah Tapak dengan luas tanah 150m2. Pada saat kredit tersebut masih berjalan, debitur A mengajukan lagi pembiayaan konsumsi dengan akad murabahah dengan agunan berupa Rumah Susun dengan luas bangunan 75m2. Dalam hal ini, perhitungan LTV adalah sebagai berikut : Kredit/pembiayaan
Agunan
Fasilitas Kredit/
LTV/FTV
Pembiayaan Kredit Konsumsi –
Rumah
Multiguna
150m2
Pembiayaan Konsumsi – Rumah Murabahah
Tapak Pertama
70%
Susun Kedua
60%
75m2
Contoh ...
Contoh 2 Debitur A memiliki 2 unit Rumah Tapak sebagai berikut : Agunan
Luas Bangunan
Status KPR/KPR iB
Rumah Tapak 1
150m2
Lunas
Rumah Tapak 2
200m2
Baki debet Rp500.000.000,00
Debitur A memerlukan dana sehingga mengagunkan rumah tapak 1 untuk mendapatkan fasilitas kredit konsumsi dengan skema multiguna. Untuk memberikan fasilitas kredit konsumsi dengan skema multiguna tersebut, Bank melakukan penilaian ulang atas Rumah Tapak 1 sehingga diperoleh informasi bahwa harga agunan berdasarkan taksiran Bank adalah sebesar Rp1.000.000.000,00. Sesuai dengan Surat Edaran ini, total fasilitas kredit yang dapat diberikan bank menjadi sebagai berikut: a. Mengingat A masih memiliki fasilitas KPR untuk Rumah Tapak 2 yang masih berjalan, maka fasilitas kredit konsumsi dengan skema multiguna tersebut diperlakukan sebagai fasilitas kredit kedua. b. Kredit maksimum yang dapat diberikan untuk fasilitas kredit kedua adalah sebesar 60% x Rp1.000.000.000,00 = Rp600.000.000,00.
Contoh 3 Nasabah A memiliki 3 unit Properti yaitu rumah tapak, kondominium, dan rumah kantor sebagai berikut : Agunan
Luas Bangunan
Status KPR/KPR iB
Rumah Tapak
200m2
Lunas
Kondominium
100m2
Baki debet Rp3.000.000.000,00
Rumah Kantor
150m2
Baki debet Rp1.000.000.000,00
Nasabah A mengajukan fasilitas pembiayaan dengan akad IMBT untuk pembelian mobil mewah dengan mengagunkan rumah tapak. Untuk memberikan fasilitas pembiayaan konsumsi tersebut, Bank melakukan penilaian ulang atas rumah tapak sehingga diperoleh informasi bahwa harga
agunan
berdasarkan
taksiran
bank
adalah
sebesar
Rp2.000.000.000,00. Sesuai dengan Surat Edaran ini, total fasilitas pembiayaan yang dapat diberikan Bank menjadi sebagai berikut:
a. Fasilitas ...
a. Fasilitas
pembiayaan
konsumsi
diperlakukan
sebagai
fasilitas
untuk
fasilitas
pembiayaan ketiga. b. Pembiayaan
maksimum
yang
dapat
diberikan
pembiayaan ketiga adalah sebesar 60% x Rp2.000.000.000,00 = Rp1.200.000.000,00.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH DEPUTI GUBERNUR
LAMPIRAN III SURAT EDARAN BANK INDONESIA NO.15/40/DKMP TANGGAL 24 SEPTEMBER 2013 PERIHAL
PENERAPAN
MANAJEMEN
RISIKO
PADA BANK YANG MELAKUKAN PEMBERIAN KREDIT
ATAU
PROPERTI,
PEMBIAYAAN
KREDIT
ATAU
PEMILIKAN PEMBIAYAAN
KONSUMSI BERAGUN PROPERTI, DAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
PENETAPAN LTV ATAU FTV UNTUK PERJANJIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN YANG MENGIKAT LEBIH DARI 1 (SATU) PROPERTI PADA SAAT BERSAMAAN DAN/ATAU BEBERAPA PERJANJIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN TERHADAP BEBERAPA PROPERTI DI TANGGAL YANG SAMA
Contoh 1 Seluruh properti yang dibeli berupa rumah tapak dengan luas bangunan di atas 70m2. 1. Debitur A bermaksud membeli 5 (lima) unit Rumah Tapak sekaligus melalui KPR atau KPR iB dengan akad murabahah atau akad istishna’ dengan 1 perjanjian kredit sebagai berikut: Unit
Luas Bangunan
Nilai Agunan (Rp) 180.000.000
I
90m2
II
100m2
200.000.000
III
75m2
150.000.000
IV
80m2
160.000.000
V
120m2
240.000.000
2. Berdasarkan hasil penilaian, maka urutan fasilitas kredit atau pembiayaan yang harus ditetapkan Bank adalah III, IV, I, II dan V.
3. Atas ...
3. Atas dasar urutan tersebut di atas, apabila debitur A tidak memiliki Kredit
atau
Pembiayaan
Pemilikan
Properti
atau
Kredit
atau
Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti lainnya yang sedang berjalan, maka perhitungan LTV atau FTV ditetapkan sebagai berikut: Unit
Kategori
Maksimum LTV/FTV
III
Fasilitas kredit/pembiayaan pertama dan luas
70%
bangunan di atas 70m2 IV
Fasilitas kredit/pembiayaan kedua dan luas
60%
bangunan di atas 70m2 I
Fasilitas kredit/pembiayaan ketiga dan luas
50%
bangunan di atas 70m2 II
Fasilitas kredit/pembiayaan keempat dan luas
50%
bangunan di atas 70m2 V
Fasilitas kredit/pembiayaan kelima dan luas
50%
bangunan di atas 70m2
4. Apabila debitur telah memiliki Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti atau Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti lainnya (baik di Bank yang sama maupun berbeda Bank), maka penetapan urutan fasilitas kredit atau pembiayaannya dimulai setelah urutan kredit atau pembiayaan sebelumnya. Contoh : Debitur A pada saat pengajuan kredit atau pembiayaan untuk membiayai pembelian rumah
di angka 1, sebelumnya telah
memiliki 1 (satu) fasilitas KPR yang masih berjalan untuk sebuah rumah. Oleh karena itu, maka perhitungan LTV atau FTV ditetapkan sebagai berikut: Unit
Kategori
Maksimum LTV/FTV
III
Fasilitas kredit/pembiayaan kedua dan luas
60%
bangunan di atas 70m2 IV
Fasilitas kredit/pembiayaan ketiga dan luas bangunan di atas 70m2
50%
I
Fasilitas kredit/pembiayaan keempat dan luas
50%
bangunan di atas 70m2 II
Fasilitas kredit/pembiayaan kelima dan luas
50%
bangunan di atas 70m2 V
Fasilitas kredit/pembiayaan keenam dan luas
50%
bangunan di atas 70m2 5. Perhitungan LTV atau FTV sebagaimana dijelaskan di atas juga berlaku apabila pembelian Rumah Tapak diikat oleh perjanjian kredit yang terpisah dan dilakukan di tanggal yang sama.
Contoh 2 Seluruh Properti yang dibeli berupa Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 sampai dengan 70m2. 1. Debitur B bermaksud membeli 5 (lima) unit Rumah Tapak sekaligus melalui KPR atau KPR iB dengan akad murabahah atau akad istishna’ sebagai berikut: Unit
Luas Bangunan
I
60m2
Nilai Agunan (Rp) 120.000.000
II
45m2
90.000.000
III
22m2
45.000.000
IV
70m2
140.000.000
V
56m2
105.000.000
2. Berdasarkan hasil penilaian, maka urutan fasilitas kredit atau pembiayaan yang harus ditetapkan Bank adalah III, II, V, I dan IV. 3. Atas dasar urutan tersebut di atas, apabila debitur B tidak memiliki Kredit
atau
Pembiayaan
Pemilikan
Properti
atau
Kredit
atau
Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti lainnya yang sedang berjalan, maka perhitungan LTV atau FTV ditetapkan sebagai berikut: Unit
Kategori
Maksimum LTV/FTV
III
Fasilitas kredit/pembiayaan pertama dan luas bangunan 22m2 sampai dengan 70m2
-
II
Fasilitas kredit/pembiayaan kedua dan luas
70%
bangunan 22m2 sampai dengan 70m2 V
Fasilitas kredit/pembiayaan ketiga dan luas
60%
bangunan 22m2 sampai dengan 70m2 I
Fasilitas kredit/pembiayaan keempat dan luas
60%
bangunan 22m2 sampai dengan 70m2 IV
Fasilitas kredit/pembiayaan kelima dan luas
60%
bangunan 22m2 sampai dengan 70m2
4. Apabila debitur telah memiliki Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti atau Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti lainnya (baik di Bank yang sama maupun berbeda Bank), maka penetapan urutan fasilitas kredit atau pembiayaannya dimulai setelah urutan kredit atau pembiayaan sebelumnya. Contoh : Debitur B pada saat pengajuan kredit atau pembiayaan untuk membiayai pembelian rumah
di angka 1, sebelumnya telah
memiliki 1 (satu) fasilitas KPR yang masih berjalan untuk sebuah rumah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perhitungan LTV atau FTV ditetapkan sebagai berikut: Unit
Kategori
Maksimum LTV/FTV
III
Fasilitas kredit/pembiayaan kedua dan
70%
luas bangunan sampai dengan 70m2 II
Fasilitas kredit/pembiayaan ketiga dan
60%
luas bangunan sampai dengan 70m2 V
Fasilitas kredit/pembiayaan keempat dan
60%
luas bangunan sampai dengan 70m2 I
Fasilitas kredit/pembiayaan kelima dan
60%
luas bangunan sampai dengan 70m2 IV
Fasilitas kredit/pembiayaan keenam dan
60%
luas bangunan sampai dengan 70m2
5. Perhitungan ...
5. Perhitungan LTV atau FTV sebagaimana dijelaskan di atas juga berlaku apabila pembelian Rumah Tapak diikat oleh perjanjian kredit yang terpisah dan dilakukan di tanggal yang sama.
Contoh 3 Seluruh properti yang dibeli berupa Rumah Tapak dengan luas bangunan yang bervariasi. 1. Debitur C bermaksud membeli 5 (lima) unit rumah tapak sekaligus melalui KPR atau KPR iB dengan akad murabahah atau akad istishna’ sebagai berikut: Unit
Luas Bangunan
I
150m2
Nilai Agunan (Rp) 300.000.000
II
75m2
150.000.000
III
48m2
100.000.000
IV
110m2
220.000.000
V
70m2
140.000.000
2. Berdasarkan hasil penilaian, maka urutan fasilitas kredit atau pembiayaan yang harus ditetapkan Bank adalah III, V, II, IV dan I. 3. Atas dasar urutan tersebut di atas, apabila debitur C tidak memiliki Kredit
atau
Pembiayaan
Pemilikan
Properti
atau
Kredit
atau
Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti lainnya yang sedang berjalan, maka perhitungan LTV atau FTV ditetapkan sebagai berikut : Unit
Kategori
Maksimum LTV/FTV
III
Fasilitas kredit/pembiayaan pertama dan luas
-
bangunan 22m2 sampai dengan 70m2 V
Fasilitas kredit/pembiayaan kedua dan luas
70%
bangunan 22m2 sampai dengan 70m2 II
Fasilitas kredit/pembiayaan ketiga dan luas
50%
bangunan di atas 70m2 IV
Fasilitas kredit/pembiayaan keempat dan luas bangunan di atas 70m2
50%
I
Fasilitas kredit/pembiayaan kelima dan luas
50%
bangunan di atas 70m2
4. Apabila debitur telah memiliki Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti atau Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti lainnya (baik di Bank yang sama maupun berbeda Bank), maka penetapan urutan fasilitas kredit atau pembiayaannya dimulai setelah urutan kredit atau pembiayaan sebelumnya. Contoh : Debitur C pada saat pengajuan kredit atau pembiayaan untuk membiayai pembelian rumah
di angka 1, sebelumnya telah
memiliki 1 (satu) fasilitas KPR yang masih berjalan untuk sebuah rumah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perhitungan LTV atau FTV ditetapkan sebagai berikut: Unit
Kategori
Maksimum LTV/FTV
III
Fasilitas kredit/pembiayaan kedua dan luas
70%
bangunan sampai dengan 70m2 V
Fasilitas kredit/pembiayaan ketiga dan luas
60%
bangunan sampai dengan 70m2 II
Fasilitas kredit/pembiayaan keempat dan luas
50%
bangunan di atas 70m2 IV
Fasilitas kredit/pembiayaan kelima dan luas
50%
bangunan di atas 70m2 I
Fasilitas kredit/pembiayaan keenam dan luas
50%
bangunan di atas 70m2
5. Perhitungan LTV atau FTV sebagaimana dijelaskan di atas juga berlaku apabila pembelian Rumah Tapak diikat oleh perjanjian kredit yang terpisah dan dilakukan di tanggal yang sama.
Contoh ...
Contoh 4 Seluruh properti yang dibeli berupa apartemen dengan luas bangunan yang bervariasi. 1. Nasabah D bermaksud membeli 5 (lima) unit apartemen sekaligus melalui KPR iB dengan akad MMQ atau akad IMBT sebagai berikut: Unit
Luas Bangunan
I
21m2
Nilai Agunan (Rp) 200.000.000
II
70m2
700.000.000
III
70m2
700.000.000
IV
90m2
900.000.000
V
90m2
900.000.000
2. Berdasarkan hasil penilaian, maka urutan fasilitas pembiayaan yang harus ditetapkan Bank adalah I, II, III, IV dan V. 3. Atas dasar urutan tersebut di atas, apabila nasabah D tidak memiliki Kredit
atau
Pembiayaan
Pemilikan
Properti
atau
Kredit
atau
Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti lainnya yang sedang berjalan, maka perhitungan FTV ditetapkan sebagai berikut: Unit
Kategori
Maksimum LTV / FTV
I
Fasilitas
pembiayaan
pertama
dan
luas
-
bangunan sampai dengan 21m2 II
Fasilitas pembiayaan kedua dan luas bangunan
80%
22m2 sampai dengan 70m2 III
Fasilitas pembiayaan ketiga dan luas bangunan
70%
22m2 sampai dengan 70m2 IV
Fasilitas
pembiayaan
keempat
dan
luas
60%
Fasilitas pembiayaan kelima dan luas bangunan
60%
bangunan di atas 70m2 V
di atas 70m2
4. Apabila debitur telah memiliki Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti atau Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti lainnya (baik di Bank yang sama maupun berbeda Bank), maka
penetapan ...
penetapan urutan fasilitas pembiayaannya dimulai setelah urutan kredit atau pembiayaan sebelumnya. Contoh : Nasabah D pada saat pengajuan pembiayaan untuk membiayai pembelian apartemen di angka 1, sebelumnya telah memiliki 1 (satu) fasilitas KPR yang masih berjalan untuk sebuah rumah tapak. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perhitungan FTV ditetapkan sebagai berikut: Unit
Kategori
Maksimum LTV/FTV
I
Fasilitas pembiayaan kedua dan luas bangunan
80%
sampai dengan 21m2 II
Fasilitas pembiayaan ketiga dan luas bangunan
70%
22m2 sampai dengan 70m2 III
Fasilitas
pembiayaan
keempat
dan
luas
70%
Fasilitas pembiayaan kelima dan luas bangunan
60%
bangunan 22m2 sampai dengan 70m2 IV
di atas 70m2 V
Fasilitas
pembiayaan
keenam
dan
luas
60%
bangunan di atas 70m2
5. Perhitungan FTV sebagaimana dijelaskan di atas juga berlaku apabila pembelian apartemen diikat oleh perjanjian kredit yang terpisah dan dilakukan di tanggal yang sama.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH DEPUTI GUBERNUR
LAMPIRAN IV SURAT EDARAN BANK INDONESIA NO.15/40/DKMP TANGGAL 24 SEPTEMBER 2013 PERIHAL
PENERAPAN
MANAJEMEN
RISIKO
PADA BANK YANG MELAKUKAN PEMBERIAN KREDIT PROPERTI,
ATAU
PEMBIAYAAN
KREDIT
ATAU
PEMILIKAN PEMBIAYAAN
KONSUMSI BERAGUN PROPERTI, DAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
Contoh 1 Pada bulan Juni 2013, Bapak A bermaksud mengajukan KPRS di Bank Z untuk membeli Rumah Susun berupa apartemen dengan luas 80m2 senilai Rp1.000.000.000,00. Atas pengajuan KPRS tersebut, Bank Z melakukan pengecekan pada Sistem Informasi Debitur untuk memperoleh informasi terkait fasilitas kredit atau pembiayaan yang telah diperoleh baik Bapak A maupun istrinya yaitu Ibu B sehingga diperoleh informasi sebagai berikut: Agunan
Bank
Debitur
Tanggal Perjanjian Kredit
Rumah Tapak 1
X
A
10 Juli 2011
Rumah Tapak 2
Y
B
16 Februari 2012
Informasi tambahan dari Bapak A : tidak terdapat perjanjian pemisahan harta antara Bapak A dan Ibu B.
Sesuai dengan Surat Edaran ini, Bank Z menetapkan hal-hal sebagai berikut : a. Bapak A dan Ibu B diperlakukan sebagai 1 debitur. b. Terhadap KPR dari Bank X atas nama Bapak A diperlakukan sebagai fasilitas kredit pertama. c. Terhadap KPR dari Bank Y atas nama Ibu B diperlakukan sebagai fasilitas kredit kedua.
d. KPRS ...
d. KPRS atas nama Bapak A diperlakukan sebagai fasilitas kredit ketiga dengan
LTV
maksimal
sebesar
50%
x
Rp1.000.000.000,00
=
Rp500.000.000,00.
Contoh 2 Debitur A mendapatkan fasilitas KPR untuk pembelian rumah tapak X dengan luas bangunan 100m2 pada bulan Januari 2011 sebesar Rp700.000.000,00 (70% dari nilai agunan sebesar Rp1.000.000.000,00). Pada bulan Januari 2013, baki debet debitur A adalah sebesar Rp600.000.000,00. Untuk memberikan tambahan fasilitas kredit tersebut, bank melakukan penilaian ulang sehingga diperoleh informasi bahwa nilai agunan adalah sebesar Rp1.200.000.000,00 berdasarkan taksiran bank. Sesuai dengan Surat Edaran ini, total fasilitas kredit atau pembiayaan yang dapat diberikan bank menjadi sebagai berikut: a. Nilai agunan ditetapkan sebesar Rp1.200.000.000,00. b. Tambahan fasilitas kredit (top up) diperlakukan sebagai fasilitas kredit kedua. c. Perhitungan maksimum LTV untuk fasilitas kredit kedua adalah sebesar 60% x Rp1.200.000.000,00 = Rp720.000.000,00. Tambahan
fasilitas
kredit
yang
diterima
oleh
debitur
A
adalah
Rp720.000.000,00 – Rp600.000.000,00 = Rp120.000.000,00.
Contoh 3 Pada bulan Juni 2013, A bermaksud membeli rumah susun berupa apartemen dengan luas 80m2 senilai Rp1.000.000.000. Sehubungan dengan pembelian tersebut, A telah melakukan perikatan jual beli dengan pihak pengembang dan telah menyerahkan uang muka. Berdasarkan perikatan jual beli tersebut, A mengajukan fasilitas KPRS kepada Bank sebesar Rp700.000.000 (70% x Rp1.000.000.000). Atas pengajuan KPRS dari A, Bank melakukan pengecekan dan diperoleh informasi sebagai berikut :
a. Berdasarkan ...
a. Berdasarkan pernyataan A yang diverifikasi dengan data Sistem Informasi Debitur, A pada saat pengajuan KPRS sedang menikmati fasilitas
KPR
dari
bank
lain
dengan
baki
debet
sebesar
Rp500.000.000,00. Oleh karena itu, apabila permohonan KPRS dari A disetujui, maka KPRS merupakan fasilitas KPP yang kedua bagi A. b. Pembangunan apartemen akan dimulai pada bulan Desember 2013. c. Serah terima unit apartemen akan dilakukan pada bulan Juli 2016. Berdasarkan informasi tersebut, mengingat nantinya KPRS yang diajukan A
akan
menjadi
fasilitas
KPP
kedua
bagi
A,
maka
Bank
tidak
diperkenankan memberikan fasilitas KPRS dimaksud kepada A sampai dengan fisik apartemen telah tersedia atau fasilitas kredit pertama lunas.
Contoh 4 Pada bulan Juni 2013, A bermaksud membeli rumah susun berupa apartemen dengan luas 80m2 senilai Rp1.000.000.000,00. Sehubungan dengan pembelian tersebut, A telah melakukan perikatan jual beli dengan pihak pengembang dan telah menyerahkan uang muka. Berdasarkan perikatan jual beli tersebut, A mengajukan fasilitas KPRS kepada Bank sebesar Rp700.000.000,00 (70% x Rp1.000.000.000,00). Atas pengajuan KPRS dari A, Bank melakukan pengecekan dan diperoleh informasi sebagai berikut : a. Pembangunan apartemen akan dimulai pada bulan Desember 2013. b. Serah terima unit apartemen akan dilakukan pada bulan Juli 2016. c. A pernah mendapatkan fasilitas KPR dari bank lain yang statusnya sudah lunas. Selain fasilitas KPR tersebut, A belum pernah memiliki fasilitas kredit/pembiayaan lainnya. Mengingat unit apartemen yang dijadikan agunan belum tersedia secara utuh (masih inden), maka Bank memastikan bahwa pengajuan KPRS oleh A memenuhi persyaratan yang diperlukan yang salah satunya adalah fasilitas KPRS tersebut merupakan fasilitas KPP yang pertama bagi A. Berdasarkan informasi tersebut di atas, mengingat fasilitas KPR dari bank lain sudah lunas, maka saat ini A tidak memiliki fasilitas KPP/KPP iB yang sedang berjalan. Oleh karena itu, apabila fasilitas KPRS yang
diajukan ...
diajukan A disetujui oleh Bank, maka fasilitas dimaksud akan menjadi fasilitas KPP yang pertama bagi A. Dalam hal ini, Bank diperkenankan memberikan fasilitas KPRS dimaksud kepada A sepanjang persyaratan lain dalam pemberian fasilitas KPP/KPP iB dengan Properti yang dijadikan agunan belum tersedia secara utuh telah terpenuhi.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH DEPUTI GUBERNUR
FREQUENTLY ASKED QUESTIONS Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 Perihal: Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Ketentuan Mengenai Loan To Value (LTV) / Financing To Value (FTV) dan Down Payment (DP))
NO. PERTANYAAN JAWABAN LTV/FTV untuk Kredit/Pembiayaan Pemilikan Properti (KPP/KPP iB yang terdiri dari KPR/KPR iB, KPRS/KPRS iB, KPRuko/KPRuko iB, dan KPRukan/KPRukan iB) dan Kredit/Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti (KKBP/KKBP iB) Latar Belakang 1.
Apa alasan perlunya penyesuaian Penyesuaian ketentuan diperlukan untuk lebih ketentuan Loan to Value meningkatkan aspek kehati-hatian bank dalam penyaluran (LTV)/Financing to Value (FTV)? kredit terkait properti. Hal ini dilakukan antara lain dengan pertimbangan kondisi sebagai berikut : • Ketentuan LTV maksimal bagi Kredit Pemilikan Rumah (KPR)/Kredit Pemilikan Rumah Susun (KPRS) telah berlaku sejak 15 Juni 2012, namun pertumbuhan KPR/KPRS tipe >70m2 masih tinggi masing-masing mencapai 25,5% dan 63,3% di Juli 2013, jauh di atas pertumbuhan kredit secara agregat. • Berdasarkan data Sistem Informasi Debitur (SID) per April 2013, terdapat 35.298 debitur yang memiliki lebih dari 1 KPR dengan nilai baki debet sebesar Rp 31,8 Triliun. Cakupan Pengaturan
2.
Apakah ketentuan ini juga berlaku Ya. Ketentuan ini berlaku baik untuk Bank Umum untuk Bank Umum Syariah (BUS) Konvensional maupun BUS dan UUS menggantikan dan Unit Usaha Syariah (UUS)? ketentuan sebelumnya. Dengan demikian : •
SE BI No.14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor; serta
SE BI No.14/33/DPbS tanggal 27 November 2012 perihal Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. •
1
3.
Mengapa ketentuan LTV/FTV yang • Pengenaan ketentuan LTV/FTV terhadap KP Ruko/KPRuko baru juga mencakup Kredit iB dan KPRukan/KPRukan iB adalah untuk mengurangi Pemilikan Rumah Toko risiko bank karena tingginya pertumbuhan (KPRuko/KPRuko iB) dan Kredit kredit/pembiayaan KPRuko/KPRuko iB dan KP Pemilikan Rumah Kantor Rukan/KPRukan iB. (KPRukan/KPRukan iB)? • Mengingat Ruko dan Rukan memiliki sifat produktif maka fasilitas KPRuko/KPRuko iB dan KPRukan/KPRukan iB pertama dikecualikan dari ketentuan dan hanya dikenakan untuk fasilitas KPRuko/KPRuko iB dan KPRukan/KPRukan iB kedua dan seterusnya dengan rasio LTV yang masih lebih ringan dibandingkan KPR/KPR iB dan KPRS/KPRS iB tipe > 70m2.
4.
Mengapa ketentuan LTV/FTV yang • Berdasarkan monitoring Bank Indonesia diketahui bahwa baru juga mencakup kredit kredit konsumsi beragun properti antara lain juga konsumsi beragun properti? digunakan untuk pembelian properti lainnya (properti yang dibeli dengan pembiayaan dari bank dijamin dengan agunan properti yang lain). Selain itu, pertumbuhan kredit multiguna (kredit konsumsi beragun properti termasuk kredit multiguna karena dapat dipergunakan untuk macam-macam tujuan) selama beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi. • Pertumbuhan pada kredit/pembiayaan konsumsi beragun properti yang cukup tinggi berpotensi meningkatkan risiko bagi perbankan terutama terkait siklus boom and bust dari harga properti.
5.
Bagaimana praktek pembiayaan Berdasarkan prinsip syariah, setiap pembiayaan termasuk konsumsi beragun properti di pembiayaan konsumsi harus memiliki tujuan peruntukkan, perbankan syariah? misalnya pembiayaan untuk pembelian rumah, mobil, pendidikan, dan lain-lain. Adapun agunan merupakan hal lain yang sifatnya prudential sehingga pembiayaan konsumsi tersebut kemudian diberikan bank dengan agunan yang dapat berupa properti yang bukan merupakan objek pembiayaan.
6.
Apakah pembeli nonperorangan Ya. Pembeli nonperorangan, misalnya perusahaan, lembaga juga dikenakan ketentuan ini? dan badan hukum lainnya, juga dikenakan ketentuan ini.
2
7.
Mengapa ketentuan LTV/FTV yang • KPR/KPR iB tipe 22-70m2 masih dikecualikan dari baru diberlakukan juga terhadap pengenaan rasio LTV/FTV untuk fasilitas kredit pertama. 2 KPR/KPR iB tipe 22- 70m dan Namun untuk mencegah risiko perbankan, maka KPRS/KPRS iB <70m2? ketentuan LTV/FTV terhadap KPR/KPR iB tipe 22-70m2 diberlakukan untuk fasilitas kedua dan seterusnya. • Untuk KPRS/KPRS iB tipe 22-70m2 diberlakukan untuk semua fasilitas kredit, sedangkan untuk KPRS/KPRS iB tipe<22m2 diberlakukan untuk fasilitas kedua dan seterusnya, karena berdasarkan monitoring Bank Indonesia KPRS <70m2 mengalami pertumbuhan yang tinggi pada beberapa bulan terakhir.
8.
Apakah rumah panggung Ya. Rumah panggung dan tipe rumah lain yang sejenis dapat termasuk dalam pengaturan ini? dianggap sebagai rumah tapak sepanjang dapat dibuktikan kepemilikannya merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan.
9.
Apakah ketentuan ini juga berlaku bagi kredit/pembiayaan program kesejahteraan pengawai yang diberikan bank/perusahaan kepada karyawan (House Ownership Program)?
Ya, sepanjang kredit/pembiayaan tersebut diberikan dengan beragunkan properti, maka ketentuan ini juga berlaku, kecuali kredit/pembiayaan program kesejahteraan pegawai tersebut tersebut dijamin oleh gaji karyawan, bukan properti.
Agunan dan Perhitungan LTV/FTV 10.
Mengapa Bank Indonesia (BI) dalam menetapkan besarnya LTV/FTV menggunakan ukuran luas rumah dan tidak menggunakan harga nominal rumah sebagai acuan?
• Penggunaan harga nominal tertentu sebagai acuan dinilai kurang tepat mengingat terdapat disparitas harga di masing-masing wilayah. Selain itu kebijakan tersebut memerlukan pengkinian harga yang menjadi acuan ketentuan dari waktu ke waktu. Hal tersebut menyebabkan proses monitoring dan upaya penegakkan kebijakan menjadi tidak efisien. • Penggolongan rumah berdasarkan ukuran luas telah digunakan sebagai standar dalam pelaporan bank ke Bank Indonesia, sehingga memudahkan pelaksanaan monitoring dan penegakan kebijakan.
11.
Untuk KPRS/KPRS iB, apakah Luas yang digunakan adalah luas seluruh kesatuan unit (luas mengacu pada luas bersih atau kotor). luas kotor dari bangunan? 3
12.
Apa yang dimaksud dengan Properti yang telah tersedia secara utuh adalah properti Properti yang dijadikan agunan yang sudah terlihat wujud fisiknya sesuai yang diperjanjikan tersedia secara utuh? dan siap diserahterimakan.
13.
Apakah yang dimaksud dengan Yang dimaksud dengan nilai taksiran agunan properti setinggi-tingginya adalah sebesar nilai pasar properti pada nilai taksiran agunan properti. saat penilaian dilakukan.
14.
Mengapa pembiayaan Properti • Mengandung prinsip sharing atas risiko yang merupakan dengan akad MMQ dan IMBT jiwa ekonomi syariah. dikenakan pengaturan yang lebih • Mendorong produk MMQ dan IMBT pada perbankan ringan dari pembiayaan Properti syariah sehingga tidak didominasi Murabahah. Kebijakan dengan akad murabahah atau untuk mendorong pembiayaan di luar Murabahah juga istishna’? sudah dilakukan antara lain dalam ketentuan penilaian kualitas aktiva dan restrukturisasi untuk pembiayaan Musyarakah/Mudharabah. • Produk MMQ dan IMBT yang memungkinkan adanya penurunan harga (repricing) pada saat pembiayaan berjalan memberikan keuntungan kepada nasabah dan bank sehingga produk tersebut menjadi lebih kompetitif.
15.
Penetapan Urutan Fasilitas Kredit/Pembiayaan Bila debitur memiliki KPR/KPR iB atau KPRS/KPRS iB yang sudah lunas dan mengajukan KPR/KPR iB atau KPRS/KPRS iB untuk rumah berikutnya, apakah KPR/KPR iB atau KPRS/KPRS iB yang diajukan ini merupakan fasilitas kredit kedua?
Bukan. Penentuan urutan fasilitas kredit dilakukan dengan memperhitungkan seluruh fasilitas kredit/pembiayaan pemilikan properti (KPR/KPR iB, KPRS/KPRS iB, KPRuko/KPRuko iB, KPRukan/KPRukan iB, dan Kredit Konsumsi Beragun Properti) yang masih outstanding dan berdasarkan urutan waktu pemberian fasilitas, bukan berdasarkan rumah yang dimiliki.
16.
Apakah fasilitas pembiayaan dari perbankan syariah juga mempengaruhi urutan fasilitas kredit/pembiayaan?
Ya. Fasilitas pembiayaan dari perbankan syariah juga mempengaruhi urutan fasilitas kredit/pembiayaan. Contoh: fasilitas pertama dari Bank Konvensional ABC, fasilitas kedua dari Bank Syariah DEF, dan fasilitas ketiga dari Bank Konvensional XYZ.
17.
Bagaimana penentuan FTV untuk akad MMQ/IMBT yang merupakan salah satu fasilitas kredit/pembiayaan yang diterima nasabah?
Penentuan FTV untuk akad MMQ/IMBT mengikuti urutan fasilitas pembiayaan tersebut. Contoh: jika pembiayaan MMQ/IMBT merupakan fasilitas ketiga maka LTV yang berlaku adalah 60% (untuk KPR iB Tipe >70m2).
4
18.
Bagaimana bank dapat mengetahui fasilitas kredit/pembiayaan pemilikan properti yang diterima debitur dari bank lain?
Bank dapat mengetahui fasilitas kredit/pembiayaan pemilikan properti yang diterima debitur dari bank lain melalui surat pernyataan debitur dan Sistem Informasi Debitur (SID).
19.
Apakah ketentuan ini juga berlaku bagi pengambilalihan kredit (take over) KPR oleh bank dari bank lain? Bagaimana dengan penetapan LTV-nya?
Ya, ketentuan ini juga berlaku bagi pengambilalihan kredit (take over) KPR oleh bank lain. Bila debitur hanya memiliki satu KPR, maka take over KPR ini masih tetap menjadi KPR pertama karena KPR di bank lama menjadi hilang. Bila take over tersebut dibarengi dengan Top Up berdasarkan nilai properti saat ini, maka terdapat dua fasilitas yang terkena ketentuan ini, yaitu fasilitas KPR take over sebagai fasilitas pertama dan fasilitas kredit karena Top Up sebagai fasilitas berikutnya.
Kredit/Pembiayaan Pemilikan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh 20.
Apakah bank diperkenankan memberikan fasilitas KPP/KPP iB debitur di mana unit properti yang dibeli dan menjadi agunan belum tersedia secara utuh/ belum selesai dibangun?
Bank hanya dapat memberikan fasilitas KPP/KPP iB di mana unit properti yang dibeli dan menjadi agunan belum tersedia secara utuh/ belum selesai dibangun sepanjang KPP/KPP iB tersebut merupakan fasilitas kredit yang pertama. Dengan demikian, apabila debitur/nasabah sudah memiliki KPP/KPP IB dan/atau KKBP/KKBP iB sebelumnya yang masih berjalan (outstanding), maka KPP/KPP iB hanya dapat diberikan oleh bank bila properti yang akan dibiayai dan dijadikan agunan sudah selesai dibangun dan siap diserahterimakan. Selain itu, bank juga wajib memenuhi persyaratan lain dalam rangka prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam ketentuan ini.
5
21.
Dalam rangka pengajuan KPP/KPP iB atas unit properti yang belum tersedia secara utuh/belum selesai dibangun, jika calon debitur/nasabah sebelumnya pernah mendapatkan fasilitas KPP/KPP iB dan/atau KKBP/KKBP iB dari bank yang sama maupun bank yang lain yang statusnya sudah lunas, apakah fasilitas KPP/KPP iB yang baru tersebut diperlakukan sebagai fasilitas kredit/pembiayaan pertama?
Ya. Apabila calon debitur/nasabah pernah memiliki fasilitas KPP/KPP iB dan/atau KKBP/KKBP iB dari bank yang sama maupun bank yang lain yang statusnya sudah lunas, maka fasilitas yang baru diperlakukan sebagai fasilitas kredi/pertama. Selain itu, bank juga harus memenuhi persyaratan lain dalam rangka prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam ketentuan ini.
22.
Apa yang dimaksud dengan “pencairan fasilitas KPP atau KPP iB hanya dapat dilakukan secara bertahap sesuai perkembangan pembangunan Properti yang menjadi agunan” ?
Ketentuan ini berlaku bagi Bank yang memberikan fasilitas KPP atau KPP iB di mana Properti yang dijadikan agunan belum tersedia secara utuh (inden). Dengan ketentuan ini, bank hanya dapat mencairkan fasilitas KPP atau KPP iB sesuai perkembangan pembangunan properti. • Bila properti yang dibangun baru mencapai 0% (nol persen), bank tidak diperkenankan mencairkan fasilitas KPP atau KPP iB dimaksud. • Bila progres pembangunan properti baru mencapai 50%, maka fasilitas KPP atau KPP iB yang dapat dicairkan adalah setinggi-tingginya sebesar 50% dari total fasilitas fasilitas KPP atau KPP iB.
Top Up 23.
Apakah ketentuan top up juga Tidak. Hal ini berdasarkan prinsip syariah bahwa dalam berlaku bagi BUS dan UUS? setiap pembiayaan harus terdapat underlying asset. Namun nasabah BUS/UUS dapat menggunakan sisa nilai agunan Properti tersebut sebagai agunan untuk pembiayaan baru.
6
24.
Cut Off Pemberlakuan Ketentuan Bila debitur mengajukan permohonan kredit/pembiayaan pemilikan properti sebelum tanggal berlakunya ketentuan, apakah akan terhindar dari ketentuan baru?
Seluruh perjanjian kredit/pembiayaan yang ditandatangani oleh bank dan debitur sejak tanggal berlakunya ketentuan ini harus mengacu pada SE ini meskipun diajukan sebelum 30 September 2013.
DP untuk Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor (KKB/KKB iB) Cakupan Pengaturan 25.
Apakah ketentuan ini juga berlaku Ya. Ketentuan ini berlaku baik untuk Bank Umum untuk Bank Umum Syariah (BUS) Konvensional maupun BUS dan UUS. dan Unit Usaha Syariah (UUS)?
26.
Apakah kredit/pembiayaan Tidak. Yang dimaksud dengan KKB dalam ketentuan ini dengan agunan kendaraan adalah kredit/pembiayaan pembelian kendaraan bermotor, bermotor, terkena ketentuan ini? sehingga kredit/pembiayaan dengan agunan berupa kendaraan bermotor tidak termasuk dalam cakupan KKB yang diatur dalam ketentuan ini.
27.
Bagaimana dengan pembelian Ya, pembelian kendaraan bekas juga termasuk yang diatur kendaraan bekas, apakah oleh ketentuan ini. termasuk yang diatur oleh ketentuan ini?
28.
Bagaimana dengan transaksi Asset purchase berupa KKB/KKB iB oleh bank tidak termasuk pembelian aset (asset purchase) yang diatur dalam ketentuan ini. oleh bank dalam hal ini aset KKB/KKB iB dari Perusahaan Pembiayaan (PP), apakah termasuk dalam cakupan KKB yang diatur dalam ketentuan ini?
29.
Apakah ketentuan ini juga berlaku bagi kredit program kesejahteraan pengawai (COP/Car Ownership Program) yang diberikan bank/perusahaan kepada karyawan?
Fasilitas pinjaman kepegawaian tersebut tidak termasuk dalam cakupan KKB yang diatur dalam ketentuan ini, sepanjang kredit tersebut telah diatur dalam ketentuan internal perusahaan dan merupakan fasilitas kesejahteraan kepegawaian yang berlaku kepada semua pegawai sesuai dengan jenjangnya, serta bank dapat menunjukkan bukti kerjasama dengan perusahaan tersebut.
7
30.
31.
Penetapan/Perhitungan DP Apakah DP yang dimaksud dalam Yang dimaksud DP dalam ketentuan ini tidak termasuk biaya ketentuan ini termasuk biaya administrasi, asuransi, fee, komisi atau biaya lain yang tidak administrasi, asuransi, fee dan merupakan bagian dari kredit tersebut. lain-lain (DP bruto) yang dibayar oleh debitur? Apakah harga kendaraan disini harga on the road atau off the road? Untuk pinjaman Bank yang disalurkan kembali oleh PP (Loan Channeling), ketentuan DP yang mana yang berlaku?
Harga dalam ketentuan ini adalah harga on the road.
33.
Ketentuan DP mana yang berlaku bila pembiayaan kendaraan bermotor diberikan oleh PP dengan sumber dana berasal dari bank berupa kredit modal kerja kepada perusahaan pembiayaan? dalam hal ini dilaporkan dengan jenis kredit – “kredit kepada pihak ketiga melalui lembaga lain secara executing” pada LBU
Apabila pembiayaan dilakukan dengan kerjasama antara bank dan PP dengan pola executing, yaitu pinjaman yang diberikan dari bank kepada PP yang kemudian diteruspinjamkan kepada nasabah, dimana dalam pola ini risiko kredit menjadi risiko PP seluruhnya, maka ketentuan DP yang berlaku adalah ketentuan DP Bapepam LK/OJK.
34.
Bagaimana penghitungan DP KKB/KKB iB bila pembiayaan kendaraan bermotor dibiayai bersama-sama oleh Bank dan PP (joint financing), dalam hal ini dilaporkan dengan jenis kredit – “kredit dalam rangka pembiayaan bersama (sindikasi)” pada LBU
Pembiayaan KKB/KKB iB yang dilakukan bersama-sama oleh bank dan PP (joint financing) pada prinsipnya pengaturan DP dilakukan secara proporsional mengikuti besaran exposure bank maupun PP. Contoh: bila exposure pembiayaan bank dibandingkan PP adalah 90% : 10%, maka pengaturan DP untuk kendaraan roda-2 yang disalurkan dengan dana Joint financing ini adalah: (90 x 25%) + (10 x 20%) = 24,5%. (Catatan : sesuai ketentuan, DP minimal kendaraan roda-2 di PP adalah 20%, di bank adalah 25%).
32.
Dalam praktek pembiayaan KKB/KKB iB memang terdapat beberapa pola kerjasama yang salah satunya adalah pola channeling, yaitu pinjaman yang diberikan dari bank kepada nasabah melalui PP yang bertindak sebagai “agen”. Dalam pola ini risiko kredit menjadi risiko bank. Sehingga ketentuan DP KKB yang diterapkan adalah ketentuan BI.
8
35.
36.
37.
Pembayaran DP KKB/KKB iB dengan diskon, misalnya harga motor Rp.10 jt, DP Rp. 2,5jt, namun dealer memberikan diskon DP sebesar Rp500 rb sehingga yang dibayar oleh nasabah hanya Rp2juta. Dalam perjanjian kredit yang tercantum adalah harga motor Rp.10 jt, DP Rp. 2,5jt. Berapa nilai motor yang harus diakui dan berapa DP yang harus dibayarkan calon debitur ? Kendaraan Produktif Apakah yang dimaksud dengan kendaraan yang memiliki izin untuk pengangkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang adalah kendaraan yang memiliki plat kuning? Apa yang dimaksud dengan izin usaha tertentu dan kendaraan digunakan untuk kegiatan operasional usaha yang dimiliki?
Sesuai kaidah akuntansi, harga barang adalah harga setelah discount dan potongan lainnya. Karena discount dan potongan dari dealer telah dikurangkan ke harga perolehan kendaraan, maka discount dan potongan lain tersebut tidak dibenarkan dianggap sebagai tambahan uang muka. Dalam contoh ini, maka harga motor adalah Rp 9,5 juta (Rp 10 jt – discount Rp 500 rb). Jadi DP yg harus diberikan calon debitur minimal adalah 25% x 9,5 juta = Rp2.375.000
Benar, seluruh kendaraan yang memiliki plat warna kuning adalah masuk kategori kendaraan produktif. Namun definisi ini juga mencakup untuk kendaraan berplat hitam yang memiliki izin usaha pengangkutan.
Pasal tersebut berlaku bagi seluruh individu maupun badan hukum orang yang memiliki izin usaha yang menggunakan kendaraan untuk menunjang usahanya tersebut. Pihak bank dalam hal ini harus melihat kesesuaian jenis kendaraan dengan izin usaha yang dimiliki. Contoh kendaraan produktif: - Badan usaha yang akan membeli mobil angkutan karyawan. - Badan usaha yang memiliki izin usaha angkutan barang atau penyewaan mobil angkutan barang yang akan membeli mobil angkutan barang. - Badan usaha atau perorangan yang memiliki izin usaha penyewaan mobil angkutan orang atau usaha travel akan membeli mobil angkutan orang. - Badan usaha atau perorangan yang memiliki izin perdagangan sayur-mayur atau penyewaan peralatan pesta akan membeli mobil angkutan barang.
9