Ditulis untuk Kompetisi Esai Ginting & Reksodiputro pada Agustus 2015
ABSTRACT After the Fourth Amendment of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, state institutions are in the same level as there is no higher or lower institution. The spirit of checks and balances is uphold profoundly with desires to not have any authoritarian power anymore. On one hand, this egalitarian concept of state institutions is pivotal and beneficial to be implemented as Indonesia has dark history where absolute powers made Indonesian people suffered. On the other hand, this equality between state institutions can be used as incentives for them to not claim responsibilities that they should fulfill. In other words, nobody wants to be held accountable if there are errors in our law and regulations. In such circumstance, Indonesian people become the victim as they are in a plane without its pilot. This writing will discuss how the position of President and Parliament in Indonesia related to law and regulations and its connection with the lost of control towards the consistency of law and regulations. Furthermore, this writing will give examples that picture the reality in which there is inconsistency especially in investment field. Lastly, this writing will provide recommendation to address the issue. Keywords: Parliament, President, consistency
1
Ditulis untuk Kompetisi Esai Ginting & Reksodiputro pada Agustus 2015
PERAN PRESIDEN DAN DPR: DILEMA “KENDALI” DAN KAITANNYA DENGAN IKLIM INVESTASI DI INDONESIA Anbar Jayadi1
Setelah Perubahaan ke-IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”), lembaga negara di Indonesia memiliki kedudukan yang setara. Semangat checks and balances dipatri dengan harapan tidak akan ada lagi satu kekuasaan yang otoriter di negara ini. Di satu sisi, kesetaraan lembaga negara penting dan baik untuk diterapkan mengingat sejarah bangsa yang mana kesewenang-wenangan membuat rakyat menderita. Akan tetapi, di sisi yang lainnya, kesetaraan ini memudahkan adanya saling lempar tanggungjawab antar lembaga negara jika terjadi kekeliruan. Dalam keadaan demikian, rakyat seperti berada di pesawat tanpa awak.
Tulisan ini akan membahas bagaimana kedudukan Presiden dan DPR dalam konteks peraturan perundang-undangan dan dikaitkan dengan ‘hilangnya kendali’ terhadap konsistensi hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lebih lanjut lagi, tulisan ini akan menelaah contoh-contoh yang relevan di bidang investasi untuk menunjukkan adanya inkonsistensi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Terakhir, tulisan ini akan memberikan rekomendasi terkait problematika ini.
Pemegang ‘Kendali’ Dalam Konteks Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Untuk mengetahui apakah Presiden dan DPR memang bertanggungjawab atas hilangnya kendali terhadap konsistensi hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka harus dibahas terlebih dahulu, apakah Presiden dan DPR secara inheren memiliki tanggung jawab untuk menjaga konsistensi hukum dan peraturan perundang-undangan, ataukah ada lembaga negara lain yang juga turut andil dalam menjaga konsistensi ini. Kemudian, pertanyaan penting sebelum membahas lebih jauh mengenai ‘hilangnya kendali’ adalah sejauh mana Presiden dan DPR dapat memberikan pertanggungjawaban dan apa bentuk pertanggungjawaban Presiden dan DPR tersebut jika memang terjadi inkonsistensi hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut, maka akan ditelaah lebih lanjut apa makna ‘kendali’, siapa pemegang ‘kendali’ tersebut, dan dikaitkan dengan konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya terkait dengan Presiden dan DPR.
1
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Angkatan 2010, lulus pada Januari 2015.
2
Ditulis untuk Kompetisi Esai Ginting & Reksodiputro pada Agustus 2015
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘kendali’ diartikan sebagai ‘kekang’ dan ‘mengendalikan’ berarti menguasai kekang, memegang kuasa atau memerintah. Dalam konteks Indonesia, merujuk pada Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, pemegang kendali atau yang berkuasa terhadap negara Indonesia adalah rakyat. Melalui pemilihan umum kemudian sebagian dari kekuasaan itu diserahkan kepada orang lain untuk menduduki jabatan tertinggi di kekuasaan eksekutif yakni Presiden dan legislatif yaitu DPR (Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945 Buku IV Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I, 2010: 221).
UUD NRI 1945 memberikan amanat kepada Presiden sebagai memegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan, DPR diberikan kuasa salah satunya adalah untuk membentuk undang-undang atau disebut juga sebagai kekuasan legislatif. Irisan kekuasaan diantara kedua lembaga negara ini ada pada proses pembentukan undang-undang.
Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”. Kata ‘dan’ di dalam kalimat ini menunjukan bahwa dalam menjalankan kekuasaannya membentuk undangundang, DPR tidak sendirian. Setiap rancangan undang-undang dibahas bersama-sama dengan Presiden. Bahkan tujuan dari pembahasan tersebut adalah ‘untuk mendapatkan persetujuan bersama’ dari keduanya. Konstruksi yang demikian ini merupakan keunikan dari UUD NRI 1945 yang menunjukan bahwa Indonesia menganut pemisahan kekuasaan yang tidak ketat yang berbeda dengan Inggris ataupun Amerika Serikat (A.B. Kusuma, Sistem Pemerintahan ‘Pendiri Negara’, 2011:17).
Untuk menjamin apakah undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama dengan Presiden konsisten dengan pakta sosial tertinggi masyarakat Indonesia, UUD NRI 1945, maka dibuat mekanisme constitutional review di Mahkamah Konstitusi. Mekanisme constitutional review ini menjadi cara untuk tidak hanya menjaga konsistensi dari undang-undang tersebut, tetapi juga kualitas dari undang-undang yang bersangkutan. Kualitas yang dimaksud adalah substansi dari undang-undang tersebut dapat memenuhi atau tidak melanggar hak-hak konstitusional masyarakat Indonesia.
Implementasi undang-undang dalam peraturan perundang-undangan yang lebih teknis, misalnya peraturan pemerintah, dikawal dengan mekanisme judicial review di Mahkamah Agung. Sama halnya dengan constitutional review di Mahkamah Konstitusi, judicial review ini dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang konsisten dengan undang-undang di atasnya.
3
Ditulis untuk Kompetisi Esai Ginting & Reksodiputro pada Agustus 2015
Selain daripada constitutional dan judicial review, salah satu upaya untuk menjaga harmoni dari peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (‘Kemenkumham’) memiliki Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Tugas dari Direktorat ini adalah untuk melakukan koordinasi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi tidak hanya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) saja, tetapi juga terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPERPU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), dan Rancangan Peraturan
Presiden
(RPERPRES)
(Kemenkumham,
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/kegiatan-umum/49-kegiatan-direktorat-harmonisasi.html, diakses pada 27 Agustus 2015).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka ada dua hal yang dapat terlebih dahulu disimpulkan yaitu: (i)
DPR bersama dengan Presiden adalah pemegang ‘kendali’ terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berarti di dalam proses pembentukan itu, untuk menjaga konsistensi dari peraturan perundang-undangan yang ada, Presiden dibantu oleh menteri melalui Kemenkumham memiliki Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Dengan konstruksi ini, maka DPR bersama dengan Presiden setidak-tidaknya memang bertanggungjawab terhadap ada atau tidaknya konsistensi dari peraturan perundang-undangan yang akan mereka rancang, bahas, dan putuskan bersama; dan
(ii)
Ada lembaga negara lain yang turut andil dalam menjaga konsistensi dari peraturan perundang-undangan yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dimana masyarakat bisa terlibat dalam baik constitutional review maupun judicial review. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Republik Indonesia juga merupakan bagian dari pemegang ‘kendali’ dalam mengawal konsistensi peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Jika diperhatikan dengan seksama dua kesimpulan di atas, maka ada pertanyaan timbul perihal konstelasi bernegara saat ini terkait peraturan perundang-undangan di Indonesia, pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: (i)
Bagaimana jika undang-undang yang dirancang, dibahas, dan disetujui bersama oleh Presiden dan DPR, pun telah melewati pemeriksaan dari Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, ternyata tidak konsisten dengan undang-undang terdahulu?
(ii)
Bagaimana jika undang-undang ini telah diuji konsistensinya baik itu di Mahkamah Konstitusi ataupun di Mahkamah Agung, namun gagal? Ataupun jika berhasil,
4
Ditulis untuk Kompetisi Esai Ginting & Reksodiputro pada Agustus 2015
undang-undang tersebut tak kunjung ditinjau oleh Presiden atau DPR atau bahkan diabaikan sama sekali?
Jawaban terhadap kedua pertanyaan di atas belum ada di dalam status quo Indonesia. Artinya, belum
ada
mekanisme
sejauh
mana
Presiden
dan
DPR
dapat
memberikan
pertanggungjawaban jika terjadi inkonsistensi dari undang-undang yang dirancang, dibahas, dan disetujui bersama. Walaupun sebenarnya, keberadaan Program Legislasi Nasional (‘Prolegnas’) dapat dikonstruksikan sebagai hasil refleksi dari Presiden dibantu dengan kementerian terkait dan DPR terhadap undang-undang terkait.
Bentuk pertanggungjawaban Presiden dan DPR jika terjadi inkonsistensi atau dianggap ada inkonsistensi pada akhirnya hanya melalui, misalnya, dengan memberikan tanggapan sebagai defense di sidang pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi atau ketika dimintai pendapat dalam proses judicial review di Mahkamah Agung. Pertanggungjawaban juga dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan Presiden, menteri terkait, dan anggota DPR di media massa jikalau ada desakan atau keluhan dari masyarakat.
Skenario terburuk perihal pertanggungjawaban Presiden dan DPR adalah adanya saling lempar tanggung jawab Presiden dan DPR. Penyebab dari saling lempar tanggung jawab ini bisa bervariasi. Dari sudut pandang UUD NRI 1945, keduanya diberikan ‘mandat’ dari rakyat. Artinya, keduanya memiliki legitimasi yang sama. Akibatnya adalah ‘ego’ untuk saling menyalahkan bisa saja muncul dari kedua lembaga yang bersangkutan dengan dalih “kami memiliki mandat dari rakyat maka kami berhak untuk membuat undang-undang yang demikian” atau sebaliknya, “mereka toh yang diberikan mandat maka mereka yang harus bertanggung jawab”. Dalih lain yang juga biasanya dikemukakan yaitu “kami tidak wajib mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi”. Hal ini tentu saja bisa diperdebatkan, namun tidak akan dibahas di dalam tulisan ini mengenai kewajiban mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi.
Keadaan-keadaan yang dijabarkan di atas tentu saja menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal, menurut Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum ternama dari Jerman, keadilan dan kemanfaatan hukum tidak dapat tercapai tanpa didahului oleh adanya kepastian hukum (Brian H Bix, “Radbruch’s Formula and Conceptual Analysis”, American Journal of Jurisprudence, Vol. 56 Issue 1: 46). Ketidakpastian hukum seperti ini tidak hanya meresahkan masyarakat secara umum, tetapi juga akan mengurangi kepercayaan dari investor yang dapat berpengaruh pada tingkat investasi di Indonesia.
5
Ditulis untuk Kompetisi Esai Ginting & Reksodiputro pada Agustus 2015
Ketidakpastian Hukum dan Pengaruhnya pada Investasi di Indonesia Merupakan kisah klasik ketika investor terutama investor asing di Indonesia mengeluh tentang ketidakpastian hukum di Indonesia. Sedangkan, menurut Erman Rajagukguk, Guru Besar Universitas Indonesia, hukum dapat berkontribusi pada perkembangan ekonomi terutama dalam hal penanaman modal adalah hukum yang tidak hanya adil, tetapi juga memiliki prediktabilitas dan stabilitas (Erman Rajagukguk, “Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional, 14-18 Juli 2003).
Misalnya, dalam hal industri energi, investor dari Australia mengeluh bahwa pemerintah Indonesia harus menata kebijakan karena banyak peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih yang menyebabkan ketidakpastian hukum sehingga investor dari Australia khawatir jika ingin menanamkan modalnya di Indonesia (Viva News, “Kebijakan Semrawut di RI Bikin Bingung Investor Australia”, 1 Maret 2013).
Contoh lain yakni di bidang pertambangan, tidak konsistennya peraturan mengenai pertambangan, terutama terkait interpretasi dan implementasi dari peraturan terkait. Buruknya koordinasi pemerintah pusat dan daerah juga mempengaruhi kepercayaan investor terhadap pemerintah Indonesia (World Bank, “Mengundang Investasi Baru Dalam Bidang Pertambangan”,http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/2 80016-1106130305439/617331-1110769011447/810296-1110769073153/mining.pdf).
Tidak hanya dalam lingkup energi atau pertambangan, ketidakpastian hukum juga dikeluhkan terjadi di proyek infrastruktur. Ketidakpastian hukum di sektor ini tidak hanya ada di pelbagai peraturan terkait, tetapi juga keputusan lembaga peradilan. Kasus seperti Manulife, PT Danareksa Jakarta dan Asia Pulp & Paper adalah beberapa kasus yang menunjukan pengadilan Indonesia yang kurang memahami kontrak atau isi perjanjian (“Infrastruktur dan Kepastian
Hukum”,
http://lsmlaw.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=198:infrastruktur-dankepastian-hukum&catid=49:articles&Itemid=18).
Benang merah dari penjelasan di atas adalah ada ketidakpastian hukum dan hal tersebut berpengaruh pada investasi di Indonesia yang di dalamnya melingkupi pula sikap investor. Pertanyaan berikutnya yang kemudian harus dijawab terkait benang merah ini adalah dimana peran Presiden dan DPR? Dapatkah mereka diminta pertanggungjawaban terhadap inkonsistensi peraturan perundang-undangan ini?
6
Ditulis untuk Kompetisi Esai Ginting & Reksodiputro pada Agustus 2015
Sebagai pemegang ‘kendali’ dari pembentukan undang-undang, dan sampai batas tertentu melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan melalui proses Prolegnas, peran Presiden dan DPR adalah sederhana. Peran tersebut yaitu mendengarkan dan mencerna keluhan investor yang kemudian bisa saja mengarah pada perubahan dari undang-undang terkait. Yang tidak sederhana adalah pelaksanaan dari peran ini. Terlebih lagi, Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham seharusnya punya andil lebih karena tugas pokok mereka adalah menjaga konsistensi peraturan perundang-undangan bahkan hingga tingkat peraturan presiden.
Terhadap peran ini, tentu saja Presiden dan DPR dapat dimintakan pertanggungjawaban. Presiden, sebagai pilot dari negara ini, harusnya sudah memiliki visi tentang penanaman modal karena penanaman modal sangat erat kaitannya dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hanya saja, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban ini belum ada di status quo. Forum yang dapat digunakan adalah constitutional review atau judicial review atau investor asing biasanya memakai policy paper untuk menyampaikan keluhannya. Tetap saja, hasil-hasil dari tindakan
tersebut
membutuhkan
inisiatif
mandiri
Presiden
ataupun
DPR
untuk
menindaklanjuti putusan, keputusan, maupun hasil kajian.
Untuk Indonesia Yang Lebih Baik Menurut hemat saya, dalam menengahi problematika ini, optimalisasi peran Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham adalah solusi yang dapat diwacanakan. Hal ini dikarenakan Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham bisa dikatakan sebagai ujung tombak dalam mengeksaminasi peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, dengan potensi demikian, Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham belum memiliki, misalnya database untuk peraturan perundang-undangan dan legal analyst yang secara profesional dapat dimanfaatkan untuk mengeksaminasi peraturan perundang-undangan terkait. Kemudian, Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham juga dapat bekerja sama dengan direktorat atau badan serupa di DPR.
Ide sederhana ini tentu saja tujuannya satu, yaitu untuk Indonesia yang lebih baik, dalam hal konsistensi peraturan perundang-undangan yang akan membawa dampak positif utamanya bagi investasi. Sekali lagi, kepastian hukum lah yang akan membawa kemanfaatan dan keadilan, yang akan mendorong perkembangan ekonomi Indonesia.
7