DISKURSUS METODOLOGI PENELITIAN NORMATIF DAN SOSIOLOGIS DALAM TRADISI DOGMA POSITIVISME HUKUM UJANG CHARDA S. Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Subang e-mail :
[email protected] Cause legal complexity of the law can be studied from different angles, so that the birth of a variety of legal disciplines in addition to the philosophy of law and jurisprudence. On the other hand, the law as it contains various aspects of social phenomena, phase, characteristics, dimensions of time and space, as well as the order of abstraction that compound. Therefore, the law can be studied and studied systematically rational-methodical from a variety of viewpoints and approaches. Based on this assessment formed a scientific discipline whose object is the law. Overall scientific disciplines can be called with a single term, namely the Scientific Discipline of Law or Sciences Law or Law The development of theoretical. These terms indicate the reason for the activity scientifically (rational-systematicallymethodical and continuous) attempt to gain knowledge of the law and intellectual mastery of the law. Kata kunci : Diskursus – Normatif Empirikal – Penelitian Hukum A.
Pendahuluan
Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, karena meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk. Bila diibaratkan benda bagai permata yang tiap irisan dan sudutnya akan memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yang melihat atau memandangnya. Berangkat dari masalah kompleksitas hukum tersebut, sudah sejak zaman Yunani Kuno, hukum senantiasa menarik perhatian dan menjadi wacana yang tidak henti-hentinya diperdebatkan di kalangan para komunitas hukum. Fenomena ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, bukan hanya karena definisi tentang hukum yang tepat belum diketemukan, tetapi di sisi lain karena hukum itu harus melayani dan bekerja dalam masyarakat yang senantiasa dari masa ke masa kehidupannya berubah, sehingga merupakan alasan penting mengapa hukum itu terus dibicarakan. Sesungguhnya terdapat 3 (tiga) ordinat, yaitu rakyat, hukum dan lingkungan. Kendati fungsi hukum itu dari waktu ke waktu sama, 1 yaitu a system for governing human conduct by formally anacted rules, tetapi lingkungan selalu berubah menyebabkan, bahwa hukum itu dibicarakan kembali dan kembali (op nietw, onew).2 Kompleksitasnya hukum menyebabkan hukum itu dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang, sehingga lahirnya berbagai displin hukum di samping filsafat hukum dan ilmu hukum. Di sisi lain, hukum sebagai gejala sosial mengandung berbagai aspek, 1
2
Satjipto Rahardjo dalam Sri Rahayu Oktoberina & Niken Savitri (ed.), Butir-butir Pemikiran dalam Hukum (Memperingati 70 Tahun prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH.), Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm, 29. Idem.
1
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
2
fase, ciri, dimensi waktu dan ruang, serta tatanan abstraksi yang majemuk. 3 Oleh karena itu, hukum dapat dikaji dan dipelajari secara rasional-sistematikal-metodikal dari berbagai sudut pandang dan pendekatan. Berdasarkan pengkajian tersebut terbentuk sebuah disiplin ilmiah yang objeknya adalah hukum. Keseluruhan disiplin ilmiah tersebut dapat disebut dengan satu istilah, yaitu Disiplin Ilmiah tentang Hukum (sciences concerned with law, Radbruch), atau Ilmu-ilmu Hukum (Mochtar Kusumaatmadja) atau Pengembanan Hukum Teoritikal (theoretische rechtsbeoefening, Meuwissen). Istilah-istilah tersebut menunjukkan pada kegiatan akal budi untuk secara ilmiah (rasional-sistematikal-metodikal dan terus menerus) berupaya untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum dan penguasaan intelektual atas hukum.4 Berbagai disiplin ilmiah tentang hukum dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu disiplin hukum dan disiplin non-hukum atau disiplin ilmu-ilmu lain yang objek telaahnya hukum.5 Disiplin hukum mempelajari hukum sebagai objeknya dengan menggunakan pendekatan internal, artinya melakukan pengkajian dari dalam ilmu hukum itu sendiri atau dengan kata lain bertolak dari titik partisipan yang merupakan fondasi keilmuan secara ilmiah, sedangkan disiplin non-hukum menggunakan pendekatan yang eksternal, yaitu sebagai pengamat yang mempelajari hukum dari luar hukum itu sendiri. Disiplin ini mencakup Sejarah Hukum, Sosiologi hukum, Antropologi Hukum dan Psikologi Hukum, di samping berkembang juga Perbandingan Hukum, Logika Hukum dan Politik Hukum yang merupakan arsitekturnya yang mempengaruhi perkembangan ilmu hukum dengan ditandai munculnya berbagai aliran/mazhab.
3
4
5
Hukum berakar dan terbentuk dalam proses interkasi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keagamaan dan sebagainya), dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat, dibentuk ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan sifat masyarakat itu sendiri. Lihat lebih lanjut B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum : Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 116. B. Arief Sidharta, “Disiplin Hukum tentang Hubungan Antara Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum (State of Arts)”, http://www.google.co.id/search?hl=id&q=teori+ hukum+ pembangunan &start=130&sa=N, akses 1 Agustus 2008, jam 13 : 48 WIB. Pembagian ilmu menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu Ilmu Teoritis dan Ilmu Praktis. Ilmu Teoritis bertujuan untuk memperoleh atau mengubah pengetahuan, yang terdiri dari Ilmu Formal dan Ilmu Empiris. Ilmu Formal menghasilkan struktur murni, sedangkan Ilmu Empiris merupakan hasil interpretasi terhadap Ilmu Formal yang diproyeksikan pada aspek tertentu dari dunia kenyataan. Ilmu Empiris ini terdiri atas kelompok Ilmu Alam dan Ilmu Manusia, yang dibagi lagi menjadi Ilmu Sejarah dan Ilmu Sosial, sedangkan Ilmu Praktis adalah merupakan hasil evaluasi terhadap Ilmu Empiris dan ilmu Formal. Ilmu Praktis ini terdiri atas Ilmu Praktis Momologis dan Ilmu Praktis Normologis. Ilmu hukum berdasarkan hasil penelitian Arief Sidaharta masuk ke dalam Ilmu Praktis Normologis. Dengan demikian karakter ilmu hukum apabila diuraikan berdasarkan pendekatan filsafat ilmu, maka imu hukum dapat dikatakan sebagai suatu ilmu, namun ilmu hukum tidak termasuk dalam kelompok ilmu sosial maupun ilmu pengetahuan alam. Ilmu hukum merupakan ilmu yang sui generis, artinya ilmu hukum merupakan ilmu jenis sendiri. Lihat Philipus M. Hadjon, Argumentasi Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 1. Selanjutnya, dikatakan ilmu hukum merupakan jenis jenis tersendiri, karena ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu. Ilmu hukum memiliki sifat yang khas yang dapat ditelaah ke dalam 4 (empat) hal, yaitu : a. Karakter normatif (aspek ontologis, aksiologis); b. Terminologi ilmu hukum (aspek ontologis, epistemologis); c. Jenis ilmu hukum (aspek ontologis, epistemologis); dan d. Lapisan ilmu hukum (aspek epistemologis). Lihat B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 112, Lihat juga Trianto & Titik Triwulan Tutik (ed.), Bunga Rampai Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum (Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu), Prestasi Pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 39.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
3
Secara internal disiplin hukum, saat ini dikenal ada tiga tataran disiplin, yakni ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum), teori hukum, dan filsafat hukum. Kajian teori hukum adalah kajian meta-keilmuan dan produk analisis teori hukum tidak dapat dipakai langsung di masyarakat, melainkan harus dialirkan melalui cabang disiplin hukum lainnya yang bernama ilmu hukum. Sementara produk analisis tertentu yang terlampau abstrak, didistribusikannya ke cabang disiplin hukum satunya lagi, yakni filsafat hukum. Apabila berbicara tentang ilmu hukum, kita berbicara tentang sesuatu yang praktis, seperti halnya ilmu kedokteran yang juga ilmu praktis, ilmu hukum bersentuhan dengan problema konkrit. 6 Sementara itu, Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa hukum sebagai disiplin ilmu hukum terdiri dari ilmu yang mempelajari tentang norma (noormwissenschaft), pengertian pokok dan sistem hukum (begriffenwissenschaft), dan tentang kenyataan hukum (tatsachenwissenschaft).7 Ilmu hukum sebagai kaidah ditujukan sebagai pedoman hidup atau ukuran untuk berperilaku dan bersikap dalam hidup bermasyarakat, sedangkan ilmu hukum sebagai pengertian pokok yang berkaitan dengan konsep-konsep dasar tentang hukum dan sebagai sistem hukum berkaitan dengan komponen struktural, substansial dan kultural yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan sebagai satu kesatuan sistem hukum. 8 Sementara itu, ilmu hukum sebagai kenyataan berkaitan dengan disiplin non hukum dengan munculnya aliran yang mempengaruhi perkembangan ilmu hukum, misalnya aliran positivisme hukum sebagai aliran yang masih primadona di era millinium ini dengan ciri utamanya bahwa tujuan hukum adalah kepastian hukum yang dalam perjalannya mendapatkan kritikan tajam dari aliran postmodernisme hukum yang tidak percaya bahwa kepastian hukum itu ada, bahkan tidak percaya bahwa keadilan tertinggi itu ada yang ada justru adanya ketidakadilan yang tertinggi. 9 Apabila dikaji secara intern, detail dan terperinci ilmu hukum merupakan salah satu dari suatu bidang hukum. Tegasnya, jika dijabarkan lebih jauh pada hakikatnya ilmu hukum tidak identik dengan hukum, oleh karena untuk menjadi hukum bukan harus selalu lahir dari proses pengembangan ilmu hukum. Dengan lain perkataan yang sederhana dapat diasumsikan, bahwa setiap ilmu hukum itu akan berubah menjadi hukum apabila melalui proses keadilan masyarakat. 10 Dalam perkembangannya, apabila ditinjau dari optik konsep ilmu maka secara konseptual ilmu hukum identik dengan ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi jika konsep ilmu dalam ilmu hukum dipandang sebagai konsep yang khas dan berbeda dengan konsep umum pada ilmu-ilmu alam, maka ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang khas dan khusus oleh karena penerapan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu hukum menjadikan ilmu hukum dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial. Selain dari aspek tersebut dalam bangunan yang lain kerap kali ilmu hukum dikategorikan ke dalam ilmu humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Aspek ini terjadi oleh karena ilmu hukum bersifat manusiawi di mana sifat kemanusiaan dari ilmu hukum terlihat dari metode penemuan hukum. Tegasnya, 6
7
8 9 10
Ujang Charda S., Disiplin Ilmu Hukum : Sebuah Pengembaraan dalam Memahami Fondasi, Struktur, Arsitektur & Kesejarahan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UNSUB, Subang, 2014, hlm. 2. Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 11-12, mengemukakan bahwa segi umum disiplin hukum itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Ilmu Hukum, Filsafat Hukum dan Politik Hukum. Ujang Charda S., Op. Cit., hlm. 3. Idem. Lilik Mulyadi, “Kajian Deskriptif Analisis tentang Hakikat Ilmu Hukum Dikaji dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Axiologi Ilmu”, http://google.com, akses 15 Juni 2012, jam 13 : 24 WIB.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
4
sifat konkrit dan individual mengakibatkan metode penemuan hukum mengarah pada manusia. Berdasarkan uraian di atas, ilmu hukum hendaknya bersifat integratif, maka dari aspek ontologi, ilmu hukum pada hakikatnya akan menjawab apakah titiktolak kajian subtansial dari ilmu hukum, sedangkan dari aspek epistemologi ilmu hukum akan menjawab bagaimana mendapatkan kebenaran dengan melalui metode ilmu hukum dan aksiologi akhirnya akan menjawab kegunaan dari ilmu hukum itu sendiri. Maka dengan latar belakang demikian dan kolerasi antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi tersebut. B.
Pembahasan
1.
Perbedaan Konsepsi dan Metode dalam Penelitian
Mengikuti tradisi reine rechtslehre atau rechts geleerdheid atau jurisprudence,11 ilmu hukum sebagaimana diajarkan di fakultas-fakultas hukum di Indonesia sesungguhnya tidak termasuk ke dalam kerabat sains. 12 Ilmu hukum di Indonesia tidak ditradisikan dalam alur sains sebagai legal science, sekalipun ilmu ini memang benar bekerja dengan berpangkal proposisi-proposisi hukum yang positif, akan tetapi apa yang dimaksud dengan positive legal di sini bukan hasil observasi11
12
Dalam bahasa Inggris ilmu hukum secara tepat disebut sebagai jurisprudence yang berasal dari kata Latin, yaitu iuris yang artinya hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan demikian, jurisprudence berarti pengetahuan hukum. Dilihat dari segi etimologi tersebut, tidak berlebihan kalau Hobert L. Hayman memberikan pengertian ilmu hukum dalam hal ini jurisprudence secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum. Apa yang dikemukakan oleh Hobert L. Hayman dapat juga mempunyai pengertian suatu metode kajian tentang makna hukum secara umum. Adakalanya jurisprudence merujuk kepada pengertian filsafat hukum, akan tetapi kadangkadang juga istilah jurisprudence disinonimkan dengan the science of law. Istilah Ilmu Hukum yang dipergunakan ini merupakan terjemahan dari istilah Jurisprudence (Inggris) Rechtswetenschap (Belanda), atau Rechtswissenschaft (Jerman) atau Jurisprudenz (Jerman). Istilah Rechtswetenschap dan Rechtswissenschaft menunjuk pada pengertian ilmu tentang hukum atau ilmu yang mempelajari hukum atau ilmu yang objek kajiannya adalah hukum, sedangkan istilah Jurisprudenz dalam bahasa Jerman berarti ilmu hukum dalam arti yang sempit. Sementara istilah Jurisprudence (Inggris), dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang hukum. Berdasarkan istilah-istilah tersebut, kata jurisprudence dalam bahasa Inggris tidak sama artinya dengan kata jurisprudence dalam bahasa Perancis dan jurisprudentie dalam bahasa Belanda adalah putusan hakim yang telah memiliki kekuatan yang tetap. Lihat Peter Mahmud Marzukui, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 1, Lihat Peter Mahmud Marzukui, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 18-19. Lihat Robert L. Hayman, Jurisprudence : Contemporary Readings, Problem and Narratives, West Publishing Company, St. Paul Minnesota, 1994, hlm. 5, Abdurrahman, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Perundang-undangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 15, lihat juga Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 22. Dalam rangka mengembangkan Ilmu Hukum sebagai ilmu yang bersifat mandiri, maka perlu juga diperoleh kejelasan mengenai di mana sebenarnya tempat kedudukan Ilmu Hukum dalam jajaran dunia keilmuan, apakah ia termasuk ilmu normatif yang termasuk dalam apa yang dinamakan sollenwissenschaft atau termasuk dalam ilmu-ilmu sosial atau ilmu empiris yang disebut juga seinwissenschaft, baik yang bersifat monodisipliner atau interdisipliner, atau juga mencakup baik ilmu yang bersifat normatif dan sekaligus empiris, sehingga merupakan ilmu yang unik yang mempunyai dua wajah. Persoalan ini berkaitan erat dengan sudut pandang tentang apa sebenarnya hukum itu. Bila hukum dipandang sebagai seperangkat aturan yang bersifat abstrak dan berada dalam kawasan nilai, maka ilmu yang mempelajarinya disebut sebagai Ilmu Hukum akan dikualifikasikan sebagai Ilmu Normatif atau Ilmu Dogmatik. Sebaliknya, kalau hanya semata-mata melihat hukum sebagai sebuah institusi sosial yang secara riil ada di dalam masyarakat, maka kajian tentang hukum itu mempunyai sifat sebagai Ilmu Empiris, dan karena itu umumnya orang memasukkannya ke dalam jajaran Ilmu-ilmu Sosial. Lihat Abdurrahman, hlm. 156.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
5
observasi dan/atau pengukuran-pengukuran atau gejala-gejala dunia empiris, melainkan hasil positive judgements, baik in abstracto maupun in concreto oleh otoritas-otoritas tertentu yang berwenang.13 Ilmu hukum dalam artinya sebagai reine rechtslehre itu sesungguhnya tidak memiliki (dan merasa tidak perlu memiliki) data yang dipunyai sebagai kekayaan intelektual adalah sesuatu khasanah proposisi dan/atau premis yang masing-masing lewat silogisme deduktif dan silogisme induksi dapat menghasilkan konklusi-konklusi, baik yang praktis dan berfungsi sebagai sumber hukum yang bersifat formil (yang di negeri-negeri penganut civil law dihimpun sebagai yurisprudensi dan di negeri-negeri penganut comman law dihimpun dalam wujud judge made law), maupun yang teoritis dan berfungsi sebagai sumber hukum yang bersifat materiil (berupa asas-asas).14 Dalam tradisi rechtslehre, seperti ilmu hukum lebih banyak terlihat sebagai suatu seni berpikir khusus yang dimaksudkan guna menemukan aturan-aturan yang dapat diterapkan in concreto dari dalam sistem peraturan-peraturan positif yang telah disusun secara logis, koheren dalam jenjang-jenjang hierarki (stuffen), namun terkucil dan terasing insulated dari alam amatan. Maka mengembangkan seni berpikir menurut ajaran (ilmu) hukum yang dahulu disebut jurisch denken adalah semisal berpikir menurut logika aturan main catur (schaakdenken) di mana dunia berpikir menurut ajaran ini bersifat tersendiri dan eksklusif, dan oleh karena itu tidak perlu bertaat asas pada prinsip-prinsip logika yang menguasai alam kenyataan (the natural logic).15 Beberapa tradisi dari rechtslehre atau jurisprudence, ilmu-ilmu sosial bekerja dalam tradisi berpikir dan bermetode sanis (dan karena itu ilmu-ilmu sosial sejak awal mula tanpa ragu menamakan dirinya social science. Perbedaan berpikir dan bermetode dalam rechtslehre dan social science sesungguhnya tidak terletak pada silogisme-silogisme logika yang dipakai. Dalam hubungan ini, perlu tetap diperhatikan bahwa kedua-duanya, lebih-lebih berkembang dalam sistem comman law, sebenarnya sama-sama menggunakan cara-cara silogisme deduksi dan induksi. 16 Perbedaan asasinya rupanya harus dicari tidak pada metodenya itu, melainkan pada asumsiasumsi dasarnya mengenai postulat apa yang harus dipakai sebagai pangkal tolak berpikir itu. Dalam ajaran hukum di fakultas-fakultas hukum, premis-premis itu harus merupakan hasil judgements otoritas yang berwenang dan/atau derivatif-derivatif yang dapat diperoleh daripadanya (ipso jure). Sementara itu, dalam kajian ilmu-ilmu sosial di fakultas-fakultas sosial dan politik, premis-premis itu harus merupakan hasil amatan (yang dijaga agar kecermatan, keterdalaman, dan sahih, dengan bantuan instrumen-instrumen perekam atau pengukur), dan/atau derivat-derivat yang dapat ditarik daripadanya.17 Dari penjelasan ini ternyata, bahwa ajarah (hukum) dan sains (sosial) itu merupakan dua dunia yang terpisah. Dalam ajaran hukum tidak ada ajaran hukum yang tidak mungkin terbit begitu saja (ipso facto), sedangkan dalam kajiankajian sains sosial tidak akan dan/atau statemen-statemen yang boleh dinilai betul (true) begitu saja, lantaran adanya tuntutan-tuntutan otoritas (ipso jure). Pemisahan 13
14 15 16 17
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsan bekerjasama dengan Huma, Jakarta, 2002, hlm. 107. Ibid., hlm. 108. Idem. Ibid., hlm. 109. Idem.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
6
demikian, memang tanpa dapat dihindari terjadi sebagai akibat kepercayaan berlakunya metodendualismus Katian dalam dunia berpikir Barat modern yang sekuler, yang secara setia dianut di kalangan intelektual Barat berikut anak-anak didiknya yang juga membiak secara merata di neger-negeri dunia ketiga (dan tidak kurang-kurangnya juga di Indonesia). Bersetia kepada paham berpikir metodendualismus ini (tidak salah lagi) ajaran hukum dan sains sosial akan terus ko-eksis, walaupun sudah amat berdekatan bagaikan minyak dan air. 18 Perspektif yang berbeda tidak hanya akan melahirkan konsep-konsep epistemologis yang berbeda, akan tetapi juga metode-metode berpikir dan metodemetode penelitian yang berbeda pula, bahkan mungkin juga perbedaan perspektif seperti itu akan dapat melahirkan kepribadian yang berbeda pula, yakni antara yuridis yang umumnya gampang tampil dalam sosok kepribadian yang berbeda pula, yaitu antara yuridis yang umumnya gampang tampil dalam sosok kepribadian seorang eksponen yang sensistif dan ilmuwan sosial yang umumnya gampang tampil dalam sosok kepribadian seorang narator atau analis tulen akan berkecenderungan mempercayai dan mengukuhi model-model prilaku tertentu, dan dengan semangat universalisme yang cukup tinggi mau memaksakan dunia kehidupan sehari-hari agar selalu patuh mengikuti imperatif model-model itu. Sementara itu, seorang analis sosial yang tulen akan cenderung mempersepsi pola-pola prilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagai variabel-variabel historis yang sifatnya partikularistik, dan oleh karena itu harus dipandang lumrah kalau sifatnya juga nisbi. 19 Digambarkan lebih lanjut secara dikhotomi seperti itu, tampaknya juga menunjukkan polarisasi sikap dan pemihakan di kalangan para yuridis di satu pihak dan para ilmuwan sosial di pihak lain dalam hubungan mereka dengan penguasa pemerintahan. Para yuris cenderung bersetia pada model-model sentral umumnya bersedia pula dengan suka cita dan penuh cita-cita menerima (dan malahan mungkin bersikap memihak) hadirnya otoritas-otoritas sentral (yang otoritas sekalipun) yang telah menugasi diri untuk secara koersif merekayasa ketertiban dan ketentraman umum. Dalam konsep kelompok ini, apa yang disebut social order itu tidak lain daripada a normative pre-established order.20 Sementara itu, di pihak lain, para ilmuwan sosial (yang sosiologi ataupun yang antropologi) tanpa enggan cenderung memegang keragaman gerak arus bawah yang sering menamfikan model-model yang dipaksakan berlakunya dengan topangantopangan kekuasaan-kekuasaan sentral yang acap bersifat eliter dan otoritarian. Di mata analis ilmuwan sosial itu, lebih-lebih yang penganut pandangan teori simbolisinteraksionis, di zaman yang ditengarai sudah masuk ke dekapan paham postmodernisme, setiap penyimpangan dan pelanggaran boleh jadi malahan tanpak sebagai ulah-ulah improvisasi yang tidak cukup kreatif dan spontan (yang tentu akan melahirkan perubahan dan pembaruan yang unik dan menarik), akan tetapi juga amat efektif demi survival pada peringkat lokal. Maka, kalau para yuris klasik cenderung untuk berpandangan, bahwa pelaku-pelaku dalam struktur-struktur supra pemerintahan yang harus ditegakkan, maka para ilmuwan sosial, lebih-lebih yang secara progresif mengikuti pemikiran-pemikiran kontemporer sangat gampang untuk bercenderungan memilih posisinya sebagai pengembira terjadinya perkembangan-
18 19 20
Ibid., hlm. 109-110. Ibid., hlm. 110-111. Ibid., hlm. 111.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
perkembangan komunitas.21
struktural-struktural
infra
dalam
masyarakat
7 dan
komunitas-
Gambaran adanya polarisasi wawasan, cara kerja, dan sikap pemihakan yang berbeda antara para yuris/sarjana hukum dan para ilmuwan sosial dari berbagai aliran/paham kini dibanyak kegiatan profesi telah kian kabur. Banyak yuris telah menerima kenyataan dan lebih lanjut lagi bahkan juga telah mengakui, bahwa mempelajari hukum sebagai bagian dari logika, tanpa mengkaji relevansinya dengan dunia pengalaman, baik pengalaman kehidupan yang makro maupun yang mikro adalah suatu aktivitas yang (di tengah-tengah era pembangunan yang penuh perubahan dan pergolakan sosial dewasa ini) akan merupakan kegiatan yang amat steril.22 Adagium yang berasal dari lingkungan comman law lewat ucapan Holmes, bahwa the life of law is not logic, but experiences menjadi terpopulerkan, sekalipun bersamaan dengan itu adagium law as a tool of social engineering yang terkesan kontradiktif lewat ucapan Pound ikut dipopulerkan pula. Studi-studi law and society, sosiologi hukum, antropologi hukum, law and behavior, metode penelitian hukum (tidak hanya yang mengikuti doktrinal, melainkan juga yang non doktrinal, baik yang kuantitatif maupun yang kualitatif) mulai memperoleh perhatian sekalipun dalam porsi yang masih terbatas. 23 Topik-topik social legal juga telah banyak pula dipilih, tidak hanya untuk dan di dalam skripsi-skripsi para mahasiswa dan para mahasiswa fakultas hukum, melainkan sudah mulai marak dalam berbagai diskusi, seminar, dan berbagai polemik di luar kampus. Boleh diduga, bahwa pendekatan atau ancangan sosial dalam ilmu hukum yang mengubah kajian hukum (dalam arti ajaran alias rechtslehre) menjadi bagian integral ilmu-ilmu sosial untuk sementara ini masih dipandang berlebihan.24 Upaya untuk mempertahankan ilmu hukum dalam karakteristiknya sebagai rechtslehre, sekalipun tidak lagi mesti rein, masih sangat kuat bertahan karena bagaimana pun juga menurut paham ini, ilmu hukum masih harus dipertahankan sebagai kiat kemahiran profesi kehukuman dan kehakiman, dan tidak terdeprofesionalisasi menjadi bagian dari masa awam di lapangan, di luar tembok-tembok pengadilan dan/atau di luar kantor-kantor pengacara, namun mengabaikan sama sekali hasil-hasil penelitian sosial (khususnya sosiologi dan antropologi hukum) sebagai masukan untuk membuat legal judgements yang lebih realistis dan lebih menjamin rechtsdoelmatigeheid-nya (sekalipun mungkin akan sedikit mengganggu rechtszekerheid-nya) juga kurang bijaksana.25 Pendekatan untuk saling menyapa dan bertransaksi antara ilmu hukum dan ilmu sosial terjadi di sana sini, dari waktu ke waktu dan dalam wujud lintasan-lintasan dua arah. Para sarjana dan praktisi hukum telah banyak dipaksa dan terpaksa menimba fakta-fakta temuan yang berkeandalan tinggi dari berbagai upaya penelitian sosial untuk membuat legal judgements yang lebih realistis, tidak hanya dalam prosesproses penciptaan hukum in abstracto akan tetapi juga dalam proses-proses penemuan hukum (atau bahkan juga dalam proses penciptaan) hukum in concreto. Sementara itu, di pihak lain, kini mulai banyak juga ilmuwan sosial yang memikirkan upaya-upaya agar hasil-hasil temuan penelitian sosial yang bermakna untuk menata 21 22 23 24 25
Ibid., hlm. 112. Ibid., hlm. 118. Idem. Idem. Ibid., hlm. 119.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
8
dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dapat mencapai dan diperhatikan para pengambil keputusan, sehingga temuan-temuan yang baik itu tidak hanya terhenti dalam wujudnya sebagai fakta semata, akan tetapi juga ikut berproses menjadi sejumlah judgements yang tidak hanya sah menurut hukumnya, akan tetapi juga jujur menurut kriteria moral sosial, untuk mempengaruhi perilaku dan pola sikap sosial.26 Berdasarkan uraian di atas, bahwa ilmu hukum tidak akan mungkin menggunakan ancangan, perspektif, atau cara pendekatan yang ditradisikan dalam ilmu-ilmu sosial secara lengkap dan konsekuen, kecuali apabila ilmu hukum itu siap ditransformasikan menjadi suatu cabang ilmu sosial (dengan variabel hukum sebagai objek khususnya) atau kalau tidak demikian, ilmu hukum tetap saja ditampilkan dalam kepribadiannya yang semula jadi sebagai jurisprudence atau rechtslehre, namun dengan kesediaan untuk meninggalkan tekad dan komitmennya yang sudah ketinggalan zaman sebagai ajaran hukum yang murni, agar dengan begitu dapat mulai berubah wujud dan berkepribadian sebagai apa yang diintroduksi oleh Pound dengan nama sociological jurisprudence.27 Di tengah-tengah situasi krisis yang menuntut kesediaan beradaptasi, ilmu hukum dewasa ini harus bersedia mengembangkan tata hukum yang menjadi objek kajiannya tetap dalam konsepnya sebagai suatu sistem norma yang tidak lagi berwatak positif yang sempit dan dimodelkan sebagai pengkaidahan yang tertutup, melainkan suatu sistem yang terbuka. Ilmu hukum sebagai sistem terbuka, hukum akan mudah berinteraksi dengan lingkungan sosial dalam hal meng-input-kan fakta sosial, memprosesnya di dalam sistem sebagai through-puts yang secara sosial relevan untuk kemudian meng-output-kan kembali ke tengah masyarakat sebagai suatu sociallegal judgements yang benar-benar fungsional.28 2.
Penggunaan Metode Sains dalam Tradisi Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial
Penelitian atau riset itu bermakna pencarian, yaitu pencarian jawaban mengenai suatu masalah. Dengan demikian, apa yang disebut metode penelitian itu pada asasnya akan merupakan metode (atau cara dan/atau prosedur) yang harus ditempuh agar orang dapat menemukan jawaban yang boleh dipandang benar (dalam arti true, bukan atau tidak selalu dalam arti right atau just) guna menjawab masalah tertentu itu. Apa yang harus dipandang benar dan berbagai prosedur yang benar untuk memperoleh kesimpulan yang benar guna menjawab masalah secara benar itu merupakan persoalan filsafati yang banyak dibahas dalam pemikiran ontologi dan epistemologi. Dalam hal ini, ilmu modern (sains) meneruskan tradisi olah pikir Yunani yang berkehendak menyimpulkan kebenaran dari suatu proses berpikir yang prosedurprosedurnya ditunjukkan oleh Aristoteles dalam format-format yang disebut silogisme.29 Ada dua silogisme yang dikenal, yaitu silogisme deduktif dan silogisme induksi yang menggunaannya masing-masing ditentukan oleh keyakinan orang mengenai apa yang harus dipandang sebagai sumber kebenaran. Aliran idealisme yang mengkonsepkan kebenaran sebagai suatu yang berada dan berawal dalam alam ide in abstracto akan banyak mendayagunakan silogisme deduktif (berawal dari premis 26 27 28 29
Idem. Ibid., hlm. 120. Idem. Ibid., hlm. 124.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
9
umum dan berakhir pada suatu kesimpulan yang khusus), sedangkan aliran empirisme yang mengkonsepkan kebenaran sebagai suatu yang berada dalam alam pengalaman dan pengamatan inderawi in concreto akan banyak mendayagunakan silogisme induksi (berawal dari premis khusus dan berakhir pada suatu kesimpulan yang umum). 30 Sains pada dasarnya tetap menganut paham, bahwa kebenaran pada hakikatnya adalah hasil pikir dan bermukim sepenuhnya di alam ide. Deduksi dipakai untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (hipotetis) dari kebenaran-kebenaran induk (yang teoritis), tetapi sains juga memberikan posisi penentu kepada kebenaran yang bersumber dari alam empiris, nota bene alam persembahan kebenaran lewat observasi (dan tidak lewat kontemplasi). Di sini metode induksi memegang peranan besar dan metode ini menjadi penentu untuk menguji, apakah temuan-temuan deduksi (hipotesis) boleh disahkan dan dipromosikan menjadi tesis.31 Saintisme lahir pada abad rasionalisme ketika orang mulai berani dan bersedia “mendunia” dengan melihat alam yang terbentang di hadapan amatan indrawi ini sebagai kebenaran-kebenaran logis juga. Alam semesta yang tampil secara fisik pada hakikatnya menurut pahamnya adalah manifestasi nyata sebuah ide logika (a natural logic). Tidak pelak saintisme lahir sejalan dan sewaktu dengan lahirnya empirisme (atau di negeri-negeri kontinental waktu itu lebih sering disebut positivisme). Di sini nyata kalau pada arus saintisme objek kajian terkonsepkan sebagai objek-objek yang menggejala di alam pengalaman indrawi (empiris) di dalam pengamatan yang kebenarannya dapat ditangkap secara indrawi (alam positif). Sesungguhnya saintisme masih tetap meneruskan tradisi klasik untuk tetap mempercayai, bahwa kebenaran itu harus pula memperoleh pembenaran dari alam empiris yang positif itu. 32 Saintisme meluangkan dialog yang dialektis secara berkesinambungan antara alam ide (yang berfungsi sebagai asas-asas pembenar dan teroperasikan lewat prosedur logika formal atau deduksi dan alam empiris (yang berfungsi sebagai pengungkap realistas hubungan antar objek variabel dengan generalisasi-generalisasi yang berfungsi menguji kebenaran setiap kontemplasi deduksi dan teroperasikan lewat prosedur logika materiil atau induksi). 33 Mengkontruksi metode dan prosedur penemuan kebenaran atas dasar logika yang demikian, sains dalam epistemologis saintisme sesungguhnya bersifat sinkretis. Alam ide teoritis in abstracto akan terus lewat deduksi menghasilkan konklusi-konklusi hipotetis. Sementara itu, hasil-hasil amatan in concreto (informasi atau kalau lebih terukur disebut data) akan terus lewat induksi menghasilkan generalisasi-generalisasi. Saling menguji antara hipotesis (konklusi deduksi yang beranjak dari teori) dan hasil generalisasi (konklusi induksi yang beranjak dalam alam empiris) akan menghasilkan kebenaran-kebenaran saintis.34 Saintisme dan metode sains yang memberikan posisi dan porsi natural logic serta prosedur induksi secara bermakna dan menentukan kepada setiap upaya menemukan kebenaran lahir pertama-tama di kalangan para pakar piawai yang tekun di luar tembok-tembok biara, pakar-pakar ini adalah kelompok pencari kebenaran yang karena bergerak di luar tembok-tembok biara umumnya berpandangan sekuler, praktik-pragmatis, doktriner, tekstual, serta serba kontemplasi dan meditatif. 35 30 31 32 33 34 35
Idem. Idem. Ibid., hlm. 125. Idem. Idem. Ibid., hlm. 126.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
10
Keberhasilan pendayagunaan metode sains untuk mengungkap misteri-misteri alam kodrat dan kemudian daripada itu memberikan kemampuan kepada manusia untuk tidak hanya sekedar memahami dan mengagumi, akan tetapi juga untuk “memanipulasi” proses-proses alam kodrat demi kesejahteraan umat manusia, mendorong para pakar untuk memperluas pendayagunaan metode ini juga ke bidangbidang amatan lain. Yang pertama-tama memperoleh giliran ialah bidang amatan yang berupa gejala-gejala organisme, maka bermula sains di bidang kehayatan (the life science) dengan segala anak cabang spesialisasinya, sains ini dengan cepat berkembang maju dan pada abad 20 sudah mencetuskan revolusi biologi melalui aplikasi-aplikasi dalam wujud bioteknologi yang canggih. Giliran berikutnya, di abad 19 upaya penerapan dan pendayagunaan metode sains untuk mengungkap liku-liku perilaku superorganisme (yang dalam perbincangan sehari-hari lebih dikenal dengan penamaan “masyarakat” dan/atau budaya manusia). 36 Sebagaimana perkembangan dalam bidang-bidang amatan dan kajian santifis yang lain, dalam social science ini pun perkembangan yang akan digalakkan harus berawal dan diawali terlebih dahulu oleh suatu krisis konseptual. Masyarakat dan model-model struktural normatif sebagaimana tergambar dalam cita (ide) dan citacita, kini harus pula dikonsepkan sebagai segugus realitas empiris yang positif, sine ira et studio dan value free. Superiorganisme sebagaimana anorganisme dan organisme, harus “disekulerkan” lebih dahulu sebagai variabel-variabel objektif yang tidak akan dinilai melainkan akan diukur. Superorganisme sebagaimana anorganisme dan organisme yang telah telebih dahulu dijadikan objek sains adalah sekedar peristiwa dan proses peristiwa as it is dan bukan suatu gejala as it ought to be.37 Krisis konseptual yang menarik, namun juga jelas untuk diikuti terjadi dalam studi-studi tentang penataan tertib sosial. Masyarakat yang semula dikonsepkan ulang sebagai moral order yang value bound mulai dikonsepkan ulang sebagai legal order yang value free. Di sini apa yang harus dikenali sebagai hukum dalam konsep legal order dan rule of law (untuk penegakan tertib sosial) itu adalah hukum yang telah dipositifkan sebagai lege/lex yang harus dirumuskan secara eksplisit. Hukum tidak lagi dikonsepkan sebagai premis keadilan yang implisit dan yang karenanya tidak terumus secara pasti, hukum positif dapat saja dinilai tidak adil, namun yang penting di sini bukan soal adil tidaknya, melainkan soal sah tidaknya sebagai the command of the sovereign.38 Lebih jauh dari sekedar mempositifkan hukum, dalam praktik peradilan dan di dalam kajian-kajian tentang perangkat hukum positif sebagaimana diperlukan untuk kepentingan praktik peradilan, pemahaman orang akan hukum ini masih sepenuhnya berjalan menurut jawaban tentang kaidah in abstracto apa yang harus dipakai sebagai dasar pembenar suatu keputusan pengadilan dan/atau keputusan konklusif in concreto apa yang harus ditarik sebagai jawaban untuk menyelesaikan perkara di pengadilan. Kenyataan demikian, tidak salah kalau kajian-kajian tentang hukum ini dikatakan dalam istilah Inggris belum boleh dipandang telah mencapai taraf legal science melainkan masih harus disebut sebagai jurisprudence dengan segala kiat dan teknik yang di dalam bahasa Belanda disebut juristerij.39
36 37 38 39
Ibid., hlm. 127-128. Idem. Idem. Ibid., hlm. 129.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
11
Dalam kajian-kajian hukum yang berlangsung menurut dalil-dalil logika deduksi (formal) seperti itu, kaidah-kaidah hukum positif (menggantikan asas-asas moral yang implisit) dipraktikan dalam fungsinya sebagai premis-premis mayor in abstracto yang kebenaran dan keabsahannya tidak boleh dicabar yang lewat penyimpulan deduksi melahirkan premis-premis conclusio dan premis-premis conclusio ini yang dicari orang untuk dipakai (diusulkan untuk dipakai) sebagai dasar benarnya keputusan peradilan in concreto dalam keputusan ini pula ada juga penyimpulan tentang akibat (hukum) tentu yang diperbuat orang, namun hubungan sebab akibat yang dikonstruksikan di sini bukan hubungan kausal yang ditarik sebagai kesimpulan induktif melainkan sebagai hasil pernyataan pilihan (judgement) yang dideduksikan untuk keperluan konkrit.40 Keniscayaannya pun bukan keniscayaan objektif yang bekerja di alam empiris melainkan suatu kepastian hukum yang hendak diupayakan realisasinya melalui sanksi-sanksi kekuasaan, karena tidak mengenal silogisme induksi dan prosedur-prosedur penerapannya, apa yang disebut ilmu hukum sampai pada taraf ini bukan ilmu hukum yang berkualifikasi sebagai sains. 41 Ilmu hukum memiliki keunggulannya tersendiri sebagai bagian dari keyakinan dan kiat profesi yang hadir dalam peradaban manusia, namun tidak sebagai sains. Mengharuskan penggunaan metodologi sains untuk memahami dunia hukum positif dan jurus-jurus kepiawaian jurist yang berkembang di kalangan profesi kaum juris (di luar maupun di luar arena peradilan) adalah suatu pemaknaan. Legal order bukan empirical order yang bersifat deterministis secara objektif dan universal. Positive legal order bukan fenomena alami yang karenanya akan dapat diukur dengan hasilhasil pengukuran yang secara kuantitatif cermat serta berketelandalan yang kemudian daripada itu boleh dianalisis yang sahih guna memprediksi kejadian-kejadian di masa mendatang.42 Krisis konseptual dalam kajian-kajian tentang tertib masyarakat tampaknya lebih mudah diatasi dan mendatangkan hasil tatkala orang di sini menggunakan perspektif atau pendekatan struktural. Di sini orang dapat lebih melihat masyarakat sebagai suatu fenomena natural dan bukan sebagai suatu ideal order. Masyarakat dikonsepkan sebagai struktur, yaitu suatu model sistem dinamis yang tersusun dari elemen-elemen aktif yang disebut peranan (roles) dan interelasi antar peranan. Pendekatannya sangat deterministis dengan presumsi, bahwa manusia-manusia itu sepenuhnya eksis sebagai social dopes (hasil sosialisasi yang total) dan karena itu hanya dapat berfungsi (ketika kooperasi maupun ketika berkonflik) dalam bingkaibingkai struktur belaka. Struktur adalah totalitas pengendali yang bekerja sebagai determinan yang sulit diingkari, sehingga seluruh perilaku oknum dalam masyarakat dilihat dalam konteksnya yang makro akan selalu tunduk kepada pola dan keajegan yang sangat koersif. Oknum sebagai individu adalah role players atau role occupants yang posisinya di hadapan struktur adalah demikian terkondisi, sehingga jarang sekali mampu membantah “program-program” sosial kultural yang bekerja sebagai proses yang natural dan impersonal dalam kehidupan manusia. 43 Rekonseptualisasi masyarakat yang lebih tergambar sebagai bagian dari objective system/structure in a natural set-up daripada sebagai suatu moral order yang normatif telah memungkinkan upaya orang menduduki sebagai objek kajian yang 40 41 42 43
Idem. Ibid., hlm. 129-130. Ibid., hlm. 130. Ibid., hlm. 130-131.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
12
mendayagunakan metode dan prosedur saintifis. Struktur, proses, dan perubahan sosial adalah konstruksi-konstruksi rasional yang terkonsep sebagai fenomena yang karenanya setidak-tidaknya memperhatikan indikator atau proteksinya akan dapat diukur, didata, dikuantifikasikan, disimpulkan melalui analisis-analisis dan sintetissintetis menjadi generalisasi-generalisasi, teori-teori, dan hipotesis-hipotesis. Metode saintifis dan prosedur-prosedur teknisnya yang selama ini diterapkan dengan sukses untuk mengungkap misteri-misteri di dalam anorganik dan alam organik akan serta merta dinilai workable pula mengungkap keniscayaan-keniscayaan yang ada di dalam alam superorganik.44 Mengkaji hukum sebagai model hubungan sosial yang ideal dengan kekuatan sanksi penunjang yang berfungsi sebagai kekuatan koersif yang “sekalipun lagit akan runtuh” harus diterapkan guna menjamin secara pasti terciptanya kehidupan yang adil berdasarkan prinsip-prinsip dasar tertentu adalah bagian dari upaya olah kebiasaan profesional. The do and the don’t akan banyak mencoraki kajian (atau lebih tepatnya pelatihan) hukum di sini, dan bukan upaya-upaya menemukan the what and the why, namun dewasa ini kajian tentang hukum telah bercabang berbatang-batang ke perkembangan lain yang lebih dicoraki oleh corak corak yang menggolongkannya ke dalam bilang sains sosial yang bermetode saintifis itu. Berkembang menurut cabang aliran perkembangan ini, para eksponen pendukungnya tanpa ragu telah mengkonsepkan hukum sebagai bagian dari unsur kekayaan struktur (dalam makna yang tidak lagi terbatas pada ihwal substansi normatifnya saja akan tetapi juga mencakup seluruh aspeknya sebagai suatu institusi sosial). 45 Hukum ditunjau dari perspektif ini akan segera menampakan tidak lagi sebagai sistem normatif yang tertutup dan eksklusif melainkan sebagai suatu sistem empiris yang terbuka, dan eksis dalam suatu proses pertukaran inputs-outputs dengan berbagai faktor dan vektor yang berada di tengah suprasistem sosial. Dilihat dari perspektif yang menempatkannya pada suatu konteks yang lebih luas seperti itu, hukum pun lalu dapat tergarap sebagai bagian dari sains sosial dengan teori-teori sosial yang dapat dipakai untuk mengkonseptualkan permasalahannya dan dengan metode santifis dan prosedur penelitian sosial yang dapat pula dipakai untuk menguji segala praduga mengenai bekerjanya hukum sebagai variabel sosial.46 3. Diskursus Metodologis Penelitian Hukum Normatif dan Empirik dalam Analisis Filosofikal Dogmatikal Positivisme Secara empirik-filsafati, positivisme hukum lahir sebagai kritik terhadap aliran hukum kodrat, karena menurut positivisme hukum secara ratio aliran hukum kodrat terlalu idealistik dengan menempatkan segala variannya yang menempatkan ontologi hukum pada tataran yang sangat abstrak, sehingga positivisme hukum menolak karena tidak konkrit.47 Jika aliran hukum kodrat sibuk dengan permasalahan validasi nilai (abstrak), maka positivisme hukum justru hendak menurunkan kepada permasalahan konkrit.48 Kelemahan aliran hukum kodrat adalah kegagalannya mengembangkan suatu metode untuk menetapkan apa yang menjadi kodrat manusia dan apa ciri-ciri hakikinya. Setiap filosof mempunyai pandangan sendiri tentang moral, keadilan, dan 44 45 46 47
48
Idem. Ibid., hlm. 132. Idem. Sulistyowati Irianto & Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 8. Idem.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
13
sebagainya, sehingga menurut kritik positivisme hukum, paham hukum kodrat bersifat ambigu dan gagal memberikan kepastian hukum yang objektif. Pada titik ini, kritik positivisme hukum terhadap aliran hukum kodrat kelihatan meyakinkan. 49 Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, positivisme hukum mengistirahatkan filsafat dari kerja spekulasinya dan mengidentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan.50 Hanya dengan mengidentifikasikan hukum peraturan perundang-undangan, kepastian hukum akan diperoleh, karena orang tahu dengan pasti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya. Pemikiran ini, mengimplikasikan perpisahan tajam antara hukum dan moral. Hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, melainkan karena telah ditetapkan oleh penguasa yang sah.51 Epistemologi positivisme hukum yang semula kritis terhadap aliran hukum kodrat, menyudahi kekritisasiannya ketika menganggap positivisme hukum merupakan aliran paling akhir dan paling mutlak dari ilmu hukum. Sikap ini membuat positivisme hukum menutup pintu kritik, sehingga dialektika dianggap telah usai. 52 Artinya, kaum positivisme hukum benar-benar “kebenaran” ilmu dan praktik hukum telah final pada titik garis positivisme hukum, sehingga merasa tidak akan ada perkembangan baru di waktu mendatang. Sebuah monumen yang menjadi tanda usainya dialektika dalam ilmu dan praktik hukum adalah kodifikasi. 53 Positivisme hukum dalam perkembangannya mampu mempengaruhi banyak negara untuk menganut sistem kodifikasi. Di negara-negara yang menganut paham kodifikasi, undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum yang pasti. 54 Apabila diruntut ke belakang, sebelum lahirnya positivisme hukum telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang dikenal sebagai ajaran legisme. Aliran legisme mengidentikan hukum dengan undang-undang, atau tidak ada hukum di luar undang-undang dan undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum.55 49 50 51 52
53
54
55
Idem. Idem. Ibid., hlm. 9. Pandangan positivistik, Ilmu Hukum dalam arti luas harus menggunakan metode ini, jika tidak, maka penyebutan ”ilmu” adalah suatu kekeliruan. Sementara sebagian besar jenis-jenis Teori Hukum dalam arti luas, tidak melakukan hal itu. Hanya Sosiologi Hukum Empirik dan Teori Hukum Empirik dalam arti sempit yang dapat disebut ilmu berdasarkan kriteria positivistik. Ciri pandangan positivistik lainnya adalah pandangan tentang moral. Di dalam moral, proposisi-proposisi normatif dan evaluatif memainkan peranan utama. Menurut pandangan positivistik, proposisi-proposisi ini adalah non-kognitif, artinya tidak memberikan pengetahuan dan hanya proposisi informatif yang memberikan pengetahuan mengingat semua pengetahuan, berdasarkan teori korespondensi tentang kebenaran yang dianut, harus objektif. Lihat Ujang Charda S., Op. Cit., hlm. 37. Kelebihan kodifikasi di satu sisi, hukum menjadi definit dan masyarakat mempunyai akses untuk mengetahui hak, tugas, dan kewajibannya secara positif, sehingga lebih menjamin kepastian hukum. Hukum semakin sistematis, sehingga mengurangi beban penelitian hukum. Tugas hakim makin ringan, karena dapat membuat putusan berdasarkan pada peraturan yang dikodifikasi, tetapi di sisi lain terdapat kelemahan kodifikasi, yaitu menghambat perkembangan hukum karena keterpakuan pada kodifikasi yang ada. Lihat Idem. Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 9-10. Aliran legisme berkeyakina, bahwa undang-undang merupakan obat mujarab yang mampu menyelesaikan semua persoalan sosial. Cara pandang legisme mirip dengan positivisme hukum, namun dalam beberapa hal terdapat perbedaan, misalnya jika legisme mengidentifikasikan hukum hanya dengan undang-undang, positivisme hukum masih menerima hukum adat sebagai sumber hukum “kedua” setelah undang-undang. Jika dipetakan, legisme merupakan garis konservatif dari variasi positivisme hukum. Lihat Sulistyowati Irianto & Shidarta (ed.), Op. Cit., hlm. 9.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
14
Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak mempengaruhi perkembangan hukum di berbagai negara, termasuk Hindia Belanda. Pengaruh aliran legisme di Hindia Belanda dapat dibaca pada Pasal 15 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang antara lain berbunyi (dalam bahasa Indonesia) : “Terkecuali penyimpangan-penyimpangan yang ditentukan bagi orang-orang Indonesia dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecuali jika undang-undang menentukannya”. Di negara-negara yang menganut paham kodifikasi, sumber yang digunakan hakim dalam menjalankan tugasnya untuk mengadili adalah hukum positif (undangundang). Dalam pengertian ini, tugas hakim bukan menciptakan hukum (rechtsvorming) melainkan menerapkan hukum. Pasal 21 AB, menyatakan : “Tiada seorang hakimpun atas dasar peraturan umum atau penetapan berhak memutus dalam perkara-perkara yang tunduk pada putusannya”. Artinya, hakim tidak boleh menempatkan diri sebagai pembentuk undang-undang, tidak boleh menempatkan diri dalam putusannya itu seolah-olah pembentuk undang-undang.56 Pengaruh legisme sangat terasa dalam lapangan hukum pidana yang di kodifikasi dan diterapkan oleh Belanda di Indonesia dengan asas konkordasi. Hal ini ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar peraturan berkekuatan undang-undang yang terlebih dahulu ada dari perbuatan tersebut”. 57 Secara epistemologis, sejak teori pemisahan kekuasaan seperti halnya Teori Trias Politica muncul pada abad ke 17, hakim mendapat peran dalam lingkup yudikatif. Doktrin Trias Politica versi Baron de Montesquieu (1689-1755) menghendaki peran hakim terpisah dengan peran penguasa eksekutif dan legislatif. 58 Kata-kata Montesquieu dalam L’Esprit des lois : Les judge de la nation ne sont que la bouche qui pronounce les paroles de la lois; des entres inamines qui ne’em peuvent modere ni la force ni la rigueur (para hakim hanyalah mulut yang mengucapkan kata-kata undang-undang; mereka adalah mahluk yang tidak bernyawa yang tidak boleh melemahkan kekuatan dan kekerasan undang-undang).59 Dalam rambu seperti ini, hakim tidak ubahnya hanya menjadi corong atau terompet undang-undang (la baoche de la loi). Dengan demikian, hakim hanya pelaksana undang-undang. Hakim sebagai corong undang-undang, beban hakim diringankan, tidak perlu mempertimbangkan keadilan hukum itu sendiri, karena hakim membatasi diri pada penerapan hukum terhadap kasus yang dihadapinya dengan menggunakan sistem logika tertutup. 60 Dengan metode deduktif, sistem logika tertutup memerlukan perumusan premis mayor sebagai faktor penentu. Premis mayor dibangun dari norma positif dalam sistem peraturan perundang-undangan dan kemudian disandingkan dengan fakta yang merupakan premis minor, maka akan menghasilkan konklusi yang tidak terbantahkan. Karena logika deduktif sangat 56 57 58
59 60
Ibid., hlm. 10. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm. 1. Dalam perkembangannya, Trias Politica yang orisinil sudah ditinggalkan. Amerika Serikat yang terkenal dengan prinsip check and balances mengatur hak presiden untuk veto atas suatu rancangan undangundangan sekalipun sudah disetujui oleh kongres. Undang-undang pun terbuka diuji material oleh Mahkamah Agung. Perkembangan ini mengidentifikasikan, bahwa konsep pemisahan kekuasaan (sparation of powers) telah berubah dengan konsep pembagian kekuasaan (division of powers). Lihat Idem. Idem. Ibid., hlm. 11.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
15
bergantung pada perumusan premis mayor, maka formulasi dalam premis mayor dapat dipastikan bagaimana putusan hakim akan dijatuhkan. Penganur positivisme hukum percaya apabila sistem logika tertutup diikuti, maka akan hanya ditemukan satu kebenaran (objektif). Oleh karena hanya ada kebenaran tunggal, maka pemaknaan undang-undang juga harus monotafsir, terutama yang paling mungkin dilakukan adalah penafsiran gramatikal dan otentik. 61 Walaupun silogisme penting dan perlu, dalam praktiknya penalaran hukum tidak sesederhana dan selinier seperti diteorikan. Aturan hukum yang dipandang sebagai premis mayor selalu memerlukan interpretasi dalam konteks kenyataan faktual yang konkrit. Selain itu, dinamika kehidupan selalu memunculkan situasi baru yang terhadapnya belum ada aturan eksplisit yang secara langsung dapat diterapkan. Itu sebabnya, aturan hukum selalu mengalami pembentukan dan pembentukan ulang (dengan interpretasi). Premis mayornya berupa fakta yuridis, yakni fakta-fakta dari sebuah kasus dalam masalah hukum, juga tidak begitu saja terberi, melainkan harus dipersepsi dan dikualifikasi dalam konteks aturan hukum yang relevan untuk kemudian diseleksi dan diklasifikasi berdasarkan kategori-kategori hukum. Jadi, fakta yuridis bukan “bahan mentah”, melainkan fakta yang sudah diinterpretasi dan dievalusi.62 Dalam peta positivisme, ajaran bahwa hakim hanya corong undang-undang dan dilarang untuk menciptakan hukum, dilihat dari tradisi hukum yang berkembang di dunia umumnya dianut di negara-negara yang menganut tradisi hukum hukum kontinental (civil law). Para ahli hukum dari tradisi kontinental, pada dasarnya berada pada arus besar (mainstream) pemikiran, bahwa law as it is written in the book. Pada negara yang berkiblat pada tradisi kontinental, hakim dalam menyelesaikan perkara harus terlebih dulu melihat kepada undang-undang daripada sumber hukum lainnya.63 C.
Penutup
Kompleksitasnya hukum menyebabkan hukum itu dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang, sehingga lahirnya berbagai displin hukum di samping filsafat hukum dan ilmu hukum. Di sisi lain, hukum sebagai gejala sosial mengandung berbagai aspek, fase, ciri, dimensi waktu dan ruang, serta tatanan abstraksi yang majemuk. 64 Oleh karena itu, hukum dapat dikaji dan dipelajari secara rasional-sistematikal-metodikal dari berbagai sudut pandang dan pendekatan. Berdasarkan pengkajian tersebut terbentuk sebuah disiplin ilmiah yang objeknya adalah hukum. Keseluruhan disiplin ilmiah tersebut dapat disebut dengan satu istilah, yaitu Disiplin Ilmiah tentang Hukum atau Ilmu-ilmu Hukum atau Pengembanan Hukum Teoritikal. Istilah-istilah tersebut menunjukkan pada kegiatan akal budi untuk secara ilmiah (rasional-sistematikalmetodikal dan terus menerus) berupaya untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum dan penguasaan intelektual atas hukum.
61 62 63 64
Idem. Idem. Ibid., hlm. 12. Hukum berakar dan terbentuk dalam proses interkasi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keagamaan dan sebagainya), dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat, dibentuk ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan sifat masyarakat itu sendiri. Lihat lebih lanjut B. Arief Sidharta, Refleksi Op. Cit., hlm. 116.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
16
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Perundang-undangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum : Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2000. Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2001. Peter Mahmud Marzukui, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2005. ______, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Philipus M. Hadjon, Argumentasi Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005. Robert L. Hayman, Jurisprudence : Contemporary Readings, Problem and Narratives, West Publishing Company, St. Paul Minnesota, 1994. Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1986. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsan bekerjasama dengan Huma, Jakarta, 2002. Sri Rahayu Oktoberina & Niken Savitri (ed.), Butir-butir Pemikiran dalam Hukum (Memperingati 70 Tahun prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH.), Refika Aditama, Bandung, 2008. Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. Sulistyowati Irianto & Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009. Titik Triwulan Tutik (ed.), Bunga Rampai Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum (Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu), Prestasi Pustaka, Jakarta, 2007. Ujang Charda S., Disiplin Ilmu Hukum : Sebuah Pengembaraan dalam Memahami Fondasi, Struktur, Arsitektur & Kesejarahan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UNSUB, Subang, 2014. Akses internet : B. Arief Sidharta, “Disiplin Hukum tentang Hubungan Antara Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum (State of Arts)”, http://www.google.co.id/ search?hl=id&q=teori+ hukum+ pembangunan &start=130&sa=N, akses 1 Agustus 2008, jam 13 : 48 WIB. Lilik Mulyadi, “Kajian Deskriptif Analisis tentang Hakikat Ilmu Hukum Dikaji dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Axiologi Ilmu”, http://google.com, akses 15 Juni 2012, jam 13 : 24 WIB.