Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati. Di Pulau Taveuni, Fiji, sejumlah orang tanpa sengaja berkumpul. Setiapdari mereka diam-diam menyimpan luka di hati. John Spooke, seorang penulis Inggris, masih berduka akan kematian istrinya. Frank Andersen, seorang ahli biologi evolusioner dari Norwegia, kehilangan seorang anak dalam sebuah kecelakaan tragis dan berpisah dari istrinya. Di antara mereka, tidak ada yang lebih menarik perhatian daripada Ana dan Jose, pasangan penuh teka-teki dari Spanyol. Mengapa mereka kerap saling melontarkan kalimat-kalimat ganjil tentang alam semesta dan Joker? Mengapa Ana begitu mirip dengan model lukisan Maja karya Goya yang terkenal? Dan siapakah Joker itu? Apa hubungannya dengan Maya, “ilusi-dunia”? Novel Jostein Gaarder ini menyoroti gagasan-gagasan yang besar: penciptaan alam semesta, evolusi kehidupan di atas bumi, munculnya manusia, dan tujuan dari keberadaan manusia. Catatan Kesuksesan Dunia Sophie: Novel Terlaris di Dunia pada 199S Ś Telah diterjemahkan ke dalam 53 bahasa Ś Terjual lebih dari 30 juta kopi di seluruh dunia Ś Novel yang dipakai sebagai buku pengantar filsafat di berbagai universitas di dunia “Pengarang bestseller Dunia Sophie kembali dengan petualangan filosofis yang menakjubkan … kali ini memasuki dunia makna hidup dan cinta. Sangat menggoda!” Tlte Scotsman mizan Ś‘i - ‘Ś ”’ l*Ť - :- H ŚŚ Ś mizan hJtOSlK ŁAMA>V ‘ Ś * Ś Novel mizan JOSTEIN GAARDER Penulis Bestseller Dunia Sophie
Novel yang sarat gagasan. Menghibur sekai i et penuh hikmah. Daily Mail * Kita melahirkan dan dilahirkan oleh sebuah jiwa yang tak kita kenal. Kita adalah teka-teki yang tak teterka siapa pun. Kita adalah dongeng yang terperangkap dalam khayalannya sendiri.
Kita adalah apa yang terus berjalan tanpa pernah (iba pada pengertian. ? Sang mala yang meneliti alam semesta adalah mata alam semesta itu sendiri. Apakah dongeng benar-benar akan menjadi dongeng jika ia tidak bisa melihat dirinya sendiri? Apakah kehidupan sehari-hari akan menjadi keajaiban jika ia terus-menerus berkeliling untuk menjelaskan dirinya sendiri? la tahu ia akan pergi, maka ia sudah setengah-pergi. Ia akan pergi ke Ketiadaan. Begitu tiba, ia bahkan tidak akan dapat bermimpi untuk pulang, la menuju dunia yang di sana bahkan tidak ada tidur. Maya Misteri Dunia dan Cinta MIZAN PUSTAKA: KRONIK ZAMAN BARU adalah salah satu lini produk (product line) Penerbit Mizan yang menyajikan buku-buku bertema umum dan luas yang merekam informasi dan pemikiran mutakhir serta penting bagi masyarakat Indonesia. Misteri Dunia dan Cinta JOSTEIN GAARDER mizan KKOhIK /MUN BARU MAYA: MISTERI DUNIA DAN CINTA Diterjemahkan dari Maya Karya Jostein Gaarder Copyright Š Jostein Gaarder and H. Aschehoug &Co., Oslo, 1999 Diterbitkan oleh Phoenix House, London, Inggris, 2000 Hak terjemahan bahasa Indonesia pada Penerbit Mizan Penerjemah: Winny Prasetyowati Penyunting: Andityas Prabantoro Proofreader: Eti Rohaeti Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Cetakan 1, Januari 2008 Diterbitkan oleh Penerbit Mizan PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 135, Bandung 40294 Telp. (022) 7834310-Faks. (022) 7834311 e-mail:
[email protected] http\//www .mizan .com Desain sampul: Andreas Kusumahadi ISBN 979-433-491-X Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022) 7815500 -Faks. (022) 7802288 e-mail:
[email protected] Perwakilan: Jakarta: (021) 7661724; Surabaya: (031) 60050079, 8281857; Makassar: (0411) 871369 Untuk Siri Isi Buku Prolog, 11 Surat untuk Vera, 27 Dia yang Terakhir Melihat, Akan Melihat yang Terbaik, 33 Adam yang Tak Terheranheran, 69 Amfibi Garda Depan, 97 Seorang Manusia Nyamuk dan Seekor Tokek, 139 Saudara Tiri Manusia Neanderthal yang Ternama, 179
Konferensi Tropis, 221 Merpati Jingga, 261 Engkau Memilih untuk Membagi Dua Duka Kita, 299 Bellis Perennis, 323 Kurcaci dan Gambar Ajaib, 371 Logika Sangat Kekurangan Ambivalensi, 423 Catatan Tambahan, 447 Manifesto, 519 Prolog AKU TAK AKAN PERNAH MELUPAKAN PAGI YANG LEMBAB DAN BERANGIN pada Januari 1998 itu, saat Frank mendarat di Taveuni, sebuah pulau kecil di Fiji. Petir bergemuruh sepanjang malam, dan sebelum waktu sarapan, para pegawai Maravu Plantation Resort sibuk memperbaiki kerusakan di pembangkit listrik. Karena seluruh persediaan makanan beku terancam rusak, aku mengajukan diri mengemudi ke Matei untuk menjemput tamu-tamu baru yang dijadwalkan mendarat di pulau “dateline” dengan pesawat pagi dari Nadi. Angela dan Jochen Kiess sangat berterima kasih karena tawaranku itu, dan Jochen mengatakan bahwa pada waktu krisis, kita selalu dapat mengandalkan orang Inggris. Aku memerhatikan orang Norwegia yang serius itu saat ia memasuki Land Rover. Ia berumur 40-an tahun, bertinggi sedang, dan pirang seperti kebanyakan orang Skandinavia lainnya, tetapi matanya cokelat dan memiliki aura lesu. Ia memperkenalkan diri sebagai Frank Andersen, dan aku ingat saat itu aku mendugaduga bahwa mungkin ia adalah salah satu orang langka yang sepanjang hidup tertekan oleh kesedihan akan ketiadaan semangat dan keajekan dalam hidup kita. Dugaan ini menghilang saat pada sore harinya aku mengetahui bahwa ia adalah seorang ahli biologi evolusioner. Bagi mereka yang memang berkecenderungan murung, biologi evolusioner sama sekali bukan ilmu yang membangkitkan semangat. Di atas meja di rumahku di Croydon, ada secarik kartu pos dari Barcelona yang telah kusut, tertanggal 26 Mei 1992. Kartu pos itu bergambarkan kastel-pasir yang belum selesai dari sebuah katedral, La Sagrada Familia, karya Gaudi dan di belakangnya tertulis: Frank tercinta, Aku akan datang ke Oslo hari Selasa. Tetapi, aku tidak akan sendiri. Ada yang berbeda sekarang. Kau harus mempersiapkan dirimu untuk menghadapi sesuatu. Jangan telepon aku! Aku ingin bertemu denganmu sebelum kata mengemuka di antara kita. Ingatkah engkau tentang ramuan ajaib? Sesaat lagi kau akan dapat menikmati beberapa tetes darinya. Terkadang aku merasa amat takut. Adakah langkah yang bisa kita ambil berdua untuk berdamai dengan singkatnya kehidupan? Vera tercintamu. ? Suatu siang, saat aku dan Frank duduk menghabiskan bir kami di bar di Maravu, Frank memperlihatkan kartu pos dengan menara-menara tinggi itu. Aku telah memberitahunya bahwa beberapa tahun sebelumnya aku kehilangan Sheila, dan ia duduk di sana lama sebelum membuka dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu pos terlipat yang ia buka dan letakkan di meja di hadapan kami. Salam pembukanya tertulis dalam bahasa Spanyol, tetapi orang Norwegia itu menerjemahkannya kata demi kata. Seolah-olah ia membutuhkan pertolonganku untuk mengartikan apa yang ia terjemahkan sendiri. “Siapakah Vera?” tanyaku. “Apakah ia istri Anda?” Ia mengangguk. “Kami bertemu di Spanyol pada akhir delapan puluhan. Beberapa bulan kemudian, kami tinggal di Oslo.”
“Tapi kemudian, perkawinan Anda berantakan?” Ia menggelengkan kepala, tetapi kemudian menambahkan, “Sepuluh tahun kemudian, ia pindah kembali ke Barcelona. Itu adalah musim gugur yang lalu.” “Vera bukanlah nama Spanyol yang umum,” aku menambahkan. “Maupun Catalan.” “Itu adalah nama sebuah kota kecil di Andalusia,” katanya. “Menurut keluarganya, Vera dilahirkan di sana.” Aku menatap kartu pos itu. “Dan ia pergi ke Barcelona untuk mengunjungi keluarganya?” Ia menggelengkan kepalanya lagi. “Ia pergi ke sana selama beberapa minggu untuk mempertahankan tesis doktoralnya.” “Oh, begitu?” “Mengenai migrasi manusia pada zaman kuno dari Afrika. Vera adalah seorang ahli palaeontologi.” “Siapakah yang ia bilang akan dibawanya ke Oslo?” aku bertanya. Ia menunduk menatap gelasnya. “Sonja,” hanya itu yang ia katakan. “Sonja?” “Putri kami, Sonja.” “Jadi, Anda memiliki seorang anak perempuan?” Ia menunjuk ke arah kartu pos itu. “Begitulah saya mengetahui bahwa Vera tengah hamil.” “ “Bayi Anda?” Aku melihat tubuhnya sekilas mengejang. “Ya, bayi saya.” Aku merasa bahwa di suatu titik, kisah mereka berkembang buruk dan aku berusaha mendugaduga bagaimana itu terjadi. Aku masih punya beberapa petunjuk yang bisa diselidiki. “Dan ‘ramuan ajaib’ yang Anda rasakan beberapa tetes ini? Terdengar sangat menggoda.” Ia ragu-ragu. Lalu ia mengelak dari pertanyaanku dengan senyum malu-malu. “Tidak, itu terlalu bodoh,” ujarnya. “Itu hanyalah salah satu khayalan Vera.” Aku tidak memercayainya. Kurasa ini adalah salah satu khayalan Frank dan Vera. Aku memberi isyarat kepada penjaga bar dan memesan bir lagi. Frank hampir tidak menyentuh birnya. “Silakan lanjutkan,” ujarku. Ia pun melanjutkan. “Kami sama-sama memiliki dahaga yang tak terpuaskan akan kehidupan. Atau, bisakah saya sebut itu sebagai ‘dahaga akan keabadian’? Saya tak yakin Anda mengerti apa yang saya maksud.” Tentu saja aku mengerti! Aku merasa jantungku berdetak begitu kencang di dada sehingga aku berpikir sebaiknya aku menenangkan diri sejenak. Aku hanya mengangkat telapak tanganku untuk mengisyaratkan bahwa aku tidak perlu penjelasan lebih jauh tentang apa yang ia maksud dengan dahaga akan keabadian. Ia menuruti isyaratku itu. Jelas ini bukan pertama kalinya Frank mencoba menjelaskan makna dari kalimatnya itu. “Saya belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang juga memiliki kebutuhan yang tak bisa ditawar itu. Vera adalah seseorang yang praktis dan hangat. Tetapi
ia juga cukup lama hidup di dalam dunianya sendiri, atau bisa saya sebut sebagai dunia palaeontologi. Ia adalah tipe orang yang lebih cenderung ke arah vertikal ketimbang horizontal.” “Benarkah?” “Ia tidak terlalu tertarik dengan hiruk pikuk kehidupan. Atau dengan apa yang ia lihat dalam cermin. Ia cantik, bahkan sangat cantik. Tapi belum pernah saya melihatnya memegang majalah wanita.” Ia duduk sambil mencelupkan jari ke dalam birnya. “Ia pernah bercerita bahwa ketika muda, ia mendapatkan mimpi yang terasa amat nyata di siang bolong; mimpi tentang ramuan ajaib yang jika diminum setengahnya dapat memberinya hidup abadi. Lalu, ia akan memiliki waktu tak terbatas untuk mencari lelaki yang ia inginkan untuk meminum setengahnya lagi. Jadi, ia bisa yakin bahwa ia bakal bertemu laki-laki yang tepat suatu hari, jika tidak minggu depan, maka seratus atau seribu tahun lagi.” Aku menunjuk ke arah kartu itu lagi. “Dan sekarang ia telah menemukan ramuan kehidupan itu?” Ia tersenyum pasrah. “Saat kembali dari Barcelona awal musim panas ‘92, dengan muram ia menyatakan bahwa tentulah kami telah meneguk beberapa tetes minuman ajaib yang diimpikannya saat muda itu. Yang ia maksud adalah anak kami yang bakal lahir itu. ‘Sekarang, sedikit dari diri kita telah memulai kehidupannya sendiri,’ ujarnya. ‘Dan mungkin ia akan berbuah jutaan tahun ke depan.111 “Maksud Anda, keturunan?” “Betul, itulah yang ia pikirkan. Sebenarnya, setiap manusia di planet ini adalah keturunan dari satu wanita yang tinggal di Afrika beratus-ratus ribu tahun yang lalu.” Ia meneguk birnya dan terdiam selama beberapa waktu. Aku berusaha untuk membuatnya berbicara lagi. “Silakan lanjutkan,” aku mendesak. Ia menatap mataku dalam-dalam, seolah-olah mengukur apakah aku dapat ia percaya. “Saat Vera tiba di Oslo pada waktu itu, ia meyakinkan saya bahwa ia tidak akan ragu-ragu untuk membagi ramuan ajaibnya dengan saya jika ia memang memilikinya. Tentu saja saya tidak mendapatkan ‘ramuan ajaib’ itu, tapi itu tetap menjadi kenangan yang indah bagi saya. Saya dapat menangkap sekilas sesuatu yang mulia dalam dirinya karena ia telah berani memilih sesuatu yang tidak akan bisa ia ubah lagi.” Aku mengangguk. “Zaman sekarang sangat langka orang yang menjanjikan kesetiaan abadi. Orangorang tetap bersama hanya pada saat keadaan baik. Bagaimanapun, pasti ada saatsaat buruk. Saat itulah banyak orang yang melarikan diri.” Sekarang ia menjadi lebih berapi-api. “Saya rasa, saya dapat mengulang persis apa yang ia katakan. ‘Bagiku hanya ada satu laki-laki dan satu dunia,’ ujarnya. ‘Aku merasakannya dengan amat kuat karena aku hanya hidup sekali.’” “Itu adalah sebuah pengakuan cinta yang amat dalam,” aku mengangguk. “Tetapi, apa yang terjadi? Ia menjelaskan dengan sangat ringkas. Setelah menghabiskan bir, ia bercerita bahwa mereka kehilangan Sonja saat ia berumur empat setengah tahun, dan setelah
itu mereka tidak dapat hidup bersama lagi. Terlalu banyak kesedihan di bawah satu atap, ujarnya. Kemudian, ia hanya duduk dan memandang ke luar ke arah pepohonan palem. Ia tidak mau membicarakan hal itu lagi, walaupun dengan hati-hati aku mencoba beberapa kali untuk memancingnya. Selain itu, perbincangan kami agak terhenti saat seekor kodok besar melompat naik ke lantai tempat kami duduk. Ada bunyi “Blukl”, dan kodok itu pun merangkak di bawah meja di antara kaki-kaki kami. “Seekor kodok tebu,” ujarnya. “Kodok tebu?” “Atau Bufo marinus. Mereka didatangkan dari Hawaii pada 1936 untuk memerangi serangga di perkebunan tebu. Mereka berkembang subur di sini.” Ia menunjuk ke arah pepohonan palem dan kami pun melihat empat atau lima ekor lainnya. Beberapa menit kemudian, aku berhasil menghitung sepuluh atau dua belas kodok di atas rumput yang lembap. Aku sudah tinggal berhari-hari di pulau ini, tetapi belum pernah melihat begitu banyak kodok sekaligus. Frank nyaris seolaholah menarik perhatian mereka, dan tidak lama kemudian, sekitar dua puluh ekor telah muncul di sekitar kami. Memandangi semua kodok itu membuatku sedikit jijik. Aku menyalakan sebatang rokok. “Saya masih berpikir tentang ramuan yang Anda sebutkan tadi,” ujarku. “Tidak semua orang berani menyentuhnya. Saya rasa, kebanyakan orang akan membiarkannya saja.” Lalu, aku menegakkan pemantikku di atas meja dan berbisik, “Ini adalah pemantik ajaib. Kalau Anda menyalakannya sekarang, Anda akan hidup abadi.” Ia menatap mataku tanpa senyum sedikit pun. Seolah-olah pupil matanya bersinar. “Tapi, renungkan baik-baik,” aku menekankan. “Anda hanya punya satu kesempatan ini, dan keputusan Anda tak akan pernah dapat diubah.” Ia mengesampingkan peringatanku. “Itu tidak ada bedanya,” katanya, tapi bahkan pada saat itu aku masih tidak yakin arah mana yang ia tuju. “Apakah Anda menginginkan rentang hidup yang normal?” tanyaku dengan sungguh-sungguh. “Atau Anda berharap tetap berada di Bumi ini untuk selamanya?” Dengan perlahan tetapi yakin, Frank memungut pemantik itu dan menyalakannya. Aku terkesan. Aku telah menghabiskan hampir seminggu di Pulau Fiji itu, tapi sekarang aku tidak lagi merasa sendiri. “Tidak banyak yang seperti kita,” aku berkomentar. Kemudian, untuk pertama kalinya, ia menyeringai lebar. Kurasa, seperti halnya diriku, ia pun terkesan akan pertemuan kami. “Tidak, pasti tidak banyak,” ia sepakat. Kemudian, ia setengah bangkit dari kursinya dan menjulurkan tangannya kepadaku di atas gelas-gelas bir. Rasanya seolah-olah kami adalah anggota klub eksklusif yang sama. Frank dan aku sama sekali tidak takut hidup abadi. Kami justru takut terhadap hal sebaliknya. Tidak lama lagi waktu makan malam, jadi aku mengusulkan untuk mengesahkan solidaritas kami yang baru saja terjalin ini dengan minuman. Ketika aku
menyarankan gin, ia mengangguk senang. Kodok-kodok terus bermunculan di pepohonan palem, dan sekali lagi aku merasakan gelombang rasa jijik. Aku mengaku kepada Frank bahwa aku belum terbiasa dengan adanya tokek di dalam kamarku. Gin pun datang. Dan saat para karyawan sedang menyiapkan meja-meja untuk makan malam, kami pun duduk dan bersulang untuk para malaikat di surga. Kami juga bersulang untuk kelompok kecil kami, yaitu semua orang yang tidak pernah bisa menghilangkan rasa iri mereka terhadap kehidupan abadi para malaikat. Sambil menunjuk ke arah kodok-kodok di antara pepohonan palem, Frank mengatakan bahwa berdasarkan sopan santun, kami juga sebaiknya bersulang untuk mereka. “Mereka juga saudara sedarah kita,” ia menjelaskan. “Hubungan kita lebih dekat dengan mereka ketimbang malaikat.” Frank memang seperti itu. Kepalanya mungkin tinggi di angkasa, tetapi kakinya tetap berpijak kokoh di tanah. Sehari sebelumnya ia mengakui bahwa ia tidak menikmati terbang dengan pesawat ringan yang telah membawanya dari Nadi ke Matei. Ia menceritakan banyaknya guncangan dan kegelisahannya karena tidak ada kopilot dalam penerbangan singkat itu. Sambil minum, ia memberitahuku bahwa pada akhir April, ia akan menghadiri sebuah konferensi di kota universitas kuno, Salamanca, dan bahwa setelah menelepon pusat konferensi sehari sebelumnya, ia telah memastikan bahwa Vera juga telah mendaftar untuk konferensi itu. Masalahnya adalah, ia sama sekali tidak tahu apakah Vera tahu mereka akan bertemu di Salamanca. “Tapi Anda berharap begitu?” aku mengambil risiko. “Anda berharap ia akan ada di sana?” Ia tidak menjawab pertanyaanku. Sore itu, semua meja di restoran Maravu telah disusun untuk membentuk satu meja panjang. Itu adalah ide dariku karena banyak dari para tamu yang datang sendirian. Tepat pada saat Ana dan Jose, pengunjung yang pertama, memasuki ruangan, aku menatap untuk terakhir kalinya kartu pos dengan delapan menara Promethea yang menjulang ke angkasa itu, dan mengembalikannya kepada Frank. “Simpan saja!” desaknya. “Saya sudah hafal setiap katanya.” Aku tidak dapat mengabaikan kepahitan dalam suaranya dan mencoba membujuknya berubah pikiran. Tapi ia bersikeras. Sepertinya ia sudah mengambil keputusan yang penting. “Jika saya yang menyimpannya,” ujarnya, “cepat atau lambat mungkin saya akan merobeknya. Jadi lebih baik jika Anda menyimpannya untuk saya. Dan, siapa tahu mungkin kita bertemu lagi suatu hari.” Walaupun demikian, aku memutuskan akan mengembalikan kartu pos itu sebelum ia meninggalkan pulau dateline itu. Tapi, pada pagi keberang-katan Frank, sebuah peristiwa di Maravu mengalihkan perhatianku. Pertemuanku kembali dengan orang Norwegia itu, hampir setahun kemudian, adalah salah satu kebetulan luar biasa yang menambah bumbu dalam kehidupan dan kadangkadang memupuk harapan bahwa memang ada kekuatan gaib yang mengawasi hidup kita, dan sesekali membenahi benang-benang takdir. Kebetulan juga telah menggariskan bahwa aku bukan hanya memiliki kartu pos tua itu. Mulai hari ini, aku juga memiliki surat panjang yang ditulis Frank untuk Vera setelah pertemuan mereka di bulan April. Fakta bahwa dokumen langka ini akhirnya jatuh ke tanganku kuanggap sebagai sebuah prestasi pribadi sebuah prestasi yang tidak mungkin terwujud jika saja aku tidak secara kebetulan bertemu dengan Frank di Madrid enam bulan kemudian. Kami bahkan bertemu di Hotel Palace, hotel tempat ia pernah duduk dan menulis untuk Vera. Saat itu November 1998.
Dalam suratnya kepada Vera itu, Frank menjelaskan beberapa episode yang kami berdua lewatkan di Fiji. Cukup dimengerti bahwa ia lebih memilih membicarakan Ana dan Jose, tetapi ia juga menyinggung beberapa percakapan di antara kami. Selama menjalankan tugas mengetengahkan secara lengkap surat panjang ini, ada godaan untuk menambahkan cerita Frank dengan beberapa komentarku sendiri di sana sini. Akan tetapi, aku memilih untuk mengulang surat kepada Vera itu seutuhnya, sebelum menambahkan catatanku sendiri yang cukup panjang. Tentu aku sangat senang memiliki surat panjang ini, karena memungkinkanku mempelajari kelima puluh dua manifesto itu. Sehubungan dengan itu, perkenankan aku menyatakan bahwa sungguh keliru jika ada yang menduga bahwa aku telah mencuri surat pribadi ini. Sama sekali bukan itu yang terjadi. Tetapi, itu adalah hal lain lagi dan aku akan menjelaskannya dalam catatan tambahan. Dalam beberapa bulan mendatang, kita akan memasuki abad ke-21. Aku merasa waktu berjalan dengan sangat cepat. Aku merasa waktu berjalan semakin dan semakin cepat saja. Sejak masih kanak-kanak masa yang belum lama berlalu aku tahu akan berumur tepat 67 tahun sebelum menyaksikan milenium berikutnya. Pikiran itu selalu memesona sekaligus mengerikan bagiku. Aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada Sheila pada abad ke-20. Ia baru berusia 59 tahun saat wafat. Mungkin aku akan kembali ke pulau dateline itu untuk menyaksikan pergantian milenium. Aku mempertimbangkan untuk meletakkan surat kepada Vera ini dalam sebuah kapsul waktu, yang akan tetap tersegel selama seribu tahun. Aku sangsi surat ini perlu dipublikasikan sebelum seribu tahun, dan hal yang sama juga berlaku untuk manifesto itu. Seribu tahun bukanlah rentang waktu yang panjang, terlebih jika dibandingkan dengan jutaan tahun yang tercakup dalam manifesto itu. Namun, seribu tahun cukup lama untuk menghapus sebagian besar jejak-jejak kita, makhluk hidup yang fana, dan untuk membuat kisah Ana Maria Maya menjadi, paling banter, sebuah mitos dari zaman purba. Kapan tepatnya kata-kata yang akan kusampaikan ini akan didengar sudah tidak lagi penting pada masa hidupku. Yang terpenting adalah suatu saat nanti, hal ini harus diceritakan; dan bahkan tidak harus oleh diriku. Mungkin itulah sebabnya aku mulai berpikir tentang kapsul waktu itu. Mungkin, setelah seribu tahun, dunia tidak lagi sebuah tempat yang berisik seperti sekarang. Setelah membaca ulang surat kepada Vera itu, akhirnya aku merasa siap untuk mulai mengemasi pakaian-pakaian Sheila. Sudah waktunya. Beberapa orang dari Bala Keselamatan akan datang besok pagi dan mereka berjanji untuk membawa semuanya. Mereka bahkan juga akan membawa barang-barang tua yang tidak akan dapat mereka jual. Rasanya nyaris seperti meruntuhkan sarang burung walet tua yang sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun. Sesaat lagi aku akan mapan sebagai seorang duda. Itu juga adalah sebuah kehidupan. Aku tidak akan lagi terperanjat jika memandang foto Sheila. Menilik kebiasaanku belakangan ini berkutat dengan segala kenangan lama, mungkin sepertinya berlawanan jika bahkan sekarang pun aku tidak akan menolak untuk meneguk ramuan ajaib Vera. Aku akan melakukannya tanpa berkedip, bahkan jika aku tidak bisa yakin dapat menemukan orang lain yang akan kuberikan setengah ramuan itu. Toh sudah terlambat bagi Sheila. Satusatunya yang bisa ia lakukan selama setahun lalu hanyalah kemoterapi. Aku sudah memiliki rencana untuk besok. Aku telah mengundang Chris Batt untuk makan malam. Chris adalah kepala pustakawan di perpustakaan baru kami di Croydon. Aku adalah salah seorang pengunjung setia perpustakaan itu. Menurutku,
suatu kehormatan besar bagi kota ini memiliki sebuah perpustakaan modern yang dilengkapi sejumlah eskalator. Chris adalah seseorang yang inovatif. Aku yakin ia tidak akan menyalakan pemantik di bar di Maravu itu. Ataupun merasa jijik saat memandangi kodok-kodok itu. Aku sudah bertekad untuk bertanya kepada Chris apakah menurutnya kata pengantar sebuah buku biasanya ditulis sebelum atau sesudah penulisan isinya. Aku sendiri punya teori bahwa kata pengantar hampir selalu ditulis pada saat terakhir. Ini sejalan dengan suatu hal lain yang menarik perhatianku, terutama sesudah membaca surat dari Frank. Sekian ratus juta tahun telah berlalu sejak amfibi pertama mulai merangkak di daratan, sampai akhirnya muncul makhluk hidup di planet ini yang dapat menceritakan kejadian tersebut. Baru sekaranglah kita dapat menulis kata pengantar bagi sejarah manusia lama setelah sejarah itu terjadi. Ini seperti ular yang menggigit ekornya sendiri. Mungkin hal ini juga berlaku untuk semua proses kreatif. Mungkin ini juga berlaku dalam komposisi musik, contohnya. Aku membayangkan bahwa hal yang paling terakhir ditulis dalam sebuah simfoni adalah bagian preiude-nya. Aku akan menanyakan kepada Chris pendapatnya tentang hal ini. Ia sedikit Jenaka, tapi bijaksana. Aku yakin Chris Batt tidak akan dapat menyebutkan bahkan satu pun opera komedi yang bagian pembukanya ditulis sebelum bagian-bagian lainnya terselesaikan. Sinopsis dari cerita apa pun tidak akan muncul sampai ia tidak lagi punya manfaat. Sama seperti suara guntur tidak pernah dapat memperingatkan kita akan datangnya kilat. Aku tidak tahu apakah Chris Batt tahu banyak mengenai astronomi, tetapi aku juga akan menanyakan pendapatnya tentang rangkuman singkat sejarah alam semesta berikut ini: Tepuk tangan bagi Big Bang baru terdengar lima belas miliar tahun setelah ledakan itu terjadi. Berikut ini adalah surat kepada Vera selengkapnya. Croydon, Juni 1999 John Spooke Vera Sayang, Dua minggu telah berlalu sejak kita bertemu, dan karena apa yang terjadi pada malam itu, mungkin engkau merasa sudah saatnya engkau mendengar kabar dariku. Aku hanya menunggu agar dapat membereskan segala sesuatu. Aku tetap tinggal di Salamanca setelah konferensi itu karena aku yakin, benarbenar yakin, bahwa merekalah yang kulihat di bawah jembatan Sungai Tormes. Kau pikir aku bercanda, kau pikir aku mengulur waktu hanya untuk membuatmu tetap terhibur sampai kita kembali ke hotel. Tetapi memang Ana dan Joselah yang kulihat saat itu, dan aku tidak dapat meninggalkan kota itu sebelum menghabiskan satu atau dua hari untuk mencari mereka lagi. Tidak sengaja aku bertemu mereka lagi keesokan harinya di Plaza Mayor. Tapi, aku tidak boleh terburu-buru. Aku sudah memutuskan akan menceritakan segalanya kepadamu secara kronologis. Marilah kujelaskan garis besar alasanku duduk dan menuliskan surat ini untukmu hari ini. Satu setengah minggu kemudian kemarin lusa aku bertemu dengan Jose di Prado di Madrid sini. Rasanya hampir seperti ia memang mencariku di antara galeri-galeri Prado yang luas. Pagi ini kami bertemu lagi. Aku tengah duduk di sebuah bangku di Taman Retiro, dengan teliti mengingat kembali semua yang telah ia ceritakan kepadaku sejauh ini, tetapi beberapa potong masih tidak kumengerti. Tiba-tiba ia telah berdiri di hadapanku seolah-olah seseorang telah memberitahunya ke mana aku berjalan-jalan setiap hari. Ia pun duduk, dan kami tetap duduk di situ selama beberapa jam hingga aku menemaninya berjalan melalui taman menuju Stasiun Atocha. Sekonyong-konyong ia menjejalkan seikat foto ke tanganku, lalu berlari untuk mengejar kereta. Setiba di kamar
hotel, aku baru tahu bahwa di balik setiap foto tertulis sesuatu. Itulah manifesto yang dimaksud, Vera! Aku memiliki seluruh set kartu solitaire dalam genggamanku. Semua yang Jose ceritakan kepadaku di Taman Retiro, ditambah apa yang ia berikan kepadaku sebelum menghilang, mencegahku meninggalkan kota ini sebelum mengirimkan seluruh cerita ini kepadamu. Saat ini pukul dua siang, dan aku tidak akan dapat banyak tidur malam ini. Akan kupesan kopi dan sedikit makanan untuk diantar ke kamarku, tapi selain dari itu tidak ada yang dapat menggangguku dari tugasku satu-satunya, yaitu mengirimkan surat panjang ini kepadamu sebelum aku berkemas dan berangkat menuju Sevilla hari Jumat pagi. Aku sedikit khawatir bahwa mungkin engkau tidak akan segera mengakses internet. Ada pula godaan untuk menuliskan laporan ini dalam beberapa tahap. Tetapi, engkau harus mendapatkan laporan ini sekaligus semuanya atau tidak sama sekali. Sempat terpikir bahwa mungkin setidaknya aku seharusnya mengirimkan sebuah email untuk mem-peringatkanmu bahwa sebuah e-mail lain yang lebih panjang akan tiba suatu saat besok. Tapi, aku bahkan tidak yakin apakah engkau ingin mendapat kabar dariku lagi. Pokoknya, aku harus sedikit keras berupaya membuatmu memercayai cerita ini, dan aku bahkan belum mulai menuliskannya. Di Fijilah aku mula-mula terjerat dalam jaring laba-laba ini, tapi sekarang aku tidak ingat seberapa banyak yang telah kuceritakan kepadamu tentang hal itu. Kita bertemu hanya beberapa hari, dan kita berdua berpendapat lebih baik saling menjaga jarak. Namun, saat itu, ketika aku yakin melihat pasangan luar biasa dari Fiji itu, aku ingat segala cerita langsung mengalir keluar dari mulutku. Aku hanya tidak dapat mengingat apa yang sudah dan apa yang belum kuceritakan kepadamu karena engkau terus memotongku dengan gelak tawamu kau pikir aku hanya mengarang cerita secara spontan, untuk menghiburmu dan membuatmu betah berkumpul denganku pada malam di tepi sungai itu. Kau pasti bertanya-tanya apa sangkut pautnya Ana dan Jose dengan dirimu, atau dalam hal ini dengan kita. Mungkin sebaiknya aku mengingatkanmu tentang pertanyaan yang pernah kau kirimkan kepadaku dari Barcelona. Engkau menulis: “Adakah langkah yang bisa kita berdua ambil untuk berdamai dengan singkatnya kehidupan?” Sekarang aku mengangkat lagi pertanyaan itu, dan untuk menjawabnya, pertama-tama aku harus membicarakan Ana dan Jose. Supaya benar-benar memahami misiku, engkau harus melangkah mundur bersamaku bahkan lebih jauh lagi ke masa lalu, mungkin hingga periode Devonian ketika amfibi pertama muncul. Kurasa, di sanalah cerita ini dimulai. Tidak peduli apa yang terjadi di antara kita, aku akan memintamu untuk melakukan sesuatu untukku. Tapi untuk saat ini, duduk sajalah dan baca. Baca saja![] Dia yang Terakhir Melihat, Akan Melihat yang Terbaik TAHAP TERAKHIR DARI EKSPEDISIKU SELAMA DUA BULAN DI PASIFIK ADALAH sebuah pulau di Fiji bernama Taveuni. Tugasku adalah menyelidiki bagaimana spesies-spesies tanaman dan hewan yang didatangkan dari luar daerah itu telah memengaruhi keseimbangan ekologi. Spesies-spesies itu mencakup “pendatang gelap”, seperti tikus dan cecurut, serangga dan kadal, tetapi juga spesies-spesies yang kedatangan mereka relatif direncanakan, seperti oposum dan luak, untuk membatasi jumlah hewan-hewan lain, terutama hama yang menyerang bentuk-bentuk pertanian baru. Kelompok ketiga terdiri dari binatang liar yang telah dijinakkan, seperti kucing, kambing, dan babi, juga tidak lupa hewan-hewan yang telah dengan gegabah didatangkan sebagai bahan masakan atau sebagai binatang buruan diwakili oleh binatang-binatang herbivora, seperti kelinci dan rusa kecil. Sementara untuk tanaman-tanaman yang didatangkan, baik sebagai hiasan maupun untuk diambil manfaatnya, daftar spesiesnya terlalu panjang dan bervariasi pada setiap pulau sehingga tidak ada gunanya menyebutkan namanama mereka. Bagi penelitian-penelitian semacam ini, bagian selatan Pasifik itu bagaikan kota harta karun El Dorado. Belum lama yang lalu,
semua pulau yang terisolasi ini memiliki keseimbangan ekologi yang terdiri dari beragam flora dan fauna asli, yang terjaga sejak zaman purba. Kini, Oseania memiliki proporsi terbesar hewan yang terancam punah baik dari segi ukuran maupun populasi. Ini bukan hanya karena didatangkannya spesies-spesies baru; di banyak tempat, penebangan hutan dan pengelolaan pertanian yang tidak bijaksana telah menyebabkan erosi tanah yang fatal, yang akhirnya menghancurkan habitathabitat tradisional. Hingga seabad yang lalu, beberapa dari pulau yang kukunjungi itu hampir tidak pernah tersentuh oleh kebudayaan Eropa. Tetapi, kemudian datanglah gelombang besar kolonisasi Eropa yang terakhir. Tentunya setiap pulau, setiap permukiman baru, dan setiap pendaratan memiliki cerita masing-masing. Namun, dampak ekologisnya selalu mengikuti sebuah pola menyedihkan yang sama: hewan-hewan dari kapal, seperti tikus, cecurut, dan serangga, adalah pencemaran ekologis yang datang bersamaan dengan kapal-kapal yang pertama berlabuh di pulau-pulau itu. Untuk menanggulangi kerusakan yang disebabkan makhluk-makhluk ini, spesiesspesies hewan baru pun didatangkan. Kucing didatangkan untuk menekan jumlah tikus, dan katak untuk mengendalikan beberapa jenis serangga, terutama di perkebunan tebu. Dengan segera, spesies-spesies ini pun menjadi hama dan pengganggu yang lebih besar daripada tikus dan serangga-serangga sebelumnya. Maka, predator lain pun diperkenalkan. Akhirnya, hewan ini juga akan menjadi sebuah bencana ekologi, tidak hanya bagi sejumlah spesies burung, tetapi juga bagi banyak reptil asli yang unik. Maka, predator yang lebih besar pun dibutuhkan. Dan seterusnya, Vera, dan seterusnya. Akhir-akhir ini, kita lebih memercayai berbagai macam racun, virus, dan zat sterilisasi dengan kata lain, perang kimia dan biologi. Namun, tidak mudah menyusun sebuah rantai makanan baru, seandainya itu memang mungkin dilakukan. Sebaliknya, sungguh mudah untuk menghancurkan sebuah keseimbangan ekologi yang telah diciptakan oleh alam selama berjuta-juta tahun. Namun, kesembronoan tidak lagi mengenal batas-batas negara. Yang aku maksud adalah kecerdikan yang pongah. Terlintas dalam pikiranku kekayaan sumber daya yang tetap tak tereksploitasi oleh kaum Aborigin, Maori, dan Melanesia sebelum mereka mulai dididik orang putih. Aku terpikir akan kegilaan semangat mencari keuntungan dan kerakusan. Sekarang kita menggunakan eufemisme seperti “globalisasi” dan “perjanjian dagang”. Hal ini memberi kesan bahwa makanan bukanlah lagi sesuatu untuk dimakan, melainkan sebuah komoditas. Jika dahulu manusia dapat memuaskan keinginan mereka dari apa-apa yang dihasilkan tanah, kini semakin bertambah besar tumpukan benda-benda tak berguna yang terus diproduksi, yang hanya mampu dibeli oleh mereka yang paling kaya. Kita tidak lagi hidup dari tangan ke mulut. Zaman surgawi telah berlalu. Terlepas dari hal itu, engkau pasti tahu benar minatku yang tak pernah sirna terhadap reptil. Ke-kagumanku yang kekanak-kanakan akan kehidupan di planet ini pada zaman dahulu menjadikanku seorang ahli biologi. Keputusanku itu kuambil jauh sebelum dinosaurus tiba-tiba menjadi begitu populer. Aku ingin tahu mengapa reptil-reptil tingkat tinggi ini tiba-tiba mati. Aku juga tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah henti menghantuiku: apakah yang akan terjadi seandainya dinosaurus tidak punah? Apakah yang akan terjadi pada mamalia-mamalia kecil mirip tikus yang merupakan nenek moyang dirimu maupun diriku? Bahkan lebih penting lagi: apakah yang akan terjadi pada dinosaurus? Di Oseania, aku mendapatkan banyak kesempatan untuk mempelajari beberapa spesies reptil purbakala. Salah satu puncaknya adalah tuatara purba yang hidup di beberapa pulau kecil yang terpencil di sekitar Selandia Baru. Dengan mengambil risiko membuatmu sedikit kesal, harus kuakui bahwa aku dipenuhi kekaguman yang tak dapat dijelaskan ketika aku melihat salah satu reptil hidup tertua di bumi, yang bertahan di sisa-sisa hutan tua daratan Gondwana. Reptil-reptil purba ini hidup dalam lubang-lubang di bawah tanah; sering berbagi ruang dengan burung fulmar. Mereka tumbuh hingga sepanjang 70 sentimeter, dan dengan suhu tubuh optimal hanya 9°C, mereka dapat hidup lebih dari satu abad. Jika engkau melihat mereka pada malam hari, rasanya seperti berada di zaman Jura, saat Laurasia terpecah dari Gondwana dan dinosaurus-dinosaurus raksasa baru saja mulai
berevolusi. Pada saat itulah Rhynchocephaliae, sebagai sebuah kelas reptil yang kecil namun sangat ulet, menjadi berbeda dari ordo-ordo kadal lainnya. Hebatnya, satu-satunya wakil dari ordo itu yang masih bertahan, yaitu tuatara, tetap tidak berubah selama sekitar dua ratus juta tahun. Napasku tercekat, Vera. Keberadaan tuatara tidak kurang mengagumkan daripada jika seekor burung purba ditemukan hidup di salah satu pulau terpencil ini. Sesungguhnya, pada 22 Desember 1938, tercatat peristiwa yang hampir seperti itu di lepas pantai Afrika Selatan, ketika sebuah kapal nelayan menangkap seekor ikan duri berongga dalam jalannya, seekor ikan yang disebut coelacanth. Kelas ikan duri berongga ini, yang sangat penting bagi evolusi karena engkau dan aku serta setiap mamalia darat lainnya dapat dilacak keturunannya dari kelas ini, hingga Natal 1938 hanya ditemukan dalam bentuk fosil, dan diduga telah punah hampir seratus juta tahun yang lalu. Baik coelacanth maupun tuatara pantas dinamakan “fosil hidup”, dan mungkin aku harus menambahkan “sejauh ini”. Tuatara belumlah lama tersebar luas di Selandia Baru. Aku tidak pernah merasa senang menggunakan deskripsi rekan sesama akademisi akan suatu spesies hewan. Minatku selalu terpusat pada perkembangan spesies-spesies, dan dalam hal ini kita sering harus banyak bergantung pada sisa-sisa fosil. Tak diragukan lagi bahwa sensasi fosil terbesar dalam abad terakhir ini adalah penemuan dinosaurus berbulu belum lama ini. Penemuan baru ini memberikan bukti nyata bahwa burung berasal dari dinosaurus. Engkau hampir-hampir dapat mengatakan bahwa burung adalah dinosaurus! Aku bukan berkata tidak tertarik pada tulang belulang tua dan fosil. Hanya saja, begitu menangani spesies hidup, aku lebih suka melakukan sendiri penelitian lapangan sebelum mengambil informasi dari tulisan-tulisan ilmiah orang lain dan membenamkan diri dalam analisis yang lebih sistematis. Sejauh berhubungan dengan tuatara demikian pula dengan sejumlah spesies asli lainnya yang memiliki usia cukup tua habitat mereka bertahan luar biasa utuh selama berjuta-juta tahun. Ah, memang benar, aku tidak menyangkal bahwa ada saat-saat aku merasa bagaikan seorang Darwin masa kini, yaitu ketika aku terbang dari pulau ke pulau di atas karang koral berwarna hijau, biru kehijauan, dan biru langit. Di Fiji, aku terutama tertarik untuk mempelajari spesies langka iguana berjambul yang hanya dapat ditemukan di beberapa pulau di sana dan baru diidentifikasi pada 1979 (oleh John Gibbons). Fiji memiliki dua spesies iguana, dan ini saja merupakan hal yang luar biasa karena spesies-spesies itu tidak ditemukan di mana pun di Asia kecuali di Fiji dan sejauh berhubungan dengan spesies ini juga di Tonga. Sebelumnya sering diduga bahwa iguana-iguana ini pastilah, secara ajaib, berhasil menyeberang dari Amerika Selatan di atas sisa-sisa tumbuhan yang terapung! Ini adalah sebuah kemungkinan, tentu saja, karena kemampuan untuk berpindah dari satu benua ke benua lain dengan menaiki batang-batang kayu balsa dan semacamnya mungkin tidak terbatas pada primata. Namun, Profesor Peter Newell dari Universitas Pasifik Selatan menyatakan bahwa iguana di Fiji mungkin memiliki sejarah geologis yang jauh lebih tua daripada yang dipercaya sebelumnya. Ia menulis: “Penemuan-penemuan terakhir akan subfosil buaya yang dapat berenang beribu-ribu kilometer jauhnya mungkin menunjukkan bahwa iguana telah berada di sini jauh lebih lama daripada yang disangka sebelumnya. Sebelumnya mereka dianggap sebagai peninggalan dari daratan Gondwana ketika Fiji beserta negara-negara seperti Selandia Baru, Australia, dan India menjadi bagian dari satu lempeng benua yang besar, yang di kemudian hari terpecah menjadi bagian-bagian kecil.” Iguana juga dapat ditemukan di Madagaskar, yang merupakan bagian dari daratan Gondwana lebih dari 150 juta tahun yang lalu. Tapi sekarang, aku tidak akan membuatmu bosan dengan penelitianku. Engkau akan memiliki banyak kesempatan untuk mengetahui lebih banyak saat laporannya dipublikasikan suatu saat pada sekitar pergantian milenium. Dan, tentu saja, hanya jika engkau memang tertarik berjanjilah padaku. *
Saat itu, aku tengah berada dalam perjalanan pulang dari Auckland. Beberapa kali dalam seminggu, Air New Zealand menyediakan penerbangan yang nyaman via Nadi dan Honolulu menuju Los Angeles dengan penerbangan lanjutan ke Frankfurt. Tidak ada yang menungguku di rumah benar-benar tidak ada jadi aku memutuskan untuk berhenti di Fiji selama beberapa hari. Sebagian untuk mencerna seluruh kesan yang kudapat selama aku masih berada di tengah kepulauan tropis. Sebagian lagi untuk beristirahat dan sedikit meregangkan kaki sebelum perjalanan pulang yang panjang. Aku sudah menghabiskan seminggu di Fiji ketika aku tiba di Oseania pada awal November. Namun, aku belum sempat mengunjungi permata terindah dari kepulauan tersebut. Yang kumaksud adalah Taveuni, yang sering disebut sebagai “Pulau Taman dari Fiji” karena kesuburannya yang tak tertandingi dan letaknya yang relatif terpisah dari dunia luar. Rute penerbangan dari Nadi menuju Taveuni pagi itu terlalu penuh dan karenanya, koperku bepergian di atas pesawat yang terlalu penuh tersebut sementara aku dan empat penumpang lain dijejalkan ke dalam apa yang mereka sebut sebagai “pesawat kotak korek api”. Bisa kukatakan namanya benar-benar cocok. Kami hampir-hampir harus merangkak untuk dapat memasuki pesawat kecil berkursi enam itu. Di dalam kabin, kami segera disambut oleh sang pilot, yang dengan riang mengumumkan bahwa sayang sekali tidak ada makanan maupun minuman selama perjalanan. Ia juga meminta kami untuk tidak berjalan-jalan di gang tengah jika memang tidak perlu. Ia cukup berhasil menyebabkan suasana hati para penumpangnya dipenuhi humor gelap. Tambahan lagi, setengah dari dua jari di tangannya yang memberi hormat kepada kami telah hilang. “Gang tengah” yang ia sebutkan hanya selebar lima belas sentimeter, dan tidak seorang pun dari kami yang berada di dalam pesawat itu berani memikirkan makanan karena begitu lepas landas, pesawat tersebut terguncang ke sana kemari oleh turbulensi hebat sementara mesinnya bekerja keras mengangkat kami melalui puncak Tomaniivi yang menjulang di Pulau viti Levu. Kuduga lelaki itu adalah seorang pensiunan pilot yang pindah ke Fiji hanya karena ia menolak mengucapkan selamat tinggal kepada tongkat kemudi dan altimeter. Tetapi, ia orang yang cukup baik. Aku duduk di sana dengan lutut tertekuk menempel pada punggung kursinya, dan ia terus menoleh ke arah kami dengan senyum lebar; bertanya dari mana asal kami semua; menunjukkan di mana kami berada pada peta setiap kali kami bertanya; dengan semangat menunjuk karang-karang koral, lumba-lumba, dan ikan terbang di bawah sana; dan berbicara sangat cepat tanpa henti. Engkau mungkin sudah dapat menebak, aku duduk di sana dengan hati berdebardebar. Aku telah terbiasa naik pesawat ringan; beberapa minggu sebelumnya kuisi dengan berpindah dari satu pulau ke pulau lain dengan pesawat semacam itu. Tetapi harus kuakui bahwa aku merasa tidak tenang menaiki pesawat yang hanya memiliki satu pilot. Engkau boleh saja mengatakan bahwa rasa takut ini tidak rasional, suatu jenis keanehan. Ya, rasanya aku memang pernah mendengarmu mengatakan hal itu, karena sebuah mobil pun hanya memiliki satu pengemudi, ujarmu, dan lebih banyak orang yang meninggal di jalanan daripada di udara. Hal itu mungkin benar, walaupun suatu keresahan yang muncul mendadak tidaklah dapat diabaikan, terutama jika terjadi di ketinggian lima ribu kaki, dan dengan seorang pilot berusia akhir enam puluhan. Pingsan di tengah panasnya hawa tropis bukanlah hal yang tidak mungkin. Itu sangat manusiawi, hal-hal seperti itu bisa saja terjadi. Setelah begitu sering bepergian, aku tidak mengkhawatirkan kesalahan teknis. Sebaliknya, aku mencemaskan kegagalan organis. Aku duduk di dalam pesawat sambil merasakan kegelisahan sebagai makhluk fana, sesosok vertebrata berdaging yang saat itu terikat di sebuah kursi pesawat. Dan semua ini pun berlaku pada seorang lelaki yang duduk dengan gagah berani di hadapan tongkat kemudi. Dan lelaki itu tiga puluh tahun lebih tua daripada diriku. Sebuah gejala yang tak terbantahkan dari kesadaran ini adalah denyut nadiku yang lebih mirip jika aku hampir menyelesaikan sebuah maraton. Dan jika jantungku berdebar dua ratus kali per menit, pikirku, lalu apa yang terjadi di dalam diri sang pilot; belum lagi tingkat kolesterol dan keadaan pembuluh nadinya. Aku sama sekali tidak tahu apa-
apa mengenai orang yang ramah ini, aku belum pernah menelitinya secara medis maupun memenuhi keingintahuanku tentang apa yang ia makan pagi itu. Yang lebih menyiksa lagi adalah saat kusadari bahwa aku tidak tahu apa pun mengenai kondisi batin sang pilot yang sudah lanjut usia itu. Mungkin ia memercayai adanya kehidupan abadi suatu risiko yang seharusnya dipertimbangkan saat menyeleksi orang-orang yang memiliki mata pencarian seperti dirinya. Yang kumaksud adalah pilot yang terbang tanpa kopilot dengan membawa para penumpang yang telah membayar; tentunya tidak banyak orang seperti mereka. Mungkin ia baru saja dikhianati oleh seorang wanita. Atau mungkin ia duduk di sana sambil memendam rahasia mengerikan bahwa siang itu ia harus mengakui suatu penggelapan uang besar-besaran. Aku tidak terhibur oleh Gunung Tomaniivi, lumba-lumba, maupun karang-karang koral. Semuanya tampak begitu jauh di bawahku, aku terperangkap, aku tidak dapat keluar, aku tidak dapat melarikan diri. Aku merindukan botol ginku, dan aku tidak akan merasa malu sedikit pun untuk mengangkatnya ke bibirku jika saja saat itu aku memilikinya. Memang sudah nasib bahwa botol berisi minuman penenangku itu tersimpan di dalam koper yang telah terkirim dengan pesawat yang dijadwalkan. Ini tidak ada hubungannya dengan “penyakit takut terbang”, Vera. Kuharap engkau menyadari bahwa penjelasanku sejauh ini juga bukan dimaksudkan sebagai laporan perjalanan. Yang sedang kucoba jelaskan adalah kesadaranku tentang hidup. Di satu pihak, hidup memang selalu ada bersamaku. Tetapi, biasanya hidup hanya benar-benar muncul dalam dua situasi: saat aku bangun pada pagi hari dan pada kesempatan yang lebih jarang, yaitu saat aku mabuk. Orang bilang “in vino Veritas”; “dalam anggur terkandung kebenaran”. Aku sendiri percaya bahwa mabuk dapat menimbulkan keadaan mental yang lebih telanjang, tidak dibuat-buat, dan pada dasarnya jauh lebih tulus daripada kesadaran sehari-hari yang lebih membingungkan setidaknya jika berhubungan dengan masalah-masalah yang benar-benar besar. Hal-hal itulah yang kita maksudkan sekarang. Aku berhasil mendapatkan cara yang jauh lebih seketika, lebih keren, dan lebih cepat untuk memasuki keadaan jiwa yang sama, yaitu dengan cara mendelegasikan tanggung jawab atas kelangsungan keberadaanku atau ketidakberadaanku kepada sang pilot pensiunan dalam pesawat kotak korek api dengan kaca jendela yang retak dan instrumen-instrumen yang usang. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa indra-indraku lebih tajam dibandingkan dalam kedua situasi lainnya, karena aku tidak sedang setengah tertidur dan sinapsis-sinapsis sarafku tidak dikacaukan oleh alkohol. Saat itu adalah pertama kalinya aku lepas landas dalam sebuah pesawat yang diterbangkan seorang pilot yang telah pensiun dengan tiga jari masih utuh dan dua lagi tinggal setengah mengendalikan tongkat kemudi. Selama ini, aku selalu bangun menyambut hari baru, dan tidak terlalu jarang aku minum-minum untuk mendapatkan keadaan mental yang lebih jujur, lebih mulia, dan, sesungguhnya, lebih waras. Jadi, memang ada gunanya menyelami lebih dalam apa yang aku pikir dan rasakan di atas awan sana selama tujuh puluh lima menit antara Nadi dan Taveuni. Rasanya penuturanku ini juga pas karena sebentar lagi aku akan menjelaskan pertemuanku dengan Ana dan Jose, dan tentu saja Gordon, yang sejauh ini belum pernah aku sebutkan. Padahal, banyak percakapanku dengannya juga mewarnai masa tinggalku di pulau itu. Ada satu hal yang selalu urung kubicarakan secara tuntas denganmu, walaupun aku pasti pernah menyinggungnya beberapa kali. Yang kumaksud adalah sebuah pengalaman masa kecil di rumahku di dekat Oslo. Saat itu usiaku tujuh atau hampir delapan tahun, tetapi pokoknya ini terjadi sebelum ulang tahunku yang kedelapan karena saat itulah keluargaku pindah ke Madrid selama empat tahun. Aku ingat berlari di sepanjang jalan setapak di hutan dengan saku baju penuh hazelnut yang kutemukan. Aku ingin segera menunjukkannya kepada ibuku. Tibatiba, aku melihat seekor anak rusa terbaring di sebentang tanah lapang, di permukaan lembap tanah hutan yang diselimuti permadani dedaunan musim gugur.
Daun-daun itu terus tertera dalam benakku karena kuingat sebagian dedaunan itu juga terserak di atas anak rusa itu. Kupikir anak rusa itu sedang tidur, dan walaupun sekarang aku tidak begitu yakin, rasanya aku mengendap-endap mendekati hewan itu entah untuk mengelusnya atau untuk menyingkirkan semua dedaunan kuning dan merah itu. Tetapi, anak rusa itu bukan sedang tidur. Ia sudah mati. Kenyataan bahwa anak rusa itu sudah mati, atau terlebih lagi bahwa akulah yang menemukannya, terasa sebagai sesuatu yang memalukan, sesuatu yang tidak akan pernah dapat kuceritakan kepada ayah atau ibuku, atau bahkan nenek atau kakekku. Jika rusa kecil itu bisa tergeletak tak bernyawa di hutan, mungkin akan semudah itulah giliranku berikutnya untuk mati. Dan kesadaran ini yang biasanya tidak dimiliki kebanyakan anak-anak, walaupun hal ini cukup jelas menghantui seluruh hidupku sebagai suatu sensasi lahiriah. Aku selalu memiliki intuisi yang baik mengenai hal-hal seperti didikan kepastoran dan psikiatri krisis, karena kebungkaman yang kuputuskan sendiri itulah yang pasti mengubah kejadian itu menjadi sebuah trauma. Jika saja saat itu aku berlari pulang dan menangis kepada ibuku, hampir dapat dipastikan aku akan mendapatkan bantuan yang kubutuhkan untuk mengatasi pengalaman tak menyenangkan itu. Tapi, aku tidak pernah dapat mengungkapkannya kepada siapa aku berlatih setiap saat, walaupun tidak dapat kukatakan bahwa aku telah mencapai kemajuan yang membuatku merasa terbebas. Setiap pagi, aku masih terhenyak oleh kenyataan bahwa diriku hanyalah satusatunya, bahwa aku berada di sini hanya untuk saat ini, hanya pada waktu inilah engkau dan aku menjadi penyandang kesadaran alam semesta akan dirinya sendiri. Melihat kehidupan kita dari sudut pandang keabadian mungkin dapat dianggap sebagai upaya moral atau intelektual yang terhormat, tetapi tidak berarti dapat membawa ketenangan pikiran. Tidak ada rekonsiliasi yang otomatis dapat ditemukan dengan menyadari bahwa aku seorang primata besar yang sadar akan dirinya mampu mencakup seluruh sejarah alam semesta kita ini dalam ingatan, mulai dari Big Bang hingga Bill Clinton dan Monica Lewinsky sekadar contoh dari dua primata paling terkenal pada masa kita. Tidak ada ketenangan hati yang diperoleh dengan menjangkau rentang waktu yang lebih luas. Malah kupikir sebaliknya: itu hanya menyebabkan yang buruk menjadi semakin buruk. Mungkin lebih baik jika aku meminta seorang penyembuh pikiran untuk mengeluarkan hewan mati itu dari alam bawah sadarku yang telah membengkak walaupun aku yakin sekarang sudah terlambat. Setelah kuungkap hal ini, sekarang kita dapat kembali ke kabin pesawat yang sempit itu. Yang terjadi di sana bukan sekadar pencerahan sesaat pada pagi hari seperti biasanya yang selalu meng-gemerencingkan sel-sel sarafku dan mengatakan bahwa aku adalah seorang vertebrata terlalu rasional yang dikutuk untuk menghadapi kenyataan bahwa aku hanya memiliki waktu beberapa bulan lagi untuk hidup. Bukan, yang terjadi adalah tujuh puluh lima menit penelaahan yang saksama atas perspektif-perspektif tersebut. Dan bahkan situasi saat itu bertambah genting karena ada kemungkinan bahwa hanya dalam hitungan detik, hidupku di Bumi akan berhenti total. Dengan sembrono, sang primata yang memegang kemudi menoleh dan membuka sebuah peta besar, yang ia tekan dalam-dalam ke pangkuan seorang primata wanita dari Australia yang duduk di sebelah kananku, yang tadi memperkenalkan diri sebagai Laura. Aku tidak menyukai penurunan kualitas navigasi pesawat ini hingga mencapai level yang lebih santai dan mendekati tidak senonoh. Ceritaku ini tidak semestinya diterjemahkan bahwa rekan-rekan seperjalananku adalah orang-orang yang tidak menyenangkan; justru sebaliknya, aku menyukai setiap orang dari mereka, dan aku dapat saja membaringkan kepalaku di pangkuan setiap dari mereka jika aku memang ingin mencari belas kasihan dan perlindungan. Aku merasa seperti seekor kadal yang memelas, sesosok makhluk gugup yang seharusnya tetap tinggal di atas tanah. Keyakinanku ini ada hubungannya dengan kenyataan bahwa seorang keturunan kadal yang tua, bosan, dan setengah congkaklah yang mengemudikan pesawat ini. Karena engkau membaca tulisan ini dan karena engkau bertemu denganku di Salamanca beberapa bulan kemudian, kau tahu bahwa pesawat itu berhasil mendarat dengan selamat. Masalahnya dengan penerbangan itu adalah bahwa pengalamanku itu telah menimbulkan suatu perasaan
yang tak terelakkan, perasaan sebagai makhluk vertebrata biasa yang rapuh di tengah-tengah kehidupan dan terbukti perasaan ini tidak bisa kulenyapkan pada hari-hari selanjutnya. ? Bandara di Taveuni itu bernama Matei dan sepertinya didesain khusus bagi pesawat-pesawat kotak korek api. Landasan pacunya hanyalah segaris rumput sempit yang diapit oleh barisan pohon kelapa, dan bahkan gedung bandaranya lebih mirip sebuah halte bus dengan bangku-bangku bercat biru dan sebuah kios miniatur. Koper-koperku akan tiba sejam lagi dengan pesawat yang telah dijadwalkan. Mobil yang dikirim oleh Maravu Plantation Resort, tempatku akan menginap selama tiga hari, tiba bersamaan dengan pesawat dan barang bawaanku. Aku tidak akan menyimpang dari niatku untuk menceritakan segala sesuatu secara berurutan. Jadi, jika aku berusaha melukiskan “Pulau Taman” dengan beberapa sapuan kuas kasar, bukan berarti aku ingin menyimpang dari topik utama. Aku hanya ingin menempatkan Ana dan Jose dalam sebuah lingkungan tempat, sejauh yang bisa kuingat, mereka akan terus terkait. Mengenai nama “Pulau Taman”, seharusnya tempat itu sekalian saja disebut sebagai “the Last Paradise”, “Surga Terakhir”. Nama ini akan memberi suatu keuntungan praktis karena kata “Last” (Terakhir) dapat dengan mudah diganti dengan kata “Lost” (Hilang) dalam beberapa dekade mendatang. Aku yakin banyak pengunjung yang bahkan tidak akan menyadari perubahan kecil itu. Spesies kita memiliki ketertarikan aneh terhadap kata “terakhir” dan “hilang”. Asyiknya suatu pengalaman yang masih dapat dinikmati generasi-generasi mendatang sama sekali tak sebanding dengan melihat sesuatu yang tidak lama lagi bakal hancur. Dia yang terakhir melihat, akan melihat yang terbaik. Sama seperti anggota keluarga yang berkabung berdebat tentang siapa yang terakhir berbicara dengan sang almarhum. Perlahan-lahan, dengan semakin sempitnya dunia, dan industri turisme mengembangkan genre dan sub subgenre lebih lanjut, aku dapat meramalkan masa depan yang cerah bagi nekroturisme: “Lihatlah Danau Baikal yang tak memiliki kehidupan!”, “Hanya beberapa tahun lagi sebelum Kepulauan Maladewa tenggelam” atau: “Anda bisa menjadi manusia terakhir yang melihat seekor harimau hiduphidup!” Contoh-contoh semacam ini sangat banyak karena surga dunia menjadi semakin sedikit saja, semakin mengecil dan juga rusak, tetapi hal ini tidak akan mencegah turisme, justru sebaliknya. Ada beberapa alasan mengapa selama ini Taveuni lebih beruntung dalam perjumpaannya dengan dunia Barat daripada banyak pulau lain yang telah kukunjungi. Permukaan tanah pulau vulkanis ini yang bergelombang banyak berpengaruh dalam membatasi baik jumlah pengunjung maupun industri perkebunan. Pantai-pantai lava hitam juga menahan turisme, dan walaupun sudut timur laut pulau ini sebenarnya memiliki beberapa pantai berpasir koral putih yang masih belum tersentuh, masalahnya di sini adalah curah hujan yang tinggi. Kombinasi dari tanah vulkanis subur dan kelembapan yang tinggi inilah yang, selama pertengahan abad ke-19, mendorong para penetap Eropa untuk membuka sejumlah perkebunan. Pada awalnya, kapas kualitas tinggi adalah komoditas utama, tetapi karena harga kapas turun drastis, perkebunan-perkebunan tebu di selatan pulau menjadi bertambah penting. Kini, pepohonan palem adalah industri utama pulau ini, begitu pula turisme yang semakin meningkat. Saat mengatakan turisme, yang kumaksudkan adalah ekoturis-me, karena benar-benar tidak ada lagi yang bisa dilakukan di sini kecuali menikmati lingkungan yang permai; tidak ada pusat perbelanjaan, kehidupan malam, maupun kompleks perhotelan modern bertingkat empat. Di pulau ini tidak ada siaran TV dan listrik sangatlah terbatas. Kedua faktor terakhir itulah yang terutama membantu lestarinya tradisi bercerita di antara penduduk. Kegelapan menyelimuti pulau pada pukul enam sore, kemudian kata-kata lisan pun mengambil alih. Mungkin seseorang baru pulang dari perjalanan memancing, seseorang yang lain memiliki pengalaman jauh di tengah
hutan, orang yang ketiga bertemu seorang Amerika yang tersesat di pinggir salah satu sungai, dan masing-masing memiliki kisah untuk diceritakan. Mitos-mitos dan legenda-legenda kuno pun terus dipertahankan karena di Taveuni tidak ada hiburan selain dari apa yang diciptakan sendiri. Para penyelam dari seluruh dunia datang ke sini untuk melihat koral dan kehidupan laut dalam kaleidoskop warna yang mengagumkan. Sebagai tambahan, pulau ini masih dapat membanggakan diri dengan salah satu populasi burung paling eksotik di dunia, jenis-jenis kelelawar yang langka, pengem-baraan di dalam hutan dan semak-semak, dan, tentu saja, berjemur di pantai dan di bawah sejumlah air terjun yang memikat. Terdapat lebih dari seratus spesies burung di sini. Beberapa merupakan spesies khas daerah ini seperti jenis merpati berdada Jingga yang terkenal. Untunglah bagi mereka, luak India tidak pernah diperkenalkan di sini. Namun, untuk mengontrol populasi serangga di perkebunan-perkebunan yang ada, burung magpie dan kodok tebu pun didatangkan. Burung-burung magpie itu telah merebut habitat alami burung-burung asli, dan kodok-kodok tebu menggusur katak-katak asli semakin jauh ke dalam hutan. Tetapi, hebatnya, populasi burung-burung unik di Taveuni masih tetap utuh. Hal menggembirakan yang sama juga terjadi pada kelelawar, termasuk kelelawar buah raksasa, yang dengan rentang sayapnya yang mencapai satu setengah meter, juga disebut rubah terbang atau “beka”. Beka rebus dianggap sebagai makanan lezat oleh para anggota masyarakat yang lebih tua. Taveuni memiliki lebih dari seribu spesies tumbuhan yang telah diidentifikasi. Dari seribu spesies tersebut, banyak yang merupakan endemik. Daerah pantainya memiliki banyak rawa bakau dan pohon kelapa, sementara lebatnya hutan hujan yang ditumbuhi paku-pakuan dengan pepohonan lokal yang tak terhitung banyaknya membentuk daerah pedalaman pulau. Saat ini, ada pula beraneka ragam tumbuhtumbuhan tropis, seperti anggrek dan kembang sepatu. Bunga nasional Fiji, Tagimaucia, adalah sebuah spesies yang hanya ditemukan di sini dan di pulau tetangganya, Vanua Levu. Seperti lazim dijumpai di dunia belahan sini, keanekaragaman paling terlihat pada fauna bawah lautnya. Engkau bahkan tidak perlu menyelam menggunakan snorkel untuk dapat menemukan banyak sekali ikan, moluska, spons, bintang laut, dan koral. Sungguh sulit menghindari kata-kata seperti “benar-benar sebuah kaleidoskop” dan “berwarna-warni seperti pelangi” jika membicarakan kehidupan laut di Pasifik Selatan, dan aku juga merasa bahwa di sekitar Taveuni, banyak spesimen yang bahkan memiliki pola lebih indah daripada umumnya. Kembali pada vertebrata darat asli pulau ini, seluruh kelas terwakili di sini, walaupun selain burung-burung yang sangat beragam hanya dengan beberapa contoh. Sebelum kodok diimpor dari Hawaii pada 1936, kelas amfibi paling banyak terwakili oleh katak. Selain iguana, satu-satunya reptil yang ada adalah beberapa spesies tokek dan ular. Namun, reptil yang paling mencolok mata sekarang ini adalah jenis tokek rumah Hemidactyius frenatus yang menghibur, walaupun jenis ini baru muncul di Fiji pada era 1970-an. Kelelawar adalah satusatunya mamalia asli yang dapat dibanggakan, dan mereka menikmati suatu ekosistem tersendiri yang luar biasa disebabkan adaptasinya yang khas. Tiga ribu lima ratus tahun yang lalu, manusia pemukim pertama tentunya turut membawa tikus Polinesia, yang mungkin dibawa untuk dijadikan sumber makanan. Vertebrata-vertebrata asli Taveuni diwakili oleh ikan, katak, kadal, burung, kelelawar, dan orang-orang Fiji yang pada saat ini berjumlah dua belas ribu jiwa. Maka, pulau ini pun menampilkan suatu gambaran perkembangan vertebrata yang sangat apik dan nyaris transparan. Jika kita meninjau kembali ke belakang, tidaklah terlalu sulit untuk melihat bagaimana vertebrata di planet ini berevolusi dalam tahapan-tahapan yang begitu jelas mulai dari ikan menjadi amfibi; dari amfibi menjadi reptil; dan akhirnya dari reptil menjadi burung, kelelawar, dan orang-orang Fiji. Apakah engkau pernah memikirkan bahwa dari segi evolusi semata, betapa “pasaran” anatomi manusia, atau jika kujelaskan dengan kata-kata lain, betapa purba banyak hal dari diri kita sebagai vertebrata? Mungkin engkau pernah memikirkan betapa
miripnya kerangka manusia dengan kerangka kadal dan salamander. Dan jika memikirkan hal itu, engkau juga akan menyadari bahwa sebaliknya, gajah dan unta misalnya, adalah buah yang cukup eksotis, yang jatuh lebih jauh dari batang pohonnya, jika batang pohon di sini diartikan sebagai matriks purba tulang belakang, tulang selangka, dan empat anggota tubuh yang memiliki lima jari. Jalur cepat yang sejati di antara kehidupan sederhana pada periode Devon hingga saat manusia menaklukkan bulan dipadati oleh amfibi-amfibi yang mirip salamander, oleh reptil-reptil yang mirip mamalia, dan pada babak terakhir, oleh primata. Tentu ada pula jaringan jalan keluar dan masuk yang mengagumkan. Aku nyaris seperti dapat mendengar protesmu. Pikiranku terlalu terpusat pada manusia, teriakmu, evolusi tentunya tidak linear dan tidak disengaja; evolusi lebih mirip semak-semak dan kembang kol daripada garis-garis maupun batang pohon. Apa hakku untuk menyebutkan bahwa satu atau dua spesies dari seluruh kelas hewan lebih representatif dibandingkan spesiesspesies lain? Tetapi bukan itu yang kumaksud; aku hanya menunjukkan bahwa entah bagaimana aku merasa memiliki hubungan yang lebih erat dengan kadal dibanding dengan mamalia seperti kelelawar buah atau paus biru. Aku tidak diturunkan dari kelelawar maupun paus biru, maupun dari jerapah, dan tidak juga dari orang utan, tetapi aku adalah seorang keturunan langsung dari seekor ikan duri berongga, dari seekor amfibi, dan kemudian dari seekor reptil yang mirip mamalia. Keanekaragaman vertebrata yang tersebar di pulau ini membuatku melihatnya sebagai satu gambaran besar dan hidup mengenai evolusi kehidupan di Bumi. Aku menemukan diriku berada dalam sebuah ruang pameran Darwin, dan yang kumaksud bukanlah hanya keempat anggota tubuh katak, kadal, kelelawar, dan orang-orang Fiji, dengan struktur lima jari mereka yang serupa, walaupun kaki dan jari-jari kaki orang-orang Fiji yang mengagumkan panjangnya sama menariknya dengan anggota-anggota tubuh kadal. Mengenai orang-orang Fiji, perlu ditambahkan bahwa, selain dari tikus dan kelelawar, satu-satunya daging dalam makanan mereka hanyalah diri mereka sendiri. Kanibalisme telah dipraktikkan secara luas hingga akhir abad ke19, jika kita mengabaikan satu-satunya tentara Jepang yang dimakan oleh seorang Fiji, Viliame Lamasalato, baru-baru ini pada akhir Perang Dunia Kedua. Dampak tradisi ini tidaklah kecil pada kemampuan pulau ini untuk menjaga keutuhan hutan hujan dan lingkungannya. Aku bukannya menyarankan pembatasan populasi dengan sesuatu yang mungkin dapat kita sebut sebagai konsumsi resiprokal. Namun, fakta menyatakan bahwa kanibalisme memang berperan sebagai semacam pencegah ekologis melawan penjajahan orang kulit putih. Baik Abel Tasman (1643) maupun James Cook (1774) berlayar melewati Kepulauan Fiji, tetapi desas-desus mengenai bahaya “kepulauan kanibal” ini telah mencegah mereka untuk nekat mendarat. Setelah pemberontakan di atas kapal Bounty (1789), Kapten Bligh dan para perwiranya berlayar melalui beberapa dari pulau ini dengan menggunakan sebuah perahu terbuka. Namun, walaupun sangat lapar dan letih, mereka tidak berani mencuri satu butir kelapa pun. Pada awal abad ke-19, orang-orang Eropa pertama tiba di kerajaan pulau ini. Ada cerita yang beredar mengenai para misionaris yang disambut dengan ramah dan dijamu dengan berbagai makanan yang benar-benar tradisional; istilah itu benar-benar pantas, karena setelah makanan itu habis disantap, diumumkan dengan penuh formalitas bahwa makanan pembuka yang disajikan sebelumnya adalah dada wanita, makanan utamanya adalah paha seorang lelaki, dan makanan penutupnya adalah otak yang untuk menikmatinya, para penduduk asli itu telah menciptakan garpu khusus bermata empat. Salah satu dari para misionaris tersebut yang ironisnya bernama Pendeta Baker (Pembakar) dijadikan masakan pada 1867. Maka, meriam, peluru, dan mesiu pun didatangkan, dan sisanya tinggallah sejarah kolonial. Yang pertama-tama dilakukan orang-orang Eropa di Fiji adalah menjarah habis pohon-pohon cendana yang berharga. Kemudian, mereka mengimpor enam puluh ribu pekerja perkebunan dari India. Itulah mengapa kini lebih dari setengah populasi kepulauan ini adalah keturunan India. Gelombang kedatangan ini pun membawa serangkaian wabah dan penyakit; pertama-tama kolera, yang menyebabkan
beberapa dari pulau tersebut tak berpenghuni, dan pada 1890 campak, yang menyebabkan kematian sepertiga dari populasi Fiji. Aku melihat suatu paradoks yang mengusik pikiran dalam semua ini: penyebab tetap relatif utuhnya keseimbangan ekologi di beberapa pulau di Fiji adalah karena orang-orang kulit putih tidak berani mendarat karena adanya kanibalisme. Ini adalah suatu paradoks, walaupun aku sedikit bersimpati kepada suatu masyarakat yang pada saat-saat sulit mampu mengonsumsi salah satu anggotanya sendiri daripada berkompetisi untuk membunuh spesies-spesies lain. Aku sepakat bahwa kanibalisme harus dipandang sebagai suatu pelanggaran atas apa yang kita sebut sebagai “hak-hak alamiah”, tetapi kesembronoan dunia Barat atas ekologi merupakan suatu pelanggaran tanggung jawab manusia yang sama buruknya. Istilah “hak-hak alamiah” memiliki sejarah lebih dari dua ribu tahun lamanya, dan hanya satu hal yang ingin aku tanyakan: kapankah kita akan siap untuk memiliki istilah “tanggung jawab alamiah”? Karena aku sudah menyinggung tentang dua ribu tahun itu, izinkanlah aku akhirnya menunjukkan satu lagi paradoks yang mencolok tentang “Pulau Taman dari Fiji”. Takdir telah menentukan bahwa pulau ini terletak persis di atas International Date Line, karena kebetulan saja pulau ini terletak tepat pada garis bujur ke180 dari Observatorium Kerajaan di Greenwich. Ini berarti setengah dari pulau ini berada pada hari ini dan setengah yang lain pada hari kemarin. Atau tentu saja yang sebaliknya: satu bagian berada pada hari ini dan bagian yang lain pada esok hari. Alasanku mengatakan hal ini merupakan takdir adalah karena Taveuni menjadi tempat berpenduduk pertama di dunia yang akan melihat milenium ketiga. Hal ini tidak akan terlewatkan begitu saja. V Aku bukan satu-satunya yang dijemput oleh Land Rover itu. Aku juga ditemani oleh dua orang tamu yang menuju tempat yang sama. Kami telah bercakap-cakap sebentar di bandara selama menunggu koper-koper kami tiba dengan pesawat yang telah dijadwalkan. Salah satu dari tamu tersebut adalah Laura, yang menunjukkan antusiasme yang begitu besar terhadap pesawat terbang sembari menggoda pilot lanjut usia kami, saat aku sibuk membolak-balik album keluarga Bumi adegan demi adegan mulai dari pembelahan sel pertama pada awal periode Pra-Kambrium terus hingga waktu yang telah ditetapkan bagiku di Bumi. Laura berasal dari Adelaide dan adalah seorang wanita cantik di akhir usia dua puluhan. Dengan kulitnya yang berwarna cokelat keemasan dan rambut hitam panjangnya yang terkepang, ia agak mirip gadis muda Indian Amerika. Salah satu keunikannya adalah salah satu matanya berwarna hijau dan yang lain berwarna cokelat. Mungkin memang ada sedikit berkas warna cokelat di matanya yang hijau dan mungkin seberkas warna hijau di matanya yang cokelat, tetapi tetap saja ia memiliki satu mata hijau dan satu mata cokelat. Ini adalah suatu kelangkaan genetik yang seingatku belum pernah kutemui. Aku juga memerhatikan ada lencana World Wildlife Fund tersemat di ransel kanvasnya yang sederhana. Laura memang menarik sekaligus eksentrik sehingga dapat memancing sedikit perhatianku, tetapi tampak jelas ia tidak tertarik melakukan basa-basi perkenalan di bandara, karena dengan segera ia menenggelamkan diri dalam buku panduan Lonely Planet-nya, sibuk membaca tentang pulau itu. Penumpang yang satu lagi adalah Bill; kurasa ia juga menyebutkan nama belakangnya, tetapi aku telah lama melupakannya. Ia berusia akhir lima puluhan, berasal dari Monterey, California, dan tampak jelas pada masa mudanya ia adalah pencari petualangan yang kaya raya. Dengan segera terbentuk suatu gambaran di benakku mengenai dirinya. Ia menampilkan karakteristik tipikal Amerika Utara yang ganjil, yaitu hasrat tak tertahankan untuk dapat mengalami secara langsung dunia ini sebanyak mungkin, tanpa terganggu hubungan sosial dengan pasangan hidup, anak, maupun teman dekat. Bill adalah seorang yang cukup unik. Aku ingat bahwa aku berpikiran sebagian orang
memang tidak pernah benar-benar menjadi dewasa, mereka hanya menjadi sangat kaya dan seringnya sangat tua. Lelaki yang menjemput kami adalah seorang Inggris dan memperkenalkan diri sebagai John. Ia bertubuh sangat kuat dan kekar, berusia pertengahan enam puluhan, tingginya setidaknya 190 sentimeter, dan memiliki rambut berwarna kelabu dan jambang pendek yang hampir putih warnanya. Baru kemudian kusadari bahwa ia bukanlah salah seorang pegawai Maravu, melainkan seorang tamu seperti kami. John menawarkan diri untuk menjemput kami karena pihak penginapan tengah berhalangan. Sepertinya ia sangat tertarik untuk sesegera mungkin mengenal para tamu baru. Begitu mobil kami berbelok meninggalkan jalan pedesaan dan mendaki menuju Maravu Plantation Resort, aku terpukau akan keindahan tempat itu. Penginapan tersebut terdiri dari sepuluh pondok dan satu gedung utama yang tersebar di tengah perkebunan kelapa tua. Pondok-pondok itu atau di pulau ini disebut sebagai burs dibangun di atas sebuah bukit dengan pemandangan ke arah laut, di tengah-tengah semak belukar yang lebat dan pohon-pohon nyiur yang melambai. Hal ini menyebabkan setiap pondok tidak mungkin terlihat dari pondok-pondok lainnya, atau setidaknya setiap pintu pondok dari pintu-pintu lainnya. Gedung utamanya dibangun persis seperti salah satu rumah pertemuan tradisional pulau itu dengan dinding-dindingnya yang terbuka dan dinding penyangga atap yang tinggi ditutupi oleh atap dari dedaunan kelapa. Lantai kayunya cukup luas untuk menampung sebuah area resepsionis yang terbuka, sebuah bar, sebuah restoran yang sama-sama diberi nama Maravu dan sebuah lantai dansa yang lebar. Kami disambut di bar dan disuguhi sebutir kelapa yang dilengkapi dengan rangkaian kembang sepatu yang tertata rumit dan sebatang sedotan, sementara formalitas untuk check-in dilengkapi. Kami duduk-duduk di sana selama beberapa saat untuk mengobrol sementara semua orang yang tengah bertugas di Maravu pagi itu melintas dan menyapa kami satu demi satu. “Bulai” ujar mereka, “Bulai” Kata sapaan lokal ini begitu sering diulang di Kepulauan Fiji sehingga hampir menjadi sebuah mantra. Tetapi, kata ini memiliki arti yang lebih fleksibel daripada padanannya dalam sebagian besar bahasa lain. “Bula” dapat berarti apa saja, mulai dari “Hai”, “Halo”, dan “Hari yang indah” hingga “Apa kabar?”, “Selamat menikmati hari Anda”, dan “Selamat tinggal”. Semua orang di pulau itu tahu bahwa aku adalah “Frank”, Bill adalah “Bill”, dan Laura adalah “Laura”. Seakan-akan dalam beberapa minggu sebelumnya, semua orang di tempat itu tidak punya pekerjaan selain mempersiapkan kedatangan kami, untuk membuat kami merasa elite dan spesial. Kami telah datang ke Maravu untuk dimurnikan dan dilahirkan kembali. Bill menemukan bahwa dalam bahasa Fiji, “maravu” berarti “tenang dan damai”, sementara Laura ingin mengetahui tempat terbaik untuk melihat burung-burung nuri yang terkenal di pulau ini. Aku diantar melewati sebuah kolam renang dan menembus pepohonan palem menuju bure 3. Aku hanya bergerak seminimal-minimalnya sebelum akhirnya duduk di beranda ber