Edisi Juni 2003
Sosialisasi Hasil Pemeringkatan KPPOD di Tujuh Kota
“Diperlukan Upaya Rasionalisasi Pungutan Daerah” Ketua Umum DPP REI, Yan Mogi :
“Orientasi Jangka Pendek Merugikan Sektor Usaha Properti”
Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau. Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia. Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna gradasi biru gelap. Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah.
Kajian Perda di Sektor Usaha Perkebunan
Kebijakan Perijinan dan Pungutan yang Disinsentif Ketua Umum DPP REI, Yan Mogi :
“Orientasi Jangka Pendek Merugikan Sektor Usaha Properti” Sosialisasi Hasil Pemeringkatan KPPOD di Tujuh Kota
“Diperlukan Upaya Rasionalisasi Pungutan Daerah” ANALISA POTENSI PENERIMAAN KAWASAN DKI JAKARTA Bupati Sidoarjo R.Win Hendrarso:
“Menciptakan Iklim Usaha Melalui Debirokratisasi dan Deregulasi Perijinan” Gambar Sampul : . Foto isi diambil dari internet dengan fasilitas http://www.google.com/
BIROKRASI PERTANAHAN Dalam berhubungan dengan birokrasi pemerintahan untuk pengurusan administrasi usaha, sering kita dengar ungkapan para pelaku usaha ‘kalau bisa dipersulit kenapa harus dipuat mudah!’. Itulah seloroh para pelaku usaha yang muneul akibat seringnya mereka berhadapan dengan kesulitan kesulitan terkait birokrasi pemerintahan, dalam banyak hal - termasuk pertanahan. Sebenarnya, mengenai service delivery, bagi pengguna jasa tidak menjadi soal tentang siapa penyediajasa tersebut, asalkan dapat memenuhi ekspektasinya dalam dua ukuran utama: waktu dan biaya yang “reasonable”. Dalam soal perijinan terkait bisnisnya, para pelaku usaha tidak ambil pusing tentang siapa penyedia jasa tersebut apakah pemerintah pusat ataukah pemerintah daerah; asalkan standar ekspektasi mereka dalam dua ukuran utama diatas mereka dapatkan. Namun justru inilah soalnya, ketika otonomi daerah dijalankan,kesimpangsiuran tentang siapa yang berwenang untuk suatu urusan (pertanahan) jadi membingungkan pelaku usaha. Jangankan dunia usaha, aparat pemerintahanpun bingung mengenai hal itu. Kewenangan pertanahan yang tereantum dalam UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai milik daerah otonom Kabupaten/ Kota, dalam perjalanannya ditarik kembali ke pemerintahan pusat melalui instansi vertikal BPN
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 12th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, E-mail :
[email protected], http://www.kppod.org/ Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
Kajian Perda di Sektor Usaha Perkebunan
Kebijakan Perijinan dan Pungutan yang Disinsentif Penerapan kebijakan/regulasi investasi di daerah kembali mendapat kritikan dan bahkan penolakan masyarakat. Kali ini berasal dari asosiasi para pengusaha perkebunan atas terbitnya Perda No. 25 Tahun 2001 di Kabupaten Bangka (Propinsi Bangka Belitung) dan Perda No. 25 Tahun 2002 di Kabupaten Labuhan Batu (Propinsi Sumatera Utara). Dalam surat konsultansinya kepada KPPOD, para pengusaha perkebunan kelapa sawit di Bangka, yang terhimpun dalam Gabungan Pengusaha Perkebunan Bangka (GPPPB), mencatat beberapa poin kritikan atas substansi Perda No.25/01 sebagai dasar penolakan mereka. (1) Telah banyak pajak dan retribusi yang harus ditanggung oleh pengusaha perusahaan kelapa sawit di Bangka, yang tentu membebani biaya operasional perusahaan, seperti PBB, PPN atas Penjualan CPO, Retribusi Air dan Retribusi Alat Berat. (2) Merujuk Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-02/Pj-52/ 2001 tertanggal 19 Januari 2001, diketahui bahwa hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya menjadi barang kena pajak yang terutang PPN. (3) Beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit di Bangka adalah perkebunan plasma, sehingga pengenaan pajak ini bisa saja dialihkan menjadi beban yang akan ditanggung oleh para petani produsen. (4) Sebagian besar perusahaan perkebunan di Bangka adalah perkebunan yang belum berproduksi sepenuhnya, yang berarti belum berproduksi. Sejak Perda No.25/01 ini diterbitkan, GPPPB secara aktif mengajukan sejumlah surat keberatannya, baik kepada pemerintah daerah (Bupati Bangka) maupun pemerintah pusat (Menteri Dalam Negeri). Dan dari surat balasan yang didapat, tampaknya tanggapan pemerintah daerah tidak cukup memuaskan pihak GPPPB; sementara dari Mendagri sejauh ini belum ada surat tanggapan sama sekali. Problem yang serupa juga dialami
2
Terbeban - Pajak dan retribusi yang harus ditanggung oleh pengusaha perkebunan di Bangka tentunya membebani biaya operasional perusahaan. para pengusaha di Labuhan Batu. Melalui bantuan Badan Kerja sama Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKS-PPS), mereka menyurati pemerintah daerah setempat (Bupati Labuhan Batu) karena keberatan atas sejumlah poin dalam Perda No.35/02. (1) golongan retribusi perizinan tertentu sebagaimana yang ditetapkan tidak konsisten dengan penjabaran dalam ukuran penggunaan jasa, sehingga cenderung seperti golongan retribusi jasa usaha. (2) tarif retribusi tidak mengacu ketentuan Pasal 18 ayat (3c) UU No.34/2000 yang menetapkan tarif sebagai biaya untuk menutup sebagian/ seluruh perkiraan biaya yang diperlukan untuk menyediakan jasa perizinan. (3) menyangkut pembebanan retribusi atas pabrik pengolahan, karena untuk hal pendirian pabrik pengolahan di perkebunan sudah diatur dalam mekanismenya secara khusus.
Perda ini berisi beberapa ketentuan mendasar berikut: 1. Obyek pajak adalah tandan buah segar (TBS). 2. Subyek dan wajib pajak adalah orang/badan yang menghasilkan TBS 3. Dasar Pengenan Pajak adalah Nilai Jual TBS yang dihitung dengan mengalikan volume dan nilai pasar TBS 4. Besarnya tarif pajak ditetapkan sebesar 1,5%
Kalau kita mencermati ketentuan pasal 4A ayat 2 UU No.18/2000 (yang salah satunya mengatur ihwal Pajak Pertambahan Nilai), TBS adalah salah satu obyek pajak yang masuk dalam pengecualian negative-list obyek pajak pertambahan nilai (PPN). Artinya, TBS adalah obyek yang akan dikenakan pungutan PPN. Hal ini juga diperkuat oleh SE Dirjen Pajak No. SE-02/PJK/01 yang memasukan hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan sebagai Barang Kena Pajak yang terutang PPN. Kajian Perda Dengan demikian, penetapan TBS 1. Perda Kab. Bangka No. 25 sebagai obyek pajak daerah (seperti Tahun 2001 tentang Pajak dalam Perda ini) jelas merupakan bentuk double-taxation atas satu obyek Tandan Buah Segar
yang sama. Hal ini juga diperkuat oleh ketentuan pasal 2 ayat 2 UU No.34/2000 yang tidak memasukan TBS sebagai bagian dari jenis-jenis pajak kabupaten atau kota. Kalau pun daerah diberi kewenangan untuk menetapkan di luar itu, jenis-jenis pajak yang akan dipilih sebagai obyek pajak daerah tidak boleh merupakan obyek pajak propinsi atau pun obyek pajak pusat (pasal 2 ayat 4). Dengan hanya melihat kedua rujukan di atas, segera terlihat bahwa perda ini selain memunculkan pungutan ganda atas satu obyek yang sama, juga bertentangan dengan sejumlah peraturan yang berada di atasnya. Dan tentu, double taxation yang diakibatkan oleh kehadiran perda ini akan menambah beban tangungan wajib pajak, sehingga cost of doing business menjadi tinggi dan melebihi porsi sewajarnya. Beban pungutan ganda ini juga kian berat karena para wajib pajak terkena pungutan sumbangan pihak ketiga berdasarkan SK Bupati No. 09/01 tentang Penerimaan Sumbangan dari Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit, yakni sebesar Rp 100 juta untuk thn 2001, Rp 200 juta untuk thn 2002, dan berdasarkan musyawarah kedua pihak (pengusaha dan pemda) untuk tahuntahun berikutnya (pasal 2). SK ini adalah jabaran di sektor perkebunan kelapa sawit dari Perda No.20/97 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Pemda Bangka.
2. Perda K ab. Labuhan Batu No.35 Tahun 2002 tentang Perizinan Usaha Perkebunan Inti pengaturan dalam Perda ini adalah: 1. Yang dimaksud Izin Usaha Perkebunan (IUP) adalah perizinan tetap usaha perkebunan yang wajib dimiliki perusahaan untuk dapat melakukan kegiatan usaha budidaya perkebunan dan atau usaha industri perkebunan. Usaha budidaya perkebunan merupakan usaha budidaya tanaman perkebunan yang meliputi kegiatan pra-tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pemanenan pada jenis tanaman yang ditetapkan pemerintah; sedangkan dengan usaha industri perkebunan dimaksud sebagai serangkaian kegiatan pengolahan produksi tanaman perkebunan yang bertujuan untuk memperpanjang daya simpan dan atau meningkatkan nilai tambah (lihat Pasal 1 tentang Ketentuan Umum). 2. Baik usaha budidaya perkebunan
Tumpang tindih - Obyek pungutan dari retribusi, terutama menyangkut usaha industri perkebunan bertumpang tindih dengan obyek pungutan PPN pusat (dengan luas lahan minimal 25 ha) maupun usaha industri perkebunan wajib memiliki IUP (yang diterbitkan oleh Bupati), dan dengan keharusan untuk mendaftar ulang setiap tahun dalam rangka pengendalian dan pengawasan. 3. Bupati setelah menerima permohonan izin usaha perkebunan dari pemohon dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja memberikan jawaban menolak atau menyetujui pemberian izin usaha. Dalam hal penolakan, Bupati wajib memberikan alasannya secara tertulis. Sebaliknya, dalam hal persetujuan, maka Bupati dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja memberikan SK Pemberian Izin Usaha Perkebunan. 4. Perda ini juga memuat pengaturan tentang pungutan retribusi, dimana ihwal pemberian izin
usaha perkebunan kepada orang pribadi maupun badan usaha sebagai obyeknya, dan retribusinya sendiri digolongkan ke dalam golongan perizinan tertentu. Besarnya tarif retribusi izin usaha perkebunan adalah: t Usaha budidaya perkebunan Rp 5.000/ha t Daftar ulang izin Rp 2.500/ha t Izin usaha industri perkebunan: untuk pabrik minyak kelapa sawit (Rp 1-4,5 juta); untuk pabrik pengolahan karet (Rp 1-3 juta); dan untuk pabrik pengolahan kakao (Rp 1-2 juta). Pematokan tarifnya berdasarkan bobot kapasitas terpasang per hari. 5. Diluar kewajiban membayar retribusi di atas, orang pribadi/badan usaha juga dikenakan berbagai kewajiban lainnya (Pasal 31 ayat 2), diantaranya adalah melaporkan kegiatan diversifikasi usaha, melaporkan perkembangan usaha secara berkala,
3
dan menumbuhkan dan memberdaya-kan masyarakat/koperasi sekitarnya (community development/ CD). Hal awal yang segera memperlihatkan kelemahan perda ini adalah pada penamaan judul yang tidak sesuai dengan isi pengatur-annya. Wilayah cakup dari judul itu terbatas, sementara isi pengaturannya melebar ke luar, terutama kare-na adanya pengatur-an soal pungutan retribusi. Kalau mau menjaga konsistensi keduanya, perda perizinan haruslah membatasi wilayah pengaturannya pada segala hal yang menyangkut proses dan persyaratan izin usaha; dan kalau pun ada pungutan yang dibebankan kepada pihak yang mengurus perizinan, pungutan itu tidak lebih dari biaya administrasi perizinan. Kedua, obyek pungutan dari retribusi, terutama menyangkut usaha industri perkebunan/ UIP (kegiatan pengolahan produksi untuk mendapat nilai tambah) bertumpang tindih dengan obyek pungutan PPN pusat ( Pasal 4 UU 18/2000). Bukan saja lalu berarti Perda ini bertentangan dengan aturan di atasnya, juga membebankan pungutan ganda bagi pelaku usaha (bahkan dalam catatan keberatan pihak BKS PPS, dalam praktinya beban pungutan ganda itu tidak hanya berkaitan dengan PPN, tapi juga PBB dan lebih jauh adalah Pajak Ekspor). Ketiga, berdasarkan pasal 22, prinsip pungutan retribusi ini dimaksudkan untuk menutup sebagian atau semua biaya penyelenggaraan izin (ayat 1); dan biaya itu meliputi biaya survey lapangan dan biaya transportasi dalam rangka pengendalian pengawasan (ayat 2). Dengan merujuk kepada prinsip pungutan itu, lalu menjadi pertanyaan berkaitan dengan proporsionalitas struktur dan besarnya tarif, yakni selain berdasarkan luas lahan/hektar (usaha budidaya perkebunan dan daftar ulang izin) juga berdasarkan kapasitas terpasang di masing-masing jenis pabrik pengolahan (minyak kelapa sawit, pengolahan karet, dan pengolahan kakao). Ihwal proporsionalitas itu juga dapat dipertanyakan kepada hitungan
4
besaran tarif yang ditetapkan, yang secara umum berkisar dari Rp 1 juta4,5 juta untuk kapasitas terpasang tertentu. Pada hal, misalnya, dalam kapasitas terpasang yang dihitung ini juga termasuk kapasaitas listrik (yang sudah dikenakan Pajak Penerangan Jalan/PPJ) dan sarana/prasarana penunjang pada pabrik seperti boiler, instalasi listrik, dll yang juga sudah dikenakan pungutan retribusi berdasarkan Perda tentang Retribusi Norma Kerja dan Keselamatan Kerja. Dipakainya berkali-kali beberapa penunjang kapasitas itu dalam berbagai komponen perhitungan tarif di sejumlah perda retribusi membuat berlebihannya (tak proporsionalitas) perhitungan tersebut dan sekaligus menggandakan berkali-kali beban tanggungan pelaku usaha. Keempat, menyangkut regulasi perizinan, patut diakui bahwa batasan waktu yang jelas dalam hal pengurusan izin dalam perda ini (pasal 12 dan 14) maupun kewajiban Bupati untuk memberikan alasan tertulisnya jika suatu permohonan izin ditolak tentu akan memberikan kejelasan dan kepastian bagi subyek pemohon izin. Namun catatan yang perlu diberikan adalah menyangkut batasan tak tegas menyangkut jenis-jenis obyek usaha perkebunan yang perlu mendapat izin. Hal ini potensial menimbulkan tafsiran berbeda di lapangan. Apakah, misalnya, pendirian pabrik pengolahan komoditas perkebunan dalam areal perkebunan itu juga menjadi obyek pengaturan dalam perda ini? Sebab menurut catatan keberatan BKS PPS, ihwal obyek tersebut telah memiliki pengaturan prosedur perizinannya sendiri. Bahkan, mengutip catatan keberatan dari pihak pelaku usaha ini,
obyek tersebut sesungguhnya tidak perlu menempuh proses perizinan apa pun, karena pabrik pengolahan adalah unit yang tidak terpisah dari suatu usaha perkebunan dan pengenaan pajaknya selama ini juga tidak dipisahkan dari perhitungan atas beban pajak unit-unti lain dalam usaha itu (termasuk perhitungan pajak atas areal/lahan usaha yang digunakan). Kelima, adanya kewajiban lain di luar pengurusan izin atau pembayaran retribusi bagi para pelaku usaha, yakni berupa proyek pengem-bangan masyarakat dan pembinaan sektor terten-tu yang berada di sekitar lokasi perkebunan mesti-nya juga menjadi poin pertimbangan para pengambil kebijakan dalam merumuskan besaran tarif retribusi yang dikenakan. Bahkan corporate-responsibility ini juga mengambil porsi yang cukup besar dalam alokasi anggaran (social cost) suatu perusahaan. Karena itu, kalau belum saatnya menjadikan proyek CD ini sebagai kompensasi dari retribusi, paling kurang itu mesti mempengaruhi (mengurangi) secara signifikan besaran tarif pungutannya.
Penutup Melihat catatan keberatan para asosiasi pengusaha maupun kajian singkat penulis di atas, jelas terlihat bahwa kehadiran kedua Perda tersebut lebih banyak berakibat disinsentif ketimbang suportif bagi pembangunan ekonomi dan kepentingan dunia usaha di daerah bersangkutan. Hal itu terjadi, baik dalam kebijakan perizinan maupun kebijakan pungutan. Contoh kasus sektor perkebunan ini, sekali lagi membuktikan betapa sempitnya orientasi politik legislasi/regulasi di sebagian daerah. Selain berharap kepada otoritas pemerintah pusat (melalui kewenangan pengawasan represifnya), koreksi atas Perda bermasalah semacam ini kita kembalikan pula kepada kearifan daerah sendiri untuk melakukan selfcorrection.* (ndi)
5
Ketua Umum DPP REI, Yan Mogi :
“Orientasi Jangka Pendek Merugikan Sektor Usaha Properti” Di era otonomi daerah, harga rumah (penginapan, perkantoran, dll) boleh jadi tidak lebih murah dari masa sebelumnya. Anda, para calon penyewa atau pembeli, siap-siap merogoh kocek lebih dalam lagi karena menaiknya biaya sewa atau harga jual. “Sebab pungutan yang dikenakan kepada pengusaha properti di era otda saat ini, baik pajak, retribusi maupun jenis pungutan lainnya, akan dilimpahkan kepada konsumen,”demikian pengakuan Yan Mogi, Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) dalam suatu kesempatan wawancara khusus dengan KPPOD News. Beban limpahan yang tentu memberatkan ini, lebih-lebih bagi konsumen kelas menengah ke bawah, yang menjadi sebagian alasannya untuk prihatin atas banyaknya pungutan di daerah saat keberlakuan otda ini. Alasan lain, adalah karena pungutan itu dalam jangka panjang merugikan daerah itu sendiri, dengan keputusan penundaan proyek atau bahkan hengkangnya para investor dari daerah tersebut. “Pungutan itu memang perlu, namun sebatas biaya adminsitratif untuk mengganti biaya-biaya kertas, tinta dan biaya kantor lainnya.”
Kelalaian Pusat dan Visi Sempit Pemda Otonomi daerah, demikian Yan memberikan pandangan umumnya, adalah sesuatu yang baik secara konseptual. Namun, ia melihat bahwa buruknya wajah otda pada tingkat implementasi saat ini karena (berawal) dari lalai dan lambatnya pemerintah pusat dalam membuat aturan pelaksanaan/delegatif, seperti PP dan Keppres. Maka daerah berjalan dalam ketiadaan rambu-rambu, yang pada gilirannya mendorong lahirnya berbagai langkah yang salah kaprah. Kemudian pada sisi yang lain, kelalaian pusat ini bertemu dengan sempitnya visi pemda dalam melihat strategi pembangunan di daerahnya. Dalam kondisi semacam itu, “otda lalu dirasakan membebani masyarakat, termasuk para pelaku usaha. Otda
6
identik dengan berbagai pungutan untuk meningkatkan PAD setiap daerah,” tegas Yan. Ia lalu membuat perbandingan dengan masa sebelum otda berlaku, di mana saat ini semua biaya urusan perijinan menjadi tinggi, bahkan dengan angka kenaikan 100%. “Dulu daerah mendapat dana dari pusat, dengan otonomi maka ia harus memenuhi PAD-nya sendiri. Maka muncullah berbagai pungutan dan kenaikan biaya tadi”. Memang tidak semua daerah seperti itu, karena ada (meski tak banyak) daerah yang berpandangan lebih jauh dari sekedar memperoleh PAD, seperti perhatian atas multiplier effect dari kehadiran investasi itu pada pembukaan kesempatan kerja masyarakat (menaikan PDRB). Di sini Pemda membuat kebijakan yang suportif dan menyediakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan ekonomi di daerahnya, seperti yang ada di Sumatera Selatan. “Daerah-daerah yang mendukung kita untuk bekerja lebih banyak, dan terus meng-encourage para pengusaha ini secara khusus kita berikan penghargaan”.
lain, para pengusaha yang bergerak di sektor properti juga merasakan dampak perubahan kebijakan di masa pemberlakuan otda saat ini. Dalam segi kebijakan pungutan, terasa semakin kuatnya orientasi jangka pendek pemda (PAD) dalam menerapkan retribusi menyangkut IMB, penggunaan dan atau peralihan lahan, BPHTB, dan sebagainya. “Kami di REI sering mendapat keluhan dari para anggota menyangkut kenaikan tarif pungutan ini dan bermacam-macamnya pungutan baru,” demikian kata Yan. Bahkan, lebih ironis lagi karena “Pemda sering tidak mempertimbangkan (selektif) penerapan pungutan itu terhadap rumah sederhana”. Contoh yang disebutnya adalah di Jawa Barat, di mana “IMB-nya naik gila-gilaan. Yang harusnya Rumah Sederhana Sehat itu gratis, malah dikenakan biaya Rp 26.000 per meter.” Menghadapi ini, “pengusaha terpaksa pula menaikan harga jual rumah tersebut, sehingga beban konsumen (pembeli) terutama yang menengah ke bawah menjadi berat.” Sejumlah Pemda juga dinilai tidak konsisten dengan aturan yang ada. Sektor Properti dan Peran REI “Dalam soal BPHTB misalnya, sudah Seperti halnya sektor-sektor yang jelas aturannya bahwa bea akan
dikenakan atas harga tanah/bangunan Rp 60 juta ke atas, tapi kenyataannya harga Rp 5 juta juga kena,”kritik Yan. Sedangkan dalam soal jenis-jenis pungutan, sektor properti kini menanggung pajak/retribusi yang berkaitan dengan penggalian, alat berat, genset, izin pertanahan, dan sebagainya. Pada sisi kebijakan perijinan, Yan mengaku sama saja kondisinya. Bahkan kebijakan perijinan ini, “semakin gila saja, karena Pemda merasa memiliki kewenangan yang lebih besar. Kewenangan itu bagi mereka adalah kekuasaan, yang akhirnya cenderung korup”. Pernyataan Yan ini lazim kita dengar dalam adagium politik, bahwa power tends to corrupt. Dalam konteks otda, dengan cara lain kita bisa mengatakan bahwa korupsi yang bersumber dari kewenangan besar pemda itu adalah kesewenangan dalam penggunaan kekuasaan, dan bukan perbiakan/peningkatan pelayanan bagi kesejahteraan masyarakatnya. Dari skema proses perizinan yang dibuat REI (lihat skema di bawah-red), memang terlihat betapa urusan perijinan itu menjadi satu tahapan kerja yang berat bagi pelaku usaha. Para pengembang harus memenuhi jenis-
jenis perizinan, seperti ijin prinsip, ijin lokasi, IMB, pengurusan sertifikat induk, ijin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT), dan sebagainya. Belum lagi dalam setiap pengurusan jenis perizinan tersebut, persyaratan dan prosedur yang harus ditempuh juga berat. Dalam hal pengurusan SIPPT misalnya, para pengembang harus menyediakan persyaratan gambaran lokasi, SDTK, peta situasi terakhir, keterangan rencana kota, dan sebagainya; sedangkan prosedur yang ditempuh berkaitan dengan banyak instansi seperti BPN Wilayah, Dinas tata Kota, Biro Hukum, Sekwilda, dan berakhir di level Kepala Daerah. Setiap tempat memiliki keragaman dalam hal jenis, persyaratan dan prosedur perizinan. Lalu, bagaimana upaya REI sebagai wadah asosiasi pengusaha properti dalam mengadvokasi berbagai kebijakan di atas agar lebih mendukung aktivitas para anggotanya ? “Pihak REI akan proaktif mengupayakan usulan perbaikan kebijakan,”jawab Yan tegas. Pertama-tama, Ketua Umum DPP REI ini meminta perlunya kesamaan persepsi antara pihak pengusaha dan Pemda untuk menempatkan visi jangka
panjang sebagai yang utama. Misalnya, ketimbang mengejar target PAD yang tinggi, orientasi kepada pembangunan ekonomi berkelanjutan seperti dalam penciptaan lapangan kerja dan segala upaya yang pada akhirnya juga memberikan keuntungan jangka panjang bagi Pemda. “Persepsi dan visi jangka panjang ini perlu bagi Pemda,” tegas Yan. Sementara kepada pihak REI sendiri, khususnya pihak DPD yang langsung bersentuhan dengan kebijakan Pemda, diharapkan sikap proaktifnya untuk mendekati para pembuatan keputusan baik di eksekutif maupun legislatif. Selama ini DPP REI di tingkat pusat telah giat terlibat dalam pembuatan keputusan secara nasional, dan hal itu harus dilanjutkan DPD di level daerah. “DPD REI di daerah terus saya himbau untuk aktif melobi agar aspirasi para anggota asosiasi ini bisa terkomunikasikan. Dengan ini tidak ada pihak yang berjalan sendiri-sendiri, namun saling berupaya mempertemukan persepsi antara pengusaha dan Pemda setempat,” demikian ia menutup pembicaraan.* (endi)
Skema proses perizinan yang dibuat REI Permohonan SIPPT
Gambar Lokasi
Proposal Proyek
Surat Tanah
Aset Pemda
SDTK
Tim Penilai DTK- DKI
BPN Wilayah
KAPWATAN
Peta Situasi Terukur
Lulus/Tidak Lulus
Peta Rincian
Proses Ganti Rugi Proses Ruislaag
Ket. Rencana Kota
Sertifikat Lulus Dari DTK
Rekomendasi BPN Wilayah
Surat ket. dari Kapwatan bahwa penyelesaian Aset Pemda sedang dalam proses y y y y y
BPUT Wakadin DTK Sekretaris BPUT
Proses Ganti Rugi PAM PLN Telkom MHT MCK
Proses Ruislaag y y y y
Sekolah Posyandu Sasana Krida Bangunan Lain
Biro Hukum BPUT
Ka. BPUT
BINAGRAM
Konsep SK. Gubernur
BPUT
Kanwil BPN Sekwilda
Ass. I. Sekwilda BPUT
Wagub Pem. BPUT Wagub Ekbang RAPIM Gubernur
Biro Umum BPUT
Surat Perintah Setor
Se Gub SIPPT SETOR
7
Sosialisasi Hasil PPemeringk emeringk atan KPPOD di TTujuh ujuh KKota ota emeringkatan
“Diperluk an Upaya RRasionalisasi asionalisasi PPungutan ungutan Daerah “Diperlukan Daerah”” Dalam rangka menyebarluaskan The Asia Foundation, lembaga yang di Propinsi Jawa Tengah maupun hasil kajian KPPOD mengenai membiayai kegiatan ini, maksud dari daerah di luar Jawa Tengah yang masih Pemeringkatan Daya Tarik Investasi 134 kegiatan sosialisasi hasil pemering- tergabung dalam satu Korwil APEKSI Kabupaten / Kota di Indonesia, KPPOD katan ini salah satunya adalah untuk seperti dari Jawa Timur dan Jawa Barat bekerjasama dengan The Asia Founda- memberikan input bagi pemerintah seperti Kab. Cirebon, Kota Cirebon dan tion mengadakan roadshow dalam daerah dalam proses pembuatan Bekasi. Hadir juga dalam acara tersebut bentuk seminar setengah hari di 7 kebijakan. Direktur Eksekutif APEKSI para pengusaha, akademisi, LSM, dan (tujuh) Kota di Indonesia. Ketujuh kota Chairunnas, menyatakan bahwa agar pers. Di wilayah barat roadshow dilakukan di tersebut mewakili Kota Pekanbaru daerah-daerah Kota bertempat di dan Kabupaten yang Hotel Mutiara berada di wilayah InMerdeka, Kota donesia bagian barat, Pekanbaru, pada tengah, dan timur, tanggal 6 Mei serta daerah-daerah 2003. Seminar yang mendapat pedibuka oleh ringkat atas, menengWa l i k o t a ah, dan bawah. Untuk Pekanbaru Drs. penyelenggaraan H. Herman Abseminar di tujuh dullah, MM. daerah tersebut juga Dari wilayah dilakukan kerjasama barat kembali ke dengan APEKSI (Asodaerah Jawa yasiasi Pemerintah Koitu di Kabupata Seluruh Indonesia) ten Sidoarjo dan Koordinator Wilayang diselenggayah APEKSI, yaitu rakan di Hotel untuk seminar yang Sinar Expres diadakan di Kota PeInternasional, kanbaru, Kota Semarang, Kota Bandar Sidoarjo, pada Lampung, Kota Mata- Sosialisasi KPPOD - KPPOD bersama sejumlah institusi mengadakan sosialisasi tanggal 8 Mei ram dan Kota Pare- Hasil Pemeringkatan di sejumlah daerah di Indonesia untuk mendapatkan tanggapan 2003. Seminar pare. Sementara un- dan konfirmasi atas sejumlah temuan yang diperoleh dalam penelitian. dibuka oleh Butuk penyelenggaraan pati Sidoarjo, seminar di Kota Pekanbaru dan hasil penelitian KPPOD ini ditanggapi Drs. H. Win Hendrarso, M.Si, dihadiri Kabupaten Sidoarjo dilakukan dan ditempatkan secara proporsional sekitar 80 peserta yang terdiri dari usur kerjasama dengan Forum Komunikasi dan dijadikan salah satu masukan bagi lembaga pemerintahan maupun Nasional UKM (Fornas UKM) dan daerah dalam merumuskan kebijakan lembaga non pemerintahan, perbankan, Forda UKM. Sementara panitia dalam peningkatan daya tarik investasi pengusaha, dan pengamat ekonomi. Kemudian roadshow kembali dilakukan penyelenggaranya sendiri adalah dari daerah. pemerintah daerah setempat dan Roadshow Sosialisasi Hasil di wilayah barat yakni di Kota Bandar beberapa dari Forda UKM. Pemeringkatan Daya Tarik Investasi 134 Lampung yang dilakukan pada tanggal Roadshow ini dilakukan dengan Kabupaten/Kota di Indonesia, diawali di 13 Mei 2003 bertempat di Gedung Tapis tujuan selain untuk mendapatkan dan Kota Pontianak pada tanggal 28 April Berseri Pemkot Bandar Lampung. mempelajari tanggapan pemerintah 2003. Berikutnya dilakukan di Kota Seminar tersebut dihadiri oleh lebih daerah atas hasil pemeringkatan Semarang, yang berdasarkan hasil dari 70 peserta yang terdiri dari tersebut dan melakukan konfirmasi penelitian KPPOD mendapat peringkat sejumlah perwakilan Pemda Kabuatas hasil studi ke sejumlah daerah yang pertama dalam daya tarik terhadap paten / Kota yang ada di Propinsi diperingkat, juga dimaksudkan untuk investasi daerah. Seminar dilakukan di Lampung, seperti dari Kota Bandar menstimulasi dan mengajak daerah Gedung Mr. Moch Ikhsan, pada tanggal Lampung sebagai tuan rumah, Kota untuk berkompetisi meningkatkan daya 30 April 2003 dihadiri oleh sekitar 200 Metro, Kab. Lampung Selatan, tarik investasi daerahnya. Sementara peserta yang berasal dari berbagai menurut Dr. Dauglas E. Ramage dari perwakilan pemerintah daerah yang ada (Bersambung ke hal 13)
8
PBB dan BPHTB Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan pajak pusat yang kemudian dibagihasilkan kepada daerah. Adapun dasar pengenaan PBB adalah UU No. 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagimana telah diubah dengan UU No. 12/1994. PBB dibuat untuk menyempurnakan pengenaan Ipeda dan pajak-pajak lain yang dianggap tumpang tindih seperti: pajak rumah tangga, pajak kekayaan, pajak jalan, dan lain-lain. Sedangkan dasar pengenaan BPHTB adalah UU No. 21/ 1997 tentang Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan yang telah disempurnakan oleh UU No. 20/2000. Sebagaimana dituangkan dalam UU No. 12/1985, bahwa yang dimaksud obyek pajak dalam PBB adalah bumi atau bangunan. Dalam menentukan klasifikasi bumi atau tanah diperhatikan faktor-faktor seperti letak, peruntukkan, pemanfaatan, kondisi lingkungan dan lain-lain. Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor seperti bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan dan lain-lain. Sedangkan obyek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah obyek pajak
yang: a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperolah keuntungan. b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu. c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Apabila nilai jual obyek pajak kurang dari Rp. 2.000.000 maka tidak dikenakan PBB. Batas nilai jual bangunan tidak kena pajak ini akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak a t a s tanah d a n bangunan dapat d i s e babkan karena adanya pemindahan hak atau pemberian hak b a r u . Pemindahan hak ini
dapat terjadi karena proses jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah. Sedangkan pemberian hak baru terjadi karena kelanjutan pelepasan usaha dan diluar pelepasan usaha. Obyek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah obyek pajak yang diperoleh: a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. Orang pribadi atau badan karena wakaf; f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Untuk obyek pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan pemberian hak, pengenaan pajaknya diatur oleh Peraturan Pemerintah. Nilai perolehan obyek pajak yang tidak dikenakan pajak yaitu maksimum Rp. 60.000.000. Sedangkan obyek pajak yang diperoleh karena adanya perolehan hak waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi, nilai perolehan obyek pajak yang tidak kena pajak ditetapkan secara regional maksimum sebesar Rp. 300.000.000.
9
ANALISA POTENSI PENERIMAAN KAWASAN DKI JAKARTA Bentuk baru hubungan Tabel Estimasi Total Pendapatan Daerah 2001-2003 (juta Rp) Lapangan Softball, dan Lapangan Parkir Timur pusat dan daerah seperti Jenis 2001 2002 2003 yang tertuang dalam PBB 3,989 4,613 5,334 Selatan, Stadion Tenis dan IMB 121 140 162 Stadion Madya, Gedung Undang-undang No. 22 Total 4,110 4,753 5,496 Pertemuan dan tahun 1999 dan UndangDividen 4,147 4,796 5,546 Perkantoran, serta undang No 25 tahun 1999 Total 8,257 9,548 11,041 Pelayanan Kesehatan dan memberikan konsekuensi Krida Loka. adanya perubahan Berdasarkan data bagian keuangan pembiayaan daerah. wilayah DKI Jakarta, menurut survey DKI Jakarta sebagai Ibu Kota LPEM-FEUI adalah Gelora Bung GBK, jumlah realisasi penerimaan Negara Republik Indonesia, sekaligus Karno (GBK), Kawasan Berikat pajak yang menjadi pemasukan bagi salah satu daerah khusus pemerintahan Nusantara (KBN), Pelabuhan Indone- Pemda DKI adalah Rp 2,099 milyar Propinsi, cukup terkena dampak sia II (Pelindo II), dan Jasa Marga. (April ‘99 s/d Maret ’00), Rp 2,104 milyar pelaksanaan peraturan otono-mi Penelitian LPEM-FEUI dalam Kajian (April s/d Desember ’00), dan Rp 1,037 daerah tersebut. Sehubung-an dengan Potensi Penerimaan Propinsi DKI (Januari s/d Juli 2001). Estimasi skema peraturan baru tersebut, telah Jakarta, mengestimasi potensi penerimaan untuk tahun 2002 dan 2003 dikeluar-kan pengaturan mengenai penerimaan Pemda DKI Jakarta dilakukan dengan menghitung tingkat pemerintahan Propinsi Daerah Khusus berdasarkan UU 22/99, 25/99, dan UU 34/ pertumbuhan 1999 hingga 2001, Ibukota Negara Republik Indonesia 99, yakni melakukan perkiraan tentang kemudian dihaitung rata-ratanya dan Jakarta dalam suatu undang-undang perubahan penerimaan Pemda DKI digunakan untuk memprediksi yakni Undang-undang No. 34 tahun 1999. Jakarta setelah diberlakukannya pendapatan dan penerimaan tahun 2002 Hal mengenai pembiayaan Undang-undang otonomi daerah yang dan 2003. Hasil estimasi LPEM-FEUI kekhususan DKI Jakarta terletak pada baru dan ketentuan khusus Jakarta atas penerimaan pajak Pemda DKI sisi bahwa Ang-garan belanja setiap sebagai ibu kota, serta potensi Jakarta adalah Rp 956 juta (1999), Rp 970 Kotamadya dan Kabupaten Adminis- pengembangan sumber penerimaan juta (2000), Rp 2,25 milyar (2001), Rp 2,6 tratif yang ditetapkan dalam Angga-ran tanpa melupakan dampak yang milyar (2002), dan Rp 2,9 (2003). Beberapa alternatif yang dapat Pendapatan dan Belanja Negara mungkin terjadi. dilakukan dalam rangka peningkatan Khusus Ibukota Jakarta, artinya pendapatan DKI, antara lain: (1) penerimaan daerah kabupaten dan kota 1. Gelora Bung Karno (GBK) pemindahan kepemilikan pada Pemda turut disalurkan melalui Pro-pinsi DKI Jakarta. Selain itu, terdapat pula Sesuai dengan Keppres No 4 tahun DKI, artinya mengganti pengelolaan di ketentuan khusus bahwa Kewenangan 1984 tentang Badan Pengelola bawah tanggung jawab Pemda DKI. Pemerin-tah Propinsi DKI Jakarta Gelanggang Olahraga Senayan, Dengan demikian, potensi yang didapat berlaku juga pada kawasan otorita, yang Penguasaan, Pengelolaan dan dari GBK adalah pajak daerah dan hasil meliputi badan otorita, kawasan Administrasi dari tanah dan bangunan, pendapatan operasional tahun 2002 Rp pelabuhan, kawasan bandar udara, GBK terletak di bawah Sekretariat 4,1 milyar dan Rp 4,7 milyar di tahun 2003 (sumber: studi LPEM-FEUI); (2) kawasan kehutanan, kawasan Negara. perumahan, kawasan industri, kawasan Berdasarkan buku agenda yang kerjasama Pemda DKI dan GBK dalam pariwisata, kawasan jalan bebas dikeluarkan oleh Pelaksana Harian berbagai bentuk, sehingga GBK dapat hambatan, kawasan kepulauan , dan GBK, selain kawasan olah raga fungsi lebih diberdayakan, maupun dengan pembentukkan BUMD baru kawasan lain yang sejenis. GBK antara lain sebagai: Semua perubahan dalam peng- · Kawasan Wisata, lokasinya sehubungan dengan hal ini; (3) aturan pembiayaan daerah ini, memungkinkan GBK berfungsi restrukturisasi Badan Pengelola, tentunya akan sangat berpengaruh sebagai pusat pertemuan sosial sehingga dapat melakukan pengelolaan dengan lebih efektif. pada besarnya penerimaan yang akan terbesar di Jakarta. diterima, serta potensi pengembangan · Kawasan Hijau Kota, dengan yang mungkin dilakukan oleh DKI daerahnya yang penuh dengan 2. PT (Persero) Kawasan Berikat Jakarta. Untuk itu, analisa maupun lapangan rumput dan pepohonan Nusantara (KBN) estimasi mengenai potensi penerimaan yang terawat, kawasan GBK juga daerah penting untuk dilakukan, berfungsi sebagai paru-paru kota. KBN adalah salah satu BUMN yang khususnya yang terkait dengan · Kawasan Olah Raga, GBK terdiri dimiliki negara dan mengatur daerah kawasan tertentu yang terdapat di dari beberapa Unit antara lain; pemrosesan ekspor yang pertama di Inwilayah DKI Jakarta. Stadion Utama, Stadion renang dan donesia. KBN dimiliki oleh Pemerintah Kawasan khusus yang terdapat di gedung-gedung olahraga, Istoram Pusat dan Pemda DKI, dengan
10
Tabel Potensi Penghasilan Pemda DKI Jakarta dengan Pengambilalihan GBK (juta Rp) Jenis Surplus Pajak Total
2002
2003
3.Pelabuhan Indone- potensi pendapatan Pemda DKI untuk tahun 2001-2003 adalah Rp 167 milyar, sia II (Pelindo II)
173 milyar, dan 179 milyar. Alternatif lainnya adalah negosiasi kepemilikan saham Pelindo II, jika Pemda mendapat misalkan sebesar 50% saham, maka potensi pendapatan DKI tahun 2001-2003 adalah sekitar Rp 100 milyar, 104 milyar dan 107 milyar.
Pelindo II adalah BUMN yang bergerak dalam jasa kepelabuhanan, Tabel Estimasi Pendapatan dan Laba Bersih Pelindo II memiliki 12 pelabuhan Dan Pelabuhan Tanjung Priok, 2001-2003 dan 1 unit pelaksana Tanjung Priok 2001 2002 2003 Pendapatan Bersih 552.33 572.23 592.85 teknis yang berada di Laba Bersih 167.22 173.25 179.49 4. PT Jasa Marga 2 % dari Pendapatan Bersih 11.05 11.44 11.86 sepuluh propinsi. Salah Pelindo II satu pelabuhan yang Laba Bersih 199.95 207.20 214.45 Pada tahun 1978 diresmikan sebuah 50% Laba Bersih 99.97 103.60 107.23 terletak di wilayah DKI jalan akses bebas hambatan yang Jakarta adalah menggunakan sistem tol yang Pelabuhan Tanjung Priok. komposisi kepemilikan masing-masing menghubungkan Jakarta-Bogor-Ciawi Untuk meningkatkan potensi 89 dan 11 persen. pendapatan Pemda DKI Jakarta dari (Jagorawi). Pengelolaan jalan bebas Kawasan pemrosesan ekspor adalah jasa pelabuhan, salah satu usul yang hambatan Jagorawi tersebut diberikan kawasan eksklusif dengan kekhususan dapat menjadi alternatif pemikiran kepada PT Jasa Marga. Sahamnya dalam peraturan-peraturan bea cukai. adalah membentuk BUMD baru yang seluruhnya dimiliki oleh Pusat. Dalam kawasan ini, setiap barang yang bergerak di bidang jasa kepelabuhanan. Hasil studi memberikan analisa diimpor, mulai dari mesin hingga bahan Hal tersebut sangat mungkin untuk bahwa keberadaan Jalan Tol memberi baku mendapat keringanan bea cukai, dilakukan dan dikembangkan dampak perekonomian yang besar bagi misalnya bebas cukai langsung (direct mengingat cukup banyak bidang yang daerah-daerah di mana terdapat jalan free duties) dan pajak, serta tol tersebut berdiri. Misalnya Tabel Pendapatan Pemda DKI dari KBN pengurusan dokumen terpadu. pembangunan jalan tol (1995-2000**) dalam juta Rp Tabel berikut ini merupakan Tangerang menciptakan Jenis 1995 1996 1997 1998 1999 2000 data sekunder mengenai beberapa kota satelit seperti PBB 1,723 2,135 2,304 2,502 2,688 2,776 kontribusi KBN baik kepada IMB 26 65 124 171 152 247 BSD dan tumbuhnya bisnisTotal 1,749 2,200 2,428 2,673 2,840 3,023 Pemerintah Pusat maupun bisnis baru di daerah tersebut. Deviden 397 349 815 4,361 4,701 4,072 Pemda DKI Jakarta. Total 2,146 2,549 3,243 7,034 7,541 7,095 Tumbuhnya dunia usaha Untuk menghitung potensi **) sudah diaudit. dapat menciptakan potensi kontribusi KBN terhadap pajak dan retribusi baru bagi Tabel Kontribusi KBN ke Pemerintah Pusat, 1995-2000 pendapatan Pemda DKI, adalah pemerintah daerah, selain itu (sudah diaudit) dilakukan estimasi pendapatan Jenis 1995 1996 1997 1998 1999 2000 S/d Ags juga transaksi-transaksi 2001 tahun 2000, kemudian diestimasi properti yang pada gilirannya PPh 21 655 751 884 865 1,753 1,800 754 pendapatan tahun 2002 dn 2003. PPh Badan akan menambah pendapatan 1,763 983 2,543 3,130 2,674 2,221 1,508 2,526 2,880 3,417 5,750 9,471 7,310 1,389 daerah. Analisa selanjutnya Dalam mengestimasi PPh 23 (Wapa) PPh 23 (Wapu) 359 318 173 377 940 1,508 141 pendapatan dua tahun tersebut, PPN Keluaran 2,139 2,385 3.067 10,775 9,152 10,822 9,739 adalah membentuk usaha 2,029 1,875 2,036 1,963 5,169 4,210 1,287 patungan dalam membangun angka pertumbuhan rata-rata PPN Masukan Jumlah 9,471 9,192 12,120 22,860 29,159 27,871 14,818 selama 5 tahun terakhir dihitung jalan tol baru, selain untuk (hasilnya 15%) dan menjadi mengurangi kemacetan dasar estimasi. Dengan metode ini, dapat dikembangkan dalam jasa akibat kepadatan arus, juga didapatkan hasil estimasi kontribusi tersebut, misalnya perusahaan memberikan kontribusi yang cukup tahun 2001 hingga 2003 adalah 8.2 milyar, bongkar muat, container freight sta- besar bagi penerimaan daerah. 9.5 milyar, dan 11 milyar. tion, industri pendukung seperti bank, Alternatif penghitungan estimasi restoran, pelayanan umum, dsb. *) Penelitian LPEM FEUI Kajian potensi pendapatan Pemda DKI Estimasi laba rugi Pelabuhan Potensi Penerimaan Propinsi DKI Jakarta, jika komposisi kepemilikan Tanjung Priok dan perkiraan tingkat Jakarta, 2001. berubah menjadi 50% Pusat dan 50% pertumbuhan, potensi penerimaan Pemda DKI, dan skenario pembagian Pemda DKI dari Pelabuhan Tanjung deviden jika kepemilikan 50% maka Priok untuk tahun 2001-2003 adalah Rp deviden yang dibagikan sebesar 50% 11.05 milyar, 11.44 milyar, dan 11.86 dari laba, akn menyebabkan total milyar. potensi pendapatan Pemda DKI tahun Beberapa alternatif yang dapat 2002 dan 2003 menjadi sebesar Rp 28 dikembangkan, antara lain jika milyar dan Rp 32 milyar. Pelabuhan Tanjung Priok dialihkan menjadi milik Pemda DKI, maka 1,560 2,565 4,125
1,778 2,924 4,702
11
“Ekspedisi Baduy” TMPPD Angkatan 29 Surjadi Terinspirasi kehidupan masyarakat Baduy yang disampaikan oleh salah satu pengajar, 14 orang peserta diklat TMPPD angkatan XXIX pada Jumat (30/5) bergerak menuju daerah Cibeo tempat tinggal masyarakat Baduy Dalam. Setelah perjalanan 3 jam berkendaraan, rombongan tiba di rumah Pak Sumardi, salah seorang peserta diklat, yang terletak di Kab. Lebak. Pak Sumardi yang berbaik hati memfasilitasi ekspedisi tersebut, malam itu menghidangkan rombongan dengan teh hangat dan kripik pisang. Keesokan harinya, selepas shalat subuh rombongan memulai ekspedisi sesungguhnya menuju Ciboleger sebagai titik awal menuju Cibeo. Pk. 07.30 rombongan mulai merayap menuju Cibeo. Sebelum tiba Cibeo, rombongan selama beberapa jam harus melalui kawasan perkampungan Baduy Luar. Perjalanan Berangkat: Tanjakan dan Terik Matahari Perjalanan di wilayah Baduy Luar terasa cukup seru. Bagi para mantan pramuka atau pencinta alam, inilah sebuah perjalanan nostalgia. Naik-turun gunung, menyeberangi sungai, berteduh di rindang pepohonan, betul-betul kegiatan rekreasi yang menyenangkan. Dalam ekspedisi, kami dipandu oleh Nasa, seorang warga Baduy asli. Di sepanjang perjalanan kami melewati rumah-rumah warga Baduy Luar yang terbuat dari kayu atau bambu dengan atap daun-daun kering. Rombongan juga sempat menyaksikan kegiatan menenun oleh ibuibu Baduy Luar dan beberapa peserta membeli sejumlah kerajinan tangan warga setempat. Kami sempat berpapasan dengan serombongan warga Baduy yang sedang memikul karung-karung berisi hasil bumi. Salah seorang diantaranya adalah seorang bocah yang berusia sekitar 9 tahun yang malu ketika akan diphoto. Wajah-wajah mereka tetap cerah walaupun beban yang dibawa terlihat cukup berat. Setelah menempuh perjalanan sekitar empat setengah jam, sampailah kami di Cibeo, kawasan Baduy Dalam. Kami beristirahat sejenak di sebuah sungai sambil menikmati bekal nasi dan lauk-pauk yang kami bawa dari base camp kami di Cimarga. Ramah-tamah dengan Warga Baduy Dalam Di Baduy Dalam, kami mendapatkan kesempatan berbincang-bincang dengan
12
Sayang sekali suasana percakapan yang salah seorang Jaro dengan didampingi sejumlah warganya. Perkacapan dilakukan cukup dinamis ini tidak bisa diabadikan oleh dalam bahasa Sunda (bahasa sehari-hari alat potret maupun video, karena hal ini masyarakat Baduy) dengan penterjemah adalah salah satu pantangan yang tidak boleh dilanggar. Pak Sumardi. Dalam percakapPerjalanan an itu terungkap Pulang: Hujan beberapa hal tendan Tanah yang tang orang Baduy, Licin antara lain: Pakaian S e t e l a h Pakaian orang beramah-tamah Baduy haruslah selama kurang dijahit sendiri oleh lebih satu jam mereka dan berkami berpamitan warna dominan dan menuju ke titik hitam dan putih. finish di Baduy Dahulu kala bahLuar. Dalam perjakan benang pun lanan pulang, dipintal sendiri. rombongan Saat ini praktis ekspedisi diguyur sebagian bahan oleh hujan deras. pakaian dibeli di Meski cuaca tidak luar Baduy. bersahabat Pria Baduy Menjual hasil bumi - Sejumlah pria Baduy r o m b o n g a n Dalam memakai menuruni jalan yang curam sambil membawa m e m u t u s k a n ikat kepala kain beban berat berisi hasil bumi. untuk terus berwarna putih, berjalan. Lagipula sedangkan ikat kepala laki-laki Baduy Luar badan sudah terlanjur basah, sehingga berwarna hitam atau berwarna gelap berteduh tidak banyak membantu. dengan corak seperti batik. Sejak bocah, Hujan membuat jalan yang dilalui kaum laki-laki sudah mengenakan ikat rombongan menjadi becek dan licin. kepala. Beberapa orang peserta memutuskan untuk Pernikahan membuka alas kaki. Kami harus ekstra Orang Baduy harus menikah dengan or- hati-hati ketika melewati turunan atau ang Baduy juga. Bila hal ini dilanggar, maka menyeberangi jembatan bambu, agar tidak orang tersebut tidak boleh lagi tinggal di tergelincir atau terperosok. Sementara Nasa Baduy, walaupun tidak berarti orang itu pemandu kami yang juga bertugas sebagai dimusuhi. Sejauh ini baru beberapa orang Sherpa (suku asli di himalaya-red)berjalan pria Baduy luar yang tidak mentaati aturan dengan mantap seperti memakai rem tersebut. Kaum perempuan sama sekali cakram sehingga tidak mudah terpeleset. tidak ada yang melanggarnya. Pernikahan Ketika melewati perkampungan, dilakukan setelah melalui perjodohan yang penduduk sempat mengungkapkan dilakukan oleh orang tua ataupun tokoh empatinya kepada kami yang harus masyarakat. Setelah menikah pasangan berjalan berbasah-basah. Menjelang pk. suami isteri tidak boleh bercerai. 17.00 , sampailah kami di titik finish. Dengan Agama dan Adat ekspedisi, wawasan para peserta Orang Baduy menganut agama warisan bertambah tentang bagaimana suatu leluhur mereka yaitu tergolong animisme masyarakat menjalani kehidupan mereka atau dinamisme. Mereka juga mempunyai sehari-hari dengan cara yang amat berbeda hari raya yang disebut Kawalu. Masyarakat dengan masyarakat Indonesia pada Baduy sangat memegang teguh ajaran umumnya. Sejumlah hal yang dijumpai agama dan adat mereka. Antara lain tidak sepanjang perjalanan menyadarkan kami boleh berbohong dan tidak boleh menaiki betapa Indonesia kaya akan budaya dan kendaraan. nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan. “Jadi waktu pameran di Jakarta Bapak Juga kami menyadari betapa perjalanan naik apa?” tanya Sondang, teman FEUI selama tujuh setengah jam terasa yang kebetulan ikut serta menyenangkan bila dilakukan dalam “Jalan kaki Dik. Yah, kira-kira dua hari” semangat kebersamaan yang tinggi. begitu jawab seorang Bapak
Sosialisasi Hasil Penelitian ... (sambungan dari hal 8) Lampung Timur, dan Tenggamus, dan mengungkap sejumlah kebijakan yang kondusif dapat terbentuk dengan Lampung Barat. Selain dari unsur pemerintah daerah dalam upayanya hubungan yang baik antar etnis dan pemda sebagian peserta merupakan menciptakan iklim investasi yang agama yang ada di daerah, dengan perwakilan dari dunia usaha, perguruan kondusif bagi dunia usaha, dari demikian para pengusaha harus lintas tinggi, LSM dan Media Masa. Dari Kota roadshow ini juga terungkap sejumlah agama dan etnis. Iklim investasi juga Bandar Lampung, sosialisasi hasil kendala yang dihadapi oleh pemerintah perlu ditunjang dengan ketersediaan pemeringkatan KPPOD beralih ke Kota daerah dalam menciptakan iklim infrastruktur yang baik serta sumber Mataram yang dilakukan di Hotel Sahid investasi maupun persoalan-persoalan daya manusia sebagai pendukungnya. Legi, Mataram Berkaitan dengan pada tanggal 28 UKM, menurut Mei 2003. Dalam Sofyan Tan, selama seminar tersebut ini keberadaan dihadiri baik dari UKM sering dilupaunsur pemerintakan padahal meruhan di lingkungan pakan potensi yang Pemda Kota Mabesar untuk menotaram maupun pang kesejahteraan perwakilan suatu daerah. Bila pemda-pemda UKM diperdayakan daerah sekitarsecara otomatis nya seperti dari pengusaha akan Kabupaten Lombisa meningkatkan bok Barat, Kab. kesejahteraan dan Bima, Dompu, memperkecil dan lainnya, serta angka penggangdari unsur masyaguran. Tetapi hingrakat seperti pega kini kebijakan ngusaha, LSM, terhadap usaha dan Perguruan kecil baru sebatas tinggi. Serial lips service, padaroadshow sosiahal jika dilakukan lisasi hasil Pemesecara serius dengringkatan Daya Modal dasar - Ketua Kadinda Semarang mengharapkan hasil penelitian KPPOD an mempermudah Tarik Investasi menjadi modal dasar untuk menarik lebih banyak lagi investasi masuk kota dalam perizinan 134 Kabupaten / Semarang. maka dengan sendiKota di Indonesia oleh KPPOD di tujuh yang dihadapi oleh dunia usaha. rinya investasi akan masuk. daerah ini diakhiri di Kota Parepare Ketua Bappeda Kabupaten Pontibertempat di Hotel Delima Sari. Semi- Peningkatan Daya Tarik Investasi anak, Hamzah, MM., mengungkapkan, nar dihadiri sekitar 80 peserta yang Daerah bahwa akibat banyak pertentangan berasal dari Pemda-pemda di Sulawesi Dalam sambutan pembukaan, peraturan di tingkat pusat maka Selatan, para pengusaha, UKM, LSM, Walikota Pontianak, Dr. H. Buchary daerah-daerah masih gamang dalam dan akademisi. Abdurrachman, antara lain menye- membuat kebijakan, akibatnya iklim Megikuti jalannya diskusi dalam butkan bahwa peran investasi sangat investasi daerah tidak kondusif dengan seminar di ketujuh daerah secara dominan bagi peningkatan laju pengenaan pajak yang tidak proumum tujuan dari dilakukannya pertumbuhan ekonomi daerah, porsional dan konsisten dalam roadshow ini telah tercapai. Selain khususnya dalam mengolah potensi penerapannya. Bambang Brojonegoro, diskusi hasil pemeringkatan KPPOD, ekonomi yang berbasis sumber daya salah satu pendiri KPPOD dan ekonom forum seminar tersebut juga menjadi lokal yang selama ini belum dari FE-UI, menyatakan bahwa ajang bagi para stekeholder di tiap dimanfaatkan. Selain itu investasi juga banyaknya problem yang dialami oleh daerah tempat penyelenggaraan untuk berperan dalam menciptakan lapangan daerah adalah bagian dari hutang baik memberikan masukan, harapan, serta kerja, sumber pembangunan, PAD dan di masa lalu maupun masa sekarang. kritik terhadap kebijakan pemerintah mendatangkan transfer teknologi ke Menurut Bambang beberapa penelitian daerah dalam melakukan pembangun- daerah. Sementara dalam kesempatan menunjukkan bahwa konsep pelakan, khususnya dalam rangka mening- yang sama Sofyan Tan, Ketua Fornas sanaan otonomi di beberapa daerah katkan daya tarik investasi dan UKM, menyatakan bahwa pembangun- masih menunggu dari pusat. Berkaitan mewujudkan misi dan visi pemerintah an perekonomian daerah harus dengan good governance menurut daerah. Beberapa catatan penting dari ditopang dengan pemerintahan yang Bambang pada akhirnya akan berujung roadshow ini memberi masukan baik kondusif dalam memberikan rasa aman kepada masalah finansial, karena proses kepada Tim Peneliti KPPOD maupun pada para pengusaha, yaitu dengan tata pemerintahan yang baik berpulang bagi pemerintah daerah. Selain kelembagaan yang baik. Iklim investasi pada bagaimana pemda me-manage
13
keuangan daerah yakni pajak dan retribusi, serta penyalahgunaan wewenang dan birokrasi. Dalam kesempatan yang berbeda di Kota Semarang menurut Anton Supit, salah satu ketua KPPOD yang juga merupakan pengusaha nasional, bagi dunia usaha tujuan akhir dari pekasanaan otonomi daerah harus ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian daerah perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif karena masuknya investasi ke suatu daerah akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan multiplier effect yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti terciptanya lapangan kerja dan kegiatan ekonomi produktif di masyarakat sekitar.
pemetaan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Menurut Hendarso arah kebijakan, peliharaan, peningkatan, dan pengembangan investasi di Sidoarjo meliputi peningkatan kualitas pelayanan perizinan penanaman modal yang tidak membebani masyarakat; usaha meningkatkan kesadaran masyarakat
pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Di Kota Parepare, Walikota Parepare “menantang” pe-serta seminar untuk menghasilkan satu rekomendasi kongkrit bagaimana merumuskan strategi untuk meningkatkan daya tarik inves-tasi Kota Pare-pare. Dalam rangka meningkatkan daya tarik investasi pemerintah Kota Parepare telah melakukan sejumlah penataan dalam hal pelayanan investasi. Beberapa yang telah dilakukan adalah dengan membentuk SINTAP (Sistem Perizinan Satu Atap) untuk pelayanan investasi yang dilengkapi dengan Satgas Investasi. Dengan pemberlakuan SINTAP ini maka perizinan investasi dilakukan beK e b i j a k a n nar-benar satu Pemerintah Daerah Input untuk pemda - Salah satu tujuan sosialisasi hasil pemeringkatan menurut atap dan satu Evi Asmayadi, Dr. Dauglas E. Ramage dari The Asia Foundation adalah memberi input bagi pintu, sehingga SE, MM, ekonom dari pemerintah daerah dalam proses pembuatan kebijakan. b i r o k r a s i FE UNTAN, mengatakan, bahwa hasil dilakukan melalui pemberian kemu- perizinan yang panjang dan berbelityang diperoleh beberapa daerah di dahan sistem dan prosedur perizinan; belit dapat dipotong. Untuk membantu Kalimantan Barat yang menempati peningkatan penanaman modal dengan perkem-bangan UKM, pada tahun 2002 peringkat terpuruk, mengindikasikan mempertimbangkan keseimbangan Pemkot Parepare telah mengalobahwa masih banyak problem di daerah sektor perekonomian dan lingkungan kasikan dana sebesar Rp.1 Milyar untuk Kalimantan Barat. Untuk itu kebijakan hidup; serta peningkatan kemitran kredit permodalan bagi UKM. Dalam pemerintah daerah di bidang investasi antara pemerintah, dunia usaha dan kesempatan tersebut ekonom dari Uniperlu make up, direformasi total, dan masyarakat. Namun Herry Suginaryo, versitas Hasanudin, Mansuki DEA, diperbaiki baik secara gradual atau SH, salah satu pembicara dari mengemukakan bahwa dalam era bahkan harus radikal, agar daya saing akademisi, menyampaikan kekha- otonomi daerah dirinya lebih setuju dan daya tarik investasi di daerah ini watirannya bahwa kebijakan Bupati dengan adanya kooperasi atau makin meningkat dan mempesona. Sidoarjo yang merencanakan birokrasi kerjasama antar daerah bukan Di Kota Semarang dalam yang bersih hanya menjadi sebuah kompetisi antar daerah dalam sambutannya Walikota Semarang H. wacana. Sementara menurut Dr. Hadi menciptakan daya tarik investasi. Sukawi, SH, SE., mengatakan bahwa Soesastro pengamat ekonomi dari CSIS hasil penelitian KPPOD ini merupakan yang juga dewan pendiri KPPOD, Permasalahan Yang Dihadapi Para acuan bagi semua pihak dalam Kabupaten Sidoarjo memiliki sejumlah Pelaku Usaha menciptakan iklim yang kondusif untuk keunggulan komparatif dibandingkan Dalam seminar yang diadakan di berinvesti di daerah. Selain itu juga dengan Kota Surabaya. baik ditinjau Kota Pontianak beberapa peserta semidiharapkan dapat menjadi acuan dan dari posisinya yang strategis secara nar yang berasal dari kalangan dunia sepak terjang semua pihak di Kota geograsfis maupun berbagai potensi usaha menilai bahwa daya tarik Semarang dalam pengelolaan kota guna ekonomi lain yang dimilikinya. Bila investasi daerah-daerah di Kalimantan terwujudnya pembangunan sesuai potensi yang ada dikembangkan dan Barat, banyak dipengaruhi oleh factor dengan visi dan misi. Hal senada juga dikelola secara baik maka akan sangat perilaku dan mentalitas birokrasi. Saat disampaikan oleh Bupati Sidoarjo, Drs. mungkin dapat mengalahkan Kota ini kelembagaan pemerintah daerah H. Win Hendrarso, M.Si, ketika seminar Surabaya. Untuk itu Hadi Soesastro lebih banyak berorientasi pada upaya diadakan di Kabupaten Sidoarjo, yang menyarankan agar Kabupaten Sidoarjo peningkatan PAD sehingga membebani menyatakan bahwa kajian yang hendaknya jangan hanya puas sebagai pelaku usaha. Ketua Kadinda Kota dilakukan oleh KPPOD ini merupakan hinterland dari Kota Surabaya Semarang, Joko Murwinanto, melangkah strategis untuk melakukan melainkan harus menjadi salah satu nyatakan walupun berdasarkan hasil
14
penelitian KPPOD secara umum Kota Semarang berada pada peringkat pertama dalam daya tariknya terhadap investasi, namun dalam kenyatannya masih terdapat beberapa kendala yang dialami oleh dunia usaha. Kendala tersebut berkaitan dengan banyaknya pungli yang merupakan salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi. Hal serupa juga dialami oleh dunia usaha di Kota Mataram yang menghadapi kendala sehubungan dengan transparansi kebijakan pemda, kualitas pelayanan birokrasi, serta sejumlah pungutan yang membebani. Sementara Ketua Kadin Bandar Lampung, Hi. Dadang Suwandi, yang mewakili dunia usaha mengungkapkan bahwa kondisi yang terjadi di pusat tetap berdampak ke daerah. Karena itu pelaku usaha di daerah sekarang ini tidak bersikap progresif melainkan cendrung defensif dengan menunggu saat situasi pokitik dan keamanan membaik. Di Kota Pekanbaru, Ketua Kadin Kota Pekanbaru, Noviandri SE, AK, MM, mengungkapkan sejumlah kendala internal dalam pengembangan investasi di Propinsi Riau khususnya Kota Pekanbaru. Kendala tersebut diantaranya karena, belum tersedia data base potensi dan peluang usaha melalui produk unggulan daerah, terbatasnya infrastruktur pendukung, lemahnya faktor kewiraswastaan yang dimiliki pengusaha. Kendala lainnya adalah terbatasnya akses pasar, permodalan, manajemet usaha dan teknologi. Dari sisi birokrasi hambatan terjadi dalam fungsi pelayanan kepada publik dan dunia usaha, serta belum obtimalnya sosialisasi peraturan dan program pemerintah kepada masyarakat. Sementara kendala eksternal yang juga berpengaruh adalah kondisi politik yang tidak kondusif akibat situasi keamanan di beberapa daerah, perbutan kepemilikan sumber daya antar daerah maupun dengan pusat. Kondisi kepastian hukum terutama berkaitan dengan dunia usaha juga berpengaruh terhadap kepastian dan kelangsungan usaha dan investasi. Para peserta seminar di Kota Pekanbaru yang berasal dari dunia usaha juga mengungkapkan bahwa terbitnya sejumlah perda dalam pelaksanaan otda yang berdasarkan pantauan di lapangan telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi pengusaha, misalnya tentang pungutan Retribusi yang dilakukan terhadap mobil kanvas sebelum memasuki kota dan kabupaten yang besarnya Rp.100.000,- s/d Rp.250.000,-. Tingginya
retribusi tersebut menurutnya akan dibebankan pada harga jual barang yang pada akhirnya akan ditanggung oleh konsumen. Masukan Bagi Pemerintah Daerah Dari berbagai persoalan-persoalan daya tarik investasi daerah para pembicara dan peserta seminar memberikan masukan untuk mengatasi persoalan berkaitan dengan daya tarik investasi daerah. Menurut Bambang Brodjonegoro untuk merespon otonomi ke depan, khususnya dalam menciptakan iklim usaha yang dapat dilakukan dengan melihat daerah mana yang lebih baik dalam menarik investor ke daerah, dan proses otonomi jangan sampai menjadi hambatan investasi di suatu daerah. Sementara menurut Anton Supit penciptaan iklim invesatasi yang kondusif dapat dilakukan dengan perbaikan pada faktor kelembagaan pemerintah, perbaikan pelayanan birokrasi, kepastian hukum, dan jangan menciptakan pungutanpungutan yang tujuannya sekedar meningkatkan PAD sehingga memberatkan dunia usaha. Di Pekanbaru, ekonom dari UNSRI, DR. B. Isyadi, SE, MSc, mengemukakan bahwa berkaitan dengan strategi pengembangan ekonomi daerah dalam upaya menarik investasi dapat dikembangkan menjadi 4 kelompok besar yakni, pengembangan fisik atau lokalitas, pengembangan dunia usaha, sumberdaya manusia dan pengembangan masyarakat. Dalam mengantisipasi era globalisasi dan guna merangsang dunia usaha meningkatkan efisiensi dan minat investasi di daearah, disamping dilakukan dengan penyediaan prasarana dan sarana pelayanan yang lebih banyak dan baik, juga diperlukan upaya rasionalisasi pungutan di daerah yang berorientasi pada penyederhanaan jenis pungutan dan prosedur administrasi. Dalam jangka pendek hal ini memang dikhawatirkan dapat menurunkan PAD, tetapi dalam jangka panjang akan berdampak sebaliknya, yakni pertumbuhan investasi di daerah akan meningkat karena iklim usaha semakin menarik dengan tercipta baik melalui perampingan jenis pungutan, penyempurnaan struktur tarif dan penyederhanaan prosedur. Namun jika tidak tidak dilakukan perbaikan diperkirakan akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Bila investasi berkembang akan dapat diikuti oleh kenaikan PDRB yang pada gilirannya
akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk membayar berbagai jenis pungutan daerah.Sementara Kadinda Kota Bandar Lampung Hi. Dadang Suwandi menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti birokrasi yang berbelit-belit, serta perilaku feodal penjabat perlu dihapus. Selain itu dalam menyikapi investasi ini seyogyanya antara legislatif dan eksekutif memiliki rasa keberpihakan terhadap masyarakat, karena bagaimanapun masyarakat dapat berkembang baik apabila ekonomi juga berkembang. Untuk membantu pengembangan UKM, Joko Murwinanto mengusulkan agar dalam menanggulangi kendalakendala bisnis dilakukan dengan action plant yaitu membuat post audit terhadap beban perizinan usaha khususnya kepada UKM. Dicontohkannya, agar UKM tidak terbebani oleh berbagai biaya perizinan, maka kepada UKM harus diberi keringanan dengan cara tidak dipungut biaya perizinan pada saat mengawali usaha. Biaya perizinan tersebut dicatat sebagai hutang, hingga usaha mereka dapat berjalan secara produktif baru dibayarkan secara dicicil. Masukan Bagi Tim Peneliti KPPOD Tanggapan dan sikap peserta seminar di tujuh daerah atas hasil penelitan yang dilakukan oleh tim peneliti KPPOD cukup beragam. Di Kota Semarang dalam sambutannya Walikota Semarang H. Sukawi, SH, SE., mengatakan bahwa hasil penelitian KPPOD ini merupakan acuan bagi semua pihak dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk berinvesti di daerah. Hal senada juga disampaikan oleh Bupati Sidoarjo, Drs. H. Win Hendrarso, M.Si, yang juga menyatakan bahwa kajian yang dilakukan oleh KPPOD ini merupakan langkah strategis untuk melakukan pemetaan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas salah satu peserta seminar yang berasal dari Pemda Kabupaten Bima yang daerahnya berada pada peringkat terbawah mengemukakan keberatannya atas hasil penelitian KPPOD tersebut. Dikatakannya bahwa hasil pemeringkatan yang dipublikasikan secara luas oleh sejumlah media masa sangat merugikan daerahnya. Dikatakan bahwa sejumlah investor yang akan berinvestasi ke daerahnya batal melakukan investasi setelah adanya publikasi tersebut. Menurut dia
15
Kabupaten Bima merupakan daerah pemeringkatan hendaknya ditampilkan KPPOD belum sepenuh-nya yang menarik dan potensial untuk berdasarkan 5 kategori yakni daerah- merupakan pertimbangan pengusaha. berinvestasi terbukti dari banyaknya in- daerah dengan kategori sangat Hal ini tampak dari indikator yang vestor yang datang ke sana. Peserta lain menarik, menarik, sedang, kurang digunakan lebih kepada market oridari Pemda Kabupaten Lombok Barat menarik, dan tidak menarik. ented sehingga bahan baku orientasi mempertanyakan mengapa hasil Di Kota Pekanbaru, ekonom dari (resours oriented) tidak menjadi peringkat daerahnya untuk tahun 2002 UNSRI, DR. B. Isyadi, SE, MSc, pertimbangan, sehingga variabelmerosot jauh dari hasil pemeringkatan mengatakan bahwa harus diakui variabelnya adalah lebih kepada daya yang sama pada tahun 2001. penelitian ini mempunyai keterbatasan beli. Asrian menilai bahwa ada Dipertanyakannya pula apakah hal ini dan belum merupakan hasil yang indikator-indikator yang diluar disebabkan karena adanya perubahan komprehensif dari kajian tentang Daya kewenangan pemerintah Kabupaten/ yang signifikan pada faktor-faktor yang Tarik Investasi Daerah di Indonesia Kota. Untuk itu Asrian menyarankan mempengaruhi daya tarik investasi daerahnya ataukah karena perubahan dan perbedaan indikator-indikator dan pembobotan antara tahun 2001 dan 2002. Berdasarkan hal tersebut baik penanya dari Bima maupun dari Lombok Barat mempertanyakan masalah metode penelitian mencakup pendekatan penelitian, sampling responden, proses pengumpulan data, dan pengolahan data. Namun H. Mufti Murad, SE, ketua Kadinda Kota Mataram, menyatakan bahwa temuan penelitian dari KPPOD tersebut sejalan dengan permasalahan-permasalahan yang dialami oleh dunia usaha di Masukan dari masyarakat - Peserta dari berbagai unsur masyarakat yang hadir pada seminar Kota Mataran dan menyampaikan berbagai masukan, harapan, serta kritik terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam s e k i t a r n y a . melakukan pembangunan. Sementara ketua Bapeda Kota Mataram, Drs. H.M. Ainul karena baru sebatas mengungkapkan agar penelitian jangan hanya dilakukan Azikin, M.Si., menyatakan dapat persepsi dari titik pandang dunia usaha kepada para investor tetapi seharusnya menerima hasil pemeringkatan ini terhadap daya tarik investasi daerah. juga terhadap komunitas yang ada di karena memang sesuai dengan kondisi Namun menurutnya setidaknya daerah. Selain itu dia juga yang ada di Kota Mataram. Namun penelitian ini sudah memberikan menyarankan agar pemeringkatan demikian menurutnya untuk informasi awal kepada semua pihak dibedakan antara Kabupaten dan Kota, menghindari dampak negatif dari yang terlibat dalam perumusan dan Per Sektor Usaha, dengan indikator publikasi hasil pemeringkatan ini, kebijakan untuk mendorong investasi maupun pebobotannya juga berbeda terutama bagi daerah-daerah yang daerah pada era otonomi. Sementara di untuk tiap-tiap kategori. Sementara memperoleh peringkat terbawah, Bandar Lampung, Asrian Hendi Caya, dari Kota Parepare ekonom dari Unimenurut Azikin dapat dieliminir dengan Ekonom dari Universitas Lampung, versitas Hasanudin, Mansuki DEA, menyajikan hasil peringkat tidak menyatakan bahwa pemeringkatan mengusul-kan agar pemeringkatan ditampilkan berdasarkan urutan dari atau penilaian yang dilakukan secara dilakukan tidak hanya terhadap daerah yang tertinggi hingga terendah. nasional - seperti yang dilakukan oleh kabupaten atau kota, melainkan juga Menurut Azikin, peringkat buruk yang KPPOD - akan melakukan penyera- terhadap cluster-cluster ekonomi yang didapat suatu daerah dapat gaman. Penyeragaman tersebut akan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi dipolitisasasi untuk kepentingan- menuntut adanya penyederhanaan- pemerin-tahan serta terhadap daerah kepentingan pihak-pihak tertentu, penyederhanaan yang mungkin akan propinsi. misalnya untuk menjatuhkan tidak meng-gambarkan realitas. Selain pemerintah daerah. Untuk itu hasil itu indikator yang digunakan oleh
16
17
Bupati Sidoarjo R.Win Hendrarso:
“Menciptakan Iklim Usaha Melalui Debirokratisasi dan Deregulasi Perijinan” Kabupaten Sidoarjo dikenal dengan cita rasa makanannya yang khas. Lidah para pengunjung daerah ini sungguh dimanjakan dengan lontong kupang (kerang laut rebus bersama lontong), udang dan bandeng yang diracik secara khas, dan satu lagi yang dikenal luas yakni kerupuk udang. Makanan terakhir ini bahkan telah menjadi komiditas “ekspor” yang laris yang merambah seluruh pasaran di Jawa maupun di beberapa kota besar di Kalimantan, Sumatera dan Bali. Namun, dari segi yang lebih fundamental dari sekedar urusan selera di atas, pujian kepada Sidoarjo di masa pemberlakuan otonomi ini banyak berkait dengan inovasi kebijakan dan manajemen Pemda setempat yang dinilai kondusif bagi kehidupan masyarakat dan aktivitas perekonomian. “Desentralisasi sebagai transfer kewenangan pusat ke daerah memang mesti diikuti dengan pembaruan kebijakan dan manajemen di level daerah,” demikian kata Drs. R.Win Hendrarso Msi, Bupati Sidoarjo kepada KPPOD News. “Tanpa diikuti pembaruan ini, segala tujuan desentralisasi itu seperti demokrasi, efektivitas, efisiensi dan keadilan menjadi terhambat, ” ia beralasan. Melihat Otda sebagai Peluang Inovasi “Otonomi didasari oleh konsep penyelenggaraan desentralisasi, yakni adanya pembagian kewenangan pusat-daerah, dan diskresi yang luas kepada daerah untuk mengelola pemerintahannya,”demikian Win memulai pandangan umumnya. Namun, Win segera menambahkan, bahwa konsep yang baik ini, bisa jadi tidak sepenuhnya efektif di lapangan “entah karena minimnya inovasi
18
Pemda dalam melakukan pembaruan kebijakan dan manajemen pemerintahan, atau pun karena pusat yang tidak konsisten dan cenderung setengah hati dalam menjabarkan konsep itu ke dalam berbagai aturan operasional”. Ihwal inkonsistensi pusat ini, Win memberikan argumen yang menarik. Adanya tarik-ulur dalam pemberian sejumlah kewenangan, menurutnya, karena sikap pusat yang mau enaknya saja. “Bila kewenangan itu tak menguntungkan pusat, maka serta-merta pusat menyerahkannya kepada daerah; sebaliknya jika itu menguntungkan maka dengan segala upaya akan dipertahankan, atau kalau pun diserahkan kepada daerah mesti dengan tarik-ulur, atau disiasati dengan dikeluarkannya aturan baru”. Contoh yang pas sebagai ilustrasi penjelasan ini adalah soal pertanahan. Pengalaman Sidoarjo Terlepas dari masih adanya kekurangan dalam konsep/aturan otda ini, Pemda Kabupaten Sidoarjo mencoba memanfaatkannya sebagai kesempatan bagi pengenalan berbagai kebijakan yang suportif, khususnya dalam bidang perekonomian dan aktivitas dunia usaha. Dalam strategi pembangunan ekonominya, fokus pemerintah adalah “pada peningkatan kegiatan investasi, produktivitas dan peningkatan income masyarakat,” kata Win. Karena itu, jabaran dalam level kebijakan dan operasionalnya menyangkut dua hal. Pertama , penguatan kelembagaan dan permodalan, peningkatan kemampuan teknologi, penciptaan akses pasar dan promosi. Kedua, pada dataran makro lewat penciptaan iklim usaha kondusif
melalui debirokratisasi dan deregulasi perijinan. Untuk hal kedua ini, “kami telah membentuk Dinas Perijinan dan Penanaman Modal, dan lembaga ini telah mendapat sertifikat manajemen mutu ISO 90012000”, demikian Win berbangga hati. Dalam kesempatan wawancara ini, Bupati Win merincikan daftar kebijakannya yang mendukung perkembangan ekonomian di daerahnya. Secara singkat, skala makro-kebijakan yang bisa disebut antara lain, “peningkatan kemitraan pemda, masyarakat dan dunia usaha; pemudahan sistem dan prosedur perijinan; penciptaan keseimbangan antar pengembangan ekonomi dengan lingkungan.” Sedangkan dalam level operasional, upaya yang telah dikerjakan seperti “pengembangan kawasan SIBORIAN (Sidoarjo, Krian, Jabon) sebagai lokasi kegiatan jasa/ perdagangan, manufaktur dan kawasan industri secara umum; pembangunan proyek-proyek yang bersifat cost recovery melalui holding company seperti pembuatan jalan tol Waru, pemasangan pipa gas kota, dll.” Masih dalam kerangka kebijakan pro-invetasi itu, dukungan Pemda juga nampak dalam kebijakan pungutan (pajak/retribusi), khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan/tanah. Bupati Win tidak sepenuhnya sepakat dengan kekhawatiran sebagain pihak akan banyaknya pajak dan retribusi di masa otda saat ini. “Kekhawatiran itu tidak perlu, karena pemungutan pajak pasti dilakukan hanya untuk bidang-bidang yang layak dikenakan; sedangkan pemungutan retribusi akan mempertimbangkan keseimbangan antara beban masyarakat dan pelayanan yang diberikan Pemda.” Selain itu,
“semuanya itu sudah melalui proses kajian pihak eksekutif dan pembahasan intensif antar Pemda dan DPRD”. Dalam kasus Kab. Sidoarjo, Win mencontohkan Perda yang mengatur soal pemakaian tanah bagi kegiatan usaha. Perda No. 25/2001 (tentang Retribusi IMB) dan No. 26/2001 (tentang Retribusi Izin Gangguan), misalnya, Pemda menerapkan pungutan berdasarkan perhitungan yang jelas dan proporsional. Salah satu perhitungan di dalamnya adalah soal luas lahan yang digunakan. Dalam hal ini, Pemda kab. Sidoarjo berlaku proporsional, yakni “hanya mengatur izin dan pungutan kepada penggunaan lahan di bawah 1,0 Ha, sedangkan selebihnya adalah kewenangan dari Badan Pertanahan Nasional sebagai instansi vertikal pemerintah pusat di daerah”. Sedangkan menyangkut kebijakan pungutan, berdasarkan cermatan KPPOD News atas sejumlah Perda yang berkaitan
dengan pemakaian tanah di Kab. Sidoarjo, kesimpulan umumnya adalah berbagai Perda itu mengatur masalah ini secara normatif dan relatif tak bermasalah. Baik prinsip pungutan, ukuran penggunaan jasa, tarif dan struktur tarif umumnya tampak wajar. Mungkin juga karena keyakinannya akan hal ini, Bupati Win dalam jawaban wawancaranya tidak banyak menyinggung soal kebijakan pungutan di daerah yang ia pimpin. Justru yang menjadi perhatian kritisnya adalah pada problem masih enggannya pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pengaturan izin pertanahan kepada daerah. Dengan Keppres 10/2001 dan kemudian Keppres 103/2001, pusat (BPN) dinyatakan masih berkewenangan dalam pengaturan tanah. “Ini aneh, karena bidang pertanahan sesungguhnya merupakan kewenangan wajib yang harus dijalankan oleh Pemkab/ Pemkot,” demikian ia mengaku. Lebih jauh, “hal ini jelas berimplikasi
serius terhadap penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian pertanahan di daerah.” Meski ia juga melihat blessing in disquise dari kebijakan yang disebutnya “resentralisasi pertanahan” ini, yakni daerahdaerah punya waktu yang cukup untuk menyiapkan peraturan, kelembagaan, prasarana, maupun SDM aparatur; toh Bupati Win tetap berharap agar suatu saat kewenangan pertanahan ini diserahkan kepada daerah. Boleh jadi harapan ini tidak terlalu seperti menggantang asap (sia-sia), karena belum lama ini pemerintah pusat telah menerbitkan Keppres No.34/ 2003 yang menyerahkan sebagian (9 buah) kewenangan peemrintah di bidang pertanahan kepada Pemkab/ Pemkot. Tidak sepenuhnya memuaskan keinginan daerah, memang. Tapi aturan baru ini tentu jauh lebih baik dari dua aturan sebelumnya. Untuk sementara, mari kita sepakat.* (Endi).
Memasarkan
Andalan Produk Anda hinggapelosok
? Nusantara
!
KPPOD NEWS, tempatnya media yang menjangkau seluruh nusantara,
disebarkan ke semua pemerintahan Tk. II di Seluruh Indonesia Iklan No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis + Penempatan Iklan Full colour 1 (satu) halaman cover belakang luar Full colour 1 (satu) halaman cover belakang dalam Full colour 1 (satu) halaman cover depan dalam Full colour 1 (satu) halaman dalam Full colour 1/2 (setengah) halaman dalam b/w colour 1 (satu) halaman dalam b/w colour 1/2 (setengah) halaman dalam
Tarif Rp. 5.000.000,Rp. 3.000.000,Rp. 3.000.000,Rp. 2.000.000,Rp. 1.000.000,Rp. 1.000.000,Rp. 750.000,-
19
Depkeu Menilai Otonomi Perlu Disertai Desentralisasi Pengeluaran Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) Machfud Sidik mengemukakan bahwa untuk mengoptimalkan pelayanan masyarakat di daerah pelaksanaan otonomi daerah termasuk aspek pengeluaran tidak dapat lepas dari mekanisme pengelolaan keuangan daerah. “Kelancaran otonomi perlu difokuskan pada wacana sisi lain dari desentralisasi fiskal yaitu dari sisi pengeluaran”, katanya pekan lalu. Menurut Machfud, desentralisasi fiskal dari sisi pengeluaran penting untuk mendorong peningkatan pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah. (Bisnis Indonesia)
Pemda Desak Pusat Izinkan Dapat Pinjaman Sejumlah pemda mengaku sangat membutuhkan sumber pendanaan dari pinjaman guna membiayai proyek unggulan serta meningkatkan kualitas pelayanan publik. Bupati Bantul, M. Idham Samawi mengatakan sumber daya yang berasal dari APBN dan APBD saat ini hanya habis untuk membiayai pengeluaran rutin sedang untuk proyek unggulan lain dan peningkatan kualitas pelayanan publik, pemda harus mencari sumber dana lain. Jika daerah diberikan izin untuk mendapatkan pinjaman, selain bisa digunakan untuk membiayai proyek unggulan dan peningkatan pelayanan publik, dana tersebut juga dapat membantu pemda dalam pencapaian pembangunan yang sesuai dengan aspirasi setempat. (Bisnis Indonesia)
Purnomo : 6 Masalah Jadi Keluhan Investor Tambang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro mengungkapkan ada enam masalah yang dikeluhkan oleh investor di bidang pertambangan umum. Keenam masalah tersebut adalah kebijakan fiskal, penambangan tanpa izin, pelaksanaan otonomi daerah, keamanan, kebijakan yang tumpang tindih, dan restrukturisasi sektor. Dari keenam masalah tersebut, lima diantaranya dalah masalah eksternal. Seperti masalah pelaksanaan otonomi daerah, pada dasarnya kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengikutsertakan daerah. Namun demikian, hal itu dimanfaatkan oleh daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang justru bertentangan dengan kebijakan pusat. Untuk itu, Purnomo menegaskan bahwa pihaknya perlu bekerja sama dengan departemen terkait untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. (Bisnis Indonesia)
Bagi Hasil Migas Tak Transparan Pemerintah pusat dinilai tidak transparan dalam penghitungan bagi hasil minyak dan gas untuk daerah yang berakibat kurangnya pendapatan daerah secara signifikan. Menurut Presiden Direktur PT Mantra Global Konsultan, Made Astana, selama ini dari hasil pengelolaan untuk minyak, daerah setempat diberikan jatah sebesar 15 % dan pusat mendapatkan 85 %. Sedangkan untuk gas, daerah diberikan bagian 30%. Pembagian tersebut telah sesuai dengan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Masalahnya saat ini menurut Made Astana adalah penetapan penghitungan bagi hasil yang diputuskan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tidak transparan. Daerah sendiri pada akhirnya dapat menerima jumlah bagi hasil yang diberikan pemerintah pusat apabila penghitungannya jelas dan transparan. (Bisnis Indonesia)
Daerah Selayaknya Diberi Surat Kuasa Kerja Sama Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba) Dr. HE Syaefullah dalam Seminar Nasional Revisi UU No. 22/1999 tentang Pemeritahan Daerah mengusulkan agar Negara selayaknya memberikan surat kuasa kepada pemerintah daerah propinsi/ kabupaten dan kota dalam kerja sama dengan pihak asing. Surat kuasa harus berupa delegasi bukan kebijakan umum yang melekat tetap pada seluruh daerah. Menurut Syaefullah pembatasan wewenang kepada daerah dengan pihak asing untuk mencegah terjadinya tumpang tindih perjanjian internasional karena berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969, kewenangan melakukan perjanjian internasional hanya diberikan pada negara bukan propinsi ataupun kabupaten. Untuk itu, Syaefullah berharap pemerintah segera mencabut PP No. 106 Tahun 2000 yang salah satu pasalnya memberikan kewenangan perjanjian pinjaman daerah bersumber dari luar negeri hanya dengan persetujuan kepala daerah atau institusi legislatif setempat. (Kompas)
Errata : 1. Edisi April 2003, Hal 5, PP No.8/2003 dan Reorganisasi Perangkat Daerah pernah dimuat di Koran Tempo. 2. Edisi April 2003, Hal. 1 - 4, Distorsi Kebijakan Ketenagakerjaan Daerah, bersambung ke Hal. 8.
20
S! S E R P STOP TERSEDIA LAPORAN LENGKAP PENELITIAN DAYA TARIK INVESTASI KABUPATEN / KOTA DI INDONESIA (Peringkat Daya Tarik 134 Kabupaten / Kota di Indonesia), hasil penelitian KPPOD dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Bagi Anda yang berminat bisa memesan atau datang langsung ke : Sekretariat KPPOD Plaza Great River Lt.12 Jl. H.R. Rasuna Said Kav.X-2 No.1, Jakarta 12950 Tlp.:+62 (021) 5226018, Fax.: +62 (021) 5226027. Untuk setiap eksemplar dikenakan biaya cetak sebesar Rp.100.000,- dan untuk pengiriman dikenakan biaya tambahan sebesar Rp.20.000,- dengan terlebih dahulu transfer ke : No. ACC. 607-010198-8, BCA KCP Bina Mulia Jakarta atas nama Yayasan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Bila anda berminat silahkan mengisi formulir di bawah ini :
Nama
: ____________________________________
Instansi
: ____________________________________
Alamat
:
____________________________________________________________________ _____________________________________________________________________ Telepon
: ____________________ Fax : ___________________
e-mail
: ___________________
Jumlah Pesanan : ___________________ eksemplar