Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10
Banjarmasin, 1 – 4 November 2010
“DINAMISASI „RUANG ANTARA‟1 PRAKTIK KOSMOLOGI DAN „SUFISME‟ DALAM KESENIAN: Sebuah Model Kearifan Lokal Komunitas Budaza Lereng Merapi” Baedhowi *2 ABSTRACT Pengaruh pandangan kosmologis dan „sufisme‟ dalam perjalanan budaya dan sistem kepercayaan ternyata bisa menjadi penggerak utama roda kesenian dan dinamika kehidupan sebuah desa. Fenomena semacam ini terjadi di dusun Tutup Ngisor-Duwur, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Greget atau semarak kehidupan di dusun ini terbentuk dari harmonisasi pandangan kosmologi dan keyakinan „sufisme‟ masyarakat Muslim setempat. Pandangan kosmologis dan keyakinan ini kemudian menyatu dalam berbagai bentuk kesenian dan ritual desa. Keistiqomahan kiprah seni warga Tutup dengan segala ritual yang menyertainya menjadikan dusun ini dikenal sebagai ikon dusun seni. Hanya saja dibalik kiprah seni dan seluruh aktivitas warga dusun ternyata fenomena ini menyimpan kepercayaan-kepercayaan terntentu, pandangan kosmologis dan nuansa sufistis yang telah mengerakkan aktivitas mereka. Dari kenyataan di atas, Tulisan ini ingin memberikan gambaran tentang: pengaruh pandangan kosmologi-sufisme dalam praktik kehidupan dan kesenian warga Tutup Ngisor dan Tutup Duwur. Gambaran selanjutnya adalah bagaimana implikasi penghayatatan pandangan kosmologi-sufisme dalam praktik kesenian komunitas lereng G. Merapi dilihat dalam preskpektif kearifan lokal? Asumsi yang mendasar kegelisahan tulisan ini menunjukkan bahwa pengaruh dan implikasi pandangan kosmologis-sufistis terlihat dan terasakan dalam kehidupan warga, ketika mereka harus menghadapi ganasnya kondisi alam lereng Gunung Merapi, ketika mereka mengimplementasikan dalam kesenian dan ketika mereka harus mengambil kebijakan politis. Dari posisi geografis, sistem kepercayaan dan pandangan kosmologis serta aktivitas seni mereka, akhirnya menjadikan keberadaan mereka pada sebuah “ruang antara”, pada penegasan “identitas diri” sekaligus sebagai penguatan atas ikon komunitas budayanya. Tulisan ini selain mengkaji pengaruh dan implikasi pandangan kosmologis-sufisme dalam kehidupan dan praktik kesenian komunitas Tutup juga melihat dinamika celah “ruang antara” yang telah dimainkan oleh sebuah komunitas budaya. Kata Kunci: Kosmologi-Sufistis, Kesenian, Kearifan Lokal
Muqqadimah Islam sebagai agama dan budaya adalah dua aspek yang menumbuhkan dua wilayah kajian, yakni kajian Islam: a). bersifat normative dan b). bersifat histories. Kedua kajian ini seharusnya dipelajari secara bersama-sama, disinergiskan dan perlu digabungkan dengan senantiasa mamaknai kembali ajaran-ajaran Islam sesuai dengan konteks keberadaan, budaya dan sejarah yang telah dilaluinya. Karena itu Islam dan budaya lokal merupakan
340 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
dua hal yang harus dimaknai secara normative, historis dan kritis. Aspek normative lebih banyak menggunakan rasa keimanan sementara wilayah histories dan empiris banyak mengandalkan pemaknaan kritis dan lebih mengandalkan akal. Disini peran akal sangat vital dalam menafsirkan kembali ajaran-ajaran Islam dalam realitas kebragamaan kita. Karena itu, pemahaman Islam dengan budaya lokal merupakan keniscayaan dalam rangka memahami realitas agama yang hidup dalam masyarakat. Lebih dari itu, kalau dicermati secara saksama, pencarian berbagai konflik antar dan inter umat beragama di tanah air yang tidak tuntas, hemat penulis karena kurang mempertimbangkan budaya local dan berbagai kekayaan kearifan local. Solusi kebijakan yang bersifat elitis (top-down), tanpa memperhatikan kekayaan potensi local, seperti teologi local justru akan semakin memperpanjang akar konflik atau akan mengebiri potensi kearifan lokal yang seharusnya sangat dihargai di bumi yang plural dan multi cultural seperti Indonesia. Karena itu, berbagai potensi lokal, seperti kepercayaan dan teologi lokal sebagai basis dari kearifan lokal di beragai daerah di Indonesia kiranya sangat perlu diteliti dan direvitalisasi serta dijaga kelestariannya dalam rangka menumbuhkembangan budaya multikultural. Contoh dalam tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji potensi kearifan lokal yang bisa dimainkan oleh komunitas budaya (warga Muslim Ds. Tutup) dengan mengembangkan keyakinan kosmologis dan diimplemetasikan lewat kesenian. Kebedaan dan kekhasan keyakinan kosmologi dan praktik kesenian itulah yang menjadikan komunitas Tutup menegaskan jati diri atas komunitas budayanya namun sekaligus juga menjadikan Tutup sebagai Ikon dusun seni. Keyakinan yang bernuansa sufistis dan praktik kosmologi tersebut meski merupakan bagian dari budaya dan tradisi setempat, namun ia justru menemukan signifikansinya, tatkala sebuah tradisi atau keyakinan (teologi local) itu menjadi ajang tarik menarik antar berbagai kepentingan dan kebijakan. Sebagai sebuah keyakinan atau teologi local, kosmologi secara terang-terangan maupun simbolis telah menjadi ajang perebutan agama-agama resmi (baca Islam – Kristen) yang ada di sana. Sebagai sebuah tradisi, kosmologi yang bernuansa sufisme, yakni praktik kosmologi yang menyatu dengan kesenian juga telah menjadi ajang untuk kepentingan pasar (baca kepariwisataan) dan tak jarang pula diperebutkan untuk kepentingan politik praktis. Dari kegelisahan setting kosmologi dan praktik kesenian komunitas dusun Tutup di atas, maka di sana tampak ada pokok (core) permasalahan yang hemat penulis menarik untuk dikaji, yakni: 1. bagaimana pengaruh pandangan kosmologi dalam praktik kehidupan dan kesenian warga Tutup? 2. bagaimana implikasi penghayatatan pandangan kosmologi dan praktik kesenian komunitas Muslim Jawa itu dilihat dalam preskpektif kearifan local ? Dari dua permasalahan ini, paparan dalam tulisan ini akan mencoba menjelaskan atau menjawab problem tersebut. Selain itu, Tulisan dengan judul diatas juga dimaksudkan untuk menegaskan betapa pentingnya sebuah kebebasan “ruang antara” yang bisa dimainkan oleh sebuah komunitas budaya yang hemat penulis didasari oleh sebuah keyakinan kosmologis dan “sufisme” dan dikemas dalam aksi kesenian dan secara praktis berdampak kearifan lokal.
BAEDHOWI
Dinamisasi
341
Dusun Tutup dan Presepsi Warga tentang Gunung Merapi Lokus penelitian ini adalah dusun Tutup (Ngisor-Duwur), Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Dusun Tutup adalah profil dusun yang mempunyai kekhasan tersendiri di kabupaten Magelang. Bukan saja udaranya yang sejuk karena berada persis di lereng gunung Merapi yang berketinggian 2968 m. dan rawan bencana, namun ikon desa seni juga telah menempel untuk dusun ini. Dusun Tutup sendiri berada pada ketinggian 1.105 m di atas permukaan air laut dengan topografi bergelombang naik turun. Atau menurut data statistik kebupaten Dati II Magelang, Desa Sumber (dimana dusun Tutup Ngisor berada) berkode wilayah 080615 yang berarti daerah ini termasuk dataran tinggi atau daerah pegunungan dengan curah hujan 1780 m pertahun dengan suhu-suhu rata-rata 32 derajat C. Kondisi tanahnya mengandung pasir dan batuan volkanik yang cukup banyak, semakin naik mendekati puncak Merapi kandungan pasir dan batuan volkaniknya semakin banyak sehingga perembesan airnya juga tinggi. Dengan kondisi geeografi, dan iklim semacam itu, dusun Tutup dan sekitar desa Sumber termasuk dareah subur untuk pertanian dan cocok untuk perikanan. Berbagai tanaman seperti padi, tomat, kubis, lombok, jagung, ketela pohon, dan rumput gajah juga tampak subur di daerah ini, meski semuanya belun dibudidayakan secara masimal. Menurut demografi desa (Sumber) dusun Tutup Ngisor berpenduduk kurang lebih 419 jiwa yang terdiri 70 kepala keluarga (KK), 2 RT, dan masing-masing RT terdiri 35 KK. Dari semua penduduk yang ada semua mengaku beragama Islam. Sebagaimana komposisi penduduk yang mendiami lereng Merapi, kebanyakan rumahnya dihuni oleh keluarga batih (nuclear family/keluarga inti), yang terdiri dari sepasang suami istri beserta anak-anak mereka yang belum kawin. Kadang juga ditambah dengan anak angkat, kemenakan atau orang tua keluarga batih atau mertua. Setiap keluarga batih adalah satuan unit produksi yang setiap anggotanya berhak dan berkewajiban mengolah tanah pertanian, tegalan dan pekarangan serta mengurus perikanan dan merumputkan ternak keluarga. Hanya saja yang menarik dari dusun Tutup Ngisor dan mungkin belum teridentifikasi dengan baik adalah bahwa tanah atau ladang mereka luasnya sama rata, yakni sekitar setengah hektar. Lebih dari itu usaha pertanian, perikanan dan peternakan mereka bukan untuk diperdagangkan atau untuk akumulasi modal sebagaimana kaum feodal, melainkan hanya sekedar di makan saja. Mereka nampaknya juga bangga menjadi petani yang mana dengan pertanian orang-orang kota banyak menikmati hasilnya Adapun Gunung Merapi, di Jawa Tengah ini dikenal sebagai gunung berapi yang teraktif di dunia. Hal ini terbukti sejak taun 1548 sampai tahun 1968 tercatat rata-rata 7.5 tahun sekali terjadi letusan dengan jangka waktu terpendek satu tahundan terpanjang 70 tahun.2 Dari kondisi semacam ini maka dari presepsi masyarakat sekitar juga telah melahirkan berbagai mitos dan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Bahkan dari gambaran penduduk yang berdekatan, eyang Merapi bisa berubah menjadi makhluk raksasa yang sacral dan tidak jarang orang-orang yang berada di sekelilingnya menjadikannya sebagai sahabat, dewa yang sangat pemurah, namun tidak jarang juga menganggapnya sebagai sosok yang ganas atau dewa pemarah.3 Dari tantangan kondisi semacam ini,maka muncullah gagasan kesadaran kosmologis yang dirintis oleh local genius, yakni Romo Yoso Sudarmo (lahir tahun 1885 meninggal seloso pon, 16, Maret, 1990).4 Konsep kosmologi
342 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
ini kemudian dijadikan acuan local wisdom dan diteruskan oleh komunitas Tutup sebagai sebuah pengembangan local wisdom dalam mensikapi berbagai tantangan (social, ekonomi, budaya maupun keagamaan) yang berkembang di lereng Merapi. Kemurahan, keramahan sekaligus keganasan Merapi ini bagi penduduk sekitarnya juga telah menimbulkan keyakinan tertentu yang secara kosmologis dan teologis mengisayaratkan bahwa setidaknya manusia adalah bukan apa-apa dibandingkan dengan kebesaran alam seperti Merapi. Bagi Warga Tutup, Merapi selain mewariskan kekerasan alam sekaligus juga memberikan kearifan lokal bagi komunitas lereng Merapi untuk mengelola alam sebaik mungkin. Manusia lah yang justru semena-mena terhadap alam, “manusia itu begitu rakusnya, pasir, pohon-pohon, batu-batu dan kekayaan alam lainnya dimakan dengan tanpa mempertimbangkan akibat kerusakan yang ditimbulkan, sementara Merapi terus tanpa henti-hentinya memberikan kemurahannya kepada kita”, demikian tutur seorang dari komunitas seni di Magelang.5 Kisah dan presepsi kosmologis tentang lingkungan hidup sebagaimana disebut di atas, tentu tidak terlepas dari motivasi yang menggerakkan dalam sejarah manusia. Entah, semua itu digerakkan oleh motif keyakinan (teologis), ekonomis, politis, social, atau budaya yang tentunya juga terkait dengan kondisi geografi dan social budaya yang mengitarinya. Proses panjang perjalanan sejarah manusia atau perjalanan budaya, social dan keagamaan secara hoilistik –meminjam tesis sejarawan Fernand Braudel- bisa diurai menjadi: 1. jangka panjang, 2. jangka menengah dan 3. jangka pendek. Jangka panjang dalam artian bahwa proses itu sangat terkait dengan struktur geografis atas daerah hunian tertentu, baik daerah yang tandus maupun yang subur, daerah aman bencana maupun rawan bencana. Jangka menengah lebih berkaitan dengan kondisi mata pencaharian dan sosial atau konjungtur ekonomi-sosial dimana mereka mempertahankan hidupnya. Sedangkan jangka pendek merupakan tarik menarik ideologis-politis, termasuk bagaimana cara masyarakat atau komunitas mempertahankan keyakinan di suatu daerah, cara menyebaran keyakinan atau pandangan hidup barunya.6 Presepsi masyarakat atau komunitas yang mendiami sekitar gunung Merapi-kendati mempunyai berbagai varian keyakinan dan pandangan, juga mempunyai motif-motif yang tak jauh dari gambaran di atas. Hanya saja dalam penelitian ini, penulis lebih tertarik atas keyakinan kosmologis yang hemat penulis juga bernuansa sufistis yang dipertahankan oleh komunitas seni di Tutup Ngisor. Keyakinan dan praktik kosmologi telah dirintis oleh seniman-kosmolog, dan wali seni, Romo Yoso . Pandangan kosmologi komunitas Tutup bukan hanya karena kebedaan dengan dengan mainstream masyarakat sekeliling, namun juga keyakinan yang bernuansa sufistis itu telah menyatu dengan kegiatan dan aktivitas kesenian mereka. Karena itu, dalam praktik kosmologis, komunitas Muslim Tutup sebagai penghuni yang persis di bawah lereng Merapi, mereka dalam aktivitas kesenian, selain melakukan ritual-ritual tertentu, memberikan sesajen tertentu7 dan yang terpenting sebagaimana dititahkan sang wali seni, Romo Yoso adalah melakukan pentas wajib yang dilakukan 4 kali setahun, yakni pada 15 Syuro, syawalan, Maulid Nabi dan 17 agustus. Tiga pentas pertama berkaitan dengan identitas mereka sebagai Muslim dan komunitas seni, sementara 17 Agustus terrkait dengan jati diri mereka sebagai bagian dari anak bangsa, Indonesia.
BAEDHOWI
Dinamisasi
343
Dataran Konseptual dan Teoritis Dari judul yang ditampilkan di atas, penulis menyadari perlunya menjelaskan beberapa istilah yang mungkin dianggap rancu dan membinggungkan. Istilah “ruang antara” misalnya istilah ini penulis gunakan untuk judul sekaligus untuk teori. Kata dinamisasi dalam pengertian ini adalah upaya membangun kekuatan yang terus bergerak dan senantiasa bisa mengatasi dan menyesuaiakan diri dengan keadaan.8 Adapun kata kosmologi berasal dari kata kosmos (alam yang teratur) dan logos (ilmu). Konsep kosmologi dalam pengertian ini adalah ilmu tentang alam semesta sebagai sistem yang rasional dan teratur yang bisa diungkapkan lewat mitos-mitos, spikulasi maupun ilmu pengetahuan.9 Kosmologi dalam penelitian ini adalah pandangan terhadap fenomena alam dan sosial baik sebagai jagad gede maupun jagad cilik dimana manusianya bisa menjalin hubungan secara seimbang dan harmonis. Karena penelitian ini juga meyangkut warga/komunitas sebuah dusun, Tutup, maka konsep warga dalam pengertian ini adalah masyarakat yakni kolektif manusia pedesaan yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat desa tersebut biasanya mempunyai mata pencaharian utama dalam sektor bercocok tanam, perikanan, peternakan atau gabungan dari semua yang sistem budaya dan sosialnya mendukung mata pencaharian. Selain itu komunitas (Community) dalam pengertian ini adalah sebuah kelompok orang yang menempati posisi dan dan daerah atau batas wilayah tertentu. Mereka juga mempunyai semangat komunitas sehingga keberadaan mereka bukan hanya bersifat deskriptif namun juga bersifat ideologis dalam rangka memperjuangkan kepentingan atau nasib kelompoknya.10 Sedangkan sufisme (tasawuf) dalam konteks ini tidak didefinisikan secara utuh, karena -meminjam analisa Animerie Schimmel-banyaknya definisi yang ada. Namun penekanan sufisme di sini adalah pada bagian maqamat/stations (jenjang kenaikan spiritual) tertentu seperti (taubat,wara‟i, zuhud, faqr,shabar, tawakal dan ridho).Maqamat ini selain berguna untuk melatih diri, juga berguna untuk mengenal lebih jauh hati manusia agar lebih jauh lagi ia benar-benar mengenal Tuhan.11 Dari nuansa sufistis yang telah dilakoni komunitas Tutup, hemat penulis mereka telah bmencapai nilai-nilai tawakal dalam praktik kehidupan warga dan bagi tokohnya (telah mencapai maqam ridho), terutama ketika mereka secara kosmologis mesti berhadapan dengan alam besar (makrokosmos).12 Mengingat tulisan (research) ini juga erat dengan persoalan budaya (Jawa), maka ia juga berkaitan dengan konsep religi (konsep-konsep yang dipercaya dan menjadi keyakinan) yang dalam artian ini adalah kepercayaan atau pandangan dunia Jawa. Manusia Jawa yang senantiasa melihat realitas sebagai kasatuan yang menyeluruh, dimana dunia/alam masyarakat dan alam adikodrati merupakan kesatuan yang senantiasa dijaga keharmonisannya dalam pengalaman hidup.13 Dalam konteks ini pula, komunitas juga berkaitan dengan sebuah aktivitas tradisi kesenian dan budaya (Jawa). Komunitas semacam ini bila meminjam konsep Manuel Castel bisa disebut sebagai komunitas budaya, yakni sebuah komunitas yang dibentuk dan dikonstruksi oleh budaya. Komunitas semacam ini diorganisir melalui sejumlah tata nilai yang makna dan sharing-nya ditandai oleh beberapa kode identifikasi diri, seperti komunitas kaum beriman, ikon-ikon nasionalisme, lokalitas (aktivitas-aktivfitas khas suatu
344 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
daerah, kesenian), penghayatan atas keyakinan tertentu dsb.14 Komunitas budaya tersebut yang penulis asumsikan sebagai bagian identitas diri bagi warga Tutup Ngisor dan Tutup Duwur dalam sikap keberagamaan dan kesenian yang didasari oleh sebuah pandangan kosmologi.atau keyakinan (sufistis) tertentu yang disebut kejawen atau dalam istilah Koentjaraningrat praktik kehidupan Muslim Jawa itu disebut agami jawi. Agama Jawa ini dalam sejarah keraton Surakarta dan Yogyakarta yang penulis asumsikan justru telah tercerahkan dan terakulturasi secara serius dengan Islam yang bernuansa sufistis.15 Dengan demikian komunitas Tutup dalam konteks penelitian ini bisa bersifat eksklusif sekaligus inklusif. Eksklusif dalam artian ia diperuntukkan untuk kepentingan kelompoknya dan kekhasan budayanya. Sedangkan Inklusif dalam artian epistemologi bahwa yang diperjuangkan oleh komunitas adalah penjagaan dan sikap harmoni terhadap kosmos sehingga apa yang diperjuangkan mempunyai nilai universal bagi kemanusiaan dan penjagaan serta kelestarian alam.17 Sedangkan secara historis praktik keyakinan masyarakat Tutup di atas tidak bisa melepaskan diri begitu saja dengan great tradition, yakni tradisi dan budaya agung keraton Mataram (Surakartta dan Yogyakarta) yang telah diturunkan pepunden (yang dipundipund/dihormati) mereka. Dari latar belakang sosio-historis-ekologis ini kenyataannya masyarakat Tutup tetap memilih uzlah, dengan hidup asketis, jauh dari keramaian kota dan menetap di lereng gunung Merapi, yakni desa Tutup Ngisor dan Tutup Duwur. Namun secara kosmologis, aktivitas mereka tidak sama persis/berbeda dari tradisi agungnya (great tradition). Dengan mempertimbangkan setting historis praktik tradisi di atas, penulis ingin mencobakan teori dalam penelitian ini dengan hermeneutika Postkolonial. Sebuah teori yang ingin menempatkan pandangan kosmologis dan aktivitas kesenian masyarakat Tutup dalam “ruang antara” (in between), “ruang ambang”, “liminilatis” atau “ruang ketiga” (third space). Teori semacam ini ingin menempatkan sebuah pandangan secara praksis, yakni antara pandangan kosmologis mereka secara teoritis-ideologis dan praktik kehidupan dan keseniannya di Lereng Gunung Merapi. Penempatan “ruang antara” secara teoritis dan praktis dalam sejarah masyarakat Tutup tampaknya juga menempati posisi antara great tradition dalam hal ini budaya kraton dan little tradition dalam hal ini masyarakat Tutup sebagai komunitas abdi dalem dan kawulo alit. Penempatan ruang antara ini dalam konsep Homi K Bhaba disebut “teori liminitas”. Sebuah teori yang ingin mencari ketepatan mendayagunakan “jati diri” di antara ruang antar budaya (dua kutup budaya yang beroposisi secara biner) yang secara evolutif mengalami perubahan sehingga kedirian personal maupun komunal dapat didayagunakan dan dikembangkan (can be elaborated).18 Teori “liminality”, “in between” atau “Third space” juga ditegaskan Homi Bhaba sebagai ruang perjumpaan perbedaan-perbedaan budaya dan sekaligus ruang penciptaan identitas baru yang di dalamnya terjadi gerak interaksi yang terus menerus antara status yang berbeda, yakni antara “mereka yang merasa dieksklusi” dengan mereka yang (diduga) “mengeksklusi”.19 Dari teori ini, pandangan kosmologis masyarakat Tutup tampaknya terus bergerak mengisi ruang ketiga secara ekslektis, luwes dan dialogis dengan kondisi lingkungan (sosial-budaya dan alam). Karena posisi masyarakat Tutup sebagai bagian dari great tradition (budaya Kraton Solo-Yogya) keberadaannya memang di bawah tekanan “Penjajah” budaya
BAEDHOWI
Dinamisasi
345
agung. Namun sebagai komunitas kawulo alit, abdi dalem dan “orang terjajah”, dimana mereka juga ingin mencari ruang kebebasan dalam wilayah little tradition melalui inovasi berbagai kreasi seni. Pengisian dan pencarian celah dalam ruang ketiga ini hemat penulis yang diperjuangkan oleh masyarakat Tutup. Dengan cara ini, aktivitas masyarakat Tutup dan pandangan kosmologi-sufistis kesenian mereka bisa menjadi ruang interaksi simbolis dan menghindarkan diri dari pengkutuban oposisi biner yang ekstrim, misalnya seperti keberadaan dan status mereka antara posisi atas-bawah, gusti - kawulo, penjajah - terjajah, great tradition-little tradition, high culture-low culture dan seterusnya. Kedua sisi ekstrim ini tampaknya yang tengah dipertanyakan, dipermasalahkan dan terus menerus didialogkan dalam pandangan kosmologis dan aktivitas kesenian warga Tutup. Dengan demikian posisi pandangan mereka sebenarnya juga bisa sebagai sebuah resistensi subaltern (kelompok sosial pinggiran), abdi dalem, bagian masyarakat yang mungkin tersingkir dan dulunnya tidak mempunyai atau memang dicegah dalam menyumbangkan kesadaran kelas dan mengorganisir dirinya dan akhirnya justru menemukan jati diri dan greget aktivitas kesenian mereka di lereng gunung Merapi (di Tutup Ngisor dan Tutup Duwur).20 Mendinamisir „ruang antara‟ dalam Harmoni Kosmis Komunitas budaya di Tutup, secara geneologis dan histories telah lama menemukan “ruang antara” dalam medan kehidupan di Lereng Merapi. Hal ini terlihat dari mengapa para cikal bakal atau pendiri desa harus menetap di lereng Merapi,21 kemudian tokoh perintis kesenian dan kosmolog-seniman seperti Romo Yoso harus tetap bertahan dan mengembangkan kesenian di sana, tanpa harus terpengaruh oleh hiruk pikuknya jagad kesenian di luar atau di diperkotaan yang kebanyakan seniman kota telah terpengaruh oleh ideologi-ideolgi tertentu atau telah tergiur oleh gemercingnya uang akibat komersialisasi dan arus pasar yang tidak terbendung. Meskipun begitu, dari uraian yang disebut di atas, kita bisa melihat bahwa implikasi dari nilai-nilai kosmologis yang telah dipraktekkan oleh warga Tutup Ngisor dalam prespektif kearifan lokal terbukti mempunyai arti yang penting. Implikasi pandangan semacam itu secara praktis telah menunjukkan bagaimana warga Tutup Ngisor membangun nilai-nilai kebersamaan dan bagaimana mereka harus melestarikan tradisi mereka. Bahkan lebih jauh juga bisa sebagai tawaran nilai-nilai demokratisasi. Pandangan kosmologi „sufistis‟ (kejawen) mereka, dalam artian keinginan hidup secara harmonis, damai dan tentren ayem baik dengan lingkungan kecilnya (diri dan keluarga) maupun lingkungan besar (masyarakat dan alam) hingga “Tuhan” tampaknya telah diresapi dalam kehidupan mereka. Hakekat pencarian keselarasan ini dalam etika Jawa menempati posisi yang tertinggi dalam rangka menjaga kerukunan, kentenraman dan kedamaian Karena setiap orang mempunyai tempat kedudukan yang tepat dan saling memperhatikan sehingga tidak mungkin sampai terjadi konflik atau kekacauan.22 Nilai-nilai kearifan lokal semacam ini setidaknya bisa menjadi acuan kita dalam melihat sejauh mana pandangan mereka itu bisa dipetik manfaatnya dan dikritisi nilai-nilai yang tidak relevan dan kurang bermanfaat bagi kehidupan kita. Nilai-nilai kebersamaan dan pelestarian tradisi seni budaya tradisional hendaknya tetap kita jaga dan kita lestarikan.
346 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Sementara pandangan kosmologis yang masih mandek pada tahap mistis, keberadaan Merapi dan alam adikodrati, lebih-lebih kepercayaan dengan dunia gaib yang kurang rasional perlu kita minimalisir atau diperbaiki. Karena dalam kosmologi Islam berbagai kekuatan yang ditimbulkan oleh makhluk-makkhluk Tuhan, baik alam maupun kekuatan adikortati adalah sama sejajar dengan manusia. Lebih-lebih manusia telah direkomendasi oleh Tuhan sebagai pengemban amanah di muka bumi (khalifatullah fi al-ard), yang dalam Islam tidak kuat dan tidak layak diembankan pada alam (gunung-gunung) maupun malaikat sekalipun (QS: Ar-Rum:41) Pandangan semacam itu dalam praktek kehidupan warga Tutup Ngisor sebagaimana yang penulis amati senantiasa dikaitkan dengan keberadaan mereka berhadapan dengan makrokosmos, khususnya alam Merapi dan alam adikodrati yang mengepung mereka, sehingga mereka senantiasa harus menjaga keseimbangan dan keselarasan batin dan lingkungan hayati mereka. Dalam posisi yang demikian, Romo Yoso sebagai tokoh spritual, kosmolog dan cerminan kejujurannya sebagai abdi dalem kraton Surakarta mecoba “nyempal” atau melakukan resistensi dari tradisi agungnya. Karena itu praktik pandangan kosmologisnya dalam rangka menselaraskan diri dengan kondisi alam besar. Pandangan semacam ini misalnya akan terlihat bentuk-bentuk kreasi-kreasi seni yang dibuat dan pentas seni yang harus dilakonkan. Dalam bentuk kreasi seni mereka tabu membuat suatu yang dianggap agung sakral dan mungkin rumit. Misalnya mereka enggan membuat wayang gunungan yang bagi mereka juga erat dengan pandangan kosmologis dalam mensikapi makrokosmos. Padahal wayang gunungan atau kayon merupakan figur yang sangat penting dalam pertunjukan wayang dalam berbagai jenis. Wayang gunungan memang disungging sangat rumit. Dilihat dari kesenirupaan bentuk gunungan saja terlihat simbolik, dekoratif, ekspresif dan tradisional.23 Warna warni yang terdapat dalam sunggingan wayang gunungan meliputi warna prada emas, hisjau merah biru, kelabu, jingga, ungu, jambon, putih, hitam. Hal ini konon sesuai dengan konteks negara Indonesia yang ketika muncul wayang gunungan (jaman Demak abad XIV dan Jaman Kartasura abad XVIII) sebagai negara agraris mistik. Treminologi warna dalam tradisi Jawa juga ada hijau daun, hijau pupus, merah lombok, biru nila, gedhang mateng, wungu terong, kuning gadhing, pare anom dan sebagainya. Itulah figur wayang gunungan yang bila dibandingkan dengan wayang yang lain adalah wayang yang paling rumit, penuh sunggingan dan penuh makna. Gunungan beserta isinya merupakan lukisan kehidupan duniawi dan keadaan batiniah di mana Tuhan Yang Maha Esa telah menentukan segala kegiatan di alam semesta ini. Di dalamnya ada gambaran flora dan fauna, yang kesemuannya melambangkan pohon kehidupan duniawi yang diciptakan oleh Tuhan. Belum lagi kalau kita amati lukisan yang terdapat dalam wayang gunungan diantaranya ada lukisan dua raksasa penjaga pintu yang disebut Cingkrabala dan Balau Pata yang menjulkurkan lidahnya yang merah panjang atau lukisan Dewa Kamajaya Kamaratih. Di atas gapura terdapat lukisan hariamau di sebelah kiri dan lukisan banteng di sebelah kanan. Di bawah gapura terdapat luikisan dua ular (naga) yang ungkur-ungkuran (saling membelakangi). Di dalam gunungan juga terdapat gambar kera memanjat pohon bertarung dengan hewan lainnya, burung-burung berterbangan, ada pohon-pohon dan bunga-bungaan. Di tengah-tengah gunungan terdapat sebuah rumah Jawa dengan dua
BAEDHOWI
Dinamisasi
347
pintunya terkunci rapat dan masing-masing sisinya dijaga oeh raksasa yang bersenjata gada sebagai perlambang hukuman bagi orang yang berbuat salah atau jahat. Dua pintu yang terkunci rapat sebagai perlambang kedamaian batin manusia yang tersembunyi di balik kedua pintu, karena kedamaian dan kebahagiaan kehidupan manusia bagi orang Jawa adalah wang sinawang, (perkiraan dari luar dirinya tetapi yang lebih merasakan adalah pelakunya sendiri). Sedangkan lukisan binatang-binatang, pohon-pohon dan bungabungaan merupakan gambaran kehidupan duniawi. Semua itu harus dikalahkan terlebih dahulu sebelum manusia itu mencapai kedamaian batin yang tersembunyi di belakang kedua pintu tersebut. Dari semua lukisan wayang gunungan ini kita akan melihat gagasan besar yang tercermin dalam budaya Jawa, yakni prinsip keseimbangan dan keselarasan hidup. Konsep keseimbangan dalam masyarakat Jawa adalah sangat penting dan tercermin dalam aktivitas kebudayaan.24 Dengan gambaran wayang gunungan, maka kita dapat memetik contoh ekosistem yang terbesar atau bentuk kosmologisnya. Segenap penghuni ekoseistem kosmik ini saling terkait satu sama lain sebagai sumber dan menjaga kelestariannya agar senantiasa terjadi keseimbangan. Maka masyarakat Jawa berpandangan bahwa lingkungan itu harus dimanfaatkan tanpa harus mengganggu alam semesta. Bila keseimbangan alam terganggu maka akan terjadi kegoncangan dan ketidakstabilan yang dalam pertunjukan wayang kulit disimbolkan dengan lakon (adegan) gara-gara. Dengan gara-gara, maka potensi konflik akan semakin berkembang dan tatanan kehidupan sosial maupun kosmis akan terguncang dan menimbulkan berbagai ketidaknyamanan fisik maupun psikologis bagi penguni jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos). Dengan demikian kita bisa memahami mengapa Romo Yoso dan warga Tutup sebagai petani dan rakyat biasa tidak mau membuat wayang gunungan sebagai simbol yang telalu besar dan takut memainkan adegan cerita gara-gara. Lakon yang mereka mainkan adalah “nir kekerasan”, tanpa ada tetean darah, dengan prinsip persaudaraan dan perdamaian melalui spiritualitas kasih sayang yang mereka hayati, meskipun wayang gunungan merupakan simbol keseimbangan dan keselarasan hidup orang Jawa dan lakon gara-gara merupakan adanya dinamika dalam kehidupan. Warga Tutup Ngisor tidak berani memainkan cerita perang Brotoyudo. Sedang untuk cerita ketoprak mereka juga tabu dan tidak pernah memainkan 3 lakon, yakni Angling Darma, Arya Penangsang Gugur dan Menak Jenggo Leno. Dari pandangan semacam itu, peneliti juga memahami mengapa mereka enggan atau tabu membuat atau memainkan tokoh Semar, Dewa Ruci, Sang Hyang Wenang dan Betara Guru, atau para Dewa yang dianggap dan derajatnya di atas manusia yang oleh mereka dianggap sebagai figur yang terlalu besar dan simbol suci atau sosok personifikasi Yanga Illahi. Sosok semar misalnya dalam cerita pewayangan memang masih menjadi misteri. Sosok punakawan yang tidak rupawan ini memang mencerminkan rakyat biasa, bahasanya tidak halus seperti priyayi, namun dalam setiap pertunjukan ia juga sering disebut dengan dengan sebutan Kyai Lurah Semar kadang disebut sebagai Hyang Ismaya, juga Hyang Asmarawanta. Dewa yang menjelma menjadi manusia. Apabila sosok wayang yang tidak terselami ini muncul, ia selalu menampilkan sosok bijak, sederhana, merakyat, baik hati, lucu dan tak terkalahkan, maka penonton seolah berada dalam pengayoman semar, terlindungi dan merasa aman dari mara bahaya. Wujud lahiriah Semar memang tidak
348 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
menunjukkan kerupawanan dan keindahan, namun batinnya amat halus, lebih peka, lebih baik dan lebih mulya dari kesatria-kesatria yang tampan. Meski ia berujud rakyat biasa, penonton tahu bahwa ia adalah sosok Dewa yang terkalahkan, bisa mengatasi semua Dewa dengan kekuatannya. Dewa-dewa disapa dengan bahasa ngoko, namun bila Semar marah dewa-dewa bergetar, dan apa yang dikehendakinya akan terjadi. Bagi orang Jawa bentuk lahiriah yang jelek bukanlah jaminan atas bagusnya rohaniah. Begitu juga sebaiknya. Anggapan semacam itu diruntuhkan oleh sosok Semar. Karena itu pula bagi orang Jawa identitas antara yang lahir dan yang batin tidak selalu dipisahkan dan didikotomikan secara biner.. Karena itu sosok Romo Yoso menurut hemat peneliti sebenarnya sudah menampakkan diri sebagai bagian dari sosok “Semar” yang hendak diejawantahkan kepada warganya melalui berbagai pengayoman-pengayoman dan segala aktivitasnya yang kemudian menjadi panutan warganya. Dengan begitu bisa dipahami bahwa warga Tutup Ngisor sebagai petani dan rakyat biasa yang telah diberi keteladanan oleh Romo Yoso ingin menjalani kehidupan mereka secara biasa-biasa saja, penuh ketentraman, kedamaian dengan angan-angan yang tidak muluk-mluk (terlalu tinggi) dan hati yang semeleh (penuh tawakal). Karenanya penerapan etika “sepi ing pamrih rame ing gawe” (bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa disertai penonjolan pengakuan) akan terasa pas bagi kaum petani yang hidup di pedesaan dan harus bergulat dengan alam, harus hidup bersama menghadapi bencana alam dan bersama-sama merayakan pesta dan ritual-ritual.25 Implikasi pandangan harmonis semacam itu, juga terlihat dalam memandang dalam kehidupan kebersamaan petani Jawa yang guyup rukun penuh susasana kekeluargaan. Misalnya dalam pertunjukan wajib setiap 15 Syura. Dalam pentas wajib ini digelar tengah malam pas bulan purnama dengan lakon wajib Tumurune Sri (Sri Kembang).26 akon ini dengan versi lokalnya jelas menujukkan perlambang turunya wahyu kesuburan. Ia berkaitan dengan ritus kesuburan dan tanda syukur atas berkah, kurnia dan kelimpahan rizki yang diberikan Tuhan. Mitos Dewi Sri banyak dilestarikan, namun dari cerita itu juga punya tujuan yang jelas diantaranya adalah agar manusia selalu menjaga kosmos, mengusahakan dan memelihara tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan manusia dan mengatasi binatang hama. Mitos-mitos semacam itu bagi warga Tutup yang mata pencahariannya adalah pertanian adalah sangat bisa dirasakan, di mana kebaikan Tuhan yang telah memberikan alam yang subur harus tetap dijaga dan dilestarikan tanpa harus merusak lingkungan. Nilai-nilai kebersamaan dan kesetaraan juga terlihat dalam pentas wajib. Dalam pertunjukan akbar yang dimulai 15 Sura dan digelar 7 hari 7 malam masyarakat Tutup bergotong royong memberikan dari hasil pertanian dan semua jerih payah mereka untuk menghormat tamu. Begitu pentas mulai digelar, maka yang kita saksikan adalah sebuah posisi kesetaraan antar sesama. Di sana stratifikasi sosial tidak dibeda-bedakan, lebur dan cair menjadi satu dalam sebuah wahana kesenian. Semua bisa menyaksikan pertunjukkan yang digelar di sana, mereka makan dengan menu yang sama (sayur tewel/gori dan lauk tempe), baik ia seorang gubernur, bupati, pejabat tinggi atau rakyat biasa. Dalam suasana semacam ini, suasana ketentraman, keguyuban, kedamaian dan keselarasan dengan alam pedesaan dan pegunungan bisa dirasakan bersama-sama.
BAEDHOWI
Dinamisasi
349
Kearifan Lokal:Dinamika Lokal dalam Tantangan Global Kearifan local merupakan salah satu produk kebudayaan. Ia lahir karena kebutuhan terhadap nilai-nilai, norma, atau aturan yang menjadi model untuk (model for) melaksanakan suatu aksi. Salah satu masalah cukup serius bagi kearifan local adalah bergulirnya gelombang modernisasi dan globalisasi yang melanda dunia. Dari tantangan kondisional ini, maka referensi yang berupa nilai, symbol, norma, dan pemikiran mengalami penilaian ulang. Ada pranatan yang tetap bisa bertahan, namun tidak sedikit juga yang berubah, sedang membentuk dan dibentuk oleh proses social.27 Karena itu, praktik kosmologi yang bernuansa “sufistis” pada komunitas Tutup juga mengalami perubahan sebagaimana digambarkan di atas. Hal ini karena, Pertama, keyakinan kosmologi yang menyatu dengan ritual-ritual yang menyertainya dan praktik kesenian dari warga, ketika mereka harus berhadapan dengan realitas agama-agama resmi, kebijakan negara dan godaan gelombang pasar (komodifikasi atau tuntutan kemersialisasi) secara perelahan tetapi pasti akan menggoyang pranata social yang telah ada. Namun dengan keyakinan kosmologis yang mereka pegang mereka bisa mengambil jarak bahkan melakukan reistensi terhadap kekuatan dan kekuasan dari luar yang tidak sejalan dengan keyakinan mereka. Misalnya mengapa mereka tetap melakukan 4 kali pentas wajib, melakukan ritual-ritual teretentu, memilih bentuk seni dan lakon tertentu dsb., tanpa dibebani oleh tarikan politis, derasnya arus komersialisasi seni, istiqamah menjaga konservasi alam lereng Merapi,28 dst. Kedua, bagaimana cara kosmologi kesenian tersebut tetap dipertahankan warga ketika rongrongan, tuntutan atau godaan dari luar menyeruak masuk, sementara mereka harus mempertahankan keyakinan mereka, sehingga tidak jarang menjadi sebuah bentuk resistensi terhadap rongrongan, godaan maupun tuntutan dari luar yang tengah menggoyangnya. Ketiga, bagaimana merevitalisasi praktik kosmologi kesenian komunitas Tutup dari sisi praktik kearifan lokal (local wisdom). Hal bukan semata persoalan dinamika lokal, namun hemat penulis juga menjadi tantangan global. Contoh kasus Bali yang kaya akan kearifan local bisa menjadi perhatian global karena ia bisa merevitalisasi kekayaan budaya yang ada. Sementara Teks-teks suci atau teks yang dianggap sacral dan sakti seperti Pancasilapun juga bisa menjadi mati suri dan tidak berdaya menyatukan seluruh ideologi anak bangsa, manakala ia tidak bisa merevitalisasi dirinya.Dalam posisi yang demikian, keyakinan dan praktik kosmologi dalam kesenian komunitas Tutup justru secara dinamis bisa menjadi sebuah strategi budaya (cagar budaya) dan sekaligus sebagai penguat kearifan lokal (cagar alam dan cgar budaya). Simpulan Dari kajian di atas, setidaknya bisa diambil beberapa simpulan yang signifikan, diantaranya adalah, bahwa kosmologi dalam tulisan ini bukan hanya sekedar sebagai religi atau bentuk ketakhayulan, namun ia juga sebagai sistem pengetahuan. Sistem yang dipenuhi oleh nilai-nilai dan kepercayaan ini dalam pandangan tradisional orang Jawa dikenal sebagai kejawen atau dalam penelitian ini disebut kosmologi-„sufistis‟. Sebuah pengetahuan yang mencoba menggabungkan antara kepercayaan teologis dan lingkungan social dan alam atau jagad cilik dan jaga gedhe. Tesis semacam ini jelas menandai adanya
350 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
hubungan antara kebudayaan dan lingkungan. Pandangan semacam ini meski dipengaruhi oleh pandangan pemikiran seorang tokoh lokal (Romo Yoso), yang kental dengan tradisi dan budaya Jawa, namun secara kosmologis mempunyai implikasi besar secara ekologis, sosio-kultural maupun politis. Prinsip dasar kosmologis dalam penelitian ini sebenarnya yang dijadikan acuan dalam melihat sikap komunitas Tutup dalam menjaga dan memelihara hubungan sosial, politis maupun hubungan ekologis dengan alam besarnya (makrokosmos), yang ternyata dalam warga Tutup masih sangat memegangi prinsip harmonis dan keselarasan. dalam memelihara persaudaraan dan perdamaian. Prinsip harmoni itu yang penulis lihat masih melekat pada komunitas Muslim Tutup , karena menurut kepercayaan mereka disharmonis dan hubungan yang tidak seimbang akan mengakibatkan sangsi-sangsi sosial maupun sangsi-sangsi supranatural. Oleh karena itu, penghindaran dari sangsi-sangsi dalam praktik komunitas budaya dari warga Tutup juga banyak ditempuh melalui jalan supranatural seperti do‟a, ritual selamatan dan laku prihatin seperti tirakatan dan semedi. Namun yang paling utama dalam kegiatan-kegiatan semacam itu dalam praktik komunitas Tutup disatukan dalam aktivitas berkesenian sehingga bagi mereka kesatuan aktivitas semacam itu menjadi identitas budaya bahkan menjadi semacam ibadah “wajib”. Dari implikasi pandangan kosmologis terhadap keberagamaan tersebut, yang tidak kalah pentingnya adalah ia bisa juga ditarik beberapa manfaat praktis dari prespektif kearifan lokal (local wisdom), diantaranya adalah: Pertama dalam pemikiran tradisional Jawa, antara masyarakat dan lingkungan alam senantiasa ada rasa saling ketergantungan dimana keselerasan diantara manusia juga terdapat keselarasan terhadap lingkungan. Kedua dalam suasana ketegantungan tersebut mengharuskan sebuah komunitas budaya (warga Tutup) untuk bersikap tidak menguasai, tetapi bersikap lebih menyesuaikan terhadap lingkungan alam sehingga mereka tetap menjadi arif dan ramah lingkungan. Ketiga norma-norma, nilainilai, aturan-aturan, kepercayaan dan sistem pengetahuan yang menjelaskan hubungan manusia dan lingkungan alam rayanya tersusun dalam sistem kepercayaan kejawen atau dalam tulisan ini penulis istilahkan dengan kosmologi-sufistis. Keempat dalam kepercayaan seperti itu, warga Tutup banyak mengimplematasikannya melalui sarana berkesenian untuk memperkuat jati diri budaya dan pandangan kosmologis mereka. Kelima, sebagai sebuah komunitas yang tengah memperjuangkan nilai-nilai kosmologis melalui kesenian, mereka bisa bersikap eksklusif sekaligus inklusif. Keeksklusifan warga Tutup, karena mereka adalah kelompok yang membawa dan memperjuangkan „ideologis‟ (keyakinan kosmologis) kepada public. Dengan cara ini, mereka harus terus memperkuat identitas dirinya dalam reangka memperkuat komunitas budayanya, sehingga dusun Tutuppun dikenal sebagai ikon dusun seni. Adapun keinsklusifan mereka adalah pada dataran implementasi nilai-nilai kosmologis yang tengah diperjuangkan. Implementasi nilai-nilai kosmologi secara praktis akan senantiasa membangun prinsip harmonis kepada berbagai pihak, baik dengan lingkungan mikrokosmosnya (lingkungan sosial dan jagad kecilnya), maupun dengan makrokosmosnya (alam dan jagad gedhenya). Dengan kata lain, komunitas Tutup sebenarnya secara humanis-ekologis juga tengah menawarkan prinsip rahmatan lil „alamin kepada kita semua. Last but no least, yang tidak kalah menariknya implementasi dari pandangan kosmologis mereka justru menjadikan sikap mereka bisa menjadi begitu luwes, toleran
BAEDHOWI
Dinamisasi
351
dan akomodatif namun tidak oportunistis dalam berbagai praktik kehidupan. Praktik semacam itu terlihat dari bagaimana ketika mereka harus menyesusaikan dengan kondisi alam, lingkungan sosial, sikap berkesenian maupun dalam mengambil sikap unpolitiical politic dalam kebijakan politis tatkala mereka harus berhadapan dengan sebuah kekuatan yang represif dan kekuasaan yang hegemonis.
352 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Daftar Pustaka Ashroff, Bill, et.al., 1998, Key Concept in Postkolonial Studies, London and New York: Routledge. Baedhowi, “Kearifan Lokal Kosmologi Kejawen: Studi Postkolonial Pandangan Kosmologi Romo Yoso dan Impliaksinya bagi Warga Tutup Ngisor” dalam Agama dan Tantangan Global dalam Tantangan Global, Irwan Abdullah et al (eds.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar-CRCS, 2008. Baedhowi, Humanisme Islam, Yogyakarta: `Pustaka Pelajar, 2007 Bhaba, Homi, K., 1994, Location of Culture, London and New York: Routledge Braudel, Fernand., 1969, Ecrits sur l‟Histoire, Paris: Flamiron. Casstel, Manuel, 2001, The Information of Age: Economy, Society and Culture: Vol II, The Power of Identity, Oxford: Blackwell. Covarrubias, Miguel, 1974, Island of Bali, Kuala Lumpur: Indira Daryono, Yon, 1997, “Kisah 60 tahun Sebuah Panggung di Duusun Tutup Ngisor, Magelang”, Mingguan, Cempaka, edisi September David & Julia Jary, Collins Dictionary of Sociology, London: Harper Collins,tth Gerard Delante, dalam Community, London & New York: Routledge, 2000 Fanon, Frantz, 1967, Peau Noire Masque Blanc, Paris: Flamiron. Hasan Hanafi, 1989, Muqadimmah fi al-Ilmi al-Istighrab, Kairo: Haryoguritno, 1988, “Kayon atau Gunungan” dalam GATRA, No. 22.IV.1989, hlm. 22-5. Hardjowiyogo, Marbangun, 1984, Manusia Jawa, Jakarta: Inditya Press. Hall, Stuart, 1992, ”The Question of Cultural Identity” dalam S. Hall et. al. (eds), Modernity and Future, Cambridge: Polity Press in Association with Open University. Hudayana, Bambang, 1992, Pengumpulan dan Analisis Data dalam Penelitian Etnografi, dalam Jurnal Penelitian Agama, No. 2 September-Desember. Ibnu Atha‟illah al-Iskandari , Syarh Hikam, Indonesia: Dar al-Haya‟ al-arabiyyah, tth. Kayam, Umar, dkk., 2000, “Pertunjukan Rakyat Jawa dan Perubahan”, dalam Heddy Shri Ahimsa Putera, (ed), Ketika Otang Jawa Nyeni, Yogyakarta: Galang Press Laksono, P.M., 1985, “Presepsi Setempat dan Nasional Mengenai Bencana Alam: Sebuah Desa di Gunung Merapi (Kasus Desa Sendang Makmur, Sleman)” dalam Preranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi, Jakarta: Yayasan Obor. Leela Ghandi, dalam Postcolonial Theori A Critique Interduction, Unwin & Allen, 1998 Masdar Hilmy, “Cultural Aculturation of Javanesse Islam, A Critical Study of the Slametan Ritual”, al-Jami‟ah, No. 62/XII/1998 Mulder, Neil., Agama,Hidup Sehari-Hari dan Perubahan Budaya, Jakarta: Gramedia, 1999 Pursen, Van, 1988, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius al-Qusayairi, al-Risalah al-Qusyairiah, Beirut: Dar al-Fikr, 1979 Rassers, W.H., 1959, Panji, The Culture Hero: A Structural Study of Religion in Java, The HagueMartinus Nijhoff. Rickles, 1979, Yogyakarta under Sultan Mangkubumi (1749-1792), London: Oxford Univerrsitu Press. Said, Edward, W., 1978, Orienalisme, London: Routledge & Kegan Paul. Sasongko, Triyogo, 1991, Manusia Jawa dan Gunung Merapi, Yogyakarta: Gama Press.
BAEDHOWI
Dinamisasi
353
Soetarno, et. al., 2004, Wawasan Budaya Untuk Pembangungan Menoleh Kearifan Lokal, Yogyakarta: Kolaborasi Kementrian Kebudayaan & Pariwisata dengan Pusat Studi Pariwisata UGM. Spivack, G.C., 1988, “Can The Sub-Altern Speaks?” dalam C. Nelson dan Crossberg, (eds), Marxisme and Interpretation of Culture, Urbana: University of Illinois Press. Idem, The Post-Colonial Critic: Interview, Stratregi, Dialogue, Syarah Harasym (ed), (London: Routledge, 1990), Leela Ghandi, dalam Postcolonial Theori A Critique Interduction, (Unwin & Allen, 1998), Hasan Hanafi, dalam Muqadimmah fi al-Ilmi al-Istighrab, (Kairo: Dar al-Tali‟, 1989 Sukri, Sri Suhabndjati, 2004, Ijtihad Progressif Yasadipura II dalam Akulturrasi Islam dengan Budaya Jawa, Yogyakarta: Gama Media. Suseno, Franz Magnis, 2003, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka. Woodward, Mark, R., 1988, Islam in Java, Normative Piety and Mysticism of Sultanate of Yogyakarta, Ticson: The University of Arizona Press.
Endnotes : 1Ruang antara dalam konteks ini adalah sebuah teori Postkolonial, yang bisa dimainkan oleh sebuah komunitas atau masyarakat local atau kelompok grass root dalam menghadapi tantangan, ancamam atau pengaruh luar yang dirasa kurang pas dan tidak sejalan dengan kebutuhan social, budaya maupun ruang batiniah komunitas tersebut. Untuk itu penulis merasa berhutang budi pada tokoh-tokoh perintis dan pengembang teori postcolonial, misalnya seperti Fanon, Frantz, dalam Peau Noire Masque Blanc, (Paris: Flamiron,1967), Spivack, G.C., The Post-Colonial Critic: Interview, Stratregi, Dialogue, Syarah Harasym (ed), (London: Routledge, 1990), Idem “Can The Sub-Altern Speaks?” dalam C. Nelson dan Crossberg, (eds), Marxisme and Interpretation of Culture, (Urbana: University of Illinois Press, 1988).Leela Ghandi, dalam Postcolonial Theori A Critique Interduction, (Unwin & Allen, 1998), Hasan Hanafi, dalam Muqadimmah fi al-Ilmi al-Istighrab, (Kairo: Dar al-Tali‟, 1989) dan lain-lain. *Penulis adalah Dosen dan Peneliti di LP3M STAINU Temanggung, Jawa Tengah. 2Sasongko, Triyogo, Manusia Jawa dan Gunung Merapi, (Yogyakarta: Gama Press,1991), h. 196. Gunung Merapi ini terletak diantara kota Magelang (sisi Barat), kota Boyolali dan Salatiga, (sisi Timur dan Utara) kota Kelaten (sisi Timur) dan kota Sleman DIY di bagian selatan. 3Gambaran keganasan Merapi ini,misalnya bisa kita lihat dari film documenter, “Nafas Bumi Merah” yang sering diputar di Ketep Volkano Theatre (KTV), Sawangan Magelang. Di sana terlihat, “gumpalan awan panas bergulung-gulung keluar dari puncak gunung Merapi. Wedhus Gembel (kambing berbulu gembel) masyarakat setempat menyebutrnya, awan panas yang bentuknya sepertyi bulu domba. Awan panas dengan suhu kurang lebih 1000 derajat celcius tersebut sebagai tanda gunung api yang berdekatan
354 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
dengan empat kabupaten; Magelang, Sleman, Klaten dan Boyolali siap meletus. Kemudian disusul oleh suara gemuruh yang memekakkan telinga, juga terlihat batu-batu besar seukuran rumah terlempar ke sana ke mari. Seakan ditumpahkan dari puncak gunung, muncul pula lahar warna merah membara. Peristiwa semacam itu pada pukul lima pagi akan terlihat jelas. Itulah sebuah gambaran indah sekaligus menkutkan” 4Sebutan Romo, disini bukan romo/pather dalam arti pastur Katholik, namun Romo= Bapak adalah gelar penghormatan dalam adat Jawa kepada orang yang dituakan. 5Wawancara dengan Mbah Slamet pada pesta pada acara “Festival Lima Gunung 2010”. Ungkapan di stas secara implisit juga mengambarkan dari warning al-Qur‟an, “telah nyatalah kerusakan di muka bumi dan di lautan dikarenakan oleh ulah tangan-tangan (kiprah ) manusia” (QS:30, 41) 6Lihat tema besar penulisan sejarah dalam Braudel. Fernand., Ecrits sur l‟Histoire, (Paris: Flamiron, 1969). 7Sesajen dalam arti sedekahan dan do‟a dalam arti minta pertolongan kepada Tuhan, seandainya masih dalam koridor Islam (ketauhidan yang hanya sepenuhnya bersandar pada Allah semata) hemat penulis juga mempunyai makna ganda, yakni sebagai forum silaturahim dan tasyakuran juga sebagai sarana do‟a kepada Allah yang menjanjikan akan memenuhi do‟a hambaNya (QS, ) bahkan bisa juga sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan yang dalam hadist digambarkan dengan “Anna inda dzanni Abdi, wa anna azzi bihi” (aku adalah akan menuruti apa persangkaan hambaKu dan akan mengabulkannya). Dalam konteks sedekahan dan do‟a dalam arti seperti “selamatan” versi budaya jawa, maka kegiatan tersebut tidak bisa serta merta dicap Islami atau tidak Islami. Lihat, Masdar Hilmy, “Cultural Aculturation of Javanesse Islam, A Critical Study of the Slametan Ritual”, al-Jami‟ah, No. 62/XII/1998 8Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), h.251. 9Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 498-9 10David & Julia Jary, Collins Dictionary of Sociology, (London: Harper Collins, tth), h. 97-8 11Lihat Baedhowi, “humanisme Relijius” dalam Humanisme Islam, (Yogyakarta: `ustaka Pelajar, 2007), h. 59. Untuk telaah maqamat/stations dalam Tasawuf/sufisme, bisa dibaca misalnya dalam al-Qusayairi, al-Risalah al-Qusyairiah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), bab “maqamat”. 12Wawasan kosmologi warga tutup di sini, hemat penulis lebih dekat pada kosmologi Islam, yang berkeyakinan bahwa selain Tuhan, semua makhluk, seperti langit, bumi, gunung-gunung, malaikat, jin, syaitan, manusia dsb.,adalah makhluk ciptaan Allah Rabbul „alamin. 13Suseno, Franz Magnis., Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka, 2003), h. 82. 15Manuel Castel, The Information of Age: Economy, Social, and Culture: Vol II, The Power of Identity, (Oxford: Blackwell, 2001), h. 93. 16Asumsi ini berdasarkan observasi penulis di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, yang dalam lektur Keraton Solo, selain telah diperkenankan dan diajarkan al-Qur‟an juga konon telah diajarkan kitab tasawuf karya Ibnu Atha‟illah al-Iskandari , Syarh Hikam, (Indonesia: Dar al-Haya‟ al-arabiyyah, tth). Kitab tasawuf ini sebagaikmana Ihya‟ Ulumuddin
BAEDHOWI
Dinamisasi
355
sudah sangat diakrapi di lingkungan pesantren. Hasil temuan Marx Woodward juga menegaskan bahwa masyarakat di Kerataon Yogyakarta justru telah mengalami akulturasi yang serius dengan Islam sehingga warna Islamlah yang lebih dominant daripada warna agama sebelumnya (Hindu / Budha). Lihat Woodward, Mark, R., 1988, Islam in Java, Normative Piety and Mysticism of Sultanate of Yogyakarta, (Ticson: The University of Arizona Press). 17Lihat “Key Ideas”nya Gerard Delante, dalam Community, (London & New York: Routledge, 2000), h.12 dst. 18Achroff, Bill., et al., Key Concept in Post Colonial Studies, (London and New York: Routledge, 1998), h. 130. 19Bhaba, Homi K., Location of Culture, (London and New York: Routledge, 1994), h. 2-3. 20Untuk uraian tentang bagaimana kelompok Sub-Altern ini memainkan perannya dalam sebuah masyarakat, lihat tulisan Spivack, G. C., “Can The Sub-Altern Speaks ?” dalam Nelson dan Crossberg, (eds.), Marxisme and Interpretation of Culture, (Urbana: University of Illinois Press, 1988), h. 280-316. 21Pendirian desa desa di lereng Merapi biasanya dihubung-hubungkan dengan pergolakan politik kerajaan-kerajaan di Jawa masa lalu, namun bisa juga sebagai pelarian politis masa lalu yang bersembunyi atau bisa juga sebagai priyayi pendatang yang bersemadi kemudian membuka hutan dan menetap di lereng Merapi hingga ajalnya. Untuk kasus pergolakan politik antara kerajaan Surakarta dan Yogyakarta .hingga akhirnya terpecah menjadi Mangkunegaran (Surakarta) dan Mataram (Yogyakarta) sengaja tidak diuraikan disini dan lebih jauh bisa dilihat misalnya melalui uraian karya Rickles, 1979, “Cricis in Surakarta and the Indicatuon of the Division” dalam Yogyakarta Under Sultanete Mangkubumi, (1749-1792), (London: Oxford University Press). 22Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka, 2003), h. 71-72.. 23Haryoguritno, 1988, “Kayon atau Gunungan” dalam GATRA, No. 22.IV.1989, h. 22-5. 24Soetarno, et al., 2004, Wawasan Budaya Untuk Pembangungan Menoleh Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Kolaborasi Kementrian Kebudayaan & Pariwisata dengan Pusat Studi Pariwisata UGM), h. 234-5. 25Suseno, Franz Magnis, 2003, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka), h.. 193. Karena itu, jargon Arab, “lisanul hal afshahu min lisanil maqal” akan terasa sejalan dengan model epistemology sufistis/irfani sebagaimana dipraktikkan komunitas Tutup di atas. 26Untuk cerita-cerita lakon wayang tentang Sri Nahapanggung (Sri Kembang) banyak nama-nama yang berkaitan dengan harapan kesuburan pertanian, misalnya nama Juru Mertani Among Tuwuh yanfg berarti pakar pertanian yang memelihara dan menjaga tanaman; Luhwati (luh=air), yang berarti sumber air, dan Sri sendiri dilambangakan sebagai tanaman bahan makanan yang berasal dari tubuh Ken Trisnawati. Hanya saja kisah Dewi Sri sebagai dewi pangan tidak hanya beredar di pulau Jawa namun juga di seluruh pulau Bali dengan berbagai vaariasi daerah setempat (Rassers, 1959, 17-8; Covarrubias, 1974, 73-4)
356 Annual Conference on Islamic Studies 27Mulder,
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Neil., Agama, Hidup Sehari-Hari dan Perubahan Budaya, (Jakarta: Gramedia, 1999), h.204. 28Komunitas Tutup selain selain ikut melestarikan hutan (pinus) lindung di kec Dukun, dan menolak penbambangan pasir yang begitu liar, mereka gigih menolak/memprotes secara terang-tertangan mapun simbolis terhadap berbagai kebijakan oknum pemerintah yang akan mengancam keharmonisan ekosistem G. Merapi.