DINAMIKA SOSIAL – EKONOMI MASYARAKAT ARAB “KAJIAN ATAS : JARINGAN PERDAGANGAN MASYARAKAT ARAB DI BATAVIA TAHUN 1900-1942” SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)
Oleh : Akhmad Yusuf NIM : 109022000008
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli dari saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana dalam jenjang strata satu (S1) di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 April 2015
Akhmad Yusuf
iv
ABSTRAK Sejak awal abad ke-17 Batavia yang dahulu dikenal dengan nama Sunda Kelapa lalu menjadi Jayakarta kemudian menjadi Batavia sudah berkembang menjadi sebuah pelabuhan dagang yang menjalankan aktivitas perniagaan. Batavia merupakan pusat kota pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1619 – 1942. Sepanjang sejarah kolonial, administrasi dan daftar statistik pemerintah kolonial membagi-bagi penduduk menurut bangsanya dan secara khusus memisahkan masyarakat Cina dan Arab dari golongan pribumi. Batavia memiliki lokasi geografis sangat strategis, yaitu terletak di dekat Selat Sunda yang merupakan satu di antara dua jalur penghubung utama antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Dengan posisi tersebut, Batavia sangat cocok untuk dijadikan pusat kegiatan ekonomi di Asia. Selain sebagai tempat berkumpulnya kapal-kapal, Batavia selanjutnya juga berfungsi sebagai salah satu kota pelabuhan utama dalam jaringan perdagangan Asia. Dalam beberapa catatan sejarah bahwa golongan Arab dan Cina masuk wilayah Nusantara dan berasimilasi dengan masyarakat pribumi hingga menjadi ‘peranakan’ atau orang-orang keturunan yang lahir di Nusantara, namun oleh pemerintah dipaksakan dengan alasan untuk ‘melindungi’ kaum pribumi. Khususnya pedagang; tetapi pasti juga dengan alasan politik dan ekonomi. Kebanyakan dari para pedagang ini membentuk sebuah mata rantai atau jaringan perdagangan yang terjalin antar sesama komunitas. Sudah sejak lama masyarakat Arab meninggalkan tanah air mereka di Hadhramaut (Yaman Selatan) yang tandus, untuk memperbaiki hidup. Mereka berdiaspora ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Nusantara. Untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat. Kajian tentang jaringan perdagangan masyarakat Arab inilah yang menjadi perhatian dalam tulisan ini. Sesungguhnya alasan utama dari keberadaan Batavia adalah justru karena kota ini mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kota pelabuhan dan pusat kegiatan perdagangan. Oleh sebab itu, skripsi ini secara garis besar membahas peranan kota Batavia dalam jaringan perdagangan masyarakat Arab pada awal abad ke-20 dengan membahas masalah bentuk fisik kota, dinamika sosial-ekonominya, jaringan perdagangan masyarakat Arab, dan, pengaruhnya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat di Batavia.
Kata Kunci : Arab, Hadhramaut, Jaringan Ekonomi, Perdagangan, Batavia, 19001942.
v
vi
ABSTARCT Since the beginning of 17th century, Batavia which was known as Sunda Kelapa then Jayakarta then Batavia, had been a trading city which many kinds of trading activities were there. Batavia was a centre of dutch east indies government since 1619-1942. Along the colonial history, administration and statistic data of colonial government categorized their people based on their nations and, specifically, separated the Chinese and Arabs from the natives. Batavia had a strategic geography area located close to Sundanese Trait Batavia which was one of the main connecting areas of Indian Ocean and South China Sea. Since located in those strategic area, Batavia was the best site for economic activites in Asia. Not only as a site for ships to anchor, Batavia was also functioning as one of the main port towns in Asia trading network. Depend on historical records the Chinese and Arabs kept entering the Nusantara and assimilated theirselves with the natives as ‘offspring’ or descendants who were born in Nusantara, however the government forced them to be separated with reason to protect the natives. Especially the traders, which the other political and economic reasons were included as well. Majority of the traders created trader cycles or networks which were consolidated within the community. Since a long time ago the Arabs left their hometowns in the dry Hadhramaut (South Yemen), including to Nusantara to make livings. They went overseas diasporically. They did trading and teaching religions to natives. Study of this trading network of the Arabs become the main focus of this research. In fact, the main reason of the existence of Batavia was because of its potensial of becoming port town and a center of trade. Thus, this research focuses on the role of Batavia in the trading network of Arabs in the beginning of 20th century which explores more on its physical building, social-economy dynamics, trading network of Arabs and the influence of the network on multi-aspects of life in Batavia.
Key Words: Arabs, Hadhramaut, Networking Economy, Trade, Batavia, 19001942.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil alamin, segala puja dan puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT semata yang telah melimpahkan segala macam nikmat dan rahmat-Nya. Shalawat dan salam senantiasa selalu tercurahkan pada muara ilham, lautan ilmu yang tidak pernah larut teruntuk baginda Nabi Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya. Aamiin. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mendapat gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itulah penulis menyusun skripsi ini dengan judul : ”Dinamika Sosial – Ekonomi Masyarakat Arab, Kajian Atas : Jaringan Perdagangan Masyarakat Arab di Batavia Tahun 1900 – 1942”. Kajian tentang masyarakat keturunan Arab di Indonesia terutama tentang jaringan perdagangan masyarakat Arab di Batavia memang belum banyak dilakukan oleh banyak orang. Kalaupun ada kajian tentang keturunan Arab kebanyakan dilakukan oleh penulis atau peneliti asing dari luar negeri. Penulis
mencoba
untuk
mengambil
tema
tersebut
dikarenakan
ketertarikannya mengenai dinamika masyarakat Arab Nusantara dengan mengambil objek di Batavia. Di sini penulis berusaha untuk memaparkan bagaimana kiprah orang-orang Arab di Batavia, kisah hidup mereka, kontak sosial yang terjadi dengan penduduk lain di Batavia yang ketika itu sudah sangat heterogen masyarakatnya, jaringan perdagangan masyarakat Arab, dan juga pengaruh yang ditinggalkan masyarakat Arab di Batavia terhadap berbagai aspek
viii
kehidupan mulai dari sosial budaya, politik, pendidikan, hingga perkembangan agama Islam di kota ini. Mengkaji fenomena masa lalu bukan bertujuan untuk menghakimi pelaku sejarah, bukan untuk mencari kebenaran atau kesalahan, bukan untuk merendahkan atau menyanjung pelaku sejarah. Kajian sejarah bertujuan untuk memahami mengapa para aktor sejarah melakukan langkah-langkah tertentu untuk memahami implikasi dari langkah-langkah yang diambil oleh para aktor sejarah. Maka dari itu yang disebut sebagai aktor sejarah tak hanya yang sifatnya individu melainkan juga bisa kelompok atau bahkan institusional. Lebih detail lagi penulis membatasi rentang waktu atau periodesasinya yaitu antara tahun 1900 – 1942. Alasan memilih periode ini adalah untuk menggambarkan tentang dinamika sosial-ekonomi masyarakat Arab di Batavia. Terutama bahwa awal dekade abad ke-20 merupakan puncak akhir dari masa kolonialisme pemerintah Hindia Belanda dan juga tak dapat dipungkiri bahwa pada masa itu merupakan periode kebangkitan bagi komunitas Arab di Indonesia. Hal ini juga penulis lakukan sebagai usaha untuk merekonstukrsi kembali tentang jaringan perdagangan yang dilakukan orang Arab di Nusantara khususnya di daerah Batavia. Di tengah kelangkaan kajian tentang keturunan Arab ini, skripsi ini diharapkan dapat menjadi bacaan yang berguna terutama bagi sejarawan, peneliti dan mahasiswa sejarah serta masyarakat luas pecinta sejarah. Tentunya dalam menyelesaikan skripsi ini penulis tidak semata berhasil dengan tenaga dan upaya sendiri namun banyak pihak yang telah berpartisipasi dalam terselesaikannya penulisan skripsi ini baik yang bersifat moril maupun
ix
materil, maka dengan ini sepatutnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan atas kerjasama dan dorongannya kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan. Rasa terima kasih dan penghargaan yang begitu besar penulis sampaikan kepada : 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Syukron Kamil, M.Ag selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik, Bapak H. Nurhasan, MA Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam serta Ibu Shalikatus Sa’diyah, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Tarmizy Idris, MA dan Ibu Imas Emalia, M. Hum; keduanya selaku Dosen Pembimbing skripsi. 5. Bapak Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA dan Bapak Dr. Halid, M.Ag; keduanya selaku Dosen Penguji skripsi. 6. Seluruh Dosen-dosen di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang telah memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. 7. Seluruh Staff dan Pegawai UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Fakultas Adab
dan
Humaniora
(Rektorat,
Akademik,
Bagian
Umum
dan
Kemahasiswaan; Pak Rozak, Pak Masruri, Bu Izi, Kak Amel, Mas Adrian, Mas Trisno dan Bang Burhan). 8. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Sarman dan Ibu Sri Wahyuni yang tak kenal lelah untuk selalu memberikan perhatian dan curahan kasih sayangnya
x
yang luar biasa kepada penulis, sehingga penulis selalu dapat termotivasi hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. Adik-adik penulis, Ismail Hardiansyah dan Imron Irwansyah yang selalu mendorong dan memberikan semangat kepada penulis. 10. Staff dan Pegawai Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Daerah DKI Jakarta, Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Jamiatul Khair, serta Harian Republika. 11. Ir. Ali Abu Bakar Shahab, Ketua Umum Darul Aitam ‘Ar-Rabithah Alawiyyah yang telah berjasa dalam memberikan sumber-sumber dan meminjamkan koleksi buku-buku dan arsipnya. 12. Muhtar Syadili beserta Kanda dan Yunda senior-senior alumni HMI atau Korps Alumni HMI (KAHMI) yang telah mensupport baik moril maupun materil serta selalu membimbing dan mensupport penulis untuk dapat menjadi pemimpin yang amanah tanpa meninggalkan kewajiban akademis. 13. Muhammad Hidayaturrahman sahabat karib penulis yang telah banyak berjasa membantu dan mensupport penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. 14. Seluruh kawan di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam khususnya angkatan 2009, Mughni Labib, M. Kholik Bahrudin, Budi Rachmatsyah, Rakhmat Hidayatullah, Ali Nurdin, Hani Humairoh, Meilanih, Angga Maulana dan Syamsu Alfin Valentino. Senior-senior angkatan 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, juga para junior-junior SPI dan Anak-anak Basement Adab, terima kasih atas segala bantuan,
xi
semangat, kritik dan saran yang semua terangkum dalam sebuah kenangan indah yang tak dapat penulis lupakan. 15. Kawan-kawan di BEMFAH – (Pres Tutur Ahsanil Mustofa, beserta seluruh jajaran pengurus), di SEMA UIN – (Amzar, Uki, Nova, Candra, Dinar, Malo, Januri, Abdul, dan seluruh pengurus), di DEMA UIN – (Pres Didin Sirojudin dan jajaran pengurusnya), di HMI KOFAH – (Ketum Ahmad Fauzan Baihaqi, dan jajaran pengurus), di HMI Cabang Ciputat – (Ketum Dani Ramdany beserta jajaran pengurus), Sahabat/i PMII, rekan-rekan IMM, KAMMI, dan GMNI terimakasih atas pengalaman dan ilmu-ilmunya dalam berorganisasi, berinteraksi, dan bersosialisasi selama penulis mengabdi di kampus ini. 16. Terakhir tak lupa penulis sampaikan terima kasih teruntuk Fidia Hanan Zahara yang telah menyemangati penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Sekali lagi penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu untuk mendukung dan membimbing serta mengarahkan penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Penulis sadar betul bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Selamat membaca, semoga skripsi ini dapat memperdalam pengetahuan, membuka wawasan, dan merangsang tumbuhnya pemikiran-pemikiran kritis.
Jakarta, 31 April 2015 Penulis
Akhmad Yusuf
xii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................. i Lembar Pengesahan ....................................................................................... ii Lembar Pernyataan ...................................................................................... iv Abstrak ............................................................................................................. v Kata Pengantar ........................................................................................... viii Daftar Isi ....................................................................................................... xiii Daftar Istilah ................................................................................................ xvi Daftar Tabel, Grafik dan Lampiran ........................................................ xviii
BAB I
: PENDAHULUAN ........................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................... 13 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 15 D. Metodologi Penelitian ............................................................ 16 E. Landasan Teori ....................................................................... 21 F. Tinjauan Pustaka .................................................................... 22 G. Sistematika Penulisan ............................................................ 26
BAB II : KONDISI KOTA BATAVIA TAHUN 1900-1942 A. Luas Wilayah dan Letak Geografis ......................................... 28 B. Kondisi Masyarakat Batavia.................................................... 33 C. Masyarakat Arab di Batavia ................................................... 36
xiii
1. Kelas Sayid ........................................................................ 44 2. Kelas Non-Sayid ................................................................ 47 D. Kondisi Perekonomian dan Kebijakan Ekonomi Pemerintah Hindia Belanda di Batavia ................................................................. 50 1. Kondisi Perekonomian Masyarakat Arab di Batavia ....... 50 2. Kebijakan Politik dan Ekonomi Pemerintah Hindia Belanda di Batavia .............................................................................. 55
BAB III : JARINGAN PERDAGANGAN MASYARAKAT ARAB DI BATAVIA TAHUN 1900-1942 A. Dinamika Perekonomian Masyarakat Arab di Batavia ........... 66 1. Lapangan Bisnis Perdagangan dan Jasa ............................ 66 2. Relasi Bisnis : Pemerintah Kolonial, Tionghoa, dan Pribumi ............................................................................. 75 B. Jaringan
Perdagangan
Masyarakat
Arab
Batavia
dengan
Masyarakat Luar Batavia ........................................................ 90 C. Pertentangan Dengan Golongan Tionghoa, Pemerintah Kolonial, dan Golongan Pribumi ........................................................... 95
BAB IV : PENGARUH JARINGAN PERDAGANGAN MASYARAKAT ARAB DI BATAVIA TAHUN 1900-1942 A. Munculnya Perubahan Kehidupan Sosial, Budaya, Politik, dan Perkembangan Agama Islam................................................. 102 1. Kehidupan Sosial-Budaya ............................................... 106
xiv
2. Kehidupan Politik ........................................................... 113 3. Perkembangan Islam di Batavia ...................................... 120 B. Berkembangnya Kaum Intelegensia ..................................... 126 1. Jamiat Khair .................................................................... 129 2. Al-Irsyad ......................................................................... 135 C. Berkembangnya Kelas Sosial-Ekonomi ............................... 140 1. Sarekat Dagang Islam ..................................................... 146
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................... 155 B. Saran ...................................................................................... 160
Daftar Pustaka ............................................................................................. 161 Lampiran-Lampiran ................................................................................... 177 Curriculum Vitae Penulis ........................................................................... 201
xv
DAFTAR ISTILAH ‘Alawi
: Nama keluarga kolektif dari keturunan Nabi Muhammad SAW
Afdeling
: Sub divisi Karesidenan, atau sama dengan tingkat Kabupaten
Asisten Residen
: Pejabat kepegawaian negeri Eropa, biasanya bertanggung jawab atas Afdeling, dan mewakili di kantor pusat Kabupaten, unsur Eropa dalam pemerintahan
Arabieren
: Orang Arab
Batavia
: Ibu kota Jawa Barat dan Hindia Belanda yang dibangun menjadi lokasi pos perdagangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan pada 1619, J. P. Coen menjadikannya markas besar regional VOC. Pada abad ke-19, para pengamat mengidentifikasi keberadaan orang Batavia sebagai sebuah kelompok etnis terpisah. Pada 1905, sebagai bagian dari reformasi umum administratif, kota ini dijadikan sebuah gemeente (kota) dengan otonomi terbatas. Penduduk kota pada sensus 1930 adalah 435.000 orang
Buitenzettingen
: Provinsi-provinsi luar Hindia Belanda selain Jawa dan Madura
Bupati (Regentschap)
: Kepala Kabupaten; pejabat yang termasuk tingkatan tertinggi Kepegawaian Negeri Pribumi
Chinezen
: Orang Cina
Depresi Ekonomi
: Kejatuhan perekonomian karena perbedaan besar antara kemampuan kapasitas produksi dengan besaran masyarakat mengkonsumsinya
Europanen
: Orang Eropa
Hadrami
: Orang Arab yang berasal dari Hadramaut
Hadramaut
: Daerah dari seluruh pantai Arab Selatan, mulai dari Aden sampai Tanjung Ras al-Hadd atau (sekarang) Yaman
Inlander
: Pribumi
xvi
Muwallad
: Lahir di Hindia
Ommelanden
: Lingkungan sekitar Batavia, wilayah antara Kota dan Kabupaten-kabupaten
Ordonansi (Ordonance)
: Segala peraturan atau kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tertulis dalam Lembaran Negara (Staatsblad)
Pan-Islamisme
: Suatu paham untuk mewujudkan satu kesatuan serta gerakan umat Muslim seluruh dunia
Passenstelsel
: Sistem pas; regulasi yang mewajibkan seseorang memiliki kartu perjalanan untuk meninggalkan kota atau tempat tinggalnya
Peranakan
: Blasteran; lahir di Hindia
Residen
: Pejabat Kepegawaian Negeri Eropa yang bertanggung jawab atas Karesidenan (gewest), atau unit administratif yang kira-kira serupa luasnya dengan distrik di Hindia Inggris (British Indie)
Sayid
: Tuan; gelar tradisional bagi keturunan Nabi Muhammad SAW
Syarifah
: Sebutan untuk perempuan keturunan Sayid
Syekh
: Sebutan atau gelar bagi orang yang ahli agama
Totok
: Asli, bukan blasteran
Vreemde Oosterlingen
: Orang Timur Asing (Asia, India, Arab dsb.) klasifikasi bagi penduduk Asia non-pribumi yang hidup di Hindia
Watan
: Tanah air
Wedana
: Pejabat kepegawaian Negeri Pribumi yang bertanggung jawab atas Kewedanan, sub divisi Kabupaten
Wijkenstelsel
: Sistem pemukiman; regulasi yang mewajibkan kelompok etnik untuk tinggal di sebuah kota atau tempat tertentu
Wulaiti
: Orang Arab asli yang lahir di Hadramaut
xvii
DAFTAR TABEL 1. Data Penduduk Residen Batavia pada sensus terakhir yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda ............................................................................ 35 2. Penduduk Arab di Indonesia 1860-1930 (dibulatkan) .................................... 38 3. Indonesia: Populasi Penduduk Dalam Berbagai Tahun (dalam ribuan) ......... 39 4. Kapitein Arab di Batavia ................................................................................ 42 5. Kapitein Arab di Meester Cornelis ............................................................ 42-43 6. Penghasilan Pertanian, 1926 ........................................................................... 73 7. Tabel Distribusi Berdasarkan Mata Pencaharian di Indonesia Pada Tahun 1930................................................................................................................. 77 8. Tabel Pembagian Pekerjaan Cina Totok dan Peranakan di Jawa Tahun 1930 (dalam %) ........................................................................................................ 82 9. Tabel statistik rincian dari jumah orang Arab kaya dan perkiraan pendapatan mereka ........................................................................................................ 89-90 10. Volume Ekspor Pertanian (ribu ton), 1891-1930 ............................................ 92 11. Nilai Ekspor Utama, 1870-1930 (f. 000) ........................................................ 92 12. Ekspor Barang Dagangan (f. juta) .................................................................. 93 13. Bagian Negeri Belanda dalam Perdagangan ................................................... 98 14. Orang Arab di Volksraad .............................................................................. 116
DAFTAR FOTO 1. Kegiatan menenun orang Arab ....................................................................... 73 2. Aktivitas orang Arab ....................................................................................... 73 3. Pedagang Buah di Perumahan Eropa Batavia Tahun 1930 ............................ 76 4. Pedagang Arab ................................................................................................ 81 5. Pedagang Cina ................................................................................................ 81 6. Pedagang Pribumi ........................................................................................... 81 7. Penjual makanan di Batavia ............................................................................ 84 8. Tukang Barang ................................................................................................ 84 9. Penjual Sayuran .............................................................................................. 85 10. Penjual Kue ..................................................................................................... 85 11. Penjual Limun ................................................................................................. 85 12. Penjual Minuman Tebu Tahun 1915 ............................................................... 85 13. Aktivitas Perdagangan di Pasar ...................................................................... 98 14. Pasar Ikan tahun 1932 ..................................................................................... 98 15. Pasar Baru ....................................................................................................... 98 16. Pasar Minggu .................................................................................................. 99 17. Pasar Senen ..................................................................................................... 99 18. Peranakan Arab dengan Busana khas Arab .................................................. 107 19. Potret Keluarga Arab .................................................................................... 107 xviii
20. Orang Arab di Batavia .................................................................................. 108 21. Tokoh Arab Abdullah A. Alatas ................................................................... 116 22. Tokoh Arab A.R. Baswedan ......................................................................... 118 23. Rombongan Orang Arab dalam suatu kegiatan ............................................ 123 24. Pimpinan Jamiat Khair .................................................................................. 129 25. Pembuat Batik ............................................................................................... 147
DAFTAR LAMPIRAN A. Lampiran Data TABEL DAN STATISTIK: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda era 1893 - 1936 ............................................... 179
Pembagian Administrasi Batavia tahun 1918 ............................................... 180 Komposisi suku bangsa di Batavia tahun 1930 ............................................ 181 Tabel Populasi di tahun yang berbeda (dalam ribuan).................................. 182 Tabel Pengawasan dari soal penduduk (rasio 1920 = 100) ........................... 183 Tabel Populasi kota-kota dengan lebih dari 50.000 penduduk pada tahun 1930 ....................................................................................................................... 184 Statistik perekonomian Hindia Belanda sebelum dan sesudah masa Depresi Ekonomi ....................................................................................................... 186 Kolom model Surat Jalan (Reispass) ............................................................ 187 Pertumbuhan Penduduk, 1852-1930 (000 dihilangkan) ............................... 188 Harga grosir produk ekspor utama (tarif rata-rata tahunan, @ gulden per 100 kg) ................................................................................................................. 189 Harga perdagangan dari beberapa item di Batavia (harga rata-rata tahunan, dalam gulden) ................................................................................................ 190 Impor Barang Dagangan Swasta (f. 000) ...................................................... 192 Jumlah Pembayaran Pajak Penghasilan dan Persentasi Pembayar menurut Berbagai Tingkat Penghasilan (1929) ........................................................... 193
B. Lampiran Foto dan Peta FOTO-FOTO : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia (1935) .................................................... 194 Foto udara keadaan Kota Batavia ................................................................. 194 Kampong Arab Pekojan ................................................................................ 195 Kampong Arab Ampel Surabaya .................................................................. 195 Kampong di Batavia ..................................................................................... 196 Kampong Cina di Batavia ............................................................................. 196 xix
PETA : 1. Peta Jalur Perdagangan Tahun 1888 ............................................................. 197 2. Peta Jalur Perdagangan 1891 ........................................................................ 197 3. Peta Jalur Perdagangan Tahun 1940 ............................................................. 197 4. Rencana pembangunan Batavia dan daerah-daerah tetangga ....................... 198 5. Peta Batavia tahun 1914 ................................................................................ 199 6. Peta Batavia Tahun 1920 .............................................................................. 200 7. Peta Batavia 1935 ......................................................................................... 201 8. Peta Batavia tahun 1938 ................................................................................ 202
xx
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dari segi geografis, wilayah Asia Tenggara merupakan salah satu tempat yang strategis dalam bidang pelayaran dan perdagangan internasional. Letaknya yang strategis, karena berada di antara Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan menyebabkan wilayah Asia Tenggara sebagai tempat persilangan sistem lalu lintas laut yang menghubungkan antara benua Timur dan Barat dengan Selat Malaka sebagai jalur penghubung utama. Hubungan dagang pun terjadi antara para pedagang Asia Tenggara dan para pedagang internasional, yang di antaranya berasal dari Cina, Arab dan India.1 Masyarakat Arab yang bermukim di Nusantara sebagian besar berasal dari Hadhramaut, dan sebagian lagi ada yang berasal dari Muscat, tepian Teluk Persia, Yaman, Hijaz,2 Mesir atau dari Pantai Timur Afrika. Pada awalnya dari mereka jarang ada yang menetap, kalaupun ada yang menetap langsung membaur dengan masyarakat Arab dari Hadhramaut lainnya. Sebagian adalah pengembara atau petualang yang dalam waktu singkat mereka pergi lagi.3 Menurut penelitian Van den Berg, masyarakat Arab memang sudah lama hadir dan bermukim di Nusantara, sejak abad ke-17 beberapa orang sudah datang secara terpisah untuk mengadu nasib di Timur Jauh (wilayah negara-negara Asia
1
J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asia Social and Economic History, terj. J.S. Holmes dan R. van Marie, (Bandung: Van Hoeve/Sumur Bandung, 1960), h. 3. 2 Tampaknya di Hadramaut Hijaz biasa disebut “Syam”, artinya “Suriah”. Lihat LWC Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), bagian pendahuluan, h. 1. 3 Dalam penelitiannya Van den Berg menyebutkan, di Singapura dan Batavia datang beberapa musafir Arab yang berasal dari sekitar Yerusalem. Mereka memeluk agama Khatolik. Lihat, Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 10.
1
yang jauh dari Eropa, seperti Cina, Jepang dan sekitarnya), sementara orang Hadhramaut secara massal datang ke Timur Jauh, yakni ke Nusantara pada tahuntahun terakhir abad ke-18,4 mereka mulai banyak menetap di pulau Jawa setelah tahun 1859. Kedatangan masyarakat Arab dari Hadhramaut terjadi sejak pembukaan Terusan Suez pada 1869. Pembukaan Terusan Suez ini turut memperlancar hubungan perdagangan Asia-Eropa, pembukaan Terusan Suez pun membuat pemerintah kolonial banyak melakukan impor mesin-mesin dan perlengkapan modern untuk meningkatkan produksi perkebunan dan pabrik gula.
Perluasan produksi tanaman ekspor dan impor barang-barang dari Eropa ini kemudian
mengakibatkan
perdagangan
internasional
semakin
ramai
di
Nusantara.5 Jika di lihat dari segi sejarah ekonomi, dalam abad ke-19 sampai awal abad ke-20 Nusantara sedang berada dalam suatu perkembangan baru yang berintikan revolusi industri dan revolusi perdagangan. Ciri pokok dari revolusi industri adalah timbulnya sistem manufacturing (pabrik) menggantikan sistem kerja tangan. Dengan cara baru itu barang-barang dapat dihasilkan dalam jumlah yang lebih banyak lagi dibanding dengan cara lama. Selanjutnya hal ini menimbulkan berbagai kegiatan baru seperti perdagangan yang meningkat, hubungan-hubungan baru antara kota dan desa, dan munculnya barang-barang hasil industri pabrik. Ekspansi dagang dengan orientasi ekspor semakin
4
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 95-100. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 122. 5
2
menguntungkan bangsa Eropa tetapi menjadi sebaliknya yaitu sekaligus mematikan perekonomian masyarakat jajahan.6 Beberapa tahap perkembangan dari ekonomi kolonial di Hindia Belanda dapat dikategorikan dalam beberapa periode7 : 1.
2.
3.
4.
Pada abad ke-17 sampai 18, perluasan hegemoni politik VOC telah menguatkan kontrol dari perdagangan monopoli dan penerimaan hasil panen. Ini adalah periode paling penting dari aktivitas merkantilisme yang dikembangkan VOC untuk mengokohkan struktur politiknya dengan tujuan mendapatkan keuntungan produksi pra-kapitalisme. Pada awal pertengahan abad ke 18: pemerintahan Belanda menetapkan pengawasan proses produksi, dengan strategi perpindahan kebijakan ekonomi kolonial yang berkonsentrasi pada produksi gula dan kopi di Jawa. Pada akhir abad ke 19 sampai periode Depresi Ekonomi tahun 1930 adalah sebuah periode yang ditandai dengan produksi penanaman karet dan tembakau oleh korporasi privat, dari Jawa ke luar Jawa. Ini juga merupakan periode perpindahan di mana negara menjadi terlibat langsung dalam pembagian produksi ekonomi dan infrastruktur administrasi untuk privat kapital. Pada tahun 1930 adalah periode yang ditandai dengan kemunduran dramatis sektor elit, khususnya gula dari Jawa (dan sebagian karet dari Sumatera) serta pertumbuhan penanaman modal petroleum dan timah dalam skala manufaktur menengah hingga besar. Ini adalah periode yang juga ditandai dengan peningkatan kapital asing non-Belanda.
Jika kita lihat dari perkembangan ekonomi kolonial, tampak bahwa tahaptahap perkembangannya sangat berdampak pula dalam perkembangan sosialekonomi masyarakat pribumi. Politik ekonomi liberal kolonial dilatarbelakangi oleh perubahan sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang dikendalikan oleh sistem perekonomian Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Sistem ini diperkenalkan secara perlahan antara tahun 1830 dan 1835 di hampir seluruh daerah pulau Jawa. Perekonomian diorganisir berdasarkan sistem tanam paksa. Menurut sistem Tanam Paksa pungutan dari rakyat tidak lagi berupa uang melainkan berupa hasil tanaman yang dapat diekspor. Petani wajib menyerahkan 1/5 dari tanah mereka kepada pemerintah untuk tanaman tertentu, seperti tebu, nila, kopi, teh, tembakau, kayu manis dan kapas. Mereka menyerahkan produksi pertanian sebagai upeti 6
Leirissa, R. Z. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950. (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985), h. 31-32. 7 Richard Robinson, Indonesia: The Rise of Capital, (USA: Allen and Unwin Inc. 1943) hal. 9-10.
3
ataupun pajak.8 Sudah tentu hal ini berdampak menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, berkembangnya paham liberalisme sebagai akibat dari revolusi Perancis dan revolusi Industri, kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen Belanda yang mendesak pemerintah Belanda menerapkan sistem Ekonomi Liberal di negeri jajahannya (Hindia Belanda), dan adanya Traktat Sumatera9 pada tahun 1871 yang memberikan kebebasan dari Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh.10 Sistem ekonomi kolonial selanjutnya antara tahun-tahun 1870 dan 1900 dinamakan Sistem Liberalisme11. Tujuan dari liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda pada tahun 1870 dapat tercapai dengan diberlakukannya kebijakan ekonomi liberal yang dikenal sebagai Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Pada masa ini pemerintah Hindia Belanda untuk pertama kalinya membuka perusahaan swasta seluas-luasnya dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Sistem perekonomian ini sering disebut dengan sistem ekonomi liberal. Pelaksanaan politik ekonomi liberal ini dilandasi dengan beberapa peraturan: pelaksanaan kebijakan ekonomi ditandai oleh disahkannya dua undang-undang,
8
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 311. Baca pula, Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium (Jakarta: Gramedia Utama, 1999), h. 306. 9 Traktat Sumatera adalah pembagian daerah kekuasaan Inggris dan Belanda di Indonesia dan Malaya. untuk melicinkan niatnya menguasai Aceh, Kerajaan Belanda mengajak Kerajaan Inggris untuk menanda tangani suatu perjanjian dengan Inggris (Traktat Sumatera) isi Traktat Sumatera Bekas jajahan Belanda di Afrika (Gold Coast -sekarang Ghana) diserahkan kepada Inggris dan jajahan Inggris di Sumatera (yaitu Bengkulu) diserahkan kepada Belanda. Untuk menguasai seluruh Sumatera jika perlu Belanda akan memerangi Aceh. Perjanjian ini ditanda tangani tahun 1871. 10 Peter Boomgaard, Anak Jajahan Belanda Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 17951880, (Jakarta: KITLV, 2004), h. 63. 11 Liberalisme adalah suatu paham yang mengutamakan kemerdekaan individu yang merupakan pokok utama paham ini. Liberalisme melahirkan konsep pentingnya kebebasan hidup dalam berpikir, bertindak, dan berkarya.
4
yaitu Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) dan Undang-Undang Gula (Suiker Wet).12 Pembukaan lahan-lahan baru oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20 yang berorientasi pada komoditas perkebunan baik di dalam maupun di luar Jawa, secara otomatis telah merampas kepemilikan tanah penduduk pribumi. Hukum adat yang lahir dalam masyarakat pribumi tidak memiliki kekuatan apapun untuk mempertahankan eksistensi tanah mereka dari perampasan perusahaan-perusahaan asing. Bahkan sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870, lalulintas modal dari Belanda semakin meningkat, modal-modal tersebut banyak diinvestasikan dengan membentuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di berbagai bidang, seperti perkebunan, penyedia sarana transportasi, dan penyedia layanan publik. Namun, modal swasta yang terbesar dialokasikan dalam bidang perkebunan. Maka sejak 1870 kebutuhan investasi modal mencari penyalurannya ke perusahaan perkebunan.13 Dengan demikian tidak ada kewenangan lagi dalam hal kepemilikan tanah bagi masyarakat pribumi. Menurut data statistik hasil sensus khusus dan rinci yang dilaksanakan pada tahun 1885, bahwa di Jawa dan Madura tercatat jumlah penduduk keturunan Arab yang menetap di Nusantara baik orang Arab yang lahir di Arab maupun yang lahir di Nusantara sebanyak 10.888 orang.14 Hal ini disebabkan oleh eksodus besar-besaran pasca tahun 1870, di mana pelayaran dengan kapal uap antara
12
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 118-124. 13 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1991), h. 80. 14 Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 96-97.
5
Timur Jauh dan Arab mengalami perkembangan yang pesat sehingga memudahkan migrasi masyarakat Arab dari Hadhramaut ke Nusantara. Sebenarnya jika kita cermati ada beberapa alasan masyarakat Arab datang ke Nusantara. Selain dengan motif untuk mencari penghidupan yang lebih layak daripada di negeri asal mereka, juga untuk berniaga dan menyebarkan agama Islam. Dengan bertambahnya penduduk warga keturunan seperti Arab juga Cina selain Eropa, membuat masyarakat pribumi melakukan hubungan sosial perekonomian dengan masyarakat pendatang tersebut. Masyarakat Arab merupakan sebuah komunitas minoritas di Nusantara yang dikategorikan sebagai golongan Vreemde Oosterlingen atau orang Timur Jauh bersama dengan masyarakat Cina dan Timur Asing lainnya yang mana dapat dilihat dari statistik kependudukan masyarakat Arab di Nusantara. Pada awal abad ke-19 tercatat sekitar 400 orang Arab dan Moor tinggal di Batavia.15 Jumlah orang Arab secara eksplisit baru disebutkan pada 1859, yakni 312 orang, sebagian besar tinggal di kota dan sebagian kecil lainnya tinggal di Meester Cornelis16, Buitenzorg17, dan Tangerang. Pada tahun 1870 jumlah mereka berlipat tiga kali lebih. Selanjutnya pada tahun 1885 Batavia menampung 1.448 penduduk Arab, 972 di antaranya lahir di Hindia Belanda.18 Antara 1900-1930 minoritas Arab bertambah dari 2.245 menjadi 5.231, artinya 7 persen lebih dari
15
Thomas Stamford Raffles, The History of Java. Jilid I, terj. Eko Prasetyanigrum, Maryati Agustin dan Idda Qoryati Mahbubah. (London: Black, Parbury and Allen, 1817), h. 63. 16 Meester Cornelis sekarang merupakan sebuah daerah di Kotamadya Jakarta Timur yang bernama Jatinegara. 17 Buitenzorg saat ini telah menjadi sebuah nama kota di Jawa Barat, yaitu; Kota Bogor. 18 L.W.C. van den Berg, Le Hadramout et les colonies arabes dans l’archipel indien, (Batavia: Imprimerie du Gouvernement, 1886), h. 105.
6
keseluruhan populasi Arab di Hindia Belanda.19 Begitu pun setelahnya dari masa 1930-1942 tidak begitu ada perubahan yang signifikan terhadap jumlah populasi mereka. Mereka bermukim di kota–kota besar Nusantara seperti Surabaya, Batavia, dan Pekalongan. Keberadaan mereka kemudian dikelompokkan pada sebuah wilayah, seperti komunitas–komunitas asing lainnya. Berdasarkan dari negeri asalnya penduduk Arab di bentuk dari empat golongan yang berbeda, yaitu; Syarif, Sayid dan Habib20 merupakan kelas tertinggi yang artinya bangsawan, tinggi, ini adalah sebutan yang diberikan kepada keturunan Nabi Muhammad. Syekh dan Gabili merupakan golongan menengah. Sedangkan Masakin merupakan golongan terendah. Terdiri dari para pedagang kecil, buruh, pelayan dan budak.21 Dari pengelompokkan golongan-golongan Arab tersebut, sebenarnya yang memiliki keleluasaan dalam menjalin hubungan dengan etnis lain ialah dari kalangan Syarif, Sayid, dan Habib. Sehingga mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam aktivitas perdagangan di Nusantara. Dalam hubungannya dengan aktivitas dakwah Islamiyah, golongan Sayid dan golongan Syekh banyak memainkan peranannya, meskipun golongan Sayid jauh lebih menonjol. Kelompok elite yang dikenal orang Betawi hanya berkaitan dengan agama, yaitu guru mengaji, para haji dan orang Arab keturunan Nabi yang disebut Sayid atau Habib. Para Sayid, sangat dihormati bukan hanya karena dipandang keturunan Nabi yang sudah selayaknya menerima penghormatan, 19
Veth, P. J. Java; Geographisch, Ethnologisch, Historisch. Jilid 4, (Harleem: Bohn, 1907), h. 20. Lihat pula, Volkstelling 1930. Jilid 7, (Batavia: Landsdrukkerij, 1935), h. 95. 20 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 200-203. Lihat pula Al-Habib Alwi bin Thahir AlHaddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Terj; S. Dhiya Shahab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), h. 59. 21 Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 33-46.
7
melainkan juga mengingat jasa kelompok ini yang sejak lama dikenal sebagai penyebar Islam dan sumber kader ulama.22 Menurut van den Berg, pada tahun 1844 koloni Arab di Batavia merupakan koloni terbesar di Nusantara, sehingga pemerintah Belanda menerapkan kebijakan mengharuskan adanya kepala koloni atau disebut Kapitein Arab.23 Ini dimaksudkan, antara lain, untuk memisahkan keturunan Arab dengan pribumi. Alasannya hal ini diperlukan untuk mengatur pemerintahan di daerah koloni tersebut, agar pemerintah kolonial tetap dapat mengontrol perilaku masyarakat Arab melalui kaki tangan yang berfungsi sebagai Kapitein Arab. Selain itu kekhawatiran pemerintah kolonial terhadap komunitas Arab ini akan memberi pengaruh buruk kepada penduduk lokal Muslim, maka pemerintah menerapkan kebijakan segregasi sosial. Biasanya orang yang ditunjuk untuk menjadi seorang Kapitein Arab merupakan orang yang mempunyai pengaruh kuat di lingkungan sekitar. Selain itu pula kebanyakan dari Kapitein Arab yang ditunjuk adalah orang yang memiliki kekayaan lebih dan dapat diajak berkompromi dengan pemerintah.24 Tugas
utama
seorang
Kapitein
Arab
selain
mengatur
daerah
pemerintahannya adalah memungut pajak. Sebenarnya kedudukan Kapitein Arab kurang disukai oleh kalangan Sayid, mereka selalu menolak jika pemerintah kolonial menunjuk orang di antara mereka sebagai Kapitein Arab. Keberatan mereka disebabkan nama buruk para pengumpul pajak yang melekat pada pangkat tersebut, sedangkan kepala penduduk Arab ditugaskan untuk mengumpulkan 22
Abdul Aziz, Islam Dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h.
38-39. 23
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 100. Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, (Jakarta: Masup Jakarta, 2007), h. 177-188. Lihat juga, Majalah Historia; Nomor 15, Tahun II, 2013, h. 38. 24
8
pajak perusahaan.25 Namun kebijakan itu tidak berjalan efektif, dikarenakan terjalinnya komunikasi, khususnya di masjid dan pasar, serta sering terjadinya perkawinan campur membuat proses domestikasi dan asimilasi berjalan lancar. Kesamaan agama dan peranan keturunan Arab dalam menyebarkan agama Islam menjadi faktor yang menentukan. Salah seorang yang pernah menjadi Kapitein Arab di Batavia ialah Umar bin Yusuf Manggus (1902-1931).26 Sebelum Umar Manggus diangkat menjadi Kapitein Arab, kebanyakan orang Arab telah menjatuhkan pilihannya kepada Sayid Abdullah bin Husain Alaydrus, seorang saudagar yang kaya dan terkenal karena kedermawanannya dan perilakunya yang baik serta terpandang di kalangan masyarakat Arab dan orang-orang Eropa. Banyak orang yang menyangka dengan kedekatan hubungannya dengan orang-orang Eropa, ia akan bersedia dan menerima jabatan Kapitein Arab itu. Pemerintah kolonial terus menerus mendesak agar ia menerima jabatan itu, tetapi dengan tegas ia tetap menolaknya. Penolakan ini mendapat dukungan dari kalangan Sayid yang menganggap bahwasanya jika seorang Arab menerima jabatan tersebut maka sama saja ia akan menjadi kaki tangan pemerintah Hindia Belanda.27 Di Batavia, masyarakat Arab berkelompok di sebuah kampung yang diberi nama Pekojan. Pekojan artinya “tempat tinggal Kojah”,28 yang pada awalnya merupakan wilayah yang ditinggali oleh orang Benggali, kemudian lama kelamaan orang Benggali digantikan oleh orang Arab. 25
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 117-118. Hussein Abdullah Badjerei. Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, (Jakarta: Presto Prima Utama, 1996), h. 32. Lihat pula dalam bukunya Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, (Jakarta: Masup Jakarta, 2007), h. 188-189. 27 Hussein Abdullah Badjerei. Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, h. 110. 28 Dalam bahasa Melayu, kojah berasal dari bahasa Persia khawajah berarti “Benggali”, atau lebih tepat ‘penduduk asli Hindustan’. Lihat Van Den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 100. 26
9
Para perantau Arab sudah bermukim di kota-kota Maritim Indonesia yang di antaranya adalah Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya sejak tahun-tahun permulaan abad ke-19. Umumnya mereka adalah para pedagang. Biasanya para pedagang Muslim menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menjual barang dagangannya sampai habis agar bisa membeli barang dagangan tersebut dan membawanya kembali ke negerinya masing-masing. Selain itu juga pelayaran yang mereka lakukan untuk kembali ke negeri asal tergantung pada musim. Jarak antara Indonesia dan Jazirah Arab memakan waktu yang lama dan amat ditentukan oleh cuaca. Mereka merantau ke Indonesia tanpa membawa istri-istrinya dan seluruhnya terdiri dari laki-laki, tua-muda dan anak-anak. Biasanya mereka menetap berkelompok di perkampungan di dekat pelabuhan kota. Kemudian dari hubungan antar kelompok pedagang Muslim itu dengan masyarakat pribumi terwujudlah secara bertahap. Kondisi
yang
demikian
menyebabkan
pedagang
Arab
tersebut
mengadakan jalinan kekeluargaan melalui pernikahan dengan penduduk pribumi hingga mempunyai keturunan dan tidak kembali lagi ke negeri asal mereka. Kalaupun ada yang kembali ke negerinya, mereka hanya sekedar menjenguk keluarga mereka. Informasi ini menunjukkan adanya hubungan sosial antara orang-orang Arab dengan penduduk setempat. Hubungan sosial tersebut terjadi melalui perkawinan dengan penduduk pribumi terutama golongan bangsawan.29 Mereka akan merasa bangga apabila menikah dengan orang-orang Arab terutama dari kalangan Sayid karena para Sayid ini dipandang sebagai tamu kehormatan, selain itu tak dapat dipungkiri bahwa diharapkan keturunan-keturunan orang yang 29
Badri Yatim, Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi. Dalam buku, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996), h. 21. Lihat juga dalam Van den Berg, Hadaramaut, h. 41.
10
menikah dengan para Sayid menjadi orang-orang yang baik secara fisik maupun pemahaman keagamaannya. Komunitas Arab di Batavia yang cukup lama terdapat di tiga tempat, dari arah Utara ke Selatan, yaitu Pekojan, Krukut, dan Tanah Abang. Dalam catatan sejarah, komunitas Arab telah bermukim di sejumlah tempat selain yang telah disebutkan tadi, seperti di Sawah Besar, Jatinegara, Kwitang, Condet dan sebagainya. Komunitas Arab Batavia merupakan komunitas terbesar kedua dari segi jumlah, setelah Surabaya dengan urutan jumlah di Batavia 1662 orang; sedangkan di Surabaya berjumlah 2056 orang.30 Seperti masyarakat Arab lain di Jawa, aktivitas ekonomi yang mereka lakukan adalah berdagang dan meminjamkan uang. Barang–barang dagangannya seperti kain, khususnya katun impor, batik, dan pakaian. Produk lainnya adalah mebel, batu mulia, minyak wangi, barangbarang dari kulit, dan makanan merupakan komoditas populer yang mereka perdagangkan. Meminjamkan uang merupakan pekerjaan sampingan dari berdagang. Jika para pembeli tidak dapat membayar tunai, mereka menjual barang dengan sistem utang. Bunga yang cukup tinggi menjadikan aktivitas meminjamkan uang merebak di kalangan pedagang Arab.31 Mereka juga sering meminjamkan uang dengan bunga yang agak tinggi, bahkan sangat tinggi sekali, walaupun sebenarnya hal ini dilarang oleh syari’ah. Akibat peminjaman dengan bunga tinggi ini sekitar 25% seminggu bukanlah hal
30
Data sensus kependudukan tahun 1885, dalam bukunya van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 96. 31 Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 131.
11
yang wajar, mereka sering dipandang buruk oleh penduduk, baik di kalangan Eropa maupun di kalangan pribumi.32 Masyarakat Arab punya peran penting di pusat perdagangan Nusantara, mereka
membentuk
jaringan
perdagangan
jarak
jauh
lintas
samudera,
membentang dari Mesir, Tiongkok, India, hingga Jawa dan Sumatera. Di Nusantara jarang ditemui orang Arab yang sama sekali tidak meminati perdagangan. Seperti halnya orang Cina, mereka terutama juga aktif di bidang perdagangan; pabrik atau importir pedagang kecil. Tetapi mereka tidak mendirikan perusahaan besar yang akan tahan lama, sampai beberapa generasi. Modal mereka tidak diinvestasikan ke dalam perusahaan tetapi lebih sering ke rumah-rumah atau tanah. Hal ini seperti yang dilakukan oleh keluarga Alatas merupakan salah satu kaum elite Batavia. Anggota pertama keluarga ini datang pada awal abad ke-19, yaitu seorang pedagang yang bernama Sayid Abdullah bin Alohsin Alatas. Keturunannya yang paling terkenal adalah cucunya yang bernama Sayid Abdullah bin Aloei bin Abdullah Alatas. Ia membeli cukup banyak properti di Batavia dan menandai perpindahan orang Arab kaya dari Pekojan ke Tanah Abang dengan membangun sebuah rumah indah bergaya Eropa yang sekarang menjadi Museum Tekstil di daerah Tanah Abang.33 Usaha dagang dan perusahaan mereka hampir selalu bersifat pribadi. Kalau dalam beberapa hal diperlukan banyak modal hal itu mereka usahakan dengan asosiasi, sehingga setiap orang mengambil resiko untung bagiannya saja dan bertanggung jawab untuk itu juga. Mereka tidak mendirikan perusahaan, 32
Karel A Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang 1984), h. 132. 33 A. Wright dan O.T. Breakspear, Tweentieth Century Impressions of Netherlands India, (London: Lloyds Greater Britain Publishing Co, 1909), h. 483. Lihat juga Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, terj. Gatot Triwara, (Jakarta: Masup Jakarta, 2011), h. 88.
12
tetapi lebih kepada usaha sendiri dengan alasan lebih cenderung dalam usaha bersama di antara orang Arab yang hanya menanamkan modal kecil dan perjanjiannya hanya dilakukan secara lisan. Dari latar belakang tersebut penulis berupaya untuk memberikan informasi bahwa, aktivitas perdagangan yang dilakukan masyarakat Arab itu terjalin dengan berbagai kalangan mulai dari orang Eropa, India, Cina, bahkan pribumi. Dari aktivitas tersebut tentunya terjalin jaringan perdagangan dan pola hubungan harmonisasi, serta berpengaruh terhadap perekonomian di Batavia. Oleh karenanya penulis memutuskan untuk memilih peristiwa ini sebagai objek kajian dengan judul, “Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Arab, Kajian atas : Jaringan Perdagangan Masyarakat Arab di Batavia Tahun 1900-1942”. Mengapa tulisan ini penting untuk diangkat atau dibahas lebih mendalam, karena tentunya dengan mengkaji tentang sejarah sosial-ekonomi dalam hal ini jaringan perdagangan masyarakat Arab di Batavia tahun 1900-1942 diharapkan dapat berperan untuk dijadikan penentu kebijakan dalam sosial-ekonomi, sebagai perencana dan penilai pembangunan sosial-ekonomi, sebagai ramalan masa depan ekonomi dan sosial serta sebagai pendidikan perubahan.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah a. Pembatasan Masalah Dengan latar belakang masalah di atas penulis menemukan beberapa permasalahan yang dapat dikaji; pertama, kondisi perekonomian Batavia tahun 1900-1942. Kedua, komoditas barang dagang yang diperjual-belikan dan menjadi daya tarik. Ketiga, kontak atau hubungan dagang yang terjadi dalam berbagai
13
aktivitas jual-beli di kalangan masyarakat. Keempat, terbentuknya jaringan perdagangan masyarakat Arab dan pola harmonisasi dengan masyarakat lainnya. Kelima, pengaruh atau dampak yang timbul dari adanya jaringan perdagangan masyarakat Arab tersebut. Penulis hanya akan membatasi pada pembahasan tentang terbentuknya jaringan perdagangan masyarakat Arab di Batavia dan pengaruhnya terhadap berbagai sendi kehidupan dalam masyarakat Batavia.. Adapun rentang waktu atau batasan periode kajian yang penulis ambil adalah pada awal abad ke-20 atau lebih tepatnya tahun 1900-1942. Yang menarik untuk diteliti lebih mendalam karena pada tahun-tahun tersebut pemerintah kolonial menerapkan kebijakan politik etis dan pada tahun 1930-an Batavia mengalami depresi ekonomi yang melanda seluruh dunia sehingga sedikit banyak tentunya mempengaruhi perekonomian di Batavia itu sendiri. Selanjutnya yang menjadi objek dari kajian ini adalah Batavia. Hal ini dikarenakan penulis menganggap bahwa Batavia pada tahun tersebut juga mengalami perubahan sosial, budaya dan bangkitnya kesadaran politik berbagai kelompok etnis serta konflik yang sangat cepat dan beragam juga dipicu perkembangan ekonomi sehingga aktivitas perdagangan yang dijalankan betulbetul mengalami tantangan yang berat. Selain itu kedudukan Batavia sebagai pusat kota dan pusat pemerintahan dengan menjadi jantung perekonomian di Jawa.
14
b. Rumusan Masalah Untuk mempermudah penelitian, penulis terlebih dahulu merumuskan masalah sesuai dengan pembatasan tersebut. Di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana terbentuknya jaringan perdagangan masyarakat Arab di Batavia dan seperti apa pola harmonisasi masyarakat Arab dengan masyarakat lainnya di Batavia tahun 1900-1942 ? 2. Bagaimana pengaruh jaringan perdagangan masyarakat Arab terhadap kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi dan perkembangan Islam di Batavia tahun 1900-1942 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Tujuan pokok penulisan ini adalah; pertama, sebagai informasi tentang sejarah perekonomian di Nusantara yang dalam penelitian ini difokuskan pada jaringan perdagangan masyarakat Arab di Batavia tahun 1900-1942. Baik yang meliputi hubungan harmonisasi perdagangan dengan etnis lainnya, maupun pengaruh jaringan perdagangan masyarakat Arab terhadap perekonomian di Batavia. Kedua, sebagai sumbangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Sejarah Kebudayaan Islam. Ketiga, untuk mencapai gelar Sarjana Humaniora di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Manfaat Penulisan Adapun dalam penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
15
1. Memberikan manfaat bagi penulis dan para pencinta sejarah dalam pengembangan sejarah perekonomian di Nusantara, khususnya tahun 1900 – 1942 di Jakarta. 2. Bagi komunitas akademik, khususnya Fakultas Adab dan Humaniora dalam bidang kajian Sejarah Kebudayaan Islam dapat dijadikan bahan kajian Sejarah Perekonomian di Asia Tenggara.
D. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Wilayah Studi Mengingat fokus penelitian ini terletak pada jaringan ekonomi dan pengaruhnya yang berkembang di masyarakat Batavia secara dinamis, maka paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Adapun penggunaan paradigma kualitatif didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, landasan ontologis yang dijadikan dasar dalam penelitian ini adalah didasarkan pada kenyataan bahwa realitas sosial itu berwajah ganda sehingga interpretasi yang dihasilkan juga bersifat subyektif. Kedua, pemikiran, sikap, dan tindakan manusia itu bersifat integral dengan konteks sosialnya yang bersifat khusus dan lokal. Ketiga, penelitian jaringan perdagangan masyarakat Arab lebih terfokus pada kisaran diskursus sebagai bagian dari kebijakan ekonomi suatu pemerintahan yang dinamis. Keempat, penelitian ini menempatkan manusia sebagai instrumen utama sehingga memungkinkan dalam membuat pemetaan konsep terhadap beragam permasalahan yang diteliti.34
34
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001, cet. XIV), h. 8 – 11.
16
Karena penelitian ini merupakan penulisan sejarah maka metode yang digunakan adalah metode sejarah yang merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis atas rekaman dan peninggalan masa lampau.35 Untuk membantu analisa masalah, ada dua pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini: ekonomi dan sosiologis. Pendekatan pertama (ekonomi) lebih memfokuskan pada kajian ekonomi sebagai kegiatan dan keadaan perekonomian suatu masyarakat pada masa lampau. Sedangkan secara spesifik dapat dikatakan, sejarah ekonomi adalah studi tentang bagaimana perekonomian berevolusi dari sebuah sudut pandang sejarah. Sementara pendekatan kedua (sosiologis) lebih memfokuskan pada implikasi pengaruhnya dalam konteks kehidupan sosial yang berkembang di masyarakat yaitu kajian tentang manusia dan berbagai kegiatannya. Masalah besar dalam sejarah ekonomi menitikberatkan dalam dua kategori, yaitu keseluruhan pertumbuhan ekonomi sepanjang waktu dan faktorfaktor yang menentukan pertumbuhan itu (kemandekan atau kemerosotan), dan distribusi pendapatan dalam ekonomi tersebut (bagi arah pertumbuhan atau kemunduran). Sedangkan sejarah sosial merupakan kajian sejarah tentang masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat, yang mencoba untuk melihat bukti-bukti sejarah dari sudut pandang mengembangkan tren sosial. Dalam pandangan ini, hal itu mungkin mencakup bidang-bidang sejarah ekonomi, sejarah hukum dan analisis aspek-aspek lain dari masyarakat sipil yang menunjukkan evolusi norma-norma sosial, perilaku dan banyak lagi.
35
Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 2008), h. 32.
17
Dengan menyesuaikan poin-poin penting yang akan ditulis dan dijelaskan berdasarkan kejadian, suasana dan masanya. Selain itu dalam menganalisa faktorfaktor politik yang menjadi faktor pendukung dalam kajian ini, penulis mencermati berbagai kebijakan politik yang berlaku saat itu, yaitu kebijakan politik ekonomi Hindia Belanda. Akan tetapi dalam penelitian ini semua aspek akan saling berhubungan, karena hubungan antara suatu aspek dengan aspek yang lainnya sangat berpengaruh.36 2. Sumber data dan pengumpulan data Metode sejarah yang digunakan penulis yaitu metode deskriptif-analitis, yaitu temuan kategori-kategori yang sudah ada dikembangkan dalam bentuk deskripsi baru dan hubungan-hubungan antar kategori dalam hal ini dinamika sosial-ekonomi masyarakat Batavia mengenai kajian jaringan perdagangan masyarakat Arab di Batavia tahun 1900-1942. Secara umum, dalam metode penulisan sejarah ini sendiri dilakukan dengan empat langkah, yaitu heuristik, verifikasi atau kritik, interpretasi, dan historiografi.37 Heuristik adalah teknik mencari, mengumpulkan data atau sumber38. Dalam hal ini, penulis mengumpulkan data-data sebagai bahan penulisan dan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan pengumpulan dan penelusuran sumber data-data penulisan melalui pelacakan atas berbagai sumbersumber atau dokumen yang berhubungan dengan tema dalam skripsi ini seperti
36
Sartono Kartodirjo. Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1992). h. 87. 37 Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, (Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995), h. 109-110; Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, h. 44. Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 2008), h. 18-19. 38 Dudung Abdurahman. Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 54.
18
arsip-arsip, majalah, surat kabar, buletin, jurnal dan buku39. Dalam hal ini, penulis mengunjungi beberapa tempat seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), lembaga atau perkumpulan orang-orang Arab seperti Rabhitah Alawiyyah dan Yayasan Arrabitah Al-Alawiyah Daarul Aitam untuk mendapatkan data-data tentang aktivitas masyarakat Arab terutama kaitannya dengan aktivitas ekonomi. Di lembaga-lembaga tersebut penulis mendapatkan data-data berupa arsip-arsip kolonial catatan-catatan dalam naskah dan buku-buku. Perpustakaan seperti Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Perpustakaan Daerah Jakarta, Perpustakaan UI, Perpustakaan LIPI, Perpustakaan Freedom Insttitute dan koleksi pribadi yang ada kaitannya dengan pokok bahasan dalam skripsi ini. Dari perpustakaan-perpustakaan tersebut penulis mendapatkan berbagai sumber, mulai dari buku-buku yang berkaitan dengan tema dalam skripsi ini, maupun jurnal-jurnal dan surat kabar, seperti koran (Bintang Betawi, Berita Betawi, Bentara Hindia, Kabar Perniagaan, Doenia Dagang dan lain-lain) dan majalah (Insaf, Aliran Baroe, Al-Rabita dan lain-lain). Serta mengunjungi beberapa toko buku yang ada di wilayah Jabodetabek untuk memperkaya perbendaharaan sumber penulis, selain itu penulis juga menggunakan buku-buku dan berbagai media cetak koleksi pribadi serta mengakses media elektronik (situs internet dari website dan portal yang relevan) yang berhubungan dengan tema sebagai sumber, baik itu sumber primer maupun sekunder.
39
Sartono Kartodirdjo, “Metode Pengunaan Bahan Dokumen”, dalam Koentjaraningrat, (ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1979), h. 61-92.
19
Verifikasi (triangulasi) atau kritik sumber (intern & ekstern), yaitu menguji fakta40 dan data41 sejarah yang sudah dikumpulkan, dengan tujuan memeriksa atau mengecek keabsahan data. Semua sumber-sumber yang telah terkumpul baik berupa arsip-arsip, majalah, surat kabar, buletin, jurnal dan buku, selanjutnya penulis memilah dan memilih sumber tersebut yang terkait dengan tema untuk dilakukan kritik terhadap sumber tersebut agar dapat diidentifikasi keabsahannya, terutama yang berkaitan dengan sumber-sumber kolonial tentang keaslian sumber (otentitas). Selanjutnya adalah interpretasi, yakni upaya menafsirkan data berdasarkan perspektif sejarah sehingga fakta itu bisa dihadirkan sebagai kajian sejarah. Oleh sebab itu, interpretasi ini penulis lakukan untuk membuat sistematika penulisan berdasarkan peristiwa sejarah dalam hal ini adalah (jaringan perdagangan masyarakat Arab di Batavia tahun 1900-1942) 3. Analisis Data Pada tahap analisis data, akan ditempuh dua proses. Pertama, editing, kategorisasi, dan tipologisasi data. Pada tahap editing, beberapa data yang terkumpul akan dipilah dan diperiksa berdasarkan relevansi dengan kajian yang diteliti. Tahap kategorisasi ingin mengelompokkan setiap data ke dalam unit-unit analisis berdasarkan kesesuaian antara satu tema dengan tema lainnya sehingga menggambarkan keseluruhan analisis yang utuh. Sedang pada tahap tipologisasi, 40
Fakta sebenarnya merupakan produk dari proses mental atau memorisasi (sejarawan). Sebab itu fakta pada hakikatnya bersifat subjektif karena sejarah memuat unsur-unsur dan isi subjek. Baik pengetahuan maupun gambaran sejarah adalah hasil rekonstruksi pengarang, maka inklud di dalamnya memuat sifat-sifatnya, gaya bahasanya, struktur pemikirannya, pandangannya, dan lain sebagainya. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah., h. 14. 41 Data sebagai bahan memerlukan pengolahan, penyeleksian, pengkategorian, dengan merujuk kreteria tertentu. Dan kreteria ini sangat bergantung kepada subjek yang melakukan pengkajian. Misalnya, kuesioner hasil survey pedesaan memuat banyak data masyarakat pedesaan. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial, h. 17.
20
beberapa data yang sudah diproses pada tahap kategorisasi, akan dianalisis berdasarkan kecenderungan khusus dari data-data yang terkumpul, sehingga akan tergambar tipologi yang relatif komprehensif di dalamnya. Sedang yang kedua akan dilakukan kontekstualisasi data. Dalam hal ini, data-data yang sudah diproses (diolah) pada tahap pertama, akan dianalisis berdasarkan keragaman konteks yang ada di balik data. Dalam konteks penelitian ini, tema pokok seputar jaringan perdagangan masyarakat Arab, akan dianalisis berdasarkan konteks ekonomi, sosial-budaya, dan sosial-politik. Dengan demikian, diharapkan data yang sudah dianalisis melalui proses kontekstualisasi ini, akan mampu memberikan gambaran yang lebih utuh terhadap data-data penelitian yang ada di dalamnya. Fase terakhir dalam metode sejarah adalah historiografi, yaitu menuliskan hasil penafsiran penulis menjadi sebuah karya sejarah yang dalam bentuk skripsi sejarah. Adapun sumber pedoman yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini adalah buku pedoman penulisan karya ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh CeQDA, dengan harapan bahwa penulisan ini tidak hanya baik dari segi isi, tetapi juga baik dari segi metode penulisan.42
E. Landasan Teori Penelitian ini bertolak kepada pendapat yang digunakan oleh Heichelheim dalam bukunya yang berjudul Gesichtspunkte43, tentang peranan ekonomi dalam sejarah dunia, yaitu:
42
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta; CeQDA, April 2007). 43 Dalam J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social Economic History, terj. J.S. Holmes dan R. van Marie (Bandung: Van Hoeve/Sumur Bandung), h. 9.
21
“Three gigantic world-encompassing problems – that of the state, that of the people, that of economy – force the thinking elite of the turbulent fist half of twentieth century A.D. to a fundamental vedifinition. In all three fields in their interwonenness and division, general laws valid for every human groups and laws pertaining to special aspects of life have to be laid down for the whole surface of the present earth, concatenated in population but yet not uniform. The whole range of world history from the very beginning on also needs to be reworked in these sense, from a critical distance. The worlds economic history, above all, requires a new balance of world history and specialized history is valuable possibilities in understanding the human spirit are not to escape it.” (Tiga bidang terbesar di dunia yang dapat menimbulkan permasalahan, yaitu – dilihat dari pemerintahan, dilihat dari masyarakat, dilihat dari ekonomi – memberi tekanan kepada para elite yang menyebabkan kekacauan di awal abad ke duapuluh dalam satu permasalahan pokok. Di semua tiga bidang tersebut yang mencakup pengelompokkan dan bagian-bagiannya, peraturan umum yang sah untuk kelompokkelompok manusia dan tiap-tiap hukum yang berhubungan dengan aspek-aspek khusus dari kehidupan harus diletakkan untuk seluruh permukaan bumi masa kini, terkonsentrasi di dalam populasi tetapi tidak seragam. Keseluruhan cakupan dari sejarah dunia sejak dari awal juga perlu untuk dikaji lagi dalam hal, ini dari satu jarak genting. Sejarah ekonomi dunia, semua itu, memerlukan keseimbangan baru dari sejarah dunia dan sejarah khusus adalah berbagai kemungkinan yang berharga di dalam pemahaman akan semangat manusia, dan tidak terlepas dari itu).
Teori ini menyebutkan bahwa peranan posisi manusia ditentukan oleh tiga bidang besar yang sangat strategis, yaitu sistem pemerintahan, masyarakat dan ekonomi.
Sehingga
peranannya
dapat
berpengaruh
untuk
menimbulkan
permasalahan dan kesejahteraan yang cenderung juga membuat suatu perubahan di dalam sebuah pemerintahan, kehidupan masyarakat dan tata perekonomiannya. Oleh sebab itu penulis mencoba mengaplikasikan teori tersebut dalam melihat kondisi jaringan perdagangan masyarakat Arab di Batavia pada tahun 1900-1942.
F. Tinjauan Pustaka Dari penelusuran awal yang telah penulis lakukan, belum ditemukan adanya studi yang bersifat komprehensif yang melihat peranan dan jaringan dagang masyarakat Arab di Batavia tahun 1900-1942. Memang ada beberapa studi tentang aktivitas orang-orang Arab di Nusantara, misalnya oleh L.W.C van den
22
Berg dalam tulisannya Orang Arab di Nusantara44 buku ini adalah salah satu sumber terpenting bagi penulisan sejarah komunitas atau golongan Arab di Indonesia. Melalui penelitiannya yang mendalam dan cukup objektif, ia berhasil menelusuri seluk beluk tentang kehidupan komunitas orang Arab baik di Hindia Belanda maupun negeri asal mereka, Hadhramaut. Melalui buku ini kita dapat mengetahui bahwasanya komunitas Arab telah memainkan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari ekonomi, sosial, politik dan budaya yang menjadi warisan bagi generasi selanjutnya. Namun dalam tulisannya ini ia tidak menyinggung pola hubungan dagang yang terjalin antara etnis Arab dengan etnis yang lainnya. Buku Natalie Mobini Kesheh yang berjudul Hadhrami Awakening Kebangkitan Hadhrami di Indonesia45, merupakan terjemahan dari karya Natalie Mobini Kesheh dengan judul Hadhrami Awekening yang merupakan kajiannya tentang keturunan Arab Hadhramaut dengan objek penelitian di Nusantara (Indonesia). Di dalamnya dipaparkan bagaimana asal-usul masyarakat Hadhrami Indonesia dari mulai kedatangannya hingga menjadikan tempat bernaung bagi kaum mereka, dari masa ke masa hingga kebangkitan kaum Hadhrami, dinamika serta pola hidup mereka. Kemudian peranan komunitas keturunan Arab bagi bangsa Indonesia sendiri. Natali berusaha menguraikan dan menganalisa tahapan pencaharian identitas dari komunitas ini dalam hubungan dengan komunitas lainnya di Nusantara, ia membagi pencarian identitas ini dalam tiga tahapan besar, yaitu ketika komunitas Arab mengidentifikasikan diri dengan Islam, lalu
44
L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010). 45 Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening (Kebangkitan Hadhrami di Indonesia), terj. Ita Mutiara dan Andri, (Jakarta: Akbar/Media Eka Sarana, 2007).
23
kemudian mengikatkan diri dengan Arab (Hadhramaut), dan akhirnya kebangsaan Indonesia. Jean Gelman Taylor dalam bukunya, Kehidupan Sosial di Batavia46 memaparkan perjalanan dan perkembangan suatu masyarakat kolonial yang dibentuk oleh orang-orang Belanda di berbagai wilayah pesisir Asia, termasuk Batavia. Karya ini menyoroti berbagai aspek dari kehidupan kolonial yang jarang diulas buku-buku sejarah tentang Indonesia, perhatiannya lebih di fokuskan pada interaksi antara berbagai kelompok orang Asia dan Eropa yang telah menjadi pendorong bagi munculnya suatu kebudayaan baru. Akan tetapi yang dikaji dalam buku ini sedikit sekali membahas tentang masyarakat Arab, namun lebih kepada masyarakat Batavia yang majemuk. Kemudian Susan Blackburn, dalam bukunya Jakarta : Sejarah 400 Tahun47 yang mengkaji sejarah kota dan sosial masyarakat Jakarta sepanjang kurang lebih empat abad, sejak masih bernama Sunda Kelapa hingga menjadi Jakarta. Selama jangka waktu itu pula kota yang semula berfungsi sebagai kota pelabuhan dan perdagangan kini telah menjadi ibukota Indonesia, mengalami pergantian penguasa beberapa kali serta perkembangan sosial dan fisik kota. Pada abad ke-19, percampuran berbagai kelompok etnis yang berbeda dan perubahan keseimbangan dalam berbagai segi kehidupan para imigran telah menghasilkan sebuah masyarakat Batavia baru. Namun tidak secara rinci dijelaskan aktifitas dagang masyarakat Arab.
46
Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia (Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur), terj. Tim Komunitas Bambu, (Jakarta : Masup Jakarta, 2009). 47 Susan Blackburn, Jakarta : Sejarah 400 Tahun, terj. Gatot Triwara, (Jakarta : Masup Jakarta, 2011).
24
Ada pula kajian historis Azyumardi Azra yang menarik adalah Jaringan Ulama Timur Tengah dan Ulama Melayu-Nusantara pada Abad ke-17 dan 18.48 Fokus kajian tentang diskursus intelektual ulama Melayu-Nusantara pada waktu itu. Hasilnya ditemukan bahwa ada semacam jaringan ulama kosmopolit yang berkomitmen untuk sebuah upaya pemurnian keagamaan secara global di dunia Islam dengan cara evolusi, termasuk di wilayah Melayu-Nusantara. Sayangnya, studi ini kurang banyak menyentuh aspek ekonomi yang ditekankan dalam buku ini lebih kepada jaringan intelektual. Studi lebih lanjut yang bersifat spesifik tentang Islam dengan mengambil subyek wilayah Jakarta dilakukan oleh Abdul Aziz,49 Studinya dilakukan untuk menjawab pertanyaan faktor apa saja yang membentuk identitas orang Betawi sebagai sebuah entitas kemasyarakatan. Temuannya bahwa peran Islam sangatlah signifikan dalam konteks membentuk identitas kebetawian melalui pranatapranata sosial keagamaan yang dibangun elite masyarakatnya. Akan tetapi yang menjadi fokus kajian di dalamnya kurang menyinggung tentang aspek perekonomian yang dilakukan masyarakat Arab di Batavia. Studi tentang perekonomian yang ditulis oleh John Ingleson; Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial.50 Buku ini tidak hanya semacam refleksi dan masalah perburuhan yang menjadi benang merah nasib perjalanan hidup mereka, tetapi juga dinamika perkotaan kolonial dengan segala persoalan sosialnya termasuk soal Depresi Ekonomi 1930-an. Berbagai aspek
48
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama : Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII (melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia), (Bandung: Mizan, 2004). 49 Lihat Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). 50 John, Ingleson. Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial, ter; Iskandar P. Nugraha, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013).
25
yang diangkat di dalam buku ini sengaja disusun sedapat mungkin secara kronologis, di samping penyajian aspek tematis untuk memberikan gambaran utuh dan detail mengenai dinamika dan nuansa gerakan serta perjuangan buruh di Indonesia. Dalam buku ini juga di diskusikan mengenai dinamika kota yang memberikan suatu gambaran akan cikal bakal dari gerakan buruh yaitu kehidupan dan kondisi kerja di masa kolonial pada awal tahun 1910 dan 1920-an. Dengan demikian dari beberapa penelusuran penulis yang dikemukakan di atas belum terlihat menempatkan subyek jaringan perdagangan masyarakat Arab dan pengaruhnya terhadap perekonomian kota di Batavia pada tahun 1900-1942 dengan fokus aktivitas perekonomian dan tantangan kebijakan pemerintah kolonial di Batavia. Jadi, studi penulis ini melengkapi studi-studi yang sudah dilakukan peneliti sebelumnya.
G. Sistematika Penulisan Untuk
menyajikan
laporan
dan
penulisan
penelitian,
sekaligus
memberikan gambaran yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung dalam skripsi ini. Penulis menyusun sistematika penulisan ini ke dalam V bab beserta sub-babnya masing-masing dengan urutan sebagai berikut. BAB I, Membahas Pendahuluan, yang di dalamnya berisi Latar Belakang Masalah, Permasalahan (pembatasan dan rumusan masalah), Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, Kerangka Teori, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan. BAB II, Membahas gambaran umum kota Batavia 1900-1942, yaitu terkait Luas Wilayah dan Letak Geografis, Kondisi Masyarakat Batavia, Masyarakat
26
Arab di Batavia, serta Kondisi Perekonomian dan Kebijakan Ekonomi Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. BAB III, Membahas jaringan perdagangan masyarakat Arab, mulai dari Dinamika Perekonomian Masyarakat Arab di Batavia (Lapangan Bisnis Perdagangan dan Jasa), Relasi Bisnis : Pemerintah Kolonial, Tionghoa, dan Pribumi. Jaringan Perdagangan Masyarakat Arab Batavia dengan Masyarakat Luar Batavia, serta Pertentangan dengan golongan Tionghoa, Pemerintah Kolonial, dan golongan Pribumi. BAB IV, Dalam bab ini persoalan-persoalan yang menjadi kajian adalah pengaruh jaringan perdagangan masyarakat Arab dalam beberapa aspek seperti munculnya perubahan kehidupan Sosial, Budaya, Politik, Ekonomi, dan perkembangan
agama
Islam,
berkembangnya
kaum
intelegensia,
serta
berkembangnya kelas Sosial-Ekonomi. BAB V, mengandung dua sub-bab, yaitu kesimpulan yang merupakan pandangan penulis tentang hasil penelitian yang telah ditempuh. Kesimpulan merupakan hasil akhir yang dapat penulis berikan sebagai puncak dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan. Sub-bab yang kedua; saran-saran yang merupakan anjuran penulis kepada para akademisi yang memiliki perhatian terhadap penelitian Sejarah dan Kebudayaan Islam, terutama yang berkenaan dengan aktivitas ekonomi masyarakat Arab.
27
BAB II KONDISI KOTA BATAVIA 1900 – 1942
A. Luas Wilayah dan Letak Geografis Secara administratif Karesidenan Batavia, menurut Reglement 1854, merupakan suatu Residentie (Karesidenan) yang dipimpin oleh seorang Residen. Daerah administratif Residentie Batavia terbagi pula secara administratif dalam lingkungan-lingkungan yang lebih kecil yang disebut Afdeeling. Sampai permulaan abad ke-20, Residentie Batavia terdiri atas: Afdeeling Stad en voorsteden, Afdeeling Meester Cornelis, Afdeeling Tangerang, Afdeeling Buitenzorg, dan Afdeeling Krawang. Afdeeling Stad en voorsteden ini dibagi lagi menjadi 4 districken, yaitu: Penjaringan, Pasar Senen, Mangga Besar dan Tanah Abang. Kota Batavia merupakan ibukota Residentie Batavia serta tempat pusat kedudukan pemerintahan Hindia Belanda.1 Perkembangan selanjutnya pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 Juli 1903 mengeluarkan Wet Houdende Decentralisatie van het bestuur in Nederlandsche-Indie (Decentralisatiewet) atau biasa disebut Undang-undang Desentralisasi.2 Undang-undang ini membuka kemungkinan adanya hak dan kewajiban mengurus pemerintah daerah oleh Pemerintah Daerah. Berdasarkan undang-undang ini, mulai tanggal 1 April 1905 di ibukota Batavia dibentuk 2 Kota praja (gemeente). Yaitu gemeente Batavia dan gemeente Meester-Cornelis. Wilayah Kota Praja merupakan tanah-tanah partikelir yaitu tanah bukan untuk umum bukan milik pemerintah atau dinas yang kepemilikannya sudah diserahkan 1
The Liang Gie, Sedjarah Pemerintahan Kota Djakarta (Jakarta: Kotapraja Djakarta Raja, 1958), h. 31. 2 Staatblad van Nederlandsce Indie tahun 1903, No. 329.
28
kepada pemerintah, seperti Menteng, Gondangdia, Duku, Karet, Bendungan, Kramat Lontar, dan Petojo.3 Batas-batas wilayah Kota Praja Batavia meliputi Afdeeling Stad en Voorsteden van Batavia dengan pengecualian pulau-pulau di Teluk Batavia dengan luas sekitar 125 kilometer persegi. Pembentukan gemeente yang pertama adalah Gemeente Batavia tahun 1905. Meskipun sudah terbentuk gemeente jabatan
Walikota
(burgemeente)
belum
diangkat,
sampai
tahun
1916
pemerintahan di Batavia masih ditangani oleh Dewan Kota Praja (gemeente raad) yang diketuai Residen Batavia. Berdasarkan Instelling-Ordonantie Staatblad van Nederlansche-Indie No.204/1905 tanggal 18 Maret 1905 dan berlaku 1 April 1905, gemeente tidak berwenang mengurusi militer, mengawasi jalan kereta api negara, bahkan pelabuhan Tanjung Priok. Jangkauan kerja Gemeente Batavia lebih kepada masalah lokal pemeliharaan, perbaikan, pembaruan dan perencanaan kota, seperti memelihara dan menyirami jalan, perencanaan jalan-jalan umum, besar, lapangan, pertamanan, mengawasi kuburan, menaikkan taraf kesehatan umum, memajukan transportasi umum, memperindah kota, dan melengkapi kekurangan peraturan lokal. Urusan kemiliteran, pengawasan jalan kereta api, dan Pelabuhan Tanjung Priok masih tetap diurus langsung oleh Gubernur Jenderal.4 Tidak lama setelah penerimaan status sebagai Kota Praja, Batavia mulai menata perlengkapan dan fasilitas yang diperlukan. Penataan itu meliputi pembentukan struktur dan lembaga pemerintahan daerah yang diperlukan memulai dan melancarkan pengembangan kota. Dalam rangka penataan birokrasi ini selain Kota Praja (Kota Negeri) Batavia, juga dibentuk Dewan Kota Praja 3
Staatblad van Nederlandsce Indie tahun 1905, No. 204. S. Z. Hadisutjipto, Sekitar 200 tahun Sejarah Jakarta, (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI, 1979), h. 74. 4
29
Batavia. Susunannya terdiri dari 25 anggota, yaitu 15 orang Eropa, 7 orang pribumi (Hindia Belanda), dan 3 orang timur asing. Pada tahun 1917 jumlah anggota Dewan Kota Praja diubah menjadi 27 orang. Pada awalnya anggota dewan ini dipilih dan ditunjuk. Namun, dengan adanya penambahan tersebut, ditetapkanlah bahwa semua anggota harus dipilih untuk masa enam tahun, yang pada tahun 1925 diubah menjadi empat tahun.5 Sebagai Ketua Dewan Kota Praja Batavia ditunjuklah Asisten Residen Batavia, Kreischer (1905), dan diganti W.J. Ketjen (1907-1910). Sistem pemerintahan atau kepengurusan administratif berdasarkan Staatsblad 1908 No. 79 dibagi menjadi dua distrik, yang masing-masing distrik membawahi Onderdistrik. Yaitu Distrik Batavia membawahi Onderdistrik Mangga Besar, Penjaringan, dan Tanjung Priok. Sedangkan Distrik Weltevreden membawahi Onderdistrik Gambir, Senen, dan Tanah Abang.6 Sementara para Onderdistrik masing-masing membawahi beberapa Kampung, ada 27 Kampung. Kepala dari tiap-tiap distrik adalah Wedana (kepala distrik), sementara Onderdistrik Mangga Besar dan Onderdistrik Gambir di bawah wewenang dan diatur oleh Asisten Wedana. Kekuasaan yang mengatur Wedana di tangan Patih (wakil tertinggi yang akan mengawasi pejabat dibawahnya, yaitu Wedana dan Lurah) secara kekuasaan polisi/keamanan Batavia, termasuk juga Meester Cornelis dibagi menjadi 2 Afdeeling yang masing-masing Afdeeling dibagi menjadi 3 dan 4 seksi bagian.7
5
Staatblad van Nederlandsce Indie tahun 1917 No. 587 dan Staadblad van Nederlandsce Indie tahun 1925 No. 674. 6 S. Z. Hadisutjipto, Sekitar 200 tahun Sejarah Jakarta, h. 80. 7 Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. (Jakarta: Masup Jakarta, 2007), h. 196.
30
Setelah
Gubernur
Jenderal
Herman
Willem
Daendels
berhasil
memindahkan kota ke Weltevreden, arus migrasi ke Batavia semakin meningkat. Penduduk pribumi tinggal di daerah pinggiran Weltevreden, seperti Senen dan Kemayoran, bekerja sebagai buruh bagi pegawai kolonial di Weltevreden. Meningkatnya jumlah penduduk tahun 1930 terlihat ketika dilaksanakan sensus pertama kalinya di Hindia Belanda. Jumlah penduduk Batavia sebanyak 532.205 orang.8 Keadaan kota yang terlalu pengap, rnembuat penduduk berpindah keluar tembok, terutama ke daerah Weltevreden. Perpindahan penduduk ke arah Selatan bertambah besar setelah Gubernur Jenderal van Imhoff memberi contoh dengan mendirikan gedung di Buitenzorg (sekarang Kota Bogor), yang di kemudian hari diresmikan sebagai Istana Gubernur Jenderal. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terjadi peningkatan jumlah kedatangan orang Belanda dan orang Eropa lainnya ke Hindia Belanda. Hal tersebut memberi warna tersendiri bagi Kota Batavia, terutama menjadi bergaya lebih Eropa, hal itu terlihat dari rumahrumah yang dibangun. Kawasan Weltevreden telah dibangun seluruhnya, sehingga pemerintah kotapraja Batavia mulai mengembangkannya ke arah Selatan dengan membeli tanah partikelir Menteng (1908) dan Gondangdia (1920).9 Pada tahun 1922 dikeluarkan Wet op de Bestuurshervorming (UndangUndang Pembaruan Pemerintahan)10 yang mana penyesuaian dari UndangUndang Desentralisasi yang berjalan kurang memuaskan. Menurut undangundang tersebut, wilayah Hindia-Belanda dibagi dalam satuan-satuan provinsi,
8
Volkstelling 1930, Vol. I, Tabel I dan II. Uka Tjandrasasmita (dkk), Sejarah Perkembangan Kota Jakarta, (Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran, 2000), h. 38. 10 Staatblad van Nederlandsce Indie tahun 1922, No. 216. 9
31
lengkap dengan dewan provinsinya yang mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Pulau Jawa dan Madura di bedakan atas tiga daerah otonom, yaitu Provinsi, Afdelling, dan Gemeente yang diatur sesuai peraturan masing-masing. Begitu pun dengan Kota Praja Batavia, sejak 1 Oktober 1926 statusnya berubah menjadi Stadsgemeente Batavia (kota praja).11 Stadsgemeente Batavia merupakan daerah otonom yang setingkat di bawah Provinsi Jawa Barat. Kemudian pada tahun 1935, dikeluarkan suatu ordonansi yang termuat dalam Stb. 1934 no. 687 yang mulai berlaku 11 Januari 1935 mengenai perluasan daerah administratif Batavia.12 Stadgemeente Meester Cornelis (Jatinegara) dibubarkan dan diintegrasi ke wilayah Batavia13. Pada tahun 1930-an Batavia berkembang menjadi suatu kota kolonial modern (een moderne koloniale stad). Berdasarkan ciri-cirinya, Kota Batavia yang modern dapat digolongkan ke dalam 4 bagian, namun dengan batas antar bagian yang tidak tajam yaitu Kawasan Kota Tua (oude Beneden Stad termasuk Molenvliet), Weltevreden (yang disebut Batavia-Centrum) Jalan Raya Kramat-Salemba-Matraman (termasuk Meester Cornelis), bagian Batavia yang paling modern yakni Gondangdia Baru dan Menteng. Perluasan kota Batavia sampai tahun 1940 menunjukkan poros UtaraSelatan semakin kuat, faktor utama yang mempengaruhi mobilitas adalah poros transportasi yang menghubungkan pusat kota dengan daerah luarnya. 14 Pada tahun 1942, kekuasaan Belanda berakhir setelah masuknya tentara pendudukan Jepang. Masa ini merupakan upaya gencar-gencarnya usaha pemerintah pendudukan
11
Staatblad van Nederlandsce Indie tahun 1922, No. 366. Staatblad van Nederlandsce Indie tahun 1934, No. 687. 13 Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar, h. 211. 14 Hadi Sabari Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 12
43.
32
Jepang menghancurkan pengaruh Eropa, segala hal yang berbau Eropa dilarang, pada akhirnya nama Batavia pun diganti lagi menjadi Jakarta.15
B. Kondisi Masyarakat Batavia Apabila melihat struktur kota di Asia Tenggara, kota umumnya dibangun menghadap ke laut yang memiliki tujuan ekonomi agar dapat terpenuhi, kecuali Banten yang mempertahankan struktur kota lama untuk tujuan kosmis jagat raya Rajanya. Dibandingkan dengan daerah Arab dan Eropa, struktur kota di Asia Tenggara lebih tertata semacam petak catur. Konsep kota diatur oleh ideologi Budha
yang
mengharuskan
ada
pemisahan
kawasan
kerajaan
dengan
daerah pemukiman rakyatnya dan kota harus dialiri oleh sungai atau parit, seperti yang dilakukan oleh Raja Burma, Bayinnaung, kota Ayyutaya, Makasar dan Banten. Pada umumnya kota-kota di Asia Tenggara dari waktu ke waktu berfungsi sebagai kota dagang yang berkembang pesat sebagai pusat urban, termasuk Batavia. Penduduknya tak hanya para pedagang dan para pelaut yang nomaden, tetapi sejumlah orang pribumi yang bergantung pada aristokrat komersial yang memimpin kota tersebut. Kota-kota semacam ini berkembang menjadi salah satu tipe kota yang amat berlainan dengan kota-kota yang ada di Barat ataupun di daratan Cina yang jumlah penduduknya kecil. Taksiran mengenai jumlah
15
Lihat dalam encyclopedia Jakarta; portal resmi Provinsi DKI Jakarta, http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/168/batavia diakses pada tanggal: 9 Februari 2014.
33
penduduk belum sepenuhnya dapat dipercaya karena para musafir yang membuat taksiran itu hanya berdasarkan jumlah rumah (keluarga) dan jumlah tentara.16 Sejak masih bernama Jayakarta, kota Batavia merupakan bandar terpenting di pantai utara Jawa Barat. Kota ini telah dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai pelosok Nusantara maupun dari berbagai negeri, seperti Cina, Keling, Portugis, Belanda dan Inggris. Sebagian di antara mereka tinggal dan menetap selama berdagang atau menunggu musim yang baik untuk kembali ke tempat asal mereka, sedangkan sebagian lagi menetap dan bermukim untuk jangka waktu yang lama. Ditinjau dari komposisi penduduk yang tinggal di Batavia, mereka terdiri dari berbagai bangsa dan suku bangsa. Seperti Belanda, Inggris, Portugis, Mestizo, Mardiker, Cina, Armenia, Parsi, Moor, Benggala, Tonkin, Arakan, Timor, Jawa, Makasar, Ambon, Ternate, Melayu, Bugis, Mandar, Buton, Sumbawa dan Bima.17 Prancis, Jepang, Arab, Papanger dan orang-orang Afrika juga ada, walaupun jumlah mereka sedikit. Selama periode kolonial ini, ras dan agama merupakan dasar terpenting dalam pelapisan sosial, alokasi pekerjaan, dan berbagai kesempatan yang lainnya.18
16
Anthony Reid, “The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to Seventeenth Centuries”, JSEAH II (2), 1980: 242; Anthony Reid, “Southeast Asian Cities Before Colonialodism”. Hemisphere vol.: 28 (3), Nov.-Des. 1984; h. 146. Lihat juga pada karangannya yang berjudul; Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. 17 Tawalinuddin Haris, Kota dan Masyarakat Jakarta; Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (Abad XVI-XVIII), (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2007), h. 70. 18 Pauline Dublin Milone, Queen City of The East, The Methamorphosis of Colonial Capital. (Michigan: Aan Arbor, University Microfilm, 1975), h. 151 dan 165.
34
Tabel 1 Data penduduk Residen Batavia pada sensus terakhir yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda: Regenstschap/ Inlanders/ Kabupaten Pribumi
Europanen/ Chineezen/ Eropa Cina
Batavia Mr. Cornerlis Krawang Totaal
31.636 5.074 1.063 38.773
802.275 649.396 996. 651 2.441.322
112.261 25.637 12.389 150.487
Andere Vr. Oost./ Timur Asing 6.587 1.668 872 9.127
Totaal/ Total
952.789 675.975 1.010.975 2.639.709
Karesidenan Batavia termasuk karesidenan di Jawa yang terpadat penduduknya. Kepadatannya antara 300-500 per km2. Di antara 10 distrik terdapat 4 distrik yang penduduknya lebih dari 200.000 jiwa, yaitu distrik-distrik Weltevreden, Tangerang, Meester Cornelis dan Bekasi seperti terpaparkan dalam tabel di atas.19 Masyarakat Batavia dapat dikatakan adalah sebuah masyarakat campuran, yang penduduknya multi etnis dan ras yang hadir dan menetap di kota itu. Milone mengelompokkan penduduk dan masyarakat kota Batavia menjadi lima golongan. Pertama, orang-orang Eropa, termasuk para pejabat VOC. Kedua, adalah warga kota merdeka, terdiri atas Vrijburger, Eurasian, Mardijker, Papanger, orang Jepang, orang Indonesia Kristen, dan beberapa orang Afrika. Ketiga, adalah orang Cina, Arab, dan India. Keempat, adalah orang Melayu. Sedangkan yang kelima, adalah orang Indonesia non-Kristen.20 Yang dimaksudkan dengan orang Eropa adalah orang-orang Eropa yang dilahirkan di Eropa dan di luar Eropa yang menetap di Batavia. Umumnya, orang19
Memori Residen Batavia (P. H. Willemse), 26 Oktober 1931. Lihat Memori Serah Jabatan 1931-1940 Jawa Barat (I), Arsip Nasional Indonesia, Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No. 11, (Jakarta: ANRI 1980). 20 Pauline Dublin Milone, Queen City of The East, h. 147.
35
orang Eropa yang dilahirkan di luar Eropa tidak menduduki posisi tinggi dalam struktur VOC dibandingkan orang-orang Eropa yang dilahirkan di Eropa. Termasuk ke dalam golongan ini adalah orang-orang Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan Portugis. Seperti
halnya
pada
masyarakat
perkotaan,
kelompok-kelompok
masyarakat Batavia menempati daerah-daerah tersendiri yang terpisah yang mengacu pada kelompok etnis tertentu. Misalnya, Kampung Ambon, Bugis, Makasar, Bandan, Bali, Tambora, Pakojan dan Manggarai. Dimana dalam kelompok etnis ini dipimpin oleh seorang atau lebih kepala kampung yang disebut Kapitein. Biasanya, Kapitein berasal dari kelompok mereka sendiri dan diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda berdasarkan kriteria tertentu, antara lain pengaruh yang bersangkutan terhadap masyarakatnya.21
C. Masyarakat Arab di Batavia Hampir semua orang Arab yang ada di Nusantara berasal dari Hadhramaut (Yaman Selatan atau bangsa Hadhrami). Kaum Hadhrami yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat, India. Awalnya, kaum Hadhrami yang bermigrasi ke Gujarat adalah kaum Sayid. Di Hadhramaut sendiri ada empat golongan masyarakat, yakni golongan Sayid, golongan Syekh (elit agama pribumi),
21
Para Kapitein mempunyai kekuasaan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kecil dalam kelompok penduduk sendiri. Mereka juga berperan dalam masalah pengadilan, interpreter, dan sebagai penasehat pemerintah kolonial. Dengan diperkenalkannya jabatan wijkmeester, kapiten-kapiten orang Eropa menjadi lemah (bahkan tidak berfungsi lagi), sedangkan kapitenkapiten pribumi masih terus ada sampai abad ke-18, bahkan untuk orang Cina dan Arab sampai abad selanjutnya. Milone menyebut tipe kepemimpinan semacam itu sebagai officer system, yang diambil pola kepemimpinan kota-kota pelabuhan tradisional dengan mempergunakan gelar militer (Milone, Queen City of The East, h. 273).
36
golongan Gabili (warga suku-suku), dan Masakin (golongan budak).22 Perjalanan orang-orang Arab Hadhramaut ke Nusantara pada awalnya dilakukan dengan menggunakan kapal kayu, mula-mula mereka harus ke pelabuhan Al-Mukalla atau Al-Syhir, kemudian berlayar ke Malabar di India Selatan, dari sana ke Sri Langka, lalu ke Aceh atau Singapura kemudian, sebagian besar menetap di pulau Sumatera, terutama di Palembang, sedangkan yang lainnya menyebar ke berbagai kepulauan Nusantara lainnya, termasuk diantaranya ke Kalimantan, Sulawesi dan ke pulau Jawa.23 Perjalanan itu memakan waktu berbulan-bulan. Kedatangan masyarakat Arab dari Hadhramaut secara massal terjadi sejak pembukaan Terusan Suez pada 1870, yang mana mulai saat itu sudah ada jalur lalu lintas kapal uap dari Eropa ke Timur Jauh. Dengan adanya kapal laut itu keadaan menjadi lebih mudah dan cepat, tetapi lebih mahal. Kaum pendatang itu umumnya laki-laki. Mereka kemudian menikah dengan perempuan setempat. Hingga pendudukan Jepang, para pendatang tetap memelihara hubungan erat dengan kerabat mereka di Hadhramaut.24 Sebagai sebuah komunitas, masyarakat keturunan Arab sudah sejak lama bermukim di wilayah Batavia. Setidaknya selain bertujuan untuk berdakwah atau menyebarkan agama Islam, migrasi mereka ke Batavia juga mempunyai motif ekonomi untuk melebarkan jaringan perdagangan. Wajar jika sepak terjang komunitas Arab, baik di ranah sosial keagamaan ataupun ekonomi sangat diperhitungkan bagi pemerintah Hindia Belanda. Jumlah orang Arab tidak pernah 22
L.W.C. van den Berg, Le Hadramout et les colonies arabes dans l’archipel indien. (Batavia: Impremerie du Gouvernement, 1886) h. 32-48. Lihat pula Abdallah S. Bujra, The politics of stratification; A study of political change in a South Arabian town. (Oxford: Oxford University Press, 1971), h. 13-53. 23 M. Hasyim Assagaaf, Derita Putri-putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 120-121. Lihat juga Alwi Shihab, Republika - Jumat, 22 September 1995, “Sejarah Kedatangan Arab Hadhramaut ke Indonesia”, h. 8. 24 Hasyim Assagaaf, Derita Putri-putri Nabi, h. 121-122.
37
melebihi beberapa ratus orang, tetapi kehadiran mereka sangat terasa. 25 Dalam beberapa hal, mereka menggantikan orang Moor atau orang India dari abad sebelumnya yang jumlahnya semakin berkurang karena perdagangan dengan India terhenti akibat penaklukan oleh Inggris. Masyarakat Arab di Batavia merupakan sebuah komunitas minoritas yang dikategorikan sebagai golongan orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) bersama dengan orang–orang Cina dan orang asing Asia lainnya. Keberadaan mereka kemudian dikelompokkan pada sebuah wilayah, seperti komunitas– komunitas asing lainnya. Selain orang Cina, orang Arab merupakan golongan minoritas terpenting kedua di Batavia. Sayangnya, kajian historis atas orang Arab masih sedikit. Hal ini dikarenakan mungkin jumlah dianggap kecil mereka dibandingkan orang Cina. Tabel 2 Penduduk Arab di Indonesia 1860-193026 (dibulatkan) Tahun 1860 1870 1880 1890 1900 1905 1920 1930
Jawa & Madura 6.000 8.000 11.000 14.000 18.000 19.000 28.000 42.000
Indonesia 9.000 13.000 16.000 22.000 27.000 30.000 45.000 71.000
Sumber: Justus M. van der Kroef, “The Arabs in Indonesia”, Middle East Journal Vol. 7, No. 3 (Summer, 1953), hal. 300.
Seperti yang dijelaskan di bagian pendahuluan, Van den Berg mengungkapkan bahwa para navigator dan pedagang Arablah yang telah memperkenalkan Islam di Nusantara. Ia memaparkan, Aceh menjadi tempat pertama yang mereka singgahi, kemudian Palembang, lalu pada abad ke-18 di 25
Tentang orang Arab di Batavia, lihat Milone, “Queen City of the East”, h. 212-213. Lihat dalam Suratmin, Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2014), h. 10. 26
38
Pulau Jawa. Sebelum tahun 1859, tidak tersedia data yang jelas mengenai jumlah orang Arab yang bermukim di Nusantara. Dalam beberapa catatan, mereka dirancukan dengan orang Benggali dan orang asing lainnya yang beragama Islam. Sejak 1870, pelayaran dengan kapal uap antara Timur Jauh dan Arab mengalami perkembangan pesat sehingga perpindahan penduduk dari Hadhramaut menjadi lebih mudah. Sejak pelayaran melalui kapal uap, umumnya tidak lagi melalui Aceh, tapi Singapura dan Batavia. Menurut statistik (1885), di Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, dan Madura.27 Tabel 3 Populasi Penduduk dalam berbagai tahun (dalam ribuan)28 Tahun
Indonesia
Eropa
Cina
Arab
1860 1870 1880 1890 1900 1905 1920 1930
37.348 48.300 59.138
44 49 60 74 91 95 168 240
221 260 344 461 537 563 809 1.233
9 12 16 22 27 30 45 71
Asia Lain 22 45
Jumlah 49.344 60.727
Sumber : Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, 1965. h. 386.
Salah satu tempat yang menjadi pusat dakwah orang Arab adalah di Batavia. Berdasarkan catatan dalam Regeering Almenak
bahwa jumlah
masyarakat Arab di Nusantara sampai tahun 1879 berjumlah 14791 jiwa. Khusus di Batavia berjumlah 866, lebih kecil jumlahnya jika dibanding tahun 1871 berjumlah 1039 jiwa.29 Belum dikaji secara mendalam, mengapa terjadi
27
L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), h. 96-100. 28 Lihat di dalam : Seminar Sejarah Nasional IV, Sub Tema Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Bangsa Indonesia. (Jakarta: DEPDIKBUD Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991), h. 195. 29 Lihat Regeering Almenak tahun 1871 dan 1879.
39
penurunan cacah penduduk (orang Arab) tersebut. Di tempat ini, awalnya mereka berdagang30, lantas mulai mengembangkan sayap aktivitasnya ke bidang keagamaan. Tak ayal kesempatan politik terbuka yang diterapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, mereka manfaatkan untuk menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah Batavia. Arus migrasi besar-besaran kaum Hadhrami ke Nusantara terjadi pasca dibukanya Terusan Suez pada 1870 ini disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor kesulitan ekonomi di Hadhramaut, faktor mudahnya sarana transportasi karena revolusi industri, dan terakhir, faktor kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah Belanda yang menjadikan kaum minoritas Arab dan Cina sebagai perantara perdagangan internasional di kawasan Nusantara. Ini alasannya mengapa pada masa kolonialisme Belanda pemerintah kolonial memposisikan masyarakat Arab dan Cina lebih tinggi statusnya dibandingkan kaum pribumi.31 Pada saat Indonesia berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, wilayah pemukiman dibagi menjadi tiga, sesuai dengan Indische Staat Regeling (peraturan pendudukan kolonial Belanda), yaitu golongan Eropa (Europanen), orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), dan penduduk pribumi (Inlander). Kelompok Arab ini di masa sebelumnya mengalami penerapan politik pemukiman (wikenstelsel) bertempat tinggal di Kampung Pekojan atau dikenal pula dengan Kampung Arab terletak antara Ammanusgracht (Jalan Bandengan Selatan) dan Bacherachtsgracht (Jalan Pekojan). Pemukiman ini mulai muncul
30
Dalam Staatblad van Nederlandsce Indie tahun 1879 No. 48, bahwa orang Arab diperkenankan untuk berdagang dan berlayar ke pelabuhan-pelabuhan di Nusantara, seperti ke Semarang, Surabaya, Riau, Bintan, Palembang, Bengkulu, Banjarmasin, Pontianak, Makasar, Kupang dan lain-lain. 31 Hasyim Assagaaf, Derita Putri-putri Nabi, h. 122-123. Lihat pula dalam Van den Berg, Le Hadramout, h. 126-128.
40
pada abad ke-17.32 Pekojan merupakan tempat tinggal atau pemukiman Muslim dari negeri-negeri Arab. Sebelumnya, Pekojan identik dengan orang Koja atau Kojah, yakni orang Muslim India-Benggal yang bermukim di kota-kota pelabuhan. Sama seperti orang Arab, kedatangan mereka ke negeri-negeri di bawah angin, termasuk Nusantara, adalah untuk berdagang.33 Pedagang Benggala menjajakan barang dagangan berupa beras, gandum, minyak, mentega, gula, lak, lambaya (semacam kain), pakaian sutra, sapu tangan (orromal), kain kasar dan halus dan budak. Lambat laun, kemurnian Pekojan luntur seiring dengan bergabungnya komunitas Arab yang tinggal seatap dengan mereka. Selain orang Arab, di Pekojan juga kerap ditemukan beberapa rumah orang Cina walaupun dalam skala yang lebih kecil. Setelah Wijken Stelsel dicabut pada akhir abad ke-19 mereka mulai mencari pemukiman baru yang lebih sehat seperti di Batavia di daerah Krukut, Tanah Abang, Meester Cornelis (Jatinegara) dan Kwitang. Mereka hidup mengelompok membentuk komunitas yang sangat sejalan dengan tujuan pemerintah kolonial yaitu memisahkan mereka dengan penduduk pribumi. Kala itu, jumlah orang-orang Arab sudah mulai banyak berdatangan. Sehingga pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengangkat pemimpin komunitas Arab di berbagai wilayah kekuasaannya di Hindia Belanda. Ini akhirnya membuat pemerintah Hindia Belanda menunjuk seorang pemimpin Arab yang bakal memimpin kampung Arab. Maklum, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen (1619-1622, 1627-1629) setiap kampung di Batavia 32
F. De Haan, Oud Batavia: gedenkboek uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen naar aanleiding van het driehonderd-jarig bestaan der stad in 1919, Jilid I, (Batavia: Kolf. 3 Jilid, 1922), h. 486-487. 33 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim Di Indonesia (Kudus: Penerbit Menara Kudus, 2000) h. 147.
41
dipimpin oleh seorang Kapitein. Berdasarkan politik kependudukan tersebut, koloni yang sudah mencapai jumlah penduduk tertentu, diangkat seorang pemimpin atau kepala Arab yang diberi pangkat kehormatan (honorer) yang tinggi rendahnya tergantung populasi yang dipimpinnya. Mayor untuk populasi besar, Kapitein untuk populasi yang sedang, Luitenant untuk populasi yang sedikit. Mereka tidak diberi gaji, fungsinya sebagai penghubung antara penduduk dengan penjajah Belanda terutama dalam pengendalian dan pengawasan orangorang Arab sebagai etnis yang tidak disukai. 34 Selain itu mereka juga diberi tugas untuk melaporkan data penduduk secara periodik, melaporkan mutasinya, menyebarluaskan peraturan-peraturan baru, membantu para petugas pajak dan sebagainya.35 Tabel 4 Berikut ini adalah orang Arab yang pernah tercatat pernah menjadi pemimpin Arab di Batavia antara lain:36 No Nama 1 Sayyid Umar bin Hasan bin Ahmad Aidit 2 Syekh Umar bin Yusuf Manggus 3 Syekh Hasan bin Saleh Argubi
Pangkat Kapitein
Masa Jabatan 25 Sept. 1895
Kapitein Kapitein
28 Des. 1902 15 Mei 1931
Sedangkan tabel 5 berikut adalah pemimpin Arab di Meester Cornelis, antara lain:37
34
Bagi Belanda, orang Arab yang identik dengan Islam merupakan ancaman bagi eksistensinya di Indonesia. Harus diingat bahwa para orientalis masa penjajahan adalah bagian dari mesin pemerintah kolonial yang memiliki agenda yang sama yakni melestarikan pemerintahan kolonial dan membendung pengaruh Islam. Di antara mereka adalah L.W.C. van den Berg, Snouck Hurgronje dan kawan-kawannya. Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening (Kebangkitan Hadhrami di Indonesia), terj. Ita Mutiara dan Andri, (Jakarta: Akbar/Media Eka Sarana, 2007), h. xxxv. 35 Bahafdullah, Madjid Hasan, Dari Nabi Nuh Sampai Orang Hadhramaut di Indonesia – Menelusuri Asal-Usul Hadhrarim, (Jakarta: Bania Publishing, 2010), h. 172-173. Lihat juga dalam Alwi Shihab, Republika – Minggu, 21 Desember 2003 “Hadhramaut dan Para Kapitein Arab.” 36 Bahafdullah, Dari Nabi Nuh Sampai Orang Hadhramaut di Indonesia, h. 175.
42
No Nama 1 Syekh Said bin Ali Bahasoan 2 Syekh Ali bin Abdullah bin Oun
Pangkat Leuitenant Leuitenant
Masa Jabatan 1 Des. 1887 17 Sept. 1909
Pada awal abad ke-19 tercatat sekitar 400 orang Arab dan Moor tinggal di Batavia. Jumlah orang Arab secara eksplisit baru disebutkan pada 1859, yakni 312 orang. Pada 1870 jumlah mereka menjadi tiga kali lipat dari sebelumnya. Dalam sensus penduduk Hindia Belanda pada 1885, jumlah orang Arab di Batavia, merupakan yang tertinggi, mencapai 1.448 orang, diikuti Surabaya, 1.145 orang, Gresik 867 orang, Cirebon 834, Pekalongan 757, serta Semarang 600. Batavia yang menampung 1.448 penduduk Arab, 972 di antaranya lahir di Nusantara.38 Antara 1900-1930 minoritas Arab bertambah dari 2.245 menjadi 5.231. Menurut sensus 1930, minoritas Arab telah berkembang menjadi sebuah komunitas mapan. Kalau tadinya jumlah komunitas Arab terbesar terdapat di Surabaya, sejak sensus itu komunitas terbesar beralih ke Batavia.39 Untuk mengatasi ledakan imigran asal Hadhramaut ini, jauh-jauh hari Pemerintah Belanda mulai memberlakukan pembatasan. Hal ini seperti yang diberitakan Snouck Hurgonje sebagai berikut: … Seandainya undang-undang kita tidak membatasi kebebasan gerak kepada orang Hadhramaut itu, imigran mereka ke Hindia pastilah lebih banyak daripada sekarang.40
Setelah penghapusan sistem permukiman pada 1919, sebagian besar orang Arab dari kawasan Pekojan yang terlalu padat, pindah ke Krukut, Petamburan, dan Tanah Abang. Dari sana, populasi Arab juga menyebar ke daerah-daerah lain, seperti Sawah besar, Jatinegara, dan Tanah tinggi. 37
Bahafdullah, Dari Nabi Nuh Sampai Orang Hadhramaut di Indonesia, h. 175. Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 96-97. 39 Huub de Jonge, Sebuah minoritas terbelah Orang Arab Batavia, dalam Jakarta Batavia: Esai Sosio Kultural, Kees Grijns, (Jakarta: KITLV, 2007). 40 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje. vol. IX (Jakarta: INIS, 1993) h. 100. 38
43
Seperti dalam komunitas-komunitas Arab lain di Jawa, mata pencaharian pokok di Batavia pada umumnya kelompok Arab menekuni bidang pekerjaan di sektor ekonomi, yakni menjadi pedagang eceran (retail) yang dilakukan dengan cara berkeliling. Komoditas yang diperdagangkan di antaranya kain, khususnya katun impor, batik, dan pakaian, serta barang-barang mebel, batu mulia, minyak wangi, barang-barang dari kulit, dan makanan. Selain itu, sebagian dari mereka terjun ke dalam perdagangan kredit (angsuran) atau yang dikenal sebagai tukang kredit. Bidang pekerjaan lainnya yang dijalankan mereka adalah menjadi pemberi pinjaman dengan bunga yang relatif tinggi (rentenir).41 1. Masyarakat Arab Golongan Sayid Hingga awal abad ke-20, koloni Arab di ibu kota, terdiri dari beberapa kelompok etnis dan tatanan sosial yang jelas berbeda. Komunitas Arab seperti yang berlaku di negeri asalnya, mereka ditandai oleh struktur kelas yang kaku berdasarkan garis keturunan. Masyarakat Arab di Indonesia, berusaha untuk mempertahankan identitas mereka. Berdasarkan darah keturunan, masyarakat Arab di Batavia terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan Sayid (saada) dan bukan sayid (qabili, masyaayikh, da’afa, dan a’biid).42 Sayid merupakan kelas tertinggi, mereka mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad dari cucunya, Hasan dan Husain.
41
C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje , h. 153-154. Lihat juga dalam ensiklopedia di portal resmi pemprov DKI Jakarta: http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/756/arab diakses pada: 9 Februari 2014. 42 G. F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, (Judul Asli: Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950), terj; Tudjimah dan Yessy Augustin, Jakarta: UI-Press, 1985), h. 116-117. Pada umumnya pembagian itu sama seperti yang dikemukakan oleh van den Berg yang secara garis besar disebut sebagai Sayid, suku-suku, penduduk pada umumnya dan budak. (Van den Berg, Orang Arab di Nusantara., h. 14.).
44
Gelar Syarif (artinya terhormat atau yang mulia) merupakan sebutan gelar kehormatan untuk keturunan cucu Nabi dari Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Sedangkan gelar Sayid adalah sebutan untuk gelar kehormatan bagi keturunan Nabi yang berasal dari Husain bin Ali bin Abu Thalib. Karenanya mereka mendapat posisi yang terhormat. Golongan ini terdiri dari beberapa kesukuan yang saling bersaing untuk dapat menjadi pemimpin suku lainnya. Sebagian besar orang-orang Arab di Nusantara termasuk di Batavia boleh dikatakan 95% adalah Sayid dan 5% adalah Syarif. Golongan ini juga mempunyai kekuasaan untuk melakukan kegiatan keagamaan. Contoh dari kesukuan yang terpandang dari golongan Sayid adalah yang mempunyai nama keluarga Al-Idrus, Al-Attas, dan Al-Habsyi. Untuk golongan ini masyarakat memberikan penghormatan dengan cara mencium tangan saat menyalami mereka dan juga adanya larangan terhadap kaum perempuan untuk menikah di luar dari kelompok mereka.43 Para ulama asal Hadhramaut ini lebih mudah diterima masyarakat setempat karena kesamaan paham dan sifat-sifat kemanusiaan dan kulturalnya yang tidak jauh berbeda dengan budaya asli. Para ulama ini selain mengajarkan agama serta peletak dasar bagi terbentuknya proses kebudayaan Betawi juga telah melakukan perubahan lembaga pendidikan Islam melalui organisasi Jamiat Khaer dan Al Irsyad yang telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar.44 Bagi sebagian besar hampir tidak ada orang-orang Arab golongan Sayid ini yang bekerja dalam bidang perdagangan dan industri, juga tidak ada dari
43
Hisyam Ahmad, “Masyarakat keturunan Arab di Pekalongan”, Majalah Berita Antropologi. No. 31 (April, X) 1977. Jakarta, h. 95. Lihat juga dalam, Huub de Jonge, Sebuah minoritas terbelah Orang Arab Batavia, dalam Jakarta Batavia: Esai Sosio Kultural, Kees Grijns, (Jakarta: KITLV, 2007), h. 158. 44 http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/755/arab diakses pada: 9 Februari 2014.
45
mereka yang menjadi petani. Mereka memegang peranan dalam bidang keagamaan dan pemerintahan yang selalu dianggap sebagai kedudukan yang terhormat. Oleh sebab itu mereka mendapat penghormatan dalam masyarakatnya dengan sebutan “tuan” atau orang yang “terhormat”. Hal ini berlangsung terus sampai turun temurun.45 Golongan ini dikenal sebagai orang yang sangat dalam ilmu agamanya dan cenderung memonopoli dunia ilmu di Hadhramaut, sehingga untuk bekerja yang sifatnya memerlukan tenaga jarang sekali mereka lakukan. Maka apabila terpaksa untuk bekerja mereka hanya menjadi pengawas saja. Hal itu sangat wajar, mengingat mereka sebagai keturunan Nabi dan selaku golongan yang memiliki pengetahuan terutama dalam ilmu agama, sebagian dari mereka dianggap sebagai wali yang mempunyai kekuatan magis. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, tidak semua golongan ini berperan dalam kehidupan keagamaan, ada pula beberapa dari mereka yang berperan dalam bidang perdagangan dan politik. Mereka yang dianggap berkekuatan magis di antaranya mereka yang mempunyai nama keluarga Ba Syeh Abu Bakar dan AlAydrus.46 Di Batavia selain dipanggil Sayid atau Syarif, mereka juga biasanya dipanggil Habib atau wan singkatan dari tuwan. Dalam kehidupan sehari-hari golongan ini sering menyebut dirinya atau disebut oleh golongan lainnya sebagai golongan Ba-Alwi yang berarti keturunan dari Alwi dan Alwi sendiri merupakan keturunan Husain bin Ali bin Abu Thalib.47 Golongan ini terdiri dari berbagai kesatuan kerabatan, antara lain: Al-Aydrus, Al-Attas, Al-Habsyi, Al-Gadri, Al45
Yasmin Zacky Shahab, Masalah Integrasi Minoritas Arab di Jakarta. Skripsi Sarjana Antropologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1975, h. 86-87. 46 Van den Berg, Orang Arab di Nusantara., h. 40-41. 47 Tharick Chehab, Asal Usul Para Wali, Susuhunan, Sultan, dsb. Di Indonesia, 1975, h. 24.
46
Haddad, Bafagih, As-Sagaf, Al-Hamid, Al-Yahya, Ba Agil, Aidit, Bahseban, dan lain-lain. Pada umumnya mereka mempunyai pakaian khusus yaitu surban hijau yang menjadi penanda bahwa si pemakai adalah seorang dari golongan Sayid. 2. Masyarakat Arab Bukan Sayid Masyarakat Arab yang bukan termasuk golongan Sayid ini adalah mereka yang terdiri dari Qaba’il (jamak dari qabila), golongan ningrat duniawi; Mashayikh (jamak dari shaykh), golongan yang terutama bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran (ta’lim wa-ta’allum); da’fa (jamak dari da’if) dan masakin (jamak dari miskin), yaitu penduduk pada umumnya yang terdiri dari para petani, pengrajin, pedagang yang kadang-kadang berkecukupan tetapi tidak begitu terpandang, seperti yang diungkapkan oleh nama-nama mereka: da’if berarti lemah, sedangkan masakin berarti miskin. Golongan kelima adalah abid (jamak dari ‘abd), yaitu budak belian.48 Golongan qaba’il merupakan penduduk asli Hadhramaut, dan setiap harinya mereka apabila bepergian selalu membawa senjata, baik berupa belati, pedang, pistol, maupun senapan, sehingga dalam pengertian sehari-hari mereka yang memanggul senjata. Golongan ini terbagi-bagi dalam beberapa keluarga besar yang terbagi lagi dalam cabang keluarga. Setiap keluarga, baik besar maupun kecil dipimpin oleh seorang abu, dan setiap qabila (suku) dipimpin oleh seorang muqaddam atau malik yang dipilih para abu. Biasanya abu dari keluarga yang paling tua atau dari keluarga yang paling besar, kuat dan dominan akan terpilih menjadi muqaddam untuk seluruh suku. Namun tak jarang muqaddam dipilih berdasarkan kepribadiannya, karena mempunyai sifat-sifat berani, 48
G. F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, h. 116-
117.
47
bijaksana, adil, pemurah dan bersifat membimbing anggota sukunya, walaupun mereka bukan dari keluarga besar atau kuat. Selain itu mereka juga harus bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan anggota sukunya, serta harta benda mereka. Yang termasuk dalam golongan ini adalah kesatuan-kesatuan kerabatan, Al-Kethiri, Bin Talib, Bin Mahri, Bin Mar’i, Al-Makarim, Bin Harahap, Bin Hadar, Hadrami, dan lain-lain.49 Golongan mashaikh, merupakan orang-orang yang mempunyai keahlian dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang keagamaan. Walaupun demikian tetapi gelar ini sering dipakai oleh segolongan masyarakat di Hadhramaut yang menganggap dirinya masih keturunan orang-orang yang berilmu, meskipun mereka sendiri kurang berilmu dibandingkan dengan orangorang bukan mashaikh. Gelar ini dijadikan gelar turun temurun di kalangan masyarakat Hadhramaut. Dahulu merekalah yang memegang peranan dalam bidang keagamaan sebelum dimonopoli oleh golongan Sayid. Al-Bafadhal, AlBawazir, Al-Amudi, Al-Iskhak, Al-Bajabir, Al-Sakhak, Bin Afif, Al-Bagis, AlBarras, Al-Basharahil, As-Salimi, dan lain-lain merupakan termasuk golongan ini. Golongan da’fa (da’if) dan golongan masakin, yaitu penduduk yang umumnya terdiri dari para petani, pengrajin, pedagang yang kadang-kadang berkecukupan tetapi tidak begitu terpandang. Mereka terdiri dari : a. Pedagang (qarwi) b. Pengrajin (ahl as-sanai) c. Petani (qirstan) d. Pekerja kasar (ja’il) e. Pembantu (khuddam)
49
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara., h. 34-35.
48
Umumnya golongan da’fa lebih banyak dibebani kewajiban dan sedikit sekali menikmati kebebasan haknya. Hanya para pedagang yang mungkin dapat menjalankan profesinya tanpa terikat dengan majikan. Lapisan masyarakat ini dinamakan golongan al-Qerwan, oleh Hisyam Achmad. Termasuk dalam golongan ini mereka yang mempunyai pekerjaan tukang kulit, besi, kayu dan emas. Qerwan berasal dari kata qarya yang berarti desa (orang desa) atau rakyat biasa. Di antara golongan ini adalah Bin Sungkar, Ba Salamah, Ba Masmus, Audah, Faqih, Makki, Baswedan, Argubi dan lain-lain. Qirtsan (petani) yang merupakan lapisan selanjutnya disebut Al-Khertan atau Fallah yaitu para petani. Khertan berasal dari kata khiratan yang berarti tanaman. Fallah berasal dari kata falakha yang berarti bertani. Termasuk dalam golongan ini antara lain Ainen, Khasan, Badres, Basadi, Bakhartan, Basalem, bin Musallam, dan lain-lain.50 Golongan Abid, yaitu lapisan masyarakat yang berasal dari budak belian dan merupakan lapisan paling bawah pada umumnya mereka berasal dari orangorang Afrika. Itulah sekiranya gambaran tentang pembagian penduduk atau lapisan masyarakat Hadhramaut yang tidak jauh berbeda struktur dan stratifikasi sosialnya dengan masyarakat Arab Nusantara khususnya di Batavia, secara garis besar pada perkembangannya mereka dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang berkuasa dan tidak berkuasa atau golongan Sayid dan non-Sayid. Setelah mereka berada di Nusantara keadaan mereka banyak berubah, golongan da’fa dan masakin banyak yang menjadi kaya raya dan menjadi orang-orang terhormat tetapi yang menduduki kelas tertinggi tetap golongan Sayid.
50
Hisyam Achmad, “Masyarakat Keturunan Arab di Pekalongan” dalam berita Antropologi, no. 31, April 1977, h. 96-97. Lihat pula Van den Berg, Orang Arab di Nusantara., h. 38.
49
D. Kondisi Perekonomian dan Kebijakan Ekonomi Pemerintah Hindia Belanda di Batavia 1. Kondisi Perekonomian Masyarakat Arab Batavia Usaha masyarakat Arab di Batavia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sering dikaitkan dengan dasar pendidikan pola Hadhramaut yang lebih menekankan keberanian dan keuletan dalam menghadapi hidup yang penuh dengan tantangan. Alam yang panas serta gersang membuat mereka besifat keras dan berdarah panas, mudah marah, dan mudah pula menjadi pemaaf. Mereka tidak mengenal rasa takut, sangat berani, tahan menderita, dan pantang menyerah. Hal inilah yang membuat mereka ulet dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan dari sini pula mengapa mereka sangat hemat dalam mengeluarkan uang atau bahan makanan lainnya. Umumnya usaha atau pekerjaan yang dilakukan mereka di Batavia adalah berdagang. Oleh karena itu kedatangan mereka jarang disertai oleh istrinya. Hal ini dapat dilihat dari data yang ada pada tahun 1938; menurut van der Kroef dari jumlah 503 pendatang Arab, hanya terdapat 24 orang wanita, dan tujuh orang di antara jumlah wanita itu berusia di bawah 12 tahun.51 Pada awalnya, mereka berdagang kecil-kecilan, seperti berdagang bukubuku agama, juz amma, barzanji, Al-quran, sajadah, tasbih, dupa, jahe, serbat, jadam, celak, kain cita, dan barang-barang kelontong lainnya, yang dilakukan dengan cara berkeliling keluar masuk kampung. Bagi mereka yang telah berhasil ada yang membuka toko besar, yang mampu memberikan lapangan pekerjaan atau modal kepada sesama rekan sebangsanya. Modal yang digunakan untuk membeli 51
J.M. van der Kroef, “The Arabs in Indonesia”, dalam The Middle East Journal, No. VII, 1953, h. 301.
50
barang dagangan yang sesuai dengan kebutuhan orang-orang kampung yang mereka datangi, dan sistem pembayarannya biasanya dilakukan dengan cara mengangsur atau kredit. Kalau kebetulan yang membeli dagangannya pegawai negeri, maka pembayarannya dilakukan setelah gajian. Selain berjualan kelontong, mereka juga ada yang meminjamkan uang atau praktek riba terselubung dengan bunga tinggi. Disebut terselubung, karena proses peminjamannya melalui jual beli semu, seperti yang dilihat dan diceritakan oleh Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat52 bahwa mereka tetap membeli barang dagangannya, tetapi yang dibawa pulang bukan kain citanya, melainkan uang. Jadi mereka membeli selembar kain cita tanpa membayar sepeserpun. Barang yang katanya dibeli oleh mereka langsung dijual kembali ke penjualnya. Tentunya harganya sangat murah. Setelah jual beli semu ini selesai, kemudian diadakan perjanjian untuk pengembalian uang yang diperolehnya itu. Biasanya dengan cara diangsur dan kadang-kadang disertai pula dengan bunga yang agak tinggi. Pada akhirnya keuntungan yang diperoleh dari orang yang meminjamkan uangnya dengan bunga ini ternyata cukup besar. Dengan keuntungan yang diperolehnya itu, maka para tukang riba bangsa Arab ini, sedikit demi sedikit menjadi tuan tanah di daerah mereka tinggal. Hal ini selain mereka peroleh dari hasil pembelian tanah dengan harga murah, juga sebagai akibat dari tanah yang dipertaruhkan sebagai jaminannya dari transaksi pinjam meminjam itu, berpindah tangan kepada mereka sebagai barang sitaan karena tidak dapat melunasi pinjamannya.53 Usaha untuk mencegah praktek
52
P.A.A. Djajadiningrat, Kenang-kenangan. (Djakarta: Balai Poestaka, 1956), h. 358-
359. 53
J.M. van der Kroef, “The Arabs in Indonesia”, dalam The Middle East Journal, No. VII, 1953, h. 317-318.
51
membungakan uang ini telah diusahakan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Volksraad, yang kemudian membentuk komisi untuk menangani masalah woeker (riba) dengan Besluit No. 27, tanggal 28 Desember 1929. Berdasarkan hasil kerja komisi itu kemudian diusulkan untuk membuat undang-undang mengenai woeker (riba) seperti yang berlaku di negeri Belanda yaitu setiap usaha yang bergerak dalam membungakan uang harus dengan izin pemerintah.54 Selain pemerintah, masyarakat Arab sendiri juga berusaha untuk mencegah praktek riba ini dengan cara mengusulkan kepada pemerintah untuk dibuatkan undang-undang seperti yang ada di negeri Belanda,55 dan dengan cara memberikan penjelasan kepada rakyat mengenai akibat dari meminjam uang pada tukang riba. Nampaknya mereka yang melakukan usaha meminjamkan uang dengan bunga tinggi (riba), merupakan usaha sementara. Dengan cara riba mereka mengeruk keuntungan besar dan cepat. Sebetulnya secara hukum Islam melakukan riba adalah dosa besar dan pada umumnya mereka pun tahu hukum itu. Akan tetapi karena harus mendapatkan uang dalam jumlah yang banyak, mereka terpaksa lakukan dengan cara “jual beli semu” untuk menghalalkan pekerjaan ribanya, seperti yang pernah diceritakan oleh P.A.A. Djajadiningrat. Kenyataannya setelah mereka berhasil menghimpun kekayaan, mereka beralih usaha dengan membuka toko besar dan membangun gedung-gedung untuk disewakan. Di Batavia, masyarakat Arab menempati wilayah tertentu yang dikenal dengan kampung Arab. Seperti Pekojan, Krukut, Tanah Abang, dan sekitar Pasar 54 55
“Ordonansi membasmi woeker oeang”, Insaf. Th. II. Maret 1938, h. 39. Aliran Baroe, Th. II, No. 16, Nopember 1939, h. 14.
52
Minggu. Penempatan ini didasarkan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal dan pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah setempat. Tujuannya adalah agar memudahkan pengawasan, sehingga bagi para pendatang merupakan keharusan.56 Selain penempatan wilayah tertentu, masyarakat Arab juga dikenakan kewajiban untuk menggunakan pas jalan atau surat jalan yang harus dibawa bila ingin pergi dari wilayah yang ditentukan. Pas jalan ini diperoleh dari pemerintah Hindia Belanda tanpa dipungut biaya sedikitpun. Bila seseorang kedapatan bepergian tanpa membawa pas jalan, maka yang bersangkutan akan dikenakan denda 10 gulden.57 Sedangkan pelanggaran ketentuan tempat tinggal akan di kenakan denda 25-100 gulden. Selain denda, sanksi lain yang dapat dijatuhkan adalah diusir dari tempat dimana mereka tinggal.58 Untuk mengatur orang-orang Arab di wilayah-wilayah yang sudah ditentukan, pemerintah Hindia Belanda mengangkat pemimpin dari kalangan Arab
untuk
memudahkan
pengawasan
juga
dibentuk
terlebih
dahulu
perhimpunan-perhimpunan. Jumlah anggota perhimpunan tergantung dari banyaknya orang Arab yang tinggal di wilayah itu. Untuk perhimpunan yang beranggota di atas 600 orang akan di ketuai oleh seorang Kapitein Arab. Jika jumlahnya 300-600 orang anggota diketuai oleh Letnan Arab, dan jika kurang dari 300 anggota ketuanya disebut Ketua.59 Perhimpunan di pilih oleh Bupati setempat, pengangkatan dilakukan oleh Residen berdasarkan pertimbangan penasehat urusan dalam negeri.
56
Staadblad van Nederlandsce Indie, Tahun 1866, No. 57. Gulden merupakan mata uang Belanda yang berlaku pada masa itu. 58 Staadblad van Nederlansce Indie, Tahun 1863, No. 63. 59 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 113-114. 57
53
Pertimbangan pemilihan calon ketua, di antaranya adalah calon yang diajukan haruslah seorang yang dikenal baik di kalangan masyarakat Arab dan pemerintah setempat. Status ekonominya baik, dan dapat diajak berkompromi atau bekerjasama dengan pemerintah. Namun sejauh data yang didapatkan penulis, tak ada keterangan apakah mereka digaji atau tidak oleh pemerintah. Tetapi dengan menjalin hubungan yang erat dengan pemerintah masa itu sudah merupakan keuntungan bagi mereka. Tugas yang dibebankan kepada ketua perhimpunan adalah memberi penjelasan mengenai keputusan dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada masyarakat Arab. Melakukan pencatatan yang berkaitan dengan berita kematian, kelahiran, perkawinan, dan kedatangan pemukim baru yang dibutuhkan pemerintah Hindia Belanda.60 Masalah-masalah yang berkenaan dengan golongan Arab di Indonesia penanganannya dilakukan oleh Kantor Penasehat Urusan Pribumi yang dibentuk pada tahun 1899. Pengawasan ini dilakukan sebagai bentuk ketakutan pemerintah terhadap umat Islam. Terlebih masyarakat Arab mudah beradaptasi dengan penduduk setempat dan sama-sama menganut agama Islam. Aktivitas dan kehidupan sehari-hari masyarakat Batavia pada masa itu nampak begitu berwarna dalam berbagai hal, banyak pendatang yang berasal dari pedesaan yang datang mencari pekerjaan. Ada yang sukses dan ada pula yang tidak, terkadang bahkan ada saja orang yang tidur di jalanan. Sebuah kajian terhadap kuli yang dipekerjakan pemerintah kota di Batavia pada tahun 1937 menunjukkan bahwa sebagian besar kuli mendapatkan penghasilan 30-35 sen per
60
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda., h. 114.
54
hari. Sebagian besar pendapatan ini digunakan untuk memberi makan keluarga. Pada umumnya, perumahan terbaik yang mereka dapatkan adalah pondok berlantai tanah, dengan kamar mandi yang digunakan bersama 10-30 keluarga, dan memiliki drainase terbuka. Sebuah kajian kampung Batavia pada periode yang sama menunjukkan bahwa sebagian besar orang Indonesia tinggal di perumahan tidak permanen seperti pondok atau rumah petak (rumah-rumah dengan satu kamar yang memiliki beranda bersama).61 2. Kebijakan Politik dan Ekonomi Pemerintah Hindia Belanda di Batavia Pada tahun 1900 Batavia sudah menjadi pusat kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia yang kekuasaannya berada di tangan Menteri Urusan Jajahan di Belanda. Dalam melaksanakan kekuasaannya, Menteri Urusan Jajahan menjalankan politik umum kolonial dari pemerintah Belanda yang merupakan hasil keputusan Staten Generaal. Dalam tahun 1870-1900 kebijaksanaan pemerintah Belanda menerapkan Politik Liberal terutama kebijakan Liberalisme di bidang ekonomi yang menghendaki dilaksanakannya usaha-usaha bebas dan pembebasan kegiatan ekonomi dari campur tangan negara atau pemerintah.62 Terutama terhadap Pulau Jawa yang menjadi bagian utama dari kekuasaannya di Indonesia. Dalam proses perkembangannya politik itu mendapat kecaman dari masyarakat Eropa di Jawa. Bahkan di negeri sendiri juga mendapat kecaman terutama dari pihak sosialis
61
Susan Blackburn, Jakarta : Sejarah 400 Tahun, terj. Gatot Triwara, (Jakarta : Masup Jakarta, 2011), h. 131. 62 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 37.
55
Belanda karena mereka menganggap politik itu telah merugikan dan menyakiti bangsa Indonesia mereka menginkan suatu hubungan yang baik dan memuaskan antara negeri Belanda dengan negeri jajahannya. Masa Politik Liberal ini merupakan masa eksploitasi Indonesia oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda setelah dihentikannya sistem tanam paksa pada tahun 1870. Perusahaanperusahaan itu telah mengeruk kekayaaan Indonesia dan ini merupakan suatu hutang budi yang harus dibayar oleh pihak Belanda kepada Indonesia.63 Kemudian pada 1901 muncul suatu orientasi baru tentang jajahan yang disebut Politik Etis64. Politik ini telah diterima secara luas oleh semua kalangan masyarakat Eropa baik yang di Jawa maupun Eropa sendiri karena dalam mengusahakan pembangunan tanah jajahan melibatkan modal swasta yang dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan kedua belah pihak.65 Selain itu hal ini juga membuka jalan bagi rakyat Indonesia untuk ambil bagian dalam menentukan masa depannya termasuk masyarakat Arab di Indonesia, khususnya Batavia yang berusaha memperbaiki nasibnya yang kurang beruntung dalam memperoleh pendidikan yang sesuai dengan mereka. Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang 63
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 56. 64 Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan masyarakat jajahannya. Yang diprakarsai oleh C Th. Van Deventer, isi Politik Etis ada tiga yaitu, pendidikan, pengairan, perpindahan penduduk, yang di dasarkan untuk menciptakan sumber daya manusia yang lebih baik di Indonesia. Lihat, Bautet. I.J Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h. 16. 65 Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, terj. Ny. Zahara Deliar Noer, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 50-59.
56
yang mampu.66 Dalam hal ini sebenarnya terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya. Politik pendidikan kolonial erat hubungan dengan politik mereka pada umumnya, sesuatu politik yang di dominasi oleh golongan-golongan yang berkuasa dan tidak di dorong oleh nilai-nilai etnis dengan maksud untuk membina kematangan
politik
dan
kemerdekaan
tanah
jajahan.
Pendidikan
yang
diselenggarakan oleh pemerintah kolonial lebih bersifat pendidikan Kristen. Namun ada banyak pula anak-anak Islam terutama anak pejabat pribumi yang diterima di sekolah itu bahkan ada pula anak-anak keturunan Arab yang sekolah di Europeesche Lagere School yang pada umumnya hanya dapat dimasuki oleh anak-anak Belanda, seperti Hamid Algadri hal ini dikerenakan ayah dan kakeknya memangku jabatan Kapitein Arab di Pasuruan Jawa Timur.67 Menurut orang-orang Belanda mereka menganggap semua orang Arab dan keturunannya fanatik terhadap agama dan ini dianggap musuh oleh mereka, mereka mengidentikan Arab dengan Islam. Akibat adanya rasa takut pemerintah kolonial terhadap Islam dan orang-orang Arab maka pemerintah melakukan pengawasan dan tindakan-tindakan yang merugikan orang-orang Islam dan Arab dengan kebijakan yang diterapkan. Dari persoalan-persoalan inilah kiranya pemerintah kolonial pada tahun 1899 mendirikan Kantoor voor Inlandsche Zaken yang pada pokoknya bertugas memberi nasehat kepada pemerintah kolonial dalam urusan atau masalah pribumi, Arab dan Islam. Kantor ini berdiri sejak 11 Januari
66
Ahmad, Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid I, (Bandung: PT. Salamdani Pustaka Semesta, 2009), h. 229. 67 Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami, h. 102-104.
57
1899 dipimpin oleh C. Snouck Hurgronje yang dibantu oleh Sayid Usman bin Abdullah bin Akil bin Yahya Alawi sebagai Penasehat Honorer urusan Arab.68 Pengawasan ini dianggap perlu karena kondisi masyarakat Arab yang cenderung mudah diterima oleh orang-orang Indonesia karena kesamaan agama mereka yaitu Islam. Situasi yang kurang menguntungkan yang menimpa orang-orang Islam dan Arab mendapat perhatian serius dari kalangan umat Islam luar negeri terutama dipusat gerakan Pan-Islamisme. Banyak kritik-kritik tajam yang dilontarkan melalui media masa di luar negeri yang ditulis oleh orang-orang Arab di Batavia maupun tokoh Islam di negeri ini, seperti yang dikemukakan oelh C. Snouck Hurgronje dalam advisnya pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tertanggal 28 Juli 1904 yang berbunyi:69 “Bahwa peraturan yang berlaku di negeri ini (Batavia) mengenai tempat tinggal, hak berdiam, dan lalu lintas orang Timur Asing di sini begitu pula mengenai cari pelaksanaan peraturan merupakan sumber sakit hati yang mendalam bagi mereka. Keharusan untuk bertempat tinggal di tempat tertentu di kota dagang terpenting dipilihkan bagian kota yang tidak sehat, pembatasan untuk bergerak bebas membuat mereka tidak mungkin memperoleh beberapa fasilitas dan keuntungan yang dapat dinikmati dengan leluasa oleh penduduk lain; gangguan dalam urusan perjalanan yang sudah diizinkan dengan pengontrolan pas izin jalan yang sangat memakan waktu dan mahal, berlakunya pengadilan polisi (politie rechspraak) merupakan bahan pembicaraan di kampong Arab dan Cina sehari-hari.”
Tinjauan kota Batavia pada tahun 1900-an masih terkesan pedesaan, dengan jalan-jalan lama berupa jalan tanah yang dikeraskan berdebu saat musim kering, berlumpur dan berlubang saat musim hujan serta dinaungi pohon-pohon tropis. Kemudian pada tahun 1940, sebagian jaringan jalan telah diaspal, banyak pohon ditebang agar tidak menghalangi kabel dan tiang listrik serta telepon. Pertumbuhan penduduk memperbesar volume lalulintas yang melintas di 68
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 99. Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, II, h. 1522-1589. Hamid Algadri, Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 136-137. Lihat juga majalah Insaf, tahun. I, No. 10. Oktober 1937, h. 148-149. 69
58
sepanjang jalan raya ini. Lalulintas ini termasuk minimal tiga jenis kendaraan yang sebelumnya tidak ada pada 1900-an: ratusan mobil, ribuan sepeda (berdasarkan sensus tahun 1937, satu di antara delapan penduduk menggunakan sepeda), dan becak. Dari begitu banyak bangunan yang mengisi sisi-sisi jalanan kota yang baru di aspal ini, sebagian besar merupakan arsitektur peninggalan tahun 1920-an dan 1930-an. Bangunan yang mengesankan biasanya adalah kantor komersil dan bank di Batavia Tengah dan Utara. Banyaknya bangunan publik modern menunjukkan aspek baru kehidupan perkotaan. Hingga 1940, Batavia memiliki banyak sekolah, rumah sakit, klinik serta tempat hiburan semisal bioskop dan kolam renang. Sekilas nampak westernisasi telah meluas sehingga banyak penduduk yang mampu mendapatkan pendidikan Barat, berkonsultasi dengan dokter dan menonton film Barat terbaru. Dengan semua perubahan dan perkembangan yang terjadi, sejumlah kampung memiliki keunikan tersendiri, namun kampung memiliki lingkup kehidupan dengan lingkup tertutup bagi mereka sendiri yang terbentuk karena mereka diperlakukan berbeda dengan penduduk perumahan pinggir kota. Mereka berbagi fasilitas bersama seperti air, dan menyediakan jasa secara timbal balik antar warganya, seperti menjahit atau membuat tahu di halaman belakang atau di ruang
tengah.
Masyarakat
kampung
saling
membantu,
penduduknya
menyumbangkan sejumlah kecil dana setiap minggu untuk membantu warganya bila ada yang sakit atau meninggal.70
70
Susan Blackburn, Jakarta : Sejarah 400 Tahun, h. 129-130.
59
Seperti yang kita ketahui, kebijakan ekonomi suatu pemerintah sangat mempengaruhi perekonomian rakyat. Selama abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terdapat empat kebijakan ekonomi pemerintahan kolonial yang sangat berpengaruh besar terhadap perekonomian di Nusantara, termasuk di Batavia. Kebijakan-kebijakan tersebut, yaitu kebijakan Thomas Stamford Raffles (18111816), kebijakan Tanam Paksa (cultuur stelsel) pada 1830-1870, kebijakan Liberal (1870-1900), dan terakhir adalah kebijakan Politik Etis.71 Setelah masa tenang di Batavia pada abad ke-19, terjadi pergolakan yang begitu dramatis pada abad ke-20. Batavia semakin terlibat dalam peristiwaperistiwa nasional yang begitu monumental sehingga sulit untuk berkonsentrasi pada kota saja. Perhatian tertuju pada Batavia sebagai pusat perpolitikan Indonesia. Kondisi ini memaksa kota praja untuk menjalin kerja sama dengan pemilik tanah untuk memperbaiki lingkungan. Sementara itu, dalam kasus tanah-tanah yang tidak jelas kepemilikannya, pemerintah mengambil secara paksa. 72 Tanah kota praja ada empat macam, yaitu tanah kota praja, tanah negeri, tanah partikelir, dan tanah individu. Berdasarkan kepemilikannya, tanah dibedakan lagi menjadi hak milik, hak bangun, hak sewa, hak pakai, hak guna hasil, dan hak milik negara.73 Menurut Keputusan Menteri Koloni, setiap tahun disediakan 500.000 gulden
bagi
penebusan
kembali
tanah-tanah
partikelir
dimana
bisa
dipertimbangkan tanah-tanah di Tangerang yang harus dikembalikan kepada tanah negara untuk proyek irigasi. Insinyur yang ditugasi untuk memperbaiki irigasi di 71
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 3-32. 72 Gemeenteblad 1938, No. 377, No. 14361. 73 Staatblad van Nederlandsce Indie, Tahun 1870, No. 118.
60
Tangerang menyampaikan permohonan untuk segera menebus kembali tanahtanah Tangerang.74 Pemilik tanah partikelir kebanyakan adalah warga Arab. Pada akhir abad ke-19 jumlah penduduk Arab di Batavia meningkat menjadi 1.448 orang pada tahun 1885 dan pada tahun 1930 meningkat menjadi 5.231 orang. Kelompok orang Arab ini lebih banyak bergerak dalam bidang niaga. Komoditas yang mereka perdagangkan umumnya tekstil, batu permata, wangi-wangian, dan mebel. Di samping itu, warga Arab memiliki banyak tanah partikelir. Sayid Ali bin Syahab misalnya, menjadi tuan tanah di Menteng, dan Bassalam menjadi tuan tanah di Kwitang Timur. Menurut catatan, pada tahun 1904 ada 10 tuan tanah Arab yang mempunyai 22 tanah partikelir di sekitar ommelanden (daerah sekitar) dengan luas seluruhnya 50 kilometer persegi. Warga Arab terkaya di Batavia adalah Sayid Abdullah bin Ali Alatas. Ia tidak hanya memiliki tanah, tetapi juga pabrik peralatan besi dan pembuatan mesin. Oemar Mangus, Kapitein Arab yang menjabat tahun 1902-1931 adalah pengekspor gula dan pemilik rumah-rumah gedung. Warga Arab yang kaya tidak lagi tinggal di Pekojan yang sempit dan pengap, tetapi keluar dan tinggal di Tanah Abang, Petamburan, Krukut, dan menyebar di Sawah Besar, Jatinegara, dan lain-lain.75 Pada awalnya, sebagai pemilik tanah Menteng pada pertengahan abad ke18 tersebut seorang Arab (Moor), yakni Assan Nina Daut dan Jakob P. Barends. Sampai tahun 1910, kepemilikan tanah Menteng berganti-ganti dan terakhir dimiliki keluarga Shahap. Kota praja akan mendirikan permukiman bagi masyarakat golongan atas di daerah Menteng. Untuk itu, perusahaan perumahan 74 75
Secretarie Gouvernement 1 Agustus 1921, Bagian 1, No. 89/175. Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar, h. 188.
61
De Bouwploeg membeli tanah Menteng pada tahun 1910 Bouw en Cultuurmaatschappij Gondangdia membeli tanah partikelir Gondangdia Prapatan dengan 3.502 penggarap di atasnya senilai 217.724 gulden. Harga tanah ditentukan oleh Panitia Taksiran Tanah Partikelir.76 Pada tahun 1912 Dewan Kota menyetujui rencana Maskapai Pembangunan dan Perkebunan Gondangdia untuk melaksanakan pembangunan perumahan dan prasarana lainnya, di antaranya pembuatan jalan, taman, dan saluran air buangan. Sampai tahun 1920 Kota Praja Batavia telah membeli tanah partikelir Petojo (1917), Jati Wetan (1916), Jati Baru (1918), Karet, Dukuh, Bendungan Udik, Kramat Lontar I (1920), Gondangdia, dan Jati Baru. Sampai tahun 1927 tanah kota praja berkembang menjadi 11,5 juta meter persegi dengan tambahan pembelian Taman Sari dan Sentiong. Sampai 1 Januari 1930, kota praja telah mempunyai tanah seharga 6 juta gulden.77 Pada tahun 1928, pembangunan dipusatkan di daerah Lapangan Merdeka. Di sekitar lapangan ini mulai dibangun kantor-kantor dan hotel, bagian barat adalah kantor-kantor, bagian selatan terdapat lapangan pacuan dan arena balap sepeda. Pada periode 1930-an inilah daerah Lapangan Banteng mulai diatur dengan fasilitasnya. Selama hampir empat abad pertumbuhan kota Batavia, ada beberapa pusat fungsional, yaitu Glodok, Tanah Abang, Gambir, Senen, dan Jatinegara. Di sekitar pusat perekonomian ini muncul kampung yang menekan pusat dan sekitarnya muncul daerah pertanian yang menyangga daerah pusat. Ini mengakibatkan urbanisasi dan pertumbuhan permukiman menjadi tidak terkontrol. Ada beberapa 76
Adolf Heuken, Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta : Dokumen-dokumen Sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16, Jilid II, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2000), h. 94. 77 Abdurrahman Surjomihardjo, Perkembangan Kota Djakarta; (Djakarta Raja: Dinas Museum dan Sedjarah DCI, 1970), h. 27.
62
perkampungan yang muncul di sebelah Barat dan Utara. Daerah penyangga Barat adalah daerah Tambora, Angke, dan Duri Pulo.78 Penguasaan kampung dimulai dari Glodok sebagai pasar lokal dan Angke adalah daerah pertahanan lama. Untuk itu, daerah Glodok sampai Tambora merupakan konsentrasi komunitas terbesar Tionghoa. Di daerah ini banyak tanah kosong yang merupakan perkebunan kelapa. Perkembangan di daerah ini melampaui kanal banjir sehingga muncul perkampungan baru di sebelah Barat dan pertumbuhannya tanpa perencanaan yang bagus. Lokasi kedua adalah daerah Senen sampai Jatinegara. Kondisi daerah ini lebih nyaman karena adanya jalan yang lurus dan jalur kereta api. Daerah ini pada awalnya adalah daerah pertumbuhan perkampungan Eropa. Pada abad ke-19 penduduk mendekati pusat Belanda di Weltevreden dan Jatinegara sehingga banyak orang Eropa membeli tanah di sekitar daerah ini. Lokasi ketiga adalah perkampungan Tanah Abang. Tanah Abang adalah pasar tua yang dibangun tahun 1735. Pasar ini melayani penduduk Kampung Bali, Kebon Kacang, dan Petamburan, Slipi. Orang Tionghoa mendominasi pasar retail dan barang impor. Kampung ini menjual tekstil, sigaret dan makanan. Kampung Slipi adalah penghasil sayuran dan produksi kecil. Letak Tanah Abang didukung oleh kondisi ini karena terdapat jalur kereta api.79 Penyelenggaraan hari pasar diatur oleh peraturan pemerintah. Selama ini pasar ikan, pasar burung, dan pasar sayur-sayuran atau buah terletak di dalam tembok kota di sekitar Roa Malaka dan Jonkersgracht. Pasar Weltevreden dibuka 78
Gerard Hans Krausser, The Kampungs of Jakarta, Indonesia: a Study of Spasial Patterns in Urban Poverty. (Hawaii: University of Pittsburg, 1975), h. 41. 79 Gerard Hans Krausser, The Kampungs of Jakarta.., h. 41. Lihat juga dalam Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa. (Jakarta: Kompas, 2010), h. 44-45.
63
setiap hari Senin, karena itu penduduknya menyebutnya sebagai Pasar Senen. Sedangkan Tanah Abang yang juga milik Justinus Vink boleh buka setiap hari Sabtu. Peraturan yang dikeluarkan pada 8 Desember 1801 menetapkan pemberlakuan hari-hari pasar: hari Minggu untuk pasar di Tanjung Barat (sekarang dikenal sebagai Pasar Minggu), hari Selasa di Cilincing dan Pondok Gedeh, hari Rabu di Tanjung Timur (dikenal sebagai Pasar Rebo) juga Tanah Abang, hari Kamis di Meester Cornelis, dan hari Jumat di Cimanggis, Pulo Gadung, dan Lebak Bulus.80 Berdasarkan kebijakan dan kekuasaannya dalam upaya misi kristenisasi kaitannya dengan dengan ekonomi pemerintah melalui Gubernur Jenderal mengeluarkan sirkuler pada tahun 1910 kepada para pejabat pemerintah untuk menjaga agar sedapat mungkin tidak diadakan hari pasar pada hari Minggu dan bahwa secepat mungkin kebiasaan untuk mengadakan hari pasar pada hari Minggu ditiadakan atau dihentikan. Permintaan baru untuk mengadakan hari pasar dapat diberikan, tetapi tidak pada hari Minggu.81 Perlu diperhatikan bahwa hari pasar di Jawa biasanya diadakan sekali seminggu-Jawa yang terdiri dari lima hari, yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Hal ini menyebabkan bahwa akan senantiasa terjadi suatu pasar yang jatuh bersamaan waktunya pada hari biasa, termasuk Minggu. Di pulau Jawa pada waktu itu umumnya berpindah dari satu desa ke desa lain dan merupakan pusat kegiatan ekonomi rakyat. Berlangsung selama sehari penuh, pasar tersebut merupakan tempat berkumpul bagi orang-orang dari seluruh daerah sekitarnya
80
Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar., h. 144. Sirkuler bertanggal 23 Agustus 1910, No. 1934 dalam von Geusau h. 52-53. Seperti dikutip. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 191-192. 81
64
untuk berjual-beli. Oleh sebab itu sirkuler Gubernur Jenderal tadi mengobrakabrik dasar ekonomi kehidupan desa dan karenanya mengganggu orang-orang desa. Gubernur Jenderal yang menyadari hal tersebut menyusulkan larangan tersebut tadi dengan sebuah sirkuler lain yang mengemukakan bahwa kemungkinan untuk meniadakan hari pasar pada hari Minggu yang ditekankan.82 Tetapi masalah itu telah lebih dulu memperkuat perasaan rakyat banyak tentang identitas agama berhadapan dengan pemerintah ataupun pihak Belanda.
82
Sirkuler bertanggal 8 September 1910, No. 2062 dalam dalam von Geusau, h. 53.
65
BAB III JARINGAN PERDAGANGAN MASYARAKAT ARAB DI BATAVIA TAHUN 1900-1942
A. Dinamika Perekonomian Masyarakat Arab di Batavia 1. Lapangan Bisnis Perdagangan dan Jasa Sepanjang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Hadhramaut sana, satu-satunya hasil panen pertanian yang bernilai komersial adalah tembakau Hamumi, yang tumbuh di sekitar kota Ghayl Ba Wazir dekat Shihr dan madu yang di produksi di Wadi Daw’an. Hasil panen lain yang di konsumsi di dalam negeri meliputi kurma, millet (sejenis varietas padi-padian), lucerne (sejenis rumput makanan hewan), gandum dan wijen. Beberapa jenis sayuran seperti ubi jalar, bawang merah, bawang putih, labu dan wortel tumbuh dalam jumlah kecil; serta buah mencakup jeruk nipis, pisang dan pawpaws. Sumber makanan domestik lainnya yang utama adalah ikan. Seluruh hal tersebut menjelaskan bahwa perdagangan eksternal selalu lebih berarti dalam mendukung kehidupan penduduk di wilayah itu dibandingkan produksi domestiknya.1 Atas alasan itulah pada akhirnya sebagian dari mereka berhijrah ke Asia Tenggara dalam hal ini termasuk Indonesia untuk mencoba berdagang dan mencari peruntungan lebih baik, yang tidak dapat disediakan di tanah airnya sendiri.2 Seperti halnya masyarakat Arab di Nusantara, masyarakat Arab di
1
W.H. Ingrams, A Report on the Social, Economic, and Political Condition of the Hadhramaut, (London: Colonial No. 123, 1937), h. 8-9 dan 50-56. Dalam Natalie Mobini Kesheh, Hadhrami Awakening; Kebangkitan Hadhrami di Indonesia, terj. Ita Mutiara dan Andri, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007), h. 10-11. 2 Dari penyebaran kaum Hadhrami di seputar Samudera Hindia, lihat B. G. Martin, “Migration from the Hadramawt to East Africa and Indonesia, c. 1200 to 1900,”
66
Batavia juga pada umumnya sebagian besar dari mereka adalah pedagang. Usaha mereka dilakukan dengan modal yang mungkin bisa di bilang sangat kecil. Hampir semua imigran Hadhrami bekerja dan berkembang awalnya melalui usaha perdagangan. L.W.C van den Berg mendeskripsikan pola yang khas di akhir abad ke-19, yakni pendatang baru Arab di Indonesia akan bekerja sebagai asisten toko atau pedagang kecil atas nama suatu sanak keluarga atau kenalan yang telah menjadi penduduk di daerah jajahan. Seorang Arab yang telah mendapatkan modal yang dikumpulkan sendiri secara bertahap dari gaji yang diterimanya lalu dia akan menjadi pedagang mandiri sama halnya dengan pedagang Cina.3 Sebagian masyarakat Arab ini akan hadir sebagai pedagang perantara dengan membeli barang impor dari firma Eropa yang besar dan menjualnya kembali ke pedagang lain atau konsumen Indonesia. Umumnya komoditas utama yang diperdagangkan adalah tekstil. Komoditas perdagangan lain mencakup barang manufaktur Eropa seperti jam, produk besi dan baja sedangkan komoditas dari Timur Tengah misalnya kurma, ghee, sajadah dan yang kemudian meningkat nilainya di abad ke-20 adalah buku-buku agama Islam. Apabila ia tinggal di tempat tertentu di luar pulau Jawa, kemungkinan juga dia membawa barang dagangan lokal khusus seperti produk hutan dan kuda.4 Kehidupan ekonomi mereka semakin berkembang ketika seorang Arab telah mengumpulkan modal yang cukup. Meskipun diperintahkan dalam AlQur’an untuk menentang riba, namun sebagian dari mereka hanya sebagian kecil ada yang mulai meminjamkan uang dengan tingkat bunga yang tinggi. Jika dia
3
Natalie Mobini Kesheh, Hadhrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami.., h. 16. W. G. Clarence Smith, Horse Trading; The economic role of Arabs in the Lesser Sunda Islands, c. 1800-1940. Dalam Hubb de Jonge and Nico Kaptein, “Trancending Borders Arabs, politics, trade and Islam in Southeast Asia”, (Leiden: KITLV Press, 2002), h. 143-158. 4
67
merupakan sebagian dari sedikit orang yang beruntung, setelah beberapa tahun bekerja keras orang Arab dapat mengembangkan kekayaan. Salah satu caranya dalam bentuk investasi properti di salah satu kota besar di Nusantara, semisal di Batavia ini. Sebagian mereka juga dapat dikatakan tuan tanah karena luas tanah yang dimilikinya.5 Seorang Arab yang memperoleh kekayaan jarang meneruskan usahanya dengan semua yang diperolehnya. Dibandingkan dengan taraf hidup masyarakat Arab yang rendah, jumlah uang yang relatif minim sudah merupakan kekayaan bagi mereka. Mereka tidak seperti masyarakat Eropa yang mendirikan rumah dagang besar dan tetap bereputasi baik meskipun para pendirinya sudah mengundurkan diri. Bahkan dalam hukum Islam sama sekali tidak mengatur perusahaan-perusahaan yang menggunakan nama kolektif dan mengenai status sosial dari rumah dagang pada umumnya. Meskipun mengakui sejumlah jenis asosiasi dagang, setiap pedagang melakukan usahanya dan menandatangani atas namanya sendiri dan bila berada dalam asosiasi, atas nama rekan usahanya.6 Ciri pribadi di dalam usaha itu bertentangan dengan pendirian usaha dagang yang eksistensinya legal di luar para pemiliknya. Ciri tersebut merupakan syarat utama agar sebuah rumah dagang diakui dan dapat bertahan lama. Mengenai modal tak bergerak di dalam perdagangan yang sebenarnya, masyarakat Arab lebih suka menginvestasikan pada gedung-gedung atau mereka 5
L.W.C. Van den Berg, Le Hadramout et les colonies arabes dans l’archipel indien. (Batavia: Impremerie du Gouvernement, 1886), h. 134-158. 6 Pada tahun-tahun terakhir ini, dua atau tiga kali seorang notaris di Batavia membujuk klien Arabnya untuk menandatangani kontrak perusahaan, supaya mempunyai status sosial. Yang terjadi mereka, menggunakan sebuah nama untuk rekan-rekan yang berusaha bersama, misalnya “empat saudara al-Habsyi”, “keluarga dari al-Baghdadi”, dan sebagainya. Tentu saja, hakikat sosialnya tetap tidak berubah.
68
membelinya untuk kemudian dikontrakkan. Pada wilayah-wilayah Nusantara termasuk Batavia yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, kaum Pribumi lazimnya hanya mempunyai hak memiliki warisan dalam bentuk ladang yang hanya dapat dijual kepada orang sebangsanya. Karena itu, investasi di desa hanya dapat dijual kepada orang sebangsa. Akibatnya, investasi oleh orang Arab di desa dapat dikatakan dilarang. Nilai semua gedung milik orang Arab di daerah jajahan Belanda sekitar 11 juta gulden. Di Batavia 2,5 juta, Semarang sekitar 1 juta, Surabaya sekitar 3 juta, Palembang sekitar 2,5 juta dan Pontianak kurang lebih 2 juta. Di daerah jajahan Inggris, diperkirakan gedung milik Arab mencapai 5 juta, yang 4 juta paling tidak adalah milik masyarakat Arab yang bermukim di Singapura.7 Meskipun demikian, sebagian besar orang Arab yang memiliki bangunan tetap meminati perdagangan dan menggunakan sebagian dari modalnya untuk dipinjamkan sebagai modal kepada rekan dagangnya, orang Cina dan Pribumi. Dahulu sebelum memasuki abad ke-20 ini, mereka suka juga membeli kapal-kapal besar, namun cara investasi itu sekarang sudah kurang menguntungkan. Mereka yang masih memilikinya berusaha melepaskannya tanpa terlalu banyak merugi. Masyarakat Arab di Nusantara, dikenal sebagai sosok pedagang dan pekerja keras. Dapat dikatakan bahwa komunitas ini merupakan salah satu pesaing kuat golongan Cina dalam menguasai pasar apapun, meski pada awal kedatangannya mereka lebih banyak berdagang rempah dan persewaan properti, namun seiring waktu banyak pula masyarakat Arab yang menekuni bidang-bidang lainnya, terutama garmen dan meubel. 7
L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), h. 124.
69
Awal abad ke-19 merupakan puncak perdagangan masyarakat Arab di Nusantara, dimana mereka memiliki hubungan dagang dengan Maskat dan Mekkah.8 Tak hanya menguasai pasar-pasar besar, wilayah perdagangan mereka bahkan menembus desa-desa hingga pernah mendapatkan larangan dari Pemerintah Kolonial bagi orang Arab untuk berdagang di pedesaan. Komoditi utama dalam perdagangan Arab adalah cita katun (bazz) dan katun India (qumāsy) yang diimpor dari Eropa. Perdagangan cita itu jauh melampaui perdagangan komoditi lain yang dilakukan oleh golongan Arab. Dimana-mana terdapat perdagangan cita, sedangkan perdagangan komoditi lain hanya ada di beberapa tempat. Komoditi yang menduduki peringkat kedua adalah berlian dan batu permata lainnya. Di Batavia, tidak kurang dari tujuh orang Arab berusaha di bidang itu. Mereka tidak memiliki toko seperti jauh hari di Eropa, mereka pun tidak menjual perhiasan, mereka hanya menjual batu permata. Barang berharga itu tidak dijajakan seperti halnya cita katun dan katun India, pembeliannya pun dari golongan yang lebih terhormat atau dari golongan ekonomi kuat. Peringkat ketiga diduduki beraneka komoditi impor dari Eropa, barangbarang dari emas dan perak, arloji, makanan yang diawetkan, barang-barang dari logam, senjata, setra, tembikar, gerendel, dan berbagai barang dari baja, besi, atau lembaga, rempah-rempah, cerutu, minyak tanah dan sebagainya. Meski demikian mereka menolak untuk berjualan anggur dan minuman beralkohol yang memang dilarang dalam Islam.
8
Lihat antara lain P.J. Veth, Borneo’s Westerafdeling, Jil.I, hlm.371.
70
Selain itu masyarakat Arab juga terkenal karena sering meribakan uang, meskipun dalam hukum Islam termasuk dosa besar, bukannya tidak populer di kalangan orang Arab di Nusantara hampir tidak ada kapitalis Arab yang belum pernah sekalipun meminjamkan uang dengan riba, meskipun itu hanya merupakan usaha pelengkap. Memang jumlah mereka yang profesinya hanya meribakan uang sangat terbatas dan sebagian besar di antaranya berusaha menutupi usaha yang tidak halal itu dengan transaksi tersamar. Memang agaknya terlihat sangat kasat mata mengenai hal itu, namun pembelian dengan hak penjual untuk membeli kembali dan penjualan barang secara kredit yang harganya setinggi langit merupakan praktik yang paling lazim. Semua transaksi tersebut diperkuat oleh perjanjian tambahan seperti kontrak penyitaan, pemotongan sebagian pinjaman sebagai jaminan, pasal pembatalan kontrak atau solidaritas dari pihak peminjam.9 Selain perdagangan, pelayaran juga bisa disebutkan sebagai salah satu sarana kehidupan masyarakat Arab. Sangat sedikit orang Arab yang menjadi kelasi, nahkoda (nawkhadsā), mualim (mu’illim) dan kerani (krānī) kapal-kapal besar memang orang Arab, namun awak yang selebihnya terdiri dari pelaut Pribumi. Jarang dijumpai nahkoda Arab yang tidak menjalankan kapal rekan sebangsanya dan jarang pula kapal Arab yang dijalankan oleh nahkoda berkebangsaan lain.10 Pada sejumlah kapal Arab terdapat mualim Eropa berijazah resmi untuk memenuhi persyaratan para penyewa Eropa yang mengasuransikan kapal Arab itu. Pelaut Arab tidak pernah menjalani tujuan untuk memperoleh ijazah pelayaran
9
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 125-126. Pada tahun 1885, hanya ada satu kapal yang dimiliki orang Eropa, satu lagi milik Cina dan dua buah milik Pribumi, yang dijalankan oleh nahkoda Arab. Pada tahun yang sama, ada enam nahkoda Pribumi dan seorang Cina yang menjalankan kapal Arab. 10
71
dan mereka juga tidak mengasuransikan kapal mereka selama tidak dituntut oleh penyewanya.11 Usaha pelayaran itu terus maju, setelah perdagangan dan kemakmuran kaum Pribumi berkembang berkat konsolidasi dominasi Eropa. Pelayaran Arab mencapai masa gemilang antara tahun 1845-1855. Dalam periode itulah hampir semua pengusaha pelayaran memperoleh keuntungan yang sangat besar, namun setelah itu mulai mundur karena perkembangan pelayaran dengan kapal api di Nusantara yang menjadi pesaing tak sebanding bagi pelayaran dengan kapal layar. Pelayaran dengan kapal api dikuasai oleh Eropa. Baru tahun-tahun terakhir abad ke-19 orang Arab dan Cina mulai turut ambil bagian, namun masih dalam skala yang sangat kecil. Kapal-kapal api Arab ini di antaranya melayani rute SingapuraJeddah khususnya mengangkut para jama’ah haji, para pemilik kapal-kapal itu memiliki agen-agen mereka di beberapa pelabuhan Nusantara yang diambil dari para pedagang Arab.12 Pertanian Arab terbatas dalam koloni-koloni di Batavia, Pontianak dan Singapura. Kecuali keturunanya yang berdarah campuran, jarang ada orang Arab yang memegang sektor ini. Sama halnya dengan aristokrat Pribumi, orang Arab di Nusantara tampaknya menganggap kerja tani tidak sesuai dengan harkat mereka. Pada Keresidenan Batavia sejumlah masyarakat Arab memiliki tanah luas yang disesuaikan oleh pemerintah khususnya pada awal abad ke-19 dengan syarat pemiliknya menjamin kepada penduduk Pribumi kepemilikan ladang, kebun dan tempat tinggal mereka secara turun-temurun. Meskipun demikian, kepemilikan turun-temurun disesuaikan dengan keuntungan pemiliknya, untuk menjadi sumber 11
Diketahui bahwa kontrak asuransi dianggap umat Islam sebagai kekurangpercayaan terhadap Tuhan, lagipula hukum Islam tidak mengakuinya. 12 Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 127-134-135.
72
penghasilan yang utama. Pemilik Arab hampir tidak mengurusi untuk keperluannya sendiri. Di samping tuan-tuan tanah itu, masih ada beberapa masyarakat Arab di Batavia yang memiliki kavling-kavling kecil untuk mengelola lahan pertanian tersebut atas persetujuan petani pemilik tanah dengan sistem bagi hasil. Pada umumnya, di dalam pengaturan dan pengelolaan tanah-tanah mereka, seperti juga dalam perdagangan, sikap pelit mereka selalu jadi hambatan. Hampir semua berusaha mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari tanah mereka, tanpa berpikir untuk menjaga mutu tanah dengan cara-cara yang ilmiah. Ketakutan akan pengeluaran sesaat membuat mereka buta bahwa tanahnya memberikan bunga sesuai apa yang dipinjamkannya. Maka tanah-tanah orang Arab pada umumnya memberi kesan kurang subur.13 Berikut ini adalah gambaran penghasilan dari sektor pertanian di Nusantara pada tahun 1926. Pengahasilan Pertanian, 192614 Kelas Persen rakyat Pemilik tanah: Kaya 2,5 Biasa 19,8 Miskin 27,1 Penyewa 3,4 Buruh 12,4 Tani 19,6
Penghasilan (f.) 1.090,49 299,83 147,65 118,75 101,36 120,32
Meijer Ranneft, Belastingdruk, hal. 10.
Profesi pengrajin yang sebenarnya hampir tidak masuk hitungan. Pekerjaan itu hampir seluruhnya digeluti oleh masyarakat Arab campuran. Di sekitar Batavia, terdapat sebuah lembaga litografi milik sayid Uṣ man bin Abd Allah bin Yahya. Di Palembang, sayid yang lain memiliki sebuah percetakan. 13
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 135-137. J.S. Furnivall, Hindia Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk, terj. Samsudin Berlian, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hal. 422. 14
73
Kemudian, di Nusantara ada lima ahli jam, tiga pengrajin perak, empat tukang kayu, seorang tukang jahit, seorang pembuat limun dan seorang masinis di kapal api milik pemerintah di kerajaan landak (pantai barat Borneo) beberapa Arab campuran berprofesi pencari intan. Dari Pasuruan, Bangil, Buleleng (Bali) dan Aceh dilaporkan bahwa beberapa Arab campuran bahkan menjadi penggotong mayat. Di dekat Batavia seorang Arab kelahiran Hadhramaut memiliki pabrik bata (mīfā) yang cukup besar dan dua atau tiga orang Arab campuran memiliki pabrik batik. Terakhir, di Bangil, seorang Arab campuran menjadi tukang pijit.
Kegiatan menenun benang orang Arab15
Aktivitas orang Arab16
15
http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/2?q_search_beschrijving=arabieren&q_facet_beginjaar =1900-1942 diakses pada tanggal : 24 Desember 2014. 16 http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/6?q_search_beschrijving=arabieren&q_facet_beginjaar =1900-1942 diakses pada tanggal : 24 Desember 2014.
74
2. Relasi Bisnis : Pemerintah Kolonial, Tionghoa, dan Pribumi Golongan etnis Cina sering kali diidentikkan sebagai golongan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian di Indonesia. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari adanya kenyataan bahwa mereka telah mulai merintis usaha-usaha di bidang perekonomian sejak dahulu dan keberhasilan mereka ditunjang oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut berasal dari berbagai pihak, baik pihak mereka sendiri, pihak pemerintah Hindia Belanda maupun dari pihak pribumi Indonesia.17 Menurut beberapa ahli, golongan etnis Cina Peranakan mempunyai satu karakter tersendiri. Skinner misalnya berpendapat bahwa ada satu karakter yang menonjol dari etnis Cina Peranakan yaitu mereka menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengandalan pada diri sendiri, semangat berusaha dan keterampilan. Ada dua istilah golongan Cina di Indonesia, menurut Charles K. Coppel dan Leo Suryadinata. Pertama istilah Cina Peranakan termasuk dalam pengertian keturunan campuran ras, digunakan untuk menunjukkan perbedaan yang kontras dengan Cina Totok yang memiliki darah Cina murni. Kedua istilah Peranakan dipakai untuk membedakan orang Cina kelahiran Indonesia dari Totok yang lahir di negeri Cina dan istilah ini juga untuk menunjukkan imigran Cina yang khusus berkembang di Pulau Jawa. Ketiga istilah Peranakan untuk menunjukkan masyrakat dan kebudayaan Cina yang berkembang di antara imigran-imigran baru yang telah dipengaruhi oleh nasionalisme abad ke20 yang menarik perhatian sejumlah besar masyarakat Cina kelahiran Indonesia18.
17
Seminar Sejarah Nasional IV, Sub Tema Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Bangsa Indonesia. (Jakarta: DEPDIKBUD Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991), h. 192-193. 18 Coppel dan Leo Suryadinata, “An Historical Survey” dalam majalah Far Eastern History, No. 2, September 1970.
75
Pedagang Buah di Perumahan Eropa Batavia Tahun 193019 Berbeda dengan Skinner, Mely G. Tan membedakan antara Cina Peranakan dan Cina Totok dalam bidang pemilihan bidang pekerjaan yang ternyata pemilihan itu mencerminkan perbedaan yang mencolok dalam orientasi nilai. Kalangan Cina Totok lebih menghargai kekayaan, kehematan, kerja, kepercayaan pada diri sendiri dan keberanian daripada kaum peranakan yang lebih menghargai penikmatan hidup, waktu senggang, kedudukan sosial dan perasaan terjamin.20 Karakter yang menonjol ini agaknya terbentuk dari perantauan, situasi yang merekan hadapi di perantauan mengakibatkan mereka harus mengambil sikap agar bisa bertahan. Pusat perdagangan yang besar dari golongan Arab di Nusantara adalah Batavia, Semarang, Surabaya dan Singapura. Di tempat-tempat itulah mereka membeli barang dalam jumlah besar atau kecil komoditi impor kemudian dijual eceran di dalam toko mereka kepada pedagang Arab, Cina, atau Pribumi yang tidak memiliki kredit pada rumah dagang Eropa.
19
Koleksi: Tropenmuseum TMnr_10002643 http://phesolo.wordpress.com diakses pada tanggal : 24 Desember 2014. 20 Mely G. Tan, (ed.), Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, h.11.
76
Tabel Distribusi Berdasarkan Mata Pencaharian di Indonesia Pada Tahun 193021 Mata Pencaharian Produksi Bahan Mentah Industri Transportasi Perdagangan Swasta Pegawai Negeri Lain-lain Jumlah
Eropa Jumlah 18.800
% 22,03
Cina Jumlah 144.488
4.676 10.985 11.415 11.290 20.731
5,48 12,88 13,38 13,23 24,30
93.988 12,754 171.979 7.161 3,039
7.424 85.321
8,70 36.126 100,00 469.935
% 30,83
Pribumi Jumlah 14.193.158
% 69,99
20,00 2,72 36,60 1,52 0,65
2.105.129 290.740 1.090.868 150.227 491.911
10,38 1.43 5,33 0,74 2,43
7,68 1.957.609 100,00 20.279.642
9,65 100,00
Data sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan bahwa 57,7 persen orang Cina hidup dari perdagangan dan 20,8 persen berkecimpung di dunia industri. Sedangkan 72,7 persen orang Arab bermata pencaharian dari berdagang dan hanya 10,6 persen yang hidup di sektor industri.22 Walaupun mempunyai karakteristik serta latar belakang yang berbeda, mereka bisa disebut sebagai “minoritas pedagang” (trading minorities) atau “minoritas perantara” (middlemen minorities).23 Pola hidup pedagang Arab ini kemungkinan terpelihara dengan baik sampai abad ke-20. Catatan yang dihimpun dari periode 1912 sampai 1919 menunjukkan bahwa meskipun terjadi kekacauan yang disebabkan Perang Dunia 21
Sumber: Leo Suryadinata, op.cit., h. 78. Lihat juga: Seminar Sejarah Nasional IV, Sub Tema Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Bangsa Indonesia. (Jakarta: DEPDIKBUD Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991), h. 200. 22 Didi Kwartanada, “Dari ‘Timur Asing’ ke ‘Orang Indonesia’: Pemuda Tionghoa dan Arab dalam Pergerakan Nasional (1900-1942)”, Prisma Vol. 30, No. 2 (2011), hlm. 42-43. 23 Charles A. Coppel, “Arab and Chinese Minority Groups in Java”, dalam kumpulan karangannya, Studying Ethnic Chinese in Indonesia (Singapore: Singapore Society of Asian Studies, 2002), h. 98-99. Seperti di kutip Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan Membangun Bangsa dan Merajut keindonesiaan, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2014), h. 15.
77
Pertama, orang Arab baru yang datang dan mengajukan permohonan izin masuk ke Jawa berjumlah total 1.121 jiwa. Sekitar 75 persen adalah pedagang yang saat kedatangannya di Nusantara memiliki antara seratus dan seribu lima ratus gulden tunai dengan cara menjual barang (terutama yang terkenal madu Daw’an) senilai seratus sampai seribu dua ratus gulden. 18 persen lebih jauh menjamin dukungan anggota keluarga yang telah tinggal di Nusantara, melalui siapa mereka mendapat akses modal dagang hanya 7 persen yang datang tanpa modal berarti.24 Gambaran ini memperkuat dugaan bahwa pada awal abad ke-20 mayoritas imigran Arab memiliki uang atau hubungan keluarga di Nusantara. Kontak usaha dagang bersama di antara masyarakat Arab lazimnya dilakukan secara lisan dan modal yang ditanamkan dalam setiap perusahaan selalu sangat kecil. Misalnya, modal 100.000 gulden dibagi di antara 20 sampai 30 perusahaan. Jadi mitra usahanya paling-paling penjaja keliling atau pemilik toko kecil. Tidak ada orang Arab yang mau berisiko menanamkan modal besar di dalam satu perusahaan.25 Dapat dikatakan bahwa kekurangan modal merupakan kelemahan terbesar dalam perdagangan Arab. Kelemahan itu ditambah lagi dengan mudahnya rumahrumah dagang Eropa memberikan kredit kepada siapapun yang mengenakan sorban. Saat mengenal masyarakat Arab yang sebenarnya tidak memiliki apapun, mampu setiap bulan membeli barang dagangan seharga 20.000 gulden secara kredit. Jika usahanya maju, ia mampu membayar cicilannya, namun jika mereka hanya dapat menjual barangnya dengan merugi, mereka berusaha meminta penangguhan pembayaran kredit, dengan harapan harga barang itu akan segera 24
Directore of Justice to Governor General, 26 April, 1919, mr. 1015/19, terdapat dalam vb. 26 Juni 1919, no. 16, MK, ARA. 25 Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 127-128.
78
naik. Jika harapan itu kandas, mereka berupaya memperpanjang tunggakan, dengan membayar para kreditor yang paling mendesak dengan barang dagangan dibeli secara kredit di tempat lain. Cara seperti itu sama dengan gali lubang tutup lubang dan akan berakhir dengan pailit. Pailit orang Arab yang cukup khas dapat diketahui bahwa di Hadhramaut tidak ada buku catatan yang teratur dan tentu saja di sana tidak dikenal rekening orang yang digunakan dalam perdagangan Eropa. Perlu pula ditambahkan bahwa perdagangan di Hadhramaut yang cukup berhasil jarang berpindah tempat, sedangkan sebagian besar orang Arab di Nusantara adalah suku, golongan menengah kecil atau Sayid, artinya orang-orang yang tidak mengenal bidang usaha. Jadi jelas mengapa perdagangan Arab ditandai oleh ketidaktahuan akan peraturan perdagangan seperti pengguna buku catatan dagang. Menurut van den Berg di Batavia, kiranya tidak lebih dari lima atau enam orang Arab yang buku catatannya memenuhi syarat. Karena tahu apabila mengalami pailit mereka harus menunjukkan buku catatan dagang. Mereka membuatnya sebisanya dengan bantuan catatan mereka, apabila mereka melihat bahwa kebangkrutan tak terhindarkan atau mereka hanya menyusun catatan biasa yang tidak mungkin disusun neracanya, kecuali pailitnya. Karena sembilan diantara sepuluh pengusaha yang pailit tidak mampu menyusun buku catatan dagang secara Eropa, sangat sulit bagi pengadilan untuk memutuskan apakah ada penyelewengan atau tidak. Akibatnya ancaman hukuman yang tertera di dalam kitab hukum pidana terhadap kebangkrutan, biasanya tidak berdaya guna.26
26
Van den Beerg, Orang Arab di Nusantara, h. 128.
79
Masyarakat Arab punya tradisi bisnis di perantauannya, begitu pun dengan mereka yang ada di Batavia. Tiga bersaudara keturunan Arab dari Padang, Sumatera Barat, tiba di Batavia pada 1920-an. Semuanya pengusaha, harta mereka berlimpah hasil warisan orang tua dan berbisnis. Namun misi utama mereka di Batavia adalah bukan untuk berbisnis melainkan memperkenalkan tradisi musik dan sandiwara khas mereka kepada warga Batavia.27 Menurut Mudrik bin Shahab, Selain berjiwa bisnis, mereka Sayid Idrus, Sayid Syehan, dan Sayid Abubakar, juga berjiwa seni; senang hiburan mereka termasuk klan bin Shahab yang masih ada hubungan darah dengan Ali Menteng.28 Mereka di Batavia bisa tinggal bersama kerabat, bisa pula di luar kampung Arab. Pemerintah kolonial telah menghapus wijken stelsel dan passenstelsel pada 1919. Shahab bersaudara memilih tinggal di Sawah Besar sembari menjalankan bisnis di Sumatera. Mereka juga membeli sebidang tanah untuk gedung pentas, rombongan mereka tampil secara teratur dan permanen di gedung itu. Faktor-faktor yang mendorong etnis Cina menjadi pedagang antara lain adalah adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang pada prinsipnya menghalang-halangi kontak antar masyarakat Cina dan memusatkan mereka di daerah-daerah tertentu sama halnya dengan orang Arab atau Timur Asing lainnya yang harus memiliki passen stelsel untuk bepergian keluar kota dan aturan-aturan yang memaksa untuk mereka bertempat tinggal di daerah-daerah tertentu. Dalam kenyataannya pemukiman mereka di
27
Hendaru T. Hanggoro, “Berbisnis di Rantau”, Historia, Nomor 15. Tahun II, 2013, h.
28
Hanggoro, “Berbisnis di Rantau”…, h. 44.
44.
80
Jawa disebut “Pecinan”. Daerah pemukiman itu kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan ekonomi pasar.29
Pedagang Arab30
Pedagang Cina31
Pedagang Cina
Pedagang Pribumi32
Peranan dan pengaruh pedagang Cina tak hanya terbatas di perkotaan saja tetapi juga memasuki jaringan hubungan perekonomian kota dengan desa-desa di sekitarnya. Arus barang perdagangan dari kota ke desa atau sebaliknya dapat dikatakan dikuasai oleh para pedagang perantara Cina ini. Pedagang-pedagang 29
Tan Giok Lan, The Chinese of Sukabumi, hal. 4-11. Dan lihat pula dalam Seminar Sejarah Nasional IV, Sub Tema DinamikaPertumbuhan Ekonomi Bangsa Indonesia. (Jakarta: DEPDIKBUD Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991), h. 198-199. 30 COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_koranschool_met_leraar_en_leerling_TMnr_6 0009392 diakses pada : 24 Desember 2014 31 COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Chinese_handelaar_TMnr_60012417 diakses pada : 24 Desember 2014. 32 COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_man_uit_Batavia_met_pikolan_voor_het_tran sport_van_zijn_warong_TMnr_60009385 diakses pada : 24 Desember 2014.
81
pasar di desa biasanya mengambil barang dagangannya dari pedagang-pedagang perantara Cina di kota tersebut. Bahkan tak berarti menutup kemungkinan bagi mobilitas para pedagang Cina untuk beroperasi langsung ke pasar-pasar desa sebagai supplier jadi bukan pedagang yang langsung berhadapan langsung dengan konsumen lokal. Sebaliknya dalam arus barang perdagangan dari desa ke kota pun peranan para pedagang perantara Cina pun cukup besar untuk diperhitungkan, terutama hasil-hasil pertanian ekspor seperti tembakau, cengkeh dan lada.33 Tabel Pembagian Pekerjaan Cina Totok dan Peranakan di Jawa Tahun 1930 (dalam %)34 Pekerjaan Totok Peranakan Produksi bahan mentah 1,13 14,87 Industri 27,10 15,27 Transportasi 0,97 4,16 Perdagangan 65,02 52,41 Swasta 2,43 1,87 Pegawai Negeri 0,11 0,86 Lain-lain 3,24 9,65 Jumlah 100,00 100,00 Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa besarnya peranan etnis Cina dalam perekonomian waktu itu dan kuatnya posisi pedagang perantara Cina dalam struktur perekonomian yang berorientasi kepada pasar bebas atau perekonomian liberal. Dari posisi kunci ini mereka dapat memperluas jaringan kontak-kontak perdagangannya, lebih jauh ke arah peminjaman uang, perdagangan besar-besaran dan pembelian bahan-bahan pokok untuk pemasaran ekspor meskipun mereka hanya berhasil mendapat sedikit jalan ke arah sektor-sektor kehidupan ekonomi yang dikuasai oleh orang-orang Belanda, misalnya perkebunan, impor-ekspor, 33
Seminar Sejarah Nasional IV, Sub Tema Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Bangsa Indonesia. (Jakarta: DEPDIKBUD Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991), h. 199. 34 Sumber: Leo Suryadinata, Pribumi Indonesians The Chinese Minority and China, h. 80. Lihat juga: Seminar Sejarah Nasional IV, Sub Tema Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Bangsa Indonesia. (Jakarta: DEPDIKBUD Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991), h. 197.
82
perdagangan besar dan perbank-kan sampai berakhirnya masa penjajahan.35 Golongan etnis Cina di samping pekerjaan itu mampu memainkan peranannya sebagai golongan menengah dalam struktur perekonomian kolonial Belanda, dimana peranan pedagang perantara mempunyai peranan penting di dalamnya. Pada masa itu perdagangan dapat di bagi menjadi tiga jenis yaitu, perdagangan besar yang pada umumnya dikuasai oleh perusahaan swasta Belanda, perdagangan kecil yang pada umumnya dikuasai oleh pedagang pribumi dan pedagang perantara sebagai penghubung antara perdagangan besar dan perdagangan kecil yang pada umumnya dikuasai oleh golongan Timur Asing dan pribumi. Perdagangan besar adalah suatu cabang perdagangan yang mengurus ekspor-impor; perdagangan kecil adalah suatu cabang perdagangan yang membeli barang dagangan dari tangan kedua atau ketiga untuk kemudian dijual langsung ke tangan konsumen. Perdagangan perantara mempunyai dua fungsi, yaitu perdagangan distribusi terutama menyebarkan barang-barang konsumsi yang diimpor dari luar negeri. Perdagangan koleksi terutama berfungsi untuk mengumpulkan hasil-hasil tanaman dagang dari petani langsung atau melalui pedagang kecil untuk diteruskan kepada pedagang besar. Perdagangan kecil sendiri dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu perdagangan keliling dan perdagangan menetap. Perdagangan keliling juga dapat dibagi dalam dua bagian yaitu perdagangan kelontong yang pada umumnya dikuasai oleh pedagang Cina, dan pedagang jalanan yang pada umumnya dikuasai oleh pedagang pribumi. Perdagangan menetap dibagi tiga jenis, yaitu warung, pasar dan toko.36 35 36
Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, h. 47. Liem Twan Djie, De Distribueerende Tusschenhandel der Chinezen op Java, h. 4-11.
83
Perdagangan distribusi terutama menjual barang-barang seperti tekstil, makanan dan minuman, barang-barang kelontong, beras, gula dan juga hasil produksi dalam negeri. Perdagangan koleksi terutama membeli hasil kerajinan tangan rumah tangga, hasil-hasil tanaman dagang seperti kopra, kapok, singkong, jagung, beras dan kulit. Perdagangan kelontong terutama menjual barang-barang keperluan sehari-hari seperti kaca, hasil kerajinan tangan yang diimpor dari Cina, atau benang. Perdagangan jalanan terutama menjual kebutuhan pangan penduduk seperti daging atau ikan. Pedagang-pedagang kelontong ini biasanya menjajakan barang-barang jadi dan barang-barang klontongan. Mereka tidak hanya berkeliling di kota-kota saja, tetapi sering pula ke desa-desa dan kampung-kampung untuk menawarkan barang-barangnya kepada penduduk. Terkadang mereka menyewa kuli pribumi untuk memikul barang-barang mereka dengan pikulan.
Penjual makanan di Batavia37
Tukang Barang38
37
http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/486?q_search_beschrijving=batavia&q_facet_beginjaar =1900-1942 diakses pada : 26 Desember 2014. 38 http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/75?q_search_beschrijving=batavia&q_facet_beginjaar= 1900-1942 diakses pada : 26 Desember 2014.
84
Penjual Sayuran39
Penjual Limun41
Penjual Kue40
Penjual Minuman Tebu Tahun 191542
39
http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/102?q_search_beschrijving=batavia&q_facet_beginjaar =1900-1942 diakses pada : 26 Desember 2014. 40 http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/787?q_search_beschrijving=batavia&q_facet_beginjaar =1900-1942 diakses pada : 26 Desember 2014 41 http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/55?q_search_beschrijving=batavia&q_facet_beginjaar= 1900-1942 diakses pada : 26 Desember 2014 42 www.kitlv.nl diakses pada : 26 Desember 2014.
85
Seperti telah disebutkan di atas perdagangan perantara pada umumnya dikuasai oleh golongan Timur Asing dan pribumi, namun dalam hal ini yang paling menonjol adalah etnis Cina. Mengapa perdagangan perantara didominasi etnis Cina? Kalau kita lihat pada kenyataannya orang Indonesia umumnya khususnya orang Jawa itu sangat sedikit yang memiliki jiwa dagang. Kebanyakan dari mereka adalah petani yang kebutuhannya tidak seberapa besar itu dicukupinya sejauh mungkin dengan usaha sendiri sehingga hampir-hampir tidak berkembang suatu golongan pedagang.43 Pedagang-pedagang Cina selain menjadi penyalur barang-barang yang diimpor oleh perusahaan Belanda, mereka juga mengimpor barang-barang kerajinan dari Siam. Impor beras dari Siam dan barang-barang kerajinan dari Cina terutama dilakukan oleh pedagang-pedagang besar yang membuka beberapa cabang di luar negeri. Barang-barang yang diimpor kemudian disalurkan kepada masyarakat melalui agen penyalur perusahaan mereka sendiri atau melalui langganan tetap mereka. Faktor-faktor yang menunjang keberhasilan pedagang etnis Cina ialah; pertama, tumbuhnya mobilitas idealisme dalam bentuk untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada yang mereka peroleh selama ini. Kedua, untuk menjawab tantangan itu, ajaran itu, ajaran Konfusianisme memberikan saluran guna merumuskan pandangan-pandangannya tentang dunia sebab pada dasarnya ajaran Konfusianisme lebih banyak mengatur hubungan horizontal dan memberikan landasan moral bagi lembaga horizontal tersebut. Ketiga, pandangan tentang dunia tersebut ternyata meberikan peluang bagi munculnya etos kerja 43
“Apakah Indonesia tjakap menjadi pedagang?” Peroendingan, 25 November 1936, h.
10.
86
seperti keuletan mereka dalam berusaha, rajin, tekun dan giat bekerja. Keempat, adanya modal yang cukup dan juga disebabkan karena faktor-faktor lain yang berasal dari pihak pribumi dan pemerintah Hindia Belanda. Dari pihak pribumi misalnya saja kurangnya modal pedagang pribumi sehingga mereka sukar bersaing dengan pedagang Cina. Kelima, pedagang-pedagang Cina hanya dapat mengembangkan usahanya di daerah-daerah yang penduduknya lebih condong untuk bercocok tanam. Keenam, faktor dari pemerintah Hindia Belanda antara lain adalah memberi kedudukan lebih tinggi kepada golongan non pribumi (Cina) daripada golongan pribumi.44 Pengaruh dalam masyarakat Indonesia, bagaimanapun pedagang-pedagang Cina itu beroperasi dalam segala sendi kehidupan di Indonesia. Pengaruh tersebut dapat ditelusuri melalui kebijakan ekonomi dan politik pemerintah Hindia Belanda dan kemudian memusatkan perhatian terhadap akibat-akibat yang ditimbulkannya. Kebijakan ekonomi pemerintah Hindia Belanda di satu pihak mendukung masuknya modal-modal swasta Belanda di bidang perkebunan, pertambangan, transportasi, industri, sedangkan di pihak lain menjadikan pedagang-pedagang etnis Cina sebagai sarana untuk melakukan penetrasi ke dalam masyarakat Indonesia. Penetrasi dengan memakai pedagang golongan etnis Cina itu tampaknya bertujuan untuk melumpuhkan basis perekonomian sabagai sarana mobilitas vertikal dari masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Perdagangan sebagai basis mobilitas
memungkinkan
timbulnya
kelas
menengah
yang
mempunyai
kesempatan untuk mengadakan pembaharuan atau perubahan sosial politik 44
Seminar Sejarah Nasional IV, Sub Tema Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Bangsa Indonesia. (Jakarta: DEPDIKBUD Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991), h. 207.
87
menggantikan struktur sosial yang monolistik, priyayi dan wong cilik.45 Dari kenyataan yang ditemukan kelas pedagang dari kalangan pribumi itu kebanyakan berasal dari kalangan Islam yang tersebar di sepanjang pantai Pulau Jawa. Dengan demikian pengaruh pedagang Cina itu hampir dapat dikatakan meluas ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari lapisan bawah sampai ke lapisan atas. Perbedaan ekonomi dan kultural antara kedua belah pihak nampaknya merupakan faktor yang berperan dalam melahirkan pembagian dan sentimen ras, pribumi dan non pribumi. Selain dari bisnis-bisnis yang disebutkan di atas, masyarakat Arab juga merambah seni hiburan. Dari mereka menampilkan pertunjukkan seni dari negeri asalnya, yaitu Hadhramaut atau Timur Tengah. Banyak orang menyukai penampilan mereka dan menyebutnya sebagai Komedi Bangsawan. Seperti yang dikatakan oleh Alwi Shihab, karena kesenian ini awal mulanya muncul dari Istana-istana bangsawan. Seperti Istana Deli di Medan, dan Istana Siak di Riau.46 Lama-lama sandiwara ini berkembang, penontonnya selalu membludak. Shahab bersaudara terpikir juga untuk mengembangkan bisnis di Batavia. Mereka membangun pertokoan di sepanjang jalan menuju teater. Bahkan mereka membuka bioskop di gedung yang sama pada 1930-an. Ini bisnis baru bagi keturunan Arab di Batavia. Mereka mendobrak dominasi pengusaha Tionghoa. Bioskop itu namanya Alhambra, yang didirikan oleh tiga orang bersaudara dari keluarga Shahab: Sayid Idrus, Sayid Syehan, dan Sayid Abubakar. Bioskop itu
45
Lance Castles, Tingkah laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, h. 103. Dan lihat Seminar Sejarah Nasional IV, Sub Tema Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Bangsa Indonesia. (Jakarta: DEPDIKBUD Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991), h. 208-209. 46 Alwi Shahab, Betawi Queen of The East, (Jakarta: Republika, 2002), h. 143-145.
88
hampir seluruhnya memutar film-film dari Mesir. Berbeda dengan bioskop lain yang sering memutar film Tiongkok dan Barat.47 Urusan impor film bukan masalah besar, Shahab bersaudara punya jaringan sampai ke Mesir. Film-film itu ternyata memikat warga Betawi, yang datang berkelompok dari pelosok kota dengan menyewa oplet. Mudrik mengatakan, bioskop ini kelas rakyat, banderol tiketnya tidak terlalu mahal: 3 rupiah untuk duduk di kelas satu; 1,5 rupiah untuk kelas dua; dan setengah rupiah untuk kelas tiga. Walaupun begitu Alhambra mengisi pundi-pundi Shahab bersaudara.48 Akan tetapi revolusi Mesir pada 1952 mengubah kisah manis itu, suplai film untuk Alhambra terhenti. Alhambra terpaksa memutar film Barat, seperti bioskop lainnya, tak ada keistimewaan lagi. Penontonnya pun berangsur surut, akhirnya bioskop ini tutup pada 1960-an dan gedungnya pun di jual. Penutupan itu tak berpengaruh besar pada Shahab bersaudara, bisnis hiburan ini cuma sampingan bagi mereka. Satu bangkrut masih ada yang lainnya, ini jamak terjadi pada keturunan Arab di Indonesia. Mereka punya usaha di pelbagai lini: rente, toko, lahan perumahan, tekstil, sampai dagang kuda. Tabel berikut ini menerangkan statistik rincian dari jumah orang Arab kaya di Nusantara dan perkiraan pendapatan mereka:49 Orang Arab yang setahun berpendapatan Keresidenan 600 s/d 3600 3600 s/d 12000 Lebih gl gl 12000 gl Banten 1 Batavia 60 6 4 Priangan 5 -
dari
47
Hanggoro, “Berbisnis di Rantau”, h. 44-45. Hanggoro, “Berbisnis di Rantau”, h. 44-45. 49 Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 139. 48
89
Krawang Cirebon Tegal Pekalongan Semarang Jepara Rembang Surabaya Madura Pasuruan Probolinggo Besuki Kedu JUMLAH
2 64 8 18 11 2 6 79 25 24 11 24 1 341
4 2 2 7 6 7 1 2 37
1 2 5 1 13
B. Jaringan Perdagangan Masyarakat Arab Batavia dengan Masyarakat Luar Batavia Masyarakat Arab yang melakukan perdagangan cukup besar, pada umumnya tidak mempunyai toko untuk menjual barang eceran pada orang lewat, atau mungkin pula toko itu tidak di rumahnya. Mereka yang kita lihat dudukduduk sambil menghisap pipa di muka pintu atau jendela rumah memiliki toko barang eceran di kota lain dan pengelolaanya dipercayakan pada wakilnya. Meskipun demikian, sebagian besar di antara mereka lebih suka menjualnya kembali kepad para pedagang yang tidak memiliki kredit pada rumah dagang Eropa, kecuali jika mereka menjual eceran melalui para penjaja. Hal itu menjelaskan gejala yang seringkali membuat kita heran, yaitu kita dapat masuk ke dalam rumah atau toko seorang Arab yang mempunyai usaha besar, tanpa melihat sepotong pun barang dagangan di sana. Yang mereka beli di Batavia dijual di toko-toko eceran di Palembang atau Cirebon, atau ia mengirimkannya kepada rekan-rekan dagang di berbagai tempat. Di rumahnya ia hanya mempunyai meja
90
kasir dan di tokonya hanya ada barang dagangan yang belum dapat dikirimkan segera.50 Penjual itu lebih suka menjual barang di lingkungan Pribumi kelas bawah dengan harga sangat mahal dan di cicil. Jika pencicil tetap hidup dan mampu membayar cicilannya, penjaja akan memperoleh keuntungan yang sangat besar, namun jika sebaliknya yang terjadi dan ini lebih sering, paling baik adalah melupakan piutangnya karena pembayaran yang pernah diperoleh biasanya sudah menutup harga barang yang sebenarnya. Pada perkembangannya, dua sistem ekonomi pun muncul. JH Boeke dalam Prakapitalisme di Asia, menyebutnya dualisme ekonomi. Ada celah menganga pada dua sistem ini, bagaimana produk petani bisa sampai ke luar desa. Bersama orang Tionghoa, orang Arab melihat celah ini. Pemerintah kolonial tahu dua kelompok ini bisa muncul sebagai ancaman. Tapi pemerintah tak punya banyak pilihan. Mereka harus mengisi kas negara, maka mereka menerima dua kelompok itu sebagai perantara sistem ekonomi ekspor dan subsisten; antara elit pemerintah dan bumiputera; antara dunia luar sana dan desa. Celah itu pun tertutup.51 Menurut JM Van der Kroef dalam Indonesia in The Modern World I, Sejak itu orang Arab tak lagi berdagang rempah dan barang-barang mewah. Sejak abad ke-19 aktivitas ekonomi mereka bertumpu pada perdagangan hasil agraria (karet, kopi, gula dan teh) yang ditanam di bumiputera. Juga pemberian kredit di kota dan desa.
50
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 129-130. J. Thomas Linblad, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: berbagai tantangan baru, terj. M. Arief Rohman, Bambang Purwanto, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1998), h. 233. 51
91
Dalam karya lain, “The Indonesia Arabs” termuat di Civilisations Vol. 5 No. 1 1955, Van der Kroef menyebut orang Arab berfungsi sebagai “perantara pemerintah kolonial dengan petani Indonesia dalam jejaring ekonomi uang, konsumsi modern, dan kebutuhan produksi.”52 Volume Ekspor Pertanian (ribu ton), 1891-193053 Tahun Kopi Kopra Kapuk Karet Gula Tapioka Teh 1891 55,9 2,1 463 2,6 1900 50,8 67 4,0 736 7,6 1913 28,7 229 10,1 7 1.471 26,5 1920 62,2 182 12,6 90 1.514 46,2 1930 62,7 375 296 2.838 136 81,8 Nilai Ekspor Utama, 1870-1930 (f. 000)54 Tahun Produk Kopi Ubi Kayu Jawa P. Jawa P. Luar Luar 1870 37.315 6.825 1880 49.026 10.854 1890 27.459 9.102 1900 586 26.795 7.820 1913 8.997 102 17.686 5.227 1920 14.410 36.352 15.691 1925 15.599 35.798 32.422 1930 13.881 11.744 23.921 Gula Jawa
Pulau Luar 32.209 48.888 5 51.489 73.659 1 156.609 1.049.811 324 369.474 12 254.271 3
Teh Jawa 1.738 1.763 2.246 4.196 21.543 35.218 63.620 59.225
Kopra
Tembakau 33 52 87 125 80
Karet
Jawa
P. Jawa Luar 25 385 1.659 39 5.201 5.109 67 18.997 36.044 8.881 25.365 67.482 67.689 9.286 93.105 141.583 4.655 72.502 59.928
Tembakau Pulau Jawa Pulau Luar Luar 3.523 132 9.510 6.241 16.697 15.646 2 18.461 13.630 21.382 70.789 4.307 45.628 124.635 10.729 36.783 73.687 10.304 12.301 46.346
Timah Pulau Luar 7.095 9.558 9.228 24.167 36.694 64.748 94.182 57.898
P. Luar 158 259 371 14.997 126.528 440.626 113.466
Petroleum Jawa Pulau Luar 5 4.592 1.129 112.248 7.413 302.935 1.884 171.146 (190.056)
52
JM Van der Kroef, “The Indonesia Arabs” termuat di Civilisations Vol. 5 No. 1 1955. Furnivall, Hindia Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk, terj. Samsudin Berlian, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hal. 355. 54 Furnivall, Hindia Belanda, hal. 356. 53
92
Sebagai catatan dari tabel di atas, Kopi: Angka-angka termasuk ekspor Pemerintah; sedikit kopi Pemerintah dari Provinsi-Provinsi Luar diekspor dari Jawa. Karet: Angka-angka sebelum 1912 berkaitan dengan gum-elastic. Tembakau: Kerancuan antara 1900 dan 1913 tampaknya disebabkan perubahan klasifikasi. Untuk 1911, 52,7 juta ton, bernilai f. 52,7 juta, di ekspor dari Jawa dan 21,3 ton, bernilai f. 21,3 juta, dari Provinsi-Provinsi Luar, pada 1912, 61,4 juta ton, bernilai f. 40,8 juta, dari Jawa dan 22,9 juta ton, bernilai f. 55,3 juta dari Provinsi-Provinsi Luar. Timah: Angka-angka termasuk ekspor Pemerintah; semuanya di produksi di Provinsi-Provinsi Luar walaupun laporan perdagangan menunjukkan ada yang di ekspor dari Jawa. Ekspor Barang Dagangan (f. juta)55 Tahun 1880 1890 Swasta: Jawa 95 109 Provinsi-provinsi Luar 42 49 Total 138 158 Total termasuk barang 175 175 dagangan pemerintah
1900
1913
1920
1925
1929
1930
157 73 230 258
317 297 614 671
1.501 723 2.225 2.228
837 947 1.784 1.801
710 735 1.446 1.446
566 592 1.159 1.160
Angka-angka sampai 1913 mengacu pada Perdagangan Umum (yakni, Lokal); angka-angka setelah itu mengacu hanya pada Perdagangan Khusus (yakni, Asing), tapi hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua kategori itu. Angkaangka untuk 1913 dan sesudahnya tidak mencakup emas batangan; dalam beberapa laporan awal yang diklasifikasikan sebagai Barang Dagangan, akan tetapi jumlahnya tidak berarti. Keliru sekali jika perdagangan Eropa menganggap bahwa perdagangan Arab yang bangkrut mempunyai kebiasaan mengangkut sebagian harta bendanya ke Hadhramaut untuk mengecoh kreditor mereka yang sah. Memang benar bahwa 55
Furnivall, Hindia Belanda.,hal. 354.
93
sebagian besar orang Arab yang kaya mengirimkan bantuan dalam bentuk uang kepada kerabatnya dan kepada badan-badan keagamaan di tanah airnya, namun benar pula bahwa jika penyerahan itu digabungkan, jumlahnya akan sangat besar meskipun sangat jauh dibandingkan dengan modal yang disediakan oleh perdagangan Eropa bagi perdagangan Arab. Masyarakat Arab itu mengenal dengan baik negerinya yang tidak aman untuk menyimpan uang mereka. Sayid yang kaya atau kerabat kepala suku mungkin secara kebetulan membeli satu atau dua rumah atau kebun kurma di Hadhramaut, namun harga barang-barang itu sangat murah dan tidak akan membuat kekayaannya habis. Di samping itu, nilai bangunan-bangunan itu telah disebarluaskan kepada masyarakat atas permintaan salah seorang rekan sebangsanya yang telah menerima keputusan penyegelan dari Qadi di Saiun. Qadi itu, atas aturan hukum locus regit actu, mengakui ke absahan pailit yang diputuskan oleh pengadilan Batavia, artinya oleh seorang hakim non-Islam.56 Posisi perantara berbuah manis untuk orang Arab, mereka jadi tempat bergantung para petani untuk menjual surplus panen. Menurut van der Kroef, para petani tak punya cukup modal, rangsangan, dan kemampuan berintegrasi dengan ekonomi berorientasi pasar. Artinya para petani mesti berbagi keuntungan dengan masyarakat Arab. Berbeda dengan masyarakat Arab, posisi petani terjepit. Keadaan di Jawa, tingkat kesejahteraan mereka menurun pada pertengahan abad ke-19. Clifford Geertz, dalam involusi pertanian, menyebutnya kemiskinan bersama. Untuk membeli kebutuhan sehari-hari, petani kembali menggantungkan hidup pada
56
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 130.
94
orang Arab. Caranya dengan meminjam uang meski berbunga tinggi, inilah usaha sampingan masyarakat Arab. Dari dua praktek bisnis itu, masyarakat Arab mengukuhkan posisi ekonominya. Dalam tahun 1860 baik dalam bagian produksi hasil bumi maupun dalam bagian impor, pedagang Arab waktu itu banyak menjadi perantaraan antara importir dan pedagang kecil, pedagang Arab memegang kedudukan yang tegap.57 Masyarakat
Arab
memperoleh
keuntungan
yang
besar,
mereka
menyisihkannya sebagian untuk modal usaha lain seperti toko kredit kebutuhan sehari-hari. Sisa keuntungan, bersama surat, mereka kirim ke kerabat di Hadhramaut. Surat itu bercerita tentang sukses mereka di perantauan yang kemudian ini akan menjadi suatu pendorong migrasi masyarakat Arab ke Hindia, selain pembukaan terusan Suez dan penemuan kapal uap.
C. Pertentangan dengan Golongan Tionghoa, Pemerintah Kolonial, dan Golongan Pribumi Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia berlaku berbagai macam hukum. Hukum yang berlaku bagi orang Eropa berbeda dengan hukum bagi orang Arab dan Tionghoa, sedangkan hukum yang berlaku bagi keduanya juga berbeda dengan hukum yang berlaku bagi orang pribumi. Menurut pasal 11 AB (Agemene Bepalingen van Wetgeving) dalam bidang Hukum Perdata, pada awal mulanya untuk orang-orang Eropa dinyatakan berlaku “Burgelijke Wetboek” (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan “Wetboek van
57
“Balans Perdagangan Arab di Indonesia” termuat di Insaf, November 1937.
95
Koophandel” (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), sedangkan bagi orangorang Arab dan Tionghoa dinyatakan berlaku Hukum Adat mereka.58 Pada tahun 1885 ada perubahan, oleh karena pada waktu itu pertengahan abad ke-19 hubungan perdagangan antara golongan hukum Timur Asing dan Belanda makin lama makin bertambah erat. Pemerintah Belanda memandang perlu untuk menerapkan berlakunya hukum kekayaan Eropa bagi golongan hukum Timur Asing, dimana masyarakat Arab dan Tionghoa termasuk di dalamnya. Begitulah pada tahun 1855, dengan ketentuan yang berlaku mengenai deklarasi Legislasi Eropa pada Penduduk Indonesia (Timur Asing), pemerintah Belanda telah menyatakan menerapkan berlakunya semua peraturan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Eropa, kecuali hukum keluarga dan Hukum yang mengatur warisan karena kematian pada orang-orang Tionghoa, sekalipun peraturan itu hanya berlaku di Jawa dan Madura saja.59 Pada awal abad ke-20 telah terjadi perkembangan satu sektor ekonomi yang mengkonsentrasikan pada kegiatan perkebunan dan pertambangan serta untuk ekspor ke pasar dunia. Ciri produksi padat modal perusahaan ini sejalan dengan tuntutan keperluan pasar dunia yang menciptakan dikotomi dalam ekonomi, yaitu ekonomi petani yang memproduksi tanaman pangan dan menggunakan teknologi tradisional serta padat karya berdampingan dengan perkebunan besar yang menggunakan teknologi modern dan memproduksi secara 58
R. Supomo, Sistim Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia ke-II, (Djakarta: Pradnya Paramita, 1972), h. 76. 59 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, 1953, h. 220. Lihat juga R. Supomo, ibid., h. 87 : “Untuk Orang Timur Asing ada pertimbangan lain. Mereka datang ke “HindiaBelanda” dengan maksud untuk “mengejar laba keuntungan”, sehingga “seperti semua orang asing lainnya bangsa Eropa jauh lebih sedikit hak mereka atas langsungnya perundang-undangan mereka sendiri”. – “Maka penyelesaiannya adalah : “hukum Eropa untuk Timur Asing, untuk orang Indonesia adat mereka”. Dari sebab itu guna perusahaan Eropa dengan Staatblad 1855 No. 79 hukum harta kekayaan dan hukum dagang Eropa diperlakukan terhadap orang Timur Asing di Jawa dan Madura”.
96
khusus untuk pasar dunia. Berbeda dengan konsep ekonomi dualistis yang dikemukakan Boeke60, Furnivall61 berpendapat bahwa selain ekonomi tradisional yang dilakukan masyarakat pribumi dan ekonomi modern yang dilakukan pengusaha Barat terdapat jenis kegiatan ekonomi lain, yaitu ekonomi perdagangan atau perantara dan manufaktur yang dilakukan oleh orang Cina dan Arab yang lazim disebut Vreemde Oosterlingen (Timur Asing). Periode akhir 1890-an hingga periode depresi ekonomi tahun 1930-an merupakan periode konflik pemisahan diri. Integrasi politik antara Jawa dan luar Jawa ke dalam satu kesatuan politik telah tercapai, namun pada saat itu pula kesadaran nasional bangkit membayangi terbentuknya satu kesatuan politis. Pemerintahan kolonial yang secara efektif tercapai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J. B.van Heutz (1905-1909). Proses integrasi politik, ekonomi dan maritim mewujudkan satu kessatuan politik yang tampak pada aspek teknologi, ekonomi, politik, dan bahkan etnik.62 Dalam kegiatan ekonomi, diskriminasi tersebut terlihat jelas. Dalam sektor produksi, ekonomi pribumi dan ekonomi barat bergerak sejajar, sedangkan kegiatan distribusi berada di tangan pedagang Cina. Spesialisasi berdasar kelompok etnis tampak bahwa perusahaan Eropa di Jawa memfokuskan pada industri pasar Eropa, sedangkan ekonomi pedesaan Jawa tetap berorientasi pada produksi untuk tanaman pangan serta pasar lokal.
60
J. H. Boeke, Economic and Economic Policy of Dual Societies as Exemplified by Indonesia (New York: Institute of Pacific Relations, 1953). 61 J. S. Furnivall, Netherland India: A Study of Plural Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1939/1940). 62 J. Th. Linblad, “The Late Colonial State and Economic Expansion 1900-1930,” dalam H. Dick, The Emergence, Bab 2.
97
Aktivitas Perdagangan di Pasar63
Pasar Ikan 193264
Pasar Baru65
63
http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/316?q_search_beschrijving=batavia&q_facet_beginjaar =1900-1942 diakses pada : 26 Desember 2014. 64 Sumber: Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT), Netherlands. COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Batavia_bootjes_bij_de_vismarkt_TMnr_60018290 diakses pada : 26 Desember 2014. 65 http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/469?q_search_beschrijving=batavia&q_facet_beginjaar =1900-1942 diakses pada : 26 Desember 2014.
98
Pasar Minggu
Pasar Senen66
Keadaan di luar Jawa lebih kompleks, beberapa sektor produksi ekspor, seperti pertambangan dan industri berada di tangan kapitalis Barat, sedangkan pengusaha kecil pribumi memegang peranan penting dalam sektor perkebunan, seperti pengusaha kopra dan lada. Kesejajaran tampak jelas pada industri karet, yaitu perusahaan besar Eropa berdampingan dengan perkebunan karet rakyat yang secara cepat memperluas produksinya.67 Bagian Negeri Belanda dalam Perdagangan68 Tahun Ekspor Impor (a) (b) (a) 1830 6,8 52,5 6,3 1850 45,2 78,3 7,9 1870 82,4 76,5 19,0 1900 71,2 30,9 59,3 1913 172,6 28,1 145,3 1920 354 15,9 263 1930 177 15,3 140
(b) 41,9 33,9 40,6 33,7 33,3 23,6 16,8
(a) Nilai ekspor/impor ke/dari negeri Belanda. (b) Persentase nilai total ekspor/impor.
66
http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/30?q_search_beschrijving=batavia&q_facet_beginjaar= 1900-1942 diakses pada : 26 Desember 2014. 67 Taufik Abdullah, Adrian B. Lapian (ed). Kolonialisasi dan Perlawanan; Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid IV, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve dan Kementiran Pendidkan dan Kebudayaan RI, 2012), h. 210. 68 Furnivall, Hindia Belanda., hal. 357.
99
Pada tahun 1919 golongan hukum Timur Asing dibagi dalam dua bagian, masing-masing golongan hukum Tionghoa dan golongan hukum Timur Asing bukan Tionghoa.69 Di samping itu, pada tahun itu juga telah berlaku sebuah peraturan yang menyatakan berlakunya Hukum Keluarga yang tercantum dalam KUHP bagi golongan hukum Tionghoa, dengan pengecualian beberapa pasal dari Buku I kitab hukum tersebut, ditambah dengan menyatakan berlakunya sebuah peraturan mengenai Pencatatan Sipil (Burgelijke Stand). Peraturan-peraturan tersebut tidak berlaku bagi golongan hukum Timur Asing bukan Tionghoa. Masyarakat Tionghoa tidak mempunyai penghormatan secara umum pada kebudayaan yang ada hubungannya dengan agama Islam, baik di Arab maupun di Indonesia. Sebaliknya para pedagang Arab ternyata bersaingan secara langsung dengan para pedagang Tionghoa, dan permusuhan di antara kedua golongan itu kadang-kadang telah meletus dalam bentuk kekerasan namun tidak sampai menimbulkan kegaduhan yang berlebih melainkan hanya sesaat. Keadaan sosial, ekonomi, dan politik di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang sedemikan rupa hingga menerbitkan prasangka dan permusuhan di antara orang-orang Tionghoa dan Indonesia. Namun hal itu tidak sampai ke dalam bentuk sebuah pertikaian yang amat besar dengan adanya pemberontakan antar etnis. Akhirnya, masyarakat pribumi yang beragama Islam tidak berusaha untuk menobatkan masyarakat Tionghoa kecuali dalam waktu-waktu yang khusus, dan mereka itu tidak mempunyai suatu tingkat derajat dalam bidang pelayanan sekolah, rumah sakit, dan lembaga-lembaga amal jika dibandingkan dengan orang-orang Kristen. Oleh karenanya masyarakat Tionghoa hanya memiliki 69
E. Utrecht, Ibid., h. 221. Lihat dalam Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang: Tanjung Sari, 1979).
100
sedikit pengetahuan saja mengenai agama Islam dan mempunyai sedikit alasan untuk bisa tertarik pada agama Islam.70 Kegiatan perdagangan bukanlah mata pencaharian utama, terutama karena sebagian besar masyarakat dan perajin memasarkan produknya sendiri. Di samping itu kegiatan perdagangan hanya memberikan keuntungan yang kecil dan pesaing yang berasal dari golongan Cina serta Arab dirasa sangat berat bagi pedagang pribumi.71 Nusantara menjadi semacam tanah yang menjanjikan: memberi banyak keuntungan. Maka masyarakat Arab tak ragu untuk menanam modalnya dalam berbagai sektor bisnis. Antara lain lahan perumahan, perdagangan, dan industri tekstil. Padahal saat itu pemerintah kolonial menerapkan aturan diskriminatif terhadap orang Arab, walaupun demikian bisnis masyarakat Arab tak terbendung.
70
Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang : A Changing Minority Community in Indonesia, 1960, h. 247-248. Lihat juga Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang: Tanjung Sari, 1979). 71 Taufik Abdullah, Adrian B. Lapian (ed). Kolonialisasi dan Perlawanan; Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid IV., h. 210.
101
BAB IV PENGARUH JARINGAN PERDAGANGAN MASYARAKAT ARAB DI BATAVIA TAHUN 1900-1942 Berbicara mengenai perjalanan masyarakat Arab, sangat sulit rasanya jika tidak menyinggung mengenai penyebaran agama Islam, sekalipun jika kita membaca buku-buku atau sumber-sumber sejarah yang ada saat ini. Akan tetapi apabila di korelasikan dengan perekonomian sedikit sekali ditemukan tulisan mengenai peranan masyarakat Arab dalam menyebarkan Islam selama perjalanannya ke Indonesia, termasuk di Batavia. Namun ‘Encyclopedie van Nederlandsche Indie’ vol. II, Snouck Hurgronje1 menyebutkan bahwa pengaruh masyarakat Arab dalam penyebaran agama Islam di Indonesia lebih besar daripada bangsa-bangsa yang lain, meskipun penyebaran agama Islam di kepulauan itu baru terjadi dalam tahun 1292 Masehi dan dilakukan di kalangan kerajaan-kerajaan Pasai. Catatan serupa juga dapat ditemukan dalam buku R.B. Serjeant2 berjudul Society And Trade in South Arabia, dan juga buku History of Java oleh Raffles.3 Dalam sebuah buku oleh Dr. A. Madjid Hasan Bahafdullah4 berjudul Dari Nabi Nuh Sampai Orang Hadhramaut di Indonesia, dipaparkan bahwa penyebaran Islam ke Indonesia telah berlangsung sejak abad ke-12, yaitu sejak kedatangan ulama (atau yang dikenal dengan Habaib) dari marga Shihab ke Siak
1
Dr. Snouck Hurgronje, Encyclopedie Van Nederlansche Indie vol. II. (KITLV). R.B. Serjeant, Society and Trade in South Arabia, (Hampshire, 1996). 3 Thomas Stamford Raffles, History of Java, terj; Eko Prasetyanigrum, Maryati Agustin dan Idda Qoryati Mahbubah. (Yogyakarta: Narasi, 2008). 4 Dr. A. Madjid Hasan Bahafdullah, Dari Nabi Nuh Sampai Orang Hadhramaut di Indonesia – Menelusuri Asal-Usul Hadhrarim, (Jakarta: Bania Publishing, 2010). 2
102
(Riau) yang kemudian menjadi Sultan di sana, di mana kedatangan mereka sangat diterima dengan tangan terbuka, sehingga tidak sulit untuk menyebarkan Islam. Permasalahan utama yang pada akhirnya agak memburamkan peranan penting masyarakat keturunan Arab di Indonesia adalah minimnya catatan yang dibuat oleh masyarakat lokal ketika itu. Akan tetapi jika kita menggali sejarah lebih dalam, maka dapat ditemukan banyak sekali catatan penting mengenai kontribusi masyarakat Arab seiring dengan perkembangan Indonesia. Masyarakat Arab memiliki karakter yang berpegang teguh pada prinsip Ius Soli5, di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Tidak mengherankan jika kemudian warga keturunan Arab merupakan satu-satunya keturunan warga negara keturunan asing yang mencetuskan Sumpah Pemuda versi mereka sendiri. Aktivitas dan kegiatan masyarakat Arab tentunya di satu sisi juga memberikan dampak atau pengaruh bagi lingkungan dan masyarakat di tempat yang mereka tinggali, tak terkecuali di Batavia. Pengaruhnya dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, di antaranya mulai dari aktivitas kehidupan sehari-hari, semisal dari segi ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik yang sedikit banyaknya dapat kita rasakan sampai saat ini. Semua akan berusaha penulis paparkan dalam pembahasan disini.
5
Ius Soli atau jus soli (bahasa latin) merupakan istilah di dalam kewarganegaraan yang mana artinya adalah hak mendapatkan kewarganegaraan yang dapat diperoleh bagi individu berdasarkan tempat lahir di wilayah dari suatu negara.
103
A. Munculnya Perubahan Kehidupan Sosial – Budaya, Politik, dan Perkembangan Agama Islam Sejak lama, para sejarawan niaga di kepulauan Nusantara telah menyadari bahwa berbagai jaringan ekonomi yang rumit sudah ada selama berabad-abad di sebagian besar kawasan Asia Tenggara. Sebelum kedatangan imperium dagang Eropa dan koloni-koloni susulannya yang mendefinisikan tapal-batas negara modern. Seperti dikatakan Anthony Reid dan J.C. van Leur bahwa betapa dinamisnya kawasan ini dalam budaya, ekonomi dan sosial, kawasan ini bukan sebuah wadah kosong yang diisi dengan bentuk-bentuk kultural dan sosial kaum India, Cina, Muslim dan Eropa. Jaringan perdagangan telah meresapi jenis-jenis hubungan lain di kawasan ini dan pada gilirannya mengembangkan jenis-jenis interaksi baru.6 Pada awal abad ke-20 telah terjadi perkembangan satu sektor ekonomi yang mengonsentrasikan pada kegiatan perkebunan dan pertambangan serta untuk ekspor ke pasar dunia. Ciri produksi padat modal perusahaan ini sejalan dengan tuntutan keperluan pasar dunia yang menciptakan dikotomi dalam ekonomi, yaitu ekonomi petani yang memproduksi tanaman pangan dan menggunakan teknologi tradisional serta padat karya berdampingan dengan perkebunan besar yang menggunakan teknologi modern dan memproduksi secara khusus untuk pasar dunia. Berbeda dengan konsep ekonomi dualistis yang dikemukakan Boeke 7, Furnivall8 berpendapat bahwa selain ekonomi tradisional yang dilakukan
6
Adrian Vickers, Peradaban Pesisir: Menuju Budaya Asia Tenggara, (Denpasar: Pustaka Larasan; Udayana University Press, 2009), h. 6-7. 7 J. H. Boeke, Economic and Economic Policy of Dual Societies as Exemplified by Indonesia (New York: International Secretariat Institut of Pacific Relations, 1953). 8 J. S. Furnivall, Netherland India: A Study of Plural Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1939/1940).
104
masyarakat pribumi dan ekonomi modern yang dilakukan pengusaha Barat terdapat jenis kegiatan ekonomi lain, yaitu ekonomi perdagangan atau perantara dan manufaktur yang dilakukan oleh orang Cina dan Arab yang lazim disebut Vreemde Oosterlingen (Timur Asing). Periode akhir 1890-an hingga periode depresi ekonomi tahun 1930-an merupakan periode konflik pemisahan diri. Integrasi politik antara Jawa dan luar Jawa ke dalam satu kesatuan politik telah tercapai, namun pada saat itu pula kesadaran nasional bangkit membayangi terbentuknya satu kesatuan politis. Pemerintahan kolonial yang secara efektif tercapai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J. B.van Heutz (1905-1909). Proses integrasi politik, ekonomi dan maritim mewujudkan satu kesatuan politik yang tampak pada aspek teknologi, ekonomi, politik, dan bahkan etnik.9 Dalam kegiatan ekonomi, diskriminasi tersebut terlihat jelas. Dalam sektor produksi, ekonomi pribumi dan ekonomi barat bergerak sejajar, sedangkan kegiatan distribusi berada di tangan pedagang Cina mayoritas dan sebagian pedagang Arab. Spesialisasi berdasar kelompok etnis tampak bahwa perusahaan Eropa di Jawa memfokuskan pada industri pasar Eropa, sedangkan ekonomi pedesaan Jawa tetap berorientasi pada produksi untuk tanaman pangan serta pasar lokal. Kegiatan perdagangan bukanlah mata pencaharian utama, terutama karena sebagian besar masyarakat dan perajin memasarkan produknya sendiri. Di samping itu kegiatan perdagangan hanya memberikan keuntungan yang kecil dan
9
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium sampai Imperium Jilid I, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 289-290.
105
pesaing yang berasal dari golongan Cina serta Arab dirasa sangat berat bagi pedagang pribumi. 1. Kehidupan Sosial – Budaya Jasa masyarakat Arab dan ulama Hadhramaut telah memainkan peranan penting dalam proses dan perkembangan Islam di kalangan masyarakat Betawi (sebutan untuk menyebut masyarakat lokal Batavia). Mereka juga memberikan pengaruh budaya, terutama terhadap masyarakat lokal yang memang banyak mengadaptasi budaya Arab dan Tionghoa. Dengan adanya masyarakat Arab yang menetap di Batavia mereka telah berasimilasi dan berakulturasi dengan budaya lokal masyarakat setempat, sehingga melahirkan berbagai kebudayaan Betawi, hal itu ditandai dengan corak kebudayaan yang bernafaskan Islami seperti kesenian, kuliner atau makanan, pakaian, dan adat istiadat atau ritual keagamaan lainnya. a. Busana atau pakaian Pakaian bergaya Arab di perkenalkan di Nusantara oleh para pedagang Arab yang datang dari Hadhramaut. Selain itu dikenakan orang-orang yang pergi ke Mekkah untuk berhaji atau menuntut ilmu agama. Golongan Sayid dan golongan menengah mengenakan semacam sarung (futah) panjang hingga ke mata kaki dan diikat di pinggang dengan ikat pinggang kulit (sabtah). Diatasnya dikenakan jubah (jubbah) yang panjangnya juga hingga ke mata kaki dan ditutup dari atas sampai ke bawah oleh tiga buah kancing (qals). Kepala dicukur dan ditutupi sorban yang terdiri dari selembar kain (‘amamah) yang melingkari kopiah (kufiah). Di bawah sorban masih ada kopiah lagi namun kecil terbuat dari katun.10
10
L.W.C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), h. 86-89.
106
Tetapi demi membedakan sekaligus mengawasi rakyatnya, penguasa dalam hal ini pemerintah kolonial mulai menerapkan aturan berpakaian. Raja atau Sultan di Nusantara terkadang mengenakan sorban dan jubah dalam peristiwaperistiwa tertentu untuk menekankan posisinya sebagai pemimpin agama. Namun penggunaan pakaian gaya Arab ini kemudian meluas, sebagai penanda kesalehan dan ilmu tinggi. Pemerintah di Batavia melarang orang mengenakan pakaian kelompok etnis lain.11 Begitupun dengan pakaian perempuan yang biasanya berjilbab atau kerudung yang menjadi budaya atau adat. Budaya Hadhramaut lainnya yang biasa digunakan khususnya pada acara ritual keagamaan yaitu pemakaian gamis (qamis) berupa jubah panjang berwarna putih dengan (iqal) igal yang juga berwarna putih diikatkan di kepala.
Peranakan Arab dengan Busana khas Arab
Potret Keluarga Arab
11
“Busana: Dari Kesalehan hingga Mode”, Historia, No. 15, Th. II, 2013. h. 62. Lihat juga Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan & Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012), h. 225-229.
107
Belanda melihat pengenaan pakaian Arab sebagai ancaman, diasosiasikan dengan orang yang baru pulang berhaji di Mekah, yang kerap memicu keonaran. Terbukti dari tuduhan mereka terhadap pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah, misalnya saja Diponegoro di Jawa atau Imam Bonjol di Minangkabau.12
Orang Arab di Batavia13
Orang Arab dengan pakaian Eropa14
b. Kuliner atau masakan Masyarakat Arab yang ada Batavia ikut memperkaya khazanah kuliner di Nusantara. Kepulauan Nusantara, tempat dimana rempah-rempah melimpah, masyarakat Arab tak hanya sekedar berdagang. Mereka juga kehabisan bekal, yang lantas kemudian membuat makanan sesuai selera lidahnya, namun dengan bahan-bahan yang tersedia disini. Bahan makanan mereka yang hampir selalu
12
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 9-11. http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/42?q_search_beschrijving=batavia&q_facet_beginjaar= 1900-1942 diakses pada : 21 Januari 2015. 14 http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced?q_search_beschrijving=arabieren&q_facet_beginjaar=19001942 diakses pada : 21 Januari 2015. 13
108
menggunakan daging dalam jumlah banyak bercampur dengan bumbu-bumbu seperti jintan, kapulaga, kayu manis, wijen dan minyak samin. Nasi kebuli, martabak, gulai, maraq, dan sambosa adalah nama-nama di antara makanan atau masakan yang dianggap mempunyai pengaruh Arab. Dengan bahan-bahan yang disebutkan tadi. Biasanya kapulaga, kayu manis, olive oil atau minyak zaitun, kadang bawang bombay dan daging, cuma yang sering digunakan adalah daging kambing.15 Pengaruh kuliner ini mulanya berkembang di kota-kota pesisir yang menjadi tempat berlabuhnya masyarakat Arab. Misalnya di Sumatera, tempat dimana masyarakat Arab dan India mula-mula singgah pengaruhnya dianggap sampai ke makanan khas Minang. Kuliner Minang ini tidak berbeda jauh dengan milik masyarakat Arab. Rendang misalnya hampir tak ada bedanya dengan jenis masakan Timur Tengah, kecuali mungkin dengan tambahan santannya karena disini banyak tersedia kelapa. Juga demikian dengan beragam jenis makanan gulai. Bahkan di kabupaten Pekalongan, Ambon dan Ternate ditemukan gulai kacang hijau. Misalnya di Pekalongan, bubur yang biasanya disajikan berasa manis justru dipadukan dengan gulai. Kaidah makanan yang baik dan halal sesuai dengan ajaran Islam yang diusung para pedagang Arab ikut memberikan warna tersendiri.16 Sebagian besar makanan ini sudah menyatu dengan budaya lokal Nusantara, misalnya saja nasi kebuli, kini nasi yang disajikan kaya dengan citarasa rempah ini bukan saja dikenal sebagai kuliner orang Arab tetapi juga
15
Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan & Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012), h. 237-245. 16 Fajar Riadi, “Kuliner: Citarasa Hadrami, Citarasa Indonesia”, Historia, No. 15, Th. II, 2013, h. 63.
109
sudah menjadi milik orang Betawi yang sering dihidangkan untuk acara-acara seperti pernikahan atau ritual keagamaan lainnya. Dan menu-menu tersebut terus berkembang hingga sekarang, namun dari semua itu sudah membaur menjadi satu makanan orang Indonesia secara umum.17 c. Kesenian Batavia memiliki
beragam
seni
budaya,
seperti
halnya dengan
penduduknya yang majemuk. Yang patut dihargai sehari-hari, berbagai etnis yang tinggal disini hidup membaur, rukun, dan saling berintegrasi. Tidak heran kalau kesenian di Betawi sangat beragam, seperti beragamnya penduduk kota ini. Ada beberapa kesenian yang berasal dari Arab, di antaranya berupa kesenian sambrah. Sambrah berasal dari bahasa Arab samarokh, suatu seni musik berupa tonil atau orkes yang biasa pentas di tempat orang berkumpul atau memeriahkan suatu acara pesta. Selain itu ada pula orkes gambus, yaitu orkes yang menonjolkan gambus (alat musik petik berleher panjang tanpa papan nada) atau ‘ud (alat musik petik berbadan mirip buah pir) dilengkapi gendang dengan membrane-ganda kecil (marwas, majemuk kata marawis). Ketika masyarakat Arab berdatangan ke Nusantara pada abad ke-19, mereka mengenalkan Orkes Gambus. Awalnya, orkes ini membawakan lagu-lagu bersyair bahasa Arab, berisi ajakan beriman dan bertakwa kepada Allah dengan mengikuti teladan Rasulullah.18 Menurut van den Berg, di Hadhramaut orkes dibentuk dari sebuah gambus (qanbus), gendang (hajir) dari kayu, dan empat buah gendang kecil (marwas).
17 18
Riadi, “Kuliner: Citarasa Hadrami, Citarasa Indonesia”, h. 63. “Sambrah, Komedi Stambul, dan Oum Kalsoum”, Republika - Kamis, 10 April 2014, h.
16.
110
Keempat gendang kecil itu dipegang dengan tangan kiri dan ditabuh dengan tangan kanan. Sedangkan hajir diletakkan tegak di tanah di depan penabuhnya yang memukul dengan kedua tangannya dari sisi yang berbeda. Biasanya di Hadhramaut gambus lazim digunakan di kalangan suku-suku, namun bagi kalangan sayid dan golongan menengah alat musik itu dianggap tidak sesuai dengan martabat mereka.19 Musik gambus dimainkan di pesta pernikahan dan perayaan komunitas lainnya di kalangan pelanggan muslim. Instrumennya meliputi gambus, harmonium, biola, suling, bas betot (bas berdiri, string bass), rebana dan tamborin. Pada perkembangannya, gambus melahirkan sebuah seni musik yang disebut marawis karena komponen alat musiknya terdiri dari gendang-gendang kecil (marwas) yang dipakai dalam seni musik gambus. Dalam buku Batavia 1740, Menyisir Jejak Betawi, Windoro Adi menjelaskan bahwa satu kelompok marawis terdiri dari sepuluh orang penabuh, biasanya marawis dimainkan pada acara perkawinan dan acara-acara keagamaan, seperti Maulid Nabi Muhammad Saw. Seni Rebana, dan tari Zapin tak ketinggalan hadir di tengah masyarakat Betawi.20 Tari Zapin merupakan jenis tari ketangkasan dan kelincahan gerak yang indah dan berirama. Tari ini pada mulanya berkembang di kalangan santri, terutama sebagai pengisi waktu senggang mereka setelah selesai belajar ilmu agama dan melaksanakan pekerjaan sehari-hari. Menurut van den Berg, di Hadhramaut, Zapin dihalalkan namun lelaki terpelajar, paling tidak kalangan Sayid dan golongan menengah tidak 19
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 81-82. Alwi Shahab, “Kontribusi Komunitas Arab di Jakarta”, Republika - Kamis, 14 Juni 2012, h. 21. 20
111
melakukannya. Tarian dilakukan oleh dua orang dan mirip tari polka, tari berpasangan di Amerika dan negara-negara Eropa. Bedanya penarinya tidak saling berpegangan tangan dan berputar bersama, masing-masing menari sendiri. Sambil berputar kedua penari menjauhi orkes dengan tetap menjaga jarak di antara mereka. Laki-laki dan perempuan tidak pernah menari bersama. Pada dasarnya tari Zapin hanya ditarikan oleh pria dengan mengandalkan irama rentak kaki dan jentikan jari tangan. Tetapi pada masa kini sering pula ditarikan oleh penari puteri berpakaiaan muslim tanpa kehilangan kelincahannya.21 Tari Zapin berkembang sedemikian rupa dan banyak dipengaruhi oleh seni tari setempat. Umumnya dikembangkan di masyarakat dari rumpun bangsa Melayu, seperti di Bengkalis, Siak, Pekanbaru, Riau, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Batavia. Selain orkes Melayu ada juga orkes Harmonium, merujuk kepada organ lidah-getar (reed) kecil yang masuk dari Eropa melalui India. Orkes ini memainkan repertoar campuran musik Melayu, Arab, India, dan Eropa. Nama lain dari orkes ini adalah Samrah, berasal dari bahasa Arab yang berarti “hiburan malam”; atau Samroh, yaitu perempuan yang menyanyikan teks Arab dengan iringan rebana, atau ansambel gambus laki-laki yang mengiring tari.22 Menurut Munif Bahasuan, seorang keturunan Arab dalam keterangannya seperti dikutip Historia, Samrah mengacu pada acara-acara di Betawi ketika musik Arab dan musik berbau India dimainkan di pesta-pesta orang Betawi. Grupgrup Samrah mengiringi tari Melayu dan tari Betawi. Nama orkes Harmonium kemudian menghilang, kemudian grup-grupnya berganti nama menjadi orkes 21
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 82. Alwi Shahab, “Sambrah, Komedi Stambul, dan Oum Kalsoum”, Republika - Kamis, 10 April 2014, h. 16. 22
112
Melayu. Pada 1930-an, lagu yang direkam dan disiarkan di radio didominasi oleh tiga jenis orkes utama itu, orkes Gambus, orkes Melayu, dan orkes Harmonium. Musisi tiga jenis musik ini berperan membangun pondasi musik dangdut.23 2. Kehidupan Politik Berdasarkan tempat lahirnya masyarakat Arab di Indonesia terbagi menjadi dua golongan yaitu: orang Arab Asli (Wulaiti/totok) dan orang Keturunan Arab (Muwallad/peranakan). Wulaiti berdarah Arab murni dan biasanya lahir serta besar di Arab, terutama Hadhramaut. Sedangkan Muwallad berdarah campuran dan dilahirkan serta besar di Indonesia. Dahulu orang Wulaiti selalu memandang bahwa tanah air mereka adalah Hadhramaut sedangkan Indonesia hanyalan tempat merantau, selain itu mereka sangat bangga dengan sifat-sifat kearaban yang mereka miliki. Sementara itu orang Muwallad berpandangan bahwa tanah air mereka adalah Indonesia, bukan Hadhramaut. Alasannya sangat sederhana, mereka terlahir dan besar di Indonesia, mereka memiliki ibu dari wanita-wanita Indonesia dan banyak yang mengadopsi budaya lokal secara utuh.24 Bukan hal baru bagi orang Arab berurusan dengan politik dan kekuasaan. Salah satu ulama besar keturunan Arab yakni Habib Usman bin Yahya (18221914) ia pernah menjadi honorer adviseur (penasehat kehormatan) pemerintah kolonial. Dia dekat dengan penasehat pemerintah seperti C. Snouck Hurgronje, KF Holle, dan L.W.C van den Berg. Dia juga menentang gerakan pan-Islamisme dan aliran mistis Islam karenanya menjadi musuh ulama pribumi.25
23
Hendri F Isnaeni, “Music: Petikkan Gambus dan Entakkan Gendang”, Historia, No. 15, Th. II, (2013). h. 64-65. 24 Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan, (Jakarta: PT. Kompas Media Indonesia, 2014), h. 71-72. 25 Hendri F Isnaeni, “Mendekat Kepada Habib”, Historia, No. 15. Th. 11, (2013). h. 58.
113
Jika Habib Usman menjadi penesehat Belanda, Habib Abdurrahman bin Muhammad az-Zahir justru menjadi hakim agung lalu patih di Kesultanan Aceh. Dia menjadi pemimpin tertinggi dalam perang Aceh melawan Belanda. Lebih dari itu orang-orang Arab berhasil menjadi penguasa: Habib Ali bin Usman bin Syihab (Sultan Siak), Habib Aidrus bin Abdurrahman al-Aydrus (Sultan Kubu) dan Habib Syarif Abdurrahman al-Gadri (Sultan Pontianak). Namun umumnya para Habib menjadi penasehat agama bagi penguasa peran yang masih berlangsung hingga masa-masa selanjutnya.26 Mereka mengajarkan agama tanpa meninggalkan usahanya dan tak dapat menghindari urusan politik. Hingga awal abad ke-20, identitas ke-Araban masyarakat Arab yang disandangnya sejalan dengan peran mereka sebagai “pemimpin umat Islam” diterima luas di kalangan masyarakat pribumi. Mereka diklaim datang untuk mengislamkan orang pribumi yang mana dengan hal itu tentunya makin memperkuat posisi mereka di kalangan masyarakat. Posisi demikianlah yang membuat kehadiran masyarakat Arab di Nusantara bisa di terima secara terbuka oleh kalangan umat Islam.27 Sifat-sifat ke-Araban yang terus dipelihara masyarakat Arab sebagai wujud perumusan diri mereka justru dipahami sebagai artikulasi keislaman oleh masyarakat muslim pribumi. Karena itu jika dibandingkan dengan masyarakat Cina, proses integrasi mereka dengan masyarakat lokal di Nusantara cenderung lebih mudah. Gerakan nasionalisme Indonesia pada awal abad ke-20 telah menempatkan kalangan Arab pada posisi dilematis. Masyarakat Arab berada di persimpangan jalan; apakah tetap menjadi Arab atau melepaskan sama sekali identitas 26 27
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 160. Alwi Shihab, “Sumpah Pemuda Arab”, h. 11a, Republika - Minggu, 09 September
2007.
114
kearabannya dan menjadi “orang Indonesia”. Tidak mudah mereka memberikan respon terhadap akan hal ini. Bahkan ketika memberikan respon terhadap persoalan ini tidak ada format tunggal. Disinilah menariknya sejarah kaum Arab di Indonesia; yaitu tarik menarik antara kalangan konservatif yang ingin mempertahankan ke-arab-an mereka, dengan kalangan yang berpikir moderat, bahwa kearaban tidak perlu dipertahankan lagi. Persoalan tersebut berkembang sejalan dengan perubahan sosial politik menyusul proses modernisasi yang diperkenalkan pemerintah Belanda.28 Sejak lama komunitas Arab mengalami konflik yang dipicu strata sosial antara golongan Sayid dan non-Sayid yang bermula sejak di Hadhramaut hingga permasalahan wataniyah atau tanah air mereka. Berbagai cara dan upaya telah dilakukan segelintir orang untuk mempersatukan mereka dalam sebuah satu kesatuan secara utuh, namun hampir tidak ada yang berhasil. Upaya melerai perselisihan itu dilakukan tokoh-tokoh Arab terkemuka dari dalam dan luar negeri. Dari Saleh Ghuzni dan Husin Abidin dari Singapura; Amir Syakib, tokoh Arab asal Suriah yang disinggkirkan pemerintah kolonial Prancis ke Swiss; Ibnu Saud, yang berhasil mempersatukan Saudi Arabia; Abdullah Salim bin Alatas atau AS Alatas, seorang Sayid anggota Volksraad, Hamid bin Said bin Thalib dari Surabaya; hingga Awad Syahbal dari Solo. Tapi semua usaha itu gagal.29
28
Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami di Indonesia, terj. Ita Mutiara dan Andri, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007), h. 193-194. 29 Hendri F Isnaeni, “Bertanah Air Indonesia, Bukan Hadaramaut”, Historia, No. 15. Th. 11, (2013). h. 53.
115
Abdullah A. Alatas30 Berikut ini adalah Orang Arab yang pernah menjadi Anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat)31. No 1 2 3
Nama Ir. Sayid Muhammad bin Abdullah Al-Atas Sayid Abdullah bin Salim Al-Atas Sayid Utsman bin Al-Jufri
Masa Jabatan 15 Juni 1931 15 Juni 1935 15 Juni 1939
Pada saat kritis itu muncul peranakan muda dan enerjik dari Ambon. Mohammad
bin
Abdullah
Alamudi.
Dia
memprakarsai
pembentukan
perkumpulan Arab atau Arabische Verbond (AV) di Surabaya pada 1920. Karena AV didominasi kaum totok yang lahir di Hadhramaut, Alamudi kemudian membentuk organisasi sayap bagi peranakan agar dapat berpartisipasi dalam
30
http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/2114?q_search_beschrijving=batavia&q_facet_beginjaa r=1900-1942 keterangan: Abd. A. Alatas merupakan salah seorang keturunan Arab yang pernah menduduki anggota Volksraad. diakses pada : 21 Januari 2015. 31 Madjid Hasan, Bahafdullah, Dari Nabi Nuh Sampai Orang Hadhramaut, h. 193.
116
kegiatan politik di Hindia Belanda. Lahirlah Indo-Arabische Verbond (IAV).32 Akan tetapi karena terlalu politis upaya ini pun menemui kegagalan yang sama. Namun dari semua upaya yang dilakukan untuk mempersatukan komunitas Arab tentunya yang paling berperan besar adalah jasa dan pengorbanan dari seorang peranakan Arab yang bernama Abdul Rahman Baswedan atau yang lebih dikenal dengan sebutan A.R. Baswedan. Bercermin pada kelemahan dan kegagalan Alamudi, Baswedan membulatkan tekad untuk mempersatukan kaum Arab Indonesia. Dia melakukan dialog dengan kalangan Sayid dan non-Sayid, mengunjungi berbagai kota seperti, Surabaya, Solo, Pekalongan dan Jakarta. Dari hasil dialog dia berkesimpulan pertikaian berkepanjangan dalam masyarakat Arab di Indonesia adalah kelanjutan dari pertikaian di Hadhramaut. Dan pertikaian itu takkan berakhir jika melibatkan kelompok Wulaiti. Karenanya dia berniat mendirikan organisasi yang tak lagi dirusuhi kelompok Wulaiti. Baswedan akhirnya berhasil mendorong pembentukan organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI).33
32
Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami, h. 199-201. “Indo Arabisch Verbond”, Berita Betawi, Rebo 11 (Januari 1933), Tahun ke-1, Perusahaan Betawi, Batavia Centrum. 33 Hendri F Isnaeni, “Bertanah Air Indonesia, Bukan Hadhramaut”, Historia, No. 15. Th. 11, (2013). h. 52-55. Lihat Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan, (Jakarta: PT. Kompas Media Indonesia, 2014), h. 78. Kemudian A.R. Baswedan, “Beberapa Catatan tentang Sumpah Pemuda Keturunan Arab”, dalam Sumarmo et. al. (ed.), 45 Tahun Sumpah Pemuda (Jakarta: Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta, 1974), h. 166.
117
A.R. Baswedan Konferensi Peranakan Arab yang dilaksanakan pada 3 Oktober 1934, dihadiri oleh sekitar 40 orang Arab peranakan dari Arrabitah, organisasi pro Sayid, dan Al-Irsyad, organisasi non-Sayid. Mereka berasal dari Surabaya, Semarang, Pekalongan dan Jakarta. Pada akhirnya semua sepakat, peserta konferensi kemudian mendeklarasikan Sumpah Pemuda Keturunan Arab: tanah air peranakan Arab adalah Indonesia; peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri; peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Semua peserta juga sepakat menamai 4 Oktober sebagai Hari Kesadaran Arab-Indonesia.34 Pada hari ketiga rapat memutuskan membentuk organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI), dengan AR Baswedan terpilih sebagai ketua. Tujuannya menyatukan seluruh Arab peranakan (muwallad) dengan keanggotaan terbuka bagi setiap Arab yang lahir di Indonesia. Sedangkan Arab totok (wulaiti) boleh
34
“Persatoean Arab Indonesia: Official Communique dari Hoofdbestuur PAI,” Pewarta Arab, 17 Oktober 1934, hal. 1.
118
diterima sebagai anggota luar biasa, penyokong atau donator dengan tidak mendapat hak suara. Timbulnya ide mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI)35 berkaitan erat dengan pengajuan prinsip tanah air Indonesia bagi kaum peranakan Arab. Ide ini dikembangakan dan diperjuangkan oleh seorang keturunan Arab yang bernama A.R. Baswedan seorang revolusioner pemikiran dari kalangan Arab. Untuk memujudkan cita-cita itu tidaklah mudah, melainkan harus diperjuangkan dengan segala resikonya. Padahal sebelum itu Baswedan termasuk pemuda yang berkobar semangat kebangsaan ke-Arabannya dan fanatik pada satu golongan yaitu AlIrsyad, yang bertentangan dengan kalangan bangsa Arab lainnya Ar-Rabitah. Pada kongres pertama PAI yang diselenggarakan pada bulan Januari 1936, organisasi ini hanya memiliki enam cabang dan yang benar-benar aktif di Jakarta dan Surabaya. Tahun-tahun berikutnya hanya bertambah sedikit. Kongres kedua di Surabaya bulan Maret 1937, telah berdiri sepuluh cabang di tahun ini pula kata “persatuan” dalam PAI diubah menjadi “partai”. Sedangkan kongres ketiga di Semarang bulan April 1938 bertambah menjadi enambelas, Sembilan di Jawa dan sisanya di luar Jawa.36 Sejak tahun itu berkembang dengan cepat, PAI mempunyai duapuluh tujuh cabang pada bulan Januari 1939 dan tigapuluh delapan cabang pada bulan Juni 194037. Pada bulan Agustus 1941 cabang PAI tersebar di empat puluh lima kota besar dan kecil di pulau Jawa dan luar Jawa. Pada kongres kelima, lahirlah PAI Istri yang dipimpin oleh Barkah Ganis, yang kelak menjadi
35
Ketika PAI didirikan pada tahun 1934, kepanjangannya adalah Persatuan Arab Indonesia. Tiga tahun kemudian secara resmi nama PAI diubah menjadi Partai Arab Indonesia. Suratmin, Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya (Jakarta: Departemen P & K, 1989), h. 64. 36 “Mendjelang Congres PAI Ketiga”, Insaf, Maret 1938, h. 33. 37 Insaf, Januari 1939, h. 1; dan Insaf, Januari 1940, h. 1.
119
istri Baswedan. Selain itu dibentuk pula laskar PAI untuk para pemuda. Jumlah anggota PAI per cabang berbeda-beda namun dari angka-angka yang ada dapat dinyatakan bahwa PAI mendapatkan dukungan yang luas dari para Muwallad. Pada perkembangan selanjutnya PAI berkembang aktif dalam perpolitikan di Indonesia, perkumpulan ini berafilisiasi dengan GAPI (Gabungan Politik Indonesia) dan diterima menjadi anggota penuh. Hal ini menunjukkan bahwa peranakan Arab dianggap serta diterima sebagai putra-putra dan sesama bangsa Indonesia. PAI juga diterima menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang merupakan federasi dari semua partai dan perkumpulan Islam, karena PAI nasionalistis berdasarkan Islam dan tokoh-tokoh PAI mengambil peranan di dalamnya.38 Setelah Indonesia merdeka, PAI tidak dihidupkan lagi. Ini sesuai dengan janji A.R. Baswedan bahwa bila kelak Indonesia merdeka dan kaum peranakan Arab dengan sendirinya diakui sebagai warga Negara Indonesia, PAI harus dibubarkan.39 3. Perkembangan Agama Islam di Batavia Pengembaraan masyarakat Arab secara umum memang telah berlangsung jauh sebelum kedatangan Islam. Tidak ada seorang Arab pun yang datang Indonesia dengan satu tujuan yang murni untuk mengajar agama Islam. Memang ditemukan cukup banyak orang Arab yang disamping mempunyai pekerjaan biasa, juga sibuk mengajar agama. Ada juga orang Arab, yang sudah tua yang
38
Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan, (Jakarta: PT. Kompas Media Indonesia, 2014), h. 112. 39 Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan., h. 113.
120
hanya memberikan waktunya kepada studi dan pengajaran, tetapi hal ini bukanlah maksud utama mereka untuk masuk ke Indonesia. Walaupun begitu posisi mereka tidak boleh diabaikan, ternyata ada juga beberapa ulama besar keturunan Arab. Di Batavia dihormati macam Sayid Husayn bin Abu Bakar al-Alaidrus, yang wafat pada tahun 1789. Selain itu ada tokoh lain yang masyhur yaitu Abdul Ar-Rahman bin Ahmad al Misri, ia bukan berasal dari Hadhramaut, tetapi dari Mesir. Dia adalah pedagang di Padang dan Palembang, dan sesudah menetap di Batavia tepatnya di Petamburan ia mendirikan masjid di sana. Gubernur Jenderal Merkus mempunyai hubungan yang akrab dengannya. Al-Misri, ulama yang terkenal karena pengetahuannya di bidang ilmu falak itu wafat pada tahun 1847. Kemudian selain Al-Misri, terkenal pula nama Sayid Abdul Ar Rahman bin Abu Bakar al Habsyi, yang datang dari Hadhramaut pada 1828, tapi pada tahun 1853 pulang kembali ke negerinya.40 Pada tahun 1844 seorang yang berasal dari perkawinan campuran Arab Sudan, yaitu Muhammad Jabarti, menetap di Jakarta dan menjadi guru agama yang masyhur. Dia meninggal dunia pada tahun 1855 dan dikuburkan di Tambora. Pada tahun 1851 seorang ulama Hadhramaut yang lain datang ke kepulauan Hindia, yaitu Salim bin Abdullah bin Sumayr. Dia menetap beberapa tahun di Singapura dulu dan kemudian pindah ke Batavia, sampai meninggalnya pada tahun 1854, dan dikuburkan di Tanah Abang. Dia mengarang buku Safinatu’l Najah yang memberikan pengetahuan dasar tentang aqidah dan fiqh ibadat. Sebagai penjelasan terkait beberapa hal mengenai pengaruh masyarakat Arab pada bidang agama di Indonesia. Bisa dibilang propaganda keagamaan saat 40
M. Hasyim Assagaaf, Derita Putri-putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 129-131.
121
itu kurang ada dampaknya. Memang benar bahwa bangsa Arab pada umumnya memberikan contoh kepatuhan kepada aturan-aturan agama bahwa mereka menyumbang perbaikan masjid secara sukarela dan berupaya sekeras mungkin agar istri Pribumi mereka mengikuti ajaran Islam dalam hal ibadah. Mereka tidak mengawini perempuan kafir, kecuali jika perempuan itu mau memeluk agamanya. Cendikiawan Arab yang jarang itu terkadang pengaruhnya besar di kalangan Pribumi yang mengikuti ceramah-ceramahnya. Apabila ada seorang Cina atau Eropa campuran yang menunjukkan keinginan untuk memasuki agama Islam, biasanya ia menemukan orang Arab kaya yang bersedia membantunya..41 Memang ada beberapa contoh semisal aktivitas atau kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari. Misalnya Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (18701968), lebih dikenal dengan Habib Ali Kwitang, membuka tokonya di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menjelang zuhur, dia menutup toko, lalu dia keliling kampong untuk menjual barang dagangannya sambil berdakwah. Habib Ali Kwitang merajut hubungan dengan kiai dan pemuka masyarakat. Rutinitas di rumahnya di Kwitang, dia mengadakan pengajian mingguan. Dia juga rutin menghelat acara maulid, perayaan ulang tahun Nabi Muhammad. Dalam mengelola pengajiannya dia kemudian di bantu Habib Salim bin Jindan dan Habib Ali Alatas.42
41 42
Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, h. 186-187. Hendri F Isnaeni, “Mendekat Kepada Habib”, Historia, No. 15. Th. 11, 2013. h. 58.
122
Rombongan Orang Arab dalam suatu kegiatan43 Para ulama-ulama tersebut membawa pengaruh terhadap ritual keagamaan di masyarakat setempat dengan berbagai tradisi yang ditinggalkannya. Banyak di antara ulama-ulama Arab tersebut yang menyiarkan Islam melalui pengajian atau kajian di majelis-majelis taklim baik itu yang dikelola sendiri ataupun yang dibangun bersama rekan sejawatnya. Realitas tersebut sebagai wujud interaksi yang terjadi antara komunitas Arab dan masyarakat Batavia atau Betawi sangat cair dan harmonis. Di antaranya sebagai berikut: a. Maulid Nabi Muhammad SAW Di antara hari besar yang selalu diperingati umat muslim ialah hari Maulid Nabi Muhammad SAW atau hari kelahiran Nabi yang bertepatan tanggal 12 Rabiul Awwal. Salah satu unsur perayaan maulid yang paling lumrah ialah pembacaan kitab maulid, yaitu syair-syair pujian yang dimulai dengan riwayat kehidupan Nabi Muhammad SAW. Sebagian kitab maulid bertujuan untuk pendidikan, seperti karya Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu al-Jauzi, dan al-Barzanji. Kitab-kitab
maulid
yang
berbentuk
prosa
ataupun
pusisi
ini
pada
43
http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/7?q_search_beschrijving=arabieren&q_facet_beginjaar =1900-1942 diakses pada : 21 Januari 2015.
123
perkembangannya tak hanya digunakan ketika mauled saja tetapi juga sebagai bacaan popular. Biasanya buku-buku itu juga berisi zikir yang pembacaannya sering diiringi dengan melagukannya.44 b. Haul Peringatan haul adalah upacara peringatan tahunan wafatnya seseorang yang ditokohkan, seperti ulama besar, orang keramat, wali, pejuang Islam, orang yang berjasa besar bagi umat dan agama. Upacara ini telah menjadi tradisi di Indonesia, khususnya di Jawa, dan banyak dikenal di kalangan para Sayid. Peringatan haul ini diadakan dengan tujuan untuk mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa serta umat dan kemajuan agama Islam, seperti peringatan haul wali songo, para habaib dan ulama besar lainnya, untuk dijadikan suri tauladan oleh generasi penerus. Hingga sekarang, ulama-ulama Arab Hadhramaut ini sangat dihormati. Ada kemungkinan para ulama tersebut diterima dengan baik, mempunyai beberapa penyebab mengapa mereka dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia, khususnya di Batavia. Penyebabnya sebagai berikut: Pertama, karena keilmuan dan pengetahuan mereka tentang Islam yang haqiqi, dan peranan ulama di sini sangat penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di Batavia. Kedua, karena masyarakat Betawi menganggap Islam yang murni lantaran mereka berasal dari negeri kelahiran Islam yaitu Timur Tengah (Arab) dan masyarakat banyak mengatakan mereka lebih menguasai ilmu-ilmu agama dan lebih mengenal Islam. Mereka menempati status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat 44
Assagaaf, Derita Putri-putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah, h. 259-261. Lihat juga dalam: Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan & Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012), h. 166-167.
124
Batavia yang telah menguasai ilmu-ilmu agama. Ketiga, ada anggapan bahwa para habaib mempunyai nasab langsung kepada Nabi Muhammad SAW dari cucunya Husein. Penghormatan masyarakat Betawi terhadap tokoh tidak sebatas acara haul, melainkan juga di rumah-rumah mereka, banyak foto para habaib dan para ulama yang terpasang di dinding-dinding rumahnya. Pola interaksi inilah yang menjadi warisan berharga untuk para penerusnya. Dalam upacara haul itu biasanya terdapat acara; pengajian al-Qur’an atau khataman, pembacaan tahlil dan shalawat nabi, pengajian umum berupa ceramahceramah keagamaan yang mengandung nasehat, ceramah dan pembacaan riwayat hidup tokoh yang diperingati, pembacaan doa untuk tokoh yang diperingati dan untuk seluruh umat Islam, dan ditutup dengan makan bersama.45 Bagi kalangan Sayid perayaan itu merupakan kesempatan untuk memperkenalkan dan menanamkan cinta kepada tokoh-tokohnya, memberikan kesempatan untuk memberi makan orang yang berada di lingkungan sekitarnya dan lebih dari itu semua adalah kesempatan untuk berdakwah. Para Sayid di Jawa umumnya merasa sebagai sebuah keharusan untuk mengadakan haul walaupun harus menempuh perjalanan jauh haul habib kenamaan biasanya tak pernah sepi dihadiri banyak orang.46 c. Tasawwuf dan Tarekat Karena kesederhanaannya gagasan dan praktek tasawwuf yang dianut kaum Sayid mudah dipahami dan dapat dipraktekkan oleh kebanyakan orang. Abi R. Hadad c.s. mengatakan bahwa walaupun tampak seakan ada aneka ragam tarekat ‘Alawiyyah sehingga sering hanya menyebut dua nama tarekat, yaitu 45
Assagaaf, Derita Putri-putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah, h. 264-265. Tradisi ini bukanlah tidak mendapat pertentangan di kalangan umat muslim itu sendiri khususnya bagi para kaum non-sayid, mereka menganggap tradisi semacam ini adalah bid’ah. 46
125
‘Aidrusiyyah dan Haddadiyyah, bagi kalangan ‘Alawi kedua tarekat tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri. Tarekat ‘Alawiyyah termasuk yang amat dominan di Indonesia, tarekat ini masuk dan menyebar bersama arus migrasi kaum ‘Alawi. Tarekat Islam menjadi ruh atau jiwa aliran-aliran tarekat di Indonesia. Membudayanya pembacaan tahlil dan talkin mayit, pembacaan Maulid, perayaan Haul dan lain-lain adalah indikator besarnya pengaruh tarekat ‘Alawiyyah. Beberapa praktek tarekat ‘Alawiyyah tampak jelas pada amalan umat Islam Indonesia. Yang paling mencolok ialah pembacaan wirid, khususnya Ratib Al-Aththas dan Ratib Al-Haddad.47 Secara sederhana orang yang membaca wirid dan ratib secara rutin memperbanyak dzikir, menimba ilmu, menjaga akhlak, hidup zuhud, wara’ dan sebagainya, sebenarnya telah mempraktekkan tarekat ‘Alawiyyah. Melimpahnya pengunjung majelis-majelis taklim yang diadakan kaum Alawiyin merupakan bentuk lain dari kehidupan tarekat yang sekaligus menggambarkan besarnya pengaruh kaum Alawiyin sampai perayaan-perayaan haul para Habaib yang diadakan di berbagai daerah dikunjungi oleh banyak orang.48
B. Berkembangnya Kaum Intelegensia Kendati dikenal dengan semangat kerja keras dan kecerdasannya di lapangan, komunitas Arab di masa lalu kurang mementingkan pendidikan formal bagi anak-anak mereka, sebagaimana dikatakan oleh Natalie Mobini Kesheh, pada awal
kedatangannya,
masyarakat
Arab
kurang
memaksa
anak-anaknya
bersekolah, tapi lebih menekankan pembelajaran mengenai bahasa Arab sebagai 47 48
Abi R. Al-Haddad, Abu Ja’far, dan AR dalam Amanah, No. 191, h. 118. Abi R. Al-Haddad, Abu Ja’far, dan AR dalam Amanah, No. 191, h. 118.
126
bahasa nenek moyang, dengan tujuan agar kelak mereka tetap dapat bersilaturahmi dengan anggota keluarga mereka yang masih berada di Hadhramaut.49 Lemahnya budaya akademis tersebut akhirnya menciptakan problem kultural, dimana mereka menjadi lebih mudah menghakimi suatu masalah atau pola pikir, tanpa mengerti persoalan tersebut dengan baik. Beberapa dekade setelah kedatangan masyarakat Arab di Indonesia, banyak di antara mereka yang mulai menyadari pentingnya pendidikan formal, terutama karena di saat itu belum ada sekolah dengan standar yang sesuai dengan nilai-nilai budaya Arab dan agama Islam. Sekolah-sekolah yang ada hanya sekolah bentukan pemerintah Hindia Belanda yang mana di dalamnya tentu saja berisi pengajaran-pengajaran yang berkiblat ke Barat. Masyarakat Arab ini banyak mempunyai hubungan dengan pendudukpenduduk di desa sebagai pedagang. Demikian pula sebagai orang-orang yang seagama, mereka berpartisipasi dalam kehidupan agama dari kebanyakan orangorang Indonesia yang mayoritas muslim. Sebagai orang Arab mereka masih mempunyai minat terhadap perkembangan negeri-negeri Arab, sekurangkurangnya mereka ingin mengetahui apa yang terjadi di negeri-negeri tersebut. Untuk keperluan ini mereka berlangganan bermacam-macam harian dan majalah yang diterbitkan di berbagai kota di Timur Tengah seperti Istanbul, Kairo dan Beirut. Ataupun mereka menerimanya dari teman-teman mereka di Singapura atau
49
Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami, h. 37-38.
127
di negeri-negeri Arab sendiri yang dikirimkan melalui pos atau sesekali dibawa langsung ke Indonesia dalam kunjungan-kunjungan singkat.50 Di antara berbagai surat kabar itu, yang paling bermutu pastilah al-Jawaib, yang terbit di Konstantinopel, namun diberedel. Surat itu jelas mendukung PanIslamisme di Indonesia, pelanggannya banyak. Surat kabar itu terbit kembali di Kairo tahun 1885 dengan nama al-Qahiriah. Surat kabar berbahasa Arab yang lain yang tersebar di Indonesia jauh di bawah al-Qahiriah. Berikut ini beberapa yang penting: al-I’tidal terbit di Konstantinopel, al-Insan terbit di Konstantinopel, al-Janah terbit di Beirut (Suriah), Tantarat al-Funun terbit di Beirut (Suriah), Lisan al-Hal terbit di Beirut (Suriah), al-Want terbit di Kairo, al-Ahram terbit di Alexandria, al-Urwatul al-Wutsqa terbit di Paris.51 Yang terpenting di antara penerbitan ini adalah Al-Urwat Al-Wutsqa yang diterbitkan di Paris tahun 1884 oleh kedua pembaharu Jalaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.52 Akhir abad ke-19, dua majalah besar berasaskan PanIslamisme berbahasa Arab, Al Urwatul Wustqa dan Al Manar telah merajai dan banyak memberi pengaruh komunitas Muslim Arab di seluruh dunia, termasuk komunitas Arab di Indonesia umumnya dan Batavia khususnya. Kedua majalah tersebut tadi banyak menelurkan ide-ide pembebasan berasaskan Islam, termasuk di bidang pendidikan. Umat Islam didorong untuk memajukan generasi penerus mereka yang tak hanya kaitannya dengan agama saja, namun juga sastra hingga kemajuan zaman dan teknologi.
50
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1990),
51
Van den Berg, Orang Arab di Indonesia, h. 157-163. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, h. 66-67.
h. 66-67. 52
128
1. Jamiat Khair Pembaharuan yang terjadi di belahan dunia Arab atau Timur Tengah, terutama di Mesir, merambah hingga ke kalangan intelektual Arab yang ada di Batavia. Kebangkitan komunitas Arab ditandai dengan berdirinya Jamiat Khair pada tahun 1901 (mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905). Terinspirasi gagasan-gagasan itu, kelompok masyarakat Arab Indonesia akhirnya membentuk instansi pendidikan yang kala itu didirikan secara diam-diam di Pekojan (Batavia) pada tahun 1901 karena pemerintah Kolonial masih membatasi berdirinya instansi pendidikan swasta. Pada 17 Juli 1905,53 akhirnya instansi tersebut secara resmi disahkan dengan nama Jamiat Khair (Perkumpulan Kebaikan), namun dengan bendera organisasi sosial.
Pimpinan Jamiat Khair Berdasarkan permohonan tertanggal 15 Agustus 1903, dengan tujuan organisasi untuk memberikan bantuan kepada masyarakat Arab yang tertimpa
53
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, h. 66-67. Lihat juga dalam Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami, h. 40.
129
musibah kematian dan membantu mereka dalam pelaksanaan perkawinan, kepengurusan perkumpulan Jamiat Khair adalah sebagai berikut54: Ketua : Said bin Ahmad Basandiet Wakil Ketua : Muhammad bin Abdullah Syahab Sekretaris : Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur Bendahara : Idrus bin Ahmad Syahab Surat permohonan itu tidak segera diturunkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemungkinan kedatangan surat tersebut menimbulkan kecurigaan di kalangan pemerintah, yang ketika itu tidak suka terhadap berdirinya suatu perkumpulan yang bergerak di bidang sosial, maka pemerintah segera mengambil beberapa tindakan terhadap Jamiat Khair, diantaranya ialah membatasi daerahdaerah yang tidak boleh dikunjungi orang-orang Arab dan keturunannya di Indonesia. Di Batavia, pemerintah Hindia Belanda menentukan lokasi berkumpulnya orang-orang Arab di Pekojan. Ketidaksenangan dan ketidakserasian mereka terhadap pemerintah Hindia Belanda menyebabkan mereka tidak mengirim anak-anak mereka ke sekolahsekolah Pemerintah, lagipula jumlah sekolah-sekolah ketika itu tidak mencukupi untuk memenuhi keperluan pendidikan penduduk pada umumnya. Sebuah rangsangan lain untuk memperhatikan bidang pendidikan adalah terdorong oleh orang-orang Cina di Batavia yang telah mengorganisasikan diri dalam THHK (Tiong Hoa Hwee Koan) yang juga mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak mereka.55
54
Arsip Ag. 13240, No. 18/8 – 24363/03 (ANRI, Jakarta). Lihat dalam Suratmin, Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan, (Jakarta: PT Kompas Media Indonesia, 2014), h. 10. Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami di Indonesia (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007), h. 38-40. Tentang THHK lihat juga Lea E. Williams, Overcas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan Chinese Movement in Indonesia (Glencoe, III.: The Free Press, 1960); Donald E. Willmott, The National Status of the Chinese in Indonesia 1900-1958 55
130
Di samping bertujuan memberikan bantuan pada anggota perkumpulan dalam masalah kematian dan pelaksanaan pernikahan (pasal 1), Anggaran Dasar tersebut memuat tujuan untuk mendirikan sekolah-sekolah hingga pelaksanaan pengajarannya (pasal 2). Anggotanya tidak saja dari kalangan Arab, tetapi meluas kepada kebangsaan lain, asalkan seorang muslim (pasal 4).56 Penambahan Anggaran Dasar ini disetujui oleh pemerintah melalui keputusan Gubernur Jenderal pada tanggal 24 Oktober 190657, dikarenakan Anggaran Dasar Jamiat Khair tidak mengandung tujuan politik serta tidak mengandung hasutan (yang dapat membahayakan keamanan pemerintahan).58 Abdullah bin Alwi Alatas sebagai pemuka gerakan Pan-Islam turut mendukung atas berdirinya organisasi Jamiat Khair ini. Pendirian Jamiat Khair ini praktis memodernisasi elite masyarakat Arab yang mulai meningkat jumlahnya, pemimpin awal didominasi oleh Sayid dari keluarga bin Shahab dan al-Mashhur, tetapi non-Sayid juga terlibat dalam posisi tinggi. Ketua pertama organisasi adalah Syekh Said bin Ahmad Basandid, sedangkan wakil ketua dari tahun 1906 adalah non-Sayid, Syekh Salim bin Awad Balweel.59 Abdullah al-Attas dan Umar Manggus yang seorang Kapitein Arab Batavia juga mendukung Jamiat Khair.
(Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project, 1961), h. 1, J.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie (Den Haag/Bandung: W. Van Hoeve, 1949) h. 465. 56 Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Lampiran besluit No. 31, Tanggal 24 Oktober 1906. 57 Arsip Ag 26409106 (ANRI, Jakarta), keputusan Gubernur Jenderal Hindia belanda, Bogor, Tanggal 24 Oktober 1906. 58 Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), No. 10371/80, Surat Residen Batavia 21 Juni 1906, No. 6767/5. 59 Figur pemimpin dari keluarga bin Shahab mencakup Sayid Muhammad bin Abdullah, Idrus bin Ahmad, dan Muhammad bin Abdurrahman bin Shahab. Dari keluarga al-Mashhur yaitu Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman dan Aydrus bin Abdullah al-Mashhur.
131
Organisasi ini terbuka untuk setiap muslim tanpa diskirminasi asal-usul, tetapi mayoritas anggota-anggotanya adalah orang-orang Arab.60 Anggotaanggota dan pemimpin-pemimpin organisasi ini umumnya terdiri dari orang-orang yang berada (kaya), yang memungkinkan sebagian waktu mereka curahkan kepada perkembangan organisasi tanpa merugikan usaha pencaharian nafkah. Dua bidang kegiatan diperhatikan oleh organisasi ini adalah pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar, serta pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi. Bidang kedua segera terhambat karena kekurangan biaya dan juga kemunduran Khilafah.61 Setahun setelah diresmikan, para pengurus Jamiat Khair merubah anggaran dasar dan mengajukan kembali kepada pemerintahan Kolonial. Karena pemerintahan tidak melihat adanya kepentingan politik disana, maka organisasi Jamiat Khair secara resmi menjadi instansi pendidikan pertama bagi keturunan Arab di Indonesia pada 24 Oktober 1906. Sekolah ini bukan suatu sekolah yang semata-mata bersifat agama tetapi merupakan suatu sekolah dasar biasa dimana bermacam-macam mata pelajaran seperti berhitung, sejarah (umumnya sejarah Islam), aritmatika, geografi dan bahasa Inggris bersama bahasa Arab dan mata pelajaran Islam tradisional lain diajarkan. Kurikulum disusun, murid-murid dibagi dalam tingkatan kelas-kelas yang terorganisir. Artinya bahwa Jamiat Khair menawarkan sebuah pola pendidikan modern yang menggabungkan pengetahuan dari ilmu-ilmu barat dan bahasa bersama dengan mata pelajaran agama yang lebih
60
Beberapa tokoh masyarakat Indonesia termasuk KH. Ahmad Dahlan dari Yogyakarta dan R. Hasan Djajadiningrat, saudara regen Serang adalah anggota dari Jamiat Khair sekitar tahun 1910, tetapi mereka adalah anggota-anggota yang pasif saja. 61 Tidak seorangpun dari mereka yang dikirim oleh organisasi ini ke Timur Tengah memainkan peranan yang penting setelah mereka kembali ke Indonesia.
132
tradisional yang menekankan pemahaman merupakan hal yang penting untuk didapatkan dalam rangka mencapai kemajuan.62 Bertujuan memajukan pendidikan orang-orang Arab, sekolah ini membebaskan biaya bagi seluruh muridnya. Dengan cepatnya berita menyebar, dan banyak keturunan Arab yang berasal dari Karawang, Bogor, Tangerang, hingga
Lampung menjadikan sekolah ini
sebagai
rujukan pendidikan.
Berkembang pesat, Jamiat Khair membuka cabangnya di Krukut, Bogor, dan Tanah Abang hanya dalam kurun waktu 1911-1912. Perkembangan sekolah ini diikuti pula dengan program mendatangkan beberapa guru yang berasal dari Timur Tengah. Oktober 1911, beberapa guru tiba di Indonesia, yakni Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah yang ditempatkan di Bogor, Muhammad Tayyib Al Maghrabi dari Maroko ditempatkan di Krukut, serta ulama besar asal Sudan, Ahmad Surkati yang ditempatkan di Pekojan. Nama terakhir inilah yang memainkan peranan penting terhadap perkembangan pemikiran-pemikiran baru dalam lingkungan masyarakat Islam di Indonesia. Beberapa bulan berikutnya, guru-guru lain juga didatangkan. Gaya pengajaran yang banyak ditekankan dalam sekolah ini adalah pemikiran kritis dan pengertian, tidak hanya sebatas hafalan.63 Pada tahun 1913, Jamiat Khair membuka perpustakaan pertamanya yang terbuka secara umum di Tanah Abang. Uniknya, perpustakaan ini banyak menginspirasi tokoh-tokoh penting organisasi Islam Indonesia, seperti KH. Achmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Disini banyak terdapat koleksi
62 63
Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami, h. 41. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, h. 69-70.
133
mengenai majalah, surat kabar, hingga buku-buku Timur Tengah yang semuanya menyuarakan pembaharuan pendidikan.64 Berkembang secara program pendidikan, Jamiat Khair kurang memuaskan dilihat sebagai organisasi karena anggotanya yang relatif tidak berkembang. Dengan anggota awalnya 70 orang, pada tahun 1915 anggotanya hanya mencapai kisaran 1000 orang. Pada tahun ini kemundurannya pun terlihat. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa pada perkembangan selanjutnya muncullah berbagai organisasi dalam kalangan masyarakat Arab ataupun organisasi-organisasi yang mempunyai ide-ide pembaharuan.65 Organisasi ini semakin maju dengan datangnya Ahmad Surkati yang merupakan penghubung masuknya ide-ide reformasi Islam pada siswa Jamiat Khair. Namun ide-ide Ahmad Surkati yang mengusung egaliterian dalam komunitas Arab di anggap mengancam status sosial Habaib. Pertentangan ini memunculkan konflik antara golongan Sayid dan non Sayid. Sehingga Ahmad Surkati lebih memilih untuk mengundurkan diri dari Jamiat Khair dan mendirikan Al-Irsyad pada tahun 1911, sedangkan golongan Sayid mendirikan Rabithah Awaliyah untuk mempertahankan status sosialnya.66 Pentingnya Jamiat Khair terletak pada kenyataan bahwa ialah yang memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam dengan anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat berkala dan yang mendirikan sekolah modern. Ide-ide semacam ini berkembang pula di kota-kota
64
Hendri F Isnaeni, “Bangkit Lewat Sekolah”, Historia, No. 15. Th. 11, (2013), h. 40-41. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, h. 71. 66 Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami, h. 70-73. 65
134
lain di Indonesia akan tetapi organisasi yang tumbuh di Batavia ini seakan membeku merasa cepat puas akan pencapaiannya.67 2. Al-Irsyad Lima tahun setelah Jamiat Khair membuka sekolah di Pekojan, Syekh Umar Yusuf Manggus, seorang Kapitein Arab, bersama sahabatnya mendirikan Madrasah Al Irsyad Al Islamiyah pada 1913, namun baru mendapat pengakuan dari pemerintah pada 11 Agustus 1914. Sekolah ini berlokasi di Jatibaru 124 Batavia, dibuka secara resmi pada 6 September 1914. Sebagai pengelola sekolah didirikan organisasi Jamiat al Islam wal Irsyad al Arabia.68 Pendiri-pendiri Al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang yang di antaranya adalah Saleh bin Ubeid Abdad, Said bin Salim Masjhabi, Salim bin Umar Balfas, Abdullah Harharah dan Umar bin Saleh bin Nahdi, termasuk juga Umar Yusuf Manggus, Kapitein Arab Batavia. Tetapi guru yang dilihat sebagai tempat untuk meminta fatwa ialah Syaikh Ahmad Surkati yang sebagian besar umurnya dicurahkan untuk ilmu pengetahuan.69 Surkati setelah keluar dari Jamiat Khair akibat berselisih paham dengan pengurus-pengurus di Jamiat Khair yang sebagian besar adalah Sayid dan menolak segala macam hal yang terkait Pan-Islamisme. Seperti diketahui Surkati merupakan pengikut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yaitu tokoh modernis Mesir yang mengajarkan kesetaraan seluruh umat Islam dan yang mengusung ide67
Golongan Sayid mendirikan Al-Rabithah Al-Alawiyah dalam bagian kedua tahun 1920an dan segera semua sekolah Jamiat Khair berada di bawah naungannya. Di Jakarta organisasi ini juga mengawasi sebuah rumah yatim. Di samping itu lembaga yang bernama al-Maktab al-Daimi didirikan untuk melakukan registrasi semua golongan Sayid di Indonesia. 68 Mobini Kesheh, Hadrami Awakening., h. 74. Menganai Al-Irsyad, lihat Hussein Badjerei, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa (Jakarta: Presto Prima Utama, 1996). 69 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, h. 73. Mengenai Surkati, Lihat Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Surkati (1874-1943) Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999).
135
ide progresif tentang pengamalan Islam sesuai tuntutan zaman. Ide-ide ini menyamai benih silang pendapat dalam komunitas Arab dan mengobarkan perdebatan dahsyat. sebelumnya berniat akan kembali ke Mekah namun berhasil dibujuk oleh Umar Manggus untuk tetap tinggal di Batavia. Yang menarik adalah pendapat Huub De Jonge yang menyebutkan bahwa konflik yang melatarbelakangi keluarnya Ahmad Surkati dari Jamiat Khair merupakan konspirasi kolonial Belanda yang diatur oleh Umar Manggus dan Rinkes. Dalam tahap ini dapat disimpulkan bahwa, pertentangan internal komunitas Arab di Batavia merupakan infiltrasi pemerintah kolonial Belanda dalam menerapkan politik Islam yang diusung Snouck Hurgronje. Dimana para Sayid dikondisikan sedemikian rupa oleh tangan-tangan kolonial agar Islam hanya melakukan ritual tanpa memperhatikan realitas sosial.70 Menurut Al-Irsyad, ada dua hal yang harus dilakukan untuk mengatasi keterbelakangan masyarakat Arab. Hal besar ini dirangkai dalam nama organisasi: hidayah atau petunjuk (irsyad), dan perubahan praktek yang Islami (islah). Program pertama ini disebutkan dalam konstitusi yang diadopsi oleh organisasi di tahun 1915 yang menyatakan tujuannya; “Untuk mengumpulkan dan menggalang dana serta menggunakannya untuk hal-hal berikut: a. Untuk menyebarluaskan budaya Arab yang sesuai dengan agama Islam, mengajarkan pada masyarakat Arab membaca dan menulis, memajukan bahasa Arab, Belanda dan bahasa-bahasa lainnya yang penting. b. Untuk mendirikan bangunan dan hal-hal lain demi mendapatkan keuntungan dan sekaligus terpenuhinya tujuan (a) yang disebutkan diatas, misalnya tempat pertemuan anggota, sekolah dan hal-hal lain yang memajukan kesejahteraan umum dan sesuai dengan tujuan organisasi. Dengan ketentuan bahwa hal itu tidak menyimpang dari hukum, kebiasaan (baik), dan ketertiban umum. 70
Peter J.M Nas dkk (Peny); Jakarta Batavia:Esai Kultural, (Jakarta: Batavia, 2007), h.
160-163.
136
c. Untuk mengambangkan sebuah perpustakaan yang mengoleksi bukubuku yang berguna dalam mengembangkan pemikiran.71 Dengan menekankan pada pendidikan ini menunjukkan bahwa Al-Irsyad bermaksud melanjutkan pengembangan sekolah modern yang dimulai oleh Jamiat Khair. Tujuan dasar kedua dari Al-Irsyad adalah mereformasi praktek Islam, seperti tercantum dalam prinsip pokok Al-Irsyad yang diterbitkan oleh pimpinan pusat pada tahun 1938.72 Pokok-pokoknya dirumuskan dalam sembilan prinsip fundamental sebagai berikut: 1. Keesaan Tuhan, tanpa ada nuansa politheisme sedikitpun dalam wujud nyata ataupun tersembunyi; di dalam keyakinan, ucapan maupun tindakan. 2. Menegakkan ibadah agama yang mencakup shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. 3. Menegakkan kembali praktek yang benar (as-sunnah ash-shahihah) dan meninggalkan inovasi dalam praktek ibadah ini (bid’ah). 4. Bekerja sama di dalam ketakwaan dan kebaikan, bukan dalam dosa dan permusuhan. 5. Menganggap sesama muslim sebagai saudara, tanpa superioritas satu atas yang lain kecuali dalam pengetahuan dan takwa. 6. Menyeru pada kebaikan dan mencegah kejahatan, sejauh mungkin dengan cara yang baik. 7. Mencegah tumbuhnya budaya korupsi yang menyimpang dari semangat agama dan merusak kehormatan. 8. Menegakkan kehormatan diri dan pekerjaan, tanpa kepatuhan selain kepada Tuhan. 9. Menegakkan moralitas Islam. Singkatnya apa yang diinginkan oleh saudara kita adalah apa yang kita inginkan untuk diri kita.73 Dalam hal tertentu pernyataan dan prinsip-prisip di atas menunjukkan AlIrsyad sebagai perkumpulan Islam ortodoks dengan menekankan pada upaya membangkitkan kembali kebenaran sunnah dan membuang inovasi (dalam 71
Jami’iyyah al-Islah wa’l-Irsyad al-Arabiyyah bi Batawi, Qanun Jam’iyyah Al-Islah wa’l-Irysad Al-‘Arabiyyah: Al-Asasi wa’l-Dakhili (Batavia: n.p., 1919), h. 12-13. Lihat juga dalam Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia., h. 74. 72 Hoofd Bestuur Vereegening Al-Islah Wal-Irsjad Al-Arabijah, Sikap dan Toedjoean AlIrsyad (Batavia: n.p., 1938). Pamflet ini mencakup versi bahasa Arab dan Melayu. Versi bahasa Arabnya disebutkan disini. Perumusan serupa telah tersebar di antara anggota sejak tahun 1933; lihat “Muqadimmah,” Al-Irsyad, Juli 1933, h. 1-2. 73 Hoofd Bestuur Vereegening Al-Islah Wal-Irsjad Al-Arabijah, Sikap dan Toedjoean AlIrsjad, h. 3-4.
137
ibadah, bid’ah) dan berbagai kebisaan buruk lainnya, organisasi ini fokus pada perubahan menuju berbagai praktek yang Islami. Sebenarnya Al-Irsyad memperlihatkan semangat yang lebih besar ketimbang Jamiat Khair dalam melaksanakan segala kegiatannya. Kegairahan besar ini ditunjukkan pendukungpendukungnya yang tercermin pada jumlah uang yang disumbangkan oleh mereka kepada organisasi ini.74 Sekolah Al-Irsyad di Batavia banyak jenisnya, terdapat sekolah-sekolah tingkat dasar dan sekolah guru, di samping itu ada pula bagian yang disebutkan takhassus (dengan pelajaran dua tahun) dimana pelajar dapat mengadakan spesialisasi dalam bidang agama, pendidikan atau bahasa. Awalnya setiap murid diterima tanpa ada batasan usia, kemudian perbaikan organisasi sekolah dimulai than 1924 dengan adanya peraturan untuk batasan umur. Para lulusannya umumnya banyak yang menjadi guru ataupun pedagang. Beberapa di antaranya menjadi pegawai pemerintah seperti yang bekerja di kantor-kantor masalah pribumi (Kantoor Voor Inlandsche Zaken). Pada tahun 1930-an organisasi ini mengeluarkan beasiswa untuk beberapa lulusannya untuk belajar di luar negeri terutama ke Mesir, namun para siswa ini tidak memainkan peranan penting sekembalinya dari luar negeri.75 Pada dekade berikutnya, mulai banyak tumbuh sekolah bagi keturunan Arab di Indonesia, termasuk organisasi pendidikan Al-Irsyad pada 11 Agustus 1915 yang didirikan oleh Ahmad Surkati setelah lepas dari Jamiat Khair. Melihat 74
Rapat pertama dan keduadari organisasi tersebut dalam tahun 1915 menghasilkan pengumpulan dana sejumlah f. 700 dan f. 7000 semuanya dari anggota-anggota pengurus. Kirakira pada saat yang sama, kontribusi sejumlah f. 25.000 diterima dari Sekh Umar Manggus, Kapitein Arab, f. 15.000 dari Said bin Salim Masjahabi, seorang pedagang dan f. 60.000 dari Abdullah bin Alwi Alatas seorang dari kalangan Sayid yang bersimpati dengan maksud serta tujuan dari organisasi itu. 75 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia., h. 75-76.
138
fenomena itu, pemerintah Kolonial yang mulai khawatir akhirnya mendirikan sekolah negeri khusus bagi kaum keturunan Arab. Hal itu banyak dipandang sebagai cara pemerintah untuk menyaring dan mendoktrin keturunan Arab, yang akhirnya membuat para orangtua mereka lebih memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke Hadhramaut atau Turki. Salah satu dari sekolah ini yakni Hollandsch Arabische School (HAS) yang didirikan di Solo, namun tidak terlalu berhasil karena hanya mengumpulkan kurang dari tiga ratus siswa, karena ratarata anak Arab lebih memilih sekolah yang didirikan organisasi pendidikan Arab.76 Di Surabaya, terdapat sebuah sekolah modern bernama Hadhramaut School yang didirikan oleh Muhammad bin Hasyim, seorang sastrawan sekaligus pemimpin Hadhramaut Courant. Sekolah-sekolah serupa akhirnya menjamur hingga ke luar pulau di Indonesia. Sayangnya, sebagian besar dari organisasi pendidikan ini yang hanya merambah jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Beberapa cabang bahkan mati suri. Kemungkinan hal ini diakibatkan berkutatnya prinsip organisasi yang tidak mengikuti zaman, berakhir tergusur perkembangan instansi pendidikan modern lainnya. Pada perkembangannya beberapa generasi terakhir, kondisi tersebut membaik terutama setelah tokoh-tokoh seperti Syekh Surkati menyuarakan pendidikan yang layak bagi keturunan Arab. Telah banyak ditemui keturunan Arab yang cukup mengenyam jenjang pendidikan, bahkan bagi golongan perempuan yang sebelumnya sulit mendapatkan kucuran ilmu di sekolah. Kini telah banyak ditemui tokoh akademis dan intelektual yang berasal dari komunitas 76
Mobini Kesheh, Hadrami Awakening., h. 102-104. Lihat juga “Onderwijs Kita”, Pewarta Arab, Semarang, 27 November 1933, Th. Ke-1, No. 11.
139
Arab di Indonesia yang di antaranya banyak yang berperan penting bagi kepentingan bangsa ini. Mulai dari birokrat, aristokrat, ulama, pebisnis sukses hingga pekerja seni yang mana tentu yang paling kita kenal dan begitu familiar adalah A.R. Baswedan dan Hamid Algadri.
C. Berkembangnya Kelas Sosial – Ekonomi Sejak kedatangan orang Arab ke Indonesia, mereka dapat diterima dengan baik oleh penduduk setempat dan menjadi mitra kerja dalam berbagai bidang seperti ekonomi, sosial dan politik. Hubungan tersebut pada akhirnya menciptakan proses dakwah Islamiyah berkelanjutan menuju integrasi. Persamaan agama yaitu agama Islam dapat mempercepat proses integrasi. Suasana integrasi teruji sangat solid dalam menghadapi sejumlah tantangan dari masa ke masa. Jaringan atau relasi hubungan perniagaan waktu itu menjadi sebuah penghubung antar komunitas Arab. Pada masa kolonial, pembangunan rumah dan gedung di Batavia dilakukan oleh para saudagar Arab. Ini disebabkan warga Tionghoa lebih senang menyewa ketimbang membeli properti. Pada masa ini pula belum muncul pengusaha real estate keturunan Tionghoa. Salah satu pengusaha sukses keturunan Arab seperti Sayid Abdullah bin Alwi Alatas dan Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus. Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus dia juga memiliki rumah dan tanah seluas 11,5 hektar, selain itu pernah memiliki 80 gedung di Jalan Alaydrus dan 25 gedung di Jalan Gajah Mada.77
77
Alwi Shahab, “Properti di Batavia dan Tuan Tanah Keturunan Arab”, Republika Senin, 18 Maret 2013, h. 25.
140
Dari uang sewa-menyewa rumah dan gedung, dia mendapatkan 12 ribu gulden tiap bulan. Sebagai perbandingan waktu itu, harga beras per karung (100 kilogram) hanya 7,5 gulden. Ketika terjadi resesi ekonomi pada 1930, seluruh kekayaannya diambil alih Belanda karena ia tidak bisa membayar utang dari Bank Nilmij milik Belanda. Ada lagi seorang keturunan Arab yang memiliki banyak rumah dan gedung di kawasan Menteng. Dia bernama Sayid Ali bin Ahmad Shahab. Karena kekayaannya itu, dia mendapat julukan Tuan Tanah Menteng. Seperti Sayid Abdullah bin Alwi Alatas dan Habib Husein bin Abdullah Alaydrus, dia juga seorang pejuang dan pendukung gerakan Pan-Islamisme. Dia pendiri dari Jamiat Khair, sekolah Islam modern pertama di Indonesia, pada 1901. Sayid Ali juga membangun masjid megah di Jalan Tangkubanperahu, Menteng.78 Kehidupan ekonomi mereka semakin berkembang ketika seorang mujahir Arab telah mengumpulkan modal yang cukup. Meskipun mereka paham dan mengetahui bahwa riba merupakan hal yang dilarang dalam Islam tapi sebagian kecil dari mereka ada yang tetap menjalankan. Jika dia merupakan orang yang beruntung setelah
beberapa
tahun
bekerja
keras
mujahir
Arab
dapat
mengembangkan kekayaannya. Salah satunya dengan cara dalam bentuk investasi properti di salah satu kota ternama di Indonesia. Sebagian mereka juga dapat dikatakan golongan tuan tanah karena luasnya tanah yang dimilikinya.79 Sejak kedatangannya masyarakat Arab tampak berintegrasi dengan mudah kepada masyarakat lokal. Van den Berg berpendapat bahwa kebanyakan orang
78
Alwi Shahab, “Properti di Batavia dan Tuan Tanah Keturunan Arab”, h. 25. L.W.C. Van den Berg, Le Hadramout et les colonies arabes dans l’archipel indien. (Batavia: Impremerie du Gouvernement, 1886), h. 134-158. 79
141
Arab telah berasimilasi secara menyeluruh dengan masyarakat pribumi dalam tiga atau empat generasi dengan berbagai faktor.80 Situasi akhir abad ke-19 lebih memungkinkan munculnya elit baru masyarakat Arab di Hindia dan karenanya juga memudahkan untuk merunut asalusul kemunculannya. Hal ini didukung oleh kondisi sosial daerah jajahan yang merusak sistem stratifikasi sosial yang mengatur masyarakat Arab tersebut. Seperti yang dikatakan Natalie, mengutip apa yang disampaikan Bujra menurutnya masyarakat Arab secara tradisional terbagi dalam sistem yang disebutnya sebagai “sistem stratifikasi sosial ascriptive” yang mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan, termasuk pekerjaan.81 Yang mana sistem ini mengatur masyarakat dalam kelompok-kelompok seperti yang dijelaskan dalam BAB II. Pembagian sosial ini ditegakkan dalam interpretasi kaku dari prinsip legal Islam yang memandang kelas tertinggi dalam masyarakat adalah Sayid dengan segala keistimewaan yang didapatnya. Pemerintah
kolonial
mempercepat
keruntuhan
sistem
stratifikasi
tradisional ini dengan kesediannya untuk menugaskan non-Sayid terkemuka sebagai kepala masyarakat Arab lokal. Ketika populasi Arab berkembang pesat di sebuah kota untuk menjaminnya maka pemerintah mengangkat individu terkemuka sebagai pejabat Arab dengan gelar Luitenant, Mayor, atau Kapitein
80
Van den Berg, Le Hadharamout et les colonies arabes, h. 215-218. A.S Bujra, “Political Conflict and Stratification in Hadhramaut (I).” Middle Eastern Studies 3, 4 (Juli 1967): 355-375. Dalam stratifikasi social lihat juga R.B. Serjeant, “South Asia.” in Commoners, Cllimbers and Notables: A Sampler of Studies on Social Ranking in The Middle East, ed. C.A.O van Nieuwenhuijze (Leide: E.J. Brill, 1977), hal. 226-247. Arsip berikutnya didasarkan dua sumber. Pandangan alternatif, yang menggali tingkat sistem yang diaplikasikan secara umum sepanjang Hadhramaut, ditemukan dalam Sylvaine Camelin, “Reflections on the System Social Stratification in Hadhramaut,” dalam Hadrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s, ed. Ulrike Freitag dan Willam G, Clarence Smith (Leiden: Brill 1997), h. 147-156. Lihat juga Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami di Indonesia (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007), h. 21. 81
142
untuk mengelola komunikasi, menyebarkan infomasi atau peraturan antara masyarakat dengan pemerintah dalam masalah yang terkait orang Arab.82 Ada sekitar lebih dari sepuluh pejabat Arab yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda adalah non-Sayid.83 Pada prakteknya hal ini membantu meruntuhkan paradigma orang-orang Arab tentang status sosial tadi. Kelompok elit baru Hadhrami yang muncul di akhir abad ke-19 menjelang awal abad ke-20 inilah keanggotaannya lebih berdasarkan kekayaan dan pengetahuan ketimbang keturunan. Anggotanya merupakan pedagang dan pemilik properti yang beruntung atau menjadi kaya sepanjang abad itu. Meskipun beberapa orang adalah Sayid, sebagian kecil berasal dari lapisan masyarakat Arab lainnya. Biografi rinci tentang dua tokoh terkemuka komunitas Arab Batavia, satu Sayid dan satu non-Sayid menunjukkan keragaman asal-usul kelompok baru ini. Sayid Abdullah bin Alwi al-Atas, lahir di Batavia dalam keluarga kaya sekitar tahun 1850.84 Pada masa mudanya ia merantau ke Mekah dan mengenyam pendidikan disana. Kemudian selanjutnya ia bepergian ke Timur Tengah, India, Semenanjung Harapan dan Australia lalu kembali ke Jawa pada akhir abad ke-19.
82
Tentang peran pejabat Arab, lihat Mandal, “Finding Their Place,” h. 70-82. Sisi yang memperjelas tentang pajabat Cina, dimana perbandingan dapat digambarkan, dalam G. William Skinner, “Overseas Chinese Leadership: Paradigm fo a Paradox, in Leadership and Authority: A Symposium, ed. Gehan Wijeyyewardene (Singapore: University of Malaya Press, 1968), h. 191207. Lihat pula dalam Mona Lohanda, “The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942 a History of Chinese Establishment in Colonial Society,” (Jakarta: Djambatan, 2001), h. 279-287. 83 Daftar lengkap kepala keluarga Arab 1900-1942 ditemukan dalam Husain Haikal, “Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1900-1942)” (Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, 1986), h. 455-459. Lebih dari 128 nama terdaftar, tujuh puluh lima (59%) adalah non-Sayid dan lima puluh tiga (41%) adalah Sayid. 84 Data selanjutnya tentang al-Atas diambil dari berita tentang kematiannya, diterbitkan sebagai “Wafah al-Abdullah bin Alwi al-Atas,” Hadhramaut, 15 Juni 1929 dan “Al-Sayyid alMarhum’ Abdullah bin Alwi al-Attas,” Hadhramaut, 29 Juni 1929. Informasi lebih jauh diperoleh dari Dunn ke Balfour, 27 September 1919, R/20/A/1409, IOL; lihat dalam Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami, h. 25.
143
Dia adalah salah satu orang terkaya di Batavia dengan properti yang dianggap memegang peranan besar dalam perdagangan di Batavia. Terkenal karena gagasan modernnya, Abdullah al-Atas mengirimkan keempat anaknya ke Turki dan Mesir untuk menempuh pendidikan tidak ke Hadhramaut atau Mekah yang dianggapnya tradisional. Keempat anaknya menyelesaikan studinya di Eropa (Perancis, Belgia, Belanda, dan Inggris) di bidang teknik, kedokteran dan perniagaan. Sehingga mendapat pendidikan Barat yang lebih maju dibanding di negeri jajahan. Kedua anaknya kemudian diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat atau Perlemen Hindia): Ismail (19181920)
dan
Muhammad
(1931-1935).
Menurut
Hamid
Algadri,
anak
perempuannya diajarkan bahasa Inggris dan bermain piano, keterampilan yang luar biasa bagi perempuan Arab saat itu.85 Abdullah al-Atas merupakan pendiri dan pendukung berbagai organisasi sekolah Arab dan juga mendirikan sekolah sendiri, disebut sebagai sekolah al-Atas di tahun 1924. Ia meninggal tahun 1929. Menurut data dari Arsip Nasional RI (ANRI), pada masa kolonial banyak warga Arab memiliki tanah luas. Misalnya saja, Sayid Abdulah bin Alwi Alatas yang memiliki tanah sangat luas dari Pondok Betung di Bintaro hingga Pondok Cabe di Ciputat, Tangerang. Jika dihitung-hitung, total tanahnya mencapai 5.000 hektar (menurut keterangan cucunya, Abdullah bin Abbas Alatas, 82 tahun). Di Pondok Betung, Bintaro, dia juga pernah memiliki perkebunan palawija. Masih kata cucunya, Bung Karno dahulu sering mendatangi kediamannya. Dia adalah satu di antara beberapa keturunan Arab yang sangat sukses menginvestasikan uangnya dalam bidang properti. Rumahnya yang kini
85
Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami., h. 26.
144
menjadi Museum Tekstil merupakan bangunan besar bergaya Eropa. Rumah ini dibangun 1852 dan sebelumnya ditempati oleh konsul Turki di Indonesia. Waktu itu di bagian belakang Museum Tekstil masih merupakan perkampungan.86 Sebaliknya dengan Syekh Umar bin Yusuf Manggus87 dilahirkan dari keluarga non-elit di Hadhramaut.88 Meskipun tidak berpendidikan tinggi ia merantau ke Jawa semasa mudanya. Memulai sebagai pedagang kecil, dia bekerja keras untuk menjadi pedagang kaya dan pemilik properti. Tahun 1902 dia diangkat sebagai Kapitein Arab di Batavia yang dipegangnya sampai tahun 1931. Tahun 1921 dia mendapat gelar kehormatan Knight of The Order of Orange Nassau, sebagai sinyal yang jelas atas hubungan yang baik dengan pemerintah kolonial. Manggus menikmati hubungan baik dengan orang Eropa dalam dunia pemerintahan dan bisnis. Hampir semua urusan bisnisnya bekerja sama dengan orang Eropa. Seringkali Manggus ini membuat kontroversi yang menimbulkan perdebatan dalam komuntias Arab, misalnya dengan mengundang orang Eropa dalam pernikahan putrinya di tahun 1921, kemudian juga pernah dalam suatu pertemuan ia menolak untuk mencium tangan seorang Sayid.89 Ia adalah seorang pendukung kunci organisasi bidang pendidikan al-Irsyad sejak awal ia pula yang
86
Alwi Shahab, “Properti di Batavia dan Tuan Tanah Keturunan Arab”, h. 25. Menurut penggunaan tradisional Hadhramaut, gelar Syekh diberikan pada kelas sarjana religious non-Sayid. Di Hindia, semua orang Arab non-Sayid mengadopsi gelar ini. Penggunaan terakhir ini diadopsi disini untuk menyediakan konsistensi dengan sumber utama. Hal ini juga memungkinkan pembedaan yang sesuai antara Sayid dan non-Sayid. 88 Informasi mengenai Manggus diperoleh dari Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889-1936, ed. E. Gobee dan C. Adriansee (The Hague: Martinus Nijhoff, 1959), vol. 2, h. 1555-8; Dunn to Baltour, 27 September 1919, R/20/A/1409, IOL; Haikal, “Indonesia-Arab,” h. 163-6; “Pesta Kawin,” Neratja, 26 Juli 1921, h. 1. 89 Tentang pentingnya insiden ini, lihat “Hawl al-Hadrimah wa Nahdatihim,” Ad-Dahna’, Mei, 1928, h. 3. 87
145
menginisiasi untuk mendirikan sekolah tersebut dengan mengajak Ahmad Surkati untuk bergabung bersamanya. Ia meninggal sekitar tahun 1948. Di akhir abad ke-19, di Hindia Belanda umumnya dan Batavia khususnya keduanya mempunyai peran dalam kemunculan elit baru dalam masyarakat Arab. Keduanya merupakan pedagang yang sukses dan pemilik tanah dengan kepentingan bersama. Mereka juga berbagi bersama suatu pandangan modern. Perjalanan al-Atas dan kontak Manggus yang luas dengan orang Eropa, telah meyakinkan keduanya bahwa kunci meraih sukses adalah meraih pendidikan modern dan juga teknologi.90 1. Sarekat Dagang Islam dan Sarekat Islam Pada tahun 1909 lahirlah dari kalangan pedagang Indonesia di Batavia suatu perkumpulan yang bernama Sarekat Dagang Islamiyah. Pemrakarsanya ialah R.M. Tirtoadisoerjo, seorang wartawan asal Surakarta yang menjadi pemimin redaksi Medan Priyayi di Bandung. Pada tahun 1911 didirikannya perkumpulan semacam itu juga di Bogor dengan nama Sarekat Dagang Islam. Kedua perkumpulan itu berbentuk koperasi dagang. Anggota-anggotanya terdiri atas pedagang-pedagang Indonesia yang bertujuan mengadakan usaha bersama untuk dapat menghadapi persaingan dan melepaskan diri dari cengkramancengkraman pedagang Cina yang menguasai perdagangan menengah.91 Di Surakarta R.M. Tirtoadisoerjo juga berhasil meyakinkan H. Samanhudi, seorang pengusaha batik yang besar dari kampung Laweyan, perlunya mendirikan perkumpulan dagang seperti di Batavia dan Bogor itu. Pada akhir tahun 1911 H.
90
Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami., h. 26-27. Arsip Nasional Indonesia, Sarekat Islam Lokal, ANRI Penerbitan Sumber-sumber Sejarah No. 7, (Jakarta: ANRI 1976), h. XI. 91
146
Samanhudi berhasil menghimpun pengusaha-pengusaha batik di Surakarta untuk mendirikan suatu perkumpulan dengan nama Sarekat Dagang Islam. Perkumpulan ini bentuknya juga semacam koperasi dagang pengusaha-pengusaha batik yang bertujuan merobohkan monopoli pedagang-pedagang Cina yang menyediakan bahan baku bagi perusahaan batik.92
Pembuat Batik93 Sarekat Dagang Islam (Islamic Commercial Union; SDI) menghubungkan relasi kerjasama antara pedagang Arab dan Jawa inilah yang menjadi peletak dasar bagi lahirnya suatu organisasi Islam pertama di Indonesia, sebuah institusi yang dipandang sebagai pelopor pergerakan nasional. Faktanya perkembangan organisasi ini merupakan andil dari kerja keras bersama antara pedagang Jawa dan Arab. Fakti ini misalnya tercermin dari komposisi badan eksekutif pertamanya, yang mencakup lima orang Arab dan empat orang Jawa. Tujuan Sarekat Dagang Islam sendiri merupakan refleksi kepentingan komunitas muslim urban yang sedang berkembang. Sarekat Dagang Islam terbuka untuk semua muslim di 92
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 19081945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 33. Lihat juga dalam APE. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, (Jakarta: Grafitipers, 1985), h. 21. 93 http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/72?q_search_beschrijving=batavia&q_facet_beginjaar= 1900-1942 diakses pada : 22 Januari 2015.
147
Indonesia dan bertujuan untuk mendukung pedagang muslim dalam berkompetisi dengan pengusaha Cina dan Eropa.94 Masyarakat Arab dalam badan eksekutif Sarekat Dagang Islam yaitu, Ahmad bin Abdurrahman Bajunayd (presiden), Said bin Abdurrahman Bajunayd (bendahara), Muhammad bin Said Bajunayd, dan Ghalib bin Said bin Tabi’.95 Semuanya adalah non-Sayid dan pedagang kaya. Beberapa juga aktif dalam organisasi pendidikan Arab. Kakak beradik Bajunayd, Ahmad dan Said merupakan orang Arab yang pertama dikirim ke Istanbul untuk mengenyam studi modern di tahun 1899. Pendidikan mereka dibiayai oleh ayahnya, Syekh Abdurrahman bin Abdullah Bajunayd, seorang quartermaster (juru mudi) yang tinggal di Bogor pada penghujung abad ke-19. Ghalib bin Tabi’ adalah seorang Letnan Arab di Bogor sampai tahun 1914 yang juga Ketua Jamiat Khair di kota itu, seorang tokoh yang aktif dalam organisasi pendidikan al-Irsyad dari tahun 1915 sampai wafatnya tahun 1921.96 Ahmad bin Said Bajunayd juga menjadi pengurus Al-Irsyad di tahun-tahun awal dan diangkat sebagai Letnan Arab di Bogor tahun 1921. Pada akhir 1909 Sarekat Dagang Islam berada di ambang keruntuhan. Pemerintah kolonial menolak memberi legalitas dengan alasan bahwa orang Arab merupakan subyek komersial yang berbeda sehingga tidak dapat diatur dengan 94
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra,1985), h. 120-122; dan van der Wal, De Opkomst, h. 91. Kompetisi ekonomi menjadi semakin keras sejak penutupan perkebunan opium, yang mendorong pergeseran modal orang Cina ditaruh untuk industri lain. Lihat Sumit Mandal, “Finding Their Place, A History of Arabs in Java under Dutch Rule, 18001942” (disertasi PhD, Columbia University, 1994), h. 132. Dalam Natalie, Hadrami Awakening., h. 52. 95 Anggota Jawa selain Tirtoadisoedirjo sendiri, yaitu Muhammad Dagrim (fisikawan), Mas Railoes (tuan tanah) dan Haji Mohamad Arsad. Toer, Sang Pemula, h. 122. Terpisah dari perannya di eksekutif, Arab juga menyediakan modal untuk membantu mengembangkan organisasi. Ahmad bin Abdurrahman dan Ahmad bin Said Bajunayd adalah kontributor terbesar, tiap orang menyumbang lima ratus gulden. 96 Al-Irshad, 28 April 1921, h. 2. Dan Haikal, “Indonesia-Arab”, h. 455.
148
hukum pribumi. Alasan lainnya adalah bahwa organisasi komersial yang beranggotakan dua kelompok berbeda tidak dapat diakui oleh hukum. Pada saat yang sama juga terdapat perbedaan mencolok antara keluarga Bajunayd dan Tirtoadisurjo. Ketua dan bendahara organisasi baru itu kemudian mengundurkan diri dari situasi tersebut hanya beberapa bulan setelah perkembangannya. Mengacu pada Rinkes, penasehat pemerintah urusan dalam negeri, pengunduran diri mereka disebabkan oleh percekcokan dengan Tirtoadisurjo, Pada tahun 1914, Belanda merasa takut akan ketidakstabilan yang meluas yang dipimpin oleh para pemimpin puritan, yang sebagian besar orang Arab.97 Bentuk kegiatan Sarekat Dagang Islam yang bertujuan meningkatkan derajat
rakyat
Indonesia
ialah
memajukan
pendidikan
yang
dapat
mengembangkan Sarekat Dagang Islam. Rencana untuk perbaikan pendidikan berangsur-angsur berkembang dan sesudah tahun 1914 kian mendapat perhatian. Dalam kalangan Sarekat Dagang Islam terdapat perhatian yang besar untuk kegiatan pendidikan yang diusahakan oleh Jamiat Khair. Pada tahun 1913, Jamiat Khair sering dijadikan tempat rapat-rapat Sarekat Dagang Islam di Batavia. Di antara pengurusnya ialah Abdullah bin Husein Alaydrus salah satu pengurus Jamiat Khair. Dalam Sarekat Dagang Islam, ia duduk sebagai ketua dan merupakan donatur utama. Dalam rapat-rapat Sarekat Dagang Islam, ia menekankan bahwa kunci untuk mencapai kemajuan adalah dengan memajukan pendidikan, yang juga merupakan kewajiban bersama sebagai muslim. Selanjutnya Abdullah Husein Alaydrus berkata bahwa salah satu bentuk kegiatan 97
Taufik Abdullah & Sharon Siddique, Tradisi Dan kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Terj. Rochman Achwan, (Jakarta: LP3ES 1989), h. 265.
149
untuk meningkatkan derajat rakyat Indonesia ialah memajukan pendidikan yang akan mengembangkan Sarekat Dagang Islam.98 Dalam waktu yang singkat Sarekat Dagang Islam Surakarta ini berkembang. Anggotanya tidak terbatas pada pengusaha-pengusaha batik saja, tetapi juga pedagang Indonesia dan rakyat pada umumnya. Cabang perkumpulan menyusul berdiri di beberapa tempat di luar Surakarta, di antaranya yang terkemuka di Surabaya yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto. Karena meluasnya Sarekat Dagang Islam, baik dalam kwantitas dan kwalitas anggotanya maka kata “dagang” itu menjadi tidak berarti. Maka anggaran dasarnya yang disahkan dengan akte notaris di Surakarta pada tanggal 10 September 1912, kata “dagang” itu dihapus dan selanjutnya perkumpulan ini bernama Sarekat Islam. Menurut anggaran dasar tersebut tujuan Sarekat Islam tidak terbatas pada usaha perdagangan saja, tetapi juga membina dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, kultural, dan agama Islam bangsa Indonesia.99 Karena pada mulanya Sarekat Islam didirikan dengan tujuan mematahkan perdagangan yang dikuasai oleh orang Cina, maka tak heran kalau meluasnya Sarekat Islam yang begitu cepat menimbulkan kekhawatiran di kalangan orangorang Cina, sehingga hubungan antara mereka dan penduduk pribumi menjadi tegang, terutama di kota-kota yang ada cabang Sarekat Islam ketegangan ini ada yang sampai meletus menjadi bentrokan, di antaranya di kota Surakarta sendiri, di Surabaya, Semarang dan Kudus.
98
APE. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, hal. 99. Lihat pula Natalie, Hadrami Awakening., h. 54-55. 99 Sarekat Islam Lokal (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1975), h. 9 dan 2729.
150
Meskipun bentrokan yang terjadi di beberapa tempat itu tidak meluas menjadi huru-hara, tetapi menjadi salah satu faktor pemerintah Belanda tidak segera memenuhi permohonan pimpinan Sarekat Islam di Surakarta untuk mendapatkan pengakuan sebagai badan hukum bagi seluruh Sarekat Islam100 Berhubungan dengan itu pada tanggal 29 Maret 1913 pucuk pimpinan Sarekat Islam, dengan diketuai oleh H.O.S. Tjokroaminoto, mengadakan audiensi dengan Gubernur Jenderal Idenburg di Istana Buitenzorg. Dalam audiensi itu pimpinan Sarekat Islam berusaha meyakinkan Pemerintah Belanda, bahwa Sarekat Islam sama sekali tidak bermaksud menentang pemerintah, memusuhi bangsa asing dan agama Kristen maupun agama lain.101 Keikutsertaan anggota Jamiat Khair menunjukkan dukungan masyarakat Arab pada Sarekat Islam. Di antaranya Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, seorang ulama terkemuka di Batavia, Ahmad bin Muhammad al-Musawa di Surabaya, Hasan Ali Surati, seorang keturunan Arab yang lama tinggal di Surat India dan pedagang yang memainkan peranan penting di belakang layar dalam kegiatan Sarekat Islam. Menurut Rinkes, pendirian Sarekat Islam dalam hal ini dipengaruhi oleh ketergantungan keuangannya pada golongan-golongan Arab yang mampu di Surabaya. Bahkan menurut Korver, Tjokroaminoto seorang yang sangat bergantung pada beberapa orang Arab terkemuka di Surabaya.102 Dalam laporan rahasia tentang kongres Sarekat Islam di Surabaya pada bulan Juli 1915 dari Dr. Hazeu dikatakan bahwa ‘pengaruh Arab atas 100
Hal ini sesuai dengan tujuan S.I. yang semula yaitu perkumpulan koperasi yang menurut undang-undang (Wetboek van Koophandel) harus mendapat pengakuan sebagai badan hukum. 101 Laporan mengenai audiensi ini dilihat dalam De Opkomst van de Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie. Bewerkt door S.L. van der Wal (Groningen : J.B. Wolters, 1967) h. 161-164. 102 APE. Korver, Ibid, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, h. 239.
151
perkumpulan ini, atau lebih tepat atas pengurus besarnya tampaknya juga cukup meningkat.103 Selama kongres itu, di antara orang yang sangat menonjol peranannya menurut Dr. Hazeu adalah Hasan bin Semith, seorang keturunan Arab. Hasan bin Semith ditempatkan pula dalam comisaris centraal Sarekat Islam tahun 1915. Pemerintah Belanda secara formil-juridis memang tidak mempunyai alasan untuk mencurigai dan melarang Sarekat Islam maka oleh karenanya pada tanggal 30 Juni 1913 Pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan mengakui Sarekat Islam sebagai badan hukum, tetapi tidak sebagai keseluruhan. Pengakuan sebagai badan hukum itu diberikan kepada cabang-cabang Sarekat Islam secara sendiri-sendiri. Tiap cabang harus mempunyai anggaran dasar dan pengurus sendiri yang dari segi organisasi tidak ada hubungannya dengan cabang lain. Meskipun pengakuan sebagai badan hukum kepada cabang-cabang Sarekat Islam diberikan secara sendiri-sendiri, tetapi pemerintah Belanda tidak berkeberatan kalau cabang yang berdiri sendiri-sendiri itu mengadakan kerjasama dibawah pimpinan sebuah badan pusat. Badan pusat ini harus mempunyai anggaran dasar sendiri dan mendapat pengakuan sebagai badan hukum sendiri pula. Secara resmi badan pimpinan pusat itu diakui sebagai badan hukum oleh pemerintah Belanda pada tanggal 18 Maret 1916 dengan nama Centraal Sarekat Islam untuk membedakannya dengan Sarekat Islam di daerah-daerah atau Sarekat Islam Lokal. Jadi menurut organisasi formilnya Sarekat Islam adalah suatu federasi cabang-cabang dengan Centraal Sarekat Islam sebagai badan pimpinan pusatnya. 103
Hamid Al-Qadri, C Snouck Hurgronje: Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 160.
152
Di kota-kota Sarekat Islam Lokal merupakan organisasi pedagang dan pengusaha pribumi. Selain pedagang dan pengusaha ada pula anggota yang termasuk golongan tukang, buruh dan pegawai kecil, tetapi golongan ini pada umumnya adalah hanya massa pengikut. Massa pengikut ini sebagian besar menjadi anggota Sarekat Islam karena alasan agama. Pimpinan organisasi dipegang oleh golongan pengusaha-pedagang, terutama pengusaha-pedagang besar. Gerakan Sarekat Islam di kota-kota itu pada umumnya ditujukan kepada pedagang dan pengusaha Cina yang menjadi saingan pedagang dan pengusaha pribumi.104 Di daerah pedesaan anggota-anggota Sarekat Islam mengelompok di sekitar haji-haji yang terkemuka, baik haji ulama maupun bukan. Anggotaanggota itu termasuk golongan rakyat kebanyakan, seperti petani kecil, pedagang kecil, tukang, buruh, pegawai rendahan dan sebagainya, sedang haji-haji itu termasuk golongan menengah, seperti pedagang, petani besar ataupun sedang, pengusaha dan tengkulak. Anggota-anggota yang kebanyakan rakyat itu masuk ke dalam Sarekat Islam karena alasan agama, sedang haji-haji yang memegang pimpinan itu mengorganisasikan Sarekat Islam karena berbagai macam sebab pula, antara lain kerena persaingan dengan orang-orang Cina, karena tindakan Pemerintah setempat ataupun Pemerintah Desa yang dianggap tidak adil.105 Karena Sarekat Islam di daerah-daerah sebagai organisasi pergerakan berhadapan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan sosial yang menjadi penantangnya, sehingga oleh karenanya menghadapi masalah-masalah sosial yang nyata dan harus memecahkannya, maka tidak mengherankan kalau dari Sarekat 104 105
Sarekat Islam Lokal (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1975), h. 9-11. Sarekat Islam Lokal., h. 10-11.
153
Islam di daerah timbul pemimpin-pemimpin yang radikal, seperti golongan Sarekat Islam Afdeeling B di Tasikmalaya, Semaun dan kawannya di Semarang.106 Dari pemimpin-pemimpin Sarekat Islam yang radikal inilah sering timbul perbedaan haluan politik antara Sarekat Islam Lokal dan Centraal Sarekat Islam perbedaan ini pula yang akhirnya menimbulkan perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam, yaitu Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah. Sarekat Islam Putih adalah Sarekat Islam yang mempertahankan azas-azas Sarekat Islam yang semula, sedangkan Sarekat Islam Merah adalah Sarekat Islam yang kemudian hari menjadi gerakan kiri.
106
Kasus Afdeeling-B lihat ke William A. Oates, “The Afdeeling B: An Indonesia Case Study,” Journal of Southeast Asian History 9, 1 (Maret 1968), h. 107-116.
154
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Secara sederhana, jaringan sosial sebenarnya merupakan salah satu bentuk strategi dan tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun masyarakat dalam menghadapi lingkungan pekerjaannya yang tidak menentu atau diliputi oleh berbagai keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki. Jaringan sosial itu dapat digunakan untuk menginterpretasikan tingkah laku individu dalam berbagai keadaan sosial. Sebagai salah satu aplikasi nyata dengan adanya jaringan sosial adalah pasar. Pasar adalah salah satu dari berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial dan infrastruktur dimana usaha menjual-membeli barang, jasa dan tenaga kerja untuk orang-orang dengan imbalan uang. Transaksi ini terjadi atas dasar kesepakatan atas dua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli. Di setiap wilayah, khususnya di Batavia, kita dapat menjumpai pasar dengan mudah. Karena pasar merupakan sumber kehidupan bagi warga masyarakat maka pasar banyak dijumpai di setiap wilayah di Batavia. Interaksi sosial dapat di definisikan sebagai hubungan antar individu yang saling mempengaruhi dalam berbagai hal pengetahuan, sikap, dan perilaku. Interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat Arab dengan masyarakat pribumi di Batavia telah terjalin pada masa yang sangat jauh sebelum periode ini saya tulis. Akan tetapi, khususnya dinamika perekonomian yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Nusantara lebih khusus di daerah Batavia ini pada tahun 1900
155
– 1942. Hal yang menarik adalah bahwasanya kondisi perekonomian saat itu di Batavia menjadi pusat kegiatan perekonomian pemerintah kolonial dengan masyarakat jajahannya yang heterogen. Masyarakat Arab di sini berperan sebagai pedagang perantara (peddler) yang menghubungkan antara masyarakat pribumi, masyarakat Cina, dan masyarakat Eropa yang ada di Batavia. Kebanyakan dari mereka menjadikan barang–barang seperti kain, khususnya katun impor, batik dan pakaian sebagai mata dagangan yang utama. Selain itu pula, produk lainnya adalah mebel, batu mulia, minyak wangi, barangbarang dari kulit, dan makanan merupakan komoditas populer yang mereka perdagangkan. Pada perkembangannya masyarakat Arab juga banyak terlibat dalam bisnis properti dan lahan atau tanah. Kegiatan lainnya di luar berdagang mereka seringkali meminjamkan uang kepada masyarakat pribumi yang ekonominya di bawah mereka dengan disertai bunga yang tinggi. Hal seperti ini bahkan mereka jadikan sebagai pekerjaan sampingan di luar berdagang. Bagi para pembeli yang tidak dapat membayar secara tunai, mereka memberikan peluang untuk menjual barang dengan sistem utang. Pola sosial seperti ini memberikan gambaran tentang adanya harmonisasi antara masyarakat Arab dengan masyarakat pribumi bahkan dengan masyarakat lainnya. Sekalipun ada intrik yang terjadi di antara mereka, hal itu tidak menjadi sebuah permasalahan sosial yang muncul ke permukaan seperti gerakan protes dan sebagainya karena di antara mereka saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Untuk itu dinamika sosial ekonomi masyarakat Arab di Batavia tahun 1900 – 1942 sangat berpengaruh terhadap denyut perekonomian masyarakat di
156
sana. Interaksi sosial merupakan hubungan dinamis antar orang, kelompok, maupun antar orang terhadap kelompok. Syarat mutlak terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak dan komunikasi di antara manusia yang menimbulkan jaringan sosial. Seperti halnya dalam pasar bahwa terdapat jaringan sosial. Karena dalam pasar terdapat proses distribusi, produksi, dan konsumsi yang semuanya merupakan jaringan sosial. Antara satu dan lainnya saling berkaitan membentuk jaringan, dan saling bergantung. Misalnya dalam pendistribusian barang, harus ada orang yang memproduksi, dan orang yang memproduksi bergantung ada konsumen atau tidak. Dengan demikian bisa di lihat bahwa masyarakat Arab memiliki peran penting di pusat perdagangan di Nusantara. Mereka bahkan berhasil membentuk jaringan perdagangan jarak jauh lintas samudera, membentang dari Mesir, Tiongkok, India, hingga Jawa dan Sumatera. Sebagian hidup dari perdagangan rempah, sisanya menjajakan perhiasan dan barang mewah lainnya. Dalam beberapa keterangan dijelaskan bahwa pengaruh jaringan perekonomian masyarakat Arab dengan masyarakat pribumi sangat kecil pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat Eropa maupun Cina, sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk dapat dibandingkan dengan pengaruh perekonomian masyarakat Eropa dan Cina. Akan tetapi dalam konteks penelitian ini penulis melihat bahwa dinamika perekonomian maysarakat Arab justru nampak berpengaruh dan saling membutuhkan dengan masyarakat pribumi. Penulis beranggapan hal itu karena tingkat minoritas masyarakat Arab yang ada di Batavia. Perbedaan pendapat tersebut lebih kepada pengaruh mereka dalam
157
perekonomian masyarakat pribumi pada jenis kebutuhan sehari-hari bukan pada jenis kebutuhan di level besar. Di dalam perdagangan yang sebenarnya, pengaruh masyarakat Arab dari segala segi menguntungkan kaum Pribumi. Mereka berperan sebagai penghubung bagi orang Eropa dan bahkan Cina dengan masyarakat. Di samping itu, mereka merupakan pasaran penting bagi hasil bumi dan industri golongan Pribumi. Terlebih penulis melihat adanya pengaruh masyarakat Arab terhadap masyarakat pribumi khususnya dalam dakwah keislaman. Pribumi dari kelas bawah menganggap orang Arab manapun sebagai manusia pilihan dan akibatnya sebagai orang yang berkedudukan lebih tinggi di dalam masyarakat. Pada umumnya mereka mengira bahwa gelar Syekh yang disandang semua orang Arab di Indonesia, yang bukan Sayid atau Syarif, meskipun lebih rendah masih merupakan gelar bangsawan. Seperti juga yang dilakukan terhadap bangsa Eropa, mereka menyapa orang Arab dengan “Tuan”, bahkan di beberapa tempat mereka menyebut semua orang Arab Tuan Sayid, tanpa tahu makna kata atau sebutan tersebut. Manakala bertemu dengan orang Arab, seorang Islam Pribumi memberi salam dengan sangat hormat dan mencium tangannya, masyarakat Arab bahkan mempengaruhi adat-istiadat penduduk setempat. Hindia Belanda sebetulnya menjadi semacam wilayah yang menjanjikan sebuah kehidupan baru bagi masyarakat Arab yang merantau di Nusantara. Maka orang Arab tak ragu menanam modalnya dalam pelbagai lini bisnis di Nusantara. Antara lain lahan perumahan, perdagangan, dan industri tekstil. Padahal saat itu pemerintah kolonial menerapkan aturan diskriminatif terhadap orang Arab, akan tetapi bisnis orang Arab tak terbendung.
158
Keberhasilan pedagang Arab sebagai pedagang perantara di Indonesia tidak hanya dikarenakan oleh keuletan mereka dalam berdagang saja, melainkan juga ditunjang oleh berbagai hal di antaranya adanya kesempatan yang dapat mereka manfaatkan dengan sebaik-baiknya, dan kesempatan itu dapat mereka manfaatkan karena adanya modal yang cukup. Kesempatan tersebut mereka dapatkan akibat kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pengaruh mereka pun dalam perkembangan selanjutnya meluas ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia dari mulai lapisan bawah sampai ke lapisan atas. Sesungguhnya gerak ke luar dari batas-batas fisik komunitas diikuti pelintasan batas sosial budaya. Dalam periode relatif singkat komunitas Arab menjadi terbuka terhadap pengaruh masyarakat pada umumnya, mengalami emansipasi kelas bawah, dan menapaki sebuah reorientasi nasional. Bagi orangorang Arab di Batavia, ini berarti bahwa mayoritas sudah menjadi orang Indonesia dengan latar belakang Arab. Dengan demikian, menurut penulis sangat tidak berlebihan jika kita menyebut masyarakat Arab berperan serta dalam pergerakan nasional yang terjadi di awal abad ke-20, mereka juga berperan serta terhadap kemerdekaan Indonesia. A.R. Baswedan berhasil membawa golongan minoritas ini ke luar dari keterkungkungan eksklusivisme di bumi Nusantara. Lewat perjuangannya golongan Arab mendapat pengakuan yang begitu besar, hal itu terbukti dari banyaknya tokoh golongan ini yang dipercaya menduduki jabatan publik dan menjadi tokoh masyarakat.
159
Setiap komunitas terdiri atas elemen pembentuknya yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan utuh yang terikat melalui suatu jaringan sosial. Jaringan sosial pada suatu masyarakat menunjukkan berbagai tipe hubungan sosial yang terikat atas dasar identitas kekerabatan, ras, etnik, pertemanan, ataupun atas dasar kepentingan tertentu.
B. Saran Dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan saran-saran mengenai Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Arab di Batavia. Saran ini berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, dengan harapan dapat bermanfaat bagi warisan khazanah peradaban Islam. Berdasarkan hasil penelitian skripsi ini maka penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut: 1. Riset yang lebih komprehensif baik dari kelengkapan data, metodologi dan analisis harus dilakukan oleh peneliti sejarah atau mahasiswa sejarah. 2. Dalam rangka terus mengembangkan dan meningkatkan kajian yang lebih matang, maka perpustakaan dirasa perlu untuk melengkapi koleksinya. Hal ini diharapkan menjadi perhatian kepada pihak perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Perpustakaan Fakultas Adab & Humaniora dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta umumnya. 3. Disarankan program-program akademik dikampus untuk memberikan perhatian lebih kepada pengembangan kajian atau studi kebahasaan seperti bahasa Inggris, Arab dan Belanda atau lainnya yang lebih serius sebagai bahasa sumber.
160
DAFTAR PUSTAKA I. SUMBER PRIMER : A. ARSIP : ANRI. Pelgrimregister dalam Arsip Algemene Secretaries: Missive Gouvernement Secretaries (MGS): Seri Grote Bundel (GB), 1892-1942. No. 2811 MGS 4-111893. GB.Ag.2280 . Pelgrimregister dalam Arsip Algemene Secretaries: Missive Gouvernement Secretaries (MGS): Seri Grote Bundel,1892-1942. No.4568 MGS 1909-112/2840 . Circulaire De 1st Gouvernements Secretaris, tertanggal 23 Agustus 1910 No. 1934, Batavia: Landsrukkerij, 1911. . Circulaire De 1st Gouvernements Secretaris, tertanggal 08 September 1910 No. 2062, Batavia: Landsrukkerij, 1911. . Circulaire De 1st Gouvernements Secretaris, tertanggal 16 Mei 1911 No. 1172, Batavia: Landsrukkerij, 1912. . Circulaire De 1st Gouvernements Secretaris, tertanggal 1 Agustus 1921 No. 89/175, Batavia: Landsrukkerij, 1922.
B. LAPORAN TAHUNAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA : Handbook of The Netherlands East Indies 1930. Buitenzorg: Division of Commerce of the Agriculture, Industry and Commerce, 1939. Indisch Verslag 1931-1941: Statistich Jaaroverzicht van Nederlandsch Indie. Batavia: Landsrukkerij. Koloniaal Verslag 1900, Batavia: Landsrukkerij, 1901. Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie over het jaar 1914. Tweede Gedeelte. Weltevreden: Landsrukkerij, 1915. Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie Weltevreden: Landsrukkerij.
over
het
jaar
1922-1928.
Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie over het jaar 1871. Batavia: Landsrukkerij. Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie over het jaar 1879. Batavia: Landsrukkerij.
161
Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1938: Eerste Gedeelte. Batavia: Landsrukkerij, 1938. Statistisch Zakboekje voor Netherlandsch Indie 1934: Departement van Economische Zaken Centraal Kantoor voor de Statistiek. Medeeling No. 128. Batavia Centrum: G. Kolff & CO., 1935. Volkstelling Tahun 1930, Vol. I, Tabel I dan II.
C. SUMBER SE-ZAMAN (SURAT KABAR HARIAN DAN MINGGUAN): Bataviaasch Handelsblad 1 Mei 1920. Berita Betawi, Rebo 11 Januari 1933, Tahun ke-1. Berita Betawi, Rebo, 23 Februari 1933, No. 43, Tahun ke-1. Berita Betawi, Jum’at, 17 Februari, 1934. Bintang Hindia, Tahoen-III, 1905 No.20. Bintang Hindia, Tahoen-IV, 01 Desember 1906 No.16. Bintang Hindia, Tahoen-IV, Saptoe, 25 Februari 1925. Doenia Dagang, No. 1, Maret 1938, tahun ke-1. Doenia Dagang, No. 2. 15 April 1938, tahun ke-1. Doenia Dagang, No. 3, Mei 1938, tahun ke-1 Doenia Dagang, No. 5, 15 Juli 1938, tahun ke-1 Menara Batavia, No. Pertjontoan. Senin, 27 April 1931, Tahun ke-1 Pergerakan, No. 13, 20 Januari 1931, tahun ke-1. Peroendingan, 25 November 1936. Peroendingan, 5 Desember 1936. Peroendingan, 25 Desember 1936. Peroendingan, 25 Januari 1937. Pewarta Arab, No. 11, Semarang, 27 November 1933, tahun. Ke-1.
162
Pewarta Arab, No. 13, Semarang, 11 Desember 1933, tahun. Ke-1. Pewarta Arab, No. 36, Semarang, 12 Juli 1934, tahun. ke-2. Pewarta Arab, Semarang, 17 Oktober 1934, tahun ke-2.
D. MAJALAH : Insaf, Maret 1937, No. 3, tahun ke-1. Insaf, April 1937, No. 4, tahun ke-1. Insaf, November 1937, No. 11, tahun ke-1. Insaf, Maret-April, 1939, No. 3-4, tahun ke-3. Insaf, Mei-Juni, 1939, No. 5-6, tahun ke-3. Insaf, Juli, 1939, No. 7, tahun ke-3. Insaf, Februari-Maret, 1940, No. 2-3, tahun ke-4. Aliran Baroe, November 1938, No. 4, tahun ke-1. Aliran Baroe, Desember 1938, No. 5, tahun ke-1. Aliran Baroe, April 1939, No. 9. tahun ke-2. Aliran Baroe, Juni 1939, No. 11, tahun ke-2.
E. PERATURAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA : Resolutie van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie 1825. (Batavia: Landsrukkerij,1826). Staatsblad van Nederlandsch Indie, Tahun 1863. No.63. Koleksi ANRI Staatsblad van Nederlandsch Indie, Tahun 1866. No.57. Koleksi ANRI Staatsblad van Nederlandsch Indie, Tahun 1870. No. 118. Koleksi ANRI Staatsblad van Nederlandsch Indie, Tahun 1879. No. 48. Koleksi ANRI Staatsblad van Nederlandsch Indie, Tahun 1903. No.329. Koleksi ANRI
163
Staatsblad van Nederlandsch Indie, Tahun 1905. No.204. Koleksi ANRI Staatsblad van Nederlandsch Indie, Tahun 1917. No.587. Koleksi ANRI Staatsblad van Nederlandsch Indie, Tahun 1922. No.216. Koleksi ANRI Staatsblad van Nederlandsch Indie, Tahun 1922. No.366. Koleksi ANRI Staatsblad van Nederlandsch Indie, Tahun 1925. No.674. Koleksi ANRI Staatsblad van Nederlandsch Indie, Tahun 1934. No.687. Koleksi ANRI Bijblad op het Staatsblad van Nederlansch Indie. Deel LX No. 10080, 10230, 10236, Weltevreden: Landsrukkerij,1923. Bijblaad op het Staatsblad van Nederlansch Indie Tahun 1904, No. 3222 Bijblad op het Staatsblad van Nederlansch Indie. Deel LXIV No. 11018, 11780 Weltevreden: Landsrukkerij, 1927. Bijblad op het Staatsblad van Nederlansch Indie. Deel LXVII No.11940, Weltevreden: Landsrukkerij, 1930. Gemeenteblad 1938, No. 377, No. 14361.
F. BUKU-BUKU : Adriani. P. De Bedevaarten naar Arabie en de Verspreiding der Epidemische Ziekten: eene Epidemologische studie voor Medici en Politici. Ooltgensplaat: M. Breur, 1899. ANRI. Sarekat Islam Lokal, ANRI Penerbitan Sumber-sumber Sejarah No. 7, Arsip Nasional Indonesia, Jakarta: ANRI 1976. _____. Memori Serah Jabatan 1921-1930 Jawa Barat (I) Judul Asli: Memorie van Overgave 1921-1930. Jakarta: ANRI, 1980. . Memori Serah Jabatan 1931-1940 Jawa Barat (I) Judul Asli: Memorie van Overgave 1931-1940. Jakarta: ANRI, 1980 Gobee, E dan C, Adriaanse, Judul Asli: Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. judul edisi Bahasa Indonesia: Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda: 1889-1936. Seri Khusus INIS Jilid V. Jakarta: INIS, 1991. _________________________. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda: 1889-1936. Seri Khusus INIS Jilid VI. Jakarta: INIS, 1992.
164
_________________________. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda: 1889-1936. Seri Khusus INIS Jilid IX. Jakarta: INIS, 1993. _________________________, Judul Asli: Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. judul edisi Bahasa Indonesia: Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda: 1889-1936. Seri Khusus INIS Jilid X. Jakarta: INIS, 1994. Encyclopedie van Nederlandsch Indie Jilid II & III. Leiden: E.J. Breel, 1917. Hurgronje, C. Snouck. (Judul Asli: Verspreide Geschriften. Boon & Leipzig: Kurt Schroeder, 1924, terj. judul edisi Bahasa Indonesia) Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje. Jilid V.. Terj. Jakarta: INIS, 1993. __________________. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje. Jilid XI. Terj. Jakarta: INIS, 1994.
II. SUMBER SEKUNDER : A. BUKU-BUKU : Abdullah, Taufik & Lapian, A.B (ed). Kolonialisasi dan Perlwanan Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid IV. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2012. Abdullah, Taufik & Siddique, Sharon. Tradisi Dan kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Diterjemahkan; Rochman Achwan. Jakarta: LP3ES 1989. Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Abeyasekere, Susan. (ed); From Batavia to Jakarta: Indonesia’s Capital 1930s to 1980s, Australia: Monash University, 1985. Affandi, Bisri. Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999. Akbar, Ali. Zaman Pra-Sejarah Jakarta dan Sekitarnya, Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, 2007. Ali, H. A. Mukti, et.al. Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 1987/1988.
165
Al-Attas, Husein. Ta’jul A’ras, fi manakib al-habib al-khutbi Shaleh bin Abdullah Al-attas, jilid II, Penerbit: Menara Kudus, 1979. Al-Attas, Sayid Muhammad Naquib. Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia, 1969. Al-Gadri, Hamid. C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab. Jakarta: Sinar Harapan, 1983. ______________. Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988. ______________. Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, Cetakan. I (Edisi III) Bandung: Mizan, 1996. Al-Haddad, Al-Habib Alwi bin Thahir. Al-Madkhal ila Tarikh Dukhul Al-Islam Ila Jaza’ir al-Syarq al-Aqsha, karya Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Diterjemahkan; S. Dhiya Shahab, Jakarta: Lentera Basritama, 1997. Alkatiri, Zeffry. Jakarta Punya Cara. Jakarta: Masup Jakarta, 2012. Assegaf, M. Hasyim. Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Assegaf, Sayyid Husein Nabil. Sejarah Silsilah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW, Malang: Penerbit Saraz, 2000. Aziz, Abdul. Islam & Masyarakat Betawi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara: Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 2004. ______________. Jaringan Ulama Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung: Mizan, 2002. Badjerei, Hussein, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, Jakarta: Presto Prima Utama, 1996. Bahafdullah, Madjid Hasan. Dari Nabi Nuh Sampai Orang Hadramaut di Indonesia Menelusuri Asal-Usul Hadhrarim. Jakarta: Bania Publishing, 2010. Balfaqih, Alwi Ibnu Muhammad. Asal-Usul Alawiyyin dan Peranannya, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999. Baudet, H. dan I.J Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. (Judul Asli: Balans van Beleid, Terugblik op de Laatste halve eeuw van Netherlands-Indie,
166
Van Gorcum & Comp. N.V. –Dr.H.J. Prakke & H.M.G. Prakke, Assen, 1961). Diterjemahkan; Amir Sutaarga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987. Berg, L.W.C. van den. Le Hadhramout et les Colonies Arabes Dans l’Archipel Indien (bagian kedua; disingkat Le Hadhramout). Batavia: 1886. __________________. Hadhramout and the Arab Colonies in the Indian Archipelago. Bagian pertama buku Le Hadhramout yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Mjor C. W. H. Sealy, diterbitkan oleh Government Central Press, 1887. __________________. Orang Arab di Nusantara, (Judul Asli: Le Hadhramout et les Colonies Arabes Dans l’Archipel Indien, Impr. du Gouvernement, Harvard University, 1886). Diterjemahkan; Rahayu Hidayat, (Ed. Terj. Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1989. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. Blackburn, Susan. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. (Judul Asli: Susan Abeyasekere, Jakarta; A History. Revised Edition. Singapore: Oxford University Press, 1989). Diterjemahkan; Gatot Triwira, Jakarta: Masup Jakarta (Komunitas Bambu), 2011. Blusse, Leonard. Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LKiS, 2004. Boxer, C.E. Jan Kompeni dalam Perang dan Damai 1602-1799: Sebuah Sejarah singkat tentang Persekutuan Dagang Hindia Belanda. Jakarta: Sinar Harapan, 1983. Braudel, Fernand. Civilization and Capitalism 15th-18th Century, (Volume III: The Perspective of The World). London: Collins, Grafton Street, 1984. Brousson, Clockener H.C.C. Batavia Awal Abad 20, Jakarta: Masup Jakarta, 2007. Budiman, Amen. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, Semarang: Tanjung Sari, 1979. Castles, Lance. Profil Etnik Jakarta, Depok: Masup Jakarta, 2007. Chaer, Abdul. Folklor Betawi Kebudayaan & Kehidupan Orang Betawi. Jakarta: Masup Jakarta, 2012. Consuelo G. Sevilla, dkk. Pengantar Metode Penelitian, ter; Alimuddin Tuwu, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 2006. Creutzberg, Pieter dan J.T.M. van Laanen, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, Terjemahan; Kustiniyati Mochtar, dkk. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987.
167
Djojohadikusumo, Sumitro. Kredit Rakyat Pada Masa Depresi. Jakarta: LP3ES, 1989. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi). Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995. Djajadiningrat, Hoesein P. A. Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986. Federspiel, Howard M. Sultans, Shamans and Saints; Islam and Muslim in Southeast Asia. Honolulu: University Of Hawai’i Press, 2007. Furnivall, J.S Edisi Indonesia: Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk. (Judul Asli: Netherlands India; A Study of Plural Economy. Cambridge University Press,1939). Diterjemahkan; Samsudin Berlian. Jakarta: Freedom Institute, 2009. Giok Siong, Giow. Suatu Pengantar Hukum Antar Golongan, Jakarta, 1960. Gunawan, Restu. Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa. Jakarta: Kompas, 2010. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Diterjemahkan; Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press, 1983. Haan, F. De. Oud Batavia: gedenkboek uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen naar aanleiding van het driehonderd-jarig bestaan der stad in 1919, Jilid I. Batavia: Kolf. 3 Jilid, 1922. Hadisutjipto, S.Z. Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta; Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI, 1979. Haris, Tawalinuddin. Kota dan Masyarakat Jakarta; Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (Abad XVI-XVIII). Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2007. Hesselink, Liesbeth. Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1992. . Healers on The Colonial Market: Native Doctors and Midwives in The Dutch East Indies. Leiden: KITLV Press, 2011. Heuken, Adolf. Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta : Dokumen-dokumen Sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2000. ____________. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta (Seri: Gedung Ibadat-ibadat yang tua di Jakarta), Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003.
168
Ingleson, John. Tangan dan Kaki Terikat Dinamika Buruh, Sarekat Buruh dan Perkotaan Masa Kolonial. Diterjemahkan; Iskandar P. Nugraha Jakarta: Komunitas Bambu, 2004. Jonge, Hubb de and Kaptein, Nico. “Trancending Borders Arabs, politics, trade and Islam in Southeast Asia”. Leiden: KITLV Press, 2002. ____________. Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial, Terjemahan; Iskandar P. Nugraha, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013. Kartodirdjo, Sartono. Ratu Adil. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984. _________________,. Djoko Suryo. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, 1991. _________________. Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1992. _________________. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emperium Sampai Imperium Jilid. 1, Penerbit. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. 1999. _________________. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999. Knapp, Gerrit J. Shallow Waters, Rising Tide: Shipping and Trade in Java Around 1775. Leiden: KITLV Press, 1996. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta; Bentang, 1995. __________, Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003. __________, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008. Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Judul Asli : A History of Islamic Societies, Vol.1; Cambridge: Cambridge University Press, 1988). Diterjemahkan; Gufron A. Mas’adi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999. Lapian, Adrian. B. Pelayaran dan Perniagaan Abad ke-16 dan 17. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Latief,, Juraid Abdul. Manusia, Filsafat dan Sejarah, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006.
169
Leirissa, R. Z. Dari Sunda Kelapa ke Jayakarta; dalam Beberapa Segi Masyarakat Budaya Jakarta; Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI, 1973. ____________.; Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 19001950. Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985. Leur, J.C. van. Indonesian Trade And Society; Essays in Social and Economic History. Diterjemahkan: J.S. Holmes dan R. Van Marie. Bandung: The Hauge/Bandung: Van Hoeve, 1960. Lieng Gie, The. Sedjarah Pemerintahan Kotapradja Djakarta. Kotapradja Djakarta Raja, 1958. Linblad, J. Thomas. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. (Judul Asli: New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia; Proceedings of the First Conference on Indonesia’s Modern Economic History, 1991). Diterjemahkan; M. Arief Rohman, Bambang Purwanto, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2000. Lohanda, Mona. The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942 a History of Chinese Establishment in Colonial Society. Jakarta: Djambatan, 2001. _____________. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Jakarta: Masup Jakarta, 2007. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia. (Judul Asli: Le Carrefour Javanais Essai d’histoire globale Il Les reseaux asiatiques, Paris: 1990). Diterjemahkan; Winarsih Partaningrat, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008. Mobini Kheseh, Natalie. Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadrami di Indonesia, Terjemahan; Ita Mutiara dan Andri, Penerbit: Akbar Media Eka Sarana, 2007. Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, (cet. XIV), 2001. Nas, P.J.M & K. Grijns. Jakarta Batavia: Esai Kultural; (Judul Asli : Jakarta Batavia: socio-cultural essays. Diterjemahkan; Gita Wiya Laksmini dan Noor Cholis. Banana KITLV, Jakarta), Jakarta: Batavia, 2007. Niel, Robert van. Munculnya Elit Modern Indonesia. (Judul Asli: The Emergence of the Modern Indonesia Elite). Diterjemahkan; Ny. Zahara Deliar Noer. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984.
170
______________. Sistem Tanam Paksa di Jawa. (Judul Asli: Java under the cultivation system, Robert van Niel. KITLV, 1992). Diterjemahkan; Hardoyo, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003. Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Judul Asli: The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942). Diterjemahkan; Deliar Noer. Jakarta: LP3ES, cet. kelima; 1990. Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta: PT. Gramedia, 1987. Pijper, G.F. Fragmentica Islamica: Studien over het Islamisme in NederlandscheIndie. Leiden: E.J. Brill, 1934. __________ Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, (Judul Asli: Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950). Diterjemahkan; Tudjimah dan Yessy Augustin, Jakarta: UI-Press, 1985. Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka, 1993. ___________________________. Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. Diterjemahkan; Eko Prasetyanigrum, Maryati Agustin dan Idda Qoryati Mahbubah. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008. Reid, Anthony. Dari Ekspansi Hingga Krisis II, Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. _____________, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jilid I; Negeri Di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011. , Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jilid II; Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011. Resink, G.J. Bukan 350 Tahun di Jajah. (Judul Asli: Indonesian History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory. (Vancouver: University of British Columbia, 1968). Diterjemahkan; Tim Komunitas Bambu, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013. Ricklefs, M.C. Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Century. Norwalk: East Bridge, 2006. . Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008. Rochmat, Saefur. Ilmu Sejarah dalam Perspektif Ilmu Sosial, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
171
Saidi, Ridwan. Profil Etnik Orang Betawi Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, Jakarta : PT. Gunara Kata, 1997. Scheltema, A.M.P.A. Bagi Hasil di Hindia Belanda. (Judul Asli: Deelbouw in Nederlandsch-Indie, 1931). Diterjemahkan; Marwan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. _________________. Kawan dalam Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam Indonesia (1596-1942). Bandung: Penerbit Mizan, 1995. Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Suminto, H. Aqib. Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche Zaken. Jakarta: LP3ES, 1985. Suratmin, Didi Kwartanada. Biografi A.R. Baswedan Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2014. Surjomihardjo, Abdurrachman. Perkembangan Kota Djakarta; Djakarta Raja: Dinas Museum dan Sedjarah DCI, 1970. Taylor, Jean Gelman. Kehidupan Sosial di Batavia (Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur). (Judul Asli: The Social World of Batavia). Diterjemahkan; Tim Komunitas Bambu, Jakarta: Masup Jakarta (Komunitas Bambu), 2009. Tim Penyusun CeQDA. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta; CeQDA, April 2007. Tio Tek hong, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe Sebuah Kenangan 1882-1959, Jakarta: Masup Jakarta, 2007. Tjandrasasmita, Uka dan Tim Penyusun. Sejarah Perkembangan Kota Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran, 2000. , dan Tim Penyusun. Sejarah Perkembangan Kota Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran, 2000. _________________, Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009. Vlekke, Bernard H.M. Nusantara Sejarah Indonesia. (Judul Asli: Nusantara: A History of Indonesia). Diterjemahkan; Samsudin Berlian, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
172
Wojowasito, S,. Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta: Lestari Perkasa, 2011.
B. DISERTASI : Affandi, Bisri. ”Shaykh Ahmad Al-Surkarti: Pemikiran Pembaharuan dan Pemurnian Islam dalam Masyarakat Arab Hadrami di Indonesia.” Disertasi Doktor, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, 1991. Haikal, Hussein. ”Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1900-1942)” Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, 1986.
C. SKRIPSI : Juliandri, Persatuan di Kalangan Masyarakat Arab Indonesia. Depok: FSUI, 1987. Novita, Aryandini, Kota Batavia Abad Perkembangannya. Depok: FS-UI, 1995.
XVII-XVIII
Tata
Kota
dan
Santoso, Budi, Nasionalisme Keturunan Arab di Indonesia: Studi Kasus Partai Arab Indonesia (1934-1941). Depok: FS-UI, 2002. Shahab, Yasmin Zacky, Masalah Integrasi Minoritas Arab di Jakarta. Depok: Fakultas Sastra-UI, 1975. Wibowo, Agung, Gaya Hidup Masyarakat Eropa di Batavia Pada Masa Depresi Ekonomi (1930-1939). Depok: FIB-UI, 2012.
D. SURAT KABAR KONTEMPORER (HARIAN) : Republika - Jumat, 22 September 1995, h. 8. “Sejarah Kedatangan Arab Hadramaut ke Indonesia”. Republika - Jumat, 07 Januari 2000, h. 8. “Snouck Hurgronje dan Politik Kristenisasi”. Republika - Minggu, 16 Januari 2000, h. 7. “Melacak Jejak Imigran Hadramaut”. Republika - Minggu, 06 Januari 2002, h. 11. “Partai Arab Indonesia”. Republika - Minggu, 19 Mei 2002, h. 15. “Ngarak Penganten' Keturunan Arab”. Republika - Minggu, 13 Oktober 2002. “Hadramaut dan Koloni Arab”.
173
Republika - Rabu, 29 Januari 2003, h. 1. “Tenabang dan Nasib Pedagang Kambing”. Republika - Jumat, 11 April 2003, h. 9. “Pekojan dan Gerakan Islam di Indonesia”. Republika - Minggu, 21 Desember 2003, h. 11. “Hadramaut dan Para Kapiten Arab”. Republika - Minggu, 09 Mei 2004, h. 11. “Riset Keturunan Arab”. Republika - Minggu, 09 September 2007, h. 11a. “Sumpah Pemuda Arab”. Republika - Kamis, 14 Juni 2012, h. 21. “Kontribusi Komunitas Arab di Jakarta”. Republika - Kamis, 27 September 2012, h. 21. “Politik Belanda terhadap Perantau Arab”. Republika - Minggu, 17 Februari 2013, h. 21. “Sayid Usman Bin Yahya Mufti dan Penulis Besar Betawi”. Republika - Senin, 18 Maret 2013, h. 25. “Properti di Batavia dan Tuan Tanah Keturunan Arab”. Republika - Senin, 26 Agustus 2013, h. 18. “Kisah Para Kapitan Arab (Bag I)”. Republika - Kamis, 29 Agustus 2013, h. 16. “Kisah Para Kapiten Arab (2-Habis)”. Republika - Jumat, 10 Januari 2014, h. 9. Penulis: Rakhmad Zailani Kiki. “Seabad Mufti Betawi Habib Utsman Bin Yahya”. Republika - Kamis, 06 Maret 2014, h. 16. “Kampung Arab: Dari Pekojan ke Condet”. Republika - Kamis, 10 April 2014, h. 16. “Sambrah, Komedi Stambul, dan Oum Kalsoum”. Republika - Senin, 19 Mei 2014, h. 18. “Gandaran Ngarak Penganten Keturunan Arab”. Republika - Kamis, 05 Juni 2014, h. 17. “Asahi Shimbun Telusuri Komunitas Arab”. E. MAJALAH KONTEMPORER : Historia, Nomor 15. Tahun II, 2013.
174
F. JURNAL : Harry J. Benda. “The Pattern Administrative Reform in the Closing Years of Dutch Rule in Indonesia”. The Journal of Asian Studies, Vol. 25, No.4, 1966. h. 589606. Jahroni, Jajang. “Menjadi Pribumi di Negeri Orang: Pergumulan Identitas Masyarakat Arab di Indonesia”. Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 7, No. 3, Th. 2000. h. 163-189. Jonge, Huub de, “The Arab Minority”, dalam Peter Post et al. (ed.), The Encyclopedia of Indonesia in the Pasific War. Leiden/Boston: E.J. Brill, 2010, h. 346. Kroef, Justus M. van der. “The Arabs in Indonesia”, Middle East Journal, Vol. 7, No. 3 (Summer, 1953). Kwartanada, Didi, “Dari Timur Asing’ ke ‘Orang Indonesia’: Pemuda Tionghoa dan Arab dalam Pergerakan Nasional (1900-1942)”, Prisma Vol. 30, No. 2 (2011), h. 41-54. Suratmin, “A.R. Baswedan: Nasionalis Sejati dari Peranakan Arab Indonesia yang Nyaris Terlupakan”, Jantra, Vol. VI No. 11 (Juni 2011), h. 55-67.
G. MAKALAH : Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum., Kontribusi Komunitas Arab Di Jakarta Abad 19 Dan Awal Abad 20 Masehi. (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah di Jakarta 09 Juni 2012). Prof. Dr. M. Dien Madjid M.A., Jejak Rekam Kaum Sayid di Nusantara Masa Kolonial Abad XIX: Kiprah Sayid Usman bin Yahya dalam Meredesain Islam sebagai Ruang Publik. (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah,di Jakarta 09 Juni 2012).
H. FOTO DAN PETA : Album met foto's van de residentie Batavia. DRS. J.R. van Diessen, Prof. Dr. F.J. Ormeling. Grote Atlas van Nederlands OostIndie, Comprehensive Atlas of The Netherlands East Indies. (Asia Major, KNAG) Scott Merrillee, Batavia in Nineteenth Century Photographs.
175
I. WEBSITE/INTERNET : http://benmashoor.wordpress.com/ http://conformeast.multiply.com/journal/item/1/Kaum_Arab Hadrami_di_Indonesia_Antara_Mempertahankan_Realitas_atau_Melihat_Realitas_ Global http://djawatempodoeloe.multiply.com http://www.gahetna.nl/en/collectie/afbeeldingen/kaartencollectie/zoeken/q/zoekterm/ batavia http://www.gahetna.nl/ www.historia.co.id http://islamic-center.or.id/betawi-corner/866-mari-jaga-tradisi-islam-di-betawi.html http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/168/batavia http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/175/batavia http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/451/batavia http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/756/arab http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/755/arab http://kampungbetawi.com/museum-dan-identitas-betawi/ http://www.kependudukancapil.go.id www.moranmicropublications.nl. http://phesolo.wordpress.com http://www.Republika.co.id/berita/gaya-hidup/traveling/11/01/09/157361-jejak-arabdi-batavia http://www.sejarah-nusantara.anri.go.id/id/hartakarunmaincategory/4/ http://sinarharapan.co/index.php/news/read/22148/jejak-hadrami-di-pekojan.html http://tempodoeloe.wordpress.com
176
LAMPIRAN-LAMPIRAN A. LAMPIRAN DATA Tabel Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tahun 1893-1936 No.
Nama
Periode
1.
Carel H.A. van Der Wijk
17-10-1893 sampai 03-10-1899
2.
W.A. Rooseboom
03-10-1899 sampai 01-10-1904
3.
J.B. van Heutz
01-10-1904 sampai 18-12-1909
4.
A.W.F. Idenburg
18-12-1909 sampai 21-03-1916
5.
J.P. Graff Limburg Stirum
21-03-1916 sampai 24-03-1921
6.
D. Fock
24-03-1921 sampai 07-09-1926
7.
A.C.D. de Graeff
07-09-1926 sampai 12-09-1931
8.
B.C. de Jonge
12-09-1931 sampai 17-09-1936
(Sumber : H. Aqib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda : Het Kantoor voor Inlandsche Zaken. (Jakarta : LP3ES, 1985). h. 229.
177
178
179
Tabel Populasi di tahun yang berbeda (dalam ribuan)1 Tahun Pribumi 1860 1870 1880 1890 1900 1905 1920 1930 1860 1870 1880 1890 1900 1905 1920 1930
12.514 16.233 19.541 23.609 28.386 29.979 34.429 40.891 X X X X X 37.348 48.300 59.138
Eropa X 37 44 55 72 73 134 193
Cina Arab Timur Asing Jawa dan Madura 149 6 X 175 8 X 207 11 X 242 14 X 277 18 X 295 19 X 384 28 3 582 42 11
X X X X X X 34.977 41.718
44 49 60 74 91 95 168 240
Hindia Belanda 221 9 260 13 344 16 461 22 537 27 563 30 809 45 1233 71
X X X X X X 49.344 60.727
X X X X X X 22 25
Total
1
Departement van Economische Zaken – Central Kantoor voor de Statistiek, Mededeeling No. 128, Statistisch Zakboekje voor Nederlandsch Indie 1934, (Batavia: G. Kolf & Co., Batavia-Centrum), hal 4.
180
Tabel Pengawasan dari soal penduduk (rasio 1920 = 100)2 Tahun Pribumi 1860 1870 1880 1890 1900 1905 1920 1930 1860 1870 1880 1890 1900 1905 1920 1930
36 47 57 69 82 87 100 119 X X X X X 77 100 122
Eropa X 28 33 41 54 55 100 144
Cina Arab Timur Asing Jawa dan Madura 40 22 X 46 28 X 54 38 X 63 51 X 72 65 X 77 69 X 100 100 100 152 150 312
26 29 36 44 54 56 100 143
Hindia Belanda 27 20 32 28 43 36 58 48 66 61 70 66 100 100 152 159
X X X X X X 100 202
Total X X X X X X 100 119 X X X X X X 100 123
2
Departement van Economische Zaken – Central Kantoor voor de Statistiek, Mededeeling No. 128, Statistisch Zakboekje voor Nederlandsch Indie 1934, (Batavia: G. Kolf & Co., Batavia-Centrum), hal 4.
181
Tabel Populasi kota-kota dengan lebih dari 50.000 penduduk pada tahun 19303 Kota
1. Batavia 2. Soerabaja 3. Semarang 4. Bandung 5. Soerakarta 6. Jogjakarta 7. Malang 8. Pekalongan 9. Buitenzorg 10. Koedoes 11. Cheribon 12. Magelang Total 1 t/m 12 . In % v. d Jawabevolking . . . 13. Palembang 14. Makassar 15. Medan 16. Bandjermasin 17. Padang Total 13 t/m 17 . In % v. d.
Jumlah Penduduk dalam ribuan Pribumi Eropa Cina Timur Asing Total Jawa dan Madura 409,7 37,1 78,8 7,5 533,0 271,3 25,9 38,9 5,6 341,7 175,5 12,6 27,4 2,3 217,7 130,0 19,7 16,7 0,5 166,8 149,6 3,2 11,3 1,4 165,5 122,0 5,6 8,9 0,2 136,6 70,7 7,5 7,8 0,7 86,6 57,0 0,9 5,4 2,7 66,0 51,9 5,2 7,2 1,1 65,4 49,5 0,4 4,4 0,2 54,5 42,7 1,7 8,2 1,6 54,1 43,9 4,2 4,6 0,2 52,9 1.573,8 124,0 219,6 24,0 1.940,9 3, 85
64,58
86,9 65,4 41,43 57,8 40,7 292,1
1,9 3,4 4,3 0,9 2,6 13,1
37,73 46,15 Buitengwesten 15,5 3,9 15,4 0,6 27,3 3,7 5,0 1,9 7,3 1,5 70,5 11,6
4,65 108,1 84,9 76,6 65,7 52,1 387,4
3
Departement van Economische Zaken – Central Kantoor voor de Statistiek, Mededeeling No. 128, Statistisch Zakboekje voor Nederlandsch Indie 1934, (Batavia: G. Kolf & Co., Batavia-Centrum), hal 8.
182
bevolk.v. d. Buitengewesten . . Total 1 t/m 17 . In % v. d. bevolk. van Ned. Indie . .
1,60 1.865,9
27,87 137,1
10,85 290,1
18,41 35,6
2,04 2.328,3
3,16
56,13
23,53
30,96
3,83
183
LAMPIRAN KEADAAN EKONOMI HINDIA BELANDA Statistik Perekonomian Hindia Belanda menjelang masa Depresi
(Sumber : Handbook of The Netherlands East Indies. (Buitenzorg : Division of Commerce of the Department of Agriculture, Industry and Commerce, 1930). h. 148.
184
Model Surat Jalan (Reispas)4 Nomor urut penyelesaia n
Nomor urut surat jalan
Nama, dan kepada Tempat Tempat siapa surat jalan ini di Kelahiran tinggal gunakan terakhir
Tempat dimana bersama keluarga telah lama tinggal
Kedatangan Kembalinya
Pemberitahuan, catatan halsertifikat, seperti hal yang yang dimaksud kurang baik dalam pasal 5 ordonansi ini
Berdasarkan lampiran model ordonansi Gubernur Jenderal Hindia Belanda Lembaran Negara No.42 (6 Juli 1859)
4
Lampiran Staatsblad van Nederlansch Indie. 6 July 1859 No. 42 Bedevaartgangers (Batavia: Landsrukkerij, 1860).
185
Pertumbuhan Penduduk, 1852-1930 (000 dihilangkan)5 Tahun
Jawa dan Madura Eropa
Timur
Pribumi
Provinsi-Provinsi Luar Total
Eropa
Asing
Timur
Pribumi
Total Total
Hindia Belanda
Asing
1852
17,2
-
-
-
4,8
-
-
-
-
1880
33,7
219
19.540
19.794
-
-
-
-
-
1890
45,9
259
23.609
23.914
11,9
-
-
-
-
1900
62,4
298
28.384
28.746
13,3
-
-
-
-
1905
64,9
317
29.715
30.098
16,1
298
7.304
7.619
37.717
1920
135,2
415
34.433
34.984
34,4
461
13.871
14.366
49.350
1930
193,2
634
40.889
41.717
48,7
709
18.253
19.011
60.728
CATATAN: Angka-angka untuk 1930 adalah Laporan Provisional Sensus; orang Eropa tahun ini termasuk 8.243 militer tapi angka-angka berkaitan untuk tahun-tahun lebih awal mengacu hanya pada penduduk sipil. “Eropa” pada umumnya terdiri dari mereka yang punya status legal sebagai orang Eropa, termasuk orang Amerika dan orang Asia tertentu; pada 1930 yang dihitung sebagai orang Eropa adalah 7.195 orang Jepang, 130 Turki, 282 Filipina dan 8.948 Pribumi. Orang Cina dengan status Eropa dihitung sebagai orang Cina bukan Eropa.
5
J.S. Furnivall, Hindia Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hal. 368.
186
Harga grosir produk ekspor utama (tarif rata-rata tahunan, @ gulden per 100 kg) Produksi 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1934 1. Arachides utk Soerabaia . . . . . . . . . . . . . 25,43 24,08 17,50 13,10 11,64 7,53 7,06 1) 2. Kacang-olie utk Batavia . . . . . . . . . . . . 52,47 46,95 40,46 27,35 22,66 16,89 13,66 3. Kakao utk Batavia . . . . . . . . . . . . . . . . . 103,49 97,32 90,49 83,16 57,65 30,81 17,20 2) 4. Citronella-olie utk Batavia . . . . . . . . . . 2,05 2,85 2,67 2,26 2,09 1,45 0,84 5. Kopra, fms e.k. utk Batavia . . . . . . . . . . 24,03 21,09 18,02 11,22 8,24 6,23 4,52 6. Kopra, sundried utk Makassar . . . . . . . . 21,77 18,22 14,31 8,44 6,57 4,19 2,19 7. Damar A/E utk Batavia . . . . . . . . . . . . . . 102,42 98,80 67,17 38,45 24,71 22,25 21,37 8. Djarakpitten utk Semarang . . . . . . . . . . . 16,79 15,91 12,99 11,18 8,16 6,09 5,43 9. Kapuk utk Soerabaia . . . . . . . . . . . . . . . . 101,46 93,35 66,06 55,56 42,60 31,88 30,59 10. Kapokpitten utk Soerabaia . . . . . . . . . . . 8,09 7,21 4,05 3,65 3,39 2,23 2,14 1) 11. Kacang ijo utk Batavia . . . . . . . . . . . . . 15,45 17,56 14,47 11,33 9,88 7,72 6,58 12. Koehuiden utk Batavia . . . . . . . . . . . . . . 251,35 185,53 136,55 114,29 65,20 67,97 69,15 13. Kopi, robusta W.I.B. utk Soerabaia . . . . 88,93 89,57 52,90 36,30 39,03 31,87 25,97 14. Kopi, Palembang robusta utk Batavia . . 65,40 65,39 33,53 24,57 28,65 23,81 17,48 15. Kopi, Boengi Arabica utk Makassar . . . 147,99 108,66 81,28 93,10 73,87 41,40 36,29 16. Cengkeh utk Makassar . . . . . . . . . . . . . . 105,85 156,51 106,59 92,83 59,70 54,14 41,08 1) 17. Jagung utk Batavia . . . . . . . . . . . . . . . . 7,42 9,70 6,80 4,66 4,02 3,28 4,06 18. Pala, Banda utk Makassar . . . . . . . . . . . . 68,95 58,22 36,09 25,09 19,56 16,29 17,57 19. Lawang, Banda utk Makassar . . . . . . . . . 374,42 342,04 217,23 139,65 91,41 91,75 118,87 20. Lada putih utk Batavia . . . . . . . . . . . . . 224,97 229,54 105,35 71,22 43,11 35,86 58,13 21. Lada hitam utk Batavia . . . . . . . . . . . . 146,29 131,90 76,77 45,40 34,49 22,95 25,48 3) 22. Minyak kelapa sawit utk London . . . . . 35.8/- 34.13/25.0/16.18/16.6/14.3/12.14/23. Karet sheet & crepe utk Bat./Soerabaia4) 0,585 0,54 0,305 0,15 0,085 0,11 0,20 24. Gula S.H.S. 2e hand utk Soerabaia . . . . 14,61 13,66 9,60 8,06 6,28 5,66 5,61 25. Tapioka, prima utk Batavia . . . . . . . . . . 14,11 16,14 13,45 8,51 7,32 7,94 6,79 26. Gaplek utk Soerabaia . . . . . . . . . . . . . . . 4,27 5,22 3,35 1,88 1,62 1,58 2,34 27. Teh, B.O.P.,B.P.,P.S.,O.P.utk Batavia4) . 0,63 0,57 0,46 0,30 0,175 0,26 0,335 28. Timah utk Singapore5) . . . . . . . . . . . . . . 267,27 243,40 168,61 130,66 115,68 157,76 164,98 29. Serat, sisal utk Amsterdam . . . . . . . . . 48,54 52,25 35,91 19,96 14,56 15,32 13,75
1)
Harga Grosir Harga per kg. 3) Dalam Euro per ton. 4) Harga per ½ kg. 5) Dikonversi harga Singapura. 2)
187
Harga perdagangan dari beberapa item di Batavia (harga rata-rata tahunan, dalam gulden)6 Artikelen
1928
1929
1930
1931
1932
1933
1934
a. Produk Asli Beras, Tjiandjoer, gantang Beras Krawang Beras, beras merah Kentang, 1e kw., witte, kati Roti, ¼ roti . . . Susu, botol . . . Kippeneiren, 10 st . . . Daging sapi, ½ kg . . . Daging kerbau, kati . . . Daging babi, kati . . . Klapperolie, botol . . . Garam, briket . . . Gula, kati . . . Koffiebonen, rauwe, ½ kg . . . Teh, goalpara, pak Stroop, botol . . . . Petroleum (Kroon), blik . . .
1,745 1,295 0,935 0,115 0,07 0,30 0,62 0,73 0,585 0,875 0,44 0,10 0,12 0,585 1,175 0,49 2,845
1,715 1,215 0,94 0,12 0,07 0,30 0,665 0,70 0,61 0,86 0,41 0,10 0,115 0,59 1,155 0,50 3,55
1,66 1,23 0,98 0,115 0,07 0,30 0,60 0,70 0,60 0,95 0,38 0,10 0,095 0,52 1,15 0,50 3,22
1,305 0,88 0,70 0,09 0,07 0,27 0,275 0,66 0,53 0,77 0,31 0,10 0,07 0,42 1,12 0,465 3,035
0,94 0,605 0,50 0,06 0,06 0,23 0,39 0,59 0,40 0,58 0,20 0,10 0,05 0,31 1,005 0,37 2,42
0,78 0,51 0,41 0,05 0,055 0,19 0,30 0,48 0,31 0,57 0,17 0,12 0,05 0,29 0,655 0,33 2,22
0,77 0,52 0,42 0,04 0,05 0,165 0,26 0,36 0,26 0,53 0,155 0,12 0,06 0,255 0,615 0,30 1,865
b. Produk Luar Tepung, Austr., kati . . . Maizena, Duryea, klein pak . . . Havermout, blik . . . Macaroni, pak . . . .
0,17 0,18 0,705 0,29
0,16 0,19 0,70 0,25
0,155 0,19 0,70 0,25
0,11 0,175 0,67 0,24
0,07 0,155 0,595 0,20
0,06 0,155 0,545 0,18
0,06 0,15 0,40 0,17
6
Departement van Economische Zaken – Central Kantoor voor de Statistiek, Mededeeling No. 128, Statistisch Zakboekje voor Nederlandsch Indie 1934, (Batavia: G. Kolf & Co., Batavia-Centrum), hal 93-94.
188
Biscuit Marie (H. & P.), blik . . . . Susu (cond.Milkmaid) blik . . . . Mentega, Wijsman, 1,7 kg netto . . . Mentega, Wood, Dunn & Co, 1,7 kg netto Keju (Z.M.) Wijsman, 1,8 stuk . . . Cornedbeef, Libby, blik . . . Spliterwten, ½ kg . . . Sla-olie, Delftsche, ½ botol . . . Garam, Morton, botol . . . Selai, Jones, blik . . . Cacao, Droste, blik . . . Kwast, Brooke, botol . . . Bir, Koster, botol . . . Sabun mandi, Sunlight, pak . . . Korek api, Zweedsche, pak . . . Korek api, Japansche, pak . . .
2,14 0,52 7,175 4,895
2,05 0,52 7,28 4,795
2,05 0,51 6,88 4,495
2,015 0,50 6,175 3,40
1,705 0,44 4,99 2,35
1,615 0,38 3,725 1,885
1,335 0,335 1,98 1,59
1,055 0,545 0,47 0,915 0,80 0,48 1,83 1,195 0,67 0,575 0,265 0,24
1,04 0,535 0,45 0,95 0,825 0,45 1,82 1,22 0,67 0,57 0,26 0,225
1,06 0,535 0,455 0,95 0,825 0,425 1,79 1,205 0,66 0,55 0,255 0,225
0,95 0,505 0,38 0,89 0,79 0,41 1,755 1,10 0,655 0,54 0,25 0,22
0,80 0,44 0,31 0,78 0,78 0,35 1,695 0,795 0,64 0,415 0,25 0,22
0,65 0,345 0,29 0,76 0,74 0,34 1,625 0,645 0,56 0,30 0,25 0,22
0,61 0,225 0,26 0,72 0,725 0,28 1,60 0,59 0,54 0,29 0,25 0,22
189
Impor Barang Dagangan Swasta (f. 000)7 Tahun
Nilai Total
Rincian untuk impor-impor utama Beras dan
Barang
Padi
Kapas
Pupuk
Rincian untuk Jawa
Mesin dan
Besi dan
Beras dan
Barang
Perkakas
Baja
Padi
Kapas
1900
176.078
17.520
35.744
5.450
11.305
10.013
9.445
28.937
1913
437.903
55.702
96.274
11.870
32.886
35.404
28.425
73.883
1920
1.125.904
38.880
315.575
48.344
70.662
124.519
-
243.505
1925
824.119
74.901
207.743
18.070
50.994
43.205
34.770
155.095
161
208
165
160
160
-
-
46.522
99.877
10.952
31.871
27.003
-
-
Angka koreksi, 1925 (1913=100) No. indeks Nilai koreksi
*Pada 1920 Pemerintah mengimpor beras dan padi senilai f. 43 juta.
7
J.S. Furnivall, Hindia Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hal. 358.
190
Jumlah Pembayaran Pajak Penghasilan dan Persentasi Pembayar menurut Berbagai Tingkat Penghasilan (1929) 8 Wilayah
Jawa dan Madura
Kelompok
Pribumi Timur
Eropa
Provinsi-Provinsi Luar Pribumi Timur
Asing
Eropa
Asing
Jumlah persen,
300
81,0
14,7
1,6
68,7
15,2
1,3
dengan penghasilan tahunan,
800
15,0
57,6
7,8
29,1
72,4
7,6
tidak lebih dari gulden
2.100
2,9
17,9
19,0
1,7
9,2
13,1
5.000
0,6
6,9
33,9
0,2
2,3
30,0
20.000
0,1
2,4
34,6
0,0
0,8
44,8
20.000
0,0
0,2
2,7
0,0
0,0
3,2
1.260
150
72
2.231
293
20
Lebih dari Total jumlah pembayar pajak (000 dihilangkan)
8
J.S. Furnivall, Hindia Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hal. 369.
191
LAMPIRAN-LAMPIRAN A. LAMPIRAN FOTO 1. Foto Batavia
Foto udara yang memperlihatkan keadaan Kota Batavia, di sebelah utara rel kereta api sebelum tahun 1935
Pelabuhan Tanjung Priok tahun 1935
192
2. Foto Perkampungan Komunitas Arab
Kampong Arab Pekojan
Kampong Arab Ampel Surabaya
193
Kampong di Batavia
Kampong Cina di Batavia
194
B. LAMPIRAN PETA 1. Hindia Belanda dan Jalur Perdagangan
Peta Jalur Perdagangan Tahun 1888
Peta Jalur Perdagangan 1891
Peta Jalur Perdagangan Tahun 1940
195
2. Peta Administratif dan Politik di Batavia Rencana pembangunan Batavia dan daerah-daerah tetangga, ditandatangani oleh K.F. Busscher. Kopie.
196
Peta Batavia 1914
197
Peta Batavia Tahun 1920
198
Peta Batavia 1935
Peta Batavia dan Tanjung Priok sekitar tahun 1900-an, menggambarkan bahwa pendirian kota Batavia yang strategis dekat dengan pelabuhan laut untuk mobilitas.
199
Peta Batavia tahun 1938
200
CURRICULUM VITAE Nama : Akhmad Yusuf Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Maret 1990 Alamat : Jl. Taruna II, No. 18 RT 004/RW 006, Kaliabang Nangka, Kel. Perwira, Kec. Bekasi Utara, Kota Bekasi, 17122 Tinggi/Berat : 176 cm/60 kg No. Handphone : 08567739078/081297659799 Email :
[email protected] [email protected] Jurusan : Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas : Adab dan Humaniora Universitas : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta IPK : 3.56 (Cumlaude) Pengalaman Pendidikan : 1. TK Al-Amanah (1995-1996) 2. SD Negeri Pejuang II (1996 – 2002 ) 3. SMP Negeri 5 Bekasi (2002 – 2005) 4. SMA Pembangunan III YPI (2006 – 2009) 5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2009 – 2015) Pengalaman Organisasi : 1. Anggota BEMFAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010-2012. 2. Anggota Biasa HMI KOFAH (Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora) Cabang Ciputat 2010-sekarang. 3. Ketua Departemen Orientasi Kesejarahan BEMFAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012-2013. 4. Ketua FORDISMAHUM (Forum Diskusi Mahasiswa Humaniora) HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) KOFAH (Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora) Cabang Ciputat 2012-2013. 5. Ketua Umum SEMA (Senat Mahasiswa) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2014. 6. Ketua Bidang Administrasi dan Kesekretariatan (BAK) HMI KOFAH (Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora) Cabang Ciputat 20132014.
201
Pelatihan Formal : 1. Latihan Kader I/Basic Training (LK I) KOFAH (Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora) HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Ciputat, 23-26 Desember 2010. 2. Historical Expeditions for Discovery (KMS UIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta, 2-4 Desember 2011. 3. Workshop Kepemimpinan Mahasiswa “Cerdas, Profesional dan Bermoral dalam Berorganisasi”, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 15 Mei 2012. 4. Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Tingkat Nasional (Kementrian Pemuda dan Olahraga RI) Yogyakarta, 5-10 Juni 2013. 5. Workshop Jurnalistik dan Kehumasan (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Ciputat, 18-19 September 2013. 6. Student Leadership Camp Lembaga Kemahasiswaan (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Depok, 2-3 Desember 2013. 7. Workshop Manajemen Keuangan Lembaga Kemahasiswaan (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Depok, 1 Desember 2013. 8. Latihan Kader II (LK II)/Intermediate Training HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Karawang, 21-30 Agustus 2015. Pemateri/Pembicara : 1. Latihan Dasar Kepemimpinan 2014 “Manage Yourself with Amazing Way in Organization”, Theater Room 2nd Floor FST UIN, 20 May 2014. 2. Pemateri “Teknik Persidangan” Latihan Kader 1 (LK-1), HMI KOFAH (Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora) Cabang Ciputat, 14-17 Mei 2014. 3. Pemateri “MAPERCA” “Masa Perkenalan Calon Anggota”, HMI KOFAH (Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora) Cabang Ciputat, 09 Oktober 2014. 4. Pemateri “Teknik Persidangan” Latihan Kader 1 (LK-1), HMI KOFAH (Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora) Cabang Ciputat, 08-12 Oktober 2014. 5. Pemateri “MAPERCA” “Masa Perkenalan Calon Anggota”, HMI KOFAH (Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora) Cabang Ciputat, 15 September 2015. 6. Pemateri “MOK” Manajemen Organisasi dan Kepemimpinan”, Latihan Kader 1 (LK-1) HMI KOFAH (Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora) Cabang Ciputat, 19 September 2015. 7. MOT (Master of Training) Latihan Kader 1 (LK-1) HMI KOFAH (Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora) Cabang Ciputat, 17-20 September 2015. 8. Pembicara dalam Seminar Kemahasiswaan, “Peran Mahasiswa dalam menghadapi Pemilihan Umum Mahasiswa UIN”, SEMA FAH UIN, 20 Oktober 2015.
202
Kemampuan : - Kemampuan Komputer (MS Word, MS Excel, MS Power Point, MS Access, MS Outlook) - Kemampuan Browsing/Internet dan mengelola Sosial-Media - Management Organisasi dan Kepemimpinan - Editor Pengalaman Kerja : - Frelance Surveyor, Trogog Surveyor Pondok Indah (2010) - Surveyor Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) Jakarta (2010) - Asisten Peneliti Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Maret-November 2011) - Ketua Tim Arbitrase KPU (Komisi Pemilihan Umum) Fakultas Adab & Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013) - Surveyor LPRI (Yasasan Lembaga Riset & Polling Indonesia) “Persepsi Masyarakat Indonesia Terhadap Partai Politik dan Kepemimpinan” (2013) - Tenaga Pengumpul Data Penelitian “Baseline Research Dosen dan Tenaga Pengajar” LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013) - Surveyor “Survei tentang Perilaku Politik Pemilih Indonesia di Jakarta” JIP (Jaringan Isu Publik) Jakarta (2014) - Anggota KPPS (Komisi Panitia Pemungutan Suara) Pemilu Legislatif TPS 21, Kaliabang Nangka, Kelurahan Perwira, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi (2014) - Fasilitator Outbond AKAR Adventure (2015) - Reporter dan Volounter Majalah Cikal Harapan (2015) - Tenaga Honorer Percetakan SRM (Semesta Rakyat Merdeka) Ciputat (2015) - Asisten Peneliti PSIA (Pusat Studi Indonesia-Arab) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2015) Demikianlah daftar riwayat hidup ini Saya buat dengan sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Atas perhatiannya, Saya ucapkan terima kasih.
Hormat Saya,
Akhmad Yusuf
203