TESIS
DINAMIKA POPULASI IKAN PEDANG (Xiphias gladius L.) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA
BRAM SETYADJI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
TESIS
DINAMIKA POPULASI IKAN PEDANG (Xiphias gladius L.) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA
BRAM SETYADJI NIM. 1392261010
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI BIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
TESIS
DINAMIKA POPULASI IKAN PEDANG (Xiphias gladius L.) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Biologi, Program Pascasarjana Universitas Udayana
BRAM SETYADJI NIM. 1392261010
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI BIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
iii
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai Oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana pada tanggal 27 April 2015
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No. 1161/UN14.4/HK/2015 Tanggal 17 April 2015
Pantia Penguji Tesis adalah: Ketua : Prof. Ir. I Wayan Kasa, M.Rur.Sc., Ph.D. Anggota : 1. Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS., Ph.D. 2. Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, MS. 3. Drs. Joko Wiryatno, M.Si. 4. Drs. Denny Suhernawan Yusup, M.Sc.St.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul “Dinamika Populasi Ikan Pedang (Xiphias gladius L.) di Perairan Samudera Hindia”. Tersusunnya tesis ini tidak lepas dari dukungan, bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Ir. I Wayan Kasa, M.Rur.Sc., Ph.D selaku Pembimbing I dan Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS., Ph.D sebagai Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, kesabaran dalam memberikan bimbingan, dukungan serta bantuan selama penulisan tesis ini. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD. dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, MS, Drs. Joko Wiryatno, M.Si, dan Drs. Denny Suhernawan Yusup, M.Sc.St selaku dosen penguji, yang telah memberikan kritik, saran dan masukan untuk melengkapi tesis ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ir Ida Ayu Astarini, M.Sc., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Magister Biologi Udayana, yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama penulis menempuh studi, Prof. Ir. I Wayan Kasa, M.Rur.Sc., Ph.D selaku Pembimbing Akademik (PA), yang selalu memberikan bimbingan serta motivasi untuk terus maju kepada penulis agar menyelesaikan studi tepat pada waktunya dan kepada seluruh dosen dan staf pegawai di lingkungan Program Studi Magister Biologi yang telah membantu selama perkuliahan dan penyusunan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada istri tercinta, Aini Chairunnisa Amalia untuk semua doa yang dipanjatkan, semangat, perhatian dan
v
kesabaran yang diberikan selama penulis menempuh studi, rekan-rekan Program Studi Magister Biologi angkatan 2013 antara lain, Uslan, Dina, Ibu Made, Saka, Yuni, Yuli, Nara, Nadya dan Rani. Penulis juga memberikan apresiasi kepada teman-teman pemantau ilmiah dan enumerator dari Loka Penelitian Perikanan Tuna yang telah bekerja keras mengumpulkan data selama penelitian dilangsungkan, Dr. Paul van Zwieten dan Dr. Megan Bailey dari Wageningen University serta Susan M Luna dari FishBase Information and Research Group, Inc. (FIN) yang telah banyak membantu dalam memberikan koreksi dan penajaman pada tesis ini serta Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penghargaan juga diberikan kepada Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO), Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) dan Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI) yang telah mendukung dan mendanai kolaborasi penelitian melalui program FIS/2002/074: Capacity Development to Monitor, Analyse and Report on Indonesian Tuna Fisheries. Dengan segala kerendahan hati disadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Denpasar,
Penulis
vi
April 2015
vii
ABSTRAK Model pengkajian stok melalui data frekuensi panjang banyak dipilih karena ketersediaan dan kemudahan pengambilan data tersebut dibandingkan dengan pengukuran jaringan keras maupun tagging. Walaupun telah banyak diaplikasikan pada perikanan pelagis kecil dan demersal model ini jarang digunakan pada ikan peruaya jauh seperti ikan pedang. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan persamaan empiris antar ukuran panjang pada ikan pedang berdasarkan jenis kelamin, estimasi parameter pertumbuhan, laju kematian, dan laju eksploitasi berdasarkan data panjang hasil program pemantauan ilmiah tahun 2005 – 2014 dan program pengamatan pendaratan tuna dan sejenisnya tahun 2002 – 2014 oleh Loka Penelitian Perikanan Tuna. Hasil penelitian menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara LJFL, EFL, dan PFL ikan pedang (ANOVA, P < 0,001) dengan nilai R 2 lebih besar dari 0,97 dan tidak ada perbedaan yang nyata antara jantan dan betina terhadap morfometri ikan pedang (EFL-LJFL, P > 0,05 dan PFL-LJFL, P > 0,05). Ikan pedang mempunyai sifat pertumbuhan lambat. Korelasi umur dan pertumbuhan dinyatakan dengan persamaan Lt = 302,4 (1 - e -0,12 (t+0,76025), dengan nilai K = 0,12/tahun, t0 = -0,76025 tahun dan L∞ = 302,4 cm. Nilai F (0,28/tahun) sedikit lebih besar daripada nilai M (0,24/tahun), yang berarti kematian ikan pedang lebih banyak disebabkan oleh eksploitasi/penangkapan. Nilai E sebesar 0,55 mengindikasikan bahwa ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia berada pada kondisi optimum (padat tangkap). Kata Kunci: Ikan pedang, frekuensi panjang, umur, pertumbuhan, mortalitas, laju eksploitasi
viii
ABSTRACT
Stock assessment models based on catch-at-size data were more preferable due to its availability and ease on collecting the data, compared to skeletal parts or tagging. Even though such models were applied on small pelagic and demersal fisheries, it was rarely used on highly migratory species due to their complexity. This research aimed to determine empirical conversion equations among different length measurements of swordfish based on sex, estimate the growth parameters, mortality rate and exploitation rate. The observation was based on catch-at-size data from scientific observer program from 2005 to 2014 and daily tuna and tuna-like species monitoring data from 2002 to 2014, courtesy of Research Institute for Tuna Fisheries. The results showed that the models were fit quite well for LJFL, EFL and PFL (R2 > 0.97; P < 0.01) and there were no significant relationship between morphometric and sex (EFL-LJFL, P > 0.05 and PFL-LJFL, P > 0.05). Correlation between age and growth of swordfish was notated in equation Lt = 302.4 (1 - e -0.12 (t+0.76025), where growth coefficient (K) was 0.12/year; t 0 = 0.76025 year; asymptotic length (L∞) = 302.4 cm. Total mortality rate (Z) was 0.52/year with natural mortality rate (M) was 0.24/year and fishing mortality rate (F) was 0.28/year which mean that the exploitation (fishing activities) were likely responsible for most mortality occurred. Exploitation rate (E) was on range of 0.5 (0.55), it suggests that the swordfish in Eastern Indian Ocean are fully exploited but not a subject of overfishing. Keywords: Swordfish, length frequency, age, growth, mortality, exploitation rate.
ix
RINGKASAN Model pengkajian stok melalui data frekuensi panjang banyak dipilih karena ketersediaan dan kemudahan pengambilan data tersebut dibandingkan dengan pengukuran jaringan keras (sisik, otolith, sirip dan tulang belakang) maupun tagging. Akan tetapi data panjang hasil pengukuran di tempat pendaratan sebagian besar tidak standar karena ikan pedang yang tertangkap biasanya langsung diproses di laut yang mana bagian kepala, sirip, isi perut dibuang. Oleh karena itu dibutuhkan persamaan empiris untuk konversi dari ukuran non-standar ke standar yang kemudian digunakan untuk melakukan pendugaan umur dan pertumbuhan ikan pedang. Hasil dari pendugaan tersebut lebih lanjut digunakan untuk analisa mortalitas alami dan penangkapan sehingga didapatkan tingkat laju eksploitasi. Interpretasi data di atas dapat digunakan sebagai dasar kajian stok ikan pedang di Samudera Hindia. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan metode penelitian eksploratif. Data primer merupakan hasil observasi laut selama kurun waktu Maret 2011 sampai dengan Desember 2014, sedangkan data sekunder diambil dari pengamatan harian pendaratan ikan tuna dan sejenisnya di Pelabuhan Benoa pada kurun waktu 2002 sampai dengan 2014 dan data pemantau ilmiah Loka Penelitian Perikanan Tuna tahun 2005 – 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan persamaan empiris antar ukuran panjang pada ikan pedang berdasarkan jenis kelamin, estimasi parameter pertumbuhan, laju kematian, dan laju eksploitasi berdasarkan data tersebut. Hasil penelitian menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara beberapa parameter morfometrik ikan pedang yang diukur yakni panjang dari pangkal sirip dada ke ujung lekukan tengah sirip ekor (PFL), panjang dari mata ke ujung lekukan tengah sirip ekor (EFL) dan panjang dari ujung rahang bawah ke ujung lekukan tengah sirip ekor (LJFL) (R2 > 0,97; P < 0,01), akan tetapi tidak ada perbedaan yang nyata antara morfometri ikan pedang dan jenis kelamin (EFLLJFL, P > 0,05 dan PFL-LJFL, P > 0,05). Korelasi umur dan pertumbuhan ikan pedang dinyatakan dengan persamaan Lt = 302,4 (1 - e -0,12 (t+0,76025), dimana nilai koefisien pertumbuhan (K) = 0,12/tahun; t0 = -0,76025 tahun; panjang asimtotik (L∞) = 302,4 cm. Laju mortalitas total (Z) sebesar 0,52/tahun dengan laju mortalitas alami
(M) sebesar 0,24/tahun dan laju mortalitas penangkapan (F) sebesar 0,28/tahun, yang berarti kematian ikan pedang di Samudera Hindia bagian timur lebih banyak disebabkan oleh eksploitasi/penangkapan. Tingkat laju eksploitasi (E) sebesar 0,55 (E≈0,5) yang berarti ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia berada pada kondisi padat tangkap.
x
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM .................................................................................................. i PRASYARAT GELAR ........................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...................................................................... iv UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................... v SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...................................................... vii ABSTRAK ........................................................................................................... viii ABSTRACT ........................................................................................................... ix RINGKASAN ......................................................................................................... x DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv DAFTAR ISTILAH ............................................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ...........................................................................................1 1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................4 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................5 1.4. Manfaat Penelitian .....................................................................................5 BAB II. KAJIAN PUSTAKA ................................................................................. 6 2.1. Klasifikasi Ikan Pedang .............................................................................6 2.2. Distribusi dan Aspek Biologi Ikan pedang ................................................7 2.3. Aspek Morfometrik Ikan pedang ...............................................................8
xi
2.4. Pertumbuhan Ikan pedang..........................................................................9 2.5. Status Stok Ikan Pedang...........................................................................12 2.6. Rawai Tuna ..............................................................................................12 BAB III. KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN ................... 15 3.1. Kerangka Berpikir ....................................................................................15 3.2. Konsep Penelitian ....................................................................................17 BAB IV. METODE PENELITIAN ...................................................................... 18 4.1. Jenis Penelitian.........................................................................................18 4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................................18 4.3. Ruang Lingkup Penelitian........................................................................19 4.4. Prosedur Penelitian ..................................................................................20 BAB V. HASIL PENELITIAN............................................................................. 31 5.1. Aspek Biologi Ikan Pedang .....................................................................31 5.2. Aspek Morfometrik Ikan Pedang .............................................................34 5.3. Parameter Pertumbuhan Ikan Pedang ......................................................40 BAB VI. PEMBAHASAN .................................................................................... 44 6.1. Distribusi Spasial-Temporal Ikan Pedang ...............................................44 6.2. Korelasi antara Komposisi Ukuran, Parameter Morfometrik, dan Nisbah Kelamin Ikan Pedang...................................................................46 6.3. Parameter Populasi dan Laju Eksploitasi Ikan Pedang ............................51 BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 57 7.1. Kesimpulan ..............................................................................................57 7.2. Saran ........................................................................................................58 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 59 LAMPIRAN .......................................................................................................... 69
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Ilustrasi ikan pedang (Xiphias gladius) ............................................7 Gambar 2.2. Distribusi ikan pedang di Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia berdasarkan hasil tangkapan dari armada rawai tuna Jepang .............................................................................................. 8 Gambar 2.3. Beberapa metode dalam pemrosesan ikan berparuh........................ 9 Gambar 2.4. Spesifikasi alat tangkap rawai tuna yang digunakan oleh kapal – kapal tuna komersial di Indonesia. ............................................. 14 Gambar 3.1. Diagram alir konsep penelitian ...................................................... 17 Gambar 4.1. Lokasi penelitian berada pada Samudera Hindia bagian timur sesuai dengan kompetensi area IOTC. .......................................... 19 Gambar 4.2. Variasi metode pengukuran pada ikan berparuh. .......................... 21 Gambar 4.3. Diagram alir penelitian. ................................................................. 30 Gambar 5.1. Peta daerah penangkapan ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia selama kurun waktu 2005 – 2014. .................................................................................. 31 Gambar 5.2. Distribusi spasial CPUE ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia pada kurun waktu 2005 – 2014 berdasarkan lintang dan bujur. .......................................... 32 Gambar 5.3. Distribusi bulanan rata-rata CPUE ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia pada kurun waktu 2005 – 2014. ............................................................. 33 Gambar 5.4. Distribusi rata-rata CPUE ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia pada kurun waktu 2005 – 2014. ........................................................................................... 33 Gambar 5.5. Hubungan antara LJFL dan PFL, LJFL dan EFL serta EFL dan PFL dari ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia dalam kurun waktu 2002 – 2014 .................. 35
xiii
Gambar 5.6. Panjang rata-rata ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia dalam kurun waktu 2002 – 2014. .............................................................................................. 37 Gambar 5.7. Sebaran frekuensi panjang ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia pada kurun waktu 2002 – 2014. ........................................................................................... 37 Gambar 5.8. Sebaran frekuensi panjang ikan pedang tahunan yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia pada kurun waktu 2002 – 2014 .............................................................. 38 Gambar 5.9. Hubungan panjang-berat ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia dalam kurun waktu 2002 – 2014. .................................................................................. 39 Gambar 5.10. Sebaran frekuensi ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia dalam kurun waktu 2005 – 2014 berdasarkan jenis kelamin. ................................................... 40 Gambar 5.11. Kalkulasi mundur length at age (LJFL) dan kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia dalam kurun waktu 2002 – 2014. .............................................................................................. 42 Gambar 5.12. Kurva hasil tangkapan yang dikonversikan ke panjang (LJFL) untuk menduga nilai mortalitas yang dihitung dari parameter persamaan pertumbuhan von Bertalanffy pada suhu rata-rata 28,60 C .......................................................................................... 43 Gambar 6.1. Perbandingan model persamaan empiris konversi antar ukuran panjang dari beberapa referensi ..................................................... 47
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 5.1
Kisaran (minimum dan maksimum) dan rata-rata panjang ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia selama bulan Maret 2011 – Desember 2014 ...................
Tabel 6.1
34
Hasil beberapa penelitian mengenai umur dan pertumbuhan ikan pedang .................................................................................
xv
51
DAFTAR ISTILAH
ASPIC
: A Stock Production Models Incorporating Covariates
ASPM
: Age Structured Production Models
BBDM
: Bayesian Biomass Dynamics Models
CPUE
: Catch per Unit of Effort (perbandingan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan yang dilakukan)
E
: Laju eksploitasi
EFL
: Eye orbit Fork Length (panjang dari mata ke ujung lekukan tengah sirip ekor)
ELEFAN : Electronic Length Frequency Analysis F
: Laju kematian ikan akibat eksploitasi/penangkapan
FISAT
: FAO/ICLARM Stock Assessment Tools
IOTC
: Indian Ocean Tuna Commission (komisi pengelolaan perikanan tuna regional di Samudera Hindia)
K
: Koefisien laju pertumbuhan
LFSA
: Length Based Fish Stock Assessment
LJFL
: Lower Jaw Fork Length (panjang dari ujung rahang bawah ke ujung lekukan tengah sirip ekor)
L∞
: Panjang asimtotik
M
: Laju kematian ikan secara alami
MSY
: Maximum Sustainable Yield (hasil tangkapan lestari)
PFL
: Pectoral Fork Length (panjang dari panjang dari pangkal sirip dada ke ujung lekukan tengah sirip ekor)
SS3
: Stock Synthesis 3
Z
: Laju kematian ikan eksploitasi/penangkapan
total,
xvi
baik
secara
alami
maupun
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Hasil perhitungan parameter panjang asimtot (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K) menggunakan metode ELEFAN I pada program FISAT II. .......................................................
xvii
34
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ikan berparuh (Istioporidae dan Xiphiidae) merupakan hasil tangkapan kedua terbesar setelah tuna, dimana terkadang tidak tercatat dengan baik di logbook (Cramer et al., 1998). Hampir 90% ikan berparuh yang di daratkan di dunia merupakan hasil tangkap sampingan dari perikanan rawai tuna (Prager et al., 1995; Amande et al., 2008, 2010; Chapman, 2001; Cramer dan Adams, 1999; Campbell dan Tuck, 1998). Ikan pedang (Xiphias gladius) merupakan satu – satunya spesies dari famili Xiphiidae yang telah menjadi obyek eksploitasi di Samudera Pasifik (Brodziak dan Ishimura, 2010), Atlantik, dan Laut Mediterania (Tserpes dan Tsimenides, 1995). Di Samudera Hindia, eksploitasi ikan pedang, dimulai sejak tahun 1950-an oleh armada Jepang dan didominasi oleh armada Taiwan pada tahun 1990-an (IOTC, 2009) sedangkan Indonesia mulai pada tahun 1983 semenjak diperkenalkannya deep tuna longline (Sadiyah et al., 2011). Hasil tangkapan ikan pedang di Samudera Hindia terus meningkat, dari kurang 10.000 ton pada awal tahun 1990 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998, yakni 35.000 ton (Wang dan Nishida, 2010). Kontribusi ikan pedang terhadap perikanan tuna di Indonesia cukup signifikan yakni sekitar 5%, dengan produksi rata – rata mencapai 1.600 ton pada kurun waktu 2004 – 2007 (Mahiswara dan Prisantoso, 2009).
1
2
Seiring dengan tingkat eksploitasi yang terus meningkat, sumberdaya ikan pedang di Samudera Hindia terus menurun, indikatornya adalah penurunan CPUE (Catch per Unit of Effort) secara global dari tahun ke tahun dengan tingkat laju eksploitasi sudah mencapai padat tangkap (optimum) (IOTC, 2009). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jumlah penangkapan sudah mendekati nilai maksimum tangkapan lestarinya (MSY) yakni antara 29.900 – 34.200 ton (IOTC, 2013). Untuk menghindari adanya penangkapan yang berlebih maka dibutuhkan upaya penelitian kajian stok untuk mengetahui tingkat laju eksploitasi yang aman, sehingga sumberdaya ikan pedang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kajian stok tak terlepas dari aspek biologi yaitu sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan, aspek sumberdaya yang mendukung keberhasilan operasi penangkapan, aspek teknis seperti alat tangkap, aspek sosial yaitu yang berkaitan dengan tenaga kerja, maupun aspek ekonomi. Aspek biologi memegang peranan penting dalam kajian stok, yakni perubahan (dinamika) yang terjadi pada populasi ikan pedang yang dipengaruhi oleh pertumbuhan dan rekrutmen (pertambahan
stok/biomassa),
serta
mortalitas
alami
dan
penangkapan
(pengurangan stok/biomassa). Kajian stok ikan pedang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, salah satunya adalah menggunakan informasi aspek morfometrik, seperti data frekuensi panjang ikan tertangkap, dapat digunakan sebagai dasar manajemen pengelolaan perikanan (Herrera dan Pierre, 2011; Neilson et al., 2006). Metode atau model yang berbasis dari data tersebut adalah FISAT (FAO/ICLARM Stock Assessment Tools) (Gayanilo et al., 2005), COMPLEAT ELEFAN (Electronic Length
3
Frequency Analysis) (Gayanilo dan Pauly, 1989), dan LFSA (Length based Fish Stock Assessment) (Sparre dan Venema, 1999). Data frekuensi panjang dipilih karena data tersebut paling mudah didapatkan dibandingkan data pengukuran jaringan keras (sisik, otolith, sirip dan tulang belakang) maupun tagging. Akan tetapi pada ikan berparuh, khususnya ikan pedang, untuk memperoleh data frekuensi panjang standar relatif sulit karena hasil tangkapan langsung diproses di laut, yaitu kepala, sirip, isi perut dibuang sehingga pengukuran hanya dapat dilakukan mulai dari panjang dari pangkal sirip dada ke ujung lekukan tengah sirip ekor (pectoral fork length) sedangkan ukuran standar yang digunakan dalam kajian stok sesuai standarisasi IOTC adalah panjang dari ujung rahang bawah ke ujung lekukan tengah sirip ekor (lower jaw fork length). Perbedaan pengukuran ini menimbulkan interpretasi data yang berbeda antara panjang utuh dengan panjang setelah diproses, sehingga dibutuhkan persamaan empiris untuk konversi ukuran diantaranya (Prager et al., 1995). Persamaan empiris tersebut dapat dihasilkan dari data pengukuran rutin pada beberapa aspek morfometrik terhadap setiap sampel ikan. Penelitian – penelitian mengenai aspek morfometrik khususnya mengenai hubungan antara beberapa pengukuran panjang telah dikemukakan oleh Uchiyama dan Kazama (2003) di Kepulauan Hawaii, Su et al. (2005) di pesisir dan lepas pantai Taiwan, dan beberapa lainnya di Samudera Atlantik (Lenarz dan Nakamura, 1974); Prince dan Lee, 1989; Lee dan Prince, 1990). Penelitian mengenai pendugaan umur dan pertumbuhan sebagian besar berasal dari Atlantik (Ehrhardt, 1992; Ehrhardt et al., 1996; Arocha et al., 2003), Pasifik (Sun et al.,
4
2009; 2010; Cerna, 2008) dan perairan Laut Mediterranea (Tserpes dan Tsimenides, 1995; Aliçli dan Oray, 2001; Valeiras et al., 2008). Akan tetapi penelitian tentang ikan pedang yang berasal dari Samudera Hindia masih terbatas, hal ini disebabkan sebagian besar negara yang berbatasan dengan Samudera Hindia merupakan negara berkembang sehingga keterbatasan dana penelitian menjadi isu yang utama. Oleh sebab itu perlu adanya upaya penelitian tentang aspek biologi seperti: umur dan pertumbuhan, mortalitas, laju eksploitasi. Hasil penelitian diharapkan akan memberikan gambaran mengenai dinamika populasi ikan pedang di perairan Samudera Hindia sehingga dapat dijadikan dasar dalam kajian dinamika stok ikan pedang sehingga sumberdaya ikan tersebut dapat terus dimanfaatkan sesuai dengan potensi lestarinya. 1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: a) Bagaimanakah model/persamaan empiris untuk konversi dari ukuran panjang tidak standar (PFL dan EFL) ke panjang standar (LJFL) dan signifikansinya terhadap jenis kelamin? b) Bagaimanakah umur (t0) dan laju pertumbuhan (K) ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia? c) Berapakah nilai laju mortalitas alami (M) dan mortalitas akibat penangkapan (F) ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia? d) Bagaimanakah laju eksploitasi perikanan ikan pedang di Samudera Hindia?
5
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Membuat model/persamaan empiris untuk konversi dari ukuran panjang tidak standar (PFL dan EFL) ke panjang standar (LJFL) dan signifikansinya terhadap jenis kelamin. 2. Menentukan nilai estimasi umur (t0) dan laju pertumbuhan (K) 3. Menentukan nilai mortalitas alami (M) dan mortalitas akibat penangkapan (F). 4. Menduga laju eksploitasi (E) ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia. 1.4. Manfaat Penelitian Membuat model/persamaan empiris untuk konversi dari ukuran panjang tidak standar (PFL dan EFL) ke panjang standar (LJFL) dapat digunakan untuk melakukan standarisasi dari berbagai macam ukuran panjang ikan pedang yang ada. Selain itu, informasi mengenai parameter – parameter dinamika populasi seperti umur dan pertumbuhan, mortalitas serta laju eksploitasi dapat digunakan sebagai dasar manajemen pengelolaan perikanan salah satu diantaranya adalah penentuan status stok ikan pedang berdasarkan metode – metode ataupun model – model pengkajian stok yang berbasis data tersebut.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Klasifikasi Ikan Pedang Ikan pedang (Xiphias gladius) merupakan salah satu spesies yang masuk
dalam kelompok ikan berparuh, yang mana istilah tersebut digunakan untuk ikan dengan karakterisasi adanya ekstensi rahang atas yang melebihi rahang bawahnya, sehingga membentuk paruh yang panjang dan lurus seperti pedang/tombak (Nakamura, 1985). Secara umum, klasifikasi ikan berparuh dapat dibedakan dengan jelas baik secara genetis mapun morfolologis dari tuna (scombroids). Ikan berparuh terdiri dari 2 famili, yakni Xiphiidae (monotypic) dan Istiophoridae yang memiliki 5 genus (Istiophorus, Istiompax, Makaira, Tetrapturus, Kajikia) dan 8 spesies (Collette et al., 2006). Sedangkan ikan pedang (Gambar 2.1) merupakan satusatunya genus dan spesies dari famili Xiphiidae. Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Super Kelas : Gnathostomata Kelas
: Osteichthyes
Sub Kelas
: Actinopterygii
Infra Kelas
: Teleostei
Divisi
: Euteleostei
Super Ordo : Acanthopterygii
6
7
Ordo
: Perciformes
Sub Ordo
: Xiphioidei
Famili
: Xiphiidae
Genus
: Xiphias
Spesies
: Xiphias gladius
Gambar 2.1. Ilustrasi ikan pedang (Xiphias gladius) (Nakamura, 1985) 2.2. Distribusi dan Aspek Biologi Ikan pedang Ikan pedang termasuk jenis predator puncak yang terdistribusi hampir di seluruh perairan dunia dari 450 LU - 450 LS (Gambar 2.2), baik di perairan tropis, sub tropis maupun perairan yang lebih dingin (Palko et al., 1981), tidak hanya di Samudera Hindia, Pasifik dan Atlantik tetapi juga cukup melimpah di Laut Mediterania, Marmara, Hitam dan Azov (Lu et al., 2006; IOTC, 2009). Hal ini memungkinkan karena spesies ini dapat mentoleransi kisaran temperatur air laut yang tinggi, yakni 6 – 26 0C (Carey dan Robison, 1981). Spesies ini berukuran 156 – 250 cm, pertama kali matang gonad pada ukuran 170 cm (LJFL) untuk betina dan 120 cm untuk jantan. Ukuran ini setara
8
dengan umur 6 – 7 tahun dan 1 – 3 tahun. Ukuran berat rata-rata tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia berkisar antara 40 – 80 kg (IOTC, 2009).
Gambar 2.2.
Distribusi ikan pedang di Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia berdasarkan hasil tangkapan dari armada rawai tuna Jepang. Lingkaran menunjukkan laju tangkap (jumlah ikan per 1.000 mata pancing). Area 1,2,3 merupakan hipotesa konsentrasi stok ikan pedang di Samudera Pasifik (Sumber: Palko et al., 1981)
2.3. Aspek Morfometrik Ikan pedang Pada umumnya, ikan pedang yang tertangkap langsung diproses di laut. Bagian kepala, sirip, isi perut dibuang dan kemudian dibekukan pada suhu -200 C s.d. -300 C (Su et al., 2005; Murniyati dan Sunarman, 2000). Sebelum dilakukan pengukuran panjang, ikan berparuh kemungkinan telah diproses dengan 10 cara yang berbeda (Prince dan Miyake, 1989; Gambar 2.3). Perbedaan perlakuan ini akan menimbulkan interpretasi data yang berbeda antara panjang utuh dengan panjang setelah diproses, sehingga dibutuhkan persamaan empiris untuk konversi ukuran diantaranya (Prager et al., 1995). Informasi aspek morfometrik seperti: panjang rata-rata ikan tertangkap, dapat digunakan sebagai dasar manajemen pengelolaan perikanan (Herrera dan
9
Pierre, 2011; Neilson et al., 2006), salah satu diantaranya adalah penentuan status stok ikan berparuh (Dowling dan Basson, 2004; Sparre dan Venema, 1999), berdasarkan metode – metode ataupun model – model pengkajian stok yang berbasis data tersebut, seperti FISAT (Gayanilo et al., 2005), COMPLEAT ELEFAN (Gayanilo dan Pauly, 1989), dan LFSA (Sparre dan Venema, 1999).
Gambar 2.3.
Beberapa metode dalam pemrosesan ikan berparuh (Sumber: Prince dan Miyake, 1989)
2.4. Pertumbuhan Ikan pedang Menurut Effendie (2002), istilah pertumbuhan dapat diartikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah individu. Pertumbuhan tersebut dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor dalam (endogenous) dan
10
faktor luar (exogenous) (Wheeler dan Jones, 1989). Faktor dalam adalah faktor yang sukar dikontrol seperti keturunan, seks, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar yakni kompetisi, ketersediaan makanan dan suhu perairan (Baudron et al., 2014). 2.4.1.
Umur dan Pertumbuhan Informasi umur dan pertumbuhan ikan adalah elemen utama dalam
manajemen perikanan mengingat fungsinya sebagai variabel kunci dalam pendugaan riwayat hidup dan aspek biologi seperti mortalitas dan pertumbuhan (Sun et al., 2010). Beberapa metode untuk menentukan pertumbuhan dari sebuah spesies biasanya menggunakan persamaan matematis yang sederhana, diantaranya adalah Richard's Growth Model (Richards, 1959), Chapman's Growth Model (Chapman, 1961) dan von Bertalanffy Growth Function Model yang banyak digunakan oleh para peneliti perikanan (Widodo dan Suadi, 2005). Model ini dicari dengan menggunakan program Electronic Length Frequency Analysis (ELEFAN) yang merupakan integrasi dari Model Progression Analysis (MPA) dalam software FISAT II (Gayanilo et al. 2005). 2.4.2. Hubungan Panjang Berat Persamaan hubungan panjang berat ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Berat dapat dianggap sebagai satu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dengan berat dirumuskan dengan notasi matematika yang dikemukakan oleh Klawe (1980): W=αLb
11
Menurut Pauly (1983) formula tersebut akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yaitu harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan yang nilainya berada antara 2,5 dan 3,5, biasanya mendekati 3. Pauly (1984) telah membuktikan hal tersebut berdasarkan hasil plotting terhadap data panjang - berat dari berbagai macam jenis ikan dengan jumlah sampel yang sangat besar dan apabila terdapat nilai b<2,5 atau b>3,5 data tersebut kemungkinan berasal dari kelompok sampel yang kecil ataupun terdapat indikasi adanya kesalahan. Ketika b = 3, pertumbuhan berat dinamakan isometrik, yang berarti pertambahan berat selaras dengan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan alometrik positif bila b>3, yang menandakan bahwa pertambahan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan alometrik negatif apabila nilai b<3, ini menandakan bahwa pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat (Pauly, 1984). 2.4.3.
Mortalitas dan Laju Eksploitasi Kematian ikan secara alamiah (natural mortality/M) dapat ditentukan
dengan menggunakan formula Pauly's equation model sedangkan kematian total (total mortality/Z) menggunakan metode length converted catch curves yang telah disempurnakan untuk memperkecil bias akibat pertumbuhan musiman (seasonal growth) yang mana keduanya sudah terintegrasi dengan software FISAT II. Berdasarkan dua parameter di atas, maka kematian akibat penangkapan ikan (F) dapat ditentukan dengan mencari selisih antara antara Z dengan M.
12
Laju eksploitasi adalah persentase perbandingan antara kematian akibat penangkapan ikan dengan kematian ikan secara natural atau secara formula E=F/Z 2.5. Status Stok Ikan Pedang Pengkajian stok ikan pedang di Samudera Hindia telah dilakukan oleh IOTC pada tahun 2014, berdasarkan data hasil tangkapan armada rawai tuna Jepang, Taiwan, Korea, Spanyol, Portugis dan Perancis. IOTC (2014) merekomendasikan bahwa MSY (Maksimum Sustainable Yield) untuk ikan pedang di Samudera Hindia tak lebih dari 33.000 ton/tahun dengan kisaran antara 32.000 – 34.000 ton/tahun. Hal ini didasarkan atas kecenderungan penurunan CPUE secara global dari tahun ke tahun dengan tingkat pemanfaatan sudah mencapai padat tangkap (optimum). 2.6. Rawai Tuna 2.6.1. Definisi Alat tangkap rawai tuna resmi diperkenalkan di Indonesia lebih kurang pada tahun 1954, kemudian pada tahun 1962 usaha penangkapan secara komersial pertama
kali
diusahakan (Simorangkir,
2000). Rawai
tuna
merupakan
pengembangan teknik pada perikanan pancing. Alat ini bersifat pasif, terentang secara horisontal dan dihanyutkan (drifting) (von Brandt, 1984). Berdasarkan material yang digunakan, rawai tuna dibedakan menjadi 2, yakni: monofilamen dan multifilament longline (Beverly et al., 2003; Soepriyono, 2009). Menurut Kosasih (2007), perbedaan antar keduanya adalah:
Bahan multifilament lebih berat dan mahal, sedangkan bahan monofilamen lebih mudah dirakit dan sesuai untuk kapal yang lebih kecil
13
Bahan multifilament lebih mudah ditangani dan kuat sehingga secara ekonomis lebih menguntungkan dengan jangka waktu yang panjang
Karena bahan monofilamen lebih kecil, halus, dan transparan maka akan memberikan hasil tangkapan yang lebih baik
2.6.2. Konstruksi Rawai Tuna Rawai tuna terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), mata pancing (hook), tali pelampung (buoy line), pelampung (buoy), lampu pelampung (floating light), bendera (flag) dan tiang (pole) (Soepriyono, 2009) (Gambar 2.4). Keseluruhan daya apung dari pelampung-pelampung harus lebih besar dari total gaya berat seluruh bagian rawai dalam air (Nomura dan Yamazaki, 1975). Menurut Soepriyono (2009), berdasarkan kedalaman mata pancing, rawai tuna dibedakan menjadi: rawai tuna permukaan (surface/drifting longline) dan rawai tuna dalam (deep longline). Rawai tuna permukaan diatur dengan jangkauan mata pancing terdalam kurang dari 136 m. Terdiri dari 5 tali utama masing-masing berukuran 50 m, 4 tali cabang/pancing masing-masing berukuran 20 m. Satu pelampung ditambah satu tali pelampung dengan panjang 20 m. Target utama adalah madidihang dan ikan berparuh. Rawai tuna dalam diatur dengan jangkauan mata pancing terdalam lebih dari 200 m. Terdiri dari 11 atau lebih tali utama masing-masing berukuran 50 m, 10 atau lebih tali cabang/pancing, dengan 1 – 2 pelampung yang digabung jadi satu ditambah satu tali pelampung yang panjangnya 20 m atau lebih. Target utamanya adalah tuna mata besar, albakora, tuna sirip biru selatan.
14
Gambar 2.4.
Spesifikasi alat tangkap rawai tuna yang digunakan oleh kapal – kapal tuna komersial di Indonesia.
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir Penelitian mengenai dinamika populasi ikan peruaya jauh terutama di Samudera Hindia pada umumnya menggunakan model yang rumit dan melibatkan banyak variabel, sehingga tidak semua negara dapat melakukan kajian yang komprehensif karena kekurangan maupun ketiadaan data yang dibutuhkan. FAO (Food and Agricultural Organisation) bersama ICLARM (International Centre for Living Aquatic Resources Management sekarang dikenal dengan nama Worldfish) pada tahun 2005 menerbitkan paket software FISAT II yang merupakan gabungan dari LFSA yang dikembangkan oleh FAO dengan the Compleat ELEFAN yang dikembangkan oleh ICLARM. Dasar pemikiran dari software tersebut adalah jika “terlalu sedikit ikan tua” maka stok sudah “lebih tangkap” dan tekanan penangkapan terhadap stok tersebut harus dikurangi, begitu juga sebaliknya apabila “terlalu banyak ikan tua” maka stok masih underfished dan masih lebih banyak lagi ikan yang dapat ditangkap untuk memaksimalkan hasil. Pendugaan tersebut berdasarkan dari data frekuensi panjang ikan yang tertangkap selama beberapa periode waktu tertentu. Data frekuensi panjang dipilih karena paling banyak tersedia dan mudah didapatkan dibandingkan data pengukuran jaringan keras (sisik, otolith, sirip dan tulang belakang) dan tagging.
15
16
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang sama, di mana aspek morfometrik, meliputi hubungan antara panjang (LJFL, PFL dan EFL) dan berat yang akan digunakan untuk melakukan pendugaan umur dan pertumbuhan ikan pedang. Hasil dari pendugaan tersebut akan digunakan untuk analisa mortalitas alami dan penangkapan sehingga didapatkan tingkat laju eksploitasi. Intepretasi data di atas dapat digunakan sebagai dasar kajian stok ikan pedang di Indonesia. Diagram alir konsep penelitian dapat dijelaskan pada Gambar 3.1.
17
3.2. Konsep Penelitian Sumber Daya Ikan Pedang (Xiphias gladius) di Samudera Hindia
Ancaman Eksploitasi yang berlebih
Kajian Stok Ikan Pedang
Hasil Tangkapan per Satuan Upaya (CPUE)
Morfometri (LJFL, PFL & EFL)
Umur dan Pertumbuhan
Distribusi Spasial dan Temporal
Hubungan Panjang & Berat
Von Bertalanffy Growth Fuction Model
Laju Mortalitas Alami dan Penangkapan
Laju Eksploitasi
Regresi dan Korelasi
Distribusi Ukuran Panjang
Intepretasi Hasil Pengolahan Data
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Pedang di Samudera Hindia
Gambar 3.1. Diagram alir konsep penelitian
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, yang dikemukakan oleh Arikunto (2007) dengan mempertimbangkan tentang sifat umum penelitian kuantitatif, antara lain: (a) kejelasan unsur: tujuan, subjek, sumber data sudah mantap, dan rinci sejak awal, (b) dapat menggunakan sampel, (c) kejelasan desain penelitian, dan (d) analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul. Sedangkan metode penelitian yang dipakai adalah penelitian eksploratif yakni salah satu pendekatan penelitian yang digunakan untuk meneliti sesuatu (yang menarik perhatian) yang belum diketahui, belum dipahami, atau belum dikenali dengan baik (Kotler et al., 2006). 4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan data morfometri yang dikumpulkan oleh pemantau ilmiah Loka Penelitian Perikanan Tuna mulai bulan Maret tahun 2011 sampai dengan Desember 2014 dengan cara mengikuti kapal rawai tuna komersial yang berbasis di Pelabuhan Benoa Bali, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap Jawa Tengah dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Jawa Barat dengan daerah operasi di Samudera Hindia bagian timur dengan koordinat antara 00 LU – 400 LS dan 800 – 1250 BT (Gambar 4.1). Pelabuhan Benoa menjadi prioritas karena kurang lebih 60% hasil perikanan tuna Indonesia berasal dari lokasi tersebut (Satria et al., 2011) 18
19
Gambar 4.1.
4.3.
Lokasi penelitian (bagian yang diarsir) berada pada Samudera Hindia bagian timur sesuai dengan kompetensi area IOTC.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup yang diamati dalam penelitian ini adalah : a) Hubungan morfometrik ikan pedang (Xiphias gladius) yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia berdasarkan jenis kelamin. Parameter morfometrik yang dimaksud adalah: panjang dari ujung rahang bawah ke ujung lekukan tengah sirip ekor (LJFL); panjang dari mata ke ujung lekukan tengah sirip ekor (EFL); dan panjang dari pangkal sirip dada ke ujung lekukan tengah sirip ekor (PFL); b) Umur dan pertumbuhan ikan pedang; c) Laju mortalitas alami dan akibat penangkapan; d) Tingkat laju eksploitasi ikan pedang di Samudera Hindia.
20
4.4. Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan model analitik yang dikembangkan oleh Baranov (1914), Thompson dan Bell (1934) dan Beverton dan Holt (1957) yang membutuhkan data komposisi umur hasil tangkapan sebagai data masukan. Model ini dikembangkan dengan pendekatan: 1.
Jika “terlalu sedikit ikan tua” maka stok sudah “lebih tangkap” dan tekanan penangkapan terhadap stok tersebut harus dikurangi.
2.
Jika “terlalu banyak ikan tua” maka stok masih underfished dan masih lebih banyak lagi ikan yang dapat ditangkap untuk memaksimalkan hasil. Data komposisi umur diduga melalui data frekuensi panjang, dengan
tahapan penelitian sebagai berikut: 4.4.1. Penentuan Sumber Data Data primer dalam penelitian ini adalah data morfometri ikan pedang yang diambil pada kurun waktu bulan Maret 2011 sampai dengan Desember 2014. Pengambilan data dilakukan oleh pemantau ilmiah dalam koridor Program Observasi Ilmiah Loka Penelitian Perikanan Tuna. Sedangkan data sekunder diambil dari pengamatan harian pendaratan ikan tuna dan sejenisnya di Pelabuhan Benoa pada kurun waktu 2002 sampai dengan 2014 dan data pemantau ilmiah Loka Penelitian Perikanan Tuna tahun 2005 – 2014.
21
4.4.2. Variabel Penelitian Variabel utama yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1.
Panjang Jenis ukuran panjang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah 1) Panjang dari ujung rahang bawah ke ujung lekukan tengah sirip ekor (LJFL); Panjang dari mata ke ujung lekukan tengah sirip ekor (EFL); Panjang dari pangkal sirip dada ke ujung lekukan tengah sirip ekor (PFL) (Gambar 4.2).
Gambar 4.2. Variasi metode pengukuran pada ikan berparuh. Keterangan: PFL : Pectoral Fork Length EFL : Eye-Fork Length LJFL : Lower Jaw-Fork Length 2.
Berat Berat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berat setelah dilakukan pemrosesan di mana ikan pedang dipotong pada bagian kepala, insang dan isi perut dibuang serta semua sirip dipotong. Pengambilan data berat dilakukan pada saat ikan di daratkan di pelabuhan, hal ini dikarenakan kapal rawai tuna tidak dilengkapi dengan timbangan.
22
3.
Umur dan Pertumbuhan Pertumbuhan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu (Effendie 1997). Sedangkan umur adalah waktu yang dibutuhkan ikan untuk tumbuh.
4.
Mortalitas Mortalitas
yang
dimaksud
dalam
penelitian
ini
adalah
mortalitas
penangkapan, yang mana kematian diakibatkan oleh penangkapan serta mortalitas alami yakni kematian yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua 5.
Laju Eksploitasi Laju eksploitasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagian suatu kelompok umur yang ditangkap selama ikan tersebut hidup.
4.4.3. Objek Penelitian Objek penelitian adalah ikan pedang. Sampel berasal dari pengukuran langsung maupun hasil pendaratan armada rawai tuna Indonesia yang beroperasi di Samudera Hindia. 4.4.4. Pengambilan data hasil tangkapan (insitu) Prosedur pengambilan data hasil tangkapan mengacu pada IOTC Regional Observer Scheme – Draft Observer Manual (IOTC, 2010), yakni di mana urutan prosedur pengambilan data dibagi menjadi beberapa tahapan:
23
1.
Mencatat data kapal dan alat tangkap secara rinci Informasi ini termasuk rincian trip (trip id) dan data kapal (no. surat izin, tanda selar, nama fishing master, radio call sign, anak buah kapal, peralatan elektronik, alat tangkap)
2.
Mencatat informasi hasil tangkapan Informasi rincian hasil tangkapan termasuk di dalamnya adalah: a)
Posisi Pancing Mencatat koordinat posisi pancing untuk masing-masing ikan yang tertangkap, baik pada saat setting maupun hauling.
b) Kode Spesies Kode spesies yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kode Spesies FAO (Food and Agricultural Organization). c)
Kode Kondisi Ikan – Tertangkap Mencatat kondisi ikan tertangkap ketika sudah berada dalam dek, ikan yang dilepas sebelum berada di atas dek tidak dicatat.
d) Kode Kondisi Ikan – Dilepas Mencatat kondisi ikan yang tertangkap dan dilepas ke laut dari kapal ataupun dari mata pancing sebelum branch line di tarik ke kapal (hauling). e)
Jenis Ukuran Panjang Jenis ukuran panjang yang diukur adalah panjang standar (LJFL) ditambah dengan pengukuran panjang non standar (EFL dan PFL).
24
f)
Cara Pengukuran Metode
pengukuran
melengkung
(curve
tape
measurement)
menggunakan tape atau meteran tukang (steel) dengan ketelitian 0,5 cm. g) Jenis Pemrosesan Mencatat jenis pemrosesan yang dilakukan pada ikan, seperti: hasil tangkapan utuh (tidak diproses), tanpa kepala dan atau tanpa ekor, tanpa insang dan tanpa sirip dan seterusnya. h) Jenis kelamin Jenis kelamin ikan berparuh diketahui dengan cara mengamati ketika ikan diproses di atas dek kemudian bagian gonad diidentifikasi secara visual dan dibedakan menjadi: Jantan (M), betina (F) dan tak tercatat/tak diketahui (pooled sex) 4.4.5.
Analisis Hubungan Morfometrik
4.7.2.1.
Model Empiris Konversi Ukuran Panjang
Data morfometrik (LJFL, EFL, dan PFL) diukur dengan ketelitian 1 cm. Ketiga ukuran panjang tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural (ln) kemudian di plot ke dalam Ordinary Least Square model (OLS) dengan LJFL sebagai variabel tetapnya (Morato et al, 2001). Model yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar data morfometrik ikan berparuh adalah Y = β0 + β1X1 + ε, dimana β0 adalah intercept/perpotongan sumbu tegak, β1 merupakan slope/kemiringan dan ε adalah galat. Signifikansi antar jenis kelamin diuji dengan t-test untuk membandingkan slope pada 2 sampel independen (Zar, 1996 dalam Morato et al, 2001). Apabila
25
tidak ada signifikansi antar keduanya, data LJFL, EFL dan PFL dihitung kembali untuk mendapatkan persamaan regresi linier campuran (pooled sex). Signifikansi model regresi diuji dengan Analysis of Variance (ANOVA) dengan hipotesis H0: β=0 dan H1: β≠0 (Zar, 1996 dalam Morato et al, 2001). Data diolah dengan menggunakan software Minitab® release 14.12.0. Sedangkan analisis grafik menggunakan Microsoft® Excel® for mac, version 2011. 4.7.2.2.
Analisis Hubungan Panjang – Berat
Berat dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan sebagai pangkat tiga. Namun sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbedabeda sehingga untuk menganalisis hubungan panjang-berat masing-masing spesies ikan pedang digunakan persamaan sebagai berikut: W (GGT) = α L (PFL) b
(1)
Dimana, W
: Berat setelah diproses (kg)
L
: Panjang setelah diproses (cm)
α dan b : Parameter yang dicari Untuk mendapatkan persamaan linier atau garis lurus digunakan persamaan sebagai berikut : Ln W = Ln a + b Ln L Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t (uji parsial), dengan hipotesis :
(2)
26
H0 : b = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik. H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah alometrik, dimana: Alometrik positif, jika b>3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang) dan negatif, jika b<3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat).
thitung =
(3) Dimana, βi
: nilai b dari regresi panjang-berat
Sb
: simpangan koefisien b
Setelah itu dibandingkan nilai thitung dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Kemudian untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, kaidah keputusan yang diambil adalah : thitung > ttabel : Tolak hipotesis nol (H0) thitung < ttabel : Gagal tolak hipotesis nol (H0) 4.4.6. Estimasi Umur dan Pertumbuhan Pertumbuhan ikan ditentukan dengan cara mengukur laju perubahan ukuran (bagian tubuh) ikan berdasarkan perubahan waktu, dalam penelitian adalah pertambahan panjang dan pertambahan berat. Selain itu pertumbuhan juga bisa ditentukan dengan mengukur pertambahan jumlah populasi, pertambahan ukuran otolith, sisik, operculum atau bagian tubuh lainnya dihubungkan dengan umur ikan (Sparre dan Venema, 1999; Pauly, 1984).
27
4.7.3.1. von Bertalanffy Growth Function Model (L∞, K) dan t0 Tserpes dan Tsimenides (1995) telah menunjukkan bahwa VBGF maupun Chapman's Model (Chapman, 1961) dapat mendiskripsikan pertumbuhan ikan pedang dengan sama baiknya dengan kisaran data panjang yang ada. Bahkan VBGF model memberikan prediksi panjang asimtotik yang jauh lebih baik daripada Chapman's Model, dimana menurut studi yang dilakukan oleh Valeiras (2008) Chapman’s Model mempunyai kecenderungan memberikan prediksi yang terlalu tinggi terhadap panjang asimtotik. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan VGBF standar dengan persamaan sebagai berikut: Lt = L∞ (1-e-K(t-t0))
(4)
Dimana, Lt
: Panjang (LJFL) pada umur t;
L∞
: Panjang asimtotik;
K
: Koefisien pertumbuhan;
t
: Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai panjang tertentu;
t0
: Umur teoritis pada saat panjang sama dengan 0. Data panjang ikan pedang dikonversi ke ukuran standar (LJFL) dengan
menggunakan persamaan regresi yang diperoleh dari analisis hubungan morfometrik. Setelah itu ditentukan distribusi frekwensinya dan dimasukkan ke dalam ELEFAN I model dengan menggunakan software FISAT II untuk menentukan panjang asimtotik (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K), kemudian nilai t0 ditentukan dengan persamaan empiris Pauly (1984), yakni: Log10 (-t0) = 0,3922 – 0,2752 (Log10 L∞ ) – 1,038 (Log10 K)
(5)
28
Length at age data dikalkulasi dengan program yang sama. Setelah semua parameter pertumbuhan diperoleh maka kurva pertumbuhan dari ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia dapat dibuat. 4.4.7. Penentuan Mortalitas Alami (M) dan Penangkapan (F) Mortalitas adalah kematian yang terjadi karena berbagai sebab, seperti: penangkapan, penyakit, stres, pemijahan, kelaparan, usia tua (Sparre dan Venema, 1999), serta predasi (Beverton dan Holt, 1957). Adapun laju mortalitas total (Z) ditentukan dengan metode length converted catch curves yang terdapat pada FISAT II melalui Z dari rata-rata panjang ikan yang tertangkap. Nilai mortalitas alami (M) diperoleh dengan rumus empiris dari Pauly (1984), yakni: Log10 M = -0,0066-0,279*Log10 L∞+ 0,6543*Log10 K+ 0,463*Log10T
(6)
Dimana, L∞
: Parameter pertumbuhan
T
: rata-rata suhu lingkungan perairan tahunan (°C) = 28,56°C (Yuniarti et al., 2013)
Berdasarkan hasil penghitungan kedua parameter tersebut, maka nilai kematian akibat penangkapan (F) dari ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia yang berbasis di Pelabuhan Benoa dapat ditentukan, dengan persamaan: F = Z-M
(7)
29
4.7.2. Penentuan Tingkat Laju Eksploitasi Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984): (8) Alur penelitian dimulai dari pengelompokan data awal menjadi data primer dan sekunder. Data primer adalah data aspek morfometrik ikan pedang hasil pengukuran secara insitu di lapangan, sedangkan data sekunder adalah hasil pengamatan harian ikan pedang mulai tahun 2002 sampai 2014. Data aspek morfometrik digunakan untuk mencari konversi antar ukuran panjang non standar (PFL dan EFL) ke standar (LJFL) sehingga hasil konversi tersebut dapat digunakan untuk menstandarisasi ukuran panjang. Data hasil konversi ukuran panjang kemudian di plot ke distribusi spasiotemporal dan frekuensi ukuran panjang. Data konversi juga digunakan untuk menganalisa umur dan pertumbuhan dengan menggunakan sofware FISAT II. Hasil analisa kemudian digunakan untuk mencari nilai mortalitas dan laju eksploitasi. Sedangkan data hasil pendaratan ikan pedang dari tahun 2002 – 2014 digunakan untuk mencari hubungan panjang berat dan pola pertumbuhan. Keseluruhan parameter tersebut digunakan untuk menganalisa dinamika populasi ikan pedang di Samudera Hindia.
30
Pengumpulan data awal
Data Sekunder
Data Primer
Data pengamatan harian pendaratan ikan (2002-2014)
Data morfometrik ikan pedang
Panjang (PFL) dan berat (GGT)
LJFL, PFL, EFL Konversi
Regresi linier panjang-berat
Plot ke distribusi Spasio-temporal
Analisis Umur dan pertumbuhan (FISAT II)
Pola pertumbuhan Pengelompokan berdasarkan ukuran panjang
Status umur dan pertumbuhan
Mortalitas dan laju eksploitasi
Dinamika populasi ikan pedang di Samudera Hindia
Gambar 4.3. Diagram alir penelitian.
VBGF model
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1. Aspek Biologi Ikan Pedang 5.1.1. Daerah Penangkapan Ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia berada pada area antara 50 LU – 350 LS dan 750 – 1350 BT (Gambar 5.1). Total terdapat 8.603 ekor ikan pedang yang berhasil di data selama kurun waktu 2002 – 2014, 7.967 ekor berasal dari program pengamatan harian pendaratan ikan di Pelabuhan Benoa (2002-2014), sedangkan sisanya (636 ekor) berasal dari program Pemantau Ilmiah Loka Penelitian Perikanan Tuna (2005-2014).
Gambar 5.1.
Peta daerah penangkapan ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia selama kurun waktu 2005 – 2014. 31
32
5.1.2. Distribusi spasial dan temporal CPUE (Catch per Unit of Effort) ikan pedang. Distribusi CPUE yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia terkonsentrasi pada koordinat antara 10 - 150 LS dan 110 – 1200 BT (Gambar 5.2) dengan kisaran antara 0,04 – 1,06 ikan/100 pancing. Rata-rata CPUE bulanan tertinggi didapatkan pada bulan Juni sebesar 0,15 ikan/100 pancing sedangkan terendah didapatkan pada bulan Desember sebesar 0,08 ikan/100 pancing (Gambar 5.3). Rata-rata CPUE tahunan tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 0,16 ikan/100 pancing dan terendah pada tahun 2005 sebesar 0,08 ikan/100 pancing (Gambar 5.4) dengan kecenderungan terus naik dari tahun ke tahun.
Gambar 5.2.
Distribusi spasial CPUE ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia pada kurun waktu 2005 – 2014 berdasarkan lintang (kiri) dan bujur (kanan).
33
CPUE (ikan/100 pancing)
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00 Jan
Feb Mar Apr Mei Jun
Jul
Aug Sep Okt Nop Des
Bulan
Gambar 5.3.
Distribusi bulanan rata-rata CPUE ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia pada kurun waktu 2005 – 2014.
CPUE (ikan/100 pancing)
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun
Gambar 5.4.
Distribusi rata-rata CPUE ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia pada kurun waktu 2005 – 2014.
34
5.2. Aspek Morfometrik Ikan Pedang 5.2.1. Hubungan antara LJFL, EFL dan PFL Total terdapat 15 trip observasi laut dari kurun waktu Maret 2011 sampai dengan Desember 2014. Sampel yang berhasil dikumpulkan berjumlah 173 ekor, terdiri dari 27 ekor ikan pedang jantan, 20 ekor betina dan 126 lainnya tak tercatat jenis kelaminnya ataupun belum bisa diidentifikasi. Tabulasi panjang maksimum, minimum dan rata – rata berbagai macam ukuran panjang berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Kisaran (minimum dan maksimum) dan rata-rata panjang ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia selama bulan Maret 2011 – Desember 2014.
Minimum
Maksimum
Rata-rata
Jantan Betina Campur Jantan Betina Campur Jantan Betina Campur
Ikan Pedang LJFL (cm) EFL (cm) PFL (cm) 58,0 48,0 40,0 76,0 67,0 56,0 50,0 40,0 30,0 254,0 230,0 190,0 252,0 232,0 197,0 254,0 232,0 197,0 164,7 145,7 121,9 158,8 143,1 115,2 132,7 116,7 96,6
Persamaan regresi linear antara LJFL, EFL, dan PFL ikan pedang jantan, betina maupun campur signifikan (P < 0,01) dengan nilai R2 lebih besar dari 0,97. Hasil uji t-test terhadap korelasi persamaan regresi linear antara ikan pedang jantan dan betina menunjukkan bahwa signifikasi antar keduanya tidak berbeda nyata (P > 0,05) oleh karenanya data LJFL, EFL, dan PFL pada tiap jenis kelamin dan yang tak teridentifikasi dihitung kembali sehingga didapatkan persamaan regresi linear seperti terlihat pada Gambar 5.5 berikut:
35
300
A
250 Betina LJFL = 1,2894*PFL + 10,21 R² = 0,98779; P<0,01
LJFL (cm)
200 150
Jantan LJFL = 1,227*PFL + 15,139 R² = 0,97178; P<0,01 Campur LJFL = 1,2459*PFL + 12,357 R² = 0,97521; P<0,01
100 50 0 0
50
100
150
200
250
PFL (cm) 300
B
250
LJFL (cm)
200
Betina LJFL = 1,0594*EFL + 7,2059 R² = 0,9959; P<0,01 Jantan LJFL = 1,0581*EFL + 10,614 R² = 0,99474; P,0.01 Campur LJFL = 1,0587*EFL + 9,1652 R² = 0,98868; P<0,01
150 100 50 0
0
50
100
150
200
250
EFL (cm) 300
C
250 EFL (cm)
200
Betina EFL = 1,2156*PFL + 3,0073 R² = 0,98943; P<0.01 Jantan EFL = 1,1577*PFL + 4,5102 R² = 0,97369; P<0,01 Campur EFL = 1,174*PFL + 3,286 R² = 0,98169; P<0,01
150 100 50 0 0
50
100
150
200
250
PFL (cm)
Gambar 5.5.
Hubungan antara LJFL dan PFL (A), LJFL dan EFL (B) serta EFL dan PFL (C) dari ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia dalam kurun waktu 2002 – 2014. (Keterangan: ----- = Betina; ....... = Jantan; ____ = Campur (Jantan+Betina)).
36
5.2.2. Distribusi ukuran panjang ikan pedang. Panjang rata-rata bulanan ikan pedang yang tertangkap berkisar antara 87,43 – 181,03 cm, dimana ikan pedang berukuran kecil dan belum matang gonad lebih banyak tertangkap pada periode akhir tahun 2007 sampai dengan awal tahun 2011, sedangkan ikan yang berukuran besar lebih banyak tertangkap setelahnya. Secara umum pola sebaran rata-rata panjang ikan pedang antara tahun 2002 dan 2014 relatif stabil dengan nilai rata-rata sebesar 158,72 cm (Gambar 5.6). Sebaran frekuensi panjang total antara tahun 2002 sampai dengan 2014 menunjukkan pola distribusi normal dimana nilai modus berimpitan dengan nilai Lm50 (panjang dimana 50% ikan tertangkap sudah matang gonad). Hal ini berarti 50% ikan pedang yang tertangkap antara tahun 2002 sampai dengan 2014 sudah pernah memijah (Gambar 5.7). Sebaran frekuensi panjang tahunan menunjukkan bahwa pergerakan modus tidak banyak berubah dari tahun ke tahun yakni antara 150 – 180 cm, kecuali pada tahun 2008 – 2009 dimana modus bergeser ke arah ukuran yang lebih kecil, yakni 90 – 100 cm (Gambar 5.8).
37
Panjang Rata-rata (LJFL, cm)
200 175 150 125 100 75 50 25 -
0 2002 2003 2004 2005
2006
2007 2008 2009 2010
2011
2012
2013
2014
Tahun
Gambar 5.6.
Panjang rata-rata ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia dalam kurun waktu 2002 – 2014; Garis putus-putus merupakan ambang batas Lm50 = 170 cm (IOTC, 2009).
Frekuensi (Jumlah Ikan)
900 800
N = 8,603
700 600 500 400 300 200 100 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300
0 Panjang (LJFL, cm)
Gambar 5.7.
Sebaran frekuensi panjang ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia pada kurun waktu 2002 – 2014, garis vertikal menunjukkan ambang batas Lm 50 = 170 cm (IOTC, 2009).
38
Gambar 5.8. Sebaran frekuensi panjang ikan pedang tahunan yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia pada kurun waktu 2002 – 2014, garis vertikal menunjukkan ambang batas Lm 50 = 170 cm (IOTC, 2009).
39
5.2.3. Hubungan Panjang – Berat Hubungan panjang – berat ikan pedang dinyatakan dengan persamaan fungsi power W (GGT) = 0,00003*PFL2,953, sedangkan persamaan linearnya adalah Ln W (GGT) = 2,953*Ln PFL – 10,35 dengan nilai R2 = 0,9436, analisa hubungan panjang-berat dilakukan melalui regresi non-linear (fungsi pangkat) kemudian ditransformasikan ke persamaan regresi linear dengan terlebih dahulu menghilangkan data-data pencilan (outliners) (Gambar 5.9). Pola pertumbuhan ikan pedang diduga bersifat alometrik negatif yang berarti pertumbuhan panjang lebih dominan daripada pertambahan berat ikan. Hal ini terlihat dari hasil uji t-test terhadap 1.773 spesimen dengan selang kepercayaan 95%; thitung > ttabel (2,833>1,962); b = 2,940. 180 W (GGT) = 3E-05*PFL2,953 R² = 0,9436 N = 1,773
160
Berat (GGT; kg)
140 120
100 80 60 40 20 0 70
90
110
130
150
170
190
Panjang (PFL; cm)
Gambar 5.9.
Hubungan panjang-berat ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia dalam kurun waktu 2002 – 2014.
40
5.2.4. Nisbah Kelamin Total terdapat 517 ekor sampel ikan pedang yang dapat diidentifikasi jenis kelaminnya, terdiri dari 239 jantan dan 278 betina (Gambar 5.10). Perbandingan nisbah kelamin betina dan jantan adalah 1:1,16, hasil uji Chi-Square menyatakan bahwa perbandingan antar keduanya tidak berbeda nyata dimana nilai X 2 hitung (0,183) < dari nilai X2 (α = 0,05; db = 1) yakni (3,84). Hal ini menunjukkan bahwa proporsi jantan dan betina adalah 1:1.
25
■ Jantan n = 239 □ Betina n = 278
Jumlah (ekor)
20 15 10 5
60 75 90 105 120 135 150 165 180 195 210 225 240 255 270 285 300 315 330 345 360
0 Kelas Panjang (cm)
Gambar 5.10. Sebaran frekuensi ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia dalam kurun waktu 2005 – 2014 berdasarkan jenis kelamin. 5.3. Parameter Pertumbuhan Ikan Pedang 5.3.1. Estimasi Umur dan Pertumbuhan Berdasarkan non-parametric scoring of VBGF fit (Rn) menggunakan ELEFAN I yang terdapat pada program FISAT II, diperoleh nilai koefisien pertumbuhan (K) = 0,12; panjang asimtotik (L ) = 302,4 cm (Lampiran 1).
41
Setelah kedua parameter tersebut diketahui maka nilai t 0 dapat diketahui melalui persamaan Pauly (1984) dimana dari hasil perhitungan didapatkan nilai t 0 = -0,76. Nilai koefiesien pertumbuhan (K) sebesar 0,12 menujukkan bahwa ikan pedang bertipe slow growth dengan laju pertumbuhan 0,12/tahun. Panjang asimtotik (L ) sebesar 302,4 cm artinya bahwa secara teoritis panjang ikan pedang berhenti tumbuh pada ukuran tersebut walaupun umurnya terus bertambah. Sedangkan nilai to = -0,76 artinya bahwa umur ikan pedang (semu) atau secara teoritis pada panjang 0 cm diduga sebesar -0,76 tahun. Ketiga parameter pertumbuhan tersebut kemudian disubstitusikan ke persamaan von Bertalanffy sehingga didapatkan hasil Lt = 302,4 (1 - e -0,12 (t+0,760245)), yang kemudian dilakukan kalkulasi mundur untuk mengetahui grafik perbandingan umur dan pertumbuhan ikan pedang (Gambar 5.11). Grafik tersebut menujukkan bahwa secara teoritis ikan pedang membutuhkan waktu 30 tahun lebih untuk mencapai panjang asimtotiknya. Pertumbuhan cepat di awal-awal tahun (4-6 tahun pertama) kemudian melambat pada tahun-tahun berikutnya.
42
350 Panjang Cagak (cm)
L ∞ = 302,4 cm 300 250 200 150 100
Lt = 302,4 (1 - e -0,12 (t+0,76025))
50
30
28
26
24
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0 Umur (tahun)
Gambar 5.11. Kalkulasi mundur length at age (LJFL) dan kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia dalam kurun waktu 2002 – 2014. 5.3.2. Mortalitas Alami (M), Mortalitas akibat Penangkapan (F) dan Mortalitas Total (Z). Berdasarkan nilai K dan L∞ yang diperoleh dari ELEFAN I maka nilai M (mortalitas alami) dapat dicari dengan menggunakan persamaan empiris Pauly yakni Log10 M = -0,0066-0,279*Log10 L∞+ 0,6543*Log10K+0,463*Log10T. Dari perasamaan tersebut didapatkan nilai mortalitas alami sebesar 0,24/tahun dengan asumsi suhu rata-rata perairan Samudera Hindia bagian timur sebesar 28,560 C. Dengan menggunakan metode length-converted catch curve yang terdapat pada FISAT II, maka didapatkan nilai mortalitas total (Z) sebesar 0,52/tahun, dan nilai mortalitas akibat penangkapan (F) sebesar 0,28/tahun (Gambar 5.12). Laju mortalitas akibat penangkapan pada penelitian ini sedikit lebih besar daripada laju mortalitas alaminya, hal ini menunjukkan bahwa faktor kematian ikan pedang lebih besar disebabkan oleh kegiatan penangkapan.
43
5.3.3. Tingkat Laju Eksploitasi (E) Nilai tingkat laju eksploitasi ikan pedang (E) didapatkan dengan cara membagi antara nilai F (laju mortalitas akibat penangkapan) dan Z (nilai laju mortalitas total), yakni sebesar 0,55. Hal ini berarti 55% populasi ikan pedang di perairan Samudera Hindia telah dieksploitasi. Nilai tersebut juga berarti bahwa laju eksploitasi ikan pedang sudah optimum/padat tangkap karena nilai E ≈ 0,5.
Gambar 5.12. Kurva hasil tangkapan yang dikonversikan ke panjang (LJFL) untuk menduga nilai mortalitas yang dihitung dari parameter persamaan pertumbuhan von Bertalanffy pada suhu rata-rata 28,60 C. Keterangan: Z=mortalitas total; M=mortalitas alami; F=mortalitas akibat penangkapan; E=tingkat laju eksploitasi; titik hitam= titik data dalam kurva yang digunakan dalam regresi.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Distribusi Spasial-Temporal Ikan Pedang Daerah penangkapan seperti terlihat pada Gambar 5.1 terkonsentrasi di selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (70-150 LS dan 1050-1200 BT). Daerah tersebut masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Samudera Hindia bagian timur, khususnya selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara dinyatakan sebagai daerah pemijahan penting bagi tuna sirip biru selatan dan beberapa spesies tuna dan sejenisnya (Proctor et al., 2003; Stéquert dan Marsac, 1989). Sebaran daerah penangkapan selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2014 juga merefleksikan perkembangan armada rawai tuna di Indonesia, dimana mulai tahun 1973 sampai dengan awal tahun 2000, operasi penangkapan di dominasi oleh PT. Perikanan Samodra Besar (sekarang menjadi PT. Perikanan Nusantara) (Sadiyah et al., 2011). Setelah masuknya armada Taiwan dan Jepang, kompetisi di daerah penangkapan tersebut menjadi sangat ketat. Penambahan upaya pada daerah dengan sumberdaya relatif sama akan menurunkan hasil tangkapan per upaya (CPUE), sehingga pada perkembangannya kapal-kapal rawai tuna akan mencari daerah-daerah penangkapan yang baru di luar ZEE (Saputra et al., 2011). Distribusi spasial CPUE Ikan pedang (Gambar 5.2) menunjukkan pola konsentrasi yang sama dengan tuna mata besar (Jatmiko et al., 2014) yang tertangkap oleh rawai tuna dalam (deep longline) dengan waktu set malam hari. Diduga ikan pedang sebagian merupakan hasil tangkapan sampingan dari 44
45
perikanan rawai tuna dengan target tuna mata besar. Hal ini terjadi karena keduanya mempunyai karakter pergerakan vertikal yang sama, dimana cenderung berada di permukaan pada waktu malam hari dan berenang ke tempat yang lebih dalam pada siang hari (Carey dan Robinson, 1981; Musyl et al., 2003). Distribusi temporal rata-rata CPUE bulanan (Gambar 5.3) menujukkan bahwa ikan pedang lebih banyak tertangkap antara bulan Juni – Juli, kemudian relatif menurun sesudahnya. Penurunan CPUE sesudah bulan September diduga terkait dengan musim pemijahan yang berada di antara bulan Oktober sampai dengan April (Kroese, 2000; Poisson dan Marjolet, 2001) sehingga ikan pedang akan bermigrasi ke daerah dengan preferensi suhu di atas 240 C dan tingkat klorofil-a di bawah 0.2 μg L−1 yang berada pada area di antara 100 – 200 LS (Young et al., 2003). Selain itu penurunan CPUE juga diduga terkait oleh kebiasaan makan, yang mana ikan pedang dewasa akan bermigrasi ke perairan yang lebih dingin pada musim panas untuk makan dan kembali ke perairan tropis yang lebih hangat di musim dingin (Nakamura, 1985). Anomali yang terjadi pada bulan Januari diduga merupakan bias (outliners) dikarenakan karakteristik angin muson barat yang menimbulkan cuaca buruk dan gelombang yang besar, yang berimbas armada rawai tuna pada bulan-bulan tersebut jarang melakukan aktivitas, sehingga ketika upaya penangkapan menurun maka nilai CPUE akan naik seiring dengan hasil tangkapan. Distribusi rata-rata CPUE tahunan (Gambar 5.4) menunjukkan kecenderungan nilai rata-rata CPUE yang terus meningkat sepanjang tahun. Lonjakan (bump) nilai CPUE pada tahun 2009 diduga karena efek moderate el nino yang terjadi di Samudera Hindia bagian timur. Hal ini
46
mengakibatkan suhu laut menjadi lebih dingin, sehingga ikan-ikan bernilai ekonomis tinggi, yang mempunyai habitat perairan laut dalam seperti ikan tuna dan sejenisnya akan berenang mendekati permukaan laut untuk mencari preferensi suhu yang lebih hangat (Syahbuddin, 2000; Amri dan Satria, 2013) sehingga akan lebih mudah tertangkap oleh armada rawai tuna. Di Indonesia, musim penangkapan dipengaruhi oleh hujan yang berhubungan dengan angin musim barat/timur. Angin bertiup dari tenggara antara bulan Maret dan September ketika suhu mulai turun, hal ini menyebabkan terjadinya fenomena upwelling yang mengakibatkan tingkat klorofil-a meningkat. Pada bulan-bulan ini biasanya nelayan mulai melaut. Sebaliknya, dari bulan Oktober sampai dengan Februari, ketika angin berhembus dari barat daya ke barat laut, suhu mulai meningkat dan konsentrasi klorofil-a menurun (Susanto et al., 2001; Surinati, 2009; Wiyono et al., 2006). Seiring dengan menurunnya tingkat klorofil-a sebagai parameter produktivitas perairan, maka kelimpahan plankton dan zooplankton sebagai produsen primer juga akan berkurang sehingga ikan akan bermigrasi ke lokasi dimana sumber makanan lebih melimpah. Hal ini secara tidak langsung mengakibatkan produktivitas perikanan juga menurun. 6.2. Korelasi antara Komposisi Ukuran, Parameter Morfometrik, dan Nisbah Kelamin Ikan Pedang Semakin banyak data ukuran panjang yang didapatkan dengan kisaran yang lebar, maka akan berpengaruh terhadap validitas dari model itu sendiri, terutama terhadap model yang disajikan akan mewakili semua ukuran kelas panjang dan menghindari adanya underestimate maupun overestimate (Prager et al., 1995).
47
Model persamaan empiris konversi antar ukuran panjang pada penelitian ini mempunyai validitas yang kuat (P<0,01) (Gambar 5.5). Walaupun jumlah sampel relatif sedikit, sebaran titik regresi mempunyai rentang yang lebar, dimana kisaran panjang sampel antara 58 – 254 cm. Model yang digunakan juga sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya (lihat Sun et al., 2002; IOTC, 2013) dimana proyeksi garis regresi berhimpitan dan memberikan nilai estimasi konversi yang hampir sama (Gambar 6.1).
Gambar 6.1.
Perbandingan model persamaan empiris konversi antar ukuran panjang dari beberapa referensi (Keterangan: konversi antara EFL ke LJFL (kiri), dan konversi antara PFL ke LJFL (kanan)).
Aspek morfometrik dipengaruhi oleh morfologi ikan. Beberapa penelitian melaporkan adanya dimorfisme seksual pada ikan pedang (DeMartini et al., 2007; Sun et al., 2010), dan ikan jantan tumbuh lebih lambat dari betina serta mencapai panjang asimtotik yang lebih rendah daripada betina (FAO, 2013). Pada penelitian ini, hasil uji t-test terhadap korelasi persamaan regresi linear antara perbedaan pengukuran panjang dengan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P > 0,05). Hal ini diduga karena kelompok ikan berparuh, khususnya ikan pedang mempunyai tubuh yang ramping dan panjang sehingga perbedaan pengukuran yang digunakan dalam metode ini sangat kecil dan dapat diabaikan.
48
Hal ini dibuktikan oleh Lee dan Scott (1992) di mana estimasi parameter persamaan konversi ukuran panjang untuk ikan pedang berdasarkan pengukuran melengkung tidak berbeda secara signifikan (P <0,05) dengan pengukuran lurus. Berbeda halnya dengan tuna mata besar ataupun sirip biru selatan di mana ketika dewasa, bentuk tubuh betina lebih besar dan gempal daripada jantan. Sehingga walaupun terdapat fenomena dimorfisme akan tetapi hal tersebut tidak berpengaruh pada aspek morfometrinya. Hal yang sama juga disampaikan oleh Su et al. (2005) di perairan lepas pantai Taiwan. Tidak adanya signifikansi hubungan morfometrik dengan jenis kelamin menunjukkan bahwa model konversi untuk ikan pedang dengan jenis kelamin campur (jantan, betina, dan tak teridentifikasi) dapat digunakan secara keseluruhan pada semua jenis kelamin (Gambar 5.5). Hal ini akan memudahkan peneliti dalam rangka pengambilan data, terutama apabila menemukan kondisi di mana jenis kelamin tidak dapat diidentifikasi atau diketahui. Data tersebut juga dapat digunakan untuk mengonversi dari data-data panjang sebelumnya yang didapatkan dalam berbagai macam ukuran yang tidak standar, seperti halnya data frekuensi panjang hasil dari pengamatan di tempat-tempat pendaratan ikan. Data frekuensi panjang merupakan salah satu komponen penting dalam merekonstruksi data tangkapan per ukuran (catch-at-size) untuk keperluan kajian stok (Herrera dan Pierre, 2011). Adanya indikasi tekanan penangkapan dapat dilihat dari pergerakan nilai panjang rata-rata ikan pedang yang tertangkap pada kurun waktu tertentu. Pada penelitian ini panjang rata-rata antara tahun 2002 – 2014 relatif stabil dengan kisaran panjang 34 – 287 cm dan rata-rata 158,72 cm
49
(Gambar 14). Nilai ini lebih tinggi daripada yang dilaporkan oleh Varghese et al. (2013) di perairan India, sebesar 103,90 cm maupun di Laut Mediterania sebelah timur, sebesar 94,90 cm (Akyol dan Ceyhan, 2013). Akan tetapi lebih rendah dibandingkan di Pasifik Utara, sebesar 174,92 cm (Valeiras et al., 2008). Perbedaan nilai panjang rata-rata ikan pedang di Samudera Pasifik, Laut Mediternia, dan Samudera Hindia diduga akibat adanya variasi pola pertumbuhan, mengingat lokasi-lokasi tersebut telah diidentifikasi menjadi unit-unit populasi yang berbeda berdasarkan studi genetik (Cerna, 2006). Setidaknya terdapat 5 stok ikan pedang di dunia: Atlantik Utara, Atlantik Selatan, Laut Mediterania, Pasifik dan Samudera Hindia (Chow et al., 1997). Walaupun terdapat dugaan adanya stok yang terpisah antara Samudera Hindia bagian barat dan timur, akan tetapi berdasarkan studi genetik dan otolith, ikan pedang di Samudera Hindia merupakan sebuah stok tunggal (Mahe et al., 2014). Stabilitas nilai rata-rata panjang ikan pedang yang tertangkap mengindikasikan bahwa area Samudera Hindia bagian timur diduga merupakan satu kohort yang didominasi oleh ukuran 170 -175 cm (Gambar 5.7), dimana ukuran tersebut adalah ukuran pertama kali matang gonad (Lm50). Hubungan panjang-berat ikan pedang bersifat alometrik negatif (Gambar 5.9), yang berarti penambahan panjang lebih cepat daripada penambahan berat. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Akyol dan Ceyhan, 2013) di Laut Mediterania bagian timur, Samudera Pasifik Selatan sebelah timur lepas pantai Cili (Cerna, 2006), Perairan Taiwan (Sun et al., 2010), maupun Perairan India (Varghese et al., 2013) yang semuanya menunjukkan indikasi
50
alometrik positif. Hubungan panjang-berat merupakan komponen penting dalam ilmu perikanan dan dapat digunakan pada beberapa aplikasi, seperti: 1) estimasi nilai biomass dari data panjang; 2) estimasi faktor kondisi ikan; dan 3) membandingkan diantara perbedaan siklus hidup dan morfologi pada ikan yang sama pada daerah yang berbeda (Pauly, 1993; Petrakis dan Stergiou, 1995). Rasio jantan dan betina pada penelitian – penelitian sebelumnya lebih tinggi daripada yang didapatkan pada penelitian ini, yakni 1:1 (Gambar 5.10). Rasio ikan betina dengan jantan di lepas pantai selatan California sebesar 2,94: 1 (nisbah kelamin 0,75) (Weber dan Goldberg, 1986); 2,3: 1 (nisbah kelamin 0,70) untuk ikan pedang yang tertangkap oleh perikanan Kanada di Atlantik Utara sebelah barat (Stone dan Porter 1997); dan 2,25: 1 (nisbah kelamin 0,69) untuk ikan pedang yang tertangkap di Australia Selatan (ZEE Australia) (Young et al., 2000). Pada penelitian ini rasio jenis kelamin betina dan jantan adalah 1:1,16 (278 betina dan 239 jantan, nisbah kelamin 0,54), nilai ini serupa dengan hasil penelitian DeMartini et al. (2000) di Hawaii sebesar 0,53. Hubungan antara nisbah kelamin dan ukuran badan (morfometrik) dapat dijadikan dasar untuk merekonstruksi komposisi jenis kelamin dari data hasil tangkapan (Wang et al., 2010). Stone dan Porter (1997) menggunakan persamaan regresi linear untuk menggambarkan pola antara nisbah kelamin dan panjang untuk ikan pedang yang tertangkap oleh armada Kanada di Atlantik Utara sebelah barat, sedangkan DeMartini et al. (2000) menggunakan model yang berdasarkan regresi non-linear (fungsi pangkat) pada ikan pedang yang tertangkap oleh perikanan rawai yang berbasis di Hawaii.
51
6.3. Parameter Populasi dan Laju Eksploitasi Ikan Pedang Ikan pedang mempunyai tipe pertumbuhan yang lambat, akan tetapi pada awal-awal tahun perkembangannya bisa tumbuh dengan cepat (Ehrhardt, 1992), dalam penelitian ini ikan pedang dapat mencapai panjang 57,58 cm hanya dalam waktu 1 tahun (Gambar 5.11). Bahkan pada penelitian sebelumnya dilaporkan dapat tumbuh sepanjang 74 cm pada enam bulan pertama (Megalofonou et al., 1995) dan 90 - 100 cm pada umur satu tahun (Sun et al., 2002; Young dan Drake, 2004). Nilai koefisien pertumbuhan dalam penelitian ini (0,12/thn) sedikit lebih kecil dibandingkan dengan Varghese et al. (2013) di perairan Laut India dan Wang et al. (2010) di barat dan timur Samudera Hindia. Model dalam penelitian ini tidak diverifikasi dengan model-model lain yang lebih dapat diandalkan, seperti penghitungan lingkaran tahun pada sirip anal maupun otolith, meskipun demikian estimasi nilai K dan L∞ yang diberikan tidak berbeda jauh dengan penelitian-penelitian sebelumnya pada spesies yang sama (Tabel 6.1). Tabel 6.1. Hasil beberapa penelitian mengenai umur dan pertumbuhan ikan pedang. Keterangan: Jenis kelamin campur terdiri dari jantan, betina dan tak teridentifikasi. L∞ K (cm) (1/thn) 252,196 0,133 283,600 0,150
263,500
-2,432 -2,090
Jenis Kelamin Campur Campur
Sirip anal Sirip anal
0,119
-2,270
Betina
Sirip anal
185,500
0,219
-1,968
Jantan
Sirip anal
321,000 279,000 300,660
0,133 0,158 0,040
-2,460 -2,650 -0,750
Betina Jantan Betina
Sirip anal Sirip anal Sirip anal
t0
Metode
Lokasi Laut Aegean Laut Mediterania bagian timur Laut Mediterania bagian barat Laut Mediterania bagian barat Chili Chili Taiwan
Referensi Aliçli dan Oray, 2001 Akyol dan Ceyhan, 2013 Valeiras et al., 2008
Valeiras et al., 2008
Cerna, 2006 Cerna, 2006 Sun et al., 2010
52
L∞ K (cm) (1/thn) 213,050 0,086 227,200 221,000 296,000 224,200 576,600 434,700
-0,626
Jenis Kelamin Jantan
Sirip anal
Taiwan
Sun et al., 2010
0,534 0,070 0,080 0,130 0,033 0,053
-2,410 -0,150 -3,700 -3,000 -4,550 -3,460
Betina Jantan Betina Jantan Campur Betina
Sirip anal Sirip anal Sirip anal Sirip anal Sirip Anal Sirip anal
Hawai Hawai Australia Australia Selandia Baru Selandia Baru
DeMartini, 2007 DeMartini, 2007 Young dan Drake, 2004 Young dan Drake, 2004 Griggs et al., 2005 Griggs et al., 2005
394,400
0,044
-5,860
Jantan
Sirip anal
Selandia Baru
Griggs et al., 2005
274,855
0,138
-1,998
Betina
Sirip anal
Wang et al., 2010
234,002
0,169
-2,181
Jantan
Sirip anal
311,110
0,170
-0,530
Betina
243,790
0,220
-0,370
Jantan
302,400
0,120
-0,760
Campur
Frekuensi Panjang Frekuensi Panjang Frekuensi Panjang
Samudera Hindia bagian timur laut dan barat laut Samudera Hindia bagian utara Perairan sekitar Laut India Perairan sekitar Laut India Samudera Hindia bagian timur
t0
Metode
Lokasi
Referensi
Wang et al., 2010
Varghese et al., 2013 Varghese et al., 2013 Studi ini
Metode yang paling mutakhir untuk melakukan estimasi umur dan pertumbuhan ikan pedang adalah dengan mengamati lingkar tahun yang terdapat dalam duri keras kedua dari sirip anal (Aliçli dan Oray, 2001; Valeiras et al., 2008; DeMartini, 2007; Sun et al., 2002; Young dan Drake, 2004; Wang et al., 2010; Cerna, 2006), hal ini dikarenakan ikan pedang mempunyai ukuran otolith yang terlalu kecil dan tidak terdapat adanya sisik (Megalofonou et al., 1995). Akan tetapi, bagi sebagian negara (termasuk Indonesia) hal tersebut masih sulit karena ikan pedang yang didaratkan sudah diproses (semua sirip dipotong, isi perut dibuang, dan bagian kepala dipotong) sehingga pengambilan sampel hanya dapat dilakukan oleh observer yang terlatih, ketiadaan sumberdaya manusia dan
53
peralatan analisis juga menjadi kendala. Metode lain yang dapat digunakan adalah dengan menganalisis data frekuensi panjang (Jennings, 2005; Blanchard et al., 2005), walaupun terlihat sederhana, hasil analisis data frekuensi panjang dapat menghasilkan estimasi yang cukup bagus (Kell et al., 2013). Nilai laju mortalitas alami (M) pada penelitian ini sebesar 0,24/tahun (Gambar 5.12), sedikit lebih tinggi daripada di perairan Chili sebesar 0,123/tahun (Barbieri et al. 1998) dan kepulauan Hawaii yakni sebesar masing-masing 0,20/tahun, 0,21/tahun (Yabe et al. 1959); Uchiyama et al. 1998). Sedangkan Griggs et al. (2005) di Perairan Seladia Baru menggunakan persamaan Hoenig untuk menentukan nilai M, dimana hasilnya tidak jauh berbeda yakni berkisar antara 0,21 – 0,28/tahun dengan estimasi terbaik sebesar 0,2/tahun. Nilai M akan sangat tergantung pada penyakit, stres, pemijahan, kelaparan, usia tua (Sparre dan Venema, 1999), serta predasi (Beverton dan Holt, 1957). Selain itu mortalitas penangkapan (F) juga berpengaruh terhadap nilai M, dimana kondisi stok dengan nilai F>M mengindikasikan adanya gejala eksploitasi yang berlebih. Mortalitas alami (M) adalah salah satu indikator yang paling berpengaruh dalam kajian stok dan manajemen perikanan karena berhubungan langsung dengan produktivitas stok, sumberdaya yang dapat diperoleh, nilai eksploitasi optimum dan titik acuan (Brodziak et al., 2011). Nilai M dapat digunakan untuk menganalisis hasil tangkapan dan menduga populasi yang dieksploitasi (Ricker, 1975 dalam Saputra, 2007). Akan tetapi nilai M juga merupakan salah satu parameter yang sulit untuk diestimasi. Beberapa model empiris dan teoritis telah digunakan untuk mengestimasi nilai M pada ikan dan invertebrata laut (Brodziak,
54
2009), salah satunya adalah melalui pendekatan dari Pauly (1983) berdasarkan asumsi bahwa nilai mortalitas ikan dipengaruhi oleh dinamika suhu tahunan. Konsep dasar pengelolaan perikanan yang berkelanjutan adalah melalui pendekatan kehati-hatian (precautionary approach), dalam penelitian ini parameter yang digunakan adalah laju mortalitas. Secara teoritis nilai F bisa didapatkan dengan cara mengurangkan nilai mortalitas total (Z) dengan nilai M. Nilai Z pada penelitian ini menggunakan pendekatan kurva hasil tangkapan yang dikonversikan ke panjang (length-converted catch curve) yang diperkenalkan oleh Pauly (1990) dengan asumsi bahwa rekruitmen dianggap tetap selama waktu pengamatan (Punt et al., 2013). Nilai Z sebesar 0,52/tahun, sehingga nilai mortalitas akibat penangkapan (F) sebesar 0,28/tahun (Gambar 5.12). Sebuah stok akan dikatakan dalam kondisi lebih tangkap atau tidak berdasarkan asumsi nilai optimal E (E opt)
0,5. Asumsi ini juga berarti bahwa
hasil yang berkelanjutan akan diperoleh ketika nilai F
M (Gulland, 1971).
Berdasarkan nilai F dan M yang telah diketahui maka didapatkan nilai laju eksploitasi (E) sebesar 0,55 (Gambar 5.12). Hal ini berarti tingkat laju eksploitasi ikan pedang di Samudera Hindia berdasarkan hasil tangkapan armada rawai tuna Indonesia berada pada kondisi padat tangkap (optimum) akan tetapi belum berada pada kondisi lebih tangkap. Hasil ini sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh IOTC (2014) yang menggunakan titik acuan MSY sebagai dasar model yang digunakan, yang mana menyatakan bahwa status stok ikan pedang di Samudera Hindia tidak berada pada kondisi lebih tangkap dan tidak menjadi subyek
55
eksploitasi yang berlebih, walaupun terjadi penurunan hasil tangkapan di sebelah barat Samudera Hindia. Walupun kondisi stok ikan pedang belum menjadi subyek eksploitasi yang berlebih akan tetapi tingkat laju eksploitasi berada pada kondisi padat tangkap sehingga potensi terjadinya kondisi lebih tangkap sangat tinggi terutama beberapa tahun mendatang. Permasalahan yang dihadapi adalah ikan pedang, seperti halnya ikan tuna sirip biru selatan merupakan hasil tangkapan sampingan dari perikanan rawai tuna, sehingga pengelolaannya lebih sulit untuk dilakukan. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi ukuran layak tangkap, yakni di atas 170 cm (LJFL) sehingga ikan pedang yang tertangkap tidak terlalu muda maupun terlalu tua. Hal ini dikarenakan individu betina yang berumur lebih tua (berukuran lebih besar) mempunyai masa pemijahan yang lebih awal dengan durasi yang lebih lama dibandingkan dengan individu betina yang lebih muda (lebih kecil), sehingga mempunyai peranan besar dalam suksesi rekruitmen ikan tersebut (Poisson dan Fauvel, 2009). Solusi lainnya adalah dengan membatasi ataupun moratorium ijin baru untuk kapal rawai tuna, mengingat total armada rawai tuna Indonesia yang terdaftar di IOTC per 26 Desember 2014 cukup besar yakni sebanyak 1.282 unit, dengan komposisi armada di atas 30 GT sebesar 1.040 unit (81,20%) (Irianto et al., 2014). Hal ini sudah dilakukan oleh Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia yang mana akan mempertahankan bahkan
56
mengurangi upaya penangkapan, lebih lanjut isi peraturan tersebut juga mencakup moratorium perpanjangan izin yang telah habis masa berlakunya, sehingga diharapkan selama moratorium berlaku rekruitmen
ikan pedang dapat terus
berlanjut sehingga kelangsungan sumberdaya dapat terus dipertahankan.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan Simpulan yang didapatkan pada penelitian dinamika populasi ikan pedang di Samudera Hindia adalah: 1. Model/persamaan empiris konversi panjang non-standar ke panjang standar dinyatakan dalam notasi linear: a. LJFL = 9,165 + 1,059*EFL b. LJFL = 12,357 + 1,246*PFL Beberapa parameter morfometrik ikan pedang yang diukur yakni panjang dari pangkal sirip dada ke ujung lekukan tengah sirip ekor (LJFL), panjang dari mata ke ujung lekukan tengah sirip ekor (EFL) dan panjang dari ujung rahang bawah ke ujung lekukan tengah sirip ekor (PFL) menunjukkan adanya korelasi yang signifikan (R2 > 0.97; P < 0,01), akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata antara morfometri ikan pedang dengan jenis kelamin (EFL-LJFL, P > 0,05 dan PFL-LJFL, P > 0,05). 2. Ikan pedang pada penelitian ini mempunyai tipe pertumbuhan lambat, dengan persamaan von Bertalanffy: Lt = 302,4 (1 - e
-0,12 (t+0,76025)
. Nilai Koefisien
pertumbuhan (K) = 0,12/tahun; t0 = -0,76025 tahun; panjang asimtotik (L∞) = 302,4 cm. 3. Laju mortalitas total (Z) sebesar 0,52/tahun dengan laju mortalitas alami
(M) sebesar 0,24/tahun dan laju mortalitas penangkapan (F) sebesar 0,28/tahun,
57
58
yang berarti kematian ikan pedang di Samudera Hindia bagian timur lebih banyak disebabkan oleh eksploitasi/penangkapan. 4. Tingkat laju eksploitasi (E) sebesar 0,55 (E≈0,5) yang berarti ikan pedang yang tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia berada pada kondisi padat tangkap. 7.2. Saran Walaupun hasil analisis umur dan pertumbuhan berdasarkan data frekuensi panjang dalam penelitian ini menghasilkan estimasi yang cukup bagus, akan tetapi disarankan untuk: 1. Melakukan verifikasi dengan menggunakan metode-metode analisis umur dan pertumbuhan yang lebih dapat diandalkan, seperti penghitungan lingkaran tahun pada sirip anal maupun otolith. 2. Menggunakan model pengkajian stok yang lebih kompleks seperti: ASPM, ASPIC, BBDM maupun SS3 sehingga dapat ditentukan model stok yang lebih mewakili untuk sumberdaya ikan pedang di Samudera Hindia.
DAFTAR PUSTAKA
Akyol, O and T. Ceyhan. 2013. Age and growth of swordfish (Xiphias gladius L.) in the Aegean Sea. Turk. J. Zool. 37: 59-64 Aliçli, T.Z. and I.K. Oray. 2001. Age and growth of swordfish (Xiphias gladius L., 1758) in the Eastern Mediterranean Sea. Col.Vol.Sci.Pap.ICCAT. 52(2): 698-707. Arikunto, 2007. Prosedur Rineka Aksara.
penelitian
suatu
pendekatan
praktik.
Jakarta:
Amandè, J.M., Ariz, J., Chassot, E., Chavance, P., Delgado, D.M.A., Gaertner, D., Murua, H., Pianet, R. and J. Ruiz. 2008. Bycatch and discards of the European purse seine tuna fishery in the Indian Ocean. Estimation and characteristic for the 2003-2007 period. Paper presented in Ecosystem and By-catch Working Group, 20 - 22 October 2008. Bangkok. Thailand. Amandè, M.J., Lennert-Cody, C.E., Bez, N., Hall, M. and A.C. Chassot. 2010. How much sampling coverage affects bycatch estimates in purse seine fisheries? IOTC-2010-WPEB-20. 16 p. Amri, K dan F. Satria. 2013. Impact of climate anomaly on catch composition of neritic tuna in Sunda Strait (eastern part of Indian Ocean). IOTC-2013WPNT03-14. 17 p. Arocha, F., Moreno, C., Beerkircher, L., Lee, D.W. and L. Marcano. 2003. Update on growth estimates for swordfish, Xiphias gladius, in the Northwestern Atlantic. Col.Vol.Sci.Pap.ICCAT. 55(4): 1416-1429 Baranov, F.I. 1914. The capture of Mater.Poznaniyu.Russ.Rybolov. 3(6): 56-99.
fish
by
gillnets.
Barbieri, M.A., Canales, C., Correa, V., Donoso, M., Casanga, A.G., Leiva, B., Montiel, A. and E. Yáñez. 1998. Development and present satate of the swordfish, Xiphias gladius, fishery in Chile. NOAA technical Report NMFS 142. 1-10 Baudron, A.R., Needle, C.L., Rijnsdorp, A.D. and T. Marshall. Warming temperatures and smaller body sizes: synchronous changes in growth of North Sea fishes. Global change Biology. 20: 1023-1031. Beverly, S., Chapman, L and W. Sokimi. 2003. Horizontal longline fishing methods and techniques: a manual for fisherman. Multipress, Noumea, New Caledonia. 130 p. 59
60
Beverton, R.J.H. and S.J. Holt. 1957. On the dynamics of exploited fish populations. Fish.Invest.Min.Agric.Fish.Food.G.B. (2. sea Fish) 19, 533 p. Reprinted 1993. chapman and Hall. Fish Fish. Ser. 11. Blanchard, J., Dulvy, N., Jennings, S., Ellis, J., Pinnegar, J., Tidd, A and L. Kell, 2005, Do climate and fishing influence size-based indicators of celtic sea fish com- munity structure? ICES Journal of Marine Science: Journal du Conseil. 62 (3): 405-411. Brodziak, J. 2009. Potential natural mortality rates of North Pacific swordfish. International Scientific Committee for Tuna and Tuna-Like Species in the North Pacific/Billfish WG, ISC/09/BILLWG-1/13. 20 p. Brodziak, J. and G. Ishimura. 2010. Stock assessment of North Pacific swordfish (Xiphias gladius) in 2009. Pacific Islands Fish. Sci. Cent., Natl. Mar. Fish. Serv., NOAA, Honolulu, HI 96822-2396. Pacific Islands Fish. Sci. Cent. Admin. Rep. H-10-01, 37 p. Brodziak, J., Ianelli, J., Lorenzen, K and R.D. Methot Jr. (eds). 2011. Estimating natural mortality in stock assessment applications. U.S. Dep. Commer., NOAA Tech. Memo. NMFS-F/SPO-119. 38 p. Campbell, R.A and G.N. Tuck. 1998. Preliminary analysis of billfish catch rates in the Indian Ocean. 7th Expert Consultation on Indian Ocean, Victoria, Seychelles, 9-14 November 1998. 19 p. Carey, F.G and B.H. Robison. 1981. Daily patterns in the activities of swordfish, Xiphias gladius, observed by acoustic telemetry. Fishery Bulletin. 79(2): 277-292. Cerna, J.F. 2006. Age and growth of the swordfish (Xiphias gladius Linnaeus, 1758) in the southeastern Pacific off Chile. Lat. Am. J. Aquat. Res. 11 p. Chapman, D.G. 1961. Statistical Problems in Dynamics of Exploited Fisheries Populations. Proceedings of the 4th Berkeley Symposium of Mathematics, Statistics and Probability. Univ. Calif. Press, Berkeley, CA-USA. 4: 153168. Chapman, L. 2001. Bycatch in the tuna longline fishery. 2nd SPC Heads of Fisheries Meeting (Noumea, New Caledonia, 23–27 July 2001) Chow, S., Okamoto, H., Uozumi, Y., Takeuchi, Y and H. Takeyama. 1997. Genetic stock structure of the swordfish (Xiphias gladius) inferred by PCRRFLP analysis of the mitochondrial DNA control region. Mar. Biol. 127: 359-367.
61
Collette, B.B., McDowell, J.R. and J.E. Graves. 2006. Phylogeny of recent billfishes (Xiphioidei). Bulletin of Marine Science. 79(3): 455-468. Cramer, J. and H.M. Adams. 1999. Col.Vol.Sci.Pap.ICCAT. 49(4): 288-299
Pelagic
longline
bycatch.
Cramer, J., Bertolino, A. and G.P. Scott. 1998. Estimates of recent shark bycatch by U.S. vessels fishing for Atlantic tuna and tuna-like species. Col.Vol.Sci.Pap.ICCAT. 48(3): 117-128 DeMartini, E.E., Uchiyama, J.H., Humphreys Jr, R.L., Sampaga, J.D. and H.A. Williams. 2007. Age and growth of swordfish (Xiphias gladius) caught by the Hawaii-based pelagic longline fishery. Fish. Bull. 105:356–367 DeMartini, E.E., Uchiyama, J.H. and H.A. Williams. 2000. Sexual maturity, sex ratio, and size composition of swordfish, Xiphias gladius, caught by the Hawaii-based pelagic longline fishery. Fish. Bull. 98: 489-506. Dowling, N. and M. Basson. Standardisation of size-based indicators for broadbill swordfish in the Indian Ocean. IOTC-2004-WPB-07. 23 p. Effendie M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 111 Hal. Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 Hal. Ehrhardt, N. M. 1992. Age and growth of swordfish, Xiphias gladius, in the northwestern Atlantic. Bull. Mar. Sci. 50(2): 292−301. Ehrhardt, N.M., Robbins, R.J. and F. Arocha. 1996. Age validation and growth of swordfish, Xiphias gladius in the Northwest Atlantic. Col.Vol.Sci.Pap.ICCAT. 45(2): 358-367 FAO (Fisheries and Agricultural Organisation). 2013. Biological characteristics of tuna. http://www.fao.org/fishery/topic/16082/en#Characteristics. Diunduh pada tanggal 24 Februari 2013. Gayanilo, F.C. and D. Pauly. 1989. Announcing the release of Version 1.1 of the Complete ELEFAN Software package. Fishbyte. 7(2): 20-21 Gayanilo, F.C., Sparre, P. and D. Pauly. 2005. FAO-ICLARM Stock Assessment Tools II (FISAT II). Revised version. User's guide. FAO Computerized Information Series (Fisheries) No. 8
62
Griggs, L., Francis, M. and C. Ó Maolagáin. 2005. Growth rate, age at maturity, longevity and natural mortality rate of swordfish (Xiphias gladius). New Zealand Fisheries Assessment report 2005/56. 29 p. Gulland, J.A. 1971. The fish resources of the oceans. FAO/Fishing News Books, Ltd., Surrey, England. Herrera, M. and L. Pierre. 2011. Preparation of data input files for the stock assesments of Indian Ocean swordfish. IOTC-2011-WPB09-07. 32 p. IOTC (Indian Ocean Tuna Commission). 2009. Executive summary of the status of the Indian Ocean swordfish resource. IOTC-2009-SC-04[E]. IOTC (Indian Ocean Tuna Commission). 2010. IOTC regional observer scheme, draft observer manual, version 10 July 2010. http://www.iotc.org/files/proceedings/2010/wros/IOTC-2010-WROS06%20Draft%20Obs%20Manual(July2010).pdf diunduh tanggal 19 Februari 2014. IOTC (Indian Ocean Tuna Commission). 2013. Report of the Eleventh Session of the IOTC Working Party on Billfish. La Réunion, France, 18–22 September 2013. IOTC–2013–WPB11–R[E]: 85 pp. Irianto, H.E., Wudianto., Suman, A., Susanto, K., Nugraha, B., Satria, F. and S.D. Retnowati. Indonesia national report to the scientific committee of the Indian Ocean Tuna Commission 2014. IOTC-2014-SC17-NR10. 23 p. Jatmiko, I., Setyadji, B. and D. Novianto. 2014. Spatial and temporal distribution of bigeye tuna (Thunnus obesus) in Eastern Indian Ocean based on scientific observer data from 2005 – 2013. IOTC-2014-WPTT16-25. 8 p. Jennings, S., 2005, Indicators to support an ecosystem approach to fisheries. Fish and Fisheries. 6(3): 212–232. Kell, L.T., Bonhommeau, S. and Fromentin, J. 2013. Length based catch analysis for East Atlantic Mediterranean bluefin tuna. Collect. Vol. Sci. Pap. ICCAT. 69(1): 204-209 Klawe, W.L. 1980. Long lines catches of tunas within the 200 miles economic zones of the Indian and Western Pasific Ocean. Dev. Rep. Indian Ocean Prog.48: 83 pp. Kosasih. 2007. Strategi pengembangan perikanan tuna longline anggota asosiasi tuna longline Indonesia (studi kasus di Benoa, Bali). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 112 Hal.
63
Kotler, P., Bowen, J.T. and J.C. Makens. 2006. Marketing for hospitality and tourism. (4th ed.). Upper Saddle River: Prentice-Hall. Kroese, M. 1999. An overview of swordfish catches in the South African Experimental pelagic longline fishery. In Proceedings of the third southern African Marine Linefish Symposium, Arniston, 28 April-1 May 1999, Mann, B.Q. (Ed.). South African Network for Coastal and Oceanic Research Occasional Report. 5: 88-89. Lee, D.W. and E.D. Prince. 1990. Further development of length and weight regression parameters for Atlantic blue marlin, white marlin and sailfish. Col.Vol.Sci.Pap.ICCAT. 32(2): 418-425. Lee, D.W. and G.P. Scott. 1992. Development of length and weight regression parameters for Atlantic swordfish (Xiphias gladius). Col.Vol.Sci.Pap. ICCAT. 39(2): 572-578. Lenarz, W.H. and E.L. Nakamura. 1974. Analysis of length and weight data on three species of billfish from the western Atlantic Ocean dalam Shomura, R.S. dan F. Williams, eds. Proceedings of the International Billfish Symposium, Kailua-Kona, Hawaii, 9-12th August 1972. Part 2: Review and contributed papers. U.S. Dept. Commer. NOAA Tech. Rep. NMFS SSRF675. Lu, C.P., Chen, C.A., Hui, C.F., Tzeng, T.D. and S.Y. Yeh. 2006. Population genetic structure of the swordfish, Xiphias gladius (Linnaeus, 1758), in the Indian Ocean and West Pacific inferred from the complete DNA sequence of the mitochondrial control region. Zoological Studies. 45(2): 269-279 Mahiswara and B. I. Prisantoso. 2009. Billfish fisheries in Indonesia. IOTC-2009WPB-14. 10 p. Mahe, K., Evano, H., Mille, T and J. Bourjea. 2014. Otolith shape as a valuable tool to evaluate the stock structure of swordfish (Xiphias gladius) in the Indian Ocean. IOTC-2014-WPB12-12. 12 p Megalofonou, P., Dean, J.M., de Metrio, G., Wilson, C. and S. Berkeley. 1995. Age and growth of juvenile swordfish, Xiphias gladius Linnaeus, from the Mediterranean Sea. Jor. Exp. Marine Bio. And Ecology. 188: 79-88. Morato, T., Alfonso, P., Lourinho, P., Barreiros, J.P., Santos, R.S. and R.D.M. Nash. 2001. Length-weight relationship for 21 coastal fish species of the Azores, north-eastern Atlantic. Fisheries Research. 50(2001): 297-302. Murniyati dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Penerbit Kanisius. 220 Hal.
64
Musyl, M.K., Brill, R.W., Boggs, C.H., Curran, D.S., Kazama, T.K. and M.P. Seek. 2003. Vertical movements of bigeye tuna (Thunnus obesus) associated with islands, buoys, and seamounts near the main Hawaiian Islands from archival tagging data. Fish. Oceanogr. 12(3): 152-169 Nakamura, I. 1985. FAO species catalogue. Vol. 5. Billfishes of the world. An annotated and illustrated catalogue of marlins, sailfishes, spearfishes and swordfishes known to date. FAO Fish. Synop. 125(5): 65 Neilson, J.D., Paul, S.D. and S.C. Smith. 2006. Stock structure of swordfish (Xiphias gladius) in the Atlantic: A review of the non-genetic evidence. Col.Vol.Sci.Pap.ICCAT. 61:25-60 Nomura, M. and T. Yamazaki. 1975. Fishing techniques. Compilation of SEAFDEC lectures. Japan International Co–operation Agency. 206 p. Palko, B.J., Beardsley, G.L. and W.J. Richards. 1981. Synopsis of the biology of the swordfish, Xiphias gladius Linnaeus. NOAA Technical Report NMFS 1981; circular 441. 21 p. Pauly, D. 1984. Fish Population Dynamics in Tropical waters: A Manual for Use with Programmable Calculators. ICLARM Studies and Reviews 8. 325 p. Pauly, D. 1990. Length-converted catch curves and the seasonal growth of fishes. Fishbyte. 3(3): 22-38 Pauly, D. 1993. Fishbyte Section. Editorial. NAGA, The ICLARM Quarterly. 16: 26 Petrakis, G. and K.I. Stergiou. 1995. Weight-Length Relationships for 33 Fish Species in Greek Waters. Fisheries Research. 21: 465-469 Poisson, F and C. Fauvel. 2009. Reproductive dynamics of swordfish (Xiphias gladius) in the southwestern Indian Ocean (Reunion Island). Part 2: fecundity and spawning pattern. Aquat. Living Resour. 22: 59–68. DOI: 10.1051/alr/2009012 Poisson, F and F.C. Marjolet. 2001. Sexual maturity, spawning season and estimation of batch fecundity of swordfish (Xiphias gladius) caught by the Reunion based pelagic longline fishery. In: Report of the second session of the IOTC working party on billfish, St Gilles, La Reunion, November 5-8, 2001. IOTC. Seychelles.
65
Prager, M.H., Prince, E.D. and D.w. Lee. 1995. Empirical length and weight conversion equations for blue marlin, white marlin and sailfish from the north Atlantic Ocean. Bulletin of Marine Science. 56(1): 201-210. Prince, E.D. and D.W. Lee. 1989. Development of length regressions for Atlantic Istiophoridae. Col.Vol.Sci.Pap.ICCAT. 30(2): 364-374. Prince, E.D. and P.M. Miyake. 1989. Methods of dressing Atlantic billfishes (Istiophoridae) by ICCAT reporting countries. Col.Vol.Sci.Pap.ICCAT. 30(2): 375-381. Proctor, C.H., Merta, I.G.S., Sondita, M.F.A., Wahju, R.I., Davis, T.L.O., Gunn, J.S. and R. Andamari. 2003. A review of Indonesia’s Indian Ocean Tuna Fisheries. ACIAR Project FIS/2001/079. 106 p. Punt, A.E., Huang, T.C. and M.N. Maunder. 2013. Review of integrated sizestructured models for stock assessment of hard-to-age crustacean and mollusc species. ICES Journal of Marine Science. 70(1): 16-33. Richards, F.J. 1959. A flexible growth function for empirical use. J. Exp. Bot. 10: 290-300. Sadiyah, L., Dowling, N. and B.I. Prisantoso. 2011. Changes in fishing pattern from surface to deep longline fishingby the Indonesian vessels operating in the Indian Ocean. Ind.Fis.Res.J. 17(2): 87-99 Saputra, S.W. 2007. Buku ajar mata kuliah dinamika populasi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang. 76 Hal. Saputra, S.W., Solichin, A., Wijayanto, D. Dan F. Kurohman. 2011. Produktivitas dan kelayakan usaha tuna longliner di Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Jurnal Saintek Perikanan. 6(2): 84-91. Satria, F., Wudianto, Nugroho, D., Sadiyah, L., Nugraha, B., Barata, A. & Suryanto. 2011. National report Indonesia southern bluefin tuna fisheries. Bali, Benoa, 19 - 28th July 2011. CCSBT – ESC/1107/SBT FISHERIES – Indonesia (revised). Simorangkir, S. 2000. Perikanan Indonesia. Bali Post. 294 Hal. Soepriyono, Y. 2009. Teknik dan Manajemen Penangkapan Tuna melalui Metode Longline. Bilas Utama. 156 Hal. Sparre, P. and S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1. Manual (Edisi Bahasa Indonesia). Pus.Lit.Bang.Kan. Jakarta. 438 Hal.
66
Stéquert, B and F. Marsac. 1989. Tropical tuna surface fisheries in the Indian Ocean. FAO Fisheries Technical Paper, No. 282. Rome. FAO. 238 p. Stone, H.H., & J.M. Porter. 1997. Development of a swordfish sex ratio-at-size relationship for catches from the Canadian fishery. Int. Comm. Conserv. Atl. Tunas Coll.Vol.Sci.Pap. 46: 311-314. Su, N.J., Sun, CL., Yeh, S.Z., Chiang, W.C., Wang, S.P. and C.H. Liu. 2005. LJFL and EFL relationship for the billfishes caught by the Taiwanese offshore and coastal fisheries. A working paper submitted to the 1st Joint Intercessional Meeting of the Swordfish and Marlin Working Group of ISC. 29 Agustus - 2 September 2005. Sun, C.L., Su, N.J. and S.Z. Yeh. 2009. Stock assessment of swordfish, Xiphias gladius, in the North Pacific Ocean using an age-structured population dynamics model. Working document submitted to the ISC Billfish Working Group Workshop, 19-26 May 2009, Busan, Korea. Sun, C.L., Wang, S.P. and S.Z. Yeh. 2010. Age and growth of the swordfish (Xiphias gladius L.) in the waters around Taiwan determined from anal-fin rays. Fish. Bull. 100: 822–835 Surinati, D. 2009. Upwelling dan efeknya terhadap perairan laut. Oseana, 34(4): 35 – 42 Susanto, R.D., Gordon, A.L. and Q. Zheng. 2001. Upwelling along the coasts of Java and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters, 28(8): 1599-1602. Syahbuddin, B. 2000. Fenomena El Nino dan pengaruhnya. Berita Dirgantara. 1(1): 25-27 Thompson, W.F. and F.H. Bell. 1934. Biological statistic of the Pacific halibut fishery. 2. Effect of changes in intensity kupon total yield per unit of gear. Rep.Int.Fish.(Pacific Halibut) Comm. (8): 49 p Tserpes, G. and N. Tsimenides. 1995. Determination of age and growth of swordfish, Xiphias gladius L., 1758, in the Eastern Mediterranean using anal-fin spines. Fishery Bulletin. 93:594-602 Uchiyama, J.H., Skillman, R.A., Sampagna, J.D. and E.E. DeMartini. 1998. A preliminary assessment of the use of hard parts to age central Pacific swordfish, Xiphias gladius. U.S. Dep. Commer. NOAA Tech. Rep. NMFS 142: 261-272.
67
Uchiyama, J.H. and T.K. Kazama. 2003. Updated weight-on-length relationships for pelagic fishes caught in the Central North Pacific Ocean and bottomfishes from the Northwestern Hawaiian Islands. PIFSC Administrative Report H-03-01. 46 p. Valeiras, X., de la Serna, J.M., Macías, D., Ruiz, M., García-Barcelona, S., Gómez, M.J. and J.M. Ortíz de Urbina. 2008. Age and growth of swordfish (Xiphias gladius) in the Western Mediterranean Sea. Collect. Vol. Sci. Pap. ICCAT. 62(4): 1112-1121 Varghese, S.P., Vijayakumaran, K., Anrose, A. and V.D. Mhatre. 2013. Biological aspect of swordfish, Xiphias gladius Linnaeus, 1758, caught during tuna longline survey in the Indian Seas. Turk. J. Fish. Aquat. Sci. 13: 529-540. von Brandt, A. 1984. Fish catching methods of the world. Fishing News (Books) Ltd. London. 418 p. Wang, S.P. and T. Nishida. 2010. Update of the application of an age-structured assessment model to swordfish (Xiphias gladius) in the Indian Ocean. IOTC-WPB-2010-13. 16 p. Weber, E.C., & S.R. Goldberg. 1986. The sex ratio and gonad indices of swordfish, Xiphias gladius, caught off the coast of southern California in 1978. Fish. Bull. 84: 185-186. Wheeler, A and A.K.G. Jones. 2009. Fishes. Cambridge University Press. 210 p. Widodo, J dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal 1-2. Wiyono, E.S., Yamada, S., Tanaka, E., Arimoto, T. & T. Kitakado. 2006. Dynamics of fishing gear allocation by fishers in small-scale coastal fisheries of Pelabuhanratu Bay, Indonesia. Fisheries Management and Ecology. 13, 185 – 195. Yabe, H., Ueyanagi, S., Kikawa, S. and H. Watanabe. 1959. Study of the life history of swordfish (Xiphias gladius, L.). Rept. Nankai. Reg. Fish. Res. Lab. 10: 107-151. Young, J., A. Drake., T. Carter. & J. Farley. 2000. Reproductive dynamics of broadbill swordfish (Xiphias gladius) in the eastern Australian AFZpreliminary results. 13th Meeting of the Standing Committee on Tuna and Billfish, working paper, BBRG-12. July 5-12, 2000. Noumea, New Caledonia. Oceanic Fisheries Programme, Secretariat of the Pacific Committee, Noumea, New Caledonia. 126 p.
68
Young, J., Drake, A., Brickhill, M., Farley, J and T. Carter. 2003. Reproductive dynamics of broadbill swordfish, Xiphias gladius, in the domestic longline fishery off eastern Australia. Marine and Freshwater Research. 54: 1-18. Young, J. and T. Drake. 2004. Age and growth of broadbill swordfish (Xiphias gladius) from Australian waters. Final report for FRDC Project 2001/014. 121 p. Yuniarti, A., Maslukah, L. dan M. Helmi. Studi variabilitas suhu permukaan laut berdasarkan citra satelit aqua MODIS tahun 2007-2011 di Perairan Selat Bali. Jurnal Oseanografi. 2(4): 416-421.
69
Lampiran 1.
Hasil perhitungan parameter panjang asimtot (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K) menggunakan metode ELEFAN I pada program FISAT II.