DINAMIKA INDUSTRI KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA: TANTANGAN DAN KRITIK
Pendahuluan Saat ini ekonomi Islam sedang mengalami euforia, baik di negara berkembang, atau di negara maju sekalipun. Industri keuangan serta bentuk lembaga ekonomi Islam lain tumbuh di seluruh kawasan, mulai dari Timur Tengah, kawasan Asia hingga negara-negara Barat seperti Inggris. Di Indonesia, ekonomi Islam sebagian besar mengejawantah menjadi industri keuangan syariah, utamanya Bank Syariah. Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, di mana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan. Selain dalam bentuk dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total asetnya meningkat signifikan, terlebih ketika negara-negara tersebut menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak dan komoditas. Keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain.1 Peningkatan peranan industri keuangan syariah Indonesia menuju global player juga terlihat meningkatnya ranking total aset keuangan syariah dari urutan ke-17 pada tahun 2009 menjadi urutan ke-13 pada tahun 2010 dengan nilai aset sebesar US$ 7,2 miliar.2 Total aset yang dibukukan per Maret 2012 sudah menjadi sebesar Rp 152,3 triliun atau sekitar 16,6 miliar dollar AS.3 Dengan pertumbuhan yang besar tersebut, maka akan semakin banyak masyarakat yang terlayani. Makin meluasnya jangkauan perbankan syariah menunjukkan peran perbankan syariah makin besar untuk pembangunan ekonomi 1
Halim Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015,” makalah disampaikan pada Milad Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-8 tanggal 13 April 2012. 2 Kendati lebih terlambat dibandingkan Malaysia dalam pengembangan lembaga keuangan Islam, namun secara umum, peraturan perundang-undangan Indonesia telah cukup banyak mengakomodir kebutuhan industri keuangan syariah yang ada. Lihat, Agus Triyanta, “Legal Adjustment: A Strategic Step for Boosting Sustainable Development of Islamic Banking: A Comparative Overview Towards Malaysia, Indonesia, and Singapore),” makalah pada 8th International Conference on Islamic Economics and Finance di Qatar tahun 2011. 3 http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/BA0429EA-EF4E-4ADB-B32AE6A83B1C4505/25052/outlook_perbankan_syariah_2013.pdf
rakyat di negeri ini. Kita punya obsesi, perbankan syariah seharusnya tampil sebagai garda terdepan atau lokomotif terwujudnya financial inclusion. Hal ini disebabkan karena misi dasar dan utama syariah adalah pengentasan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Bank syariah harus dinikmati masyarakat luas bahkan di masa depan sampai ke pedesaan. Seluruh bentuk hambatan yang bersifat price maupun nonprice terhadap akses lembaga keuangan, harus dikurangi dan dihilangkan. Menurut survey Bank Dunia (2010), hanya 49 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Dengan demikian masyarakat yang tidak memiliki tabungan baik di bank maupun di lembaga keuangan non bank relative masih tinggi, 52 %. Kehadiran bank-bank syariah yang demikian cepat pertumbuhannya diharapkan akan mendekatkan masyarakat kepada lembaga keuangan formal, seperti perbankan syariah. Di balik pesatnya pertumbuhan tersebut, keuangan syariah di Indonesia menghadapi beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam menuju perkembangan keuangan yang benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai islami dalam mewujudkan masyarakah yang “falah” tidak sekedar tumbuh secara statistik tetapi meninggalkan substansi tujuan ekonomi Islam. Tulisan ini menguraikan beberapa tantangan tersebut sekaligus mendiskursuskan kritik terhadap perkembangan keuangan syariah di Indonesia. Faktor-faktor Pendorong Pengembangan Industri Keuangan Syari’ah Terdapat beberapa faktor yang secara signifikan menjadi pendorong peningkatan kinerja industri perbankan syariah, baik dalam kegiatan penghimpunan dana maupun penyaluran pembiayaan. 1. Ekspansi jaringan kantor perbankan syariah mengingat kedekatan kantor dan kemudahan akses menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan nasabah dalam membuka rekening di bank syariah. 2. Gencarnya program edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai produk dan layanan perbankan syariah semakin meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat. 3. Upaya peningkatan kualitas layanan (service excellent) perbankan syariah agar dapat disejajarkan dengan layanan perbankan konvensional. Salah satunya adalah pemanfaatan akses teknologi informasi, seperti layanan Anjungan Tunai Mandiri (ATM), mobile banking maupun internet banking. Untuk mendukung hal ini, secara khusus Bank Indonesia mendorong bank konvensional yang menjadi induk bank syariah agar mendorong pengembangan jaringan teknologi informasi bagi BUS dan UUS yang menjadi anak usahanya. 4. Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti:(i) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UUNo.19 tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No. 42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No. 8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-2010).4 Sementara penerbitan sukuk oleh pemerintah sebagai implementasi dari UU Sukuk menambah outlet penempatan dana perbankan syariah dalam rangka pengelolaan likuiditas. Sedangkan pemberlakukan UU No. 42 tahun 2009 merupakan ‘tax neutrality” atas transaksi murabahah5 yang dilakukan oleh perbankan syariah di mana sebelumnya dikenakan pajak dua kali (double tax).6 Perlakuan pajak tersebut sangat merugikan perbankan syariah karena membuat pembiayaan dengan akad murabahah menjadi lebih mahal, sementara pembiayaan murabahah mempunyai porsi yang dominan dengan rata-rata 56,8% dalam lima tahun terakhir. Di tengah perkembangan industri perbankan syariah yang pesat tersebut, perlu disadari masih adanya beberapa tantangan yang harus diselesaikan agar perbankan syariah khususnya di Indonesia dapat meningkatkan kualitas pertumbuhannya dan mempertahankan akselerasinya secara berkesinambungan. Tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka pendek (immediate) antara lain: 1. Pemenuhan sumber daya insani (SDI), baik secara kuantitas maupun kualitas. Ekspansi perbankan syariah yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh penyediaan SDI secara memadai sehingga secara akumulasi diperkirakan menimbulkan gap mencapai 20.000 orang. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya lembaga 4
Halim Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015,” makalah disampaikan pada Milad Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-8 tanggal 13 April 2012. 5 Pengenaan pajak berganda atas produk murabahah merupakan inkonsistensi peraturan. Pendapatan bunga yang merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan konvensional tidak dikenakan PPn, sedangkan margin dari pembiayaan murabahah yang juga merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan (syariah) dikenakan PPn. Akibatnya, bank syariah terpaksa menjual produk murabahah lebih mahal untuk mendapatkan keuntungan yang sama dengan pembiayaan bank konvensional. Lihat, http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=5&hlm=4 diakses tanggal 21 Fenruari 2013. 6 Penghapusan pajak berganda ini merupakan dorongan dari Bank Indonesia (BI). Hasilnya, pada tanggal 12 Januari 2012 Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerbitkan pula aturan yang menyamakan pengenaan pajak penghasilan pembiayaan ijarah dan Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT) dengan produk kredit bank konvensional. Pengenaan pajak tersebut akan menghapus pajak ganda yang sebelumnya dikenakan karena ada kegiatan sewa. Selain pembiayaan, BI sedang mendorong untuk memberi insentif pajak pada pendanaan. BI mengusulkan agar pajak penghasilan di dana mahal syariah tersebut bisa dikembalikan ke bank sebagai penambah modal. Pajak itu juga bisa dijadikan saham milik pemerintah di bank syariah. Lihat, http://www.syariahmandiri.co.id/2012/04/insentif-bank-syariah-ditambah/ diakses tanggal 1 Januari 2013.
pendidikan (khususnya perguruan tinggi) yang membuka program studi keuangan syariah. Selain itu, kurikulum pendidikan maupun materi pelatihan di bidang keuangan syariah juga belum terstandarisasi dengan baik untuk mempertahankan kualitas lulusannya. Untuk itu perlu dukungan kalangan akademis termasuk Kementerian Pendidikan untuk mendorong pembukaan program studi keuangan syariah. Industri perbankan syariah secara bersama-sama juga dapat melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis keahlian yang dibutuhkan sehingga dapat dilakukan ‘link and match’ dengan dunia pendidikan. 2. Inovasi pengembangan produk dan layanan perbankan syariah yang kompetitif dan berbasis kekhususan kebutuhan masyarakat. Kompetisi di industri perbankan sudah sangat ketat sehingga bank syariah tidak dapat lagi sekedar mengandalkan produk-produk standar untuk menarik nasabah. Pengembangan produk dan layanan perbankan syariah tidak boleh hanya sekedar ‘mengimitasi’ produk perbankan konvensional.7 Bank syariah harus berinovasi untuk menciptakan produk dan layanan yang mengedepankan keunikan dari prinsip syariah dan kebutuhan nyata dari masyarakat, namun disadari bahwa lifecycle dari suatu inovasi produk dan layanan perbankan syariah sangat pendek karena dengan mudah dan segera dapat ditiru oleh bank-bank lainnya sehingga mengurangi minat bank untuk berinovasi. Untuk itu, perlu dibentuk semacam working group yang beranggotakan praktisi perbankan syariah untuk memikirkan secara bersama-sama inovasi produk yang dapat dikembangkan. Mekanisme lain yang dapat diambil untuk mendorong inovasi produk dan layanan adalah memberikan patent selama beberapa tahun agar tidak ditiru oleh bank yang lain.8 3. Kelangsungan program sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Kegiatan untuk menggugah ketertarikan dan minat masyarakat untuk memanfaatkan produk dan layanan perbankan syariah harus terus dilakukan, namun disadari bahwa kegiatan ini merupakan sumber biaya (cost center) bagi bank syariah. Selama ini kegiatan sosialisasi dan edukasi perbankan syariah didukung oleh Bank Indonesia melalui program ‘iB Campaign’ baik melalui media masa (iklan layanan masyarakat), syariah expo, penyelenggaraan workshop/seminar, dsb. Peran Bank Indonesia dalam hal ini akan berkurang seiring dengan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan sektor perbankan (termasuk perbankan 7
Zubair Hasan menyatakan bahwa teknik imitasi mungkin bisa menjadi cara lebih mudah menghadapi gempuran produk-produk konvensional yang terus berkembang, namun jika lembaga keuangan Islam tidak melakukan inovasi dan kreasi sendiri, maka strategi imitasi hanya akan menjadikan lembaga keuangan Islam hanya sekedar bagian dari sistem keuangan konvensional. Lihat, Zubair Hasan, “Islamic Finance: what Does It Change, What It Does Not, Objectives Mismatch and Its Consequences,” dalam MRA Paper, (2010), 6. 8 Pengembangan perbankan syariah di Indonesia mengusung istilah “bukan sekedar bank (beyond banking).” Istilah ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah adalah perbankan yang menyediakan produk dan jasa keuangan yang lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi.
syariah) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).9 Untuk itu, industri perbankan syariah perlu meningkatkan kemandirian, baik dalam hal formulasi program maupun pembiayaannya sehingga program ‘iB Campaign’ dapat terus berlangsung secara berkelanjutan.10 Sementara tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka panjang antara lain: 1. Perlunya kerangka hukum yang mampu menyelesaikan permasalahan keuangan syariah secara komprehensif. Sistem keuangan syariah secara karakteristik berbeda dengan sistem keuangan konvensional, terdapat beberapa kekhususan yang tidak dapat dipersamakan sehingga penggunaan kerangka hukum konvensional menjadi kurang memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi syariah juga dapat menggunakan jalur pengadilan agama, namun tatanan peradilan agama untuk dapat menyelesaikan transaksi keuangan juga dinilai belum memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi keuangan syariah dengan menggunakan ‘hukum fiqh’ masih dapat menimbulkan perbedaan interpretasi karena perbedaan mazhab (lack of convergence of sharia interpretation). Untuk itu, perlu sosialisasi penggunaan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) harus terus digalakkan dan menjadi rujukan penyelesaian sengketa di pengadilan. Upaya penyempurnaan kerangka hukum ini juga perlu dilakukan dalam skala global untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi dalam transaksi keuangan syariah antar negara. Penyempurnaan kerangka hukum akan memberikan suasana yang kondusif bagi pengembangan keuangan syariah, baik secara nasional maupun global. 2. Perlunya kodifikasi produk dan standar regulasi yang bersifat nasional dan global untuk menjembatani perbedaan dalam fikih muamalah. Jika diperhatikan secara 9
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah instutusi independen yang memiliki otoritas untuk memberikan regulasi, supervisi, memeriksa, dan melakukan investigasi terhadap sektor keuangan di Indonesia. OJK berfungsi untuk menjamin sektor keuangan di Indonesia dapat diimplementasikan secara transparan dan adil. OJK juga berfungsi untuk menjamin bahwa sektor keuangan di Indonesia tumbuh dalam keadaan stabil dan berkelanjutan termasuk juga melindungi para konsumen di pasar uang. Paska disahkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan termasuk perbankan syariah yang sebelumnya dilakukan oleh BI akan beralih kepada OJK pada akhir tahun 2013. Dengan demikian tahun 2013 merupakan periode yang sangat krusial dalam mempersiapkan pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan syariah dari BI ke OJK. Terbentuknya OJK, telah membagi dua kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan termasuk perbankan syariah, yaitu mikroprudential di OJK dan makroprudential di Bank Indonesia. Dalam pelaksanaannya, terdapat kemungkinan terjadinya overlapping antara kebijakan mikroprudential dengan makroprudential, sehingga diharapkan dalam masa transisi, pengawasan ini tidak akan mengganggu proses pengembangan dan pertumbuhan perbankan syariah itu sendiri. Lihat, Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013 (Jakarta: Bank Indonesia, 2012), 40. 10 Halim Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015,” makalah disampaikan pada Milad Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-8 tanggal 13 April 2012.
jeli dalam pengembangan keuangan syariah di beberapa negara, dapat dilihat adanya perbedaan yang nyata dalam pemahaman fikih muamalah. Di satu sisi terdapat negara yang terlalu berhati-hati (konservatif), namun di sisi lain terdapat negara yang terlalu longgar (liberal) dalam aplikasi fikih muamalah tersebut sehingga peluang akan terjadinya perbedaan dan perselisihan sangat terbuka. Walaupun perbedaan pendapat diperbolehkan dan dianggap sebagai rahmat dalam pandangan Islam, namun perbedaan tersebut jika terkait dengan transaksi keuangan akan menimbulkan risiko. Untuk itu, perlu penyelarasan produk secara nasional maupun global sangat diperlukan agar keuangan Islam dapat tumbuh bersama di berbagai negara, tidak saling memproteksi karena perbedaan mazhab. Hadirnya lembaga internasional seperti, International Financial Services Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM),danAccounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), yang menghadirkan regulasi yang dapat diadopsi secara global perlu terus didukung dan dikembangkan agar tercipta konvergensi regulasi secara global (global regulation convergency). 3. Perlunya referensi nilai imbal hasil (rate of return) bagi keuangan syariah. Nilai imbal hasil yang dibagikan (sharing) dalam sistem keuangan syariah, termasuk perbankan syariah, hendaknya merupakan hasil yang nyata dari aktivitas bisnis karena referensi nilai imbal hasil tersebut belum tersedia sampai saat ini sehingga institusi keuangan syariah seringkali melakukan penyetaraan dengan suku bunga dalam sistem konvensional. Selain bersifat kurang adil, perilaku ini dapat menimbulkan risiko reputasi bagi sistem keuangan syariah karena tidak ada perbedaan yang hakiki dengan sistem konvensional. Bank Indonesia telah mulai melakukan kajian mengenai referensi nilai imbal hasil untuk sektor pertanian dan pertambangan, dan masih terus disempurnakan validitasnya. Untuk itu, perlu dukungan dan peran serta dari kalangan akademisi dan asosiasi untuk melakukan kajian lebih lanjut dan komprehensif mengenai hal ini.11 Dukungan Politik dan Regulasi Kebijakan politik sangat dibutuhkan untuk pengembangan ekonomi syariah di Indonesia pada masa mendatang. Urgensi terhadap kebijakan politik ini tentunya harus didukung oleh kondisi politik yang kondusif.12 Era Reformasi merupakan era 11
Halim Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015,” makalah disampaikan pada Milad Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-8 tanggal 13 April 2012. 12 Setidaknya ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan ekonomi syariah terutama terkait dengan lembaga keuangan, yaitu adanya kejelasan hukum yang mengatur, ketersediaan informasi terkait pasar secara memadai dan meningkatkan infrastruktur institusi secara lebih luas. Lihat, Wafik Grais, “Islamic Banking: Policy and Institutional Challenges,” dalam Journal of Islamic Economics Banking and Finance (2011) : 13.
yang sangat mendukung lahirnya berbagai produk hukum ekonomi Islam di Indonesia yang ditandai dengan banyak peraturan perundang-undangan yang dilahirkan. Demikianpun, kebijakan yang ada hendaknya harus lebih bersifat proaktif inisiatif dari pemegang terutama pemerintahan harus lebih intensif. Dalam hal penting untuk dilihat perkembangan lembaga keuangan Islam di negara-negara lain khususnya Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura. Di Singapura –misalnyakeberhasilan perbankan Islam di negara ini setidaknya dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor yaitu: 1. Regulasi yang transparan dan kuat, 2. Regulasi yang responsif terhadap kebutuhan industri keuangan Islam, 3. Keberadaan pasar uang yang berkembang pesat, 4. Dasar dan kemampuan keuangan yang kuat dan 5. Sistem hukum dan peradilan yang kuat.13 Kondisi yang terdapat di Singapura setidaknya dapat dijadikan contoh bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Untuk mengejar ketertinggalan ini, maka Bank Indonesia telah merumuskan cetak biru (blue print) perbankan syariah di Indonesia yang diharapkan mampu memberikan langkah bagi pengembangan perbankan syariah sampai tahun 2015. Cetak biru ini harus didukung oleh kebijakan politik yang kuat akomodatif dan tentu saja faktor makro ekonomi dari luar negara. Jaringan Perbankan Syariah di Indonesia Sampai April 2013
Bank Umum Syariah Jumlah Bank Jumlah Kantor Unit Usaha Syariah Jumlah Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS Jumlah Kantor Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Jumlah Bank Jumlah Kantor
Sep
Okt
11 1650
11 1686
24
2012 Nov
2013 Mar
Des
Jan
Feb
Apr
11 1714
11 1745
11 1780
11 1801
11 1812
11 1858
24
24
24
24
24
24
24
500
502
506
517
521
524
529
538
156 386
156 390
156 390
158 401
158 398
159 395
159 399
159 386
Sumber: Bank Indonesia (2013) Tabel di atas menunjukkan perkembangan jumlah kantor perbankan syariah yang meningkat dari bulan ke bulan. Perkembangan tersebut juga ditunjukkan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Demikianpun, dari September 2012 sampai April 2013 tidak menunjukkan angka peningkatan pada jumlah bank umum syariah (11 buah). Hal ini berbeda dengan BPRS yang mengalami peningkatan dari jumlah 156 buah (September 2012) menjadi 159 (April 2013). 13
Arfat Selvam “Legal and Regulatory Changes to Promote The Development of Islamic Banking and Finance in Singapore,” dalam Angelo M. Vernados (ed), Current Issues in Islamic Banking and Finance: Resilience and Stability in The Present System (Singapore: World Scientific Publishing, 2010), 17-18.
Selain itu, pengembangan lembaga keuangan non bank juga harus dimaksimalkan seperti Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan koperasi syariah. Kedua lembaga ini merupakan lembaga yang cukup potensial untuk membantu pengembangan usaha kecil di Indonesia. Keberadaan BMT–misalnya– telah membuat pengembangan ekonomi Islam di Indonesia menjadi unik dibandingkan dengan negara-negara lain.14 Saat ini, diperkirakan lebih dari 3000 unit tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini tentu sangat menggembirakan sekaligus bisa menjadi alternatif menarik bagi ekonomi Indonesia mengingat struktur usaha perekonomian nasional yang 99% didominasi oleh UMKM.15 Peran BMT sendiri dianggap perlu dalam memberdayakan sektor riil khususnya usaha mikro yang selama ini kurang mendapat perhatian dari lembaga perbankan.16 Dalam praktiknya, BMT didirikan dengan modal relatif kecil dan tidak terikat dengan aturan ketat seperti yang mengikat lembaga perbankan.17 Kendati demikian, BMT juga diharuskan memiliki sistem dan tata kelola yang profesional. BMT sebagai lembaga ekonomi dan keuangan mikro syariah dengan ciri-ciri: pertama, BMT didirikan dengan semangat kejamaahan, yaitu semangat kekeluargaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar lokasi masyarakat sendiri. Kedua, pendirian BMT minimal berjumlah 20 orang sebagaimana pada koperasi biasa. Ketiga, BMT dikelola oleh manajer profesional yang dilatih untuk mengelola BMT. Keempat, sistem operasi BMT telah disiapkan sebelumnya dalam bentuk manual atau pedoman kerja yang baku dan serupa antara BMT se-Indonesia. Kelima, BMT memiliki lembaga supervisi yang membina secara teknis pembukuan dan manajemen BMT, yaitu PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). 14
Mit Ghamal merupakan lembaga keuangan Islam pertama di dunia yang menggunakan konsep pembiayaan mikro Islam (Islamic microfinance). Dengan demikian, cikal bakal lembaga keuangan Islam pada dasarnya adalah menggunakan model mikro seperti yang dilakukan oleh BT/KJKS. Lihat, tulisan Mehmet Asutay, Islamic Microfinance: Fulfilling Social and Developmental Expectations dalam, Adam Durchlag and Thomson Reuters, Islamic Finance: Instruments and Markets (London: Bloomsburry, 2010), 29. 15 Banyak usaha mikro yang selama ini tidak bisa mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan karena persyaratan dan kapasitas usaha mereka yang masih kecil. Oleh karena itu, keberadaan lembaga mikro syariah bisa menjadi jalan keluar untuk membantu mereka.Lihat, www.pinbuk.org diakses tanggal 1 Februari 2013. 16 BMT bahkan dianggap lebih sesuai dengaan Islam karena bergerak dari bawah. Lihat, Amin Aziz, Tata Cara Pendirian BMT (Jakarta, PKES Publishing, 2008), 43. 17 BMT pada awalnya berbadan hukum berupa izin operasi dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). PINBUK adalah kelompok Swadaya Masyarakat ICMI yang mendapat pengakuan dari Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat yang mendukung program PHBK- BI (Proyek Hubungan Bank dengan KSM). Selanjutnya, BMT harus menguatkan badan hukumnya menjadi koperasi syariah agar kedudukan BMT tidak lagi sekedar sebagai KSM, tetapi betul-betul resmi dilindungi Undang- Undang. BMT yang telah berkembang dengan baik sehingga memenuhi syarat sebagai BPR Syariah dapat dimintakan izin kepada pemerintah menjadi BPR Syariah dengan Badan Hukum koperasi atau Perseroan Terbatas. www.pinbuk.org diakses tanggal 1 Februari 2013.
Adapun mengenai UU yang terkait dengan keberadaan BMT diantaranya adalah UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU no. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian dan UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM).18 Selain itu, berhubungan dengan semua UU tersebut, maka UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga perlu diperhatikan oleh BMT, mengingat dalam UU LKM mengaitkan LKM termasuk BMT dengan OJK. Selama ini BMT harus juga dijalankan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KepMen) No. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Berdasarkan hal di atas, maka kebijakan ekonomi Islam di Indonesia19 ke depan harus lebih banyak diarahkan pada upaya bagaimana lembaga keuangan mikro ini dapat dikembangkan dan disinerjikan dengan lembaga keuangan lainnya. Langkah ini bisa dilakukan dengan juga menggalakkan keberpihakan kepada institusi, baik dengan pemberian berbagai kemudahan operasional BMT/KJKS dan payung hukum yang lebih kuat dan akomodatif. Kritik Terhadap Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia Dari pembahasan terdahulu dapat dilihat bahwa kecenderungan dominan dari impelementasi ekonomi syariah baik di dunia maupun di Indonesia adalah pada aspek keuangan yang ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah di seluruh dunia. Minat yang besar dari berbagai negara disertai dengan upaya mengadopsi sistem ini ke dalam sistem keuangan pada satu sisi cukup menggembirakan kendati pada sisi lain menimbulkan kekhawatiran berupa berubahnya filosofi ekonomi syariah dari semangat untuk menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan keberpihakan terhadap ekonomi masyarakat berubah menjadi keberpihakan terhadap nilai-nilai kapitalis semata. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak kritikan bahkan tudingan yang menyatakan bahwa model pengembangan ekonomi syariah dengan cara pendirian lembaga keuangan tidak lain hanya akan menyuburkan sistem kapitalis yang memang telah diusung oleh dunia Barat. Kritikan ini pernah disampaikan oleh berbagai tokoh seperti Mehmet Asutay yang menyatakan bahwa arah dari keuangan syariah cenderung ke arah kapitalis. 18
Secara umum, perundang-undangan terkait BMT belum lengkap karena dalam operasionalnya BMT menggunakan peraturan yang beragam. Kondisi ini harus diperbaiki dengan mengakomodirnya ke dalam satu undang-undang yang khusus. Lihat, Neni Sri Imaniyati, “AspekAspek Hukum Baitul Mal Wattamwil (BMT) Dalam Perspektif Hukum Ekonomi” dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM; Sosial Ekonomi dan Humaniora, (2011) : 131. 19 Dalam tataran internasional, beberapa hal mesti dilakukan untuk mempercepat perkembangan lembaga keuangan Islam yaitu pengembangan instrumen likuiditas, pengembangan pasar uang, pasar sekunder dan pasar inter bank, dan penguatan aspek manajemen risiko. Semua hal tersebut harus didukung oleh kebijakan-kebijakan yang mendukung dari berbagai pemangku kebijakan. Lihat, Zamir Iqbal, “Challenges Facing Islamic Industry”, dalam Journal of Islamic Banking and Finance, (2007).
Dengan cepatnya perkembangan bidang keuangan menyebabkan kajian fundamental yaitu ekonomi Islam terabaikan. Menurutnya, tanpa membuat sebuah landasan normatif yang kuat, maka akan mustahil bisa mencapai sistem keuangan yang diharapkan.20 Kritikan lainnya juga banyak diarahkan kepada lembaga keuangan syariah yang ditengarai lebih banyak berpihak kepada pemilik dana dan kurang berpihak kepada masyarakat miskin yang ditandai dengan sulitnya akses mereka terhadap perbankan syariah. Di antara kritikan itu juga menyoroti keberadaan produk-produk lembaga keuangan syariah yang lebih banyak menggunakan akad berbasis fix return seperti murabahah atau ijarah seperti terlihat pada tabel di bawah ini.21 Komposisi Pembiayaan Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah Tahun 2013
Aug 11.1 80 23.0 51 73.8 26 0
Sep 11.3 59 24.4 81 77.1 53 0
2012 Oct 11.4 38 25.2 07 80.9 53 0
Nov 11.5 27 26.1 87 83.8 26 0
Dec 12.0 23 27.6 67 88.0 04 0
Jan 12.0 27 28.0 92 89.6 65 0
2013 Feb Mar 12.0 12.1 56 02 28.8 30.8 96 57 92.7 97.4 92 15 0 0
Apr 12.2 6 32.2 88 98.3 68 0
Akad istisna Ijarah
354 573 3
361 605 4
355 643 4
366 6.91 2
376 7.34 5
382 7.52 0
414 7.80 8
424 8.36 3
479 8.61 9
lainnya Total
0 124. 946
0 130. 357
0 135. 581
0 140. 318
0 147. 505
0 140. 472
0 154. 072
0 161. 081
0 163. 407
Akad Mudarabah Akad Musyarakah Akad Murabahah Akad Salam
Sumber: Statistik Bank Indonesia (April 2013) Dalam pandangan penulis, kondisi di atas harus disikapi dengan serius karena sistem keuangan global memang sudah dikuasai oleh sistem kapitalis dimana pemilik dana besar biasanya mendapatkan keuntungan yang besar dari proses 20
Mehmet Asutay, “A Political Economy Approach to Islamic Economics: Systemic Understanding for an Alternative Economic System, dalam Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 1-2,(2007), 3-18. 21 Sebagai contoh di Pakistan dimana sejak tahun 1984, ternyata pembiayaan murabahah menempati porsi sebanyak 80% dari keseluruhan pembiayaan yang diberikan sedangkan di Dubai menempati porsi sebanyak 82% bahkan Islamic Development Bank (IDB) juga menggunakan skim murabahah sebanyak 73% selama lebih dari 10 tahun. Penjelasan hal ini lihat, Abdullah Saeed,
Islamic Banking and Interest: A Study of Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretations (Leiden: E.J. Brill, 1996), 77-80.
pembungaan uang baik dengan cara penempatan dananya di sektor perbankan maupun lembaga investasi berbasis ribawi lainnya. Kekhawatiran terhadap sistem kapitalisme pada pada dasarnya bukan hanya pada proses pembungaan (penggelembungan) uang yang dilakukannya namun yang terburuk adalah terciptanya jurang (gap) yang semakin lebar antara sektor moneter dengan sektor riil. Kondisi ini telah terjadi dan merupakan salah satu alasan munculnya lembaga keuangan syariah di dunia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada anggapan bahwa lembaga keuangan syariah adalah sub sistem dari sistem keuangan kapitalis global yang lebih menekankan aspek moneter semata. Kecenderungan ke arah ini dapat dilihat banyaknya minat perbankan konvensional milik asing yang membuka unit syariah. Kendati ini merupakan sebuah terobosan baru, namun fenomena ini menarik dicermati mengingat bahwa perbankan konvensional tersebut pada dasarnya telah berdiri dengan filosofis ribawi sehingga ketika mereka membuka unit syariah, maka yang terlihat bahwa unit syariah tersebut dipastikan menjadi sub bagian dari bank induknya. Terkait masalah keuangan dan penyaluran dana, unit ini memang dipisahkan dari bank induknya, akan tetapi terkait dengan keseluruhan sistem, maka unit ini adalah bagian dari sistem global yang besar. Untuk itu, upaya yang harus dilakukan adalah dengan mengoptimalkan produk-produk dengan prinsip bagi hasil (mudarabah) atau kemitraan (musyarakah) di lembaga keuangan syariah. Upaya ini pada satu sisi cukup berisiko dan bisa saja menurunkan pendapatan perbankan, tapi jika berhasil juga akan memberikan dampak yang besar bagi peningkatan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, juga perlu dikembangkan produk-produk yang lebih bervariasi dan menyentuh sektor riil seperti pertanian atau perkebunan. Penutup Melihat perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia, kita tidak boleh terfokus kepada pengembangan lembaga keuangan perbankan saja, juga perlu digalakkan pendirian lembaga-lembaga non perbankan yang bisa beroperasi dengan lebih elastis dan menjangkau masyarakat lebih banyak seperti koperasi syariah (KJKS) atau lembaga keuangan mikro syariah (BMT). Kendati mampu lebih elastis, namun lembaga-lembaga ini juga harus profesional dan memperhatikan aspek manajemen risiko karena sampai tahun 2013, banyak BMT yang berdiri masih belum memiliki payung hukum yang jelas dan belum memiliki tata kelola yang baik padahal secara umum BMT memiliki peluang yang sangat besar bagi upaya membantu mengatasi permasalahan pembiayaan pada usaha-usaha mikro yang selama ini jarang disentuh oleh perbankan syariah. Keberadaan lembaga-lembaga keuangan syariah non bank ini juga harus mendapatkan dukungan yang maksimal dari pemerintah. Kendati agak terlambat, dukungan pemerintah terhadap koperasi telah ditunjukkan dengan diakomodirnya koperasi syariah dalam UU No 12 Tahun 2012 mengenai Perkoperasian yang merupakan revisi atas UU No 25 Tahun 1992. Kendati demikian, dukungan ini harus juga disertai dengan pembinaan dan pengembangan koperasi syariah yang telah ada
dikarenakan koperasi syariah menjalankan usaha dengan prinsip syariah yang memiliki beberapa perbedaan dengan koperasi konvensional.
BIBLIOGRAFI Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretations (Leiden: E.J. Brill, 1996). Agus Triyanta, “Legal Adjustment: A Strategic Step for Boosting Sustainable Development of Islamic Banking: A Comparative Overview Towards Malaysia, Indonesia, and Singapore),” makalah pada 8th International Conference on Islamic Economics and Finance di Qatar tahun 2011. Amin Aziz, Tata Cara Pendirian BMT (Jakarta, PKES Publishing, 2008). Arfat Selvam “Legal and Regulatory Changes to Promote The Development of Islamic Banking and Finance in Singapore,” dalam Angelo M. Vernados (ed), Current Issues in Islamic Banking and Finance: Resilience and Stability in The Present System (Singapore: World Scientific Publishing, 2010). Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013 (Jakarta: Bank Indonesia, 2012). Halim
Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015,” makalah disampaikan pada Milad Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-8 tanggal 13 April 2012.
Halim
Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015,” makalah disampaikan pada Milad Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-8 tanggal 13 April 2012.
Halim
Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015,” makalah disampaikan pada Milad Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-8 tanggal 13 April 2012.
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/BA0429EA-EF4E-4ADB-B32AE6A83B1C4505/25052/outlook_perbankan_syariah_2013.pdf http://www.syariahmandiri.co.id/2012/04/insentif-bank-syariah-ditambah/ tanggal 1 Januari 2013.
diakses
Lihat, http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=5&hlm=4 diakses tanggal 21 Fenruari 2013.
Mehmet Asutay, “A Political Economy Approach to Islamic Economics: Systemic Understanding for an Alternative Economic System, dalam Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 1-2,(2007). Mehmet Asutay, Islamic Microfinance: Fulfilling Social and Developmental Expectations dalam, Adam Durchlag and Thomson Reuters, Islamic Finance: Instruments and Markets (London: Bloomsburry, 2010). Neni Sri Imaniyati, “Aspek-Aspek Hukum Baitul Mal Wattamwil (BMT) Dalam Perspektif Hukum Ekonomi” dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM; Sosial Ekonomi dan Humaniora, (2011). Wafik Grais, “Islamic Banking: Policy and Institutional Challenges,” dalam Journal of Islamic Economics Banking and Finance (2011). Zamir Iqbal, “Challenges Facing Islamic Industry”, dalam Journal of Islamic Banking and Finance, (2007). Zubair Hasan, “Islamic Finance: what Does It Change, What It Does Not, Objectives Mismatch and Its Consequences,” dalam MRA Paper, (2010), 6.