1
DINAMIKA DAN TRANSFORMASI GERAKAN ANTI KAPITALISME GLOBAL DALAM ERA KONTEMPORER Niken Anjar Wulan Abstract This article aims to understand the dynamic and transformation of the global anti-capitalist movement in the contemporary era (post-Marxism), which the author divides into three perioditations or cycles based on International Cycle of Struggle theory (Michael Hardt and Antonio Negri). The first cycle (1960s-1990s) was marked by the rise of Post-Marxist or New Left, which triggered the emergence of anarchist and otonomist movement in America, Europe, and Latin America such as seen in counterculture movement, Paris'68 and Zapatista. The second phase/cycle (1999 – 2000s) characterized by globalization and the emergence of a global civil society as resistance agency, such as seen in anti-globalization movement and the World Social Forum. The third phase/cycle (2011- currently) began with 2008 financial crisis and the virality of social media which triggered massive resistance movements all over of the world, including the Arab Spring, Los Indignados, and Occupy. The transformation of these three cycles of movements will be put in a historical ephos of capitalism which at the same time constitutes the different manifestation of movements in each phase/cycle. Therefore, the author seeks to identify some changes in the characteristics of movements in each phase/cycle, map out and show the novelty of global anti-capitalist movement, especially movement that emerged after the 2008 Crisis. Pendahuluan “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.” Karl Marx, The Communist Manifesto
Sejak kemunculannya pada era revolusi industri dan evolusinya hingga kini, sistem kapitalisme global telah dihantam berbagai krisis. Empat krisis kapitalisme yang paling besar diantaranya Great Depression (1929), Krisis Bretton Woods (1970an), Krisis Asia (1990an), dan Krisis Amerika (2008). Krisis tersebut tidak lain terjadi karena adanya ketidakstabilan yang secara inheren melekat dalam sistem kapitalisme. Inilah yang disebut Karl Marx sebagai kontradiksi internal dalam sistem kapitalisme. Ia menambahkan bahwa kontradiksi internal ini bersifat antagonistik, dalam artian untuk dapat terus ada, kapitalisme akan selalu mensyaratkan eksploitasi seluruh sumberdaya (tenaga kerja manusia dan faktor produksi lainnya) hingga hal ini bersifat merusak bagi sistemnya sendiri.1 Krisis yang seringkali terjadi di dalam sistem kapitalisme menimbulkan konsekuensi logis yaitu munculnya kritik dan perlawanan, baik itu dari aktor negara maupun non-negara. 1
Stuart Easterling, “Marx’s Theory of Economic Crisis,” International Socialist Review 32 (2003)
2
Setelah kekalahan dari negara komunis pasca era perang dingin, resistensi terhadap kapitalisme dari aktor negara muncul kembali pada era globalisasi neoliberal. Hal ini ditandai dengan kemenangan kelompok-kelompok sosialis atau anti-kapitalis di Amerika Latin, seperti Hugo Chavez (Venezuela), Evo Morales (Bolivia), Nestor Kircher (Argentina), Lula Da Silva (Brazilia). Sedangkan, dari kubu non-negara, resistensi muncul dari kelompok masyarakat atau gerakan sosial alternatif, yang terdiri dari gerakan otonomia dan anarkis yang muncul sejak tahun 1960an dan gerakan masyarakat sipil global (NGO) yang mulai marak di tahun 1990an. Meskpiun sistem kapitalisme masih tampak belum tergantikan, satu per satu gerakan yang tetap muncul harus dilihat sebagai upaya gerakan untuk terus bertransformasi dari waktu ke waktu. Pada awalnya, gerakan menentang kapitalisme sangat erat kaitannya dengan perjuangan berbasis kelas pekerja dan partai komunis, seperti revolusi era Karl Marx pada abad ke-19 di Perancis dan Prusia, serta revolusi Lennin di Rusia dan Mao di China pada abad ke-20. Revolusi berbasis perjuangan kelas buruh dan partai komunis ini muncul sebagai respon terhadap sistem kapitalisme yang masih berbentuk konvensional, dimana eksploitasi dan kekuasaan masih terpusat di dalam pabrik dan kekuatan berpusat di tangan negara. Memasuki era kapitalisme kontemporer (pasca industri/pasca modern), kondisi tentu sudah sangat berbeda dengan zaman Marx, Lennin dan Mao, sehingga gerakan perlawanan yang muncul pun mulai menunjukkan ciri dan karateristik yang berbeda pula. Bagaimana dinamika dan transformasi gerakan anti kapitalisme global pada era kontemporer?
Kerangka Pemikiran: International Cycle of Struggle Sejak kemunculan Post-marxist di akhir 1960an sampai dengan gerakan anti globalisasi di tahun 1990an hingga saat ini, gerakan anti kapitalisme global terus mengalami transformasi mengikuti perubahan struktur kapitalisme yang terjadi. Dalam melihat transformasi ini, Hardt dan Negri meletakkan fenomena gerakan-gerakan tersebut dalam “Putaran Perlawanan Global” (International Cycle of Struggle). Apa yang dimaksud dengan “Putaran Perlawanan Global” adalah suatu peristiwa resistensi yang melibatkan orang dalam skala masif, namun lebih dari itu, peristiwa tersebut tidak berawal dan berakhir pada momen puncaknya. Jauh-jauh sebelumnya terdapat riak-riak perjuangan dari berbagai macam tempat dengan berbagai tuntutan yang hampir sama, kemudian riak itu membuncah dalam sebuah peristiwa akbar dan terus menyisakan riak-riak residunya hingga jauh kedepan.2 Dalam tiap 2
Michael Hardt dan Antonio Negri, Multitude: War and Democracy in the age of Empire, (London: Penguin Press, 2004), 288
3
putaran perlawanan global terdapat kondisi serupa yang mengawalinya. Dengan demikian, munculnya gerakan tidak bisa dilihat sebagai suatu fenomena yang terpisah-pisah. Ia harus diletakkan dalam suatu epos sejarah yang linear, namun secara bersamaan termanifestasi dalam bentuk dan materialitas yang sesuai dengan konteks spasio temporal dalam periode tertentu. Hal ini akan membutuhkan penelusuran secara historis untuk memahami transformasi dan dinamikanya. Bertolak dari analisis Hardt dan Negri mengenai Global Cycle of Struggle (Putaran Perlawanan Global), penulis akan membuat pemetaan mengenai pola dan karakteristik gerakan perlawanan pada era kontemporer berdasarkan tiga putaran. Putaran pertama ialah tahun akhir 1960an – 1990an yang bisa dikatakan sebagai era gerakan lokal (otonomis dan anarkis) yang meliputi gerakan counterculture di Amerika, Paris’68, dan Zapatista. Putaran kedua ialah akhir tahun 1990an – 2000an yang bisa dikatakan sebagai era gerakan global dimana konteks globalisasi melekat di dalamnya. Putaran ini ditandai dengan munculnya politik anti globalisasi, yang mewujud dalam gerakan-gerakan seperti Battle of Seattle, Gerakan anti WTO di Cancun dan Hongkong, Gerakan Anti G-8, dan World Social Forum. Sedangkan putaran ketiga, penulis sebut sebagai putaran baru karena gerakan ini memiliki pola yang berbeda dengan putaran sebelumnya. Gerakan pada era ini secara bersamaan bersifat lokal dan global, dalam artian mengadopsi karakteristik dari gerakan lokal ala otonomis/anarkis dan gerakan solidaritas global. Penulis melihat bahwa kecenderungan karakteristik gerakan seperti ini muncul pasca krisis finansial 2008, dibarengi dengan kuatnya pengaruh sosial media. Dalam putaran baru ini, yang dilihat ialah gerakan Arab Spring, Anti Austerity di Eropa, dan Occupy.
Dinamika Putaran Pertama (1960an-1990an): Kemunculan Post Marxism Setelah kegagalan gerakan marxist ortodoks pada era kekalahan Perang Dingin, Gerakan anti-kapitalisme di Abad-20 menemukan kembali wujudnya dalam bentuk Post Marxism, yang dapat dilihat dalam gerakan kelompok anarkis dan otonomia yang berkembang tahun 1970an di Eropa dan Amerika.3 Gerakan anarkis dan otonomis mengedepankan aksi langsung spontan, penciptaan “zona otonom temporer” yang dikatakan sebagai zona yang bebas dari kontrol negara, dan menolak struktur hierarkis institusional. Gerakan-gerakan semacam ini telah berkembang sejak akhir tahun 1960an sebagai gerakan 3
Anarkisme dan Otonomia berada dalam mahzab Post Marxist yang muncul sebagai pembaharuan dari kegagalan marxisme tradisionalis. Pada masa itu, gerakan partai buruh yang dianggap otoriter dan gagal menciptakan perubahan.
4
sayap kiri non-partisan, yang sering dikarakterisasikan dengan protes yang kaya akan perayaan dan karnival. Prinsip dari gerakan otonomis dan anarkis tidak ditujukan untuk mengambil alih institusi negara dan kekuasaan melainkan untuk menciptakan masyarakat yang independen dari kekuasaan dan budaya mainstream. Mereka bergerak dengan mengedepankan cara pengorganisasian non-hierarkis, terdesentralisasi, fleksibel, dan struktur otonom yang diyakini sebagai cara terbaik untuk menjaga keragaman dan mempromosikan anti-otoritarian. Sedangkan, Roger Burbach, salah seorang pemikir politik anti-globalisasi AS menyatakan bahwa gerakan otonomis dan anarkis merupakan gerakan postmodern dalam artian bahwa mereka tidak mengedepankan logika rasional yang jelas. Aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan tidak dapat berjalan dalam institusi politik modern seperti partai dan tidak dapat berjalan dalam penerimaan terhadap kekuatan negara. Gerakan ini berfungsi dari akar sebagai basis-basis “pemberontakan” yang permanen, menempatkan tuntutan-tuntutan pada seluruh aspek kekuasaan secara kontinyu.4 Gerakan seperti ini juga sering disebut sebagai New Left karena memberikan kritik dan alternative bagi marxist tradisional yang mengedepakan komando sentral dan kepemimpinan hierarkis yang telah banyak terkooptasi oleh kekuatan negara dan kapital di era modern. Gerakan otonomis dan anarkis ini justru lebih cenderung bersifat anti-power. Dalam hal ini, mereka mengkonstruksi suatu bentuk relasi sosial baru yang dimulai dari pergerakan dan kemudian terus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Cara baru untuk melakukan perlawanan, dengan demikian, bagi kaum otonomis dan anarkis, terjadi saat ini dan sekarang (tidak hanya menunggu momentum), dan merupakan suatu perjuangan sehari-hari dari orangorang di seluruh dunia (tidak hanya kelas buruh).5 Karena pengambil-alihan kekuatan negara ala marxist ortodoks sudah tidak dianggap relevan, gerakan-gerakan pada era ini akhirnya terfragmentasi ke dalam berbagai isu yang beragam. Gerakan-gerakan ini mencakup diantaranya counterculture, hippies, gerakan anti perang, anti nuklir, gerakan menuntut hakhak sipil kulit hitam, minoritas, dan LGBT, gerakan lingkungan yang kesemuanya dapat dilihat dalam mobilisasi-mobilisasi besar di Amerika, Jerman, Italia dan yang paling besar Paris’68 pada tahun 1960an hingga 1980an. Sedangkan di negara berkembang, gerakan alternatif terhadap kapitalisme global juga dipengaruhi oleh perkembangan kajian post-development di negara-negara dunia ketiga. Postdevelopmentalis tidak berupaya untuk mereintegrasi atau menginklusi masyarakat dan 4 5
David Graeber, “The New Anarchist,” New Left Review II (2002): 61-73. John Holloway, Change The World Without Taking Power (London: Pluto, 2002).
5
ekonomi kedalam pembangunan global. Mereka membentuk suatu alternative yang dapat membebaskan imajinasi manusia dari homogenisasi modernitas.6 Pembebasan ini dapat dilakukan dengan cara memenagkan otentisitas gerakan akar rumput.7 Dalam prakteknya, hal ini melibatkan dukungan lokal dan masyarakat suku/daerah dalam membangun dan menata ulang kehidupan diluar mekanisme pasar. Strategi-strategi tersebut dikatakan sebagai bentuk alternatif kultural terhadap modernitas yang banyak dibentuk oleh dari praktek-praktek perlawanan dari kelompok-kelompok subaltern. Marginalisasi ini dengan demikian tidak seharusnya menjadi suatu alasan penyeasalan, sebaliknya, melainkan justru menciptakan potensi penemuan kembali ruang-ruang otonom, atau “new commons” diluar ekonomi dan kehidupan modern.8 Gerakan otonomis di negara-negara dunia ketiga dapat dilihat pada gerakan Zapatista di Mexico, Gerakan MST di Brazil, dan gerakan Chipko di India pada 1980-1990an. Dinamika Putaran Kedua (1999 – 2000an): Globalisasi Neoliberal dan Perlawanannya Memasuki akhir 1990an hingga 2000an dimana globalisasi memberikan pengaruh yang sangat kuat pada setiap lini kehidupan, gerakan alternatif terhadap kapitalisme mulai muncul dari masyarakat sipil global yang terwujud dalam berbagai aktivitas NGO. Teori-teori tentang NGO sebenarnya muncul pada tahun 1980an, ketika NGO banyak diidentifikasi sebagai third sector, atau agensi pembangunan yang terhubung secara langsung dengan neoliberalisme. Namun demikian, tidak semua NGO bergerak dalam rangka pembangunan neoliberal. Nyatanya banyak NGO yang bersifat kritis terhadap kebijakan pemerintah neoliberal seperti kebijakan structural adjustment program yang dimaktubkan dalam kerangka Washington Concensus. Terkait agenda ini, sejumlah NGO dibidang ekonomi, pembangunan, lingkungan, dan perempuan terlibat dalam berbagai upaya advokasi transnasional menuntut adanya global justice. Mereka mempromosikan sebuah kebijakan (baik itu reformis maupun alternatif) dalam berbagai pertemuan internasional yang berupaya untuk meminimalisir atau mengadvokasi dampak dari agenda kebijakan neoliberal bagi masyarakat di tingkat bawah. Bagi beberapa penteori, NGO seperti ini merupakan bagian dari masyarakat sipil global yang mempromosikan globalisasi dari bawah (globalization from bellow) yang menentang globalisasi neoliberal ‘dari atas’. Globalisasi dipandang telah mempromosikan 6
Ibid., 230 Gustavo Esteva dan Madhi Prakash, “From Global Thinking To Local Thinking” dalam The Post-Development Reader, edt M. Rahnema dan V. Bawtee (London: Zed, 1997) 8 Ibid. 7
6
sebuah bentuk politik radikal baru yang berakar pada diri masyarakat sipil global. Hal ini diperkuat oleh argumen Richard Falk’s yang menyatakan bahwa globalisasi dari atas telah berdampak pada suburnya counter hegemony globalisasi dari bawah.9 Dalam konteks ini, masyarakat sipil global dapat dilihat dalam bentuk gerakan trans-nasional yang bersifat people-centred (transnational social movement), gerakan solidaritas global, dan NGO. Globalisasi dari atas, menurut Falk, dapat ditandai dengan tumbuhnya kekuatan dan dominasi transnational corporations (TNCs), institusi keuangan global (IMF dan WTO), dan disertai dengan menurunnya kedaulatan negara.10 Globalisasi yang berkerja melalui kompresi ruang dan waktu memicu tumbuhnya kampanye politik perlawanan, media baru, mobilitas yang lebih besar, dan menyebarnya norma global seperti HAM dan demokrasi. Hal ini dapat direfleksikan pada tumbuhnya keanggotaan INGO, yang tumbuh sebanyak 72 persen sepanjang tahun 1990 hingga 200011 dan tumbuhnya pertemuan masyarakat sipil internasional, tak terkecuali gerakan solidaritas global.12 Michael Hardt melihat fenomena solidaritas global/ gerakan sosial transnasional ini sebagai bentuk pengorganisasian gerakan berjejaring. Gerakan berjejaring yang dimaksud Hardt berbeda dengan gerakan yang diorganisasi secara klasik melalui partai politik, atau kelompok kepentingan yang melakukan tekanan terhadap negara secara represif maupun reformis. Gerakann berjejaring menurut Hardt ialah gerakan yang berdasarkan jejaring horizontal, melampaui institusi nasional, yang mengusulkan sebuah ‘demokratisasi atas proses-pross globalisasi’, melawan struktur global yang hirarkis.13 Dengan demikian, counter hegemonic globalization menggunakan strategi bottom-up. Gerakan anti globalisasi ini dapat dilihat dalam berbagai mobilisasi, seperti Battle of Seatle 1999 menolak WTO, gerakangerakan protes terhadap pertemuan KTT rezim neoliberal, dan juga gerakan World Social Forum sebagai tandingan dari World Economic Forum. Dinamika Putaran Ketiga (2011 – saat ini): Kebangkitan Gerakan Baru Putaran ini dimulai pada tahun 2011 ketika mobilisasi massa menjadi suatu fenomena besar yang banyak diperbincangkan oleh media internasional. Pada akhir tahun 2011, majalah TIME merilis para pemrotes (The Protesters) sebagai person of the year-nya. Hal ini terjadi Richard Falk, “Global Civil Society and The Democratic Prospect”, dalam Global Democracy, edt. Barry Holden (London: Routledge, 2000), 49 10 Ibid. 11 Mario Pianta, “Paralel Summits of Global Civil Society”, dalam Global Civil Society, edt. Helmut Anheier (Oxford: Oxford University Press, 2001), 80-81 12 Ibid. 13 Michael Hardt dan Antonio Negri, Empire, (Cambridge, MA: Harvard Universsity Press, 2000). 9
7
diluar kebiasaan majalah TIME yang biasa menempatkan sosok-sosok terkenal sebagai person of the year, seperti Obama, Mark Zuckenberg, dan Kate Middleton. Tentu ada alasan kuat yang mendasari pemilihan “para pemrotes” yang hanyalah orang-orang biasa yang turun ke jalan, sebagai person of the year. Dalam story cover-nya, TIME bahkan menyebut para pemrotes sebagai pencetak sejarah baru; "Massive and effective street protest was a global oxymoron until — suddenly, shockingly — starting exactly a year ago, it became the defining trope of our times. And the protester once again became a maker of history.”14 Gerakan anti kapitalisme sebelumnya tidak menjadi sesuatu yang banyak dilirik dan diperbincangkan, terutama setelah era “kemenangan neoliberalisme” yang didengungkan Fukuyama dalam thesis The End of History yang sangat terkenal. Namun kemunculan gerakan protes secara masif di tahun 2011 seolah menunjukkan fakta lain dan membuat kita harus mempermasalahkan kembali tesis Fukuyama tersebut. Masifnya gerakan protes terhadap kapitalisme yang terjadi di banyak negara pada era ini seolah menjadi momen kebangkitan kembali gerakan anti kapitalisme, setelah sebelumnya, gerakan semacam ini di tahun 1990an sempat tidak mendapat pengakuan yang berarti di mata internasional. Bagaimana sebenarnya gerakan-gerakan perlawanan mengalami momen kebangkitannya di era ini? Lalu apakah putaran ini mengindikasikan adanya kebaruan dari gerakan-gerakan yang ada? Fenomena ini berawal dari Tunisia, dimana kekuasaaan dan gaya hidup mewah pemerintah diktator telah berjalan melampaui ambang batas kesabaran rakyat. Seorang pemuda berusia 26 tahun bernama Mohamed Bouazizi pada akhirnya menjadi pemantik revolusi setelah ia membakar diri pada 17 Desember 2010 sebagai bentuk kemarahan atas kemiskinan dan kesewenangan aparat terhadap dirinya. Aksi nekat pemuda ini pada akhirnya berhasil membuka kesadaran rakyat untuk pada akhirnya berdiri dan melawan. Melalui video amatir yang dikirim pada stasiun TV Al Jazera dan diupload di facebook, youtube, dan twitter, gerakan ini berhasil memobilisasi massa untuk turun ke jalan menuntut presiden Tunisia turun dari jabatannya. Setelah kematian Mohamed Bouazizi pada 4 Januari 2011, revolusi menjadi semakin besar, tak terkendali, dan memakan sejumlah korban. Tiga minggu masa revolusi spontan dan heroik ini pada akhirnya diakhiri dengan mundurnya Presiden Ben Ali dan berakhirnya rezim otokrat yang dipimpinnya. Tidak hanya berhenti disini, revolusi
Kurt Andersen, “The Protester,” http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2101745_2102132_2102373,00.html tanggal 12 Mei 2013 14
dalam diakses
8
Tunisia berhasil membawa efek domino bagi lahir revolusi-revolusi lain di wilayah Arab, termasuk Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah. Hampir sama seperti Tunisia, revolusi Mesir juga dimulai dari solidaritas terhadap seorang pemuda bernama Khaled Said yang mendapat kekerasan dan dihukum mati oleh Aparat akibat telah menghack telefon selular dan mengunggah video seorang polisi yang sedang bertransaksi narkotika. Wael Ghonim, pemuda 29 tahun yang bekerja sebagai eksekutif google, membuat sebuah halaman facebook bernama “We are all Khaled Said” untuk mengenang dan memobilisasi solidaritas.15 Halaman ini pada akhirnya menjadi viral. Pada bulan Januari, dari Dubai Ghonim kembali ke Mesir dan mempersiapkan sebuah aksi protes untuk tanggal 25 Januari di Tahrir Square. Berbagai aktivis diundang untuk berkolaborasi. Mereka bertemu secara online dan langsung. Sampai pada akhirnya aksi protes menjadi sebuah aksi besar dengan 4.5 juta massa16 dari berbagai kelompok: liberal, islamis, sosialis, laki-laki, perempuan berhijab maupun tidak berhijab, muslim, kristen, tua, muda yang menuntut satu tuntutan yang sama: mundurnya presiden Mubarak. Pada 11 Februari 2011, akhirnya rezim otoriter liberal Hosni Mubarak berhasil ditumbangkan. Sebuah fantasi demokrasi langsung yang hampir tidak mungkin terjadi di wilayah Arab, telah mencapai momentumnya, menyebar tidak hanya di negara soft monarki seperti Jordan, Bahrain, Morocco, tetapi juga sampai pada negara hardcore dikatator seperti Syria dan Libya. Pada musim semi di bulan Mei, gerakan Arab Spring menyebar di belahan bumi Eropa. Pada tanggal 15 Mei 2015, puluhan ribu orang melakukan aksi demonstrasi di Madrid Plaza, bersamaan dengan puluhan ribu massa di kota-kota lain di Spanyol. Tidak jauh berbeda dengan tuntutan-tuntutan dan permasalahan yang melatarbelakangi gerakan Arab Spring, gerakan ini lahir karena kemarahan rakyat akibat situasi krisis perekonomian Eropa yang mengakibatkan tingginya inflasi dan banyaknya pengangguran serta situasi politik yang memanas pada masa pemilu. Atas rasa kemarahan dan frustasi ini, para demonstran menamakan diri mereka sebagai Los Indignados atau The Outraged (Yang Tersakiti). Lain halnya dengan Arab Spring yang menuntut mundurnya presiden atau rezim, gerakan ini tidak secara spesifik menujukan kemarahan terhadap pemerintah dan rezim, melainkan kepada “si kaya” atau penguasa sistem ekonomi seperti korporasi, perbankan, dan politisi. Hal ini dapat dilihat dari salah satu slogan mereka yang berbunyi “We are not goods in the hands of politicians and banker.”17
15
Ibid Ibid 17 Ibid. 16
9
Aksi 15 Mei berubah menjadi aksi perkemahan dan pendudukan selama berbulanbulan. Apa yang mereka lakukan hampir sama dan dapat dijumpai dalam gerakan otonomis/anarkis tahun 1960an. Taktik seperti ini akhirnya menjadi sebuah karakteristik yang mencirikan gerakan gerakan perlawanan di tahun 2011, yang mana dapat disebut sebagai perlawanan komunal. Selain taktik anarki yang erat dicirikan dengan pembangunan tendatenda komune, gerakan ini dikatakan sebagai gerakan komunal karena tidak hanya terpusat di satu tempat dan satu momen, melainkan tersebar di berbagai daerah di Spanyol. Sebanyak 6 juta populasi dari total 46 juta populasi Spanyol, turut serta dalam gerakan Indignados di berbagai daerahnya masing-masing.18 Sepuluh hari setelah protes Madrid, gerakan protes menular ke Yunani dan berhasil memobilisasi 500.000 masa.19 Protes Yunani berlangsung selama kurang lebih satu bulan, dengan isu yang sama seperti gerakan-gerakan sebelumnya: lapangan kerja yang langka, biaya hidup yang terlalu tinggi, politisi yang dianggap korup, dan tingginya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Kondisi ini memang tidak dapat lepas dari krisis Eropa dimana Yunani menjadi negara paling besar terkena dampak, selain Italia dan Spanyol. Gerakan yang hampir sama juga dapat dijumpai di Israel. Sebanyak 150 pemuda mengadakan demonstrasi dan mendirikan tenda di Tel Aviv, menuntut isu yang hampir sama. Tidak lama sesudahnya, hampir di seluruh kota dapat dijumpai ratusan tenda yang dibangun. Sebagai finalnya, pada awal September, gerakan berhasil memobilisasi 7.7 juta massa untuk berdemonstrasi dan meneriakkan slogan “the people for social justice!” Pada bulan Agustus, di Inggris, kemarahan yang sama juga menyulut gerakan yang terkenal dengan nama London Riots, walaupun pada akhirnya gerakan ini sedikit menuai simpati akibat banyaknya kekerasan yang dilakukan pemrotes. Setelah wilayah Arab dan Eropa, tiba giliran AS menuai momentum revolusi dengan nama Occupy Wall Street (OWS). Pada akhir Juli, para inisiator OWS mengadakan pertemuan dengan para ‘veteran’ protestor gerakan di Spanyol, Yunani, dan Timur Tengah untuk membicarakan rencana aksi OWS yang akan diselenggarakan di AS. Pertemuan diselenggarakan di sebuah taman terbuka di daerah distrik finansial New York. Pertemuan itu dihadiri oleh David Graeber, seorang antropolog ternama AS sekaligus aktivis pro-anarkis. Dalam pertemuan tersebut, disepakatilah pemaktuban standar ideologi dan pemikiran ‘kiri’ ke dalam tuntutan-tuntutan yang akan diajukan, yang salah satu diantaranya adalah menolak adanya penghematan dalam anggaran pengeluaran pemerintah. Perlahan namun pasti, Graeber 18 19
Ibid. Ibid.
10
dan seorang rekannya memasukkan sebuah ide untuk visi jangka panjang: perkemahan jangka panjang dalam ruang publik, improvisasi desa-protes demokratik tanpa pemimpin, komitmen terhadap krtitk-kritik umum seperti perekonomian yang rusak, politik yang rusak oleh uang – namun tidak menuntut demand langsung untuk tindakan eksekutif dan legislatif tertentu. Dalam pertemuan ini, Graeber jugalah yang mencetuskan slogan “we are the 99%!”. Pada tanggal 17 September 2011, OWS kemudian menjadi sebuah long march besar di sepanjang Manhattan Financial District New York yang diikuti oleh ribuan orang. Sebulan sesudahnya, dengan menggunakan jaringan internet, tepatnya pada tanggal 15 Oktober 2011 digagaslah gerakan serupa yang serempak secara global dalam Global Day Of Action. Pada hari itu pula, aksi ini telah berhasil memobilisasi jutaan masa di berbagai 80 kota di seluruh dunia. Dari Wall Street, semangat Occupy telah berhasil mengglobal melalui Occupy Everywhere, memobilisasi dan mempersatukan jutaan orang di seluruh dunia dengan slogan “Global Revolution”dan tuntutan sama yang dikaitkan dengan krisis ekonomi 2008. Persebaran Occupy tidak hanya berlangsung seperti Arab Spring yang hanya mempengaruhi satu kawasan, melainkan antar kawasan bahkan secara global. Dalam melihat hal ini, David Graeber, antropolog sosial dari University of London menyatakan: “The civil rights movement (at least, its more radical branches), the anti-nuclear movement, the global justice movement … all took similar directions. Never, however, has one grown so startlingly quickly.”20 Sampai tahun 2012 saja, persebaran Occupy telah mencapai 951 kota di 82 negara.21 Tuntutan-tuntutan yang dilayangkan oleh gerakan OWS tidak bersifat spesifik seperti kenaikan gaji yang sering dituntut para buruh, ataupun pengusutan kasus korupsi yang sering dituntut oleh mahasiswa. OWS juga tidak menuntut pergantian kepemimpinan seperti Arab Spring. Tuntutan-tuntutan di dalam gerakan Occupy meliputi berbagai sektor dan permasalahan namun dilayangkan pada sistem, dalam hal ini sistem finansial dimana Wall Street menjadi maskotnya. Hal ini dapat dilihat dalam orasi Slavoc Zizek dihadapan occupiers pada Oktober 2011; “….Remember. The problem is not corruption or greed. The problem is the system. It forces you to be corrupt…”22
David Graeber, “Occupy and anarchism's gift of democracy,” dalam http://www.guardian.co.uk/commentisfree/cifamerica/2011/nov/15/occupy-anarchism-gift-democracy diakses pada 8 Januari 2013 21 Simon Rogers, “Occupy Protest World List Map,” dalam http://www.guardian.co.uk/news/datablog/2011/oct/17/occupy-protests-world-list-map#data diakses pada 13 Mei 2013 22 Sarahana, “Slavoc Zizek Speaks at Occupy Wall Street: Transcript,” dalam http://www.imposemagazine.com/bytes/slavoj-zizek-at-occupy-wall-street-transcript diakses pada 13 Mei 2013 20
11
Occupy tidak secara eksklusif berdiri untuk mewakili dan memperjuangkan kelompok maupun isu-isu tertentu. Ia mewakili kepentingan dari para individu maupun kelompok yang beragam. Diantara mereka terdapat kelompok-kelompok peduli lingkungan, kelompok kebangsaan atau etnis, mahasiswa, pedagang, imigran, ibu rumah tangga, pekerja, dan lain sebagainya. Karena terdiri dari individu yang sangat beragam, tidak bisa disatukan dalam satu identitas, Occupy sering juga disebut sebagai gerakan anonymous (gerakan tanpa nama). Mereka juga menamakan dirinya sebagai 99% yang berarti mayoritas rakyat melawan kekuasaan korporasi yang hanya sebesar 1%. 99% merupakan simbol perlawanan mayoritas terhadap tirani kekuasaan 1% yang disebut sebagai kapitalisme global. Occupy bergerak berdasarkan jejaring yang tersebar. Hal ini tidak bisa lepas dari peran internet khususnya media sosial yang secara intens memicu berkembangnya masyarakat berjejaring. Karena melibatkan jaringan yang kompleks, Ocuupy tidak memiliki tokoh atau pemimpin sentral sehingga sering disebut sebagai gerakan leaderless (tanpa pemimpin). Mereka juga tidak hanya menggunakan metode aksi langung turun ke jalan seperti mobilisasi masa kebanyakan. Namun, mereka juga mendirikan tenda-tenda di taman publik untuk mendemonstrasikan secara langsung sebuah alternatif budaya dan gaya hidup baru. Di tenda itu dilaksanakan kegiatan-kegiatan diskusi, majelis rakyat, koperasi rakyat, perpustakaan umum, dapur umum, dan rumah sakit umum. Sosial media memiliki peran yang sangat signifikan bagi persebaran gerakan-gerakan di era ini. Apabila pada Arab Spring, penggunaan kampanye internet sempat diblok oleh pemerintah, tidak demikian halnya dengan gerakan di Eropa dan Amerika yang dapat secara bebas menggunakan akses internet. Dalam gerakan-gerakan tersebut, sosial media, terutama twitter dan facebook adalah platform komunikasi utama saling menyebarkan pesan diantara para protestor. Fasilitas hashtag (#) yang ada di twitter mampu membuat pesan-pesan personal dalam suatu topik hashtag (#) dapat sampai secara real time. Fasilitas halaman facebook juga memungkinkan gerakan-gerakan ini mengkampanyekan isu dan mendapatkan dukungan dari seluruh dunia. Begitu pula dengan youtube yang memungkinkan protestor untuk mengunggah video secara amatir tanpa harus menunggu pemberitaan media. Peran internet dan sosial media lah yang memungkinkan gerakan di era ini menyebar bagai virus (viral) ke seluruh dunia. Sosial media juga memungkinkan gerakan dan tuntutan lokal bergerak serempak secara global.
12
Kesimpulan: Pemetaan Dinamika Gerakan Perlawanan pada Putaran I, II, III Dalam melakukan pemetaan ini, penulis berangkat dari asumsi bahwa gerakan perlawanan merupakan sesuatu peristiwa yang telah dan akan selalu terjadi dalam sejarah kapitalisme yang linear, tetapi di sisi lain ia mengalami transformasi yang disesuaikan dengan konteks spasio-temporal yang juga berubah dari berbagai periode. Dalam melihat transformasi secara spesifik dan empirik, penulis melihat adanya konteks atau struktur yang berubah, yang juga diikuti oleh perubahan fitur atau karakterisktik gerakan yang meresponnya. Fitur-fitur tersebut antara lain: aktor, tuntutan/isu, dan metode/strategi. Secara keseluruhan pemetaan dinamika dan transformasi gerakan anti kapitalisme global kontemporer dapat dilihat pada tabel berikut: KARAKTERISTIK
PUTARAN I (1960an – 1990an) Kapitalisme PostKonteks Spasio- Industri dan politik Temporal pasca modern, Kemunculan Post Marxism/New Left 1960an Gerakan Counterculture, Paris’68, Zapatista
PUTARAN II (1999- 2000an) Globalisasi neoliberal 1990an: liberalisasi pedagangan dan structural adjustment program Battle of Seattle, Gerakan Solidaritas Global / Global Justice, World Social Forum
PUTARAN III (2011 – Sekarang)
Skup
Lokal
Global
Aktor
Gender, cultural, minority, local group, kelas menengah terdidik (mahasiswa), serikat pekerja dan petani
NGO, Civil Society, Identitas aktor Serikat pekerja dan beragam yang petani semakin abstrak, seperti The 99 %, Los Indignados, anonymous
Tuntutan
Membangun alternatif berbasis budaya lokal, perubahan di tingkat individu dan kehidupan seharihari
Perubahan di level sistem global, penolakan terhadap hegemoni kapitalisme global (kekuatan korporasi dan institusi internasional seperti IMF dan WTO)
Krisis kapitalisme finansial 2008 dan munculnya sosial media Arab Spring, AntiAusterity, Occupy
Secara bersamaan bersifat global dan lokal Glokal (global-lokal)
Kombinasi antara membangun alternatif lokal dan penolakan terhadap sistem kapitalisme global finansial
13
Pada spesifikasi aktor, pada dasarnya gerakan perlawanan pada era kontemporer (post marxist) memiliki satu benang persamaan, yaitu ia tidak lagi didominasi oleh aktor buruh maupun petani seperti pada era kapitalisme industri. Kemunculan aktor baru yang lebih beragam menjadi titik penting. Perbedaan dapat dilihat dari bagaimana aktor-aktor tersebut membentuk identitas bersama. Pada putaran pertama dapat dilihat bahwa identitas aktor masih terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang bergerak pada sektor isu yang berbeda. Namun pada putaran kedua, mulai muncul kesadaran akan pembentukan identitas bersama secara global, sehingga muncul global civil society yang terorganisir dalam NGO. Namun demikian, civil society dan NGO cenderung belum dapat mengakomodasi mereka yang ada pada gerakan lokal dan mereka yang tidak terafiliasi dalam organisasi apapun. Pada putaran ketiga, penulis melihat adanya perubahan, dimana identitas aktor menjadi semakin kabur dan abstrak. Dalam era ini, aktor-aktor yang datang dari latar-belakang yang beragam organisasi atau individu menyatukan identitas ke dalam bentuk yang lebih abstrak dan lebih inklusif, seperti The 99% atau Los Indignados (yang tersakiti). Pada spesifikasi tuntutan, perubahan dapat dilihat bahwa tuntutan-tuntutan yang semula bersifat sektoral dan lokal (ada dalam batas teritori negara) telah mengalami perubahan ketika globalisasi datang. Pada era globalisasi, tuntutan mulai diarahkan pada rezim diluar negara, yaitu rezim kapitalisme global yang diwakili oleh korporasi dan institusi internasional seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia. Tuntutan-tuntutan pada putaran pertama yang menuntut perubahan lebih ke arah kultural individu mengalami perubahan di era globalisasi, dimana lebih cenderung bersifat politik dan mengarah pada perubahan kebijakan negara dan level sistem internasional. Pada putaran ketiga, kebaruan dapat dilihat ketika tuntutan dilayangkan secara dua arah, yaitu perubahan di level individu dan sistem (terutama sistem kapitalisme finansial). Kebaruan tuntutan ini dapat kita lihat dari bagaimana gerakan Occupy dan Indignados masih tetap menerapkan prisnsip gerakan anarkis, namun di sisi lain tuntutan akan perubahan di level sistem global menempati posisi yang juga cukup signifikan. Dari segi metode, pada dasarnya gerakan-gerakan pada putaran pertama, kedua, dan ketiga mengambil bentuk metode yang sama, yaitu anti-hierarki (menolak kepemimpinan terpusat) dan mengedepankan jejaring kelompok maupun individu. Perbedaan metode/strategi dapat ditemui pada era putaran ketiga ketiga, dimana penggunaan sosial media menempati posisi yang signifikan, sehingga memungkinkan gerakan pada era ini melakukan strategistrategi lokal, namun serempak secara global.
14
Daftar Pustaka Buku: Esteva, Gustavo dan Madhi Prakash. “From Global Thinking To Local Thinking.” Diedit oleh M. Rahnema dan V. Bawtee. London: Zed, 1997. Falk, Richard. “Global Civil Society and The Democratic Prospect.” Diedit oleh Barry Holden. London: Routledge, 2000. Hardt, Michael dan Antonio Negri. Empire. Cambridge, MA: Harvard Universsity Press, 2000. Hardt, Michael dan Antonio Negri. Multitude: War and Democracy in the age of Empire. London: Penguin Press, 2004. Holloway, John. Change The World Without Taking Power. London: Pluto, 2002. Pianta, Mario. “Paralel Summits of Global Civil Society.”Diedit oleh Helmut Anheier. Oxford: Oxford University Press, 2001. Jurnal: Easterling, Stuart. “Marx’s Theory of Economic Crisis.” International Socialist Review 32, (2003) Graeber, David. “The New Anarchist.” New Left Review II, (2002) Websites: David
Graeber, “Occupy and anarchism's gift of democracy,” dalam http://www.guardian.co.uk/commentisfree/cifamerica/2011/nov/15/occupy-anarchismgift-democracy diakses pada 8 Januari 2013
Kurt
Andersen, “The Protester,” dalam http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2101745_2102132_2102 373,00.html diakses tanggal 12 Mei 2013
Sarahana, “Slavoc Zizek Speaks at Occupy Wall Street: Transcript,” dalam http://www.imposemagazine.com/bytes/slavoj-zizek-at-occupy-wall-street-transcript diakses pada 13 Mei 2013 Simon
Rogers, “Occupy Protest World List Map,” dalam http://www.guardian.co.uk/news/datablog/2011/oct/17/occupy-protests-world-listmap#data diakses pada 13 Mei 2013