Edisi September 2016
PEMBUKAAN JWFMD – dari kiri ke kanan: Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Rosarita Niken Widyastuti, Rektor UMN, Ninok Leksono, Chairman GFMD, Leon Willems, berfoto bersama saat pembukaan JWFMD, 20 September 2016, di Kampus UMN, Serpong, Tangerang. (foto: UMN)
Dewan Pers Sukses Selenggarakan JWFMD
Kebhinekaan dan Keberagaman Indonesia
Dikecam, Kekerasan terhadap Wartawan Etika | September 2016
Ilustrasi: gaming-tools.com
1
Berita Utama
Dewan Pers Sukses Selenggarakan JWFMD
SAMBUTAN- Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo memberikan sambutan pada pembukaan JWFMD 20 September 2016 di kampus UMN, Serpong, Tangerang.
D
ewan Pers bekerja sama dengan Gl ob al For um for Media Development (GFMD) dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) suks es menyelenggarakan Jakarta World For um for Media Development (JWFMD) pada 20-22 September 2016. Forum ini dihadiri sekitar 500 peserta dari 62 negara, dari kalangan jurnalis, akademisi, praktisi dan pegiat media. Seluruh rangkaian forum pertemuan dilaksanakan di
2
Etika | September 2016
kampus Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang Dengan tema utama “Decoding the Future: Rethinking Media for a New World,” (Memetakan Masa Depan: Mengkaji Ulang Peran Media di Era Dunia Baru), forum menjadi wahana tukar pengalaman, gagasan, berbagi pengetahuan teknologi komunikasi terbaru, dan pemaparan hasil riset media. Forum juga menawarkan solusi praktis menghadapi tantangan
baru industri media, seperti teknik meliput, mengakses informasi, dan melindungi wartawan. Forum juga mendiskusikan peran media dalam merespon agenda kelompok radikal, melihat trend media di kawasan Asia, serta menggagas berbagai inovasi yang ditawarkan media baru. Forum dibuka secara resmi oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, yang diwakilkan kepada D irektur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Rosarita Niken Widyastuti. Dalam sambutan tertulis, Menkominfo
Berita Utama memperkenalkan Negara Indonesia dengan s egala keunikan dan kelebihannya. Wilayah NKRI terbentang luas dari Sabang hingga Merauke, terdiri dari 17.508 pulau, dihuni oleh penduduk sebesar 254,9 juta jiwa dengan 1.331 suku bangsa, 746 bahasa daerah, dengan garis pantai sepanjang 99.093 km persegi. Menguraikan tantangan yang dihadapi dalam membangun Indonesia, khususnya dalam mengembangkan infrastruktur telekomunikasi, dan pemanfaatan teknologi informasi. Menkominfo juga memaparkan problema spesifik yang dihadapi Indonesia, dalam kaitan dengan pengaruh globalisasi, radikalisme, pornografi, dan pengaruh buruk budaya lainnya pada generasi muda. Serta bagaimana Pemerintah Indonesia berupaya mengkonter penetrasi budaya asing tersebut dengan tetap menegakkan kemerdekaan pers, keterbukaan informasi, dan nilai-nilai demokrasi. Selain itu, juga disampaikan program-program spesifik yang dikembangkan oleh Menkominfo, seperti Roadmap E-commerce, implementasi teknologi 4.5 G., dan Proyek Palapa Ring. Simbol transisi Sebelum pidato pembukaan oleh Menkominfo, Leon Willems, Chairman Global Forum Media for Development mengungkapkan, Jakarta merupakan tempat ideal untuk mendiskusikan tren media terbaru. “Selain menjadi simbol suksesnya transisi demokrasi, Jakarta juga dikenal sangat cepat mengadopsi teknologi informasi, s ep erti me dia s osial, untuk menyuarakan hak publik dan partisipasi politik. Jakarta berada
“
World Forum for Media Development 2016 menghadirkan lebih dari 80 pembicara dari mancanegara, 15 pembicara diantaranya dari Indonesia. Diskusi dibagi menjadi lima subtema: Media di Asia, Ekstrimisme, Media dan Bisnis, Khalayak Media, serta Teknologi.
“
di persilangan berbagai agama dan budaya, dan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dari berbagi sektor” Sementara itu, Yos ep Adi Pras etyo, Ketua D ewan Pers menyampaikan, penyelenggaraan WFMD di Jakarta merupakan prestasi bagi Indonesia. Melalui World Forum ini, tersedia forum bagi jurnalis, akademisi, dan pegiat media di Indonesia untuk berdiskusi dan membahas secara mendalam isu-isu jurnalisme di Indonesia dalam kancah internasional. ‘Kita berharap bisa mendapatkan p ersp ektif dan komparasi menyangkut independensi media, konglomerasi media, perkembangan media sosial, efek pengembangan teknologi digital, serta isu terorisme,” ucapnya. Rektor Universitas Multimedia Nusantara, Ninok Leksono, selaku tuan rumah menyampaikan rasa hormat mendapat tanggung jawab sebagai tuan rumah WFMD 2016. Forum ini, menurut Ninok Leksono, diselenggarakan pada saat yang tepat ketika industri media didera oleh serangan tsunami media digital. ‘Media tradisional digerus oleh media digital, fenomena media sosial yang menjadi media-nya generasi Y,’ kata Ninok, sembari mengharapkan WFMD dapat merumuskan berbagai rekomendasi penting dan membangun kerjasama antar berbagai individu dan lembaga yang terlibat dalam forum ini. W o r l d Fo r u m fo r M e d i a
Development 2016 menghadirkan lebih dari 80 pembicara dari m a n c a n e g a ra , 1 5 p e mb i c a ra diantaranya dari Indonesia, antara lain, Bambang Harymurti (Tempo), Endi Bayuni (The Jakarta Post), Meidyatama Suryodiningrat (Antara). Diskusi dibagi menjadi lima sub-tema: Media di Asia, Ekstrimisme, Media dan Bisnis, Khalayak Media, serta Teknologi. Sub-tema Asia mendiskusikan apa dan siapa para pemain media di Asia; pengaruh budaya lokal dan model bisnis. Sub-tema Ekstrimisme mendialogkan upaya melawan narasi radikal dengan jurnalisme berkualitas; komitmen pada hak asasi manusia, etika. Sun-tema Media dan Bisnis membicarakan soal konglomerasi media dan bagaimana m e n j a m i n ke b e r l a n g s u n g a n jurnalisme berkualitas. Sub-tema Audiens, b erupaya memotret karakteristik konsumen media saat ini, bagaimana kebiasaan, harapan, dan aspirasinya. Sedangkan suntema teknologi, menunjukkan trend terbaru untuk memahami makna kemajuan teknologi bagi masa depan jurnalisme. Selain mendiskusikan lima sub-tema di atas, WFMD 2016 juga membicarakan akses informasi, yang telah ditetapkan dalam program PBB, Sustainable Development Goals, menyangkut pentingnya koordinasi untuk menciptakan sinergi dalam menghadapi tantangan pembangunan. (LL)
Etika | September 2016
3
Kegiatan
Seminar Literasi Media di Trenggalek
Membedakan Media Profesional Dengan Media Abal-Abal
SUASANA SEMINAR – Suasana seminar literasi media dengan tema “Membedakan Media Profesional dengan Media Abal-abal”, Selasa (13/9/2016) di gedung Bawarasa, Trenggalek. (Foto: Suara Media Nasional)
D
ewan Pers bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, menggelar seminar literasi me dia dengan tema “Membedakan Media Profesional dengan Media Abal-abal”, Selasa (13/9/2016) di gedung Bawarasa, Trenggalek. Seminar ini dihadiri tidak kurang dari 350 peserta yang terdiri dari penyelenggara pemerintah seperti kepala desa, camat dan kepala sekolah serta tokoh-tokoh masyarakat. Hadir juga dalam seminar Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak, Wakil Bupati Moch. Nur Arifin, anggota Forum
4
Etika | September 2016
Koordinasi Pimpinan di Daerah (Forkopimda) Trenggalek dan beberapa anggota DPRD Trenggalek. Seminar yang penuh gairah itu menampilkan para pembicara dari Dewan Pers, Imam Wahyudi (Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers), A. Jimmy Silalahi (Ketua Komisi Hukum) dan Leo Batubara (Ahli pada Pokja Pengaduan) dengan moderator Herutjahjo (anggota Pokja Pengaduan) disertai fisilitator seminar Ismanto (Sekretariat Pengaduan). Menodai profesi P a r a p e mb i c a r a i n t i n y a menyampaikan kerisauan mereka
atas maraknya media abal-abal, media yang produk jurnalistiknya tidak mengindahkan Ko de Etik Jurnalistik seperti disiplin verifikasi, asas keberimbangan, kemudian penuh dengan opini yang menghakimi. Mereka juga mengungkap perilaku jurnalis abalabal, yang menodai profesi mulia jurnalis. Sementara perusahaan pers media semacam itu, menurut para pembicara, umumnya menabrak ketentuan Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers dan Standar Perusahaan Pers Dewan Pers. Perbedaan mendasar antara media profesional dengan media abal-abal, menurut mereka, terletak
Kegiatan pada itikad dan tujuan aktivitasnya. Me dia profesional membuat berita untuk kepentingan umum, yang secara teknis dapat dikenali dengan produk beritanya yang memisahkan antara fakta dan opini, berimbang dan tidak menghakimi sedangkan produk berita media abal-abal tidak memenuhi standar karya jurnalistik baik aspek teknis maupun etis. Para pembicara juga mengajak para penyelenggara pemerintah untuk berani melawan mediamedia abal-abal dengan tidak membiasakan memb erikan sesuatu yang terindikasi suap. Para penyelenggara pemerintah juga tidak perlu gentar terhadap intimidasi yang dilakukan mediamedia semacam itu manakala b ekerja dalam koridor yang benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika pemda memiliki dana pembinaan sebaiknya digunakan untuk meningkatkan ketrampilan wartawan dan mendorong agar para wartawan mengikuti uji kompetensi s ehingga mereka s emakin berkualitas dan menjadi wartawan yang semakin profesional. Seminar ini juga memberi kes empatan kepada p es erta menyampaikan tanggapan dan pertanyaan. Seusai seminar, media setempat berdialog dengan Anggota Dewan Pers didampingi Bupati Emil. Pelanggaran berat Menjawab pertanyaan seusai seminar, Imam Wahyudi mengungkapkan media memang ada yang baik dan buruk, ada yang bermutu dan tidak bermutu. Jika media-media berlaku buruk para p enyelenggara p emerintahan
disarankan untuk tidak segan melaporkan ke Dewan Pers. Pada saat ini, kata Imam, Dewan Pers telah memroses pelanggaran berat yang dilakukan sejumlah media. “Kami lihat sekarang pelanggaran yang mendasar dari produk jurnalistik itu terutama s oal keb erimbangan atau verifikasi. Ini kecenderungannya meningkat, terutama dilakukan oleh media online”, ujarnya seraya menambahkan: “Ini yang membuat kami risau. Sebagai gambaran, Dewan Pers telah mengeluarkan sekitar 10 Pernyataan Pernilaian dan Rekomenendasi (PPR) yang menyatakan bahwa konten mediamedia yang disadukan ke Dewan Pers tidak memenuhi syarat sebagai media profesional”. Imam mengatakan, kini terlihat kecenderungan pers menurun kualitasnya. Kaidah jurnalistik yang paling elementer tidak dipenuhi. Banyak media yang beranggapan, produk berita yang dihasilkan tidak perlu segera dikonfirmasi atau diverifikasi kepada pihak yang dirugikan. Yang penting, jika ada pihak yang dirugikan diberi kes empatan memb erikan hak jawab. “Ini pemahaman keliru”, katanya. Setiap berita, kata Imam, yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan. “Hak jawab itu bisa diberikan kalau berita yang dibuat sudah melalui tahapan klarifikasi dari narasumber yang menjadi objek pemberitaan,” katanya. Pada saat yang sama, Imam juga mengingatkan, p erlunya pemahaman aparatur pemerintahan
dan militer terhadap cara kerja p ers. Minimnya p emahaman terhadap sepak terjang pers dapat menghambat kinerja wartawan saat peliputan. “Itu sebabnya kami gencar melakukan pendidikan media atau seminar literasi media ke sejumlah daerah, termasuk ke Trenggalek,” ujarnya. Perlu dikawal B u p at i Tr e n g g a l e k E m i l Elestianto Dardak mengaku terhormat, Dewan Pers bersedia menggelar seminar literasi media di Ttrenggalek. Menurut dia, seperti daerah lain, di Trenggalek juga berkembang industri media. Perkembangan ini perlu dikawal agar sesuai dengan jalurnya sebagai pers profesional. Emil menambahkan, pers bisa berperilaku ekstrim, yakni hanya menghantam perintah atau memujimuji pemerintah. Keduanya tidak baik. Pers profesional senantiasa obyektif. Pers akan mengritisi kebijakan p emerintah, bukan m e nye ra n g p r i b a d i p e j ab at pemerintah. Ia menambahkan, pada saat yang sama pemerintah pun mesti bertindak sesuai dengan tugas utamanya yakni menyejahterakan rakyat. Kritik pers yang tepat akan menjadi cambuk bagi para penyelenggara pemerintahan untuk senantiasa berperilaku bersih dan jujur. “Saya memerlukan kritikkritik pers yang proporsional dan profesional untuk memperbaiki kekurangan yang masih ada”, pungkasnya. (Red)
Etika | September 2016
5
Opini Foto: www.duajurai.com
Kompetensi Wartawan, Kompetisi Pers Oleh: Bagir Manan Bagian Akhir Antar 12 grup besar juga terjadi kompetisi atau persaingan yang hebat. Namun, kompetisi itu acap kali berlawanan arah dengan konsep kompetisi (dalam kebebasan) sebagai sarana menghasilkan dan memberikan yang terbaik yang akan meningkatkan kualitas publik. Unsur kecepatan dan penyajian ekslusif untuk memenangkan persaingan, acapkali melalaikan prinsip-prinsip jurnalistik seperti kehati-hatian (carefulness), akurasi (accuracy), verifikasi (verified), check and recheck, dan lain-lain. Cara lain memenangkan persaingan y a i t u u s a h a m e nye s u a i k a n setinggi-tingginya dengan selera publik. Untuk menghibur publik yang s elalu b ertaruh untuk sekedar mempertahankan hidup, acara lawak merupakan cara mempertinggi rating. Bukan isi, apalagi misi lawak yang penting, tetapi sekedar lawakan agar publik ketawa untuk melupakan sejenak haru biru hidupnya. Bagi anak-anak muda, acara semacam ini menjadi tempat menemukan kesenangan belaka, tanpa suatu perspektif kehidupan mereka di masa depan. Sekedar hura-hura. Karena itu, tidak heran yang diartikan melawak itu adalah dandanan aneh-aneh yang tidak diketemukan lagi di masyarakat, cara bertutur yang aneh-aneh juga. Selera publik berada
6
Etika | September 2016
pada batas itu. Publik tidak butuh menyerap pesan suatu lawakan. Sebetulnya, suatu selera yang tidak ada kaitan dengan mutu publik (baik sebagai hiburan bermutu maupun sebagai pendidikan). Dari kenyataan-kenyataan di atas, kompetisi sebagai suatu konsekwensi kebebasan, tidak atau belum bermakna sebagai cara menghasilkan dan memberikan yang terbaik. Kebebasan berkompetisi sekedar jalan meraih laba atau keuntungan lain para kompetitor. Dalam keadaan demikian, masih agak sulit menjadikan media sebagai cara mengukur kemajuan peradaban baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Tentu ada p ers yang s ep enuhnya bergulat atau pers yang membagi kegiatannya dalam kaitan dengan upaya meningkatkan peradaban. Bagi pers yang sepenuhnya bekerja demi peradaban yang lebih baik, senantiasa penuh resiko bahkan jibaku. Uji kompetensi dan berbagai pendidikan serta pelatihan di kalangan p elaku jurnalistik dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi yaitu kapasitas dan kualitas pelaku jurnalistik (supra). Kompetensi akan meningkatkan daya saing. Pers kecil tetapi diselenggarakan oleh pelaku-pelaku pers yang memiliki kompetensi (kompetensi jurnalistik, kompetensi penguasaan ilmu dan teknologi
dan sistem informasi komunikasi dan jurnalistik, kompetensi atas obyek berita, dan kompetensi managemen), diyakini akan mampu bertahan bahkan berkembang karena akan meraih setinggitingginya kepercayaan publik. Dalam kondisi seperti diutarakan d i at a s , a p a k a h b e r m a k n a meningkatkan kompetensi dalam kaitan kebebasan dengan kompetisi yang sehat (fair compet it ion)? Mungkin pada saat ini pertanyaan itu belum (tidak) relevan. Yang penting bebas dan memenangkan persaingan, walaupun dengan membenarkan segala cara. Karena i t u t i d a k l a h m e n g h e ra n k a n k a l a u u p ay a m e n i n g k at k a n kompetensi pelaku jurnalistik akan membutuhkan waktu yang lama. Seperti diajarkan Thomas Carlile, pers adalah the fourth estate (cabang kekuasaan keempat). Karena itu ada baiknya, sekedar meluaskan pandangan insan pers (terutama wartawan muda), saya tambahkan u ra i a n m e n g e n a i ko m p e t i s i kekuasaan (power competition). Wartawan dengan latarbelakang ilmu politik atau ilmu hukum pernah berhadapan dengan “teori perjanjian”: Hobbes (Leviathan), Rousseau, (Contract Social), Locke (Two Treatises of Civil Government). Menurut para penulis ini, asal mula negara adalah suatu perjanjian sosial antar individu yang bebas (merdeka). Termasuk kebebasan
Opini bersaing. Menurut Hobbes, sebelum ada negara, manusia itu senantiasa bermusuhan satu sama lain yang digambarkan sebagai serigala yang senantiasa bertarung (homo homini lupus, bellum omnium contraomnes, all agaist all). Demi kelangsungan, kedamaian, manusia yang berwatak serigala itu membuat perjanjian d e n g a n m e n u n j u k s e o ra n g penguasa tunggal yang berkuasa mut l a k u n t u k m e m e r i n t a h mereka. Sebaliknya Locke yang m e n g g a mb a r k a n ke h i d u p a n sebelum bernegara dengan individu yang serba bebas sebetulnya penuh kedamaian (suasana surgawi). Locke mengatakan, suasana damai meskipun bebas, karena ada prinsip: “kebebasan seseorang dibatasi kebebasan orang lain”. Tetapi suasana
damai itu penuh potensi keributan, karena akan senantiasa terjadi pergesekan kepentingan yang akan menimbulkan perselisihan. Setiap orang akan b erusaha mempertahankan kepentingan, dan karena kecintaannya kepada kelompoknya, maka akan terhadi pertarungan bukan saja antar individu tetapi antar kelompok. Agar tidak terjadi konflik sosial tersebut, mereka sepakat membuat perjanjian membentuk negara. Bagaimana dengan Rousseau? Rousseau lebih mengarahkan teori perjanjian untuk nememukan dasar demokrasi. Menurut Rousseau, segala sesuatu itu (seperti hukum) dibentuk sebagai wujud kehendak bersama (general will). Jadi, menurut hipotesa teori perjanjian, negara
terbentuk sebagai cara meredakan persaingan yang tanpa batas. Persaingan perlu, tetapi harus ada batas. Pada saat ini, batas itu adalah kepentingan publik (keamanan, ketenteraman, kes ejahteraan). Sebagai negara dan masyarakat yang memilih demokrasi, kita tidak dapat menghindari persaingan (kompetisi), membolehkan setiap orang atau kelompok bersaing memperjuangkan kepentingannya. Tetapi sejauh mana kompetisi dalam mengelola kekuasaan dalam negara kita dijalankan demi kepentingan publik? Ada kesan kuat, kompetisi kekuasaan yang sedang berjalan semata kekuasaan demi kekuasaan untuk segala kenikmatan dan privilege-nya. Kita prihatin. *
Kebhinekaan dan Keberagaman Indonesia Oleh: Lukman Hakim Saifuddin Bagian Akhir Pada kondisi demikian, ada generasi baru yang sangat berbeda cara dan kecenderungan dalam mengakses informasi. Di Indonesia yang masyrakatnya religious, setiap orang punya latar belakang isu agama yang sangat kuat, mulai dari lahir hingga dewasa. Persoalannya, bekal mereka terkait pemahaman agama, umumnya masih minim. Sementara, banyak kelomp ok yang menyebarkan virus tafsir keagamaan yang menurut mereka paling benar. Ada “brigade digital” yang amat militan melakukan “jihad informasi”. Sementara publik
yang bergairah dengan limpahan informasi dan kemudahan teknologi, tak lagi mengandalkan media mainstream. Kredibilitas sumber dan kebenaran informasi tak lagi jadi perhatian. Di mana pun ada pasokan link, lalu gampang di-klik, maka akan diakses, dan terus dibagi. Ada gejala “kedermawanan” berbagi info postingan yang tak dibarengi “kesadaran” akan kualitas konten maupun dampak penyebarannya. Kasus Tolikara adalah ujian bagi kita semua. Bagaimana masyarakat di zaman digital ini menyikapi konflik umat beragama. Peristiwa
yang mengagetkan itu dengan cepat menjadi topik utama perbincangan publik. Media mainstream dan media sosial saling bertumpang tindih menggilingnya. Banyak distorsi, kesimpangsiuran, dan bumbu-bumbu karena semua orang berkesempatan angkat bicara. Di tengah kesemrawutan itu, kita patut bersyukur masih diberi kewarasan dalam bersikap dan bertindak. Saya sebagai Menteri Agama langsng menginstruksikan jajaran Kementerian Agama agar cepat dan tepat melakukan tindakan yang perlu. Kabiner pun
Etika | September 2016
7
Opini segera merumuskan penuntasan masalah. Di sini kami, pemerintah, amat terbantu dengan kedewasaan sebagaian besar media berpengaruh yang mampu menerapkan konsep jurnalisme damai. Di luar itu, tentu saja ada peran penting para tokoh agama, tokoh masyarakat, tetua adat, ormas, dan warga, yang cepat menemukan jalan damai. Alhasil, kita merasakan ada kesadaran kolektif untuk meredam konflik. Dan itu makin terasa ketika media tidak terpancing untuk membesarkan isu pembakaran pintu gereja di Purwokerto dan isu penutupan gereja GDI di Solo, beberapa hari setelah kasus Tolikara. Kita juga ingat kasus Tanjungbalai, Sumatera Utara beberapa waktu lalu. Bersebab dari kesalahpahaman antar pemeluk agama berbeda, kekerasan muncul karena adanya provokasi di sosial media. Untunglah, masyarakat di luar lokasi itu tidak terpancing untuk memperbesarnya sebagai konflik agama maupun konflik rasial. Situasi berangsur kondusif itu sedikit banyak dipengaruhi peran media yang mampu melokalisir peristiwa dan memperjelas duduk perkara. Dan karenanya, saya sangat berterima kasih kepada para jurnalis semua. Kondisi ini menc erminkan adanya kemajuan dibandingkan kasus Ambon pada 1999 silam. Koflik Ambon begitu menguras energy dan emosi, serta tak cepat mereda karena media memainkan peran buruk. Euforia kebebasan pers saat itu mengalahkan akal sehat untuk merawat persatuan-kesatuan bangsa. Paling memilukan, dan tentu juga memalukan, ada media yang mengail di air keruh. Sebuah grup
8
Etika | September 2016
media besar saat itu menerbitkan dua media berseberangan, pro Islam dan pro Kristen. Isinya mengadu domba kedua kelompok, sehingga makin tinggi tensi konfliknya. Tentu kita miris, apakah tidak terpikir bahwa keuntungan finansial yang didapat tak seberapa dibandingkan kerusakan peradaban yang terjadi akbiat konflik tersebut? Secara umum, tampaknya kita memang makin dewasa. Tetapi bukan berarti masalah sudah beres. Masih banyak PR yang mesti kita benahi. Misalnya, bagaimana kemajuan teknologi informasi dapat diantisipasi oleh regulasi. Saat ini kita masih sekadar jadi konsumen teknologi informasi, belum secara masif turut aktif menata peradaban digital. UU Pers kita juga sedang menghadapi paradox: sudah saatnya direvisi guna merespons perkembangan zaman. Tapi apakah situasi politik kondusif untuk upaya revisi tersebut? *** Kita s emua b erkewaj iban merawat keberagaman. Bukan sekadar karena keberagaman adalah bingkai pemersatu bangsa Indonesia. Lebih dari itu, keberagaman adalah nilai kemanusiaan yang universal. Pekerjaan Rumah paling berat dari upaya merawat keberagaman adalah memulai dari diri sendiri. N e g a ra (e k s e k ut i f - l e g i s l at i f yudikatif, dan lembaga negara lain di luar tiga cabang kekuasaan) dan media harus menjadi teladan. Sebab dua komponen itu adalah agen terbesar perubahan sosial. Mampukah kita menjadi teladan? Pertama yang harus kita lakukan adalah menumbuhkan keikhlasan untuk mewujudkan keberagaman di lingkungan sendiri.
Ini bukan hal mudah. Sekadar memberi contoh, ada banyak pertentangan dan tudingan, ketika saya memproklamirkan diri sebagai menteri Semua Agama. Begitu pula ketika merapikan internal Kementerian Agama, menata pengelolaan haji, dan seterusnya yang bisa dimaknai pengebirian domain umat Islam. Saya dianggap orang Islam (plus santri, putra tokoh NU sekaligus Menteri Agama, politisi parpol Islam) yang tidak memperjuangkan kepentingan umat Islam. Sikap tulus ikhlas akan mengantar kita pada kelegaan untuk membuka ruang dialog. Dan, ternyata dialog terbukti bisa menjadi pintu masuk untuk menemukan sumb er konflik, memetakan masalah, sekaligus mencari solusinya. Dari situ akan muncul kesadaran untuk melihat konflik secara objektif dan komprehensif, sehingga menghasilkan solusi yang tepat. Pada tahap inilah media bisa membantu publik, menemukan kontaks sebuah konflik keberagaman dan keberagaman lewat produk jurnalistik yang berkualitas. Dengan demikian, publik akan bersikap lebih bijak. Sebagai objek karya jurnalistik konflik tentu sangat menarik. Konflik mengandung nilai berita yang menggelitik. Tapi bukan berarti konflik pantas dijadikan sebagai komoditi untuk menaikkan rating dan oplah supaya dapat keuntungan berlimpah. Profesionalisme jurnalis di tengah konflik, teruji ketika mampu mendudukkan teks pada konteks. Dalam arti, memaparkan a k a r m a s a l a h , m e mb e r i k a n “warning” agar konflik tak meluas, mendorong solusi penyelesaian
Opini konflik, serta menggugah pihak berwenang agar bertindak tepat dan bijak. Saya rasa teman-teman media telah lebih fasih soal teori atau konsep dasar jurnalisme sadar konflik, jurnalisme sadar keberagaman, jurnalisme damai, dan sejenisnya. Persoalannya, bisakah jurnalis dan redaksi konsisten menerapkan konsep tersebut? Terlebih jika dihadapkan kendala operasional, situasi lapangan, juga kepentingan bisnis pemodal/ pemilik media. Lebih repot lagi, di negeri ini, saat ini, pengusaha media umumnya merangkap politisi, yang boleh jadi punya pandangan tentang keberagaman yang berbeda dengan redaksi. Bicara praktik jurnalistik, hal yang tak kalah pentinganya adalah kira tak boleh abai terhadap keluhan kelompok yang dirugikan o l e h p e mb e r i t a a n s e p u t a r keberagaman. Misalnya, seringkali m e d i a t e r l a l u b e r s e m a n g at menyuarakan kelomp ok marjinal (voice of voiceless) atau menggaungkan teriakan (menjadi
amplifier) kelompok minoritas, tapi tidak menenggang rasa kelompok mayoritas. Keluhan lain, terkessan ada ketidakadilan dalam meliput konflik. Bila korbannya kelompok X, media cenderung adem ayem. Tapi bila korbannya kelompok Y, pemberitaannya amat santer. Di sini diperlukan kearifan untuk bersikap adil dan menjaga harmonisasi. Namun, sebelum lebih jauh bicara pada praktik jurnalistik, mungkin para praktisi media perlu berefleksi berkaca diri. Sudahkah merawat keberagaman di ruang redaksi (newsroom) atau kantornya sendiri? Media massa dituntut untuk tidak hanya memahami pentingnya jurnalisme damai dan menghormati keberagaman dalam peliputan, tapi juga menerapkan prinsip keberagaman dalam rekrutmen re daksinya. Apakah saat ini kelompok minoritas terakomodasi di tim redaksi? *** Di alam demokrasi, pemerintah tentu tidak bisa mengontrol media. Hal paling memungkinkan, pemerintah memberi akses dan
PENGURUS DEWAN PERS PERIODE 2016-2019: Ketua: Yosep Adi Prasetyo Wakil Ketua: Ahmad Djauhar Anggota: Anthonius Jimmy Silalahi, Imam Wahyudi, Nezar Patria, Hendry Chairudin
Bangun, Ratna Komala, Reva Dedy Utama, Sinyo Harry Sarundajang Sekretaris (Kepala Sekretariat): Lumongga Sihombing
REDAKSI ETIKA:
Penanggung Jawab: Yosep Adi Prasetyo Redaksi: Herutjahjo, Chelsia, Lumongga Sihombing, Ismanto,
Dedi M Kholik, Wawan Agus Prasetyo, Reza Andreas (foto)
Surat dan Tanggapan Dikirim ke Alamat Redaksi:
Gedung Dewan Pers, Lantai 7-8, Jl. Kebon Sirih 34, Jakarta 10110. Tel. (021) 3521488, 3504877, 3504874 - 75, Faks. (021) 3452030 Surel:
[email protected] Twitter: @dewanpers Laman: www.dewanpers.or.id / www.presscouncil.or.id
respons yang cukup bagi media untuk menjalankan perannya bagi publik. Pemerintah tentu tak boleh alergi terhadap kritik media. Kemudian, pemerintah menyediakan sarana pendidikan agar terjadi regenerasi yang lebih baik pada SDM industri media. Untuk mengatasi konflik t e r k a i t ke b e ra g a m a n d a l a m konteks agama, Kementerian Agama sedang menggodok RUU Perlindungan Umat Beragama. Dalam proses yang belum final saat ini, tentu dibutuhkan masukan yang konstruktif dari kalangan media untuk menyempurnakan RUU tersebut. Sebab, sebagian kontennya tentu akan berkaitan dengan media. Misalnya, tentang penistaan afama di ranah publik, ujaran kebencian dalam dakwah, dan seterusnya. Lewat dialog kita bisa saling menyamakan persepsi dan membuka pandangan lebih luas demi terciptanya masyrakat yang lebih beradab. Pada akhirnya, saya mohon maaf bila terlalu banyak berharap kepada AJI. Inilah wujud rasa percaya dan cinta. Saya pun mohon maaf bila ada pokok pikiran yang berbeda dengan kerangka berpikir AJI. Saya yakin AJI punya kearifan untuk menerima p erb e daan, sebagaimana keberaniannya untuk menyuarakan sesuatu yang berbeda s ep erti yang ditunjukkannya selama ini. Marilah sama-sama melapangkan dada untuk saling mengerti dan memahami. Marilah sama-sama mengulurkan tangan untuk saling mengisi dan melengkapi. Sebab dari situlah bersemai bibit-bibit toleransi.***
(ETIKA dalam format pdf dapat diunduh dari website Dewan Pers: www.dewanpers.or.id)
Etika | September 2016
9
Kegiatan
Dikecam, Kekerasan terhadap Wartawan
K
ekerasan terhadap wartawan masih terus terjadi di sejumlah daerah. Pada September 2016, setidaknya di dua daerah yakni di Bangkalan, Madura, Jawa Timur dan di Barito Selatan, Kalimantan Selatan terjadi aksi pemukulan terhadap wartawan. Di Bangkalan, pelaku pemukulan diduga oknum pegawai pemda setempat, sementara di Barito Selatan diduga oknum anggota DPRD. Kedua aksi pemukulan ini memicu kecaman yang diwujudkan dalam bentuk aksi solidaritas dari para wartawan. Aksi p emukulan terhadap jurnalis di Bangkalan, memantik reaksi Ketua IJLM (Ikatan Jurnalis Lintas Media) Sampang. Ketua IJLM mengecam aksi tersebut. Selain itu
10
Etika | September 2016
juga menuntut kepada pihak terkait agar kasus itu diusut tuntas. “Kami menge cam keras pemukulan terhadap wartawan yang dilakukan oknum PNS PU Bina Marga Kabupaten Bangkalan. Kedua, mendesak penyelesaian kasus kekerasan tersebut, dilakukan sesuai hukum dan UU pers,” ujar Ketua IJLM Sampang Abdus Salam, Rabu (21/09/2016). Ab dus mengatakan, dalam melakukan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Apalagi, wartawan sudah menunjukkan identitasnya. “Kalau pun adalah pelanggaran etika yang dilakukan oknum wartawan, bisa disampaikan sesuai jalur yang ada, yaitu mengadu ke Dewan Pers. Bukan dengan
main hakim sendiri seperti itu,” pungkasnya. Untuk diketahui, Ghinan Salman, salah satu wartawan Radar Madura Jawa Pos Group yang menjadi korban penganiayaan oknum PNS Dinas PU Bina Marga Kabupaten Bangkalan, Selasa (20/09/2016) saat mengambil foto oknum pegawai setempat yang sedang main tenis meja saat jam kerja. Dari Barito Utara dilaporkan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) setempat mengecam terkait kasus pemukulan terhadap seorang wartawan di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah yang dilakukan oknum anggota DPRD daerah itu. Ini merupakan aksi solidaritas. Kecaman itu dilakukan dengan membuat pernyataan sikap yang
Kegiatan disampaikan Ketua PWI Barito Utara Roby Cahyadi dan anggota PWI lainnya di depan Ketua DPRD Barito Utara (Barut) Set Enus Y Mebas dan anggota DPRD lainnya, di gedung DPRD setempat, di Muara Teweh, Jumat (30/9/2016). Ketua PWI Kabupaten Barito Utara, Roby Cahyadi mengecam p e r i s t i w a p e nye ra n g a n d a n pemukulan jurnalis media lokal
Kalteng yakni Palangka Ekspres (PE) Julius M Sinaga di Sekretariat PWI Kabupaten Barito Selatan di Buntok oleh oknum anggota DPRD Kabupaten Barito Selatan pada Kamis (29/9/2016) sekitar pukul 12.30 Wib. Ia meminta DPRD Kabupaten Barito Utara berkomitmen tidak ada kekerasan terhadap wartawan lagi. Disamping itu, “aparat penegak
hukum diharapkan menjamin ke a m a n a n w a r t aw a n s e t i a p melakukan tugasnya sebagaimana amanat undang-undang. Apabila ada persoalan ataupun masalah dengan pemberitaan agar ditempuh mekanisme sesuai dengan UndangU n d a n g Pe r s ,” p u n g k a s ny a . (suarajatimpost.com/portalbangsa. com/antara-kalteng)
2017, Wartawan Harus Bersertifikasi
SERIUS -- Suasana serius mewarnai uji kompetensi wartawan AJI Manado pada tanggal 10-11 September 2016 (aji.or.id)
P
ersatuan Wartawan Indonesia (PWI) mendorong seluruh wartawan untuk melakukan sertifikasi sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas dan profesionalismenya. “Nanti pada 2017 jumlah wartawan bersertifikat akan lebih banyak. Sekarang jumlahnya masih di bawah 15 ribu wartawan,” ungkap Ketua Umum PWI Margiono disela-sela seminar komunikasi di Universitas Budi Luhur Jakarta, Sabtu (17/9/2016)
Menurutnya, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, PWI Pusat telah melakukan sertifikasi terhadap sekitar 10,000 wartawan. Selain itu PWI juga menghasilkan 4.000 lulusan sekolah jurnalistik di Indonesia. Terkait sertifikasi wartawan tersebut, tambah Margiono, Dewan Pers bakal dideklarasikan saat acara Hari Pers Nasional Februari 2017 yang bakal diadakan di Ambon, Maluku. Selain mendeklarasikan sejumlah wartawan yang sudah bersertifikasi, juga mendeklarasikan
media yang telah memenuhi standar perusahaan pers. Terkait s ertifikasi profesi wartawan, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyarankan para wartawan bergabung dalam organisasi p ers yang sudah diverifikasi oleh Dewan Pers, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Asosiasi Jurnalis Televisi Indonesia (AJTI). Dalam pada itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Manado suks es melaksanakan Ujian Kompetensi Jurnalis (UKJ) pada 10-11 September 2016. AJI Pusat mengutus 3 penguji yaitu Satrio Arismunandar, Muhammad Yusuf dan Upi Asmaradana yang juga koordinator wilayah SulawesiMaluku. Sebanyak 18 jurnalis dinyatakan berkomp etensi untuk jenjang kompetensi Wartawan Muda. “Setelah UKJ ini, dengan jumlah anggota AJI Manado sebanyak 42 jurnalis, yang sudah bersertifikat kompeten 24 orang” kata Ketua AJI Manado Yoseph Ikanubun. ((JawaPos.com/aji.or.id)
Etika | September 2016
11
Pengaduan
Dewan Pers Gelar Mediasi di Surabaya
D
ewan Pers menggelar sidang mediasi untuk menyelesaian s engketa pers pada 14 September 2016 di Surabaya. Sidang dipimpin Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan penegakan Etika Pers Imam Wahyudi dan Ketua Komisi Hukum Jimmy Silalahi. Sebanyak tujuh kasus sengketa pers dicoba diselesaikan, 5 kasus diantaranya harus dibawa ke sidang pleno Dewan Pers di Jakarta karena tidak tercapai kata sepakat antara pengadu dan teradu atau ada teradu yang berhalangan hadir, sedangkan 2 diantaranya dicapai kesepakatan. Kedua pihak yang bersengketa bersedia menandatangani Risalah Penyelesaian pengaduan (RPP). Kasus sengketa pers yang diselesaikan melalui mediasi itu pertama, sengketa pers antara Iwan Sanusi, Pemimpin Redaksi
12
Etika | September 2016
Surat Kabar Umum (SKU) Trans9, Mojokerto, Jawa Timur dengan Surat Kabar Radar Mojoker to. Sengketa ini berdasar pengaduan Iwan Sanusi tertanggal 3 Agustus 2016 terkait berita berjudul, “Plt Kepala Kemenang Lapor Polda” (Radar Mojokerto Sabtu, 25 Juni 2016) dan “Terlapor Diancam Pasal Berlapis” (Radar Mojokerto, Rabu, 27 Juli 2016). Bertolak hasil kajian Dewan Pers, dan karifikasi, Dewan Pers menilai berita yang diadukan tidak melanggar KEJ karena tidak menyebut nama ataupun media pengadu. Kedua, sengketa pers antara Agus Zaenal Arifin, D ekan Fakultas Teknologi Informasi ITS, Surabaya, dengan SurabayaPagi. com berdasarkan pengaduan Agus Zaenal Arifin tertanggal 6 Juni 2016 terkait berita berjudul “Dekan
TANDATANGANI -- Abi Muklisin (kiri) dari Radar Bojonegoro, Imam Wahyudi (tengah), Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers dan Iwan Sanusi (kanan) dari Trans9 menandatangani naskah RPP pada sidang mediasi 14 September 2016 di Surabays (foto: Kanti)
ITS: Geng ITS Wajar” (diunggah SurabayaPagi.com Sabtu, 4 Juni 2016 pukul 01: 26WIB). Agus Zaenal Arifin telah mengirim Hak Jawab namun belum ada tindak lanjut dari SurabayaPagi. com. Karena itu, Agus Zaenal Arifin mengadu ke Dewan Pers. Hasil p emeriksanaan dan klarifikasi, Dewan Pers menilai berita SurabayaPagi.com melanggar Pasal 1, 3 dan 4 Kode Etik Jurnalistik karena tidak akurat, tidak faktual, tidak uji informasi dan bohong. Te r k a i t p e r n i l a i a n i t u , SurabayaPagi.com bersedia memuat Hak Jawab disertai permintaan maaf kepada Agus Zaenal Arifin dan masyarakat. Kedua pihak sepakat kasus ini diselesaikan di Dewan Pers dan tidak membawa ke proses hukum, kecuali kesepakatan tersebut tidak dipenuhi. (red)