DIFERENSIASI EMPAT ISOLAT RICE TUNGRO BACILLIFORM BADNAVIRUS DENGAN PCR-RFLP
Oleh: ARFIANIS A44101008
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK ARFIANIS. Diferensiasi empat isolat rice tungro bacilliform badnavirus dengan PCR-RFLP . Dibimbing oleh ENDANG NURHAYATI. Kehadiran rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) yang dibantu oleh rice tungro spherical waikavirus (RTSV) pada tanaman padi menyebabkan gejala penyakit tungro yang berat. Beberapa isolat RTBV dilaporkan mempunyai keragaman genetik yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk membedakan empat isolat RTBV dari beberapa daerah endemik tungro di Jawa Barat dengan teknik PCR-RFLP . Penelitian ini dila kukan di Rumah Kaca Cikabayan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor, pada November 2005 sampai Januari 2006. Empat isolat virus tungro diambil dari daerah endemik tungro di Jawa Barat yaitu: Cianjur, Kuningan, Purwakarta, dan Bogor. Perbanyakan virus tungro dilakukan pada tanaman padi varietas IR64 dengan inokulasi menggunakan vektor Nephotettix virescens Distant (Homoptera: Cicadellidae). Tanaman yang menunjukkan gejala penyakit tungro umur 10-15 hari setelah inokulasi dipanen. DNA total tanaman terinfeksi virus tungro diekstraksi dan gen protein selubung RTBV diamplifikasi menggunakan sepasang primer spesifik RTBV-2L dan RTBV-2R. Hasil amplifikasi dipotong dengan 3 enzim restriksi yaitu EcoRV, PstI, dan BclI. Tanaman padi dengan gejala daun kuning sampai orange yang diambil dari pertanaman padi milik petani di Cianjur, Kuningan, Purwakarta dan Bogor ini terinfeksi RTBV. Dengan teknik PCR-RFLP empat isolat RTBV di Jawa Barat tersebut menunjukkan keragaman pada gen protein selubungnya. Kata kunci: rice tungro bacilliform badnavirus, differensiasi, PCR-RFLP
DIFERENSIASI EMPAT ISOLAT RICE TUNGRO BACILLIFORM BADNAVIRUS DENGAN PCR-RFLP
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Arfianis A44101008
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul
: DIFERENSIASI EMPAT ISOLAT RICE TUNGRO BACILLIFORM BADNAVIRUS DENGAN PCR-RFLP
Nama
: ARFIANIS
NRP
: A44101008
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Endang Nurhayati, MS. NIP: 131 642 502
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr. NIP: 130 422 698
Tanggal Lulus : 1 Februari 2006
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lintau Buo, Sumatera Barat pada tanggal 10 Oktober 1982. Penulis adalah putri tunggal dari pasangan Bapak Kamarudin dan Ibu Nurhayati. Tahun 2001 penulis menamatkan Sekolah Menengah Umum Negeri I Lintau Buo dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis memiliki pengalaman organisasi sebagai anggota Korp Sukarela PMI Unit I IPB tahun 2001, pengurus Lingkar Studi Muslim HPT IPB 2002, pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) 2003, pengurus Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minangkabau (IPMM) Bogor dan Ikatan Mahasiswa Lintau Buo (IMLB) Bogor 2002. Penulis juga menjadi tim pengajar TPA Almalikussaleh Cimahpar -Bogor 2001, asisten matakuliah Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 2003; Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 2004; Virologi Tumbuhan 2004; Pengendalian Hayati dan Pengelolaan Habitat 2004. Penulis juga menjadi Senior Resident di Asrama TPB IPB 2004-2006.
PRAKATA Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah Subhanahuwata’ala yang telah melimpahkan nikmat dan karunia -Nya sehingga laporan tugas akhir ini dapat diselesaikan. Laporan tugas akhir ini merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Ins titut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada November 2005 sampai Januari 2006, dengan judul Diferensiasi empat isolat rice tungro bacilliform badnavirus dengan PCR-RFLP. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Endang Nur hayati, MS. sebagai dosen pembimbing utama tugas akhir atas bantuan, waktu, masukan dan saran yang diberikan, serta Dr. Ir. Hermanu Triwidodo MSc. sebagai dosen penguji tamu atas kritik dan sarannya demi perbaikan laporan ini. Terima kasih juga ditujukan kepada Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. yang telah memberikan bimbingan untuk penulisan laporan tugas akhir pada mata kuliah Teknik Penyajian Ilmiah. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Kikin H Mutaqin MSc. atas saran dan bantuannya mendokumentasikan hasil penelitian ini. Kepada seluruh staf pengajar pada Departemen Proteksi Tanaman penulis ucapkan terima kasih atas ilmu dan bimbingan yang diberikan selama menuntut ilmu di Departemen Proteksi Tanaman. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Ayah dan Bundaku tercinta yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan selama melaksanakan pendidikan. Terima kasih juga kepada teman-teman di Departemen Proteksi Tanaman dan teman-teman Senior Recident Asrama TPB IPB yang selalu setia memberikan bantuan, semangat, dan nasehat selama pelaksanaan tugas akhir. Terima kasih juga disampaikan kepada anggota laboratorium Virologi Tumbuhan (Mbak Tuti, Bapak Edi, Mas Supri) yang selalu membantu dalam pelaksanaan penelitian. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan laporan tugas akhir ini. Akhirnya semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa pun yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2006 Arfianis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
ii
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang ...............................................................................
1
Tujuan Penelitian ............................................................................
3
Manfaat Penelitian ..........................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
4
Tanaman Padi .................................................................................
4
Botani dan Morfologi Padi ................................................. Taksonomi Padi .................................................................. Varietas Padi ....................................................................
4 5 5
Penyakit Tungro .............................................................................
7
Sejarah Penyakit Tungro .................................................... Gejala Penyakit Tungro ...................................................... Virus Tungro ...................................................................... Penularan Virus Tungro ..................................................... Keragaman RTBV ..............................................................
7 8 9 10 12
Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length Poly morphism (PCR-RFLP) ..................................................................
15
BAHAN DAN METODE ..........................................................................
17
Te mpat dan Waktu Penelitian ........................................................
17
Persiapan Tanaman Padi ................................................................
17
Perbanyakan Massal Wereng Hijau ...............................................
17
Isolat Virus Tungro ........................................................................
18
Perbanyakan Virus Tungro .............................................................
18
Deteksi RTBV Menggunakan Teknik PCR ...................................
18
Ekstraksi DNA Total RTBV .............................................. Amplifikasi Gen Protein Selubung RTBV .........................
18 19
Pemotongan DNA RTBV dengan Enzim Restriksi .......................
19
Elektroforesis dan Visualisasi ........................................................
20
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
21
Isolat Virus Tungro ........................................................................
21
Deteksi RTBV dengan Teknik PCR ...............................................
21
Diferensiasi RTBV dengan Teknik PCR-RFLP .............................
21
KESIMPULAN dan SARAN .....................................................................
27
DAFTA R PUSTAKA ................................................................................
28
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kerusakan lahan pertanaman padi akibat penyakit tungro di Indonesia pada tahun 1967-1995 ....................................................................... 2. Ukuran fragmen DNA yang terbentuk pada pemotongan gen protein selubung RTBV dengan enzim EcoRV, PstI dan BclI ......................
7
24
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Gejala penyakit tungro pada daun tanaman padi ...............................
9
2. Gambaran skematik genom RTBV, polyprotein P3 dan coat protein .
11
3. Serangga vektor virus tungro N. Virescens ........................................
12
4. Ukuran fragmen yang terbentuk pada pemotongan gen protein selubung empat strain RTBV dari Philipina menggunakan enzim EcoRV, PstI, BclI (analisis restriksi dengan Program Primer Premier 5 (Premier Biosoft International 2004) ................................................................. 14 5. Visualisasi amplifikasi gen protein selubung empat isolat RTBV di Jawa Barat dengan PCR menggunakan primer RTBV-2R dan RTBV-2L ...........................................................................................
22
6. Visualisasi PCR-RFLP gen protein selubung empat isoalt RTBV di Jawa Barat dengan enzim EcoRV, Pst1 dan BclI ...........................
23
PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit tungro adalah penyakit virus terpenting pada padi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Penyakit tungro dilaporkan selalu terjadi di Bangladesh, China, India, Indonesia, Malaysia, Nepa l, Pakistan, Philipina, Sri Lanka, dan Thailand (Hibino 1987). Penyakit ini merupakan salah satu faktor yang membatasi produksi padi di kawasan tersebut, dan menyebabkan kehilangan hasil 1,5 milyar dolar AS (Herdt 1988 dalam Dahal et al. 1992). Penyakit tungro terdeteksi di Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 1967. Beberapa tahun kemudian penyakit tersebut terus meningkat. Selama periode 15 tahun, total kerugian tercatat lebih dari 89 milyar dolar AS. Puncak kerugian terjadi antara 1970 dan 1973 sebesar 42 milyar dolar AS (Jumanto & Tantera 1987). Hasanuddin et al. (1999) juga melaporkan kehilangan hasil akibat penyakit tungro diperkirakan hampir 25 milyar rupiah pada tahun 1995. Di Indonesia, endemik tungro dilaporkan terjadi di Gianyar-Bali, TanggulJawa Timur, Klaten-Jawa Tengah, Tanjungsiang-Jawa Barat, Mataram-NTB, dan Lanrang-Sulawesi Selatan (Widiarta & Daradjat 2000). Di Bogor (Situgede dan pertanaman padi sekitarnya) juga ditemukan endemik tungro yang terjadi tiap tahun, namun belum banyak penelitian yang melaporkannya. Penyakit tungro di Jawa Barat juga ditemukan di Purwakarta, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor (Hasanudin et al. 1995 dalam Widiarta 2005). Tungro merupakan penyakit yang disebabkan oleh gabungan rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro spherical waikavirus (RTSV). Kedua virus ditularkan secara semipersisten oleh wereng hijau, terutama Nephotettix virescens Distant. RTBV tidak bisa ditularkan sendiri oleh wereng hijau
dan
membutuhkan
bantuan
RTSV
dalam
penularannya .
RTSV
menyebabkan gejala tungro yang ringan sedangkan RTBV menyebabkan gejala tungro yang berat (Hibino et al. 1978 dalam Hibino et al. 1979). Populasi RTBV secara genetik bervariasi di lapangan. Dari dua musim tanam ditunjukkan bahwa populasi RTBV bertahan dan berbagai macam kelompok berkembang secara terus-menerus. Lebih dari satu isolat RTBV bisa
ditemukan dalam satu lokasi. Isolat tunggal dari suatu lokasi tidak selalu mewakili dan spesifik lokasi tersebut (Arboleda et al. 1999). Menurut Cabauatan e t al. (1995) RTBV memberikan gejala berbeda pada kultivar padi berbeda. Empat strain RTBV yang didesainnya yaitu strain G1,G2, Ic, dan L dapat dilihat dari gejala tungro yang berbeda pada varietas padi TN1 dan FK135. Pembedaan strain virus tungro seperti yang dilakukan Cabauatan et al. (1995) diatas adalah dengan memisahkan RTBV dan RTSV, kemudian membandingkan gejala dan infektivitas pada kultivar padi berbeda. Pembedaan strain virus tungro dengan melihat gejala yang ditimbulkan sangat menyulitkan, memakan waktu, dan tidak praktis, apalagi bila jumlah isolat virus tungro sangat banyak (Dahal et al. 1992). Cabauatan et al. (1998) membedakan strain G1,G2, Ic, dan L dengan analisis restriction fragment length polymorphism (RFLP) pada tingkat genomnya. RFLP ada lah salah satu cara alternatif untuk membedakan strain RTBV dan memperlihatkan keragamannya. Analisis RFLP adalah alat yang sensitif dan akurat untuk memperlihatkan perbedaan ciri molekuler dan persamaan antar strain dari organisme yang sama (Cabauatan et al. 1998). Penggunaan RFLP untuk membedakan virus yang termasuk group badnavirus memiliki keterbatasan karena DNA virus berasosiasi dengan jaringan tanaman terinfeksi, seperti yang terjadi pada cauliflower mosaic virus (CaMV). Caulimovirus dan RTBV termasuk dalam group yang sama yaitu group badnavirus (Hull & Covey 1983 dalam Cabauatan et al. 1998). Oleh karena itu analisis RFLP memerlukan persiapan ekstraksi DNA dari jaringan tanaman yang terinfeksi, yang memungkinan pola retriksi yang beragam (Cabauatan et al. 1998). Suprihanto (2005) membedakan delapan isolat RTBV di Indonesia dengan PCR-RFLP. Cara ini merupakan gabungan teknik PCR dan RFLP. Hal ini lebih memudahkan karena analisis RFLP tidak dilakukan terhadap genom RTBV tetapi molekul DNA hasil PCR. DNA hasil PCR hanya berupa suatu fragmen DNA pada posisi tertentu. Hal ini diperoleh karena teknik PCR mampu mengenali dan memperbanyak fragmen DNA pada sasaran tertentu walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah (Taylor 1999 dalam Mutaqin 2000).
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari keragaman isolat RTBV dari empat kabupaten di Jawa Barat yaitu Cianjur, Kuningan, Purwakarta, dan Bogor dengan metode PCR-RFLP.
Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diketahui keragaman isolat RTBV yang diperoleh dari empat daerah endemik tungro di Jawa Barat yaitu Cianjur, Kuningan, Purwakarta, dan Bogor. Kemudian keragaman ini dapat dibandingkan dengan isolat RTBV dari daerah lain yang telah diteliti di Indonesia. Berdasarkan analisis ini akan diketahui keragaman dan hubungan kekerabatan RTBV di Indonesia untuk pengambilan tindakan pengendaliannya.
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Padi adalah tanaman pangan dan makanan pokok utama bagi lebih dari sepertiga penduduk dunia. Dari semua padi yang diproduksi dan dikonsumsi lebih dari 90% terpusat di Asia. Kira-kira 20 spesies padi tersebar di daerah tropik Afrika Selatan, Asia Tenggara, China Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan (De Datta 1981). Tanaman ini diduga berasal dari daerah sebelah barat pegunungan Himalaya di India. Hal ini terbukti dengan adanya sifat-sifat khas pada varietasvarietas padi yang ditanam di negara tersebut, seperti gabah yang kasar dan malai yang mudah rontok. Sifat-sifat tersebut menunjukka n unsur-unsur primitif tanaman padi (Siregar 1989). Hubungan antara padi dan faktor lingkungan, dan antar faktor lingkungan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman padi. Faktor -faktor lingkungan tersebut adalah faktor fisik seperti tanah, iklim, faktor sarana produksi seperti pupuk dan pestisida yang diberikan oleh manusia dan faktor biotik seperti serangga, bakteri, cendawan, virus, dan lain-lain. Pada keadaan tertentu satu faktor lebih dominan pengaruhnya dari faktor -faktor lainnya sehingga dapat mengakibatkan timbulnya penyakit (Siregar 1989). Botani dan Morfologi Padi Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman yang mempunyai batang yang beruas-ruas. Tanaman ini bersifat merumpun yaitu dari satu bibit yang ditanam akan membentuk satu rumpun dengan 20-30 anakan atau lebih. Padi tergolong tanaman semusim dengan bentuk batang bulat dan berongga, daun memanjang seperti pita yang berdiri pada ruas-ruas batang dan mempunyai sebuah malai yang terdapat pada ujung batang. Bagian-bagian tanaman dapat dibagi menjadi dua yaitu bagian vegetatif dan generatif. Bagian vegetatif meliputi akar, batang, dan daun. Bagian generatif terdiri dari malai, gabah, dan bunga (Siregar 1989). Batang tanaman padi tersusun atas beberapa ruas. Ruas -ruas itu merupakan bubung kosong yang pada kedua ujung bubung ditutupi oleh buku.
Panjang ruas tidak sama, ruas terpendek terdapat pada pangkal batang. Ruas kedua, ketiga dan seterusnya lebih panjang daripada ruas yang didahuluinya. Pada buku bagian bawah dari ruas tumbuh daun pelepah yang membalut ruas sampai buku bagian atas. Tepat pada buku bagian atas ujung dari daun pelepah memperlihatkan percabangan dimana cabang yang terpendek menjadi lidah daun (ligula), dan bagian yang terpanjang dan terbesar menjadi kelopak. Di dekat lidah daun dan daun kelopak terdapat dua embel sebelah kiri dan kanan yang disebut auricle. Daun kelopak yang membalut ruas yang paling atas dari batang umumnya disebut daun bendera (flag-leaf). Tepat di dekat lidah daun dan daun bendera muncul ruas yang menjadi bulir padi. Bulir terdiri dari ruas-ruas yang pendek. Pada tiap ruas sebelah kiri dan kanannya timbul cabang-cabang bulir, dan pada ujung tiap-tiap cabang bulir terdapatlah bunga padi (Siregar 1989). Taksonomi Padi Padi (Oryza sativa L.) merupakan tumbuhan be rbiji tunggal (monokotil) dengan urutan secara taksonomi: Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Class
: Liliopsida (Monocotyledons)
Subclass
: Commelinidae
Order
: Cyperales
Family
: Poaceae
Genus
: Oryza L.
Spesies
: Oryza sativa L.
Varietas Padi Padi memiliki beberapa varietas yang resisten, moderat (intermediet), dan rentan terhadap hama dan penyakit. Varietas padi yang resisten terhadap penyakit tungro antara lain Asahan, Brantas, Citarum, Sadang, Cimanuk, Ciliwung, Barumun, Censanae, Lariang, Bengawan Solo, Batang Agam, PB26, PB28, PB32,
PB34, PB42, PB50, PB52, PB54, PB56, IR46, IR48, IR66, IR68, dan IR74. Di antara varietas-varietas ini ada juga yang tahan terhadap wereng hijau (Semangun 2000). Varietas padi yang juga resisten terhadap penyakit tungro adalah Bondoyudo, Kalimas, Tukad Balian, Tukad Unda, dan Tukad Petanu Dilihat dari keberadaan tungro, skala keparahan gejala, dan penggolongan kesesuaian varietas diketahui ba hwa varietas Tukad Petanu paling tahan, tetapi sebaliknya varietas Tukad Unda paling rentan di antara kelima varietas yang telah dilepaskan (Widiarta et al. 2003 dalam Suprihanto 2005). Varietas yang tahan terhadap wereng hijau antara lain yaitu varietas IR60, IR62, IR66, IR70, IR72, dan IR74, tetapi varietas ini tidak tahan terhadap virus tungro (Chancellor et al. 1999). Varietas intermediet tungro seperti Utri Rajapan (Cabauatan et al. 1995), sedangkan varietas resisten moderat terhadap wereng hijau adala h IR26 dan IR36 (Dahal et al. 1997). Taichung Native 1 ( TN1). Salah satu peristiwa yang penting dalam sejarah peningkatan varietas padi adalah pengembangan dari varietas semidwarf indica yang mampu memberikan hasil tinggi. Padi varietas TN1 adalah hasil dari persilangan dari padi varietas Dee-Geo-Woo-Gen dan Tsai-Yuan-Chung yang dibuat pada 1949 oleh pemulia tanaman di Taichung District Agricultural Improvement Station, Taiwan. Asal dari varietas semidwarf Dee-geo-woo-gen tidak diketahui, walaupun sebena rnya dikembangkan oleh petani Taiwan sebelum tahun 1951 (Huang 1956 dalam De Datta 1981). TN1 adalah varietas padi yang rentan terhadap virus tungro dan wereng hijau (Cabauatan et al. 1995; Dahal et al. 1997). IR64. Varietas padi IR64 memiliki anakan produktif yang cukup banyak dengan tinggi tanaman ± 85 cm, dan merupakan padi tipe indica. IR64 merupakan varietas padi yang dikeluarkan IRRI (1985-1989) dengan masa berbunga 87 hari, waktu matang yang cepat yaitu 116 hari. Meskipun varietas padi ini resisten wereng hijau namun memiliki kerentanan terhadap virus tungro (Hibino 1987).
Penyakit Tungro Sejarah Penyakit Tungro Penyakit tungro di Indonesia dikenal dengan beberapa nama seperti Mentek di Sumatera Selatan, penyakit Habang di Kalimantan, Cella pance di Sulawesi Selatan (Tantera 1982). Penyakit tungro dikenal dengan nama penyakit merah di Malaysia, accep na pula di Philipina, dan yellow orange leaf di Thailand (Ling 1972). Frekuensi dan intensitas kejadian tungro mengalami penurunan pada akhir 1960-an dan pertengahan 1970-an. Namun, penyakit ini mendapat perhatian serius di daerah endemik seperti Indonesia dan Philipina, dan secara periodik muncul sebagai masalah penting di India dan Bangladesh (Azzam & Chancellor 2002). Tabel 1 Kerusakan lahan perta naman padi akibat penyakit tungro di Indonesia pada tahun 1967-1995 Tahun
Lokasi
Luas (Ha)
1969-71
Kalimantan, Lampung, Sumatera
21.000
1970-72
Kalimantan
1972-75
Sulawesi Selatan
1973-82
Sulawesi Utara
1973-82
Sulawesi Tengah
10.000
1976-78
Sulawesi Selatan
8.625
1976-82
Sulawesi Tenggara
1979-82
Sulawesi Selatan
1980
Bali
1983-84
Sulawesi Selatan
1983-84
Bali, Jawa, Sumatera
1985-86
Sulawesi Selatan
1985-86
Bali, Jawa, Sumatera,
5.000 100.000 5.000
500 7.885 16.000 2.159 25.000 1.000 18.000
Kalimantan, Irian Jaya 1995
Jawa Tengah
Sumber: (Manwan et al. 1987; Azzam & Chancellor 2002)
12.340
Gejala Penyakit Tungro Penyakit tungro sangat mudah dikenali dengan ciri utama yaitu perubahan warna daun. Warna daun berubah menjadi kuning, dan sering terdapat karat berwarna coklat. Gejala penyakit tungro pada tanaman padi juga ditunjukkan oleh anakan yang berkurang, tanaman kerdil, pemunculan malai tertahan, gabah kecokelatan karena pengisian tidak sempurna. Gejala penyakit ini dapat bervariasi tergantung varietas dan lokasi (Ling 1972; Tantera 1982; Suparyono et al. 2003). Penguningan daun terjadi dengan kisaran warna dari kuning terang sampai orange atau coklat, biasanya dimulai dari ujung daun (Gambar 1). Daun muda sering menunjukkan be lang atau mempunyai strip hijau dan putih
yang
berbatasan dan memanjang sejajar tulang daun (Suparyono et al. 2003). Pada daun yang kuning berkembang bintik-bintik yang berwarna coklat gelap tidak beraturan dan kadang-kadang pada daun hijau khususnya bila infeksi terjadi pada bibit muda. Daun tanaman padi terinfeksi tungro kadang terlihat ramping menggulung keluar dan seperti spiral (Ling 1972). Tanaman padi terinfeksi tungro menjadi sangat kerdil, pelepah dan helai daun mengecil. Derajat kekerdilan tanama n tergantung pada varietas padi yang ditanam. Ukuran kekerdilan akan menurun tajam dengan meningkatnya umur tanaman pada saat terjadi infeksi. Semakin tua tanaman saat terjadi infeksi maka reduksi ukuran tanaman yang terjadi akan semakin rendah. Semakin muda umur tanaman yang terinfeksi maka reduksi tanaman akan semakin tinggi (Ling 1972). Penurunan jumlah anakan sangat tinggi bila infeksi terjadi pada stadium pertumbuhan sangat awal. Jumlah anakan tanaman padi dipengaruhi umur dan mungkin akan meningkat bila infeksi setelah tanaman berumur lebih dari satu bulan. Namun jumlah anakan akan tetap sedikit jika selama infeksi terjadi, stadium petumbuhan terhambat (Ling 1972). Tanaman padi terinfeksi tungro sangat lama umurnya sampai bulir matang karena adanya penundaan pembungaan. Panikel selalu kecil, steril dan tidak berkembang sempurna. Bulir sering ditutupi bintik -bintik berwarna coklat yang lebih gelap daripada tanaman sehat. Hasil yang rendah diakibatkan bulir yang sangat kecil per tanaman. Kualitas bulir tidak konsisten dan secara mencolok
berbeda dengan tanaman sehat. Persentase protein beras yang terdiri dari amilosa dan gelatin mengalami penurunan (Ling 1972). Perkembangan akar sangat kurang, tanaman padi mungkin mati tetapi biasanya hidup sampai tua. Pada beberapa varietas padi gejala infeksi mungkin tertutup secara sempurna setelah periode pertumbuhan tertentu. Kemudian mungkin tanaman padi menunjukkan gejala lagi pada anakan atau tetap tidak menimbulkan gejala (Ling 1972). Orange Hijau Kuning terang
Gambar 1 Ge jala penyakit tungro pada daun tanaman padi. Warna daun menjadi kuning dimulai dari ujung dan tepi daun sampai ke tulang daun. Warna kuning daun berkisar antara kuning terang sampai orange (Suparyono et al. 2003).
Virus Tungro Penyakit tungro disebabkan oleh dua jenis virus yaitu rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro spherical waikavirus (RTSV) (Hibino et al. 1979). Kedua virus tersebut tidak mempunyai hubungan kekerabatan, sebab keduanya dapat hidup dalam satu sel tanpa menimbulkan efek proteksi silang (Tantera 1982). Kedua virus hidup bebas di dalam tanaman padi, RTSV terbatas hanya di floem sedangkan RTBV terdapat pada xylem dan floem (Azzam & Chancellor 2002). Menurut Hibino (1987) partikel virus tungro ditemukan di daun, akar, jaringan parenkim, floem, dan sitoplasma. Badan inklusi tidak ada pada sel terinfeksi dan perubahan seluler lain yaitu adanya akumulasi pati. Kedua virus mungkin terdapat secara bersamaan di dalam sel tanaman terinfeksi dan mungkin juga hanya terdapat RTBV atau RTSV saja. RTBV merupakan pararetrovirus kelompok virus DNA, memiliki genom DNA untai ganda (double stranded), termasuk famili Caulimoviridae, dan genus
Badnavirus. Genus ini memiliki partikel yang berbentuk batang dan tidak beramplop. Partikel virus ber ukuran panjang 100-300 nm, dan lebar 30-35 nm (Hull 1996). Asam nukleat RTBV adalah DNA utas ganda dan bulat lebih kurang 8 kb (kilo base). Asam nukleat tersebut mengandung dua daerah yang tidak bersambung yang merupakan hasil dari proses replikasi oleh reverse transcriptace dan empat open reading frames (ORFs) (Gambar 2). ORF1 mengkode protein pada 24 kDa (P1) dan ORF4 pada 46 kDa (P4), fungsi dari keduanya belum diketahui. ORF2 mengkode protein pada 12 kDa (P2) yang fungsinya juga belum diketahui secara pasti. ORF3 mengkode poliprotein P194 yang mempunyai fungsi berhubungan dengan coat protein virus (37 kDa), aspartated protease , reverse transcriptase , movement protein dan ribonuclease H (Hull 1996; Herzog et al. 2000). RTSV termasuk kelompok virus RNA yang beruntai tunggal (single stranded), famili Sequiviridae dan genus Waikavirus. RTSV memiliki partikel isometrik dengan diameter 30 nm (Hibino 1987). Genom RNA RTSV kira-kira 11 kb dan protein selubungnya terbentuk dari dua jenis molekul protein (Agrios 1997). Penularan Virus Tungro Virus tungro ditularkan secara semipersisten oleh wereng hijau (Nephotettix spp.). Wereng hijau adalah vektor virus tungro yang sangat penting, karena memiliki inang yang sama dengan virus tungro yaitu padi (Siwi et al. 1987). Serangga ini menahan virus tungro selama 3-5 hari, dan tidak menunjukkan periode laten (Hibino et al. 1979). Wereng hijau dapat menularkan virus tungro pada fase nimfa, imago jantan maupun betina, namun tidak bisa melalui telur. Faktor lain seperti ta nah, air, polen dan biji padi tidak dapat menularkan virus tungro. Virus tungro juga tidak dapat ditularkan melalui inokulasi mekanis atau kontak antar tanaman (Hibino 1987). Beberapa spesies wereng hijau yang dapat menularkan virus tungro antara lain yaitu N. virescens, N. nigropictus, Recilia dorsalis, N. cinticeps, N.
malayanus, N. parvus (Hibino 1987; Ling 1972). Efisiensi penularan virus tungro tergantung pada spesies vektor tersebut dan populasinya (Hibino 1987).
CP C
1497 bp Gambar 2 Gambaran skematik genom RTBV, polyprotein P3 dan gen protein selubung. (A) Organisasi genome RTBV. DNA RTBV digambarkan oleh dua garis tipis dengan dua daerah tidak bersambungan (putus) ( 1 and 2). Anak panah tebal diluar menggambarkan DNA empat gen virus ini (I, II, III, dan IV). Pregenomic RNA ditunjukkan sebagai suatu anak panah tipis di sebelah dalam DNA. (B) Polyprotein P3. Lokasi dari domain-domain tersebut berhubungan dengan movement protein (MP), coat protein (CP), aspartic protease (PR), reverse transcriptase (RT), dan RNase H (RH) dalam P3. Fungsi domain yang tidak diketahui ditandai dengan tanda tanya. Posisi daerah pemotongan dicirikan oleh garis vertikal dan anak panah. Dugaan daerah potongan yang lain disimbolkan oleh garis zigzag dan tanda tanya. Posisi ujung amino dan karboksi dari protein selubung (p37) dan RT (p55 and p62) telah ditandai. Lingkaran bulat menunjukkan posisi dari zinc finger motif dalam coat protein (Herzog et al. 2000 dalam Suprihanto 2005). (C Gen coat protein RTBV yang di amplifikasi dengan primer RTBV-2R dan RTBV-2L. bp = base pair
A
B
Gambar 3 Serangga vektor virus tungro N. virescens (A) Imago, (B) Nimfa. RTBV tidak bisa ditularkan sendiri oleh wereng hijau dan membutuhkan bantuan RTSV dalam penularannya. Wereng hijau makan pada tanaman terinfeksi RTBV dan RTSV kemudian menularkan keduanya atau salah satu dari keduanya ke tanaman lain yang sehat. Meskipun penularan dari tanaman terinfeksi RTBV saja tidak bisa terjadi tapi RTSV dapat ditularkan secara berulang ole h wereng hijau yang makan pada tanaman terinfeksi RTSV saja (Cabunagan et al. 1987). Pada padi terinfeksi virus tungro RTBV berperan besar menginduksi gejala yellowing dan redening daun, serta pengkerdilan, sedangkan RTSV berperan dalam penularan kedua mac am virus melalui wereng hijau (Dahal et al. 1990). Keragaman RTBV Pengetahuan tentang keragaman virus tungro penting untuk melakukan pengembangan perlindungan non konvensional dengan menggunakan padi resisten tungro. Pengetahuan tentang keragaman virus tungro menyangkut faktor yang
mempengaruhi
terbentuknya
keragaman
tersebut.
Faktor
yang
mempengaruhi terbentuknya keragaman virus tungro antara lain kombinasi infeksi virus, keragaman populasi wereng hijau, kondisi pertumbuhan dan jenis yang berbeda dari kultivar padi, keragaman isolat virus tungro (strain) (Dahal et al. 1992). Diagnosis untuk memperlihatkan keragaman virus tungro telah dilakukan dengan melihat gejala dan analisis RFLP pada isolat dari Philippina dan
Indonesia. Dari diagnosis tersebut diper oleh pengetahuan bahwa virus tungro memiliki perbedaan pada setiap lokasi. Populasi virus tungro secara geografi dilaporkan hanya stabil pada periode waktu tertentu. Ini menunjukkan bahwa virus tungro memberikan respon yang berbeda terhadap perubahan lingkungan dan inang. Studi lingkungan menunjukkan bahwa pada satu lokasi virus tungro yang memiliki keragaman secara genetik dan biologi dapat hidup berdampingan (Azzam & Chancellor 2002). Cabauatan et al. (1995) melaporkan keragaman empat strain RTBV (G1,G2, Ic, dan L) dari Philipina berdasarkan gejala yang berbeda pada varietas padi FK135 dan TN1. Pada varietas padi FK135 strain Ic menyebabkan tanaman sangat kerdil, pembentukan anakan terhambat, penyempitan daun, penguningan helaian daun, klorosis jaringan tulang daun. Strain G1 dan G2 hanya menyebabkan kekerdilan yang ringan dan daun-daun masih hijau normal. Pada varietas padi TN1, strain G1 dan Ic menyebabkan kekerdilan yang ringan namun tidak ada perubahan warna daun, strain G2 menyebabkan kekerdilan yang berat dan perubahan warna menjadi kuning atau orange, sama dengan yang disebabkan strain L. Jadi strain G1 dan Ic dapat dibedakan dengan reaksinya pada padi kultivar FK135, sedangkan strain G1 dan G2 bisa dibedakan pada varietas padi TN1 (Cabauatan et al. 1995). Uji RFLP terhadap genom empat strain RTBV diatas menunjukkan pola RFLP yang beragam. Strain G1 dan Ic menunjukkan pola RFLP yang sama bila dipotong dengan enzim PstI, BamHI, EcoRI, dan EcoRV. Berbeda dengan strain G2 dan L yang dipotong dengan EcoRI dan EcoRV (Cabauatan et al. 1998) (Gambar 4). Suprihanto (2005) juga melakukan uji penularan terhadap delapan isolat RTBV (Bali, Kalsel, Sulsel, Jabar-1, Jateng, Jatim, NTB dan Jabar-2) yang diambil dari daerah endemik tungro di Indonesia pada varietas FK 135 dan TN1. Berdasarkan gejala yang diamati diketahui bahwa delapan isolat RTBV tersebut menyebabkan gejala yang berbeda terutama pada warna daun. PCR-RFLP terhadap delapan isolat RTBV dari Indonesia diatas juga menunjukkan pola RFLP yang berbeda. Pemotongan fragmen DNA gen protein selubung isolat RTBV tersebut dengan EcoRV hanya isolat RTBV Jabar-1 yang
tidak terpotong sedangkan isolat RTBV lainnya terpotong dengan ukuran yang relatif sama. Pemotongan dengan PstI menunjukkan fragmen DNA gen protein selubung isolat RTBV Jabar -1, Jatim, dan Jabar-2 tidak terpotong sedangkan isolat RTBV yang lainnya terpotong dengan ukuran yang sama (Suprihanto 2005).
Enzim EcoRI
Strain Phi-
88 bp
1409 bp
G1 1 G2
772 bp 88 bp
651 bp
74 bp
651 bp
75 bp
1409 bp
Ic
771 bp
Enzim PstI Phi-1 G1
1220 bp 524 bp
G2
277 bp 701 bp
1220 bp
Ic
523bp
272 bp 277 bp
701 bp
273 bp
Enzim BclI Phi-1
959 bp
538 bp
G1
958 bp
539 bp
G2
959 bp
538 bp
Ic
957 bp
540 bp
Gambar 4 Ukuran fragmen yang terbentuk pada pemotongan gen protein selubung empat strain RTBV dari Philipina menggunakan enzim EcoRV, PstI, BclI (analisis restriksi dengan Program Primer Premier 5 (Premier Biosoft International 2004) Widiarta & Darajat (2000) juga melaporkan inokulum tungro di Indonesia memiliki tingkat virulensi yang berbeda. Sumber inokulum tungro yang paling virulen adalah dari Jawa Barat dan Jogjakarta, sedangkan yang paling lemah virulensinya adalah inokulum tungro dari Jawa Timur. Inokulum tungro Bali dan Jawa Tengah virulensinya hampir sama (Widiarta et al. 2003 dalam Suprihanto 2005). Isolat virus tungro Jabar-1 dan Jabar-2 tingkat virulensinya tertinggi. Selanjutnya isolat virus tungro Jatim virulensinya sedikit dibawah isolat tungro
Jabar-1 dan Jabar-2. Isolat virus tungro Kalsel, Sulsel, dan NTB virulensinya juga lebih rendah dari isolat tungro Jabar-1 dan Jabar-2. Virulensi yang paling rendah ditunjukkan oleh isolat virus tungro dari Bali dan Jateng (Suprihanto 2005). Keragaman RTBV juga dapat ditunjukkan dengan merunut DNA dari setiap strain RTBV. Cabauatan (1999) merunut dan mengklon DNA tiga strain RTBV yaitu
strain G1, Ic, dan G2 dan membandingkan dengan tiga urutan
genom RTBV yang telah dipublikasikan yaitu Phi-1, Phi-2, dan Phi- 3. Dari analisis urutan DNA ditemukan ukuran genom yang sedikit berbeda diantara keenam strain RTBV tersebut. Ukuran genom RTBV strain G1 8006 bp, strain Ic 8005 bp dan strain G2 8001 bp. RTBV Phi-1 dan Phi-3 memiliki panjang genom yang sama yaitu 8002 bp, sedangkan Phi-2 berukuran 8000 bp (Cabauatan et al. 1999). Pada tingkat nukleotida dan asam amino keenam strain RTBV tersebut memiliki pesamaan antara 95%-99%. Perbedaan yang paling besar ditemukan pada cysteine-rich region dari ORF3. Bila urutan genom enam RTBV dari Philipina ini dibandingkan dengan isolat RTBV dari Malaysia (Serdang), juga ditemukan perbedaan pada cysteine -rich region dengan penambahan dan kehilangan nukleotida diantara urutan DNA genomnya. Dari hasil perunutan tersebut isolat RTBV dikelompokkan dalam tiga grup yaitu Serdang; Ic dan G1; dan Phi-1, Phi- 2, Phi-3 dan G2 (Cabauatan et al. 1999). Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP ) Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik yang mulai berkembang pesat sekitar tahun 1987. Pada dasarnya PCR mampu mengenali dan memperbanyak (amplifikasi) segmen DNA sasaran walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah menggunakan satu pasang primer oligonukleotida. Reaksi amplifikasi sangat tergantung dari keberadaan enzim polimerase sebagai katalisator, terutama yang tahan panas. Enzim yang paling terkenal dan banyak digunakan adalah Taq DNA polimerase yang diisolasi dari bakteri tahan panas Thermus aquaticus. Bahan utama lain yang diperlukan adalah deoxynucleotide triphosphates (dNTPs), yang terdiri atas deoxyadenosine triphosphates (dATP), deoxyguanidine triphosphates (dGTP), deoxycytidine triphosphates (dCTP) dan
deoxythymidine triphosphates (dTTP), serta bufer PCR yang mengandung MgCl2 (Taylor 1999 dalam Mutaqin 2000). Proses PCR pada dasarnya terdiri atas tiga tahap reaksi dengan kondisi suhu yang berbeda secara berulang dalam beberapa siklus tertentu yaitu denaturasi, annealing (penempelan primer) dan ekstensi primer (sintesis DNA). Dengan reaksi amplifikasi DNA secara simultan, maka jumlah DNA sasaran akhir telah dilipatgandakan secara eksponensial (McPherson et al. 1992 dalam Mutaqin 2000). Proses sintesis inilah yang membuat sensitifitas teknik PCR semakin tinggi, karena dari jumlah molekul DNA yang sedikit dapat dikopi menjadi berlipatganda (Takahashi et al. 1993). Teknik PCR 103-104 kali lebih sensitif dalam mendeteksi DNA RTBV yang diekstraksi dari tanaman padi dibanding metode ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). PCR juga bisa mendeteksi RTBV pada vektor yang sangat sulit dilakukan dengan ELISA. PCR dilakukan untuk mengamplif ikasi urutan DNA secara invitro. Metode ini sangat sensitif dan tepat mendeteksi dari suatu kopi molekul DNA tunggal (Takahashi et al. 1993). Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) adalah satu teknik yang dapat membedakan suatu organisme dengan analisis pola pemotongan DNAnya. RFLP menggunakan enzim restriksi endonuklease yang dapat memotong molekul DNA pada urutan nukleotida yang spesifik tergantung enzim yang digunakan. Jika fragmen DNA dari dua organisme dipotong dengan enzim restriksi endonuklease maka posisi pemotongan yang dihasilkan akan berbeda (Simsek 2001). Analisis RFLP dari ekstrak DNA memakan waktu dan tenaga yang banyak. Dari ekstrak DNA biasanya molekul DNA masih berupa urutan DNA organisme yang utuh (genom). Metode PCR mampu mengamplifikasi sebagian fragmen DNA dengan ukuran sangat kecil dari keseluruhan genom organisme hanya dalam waktu 2-3 jam. PCR-RFLP adalah analisis RFLP yang dilakukan terhadap fragmen DNA hasil PCR. Dengan teknik PCR-RFLP analisis pola restriksi DNA dapat dila kukan pada banyak sampel dengan waktu yang singkat (Simsek 2001).
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Virologi Tumbuhan dan Rumah Kaca Cikabayan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari November 2005 sampai Januari 2006. Persiapan Tanaman Padi Tanaman padi disiapkan untuk perbanyakan wereng hijau dan perbanyakan virus tungro. Varietas padi yang digunakan adalah padi varietas IR64. Pertama disiapkan media tanam berupa tanah steril yang dimasukkan ke dalam ember dan disiram air sampai tergenang. Benih padi yang telah direndam dengan air selama lebih kurang 12 jam ditabur ke dalam ember tersebut, kemudian disungkup dengan kurungan plastik yang berdiameter 15 cm dan tinggi 40 cm. Benih IR64 ditabur sebanyak 20-30 butir tiap ember. Bibit yang tumbuh dipelihara sampai digunakan.
Perbanyakan Masal Wereng Hijau Perbanyakan wereng hijau dilakukan mengikuti prosedur Heinrichs et al. (1985 dala m Azzam et al. 2000a) yang dimodifikasi. Imago jantan dan betina wereng hijau (N. virescens) diperoleh dari koleksi perbanyakan masal Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman di Rumah Kaca Cikabayan. Wereng hijau dewasa dipindahkan ke ta naman padi IR64 yang telah disiapkan di dalam kurungan yang berukuran kira-kira 90x60x60 cm. Wereng hijau ini dibiarkan makan dan berkembang biak secara terus menerus pada tanaman padi tersebut, sampai jumlah imagonya cukup untuk penularan virus tungro. Pe meliharaan wereng hijau dilakukan dengan mengganti tanaman padi yang telah kering dengan yang baru.
Isolat Virus Tungro Isolat virus tungro pada tanaman padi sakit diperoleh langsung dari pertanaman padi milik petani di beberapa daerah yaitu: Jalaksana-Kuningan, Plered-Purwakarta, Situgede-Bogor. Isolat virus tungro Cianjur diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Semua tanaman bergejala tungro ini kemudian digunakan sebagai sumber inokulum untuk perbanyakan virus tungro. Perbanyakan Virus Tungro Virus tungro ditularkan ke tanaman padi varietas IR64 sehat berumur 7-10 hari dengan vektor N. virescens. Vektor viruliferous diperoleh dengan membiarkan N. virescens makan pada tanaman sumber inokulum selama empat hari, kemudian wereng tersebut dipindahkan ke tanaman padi sehat. Tanaman yang telah diinokulasi ini dipelihara sampai menunjukkan gejala. Tanaman terinfeksi tungro dipanen 10-15 hari setelah inokulasi (Azzam et al. 2000b).
Deteksi RTBV Menggunakan Teknik PCR Deteksi RTBV dengan te knik PCR meliputi tahap ekstraksi DNA total dan amplifikasi. Selanjutnya DNA hasil amplifikasi dielektroforesis dengan gel agaros dan divisualisasi pada UV transilluminator. Ekstraksi DNA total RTBV Ekstrak DNA RTBV disiapkan dari daun padi IR64 terinfeksi tungro menggunakan metode yang dimodifikasi dari Smith et al. (1992 dalam Suprihanto 2005). Sebanyak 50 mg daun padi sakit yang ditambah nitrogen cair digerus dengan mortar dan pistil sampai berbentuk bubuk. Bubuk daun tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung mikro 1,5 ml dan ditambah 0,5 ml bufer STE yang mengandung 50 mg/ml polyvinylpolypyrrolidone (PVP) dan 60 µl 10% sodium dedocyl sulfate (SDS). Selanjutnya campuran tersebut ditambah 0,5 ml phenol: chloroform: isoamyl alcohol (PCI 25:24:1) dan 0,1 volume 3 M sodium asetat (pH 5,2), kemudian dicampur dengan membalikkan tabung beberapa kali dan disentrifugasi pada 10.000 g pada suhu 4 ° C selama 10 menit. Supernatan
diekstrak lagi dengan PCI (25:24:1) pada volume yang sama dan 0,1 volume sodium asetat seperti di atas. Asam nukleat dipresipitasi dari cairan fase akhir dengan 0,1 volume 3 M sodium asetat dan 3 volume ethanol dan disentrifugasi pada 15.000 g pada suhu 4 °C selama 20 menit. Pelet dicuci dengan 75% ethanol dingin, dikeringkan dan diresuspensi dengan air deionisasi steril. Amplifikasi gen protein selubung RTBV Amplifikasi dilakukan dengan metode PCR menggunakan primer spesifik RTBV yaitu RTBV-2L (5’-GGTCTTGGATGGATGGTAGA-3’) dan RTBV -2R (5’GCTGAGGTGCTACATAGGTT-3’). Sepasang primer tersebut didesain untuk mengamplifikasi pada bagian gen protein selubung sampai sebagian gen protease aspartat RTBV yang menghasilkan produk 1497 bp (Venkitesh et al. 1994). Sebanyak 0,4 pmol masing-masing primer, dan 2 unit Taq DNA polimerase (Invitrogen, TECH-LINE USA), 1x bufer PCR, 1,5 mM MgCl2 , 0,2 mM dNTP, dan 2 µl DNA template dalam volume akhir 25 µl digunakan dalam amplifikasi. Amplifikasi ini dilakukan pada DNA thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700, PE Applied Biosystems, USA). Amplifikasi tersebut didahului dengan denaturasi awal selama 5 menit pada 94 °C. Kemudian dilanjutkan dengan siklus amplifikasi yang dalam satu siklus amplifikasi adalah denaturasi 1 menit pada 94 °C, penempelan primer (annealing) selama 1 menit pada 55°C, sintesis selama 2 menit pada 72 °C dan diulang sebanyak 34 kali kemudian untuk tahapan sintesis ditambah 10 menit pada 72°C. Pemotongan DNA RTBV dengan Enzim Restriksi DNA RTBV hasil PCR dipotong menggunakan tiga enzim restriksi endonuklease, yaitu EcoRV (Fermentas ), Pst1 (Amersham Pharmacia Biotech, USA), dan BclI (Fermentas). Pemotongan DNA dilakukan mengikuti prosedur dari brosur perusahaan produsen enzim. Sebanyak 20 µl DNA hasil PCR (dengan konsentrasi 0,2-1,0 µg) dimasukkan dalam tabung mikro 0,5 ml steril, kemudian ditambahkan 5 µl 10x bufer enzim restriksi dan 2 unit enzim restriksi dicampur dengan cara mengetuk-ngetuk tabung dengan jari. Selanjutnya campuran
ditambahkan aquades hingga volume akhir reaksi mencapai 50 µl. Campuran tersebut diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 2 hari. Elektroforesis dan Visualisasi Visualisasi DNA hasil amplifikasi dan pemotongan dilakukan dengan gel agaros 1% dalam TAE 1X. Gel agaros dibuat dengan mencampurkan 0,4 g gel agaros dengan 40 ml bufer Tris-acetat EDTA (TAE) 0,5x (0,045 M Tris-acetate, 0,01 M EDTA) dan dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer 100 ml. Campuran di panaskan dalam microwave hingga agaros larut sempurna dan ditambahkan 2,5 ìl etidhium bromida. Sebelumnya aparatus pencetak gel dibersihkan, dikeringkan, kemudin diletakkan pada permukaan yang datar. “Sisir” gel diletakkan di bagian atas aparatus pencetak gel (± 0,5-1,0 mm dari atas). Selanjutnya larutan agaros dimasukkan ke dalam cetakan gel hingga keras. Setelah keras gel agaros dipindahkan ke bak elektroforesis (Bio-Rad Power PAC 300, USA) dan ditambahkan bufer elektroforesis hingga gel agaros terendam. Sebanyak 10 µl DNA hasil restriksi bersama 2 µl loading buffer dihomogenka n kemudian dimasukkan ke dalam sumuran gel dengan pipet mikro. Elektroforesis dilakukan dengan tegangan 75 volt selama 90 menit. Hasil elektroforesis tersebut divisualisasikan dengan Transilluminator ultraviolet (Sambrook et al. 1989). Pita DNA yang terbentuk pada hasil elektroforesis tersebut diamati dan dipotret dengan menggunakan kamera digital.
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolat Virus Tungro Tanaman
sumber
inokulum tungro yang
diambil
dari
lapangan
menunjukkan gejala tungro berupa daun kuning hingga orange yang didasarkan pada deskripsi gejala tungro menurut Ling (1972). Tanaman padi sumber inokulum tungro yang diambil dari Bogor adalah varietas Ciherang yang berumur 28 hari setelah tanam. Tanaman padi yang diambil dari Kuningan adalah varietas IR36 yang berumur sekitar 50 hari. Tanaman sakit dari Purwakarta merupakan padi varietas Ciherang berumur 15 hari setelah tanam. Isolat virus tungro juga diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi pada tanaman padi varietas TN1 berumur 20 hari setelah tanam. Isolat virus tungro ini merupakan koleksi Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi yang diambil dari pertanaman padi di Cianjur. Deteksi RTBV dengan Teknik PCR Visualisasi hasil PCR menunjukkan fragmen DNA berukuran sekitar 1500 bp (Gambar 5) yang mengindikasikan bahwa tanaman padi yang diambil dari Cianjur, Kuningan, Purwakarta, dan Bogor terinfeksi RTBV. Primer yang digunakan dalam PCR ini dapat mengamplifikasi genom RTBV pada posisi 2669 bp sampai 4165 bp, sehingga hasil PCR menunjukkan fragmen DNA RTBV berukuran 1497 bp Daerah yang teramplifikasi ini merupakan bagian dari gen protein selubung RTBV (Venkitesh et al. 1994) Hasil deteksi RTBV ini mendukung laporan Widiarta (2005) yang menyatakan bahwa endemik penyakit tungro di Jawa Barat terjadi di daerah Sukabumi, Cianjur, Subang, dan Bogor. Penyakit Tungro juga selalu terjadi di Kuningan (Diskusi Pribadi). Diferensiasi RTBV dengan Teknik PCR-RFLP Suatu enzim restriksi endonuklease dapat memotong fragmen besar DNA pada situs restriksi tertentu menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil. Visualisasi hasil pemotongan dapat menunjukkan pola fragmen yang khas (sidik jari DNA)
tergantung jenis DNA dan jenis enzim yang digunakan. Organisme yang berbeda memiliki perbedaan urutan DNA, sehingga dengan teknik ini memungkinkan dilakukan pembedaan organisme di tingkat spesies atau strain (Schneider et al. 1995 dalam Mutaqin 2000). M 1 2 3 4
1650 bp 1000 bp
1500 bp
Gambar 5 Visualisasi amplifikasi gen protein selubung empat isolat RTBV di Jawa Barat dengan primer RTBV-2R dan RTBV-2L. M= Marker 1 kb Plus ladder, 1= Cianjur, 2= Kuningan, 3= Purwakarta, 4= Bogor, bp= base pair Gen protein selubung isolat RTBV Bogor terpotong oleh EcoRV membentuk fragmen DNA berukuran 1200 bp, 200 bp dan sisanya sekitar 100 bp tidak terlihat (Ta bel 2). Isolat RTBV Bogor berbeda dengan tiga isolat RTBV lainnya yaitu isolat RTBV Cianjur, Kuningan dan Purwakarta yang tidak terpotong oleh EcoRV. Gen protein selubung RTBV yang tidak terpotong ini menunjukkan fragmen DNA yang masih utuh berukuran 1500 bp (Gambar 6). Pemotongan dengan EcoRV tidak bisa menunjukkan perbedaan ketiga isolat RTBV tersebut. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Suprihanto (2005) isolat RTBV Cianjur, Kuningan dan Purwakarta kekerabatannya dekat dengan isolat RTBV Jabar-1 (Subang) yang juga tidak terpotong oleh EcoRV. Isolat RTBV Bogor kekerabatannya dekat dengan isolat RTBV Bali, Kalsel, Sulsel, Jateng, Jatim, NTB, Jabar-2 (Bogor) yang terpotong oleh EcoRV membentuk fragmen DNA berukuran 1270 bp dan 230 bp (Suprihanto 2005). Isolat RTBV Cianjur, Kuningan dan Purwakarta berbeda dengan empat strain RTBV yang berasal dari Philiphina. Dari analisis restriksi diketahui empat
isolat RTBV dari Philipina tersebut terpotong oleh EcoRV. Isolat RTBV Bogor meskipun terpotong oleh EcoRV juga berbeda dengan empat strain RTBV dari Philipina karena posisi pemotongannya berbeda. M 1 2 3 4 M 1 2 3 4 M1 2 3 4 M
1650 bp
1650 bp 1500 bp
1200 bp
1000 bp
800 bp
200 bp
EcoRV
PstI
BclI
Gambar 6 Visualisasi PCR-RFLP gen protein selubung empat isolat RTBV di Jawa Barat dengan enzim EcoRV, Pst1 dan BclI M= Marker 1 kb Plus ladder, 1= Cianjur, 2= Kuningan, 3= Purwakarta, 4= Bogor, bp= base pair Fragmen DNA isolat RTBV Cianjur dan Kuningan tidak terpotong oleh PstI. Pemotongan gen protein selubung RTBV dengan PstI ini dapat menunjukkan perbedaan antara isolat RTBV Cianjur dan Kuningan denga n isolat RTBV Purwakarta. Gen protein selubung isolat RTBV Purwakarta terpotong oleh PstI membentuk fragmen berukuran 1200 bp, 200 bp dan sekitar 100 bp tidak terlihat. Pemotongan fragmen DNA RTBV ini terlihat belum sempurna karena masih ada fragmen DNA ya ng utuh berukuran 1500 bp (Gambar 6). Isolat RTBV Bogor juga terpotong membentuk fragmen DNA berukuran 1200 bp, 900 bp dan 200 bp oleh PstI (Tabel 2). Pemotongan isolat RTBV Bogor tersebut juga belum sempurna, karena masih ada fragmen DNA RTBV berukuran 1200 bp yang seharusnya terpotong menjadi fragmen yang lebih kecil. Pemotongan DNA gen protein selubung delapan isolat RTBV dari daerah endemik tungro di Indonesia dengan PstI menunjukkan isolat RTBV Jabar-1 (Subang), Jatim dan Jabar-2 (Bogor) tidak terpotong, sedangkan lima isolat RTBV lainnya terpotong dengan ukuran yang sama yaitu 1220 bp dan 280 bp
(Suprihanto 2005). Lima isolat RTBV tersebut menunjukkan perbedaan dengan isolat RTBV Cianjur dan Kuningan yang tidak terpotong oleh PstI. Pemotongan dengan PstI ini juga dapat menunjukkan perbedaan antara isolat RTBV Jabar-1 (Subang) dengan isolat RTBV Purwakarta. Tabel 2 Ukuran fragmen DNA yang terbentuk pada pemotongan gen protein selubung RTBV dengan enzim EcoRV, PstI dan BclI Ukuran fragmen (bp)
Isolat RTBV EcoRV
PstI
BclI
Cianjur
-
-
-
Kuningan
-
-
900, 500, 100
Purwakarta
-
1200, 200, 100
-
Bogor
1200, 200, 100
1200, 900, 200
900, 500, 100
bp: base pair
Pemotongan dengan PstI juga memperlihatkan perbedaan antara isolat RTBV Bogor dengan isolat RTBV Jabar-2 (Bogor) yang digunakan Suprihanto (2005). Hal Ini menunjukkan dalam satu lokasi bisa ditemukan lebih dari satu isolat RTBV yang berbeda (Arboleda et al. 1999). Perbedaan diantara isolat RTBV disebabkan oleh virus tungro memberikan respon yang berbeda pada inang yang berbeda (Azzam & Chancellor 2002). Kedua isolat tungro tersebut diambil dan dipelihara pada varietas padi (inang) yang berbeda. Isolat RTBV Bogor diambil dari pertanaman padi pada padi varietas Ciherang dan diperbanyak pada padi varietas IR64, sedangkan isolat RTBV Jabar-2 (Bogor) diperbanyak pada varietas FK135 dan TN1 (Suprihanto 2005). Kedua isolat RTBV tersebut juga diambil pada waktu yang berbeda dengan adanya kemungkinan perbedaan kondisi lingkungan. Menurut Azzam & Chance llor (2002) virus tungro hanya stabil pada periode waktu tertentu dan adanya perubahan lingkungan juga menyebabkan perbedan virus tungro. Isolat RTBV Cianjur dan Kuningan berbeda dengan empat strain RTBV dari Philipina yang terpotong oleh PstI. Isolat RTBV Purwakarta berkerabat dekat dengan RTBV Phi-1 dan strain G2 karena memiliki posisi pemotongan yang hampir berdekatan. Isolat RTBV Bogor juga dekat kekerabatannya dengan RTBV
strain G1 dan Ic karena posisi pemotongan yang juga hampir berdekatan. Isolat RTBV Bogor terpotong membentuk fragmen 900 bp yang kemungkinan akan terpotong membentuk fragmen berukuran kira-kira 700 bp dan 200 bp, sedangkan fragmen 1200 bp akan terpotong menjadi fragmen berukuran kira-kira 700 bp dan 500 bp (Tabel 2). Fragmen DNA gen protein selubung RTBV isolat Cianjur dan Purwakarta tidak terpotong oleh BclI, tetapi isolat RTBV Kuningan dan Bogor terpotong membentuk fragmen berukuran 900 bp, 500 bp dan 100 bp tidak terlihat (Gambar 6) (Tabel 2). Pemotongan dengan BclI ini dapat menunjukkan perbedaan antara isolat RTBV Cianjur dan Purwakarta dengan isolat RTBV Kuningan. Pemotongan dengan Bcl juga dapat menunjukkan perbedaan antara isolat RTBV Cianjur dan Purwakarta dengan empat strain RTBV dari Philipina yang terpotong oleh BclI. Isolat RTBV Kuningan dan Bogor menunjukkan kekerabatan yang dekat dengan keempat strain RTBV tersebut karena posisi pemotongan yang hampir berdekatan oleh BclI. Pengujian dengan teknik PCR-RFLP terhadap empat isolat RTBV dari Jawa Barat dengan enzim endonuklease EcoRV, PstI, dan BclI menunjukkan pola RFLP yang berbeda, yang berarti keempat isolat RTBV tersebut tidak identik. Isolat RTBV Bogor sangat berbeda dengan tiga isolat RTBV lainnya karena dapat terpotong oleh ketiga enzim yang digunakan. Isolat RTBV Cianjur dan Kuningan memiliki kekerabatan yang berdekatan karena sama-sama tidak terpotong oleh enzim EcoRV dan PstI. Kedua isolat RTBV ini dapat dibedakan pada pemotongan dengan BclI karena isolat RTBV Kuningan dapat terpotong. Isolat RTBV Cianjur dan Purwakarta juga terlihat dekat kekerabatannya pada pemotongan dengan EcoRV dan BclI yang sama-sama tidak terpotong. Keduanya juga dapat dibedakan pada pemotongan dengan PstI, isolat RTBV Purwakarta terpotong sedangkan isolat RTBV Cianjur tidak terpotong. Dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suprihanto (2005) isolat RTBV Cianjur dan Kuningan dekat kekerabatannya dengan isolat RTBV Jabar-1 (Subang). Gen protein selubung isolat RTBV Cianjur, Kuningan dan Jabar-1 (Subang) tersebut sama -sama tidak terpotong oleh enzim Pst1 dan EcoRV. Isolat RTBV Purwakarta agak dekat kekerabatannya dengan isolat RTBV
Bali, Kalsel, Sulsel, NTB dan Jateng yang juga terpotong oleh PstI. pada pemotongan dengan EcoRV lima isolat RTBV tersebut menunjukkan perbedaan denga n isolat RTBV Purwakarta yang tidak terpotong oleh EcoRV. Isolat RTBV Bogor berbeda dengan isolat RTBV Jabar-2 (Bogor) karena gen protein selubung RTBV Bogor terpotong oleh EcoRV dan PstI. Sedangkan gen protein selubung RTBV Jabar-2 (Bogor) tidak terpotong oleh Pst1 dan terpotong oleh EcoRV. Ini menunjukkan meskipun berasal dari satu lokasi yang sama isolat RTBV memiliki keragaman. Hasil ini mendukung pernyataan Azzam & Chancellor (2002) bahwa dalam satu lokasi virus tungro yang memiliki keragaman secara ge netik dan biologi dapat hidup berdampingan. Isolat RTBV Cianjur sangat berbeda dengan empat strain RTBV dari Philipina. Isolat RTBV Kuningan juga berbeda namun pada pemotongan dengan BclI menunjukkan kekerabatan yang agak dekat dengan keempatnya. Isolat RTBV Purwakarta menunjukkan kekerabatan yang dekat dengan strain Phi-1 dan G2 pada pemotongan dengan PstI namun dapat dibedakan pada pemotongan dengan EcoRV dan BclI. Isolat RTBV Bogor paling dekat kekerabatannya dengan strain G1 dan Ic pada pemotongan denga n PstI dan BclI, namun menunjukkan perbedaan pada pemotongan dengan EcoRV.
KESIMPULAN Tanaman padi dengan gejala daun kuning sampai orange yang diambil dari pertanaman padi milik petani di Cianjur, Kuningan, Purwakarta dan Bogor terinfeks i RTBV. Dengan teknik PCR-RFLP empat isolat RTBV di Jawa Barat tersebut menunjukkan keragaman pada gen protein selubungnya. Keempat isolat RTBV tersebut juga menunjukkan keragaman bila dibandingkan dengan delapan isolat RTBV yang telah diteliti di Indonesia dan empat strain RTBV (Phi- 1, G1, G2 dan Ic) dari Philipina.
SARAN Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan pembedaan isolat RTBV pada satu hamparan pertanaman padi yang terinfeksi tungro. Isolat-isolat RTBV yang sudah diteliti perlu juga dilakukan perunutan DNAnya agar perbedaan genetiknya semakin jelas.
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 1997. Plant Pathology. 4th ED. New York: Academic Press, Inc. Arboleda M, Cruz SF, Azzam O. 1999. Preliminary analysis of genetic variation of RTBV in two provinces of the Philippines. Di dalam: Chancellor TCB, Azzam O, Heong KL editor. Rice Tungro Management. Los Banos: IRRI. hlm 11-16. Azzam O, Cabunagan RC, Chancellor TCB. 2000a. Mass rearing green leafhopper Nephotettix virescens. Di dalam: Method for Evaluating Resistance to Rice Tungro Disease. Discussion Paper. IRRI. hlm 13. Azzam O, Cabunagan RC, Chancellor TCB. 2000b. Maintenance of virus infected rice plants. Di dalam: Method for Evaluating Resistance to Rice Tungro Disease. Discussion Paper. IRRI. hlm 14-16. Azzam O, Chancellor TCB. 2002. The biology, epidemiology, and management of rice tungro disease in Asia. Plant Disease 86: 88-100. Cabauatan PQ, Cabunagan RC, Koganezawa H. 1995. Biological variants of rice tungro viruses in the philippines. Phytopathology 85: 77-81. Cabauatan PQ, Arboleda M, Azzam O. 1998. Differentiation of rice tungro bacilliform virus strains by restriction analysis and DNA hybridization. Virological Methods 76: 121-126. Cabauatan PQ et al. 1999. Sequence changes in six variants of rice tungro bacilliform virus and their phylogenetic relationships. Journal of General Virology 80: 2229-2237. Cabunagan RC, Flores ZM, Tiongco ER, Hibino H. 1987. Diagnostic techniques for rice tungro disease. Di dalam: Rice Tungro Virus. Proceeding of the Workshop on Rice Tungro Virus: Ministry of Agriculture AARD-Maros Research Institute for Food Crops. Maros, 24-27 September 1986. hlm 1317. Chancellor TCB, Tiongco ER, Holt J, Villareal S, Teng PS. 1999. The influence of varietal resistance and synchrony on tungro incidence in irrigated rice ecosystems in the Philippines. Di dalam: Chancellor TCB, Azzam O, Heong KL, editor. Rice Tungr o Disease Management. Proceedings of the Internasional Workshop on Tungro Disease Management; Los Banos, 9-11 November 1998. Makati City (Philippines): IRRI. hlm 121-127. De Datta SK. 1981. Principles and Practices of Rice Production. Canada: John Willey & Sons, Inc. Dahal G, Hibino H, Saxena RC. 1990. Assosiation of leafhopper feeding behavior with transmission of rice tungro to susceptible and resistant rice cultivar. Phytopathology 80: 371-377.
Dahal G, Dasgupta I, Lee G, Hull R. 1992. Comparative transmission of, and varietal reaction to, three isolates of rice tungro virus disease. Annual Applied Biology 120: 287-300. Dahal G, Hibino H, Aguiero VM. 1997. Population characteristic and tungro transmission by Nephotettic virescens (Hemiptera: Cicadellidae) on selected resistant rice cultivars. Bulletin of Entomological Research 87: 387-395. Hasanuddin A, Widiarta IN, Yulianto. 1999. Improving IPM technology for rice tungro disease in Indonesia. Di dalam: Chancellor TCB, Azzam O, Heong KL editor. Rice Tungro Disease Management. Proceedings of the Internasional Workshop on Tungro Disease Management. Los Banos, 9-11 November 1998. Makati City (Philippines): IRRI. hlm 129-137. Herzog E, Peraza OG, Hohn T. 2000. The rice tungro bacilliform virus gene II product interacts with the coat protein domain of the viral gene III polyprotein. Journal of Virology 74(5): 2073-2083. http://jvi.asm.org/ cgi/content/ full/74/5/2073 [20 Juli 2005]. Hibino H. 1987. Rice tungro virus disease: current research and prospects. Di dalam: Rice Tungro Virus. Proceeding of the Workshop on Rice Tungro Virus: Ministry of Agriculture AARD-Maros Research Institute for Food Crops. Maros, 24-27 September 1986. hlm 2-6. Hibino H, Saleh N, Roechan M. 1979. Transmission of two kinds of rice tungro associated virus by insect vectors. Phytopathology 69: 1266-1268. Hull R. 1996. Moleculer biology of rice tungro bacilliform virus. Annual Review Phytopatholology 34: 275-297. Jumanto, Tantera DM. 1987. Tungro and tungro like symptoms in West Java, Indonesia. Di dalam: Rice Tungro Virus. Proceeding of the Workshop on Rice Tungro Virus: Ministry of Agriculture AARD-Maros Research Institute for Food Crops. Maros, 24-27 September 1986. hlm 21-23. Ling KC. 1972. Rice Virus Diseases. Los Banos: IRRI. Manwan I, Sama S, Rizvi SA. 1987. Management strategy to control rice tungro in Indonesia. Di dalam: Rice Tungro Virus. Proceeding of the Workshop on Rice Tungro Virus: Ministry of Agriculture AARD-Maros Research Institute for Food Crops. Maros, 24-27 September 1986. hlm 92-97. Mutaqin KH. 2000. Deteksi dan pembadingan fitoplasma asal rumput bermuda (Cynodon dactylon (L) Pers.) dan inang lainnya menggunakan te knik PCRRFLP serta penularannya dengan wereng daun [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboaratory Manual. Edisi ke-2. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Semangun H. 2000. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Simsek M. 2001. A polymerase chain reaction fragment length polymorphism (PCR-RFLP) test to detect the common mutation (35delG) in the connexin-
26 gene. Journal for Scientific Research: Medical Sience 1: 9-12. http://www.squ.edu.om/mj/apr2001/per/. [20 Januari 2006] Siregar H. 1989. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya. Siwi SS, Kartohardjono, Harnoto S, Diratmaja A. 1987. The green leafhopper, genus Nephotettix Matsumura. Di dalam: Rice Tungro Virus: Proceeding of the Workshop on Rice Tungro Virus: Ministry of Agriculture AARD-Maros Research Institute for Food Crops. Maros, 24-27 September 1986. hlm 35-50. Suparyono, Catindig JLA, Cabauatan PQ, Troung HX. 2003. Rice Tungro. http://www.knowledgebank.irri.org/riceDoctor_MX/ Fact_Sheets/Diseases/ Tungro.htm. [10 Oktober 2005]. Suprihanto. 2005. Diferensiasi beberapa isolat rice tungro virus dengan kultivar padi diferensial dan PCR-RFLP [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Takahashi Y et al. 1993. Detection of rice tungro bacilliform virus by polymerase chain reaction for assessing mild infection of plant and viruliferous vector leafhoppers. Phytopathology 83: 655-659. Tantera DM. 1982. Serangan penyakit virus tungro di Bali. Litbang Pert 1: 2-5. Widiarta IN, Darajat AA. 2000. Daya tular tungro daerah endemis terhadap varietas tahan. Berita Puslitbangtan 18: 1-3. Widiarta IN. 2005. Variasi efisiensi koloni wereng hijau Nephotettix virescens Distant dan virulensi inokulum tungro. Makalah seminar Puslitbangtan, 17 Februari 2005. Bogor. Venkitesh SR, Dolores-Talens AC, Koganezawa H. 1994. Primer for the amplification rice tungro bacilliform virus DNA genome by polymerase chain reaction. IRRN 19: 30-31.