DIALOG ANTARAGAMA DAN PERAN PEREMPUAN : ANALISIS SEMIOTIKA PESAN FILM ‘WHERE DO WE GO NOW’.
Skripsi Ditujukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh : Lini Zurlia NIM. 107051002539
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
DIALOG ANTARAGAMA DAN PERAN PEREMPUAN : ANALISIS SEMIOTIKA PESAN FILM ‘WHERE DO WE GO NOW’
Skripsi Ditujukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh : Lini Zurlia 107051002539
Pembimbing
Umi Musyarrofah, MA 197108161997032002
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar strata satu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Agustus 2014
Lini Zurlia
ABSTRAK Dialog Antaragama dan Peran Perempuan : Analisis Semiotika Pesan Film ‘WHERE DO WE GO NOW’ Where Do We Go Now? adalah sebuah film dengan latar Lebanon yang menggambarkan bagaimana para perempuan desa bekerja keras untuk melindungi desa dari peperangan antaragama yang terjadi di luar desa. Film ini penting dan menarik diteliti karena mengandung pesan dialog antaragama dengan peran perempuan yang besar dalam membangun bina-damai. Berdasarkan konteks diatas, penulis melakukan penelitian ini untuk menjawab dan menjelaskan bagaimana pemaknaan pesan dialog keagamaan & bagaimana pemaknaan peran perempuan dalam film Where Do We Go Now?. Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori Komunikasi Nirkekerasan. Sebuah teori yang dipelopori oleh Marshall Rosenberg yang menekankan pada tiga model yaitu self emphaty, receiving emphatically & expressing honestly. dan teori feminisme sebagai kerangka perspektif dalam melihat peran perempuan dalam film ini. Menggunakan metode deskriptif kualitatif dan teknik observasi film dengan model analisis semiotika Roland Barthes, peneliti akan menganalisis pemaknaan dialog antar agama & peran perempuan dalam film balutan sutradara aktris Lebanon ini. Bina damai dalam situasi konflik memang tidak mudah dilakukan, apalagi di wilayah yang sumbu konflik sangat pendek dan dapat meledak kapan saja. Perempuan menjadi elemen yang sangat penting dalam menciptakan persamaian dalam sebuah konflik. Komunikasi-komunikasi yang persuasif dan menekankan pada empati & kejujuran menjadi pilihan tepat bagi perempuan untuk berperan dalam upaya-upaya bina damai. Situasi inilah yang ingin disampaikan oleh Nadine Labaki melalui film garapannya where do we go now yang menjadi subjek penelitian penulis. Nadine Labaki berhasil mengemas film ini sehingga sarat akan pesan. Pesan ajaran Isalm yang ramah, pluralisme, toleransi, kerja keras dalam peace building (bina damai). Tidak hanya itu, Nadine Labaki juga ingin menyampaikan bagaimana bina damai yang terus menerus dibangun diinisiasi oleh para perempuan melalui dialog non violent communication (komunikasi nirkekerasan). Dialog antar Agama dan peran perempuan dalam bina damai menjadi vokal poin dalam film ini. Key Words: Komunikasi Nirkekerasan, Dialog antaragama, Peran Perempuan, Bina-damai, Konotasi & Denotasi.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa nikmat sehat yang selalu Allah berikan kepada penulis sehingga penulis masih bisa merasakan indahnya kehidupan. Sholawat dan salam tak akan lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw kekasih setiap hamba yang telah mengajarkan kepada kita tentang indahnya keberagaman. Senang sekali akhirnya atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul : Dialog Antaragama dan Peran Perempuan : Analisis Semiotika Pesan Film ‘WHERE DO WE GO NOW’. Tahun ketujuh adalah tahun yang sangat terlambat bagi seroang mahasiswa untuk menyelesaikan proses perkualiahan jenjang strata satu seperti yang penulis alami. Namun ini adalah pilihan sadar yang penulis pilih tentunya. Aktif dalam sebuah gerakan sejak menjadi mahasiswa muda di kampus hingga menjadi aktifis lapangan yang berniat untuk perjuangan membangun perdamaian atas nama kemanusiaan. Sering meninggalkan perkuliahan karena mendapat beasiswa short course tantang peace building for youth peace builder dan Women Issues baik di dalam maupun di luar negeri atau bahkan melakukan pendampingan terhadap kasus-kasus kekerasan atasnama agama dan kasus-kasus kekrasan terhadap perempuan. Aktifitas yang ditempuh tersebut, penulis kira adalah juga pesan pada apa yang kampus inginkan sesuai dengan Tridarama Universitas. Berangkat dari aktifitas tesebut juga yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan yang menjadi syarat kelulusan seorang mahasiswa strata
ii
satu.’Where Do We Go Now’ adalah sebuah film yang sarat akan pesan perdamaian antar sesama. Semoga hasil tulisan ini dapat memberikan insipirasi bagi mahasiswa lainnya atau para pembaca bahwa penting melakukan upayaupaya
membangun
perdamaian
di
tengah-tengah
suasana
konflik
tak
berkesudahan atau bahkan di tengah suasana kondusif sekalipun perdamaian harus terus dan tetap dibangun. Dapat diselesaikannya skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dukungan semua pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sedalam – dalamnya kepada: 1. Orang tua tercinta, Mamam & Bapak yang tak lelah memberikan do’a tulusnya untuk penulis. Sehingga dengan kesabaran yang luar biasa dari beliau, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. 2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah jakarta. 3. Dr. Arif Subhan, MA selaku dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi 4. Umi Musyarrofah, MA selaku dosen pembimbing yang dengan sangat bijaksana memberi motivasi dan arahannya kepada penulis sampai terselesaikannya penelitian ini. 5. Rachmat Baihaky, MA selaku ketua jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Fita Faturahman, M. Si selaku sekretaris jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.
iii
7. Dr. Gun-gun Heryanto, M.Si dan Prof. Dr, Andi Faisal Bakti, M.Si dosen pengajar yang banyak memberi inspirasi tentang pentingnya komunikasi dan keragaman, kepada mereka saya berterimakasih atas apa yang sudah menginspirasi saya sehingga saya menjadi pribadi yang inklusif. 8. Prof. Dr. Musdah Mulia, MA yang secara husus menjadi mentor, karenanya saya mampu menjadi pribadi yang dapat mengabdikan diri pada isu-isu keragaman dan isu perempuan. 9. Seluruh dosen pengajar yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan di jursan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10. Adik–adik tercinta Siti Rahayu, Endang Rahmawati, Sofwan Tabrani, Nayla Fitia, Momba Dona Sari Lubis, Zakiatunnisa, Adis Puji Astuti, Fanny Fatwati Puteri, dan Sri Andriyani yang selalu memberi kasih sayang dalam segala bentuknya kepada penulis. 11. Byan Rianzi, kekasih hati yang senantiasa memberi support. 12. Teman – teman satu himpunan yang baik suka maupun duka telah memberikan arti dan warna tersendiri dalam kehidupan penulis. 13. Serta kepada semua pihak yang telah membatu jalannya penelitian ini, yang tidak penulis sebutkan satu persatu. Namun, tetap tanpa mengurangi rasa terimakasih penulis.
iv
Semoga Allah SWT selalu menyayangi kalian, dan membalas semua kebaikan yang kalian berikan untuk penulis. Penulis hanya bisa mendo’akan agar semua yang diberikan menjadi anugerah yang indah.
Jakarta, 27 Agustus 2014
Lini Zurlia
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .....................................................................................
ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................
6
D. Metodologi Penelitian ..........................................................
7
1. Pendekatan Penelitian Semiotika Roland Barthes 2. Subjek dan Objek Penelitian E. Tinjauan Pustaka .................................................................. 14 F. Sistematika Penulisan .......................................................... 15
BAB II
LANDASAN TEORI A. Konseptualisasi Komunikasi ................................................ 17 B. Teori Feminisme ................................................................. 21 1. Feminisme ..................................................................... 21 2. Konseptualisasi Gender ................................................... 28 C. Tinjauan Tentang Film ......................................................... 29 1. Pengertian Film .............................................................. 29 2. Unsur – unsur dalam Film .............................................. 31 3. Jenis – jenis Film............................................................. 32
vi
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM WHERE DO WE GO NOW A. Sinopsis Film Where Do We Go Now ................................... 34 B. Profil Sutradara Film Where Do We Go Now ....................... 36 C. Tim Produksi Film Where Do We Go Now?......................... 37 D. Deskripsi Karakter Tokoh dalam Film Where do We Go Now ....................................................................................... 38
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Film ....................................................................... 44 B. Penyajian Data Penelitian ..................................................... 45 1. Makna Denotasi Fillm tentang Dialog Antaragama........ 53 2. Makna Konotasi Fillm tentang Dialog Antaragama ....... 74 3. Makna Denotasi Fillm tentang Peran Perempuan ........... 104 4. Makna Konotasi Fillm tentang Peran Perempuan ........... 119 C. Interpretasi Analisis Data ..................................................... 137
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................... 144 B. Saran ...................................................................................... 152
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 154 LAMPIRAN
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Komunikasi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang pasti memerlukan manusia lain dalam keberlangsungan hidupnya. Pengertian tentang komunikasi sendiri telah benyak dikemukakan oleh banyak ahli. Secara sederhana, komunikasi bisa dimengerti sebagai proses pengiriman pesan dari komunikan kepada komunikator. Maka David K. Berlo (1960) menyebutkan proses komunikasi membutuhkan beberapa aspek yakni sourch, massage, chenel, dan reciver.1 Maka aspek penting dalam proses komunikasi yakni sumber atau pengirim pesan, pesan, saluran, dan penerima pesan, sedangkan yang menjadi titik pijaknya adalah pesan itu sendiri. Selain proses pengiriman pesan seperti yang telah dikemukakan, komunikasi juga diartikan sebagai proses sosial dimana individu – individu menggunakan simbol – simbol untuk menciptkan dan mengiterpretasikan makna dalam lingkungan mereka2. Dari pengertian ini maka dapat kita ketahui bahwa dalam proses komunikasi, yang terpenting bukan hanya ketika seseorang menyampaikan pesan kepada seorang lain secara langsung. Di samping itu, simbol – simbol dan interpretasi juga merupakan hal terpenting dari proses komunikasi. Boleh jadi manusia tidak secara langsung dan sengaja menyampaikan pesan verbalnya kepada
1
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
h. 22 - 28 2
Richard West dan Lyn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi, Analisis dan Aplikasi. (Jakarta: Salemba Humanika, 2008), h. 5
1
2
seseorang agar dapat berkomunikasi, namun ketika komunikan menggunakan sebuah simbol seperti mengerutkan dahi kemudian seseorang menangkap simbol itu dan menginterpretasikannya sebagai tanda ketidaksukaan si pengirim pesan, maka itu juga bisa disebut sebagai proses komunikasi. Proses komunikasi kadang menyebabkan permusuhan sehingga muncul konflik, akan tetapi komunikasi juga bisa digunakan untuk membangun proses bina-damai. Komunikasi tersebut menurut Marshall Roserberg (1960) disebut sebagai nonviolent communication (Komunikasi nirkekerasan).3
Tujuan daripada komunikasi nirkekerasan adalah untuk
membuat hubungan manusia yang memberdayakan kasih memberi dan menerimadan membuat struktur pemerintahan/kehidupan dan korporasi yang mendukung penuh kasih memberi dan menerima. Komunikasi nirkekerasan tidak berisi sesuatu yang baru. Hal ini berdasarkan pada cerita utama dari antikekerasan yaitu keadaan alami penuh belas kasih ketika tidak ada kekerasan hadir dalam hati.
Komunikasi
nirkekerasan mengingatkan kita apa yang secara naluriah telah kita ketahui tentang seberapa menyenangkan rasanya terhubung dengan manusia lain. Dengan komunikasi nirkekerasan kita belajar untuk mendengar kebutuhan terdalam diri kita sendiri dan juga orang lain. Melalui pendalaman pada mendengarkan dengan baik untuk diri kita serta orang lain. Komunikasi nirkekerasan membantu kita menemukan kedalaman belas kasih kita sendiri. Bahasa ini mengungkapkan kesadaran bahwa semua manusia hanya berusaha untuk menghormati nilai-nilai universal dan kebutuhan, setiap menit, setiap hari. 3
Rosenberg, Marshall , Nonviolent Communication: A Language of Life. (Encinitas: Puddledancer Press, 2003), h.7-8
3
Komunikasi nirkekerasan dapat dilihat baik sebagai praktek spiritual yang membantu kita melihat kemanusiaan kita, menggunakan kekuatan kita dengan cara yang menghormati kebutuhan semua orang, dan keterampilan kongkret yang membantu kita menciptakan kehidupan melayani keluarga dan masyarakat. Komunikasi nirkekerasan adalah komunikasi untuk menciptakan suasana perdamaian satu sama lain. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu unsur terpenting dalam proses komunikasi adalah channel atau saluran. Melalui apa kita menyampaikan pesan atau menyimbolkan sesuatu kepada seseorang, adalah juga merupakan suatu penentu dalam proses komunikasi. Film merupakan salah satunya, saluran yang bisa dipakai dalam proses komunikasi. Manurut UU No. 23 Tahun 2009 tentang perfilman, pasal 1 menyebutkan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.4 Maka film merupakan salah satu media penyampaian pesan secara tidak langsung kepada komunikannya. Disebutkan dalam definisi bahwa film merupakan media komunikasi massa dengan menggunakan teknologi modern. Seperti juga apa yang dikemukakan oleh Oey Hong Lee bahwa film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke- 19, dengan perkataan lain pada waktu unsur – unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap.5Dengan demikian maka dapat kita ketahui bahwa dari awal permulaannya film telah bebas dari hal – hal yang merintangi media komunikasi massa sebelumnya, sehingga 4 5
Teguh Trianto, Film Sebagai Media Belajar ( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 1 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 126
4
otomatis film menjadi alat komunikasi yang efektif. Dengan teknologi yang digunakan daya jangkau film mampu merambah kepada masyarakat luas secara bersamaan, sehingga film merupakan media komunikasi yang efektif. Selain
itu
Onong
Uchjana
Effendi
dalam
Kamus
Komunikasinya
menyebutkan bahwa film adalah media yang bersifat visual atau audio visual untuk menyampaikan pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat.6Selain itu kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli bahwa film memiliki potensi untuk memengaruhi khalayak.7Dengan demikian, maka dapat kita mengerti keefektifitasan film dalam menyampaikan pesan kepada komunikannya. Menggunakan kekuatan gambar maupun suara, yang dapat disiarkan kepada banyak orang dengan waktu yang bersamaan. Maka simbol – simbol yang tertuang dalam gambar mapupun suara dalam film dapat dengan mudah diinterpretasikan oleh penontonnya sebagai pesan. Karena keefektifitasannya, tidak mengherankan jika sampai saat ini banyak sekali para sineas membuat film dan menggunakannya sebagai alat komunikasi, menyampaikan pesan yang ingin disampaikan lewat sebuah film. Seperti film dengan judul Where Do We Go Now karya sutradara Nadine Labaki yang dirilis tahun 2012. Mengambil latar di Lebanon dan memenangkan penghargaan pada tahun 2011 pada Toronto International Film Festival8, film ini menceritakan tentang satu desa bernama Lebanese yang tengah berada dalam desakan konflik antar agama yang melanda Lebanon. Desa Labanes merupakan desa terpencil di Lebanon yang didalamnya hidup 6
Onong Uchjana Effendy, Kamus Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1989),
h. 134 7
Ibid, Alex Sobur, h. 127 http://www.tribute.ca/movies/where-do-we-go-now/28479/
8
5
bermacam agama dengan damai. Namun, desa ini mengalami tekanan dari luar yang dapat memicu terjadinya konflik antar agama. Mulai dari informasi yang masuk ke dalam desa melalui media massa mengenai konflik agama yang terjadi di Lebanon sampai terbunuhnya sanak saudara mereka akibat konflik tersebut. Ditengah semakin tersulutnya ego kaum pria untuk saling menyalahkan dan berperang antar agama, sebaliknya kaum perempuan di desa Labanes justru semakin bersatu untuk memadamkan api permusuhan di sana. Berbagai macam cara dipikirkan dan dilakukan oleh para perempuan desa, agar desa yang mereka cintai tetap hidup damai walaupun dengan perbedaan agama di dalamnya. Film ini penting dan sangat menarik untuk diteliti karena film ini mengandung dua pesan penting, setidaknya menurut penulis yaitu: 1. Mengandung dialog antaragama sebagai upaya membangun perdamaian dimana perdamaian menjadi tujuan dari kehidupan bermasyarakat yang hidup dalam keragaman 2. Peran perempuan sangat kental dalam membangun upaya perdamaian. Perempuan yang acapkali didomestikasi, dalam film ini perempuan muncul sebagai aktor utama dalam membangun perdamaian menggunakan cara-cara nirkekerasan Film ini sangat sarat makna dan menarik untuk diteliti. Bagaimana kaum perempuan yang masih banyak dipandang sebagai makhluk tidak berdaya dan tidak rasional, mampu berpikir jernih dan berani mengambil resiko demi suatu capaian penting yakni perdamaian. Bagaimana kaum perempuan yang masih banyak diposisikan dalam tugas domestik mampu keluar dari zona yang dikonstruksikan untuknya dan mengambil peran besar dalam masyarakat dengan usaha menciptakan perdamaian. Serta bagaimana
6
para kaum perempuan mampu mencegah konflik dengan menggunakan komunikasi nir kekerasan. Dan apakah semua hal tersebut merupakan pesan dakwah yang ingin disampaikan melalui film ini.. Maka, dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada film tersebut, dengan mengambil judul “Dialog Antaragama dan Peran Perempuan : Analisis Semiotika Pesan Film WHERE DO WE GO NOW’
B. Batasan Dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Dalam penelitian ini, peneliti hanya berfokus pada simbol–simbol dan dialog yang menunjukkan tentang pesan–pesan dialog antaragama dan peran perempuan dalam film „Where Do We Go Now?‟ 2. Rumusan Masalah a. Bagaiman makna denotasi dan konotasi pesan dialog antaragama film „Where Do We Go Now?‟ b. Bagaimana makna denotasi dan konotasi pesan peran perempuan film „Where Do We Go Now?‟
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Agar pembaca dapat memahami makna denotasi dan konotasi pesan film Where Do We Go Now mengenai dialog antaragama melalui makna denotasi dan konotasi.
7
b. Agar pembaca dapat makna denotasi dan konotasi memahami pesan film Where Do We Go Now mengenai peran perempuan melalui makna denotasi dan konotasi 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat akademis Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya kajian mengenai dialog antaragama dan peran perempuan melalui analisis semiotika di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. a. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang pesan–pesan dialog antaragama dan peran perempuan membangun perdamaian yang ingin disampaikan dalam film Where Do We Go Now. Dan dapat memperkaya khasanah dakwah Islam dengan menggunakan media film.
D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Semiotika Roland Barthes Metodologi adalah proses, prinsip dari prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian.9Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode penelitian deskriptif 9
kualitatif,
yaitu
dengan
melakukan
penelitian
yang
Deddy Mulyana. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006) cet, ke-5, hal.145
8
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, gambar dan buku-buku, laporan penelitian akan bersifat kutipan-kutipan atau memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut berdasarkan dari naskah wawancara, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya.10 Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotika Roland Barthes. Semiotik adalah ilmu tentang tanda – tanda. Semiotik mempelajari sistem – sistem, aturan – aturan, konvensi – konvensi yang memungkinkan tanda – tanda tersebut mempunyai arti. Tokoh – tokoh penting dalam bidang semiotik adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli linguistik dari Swiss, dan Charles Sanders Peirce seorang ahli filsafat dan logika Amerika.11 Keduanya tidak bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya memiliki kemiripan gagasan, penerapan konsep – konsep dari masing – masing keduanya, namun seringkali mereka mempunyai perbedaan. Barangkali keduanya berangkat dari tradisi yang berbeda, Pierce adalah guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik.12 Semiotik menurut pemikiran Peirce dibedakan menajdi tiga yakni lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index). Lambang adalah adalah tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari pengguna tanda. Ikon adalah dimana hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan
10
Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet. Ke 11, h.3 11 Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. 3, h. 264 12 Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida Sundari Husein dalam Panuti dan Aart Van Zoest, (Ed) Serba Serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia, 1991), h.1.
9
kemiripan. Dan indeks adalah suatu tanda yang mempunyai bubungan langsung (kausalitas) dengan objeknya. Semiotik menurut pemikiran Ferdinand Saussure, tanda terdiri dari signifier yakni bunyi – bunyi dan gambar serta signified yakni konsep – konsep dari bunyi dan gambar. Dalam memeahami tanda, Saussure menjelaskan apa yang dimaksud kode yakni sistem pengirganisasian tanda. Dalam semiotik kode dipakai untuk merujuk pada struktur prilaku manusia. Budaya dapat kita lihat sebagai kumpulan kode. Jika kode sudah diketahui maka makna akan bisa dimengerti. Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode, yaitu pragmatig dan syntagmatic. Selanjutnya adalah model semiotik Roland Barthes, yang merupakan penerus dari pemikiran Saussure. Jika Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukkan kalimat dan cara bentuk – bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda situasinya. Maka semiotik Roland Barthes menekankan pada interaksi teks dengan pengalaman personal kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan istilah“order of signification”.13 Bagi Roland Barthes, “secara prospektif objek semiologi adalah semua sistem tanda, entah apapun substansinya, apapun batasannya: 13
Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. 3, h. 270
10 gambar, gerak tubuh, bunyi, melodis, benda – benda, dan pelbagai kompleks yang tersusun oleh substansi yang bisa ditemukan oleh ritus, protokol, dan tontonan sekurangnya merupakan sistem signifikasi (pertandaan), kalau bukan merupakan „bahasa‟ (langage).14 Pada mulanya Barthes membatasi medan riset semiologi dengan menetapkan: medan semiologi berisi “sistem – sistem tanda‟. Bagi Barthes, sistem itu dicirikan oleh fakta bahwa sistem tersebut memiliki signifikasi atau beberapa signifikasi; tetapi kita juga mengurusi sistem – sistem yang didalamnya perkara yang sudah diidentifikasi hanyalah pelbagai kumpulan yang berisi fakta – fakta signifikasi.15 Two orders of signification (signifikasi dua tahap atau dua tahapan pertandaan) Berthes terdiri dari first Order of signification yaitu denotasi, dan second order of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut denotasi.16 Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara tanda dan rujukannya pada realaitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya berpotensi makna yang bersifat implisit dan tersembunyi.
14
Janne Martine, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 3 15 Janne Martine, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 5 16 M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi (Yogyakarta:Gitanyali, 2004), h. 56
11
Tabel 1. Peta tanda Roland Barthes 1. Signifier (Penanda) 2. Signified (Petanda) 3. Denotative Sign (Tanda Denotatif) 4. conotattive Signifer 5. Conotative Signified (Penanda Konotatif) (Petanda Konotatif) 6. Conotative Sign (Tanda Konotatif)
Dari peta tanda Roland Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “sign” barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.17 Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Secara ringkas denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai berikut:18 a. Denotasi adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign dan antara sign dengan referent (objek) dalam relaitas eksternal. b. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan perasaan atau emosi pembaca atau pengguna dan nilai – nilai budaya mereka. Maka, menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.
17
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2, h. 69 M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi (Yogyakarta:Gitanyali, 2004), h. 57 18
12 Denotasi adalah kata yang tidak mengandung makna atau perasaan – perasaan tambahan, maknanya disebut makna denotatif. Makna denotatif memeiliki beberapa istilah seperti makna denotasional, refrensial, konseptual, atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah kata yang mengandung makna tambahan, perasaan tertentu atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif.19 Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri. Sebuah tanda yang kita lihat pasti suatu denotasi. Makna denotasi adalah apa yang terlihat pada gambar, dengan kata lain gambar dengan sendirinya memunculkan denotasi. Denotasi dengan sendirinya akan menjadi konotasi dan untuk selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi ketika konotasi tersebut sudah umum digunakandan dipahami bersama sebagai makna yang kaku. 2. Subjek dan Objek Penelitian a. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah film Where Do We Go Now. b. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah simbol – simbol dan dialog yang ada dalam film Where Do We Go Now.20 c. Waktu Penelitian dilakukan selama tiga bulan yakni dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014. 19
AS. Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulis dan Jurnalistik (Bandung: SimbiosaRekatama Media, 2006)cet. 1, h. 27 - 28 20 Ibid., hal. 129
13
d. Teknik Pengumpulan Data 1) Observasi Film „Where Do We Go Now‟ Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data yang
digunakan
untuk
menghimpun
data
penelitian
melalui
pengamatan dan penginderaan.21 Maka, dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi atau pengamatan secara mendalam dengan menonton film Where Do We Go Now. Kemudian menangkap dan memahami simbol – simbol serta dialog dari film ini yang menjadi penanda yang diteliti. 2) Dokumentasi Metode pengumpulan data dokumentasi adalah dengan mengumpulkan data – data penelitian atau informasi yang berbentuk dokumentasi, yaitu seperti otobiografi, kliping, cerita roman, data yang tersimpan di web site dan sebagainya.22 E. Tinjauan Pustaka Setelah melakukan penelusuran terhadap skripsi-skripsi yang ada pada beberapa perguruan tinggi penulis menemukan skripsi yang membahas tentang semiotika sosial, yaitu: 1. Semiotika Mati Syahid dalam film Death in Gaza, yang ditulis oleh Muhammad Dhiyaa Ulhaq NIM. 108051000111, mahasisa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Menggunakan teori semiotika Roland Barthes peneliti ingin mengetahui bagaimana sign, code, elemen, dan convention pada adegan tertembaknya tokoh utama 21
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial, ( Jakarta: Prenada Media Grup, 2009), h. 115 22 Ibid, Burhan Bungin, h. 122
14
dalam film Death in Gaza. Dari skripsi tersebut terdapat kesamaan dalam penggunaan teori. Namun ada beberapa perbedaan yakni pada subjek dan objek penelitian. Karena objek penelitian sebelumnya yakni film Death in Gaza adalah film dokumenter, sedangkan objek skripsi ini adalah film Where do We Go Now merupakan fiksi denga genre drama. 2. Analisis semiotika film Balibo Five oleh Rahmat Subekti, NIM: 1060511011937, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Konsentrasi Jurnalistik. Penelitian ini menggunakan pisau analisis dari Roland Barthes dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analisis. Peneliti ingin melihat wacana mengenai konsep tentang jurnalisme damai dan juga konsep peliputan dalam keadaan konflik. Memiliki kesamaan dalam teori yakni sama – sama menggunakan semiotika Roland Barthes, namun memiliki perbedaan dalam objek dan subjek penelitian. 3. Analisis Semiotika Film
Turtles Can Fly oleh Istianah NIM.
105051102014 mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes, peneliti ingin mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos mengenai konsep perang menurut Islam. Walaupun menggunakan teori yang sama yakni teori semiotika Roland Barthes, namun objek dan subjek dalam skripsi tersebut berbeda. F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan penelitian ini, untuk mempermudah memahami skripsi ini, maka terbagi lima bab. Sistematika penulisan skripsi ini berdasarkan buku panduan Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tiap bab terdiri dalam beberapa sub bab. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut: BAB I
:
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan
rumusan
metodologi
masalah,
penelitian
tujuan
dan
(pendekatan
manfaat penelitian,
penulisan, metode
penelitian, tempat dan waktu penelitian, subjek dan objek penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data), tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II
:
Landasan Teori dan Kerangka Konseptual yang menjelaskan tentang dialog antaragama dan peran perempuan.
BAB III
: Bab ini difokuskan pada gambaran umum terhadap judul skripsi “Dialog Antaragama dan Peran Perempuan dalam Pesan Film Where Do We Go Now: Analisis Semiotika Roland Barthes”.
BAB IV
:
Merupakan bagian Analisis terhadap pesan dialog antaragama dan peran perempuan yang ingin disampaikan dalam film Where Do We Go Now dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes yang meliputi makna denotasi, dan konotasi.
BAB V
:
Merupakan tahap akhir dari skripsi ini yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
16
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konseptualisasi Komunikasi 1. Komunikasi Nirkekerasan Marshall Rosernberg Non Violent Communication (komunikasi nirkekerasan) atau disebut komunikasi nirkekerasan. Term Nirkekerasan dalam bahasa indonesia dipopulerkan oleh Rizal Pangabean dan Ihsan Ali Fauzi dalam buku yang diterjemahkannya karya Muhammad Abu-Nimer yaitu Nirkekerasan dan Bina-damai dalam Islam; Teori dan praktik. Istilah nirkekerasan memang sangat lekat dengan konteks bina damai dan biasanya melelui metode komunikasi. Oleh karenanya seorang pakar komunikasi, Dr. Marshall B. Rossenberg mengembangkan metode komunikasi nirkekerasan. Dia mendirikan sebuah lembaga pelayanan pendidikan The Center For Non Violant Communication (Pusat Komunikasi Tanpa Kekerasan). Pusat Komunikasi Tanpa Kekerasan adalah sebuah organisasi global yang mendukung pembelajaran dan berbagi komunikasi nirkekerasan, dan membantu orang damai dan efektif menyelesaikan konflik dalam pengaturan pribadi, organisasi, dan politik. Komunikasi nirkekerasan mulai berkembang pada awal tahun 1960 dengan kerangka teori. Komunikasi nirkekerasan adalah penyampaian pesan dengan mengedepankan tiga mode komunikasi yaitu self emphaty, receiving emphatically dan expressing honestly.23 23
Rosenberg, Marshall , Nonviolent Communication: A Language of Life. (Encinitas: Puddledancer Press, 2003), h.8
17
18
a. Self-emphaty adalah melibatkan perasaan kasih yang tinggi berhubungan dengan apa yang terjadi di dalam diri kita. Mungkin saja mencakup hal-hal seperti,
tanpa
menyalahkan,
memperhatikan
pikiran
dan
mempertimbangkan perasaan ketika mengalami sesuatu, dan yang paling kritis adalah, menghubungkan dengan kebutuhan yang mempengaruhi kita. b. Receiving emphatically, adalah melibatkan hubungan dengan apa hidup orang lain dan apa yang akan membuat hidup indah bagi mereka. Ini bukan pemahaman sendiri di mana kita hanya secara mental memahami apa yang orang lain katakan. Koneksi empatik pemahaman tentang perasaan di mana kita melihat keindahan pada orang lain, energi ilahi dalam orang lain, kehidupan yang masih hidup di dalamnya, itu tidak berarti kita harus merasakan perasaan yang sama seperti orang lain. itu simpati, ketika kita merasa sedih bahwa orang lain marah ini tidak berarti kita memiliki perasaan yang sama. Jika perasaan kita mencoba memahami orang lain, kita tidak perlu dalam keadaan yang sama. Menerima dengan empati
atau
empatik
melibatkan,
mengosongkan
pikiran
dan
mendengarkan dengan seluruh keberadaan kita komunikasi nirkekerasan menunjukkan bahwa bagaimanapun orang lain mengekspresikan diri mereka, kita fokus pada mendengarkan untuk mendasari pengamatan, perasaan, kebutuhan, dan permintaan. Disarankan bahwa hal itu dapat berguna untuk mencerminkan sebuah kiasan dari apa yang orang lain telah katakan. Menyoroti komponen komunikasi nirkekerasan tersirat dalam pesan mereka, seperti perasaan dan kebutuhan yang diekspresikan.
19
c. Expressing
honestly
adalah
kemungkinan
akan
melibatkan
mengekspresikan pengamatan, perasaan, kebutuhan, dan permintaan. Mengekspresikan kejujuran atas kebutuhan terhadap sesuatu melalui komunikasi dapat terlihat. Sebuah observasi dapat dihilangkan jika konteks percakapan jelas. Perasaan A mungkin dihilangkan jika ada koneksi yang cukup. Dikatakan bahwa penamaan kebutuhan selain perasaan membuat kecil kemungkinan bahwa orang akan berpikir anda membuat mereka bertanggung jawab atas perasaan anda Komunikasi nirkekerasan didasarkan pada prinsip antikekerasan, yakni keadaan alami belas kasih ketika tidak ada kekerasan hadir dalam hati. Komunikasi nirkekerasan mulai dengan asumsi bahwa kita semua penuh kasih dengan alam dan bahwa strategi kekerasan baik perilaku verbal atau fisik dipelajari, diajarkan dan didukung oleh budaya yang berlaku. Komunikasi nirkekerasan juga mengasumsikan bahwa kita semua sama, kebutuhan dasar manusia, dan bahwa setiap tindakan kita adalah strategi untuk memenuhi satu atau lebih dari kebutuhan ini. Hal tersebut adalam merupakan asumsi dasar dari apa yang dimaksud komunikasi nirkekerasan dalam kerangka teori. Berikut penulis akan menyuguhkan asumsi dasar sebagaimana yang dikemukan oleh Marshall Rosernbeg, Inbal Kashtan, Miki Kashtan melalui website yaitu: 24 a. All human beings share the same needs. Bahwa semua manusia adalah memiliki kebutuhan yang sama.
24
http://www.baynvc.org/assumptions_and_intentions.php diakses pada 5 September 2014, pukul 15.54
20
b. Our world offers sufficient resources for meeting everyone's basic needs. Dunia ini banyak memiliki sumber untuk membuat titip poin setiap kebutuhan dasar manusia c. All actions are attempts to meet needs. Semua tindakan merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan. d. Feelings point to needs being met or unmet. Perasaan menunjukkan kebutuhan terpenuhi atau tidak terpenuhi. e. All human beings have the capacity for compassion. Semua manusia memiliki kemampuan untuk berkasih sayang f. Human beings enjoy giving. Manusia suka saling memberi. g. Human beings meet needs through interdependent relationships. Manusia berkebutuhan untuk saling bergantung satu sama lain. h. Human beings change. Manusia itu akan berubah i. The most direct path to peace is through self-connection. Jalan yang paling langsung untuk sebuah perdamaian adalah melalui self-koneksi Komunikasi nirkekerasan yang mengedepankan pola komunikasi empati dan mengedepankan kejujuran dengan asumsi dasar sebagaimana yang telah dikemukan diatas dianggap mampu untuk mengatasi kemungkinan terjadinya konflik oleh Marshall Rosernberg. Pola komunikasi ini juga dapat diterapkan dalam membangun upaya-upaya perdamaian. Pola komunikasi inilah yang banyak diterapkan oleh banyak pendamping dalam menyelesaikan konflik atau bahkan mencegah konflik terjadi, seperti komunikasi yang nampak dalam film Where do We Go Now yang menjadi objek penelitian bagi peneliti.
21
B. Teori Feminisme 1. Feminisme Berbagai analisis tentang ketertindasan perempuan ini telah menghasilkan teori – teori secara akademis yang dikenal dengan teori feminisme. Feminisme yang didefinisikan sebagai semua usaha untuk menghadapi manisfestasi sitem patriarkhal. Seperti dikutip dari Chris Wedons dalam Feminist Practice and Postructuralist Theory bahwa sistem patriarkhal adalah mengacu pada hubungan kekuatan di mana kepentingan perempuan dianggap lebih rendah dari laki – laki, yang memiliki banyak bentuk mulai dari penggolongan jenis kelamin dan pemberdayaan dalam organisasi sosial, hingga norma feminitas yang diinternalisasinkan dalam kehidupan kita, kekuatan patriarkhal bertumpu pada makna sosial yang berdasar pada jenis kelamin.25 Dalam buku Filsafat Berprespektif Feminis oleh Gadis Arivia, teori – teori feminisme dikelompokkan menjadi tiga bagian besar dalam rangka untuk memudahkan pemetaan teori feminisme, yaitu gelombang pertama feminisme, gelombang kedua feminisme, dan gelombang ketiga feminisme.26 a. Gelombang pertama feminisme Feminisme awal dimulai sejak tahun 1800-an merupakan representasi gelombang feminisme pertama. Landasan – landasan yang dipakai pada masa ini adalah feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme Marxis / Sosialis. 25
Sarah Gambel, Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Jogjakarta: Jalasutra, 2010), h. 1 26 Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), h. 82 – 154.
22
Feminisme liberal, Alison Jegar dalam bukunya Feminist Politics and Human Natur mengemukakan pemikiran kaum liberal bahwa secara naluriah manusia memiliki kemampuan yang unik yakni rasionalitas. Rasionalitas di sini didefinisikan dalam berbagai aspek yakni moralitas dan kebijaksanaan.27 Ketika akal didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami prinsip – prinsip rasional moralitas maka, ada penekanan atas otonomi individual di sini. Apabila akal didefinisikan sebagai kemampuan untuk memilih cara guna mendapatkan hasil yang diinginkan maka di sini ada nilai pemenuhan diri yang ditegaskan. Sebagai konsekuensinya aliran liberalisme menekankan individu untuk mempraktikkan otonomi dirinya yang mengisi serta memenuhi dirinya. “Hak” bagi kaum liberal harus diprioritaskan. Salah satu tujuan dari feminis liberal adalah adanya kesempatan yang adil. Marry Wollstonecraft (1759 – 1799) yang dikutip oleh Zillah Einstein dalam bukunya The Radical Future of Liberal Feminism, banyak menulis tentang posisi perempuan Eropa abad ke-18 yang sangat tidak menguntungkan dalam bidang ekonomi dan sosial. Ketika kekuatan kapitalisme industrial mulai memindahkan pekerjaan produktif dari rumah menuju pabrik, mulai dari situlah perempuan dirumahkan. Hal ini membentuk mentalitas para perempuan menjadi pasif karena kehilangan otoritasnya sebagai manusia yang setara dengan laki – laki. Menurutnya jika laki – laki disiapkan menjadi manusia yang tangguh dengan pendidikan nilai - nilai keberanian, keadilah, dan ketabahan maka perempuan juga harus mendapatkan pendidikan yang setara dengan itu. 27
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), h. 89
23 Karena, perempuan bukanlah seperti yang dikatakan Kant sebagai “alat” untuk memenuhi kebahagiaan orang lain, namun perempuan adalah “hasil akhir” itu sendiri seorang agen rasional yang mempunyai kemampuan dan kehendak diri.28 Pada abad ke – 19 Jhon Stuart Mill dan Harriet Taylor Mill mengkritisi lebih jauh bukan hanya kesetaraan pendidikan, namun juga masyarakat harus memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dalam hal kebebasan sipil dan kesempatan ekonomi sebagaimana yang dinikmati oleh laki – laki. Juga perjuangan mereka mengenai hak pilih yang merupakan jalan keluar bagi
perempuan untuk
mencapai
kesetaraan.29 Pada abad ke – 20, pemikiran Friedan yang tertulis dalam bukunya The Second Stage
melanjutkan usahanya untuk melindungi
“ruang keluarga” dan “ruang pribadi”,30 mengajurkan perempuan untuk tidak lagi menjadi superior dengan memadukan dunia kerja dengan menjadi ibu rumah tangga sekaligus, karena menurutnya ini merupakan juga bentuk penindasan. Maka seharusnya perempuan dan laki – laki bekerjasama untuk membangun nilai – nilai sosial, gaya kepemimpinan dan struktur – struktur institusional yang memungkinkan kedua gender tersebut meraih kepuasan diri baik di ranah publik maupun di ranah privat.31 Feminisme radikal, pemikiran utama dari feminis radikal dalah bahwa dasar dari penindasan atas perempuan adalah terletak pada 28
Ibid h. 89 – 91 Ibid h. 92 30 Sarah Gambel, Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Jogjakarta: Jalasutra, 2010), h. 43 31 Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, h.98 - 99 29
24
seksualitas dan sistem gender. Penindasan menurut paham ini adalah berakar dari dominasi atas seksualitas perempuan yang ditemui di ranah privat. Oleh karena itu, kaum feminis memiliki selogan untuk pergerakan mereka yakni the personal is political.32 Ini artinya berbagai penindasan yang terjadi di ruang pribadi merupakan juga penindasan yang berlangsung di ruang publik. Pekerjaan penting bagi kalangan feminis radikal adalah memperjuangkan isue – isue kesehatan. Mereka mempunyai keyakinan bahwa pada dasarnya persoalan kesehatan perempuan di bawah kontrol laki – laki. Millet mempopulerkan frase “politik seksual” dan perluasan istilah petriarki”, bagi Millet patriarki adalah institusi politik yang menjadi sebuah penindasan terinstitusi oleh laki – laki kepada perempuan dan seks adalah sebuah kategori status dengan implikasi politik.33 Maka usaha yang sangat penting bagi mereka adalah memberi keyakinan
bahwa
tubuh
perempuan
Ketidakpahaman atas pemikiran ini
adalah
milik
perempuan.
berdampak terjadinya kekerasan
terhadap perempuan. Maka, keputusan yang berkaitan dengan ketubuhan seperti aborsi, alat kontrasepsi dan sebagainya harus berada dalam kuasa perempuan. Menurut seorang feminis bernama Kate Miller dalam bukunya Sexual Polics, berpendapat bahwa sistem gender/seks merupakan akar dari penindasan perempuan, maka harus dihancurkan dan membentuk masyarakat baru di mana perempuan dan laki – laki setara di dalamnya. Kesetaraan dapat tercapai jika ada pemahaman androgini, yaitu ciri – ciri 32
Ibid., h. 101 Sarah Gambel, Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Jogjakarta: Jalasutra, 2010), h. 43 33
25
baik maskulinitas maupun feminitas ditemui di dalam diri kedua kelamin yang ada yang dapat memberikan kontribusi positif bagi laki – laki dan perempuan.34 Seperti, kepatuhan yang sering dikatakan ciri feminitas yang identik dengan perempuan bukanlah sesuatu yang negiatif, kenyataan bahwa sifat tersebut dimiliki juga oleh laki – laki membuat kita tidak bisa menyangkal. Feminisme Marxis dan Sosialis, kedua aliran tersebut memiliki banyak persamaan. Namun memiliki perbedaan, jika feminisme sosialis lebih menekankan pada penindasan gender di samping penindasan kelas sebagai salah satu sebab dari penindasan terhadap perempuan. Sedangkan menurut feminisme Marxis persoalannya hanya terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan. Kalangan feminisme Marxis mengajak kita untuk mengerti bahwa penindasan terhadap perempuan bukan disebabkan oleh kesengajaan individu atau institusi yang merugikan perempuan. Atas dasar itu mereka tidak percaya akan konsep hukum dan keputusan yang sensitif gender seperti yang selama ini diyakini oleh kelompik feminis liberal. Mereka juga tidak setuju dengan penjelasan mengenai seksualitas seperti apa yang diyakini oleh feminis radikal. Menurut feminisme Marxis, penindasan perempuan terjadi melalui produk politik, sosial, dan struktur ekonomi yang berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai sistem kapitalisme. Menurut feminisme Marxis perempuan tidak akan setara dan tidak akan membentuk dirinya sendiri jika masih bergantung dengan laki – laki.
34
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, h. 107
26
Ketertindasan yang dialami perempuan harus dilihat dari status kerja dan citra dirinya. Perbedaan kelas yang terjadi disini akhirnya dalah kelas laki – laki dan perempuan. dimana penindasan kelas yang dialami oleh perempuan disebabkan karena perempuan bekerja di ranah domestik yang dianggap noncomoditi sehingga tidak bernilai. Dewasa ini teori feminisme Marxis sering diterapkan untuk persoalan buruh perempuan berkaitan dengan gaji yang tidak setara, penuntutan hak cuti, dan kesempatan yang sama. Teori ini memberikan jalan keluar bagi penindasan perempuan adalah dengan memiliki ekonomi yang baik.35 b. Gelombang Kedua Feminisme Teori pada gelombang kedua feminisme adalah teori feminisme eksistensialis oleh Simone de Beauvoir. Pada feminisme gelombang dua, titik tekan ada pada perbedaan antara laki – laki dan perempuan. Perbedaan ini dipandang secara netral, bahwa kualitas yang ada pada perempuan sama pentingnya dengan kualitas yang ada pada laki – laki.36 c. Gelombang Ketiga Feminisme Gelombang ketiga feminisme ini sangat dipengaruhi oleh pandangan postmodernisme, maka lahirlah feminisme postmoderen, feminisme multikultural dan global, serta ekofeminisme. Feminisme postmoderen, alienasi yang dialami oleh perempuan disebabkan oleh cara berpikir, berada, dan berbahasa yang tidak memungkinkan terjadinya keterbukaan, pluralitas, diversifikasi, dan perbedaan 35
Ibid., h. 118 Ibid., h. 120
36
27
Feminisme
multikultural
dan
global,
penindasan
terhadap
perempuan tidak dapat hanya dijelaskan lewat patriarki, tetapi ada keterhubungan masalah dengan ras, etnisitas, dan sebagainya. Dalam teori feminisme global bukan hanya ras dan etnisitas tapi juga hasiol kolonialisme dan dikotomi “dunia pertama” dan “dunia ketiga”. Feminisme
ekofeminisme,
sejalan
dengan
feminisme
multikulturalisme dan global, ingin memberi pemahaman adanya keterhubungan
antara
nonmanusia(alam).
segala
bentuk
Memperlihatkan
penindasan
keterlibatan
manusia
perempuan
dan dalam
seluruh ekosistem. Adanya kerangka kerja dominasi maskulin dalam perusakan lingkungan.37 2. Konseptualisasi Gender Untuk mengistilahkan kesetaraan laki – laki dan perempuan yang memiliki definisi operasionalnya tersendiri, para ahli menggunakan istilah gender.38 Gender, secara etimologis berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin .39 Namun, gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara pria dan perempuan, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbnetuk melalu proses
37 38
Ibid., h. 107 Syafiq Hasyim, Bebas Dari Patriarkhisme Islam, (Depok: KataKita, 2010) cet ke- 1, h.
153 – 154. 39
Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet.23a
28
sosial dan kultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat40. Mufidah
dalam
Paradigma
Gender41
mengungkapkan
bahwa
pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos – mitos seolah – olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki – laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki – laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki – laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang
pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat
mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial. Kerap kita jumpai ketidaksetaraan gender ini dalam kehidupan, seperti pembedaan peran publik menjadi urusan laki – laki sedangkan 40 41
Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, Edisi 4 November 1996. Mufidah Ch, Paradigma Gender, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 4-6.
29
perempuan hanya bertempat di domestik saja. Hal ini berdampak banyak bagi kehidupan perempuan yang akhirnya terpinggirkan. Hak memperoleh pendidikan bagi perempuan akhirnya tidak lebih prioritas dibandingkan laki-laki. Dalam bidang pekerjaan, perempuan di Negara ini saja masih dianggap sebagai pencari nafkah kelas dua, sehingga sangat merugikan bagi mereka perempuan sebagai tulang punggung keluarga. Bahkan dalam lingkup masyarakat yang paling kecil saja yakni keluarga, ada semacam pelanggengan bahwa kepala keluarga adalah laki – laki, sehingga perempuan bukanlah decision making dalam keluarga yang secara otomatis pendapat perempuan tidak lebih penting ketimbang laki - laki. Inilah sebabnya mengapa perempuan masih menempati posisi yang lemah.
C. Tinjauan Tentang Film 1. Pengertian Film Film adalah karya seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan bahan – bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala hal bentuk, jenis dan ukuran maupun proses kimiawi elektronik atau proses lainnya dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi, mekanik, elektronik atau lainnya.42
42
Chaidir Rahman, Festifal Film Indonesia, (Medan: Badan Pelaksana FFI, 1983), H. 8
30
Film merupakan teknologi hiburan massa yang dimanfaatkan untuk menyebarluaskan informasi dan berbagai pesan dalam skala luas disamping pers, radio dan televisi.43 Film dimasukkan dalam kelompok komunikasi massa yang mengandung aspek hiburan, juga memuat aspek edukatif. Namun, aspek kontrol sosialnya tidak sekuat pada surat kabar, majalah, serta televisi yang menyiarkan berita berdasarkan fakta yang terjadi. Fakta film ditampilkan secara abstrak dimana tema cerita bertolak dari fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan dari itu dalam film cerita dibuat secara imajinatif.44 Film sama dengan abstrak lainnya, yaitu memiliki sifat – sifat dasar media lainnya yang terjalin dalam suasana yang beragam. Film memiliki
kesanggupan
mengembangkan
untuk
memainkan
mempersingkatnya,
ruang
dan
menggerakmajukan,
waktu, dan
memundurkannya secara bebas dalam batasan – batasan wilayah yang cukup lapang. Meski antara media film dan lainnya terdapat kesamaan – kesamaan, film adalah sesuatu yang unik yang bergerak secara bebas dan tetap. Penerjemahannya langsung melalui gambar – gambar visual dan suara yang nyata dan juga memiliki kesanggupan untuk menangani berbagai subjek yang tidak terbatas ragamnya. Berkat unsur inilah film merupakan salah satu bentuk seni alternatif yang banyak diminati oleh masyarakat.45
43
Sean Mac Bride, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa Depan, Aneka Suara Satu Dunia, (Jakarta: PN Balai Pustaka Unesco, 1983), h. 120. 44 William L. Rievers-Jay W. Jensen, Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 252. 45 Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat; Sebuah Pengantar (Jakarta: Yayasan Pusat Perfilman H. Usman Ismail, 1993), h. 6.
31
Salah satu kelebihan yang dimiliki film, baik yang ditayangkan lewat tabung televisi maupun layar perak, film mampu menampilkan realitas kedua (The second reality) dari kehidupan manusia. Kisah – kisah yang ditayangkan lebih bagus dari kondisi nyata sehari – hari, atau sebaliknya bisa lebih buruk.46 Media perfilman kini telah mampu merebut perhatian masyarakat. Lebih – lebih setelah berkembangnya teknologi komunikasi massa yang dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia perfilman. Meskipun masih banyak bentuk – bentuk media massa lainnya, film memiliki efek eksklusif bagi para penontonnya. Puluhan bahkan ratusan penelitian berkaitan dengan efek media massa, mengatakan bahwa betapa kuatnya media film bagi kehidupan manusia sehingga dapat memengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan penontonnya.47 2. Unsur – unsur Film Terdapat beberapa unsur dalam film, yaitu: a. Title/ judul film b. Crident title (meliputi produser, kru, artis, dan lain – lain). c. Tema film, sebagai inti cerita yang terdapat dalam sebuah film. d. Intrik, adalah usaha pemeranan oleh pemain dalam menceritakan adegan yang telah disiapkan dalam naskah untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh sutradara. e. Klimaks, puncak dari inti cerita yang disampaikan. Klimaks bisa berbentuk konflik, atau benturan antar kepentingan para pemain.
46
William L. Rievers-Jay W. Jensen, Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 199. 47 KH. Miftah Farudh, Dakwah Kontemporer Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi, (Bandung, : Pusdai Pres, 2000), h. 96.
32
f. Plot, adalah alur cerita yang didesain atau direkayasa untuk mencapai tujuan tertentu. Maka itu satu topik yang sama bisa dibuat beberapa plot sesuai dengan sudut pandang yang diambil dan tujuan yang ingin dicapai. g. Million/setting, yaitu latar belakang kehadiran sebuah film. Latar belakang ini bisa berbentuk waktu, tempat, perlengkapan, aksesoris, dan lain sebagainya. h. Sinopsis, yaitu ringkasan cerita, biasanya berbentuk naskah. i. Trailer, yaitu bagian film yang menarik. j. Karakter, yaitu penokohan para pemain.48 3. Jenis – jenis Film Film – film yang beredar dan dikenal masyarakat memiliki beberapa jenis, yaitu: a. Film roman / drama, adalah suatu kejadian atau peristiwa hidup yang hebat, mengandung konflik, pergolakan, clash atau benturan antara dua orang atau lebih. Sifat drama: romance, tragedi, komedi. b. Film misteri/ horor, mengupas terjadinya fenomena mistis yang menimbulkan rasa heran, takjub, dan takut. c. Film dokumenter, film yang berisi tentang dokumentasi dari kisah kehidupan nyata, atau juga berisi tentang dokumentasi dari kehidupan di luar itu, misalnya tentang kehidupan satwa, dokumentasi perang. d. Film realisme, film yang mengandung relevansi dengan kehidupan sehari – hari. e. Film sejarah, melukiskan kehidupan tokoh tersohor dan peristiwanya. 48
Aep Kusnawan et.al, Komunikasi Penyiaran Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), h. 101.
33
f. Film perang, menggambarkan peperangan situasi di dalamnya atau setelahnya. g. Film futuristik, menggambarkan masa depan secara khayali. h. Film anak, mengupas tentang dunia anak. i. Film kartun, cerita bergambar yang diawali dari media cetak, yang diolah sebagai cerita bergambar, bukan saja sebagai story board melainkan gambar yang sanggup bergerak dengan teknik animasi atau single stroke operation. j. Film advanture, film pertarungan, tergolong film klasik. k. Film seks/porno, memiliki cerita utama tentang erotisme.49
49
Aep Kusnawan et.al, Komunikasi Penyiaran Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), h. 101.
BAB III GAMBARAN UMUM FILM WHERE DO WE GO NOW
A. Sinopsis Film Film dengan latar lokasi Lebanon ini hendak menceritakan sebuah kisah yang mengandung upaya-upaya pembanguna perdamaian. Disutradarai oleh seorang aktris perempuan Nadine Labaki. Untuk mengetahui lebih detail, apa yang menjadi latarbelakang pembuatan film ini, Sinopsis Film Where Do We Go Now Film ini berlatar di sebuah desa terpencil di Lebanon, meski tidak disebutkan dengan gamblang. Ditengah peperangan yang sedang melanda negeri, diceritakan ada satu desa terpencil yang sangat sulit untuk ditempuh dan dikepung oleh padang ranjau. Dengan damai, komunitas dua keagamaan yakni Islam dan Kristen hidup bersaudara di desa tersebut, namun konflik atas nama agama mudah saja tersulut dengan masuknya informasi perang dari luar desa. Melihat kemungkinan yang sangat riskan itu, beberapa warga desa yang digawangi oleh kaum perempuan mempunyai gagasan untuk menghalau masuknya kemungkinan penyebab konflik dari sisi manapun. Bersama masing – masing imam agama desa, para perempuan ini berkumpul dan mencari taktik cerdik agar perang tidak terjadi di desanya. Film dimulai dengan prosesi iring-iringan perempuan membuat jalan menuju pemakaman desa. Takla, Amale, Yvonne, Afaf dan Saydeh dan perempuan – perempuan lainnya dengan tenang dan raut sendu menembus panasnya mentari, sambil mendekap erat foto laki-laki tercinta yang pergi karna keganasan perang yang sia-sia. Beberapa dari perempuan berkerudung
34
35
atau mengenakan salib kayu, tetapi semua berpakaian hitam dan bersatu dengan rasa duka bersama. Duka mendalam dan pemahaman yang sama bahwa perang adalah malapetaka. Ketika mereka tiba di gerbang pemakaman, prosesi terbagi menjadi dua Islam dan Kristen.50 Para perempuan berkumpul secara teratur di kafe untuk menyusun strategi menjaga orang-orang dari peperangan. Sedangkan imam keagamaan masing – masing menjaga perdamaian di rumah ibadahnya masing – masing, dengan menjaga jamaahnya dari provokasi – provokasi apapun. Ketika pengacau mengirim kambing ke masjid dan air suci di gereja diganti dengan darah ayam, praktis menyulut terjadinya pertikaian. Tindakan pertama perempuan adalah untuk menonaktifkan desa dari sumber informasi melalui televisi yang baru diperbaiki, maupun dari surat kabar. Yvonne yakni istri dari kepala desa, pada suatu malam berdoa kepada patung Bunda Maria, dan berpura – pura menjadi wanita suci untuk menyampaikan wahyu Ilahi kepada orang-orang bahwa perdamaian harus dijaga. kemudian di tengah malam beberapa wanita menggali tanah tempat disimpannya senjata perang, untuk dipindahkan dan disembunyikan agar para kaum pria tidak menemukannya. Dalam ancaman yang paling serius terhadap perdamaian, Roukoz tewas dalam baku tembak saat mengendarai sepeda motornya di luar desa. Ibu dan Saudaranya memilih untuk tidak memberitahu warga desa, karena pasti akan menggunakan insiden itu sebagai alasan untuk perang. Akhirnya jasad Roukoz diam-diam dimasukannya ke dalam sumur dan menyebarkan berita bahwa ia memiliki gondok dan terlalu sakit untuk menerima pengunjung. 50
http://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf
36
Dalam skema yang paling rumit karena peperangan sudah di ujung tanduk. Akhirnya para perempuan berusaha mengalihkan perhatian orang-orang dengan mengimpor sekelompok penari Lebanon.51
B. Profil Sutradara Film Where Do We Go Now Nadine Labaki Lahir di Beirut, Lebanon pada 18 Februari 1974. Lulus sarjana mudanya di Beirut pada tahun 1993. Dia memperoleh gelar sarjana dalam studi audiovisual di Saint Joseph Universitas di Beirut (IESAV), menyutradarai film kelulusannya dengan judul “11 Rue Pasteur”, pada tahun 1997 dan berhasil memenangkan Film Pendek Terbaik Award Biennale of Cinema Arab di Institut du Monde Arabe (Paris) dalam 1998. Dia kemudian merambah ke dunia iklan dan banyak video musik untuk penyanyi Timur Tengah, yang juga memenangkan beberapa penghargaan di tahun 2002 dan 2003. Pada tahun 2004, ia mengambil bagian dalam Festival de Cannes Residence dan menyelesaikan menulis CARAMEL, fitur film pertamanya yang dirilis pada tahun 2006. Caramel diputar di Fortnight Direksi di Cannes pada tahun 2007 dan ini sukses secara komersil di Perancis pada musim panas tahun itu. Film terjual di seluruh dunia. Kemudian Where Do We Go Now? merupakan film keduanya52, disusul dengan film ketiganya “Rock the Casbah” pada 2013. Nadine Labaki menikah dengan Khaled Mouzannar pada Oktober 2007.53
51
http://www.nytimes.com/2012/05/11/movies/where-do-we-go-now-from-nadinelabaki.html?_r=0 52 http://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf 53 http://www.nytimes.com/2012/05/11/movies/where-do-we-go-now-from-nadinelabaki.html?_r=0
37
C. Tim Produksi Film Where Do We Go Now? Director
: Nadine Labaki
Producer
: Anne-Dominique Toussaint
Screenplay
: Nadine Labaki, Jihad Hojeily, Rodney Al Haddad With the collaboration of Thomas Bidegain
Music
: Khaled Mouzanar
Cinematographer
: Christophe Offenstein
Editor
: Véronique Lange
Set design
: Cynthia Zahar
Costumes
: Caroline Labaki
Sound
: Michel Casang, Gwennolé Le Borgne, Dominique Gaborieau
First assistant director : Thierry Guérinel Production manager
: Pascal Bonnet
Executive producers
: Lebanon Lara Chekerdjian , Abla Khoury (Ginger Beirut Productions)
Coproducers
: Romain Le Grand , Hesham Abdelkhalek, Tarak Ben Ammar
Coproduction
: France-Liban-Italie-Egypte,
Les
Films
des
Tournelles, Pathé, Les Films de Beyrouth, United Artistic Group, Chaocorp, France 2 Cinéma, Prima TVWith the participation of Canal +, Cinécinéma, France Télévisions, With the support of Ministry of Culture, Lebanon, Fonds Francophone, Production
38
Audiovisuelle du Sud In association with The Doha Film Institute Distribution
: Middle East United Artistic Group 28 International sales Pathé International54
D. Deskripsi Karakter Tokoh dalam Film Where do We Go Now 1. Amale
: Nadine Labaki Merupakan salah satu tokoh utama dalam film ini, memainkan
peran sebagai perempuan kristen dengan status janda beranak satu. Diam – diam memiliki perasaan kepada seorang pemuda muslim. Namun, perasaannya hanya bisa mengembara di pikiran dan angannya. Amale, memiliki sebuah kafe yang sering digunakan sebagai tempat para perempuan untuk menyusun strategi mencegah peperangan di desa tersebut. 2. Takla
: Claude Baz Moussawbaa Merupakan ibu dari Nassim dan Issam, dan memiliki toko
penyedia kebutuhan sehari – hari. Takla adalah perempuan janda yang tegar, dan berpendirian teguh. Dia berusaha keras mengorbankan perasaannya agar konflik tidak terjadi. Ketika Nassim wafat, dia lebih memilih untuk tidak memberitahukan kepada warga desa, agar tidak memicu pecahnya konflik. 3. Afaf
: Layla Hakim Ibu dari Hammoudi dan Issam dan mereka merupakan keluarga
muslim. Afaf adalah ibu yang tegas dan tidak memanjakan anak – anaknya 54
http://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf
39
atas kesalahan yang diperbuat mereka. Juga saling membantu untuk menjaga kedamaian desa bersama teman – teman lainnya. 4. Yvonne
: Yvonne Maalouf
Seorang kristiani yang adalah istri dari kelapa desa, yang juga bersama teman – teman perempuan yang lainnya berusaha mencegah terjadinya konflik agama di desa tersebut. Ny. Yvonne memiliki andil besar dalam usaha – usaha pencegahan konflik, yakni pernah berpura – pura menjadi wanita suci yang bisa berinteraksi dengan Bunda Maria, dan mengatakan pesan perdamaian kepada warga desa. 5. Ssaydeh
: Antoinette Noufaily
Merupakan salah satu anggota dari kelompok perempuan desa yang bersama – sama ikut berperan dalam pencegahan konflik agama di desa. Salah satu perannya adalah ikut bersama Ny. Afaf, Nassim, dan Roukoz ke kota untuk mengundang para penari dari Lebanon. 6. Rabih
: Julien Farhat Pemuda muslim yang bekerja mendekorasi rumah Ny. Amale.
Memiliki perasaan terpendam kepada Ny. Amale, namun juga tidak bisa mengungkapkannya. Rabih adalah pemuda yang keras kepala, dan merupakan penggerak kelompok pria muslim termasuk andilnya dalam meletusnya konflik. 7. Roukoz
: Ali Haidar
Merupakan keponakan Ny. Takla dan bersama dengan sepupunya yakni Roukoz, selalu membantu bibiknya dalam menjalankan usahanya di desa. Nassim sangat menyayangi sepupunya, selalu bersama – sama
40
menjalankan misi mereka berdua, walaupun harus mengahdapi resiko. Roukoz adalah pemuda yang memiliki tujuan, sangat bersemangat, dan berprinsip. 8. Nassim
: Kevin Abboud Merupakan anak dari Ny. Takla, memiliki tugas membantu ibunya
yang memiliki toko yang menyediakan kebutuhan sehari – hari. Setiap subuh Roukoz dan sepupunya Nassim pergi ke kota untuk mendapatkan barang – barang yang akan kembali dijualnya di desa dengan melewati jalur berbahaya karena kerap terjadi perang dan dipenuhi ranjau. 9. Rita
: Petra Saghbin Merupakan keponakan dari Ny. Takla yang tinggal bersama
Nassim dan Ibunya di rumah. Juga memiliki tugas membantu bibiknya menjalankan usaha tokonya. 10. Hammoudi
: Mostafa AL Sakka
Putra dari Ny. Afaf, seorang pemuda desa yang jahil, keras kepala, sehingga kerap memicu masalah dengan teman sebayanya. 11. Issam
: Sasseen Kawzally Merupakan salah satu putra Ny. Afaf dan saudara dari Hammoudi.
12. Aida
: Caroline Labaki Istri dari Issam dan anak menantu dari Ny. Takla. Aida juga ikut
membantu para perempuan desa dalam usaha menjaga kedamaian desa tersebut. 13. Fatmeh: Anjo Rihane Merupkakan seorang muslimah, istri dari Abou Ahmad. Adalah seorang istri yang tegas dan tidak segan menegur suaminya yang
41
melakukan kekeliruan. Fatmeh, juga merupakan salah satu perempuan desa yang mengusahakan terpeliharanya kedamaian di desa tersebut. 14. Abou Ahmad : Mohammad Akil Sorang muslim, suami dari Fatmeh. Abou Ahmad adalah seorang yang mudah tersulut emosinya, dan mudah terprovokasi. 15. Mayor Khalil : Bou Khalil Seorang kristiani suami dari Ny. Yvonne. Mayor adalah kepala desa yang memiliki harapan agar desanya tetap terpelihara kedamaian, dan dua kelompok agama yakni Islam dan Kristen dapat hidup rukun seperti sebelumnya. 16. Boutros
: Fouad Yammine
Adalah
pemuda
kristiani,
yang
emosional
dan
mudah
terprovokasi. 17. Sassine
: Mounzer Baalbaki
Merupakan ajudan dari sang mayor, seorang yang hanya menunggu perintah dan seakan tidak perduli terhadap kejadian yang terjadi di sekitar. 18. Abou Ali
: Sami Khorjieh
Seorang pria berusia lanjut yang dengan berani memasuki kawasan ranjau demi mengambil kambingnya yang mati terkena ranjau, dan direlakan untuk menjadi suguhan dalam acara perdana nonton TV bersama warga desa. 19. Istri Boutros : Cendrella Yammine Merupakan salah seorang dari perempuan desa yang bersama – sama berusaha untuk mencegah terjadinya konflik di desa tersebut.
42
20. Youssef
: Georges Khoury
Merupakan seorang pemuda kristiani yang mudah terprovokasi untuk ikut berperang dengan saudara muslimnya. 21. Katia
: Oxana Chihane
22. Svetlana
: Anneta Bousaleh
23. Anna
: Olga Yerofyeyeva
24. Tatiana
: Yulia Maroun
25. Olga
: Oksana Beloglazova
26. Gisele
: Gisèle Smeden Katia, Svetlana, Anna, Tatiana, Gisele dan Olga merupakan para
penari baik hati yang disewa oleh para perempuan desa dalam rangka mengalihkan perhatian agar tidak meletus peperangan di desa tersebut. 27. Bus driver
: Adel Karam
Adalah seorang pria, yang menajdi supir para penari dari Lebanon yang mengantarkan mereka menuju desa. Adalah seorang yang banyak bicara, namun tidak konsisten dan pengecut. 28. Priest
: Samir Awad Pendeta gereja, dan pemuka agma Kristen di desa. Beliau tidak
menginginkan terjadinya konflik antar agam, karena berkeyakinan hal itu merupakan tindakan dosa. Maka, dengan memberikan khutbah dan meyakinkan jemaatnya agar tidak terprovokasi serta bersama Kiyai ikut membantu para perempuan dalam usahanya pencegahan konflik di desa tersebut.
43
29. Cheikh
: Ziad Abou Absi Imam masjid dan pemuka agama Islam di desa tersebut. Sang
Imam tidak menginginkan terjadinya perang karena beliau sadar peperangan atas nama agama adalah menyalahi Wahyu Allah SWT. Maka, caranya adalah dengan memberikan ceramah dan wejangan kepada jamaahnya, serta dengan membantu kaum perempuan mencegah konflik di desa tersebut.55
55
http://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Deskripsi Film Deskripsi film ini diambil dari hasil telaah penulis dalam hasil wawancara dengan Nadine Labaki dalam sebuah situs internet.56 Cerita ini berlatar tempat di sebuah desa di pegunungan terpencil, di mana perempuan Muslim dan Kristen hidup bersama, menggunakan berbagai cara dan berkorban untuk menghentikan para laki-laki dari membunuh satu sama lain. Hal semacam itu, kedengarannya seperti sebuah drama yang serius, padahal sebenarnya ada banyak momen lucu. Sungguh ironis, bertahan dari kemalangan dan menemukan strategi bertahan hidup, adalah cara menemukan kekuatan untuk bangkit kembali. Dalam suatu kasus, bagi saya itu penting. Saya
ingin film ini menjadi sebuah drama komedi, sehingga akan
menimbulkan banyak tawa dalam emosi. Perang antara dua agama adalah hal yang sudah biasa kita temui. Perbedaan yang terjadi antara Sunni dan Syiah, antara kulit hitam dan putih, antara dua partai, dua klan, dua bersaudara, dua keluarga atau dua desa. Pengejewantahan dari setiap perang sipil adalah dimana orang di suatu negara yang sama membunuh satu sama lain, ketika mereka bertetangga dan bahkan berteman. Hal ini menjadi latar dari pembuatan film bertema pembangunan perdamaian ini.
56
http://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf
44
45
Namun demikian film ini bukan cerita tentang perang, sebaliknya, ini tentang bagaimana untuk menghindari perang. Setiap individu yang hidup di Lebanon tidak akan bisa hidup dengan tenang tanpa ancaman perang yang kapan pun bisa terjadi. Oleh karenanya, film ini ingin menampilkan bagiamana menghadapi dan mencegah perang yang terjadi. Where Do We Go Now adalah film kedua Nadine Labaki setelah Caramel, sebuah film bertema perempuan yang juga terbilang sukses. Dalam film ini sang sutradara sangat menyukai realitas nyata, menempatkan orangorang nyata dalam situasi nyata dan membiarkan mereka menciptakan realitas mereka sendiri adalah jawaban dari mengapa aktor-aktor yang dipilih dalam film ini adalah aktor non-profesional. Film ini dibuat di
tiga desa yang berbeda: Taybeh, Douma dan
Mechmech. Yang pertama, terletak di Lembah Bekaa, benar-benar sebuah desa Kristen dan Muslim di mana masjid di samping gereja, seperti dalam cerita. Sutradara ingin latar tempat sedapat mungkin dekat dengan realitas. Sebuah desa yang
menghabiskan waktu dalam kemiskinan dan terisolir
setelah mengalami perang, dan terputus dari dunia luar, tanpa televisi atau telepon yang terhubung ke seluruh negara dengan jembatan yang dipenuhi ranjau dan hancur oleh tembakan. Bersama Cynthia Zahar, ia mengerjakan banyak material,
tekstur dinding, kayu, kain. Nadine juga dibantu oleh
suaminya dalam membuat aransment musik dalam film ini.
B. Penyajian Temuan Data Penelitian Nadine Labaki menyuguhkan sebuah film yang sarat akan makna. Where Do We Go Now menjadi judul film garapannya tersebut. Makna –
46 makna yang terkandung berisi pesa – pesan dialog antaragama di tengah – tengah kondisi desa yang terisolir akbiat perang antaragama di negara Lebanon. Dialog antaragama yang dilakukan menggunakan nonviolent communication (komunikasi nirkekerasan) sebagaimana Marshall Rosenberg mengungkapkan bahwa komunikasi nirkekerasan efektif untuk menjadi alat resolusi konflik. Dalam melakukan resolusi konflik agar konflik tidak pecah, Nadine Labaki ingin menunjukkan bahwa peran perempuan amat penting dan besar. Hal itulah yang menjadi data penelitian ini adalah menguji teori komunikasi nirkekerasan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yaitu tanda denotatif dan konotatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Observasi pada film Where Do We Go Now dan dokumentasi yaitu data – data yang diperoleh dari artikel – artikel juga catatan transkip, studi kepustakaan seperti skripsi terdahulu juga jurnal ilmiah. Peneliti tidak melakukan wawancara dengan pihak terkait, karena dalam semiotika dokumen berupa hasil karya film lah yang dianalisis secara mendalam menggunakan penafsiran dari peneliti dengan teknik analisis semiotika Roland Barthes. Untuk penelitian ini tidak semua shot akan diteliti, namun hanya shot – shot tertentu yang dianggap peneliti berisi tanda – tanda dialog antaragama dan pesan perempuan agar penelitian lebih fokus pada masalah yang ada, baik audio ( dialog, sound effect, dan suara pendukung lainnya), visual (sudut/tata letak kamera dalam pengambilan gambar), dan setting (waktu dan tempat). Untuk mempermudah proses analisis dalam penelitian, dibuatlah tabel sebagai berikut :
47
Tabel B.1 Contoh Tabel Analisis Setting
Visual
Audio
1. Setting: waktu dan tempat 2. Visual: ide/gagasan yang dituangkan dalam rangkaian kata – kata menjadi bentuk gambar atau bahan yang bersifat visual. 3. Audio: dialog, Sound effect, dan suara pendukung lainnya. Peneliti akan menganalisis film melalui setting film, gambaran visual, dialog serta suara pendukung lainnya. Untuk mempermudah penelitian ini, peneliti memperoleh 10 Scene petanda dialog antaragama dan 10 Scene petanda peran perempuan dari pesan film Where do We Go Now yang dapat diteliti secara semiotika menggunakan pemaknaan denotasi dan sesuai dengan semiotika Roland Barthes. Penetapan Scene – Scene ini dilakukan berdasarkan content yang berisi tanda – tanda terhadap kegiatan yang mengandung unsur komunikasi nirkekerasan dengan tujuan dialog antaragama serta peran perempuan, agar kajian penelitian lebih fokus. Adapun Scene-Scene tersebut adalah sebagai berikut : Tabel B.2 Tabel Data Penelitian Petanda Dialog Antaragama No 1.
Scene Scene a
Keterangan Prolog film Where do We Go Now
48
2.
Scene b
Gotong royong antaragama
pemuda
3.
Scene c
Saat kepala desa berpidato bahwa Pendeta dan Kiai sangat tinggi peranannya dalam membangun perdamaian di desa
4.
Scene d
Saat percakapan tentang mana yang lebih baik antara Islam dan Kristen, Yvone menenangkan perdebatan tersebut dengan menunjuk ke arah Sassine yang bercakap – cakap dengan seorang lansia.
5.
Scene e
Saat Pendeta menenangkan jemaatnya yang tengah emosional akibat kesalahfahaman.
6.
Scene f
Saat Kiai menasehati para jemaah laki – laki yang tersulut emosi akibat komunikasi yang buruk dan terpengaruh dengan suasana di luar desa.
49
7.
Scene g
Saat Ny. Ta‟la meminta Fatmeh agar tidak memberi tahu suaminya keributan yang terjadi karena ulah Issam anaknya, agar tidak terjadi konflik susulan.
8.
Scene h
Saat pemuka agama bekerjasama dalam menyusun strategi agar para jemaatnya tidak terperangkap dalam kemarahan yang memicu terjadinya konflik
9.
Scene i
Saat Ny. Ta‟la dan para ibu – ibu warga desa berpura – pura berpindah agama
10. Scene j
Epilog film Where Do We Go Now.
50
Gambar B.3 tabel data penelitian petanda peran perempuan NO
Scene
1. 1 Scene a
Keterangan Para
perempuan
desa
sedang
berkumpul di kedai Ny. Amale untuk
mempersiapkan
hari
pembaptisan. Sedangkan para laki – laki sibuk bermain kartu. 2.
Scane b
Ny. Amale mengganti channel radio, setelah
mendapatkan
kode
dari
teman – teman perempuannya.
3.
Scene c
Saat
penduduk
desa
sedang
menonton televisi bersama, Abou Ahmad bersikeras untuk menonton berita
tentang
kerusuhan
yang
terjadi.
4.
Scene d
Ny. Takla menghentikan anaknya yang menyerang anak kecil muslim.
51
5.
Scene e
Para perempuan menyelidiki apakah ada sabotase tanda baptis.
6.
Scene f
Ny. Yvone berpura – pura menjadi santo dan mampu berdialog dengan perawan suci, dibantu Ny.saydeh, Amale, Takla dan Rieta
7. 7 Scene g
Para perempuan desa berkumpul untuk
menggalang
dana
untuk
menyewa artis.
8. . Scene i
Salah seorang artis bersandiwara dan menjadi
mata
–
mata
dengan
meninggalkan jaket berisi recorder untuk
menyelidiki
rencana
kelompok laki – laki muslim desa.
52
9. . Scene j
Ny. Takla dibantu Rieta dan Rukoz, menyembunyikan jasad Nassim di dalam sumur.
10. 1 Scene l
Para perempuan desa berkumpul untuk membuat kudapan yang akan disajikan pada acara pertemuan di desa.
53
1. Makna Denotasi Fillm tentang Dialog Antaragama a. Scene a
Gambar 1. Scene a Tabel B.4.1 tabel analisis Scene a Setting
Visual
Outdoor
Sebuah desa yang hidup di dalamnya
Menit ke
dua kelompok, yaitu Islam dan Kristen.
00.00-01.29
Desa yang terisolir dari informasi paska perang antar agama di negara Lebanon.
Audio Prolog film: Cerita ini dikisahkan untuk semua orang yang ingin mendengar. Kisah
tentang
mereka
yang
Di desa tersebut hidup rukun diantara
berpuasa, kisah tentang mereka
dua kelompok, karena upaya – upaya
yang berdoa. Kisah tentang kota
bina damai yang dilakukan, sebelumnya
kecil
peperangan terjadi, para perempuan
ranjau.
kehilangan anak laki – laki atau suami
peperangan yang jaraknya begitu
yang
dikelilingi
ladang
Terperangkap
54
akibat konflik yang pecah. Di desa
dekat. Dua kelompok yang patah
tersebut terdapat pemakaman dimana
hati terserang panas matahri.
termakam adalah para laki – laki,
Tangan mereka bernoda darah
sementara
atas
perempuan
selalu
terus
berkabung karena laki – laki yang gugur satu persatu.
nama
bintang.
salib
dan
bulan
Dari tempat terpencil
ini ada sebuah kedamaian yang bisa dipilih. Dari siapa sejarah bergulir diatanra kawat berduri dan desingan peluru. Kisah panjang tentang wanita bergaun hitam. Tanpa bintangbintang berkilau, tanpa bungabunga yang segar. Mata mereka dikeliligi lingkaran gelap. Wanita yang dipermainkan takdir. Untuk menunjukkan keberanian mereka.
Pemaknaan Denotasi Pada Scene diatas, sutradara menunjukkan latar tempat pembuata film. Sebuah desa yang hidup dua kelompok yaitu Islam dan Kristen ditandai dengan berdirinya rumah ibadah, gereja dan masjid yang berdekatan. Sutradara juga menunjukkan adegan para perempuan yang berkabung berjalan menyusuri jalanan menuju pemakaman yang di dalamnya adalah para anak lelaki dan suami mereka, terkubur akibat konflik yang terjadi. Sutradara juga memperdengarkan prolog film ini.
55
b. Scene b
Gambar 2. Scene b Tabel B.4.2 tabel analisis Scene a Setting
Visual
Out door
Pemuda, perempuan, pemuka agama Roukoz : Ayo kita mencari signal agar
Menit
Audio
ke bekerjasama dalam menyelenggarakan
kita dapat menonton bersama semua warga desa untuk mengenang
07.43-8.28
acara nonton bersama untuk warga desa.
Acara
ini
dilakukan
kebahagiaan desa kita yang sudah
untuk hidup damai.
memperingati hari kebahagiaan desa
Pendeta: dimana orang – orang akan duduk kalau tidak dengan kursi – kursi
karena sudah bertahun – tahun hidup
ini.
dalam kerukunan meski perang tetap Ny. Ta’la: Lihat, semangkanya segarterjadi di luar desa.
segar, pasti akan nikmat disajikan nanti malam
Pemaknaan denotasi Pada adegan terlihat diatas, bahwa pemuda, pemuka agama, perempuan sangat antusis bekerjasama untuk mewujudkan keharmonisan bersama. Mereka bergotong royong untuk melakukan acara nonton bersama
56
c. Scene c
Gambar 3. Scene c Tabel B.4.3 tabel analisis Scene a Setting
Visual
Audio
Outdoor
Kepala desa meyampaikan sambutan Dialog Pidato Kepala Desa:
Menit ke:
dalam acara nonton bersama dalam Di hari yang bahagia ini dan
10.33-12.40
rangka
memperingati
kebahagiaan bersejarah
bagi
kampung
kita.
desa karena telah berhasil hidup Terimakasih untuk pak pendeta dan rukun bertahun – tahun paska perang pak Kiyai
atas kedatangannya.
meskipun perang tetap terjadi di luar Simbol perastuan dan perdamaian desa. Kepala desa menunjuk pada Kiai
dan Pendeta, bahwa peran
mereka
sangat
tinggi
dalam
perdamaian,
mereka
kita, kami minta maaf untuk rute yang jauh dan susah ditempuh, tetapi seperti yang anda tahu, ini adalah ssatu-satunya tempat yang
membangun
layak. Bapak ibu yang terhormat, menjadi simbol persatuan di desa saya
senang
dan
gembira
tersebut. berkumpul bersama anda disini. Di bawah langit berbintang pada hari yang penuh kemenangan, dimana
57
sebagai satu kesatuan kita semua bergerak dari abad ke-20 menuju abad ke-21. Dan bersama persatuan ini, terimakasih kepada Abou Ali, dan kita ucapkan Brigitte (domba) tidak
mati
–
sia
sia.
Dia
mengorbankan dirinya untuk kita. Mengorbankan tubuhnya. Setiap kita disini bisa berjumpa dnegan takdir yang sama. Ingatlah, hanya kambing
sehatlah
yang
baik
dikonsumsi. Tuhan memberkatimu Abou Ali. Dengan
cara
yang
sama
kita
mengatasi konflik dan pertumpahan darah
sesama
saudara
yang
memisahkan kita. Dan saya harap semoga sesegera mungkin kita bisa terjembatani
dan
hidup
damai
seperti kebanyakan orang. Kita juga ucapkan terimakasih kepada Ny. Yvone, isteriku tercinta yang
menyumbangkan
warisannya.
TV
58
Pemaknaan denotasi Dalam Scene ini terlihat adegan Pendeta dan Kiai saling menatap penuh senyum saat mendengar pidato kepala desa. Kepala desa berterimakasih atas kehadiran mereka, yang menjadi simbol persatuan di desa yang hidup berdampingan dua kelompok, Islam dan Kristen. d. Scene d
Gambar 4. Scene d Tabel B.4.4 tabel analisis Scene d Setting
Visual
Audio
Indoor
Para ibu – ibu baik muslim maupun Dialog yang terjadi di kedai Ny.
Menit ke:
non muslim menyiapkan makanan di Amal saat ibu-ibu menyiapkan
20.15-20.40
kedai Ny. Amal untuk persiapan acara persiapan
acara
pembaptisan.
Dalam
proses sambil bergosip.
pembungkusan
makanan
terjadi Dialog:
percakapan
yang
adalah
pembaptisan
gosip Perempuan 1 : „kenapa Rabi
mengenai relasi antara Ny. Amal tidak dibaptis saja‟? seorang nasrani dan Rabi seorang muslim, kemudian terjadi perdebatan kecil.
sedikit
Perempuan 2 : banyak loh keuntungan menjadi kristen.
59 Fatmeh (muslim) : „memang kalian lebih baik dari kami? Yvone : (mendamaikan adu argumen diantara perempuan „Lihatlah menunjuk
Sassine ke
pemuda
(sambil yang
menghibur seorang lansia), dia bahkan tidak tahu kristen apa muslim. Perempuan 1 : tentu saja dia tidak peduli
Pemaknaan Denotasi Terlihat dalam adegan pada Scene d ini, sedang bekerjasama menyiapkan acara pembaptisan. Meskipun acara tersebut adalah untuk ummat nasrani, namun perempuan-perempuan muslim juga turut membantu menyiapkan. Dalam percakapan di meja para perempuan, terjadi perdebatan antara Fatmeh dengan perempuan lain soal kepercayaan yang mereka peluk, masing-masing orang meyakini bahwa agamanya yang paling benar. Ny. Yvone kemudian terlihat menenangkan, dia tidak mau terjadi perdebatan yang memicu pertengkaran, sebagaimana dia menunjuk pada Sassine seorang pria muslim yang sedang menghibur seorang lansia nasrani. Nampak dalam dialog Yvone sebagai berikut, „Lihatlah Sassine (sambil menunjuk ke pemuda yang menghibur seorang lansia), dia bahkan tidak tahu kristen apa muslim
60
e. Scene d
Gambar 5. Scene e Tabel B.4.5 tabel analisis Scene d Setting
Visual
Audio
Indoor
Roukoz terjatuh dari kayu salib sebab Dalam
Menit ke:
ingin
26.35-27.11
untuk digunakan dalam acara nonton tengah berprasangka buruk akibat
mengambil
speaker
adegan
ini,
pendeta
masjid menenangkan para jemaat yang
bersama. Salib patah dan membuat patahnya salib. Berikut adalah kemarahan para jemaat. Para jemaat dialog: berprasangka kalau patahnya salib karena
ulah
sabotase
Dialog:
kelompok „Aku
membiarkan
jendelanya
muslim. Pendeta menenangkan para terbuka,
tidak
tertutup
sama
jemaat, bahwa patahnya salib bukan sekali,
angin
bertiup
dan
karena muslim.
ulah
sabotase
kelompok membuat salibnya patah. Kenapa harus ribut?
61 „sekarang ada salib patah, dan kalian bertingkah seolah-olah ada orang jahat? Kau bilang ada yang merusak
itu.
menyebabkan
Mereka
yang
kekacauan
di
kampung ini. Jangan biarkan situasi di luar mempengaruhimu. Semuanya Cuma gosip, semuanya baik-baik
saja,
semunya
terkendali.‟
Pemaknaan Denotasi Dalam adegan ini, Roukoz yang mematahkan kayu salib tidak mau mengaku. Sehingga jemaat lainnya berprasangka bahwa yang mematahkan kayu salib adalah kelompok muslim. Pendeta sempat bertanya pada jemaat Adakah yang mau mengangkat tangan? Ia bertanya apakah diantara jemaat ada yang mematahkan kayu salib tersebut? Dan tidak ada yang menjawab. Maka pendeta mengatakan bahwa “Aku membiarkan jendelanya terbuka, tidak tertutup sama sekali, angin bertiup dan membuat salibnya patah. Kenapa harus ribut?.”
62
f. Scene f
Gambar 6. Scene f Tabel B.4.6 tabel analisis Scene d Setting
Visual
Outdoor-
„suara domba dan ayam keluar dari Dialog:
indoor
pengeras suara masjid‟.
Menit
ke:
27.49-30.36
Audio
Aboe Ahmad : „satu-satunya
Kiai kemudian mendatangi masjid tempat suci yang kita miliki, kau yang ramai oleh suara domba, dan cari gara – gara. Kau menghina mengeluarkan domba-domba tersebut. kami! (sambil menunjuk ke Semua warga desa akhirnya keluar kelompok pemuda nasrani) dari rumah dan melihat keramian yang terjadi di masjid. Kiai mendapati
Issam : kau menuduh kami? Kau menghina kami?
ruangan masjid yang penuh dengan Kiai
kotoran kambing dan ayam.
akhirnya
mengumpulkan
para pemuda dan laki-laki muslim Abu
Ahmad
keluar
dari
masjid
63
dengan penuh emosi dan menuduh ke dalam masjid. umat nasrani yang melakukan hal tersebut
Aboe
Ahmad
kemudian
mengambil sebilah kayu dan merusak patung Bunda Maria yang terletak di halaman gereja. Sementara kiai tetap menenangkan para jemaah yang ikut tersulut emosi. Keributanpun terjadi, pertikaian kecil antara kelompok muslim dan nasrani pecah karena salah faham.
Dialog: Kiai : „kau harus mengabaikan apa yang terjadi di luar sana. Di sana ya, di sana. Bertahun-tahun kita hidup damai dengan saudara nasrani kita. Aboe Ahmad : Dan ternak di dalam masjid? Kiai : Siapa yang bilang mereka melakukannya? Aboe Ahmad : Lalu siapa lagi? Aku mau membahasnya lagi? Kiai : Masjidnya memang dibuka, kambing yang masuk sendiri. Dia mengagumi karpetnya.
Pemaknaan Denotasi Dalam adegan pada scene berikut ini adalah, terdengarnya suara domba dari pengeras suara masjid. Tak lama kemudian terlihat semua warga desa keluar dari rumah dan mendekat ke sumber suara. Aboe Ahmad dan Kiai adalah orang pertama yang sampai ke dalam masjid, setelah itu nampak
64
adegan yang sangat emosional, penuh kemarahan sehingga terjadi kekacauan karena Aboe Ahmad menuduh pihak nasrani yang memasukan domba – domba ke dalam masjid. Sementara kiai menenangkan kemarahan para jemaat yang ikut tersulut kemarahan karena ulah Aboe Ahmad. g. Scene g
Gambar 7. Scene g Tabel B.4.7 tabel analisis Scene g Setting
Visual
Audio
Outdoor
Seorang jemaat menyaksikan tanda Dialog :
Menit ke:
baptis di kening anaknya bercampur
31.43-32.53
dengan
darah.
Terjadi
sedikit
keributan karena adanya darah dalam tinta baptis tersebut. Issam
melampiaskan
Issam: „kemari kau berandal cilik. Sambil mengejar anak-anak muslim di depan gereja, dan kemudian
kemarahan berhamburan.
akibat adanya darah tersebut kepada
anak-anak
lari
65
anak-anak
muslim
sedang „keluar kau dari sini, kupathkan
yang
menonton di jendela gereja. Anak kakimu‟ Aboe Ahmad dan Fatmeh menjadi Fatmeh : „Kau sebut dirimu lakilaki? Tapi kau hajar anak-anak?
sasaran kemarahan Issam. Ny.
Ta‟la
menghampiri
sambil
Seharusnya kamu malu‟.
mengatakan „Sudahlah jangan kau Ny. Ta’la : „Jangan Bilang pada lakukan itu, mereka anak-anak‟. Para suamimu Abou Ahmad wahai perempuan jemaat pun ikut berteriak Fatmeh‟ meminta Issam agar berhenti sambil mengatakan bahwa itu adalah anakanak.
Fatmeh : „Jangan khawatir, aku masih waras‟. Sambil melepaskan tangan Ny. Ta‟la dan menarik
Pendeta keluar dan menghentikan aksi anaknya pergi dari halaman gereja Issam
yang
kasar
sampai
anak sambil
berkata
tersebut jatuh, Ny. Ta‟la menarik „Jangan sayang...!‟.
Issam agar ia berhenti. Saat
Fatmeh
pulang,
Ny.
mengajak Ta‟la
anaknya
mengahampiri
sambil meminta agar Fatmeh tidak melaporkan kejadian tersebut pada Aboe Ahmad
bilang
pada
anaknya
Ayah
ya
66
Pemaknaan Denotasi Dalam adegan ini, seusai ritual pembaptisan di gereja, terjadi sedikit kekacauan. Issam mendapati tanda baptis yang menempel di kening anaknya bercampur dengan darah. Semua menjadi terperangah karena hal tersebut. Issam langsung meninggalkan anaknya dan menuju ke kerumunan anak – anak muslim yang menonton prosesi ritual bapstis melalui pintu jendela. Semua anak – anak berlarian, Issam mendapatkan anak Abu Ahmad yang tak mampu berlari kencang karena menggunakan alat bantu jalan. Issam menghajar anak tersebut, para ibu – ibu berteriak meminta agar Issam menghentikan aksinya, kiai pun datang melerai, Ibu Issam, Ny. Takla menarik tangan Issam. Ketika kekacauan berhenti, datanglah ibu anak tersebut, Ny. Fatmeh yang kecewa melihat laku Issam yang menghajar seorang anak. Ny. Takla menenangkan Ny. Fatmeh sekaligus meminta agar ia tidak mengadu pada suaminya. h. Scene g
Gambar 8. Scene h
67
Tabel B.4.8 tabel analisis Scene h Setting
Visual
Audio
Indoor
Pendeta
dan
Kiai
melancarkan Dialog:
1.25.16-1.26.02 aksinya dalam membangun proses Kiai: bina
damai
dengan
Bismilahirrohmanirrohim.
mengundang Bapak
ibu
sekalian,
kami
kalian
untuk
semua warga desa. Caranya adalah mengundang
dengan menyampaikan pengumuman berkumpul membicarakan tentang melalui pengeras suara masjid.
kekacauan yang kalian lakukan baru
–
baru
menginginkan
ini. untuk
Dan
kita
berhenti.
Kami mengundang kalian pada hari kamis jam 6 sore. Di Kedai Ny. Amal. Pendeta : untuk semua anak-anak kristus, diwajibkan kehadirannya. Biarkan kita bersihkan nurani dan hati kita dari kekejian kita masing – masing dan mungkin nanti ketika tamu kita pergi, mereka mungkin memiliki pesan – pesan terakhir
untuk
disampaikan.
Setelah berhasil mempermalukan kalian. Menyeret kami ke dalam
68
lumpur. Seharusnya dirimu malu. Kiai
:
Wajib
hadir.
Sangat
diwajibkan. Wassalamualikum wr wb.
Pemaknaan Denotasi Dalam adegan pada Scene ini dapat kita lihat bahwa, dua pemuka agama bekerjasama dalam menjalankan strategi-strategi bina-damai. Mereka menggunakan pengeras suara masjid mengundang para warga desa untuk berkumpul di kedai Ny. Amal. Undangan ini dilakukan demi saling membantu proses bina-damai yang dibangun oleh elemen perempuan dalam desa tersebut. i. Scene i
Gambar 9. Scene i
69
Tabel B.4.9 tabel analisis Scene i Setting
Visual
Audio
Indoor-outdoor Para perempuan berpura-pura Dialog: Menit ke: Kepala desa terbangun dari tidur 1.29.48-1.32.31 berpindah agama ketika mereka pulas akibat obat tidur yang merasa bahwa semua strategi untuk dikonsumsi melalui makanan dan melakukan resolusi konflik sudah mendapati isterinya, Ny. Yvone dalam batas maksimal. Hal ini dalam keadaan sujud menjalankan dilakukan agar kematian Nassim tidak ibadah sholat. Ia melihat hiasan di mengakibatkan terjadinya konflik. dinding bertuliskan kaligrafi Allah dan kalimat syahadat. Kepala desa : „Apa kau sedang Yoga?
Itu
dia,
kita
telah
kehilangannya sekarang. (Sementara
Yvone
tetap
melanjutkan adegan solatnya). Ny. Afaf melepaskan pakaian sehari-harinya
yang
identik
dengan pakaian muslim, yaitu jilbabnya
dan
kalung
salib,
menggunakan kemudian
membangunkan Hamoaudi dan melakukan pemberkatan dengan
70
menyiram air ke muka Hamoudi dan mengucapkan salam Maria. Hamoudi terbangun dan terkaget mendapati ibunya. Hamoudi : „Apa yang salah dengan ibu? Apa ibu baik – baik saja? Ny. Afaf : „Sudah jangan berisik, waktunya misa‟ Fatmeh berteriak pada suaminya Aboe Ahmad karena suaminya menegur pakaian Fatmeh yang berganti
layaknya
seperti
perempuan non muslim Fatmeh
:
Aku
memakai
ini
sekarang untuk berjalan – jalan di desa (sambil menunjuk ke daster berlengan
pendek
yang
ia
kenakan). Ayo semua. lihatlah aku. Aboe Ahmad : Apa ini gara-gara kamus yang kau simpan di bawah
71
bantal ku (sambil menunjukkan Injil di tangannya) Fatmeh : Itu injil, wahyu Tuhan bodoh. Itu kitab suciku sekarang, kitab injil. Aboe Ahmad : Buka pintunya sekarang atau aku dobrak? Buka sebelum kudobrak. Fatmeh : coba saja kalau berani, seperti tetanggamu, George. Baru kemarin
kau
bersamanya „George, Dan
makan
ha?
panggil
sobatku,
sekarang
humus dia
saudaraku. kau
ingin
membunuhnya? Karena di luar sana mereka saling baku hantam? Kau mau melumatkan mereka? Jadi sekarang aku salah satu diantara mereka, Aku Georgette. Mulailah
denganku,
bunuhlah aku.
kemari,
72
Pemaknaan Denotasi Dalam adegan ini, para perempuan yang juga mengambil peran dalam membangun proses bina-damai melakukan aksinya yaitu berpura-pura berpindah agama, agar anak laki-laki mereka, suami-suami mereka tidak tersulut emosi karena mengetahui Nassim, anak Ny. Takla mati terbunuh sepulang dari membeli dagangan di kota. Nassim terbunuh karena Roukoz salah mengambil jalan dan masuk ke jalanan yang terjadi peperangan antaragama. Nassim harus dimakamkan, dan setelah pemakaman diharapkan tidak terjadi peperangan. j. Scene j
Gambar 10. Scene j Tabel B.4.10 tabel analisis Scene j Setting
Visual
Audio
Outdoor
Epilog Film.
Kisahku
Menit ke-
Saat para warga kampung mengantar siapapun yang mendengarnya. Dari
kini
berakhir
bagi
1.36.23-1.37.34 jenazah Nassim ke pemakaman. Di desa yang tumbuhkan kedamaian, langkah terakhir, ketika mereka tiba walau
pertikaian
berlanjut
di
di pemakaman, orang-orang yang sekitar. Dari seorang anak laki-laki memikul
jenazah
Nassim yang „tidur‟ begitu lelap, dan
73
kebingungan, apakah dimakamkan di terbangun
untuk
menemukan
pemakaman Islam atau di Pemakaman kedamaian abadi. Dari wanita Nasrani. Where do we go now?
yang
masih
mengenakan
gaun
hitam. Yang berjuang dengan doa dan
bunga-bunga.
Alih-alih
senapan dan api menyala, untuk melindungi putra putri mereka. Takdir
kemudian
menggiring
mereka ke jalan yang belum pernah mereka lalui.
Pemaknaan Denotasi Dalam
adegan
mengahkiri
film
ini,
sang
sutradara
ingin
menyampaikan bahwa, para warga desa mampu menerima kenyataan Nassim saudara mereka telah tewas tertembak saat kembali dari kota saat membeli dagangan untuk dijual di warung mereka. Para warga desa memakamkan Nassim tanpa diiringi dengan konflik antar saudara meski telah diketahui Nassim tewas karena perang saudara yang terjadi di luar desa. Namun dalam adegan terakhir, orang-rang yang memikul jenazah Nassim pada saat tiba di pemakaman, berbalik arah karena kebingungan mau dimakamkan di pemakaman Nasrani atau Islam
74
2. Makna Konotasi Film tentang Dialog Antaragama a. Scene a
Gambar 1. Scene a Tabel B.5.1 tabel analisis Scene a Setting
Visual
Audio
Outdoor
Sebuah desa yang hidup di dalamnya
Menit ke
dua kelompok, yaitu Islam dan Kristen.
00.00-01.29
Desa yang terisolir dari informasi paska perang antaragama di negara Lebanon.
Prolog film: Cerita ini dikisahkan untuk semua orang yang ingin mendengar. Kisah
tentang
mereka
yang
Di desa tersebut hidup rukun diantara
berpuasa, kisah tentang mereka
dua kelompok, karena upaya-upaya bina
yang berdoa. Kisah tentang kota
damai
kecil
yang
dilakukan,
sebelumnya
yang
dikelilingi
ladang
peperangan terjadi, para perempuan
ranjau.
kehilangan anak laki-laki atau suami
peperangan yang jaraknya begitu
akibat konflik yang pecah. Di desa
dekat. Dua kelompok yang patah
Terperangkap
75
tersebut terdapat pemakaman dimana
hati terserang panas matahari.
termakam
adalah
Tangan mereka bernoda darah
sementara
perempuan
para
laki-laki,
selalu
terus
atas
nama
salib
dan
bulan
berkabung karena laki-laki yang gugur
bintang.
Dari tempat terpencil
satu persatu.
ini ada sebuah kedamaian yang bisa dipilih. Dari siapa sejarah bergulir diantara kawat berduri dan desingan peluru. Kisah panjang tentang wanita bergaun hitam. Tanpa bintangbintang berkilau, tanpa bungabunga yang segar. Mata mereka dikeliligi lingkaran gelap. Wanita yang dipermainkan takdir. Untuk menunjukkan keberanian mereka.
Pemaknaan Konotasi Pemaknaan konotasi dari prolog ini adalah ingin menyampaikan kepada penonton bahwa terdapat sebuah desa yang terisolir. Desa yang lepas dari informasi terjadinya perang di luar desa mereka membuat antar warga yang dalam perbedaan dapat hidup berdampingan. Dialog yang dilakukan melalui komunikasi-komunikasi nirkekerasan dapat menjadi salah satu jalan untuk membangun perdamaian. Gereja dan masjid dapat menjadi sumber kasih bagi sesama untuk hidup berdampingan.
76
Para perempuan adalah korban yang berlapis jika terjadi konflik, mereka harus menanggung beban hidup dalam trauma yang berkepanjangan. Perempuan-perempuan lelah dengan kondisi konflik yang terus menerus terjadi, yang memaksa mereka untuk terus berkabung karena kehilangan anggota keluarga. Perempuan dari dua kelompok tersebut akhirnya membangun bina-damai antar sesama dan melakukan pencegahan konflik dengan komunikasi nirkekerasan. Model komunikasi nirkekrasan yang dibangun adalah self emphaty, receiving emphatically dan expressing honest. b. Scene b
Gambar 2. Scene b Tabel B.5.2 tabel analisis Scene a Setting
Visual
Out door
Pemuda, perempuan, pemuka agama Roukoz : Ayo kita mencari signal
Menit
Audio
ke bekerjasama dalam menyelenggarakan agar kita dapat menonton bersama
07.43-8.28
acara nonton bersama untuk warga semua desa.
Acara
ini
dilakukan
warga
desa
untuk
untuk mengenang kebahagiaan desa kita
77
memeringati hari kebahagiaan desa yang sudah hidup damai. karena sudah bertahun-tahun hidup Pendeta:
dimana
orang-orang
dalam kerukunan meski perang tetap akan duduk kalau tidak dengan terjadi di luar desa.
kursi-kursi ini. Ny. Ta’la: Lihat, semangkanya segar-segar, pasti akan nikmat disajikan nanti malam
Pemaknaan konotasi Dalam proses bina-damai antaragama, gotong royong merupakan salah satu cara yang efektif. Setiap agama mengajarkan untuk saling mengasihi satu sama lain. Marshall Rosernberg mengatakan
„Making requests in clear,
positive, concrete action language reveals what we really want‟,
57
bahwa
dalam proses komunikasi nirkekerasan diperlukan aksi-aksi bersama untuk mengekspresikan perasaan empati agar tujuan hidup harmoni dapat dicapai. Sebagai sesama makhluk kita memang diberi tanggung jawab untuk saling menolong. Apalagi kepada sesama manusia yang pada dasarnya bersaudara meski berbeda, ada tuntutan moral untuk meringankan beban sesama. Islam juga menyampaikan bahwa manusia hendaknya berlombalomba untuk melakukan kebaikan, sebagaimana dalam al-Qur‟an sebagai berikut:
57
Rosenberg, Marshall , Nonviolent Communication: A Language of Life. (Encinitas: Puddledancer Press, 2003), h.69
78
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Pesan damai dan saling tolong menolong menurut agama tersebut dengan jelas dalam adegan film ini, bagaimana kita harus saling tolong menolong, bekerjasama dan menghormati satu sama lain. c. Scene c
Gambar 3. Scene c Tabel B.5.3 tabel analisis Scene a Setting
Visual
Audio
Outdoor
Kepala desa meyampaikan sambutan Dialog Pidato Kepala Desa:
Menit ke:
dalam acara nonton bersama dalam Di hari yang bahagia ini dan
10.33-12.40
rangka memeringati kebahagiaan desa bersejarah
bagi
kampung
kita,
karena telah berhasil hidup rukun Terimakasih untuk pak pendeta dan bertahun-tahun
paska
perang pak Kiyai
atas kedatangannya.
meskipun perang tetap terjadi di luar Simbol peratuan dan perdamaian desa. Kepala desa menunjuk pada kita, kami minta maaf untuk rute
79
Kiai dan Pendeta, bahwa peran yang jauh dan susah ditempuh, mereka
sangat
membangun
tinggi
dalam tetapi seperti yang anda tahu, ini
perdamaian,
mereka adalah ssatu-satunya tempat yang
menjadi simbol persatuan di desa layak. Bapak ibu yang terhormat, tersebut.
saa senang dan gembira berkumpul bersama anda disini. Di bawah langit berbintang pada hari yang penuh kemenangan, dimana sebagai satu kesatuan kita semua bergerak dari abad ke-20 menuju abad ke-21. Dan
bersama
persatuan
ini,
terimakasih kepada Abou Ali, dan kita ucapkan Brigitte (domba) tidak mati sia-sia. Dia mengorbankan dirinya untuk kita.
Mengorban
tubuhnya. Setiap kita disini bisa berjumpa dengan takdir yang sama. Ingatlah,
hanya
kambing
yang
sehatlah yang baik dikonsumsi. Tuhan memberkatimu Abou Ali. Dengan
cara
yang
sama
kita
mengatasi konflik dan pertumpahan darah
sesama
saudara
yang
80
memisahkan kita. Dan saya harap semoga sesegera mungkin kita bisa terjembatani
dan
hidup
damai
seperti kebanyakan orang. Kita juga ucapkan terimakasih kepada Ny. Yvone, isteriku tercinta yang
menyumbangkan
warisannya.
Pemaknaan Konotasi Pemaknaan konotasi dari scene ini adalah, dalam tradisi theisme pemuka agama memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Jika dalam tradisi masyarakat adat, kepala suku yang memegang peranan penting dalam melakukan proses resolusi konflik, maka dalam masyarakat beragama, pemuka agamalah yang memegang peranan tersebut. Kepala desa menyampaikan bahwa kedua pemuka agama di desa tersebut merupakan simbol persatuan di desa tersebut. Masing – masing, yang memiliki pengaruh yang besar untuk masing – masing jamaahnya. Kepala desa menyampaikan bahwa meski perang saudara terus terjadi di luar desa, tetapi perdamaian terus menerus diupayakan untuk terwujud di desa tersebut. Desa kecil yang terletak di negara Lebanon itu, terisolir akibat pecahnya perang antarsaudara. Sebelum Perang Saudara Lebanon (1975-1990), negara ini menikmati ketenangan dan kemakmuran yang relatif, didorong oleh sektor pariwisata, pertanian, dan perbankan dalam ekonominya. Lebanon dianggap
TV
81
sebagai ibukota perbankan di dunia Arab dan umumnya dianggap sebagai "Swiss di Timur Tengah” karena kekuatan finansialnya, Lebanon juga menarik banyak sekali wisatawan, hingga ibukotanya, Beirut, dirujuk oleh banyak orang sebagai "Parisnya Timur Tengah. Segera setelah perang, ada banyak upaya untuk menghidupkan kembali ekonominya dan membangun kembali infrastruktur nasionalnya. Pada awal 2006, stabilitas yang cukup besar telah tercapai di hampir seluruh negeri, rekonstruksi Beirut hampir selesai, dan semakin banyak wisatawan asing yang datang ke resort-resort Lebanon. Namun, Perang Lebanon 2006 menimbulkan korban sipil dan militer, kerusakan hebat pada infrastruktur sipil, dan pengungsian besar-besaran dari 12 Juli 2006 hingga gencatan senjata diberlakukan pada 14 Agustus 2006. Pada September 2006, pemerintah Lebanon telah memberlakukan rencana pemulihan awal yang ditujukan untuk membangun kembali properti yang dihancurkan oleh serangan-serangan Israel di Beirut, Tirus, dan desa-desa lainnya di Lebanon selatan. 58 Melalui film ini, Nadine Labaki ingin menyuguhkan bagaimana sekelompok masyarakat dapat bertahan dalam suasana konflik tersebut yang kapan saja dapat pecah kembali. Pemuka agama mendapat porsi tinggi dalam menyampaikan pesa damai melalui komunikasi nirkekerasan. Sehingga, pesan damai harus selalu diberikan kepada masing – masing jamaahnya sebagai mau‟idzotunhasanah agar kerukunan agama bisa terus terjaga di desa tersebut. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam Q.S. 3: 104
58
pukul 20.53
http://id.wikipedia.org/wiki/Lebanon#Demografi diakses pada 5 September 2014,
82
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. d. Scene d
Gambar 4. Scene d Tabel B.5.4 tabel analisis Scene d Setting
Visual
Audio
Indoor
Para ibu baik muslim maupun non Dialog yang terjadi di kedai Ny.
Menit ke:
muslim
20.15-20.40
kedai Ny. Amal untuk persiapan acara persiapan
menyiapkan
makanan
di Amal saat ibu-ibu menyiapkan acara
pembaptisan.
Dalam
proses sambil bergosip.
pembungkusan
makanan
terjadi Dialog:
pembaptisan
percakapan yang adalah gosip tentang Perempuan 1 : „kenapa Rabi relasi
antara Ny. Amal seorang tidak dibaptis saja‟?
nasrani dan Rabi seorang muslim, kemudian terjadi sedikit perdebatan kecil.
Perempuan 2 : banyak loh keuntungan menjadi kristen. Fatmeh (muslim) : „memang kalian lebih baik dari kami?
83
Yvone : (mendamaikan adu argumen diantara perempuan „Lihatlah
Sassine
menunjuk
ke
pemuda
(sambil yang
menghibur seorang lansia), dia bahkan tidak tahu kristen apa muslim. Perempuan 1 : tentu saja dia tidak peduli Pemaknaan Konotasi Melalui makna konotasi, kita dapat melihat pesan yang ingin disampaikan dalam film ini, pesan inklusifitas terhadap keragaman. Boleh saja setiap pemeluk keyakinan merasa paling benar, tetapi tidak tepat memaksakan kebenaran yang kita yakini pada orang lain. Allah SWT menciptakan perbedaan untuk kita saling menghargai dan mengasihi, karena kalau Allah menginginkan semua menjadi sama, tak sulit bagi-Nya. Hal ini sebagaimana yang dituliskan dalam QS. Q.S. Huud :118 – 119
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, - kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.
84
Bahwa jika Allah menghendaki maka dijadikannya satu umat saja. Namun, Allah lebih menginginkan adanya perbedaan agar kita sebagai hambaNya dapat mengambil pelajaran. Namun, terkadang sikap etnosentrisme59 selalu menggoda manusia, bahwa merasa golongannya paling benar sendiri adalah pemikiran yang masih sering dimiliki oleh sebagian kita. Padahal sudah jelas bahwa perbedaan adalah keniscayaan, begitupun dengan keyakinan. Allah dengan tegas menjamin kebebasan hamba-Nya menentukan keyakinan, yang termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah: 256
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama ; Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. Percakapan bahwa apakah menjadi kristen lebih terpuji, adalah percakapan yang memiliki kesan negatif yaitu mengolok-olok. Ny. Sayyideh kemudian menegur percakapan tersebut dengan komunikasi yang tanpa menyinggung satu sama lain. Dia menunjuk pada Sassine yang sedang menghibur lansia nasrani, sambil mengatakan „Lihatlah Sassine (sambil menunjuk ke pemuda yang menghibur seorang lansia), dia bahkan tidak tahu kristen apa muslim‟. Sayyideh ingin menyampaikan bahwa agama tak perlu menjadi bahan untuk saling mengolok, tetapi saling mengasihi. Lebih lanjut Allah
59
Jacky Manuputty Dkk, Carita Orang Basudara : Kisah – Kisah Perdamaian dari Maluku, (Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku, 2014), h. 229.
85 menerangkan bahwa jangan pernah mengolok – olok golongan lain, karena mungkin yang direndahkan itu lebih baik. Dalam Q.S. AL-Hujrat: 11
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu suku mengolok – olok suku yang lain, boleh Jadi yang diolok – olok itu lebih baik dari mereka (yang mengolok – olok). dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. Maka, sebagai hamba-Nya kita harus mengikuti perintah Allah untuk menghargai keyakinan setiap insan tanpa memaksa, tanpa merasa paling benar sendiri. e. Scene d
Gambar 5. Scene e
86
Tabel B.5.5 tabel analisis Scene d Setting
Visual
Audio
Indoor
Roukoz terjatuh dari kayu salib sebab Dalam
Menit ke:
ingin
26.35-27.11
untuk digunakan dalam acara nonton tengah berprasangka buruk akibat
mengambil
speaker
adegan
ini,
pendeta
masjid menenangkan para jemaat yang
bersama. Salib patah dan membuat patahnya salib. Berikut adalah kemarahan para jemaat. Para jemaat dialog: berprasangka kalau patahnya salib karena
ulah
sabotase
„Aku
membiarkan
kelompok terbuka,
muslim. Pendeta menenangkan para sekali,
jendelanya
tidak
tertutup
sama
angin
bertiup
dan
jemaat, bahwa patahnya salib bukan membuat salibnya patah. Kenapa karena muslim.
ulah
sabotase
kelompok harus ribut? „sekarang ada salib patah, dan kalian bertingkah seolah-olah ada orang jahat? Kau bilang ada yang merusak
itu.
menyebabkan
Mereka kekacauan
yang di
kampung ini. Jangan biarkan situasi di luar memengaruhimu. Semuanya cuma gosip, semuanya baik-baik terkendali.‟
saja,
semunya
87
Pemaknaan Konotasi Makna konotasi dari scene e ini adalah, bahwa mengekspresikan kejujuran
dalam
komunikasi
sangatlah
penting.
Dalam
komunikasi
nirkekerasan, expressing honestly merupakan komponen penting agar sebuah tujuan dan kebutuhan dapat tercapai.60 Karena Roukoz yang tidak berkata jujur, bahwa dialah yang mematahkan kayu salib, maka komunikasi yang salah terjadi. Ketidakjujuran memicu terjadinya missing communication yang bisa berdampak pada pecahnya konflik. Kecurigaan para jemaat dan sikap emosional menuduh kelompok muslim melakukan sabotase pematahan kayu salib adalah akibat dari ketidakjujuran. Ketidakjujuran dari Rukoz akhirnya menimbulkan fitnah yang dapat memercikkan api kesalahpahaman, sehingga sebagai upaya balas dendam sengaja membuat kerusuhan di masjid. Hal tersebut akan berdampak pada kemudhrotan seperti ditunjukkan dalam firman-Nya Q.S. Al-Baqoroh: 191
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah Balasan bagi orang-orang kafir”. Pendeta dalam hal ini mengambil peranan penting, bisa saja pendeta mengikuti kecurigaan para jemaat dan menambah suasana semakin kacau.
60 c
Rosenberg, Marshall B. Speak Peace in a World of Conflict: What You Say Next Will Change Your World. (Puddledancer Press, 2005),hal. 240
88
Namun dalam film ini, pendeta malah melakukan upaya-upaya meredam kemarahan dengan menggunkan komunikasi nirkekerasan. Self emphaty menjadi pilihan dalam berkomunikasi menyampaikan pesan kedamaian. Ini terlihat dalam nasehatnya, dalam dialog „Aku membiarkan jendelanya terbuka, tidak tertutup sama sekali, angin bertiup dan membuat salibnya patah. Kenapa harus ribut? „sekarang ada salib patah, dan kalian bertingkah seolaholah ada orang jahat? Kau bilang ada yang merusak itu. Mereka yang menyebabkan kekacauan di kampung ini. Jangan biarkan situasi di luar memengaruhimu. Semuanya Cuma gosip, semuanya baik-baik saja, semunya terkendali.‟ Pendeta menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan mereka menyebabkan kekacauan adalah mereka yang masih melakukan perang saudara di luar desa, merekalah yang berpotensi menyebarkan konflik. Hendakanya mereka tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi di luar sana. f. Scene f
Gambar 6. Scene f
89
Tabel B.5.6 tabel analisis Scene f Setting
Visual
Outdoor-
„suara domba dan ayam keluar dari Dialog:
indoor
pengeras suara masjid‟.
Menit
ke:
27.49-30.36
Audio
Aboe Ahmad : „satu-satunya
Kiai kemudian mendatangi masjid tempat suci yang kita miliki, kau yang ramai oleh suara domba, dan cari gara-gara. Kau menghina mengeluarkan domba-domba tersebut. kami! (sambil menunjuk ke Semua warga desa akhirnya keluar kelompok pemuda nasrani) dari rumah dan melihat keramian yang terjadi di masjid. Kiai mendapati
Issam : kau menuduh kami? Kau menghina kami?
ruangan masjid yang penuh dengan Kiai
kotoran kambing dan ayam.
akhirnya
mengumpulkan
para pemuda dan laki-laki muslim Abu
Ahmad
keluar
dari
masjid
ke dalam masjid.
dengan penuh emosi dan menuduh umat nasrani yang melakukan hal tersebut
Aboe
Ahmad
Dialog:
kemudian Kiai : „kau harus mengabaikan
mengambil sebilah kayu dan merusak apa yang terjadi di luar sana. Di patung Bunda Maria yang terletak di sana ya, di sana. Bertahun-tahun halaman gereja. Sementara kiai tetap kita hidup damai dengan saudara menenangkan para jemaah yang ikut nasrani kita. tersulut emosi. Aboe Ahmad : Dan ternak di Keributanpun terjadi, pertikaian kecil dalam masjid? antarakelompok muslim dan nasrani
90
pecah karena salah faham.
Kiai : Siapa yang bilang mereka melakukannya? Aboe Ahmad : Lalu siapa lagi? Aku mau membahasnya lagi? Kiai : Masjidnya memang dibuka, kambing yang masuk sendiri. Dia mengagumi karpetnya.
Pemaknaan Konotasi Dikutip dari Djohan Efendi dalam buku Merayakan Kebebasan Beragama (Elza Peldi Taher, 2009-177) bahwa ahli Islam Timur Tengah, Mark Juergensmeyer dalam salah satu karyanya dalam satu karyanya, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence telah mendokumentasikan dengan baik data-data kekerasan agama kontemporer yang diwarnai, diinspirasi, dan dilegitimasi oleh „agama-agama dunia‟, untuk meminjam istilah Max Weber, mulai Islam, Protestan, Katolik, Yahudi, Budha, Hindu, Sikh, dll. Agama bisa menjadi mesin pembunuh dan perusakan yang sadis, kata Jurgenmensyer, karena ia memuat teks, ajaran, doktrin, slogan, jargon, simbol, adat-istiadat, dan lain sebagainya mampu mengilhami, mendorong dan menggerakkan para pelaku agama untuk melakukan bahkan kejahatan kemanusiaan yang kejam dan brutal, meskipun ironisnya, para pelaku kriminalitas itu sendiri menganggapnya sebagai „perbuatan mulia‟ yang berpahala dan berganjar surga. 61
61
Peldi Taher, Elza, Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, (Jakarta: ICRP dan Kompas, 2009), hal. 117
91
Kasus komunikasi penuh kekerasan dengan membentak penuh curiga, mengancam serta memcahkan simbol agama orang lain adalah salah satu contoh nyata bagiamana wacana dan ajaran keagamaan serta simbol-simbol keislaman dirusak. Aboe Ahmad sanggup mengahajar dan menyalahkan orang lain, sanggup menghancurkan patung bunda Maria yang menjadi simbol agama Khatolik yang lama hidup berdampingan di desanya untuk melegitimasi bahwa keyakinannya lah yang benar sehingga menyalahkan orang lain ketika terjadi satu peristiwa. Tetapi juga harus dicatat bahwa selain agama memliki “sisi buruk” atau “dimensi negatif” yang bisa menginspirasi tindakan kejahatan dan kekerasan, agama juga memuat aspek-aspek baik dan positif yang bisa dijadikan sebagai pondasi teologis untuk membangun hubungan antaragama yang lebih sehat, dinamis, berkualitas dan manusiawi yang penuh dengan semangat toleransi dan pluraslime seperti yang dapat kita lihat apa yang dilakukan oleh Kiai dalam meredam emosi kemarahan Aboe Ahmad dan jemaat lainnya. Sang Kiai mengumpulkan para jemaah laki-laki yang tersulut emosi karena ulah Aboe Ahmad yang menuduh kesalahan sepihak pada kelompok keyakinan lain atas masuknya domba-domba ke dalam masjid. Kiai menegur pada jemaah meski para jemaah tetap bersikeras bahwa yang
melakukan
tindakan
tersebut
adalah
kelompok
nasrani.
Kiai
menyampaikan pesan damai dengan komunikasi nirkekerasan, ini terlihat dalam dialog terakhir kiai yaitu Masjidnya memang dibuka, domba yang masuk sendiri. Dia mengagumi karpetnya. Kalau kita cerna dengan baik, tidak mungkin rasanya domba tersebut masuk karena mengagumi karpet masjid,
92
tetapi demi meredam
kemarahan hal itu dilakukan oleh kiai. Tindakan-
tindakan meredam kemarahan untuk bina-damai sebagaimana yang dilakukan oleh seorang pemuka agama dalam adegan film ini adalah hal yang harus dilakukan dalam dialog antaragama untuk mencapai tujuan bersama yaitu hidup berdampaingan dengan perbedaan dalam keadaan harmoni. g.
Scene g
Gambar 7. Scene g Tabel B.5.7 tabel analisis Scene g Setting
Visual
Audio
Outdoor
Seorang jemaat menyaksikan tanda Dialog :
Menit ke:
baptis di kening anaknya bercampur
31.43-32.53
dengan
darah.
Terjadi
sedikit
keributan karena adanya darah dalam tinta baptis tersebut. Issam
melampiaskan
Issam: „kemari kau berandal cilik. Sambil mengejar anak-anak muslim di depan gereja, dan kemudian
kemarahan
anak-anak
lari
93
akibat adanya darah tersebut kepada berhamburan. anak-anak
muslim
yang
sedang
menonton di jendela gereja. Anak Aboe Ahmad dan Fatmeh menjadi sasaran kemarahan Issam. Ny.
Ta‟la
„keluar kau dari sini, kupathkan kakimu‟ Fatmeh : „Kau sebut dirimu lakilaki? Tapi kau hajar anak-anak?
menghampiri
sambil Seharusnya kamu malu‟.
mengatakan „Sudahlah jangan kau lakukan itu, mereka anak-anak‟. Para perempuan jemaat pun ikut berteriak
Ny. Ta’la : „Jangan Bilang pada suamimu Abou Ahmad wahai Fatmeh‟
meminta Issam agar berhenti sambil mengatakan bahwa itu adalah anak-
Fatmeh : „Jangan khawatir, aku masih waras‟. Sambil melepaskan
anak.
tangan Ny. Ta‟la dan menarik Pendeta keluar dan menghentikan aksi Issam
yang
kasar
sampai
anak
tersebut jatuh, Ny. Ta‟la menarik Issam agar ia berhenti. Saat
Fatmeh
pulang,
Ny.
anaknya
mengahampiri
sambil meminta agar Fatmeh tidak melaporkan kejadian tersebut pada Aboe Ahmad
sambil
berkata
„Jangan sayang...!‟.
mengajak Ta‟la
anaknya pergi dari halaman gereja
bilang
pada
anaknya
Ayah
ya
94
Pemaknaan Konotasi Sebagaimana yang telah penulis sampaikan diatas pada scene sebelumnya, bahwa fanatisme agama mendorong pada laku yang kasar dan mendorong pada kekerasan. Hal itu nampak terlihat dalam adegan kemarahan Issam yang dilampiaskan pada kelompok lain dan yang lebih parahnya adalah Issam sanggup menghajar seorang anak. Sikap seperti ini harus diatasi dengan tindakan-tindakan nirkekerasan, agar tiak mendorong pada pecahnya konflik. Komunikasi
nirkekerasan dilakukan
oleh
Ny.
Takla,
dengan
mengedepankan self emphaty dia menyampaikan kepada Fatmeh agar ia tidak menyampaikan kejadian yang baru saja terjadi pada suaminya. Fatmeh dan anaknya pun memiliki sikap tersebut, receiving emphaticaaly sikap yang dia pilih, dia mengajak anaknya agar tidak mengadu pada ayahnya agar tidak terjadi kekacauan-kekacauan susulan. Sikap ini nampak pada dialog berikut „Jangan khawatir, aku masih waras‟. (Sambil melepaskan tangan Ny. Ta‟la dan menarik anaknya pergi dari halaman gereja sambil berkata pada anaknya) „Jangan bilang Ayah ya sayang...!‟. Dengan kesabaran yang sangat Ny. Fatmeh menahan rasa sakit hatinya, dan memilih tidak menceritakan kejadian ini kepada suaminya demi tidak terjadi kemudhorotan yang lebih besar yakni konflik. Dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan bahwa “ درء المفاسد أولي من جلب المصالحmencegah bahaya lebih utama dari menarik datangnya kebaikan”. Jika mafsadah dan mashlahah berkumpul maka yang diutamakan adalah mencegah mafsadah62. Mungkin Ny. Fatmeh akan lebih baik untuk menenangkan perasaan sakit hatinya ketika 62
Abdul Haq, ahmad Mubarok dan Agus Ro‟uf, Kaidah Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya: Khalista Surabaya, 2005), cet. Ke V, h. 237.
95
melihat buah hatinya mengalami kekerasan dengan menceritakan kepada orang terdekat yang dicintai yakni suaminya. Namun, jika itu dilakukan maka hal yang lebih buruk akan terjadi yakni konflik. Maka yang lebih dianjurkan adalah mengindari konflik. h. Scene g
Gambar 8. Scene h Tabel B.5.8 tabel analisis Scene h Setting
Visual
Audio
Indoor
Pendeta
dan
Kiai
melancarkan Dialog:
1.25.16-1.26.02 aksinya dalam membangun proses Kiai: bina
damai
dengan
mengundang Bapak
Bismilahirrohmanirrohim. ibu
semua warga desa. Caranya adalah mengundang
sekalian,
kami
kalian
untuk
dengan menyampaikan pengumuman berkumpul membicarakan tentang melalui pengeras suara masjid.
kekacauan yang kalian lakukan baru-baru
ini.
Dan
kita
96
menginginkan
untuk
berhenti.
Kami mengundang kalian pada hari kamis jam 6 sore. Di Kedai Ny. Amal. Pendeta : untuk semua anak-anak kristus, diwajibkan kehadirannya. Biarkan kita bersihkan nurani dan hati
kita
dari
kekejian
kita
masing-masing dan mungkin nanti ketika tamu kita pergi, mereka mungkin memiliki pesan-pesan terakhir
untuk
disampaikan.
Setelah berhasil mempermalukan kalian. Menyeret kami ke dalam lumpur. Seharusnya dirimu malu. Kiai
:
Wajib
hadir.
Sangat
diwajibkan. Wassalamualikum wr wb.
Pemaknaan Konotasi Sejumlah strategi dilakukan dalam melakukan upaya-upaya binadamai antaragama. Musdah Mulia dalam buku 11 Tahun ICRP Melawan Kekerasan Atas Nama Agama (ICRP, 2011-275) menyebutkan sejumlah solusi ditawarkan dalam membangun bina-damai. Pertama melakukan upaya-
97
upaya rekonstruksi budaya, mengubah budaya kekerasan menjadi budaya damai (culture of peace). Kedua, melakukan upaya advokasi-advokasi untuk reformasi hukum dan peraturan perundang-undangan terkait bidang agama. Ketiga, melakukan upaya-upaya reinterprtasi ajaran agama, sehingga yang tersosialisasi adalah sungguh-sungguh ajaran yang ramah terhadap semua kelompok, kelompok beda agama termasuk kelompok perempuan dan kelompok marginal lainnya. 63 Sebagaimna strategi yang dipakai oleh dua pemuka agama ini adalah untuk mengubah budaya kekerasan menjadi budaya yang damai, ramah dan saling mencintai. Komunikasi nirkekerasan terus menerus dibangun agar jemaahnya yang mereka bimbing juga meneruskan pesan damai melalui komunikasi yang baik tanpa kekerasan i. Scene i
Gambar 9. Scene i
63
Nurcholish, Ahmad dkk, 11 Tahun ICRP Melawan Kekerasan Atas Nama Agama, (Jakarta:ICRP, 2011), hal. 273
98
Tabel B.5.9 tabel analisis Scene i Setting
Visual
Audio
Indoor-outdoor Para perempuan berpura-pura Dialog: Menit ke: Kepala desa terbangun dari tidur 1.29.48-1.32.31 berpindah agama ketika mereka pulas akibat obat tidur yang merasa bahwa semua strategi untuk dikonsumsi melalui makanan dan melakukan resolusi konflik sudah mendapati isterinya, Ny. Yvone dalam batas maksimal. Hal ini dalam keadaan sujud menjalankan dilakukan agar kematian Nassim tidak ibadah sholat. Ia melihat hiasan di mengakibatkan terjadinya konflik. dinding bertuliskan kaligrafi Allah dan kalimat syahadat. Kepala desa : „Apa kau sedang Yoga?
Itu
dia,
kita
telah
kehilangannya sekarang. (Sementara
Yvone
tetap
melanjutkan adegan solatnya). Ny. Afaf melepaskan pakaian sehari-harinya
yang
dengan
muslim,
pakain
jilbabnya
dan
kalung
salib,
identik yaitu
menggunakan kemudian
membangunkan Hamoaudi dan melakukan pemberkatan dengan
99
menyiram air ke muka Hamoudi dan mengucapkan salam Maria. Hamoudi terbangun dan terkaget mendapati ibunya, Hamoudi : „Apa yang salah dengan ibu? Apa ibu baik-baik saja? Ny. Afaf : „Sudah jangan berisik, waktunya misa‟ Fatmeh berteriak pada suaminya Aboe Ahmad karena suaminya menegur pakaian Fatmeh yang berganti
layaknya
seperti
perempuan non muslim Fatmeh
:
Aku
memakai
ini
sekarang untuk berjalan-jalan di desa (sambil menunjuk ke daster berlengan
pendek
yang
ia
kenakan). Ayo semua. lihatlah aku. Aboe Ahmad : Apa ini gara-gara kamus yang kau simpan di bawah
100
bantal ku (sambil menunjukkan Injil di tangannya) Fatmeh : Itu injil, wahyu Tuhan bodoh. Itu kitab suciku sekarang, kitab injil. Aboe Ahmad : Buka pintunya sekarang atau aku dobrak? Buka sebelum kudobrak. Fatmeh : coba saja kalau berani, seperti tetanggamu, George. Baru kemarin
kau
bersamanya „George, Dan
makan
ha?
panggil
sobatku,
sekarang
humus dia
saudaraku. kau
ingin
membunuhnya? Karena di luar sana mereka saling baku hantam? Kau mau melumatkan mereka? Jadi sekarang aku salah satu diantara mereka, Aku Georgette. Mulailah
denganku,
bunuhlah aku.
kemari,
101
Pemaknaan Konotasi Seluruh agama mengajarkan agar umatnya menyembah kepada Tuhan. Perjanjian lama menuturkan firman Allah kepada Musa: „Akulah Tuhan, Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Maha Kuasa. 64 Dalam perjanjian baru, dikisahkan bahwa Yesus atau Isa al-Mmasih pernah ditanya: „Hukum manakah yang paling utama?‟ Yesus menjawab: „Hukum yang terutama adalah, dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa‟. Kasihanilah Tuhan, Allahmu dengan, segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu‟.
65
Allah berfirman dalam QS al-Anbiya „Telah
kuwahyukan kepada seluruh rasul sebelum kamu (Muhammad) bahwa tidak ada tuhan selain Allah, karena itu sembahlah aku‟. 66 Berdasarkan wahyu Tuhan tersebut di atas, para perempuan melakukan aksi-aksi agar tidak terjadi permusuhan hanya karena perbedaan agama, karena pada hakikatnya setiap agama mengajarkan kebenaran dan menyembah pada Ke-Esaan Tuhan yang satu. Atas ide yang dilaksanakan agar para pemuda dan laki-laki berdamai dan tidak berseteru dalam perbedaan agama, para perempuan muslim berubah menjadi nasrani dan perempuan nasrani berubah menjadi muslim. Ny. Ta‟la dengan menggunakan pakaian muslim mendatangi putranya Issam yang dalam beberapa hari disembunyikan di dalam kamar dengan tangan terikat dan mulut terikat. (Issam adalah salah seorang yang emosional yang sensitif terhadap pecahnya konflik dari kalangan nasrani) 64
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Perjanjian Lama, Keluaran 6:12 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Perjanjian Baru, Markus 12:29-30 66 QS al-Anbiya (21):46 65
102
Komunikasi nirkekerasan digunakan menjadi pilihan agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan. Oleh para perempuan strategi berpura-pura berpindah agama adalah merupakan cara komunikasi nirkekerasan tersebut. Hal ini terlihat dalam komunikasi antara Ny. Takla dengan Nissam anaknya agar ia mau memakamkan adiknya yang terbunuh akibat bentrok yang terjadi di luar desa. Ny. Ta‟la mengatakan pada anaknya „Sekarang kau hidup dengan musuhmu.‟ Aku salah satu diantara mereka sekarang. Apalagi yang akan kau lakukan sekarang? Bangun anakku, kita harus mengubur adikmu. Dialog tersebut berisi pesan bahwa jika ibumu adalah menjadi bagian dari kelompok muslim, apakah lantas seorang ibu menjelma menjadi seorang musuh juga. j. Scene j
Gambar 10. Scene j Tabel B. B.5.10 tabel analisis Scene j Setting
Visual
Audio
Outdoor
Epilog Film.
Kisahku
Menit ke-
Saat para warga kampung mengantar siapapun yang mendengarnya. Dari
kini
berakhir
bagi
1.36.23-1.37.34 jenazah Nassim ke pemakaman. Di desa yang tumbuhkan kedamaian, langkah terakhir, ketika mereka tiba walau
pertikaian
berlanjut
di
di pemakaman, orang-orang yang sekitar. Dari seorang anak laki-laki
103
memikul
jenazah
Nassim yang „tidur‟ begitu lelap, dan
kebingungan, apakah dimakamkan di terbangun
untuk
menemukan
pemakaman Islam atau di emakaman kedamaian abadi. Dari wanita Nasrani. Where do we go now?
yang
masih
mengenakan
gaun
hitam. Yang berjuang dengan doa dan
bunga-bunga.
Alih-alih
senapan dan api menyala, untuk melindungi putra putri mereka. Takdir
kemudian
menggiring
mereka ke jalan yang belum pernah mereka lalui.
Pemaknaan Konotasi Ada berbagai macam hambatan, politik, budaya, agama dan profesi dalam penerapan strategi-strategi bina-damai yang lebih luas di masyarakat muslim. Hambatan-hambatan tersebut tentunya harus terus dihadapi oleh setiap individu maupun kelompok untuk mengatasi terjadinya konflik kembali. Dalam epilog film ini Nadine Labaki menyampaikan bahwa dari seorang laki-laki yang tidur lelap dalam sebuah peti menjadi bahan pelajaran agar konflik tak lagi terulang. Cara-cara yang anti kekerasan menggunkan komunikasi nirkekerasan harus terus menerus ditempuh. Hal itu nampak dalam kalimat terkahir dari epilog film ini yaitu: Dari wanita yang masih mengenakan gaun hitam. Yang berjuang dengan doa dan bunga-bunga. Alihalih senapan dan api menyala, untuk melindungi putra putri mereka.
104
3. Makna Denotasi Fillm tentang Peran Perempuan a. Scene a
Gambar 1 scene a Tabel A.3.1 Tabel Analisis Scene a Setting
Visual
Indoor
Para perempuan desa sedang
Menit ke:
berkumpul sibuk
00:21:00
mempersiapkan acara
Audio
pembaptisan. Sementara itu beberapa laki – laki terlihat sibuk bermain kartu.
Pemaknaan Denotasi: Terlihat para perempuan desa sedang bekerja sama membungkus coklat, rangkaian bunga, dan gaun untuk persiapan acara pembaptisan di kedai nyonya Amale. Sedangkan para pria sibuk bermain kartu. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa acara pembaptisan merupakan salah satu acara besar yang penting bagi umat kristiani. Maka perlu banyak persiapan agar acara bisa berjalan sesuai harapan. Maka, para peremuan desa saling membantu memersiapkan acara pembaptisan tersebut. Namun, para laki –
105
laki terlihat tidak peduli dengan kesibukan tersebut, mereka justru asik bermain dan tidak membantu para perempuan desa. b. Scene b
Gambar 2 scene b Tabel A.3.2 Tabel Analisis Scene b Setting
Visual
Audio
Indoor & outdoor
Para perempuan desa
Siaran berita radio:
Menit ke
sedang berkumpul
“penurunan kerukunan antara
00:20:57-
mempersiapkan acara
kristen dan muslim, dan
00:25:53
pembaptisan. Kemudian
kerusakan fisik diperkirakan
siaran berita radio
karena baku tembak antara
mengabarkan tentang
kedua kubu.”
konflik antaragama yang
Head line di surat kabar:
telah terjadi dan menelan
“Pertikaian kecil di Wardeh
korban jiwa. Maka
meletuskah kerusuhan”
setelah memastikan para
Ny. Afaf:
106 laki – kali tidak
“kita pecahkan saja layarnya”
mendengarkan siaran tersebut, Ny. Amale mengganti channel radio tersebut. Setelah itu Ny. Amale, Ny. Afaf dan Ny. Saydeh berusaha memutuskan kabel radio. Setelah kejadian itu seluruh informasi tentang perang dari semua media dihadang masuk oleh para perempuan desa, mulai dari radio, surat kabar, hingga televisi.
Pemaknaan Denotasi: Dalam bagian tersebut diperlihatkan para perempuan desa sangat sensitif terhadap hal – hal yang mungkin saja dapat memicu pecahnya konflik. Sedikit saja berita mengenai konflik membuat para perempuan ini khawatir akan diterima oleh para laki – laki sebagai pemicu emosi mereka untuk saling bertikai atas nama agama. Sehingga yang paling memungkinkan untuk mencegahnya adalah dengan menutup segala bentuk saluran informasi yang
107
mungkin saja memuat berita tentang konflik antaragama yang terjadi. Maka Nadine Labaki menggambarkan dalam film ini bahwa semua media tidak boleh menyentuh desa. Terlihat dalam beberapa bagian para perempuan desa memutus saluran radio, televisi, dan membakar surat kabar. c. scene c
Gambar 3 scene c Tabel A.3.3 Tabel Analisis Scene c Setting
Visual
Audio
Outdor
Saat para warga desa sedang
Ny. Afaf:
Menit ke:
menonton televisi bersama – sama,
“kami tidak ingin nonton berita”
00:22:12-00:23:10
tiba – tiba siaran berita
Abou Ahmad:
mengabarkan tentang perang
“berita saja”
antaragama yang meletus di luar
Ny. Afaf:
desa. Ny. Afaf meminta untuk
“Hammoudi kau mengupil di
mengganti siaran berita, namun
depanku”
Abou Ahmad tidak setuju. Dan
Ny. Fatmeh:
akhirnya tayangan televisi tetap di
“Jangan sampai ayam – ayammu
108
tayangan berita. Maka, satu persatu
buang kotoran di halamanku lagi.”
para perempuan membuat keributan
Ny. Syadeh:
di sana.
“Memangnya mulutmu tidak besar?”
Pemaknaan Denotasi: Dalam bagian ini digambarkan perdebatan yang terjadi antara Ny. Afaf dan Abou Ahmad dalam memilih siaran televisi. Diawali dari tayangan berita tentang pecahnya konflik Abou ahmad terlihat sangat tertarik dan penasaran untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di luar desa. Sebaliknya para perempuan terlihat menjadi cemas raut wajah mereka tiba – tiba berubah panik, karena takut berita tentang konflik tersebut akan memancing emosi rasial para laki – laki. Ny. Afaf meminta untuk mengganti saluran televisinya, namun tidak dihiraukan. Maka secara spontan Ny. Afaf mengambil sikap untuk mengalihkan perhatian warga desa dari berita tentang pecahnya konflik tersebut. Diawali dari Ny. Afaf, para perempuan desa membuat keributan. Berteriak – teriak mencari masalah sehingga membuat suasana menjadi kacau tak terkendali. Ternyata terbukti cara tersebut berhasil mengalihkan perhatian warga desa, mereka lantas menjadi sibuk untuk menenangkan para perempuan.
109
d. Scene d
Gambar 4 scene d Tabel A.3.4 Tabel Analisis Scene d Setting
Visual
Audio
Outdor
Issam meluapkan kemarahan atas
Issam:
Menit ke:
kecurigaannya kepada muslim
“Keluar dari sini, kupatahkan
00:31:49-00:32:36
terkait tanda salib di kening yang
kakimu!”
meleleh seperti darah. Muslim yang terlihat disekitar gereja
Ny. Takla: “hentikan, dia masih bocah”
adalah ketiga anak kecil. Maka, Ny. Fatmeh: praktis Issam meluapkan amarahnya kepada mereka.
“yang kau hajar ini masih
Tidak lama Ny. Takla mencoba
bocah”
menghalangi putranya, kemudian
“seharusnya kau malu.”
Ny. Fatmeh datang menolong anaknya dan marah kepada Issam.
110
Pemaknaan Denotasi: Terlihat Issam sangat marah karena tanda salib di kening meleleh seperti darah. Dia lantas mencurigai ini adalah sabotase yang dilakukan oleh kelompok muslim. Merasa agamanya terhina dia segera melampiaskan kemarahannya kepada anak – anak muslim yang kebetulan sedang melihat acara pembaptisan. Tidak menghiraukan bahwa mereka masih anak – anak, kemarahan terlanjur menguasai Issam pada waktu itu. Ny. Takla tidak tinggal diam, dia mencegah Issam, dan menjauhkannya dari anak kecil tersebut. Dengan berlari – lari Ny. Fatmeh menolong anaknya dan menasihati Issam. Dia terlihat sangat kecewa, sedih, dan marah melihat anaknya yang cacat diperlakukan tidak layak oleh seorang laki – laki dewasa. Dengan berusaha menahan emosinya, Ny. Fatmeh menegur Issam tanpa suara keras atau jeritan. e. Scene e
Gambar 5 scene e
Tabel A.3.5 Tabel Analisis Scene e Setting
Visual
Audio
Indoor
Para perempuan desa
Ny. Saydeh:
Menit ke:
menyelidiki apakah benar
“Ini darah ayam, bodoh!”
00:33:15-
tanda salib di kening saat
111
00:33:31
acara pembaptisa itu adalah darah. Untuk itu Ny. Amale menyicipinya, dan setelah Ny. Saydeh menemukan bulu ayam, mereka menyimpulkan itu adalah benar darah ayam.
Pemaknaan Denotasi: Para perempuan desa melakukan penyelidikan atas tanda baptis yang meleleh seperti darah pasca acara pembaptisan di gereja. Para perempuan ini tidak mudah terpancing dengan runyam dan panasnya keadaan. Mereka tetap berpikir rasional untuk menemukan penyebab yang sebenarnya dari kejadian tersebut. Setelah mereka mendapatkan kejelasan yang sebenarnya, lantas mereka tidak termakan emosi. Mereka lalu berpikir kembali untuk melakukan solusi tepat agar permasalahan ini bisa diselesaikan dengan damai. f. Scene f
Gambar 6 Scene f
112
Tabel B.5.6 Tabel Analisis Scene f Setting
Visual
Audio
Indoor
Ny. Yvone berpura – pura
Ny. Amale:
Menit ke:
menjadi Santo, yang bisa
“Dia berbicara kepada
00:34:53-
berbicara dengan perawan
perawan suci”
00:35:56
suci. Dibantu oleh teman –
Ny. Yvone:
teman perempuannya.
“darah yang menempel di
Mereka menjalankan misi
kening kita adalah karena
ini, dan menyampaikan
Tuhan marah, dia melihat para
pesan kepada para warga
pria saling membunuh
desa.
kampung ini ribut, para pria membungkuk di loteng menarik keluar senjata mereka, dan merangkak ke tempat tidur”
Pemaknaan Denotasi: Para
perempuan
dengan
segala
cara
mengusahakan
untuk
mendinginkan kondisi yang memanas di desa akhir – akhir ini. Akhirnya setelah memikirkan rencana, mereka memutuskan untuk memberanikan diri berpura – pura menjadi santo yang bisa berkomunikasi dengan perawan suci (bunda maria). Mereka melakukan hal tersebut dengan tujuan agar para warga desa percaya bahwa apa yang dikatakan oleh Ny. Yvone merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh sang perawan susci. Maka, ny. Yvone mulai memberikan pesan – pesan kedamaian.
113
g. Scene g
Gambar 7 Scene g Tabel B.5.7 Tabel Analisis Scene g Setting
Visual
Audio
Indoor
Ny. Afaf mengumpulkan para
Ny. Afaf:
Menit ke:
perempuan desa untuk
“Ayo keluarkan”
00:39:26
menggalang dana. Dana tersebut
Outdoor:
dipergunakan untuk
00:42:12-00:48:04
mendatangkan artis ke desa. Agar perhatian masyarakat desa bisa teralih kepada para artis.
Pemaknaan Denotasi: Dalam bagian ini terlihat Ny. Afaf menggalang dana dari para perempuan desa. Uang yang terkumpul tersebut akan dipergunakan untuk mengundang artis datang ke desa mereka. Meskipun beberapa diantara mereka
114
tidak menyetujui rencana tersebut, namun Ny. Afaf memaksa dan mencoba meyakinkan mereka bahwa cara ini akan berhasil untuk mencegah terjadinya konflik di desa mereka. Hal tersebut terihat dari perkataan Ny. Afaf yang sedikit memaksa dengan nada suara yang keras, meminta agar para perempuan ikut membantu memberikan sedikit uang mereka. Para artis diundang untuk bisa mengalihkan perhatian para laki – laki desa dari pikiran tentang konflik. Dan ternyata berhasil, seluruh warga desa menjadi terfokus kepada para artis cantik dan menjadi sibuk untuk menyambut mereka. Konflikpun terabaikan dan terlupakan sejenak, sehingga suasana desa bisa sedikit dikondisikan. h. Scene h
Gambar 8 Scene h
115
Tabel B.5.8 Tabel Analisis Scene h Setting
Visual
Audio
Indoor
Seorang artis terlihat
Artis:
01:01:15-01:02:53
menghampiri para laki – laki
“Halo semua, selamat sore,
yang sedang berkumpul di
permisi”
rumah Rabih. Artis tersebut
Abou Ahmad:
menjadi mata – mata dengan
“kita harus menjemput senjata
meninggalkan jaketnya yang
kita, tidak lama lagi, kita tidak
terdapat recorder, di ruangan
punya pilihan.”
tempat para laki – laki itu berkumpul.
Pemaknaan Denotasi: Salah seorang artis tengah menghampiri sekumpulan laki – laki yang sedang berbicara serius. Artis tersebut sedang menjankan misi memata – matai kelompok laki – laki muslim, di rumah Rabih. Ini dilakukan atas kecurigaan Ny. Amale yang melihat para pria sepertinya mulai merencenakan sesuatu. Maka, dengan pesona yang dimiliki artis tersebut, Ny. Amale dan Ny. Afaf memintanya menajdi mata – mata. Terlihat sedikit canggung, karena artis tersebut adalah perempuan seorang diri di tengah kumpulan laki – laki. Namun, dia tetap memberanikan diri hadir di antara para laki – laki, mencoba mengajak bicara dan kemudian dengan sangat halus dan hati – hati dia melepaskan jaket yang didalamnya sudah disiapkan recorder yang menyala. Daya tarik artis tersebut ternyata bisa membuat para laki – laki menjadi ternganga, dan tidak menyadari sedang dimata – matai.
116
i. Scene i
Gambar 9 Scene i Tabel B.5.9 Tabel Analisis Scene i Setting
Visual
Audio
Outdoor:
Ny. Takla menyembunyikan
Ny. Takla:
Menit ke: 01:06:06
jasad Nassim di dalam
“aku mohon, mereka bukan berasal
Indoor:
sumur.
dari desa kita”
Menit ke:
Kemudian Ny. Takla
Issam:
01:18:32-01:18:58
menembakkan senjata api ke
“apa yang ibu lakukan, apa ibu
arah Issam, anaknya.
sudah gila?.” Ny. Takla: “aku juga tidak akan membiarkanmu mati.”
Pemaknaan Denotasi: Pada suatu subuh, Ny. Takla sangat shock melihat Rukoz membawa tubuh Nassim yang sudah tidak bernyawa. Dia terkena tembakan saat
117
melintasi wilayah meletusnya konflik. Kesedihan yang sangat dalam terlihat sangat dirasakan Ny. Takla. Namun, langkah yang sangat mengejutkan dia putuskan, menyembunyikan jasad putranya di dalam sumur agar masyarakat desa tidak mengetahui. Namun, pada akhirnya Issam, putra pertamanya mengetahui kematian Nassim. Dengan sangat marah dan curiga dia mencari senjata api dan akan membalas kematiannya kepada kelompok muslim desa. Ny. Takla melihat dampak besar yang akan membawa desa pada konflik, jika hal tersebut terjadi. Maka, Ny. Takla menembakkan senjata api ke kaki Issam agar anaknya tidak bisa ke mana – mana. Bisa dipastikan suasana yang begitu memanas dan tidak terduga di dalam desa. Konflik kapan saja bisa meletus di desa tersebut, apalagi dengan kejadian kematian Nassim. Sehingga, seorang ibu bisa mengambil langkah ekstrim menembak anaknya sendiri. j. Scene j
Gambar 10 Scene j
118
Tabel B.5.10 Tabel Analisis Scene j Setting
Visual
Audio
Indoor:
Para perempuan desa
Ny. Yvone:
01:20:56-01:21:33
berkumpul untuk
“Dengan sedikit hash, bisa
Outdoor:
membuat kudapan yang
menidurkan seekor unta”
01:28:14-01:28:46
akan disajikan pada acara
Ny. Afaf:
pertemuan. Namun,
“Kita berhasil
mereka memiliki missi
menemukannya.”
tersendiri dibalik itu. Kemudian setelah acara pertemuan itu berlangsung, para perempuan desa mencari senjata api milik para laki – laki dan dipindahkan penyimpanannya ke tempat yang tidak diketahui.
Pemaknaan Denotasi: Situasi konflik yang semakin tidak terelakkan membuat para perempuan desa bekerja sama dengan pemuka agama untuk mencegahnya. Maka disusunlah pertemuan antara dua kelompok agama di desa tersebut, yang diikuti oleh para laki – laki. Mengambil kesempatan itu, para perempuan desa merencanakan cara cerdik. Yakni dengan mencampurkan obat tidur
119
dalam makanan dan minuman yang akan disajikan. Tujuannya, setelah para laki – laki desa dari kedua kelompok agama berhasil tertidur, maka para perempuan
bisa
mencari
tempat
senjata
yang disembunyikan,
dan
memindahkannya. Sehingga jika senjata tidak ada, konsekuensi logisnya adalah konflik tidak akan bisa terjadi. Dalam scene ini, diperlihatkan perlu adanya kerjasama dari beberapa pihak agar sebuah missi besar bisa berhasil. 4. Makna Konotasi Fillm tentang Peran Perempuan a. Scene a
Gambar 1 Scene a Tabel B.6.1 Tabel Analisis Scene a Setting
Visual
Indoor
Para perempuan desa sedang berkumpul sibuk
Menit ke:
memersiapkan acara pembaptisan. Sementara
00:21:00
itu beberapa laki – laki terlihat sibuk bermain
Audio
kartu.
Pemaknaan Konotasi: Dalam film ini terlihat dikotomi antara tugas domestik dan publik antara laki – laki dan perempuan. Bahwa tugas perempuan yang diidentikan dengan tugas domestik seperti membuat makanan, menjahit, dan membuat rangkaian bunga seperti yang digambarkan dalam adegan di atas bukanlah
120 domain pekerjaan laki – laki. Inilah pemahaman yang membudaya disekitar kita, sehingga laki – laki tidak akan menyentuh apa yang dianggapnya menjadi tugas perempuan. Nadine Labaki dalam adegan ini ingin menunjukkan bahwa para perempuan juga memiliki kesetaraan dengan laki – laki dalam hal peran mereka tidak bisa dipinggirkan dengan pendapat yang mengacu pada peran perempuan yang kodratiah dan esensial. Konsep gender disini menjadi penting bahwa peran laki – laki dan perempuan adalah konstruksi sosial budaya dan bukan berasal dari yang kodratiah.67 Karena pembaptisan adalah acara besar yang akan diikuti oleh seluruh warga yang beragama kristen baik laki – laki maupun perempuan. Sehingga kerja untuk mempersiapkan acara ini adalah kerja publik, dan perempuan mampu untuk melakukannya. Dengan tidak terpengaruh oleh fanatisme agama, para perempuan ini berbaur untuk menghasilkan karya besar bagi desanya. b. Scene b
Gambar 2 Scene b
67
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006), h. 96
121
Tabel A.3.2 Tabel Analisis Scene b Setting
Visual
Audio
Indoor dan
Para perempuan desa sedang
Siaran berita radio:
outdoor
berkumpul memersiapkan acara
“penurunan kerukunan
Menit ke
pembaptisan. Kemudian siaran
antara kristen dan
00:20:57-
berita radio mengabarkan tentang
muslim, dan kerusakan
00:25:53
konflik antaragama yang telah
fisik diperkirakan karena
terjadi dan menelan korban jiwa.
baku tembak antara
Maka setelah memastikan para
kedua kubu.”
laki – kali tidak mendengarkan
Head line di surat kabar:
siaran tersebut, Ny. Amale
“Pertikaian kecil di
mengganti channel radio tersebut.
Wardeh meletuskan
Setelah itu Ny. Amale, Ny. Afaf
kerusuhan”
dan Ny. Saydeh berusaha
Ny. Afaf:
memutuskan kabel radio.
“kita pecahkan saja
Setelah kejadian itu seluruh
layarnya”
informasi tentang perang dari semua media dihadang masuk oleh para perempuan desa, mulai dari radio, surat kabar, hingga televisi.
Pemaknaan Konotasi: Dalam film ini digambarkan bahwa perempuan sangat tertekan dengan keadaan yang dialaminya. Selalu merasa khawatir dan was – was dengan
122 aturan – aturan patriarkhal yang memandang perang adalah satu – satunya jalan untuk membela agamanya. Selalu mengasosiasikan maskulinitas sebagai sesuatu yang kuat dan bermartabat. Sehingga Dengan aturan – aturan demikian, para perempuan seperti tidak memiliki banyak pilihan. Mereka diposisikan sebagai manusia yang seakan tidak memiliki andil untuk ikut mencari sebuah penyelesaian masalah. Apapun yang terjadi para perempuan harus mengikuti aturan – aturan tersebut. Inilah yang dimaksud oleh salah seorang feminis postmoderen yakni Jacques Lacan bahwa pada titik itulah perempuan akan sangat kesulitan karena atura – aturan tersebut diekspresikan dalam bahasa – bahasa cara berpikir maskulin.68 Keadaan yang semacam ini menuntut para perempuan untuk berpikir cerdas bagaimana para laki – laki tidak terpancing emosinya. Maka memutus aliran informasi yang masuk ke desa adalah cara yang paling aman, agar para laki – laki terhindar dari informasi yang berkaitan dengan konflik agama. Arus informasi terebut bisa dari media televisi, radio, surat kabar ataupun sebagainya. Karena media massa adalah alat penyampaian pesan, dan memiliki fungsi untuk memengaruhi khalayak (to infuence). Bahkan dalam teori kultifasi disebutkan, khalayak yang mendapatkan informasi secara kontinu dari media dalam beberapa waktu, bisa memengaruhi kognitif dan sikapnya.
68
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hal. 129
123
c. Scene c
Gambar 3 Scene c
Tabel B.6.3 Tabel Analisis Scene c Setting
Visual
Audio
Outdor
Saat para warga desa sedang
Ny. Afaf:
Menit ke:
menonton televisi bersama – sama,
“kami tidak ingin nonton berita”
00:22:12-00:23:10
tiba – tiba siaran berita
Abou Ahmad:
mengabarkan tentang perang
“berita saja”
antaragama yang meletus di luar
Ny. Afaf:
desa. Ny. Afaf meminta untuk mengganti siaran berita, namun Abou Ahmad tidak setuju. Dan
“Hammoudi kau mengupil di depanku” Ny. Fatmeh: “Jangan sampai ayam – ayammu
akhirnya tayangan televisi tetap di buang kotoran di halamanku lagi.” tayangan berita. Maka, satu persatu Ny. Syadeh: para perempuan membuat keributan di sana.
“Memangnya mulutmu tidak besar?”
124
Pemaknaan Konotasi: Dalam Scene ini kita dapat melihat representasi ketidakadilan gender, bahwa perempuan dianggap dan diposisikan layaknya makhluk kelas dua, atau dengan kata lain perempuan dijadikan sebagai “the other”69 meminjam istilah dari Simone de Beauvoir, dan bukan sebagai subjek. Inilah yang disebut sebagai ideologi patriarkhi, bahwa laki – laki akan selalu dominan dan perempuan akan selalu mendapatkan peranan yang lebih rendah. Begitupun dengan pendapat dan suara perempuan menjadi kurang didengar. Ini yang diperjuangkan oleh para feminis liberal abad ke- 19 dalam memerjuangkan hak suara kaum perempuan.70 Namun manusia adalah makhluk yang berakal, secara naluriah mereka akan menggunakan pikirannya, juga dalam hal menemukan solusi sebuah masalah. Bahkan secara spontan perempuan mampu berpikir cerdas, cepat dan tepat. Bahkan mereka mampu berpikir melampaui laki – laki yang ternyata banyak juga yang hanya mementingkan egonya. Dengan demikian konflik dapat terhindarkan.
69
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hal hal. 130 70 Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hal h. 92
125
d. Scene d
Gambar 4 Scene d Tabel B.6.4 Tabel Analisis Scene d Setting
Visual
Audio
Outdor
Issam meluapkan kemarahan atas
Issam:
Menit ke:
kecurigaannya kepada muslim
“Keluar dari sini,
00:31:49-00:32:36
terkait tanda salib di kening yang
kupatahkan kakimu!”
meleleh seperti darah. Muslim yang Ny. Takla: terlihat disekitar gereja adalah
“hentikan, dia masih bocah”
ketiga anak kecil. Maka, praktis
Ny. Fatmeh:
Issam meluapkan amarahnya
“yang kau hajar ini masih
kepada mereka.
bocah”
Tidak lama Ny. Takla mencoba
“seharusnya kau malu.”
menghalangi putranya, kemudian Ny. Fatmeh datang menolong anaknya dan marah kepada Issam.
126
Pemaknaan Konotasi: Tidak bisa disangkal bahwa sifat feminin memang ada pada diri perempuan. Dalam Scene ini ditampilkan bahawa perempuan menampilkan kefeminimannya. Melihat arogansi yang sangat berlebihan dan tidak pada tempatnya dari laki – laki, Ny. Takla menghentikan dan memperingatkan untuk tidak melakukan itu, demikian juga diperlihatkan oleh Ny. Fatmeh. Tidak ada ibu yang tidak marah dan sedih melihat anaknya diperlakukan dengan tidak layak. Maka rasa kasih sayang membuatnya menanggalkan rasa takut dan malu untuk menasihati seorang laki – laki atas sikap buruknya. Ny. Takla dan Ny. Fatmeh mampu untuk bebas berbuat antara sifat feminin dan maskulin yang dimilikinya. Dan memanfaatkan sifat tersebut untuk menyikapi keburukan dan mencegah terjadinya dampak buruk yang mungkin akan lebih besar lagi. Dengan demikian para perempuan tersebut sudah menjadi manusia yang bebas dari keterkungkungan budaya patriarkhi.71 e. Scene e
Gambar 5 Scene e
71
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hal hal. 131
127
Tabel B.6.5 Tabel Analisis Scene e Setting
Visual
Audio
Indoor
Para perempuan desa menyelidiki
Ny. Saydeh:
Menit ke:
apakah benar tanda salib di kening
“Ini darah ayam,
00:33:15-
saat acara pembaptisan itu adalah
bodoh!”
00:33:31
darah untuk itu Ny. Amale menyicipinya, dan setelah Ny. Saydeh menemukan bulu ayam, mereka menyimpulkan itu adalah benar darah ayam.
Pemaknaan Konotasi: Karena menyangkut resistensi agama, maka sabotase tanda salib menggunakan darah menjadi hal besar yang dapat memicu terjadinya konflik antaragama. Tidak mengherankan, sebab pada dasarnya manusia memiliki sikap etnosentrisme menganggap budayanya termasuk agamanya adalah yang paling benar72. Maka sedikit saja menyinggung resistensi agama, akan memicu emosi sehingga akhirnya konflik rentan terjadi. Diperlukan pikiran dingin untuk bisa mencari solusi terbaik, agar konflik dapat terselesaikan. Dalam Scene ini para perempuan memerlihatkan kepamampuan berpikirnya. Dengan tidak hanya mengandalkan perasaannya yang sangat emosional seperti apa yang diidentikkan oleh masyarakat kepada
72
Jacky Manuputty Dkk, Carita Orang Basudara : Kisah – Kisah Perdamaian dari Maluku, (Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku, 2014), h. 229.
128 perempuan,73 para perempuan ini mampu menganalisis secara jernih sebuah permasalahan sebelum bertindak. Akhirnya dapat menghasilkan solusi konflik yang tepat guna karena berdasarkan penyelidikan. f. Scene f
Gambar 6 Scene f Tabel B.6.6 Tabel Analisis Scene f Setting
Visual
Audio
Indoor
Ny. Yvone berpura – pura
Ny. Amale:
Menit ke:
menjadi Santo, yang bisa
“Dia berbicara kepada perawan
00:34:53-00:35:56
berbicara dengan perawan
suci”
suci. Dibantu oleh teman – Ny. Yvone: teman perempuannya.
“darah yang menempel di kening
Mereka menjalankan misi
kita adalah karena Tuhan marah, dia
ini, dan menyampaikan
melihat para pria saling membunuh
pesan kepada para warga
kampung ini ribut, para pria
desa.
membungkuk di loteng menarik keluar senjata mereka, dan merangkak ke tempat tidur”
73
Jean – Jacques Rousseau, Emile, diedit oleh Allan Boom (New York: Basic Books, 1979), h. 56. Dalam Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hal h. 91
129
Pemaknaan Konotasi: Berpura – pura menjadi Santo dan dapat berkomunikasi dengan perawan suci, dianggap cara yang efektif untuk menyampaikan pesan agar dapat diterima. Bunda maria adalah sosok yang sangat penting yang sangat diyakini bagi umat kristiani. Maka, ucapannya adalah suatu keajaiban yang sudah pasti kebenarannya. Maka, dengan berpura – pura menjadi santo dan menyampaikan pesan dari bunda Maria dinilai paling tepat agar pesan damai dapat diterima. Penipuan memang bukan hal yang baik, namun ini menjadi lebih baik ketika para laki – laki masih menggunakan metode berpikir patriarkhi. Yakni seperti yang dikatakan oleh seorang ekofeminis Karen J. Warren, mengenai cara berpikir hirarkis menganggap dirinya lebih kuasa dari perempuan dan menekankan pada logika yang membenarkan subordinasi74. Subordinasi
perempuan
membuat
mereka
tidak
mempunyai
banyak
kesempatan untuk berpendapat. Bahkan terkadang ruang – ruang yang menghargai pendapat perempuan harus diusahakan. Seperti apa yang dilakukan oleh para feminis pada Konvensi Hak – Hak Perempuan di Seneca Falls tahun 1848. Dalam deklarasi itu ditekankan hak perempuan untuk berbicara dan berpendapat di dunia publik.75 Sehingga, butuh power lain yang dapat digunakan perempuan agar suaranya dapat didengar, ditengah budaya patriarkhi.
74
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hal. 143 75 Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hal. 93
130
g. Scene g
Gambar 7 Scene g Tabel B.6.7 Tabel Analisis Scene g Setting
Visual
Audio
Indoor
Ny. Afaf mengumpulkan para
Ny. Afaf:
Menit ke:
perempuan desa untuk menggalang
“Ayo keluarkan”
00:39:26
dana. Dana tersebut dipergunakan
Outdoor:
untuk mendatangkan artis ke desa.
00:42:12-
Agar perhatian masyarakat desa bisa
00:48:04
teralih kepada para artis.
Pemaknaan Konotasi: Pengumpulan dana dan memaksa para perempuan desa untuk setuju rencana mendatangkan para artis ke desa, merupakan solusi yang terbilang berani untuk mencegah konflik. Dalam Scene ini Ny. Afaf, Takla, dan Saydeh terlihat sangat yakin bahwa rencana ini akan berhasil mengalihkan perhatian para laki – laki. Keyakinan tersebut beralasan karena sudah sangat lama
131
konstruksi budaya menjadikan perempuan sebagai objek. Bahkan menurut asumsi ekofeminisme, perempuan disamakan dengan alam yakni tanah yang digarap, bumi yang dikuasai , atau hutan yang dijamah.76 Sehingga perempuan dalam benak laki – laki hanya menjadi objek belaka. Meskipun demikian, Nadine labaki berhasil menggambarkan kekuatan perempuan dalam Scene ini. Menunjukkan perempuan mampu menjadi “subjek – subjek feminin”, yang mengambil peranan dalam kebudayaan untuk mengambil isue mencapai perdamaian.
77
Para perempuan ini sangat
menyadari kecantikan dan daya tarik yang dimiliki oleh dirinya. Mereka mampu memaksimalkan feminitas yang dimilikinya, untuk misi yang lebih besar demi kepentingan bersama. Tidak membiarkan para pria mengambil kuasa atas tubuhnya, para perempuan ini berhasil memenuhi ekspektasi kaum feminisme radikal. Di mana kaum feminisme radikal memerjuangkan hak atas tubuh perempuan yang paling pribadi adalah mutlak milik dirinya sendiri, the personal is political.78 Maka perempuan harus terbebas dari kuasa laki – laki atas tubuhnya, dan berhak memanfaatkannya demi kepentingan dirinya. Pada akhirnya, para artis mampu mendapatkan perhatian laki – laki dan sejenak melupakan konflik yang terjadi. Maka, dengan kuasa penuh yang dimiliki perempuan atas bagian pribadi dalam dirinya, mereka mampu menghadirkan kemaslahatan bagi orang banyak.
76
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hal h. 144 77 Sue Thornmham, Teori Feminis dan Cultural Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h.90. 78 Gadis arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hal h. 101
132
h. Scene h
Gambar 8 Scene h Tabel B.6.8 Tabel Analisis Scene h Setting
Visual
Audio
Indoor
Seorang artis terlihat
Artis:
01:01:15-01:02:53
menghampiri para laki – laki
“Halo semua, selamat sore,
yang sedang berkumpul di
permisi”
rumah Rabih. Artis tersebut
Abou Ahmad:
menjadi mata – mata dengan
“kita harus menjemput senjata
meninggalkan jaketnya yang terdapat recorder, di ruangan
kita, tidak lama lagi, kita tidak punya pilihan.”
tempat para laki – laki itu berkumpul. Pemaknaan Konotasi: Dalam strategi konflik mengetahui informasi dari masing – masing kelompok itu sangat penting. Dalam Scene ini para perempuan menjalankan strategi tersebut. Ditengah suasana yang semakin mendesak mereka
133
memerlukan informasi, maka harus ada orang yang tidak dicurigai untuk mencari infomasi tersebut. Maka, memilih orang yang tidak memiliki kaitan sama sekali dengan masing – masing kelompok adalah yang paling tepat untuk menjadi mata – mata. Memberanikan diri untuk keluar dari zona nyaman, yakni memasuki wilayah paling privat dari seseorang yakni rumah yang didalamnya tempat sekelompok laki – laki berkumpul. Perempuan tersebut mampu menangkis asumsi yang mengatakan bahwa laki – laki adalah subjek sedangkan perempuan adalah “other”79 atau dengan kata lain perempuan adalah objek alat pemenuh kebahagiaan. Selain itu juga menagkis asumsi bahwa perempuan secara kodrati bersifat pasif, lemah, dan tidak agresif.80 Dengan membuktikan bahwa
perempuan
adalah
subjek
dengan
keberaniannya
ikut
pula
berkontribusi dalam menciptakan damai. i. Scene i
Gambar 9 Scene i 79
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hal. 130 80 Gadis arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), h. 130
134
Tabel B.6.9 Tabel Analisis Scene i Setting
Visual
Audio
Outdoor:
Ny. Takla menyembunyikan
Ny. Takla:
Menit ke: 01:06:06
jasad Nassim di dalam
“aku mohon, mereka bukan berasal
Indoor:
sumur.
dari desa kita”
Menit ke:
Kemudian Ny. Takla
Issam:
01:18:32-01:18:58
menembakkan senjata api ke
“apa yang ibu lakukan, apa ibu
arah Issam, anaknya.
sudah gila?.” Ny. Takla: “aku juga tidak akan membiarkanmu mati.”
Pemaknaan Konotasi: Dalam Scene ini digambarkan betapa gentingnya suasana desa yang dikelilingi dengan konflik agama disekitarnya. Meskipun upaya pengalihan telah dilakukan untuk meredam konflik, namun genjatan dari pihak luar yang terus menerus mempunyai pengaruh yang besar. Padahal kekerasan apalagi dalam konteks luas berupa perang adalah sesuatu yang hanya menimbulkan kesengsaraan. Farida Benani mendefinisikan bahwa perlakuan atau tindakan yang muncul dengan sifat permusuhan, yang terjadi pada tingkat individual atau pada tingkat masyarakat atau negara, dengan tujuan mengalahkan atau menundukkan sudut yang lain dalam bingkai relasi kuasa yang tidak seimbang baik secara ekonomi, sosial maupun politik, menyebabkan munculnya kerugian material, spiritual dan kejiwaan secara individual, masyarakat atau
135 negara.81 Konflik antaragama telah meninggalkan luka psikologi, tekanan, trauma dan rasa takut. Pihak yang paling muka terkena dampaknya adalah perempuan, dimana mereka berada di bawah hegemoni maskulin seperti konsep hegemoni dari Antonio Gramsci.82 Dalam kondisi ini perempuan terbungkam dan tidak bisa melakukan perlawanan secara terbuka. Kondisi yang membuat mereka harus mencari cara alternatif untuk mencegah terjadinya perang. Termasuk mengambil cara yang paling ekstrim, seperti contohnya yang dilakukan dalam adegan ini seorang ibu yang menembak anak kandungnya sendiri. j. Scene 9
Gambar 10 Scene j
81
Farida Benani dalam Muqoraba lil „Anfi al-Muwajjah Dlidda Al-Mar‟ati al-Tiflati wa Madda Syar‟antuhu wa Atsarihi „ala al-Huquq al-Syihiyyahwa al-Huquq al-Injabiyah, dalam Jabir Usfuri (editor) Mi‟ata Ammin „ala Tahrori al-Mar‟ah, Vol. II, h. 135 dalam Syafiq Hasyim, Bebas dari Patriarkhisme Islam, (Depok: KataKita, 2010), h. 154. 82 Sue Thornham, Tubuh Sosial: Simbolis, Diri, dan masyarakat, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003),h. 88
136
Tabel B.6.10 Tabel Analisis Scene j Setting
Visual
Audio
Indoor:
Para perempuan desa berkumpul
Ny. Yvone:
01:20:56-01:21:33
untuk membuat kudapan yang
“Dengan sedikit hash, bisa
Outdoor:
akan disajikan pada acara
menidurkan seekor unta”
01:28:14-01:28:46
pertemuan. Namun, mereka
Ny. Afaf:
memiliki missi tersendiri dibalik
“Kita berhasil
itu.
menemukannya.”
Kemudian setelah acara pertemuan itu berlangsung, para perempuan desa mencari senjata api milik para laki – laki dan dipindahkan penyimpanannya ke tempat yang tidak diketahui.
Pemaknaan Konotasi: Kerjasama yang dilakukan oleh para perempuan desa dengan pemuka agama untuk mencegah konflik, adalah sebuah bukti. Mengenai konsep Dualisme Freud yang dikembangkan oleh muridnya yakni Carl Jung berasumsi bahwa “tingkah laku perempuan yang terlihat umumnya jauh lebih personal daripada laki – laki. Dunianya dibuat oleh ayah, ibu, saudara laki – laki, saudara perempuan, suami, anak – anak.... Dunia laki – laki adalah bangsa, negara, bisnis, dan sebagainya. Keluarganya adalah caranya untuk menggapai cita – cita, salah satu fondasi negara.... Bagi pria makna ini lebih umum dari personal, dunia pria terdiri dari banyak faktor yang berkordinasi,
137
sementara dunia perempuan, di luar suaminya, hancur dalam sekumpulan kabut kosmik.83 Dengan kata lain, konsep ini menjelaskan bahwa perempuan hanya menerima apa yang diberikan tanpa memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri. Kehidupan perempuan yang diasosiasikan kepada ranah domestik itupun masih tergantung pada sosok lain yakni laki – laki. Dalam Scene ini pendikotomian peran perempuan yang hanya ada di wilayah domestik, bisa mereka manfaatkan dengan sangat maksimal. Memanfaatkan “hegemoni maskulin”, untuk melemahkan para laki – laki. Membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi agen sosial dalam menciptakan capaian besar dalam kehidupan bermasyrakat.
C. Interpretasi Analisis Data 1. Nirkekerasan dan Dialog Bina-damai dalam Islam Dialog bina-damai adalah upaya yang dilakukan sebagai jalan untuk resolusi konflik. Upaya ini menggunakan pendekatan nirkekerasan. Nirkekerasan dalam pendekatan dialog bina-damai adalah sekumpulan sikap, pandangan, dan aksi yang ditujukan untuk mengajak orang di pihak lain agar mengubah pandangan, pendapat dan aksi mereka.84 Nirkekerasan menggunakan cara-cara damai untuk mencapai hasil yang damai. Nirkekerasan berarti menyampaikan pesan atau berkomunikasi dengan tidak menggunakan kekerasan, para aktor tidak membalas tindakan musuh dengan kekerasan. Sebaliknya, mereka menyerap kemarahan dan
83
Antonny Synnott, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri dan Masyarakat, (yogyakarta: Jalasutra,2003), h. 105. 84 Abu-Nimer, Mohammed, Nirkekerasan Dan Bina-damai Dalam Islam; Teori dan Praktik. Edisi Bahasa Indonesia (Jakarta : Pustaka Alvabet 2010), h. 12
138
kerusakan sambil menyampaikan pesan ketabahan dan desakan untuk mengatasi ketidakadilan. Ciri utama aksi nirkekerasan adalah sebagai berikut, nirkekerasan berupaya untuk menghindari bukan hanya kekerasan lahiriah, tapi juga kekerasan batiniah. Tidak berusaha untuk menistakan musuh, tapi mengajak musuh untuk berubah lewat pemahaman dan kesadaran baru tentang aib moral untuk kemudian membangun kembali komunitaskomunitas terkasih. Nirkekerasan didasarkan atas pendirian bahwa alam semesta berpihak pada keadailan. Ciri-ciri ini diusulkan oleh Reinold Neibuhr pada 1960. 85 Definisi dan ciri-ciri dari nirkekerasan dalam perspektik binadamai antar agama ini sangat dekat dengan ajaran-ajaran Islam. Ajaran Islam yang mengarahkan pada cinta kasih dan menghargai antarsesama manusia tanpa membedakan sebagaimana pesan Allah SWT dalam Q.S. An-Nahl: 90
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Islam tidak melarang kekerasan dalam situasi-situasi tertentu, tapi kekerasan ini bersifat defensif. Akan tetapi tetap harus berfokus pada nilainilai yang relevan dengan bina-damai dan nirkekerasan. Dari perspektif ini 85
Ibid., h. 122
139
Islam menekankan pada keadilan sosial, persaudaraan, dan kesetaraan manusia. Nilai-nilai pemaafan dan kemurahan hati, toleransi dan ketundukkan kepada Tuhan, cara-cara yang benar, dan pengakuan atas hak orang lain berulangkali ditekankan di dalam kitab suci maupun hadis. Terlebih lagi Nabi Muhammad SAW meruntuhkan semua sekat dan ras. Islam mendambakan tatanan sosial yang adil dan damai. Dalam mengajukan paradigma nirkekerasan Islam, bersandar pada beberapa justifikasi sebagai berikut: a. Konteks historis wahyu Al-Qur‟an sudah berubah dan penggunaan kekerasan sebagai sarana untuk merukunkan perbedaan seharusnya berubah juga. Cara-cara untuk menyebarkan keyakinan, membentuk kemandirian iman 1400 tahun lalu tak bisa lagi diterapkan atau cocok dengan konteks sekarang. Jika kelompok muslim ingin kembali berjaya maka cara-cara dengan pendekatan nirkekerasan dalam merukunkan perbedaan baik internal maupun eksternal harus digunakan. b. Kesalingtergantungan blobal secara sosial, ekonomi dan politik membuat penggunaan kekerasan tak bisa dilakukan terutama dalam bentuk penggunaan senjata pemusnah massal, untuk menyelesaikan pertikaian. c. Hadis dan tradisi keislaman merupakan sumber yang kaya untuk nilainilai bina-damai dan jika ditetapkan dalam kehidupan sehari-hari, ia akan mengarah pada nirkekerasan dan perdamaian.
140
Dari hal tersebut diatas, komunikasi nirkekerasan dengan tiga modelnya self emphaty, receiving emphatically dan expressing honestly dengan asumsinya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan yang sama untuk perdamaian adalah salah satu bentuk yang efektif untuk membangun bina-damai dalam kehidupan bersama antarsesama manusia dengan perbedaan yang begitu beragam. Islam ternyata juga mengajarkan untuk hidup berdampingan dalam perdamaian. Empati, empatik dan kejujuran menjadi dasar utama dalam melakukan komunikasi nirkekerasan untuk mengahasilkan sebuah kebutuhan yaitu kebutuhan untuk hidup harmoni. Film yang menjadi objek penelitian penulis adalah film yang sarat akan pesan nirkekerasan dengan mengedepankan komunikasi nirkekerasan. Membangun perdamaian di tengah-tengah konflik negara yang tak kunjung berkesudahan adalah menjadi kebutuhan bagi setiap manusia yang hidup dalam wilyah konflik. Film ini menyuguhkan apa yang oleh penulis paparkan diatas sebagai kerangka teoritis. 2. Peran Perempuan dalam Pembangunan Perdamaian Anggapan bahwa perempuan adalah sosok yang irrasional, lemah mempunyai dampak pada anggapan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Perempuan juga sering disisihkan dalam sisi ekonomi, pendidikan dan kerja-kerja wilayah publik lainnya. Sebaliknya, persepsi laki-laki sebagai pribadi yang kuat, jantan, penanggungjawab ekonomi keluarga, rasional. Persepsi ini menempatkan laki-laki mudah untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Persepsi ini didukung oleh tafsir agama-agama.
141
Kondisi tersebut diatas, adalah kondisi yang tercipta akibat ketimpangan gender. Ketimpangan gender adalah ketidaksetaraan peran antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh konstruksi sosial. Bentukbentuk ketimpangan gender tersebut adalah sebagai berikut: 86 a. Gender dan marginalisasi perempuan Marginalisasi
perempuan
adalah
proses
penyisihan
yang
mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi bagi perempuan. Ada beberapa mekanisme proses marginalisasi perempuan, bisa melalui kebijakan pemerintah, keyakinan, tradisi, tafsir agama bahkan asumsi ilmu pengetahuan. b. Gender dan subordinasi Subordinasi adalah proses penomorduaan atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi perempuan yang lebih rendah. Dalam relasi sosial, kaum perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial yang kemudian termasnifestasikan dalam bentuk diskriminasi seperti dalam pekerjaan. c. Gender dan Sterotipe Dalam ketimpangan ini, perempuan mendapatkan pelabelan atau stigma yang buruk. Dalam persepsi sosial perempuan ditempatkan pada kelompok kelas kedua. Dalam kehidupan baik wilayah domestik maupun publik perempuan senantiasa ditempatkan pada posisi level kedua karena dianggap tidak memiliki kemampuan.
86
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Yogyakarta : Fajar Pustaka, 2006), h.26-31
142
d. Gender dan kekerasan Violence (kekerasan) adalah satu serangan fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Dalam hampir semua kelompok masyrakat terdapat pembedaan tugas dan peran antara kaum laki-laki dan perempuan yang kadang-kadang mengebiri dan menghambat potensi dasar baik lakilaki maupun perempuan yang berujung pada tindak kekerasan pada jenis kelamin tertentu. Praktek kekerasan tersebut lahir akibat adanya konstruksi gender dan biasanya perempuan yang paling banyak menerima akibat dari prkaterk tersebut e. Gender dan Beban Ganda Anggapan bahwa perempuan mempunyai sifat memelihara, rajin serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, berakibat pada semua pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan. Semua beban kerja rumah tangga menjadi tugas perempuan meskipun perempuan yang juga memiliki pekerjaan di luar ruang lingkup domestik. Doble burden atau beban ganda paling banyak adalah menimpa perempuan. Ketimpangan-ketimpangan gender yang kerap menimpa perempuan tersebut diatas, masih nampak dalam film Where Do We Go Now. Sebagaimana
dalam
analisis,
penulis
menjelaskan
bagaimana
peran
perempuan dalam melakukan strategi-strategi perdamaian. Hal ini terlihat dalam beberapa adegan, seperti tugas domestik perempuan dalam mengurus anak, menyiapkan makanan sementara laki-laki berkumpul dan bermain kartu, adalah salah satu contoh dari terlihat dan nampaknya ketimpangan antara lakilaki dan perempuan.
143
Di luar daripada itu, Nadine Labaki ingin menunjukkan juga, bahwa perempuan ternyata juga memiliki peran yang sangat tinggi dalam membangun proses perdamaian. Strategi-strategi yang dilakukan yang mengedepankan komunikasi nirkekerasan dengan menggunakan model komunikasi empati, empatik dan pengungkapan kejujuran, digunakan oleh para perempuan, berbanding terbalik dengan para laki-laki yang tidak mampu dengan baik mengelola emosi sehingga potensi konflik datang dari mereka. Resolusi konflik dibangun dengan baik oleh para perempuan. Persepsi masyarakat bahwa perempuan adalah mahkuk irrasional, dalam film ini persepsi tersebut diputarbalik. Perempuan menggunakan rasio yang baik dan mengatur strategi demi membangun perdamaian sebagai tujuan mereka dari hidup harmoni. Semestinya, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki tugas dan tanggungjawab yang sama di hadapan Tuhan. Memliki tugas untuk saling tolong menolong, saling mengasihi, saling meringankan beban satu sama lain, Sebagaiamna firman Allah SWT dalam QS at-Taubah 71.
“dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian emreka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma‟ruf. Mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 71)
BAB V PENUTUP
A. Simpulan. Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa tanda-tanda yang terdapat pada adegan-adegan film yang diteliti oleh penulis menunjukkan bahwa film tersebut sarat akan pesan dialog antaragama dengan peran perempuan dalam membangun perdamaian. Tanda yang ada pada film sekaligus maknanya tergambar jelas pada film. Dapat dilihat dari setiap hasil analisis pada tiap scene
bahwa
muncul
pesan
dialog
antaragma
dengan
komunikasi
nirkekerasan. Dari hasil analisa menggunakan pemaknaan denotasi-konotasi maka didapat kesimpulan bahwa film ini mengandung unsur bina-damai anataragama. Dalam menganalisa secara semiotik memudahkan peneliti untuk mengetahui tanda-tanda dibalik adegan-adegan yang ditunjukkan dari film ini. Kemampuan Sutradara dalam menggarap film tidak dipertanyakan lagi. Sutradara dan penulis naskah memiliki
kemampuan, integritas dan daya
imajinasi yang tinggi sehingga dapat menghasilkan film yang berkualitas. Film ini memang terbukti merupakan film yang memiliki banyak makna dan memang tidak mudah dipahami jika ditonton hanya sekali. Diperlukan pengetahuan yang kritis untuk dapat menerima pesan dalam film ini, karena jika tidak dibarengi dengan pola fikir yang kritis pasti film ini dianggap sebagai film yang menyesatkan. Secara keseluruhan film ini tergolong bagus terbukti film ini masuk nominasi Sundance Film Festival 2012 dan memenangkan Toronto Fiolm Festival dan San Seabstian Film Festival.
144
145
Penulis kemudian menyimpulkan penelitian ini dalam dua hal yaitu: pesan dialog antaragama dan peran perempuan dalam film Where Do We Go Now sebagai berikut ini: 1. Pesan Dialog Antaragama a. Pemaknaan Denotasi Makna denotasi terkait pesan dialog antaragama dapat kita temukan di setiap bagian dalam film Where Do We Go Now. Memerlihatkan ketegangan yang terjadi dalam sebuah desa karena tekanan peperangan dari luar desa. Kebersamaan yang telah lama dibangun oleh setiap warga desa dalam perbedaan agama, tampaknya dengan sangat mudah tergoyahkan. Ketegangan yang muncul menjadikan sekecil apapun rangsangan yang diterima, bisa menjadi sangat sensitif untuk memicu pecahnya konflik. Diawali dengan kesalahpahaman dari salah satu kelompok agama, akhirnya saling balas menghina agama masing – masing membuat konflik dalam desa berlarut – larut. Dari apa yang tergambar dalam film, maka langsung dapat kita ketahui pesan dialog antaragama yang ingin disampaikan melalui film ini. Perintah untuk percaya dan bergantung hanya kepada Allah, beribadah kepada
Allah,
sabar;
memaafkan;
jujur,
muammalah
ma‟annas:
huznudzon; saling menghargai; memberi nasihat – nasihat yang baik; saling tolong – menolong; tidak menjelek – jelekkan sesama; menghormati orang tua; bersungguh – sungguh; serta menyelesaikan konflik dengan jalan damai.
146
b. Pemaknaan Konotasi Marshall
Rosernberg
menyebutkan
bahwa
komunikasi
nirkekerasan membutuhkan tiga hal terpenting yaitu self emphaty, receiving ephatically dan expressing honestly. Tiga komponen tersebut disebut empati. Empathy is a respectful understanding of what others are experiencing.87
Marshall
juga
mengatakan
bahwa
komunikasi
nirkekerasan mampu mencegah dan mengatasi konflik. Bersandar pada teori yang dipopulerkan oleh Marshall Rosernberg ini, penulis menelaah pemaknaan konotasi dalam film ini. Terdapat banyak pesan-pesan dialog antaragama menggunakan komunikasi nirkekerasan. Where Do We Go Now sebuah film berlatar desa di pegunungan Lebanon yang terisolir paska perang saudara, bercerita tentang upayaupaya yang terus dibangun oleh komunitas dalam menciptakan perdamaian. Film Where Do We Go Now memberikan semangat baru dalam rangka menghadapi peperangan, yakni menghadapinya dengan jalan tanpa kekerasan. Perang yang muncul akibat kepentingan satu golongan dan agama menjadi alat untuk terus melancarkan peperangan. Padahal, Allah telah memberikan peringatan keras bahwa saling membangga – banggakan dan bersiteru atas nama golongan atau yang kita sebut dengan sikap etnosentrisme, adalah bukan termasuk hamba-Nya. Maka, tidak ada hak bagi kita sebagai hamba yang selalu terbalut salah untuk melakukan kekerasan kepada sesama manusia.
87
Rosenberg, Marshall , Nonviolent Communication: A Language of Life. (Encinitas: Puddledancer Press, 2003), h.109
147
Nilai-nilai budaya dan agama merupakan sarana sangat penting untuk mengerahkan massa dalam gerakan-gerakan sosial politik. Tak terkecuali nilai-nilai budaya dan agama terkait nirkekerasan dan binadamai dalam Islam. Intifada Palestina menggambarkan bagaimana simbol, ritual dan keyakinan keagamaan menggamabrkan dalam memajukan strategi-strategi nirkekerasan dalam konteks pembebasan nasioal yang sekuler. Gerakan Pashtun menggambarkan bagaimana gerakan keagamaan Islam dapat menggunakan strategi nirkekerasan secara ketat, Intifada memberikan bukti kuat terkait membangun nilai-nilai agama dan budaya Islam dalam memajukan gerakan politik nirkekerasan. 88 Strategi serupa yang dipakai dalam gerakan Intifada muncul dengan sangat kental dalam setiap adegan film ini. Hidup dalam ketegangan akibat perang saudara yang tak berkesudahan membuat masyarakat tak mampu hidup tenang. Konflik bisa kapan saja pecah, dipicu dengan satu kesalahan kecil saja perang bisa pecah. Mengelola perbedaan memang tidak mudah. Bina-damai dalam perbedaan terus menerus ingin diperlihatkan dalam pesan film ini. Pesan dialog antaragama dengan peran perempuan dalam mewujudkan kedamaian nyata tampil dalam setiap adegan. Pluralitas agama dan umat beragama adalah kenyataan. Sebelum Islam datang, di tanah Arab sudah muncul berbagai jenis agama seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Zoroaster dan Shabi‟ah. Al-Qur‟an memliki pandangan sendiri dalam menyikapi pluralitas umat beragama tersebut. 88
Abu-Nimer, Mohammed, Nirkekerasan Dan Bina-damai Dalam Islam; Teori dan Praktik. Edisi Bahasa Indonesia (Jakarta : Pustaka Alvabet 2010), h. 181
148 Terhadap Ahli Kitab (meliputi Yahudi, Nasrani, Majusi dan Shabia‟ah), umat Islam diperintahkan untuk mencari titik temu (kalimat us sawa‟). Kalau terjadi perselisihan antara umat beragama lain, umat Islam dianjurkan untuk melakukan dialog (wa jadilhum billati hiya ahsan).89. Manusia yang penuh dengan kealpaan sangat mudah terpengaruh, dan mengambil keputusan tanpa perhitungan matang karena emosi kemarahan yang tak dapat dikendalikan. Karena, tidak bisa mengolah emosi, permusuhan akan terjadi dan mengakibatkan pecahnya konflik. Padahal, konflik dan permusuhan akan menimbulkan dampak buruk. Pada umumnya, yang banyak menjadi korban dari konflik adalah anak – anak dan perempuan. Maka secara tegas Allah Swt melarang hamba-Nya saling bermusuhan dalam Q.S. An-Nahl: 90
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Menjadi semakin parah, ketika konflik yang mengorbankan banyak hal dengan sangat lancang mengatasnamakan kesucian agama untuk melegalkan sebuah kejahatan kemanusiaan. Padahal dengan sangat jelas Islam sangat menghargai hak setiap manusia seperti yang termaktub dalam konsep al- kulliyah al- khamsah yakni lima prinsip universal yang meliputi: 89
Moqsith-Ghazali, Abdul, Argumen Pluralisme Agama ; Membangun Toleransi Berbasis al-Qur‟an. (Jakarta ; KataKita 2009), hal. 391.
149
1) Menjaga kebebasan beragama (al-hifdz al-din) 2) Memelihara kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) 3) Menjamin kelangsungan keturunan (hifdz al-nasl) 4) Melindungi kepemilikan harta benda (hifdz al-mal) 5) Menjamin
kreativitas
berpikir,
kebebasan
berekspresi,
dan
mengeluarkan pendapat (hifdz al-„aql)90 Kemudian dalam khutbah Rasul ketika haji wada‟ (perpisahan), pesan utama yang ingin disampaikan beliau adalah tentang tiga hal yang saat ini kita kenal dengan hak asasi manusia. Yakni keharusan menjaga dan menghormati rangkaian hak asasi manusia yang dengan bahasa Rasul dikatakan “Damm-an, amawl, dan ar-radl” (darah atau kehidupan, harta, dan kehormatan). (H.R. Bukhori)91 Maka sangat tidak logis dan mengada–ada jika dikatakan peperangan yang mengedepankan amarah dan kebencian didukung oleh agama. Karena ternyata agama adalah ramah kepada pemeluknya dan mengajarkan untuk menghargai hak yang diberikan oleh Allah kepada manusia. 2. Pesan Peran Perempuan Perempuan dalam Film Where Do We Go Now Dalam analisis yang dilakukan peneliti untuk memaknai pesan mengenai peran perempuan dalam film Where Do We Go Now? menggunakan metode semiotik Roland Barthes. Dengan metode tersebut, peneliti dapat memaknai pesan peran perempuan melalui makna denotasi dan konotasi.
90
Jacky Manuputty Dkk, Carita Orang Basudara : Kisah – Kisah Perdamaian dari Maluku, (Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku, 2014), h.201. 91 Nurcholish Madjid, Pesan – pesan takwa Nurcholish Madjid : Kumpulan Khutbah Paramadina, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2005), cet. Ke-IV, h. 160 - 161
150
Setelah melakukan analisis, peneliti menemukan ada 10 scene dalam film yang menunjukkan tentang peran perempuan untuk
mencegah konflik
antaragama di desa. Dalam masing – masing scene tersebut dianalisis maknanya dengan denotasi dan konotasi. a. Pemaknaan Denotasi Temuan makna denotasi tentang peran perempuan dalam sepuluh scene film Where Do We Go Now? untuk mencegah konflik adalah bahwa didasari oleh penderitaan yang dirasakan para perempuan desa dalam konflik antaragama. Menjadikan mereka bersatu untuk bisa mencegah konflik tersebut terjadi di desa mereka. Maka, para perempuan ini harus mencari cara yang tepat sehingga kekerasan dalam sebuah konflik tidak akan terjadi. Di tengah ancaman konflik yang semakin mendesak, para perempuan desa dituntut untuk bisa keluar dari cara – cara kekerasan yang selalu dilakukan para laki – laki. Maka, perempuan desa ini ikut ambil bagian dalam masyarakat untuk menciptakan damai. Cara – cara yang mereka lakukan antara lain selalu membangun dialog antaragama yang dilakukan dengan melakukan kegiatan bersama, saling membantu, atau sekedar berkumpul mengobrol bersama. Selain itu juga dengan memutus seluruh saluran informasi yang masuk ke desa, agar berita tentang konflik yang terjadi tidak memancing emosi para laki – laki. Kemudian, melakukan penyelidikan atas kekacauan yang terjadi di desa mereka. Setelah menemukan penyebabnya, mereka mecari solusi yang jauh dari tindak kekerasan. Yakni berpura – pura menjadi santo yang bisa berkomunikasi dengan perawan suci, agar pesan damai dari para
151 perempuan ini dipertimbangkan oleh para laki – laki, karena beranggapan ini adalah pesan langsung dari Bunda Maria. Selain itu, para perempuan desa juga bersama – sama mengumpulkan dana untuk mengundang artis – artis cantik, guna mengalihkan perhatian warga desa khususnya para laki – laki dari konflik. Mereka juga mencari informasi tentang strategi dan rencana yang dibuat oleh para laki – laki desa dari masing – masing kelompok agama, dengan menjadikan salah satu artis sebagai mata – mata. Ketika konflik sepertinya sudah semakin mengancam, akhirnya para perempuan desa ini bekerjasama dengan pemuka agama untuk menyusun strategi. Dengan mengelabuhi para laki – laki desa mereka mengambil kesempatan untuk menghilangkan senjata yang akan digunakan untuk berperang. Dan akhirnya para perempuan desa memiliki andil besar dalam menjalankan bermacam cara pencegahan konflik tanpa kekerasan. b. Pemaknaan Konotasi Temuan makna konotasi tentang peran perempuan dalam sepuluh Scene film Where Do We Go Now? untuk mencegah konflik adalah bahwa perempuan masih mengalami subordinasi dari hegemoni maskulin di lingkungannya. Seperti pelbagai paradigma cultural studies yang ada bawa perempuan bagaimanapun berada di luar budaya baik yang bersifat sentral maupun bersifat absen.92 Dengan demikian, sangat sulit bagi perempuan untuk bisa bergerak dengan bebas di luar dunia domestik. Membutuhkan keberanian untuk bisa melawan arus konstruksi sosial budaya yang telah sangat lama diberikan kepada perempuan. Dalam kaitannya dengan
92
Sue Thornham, Teori Feminis dan Cutural Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 88
152
membangun bina damai dalam sebuah masyarakat, para perempuan harus bisa mengeluarkan diri dari sistem – sistem patriarkhi yang maskulin. Yakni bukan dengan menganggap rendah feminitas yang dimilikinya, namun justru harus memaksimalkannya dengan menjauhkan dari cara – cara kekerasan. Untuk bisa melakukan hal tersebut awal mula yang harus dilakukan oleh perempuan adalah dengan bisa berperan diranah publik. Meski dengan tidak menafikkan feminitas mereka, justru mereka harus memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin sehingga dampak positifnya bisa dirasakan secara luas. Termasuk juga pada bagian paling privat dari dirinya. Perempuan harus sadar bahwa mereka memiliki otoritas penuh atas tubuhnya, dan tidak boleh berada di bawah kuasa laki – laki. Dengan demikian perempuan dapat menawarkan suatu budaya yang lebih baik, lembut, penuh kepedulian yang terkandung secara inheren di dalam diri perempuan.93
B. Saran 1. Untuk para sineas film diharapkan mampu membuat karya yang di dalamnya sarat akan nilai–nilai. Sehingga akan menghasilkan sebuah film yang bukan hanya memiliki makna hiburan tetapi juga mendidik dan mengandung pesan moral yang baik. Seperti film Where do We Go Now yang berhasil mengemas nilai–nilai dialog antaragama dan peran perempuan dalam membangun perdamian, bukan hanya tentang semangat toleransi namun juga banyak pesan Islam lain dengan sangat apik dan 93
Carol Giligan, In a Different Voice, Harvard University Press, 1982 dalam Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati, (Jakarta: PT KompasMedia Nusantara, 2006), h. 205.
153
tidak terkesan memaksa. Sehingga penonton dapat menikmati setiap adegan dari film dan menangkap pesan yang ingin disampaikan. 2. Untuk para penonton, diharap dapat memaknai sebuah film dengan analsisis yang kritis. Bukan hanya pemaknaan di permukaan sesuai apa yang terlihat di layar, namun juga mengaitkannya dengan nilai–nilai lain sesuai konteks yang berlaku. Sehingga makna yang akan didapat dari sebuah film adalah makna yang luas dan komperhensif. 3. Untuk para mahasiswa yang tertarik melakukan penelitian mengenai semiotika film, diharap mampu memahami konsep, teori dan pisau analisis yang dipakai saat melakukan penelitian, sehingga penelitian yang dilakukan akan menghasilkan analisis yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Nimer, Mohammed. 2010. Nirkekerasan dan Bina Damai Dalam Islam, Teori dan Praktik. Jakarta: Pustaka Alvabet. Agus, Bustanuddin. AL- Islam cet. Ke-1, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1993. Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam, Jakarta: Rajawali, 1996. Arivia, Gadis. Filasafat Berprespektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003. Arivia,Gadis. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006. Birowo, M. Antonius. Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Gitanyali. 2004. Bride, Sean Mac. Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa Depan, Aneka Suara Satu Dunia, Jakarta: PN Balai Pustaka Unesco, 1983. Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial, Jakarta: Prenada Media Grup. 2009. Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007. Effendi, Djohan. 2009. Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi. Editor Elza Peldi Taher. Jakarta: ICRP dan Kompas. Effendy, Onong Uchana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, cet. Ke-3 Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003. Ghazali, Abd. Moqsith. 2009. Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur‟an. Depok: KataKita. Hasyim, Syafiq. 2010. Bebas Dari Patriarkhisme Islam. Depok: KataKita. Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet.23a Kusnawan, Aep. et.al, Komunikasi Penyiaran Islam, Bandung: Benang Merah Press, 2004. Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Perjanjian Baru, Markus 12:29-30
154
155
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Perjanjian Lama, Keluaran 6:12 Liliwery, Alo. 2003. Dasar – dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Madjid, Nurcholish. Pesan – Pesan Takwa Nurcholish Madjid: Kumpulan Khutbah di Paramadina, Jakarta: Paramadina, 2005 Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, Edisi 4 November 1996. Manuputty, Jacky Dkk, Carita Orang Basudara : Kisah – Kisah Perdamaian dari Maluku, Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku, 2014. Manuputty, Jacky Dkk. 2014. Carita Orang Basudara : Kisah – Kisah Perdamaian dari Maluku. Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku. Martine, Janne. 2010. Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, cet. 1, Yogyakarta: Jalasutra. Moeloeng, Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. Ke 11, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mufidah Ch. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing, 2003. Mulyana, Deddy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, cet. Ke – 5, Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurcholish, Ahmad. 2011. 11 Tahun ICRP Melawan Kekerasan Atas Nama Agama. Jakarta: ICRP. Onong Uchjana Effendy. 1989. Kamus Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Pranajaya, Adi. Film dan Masyarakat; Sebuah Pengantar, Jakarta: Yayasan Pusat Perfilman H. Usman Ismail, 1993. Rahman, Chaidir. Festifal Film Indonesia, Medan: Badan Pelaksana FFI, 1983. Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender : Rekonstruksi Teologis, Yuridis, dan Sosiologis, Purwokerto, Pusat Study Gender bekerjasama dengan Jakarta: Fajar Pustaka, 2006. Ridwan. 2006. Kekerasan Berbasis Gender, Yogyakarta : Fajar Pustaka
156
Rosenberg, Marshall. 2003. Nonviolent Communication: A Language of Life. (Encinitas: Puddledancer Press. Sarah Gambel. 2010. Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, Yogjakarta: Jalasutra. Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sue, Thhornham. 2010. Teori Feminis dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Sumandiria, Haris. 2006. Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulis dan Jurnalistik cet. 1, Bandung: SimbiosaRekatama Media. Sundari Husein dalam Panuti dan Aart Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Van Zoest, (Ed). 1991. Serba Serbi
Synnot, Anthony. 2003. Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra. Syukir, Asmuni. Dasar - dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983. Trianto, Teguh. 2013. Film Sebagai Media Belajar. Yogyakarta: Graha Ilmu. West, Richard dkk. 2008. Pengantar Teori Komunikasi, Analisis dan Aplikasi, Jakarta: Salemba Humanika. William L. Rievers-Jay W. Jensen, Media Massa dan Masyarakat Modern, Jakarta: Kencana, 2004. Zoest, Aart Van. 1991. Interpretasi dan Semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida Sundari Husein dalam Panuti dan Aart Van Zoest, (Ed) Serba Serbi Semiotika, Jakarta: Gramedia. Daftar pustaka lain http://www.tributehttp://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf http://www.nytimes.com/2012/05/11/movies/where-do-we-go-now-from-nadinelabaki.html?_r=0 .ca/movies/where-do-we-go-now/28479/ http://www.baynvc.org/assumptions_and_intentions.php http://id.wikipedia.org/wiki/Lebanon#Demografi
Anne-Dominique Toussaint Presents
WHERE DO WE GO NOW? photos © Rudy Bou Chebel
(ET MAINTENANT ON VA OÙ ?)
A film by NADINE LABAKI
Run time: 100 mins
Paris Office 2, rue Lamennais 75008 Paris Tel: +33 1 71 72 33 05
International Sales:
www.patheinternational.com -
[email protected]
London Office 6 Ramillies Street London W1F 7TY UK Tel: +44 207 462 4429
International Press: Premier PR Ginger Corbet -
[email protected] - Tel: +44 7802 498 549 Phil Cairns -
[email protected] - Tel: +44 7912 578 883 Stills and pressbook can be downloaded from www.pathedistribution.com / espace presse
Synopsis On the edge of a cratered road, a cortège-like procession of women solemnly makes its way towards the village cemetery. Takla, Amale, Yvonne, Afaf and Saydeh stoically brave the oppressive midday heat, clutching photographic effigies of their beloved menfolk, lost to a futile, protracted and distant war. Some of the women are veiled, others bear wooden crosses, but all are clad in black and united by a sense of shared grief. As they arrive at the cemetery gates, the procession divides into two congregations; one Muslim, the other Christian. Set against the backdrop of a war-torn country, WHERE DO WE GO NOW? tells the heart-warming tale of a group of women’s determination to protect their isolated, mine-encircled community from the pervasive and divisive outside forces that threaten to destroy it from within. United by a common cause, the women’s unwavering friendship transcends, against all the odds, the religious fault lines which crisscross their society and they hatch some extraordinarily inventive and often comical plans, in order to distract the village’s menfolk and defuse any sign of inter-religious tension. A series of chaotic incidents tests the women’s ingenuity as they manage, with sass, to successfully stave off the fall-out from the distant war. But when events take a tragic turn, just how far will the women go in order to prevent bloodshed and turmoil?
1
Interview NADINE LABAKI _What is the subject of your film? The story takes place in an isolated mountain village, where Muslim and Christian women join forces, employ various ruses and make certain sacrifices to stop their men folk from killing one another. _ Put like that, it sounds like a serious drama, when in fact there are lots of funny moments. Using irony to deal with life’s misfortunes is a survival strategy, a way of finding the strength to bounce back. In any case, for me it’s a necessity. I wanted the film to be as much comedy as drama, so it would inspire as much laughter as emotion.
5
_ Whilst we understand that the country where this war is unfolding is Lebanon, at no point is the name mentioned. Why’s that? For me, this war between two faiths is a universal theme. It could just as easily be happening between Sunnis and Shiites, between black and white, between two parties, two clans, two brothers, two families or two villages. It’s an embodiment of any civil war in which people in the same country kill each other, when they are neighbors and even friends.
_ Were you inspired by a true story? Not at all. The basis for the film is very personal. I found out that I was expecting a baby on 7 May 2008. On that day, Beirut once again slipped into war mode, with road blocks, the airport closed, fires and so on. Violence broke out all around. I was working at the time with Jihad Hojeily, my co-writer and friend, and we were thinking about my next film. In the city there was full-blown street-to-street fighting. People who had lived for years in the same building, who’d grown up together and attended the same schools, were suddenly fighting each other because they didn’t belong to the same religious community. And I said to myself, if I had a son, what would I do to prevent him from picking up a gun and going out into the street? How far would I go to stop my child from going to see what’s happening outside and thinking he had to defend his building, his family or his beliefs? The idea for the film grew out of that.
7
_ So, is it impossible for a Lebanese artist to hope to tackle anything else but war? It’s not a story about war; on the contrary, it’s about how to avoid war. You can’t live in Lebanon without feeling this threat, which ends up coloring what we do and our ways of expression. If you’re vaguely sensitive to what’s going on around you, you can’t avoid it.
_ The notion that peace can be achieved through women – beyond their attachment to a religious community – is that a dream or a conviction? A fantasy, no doubt. War is utter absurdity, an evil that we inflict upon ourselves for nothing, or at least for things that are not worth killing ourselves over. And it was because I became a mother that I felt this absurdity more strongly than before, and that I wanted to deal with a mother’s obsession to protect her children. _ WHERE DO WE GO NOW? and Caramel are both centered around female characters. Would you define yourself as a women’s filmmaker? I’m interested in human nature in general. But perhaps I feel more authentic talking about women because I know their feelings. It’s more of a concern about authenticity than a mission. _ Your two co-writers are men. Is that to stick closer to reality when you write about men? I chose those two male co-writers simply because they are two very sensitive, very gifted and talented people, with whom I get along very well. I think I’ll continue to make films with them; that is, if they want to work with me, of course. 8
_ There is a lot of singing and dancing in the film. Why’s that? That comes from my childhood dreams when I used to watch musical films like GREASE and animated movies like SNOW WHITE and CINDERELLA. The film is not a musical comedy in the strict sense, but since I didn’t want to make a political film, the songs and dancing allow me to inject a mood of fairytale and fable. What’s more, the film starts with a narrator announcing that she’s going to tell a story. A little like one says: “Once upon a time.” Some people may object to the film because the events that occur are perhaps too unlikely for my country. Christians becoming Muslims and vice-versa is absolutely unthinkable. But it’s precisely to have the freedom to recount this situation that I didn’t set the story in Lebanon, and that I wanted a sort of imaginary tale. _ The character you play is in love with a man who belongs to the other religious community. The feelings are reciprocal but they never own up to it, except through a song that each of them sings in their heads. Is that a way for you to show that such a relationship is impossible in reality? Even inside their heads, they only voice it in a very restrained way. Even though we like to think that today all that stuff is behind us, a marriage between two young people from two different communities is still very problematic in Lebanon. As much for the family and wider society as for the couple involved. In the film, it is never stated that it’s forbidden, but the two lovers only dare express themselves through a song.
10
_ As in Caramel, you both act and direct. Is that complicated? The film overall was complicated, not being actress and director at the same time. The main character being the village itself, we had to handle around 100 people all at once, most of whom were not professional actors. _ Why did you use non-professional actors? Because I like playing with reality, putting real people in real situations and letting them create their own reality. I like experimenting with using their mannerisms, their voices, their way of being. The casting process was intensive. For weeks, a dozen people scoured the streets. But I also chose several professional actors like, for example, the village mayor. His wife in the film is in real life the wife of a man from one of the villages where we shot. During location scouting, she came up just to say “Welcome to our village” and I persuaded her to take a role. She’s fantastic!
11
_ Is asking non-professionals to dance a high-risk gamble? And what’s more, they are women of very different ages and profiles. We had to do a lot of rehearsal, but in the end, it’s not only a fabulous but an unforgettable moment. We shot that scene on the first day, starting the shoot off on a very impressive note. Seeing these women in that landscape with that magnificent light gives you goose bumps.
_ Did you use only natural sets? We filmed in three different villages: Taybeh, Douma and Mechmech. The first, located in the Beqaa valley, is really a Christian and Muslim village in which the mosque is next to the church, just like in the narrative. For the sets, again I wanted to stick as close to reality as possible. Together with Cynthia Zahar, we worked a lot on the materials; the texture of the walls, wood, fabrics. You had to feel the passage of time, the poverty, the isolation. The village in the film has endured war, and found itself cut off from the outside world, with neither television nor telephone, connected to the rest of the country by a bridge dotted with landmines and shattered by shelling.
_ The choice of clothing must have been a complicated exercise since you had to portray each community without caricaturing it. Once again with the aim of authenticity, my sister Caroline, who is the costume designer, did a huge amount of research. It was all the more difficult because I didn’t want to set the story in a precise period. And we had to bring a whole village to life. The walls of the office in which we were preparing the film were plastered with photos of actors wearing their costumes, divided up into color palettes, according to role, to categories, age, order of importance in the film, and so on. It was a real puzzle. A few days before the start of the shoot, there wasn’t a single square inch of that wall uncovered.
13
_ Khaled Mouzanar did the music for this film, as he did for CARAMEL. Did you have a clear idea of what you wanted? Khaled and I are married, he’s the father of my child. I like his sensitivity and I’m continually surprised by his ability to visualize the images of the film and to translate them into music just from reading the script – sometimes even before the ideas or the scenes are even written down. During the writing period, he picks up on scraps of the story or certain scenes during discussions with my cowriters and sometimes, when I’m in my son’s bedroom reading him a story or else in the kitchen, I’m surprised to overhear a tune that Khaled is playing on the piano which goes perfectly with one of the scenes I’ve imagined. So that’s how the film’s music gradually takes
shape. We never sit down and say: “Now let’s discuss the music.” It comes naturally. In the case of this film in particular, that was a good thing because the songs needed to be ready before the start of the shoot. The song lyrics are by Tania Saleh, a very good friend and an extremely gifted artist.
_ Between CARAMEL and WHERE DO WE GO NOW?, has Lebanese society changed? The importance of community and family are such that, even if we’d like to think that people are more emancipated and free in the Arab world, there’s still this sort of fear of “what are they going to think?” The specter of what people are going to say. In Lebanon, the facades of the buildings are often very beautiful with balconies brimming with pretty flowers. But on the other side, the rear courtyard, it’s a garbage tip. The same goes for the people: They pretend to be free and that everything is fine, but in fact, there are many taboos that have yet to be challenged. The reason for this is that we haven’t yet found our own identity. You can see it, for example, in our language. A whole section of our society, educated and cultivated people, no longer speaks Arabic but English or French. Yet it is those people who could speak it the best. 14
_ Is that why your film is made in Arabic? Of course. It’s very tempting to go and make films abroad, and I had some offers to do this. But I turned them down. I’m afraid I wouldn’t be so authentic in a culture other than my own. What’s more, I want to bring life back to this old language which, when it is well spoken, is very beautiful. I’m grateful to my producer Anne-Dominique Toussaint for not having imposed anything on me in this sense. She’s very instinctive and respects what the director wants to say and why they want to say it, without ever trying to exert any pressure, whether commercial or artistic. _ Where does the title of the film come from? From the last line in the film. Just when you think they have achieved something, resolved a situation and found a solution, suddenly, it all seems to fall apart again. The women in the village came up with the ultimate stratagem to make the men understand that war is absurd. They succeeded; but what’s going to happen next? “Where do we go now?” I don’t have the answer to that.
16
NADINE LABAKI Biography Born in Lebanon, Nadine Labaki passed her baccalaureate in Beirut in 1993. She obtained a degree in audiovisual studies at Saint Joseph University in Beirut (IESAV), directing her graduation film, 11 Rue Pasteur, in 1997, which won the Best Short Film Award at the Biennale of Arab Cinema at the Institut du Monde Arabe (Paris) in 1998. She then directed adverts and many music videos for celebrated Middle Eastern singers, for which she won several awards in 2002 and 2003. In 2004, she took part in the Festival de Cannes Residence to finish writing CARAMEL, her first feature film which she shot in 2006. Caramel screened in Directors’ Fortnight in Cannes in 2007 and was a commercial success in France in the summer of that year. The film sold worldwide. WHERE DO WE GO NOW? is her second feature film. 19
ANNE-DOMINIQUE TOUSSAINT LES FILMS DES TOURNELLES LES FILMS DE BEYROUTH PRODUCTIONS
23
2010 WHERE DO WE GO NOW? by Nadine Labaki Un Certain Regard - Festival de Cannes 2011 2009 THE HEDGEHOG by Mona ACHACHE (freely inspired by the novel by Muriel Barbery - Editions Gallimard) THE FRENCH KISSERS by Riad SATTOUF Directors’ Fortnight, César 2010 for Best First Film Festival de Cannes 2009 2007 CARAMEL by Nadine LABAKI Directors’ Fortnight - Festival de Cannes 2007 I’M WAITING FOR SOMEONE by Jérôme BONNELL 2005 THE MOUSTACHE by Emmanuel CARRERE` Directors’ Fortnight - Festival de Cannes 2005 2003 RETURN TO KOTELNITCH by Emmanuel CARRERE 60th Venice Film Festival 2003 COST OF LIVING by Philippe LE GUAY 2001 SLOGANS by Gjergj XHUVANI Directors’ Fortnight, Youth Award, Best Foreign Film Festival de Cannes 2001
2000 THE BEATING OF BUTTERFLY WINGS by Laurent FIRODE Grand Prix - Festival de Namur 1999 MY FATHER, MY MOTHER, MY BROTHERS & MY SISTERS by Charlotte de TURCKHEIM 1998 THE SKATING RINK by Jean-Philippe TOUSSAINT 1994 THE CHESS GAME by Yves HANCHAR 1992 LA SEVILLANE by Jean-Philippe TOUSSAINT 1989 MONSIEUR by Jean-Philippe TOUSSAINT
COPRODUCTIONS 2010 THE SOLITUDE OF PRIME NUMBERS by Saverio COSTANZO (coproduced with Offside Films and Bavaria Pictures) 67th Venice Film Festival 2010 2006 ODETTE TOULEMONDE by Eric-Emmanuel SCHMITT (coproduced with Pathé and Bel Ombre Films) 2004 GESPENSTER (GHOSTS) by Christian PETZOLD (coproduced with Schramm Films) Official Selection – Berlin Film Festival 2005 2003 WORK HARD, PLAY HARD by Jean-Marc MOUTOUT (coproduced with TS Productions)
2002 RESPIRO by Emanuele CRIALESE (coproduced with Fandango) Grand Prix - International Critics Week Festival de Cannes 2002 1998 TOREROS by Eric BARBIER (coproduced with Vertigo Production) 1993 MINA TANNENBAUM by Martine DUGOWSON (coproduced with IMA Films) 24
CAST
27
TAKLA AFAF AMALE YVONNE SAYDEH RABIH ROUKOZ NASSIM RITA HAMMOUDI ISSAM AIDA FATMEH ABOU AHMAD GISELE MAYOR PRiest CHEIKH BUS driver KATIA SVETLANA ANNA TATIANA OLGA BOUTROS BOUTROS wife ABOU ALI YOUSSEF SASSINE
Claude BAZ MOUSSAWBAA Layla HAKIM Nadine LABAKI Yvonne MAALOUF Antoinette NOUFAILY Julien FARHAT Ali HAIDAR Kevin ABBOUD Petra SAGHBINI Mostafa AL SAKKA Sasseen KAWZALLY Caroline LABAKI Anjo RIHANE Mohammad AKIL Gisèle SMEDEN Khalil BOU KHALIL Samir AWAD Ziad ABOU ABSI Adel KARAM Oxana CHIHANE Anneta BOUSALEH Olga YEROFYEYEVA Yulia MAROUN Oksana BELOGLAZOVA Fouad YAMMINE Cendrella YAMMINE Sami KHORJIEH Georges KHOURY Mounzer BAALBAKI
CREW
Director Nadine Labaki Producer Anne-Dominique Toussaint
Screenplay Nadine Labaki, Jihad Hojeily, Rodney Al Haddad With the collaboration of Thomas Bidegain Music Khaled Mouzanar Cinematographer Christophe Offenstein Editor Véronique Lange Set design Cynthia Zahar Costumes Caroline Labaki Sound Michel Casang Gwennolé Le Borgne Dominique Gaborieau First assistant director Thierry Guérinel Production manager Pascal Bonnet Executive producers Lebanon Lara Chekerdjian, Abla Khoury (Ginger Beirut Productions) Coproducers Romain Le Grand, Hesham Abdelkhalek, Tarak Ben Ammar Coproduction France-Liban-Italie-Egypte Les Films des Tournelles, Pathé Les Films de Beyrouth, United Artistic Group, Chaocorp, France 2 Cinéma, Prima TV With the participation of Canal +, Cinécinéma, France Télévisions With the support of Ministry of Culture, Lebanon Fonds Francophone de Production Audiovisuelle du Sud
28
In association with Distribution Middle East International sales
The Doha Film Institute United Artistic Group Pathé International