Gangguan Belajar pada Anak Oleh : Safriani Yovita
Masalah gangguan belajar pada anak-anak kerap kali ditemukan. Masalah ini timbul bisa di sekolah maupun di luar sekolah. Anak yang mengalami gangguan belajar biasanya akan mengalami hambatan-hambatan di dalam kegiatan belajarnya seperti pemusatan konsentrasi, gangguan daya ingat, gangguan membaca, gangguan menulis, berhitung dan lain-lain. Dampak yang dialami oleh anak yang mengalami gangguan belajar bukan hanya pada tumbuh kembangnya, tetapi juga berdampak pada proses interaksi anak dengan dunia sekitarnya bahkan dengan keluarganya. Setelah mengamati penelitian mengenai kesulitan belajar, ahli terkeuka Linda Siegel (2003) baru-baru ini menyimpulkan bahwa diagnosis kesulitan belajar (learning disability) diberikan hanya ketika anak memiliki IQ diatas tingkat retardasi mental, mengalami kesulitan yang signifikan dalam bidang yang berkaitan dengan sekolah (terutama membaca atau matematika); dan tidak menunjukkan gangguan emosional yang serius, mengalami kesulitan karena menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa kedua, mempunyai kesulitan sensoris, atau mempunyai kekurangan neurologis tertentu. Survey nasional terbaru menemukan bahwa 8 persen dari anak-anak AS mengalami kesulitan belajar (Bloom & Dey, 2006). Disinyalir, jumlah anak perempuan dengan kesulitan belajar jumlahnya kurang lebih tiga kalinya anak laki-laki, (Departemen Pendidikan AS, 1996). Penjelasan untuk perbedaan gender ini di antaranya adalah kerentanan biologis yang lebih besar di antara anak laki-laki dan bias penunjukkan (referral bias, yaitu anak laki-laki cenderung
ditunjuk oleh guru untuk konseling karena perilaku mereka) (Liederman, Kantrowitz, & Flannery, 2005). Sebagian besar kesulitan belajar itu berlangsung seumur hidup. Dibandingkan dengan anak-anak yang tidak memiliki kesulitan belajar, anak-anak yang memiliki kesulitan belajar kemungkinan besar memiliki prestasi akademis yang buruk, angka dikeluarkan dari sekolah (dropout) yang tinggi, serta riwayat pascapendidikan menengah dan perkerjaan yang buruk (Berninger, 2006; Wagner & Blackkorby, 1996). Meskipun demikian, disamping masalah yang mereka jumpai, banyak anak yang memiliki keterbatasan tumbuh dewasa dengan kemampuan menjalani kehidupan normal dan terlibat dalam perkerjaan yang produktif (Mercer & Pullen, 2005; Pueschel, dkk., 1995). Identifikasi Gangguan Belajar pada Anak Mendiagnosis apakah seorang anak mempunyai kesulitan belajar sering kali merupakan tugas yang sulit (Berninger, 2006). Satu prosedur identifikasi mensyaratkan adanya kesenjangan yang signifikan antara prestasi nyata dan prestasi yang diharapkan atas dasar perkiraan tes intelegensi yang dilakukan secara individual. Namun, banyak pendidik meragukan ketepatan pendekatan ini (Francis, dkk., 2005). Strategi lain dalam identifikasi yang dikemukakan akhirakhir ini adalah respons terhadap intervensi, atau respons terhadap perlakuan, yang melibatkan siswa-siswa yang tidak belajar dengan efektif baik dalam merespons atau mengikuti instruksi (Fuchs, dkk., 2003). Namun, sejauh mana pendekatan ini dapat diimplementasikan dengan efektif, masih diperdebatkan sampai sekarang (Kavale, Holdnack, & Mostert, 2005). Identifikasi awal kesulitan belajar biasanya dilakukan oleh guru kelas. Apabila diduga ada kesulitan belajar, guru tersebut memanggil spesialis. Tim antar cabang ilmu pengetahuan yang terdiri atas orang-orang professional disesuaikan untuk membuktikan apakah seorang siswa
mempunyai kesulitan belajar. Evaluasi (intelegensi) psikologis individual dan penilaian pendidikan (seperti tingkat prestasi ini) sangat dibutuhkan (Mercer & Pullen, 2005). Selain itu tes keterampilan visual-motorik, bahasa, dan ingatan dapat digunakan mengidentifikasi kesulitan belajar. Terdapat banyak kelompok-kelompok dari kesulitan belajar diantaranya :
1. Disleksia
Masalah umum yang menandakan seorang anak mengalami kesulitan belajar adalah keterampilan dalam membaca (Moats, 2004). Anak-anak seperti ini mempunyai kesulitan dengan keterampilan fonologis, yang melibatkan kemampuan untuk memahami bagaimana bunyi dan huruf dipadukan untuk membentuk kata-kata. Disleksia (dyslexia) adalah satu kategori yang ditujukan bagi indidvidu-individu yang memiliki kelemaham serius dalam kemampuan mereka untuk membaca dan mengeja (Ranus, 2004; Spafford & Grosser, 2005). 2. Disgrafia
Disgrafia (dysgraphia) adalah kesulitan belajar yang ditandai dengan adanya kesulitan dalam mengungkapkan pemikiran dalam komposisi tulisan (Hammil, 2004; Vellutino, dkk., 2004). Pada umumnya, istilah disgrafia digunakan untuk mendeskripsikan tulisan tangan yang sangat buruk. Anak-anak yang memiliki disgrafia mungkin menulis dengan sangat pelan, hasil tulisan mereka bisa jadi sangat tak terbaca, dan mereka mungkin melakukan banyak kesalahan ejaan karena ketidakmampuan mereka untuk memadukan bunyi dan huruf. 3. Diskalkulia
Diskalkulia (dyscalculia), dikenal juga sebagai perkembangan aritmetika, adalah kesulitan belajar yang melibatkan kesulitan dalam perhitungan matematika. Diskalkulia
diperkirakan menggambarkan 2 sampai 6 persen anak-anak sekolah dasar AS (National Center for Learning Disabilities, 2006). Para peneliti menemukan bahwa anak-anak yang memiliki kesulitan dalam perhitungan matematika sering mempunyai kekurangan neuropsikologis dan kognitif, termasuk prestasi yang buruk dalam mengelola ingatan, persepsi visual, dan kemampuan visual spasial (Kaufmann, 2003; Slaves, 2004). Seorang anak yang mungkin memiliki kesulitan mambaca dan matematika, serta terdapat deficit kognitif yang menjadi ciri khas kedua jenis kesulitan ini, seperti pengolahan ingatan yang buruk (Siegel,2003). Sebuah studi terkini menemukan bahwa diskalkulia merupakan kesulitan belajar yang berlangsung lama atau terus-menerus pada banyak anak; lebih dari separuh anak-anak ini masih mendapatkan nilai yang jelek dalam matematika ketika mereka sampai ke kelas lima (Shalev, Manor, & Gross-Tsur, 2005). Penyebab dan Strategi Intervensi Penyebab kesulitan belajar yang sesungguhnya belum dapat dipastikan. Namun, beberapa kemungkinan penyebab telah ditemukan. Kesulitan belajar cenderung menurun dalam keluarga dengan satu orang tua yang memiliki kesulitan seperti disleksia atau diskalkulia, meskipun transmisi genetika dari kesulitan belajar belum diketahui (McCrory,dkk.,2005; Monuteaux,dkk.,2005; Petrill, dkk.,2006). Baru-baru ini, para peneliti menggunakan teknik penggambaran otak, seperti magnetic resonance imaging (MRI), untuk memperlihatkan bagian tertentu dari otak yang mungkin berhubungan dengan kesulitan belajar (Berninger, 2006; Vinckenbosch, Robichon, & Eliez, 2005). Penelitian ini mengindikasikan bahwa kesulitan belajar kemungkinan besar tidak melibatkan lokasi otak tertentu, tetapi lebih disebabkan oleh masalah-masalah dalam mengintegrasikan informasi dari banyak bagian otak atau kesulitan yang tak kentara
dalam struktur dan fungsi otak. Kemungkinan lain adalah bahwa beberapa kesulitan belajar disebabkan oleh masalah-masalah selama perkembangan sebelum kelahiran atau proses kelahiran. Sejumlah studi menemukan bahwa kesulitan belajar lebih lazim terjadi pada bayi-bayi yang memiliki berat badan yang ringan saat lahir (Litt, dkk.,2005). Banyak intervensi berfokus pada perbaikan kemampuan membaca anak (Berninger,2006; Vukovic & Siegel, 2006). Sebagai contoh, dalam sebuah studi, pelajaran mengenalo fonologis di tingkat taman kanak-kanak mempunyai pengaruh yang positif terhadap perkembangan membaca ketika anak-anak sampai ke kelas satu (Blachman,dkk.,1994). Sayangnya, tidak semua anak yang mempunyai kesulitan belajar yang melibatkan masalah membaca mendapatkan manfaat dari intervensi awal yang sesuai. Sebagian besar anak yang mengalami kesulitan membaca tidak terdiagnosis sampai kelas tiga atau kelas berikutnya sedangkan yang mendapatkan intervensi tidak berhasil menunjukkan perbaikan yang nyata (Lyon, 1996). Namun, pelajaran yang intensif selama satu periode waktu oleh seorang guru yang kompeten dapat membantu banyak anak (Berninger,2006; Bost & Vaughn,2002). Anak-anak yang memiliki kelemahan fonologis yang serius yang mengakibatkan keterampilan pengenalan kata dan dekode yang buruk merespons intervensi dengan lebih lambat daripada anak-anak yang memiliki masalah membaca yang ringan sampai sedang (Torgesen, 1995). Selain itu, keberhasilan dari intervensi membaca yang dirancang dengan baik tergantung pada keterampilan dan pelatihan guru. Baru-baru ini, Virginia Berninger (2006) mengemukakan model baru untuk membantu siswa-siswa yang memiliki kesulitan belajar. Ia berpendapat bahwa sekolah harus lebih memanfaatkan unit sastra setiap harinya ketika pelajaran sastra diajarkan pada saat yang sama di semua kelas dengan tingkat yang sama atau lintas tingkat. Berninger juga berpendapat bahwa untuk
siswa-siswa yang memiliki kesulitan belajar, pelajaran secara langsung biasanya berhasil dengan
lebih
baik
daripada
pendekatan
kostruktivis.
Oleh
karena
itu,
ia
merekomendasikan bahwa selama unit sastra “setidaknya satu kelas atau satu bagian di tingkat sekolah dasar atau menengah pertama” memberikan “pelajaran yang eksplisit yang secara intelektual melibatkan kegiatan membaca dan menulis” yang berfokus pada: a. Kesadaran fonologis, ortografis, dan morfologis. Kesadaran fonologis melibatkan kemampuan untuk mengidentifikasikan bunyi kata-kata dan bagian-bagian kata (seperti suku kata). Kesadaran ortografis adalah kemampuan visual untuk menerima urutan dan pola huruf-huruf yang dicetak secara khusus dalam katakata. Sebagai contoh, siswa harus secara visual membedakan antara b dan d ketika mereka berusaha untuk mengkodekan teks. Kesadaran morfologis membantu siswa memahami arti kata-kata melalui ejaannya. Pendekatan ini muncul karena adanya penelitian pengamatan otak yang menunjukkan bagaimana pelatihan seperti itu dapat menghasilkan perubahan-perubahan penting di otak sehubungan dengan proses-proses yang berkaitan dengan membaca (Richards, dkk., 2006). keterampilan yang meliputi prinsip alphabet (melibatkan
b. Serangkaian
kemampuan untuk mengasosiasikan bunyi dengan huruf dan menggunakan suara ini untuk (membentuk kata-kata); keluarga kata (sekelompok kata yang memiliki bunyi yang sama, seperti farm dan harm); kelancaran membaca lisan dan dalam hati; penulisan huruf-huruf secara otomatis; kelancaran mengarang (jumlah kata yang ditulis dalam satu menit); pencatatan; keterampilan belajar; dan pengerjaan ujian. Berninger menekankan bahwa tidak semua siswa membutuhkan pelajaran yang langsung dan eksplisit dalam bidang-bidang ini, tetapi siswa-siswa yang memiliki
kesulitan
belajar
bahasa,
disleksia,
dan
disgrafia
membutuhkannya.
Ia
juga
menyimpulkan bahwa “salah satu alasan kecenderungan tidak efektifnya pendidikan khusus adalah kurangnya pelatihan yang diberikan kepada guru pendidikan khusus dalam bidang psikologi pengajaran mebaca atau praktik pelajaran yang mencakup semua keterampilan membaca dan menulis…dalam cara yang sesuai dengan tingkat dari K-12” (Berninger,2006). Dari berbagai penjelasan di atas, diharapkan setiap anggota masyarakat, orang tua, peran pemerintah dapat membantu perkembangan setiap anak untuk memperoleh hak-haknya sebagai anak dalam setiap jenjang perkembangan dan pendidikannya.
DAFTAR PUSTAKA Santrock, J.W. 2011. Psikologi Pendidikan Edisi 3 Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika