Edi Cahyono’s Experience: [ http://www.geocities.com/edicahy ]
Studi Indonesia di Rusia: Sebuah Rumah Sejarah yang Alpa Disinggahi Alex. Supartono dan Lisabona Rahman
D
i awal 1930-an, ketika “Indonesia” masih jadi cita-cita sedikit intelektual Indonesia, Alexander Huber telah menerbitkan buku berjudul “Indonesia, Sketsa Sosial-Ekonomi” di Moskow. Dunia akademis Rusia ternyata menyimpan banyak catatan penting seputar sejarah perjalanan Indonesia pada masa-masa awal. Hasil dari hubungan dua bangsa yang penuh warna: dari keberpihakan sampai ketidakpedulian, dari persahabatan abadi sampai permusuhan ideologis. Dunia akademis ternyata adalah pencatat paling teliti sejarah sebuah hubungan politik dua negara.
Dari Pantai Maklai di Papua sampai Semaun di Moskow Perkenalan akademisi Rusia dengan wilayah Indonesia bermula sejak paruh terakhir abad 19, ketika tahun 1876 diterbitkan 5 buku tentang flora yang ada di Kebun Raya Bogor. Dalam buku ini juga disinggung adat, kebiasaan, keseharian hidup masyarakat Sunda dan Jawa. Dari generasi awal sarjana Rusia, antropolog N.N. Miklukho-Maklai (1846-1888), adalah yang paling fenomenal. Ia mendarat di Pantai Utara Papua untuk 4 kali ekspedisi, selama 10 tahun meneliti suku-suku di Papua, dan menghasilkan 5 jilid buku. Ia kemudian menjadi dokter, guru dan kawan bagi masyarakat setempat, sehingga menentang segala bentuk kolonialisasi Barat, baik Jerman maupun Rusia sendiri. Bendabenda yang menggambarkan kehidupan suku-suku di Papua pada saat itu sampai sekarang bisa dilihat di Museum Ketimuran di St. Petersburg. Dan Pantai Utara Papua itupun kemudian lebih dikenal orang dengan sebutan Pantai Maklai. Kontak akademisi Rusia di wilayah Hindia Belanda ini dimungkinkan karena hubungan Kerajaan Belanda dan Kekaisaran Rusia yang cukup dekat pada masa itu. Seorang konsul Kekaisaran -1-
Edi Cahyono’s experiencE
Rusia, yang pertama dan terakhir, ditempatkan di Batavia tahun 1894-1899. Konsul itu adalah Modest M. Bakunin, paman dari tokoh Anarkisme terkenal Mikhail Bakunin. Sebagaimana kebiasaan pejabat pada masa itu, setelah masa tugasnya Bakunin menerbitkan memoar setebal 456 halaman pada tahun 1902 dengan judul Negeri Belanda Tropika: Lima tahun di Pulau Jawa. Buku ini menjadi salah satu tonggak studi Indonesia di Rusia karena di dalamnya terdapat kamus pertama bahasa Rusia-Melayu yang terdiri dari sekitar 500 kata dan ekspresi. Bakunin yang juga terpesona pada sastra Melayu, terutama pantun, memasukkan beberapa contoh pantun dalam bukunya, serta menerjemahkan dan menerbitkan buku lain mengenai pantun. Lewat dia pula Museum Ketimuran (sekarang Institut Kajian Ketimuran Akademi Sains Rusia cabang St. Petersburg) membeli beberapa manuskrip Melayu kuno. Sejauh ini, studi para akademisi Rusia tentang Indonesia masih bergerak pada studi-studi orientalis, seturut semangat jamannya dalam penemuan-penemuan “dunia baru” beserta masyarakatnya. Masalah-masalah sosial dan politis belum menjadi pilihan. Mereka tidak pernah mempermasalahkan kolonialisasi Belanda, atau membahas gerakan-gerakan perlawanan yang mulai muncul sejak awal abad 20. Perlawanan Pangeran Diponegoro dan perlawanan panjang rakyat Aceh yang cukup fenomenal pun tidak menarik perhatian mereka. Mereka “menghormati” hubungan dekat kaisar mereka dengan Ratu Belanda. Sampai terjadinya Revolusi Besar Sosialis Oktober 1917. Revolusi yang melahirkan Uni Republik-Republik Soviet Sosialis ini mengubah perspektif para akademisi tersebut. Mereka tidak lagi hanya melayani kepentingan ekspansi modal kekaisaran, tapi juga turut memikirkan perubahan nasib umat manusia secara keseluruhan, terutama bangsa-bangsa terjajah. Partai Komunis Uni Soviet yang berkuasa menggariskan bahwa semua studi yang dilakukan harus diabdikan pada kelas pekerja dan petani bangsa terjajah dalam kerangka perjuangan rakyat dunia melawan kolonialisme dan imperialisme. Perubahan di atas tidak hanya berpengaruh pada orientasi dan perspektif para akademisi, namun juga menarik keterlibatan langsung pemerintah Uni Soviet dalam pergerakan rakyat Hindia -2-
Edi Cahyono’s experiencE
Belanda melawan kolonialisme. Ketika Partai Komunis Indonesia gagal dalam perlawanannya melawan Belanda di Sumatera dan Jawa tahun 1926-1927, selain digantung dan dibuang ke Digul, ada beberapa pimpinan yang sempat melarikan diri ke Uni Soviet. Di sana mereka ditampung sebagai pelarian politik dan difasilitasi untuk terus mengkampanyekan Indonesia merdeka. Sikap ini sebenarnya adalah kelanjutan dari apa yang dilakukan beberapa tahun sebelumnya, ketika pustaka bahasa asing Uni Soviet menterjemahkan dari bahasa Belanda karya Tan Malaka Indonesia dan Tempatnya di Timur yang Sedang Bangkit dan menerbitkannya pada tahun 1924. Menyusul tahun 1927, diterbitkan karya Darsono (dengan nama samaran Dingli) yang diterjemahkan dari bahasa Perancis, Perjuangan Petani Indonesia. Manowar Musso pada tahun 1931 juga menerbitkan sebuah brosur populer berjudul Indonesia dan kumpulan artikel lain, antara lain tentang pemberontakan revolusioner anak buah kapal Indonesia di atas kapal perang Belanda “Zeven Provincien” tanggal 5 Februari 1933. Sedangkan Semaun, yang tinggal lebih lama di Moskow, tahun 1940 menerbitkan brosur berjudul Indonesia dengan oplah mencapai 50 ribu eksemplar. Sebelum kembali ke Indonesia tahun 1946, Musso bahkan sempat menyusun bahan pelajaran bahasa Indonesia untuk mahasiswa di Uni Soviet. Dan Semaun yang baru pulang setelah bertemu Soekarno tahun 1957, sempat mengajar bahasa Indonesia selama 3 tahun (1945-1947) di Institut Oriental dan Institut Hubungan Luar Negeri Moskow. Ia menyempurnakan tulisan Musso yang kemudian diterbitkan sebagai buku pelajaran bahasa Indonesia pertama untuk mahasiswa Uni Soviet. Awal tahun 1945, Semaun juga memulai siaran bahasa Indonesia di Radio Moskow dan bekerja di sana sebagai editor untuk beberapa tahun, sebelum tugasnya digantikan oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di Moskow. Bersama Musso, ia dicatat sebagai peletak dasar pendirian Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Negara-Negara Asia Afrika Universitas Negara Moskow.
“Indonesia”: Keberpihakan pada Pembebasan Bangsa Terjajah Dengan latar belakang di atas, tidak mengherankan kalau pada tahun 1930, Alexander Huber, sarjana lulusan Moscow College for Oriental Studies, sudah memakai nama Indonesia sebagai judul -3-
Edi Cahyono’s experiencE
bukunya. Ini adalah sebuah terobosan besar dalam dunia akademis Barat. Karena penggunaan nama Indonesia untuk menyebut wilayah jajahan Belanda pada masa itu sangatlah tidak lazim bagi para sarjana Eropa yang mempelajari dunia Timur. Belanda selalu menyebutnya Hindia Belanda, atau kadang Holand Tropika, untuk mengacu pada bagian Kerajaan Belanda yang beriklim tropis. Para akademisi Belanda pun terus berkampanye menolak nama lain yang dapat memberikan identitas baru bagi tanah koloninya ini. Mereka memanfaatkan kedekatan hubungan diplomatik dan kepentingan para pemodal yang menanamkan investasinya di Hindia Belanda, yang biasanya adalah penyandang dana dari berbagai studi dan penelitian para akademisi tersebut. Usaha ini bisa dibilang sukses. Karena sampai paruh pertama abad 20, buku atau karya ilmiah penulis Barat lain tetap memakai nama Hindia Belanda, Hindia Timur, atau Kepulauan Hindia Timur. Pernah seorang sarjana Jerman, Ernst Heinrich Haeckel, menerbitkan hasil penelitiannya dengan judul “Dari Insulinde” pada awal abad 20. Buku ini mendapat kecaman keras dari kalangan akademisi Barat karena judul Insulinde yang dipakainya. Haeckel membela diri dengan mengatakan bahwa judul itu adalah ciptaan penulis Belanda sendiri pada akhir abad 19: Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Nama Indonesia pertama kali disebut oleh Ratu Wilhelmina dalam pidatonya saat berada di Inggris. Seperti dilaporkan Time 7 Desember 1942, Ratu yang sedang melarikan diri serbuan Nazi ini menyebut nama Indonesia dalam pidato resmi kenegaraannya untuk mengucapkan terima kasih atas keikutsertaan “penduduk asli Holand Tropika” dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme di Belanda. Dibutuhkan waktu hampir 1 abad untuk membuat Ratu Belanda mengucapkan kata itu, sejak pertama kali disebut tahun 1850. Kata Indonesia ditemukan oleh dua ilmuwan Inggris J.R. Logan dan G.W. Earl pada artikel setebal 96 halaman mereka berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries in to the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders” yang terbit dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia No. 4, tahun 1850. Nama itu didapat dari perpaduan India (yang merupakan gerbang studi Asia Tenggara) dan Nessos (Yunani, berarti kepulauan), yang dalam bahasa Sansekerta menjadi Nusa. Di kalangan sarjana oriental Barat nama ini dipopulerkan oleh Adolf Bastian, pelopor etnologi dari Jerman, dengan -4-
Edi Cahyono’s experiencE
menerbitkan 5 jilid bukunya yang berjudul Indonesia atau PulauPulau Kepulauan Malaya (Indonesien oder Die Inseln Des Malayischen Archipel) di Berlin sejak tahun 1869. Jilid I berjudul Maluku, jilid II Timor dan Pulau-Pulau Sekitarnya, jilid III Sumatera dan Daerah Sekitarnya, jilid IV Kalimantan dan Sulawesi, jilid V Jawa dan Penutup. Pemilihan nama Indonesia, dan bukan nama resmi yang digunakan pemerintah Belanda, oleh para akademisi Uni Soviet sejak tahun 1920-an memang berada dalam konteks gerakan komunis internasional. Sebuah gerakan yang mendukung perjuangan pembebasan nasional dari kolonialisme. Orang bisa melihatnya sebagai sebuah intervensi politik pada dunia akademis. Tapi bisa juga dipahami sebagai sebuah keberpihakan (akademis) terhadap pembebasan nasional bangsa-bangsa terjajah. Sejarah memang tidak mencatat keterlibatan Uni Soviet dalam kemerdekaan Indonesia 1945. Namun perhatian negara ini semakin besar pada Indonesia karena perkembangan signifikan PKI dan orientasi politis pemerintahan Soekarno yang anti Barat. Ketika Konfrensi Asia Afrika diselenggarakan di Bandung tahun 1955, simpati Soviet pun semakin besar. Tiga tahun kemudian Uni Soviet menyediakan diri sebagai tuan rumah Konfrensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent, Uzbekistan, di mana Indonesia mengirimkan Utuy Tatang Sontani sebagai salah satu wakilnya. Selanjutnya Indonesia menjadi kawan seiring Uni Soviet, dan negara sosialis lainnya, dalam perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme. Dalam semangat inilah Uni Soviet mengirim kapal perangnya untuk mendukung Indonesia dalam proses perebutan Irian Barat tahun 1962. Berbanding lurus dengan itu, hubungan akademis Indonesia – Uni Soviet pun memasuki saat-saat keemasannya. Pada masa ini jumlah sarjana Uni Soviet yang mempelajari Indonesia naik pesat. Tema-tema kebangkitan dan perlawanan rakyat dalam pembebasan nasional menjadi pilihan utama. Hasil-hasil studi seperti monograf Perang Diponegoro sampai tentang keterlibatan Tentara Merah di pihak Indonesia dalam perebutan Irian Barat, menjadi laris di pasaran. Selain terbitan karya sarjana Uni Soviet sendiri, juga diterbitkan karya-karya terjemahan, baik ke dalam bahasa Rusia atau ke bahasa republik-republik Uni So-5-
Edi Cahyono’s experiencE
viet lain seperti Slav, Ukraina dan Estonia. Dua jilid Indonesia Menggugat, Sarinah dan Menuju Indonesia Merdeka serta karya Soekarno lain diterjemahkan dalam bahasa Rusia, juga kumpulan pidato dan buku-buku dari para pimpinan PKI. Sampai sekarang di Perpustakaan Bahasa dan Sastra Asing di Moskow terdapat satu bagian khusus tentang Soekarno. Semua karya Soekarno dalam berbagai bahasa dan pidato Soekarno sampai yang terakhir Nawaksara, tersimpan di sana.
Rumah bagi Satu Babak Sejarah Indonesia Kunjungan pertama Soekarno ke Uni Soviet tahun 1956 menghasilkan pengiriman 7 mahasiswa Indonesia pertama ke Moskow tahun berikutnya (dua diantaranya adalah pekerja film Sjumandjaya dan Ami Prijono). Nikita S. Khrushchev melakukan kunjungan balasan Februari-Maret 1960. Berpidato di UGM, Ketua Dewan Menteri Uni Republik-Republik Soviet Sosialis ini mengumumkan pembukaan Universitas Persahabatan BangsaBangsa di Moskow. Universitas ini kemudian berganti nama menjadi Universitas Patrice Lumumba, untuk menghormati pejuang pembebasan nasional Kongo. Bersama pengumuman ini, Khrushchev mengundang mahasiswa Indonesia untuk belajar di sana dengan beasiswa pemerintah Uni Soviet. Sejak saat itu mengalirlah mahasiswa-mahasiswa Indonesia ke sana. Perjanjian antar organisasi massa, partai dan institusi lain termasuk militer, menambah jumlah orang Indonesia yang belajar di Uni Soviet. Sampai awal 1965, tercatat lebih dari 600 mahasiswa reguler Indonesia belajar di berbagai perguruan tinggi di Moskow, jumlah terbesar mahasiswa asing yang ada di Uni Soviet. Sedangkan total orang Indonesia yang belajar di Uni Soviet, termasuk mahasiswa militer di Dusanbe, Odessa dan kota-kota lain di Selatan Uni Soviet, juga mereka yang belajar di sekolah-sekolah khusus partai, jumlahnya mencapai sekitar 2.000 orang. Pengiriman mahasiswa Indonesia ke Uni Soviet ini menjadi fenomena sosial masyarakat kota besar di Indonesia pada masa itu, sebagaimana dikisahkan dalam novelette Sobron Aidit, “Kisah Pak Kapten” dalam kumpulan Derap Revolusi (Bagian Penerbitan LEKRA, Jakarta 1962). Kerja sama ini terputus ketika terjadi peristiwa ’65 di Indonesia. -6-
Edi Cahyono’s experiencE
Pemerintah baru yang orientasi politisnya berseberangan dengan pemerintahan lama, segera memerintahkan para mahasiswa yang sedang belajar di Uni Soviet untuk pulang. Sebagian besar memenuhi perintah ini dan sisanya tetap tinggal dan menjadi pelarian politik sampai sekarang. Memburuknya hubungan kedua negara berdampak besar bagi kerja sama akademis kedua negara. Para peneliti Uni Soviet yang sedang berada di Indonesia diminta segera kembali ke negaranya dan Lembaga Persahabatan Indonesia-Uni Soviet ditutup. Padahal lembaga inilah yang selama ini menjadi penggerak utama kerja sama ilmu dan kebudayaan kedua negara. Di tengah kekeringan ini, yang relatif bertahan adalah studi sastra. Karena sastra Indonesia dikenal pertama dalam bentuk sastra Melayu-nya, dan ketika peristiwa ’65 terjadi, para ahli sastra Indonesia dengan cepat banting setir kembali ke sastra Melayu, dengan merintis kerja sama dengan Malaysia. Selain itu kedatangan beberapa sastrawan Indonesia (Utuy Tatang Sontani, Kuslan Budiman) sebagai pelarian politik ke Moskow tahun 1971, juga menambah nafas studi Indonesia, khususnya sastra.
Dari Si Kancil, Utuy Tatang Sontani, sampai Puisi Mantra Walau literatur tentang sastra Melayu telah muncul sejak awal 1900-an, namun kajian bahasa dan sastra Indonesia baru berkembang pesat tahun 1950-an, berbarengan dengan semakin dekatnya hubungan diplomatik kedua negara. Jurusan bahasa Indonesia pada Universitas Negara Moskow dibuka tahun 1945 dan beberapa tahun kemudian Prof. Intojo - tokoh Pujangga Baru dikirim ke Moskow untuk mengajar. Boejoeng Saleh Puradisastra, Usman Effendi dan A.T. Effendi juga pernah mengajar di sana selama beberapa tahun. Pada masa inilah penterjemahan dan penerbitan sastra Indonesia dalam bahasa Rusia dimulai. Dongengdongeng Jawa terbitan Balai Pustaka seperti Si Kancil, Hikayat Seri Rama, Hikayat Panji Semirang dan Suropati karangan Abdul Muis adalah karya sastra Indonesia awal yang diterjemahkan. Selanjutnya disusul serial terjemahan karya-karya lain seperti Cerita Dari Blora (Pramoedya Ananta Toer, 1957), Salah Asuhan (Abdul Muis, 1960), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1961), Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer, 1961), Tambera (Utuy Tatang -7-
Edi Cahyono’s experiencE
Sontani, 1964) dan Suara Tiga Ribu Pulau (Vilen V. Sikorskii, ed., antologi puisi “Angkatan 50” seperti Chairil Anwar, Agam Wispi, Rivai Apin, Sitor Situmorang dll., 1963). Orang yang berperan besar dalam menterjemahankan karya-karya sastra Indonesia ini adalah Rono Semaun, putra Semaun dari perkawinannya dengan seorang perempuan Rusia. Kalau saja Rono tak mati terbunuh di Moskow dalam usia relatif muda, mungkin deretan karya terjemahannya akan jauh lebih panjang. Pilihan karya sastra Indonesia yang diterjemahkan di atas terkait erat kesesuaian ideologisnya dengan pemerintah Uni Soviet. Selain karya klasik seperti Salah Asuhan dan Siti Nurbaya, karya-karya sastra modern Indonesia yang diterjemahkan biasanya adalah karya dari para sastrawan yang tergabung dalam LEKRA atau dekat dengan Soekarno, para sastrawan yang setuju dengan jalan revolusi. Satu-satunya penembus batas ideologis ini adalah Chairil Anwar, karena perannya yang terlalu besar dalam sejarah sastra modern Indonesia. Tapi kecaman terhadap individualismenya selalu mengiringi bahasan tentang dirinya. Karya Mochtar Lubis Jalan Tak Ada Ujung misalnya, ditolak oleh penerbit di Moskow karena dianggap melunturkan semangat revolusi. Begitu juga karya Utuy Tatang Sontani Orang-Orang Sial, dilarang terbit di Moskow dan hanya bisa terbit di ibukota Estonia, Tallin, dalam bahasa Estonia. Kumpulan cerpen Utuy ini dinilai melulu mengungkap sisi gelap revolusi, karenanya dianggap bisa melunturkan semangatmelemahkan tekad. Padahal karya Utuy yang lain, Tambera, malah mengalami cetak ulang di tahun 1972. Hal yang sama terjadi dengan dalam kajian sastra. LEKRA menjadi tema favorit karena dianggap sebagai contoh sastra yang progresif atau dianggap puncak sejarah sastra Indonesia. Walau demikian beberapa karya Pramoedya Ananta Toer dikecam terjebak dalam humanisme, mengandung kontradiksi dan keraguan terhadap revolusi. Karena itulah karya Pram seperti Keluarga Gerilya baru bisa terbit dalam bahasa Rusia di Moskow pada awal 1985, setelah sensor relatif mereda. Sedangkan Idrus dalam novel Surabaja misalnya, dikecam karena dianggap telah melakukan pendekatan yang keliru terhadap revolusi. Karena itu beberapa cerpennya hanya bisa terbit di Kiev dalam bahasa Ukraina. Dalam kajian sastra Indonesia di Rusia pada masa ini, kelompok sastrawan “Gelanggang” -8-
Edi Cahyono’s experiencE
seperti Asrul Sani, HB Jassin, Trisno Sumardjo, dicela sebagai kemerosotan sastra Indonesia karena dianggap menerima mentahmentah sastra Barat yang lamban. Mereka yang kemudian menandatangani “Manifes Kebudayaan” tahun 1963 ini dianggap tidak sesuai dengan Indonesia Baru, di mana tugas sastrawan adalah menyokong perjuangan pembebasan nasional, pembangunan ekonomi dan perlawanan terhadap imperialisme. Peristiwa ’65 yang meruntuhkan Soekarno dan menghancurkan kekuatan kiri di Indonesia membuat para Indolog Uni Soviet ini tergugup-gugup, terutama bagi mereka yang yakin akan kemenangan revolusi di Indonesia. Kondisi ini tentu saja berpengaruh besar baik terhadap kerja penterjemahan dan penerbitan, maupun pada kajian sastra Indonesia di Uni Soviet. Yang pertama karena putusnya hubungan dengan masyarakat sastra Indonesia, terutama dari LEKRA, yang berarti putusnya sumber bahan. Yang kedua adalah perubahan penilaian terhadap LEKRA, sebagaimana perubahan penilaian oleh Partai Komunis Uni Soviet terhadap PKI. Mereka mengganggap LEKRA telah melakukan “kenekatan borjuis kecil” dalam Peristiwa G 30 S. Selanjutnya mereka menganalisanya sebagai pengaruh besar Cina terhadap LEKRA dan PKI sejak awal 60-an. Pandangan ini lahir dalam konteks pertentangan antara “Garis Moskow” dan “Garis Peking” dalam Gerakan Komunis Internasional. Walau demikian karya-karya terjemahan yang sudah disiapkan sebelum tahun 1965 masih sempat diterbitkan. Misalnya: PenyairPenyair Muda Indonesia (Vilen V. Sikorskii, ed., antologi puisi Ajip Rosidi, Amarzan Ismail Hamid, Koesalah Soebagyo Toer, WS Rendra dll., 1965) dan Puspa Pantai Nan Jauh (Vilen V. Sikorskii, ed.,antologi puisi Amir Hamzah, Sanusi Pane, Asmara Hadi, JE Tatengkeng dll., 1966). Anehnya, setelah Peristiwa ’65, cerpencerpen Idrus dan Utuy Tatang Sontani yang sebelumnya ditolak malah bisa terbit dalam Terang Bulan (Elena Vladimirovna Revunenkova,ed., antologi cerpen, 1969). Bahkan dalam kata pengantarnya tidak ada lagi celaan “salah mengartikan revolusi” terhadap Idrus. Setelah itu, kajian Sastra Indonesia modern mengalami masa-masa sunyi. Para pengkaji yang sebelumnya aktif lalu terjepit dalam posisi sulit. Secara ideologis mereka tetap harus mendukung para -9-
Edi Cahyono’s experiencE
sastrawan revolusioner, padahal tidak ada lagi bahan tentang ini yang bisa didapat dari Indonesia. Sedangkan produksi sastra setelah tahun 1965 adalah hasil dari para sastrawan “musuh LEKRA”, yang bersama Orde Baru muncul sebagai pemenang. Kalau mereka tetap membahasnya, mereka takut penelitiannya tidak dibiayai atau hasilnya tidak dipublikasikan. Salah-salah justru dituduh sebagai pedukung (dalam bidang sastra) rezim penghancur komunis. Keadaan sulit di atas membuat para akademisi tersebut banting stir pada tema-tema yang “netral” seperti kajian sastra klasik dan kajian lingusitik. Tema seperti ini dianggap relatif bebas dari halhal politis. Selain itu, tersedianya bahan sastra Melayu dari akhir abad 19 sampai awal abad 20 di Perpustakaan Negara Lenin berpengaruh besar dalam pemilihan tema ini. Koleksi tersebut adalah rampasan perang yang dibawa pulang Tentara Merah dari Perpustakaan Kota Berlin. Sedangkan tentara Nazi merampasnya dari Akademi Militer Breda ketika menyerbu Belanda. Pada masamasa inilah bermunculan monograf-monograf kajian sastra seperti Evolusi Persajakan Melayu Klasik: Bentuk-Bentuk Naratif Puisi Lisan dan Tulisan (Vladimir Iosifovich Braginsky, 1973), dan Pembaruan Islam dan Lahirnya Sastra Melayu Baru (Inga Ivanova Dem’ianova, 1973). Walau masih ada juga bahasan seperti Maoisme dan Tragedi Sastra Demokratik Indonesia (Nadezhda Matveevna Smurova, 1977). Untuk karya terjemahan pada masa ini diterbitkan satu buku: Hikayat Sang Boma (1973) berdasarkan edisi Balai Pustaka tahun 1924. Sedangkan Indolog yang selama ini berfokus pada LEKRA atau Sastra Indonesia revolusioner lainnya seperti Vilen V. Sikorskii misalnya, berusaha mengolah bahan yang tersimpan di Perpustakaan Bahasa dan Sastra Asing di Moskow yang terkumpul sampai sebelum peristiwa 1965. Dari bahan-bahan ini Sikorskii berhasil menyusun dua buku Petunjuk Bibliografi Utuy Tatang Sontani dan Petunjuk Bibliografi Sitor Situmorang (1977). Kekurangan bahan bagi pengkaji seperti Sikorskii ini sebenarnya sempat teratasi dengan kedatangan beberapa sastrawan LEKRA dari RRC sejak awal 1970-an. Para sastrawan ini tidak bisa pulang setelah mengikuti perayaan 1 Oktober di RRC karena meletusnya peristiwa 65. Situasi sulit di RRC karena Revolusi Kebudayaan sejak 1966, membuat sebagian dari mereka berusaha lari ke Eropa - 10 -
Edi Cahyono’s experiencE
Barat. Transportasi yang paling mungkin saat itu adalah kereta api Trans Siberia, dan setelah 7 hari perjalanan mereka baru sampai di Moskow. Sebagian dari mereka ini berhenti dan tinggal di Moskow karena fasilitas yang disediakan tuan rumah sebagai (bekas) partai sekawan. Mereka ini adalah Utuy Tatang Sontani, Kuslan Budiman, Rusdi Hermain dan Soerjana (wartawan Harian Rakjat). Sedangkan penyair Agam Wispi lebih memilih meneruskan perjalanannya ke Leipzig Jerman Timur dan belajar di sana. Walau demikian beberapa karya-karya pusi terbarunya sampai juga ke tangan Sikorskii. Kedatangan Utuy Tatang Sontani ke Moskow tahun 1971 mendapat sambutan cukup besar dari pemerintah dan masyarakat sastra Uni Soviet. Utuy sudah dikenal sebelumnya karena perannya pada Konfrensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent, Uzbekistan tahun 1958 dan pada acara yang sama tahun 1965 di Peking. Selain itu banyak karyanya yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan, Tambera bahkan dicetak ulang tepat setahun sebelum kedatangannya ke Moskow. Utuy Tatang Sontani dan Kuslan Budiman sempat pula mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Moskow dan menghasilkan karya-karya sastra di pengasingan. Paling tidak ada 4 novel dan 3 otobiografi yang ditulis Utuy sampai dia meninggal tahun 1979 di Moskow. Salah satu novelnya Kolot Kolotok diterbitkan secara terbatas oleh Jurusan Indonesia Institut Negara-Negara Asia Afrika, Universitas Negara Moskow sebagai bahan pelajaran. Novel ini juga diterbitkan dalam sebuah antologi prosa Indonesia Modern. Namun anehnya karya-karya sastra eksil ini sampai sekarang tidak menjadi bahasan lebih jauh oleh ahli sastra Indonesia di Rusia. Sebagai penghormatan terhadap sastrawan besar ini, nisan Utuy ditempatkan sebagai nisan pertama di pemakaman Islam pertama di Moskow.
Runtuhnya Uni Soviet: Simalakama bagi Dunia Akademis Sastra Indonesia setelah ‘65 harus menunggu lama untuk disentuh kembali oleh para akademisi Rusia ini. Ketika kontrol dari partai dan pemerintah relatif melonggar, bersamaan dengan melemahnya Uni Soviet secara keseluruhan pada awal 1980-an, baru karyakarya Iwan Simatupang, Mochtar Lubis, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Taufik Ismail dan Budi Darma mulai dibahas. Sebagian besar bahan dikirim dari Belanda, atau sedikit dari Amerika Serikat - 11 -
Edi Cahyono’s experiencE
dan Australia. Namun penterjemahan dan penerbitan karya sastra Indonesia setelah 1965 bisa dikatakan berhenti, selain satu Antologi Puisi-Puisi Ajip Rosidi dan Soebagjo Sastrowardojo tahun 1985. Penterjemahan ini pun hanya dalam kepentingan pembahasan ilmiah saja, dan bukan untuk kepentingan pembaca lebih luas. Namun kebekuan ini sempat pecah, ketika pada tahun yang sama Bumi Manusia, diterbitkan di Moskow. Karya tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer yang pertama ini dicetak dengan oplah 50.000 eksemplar dan habis dalam beberapa minggu. Hasil mengejutkan dari penerbitan buku Pramoedya tersebut rupanya menggairahkan kembali penterjemahan karya sastra Indonesia lainnya. Novel Umar Kayam, Sri Sumarah, diterjemahkan oleh Boris Parnickel dan terbit tahun 1988. Disusul Antologi Prosa Modern Indonesia Tahun 70-an yang disusun oleh Vladimir Iosifovich Braginsky. Dalam antologi setebal 574 halaman terdapat terjemahan novel-novel Iwan Simatupang, Ziarah, Mochtar Lubis, Harimau! Harimau!, Umar Kayam, Sri Sumarah, Putu Wijaya, Telegram, Utuy Tatang Sontani, Kolot Kolotok, Danarto, Nostalgia, Budi Darma, Orang Setengah Umur dan Secarik Kertas, dan juga karya–karya Kuntowijoyo, Misbach Jusa Biran, Gerson Poyk dan Wildan Yatim. Sayangnya publikasi ini tidak mendapatkan sambutan dari publik sebagaimana diharapkan. Keruntuhan Uni Soviet tahun 1989 berdampak sangat besar terhadap dunia akademis. Para akademisi yang sebelumnya mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah dengan subsidi penelitian dan publikasi yang hampir tak terbatas, tiba-tiba harus memikirkan masalah pokok seperti makanan dan pakaian. Karena penghasilan yang kira-kira setengah gaji sopir bus kota, tidak sedikit dari para guru besar ini yang harus berjualan asongan di stasiun kereta bawah tanah. Atau bergantung pada bantuan dari anakanaknya, yang sudah pasti tidak mau mengikuti jejak orang tua mereka. Para akademisi ilmu pasti, biasanya pindah atas undangan pemerintah dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Dengan kondisi seperti itu pengkaji Indonesia, khususnya sastra, tinggallah para veteran “Perang Dunia Kedua”. Tidak ada lagi antusiasme mahasiswa unutk mengambil jurusan-jurusan spesifik seperti Indonesia. Walau jurusan Indonesia sampai sekarang masih tetap mempunyai mahasiswa, itupun sekedar untuk memenuhi - 12 -
Edi Cahyono’s experiencE
kebutuhan bisnis dan diplomatik. Angkatan termuda dari para pengkaji sastra Indonesia di Rusia adalah Evgeniia Sergeevna Kukushkina, kelahiran tahun 1963. Publikasi yang disiapkannya, Puisi Mantra: Penjelmaan Jampi Arkaik dalam Persajakan Modern, yang membahas puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, sampai sekarang belum juga diterbitkan. Nasib sama juga dialami oleh misalnya oleh Mariia Aleksandrovna Boldyreva dengan dua naskahnya, Puisi Indonesia Dewasa Ini: Soebagjo Sastrowardojo, Taufik Ismail, Goenawan Moehamad dan Esai tentang Puisi Indonesia Dewasa Ini: Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi. Mereka yang sampai sekarang bertahan menyiasati keadaan dengan mengajar pada universitas-universitas luar negeri yang mempunyai kajian Asia. Pilihan lain adalah Malaysia, yang mempunyai kedekatan sejarah sastra dengan Indonesia. Ada juga usaha untuk mengatasi kondisi di atas, seperti mendirikan Nusantara Society tahun 1992. Dengan memperluas wilayah studi daerah dengan bahasa Austronesia (Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina), termasuk daerah dimana tinggal masyarakat berbahasa Austronesia seperti Singapura, Thailand, Vietnam dan Taiwan, serta bekerja sama dengan berbagai institut dan universitas di Singapura, Malaysia, Belanda dan Australia, para Indolog ini berharap bisa tetap terus mengadakan penelitian dan publikasi. Usaha ini cukup berhasil, seperti diterbitkannya Imej Nusantara dalam Sastra Rusia, karya Vladimir Braginsky oleh KITLV Leiden tahun 1999 lalu. Namun kiranya tidak akan mungkin bisa mengembalikan prestasi sebelumnya. Perpustakaan Sastra dan Bahasa Asing Moskow sekarang mencatat tidak kurang dari 6.000 judul karya ilmiah akademisi Rusia yang mempelajari Indonesia, sejak akhir abad 19 sampai awal abad 21. Untuk kajian sastranya, sejak publikasi pertama tahun 1929 Teater Melayu karya Ludmila Alexsandrovna Mervart sampai pembahasan puisi mantranya Sutardji, tercatat sampai lebih dari 300 judul publikasi. Untuk sebuah negara yang tak punya hubungan khusus seperti bekas koloni, perdagangan yang besar, atau kedekatan diplomatik dengan Indonesia, hasil itu adalah sebuah prestasi besar. Sebagian besar karya-karya itu lahir pada masa-masa keemasan kedekatan hubungan kedua negara. Memang karya-karya yang lahir pada masa itu penuh dengan nuansa ideologis dan - 13 -
Edi Cahyono’s experiencE
keberpihakan tertentu. Namun begitu tidak cukup dijadikan alasan untuk meragukannya, karena alasan obyektifitas ilmu pengetahuan misalnya. Sebab paling tidak, kalau mau mempelajari periode dan tema tertentu dari sejarah Indonesia, kita tahu harus pergi ke mana. Ternyata Moskow tak hanya jadi rumah bagi ribuan karya ilmiah tentang Indonesia. Perpustakaan Bahasa dan Sastra Asing di Moskow juga menyimpan terbitan yang dikelola oleh orang-orang Indonesia yang tak bisa pulang (eksil) seperti Tekad Rakyat, Marhaen Menang dan Organisasi Pemuda Indonesia. Majalah bulananTekad Rakyat misalnya, tercatat terbit sejak tahun 1966 sampai tahun 1991, dan ini adalah kekayaan sejarah pers Indonesia yang belum pernah disentuh, juga terbitan-terbitan lainnya. Demikian pula karya-karya sastra eksil Indonesia yang dihasilkan ditulis di Moskow, seperti karya-karya Utuy Tatang Sontani, Kuslan Budiman dan Rusdi Hermain, masih belum tereksplorasi lebih jauh untuk melengkapi sejarah sastra Indonesia. Selain karyakaryanya, tentu makam Utuy Tatang Sontani merupakan salah satu ikon penting perjalanan hubungan Indonesia-Rusia. Mungkin karena situasi hubungan Indonesia-Rusia yang tak terlalu erat, makam ini belum juga dikukuhkan menjadi tanda persahabatan Indonesia-Rusia. Setidaknya, kini korps diplomatik Indonesia di Rusia punya tugas baru: menggali lebih lagi karena Rusia merupakan salah satu rumah bagi sejarah Indonesia. ooo0ooo
Modified & Authorised by: Edi Cahyono, Webmaster Disclaimer & Copyright Notice © 2005 Edi Cahyono’s Experience - 14 -
Edi Cahyono’s experiencE