DETERMINAN PEMANFAATAN PELAYANAN NIFAS DI DAERAH RURAL INDONESIA TAHUN 2011-2012
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh: NUR LUTHFIYAH NIM. 1110101000010
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1435 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan ssuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedoteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini uan hasil karya asli saya atau mrupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedoteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Juli 2014
Nur Luthfiyah
i
PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi dengan Judul DETERMINAN PEMANFAATAN PELAYANAN NIFAS DI DAERAH RURAL INDONESIA TAHUN 2011-2012
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh: NUR LUTHFIYAH NIM. 1110101000010
Pembimbing I
Pembimbing II
Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes NIP. 19750215 200901 2 003
Riastuti Kusuma Wardani, SKM, MKM NIP. 19800516 200901 2 005
ii
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta,
Agustus 2014
Mengetahui
Penguji I,
Febrianti, M.Si NIP. 19720221 200501 2 004
Penguji II,
Raihana Nadra Alkaff, SKM, M.MA NIP. 19781216 200901 2 005
Penguji III,
Tria Astika Endah Permatasari, SKM, MKM NIP. 0306088303
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI Skripsi, Agustus 2014 Nur Luthfiyah, NIM: 1110101000010 Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 xviii + 217 Halaman + 30 Tabel + 5 Bagan
ABSTRAK Angka kematian ibu di Indonesia berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 mengalami kenaikan dari tahun 2007 menjadi 359 per 100.000 penduduk dan masih jauh pencapaiannya dari target Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) 2014, yaitu 118 per 100.000 penduduk dan Millenium Development Goals (MDGs) 2015, yaitu 102 per 100.000 penduduk. Beberapa penyebab kematian ibu, seperti komplikasi nifas dan perdarahan pasca bersalin dapat dicegah melalui program pelayanan nifas. Sebanyak 74% ibu di daerah rural menerima pelayanan nifas pada dua hari pertama pasca persalinan dan 15,7% ibu yang tidak pernah memeriksakan kesehatan selama 42 hari masa nifas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang pada 2072 wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan anak terakhir tahun 2011-2012 dengan menggunakan data SDKI 2012. Hubungan antara pemanfaatan pelayanan nifas dengan determinannya dianalisis menggunakan uji Chi-Square. Terdapat 1773 (85,6%) wanita memanfaatkan pelayanan nifas dalam 3 hari pertama pasca persalinan. Faktor pendidikan, kunjungan ANC, kuintil kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, dan jarak ke fasilitas kesehatan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia dengan masing-masing p-value sebesar 0,000. Sedangkan urutan kelahiran dan komplikasi persalinan tidak berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas dengan p-value sebesar 0,085 dan 0,343. Disarankan bagi Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan promosi kesehatan tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal, meningkatkan ketersediaan penyedia pelayanan kesehatan, dan sosialisasi pemanfaatan asuransi kesehatan dari pemerintah secara masif kepada masyarakat. Peran sektor terkait lainnya juga dibutuhkan, seperti pengintegrasian kurikulum pendidikan kesehatan ke dalam kurikulum pendidikan formal dan perbaikan infrastruktur jalan dan transportasi, khususnya di daerah rural yang terpencil. Kata Kunci: AKI, Pemanfaatan, Pelayanan Nifas, Rural, Indonesia Daftar Bacaan: 116 (1986-2014)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM EPIDEMIOLOGY
Undergraduate Thesis, August 2014 Nur Luthfiyah, NIM: 1110101000010 Determinants of Postnatal Care Utilization in Rural Areas of Indonesia in 2011-2012 xviii + 217 Pages + 30 Tables + 5 Charts ABSTRACT The maternal mortality rate in Indonesia based on the Demographic and Health Survey of Indonesia (IDHS) 2012 has increased from 2007 to 359 per 100,000 population and has been far from the attainment of the National Medium Term Development Plan (RPJMN) target in 2014, that is 118 per 100,000 population and Millenium Development Goals (MDGs) target in 2015, that is 102 per 100,000 population. Some causes of maternal mortality, such as complications of childbirth and postpartum bleeding can be prevented through a program of postnatal care. As many as 74% of women in rural area received postnatal care in the first two days after delivery and 15,7% of women never checked their health within 42 days of puerperium. The purpose of this study was to investigate the determinants of the utilization of postnatal care in rural Indonesia. This study used a cross-sectional study design in 2072 infertile women aged 15-49 years who delivered the last child in 2011-2012 by using data from IDHS 2012. The association between the utilization of postnatal care with the factors were analyzed using Chi-Square. There were 1773 (85,6%) women utilized postnatal care within the first 3 days after delivery. The factors, such as education, antenatal care visit, wealth quintile, place of delivery, birth attendants, and distance to health facilities associated with the utilization of postnatal care in rural Indonesia by their respective p-values of 0,000. On the other hand, birth order and delivery complications did not associated with the utilization of postnatal care by the pvalues of 0,085 and 0,343. It is advisable for the Ministry of Health to improve the health promotion of the importance of the utilization of maternal health services, improve the provision of health care providers, and socialize the use of health insurance by govermenth massively to the community. The role of other related sectors are also needed, such as the integration of health education curriculum into the curriculum of formal education and improvement of roads and transport infrastructure, especially in remote rural areas. Keywords: MMR, Utilization, Postnatal Care, Rural, Indonesia Reading List: 116 (1986-2014)
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. Identitas Pribadi Nama Tempat, Tamggal Lahir Jenis Kelamin Alamat Telp/Hp Agama Status Email
: Nur Luthfiyah : Jakarta, 12 Februari 1992 : Perempuan : Jl. Cimandiri RT. 01 RW. 08 No. 47, Ciputat, Kota Tangerang Selatan : 085695317333 : Islam : Belum menikah :
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan 1996-1998 1998-2004 2004-2007 2007-2010 2010-2014
: TK Tri Jaya Jakarta : SDN 03 Pagi Bintaro Jakarta : SMPN 177 Plus Jakarta : SMAN 47 Jakarta : S1-Peminatan Epidemiologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Pengalaman Organisasi 2011 2011-2012
2012-2013 2012-2013 2012-2013
2013-2014
: Koordinator Divisi Pengembangan Ekonomi Komisariat Dakwah FKIK UIN Syarif Hidayatullah. : Staf Departemen Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Pergerakan Anggota Muda IAKMI (PAMI) Jakarta Raya. : Sekretaris Komisariat Dakwah FKIK UIN Syarif Hidayatullah : Staf Departemen Informasi dan Komunikasi Pergerakan Anggota Muda IAKMI (PAMI) Jakarta Raya. : Staf Departemen Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Ekskutif Mahasiswa Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah. : Kepala Departemen Informasi dan Komunikasi Epidemiology Student Association (ESA) UIN Syarif Hidayatullah.
vi
KATA PENGANTAR
بسم ا هلل ا لرحمن ا لر حيم Assalamu‟alaikum wr. wb. Alhamdulillah, segala puji kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012”. Shalawat dan salam senantiasa tecurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi umatnya. Ada begitu banyak suka dan duka yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini. Sempat terbersit keinginan untuk mengganti topik penelitian ini dengan topik penelitian lainnya saat mengetahui sulitnya data yang didapatkan dan fakta di lapangan yang berbeda dari yang diharapkan. Namun, karena adanya dukungan dari semua pihak serta keinginan untuk bisa lulus tepat waktu, akhirnya penulis tetap mempertahankan topik penelitian ini dan hanya perlu mengganti lokasi penelitian. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada: 1.
Bapak dan Ibu tercinta, yang tak hentinya selalu memberikan kasih sayang, perhatian, dan memberikan doa terbaik bagi penulis. Begitu besar jasa kalian berdua sehingga penulis bisa menuntut ilmu hingga setinggi ini. Teringat kembali akan nasihat kalian berdua, “Bapak Ibu nggak bisa ngasih kamu harta. Kita hanya bisa membekali kamu ilmu. Dengan ilmu semoga kamu bisa jadi orang yang sukses dan bermanfaat untuk banyak orang”. Sungguh, ini sebaik-baiknya bekal yang kalian berikan kepada penulis. Terima kasih Bapak dan Ibu. Semoga Allah meridhoi dan membalas kebaikan kalian. Aamiin.
vii
2.
Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Ibu Ir.Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Ibu Minsarnawati, M.Kes selaku Dosen Penanggung Jawab Peminatan Epidemiologi PSKM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai dosen pembimbing. Sangat bersyukur bisa mengenal Ibu. Ibu selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi Peminatan Epidemiologi. Karena Ibu, penulis bisa memperoleh ilmu yang sangat banyak dari dosen-dosen ahli di bidangnya yang Ibu pilihkan untuk kami. Terima kasih atas kesabaran dan kasih sayang Ibu dalam memberikan arahan serta bimbingannya.
5.
Ibu Riastuti, MKM selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas kesabaran
dan
perhatian
Ibu
dalam
memberikan
arahan
serta
bimbingannya. Penulis kagum dengan cara pandang Ibu dalam melihat masalah kesehatan, khususnya terkait pelayanan kesehatan, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi cara pandang penulis. 6.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan (PUSDU) BKKBN yang telah memberikan izin bagi penulis dalam penggunaan data Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) tahun 2012 untuk penelitian.
7.
Bapak Mugia Bayu. M.Si dan Ibu Rahmadewi, MKM selaku staf PUSDU BKKBN yang meluangkan waktu cukup banyak di jam sibuknya untuk memberikan arahan dan informasi bagi penulis dalam memahami data SDKI yang diteliti.
8.
Teman-teman seperjuangan, 14 personel Epidemiologi 2010, yaitu Ana, Ati, Bebe, Ii, Karlina, Najah, Nida, Putri, Rizka, Tika, Wiwid, Zata, Bayu dan Harun. Teringat kembali saat kita potong tumpeng pada kuliah perdana Epidemiologi, sebagai simbol resmi dibukanya peminatan Epidemiologi di jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
viii
Jakarta. Kita belum terlalu dekat, namun berusaha untuk saling akrab. Hingga akhirnya kita benar-benar sangat dekat layaknya keluarga dan bermimpi suatu saat bisa wisuda bersama. Terima kasih atas perhatian, kepedulian, semangat dan bantuannya. Sangat bersyukur kepada Allah atas pemberian teman-teman istimewa seperti kalian. Semoga pertemanan ini terjalin semakin erat dan silaturahmi tetap ada hingga kita menua. 9.
Teman-teman Kesehatan Masyarakat 2010 yang menularkan semangatnya untuk menyusun skripsi dan memotivasi penulis untuk wisuda bersama. Terima kasih atas bantuannya.
10. Teman-teman halaqah tercinta, yang kami saling menyebut satu sama lain sebagai bidadari syurga, yaitu Kak Yurni, Yuni, Refi, Juju, Eva, Umi, Aisyah, Fatimah, Nida, Ai, Hani dan Irma. Terima kasih atas perhatian dan dukungannya, terutama atas kehadiran kalian dan kebersamaan ini yang selalu menjadi pengingat bagi penulis bahwa Allah adalah di atas segalanya. Bahkan jika dalam penyusunan skripsi ini terasa sulit dan melelahkan, maka kembalilah pada Allah untuk memohon pertolongan. 11. Diyan, saudara perempuan satu-satunya. Terima kasih atas perhatian, pengertian dan bantuannya. Semoga kuliahmu selalu diberi kelancaran. 12. Semua pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penelitian ini. Semoga dengan disusunnya skripsi ini akan memberikan manfaat bagi banyak pihak, khususnya bagi penulis serta bagi pembaca. Wassalamu‟alaikum wr. wb. Ciputat, 18 Agustus 2014
Nur Luthfiyah ix
-
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i PERNYATAAN PERSETUJUAN....................................................................... ii ABSTRAK ............................................................................................................ iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv DAFTAR BAGAN ............................................................................................. xvii DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xviii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 4 1.3 Pertanyaan Penelitian .......................................................................... 5 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 6 1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................... 6 1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................... 6 1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 7 1.5.1 Bagi Kementerian Kesehatan RI .............................................. 7 1.5.2 Bagi Kementerian Pendidikan RI ............................................. 7 1.5.3 Bagi Pemerintah Daerah ........................................................... 8 1.5.4 Bagi Peneliti Lain ..................................................................... 8 1.6 Ruang Lingkup................................................................................... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 10 2.1 Pelayanan Nifas ................................................................................ 10 2.1.1 Definisi Masa Nifas ................................................................ 10 2.1.2 Tahapan Masa Nifas ............................................................... 10 2.1.3 Perubahan Fisiologis Masa Nifas ........................................... 11 2.1.4 Komplikasi Masa Nifas .......................................................... 15 2.1.5 Pelayanan Nifas ...................................................................... 18 2.2 Determinan Epidemiologi ................................................................. 22 2.3 Daerah Rural ..................................................................................... 24 2.3.1 Geografi .................................................................................. 26
xi
2.3.2 Pendidikan .............................................................................. 27 2.3.3 Ekonomi.................................................................................. 28 2.3.4 Kesehatan Maternal ................................................................ 30 2.4 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan .................................... 32 2.4.1 Karakteristik Predisposisi ....................................................... 35 2.4.2 Sumber Daya Pendukung ....................................................... 48 2.4.3 Kebutuhan ............................................................................... 60 2.5 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 ............... 63 2.5.1 Tujuan Survei ......................................................................... 63 2.5.2 Organisasi Survei .................................................................... 64 2.5.3 Kuisioner ................................................................................ 65 2.5.4 Uji Coba, Pelatihan dan Lapangan ......................................... 66 2.6.5 Desain Sampel dan Implementasi........................................... 68 2.7.6 Pengolahan Data ..................................................................... 69 2.6 Kerangka Teori ................................................................................. 70 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............ 72 3.1 Kerangka Konsep ........................................................................... 72 3.2 Definisi Operasional ....................................................................... 77 3.3 Hipotesis Penelitian ........................................................................ 80 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 81 4.1 Desain Penelitian ............................................................................ 81 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 81 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian...................................................... 82 4.3.1 Populasi ................................................................................ 82 4.3.2 Sampel .................................................................................. 82 4.4 Instrumen Penelitian ....................................................................... 86 4.4.1 Pemanfaatan Pelayanan Nifas .............................................. 86 4.4.2 Pendidikan ............................................................................ 87 4.4.3 Urutan Kelahiran .................................................................. 88 4.4.4 Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) .............................. 88 4.4.5 Kuintil Kekayaan.................................................................. 89 4.4.6 Tempat Persalinan ................................................................ 91 4.4.7 Penolong Persalinan ............................................................. 92 4.4.8 Jarak ke Fasilitas Kesehatan ................................................. 93 4.4.9 Komplikasi Persalinan.......................................................... 93 4.5 Pengumpulan Data .......................................................................... 95
xii
4.6 Pengolahan Data ............................................................................. 96 4.7 Analisis Data .................................................................................. 97 4.7.1 Analisis Univariat ................................................................. 97 4.7.2 Analisis Bivariat ................................................................... 98 BAB V HASIL PENELITIAN ......................................................................... 100 5.1 Karakteristik WUS di Daerah Rural Indonesia ............................... 100 5.1.1 Gambaran Pemanfaatan Pelayanan Nifas ............................. 101 5.1.2 Gambaran Pendidikan........................................................... 103 5.1.4 Gambaran Urutan Kelahiran Anak ....................................... 104 5.1.5 Gambaran Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) ............. 104 5.1.6 Gambaran Kuintil Kekayaan ................................................ 107 5.1.7 Gambaran Tempat Persalinan ............................................... 108 5.1.8 Gambaran Penolong Persalinan ............................................ 110 5.1.9 Gambaran Jarak ke Fasilitas Kesehatan ............................... 111 5.1.10 Gambaran Komplikasi Persalinan ...................................... 112 5.2 Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia ....................................................................................................... 114 5.2.1 Hubungan Pendidikan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas .............................................................................................. 114 5.2.2 Hubungan Urutan Kelahiran dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas ..................................................................................... 115 5.2.3 Hubungan Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas .............................................. 116 5.2.4 Hubungan Kuintil Kekayaan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas ..................................................................................... 117 5.2.5 Hubungan Tempat Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas ..................................................................................... 118 5.2.6 Hubungan Penolong Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas .................................................................... 119 5.2.7 Hubungan Jarak ke Fasilitas Kesehatan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas .................................................................... 120 5.2.8 Hubungan Komplikasi Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas .................................................................... 121 BAB VI PEMBAHASAN.................................................................................. 122 6.1 Keterbatasan Penelitian ................................................................ 122 6.2 Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia ........... 123
xiii
6.3 Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia...................................................................................... 127 6.3.1 Pendidikan .......................................................................... 128 6.3.2 Urutan Kelahiran ................................................................ 132 6.3.3 Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) ............................ 135 6.3.4 Kuintil Kekayaan................................................................ 140 6.3.5 Tempat Persalinan .............................................................. 147 6.3.6 Penolong Persalinan ........................................................... 153 6.3.7 Jarak ke Fasilitas Kesehatan ............................................... 161 6.3.8 Komplikasi Persalinan........................................................ 164 BAB VII PENUTUP.......................................................................................... 168 7.1 Simpulan ....................................................................................... 168 7.2 Saran ............................................................................................. 169 7.2.1 Bagi Kementerian Kesehatan RI ........................................ 169 7.2.2 Kementerian Pendidikan RI ............................................... 170 7.2.3 Pemerintah Daerah ............................................................. 171 7.2.4 Bagi Peneliti Lain ............................................................... 171 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 172 LAMPIRAN ...................................................................................................... 182
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Variabel, Klasifikasi, Skor dan Kriteria Desa Urban dan Rural ........... 25 Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 77 Tabel 4.1 Jumlah Sampel untuk Setiap Variabel .................................................. 84 Tabel 4.2 Daftar Variabel dan Kuisioner SDKI 2012 ........................................... 86 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Umur di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ............................................................... 100 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Umur Melahirkan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ..................................................... 101 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012..................................... 102 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tenaga Pemeriksa Kesehatan Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ........................... 102 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Waktu Pemeriksaan Kesehatan Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ........................... 103 Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Pendidikan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ............................................................... 103 Tabel 5. 7 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Urutan Kelahiran Anak di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ......................................... 104 Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Kunjungan ANC di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ..................................................... 105 Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tempat Kunjungan ANC di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ......................................... 106 Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tenaga Pemeriksa Kehamilan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 .................................. 107 Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Kuintil Kekayaan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ................................................... 107
xv
Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Fasilitas Kesehatan Tempat Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ... 108 Tabel 5.13 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tempat Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ................................................... 109 Tabel 5.14 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Tenaga Penolong Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012................. 110 Tabel 5.15 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Penolong Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ................................................... 111 Tabel 5.16 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jarak ke Fasilitas Kesehatan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ...................................... 112 Tabel 5.17 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Komplikasi Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ...................................... 113 Tabel 5.18 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Komplikasi Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ...................................... 113 Tabel 5.19 Hubungan Pendidikan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ........................ 115 Tabel 5.20 Hubungan Urutan Kelahiran dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012................ 116 Tabel 5.21 Hubungan Kunjungan ANC dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012................ 117 Tabel 5.22 Hubungan Kuintil Kekayaan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012................ 118 Tabel 5.23 Hubungan Tempat Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012................ 119 Tabel 5.24 Hubungan Penolong Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012................ 120 Tabel 5.25 Hubungan Jarak ke Fasilitas Kesehatan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 20112012 .................................................................................................. 120 Tabel 5.26 Hubungan Komplikasi Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ...... 121
xvi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ............................ 33 Bagan 2.2 Determinan Individu dalam Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ......... 34 Bagan 2.3 Kerangka Teori .................................................................................... 70 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................. 76 Bagan 4.1 Alur Pengambilan Sampel ................................................................... 85
xvii
DAFTAR SINGKATAN
ANC
: Antenatal Care
BKKBN
: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
BPS
: Badan Pusat Statistik
DHS
: Demographic and Health Survey
IDHS
: Indonesia Demography and Health Survey
Jampersal
: Jaminan Persalinan
KB
: Keluarga Berencana
Kemenkes
: Kementeria Kesehatan
KF
: Kunjungan Nifas
MDGs
: Millenium Development Goals
Permenkes
: Peraturan Menteri Kesehatan
PK
: Pria Kawin
PSU
: Primary Sampling Unit
RP
: Remaja Pria
RPJMN
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RT
: Rumah Tangga
SDKI
: Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
USAID
: U.S Agency International Development
UU
: Undang-Undang
WHO
: World Health Organization
WUS
: Wanita Usia Subur
xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kematian ibu masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) tahun 2007, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup (Bappenas, 2011). Angka ini kemudian naik pada tahun 2012 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012). Sedangkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2014 adalah sebesar 118 per 100.000 kelahiran hidup (Bappenas, 2010) dan target MDGs tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup (Bappenas, 2011). Penyebab utama kematian ibu di dunia adalah perdarahan (kebanyakan perdarahan postpartum), infeksi (sebagian besar setelah melahirkan), gangguan hipertensi pada kehamilan (eklamsia) dan gangguan pada saat persalinan (WHO, 2008). Menurut hasil analisis lanjut sesus penduduk tahun 2010, tiga penyebab kematian ibu terbanyak di Indonesia, yaitu hipertensi dalam kehamilan, komplikasi nifas dan perdarahan pasca bersalin (Kemenkes RI, 2013). Selain itu, laporan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) provinsi tahun 2011 juga menyebutkan bahwa penyebab langsung kematian ibu terbanyak masih didominasi oleh perdarahan (32%), disusul hipertensi dalam kehamilan
1
2
(25%), infeksi (5%), partus lama (5%), dan abortus (1%) (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, 2012). Penyebab lain-lainnya (32%) cukup besar, termasuk di dalamnya penyebab penyakit non obstetrik. Sebagian besar penyebab kematian ibu tersebut terjadi pada masa nifas. Periode masa nifas yang berisiko terhadap komplikasi pasca persalinan terutama terjadi pada periode 3 hari pertama setelah melahirkan (Riskesdas, 2013). Bahkan tingginya kematian dapat terjadi pada hari pertama dan kedua setelah melahirkan (Ronsmans, dkk., 2006). Sebanyak 45% kematian pada masa nifas terjadi pada 24 jam pertama setelah melahirkan dan 66% terjadi pada 1 minggu pertama setelah melahirkan (Nour, 2008). Kementerian Kesehatan telah mencanangkan program pelayanan nifas sebagai upaya untuk mengurangi angka kematian ibu pada masa nifas (Kemenkes RI, 2010). Program pelayanan nifas diberikan mulai dari 6 jam sampai 42 hari pasca persalinan oleh tenaga kesehatan. Berdasarkan data SDKI 2012, sebanyak 80% ibu menerima pelayanan nifas pada dua hari pertama setelah persalinan (BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International 2013). Hanya 56% ibu yang menerima pelayanan nifas dalam kurun waktu 4 jam pertama, 13% yang menerima pelayanan nifas dalam kurun waktu 4-23 jam pertama, dan 11% yang menerima pelayanan nifas dalam kurun waktu 1-2 hari. Sedangkan ibu yang tidak pernah memeriksakan diri dalam 42 hari masa nifas sebanyak 11,3%. Berdasarkan wilayahnya, peningkatan cakupan pemeriksaan nifas di daerah rural lebih rendah daripada daerah urban. Berdasarkan data SDKI
3
2007, pemeriksaan pelayanan nifas pada 2 hari pertama pasca persalinan di daerah urban sebesar 69,1% dan naik menjadi 86% berdasarkan SDKI 2012. Sedangkan pemeriksaan pelayanan nifas pada 2 hari pertama pasca persalinan di daerah rural sebesar 70,6% dan naik menjadi 74%. Perbedaan daerah rural dan urban juga terlihat dari besarnya persentase ibu yang tidak pernah mendapatkan pelayanan nifas. Berdasarkan data SDKI 2007, ibu yang tidak pernah mendapatkan pelayanan nifas di daerah urban sebesar 14,5% dan menurun menjadi 6% berdasarkan SDKI 2012. Berdasarkan data SDKI 2007, ibu yang tidak pernah mendapatkan pelayanan nifas di daerah rural sebesar 17% dan menurun sedikit menjadi 15,7% berdasarkan SDKI 2012. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara daerah tempat tinggal dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian di Kamboja menunjukkan bahwa pelayanan nifas saat 24 jam pertama setelah persalinan lebih tinggi terjadi di daerah urban dibandingkan di daerah rural (Kim, dkk., 2013). Hasil penelitian lainnya juga secara signifikan menunjukkan bahwa ibu di daerah urban Nepal lebih besar kemungkinannya untuk berkunjung ke pelayanan nifas dalam 42 hari setelah melahirkan (Khanal, dkk., 2014). Pemanfaatan pelayanan nifas oleh ibu pasca persalinan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Analisis lanjut data Survei Demografi dan Kesehatan Kamboja 2010 ditemukan bahwa pendidikan, tempat bersalinan, penolong persalinan, pengetahuan dan persepsi tentang jarak ke pelayanan kesehatan
4
memengaruhi ibu dalam memanfaatkan pelayanan nifas (Kim, dkk., 2013). Nugraha (2013) menemukan bahwa berdasarkan analisis lanjut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, kunjungan ke ANC dan status ekonomi keluarga memengaruhi akses pelayanan nifas di Indonesia. Khanal, dkk. (2014) juga menemukan bahwa dari hasil analaisis lanjut data Survei Demografi dan Kesehatan Nepal 2011, nomor urut kelahiran anak menjadi faktor ibu dalam memanfaatkan pelayanan nifas di Nepal. Penelitian tentang pemanfaatan pelayanan nifas di Indonesia masih jarang dilakukan, khususnya di daerah rural. Padahal, pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural masih rendah. Di sisi lain, target cakupan pelayanan nifas perkabupaten/kota pada tahun 2015 mendatang adalah 90% (Permenkes Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008). Pelayanan nifas penting diberikan karena masa nifas masih berisiko mengalami perdarahan atau infeksi yang dapat mengakibatkan kematian ibu. Oleh karena itu, penulis bermaksud melakukan penelitian tentang determinan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012.
1.2 Rumusan Masalah AKI di Indonesia berdasarkan SDKI 2012 mengalami kenaikan dari tahun 2007 menjadi 359 per 100.000 penduduk dan masih jauh pencapaiannya dari target RPJMN 2014, yaitu 118 per 100.000 penduduk dan target MDGs 2015, yaitu 102 per 100.000 penduduk. Salah satu penyebab
5
kematian ibu adalah komplikasi nifas dan perdarahan pasca bersalin yang sebenarnya dapat dicegah melalui program pelayanan nifas. Sebanyak 80% ibu menerima pelayanan nifas pada dua hari pertama setelah persalinan dan 11,3% ibu yang tidak pernah memeriksakan diri dalam 42 hari masa nifas. Pemeriksaan nifas di daerah rural Indonesia mengalami kenaikan yang rendah daripada daerah urban. Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat beberapa faktor yang memengaruhi ibu dalam memanfaatkan pelayanan nifas, antara lain pendidikan, tempat persalinan, penolong persalinan, pengetahuan, persepsi tentang jarak ke pelayanan kesehatan, kunjungan ke ANC, status ekonomi keluarga dan urutan kelahiran (Kim, dkk., 2013; Nugraha (2013); Khanal, dkk., 2014). Penelitian tentang pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural pun masih jarang dilakukan sehingga penulis melakukan penelitian tersebut dengan menggunakan data SDKI 2012.
1.3 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian ini, yaitu: a. Bagaimana gambaran distribusi frekuensi pemanfaatan pelayanan nifas dan determinannya di daerah rural Indonesia? b. Bagaimana
hubungan
antara
pendidikan,
urutan
kelahiran,
kunjungan ke ANC, kuintil kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, jarak ke fasilitas kesehatan, dan komplikasi persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia?
6
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia tahun 2011-2012 berdasarkan data SDKI 2012.
1.4.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu: a. Mengetahui
distribusi
frekuensi
pemanfaatan
nifas
dan
determinannya di daerah rural tahun 2011-2012. b. Mengetahui hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012. c. Mengetahui
hubungan
antara
urutan
kelahiran
dengan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012. d. Mengetahui
hubungan
antara
kunjungan
ANC
dengan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012. e. Mengetahui
hubungan
antara
kuintil
kekayaan
dengan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012. f. Mengetahui
hubungan
antara
tempat
persalinan
dengan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012. g. Mengetahui hubungan antara penolong persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012.
7
h. Mengetahui hubungan antara jarak ke fasilitas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012. i. Mengetahui hubungan antara komplikasi persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, antara lain: 1.5.1 Bagi Kementerian Kesehatan RI Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau pertimbangan dalam penentuan kebijakan kesehatan terhadap perbaikan program pelayanan nifas melalui peningkatan pemanfaatan pelayanan nifas sehingga dapat mencegah kematian ibu pasca persalinan, khususnya di daerah rural Indonesia. Hasil analisis terhadap determinan pemanfaatan pelayananan nifas ini juga diharapkan dapat menjadi masukan dalam pembuatan program promosi kesehatan yang efektif bagi masyarakat daerah rural Indonesia sehingga semakin menyadari pentingnya pemanfaatan pelayanan nifas.
1.5.2 Bagi Kementerian Pendidikan RI Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau pertimbangan dalam menentukan kebijakan pendidikam sebagai
8
kontribusinya dalam perbaikan program pelayanan nifas, khususnya di daerah rural Indonesia.
1.5.3 Bagi Pemerintah Daerah Program kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab instansi kesehatan saja. Namun, perlu adanya peran pemerintah daerah untuk berkontribusi di dalam mensukseskannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau pertimbangan dalam menentukan kebijakan daerah sebagai yang bersinergi dalam perbaikan program pelayanan nifas, khususnya di daerah rural Indonesia.
1.5.4 Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang determinan pemanfaatan pelayanan nifas, khususnya di masing-masing kabupaten di daerah rural Indonesia.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui determinan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia berdasarkan analisis data SDKI 2012 dengan desain studi potong lintang (cross-sectional). Variabel dependen yang diteliti adalah pemanfaatan pelayanan nifas. Sedangkan variabel
9
independennya adalah pendidikan, urutan kelahiran dan kunjungan ke ANC, kuintil kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, jarak ke fasilitas kesehatan dan komplikasi persalinan. Sampel yang digunakan adalah wanita usia subur 15-49 tahun dan pernah melahirkan di daerah rural Indonesia tahun 2011-2012 berdasarkan data SDKI 2012. Analisis data SDKI 2012 dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2014 di Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelayanan Nifas 2.1.1 Definisi Masa Nifas Masa nifas atau puerperium berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata puer yang artinya bayi dan parous yang artinya melahirkan (Bahiyatun, 2008). Puerperium berarti masa setelah melahirkan bayi. Masa nifas (puerperium) adalah masa pemulihan alat-alat reproduksi dari sejak persalinan hingga ke bentuk normal seperti sebelum hamil dengan lama waktu sekitar 6 minggu (Manuba, 2004; Bahiyatun, 2008; Code dan Dunstall, 2011).
2.1.2 Tahapan Masa Nifas Secara umum, masa nifas dibagi menjadi tiga tahap/periode (Bahiyatun, 2008), yaitu: a. Puerperium dini, yaitu kepulihan ketika ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan. b. Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genital.
10
11
c. Remote puerperium, yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna mungkin beberapa minggu, bulan atau tahun.
2.1.3 Perubahan Fisiologis Masa Nifas Setelah proses persalinan, terdapat perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu selama masa nifas. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi pada persalinan normal adalah sebagai berikut. a. Uterus Setelah persalinan, kaliber pembuluh ekstrauterus berkurang hingga hampir mencapai keadaan prahamil. Setelah 2 hari pertama, uterus mulai menciut sehingga dalam 2 minggu uterus telah turun ke dalam rongga panggul sejati (Leveno, dkk., 2009). Uterus memperoleh kembali ukuran prahamilnya dalam waktu sekitar 4 minggu. Pada masa nifas juga terjadi perubahan pada endometrium. Waktu yang dibutuhkan endometrium untuk tumbuh dan terbentuk adalah selama 10 hari masa nifas dan menjadi sempurna sekitar 6 minggu. Sedangkan proses involusi berlangsung sekitar 6 minggu (Bahiyatun, 2008).
12
b. Lokia Lokia adalah darah yang dibuang dari rahim yang telah mengerut kembali ke ukuran semula, yang terdiri dari darah tempat plasenta menempel dan luruhan dinding rahim yang berkembang sangat besar selama kehamilan (Syafrudin dan Hamidah, 2009). Lokia keluar dari uterus selama 3 (tiga) minggu pertama setelah kelahiran (Stright, 2005). c. Serviks Pada masa nifas, serviks menjadi tebal dan lebih keras. Pada akhir minggu pertama masa nifas, serviks akan berdilatasi sekitar 1 cm atau selebar 1 jari. Involusi serviks yang lengkap bisa berlangsung 3 sampai 4 bulan. (Stright, 2005) d. Vagina dan Vulva Vagina dan vulva pada masa nifas mengalami pembengkakan dan akan kembali normal dalam beberapa waktu (Stright, 2005). Rugae tampak kembali dalam 3 sampai 4 minggu pasca persalinan. e.
Perineum Perineum adalah area di antara vagina dan rektum (Cheung, 2008) yang terdiri dari otot yang saling terjalin menyangga dasar panggul dan berperan sebagai “otot melahirkan” (Sindhu, 2009). Pada masa nifas, perineum tampak membengkak, memar dan
13
terdapat luka, lecet bahkan robek (Stright, 2005). Luka pada perineum akan pulih dalam waktu 6 sampai 7 hari (Manuaba, 2004). f.
Abdomen Abdomen tetap lunak dan mengendur selama beberapa waktu setelah melahirkan akibat ruptur serat elastik di kulit. Secara bertahap dalam beberapa minggu, abdomen akan menjadi lebih kuat. (Stright, 2005; Leveno, dkk., 2009)
g.
Ovarium Setelah proses persalinan, produksi estrogen dan progesteron menurun, sehingga menimbulkan mekanisme timbal-balik dari sirkulasi menstruasi. Pada saat ini, dimulai kembali proses ovulasi sehingga wanita dapat hamil kembali. (Bahiyatun, 2008).
h. Payudara Pada masa nifas, payudara megalami perubahan dalam beberapa hal. Menurut Stright (2005), perubahan yang terjadi pada payudara, yaitu: 1) Terjadi penurunan cepat kadar estrogen dan progesteron dengan peningkatan sekresi prolaktin setelah melahirkan. 2) Kolostrum sudah ada pada waktu melahirkan dan ASI diproduksi pada hari ketiga atau keempat setelah kelahiran.
14
3) Payudara lebih besar dan lebih keras karena terjadi laktasi (pembengkakan primer). 4) Di dalam payudara, prolaktin menstimulasi sel-sel alveolar untuk menghasilkan susu. i. Sistem Kardiovaskular Denyut jantung untuk sementara sekitar 50 sampai 70 kali per menit selama 24 sampai 48 jam setelah melahirkan dan bisa berlanjut hingga 6 sampai 8 hari (Stright, 2005). Tekanan darah tetap stabil dan nadi frekuensinya kembali seperti sebelum hamil dalam 3 bulan setelah kelahiran (Stright, 2005). Sedangkan penurunan volume darah ke kadar sebelum hamil terjadi pada minggu ketiga setelah kelahiran (Bahiyatun, 2008). j.
Sistem Pencernaan Umumnya, ibu yang telah melahirkan merasa lapar dan haus serta mengalami masalah konstipasi selama periode pascapartum awal karena penurunan tonus otot usus, rasa tidak nyaman pada perineum dan kecemasan (Stright, 2005). Berat badan juga mengalami penurunan sekitar 5 sampai 6 kg akbiat evakuasi uterus dan pengeluaran darah normal (Leveno, dkk., 2009). Biasanya terjadi penurunan lebih lanjut sebanyak 2 hingga 3 kg melalui diuresis. Sebagian besar wanita hampir kembali ke berat badan sebelum hamil dalam waktu 6 bulan setelah melahirkan.
15
k. Sistem Perkemihan Diuresis (peningkatan jumlah urin) umumnya terjadi setelah 2 hari postpartum karena saluran urinaria mengalami dilatasi dan akan kembali normal setelah 4 minggu pospartum (Bahiyatun, 2008).
2.1.4 Komplikasi Masa Nifas Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada masa nifas, antara lain: a.
Perdarahan Perdarahan pada masa nifas ada dua macam, yaitu (Farrer, 2001): 1) Perdarahan primer, yaitu perdarahan berlebihan (600 ml atau lebih) dari saluran genitalia yang terjadi dalam waktu 12-24 jam setelah melahirkan. Penyebabnya adalah kegagalan uterus untuk mencapai atau mempertahankan status kontraksi. 2) Perdarahan sekunder, yaitu perdarahan yang terjadi sejak 24 jam sesudah melahirkan dan umumnya disebabkan oleh infeksi akibat retensi produk pembuahan di dalam uterus.
16
b. Sepsis Puerperalis Sepsis puerperalis adalah infeksi pada traktus genetalia yang dapat terjadi setiap saat antara waktu pecah ketuban (ruptur membran) atau waktu persalinan dan 42 hari setelah persalinan atau abortus (WHO, 2002). c. Eklamsia Eklamsia adalah preeklamsia berat yang dilanjutkan dengan keadaan kejang dan/atau sampai koma (Yulaikhah, 2009). Preeklamsia adalah gangguan multisistem yang berhubungan dengan
hipertensi,
proteinuria,
edema,
hemokonsentrasi,
hipoalbuminemia, kelainan fungsi hati atau koagulasi dan peningkatan kadar asam urat (Engel dan Pedley, 2008). Eklamsia dapat muncul sebelum, selama atau setelah persalinan (Leveno, dkk. 2009). Pada sebagian kasus eklamsia, pasien meninggal mendadak bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya akibat perdarahan otak yang luas (Leveno, dkk. 2009). d.
Infeksi Puerperalis Infeksi pueperalis adalah infeksi yang terjadi di dalam struktur yang berhubungan dengan persalinan setelah melahirkan dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu (Stright, 2005). Gejala penting dari infeksi nifas adalah demam nifas yang juga sering disebut sebagai morbiditas nifas dan ditandai
17
dengan suhu 380 C atau lebih, yang terjadi selama 2 hari berturutturut (Sastrawinata, dkk., 2005). Kenaikan suhu ini terjadi sesudah 24 jam pasca persalinan dalam 10 hari pertama masa nifas. Infeksi pueperalis dapat disebabkan oleh teknik steril yang buruk, persalinan dengan manipulasi yang signifikan, kelahiran sesar, atau pertumbuhan flora lokal yang berlebihan (Stright, 2005). Mikroorganisme penyebab infeksi puerperalis dapat berasal dari luar atau dari jalan lahir sendiri. Mikroorganisme yang tersering menjadi penyebab ialah golongan streptokokus, basil koli, dan stafilokukos (Sastrawinata, dkk., 2005). e.
Depresi Postpartum Depresi postpartum adalah depresi berat yang biasanya mulai 1-2, dan 4 minggu setelah melahirkan dan berisiko terjadi episode berulang pada persalinan selanjutnya (Tomb, 2004). Remaja dan wanita dengan riwayat penyakit depresif memiliki risiko depresi pospartum sekitar 30% (Leveno, dkk. 2009).
f.
Postpartum Blues Postpartum blues adalah periode emosional stres yang terjadi antara hari ke-3 dan ke-10 setelah persalinan yang terjadi 80% pada ibu nifas dengan gejala iritabilitas yang meningkat, perubahan mood, cemas, pusing, serta perasaan sedih dan sendiri (Bahiyatun, 2008).
18
g.
Psikosis Postpartum Psikosis postpartum adalah kondisi psikiatrik yang serius (berbeda dengan keadaan depresi ringan, sepintas dan lazim terjadi) yang timbul pertama kali dalam masa nifas (Farrer, 2001). Biasanya psikosis terjadi sebelum hari ke-14 masa nifas, tetapi dapat pula timbul kemudian. Tanda terjadinya psikosis adalah insomnia (hampir selalu) selama dua hari atau lebih, banyak bicara dan dapat bermanifestasi dalam bentuk perilaku yang agresif, halusinasi, dan kecurigaan. Ibu yang menderita psikosis dapat menolak bayinya atau sebagai kemungkinan lainnya bersikap sangat posesif terhadap bayinya.
2.1.5 Pelayanan Nifas Pelayanan nifas adalah pelayanan/ praktek perawatan pencegahan dan penilaian rutin untuk mengidentifikasi dan menangani atau merujuk komplikasi pada ibu dan bayi (Warren, dkk., 2006) guna memelihara dan meningkatkan kesehatan ibu dan bayinya (WHO, 2010). Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu mulai 6 jam sampai 42 hari pasca persalinan oleh tenaga kesehatan (Kemenkes RI, 2010). Tujuan umum dari pelayanan atau perawatan nifas, yaitu (Bahiyatun, 2008): 1) Memulihkan kesehatan umum penderita
19
a) Menyediakan makanan sesuai kebutuhan b) Mengatasi anemia c) Mencegah infeksi dengan memperhatikan kebersihan dan sterilisasi d) Mengembalikan kesehatan umum dengan pergerakan otot untuk memperlancar peredaran darah 2) Mempertahankan psikologis 3) Mencegah infeksi dan komplikasi 4) Memperlancar pembentukan air susu ibu (ASI) 5) Mengajarkan ibu untuk melaksanakan perawatan mandiri sampai masa nifas selesai dan memelihara bayi dengan baik, sehingga bayi dapat mengalami pertumbuhan dan perkembangan normal.
a.
Tatalaksana Pelayanan Nifas Pelayanan ibu nifas dilaksanakan minimal 3 kali, masingmasing 1 kali, yaitu (Kemenkes RI, 2010): 1) Kunjungan nifas pertama pada masa 6 jam s/d 3 hari setelah persalinan. 2) Kunjungan nifas kedua pada hari ke-4 s/d hari ke-28 setelah persalinan. 3) Kunjungan nifas ketiga pada hari ke-29 s/d hari ke-42 setelah persalinan. Pelayanan yang diberikan adalah (Kemenkes RI, 2010):
20
1) Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. 2) Pemeriksaan tinggi fundus uteri (involusi uterus). 3) Pemeriksaan lokhia dan pengeluaran per vaginam lainnya. 4) Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI eksklusif 6 bulan. 5) Pemberian kapsul vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali, pertama segera setelah melahirkan, kedua diberikan setelah 24 jam pemberian kapsul vitamin A pertama. 6) Pelayanan KB pasca salin, yaitu pelayanan yang diberikan kepada ibu yang mulai menggunakan alat kontrasepsi langsung sesudah melahirkan (sampai dengan 42 hari sesudah melahirkan). Pelayanan kesehatan ibu nifas diberikan oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan tersebut, yaitu dokter spesialis, dokter, bidan dan perawat. Pelayanan nifas juga tidak berarti ibu nifas yang mendatangi tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan. Namun, didefinisikan sebagai kontak ibu nifas dengan tenaga kesehatan baik di dalam gedung maupun di luar gedung fasilitas kesehatan (termasuk bidan di desa/polindes/poskesdes dan kunjungan rumah) (Buku PWS-KIA, Depkes, 2003 dalam Riskesdas, 2010).
21
b. Pelayanan Nifas dalam Jaminan Persalinan (Jampersal) Dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan anak dan mempercepat pencapaian MDG‟s, pemerintah telah menetapkan kebijakan bahwa setiap ibu yang melahirkan, biaya persalinannya ditanggung oleh pemerintah melalui program Jaminan Persalinan (Jampersal). Pelayanan nifas adalah salah satu program yang biayanya ditanggung dalam program Jampersal. Pelayanan nifas diintegrasikan antara pelayanan ibu nifas, bayi baru lahir dan pelayanan KB pasca salin. Pelayanan ibu nifas dan bayi baru lahir dilaksanakan 4 kali, masing-masing 1 kali pada (Permenkes RI No. 2562 tahun 2011): 1) Kunjungan pertama untuk Kf 1 dan KN 1 (6 jam s/d hari ke-2) 2) Kunjungan kedua untuk KN 2 (hari ke-3 s/d hari ke-7) 3) Kunjungan ketiga untuk Kf 2 dan KN 3 (hari ke-8 s/d hari ke28) 4) Kunjungan keempat untuk Kf 3 (hari ke-29 s/d hari ke-42). Pelayanan KB pasca persalinan dilakukan hingga 42 hari pasca persalinan. Pelayanan nifas dijamin sebanyak 3 kali, terkecuali pelayanan nifas dengan komplikasi yang dirujuk ke rumah sakit, maka pelayanan nifas dilakukan sesuai pedoman nifas dengan komplikasi tersebut. Besaran tarif pelayanan nifas termasuk pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan adalah sebesar
22
Rp. 10.000 untuk setiap kunjungan atau Rp. 30.000 untuk 3 kali kunjungan. (Kemenkes RI, 2011) Pelayanan ibu nifas
yang diberikan dalam program
Jampersal, yaitu (Kemenkes RI, 2011): 1) Pengukuran tekanan darah. 2) Pemeriksaan nifas. 3) Pemberian kapsul vitamin A pada ibu. 4) Pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir. 5) Pelayanan KB sesudah melahirkan pada masa nifas. 6) Nasihat kebutuhan gizi, KB, pemberian ASI eksklusif dan perawatan bayi baru lahir. 7) Jika ada penyulit/komplikasi, akan dirujuk untuk mendapatkan pemeriksaan dan pelayanan lebih lanjut.
2.2 Determinan Epidemiologi Epidemiologi menurut Last (1988) adalah ilmu tentang distribusi dan determinan yang berhubungan dengan kondisi kesehatan atau peristiwa dalam populasi tertentu dan aplikasinya untuk mengatasi masalah kesehatan (Bustan, 2006). Menurut WHO (Beaglehole, 1993), salah satu peran utama epidemiologi adalah menentukan penyebab dari penyakit atau masalah kesehatan (Bustan, 2008). Ini merupakan tugas utama dan pertama epidemiologi yang sangat penting dalam membantu menentukan penyebab
23
suatu masalah sehingga dapat dilakukan tindakan upaya pencegahan dan perencanaan penanggulangannya. Jangkauan
epidemiologi
terus
berkembang
sesuai
dengan
perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat. Pada awalnya epidemiologi
mempelajari
penyakit
wabah.
Kemudian
berkembang
mempelajari penyakit infeksi non-wabah, penyakit non-infeksi hingga akhirnya mempelajari hal-hal yang bukan penyakit, seperti fertilitas, menopause, kecelakaan, kenakalan remaja dan penyalahgunaan obat (Budiarto dan Anggraeni, 2003). Masriadi (2012) pun menyebutkan bahwa epidemiologi juga mempelajari perilaku, penyediaan dan penggunaan pelayanan kesehatan. Konsep „determinan‟ digunakan dalam arti luas sebagai faktor yang berhubungan dengan outcome/hasil (Broeck dan Brestoff, 2013). Determinan adalah tentang mengapa dan bagaimana penyebab suatu faktor-faktor lain yang memengaruhi terjadinya peristiwa yang berhubungan dengan kesehatan (Gregg, 2008). Para epidemiolog menganggap bahwa penyakit tidak terjadi secara acak, tetapi hanya terjadi ketika adanya kombinasi atau akumulasi yang tepat dari faktor risiko atau determinan. Oleh karena itu, guna mencari determinan tersebut, para epidemiolog menggunakan epidemiologi analitik untuk menentukan status keduanya. Masriadi (2012) juga menjelaskan bahwa determinan adalah istilah yang inklusif, mencakup faktor risiko dan kausa penyakit. Faktor risiko adalah semua faktor yang berhubungan dengan meningkatnya probabilitas
24
(risiko) terjadinya penyakit. Suatu faktor bisa disebut sebagai faktor risiko jika faktor tersebut berhubungan dengan terjadinya penyakit, meskipun hubungan itu tidak harus bersifat kausal (sebab-akibat). Determinan dapat berupa faktor fisik, biologis, sosial, kultural, maupun perilaku yang dapat memengaruhi terjadinya penyakit.
2.3 Daerah Rural Definisi dari rural atau pedesaan bermacam-macam, tergantung dari siapa yang mendefinisikannya dan apa tujuan dari dari pendefinisian tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan daerah rural sebagai suatu wilayah administratif setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan, yaitu persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah fasilitas perkotaan, sarana pendidikan formal, sarana kesehatan umum, dan sebagainya (Peraturan BPS Nomor 3 Tahun 2010). Adapun fasilitas perkotaan yang dimaksud, yaitu sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Umum (SMU), pasar, pertokoan, bioskop, rumah sakit, hotel/bilyar/diskotek/panti pijat/salon, persentase rumah tangga yang menggunakan telepon dan persentase rumah tangga yang menggunakan listrik. Suatu daerah dapat dikatakan sebagai daerah urban jika memenuhi kriteria berikut ini:
25
Tabel 2.1 Variabel, Klasifikasi, Skor dan Kriteria Desa Urban dan Rural Variabel [1] Total Skor Skor minimum Skor maksimum 1. Kepadatan Penduduk < 500 500 – 1.249 1.250 – 2.499 2.500 – 3.999 4.000 – 5.999 6.000 – 7.499 7.500 – 8.499 8.500 < 2. Persentase rumah tangga pertanian 70,00 < 50,00 – 69,99 30,00 – 49,00 20,00 – 29,99 15,00 – 19,99 10,00 – 14,99 5,00 – 9,99 < 5,00 3. Akses fasilitas umum a) Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Ada atau ≤ 2,5 km > 2,5 km b) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Ada atau ≤ 2,5 km > 2,5 km c) Sekolah Menengah Umum (SMU) Ada atau ≤ 2,5 km > 2,5 km d) Pasar Ada atau ≤ 2 km > 2 km e) Pertokoan Ada atau ≤ 2 km > 2 km f) Bioskop
Skor [2] 2 26 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 0,1,2,….10 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
26
Ada atau ≤ 2 km > 2 km g) Rumah Sakit Ada atau ≤ 5 km > 5 km h) Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon Ada Tidak ada i) Persentase Rumah Tangga Telepon ≥ 8,00 < 8,00 j) Persentase Rumah Tangga Listrik ≥ 90,00 < 90,00 Sumber: Peraturan BPS Nomor 3 Tahun 2010
0 1 0
1 0 1 0 1 0
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel tersebut, jika total skor lebih dari atau sama dengan 10 maka daerah tersebut dikatakan sebagai daerah urban. Sebaliknya, jika total skor kurang dari 10, maka daerah tersebut dikatakan sebagai daerah rural. Penggolongan daerah atau desa menjadi desa urban atau desa rural dilakukan oleh BPS untuk keperluan statistik dan keperluan lainnya yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan, seperti untuk kegiatan sensus penduduk tahun 2010 dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012. Adapun karakteristik yang terdapat di daerah rural sebagi berikut. 2.3.1 Geografi Pada tahun 2001 hingga 2010, jumlah kendaraan di Indonesia meningkatkan tiga kali lipat. Namun, jalan nasional yang melayani
27
lebih dari sepertiga dari lalu lintas kendaraan hanya tumbuh seperempat saja. Kesenjangan pertumbuhan infrastruktur trasnportasi ini semakin besar antara daerah urban dan rural. Tingkat infrastruktur transportasi dan jalan di daerah rural Papua-Maluku lebih rendah dibandingkan daerah lainnya, khususnya Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Lebih dari 20% jalan di Kalimantan dan Maluku telah rusak. (OECD, 2013) Kondisi geografis yang sulit di daerah rural menjadi kendala bagi masyrakat di sana untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan yang ada, salah satunya
adalah
fasilitas
kesehatan.
Data
SDKI (2012)
menunjukkan bahwa penduduk di daerah rural menghadapi masalah yang lebih besar terhadap jarak ke fasilitas kesehatan dibandingkan penduduk di daerah urban (masing-masing 14% dan 7,3%).
2.3.2 Pendidikan Berdasarkan SDKI tahun 2012, wanita yang tinggal di daerah rural memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan wanita yang tinggal di daerah urban, khususnya pada tingkat pendidikan SMTA dan perguruan tinggi (BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International 2013). Hal ini karena pemerataan layanan pendidikan menengah belum sepenuhnya mampu menjangkau penduduk kurang beruntung yang disebabkan kondisi geografis (misalnya daerah terpencil dan perbatasan) dan kondisi sosial ekonomi (Kemendikbud, 2012). Pelaksaanaan desentralisasi pendidikan yang belum mantap
28
karena kurangnya kejelasan pembagian tugas dan tanggung jawab antar tingkat pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) menjadi salah satu penyebab manajemen tata kelola pendidikan yang belum efektif, khususnya dalam hal fungsi dan pendanaan.
2.3.3 Ekonomi Berdasarkan SDKI (2012), lebih dari setengah penduduk rural (60%) di Indonesia berada dalam kuintil terbawah dan menengah bawah. Sedangkan sepertiga penduduk daerah urban (33%) berada dalam kuintil tertinggi. Ekonomi di daerah rural dapat berdampak pada perilaku seseorang ketika sakit dalam pencarian pengobatan (Bushy, 2009). Pemerintah telah menyediakan asuransi kesehatan, seperti Jaminan Persalinan (Jampersal) dan Jaminan Kesehatan Masyrakat (Jamkesmas) untuk memudahkan masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Namun, kesadaran masyarakat daerah rural untuk menggunakan asuransi kesehatan tersebubut masih rendah. Unicef (2012) melaporkan bahwa masih kurang kesadaran perempuan tentang kelayakan dan manfaat Jampersal serta tingkat penggantian biaya yang tidak memadai, khususnya jika termasuk biaya transportasi dan komplikasi. Masyarakat sudah dijelaskan tentang biaya persalinan yang gratis dengan ditolong bidan di desa di fasilitas kesehatan, namun mereka masih takut jika
29
kemudian diminta untuk membayar biaya persalinan (Titaley, dkk., 2010). Penelitian di Pandeglang menemukan bahwa wanita yang memiliki pengetahuan yang baik tentang Jampersal lebih tinggi untuk memanfaatkan pelayanan Jampersal (Suparmi, dkk., 2013). Selain itu, sosialisasi kebijakan Jampersal sangat kurang, baik kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dan unit-unit pelaksana, maupun kepada masyarakat pengguna (Helmizar, 2014). Secara nasional, tingkat pengeluaran Jampersal pada tahun 2011 adalah 41,5% di mana pengeluaran tertinggi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara (82,86%) dan terendah di wilayah Papua (13,02%) (Dwicaksono dan Setiawan, 2013). Heywood dan Choi (2010) menyebutkan bahwa meskipun terjadi peningkatan alokasi dana kesehatan yang signifikan oleh pemerintah Indonesia, namun tidak terdapat hubungan antar pengeluaran kesehatan pemerintah di tingkat kabupaten dengan keluaran sistem kesehatan yang diharapkan. Alokasi dana transfer secara efektif tidak sesuai dengan besarnya permasalahan kesehatan ibu yang dihadapi oleh daerah (Dwicaksono dan Setiawan, 2013). Artinya, pemerintah pusat gagal dalam menggunakan sumber daya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu di daerah.
30
2.3.4 Kesehatan Maternal Berdasarkan SDKI (2012), sebanyak 63% anak yang lahir dalam 5 tahum sebelum survei dilahirkan di fasilitas kesehatan, yaitu 17% di fasilitas kesehatan pemerintah dan 46% di fasilitas kesehatan swasta. Pemanfaatan pelayanan kesehatan untuk persalinan ditemui jauh lebih tinggi di daerah rural dibandingkan di daerah urban, yaitu masingmasing 47% dan 80%. Proporsi kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis profesional di Indonesia meningkat dari 73% pada SDKI 2007 menjadi 83% pada SDKI 2012. Namun, proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan di daerah rural lebih rendah dibandingkan persentase nasional, yaitu sebesar 74,6%. Meskipun kelahiran ditolong oleh dukun bayi sudah bergeser, namun dukun bayi masih berperan penting dalam menolong persalinan, terutama di daerah rural (20%) dan ibu dengan kuintil kekayaan terendah (32%). Program pemerintah berupa bidan di desa (BDD), yaitu pelatihan dan penyebaran bidan di daerah rural, secara dramatis mengurangi kesenjangan sosial ekonomi terkait penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih (Hatt, dkk., 2007). Namun, di beberapa wilayah di daerah rural dilaporkan bahwa masyarakat sulit menjangkau bidan di desa. Sulitnya penduduk di daerah rural dan daerah terpencil untuk menjangkau bidan di desa telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya
31
(Makowiecka, dkk., 2007). Jika dibandingkan di daerah urban, kepadatan bidan di desa lebih rendah terjadi di daerah rural dan daerah terpencil. Akibatnya, setiap bidan di desa sebagai penyedia pelayanan kesehatan memiliki beban tugas yang lebih besar karena jangkauan wilayah kerja yang luas. Di sisi lain, kondisi tersebut tidak didukung oleh sarana transportasi yang memadai sehingga menyulitkan bidan di desa untuk menjangkau wanita bersalin atau merujuknya ke rumah sakit jika terjadi komplikasi. Hal ini yang kemudian menjadi penyebab kurang familiarnya bidan di desa di dalam kelompok masyarakat. Makowiecka, dkk. (2007) juga menemukan bahwa di provinsi Banten, kurang dari 30% bidan di desa tinggal menetap di desa. Mereka lebih
tertarik
untuk
tinggal
di
daerah
urban
karena
dapat
mengembangkan karirnya. Sebagai tambahan penghasilan, mereka membuka klinik sendiri di daerah urban. Karena masih tingginya penolong persalinan oleh dukun bayi/paraji, salah satu upaya Kementerian Kesehatan RI untuk mengurangi angka kematian ibu dan angka kematian bayi, yaitu melalui Dinas Kesehatan Provinsi melakukan beberapa pelatihan bagi paraji untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang kehamilan dan persalinan, terutama bagaimana untuk mendeteksi kehamilan berisiko tinggi, bagaimana untuk merujuk persalinan yang sulit, dan bagaimana untuk menangani tali pusar higienis (Ambaretnani, 2012). Selanjutnya, seorang paraji yang telah terlatih diberikan sepaket alat praktek medis
32
atau Dukun Kit. Paraji dianggap sebagai bagian dari keluarga di masyarakat karena peran mereka dalam menjaga kesehatan rumah tangga sehingga tidak hanya membantu saat melahirkan, tetapi juga membantu selama masa kehamilan dan perawatan pasca persalinan. Penelitian Sudirman dan Sakung (2012) menemukan bahwa 62,5% dukun bayi bermitra dengan bidan, yaitu dengan hadir bersamasama dalam menolong persalinan. Kemitraan ini sangat positif karena hubungan yang terjalin antar keduanya didasarkan pada saling menguntungkan,
saling
menghargai
kelemahan
dan
kelebihan,
berkomunikasi dan memberi informasi, terutama tentang pasien yang akan melahirkan.
2.4 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Perilaku seseorang ketika diserang penyakit dan merasakan sakit bermacam-macam. Perilaku atau respon seseorang ketika sakit menurut Notoatmodjo (2010), yaitu: a. Tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa. b. Tindakan mengobati sendiri. c. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional. d. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta. Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan. Hal tersebut akan memengaruhi atas dipakai
33
atau tidaknya fasilitas kesehatan yang disediakan (Notoatmodjo, 2010). Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan merupakan respons individu terhadap sistem pelayanan kesehatan modern dan atau tradisional, meliputi respons terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan kesehatan, perilaku terhadap petugas, dan respons terhadap pemberian obat-obatan (Maulana, 2009). Respons ini terwujud dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, penggunaan fasilitas, sikap terhadap petugas dan obat-obatan. Andersen (1960-an) menggambarkan model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu karakteristik predisposisi, sumber daya pendukung dan kebutuhan (Andersen, 1995). Model Andersen ini diilustrasikan pada Bagan 2.1.
Bagan 2.1 Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Predisposing Charahcteristics
Enabling Resources
Need
Demographic ccc
Personal/Family
Perceived
Social Structure
Community
Evaluated
Health Beliefs Sumber: Andersen (1995)
Use of Health Services
34
Berdasarkan bagan tersebut, faktor predisposisi meliputi tiga hal, yaitu demografi, struktur sosial, dan kepercayaan kesehatan. Sedangkan faktor pendukung meliputi dukungan pada keluarga dan komunitas serta faktor kebutuhan meliputi kebutuhan yang dirasakan dan yang dinilai.
Bagan 2.2 Determinan Individu dalam Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Predisposing
Enabling
Illness Level
Demographic
Family
Perceived
Age Sex Marital Status Past Ilness Social Structure Education Race Occupation Family Size Ethnicity Religion Residential Mobility
Income Health Insurance Type of Regular Source Access to Regular Source Community Ratios of Health Personnel and Facilities to Population Price of Health Services Region of Country
Beliefs Value Concerning Health and Illness Attitudes toward Health Services Knowledge about Disease
Sumber: Andersen dan Newman (2005)
Disability Symptoms Diagnoses General States Evaluated Symptoms Diagnoses
35
Bagan 2.2 memperlihatkan determinan individu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan sebagai salah satu komponen teori perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan yang kembali dipublikasikan oleh Andersen dan Newman pada tahun 1973 (Andersen dan Newman, 2005). Mereka menekankan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu karakteristik sistem pelayanan kesehatan, perubahan teknologi, norma sosial dan perawatan penyakit, dan determinan individu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan (Andersen dan Newman, 2005). Pada subbab ini, penulis hanya membahas determinan individu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan sebagai acuan kerangka teori penelitian yang dapat dilihat pada Bagan 2.2.
2.4.1 Karakteristik Predisposisi (Andersen, 1995) Karakteristik predisposisi menggambarkan kecenderungan individu yang
berbeda-beda
untuk
memanfaatkan
pelayanan
kesehatan
berdasarkan karakteristik yang mereka miliki. Karakteristik predisposisi meliputi faktor demografi, struktur sosial dan sikap atau keyakinan tentang kesehatan. Faktor demografi, seperti usia dan jenis kelamin merupakan variabel yang sangat erat berkaitan dengan kesehatan dan penyakit. Perawatan medis yang diterima antar kelompok usia akan berbeda karena memiliki jenis dan jumlah penyakit yang berbeda. Riwayat
36
penyakit pada masa lalu juga menjadi variabel demografi karena tedapat bukti yang menemukan bahwa orang yang mengalami masalah kesehatan di masa lalu adalah yang paling mungkin untuk membuat keputusan dalam perawatan medis di masa depan. Faktor struktur sosial mencerminkan penentu status seseorang dalam masyarakat, kemampuannya dalam mengatasi masalah yang ada dan keadaan sehat tidaknya lingkungan fisik tempat dia berada. Pendidikan, pekerjaan, dan etnis merupakan contoh faktor struktur sosial yang mungkin berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain demografi dan struktur sosial, keyakinan terhadap kesehatan juga menjadi variabel dari predisposisi. Keyakinan terhadap kesehatan adalah sikap, nilai dan pengetahuan seseorang tentang kesehatan dan pelayanan kesehatan yang memengaruhi persepsi kebutuhan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Keyakinan terhadap kesehatan merupakan suatu hal yang dapat menjelaskan bagaimana struktur sosial dapat
memengaruhi
sumber
daya
pendukung,
kebutuhan
dan
selanjutnya memanfaatan pelayanan kesehatan. Dalam pengaplikasiannya, karakteristik predisposisi merupakan komponen yang memengaruhi ibu dalam pemanfaatan pelayanan nifas. Faktor-faktor predisposisi yang memengaruhi adalah sebagai berikut.
37
a.
Pendidikan Pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU RI No. 12 tahun 2012). Pendidikan formal merupakan jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (UU RI No. 9 tahun 2009). Pendidikan (Notoadmodjo,
berperan 2010).
terhadap
Pendidikan
perilaku
umumnya
seseorang
menyebabkan
tingginya pemanfataan pelayanan kesehatan (Morreale, 1998). Penelitian Doraon (2012) dan Ugboaja, dkk. (2013) menemukan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan pemanfaatan pelayanan nifas dengan tingginya pendidikan ibu. Hal serupa juga diperoleh Paudel, dkk. (2013) bahwa ibu yang berpendidikan menengah
dan
atas
lebih
besar
kemungkinannya
untuk
memanfaatkan layanan nifas awal (24 jam setelah bersalin). Menurutnya, pendidikan memungkinkan untuk memberdayakan individu untuk mendapatkan akses informasi tentang promosi kesehatan, informasi untuk mendapatkan pelayanan dan pentingnya
38
layanan yang tersedia. Orang-orang yang berpendidikan juga cenderung dapat memproses informasi kesehatan. Selain itu, penelitian Khanal, dkk. (2014) menemukan bahwa ibu dengan pendidikan tinggi lebih mungkin untuk berkunjung ke pelayanan nifas karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar kemungkinan memperoleh informasi tentang risiko kesehatan,
pentingnya
dan
manfaat
mengakses
pelayanan
kesehatan. Selain berperannya pendidikan ibu, Ejaz dan Ahmad (2013) juga menemukan bahwa semakin tingginya pendidikan suami maka semakin tinggi pemanfaatan pelayanan nifas. Pendidikan dianggap penting dalam menanamkan kesadaran tentang masalah kesehatan dan peduli untuk mencarai kesehatan yang layak. Meski demikian, terdapat juga beberapa penelitian yang tidak sependapat. Penelitian Dhaher, dkk. (2008) dan Berhe, dkk. (2013) menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Fitria dan Puspitasari (2011) juga menemukan bahwa ibu nifas yang tamat SD cenderung melaksanakan pelayanan nifas dibandingkan ibu nifas yang berpendidikan SMP dan SMA karena kemungkinan ibu dengan pendidikan lebih tinggi merasa lebih tahu akan kondisi tubuhnya.
39
b. Pekerjaan Pekerjaan yang sering disebut sebagai profesi adalah sesuatu yang dilakukan manusia yang dilakukan dengan cara yang baik dan benar dengan tujuan mendapatkan imbalan berbentuk uang untuk memenuhi kebutuhan hidup (Sofianty, dkk., 2007). Alasan bekerja selain untuk mendapatkan uang adalah untuk mengembangkan potensi atau kemampuan diri. Namun, terdapat juga pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan bersama dan tidak menghasilkan uang, seperti seorang ibu rumah tangga yang bekerja untuk mengurus rumah dan mengatur keperluan keluarga (Sofianty, dkk., 2007). Pada saat ini banyak para ibu yang bekerja di luar rumah karena tuntutan ekonomi dalam keluarga. Menurut Berhe, dkk. (2013), tingkat pekerjaan ibu dan suami berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian ini juga menemukan bahwa ibu yang bekerja lebih besar kemungkinannya untuk mengunjungi pelayanan nifas daripada wanita yang tidak bekerja. Lebih jauh lagi, Khannal, dkk. (2014) menemukan bahwa ibu yang bekerja sebagai petani lebih kecil kemungkinannya untuk berkunjung ke pelayanan nifas. Begitu juga dengan ibu yang suaminya bekerja sebagai petani lebih kecil kemungkinannya untuk berkunjung ke pelayanan nifas. Hal ini terjadi karena bentroknya
40
jam ibu bekerja dengan jam buka pelayanan nifas. Selain itu juga karena alasan pendapatan yang dihasilkan dari bertani. Meski demikian, terdapat juga banyak penelitian yang tidak menemukan adanya hubungan antara pekerjaan dengan kunjungan ibu ke pelayanan nifas, seperti penelitian Fitria dan Puspitasari (2011), Ugboaja, dkk. (2013), Ejaz, dkk. (2013), dan Nugraha (2013).
c. Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. (Notoajmodo, 2010) Beberapa
penelitan
menemukan
bahwa
pengetahuan
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi wanita untuk memanfaatkan pelayanan nifas. Wanita yang memiliki pengetahuan tentang komplikasi kehamilan secara signifikan lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas saat 24 jam setelah persalinan (Kim, dkk., 2013). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Ugboaja, dkk. (2013) bahwa alasan utama wanita Nigeria tidak mengunjungi pelayanan nifas setelah
41
melahirkan adalah kurangnya pengetahuan tentang perawatan yang dibutuhkan pasca melahirkan. Penelitian eksperimental yang dilakukan Syed, dkk (2006) di Bangladesh menemukan bahwa adanya peningkatan pemanfaatan pelayanan nifas secara signifikan sebesar 37,5% dari 24,2% pada tahun 2002 menjadi 61,7% pada tahun 2004 setelah diberikannya intervensi
tentang
pengetahuan.
Pengetahuan
ibu
tentang
setidaknya dua tanda bahaya pada periode postpartum meningkat sebesar 17% dari 47,1% di tahun 2002 menjadi 64% di tahun 2004. Pengetahuan tentang fasilitas kesehatan ibu lebih tinggi di antara
orang-orang
yang
mendapatkan
pendidikan
formal
(Yar‟zever dan Said, 2013). Pengetahuan yang didapat dari pendidikan
memberikan
mengakses
informasi
kemudahan
dan
bagi
memanfaatkan
individu
dalam
pelayanan
untuk
meningkatkan kesehatan diri sendiri dan keluarganya (Higgins, Lavin dan Metcalfe, 2008; Paudel, dkk., 2013). Namun, beberapa penelitian juga menemukan bahwa pengetahuan tidak memepengaruhi wanita untuk memanfaatkan pelayanan nifas. Berhe, dkk (2013) tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan wanita di Etiopia tentang perawatan pasca persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada wanita di daerah Mazabuka, Zambia (Jacobs, 2007). Meskipun para
42
wanita memiliki pengetahuan yang tinggi tentang perawatan/ pelayanan nifas, mereka tidak benar-benar mengerti secara mendalam tentang pelayanan nifas. Hanya beberapa dari mereka yang berpengetahuan yang memanfaatkan pelayanan nifas. Perilaku masyarakat yang erat kaitannya dengan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat dapat terbentuk melalui kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan (Maulana, 2009). Pendidikan kesehatan adalah proses yang direncanakan dengan sadar untuk menciptakan peluang bagi individu-individu untuk senantiasa belajar memperbaiki kesadaran serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya demi kepentingan kesehatannya (Nursalam dan Efendi, 2008). Pendidikan kesehatan dapat diberikan dalam bentuk memberikan informasi dan mendidikan masyarakat tentang cara hidup yang sehat (Chandra, 2009).
d. Urutan Kelahiran Sejumlah penelitian menemukan bahwa nomor urut kelahiran berhubungan secara signifikan dengan pemanfaaatan pelayanan nifas.
Khanal,
dkk
(2014)
menemukan
bahwa
tingginya
pemanfaatan pelayanan nifas terjadi pada kelahiran anak pertama (61,8%) dan kedua atau ketiga (41,2%). Begitu juga dengan Singh, dkk. (2012) yang menemukan bahwa tingginya pemanfaatan
43
pelayanan nifas terjadi pada kelahiran anak pertama (37,4%) dan kedua aatu ketiga (32,8%). Ibu dengan pengalaman persalinan pertama lebih besar kemungkinannya
untuk
memanfaatkan
pelayanan
nifas
dibandingkan ibu dengan jumlah persalinan yang banyak (Adamu, 2011). Jumlah anak yang banyak biasanya berhubungan dengan peningkatan tanggung jawab secara fisik dan materi sehingga ibu memiliki waktu dan sumber keuangan yang sedikit untuk merawat diri sendiri. Singh, dkk. (2012) juga menemukan bahwa remaja wanita yang melahirkan anak keempat atau lebih maka lebih kecil kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas daripada ibu yang melahirkan anak pertama, kedua atau ketiga. Hal ini bisa jadi karena wanita dengan anak pertama lebih berhati-hati tentang kehamilan dan cenderung memiliki kesulitan selama persalinan. Pengalaman dan pengetahuan ibu yang pernah melahirkan sebelumnya juga dapat menjadi alasan rendahnya pemanfaatan pelayanan nifas pada ibu yang memiliki anak dengan urutan kelahiran tinggi. Hal tersebut memengaruhi persepsi dan keyakinan tentang kesehatan diri sendiri. Namun, beberapa penelitian juga menemukan bahwa nomor urut kelahiran tidak berhubungan dengan pemanfaaatan pelayanan nifas. Penelitian Islam dan Odland (2011) menemukan bahwa tidak
44
terdapat hubungan yang bermakna antara urutan kelahiran dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Bahkan pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada ibu yang melahirkan anak kedua dan ke empat dibandingkan anak pertama dan ketiga. Fort, dkk (2006) juga menemukan bahwa di negara berkembang, termasuk Indonesia, ibu yang melahirkan anak pertama lebih banyak yang mendapatkan pelayanan nifas dibandingkan melahirkan anak yang kedua atau lebih. Namun, jika
melahirkan di non-fasilitas
kesehatan, pemfantaan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada ibu yang melahirkan anak kelima atau lebih dibandingkan anak dengan urutan kelahiran kecil.
e.
Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) (Kemenkes RI, 2010). Frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama masa kelaminan, yaitu minimal 1 kali pada triwulan pertama, minimal 1 kali pada triwulan kedua dan minimal 2 kali pada triwulan ketiga. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa kunjungan ibu ke pelayanan antenatal berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan
45
nifas pasca persalinan. Hal tersebut ditunjukkan dari penelitian Chimankar
dan
Sahoo
(2011)
yang
menemukan
bahwa
pemanfaatan pelayanan antenatal memiliki dampak positif pada pemanfaatan pelayanan nifas. Kunjungan ke pelayanan antenatal meningkatkan kemungkinan bagi wanita untuk memanfaatkan pelayanan nifas (Ugboaja, dkk., 2013). Paudel, dkk. (2013) juga menemukan bahwa ibu yang berkunjung ke pelayanan antenatal sebanyak 4 kali atau lebih atau sebanyak 1 sampai 3 kali, lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas daripada ibu yang tidak datang ke pelayanan antenatal. Hasil ini sejalan dengan penelitian Khanal, dkk., (2014) yang juga menemukan bahwa ibu yang berkunjung sebanyak 4 kali atau lebih ke pelayanan antenatal lebih besar kemungkinannya untuk berkunjung ke pelayanan nifas setelah bersalin daripada ibu yang tidak berkunjung ke pelayanan antenatal. Standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar di Indonesia juga disebutkan bahwa pada saat kunjungan ANC, terdapat sesi konseling yang membahas persiapan persalinan (Kemenkes, 2013). Saat datang ke pelayanan antenatal, ibu hamil memperoleh informasi kesehatan tentang persiapan yang dibutuhkan untuk persalinan dan pemanfaatan layanan lebih lanjut yang dibutuhkan setelah persalinan. Pada sesi konseling dengan tenaga kesehatan
46
tersebut, ibu hamil memperoleh informasi tentang pemanfaatan pelayanan nifas. Oleh sebab itu, ibu hamil mungkin beranggapan bahwa pelayanan nifas penting dan telah tersedia di sana. (Paudel, dkk., 2013) Meski demikian, beberapa penelitian menemukan bahwa tidak
terdapat
hubungan
antara
kunjungan
ANC
dengan
pemanfaatan pelayanan nifas. Dhaher, dkk. (2008) dan Berhe, dkk. (2013) juga menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kunjungan ke pelayanan antenatal dengan kunjungan ke pelayanan nifas. Meskipun tidak ada hubungan, Berhe, dkk. (2013) berkeyakinan bahwa penting untuk mendidik para ibu hamil tentang pelayanan nifas untuk meningkatkan kesadaran mereka ketika berkunjung ke pelayanan antenatal. Alasan ibu yang tidak berkunjung ke pelayanan antenatal bermacam-macam. Titaley, dkk., 2010) menemukan bahwa alasan utama wanita di Garut, Sukabumi dan Ciamis berkunjung ke ANC dan pelayanan nifas adalah untuk memastikan keselamatan ibu dan bayinya. Sebaliknya, alasan di antara mereka tidak memanfaatkan ANC maupun pelayanan nifas adalah karena kurangnya kesadaran mereka tentang pentingnya memanfaatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Beberapa di antara mereka berpendapat bahwa pelayanan kesehatan hanya dibutuhkan jika terjadi komplikasi kehamilan.
47
Titaley, dkk (2010) juga menjelaskan bahwa di sana, finansial adalah alasan utama mereka tidak berkunjung ke ANC. Hal ini berhubungan dengan biaya fasilitas kesehatan, biaya transportasi maupun keduanya. Penelitian Titaley, dkk., (2010) sebelumnya juga telah menemukan bahwa rendahnya pemanfaatan pelayanan antenatal (ANC) di Indonesia berhubungan secara signifikan dengan kuintil kekayaan yang rendah. Kunjungan ANC yang tidak dilakukan oleh wanita selama hamil juga dapat dipengaruhi oleh kepercayaan yang menjadi budaya di lingkungannya. Wanita di daerah rural Jawa Barat beranggapan bahwa kehamilan adalah peristiwa yang normal sehingga tidak butuh perawatan kecuali jika terjadi komplikasi (Agus, dkk., 2012). Hal serupa juga terjadi di derah rural Bangladesh bahwa wanita umumnya menganggap kehamilan sebagai peristiwa normal kecuali jika muncul komplikasi sehingga sebagian dari mereka tidak berkunjung ke ANC dan tidak ada persiapan sebelumnya untuk menghadapi persalinan (Choudhury dan Ahmed, 2011). Selain itu, kunjungan ANC juga diketahui berhubungan dengan pendidikan. Seperti di Ethiopia, wanita di daerah rural dengan
tingkat
pendidikan
sekunder
4
kali
memanfaatkan pelayanan antenatal (Mekonnen, 2002).
lebih
besar
48
2.4.2 Sumber Daya Pendukung (Andersen, 1995) Setiap orang memiliki kecenderungan masing-masing dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan karakteristik predisposisinya. Namun, untuk bisa memanfaatkan pelayanan kesehatan tersebut, mereka harus memiliki berbagai sumber daya pendukung. Sumber daya pendukung didefinisikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sumber daya pendukung meliputi sumber
daya
individu/keluarga
dan
sumber
daya
komunitas.
Pendapatan, asuransi kesehatan, sumber rutin perawatan, aksesibilitas merupakan contoh sumber daya pendukung. Ketersediaan fasilitas ke pelayanan kesehatan merupakan contoh sumber daya pendukung komunitas. Jika jumlah fasilitas dan tenaga kesehatan dalam komunitas cukup banyak dan dapat digunakan tanpa antri, maka kemungkinan penduduk disana akan lebih sering memanfaatkannya. Selain itu, wilayah negara, sifat daerah urban-rural dari masyarakat di mana keluarga tinggal juga menjadi sumber daya pendukung komunitas. Hal-hal tersebut kemungkinan terkait dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan karena adanya norma-norma lokal atau masyarakat yang memengaruhi perilaku hidup dalam masyarakat. Adapun sumber daya pendukung yang memengaruhi ibu dalam pemanfaatan pelayanan nifas adalah sebagai berikut.
49
a.
Kuintil Kekayaan Status atau kuintil kekayaan diyakini berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Ibu dengan status keluarga kaya lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas (Khanal, dkk., 2014). Hal ini karena adanya sumber dana yang mereka miliki untuk memperoleh layanan berikutnya pasca persalinan, seperti pelayanan nifas. Temuan tersebut juga sama dengan hasil penelitian Nugraha (2013) bahwa ibu yang mempunyai tingkat ekonomi menengahtinggi lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas dibandingkan ibu yang rendah tingkat ekonominya. Fort, dkk (2006) juga menemukan bahwa ibu dengan kuintil kekayaan tinggi di negara Bangladesh, Cambodia, Ethiopia, Haiti, Indonesia, Mali, Rwanda, dan
Uganda, lebih tinggi
pemanfaatan nifasnya
dibandingkan ibu dengan kuintil kekayaan yang lebih rendah. Selain itu, penelitian di Sukabumi dan Ciamis bahwa finansial
menjadi
masalah
utama
wanita
di
sana
untuk
memanfaatkan pelayanan nifas terkait biaya pelayanan kesehatan, biaya transportasi atau keduanya (Titaley, dkk., 2010). Masyarakat rural di Provinsi Nort West, Afrika Selatan juga memiliki masalah yang sama bahwa meskipun mereka menyadari mencari pelayanan kesehatan adalah suatu kebutuhan ketika sakit, namun mereka terkendala dengan minimnya dana yang dimiliki, tidak hanya untuk
50
biaya berobatnya saja, tetapi juga untuk biaya transportasi ke fasilitas kesehatan (Hoeven, dkk., 2012). Tingkat kesadaran seseorang pada kuintil kekayaan tertentu dapat memepengaruhi pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian Choundhury dan Ahmed (2011) bahwa alasan wanita dengan tingkat ekonomi sangat miskin di Bangladesh tidak pergi ke fasilitas kesehatan ketika merasa sakit pasca persalinan adalah karena tidak menyadari tentang adanya pemeriksaan kesehatan nifas. Badan yang lemas dan demam dianggap sebagai hal yang umum terjadi pada masa nifas. Khanal, dkk. (2014) juga menjelaskan bahwa wanita dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi lebih menyadari manfaat dari mendapatkan pelayanan nifas melalui berbagai media, seperti televisi, surat kabar dan temantemannya dibandingkan wanita dengan tingakat sosial ekonomi rendah. Pendapatan yang rendah merupakan hambatan terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan modern di Indonesia, meskipun pelayanan tersebut disediakan oleh pemerintah (Chernichovsky dan Meesook, 1986). Pemanfaatan pelayanan kesehatan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yaitu biaya pelayanan dan biaya lainnya, termasuk obat-obatan, transportasi, makanan dan minuman dan biaya lainnya selama kunjungan perawatan kesehatan (Utomo, dkk., 2011). Biaya subsidi kesehatan oleh pemerintah melalui
51
sektor publik belum memadai untuk membuat layanan kesehatan gratis, khususnya bagi masyarakat miskin. Hal ini juga terlihat dari lebih banyaknya wanita yang bersalin di fasilitas kesehatan swasta dibandingkan fasilitas kesehatan pemerintah.
b. Tempat Persalinan Fasilitas
kesehatan
di
Indonesia
lebih
banyak
yang
merupakan milik swasta dibandingkan milik pemerintah. Penelitian di 15 kabupaten/kota di pulau Jawa ditemukan bahwa 90% fasilitas kesehatan yang ada adalah milik swasta (Heywood dan Harahap, 2009). Sebanyak 95% dari fasilitas kesehatan swasta tersebut merupakan milik pribadi atau perorangan (dokter praktek, dokter paruh waktu, perawat paruh waktu, bidan di desa, dan bidan praktek). Unicef (2012) melaporkan bahwa proporsi persalinan di fasilitas kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu sebesar 55% dan adanya kesenjangan yang besar di mana persalinan di fasilitas kesehatan sebesar 113% di daerah urban lebih tinggi daripada di daerah rural. Selain itu, lebih dari setengah perempuan di 20 provinsi tidak mampu atau tidak mau menggunakan jenis fasilitas kesehatan apapun, sebagai penggantinya mereka melahirkan di rumah mereka sendiri. Selain itu, penelitian Utomo, dkk. (2011)
52
juga menemukan bahwa di Indonesia, setengah dari penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dilakukan di rumah responden. Tempat
persalinan
diyakini
berhubungan
dengan
pemanfaatan pelayanan nifas. Ini ditunjukkan dengan beberapa penelitian yang menemukan bahwa pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang melahirkan di fasilitas kesehatan dibandingkan melahirkan di rumah (Ejaz, dkk., 2013; Oluwaseyi, 2013; Paudel, dkk., 2013; Kim, dkk., 2013, Khanal, dkk., 2014, Yamashita, dkk., 2014). Rata-rata dari 30 negara yang diteliti, hanya 28% wanita dengan tempat persalinan di luar fasilitas kesehatan yang menerima perawatan postpartum (Paudel, dkk., 2013). Paudel, dkk. (2013) juga menjelaskan bahwa ketika seorang wanita melahirkan di fasilitas kesehatan, maka dia juga akan diperiksa kondisi kesehatannya dalam beberapa jam setelah melahirkan oleh petugas kesehatan sebagai salah satu rangkaian dari pelayanan persalinan. Di Indonesia, salah satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar oleh tenaga kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara rutin selama 2 jam pertama pasca persalinan (Kemenkes, 2013). Lebih jauh lagi, jika dibandingkan dengan jenis fasilitas kesehatannya, wanita yang melahirkan di rumah sakit swasta secara signifikan dilaporkan lebih besar kemungkinannya mendapatkan pelayanan nifas daripada wanita yang melahirkan di rumah sakit
53
umum (Dhaher, dkk., 2008). Pemanfaatan pelayanan nifas yang lebih tinggi pada wanita yang pernah melahirkan di rumah sakit swasta mungkin karena fakta bahwa rumah sakit swasta memiliki lebih banyak sumber daya dan karena itu lebih mungkin untuk memberikan perawatan secara individu kepada pasien. Mereka juga menemukan bahwa wanita yang melahirkan di rumah sakit swasta secara signifikan lebih mungkin untuk menerima informasi tentang tanda-tanda bahaya untuk kesehatan ibu dan bayi daripada wanita yang melahirkan di rumah sakit umum. Pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai tempat persalinan disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor persepsi seesorang dapat memengaruhi tempat persalinan. Titaley, dkk. (2012) menemukan adanya persepsi pada penduduk di Jawa Barat bahwa persalinan adalah fenomena yang alami terjadi pada perempuan sehingga mereka lebih memilih bersalin di rumah, kecuali jika terjadi komplikasi maka persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Selain itu, pendidikan dan urutan kelahiran juga diketahui berhubungan dengan pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai tempat persalinan. Penelitian pada wanita di Ethiopia ditemukan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan pelayan fasilitas sebagai tempat bersalin (Ethiopian Society of Population Studies, 2008). Rendahnya persalinan di fasilitas kesehatan pada ibu dengan urutan kelahiran banyak juga ditemukan
54
memiliki hubungan signifikan pada wanita di Ethiopia (Mehari, 2013).
c.
Penolong Persalinan Saat proses persalinan, sebaiknya ibu ditolong oleh penolong persalinan utama. Penolong persalinan utama, misalnya dokter, obsetri, dokter anak, dokter keluarga, perawat praktisi, atau perawat bidan bersertifikasi (Stright, 2005). Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dapat menekan AKI menjadi sebesar 33% (Romans, dkk., 2009). Beberapa penelitian menemukan bahwa penolong persalinan berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas (Nugraha, 2013; Kim, dkk., 2013; Khanal, dkk., 2014) . Ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga yang terlatih lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas daripada ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga yang tidak terlatih (Kim, dkk., 2013). Paudel, dkk (2013) berpendapat bahwa penolong persalinan berkaitan dengan tempat persalinan. Ketika ibu melahirkan di fasilitas kesehatan, maka dipastikan tenaga kesehatan tersedia. Sehingga, sebagai bagian dari perawatan persalinan, tenaga kesehatan juga akan menilai situasi ibu dalam beberapa jam setelah melahirkan.
55
Salah
satu
tugas
seorang
bidan
adalah
melakukan
pemantauan pada ibu dan bayi terhadap terjadinya komplikasi dalam 2 jam setelah persalinan serta melakukan tindakan yang diperlukan (Syarifudin dan Hamidah, 2009). Bidan juga bertugas memberikan pelayanan selama masa nifas melalui kunjungan rumah pada minggu ke-2 dan minggu ke-6 setelah persalinan. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan disebabkan oleh beberapa faktor. Rahman (2009) menemukan bahwa penolong persalinan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan antenatal. Chimankar dan Sahoo (2011) juga menemukan bahwa status ekonomi yang tinggi secara signifikan meningkatkan persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Penelitian Titaley, dkk. (2010) menemukan bahwa alasan wanita bersalin di Jawa Barat ditolong oleh dukun bayi/paraji meskipun telah tersedia tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan adalah karena terkendala jarak yang jauh dan terbatasnya finansial yang dimiliki. Sejumlah responden menjelaskan bahwa persalinan ditolong oleh tenaga keeshatan hanya untuk wanita yang mengalami komplikasi kehamilan. Selain itu, terdapat keterbatasan penyedia pelayanan kesehatan di daerah terpencil. Di sisi lain, bidan desa yang terkadang menjadi satu-satunya penyedia layanan kesehatan, sering melakukan perjalanan keluar desa.
56
Titaley, dkk. (2010) juga menyebutkan bahwa menurut masyarakat di Jawa Barat, dukun bayi/paraji lebih sabar dan perhatian dibandingkan bidan di desa yang merupakan tenaga kesehatan terlatih. Dukun bayi/paraji senantiasa menemani wanita hamil yang mendekati waktu persalinan. Sedangkan bidan di desa akan langsung pergi seteleh melakukan pemeriksaan jika dirasa belum waktunya persalinan dilakukan.
d. Akses ke Fasilitas Kesehatan Akses dan ketersediaan pelayananan kesehatan menjadi salah satu pertimbangan bagi seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan nifas. Aksesibilitas atau jarak ke pelayanan kesehatan secara signifikan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas (Oluwaseyi, 2013; Eliakimu, 2010). Hal ini terjadi karena adanya faktor jumlah pelayanan kesehatan yang tersedia dan lokasi geografisnya, serta akses jalan menuju ke sana (Eliakimu, 2010). Ketika lokasi fasilitas kesehatan berada jauh dari masyarakat, maka akses terhadap fasilitas tersebut menjadi suatu masalah (Ugboaja, dkk., 2013). Oleh sebab itu, pemanfaatan pelayanan kesehatan lebih tinggi ketika jarak bukan menjadi masalah yang berarti (Kim, dkk., 2013). Permasalahan aksesibilitas ke fasilitas
57
kesehatan di Indonesia juga telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya (D‟Ambruoso, dkk., 2008). Penelitian Islam dan Odland (2011) menemukan bahwa 56,4% wanita tidak datang ke pelayanan nifas karena lokasi pelayanan kesehatan yang terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Sedangkan hasil penelitian Kim, dkk. (2013) menemukan bahwa 36% wanita menyatakan bahwa jarak ke fasilitas kesehatan menjadi kendala terbesar bagi mereka untuk memanfaatkan pelayanan nifas. Wanita yang bertempat tinggal kurang dari 8 km dari pusat pelayanan kesehatan menerima pelayanan nifas lebih tinggi daripada mereka yang berada lebih jauh dari pusat pelayanan kesehatan (Islam dan Odland, 2011). Jangkauan pelayanan kesehatan yang mudah memungkinakan pemanfaatan pelayanan nifas sebesar 7,388 kali lebih tinggi daripada jangkauan pelayanan kesehatan yang sulit (Fitria dan Puspitasari, 2011). Titaley, dkk. (2010) menemukan bahwa di Jawa Barat, masalah jarak fasilitas kesehatan yang jauh, kondisi jalan yang buruk, terbatasnya waktu untuk pergi, dan terbatasnya fasilitas kesehatan yang tersedia, khususnya di daerah terpencil, menjadi kendala bagi wanita hamil untuk mendapatkan pelayanan antenatal, persalinan di fasilitas kesehatan hingga pemanfaatan pelayanan nifas. Jarak ke pelayanan kesehatan terdekat dengan kondisi jalan
58
yang buruk menyebabkan mereka harus berjalan selama 2 jam. Situasi menjadi lebih buruk selama musim hujan ketika jalan licin. Selain jarak ke pelayanan kesehatan, Kim, dkk (2013) juga menemukan bahwa hampir 7 dari 10 wanita (65%) beralasan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan menjadi penghalang terbesar bagi mereka untuk mendapatkan pelayanan medis. Hasil temuan tersebut juga sama dengan Islam dan Odland (2011) bahwa alasan mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk perawatan menjadi penyebab mereka tidak mencari pelayanan nifas. Namun, Eliakimu (2010) menemukan bahwa biaya pelayanan kesehatan tidak signifikan berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan nifas. Hal ini mungkin disebabkan bahwa hanya sebagian kecil wanita yang diminta untuk membayar biaya pelayanan nifas.
e.
Daerah Tempat Tinggal Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara daerah tempat tinggal dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian di Kamboja menunjukkan bahwa pelayanan nifas saat 24 jam pertama setelah persalinan lebih tinggi terjadi di daerah urban dibandingkan di daerah rural (Kim, dkk., 2013). Hal serupa juga ditemukan di Nepal bahwa prevalensi kunjungan pelayanan segera setelah melahirkan lebih tinggi terjadi di daerah urban (Khanal,
59
dkk., 2014). Hasil penelitian tersebut juga secara signifikan menunjukkan
bahwa
ibu
di
daerah
urban
lebih
besar
kemungkinannya untuk berkunjung ke pelayanan nifas dalam 42 hari setelah melahirkan. Hal ini terjadi karena di daerah pegunungan dan pedesaan di Nepal kurang memiliki akses ke pelayanan umum, seperti jalan, transportasi, dan pelayanan kesehatan. Perbedaan di antara daerah urban dan rural ini terlihat lebih kontras di beberapa negara, seperti di Mesir, Haiti, Kenya, Mali, Nepal, Peru, Uganda, dan Zambia; di mana dua kali lebih banyak wanita yang menerima pelayanan nifas di daerah urban dibandingkan di dearah rural (Fort, dkk., 2006). Sedangkan di Indonesia, Fort, dkk. (2006) menemukan bahwa perbedaan di antara daerah urban dan rural tidak besar. Meski pemanfaatan pelayanan nifas lebih banyak terjadi di daerah urban, Fort, dkk. (2006) juga menemukan bahwa jika persalinan dilakukan bukan di pelayanan kesehatan, maka wanita di daerah rural lebih besar kemungkinannya untuk menerima pelayanan nifas dibandingkan wanita di daerah urban yang juga persalinannya bukan di pelayanan kesehatan. Namun, hal ini bisa juga terjadi karena adanya upaya program penyediaan pelayanan nifas yang lebih besar untuk wanita di daerah rural.
60
2.4.3 Kebutuhan Faktor predisposisi
dan faktor pendukung untuk
mencari
pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila hal itu dirasakan sebagai kebutuhan (Anderson, 1974 dalam Notoatmodjo, 2010). Dengan kata lain, kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, jika tingkat predisposisi dan pendukung tidak ada. Bahkan menurut Anderson, kebutuhan (need) merupakan variabel yang memberi kontribusi sekitar 43% dan merupakan faktor terkuat dalam memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan (Anies, 2006). Kebutuhan disini dibagi menjadi 2 kategori, yaitu kebutuhan yang dirasakan (preceived) dan kebutuhan yang dinilai (evaluated). Perceived need merupakan keadaan kesehatan yang dirasakan oleh individu sebagai manifestasi dari besarnya rasa ketakutan akan penyakitnya dan hebatnya rasa sakit yang dideritanya (Anies, 2006). Sedangkan evaluated need merupakan penilaian dokter yang merawat tentang beratnya penyakit sebagai hasil pemeriksaan medis dan diagnosis dokter (Anies, 2006). Komplikasi persalinan merupakan faktor kebutuhan ibu dalam memanfaatkan pelayanan nifas. Beberapa peneliti meyakini bahwa hal tersebut dapat berpengaruh pada pemanfaatan pelayanan nifas. Pelayanan nifas diperlukan untuk mengurangi kesakitan dan kematian pada ibu (Paudel, dkk., 2013).
61
Wanita yang mendapatkan tanda-tanda bahaya atau komplikasi saat melahirkan lebih besar kemungkinannya untuk menerima pelayanan nifas dari petugas kesehatan (Paudel, dkk., 2013). Hasil ini juga sama dengan penelitian sebelumnya, yaitu Dhaher, dkk. (2008) yang menemukan bahwa wanita yang tidak mengalami komplikasi selama persalinan secara signifikan kurang mendapatkan pelayanan nifas dibandingkan dengan wanita yang mengalami komplikasi persalinan. Para wanita yang mendapatkan tanda-tanda bahaya atau komplikasi lebih cenderung beranggapan bahwa mereka memiliki risiko kesakitan atau kematian sehingga hal tersebut berdampak positif pada peningkatan pemanfaatan pelayanan nifas (Paudel, dkk., 2013). Pemanfaatan pelayanan nifas yang rendah dapat disebabkan karena faktor kesadaran pada ibu nifas. Seperti yang terjadi di Jawa Barat bahwa karena alasan tidak mengalami komplikasi pasca persalinan maka wanita di sana merasa tidak membutuhkan pelayanan nifas (Titaley, dkk., 2010). Hal ini juga terjadi pada wanita di Palestina, Nigeria dan Etiopia bahwa salah satu alasan mereka tidak memanfaatkan pelayanan nifas adalah karena tidak merasa sakit setelah melahirkan sehingga tidak membutuhkan pelayanan nifas (Dhaher, dkk., 2008; Ugboaja, dkk., 2013; Berhe, dkk., 2013). Hal ini sejalan dengan Unicef (2012) bahwa cakupan pelayanan nifas tepat waktu yang rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya prioritas di antara perempuan terhadap pelayanan ini.
62
Model perilaku pemanfaatan pelayanan ini bersifat luas, yaitu dapat digunakan untuk mengukur pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan perawatan gigi (Andersen, 1995). Karakteristik yang paling berpengaruh terhadap setiap jenis pelayanan juga berbeda-beda. Misalnya, pemanfaatan pelayanan rumah sakit lebih dipengaruhi oleh faktor kebutuhan dan demografi. Sedangkan pemanfaatan pemeriksaan gigi lebih dipengaruhi oleh faktor struktur sosial, keyakinan kesehatan dan sumber faktor pendukung. Pemanfaatan pelayanan juga membutuhkan perhatian terhadap akses yang adil dan merata (Andersen, 1995). Akses yang adil dan merata didefinisikan sesuai dengan prediktor atau faktor yang lebih dominan. Kriteria akses yang adil dan merata tergantung pada jenis pelayanan kesehatannya. Misalnya, pendapatan merupakan faktor akses yang adil pada pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Konsep mengubah atau mengintervensi variabel pada penggunaan terhadap model perilaku ini menjadi penting dalam mempertimbangkan akses yang adil (Andersen, 2005). Hal yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah variabel-variabel tersebut dapat menjelaskan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Beberapa variabel yang mendukung bisa diubah atau diintervensi dan mungkin sangat kuat pengaruhnya dengan pemanfaatan.
63
2.5 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) merupakan salah satu data nasional survei rumah tangga yang dilakukan sebagai bagian dari proyek internasional „Demographic and Health Survey‟ atau DHS. Survei sebelumnya dilaksanakan pada tahun 1987, 1991, 1994, 2002-2003, 2007 dan yang terbaru adalah 2012. 2.5.1 Tujuan Survei Pada SDKI 2012, responden yang dipilih adalah wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun, pria berstatus kawin usia 15-54 tahun dan remaja pria usia 15-24 tahun yang belum pernah kawin. Adapun SDKI 2012 dirancang khusus untuk beberapa tujuan, yaitu: a. Menyediakan data mengenai fertilitas, keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, kematian ibu, dan kepedulian terhadap AIDS dan PMS untuk pengelola program, pengambil kebijakan, dan peneliti untuk membantu mereka dalam mengevaluasi dan meningkatkan program yang ada. b. Mengukur tren angka fertilitas dan pemakaian KB, serta mempelajari faktro-faktor yang memengaruhi perubahannya, seperti pola dan status perkawinan, daerah tempat tinggal, pendidikan, kebiasaan menyusui, serta pengetahuan, penggunaan, serta ketersediaan alat kontrasepsi.
64
c. Mengukur pencapaian sasaran yang dibuat sebelumnya oleh program kesehatan nasional dengan fokus pada kesehatan ibu dan anak. d. Menilai partisipasi dan penggunaan pelayanan kesehatan oleh pria serta keluarganya. e. Menciptakan
data
dasar
yang
secara
internasional
dapat
dibandingkan dengan negara-negara lain yang dapat digunakan oleh pengelola program, pengambil kebijakan dan peneliti dalam bidang KB, fertilitas dan kesehatan secara umum.
2.5.2 Organisasi Survei SDKI 2012 dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Pembiayaan survei disediakan oleh pemerintah Indonesia. ICF (Inner City Fund) internasional memberitahukan teknis melalui MEASURE DHS, sebuah program yang didanai oleh U.S Agency International Development (USAID) dan menyediakan bantuan teknis dalam pelaksanaan survei kependudukan dan kesehatan di banyak negara. Tim pengarah survei dibentuk dengan anggota wakil-wakil dari BPS, BKKBN, Kemenkes dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasioanl. Tim teknis
65
beranggotakan wakil-wakil dari instansi yang sama ditambah Lembaga Demografi Universitas Indonesia. Kepala BPS provinsi bertanggung jawab atas segi teknis dan administratif pelaksanaan survei di daerah masing-masing. Mereka dibantu oleh koordinator lapangan, yaitu Kepala Bidang Statistik Sosial di BPS provinsi.
2.5.3 Kuisioner SDKI 2012 menggunakan empat macam kuisioner, yaitu kuisioner rumah tangga, kuisioner wanita usia subur, kuisioner pria kawin dan kuisioner pria belum kawin. Kuisioner rumah tangga maupun kuisioner WUS SDKI 2012 sebagian besar mengacu pada versi terbaru (Maret 2011) kuisioner standar yang digunakan program DHS VI. Model kuisioner tersebut disesuaikan dengan kebutuhan di Indonesia. Beberapa pertanyaan di kuisioner standar DHS tidak dicakup dalam SDKI 2012 karena kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Selain itu, kategori jawaban serta tambahan pertanyaan disesuaikan dengan muatan lokal terkait program di bidang kesehatan dan keluarga berencana nasional.
66
2.5.4 Uji Coba, Pelatihan dan Lapangan a. Uji Coba Sebelum
memulai
kegiatan
di
lapangan,
kuisioner
diujicobakan di Provinsi Riau dan Nusa Tenggara Timur untuk memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan sudah jelas dan dapat dipahami oleh responden. Uji coba pada tahun 2011 menjadi penting terkait dengan cakupan sampel berbeda untuk individu perempuan dari wanita yang pernah kawin umur 15-49 tahun, menjadi semua umur 15-49 tahun terlepas dari status perkawinan. Selain itu, ada pertanyaan baru dan tambahan penyesuaian format pertanyaan yang disesuaikan dengan kuisioner DHS dari ICF Marco. Uji coba dilakukan mulai pertengahan Juli hingga pertengahan Agustus 2011 di empat kabupaten terpilih, yang mencakup 4 blok sensus perkotaan dan empat blok sensus perdesaan. Kabupaten yang terpilih untuk uji coba adalah Pekanbaru dan Kabupaten Kampar (Provinsi Riau), serta Kota Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Berdasarkan temuan uji coba, maka dilakukan penyempurnaan terhadap kuisioner rumah tangga dan individu.
67
b. Pelatihan Sejumlah 992 orang (26 pria dan 546 wanita) dilatih sebagai pewawancara. Pelatihan berlangsung selama 12 hari di bulan Mei 2012 di sembilan pusat pelatihan, yaitu Batam, Bukit Tinggi, Banten, Yogyakarta, Denpasar, Banjarmasin, Makasar, Manokwari dan Jayapura. Pelatihan mencakup pembelajaran materi di kelas, latihan berwawancara dan tes. Pelatihan dibedakan menjadi tiga kelas, yaitu kelas WUS, kelas PK, dan kelas RP. Seluruh peserta dilatih menggunakan kuisioner rumah tangga dan kuisioner perseorangan sesuai jenis kelasnya.
c. Lapangan Data SDKI dikumpulkan oleh 119 tim petugas. Satu tim terdiri dari delapan orang, yaitu 1 orang pengawas pria, 1 orang editor wanita untuk WUS dan PK, 4 orang wanita pewawancara WUS, 1 orang pria pewawancara PK (merangkap sebagai editor PK), dan 1 orang pria pengawas RP. Khusus untuk Papua dan Papua Barat, 1 tim terdiri dari lima orang, yaitu 1 orang pengawas pria (merangkap sebagai editor PK dan RP), 1 editor WUS (wanita), 2 orang wanita pewawancara WUS dan 1 orang pria pewawancara PK dan RP. Kegiatan di lapangan berlangsung dari Mei sampai 31 Juli 2012.
68
2.6.5 Desain Sampel dan Implementasi Secara administratif, Indonesia terbagi atas 33 provinsi, setiap provinsi dibagi menjadi distrik (kabupaten di daerah sebagian besar pedesaan dan kota di daerah perkotaan). Kabupaten dibagi lagi menjadi kecamatan dan setiap kecamatan dibagi menjadi desa-desa. Seluruh desa diklasifikasikan sebagai perkotaan dan pedesaan. Sampel SDKI bertujuan untuk memberikan estimasi karakteristik bagi perempuan usia 15-49 tahun dan laki-laki menikah usia 15-54 tahun di Indonesia secara keseluruhan, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan di setiap provinsi. Guna mencapai tujuan ini, sebanyak 1.840 blok sensus (874 di daerah perkotaan dan 966 di daerah pedesaan) dipilih dari daftar blok sensus pada primary sampling unit (PSU) yang terbentuk saat sensus penduduk 2010. Jumlah sampel blok sensus di setiap kabupaten tidak dialokasikan sebanding dengan jumlah penduduk, tetapi dialokasikan untuk setiap stratum menggunakan alokasi rumus akar kuadrat. Dalam setiap blok sensus, pemutakhiran dan pemetaan daftar rumah tangga secara lengkap dilakukan pada bulan April 2012. Daftar lengkap rumah tangga di masing-masing blok sensus dijadikan dasar untuk pengambilan sampel tahap kedua. Sebanyak 25 rumah tangga dipilih secara sistematis dari setiap blok sensus. Secara umum, hasil kunjungan untuk rumah tangga dan perseorangan relatif tinggi. Dari 46.024 rumah tangga yang terpilih
69
dalam survei ini, sebanyak 44.302 rumah tangga ditemukan dan dari jumlah tersebut, sebanyak 43.852 atau 99 persen rumah tangga berhasil diwawancarai. Dari rumah tangga yang diwawancarai, terdapat 47.533 wanita yang memenuhi syarat untuk diwawancarai, dan yang berhasil diwawancarai ada 45.607 wanita dengan tingkat respon sebesar 96 persen. Dari sepertiga jumlah rumah tangga, terdapat 10.086 pria yang memenuhi syarat untuk diwawancarai dan yang berhasil diwawancarai ada 9.306 pria dengan tingkat repson sebesar 92 persen. Tingkat respon pria lebih rendah disebabkan karena seringnya atau lamanya pria tidak berada di rumah. Secara umum, tingkat respon untuk wawancara dengan pria kawin di daerah pedesaan lebih tinggi daripada di daerah perkotaan.
2.7.6 Pengolahan Data Seluruh kuisioner SDKI 2012 yang sudah terisi termasuk lembar pengawasan dikirm ke kantor pusat BPS di Jakarta untuk diolah. Pengolahan terdiri dari pemeriksaan isian, pemberian kode pada jawaban
pertanyaan
terbuka,
perekaman
data,
verifikasi,
dan
pengecekan kesalahan di komputer. Tim pengolahan terdiri dari 42 orang editor, 5 orang perekam data, 14 orang secondary editor, dan 14 orang pengawas perekam data. Perekaman dan pemeriksaan data dilakukan menggunakan program komputer Cencus and Survei
70
Processing System (CSPro) yang khusus dirancang untuk mengolah data semacam SDKI.
2.6 Kerangka Teori Berdasarkan model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan dari Andersen (1960-an) dan berbagai faktor yang diketahui memengaruhi pemanfaatan pelayanan nifas oleh ibu pasca persalinan, maka dapat diilustrasikan model pemanfaatan pelayanan nifas sebagai berikut.
Bagan 2.3 Kerangka Teori
Predisposisi
Kebutuhan
Pendukung
Pemanfaatan pelayanan nifas
Struktur Sosial 1,2
Pendidikan
Kuintil kekayaan
2
Perceived/
Keluarga 2
Evaluated Komplikasi
1,2
Pekerjaan
Tempat persalinan
Urutan kelahiran
persalinan
4
3
Komunitas 1,2,3
Penolong persalinan
Keyakinan Kunjungan ANC 3
Pengetahuan
1
3
Jarak ke fasilitas kesehatan 1,2
Daerah tempat tinggal
Sumber: Modifikasi Andersen dan Newman (2005), Paudel, dkk (2013)1, Khanal, dkk (2014)2, Kim, dkk (2013)3, Singh, dkk (2014) 4
71
Pada bagan tersebut, hubungan antar pemanfaatan pelayanan nifas dengan faktor-faktornya tidak bersifat langsung. Secara berurutan faktorpredisposisi memengaruhi faktor pendukung lalu memengaruhi faktor kebutuhan yang kemudian memengaruhi pemanfaatan pelayanan nifas. Namun, Andersen (1995) menjelaskan bahwa hubungan ini dapat bersifat langsung karena perbedaan kemampuan setiap variabel dalam memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tergantung pada jenis pelayanannya.
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep atau kerangka pikir merupakan bagian dari kerangka teori yang akan diteliti, untuk mendeskripsikan secara jelas variabel yang diteliti (variabel dependen) dan variabel faktornya (variabel independen) (Balitbangkes, 2012). Konsep tidak dapat diukur dan diamati secara langsung sehingga harus dijabarkan ke dalam variabel-variabel (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat determinan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia. Variabel dependen yang diteliti adalah pemanfaatan pelayanan nifas. Sedangkan variabel independen yang diteliti, yaitu pendidikan, urutan kelahiran, kunjungan antenatal (ANC), kuintil kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, jarak ke pelayanan kesehatan, dan komplikasi persalinan. Kerangka konsep dari penelitian ini dapat dilihat pada Bagan 3.1. Beberapa variabel independen ini penting untuk diteliti. Adapun alasannya adalah sebagai berikut. a. Pendidikan Pendidikan yang tinggi memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi ibu untuk memperoleh informasi tentang risiko kesehatan dan manfaat dari berkunjung ke pelayanan kesehatan. 72
73
b. Urutan kelahiran Ibu yang melahirkan bayi dengan urutan kelahiran tinggi lebih kecil
kemungkinannya
untuk
memanfaatkan
pelayanan
nifas
dibandingkan ibu yang melahirkan bayi pertama kali atau dengan urutan kelahiran rendah. Pengalaman dan pengetahuan yang telah mereka dapatkan dari kelahiran anak sebelumnya memengaruhi persepi mereka tentang kebutuhan akan pemeriksaan kesehatan pasca persalinan, yaitu di pelayanan nifas. c. Kunjungan ANC Pengetahuan ibu tentang perawatan yang dibutuhkan setelah persalinan sebagian besar didapatkan saat berkunjung ke pelayanan antenatal (ANC). Pada sesi konseling di pelayanan antenatal, ibu hamil memperoleh informasi tentang persiapan yang dibutuhkan untuk persalinan dan pemanfaatan layanan lebih lanjut yang dibutuhkan setelah persalinan, yaitu pelayanan nifas. Oleh sebab itu, ibu yang berkunjung ke pelayanan antenatal lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas. d. Kuintil kekayaan Ibu dengan status ekonomi menengah atau tinggi lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas dibandingkan dengan ibu dengan status ekonomi rendah. Ibu dengan status ekonomi
74
yang lebih tinggi memiliki sumber dana yang lebih untuk biaya perawatan pasca persalinan, seperti pelayanan nifas.
e. Tempat persalinan Ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan juga dapat memperoleh informasi tentang tanda-tanda bahaya untuk kesehatan ibu dan bayi dibandingkan ibu yang melahirkan di rumah. Ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan biasanya juga akan diperiksa kesehatannya dalam beberapa jam setelah melahirkan oleh petugas kesehatan sebagai salah satu rangkaian dari pelayanan persalinan. Maka dari itu, ibu yang melahirkan di rumah lebih besar kemungkinannya untuk menerima atau memanfaatkan pelayanan nifas.
f. Penolong persalinan Ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan atau bidan terampil lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas dibandingkan ibu bersalin yang ditolong oleh orang yang tidak terampil. Ketika ditolong oleh tenaga kesehatan, maka sebagai bagian dari perawatan persalinan, ibu juga akan mendapatkan pemeriksaan kesehatan beberapa jam setelah persalinan.
75
g. Jarak ke fasilitas kesehatan Pemanfaatan pelayanan nifas juga perlu didukung dengan akses ke pelayanan kesehatan. Jika jarak pelayanan kesehatan jauh dari tempat tinggal, maka dapat menjadi kendala bagi ibu untuk datang ke sana sehingga pemanfaatan pelayanan nifas menjadi lebih rendah.
h. Komplikasi persalinan Ibu
yang
mengalami
komplikasi
persalinan
lebih
besar
kemungkinannya dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi persalinan. Jika dibandingkan faktor lainnya, komplikasi persalinan merupakan faktor kebutuhan bagi wanita untuk memanfaatkan pelayanan nifas. Artinya, walaupun tidak ada faktor predisposisi dan pendukung, wanita tetap akan berkunjung ke pelayanan kesehatan/ nifas untuk berobat jika terjadi komplikasi. Adapun beberapa variabel, seperti pekerajaan dan pengetahuan tidak diteliti karena tidak tersedianya data tersebut dalam data sekunder. Pada data sekunder, yaitu SDKI 2012, variabel pekerjaan yang tersedia adalah pekerjaan ibu pada 12 bulan terakhir saat pengambilan data survei dilakukan. Sedangkan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan data tahun 20112012. Oleh karena itu, karena variabel pekerjaan tidak tersedia pada semua sampel penelitian maka variabel tersebut tidak diteliti.
76
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Variabel Independen
Pendidikan Urutan Kelahiran Kunjungan ANC Kuintil kekayaan
Variabel Dependen Pemanfaatan pelayanan nifas
Tempat persalinan
Penolong persalinan Jarak ke fasilitas kesehatan Komplikasi persalinan
3.2 Definisi Operasional Berikut ini adalah definisi operasional dari variabel dependen dan independen yang diteliti.
Tabel 3.1 Definisi Operasional No.
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
Pemeriksaan kesehatan ibu saat 3 hari pertama setelah melahirkan anak terakhir dengan mendatangi pelayanan kesehatan atau didatangi oleh petugas kesehatan.
Observasi data sekunder
Kuisioner SDK12-WUS No. 436-440
1. Ya 2. Tidak
Ordinal
Observasi data sekunder
Kuisioner SDK12-WUS No. 104-106
1. Perguruan tinggi 2. Tamat SMA 3. Tidak tamat SMTA 4. Tamat SD 5. Tidak tamat SD 6. Tidak sekolah Sumber: SDKI 2012
Ordinal
Variabel Dependen 1.
Pemanfaatan pelayanan nifas
Variabel Independen 2.
Pendidikan
Jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah/sedang ibu duduki saat pengambilan data SDKI 2012 (SDKI 2012).
77
3.
Urutan kelahiran
Nomor urut kelahiran anak terakhir dari semua anak yang pernah dilahirkan ibu (SDKI 2012).
Observasi data sekunder
Kuisioner SDK12-WUS No. 403
4.
Kunjungan ANC
Kunjungan ibu nifas saat memeriksakan kehamilan anak terakhir (SDKI 2012).
Observasi data sekunder
Kuisioner SDK12-WUS No. 408, 410, 412
5.
Kuintil kekayaan
Indeks kekayaan rumah tangga yang didasarkan atas barang-barang kepemilikan rumah tangga ibu (SDKI 2012).
Observasi data sekunder
Kuisioner SDK12-RT No. 101-139
6.
Tempat persalinan
Fasilitas tempat ibu melahirkan anak terakhir (SDKI 2012).
7.
Penolong persalinan
Orang yang menolong persalinan ibu ketika melahirkan anak terakhir (SDKI 2012).
Observasi data sekunder Observasi data sekunder
Kuisioner SDK12-WUS No. 434 Kuisioner SDK12-WUS No. 433
78
1. 1 2. 2-3 3. 4-5 4. 6+ Sumber: SDKI 2012 1. 4+ 2. 2-3 3. 1 4. Tidak pernah Sumber: SDKI 2012 1. Teratas 2. Menengah atas 3. Menengah 4. Menengah bawah 5. Terbawah Sumber: SDKI 2012 1. Fasilitas kesehatan 2. Tempat lainnya Sumber: SDKI 2012 1. Tenaga kesehatan 2. Non-tenaga kesehatan Sumber: Khanal, dkk (2014)
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
8.
Jarak ke fasilitas kesehatan
9.
Komplikasi persalinan
Persepsi ibu terhadap jarak ke fasilitas kesehatan ketika sakit dan ingin mendapatkan perawatan kesehatan atau pengobatan (SDKI 2012). Kesulitan atau masalah kesehatan yang dialami ibu saat melahirkan anak terakhir, yaitu berupa persalinan lama, perdarahan berlebihan, demam dan keluar lendir berbau, kejang dan pingsan, atau ketuban pecah dini > 6 jam sebelum persalinan atau lainnya yang ibu sebutkan (SDKI 2012).
79
Observasi data sekunder
Kuisioner SDK12-WUS No. 1008
1. Bukan masalah 2. Masalah Sumber: SDKI 2012
Ordinal
Observasi data sekunder
Kuisioner SDK12-WUS No. 432A
1. Ya (minimal 1 jenis komplikasi) 2. Tidak Sumber: Paudel, dkk. (2013)
Ordinal
80
3.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penelitian ini, yaitu: a. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemanfaatan pelayanan nifas. b. Ada hubungan antara urutan kelahiran dengan pemanfaatan pelayanan nifas. c. Ada hubungan antara kunjungan ANC dengan pemanfaatan pelayanan nifas. d. Ada hubungan antara kuintil kekayaan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. e. Ada hubungan antara tempat persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. f. Ada hubungan antara penolong persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. g. Ada hubungan antara jarak ke fasilitas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. h. Ada hubungan antara komplikasi persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas nifas.
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain studi potong lintang (cross-sectional). Studi potong-lintang merupakan studi yang dilakukan untuk menyelidiki hubungan antara paparan dan outcome yang dikumpulkan dalam waktu bersamaan (Bailey, dkk., 2005). Adapun penelitian yang dilakukan adalah menganalisis data sekunder dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Survei
Demografi
dan
Kesehatan
Indonesia
(SDKI)
2012
diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan RI yang dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia dengan lama waktu pengumpulan dan pengolahan data dari bulan MeiOktober 2012. Adapun analisis lanjut data SDKI 2012 dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2014 di Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
81
82
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Populasi pada penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan pada tahun 2011-2012 di daerah rural Indonesia dan tercatat dalam survei SDKI 2012. Adapun populasi tersebut yang tercatat dalam survei SDKI 2012 adalah sebanyak 2829 responden.
4.3.2 Sampel Sampel pada penelitian ini adalah semua sampel penelitian yang terkumpul dalam SDKI 2012, yaitu wanita wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan pada tahun 2011-2012 di daerah rural Indonesia dan yang terpilih serta bersedia diwawancari dalam survei SDKI 2012. Meskipun dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah seluruh sampel terpilih dari SDKI 2012, besar sampel minimal perlu dihitung untuk memastikan bahwa jumlah sampel yang digunakan memenuhi syarat. Besar sampel minimal dihitung menggunakan rumus besar sampel untuk uji beda proporsi, yaitu (Ariawan, 1998; Dahlan,2010):
83
n
(
1
2 √2P(1
P)
√P1 (1 P1 ) P2 (1 P2 )) (P1 P2 )2
2
1
D
Keterangan: n1 Z1-
= Jumlah sampel minimal 2
1,96 (Nilai
pada derajat kemakanaan
sebesar 5% (0,05)
Z
= 0,84 (Nilai Z pada kekuatan uji 1- dengan
sebesar 20%)
P
= Proporsi total = (P1+P2)/2
P1
= Proporsi kelompok 1
P2
= Proporsi kelompok 2 yang bersumber dari kepustakaan
Deff = Design effect, yaitu perbandingan (rasio) antara varians yang diperoleh pada sampel acak kompleks dengan varians yang diperoleh jika pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (Ariawan, 1998). Penulis menentukan nilai deff sebesar 2.
Dari persamaan di atas dan didasarkan pada perhitungan P2 dari hasil penelitian terdahulu, nilai P1-P2 dan deff yang ditentukan sendiri oleh penulis, di mana jumlah sampel setiap variabel dengan maka dapat dihitung besar sampel minimal sebagai berikut:
0,05,
84
Tabel 4.1 Jumlah Sampel untuk Setiap Variabel No.
Variabel
Peneliti
P2
P1 – P2
N
1.
Pendidikan
Khanal, dkk (2014)
26,6%
10%
791
2.
Urutan kelahiran
Khanal, dkk (2014)
36,4%
10%
769
3.
Kunjungan ANC
Khanal, dkk (2014)
11,5%
10%
436
4.
Kuintil kekayaan
Khanal, dkk (2014)
23,8%
10%
637
5.
Tempat persalinan
Khanal, dkk (2014)
14,3%
10%
487
6.
Penolong
Khanal, dkk (2014)
9,8%
10%
392
Kim, dkk (2013)
52,6%
10%
769
Paudel, dkk (2013)
28,5%
10%
698
persalinan 7.
Jarak ke fasilitas kesehatan
8.
Komplikasi persalinan
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel, maka diperoleh besar sampel minimal untuk penelitian ini adalah 791 responden. Jumlah sampel wanita wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan pada tahun 2011-2012 di daerah rural Indonesia adalah 2829 sampel. Karena sampel yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan sampel SDKI 2012, maka jumlah sampel tersebut telah memenuhi syarat besar sampel minimal. Cara pengambilan sampel untuk analisis lanjut SDKI 2012 adalah total sampling dengan mengambil semua sampel penelitian yang terkumpul dalam SDKI 2012 yang merupakan wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan pada tahun 2011-2012 di daerah rural
85
Indonesia. Namun, sampel yang diketahui missing pada setiap variabel tidak masuk dalam sampel penelitian. Berdasarkan hasil filter dan cleaning data, diketahui bahwa terdapat 757 sampel yang missing atau tidak memenuhi kriteria sehingga sampel tersebut tidak digunakan. Oleh karena itu, jumlah sampel penelitian yang digunakan menjadi 2072 orang.
Bagan 4.1 Alur Pengambilan Sampel Wanita usia subur 15-49 tahun N = 45607
Tinggal di daerah rural
Tinggal di daerah urban
N = 22709
N = 22898
Pernah melahirkan
Tidak pernah melahirkan
N = 17105
N = 5604
Melahirkan tahun 2011-2012
Tidak melahirkan tahun 2011-2012
N = 2829
N = 14276
Tidak missing
Missing
N = 2072
N = 757
86
4.4 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner SDKI 2012 guna pengumpulan data determinan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia. Adapun daftar variabel dan kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2 Daftar Variabel dan Kuisioner SDKI 2012 No.
Variabel
Kuisioner
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pemanfaatan pelayanan nifas Pendidikan Urutan kelahiran Kunjungan ANC Kuintil kekayaan Tempat Persalinan Penolong Persalinan Jarak ke fasilitas kesehatan Komplikasi persalinan
SDKI12-WUS No. 436-440 SDKI12-WUS No. 104-106 SDKI12-WUS No. 403 SDKI12-WUS No. 408, 410, 412 SDKI12-RT No. 101-139 SDKI12-WUS No. 434 SDKI12-WUS No. 433 SDKI12-WUS No. 1008 SDKI12-WUS No. 432A
Pengukuran data dari setiap variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (BPS, 2011): 4.4.1 Pemanfaatan Pelayanan Nifas Variabel
pemanfaatan
pelayanan
nifas
diukur
berdasarkan
kuisioner wanita usia subur (WUS) nomor 436-440. Pertanyaan yang ditanyakan kepada responden yaitu pernah atau tidaknya mendapatkan pemeriksaan kesehatan setelah melahirkan serta tempat pertama kali mendapatkannya, yaitu apakah di fasilitas kesehatan atau setelah meninggalkan fasilitas kesehatan/di rumah responden. Responden juga
87
ditanyakan waktu pertama kali mendapatkan pemeriksaan tersebut dan siapa yang melakukan pemeriksaan. Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel pemanfaatan pelayanan nifas menjadi 2 kategori, yaitu ya dan tidak. Jawaban "ya" adalah responden yang mendapatkan pemeriksaan kesehatan pertama kali dalam 3 hari pertama setelah melahirkan anak terakhirnya dengan mendatangi pelayanan kesehatan atau didatangi oleh petugas kesehatan. Sedangkan jawaban "tidak" adalah responden yang mendapatkan pemeriksaan kesehatan pertama kali saat lebih dari 3 hari pertama setelah melahirkan anak terakhirnya atau tidak pernah mendapatkan pemeriksaan kesehatan dengan mendatangi pelayanan kesehatan atau didatangi oleh petugas kesehatan.
4.4.2 Pendidikan Variabel pendidikan diukur berdasarkan kuisioner WUS nomor 104-106. Pertanyaan yang ditanyakan kepada responden adalah jenjang pendidikan
yang
pernah/sedang
diduduki
responden
tanpa
memperhatikan apakah responden menyelesaikan pendidikannya. Misalnya, responden pernag duduk di Sekolah Menengah Pertama kelas 1 hanya selama 2 minggu (kurang dari 1 tahun), maka jenjang pendidikan repsonden adalah SMP. Pada pertanyaan berikutnya, responden diwawancara tentang kelas/tingkat tertinggi yang diselesaikan oleh responden pada jenjang
88
pendidikan yang bersangkutan. Jika responden pernah/sedang berada saat kurang dari 1 tahun pertama, maka ditulis 0 (tahun pertama) pada kotak. Jika responden menamatkan tingkat pendidikan tertentu dan tidak melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, maka ditulis 7 (tamat). Jika tidak tahu, maka ditulis 8 (tidak tahu) pada kotak. Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel pendidikan sesuai dengan kategori pada SDKI 2012. Terdapat 6 kategori pendidikan, yaitu tidak bersekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMTA, tamat SMTA dan Perguruan tinggi.
4.4.3 Urutan Kelahiran Variabel urutan kelahiran diukur berdasarkan kuisioner WUS nomor 403. Pertanyaan yang ditanyakan kepada responden adalah nomor urut kelahiran anak terakhir berdasarkan riwayat kelahiran dari semua anak yang pernah dilahirkan oleh responden. Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel urutan kelahiran sesuai dengan kategori pada SDKI 2012. Terdapat 4 kategori urutan kelahiran, yaitu urutan kelahiran 1, 2-3, 4-5 dan 6 atau lebih.
4.4.4 Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) Variabel kunjungan pelayanan antenatal (ANC) diukur berdasarkan kuisioner WUS nomor 408, 410 dan 412. Pertanyaan yang ditanyakan kepada responden adalah pemeriksaan kandungan dan kesehatan ibu
89
oleh petugas kesehatan. Pemeriksaan di sini hanya yang berhubungan dengan kehamilan, tidak termasuk pemeriksaan lain. Pada umumnya pemeriksaan dilakukan di sarana kesehatan, tetapi mungkin juga di rumah responden. Responden yang memeriksakan kehamilannya kemudian ditanya siapa saja orang yang memeriksanya. Responden juga ditanya mengenai tempat pemeriksaan kehamilan yang paling sering dikunjungi dan jumlah pemeriksaan kehamilannya selama mengandung. Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel kunjungan ANC sesuai dengan kategori pada SDKI 2012. Terdapat 4 kategori kunjungan ANC, yaitu tidak berkunjung ke ANC, berkunjung 1 kali, 23 kali dan 4 kali atau lebih.
4.4.5 Kuintil Kekayaan Variabel kuintil kekayaan diukur berdasarkan kuisioner rumah tangga (RT). Kuintil kekayaan berasal dari indeks kekayaan yang dihitung berdasarkan akumulasi dari barang-barang kepemilikan rumah tangga responden. Indeks kekayaan dibuat dalam tiga tahap yang menempatkan perbedaan daerah perkotaan dan perdesaan menjadi lebih baik dalam skor dan indikator kekayaan. Pada tahap pertama, sub kelompok indikator yang umum di daerah perkotaan dan perdesaan digunakan untuk membuat skor kekayaan untuk rumah tangga di kedua wilayah
90
tersebut. Variabel kategorik ditransformasikan ke dalam indikator dikotomi yang terpisah (0-1). Indikator tersebut bersama variabel yang kontinu diuji menggunakan principal components analysis untuk menghasilkan skor faktor umum untuk setiap rumah tangga. Pada tahap kedua, skor faktor terpisah dibuat untuk rumah tangga di daerah perkotaan dan daerah perdesaan menggunakan indikator spesifik untuk daerah tertentu. Tahap ketiga menggabungkan skor faktor spesifik daerah yang terpisah tersebut untuk menghasilkan kuintil kekayaan gabungan yang dapat digunakan secara nasional dengan melakukan penyesuaian terhadap skor spesifik daerah tersebut melalui penerapan regresi terhadap skor faktor umum. Ketiga tahap dalam prosedur pembentukan indeks tersebut memungkinkan indeks kekayaan dapat diterapkan pada kedua daerah perkotaan maupun perdesaan. Hasil indeks kekayaan gabungan memiliki nilai rata-rata nol dan standar deviasi satu. Setelah indeks dihitung, kuintil kekayaan di tingkat nasional (mulai dari terendah sampai tertinggi) diperoleh dengan menerapkan skor rumah tangga pada setiap anggota rumah tangga de jure, membuat peringkat setiap penduduk berdasarkan skornya dan selanjutnya membagi peringkat tersebut ke dalam lima kategori yang sama, masing-masing terdiri dari 20% penduduk. Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel kuintil kekayaan sesuai dengan kategori pada SDKI 2012. Terdapat 5 kategori
91
kuintil kekayaan, yaitu terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas, dan teratas.
4.4.6 Tempat Persalinan Variabel tempat persalinan diukur berdasarkan kuisioner WUS nomor 434. Jika responden melahirkan di rumah sakit atau klinik, maka ditanyakan kembali apakah sarana tersebut dikelola oleh pemerintah atau swasta. Jika responden tidak melahirkan di sarana pemerintah atau swasta serta tidak di rumah responden atau rumah orang lain, maka ditulis "lainnya". Contoh "lainnya" (kode 96) adalah di jalan, kendaraan, dan lain-lain. Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel tempat persalinan sesuai dengan kategori pada SDKI 2012, yaitu tempat persalinan di fasilitas kesehatan (pemerintah atau swasta) dan tempat lainnya (rumah responden, rumah orang lain atau lainnya). SDKI 2012 mengelompokkan fasilitas kesehatan pemerintah meliputi rumah sakit/klikik pemerintah, puskesmas/pustu, poskesdes, polindes, dan lainnya. Sedangkan fasilitas kesehaan swasta meliputi rumah sakit swasta, rumah sakit bersalin, rumah bersalin, klinik, dokter umum praktek, dokter kandungan praktek, bidan praktek, perawat praktek, bidan di desa dan lainnya.
92
4.4.7 Penolong Persalinan Variabel penolong persalinan diukur berdasarkan kuisioner WUS nomor 433. Pertanyaan yang ditanyakan kepada responden adalah siapa sajakah yang menolongnya selama persalinan sehingga jawaban bisa lebih dari satu. Jika responden mengatakan tidak ada yang menolong, yang dicatat adalah orang dewasa yang menemani di sampingnya pada saat responden melahirkan. Jika responden tidak ditolong oleh siapa pun maka dicatat "tidak ada". Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel penolong persalinan sesuai dengan kategori pada penelitian Khanal, dkk. (2014), yaitu penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dan non-tenaga kesehatan. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, meliputi dokter umum, dokter kandungan, perawat, bidan atau bidan desa. Sedangkan penolong persalinan oleh non-tenaga kesehatan, meliputi orang lain (dukun bayi/paraji, teman/keluarga atau lainnya) atau tidak ada yang menolong persalinan. Jika responden ditolong oleh lebih dari 1 orang, maka penolong persalinan dikategorikan pada kelompok dengan kualifikasi yang lebih baik. Misalnya, jika responden ditolong oleh bidan dan dukun bayi saat bersalin, maka penolong persalinan dicatat sebagai tenaga kesehatan.
93
4.4.8 Jarak ke Fasilitas Kesehatan Variabel jarak ke fasilitas kesehatan diukur berdasarkan kuisioner WUS nomor 1008 yang menanyakan tentang permasalahan yang menghalangi responden dalam melakukan perawatan atau pengobatan kesehatan ketika sedang sakit. Misalnya, apakah jarak ke fasilitas kesehatan menjadi suatu masalah bagi responden untuk pergi ke dokter, maka lingkari kode 1 untuk jawaban "masalah" dan lingkari kode 2 jika jawaban responden "bukan masalah". Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel tempat persalinan sesuai dengan kategori pada SDKI 2012, yaitu masalah dan bukan masalah.
4.4.9 Komplikasi Persalinan Variabel komplikasi persalinan diukur berdasarkan kuisoner WUS nomor 432A yang menanyakan tentang kesulitan yang dialami responden saat melahirkan. Pada kuisioner, terdapat 6 jenis komplikasi persalinan yang ditanyakan. Masing-masing komplikasi persalinan ditanyakan kepada responden apakah pernah mengalaminya atau tidak. Jenis-jenis komplikasi persalinan yang ditanyakan, yaitu: a. Mulas yang kuat dan teratur Proses persalinan biasanya diawali dengan mules yang kuat dan timbulnya teratur, mulai dengan 15 menit sekali, makin lama makin sering menjadi 2 menit sekali disertai dengan pembukaan
94
leher rahim dan keluar darah campur lendir. Umumnya persalinan yang kedua dan seterusnya (multigravida), bayi akan lahir dalam waktu kurang dari 12 jam setelah tanda-tanda proses persalinan dimulai. Persalinan yang berlangsung lebih dari 12 jam disebut "persalinan lama". Pada ibu-ibu yang baru pertama kali melahirkan (primigravida) biasanya mules kuat teratur sampai dengan melahirkan kurang dari 18 jam. Apabila lebih dari 18 jam maka dikatakan "persalinan lama". b. Perdarahan lebih banyak Kondisi ini terjadi jika perdarahan yang melebihi 500 cc dalam 24 jam setelah anak lahir (perdarahan postpartum) atau membasahi lebih dari 3 potong kain sarung yang bekas (sudah pernah dipakai). c. Suhu badan tinggi dan atau mengeluarkan lendir berbau Kondisi ini terjadi jika ibu yang melahirkan mengalami demam dengan suhu badan tinggi (380 C atau lebih) dan keluarnya cairan yang tidak biasa dari vagina; baunya tidak sedap, warna dan kepekatannya berbeda dengan yang biasa. d. Kejang dan pingsan Kondisi ini terjadi jika kakunya seluruh otot-otot, wajah kaku, tangan menggenggam, kaki membengkok ke dalam, pernafasan terhenti, muka pucat, dan lidah dapat tergigit, ini berlangsung
95
kurang lebih 30 detik, kemudian disusul dengan semua otot kontraksi berulang-ulang dalam tempo cepat, mulut membuka dan menutup, lidah terjepit, bola mata menonjol dan dari mulut keluar ludah berbusa, muka pucat dan penderita menjadi tidak sadar, kurang lebih 1-2 menit. Responden yang mengalami kejang saja, sudah termasuk kategori kejang dan pingsan. e. Ketuban pecah dini Kondisi ini terjadi jika keluarnya air ketuban (pecah sendiri atau dipecahkan) lebih dari enam jam sebelum anak lahir. f. Lainnya Jika responden mengalami kesulitan lain selama persalinan. Pada
penelitian
ini,
peneliti
mengkategorikan
komplikasi
persalinan sesuai dengan kategori pada penelitian Paudel, dkk. (2013), yaitu "ya" dan "tidak". Kategori "ya" jika minimal terdapat 1 jenis komplikasi yang dialami responden selama persalinan. Kategori "tidak" jika tidak terdapat minimal 1 jenis komplikasi yang dialami responden selama persalinan.
4.5 Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 yang
96
didapatkan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
4.6 Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan diolah dengan bantuan software komputer khusus untuk olah data. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data adalah sebagai berikut: a. Filter, yaitu menyaring data yang tidak dibutuhkan dalam penelitian. Kegiatan filter ini dilakukan saat pengambilan sampel yang dapat dilihat pada Bagan 4.1, yaitu menghapus sampel yang tidak memenuhi kriteria. Selain itu, filter juga dilakukan untuk menyaring data-data yang tidak berhubungan dengan keperluan analisis data determinan pemanfaatan pelayanan nifas. Hal ini dilakukan karena data yang didapatkan oleh peneliti adalah seluruh data hasil SDKI yang tidak hanya berkaitan dengan pelayanan nifas, namun juga masalah kesehatan lainnya. b. Cleaning, yaitu mengecek kembali kemungkinan adanya kesalahan dalam entri data. Jika ada data yang missing pada variabel-variabel independen (pendidikan, urutan kelahiran, kunjungan ANC, kuintil kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, jarak ke fasilitas kesehatan dan komplikasi persalinan) terhadap variabel dependen (pemanfaatan pelayanan nifas), maka dihapus. Kegiatan cleaning ini dilakukan saat pengambilan sampel yang dapat dilihat pada Bagan 4.1.
97
c. Recode, yaitu mengubah kode atau kategori data sebelumnya menjadi kategori yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Beberapa variabel yang dubah kategorinya, yaitu pemanfaatan pelayanan nifas, urutan kelahiran, kunjungan ANC, tempat persalinan, penolong persalinan dan komplikasi persalinan. d. Compute, yaitu membuat variabel baru dari beberapa variabel yang ada pada data sesuai dengan kebutuhan penelitian. Proses ini dilakukan bersamaan setelah proses recode sebelumnya dilakukan.
4.7 Analisis Data Data penelitian yang sudah dikumpulkan dan diolah kemudian dianalisis. Analisis yang dilakukan ada dua macam, yaitu analisis univariat dan bivariat. Analisis data dilakukan dengan bantuan program komputer, yaitu software komputer khusus untuk uji statistik 4.7.1 Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik dari setiap variabel dependen (pemanfaatan pelayanan nifas) dan independen (pendidikan, urutan kelahiran, kunjungan ANC, kuintil kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, jarak ke fasilitas kesehatan dan komplikasi persalinan). Hasil analisis univariat berupa distribusi frekuensi dari setiap variabel. Selanjutnya, hasil analisis univariat ditampilkan dalam bentuk tabel.
98
4.7.2 Analisis Bivariat Analisis
bivariat
dilakukan
untuk
membuktikan
hipotesis
penelitian. Analisis ini dilakukan terhadap dua variabel, yaitu variabel dependen (pemanfaatan pelayanan nifas) dan variabel independen (pendidikan, urutan kelahiran, kunjungan ANC, kuintil kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, jarak ke fasilitas kesehatan dan komplikasi persalinan) yang diduga berhubungan. Jenis uji statistik yang digunakan adalah uji beda proporsi Chi Square. Dasar dari uji Chi Square adalah membandingkan frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan (Sabri dan Hastono, 2010). Adapun rumus uji Chi Square, yaitu:
2
(O E)2 ∑ E
Keterangan: O = Frekuensi yang diamati E = Frekuensi yang diharapkan
Secara umum, ketentuan penggunaan uji Chi Square, yaitu (Sabri dan Hastono, 2010): a. Tidak boleh ada sel yang mempunyai nilai harapan <1. b. Tidak lebih dari 20% sel mempunyai nilai harapan <5.
99
Jika hal ini ditemui dalam suatu tabel kontingensi, maka cara menanggulanginya adalah dengan menggabungkan nilai dari sel yang kecil dengan sel lainnya. Artinya, kategori dari variabel dikurangi sehingga kategori yang nilai harapannya kecil dapat digabung ke kategori lain. Sedangkan untuk table 2x2, hal tersebut tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu, cara mengatasinya adalah dengan melakukan uji Fisher Exact. Uji kemaknaan dilakukan dengan menggunakan
sebesar 0,05 dan
Confidence Interval sebesar 95%. Interpretasi dari hasil uji hipotesis dengan uji Chi Square, yaitu : a. Jika nilai probabilitas p ≤ 0,05 maka ada hubungan yang signifikan antara variabel dependen dengan variabel independen. b. Jika nilai probabilitas p > 0,05 maka tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel dependen dengan variabel independen.
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik WUS di Daerah Rural Indonesia Pada penelitian ini, sampel yang digunakan adalah wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan anak terakhirnya tahun 2011-2012 di daerah rural Indonesia. Adapun jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 2072 responden dengan distribusi umur sebagai berikut.
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Umur di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Kelompok Umur 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Total
Jumlah (n) 188 534 583 429 246 81 11 2072
Persen (%) 9,1 25,8 28,1 20,7 11,9 3,9 0,5 100
Berdasarkan Tabel 5.1, responden terbanyak berada pada kelompok umur 25-29 tahun (28,1%) dan paling sedikit berada pada kelompok umur 4549 tahun (0,5%). Sedangkan berdasarkan umur melahirkan pada tahun 20112012, responden lebih banyak yang melahirkan pada kelompok umur 20-24 tahun
100
101
(26,4%) dan 25-29 tahun (26,6%) serta lebih sedikit melahirkan pada kelompok umur <15 tahun (0,2%) dan 45-49 tahun (0,4%).
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Umur Melahirkan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Kelompok Umur Melahirkan < 15 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Total
Jumlah (n) 4 319 546 551 391 204 49 8 2072
Persen (%) 0,2 15,4 26,4 26,6 18,9 9,8 2,4 0,4 100
5.1.1 Gambaran Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pemanfaatan pelayanan nifas adalah pemeriksaan kesehatan pada ibu saat 3 hari pertama setelah melahirkan anak terakhir dengan mendatangi pelayanan kesehatan atau didatangi oleh petugas kesehatan. Gambaran pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.3. Berdasarkan tabel tersebut, sebagian besar responden memanfaatkan pelayanan nifas (85,6%).
102
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Pemanfaatan Pelayanan Nifas Ya Tidak Total
Jumlah (n) 1773 299 2072
Persen (%) 85,6 14,4 100
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari semua responden yang memanfaatkan pelayanan nifas, sebanyak 96,6% di antaranya mendapatkan perawatan nifas dari tenaga kesehatan (dokter kandungan, dokter umum, perawat, bidan atau bidan di desa). Sedangkan responden yang mendapatkan perawatan nifas dari dukun bayi hanya 2,9%.
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tenaga Pemeriksa Kesehatan Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Tenaga Pemeriksa Kesehatan Nifas Dokter kandungan Dokter umum Perawat Bidan Bidan di desa Dukun bayi/paraji Lainnya Total
Berdasarkan
Tabel
5.5,
Jumlah (n) 247 39 91 816 521 50 9 1773
responden
Persen (%) 13,9 2,2 5,1 46,0 29,4 2,9 0,5 100
lebih
banyak
yang
mendapatkan pemeriksaan kesehatan nifas sebelum keluar dari fasilitas kesehatan pasca persalinan (59%).
103
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Waktu Pemeriksaan Kesehatan Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Jumlah Persen (n) (%) Sebelum keluar dari fasilitas kesehatan pasca 1023 59 persalinan Setelah keluar dari fasilitas kesehatan pasca 710 41 persalinan/persalinan di rumah Total 1733 100 Waktu Pemeriksaan Kesehatan Nifas
5.1.2 Gambaran Pendidikan Gambaran pendidikan pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut ini.
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Pendidikan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tidak tamat SMTA Tamat SMTA Perguruan tinggi Total
Jumlah (n) 34 201 504 637 469 227 2072
Persen (%) 1,6 9,7 24,3 30,7 22,6 11,0 100
Berdasarkan tabel tersebut, pendidikan tertinggi yang didapatkan oleh responden lebih banyak pada tingkat tidak tamat SMTA (30,7%). Sebanyak 66,3% responden berpendidikan di bawah SMTA.
104
5.1.4 Gambaran Urutan Kelahiran Anak Urutan kelahiran anak merupakan nomor urut kelahiran anak terakhir dari semua anak yang pernah dilahirkan oleh responden. Adapun gambaran nomor urut kelahiran anak pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5. 7 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Urutan Kelahiran Anak di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Urutan Kelahiran 1 2-3 4-5 6+ Total
Jumlah (n) 808 931 254 79 2072
Persen (%) 39,0 44,9 12,3 3,8 100
Berdasarkan tabel tersebut, responden lebih banyak melahirkan anak terakhirnya pada urutan kelahiran dan 2 atau 3 (44,9%). Sedangkan
responden lebih sedikit yang melahirkan pada urutan
kelahiran 6 atau lebih (3,8%).
5.1.5 Gambaran Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) Kunjungan ke pelayanan antenatal adalah kunjungan responden ketika memeriksakan kehamilan anak terakhirnya. Adapun gambaran kunjungan ANC pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.8 berikut ini.
105
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Kunjungan ANC di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Kunjungan ANC Tidak kunjungan 1 2-3 4+ Total
Jumlah (n) 66 39 224 1743 2072
Persen (%) 3,2 1,9 10,8 84,1 100
Berdasarkan tabel tersebut, responden lebih banyak melakukan kunjungan pelayanan antenatal (ANC) sebanyak 4 kali atau lebih (84,1%) dan lebih sedikit yang melakukan kunjungan hanya 1 kali (1,9%). Sedangkan responden yang tidak pernah melakukan kunjungan ANC pada masa hamil sebanyak 3,2%. Selanjutnya, Tabel 5.9 menggambarkan tempat kunjungan ANC yang didatangi oleh responden untuk memeriksakan kehamilannya. Karena di antara responden ada yang berkunjung ke ANC lebih dari 1 kali, maka fasilitas kesehatan yang dikunjungi bisa lebih dari satu jenis. Berdasarkan tabel tersebut, responden lebih banyak yang berkunjung ke bidan swasta (28%), puskesmas (27,1%) dan bidan di desa (21,4%) untuk memeriksakan kehamilannya. Sedangkan responden yang memeriksa kehamilannya di rumah hanya sedikit, yaitu 1,2% di rumah responden dan 1,6% di rumah orang lain.
106
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tempat Kunjungan ANC di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Tempat Kunjungan Jumlah ANC (n) Pemerintah Rumah sakit/klinik 89 Puskesmas/pustu 542 Poskesdes 32 Polindes 100 Posyandu 278 Swasta Rumah sakit 24 Rumah sakit bersalin 15 Rumah bersalin 6 Klinik 55 Dokter umum 8 Dokter kandungan 162 Bidan 561 Perawat 13 Bidan di desa 429 Faskes swasta lainnya 19 Rumah Rumah responden 24 Ruman orang lain 32 Keterangan: 3 sampel missing
Tabel
5.10
Persen (%) 4,4 27,1 1,6 5,0 13,9 1,2 0,7 0,3 2,7 0,4 8,1 28,0 0,6 21,4 0,9 1,2 1,6
menggambarkan tenaga pemeriksa kehamilan
responden saat kunjungan ANC. Karena di antara responden ada yang berkunjung ke ANC lebih dari 1 kali, maka tenaga pemeriksa yang dikunjungi bisa lebih dari satu jenis. Berdasarkan tabel tersebut, responden lebih banyak yang diperiksa oleh bidan (54,6%) dan lebih sedikit diperiksa oleh dokter umum (1,7%) atau lainnya (0,7%).
107
Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tenaga Pemeriksa Kehamilan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Tenaga Pemeriksa Kehamilan Dokter umum Dokter kandungan Perawat Bidan Bidan di desa Dukun bayi/paraji Lainnya
Jumlah (n) 34 313 52 1095 749 105 14
Persen (%) 1,7 15,6 2,6 54,6 37,3 5,2 0,7
5.1.6 Gambaran Kuintil Kekayaan Kuintil kekayaan merupakan indeks kekayaan rumah tangga yang didasarkan atas barang-barang kepemilikan rumah tangga responden. Adapun gambaran kuintil kekayaan pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.11.
Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Kuintil Kekayaan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Kuintil Kekayaan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Total
Jumlah (n) 722 568 365 274 143 2072
Persen (%) 34,8 27,4 17,6 13,2 6,9 100
108
Berdasarkan tabel tersebut, sebagian besar responden berada pada kuintil kekayaan dua terendah, yaitu pada tingkat terbawah (34,8%) dan menengah bawah (27,4%). Sedangkan responden yang berada pada kuintil kekayaan teratas hanya 6,9%.
5.1.7 Gambaran Tempat Persalinan Tempat
persalinan
merupakan
fasilitas
tempat
responden
melahirkan anak terakhirnya. Adapun gambaran jenis fasilitas tempat persalinan pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Fasilitas Kesehatan Tempat Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Tempat Persalinan Pemerintah Rumah sakit/klinik Puskesmas/pustu Poskesdes Polindes Faskes pemerintah lainnya Swasta Rumah sakit Rumah sakit bersalin Rumah bersalin Klinik Dokter umum Dokter kandungan Bidan Perawat Bidan di desa
Jumlah (n) 503 282 174 10 36 1 612 79 50 14 40 3 14 278 3 125
Persen (%) 24,3 13,6 8,4 0,5 1,7 0.1 29,5 3,8 2,4 0,7 1,9 0,1 0,7 13,4 0,1 6,0
109
Faskes swasta lainnya Rumah Rumah responden Rumah orang lain Lainnya Total
6 954 855 99 3 2072
0,3 46,1 41,3 4,8 0,1 100
Berdasarkan tabel tersebut, lebih dari setengah total responden melahirkan di fasilitas kesehatan (53,8%), yaitu 24,3% di fasilitas kesehatan pemerintah (rumah sakit, puskesmas, poskesdes, polindes atau lainnya) dan 29,5% di fasilitas kesehatan swasta (rumah sakit, rumah sakit bersalin, rumah bersalin, klinik, dokter umum, dokter kandungan, bidan, perawat, bidan di desa atau lainnya). Sedangkan responden lainnya yang tidak melahirkan di fasilitas kesehatan lebih banyak yang melahirkan di rumahnya sendiri (41,3%). Sebagai keperluan analisis data, maka tempat persalinan di kelompokkan menjadi dua kategori, yaitu fasilitas kesehatan (fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta) dan tempat lain (rumah dan lainnya). Gambaran tempat persalinan pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.13.
Tabel 5.13 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tempat Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Tempat Persalinan Fasilitas kesehatan Tempat lain Total
Jumlah (n) 1115 957 2072
Persen (%) 53,8 46,2 100
110
5.1.8 Gambaran Penolong Persalinan Penolong persalinan merupakan orang yang menolong persalinan responden ketika melahirkan anak terakhirnya. Adapun gambaran jenis tenaga penolong persalinan pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.14 berikut ini.
Tabel 5.14 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Tenaga Penolong Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Tenaga Penolong Persalinan Dokter umum Dokter kandungan Perawat Bidan Bidan di desa Dukun bayi/paraji Tetangga/kerabat Orang lain Tidak ada
Jumlah (n) 33 326 213 982 598 508 203 25 5
Persen (%) 1,6 15,7 10,3 47,4 28,9 24,5 9,8 1,2 0,2
Pada saat persalinan, orang yang menolong persalinan bisa lebih dari satu orang, seperti dokter yang dibantu perawat atau didampingi oleh tetangga/kerabat. Berdasarkan Tabel 5.14, tiga penolong persalinan responden terbanyak adalah bidan (47,4%), bidan di desa (28,9%) dan dukun bayi (24,5%). Sedangkan responden yang tidak mendapat penolong persalinan dari siapa pun hanya 0,2%.
111
Sebagai keperluan analisis data, maka penolong persalinan di kelompokkan menjadi dua kategori, yaitu penolong persalinan oleh tenaga kesehatan (dokter umum, dokter kandungan, perawat, bidan atau bidan di desa), dan non-tenaga kesehatan (dukun bayi, tetangga/kerabat atau orang lain dan tidak ada siapa pun yang menolong). Karena penolong persalinan pada satu orang responden bisa lebih dari satu orang, seperti bidan dan dukun bayi, maka tetap dikategorikan sebagai penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, selama di antara penolong persalinan tersebut terdapat satu orang dengan kualifikasi sebagai tenaga kesehatan.
Tabel 5.15 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Penolong Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Penolong Persalinan Tenaga kesehatan Non-tenaga kesehatan Total
Jumlah (n) 1799 273 2072
Persen (%) 86,8 13,2 100
Berdasarkan Tabel 5.15, sebagian besar responden melahirkan anak terakhirnya dengan ditolong oleh tenaga kesehatan (86,8%) dibandingkan oleh non-tenaga kesehatan.
5.1.9 Gambaran Jarak ke Fasilitas Kesehatan Jarak ke fasilitas kesehatan dinilai berdasarkan persepsi responden terhadap jarak ke fasilitas kesehatan ketika sakit dan ingin
112
mendapatkan perawatan kesehatan atau berobat. Jika responden merasa bahwa jarak ke fasilitas kesehatan menjadi hambatan bagi mereka untuk mendapatkan
pengobatan,
maka
jarak
ke
fasilitas
kesehatan
dikategorikan sebagai masalah. Sebaliknya, jika responden merasa bahwa jarak ke fasilitas kesehatan bukan menjadi hambatan bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan, maka jarak ke fasilitas kesehatan dikategorikan sebagai bukan masalah.
Tabel 5.16 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jarak ke Fasilitas Kesehatan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Jarak ke Fasilitas Kesehatan Masalah Bukan masalah Total
Jumlah (n) 316 1756 2072
Persen (%) 15,3 84,7 100
Berdasarkan Tabel 5.16, hanya 15,3% responden yang memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan ketika sakit dan ingin mendapatkan perawatan kesehatan atau berobat di sana.
5.1.10 Gambaran Komplikasi Persalinan Komplikasi persalinan adalah kesulitan atau masalah kesehatan yang dialami responden saat melahirkan anak terakhirnya. Komplikasi persalinan yang dapat terjadi, yaitu persalinan lama, perdarahan berlebihan, demam atau keluar lendir berbau, kejang dan pingsan,
113
ketuban pecah dini >6 jam sebelum persalinan atau komplikasi lainnya yang disebutkan responden. Berdasarkan Tabel 5.17, komplikasi persalinan yang paling banyak dialami responden adalah persalinan lama (31,7%). Hanya 1,9% responden yang mengalami kejang dan pingsan saat persalinan.
Tabel 5.17 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Komplikasi Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Komplikasi Persalinan Persalinan lama Perdarahan berlebihan Demam/ keluar lendir berbau Kejang dan pingsan Ketuban pecah dini > 6 jam sebelum persalinan Lainnya
Jumlah Persen (n) (%) 656 31,7 158 7,6 144 6,9 40 1,9 261 12,6 80 3,9
Sebagai keperluan analisis data, maka komplikasi persalinan di kelompokkan menjadi dua kategori, yaitu “ya” dan “tidak”. Jika responden mengalami setidaknya 1 jenis masalah kesehatan saat melahirkan, maka dikategorikan mengalami komplikasi persalinan.
Tabel 5.18 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Komplikasi Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Komplikasi Persalinan Ya Tidak Total
Jumlah Persen (n) (%) 887 42,8 1185 57,2 2072 100
114
Berdasarkan Tabel 5.18, kurang dari setengah total responden yang mengalami komplikasi saat melahirkan anak terakhir sebesar 42,8%.
5.2 Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia Guna membuktikan hipotesis penelitian, yaitu ada atau tidaknya hubungan antara pemanfaatan pelayanan nifas dengan determinannya, maka dilakukan analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji statistik Chi Square. 5.2.1 Hubungan Pendidikan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Berdasarkan hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh bahwa pemanfaatan pelayanan nifas tertinggi terjadi pada responden yang sedang menyelesaikan atau tamat perguruan tinggi (90,3%). Sedangkan pemanfaatan pelayanan nifas terendah terjadi pada responden yang tidak pernah bersekolah, yaitu 64,7%. Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan anak dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
115
Tabel 5.19 Hubungan Pendidikan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tidak tamat SMTA Tamat SMTA Perguruan tinggi
Pemanfaatan Pelayanan Nifas Ya Tidak n % n % 22 64,7 12 35,3 165 82,1 36 17,9
n 34 201
% 100 100
422 545
83,7 85,6
82 92
16,3 14,4
504 637
100 100
414 205
88,3 90,3
55 22
11,7 9,7
469 227
100 100
Total
P-value
0,000
5.2.2 Hubungan Urutan Kelahiran dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Berdasarkan hasil analisis hubungan antara urutan kelahiran anak dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh bahwa responden dengan urutan kelahiran 1 hingga 6 atau lebih memanfaatkan pelayanan nifas yang tidak jauh berbeda, yaitu sekitar 80an persen. Responden dengan urutan kelahiran anak pertama atau kedua hingga tiga memanfaatkan pelayanan nifas paling tinggi, yaitu 85,7% dan 85,3%. Sedangkan pemanfaatan lebih rendah pada responden dengan urutan kelahiran 4 hingga 5 atau 6 atau lebih, yaitu 81,9% dan 81%.
116
Tabel 5.20 Hubungan Urutan Kelahiran dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Urutan Kelahiran 1 2-3 4-5 6+
Pemanfaatan Pelayanan Nifas Ya Tidak n % n % 707 85,7 101 12,5 794 85,3 137 14,7 208 81,9 46 18,1 64 81,0 15 19,0
Total n 808 931 254 79
% 100 100 100 100
P-value
0,085
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,085 atau > 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran anak dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
5.2.3 Hubungan Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Berdasarkan hasil analisis hubungan antara kunjungan pelayanan antenatal (ANC) dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh bahwa pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada responden yang melakukan kunjungan ANC sebanyak 4 kali atau lebih (88,3%) dibandingkan yang melakukan kunjungan ANC <4 kali atau yang tidak pernah melakukan kunjungan. Pemanfaatan pelayanan nifas paling rendah terjadi pada responden yang tidak pernah melakukan kunjungan ANC, yaitu 57,6%.
117
Tabel 5.21 Hubungan Kunjungan ANC dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Kunjungan ANC Tidak kunjungan 1 2-3 4+
Pemanfaatan Pelayanan Nifas Ya Tidak n % n % 38 57,6 28 42,4 24 172 1539
61,5 76,8 88,3
15 52 204
38,5 23,2 11,7
Total n 66
% 100
39 224 1743
100 100 100
P-value
0,000
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kunjungan ANC dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
5.2.4 Hubungan Kuintil Kekayaan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Berdasarkan hasil analisis hubungan antara kuintil kekayaan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh bahwa responden yang berada pada kuintil kekayaan teratas (94,%) lebih tinggi pemanfaatan pelayanan nifasnya dibandingkan kelompok kuintil kekayaan terendah lainnya. Sedangkan pemanfaatan pelayanan nifas paling rendah terjadi pada kelompok kuintil kekayaan terbawah (78,8%).
118
Tabel 5.22 Hubungan Kuintil Kekayaan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Kuintil Kekayaan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Pemanfaatan Pelayanan Nifas Ya Tidak n % n % 569 78,8 153 21,2 493 86,8 75 13,2
n 722 568
% 100 100
329 247 135
365 274 143
100 100 100
90,1 90,1 94,4
36 27 8
9,9 9,9 5,6
Total
P-value
0,000
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kuintil kekayaan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
5.2.5 Hubungan Tempat Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Berdasarkan hasil analisis hubungan antara tempat persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh bahwa pemanfaatan pelayanan nifas paling tinggi terjadi pada responden yang melahirkan di fasilitas kesehatan (92,9%) dibandingkan yang melahirkan di tempat lain atau non-fasilitas kesehatan (77%). Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
119
tempat persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
Tabel 5.23 Hubungan Tempat Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Tempat Persalinan Fasilitas Kesehatan Tempat lain
Pemanfaatan Pelayanan Nifas Ya Tidak n % n % 1035 92,9 79 7,1
Total n 1115
P-value
% 100 0,000
737
77,0
220
23,0
957
100
5.2.6 Hubungan Penolong Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Berdasarkan hasil analisis hubungan antara penolong persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh bahwa responden yang ditolong oleh tenaga kesehatan (90%) lebih tinggi pemanfaatan pelayanan nifasnya dibandingkan responden yang ditolong oleh non-tenaga kesehatan (dukun bayi, tetangga/kerabat atau orang lain atau tidak ada yang menolong) (56,4%). Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penolong persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
120
Tabel 5.24 Hubungan Penolong Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Penolong Persalinan Tenaga kesehatan Non-tenaga kesehatan
5.2.7
Pemanfaatan Pelayanan Nifas Ya Tidak n % n % 1619 90,0 180 10,0
n 1799
% 100
154
273
100
56,4
119
43,6
Total
P-value
0,000
Hubungan Jarak ke Fasilitas Kesehatan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Berdasarkan hasil analisis hubungan antara jarak ke fasilitas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh bahwa pemanfaatan pelayanan nifas lebih rendah terjadi pada responden yang memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan (77,8%) dibandingkan responden yang tidak memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan (87%).
Tabel 5.25 Hubungan Jarak ke Fasilitas Kesehatan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 Jarak ke Fasilitas Kesehatan Masalah Bukan masalah
Pemanfaatan Pelayanan Nifas Ya Tidak n % n % 246 77,8 70 22,2 1527 87,0 229 13,0
Total n 316 1756
% 100 100
P-value
0,000
121
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jarak ke fasilitas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
5.2.8 Hubungan Komplikasi Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Berdasarkan hasil analisis hubungan antara komplikasi persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh bahwa pemanfaatan pelayanan nifas pada responden yang mengalami komplikasi persalinan dengan yang tidak mengalami komplikasi persalinan relatif sama, yaitu 85,5% dan 84,9%.
Tabel 5.26 Hubungan Komplikasi Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Komplikasi Persalinan Ya Tidak
Pemanfaatan Pelayanan Nifas Ya Tidak n % n % 767 85,5 120 13,5 1005 84,9 179 15,1
Total n 887 1185
% 100 100
P-value
0,343
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,343 atau > 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara komplikasi persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian Pada pelaksanaan penelitian ini, peneliti menghadapi beberapa keterbatasan penelitian. Pertama, hasil ukur pada variabel kuintil kekayaan yang didapatkan oleh peneliti merupakan hasil yang sudah diolah oleh ICF (Inner City Fund) Marco milik U.S Agency International Development (USAID). ICF Marco membagi kuintil kekayaan menjadi 5 macam, yaitu terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas dan teratas. Namun, peneliti tidak mengetahui besarnya interval skor masing-masing kategori kuintil kekayaan tersebut sehingga tidak diketahui pada kondisi seperti apa seseorang dikatakan berada pada kuintil kekayaan tertentu. Oleh karena itu, hal ini menjadi salah satu kendala bagi peneliti dalam menganalisis dan memberi saran terhadap pemanfaatan pelayanan nifas yang dipengaruhi oleh kuintil kekayaan. Kedua, kemungkinan terjadinya bias informasi pada sampel yang melahirkan saat proses wawancara survei dilakukan. Hal ini dapat berdampak pada tidak terpenuhinya syarat 3 hari sebagai masa wanita mendapatkan pemanfaatan pelayanan nifas pasca persalinan. Namun, peneliti telah melakukan upaya untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu dengan membatasi
122
123
sampel yang dipilih adalah satu bulan sebelum survei sehingga tidak memengaruhi hasil penelitian pada variabel pemanfaatan pelayanan nifas. Ketiga, pengukuran variabel jarak ke fasilitas kesehatan hanya diukur berdasarkan pada persepsi responden, yaitu persepsi mereka terhadap jarak ke fasilitas kesehatan ketika sakit dan ingin mendapatkan perawatan kesehatan atau pengobatan. Hasil ukur dari variabel ini, yaitu „masalah‟ dan „tidak masalah. Karena pengukuran variabel ini berdasarkan pada persepsi, maka jawaban yang diberikan oleh responden bersifat subjektif sehingga tidak diketahui pada jarak berapa hal ini menjadi masalah atau tidak masalah bagi mereka.
6.2 Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia Pelayanan nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu mulai 6 jam pertama sampai 42 hari pasca persalinan oleh tenaga kesehatan (Kemenkes RI, 2010). Pelayanan nifas tidak berarti bahwa ibu nifas yang harus mendatangi tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan. Melainkan didefinisikan sebagai kontak ibu nifas dengan tenaga kesehatan, baik di dalam gedung maupun di luar gedung fasilitas kesehatan. Pada
penelitian
ini,
pemanfaatan
pelayanan
nifas
merupakan
pemeriksaan kesehatan yang ibu dapatkan pada 3 hari pertama setelah melahirkan anak terakhir dengan mendatangi pelayanan kesehatan atau didatangi oleh petugas kesehatan. Penentuan batasan waktu 3 hari pertama setelah melahirkan adalah karena periode tersebut merupakan waktu yang
124
paling berisiko terjadinya komplikasi pasca persalinan (Riskesdas, 2010). Bahkan tingginnya kematian dapat terjadi pada hari pertama dan kedua setelah melahirkan (Ronsmans, dkk., 2006). Nour (2008) juga menyebutkan bahwa sebanyak 45% kematian pada masa nifas terjadi pada 24 jam pertama setelah melahirkan dan 66% terjadi pada 1 minggu pertama setelah melahirkan. Hasil penelitian menemukan bahwa dari 2072 wanita usia subur, sebanyak 85,6% telah memanfaatkan pelayanan nifas dan 14,4% tidak memanfaatkan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia. Persentase pemanfaatan pelayanan nifas ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase pelayanan nifas yang ada di laporan SDKI 2012, yaitu sebesar 74%. Hal ini dimungkinkan terjadi karena perbedaan penetapan waktu pemanfaatan pelayanan nifas, yaitu 2 hari pertama pasca persalinan pada laporan SDKI 2012 dan 3 hari pertama pasca persalinan pada penelitin ini. Oleh karena itu, terdapat tambahan jumlah wanita yang mendapatkan pelayanan nifas pada hari ketiga sehingga persentase yang dihasilkan lebih besar. Selain itu, perbedaan besarnya persentase ini dimungkinkan terjadi karena perbedaan periode tahun sampel yang digunakan. Laporan SDKI 2012 menggunakan sampel antara tahun 2007-2012. Sedangkan pada penelitian ini, sampel yang digunakan adalah tahun 2011-2012. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan cakupan pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada tahun 2011-2012 dibandingkan pada tahun-tahun sebelumya. Oleh sebab itu,
125
persentase pemanfaatan pelayanan nifas yang dihasilkan pada penelitian ini lebih besar dibandingkan yang dilaporkan SDKI tahun 2012. Meskipun persentase pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural secara nasional cukup tinggi, terdapat ketimpangan persentase antar daerah rural di tingkat provinsi, yaitu antara 58,3% hingga 98,1%. Tiga provinsi tertinggi yang memanfaatkan pelayanan nifas adalah Bengkulu (98,1%), Yogyakarta (96,3%) dan Bali (96,2%). Sedangkan tiga provinsi terendah yang memanfaatkan pelayanan nifas adalah Papua (58,3%), Maluku (68,2%) dan Papua Barat (70,8%). Terdapat 13 provinsi yang berada di bawah angka nasional dalam memanfaatkan pelayanan nifas. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan pelayanan nifas masih menjadi masalah di daerah rural di beberapa provinsi di Indonesia. Hasil penelitian juga menemukan bahwa dari 1733 wanita yang memanfaatkan pelayanan nifas, sebagian besar dilayani atau diperiksa oleh bidan, yaitu 46% bidan praktek dan 29,4% bidan di desa. Hal ini diasumsikan karena banyak di antara wanita yang melahirkan di bidan praktek atau bidan di desa. Terlihat dari hasil penelitian bahwa sebanyak 59% wanita yang memanfaatkan pelayanan nifas mendapatkan pemeriksaan kesehatan saat sebelum keluar dari fasilitas kesehatan pasca persalinan dan jenis fasilitas kesehatan yang banyak digunakan sebagai tempat persalinan adalah bidan praktek (24,9%) dan bidan di desa (11,9%). Selain itu, alasan banyaknya wanita yang menerima pemeriksaan pada 3 hari pertama setelah melahirkan dari bidan diasumsikan karena banyak wanita
126
yang mendapatkan pertolongan persalinan oleh bidan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total responden yang memanfaatkan pelayanan nifas, sebanyak 50,6% wanita mendapatkan pertolongan persalinan dari bidan dan 29,4% dari bidan di desa. Ini menunjukkan bahwa bidan memiliki peranan yang besar dalam meningkatkan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural. Setiap ibu nifas seharusnya memanfaatkan pelayanan nifas. Menurut Paudel, dkk. (2013), pelayanan nifas diperlukan untuk mengurangi kesakitan dan kematian pada ibu. Salah satu tujuan umum dari pelayanan nifas adalah memulihkan kesehatan umum penderita, mempertahankan psikologis dan mencegah infeksi dan komplikasi (Bahiyatun, 2008). Diketahui bahwa setelah persalinan, terdapat perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu selama masa nifas, seperti perubahan pada uterus, lokia, serviks, vagina dan vulva, perineum, abdomen, ovarium, payudara, sistem kardiovaskular, sistem pencernaan, dan sistem perkemihan (Manuaba, 2004; Stright, 2005; Bahiyatun, 2008; Leveno, dkk., 2009). Pada masa nifas, ibu juga dapat mengalami komplikasi, seperti perdarahan, sepsis puerperalis, eklamsia, infeksi puerperalis, depresi postpartum, postpartum blues atau psikosis postpartum (Farrer, 2001; WHO, 2002; Tomb, 2004; Sastrawinata, dkk., 2005; Bahiyatun, 2008; Leveno, dkk., 2009). Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi dan menangani atau merujuk komplikasi serta meningkatkan kesehatan pasca persalinan, maka ibu harus memanfaatkan pelayanan nifas.
127
Selain karena faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas (dibahas pada sub-bab selanjutnya), alasan wanita tidak memanfaatkan pelayanan nifas juga diasumsikan karena kurangnya kesadaran mereka tentang pentingnya pelayanan nifas sehingga merasa tidak membutuhkannya. Unicef (2012) menyebutkan bahwa cakupan pelayanan nifas tepat waktu yang rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya prioritas di antara perempuan terhadap pelayanan ini. Seperti yang terjadi di Jawa Barat bahwa karena alasan tidak mengalami komplikasi pasca persalinan maka wanita di sana merasa tidak membutuhkan pelayanan nifas (Titaley, dkk., 2010). Hal ini juga terjadi pada wanita di Palestina, Nigeria dan Etiopia bahwa salah satu alasan mereka tidak memanfaatkan pelayanan nifas adalah karena tidak merasa sakit setelah melahirkan sehingga tidak membutuhkan pelayanan nifas (Dhaher, dkk., 2008; Ugboaja, dkk., 2013; Berhe, dkk., 2013).
6.3 Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 6 dari 8 variabel yang diteliti berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia tahun 2011-2012. Berikut ini adalah pembahasan dari masing-masing variabel tersebut.
128
6.3.1 Pendidikan Pendidikan memiliki peranan terhadap perilaku seseorang (Notoadmodjo, 2010). Tingkat pendidikan berkaitan erat dengan perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan (Andersen, 1995). Morreale (1998) menjelaskan bahwa pendidikan umumnya menyebabkan tingginya pemanfataan pelayanan kesehatan. Pada penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas tertinggi terjadi pada wanita dengan pendidikan perguruan tinggi (90,3%) dibandingkan wanita dengan tingkat pendidikan lebih rendah lainnya. Sedangkan pemanfaatan pelayanan nifas paling rendah terjadi pada wanita yang tidak pernah sekolah (64,7%). Hal ini menunjukkan bahwa wanita yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung akan lebih banyak memanfaatkan pelayanan nifas. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,000. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Doraon (2012) dan Ugboaja, dkk. (2013) yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara tingginya pendidikan ibu dengan peningkatan pemanfaatan pelayanan nifas. Ibu yang berpendidikan menengah dan atas lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas saat 24 jam pertama setelah melahirkan (Paudel, dkk., 2013).
129
Namun, hal ini tidak sejalan dengan penelitian Dhaher, dkk. (2008) dan Berhe, dkk. (2013) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Sebaliknya, penelitian Fitria dan Puspitasari (2011) menemukan bahwa ibu nifas yang tamat SD cenderung melaksanakan pelayanan nifas dibandingkan ibu nifas yang berpendidikan SMP dan SMA karena kemungkinan ibu dengan pendidikan lebih tinggi merasa lebih tahu akan kondisi tubuhnya. Adanya hubungan dalam penelitian ini diasumsikan karena pendidikan
wanita
memengaruhi
pengetahuan
mereka
tentang
pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan. Pengetahuan tentang fasilitas kesehatan ibu lebih tinggi di antara orang-orang yang mendapatkan
pendidikan
formal
(Yar‟zever
dan
Said,
2013).
Pengetahuan yang didapat dari pendidikan memberikan kemudahan bagi individu dalam mengakses informasi dan memanfaatkan pelayanan untuk meningkatkan kesehatan diri sendiri dan keluarganya (Higgins, Lavin dan Metcalfe, 2008; Paudel, dkk., 2013). Kemudahan wanita berpendidikan tinggi dalam mengakses informasi juga dapat memengaruhi pemanfaatan pelayanan nifas. Ibu dengan pendidikan tinggi lebih mungkin untuk berkunjung ke pelayanan nifas karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar kemungkinannya memperoleh informasi tentang risiko
130
kesehatan, pentingnya dan manfaat mengakses pelayanan kesehatan (Khanal, dkk, 2014). Berdasarkan hasil penelitian, wanita di daerah rural Indonesia lebih banyak yang bersekolah tidak tamat SMTA (30,7%) dan 66,3% di bawah tamat SMTA. Hanya 33,6% wanita yang bersekolah hingga tamat SMTA atau perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan wanita usia 15-49 tahun yang pernah melahirkan tahun 2011-2012 di daerah rural Indonesia tergolong masih rendah. Berdasarkan SDKI tahun 2012, wanita yang tinggal di daerah rural memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan wanita yang tinggal di daerah urban, khususnya pada tingkat pendidikan SMTA dan perguruan tinggi (BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International, 2013). Hal ini karena pemerataan layanan pendidikan menengah belum sepenuhnya mampu menjangkau penduduk kurang beruntung yang disebabkan kondisi geografis (misalnya daerah terpencil dan perbatasan) dan kondisi sosial ekonomi (Kemendikbud, 2012). Pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang belum mantap karena kurangnya kejelasan pembagian tugas dan tanggung jawab antar tingkat pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) menjadi salah satu penyebab manajemen tata kelola pendidikan yang belum efektif, khususnya dalam hal fungsi dan pendanaan. Selain dari pendidikan formal, pengetahuan masyarakat tentang kesehatan
dapat
diperoleh dari
pendidikan
informal. Perilaku
131
masyarakat yang erat kaitannya dengan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat dapat terbentuk melalui kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan (Maulana, 2009). Pendidikan kesehatan adalah proses yang direncanakan dengan sadar untuk menciptakan peluang bagi individu-individu untuk senantiasa
belajar
memperbaiki
kesadaran
serta
meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya demi kepentingan kesehatannya (Nursalam dan Efendi, 2008). Pendidikan kesehatan dapat diberikan dalam bentuk memberikan informasi dan mendidik masyarakat tentang cara hidup yang sehat (Chandra, 2009). Informasi tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan nifas dapat disampaikan secara langsung kepada masyarakat berupa penyuluhan atau secara tidak langsung melalui poster, media cetak dan elektronik. Pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan kesehatan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran wanita tentang pentingnya menjaga kesehatan diri sendiri setelah melahirkan melalui pemanfaatan pelayanan nifas. Oleh karena tingginya tingkat pendidikan wanita memengaruhi pemanfaatan pelayanan nifas setelah melahirkan, maka perlu adanya upaya memperbaiki tingkat pendidikan, salah satunya adalah dengan cara meningkatkan pemerataan program wajib belajar minimal 9 tahun yang ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai di daerah rural Indonesia. Pengintegrasian kurikulum pendidikan kesehatan ke
132
dalam kurikulum pendidikan formal juga dapat menjadi cara yang efektif untuk memberikan pengetahuan sejak dini kepada pelajar tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi pada masa kehamilan hingga masa nifas. Selain itu, perlu adanya peningkatan peran pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan nifas, melalui program promosi kesehatan atau penyuluhan, khususnya kepada wanita yang tidak bersekolah. Program berbasis masyarakat atau komunitas juga sebaiknya dilakukan berupa pelatihan kepada kader-kader kesehatan setempat tentang pendidikan kesehatan sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya potensial yang terkait dengan kehamilan dan pentingnya memanfaatkan pelayanan nifas.
6.3.2 Urutan Kelahiran Nomor urut kelahiran anak memiliki hubungan yang kuat dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal, seperti pelayanan antenatal, penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, persalinan di fasilitas kesehatan hingga pelayanan nifas. Wanita yang memiliki anak lebih banyak biasanya berdampak pada peningkatkan tanggung jawab secara fisik dan materi sehingga hanya memiliki waktu dan sumber finansial yang sedikit untuk menjaga atau merawat kesehatan diri sendiri (Adamu, 2011).
133
Pada penelitian ini, wanita yang melahirkan anaknya yang pertama hingga ketiga lebih banyak memanfaatkan pelayanan nifas dibandingkan wanita yang melahirkan anaknya yang keempat atau lebih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang memiliki anak dengan urutan kelahiran besar cenderung akan lebih sedikit memanfaatkan pelayanan nifas. Namun, hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan pvalue sebesar 0,085. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Islam dan Odland (2011) yang menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara urutan kelahiran dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Bahkan pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada ibu yang melahirkan anak kedua dan ke empat dibandingkan anak pertama dan ketiga. Fort, dkk (2006) juga menemukan bahwa pada kelahiran nonfasilitas kesehatan, pemafaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada ibu yang melahirkan anak ke-5 atau lebih dibandingkan anak dengan urutan kelahiran kecil. Namun, hal ini tidak sejalan dengan penelitian Adamu (2011), Singh, dkk. (2012), dan Khanal, dkk. (2014) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara urutan kelahiran dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Khanal, dkk (2014) menemukan bahwa tingginya pemanfaatan pelayanan nifas terjadi pada kelahiran anak
134
pertama (61,8%) dan kedua atau ketiga (41,2%). Begitu juga dengan Singh, dkk. (2012) yang menemukan bahwa tingginya pemanfaatan pelayanan nifas terjadi pada kelahiran anak pertama (37,4%) dan kedua atau ketiga (32,8%). Tingginya pemanfaatan pelayanan nifas pada anak pertama disebabkan karena wanita lebih berhati-hati tentang kehamilan pertamanya dan cenderung memiliki kesulitan selama persalinan (Singh, dkk., 2012). Tidak adanya hubungan pada penelitian ini dimungkinkan terjadi karena sebagian besar responden ditolong oleh tenaga kesehatan dan kemudian
mendapatkan
pemeriksaan
kesehatan
segera
setelah
persalinan. Berdasarkan hasil penelitian, wanita dengan urutan kelahiran ke-1 dan ke-2 hingga 3 telah ditolong oleh tenaga kesehatan saat bersalin sebesar 92,3% dan 84,9%. Dari persentase tersebut, sebanyak 90,8% dan 89,9% di antaranya telah mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah persalinan. Tingginya persentase ini tidak jauh berbeda dengan persentase pada urutan kelahiran yang lebih besar. Wanita dengan urutan kelahiran ke-4 hingga 5 atau ke-6 atau lebih telah ditolong oleh tenaga kesehatan saat bersalin sebesar 79,9% dan 75,9%. Dari persentase tersebut, sebanyak 88,2% dan 88,3% di antaranya telah mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah persalinan. Wanita yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan akan mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah persalinan. Salah
135
satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar oleh tenaga kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara rutin selama 2 jam pertama pasca persalinan (Kemenkes, 2013). Syarifudin dan Hamidah (2009) juga menyebutkan bahwa tugas bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan adalah melakukan pemantauan pada ibu dan bayi terhadap terjadinya komplikasi dalam 2 jam setelah persalinan serta melakukan tindakan yang diperlukan. Bidan juga bertugas memberikan pelayanan selama masa nifas melalui kunjungan rumah pada minggu ke-2 dan minggu ke-6 setelah persalinan. Meskipun hasil uji statistik menemukan tidak ada hubungan, hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar urutan kelahiran maka semakin tinggi pemanfaatan pelayanan nifas. Oleh karena itu, intervensi pada kebijakan dan program peningkatkan kesehatan ibu melalui pelayanan nifas sebaiknya lebih difokuskan pada kelompok wanita yang memiliki pengalaman melahirkan lebih banyak, yaitu dengan cara peningkatkan promosi pelayanan nifas.
6.3.3 Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) (Kemenkes RI, 2010). Frekuensi pelayanan antenatal minimal 4 kali selama masa
136
kehaminan, yaitu minimal 1 kali pada triwulan pertama, minimal 1 kali pada triwulan kedua dan minimal 2 kali pada triwulan ketiga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 84,1% wanita di daerah rural Indonesia pada tahun 2011-2012 melakukan kunjungan ANC sebanyak 4 kali atau lebih. Sedangkan sebanyak 12,7% wanita melakukan kunjungan hanya 1-3 kali dan 3,2% tidak pernah melakukan kunjungan ANC selama kehamilannya. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran wanita untuk berkunjung ke ANC cukup tinggi. Kunjungan ke pelayanan antenatal (ANC) memiliki dampak positif pada pemanfaatan pelayanan nifas (Chimankar dan Sahoo, 2011). Kunjungan antenatal dapat meningkatkan kemungkinan bagi wanita untuk memanfaatkan pelayanan nifas (Ugboaja, dkk., 2013). Pada penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang melakukan kunjungan ANC ≥4 kali (88,3%) dan lebih rendah pada wanita yang tidak pernah melakukan kunjungan ANC (57,6%). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya pemanfaatan pelayanan nifas terjadi pada tingginya kunjungan ANC wanita ketika hamil. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kunjungan ANC dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,000. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Chimankar dan Sahoo (2011), Ugboaja, dkk. (2013), Paudel, dkk. (2013), dan Khanal, dkk. (2013) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kunjungan
137
ANC dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Paudel, dkk. (2013) menemukan bahwa ibu yang berkunjung ke ANC sebanyak 1 sampai 3 kali dan 4 kali atau lebih, lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas daripada ibu yang tidak datang ke pelayanan antenatal. Khanal, dkk., (2014) juga menemukan bahwa ibu yang berkunjung sebanyak 4 kali atau lebih ke ANC lebih besar kemungkinannya untuk berkunjung ke pelayanan nifas setelah bersalin daripada ibu yang tidak berkunjung ke ANC. Namun, beberapa penelitian menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kunjungan ANC dengan pemanfaatan pelayanan nifas (Dhaher, dkk., 2008; Berhe, dkk., 2013). Meski tidak ada hubungan, Berhe, dkk. (2013) berkeyakinan bahwa penting untuk mendidik para ibu hamil tentang pelayanan nifas ketika berkunjung ke pelayanan antenatal sehingga dapat meningkatkan kesadaran mereka untuk memanfaatkan pelayanan nifas. Adanya hubungan dalam penelitian ini, dimungkinkan karena wanita mendapatkan informasi tentang pelayanan nifas saat kunjungan ANC. Paudel, dkk. (2013) menjelaskan bahwa saat datang ke pelayanan antenatal, ibu hamil memperoleh informasi kesehatan tentang persiapan yang dibutuhkan untuk persalinan dan pemanfaatan layanan lebih lanjut yang dibutuhkan setelah persalinan. Standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar di Indonesia juga disebutkan bahwa pada saat kunjungan ANC, terdapat sesi konseling yang membahas persiapan
138
persalinan (Kemenkes, 2013). Pada sesi konseling dengan tenaga kesehatan tersebut, ibu hamil kemungkinan juga memperoleh informasi tentang pemanfaatan pelayanan nifas dan kemudian menyadari tentang pentingnya mendapatkan pelayanan nifas. Selain itu, adanya hubungan juga dimungkinkan karena kunjungan ANC dapat meningkatkan pemanfaatan penolong persalinan oleh
tenaga
kesehatan
terlatih
yang
kemudian
meningkatkan
kesempatan bagi ibu bersalin untuk mendapatkan pelayanan nifas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita yang berkunjung ke ANC sebanyak ≥4 kali (89,5%) lebih banyak yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat bersalin daripada wanita yang tidak berkunjung ke ANC (54,5%). Selanjutnya, dari 89,5% wanita tersebut, sebanyak 91,1% di antaranya kemudian memanfaatkan. Sedangkan dari 54,5% wanita yang tidak berkunjung ke ANC dan ditolong oleh tenaga kesehatan saat bersalin, pemanfaatan nifasnya lebih rendah, yaitu 80,6%. Kesadaran wanita untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi dapat menjadi alasan bagi mereka memanfaatkan ANC dan pelayanan nifas. Hal ini sejalan dengan penelitian (Titaley, dkk., 2010) bahwa alasan utama wanita di Garut, Sukabumi dan Ciamis berkunjung ke ANC dan pelayanan nifas adalah untuk memastikan keselamatan ibu dan bayinya. Sebaliknya, alasan di antara mereka tidak memanfaatkan ANC maupun pelayanan nifas adalah karena kurangnya kesadaran mereka tentang pentingnya memanfaatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Beberapa
139
di antara mereka berpendapat bahwa pelayanan kesehatan hanya dibutuhkan jika terjadi komplikasi kehamilan. Pengetahuan dan kesadaran yang kurang pada wanita yang tidak berkunjung ke ANC dapat disebabkan karena faktor pendidikan. Pendidikan pada wanita hamil memiliki efek positif terhadap pemanfaatan ANC. Seperti di Ethiopia, wanita di daerah rural dengan tingkat pendidikan sekunder 4 kali lebih besar memanfaatkan pelayanan antenatal (Mekonnen, 2002). Hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini bahwa kunjungan ANC ≥4 kali lebih banyak dilakukan oleh dengan tingkat pendidikan tamat SMTA (88,7%) dan perguruan tinggi (90,3%) dibandingkan wanita yang tidak sekolah (67,6%). Kunjungan ANC yang tidak dilakukan oleh wanita selama hamil juga dapat dipengaruhi oleh kepercayaan yang menjadi budaya di lingkungannya. Wanita di daerah rural Jawa Barat beranggapan bahwa kehamilan adalah peristiwa yang normal sehingga tidak butuh perawatan kecuali jika terjadi komplikasi (Agus, dkk., 2012). Hal serupa juga terjadi di derah rural Bangladesh bahwa wanita umumnya menganggap kehamilan sebagai peristiwa normal kecuali jika muncul komplikasi sehingga sebagian dari mereka tidak berkunjung ke ANC dan tidak ada persiapan sebelumnya untuk menghadapi persalinan (Choudhury dan Ahmed, 2011). Peran ANC terhadap pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita di daerah rural cukup penting. Terlihat bahwa kunjungan ANC ≥ 4 kali
140
mampu menarik 88,3% dari total wanita yang berkunjung untuk kemudian memanfaatkan pelayanan nifas. Oleh karena itu, peneliti menyarankan untuk meningkatkan pemanfaatan atau kunjungan ANC minimal 4 kali atau lebih dan menekankan pentingnya pemanfaatan pelayanan nifas selama kunjungan tersebut berlangsung dengan sasaran utama adalah wanita yang tidak bersekolah dan tidak tamat SD. Peningkatan kunjungan ANC dapat dilakukan melalui program berbasis masyarakat dan berbagai media promosi kesehatan, terutama dengan memanfaatkan peran bidan dan bidan swasta. Hal ini karena lebih dari setengah total responden diperiksa kehamilannya oleh bidan dan bidan di desa, yaitu sebesar 54,6% dan 37,3%.
6.3.4 Kuintil Kekayaan Kuintil kekayaan merupakan indeks kekayaan rumah tangga yang didasarkan atas barang-barang kepemilikan rumah tangga tersebut. Penduduk di daerah rural umumnya memiliki kuintil kekayaan lebih rendah dibandingkan penduduk di daerah urban. Berdasarkan SDKI tahun 2012, lebih dari setengah penduduk rural (60%) di Indonesia berada dalam kuintil dua terendah, sementara sepertiga penduduk daerah urban (33%) berada dalam kuintil tertinggi (BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International, 2013). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa sebanyak 62,2% wanita usia subur yang pernah melahirkan tahun 2011-2012 di
141
daerah rural Indonesia berada dalam kuintil dua terendah, yaitu kuintil terbawah dan menengah bawah. Hanya 6,9% wanita di sana yang berada dalam kuintil kekayaan tertinggi. McCulloch, dkk. (2007) menyebutkan bahwa kebanyakan orang miskin di negara berkembang, seperti di Indonesia, masih tinggal di daerah
rural
dan
terutama
terlibat
dalam
kegiatan
pertanian
produktivitas rendah. Pendapatan yang rendah dari sektor pertanian ini dapat berdampak pada status ekonomi yang rendah. Di daerah rural Jawa Tengah, status ekonomi yang rendah berhubungan secara signifikan dengan status pekerjaan sebagai bertani (Hondai, 2005). Ekonomi di daerah rural dapat berdampak pada perilaku seseorang ketika sakit dalam pencarian pengobatan (Bushy, 2009). Keadan ekonomi secara tidak langsung juga menggambarkan tingkat pendapatan seseorang. Pendapatan menjadi salah satu sumber daya pendukung bagi seseorang untuk bisa memanfaatkan pelayanan kesehatan (Andersen, 1995). Pada hasil penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang berada dalam kuintil kekayaan menengah (90,1%), menengah atas (90,1%) dan teratas (94,4%). Sedangkan pemanfaatan pelayanan nifas lebih rendah terjadi pada wanita yang berada dalam kuintil kekayaan terbawah (78,8%) dan menengah bawah (86,8%). Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan
142
yang signifikan antara kuintil kekayaan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,000. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fort, dkk. (2006), Nugraha (2013) dan Khanal, dkk. (2014) bahwa terdapat hubungan antara kuintil kekayaan/status ekonomi dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Ibu yang memiliki kuintil kekayaan tinggi di negara Bangladesh, Cambodia, Ethiopia, Haiti, Indonesia, Mali, Rwanda, dan Uganda, lebih tinggi pemanfaatan nifasnya dibandingkan ibu dengan kuintil kekayaan yang lebih rendah (Fort, dkk., 2006). Nugraha (2013) juga menemukan bahwa di Indonesia, ibu yang mempunyai tingkat ekonomi menengahtinggi lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas dibandingkan ibu yang rendah tingkat ekonominya. Kondisi wanita bersalin di daerah rural yang lebih banyak berada dalam kuintil kekayaan terbawah dan menengah bawah menyebabkan mereka sulit mendapatkan pelayanan nifas yang disebabkan karena faktor finansial. Hal ini sejalan dengan penelitian kualitatif di Sukabumi dan Ciamis bahwa finansial menjadi masalah utama wanita di sana untuk memanfaatkan pelayanan nifas terkait biaya pelayanan kesehatan, biaya transportasi atau keduanya (Titaley, dkk., 2010). Masyarakat rural di Provinsi Nort West, Afrika Selatan juga memiliki masalah yang sama bahwa meskipun mereka menyadari mencari pelayanan kesehatan adalah suatu kebutuhan ketika sakit, namun mereka terkendala dengan minimnya dana yang dimiliki, tidak hanya untuk biaya berobatnya saja,
143
tetapi juga untuk biaya transportasi ke fasilitas kesehatan (Hoeven, dkk., 2012). Hal ini juga sejalan dengan Khanal, dkk. (2014) bahwa wanita dari keluarga kaya lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas karena tersedianya dana untuk bersalin di rumah sakit. Mereka yang bersalin di rumah sakit kemudian mendapatkan pemeriksaan nifas dari tenaga kesehatan. Selain itu, alasan wanita tidak memanfaatkan pelayanan nifas dimungkinkan karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya memeriksakan kesehatannya saat nifas. Hal ini sejalan dengan penelitian Choundhury dan Ahmed (2011) bahwa alasan wanita Bangladesh dengan tingkat ekonomi sangat miskin tidak pergi ke fasilitas kesehatan ketika merasa sakit pasca persalinan adalah karena tidak menyadari tentang adanya pemeriksaan kesehatan nifas. Badan yang lemas dan deman dianggap sebagai hal yang umum terjadi pada masa nifas. Khanal, dkk. (2014) juga menjelaskan bahwa wanita dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi lebih menyadari manfaat dari mendapatkan pelayanan nifas melalui berbagai media, seperti televisi, surat kabar dan teman-temannya dibandingkan wanita dengan tingakat sosial ekonomi rendah. Kuintil kekayaan tidak hanya berpengaruh pada pemanfaatan pelayanan nifas, namun juga berpengaruh pada pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal lainnya, seperti pelayanan antenatal dan penolong
144
persalinan oleh tenaga kesehatan (Titaley, dkk., 2010; Rahman, 2009). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa wanita dengan kuintil kekayaan tertinggi lebih banyak yang berkunjung ke pelayanan antenatal ≥4 kali (95,1%) dan lebih banyak yang persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan (99,3%). Di sisi lain, pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kunjungan antenatal dan penolong persalinan berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa rendahnya pemanfaatan pelayanan antenatal (ANC) di Indonesia berhubungan secara signifikan dengan kuintil kekayaan yang rendah (Titaley, dkk., 2010). Chimankar dan Sahoo (2011) juga menemukan bahwa status ekonomi yang tinggi secara signifikan meningkatkan proporsi persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Pemanfaatan kesehatan maternal yang rendah pada kelompok ekonomi rendah karena faktor biaya seharusnya tidak menjadi masalah karena pemerintah telah mencanangkan program Jaminan Persalinan (Jampersal), yaitu program asuransi kesehatan pemerintah untuk wanita hamil, yang meliputi pelayanan antenatal hingga nifas. Selain itu pemerintah juga mencanangkan program bantuan sosial lainnya bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
145
Namun, program Jampersal ternyata dinilai kurang efektif dalam menjangkau masyarakat di beberapa wilayah. Meskipun pemerintah telah mengalokasikan dana dalam jumlah yang besar untuk Jampersal, tingkat pengeluarannya relatif rendah. Secara nasional, tingkat pengeluaran Jampersal pada tahun 2011 adalah 41,5% di mana pengeluaran tertinggi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara (82,86%) dan terendah di wilayah Papua (13,02%) (Dwicaksono dan Setiawan, 2013). Heywood dan Choi (2010) menyebutkan bahwa meskipun terjadi peningkatan alokasi dana kesehatan yang signifikan oleh pemerintah Indonesia, namun tidak terdapat hubungan antara pengeluaran kesehatan pemerintah di tingkat kabupaten dengan keluaran sistem kesehatan yang diharapkan. Alokasi dana transfer secara efektif tidak sesuai dengan besarnya permasalahan kesehatan ibu yang dihadapi oleh daerah (Dwicaksono dan Setiawan, 2013). Artinya, pemerintah pusat gagal dalam menggunakan sumber daya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu di daerah. Salah satu yang menjadi hambatan penggunaan Jampersal adalah wanita miskin tidak sepenuhnya menyadari manfaat Jampersal. Unicef (2012) melaporkan bahwa kesadaran perempuan masih kurang tentang kelayakan dan manfaat Jampersal serta tingkat penggantian biaya yang tidak memadai, khususnya jika termasuk biaya transportasi dan komplikasi. Penelitian di Pandeglang menemukan bahwa wanita yang memiliki pengetahuan yang baik tentang Jampersal lebih tinggi untuk
146
memanfaatkan pelayanan Jampersal (Suparmi, dkk., 2013). Selain itu, sosialisasi kebijakan Jampersal sangat kurang, baik kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dan unit-unit pelaksana, maupun kepada masyarakat pengguna (Helmizar, 2014). Demikian juga yang terjadi pada kelompok kuintil kekayaan bawah yang memiliki Jamkesmas bahwa tidak sepenuhnya mereka paham tentang penggunaannya. Studi kualitatif di Jawa Barat menemukan bahwa meskipun masyarakat sudah dijelaskan tentang biaya persalinan yang gratis dengan ditolong bidan di desa di fasilitas kesehatan, mereka masih takut jika kemudian diminta untuk membayar biaya persalinan (Titaley, dkk., 2010). Pemanfaatan pelayanan nifas pada kelompok kuintil kekayaan bawah dapat dilakukan dengan diseminasi informasi yang lebih masif kepada masyarakat pengguna tentang manfaat asuransi kesehatan dari pemerintah yang dapat digunakan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan maternal. Peningkatan penggunaan asuransi kesehatan tersebut dapat dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan lintas sektor, seperti pemerintah daerah, DPRD dan gerakan pemberdayaan masyarakat berupa penyuluhan. Upaya tersebut diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga dapat memanfaatkan asuransi tersebut sesuai fungsinya.
147
6.3.5 Tempat Persalinan Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap tingginya kematian ibu adalah terbatasnya tempat persalinan yang memadai. Menurut Paudel, dkk. (2013), penolong persalinan berhubungan dengan tempat persalinan. Ketika ibu melahirkan di fasilitas kesehatan, maka dipastikan tenaga kesehatan tersedia. Berdasarkan SDKI tahun 2012, sebanyak 63% anak yang lahir dalam 5 tahun sebelum survei dilahirkan di fasilitas kesehatan, yaitu 17% di fasilitas kesehatan pemerintah dan 46% di fasilitas kesehatan swasta (BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International, 2013). Pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai tempat persalinan ditemui jauh lebih rendah terjadi di daerah rural (47%) dibandingkan di daerah urban (80%). Pada hasil penelitian ini, wanita yang melahirkan di daerah rural tahun 2011-2012 di fasilitas kesehatan sebesar 53,8%, yaitu 24,3% di fasilitas
kesehatan
pemerintah
(rumah
sakit/klinik,
puskesmas,
poskesdes, polindes atau fasilitas kesehatan pemerintah lainnya) dan 29,5% di fasilitas kesehatan swasta (rumah sakit swasta, rumah sakit bersalin, rumah bersalin, klinik, dokter umum praktek, bidan praktek, perawat praktek, bidan di desa atau fasilitas kesehatan swasta lainnya). Sedangkan wanita lainnya yang tidak melahirkan di fasilitas kesehatan lebih banyak yang melahirkan di rumahnya sendiri (41,3%). Tingginya persalinan di fasilitas kesehatan milik swasta dibandingkan pemerintah disebabkan karena jumlah fasilitas kesehatan
148
swasta lebih banyak dibandingkan milik pemerintah. Penelitian di 15 kabupaten/kota di pulau Jawa ditemukan bahwa 90% fasilitas kesehatan yang ada adalah milik swasta (Heywood dan Harahap, 2009). Sebanyak 95% dari fasilitas kesehatan swasta tersebut merupakan milik pribadi atau perorangan (dokter praktek, dokter paruh waktu, perawat paruh waktu, bidan di desa, dan bidan praktek). Proporsi wanita yang bersalin di fasilitas kesehatan sebesar 53,8% tidak sebanding dengan proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 86,8%. Ini menunjukkan bahwa sekitar 33% penolong persalinan oleh tenaga kesehatan diasumsikan dilakukan di rumah responden. Hasil ini sejalan dengan penelitian Utomo, dkk. (2011) bahwa di Indonesia, setengah dari penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dilakukan di rumah responden. Proporsi persalinan di fasilitas kesehatan di daerah rural tersebut tergolong rendah. Ini sejalan dengan Unicef (2012) bahwa proporsi persalinan di fasilitas kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu sebesar 55% dan adanya kesenjangan yang besar di mana persalinan di fasilitas kesehatan sebesar 113% di daerah urban lebih tinggi daripada di daerah rural. Selain itu, lebih dari setengah perempuan di 20 provinsi tidak mampu atau tidak mau menggunakan jenis fasilitas kesehatan apapun, sebagai penggantinya mereka melahirkan di rumah mereka sendiri.
149
Berdasarkan hasil penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang melahirkan di fasilitas kesehatan (92,9%) dibandingkan wanita yang melahirkan di non-fasilitas kesehatan (77,1%). Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tempat persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,000. Hasil
penelitian
ini
sejalan
dengan
beberapa
penelitian
sebelumnya bahwa pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang melahirkan di fasilitas kesehatan dibandingkan melahirkan di rumah (Ejaz, dkk., 2013; Oluwaseyi, 2013; Paudel, dkk., 2013; Kim, dkk., 2013, Khanal, dkk., 2014, Yamashita, dkk., 2014). Rata-rata dari 30 negara yang diteliti, hanya 28% wanita dengan tempat persalinan di luar fasilitas kesehatan yang menerima perawatan nifas (Paudel, dkk., 2013). Adanya hubungan dalam penelitian ini diasumsikan karena pasca persalinan, wanita mendapatkan pemeriksaan dari tenaga kesehatan saat masih berada di fasilitas kesehatan. Dari semua wanita yang bersalin di fasilitas kesehatan, sebanyak 94,3% di antaranya mendapatkan pemeriksaan nifas saat masih berada di fasilitas kesehatan pasca persalinan. Paudel, dkk. (2013) juga sependapat bahwa ketika seorang wanita melahirkan di fasilitas kesehatan, maka dia juga akan diperiksa kondisi kesehatannya dalam beberapa jam setelah melahirkan oleh petugas kesehatan sebagai salah satu rangkaian dari pelayanan
150
persalinan. Di Indonesia, salah satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar oleh tenaga kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara rutin selama 2 jam pertama pasca persalinan (Kemenkes, 2013). Rendahnya persalinan di fasilitas kesehatan lebih tinggi terjadi pada kelompok kuintil kekayaan terbawah. Kelahiran anak dari wanita yang berada dalam kelompok kuintil kekayaan terbawah cenderung 2,5 kali lebih tinggi dilakukan di non-fasilitas kesehatan atau di rumah dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelompok kuintil kekayaan tertinggi (masing-masing 60,5% dan 24,5%). Rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan pada kelompok tersebut diasumsikan terjadi karena faktor biaya. Pendapatan yang rendah
merupakan
hambatan
kesehatan modern di
terhadap
pemanfaatan
Indonesia, meskipun
pelayanan
pelayanan tersebut
disediakan oleh pemerintah (Chernichovsky dan Meesook, 1986). Pemanfaatan pelayanan kesehatan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yaitu biaya pelayanan dan biaya lainnya, termasuk obat-obatan, transportasi, makanan dan minuman serta biaya lainnya selama kunjungan perawatan kesehatan (Utomo, dkk., 2011). Di sisi lain, biaya subsidi kesehatan oleh pemerintah melalui sektor publik belum memadai untuk membuat layanan kesehatan gratis, khususnya bagi masyarakat miskin. Hal ini juga terlihat dari lebih banyaknya wanita yang bersalin di fasilitas kesehatan swasta dibandingkan fasilitas kesehatan pemerintah.
151
Selain itu, meskipun kelompok kuintil kekayaan bawah memiliki asuransi kesehatan, seperti Jamkesmas, mereka tidak sepenuhnya paham tentang penggunaannya. Studi kualitatif di Jawa Barat menemukan bahwa meskipun masyarakat sudah dijelaskan tentang biaya persalinan yang gratis dengan ditolong bidan di desa di fasilitas kesehatan, mereka masih takut jika kemudian diminta untuk membayar biaya persalinan (Titaley, dkk., 2010). Persepsi masyarakat tentang persalinan juga dimungkinkan menjadi pengahalang bagi wanita hamil untuk melahirkan di fasilitas kesehatan. Titaley, dkk. (2012) menemukan adanya persepsi pada penduduk di Jawa Barat bahwa persalinan adalah fenomena yang alami terjadi pada perempuan sehingga mereka lebih memilih bersalin di rumah, kecuali jika terjadi komplikasi maka persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa dari semua responden yang mengalami komplikasi persalinan, persalinan lebih banyak dilakukan di fasilitas kesehatan (59,4%). Aksesibilitas fasilitas kesehatan juga diketahui menjadi hambatan dalam persalinan di fasilitas kesehatan di beberapa wilayah di Indonesia. Di Jawa Barat, jarak fasilitas kesehatan yang jauh, kondisi jalan yang buruk, terbatasnya waktu untuk pergi, dan terbatasnya fasilitas kesehatan yang tersedia, khususnya di daerah terpencil, menjadi kendala bagi wanita hamil untuk bersalin di fasilitas kesehatan sehingga lebih memilih untuk melahirkan di rumah (Titaley, dkk.,
152
2010). Namun, hasil penelitian ini secara nasional tidak menunjukkan hal yang demikian. Persalinan di tempat lain atau non-fasilitas kesehatan tetap lebih tinggi terjadi pada wanita di daerah rural yang tidak memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan (46,7%) dibandingkan wanita yang memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan (43,4%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi persalinan di nonfasilitas kesehatan atau di rumah dua kali lebih tinggi terjadi pada wanita dengan pendidikan tamat SD (55,6%) dibandingkan wanita dengan pendidikan tamat SMTA (35,6%) dan perguruan tinggi (33,9%). Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin besar kemungkinan wanita hamil untuk bersalin di fasilitas kesehatan. Hal ini sejalan dengan penelitian pada wanita di Ethiopia bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai tempat persalinan (Ethiopian Society of Population Studies, 2008). Selain itu, berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan bahwa persalinan pada urutan kelahiran anak keenam atau lebih (64,6%) cenderung dilakukan di non-fasilitas kesehatan atau di rumah dibandingkan dengan urutan kelahiran anak pertama (40,1%). Rendahnya persalinan di fasilitas kesehatan pada ibu dengan urutan kelahiran banyak juga ditemukan memiliki hubungan signifikan pada wanita di Ethiopia (Mehari, 2013).
153
Upaya meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan perlu dilanjutkan, mengingat hal tersebut mampu menarik 92,9% wanita di daeral rural untuk kemudian memanfaatkan pelayanan nifas. Sasaran intervensi sebaiknya difokuskan pada wanita dengan kuintil kekayaan terbawah, pendidikan di bawah SMTA, urutan kelahiran anak ke-6 atau lebih dan yang memiliki kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Peningkatkan
promosi
dan
kampanye
kesehatan
tentang
pentingnya bersalin di fasilitas kesehatan dapat menambah pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Upaya ini dapat dilakukan melalui penyuluhan secara langsung atau melalui program berbasis masyarakat, berupa pelatihan kepada kader-kader kesehatan setempat tentang sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat.
6.3.6 Penolong Persalinan Saat proses persalinan, sebaiknya wanita hamil ditolong oleh penolong persalinan utama. Penolong persalinan utama, misalnya dokter, obsetri, dokter anak, dokter keluarga, perawat praktisi, atau perawat bidan bersertifikasi (Stright, 2005). Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dapat menekan AKI menjadi sebesar 33% (Romans, dkk., 2009). Berdasarkan SDKI tahun 2012, proporsi kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis profesional meningkat dari 73% pada SDKI 2007 menjadi 83% pada SDKI 2012. Namun, proporsi penolong persalinan
154
oleh tenaga kesehatan di daerah rural lebih rendah dibandingkan proporsi nasional, yaitu sebesar 74,6%. (BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International, 2013) Pada hasil penelitian ini, wanita yang melahirkan di daerah rural tahun 2011-2012 lebih banyak ditolong oleh tenaga kesehatan (86,8%) dibandingkan oleh non-tenaga kesehatan (13,2%). Pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang ditolong oleh tenaga kesehatan (90%) dibandingkan wanita yang ditolong oleh nonkesehatan (56,4%) saat persalinan. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penolong persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan pvalue sebesar 0,000. Hasil
penelitian
ini
sejalan
dengan
beberapa
penelitian
sebelumnya yang menemukan bahwa penolong persalinan berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas (Nugraha, 2013; Kim, dkk., 2013; Khanal, dkk., 2014). Ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga terlatih lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas daripada ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga yang tidak terlatih (Kim, dkk., 2013). Adanya hubungan dalam penelitian ini diasumsikan karena ketika wanita bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan, maka dirinya juga mendapatkan pemeriksaan kesehatan beberapa jam setelah melahirkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 86,8% wanita yang bersalin
155
oleh ditolong oleh tenaga kesehatan, sebanyak 99,2% di antaranya mendapatkan pemeriksaan kesehatan nifas oleh tenaga kesehatan. Paudel, dkk (2013) berpendapat bahwa sebagai bagian dari perawatan persalinan, tenaga kesehatan juga akan menilai situasi ibu dalam beberapa jam setelah melahirkan. Di Indonesia, salah satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar oleh tenaga kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara rutin selama 2 jam pertama pasca persalinan (Kemenkes, 2013). Selain itu, pemeriksaan kesehataan segera setelah lahir memang telah menjadi salah satu tugas dari tenaga kesehatan, seperti bidan. Salah satu tugas seorang bidan adalah melakukan pemantauan pada ibu dan bayi terhadap terjadinya komplikasi dalam 2 jam setelah persalinan serta melakukan tindakan yang diperlukan (Syarifudin dan Hamidah, 2009). Bidan juga bertugas memberikan pelayanan selama masa nifas melalui kunjungan rumah pada minggu ke-2 dan minggu ke-6 setelah persalinan. Jika melihat jenis tenaga kesehatannya, bidan dan bidan di desa memang merupakan penolong persalinan terbanyak di antara tenaga kesehatan terlatih lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, penolong persalinan oleh bidan dan bidan di desa masing-masing sebesar 47,4% dan 28,9% dari semua responden yang bersalin. Ini menunjukkan bahwa bidan dan bidan di desa memiliki peranan yang cukup besar sebagai penolong persalinan di daerah rural Indonesia.
156
Peningkatan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih merupakan salah satu strategi pemerintah dalam mengurangi AKI. Program pemerintah berupa bidan di desa (BDD), yaitu pelatihan dan penyebaran bidan di daerah rural, secara dramatis mengurangi kesenjangan sosial ekonomi terkait penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih (Hatt, dkk., 2007). Meskipun proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan cukup tinggi, masih ada wanita bersalin yang ditolong oleh non-tenaga kesehatan, terutama oleh dukun bayi, yaitu sebesar 24,5%. SDKI tahun 2012 juga menyebutkan bahwa secara nasional meskipun kelahiran ditolong oleh dukun bayi sudah bergeser, namun dukun bayi masih berperan penting dalam menolong persalinan, terutama di daerah rural (20%) dan ibu dengan kuintil kekayaan terendah (32%) (BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International, 2013). Faktor kepercayaan atau budaya menjadi salah satu alasan mereka bersalin dengan ditolong oleh dukun bayi. Penelitian di daerah rural Magelang Jawa Tengah menemukan bahwa alasan sebagian besar warga di sana memilih dukun bayi adalah karena sudah menjadi kebiasaan sejak dulu jika bersalin ditolong oleh dukun bayi (Amilda, 2010). Sedangkan di daerah rural Mimika Papua, persalinan oleh dukun bayi disebabkan karena masyarakat meyakini bahwa dukun bayi adalah orang yang mendapatkan warisan kelebihan dari nenek moyang yang biasanya diberikan secara turun temurun (Alwi, 2007). Meskipun saat
157
persalinannya nanti si ibu meninggal dunia, masyarakat tidak menyalahkan dukun, melainkan menyalahkan si ibu yang dianggap semasa kehamilannya tidak mengikuti aturan adat. Penelitian Titaley, dkk. (2010) menemukan bahwa alasan wanita di Jawa Barat bersalin ditolong oleh dukun bayi/paraji meskipun telah tersedia tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan adalah karena terkendala jarak yang jauh dan terbatasnya finansial yang dimiliki. Sejumlah responden menjelaskan bahwa persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan hanya diperlukan bagi wanita yang mengalami komplikasi kehamilan. Selain itu, terdapat keterbatasan penyedia pelayanan kesehatan di daerah terpencil. Di sisi lain, bidan desa yang terkadang menjadi satu-satunya penyedia layanan kesehatan, sering melakukan perjalanan keluar desa. Sulitnya penduduk di daerah rural dan daerah terpencil untuk menjangkau bidan di desa telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya (Makowiecka, dkk., 2007). Jika dibandingkan di daerah urban, kepadatan bidan di desa lebih rendah terjadi di daerah rural dan daerah terpencil. Akibatnya, setiap bidan di desa sebagai penyedia pelayanan kesehatan memiliki beban tugas yang lebih besar karena jangkauan wilayah kerja yang luas. Di sisi lain, kondisi tersebut tidak didukung oleh sarana transportasi yang memadai sehingga menyulitkan bidan di desa untuk menjangkau wanita bersalin atau merujuknya ke rumah sakit jika terjadi komplikasi. Hal ini yang kemudian juga menjadi penyebab
158
kurang familiarnya atau kurang diterimanya bidan di desa di dalam kelompok masyarakat. Kurang familiarnya bidan di desa di antara kelompok masyarakat juga menjadi alasan wanita memilih dukun bayi/paraji sebagai penolong persalinan. Titaley, dkk. (2010) menyebutkan bahwa menurut masyarakat di Jawa Barat, dukun bayi/paraji lebih sabar dan perhatian dibandingkan bidan di desa. Dukun bayi/paraji senantiasa menemani wanita hamil saat waktu persalinan sudah dekat. Sedangkan bidan di desa akan langsung pergi seteleh melakukan pemeriksaan jika dirasa belum waktunya persalinan dilakukan. Selain karena kepadatan bidan di desa yang rendah, tidak menetapnya mereka di daerah rural menjadi hambatan bagi masyarakat untuk menjangkaunya. Makowiecka, dkk. (2007) menemukan bahwa di provinsi Banten, kurang dari 30% bidan di desa tinggal menetap di desa. Mereka lebih tertarik untuk tinggal di daerah urban karena dapat mengembangkan karirnya. Sebagai tambahan penghasilan, mereka membuka klinik sendiri di daerah urban. Karena masih tingginya penolong persalinan oleh dukun bayi/paraji, salah satu upaya Kementerian Kesehatan RI untuk mengurangi angka kematian ibu dan angka kematian bayi, yaitu melalui Dinas Kesehatan Provinsi melakukan beberapa pelatihan bagi paraji untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang kehamilan dan persalinan, terutama bagaimana mendeteksi kehamilan berisiko tinggi,
159
bagaimana merujuk persalinan yang sulit, dan bagaimana menangani tali pusar higienis (Ambaretnani, 2012). Selanjutnya, seorang paraji yang telah terlatih diberikan sepaket alat praktek medis atau Dukun Kit. Paraji dianggap sebagai bagian dari keluarga di masyarakat karena peran mereka dalam menjaga kesehatan rumah tangga sehingga tidak hanya membantu saat melahirkan, tetapi juga membantu selama masa kehamilan dan perawatan pasca persalinan. Meskipun masih ada wanita bersalin di daerah rural yang ditolong oleh dukun bayi/paraji, sebagian besar dari mereka juga didampingi oleh tenaga kesehatan terlatih sehingga proses persalinannya aman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24,5% penolong persalinan oleh dukun bayi/paraji, sebanyak 53,7% di antara juga ditolong oleh tenaga kesehatan. Penelitian Sudirman dan Sakung (2012) menemukan bahwa 62,5% dukun bayi bermitra dengan bidan, yaitu dengan hadir bersama-sama dalam menolong persalinan. Kemitraan ini sangat positif karena hubungan yang terjalin antar keduanya didasarkan pada saling menguntungkan, saling menghargai kelemahan dan kelebihan, saling berkomunikasi dan memberi informasi, terutama tentang pasien yang akan melahirkan. Pada hasil penelitian ditemukan bahwa penolong persalinan oleh tenaga kesehatan lebih rendah terjadi pada wanita dengan pendidikan rendah (tidak tamat SD hingga tamat SD), urutan kelahiran anak keempat atau lebih, kuintil kekayaan terbawah dan yang tidak
160
melakukan kunjungan ANC. Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa pendidikan (Rogan dan Olvena, 2004), urutan kelahiran (Rogan dan Olvena, 2004), kuintil kekayaan (Anwar, dkk., 2008) dan kunjungan ANC (Anwar, dkk., 2008) berhubungan dengan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan. Peran penolong persalinan terhadap pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita di daerah rural sangat besar. Terlihat bahwa penolong persalinan oleh tenaga kesehatan mampu menarik 90% dari total wanita yang bersalin untuk kemudian memanfaatkan pelayanan nifas. Oleh karena itu, sebaiknya persalinan di fasilitas kesehatan terus dilanjutkan. Sasaran intervensi sebaiknya difokuskan pada wanita dengan kuintil kekayaan terbawah, dengan pendidikan rendah (tidak tamat SD hingga tamat SD), urutan kelahiran anak keempat atau lebih dan yang memiliki kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Peningkatan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dapat dilakukan melalui peningkatan promosi kesehatan tentang pentingnya bersalin di fasilitas kesehatan atau ditolong oleh tenaga kesehatan sehingga dapat menambah pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Selain itu, kerja sama antara dukun bayi/paraji dengan bidan perlu terus ditingkatkan sehingga masyarakat yang lebih menyukai ditolong oleh dukun bayi/paraji tetap dapat mendapatkan pertolongan persalinan yang aman dari bidan.
161
Peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas penyedia layanan kesehatan, khususnya bidan di desa sebagai penolong persalinan juga perlu dilakukan. Pemerataan bidan di desa di setiap desa serta perbaikan infrastruktur jalan dan transportasi diharapkan dapat memudahkan masyarakat untuk mendapatkan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan.
6.3.7 Jarak ke Fasilitas Kesehatan Aksesibilitas
fasilitas
kesehatan
merupakan
sumber
daya
pendukung bagi seseorang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan (Andersen,
1995).
Salah
satu
komponen
yang
memudahkan
aksesibilitas seseorang terhadap fasilitas kesehatan adalah jarak yang ditempuh untuk mencapai fasilitas kesehatan. Data SDKI tahun 2012 menunjukkan bahwa penduduk di daerah rural menghadapi masalah yang lebih besar terhadap jarak ke fasilitas kesehatan dibandingkan penduduk di daerah urban (masing-masing 14% dan 7,3%) (BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International, 2013). Berdasarkan hasil penelitian, hanya sedikit wanita yang pernah melahirkan di daerah rural pada tahun 2011-2012 memiliki masalah terhadap jarak ke fasilitas kesehatan (15,3%). Pemanfaatan pelayanan nifas lebih rendah terjadi pada wanita yang memiliki masalah terhadap jarak ke fasilitas kesehatan (77,8%) dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan (87%). Hasil
162
uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jarak ke fasilitas kesehatan
dengan pemanfaatan
pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,000. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Oluwaseyi (2013) dan Eliakimu (2010) bahwa aksesibilitas atau jarak ke pelayanan kesehatan secara signifikan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian Kim, dkk. (2013) juga menemukan bahwa 36% wanita Kamboja menyatakan bahwa jarak ke fasilitas kesehatan menjadi kendala terbesar bagi mereka untuk memanfaatkan pelayanan nifas. Ketika lokasi fasilitas kesehatan berada jauh dari masyarakat, maka akses terhadap fasilitas tersebut menjadi suatu masalah (Ugboaja, dkk., 2013). Oleh sebab itu, pemanfaatan pelayanan kesehatan lebih tinggi ketika jarak bukan menjadi masalah yang berarti (Kim, dkk., 2013). Lokasi pelayanan nifas yang jauh dan kondisi jalanan atau geografis daerah yang sulit ditempuh dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pelayanan nifas. Hal ini sejalan dengan Eliakiwlimu (2010) bahwa adanya faktor jumlah pelayanan kesehatan yang tersedia dan lokasi geografisnya, serta akses jalan menuju ke sana memengaruhi wanita dalam memanfaatkan pelayanan nifas. Penelitian Islam dan Odland (2011) menemukan bahwa 56,4% wanita tidak datang ke pelayanan nifas karena lokasi pelayanan kesehatan yang terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Wanita yang
163
bertempat tinggal kurang dari 8 km dari pusat pelayanan kesehatan menerima pelayanan nifas lebih tinggi daripada mereka yang berada lebih jauh dari pusat pelayanan. Jangkauan pelayanan kesehatan yang mudah memungkinakan pemanfaatan pelayanan nifas sebesar 7,388 kali lebih tinggi daripada jangkauan pelayanan kesehatan yang sulit (Fitria dan Puspitasari, 2011). Jarak ke fasilitas kesehatan yang jauh tidak hanya menjadi satu masalah yang dihadapi di daerah rural. Titaley, dkk. (2010) menemukan bahwa di Jawa Barat, masalah jarak fasilitas kesehatan yang jauh, kondisi jalan yang buruk, terbatasnya waktu untuk pergi, dan terbatasnya fasilitas kesehatan yang tersedia, khususnya di daerah terpencil, menjadi kendala bagi wanita hamil untuk mendapatkan pelayanan
antenatal,
persalinan
di
fasilitas
kesehatan
hingga
pemanfaatan pelayanan nifas. Jarak ke pelayanan kesehatan terdekat dengan kondisi jalan yang buruk menyebabkan mereka harus berjalan selama 2 jam. Situasi menjadi lebih buruk selama musim hujan ketika jalan licin. Permasalahan aksesibilitas ke fasilitas kesehatan di Indonesia
juga
telah
dilaporkan
pada
penelitian
sebelumnya
(D‟Ambruoso, dkk., 2008). Pada
tahun
2001-2010,
jumlah
kendaraan
di
Indonesia
meningkatkan tiga kali lipat. Namun, jalan nasional yang melayani lebih dari sepertiga dari lalu lintas kendaraan hanya tumbuh seperempat saja. Kesenjangan pertumbuhan infrastruktur trasnportasi ini semakin
164
besar antara daerah urban dan rural. Tingkat infrastruktur transportasi dan jalan di daerah rural Papua-Maluku lebih rendah dibandingkan daerah lainnya, khususnya Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Lebih dari 20% jalan di Kalimantan dan Maluku telah rusak. (OECD, 2013) Meskipun jarak ke fasilitas kesehatan merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat daerah rural, hal ini tidak seharusnya menjadi hambatan bagi mereka untuk memanfaatkan pelayanan nifas. Oleh karena itu, perbaikan infrastruktur jalan dan transportasi perlu dilakukan sesuai kondisi daerah masing-masing. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk pelaksanaannya.
6.3.8 Komplikasi Persalinan Masa persalinan merupakan masa yang mengkhawatirkan bagi ibu karena kemungkinan terjadinya komplikasi persalinan. Ibu yang mengalami komplikasi persalinan memiliki perilaku positif dalam mencari atau memanfaatkan pelayanan kesehatan, salah satunya pelayanan nifas (Paudel, dkk., 2013). Pada hasil penelitian ini, hampir setengah wanita di daerah rural mengalami komplikasi persalinan pada tahun 2011-2012, yaitu sebesar 42,8%. Wanita yang mengalami komplikasi persalinan setidaknya mengalami satu tanda bahaya. Tiga tanda bahaya yang lebih banyak terjadi adalah persalinan lama (31,7%), ketuban pecah dini lebih dari 6 jam sebelum persalinan (12,6%) dan perdarahan berlebihan (7,6%).
165
Komplikasi persalinan merupakan salah satu faktor kebutuhan bagi seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan (Anies, 2006). Andersen (1974) menjelaskan bahwa faktor predisposisi dan faktor pendukung untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila hal itu dirasakan sebagai kebutuhan (Notoatmodjo, 2010). Dengan kata lain, kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, jika faktor predisposisi dan pendukung tidak ada. Bahkan menurut Anderson, kebutuhan (need) merupakan variabel yang memberi kontribusi sekitar 43% dan merupakan faktor terkuat dalam memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan (Anies, 2006). Hasil penelitian menjukkan bahwa pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang mengalami kompklikasi persalinan (85,5%) dibandingkan wanita yang tidak mengalami komplikasi persalinan (84,9%). Namun, hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara komplikasi persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,343. Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian Dhaher, dkk. (2008) dan Paudel, dkk. (2013). Wanita yang mendapatkan tanda-tanda bahaya atau komplikasi saat melahirkan lebih besar kemungkinannya untuk menerima pelayanan nifas dari petugas kesehatan (Paudel, dkk., 2013). Dhaher, dkk. (2008) juga menemukan bahwa wanita yang tidak
166
mengalami komplikasi selama persalinan secara signifikan kurang mendapatkan pelayanan nifas dibandingkan dengan wanita yang mengalami komplikasi persalinan. Para wanita yang mendapatkan tanda-tanda bahaya atau komplikasi lebih cenderung beranggapan bahwa mereka memiliki risiko kesakitan atau kematian sehingga hal tersebut berdampak positif pada peningkatan pemanfaatan pelayanan nifas (Paudel, dkk., 2013). Tidak
adanya
hubungan
komplikasi
persalinan
dengan
pemanfaatan pelayanan nifas pada penelitian ini dimungkinkan terjadi karena sebagian besar responden, baik yang mengalami komplikasi maupun tidak, telah ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan dan kemudian
mendapatkan
pemeriksaan
kesehatan
segera
setelah
persalinan. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang mengalami komplikasi persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan saat bersalin sebesar 89,2%. Dari persentase tersebut, sebanyak 90,6% di antaranya kemudian
mendapatkan
pemeriksaan
kesehatan
segera
setelah
persalinan. Tingginya persentase ini tidak jauh berbeda dengan persentase pada wanita yang tidak mengalami komlikasi persalinan. Wanita yang tidak mengalami komplikasi persalinan mendapatkan pertolongan oleh tenaga kesehatan saat bersalin sebesar 85,1%. Dari persentase
tersebut,
sebanyak
89,5%
di
antaranya
kemudian
mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah persalinan.
167
Wanita yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan akan mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah persalinan. Salah satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar oleh tenaga kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara rutin selama 2 jam pertama pasca persalinan (Kemenkes, 2013). Syarifudin dan Hamidah (2009) juga menyebutkan bahwa tugas bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan adalah melakukan pemantauan pada ibu dan bayi terhadap terjadinya komplikasi dalam 2 jam setelah persalinan serta melakukan tindakan yang diperlukan. Bidan juga bertugas memberikan pelayanan selama masa nifas melalui kunjungan rumah pada minggu ke-2 dan minggu ke-6 setelah persalinan.
BAB VII PENUTUP
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai determinan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia tahun 2011-2012 berdasarkan data SDKI 2012, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: a. Sebanyak 85,6% wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan tahun 2011-2012 di daerah rural Indonesia memanfaatkan pelayanan nifas pada 3 hari pertama pasca persalinan dengan rentang antar provinsi sebesar 58,3% hingga 98,1%. b. Sebanyak 26,6% wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan tahun 2011-2012 di daerah rural berada pada kelompok usia 25-29 tahun saat melahirkan, 66,3% berpendidikan di bawah SMTA, 44,9% melahirkan pada urutan kelahiran ke-2 sampai ke-3, 15,9% melakukan kunjungan ANC <4 kali, 34,8% memiliki kuintil kekayaan terbawah, 46,2% bersalin di tempat lain/non-fasilitas kesehatan, 13,2% bersalin ditolong oleh non-kesehatan, 15,3% tidak memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan dan 42,8% mengalami komplikasi persalinan. c. Terdapat hubungan antara pendidikan, kunjungan ANC, kuintil kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, dan jarak ke fasilitas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia.
168
169
d. Tidak terdapat hubungan antara urutan kelahiran dan komplikasi persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia.
7.2 Saran Peningkatan pemanfaatan pelayanan nifas perlu terus dilakukan untuk mengurangi angka kematian ibu. Adapun saran yang dapat peneliti berikan untuk mencapainya adalah sebagai berikut. 7.2.1 Bagi Kementerian Kesehatan RI a. Meningkatkan promosi kesehatan melalui berbagai media tentang penitngnya pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal, yaitu pelayanan antenatal, persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dan dilakukan di fasilitas kesehatan serta pelayanan nifas dengan fokus sasaran khususnya wanita dengan kuintil kekayaan terbawah, tidak bersekolah hingga tamat SD, dan urutan kelahiran anak ke-4 atau lebih. Upaya ini sebaiknya dilakukan dengan cara penyuluhan langsung kepada masyarakat atau melalui program berbasis
masyarakat
berupa
pelatihan
kepada
kader-kader
kesehatan setempat sehingga dapat mneingkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya potensial yang terkait dengan kehamilan dan pentingnya memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal.
170
b. Meningkatkan sosialisasi tentang pemanfaatan asuransi kesehatan dari pemerintah kepada masyarakat pengguna. Cara ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang ketersediaan asuransi tersebut sehingga kemudian menggunakannya untuk memanfaatkan
pelayanan
kesehatan
maternal.
Peningkatan
penggunaan asuransi kesehatan tersebut dapat dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan lintas sektor, seperti pemerintah daerah, DPRD dan gerakan pemberdayaan masyarakat berupa penyuluhan. c. Meningkatkan ketersediaan penyedia layanan kesehatan, khususnya bidan di desa sebagai tenaga penolong persalinan. Pemerataan bidan di desa diharapkan dapat memberi kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kemudian berdampak positif pada peningkatkan pemanfaataan pelayanan nifas.
7.2.2 Kementerian Pendidikan RI Pemerataan program wajib belajar minimal 9 tahun di daerah rural perlu tingkatkan. Selain itu, sebaiknya dilakukan pengintegrasian kurikulum pendidikan kesehatan ke dalam kurikulum pendidikan formal sehingga dapat menjadi cara yang efektif untuk memberikan pengetahuan sejak dini kepada pelajar tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi pada masa kehamilan hingga masa nifas.
171
7.2.3 Pemerintah Daerah Pemerintah daerah perlu melakukan perbaikan infrastruktur jalan dan transportasi yang dilakukan sesuai kondisi di masing-masing daerah, khususnya di daerah rural yang terpencil.
7.2.4 Bagi Peneliti Lain Intervensi peningkatan pemanfaatan pelayanan nifas sebaiknya difokuskan sesuai dengan kebutuhan di masing-masing komunitas atau kabupaten dengan mengetahui akar masalah sebenarnya. Oleh karena itu, sebaiknya peneliti melakukan penelitian tentang pemanfaatan pelayanan nifas dengan fokus pada wilayah tertentu, khususnya di provinsi Papua, Papua Barat dan Maluku yang merupakan provinsi dengan pemanfaatan pelayanan nifas paling rendah di Indonesia. Sebaiknya penelitian dilakukan dengan metode kualitatif melalui focus group discussion (FGD) atau diskusi kelompok sehingga dapat menggali lebih banyak informasi tentang determinan pemanfaatan pelayanan nifas.
DAFTAR PUSTAKA
Adamu, H. S. 2011. Utilization of Maternal Health Care Service in Nigeria: An Analysis of Regional Differences in the Patterns and Determinants of Maternal Health Care Use. Disertasi. University of Liverpool. Agus, Y., Horiuchi, S., Porter, S. 2012. Rural Indonesia Women‟s Traditional Beliefs About Antenatal Care. BMC Research Notes; 5:589. Alwi, Q. Tema Budaya yang Melatarbelakangi Perilaku Ibu-Ibu Penduduk Asli dalam Pemeliharaan Kehamilan dan Persalinan di Kabupaten Mimika. Bul. Panel. Kesehatan, Vol. 35, No. 3, Hal. 137-147. Ambaretnani, Prihartini. 2012. Paraji and Bidan in Rancaekek: Integrated Medicine for Advanced Partnerships among Traditional Birth Attendants and Community Midwives in the Sunda Region of West Java, Indonesia. Zutphen: Wőhrmann Print S rvic . Amilda, N. L. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Pertolongan Persalinan oleh Dukun Bayi. Universitas Diponegoro. Andersen, R. 1995. Revisiting The Behavioral Model and Access to Medical Care Does It Matter?*. Journal of Health and Social Behavior. Vol. 6: 1-10. Andersen, R., Newman J. F. 2005. Societal and Individual Determinants of Medical Care Utilization in The United States. The Milbank Quarterly. Vol. 8, No. 4. Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular – Solusi Pencegahan dari Aspek Perilaku dan Lingkungan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Anwar, dkk. 2008. Inequity in Maternal Health-Care Services: Evidence from Home-Based Skilled-Birth Attendant Programmes in Bangladesh. Bulletin of the World Health Organization, 86 (4). Aqudelo, A., Belizan, J. M., Lammers, C. 2005. Maternal-Perinatal Morbidity and Mortality Associated with Adolescent Pregnancy in Latin America:
172
Cross-Sectional Study. American Journal of Obstetrics Gynecology. Vol. 192, Issue 2, Pages 342-349. Ariawan, Iwan. (1998). Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan FKM Universitas Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2012. Panduan Penyusunan Proposal, Protokol dan Laporan Akhir Penelitian. Kementerian Kesehatan RI. Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Kesehatan RI, ICF Internasional. 2013. Indonesia Demographic and Health Survey 2012. Jakarta, Indonesia: BPS, BKKBN, Kemenkes, and ICF International. Badan Pusat Statistik. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 Tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia. Bahiyatun. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Bailey, L., Vardulaki, K., Langham, J., Chandramohan, D. 2005. Introduction to Epidemiology. McGraw-Hill International. Bappenas. 2010. Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pemabangunan Milenium di Indonesia. Bappenas. 2011. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011. Berhe, dkk. 2013. Utilization and Associated Factors of Postnatal Care in Adwa Toen, Tigray, Ethiopia – A Cross Sectional Study. A Peer Received International Jurnal for Pharmaceutical and Allied Reasearch. Broeck, J. V., Brestoff, . R. 2013. Epidemiology Principles and Practical Guidelines. Springer. Budiarto, E., Anggraeni, D. 2003. Pengantar Epidemiologi, E/2. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC. Bushy, Angeline. 2009. A Landscape View of Life and Health Care in Rural Settings. University Press of New England.
173
Bustan, M. N. 2008. 505 Tanya-Jawab Epidemiologi. Putra Asaad Print. Bustan, M.N. 2006. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Callaghan, W., Berg, C. J. Pregnancy-Related Mortality Among Women Aged 35 Years and Older, United States, 1991–1997. The American College of Obstetricians and Gynecologists – Elsevier. Vol. 102, no. 5, part 1. Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Chernichovsky, D., Meesook, O. A. 1986. Utilization of Health Service in Indonesia. Social Science and Medicine – Elseiver. Cheung, Theresa Francis. Pregnancy Weight Management: Before, During, After. Diterjemahkan oleh Purwoko, Susi. 2008. Manajemen Berat Badan Kehamilan. Jakarta: Arcan. Chimankar, Digambar A., Harihar S. 2011. Factors Influencing The Utilization of Maternal Health Care Services in Uttarakhand. Ethno Med, 5(3): 209216. Choundhury, N. Ahmed, S. M. 2011. Maternal Care Practices Among The Ultra Poor Households in Rural Bangladesh: A Qualitative Exploratory Study. BMC Pregnancy and Childbirth; 11:15. Code, Jane., Dunstall, Melvyn. 2011. Anatomy and Physiology for Midwives. China: Elsevier Health Sciences. D‟Ambruoso, L. Byass, P., Qomariyah, S. N. 2008. Can The Right to Health Inform Public Health Planning in Developing Countries? A Case Study for Maternal Healthcare from Indonesia. Global Health Action. DOI: 10.3402/gha.v1i0.1828. Dahlan, Sopiyudin. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Dhaher, dkk. 2008. Factors Associated with Lack of Postnatal Care Among Palestinian Women: A Cross-Sectional Study of Three Clinics in The West Bank. BMC Pregnancy and Childbirth.
174
Direktorat Bina Kesehatan Ibu. 2012. Upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu. Kementerian Kesehatan RI. Doraon. 2012. Postnatal Care In Nigeria A Multilevel Analysis. Dwicaksono, A., Setiawan, D. 2013. Monitoring Kebijakan dan Anggaran Komitmen Pemerintah Indonesia dalam Kesehatan Ibu. Bandung: Perkumpulan INISIATIF. Ejaz, S., Ahmad K. 2013. Postpartum Care Utilization Among Primigravida: A Studi in Rural Punjab, Pakistan. Research on Humanities and Social Sciences Vol.3, No.4. Eliakimu, Eliudi S. 2010. Assessment of Maternal Postnatal Care Utilization and Associated Factors Among Women with Infants Aged 2-6 Months in Shinyanga Rural District, Shinyanga Region. Dissertation. Muhimbii University of Health and Allied Sciences. Engel, Jerome., Pedley, Timothy A. 2008. Epilepsy: A Comprehensive Textbook. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Ethiopian Society of Population Studies. 2008. Maternal Health Care Seeking Behaviour in Ethiopia: Findings from EDHS 2005. UNFPA Ethiopia: Adis Ababa. Farrer, Helen. Maternity Care - Second Edition. Diterjemahkan oleh Hartono, Andry. 2001. Perawatan Maternitas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Fitria N. A., Puspitasari, N. 2011. Determinan Pada Ibu Nifas yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Post-Natal Care (Studi di Puskesmas Lespadangan Kabupaten Mojokerto Tahun 2011). Surabaya: Universitas Airlangga. Fort, Alfredo L., Monica T. Kothari, and Noureddine Abderrahim. 2006. Postpartum Care: Levels and Determinants in Developing Countries. Calverton, Maryland, USA: Macro International Inc. Gregg, Michael B. 2008. Field Epidemiology, Volume 1. New York: Oxford University Press. Hatt, L., dkk. 2007. Did The Strategy of Skilled Attendance at Birth Reach The Poor in Indonesia?. Bulletin of the World Health Organization; 85 (10).
175
Haws, Paulette S. Care of The Sick Neonate: A Quick Reference for Health Care Providers. Diterjemahkan oleh Meining Issuryanti. 2008. Asuhan Neonatus: Rujukan Cepat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Helmizar. 2014. Evaluasi Kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal) dalam Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat; 197-205. Heywood, P., Choi, Y. 2010. Health System Performance at The District Level in Indonesia After Decentralization. BMC International Health and Human Rights; 10:3. Heywood, P., Harahap, N. P. 2009. Health Facilities at The District Level in Indonesia. Australia and New Zealand Health Policy 2009, 6:13. Higgins, C., Lavin, T., Metcalfe, O. 2008. Health Impacts of Education – A Review. Institute of Public Health. Ireland. Hoeven, M., Kruger, A., Greeff, M. 2012. Differences in Health Care Seeking Behaviour Between Rural and Urban Communities in South Africa. International Journal for Equity in Health; 11:31. Hondai, S. 2005. Profile of Poverty and Probability of Being Poor in Rural Indonesia. The International Centre for the Study of East Asian Development, Kitakyushu. International Fund for Agriculture. 2013. Enabling Poor Rural People to Overcome Poverty in Indonesia. Italia. Islam, MR., Odland JO. 2011. Determinants of Antenatal and Postnatal Care Visits Among Indigenous People in Bangladesh: A Study of The Mru Community. Rural and Remote Health 11: 1672. Jacobs, Choolwe N. 2007. A Study Determine The Factors Associated with Underutilisation of Posnatal Care Services among Pospartum Women in Mazabuka District. Skripsi. The University of Zambia. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA). Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Informasi Jampersal.
176
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah 2010-2014. Khanal, dkk. 2014. Factors Associated with The Utilisation of Postnatal Care Services Among The Mothers of Nepal: Analysis of Nepal Demographic and Health Survey 2011. BMC Women's Health 14:1. Kim, Net, dkk. 2013. Early Postnatal Care and Its Determinants ini Cambodia. Directorat General for Health Ministry of Health – Kingdom of Cambodia. Leveno, Kenneth J., dkk. Williams Manual of Obstetrics, 21st Ed. Diterjemahkan oleh Pendit, Brahm U. 2009. Obsetri Williams: Panduan Ringkas, Ed. 21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran RGC. Makowiecka, K., Achadi, E., Izati, Y. Ronsmans, C. 2007. Midwifery Provision in Two Districts in Indonesia: How Well Are Rural Areas Served?. Health Policy and Planning; 23:67–75. Oxford University Press. Manuaba, Ida Bagus Gede. 2004. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obsetri dan Ginekologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Masriadi. 2012. Epidemiologi. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Maulana, Heri D. J. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. McCulloch, N., Timmer, C. P., Weisbrod, J. 2007. Pathways Out of Poverty During an Economic Crisis: An Empirical Assessment of Rural Indonesia. Central for Global Development. Mehari, A. M. 2013. Levels and Determinants of Use of Institutional Delivery Care Services among Women of Childbearing Age in Ethiopia: Analysis of EDHS 2000 and 2005 Data. United States Agency for International Development. Mekonnen, Y., Mekonnen, A. 2002. Utilization of Maternal Care Services in Ethiopia. Calverton, Maryland, USA: ORC Macro.
177
Morreale, M. 1998. Fact Sheet: What Factors Can Influence Health Care Utilization?. Nursing Effectiveness, Utilization and Outcomes Research Unit McMaster University - University of Toronto. Murti, Bisma. 1997. Metode dan Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nour, Nawal M. An Introduction to Maternal Mortality. Reviews In Obstetrics & Gynecology Vol. 1 No. 2. Nugraha, Sri Mardikani. 2013. Determinan Akses Pelayanan Nifas di Indonesia (Analisis Riskesdas 2010). Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Nursalam, Efendi F. 2008. Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Oluwaseyi, Somefun D. 2013. Determinants of Postnatal Care Non-Utilization in Nigeria. University of Witwatersrand. Organization for Economic Cooperation and Development. 2013. Structural Policy Country Notes Indonesia. Southeast Asian Economic Outlook 2013: With Perspectives on China and India. Paudel, dkk. 2013. Determinants of Postnatal Service Utilization in A Western District of Nepal: Community Based Cross Sectional Study. Journal Wom n’s H alth Car Volume 2 Issue 3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2562 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Rahman, K.M.M. 2009. Determinants of Maternal Health Care ini Bangladesh. Resesarch Journal of Applied Sciences; 113-119. Medwell Journal. Rogan, S. E. Olvena, Ma. V. 2004. Factors Affecting Maternal Health Utilization in the Philippines. 9th National Convention on Statistics (NCS): EDSA Shangri-La Hotel.
178
Romans, C., dkk., 2009. Professional Assistance During Birth and Maternal Mortality in Two Indonesian Districts. Bull World Health Organ; 87:416–423. Ronsmans, C., dkk. 2006. Maternal Mortality: Why, When, Where, and Why. Lancet Vol. 268 Hal. 1189-1200. Sabri L., Hastono S. P; 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sastrawinata S., Martaadisoebrata, D., Wirakusumah F. 2005. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obsetri Patologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Shindu, Pujiastuti. 2009. Yoga untuk Kehamilan: Sehat, Bahagia, dan Penuh Makna. Bandung: Qanita. Singh PK, Rai RK, Alagarajan M, Singh L. 2012. Determinants of Maternity Care Services Utilization among Married Adolescents in Rural India. PloS ONE 7(2): e31666. doi:10.1371/journal.pone.0031666. Sofianty, dkk. 2007. Wahana IPS – Ilmu Pengetahuan Sosial. Yudistira. Stright, Barbara R. Lippincott‟s Review Series: Maternal-Newborn Nursing. Diterjemahkan oleh Wijayarini, Maria A.
2005. Panduan Belajar:
Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sudirman, Sakung, J. 2012. Kemitraan Bidan dengan Dukun Bayi dalam Menolong Persalinan Bagi Ibu-Ibu yang Melahirkan di Pedesaan di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala. Universitas Muhamadiyah Palu. Suparmi, Kristanti, D., Suryatma, A. 2013. Determinan Pemanfaatan Jaminan Persalinan di Kabupaten Pandeglang. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 41, No. 4: 217-224. Syarifudin, Hamidah. 2009. Kebidanan Komunitas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
179
Syed U, Asiruddin, Helalm Imteaz, John Murray. 2006. Immediate and Early Postnatal Care for Mothers and Newborns in Rural Bangladesh. J Health Popul Nutr;24(4):508-518. Titaley, C. Hunter, C. Dibley, M. Heywood, P. 2010. Why Do Some Women Still Prefer Traditional Birth Attendants and Home Delivery - A Qualitative Study on Delivery Care Services in West Java Province, Indonesia. BMC Pregnancy and Childbirth. Titaley, C. R., Dibley, M. J., Roberts, C. L. 2010. Factors Associated with Underutilization of Antenatal Care Services in Indonesia Results of Indonesia Demographic and Health Survey 2002/2003 and 2007. BMC Public Health; 10:485. Titaley, C. R., Hunter, C. L., Heywood, P., Dibley, M. J. 2010. Why don‟t Some Women Attend antenatal and Postnatal Care Services? A Qualitative Study of Community Members‟ Perspectives in Garut, Sukabumi and Ciamis Districts of West Java Province, Indonesia. BMC Pregnancy and Childbirth; 10:61. Titaley, C., Dibley, M. J., Roberts, C. L. 2010. Factors Associated With Underutilization of Antenatal Care Services in Indonesia Results of Indonesia Demographic and Health Survey 2002/2003 and 2007. BMC Public Health, 10:485. Tomb, David A. Hos Psychiatry, 6th Ed. Diterjemahkan oleh Nasrun, dkk. 2004. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Ugboaja, Joseph O., dkk. 2013. Barriers to Postnatal Care and Exclusive Breaastfeeding Among Urban Women in Southeastern Nigeria. Nigerian Medical Journal Vol. 54 Issue 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan. Unicef Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak.
180
Universitas Pendidikan Indonesia. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan – Bagian 1 Ilmu Pendidikan Teoritis. PT. Imperial Bhakti Utama. Utomo, B. Sucahya, P. Utami, R. 2011. Priorities and Realities: Addressing The Rich-Poor Gaps in Health Status and Service Access in Indonesia. International Journal for Equity in Health; 10:47. Warren, Charlotte, dkk. 2006. Opportuniti s or A rica’s N wborns. World Health Organization. 2008. Factsheet – Maternal Mortality. Geneva. World Health Organization. 2010. WHO Technical Consultation on Postpartum and Posnatal Care. Switzerland: WHO Press. World Health Organization. Safe Motherhood, Pueperal Sepsis Module – Education Material for Teachers of Midwifery. Diterjemahkan oleh Maryuani, Aniek. 2002. Safe Motherhood, Modul Sepsis Puerperalis Materi Pendidikan untuk Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Yamashita T., Sherri A S., Cecilia L., Yuko T., Naomi S. 2014. A Cross-Sectional Analytic Study of Postpartum Health Care Service Utilization in The Philipines. Plos One Volume 9, Issue 1. Yar‟zaver, I.S. Said, I.Y. 2013. Knowledge and Barriers in Utilization of Maternal Health Care Services in Kano State, Northern Nigeria. European Journal of
Biology and Medical Science Research. Vol.1 No. 1, pp.1-14. Yulaikhah, Lily. 2009. Kehamilan: Seri Asuhan Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
181
LAMPIRAN
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
ANALISIS UNIVARIAT
1. Umur saat wawancara survei Age in 5-year groups Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
15-19
188
9.1
9.1
9.1
20-24
534
25.8
25.8
34.8
25-29
583
28.1
28.1
63.0
30-34
429
20.7
20.7
83.7
35-39
246
11.9
11.9
95.6
40-44
81
3.9
3.9
99.5
45-49
11
.5
.5
100.0
2072
100.0
100.0
Total
2. Umur melahirkan Respondent's age when delivered last child Frequency Valid
<15
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
4
.2
.2
.2
15-19
319
15.4
15.4
15.6
20-24
546
26.4
26.4
41.9
25-29
551
26.6
26.6
68.5
30-34
391
18.9
18.9
87.4
35-39
204
9.8
9.8
97.2
40-44
49
2.4
2.4
99.6
45-49
8
.4
.4
100.0
2072
100.0
100.0
Total
3. Pendidikan Education attainment Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Higher
227
11.0
11.0
11.0
Complete secondary
469
22.6
22.6
33.6
Incomplete secondary
637
30.7
30.7
64.3
Complete primary
504
24.3
24.3
88.7
193
Incomplete primary
201
9.7
9.7
98.4
34
1.6
1.6
100.0
2072
100.0
100.0
No education Total
4. Urutan kelahiran Birth order Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
1
808
39.0
39.0
39.0
2-3
931
44.9
44.9
83.9
4-5
254
12.3
12.3
96.2
6+
79
3.8
3.8
100.0
2072
100.0
100.0
Total
5. Kunjungan pelayanan antenatal (ANC) Antenatal visits during pregnancy Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
4+
1743
84.1
84.1
84.1
2-3
224
10.8
10.8
94.9
1
39
1.9
1.9
96.8
No antenatal visit
66
3.2
3.2
100.0
2072
100.0
100.0
Total
Place of antenatal care: respondent's home Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1979
98.8
98.8
98.8
24
1.2
1.2
100.0
2003
100.0
100.0
Place of antenatal care: other home Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1971
98.4
98.4
98.4
32
1.6
1.6
100.0
2003
100.0
100.0
194
Place of antenatal care: government hospital Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1914
95.6
95.6
95.6
89
4.4
4.4
100.0
2003
100.0
100.0
Place of antenatal care: public health center Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1461
72.9
72.9
72.9
Yes
542
27.1
27.1
100.0
Total
2003
100.0
100.0
Place of antenatal care: public village health post Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1971
98.4
98.4
98.4
32
1.6
1.6
100.0
2003
100.0
100.0
Place of antenatal care: public delivery post Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1903
95.0
95.0
95.0
Yes
100
5.0
5.0
100.0
Total
2003
100.0
100.0
Place of antenatal care: public health post Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1725
86.1
86.1
86.1
Yes
278
13.9
13.9
100.0
Total
2003
100.0
100.0
Place of antenatal care: private hospital Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1979
98.8
98.8
98.8
24
1.2
1.2
100.0
2003
100.0
100.0
195
Place of antenatal care: private maternity hospital Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1988
99.3
99.3
99.3
15
.7
.7
100.0
2003
100.0
100.0
Place of antenatal care: private maternity home Frequency Valid
No
Valid Percent
Cumulative Percent
1997
99.7
99.7
99.7
6
.3
.3
100.0
2003
100.0
100.0
Yes Total
Percent
Place of antenatal care: private clinic Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1948
97.3
97.3
97.3
55
2.7
2.7
100.0
2003
100.0
100.0
Place of antenatal care: private general practitioner Frequency Valid
No
Valid Percent
Cumulative Percent
1995
99.6
99.6
99.6
8
.4
.4
100.0
2003
100.0
100.0
Yes Total
Percent
Place of antenatal care: private obstetrician Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1841
91.9
91.9
91.9
Yes
162
8.1
8.1
100.0
Total
2003
100.0
100.0
Place of antenatal care: private midwife Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1442
72.0
72.0
72.0
Yes
561
28.0
28.0
100.0
Total
2003
100.0
100.0
196
Place of antenatal care: private nurse Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1990
99.4
99.4
99.4
13
.6
.6
100.0
2003
100.0
100.0
Place of antenatal care: private village midwife Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1574
78.6
78.6
78.6
Yes
429
21.4
21.4
100.0
Total
2003
100.0
100.0
Place of antenatal care: private other Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1984
99.1
99.1
99.1
19
.9
.9
100.0
2003
100.0
100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: doctor Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1972
98.3
98.3
98.3
34
1.7
1.7
100.0
2006
100.0
100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: obstetrician Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1693
84.4
84.4
84.4
Yes
313
15.6
15.6
100.0
Total
2006
100.0
100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: nurse Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1954
97.4
97.4
97.4
52
2.6
2.6
100.0
2006
100.0
100.0
197
Respondent's health professional checked up antenatal: midwife Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
911
45.4
45.4
45.4
Yes
1095
54.6
54.6
100.0
Total
2006
100.0
100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: village midwife Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1257
62.7
62.7
62.7
Yes
749
37.3
37.3
100.0
Total
2006
100.0
100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: traditional birth attendant Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1901
94.8
94.8
94.8
Yes
105
5.2
5.2
100.0
Total
2006
100.0
100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: other Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1992
99.3
99.3
99.3
14
.7
.7
100.0
2006
100.0
100.0
6. Kuintil kekayaan Wealth index Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Poorest
722
34.8
34.8
34.8
Poorer
568
27.4
27.4
62.3
Middle
365
17.6
17.6
79.9
Richer
274
13.2
13.2
93.1
Richest
143
6.9
6.9
100.0
2072
100.0
100.0
Total
198
7. Tempat persalinan Place delivery Frequency Valid
Health facility
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
1115
53.8
53.8
53.8
Other
957
46.2
46.2
100.0
Total
2072
100.0
100.0
Place of delivery Frequency Valid
Respondent's home
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
855
41.3
41.3
41.3
99
4.8
4.8
46.0
Hospital/clinic
282
13.6
13.6
59.7
Health center
174
8.4
8.4
68.1
Village health post
10
.5
.5
68.5
Delivery post
36
1.7
1.7
70.3
1
.0
.0
70.3
Hospital
79
3.8
3.8
74.1
Maternity hospital
50
2.4
2.4
76.5
Maternity home
14
.7
.7
77.2
Clinic
40
1.9
1.9
79.2
3
.1
.1
79.3
14
.7
.7
80.0
278
13.4
13.4
93.4
3
.1
.1
93.5
125
6.0
6.0
99.6
Other private sector
6
.3
.3
99.9
Other
3
.1
.1
100.0
Total
2072
100.0
100.0
Other home
Other public sector
General practitioner Obstetrician midwife nurse village midwife
8. Penolong persalinan Assistance delivery Frequency Valid
Health professional Non-health profesiional Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1799
86.8
86.8
86.8
273
13.2
13.2
100.0
2072
100.0
100.0
199
Assistance: doctor Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2039
98.4
98.4
98.4
33
1.6
1.6
100.0
2072
100.0
100.0
Assistance: obstetrician Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1746
84.3
84.3
84.3
Yes
326
15.7
15.7
100.0
Total
2072
100.0
100.0
Assistance: nurse Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1859
89.7
89.7
89.7
Yes
213
10.3
10.3
100.0
Total
2072
100.0
100.0
Assistance: midwife Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1090
52.6
52.6
52.6
Yes
982
47.4
47.4
100.0
Total
2072
100.0
100.0
Assistance: village midwife Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1474
71.1
71.1
71.1
Yes
598
28.9
28.9
100.0
Total
2072
100.0
100.0
Assistance: traditional birth attendant Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1564
75.5
75.5
75.5
Yes
508
24.5
24.5
100.0
Total
2072
100.0
100.0
200
Assistance: relative/friend Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
No
1869
90.2
90.2
90.2
Yes
203
9.8
9.8
100.0
Total
2072
100.0
100.0
Assistance: other Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
2047
98.8
98.8
98.8
25
1.2
1.2
100.0
2072
100.0
100.0
Assistance: no one Frequency Valid
No: some assistance
Cumulative Percent
Valid Percent
2067
99.8
99.8
99.8
5
.2
.2
100.0
2072
100.0
100.0
Yes: no assistance Total
Percent
9. Jarak ke fasilitas kesehatan Distance to facility Frequency Valid
Problem
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
316
15.3
15.3
15.3
No problem
1756
84.7
84.7
100.0
Total
2072
100.0
100.0
10. Komplikasi persalinan Complication during labor/delivery Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Yes
887
42.8
42.8
42.8
No
1185
57.2
57.2
100.0
Total
2072
100.0
100.0
201
Time of birth: prolonged labor Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1416
68.3
68.3
68.3
Yes
656
31.7
31.7
100.0
Total
2072
100.0
100.0
Time of birth: excessive vaginal bleeding Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1914
92.4
92.4
92.4
Yes
158
7.6
7.6
100.0
Total
2072
100.0
100.0
Time of birth: fever and foul smelling vaginal discharge Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1928
93.1
93.1
93.1
Yes
144
6.9
6.9
100.0
Total
2072
100.0
100.0
Time of birth: convulsions Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2032
98.1
98.1
98.1
40
1.9
1.9
100.0
2072
100.0
100.0
Time of birth: water broke > 6 hours before delivery Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
No
1811
87.4
87.4
87.4
Yes
261
12.6
12.6
100.0
Total
2072
100.0
100.0
Time of birth: other Frequency Valid
No Yes Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1992
96.1
96.1
96.1
80
3.9
3.9
100.0
2072
100.0
100.0
202
11. Pemanfaatan pelayanan nifas Attending postnatal care in first 3 days after delivery Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
Yes
1773
85.6
85.6
85.6
No
299
14.4
14.4
100.0
2072
100.0
100.0
Total
Respondent's health professional checked up after delivery Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Doctor
39
2.2
2.2
2.2
Nurse
91
5.1
5.1
7.3
Midwife
816
46.0
46.0
53.4
Obstetrician
247
13.9
13.9
67.3
Village midwife
521
29.4
29.4
96.7
50
2.8
2.8
99.5
Other
9
.5
.5
100.0
Total
1773
100.0
100.0
Traditional birth attendant
Respondent's health checked before discharge Frequency Valid
Missing
No
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
12
.7
1.2
1.2
Yes
1023
57.7
98.8
100.0
Total
1035
58.4
100.0
1
.1
System
737
41.6
Total
738
41.6
1773
100.0
9
Total
Respondent's health checked after discharge/delivery at home Frequency Valid Missing Total
Yes System
Percent
750
42.3
1023
57.7
1773
100.0
203
Valid Percent 100.0
Cumulative Percent 100.0
ANALISIS BIVARIAT 1. Pendidikan Case Processing Summary Cases Valid
Education attainment * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
2072
100.0%
0
.0%
2072
100.0%
Education attainment * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation Attending postnatal care in first 3 days after delivery Yes Education attainment
Higher
Count % within Education attainment
Complete secondary
Count
Incomplete secondary
Count
Complete primary
Count
% within Education attainment % within Education attainment % within Education attainment
Incomplete primary Count % within Education attainment No education
Count % within Education attainment
Total
Count % within Education attainment
No 205
22
227
90.3%
9.7%
100.0%
414
55
469
88.3%
11.7%
100.0%
545
92
637
85.6%
14.4%
100.0%
422
82
504
83.7%
16.3%
100.0%
165
36
201
82.1%
17.9%
100.0%
22
12
34
64.7%
35.3%
100.0%
1773
299
2072
85.6%
14.4%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square
Asymp. Sig. (2sided)
df a
5
.000
Likelihood Ratio
19.877
5
.001
Linear-by-Linear Association
16.796
1
.000
N of Valid Cases
22.242
2072
a. 1 cells (8.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.91.
204
Total
2. Urutan kelahiran Case Processing Summary Cases Valid
Birth order * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
2072
100.0%
0
.0%
2072
100.0%
Birth order * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation Attending postnatal care in first 3 days after delivery Yes Birth order
1
Count % within Birth order
2-3
Count % within Birth order
4-5
Count % within Birth order
6+
Count % within Birth order
Total
707
101
808
87.5%
12.5%
100.0%
794
137
931
85.3%
14.7%
100.0%
208
46
254
81.9%
18.1%
100.0%
Count % within Birth order
Total
No
64
15
79
81.0%
19.0%
100.0%
1773
299
2072
85.6%
14.4%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df a
6.614 6.436 6.422
3 3 1
.085 .092 .011
2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.40.
205
3. Kunjungan pelayanan antenatal (ANC) Case Processing Summary Cases Valid
Antenatal visits during pregnancy * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
2072
100.0%
0
.0%
2072
100.0%
Antenatal visits during pregnancy * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation Attending postnatal care in first 3 days after delivery Yes Antenatal visits 4+ during pregnancy 2-3
Count % within Antenatal visits during pregnancy Count % within Antenatal visits during pregnancy
1
Count % within Antenatal visits during pregnancy
No visit Total
antenatal Count % within Antenatal visits during pregnancy Count % within Antenatal visits during pregnancy
No
Total
1539
204
1743
88.3%
11.7%
100.0%
172
52
224
76.8%
23.2%
100.0%
24
15
39
61.5%
38.5%
100.0%
38
28
66
57.6%
42.4%
100.0%
1773
299
2072
85.6%
14.4%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df a
84.615 67.150 83.543
3 3 1
.000 .000 .000
2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.63.
206
4. Kuintil kekayaan Case Processing Summary Cases Valid
Wealth index * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
2072
100.0%
0
.0%
2072
100.0%
Wealth index * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation Attending postnatal care in first 3 days after delivery Yes Wealth index
Poorest
Count % within Wealth index
Poorer
Count % within Wealth index
Middle
Count % within Wealth index
Richer
Count % within Wealth index
Richest
Count % within Wealth index
Total
Count % within Wealth index
No
Total
569
153
722
78.8%
21.2%
100.0%
493
75
568
86.8%
13.2%
100.0%
329
36
365
90.1%
9.9%
100.0%
247
27
274
90.1%
9.9%
100.0%
135
8
143
94.4%
5.6%
100.0%
1773
299
2072
85.6%
14.4%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df a
47.272 47.953 40.674
4 4 1
.000 .000 .000
2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.64.
207
5. Tempat persalinan Case Processing Summary Cases Valid
Place delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
2072
100.0%
0
.0%
2072
100.0%
Place delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation Attending postnatal care in first 3 days after delivery Yes Place delivery
Health facility
Count % within Place delivery
Other Total
79
1115
92.9%
7.1%
100.0%
737
220
957
77.0%
23.0%
100.0%
Count % within Place delivery
Total
1036
Count % within Place delivery
No
1773
299
2072
85.6%
14.4%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.000
104.196
1
.000
107.811
1
.000
1.055E2 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
Exact Sig. (2sided)
.000 105.429
1
.000
2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 138.10. b. Computed only for a 2x2 table
208
Exact Sig. (1sided)
.000
6. Penolong persalinan Case Processing Summary Cases Valid N Assistance delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Missing
Percent 2072
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 2072
100.0%
Assistance delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation Attending postnatal care in first 3 days after delivery Yes Assistance delivery
Health professional
Count % within Assistance delivery
Non-health professional Total
Count % within Assistance delivery Count % within Assistance delivery
No
Total
1619
180
1799
90.0%
10.0%
100.0%
154
119
273
56.4%
43.6%
100.0%
1773
299
2072
85.6%
14.4%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.000
213.796
1
.000
166.190
1
.000
2.165E2 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.000 216.403
1
.000
2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 39.40. b. Computed only for a 2x2 table
209
Exact Sig. (1sided)
.000
7. Jarak ke fasilitas kesehatan Case Processing Summary Cases Valid N Distance to facility * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Missing
Percent 2072
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 2072
100.0%
Distance to facility * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation Attending postnatal care in first 3 days after delivery Yes Distance to facility
Problem
Count % within Distance to facility
No problem
70
316
77.8%
22.2%
100.0%
1527
229
1756
87.0%
13.0%
100.0%
1773
299
2072
85.6%
14.4%
100.0%
Count % within Distance to facility
Total
246
Count % within Distance to facility
Total
No
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.000
17.273
1
.000
16.296
1
.000
18.003 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
Exact Sig. (2sided)
.000 17.994
1
.000
2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 45.60. b. Computed only for a 2x2 table
210
Exact Sig. (1sided)
.000
8. Komplikasi persalinan Case Processing Summary Cases Valid
Complication during labor/delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
2072
100.0%
0
.0%
2072
100.0%
Complication during labor/delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation Attending postnatal care in first 3 days after delivery Yes Complication labor/delivery
during Yes
Count % within Complication during labor/delivery
No
Count % within Complication during labor/delivery
Total
Count % within Complication during labor/delivery
No
Total
767
120
887
86.5%
13.5%
100.0%
1006
179
1185
84.9%
15.1%
100.0%
1773
299
2072
85.6%
14.4%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.312
.898
1
.343
1.026
1
.311
1.021 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
Exact Sig. (2sided)
.343 1.021
1
.312
2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 128.00. b. Computed only for a 2x2 table
211
Exact Sig. (1sided)
.172
CROSSTAB ANTAR VARIABEL
1. Urutan kelahiran dan penolong persalinan Birth order * Assistance delivery Crosstabulation Assistance delivery Health professional Birth order
1
Count % within Birth order
2-3
Count % within Birth order
4-5
Count % within Birth order
6+
Count % within Birth order
Total
Count % within Birth order
Non-health professional
Total
746
62
808
92.3%
7.7%
100.0%
790
141
931
84.9%
15.1%
100.0%
203
51
254
79.9%
20.1%
100.0%
60
19
79
75.9%
24.1%
100.0%
1799
273
2072
86.8%
13.2%
100.0%
2. Urutan kelahiran dan pemanfaatan pelayanan nifas pada semua responden yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan Birth order * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation Attending postnatal care in first 3 days after delivery Yes Birth order
1
Count % within Birth order
2-3
Count % within Birth order
4-5
Count % within Birth order
6+
Count % within Birth order
Total
Count % within Birth order
212
No
Total
677
69
746
90.8%
9.2%
100.0%
710
80
790
89.9%
10.1%
100.0%
179
24
203
88.2%
11.8%
100.0%
53
7
60
88.3%
11.7%
100.0%
1619
180
1799
90.0%
10.0%
100.0%
3. Kunjungan ANC dan penolong persalinan Antenatal visits during pregnancy * Assistance delivery Crosstabulation Assistance delivery Health Non-health professional professional Antenatal 4+ visits during pregnancy 2-3
Count % within Antenatal visits during pregnancy Count % within Antenatal visits during pregnancy
1
Count % within Antenatal visits during pregnancy
No Count antenatal % within Antenatal visits during visit pregnancy Total
Count % within Antenatal visits during pregnancy
Total
1560
183
1743
89.5%
10.5%
100.0%
178
46
224
79.5%
20.5%
100.0%
25
14
39
64.1%
35.9%
100.0%
36
30
66
54.5%
45.5%
100.0%
1799
273
2072
86.8%
13.2%
100.0%
4. Kunjungan ANC dan pemanfaatan pelayanan nifas pada semua responden yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan Antenatal visits during pregnancy * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation Attending postnatal care in first 3 days after delivery Yes Antenatal 4+ visits during pregnancy 2-3
Count
Total
1421
139
1560
91.1%
8.9%
100.0%
149
29
178
83.7%
16.3%
100.0%
20
5
25
% within Antenatal visits during pregnancy
80.0%
20.0%
100.0%
No Count antenatal % within Antenatal visits during pregnancy visit
29
7
36
80.6%
19.4%
100.0%
% within Antenatal visits during pregnancy Count % within Antenatal visits during pregnancy
1
Total
No
Count
Count % within Antenatal visits during pregnancy
213
1619
180
1799
90.0%
10.0%
100.0%
5. Pendidikan dan kunjungan ANC Education attainment * Antenatal visits during pregnancy Crosstabulation Antenatal visits during pregnancy 4+ Education Higher attainment
Count
2-3
No antenatal visit
1
Total
205
16
4
2
227
% within Education attainment
90.3%
7.0%
1.8%
.9%
100.0%
Complete Count secondary % within Education attainment
416
39
7
7
469
88.7%
8.3%
1.5%
1.5%
100.0%
Incomplete Count secondary % within Education attainment
528
77
10
22
637
82.9%
12.1%
1.6%
3.5%
100.0%
417
55
13
19
504
82.7%
10.9%
2.6%
3.8%
100.0%
Complete Count primary % within Education attainment Incomplete Count primary % within Education attainment
154
30
5
12
201
76.6%
14.9%
2.5%
6.0%
100.0%
No Count education % within Education attainment
23
7
0
4
34
67.6%
20.6%
.0%
11.8%
100.0%
1743
224
39
66
2072
84.1%
10.8%
1.9%
3.2%
100.0%
Total
Count % within Education attainment
6. Kuintil kekayaan dan tempat persalinan Crosstab Place delivery Health facility Wealth index
Poorest
Count % within Wealth index
Poorer
Count % within Wealth index
Middle
Count % within Wealth index
Richer
Count % within Wealth index
Richest
Count % within Wealth index
Total
Count % within Wealth index
214
Other
Total
285
437
722
39.5%
60.5%
100.0%
316
252
568
55.6%
44.4%
100.0%
215
150
365
58.9%
41.1%
100.0%
191
83
274
69.7%
30.3%
100.0%
108
35
143
75.5%
24.5%
100.0%
1115
957
2072
53.8%
46.2%
100.0%
7. Pendidikan dan tempat persalinan Crosstab Place delivery Health facility Education attainment
Higher
Count % within Education attainment
Complete secondary
Count
Incomplete secondary
Count
Complete primary
Count
Incomplete primary
Count
No education
Count
% within Education attainment % within Education attainment % within Education attainment % within Education attainment % within Education attainment
Total
Count % within Education attainment
Other
Total
150
77
227
66.1%
33.9%
100.0%
302
167
469
64.4%
35.6%
100.0%
333
304
637
52.3%
47.7%
100.0%
224
280
504
44.4%
55.6%
100.0%
86
115
201
42.8%
57.2%
100.0%
20
14
34
58.8%
41.2%
100.0%
1115
957
2072
53.8%
46.2%
100.0%
8. Urutan kelahiran dan tempat persalinan Crosstab Place delivery Health facility Birth order
1
Count % within Birth order
2-3
Count % within Birth order
4-5
Count % within Birth order
6+
Count % within Birth order
Total
Count % within Birth order
215
Other
Total
484
324
808
59.9%
40.1%
100.0%
478
453
931
51.3%
48.7%
100.0%
125
129
254
49.2%
50.8%
100.0%
28
51
79
35.4%
64.6%
100.0%
1115
957
2072
53.8%
46.2%
100.0%
9. Penolong persalinan dan tenaga pemeriksa kesehatan nifas pada semua responden yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan Assistance delivery * Respondent's health professional checked up after delivery Crosstabulation Respondent's health professional checked up after delivery Health Non-health professional professional Assistance delivery
Health Count professional % within delivery Non-health Count professional % within delivery
Total
1606 Assistance
Count % within delivery
13
99.2%
70.1%
46
154
29.9% 100.0%
1714 Assistance
1619
.8% 100.0%
108 Assistance
Total
59
96.7%
1773
3.3% 100.0%
10. Komplikasi persalinan dan penolong persalinan Complication during labor/delivery * Assistance delivery Crosstabulation Assistance delivery Health professional Complication during labor/delivery
Yes
Count % within Complication during labor/delivery
No
Count % within Complication during labor/delivery
Total
Count % within Complication during labor/delivery
216
Non-health professional
Total
791
96
887
89.2%
10.8%
100.0%
1008
177
1185
85.1%
14.9%
100.0%
1799
273
2072
86.8%
13.2%
100.0%
11. Komplikasi persalinan dan pemanfaatan pelayanan nifas pada semua responden yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan Complication during labor/delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation Attending postnatal care in first 3 days after delivery Yes Complication during labor/delivery
Yes
Count % within Complication during labor/delivery
No
Count % within Complication during labor/delivery
Total
Count % within Complication during labor/delivery
217
No
Total
717
74
791
90.6%
9.4%
100.0%
902
106
1008
89.5%
10.5%
100.0%
1619
180
1799
90.0%
10.0%
100.0%