DETERMINAN NERACA TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA: Pendekatan Kointegrasi Metode Johansen dan 2-Step Engle-Granger
WAHYU PURNAMAHADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Determinan Neraca Transaksi Berjalan Indonesia: Pendekatan kointegrasi metode Johansen dan 2-step Engle Granger adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014
Wahyu Purnamahadi NIM H151114244
RINGKASAN WAHYU PURNAMAHADI. Determinan Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia: Pendekatan Kointegrasi Metode Johansen dan 2-Step Engle-Granger. Dibimbing oleh IMAN SUGEMA dan DEDI BUDIMAN HAKIM. Defisit neraca transaksi berjalan Indonesia beberapa tahun terakhir sangat menarik untuk dicermati oleh beberapa kalangan. Hal ini disebabkan oleh pentingnya indikator ini dalam menilai kestabilan ekonomi. Neraca transaksi berjalan Indonesia yang lebih dari satu dekade mengalami surplus tiba-tiba bergeser menjadi defisit pada tahun 2011 telah memunculkan bermacam spekulasi dan juga kekhawatiran. Pemerintah dalam hal ini otoritas yang berwenang telah memberikan penjelasan tentang fenomena sementara dari defisit transaksi berjalan yang diakibatkan peningkatan permintaan agregat dalam negeri. Namun berbagai kalangan menilai hal ini sebagai sinyal waspada yang harus disikapi dengan tepat dan cepat untuk mengantisipasi terjadinya kemunduran ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan neraca transaksi berjalan di Indonesia serta menganalisis bagaimana hubungan faktor-faktor tersebut terhadap neraca transaksi berjalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Faktor-faktor yang dimaksud meliputi aset luar negeri, tingkat keterbukaan perdagangan, nilai tukar riil, dan pendapatan riil relatif. Data yang digunakan adalah data triwulan dari tahun 1990 hingga tahun 2012, dengan penerapan analisis Vector Autoregression (VAR) serta sifat data yang tidak stasioner pada level, maka pendekatan kointegrasi dengan metode Johansen dan 2-step Engle Granger dilakukan untuk mencari hubungan jangka panjang dan jangka pendek yang terjadi. Selain itu, penelitian ini juga memberikan penekanan khusus pada penerapan prosedur ekonometrik untuk variabelvariabel non-stasioner namun terkointegrasi melalui metode Johansen dan 2-steps Engle Granger. Prosedur pemilihan model terbaik dengan pengujian Likelihood Ratio (LR) dan kriteria informasi juga dilakukan untuk mendapatkan hasil estimasi yang valid. Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, bahwa terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara neraca transaksi berjalan dan variabel-variabel yang diteliti. Kedua, tingkat keterbukaan perdagangan dan pendapatan riil relatif memiliki efek yang positif sementara nilai tukar memiliki efek negatif terhadap neraca transaksi berjalan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ketiga, aset luar negeri neto berdampak positif dalam jangka panjang dan berdampak negatif dalam jangka pendek.
Kata kunci: transaksi berjalan, kointegrasi, johansen, engle-granger, VAR/VECM
SUMMARY WAHYU PURNAMAHADI. Determinants of Current Account in Indonesia: Johansen Method and 2-steps Engle-Granger method of Co-integration. Under direction of IMAN SUGEMA and DEDI BUDIMAN HAKIM. Current account deficit in Indonesia in the last two years attract some attentions from many stakeholders because it is an important indicator in refer to assessing economic stability. In the last decade Indonesia experienced mostly current account surplus. After a long period of surplus, by the end of 2011, Indonesia experienced deficit of current account balances. The authority perceived it as a temporary phenomenon since the increasing of aggregate domestic demand due to raised on import of fuel and other consumption products. But some economist announced it as an allert signal of an upcoming economic decline and has to be taken care appropriately and immediately. This paper try to examine the relationship between current account balance and a set of macroeconomic variables including net foreign assets, openness, real exchange rate, and relative income, both in the long-run and in the short-run. Given the non-stationary nature of the data used in this study, this paper adopts a co-integrated VAR approach using the quarterly data of 1990-2012. One of the urgency of this paper is how to apply econometrics standard procedures to obtain the fittest method in order to optimize our model to be able to make a valid analysis and forecasting. The 2-steps Engle-Granger Method and Johansen Maximum Likelihood Method are being used to determine the co-integration process. Finally, model selection applied by using likelihood ratio test and information criterion. The estimation results show some important findings. First, there is a long-run relationship between current account balance and the macroeconomic variables being considered. Second, degree of openness, and relative income have a positive impacts on current account balance both in the long-run and in the short-run, while the exchange rates show a negative impact in the long-run and in the short-run. Third, net foreign assets have a positive impacts in the long-run and negative impacts in the short-run. Keywords: current account, cointegration, johansen, engle-granger, VAR/VECM
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DETERMINAN NERACA TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA: Pendekatan Kointegrasi Metode Johansen dan 2-Step Engle-Granger
WAHYU PURNAMAHADI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Heru Margono, M.Sc
Judul Tesis : Determinan Transaksi Berjalan Indonesia : Pendekatan Kointegrasi Metode Johansen dan 2-Step Engle-Granger Nama : Wahyu Purnamahadi NIM : H151114244
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Iman Sugema, MEc Ketua
Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MA.Ec Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 11 Juni 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah defisit neraca transaksi berjalan, dengan Determinan Neraca Transaksi Berjalan Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Iman Sugema, MEc, dan Bapak Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MA.Ec selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Heru Margono, MSc selaku penguji, dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi yang telah banyak memberikan saran dan masukan yang berharga. Di samping itu Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Jawa Barat, dan Kepala BPS Kabupaten Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB, serta ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri penulis, Desi Nuraini beserta anak (Belqis Salshabila) atas cinta, kesabaran, do’a, serta dorongan semangatnya; orangtua dan mertua beserta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya; serta untuk seluruh rekan-rekan Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi kelas BPS Batch 4, terimakasih atas masukan yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014 Wahyu Purnamahadi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Pendekatan Konvensional Teori Pendekatan Elastisitas Teori Marsall-Lerner Condition J-Curve Teori Pendekatan Intertemporal
Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Neraca Transaksi Berjalan Output dan Kurs pada Kesimbangan Pasar Aset Determinan Neraca Transaksi Berjalan Tinjauan Empiris Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian
viii viii viii 1 1 2 4 4 5 5 5 7 7 8 8 9 11 12 13 15
3
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Pengujian Pra Estimasi VAR Uji Kointegrasi Rank Model 2-Steps Engle-Granger Model Johansen Maximum Likelihood VAR Pemilihan Model Terbaik Impulse Response Function Spesifikasi Model Definisi Variabel Operasional
19 19 20 21 22 24 25 26 27 28 28
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi Model Metode Two-Steps Engle-Granger Metode Johansen Pemilihan Model Efek Jangka Panjang Hubungan Dinamis Jangka Pendek
30 30 31 33 34 35 36
5
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
39 39 39
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
40 42 52
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perkembangan Nilai Ekspor Impor Tahun 1997 – 2012 Variabel dan sumber data penelitian Augmented Dickey-Fuller test Pemilihan Lag Johansen-Juselius Cointegration Test Pengujian Residual Regresi Estimasi VECM Metode 2-step Engle-Granger Estimasi VECM Prosedur Johansen Terrestriksi Estimasi VECM Prosedur Johansen tak terrestriksi Ringkasan Tabel Kriteria Informasi
3 19 30 31 31 32 32 33 34 34
DAFTAR GAMBAR 1 Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 1990 – 2012 2 Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 2009q1 – 2012q4 3 Kurva-J 4 Pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap neraca transaksi berjalan 5 Output dan kurs pada keseimbangan pasar aset 6 Kerangka Pemikiran 7 Ringkasan Prosedur Analasis 8 Impulse Response Function
2 4 8 9 11
17 20 38
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Hasil uji stabilitas VAR Output penentuan tren deterministik Output Penentuan Lag Optimal VAR Hasil uji rank kointegrasi Johansen Hasil estimasi OLS dan pengujian residual OLS Hasil estimasi 2- step Engle-Granger Hasil estimasi VECM metode Johansen 8 Respons RCA terhadap shok variabel endogen
42 43 44 45 46 47 49 51
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Neraca transaksi berjalan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang sering dijadikan acuan dalam menilai stabilitas ekonomi suatu negara. Salah satu alasannya adalah bahwa neraca transaksi berjalan mencerminkan kekuatan daya saing internasional suatu bangsa dan sejauh mana bangsa tersebut memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya (Uneze dan Ekor 2012). Selain itu, nilai transaksi berjalan merupakan cerminan dari rasio tabungan-investasi yang berkaitan erat dengan nilai transaksi finansial (Aristovnik 2006). Ketika terjadi investasi yang melebihi jumlah tabungan, maka selisih tersebut dipenuhi oleh modal masuk (capital inflow) dari luar negeri yang akan tercatat dalam transaksi modal dan finansial (capital and financial account). Secara umum karakteristik neraca transaksi berjalan di setiap negara menunjukkan pola yang berbeda, baik fluktuasinya terhadap perubahan situasi perekonomian dunia, maupun interaksinya dengan variabel-variabel makroekonomi di negara tersebut. Nilai transaksi berjalan juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan luar negeri setiap negara sehingga sulit menemukan pola yang pasti. Namun secara umum setiap negara memiliki alasan untuk menjaga nilai transaksi berjalan agar tetap kondusif bagi perekonomiannya. Terdapat beberapa model teoritis dalam upaya menjelaskan karakteristik dari nilai transaksi berjalan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah pendekatan konvensional, pendekatan elastisitas, dan pendekatan intertemporal. Masing-masing pendekatan memiliki pandangan yang berbeda dalam menentukan elemen yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan. Perbedaan juga terjadi pada pendapat tentang kekuatan hubungan dan arah hubungan dari faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu upaya untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan, baik jangka pendek dan jangka panjang, memiliki implikasi yang penting dalam menentukan kebijakan ekonomi suatu negara. Neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup beragam dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Namun jika dilihat secara cermat Indonesia mengalami dua periode yang berbeda dalam hal neraca transaksi berjalan. Periode pertama, yaitu sebelum kiris 1997/1998, Indonesia lebih banyak mengalami defisit neraca transaksi berjalan. Pada periode kedua, yaitu setelah krisis 1997/1998, Indonesia lebih banyak mengalami surplus transaksi berjalan, walaupun tetap terdapat fluktuasi di kedua periode tersebut. Perubahan paradigma neraca transaksi berjalan sebelum dan sesudah krisis tahun 1997/1998 terjadi akibat perubahan hubungan antara neraca transaksi berjalan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu perubahan tersebut terjadi akibat berubahnya struktur kebijakan perekonomian, misalnya dalam hal perubahan rejim nilai tukar dan keterbukaan ekonomi (Sahminan, Ibrahim, dan Yanfitri 2009).
6,000 4,000 2,000
2012q1
2011q1
2010q1
2009q1
2008q1
2007q1
2006q1
2005q1
2004q1
2003q1
2002q1
2001q1
2000q1
1999q1
1998q1
1997q1
1996q1
1995q1
1994q1
1993q1
1992q1
1991q1
1990q1
0 -2,000 -4,000
Nilai Transaksi Berjalan (miliar Dolar AS)
2
-6,000 -8,000 -10,000
Sumber: Bank Indonesia 2012 (diolah)
Gambar 1 Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 1990 – 2012 Namun pada periode pasca krisis, dimana neraca transaksi berjalan cenderung positif, paradigma neraca transaksi berjalan kembali mengalami perubahan. Berawal pada triwulan terakhir tahun 2011, neraca transaksi berjalan yang semula konsisten pada nilai positif bergeser menjadi negatif. Neraca transaksi berjalan pada triwulan empat tahun 2011 mencatatkan nilai defisit 2,301 miliar dolar AS atau setara dengan 1,09% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Keadaan defisit ini berlangsung terus dan cenderung menunjukkan peningkatan. Pada triwulan akhir tahun 2012 nilai transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit sebesar 7,646 miliar dolar AS atau setara dengan 3,53 % dari PDB. Bahkan pada triwulan kedua tahun 2013 defisit neraca transaksi berjalan Indonesia telah mencapai 9,8 miliar dolar AS atau 4,4 % terhadap PDB nasional. Perumusan Masalah Krisis ekonomi keuangan tahun 1997/1998 telah menyebabkan perubahan besar dalam neraca pembayaran Indonesia. Sebelum krisis, neraca transaksi berjalan yang mencatat ekspor dan impor barang dan jasa umumnya berada dalam kondisi defisit. Artinya, penduduk Indonesia lebih banyak mengimpor daripada mengekspor barang dan jasa. Defisit yang terjadi sebesar rata-rata 2,5% - 3,5% dari total PDB per tahun. Arus modal masuk umumnya lebih besar daripada arus modal keluar. Setelah krisis 1998, yang terjadi sebaliknya. Neraca transaksi berjalan berada dalam surplus yang mencapai 4-5% PDB, sementara neraca modal berada dalam defisit.
3
Penyesuaian dalam neraca transaksi berjalan pada periode setelah krisis terutama terjadi karena penurunan impor secara drastis. Pada paruh pertama dasawarsa 1990-an atau sebelum krisis, impor meningkat rata-rata 18 % per tahun, sedangkan tahun 1998, impor turun sebesar 30 %. Pada tahun 2002, nilai impor baru mencapai 77 % dibandingkan nilai impor pada tahun 1997. Tabel 1 Perkembangan Nilai Ekspor Impor Tahun 1997 – 2012 Ekspor Impor Tahun (juta USD) (juta USD) 1997 56.297 46.223 1998 50.371 31.942 1999 51.242 30.598 2000 65.407 40.366 2001 57.364 34.669 2002 59.165 35.653 2003 64.109 39.546 2004 70.767 50.615 2005 86.995 69.462 2006 103.528 73.868 2007 118.104 85.260 2008 139.606 115.981 2009 119.646 125.714 2010 158.074 162.447 2011 200.788 206.005 2012 188.146 215.729 Sumber : Bank Indonesia 2012 (diolah)
Pada tahun-tahun berikutnya setelah krisis, Indonesia mengalami surplus neraca transaksi berjalan yang cukup konsisten hingga akhir tahun 2011. Surplus ini terjadi dikarenakan meningkatnya kinerja ekspor nonmigas Indonesia. Pada tahun 2007 ekspor nonmigas mencatatkan nilai 93,1 miliar dolar AS atau tumbuh sebesar 15,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan ini terus meningkat seiring dengan perkembangan perekonomian global yang terus membaik, terutama pada wilayah Asia yang tumbuh sangat pesat. Namun pada awal tahun 2009, sebagai refleksi dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi permintaan domestik terus meningkat sehingga berdampak pada meningkatnya kebutuhan bahan baku yang berasal dari impor dan mendorong laju pertumbuhan impor meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya surplus transaksi berjalan walaupun masih mencatatkan nilai yang positif. Kondisi ini terus berlangsung bahkan semakin parah dengan terus menurunnya nilai ekspor nonmigas dan meningkatnya impor bahan baku. Sehingga pada triwulan empat tahun 2011, neraca transaksi berjalan Indonesia kembali mengalami defisit.
Nilai Transaksi Berjalan (miliar Dolar AS)
4 0.0300 0.0200 0.0100 0.0000 -0.0100 -0.0200 -0.0300 -0.0400 -0.0500 Sumber : Bank Indonesia 2012 (diolah)
Gambar 2 Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 2009q1 – 2012q4 Berkaitan dengan fenomena ini, beberapa literatur telah memprediksi terjadinya penurunan surplus transaksi berjalan di negara-negara Asia sebagai akibat dari penurunan defisit transaksi berjalan di Amerika serikat tahun 2009 sebesar separuhnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah “ketidakseimbangan global” yang akan memicu terjadinya penyesuaian-penyesuaian pada perekonomian dunia (Yang 2011). Hal yang menjadi ironis adalah defisit neraca transaksi berjalan terjadi justru pada saat Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yakni diatas 6%, ditengah lesunya perekonomian global. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah perkembangan defisit neraca transaksi berjalan ini akan terus berlanjut?, serta faktor-faktor apakah yang mempengaruhi nilai transaksi berjalan di Indonesia? Tujuan Penelitian Secara umum penelitian bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan di Indonesia 2. Menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara transaksi berjalan dengan variabel-variabel makroekonomi yang mempengaruhinya Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengayaan literatur kepada akademisi serta praktisi ekonomi dan pemerintah, terutama yang terkait dengan kebijakan perdagangan luar negeri dan ekspor impor. Selain itu penelitian ini memberikan penekanan khusus tentang pentingnya penerapan metode ekonometrik yang tepat khususnya dalam analisis VAR/VECM dan pemilihan model terbaik untuk menghasilkan statistik yang efisien dan valid sehingga diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi peneliti lain yang akan menggunakan metode analisis yang sama. Bagi penulis, semoga bisa menjadi sarana peningkatan wawasan ekonomi sekaligus media aplikasi konsep dan metode yang selama ini telah didapat di jenjang pendidikan.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Menurut Bank Indonesia (2008) transaksi berjalan (current account) mengukur penerimaan dan pengeluaran Indonesia yang berasal dari transaksi barang dan jasa (goods and services), pendapatan (income), dan transfer berjalan (current transfer) dengan bukan penduduk. Komponen transaksi berjalan adalah neraca perdagangan, jasa-jasa, pendapatan, dan transfer berjalan. Neraca transaksi berjalan merupakan bagian dari neraca pembayaran yang berisi arus pembayaran jangka pendek (mencatat transaksi ekspor impor barang dan jasa), yang meliputi : 1. Ekspor dan impor barang-barang dan jasa, ekspor barang-barang dan jasa yang diperlakukan sebagai kredit, impor barang-barang dan jasa diperlakukan kembali sebagai debit. 2. Net investment income tingkat bunga dan dividen diperlakukan sebagai jasa karena merepresentasikan pembayaran untuk penggunaan modal. 3. Net transfer (transfer unilateral) meliputi bantuan luar negeri, pemberianpemberian dan pembayaran lain antar pemerintah dan antar pihak swasta. Net transfer bukan merupakan perdagangan barang dan jasa. Atau dengan kata lain transaksi berjalan merangkum aliran dana antara satu negara tertentu dengan seluruh negara lain sebagai akibat dari pembelian barang-barang atau jasa, provisi income atas aset finansial, atau transfer unilateral, misalnya bantuan bantuan antar pemerintah dan antar pihak swasta. Aktivitas perdagangan negara dapat dibedakan atas trade surplus, trade deficit dan balance trade. Suatu negara mengalami trade surplus atau surplus perdagangan apabila ekspor neto positif. Dalam hal ini negara tersebut merupakan negara donor di pasar uang dunia,dan mengekspor lebih banyak barang dan jasa dari pada mengimpornya. Trade deficit atau defisit perdagangan terjadi apabila ekspor neto bernilai negatif. Dalam hal ini negara merupakan penghutang di pasar uang dunia, dan lebih banyak mengimpor barang dan jasa daripada mengekspornya. Apabila nilai impor dan nilai ekspor sama, maka posisi neraca perdagangan akan seimbang atau trade balance. Ketika nilai ekspor suatu Negara lebih besar daripada nilai impor akan meningkatkan penerimaaan devisa negara. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya pendapatan nasional yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara terkait. Analisis neraca transaksi berjalan lebih menekankan pada aktifitas ekspor dan impor (Mankiw 2007). Dalam kajian teori, analisis neraca transaksi berjalan dapat dijelaskan melalui beberapa pendekatan : Pendekatan Konvensional Berdasarkan pendekatan konvensional, hubungan neraca transaksi berjalan bisa diperoleh dengan menggunakan identitas national account, yang dapat diekspresikan sebagai berikut : 𝑌=𝐶+𝐼+𝐺+( −𝑀)
(1)
6
dimana Y = produk domestik bruto (PDB), C = konsumsi, I = investasi, G = pengeluaran pemerintah, X = ekspor dan M = impor. Dengan mendefinisikan transaksi berjalan (current account, CA) sebagai perbedaan antara ekspor (X) dan impor (M), dan dengan menata ulang variabelvariabel pada persamaan (1) diperoleh identitas berikut : 𝐶𝐴 = 𝑌 − ( + 𝐼 + 𝐺 )
(2)
dimana (C + I + G) adalah belanja domestik (absorpsi domestik). Dalam perekonomian tertutup, tabungan (savings, S) sama dengan investasi (I) dan dengan asumsi bahwa Y – C – G = S, maka diperoleh: 𝑆 = 𝐼 + 𝐶𝐴
(3)
Lebih lanjut, tabungan nasional bisa didekomposisikan menjadi tabungan swasta (Sp) dan tabungan pemerintah (Sg), sehingga : 𝑆p = 𝑌 − 𝑇 – 𝐶
(4)
𝑆g= 𝑇 − 𝐺
(5)
dan dimana T adalah penerimaan pemerintah. Dengan menggunakan persamaan (4) dan (5) dan mensubstitusikannya ke dalam persamaan (3) diperoleh : 𝑆p = 𝐼 + 𝐶𝐴 + ( − 𝑇 )
(6)
𝐶𝐴 = 𝑆p − 𝐼 − ( − 𝑇 )
(7)
atau Persamaan (7) menunjukkan bahwa peningkatan defisit (anggaran) pemerintah akan menambah defisit transaksi berjalan apabila peningkatan defisit pemerintah mengurangi tabungan nasional. Misalkan bahwa penerimaan pajak sekarang dianggap konstan dan (Sp – I) tetap sama, peningkatan belanja pemerintah akan menyebabkan defisit pemerintah menaikkan (G – T) dan akan berpengaruh positif terhadap transaksi berjalan. Dalam kasus ini defisit pemerintah yang terjadi karena peningkatan belanja mengurangi surplus transaksi berjalan negara itu, yang dengan kata lain menunjukkan memburuknya keseimbangan eksternal. Pendekatan konvensional juga mengelaborasi hubungan keseimbangan anggaran dan transaksi berjalan dengan menggunakan kerangka IS-LM (MundellFleming framework). Menurut model ini, defisit anggaran bisa mempengaruhi defisit transaksi berjalan melalui saluran efek suku bunga dan output. Defisit anggaran menaikkan suku bunga yang pada gilirannya merangsang terjadinya aliran modal masuk (capital inflows) dan penguatan (apresiasi) nilai tukar mata uang domestik. Penguatan nilai tukar mata uang domestik akan memperburuk neraca transaksi berjalan melalui peningkatan impor dan penurunan ekspor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ekspansi fiskal melalui peningkatan defisit anggaran mendorong peningkatan output dan impor yang kemudian menyebabkan deficit perdagangan dan pada akhirnya ketidakseimbangan transaksi berjalan (current account imbalance) dengan nilai tukar yang menguat (Blanchard 2000).
7
Teori Pendekatan Elastisitas Konsep analisis ini menekankan pada peranan penting analisis tentang aktifitas ekspor dan impor dalam memahami neraca pembayaran. Pendekatan ini memberi penekanan pada konsep neraca perdagangan sebagai perbedaan antara ekspor dan impor. Permasalahan yang muncul berkaitan dengan dampak devaluasi melalui bagaimana perubahan nilai tukar tersebut akan mempengaruhi terms of trade. Pendekatan elastisitas sangat erat kaitannya dengan konsep Marshall-lerner Condition yang menyatakan bahwa tingkat stabilitas pasar valuta asing sangat tergantung pada elastisitas harga permintaan untuk barang ekspor dan impor. Jika elastisitas ekspor atau impor lebih besar dari 1 maka fluktuasi nilai tukar akan berpengaruh terhadap neraca transaksi berjalan. Teori Marshall-Lerner Condition Peningkatan ekspor dan penurunan impor belum tentu akan meningkatkan nilai neraca perdagangan atau ekspor netto. Neraca perdagangan hanya akan meningkat saat nilai tukar riil terdepresiasi bila persyaratan kondisi Marshall– Lerner terpenuhi. Kondisi Marshall–Lerner menunjukkan bahwa suatu pasar valuta asing bersifat stabil apabila penjumlahan elastisitas harga dari permintaan impor (DM) dan permintaan ekspor (DX) dalam angka–angka absolut lebih besar dari 1. Jika jumlahnya kurang dari satu, maka pasar yang bersangkutan dinyatakan tidak stabil. Sedangkan jika penjumlah elastisitas harga dari (DM) dan (DX) persis sama dengan satu, maka setiap perubahan kurs tidak akan mengubah neraca perdagangan (Salvatore 1994). Dampak perubahan nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan dibagi kedalam volume effect dan value effect. Volume effect adalah dampak perubahan unit output ekspor dan impor akibat dari perubahan nilai tukar riil. Berdasarkan kondisi Marshall-Lerner bahwa volume effect adalah positif karena elastisitas ekspor adalah positif (perubahan permintaan volume ekspor terhadap perubahan nilai tukar riil positif > 0). Sementara value effect adalah kenaikan nilai impor atas harga domestik akibat dari perubahan nilai tukar rill. Depresiasi nilai tukar rill akan mengakibatkan harga produk di pasar global menjadi lebih murah sehingga daya saing meningkat. Oleh Karena itu depresiasi akan meningkatkan permintaan ekspor sehingga ekspor akan bernilai positif ( EX > 0). Sementara itu impor bernilai negatif karena depresiasi nilai tukar rill akan meningkatkan harga barang impor menjadi lebih mahal. Barang domestik menjadi relatif lebih murah sehingga meningkatkan daya saing di pasar domestik, hal ini akan menurunkan impor dari luar negeri. Perubahan neraca perdagangan dapat menjadi positif atau negatif tergantung pada elastisitas ekspor dan impor. Dengan asumsi trade balance, depresiasi nilai tukar riil akan mengakibatkan neraca perdagangan menjadi surplus apabila jumlah dari elastisitas ekspor dan impor lebih besar dari satu. Jika kondisi ini terpenuhi, maka disebut Marshall-Lerner Condition terpenuhi.
8
J-Curve Dampak perubahan nilai tukar mata uang nasional suatu negara akibat depresiasi atau devaluasi terhadap neraca pembayaran melalui transaksi berjalan dapat digambarkan oleh kurva yang menyerupai huruf J dan disebut efek kurva–J. Neraca transaksi perdagangan akan turun untuk beberapa periode setelah devaluasi atau depresiasi mata uang domestik. Perubahan dalam harga terjadi lebih cepat daripada perubahan dalam kuantitas perdagangan. Net Exports, NX Depreciation Time 0
Sumber: Blanchard (2000)
Gambar 3 Kurva J Pola perilaku neraca transaksi perdagangan sebagai akibat perubahan nilai tukar sering disebut kurva J. Hal ini karena bentuk beberapa periode pertama dari respon terhadap depresiasi, neraca perdagangan memburuk untuk kemudian mulai membaik. Penjelasan ini menegaskan bahwa perlu waktu bagi depresiasi mata uang suatu negara agar mempunyai dampak positif terhadap neraca transaksi perdagangan. Dalam jangka panjang, depresiasi mempunyai dampak terhadap perbaikan neraca transaksi perdagangan melalui peningkatan daya saing internasional yang berakibat pada kenaikan nilai ekspor. Depresiasi juga berdampak pada penurunan impor sebagai akibat pengalihan pengeluaran penduduk domestik serta meningkatnya permintaan agregat oleh penduduk luar negeri terhadap produk domestik sehingga pada akhirnya meningkatkan ekspor (Blanchard 2000). Teori Pendekatan Intertemporal Pada awalnya perhitungan neraca transaksi berjalan merupakan selisih neto dari ekspor dan impor. Konsekuensinya, harga relatif dalam dan luar negeri menjadi determinan utama. Walaupun pendekatan elastisitas perdagangan bermanfaat untuk membuat prediksi langsung yang berguna dalam menghitung dampak jangka pendek dari nilai tukar terhadap neraca transaksi berjalan, pendekatan ini memiliki keterbatasan dalam menjelaskan hubungan jangka panjang dan keseimbangan dari neraca transaksi berjalan (Debelle and Faruqee 1996).
9
Sebagai alternatif, pendekatan intertemporal dari neraca transaksi berjalan memandang transaksi berjalan sebagai selisih dari tabungan nasional (S) dan investasi domestik (I). CA = S – I (8) Pendekatan ini memandang bahwa keputusan saving dan investasi adalah akibat dari hasil perkiraan masa depan berdasarkan ekspektasi tentang berbagai faktor makroekonomi yang akan terjadi. Pendekatan ini mencoba untuk menjelaskan perubahan transaksi berjalan melalui variabel konsumsi, tabungan dan investasi. Melalui pendekatan ini dapat dijelaskan hubungan antara perdagangan dan aliran finansial melalui pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi harga relatif masa depan dan bagaimana harga relatif mempengaruhi keputusan menabung dan investasi (Obstfeld dan Rogoff 1995). Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Neraca Transaksi Berjalan Kurs, E A’ D
A
X
D’
2 1
E’
3
X
4
A’ D
D’
A Y
t
Output, Y Sumber: Krugman dan Obstfeld (1999)
Gambar 4 Pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap neraca transaksi berjalan Skedul DD melukiskan kurs dan tingkat output di mana pasar output berada dalam kondisi keseimbangan. Pergeseran permintaan agregat terhadap output domestik akan menggeser kurva DD. Kenaikan permintaan agregat akan menggeser kurva DD ke kanan, penurunan permintaan agregat akan menggeser kurva DD ke kiri. Sedangkan skedul AA mengaitkan kurs dan tingkat output yang mempertahankan pasar uang domestik dan pasar valuta asing tetap berada dalam kondisi keseimbangan. Kenaikan output riil akan menyebabkan apresiasi mata uang domestik, yaitu pergerakan disepanjang kurva AA. Kenaikan permintaan mata uang domestik akan mendorong peningkatan suku bunga dan apresiasi mata uang, sehingga membuat produk domestik menjadi lebih mahal serta mengakibatkan kontraksi. Gangguan pada pasar aset akan menggeser kurva AA ke kanan atau ke kiri.
10
Gambar 4 memperlihatkan bagaimana model DD – AA diperluas untuk melukiskan dampak-dampak kebijakan makroekonomi terhadap neraca transaksi berjalan. Selain AA dan DD, gambar tersebut juga memuat sebuah kurva baru dengan label XX. Kurva ini menunjukkan kombinasi kurs dan output yang memungkinkan diaturnya neraca transaksi berjalan pada posisi yang diinginkan, misalnya CA(EP*/P,Y-T=X. Kurva XX mengarah keatas karena bila semua kondisi lainnya tetap, kenaikan output memacu belanja impor sehingga memperburuk neraca transaksi berjalan jika tidak disertai dengan depresiasi mata uang domestik. Yang paling penting untuk diperhatikan pada gambar tersebut adalah bahwa XX lebih landai dibandingkan DD. Kita bisa mengetahui penyebabnya dengan menyimak bagaimana transaksi berjalan berubah bila terjadi pergeseran pada skedul DD dari titik 1, dimana ketiga skedul itu saling berpotongan (jadi mula-mula CA=X). Jika Y mengalami kenaikan di sepanjang DD, peningkatan permintaan domestik terhadap output domestik lebih kecil daripada peningkatan output itu sendiri (ini dikarenakan sebagian pendapatan ditabung dan sebagian lagi digunakan untuk membeli produk impor). Namun disepanjang DD, total permintaan agregat harus sama dengan penawarannya. Guna mencegah kelebihan penawaran output domestik, maka E harus melonjak cukup tajam di sepanjang kurva DD agar permintaan ekspor meningkat lebih cepat daripada impor. Dalam kalimat lain, permintaan luar negeri bersih (total permintaan luar negeri terhadap produk domestik dikurangi total permintaan domestik terhadap produk luar negeri) atau neraca transaksi berjalan harus meningkat cukup tajam di sepanjang skedul DD agar kelebihan output yang tak terserap oleh permintaan domestik (karena ditabung) bisa disalurkan. Jadi, disebelah kanan titik 1, DD berada di atas XX dimana CA > X; penalaran yang sama juga menunjukkan bahwa DD berada di bawah XX (dimana CA < X) ketika berada disebelah kiri titik 1. Dampak kebijakan moneter terhadap neraca transaksi berjalan dapat dikaji. Sebagaimana diperlihatkan sebelumnya, kenaikan penawaran uang, misalnya, menggeser perekonomian ke posisi yang mirip keadaannya dengan titik 2, memperbesar output, serta menimbulkan depresiasi mata uang. Karena titik 2 berada di atas XX, kondisi neraca transaksi berjalan membaik berkat pemberlakuan kebijakan tersebut. Jadi dalam jangka pendek, neraca transaksi berjalan dapat ditingkatkan atau diperbaiki oleh ekspansi moneter. Berikutnya adalah kebijakan ekspansi fiskal temporer. Kebijakan ini menggeser DD ke kanan dan menggerakkan perekonomian ke titik 3 pada gambar di atas. Mata uang mengalami apresiasi dan pendapatan meningkat sehingga kondisi neraca transaksi berjalan terancam memburuk. Ekspansi fiskal temporer bahkan menimbulkan dampak tambahan, yakni menggeser AA ke kiri, serta menciptakan keseimbangan di titik 4. Sama halnya dengan titik 3, titik 4 berada di bawah XX, sehingga di sini neraca transaksi berjalan juga memburuk. Maka kebijakan ekspansioner memperburuk neraca transaksi berjalan.
11
Output dan Kurs pada Kesimbangan Pasar Aset Kurs, E
E1
1’ 2’
E2
0
Imbalan simpanan valuta asing berupa mata uang domestik
R1
R2
Suku bunga domestik, R L(R,Y1) L(R,Y2) ; Y2 > Y1
𝑀0 𝑃
1
2
Penawaran uang riil
Tingkat harga, P
Sumber: : Krugman dan Obstfeld (1999)
Gambar 5 Output dan kurs pada keseimbangan pasar aset Permintaan uang riil akan agregat atau L(R,Y) akan meningkat jika suku bunga turun sebaliknya kenaikan suku bunga akan menurunkan permintaan uang riil. Kenaikan output riil memperbesar permintaan uang riil. Karena kenaikan output riil tersebut meningkatkan volume transaksi-transaksi moneter di kalangan masyarakat begitupun sebaliknya. Gambar 5 menunjukkan keseimbangan suku bunga dan kurs domestik yang terkait dengan tingkat output Y1 pada suatu tingkat penawaran uang nominal M0, tingkat harga P, suku bunga luar negeri R*, dan nilai perkiraan kurs dimasa mendatang E*. Dibagian bawah kurva, kita lihat bahwa pada tingkat output riil di Y1 dan penawaran uang riil di M0/P, suku bunga R1 menyeimbangkan kondisi pasar uang domestik (titik 1) dan kurs E1 menyeimbangkan kondisi pasar valuata asing (titik 1’). Kurs E1 menyeimbangkan kondisi pasar valuta asing karena ia menyamakan perkiraan imbalan simpanan mata uang luar negeri dengan suku bunga domestik R1. Kenaikan output dari Y1 ke Y2 memperbesar permintaan uang riil agregat dari L(R,Y2), yang selanjutnya meningkatkan suku bunga domestik pencipta keseimbangan dari R1 ke R2 (titik 2). Bila E* dan R* tetap, maka uang domestik akan mengalami apresiasi dari E1 ke E2 agar pasar valuta asing kembali ke kondisi keseimbangan di titik 2’. Nilai apresiasi mata uang domestik akan cukup sesuai, sehingga kenaikan tingkat perkiraan depresiasinya di masa mendatang dapat mengimbangi kenaikan keuntungan suku bunga yang ditawarkan simpanan mata uang domestik. Agar pasar aset tetap berada dalam kondisi kesimbangan, kenaikan output domestik harus disertai dengan apresiasi mata uang domestik, sedangkan penurunan output harus disertai dengan depresiasi.
12
Determinan Neraca Transaksi Berjalan Menurut Yang (2011), bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan, meliputi: 1. Aktiva luar negeri neto/Nett foreign asset (NFA) Secara umum, posisi aktiva luar negeri neto dapat mempengaruhi neraca transaksi berjalan melalui dua cara. Pertama, sebuah negara yang memiliki aktiva luar negeri neto yang tinggi akan memperoleh keuntungan dari pendapatan investasinya di luar negeri. Dari perspektif tabungan dan investasi, peningkatan pendapatan dari luar negeri akan berdampak positif bagi neraca transaksi berjalan. Sehingga secara teori hubungannya positif terhadap transaksi berjalan. Kedua, karena penjumlah current account dan capital account harus sama dengan nol, dalam kondisi rejim nilai tukar mengambang, nilai aktiva luar negeri neto yang lebih tinggi akan mampu menanggung defisit perdagangan yang lebih tinggi pada suatu periode tertentu. Hal ini berpotensi menyebabkan hubungan yang negatif antara nilai aktiva luar negeri neto dengan neraca transaksi berjalan. Namun secara umum, model makroekonomi yang ada memprediksikan bahwa efek yang pertama lebih kuat, hal ini juga didukung oleh bukti-bukti empiris (Chinn dan Prassad 2000) 2. Derajat keterbukaan ekonomi (openness) Nilai perdagangan luar negeri dihitung dari penjumlahan nilai ekspor dan impor. Nilai ini tidak saja menggambarkan derajat keterbukaan dari suatu perekonomian namun lebih jauh lagi bisa merefleksikan kebijakan makroekonomi jangka panjang. Sebagai contoh, keterbukaan ekonomi bisa menggambarkan derajat liberalisasi perdagangan, penerimaan terhadap transfer teknologi, dan kemampuan mengelola hutang luar negeri melalui pendapatan ekspor. Variabel ini juga menggambarkan tingkat hambatan perdagangan yang dimiliki oleh suatu perekonomian yang bisa menghalangi barang dan jasa dari luar negeri untuk masuk. Perekonomian yang cenderung lebih terbuka akan lebih menarik bagi modal asing untuk masuk. Konsekuensinya, keterbukaan ekonomi memiliki hubungan yang negatif terhadap neraca transaksi berjalan (Chinn dan Prassad 2000). 3. Nilai tukar riil Variabel ini dapat mempengaruhi transaksi berjalan melalui dua cara. Yang pertama, dari perspektif tabungan-investasi, peningkatan nilai tukar riil bisa menurunkan rasio tabungan karena meningkatknya daya beli mata uang domestik terhadap barang impor. Hal tersebut pada akhirnya akan mendorong pengingkatan konsumsi sehingga menurunkan tabungan. Kedua, hipotesis pemulusan konsumsi mengatakan bahwa transaksi berjalan dapat berfungsi sebagai buffer untuk mempertahankan konsumsi pada saat terjadi shock pendapatan. Sebagai respon dari meningkatnya nilai tukar riil, suatu perekonomian terbuka lebih memilih untuk memiliki surplus transaksi berjalan dengan menginvestasikan modalnya di luar negeri daripada meningkatkan konsumsi domestik. Akibatnya, penguatan nilai tukar riil bisa menghasilkan peningkatan pada neraca transaksi berjalan
13
(Hermann dan Jochem 2005). Sejauh ini, dampak dari variabel nilai tukar riil hanya dapat ditentukan berdasarkan penelitian empiris. 4. Relatif Output riil Didalam hipotesis yang dikembangkan oleh Debelle dan Faruqee (1996) mengatakan bahwa pada saat pendapatan relatif masih rendah, sebuah perekonomian cenderung akan menerapkan defisit neraca transaksi berjalan. Kebijakan ini diterapkan dengan mengharapkan datangnya modal luar negeri untuk membiayai pembangunan. Pada tahap berikutnya, setelah tercipta peningkatan pendapatan relatif yang cukup tinggi, perekonomian tersebut akan menerapkan kebijakan surplus neraca transaksi berjalan untuk membayar kewajiban hutangnya serta mengekspor modal ke luar negeri. Secara umum, hubungan antara pendapatan relatif terhadap transaksi berjalan diharapkan positif. Tinjauan Empiris Calderon, Chong, dan Loayza (1999) meneliti perilaku neraca transaksi berjalan pada 44 negara-negara berkembang dengan menggunakan data tahunan dari tahun 1966-1995. Model ekonometrik sederhana digunakan untuk membedakan efek sementara dan efek permanen dari variabel eksternal dan internal yang diteliti terhadap neraca transaksi berjalan. Hasil temuannya, sebagai berikut; (i) defisit neraca transaksi berjalan bersifat persisten, (ii) kenaikan output domestik akan meningkatkan defisit neraca transaksi berjalan, (iii) peningkatan tabungan nasional memiliki efek positif terhadap neraca transaksi berjalan, (iv) adanya shok sementara pada penguatan nilai tukar riil akan berdampak pada peningkatan defisit neraca transaksi berjalan namun efek ini tidak bersifat permanen, dan yang terakhir (iv) pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada negaranegara maju akan mengurangi defisit neraca transaksi berjalan di negara-negara berkembang. Chinn dan Prassad (2000) mengulas neraca transaksi berjalan sebagai dampak dari variasi pada struktur variabel makroekonomi yang mempengaruhinya. Sampelnya meliputi 71 negara maju dan 18 negara berkembang menggunakan data tahunan selama periode 1971-1995. Menggunakan metode panel regresi, penelitian ini ingin menangkap hubungan hubungan jangka menengah dari variabel-variabel makroekonomi terhadap neraca transaksi berjalan. Variabel yang diteliti meliputi, anggaran belanja pemerintah,pendapatan relatif, rasio dependensi, pertumbuhan ekonomi, term of trade, arus modal masuk, derajat keterbukaan, serta stok awal aset luar negeri. Menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan positif yang kuat dengan neraca transaksi berjalan di negara-negara maju. Disisi lain, derajat ketebukaan ekonomi berdampak negatif bagi neraca transaksi berjalan pada negara-negara berkembang. Gruber dan Kamin (2005) membahas tentang sebab-sebab terjadinya ketidakseimbangan global yang berdampak pada neraca transaksi berjalan. Ketidakseimbangan yang dimaksud adalah semakin besarnya defisit transaksi berjalan di Amerika Serikat sementara negara-negara Asia, seperti China, Hongkong, Korea, Indonesia, dan Thailand, terus mengalami surplus neraca transaksi berjalan. Menggunakan sampel penelitian untuk 61 negara selama periode 1982-2003. Metode yang digunakan adalah model regresi panel, dan
14
faktor-faktor determinannya meliputi, pendapatan perkapita, pertumbuhan relatif, neraca fiskal, faktor demografi, dan keterbukaan ekonomi. Menyimpulkan bahwa faktor-faktor determinan tersebut berpengaruh positif terhadap neraca transaksi berjalan. Namun modelnya diakui tidak mampu menjelaskan mengapa terjadi defisit di AS dan surplus di negara-negara Asia pada pada periode 1997-2003. Sugema (2005) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi neraca perdagangan Indonesia dan upaya penyesuaian terhadap krisis yang terjadi. Menggunakan data triwulanan selama periode 1984-1997 dianalisis dengan metode OLS dan pendekatan kointegrasi. Variabel yang diteliti meliputi; ekspor, impor, GDP riil, world income, nilai tukar riil, dan tingkat harga domestik. Menyimpulkan bahwa kebijakan devaluasi nilai tukar merupakan cara yang tepat untuk memperbaiki defisit perdagangan karena akan menekan impor dan meningkatkan ekspor. Kesimpulan ini didukung oleh nilai elastisitas impor terhadap perubahan nilai tukar yang lebih besar dibandingkan ekspor. Penelitian ini juga melihat efek dinamik jangka pendek dan jangka panjang dari variabelvariabel yang diteliti terhadap nilai ekspor dan impor. Aristovnik (2006) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi defisit transaksi berjalan di negara-negara pecahan Uni Soviet. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal meliputi pertumbuhan ekonomi, pendapatan relatif, neraca pemerintah, dan rasio dependensi. Sedangkan faktor eksternal meliputi derajat keterbukaan, nilai tukar riil terms of trade, dan hutang luar negeri. Menyimpulkan bahwa terdapat persistensi pada neraca transaksi berjalan yang defisit. Selain itu, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan berdampak negatif terhadap neraca transaksi berjalan sebagai akibat dari investasi yang melebihi saving. Chinn dan Ito (2007) mencoba menjelaskan pergerakan positif dari transaksi berjalan di negara berkembang setelah tahun 1997. Menggunakan dasar dari penelitian sebelumnya oleh Chinn dan Prasad (2000), mereka menemukan bahwa faktor demografi dan pendapatan saja tidak mampu menjelaskan pergerakan positif dari transaksi berjalan di negara Asia. Mereka mengungkapkan bahwa interaksi permasalahan hukum dan perkembangan finansial berperan penting dalam menjelaskan keluarnya modal dari Asia. Mereka berpendapat bahwa kekurangan kesempatan investasi bukan kelebihan tabungan yang membantu pemulihan neraca transaksi berjalan. Bitzis, Pelolgos, dan Papazoglou (2008) mengadakan studi tentang faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan di Yunani. Menggunakan metode Johansen Cointegration analysis dan ECM dengan data triwulan selama periode 1995Q1-2006Q4. Menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang derajat keterbukaan, nilai tukar riil , tingkat bunga riil dan ekspansi fiskal berkontribusi terhadap besarnya defisit anggaran. Sedangkan defisit anggaran pemerintah tidak memiliki dampak yang besar terhadap neraca transaksi berjalan. Yang (2011) meneliti tentang transaksi berjalan di delapan negara Asia, yakni China, Hongkong, India, Korea, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Membahas faktor-faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan yang meliputi variabel makroekonmi yang berkaitan dengan faktor eksternal, meliputi aktiva luar negeri neto (nett foreign asset), derajat keterbukaan (opennes), nilai tukar riil, dan GDP riil. Dengan menggunakan metode analisis Vector Error Correction Model, penelitiannya berupaya menangkap hubungan
15
keseimbangan jangka panjang dan hubungan dinamis jangka pendek antara variabel-variabel tersebut dengan neraca transaksi berjalan. Kesimpulan yang diperoleh adalah keseluruhan variabel yang diteliti memiliki hubungan jangka panjang dengan neraca transaksi berjalan untuk seluruh negara sampel kecuali China. Selain itu, hubungan jangka pendek menunjukkan hasil yang berbedabeda. Hasil dari seluruh sampel negara menunjukkan bahwa aktiva luar negeri tidak memiliki hubungan jangka pendek yang signifikan kecuali untuk Hongkong dan Thailand yang berdampak negatif terhadap transaksi berjalan. Efek jangka pendek dari derajat keterbukaan ekonomi (opennes) signifikan hanya untuk tiga negara, yaitu malaysia yang berefek negatif, sedangkan India dan Thailand berdampak positif. Variabel yang ketiga, yakni nilai tukar riil, berdampak negatif dan signifikan untuk Korea, India, dan Thailand. Variabel GDP riil berdampak negatif dan signifikan hanya untuk kasus Thailand. Clower dan Ito (2011) mengkaji tentang persistensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan di 70 negara sampel menggunakan model panel data. Metode analisis yang digunakan meliputi Markov-Switching ADF estimation untuk mengatasi masalah akar unit, Analisis Probit dan Estimasi OLS. Hasil penelitiannya mengungkap bahwa derajat keterbukaan ekonomi, nett foreign assets dan pembangunan sektor finansial memiliki pengaruh yang positif terhadap neraca transaksi berjalan pada sebagian besar negara sampel. Kesimpulan lainnya adalah bahwa rezim nilai tukar bukanlah faktor utama terhadap persistensi neraca transaksi berjalan, namun rezim fixed exchange rate lebih cenderung membuat negara berkembang memiliki neraca transaksi berjalan yang fluktuatif. Gosse dan Seranito (2012) meneliti 21 negara-negara OECD. Model VECM menunjukkan bahwa kecepatan penyesuaian terhadap ketidakseimbangan global lebih cepat terjadi pada negara-negara yang menganut defisit neraca transaksi berjalan dibandingkan yang surplus.
Kerangka Pemikiran Terjadinya defisit neraca transaksi berjalan pada kurun waktu dua tahun terakhir telah mengundang banyak kekhawatiran dari berbagai kalangan. Neraca transaksi berjalan yang selama satu dekade mengalami surplus bergeser menjadi defisit. Sebagian kalangan menganggap hal tersebut sebagai fenomena sementara akibat dari peningkatan permintaan agregat sebagai imbas dari pertumbuhan konsumsi domestik dan peningkatan kinerja sektor industri manufaktur. Sementara itu sebagian yang lain menganggapnya sebagai sinyal waspada yang bila tidak disikapi dengan tepat dapat mengantarkan Indonesia kepada krisis ekonomi. Penghitungan neraca transaksi berjalan terdiri atas, neraca perdagangan barang dan jasa (trade balance), nilai pendapatan bersih (nett income), dan nilai transfer bersih (nett transfer). Perubahan pada ketiga nilai tersebut akan secara langsung menentukan naik turunnya nilai transaksi berjalan. Oleh karenanya neraca transaksi berjalan merupakan bagian dari suatu sistem ekonomi yang saling terkait. Perubahan nilai transaksi berjalan merupakan akibat dari perubahan kondisi perekonomian secara umum yang terdiri atas banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan neraca transaksi berjalan diantaranya meliputi
16
perubahan output riil, perubahan nilai tukar riil, keterbukaan ekonomi, dan perubahan pada nilai aktiva luar negeri neto. Variabel-variabel makroekonomi mempengaruhi neraca transaksi berjalan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Nilai aktiva luar negeri neto akan mempengaruhi neraca transaksi berjalan dari sisi pendapatan bersih (nett income) yang merupakan bagian dari penghitungan transaksi berjalan. Semakin besar nilai aktiva luar negeri yang dimiliki oleh suatu negara akan semakin besar pula pendapatan yang diperoleh dari luar negeri dan pada akhirnya akan meningkatkan nilai transaksi berjalan. Derajat keterbukaan ekonomi dan nilai tukar riil mencerminkan tingkat daya saing suatu negara yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap nilai ekspor dan impor. Begitu pula nilai output riil akan mendorong peningkatan ekspor dan impor bahan baku. Nilai ekspor dan impor akan tercatat dalam neraca perdagangan dan pada akhirnya akan menentukan posisi neraca transaksi berjalan.
17
Defisit transaksi berjalan selama 2 tahun terakhir
Fenomena temporer akibat kenaikan permintaan domestik
Sinyal Waspada akan terjadi Krisis EKonomi
Transaksi berjalan dipengaruhi oleh situasi makroekonomi
NFA
Openness
Investment income
Hambatan perdagangan
Pendapatan bersih (nett income)
Real exchange rate
Relatif real income
Tingkat daya saing
Neraca Perdagangan barang/jasa
Neraca transaksi berjalan
Implikasi kebijakan
Gambar 6 Kerangka Pemikiran
18
Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka, maka hipotesis yang diuji melalui penelitian ini adalah: 1. Terdapat hubungan jangka panjang antara neraca transaksi berjalan dengan variabel-variabel makroekonomi yang mempengaruhinya. 2. Terdapat hubungan dinamis jangka pendek variabel aktiva luar negeri neto, keterbukaan, nilai tukar riil, dan relative real income terhadap nilai transaksi berjalan di Indonesia.
19
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder triwulanan mulai dari 1990 triwulan 1 hingga 2012 triwulan 4. Bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia dan International Financial Statistics (IFS). Jenis data yang dikumpulkan meliputi nilai transaksi berjalan, nilai aktiva luar negeri neto, nilai ekspor dan impor, nilai tukar riil terhadap dolar AS, dan PDB riil. Variabel dan sumber data penelitian secara ringkas bisa dilihat pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 2 Variabel dan sumber data penelitian Variabel
Notasi Variabel
Satuan
Sumber
(1) Nilai Transaksi Berjalan
ca
(3) Miliar Rp
(4) Indikator Ekonomi, BPS
Aktiva Luar Negeri Neto
nfa
Miliar Rp
Neraca Analisis Otoritas Moneter, BI
open
Miliar Rp
Indikator Ekonomi, BPS
rer
$/Rp
Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, BI
PDB riil
Real_Yd
Miliar Rp
PDB Amerika Serikat
Real_Yf
Miliar dolar AS
PDB atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha , BPS International Financial Statistics (IFS), IMF
Keterbukaan ekonomi
Nilai tukar riil
Data nilai transaksi berjalan, aktiva luar negeri neto, dan keterbukaan ekonomi dihitung berdasarkan rasionya terhadap PDB atas dasar harga berlaku. Derajat keterbukaan merupakan total ekspor dan impor. Nilai tukar riil dihitung berdasarkan nilai tukar nominal dikalikan denan rasio CPI USA dan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia. Variabel pendapatan riil relatif dihitung berdasarkan nilai PDB riil Indonesia dikalikan PPP (Purchasing Power Parity) dibagi dengan PDB USA.
20
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian adalah metode ekonometrika berupa analisis Vector Autoregressive (VAR) dan Vector Error Cointegration Model (VECM) dengan menggunakan metode 2-step EngleGranger dan Prosedur Johansen. Vector autoregressions (VAR) merupakan sebuah metode estimasi yang dikembangkan oleh Cristoper A. Sims pada tahun 1980. Prosedur analisis secara ringkas disajikan dalam Gambar 5 berikut:
Prosedur Analisis
Pra Estimasi VAR
Uji Stasioneritas
Uji Stabilitas dan Lag Optimal VAR
Uji Kointegrasi
Analisis VAR/VECM
Johansen Method
2-Steps EngleGranger
Restricted VECM
Unrestricted VECM
Pemilihan Model (Model Selection)
Analisis hub jangka panjang
Vektor Kointegrasi
Analisis hub jangka pendek
Analisis IRF
Gambar 7 Ringkasan prosedur analisis
21
Pengujian Pra Estimasi VAR
Uji Stasioneritas
Suatu variabel disebut stasioner jika memiliki rata-rata, varians dan kovarians yang konstan atau time invariant, sedangkan error-nya bersifat white noise (memiliki rata-rata nol, varians yang konstan dan tidak ada autokorelasi). Untuk menguji stasionaritas dapat menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Persamaan ADF yang digunakan adalah sebagai berikut : ∆𝑦𝑡 = 𝛼𝑦𝑡−1 + ∑𝑘𝑗=1 𝛾𝑗 ∆𝑦𝑡−𝑗 + 𝜀𝑡 ∆𝑦𝑡 = 𝑐 + 𝛼𝑦𝑡−1 +
∑𝑘𝑗=1 𝛾𝑗 ∆𝑦𝑡−𝑗
∆𝑦𝑡 = 𝑐 + 𝛽𝑡 + 𝛼𝑦𝑡−1 +
; for zero-mean stasionary
(9)
+ 𝜀𝑡
∑𝑘𝑗=1 𝛾𝑗 ∆𝑦𝑡−𝑗
; for a mean stasionary (10) + 𝜀𝑡 ; for trend stasionary (11)
Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : 𝛼 = 0 (data tidak stasioner atau mengandung unit root) H1 : 𝛼 < 0 (data stasioner atau tidak mengandung unit root) Jika hasilnya menolak H0, kita dapat berkesimpulan bahwa data tersebut tidak memiliki akar unit atau stasioner. Tujuan mengikutsertakan lag pada pembeda pertama, Δyt-j, disisi kanan dalam persamaan diatas adalah untuk mengakomodasi adanya korelasi serial pada nilai residunya (εt). Panjang lag Δyt-j ditentukan berdasarkan Akaike information criterion (AIC). Jika hasil pengujian pada level menunjukkan bahwa seluruh variable tidak stasioner, maka pengujian dilanjutkan pada pembeda pertama-nya (first difference). Apabila diketahui pembeda pertama-nya stasioner, artinya variabel tersebut terintegrasi pada ordo-1 I(1). Sebagai aturan umum bahwa variabel nonstasioner tidak tepat untuk digunakan dalam model regresi untuk menghindari masalah regresi semu (spurious regression). Menurut Engle dan Granger (1987), kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner bisa saja stasioner. Jika kombinasi liniernya stasioner, maka variabel-variabel tersebut dikatakan terkointegrasi. Sehingga bisa diperoleh hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel tersebut.
Stabilitas VAR
Dalam sekelompok variabel runtut waktu yt = (y1t , . . . , ykt )’, model VAR mampu menangkap interaksi dinamis diantara seluruh variabel. Model dasar dari VAR berordo-p adalah 𝑌𝑡 = 𝐴1 𝑌𝑡−1 + … + 𝐴𝑝 𝑌𝑡−𝑝 + 𝑢𝑡
(12)
Dimana Ai adalah (k x k) matrik koefisien dan ut = (u1t, . . . , ukt )’ adalah term error atau inovasi tak teramati. Diasumsikan terdapat matrik kovarian yang positif E(𝑢𝑡 𝑢𝑡′ ) = Σ𝑢 yang bersifat white-noise atau memiliki rata-rata nol dan varian konstan. Dengan kata lain ut merupakan vektor stokastik yang independen dengan 𝑢𝑡 ~(0, Σ𝑢 ).
22
Proses VAR dikatakan stabil, bila det(𝐼𝑘 − 𝐴1 𝑧 − … − 𝐴𝑝 𝑧𝑝 ) ≠ 0 for |𝑧| ≤ 1,
(13)
Yaitu, nilai polynomial dari determinan autoregresi tidak memiliki akar unit didalam unit circle, atau seluruh nilai eigen dari matrik A1 memiliki modulus kurang dari 1 (Lütkepohl dan Kratzig 2004).
Penentuan lag optimal VAR
Diketahui bahwa analisis VAR sangat tergantung pada ordo lag yang digunakan. Perbedaan lag dapat mempengaruhi interpretasi secara substansi dari suatu estimasi VAR. Oleh karenanya, menentukan lag optimal dalam VAR memainkan peran yang penting dalam langkah awal penelitian ini. Cara yang sudah sangat dikenal dalam memilih ordo lag dengan beberapa kriteria informasi, diantaranya Akaike Akaike Information Criterion (AIC), the Schwarz Information Criterion (SIC), the Hannan-Quinn Criterion (HQC). Lutkepohl (2005) menyatakan bahwa jika konsistensi merupakan ukuran utama, maka SIC dan HQC cenderung lebih superior dibandingkan AIC. Ivanov and Kilian (2005) mengaplikasikan simulasi Monte Carlo untuk membandingkan criteria-kriteria ini. Hasilnya menyatakan bahwa untuk data bulanan dalam model VAR, AIC menghasilkan hasil yang akuran untuk ukuran sampel yang cukup besar, sedangkan HQC tampaknya paling akurat pada data triwulanan. Berdasarkan alasan yang dikemukakan diatas, pada penelitian ini HQC ditetapkan sebagai kriteria informasi yang digunakan. Uji Kointegrasi Rank (Prosedur Johansen-Juselius) Sekelompok variabel yang teritegrasi pada orde-1 I(1) tidak tepat diestimasi secara langsung menggunakan regresi OLS. Tetapi jika diantara variable-variabel tersebut terdapat hubungan kointegrasi, kita dapat mengestimasi berapa banyak dan bagaimana hubungan keseimbangan tersebut dengan menggunakan Prosedur Johansen. Tes kointegrasi Johansen and Juselius (1990) yang berbasis VAR dapat digunakan untuk memperoleh hubungan kointegrasi. Pendekatan JohansenJuselius (JJ) mengestimasi model VAR berukuran-K dan berordo-p (VAR(p)), dituliskan sebagai berikut: 𝑌𝑡 = μ + A1 𝑌𝑡−1 + A2 𝑌𝑡−2 + ⋯ + Ap 𝑌𝑡−𝑝 + 𝜀𝑡
(14)
Dalam penelitian ini, Yt = ( cat , nfat ,opent , rert, rel_yt ) merupakan vektor kolom berukuran (5×1); adalah term konstan; At merupakan matrik parameter berukuran (5×5) dan εt merupakan vektor inovasi berukuran (5×1). Johansen dan Juselius (1990) menyatakan bahwa jika yt terdiri atas variabel terintegrasi ordo-1 {I(1)} berukuran k, persamaan (14) dapat dituliskan kembali dalam bentuk Vector Error Correction Model (VECM) sebagai berikut:
23 𝑝−1
∆𝑦𝑡 = + ∑ i ∆𝑦𝑡−𝑖 + 𝑦𝑡−𝑝 + 𝜀𝑡 𝑖=1
(15) dimana adalah term konstan; Δyt merupakan pembeda pertama dari yt (i.e. ΔYt = YtYt-1), = ∑𝑝𝑖=1 𝐴𝑖 − 𝐼 ; i = − ∑𝑝𝑗=𝑖+1 𝐴𝑗 , dimana I adalah matrik identitas. Jika matriks memiliki r linear independent dimana r < k dan k banyaknya variabel didalam yt, persamaan (15) dikatakan menuju kepada keseimbangan jangka panjang yang dapat dituliskan sebagai =αβ’, dimana α dan β, keduanya adalah matriks (5 x r). Matriks β merupakan koefisien hubungan jangka panjang, sedangkan α disebut sebagai loading factor, yang dapat diinterpretasikan sebagai koefisien dari kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) menuju keseimbangan jangka panjang. Persamaan (15) dapat dituliskan sebagai : 𝑝−1
∆𝑦𝑡 = + ∑ i ∆𝑦𝑡−𝑖 + 𝛼(𝛽′𝑦𝑡−𝑝 ) + 𝜀𝑡 𝑖=1
(16) Pada persamaan (16), 𝛽𝑦𝑡−𝑝 dapat memiliki maksimum (k-1) hubungan kointegrasi dimana yt terintegrasi pada ordo-1 I(1). Banyaknya vektor kointegrasi r sama dengan rank dari matriks . Rank sama dengan banyaknya nilai akar ciri (characteristic roots) yang bukan nol. Akar ciri memiliki urutan dimana λ1 > λ2 > … > λn. Metode Johansen memungkinkan kita untuk dapat menentukan banyaknya akar ciri yang secara statistik berbeda dari nol. Enders (2004) menjelaskan langkah-langkah untuk melakukan test kointegrasi, sebagai berikut: 1. Tentukan lag optimal p dalam model VAR : Xt = 1Xt-1 + … + pXt-P + εt 2. Regresikan Xt-1 dan ΔXt pada lagged difference ΔXt-p+1 : ΔXt = A1ΔXt-1 + … + ApΔXt-p+1 + e1t Xt-1 = B1ΔXt-1 + … + BPΔXt-P+1 + e2t 3. Hitung kuadrat residual (product moment) dari masing-masing regresi: Soo = e1t’ e1t / n Skk = e2t’ e2t / n Sok = e1t’ e2t / n Sko = e2t’ e1t / n 4. Hitung nilai akar ciri dari matriks yang disebut juga nilai eigenvalue λi, yang diperoleh dari matriks [Skk]-1Sko [Soo]-1 Sok. Pada model VAR dengan n persamaan, korelasi kanonik ke-n sama dengan λi ke n. Nilai λi dapat diturunkan dari persamaan : det| λi Skk - Sko [Soo]-1 Sok | = 0 5. Hitung nilai λmax (r) = -T ln (1- λi+1) and λtrace (r) = -T Σ ln (1- λi). Tes ini menghasilkan dua jenis statistik, yaitu statistik trace (λtrace) dan statistik maksimum eigenvalue (λmax), yang dihitung menggunakan estimasi
24
maximum likelihood dari model VAR(p). Kedua nilai statistik tersebut digunakan untuk menentukan banyaknya vektor kointegrasi, r, didalam system. 𝑘
λ𝑡𝑟𝑎𝑐𝑒 = −𝑇 ∑ ln(1 − λ̂ ) 𝑖=1
λ𝑚𝑎𝑥 = −𝑇 ln(1 − 𝜆̂ 𝑟+1 )
(17)
Dimana, T adalah banyaknya sampel and 𝜆̂ i adalah nilai korelasi kanonik dari yang terbesar hingga yang terkecil. Nilai trace, menguji H0: r vektor kointegrasi terhadap hipotesis alternative n vector kointegrasi. Nilai maksimum eigenvalue menguji hipotesis nol r vektor kointegrasi terhadap hipotesis (r+1) vektor kointegrasi. Didalam model multivariate terdapat 3 kemungkinan hasil: = 0 (r = 0): Artinya, tidak terdapat kointegrasi, VAR pada pembeda pertama (first difference). memiliki rank penuh (r = k): Artinya, seluruh variabel dalam yt stasioner, VAR pada levels. memiliki rank (0 < r < k): Artinya, terdapat r kombinasi linear yt yang stasioner. Ingat jika memiliki rank lebih kecil dari k (r < k), dapat ditulis sebagai =αβ’ dimana α adalah (k x r) matriks loading faktor yang berisi koefisien penyesuaian, dan β adalah (k x r) matriks yang terdiri atas r vektor kointegrasi. Metode 2-Step Engle-Granger Metode 2-step Engle Granger yang dikemukakan oleh Engle dan Granger (1987) banyak digunakan oleh para peneliti selama bertahun-tahun. Salah satu keunggulannya adalah hubungan jangka panjang dapat dengan mudah dimodelkan dengan regresi ordinary least square (OLS) yang memasukkan seluruh variabel pada level. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : 1. Menggunakan OLS, regresikan variabel penjelas Yt terhadap variabel independen Xt. Didapatlah persamaan regresi jangka panjang : xt = α + 1y1t + 2y2t + … + kykt +ut
2.
(18)
dimana xt dan y1t, y2t, … , ykt adalah variabel non-stationer dan terintegrasi pada ordo-1 ( i.e. yt I(1)). Untuk mengetahui hubungan kointegrasi dari xt dan y1t, y2t, … , ykt, syarat perlu yang harus terpenuhi adalah nilai residual dari persamaan (11) haruslah stasioner ( i.e. ut I(0)). Periksa stasionaritas dari residual regresi ut, menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller. 𝑘
∆𝑢𝑡 = 𝛼1 𝑢𝑡−1 + ∑ 𝑐𝑗 ∆𝑢𝑡−𝑘 + 𝑒𝑡 𝑗=1
(19)
25
Dimana, u merupakan residual dari OLS, k adalah lag optimal dan e merupakan term error. Menggunakan nilai t-ADF dibandingkan dengan nilai kritis table Mackinnon untuk menguji hipotesis nol : data tidak stasioner. Jika hasilnya menolak H0, maka dapat dikatakan bahwa nilai residualnya stasioner, artinya terdapat hubungan kointegrasi. Maka kita dapat melanjutkan ke langkah berikutnya. 3. Estimasikan hubungan jangka pendek yang mengandung error-correction mechanism (ECM). Untuk memperoleh hubungan jangka pendek antara xt dan y1t, y2t, … , ykt, nilai estimasi i dari langkah pertama dimasukkan kedalam model jangka pendek dengan parameter yang lain. Dengan kata lain kita menggunakan nilai estimasi i dari persamaan (18), dan memasukkannya dalam bentuk (ut = x-α-Σiyi) ke persamaan jangka pendek, sebagai berikut: xt = 1y1t + 2y2t +...+kykt + γ(x-α-Σiyi)t-1 + t
(20)
Dimana adalah nilai pembeda pertama (first difference) dan t adalah error term-nya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa koefisien γ dalam persamaan (20) harus bernilai negatif dan signifikan. Hal yang lainnya adalah, untuk menghindari terjadinya proses eksplosif, nilai koefisien harus memiliki nilai diantara -1 and 0. Model Johansen Maximum Likelihood VAR Karena tujuan utama kita adalah mendapatkan model yang terbaik, penting untuk dipertimbangkan adalah bahwa disamping kemudahannya, metode EngleGranger memiliki beberapa kelemahan terutama berkaitan dengan vektor kointegrasi yang lebih dari satu. Untuk mengatasinya, Johansen (1988) dan Johansen dan Juselius (1990) memperkenalkan Prosedur Johansen dan Juselius (1990) maximum likelihood. Metode Johansen mampu untuk, tidak hanya mengestimasi bentuk vektor kointegrasi, tapi juga dapat menguji derajat kointegrasi melalui uji rank. Penting untuk diingat bahwa dalam model VAR dengan N variabel, terdapat paling banyak r = N-1 vektor kointegrasi. Metode Johansen mampu mengestimasi model VAR berordo-p dengan K variabel, yang dituliskan sebagai berikut. 𝑌𝑡 = μ + A1 𝑌𝑡−1 + A2 𝑌𝑡−2 + ⋯ + Ap 𝑌𝑡−𝑝 + 𝜀𝑡
(21)
Didalam penelitian ini, Yt = ( cat , nfat ,opent , rert, rel_yt ) merupakan vector kolom berukuran (5×1); adalah term konstan; At merupakan matriks parameter (5×5) and εt adalah matriks (5×1) berisi vektor inovasi. Johansen dan Juselius (1990) dan Johansen (1995) menyatakan jika Yt terdiri atas k variabel yang terintegrasi I(1), persamaan (21) dapat ditulis kembali sebagai vector error correction model (VECM) seperti dibawah ini: 𝑝−1
∆𝑌𝑡 = + ∑ i ∆𝑌𝑡−𝑖 + 𝑌𝑡−1 + 𝜀𝑡 𝑖=1
(22)
26
dimana adalah term konstan; Δyt adalah first difference dari yt (i.e. ΔYt = YtYt𝑝 𝑝 1), =∑𝑖=1 𝐴𝑖 − 𝐼 ; i = − ∑𝑗=𝑖+1 𝐴𝑗 dan I adalah matriks identitas. Jika =αβ’, dimana α dan β merupakan matiks (5 x r). Matriks β berisi koefisien hubungan jangka panjang, sementara matriks α berisikan loading factors, yang dapat diinterpretasikan sebagai koefisien kecepatan penyesuaian menuju kepada keseimbangan jangka panjang. Persamaan (22) dapat ditulis sebagai 𝑝−1
∆𝑌𝑡 = + ∑ i ∆𝑌𝑡−𝑖 + 𝛼(𝛽 ′ 𝑌𝑡−𝑝 ) + 𝜀𝑡 𝑖=1
(23) Unrestricted VECM. Dalam prosedur ini, vektor kointegrasi dihasilkan melalui serangkaian perhitungan didalam metode Johansen. Pertama menghitung nilai eigen dengan menggunakan power method untuk menghasilkan matriks eigen. Vektor kointegrasi diperoleh dari kolom ke-2 dari matrik eigen. Jumlah kolom vektor kointegrasi sama dengan rank dari matriks . Vektor kointegrasi yang telah ternormalisasi ini kemudian menjadi persamaan keseimbangan jangka panjang β. Langkah berikutnya adalah: 1. Kalikan matriks Xt-1 dengan vektor kointegrasi, untuk memperoleh nilai vektor residual persamaan jangka panjang êt-1. 2. Regresikan kembali variabel lag difference ∆𝑌𝑡−𝑝 dan êt-1 sebagai variabel eksplanatory terhadap variabel ∆𝑌𝑡 untuk menghasilkan matriks koefisien jangka pendek dari VECM. 3. Matriks koefisien jangka pendek terdiri dari loading factor (αi) dan koefisien jangka pendek, sebagaimana dijelaskan pada persamaan (16). Restricted VECM Dalam usaha mendapatkan model yang terbaik dalam penelitian ini, kita mencoba untuk memasukan restriksi didalam prosedur Johansen. Restriksi yang dimasukkan adalah koefisien hubungan jangka panjang yang dihasilkan dari regresi OLS hasil dari metode 2-step Engle-Granger. Langkah ini didasarkan pada asumsi bahwa persamaan jangka panjang tersebut sesuai dengan realitas ekonomi yang sesungguhnya. Untuk alasan tersebut, kita perlu melakukan pengujian terhadap restriksi yang diberlakukan. Hipotesis nol yang diujikan yaitu βi=ai, melawan hipotesis alternatif βi≠ai. Menggunakan Loglikelihood Ratio test, dihasilkan statistik uji yang mengikuti distribusi chi-square (χ2). Jika hasil LR test lebih besar dari nilai kritis tabel chi-square, maka H0 ditolak, yang artinya restriksi yang diberlakukan tidak valid, atau sebaliknya. Pemilihan Model VAR/VECM Terbaik Pada tahap ini, kita akan membandingkan hasil dari 3 metode yang kita gunakan berdasarkan nilai log likelihood ratio dan criteria informasi seperti AIC dan SIC.
27
Likelihood Ratio (LR) test digunakan untuk membandingkan dua model yang berkaitan (nested). Bentuk testnya dituliskan sebagai 𝑙𝑔
LR = 2loge( 𝑙 ) 𝑟
(24)
Rasio dari dua fungsi likelihood. Secara asimptot, statistik uji yang dihasilkan mengikuti distribusi chi-square, dengan derajat bebasnya adalah selisih dari jumlah parameter dari kedua model. LR test dapat dituliskan sebagai selisih dari fungsi log likelihood (log(A/B) = logA – logB). sehingga, LR = 2 (log lg – log lr )
(25)
Dimana log likelihood (l) dihitung sebagai fungsi dibawah ini: (in matrix notation) 𝑁 𝑙 = − {𝑘(1 + log(2𝜋))} + log|𝛺̂ | 2
̂ | = 𝑑𝑒𝑡 ( dimana, |𝛺
𝑇𝑆𝑆−𝑅𝑆𝑆 𝑇𝑆𝑆
)
(26)
Untuk menentukan model yang terbaik, kita dapat menggunakan criteria informasi dan memilih model yang meminimalkan nilai criteria. Akaike Information Criterion (AIC), Scwarzh Information Criterion (SIC) and Hannan-Quinn Criterion dihitung dengan formula berikut ini:
𝐴𝐼𝐶 = −2𝑙 ⁄𝑇 + 2𝑘/𝑇
(27)
SIC = -2l/T + k log T/T
(28)
HQC = -2l/T + k log (logT)/T
(29)
dimana l adalah log likelihood (Lutkepohl 2005). Dengan meminimumkan nilai AIC berimplikasi terhadap kerugian dan manfaat dari setiap penambahan parameter. Untuk lebih jelasnya, manfaat dari penambahan parameter adalah nilai SSR (sum square residuals) yang lebih kecil, sedangkan kerugiannya adalah semakin sedikitnya derajat bebas dan juga bertambahnya ketidakpastian parameter. Metode AIC mengarahkan kita untuk menambah parameter sampai nilai marginal manfaat dari penambahan parameter sama dengan nilai marginal kerugian. Metode SIC memberikan kerugian yang lebih besar dari penambahan parameter, yakni (k log T). Untuk jumlah sampel yang cukup besar, ln(T) >2 sehingga kerugian marginal dari penambahan parameter melebihi yang dihasilkan metode AIC. Sehingga SIC menawarkan hasil yang lebih berhati-hati. Simulasi monte carlo menunjukkan bahwa untuk sampel kecil, AIC lebih baik dari SIC (Enders, 2004). Secara umum, semua kriteria akan menghasilkan hasil yang konsisten, sehingga kita dapat menggunakan seluruh informasi untuk mendukung keputusan yang kita buat.
28
Impulse Response Function Hasil estimasi koefisien VECM dapat digunakan untuk menghitung impulse response function (IRF). IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. Analisis IRF banyak digunakan untuk mengetahui hubungan dinamis diantara variabel-variabel makroekonomi dalam model VAR. IRF digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu unit. Spesifikasi Model Model penelitian yang digunakan didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Yang (2011), yang menggunakan variabel keseimbangan eksternal untuk memperoleh hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari neraca transaksi berjalan. Fungsi umum dari neraca transaksi berjalan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
ca = f (nfa,open,rer,rel_y) dimana ca nfa open rer rel_y
(30)
: nilai transaksi berjalan (rasio terhadap GDP) : net foreign asset/aktiva luar negeri neto (rasio terhadap GDP) : indikator keterbukaan ekonomi (rasio terhadap GDP) : nilai tukar riil : Pendapatan relatif Definisi Variabel Operasional
1.
Neraca Transaksi Berjalan Merupakan bagian dari neraca pembayaran yang berisi arus pembayaran jangka pendek (mencatat transaksi ekspor-impor barang dan jasa), yang meliputi : ekspor dan impor barang-barang dan jasa ekspor barang-barang dan jasa yang diperlakukan sebagai kredit impor barang-barang dan jasa diperlakukan kembali sebagai debit net investment income tingkat bunga dan dividen diperlakukan sebagai jasa karena merepresentasikan pembayaran untuk penggunaan modal. net transfer (transfer unilateral)meliputi bantuan luar negeri, pemberianpemberian dan pembayaran lain antar pemerintah dan antar pihak swasta. Net transfer bukan merupakan perdagangan barang dan jasa. Atau dengan kata lain transaksi berjalan merangkum aliran dana antara satu Negara tertentu dengan seluruh negara lain sebagai akibat dari pembelian barangbarang atau jasa, provisi income atas aset finansial, atau transfer unilateral (misalnya bantuan bantuan antar pemerintah dan antar pihak swasta). Transaksi berjalan umumnya digunakan untuk menilai neraca perdagangan. Neraca Perdagangan secara sederhana merupakan selisih/perbedaan antara ekspor dan impor. Jika impor lebih tinggi dari ekspor, maka yang terjadi
29
2.
3.
4.
5.
adalah defisit neraca perdagangan.Sebaliknya, jika ekspor lebih tinggi dari impor, yang terjadi adalah surplus. Sedangkan Neraca Jasa adalah neraca perdagangan ditambah jumlah pembayaran bunga kepada para investor luar negeri dan penerimaan dividen dari investasi di luar negeri, serta penerimaan dan pengeluaran yang berhubungan dengan pariwisata dan transaksi-transaksi ekonomi lainnya. Pada penelitian ini yang digunakan adalah nilai rasio transaksi berjalan terhadap total PDB tahun berjalan. Aktiva Luar Negeri Neto Aktiva/pasiva luar negeri adalah tagihan atau kewajiban otoritas moneter kepada bukan penduduk. Pengertian bukan penduduk adalah selain definisi penduduk sebagaimana tercantum dalam Undang-undang no.24 tahun 1999 tentang lalulintas devisa dan sistem nilai tukar. Dalam UU tersebut penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau rencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya satu tahun. Dalam pengertian ini termasuk bukan penduduk antara lain penduduk suatu negara yang bekerja di negara lain, diplomat, dan konsul asing, serta karyawan asing perwakilan perusahaan asing dan lembaga internasional (Bank Indonesia 2013). Aktiva luar negeri mencakup : Emas SDR (Special Drawing Right) Cadangan pada IMF Valuta asing dan simpanan Pasiva luar negeri mencakup : Giro Lainnya Pada penelitian ini yang digunakan adalah nilai rasionya terhadap total PDB. Derajat Keterbukaan Ekonomi Ukuran derajat keterbukaan ekonomi dihitung berdasarkan akumulasi dari nilai ekspor dan impor pada tahun berjalan. Nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai transaksi pada tahun berjalan. Pada penelitian ini yang digunakan adalah nilai rasio ekspor+impor terhadap total PDB tahun berjalan. Nilai Tukar Riil Nilai tukar atau kurs adalah harga mata uang suatu negara terhadap negara lain atau mata uang suatu negara dinyatakan dalam mata uang negara lain (Salvatore dan Grilli 1994). Nilai tukar riil adalah harga relatif dari barangbarang diantara dua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari Negara lain. Pendapatan riil relatif Nilai output bruto yang dihasilkan oleh suatu perekonomian tanpa melihat kepemilikan faktor produksi pada waktu tertentu dihitung berdasarkan harga konstan. Nilai relative income riil merupakan rasio nilai PDB Indonesia yang dibandingkan dengan PDB USA berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP).
30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi Model Pengujian unit root dilakukan untuk menguji stasionaritas seluruh variabel yang digunakan. Tabel 3 panel A dan B menunjukkan bahwa seluruh variabel yang diuji tidak stasioner pada level namun stasioner pada pembeda pertama (first difference). Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa seluruh variabel terintegrasi pada ordo kesatu I(1). Tabel 3 Hasil Pengujian Augmented Dickey-Fuller (ADF) Panel A : ADF Test on level – Intercept Only Augmented Dickey-Fuller test
rca
rnfa
ropen
rer
rel_gdp
1
3
7
3
4
Nilai t-statistic
-2.388946
Prob*
[ 0.1477]
-3.482896 [ 0.0107]
-1.763427 [ 0.3961]
-1.674087 [0.4408]
0.286602 [0.9764]
Lag length (based on AIC)
Panel B : ADF Test on first differences – Intercept Only Augmented DickeyFuller test Lag length (based on AIC) Nilai t-statistic Prob*
D(rca)
D(rnfa)
D(ropen)
D(rer)
D(rel_gdp)
2
3
7
2
3
-7.978385 [0,0000]***
-5.218592 [0,0000]***
-5.591577 [0,0000]***
-6.050675 [0,0000]***
-4.437112 [0,0000]***
*** signifikan pada taraf nyata 1 %
Setelah mengetahui orde integrasi dari setiap variabel didalam model. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa variabel non stasioner tidak dapat di estimasi langsung namun kita dapat melakukan pengujian apakah diantara variabel tersebut mungkin memiliki hubungan kointegrasi. Pengujian kointegrasi dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan jangka panjang diantara variabelvariabel yang diteliti. Namun sebelum melakukan pengujian kointegrasi yang menggunakan system VAR dalam perhitungannya, terdapat persyaratan awal yang terpenuhi, seperti pengujian stabilitas VAR dan penentuan lag optimum VAR. Pengujian stabilitas VAR dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya lag yang dapat diikutkan dalam perhitungan untuk menghasilkan VAR yang dikatakan stabil untuk analisis selanjutnya. Untuk itu kita menggunakan table polynomial autoregressive untuk memeriksa apakah terdapat nilai unit root dari modulus yang sama dengan atau lebih besar dari 1. Jika modulus bernilai kurang dari 1, maka dikatakan fungsi VAR tersebut stabil. Hasilnya menunjukkan bahwa sampai dengan lag 9 fungsi VAR memiliki modulus kurang dari 1, jadi kita dapat menggunakan lag 9 sebagai lag maksimum di dalam iterasi VAR. (Lampiran 1) Selanjutnya, kita perlu untuk menentukan lag optimal dari sistem VAR. Terdapat beberapa kriteria yang ditawarkan didalam literatur diantaranya AIC, SIC, dan HQC. Penelitian ini menggunakan HQC sebagai penentuan kriteria lag optimal. Hasilnya ditunjukan pada Tabel 4 dibawah ini.
31
Tabel 4 Pemilihan Lag Lag
AIC
SBC
0 -10.71532356 -10.56961027 1 -16.68044815 -15.66045512 2 -16.97185513 -15.22329565 3 -18.06119173 -15.58406581 4 -18.34618917 -15.1404968 5 -18.51825041 -14.58399159 6 -18.53822932 -13.87540405 7 -18.81150173 -13.42011001 8 -19.14958763 -13.02962947 9 -19.36986639 -12.52134177 Choose minimum value for optimum lag SBC HQC is more consistent (Lutkepohl, 2005)
HQ -10.65678412 -16.27067207 -16.26938184 -17.06602124 -17.05832148 -16.93768552 -16.66496723 -16.64554243 -16.69093114 -16.61851268
Lag optimal ditunjukan oleh nilai kriteria yang terkecil. Akaike Information Criterion (AIC) menyarankan lag 9 sebagai lag optimal, sementara SIC menyarankan lag 1 dan HQC menyarankan lag 3 sebagai lag optimal. Berdasarkan informasi tersebut kita dapat menetapkan lag 3 sebagai lag optimal berdasarkan kriteria Hannan Quinn. Langkah berikutnya adalah melakukan pengujian kointegrasi. Hasil dari Johansen-Juselius Cointegration test menunjukkan bahwa terdapat maksimum satu persamaan kointegrasi didalam model. Hal tersebut dihasilkan dari nilai statistik maximum eigenvalue dan statistik trace yang lebih besar dari nilai kritisnya. Hipotesis nol, yang menyatakan tidak terdapat vector kointegrasi ( r = 0) ditolak pada taraf nyata 5%. Seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Johansen-Juselius Cointegration Test Hypothesized No. of CV(s) None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4
Eigenvalue 0.472441021 0.195596137 0.088345172 0.043441336 0.021895428
Lambda 56.91502048 19.37118986 8.231951616 3.952771218 1.97034344
crit-val 34.03 27.8 21.49 15.02 8.19
Trace 90.44127661 33.52625613 14.15506627 5.923114658 1.97034344
crit-val 71.44 49.64 31.88 18.11 8.19
Metode 2-Step Engle-Granger Didalam metode 2-steps Engle Granger langkah pertam yang dilakukan adalah dengan meregresikan seluruh variabel dalam level terhadap variabel independen. Hasilnya sebagai berikut: ca = 0,108+ 0,0524nfa - 0,048open - 0,132rer + 0,001rel_Y + ut (0.0228) [2.2977] R-squared Adjusted R-squared
(0.0256) [1.886] 0.6841 0.6691
(0.0164) [8.053]**
(0.0121) [0.8249]
(31)
32
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kointegrasi diantara variabelvariabel tersebut, nilai residual dari hasil regresi OLS diatas harus diuji stasionaritasnya. Nilai residu OLS diuji kembali dengan menggunakan pengujian ADF. Hasilnya ditunjukkan dalam Tabel 6. Tabel 6 Pengujian Residual Regresi
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.862145 -2.591505 -1.944530 -1.614341
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai residualnya stasioner. Artinya, terdapat hubungan kointegrasi dari variabel-variabel didalam persamaan OLS diatas. Oleh karena itu kita dapat melanjutkan perhitungan untuk memperoleh koefisien jangka pendek dengan menggunakan metode VAR dan memasukan nilai lag residual kedalam variabel penjelas. Hasilnya sebagai berikut: Tabel 7 Estimasi VECM Metode 2-step Engle-Granger Δrcat Cointvec(ect) -0.58357 Δrcat-1 -0.04450 Δrnfa t-1 -0.02021 Δropen t-1 0.11143 Δrer t-1 -0.01517 Δrel_y t-1 -0.01863 Δrca t-2 -0.19058 Δrnfa t-2 -0.01426 Δropen t-2 -0.00215 Δrer t-2 0.08339 Δrel_y t-2 0.03200 constant 0.01632 dummy -0.00094 Sys log likelihood Sys Akaike information criterion Sys Schwarz criterion Sys Hannan Quinn IC
Δrnfat
Δropent
0.56216 1.17448 0.18041 0.26484 -0.13161 0.18117 0.23680 0.07222 -0.01784 -0.36392 -0.05125 0.04882 -0.40370 -0.74260 -0.06949 -0.25279 0.15183 -0.28575 -0.10599 -0.39283 0.16496 -0.02533 -0.01539 -0.01672 0.00369 0.00022 865.498357 -17.9887271 -16.1711837 -19.2300739
Δrert
Δrel_yt
-1.06588 0.43002 -0.01835 0.15866 0.37571 -0.04657 1.16744 0.04930 -0.00808 0.11707 -0.23538 -0.08831 0.00799
-0.50044 -0.52084 0.07791 0.02162 0.15556 -0.21262 -0.32880 0.01665 0.23875 0.18262 -0.72097 -0.06178 0.01967
Hasil diatas menunjukkan terpenuhi syarat cukup dari metode 2-steps Engle Granger yang menyatakan nilai koefisien kecepatan penyesuaian harus negatif dan
33
berada diantara -1 dan 0 untuk menghindari terjadinya proses eksplosif. Seperti ditunjukkan pada tabel diatas nilai kecepatan penyesuaian adalah -0,58375. Metode Johansen Restricted VECM Didalam pengujian kointegrasi dengan menggunakan tes rank, kita telah menemukan bahwa terdapat satu vektor kointegrasi. Selanjutnya, kita akan mencoba untuk memasukkan beberapa restriksi terhadap persamaan jangka panjang. Restriksi didasarkan dari hasil koefisien regresi OLS dalam metode Engle-Granger. β =[1
-0.0524532
0.0482554
0.1318273
-0.009981 ]
Hasil dari estimasi koefisien VECM terrestriksi ditunjukan oleh Tabel 8. Tabel 8 Estimasi VECM Prosedur Johansen Terrestriksi Δrcat cointvec(ect) Δrcat-1 Δrnfa t-1 Δropen t-1 Δrer t-1 Δrel_y t-1 Δrca t-2 Δrnfa t-2 Δropen t-2 Δrer t-2 Δrel_y t-2 constant dummy
-0.58357 -0.04450 -0.02021 0.11143 -0.01517 -0.01863 -0.19058 -0.01426 -0.00215 0.08339 0.03200 0.01632 -0.00094 Sys log likelihood Sys Akaike IC Sys Schwarz BC Sys Hannan-Quinn IC
Δrnfat 0.56216 0.18041 -0.13161 0.23680 -0.01784 -0.05125 -0.40370 -0.06949 0.15183 -0.10599 0.16496 -0.01539 0.00369
Δropent 1.17448 0.26484 0.18117 0.07222 -0.36392 0.04882 -0.74260 -0.25279 -0.28575 -0.39283 -0.02533 -0.01672 0.00022 865.49835715 -17.98872713 -16.17118371 -19.23007391
Δrert -1.06588 0.43002 -0.01835 0.15866 0.37571 -0.04657 1.16744 0.04930 -0.00808 0.11707 -0.23538 -0.08831 0.00799
Δrel_yt -0.50044 -0.52084 0.07791 0.02162 0.15556 -0.21262 -0.32880 0.01665 0.23875 0.18262 -0.72097 -0.06178 0.01967
Hasil estimasi persamaan VECM metode Johansen terrestriksi sama dengan yang dihitung oleh metode Engle-Granger. Dapat dilihat bahwa selama vektor kointegrasi yang dimasukkan sama, maka proses perhitungan koefisien jangka pendek akan menghasilkan nilai statistik yang sama. Pada langkah berikutnya kita hanya perlu membandingkan salah satu hasilnya dengan hasil dari metode Johansen yang tak terrestriksi dengan menggunakan pengujian Likelihood Ratio (LR) dan kriteria informasi untuk memperoleh model yang terbaik.
34
Unrestricted VECM Metode Johansen (unrestricted) menggunakan nilai eigen vektor untuk menghasilkan persamaan jangka panjang. Persamaan jangka panjang atau koefisien vektor kointegrasi dihitung dengan melakukan normalisasi nilai eigen berdasarkan banyaknya persamaan kointegrasi, Koefisien vektor kointegrasi dari hubungan jangka panjang adalah, sebagai berikut: β = [ 1.00000
-0.09130
-0.37157
0.05850
-0.06717
0.28919 ]
(0.000)
(0.04474)
(0.06407)
(0.03340)
(0.02297)
(0.000)
Sedangkan koefisien jangka pendeknya adalah, sebagai berikut: Tabel 9 Estimasi VECM Prosedur Johansen tak terrestriksi Δrcat
Δrnfat
cointvec(ect) -0.058450 Δrcat-1 -0.369225 Δrnfa t-1 -0.017105 Δropen t-1 0.090193 Δrer t-1 -0.087562 Δrel_y t-1 -0.003920 Δrca t-2 -0.362821 Δrnfa t-2 -0.038081 Δropen t-2 -0.048527 Δrer t-2 0.022484 Δrel_y t-2 0.041375 constant 0.010932 dummy -0.000756 Sys log likelihood Sys Akaike information criterion Sys Schwarz criterion Sys Hannan Quinn IC
Δropent
0.445308 1.325222 0.097334 -0.310588 -0.125699 0.202572 0.237440 0.053440 -0.008573 -0.405950 -0.055123 0.051194 -0.311030 -0.623364 -0.036210 -0.172780 0.238611 -0.061725 -0.118675 -0.491763 0.174430 0.013247 0.014807 0.071752 0.001500 -0.006386 883.82494778 -18.40056062 -16.58301721 -19.64190741
Δrert
Δrel_yt
-1.028473 0.774952 -0.033784 0.166822 0.386772 -0.044109 1.026425 -0.018682 -0.192538 0.174906 -0.262101 -0.157405 0.013090
0.064028 -0.915476 0.083196 -0.002405 0.075744 -0.196983 -0.497998 -0.000748 0.211328 0.109454 -0.707509 -0.059063 0.019236
Pemilihan Metode/Model Dari hasil tabel ringkasan statistik dibawah ini, kita dapat membuat perbandingan untuk menentukan metode terbaik yang akan kita gunakan dalam analisis lebih lanjut. Kita akan melakukan analisis dari hasil likelihood dan kriteria informasi dari ketiga metode yang telah dihitung. Seperti ditunjukkan pada Tabel 10. Table 10 Ringkasan Tabel Kriteria Informasi 2 step EG
Log likelihood 865.4983571
AIC -17.988727
SIC -16.1711837
HQC -19.2301
Unrestricted VECM
883.8249478
-18.400561
-16.5830172
-19.6419
Restricted VECM
865.4983571
-17.988727
-16.1711837
-19.2301
35
Pertama, untuk mengevaluasi hasil dari metode VECM terrestriksi (restricted VECM), dilakukan uji LR : LR = 2 (log lu – log lr ) = 2 (883.8249 – 865.4983) = 36.6532 Hipotesis yang digunakan adalah, H0 : β = [ 1
-0.0524532
0.0482554
0.1318273
-0.009981 ]
Hasilnya dibandingkan dengan nilai chi-square tabel, dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak. Artinya, restriksi yang dimasukkan tidak dapat digunakan. Selanjutnya adalah melakukan evaluasi dari nilai masing-masing kriteria informasi. Kita dapat membuat kesimpulan bahwa metode VECM tak terrestriksi (unrestricted VECM) adalah model yang terbaik dan akan kita gunakan dalam analisis selanjutnya. Hasil ini didasarkan pada nilai AIC, SIC, dan HQC yang menunjukkan bahwa metode ini menghasil nilai kriteria informasi yang paling minimum. Karena seluruhnya menunjukkan hasil yang sama, maka kesimpulan tersebut menjadi sangat meyakinkan. Efek Jangka Panjang (Long-run Effect) Hasil dari uji kointegrasi Johansen-Julius menyatakan bahwa terdapat satu persamaan kointegrasi. Sehingga kita dapat menuliskan transaksi berjalan sebagai kombinasi linier dari variabel-variabel lain didalam model. Menggunakan vektor kointegrasi yang telah dinormalisasi dari prosedur Johansen, persamaan jangka panjang dari neraca transaksi berjalan dapat dituliskan seperti dibawah ini. ca = -0,289187 + 0,091297nfa + 0,371565open - 0,058505rer + 0,067166rel_Y (0.04474) **
(0.06407)*
(0.03340)**
(32)
(0.02297)**
*,**, signifikan pada taraf nyata 10%,5%
Dapat dilihat bahwa seluruh variabel penjelas signifikan pada taraf nyata 10%, dan 5%. Hal ini berarti bahwa variabel didalam model memiliki kemampuan menjelaskan (explanatory power) dalam model regresi linier. Variabel aktifa luar negeri neto memiliki pengaruh positif terhadap neraca transaksi berjalan dalam jangka panjang. Artinya transaksi berjalan akan meningkat seiring dengan peningkatan aktifa luar negeri. Hal ini terjadi karena aktifa luar negeri dalam jangka panjang akan mendatangkan keuntungan dalam bentuk pendapatan luar negeri yang akan meningkatkan neraca transaksi berjalan. Hal ini sejalan dengan prediksi teori intertemporal juga hasil penelitian yang telah ada. Nilai koefisien 0,09 dapat diartikan bahwa setiap kenaikan 1% dari aktifa luar negeri akan menyebabkan meningkatnya neraca transaksi berjalan sebesar 0,09% dalam jangka panjang. Variabel tingkat keterbukaan ekonomi memiliki dampak yang positif terhadap posisi neraca transaksi berjalan dalam jangka panjang. Hasil ini tidak sejalan dengan temuan dalam literature umum dan juga bertolak belakang dengan prediksi dari teori intertemporal. Namun menurut Edward dan Ostry (1990), semakin besar tingkat keterbukaan ekonomi dapat menyebabkan rendahnya harga domestik dan melemahkan nilai tukar riil. Hal ini dapat berakibat positif terhadap
36
neraca transaksi berjalan. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang pengurangan hambatan perdagangan dapat meningkatkan performa neraca transaksi berjalan melalui penurunan harga domestik Varibel yang ketiga, yaitu nilai tukar riil, memiliki dampak negatif dan signifikan terhadap neraca transaksi berjalan. Hal ini sejalan dengan teori elastisitas yang menyatakan bahwa depresiasi mata uang dapat membantu meningkatkan neraca transaksi berjalan melalui peningkatan ekspor dan pengurangan impor. Terakhir adalah variabel pendapatan riil relatif memiliki dampak positif dan signifikan terhadap neraca transaksi berjalan. Hasil ini mendukung teori “stage of development” yang menyatakan bahwa negara berpendapatan rendah cenderung menerapkan defisit transaksi berjalan, dan seiring dengan peningkatan pendapatannya negara tersebut akan menjalankan surplus transaksi berjalan. Hubungan Dinamis Jangka Pendek (Short-run Dynamics) Hubungan jangka pendek antara variabel-variabel penelitian dengan nilai transaksi berjalan dianalisa menggunakan Impulse Response Function (IRF). Alat analisis ini menggunakan simulasi shock sebesar satu satuan pada variabel tertentu dan melihat dampaknya terhadap variabel yang ingin diteliti. Secara umum dapat dilihat bahwa keseimbangan jangka panjang neraca transaksi berjalan tercapai pada triwulan ke delapan setelah terjadinya guncangan atau shock dari variabel tertentu. Nilai aktiva luar negeri neto (rnfa) memiliki pengaruh negatif dalam jangka pendek terhadap transaksi berjalan. Analisis Impulse Response Function (IRF) menunjukkan bahwa guncangan atau shock positif pada nilai aktiva luar negeri akan menurunkan nilai transaksi berjalan dan guncangan terbesar terjadi pada empat triwulan berikutnya. Morsy (2009) menyatakan bahwa aktifa luar negeri dapat mempengaruhi neraca transaksi berjalan dalam 2 cara. Pertama, negara yang memiliki stok aktifa luar negeri tinggi dapat mempertahankan defisit transaksi berjalan dalam waktu tertentu untuk meningkatkan pertumbuhan jangka panjangnya, hal ini berakibat pada hubungan negatif antara aktifa luar negeri dan neraca transaksi berjalan. Kedua, negara dengan aktifa luar negeri besar akan memperoleh pendapatan luar negeri yang lebih besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia menerapkan skenario pertama dalam jangka pendek, dan skenario kedua dalam jangka panjang. Variabel derajat keterbukaan (opennes) memiliki hubungan jangka pendek yang positif terhadap neraca transaksi berjalan. Derajat keterbukaan diukur berdasarkan agregasi nilai ekspor dan impor. Variabel ini mencerminkan tingkat liberalisasi perdagangan, yang menggambarkan besar kecilnya hambatan perdagangan (barrier of trade). Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan analisis IRF menunjukkan bahwa peningkatan derajat keterbukaan akan mengurangi defisit transaksi berjalan di Indonesia. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gruber dan Kamin (2005), dan Chinn dan Ito (2007), Çamurdan et al. (2008) dan Barnes et al. (2010). Namun temuan ini bertentangan dengan dugaan teoritis yang menyatakan bahwa opennes berdampak negatif terhadap current account dimana negara yang cenderung terbuka akan cenderung lebih menarik bagi modal asing untuk masuk sehingga transaksi
37
modalnya akan positif dan transaksi berjalan akan negatif (Chinn dan Prasad, 2000). Selanjutnya adalah variabel nilai tukar riil (real exchange rate), yang memiliki hubungan negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya, penurunan nilai tukar riil atau depresiasi akan memperbaiki kinerja transaksi berjalan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dampak dari guncangan/shock pada nilai tukar cenderung persisten dan stabil pada triwulan ke lima setelahnya. Peningkatan neraca transaksi berjalan terhadap depresiasi nilai tukar lebih dikarenakan adanya pengurangan impor. Hasil ini sesuai dengan kesimpulan dari penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa depresiasi rupiah dapat memperbaiki kinerja neraca perdagangan Indonesia (Sugema, 2005), serta sejalan dengan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Debelle dan Faruqee (1996), Çamurdan et al. (2008), Brissimis et al. (2010), dan Gossé dan Serranito (2012). Berikutnya adalah variabel pendapatan relatif (relative GDP) yang merupakan rasio GDP Indonesia terhadap GDP Amerika Serikat. Variabel ini memiliki hubungan jangka pendek yang positif terhadap neraca transaksi berjalan. Hubungan ini dapat dijelaskan dengan teori stage of development (Debelle dan Faruqee, 1996), yang menyatakan bahwa suatu negara dengan pendapatan relatif rendah akan cenderung menjalankan defisit transaksi berjalan untuk menarik modal dari luar masuk sebanyak-banyaknya. Seiring dengan peningkatan pendapatan relatifnya maka negara tersebut akan menerapkan surplus transaksi berjalan agar dapat membayar kembali kewajiban hutangnya. Analisis IRF menunjukkan bahwa adanya guncangan atau shock positif sebesar satu satuan pada nilai pendapatan relatif akan mengakibatkan peningkatan transaksi berjalan pada triwulan ke tiga setelah terjadinya shock. Kesimpulan ini juga mendukung penelitian sebelumnya, yakni Chinn dan Prasad (2000), Herrmann dan Jochem (2005), Aristovnik (2006) dan Chinn dan Ito (2007).
38
Response of CA to Impulse of NFA
Response of CA to Impulse of CA 1.2
0
1
-0.01
0.8
-0.02
0.6
-0.03
0.4
-0.04
0.2
-0.05
0
-0.06 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11
1
2
3
4
5
0
0.1
-0.02
-0.06 2
3
4
5
6
7
8
9 10 11
-0.08
-0.05
-0.1
-0.1
-0.12
Response of CA to Impulse of REL_Y 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
-0.04
1
8
Response of CA to Impulse of RER
0.15
0
7
-0.07
Response of CA to Impulse of OPEN
0.05
6
9 10 11
Gambar 8 Impulse Response Function
39
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
Terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara neraca transaksi berjalan dengan variabel-variabel yang diteliti, seperti nilai aktiva luar negeri, derajat keterbukaan, nilai tukar riil dan pendapatan relatif. Dalam jangka pendek, variabel tingkat keterbukaan ekonomi dan tingkat pendapatan relatif memiliki dampak yang positif, sedangkan variabel aktifa luar negeri dan nilai tukar berdampak negatif terhadap kinerja neraca transaksi berjalan. Dalam jangka panjang, variabel nilai tukar riil memiliki dampak negatif terhadap neraca transaksi berjalan, sedangkan variabel yang lainnya berdampak positif. Saran
1.
2.
3.
Untuk meningkatkan performa neraca transaksi berjalan dan mengurangi defisit dalam jangka panjang, kebijakan peningkatan akumulasi stok aktifa luar negeri dapat diterapkan begitu pula dengan kebijakan pengurangan hambatan perdagangan dan peningkatan output riil. Kebijakan devaluasi nilai tukar dapat diterapkan untuk mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Penelitian ini dan juga seluruh penelitian rujukannya mengasumsikan mekanisme penyesuaian neraca transaksi berjalan sebagai fenomena linier, padahal sangat mungkin mekanisme tersebut bukan linier. Oleh karenanya, penelitian selanjutnya dengan menggunakan metode nonlinier sangat berguna dalam menjelaskan perilaku neraca transaksi berjalan.
40
DAFTAR PUSTAKA Aristovnik A. 2006. The Determinants and Exessiveness of Current Account Deficits in Eastern Europe and Former Soviet Union. William Davidson Institute Working paper No. 827. University of Michigan. Barnes S, Lawson J, Radzwill A. 2010. Current Account Imbalances in the Euro Area : A Comparative Perspective. Economics Department Working Paper No.826. Organisation for Economic Co-operation and Development. [BI] Bank Indonesia 2008. Laporan Keuangan dan Moneter Indonesia [Laporan Tahunan], Jakarta(ID) : Bank Indonesia. . 2012. Laporan Keuangan dan Moneter Indonesia [Laporan Tahunan], Jakarta(ID) : Bank Indonesia. Bitzis G, Paleologos JM, Papazoglou C. 2008. The determinants of the Greek current account deficit: The EMU Experience. Journal of International and Global Economic Studies, June 2008. 105-122. Blanchard O. 2000. Macroeconomics. Fifth Edition. Boston (US): Pearson. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai terbitan 1990 - 2012. Indikator Ekonomi. Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik. Calderon, Chong, dan Loayza 1999,. Determinants of Current Account Deficit in Developing Countries. Working Papers No. 51. Central Bank of Chile. Brissimis S, Hodroyiannis G, Papazoglou C, Tsaveas N, Vasardani M.. 2010. Current account determinants and external sustainability in periods of structural change. Working Paper Series No. 1243. European Central Bank. Chinn M, Prasad E. 2000. Medium-term Determinant of Current Accounts in Industrial and Developing Countries: An Empirical Exploration. NBER Working Paper Series No. 7581, National Bureau Of Economic Research. Chinn MD, Ito H. 2007. Current Account Balance, Financial Development and Institutions: Assaying the world “saving glut”. Journal of International Money and Finance, Vol (26) : pp.546-569. Clower E, Ito H. 2011. The Persistence and Determinants of Current Account Balance: The Implications for Global Rebalancing. Department of Economic University of Washington. Debelle G, Faruqee H. 1996. What Determines the Current Account? A CrossSectional and Panel Research. IMF Working Paper WP/96/58. International Monetary Fund. Edward and Ostry. 1990, Anticipated Protectionist Policies, Real Exchange Rates, and the Current Account: The Case of Rigid Wages. Journal of International Money and Finance, Vol (9) : pp. 206-219. Enders W. 2004. Applied Eeconometrics Time Series. Second Edition. New York (US): John Willey and Sons, Inc. Engle RF, Granger J. 1987. Cointegration and error correction : representation, estimation and testing. Econometrica. Vol (55): pp. 251-276. Freund, C. (2000). ‘Current account adjustment in industrialized countries’, International Finance Discussion Paper 692, Board of Governors of the Federal Reserve System. Gosse JB, Seranito F. 2012. Long-run Determinants of the Current Account in OECD Countries : A Panel Cointegration Analysis.
41
Gruber JW, Kamin SB. 2005. Explaining the global patern of current account imbalances. International Finance Discussion Papers. Number 846. Herrmann S, Jochem A. 2005. Determinants of Current Account Developments in the Central and East European EU Member States – Consequences for the Enlargement of the Euro Area. Discussion Paper Series 1: Economic Studies No.32/2005. Deutsche Bundesbank. Johansen S. 1988. Statistical Analysis of Cointegration Vectors. Journal of Economic Dynamics and Control, Vol (12) : pp.231- 254. Johansen, S. and Juselius, K. 1990. Maximun Likelihood Estimation and Inference on Cointegration with Applications to the Demand for Money. Oxford Bulletin of Economics and Statistics Vol (52): pp.169-209. Krugman P, and Obstfeld M. 1999. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan edisi kedua (terjemahan). Jakarta (ID): PAU-FE-UI. Lütkepohl H. and Kratzig M. 2004. Applied Time Series Econometrics. New York (NY) : Cambridge University Press. Lütkepohl H. 2005. New Introduction to Multiple Time Series Analysis. Germany (DE): Springer. Mankiw G. 2007. Makroekonomi. Ed. ke-9. Jakarta (ID): Erlangga. Obstfeld M, Rogoff K. 1995. The intertemporal approach to the current account. Handbook of International Economics, vol. III. Princeton University. Salvatore D. and Grilli E.R. 1994. Economic Development. Greenwood Press: University of California. Sahminan, Ibrahim, Yanfitri. 2009. Determinants and sustainability of Indonesia’s current account balance. BI Working Paper wp/09/2009. Bank Indonesia. Sugema I. 2005. The determinants of trade balance and adjustment to the crisis in Indonesia. Centre for International Economic Studies Discussion Paper No.0508. University of Adelaide. Uneze E, Ekor M. 2012. Re-examining the Determinants of Current Account Balance in An Oil-Rich Exporting Countries : A Cace of Nigeria. CSEA Working Paper WPS/12/01. Yang L. 2011. An empirical analysis of currrent account determinant in emerging asian economies. Cardiff Economics Working Papers E2011/10. Cardiff University.
42
Lampiran 1 Hasil uji stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: RCA RNFA ROPEN RER REL_GDP Exogenous variables: C DUMMY Lag specification: 1 9 Root 0.990280 + 0.085739i 0.990280 - 0.085739i -0.005067 + 0.981424i -0.005067 - 0.981424i 0.890773 + 0.402784i 0.890773 - 0.402784i 0.929946 - 0.199105i 0.929946 + 0.199105i 0.798181 - 0.501423i 0.798181 + 0.501423i -0.581643 - 0.733651i -0.581643 + 0.733651i 0.296546 + 0.881799i 0.296546 - 0.881799i 0.662043 - 0.649465i 0.662043 + 0.649465i -0.733928 + 0.565889i -0.733928 - 0.565889i 0.409723 + 0.799832i 0.409723 - 0.799832i -0.869787 + 0.194445i -0.869787 - 0.194445i 0.529157 + 0.713117i 0.529157 - 0.713117i 0.839156 - 0.289575i 0.839156 + 0.289575i -0.885458 -0.291926 + 0.827035i -0.291926 - 0.827035i -0.792185 - 0.354789i -0.792185 + 0.354789i 0.268888 - 0.816427i 0.268888 + 0.816427i -0.634253 + 0.576298i -0.634253 - 0.576298i -0.110852 + 0.819114i -0.110852 - 0.819114i -0.365921 + 0.715727i -0.365921 - 0.715727i -0.773333 -0.078870 + 0.744133i -0.078870 - 0.744133i -0.703088 0.343591 + 0.508262i 0.343591 - 0.508262i
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.993984 0.993984 0.981437 0.981437 0.977605 0.977605 0.951022 0.951022 0.942612 0.942612 0.936244 0.936244 0.930327 0.930327 0.927419 0.927419 0.926758 0.926758 0.898668 0.898668 0.891256 0.891256 0.888000 0.888000 0.887714 0.887714 0.885458 0.877045 0.877045 0.868005 0.868005 0.859566 0.859566 0.856970 0.856970 0.826581 0.826581 0.803843 0.803843 0.773333 0.748301 0.748301 0.703088 0.613503 0.613503
43
Lampiran 2 Output Penentuan Lag Optimal VAR
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: RCA RNFA ROPEN RER REL_GDP Exogenous variables: C DUMMY Sample: 1990Q1 2012Q4 Included observations: 83 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
475.4590 727.2386 764.3320 834.5394 871.3668 903.5074 929.3365 965.6773 1004.708 1038.849
NA 461.0904 63.46097 111.6553 54.13182 43.37037 31.74183 40.28136 38.56033* 29.61678
9.26e-12 3.93e-14 2.96e-14 1.02e-14 7.91e-15 7.06e-15 7.55e-15 6.52e-15 5.55e-15* 5.68e-15
-11.21588 -16.68045 -16.97185 -18.06119 -18.34619 -18.51825 -18.53823 -18.81150 -19.14959 -19.36987*
-10.92445 -15.66046* -15.22330 -15.58407 -15.14050 -14.58399 -13.87540 -13.42011 -13.02963 -12.52134
-11.09880 -16.27067 -16.26938 -17.06602* -17.05832 -16.93769 -16.66497 -16.64554 -16.69093 -16.61851
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
44
Lampiran 3 Output penentuan tren deterministik Sample: 1990Q1 2012Q4 Included observations: 89 Series: RCA RNFA ROPEN RER REL_GDP Exogenous series: DUMMY Warning: Rank Test critical values derived assuming no exogenous series Lags interval: 1 to 2
Data Trend: Rank or No. of CEs
None No Intercept No Trend
None Intercept No Trend
Linear Intercept No Trend
Linear Intercept Trend
Quadratic Intercept Trend
0 1 2 3 4 5
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 844.3766 844.3766 855.3674 855.3674 857.1312 869.8453 874.4979 883.8249 883.8258 885.5626 880.6967 885.4057 893.5105 896.3850 898.1068 884.8316 895.0911 897.6265 906.0677 907.3047 888.0710 898.8519 899.6029 910.1588 911.3467 888.3647 900.5881 900.5881 911.5326 911.5326
0 1 2 3 4 5
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -17.85116 -17.85116 -17.98578 -17.98578 -17.91306 -18.19877 -18.28085 -18.40056 -18.37811 -18.32725 -18.21790 -18.27878 -18.39350 -18.41315* -18.38442 -18.08610 -18.24924 -18.26127 -18.38354 -18.36640 -17.93418 -18.08656 -18.08096 -18.22829 -18.23251 -17.71606 -17.87838 -17.87838 -18.01197 -18.01197
0 1 2 3 4 5
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -16.45305 -16.45305 -16.44786 -16.44786 -16.23533 -16.52104 -16.57516 -16.58302* -16.53260 -16.36990 -16.26055 -16.26550 -16.29633 -16.26006 -16.14745 -15.84913 -15.92837 -15.88448 -15.92287 -15.84980 -15.41758 -15.45811 -15.42455 -15.46003 -15.43629 -14.91984 -14.94235 -14.94235 -14.93613 -14.93613
45
Lampiran 4 Hasil uji rank kointegrasi Johansen
Sample (adjusted): 1990Q4 2012Q4 Included observations: 89 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: RCA RNFA ROPEN RER REL_GDP Exogenous series: DUMMY Warning: Critical values assume no exogenous series Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4
0.472441 0.195596 0.088345 0.043441 0.021895
90.44128 33.52626 14.15507 5.923115 1.970344
69.81889 47.85613 29.79707 15.49471 3.841466
0.0005 0.5278 0.8318 0.7046 0.1604
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4
0.472441 0.195596 0.088345 0.043441 0.021895
56.91502 19.37119 8.231954 3.952772 1.970344
33.87687 27.58434 21.13162 14.26460 3.841466
0.0000 0.3864 0.8890 0.8643 0.1604
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
46
Lampiran 5 Hasil estimasi OLS dan pengujian residual OLS Dependent Variable: RCA Method: Least Squares Sample: 1990Q3 2012Q3 Included observations: 89 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
RNFA ROPEN RER REL_GDP C
0.052453 -0.048255 -0.131827 0.009981 0.108446
0.022829 0.025586 0.016369 0.012100 0.031548
2.297706 -1.886026 -8.053294 0.824907 3.437535
0.0241 0.0627 0.0000 0.4118 0.0009
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.684173 0.669134 0.017998 0.027209 233.8465 45.49216 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.007654 0.031289 -5.142617 -5.002806 -5.086263 1.639453
Null Hypothesis: RESID05 has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-7.862145 -2.591505 -1.944530 -1.614341
0.0000
47
Lampiran 6 Hasil estimasi 2- step Engle-Granger vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1990Q4 2012Q4 Included observations: 89 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] D(RCA)
D(RNFA)
D(ROPEN)
D(RER)
D(REL_GDP)
D(RCA(-1))
-0.044499 (0.15072) [-0.29524]
0.180411 (0.53345) [ 0.33819]
0.264843 (0.55885) [ 0.47390]
0.430019 (0.52062) [ 0.82598]
-0.520835 (0.47294) [-1.10127]
D(RCA(-2))
-0.190580 (0.11600) [-1.64299]
-0.403696 (0.41054) [-0.98332]
-0.742604 (0.43009) [-1.72661]
1.167444 (0.40067) [ 2.91375]
-0.328797 (0.36397) [-0.90336]
D(RNFA(-1))
-0.020215 (0.03672) [-0.55045]
-0.131613 (0.12998) [-1.01259]
0.181173 (0.13616) [ 1.33055]
-0.018354 (0.12685) [-0.14469]
0.077914 (0.11523) [ 0.67616]
D(RNFA(-2))
-0.014258 (0.03417) [-0.41730]
-0.069487 (0.12093) [-0.57461]
-0.252787 (0.12669) [-1.99535]
0.049302 (0.11802) [ 0.41774]
0.016651 (0.10721) [ 0.15531]
D(ROPEN(-1))
0.111433 (0.03936) [ 2.83140]
0.236798 (0.13929) [ 1.70000]
0.072215 (0.14593) [ 0.49488]
0.158658 (0.13594) [ 1.16711]
0.021624 (0.12349) [ 0.17510]
D(ROPEN(-2))
-0.002148 (0.03905) [-0.05502]
0.151835 (0.13819) [ 1.09871]
-0.285754 (0.14477) [-1.97378]
-0.008079 (0.13487) [-0.05990]
0.238745 (0.12252) [ 1.94866]
D(RER(-1))
-0.015174 (0.05297) [-0.28645]
-0.017835 (0.18749) [-0.09513]
-0.363920 (0.19642) [-1.85278]
0.375708 (0.18298) [ 2.05327]
0.155564 (0.16622) [ 0.93588]
D(RER(-2))
0.083389 (0.05310) [ 1.57035]
-0.105990 (0.18794) [-0.56394]
-0.392828 (0.19689) [-1.99513]
0.117074 (0.18342) [ 0.63828]
0.182622 (0.16662) [ 1.09601]
D(REL_GDP(-1))
-0.018626 (0.02635) [-0.70698]
-0.051255 (0.09325) [-0.54967]
0.048824 (0.09769) [ 0.49981]
-0.046570 (0.09100) [-0.51175]
-0.212615 (0.08267) [-2.57192]
D(REL_GDP(-2))
0.032004 (0.02639) [ 1.21275]
0.164956 (0.09340) [ 1.76610]
-0.025326 (0.09785) [-0.25882]
-0.235380 (0.09115) [-2.58222]
-0.720974 (0.08281) [-8.70680]
C
-0.000938 (0.00186) [-0.50390]
0.003686 (0.00658) [ 0.55984]
0.000224 (0.00690) [ 0.03253]
0.007992 (0.00643) [ 1.24356]
0.019671 (0.00584) [ 3.36948]
RESID05(-1)
-0.583574 (0.16814) [-3.47080]
0.562163 (0.59509) [ 0.94467]
1.174484 (0.62343) [ 1.88392]
-1.065878 (0.58077) [-1.83528]
-0.500441 (0.52758) [-0.94855]
DUMMY
0.016319 (0.00942)
-0.015391 (0.03336)
-0.016722 (0.03494)
-0.088312 (0.03255)
-0.061782 (0.02957)
48
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
[ 1.73161]
[-0.46141]
[-0.47856]
[-2.71287]
[-2.08923]
0.539216 0.466461 0.019654 0.016081 7.411367 248.3204 -5.288098 -4.924590 0.000146 0.022016
0.230981 0.109557 0.246198 0.056916 1.902268 135.8308 -2.760243 -2.396734 0.003047 0.060316
0.357305 0.255827 0.270202 0.059626 3.521008 131.6908 -2.667209 -2.303700 -0.000412 0.069120
0.331125 0.225513 0.234494 0.055547 3.135306 137.9983 -2.808951 -2.445443 -0.000550 0.063118
0.569304 0.501299 0.193510 0.050460 8.371539 146.5469 -3.001053 -2.637544 0.007739 0.071454
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
5.42E-15 2.46E-15 865.4983 -17.98873 -16.17118
49
Lampiran 7 Hasil estimasi VECM metode Johansen Vector Error Correction Estimates Sample (adjusted): 1990Q4 2012Q4 Included observations: 89 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
RCA(-1)
1.000000
RNFA(-1)
-0.091297 (0.04474) [-2.04046]
ROPEN(-1)
-0.371565 (0.06407) [-5.79960]
RER(-1)
0.058505 (0.03340) [ 1.75155]
REL_GDP(-1)
-0.067166 (0.02297) [-2.92469]
C
0.289187
Error Correction:
D(RCA)
D(RNFA)
D(ROPEN)
D(RER)
D(REL_GDP)
CointEq1
-0.058450 (0.06787) [-0.86119]
0.445308 (0.21972) [ 2.02673]
1.325222 (0.18619) [ 7.11746]
-1.028473 (0.19002) [-5.41237]
0.064028 (0.19986) [ 0.32036]
D(RCA(-1))
-0.369225 (0.12952) [-2.85069]
0.097334 (0.41930) [ 0.23214]
-0.310588 (0.35532) [-0.87411]
0.774952 (0.36263) [ 2.13703]
-0.915476 (0.38141) [-2.40026]
D(RCA(-2))
-0.362821 (0.11137) [-3.25792]
-0.311029 (0.36052) [-0.86272]
-0.623363 (0.30551) [-2.04037]
1.026425 (0.31180) [ 3.29195]
-0.497998 (0.32794) [-1.51854]
D(RNFA(-1))
-0.017105 (0.03934) [-0.43477]
-0.125699 (0.12736) [-0.98694]
0.202572 (0.10793) [ 1.87690]
-0.033784 (0.11015) [-0.30671]
0.083196 (0.11585) [ 0.71811]
D(RNFA(-2))
-0.038081 (0.03599) [-1.05804]
-0.036210 (0.11652) [-0.31077]
-0.172780 (0.09874) [-1.74988]
-0.018682 (0.10077) [-0.18539]
-0.000748 (0.10599) [-0.00705]
D(ROPEN(-1))
0.090193 (0.04163) [ 2.16648]
0.237440 (0.13477) [ 1.76179]
0.053440 (0.11421) [ 0.46792]
0.166822 (0.11656) [ 1.43124]
-0.002405 (0.12259) [-0.01962]
D(ROPEN(-2))
-0.048527 (0.04062)
0.238611 (0.13151)
-0.061725 (0.11145)
-0.192538 (0.11374)
0.211328 (0.11963)
50 [-1.19453]
[ 1.81437]
[-0.55386]
[-1.69282]
[ 1.76654]
D(RER(-1))
-0.087562 (0.05195) [-1.68552]
-0.008573 (0.16818) [-0.05097]
-0.405950 (0.14252) [-2.84847]
0.386772 (0.14545) [ 2.65920]
0.075744 (0.15298) [ 0.49513]
D(RER(-2))
0.022484 (0.05387) [ 0.41740]
-0.118675 (0.17438) [-0.68055]
-0.491763 (0.14777) [-3.32780]
0.174906 (0.15081) [ 1.15975]
0.109454 (0.15862) [ 0.69003]
D(REL_GDP(-1))
-0.003920 (0.02783) [-0.14088]
-0.055123 (0.09009) [-0.61188]
0.051194 (0.07634) [ 0.67058]
-0.044109 (0.07791) [-0.56614]
-0.196983 (0.08195) [-2.40377]
D(REL_GDP(-2))
0.041375 (0.02820) [ 1.46708]
0.174430 (0.09130) [ 1.91054]
0.013247 (0.07737) [ 0.17123]
-0.262101 (0.07896) [-3.31942]
-0.707509 (0.08305) [-8.51923]
C
-0.000756 (0.00202) [-0.37360]
0.001500 (0.00655) [ 0.22900]
-0.006386 (0.00555) [-1.15056]
0.013090 (0.00566) [ 2.31090]
0.019236 (0.00596) [ 3.22878]
DUMMY
0.010932 (0.01099) [ 0.99512]
0.014807 (0.03556) [ 0.41634]
0.071752 (0.03014) [ 2.38081]
-0.157405 (0.03076) [-5.11764]
-0.059063 (0.03235) [-1.82574]
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.471338 0.387865 0.022549 0.017225 5.646600 242.2052 -5.150678 -4.787169 0.000146 0.022016
0.261847 0.145296 0.236317 0.055762 2.246637 137.6537 -2.801207 -2.437698 0.003047 0.060316
0.596348 0.532614 0.169704 0.047254 9.356760 152.3885 -3.132326 -2.768817 -0.000412 0.069120
0.495816 0.416208 0.176756 0.048226 6.228217 150.5765 -3.091607 -2.728098 -0.000550 0.063118
0.564792 0.496076 0.195536 0.050723 8.219112 146.0832 -2.990633 -2.627124 0.007739 0.071454
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
3.59E-15 1.63E-15 883.8249 -18.28820 -16.33085
51
Lampiran 8 Respons RCA terhadap shok variabel endogen
Period
RCA
RNFA
ROPEN
RER
REL_GDP
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1.000000 0.572325 0.464184 0.488491 0.586893 0.575502 0.592955 0.535625 0.537476 0.549275 0.549875 0.544590 0.556425 0.554779 0.548132 0.549528 0.554619 0.552541 0.549569 0.550088
0.000000 -0.011769 -0.033861 -0.060076 -0.018723 -0.022212 -0.022456 -0.031254 -0.028563 -0.027378 -0.025005 -0.027029 -0.027403 -0.027805 -0.027586 -0.027440 -0.026887 -0.027027 -0.027340 -0.027390
0.000000 0.111911 -0.062678 -0.052490 -0.027670 0.018522 0.002314 -0.001061 -0.010359 -0.005193 -0.004757 -0.003471 -0.005890 -0.006428 -0.007165 -0.005842 -0.004724 -0.004611 -0.005508 -0.005723
0.000000 -0.090981 -0.099680 -0.099845 -0.018837 -0.014699 -0.034663 -0.057553 -0.053428 -0.052111 -0.049076 -0.049401 -0.049895 -0.051215 -0.049512 -0.047795 -0.047685 -0.049064 -0.049757 -0.049628
0.000000 5.33E-06 0.039800 0.031983 0.000238 0.007689 0.021708 0.012424 0.010681 0.018977 0.017769 0.012174 0.013783 0.016850 0.015660 0.013953 0.014554 0.015341 0.015069 0.014796
Nonfactorized One Unit
52
53
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Wahyu Purnamahadi lahir di Jakarta pada tanggal 18 Mei 1980. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Bapak Uha Wiria Atmadja dan Ibu Kartini. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Duren 7 Bekasi Timur pada tahun 1991, kemudian melanjutkan ke SMP PGRI 1 Bekasi dan lulus pada tahun 1994. Kemudian melanjutkan ke SMU Negeri 3 Bekasi dan tamat pada tahun 1997. Setelah tamat SMU, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, program Diploma IV dan tamat pada tahun 2001 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Selama menempuh pendidikan di STIS Jakarta penulis mengambil konsentrasi Statistika Ekonomi. Setelah lulus dari STIS Tahun 2001, penulis langsung ditugaskan di BPS Kabupaten Bolaang Mongondow, Propinsi Sulawesi Utara. Pada tahun 2010 penulis pindah tugas ke BPS Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Program S2 kerja sama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan IPB pada Mayor Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM) di Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB. Sebelum menempuh pendidikan pascasarjana penulis menjalani program Alih Jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB dan meraih gelar Sarjana Ekonomi pada tahun yang sama.