DETEKSI KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT AWAN PANAS MERAPI 2010 MENGGUNAKAN CITRA PENGINDERAAN JAUH Seftiawan Samsu Rijal1, Mousafi Juniasandi Rukmana1, Ahmad Syukron Prasaja2 1
Magister Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM Magister Pengelolaan Pesisir dan DAS Fakultas Geografi UGM 1
[email protected]
2
Abstrak Merapi memiliki periode erupsi 4 hingga 5 tahun. Tahun 2010 Merapi mengalami erupsi dengan jumlah material sebesar 150 juta m3. Kejadian ini merupakan yang terbesar dalam kurun waktu 188 tahun terakhir. Erupsi Merapi mengakibatkan tiga jenis bencana yaitu bencana primer berupa awan panas, hujan abu dan lelehan lava; bencana sekunder berupa banjir lahar dan bencana tersier seperti hilangnya mata air. Salah satu bencana primer Merapi yaitu awan panas terjadi di Kecamatan Cangkringan, Sleman, D.I. Yogyakarta mengakibatkan berbagai kerusakan penggunaan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan data penginderaan jauh untuk kajian kebencanaan dan menerapkan klasifikasi multispektral untuk mendeteksi kerusakan penggunaan lahan yang terjadi pada daerah kajian. Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi terselia (supervised) dengan algoritma maximum likelihood. Inventarisasi penggunaan lahan dilakukan pada citra yang merekam sebelum erupsi terjadi sedangkan untuk mengetahui jangkauan awan panas dilakukan pada citra setelah kejadian erupsi. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan lahan yang terdapat di wilayah penelitian antara lain hutan, sawah tadah hujan, sawah irigasi, permukiman, kebun, padang golf dan tegalan. Jangkauan awan panas yang melanda Kecamatan Cangkringan seluas 12,03 km2. Jumlah tersebut setara dengan 5,04 % dari luas Kecamatan Cangkringan. Penggunaan lahan yang mengalami kerusakan terparah adalah kebun, dengan luasan yang hilang sekitar 4,44 km2. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa data penginderaan jauh dapat digunakan untuk melakukan deteksi dan inventarisasi akibat bencana, terutama bencana gunungapi. kata kunci: awan panas, citra penginderaan jauh, klasifikasi multispektral
PENDAHULUAN Gunungapi Merapi terletak pada posisi 7⁰ 32.5’ Lintang Selatan dan 110⁰ 26.5’ Bujur Timur dengan ketinggian 2980 m dpl di perbatasan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Cholik (2011) menjelaskan sejak masa Pra Merapi hingga saat ini Merapi telah mengalami 5 kali masa perkembangan yaitu fase Pra Merapi, Merapi Tua, Merapi Muda, Merapi Baru dan Merapi Terkini. Sumintadiredja (2000) menyebutkan secara keseluruhan terdapat 129 gunungapi di Indonesia dan 10 hingga 15 diantaranya masih aktif serta memiliki frekuensi letusan dalam kurun waktu 3 hingga 5 tahun, Merapi termasuk gunungapi paling aktif dengan kejadian letusan terakhir pada tahun 2010.
Letusan Merapi 2010 merupakan yang terbesar dalam kurun waktu 188 tahun terakhir (gambar 1) memuntahkan material sebanyak 150 juta m3 dan menghasilkan beragam bencana seperti awan panas, wedhus gembel, hujan abu, lava, lahar dan hilangnya mata air. Penelitian ini akan melakukan kajian terhadap dampak dari awan panas menggunakan salah satu metode penginderaan jauh yaitu klasifikasi multispektral.
Gambar 1. Indeks letusan dan masa istirahat Gunungapi Merapi (Cholik, 2011) Klasifikasi multispektral hingga saat ini masih dipandang sebagai teknik yang paling mapan untuk menghasilkan berbagai peta tematik (Danoedoro, 2012) walaupun ia memiliki beberapa kekurangan yang disebabkan oleh asumsi awalnya. Phin (2002) dalam Danoedoro (2012) menyebutkan bahwa klasifikasi multispektral mengasumsikan tiga hal yaitu resolusi spasial tinggi, dimana setiap piksel merupakan piksel murni yang tersusun atas satu macam objek penutup lahan; piksel – piksel yang menyusun satu jenis penutup lahan mempunyai kesamaan spectral dan yang terakhir adalah setiap jenis penutup lahan yang berbeda mempunyai perbedaan spectral yang signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teknik klasifikasi multispektral tersebut untuk melakukan deteksi perubahan penggunaan lahan yang terjadi akibat bencana awan panas. METODE PENELITIAN Wilayah Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi D.I. Yogyakarta. Secara administratif Kecamatan Cangkringan berbatasan dengan Kecamatan Pakem di sebelah utara dan barat, Kecamatan Kemalang Kabupaten Klaten di sebelah timur dan Kecamatan Ngemplak di sebelah selatan. Kecamatan Cangkringan membentang di lereng atas hingga kerucut Gunungapi Merapi sebelah selatan, dengan posisi seperti ini Kecamatan
Cangkringan sangat rentan terhadap akibat bencana erupsi Merapi yang dapat terjadi sewaktu – waktu, terlebih setelah kejadian erupsi 2010 puncak kerucut Gunungapi Merapi membuka ke arah selatan (gambar 2).
Gambar 2. Peta daerah penelitian. Angka menunjukkan deretan gunungapi; 1. Merapi, 2. Merbabu dan 3. Sumbing Citra ALOS ALOS memiliki tiga instrumen yaitu PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2), PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar). PRISM dapat digunakan untuk membangun DEM, AVNIR-2 untuk observasi penutup lahan dan PALSAR dimanfaatkan untuk observasi pada segala kondisi cuaca karena memiliki L-band SAR. Penelitian ini menggunakan AVNIR-2, citra tersebut telah melalui pre-processing (koreksi radiometric dan geometric). Band yang digunakan untuk melakukan interpretasi adalah Infra Merah Dekat (Band 4: 0,82 µm), Merah (Band 3: 0,65 µm) dan Hijau (Band 2: 0,56 µm). Kombinasi RGB false colour tersebut digunakan untuk mempermudah membedakan objek, terutama vegetasi yang paling banyak terdampak awan panas Merapi.Vegetasi tampak berwarna merah, awan berwarna putih dan pasir merapi yang terdapat di sungai berwarna abu – abu gelap. Citra World View-2 World View-2 memiliki 8 tipe produk band pilihan yaitu pan only, Multispectral 4 band, Multispectral 8 band, Bundle (pankromatik + 4 band), Bundle (pankromatik + 8 band), Natural Colour, Colour Infrared, dan Pan-sharpened (4 band). Pan Only adalah produk yang menawarkan citra hitam-putih pankromatik dengan resolusi 50 cm dan 60 cm band pankromatik. Multispectral 4 band dan 8 band hanya berbeda pada jumlah band yang disediakan, jika resolusi spasial multispectral 4 band tersedia dalam 2 dan 2,4 m, pada multispectral 8 band hanya
tersedia resolusi spasial 2 m. Bundle adalah produk image dengan gabungan 4 band dan 8 band yang ditambahi 1 band pankromatik. Natural Colour adalah produk image yang menyediakan 3 band multispectral visible yaitu Blue, Green, dan Red. Colour Infrared adalah pilihan image dengan 3 band yaitu Green, Red, dan NIR1. Pan-Sharpened adalah fusi citra 4 band multispektral dengan 1 band pankromatik, yang menghasilkan citra multispektral resolusi tinggi dengan resolusi spasial 50 cm. Citra World View-2 yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk citra pansharpened yang telah dikoreksi secara orthorectify geometrik. Gabungan 4 band multispektral (biru, hijau dan merah) dan 1 band pankromatik yang menghasilkan citra multispectral dengan resolusi spasial sangat detail yaitu 0.5 m. Koreksi radiometric menggunakan metode histogram stretching dengan menggunakan formula INPUT1-50 pada Band Near InfraRed1, INPUT2-35 pada Band Green, dan INPUT3-20 pada Band Red. Koreksi geometric menggunakan metode image to image georeferencing. Menentukan titik-titik GCP (Ground Control Point), yang perlu diperhatikan pada tahap ini adalah jumlah titik yang diambil dan RMSe (Root Mean Square error) (nilai kesalahan pencocokan titik GCP antara citra yang belum terkoreksi dengan citra yang sudah terkoreksi). Semakin bergelombang relief permukaan pada citra, semakin banyak titik GCP yang diambil, sebaliknya semakin datar relief permukaannya semakin sedikit titik GCPs yang diambil. Titik GCP yang diambil adalah sekitar 20-30 titik dengan nilai RMS Error tidak lebih dari 1 (satu). Klasifikasi Multispektral Tahap klasifikasi multispektral dimulai setelah pre-processing citra selesai dilakukan. Liputan citra yang sangat luas diperkecil berdasarkan pada daerah yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Cangkringan, spatial subset diterapkan untuk hal ini. Klasifikasi multispektral diawali dengan penentuan jenis penutup lahan apa saja yang akan menjadi Region of Interest (ROI). Klasifikasi multispektral yang digunakan pada penelitian ini didasarkan pada metode terselia, artinya analis atau pengguna terlebih dulu membuat suatu contoh (training area) agar selanjutnya computer dengan sendirinya dapat mengenali nilai piksel di tempat lain kemudian mengelompokkannya sesuai dengan training area yang telah ditentukan. Danoedoro (2012) menggarisbawahi bahwa penggunaan metode ini perlu memperhatikan system klasifikasi yang digunakan dan kriteria sampel. Sistem klasifikasi yang digunakan berkaitan dengan data yang akan dihasilkan langsung dari metode klasifikasi multispektral yaitu penutup lahan bukan penggunaan lahan, sedangkan kriteria sampel merujuk pada jumlah piksel atau jumlah training area yang harus dibuat oleh analis, yaitu berkisar sebanyak 5 hingga 10 buah. Penelitian ini memilih 8 buah klasifikasi yang dipakai untuk system klasifikasi penutup lahan yaitu sawah tadah hujan, sawah irigasi, awan, vegetasi kerapatan tinggi, vegetasi kerapatan sedang, vegetasi kerapatan rendah, lahan terbangun dan pasir. Kedelapan klasifikasi dipilih karena objek – objek tersebut dapat ditemui di daerah penelitian. Pengubahan hasil klasifikasi penutup lahan ke penggunaan lahan dilakukan dengan data bantu berupa aspek fisik daerah
penelitian yang berada di lereng gunungapi, yaitu kerucut volkan, lereng atas volkan bergelombang, lereng tengah volkan agak landai dan lereng tengah volkan landai. Data bantu tersebut menghasilkan penggunaan lahan yaitu awan panas, awan, bayangan awan, lapangan golf, hutan, kebun, pasir merapi, permukiman, sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegalan (gambar 3). Klasifikasi multispektral dilakukan pada kedua citra yang merekam sebelum dan sesudah kejadian bencana awan panas. Jumlah piksel terbanyak yang mampu diambil oleh analis adalah 140.767 piksel untuk penggunaan lahan kebun sedangkan yang paling sedikit adalah 8252 piksel (gambar 4b).
Gambar 3. Klasifikasi multispektral; bermula dari citra ALOS AVNIR-2 komposit 432 sebelum erupsi yang diklasifikasi, kemudian diberikan data bantu berupa kondisi fisik daerah penelitian hingga menjadi peta penggunaan lahan. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposit warna semu yang digunakan dalam interpretasi, menampilkan perbedaan rona dan warna dari objek - objek yang menjadi focus penelitian yaitu penggunaan lahan dan awan panas. Vegetasi sebagai penggunaan lahan yang paling dominan terlihat berwarna merah dengan rona agak gelap untuk tanaman yang tinggi sedangkan pada vegetasi yang lebih rendah seperti yang ada pada lapangan golf, berwarna merah namun dengan rona yang lebih cerah. Komposit warna semu juga memudahkan interpretasi dua material awan panas yaitu pyroclastic flow dan pyroclastic surge. Pyroclastic flow terlihat lebih cerah dengan warna abu – abu muda dan secara luasan mendominasi awan panas yang terjadi di daerah penelitian sedangkan pyroclastic surge berwarna abu – abu tua dengan rona yang lebih gelap. Kekhasan tampilan pyroclastic flow dan pyroclastic surge diakibatkan oleh material yang terdapat di dalamnya. Pyroclastic flow membawa fragmen batuan ketika meluncur (Myers dan
Brantley, 1995) sedangkan pyroclastic surge membawa udara, gas atau puing bebatuan (Hoblit, 1997). Keduanya meluncur dalam kecepatan 100-150 mil per jam dengan suhu hingga 1500°F, tenaga ini mampu menghancurkan dan menghanguskan apa saja yang dilewatinya. Dominasi material fragmen batuan pada pyroclastic flow menyebabkan sebarannya berada di tengah aliran awan panas dan sangat luas sedangkan pyroclastic surge yang didominasi oleh udara, gas dan puing bebatuan kecil cenderung berada di sisi awan panas, pyroclastic surge menjadi area transisi antara penggunaan lahan yang terdampak dan tidak terdampak awan panas. Rukmana (2011) membedakan pyroclastic surge dan pyroclastic flow menggunakan teknik interpretasi visual sedangkan penelitian ini mengklasifikasikan keduanya dalam satu kelas yaitu awan panas. Survey lapangan dilakukan untuk pengecekan kondisi penggunaan lahan existing pasca awan panas. Kondisi lapangan mencerminkan kebenaran teori pyroclastic surge dan pyroclastic flow yang memiliki karakteristik suhu tinggi, bergerak cepat dan membawa material erupsi seperti batu kecil dan pasir halus. Gambar 5c dan 5d menampilkan permukiman dan vegetasi yang gosong terbakar awan panas serta lembah sungai yang tertutup oleh bebatuandan bebatuan erupsi. Agar lebih jelas mengenai posisi pengambilan gambar tersebut secara spasial dan temporal, kami menambahkan koordinat dan waktu pengambilan gambar. Klasifikasi multispektral pada kedua citra menampilkan 8 penutup lahan yaitu sawah tadah hujan, sawah irigasi, awan, vegetasi kerapatan tinggi, vegetasi kerapatan sedang, vegetasi kerapatan rendah, lahan terbangun dan pasir. Kami memilih data bantu yang digunakan untuk menurunkan kedelapan penutup lahan tersebut menjadi peta penggunaan lahan berupa data relief daerah penelitian yaitu kerucut volkan, lereng atas volkan bergelombang, lereng tengah volkan agak landai dan lereng tengah volkan landai. Data bantu tersebut menghasilkan penggunaan lahan yaitu awan panas, awan, bayangan awan, lapangan golf, hutan, kebun, pasir merapi, permukiman, sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegalan. Hasil klasifikasi menunjukkan pada masa sebelum erupsi, penggunaan lahan yang memiliki luasan terbesar pada daerah penelitian adalah kebun dengan 11,48 km2 sedangkan yang paling kecil luasannya adalah padang golf yang hanya seluas 2,03 km2. Awan panas berhasil dideteksi menggunakan klasifikasi multispektral dengan luasan 12,03 km2. Bencana ini telah menghancurkan penggunaan lahan kebun seluas 4,44 km2 sehingga kini di Kecamatan Cangkringan hanya tersisa luasan kebun 7,04 km2 menurut hasil penelitian ini. Hasil klasifikasi multispektral pasca bencana awan panas secara spasial dapat dilihat pada gambar 5a sedangkan secara statistic pada gambar 4a.
B
12
Luas (km2)
10 8 6 4 2 0
Sebelum Erupsi
A
Sesudah Erupsi Penggunaan Lahan
Gambar 4. Perbandingan luas penggunaan lahan sebelum dan sesudah bencana awan panas
A
B
439809mT ; 9159003mU
C 440221mT ; 9155796mU
D Gambar 5. a. hasil klasifikasi multispektral pasca bencana awan panas; b. citra world view-2 sesudah bencana awan panas; c. material yang dibawa pyroclastic flow; d. rumah dan vegetasi terbakar hingga gosong akibat tingginya suhu pyroclastic surge. Gambar c dan d diambil 29 Februari 2010.
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa penginderaan jauh mampu menjadi solusi untuk melakukan monitoring baik pra maupun pasca bencana, terutama untuk melakukan peninjauan terhadap lokasi – lokasi bencana yang tidak mampu diakses secara langsung. Selain itu, penginderaan jauh juga mampu menjadi penentuan luas daerah yang terkena bencana. Kombinasi dari tipe data dan teknik yang dipraktekkan dalam penginderaan jauh akan menghasilkan solusi optimal dalam manajemen bencana. Jika penelitian ini melakukan interpretasi objek berbasis piksel dan penelitian sebelumnya melakukan interpretasi berbasis visual, maka penelitian selanjutnya dapat menggabungkan kedua teknik tersebut sehingga hasil interpretasi atau hasil klasifikasi menjadi lebih akurat, terutama dalam melakukan pembedaan objek yang rusak akibat pyroclastic flow dan pyroclasctic surge. DAFTAR PUSTAKA Cholik, Noer., [Ekspedisi Cincin Merapi]. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, (2011). Danoedoro, Projo., [Pengantar Penginderaan Jauh Digital]. Andi Publishing, Yogyakarta, (2012). Hoblitt, Miller and Scott., “Volcanic Hazards with Regard to Siting Nuclear-Power Plants in the Pacific Northwest”, USGS Open-File Report, 87-297 (1987). Myers and Brantley., “Volcano Hazards Fact Sheet: Hazardous Phenomena at Volcanoes”, USGS Open-File Report April 1995, 95-231 (1995). Rukmana, Mousafi Juniasandi., “Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Kerusakan Bangunan Akibat Awan Panas Merapi Tahun 2010 di Sebagian Daerah Cangkringan”, Tugas Akhir Program Diploma Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta (2011). Sumintadireja, Prihadi., [Catatan Kuliah Volkanologi]. ITB, Bandung, (2000). http://vulcan.wr.usgs.gov/Hazards/Publications/OFR95-231/OFR95-231.pdf http://pubs.usgs.gov/of/1987/0297/report.pdf http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/about/avnir2.htm
UCAPAN TERIMA KASIH Paper ini merupakan penelitian lanjutan dari Tugas Akhir Mousafi Juniasandi Rukmana. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Taufik Hery Purwanto, S.Si., M.Si. dari program Diploma III SIG-PJ yang telah membimbing penyelesaian Tugas Akhir Mousafi Juniasandi Rukmana. Semoga silaturahim selalu terjalin diantara kita.