Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Desain Alat Kepras Tebu dengan Tenaga Hand Traktor untuk Meningkatkan Mutu Tebu Keprasan Syafrindi, Andriani Lubis, Kiman Siregar1 Staf Pengajar Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Unsyiah Jalan Tgk. Hasan Krueng Kalee No.3 Kopelma Darussalam Banda Aceh Email :
[email protected]
ABSTRAK Tebu merupakan salah satu komoditas penting dalam agribisnis pertanian di mana lebih dari setengah produksi gula dunia berasal dari tebu. Di Propinsi Aceh tanaman tebu telah dibudidayakan oleh perkebunan swasta atau rakyat tetapi masih dalam skala kecil sebagai bahan baku pembuatan gula merah atau gula batu. Usaha untuk mencukupi kebutuhan gula nasional dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas tebu keprasan. Pengeprasan tebu merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah penebangan yang dilakukan pada posisi tepat atau lebih rendah dari permukaan guludan. Pengeprasan tersebut dapat dilakukan secara manual maupun mekanis. Alat yang digunakan dalam pengeprasan secara manual umumnya berupa cangkul atau golok, sedangkan untuk pengeprasan mekanis digunakan pisau rotari yang digerakkan oleh traktor. Budidaya tebu keprasan adalah pengusahaan tebu dengan cara memelihara tunas tunas tebu yang muncul setelah tebu dikepras.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang dan menguji kinerja prototype alat kepras tebu dengan tenaga traktor roda dua terhadap mutu tebu keprasan. pengamatan kualitas hasil keprasan dengan mengukur profil guludan hasil pemotongan dengan reliefmeter untuk mendapatkan nilai lebar dan kedalaman keprasan dan untuk mengukur persentase jumlah batang tebu yang pecah dan persentase pertumbuhan tunas dilakukan dengan metode pengamatan. Pengamatan pecah tidaknya hasil potongan dilakukan secara manual dan kamera Kata Kunci : alat kepras, hand traktor, tebu, hasil keprasan
ABSTRACT Sugarcane is one of the important commodities in the agribusiness agriculture where more than half the world's sugar production comes from sugar cane. In the Aceh province, cane crop has been cultivated by private estates or the people, but still on a small scale as a raw material for making brown sugar or sugar cubes. Efforts to meet the needs of the national sugar can be done by increasing the productivity of ratoon cane. Ratoon cane is cutting remnants of sugarcane stubble after harvesting is done in the right position or lower than the surface of the ridges. Cutting remnants of sugarcane can be done either manually or mechanically. The tools used in cutting cane can it manually is generally in the form of a hoe or machete, while for mechanical cutting is used rotary blade driven by a tractor. Ratoon cane is cultivation of sugarcane by maintaining shoots appear after sugar cane was cutting. The aim of this research was to design and test the performance of a prototype tool cutting cane with a two-wheeled tractor power for the quality of cutting sugarcane. observation by measuring the quality of the ridges profile cutting results with reliefmeter to get width and depth value cutting cane and to measure the percentage of sugarcane broke and percentage growth of shoots done by the method of observation. Observations broken pieces of bad results is done manually and the camera Keywords: cutting sugarcane tools, hand tractors, cutting sugarcane results
PENDAHULUAN Tebu merupakan salah satu komoditas penting dalam agribisnis pertanian di mana lebih dari setengah produksi gula dunia berasal dari tebu. Di Propinsi Aceh, tanaman tebu telah dibudidayakan oleh perkebunan swasta atau rakyat tetapi masih dalam skala kecil sebagai bahan baku pembuatan gula merah atau gula batu. Diperkirakan kebutuhan gula nasional baik untuk
ISBN: 978-602-7998-92-6
C-39
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
konsumsi langsung rumah tangga maupun industri akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pemenuhan kebutuhan tersebut diusahakan secara bertahap, baik dengan langkah intensifikasi peningkatan produktivitas tebu diatas 87 ton/ha dan peningkatan mutu rendemen 8.5%, yang dilaksanakan melalui rehabilitasi tanaman tebu keprasan (ratoon). Selain itu diusahakan dengan langkah-langkah ekstensifikasi dengan perluasan areal atau mempertahankan luasan yang ada dan pembangunan PG baru (Dirjenbun 2011). Djojosoewardho (1988) dalam Lisyanto (2007), mengemukakan bahwa melalui budidaya tebu keprasan kegiatan pengolahan tanah semakin berkurang, kelestarian tanah dapat dipertahankan, dan biaya produksi pada tiap satuan hasil menjadi lebih rendah. Widodo (1991) menyatakan bahwa, dengan keprasan pemakaian bibit tebu semakin hemat, tebu yang tumbuh sudah beradaptasi dengan lingkungan, dan kelestarian tanah dapat terjaga. Kegiatan pengeprasan adalah salah satu pekerjaan yang dilakukan oleh petani tebu untuk memperoleh tanaman tebu tanpa menanam dari awal, tetapi hanya dengan memotong sisa-sisa tunggul tebu yang dilakukan tepat atau lebih rendah dari permukaan tanah. Budidaya tebu keprasan adalah pengusahaan tebu dengan cara memelihara tunas-tunas tebu yang muncul setelah tebu dikepras (Lisyanto 2007). Pengeprasan tebu juga bertujuan agar tunas tanaman tebu yang tumbuh tidak mengambang di atas tanah dan tidak roboh apabila sudah tumbuh besar. Pangkal dari batang tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah (ground level) memiliki ruas batang yang semakin pendek dan meruncing dengan cepat (Gambar 1). Mata tunas yang terdapat pada pangkal batang pertama (primary stalk) tumbuh menjadi batang kedua (secondary stalk) dan mata tunas pada pangkal batang kedua berkembang menjadi batang ketiga (tertiary stalk). Pertumbuhan tersebut berlangsung secara berurutan, terus-menerus, dan memiliki posisi selang-seling sesuai dengan posisi mata tunas pada pangkal batang tebu.
Gambar 1. Urutan pertumbuhan batang tebu dari potongan tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah (Humbert 1968)
Batang tebu yang masih tersisa di bawah permukaan tanah setelah penebangan dapat tumbuh kembali sebagai tebu keprasan. Cadangan makanan untuk tunas-tunas baru dari tebu keprasan tersebut pada awalnya disuplai oleh sistem perakaran tebu sebelumya. Setelah tunas-tunas tersebut tumbuh menjadi batang tebu yang memiliki sistem perakaran sendiri, maka fungsi akar lama diambil alih oleh sistem perakaran tebu yang baru. Akar-akar lama tersebut kemudian berubah warnanya menjadi gelap (kehitam-hitaman) dan tidak efektif lagi dalam melakukan suplai makanan, sehingga akar-akar tersebut akhirnya mati dan terurai dalam tanah. Sutardjo (1996) mengatakan Ada dua bentuk pengeprasan (Gambar 2) yaitu keprasan bentuk U atau V yang dilakukan pada tanah yang mengandung pasir dan bentuk W yang dilakukan pada tanah-tanah berat yang mudah pecah pada musim kemarau. Pengeprasan dilakukan pada kedalaman 5-10 cm dari permukaan juring.
ISBN: 978-602-7998-92-6
C-40
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
(a) Bentuk U/ V
(b) Bentuk W
Gambar 2. Bentuk Profil Pengeprasan (dimodifikasi dari Sutardjo 1996). Saat ini pekerjaan kepras tebu masih ada dilakukan secara manual dengan peralatan cangkul atau sabit. Selain kapasitasnya yang rendah, kedalaman kepras juga tidak seragam. Oleh karena areal tanaman tebu di Indonesia yang dikepras cukup luas maka diperlukan suatu alat yang dapat menggantikan sabit atau cangkul untuk membantu pekerjaan para petani tebu dalam melakukan pengeprasan tanaman tebu, sebab apabila pengeprasan dilakukan hanya menggunakan sabit atau cangkul saja akan memerlukan waktu yang cukup lama, tenaga yang cukup besar, dan hasil keprasan kurang baik dan seragam. Pemanfaatan alsintan diharapkan dapat mengatasi masalah kelangkaan tenaga kerja serta meningkatkan kualitas (keseragaman) dan kapasitas keprasan. Budianto (2001) dalam Lisyanto (2007) mengemukakan bahwa penggunaan alsintan dalam agribisnis dapat berperan untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan kenyamanan kerja, menurunkan susut panen, menurunkan biaya produksi, dan meningkatkan kualitas produk Salah satu cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi petani tebu adalah membuat suatu alat/mesin pengepras tebu dengan tenaga traktor roda dua untuk meningkatkan mutu tebu keprasan. Penelitian ini bertujuan : 1. Mendesain suatu prototipe alat kepras tunggul tebu tipe rotari dengan traktor roda dua. 2. Menganalisis sudut kemiringan pemotongan mata pisau terhadap kualitas pengeprasan. METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – Agustus 2015. Perancangan alat kepras tebu dilakukan di Laboratorium Perbengkelan Program Studi Teknik Pertanian Unsyiah dan pengujiannya dilakukan di kebun tebu masyarakat Banda Aceh. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam pembuatan kontruksi prototipe alat kepras tebu adalah : besi UNP 80 mm x 50 mm tebal 5 mm, besi plat tebal 8 mm, besi as diameter 40 mm, mur dan baut, flens bearing, plat baja. Belting, pully. Untuk pembuatannya digunakan peralatan perbengkelan. Instrumen untuk mengukur adalah: tachometer digital, stop watch, meteran dan patok-patok kayu. Analisis Rancangan Untuk memenuhi fungsinya maka alat pengepras dirancang untuk dapat memotong tunggul tebu dan dirakit dengan traktor tangan. Selain mengepras, alat ini juga harus dapat memotong perakaran tunggul tebu di kiri-kanan barisan tanaman tebu. Pemotongan tunggul dirancang menggunakan pisau pemotong tipe rotary yang dipasang di depan mesin traktor tangan dan dapat diatur sudut pemotongannya. Adapun untuk pemotongan akar dirancang menggunakan piringan bercoak yang dipasang vertikal yang dipasang dibelakang traktor. Seluruh komponen dianalisis untuk mendapatkan bentuk dan ukuran yang optimum. Metode Pengujian Uji kinerja alat kepras tebu dilakukan di Perkebunan masyarakat. Pada saat uji kinerja beberapa variasi sudut kemiringan pisau yang dilakukan yaitu sudut 10o,20o, dan 30o.
ISBN: 978-602-7998-92-6
C-41
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Pengukuran jumlah persentase tunggul yang utuh, tunggul yang pecah dan tunggul terbongkar dilakukan secara manual dan kamera. Pengamatan pertumbuhan dengan menghitung jumlah tunas yang tumbuh, setelah 1 minggu pengeprasan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Rancangan Alat pengepras terdiri dari 2 bagian yaitu unit pisau pengepras dan unit pisau coulter. Pisau pengepras rotary (Gambar 3) terdiri dari plat piringan berdiameter 35 cm dengan ketebalan 7 mm yang berfungsi sebagai dudukan 8 buah mata pisau. Mata pisau terbuat dari baja yang telah perkeras dengan ukuran 15 x 5 cm dengan ketebalan 5 mm. Proses pengikatan mata pisau pada piringan pisau dengan menggunakan baut pengikat. Unit pisau dipasang pada bagian depan traktor dan untuk menyalurkan dan mengubah arah putaran dari mesin ke unit pisau dengan menggunakan belting, pully dan gearbox. Posisi kemiringan pisau dapat diatur dari sudut potong 10o, 20odan 30 o.
Gambar 3. Unit Pisau Pengepras Unit coulter terdiri dari rangka utama, penyangga coulter dan pisau coulter yang berfungsi untuk memotong perakaran tunggul tebu yang tua dan membelah kedua sisi guludan (Gambar 4). Unit coulter dipasang pada bagian belakang traktor yang juga berfungsi sebagai penyeimbang beban berat bagian depan. Lebar pembelahan sisi guludan ditentukan berdasarkan profil guludan yang ada di lahan. Lebar pembelahan guludan dapat diatur dengan mengendurkan penjepit dan menggeser penyangga coulter. Coulter terbuat dari baja dengan diameter 40 cm dan bagian kelilingnya bercoak yang dipasang vertikal pada kedua sisi rangka.
Gambar 4. Unit Coulter Jumlah Tunggul Terpotong yang Utuh (%) Hasil dari pengujian yang dilakukan diperoleh tunggul yang terpotong utuh tertinggi pada perlakuan sudut pemotongan 30o sebesar 68,89% dan yang terendah pada perlakuan sudut
ISBN: 978-602-7998-92-6
C-42
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 pemotongan 10o sebesar 55,56%. Jika dilihat secara umum dari grafik, perlakuan dengan sudut pemotongan pisau 10o sampai dengan 30o meningkat linear terhadap hasil tunggul tebu yang utuh.
Gambar 5. Tunggul yang Terpotong Utuh
Jumlah Tunggul yang Terpotong Pecah (%)
Gambar 6. Tunggul yang Terpotong Pecah Hasil dari pengujian yang dilakukan diperoleh tunggul yang terpotong pecah tertinggi pada perlakuan sudut pemotongan 10o sebesar 40,00% dan yang terendah pada perlakuan sudut pemotongan 30o sebesar 22,22%. Jika dilihat secara umum dari grafik, perlakuan dengan sudut pemotongan pisau 10o sampai dengan 30o menurun linear terhadap hasil tunggul tebu yang utuh. Besarnya persentase tunggul yang pecah pada sudut 10o karena posisi mata pisau yang lebih mendatar sehingga ketika pemotongan terjadi sistem menebas (imfact) dimana batang tebu memiliki kulit diluar yang keras, sedangkan bagian dalam lunak sehingga peluang pecahnya tungul tebu waktu pemotongan semakin besar. Jumlah Tunggul Terbongkar (%)
Gambar 7. Grafik Tunggul Yang Terbongkar
ISBN: 978-602-7998-92-6
C-43
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Hasil dari pengujian yang dilakukan diperoleh tunggul yang terpotong pecah tertinggi pada perlakuan sudut pemotongan 20o dan 30o sebesar 8,89% dan yang terendah pada perlakuan sudut pemotongan 10o sebesar 4,44%. Jika dilihat pada grafik, perlakuan dengan sudut pemotongan pisau 20o dengan sudut 30o memiliki niai yang sama. Pada sudut pemotongan 20o dan sudut 30o, posisi mata pisau lebih tegak dibanding sudut 10o sehingga peluang terbongkarnya tunggul semakin besar ketika traktor memotong sambil berjalan. Jumlah Pertunasan (%) Gambar 8 menunjukkan pertumbuhan tunas 1 minggu setelah kepras (msk). Dari hasil pengamatan pertumbuhan tunas, pada minggu pertama setelah pengeprasan persentase pertunasan tertinggi pada perlakuan sudut pemotongan 10o sebesar 62,22% dan terendah pada perlakuan sudut 20o sebesar 37,78%. Tingginya persentase pertunasan dari perlakuan sudut 10o ini berbanding terbalik dengan tingginya persentase tunggul yang pecah yang dihasilkan pada perlakuan 10 o. Berdasarkan literatur bahwa mutu tunas yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh proses pengeprasan yang baik yaitu sedikit pecah. Adapun faktor luar yang menyebabkan tidak terjadinya atau terhambatnya pertunasan diantaranya lingkungan yang tidak mendukung seperti kurang air dan serangan hama seperti rayap.
Gambar 8. Persentase Pertumbuahan Tunas Dari hasil Grafik tinggi rata-rata tunas pada minggu pertama setelah pengeprasan tertinggi pada perlakuan sudut pemotongan 10 o sebesar 33,89 cm dan terendah pada perlakuan sudut 30 o sebesar 26,89 cm. Tinggi rata-rata tunas dari perlakuan sudut 10 o ini sesuai dengan banyaknya jumlah tunas yang tumbuh pada perlakuan sudut pemotongan 10 o.
Gambar 9. Tinggi Tunas
ISBN: 978-602-7998-92-6
C-44
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil dari pengujian yang dilakukan diperoleh tunggul yang terpotong utuh tertinggi pada perlakuan sudut pemotongan 30o sebesar 68,89% dan yang terendah pada perlakuan sudut pemotongan 10o sebesar 55,56%. 2. Hasil dari pengujian yang dilakukan diperoleh tunggul yang terpotong pecah tertinggi pada perlakuan sudut pemotongan 10o sebesar 40,00% dan yang terendah pada perlakuan sudut pemotongan 30o sebesar 22,22%. 3. Persentase pertunasan tertinggi setelah seminggu pengeprasan pada perlakuan sudut pemotongan 10o sebesar 62,22% dan terendah pada perlakuan sudut 20o sebesar 37,78%. Saran Melakukan pengeprasan dengan sudut 30o dan memperbanyak mata pisau pada unit pisau untuk meningkatkan persentase tunggul yang utuh.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Kebutuhan Gula Nasional Mencapai 5.7 juta ton tahun 2014. http:www. dirjenbun.deptan.go.id/sekretariat/index.php. [12 April 2011]. Humbert RP. 1968. The Growing of Sugar Cane. Amsterdam: Elsevier Publishing Company. Koswara, E. 1989. Pengaruh kedalaman kepras terhadap pertunasan tebu. Prosiding Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering, Pasuruan, 23-25 November 1989. P3GI. hlm 332-344. Lisyanto. 2007. Evaluasi Parameter Desain Bajak Piring yang Diputar Untuk Pengeprasan Tebu Lahan Kering [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian Sutardjo, E. 1996. Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara,Jakarta. Widodo, 1991. Pengusahaan TRI di Wilayah Kerja PG Tasik Madu PTP XV-XVI, Laporan Surakarta.
ISBN: 978-602-7998-92-6
C-45