350
Derogasi dan Eufemisasi pada Film Crash Agwin Degaf, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstrak Tulisan ini mengkaji penggunaan strategi derogasi dan strategi eufemisasi yang digunakan oleh para tokoh pada film Crash. Secara etiomologis, derogasi berarti merendahkan, tidak menghormati, mencela, meremehkan orang lain, dan melihat mereka sebagai pihak yang inferior (Anne, 1999). Oleh karena itu, derogasi memiliki fungsi yang sama sebagai disfemisme. Sedangkan eufemisme berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti bagus dan phemeoo yang berarti berbicara. Jadi, eufemisme berarti berbicara dengan menggunakan perkataan yang baik atau halus, yang memberikan kesan baik. Eufemisasi dikenal sebagai presentasi diripositif (positive-self presentation), kebalikannya derogasi adalah presentasi negatif terhadap pihak lain (negative other-presentation). Derogasi adalah strategi polarisasi antara ‘yang termasuk’ dalam kelompok dan ‘yang tidak termasuk’. Data pada tulisan ini adalah tuturan yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam film Crash. Secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai derogasi dan eufemisasi sehingga penggunaan segala sesuatu, khususnya bahasa yang bersifat diskriminatif bisa tereduksi. Kata Kunci: Derogasi, eufemisasi, film Crash.
1. Pendahuluan Tulisan ini berfokus terhadap struktur mikro yaitu struktur internal teks yang dapat diamati dari bagian kecil suatu teks. Menurut van Dijk (dalam Rosidi, 2007: 10), struktur mikro menunjuk pada makna setempat (local meaning) suatu wacana dengan menyelidiki dan menganalisis kata, kalimat, proposisi, dan frase. Penggunaan kata, kalimat, proposisi, dan frase dianggap oleh van Dijk sebagai elemen dari strategi penutur atau penulis untuk mencapai tujuan mereka. Strategi ini dipandang tidak hanya sebagai cara untuk menyampaikan informasi tetapi juga sebagai teknik dari pencipta teks untuk mempengaruhi dan mengendalikan pikiran pembaca atau pendengar, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi dan kekuasaan, serta menyingkirkan lawan atau penentang (Eriyanto, 2009: 227). Hal ini menunjukkan jika van Dijk menganggap bahwa struktur mikro merupakan posisi yang signifikan dan menentukan dalam analisis wacana karena tidak hanya mengamati makna global (struktur makro) tetapi juga membahas elemen-elemen kecil linguistik seperti kata-kata, frase, dan kalimat yang tentunya dibutuhkan upaya keras untuk mengidentifikasi strategi diskursif dengan melihat dari struktur internal teks. Strategi diskursif sendiri adalah cara bagaimana wacana dibangun dan bagaimana hal itu mempengaruhi penerima teks, termasuk untuk memarginalkan kaum minoritas dan mempertahankan kekuatan mayoritas melalui struktur teks. Richardson (2007: 47) mendukung pernyataan di atas dan berpendapat bahwa analisis terhadap kata-kata tertentu yang digunakan oleh media merupakan tahapan awal dalam menganalisis teks atau wacana. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kata dapat menyampaikan makna yang kuat karena dapat mempengaruhi orang-orang untuk percaya dan mengontrol pikiran pembaca atau pendengar tentang suatu peristiwa di mana kata tersebut sering mewakili kekuatan atau legitimasi dari pencipta teks. Selain itu, ketika terdapat pilihan terhadap leksikalisasi, memilih suatu kata daripada kata lainnya seringkali memiliki alasan kontekstual, seperti pendapat dari seseorang terhadap individu atau kelompok lainnya (Dijk, 2009: 40). Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis memutuskan untuk memilih film berjudul Crash sebagai sumber data untuk menganalisis tuturan-tuturan dari beberapa karakter dalam film tersebut. Film Crash ini merupakan sebuah film drama Amerika Serikat buatan tahun 2004 yang menceritakan adanya konflik multikultural antara etnis Afro-Amerika, Persia, Kaukasia,
351
Latin dan Asia. Film ini mengambil setting sebuah kota di Amerika yang penduduknya sangat kompleks. Film ini menyinggung masalah rasial yang memang sangat rawan terjadi di Amerika Serikat sebagai negara yang multi ras. Hal yang sifatnya kompleks tentunya menyimpan banyak perbedaan di dalamnya. Mulai dari masalah fisik seperti warna kulit yang sifatnya konkret hingga kebudayaan yang sifatnya lebih abstrak. Struktur mikro dalam tulisan ini difokuskan pada leksikalisasi yang ditandai dengan adanya derogasi dan eufemisasi sebagai sebuah strategi diskursif. Memahami derogasi dan eufemisasi melalui strategi diskursif membuat seseorang menjadi lebih kritis dalam menafsirkan isi sebuah teks dan pemahaman terhadap wacana publik. Seringkali secara tidak sadar, terdapat beberapa aplikasi eufemisasi dan derogasi yang menjadi manipulasi ideologis terhadap suatu teks. Derogasi dan eufemisasi terkait erat dengan strategi diskursif mengenai penggambaran ‘kita’ dan ‘mereka’. Dijk (2004: 221) mengatakan bahwa derogasi dan eufemisasi merupakan sarana media untuk mempenetrasikan ideologi mengenai siapa yang diberi label positif dan siapa yang diberi label negatif. Pelabelan positif (positive self-presentation) tersebut merupakan bagian dari kelompok (kita), sedangkan yang di representasikan sebagai negatif (negative otherpresentation) adalah pihak diluar kelompok (mereka). Contoh strategi eufemisasi dan derogasi sebagai penggambaran ‘kita’ dan ‘mereka’ yang terdapat dalam Crash dapat dilihat dalam potongan adegan berikut: Ria: maybe you see over steering wheel, you blake too! (Ria: mungkin kalau kau menyetir dan melihatnya, kau juga akan mengerem!) Officer: maam! (Petugas: Bu!) Kim Lee: I call immigration on you. Look what you do my car. (Kim Lee: Aku akan menelepon kantor imigrasi. Lihat yang kau perbuat pada mobilku.) Ria: Officer, can you please write in your report how shocked I am to be hit by an Asian driver! (Ria: Pak Polisi bisakah kamu menuliskan laporan betapa kagetnya aku ditabrak oleh pengemudi Asia!) Officer: Maam!-Ma’am,… (Petugas: Bu!-Bu,…) Ria: no, see detective… (Ria: Tidak, dengar detektif…) Officer: all right, You’ve got to calm down (Petugas: Baiklah, anda harus tenang) Ujaran yang dipilih pertama adalah maybe you see over steering wheel, you blake too! yang dituturkan oleh Ria, seorang wanita Meksiko. Ketika mengucapkan tuturan tersebut, Ria memberikan penekanan dengan intonasi yang berbeda pada kata see. Hal ini mengindikasikan jika Ria ingin mengatakan secara implisit jika wanita Asia yang menuduhnya sebagai penyebab kecelakaan tersebut sebenarnya tidak melihat dan mengerem mendadak (blake) sehingga sebenarnya dialah penyebab kecelakaan tersebut. Penggunaan intonasi yang berbeda pada kata tersebut menunjukkan bahwa Ria melakukan pelecehan rasialis, dimana secara implisit dia menganggap wanita Asia tersebut tidak bisa melihat, tentu saja karena wanita Asia tersebut bermata sipit. Selain itu, kata blake juga bisa ditafsirkan sebagai sebuah ledekan mengingat kebanyakan orang Asia yang berbicara bahasa inggris, mengalami kesulitan ketika mengucapkan huruf ‘r’, sehingga bisa dianggap jika Ria mempelesetkan kata ‘brake’ (rem) dengan kata ‘blake’ untuk meledek lawan tuturnya. Tuturan selanjutnya adalah call immigration yang dituturkan oleh wanita Asia menunjukkan adanya penghinaan dimana penutur secara tidak langsung menganggap Ria yang memiliki ras hispanik bukan bagian dari mereka sehingga seolah-olah penutur menginginkan mitra tuturnya di deportasi. Disini, penutur menyebutkan pihak yang berwenang untuk mendukung kasusnya, yaitu pihak imigrasi. Kalimat berikutnya yang bisa dianalisis adalah Officer, can you please write in your report how shocked I am to be hit by an Asian driver! yang
352
dituturkan oleh Ria. Tuturan tersebut menunjukkan penghinaan, yang kali ini dilakukan oleh Ria. Penggunaan kata Asian driver, menunjukkan bahwa yang patut disalahkan dalam kejadian tersebut adalah wanita Asia. Penutur menggunakan diksi Asian driver karena wanita Asia tersebut terlihat berbeda dari kebanyakan orang, seorang wanita yang memilik masalah dengan karakteristik Asia-nya, termasuk juga aksen dalam berbahasa Inggris dan juga penampilannya. Ria menggunakan kata Asia karena dia berpikir bahwa penting untuk menyebutkan etnis karena di AS terdapat banya etnis dan satu dengan yang lainnya adalah berbeda. Dia mengatakan Asian driver untuk menunjukkan bahwa dia tidak suka pernyataan dari wanita Asia tersebut yang menyalahkan dirinya. Tuturan tersebut menggambarkan bahwa Asia memiliki karakter negatif dalam pandangannya. Seharusnya, Ria cukup menggunakan kata ganti “dia” untuk menyebut wanita tersebut tanpa harus menyebutkan latar belakang etnis. Contoh diatas cukup memperkuat teori dari van Dijk (2004) yang menyatakan bahwa derogasi dilakukan karena mitra tutur tidak termasuk dalam kelompok. Selain kedua etnis di atas, film ini juga menunjukkan konflik antar-etnis lainnya yang tentunya menarik untuk diteliti lebih lanjut terkait dengan penggunaan strategi derogasi dan eufemisasi. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengetahui bagaimana strategi diskursif yang digunakan oleh para tokoh untuk meyakinkan, mempengaruhi, dan mengontrol pikiran pendengar atau penonton dari sebuah film yang merupakan salah satu bentuk media. Sebagai contoh umum, kelompok minoritas di Barat, selalu dipandang identik dengan kejahatan, obatobatan terlarang, dan tindakan kriminal. Sehingga jika kita melihat film dimana digambarkan penjahatnya adalah orang kulit hitam atau orang dari etnis Cina yang terlibat mafia obat terlarang, kita semua menerima itu sebagai suatu kewajaran. Disini menggambarkan bagaimana media bekerja, yang membuat kita tidak sadar untuk mempertanyakan penggambaran semacam itu. 2. Metode Penelitian Tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis wacana. Bogdan dan Biklen (1986) menyatakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia dan sulit untuk mengukur data secara kuantitatif karena data yang diperoleh dalam bentuk kata-kata, ucapan, atau percakapan. Dalam tulisan ini, penulis menyelidiki tuturan-tuturan yang dihasilkan oleh karakter mulai dari awal sampai akhir film secara berurutan, yang menunjukkan adanya derogasi dan eufemisasi. 3. Strategi Derogasi pada Crash Secara etimologis, derogasi berarti merendahkan, tidak menghormati, mencela, meremehkan orang lain, dan melihat mereka sebagai pihak yang inferior. Sebagai sebuah strategi diskursif, penggunaan derogasi juga diikuti dengan kehadiran beberapa langkah diskursif tertentu yang tujuannya untuk melanggengkan hegemoni dari penutur terhadap mitra tuturnya dan atau melakukan counter diskursus antara pihak yang didominasi dengan pihak yang mendominasi. Dalam kaitannya dengan derogasi dan eufemisasi, kerangka kerja Van Dijk terdiri dari dua strategi diskursif utama yaitu ‘positive self-presentation' (strategi dalam kelompok yang favorit) dan ‘negative other-presentation' (strategi derogasi kelompok lainnya) yang diwujudkan melalui beberapa langkah diskursif (2004: 51-85). Dari hasil analisis data, dapat diketahui beberapa langkah diskursif yang digunakan oleh penutur antara lain adalah: strategi deskripsi aktor, strategi pengajuan konsensus, strategi pengajuan empati, strategi proses pembuktian, strategi humanitarianisme, strategi implikasi, strategi pengajuan ungkapan normatif, strategi permainan angka, dan disklaimer (pengajuan sangkalan). Langkah diskursif deskripsi aktor menjadi langkah diskursif yang paling sering digunakan oleh para tokoh pada film Crash untuk melakukan diskriminasi, pelecehan, dominasi, dan melanggengkan kekuasaan, sedangkan langkah diskursif berupa disclaimer (pengajuan sangkalan) menjadi langkah diskursif yang paling sedikit digunakan.
353
Secara detail, langkah-langkah diskursif tersebut terpapar dalam tabel 1, beserta masing-masing contoh penggunaannya. Tabel 1 No. 1.
Strategi Deskripsi aktor
2.
Implikasi
3.
Pengajuan konsensus
4.
Pengajuan ungkapan normatif
5.
Humanitarianisme
6.
Pengajuan empati
7.
Proses pembuktian
Contoh Percakapan Konteks: Seorang wanita Asia sedang berdebat dengan seorang wanita Meksiko. Kim Lee: Stop in middle of street! Mexicans no know how to drive. (berhenti di tengah jalan! Orang Meksiko tidak tahu bagaimana cara berkendara) Konteks: Seorang wanita Meksiko sedang berdebat dengan wanita Asia. Ria: Maybe you see over steering wheel, you blake too! (Mungkin kalau kau menyetir dan melihatnya, kau juga akan mengerem!) Konteks: Jean, seorang kaukasia sedan berbicara dengan suaminya mengenai tukang kunci mereka yang seorang hispanik. Jean: Yes. The guy with the shaved head, the pants around his ass, the prison tattoo. (Ya. Orang gundul itu, yang pakai celana panjang melorot, tato tahanan) Konteks: Ryan, seorang polisi kaukasia sedang menginterogasi Cameron, seorang afro-amerika dan istrinya. Ryan: my partner and I just witnessed your wife performing fellatio on you while you operating a motor vehicle (Aku dan rekanku melihat istrimu sedang mengoralmu saat kau sedang mengemudi) Konteks: Christine sedang berdebat dengan Cameron Christine: do you have any idea how that felt? To have that pig’s hands all over me? And you just stood there! And you apologized to him? (Kau tahu bagaimana rasanya tadi? Diraba oleh babi itu? Dan kau Cuma berdiri saja! Lalu meminta maaf padanya?) Konteks: Graham menjelaskan kepada pacarnya Ria bahwa dia tidak bermaksud menyinggung perasaannya. Graham: Oh, shit! Come on. I would've said you were Mexican, but I don't think it would've pissed her off as much. (Oh, sial! Ayolah. Aku bisa saja bilang kau orang Meksiko, tapi kurasa ibuku tak akan marah) Konteks: Ryan sedang berbicara kepada seorang wanita kulit hitam mengenai ayahnya Ryan: He struggled his whole life. Saved enough to start his own company. Twenty-three employees, all of them black. Paid 'em equal wages when no one else was doing that. (Dia terus berjuang seumur hidupnya. Menabung untuk membuka usahanya sendiri. Dua puluh tiga karyawan kesemuanya kulit hitam. Membayar mereka setara dengan orang lain sementara tak ada orang lain yang melakukannya)
354
8.
Permainan angka
9.
Disklaimer (pengajuan sangkalan)
Konteks: Jake sedang berbicara dengan Graham, seorang detektif afro-amerika. Jake: I mean, I know all the sociological reasons why per capita eight times more black men are incarcerated than white man. (maksudku, aku tahu alasan sosiologis mengapa per kapita jumlah orang kulit hitam yang dipenjara 8 kali lebih banyak daripada kulit putih) Konteks: Jake sedang berbicara dengan Graham, seorang detektif afro-amerika. Jake: All that stuff!! But still, it’s gotta get to you, on a gut level as a black man, they just can’t keep their hands out of the cookie jar. Of course, you and I know that’s not the truth. But that’s the way it always plays, doesn’t it? (Semua hal itu!! Tapi tetap saja, kau dianggap demikian, sebagai orang kulit hitam, mereka hanya tidak bisa menjauhkan tangan mereka dari stoples kue. Tentu saja, kita tahu itu tidak benar. Tapi itu adalah kenyataan kan?)
4. Strategi Eufemisasi pada Crash Secara etimologi, eufemisme berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti bagus dan phemeoo yang berarti berbicara. Jadi, eufemisme berarti berbicara dengan menggunakan perkataan yang baik atau halus, yang memberikan kesan baik. Data-data tersebut selanjutnya akan dijelaskan dan diinterpretasikan berdasarkan analisis wacana model Teun A. van Dijk yang mana berdasarkan pendapat van Dijk (2004: 51-85), eufemisasi dikenal sebagai representasi diri-positif (positive-self representation). Ini adalah strategi untuk mendeskripsikan pencipta teks sebagai pihak yang berlabel positif. Kecenderungan ini merupakan bagian dari strategi interaksional dan kognisi sosial untuk menghindari kesan negatif dari penerima teks. Jadi, penggunaan strategi eufemisasi disini bertujuan untuk ‘mengatur’ kesan pada lawan bicara atau penerima teks. Sebagai sebuah strategi diskursif, penggunaan eufemisasi juga diikuti dengan kehadiran beberapa langkah diskursif tertentu yang tujuannya untuk melanggengkan hegemoni dari penutur terhadap mitra tuturnya dan atau melakukan counter diskursus antara pihak yang didominasi dengan pihak yang mendominasi. Dari hasil analisis data, dapat diketahui beberapa langkah diskursif yang digunakan oleh penutur antara lain adalah: strategi deskripsi aktor, strategi pengajuan argumentasi otoritatif, strategi pengajuan konsensus, strategi pemuliaan diri, strategi polarisasi, dan strategi pengajuan ilustrasi. Langkah diskursif deskripsi aktor menjadi langkah diskursif yang paling sering digunakan oleh para tokoh pada film Crash, sedangkan langkah diskursif berupa polarisasi menjadi langkah diskursif yang paling sedikit digunakan. Secara detail, langkah-langkah diskursif tersebut terpapar dalam tabel berikut ini beserta masing-masing contoh penggunaannya: Tabel 2 No. Strategi Contoh Percakapan 1. Deskripsi aktor Konteks: Graham, seorang detektif afro-amerika sedang menyelidiki kasus penembakan yang dilakukan oleh seorang polisi. Graham: This Barry Gibb dude is a cop? (Si Barry Gibb ini adalah polisi?) 2. Pengajuan argumentasi Konteks: Ria berbicara dengan seorang polisi karena dia tidak otoritatif terima dituduh sebagai penyebab kecelakaan oleh seorang wanita Asia.
355
3.
Pengajuan konsensus
4.
Pemuliaan diri
5.
Polarisasi
6.
Pengajuan ilustrasi
Ria: Officer, can you please write in your report how shocked I am to be hit by an Asian driver! (Pak Polisi, bisakah kau menuliskan laporan betapa kagetnya aku ditabrak pengemudi Asia) Konteks: Peter meletakkan patung di dashboard mobil untuk keberuntungan, namun Anthony tidak menyukai hal tersebut. Anthony: No, no, no! Take that voodoo-assed thing off of there right now. (Tidak, tidak, tidak! Singkirkan mainan Voodoo itu sekarang) Konteks: pemilik toko senapan menjelaskan berbagai jenis amunisi yang ada di tokonya. The owner: We got a lot of kinds. We got long colts, short colts, bull heads, flat nose, hollowpoints, wide cutters, and a dozen more that'll fit any size hole. Just depends upon how much bang you can handle. (Ada banyak jenis. Peluru panjang, peluru pendek, ujunganya tajam, ujungnya rata, peluru hampa, peluru pemotong, dan ada banyak lagi yang cocok. Tergantung berapa tembakan yang bisa kau tahan) Konteks: Christine berusaha membela suaminya yang dituduh sedang mengemudi dalam keadaan mabuk. Christine: He doesn't drink. He's a Buddhist, for Christ's sake. (dia tidak minum. Dia penganut Budha, demi Kristus) Konteks: Anthony menjelaskan kepada Peter alasan mengapa dia tidak mau naik bis. Anthony: One reason only, to humiliate the people of color who are reduced to ridin' on 'em. (Cuma satu alasan, untuk mempermalukan orang kulit berwarna yang menaikinya)
5. Penutup Berdasarkan pemaparan hasil analisis terhadap permasalahan dalam tulisan ini, diperoleh sejumlah simpulan mengenai penggunaan strategi derogasi dan eufemisasi pada film Crash. Pertama, strategi derogasi digunakan oleh para tokoh dalam film Crash melalui berbagai macam langkah diskursif. Dari hasil analisis data, dapat diketahui beberapa langkah diskursif yang digunakan oleh penutur antara lain adalah: strategi deskripsi aktor, strategi pengajuan konsensus, strategi pengajuan empati, strategi proses pembuktian, strategi humanitarianisme, strategi implikasi, strategi pengajuan ungkapan normatif, strategi permainan angka, dan disklaimer (pengajuan sangkalan). Langkah-langkah diskursif tersebut diwujudkan melalui penggunaan leksikon tertentu dan hal ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Kedua, dari pembahasan mengenai bagaimana strategi eufemisasi digunakan oleh para tokoh dalam film Crash, dapat diketahui pula bahwa penggunaan kata-kata eufemistis sebagai sebuah strategi diskursif tentunya diikuti dengan kehadiran beberapa langkah diskursif tertentu. Eufemisasi sendiri adalah strategi untuk mendeskripsikan pencipta teks sebagai pihak yang berlabel positif. Jadi, penggunaan strategi eufemisasi disini bertujuan untuk ‘mengatur’ kesan pada lawan bicara atau penerima teks. Dari hasil analisis data, dapat diketahui beberapa langkah diskursif yang digunakan oleh penutur antara lain adalah: strategi deskripsi aktor, strategi pengajuan argumentasi otoritatif, strategi pengajuan konsensus, strategi pemuliaan diri, strategi polarisasi, dan strategi pengajuan ilustrasi. Beberapa contoh yang ditemukan dalam data menunjukkan jika strategi derogasi dan eufemisasi merupakan sarana bagi penutur untuk mempenetrasikan
356
ideologi mengenai siapa yang diberi label positif dan siapa yang diberi label negatif, yang mana, pelabelan positif (positive self-representation) tersebut merupakan bagian dari kelompok (kita), sedangkan yang di representasikan sebagai negatif (negative other-representation) adalah pihak di luar kelompok (mereka). Pustaka Acuan: Bogdan, Robert C. dan Sari Knopp Biklen. 1988. Qualitative Research in Education. USA: Allyn & Bacon. Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Richardson, John E. 2007. Analyzing Newspaper: An Approach from Critical Discourse Analysis. New York: Palgrave Macmillan. Rosidi, Sakban. 2007. Analisis Wacana Kritis sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana (Critical Discourse Analysis as Variance of Paradigm of Inquiry on Discourse). Malang: UIN Malang. van Dijk, Teun A. 2004. Ideology and Discourse: A Multidisciplinary Introduction. Barcelona: Pompeu Fabra University. van Dijk, Teun A. 2009. Critical Discourse Analysis. Diakses dari www.discourses.org/OldArticles/Critical%20discourse%20analysis.pdf. (Tanggal akses: 20 Juni 2014).
357
Gaya Bahasa Sindiran Politik dalam Lagu Slank Album Jurus Tandur No.18 (Tinjauan Linguistik Kognitif) Sri Rahayu, Magister Ilmu Lingusitik Universitas Diponegoro Semarang
Abstrak Kiasan kata yang mengandung kritik, celaan, ejekan yang ditujukan kepada seseorang secara tidak langsung disebut majas atau gaya bahasa sindiran. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan majas sindiran yang terdapat dalam lagu-lagu Slank yang bertemakan politik. Penelitian ini menggunakan pendekatan linguistik kognitif yang bertujuan mempelajari pemetaan majas sindiran dalam lirik lagu, sekaligus menemukan kritik politik yang diungkapkan Slank. Sumber data yang digunakan adalah lagu Slank dari album Jurus Tandur No 18. Data dipilih secara purposive, yaitu dipilih judul lagu yang menggunakan sindiran dan berisi tentang kritik politik. Pemerolehan data menggunakan teknik library research sedangkan data dianalisis menggunakan metode analisis satuan lingual. Dalam album Jurus Tandur No. 18 terdapat 17 lagu, namun yang dianalisis hanya lima lagu yang mengandung tema kritik politik dengan ungkapan sindiran yang kuat. Majas sindiran yang ditemukan adalah majas ironi atau sindiran halus, majas sinisme atau sindiran tajam, dan majas sarkasme atau sindiran kasar. Kata kunci: kritik politik, linguistik kognitif, majas sindiran
1. Pendahuluan Tak banyak group band di Indonesia yang mengambil tema politik dalam penciptaan karya musik mereka. Hanya group band yang bergenre rock n roll saja yang berani mengusung tema politik, misalnya band Slank yang selalu mengkritik situasi politik di Indonesia pada setiap albumnya. Banyak lagu-lagu Slank yang menarik dianalisis karena ketajaman kritik politiknya terdapat dalam album Jurus Tandur No. 18. Album ini adalah album musik karya Slank kedelapan belas, dirilis tahun 2010 yang berisikan 17 buah lagu. Kritik politik yang disampaikan Slank melalui album Jurus Tandur no. 18 ini dikemas dengan sindiran kata yang tajam, bahkan kadang-kadang kasar. Kiasan kata yang mengandung kritik, celaan, ejekan yang ditujukan kepada seseorang secara tidak langsung disebut majas atau gaya bahasa sindiran. Gaya bahasa sindiran dibagi menjadi tiga jenis, yakni Ironi yang menggunakan sindiran halus, Sinisme yang menggunakan sindiran tajam, dan Sarkasme yang menggunakan pilihan kata kasar (Setyana, 1999). Berbicara tentang gaya bahasa akan dekat sekali kaitannya dengan Linguistik Kognitif (LK). Teori LK memberikan pemahaman mengenai kebudayaan dan cara memandang dunia, khususnya melalui kajian gaya bahasa. Dalam LK semantik dipandang sama krusialnya dengan tatabahasa sehingga dalam mengkaji aspek linguistik kedua hal tersebut hakikatnya tidak terpisahkan (Wijaya, 2011:44). Pendekatan LK dipilih karena keterkaitan di antara gugusan makna perluasan suatu struktur simbolis yang terdapat dalam lirik lagu Slank dengan makna prototipikalnya. Keterkaitan LK nampak pada majas Ironi atau sindiran halus yang terdapat dalam lagu Slank berjudul Merdeka “Kenapa juga harus dikasusin kalau bisa di 86in”. Slank menggunakan struktur simbol 86 yang dirasa sindiran lebih halus untuk mengungkapkan uang sogok. Lirik tersebut untuk menggambarkan rasa kecewa terhadap pemerintah yang suka menggunakan cara 86 atau uang sogok dalam urusan penegakan hukum. Majas Sinisme atau sindiran tajam terdapat dalam lirik lagu berjudul ‘May Day’ atau Bulan Mei yang dikenal dengan hari buruh internasional. Pada lirik “Bosan kami jadi pengangguran” Slank memprotes dengan bahasa yang tajam kepada pemerintah yang belum menuntaskan masalah kesejahteraan hidup di Indonesia. Misalnya pilihan kata “Peduli setan yang lain..” dalam lagu berjudul
358
Merdeka mengandung majas Sarkasme untuk mengungkapkan makian pada keadaan sosialpolitik di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan gaya bahasa sindiran lagu Slank dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah bentuk gaya bahasa sindiran yang terdapat dalam album Slank berjudul Jurus Tandur No. 18 bertemakan kritik politik berdasarkan teori linguistik kognitif ? Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk gaya bahasa sindiran yang terdapat dalam lagu Slank bertemakan kritik politik melalui pendekatan LK. Manfaat penelitian ini untuk memperkaya ilmu linguistik, khususnya ilmu yang berkaitan dengan linguistik kognitif. 2. Landasan Teori (a) Majas Sindiran Gaya bahasa atau majas merupakan sebuah teknik khusus dengan cara menggunakan bahasa figuratif artinya bahasa yang digunakan secara ekspresif. Majas banyak digunakan dalam karya sastra misalnya prosa, puisi dan drama. Namun terkadang majas digunakan dalam kehidupan sehari - hari di mana majas bertujuan untuk menekankan suatu hal tertentu. Majas dibagi menjadi empat jenis, yakni Majas Perumpamaan, Majas Pertentangan, Majas Penegasan atau Perulangan, dan Majas Sindiran (Setyana, 1999). Pengertian dari majas sindiran adalah kiasan kata yang mengandung kritik, celaan, ejekan yang ditujukan kepada seseorang secara tidak langsung. Majas sindiran dibagi menjadi tiga yang dijelaskan sebagai berikut. Majas Ironi Adalah sebuah majas yang mengatakan sebaliknya dari kenyataan yang sebenarnya dan bertujuan untuk menyindir dengan cara halus. Contoh: “Wah, pagi sekali kamu bangun bahkan matahari pun sudah naik di atas kepala.” Majas Sinisme Merupakan majas sindiran dengan menggunakan kata-kata yang tajam, lebih kasar daripada ironi. Contoh: “Kupatahkan saja tanganmu kalau berulangkali mengambil barang milik orang lain.” Majas Sarkasme Adalah majas sindiran yang sangat kasar yang berisi makian dan terdengar menyakitkan. Contoh: “Dasar monyet, keluar dari tempat ini!” (b) Linguistik Kognitif Linguistik kognitif (LK) merupakan kajian bahasa dan manah (mind), yang memusatkan perhatian pada semantik kognitif dan tata bahasa dari perspektif kognitif. Teori LK memberikan pemahaman mengenai kebudayaan dan cara memandang dunia (world view), khususnya melalui kajian sistem metafora. Linguistik kognitif juga menjelaskan koneksi antara bahasa dan berpikir (reasoning). Berpikir adalah proses imajinatif berdasar manipulasi mental dari model-model kognitif yang imagistik serta skema-skema mengenai ruang, daya, perspektif, tindak sosial, demikian juga logika mekanistik dari postulat verbal, proposisi formal, dan silogisme (Lakkof dalam Ariwibowo, 2011: 5). Dalam arti ini, berpikir tidak seluruhnya melalui bahasa, namun dilakukan melalui kerangka linguistik. Cara pandang LK yang melihat dunia terdiri dari model kognitif dan skema, maka bahasa dan cara memandang dunia saling mempengaruhi melalui proses berpikir. Namun demikian berpikir melalui bahasa dalam hubungan sosial bisa ditunjukkan berdasarkan konsepkonsep non-imagistik, rumusan linguistik atau skema proposisi. 3.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan deskriptif kualitatif . Artinya, peneliti memberikan hasil analisis data mengenai gaya bahasa sindiran dalam lagu Slank bertemakan politik. Pemerolehan data menggunakan teknik library research yang mengandalkan arsip dan dokumentasi
359
kepustakaan tentang lirik lagu Slank. Data tulis diperoleh dari album Slank berjudul Jurus Tandur No. 18 yang dirilis tahun 2010. Dalam album tersebut berisikan 17 buah lagu. Namun, dari 17 lagu tersebut hanya 5 lagu yang dianalisis berdasarkan kekuatan kritik politik yang tertuang melalui pilihan kata sindiran, yakni “May Day”, “Merdeka”, “OmDong”, “Jurus Tandur”, dan “Bobrokisasi-Borokisme”. Dari hasil seleksi lagu kemudian kemudian dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu majas ironi, majas sinisme, dan majas sarkasme. Selanjutnya adalah teknik menganalisis data menggunakan metode analisis satuan lingual. Artinya menentukan aspek-aspek satuan lingual dengan menganalisis gaya bahasa sindiran lagu Slank dengan menggunakan teori LK (Sudaryanto, 1993: 145). 4. Pembahasan Analisis majas sindiran lagu Slank diawali dengan mendaftar semua lirik lagu yang mengandung kritik politik dari 17 lagu dalam album Jurus Tandur No.18. Kemudian lirik tersebut dianalisis berdasarkan pilihan kata yang mengungkapkan majas ironi, majas sinisme, dan majas sarkasme. Analisis lebih lanjut tentang lirik lagu Slank akan dijelaskan sebagai berikut. 4.1 Majas Sindiran dalam Lagu May Day Hari Buruh Nasional diperingati setiap tanggal 1 Mei atau yang lebih dikenal dengan May Day. Pada hari itu demonstrasi besar-besaran akan terjadi di setiap titik ibukota provinsi di Indonesia, misalnya Jakarta, Surabaya, Semarang, dll. Para buruh dari berbagai organisasi kemasyarakatan yang memayungi akan tumpah ruah di setiap jalan depan gedung DPRD provinsi dan gedung gubernur. Hanya satu yang dituntun oleh para buruh tersebut, yakni jaminan hidup yang layak dari pemerintah. Slank dalam album Jurus Tandur No. 18 mengungapkan ekspresi apatis (tidak peduli) dan kekesalan para buruh terhadap pemerintah dalam sebuah lagu berjudul “May Day”. Lagu tersebut berisi kritik terhadap sistem politik di Indonesia yang lebih mementingkan urusan para pemilik modal atau pengusaha daripada kesejahteraan rakyatnya. Misalnya dalam larik berikut. Mau ada seratus kali pemilu di sini Mau ada seribu ada calon-calon presiden Mau ada sejuta penguasa berganti Masa bodoh masa bodoh Masa bloon masa bloon Masa stupid Aku gak peduli (Slank-May Day) Ekspresi apatis para buruh terhadap sistem politik di Indonesia ditunjukkan dalam larik “Mau ada seratus kali pemilu.. seribu calon-calon presiden.. sejuta penguasa berganti.. masa bodoh.. masa bloon.. aku gak peduli”. Sikap apatis tersebut muncul dari kebijakan pemerintah yang sering menguntungkan pengusaha dengan UMR buruh yang sangat rendah. Slank mengungkapkan ekspresi para buruh tersebut dengan gaya bahasa sindiran Sinisme, yakni sindiran dengan menggunakan kata-kata yang tajam. Hal ini nampak pada ungkapan berikut. Masa bodoh Masa bloon Masa stupid Aku gak peduli Beri kami pekerjaan Bosan kami jadi pengangguran Beri kami kami kenaikan Bosan kami selalu pas-pasan (Slank-May Day)
360
Majas sinisme yang nampak pada larik tersebut tercermin dalam “masa bodoh.. masa bloon.. masa stupid..aku gak peduli”. Pilihan kata tersebut dirasa sangat tajam untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak mampu menyejahterakan rakyatnya. Selain dirasa tajam, pilihan kata tersebut juga mengandung nada kemarahan dan kekecewaan. Lirik lainnya yang juga mengandung sinisme adalah “beri kami pekerjaan.. bosan kami jadi pengangguran.. beri kami kami kenaikan.. bosan kami selalu pas-pasan”. Ungkapan tajam dalam lirik lagu tersebut juga mengandung kesan kesal dan jenuh menunggu janji-janji pemerintah untuk menaikkan UMR yang layak bagi buruh. 4.2 Majas Sindiran dalam Lagu Merdeka Kata merdeka dalam KBBI online berarti bebas dari hambatan, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat/leluasa kepada orang atau pihak tertentu. Dapat dikatakan bahwa orang yang bebas merdeka adalah orang yang dapat berkehendak sesuka hatinya. Hal ini lah yang menjadi inti kritikan Slank terhadap birokrasi dalam lagunya yang berjudul Merdeka. Sistem politik uang, mark up dana pembangunan, kongkalikong hukum, tradisi komisi dan suap pejabat adalah wajah pemerintahan Indonesia yang diungkapkan oleh Slank. Bahkan hal-hal tak terpuji tersebut dilakukan secara berjamaah/bersama-sama dalam sebuah institusi dan menjadi rahasia umum. Hal ini tampak pada lirik lagu berikut. Kenapa juga pilih yang susah kalau ada yang minta disuapin Kenapa pula pusing cari bisnis kalau banyak yang dapat komisi Kenapa mesti murah kalau bisa di mark-upin Kenapa ditenderin kalau bisa di kongkalingkongin Kenapa juga harus dikasusin kalau bisa di 86in Kenapa pula terang-terangan kalau bisa dikasak kusukin Merdeka.. yang penting lancar Merdeka.. tenang ada si markus yang bakal beresin (Slank-Merdeka) Tampak dengan jelas ekspresi kekesalan Slank dalam lirik lagu tersebut. Oknum yang melakukan praktik suap, komisi, mark up dan kongkalikong hukum dapat merasa aman dan tenang karena negeri ini juga menyediakan makelar kasus. Kritik tersebut bermakna bahwa sudah menjadi rahasia umum jika sistem di negeri ini bisa diatur asalkan banyak uang, dalam istilah Jawa adalah “wani piro?”. Analisis majas sindiran yang digunakan Slank dalam lagu Merdeka tersebut adalah ironi dan sarkasme. Majas ironi merupakan sindiran dengan menggunakan bahasa halus yang tampak pada ungkapan berikut. Kenapa juga harus dikasusin kalau bisa di 86in Kenapa pula terang-terangan kalau bisa dikasak kusukin Slank menggunakan struktur simbol 86 yang dirasa sindiran lebih halus untuk mengungkapkan uang sogok. Lirik tersebut untuk menggambarkan rasa kecewa terhadap pemerintah yang suka menggunakan cara 86 atau uang sogok dalam urusan penegakan hukum. Sindiran ironi dalam lirik “kenapa pula terang-terangan kalau bisa dikasak kusukin” adalah representasi dari pengalihan isu politik yang sering dilakukan pemerintah. Misalnya jika pemerintah akan mengurangi subsidi BBM -yang berarti harga BBM akan naik- maka pemerintah akan mengalihkan isu dengan membuat kasus teror bom atau perburuan teroris agar masyarakat terlena dengan inti masalah kenaikan harga BBM. Majas Sarkasme, yakni sindiran dengan bahasa kasar yang menyakitkan hati juga terdapat dalam lagu berjudul Merdeka. Misalnya pilihan kata “Peduli setan yang lain..” untuk mengungkapkan makian pada keadaan politik di Indonesia. Pilihan kata “peduli setan” digunakan Slank untuk menggambarkan bahwa sekalipun setan dari neraka datang, para pejabat tetap merasa tenang dan aman atas semua tindakan tidak terpuji yang dilakukannya.
361
4.3 Majas Sindiran dalam Lagu “Bobrokisasi Borokisme” Imbuhan asing -isme dan –isasi berasal dari bahasa Belanda yang membentuk kata benda memiliki makna “aliran atau paham” dan “proses”. Misalnya kata komunisme berarti aliran komunis, sedangkan urbanisasi berarti proses perpindahan penduduk dari desa ke kota. Merujuk dari makna kedua imbuhan asing tersebut Slank mencoba membuat anekdot dari kata bobrok dan borok. Kata bobrok dipelesetkan menjadi ‘bobrokisasi’ yang bermakna proses menjadi bejat atau rusak sama sekali, kata bobrok sering dikaitkan dengan akhlak. Sehingga kata ‘bobrokisasi’ bermakna orang yang berproses menjadi bejat atau rusak akhlaknya. Sedangkan dalam KBBI online borok artinya luka yang sudah membusuk. Slank membuat anekdot dari kata ‘borokisme’ yang berarti aliran yang busuk dan menyesatkan. Kedua anekdot tersebut tertuang dalam lagu Slank yang berjudul Bobrokisasi-Borokisme (BB). Kritik yang disampaikan Slank dalam lagu tersebut tentang birokrasi di Indonesia yang dipenuhi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjadikannya rusak parah (bobrok) dan penuh akal busuk (borok) dengan. Hal ini tertuang dalam lirik lagu berikut. Minta disuap doyan disogok Senang disuapin sambil disogrok-sogrok Bobrokisasi borokisme Bobrokisasi borokisme ……….. Dibagi rata semuanya diam Rame-rame kita korupsi berjamaah Bobrokisasi borokisme Bobrokisasi borokisme (Slank-BB) Slank mengktitik tingkah bobrok para pejabat yang gemar menyuap seperti pada lirik “Minta disuap doyan disogok.. Senang disuapin sambil disogrok-sogrok”. Dalam lirik tersebut mengandung makna ‘geregetan’ masyarakat terhadap pejabat di birokrasi. Kata ‘doyan disogok’ merupakan majas sinisme untuk menyindir para pejabat yang suka menyuap untuk melancarkan segala urusannnya. Kritik yang tajam juga terdapat dalam lirik “dibagi rata semuanya diam.. rame-rame kita korupsi berjamaah”. Fenomena korupsi berjamaah merupakan sebuah tradisi dalam instansi pemerintah. Misalkan ada tender pembangunan fasilitas publik, pasti dana yang dikorupsi akan dibagi rata dari pimpinan hingga pesuruh di sebuah instansi yang bersangkutan. Dari penggalan lirik ‘rame-rame kita korupsi berjamaah’ merupakan majas sinisme yang mengungkapkan adanya aksi pembagian hasil korupsi yang dilakukan bersama-sama (berjamaah). 4.5 Majas Sindiran dalam Lagu “OmDong” Akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret yang diperlakukan sebagai kata. Jenis akronim yang bukan nama diri berupa gabungan huruf, suku kata, atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang keseluruhannya ditulis menggunakan huruf kecil. Misalnya pemilu (pemilihan umum), angkot (angkotan kota), nobar (nonton bareng), dll. Slank dalam lagunya berjudul OmDong membuat anekdot dari akronim ‘omong doang’ artinya orang yang suka membual atau senang berjanji tapi tidak pernah ditepati. Pilihan kata ‘omdong’ merupakan bentuk sindiran halus untuk para pembual, tentu saja yang dimaksud oleh Slank di sini adalah para politisi. Hal tersebut ditunjukkan Slank melalui lirik lagu berikut. Belajar berdemokrasi, pancasila, pancasila Iya lah, masa iya dong Sama si om lah, masa si om dong (Slank-OD)
362
Para politisi yang selalu mengobral janji untuk kesejahteraan rakyat pra pemilu, namun mendadak terkena amnesia atau sakit hilang ingatan ketika telah terpilih dikritik secara tajam oleh Slank. Kata “belajar berdemokrasi pancasila.. sama si om lah, masa si om dong”, para politisi digambangkan Slank sebagai orang yang perlu mempelajari konsep-konsep demokrasi pancasila sebelum mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Tentu saja jika belajar pancasila dengan sungguh-sungguh mereka tidak akan membiarkan rakyat menderita secara terusmenerus. Hak pendidikan, mapan sandang-pangan, dan negara yang aman akan direalisasikan oleh politisi karena semua itu adalah mandat demokrasi pancasila. Potret para politisi juga diungkapkan Slank dengan tindakan anarkisme yang suka menggunakan kekerasan untuk mengatasi pendemonstrasi. Makna demokrasi yang artinya bebas berpendapat lagaknya tidak dipahami oleh para politisi di negeri ini. Hal ini diungkapkan Slank dengan nada kesal dan marah dalam lirik lagu berikut. Ketinggalan jaman yang masih sok jagoan lagi Kampungan yang masih doyan adu fisik lagi Maen lempar-lemparan (maen lempar-lemparan) Maen pukul-pukulan (maen pukul-pukulan) Doyan hancur-hancuran (doyan hancur-hancuran) Doyan berantakan (Slank-OD) Menggunakan majas sinisme atau sindiran dnegan bahasa yang tajam, Slank mengungkapkan rasa kesalnya terhadap politisi yang suka bertindak kasar. Hal ini nampak pada lirik “ketinggalan jaman yang masih sok jagoan lagi..kampungan yang masih doyan adu fisik lagi”. Politisi yang menggunakan cara anarkis untuk mengatasi para pengunjuk rasa disindir sebagai sosok yang ketinggalan jaman dan kampungan. Maksudnya adalah orang yang tak tahu adab dan tak memiliki rasa saying terhadap sesama. Kata “maen lempar..maen pukul.. doyan hancur..doyan berantakan” merupakan sinisme dari semua tindakan anarkis para politisi. Hal serupa juga diungkapkan Slank dalam lirik berikut. Udah gak jaman pake fitnah-fitnahan lagi Udah gak musim maen ancam-ancaman lagi Jangan galak-galak, jangan mencak-mencak Dikit-dikit ribut, dikit-dikit kalut (Slank-OD) Sinisme sangat terlihat dalam kata “jangan galak-galak.. jangan mencak-mencak.. dikit-dikit rebut”. Slank mencoba mencari solusi dari kata tajam tindakan politisi, jangan menggunakan cara kasar, gunakanlah musyawarah bersama dalam mengatasi masalah. Kata “udah gak jaman pake fitnah..gak musim maen ancam” merupakan sinisme Slank terdahap tindakan politisi yang suka memfitnah atau melemparkan kesalahannya pada orang lain, sekalipun ia adalah teman satu partai. Slank mengaca pada kasus korupsi Anggelina Sondak tahun 2010, sekalipun korupsi itu dilakukan secara berjamaah di Partai Demokrat, namun saat penangkapan tak ada satupun anggota Demokrat yang simpati dan membela Anggie. Tentu mereka takut kalau-kalau KPK menuduh mereka saling kongkalikong yang berujung pada penangkapan para politisi Demokrat. 4.4 Majas Sindiran dalam Lagu Jurus Tandur Selain ‘omdong’, Slank juga menggunakan akronim untuk lagu berjudul Jurus Tandur yang berarti maju terus pantang mundur. Lagu ini berupa kritik perlawanan terhadap orangorang yang gemar manipulasi hukum dan bentuk pembelaan atas tegaknya keadilan di negeri ini. Hal tersebut tampak pada lirik berikut. Walau banyak yang coba jegal kita Kita selalu tegak
363
Walau orang coba gagalkan kita Kita pasti bertahan (jurus tandur) Maju terus pantang mundur Jalan yang lurus tak bernah kabur Maju terus pantang mundur Demi keadilan (Slank-JT) Secara tajam atau sinisme Slank mengajak seluruh rakyat Indonesia memberantas tindak manipulasi hukum dan menegakkan keadilan hukum. Meskipun Slank juga mengungkap aka nada banyak sekali halangan, orang yang akan menjegal, orang yang akan menggagalkan, namun Slank tetap bertahan demi tegaknya keadilan. Hal tersebut terdapat dalam lirik “Walau banyak yang coba jegal kita..Kita selalu tegak..Walau orang coba gagalkan kita…Kita pasti bertahan”. Melalui lagu Jurus Tandur ini Slank mencoba mengingatkan penegak hukum agar menjunjung tinggi keadilan. Kritikan tajam terhadap beberapa kasus pelanggaran HAM yang masih terbengkalai hingga saat ini, sebut saja kematian aktivis HAM Munir yang belum jelas ujung pangkalnya, penembakan mahasiswa pada tragedi Semanggi 1998 juga menemui jalan buntu. Hal ini direpresentasikan melalui lirik berikut. Putih itu adalah putih Jangan hitam bilang jadi Abu-abu Sindiran sinisme Slank dalam lirik tersebut jelas bahwa mengakulah jika telah terbukti bersalah, jangan berkelit dan membuat ‘hitam jadi abu-abu’ artinya mark up kasus. Menyalahkan orang lain juga merupakan representasi dari lirik “jangan hitam bilang jadi abuabu”. 5. Simpulan Majas sindiran dapat menunjukkan kiasan kata yang mengandung kritik, celaan, ejekan yang ditujukan kepada seseorang secara tidak langsung. Majas sindiran dibagi menjadi tiga, yakni majas ironi, majas sinisme dan sarkasme. Melalui pendekatan LK, majas sindiran dapat merepresentasikan kebudayaan dan cara memandang dunia, khususnya cara mengkritik sesuatu menggunakan pilihan kata yang cerdas. Penerapan LK dapat digunakan untuk menganalisis gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra, lirik lagu atau teks pidato kenegaraan. Gaya bahasa tersebut diulas dengan rinci berdasarkan maksud dan tujuan si pencetus/pencipta. Dalam album Slank berjudul Jurus Tandur No.18 terdapat lima lagu yang kaya akan kritik politik yang disampaikan dalam pilihan kata sindiran yang cerdas. Majas sindiran yang ditemukan adalah majas ironi atau sindiran halus, majas sinisme atau sindiran tajam, dan majas sarkasme atau sindiran kasar. Kemasan lima lagu tersebut yakni, “May Day”, “Merdeka”, “OmDong”, “Jurus Tandur”, dan “BobrokisasiBorokisme”. Dafar Pustaka Ariwibowo, Luita. 2011. Pemertahanan Bahasa: Perspektif Linguistik Kognitif. Seminar International Language Maintenance and Shift July 2, 2011. Ibrahim, Abdul Syukur. 1987. Model Linguistik Dewasa Ini. Surabaya: Usaha Nasional. Setyana, dkk. 1999. Buku Pintar Bahasa dan Sastra Indonesia. Semarang: Aneka Ilmu. Sudaryanto.1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Jogjakarta: Duta Wacana Press. Team Bahasa Ganesha Operation. Revolusi Belajar KODING Bahasa Indonesia IX SMP. Bandung: Ganesha Operation. Wijaya R, Gede Primahadi. 2011. Polisemi pada Leksem HEAD Tinjauan Linguistik Kognitif. (Tesis) Denpasar: Program Magister Linguistik Universitas Udayana.
364
Falsafah Bahasa Sebagai Wasilah Pembentukan Jati Diri Pelajar Dr. Hj. Mohd Rashid Bin Hj. Md Idris & Norrafidah Binti Abd Rahman, Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Perak, malaysia
Abstrak Makalah ini adalah berkenaan kepentingan pembentukan jati diri pelajar berdasarkan falsafah bahasa. Sejarah telah membuktikan, bahawa bahasa telah mula memainkan peranan penting untuk membina konsep diri dan untuk menuntut ilmu. Dalam pertumbuhan dan perkembangan tamadun manusia, bahasa menjadi salah satu unsur penting sebagai mengungkap pemikiran masyarakat, pengungkap falsafah, ilmu dan sebagai alat kreativiti insan dalam pelbagai bidang kehidupan. Pemikir-pemikir Islam yang ulung seperti al-Ghazali dan al-Farabi, misalnya, dan juga pemikir-pemikir besar dalam tradisi Barat seperti Humboldt, Descartesm Wittgenstein dan Chomksy meletakkan bahasa sebagai juzuk penting dalam kehidupan insan. Dalam konteks pembentukan insan, bahasa harus ditempatkan secara sewajarnya dalam ranah-ranah utama kehidupan insan. Kajian ini menggunakan Teori Falsafah Bahasa yang dipelopori oleh Mohd Rashid Md Idris sejak tahun 2007 dan telah dibentangkan di dalam negara dan luar negara. Tunjang kepada teori ini ialah Prinsip Kesempurnaan Berbahasa iaitu berbahasa mengikut nahu yang betul agar maksud yang hendak disampaikan tercapai, berbahasa untuk menyampaikan maklumat atau fakta yang betul dan benar (hakiki) dan berbahasa untuk tujuan beribadah atau mentauhidkan Allah. Objektif kajian ini adalah untuk menganalisis kepentingan falsafah bahasa dalam pembentukan jati diri pelajar sekolah rendah. Kajian ini turut mengenal pasti cara-cara sesuai untuk membentuk dan meningkatkan jati diri dalam kalangan pelajar sekolah rendah. Justeru, makalah ini berhasrat memperlihatkan hakikat kemampuan bahasa sebagai wasilah pembentukan jati diri dalam kalangan pelajar sekolah rendah yang merupakan generasi yang dipertanggungjawab dalam usaha merealisasikan pembinaan sebuah negara bangsa yang unggul menjelang 2020. Kata kunci: Falsafah bahasa, falsafah pendidikan bahasa, jati diri
1. Pengenalan Pembentukan akhlak dan tingkah laku remaja yang baik akan menyumbang ke arah pembangunan negara yang rancak dan maju. Seseorang yang berpendidikan yang baik dan berilmu mampu memberi khidmat yang baik untuk masyarakat dan negara. Pembentukan akhlak yang mulia juga akan mengurangkan masalah seperti rasuah dan penyalahgunaan kuasa dalam masyarakat. Tokoh Islam, Imam al-Ghazali menyatakan kuat dan jayanya sesuatu umat adalah kerana akhlaknya, apabila akhlaknya rosak maka binasalah umat itu. Tujuan memperbaiki akhlak adalah untuk membersihkan hati menjadi jernih bagaikan cermin yang dapat menerima cahaya Allah. Bagi membina keupayaan masa depan sesebuah negara, remajanya yang menjadi aset penting mestilah mampu bersaing merebut peluang disediakan oleh pihak kerajaan. Tanpa ilmu dan kemahiran yang tinggi remaja tidak akan berjaya membangunkan bidang-bidang tertentu. Pendidikan akal budi dan pembangunan jasmani, emosi, rohani dan intelek yang seimbang juga dapat merubah tingkah laku remaja ke arah kesempurnaan. Bahasa adalah unsur yang menyebarkan ilmu pengetahuan dan memartabatkan manusia lebih tinggi daripada haiwan. Bahasa juga adalah pancaran akal atau fikiran. Oleh itu, bahasa mempunyai pertalian yang erat dengan fikiran. Bahasalah yang memungkinkan sesuatu pencapaian dalam kebudayaan dapat diwariskan daripada satu generasi kepada satu generasi, baik melalui pendidikan atau persuratan. Sebagai alat perhubungan yang berkesan, bahasa sebenarnya adalah suatu sistem (Awang Sariyan, 1984). Bahasa dan budaya merupakan asas kekuatan rohaniah dan jasmaniah sesuatu bangsa dan sesebuah tamadun. Dalam konteks negara
365
Malaysia, bahasa Melayu adalah jiwa kepada bangsa yang kini berkembang menjadi kekuatan dan kesatuan bangsa Malaysia. Bahasa Melayu adalah bahasa kebangsaan, bahasa rasmi dan bahasa bagi bangsa Malaysia. Dengan lain perkataan, bahasa Melayu adalah bahasa negara Malaysia. A. Aziz (2000) dalam membincangkan perkara ini menyatakan pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu bukan lagi setakat alat komunikasi semata-mata tetapi harus seiring dengan meluasnya penggunaan bahasa itu dalam pelbagai arena ilmu, baik yang berasaskan sains dan teknologi mahupun yang berteraskan manusia dan kemanusiaan. Bahasa Melayu boleh menjadi bahasa ilmu pengetahuan, media, falsafah, kesusasteraan dan saluran fikiran bangsa sehingga menjadi sebahagian penting daripada bahasa dan persuratan dunia. Awang Sariyan (2010), dipetik daripada salah sebuah kertas kerja penulis menyatakan untuk melaksanakan pendidikan bahasa sebagai wasilah pembentukan dan pengukuhan jati diri bangsa dan juga sebagai tonggak pembinaan negara, diperlukan asas yang jelas dan utuh. Asasnya ialah falsafah pendidikan bahasa yang wajar dan sesuai dengan lingkungan bangsa dan negara. Kajian ini akan membincangkan aplikasi falsafah pendidikan bahasa melalui aktiviti di dalam dan di luar bilik darjah melibatkan murid sekolah rendah dalam konteks fungsi bahasa sebagai wasilah pembinaan jati diri murid. 2. Definisi Konsep i) Konsep Falsafah Bahasa Falsafah bahasa merupakan bidang yang menyelidiki kebenaran dalam bahasa atau kajian bahasa (linguistik) yang melibatkan dua bidang kajian, itu bidang falsafah dan bidang kajian bahasa. Menurut Rizal Mustansyir (1987) dalam Asep Ahmad Hidayat, falsafah bahasa merupakan suatu penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang digunakan dalam falsafah sehingga dapat dibezakan penyataan falsafah yang mengandungi makna. Ahmad Mahmood Musanif pula menyatakan bahawa falsafah ialah bidang yang menyelidiki kebenaran dalam bahasa atau kajian bahasa (linguistik). Mohd Rashid Md Idris dan Abu Hassan Abdul (2010), falsafah bahasa umumnya meneliti hubungan antara bahasa dengan ilmu pengetahuan manusia, proses berfikir, pandangan dunia dan realiti kewujudan manusia dalam erti kata nilai bahasa sebagai pembawa makna. Beliau melihat bahasa secara menyeluruh melalui penglahirannya serta hubungan yang wujud melaluinya termasuk perkaitan dengan konsep ketauhidan yang terkandung dalam Islam. Dalam konteks pendidikan, falsafah bahasa menjadi intipati kepada falsafah pendidikan bahasa yang telah dibentuk selaras dengan Falsafah Pendidikan Kebangsaan (FPK). Manakala, FPK merupakan teras kepada semua aktiviti pendidikan di Malaysia termasuk juga dalam pengajaran bahasa. ii)
Konsep Falsafah Pendidikan Bahasa Falsafah pendidikan bahasa merupakan hasil gabungan daripada dua konsep yang dinyatakan di atas iaitu falsafah bahasa dan Falsafah Pendidikan Kebangsaan (FPK). Hal ini kerana kesemua sistem pendidikan haruslah berpandukan kepada Falsafah Pendidikan Kebangsaan. Menurut Awang Sariyan (2010), falsafah pendidikan bahasa itu mestilah selari dengan FPK; pertama, dari segi upaya pengembangan berterusan potensi individu secara seimbang dan harmonis daripada segi intelek, rohani, emosi dan jasmani; kedua daripada segi sumbangan bahasa terhadap pembangunan masyarakat dan negara. Dengan itu, gagasan falsafah pendidikan bahasa yang dibentuk sememangnya memperlihatkan pertaliannya dengan FPK. Mohd Rashid Md Idris (2010), juga telah mengemukakan pandangannya berkaitan falsafah pendidikan bahasa. Menurut beliau, Falsafah Pendidikan Kebangsaan (FPK) menjadi acuan dalam falsafah pendidikan bahasa pada semua peringkat. Hal ini bermakna pendidikan bahasa mesti mengikut hasrat FPK dari segi matlamat mengembangkan potensi individu yang seimbang. Ini bermaksud, semua aktiviti pendidikan di Malaysia mestilah selari dengan FPK dalam melahirkan insan yang seimbang dari segi jasmani, emosi, rohani dan intelek (JERI). Tambah beliau, konsep JERI boleh disepadukan dengan Prinsip Kesempurnaan Berbahasa yang menjadi asas dapatan kepada Teori Falsafah Bahasa untuk mencapai kesempurnaan berbahasa
366
dalam pendidikan bahasa Melayu. Gabungan ketiga-tiga prinsip dalam Prinsip Kesempurnaan Berbahasa iaitu, berbahasa mengikut nahu yang betul, berbahasa untuk menyampaikan maklumat yang benar, dan berbahasa untuk tujuan ibadah dengan aspek JERI akan membentuk falsafah pendidikan bahasa yang sempurna dan menyeluruh. Tuntasnya, perbincangan tentang konsep-konsep umum seperti falsafah bahasa dan falsafah pendidikan bahasa dapat membantu menjelaskan perkaitan Falsafah Pendidikan Bahasa sebagai wasilah pembentukan jati diri pelajar. iii)
Konsep Jati Diri Menurut Kamus Dewan Edisi Keempat (2010), jati diri merujuk sifat atau ciri yang unik dan istimewa (daripada segi adat, bahasa, budaya, agama dan sebagainya) yang menjadi teras dan lambang keperibadian seseorang individu, sesuatu bangsa dan sebagainya. Contohnya, orang Melayu dengan bahasa Melayu. Jati diri merupakan unsur-unsur kehidupan yang mencerminkan lahiriah individu atau masyarakat. Pengertian lain, jati diri adalah merujuk kepada identiti individu, masyarakat dan negara bangsa yang mempunyai sifat-sifat keutuhan yang dibanggakan. Dari segi kepentingan, jati diri perlu bagi menikmati kehidupan yang bahagia, mencapai kejayaan yang lebih bermakna, menghindari diri dari sifat negatif sebagai perisai utama untuk mengekalkan kemerdekaan sesebuah negara dari semua aspek khasnya penjajahan minda. Minda yang tertawan atau terjajah tidak akan menghormati bahasa dan budayanya sendiri sebaliknya terkesima dengan bahasa yang baru. Dalam senario hari ini, kekaguman terhadap budaya Barat akan menyebabkan penjajahan minda. Jati diri mempengaruhi perkembangan politik, ekonomi dan sosial. Tanpa jati diri yang kukuh akan lahir pemimpin masyarakat dan negara yang tidak mempunyai rasa cinta kepada negara, kurang sensitiviti bangsa, budaya bahkan agama. Akhirnya melahirkan pemimpin yang korup moral, tiada integriti dan tidak berketrampilan. Oleh itu, sudah pasti pemimpin tidak boleh mengurus negara dengan bijak. Hal ini sudah tentu memberi kesan kepada kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat. Tuntasnya, isu jati diri bukan perkara enteng dan ini menjelaskan peranan bahasa sebagai wasilah jati diri. Dalam konteks falsafah bahasa di sekolah, guru-guru amat berperanan dalam menanam minat murid terhadap bahasa Melayu melalui aktiviti-aktiviti yang bukan sahaja meningkatkan kebahasan pelajar tetapi fungsional bahasa itu sendiri sebagai alat berfikir. Rakyat Malaysia dibenarkan mempunyai jati diri mengikut cita rasa masing-masing. Sejak merdeka kita masih lagi mencari jati diri sebenar rakyat Malaysia yang seharusnya dimiliki secara sepunya. Jika tidak ada nilai sepunya maka akan tercetus pertelingkahan dan perselisihan faham antara masyarakat. Selain itu, fenomena sosial seperti keruntuhan sosial, kemerosotan ekonomi, kewujudan amalan politik yang kurang sihat, maruah, martabat negara akan tergadai. Tanpa jati diri mudah berlaku penjajahan minda dan akhirnya menggugat kedaulatan negara. Secara tuntasnya, untuk mencapai keharmornian dan kemakmuran negara serta masyarakat secara keseluruhannya, maka setiap individu perlu memiliki jati diri agar setiap individu dapat hidup dalam suasana yang harmoni dan memupuk perpaduan melalui semangat kerjasama, berbakti, bertoleransi, kekitaan dan hormat-menghormati. Jati diri merupakan unsur yang perlu dipupuk dan dikembangkan dalam diri masyarakat. Persoalannya, bagaimanakah jati diri dapat dibangunkan dalam kalangan pelajar, masyarakat dan negara? Bahasa Melayu mempunyai lambang, iaitu sebagai bahasa kebangsaan, bahasa rasmi, bahasa ilmu dan bahasa pemersatu. Hasrat ini terungkap dalam dasar bahasa dengan merujuk pada Perkara 152 Perlembagaan Persekutuan Tanah Melayu. Melalui perkara ini, bahasa Melayu telah dipilih sebagai lambang jati diri warganegara Malaysia. Hal ini sangat diperlukan kerana setiap negara mempunyai bahasanya sendiri. Contohnya, negara Jepun dengan bahasa Jepunnya, negara Jerman dengan bahasa Jermannya dan negara Perancis dengan bahasa Perancisnya. Oleh hal demikian, bahasa Melayu memainkan peranan sebagai lambang negara Malaysia di persada dunia. Dengan hal demikian, bahasa Melayu berperanan sebagai perakuan
367
kejatidirian bangsa Malaysia demi memenuhi maksud kemajuan mengikut acuan sendiri, seperti yang digariskan dalam Wawasan 2020. Oleh itu, melalui falsafah pendidikan bahasa Melayu peranan bahasa sebagai lambang jati diri amat jelas. Falsafah bahasa mengemukakan terdapat tiga prinsip asas yang menjurus kepada pembentukan jati diri pelajar. Terdapat tiga prinsip asas dalam Teori Falsafah Bahasa (Mohd Rashid Md Idris, 2012) iaitu: Berbahasa mengikut nahu yang betul. Berbahasa untuk menyampaikan maklumat yang benar. Berbahasa untuk tujuan ibadah. Prinsip asas dalam Teori Falsafah Bahasa ini sangat berkait rapat dengan pembentukan JERI dalam FPK. Oleh itu, kajian ini akan melihat pertalian antara falsafah bahasa, falsafah pendidikan bahasa dengan FPK berhubung peranannya sebagai wasilah pembentukan jati diri pelajar. 3. Masalah Kajian Kepincangan sosial yang berlaku dalam masyarakat hari ini masih belum menemui formula penyelesaiannya. Gejala buli, pembuangan bayi, dadah, gangterisme dan sebagainya masih berlaku dalam masyarakat. Fenomena ini memperlihatkan isyarat bahawa jati diri bangsa Melayu dan masyarakat Malaysia khususnya berada di hujung tanduk. Jati diri dalam konteks perbincangan tidak hanya merujuk kepada bangsa Melayu sebaliknya seluruh warganegara kerana persoalan jati diri adalah isu nasional. Tanpa jati diri bangsa akan hancur. Tanpa jati diri bangsa, negara akan musnah. Justeru, dalam membicarakan tajuk seperti ini, kita tidak dapat lari daripada menjawab beberapa soalan awal; apakah kaitan bahasa Melayu dengan jati diri bangsa orang yang menuturkannya. Sebelum ini, sarjana bahasa Melayu deskriptif begitu tertarik menghuraikan sistem bahasa sistem ilmu bahasa. Kajian lebih tertumpu kepada aspek fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik (Asep Ahmad Hidayat, 2006). Namun sangat sedikit kajian dibuat untuk melihat pertalian antara falsafah pendidikan bahasa Melayu itu dengan peranannya kepada pemupukan semangat kenegaraan melalui jati diri bangsa yang akhirnya menjurus kepada perpaduan dalam kalangan masyarakat berbilang bangsa di negara ini. Awang Sariyan (2010) mengatakan bahawa untuk melaksanakan pendidikan bahasa sebagai wasilah pembentukan dan pengukuhan jati diri bangsa dan juga sebagai tonggak pembinaan negara, diperlukan asas yang jelas dan utuh. Asasnya ialah falsafah pendidikan bahasa yang wajar dan sesuai dengan lingkungan bangsa dan negara. Penetapan falsafah pendidikan bahasa yang dapat memenuhi kedua-dua fungsi tersebut perlu dirumuskan dengan jelas dan dijadikan asas pembinaan kurikulum, latihan perguruan, penyediaan bahan ajar, proses pengajaran dan pemelajaran serta pengujian dan penilaian yang kesemuanya merupakan aspek operasional dalam proses pendidikan. Oleh itu, kajian yang dijalankan oleh pengkaji cuba mengenal pasti sejauh manakah pihak sekolah merancang dan melaksanakan fungsi bahasa melalui aktiviti-aktiviti bahasa ke arah pembentukan generasi muda yang berjati diri, berilmu pengetahuan dan berketrampilan selaras prinsip asas Teori Falsafah Bahasa (Mohd Rashid Md Idris, 2012) dan seterusnya menghasilkan bangsa Malaysia yang mempunyai jati diri yang ampuh. Sehubungan itu, kajian ini ingin melihat apakah hubungan falsafah pendidikan bahasa melalui aktiviti-aktiviti bahasa yang dijalankan di sekolah dan pertaliannya dengan pembentukan jati diri pelajar sekolah rendah. 3. 1. Soalan Kajian Kajian ini dijalankan untuk menjawab soalan-soalan berikut: 1. Apakah hubungan falsafah pendidikan bahasa dengan pembentukan jati diri dalam kalangan pelajar ? 2. Sejauhmanakah aktiviti-aktiviti bahasa di sekolah mendorong pembentukan jati diri pelajar?
368
3. 2. Objektif Kajian Daripada penyataan masalah, objektif tersurat kajian ini adalah: 1. Mengenal pasti aktiviti-aktiviti bahasa di sekolah yang mendorong pembentukan jati diri dalam kalangan murid sekolah rendah. 2. Kajian ini turut mengenal pasti aktiviti-aktiviti sesuai untuk membentuk dan meningkatkan jati diri dalam kalangan murid sekolah rendah. 4. Metodologi Kajian Kajian ini dijalankan menurut kaedah kepustakaan berdasarkan reka bentuk kualitatif. Kajian juga melibatkan analisis dokumen untuk mendapatkan maklumat. Kajian ini menggunakan pendekatan Teori Falsafah Bahasa (Teori Rashid) yang menekankan penggunaan bahasa untuk kegiatan-kegiatan yang penting, iaitu menyampaikan maklumat dengan tepat dan benar, menyampaikan objektif dengan nahu yang betul, dan untuk tujuan ibadah atau mentauhidkan Allah S.W.T (Mohd Rashid Md Idris, 2012). Aplikasi Teori Falsafah Bahasa yang merupakan gabungan Teori Relatif (Sapir dan Whorf) dan Teori Kenuranian Bahasa dirasakan sangat relevan dalam melihat falsafah pendidikan bahasa sebagai wasilah pembentukan jati diri pelajar di peringkat akar umbi iaitu di peringkat sekolah rendah. Oleh itu, kajian ini dijalankan terhadap aktiviti-aktiviti bahasa di dalam dan di luar bilik darjah yang dijalankan oleh pihak sekolah kepada pelajar dalam usaha melahirkan insan yang berkeperibadian hebat, mempunyai nilai-nilai terpuji, bersifat mulia, kuat dan kental (Jabatan Penerangan Malaysia, 2010). 5. Analisis dan Perbincangan Bahasa adalah alat berfikir. Akal atau minda ialah sumber intelek yang dapat menghasilkan pengetahuan melalui proses pemikiran dan penakulan minda (akal). Akal ialah tempat bersemadinya kearifan dan kebijaksanaan (hikmah). Melaluinya manusia boleh memahami pengajaran dan pembelajaran dan pelbagai kemahiran untuk memajukan diri. Melalui pengajaran dan pembelajaran Kemahiran Berfikir Kreatif dan Kritis (KBKK) manusia, khususnya remaja dapat berfikir secara kritis dan berkesan menghasilkan idea dan buah fikiran serta reka cipta yang baharu. Pembangunan akal yang kreatif dan kritis dapat membantu seseorang dalam membuat keputusan dan menyelesaikan masalah. Remaja yang terdidik akalnya akan dapat membuat analogi, membuat hipotesis, dalam memajukan diri ke arah pembangunan negara. Manfaatnya kepada negara, akan dapat memacu kemajuan dan pembangunan yang dirancang. Pembangunan akal budi akan mengubah nilai seseorang ke arah kebaikan. Pendidikan yang seimbang dan berterusan mestilah dilakukan di peringkat awal remaja lagi. Melahirkan manusia yang berkeperibadian hebat dan mempunyai nilai-nilai moral dan akhlak yakni yang mempunyai jati diri menjadi hasrat Kementerian Pelajaran Malaysia menerusi Falsafah Pendidikan Kebangsaan (FPK) iaitu, melahirkan insan seimbang dari segi jasmani, emosi, rohani dan intelek (JERI) bagi mempersiap dan memperkukuhkan generasi daripada terjahan globalisasi. Jelasnya, proses memanusiakan manusia ini memerlukan institusi pendidikan iaitu alam persekolahan sebagai gelangang pembentukan modal insan. Dalam pengumpulan data kualitatif, menerusi analisis dokumen dan sumber kepustakaan, sekolah merupakan gelanggang utama pendidikan formal dalam kalangan murid. Sekolah juga merupakan wahana dalam meningkatkan kemahiran berkomunikasi dalam kalangan murid sama ada di peringkat rendah mahupun menengah. Salah satu konsep "pengembangan potensi individu secara menyeluruh dan bersepadu" yang diungkapkan dalam Falsafah Pendidikan Kebangsaan ialah yang berkaitan dengan penyepaduan bahasa Melayu dalam semua mata pelajaran atau ilmu yang diajarkan, kecuali mata pelajaran bahasa lain (Wan Mohd Zahid Mohd Noordin, 1991 dan 1993 dan juga Ahmad Muhammad Said, 1991). Justeru, melalui aktiviti pengajaran dan pembelajaran bahasa yang terancang dan menarik di peringkat persekolahan jati diri murid dapat dipupuk.
369
Oleh itu, kajian ingin melihat aplikasi Falsafah Pendidikan Bahasa di sekolah melalui aktiviti kebahasaan di peringkat sekolah rendah di dalam dan di luar bilik darjah dan keupayaannya dalam hasrat pembentukan jati diri pelajar. Peranan Panitia Bahasa Melayu Berdasarkan analisis dokumen perancangan tahunan Panitia Bahasa Melayu di sekolah dikaji didapati 11 senarai aktiviti dirancang untuk melahirkan pelajar yang berketrampilan dalam bahasa. Antara aktiviti yang dirancang ialah: 1) Program 5 Minit Kosa Kata 2) Program Nilam 3) Kelas Tambahan Tahun 6 (Februari - September) 4) Gerak Gempur Bahasa Melayu (Mei - September) 5) Bengkel Laman Web Panitia (Jun) 6) Pencerapan Rakan Sebaya (Mac - Oktober) 7) Pencerapan Ketua Panitia (Mac - Oktober) 8) Pencerapan Buku Tulis (Mac - Oktober) 9) Buletin Bahasa (Mac - April) 10) Minggu Bahasa (September) 11) Program 1 Murid 1 Akhbar (Januari - Otober) Misi panitia bahasa di sekolah yang dikaji adalah, melahirkan pelajar yang cekap menggunakan tatabahasa dalam semua aspek. Menyedia dan melaksanakan sesi pengajaran dan pembelajaran yang menarik untuk membina minat dan kemahiran pelajar dalam menguasai mata pelajaran. Antara aktiviti yang telah dirancang oleh Persatuan Bahasa sepanjang tahun ialah: 1) Pelantikan Jawatankuasa 2) Bengkel Teknik Bercerita 3) Pertandingan Bercerita Tahap 2 4) Pertandingan Pidato Bulan Bahasa 5) Persembahan Lakonan Hari Guru 6) Pertandingan Sajak Hari Merdeka 7) Lawatan ke Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur Kelab ini disertai oleh seramai 20 orang murid daripada tahun 4 sehingga tahun 6. Kelab ini dibimbing oleh 2 orang guru Bahasa Melayu. Kelab bahasa ini merupakan kelab yang aktif dalam menjalankan aktiviti bahasa. Aktiviti kelab dijalankan dua minggu sekali pada pukul 3-4 petang setiap hari Rabu. Objektif kelab ini adalah untuk melahirkan murid yang berketrampilan dalam berbahasa dan berbangga terhadap bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan dan menggalakkan perpaduan kaum melalui bahasa Melayu. Menerusi aktiviti persatuan, guru dapat melatih sikap berani, bersungguh-sungguh dalam kalangan murid semasa menyertai pertandingan yang dianjurkan. Sikap dan keinginan tersebut akan mendorong jati diri yang diinginkan. Jelasnya, melalui pertandingan-pertandingan seperti pidato, bercerita, deklamasi sajak dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan pelajar disamping meningkatkan kemahiran kebahasaan dan membentuk kendiri positif dalam kalangan pelajar. Pada tahun lepas sekolah ini telah berjaya menjadi johan daerah dalam pidato, bercerita dan pantun. Kejayaan yang dicapai oleh sekolah sedikit sebanyak mendorong pembentukan jati diri dalam kalangan murid terhadap rasa cinta terhadap bahasa Melayu. Tuntasnya, Apabila para pelajar dilatih untuk berkemahiran dalam berbahasa maka ini akan mendorong fungsi bahasa itu sendiri sebagai bahasa kebangsaan, bahasa ilmu dan bahasa perpaduan kaum.
370
Peranan Persatuan Bahasa Melayu Dari segi konsep persatuan merupakan sesuatu entiti kumpulan yang berstruktur, berpelembagaan, berperaturan dan berkepimpinan yang dianggotai oleh murid-murid sekolah yang mempunyai minat, kegemaran, hasrat dan kecenderungan yang sama serta bertujuan untuk saling bekerjasama, bantu membantu dan berkongsi sumber dalam melaksanakan aktiviti dan mencapai cita-cita serta matlamat yang telah ditetapkan dan dipersetujui bersama bagi memperkembangkan minat, kegemaran, hasrat dan kecenderungan masing-masing. Tujuan penubuhan/pembentukan kelab atau persatuan: Menggabungkan murid-murid yang mempunyai minat, kegemaran, hasrat dan kecenderungan yang sama supaya murid-murid berpeluang dan berkesempatan a. Merancang dan melaksanakan aktiviti dan kegiatan secara berkumpulan. b. Berkongsi pengetahuan dan pengalaman dalam bidang yang diminati dan digemari. c. Menetapkan matlamat yang dipersetujui dan dilaksanakan bersama. d. Berkongsi sumber dan peralatan. e. Mewujudkan wahana kepada murid-murid mengembangkan bakat dan potensi masingmasing ke peringkat yang lebih tinggi. f. Jawatankuasa penaja menulis permohonan rasmi kepada Pengetua atau Guru Besar dengan menyertakan dokuman yang telah ditetapkan di atas. Tuntasnya, menerusi aktiviti persatuan, guru dapat melatih sikap berani dan bersungguh-sungguh dalam kalangan murid semasa menyertai pertandingan yang dianjurkan. Sikap dan keinginan tersebut akan mendorong jati diri yang diinginkan. Jelasnya, melalui pertandingan-pertandingan seperti pidato, bercerita, deklamasi sajak dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan pelajar disamping meningkatkan kemahiran kebahasaan dan membentuk kendiri positif dalam kalangan pelajar. Oleh yang demikian, menerusi aktivtiaktiviti bahasa di sekolah akan dapat membentuk kemahiran berbahasa mengikut nahu sebagai salah satu matlamat falsafah bahasa. Apabila para pelajar dilatih untuk berkemahiran dalam berbahasa maka ini akan mendorong fungsi bahasa itu sendiri sebagai bahasa kebangsaan, bahasa ilmu dan bahasa perpaduan kaum. Program Nilam Sekolah yang dikaji oleh pengkaji merupakan sekolah yang mendapat anugerah Perpustakaan 4 bintang negeri Pahang. Membaca adalah asas terbaik menguasai ilmu pengetahuan maka Program Nilam dijalankan bermatlamat membudayakan amalan membaca dalam kalangan murid, guru dan ibubapa serta seluruh warga sekolah. Banyak membaca, luas pengetahuan. Apabila murid gemar membaca, pengetahuan terhadap aspek bahasa mereka turut meningkat. Kefahaman terhadap aspek-aspek bahasa akan meningkatkan komunikasi dalam kalangan murid dan hal ini bertepatan dengan prinsip-prinsip asas dalam Teori Falsafah Bahasa iaitu berbahasa dengan nahu yang betul. Jelasnya, apabila pelajar boleh barbahasa dengan nahu yang betul maka mesej dan komunikasi akan menjadi lebih berkesan. Dalam konteks sekolah yang mempunyai pelajar berbilang bangsa seperti SK Bandar Raub, Program Nilam sangat praktik dalam hasrat melahirkan warga sekolah yang berinteraksi dalam satu bahasa iaitu bahasa Melayu. Menurut Profesor Dr. Teo Kok Seong, Felo Penyelidik Utama, Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) menegaskan pemilihan hanya satu bahasa untuk membentuk jati diri nasional, walaupun di dalam negara yang terdiri daripada pelbagai kumpulan etnik yang diamalkan di merata tempat, baik di Asia mahu pun di Barat memang terbukti kejayaannya. Dalam konteks ini, penggunaan bahasa Melayu yang didapati amat berkesan untuk menonjolkan jati diri nasional, bukan sahaja perlu diteruskan malah ia perlu dipertingkatkan dari semasa ke semasa supaya keutuhan bentuk dan amalan berbahasa Melayu dapat sentiasa dipelihara. Awang Sariyan (2010) menyatakan matlamat pendidikan bahasa hendaklah difahami sebagai matlamat yang dwifungsi, iaitu menyerapkan aspek sistem bahasa atau aspek linguistik dalam kalangan pelajar (sebagai asas untuk komunikasi yang berkesan dalam pelbagai konteks
371
sosial dan keperluan) dan membolehkan pelajar menguasai kemahiran komunikasi (di peringkat mikro seperti keluarga dan rakan-rakan sebaya dan juga di peringkat makro atau pelbagai kelompok sosial yang lebih luas, seperti perhubungan dalam pentadbiran, perniagaan, majlis, adat istiadat, protokol, korporat, media penyiaran, hubungan diplomasi dan sebagainya). Tuntasnya, dalam usaha membentuk jati diri pelajar, peranan bahasa sangat penting. Oleh itu, aktiviti yang menarik dan terancang sangat berperanan dalam usaha memupuk minat murid terhadap pembelajaran bahasa Melayu. Ini kerana, minat dan kecenderungan akan memudahkan proses penguasaan ilmu-ilmu bahasa sama ada dari segi nahu, morfologi, sintaksis dan tujuan komunikasi itu sendiri. Akhirnya, lahirlah para pelajar yang memiliki jati diri Malaysia yang menghargai dan mencintai bahasanya tanpa mengambil kira perbezaan agama, budaya dan bangsa. Jelaslah, apabila kecintaan terhadap bahasa tertanam dengan kukuh maka jiwa remaja tidak lagi goyah oleh pengaruh dan budaya asing yang pada masa sekarang merosakkan bahasa, minda dan akhlak pelajar. Penyerapan Ilmu dan Penerapan Nilai-nilai Murni dalam Pengajaran Bahasa Peranan bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Bahasa merupakan alat untuk berfikir dan menterjemahkan ilmu pengetahuan. Bangsa berilmu dapat menghindari diri dari sifat negatif sebagai perisai utama untuk mengekalkan kemerdekaan sesebuah negara dari semua aspek khasnya penjajahan minda. Jati diri mempengaruhi perkembangan politik, ekonomi dan sosial. Jati diri perlu bagi menjalani kehidupan yang bahagia, mencapai kejayaan yang lebih bermakna. Hasrat tersebut dinyatakan dengan jelas melalui FPK. Sehubungan itu, pendidikan merupakan wadah untuk mencapai hasrat FPK. Melalui sistem pendidikan, falsafah bahasa dan falsafah pendidikan bahasa merupakan wasilah untuk mencapai hasrat pembentukan insan yang seimbang dari segi JERI. Oleh itu, kesemua sistem pendidikan haruslah berpandukan kepada Falsafah Pendidikan Kebangsaan. Menurut Awang Sariyan (2010), falsafah pendidikan bahasa itu mestilah selari dengan FPK; pertama, dari segi upaya pengembangan berterusan potensi individu secara seimbang dan harmonis daripada segi intelek, rohani, emosi dan jasmani; kedua daripada segi sumbangan bahasa terhadap pembangunan masyarakat dan negara. Dengan itu, gagasan falsafah pendidikan bahasa yang dibentuk sememangnya memperlihatkan pertaliannya dengan FPK. Oleh yang demikian, dalam usaha pembinaan jati diri peranan bahasa sebagai wasilah pembentukan akhlak dan keperibadian dapat dilihat melalui sukatan pelajaran dan huraian sukatan pelajaran bahasa dan dalam mata pelajaran lain secara penyerapan dan penggabungjalinan. Ini bermakna penonjolan jati diri nasional dapat dilakukan melalui bahan-bahan seperti pantun, syair, gurindam, seloka, simpulan bahasa, perumpamaan, pepatah, bidalan, kata-kata hikmat juga diterapkan kepada pelajar di peringkat yang lebih awal. Apabila rasa kecintaan ini timbul mereka akan menerima bahasa itu sebagai bahasa yang dicintai dan digunakan dalam kehidupan seharian. 6. Rumusan Kesimpulan keputusan kajian memperlihatkan bahawa pada peringkat sekolah rendah pelbagai aktiviti telah dirancang dengan baik melalui jawatankuasa. Majoriti aktiviti dan program yang dilaksana sesuai dan memperlihatkan pertalian falsafah pendidikan bahasa sebagai wasilah pembentukan jati diri murid. Selain itu, pengetahuan guru-guru dalam bidang bahasa dan pedagogi sangat penting. Kelemahan guru menguasai aspek-aspek pengajaran bahasa akan memberi kesan kepada kefahaman murid. Oleh itu, guru harus merancang pengajaran dengan baik kandungan pelajaran dan penerapan nilai-nilai murni dapat dipraktikkan oleh murid. Guru yang berkesan mampu memindahkan ilmu kepada muridnya dengan mengurangkan gangguan ketika mengajar (Harun, 2002). Menurut Harun lagi, kemampuan guru menggunakan kemahiran asas untuk meningkatkan penguasaan ilmu murid turut menggambarkan pencapaian nilai kerja mereka.
372
Daftar Pustaka Abd. Hamid Mahmood (1993). Guru dan Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Media Printed (M). Awang Sariyan (1987). Isu-isu Perancangan Bahasa – Pengintelektualan Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Awang Sariyan (2010). Bahasa Melayu dalam Mendepani Era Globalisasi: Upaya dari Sudut Pengayaan Khazanah Ilmu. Dlm Jurnal Antarabangsa Dunia Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ismail Jusoh (2000). Bahasa dan Masyarakat. Dlm Monograf Bahasa, Sastera, dan Budaya Melayu. Serdang: Universiti Putra Malaysia. Kamarudin Hj. Kachar (1989). Perkembangan Pendidikan di Malaysia. Kuala Lumpur: Teks Publishing Sdn. Bhd. Mohd Rashid Md Idris dan Abu Hassan Abdul (2010). Falsafah Pendidikan Bahasa. Tanjung Malim: Emeritus Publications. Mohd Rashid Md Idris (2012). Teori Falsafah Bahasa (Teori Rashid). Tanjung Malim: Universiti Pendidikan Sultan Idris. Raja Mukhtaruddin Raja Mohd Dain (1992). Pembinaan Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
373
Integrasi Pengembangan Karakter dengan “Scientific-Learning” pada Mahasiswa Urban (Studi pada Pembelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi) Prof. Dr. Andayani, M.Pd., Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak Pemakaian bahasa para mahasiswa di kawasan urban memiliki ciri penanda yang menonjol yaitu terbuka dalam menerima pengaruh luar. Ciri ini menyebabkan munculnya karakter bahasa dengan ragam nonilmiah ditandai dengan banyaknya akrolek, basilek, vulgar, slang, kulokial, dan argot dalam pemakaian bahasa Indonesia dalam situasi resmi. Fenomena ini jauh dari hakikat belajar bahasa Indonesia di perguruan tinggi yang bertujuan membentuk kepribadian bangsa. Temuan ini menunjukkan bahwa pada pembelajaran bahasa Indonesia dalam konteks mahasiswa urban dibutuhkan integrasi pengembangan karakter. Untuk memenuhi kebutuhan ini scientific-learning merupakan salah satu model yang relevan, karena di dalamnya terdapat komponen mengamati, menanya, menalar, mencoba/mencipta, menyajikan/ mengkomunikasikan. Kata kunci: karakter; mahasiswa; scientific-learning; urban
1. Pendahuluan Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi di kalangan mahasiswa pada umumnya adalah ragam bahasa yang tidak resmi. Fenomena ini ditemukan dalam pemakaian bahasa para mahasiswa peserta Pembelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Yang perlu menjadi perhatian khusus adalah pemakaian bahasa yang tidak resmi itu juga terjadi pada konteks pemakaian dalam situasi resmi (dalam proses belajar mengajar). Tentu saja hal ini jauh dari hakikat pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi sebagai mata kuliah yang bertujuan membentuk kepribadian bangsa. Tampaknya pemakaian ragam tidak resmi atau apa yang selama ini dikenal sebagai bahasa gaul itu sudah menjadi salah satu genre dalam dunia komunikasi para mahasiswa tanpa memperhatikan konteks pemakaiannya. Inilah fenomena yang saat ini menandai bahasa para mahasiswa di kawasan urban. Bahasa yang merupakan bagian dari kebudayaan tiap bangsa manapun harus diakui sebagai suatu sistem yang kompleks dan luas serta besar peranannya. Namun tidak jarang ia pun dapat membingungkan atau tak pasti. Dalam hal ini, ragam bahasa yang digunakan para mahasiswa itu, terlihat sebagai suatu sarana komunikasi yang berpusat dan berkembang dan menjadi ciri penanda bagi kelompok tertentu dan dalam konteks tertentu pula. Berkaitan dengan hal tersebut, agaknya perlu ada perbincangan mendalam tentang fenomena bahasa para mahasiswa di kawasan urban, apakah karakter yang demikian merupakan sesuatu yang urgen untuk diperbaiki terkait dengan pembentukan karakter kepribadian yang lekat dengan pengajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi, dan apakah pendekatan yang diterapkan untuk itu dapat mengunakan pendekatan yang berazaskan scientific-learning, dan bagaimana dampak instructional dan nurturant-effect-nya? 2. Fenomena Pemakaian Bahasa Mahasiswa di Kawasan Urban Berdasarkan observasi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di universitas negeri di wilayah Jawa Tengah dan DIY (yang tergolong kawasan urban) dan wawancara dengan mahasiswa perserta pembelajarannya, diperoleh data terdapat ciri penanda variasi pemakaian ragam bahasa yang tidak baku, meskipun konteks pemakaiannya adalah situasi resmi. Variasi yang dapat ditemukan meliputi akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, dan argot (Andayani, 2013: 177).
374
Variasi akrolek antara lain ditemukan dalam tuturan berikut, “…sebentar, begini teman, maksud Dani tadi memberi surprise… agar suasana diskusi lebih cool…”. Temuan ini dikategorikan akrolek karena diksi surprise dan cool diucapkan mahasiswa asal Yogyakarta. Berdasarkan penjelasan pemakainya diketahui bahwa alasan pemilihan diksi tersebut bertujuan meningkatkan image atau menambah gengsi pemakainya. Ciri penanda berikutnya adalah adanya variasi basilek. Berikut ini tuturan yang diucapkan mahasiswa di dalam kelas dalam kegiatan belajar mengajar Mata Kuliah Bahasa Indonesia, “…oh iya, belum selesai i…garek ngasih nama dan ngumpulin …”. Penutur menyatakan bahwa pilihan ragam bahasanya sengaja dilakukan mengingat orang lain juga sering menggunakannya, meskipun ia mengetahui bahwa dengan menggunakan ragam tersebut orang yang menggunakannya tampak seperti golongan atau kelas sosial rendah. Selain variasi ini, ada variasi lain yang ditemukan yaitu vulgar, seperti tuturan orang-orang yang tidak berpendidikan. Selain variasi-variasi tersebut di atas, ditemukan pula bentuk slang, kolokial, dan argot. Dalam pemakaian variasi-variasi tersebut, para mahasiswa tidak secara serta merta menggunakannya, tetapi beralasan agar berterima di dalam kancah pergaulan dengan sejawat mahasiswa. Fenomena yang tampak dalam pemakaian bahasa Indonesia para mahasiswa di kawasan urban ini semuanya ditemukan dalam ragam lisan. Ini seiring sejalan dengan penjelasan (Wardhaugh, 2006: 80-81) bahwa di dalam ragam lisan komunikasi cenderung bersifat praktis, meskipun penutur menyadari kadang-kadang melanggar aturan baku dalam berbahasa. Namun demikian, fenomena seperti ini menggambarkan bahwa pemakaian bahasa para mahasiswa di kawasan urban ini menunjukkan belum adanya sikap bahasa yang baik, atau belum terbentuknya karakter cinta bangsa. Dikatakan demikian karena variasi yang sengaja dipilih dalam pemakaian bahasa Indonesia ini dapat semakin merusak tatanan bahasa yang telah disepakati. Untuk itu diperlukan integrasi pengembangan karakter bagi mahasiswa di kawasan urban melalui Mata Kuliah Bahasa Indonesia. 3. Urgensi Integrasi Pengembangan Karakter bagi Mahasiswa di Kawasan Urban Urgensi pendidikan karakter dapat diwujudkan jika setiap orang memahami pendidikan karakter sebagai pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan demikian, integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Indonesia menjadi sangat relevan. Dikatakan demikian karena di dalam pembelajaranbahasa Indonesia ini mahasiswa memperoleh bekal kemampuan dalam tatapikir, tataucap, tatatulis, dan tatalaku berbahasa Indonesia dalam konteks ilmiah atau akademis. Oleh karena itu, bahasa Indonesia juga menjadi Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian. Bahasa Indonesia sampai dengan saat ini dijadikan mata kuliah wajib dan dipelajari di semua jurusan atau program di seluruh fakultas di perguruan tinggi. Kompetensi yang diharapkan adalah kecakapan berbahasa Indonesia sebagai pendukung kecakapan profesional seseorang dalam melaksanakan tugas profesi atau keahliannya. Dalam mata kuliah ini ditetapkan bahasa Indonesia sebagai salah satu sarana pengembangan kepribadian insan terpelajar yang mahir berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan santun. Adapun hasil akhir yang dicapai adalah memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif ini memiliki implikasi pada komitmen untuk menjaga bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. Inilah yang dikatakan bahwa integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Indonesia menjadi sangat relevan. Pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, dapat berdampak mahasiswa dalam hal ini peserta pembelajaran bahasa Indonesia akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkannya menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Lickona . (2007: 118-138) juga menegaskan bahwa terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap
375
ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan dapat menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. (Lickona .,2007: 125-127). “Knowing the good” bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan. Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis. Dari rujukan inilah maka upaya melakukan kajian empiris lanjutan untuk integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi ini perlu segera dilanjutkan, sehingga ditemukan model yang konseptual, sistematis, dan prosedural yang tepat guna dan berhasil guna. 4. Relevansi Scientific-Learning dengan Pengembangan Karakter bagi Mahasiswa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Relevansi pengembangan model pendidikan karakter dengan pendekatan scientific learning dengan pembelajaran Bahasa Indonesia dapat diwujudkan karena apabila dilihat kaitannya dengan Mata Kuliah Umum Bahasa Indonesia, pengintergasian pendidikan karakter bukanlah hal yang sukar diterapkan. Hal ini disebabkan dalam Mata Kuliah Bahasa Indonesia terdapat 4 (empat) keterampilan berbahasa yaitu keterampilan menyimak, wicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan itu menjadi kompetensi inti yang telah ditetapkan dalam kurikulum yang berlaku saat ini. Pencapaian kompetensi inti melalui sajian kompetensikompetensi dasar yang mensyaratkan setiap mahasiswa memperoleh pengalaman belajar dengan berlatih mengunakan keempat keterampilan berbahasa tersebut. Tampaknya bukanlah sesuatu yang jauh panggang dari api jika di dalam tema-tema pembelajaran bahasa Indonesia itu diintegrasikan pendidikan karakter. Bahasa Indonesia diajarkan tidak berhenti pada penjelasan penggunaan bahasa baku dan tata tulis, tetapi sampai pada pembentukan sikap berbahasa untuk menghindari variasi-variasi yang mengganggu dalam pemakaian bahasa mahasisiwa. Hakikatnya dalam belajar belajar, selain mencapai instructional objective, mahasiswa juga mencapai nurturant-effect (Joyce & Weill, 2003). Dalam belajar bahasa Indonesia mahasiswa dapat mencapai instructional objective berupa kompetensi dengan 4 keterampilan (menyimak,wicara, membaca, menulis). Adapun jika ”pendidikan karakter” menjadi tema pembelajaran bahasa Indonesia, maka mahasiswa dapat mencapai nurturant-effect yang berupa pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Upaya mengintegasikan pendidikan karakter ini dalam tema pembelajaran bahasa Indonesia secara teknis mengadaptasi model pembelajaran scientific learning. Hasil penelitian penerapan scientific learning melalui tema pembelajaran telah diungkapkan Buckley (2006: 369-377). Ciri khas pembelajaran ini adalah: 1) Pengalaman dan kegiatan belajar relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan mahasiswa; 2) Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pengintegrasian tema bertolak dari minat dan kebutuhan mahasiswa; 3) Kegiatan belajar akan lebih bermakna dan berkesan bagi mahasiswa sehingga hasil belajar dapat bertahan lebih lama; 4) Membantu mengembangkan keterampilan berpikir mahasiswa; 5) Menyajikan kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering
376
ditemui mahasiswa dalam lingkungannya; dan 6) Mengembangkan keterampilan sosial, seperti kerjasama, toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain. Model scientific learning yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa unit pelajaran. Tema dalam pembelajaran ini berfungsi antara lain: memudahkan mahasiswa dalam memusatkan perhatian karena terpusat pada satu tema tertentu, mahasiswa dapat mengembangkan berbagai pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam satu tema, pemahaman terhadap materi pelajaran menjadi lebih mendalam dan berkesan, serta siswa lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas. Model scientific learning dapat diterapkan dengan komponenkomponen model berikut ini. Syntax pembelajaran atau langkah-langkah operasional pembelajaran meliputi: mengamati, menanya, menalar, mencoba/mencipta, menyajikan/mengkomunikasikan. Mengamati dapat dipraktikkan mahasiswa dengan cara mengamati berbagai gejala pemakaian bahasa. Menanya dipraktikkan dengan cara melakukan wawancara dengan subjek yang diamati. Menalar dipraktikkan dengan melakukan refleksi terhadap hasil-hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan sebelumnya dan mengaitkannya dengan teori. Aktivitas berikutnya adalah mencoba membuat review secara singkat kemudian dikomunikasikan baik secara lisan atau tulis. Syntax pembelajaran tersebut di atas akan menghasilkan social system dalam bentuk suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran yang penuh dengan keaktifan mahasiswa. Adapun principles of reaction yang diperoleh dalam pembelajaran yang demikian adalah menggambarkan bagaimana seharusnya dosen memandang, memperlakukan, dan merespon mahasiswanya. Dosen tidak menjadi satu-satunya nara sumber di dalam pembelajaran. Dalam praktik model scientific-learning memang dibutuhkan support system berupa sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran. Namun, hasil pembelajaran ini dapat melahirkan instructional dan nurturant effects atau hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang ditetapkan dan hasil belajar di luar yang ditetapkan berupa kesadaran bersikap positif terhadap bahasa Indonesia. Dengan berbagai manfaat yang positif maka jelaslah bahwa terdapat relevansi yang baik dalam pengembangan model pendidikan karakter berbasis scientific learning dalam tema pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini akan dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas belajar mahasiswa dan dapat mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Daftar Pustaka Andayani. 2013. Developing model of thematic learning materials using scientific approach. International Education Journal, 31 (5), 172-177. Buckley, N. 2006. Fostering goodness: teaching to facilitate student’s moral development with scientific learning”. Journal of Research Character Education, 29 (2), 369-377. Joyce, B & Weill, M. 2003. Models of Teaching. New York: Prentice Hall Publisher. Lickona, T, Schaps,E & Lewis,C. 2007. Principles of Effective Character Education. Washington: Character Education Partnership Publishing Wardhaugh, R. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell Inc.
377
Alih Kode dan Campur Kode Penyiar dalam Siaran Radio Sushi FM Padang dan Tanggapan Pendengarnya Titiek Fujita Yusandra, STKIP PGRI Sumatera Barat
Abstrak Seorang penyiar menjadi ujung tombak dalam proses menyampaikan informasi dan hiburan kepada pendengar. Melalui penyiarnya, radio harus mampu menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat sebagai pendengarnya. Seorang penyiar radio harus menggunakan bahasa yang komunikatif, mudah dimengerti oleh pendengar sehingga komunikasi akan berjalan efektif. Pada saat siaran, bahasa yang digunakan penyiar radio tidak bisa lepas dari gejala campur kode dan alih kode. Dengan berbagai bahasa yang dimilikinya, penyiar radio dapat dengan mudah mengganti bahasa yang digunakan, bahkan menggunakan bahasa tersebut secara bergantian sesuai dengan situasi, kondisi dan tujuan tuturannya. Terjadinya alih kode dan campur kode ini dilakukan oleh penyiar secara sengaja maupun tidak sengaja. Dengan demikian pemakaian bahasa pada penyiar dalam siaran Radio Sushi FM Padang mengalami peristiwa kebahasaan yang menarik untuk diteliti. Pada penelitian ini akan dideskripsikan jenis-jenis campur kode dan alih kode penyiar dalam siaran Radio Sushi FM Padang, faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode dan alih kode penyiar dalam siaran Radio Sushi FM Padang, serta tanggapan pendengarnya terhadap bahasa yang digunakan oleh si penyiar. Kata kunci: alih kode; campur kode; penyiar; radio Sushi FM
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sebuah kota besar dihuni oleh berbagai macam masyarakat yang berasal dari daerah berbeda dan membawa bahasa mereka masing-masing ke kota besar. Oleh karena itu setiap masyarakat secara tidak langsung mempelajari bahasa yang tidak diketahui sebelumnya. Jadi, masyarakat yang hidup di kota besar biasanya mampu menguasai lebih dari satu bahasa. Jika masyarakat dapat menguasai lebih dari satu bahasa, biasanya masyarakat akan menggunakan bahasa tersebut dalam berbagai situasi. Hal tersebut menjadi pemicu masyarakat untuk melakukan alih kode dan campur kode. Alih kode merupakan perpindahan atau pertukaran bahasa dari situasi satu ke situasi yang lain atau dari bahasa satu ke bahasa yang lain dengan membawa sistem bahasa dan dilakukan secara sadar oleh pelaku, sedangkan campur kode, terjadinya pencampuran bahasa tanpa membawa satu sistem bahasa dan berbentuk potongan kata. Alih kode dan campur kode sering terjadi dalam masyarakat multilingual, yang pada umumnya menggunakan banyak bahasa dalam keseharian. Di dalam melaksanakan pekerjaan seseorang juga sering menggunakan banyak bahasa, contohnya saja penyiar radio. Alih kode dan campur kode merupakan salah satu wujud dari kreativitas penyiar dalam penggunaan bahasa. Sebagai ujung tombak dalam penyampaian informasi dan hiburan, penyiar radio tidak bisa lepas dari gejala alih kode dan campur kode. Dengan berbagai bahasa yang dimilikinya, penyiar radio dapat dengan mudah mengganti bahasa yang digunakan, bahkan menggunakan bahasa tersebut secara bergantian sesuai dengan situasi, kondisi, dan tujuan tuturannya. Dengan slogan “Sushi FM Radio Orang Padang”, radio ini tidak mutlak menggunakan bahasa Padang atau bahasa Minang. Bahasa inti yang digunakan dalam beberapa acara di radio Sushi FM adalah bahasa Indonesia non formal/ tidak baku, tapi dalam tuturannya penyiar sering mencampurkan bahasa tersebut dengan kode bahasa lain. Unsur bahasa lain yang menyisip ini berasal dari bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Minang. Pada waktu proses siaran, bahasa-bahasa tersebut dipakai secara bergantian, baik sengaja maupun tidak sengaja sehingga
378
terjadi pemakaian dua bahasa atau lebih serta variasinya yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode. Dengan demikian, fenomena kebahasaan berupa alih kode dan campur kode penyiar radio menarik untuk dibicarakan lebih lanjut. Dalam tulisan ini yang akan dijabarkan adalah jenis alih kode dan campur kode dalam siaran radio Sushi FM, faktor penyebab terjadi, beserta tanggapan pendengarnya. Hal tersebut berdasarkan atas pertimbangan bahwa alih kode dan campur kode dalam acara siaran di radio Sushi memiliki frekuensi yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan stasiun-stasiun lain di Padang. Di samping itu, alih kode dan campur kode di radio ini, sebenarnya secara tidak langsung juga didukung oleh adanya sistem seleksi yang mensyaratkan kemampuan berbahasa Inggris baik aktif maupun pasif bagi calon penyiarnya. Kelihaian Penyiar dalam berbahasa akan mendapatkan tanggapan dari pendengarnya, misalnya disukai pendengarnya tanpa melihat benar salah bahasa yang digunakan penyiar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah; (a). jenis alih kode dan campur kode apakah yang digunakan penyiar dalam siaran radio Sushi FM? (b) faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab terjadinya alih kode dan campur kode penyiar dalam siaran Radio Sushi FM Padang? (c) bagaimanakah tanggapan pendengarnya terhadap bahasa yang digunakan oleh penyiar dalam siaran radio Sushi FM? 1.3 Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk; (a) mendeskripsikan jenis alih kode dan campur kode yang digunakan penyiar dalam siaran radio Sushi FM, (b) mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode dan campur kode penyiar dalam siaran Radio Sushi FM Padang, (c) mendeskripsikan tanggapan pendengarnya terhadap bahasa yang digunakan oleh penyiar dalam siaran radio Sushi FM. 2. Kajian Teori Berikut ini akan dijabarkan teori tentang alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) serta faktor penyebab terjadinya peristiwa alih kode dan campur kode. 2.1 Alih Kode Konsep alih kode yang dikemukakan oleh Chaer dan Agustina (1995:41), yaitu peristiwa pergantian bahasa yang digunakan karena berubahnya situasi. Appel (1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antarbahasa, maka Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 1995: 142) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa. Alih kode terjadi apabila penutur, dalam hal ini penyiar, merasa bahwa situasi yang ada relevan dengan dengan peralihan kodenya. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Suwito (1985:72) membbedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antarbahsa sendiri seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa/ ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing. Terjadinya peristiwa alih kode disebabkan oleh beberapa hal. Dalam berbagai kepustakaan limguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik
379
pembicaraan. Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 1995:143) mengemukakan penyebab terjadinya alih kode, yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. 2.2 Campur Kode Menurut Chaer dan Agustina, (1995:151) campur kode adalah penggunaan dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Kridalaksana (1982:32) memberikan batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Campur kode ada dua macam, yaitu campur kode ke dalam (innercode-mixing) dan campur kode ke luar (outer code-mixing) (Suwito, 1985:76). Campur kode ke dalam adalah campur kode yang terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Campur kode keluar adalah campur kode yang terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asing. Campur Kode (CK) merupakan salah satu aspek dari ketergantungan bahasa dalam masyarakat bilingual/multilingual. Ciri ketergantungan itu ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara fungsi dan peran kebahasaan. Peran menunjukkan siapa yang menggunakan bahasa itu, yang ditandai oleh latar belakang sosial penutur, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Sedangkan fungsi menunjukkan apa yang hendak dicapai penutur dengan campur kode dan sejauh mana bahasa yang dipakai memberikan peluang untuk bercampur kode. Fasold (1984:180) mengatakan bahwa campur kode merupakan fenomena yang lembut. Serpihan-serpihan satu bahasa digunakan oleh seorang penutur, namun pada dasarnya dia menggunakan bahasa lain. Serpihan-serpihan bahasa yang diambil dari bahasa lain itu biasanya berupa kata-kata tetapi dapat juga berupa frasa, atau unit bahasa yang lebih besar. Di dalam suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti, tindak bahasa yang demikian kita sebut campur kode. Nababan (1989:32) menjelaskan bahwa ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah situasi informal. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalaupun terdapat campur kode dalam keadaan demikian, hal itu disebabkan karena tidak ada istilah atau ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai. Sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa asing: dalam bahasa tulisan, hal ini kita nyatakan dengan mencetak miring atau menggaris bawahi kata/ungkapan bahasa asing yang bersangkutan. Kadang-kadang terdapat juga campur kode ini bila pembicaraan ingin memerlukan “keterpelajarannya’ atau “kedudukannya”. 3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak yaitu pemerolehan data primer dengan cara menyimak siaran radio tersebut. Metode simak yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan tidak berpartisipasi (Sudaryanto 1993:133). Dalam hal ini peneliti menyimak siaran radio Sushi FM dengan tidak ikut dalam proses pembicaraan. Peneliti mendengarkan siaran radio Sushi FM Padang melalui live streaming (http://radiosushifm.com/live/) kemudian merekam semua siarannya dengan bantuan program Adobe Audition di komputer. Pengumpulan data dalam penelitian ini dibatasi pada tuturan penyiarnya saja. 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Alih Kode dan Campur Kode di Radio Sushi FM Padang Peristiwa alih kode dan campur kode cukup dominan dalam berbagai mata acara yang disiarkan oleh radio Sushi. Ada bermacam-macam jenis dan faktor penyebab terjadinya peristiwa alih kode dan campur kode yang muncul dalam siaran radio ini. Namun demikian, dalam tulisan ini hanya akan diambil beberapa contoh yang dipandang dapat mewakili
380
peristiwa-peristiwa alih kode dan campur kode. Selanjutnya, peristiwa alih kode dan campur kode di radio Sushi tersebut akan diuraikan satu persatu di bawah ini. 4.1.1 Alih Kode di radio Sushi FM Alih kode di radio Sushi biasanya terjadi di setiap program acara yang membahas topiktopik terhangat, politik, informasi-informasi unik dan terbaru. Apalagi dibawakan oleh dua orang penyiar dan pendengar juga bisa berinteraksi langsung melalui telpon. Alih kode terjadi ketika penyiar hendak menyisipkan sebuah berita atau iklan baca atau lowongan kerja. Alih kode yang terjadi di sini adalah alih kode intern yang berupa alih ragam dan gaya. Alih ragam dan gaya di sini terjadi karena adanya peralihan topik atau pokok pembicaraan. Sebagian besar alih ragam yang terjadi di radio ini adalah dari ragam nonformal ke ragam formal dan dari gaya santai, serba seenaknya, dengan bahasa Indonesia yang tidak baku ke gaya serius, hormat, sopan, dan dengan bahasa Indonesia baku atau sebaliknya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir oleh para pendengar terhadap isi berita atau iklan yang dibacakan. Contoh seperti percakapan berikut. Data 1 P1 (Wulan) : “Bareng Elgangga Seratus (100) point tiga (3) Bekasi, Elmitra Sembilan Lima FM Sukabumi, dan Sushi double nine point satu FM Padang, berasa enteng...”. P2 (Dewa) : “... banget. Yah dari Fryday, Biarka Ku Menanti. Eh gw mau nanya nih, dalam hidup lu apa sih yang pengen lu nanti?” P1 (Wulan) : “ooo...” P2 (Dewa) : “selain...” P1 (Wulan) : “selain kurus...” P1 & P2 : “ha..ha..” P1 (Wulan) : “oo ini, apa namanya... Indonesia jadi lebih baik.” P2 (Dewa) : “oo itu ya.. lu nunggu, nunggu-nunggu itu ya dari kecil ampe sekarang gitu ya... Tanya balik!” P1 (Wulan) : “tanya balik.. lu, lu apa yang paling lu nanti Dew?” P2 (Dewa) : “yang paling gw nanti itu... gw jadi kaya..haha..” P1 (Wulan) : “Berarti belum pernah ya, kasian deh lu” P2 (Dewa) : “kaya, kaya apa dulu.. ” P1 (Wulan) : “kaya hati ya..” P2 (Dewa) : “kaya hati..lu mau tau kaya hati tu yang kaya’ gmn?” P1 (Wulan) : “kaya’ gimana?.. P2 (Dewa) : “kaya’ ini, gw mo kasih Sushi Mitra informasi lowongan kerja nih.. ya SUSHI MITRA SEMUA, DIBUTUHKAN SEGERA SATU ORANG CALON MANAJER USAHA COFFE AND JUICE, WANITA MINIMAL TAMATAN SMA ATAU SMK YANG SEDERAJAT ATAU D3 ATAU MAHASISWA TINGGAL SKRIPSI, TIDAK DIBUTUHKAN PENGALAMAN KERJA DAN AKAN DILATIH, INOVATIF, KREATIF, DAN VISIONARIS. KIRIM LAMARAN BERUPA CV, FOTOCOPY KTP KE PO BOX 260 PADANG. So tunggu apalagi, buat lo lo yang masing pengangguran tunggu apalagi, buruan..” P1 (Wulan) : “teope banget deh informasi lo.. ya udah deh kita bakal salam-salamin dulu nih yang udah ada mampir di twitter kita Dew.” P2 (Dewa) : “ada Nurruddin trus ada pula Tria Triani yang udah mention kita di twitter yah. Juga ada show id yang ngucapin thank, katanya kita udah putarin lagunya dia.”
(Lagu) Data di atas memperlihatkan adanya perpindahan topik yang menyebabkan terjadinya perubahan situasi dari situasi non formal menjadi situasi formal ketika membacakan informasi tentang lowongan pekerjaan setelah selesai membacakan lowongan pekerjaan tersebut, penyiar kembali menggunakan bahasa nonformal. Alih kode yang berupa alih gaya dan ragam di radio Sushi FM juga terjadi pada saat disampaikan hal-hal yang bersifat religius, misalnya pada saat pemutaran lagu-lagu kemudian
381
tiba saatnya dikumandangkan azan, maka penyiar akan mengubah ragam nonformal ke ragam formal dan dari gaya santai ke gaya serius. Contohnya sebagai berikut. P (Uly)
: “Sushi FM radionya orang Padang, dari JKT48 with heavy rotation. Sushi Mitra pasti udah tau dong sama grup yang satu ini. JKT48 adalah grup idola asal Indonesia. Dibentuk pada tahun 2011, grup ini merupakan grup saudari AKB48 pertama yang berada di luar Jepang. Grup ini mengadopsi konsep AKB48 yaitu "idola yang dapat lu jumpai setiap hari. Saat ini JKT48 memiliki anggota sebanyak 72 orang. Album pertama grup ini, Heavy Rotation dirilis pada 16 Februari 2013 oleh Hits Records. Singel pertama mereka, "River" dirilis pada 11 Mei 2013 (versi teater) dan 17 Mei 2013 (versi reguler) top banget deh ya Sushi Mitra. PUKUL 15.30 WIB SUSHI MITRA, TIBA SAATNYA DIKUMANDANGKAN AZAN ASHAR UNTUK WILAYAH KOTA PADANG DAN SEKITARNYA. UNTUK ANDA KAUM MUSLIMIN DAN MUSLIMAT KAMI UCAPKAN SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH SHOLAT ASHAR. SEMOGA IBADAH SHOLAT KITA DITERIMA ALLAH SWT. AMIN. (Azan)
Alih kode ekstern juga sering terjadi di radio Sushi FM, yakni alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris atau sebaliknya. Hal tersebut tampak dalam salah satu program seperti pada program acara “Air Love You”. Ajang yang berisi nformasi berupa ajakan untuk peduli lingkungan dan global warming yang mengajak pendengar untuk ikut memberikan komentar terhadap topik yang dibahas dalam program “peduli lingkungan” mereka. Pendengar bisa berinteraksi langsung dengan penyiar melalui telpon, sms, dan facebook. Acara ini merupakan acara yang dipandang cukup bergengsi karena menggunakan bahasa Inggris. Kadang-kadang penyiar beralih kode ke bahasa Indonesia untuk hal-hal yang bersifat pemberitahuan. Hal tersebut dimaksudkan untuk membantu dan mempermudah para pendengar yang tingkat kemampuan berbahasa Inggrisnya masih kurang, untuk dapat berpartisipasi dalam acara ini. : “Assalamualaikum, wr wb. Sushi double nine point satu FM” : “hello Sushi Mitra,,, I am Rendra” : “and I am Uly” : “we will accompany you all for the next two hours” : “and Sushi Mitra, don’t forget to stay tune with us!” : yes because we will play the song that you want to hear : we will only play English song. : “ya of course lah. Kita gitu loh” : “hey we have a discussion later. Does it?” : “we will, I will tell you and our loyal listeners later, we will discuss it with the guest too” P1(Rendra) : “I can’t waittt,,, I’am afraid. Oh, gw hampir lupa. Sushi Mitra, buat lo yang pengen request lagu silakan kirim pesan dan ngajuin pertanyaan tentang topik yang bakal kita bahas nanti di 081270xxxxxx atau di facebook kita sushifm padang!” P2(Uly) : “yes, topik kita hari ini adalah... cegah global warming sekarang!” P1(Rendra) : Jangan kemana-mana Sushi Mitra, we will be right back, after this song. (Lagu) P1(Rendra) P2(Uly) P1(Rendra) P2(Uly) P1(Rendra) P2(Uly) P1(Rendra) P2(Uly) P1(Rendra) P2(Uly)
Dari data di atas terlihat adanya alih kode ekstern alih kode dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Penyiar beralih kode ke bahasa Indonesia dengan tujuan agar pendengar yang tidak semua bisa dan mengerti bahasa Inggris dapat mengerti tentang topik yang dibahas pada program tersebut. Kadangkala program ini juga mengasah kemampuan berbahasa Inggris, baik penyiar maupun pendengar. Hal tersebut tampak pada peralihan bahasa, dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia atau dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.
382
4.1.2 Campur Kode di Radio Sushi F Campur kode di radio Sushi FM biasanya terjadi karena adanya penyisipan unsur-unsur dari bahasa Inggris. Dengan demikian, campur kode yang terjadi adalah campur kode keluar. Para penyiar radio Sushi FM umumnya memang memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cukup baik karena hal tersebut merupakan syarat utama untuk dapat menjadi penyiar di radio ini. Karena kebiasaan mempergunakan bahasa Inggris, kadang-kadang terselip kata, frasa, klausa dari bahasa Inggris. Contohnya seperti data berikut. Data 1 P1 (Wulan) : “Bareng Elgangga Seratus (100) point tiga (3) Bekasi, Elmitra 95 FM Sukabumi, dan Sushi double nine point satu FM Padang, berasa ...”. P2 (Dewa) : “... enteng. Yah kok suara gw rada menggema gitu ya?” P1 (Wulan) : “iya, suara gw kok menggema gitu ya?” P2 (Dewa) : “ok, yang jelas pagi ini selamat pagi dulu deh buat Sushi Mitra semuanya. Seperti biasa jam 6 ampe jam 10 di Sekapur Tulis bareng Dewa dan Wulan...” P1 (Wulan) : “bener banget...” P2 (Dewa) : “dan juga bareng soundman kita yang baru ada Arnol yang bakal nemenin kamu juga yang bakal muterin lagu-lagu yang renyah trus juga bakal ada info-info fresh, info-info update, sama kaya’ kita orang-orang yang update yah..” P1 (Wulan) : “dan bisa telpon ke 7055xxxx” P2 (Dewa) : “atau juga bisa SMS ke nomer 085263xxxxxx dan juga bisa live streamingan di www.radiosushifm.com! Pokoknya buat kamu yang lagi di luar kota, lagi di mana sekarang, di Perancis, di Jerman, di Amerika Serikat, di Inggris, atau di Brazil sekalipun lagi nonton piala dunia, concernin kita ampe jam 10! Stay tune” Data 2 P2 (Dewa) P2 (Wulan) P2 (Dewa) P2 (Wulan) P1 & P2 P2 (Dewa) P2 (Wulan) P2 (Dewa) P2 (Wulan) P2 (Dewa) P2 (Wulan) P2 (Dewa) P2 (Wulan) P2 (Dewa) P2 (Wulan) P2 (Dewa) P2 (Wulan)
P2 (Dewa) P2 (Wulan) P2 (Dewa)
: “Walaupun Raisha Bye bye, kita belum bye-bye yah...” : “iya. Ih aduh gw ini yah berasa kalo ngaca tu mirip Raisha ya” : “Raiso, raiso..” : “oo rak popo lah kalo gitu” : “ha..ha..ha” : “anyway, kalo pagi ini kaya’nya enak banget kalo kita bisa ngelakuin kebaikankebaikan yang luar biasa yah, bisa nambah pahala gitu.” : “oh really, eh ngomong-ngomong gw mo ngasih selamat dulu nih, ternyata yang ngevote lu banyak yah” : “banyak banget soalnya kemaren kan udah gw post di ipad gw juga, di instagram..” : “gw juga dong..” : “iya lu juga ikut bantuin ngepromoin gitu ya, dan alhamdulillah yang ngevote gw banyak banget” : “alhamdulillah” : “mereka support banget gw gitu..ooo maksudnya kita, buat ngelakuin aksi kebaikan bareng koinnya Sushi Padang juga ya.” : “betul” : “ngumpulin receh buat disumbangin ke panti asuhan dan Alhamdulillah gw udah nemuin panti asuhannya di daerah Purus sana itu, Panti Asuhan Mentawai” : “oke” : “ntar di sana kita bakal ngelaksanain buka bareng anak-anak panti asuhan trus juga sekalian ngasih bantuan” : “oke, tapi buat Sushi Mitra ya yang pengen bikin aksi kebaikan lebih juga bisa ikutan nih, berarti Dewa yang pertama, berarti tinggal ada Ocha ama Rendra, tinggal kita vote aja mana yang duluan nanti berarti mereka yang bakal untuk selanjutnya...” : “bertarung” : “bertarung...” : “asik.. bahasa gw yah. Langsung saja ketik nama lu spasi usia spasi nama komunitas yang bakal lu dukung!”
383
P2 (Wulan) : “ada android Padang juga ya” P2 (Dewa) : “dan gw pengen ngucapin thank you banget pokoknya buat lu yang udah ngevote gw yah, tenang aja” P2 (Wulan) : “sms juga yah” P2 (Dewa) : “yang ngevote tu udah ada beberapa orang yang bakal juga ikut nanti bareng kita buat buka bareng sama anak-anak panti.”
Selain campur kode keluar, ditemukan juga adanya campur kode ke dalam. Campur kode tersebut terjadi karena adanya penyisipan unsur-unsur dari bahasa Minang, ada juga dari bahasa daerah lain. Hal tersebut dilakukan untuk humor atau sekedar bercanda antar penyiar atau antar pendengar. Contoh campur kode ke dalam dapat dilihat pada penggalan tuturan penyiar berikut. (1) “yang mau dengerin lagu-lagu yang hits sambil istirahat siang jan kama-kama!” (jangan kemana-mana) (2) “oo tenang-tenang karena calon presidan dan wakil presiden kita Cuma dua berarti udah ketauan , jadi ketauan siapa yang menang. Pastinya nantinya pilpres itu satu putaran sajo. (saja) (3) P2 (Dewa) : “Walaupun Raisha Bye bye, kita belum bye-bye yah...” P2 (Wulan) : “iya. Ih aduh gw ini yah berasa kalo ngaca tu mirip Raisha ya” P2 (Dewa) : “Raiso, raiso..” P2 (Wulan) : “oo rak popo lah kalo gitu” P1 & P2: “ha..ha..ha”
Pada data di atas terdapat campur kode pada kata “sajo”, “jan kama-kama”, “raiso”, “ra’ popo” yang merupakan bahasa Minang dan Jawa. Terjadinya campur kode dalam bentuk di atas disebabkan karena situasi yang nonformal atau intens dengan menyesuaikan dengan situasi yang sedang bercanda dengan lawan bicaranya. Radio Sushi mempunya slogan yang berbunyi “Sushi FM Radio Orang Padang”. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas identitas bahwa radio ini terletak di kawasan kota Padang dan milik masyarakat Padang serta memberi kesan seolah-olah Radio ini adalah radio yang benarbenar diakui eksistensinya diwilayah Padang. Dengan demikian, diharapkan masyarakat Padang akan tersentuh emosinya sehingga mereka bersedia menjadi pendengar setia radio ini. Dalam setiap program acara, radio ini cenderung menggunakan bahasa Indonesia ragam nonformal (dalam hal ini bahasa Indonesia dialek Jakarta) atau yang lebih kita kenal bahasa gaul karena sasaran pendengarnya adalah remaja yang cenderung menggunakan bahasa gaul karena dianggap modern, tidak ketinggalan zaman, nyaman didengar, dan menarik bagi pendengarnya. Tetapi kadangkala ketika penyiar memberikan informasi atau berita mereka akan beralih menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari salah tafsir bagi pendengar. 4.1.3 Faktor penyebab alih kode dan campur kode di radio Sushi FM Terjadinya alih kode dan campur kode penyiar radio Sushi FM Padang memang tidak dapat dihindarkan, hal ini disebabkan karena para penyiar adalah termasuk dwibahasawan. Selain menggunakan bahasa Indonesia mereka juga menggunakan bahasa. Hal tersebut berdampak pada peralihan bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa asing atau sebaliknya dan munculnya serpihan-serpihan bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Minang dalam tuturan penyiara. Sebenarnya setiap bahasa mempunyai wilayah pemakaian sendiri-sendiri, tetapi dalam perjalanan sejarahnya telah terjadi perubahan wilayah bahasa itu. Sebuah bahasa wilayahnya ada yang meluas adapula yang menyempit, bahkan adapula yang hilang dan menjadi wilayah bahasa lain. Semenjak bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional, perkembangan bahasa ini makin pesat. Pengaruh bahasa Indonesia tersebut juga terasa pada pemakaiaan bahasa Inggris dimana para penyiarnya mengganti begitu saja kosakata-kosakata bahasa Indonesia dengan bahasa
384
Inggris, lalu kosakata bahasa Indonesia diganti bahasa Minang dan yang sering digunakan adalah bahasa Indonesia dialek Jakarta atau yang lebih dikenal bahasa gaul Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab fenomena kebahasaan ini alih kode dan campur kode disebabkan oleh adanya faktor lingkungan, keakraban, tendensi untuk bercanda, untuk menimbulkan efek kesantunan dan menghormati, kurang terwakilinya perasaan jika menggunakan bahasa Indonesia, tendensi untuk menunjukkan prestise dan terpelajar, serta untuk beralih dari situasi formal ke situasi nonformal. 4.1.4 Tanggapan Pendengar terhadap penggunaan bahasa penyiar radio Sushi FM Profesi penyiar radio di era sekarang ini dituntut dapat menguasai multibahasa agar lebih menarik dan mengikuti tuntutan pasar. Para pendengar radio Sushi FM yang disapa dengan sebutan “Sushi Mitra” lebih menyukai penyiarnya menggunakan ragam bahasa nonformal. Karena mereka merasa penggunaan bahasa nonformal lebih terkesan santai dan bersahabat. Selain itu agar lebih terasa dekat dan akrab dengan penyiarnya sehingga tidak sungkan-sungkan untuk bergabung langsung melalui telpon, sms, media sosial seperti facebook dan twitter. Dengan menggunakan dialek dan gaya bahasa sehari-harinya dalam menyiarkan berbagai program acara, maka para pendengar dengan mudah mengenal suara penyiar tersebut dan akan melekat ditelinga mereka walau belum pernah bertemu sekalipun. Sebagai salah satu media hiburan, penggunaan bahasa nonformal dalam siaran tentu sangat membantu terhadap eksistensi acara radio Sushi FM. Pada setiap program acaranya seperti “Sekapur Tulis”, “Hits-Hits Hore”, “Are You Sinting”, “LIFT” (Lagu Favorite Indonesia Terkini), dan “TOP 40” sangat disukai pendengar terlepas dari penggunaan bahasa yang baik dan benar atau ragam formal dan nonformal. Apabila dikaitkan dengan penggunaan bahasa, maka bahasa yang digunakan oleh penyiar radio tentu saja tergantung pada sifat acara yang diasuhya. Dalam mengantarkan acara musik, seperti “TOP 40”, penyiar harus membawa suasana rileks. Hal ini dimaksudkan untuk memancing dan menggiring pendengar agar tidak terbawa dalam suasana formal. Dengan kondisi ini, kontak penyiar dan pendengarnya menjadi akrab dan bersahabat.Namun tumpang tindih dan bercampur aduk dalam menggunakan bahasa sering terjadi. Sehingga campur kode, alih kode atau penggunaan bahasa nonformal tidak terhindarkan. Dengan bahasa yang santai dan akrab acara tersebut menjadi lebih asyik dan menyenangkan. Namun dari segi kebahasaan, bahasa nonformal bisa merusak bahasa formal jika penggunaannya tidak terbendung dan melewati konteksnya. Bagi pendengar, sejauh ini penggunaan bahasa nonformal sangat berterima karena lebih santai tidak kaku dan monoton. Bagi penyiar sendiri, mereka ingin digemari, disukai, apakah dari suaranya maupun dari bahasanya maka dari itu setiap program acara yang mereka bawakan mereka sulap menjadi menarik dan disukai pendengarnya agar pendengar tidak meninggalkan dan berganti channel ke radio tetangga. 5. Simpulan Faktor penyebab alih kode yang dominan di radio Sushi FM Padang adalah adanya perubahan topik atau pokok pembicaraan dan adanya peralihan situasi. Namun demikian, radio ini juga memiliki satu mata acara khusus yang menggunakan bahasa Inggris secara dominan dengan tidak menutup kemungkinan terjadinya alih kode ke bahasa Indonesia untuk hal-hal yang sifatnya pemberitahuan. Dalam siaran radio Sushi FM dapat dijumpai peristiwa alih kode dan campur kode yang terjadi secara beruntun. Pada umumnya campur kode di radio Sushi FM Padang terjadi karena penyisipan unsur-unsur dari bahasa Inggris. Penyisipan unsur-unsur bahasa Inggris tersebut dimaksudkan untuk member kesan bahwa penyiar radio Sushi adalah orang yang berpendidikan, orang masa kini, mempunyai hubungan luas, dan untuk meningkatkan gengsi. Kesan sebagai orang masa kini dan bukan orang kuno tersebut diperkuat lagi dengan dominasi penggunaan dialek Jakarta dalam siaran sehari-hari. Ada kecendrungan orang-orang daerah biasanya berkiblat ke pusat (Jakarta) dan menganggap bahwa sesuatu yang ada di pusat memiliki gengsi yang lebih tinggi.
385
Daftar Pustaka Appel, Rene., Gerard Hubers, dan Guus Meijer. 1976. Sociolinguistiek. Antwerpen/Utrecht: Het Spectrum. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. New York: Basil Blackwell Inc. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah . Nababan, P.W.J. 1989. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suwito. 1985. Sosiolinguistik: Pengantar Awal. Surakarta: Henary offset.
386
Alih Kode dan Campur Kode Percakapan Orang Jepang yang Tinggal di Malang Ismatul Khasanah, M.Ed., Ph.D., Universitas Brawijaya Bernike Josephine, S.S.
Abstrak Dalam berkomunikasi seseorang dituntut untuk menguasai lebih dari satu bahasa.. Penguasaan lebih dari satu bahasa disebut dengan bilingual. Seorang bilingual biasanya mengalami peristiwa alih kode dan campur kode saat berbicara. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan responden orang Jepang yang tinggal di Malang sebanyak lima orang. Untuk dua rumusan masalahnya adalah: Apa saja jenis alih kode dan campur kode yang terdapat dalam percakapan para responden dan apa saja hal yang dapat menjadi penyebab campur kode dan alih kode dalam percakapan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 47 peristiwa alih kode dan campur kode, yang terdiri atas 13 peristiwa alih kode dengan penyebab yang paling banyak ditemukan adalah pembicara. Selain itu ditemukan 34 peristiwa campur kode dengan penyebab yang paling banyak adalah saat membicarakan mengenai topik tertentu. Kata Kunci: Bilingualisme, Kode, Campur Kode, Alih Kode
1. Pendahuluan Bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut dengan “kedwibahasaan”. yang berarti penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Chaer, 2010: 84). Dalam hal ini, berarti orang tersebut menguasai kedua bahasa tersebut. Pertama, bahasa ibunya sendiri (bahasa pertama yang dipelajari) dan bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya, pada umumnya adalah bahasa asing. Seseorang yang menggunakan kedua bahasa tersebut disebut sebagai seorang bilingual. Keadaan ini dapat terjadi jika seorang penutur sering berhubungan dengan penutur lain yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa ibunya. Saat seseorang tinggal di luar negeri, penggunaan bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) akan saling digunakan. Namun, potensi penggunaan B2 biasanya lebih banyak digunakan daripada B1 dalam komunikasi sehari-hari dengan orang lain. Misalnya, orang Indonesia yang tinggal atau bermukim di Amerika akan lebih sering menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Orang Jepang yang tinggal di Indonesia juga sama, mereka akan lebih sering menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dalam berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena B2 mendapat lebih banyak kesempatan untuk digunakan dalam percakapan sehari-hari sebagai bahasa yang digunakan di negara dimana mereka tinggal/bermukim. Penggunaan bahasa campuran antara B1 dan B2 tersebut disebut dengan istilah campur kode. Percampuran tersebut pada umumnya terjadi baik pada kata, klausa maupun frase. Soewito (1996) dalam Suciyatmi (2012: 13-14) menuturkan bahwa campur kode terdiri atas campur kode ke luar (ekstern) dan campur kode ke dalam (intern). Campur kode dan alih kode merupakan hal yang sering dilakukan oleh penutur baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, alih kode dan campur kode merupakan topik yang menarik untuk diteliti. 2. Responden penelitian Jumlah orang Jepang yang tinggal di Malang ada 28 orang (Konsulat Jendral Jepang Surabaya, 2014). Dari jumlah tersebut adalah mereka yang belajar atau bekerja di Malang. Adapun responden penelitian ini adalah lima orang pelajar Jepang yang sedang tinggal di Malang. Pemilihan kelima responden ini karena sulit menemukan perantara dengan responden. Rincian responden penelitian dapat dilihat pada table di bawah ini:
387
No 1 2 3 4 5
Nama (inisial) KK NK MM MA KC
Tabel 1.1 Data Responden Penelitian L/P Usia (th) Asal P 20 Kobe L 24 Miyazaki L 23 Miyazaki P 22 Miyazaki P 22 Fukuoka
Lama di Malang 1 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 1 tahun
3. Waktu penelitian Pengambilan data dari penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013 4. Tinjauan Pustaka 4.1 Pengertian tentang kode Kode merupakan lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu. Seperti dituturkan oleh Kridalaksana (2008: 127) bahwa bahasa manusia adalah sejenis kode; sistem bahasa dalam suatu masyarakat; Variasi dalam bahasa bermacam-macam, tergantung pada seginya masing-masing, misalnya dari segi penutur, segi pemakaian, segi keformalan, dan segi sarana, masing-masing memiliki variasi bahasanya sendiri. Pendapat lain dikemukakan oleh Rahardi (2010) dalam Suciyatmi (2012: 8) menyatakan bahwa : Dalam sebuah kode terdapat beberapa unsur bahasa seperti kalimat, kata, morfem, dan juga fonem yang berupa faktor-faktor luar bahasa atau faktor non-linguistik. Faktorfaktor yang dimaksud dapat juga disebut dengan istilah komponen tutur. Biasanya, kode berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai dalam berkomunikasi dan berinteraksi antara orang yang satu dan yang lainnya. Dari kedua pendapat tersebut di atas, dapat disimpulakn bahwa “kode” secara umum berarti suatu lambang maupun variasi bahasa yang memiliki makna tertentu dalam masyarakat dan memiliki segala unsur bahasa di dalamnya. 4.2 Pengertian tentang alih kode dan campur code Dalam masyarakat bilingual maupun multilingual, pada saat berkomunikasi atau melakukan suatu tuturan dengan sesamanya, peristiwa kebahasaan yang sering terjadi, baik sengaja maupun tidak, adalah peristiwa alih kode dan campur kode. 4.2.1. Alih kode Alih kode merupakan fenomena kebahasaan yang seringkali tidak disadari telah dilakukan oleh seseorang (Chaer, 2010: 109). Pengertian lain mengenai alih kode, yaitu penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain dalam satu peristiwa bahasa sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain (Kridalaksana, 2008: 9). Hymes (1873) dalam Chaer (2010: 107). Menuturkan bahwa“code switching has become a common term for alternate us of two or more language, varieties of language, or even speech styles”. Di sini dijelaskan bahwa alih kode bukan hanya dapat terjadi dalam perbincangan antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi di antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Soewito dalam (Chaer, 2010:114) membedakan dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Alih kode intern yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, misalnya pengalihan kode yang terjadi dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia. Sedangkan alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa sendiri dengan bahasa asing.
388
4.2.2 Campur kode Campur kode menurut Thelander (1976: 103) dalam Chaer (2010: 115) adalah peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri. Yang membedakan dengan alih kode adalah, bahwa dalam alih kode merupakan pada peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain. Campur kode menurut Soewito (1996) dalam Suciyatmi (2012: 13-14) terbagi dalam dua macam, yaitu campur kode ke dalam (Innercode-Mixing) dan campur kode ke luar (Outercode-Mixing). campur kode ke dalam merupakan campur kode dengan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli atau serumpun. Sedangkan campur kode ke luar merupakan campur kode yang unsurnya bersumber dari bahasa asing. 4.2.3 Penyebab Terjadinya Alih Kode dan Campur Kode Chaer (2010: 108-110) menuturkan bahwa beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode antara lain adalah: 1) Pembicara atau penutur, 2) Pendengar atau lawan tutur, 3) Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, 4) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, 5) Perubahan topik pembicaraan. Pendapat lain menuturkan bahwa alih kode dan campur kode pada penutur bilingual terjadi karena antara lain karena 1) penutur membicarakan topic tertentu, 2) penutur mengutip pernyataan penutur lain, 3) penutur menegaskan sesuatu, 4) adanya frasa penghubung kalimat, 5) penutur mengulangi sesuatu untuk klarifikasi, 6) penutur mengklarifikasi isi tututan bagi lawan bicara, 7) penutur memperkuat atau memperhalus permintaan atau perintas agar maksa dapat tersampaikan dengan jelas, 8) penutur menyatakan identitas kelompok apakah secara panggilan atau berdasarkan latar belakang budaya, 9) adanya kebutuhan leksikal karena tidak ditemukannya padanan kata yang tepat, 10) untuk keefisien suatu pembicaraan (Hoffman, 1991: 116 dalam Cakrawati, 2011: 15-17). Dari penyebab-penyebab tersebut di atas, penelitian ini menggunakan acuan pendapat dari Chaer dan Hoffman untuk memaparkan penyebab alih kode dan campur kode. 5. Penelitian terdahulu Ada beberapa penelitian yang membahas mengenai alih kode dan campur kode. Dalam penelitian ini dipaparkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Fujimura Kayo-Wilson (2013) dengan tema 第二言語話者の談話における「コ-ドスイッチング」・「コ-ドミ キシング」の必要性-英国に住む日本人の場合- (dai ni gengo washa no danwa ni okeru “kodo suicchinggu” dan “kodo mikishinggu” no hitsuyousei (eikoku ni sumu nihonjin no baai)). Penelitian ini membahas tentang alih kode dan campur kode yang dilakukan oleh orang Jepang yang tinggal di Inggris. Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan, dengan merekam pembicaraan yang dilakukan sesama orang Jepang, dan meneliti tentang fungsi penggunaan alih kode dan campur kode dalam percakapan tersebut. Hasilnya pemilihan kosa kata dalam pembicaraan erat kaitannya dengan berbagai peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu, penggunaan alih kode dan campur kode dapat berguna untuk menekankan makna dalam suatu isi pembicaraan maupun kesan dari pembicara, baik kesan positif maupun kesan negatif dalam suatu topik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah responden penelitian orang Jepang yang tinggal di Malang dan hal yang dianalisa adalah jenis yang dominan serta penyebab yang dominan dalam penggunaan alih kode maupun campur kode dalam suatu topik pembicaraan. 6. Pembahasan 6.1 Alih kode percakapan orang Jepang yang tinggal di Malang Dari data percakapan oleh responden penelitian ditemukan peristiwa alih kode yang berjumlah 12 peristiwa yang terdiri dari tiga jenis alih kode, yaitu alih kode intern-situasional,
389
ekstern-situasional, dan ekstern-metaforis. Berikut ini adalah pembahasannya. (1) Alih kode intern-situasional Seperti dipaparkan pada bagian terdahulu bahwa alih kode intern merupakan peristiwa alih kode yang berhubungan dengan bahasa sendiri namun dapat juga berhubungan dengan variasi dan ragam bahasa. Berikut ini disampaikan alih kode internal dari perakapan antara orang Jepang dan orang Indonesia. B (Ind) : What’s the different between udon… ‘Apa bedanya dengan udon…’ K (Jpg) : 弾力? (Danryoku?)‘Kenyal?’ M (Jpg) : ちょっと硬い。硬いか。Hard か。(Chotto katai. Katai ka. Hard ka.)‘Agak keras. Keras? Hard?’ K (Jpg) : Hard じゃなくて。(Hard janakute).‘tidak keras…’ A (Jpg) : な ん て い う ん で し ょ う ね 、 弾 力 っ て 。 (Nante iun deshoune, danryoku tte) ‘Apa ya danryoku itu?’ Ma (Jpg) : 饂飩ですけど、香川のはちょっと硬い。(Udon desukedo, Kagawa no ha chotto katai). ‘Udon, tapi Udon Kagawa itu agak keras’ Berdasarkan data percakapan di atas, di sini dipaparkan mengenai alih kode yang terjadi tersebut. Perlu disampaikan bahwa percakapan tersebut membicarakan tentang sanuki udon. Sanuki udon merupakan makanan khas dari Perfektur Kagawa. B (Ind) menanyakan tentang apa yang membedakan antara udon di Jepang pada umumnya dengan udon di Kagawa. Pertanyaan ini cukup sulit bagi K (Jpg) dan kawan-kawannya, sehingga mereka langsung mendiskusikannya sendiri dengan berbicara dalam bahasa Jepang, untuk mencari padanan kata yang tepat mengenai arti danryoku yang dalam bahasa Indonesia-nya bermakna“kenyal”. Dari percakapan tersebut terjadi peristiwa alih kode intern, yaitu percakapan antara K, M, dan A sesama orang Jepang. Peristiwa alih kode dilakukan oleh M, yang awalnya menggunakan ragam non formal saat berbicara dengan K, yaitu saat berbicara ‘Chotto katai. Katai ka. hard ka’ yang berarti “Agak keras. Keras? Hard?”, lalu menggunakan ragam formal saat berbicara dengan B (Ind) saat berbicara ‘Udon desukedo, Kagawa no wa chotto katai’ yang berarti “ Udon, tapi di Kagawa itu agak keras”. Alih kode ini termasuk dalam alih kode situasional, karena meskipun menggunakan ragam bahasa yang berbeda namun topik di dalamnya tetap sama. Penyebabnya adalah identitas kelompok, sebab mereka langsung berubah kode ke bahasa Jepang saat berbicara dengan sesame orang Jepang. (2) Alih kode Ekstern-Situasional Dari data percapakan antara orang Indonesia dan orang Jepang, peristiwa alih kode ekstern-situasional yang terjadi sebanyak 10 kali. Seperti dituturkan sebelumnya bahwa alih kode ekstern merupakan alih kode yang terjadi dalam bahasa sendiri dan bahasa asing. Berikut ini salah satu contoh alih kode ekstern-situasional yang terdapat pada percakapan orang Jepang dengan orang Indonesia. K (Jpg) : Aa.. yayaya.. ada 敬語.。私はかずきです。(B. Indonesia & Jepang) Aa.. yayaya.. ada keigo. Watashi ha Kazuki desu. ‘Aa.. yayaya.. ada bahasa halus. Nama saya Kazuki’ S (Ind) : Ya, banyak ya.. K (Jpg) : Banyak, tetapi saya berbicara dengan teman-teman, 何とか私 はかずき~ だよ。 Banyak, tetapi saya berbicara dengan teman-teman, nantoka watashi ha Kazuki… dayo. ‘Banyak, tetapi saya berbicara dengan teman-teman, namaku Kazuki’ Percapakan tersebut awalnya, B (Ind), S (Ind), dan K (Jpg) membicarakan tentang penggunaan tidak dan nggak dalam bahasa Indonesia, yaitu untuk situasi formal dan tidak formal. Karena topiknya adalah tentang penggunaan kata dalam ragam formal dan informal, maka Kazuki juga memberi contoh hal tersebut dalam bahasa Jepang, yaitu penggunaan desu dan dayo dalam kalimat. Terjadilah alih kode ekstern di dalam percakapan tersebut, yaitu dari
390
bahasa Indonesia ke bahasa Jepang. Pengalihan kode ini terjadi karena K (Jpg) langsung menggunakan bahasa Jepang untuk memberikan contoh. Selain itu, karena topiknya tidak berubah, yaitu tentang ragam bahasa, maka percakapan ini termasuk alih kode situasional. Penyebabnya adalah membicarakan topik tertentu, sebab topik mengenai ragam bahasa tertentu memang lebih tepat jika menggunakan contoh langsung dengan bahasa tersebut. (3) Alih kode Ekstern-Metaforis Dari data yang diperoleh, peristiwa alih kode ini hanya ditemui satu kali. Berikut pembahasannya lebih lanjut : B (Ind) : Cari 被験者 sulit…(Cari hikensha sulit…) ‘Cari responden sulit…’ K (Jpg) : Aa.. yayaya… 被験者..‘…..Aa.. yayaya… hikensha..’ B (Ind) : Bahasa Indonesianya Responden. K (Jpg) : Responden. Saya Responden. 何か日本語で話すこと? Responden. Saya Responden. Nanika nihon go de hanasu koto? ‘Responden. Saya Responden. Ingin membicarakan apa dalam Bahasa Jepang?’ B (Ind) : 何でもいい.. (Nandemo ii..) ‘Apa saja boleh..’ Pada perbincangan awal, K (Jpg)dan B (Ind) sedang membicarakan tentang kosakata baru untuk K (Jpg), yaitu hikensha yang dapat berarti responden. Setelah itu, K (Jpg) langsung mengajak dengan menggunakan bahasa Jepang untuk menanyakan kira-kira topik apa yang dapat mereka bicarakan dalam bahasa Jepang. Salah satu ciri dari alih kode metaforis adalah terjadinya perubahan topik dalam pembicaraan. Perubahan topik yang terjadi yang dilakukan oleh K (Jpg) termasuk dalam alih kode metaforis, sebab penutur mengubah topik dari pembicaraan tentang definisi responden ke topik tentang pembicaraan bebas dalam bahasa Jepang. 6.2 Campur kode percakapan orang Jepang yang tinggal di Malang Pada penelitian ini ditemukan banyak sekali peristiwa campur kode dan penyebab terjadinya peristiwa campur kode juga akan dipaparkan di sini. Berikut ini contohnya: Contoh 1: K (Jpg) : eh, apa nama? B (Ind) : Sugar glider S (Ind) : Seperti tupai, tupai terbang K (Jpg) : Bahasa Jepang, ももんが‘Bahasa Jepang, momonga’ Percakapan tersebut terjadi ketika sedang melintasi tempat hewan-hewan kecil di Pasar Burung, K (Jpg) menunjuk pada suatu hewan dan bertanya hewan apa itu. B (Ind) menjawab bahwa itu adalah sugar glider atau sejenis tupai terbang. K (Jpg) langsung menanggapi kembali dan berkata bahwa sugar glider di Jepang memiliki nama momonga. Percampuran kode dilakukan oleh Kazuki ini adalah campur kode ke luar, sebab Kazuki mencampur kode ke dalam bahasa Jepang. Hal ini dilakukan dengan sengaja untuk memberi informasi kepada B (Ind) dan S (Ind). Sedangkan penyebabnya adalah membicarakan topik tertentu. Dalam kalimat di atas, topik yang dibicarakan adalah sugar glider dalam bahasa Jepang. Contoh B (Ind) : Discount してよ。Discount shiteyo.‘Diskon dong.’ C (Jpg) : え、これ discount よ。もともと seratus とか E, kore discount yo. Moto moto seratus toka ‘Eh, ini sudah diskon lho. Harga awalnya seratus’ Pada pembicaraan di atas, terjadi kegiatan tawar- menawar suatu barang antara B (Ind) dan C (Jpg). Saat menolak untuk ditawar, C (Jpg) melakukan campur kode saat mengungkapkan tentang harga atau uang. Campur kode yang dilakukan oleh C (Jpg) merupakan campur kode ke luar, sebab C (Jpg) mencampur ke bahasa Indonesia saat mengungkapkan harga asli suatu
391
barang, yaitu “seratus (ribu rupiah)” daripada dengan bahasa Jepang, yaitu ‘1000 yen’. Hal ini menjadi lebih mudah dan efisien bagi orang asing dalam memahami suatu harga jika dihitung dalam nominalnya sendiri. 7. Kesimpulan Berdasarkan pada percakapan antara orang Jepang dan Indonesia, peristiwa alih kode didominasi oleh responden yang masih baru/belum lama tinggal di Malang (Ka (Jpg), Ko (Jpg), M (Jpg) dan A (Jpg)), yaitu antara 1-2 bulan. Percakapan dalam kelompok Ko (Jpg) memiliki jumlah penutur paling banyak, yaitu sebanyak 5 orang, sehingga peristiwa alih kode lebih mendominasi dalam percakapan. Selain itu, alih kode banyak dilakukan ke dalam bahasa ibu , yaitu bahasa Jepang, karena lebih mudah untuk mengungkapkan sesuatu. Sedangkan pada peristiwa campur kode, responden yang tinggal antara 1-2 bulan dan 1 tahun, memiliki hasil yang beragam. Namun, C (Jpg) melakukan campur kode terbanyak. Hal ini karena selama satu tahun tinggal di Malang, , C (Jpg) lebih banyak berinteraksi dengan orang Indonesia, sehingga walaupun berbicara dalam bahasa Jepang kepada temannya yang orang Indonesia namun dalam kalimatnya banyak dicampur dengan bahasa Indonesia. Daftar Pustaka Cakrawati, Dias. 2011. Analysis of code switching and code mixing in the teenlit canting by Dyan Nuranindya. Semarang: Universitas Diponegoro Chaer, Abdul & Leonie, Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenala Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Fujimura, Kayo & Wilson. 2013. Dai ni gengo washa no danwa ni okeru kodo suicchinggukodo mikishinggu no hitsuyousei (eikoku ni sumu nihonjin no ba-ai)). Yasuda Woman University. Suciyatmi, Faridah. 2012. Alih Kode dan campur kode dalam komik detektif conan. Tidak dipublikasikan.
392
Merespon Pujian dalam Budaya Jawa dan Bali : Kajian Refleksi Bahasa dalam Budaya Dr. Ni Wayan Sartini, M.Hum., Universitas Airlangga
Abstrak Makalah ini membahas cara merespon pujian pada masyarakat Jawa dan Bali untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara mendalam bagaimana sikap-sikap kedua masyarakat budaya tersebut dalam tindak tutur ini. Walaupun secara geografis Pulau Jawa dan Bali berdekatan dan memiliki akar budaya yang hampir sama, perlu diketahui sikap-sikap atau perilaku budaya dalam konteks kekinian. Dengan mengetahui bagaimana cara kedua masyarakat tersebut merespon pujian dapat diketahui gambaran perilaku kolektif masyarakat Jawa dan Bali dalam berbahasa. Dari analisis yang telah dilakukan, cara atau strategi merespon pujian pada masyarakat Jawa dan Bali dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu (1) acceptance dengan subkategorinya yaitu appreciation token dan return compliment, plesure, smile; (2) selfpraise avoidance dengan sukategorinya referent shift (shift credit), informative comment, dan ignore; (3) rejection meliputi disagreement, challenge complimenter’s sincerity. Berbagai cara merespon pujian dalam masyarakat Jawa dan Bali ini merupakan refleksi dari budaya masyarakatnya. Intinya, adalah nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tindak tutur (merespon pujian) tersebut tidak menunjukkan kehebatan diri sendiri dan bersikap rendah hati. Merespon pujian dengan menjauhkan pujian terhadap diri sendiri merupakan sikap yang santun dan sesuai dengan prinsip kesantunan dengan bidal kerendahhatian (modesty maxim). Kata kunci: pujian, budaya Jawa, budaya Bali, nilai, rendah hati.
1. Pendahuluan Setiap budaya memiliki cara-cara tersendiri dalam berinteraksi. Cara-cara itu kemudian menjadi ciri bagi budaya masyarakat tersebut. Sebagai contoh, cara-cara berbahasa atau bertutur berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perbedaan ini berkaitan erat dengan latar belakang budaya masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, Hymes (1962) mengatakan bahwa cara-cara berbicara bisa bervariasi secara substansial dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain, bahkan dalam cara-cara yang fundamental. Sebagai contoh; kebanyakan orang Amerika kulit putih kelas menengah (mungkin juga anggota masyarakat Barat yang lain) memiliki kaidah alih giliran dalam percakapan yang ‘tidak kosong, overlap’ (Schegloff,1972). Dijelaskan lebih lanjut, apabila dua orang atau lebih terlibat dalam percakapan dan apabila dua orang memulai berbicara pada saat yang sama, salah seorang akan dengan cepat memberikan kesempatan kepada orang lain sehingga percakapan kedua tidak overlap (tumpang tindih). Sebaliknya, apabila terdapat kesenjangan dalam percakapan lebih dari beberapa detik, partisipan menjadi sangat tidak enak. Seseorang akan memulai membicarakan sesuatu yang tidak penting untuk mengisi ‘kesenjangan’ itu atau kelompok tersebut akan bubar. Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa setiap masyarakat akan bertindak, berlaku, dan berinteraksi sesuai dengan budayanya dan cara-cara tersebut mungkin berbeda dengan tata cara masyarakat dan budaya lain. Sehubungan dengan hal itu, sebagaimana halnya Boas menyebut relavitas bahasa (language relativity), maka dalam kebudayaan hal itu disebut relavitas budaya artinya tidak ada satu budaya yang merupakan budaya ideal yang menjadi ukuran budaya satu dengan budaya lainnya. Dengan ciri-ciri yang berbeda dengan budaya lainnya, tidaklah patut menganggap budaya lain tidak rasional atau pun tidak modern. Salah satu tindak tutur dalam berkomunikasi yang berbeda dalam setiap budaya adalah merespon pujian. Memuji dan merespon pujian merupakan tindak tutur yang sarat dengan nilai-nilai budaya. Dalam kajian pragmatik, pujian (compliments) adalah tindak tutur yang khusus menaikkan atau mempertinggi muka (face) biasanya bertujuan untuk memunculkan
393
dampak positif pada suatu hubungan interpersonal (Spencer-Oatey, 2000:18). Pujian dimarkahi oleh kata-kata positif, artinya kata-kata tersebut secara semantik cenderung bersifat menyenangkan (convivial). Dalam studi yang dilakukan oleh Ye (1995) ditemukan cara merespon pujian pada masyarakat China adalah menolak setiap pujian yang diberikan (the best response to compliments in Chinese is traditionally thought to be rejection or denial) sebaliknya dalam masyarakat Inggris cara terbaik untuk merespon pujian adalah menerima pujian tersebut (the best way to respond a compliments is to accept it) (Pomerantz,1978). Dalam kajiannya, Pemerantz menggunakan istilah pujian disejajarkan dalam bahasa Inggris yaitu compliments, praise, dan credit . Namun menurut Wierzbicka,1987) ketiga istilah tersebut merupakan hal yang berbeda. Pujian pada umumnya memiliki efek yang positif dalam hubungan antarpersonal, sebagai yang dikatakan Holmes (1995:118) they are typically ‘social lubricants which”create or maintain rapport”. Peneliti-peneliti yang telah mengidentifikasi perbedaan budaya dalam sikap-sikap memuji adalah Wolfson, Barnlund and Araki 1985, Herbert,1989, Lewandowska-Tomaszczyk 1989, Chen 1993, Loh 1993, Ylanne-McEwn 1993 (Spencer-Oatey,2000). Penelitian juga dilakukan oleh Pomerantz (1978), Holmes (1995), Ye (1995), Spencer- Oatey, Patrick Ng and Li Dong (2000) dan Sartini (2013) mengkaji tentang bentuk-bentuk pujian dalam konteks formal. Makalah ini membahas cara merespon pujian pada masyarakat Jawa dan Bali untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara mendalam bagaimana sikap-sikap kedua masyarakat budaya tersebut dalam tindak tutur ini. Walaupun secara geografis Pulau Jawa dan Bali berdekatan dan memiliki akar budaya yang hampir sama, perlu diketahui sikap-sikap atau perilaku budaya dalam konteks kekinian. Dengan mengetahui bagaimana cara kedua masyarakat tersebut merespon pujian dapat diketahui gambaran perilaku kolektif masyarakat Jawa dan Bali dalam berbahasa. Bahasa dalam hal ini adalah rangkaian kata-kata dalam tuturan merespon pujian merupakan cara berkomunikasi (ways of communication) yang dapat menentukan karakteristik budaya suatu masyarakat khususnya masyarakat Jawa dan Bali. Dengan demikian, mengkaji perilaku masyarakat secara lintas budaya merupakan topik yang menarik karena menekankan perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi di antara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan. Pada awalnya studi lintas budaya ini berasal dari perspektif antropologi sosial dan budaya sehingga dia lebih bersifat depth description, yakni penggambaran yang mendalam tentang perilaku komunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu (Liliweri, 2001: 22). 2. Kajian Pustaka Pujian pada umumnya mendatangkan efek positif pada hubungan interpersnal (Holmes,1995) dan pujian dapat diibaratkan sebagai pelumas sosial dalam menjaga hubungan (maintain rapport). Namun, pujian yang diberikan dengan maksud dan tujuan-tujuan tertentu efeknya pada hubungan interpersonal secara alamiah kurang positif (less positive). Merespon pujian (compliments response) juga mendatangkan dilema, apakah menerima pujian atau menolaknya. Pomerantz (1978) dalam studi klasiknya tentang respon-respon pujian, menunjukkan suatu dilema yang dikemukakan oleh yang dipuji ; di satu pihak, ada tekanan untuk menyetujui pujian tersebut, di lain pihak, ada tekanan untuk menjauhkan sikap memuji diri sendiri. Dengan kata lain, terjadi konflik pada penerima pujian tersebut yaitu jika mengikuti maxim persetujuan (agreement), mereka akan melanggar maxim kerendahatian (modesty). Untuk mengatasi konflik batin dalam merespon pujian tersebut, Pomerantz (1978) dan Holmes (1995) menemukan strategi yang dibagi menjadi tiga kategori yaitu (a) acceptance, (b) rejection/ deflection, and (c) evasion/selft-praise avoidance. Ye (1995) juga menggunakan tiga kategori tersebut untuk mengkaji respon pujian dalam masyarakat China yaitu (a) acceptance, (b) acceptance with amandement, (c) non-acceptance. Cara merespon pujian berkaitan erat dengan maxim kesantunan. Leech (1983) menjabarkan maxim (bidal) kesantunan menjadi (a) bidal kebijaksaan (tact maxim) (b) bidal
394
kedermawanan (generosity maxim), (c) bidal pujian (praise maxim), (d) bidal kerendahhatian (modesty maxim), (e) bidal kesetujuan (agreement maxim), (f) bidal simpati (sympathy maxim), dan bidal pertimbangan (consideration maxim).Dari seluruh bidal tersebut, yang berkaitan dengan sikap mersepon pujian adalah bidal pujian dan bidal kerendahhatian. Bidal pujian berbunyi minimalkan penjelekan (dispraise) terhadap pihak lain; dan maksimalkan pujian kepada pihak lain. Sementara, bidal kerendahhatian berbunyi minimalkan pujian kepada diri sendiri, dan maksimalkan penjelekan kepada diri sendiri. Inti bidal pujian dan kerendahhatian adalah bahwa memuji diri sendiri dan menerima pujian secara eksplisit dalam budaya-budaya tertentu dianggap tidak santun. Untuk itu diperlukan strategi-strategi tertentu dalam merespon pujian seperti yang telah disampaikan Pomerantz (1978) dan Holmes (1995). Dalam kaitannya dengan budaya, tindak tutur merespon pujian ini dapat dikatakan mencerminkan etika dan nilai-nilai budaya penuturnya. Dengan kata lain, budaya mengatur penggunaan bahasa dalam berinteraksi. Budaya berkaitan erat dengan norma-norma yang harus diikuti oleh anggota masyarakat budaya yang bersangkutan, dan karena ia bersifat normatif maka budaya menentukan standar perilaku (Horton dan Hunt, 1987 dalam Gunarwan, 2007:57). Selanjutnya juga dijelaskan, penerapan norma-norma kebudayaan yang mengatur cara-cara berperilaku dan berkomunikasi, lama kelamaan menjadi kebiasaan (folkways) yang mengacu kepada cara-cara yang lazim dan wajar serta diulang-ulang dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang. Gunarwan (2007) menjelaskan cara-cara yang lazim dan wajar kemudian melahirkan pandangan di dalam masyarakat yang bersangkutan bahwa ada hal-hal yang harus diikuti sebagai sopan santun dan perilaku kesopanan. Dari sinilah, kemudian timbul pandangan tentang mana yang salah dan mana yang benar serta mana yang baik dan mana yang buruk mengenai kebiasaan termasuk kebiasaan berbahasa. 3. Merespon Pujian dalam Budaya Jawa dan Bali Kajian tentang merespon pujian dalam budaya Jawa dan Bali merupakan studi awal terhadap penelitian pragmatik lintas budaya. Dari pengamatan awal yang telah dilakukan ditemukan cara-cara merespon pujian pada kedua budaya tersebut. Untuk menganalisis data ini, akan digunakan taxonomies of compliments response strategies dari Pomerantz (1978) dan Holmes (1995) yaitu (a) acceptance, (b) rejection/ deflection, dan (c) evasion /self-praise avoidance. Dari beberapa data yang telah dikumpulkan, ditemukan strategi-strategi yang digunakan masyarakat Jawa dalam merespon pujian dalam . Strategi tersebut adalah (a) acceptance (menerima); (b) self-praise avoidance (menghindari memuji diri sendiri); (c) rejection (menolak). Ketiga strategi tersebut dijabarkan lagi menjadi sub-sub yang lebih detail. 3.1 Acceptance Merespon pujian dengan menerimanya dapat dibagi menjadi appreciation token, dan return compliment. Menerima pujian dengan mengucapkan terima kasih secara eksplisit sangat jarang dilakukan baik dalam budaya Jawa maupun budaya Bali. Walaupun begitu, ditemukan strategi yang digunakan untuk itu seperti berikut ini. 3.1.1 Appreciation token Respon pujian ini adalah menerima dan menghargai apa yang dikatakan seseorang yang diikuti oleh gestur dan ucapan terima kasih dengan nada bicara yang seolah-olah tidak serius menerima pujian tersebut, seperti contoh berikut (1) dalam masyarakat Jawa (MJ) dan (2) masyarakat Bali. Data (1) MJ A. : Mbak..bajumu apik pas sama jilbabnya. B. : Makasih yaa, atas pujiannya..tenan toh..(senyum disertai dengan gestur).
395
Data (2) MB A. : Mbok..nyegegang jani ya..’ Mb tambah cantik sekarang ya’ B. : Suksma . ‘terima kasih’ (tersenyum disertai gestur yang menunjukkan kedekatan hubungan) Respon yang diberikan tersebut menurut istilah Pomerantz (1978) disebut dengan appreciation token yaitu mengapresiasi apa yang telah disampaikan seseorang. Dalam budaya Jawa dan Bali, mengucapkan terima kasih secara eksplisit atas pujian yang diberikan terkadang dianggap sikap yang sombong. 3.1.2 Return Compliment Merespon pujian dengan cara ini adalah mengembalikan pujian kepada orang yang memuji atau memuji kembali orang yang memberikan pujian; seperti contoh berikut. Data (1) MJ A. : Pak, suaramu apik nyanyi lagu iku. ‘Pak suaramu bagus menyanyikan lagu itu’ B. : Suaramu juga bagus gitu lho. (Memuji kembali A). Data (2) MJ A. : Piye kabare Bu..ayune rek.. ’Apa kabar Bu..cantik sekali’ B. : Ahhh..ngga sebaliknya toh..ibu yang cantik. Dalam hal ini petutur (B) juga menyanjung dan memberikan pujian yang sama terhadap penutur (A). Dalam budaya Bali juga terjadi hal yang sama, bahwa ada strategi return compliments ketika merespon pujian seperti beikut ini. Data(3) MB A. : Bli..gede sajan umah Bli’ne . ‘Kak..besar sekali rumah kakak’ B. : Umah Tu ne masih gede.. ‘Rumahmu juga besar’ 3.1.3 Plesure Respon pujian dalam hal ini menunjukkan orang yang dipuji seolah-olah senang menerima pujian. Contoh berikut dapat menunjukkan hal itu. Data (1) MJ A. : Mas, ta’ liat-liat, awakmu sekarang tambah rajin ya... B. : Seneng aku dengernya ‘senang saya mendengarnya’ Data(2) MB A. : Mbok, kok enggal lulus ya, pasti dueg ne. ‘Kak kok cepat lulusnya ya, pasti pinter ya’ B. : Beh demen atine orahange dueg. ‘ Seneng lho dibilang pinter’ 3.1.4 Smile Dalam budaya Jawa dan Bali, merespon pujian dengan senyum adalah respon yang netral. Tidak dapat dideskripsikan secara pasti apakah orang yang dipuji itu menerima atau menolak pujian yang diberikan. 3.2 Self-praise avoidance Strategi ini adalah menjauhkan pujian terhadap diri sendiri. Strategi ini dapat dirinci lagi menjadi referent shift (shift credit), informative comment, ignore, request reassurance. Berikut adalah contoh untuk masing-masing strategi. 3.2.1 Referent shift (shift credit) Strategi ini dapat dilihat pada contoh berikut hal ini. Data (1) MJ A. : Vidya, fotonya bagus, kamu cantik sekali. B. : Mukenanya yang bagus Bu, juga fotografernya yang pintar. Data(2) MB A. : Len ya jani puk, jeg putih jan kulitne. ‘Lain dia sekarang lho, kulitnya putih sekali’ B. : Beh..na efek bajune ene.. ‘Ini efek bajunya ‘
396
Dari kedua contoh tersebut dapat dikatakan bahwa orang yang dipuji mengalihkan pujian kepada orang atau benda. Seperti pada contoh (1) Vidya mengalihkan pujian itu untuk benda yaitu mukena dan fotografernya. Untuk contoh (2) dalam budaya Bali juga sama petutur, mengalihkan pujian kepada baju yang dikenakannya. 3.2.2 Informative comment Dalam hal ini, merespon pujian dengan memberikan informasi terhadap pujian yang diberikan seperti contoh berikut ini. Data (1) MJ A. : Apike kebunmu Mas..tanamanya rapi. ‘Bagusnya kebunmu Mas,..’ B : Itu tukang kebunku yang ngerawat, bungane tuku nang Juanda’ ‘Itu dirawat tukang kebunku, bunganya beli di Juanda’ Data (2) MB A.: Bli, awake seger jan. ‘Mas, badannya kok segar sekali’ B : Aee..nak sabilang sabtu ke Sanur jogging ajak manjus di pasih’ ‘Ya..setiap Sabtu ke Sanur Jogging dan mandi di laut’ Contoh (1) di atas menunjukkan bahwa pujian yang dilontarkan A direspon dengan memberikan informasi bahwa yang merawat kebunnya adalah tukang kebun dan membeli tanamannya di Juanda. 3.2.3 Ignore Merespon pujian dengan strategi ignore ini adalah mengabaikan pujian yang diberikan seperti contoh berikut ini. Data (1) MJ A. : Rajinne Mas, isuk-isuk sudah di kampus. ‘Rajin sekali Mas, pagi-pagi sudah di kampus’ B. : Ayo..kita berangkat. Data ini menunjukkan bahwa (B) tidak merespon pujian yang diberikan, tetapi mengabaikan dengan mengajak berangkat karena akan pergi ke luar kota. 3.3 Rejection Cara merespon pujian yang lainnya adalah rejection atau menolak pujian yang diberikan. Penolakan dalam hal ini adalah disagreement seperti berikut ini. 3.3.1 Disagreement Dalam hal ini orang yang dipuji akan merespon pujian dengan tidak menyetujui (menolak) pujian yang diberikan kepadanya. Srategi ini banyak ditemukan dan secara umum sering digunakan untuk merespon pujian baik dalam budaya Jawa maupun Bali. Berikut adalah contoh untuk strategi ini. Data (1) MJ A. : Mbak Sih..bajunya bagus, warnanya cerah..baju baru ya. B. : Nggaklah Bu..sing penting ganti (senyum). Data (2) MJ A. : Presentasimu bagus dan jelas sekali. B. : Ah. Masak sih Bu..biasa aja. Data (3) MB A. : Yuk, jukut kacange jaen sajan. ‘Yuk, sayur kacangmu enak sekali’ B. : Mehhh nyen..biasa gen. ‘Ah, nggaklah, biasa saja’ 3.3.2 Challenge Complimenter’s Sincerity Merespon pujian dengan cara ini adalah menantang (meragukan) ketulusan hati orang yang memuji seperti contoh berikut ini.
397
Data (1) MJ A. : Kalian berdua serasi sekali. B. : Ah..kamu bercanda ya.. Data (2) MB A. : Buk..banten buk’e paling luwunge.. ‘ Bu, sajen ibu paling bagus’ B. : De ajum..ngelah gen. ‘Jangan bercanda..bisa aja’ Dari data di atas, dapat dilihat adanya kesamaan cara merespon pujian dalam budaya Jawa dan Bali. Secara umum dapat dikatakan bahwa kedua masyarakat budaya tersebut tidak mengucapkan terima kasih secara eksplisit dalam merespon pujian karena hal itu dianggap refleksi dari sikap yang memiliki kepercayaan diri yang terlalu tinggi dan juga sangat mengangungkan diri sendiri. Dalam kedua budaya sikap ini dianggap sikap yang tidak santun. Namun dalam budaya yang berbeda, merespon pujian dengan mengucapkan terima kasih adalah hal yang wajar dan biasa, namun di dalam budaya lain menerima pujian dengan ucapan terima kasih dianggap tidak sopan. Seperti contoh di Amerika, ketika seorang suami memuji istrinya dengan kata-kata “Gee,Hon, kamu terlihat cantik dengan baju itu”, kemudian istrinya menjawab “Ini hanya baju usang yang diberi kakakku untukku”. Tanpa disadari jawaban istri melukai perasaan suaminya karena tidak bisa menerima pujian yang diberikan. Ada beberapa asumsi atas hal ini yaitu mungkin istrinya tidak biasa menerima pujian sehingga merasa malu ketika dipuji. Menurut Wierzbicka (2000) perbedaan penerimaan pujian tidak dapat disamakan antara satu budaya dan budaya lainnya. Meskipun kejadian ini terjadi di Amerika yang merupakan negara multikultural, mungkin hal ini tidak menyangkut kepercayaan diri tetapi meliputi latar belakang budaya. Mungkin saja sang istri adalah orang Eropa Timur, China, atau latar belakang budaya Jepang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan dalam merespon pujian berkaitan erat dengan latar belakang budaya. Begitu juga halnya dengan budaya Jawa dan Bali yang mungkin berbeda dengan budaya di daerah lain. Demikian juga yang terjadi dalam budaya Jawa dan Bali. Cara-cara yang dilakukan masyarakat Jawa dan Bali dalam merespon pujian tersebut berkaitan erat dengan budaya masyarakatnya. Bahasa dalam hal ini merupakan refleksi dari budaya masyarakatnya. Menurut Geertz (dalam Magnis –Suseno,1985) ada dua prinsip dasar yang menentukan pola pergaulan sosial masyarakat Jawa. Kedua prinsip tersebut adalah prinsip kerukunan dan prinsip kurmat. Prinsip kerukunan mengacu kepada kewajiban setiap anggota untuk menjaga keseimbangan sosial sedangkan prinsip kurmat mengacu pada kewajiban setiap anggota masyarakat untuk menunjukkan hormat kepada orang lain sesuai dengan status dan kedudukannya masing-masing dalam masyarakat. Menurut beberapa ahli, prinsip kerukunan dapat dijabarkan menjadi empat bidal yaitu prinsip kurmat (saling menghormati), andhap-asor (rendah-hati), empan-papan (sadar akan tempat) dan tepa salira (tenggang rasa). Cara merespon pujian dalam masyarakat Jawa merefleksikan sikap yang terkandung dalam bidal andhap-asor (‘rendah’). Bidal ini berasal dari kata andhap ‘rendah’ dan asor ‘berada di bawah’. Bidal ini berisi nasihat agar setiap orang selalu berperilaku rendah hati, tidak congkak, tindak tinggi hati dan sebagainya. Menurut Gunarwan (2007) bidal ini menekankan perilaku bahasa yaitu pakailah bahasa sedemikian rupa sehingga si petutur tahu bahwa Anda rendah hati atau tidak congkak. Selanjutnya dikatakan, petutur tahu bahwa penutur yang rendah hati akan merasa bahwa ia sedang dipuji, makin rendah hati si penutur, makin tinggilah pujiannya. Subbidalnya mengatakan (1) pakailah bahasa sedemikian rupa sehingga si penutur merasa bahwa ia sedang dipuji; (2) janganlah pakai honorifik untuk mengacu kepada diri sendiri. Hampir sama dengan nilai-nilai budaya Jawa, cara merespon pujian dalam masyarakat Bali juga merefleksikan nilai-nilai budaya yang ada dalam budaya Bali. Filosofi yang mendalam dalam idiom ‘ede ngaden awak bisa, depang anake ngadanin, artinya jangan merasa paling pintar, paling tahu, karena masih banyak orang pintar, berlakulah rendah hati, tidak sombbong dan biarkan orang yang menilai apa yang telah dilakukan.
398
4. Simpulan Berdasarkan data yang telah ditemukan, cara atau strategi merespon pujian pada masyarakat Jawa dan Bali dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu (1) acceptance dengan subkategorinya yaitu appreciation token dan return compliment, plesure, smile; (2) selfpraise avoidance dengan sub kategorinya referent shift (shift credit), informative comment, dan ignore; (3) rejection meliputi disagreement, challenge complimenter’s sincerity. Cara merespon pujian ini merupakan refleksi dari budaya masyarakatnya. Intinya, adalah nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tindak tutur tersebut tidak menunjukkan kehebatan diri sendiri dan bersikap rendah hati. Merespon pujian dengan menjauhkan pujian terhadap diri sendiri merupakan sikap yang santun dan sesuai dengan prinsip kesantunan Leech (1983) dengan bidal kerendahhatian (modesty maxim).
Daftar Pustaka Geertz, Clfford. 1973. The Interpretaion of Culture. Princeton : Basil Books. Gunarwan, Asim. 2007. Pragmatik. Teori & Kajian Nusantara. Jakarta : Universitas Atma Jaya Holmes, Janet. 1986. “Compliments and Complimments responses in New Zealand English”. Anthropological Linguistics. Hymes, Dell. 1962. ‘Model of Interactio of Language and Social life” dalam J. Gumperz dan Dell Hymes (ed). Direction in Sociolinguistics. Oxford : Basil Blackwell Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London : Longman Liliweri, Alo. 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Pomerantz, A. 1978. Compliments responses : notes on the co-operation of multiple constraints. dalam J. Schenkein (ed), Studies in the Organization of Conversational Interaction. New York : Academic Press Schegloff, E. 1972. “Sequencing in Conversational Opening”. dalam J. Gumperz dan Dell Hymes (ed). Direction in Sociolinguistics. New York : Holt Rinehart and Winston. Spencer, Helen-Oatey, Patrick Ng and Li Dong. 2000. “Responding to Compliments : British and Chinese Evaluative Judgements” dalam Helen Spenser-Oatey (ed), Culturally Speaking Managing Rapport through Talk across Cultures. London and New York : Continuum Wierzbicka, Anna. 1985. “Different cultures, different languages, different speech acts” Journal of Pragmatics 9. Ye, L. 1995. “Complementing in Mandarin Chinese”. dalam G. Kasper (ed) Pragmatics of Chinese as Native and Target Language. Honolulu : University of Hawaii Press.
399
Improving Factual Text Writing through “Rural and Urban Culture Reflections” Tweeted at #nusantarawisdom by UNAIR Anthropology Students Lyla Anggerwina Kusuma, Universitas Airlangga
Abstract Concerning the use of language skills for communicating ideas in 21st century, writing presents difficulties for urban non-native speakers of English for a number of reasons. Grammatical accuracy and limited time in practicing are some issues that become a constant focus. To achieve the goal of improving students’ writing skill in limited time, teachers can apply a technology such as twitter which has many benefits because of its special features such as hashtag feature and “Kultwit” in teaching for urban learners. This study then focusses on improving factual text writing through twitter for Airlangga Anthropology students by sharing their ideas about anthropology topics through kultwiting with specific hashtag (nusantarawisdom). Creating meaningful writing text, commenting the issues of the posted culture, sharing knowledge about Indonesian culture around the world are some authentic learning activities which can improve students’ critical thinking for real life demand. This paper then provides analytical point of views by looking at why and how twitter can be considered as a new teaching trend in teaching critical writing followed by its practical example of the application of twitter as a learning activity to share urban students’ idea throughout the world. Keywords: Twitter, writing, culture, critical thinking, authentic learning.
1
Introduction At the university level, disciplinary knowledge and understanding are largely exhibited and valued through the medium of writing. Mindful of fact that teaching writing especially academic writing is no easy job. This is not just how students feel, but lamentably is also an opinion shared by English college level especially who train skill mastery that to teach academic writing effectively for a beginner up to intermediate Indonesian college students means time consuming and hard doing. Langan (1987) and Gunning (1998) also agreed that writing is difficult because it is more complex and more abstract that talk. As stated from other researchers (Richards & Renandya, 2002; Nunan, 1999) that the apathy of writing in Indonesia may result from the fact that students have bad perceptions on writing. They assume that writing is the most complicated and difficult skill to master. Why does it apparently be difficult to be mastered? According to Ariyanti (2012), the impacts of such perception appear not only because of the students’ problem but most teachers also bring contribution to the problem found in writing class. Another finding from other researchers said that students tend to write unfairly in writing process since the writing activity were not presented attractively (Rozimela, 2004 in Cahyono, 2009; Mukminatien, 1991. Harmer (1998) also strengthens this idea by giving suggestion to the English teacher to apply a method, a strategy, or a technique that can encourage students to do writing practice actively. For many writing instructors, these issues are amplified when they are teaching Academic Writing at the advanced level. Learning to write in an academic context as a manifestation of teaching factual text in English is tremendous challenge for students because to master the writing style requires an understanding of an academic text logic / generic structure, appropriate academic theme and topic which tends to be had, and also the use of formal and appropriate vocabularies. Besides, the minimum data or ideas to be shared apparently contribute problems to for the learners. Moreover the fact that students could not get the real function and benefit on mastering that writing skill in their real life makes teaching writing somehow become
400
very frustrating. As Piaget (1971) and Vygotsky (1962) stated in Constructivism theory, learning is understood as an active, constructive process. The success standard of it is when people actively construct or create their own subjective representations of objective reality to solve the problem in reality and apply the language in daily life. In another side, integrating technology in language teaching becomes the new wave of teaching in this 21st century. It is in line with the rapid growth of technology on this modern era. Teaching through media can also be classified as learning actively through real life. Poore (2013) also stated that real time interaction can be achieved from the use of internet. Referring back to the class condition, the phenomena of lazy writing, the rapid growing of technology, the new behaviour of using technology in the classroom open a new opportunity for a teacher to find integrated solutions towards this problem. Nowadays many computer-based and Internetintegrated curriculums are designed to make learning more interesting and efficient. Twitter apparently can be one solution of it since most college students are into twittering in their everyday life. Students’ bounding with their local culture can also be a good opportunity for the students to bring those data and share those ideas in the international level. These phenomena can also be noted as an opportunity for them to compare the idea of local culture and urban culture toward some issues as a media to improve their writing skill for real function. Reflecting rural and urban culture in seeing a phenomenon in society and implement it on will be the main topic that can be discussed in their academic writing. Regarding to the students’ new hobby about twittering, this study wants to incorporate twitter for creating factual text in the classroom. It is apparently more interesting for students because they feel that it is a gaming and enjoyable activity, they can create words, sentences and produce writing based on its generic structure without feeling worried to make a mistake since it will be not tested. Looking out the gaps and the opportunities, this article will discuss the rationale for incorporating twitter into the second language teaching for teaching factual writing for Anthropology students in Airlangga University who took English 2 subject which take academic writing for its target. 2 Why factual writing? Why twitter? Why urban and rural reflection? 2.1 Why it should be factual writing? A number of educators and linguists (for example, Halliday 1985; Martin 1985; Christie 1990; Matthews 1995) note that writing skills are considered prestigious and it is noted as the highest skill production in teaching English. Brown (2007) explained, writing and speaking can be regarded as production skills that should be mastered by the students. For college students writing can be applied as a means of communication since through speaking and writing people can share their ideas to others. Harmer (2004) also supported that ideas by saying reading and writing become one of a desirable skills for people because the need of for citizen of writing and reading is vital to get the success life. In teaching writing, there are alot of knowledge and skills needed to be mastered by the students such as rhetorical, register, formality, linguistic accuracy, and many others (Coffin, 2003). First, as a language teacher, a competence in differing types of text is crucial. As agreed that factual text that becomes the goal of academic writing is understood as a text that brings facts, moreover, it has to be informative and it can be classified as informational text. Even the word ”informational text” and ”nonfiction text” somehow are used interchangeably; however, they are not same from its purpose, format and features. Misunderstanding about informal text and non-fiction text can bring huge impacts in teaching writing. Because of its differences, English teacher has to be very selective in choosing type of text that will be taught as a learning target in order to avoid misunderstanding about both texts as a targeted text that will be taught. Since informal text or factual text focusses on giving factual information therefore, procedural or how-to text can be classified as nonfiction, but not informational text because its primary purpose is to tell someone how to do something, not convey information about something. Nonfiction narrative or “true stories” are also nonfiction
401
but not informational text, because their primary purpose is to tell of an event or series of events that have occurred. The primary purpose of informational text is to convey information about the natural or social world with particular linguistic features such as headings and technical vocabulary to help accomplish that purpose. The example of informational text can be seen in reference books such as encyclopedias, field guides and so on. Creating informational text or factual text is the basic skill that needs to be mastered by the student in order to be able to write an academic writing text such as journal, scientific articles and many others. Comparing urban and rural phenomena in society and write them in a form of text or article can be classified in factual text or informative text. This factual text is chosen since it becomes the basic skills that need to be mastered before college students are trained to make higher level of writing in the form of complete scientific article. 2.2 Why do we use twitter? In this 21st century, social media brings some positive impacts in teaching English especially teaching writing skill. Integrating twitter in writing process for instance is chosen since it is an accessible and popular social media in teenager age. This fact gives opportunity to the learners to create their own written text and develop their critical thinking for communication. Teaching writing through social media can be very interesting and relevant because this type of task-based lesson creates a student-centered environment. For example, teaching through twitter: uses authentic material to contextualize language and increase the students’ motivation in learning requires real language as a means of meaningful communication that accommodate student’s cognitive and strategic skills creates meaningful written product, positive social and affective working environment allows the students to integrate formal and informal language in producing written text because it is a real action offers possibility for portfolios and other alternative assessment. Besides those perspectives, Poore (2013) stated that twitter can be used mainly for outside class activity. He brought ideas in using twitter as follow: Use twitter to continue class discussions outside of schools hours Post activities and generic feedback for students in the forms of tweets Share links and resources via twitter. Encourage students to share too Send out announcement and reminders via twitter Use twitter for ‘Q & A’s on class topic However, this study found more ideas in using twitter in classroom. Students are introduced to make and tweets that later the tweets would be built into a paragraph and in each tweet or each sentence should consist of at least 10 words. Because twitter focusses on writing activity only, the students can focus more on improving their writing skills. When they want to attach more media such as video picture or anything they have to link it to the real sources such as youtube, path, etc. More advantages of applying creative writing by using twitter appear from the special features owned by twitter. Those benefits are listed as follow: Twitter has 140 characters, that encourage students to create at least 100 characters (include space) in one sentence and it means that the average production of posting is 10 words in 1 sentence that is very useful in improving students’ sentence building Twittering is an authentic activity, thus they can do twittering, commenting in real time either inside the class or outside the class Twitter has hashtag (#) feature, to short out the similar topic and it can be used by others to follow the class’ tweeter stream. Even facebook also has the hashtag (#) feature, the # in facebook cannot be optimally used since it does not link with other similar topic with the same hashtag in facebook.
402
The chirpstory feature also brings benefit to resume the tweets and compile the tweets into one story / paragraph, so the students can post it in their tweet like writing in a blog. The @ feature can be used by the tweeps to send direct message to the other tweeps. This action can stimulate commenting activity after posting. Because twitter is based on real-time communication, so it seems logical that socially constructivist such as Piaget would be well support this kind of social media. Through this social media students can collaborate, improve the teamwork, and expand networking, practice negotiation as a manifestation of strategic competence in communication. 2.3 Why it should be rural and urban reflections? Integrating Indonesian culture in teaching English is a good way to convey Indonesian local wisdom internationally. The fact that culture and language are inseparable makes teacher should facilitate students to experience acculturation besides grasping the background knowledge of the targeted culture. Purba (2011) also found benefits of integrating culture in English language teaching. The local wisdom or culture integrated in EFL teaching material here should accommodate the context, any context which Indonesian member of a society exist, behaves, thinks, feels, and relates to others (Purba 2011). Based on this definition this study picks Indonesian portrayed about anything in Indonesia, belief, habits, way of life, ideology, etc. to be used as one of the source information in teaching. Comparing human life from east perspective and west perspective is one of the examples of using language as a means of communication. 3
How do we go about teaching factual text through twitter? As know that writing is a progressive activity which means that teaching writing cannot be done one time. Therefore, writing is a never one-stop action, it is a process that needs several practices and tests (Oshima & Houge, 1997). Harmer (1991) also supported this idea by saying that since writing is a productive skill, it needs a process of inscribing characters or idea on particular medium, with the intension of forming meaningful words and other larger language constructions. Therefore, the activities for shaping students’ mastery on writing for Antropologi students in Airlangga University will be done as follow. The following lesson plan is designed for Airlangga students and based on the process approach in which students not only create one chirpstory. Each of the activities is designed for single lesson plan, however, the first activity may vary in every lesson depending on the teachers’ creativity in eliciting students’ writing competence. The first lesson plan posted, WHq for eliciting students’ writing skill through free writing, second is. Each lesson plan is also accompanied by the result from students’ work. 3.1 WHq for eliciting students’ writing skill through free writing Name Focus Target Materials Time Steps
WHq for eliciting students’ writing skill through free writing Making a paragraph together with other member in a group A paragraph from answering WHq / Sentence Building Pictures, list of vocabularies, Questions 10-30 minutes 1. Prepare the targeted vocabularies, such as, human health, modern treatment, traditional treatment, diet, herbs, etc. 2. Introduce the topic about particular topic (health) by showing the picture from western and Indonesia 3. Brainstorm Students’ ideas about it by doing free Question and Answer 4. Give continuous questions of it and ask the students to create full answers (WHq) a. What is human health? b. How do Indonesian people maintain their health? c. Mention the example!
403
5.
d. What is modern treatment? e. What is traditional treatment? f. When do people take modern treatment! g. When do people take traditional treatment! h. What will you do to keep your health! Combine all answers from previous WHq into one paragraph.
Figure 1 An example of the WHQ result from one of the students From the result, even there are some minor mistakes on paragraph building by using WHq Questions. The thing that can be seen as a positive result is the well-structured preview of the proper paragraph. Besides well-structured paragraph students could express their idea freely and it could be seen from the content that were not exactly same one another. By being able to construct the proper paragraph like this, students can be motivated to make the same and better paragraph of their own by using mind mapping / concepting before making a paragraph. This action is important in making factual text since the data, order, technical vocabularies should work together in order to create a well-structured and proper paragraph. Below will be continued the lesson plan of mind mapping stage. 3.2 Mind mapping Name Focus Target Materials Time Steps
Get the idea through mind mapping Making a proper and well-structured paragraph by using mind map to control the content of it A proper and well-structured paragraph Students’ idea about anthropology issues. E.g. folklore, language, traditional healer, family program, plagiarism, Surabaya slang word, etc. 10-40 minutes 1. Ask the student to concept the idea with 1 main idea and 4 supportive ideas in 5 minutes 2. Ask the students to write the concept in 5 sentences for about 10 minutes 3. Assess students’ performance by asking the other students to read and do correction 4. Give general evaluation of the students’ work.
404
Figure 2 An example of a map and paragraph result from one of the students 3.3 Create #nusantarawisdom and create the kultweet. Having finished creating the free writing and mind mapping activity, the teacher may continue by asking the students to tweet the sentences. In tweeting, the students are encouraged to directly post their tweet without any pace while teaching. This is extremely needed in order to make a kultweet (kuliah twitter) which is known as writing continuous tweets. While doing kultweet, students should insert the hashtag (#nusantarawisdom) and link that tweet to the people that what to inform or other hashtag which have concern on education. There are listed some relevant educational hashtags that were commonly used in twittering #nusantarawisdom. In this project the #edchat is the post popular hashtag used in this research. Besides the students also summoned the other teachers or other people that they thing they will be interested to their tweets by inserting @...(id of tweeter user)… and they sometimes do commenting afterwards. The teacher may also stimulate mu doing retweeting and sharing the students’ tweets to their friends especially the one who willing to comment that tweet.
Figure 3 students’ kultweets by using #nusantarawisdom
405
The tweets above are the example of creating kultweet by inserting #nusantarawisdom. The number written in the beginning of the sentence shows the order of the tweet / sentences posted. The red color shows the mentioned member that had been given a direct message. Besides doing kulweeting and sending direct message activities, commenting activity can be done through tweeter. The example of commenting activity through tweeter can be seen in the figures below. The commenting activity can also be done in twitter by other people outside of the classroom or friends in the classroom. The positive think was students did not feel awkward to do commenting friends’ work in English, it can be classified as areal language use that had been successfully performed by the students outside the class as the goal of communicative language teaching.
Figure 4 Assessing chirpstory window Assessing Action can be also done in this teaching activity. As seen above, the teacher can give direct feedback of the material tweeted by the students. The feedbacks could be in the form or grammar correction, suggestion of diction choices, the minor mistake in finishing the assignment, and many others. 3.4 Creating chirpstory The last action of this teaching stage is creating chirpstory. It is a feature outside from twitter that can be used to arrange the order of tweets and compile it into a good paragraph. Chirpstory is a tool that allows the tweeps to tap into the tweets stream and create the stories through the chirpstory. The fact that the tweets will appear randomly makes the tweeps needs to rearrange the tweets in order to make the tweets in a good order and readable enough as a paragraph. Through chirpstory, the students can collect hundreds of tweets relatively quickly it lets the students collect tweets in pages rather than individually. In order to create a story from the tweets, the students need to log into www.chirpstory.com and then follow the direction below: Log into http://chirpstory.com with your Twitter account Collect a bunch of tweets, re-order chronologically (optional), Delete RTs (optional) Publish your collection Embed the collection in a blog (optional)
406
The detail action to do chirpstory will be explained as follow. 1 Go to http://chirpstory.com and log in with your Twitter account. 2 Once logged in, click on the red oval (your account) on the top right hand of the page. 3 Having logged in, click the (create chirp story) until you can see the picture below.
Figure 5. Chirpstory's field Scroll down below the panel at the top and you’ll see the screen split in two. On the left are your source tweets (initially this is the timeline you’d see if you were logged in to Twitter) and on the right is the panel into which you’re going to put your tweets of interest (target panel). Drag the selected tweets into the right area then arrange it. If you feel enough in arranging your story, just click (publish) on the bottom right side of the screen.
Figure 6. Publishing chirpstory Fill in the information of the chirpstoy that had been created then click publish. The chirp story will appear in your twitter timeline. The link can be shared to other people and the
407
students can keep commenting this chirpstory with their friends and English can be learnt and practiced not only inside the class and also outside of the class. In the figur below, it is the result of student’s paragraph by using chirpstory. The idea is students compiled the tweets not only her own tweets but also other tweets that could be compiled as one paragraph because of similar register, connected content and many others. In this stage students’ reading ability were also challenged. Students, who had good reading understanding, will pick tweet that is in line with his / her tweets. And those tweets could be compiled into one good paragraph. Retno had taken and compiled some tweets from her friends, like from Aslah, Yuwan, David, Fachrudin and many others. The first tweet chosen was from Fachrudin and the tweet was ”Linguistic Anthropology is the study of the relations between language and culture and the relations between human #nusantarawisdon” and continued by David’s tweet with the example of linguistic anthropology in society ”In Javanese society. Woman talking loudly considered rude. While the man spoken soft are considered as ’a woman’ #nusantara wisdom” The good news is Retno can connect the next feature of the sentence to complete his proper paragraph. Below was one of the results from students’ chirpstory.
Figure 7 Chirpstory's result from Retno Students’ Reactions about writing factual text through twitter To understand the extent to which teaching factual text through twitter would need to be modified to suit this particular Anthropology students’ context, students’ reactions need to be taken into account. This part discusses students’ overall reactions toward the technique. To illustrate relevant points, extracts from transcripts of the informal discussions between students and the teacher and from students’ diaries will be referred to. Students found that the writing factual text through writing by reflecting urban and rural culture had worthwhile effects on their learning experience. The majority of students (21 of 25) reasoned that the teaching technique not only enabled them to know ‘how’ to write, but also to write texts better. 4
Sebetulnya tidak ada kritik sik bu, bantak hal yang dapat aku terima. Setidak nya cara pembelajaran yang berbeda dan memintaku lebih modern dari yang lain, sangar bu . Semoga ridak lupa dengan kita anak antropologi 2012 dan jangan marah kepada kita kalau kita pernah khilaf . Mungkin untuk kedepannya Ms Lyla bisa menyajikan proses pembelajaran yang unik lagi (siswa antropologi 2012) Metode mengajar sistematis dan cuku menyenangkan. Ditambah lagi dengan pembelajaran yang inovatif dengan melatih skill merangkai kata melalui mention di twitter. Hal tersebut lebih berbeda dan praktis, Lanjutkan! Simple and creative method (Clarissa, antropologi 2012) Kelas yang menyenangkan . Tugas twitter nya keren gaul banget hahahah. Sama-sama sukses di masa depan ya Miss. Semoga suatu saat wasktu saya ketemu Ms lyla saya sudah bisa ngobrol pakai bahasa Inggris sama Ms . See you later. Please apologize me and thank you (Bugi, antropologi 2012)
408
Ms Lyla, dalam pengajarannya saya suka karena menerapkan sisi modern dan mengikuti jaman. Gaya anak muda sekarang, ”Always make a tweet” (Rafiq, antropologi 2012) Kelas yang menyenangkan karena di kelas memakai bahasa yang nyantai dan tidak terlalu baku, sehingga antara mahasiswa dan dosen tidak tegang. Asik juga mengajar lewat sosial media twiter tapi kadang saya malas buka twit heheheh, asik bu. Jadi lebih asik ya bu. Semoga kita bisa ketemu di lain waktu XOXOXO (Lely, Antropology 2012)
5
Conclusion Teaching in 21st century can be done by integrating social media such as twitter in teaching writing with reflecting urban dan rural culture. The theme can be applied as a new creative way of teaching creative writing. Indeed through this activity Airlangga Anthropology students need the critical thinking skill necessary to process and evaluate a constant and accurate production of writing. Such an approach provides students not only with greater motivation to write and to engage their creativity, but it also leads them toward a higher awareness of contemporary social, global and cultural movements.
References Ariyanti. (2012). Improving Descriptive Writing Skill through Lay Out on Computer as an Interactive Media for the Seventh Graders at SMP Negeri 1 Balikpapan. Proceedings of the 59th TEFLIN International Conference: English Language Learning and Teaching in Digitization Era: 28-38. Brown, D. (2007). Principles of Language Learning and Teaching. New York: Pearson Cahyono, B. Y. (2009). Techniques in Teaching EFL Writing. Malang: State University of Malang Press. Christie, F. (1990). The changing face of literacy. In F. Christie (Ed.), Literacy for a changing world (pp. 1–25). Melbourne: Australian Council for Educational Research. Coffin, et al. (2003). Teaching Academic Writing: A Toolkit for Higher Education. London: Routledge Gunning, T. G. (1998). Assessing and Correcting Reading and Writing Difficulties. Boston: Allyn and Bacon. Halliday, M. A. K. (1985). Spoken and written language. Geelong: Deakin University Press. Harmer, J. (2004). How to Teach Writing. England: Pearson Education Limited. Langan, J. (1987). College Writing Skills. New York: McGraw Hill. Martin, J. R. (1985). Factual writing: Exploring and Challenging Social Reality. Geelong: Deakin University Press. Matthews, D. (1995). A genre-based approach to literacy. Notes on Literacy, 21(3), 35– 46. Mukminatien, N. (1991). Making the writing class Interesting. TEFLIN Journal 4: 129-143 Oshima, A & Hougue, A. (1997). Introduction to Academic Writing. Longman: New York. Piaget, J. (1971). Genetic epistemology. (E. Duckworth, Trans.) New York: W. W. Norton & Company. Poore, M. (2013). Using Social Media in the Classroom: a Best Practice Guide. London: SAGE Publication Ltd. Purba, H. (2011). The Importance of Including Culture in EFL Teaching. Journal of English Teaching: a Triannual Publication on the Study of English Language Teaching 1: 4456. Richards, J.C, and Renandya, W.A (2002). Methodology in Language Teaching: An Anthropology of Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press.
409
Integrating Summary Writing and Reading Comprehension Instruction in the Teaching of English Titien Indrianti, State Polytechnic of Malang
Abstract Summary writing and reading comprehension can be of the two skills offered in English class to promote students’ better learning in English. Both activities require similar skills: getting main ideas and supporting details,taking the gist, extracting information, and so forth. This paper suggests the integration of summary writing and reading comprehension activities to help improve students’ English proficiency. The idea is based on the research about my students’ summary writing and reading comprehension skill. This study is qualitative research in nature. The research subjects were 23 first grade students of Business Administration Department, State Polytechnic of Malang. Tests on summary writing and reading comprehension were conducted to collect the data. The findings show that the students’ summary writing and reading comprehension skills are not satisfactory. Therefore, integrating summary writing and reading comprehension instruction becomes an idea to be inserted in English class to help students enhance English competence. Keywords: integrating, reading comprehension, summary writing
1. Introduction It is widely known that a literate society depends much on a handful of printed information (Brown, 2001:298). This fact is even more obvious in academic setting where there are scholars including students being an intellectual component. Reading and summary writing as activities associated to written texts are very often assigned in academic activities. Such activities are indeed necessary either for students’ personal learning or as their scholarly assignment. Quain (2013) has clearly stated that lecturers and instructors frequently assign students to write summary that at the same time necessitate them to read. In the meantime, according to Soedarso (1994:77) summary writing has become a part of note-taking activity. As a matter of fact, reading and summary writing reveal related skills. Both activities require abilities to identify or select main ideas and supporting details, to take the gist, and to extract information of the text. Both also demand abilities to recognize and understand text organization and purpose. In reading comprehension, the term ‘summary’ has been indicated as one of the models of main idea expression by Cunningham and Moore (1986:6). On the other hand, the gist, the key ideas, the main points have been considered to be the elements in a summary (Jones,1998). Reading comprehension is always related to getting the meaning of the written text and interpreting the points precisely. In an attempt to get and interpret the text meaning, one is to be able to determine information intended by the writer as well as other information beyond the text combining one’s insights and experiences with the given ideas. Meanwhile, summarizing corresponds to sorting out and grasping information from the text (Stewart, 2013). Performing reading comprehension and summary writing, in fact, is not simple. Failure may occur in carrying out both tasks. The common problems are of finding out main idea, taking gist, and identifying important details. In the meantime, the three elements are typically the tasks in both reading comprehension and summary writing. Jacobowitz’s study (1990) showed that Senior High School graduates entering universities have low ability in getting main idea of text. Similarly, a study on the ability to determine main idea of the Business Administration students, State Polytechnic of Malang indicated low (Indrianti, 2006 and 2012). Moreover, Indrianti’s studies also found that students encountered difficulties in identifying the most outstanding details. In the meantime, Brown, et
410
al. (in Hahn and Garner, 1985) have confirmed that learners encounter problems in summarizing text in regard to failure to get the text gist. Indrianti’s studies (2006 and 2012) have also indicated the similar failure of the students when assigned to write summary. Given the fact that skills to write summary and to comprehend reading text share something in common, both skills may integratedly be taught in English class. This paper presents the writer’s study on her students’ ability in writing summary and reading comprehension. She investigated 23 students she has taught in Business Administration Department, State Polytechnic of Malang. She used qualitative research design in the present study. Tests on reading comprehension and summary writing were given to tap the real condition of students’ ability in both tasks. The texts were of two expository passages followed by questions requiring explicit answers stated in the texts and task on making summary of the same texts. To weigh up students’ correct answers for both tests, the writer only needs to check if students’ answers are on track without giving score. Particularly, the writer uses summary rubric adapted from Kintsch and van Dijk (cited in Hahn and Garner, 1985), Williamson (2006) and Jones (2012) to check students’ summarization. 2. The Nature of Summary Writing According to Longman Dictionary of Contemporary English, summary is defined as a short account representing the main points. Similarly, Leo (1994) clarifies that an effective summary reduces a text length by paraphrasing it in which the concentration is on the author’s main ideas using reader’s own new words. Meanwhile, Jones (2012) says that summarizing is taking larger selections of text and reduce them into: the gist, the key ideas, the main points. In short, Jones refer a summary as the distillation, condensation, or reduction of a larger selection into its shorter notions. In support to the previous definition, Nordquist (2014) states that a summary is a shortened version of a text that highlights its key points. The main purpose of a summary of various sources is to offer as accurately as possible the original selections concisely (Gulcat, 2007). In this sense, it is restating the author’s main point, purpose, intent and supporting details in one’s own words. In other words, a summary is to give an accurate, objective representation of the text. Therefore, one should not include his/her own ideas or interpretations (Clee and Clee as cited in Nordquist, 2014). To produce an effective summary, Marzano, et al. (2001) put forth rules for summarizing as follows. 1. Deleting trivial material that is unnecessary to understanding 2. Deleting redundant material 3. Substituting superordinate terms for lists 4. Selecting or inventing a topic sentence stating the main idea Points given by Marzano, et al. are similar to the summarization model proposed by Kintsch and van Dijk (cited in Hahn and Garner, 1985). To support the earlier rules, Jones (2012) also explains that summarization should: (1) take main ideas; (2) focus on key details; (3) use key words and phrases; (4) classify the larger ideas; (5) write only to convey the gist; (6) get brief but complete notes. In conjunction to comprehension, Junaidi (1996) mentions that summarizing can be an effective technique in grasping reading selections more particularly when dealing with inferential comprehension. Studies by Cunningham and Moore, 1986; Indrianti, 2006 and 2012 have indicated that summary has become one of the strategis mostly employed by readers. In the contrary, another study mentions that there are many students who are unable to write a summary and to take gist of what they are reading (Taylor as cited in Indrianti, 2006). 3. Students’ Problems in Writing Summary Jones (2012) has identified the most apparent problems faced by students when performing summarization as the following: 1. They write down everything 2. They write down next to nothing
411
3. 4. 5. 6.
They write complete sentences They write too much They don’t write enough They copy word for word Meanwhile, Indrianti’s study showed that students summarize texts in Indonesian better than in English. It may be due to their language barrier in English as their foreign language than in Indonesian as their first language. However, this study has still identified students’ mistakes in Indonesian summary. The errors comprise that: (1) they do not include all necessary key points; (2) they involve their personal opinion and add new information; (3) they make their own longer sentences. In their English summary, it is found that: (1) they can not identify main idea and supporting details; (2) they make a lot of mechanical errors; (3) they take any unnecessary sentences from text; (4) they write unfinished ideas; (5) they fail to understand text resulting in their wrong flow of ideas; (6) they tend to directly quote the original sentences without using quotation mark; (7) they can not paraphrase well using their own sentences; and (8) they can not recognize the article’s organization. The most recognized problem faced by students is their inconsistency to write a summary. It is found that they sometimes are on-track in summarizing one text and are off-track in other texts. This phenomena has explained that they may not actually understand the principle of a summary. 4. The Nature of Reading Comprehension Grabbe dan Stoller (2002:9) have defined reading comprehension as an ability to get meaning of written materials and interpret them precisely. To get meaning of texts, readers must determine information written by the author and combine information beyond text–readers’ knowledge and experiences—with ideas stated in text (King, 2005). Reading itself is always done by purpose. However, comprehension becomes the most fundamental end of reading (Nation, 2004). Therefore, reading comprehension is not a simple matter of recognizing individual words, or even of understanding each individual word as eyes pass over it. Comprehension regards more with for readers to build up a mental representation of text, a process that requires integration across a range of sources of information, from lexical features to knowledge concerning events in the world. According to Grabbe and Stoller (2002:11), reading objectives are: 1. to search for simple information, 2. to skim quickly, 3. to learn from texts, 4. to integrate information, 5. to search for information needed for writing, 6. to critique texts, 7. for general comprehension In line with such objectives, performing reading activity requires tasks to (a) remember main and supporting ideas; (b) understand the text organization; (c) and connect the text and reader’s insight. Based on Barrett’s Taxonomy (cited in Turner, 1988 and Indrianti, 2006), reading comprehension is classified into skill elements, that is: 1. Literal comprehension (recognition) 2. Inferential comprehension (synthesizing literal content, knowledge, intuition, and imagination as a basis of hypothesis) 3. Evaluational comprehension (judgement about content of text) 4. Appreciation (awareness of literacy techniques The skills, then are broken down into eight competencies: 1. Recalling word meanings 2. Drawing inferences about meaning of a word from context
412
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Finding answers explicitly stated in text or simply in paraphrase of content Connecting ideas from content Drawing inferences from content Recognizing writer’s purpose, attitude, tone, and mood Identifying writer’s technique Following passage structure
5. Students’ Problems in Reading Comprehension Poor proficiency in reading comprehension is probably due to either a low level of language knowledge or a low level of reading skill for L2 (McDonough, 1995:38). Thus, McDonough explains the poor performance of one’s reading comprehension can be a reflection of: (a) a lack of L2 knowledge; (b) low level of reading skill in L1; (c) inadequate transfer of reading skill from L1; (d) inappropriate reading skills for the particular L2. Nation’s study (2004) has notified that: poor comprehenders do not have a comprehension impairment that is specific to reading. Rather, their difficulties with reading comprehension need to be seen in the context of difficulties with language comprehension more generally. Therefore, some theorists qualify poor reader as not having a reading impairment, but more as general language or cognitive deficit. Indrianti’s study has assumed that students’ inability to write English summary has something to do with their poor comprehension in reading foreign language as well. The indication of poor comprehension can be traced, first, from their off-track flow of ideas resulting in their lack of ability to express ideas of text clearly and correctly on their own. Their points are not what texts are about. To note, students have been provided glossary to minimize their vocabulary problem in their texts. Secondly, students also find difficulties in determining main/key and supporting ideas as initial skills in reading comprehension in both English and Indonesian texts. On the contrary, students are able to answer comprehension questions requiring supporting detail answers quite satisfactorily even though there are still found some mistakes. The inability to determine main ideas, however, is evidence for their deficiency in reading comprehension. 6. Teaching Summary Writing and Reading Comprehension Integratedly Even though language problems seem to be the foremost drawback in both English reading comprehension and summary writing performance, there must be attempts so as to make students more improved in both skills. As a matter of fact, through reading passages and summarizing, some aspects of English competences can be explored, such as: grammar or sentence structure, vocabulary, reading and writing skill. Besides, training and exercising students with reading and summarizing can contribute them in accomplishing learning other content subjects. Marzano, et al. (2001) have proposed steps possibly taken by English instructors. The steps encompass: 1. selecting a content-related passage, then read with students or assign to students, 2. requiring students to go through the passage and delete trivial or unnecessary material, 3. telling students to delete redundant material, 4. reminding students to substitute superordinate terms for lists (for example, substitute flowers for daisies, tulips, and roses), 5. asking students to select or create a topic sentence In this sense, selecting and creating a topic sentence derived from the passage can be as a point of departure to go further to write an on-track summary. As getting main ideas is necessary in this point, the writer of this paper has suggested steps of integrating summary writing and reading comprehension tasks. The first thing to do is that teachers should explain there exists a model of main idea expressions as suggested by Moore dan Cunningham (1986). According to them, the term main idea is as an umbrella of several other terms referring to main ideas. The terms are listed in the following terms.
413
Model 1. Title 2. Key Word 3. Topic Issue 4. Topic 5. Topic/Thesis sentence 6. Selective summary
7. Theme
8. Gist
9. Interpretation
Tabel 1. Model of Main Idea Expression Definisi The given name of the passage. A word or term labeling the most important single concept in the passage. A single word, term, or phrase labeling a conceptual context for the passage. A phrase labeling the subject of a passage without revealing specific content from the passage. The single sentence in a paragraph or passage, which tells most completely what the paragraph or passage as a whole states or is about. A summary of the explicit contents of a passage achieved by selecting and combining the most superordinate and important words and phrases (or synonyms for them) from a passage. A generalization about life, the world, or the universe that the passage as a whole develops, implies, or illustrates but which is not topic or key word specific. A summary of the explicit contents of a passage achieved by creating generalized statements that subsume specific information and then deleting that specific (and now redundant) information. A summary of the possible or probable implicit contents of a passage.
Teachers also need to clarify differences of each main idea concept. Sufficient practices on main idea finding exploring a variety of expressions must be given to students. It is important to direct them to go to more complex main idea expression in each meeting. Such practices, in turn, will prepare them to arrive at complete comprehension in the next level. The second step to suggest is giving more practices in erasing unimportant and repeated points/items in passages. Then, students should focus only on the key points—can be in the form of key words/phrases. This section is done by providing students with questions explicitly directing them to get the key supporting points/details of the passage. This step is at once leading students to get the gist. Thirdly, teachers assign students to classify and link similar ideas. In this part, they can make use of superordinate terms to list facts. Having information in hand (in a separate paper, students may write down the foremost ideas obtained in the first, second, and third steps), students get started to practice paraphrasing sentences using their own words. However, students must be well-noticed that their sentences are to be shorter than the original ones. Teachers can as well show their students the criteria of an efficient summary. In short, an efficient summary must fulfill the following requirements Brown and Day; and Kintsch and van Dijk (as cited in Hahn and Garner, 1985); Jones (1998); Williamson (2006) suggest an efficient summary as follows. 1. Stating an introductory sentence (including title, author, and thesis restatement—either by selecting or creating topic/thesis sentence) 2. Pointing out the main ideas and key/supporting details 3. Deleting minor, irrelevant, unnecessary and repetitious ideas 4. Grouping, classifyong or categorizing the larger ideas 5. Combining related ideas or using a superordinate term to refer to a list of terms and relatedelements of actions. 6. Paraphrasing accurately by still maintaining the article’s meaning 7. Using students’ own wording (or keywords) and sentence (or phrases) 8. Using quotation marks when paraphrasing directly from the article 9. Including only the article’s ideas and excluding personal opinion
414
10. Reflecting article’s emphasis and purpose 11. Recognizing article’s organization 12. Writing shorter and brief than the original article but complete notes (or enough to convey the gist) 13. Having few or no mechanical errors in grammar 14. Using appropriate vocabulary The steps, however, do not possibly work one time as they are implemented. Teachers must beware that teaching reading comprehension and summary writing requires frequent practices with various printed sources.
References Brown, D. H. 2001.Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy (2nd ed.).New York: Addison Wesley Longman. Cunningham, J. W. and Moore, D. W. 1986.The Confused World of Main Idea. In Baumann, J.T. (Ed.). Teaching Main Idea Comprehension (pp. 1-17). Newark, Delaware: International Reading Association. Grabbe, W. and Stoller, F. 2002. Teaching and Researching Reading.Essex: Pearson Education. Gulcat, Z. Summarizing. Available at http://www.buowl.boun.edu.tr/students/summarizing/ summarizing.htm.(Accessed 6 March 2013). Hahn, A. L. and Garner, R. Synthesis of Research on Students’ Ability to Summarize Text. Available at http://sv.libarts.psu.ac.th/conferences/.../004.pdf. (Accessed 6 March 2013). Indrianti, T. 2006. Types of Responses in Expressing Main Ideas to Indicate Students’ Main Idea Comprehension. Unpublished Thesis. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Indrianti, T. 2012. Analisa Kemampuan dan Strategi Mahasiswa dalam Mengungkapkan Main Idea Teks Bahasa Inggris Berkonteks Bisnis. Propoltek Penelitian Swadana,2(1), 45-50. Jacobowitz, T. 1990. AIM:A Metacognitive Strategy for Constructing The Main Idea of Text. Journal of Reading, 33(8):620-623. Jones, R. C. Strategies for Reading Comprehension: Summarizing. Available at http://www.readingquest.org/strat/summarize.html. (Accessed 6 March 2013). Junaidi. 1996. The Effectiveness of Summarizing As a Technique of Teaching English-Reading Comprehension. Unpublished Thesis. Malang: PPS IKIP Malang. King, K. Reading Strategies. Available at http://www.isu.edu/~KingKath/readstrat.html. (Accessed 28 November 2005). Leo, E. S. 1994. Powerful Reading: Efficient Learning. New York: Macmillan. Longman Dictionary of Contemporary English, 2nd ed.1987.Essex: Longman Group UK. Marzano, R. J., et al. 2001. Classroom Instruction that Works: Research-Based Strategies for Increasing Student Achievement. Alexandria, VA: ASCD. Nation, K. Children’s Reading Comprehension Difficulties. Available at http://www.pitt.edu/ ~perfetti/PDF/Nation.pdf. (Accessed 20 June 2014). Nordquist, R. Summary (Composition). Available at http://grammar.about.com/od/ rs/g/summaryterm.htm. (Accessed 20 June 2014). Quain, S. How to Summarize an Article for College. Available at http://www.ehow.com/ how_5823734_summarize-article_college.html. (Accessed 1 March 2013). Soedarso. 1994. Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Stewart, D. How to Summarize a Scientific Article. Available at http://www.ehow.com/ how_84446096_summarize-scientific-article.html. (Accessed 1 March 2013). Turner, T. N. 1988. Comprehension: Reading for Meaning. In Alexander (Ed.). Teaching Reading (pp.159-182). Glenview, Illinois: Scot, Foresman and Company. Williamson, O. M. How to Write an A+ Summary of a Text. Available at http://utminers.utep.edu/omwilliamson/engg10310/summaryhints.htm. (Accessed 6 March 2013.
415
Language and Fashion: Kebaya as the Representation of Contemporary Urban Clothing in Kartini Magazine Dewi Meyrasyawati, S.S., M.A., M.Hum, Universitas Airlangga
Abstract Language has its own power to reflect certain culture including urban clothing. Kartini magazine, as one of popular Indonesian woman magazines, is a very good example of how a media through its writing is able to shape urban clothing and influence its readers. Texts in Kartini magazine bring linguistic messages including all phonemes, letters, words, and sentences as signs of urban clothing development. Using semiotic analysis method, this study is an attempt to reveal the linguistic messages supported by Roland Barthes’ the Language of Fashion theory. In Kartini magazine’s special edition of Kebaya, this study finds out that Kebaya which is traditional clothing has turned into contemporary urban clothing accepted not only by old generation but also young generation in Indonesia. This study hopefully makes a contribution to the field of linguistic study in general and the relation between language and fashion in particular. From a broader perspective, the result of the study may reveal that language and fashion can be reflected or challenged through media such as a magazine. Keywords: Contemporary urban clothing; Kebaya; Media; Representation
1. Introduction Clothing concerns all of the human person, all of the body, all the relationships of man to body as well as the relationships of the body to society (Barthes, 2006: i). Kebaya, as one of Indonesian traditional women clothing, is the exact example in which it concerns all of the Indonesian women's bodies and its relationships to Indonesian society. Kartini magazine, as one of popular Indonesian woman magazines, is a very good example of how a media through its writing is able to shape urban clothing and influence its readers. In this study, Kebaya needs to be seen as an organized set of codes, meanings, and practices that are organized into a complex system of social exchange. Kebaya and its functions have faced an evolving process of society's acceptance and perception that involves sociological, economic, psychological, and ideological changes factors. In Indonesia, Kebaya was first worn by royal family from Javanese Palaces; keraton Jogjakarta and Surakarta. As the result of struggle for having equality of social status in Javanese society, Kebaya later on were permitted to wear by common people. The differences between high and low societies of the wearers were usually appeared from the quality of textiles and the variety of accessories they wore (Kartini, 2014:37). Kebaya reached its popularity in Indonesian women fashion in the late of 19th century or in the beginning of 20th century (Taylor.J.G., 1997:103). Since then, the distinction between "high" and low" culture in terms of kebaya seems less and less meaningful. This is the most significant thing about postmodernism in popular culture in which contemporary culture is also part of it (Storey, 2009:183). Printed media, with the power of its language, has a very important role in popularizing Kebaya throughout Indonesia. One of famous printed media in Indonesia is Kartini, majalah wanita Indonesia (an Indonesian women magazine). It was founded in 1974 by Lukman Umar and first published by Kartini Gorup. In 2013, Kartini magazine won Indonesia Platinum brands for magazine category based on Indonesian Best Brand Awards (IBBA) survey by Swa magazine (https://www.facebook.com/majalah kartini). This magazine presents a wider variety of news for women including fashion development of kebaya in its special edition for kebaya to attract a wider women readership. Texts in Kartini magazine bring linguistic messages including all phonemes, letters, words, and sentences as signs of urban clothing development.
416
Using semiotic analysis method, this study is an attempt to reveal the linguistic messages supported by Roland Barthes’ the Language of Fashion theory. 2. Kebaya as the representation of contemporary urban clothing Kebaya has some roles. Kebaya represents a symbol of essential humanness. Kebaya also represents a chronology of human development. Barthes (2006: 109) states that fashion is not just a covering for the body but a means of communicating about the body and can thus be considered a symbolic system where clothes and the rules that govern how they can be worn can be seen as a type of language or set of signs. Kartini magazine in its special edition for kebaya presents various news about kebaya. The interesting part of its news is its coverage about kebaya related to urban clothing. This study focuses on kebaya as the representation of contemporary urban clothing from two distinguish parts; one page of cover page and some pages of news pages. From news pages, this study focuses on four headlines; those are "Lomba rancang kebaya 2014" (the 2014 fashion competition of kebaya designs); "10 Finalis lomba rancang kebaya 2014" (the ten finalists of the 2014 fashion competition of kebaya designs); "Daya pikat kebaya urban" (the attractive urban kebaya); and "Indonesia fashion week 2014". 2.1 Cover page of Kartini magazine Figure 1: Front cover of Kartini magazine
As seen from the figure 1 above, the model used in the cover page is Andien, a famous Indonesian young woman singer. Close to her picture, the readers are able to read a linguistic message "Andien cintanya pada budaya Indonesia (Andien, her love to Indonesian culture)". This linguistic message represents Kebaya as contemporary urban clothing since it is worn by Andien, one of metropolis singer. This representation is strengthen by the sentence "her love" emphasizing the meaning of kebaya that is being loved till present time. 2.2 News pages of Kartini magazine After informing about Andien who loves kebaya as one of Indonesian culture in the headline Cover Story, Kartini magazine's coverage goes to the 2014 fashion competition of kebaya designs. The title of this coverage is Balutan Kebaya Kaum Urban (Kebaya fashion for urban society). It is said that one of the aims of this competition is to motivate Indonesian young
417
designers to create new innovation on kebaya to have modern fashion styles. It does relate to the notion of contemporary culture suggested by Angela Mc Robbie in her book entitled Postmodernism and Popular Culture. She said that contemporary culture rises from the thought of postmodernism that refers to a condition of contemporary life, or to a textual, and aesthetic practice (1994:12).Therefore, based on the purpose of this competition, kebaya is legitimated as a product of postmodernism, representing contemporary urban clothing. Figure 2: news page of the 2014 fashion competition of kebaya designs
From this fashion competition, Kartini selects ten finalists and put their profiles in the profile pages. Among those ten finalists, this study focuses on four finalists based on their titles of their designs. Kartini puts Vindy Faizah as the first profile to cover. Faizah's title of her design is "Urban Minds". Instead of using Indonesian phrase, Faizah uses English phrase to emphasize the sense of modernity in her kebaya design. Faizah, a very young fashion stylist, designs kebaya into the modern one (figure 3). She designs colorful kebaya dominated by black color. Faizah confesses that she is inspired by street style from western countries (Kartini, 2014: 20). She modifies coat and hoodie that can also has a function as a scarf. By such kinds of modifications, her design shows kebaya as the representation of contemporary urban clothing for women. The second finalist is Mawaria. The title of her kebaya design is "Passion of Tradmod". She applies bright color polkadot motif to give senses of young, fresh, and modern (figure 3). She is also modified her kebaya with dark grey 'Obi' to show the combination between traditional and the modern one (Kartini, 2014: 21). Kebaya that she said as "kebaya ready to wear" does represent a contemporary urban clothing. Another designer who brings the theme of contemporary urban clothing is Wahyudi. He entitles his design "Kebaya Pop". Similar to Mawaria, he also refers his kebaya as “kebaya ready to wear” (Kartini, 2014: 23). In addition, he uses the word “pop” in his title to strengthen the representation of popular culture, in this case is kebaya as contemporary urban clothing (figure 3). The last finalist that is analyzed in this study is Michele Maitlin. She entitles her kebaya design “Sophistiques femmes Indonesiennes”(Kartini, 2014: 24). She uses French for her title that shows Kebaya has been accepted internationally as part of fashion trend in the world. French that is known as the center place of fashion is represented in the title of her kebaya. Therefore, through this French title, kebaya is considered as the representation of contemporary
418
urban clothing following a new trend fashion. All of these designers create kebaya which uphold the concept of local culture, in this case Javanese, and modify them with modern fashion style to create contemporary urban clothing (Meyrasyawati, 2011: 2). Figure 3: Profiles of finalists
In a column named advertorial, Kartini magazine again uses a title “Daya pikat KEBAYA URBAN” (the attractive URBAN KEBAYA). Some parts of the title are written in capital letters. It emphasizes the representation of recent kebaya as contemporary urban clothing. It is supported by a tagline of Indonesian fashion week 2014, good, great, gorgeous. In another word, kebaya is described as a good, great, and gorgeous fashion style. This process of negotiation between traditional and modern designs then influenced much to the designers’ decisions of kebaya design in term of urban fashion trend development (Meyrasyawati, 2013 : 106). Figure 4: daya pikat kebaya urban
3. Conclusion There is a long history of kebaya that brings a long its immortality of kebaya existence as part of fashion in Indonesia. Kartini magazine has an important role to support the existence of kebaya particularly in one of its special edition about kebaya. Kebaya which is a traditional clothing has turned into a contemporary urban clothing accepted not only by old generation but also young generation in Indonesia. This phenomenon is represented by Andien, a young woman singer who wears kebaya in the front cover page of Kartini magazine. Thus, there is a shifting of the perception of kebaya. Kebaya is no longer considered as traditional cloth but contemporary urban clothing, accepted by Indonesian women from all generations. In Kartini magazine’s special edition of Kebaya, this study finds out that the word “modern”, “pop”, and “urban” as well as the phrase “ready to wear” have powerful impact in emphasizing the
419
representation of kebaya as contemporary urban clothing. As the further impact, these words and phrases contribute to the shifting of Indonesian women’s perception and acceptance towards kebaya from traditional clothing into contemporary urban clothing.
References Barthes, R. 2006. the Language of Fashion. Oxford: Berg. Kartini majalah wanita, edisi khusus kebaya. 2014. Jakarta: PT Kartini Cahaya Lestari. Majalah Kartini. Available at https://www.facebook.com/majalah kartini. (Accessed 7 June 2014). McRobbie, A. 1994. Postmodernism and Popular Culture. London: Routledge. Meyrasyawati, D. 2011. Production and Consumption of Javanese Moslem Wedding Dress: Appropriation between Fashion and Religion. 6TH Singapore Graduated Forum on Southeast Asia Studies. Singapore: Asia Research Institute, National University of Singapore. Meyrasyawati, D. 2013. Fesyen dan Identitas: Simbolisasi Budaya dan Agama dalam Busana Pengantin Jawa Muslim di Surabaya. Jurnal Makara seri Sosial Humaniora, 17 (2), 99108. Storey, J. 2009. Cultural Theory and Popular Culture. 5th ed. Harlow: Pearson Longman. Taylor, J.G. 1997. Costume and Gender in Colonial Java 1800 - 1940. Outward Appearances, 86, 85-116.
420
Pengaruh Bahasa Jepang Dalam Alih Kode Di Japanology Unair Japanology UNAIR における「コードスイッチング」の日本語の影響 *学内のフェッスブック Adis Kusumawati, Jurusan Sastra Jepang, Universitas Airlangga
要旨 本稿では、国立アイルランガ大学日本研究学科(Japanology Unair)におけるインドネシア人日 本語学習者によるコードスイッチング(CS)のパターン・スタイル及び要因を明らかにし た。2014 年 1 月から 6 月にかけて、Japanology Unair における会話を調査したところ、会話 中に 42 のCSがあることが分かった。パターンに関しては、CSを含んでいる会話の中で 、文中、文間、文末で、インドネシア語から日本語へ切り替えるというパターンが見つかっ た。スタイルに関しては、二種類の文脈的スタイル、隠喩的や状況的スタイルで、インドネ シア語から日本語への切り替えが見つかった。Japanology Unair におけるCSの要因は、言 語環境や対話者、相手の言語能力である。さらに、Japanology Unair におけるCSの機能は 四つに分けられる。一つ目は、話者が対話者への親しみを表す機能、二つ目は、話者が相手 への尊敬を表す機能である。また、メッセージのニュアンスを軽くする機能や、話者が述べ ているメッセージを強調する機能も見られた。 キーワード:コードスイッチング、コードスイッチングのスタイル、コードスイッチ ングの要因、コードスイッチングの機能
1. Pendahuluan Situasi multilingual merupakan ciri dari masyarakat modern, karena di era informasi ini masyarakat digempur oleh budaya dari luar termasuk bahasa dan besarnya tuntutan bagi masyarakat untuk menguasai bahasa lain selain bahasa ibu. Tuntutan ini dijawab dengan dibukanya jurusan bahasa asing di beberapa perguruan tinggi. Di perguruan tinggi yang jurusannya mengajarkan bahasa asing, akan dijumpai penutur yang multilingual. Fenomena ini terjadi karena selain bahasa Indonesia dan bahasa ibu yang mereka kuasai bahasa asing yang sedang mereka pelajari juga berpengaruh dalam aktivitas berbahasa mereka. Sebuah komunitas yang anggotanya mengerti bahasa lain selain bahasa ibu, tidak mengherankan bila bahasa tersebut mempengaruhi kegiatan berkomunikasi komunitas tersebut. Karena tidak mungkin seorang penutur yang multilingual hanya menggunakan satu bahasa tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa lain yang dia mengerti. Dalam situasi komunikasi dimana para pelakunya mengganti bahasa atau ragam bahasa merupakan bentuk terjadinya peristiwa alih kode. “Peralihan pemakaian suatu bahasa ke bahasa lain atau suatu variasi bahasa lain disebut alih kode” (Richard dalam Suwandi, 2002 : 86) Di era informasi yang ditandai dengan maraknya penggunaan teknologi, kegiatan berkomunikasi tidak hanya dapat dilakukan secara lisan tetapi juga dapat dilakukan secara tulisan dengan menggunakan sms, email, facebook dan lain-lain. Penelitian ini akan membahas pengaruh bahasa Jepang dalam alih kode di facebook japanology UNAIR antara mahasiswa, dosen dan staf administrasi di jurusan Sastra Jepang Universitas Airlangga. 2. Kerangka Teori Definisi mengenai Ak telah dijelaskan oleh beberapa ahli linguistik seperti Hymes dan Appel. Hymes dalam Jendra menjelaskan “Code switching has become a common term for alternate use of two or more language, or varieties of language, or even speech styles. Dan Appel dalam Chaer (2010 : 107) menjelaskan AK sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”.
421
Dari pendapat kedua ahli bahasa tersebut dapat disimpulkan bahwa peralihan bahasa berkenaan dengan berubahnya situasi, dilakukan dengan sadar dan bersebab. Gumperz dalam Jendra (2010 : 76 – 77) menyatakan AK dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu secara gramatikal dan secara kontekstual. Klasifikasi secara gramatikal mengkalisfikasikan Ak berdasarkan dimana AK itu muncul, yaitu diakhir tuturan (tag code-switching), diantara dua kalimat (Inter-sentensial code-switching) dan AK yang berupa kata, frase atau klausa ditemukan di dalam sebuah kalimat (Intra-sentensial code-switching). Berdasarkan konteksnya Gumperz membagi AK menjadi dua yaitu AK terjadi karena adanya perubahan situasi (situational code-switching) dan AK terjadi karena perubahan persepsi, tujuan, atau topik pembicaraan disebut metaphorical codeswitching. Penelitian mengenai AK telah dilakukan oleh beberapa peneliti bahasa Jepang di Indonesia, diantaranya ialah Setyoriny. Setyoriny (2011 : 48 dan 62) meneliti AK dalam lingkungan kelasa dalam penelitian yang berjudul “Strategi Pembelajaran Style Switching pada Pengajaran Kaiwa”. Setyoriny menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa faktor yang mempengaruhi style switching pengguna bahasa Jepang merupakan gambaran budaya orang Indonesia dan dan salah satu output pengajaran Kaiwa. Oleh karena itu diperlukan paduan yang tepat antara strategi pengajar dan strategi pembelajara agar pembelajar dapat memiliki kemampuan yang lebih dalam melakukan style switching. 3. Metodologi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Kajian kualitatif dilakukan untuk menyusun teori, bukan menguji teori. Kajian kualitatif juga bersifat menjelaskan suatu masalah berdasarkan data yang dikumpulkan (Chaer, Abdul. 2007:11). Pengambilan data dilakukan dengan observasi, yaitu mengamati dan mencatat hal-hal yang berkaitan dengan perilaku partisipan di dalam peristiwa tutur yang terjadi di Japanology Unair. Data yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari percakapan antar siswa, dosen dan admin prodi sastra Jepang UNAIR yang terjadi di facebook Japanology Unair. Percakapan yang digunakan sebagai data adalah percakapan di facebook pada bulan Januari 2014 sampai dengan bulan juni 2014. 4. Pembahasan Hasil pengamatan terhadap data menunjukkan bahwa terdapat 42 alih kode (AK) dalam percakapan sejak awal Januari 2014 sampai bulan Juni 2014. Alih kode yang terjadi berbentuk kata, klausa, dan kalimat. Terdapat variasi cara penulisan alih kode dan campur kode dalam data, yaitu dengan menggunakan huruf Jepang yang berupa kanji, hiragana dan katakana, serta huruf latin. Hasil analisis data dalam tulisan ini akan dikelompokkan menjadi (1) AK dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jepang; (2) AK dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia; (3) fungsi AK dalam facebook Japanology Unair. Alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jepang Alih kode yang ditemukan dalam data secara gramatikal terdiri dari tag code-switching, inter-sentential code-switching dan intra-sentential code-switching. (1) Perhatian untuk Citra Anisya Wardani dan Dalilah Inas besok Jumat, 7 Februari 2014 jam 13.00 diharapkan kedatangannya di Departemen. Yoroshiku Onegaishimasu (2) A : Japanology Unair Yang belum ngisi jadwal Novarina Martalia K, Firsta Na, Rizky Intan dan Sicha Tri, saya tunggu sampai hari jam 15.00 ya, onegaishimasu A : Yang belum tinggal Novarina Martalia K dan Sicha Tri , onegaishimasu B : Senin ya sensei.. hontou ni sumimasen.. (CK21) Data (1) dan (2) merupakan contoh dari alih kode yang termasuk dalam jenis tag codeswitching, yaitu alih kode yang berupa bahasa asing yang terletak diakhir tuturan. Ungkapan yoroshiku onegaishimasu atau dapat disingkat menjadi onegaishimasu bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti mohon bantuannya. Selain ungkapan yoroshiku onegaishimasu ungkapan lain yang muncul diakhir kalimat adalah hontou ni sumimasen (benar-benar minta maaf) seperti pada data (2). B (3) Alhamdulillah.. Omedetouuu Lukman.. Bener2 contoh Kohai, Senpai, Temen, dan Kahima yg baik!! Berarti berangkat ke Jepang donk sensei.
422
Berdasarkan konteksnya AK terdapat dua jenis alih kode yang ditemukan dalam data, yaitu situational code-switching dan metaphorical code-switching. Dalam contoh (3) terdapat situational code-switching, yaitu peralihan kode muncul karena perubahan situasi, dimana N ingin menyampaikan rasa terima kasihnya kepada para dosen yang telah membimbingnya selama ini, baik kepada dosen yang berlatarbelakang bahasa yang sama maupun dosen dengan latar belakang bahasa yang berbeda (dosen berkewarganegaraan Jepang). (4) A : Terkait dengan skor nilai Noryoku Shiken Departemen Sastra Jepang FIB Unair mengucapkan selamat dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Nathania Djundjung untuk semangat dan kerja kerasnya sehingga bisa mendapatkan nilai N2 Total 180 point (満点). Otsukaresamadeshita N: 先生方や周りのお友達のおかげで、この満点をとることができました。心から 感謝しております。ここ4年間(3年半?)本当にお世話になりまして、今後 もよろしくお願いいたします! “ Berkat para dosen dan teman-teman di sekeliling saya, saya bisa mendapatkan nilai sempurna. Dari dalam hati saya sangat berterima kasih. Tiga, empat tahun ini saya telah merepotkan. Di kemudian haripun saya mohon bantuannya.” Metaphorical code-switching terdapat pada data (4), dimana terjadi perubahan tujuan dari tuturan meskipun tidak merubah situasi tuturan. (5) Terkait dengan skor nilai Noryoku Shiken Departemen Sastra Jepang FIB Unair mengucapkan selamat dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Nathania Djundjung untuk semangat dan kerja kerasnya sehingga bisa mendapatkan nilai N2 Total 180 point (満 点). Otsukaresamadeshita Pengalihan kode diakhir kalimat dengan kata manten (満点) yang berarti nilai sempurna tidak merubah situasi tuturan, tetapi hanya memberikan keterangan bahwa nilai 180 adalah nilai tertinggi untuk JLPT (Japanese Language ProficiencyTest) level N2 dengan kata lain semua jawabannya benar. Alih Kode dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia Peralihan kode dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia juga dapat ditemukan dalam data, terdapat dua jenis AK gramatikal yaitu tag code-switching dan intra-sentential code-switching dan dua jenis AK berdasarkan konteksnya, yaitu situational code-switching dan metaphorical codeswitching . (6) A : lukman selamat atas prestasi jadi juara 1 nasional lomba pidato bahasa Jepang. alhamdulilah. Minnasan doumo arigatou gozaimashita. R : Alhamdulillah... Selamat buat Lukman Hakim. . . AT : 素晴らしい!おめでとうございます。 D : omedetou.. C : sugoi mas lukman.. (7) ア イルランガ大学人文学部日本研究学科のホームページを更新しました。宜しくお 願いいたします。(Departemen のところにクリック、Sastra Jepangを選んでくださ い ) Kami telah memperbarui homepage Departemen Sastra Jepang Unair. Silakan mengunjungi! (Klik pada bagian Departemen, lalu pilih Sastra Jepang) Data (6) menunjukkan peralihan kode dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia dengan jenis tag code-switching, kata sugoi yang berarti hebat diakhiri dengan kata sapaan bahasa Indonesia mas, padahal penutur bisa saja mengganti sapaan tersebut menjadi sapaan dalam bahasa Jepang senpai. Berikutnya data (7) merupakan contoh intra-sentential code-switching dimana kata departemen dan Sastra Jepang berada di dalam sebuah kalimat bahasa Jepang. Peralihan kode metaphorical code-switching nampak pada contoh (8) dan (9) penutur yang semula menggunakan bahasa Jepang beralih ke bahasa Indonesia karena terjadi perubahan maksud tuturan. Pada data (8) kalimat pertama, penutur mengungkapkan rasa senang dengan ucapan selamat dalam bahasa Jepang yang mudah dipahami. Dan pada kalimat kedua penutur beralih kode menjadi bahasa Indonesia karena pesan pada kalimat kedua meskipun ditujukan kepada dosen sastra Jepang penutur menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena penutur mengibaratkan dirinya sebagai perwakilan dari mahasiswa yang meminta sesuatu kepada dosennya.
423
(8) Omedetou Lukman Kun! Yoku ganbatta ne.... ‘Selamat Lukman ! Sudah berusaha keras ya ..” Diaplod dong sensei kalau ada videonya biar jadi semangat buat yg lain.... (9) 今 年の最も熱い戦いが今日始まるぞ。我が大学の「日本学」クイズ大会チーム を応援しようぜ !Pertarungan terpanas awal tahun ini akan berlangsung di FIB UNAIR. Datang dan dukung Tim UNAIR pada Lomba Cerdas Cermat 'Kejepangan' Antar Universitas di Jatim! Sabtu, 8 Feb 2014. Pada data (9) penutur yang menggunakan bahasa Jepang beralih menggunakan bahasa Indonesia dengan tujuan agar pesan yang disampaikan dapat dimengerti oleh seluruh mahasiswa sastra Jepang sekalipun mahasiswa tersebut baru belajar bahasa Jepang. Sebab dan fungsi alih kode dalam facebook japanology unair Alih kode yang terjadi dalam setiap percakapan memiliki sebab dan fungsi, begitu pula dengan AK yang terdapat pada Japanology Unair. Dari hasil analisis terhadap data yang ada dapat disimpulkan bahwa sebab terjadinya AK dari bahasa Indonesia menjadi bahasa Jepang atau dari bahasa Jepang menjadi bahasa Indonesia dalam Japanology Unair, antara lain dipengaruhi oleh suasana tindak tutur, partisipan yang terlibat dalam tindak tutur, dan kemampuan berbahasa partisipan. AK yang terjadi karena perubahan situasi atau suasana tindak disebabkan hadirnya orang ketiga sebagai penerima pesan. Selain itu peralihan kode yang terjadi di Japanology Unair juga disebabkan oleh kemampuan berbahasa partisipan yang tidak sama, sehingga penutur harus menyesuaikan kode yang dipakai agar pesan tersampaikan dengan baik. Karena Japanology Unair dibentuk oleh komunitas bahasa Jepang, maka pada saat berkomunikasi ada kata-kata dalam bahasa Jepang yang meskipun ada padananannya dalam bahasa Indonesia tetapi memiliki nuansa yang berbeda. Sehingga pada saat penutur ingin mengungkapkan maksud dengan tujuan tertentu, saat itulah AK digunakan. Peralihan kode yang terdapat pada Japanology Unair antara lain memiliki fungsi, (1) menghormati lawan bicara; (2) mengakrabkan diri dengan mitra tutur ; (3) Memberikan tekanan pada pesan yang sisampaikan; (3) Memperhalus pesan yang ingin disampaikan. Alih kode yang memiliki fungsi untuk menghormati lawan bicara terdapat pada data (4), petutur mengganti kodenya ketika merespon pernyataan sebelumnya dengan bahasa Jepang hormat (keigo) karena ingin menghormati penerima pesan yang merupakan dosen pembimbingnya. (10) sugoi mas lukman.. Peralihan kode yang memiliki fungsi mengakrabkan diri terdapat pada data (10), pada tuturan ini petutur bisa saja tidak beralih kode tetapi seluruhnya menggunakan bahasa Jepang. Penutur tidak menggunakan sapaan dalam bahasa Jepang (senpai) karena dengan bahasa Jepang akan terasa jarak antara senior dan junior. (11) Kepada Sensei-sensei dan temen-temen semua terima kasih sudah membimbing dan mendukung saya. 練習は大変でしたが、参加して本当に良かったです。:) “Latihannya berat, tetapi saya sangat senang bisa ikut serta.” Data (11) menunjukkan bahwa penutur beralih kode karena ingin memberikan tekanan pada pesan yang ingin disampaikan, yaitu untuk mengikuti lomba dan menjadi juara butuh latihan keras. (12) Perhatian untuk Citra Anisya Wardani dan Dalilah Inas apabila masih ada disekitar kampus FIB UNAIR harap segera ke Departemen ditunggu sampai jam 15.00. Yoroshiku Onegaishimasu Seringkali pada saat menyampaikan permintaan atau perintah penutur ingin memperhalus kesan yang diberikan, pada data (12) fungsi ini nampak pada peralihan kode dari bahasa Indonesia menjadi bahasa Jepang di akhir kalimat. Kata yoroshiku onegaishimasu memiliki kesan bahwa penutur tidak ingin berkesan menyuruh tetapi meminta kesadaran mitra tutur. 5. Kesimpulan Alih kode yang dilakukan oleh partisipan yang terlibat dalam facebook japanology UNAIR menggunakan dua bentuk huruf, ada yang ditulis dalam huruf Jepang dan ada yang ditulis dalam huruf latin. Perbedaan ini terjadi karena kepraktisan untuk menulis dalam huruf Jepang penutur harus mengganti font dan memastikan bahwa huruf yang digunakan sudah benar.
424
Secara gramatikal dalam alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jepang ditemukan jenis alih kode tag code-switching, inter-sentential code-switching dan intra-sentential code-switching. Dan dalam alih kode dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia hanya ditemukan dua jenis alih kode yaitu tag code-switching dan intra-sentential code-switching. Berdasarkan konteksnya ditemukan dua jenis AK baik dalam peralihan kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jepang ataupun dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jepang situational code-switching dan metaphorical codeswitching. Penyebab terjadinya AK di Japanology Unair ada tiga, yaitu (1) situasi atau suasana tindak tutur, (2) partisipan yang terlibat dalam tindak tutur dan (3) kemampuan berbahasa partisipan. Peralihan kode yang terdapat pada Japanology Unair antara lain memiliki fungsi, (1) menghormati lawan bicara; (2) mengakrabkan diri dengan mitra tutur ; (3) Memberikan tekanan pada pesan yang ingin disampaikan dan (4) Memperhalus pesan yang ingin disampaikan.
Daftar Pustaka Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa (Struktur Internal, Pemakaian dan Pemelajaran). Jakarta: Rineka Cipta, 11. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2010. Sosiolinguistik (Perkenalan Awal). Jakarta: Rineka Cipta, 107. Japanology unair. Diakses dari https://www.facebook.com/groups (Tanggal akses 1 Juli 2014) Setyoriny, Wiwik. 2011. Strategi Pembelajaran Style Switching pada Pengajaran Kaiwa. Seminar Internasional “Strategi Pembelajaran Bahasa Jepang di Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi Indonesia”. Purwokerto: ASPBJI, UNSOED dan Japan Foundation, 48 dan 62. Suwandi, Sarwiji. 2008. Serba Linguistik (Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa). Solo: UNS Press, 86.
425
日本語・スンダ語の語彙研究
~体の動きに関する擬音・擬態語を中心に~ Yuyu Yohana Risagarniwa, Faculty of Humanities-Universitas Padjadjaran
1.はじめに 日本語は日常会話だけなく、又、文章においても擬音・擬態語をよく使う言語である。 新聞とか雑誌の記事にもよく出ているが、エッセーや文学作品には、その出現が一層多く なるのである。文学者・作家たちは、文学作品における自己の表現を強化し、読者に作品 をより易しく追体験であるように擬音・擬態語を頻繁に使うのである。それを使うことに よって、作品は生き生きとしたものになり、読者は、その作品の中登場人物になったよう な気になるのである。文学作品が素晴らしいか否かは、それを読んで感激し、満足感を得 た読者の多少に比例するのであろう。 近年日本の文学作品や漫画がインドネシア語に多く翻訳されているが、それには擬音・ 擬態語が多く含まれていることが分かった。それらの翻訳をよく見てみると、不適切な訳 語が出てきたり、まったく省略されているものもある。そのために、翻訳作品の真価が損 されたりすることもある。 インドネシア語は日本語の擬音・擬態語に対応する語が乏しいため、翻訳者は困難な問 題にぶつかる。しかし、問題はインドネシア語に対応する語があるかないかではなく、日 本語学習者及び翻訳者がそれに含まれている意味やニュアンスを理解することがまず大事 である。それらを充分に理解することによって、翻訳者は、それらを表現が異なったとし ても、インドネシア語をもって表現することができるであろう。 インドネシア語よりスンダ語の方が日本語の擬音・擬態語に対応する語をより多く有し ているという予想等に基づいて、日本語とスンダ語との語彙研究を行うことが重要である と考えられる。インドネシア語は今なお若い言語であり、発展しつつある言語であるので、 将来スンダ語にある日本語の擬音・擬態語とそれと類似していると思われるスンダ語の Kecap Anteuran(以後 KA と呼ぶ)と Kecap Panganteur Pagawean(以後 KPP と呼ぶ)並びに Kecap Pagawean Sipat (以後 KPS と呼ぶ) はインドネシア語に吸収されることも考えられる。 2. 研究背景 インドネシアは二重言語社会であると言うことができる。すなわち、国内に 300 とも 400 とも推定される地方語が、その上に公用語としてインドネシア語が存在する。スンダ人と して生れた人はスンダ語を第一言語として習得したのち、インドネシア国民としてインド ネシア語を第二言語として習得してゆく。つまり、基本的にスンダ人はスンダ語とインド ネシア語の二言語使用者となるわけである。 スンダ語はオーストロネシア語族・インドネシア語派に属し、インドネシア共和国の西 部ジャワ州を中心として話されている言語である。インドネシア共和国の公用語はインド ネシア語であるが、スンダ語はインドネシア国内に数百あるといわれる民族集団の用いる 地方語の一つである。数の上ではスンダ民族は大きな集団であるが、スンダに関する研究 はそれほど多いとはいえない。スンダ語に関する研究も同様である。スンダ語の文法に関 する記述は、それ以前にも存在するが、Coolsma(1904)に始まると言ってよいであろう。氏 は敬語法・品詞論・形態論・統語論の各分野にわったて記述を行なっている。Coolsma(1985) は、そのインドネシア語訳である。その後、Cohn[1992]、Berge[1993]、Anderson[1996]など の欧米人によるスンダ語に関する記述がいくつか見られる。 インドネシアにおけるスンダ語の文法書には、まず、Wirakusumah ら(1957)があり、1980 年代には Djajasudarma & Abdulwahid(1980)、Fatturohman(1982)、Sudaryat(1985)、などが出版 されているが、いずれもスンダ語で書かれたものである。これに対し Djajasudarma & Abdulwahid(1986)は、Djajasudarma & Abdulwahid(1980)を基にインドネシア語で書かれたス ンダ語の文法書である。日本語によるスンダ語の記述としては、崎山・柴田(1989)があり、
426
森山(1988)は会話例文集であるが、文法的解説を適宜補っている。 上に述べたように、インドネシア語に比べるとスンダ語の方が擬音・擬態語に対応する 語をより多く有していると思われる。スンダ語では、日本語の擬音・擬態語のそれと類似 していると思われる KA と KPP 並びに KPS と呼ばれるものがある。KA/KPP に関しては Hadjadibrata(1983)や Djajasudarma(1986)が取り上げて論じているが、KPS に関する記述は今 もまだたくさんなされていないようである。 豊富な KA/KPP 及び KPS の存在は、スンダ語がスンダ人の生活に密着した言語であるこ とを物語っているものと考えられる。日本語も擬音・擬態語が豊富な言語であるといわれ、 また日本語の特徴の一つとしても知られている。そこで、筆者は言語体系が全く異なるス ンダ語にも日本語の擬音・擬態語に類似する語が存在するということに注目してきた。 3.本稿の目的 日本語の擬音・擬態語研究においては、多くの研究者が様々な側面から記述されたが、 スンダ語の KA/KPP 及び KPS の研究はそれほど多くなされていない。こういう現状に基づ いて、筆者は日本語の擬音・擬態語の先行研究を基準にし、両言語の比較研究を取り上げ ることにした。本稿では、日本語にはどのような擬音・擬態語の種類があるか、又スンダ 語にはどのような KA/KPP の種類があるか。それから日本語の擬音・擬態語に対応できる ものは、スンダ語には KA/KPP として取り扱うのか、あるいは KPS として取り扱うのかを 明らかにしたい。それらを明らかにすることによって、インドネシア人特にスンダ語を母 語とする者が日本語を学習する際の手助けの一歩になることを期待する。 4.擬音・擬態語と KA/KPP 及び KPS の定義について 擬音・擬態語に関する定義については、多くの日本語専門家が記述している。たとえば、 尾野秀一(1984)は、次のように述べている。 (1) 擬音語は、人間の笑い声、動物の叫び声、物の壊れたり、打ち当たったりした時 などに出る音など生物や無生物の音響を写した言葉である。日本語でくすくす笑 い、鳩のくーくーという鳴き声などの人や動物の声を写した言葉を擬声語という。 また鐘のかんかんと鳴る音や木のばりっと裂ける音などの外界の音を写した言葉 を擬音語とここでは呼ぶことにする。 (2)擬態語は、生物、無生物、自然の変化・現象・動き・成長などの状態・有様を描 写的・象徴的に表現した言葉である。例えば、 「黒い煙が、工場の煙突からもくも く立ち上がっている」の文での日本語のことばのもくもくは決して音ではなくて、 煙が大量に盛んに出ている状態・様子を表現している。この類のものが擬態語で ある。さらに、このようなものに、人間の心情や感情を描写した擬情語がある。 一方、スンダ語の KA/KPP の定義は、Djajasudarma (1986)には、Coolsma (1904) が、スン ダ語には人の声、動物の声そして物の音を擬する音があると述べられている。そして、そ の三つの要素を KA として言い、オランダ語の tusschenwerpsels に入れたのである。氏によ れば、tusschenwersels に入るものとして、①感動詞と②オノマトペがあるという。 Lezer (1931) は、スンダ語における KA の機能は、出来事の状態を描写するためであると いう。オランダ語では、 「転げ落ちる」という状態を描写するため、その動詞の前に「Pats.....」 という語をつける。又、 「落ちた」ときの状態を描写するため、「落ちる」という動詞の前 に「Bom.....!」という語をつける。その出来事を常に「転げ落ちる」とか「落ちる」だけで は、動作を表すだけで、動作の状態は現れない。 また、Nataprawira ( 1953 )によれば、スンダ語には、動詞の前に、動詞をスムーズに出現 させる働きを持つ語、つまり、KA というものがある。その例として、氏は、 「gep ngegel」 (がぶっと噛む) 「jung nangtung」 (さっと立ち上がる)などのようなものを取り上げている。
427
氏がそれらを KA というのは、その語が常に動詞の前に出て、それらの動詞の出現を促すよ うな働きをもっているからである。 それらの意見・考えをまとめた結果、Wirakusumah 及び Djajawiguna (1957) は、次のよ うなことを述べている。 KA は、物や動物の音声を源に感情の状態を表すものである。一方、KPP は、物や動物の 音声とは直接かかわりないものとして、その動作の意図をより明確に表すためのものであ る。つまり、KA は耳に聞こえてきた音や声を表現したものであり、KPP は耳以外の知覚に よる動きや状態を表現したものであると考えられる。 上記のような考えに基づいて、Wirakusumah と Djajawiguna が言う KA とは、日本語の擬 音語に似たものと思われ、KPP は動作の意図をより明確にするという機能の面から見て、 日本語の擬態語と同様のものであると思われる。一方、KPS は、動詞とゆるやかな共起関 係にあり、当該の動詞の意味内容を予示するものであるが、動詞を用いずにそれのみで当 該動詞の意味を示すと考えられるものである。又、Kamus Umum Basa Sunda (1986)には、KPS は KA/KPP に接辞をつけて動詞化したものであると確定した。 5.考察 5.1 考察対象: 「体の動き」に関する擬音・擬態語と KA/KPP 及び KPS 5.2 考察方法:辞書から対象となる擬音・擬態語と KA/KPP 及び KPS を選定する 以下は使用した辞書である。 日本語 ⇒ 『擬音・擬態語分類用法辞典』 (1990) 『擬音・擬態語翻訳辞典』 (1996) スンダ語 ⇒ 『Kamus Umum BASA SUNDA』 (1980) 『Kamus Lengkep Sunda-Indonesia』 (1998) 『Kamus Basa Sunda』(1954) 5.2.1 選定の注意点 本稿は数多くの日本語の擬音・擬態語の中から、特に、人・動物の行動に関する擬態的 表現、つまり、擬態語を用いて事物の姿態を具体的に表現するものに対する考察である。 また、それらに同様と見られるスンダ語の KA/KPP 及び KPS と比較して考察する。 ここで、「歩く」、「座る」、「食べる」、「飲む」、「跳ねる」、「頷く」、「転ぶ」、「くねらせ る」に関する両者の擬態的表現に限定した。 5.3 分析及び考察 上に述べたように、日本語は擬音・擬態語をよく使う言語として知られている。そこで、 日本人はある特定の言葉をもって、動作をはっきりと描写することができる。その例とし て、次のようなものがある。 (1) (日本語) 子猫がピョンと椅子から跳び降りた。 (2) (スンダ語)Eta ucing teh, cleng luncat tina taraje. (あの猫がピョコンと梯子から飛び降りた。) (1) のピョンという語には、スンダ語の cleng という語が対応すると考えられる。Cleng には、ほとんど音もたてずに跳ぶという意味がある。 (3) (日本語) 子供は、三フィートほどの小川をピョンと跳び越した。 (スンダ語)Kuda teh, jleng luncat ngajlengan solokan. (馬は、小川をピョンと跳び越した) 上の(3)のピョンには、スンダ語の jleng が対応すると考えられる。その jleng には ある特定の距離に達するため、体をおどらせて跳ねるという意味がある。
428
(4) (日本語) 犬を見た兎は、ピョンピョン跳ねて逃げて行った。 (スンダ語)Ucing anu diudag anjing teh, acleng-aclengan nyingkah. (犬に追いかけられた猫は、ピョンピョン跳ねて逃げて行った。) (5) (日本語) 子供たちはピョンピョン跳ねて大喜びした。 (スンダ語) Barang nampa cocoan, eta budak teh ajleng-ajlengan atoheun. (おもちゃをもらった子は、ピョンピョン跳ねて大喜びした。 ) (4)と(5)とのピョンピョンには、スンダ語の acleng-aclengan や ajleng-ajlengan を 対 応させることができると考えられる。日本語もスンダ語もその語が跳ねるという動作を 繰 り返すという意味であること。しかし、スンダ語では、動作主の身体の大小によって区 別 される。身体が小さい場合、acleng-aclengan を使うが、大きい場合は、ajleng-ajlengan を 使う。 (6) (日本語) 彼はまずそうにコップの水をがぶりと飲む。 (スンダ語)Bakating ku hanaang, leguk wae eta ciatah teh diinum. (喉がすごく乾いているので、がぶりと生水を飲む。) (6)のがぶりは口を大きく開いて噛みついたり飲み込んだりするようすを表している。 また、スンダ語の leguk も同様の意味を表すと考えられる。一方、 「ぎゅっ」、「ぐいぐ い」 、 は、スンダ語には同様なものは見当たらない。 《資料-2》の 4 参照。これは恐らくスン ダ 人にはお酒を飲む習慣がないからであると考えられる。 次は、 「転ぶ・滑る」に関する両者の擬態的表現の類例を見てみよう。 (7)
(日本語) バナナの皮に滑ってすてんと転んだ。 (スンダ語)Salnasik nincak cangkang cau, sorodot...blug!
(7) の「すてん」は、スンダ語には二つの語(sorodot と blug)に対応する。sorodot は滑るようすを表して、blug は、その転んだ結果を表す。つまり、sorodot と blug は、 ペ アの形で使用している。 《資料-3》の7番参照。 以上、日本語に存在する擬音・擬態語は、スンダ語に対応できるものは存在しない、ま た、スンダ語にあるものは日本語にはないということはよく見られる。更に、日本語には、 擬音・擬態語として取り扱うものはスンダ語には KA/KPP として取り扱う他、KPS として 取り扱うものも存在する。例えば、 《資料-1》の1番で取り上げられるように、 「歩く」に 対する「ささっ」や「しゃなりしゃなり」や「せかせか」などは、それぞれ KPS の ngabadaus、 ngagandeuang、ngingkig、ngabengbeos などに対応する。 6.まとめと今後の課題 擬音・擬態語は、たいていの日本人には意味を説明する必要がないかもしれない。音が 意味に直結しているから、日本語の中で育った人には意味は自明であるが、外国人には難
429
しい。特にインドネシア人日本語学習者にとって、口を揃えて日本人のよく使う擬音・擬 態語の意味が分からなくて、日本語を使う上で擬音・擬態語を自由自差に駆使するのは困 難という学習者を見かけることが多い。 本研究の成果は、両言語の発展、特に語彙と意味の比較研究の発展に貢献できることが期 待される。しかし、最も期待されることは、スンダ語を母語とする者が日本語を学習する際 の手助けになることである。 インドネシア語は今なお若い言語であり、発展しつつある言語であるので、将来スンダ 語にある日本語の擬音・擬態語とそれと類似していると思われるスンダ語の Kecap Anteuran (KA)と Kecap Panganteur Pagawean(KPP)並びに Kecap Pagawean Sipat(KPS)はインド ネシア語に吸収されることも考えられる。 今回の発表は両者の擬態的表現の中、特に体の動きに関する擬音・擬態語と KA/KPP 及 び KPS を中心にその様相に当たってきた。また、今後の課題としては、今回のような考察 基準と方法に基いてより明解に具体的な類例を取り上げられて、分析していきたい。 参考文献 日本語文献 アンドルー・チャン(1990) 『<和英>擬態語・擬音語分類用法辞典』 、大修館書店 苧阪直行 (1999) 『感性のことばを研究する<擬音語・擬態語に読む心のありか>』 、新曜 社 尾野秀一 (1984) 『日英擬音・擬態語活用辞典』 、北星堂書店 角田太作(1996) 『世界の言語と日本語』 、くろしお出版 金田一春彦(1998) 『日本語百科大事典』 、大修館書店 窪薗晴夫(1997) 『語形成と音韻構造』、くろしお出版 崎山理・柴田紀男『スンダ語』 、亀井孝他(編)『言語学大辞典第2捲』三省堂 田守育啓(1991) 『日本語オノマトペの研究』 、神戸商科大学経済研究所 田守育啓、ローレンズ・スコウラップ(1999)『オノマトペ―形態と意味―』くろしお出版 田守育啓(2002) 『オノマトペ 擬音・擬態語をたのしむ』、岩波書店 降幡正志(1993) 『スンダ語の後置詞 mah 及び teh』 、東京外国語大学院修士論文 森山幹弘(1998) 『スンダ語会話』 、大学書林 山口仲美(2002) 『犬は「びょ」と鳴いていた』、光文社 英語・和蘭語文献 Anderson, Stephen R.(1972) On nasalization in Sundaneese, Lingistic Inqiri Coolsma, S. (1904) Soendaneesche Spraakkunst, Leiden: A.W. Sijthoff (1985) Tata Bahasa Sunda, Translated by H. Widjajakusumah & Y. Rusya na from Coolsma (1904), Jakarta: Djambatan. Hardjadibrata (1983) Anticipatory Verbal Intensifiers in Sundaneese,Canberra:TANU Kern,R.A (1940) Soendasche in ‘t Soendaasch, Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde 59 Lezer, L.A. (1931 ) De Sundaneesche Taalcursus, Bandung: Boekenverzendhuis. Robins, R. H (1957) Vowel Nasality in Sundaneese, SLA Syoc, W. B. van (1959) The Phonology and Morphology of the Sundanese Language, Dissertation: Univ. of Michigan. スンダ語文献 BPS (1998) Biro Pusat Statistik seri S, No.2, Jakarta, Departemen Dalam Negeri. Djajasudarma,F (1980) Tatabasa Sunda, Bandung: Rahmat Cijulang. (1986) Kecap Anteuran Tatabasa Bahasa Sunda, Disertasi,Jakarta:UI (1987) Gramatika Sunda, Bandung: Paramaartha. Faturohman,Taufik(1982), Tatabasa Sunda, Bandung: Djatnika. FPBS IKIP Bandung(1989),Ejaan Yang Disempurnakan:EYD, Jur.Bhs.&Satra Sunda.
430
LBSS ( 1980 ) Kamus Umum Basa Sunda , Bandung:Tarate. Nataprawira,P (1953) Tata Bunji Sunda, Bandung: Toko Melodie. Satjadibrata,R. (1954) Kamus Basa Sunda, 2 nd ed. Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian P. P. dan K. Sudaryat, Yayat (1985) Pedaran Basa Sunda, Bandung: Firma Ekonomi Tamsyah, Budi Rahayu (1998) Kamus Lengkep Sunda-Indonesia , Bandung:Pustaka Wirakusumah & Djajawiguna (1957) Kandaga Tatabasa Sunda , Bandung:Ganaco NV.
《資料-1》 動詞別日本語・スンダ語の擬態的表現一覧表 日本語 スンダ語 No. 動詞 擬音・擬態語 1 歩く さっさ しずしず
No. 動詞 1 Leumpang
KA/KPP geblay
しゃなりしゃなり すたこら
KPS ngabadaus ngageblay ngagandeuang
gidig
ngagidig
すたすた
ngingkig
せかせか
ngabengbeos
そろそろ
keteyep
ngeteyep
そろりそろり
keteyep
keketeyepan
ちょこちょこ
jarigjeug
てくてく とことこ
ngincid niliktik
どしどし
geblag-ge ngageblig blig
とぼとぼ
lunghay-le ngalenghoy nghoy dohot-doh ot ngagegag ngagigeug geblag-ge ngageblig blig
のこのこ のそのそ のそりのそり のっしのっし のろのろ ひょろひょろ ふらふら ぶらぶら ふらりふらり ぶらりぶらり ゆるゆる よたよた
dugla-digl ngadigleu eu rampual-r rarampeolan ampeol jumarigjeug gubay-geb ngageboy oy galuang-g gagaleongan aleong ngageuyeunggeung ngaleyad sasampoyongan
有様 手早く歩く。 静かで、ゆっくりとした遅いペー スで歩く。 身にこなしがしなやかで、気どっ たようなさま。 足早に歩く。特に、急いでその場 を立ちさる。 足底を確実に地面につけて、急 ぎ足で歩く。 落ち着かず気ぜわしく歩く。 時間をかけて静かに進んだり歩 く。 もっと時間をかけて静かに進ん だり歩く。 落着きなく目まぐるしく歩きまわ る。 長い道のりを歩いていく。 足早に狭い歩幅で歩く。 重いものが地響きさせながら歩 く。 元気なく歩く様。あゆみのしかり しないさま。 こわいこわいと思いながら歩く。 動作がにぶく、のろいさま。 遅鈍で行動のゆるやかなさま。 重いものが地響きさせながら歩 く。 動作や物事の進行が非常にゆっ くりしているさま。 足がよろめいて定まらないさま。 方向を定めず不安定・不規則に 揺れながら移動するさま。 急がずのんびり歩く。 方向を定めず不安定・不規則に 揺れながら移動するさま。 先を急がず歩くさま。 いそがないさま。徐々。 体重や荷の重みで蹴り出す力が 弱く、足運びが不安定でぶざまに 歩く。
431
よちよち
2
rincug
よぼよぼ
rampual-r rarampeolan ampeol
よろよろ
solontod
座る ぐったり
2
Diuk
sosolontodan
nyangsaya
でん
ajeg
どかっ
brek
どっか
andekak
どっかり
ngabaheuhay
どっしり
andegleng
ちょこん
cle
のっそり ぺたっ ぺたり べたり
nyengcle ngalageday
gek anjeucleu anjeucleu
幼児・老人などが小さな歩幅で不 安定に歩く。 動作が弱々しくいかにも老衰した 感じであるさま。よろめき歩くさ ま。 体の均衡がとれず足運びが不安 定なさま。 体力や気力が失われて倒れそう なさま。 態度が落ち着きはらって堂々とし ているさま。 移動が一度に大量であるさま。 重々しく、ゆったりと腰をおろすさ ま。 重いものが動かしようもなく確実 にある場所を占めているさま。 おもおもしく落ちついたさま。 小さくじっとかしこまっているさ ま。 動きが鈍重なさま。 尻をつけて直に座るさま。 尻をつけて平たくすわるさま。 尻をつけて平たくすわるさま。
《資料-2》 動詞別日本語・スンダ語の擬態的表現一覧表
日本語 No. 3
動詞 食べる
スンダ語
擬音・擬態語 No. がぶり
3
動詞 Dahar
がつがつ
4
飲む
有様
KA/KPP
KPS
kedewek habek
くちゃくちゃ
ceplak
ぐちゃぐちゃ
ceplak
ぱくぱく
celebek
ぺろっ
belewek
ぺろり むしゃむしゃ
seleweg
もぐもぐ
samual
もそもそ
remus
もりもり
deker
がぶがぶ がぶり
sambutut
5
Nginum
regot leguk
口を大きく開いて噛みついたり飲 み込んだりするさま。 甚だしく食べ物などをほしがるさ ま。また、むさぼり食うさま。 食べ物などを噛む音。 水分が多く柔らかでまとまらない さま。 幾度も口を大きく開閉、あするさ ま。またそのようにして盛んに食 べるさま 一口に食べたり、短時間に食べ たりするさま。 瞬く間に食べ尽してしまうさま。 無作法にほおばって食べるさま。 口中に物が大量にあったり噛み 切れなかかったりして、いつまで も口を動 かしているさま。 乾いていたり、繊維が多い食べ 物を食べるさま。 意欲・活力・食欲などが強烈にわ き出てくるさま。 液体を勢いよく大量に続けて飲 む音、またそのさま。 口を大きく開いて噛みついたり飲 み込んだりするさま。
432
きゅっ
酒を一気に飲むさま。 酒などを幾度も勢いよく飲むさ ま。 一気に強い力を加えたり気合を 入れて行なったりするさま。 液体を勢いよく大量に続けざまに 飲み込む音。のどを鳴らして飲む さま。 液体などを一回飲み下す音、ま た、そのさま。 液体を音を立てて一息に飲む 音。 物事を少しずつく区切りながらす るさま。 少しずつ回数を重ねるさま。
ぐいぐい
5
跳ねる
ぐっ
lek
ごくごく
leguk-legu k
ごくっ
suruput
ごくり/ごくん
suruput
ちびちび
rot
ちびりちびり
rot
ぴょん
5
luncat
身軽に飛び跳ねるさま。飛び越 えるさま。 ある特定の距離に達するため、 体をおどらせて跳ねるさま。 身軽に繰り返し飛び跳ねるさま。 (動作主の身体が小さい場合) 身軽に繰り返し飛び跳ねるさま。 (動作主の身体が大きい場合)
cleng
ぴょーん
jleng
ぴょんぴょん
acleng-acl engan ajleng-ajle ngan
6
頷く
うん
6
unggeuk
unggeuk
うんうん
unggeuk-unggeukan
こくり
lenggut
ngalenggut
こくん
unggeuk
ぺこっ ぺこぺこ
unggut unggut-unggutan
ぺこり
ungkug-ungkugan
ぺこん
unggut
《資料-3》 動詞別日本語・スンダ語の擬態的表現一覧表 日本語 スンダ語 No. 7
擬音・擬態語 No.
動詞 転ぶ・滑 くるっ る ぐるん
すってん すてん ずでん すってんころり ずどん
7
動詞 Labuh; tisoledat; tijungkir
KA/KPP
sorodot..... ...geblug sorodot..... ...blug sorodot..... ...gudubra g gubrag gudubrag
承諾・肯定の意を表す行為。 承諾・肯定の意を何回も首を前 に傾けるさま。 居眠りして、または頷いて首を前 に傾けるさま。 承諾・肯定の意をゆっくり首を前 に傾けるさま。 卑屈に頭を下げるさま。 幾度も卑屈に頭を下げるさま。 勢いよく頭を下げてお辞儀するさ ま。 ゆっくりと卑屈に頭を下げるさま。
有様 KPS
jumpalik
軽快に方向転換するさま。
gulitik
でんぐり返すさま。 勢いよく滑って転ぶさま。(すてん より強い) 勢いよく滑って転ぶさま。 勢いよく滑って転ぶさま。(動作 主の身体が大きい) 勢いよく転ぶさま。 重いものがぶち当たる音。
433
8
するっ
ser
するり
geleser
つるっ
sorosod
つるり
seureuleu
くねらせ くにゃくにゃ る
くねくね
8
ngagitek
gutak-gite ngenyod k
gual-geol
にゅるにゅる
ngaleor
にょろにょろ
galuar-gal eor
にょろっ
geleser
にょろり
luar-leor
ぬるぬる
leor
のたり もそもそ もぞもぞ
何の抵抗もなく、滑るように移動 するさま。 動きなどが滑らかで滞りのないさ ま。 なめらかな表面を瞬間的にすべ るさま。 すべるさま。つるつるしたさま。
leueur ngaringkel
utak-utek gutak-gite k
柔らかくて形がさだまらないさま。 また、折れずに曲がったりゆがん だり するさま。 ゆるやかに波打つように動くさ ま。 蛇などがゆるやかにうねりつつ すすむさま。 蛇などがゆるやかにうねりつつ すすむさま。(身動きが遅い) 蛇などがゆるやかにうねりつつ すすんで逃だ出す。 蛇などがゆるやかにうねりつつ すすむさま。 ほどけるさま。ずるずる。(滑り抜 ける) ゆるやかにうねるさま。 小さくて緩慢に身動きするさま。 手足や体を緩慢に動かすさま。
434
Peran Karya Sastra Pengarang Kalimantan Barat dalam Pemertahanan Bahasa Daerah lewat Penamaan Tokoh Fiksi Musfeptial, Balai Bahasa Kalimantan Barat, Jalan Ahmad Yani, Pontianak, Kalimantan Barat
Abstrak Kajian ini berusaha memaparkan fungsi karya sastra pengarang Kalimantan Barat sebagai upaya pemertahanan bahasa daerah. Penamaan tokoh fiksi dalam sastra dengan dimensi lokalitas tentu menarik untuk dicermati. Setidaknya dari aspek pemertahanan bahasa daerah. Kajian ini berangkat dari pendapat Garvin dan Mathiot tentang sikap bahasa. Selain itu, kajian ini juga didukung dengan pendekatan deskriptif analisis. Kajian menunjukkan bahwa banyak pengarang memberikan nama pada tokoh dalam karyanya berangkat dari bahasa lokal. Nama tokoh rekaan Aki Gurung, Aki Sangki, Aki Lanyuk, Kurat, Tamal, Jamit, Umak pada cerpen Pusak Untun Banin karya Yusriadi dan tokoh rekaan Mukan, Tuai Serang, Indai, Medang, Lansi, Siyan pada cerpen Agik Idup Agi Ngelaba karya Dedy Ari Asfar serta Wak Dolah, Wak Andak Onget, dan Pak Mok Adnan pada cerpen Antu Bengkek karya Saifun Arif Kojeh merupakan contoh beberapa nama yang digunakan oleh pengarang dalam karya sastranya dalam rangka pemertahanan terhadap bahasa daerah. Nama-nama tokoh rekaan yang dipakai oleh pengarang merupakan nama yang penuh arti bagi masyarakat penuturnya di Kalimantan Barat, yaitu masyarakat Dayak dan Melayu. Kata kunci: bahasa, lokal, sastra, dan pemertahanan,
Abstract This study tried to describe the function of literature as the author of West Borneo local language preservation efforts. Naming a fictional character in literature with dimensions of locality is certainly interesting to observe. At least from the aspect of language retention area. This study departs from Garvin and Mathiot opinion on language attitudes. In addition, this study was also supported by the descriptive analysis approach. Studies show that many authors give the names of the characters in his departure from the local language. Name a fictional character Aki Gurung, Sangki Aki, Aki Lanyuk, Kurat, Tamal, Jamit, Umak on stories Pusak this gracious work Yusriadi Banin and Mukan fictional character, Tuai Serang, Indai, Medang, Lansi, Siyan on the short story works Agik Idup Agi Ngelaba Dedy Ari Asfar and Wak Dolah, Wak Onget , and Mr. Mok Adnan on Antu Bengkek Kojeh Arif Saifun work is an example of some of the names used by the author in literary works in the context of preservation of the local language. The names of fictional character used by the author is a meaningful name for the community of naïve speakers in West Borneo, the Dayak and Malay. Keywords: language, local, literature, and retention
1.
Pendahuluan Karya sastra merupakan hasil cipta kreatif sekaligus imajinatif dari pengarang. Sebagai karya kreatif, karya sastra lahir dari kreativitas seorang pengarang dalam mengolah kata-kata. Tidak jarang dengan kreativitas yang dimiliki, seorang pengarang akan memunculkan karya sastra dengan tema dan gaya penyajian yang sangat berbeda denga karya sastra terdahulu. Dikatakan imajinatif karena karya sastra lahir dari pengolahan imajinasi seorang pengarang. Daya imajinasi tersebut muncul akibat pergelutan pengarang dengan lingkungan sekitar, baik lingkungan sosial maupun lingkungan budaya masyarakat. Lingkungan sosial dan lingkungan budaya merupakan dua hal yang sangat berpengauh pada seorang pengarang. Bahkan Teeuw (1984, 220-221) menguraikan hubungan kenyataan
435
dengan sastra. Menurut Teeuw, dalam karya sastra terjadi perjalanan bolak balik antara kenyataan dengan khayalan pengarang. Suatu kenyataan yang melekat pada karya sastra adalah sebuah kenyataan semu yang sudah diolah melalui proses observasi, penelaahan, dan penafsiran yang dilakukan seorang pengarang terhadap sesuatu yang dilihat, dihadapi, dan dirasakannnya. Sejalan dengan itu, Junus (1989:10) menjelaskan bahwa realitas pada sebuah karya sastra bukanlah suatu realitas telanjang, yang sahih dan yang semata-mata mewakili relitas konkrit dalam kehidupan. Dengan demikian, realitas dalam karya sastra akan memiliki relasi dengan fenomena dan dinamika sosial dan budaya yang ada pada masyarakat atau yang lebih dikenal dengan istilah lokal. Fenomena lokalitas dalam karya sastra merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan fenomena ini telah berlangsung lama. Setidaknya dalam perkembangan sastra Indonesia, dari zaman sebelum kemerdekaan, dari zaman Balai Pustaka, dan Pujangga Baru sampai saat ini lakolitas telah ikut mewarnai perkembangan sastra Indonesia. Dalam tataran sastra yang ditulis oleh pengarang Kalimantan Barat, fenomena ini juga dapat diamati. Banyak karya sastra diciptakan oleh pengarang Kalimantan Barat yang bernuansa lokal. Banyaknya nuansa lokal dalam karya sastra pengarang Kalimantan Barat tentu menjadi objek menarik untuk dianalisi. Setidaknya sesuai dengan batasan masalah yang menjadi pumpunan kajian utama pada makalah ini yaitu bagaimanakah peran karya sastra dalam pemertahanan bahasa daerah lewat penamaan tokoh fiksi. Kajian ini berangkat dari konsep sikap positif bahasa yang dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot (dalam Chaer,dkk. 2010:152). Lebih jauh Garvin dan Mathiot menjelaskan bahwa ada tiga ciri sikap positif bahasa, yaitu (1) kesetiaan bahasa (language loyality); (2) kebanggaan bahasa (language pride); dan (3) kesadaran adanyo norma bahasa (awarensess language) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun. Selain itu, kajian ini didukung dengan pendekatan deskriptif analisis. 2.
Pembahasan Sebagai hasil cipta pengarang Kalimantan Barat, karya sastra yang dhasilkan oleh pangarang tersebut memuat banyak kosa kata yang bernuansa lokalitas. Selain itu, hal yang penting juga, para pengarang Kalimanrtan Barat telah berusaha memunculkan tokoh fiksinya dengan nama-nama lokal. Hal ini teleh menumbuhkan secercah harapan dalam pemertahaan bahasa daerah, khususnya bahasa Dayak dan Melayu. Selain itu, pengunaan bahasa daerah yang ditampilkan oleh pengarang dalam karya sastra juga dapat disebut sebagai upaya pemertahanan bahasa daerah dari kepunahan karena pengarang telah melakukan pendokumenan bahasa dan budaya daerah melalui karya sastra (Septianingsih, badanbahasa.kemdikbud go id) Dilihat dari aspek kesetiaan bahasa dan kebanggaan bahasa jelas ini merupakan bentuk kesetiaan dan kebanggaan pengarang Kalimantan Barat atas bahasa mereka. Berikut data yang didapat dari beberapa karya pengarang Kalimantan Barat yang menggunakan nama lokalitas dalam karya mereka. Pertama cerpen Pusak untuk Banin karya Yusriadi. Nama tokoh lokal yang dimunculkan adalah tokoh Aki Gurung, Aki Sangki, Aki Lanyuk, Kurat, Tamal, Jamit, dan Umak Intuk. Kedua, cerpen Agik idup Agik Ngelaban karya Dedy Ari Aspar. Nama tokoh yang dimunculkan yaitu Mukan, Tuai Serang, Indai, Medang, Lansi, dan Siyan. Ketiga yaitu cerpen Antu Bengkek karya Sapun Arif Kojeh. Tokoh lokal yang dimunculkan adalah Wak Dolah, Wak Andak Onget, dan Pak Mok Adnan. Keempat adalah naskah drama drama Ngander Gugat karya Ilham Setia. Adapaun tokoh lokal yang ada pada naskah drama ini adalah Ngander, Degel, Alim. Nama lokalitas dalam pada karya pengarang Kalimantan Barat tersebut secara umum dapat dibedakan atas lima pembagian. Pertama, nama khas Melayu Kalimantan Barat. Kedua, nama khas Dayak Kalimantan Barat. Ketiga, nama sebuatan dalam hubungan kekerabatan pada masyarakat Dayak. Keempat, nama sebutan dalam hubungan kekerabatan pada masayarak Malayu, dan kelima sebutan yang berhubungan dengan kepemimpinan. Nama khas Melayu Kalimantan Barat berupa nama Dolah, Andak Onget, dan Adnan, Ngander, dan Degel. Dari nama nama ini, nama yang jarang digunakan adalah nama Andak Onget, Ngander, dan Degel. Sementara itu, nama Dolah sampai saat ini masih sangat bangak
436
digunakan di kalangan masyarakat Melayu Kalimantan Barat. Nama degel, yang bermakna kumal dan ngander yang berarti lugu, pada saat sekarang ini tidak pernah digunakan lagi. Hal ini mungkin dikarenakan kedua nama tersebut bermakana kurang baik. Nama khas Dayak seperti Gurung, Kurat, Sangki, Lanyut, Tamal, Jamit, Intuk, Mukan, Serang, Medang, Lansi, dan Siyan. Merupakan nama-nama yang sampai saat sekarang ini masih banyak dipakai oleh masyarakata Dayak. Nama-nama tersebut jelas khas dan mecirikan namanama masyarakat Dayak. Agak jarang dan bahkan tidak pernah nama-nama tersebut ada pada msarakat suku lain. Artinya, nama-nama ini juga menjadi ciri khas penamaan pada masyarakat Dayak. Semantara itu, nama sebutan pada masyarakat Melayu , seperti nama sebutan wak dan pak Mok. Nama sebutan wak berasal dari kata uwak yang bermakana bermakna bapak. Panggilan wak tidak hanya sekadar dari anak kepada orang tuanya. Akan tetapi penggunaanya sangat luas. Bisa jadi digunakan untuk penyebutan untk orang tua yang cukup terpandang dan dihormati di seuatu kampong. Dengan demikian, bisa jadi pada suatu kampaung itu banyak orang tua yang dipanggil dengan wak karena alasan penghormatan kepadanya. Lain halnya dengan sebutan pak mok, sebutan ini lebih bersifat bentuk fisik. Pak mok bermakna bapak yang gemuk. Budaya seperti ini sangat dominan pada masyarakat Melayu Kalimantan Barat, seperti untuk perempuan yang lebih tua biasa dipakai sebutan mak long atau kak long, untuk yang warna kulitnya diangap putih dipakai mak utih. Mak ndah untuk yang pendk, dan sebagainya. Sebutana kekerabatan pada msyarakat Dayak seperti aki, umak, dan indai. Aki bermakna kakek. Umak dan indai bermakna ibu. Ketiga sebutan kekerabatan ini masih dipakai pada masyarakat Dayak. Dengan adanya pemanfaatan nama-nama khas daerah dan sebutan kekerabana ini pada karya sastra dan kemudian karya sastra tersebut dibaca oleh generasi muda secara tidak langsung para pengarang telah berperan dalam pelestarian bahasa daerah. Kelima adalah penyebutan yang berhubungan dengan kepemimpinan. Pada msayarakat Dayak, dalam cerpen Agik idup agik Ngelaban, penyebutan pemimpin adalah tuai yang bermakna pemimpin rumah atau dapat disamakan dengan kepela kampung pada satu suku. Tuailah yang berkuasa atas sesuatu putusan dalam kampung tersebut. Tidak satu orang pun orang Dayak akan berani membantah perintah dan putusan tuai karena ia meyakini bahwa tuai adalah wakil jubata ( Tuhan) di bumi. Lain halnya dengan masyarakat Melayu Kalimantan Barat, pada naskah drama Ngader Gugat karya Ilham Setia, sebutan pemimipin yang digunakan adalah alim. Alim bwermakna orang yang alim dan mengerti seluk beluk ajaran agama Islam. Artinya, pemimpin pada naskah drama ini berorientasi Islam. Ini dapat dipahami karena konsep Melayu yang mereka yakini adalah bahwa Melayu adalah Islam. Dengan demikian, pemakaian sebutan alim pada naskah drama ini sangat berkaitan dengan budaya yang berkembang pada masyarakat Melayu Kalimantan Barat. 3.
Penutup Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan nama tokoh dalam karya pengarang Kalimantan Barat sangat penting dalam pemertahaan bahasa daerah. Setidaknya pengarang Kalimantan Barat telah berperan dalam pemeliharaan kosa kata daerah baik kosa kata yang masih dipakai maupun kosa kata yang keberadaannya diambang kepunahan. Setidaknya ada lima pengelompokkan yang dapat dilakukan terhadap pemanfaatan nama tokoh lokal dalam sastra pengarang Kalimantan Barat, Pertama, nama khas Melayu Kalimantan Barat. Kedua, nama khas Dayak Kalimantan Barat. Ketiga, nama sebuatan dalam hubungan kekerabatan pada masyarakat Dayak. Keempat, nama sebutan dalam hubungan kekerabatan pada masayarak Malayu, dan kelima sebutan yang berhubungan dengan kepemimpinan
437
Daftar Pustaka Chaer, Abdul dan Leonie Agustine 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT.Rineka Cipta. Junus, Umar. 1989. Fiksyen dan Sejarah Suatu Dialog. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka. Septiningsih, Lustantini.Tanpa tahun. “Pemertahanan Bahasa Daerah Melalui Penggunaan Bahasa Daerah dalam Karya Sastra”. badanbahasa.kemdikbud go id. Diunduh tanggal 1 Juli 2014. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Yusriadi,dkk..2012. Kalbar Berimajinasi. Pontianak: STAIN Pontianak.
438
Serbuan Bahasa Inggris dalam Iklan Perdagangan dan Pengaruhnya Terhadap Rasa Percaya Diri Bangsa Indonesia di antara Bangsa Lain Aulia Luqman Aziz, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Abstrak Saya selalu percaya bahwa untuk membangun hal-hal yang besar, terlebih dahulu hal-hal yang kecil harus dilakukan. Dalam isu penguatan persatuan bangsa—di tengah makin gencarnya serbuan budaya asing ke hampir semua sendi kehidupan masyarakat Indonesia—hal kecil yang saya maksud adalah penguatan kembali peran Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di dalam kehidupan keseharian setiap warga negara. Bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat istimewa dalam merekatkan hubungan antar warga negara yang berbeda suku dan bahasa, suatu hal yang tidak banyak dimiliki oleh bangsa lain di dunia. Sayangnya, peran istimewa ini nampaknya sudah mulai memudar. Dalam konteks perdagangan, jamak ditemui berbagai iklan barang, jasa, maupun acara seminar di sepanjang jalan yang ditulis dalam Bahasa Inggris. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Kepada siapakah iklan itu ditujukan? Artikel ini akan membahas beberapa fenomena penggunaan Bahasa Inggris dalam iklan perdagangan, potensi sumbangsihnya terhadap rasa inferioritas bangsa terhadap bangsa-bangsa lain, dan saran solusi yang perlu ditempuh. Kata Kunci: Bahasa Inggris, iklan perdagangan, rasa percaya diri bangsa
1. Bahasa Indonesia, Anugrah Besar Bangsa Indonesia Sebagai bangsa yang besar, kita bangsa Indonesia haruslah senantiasa bersyukur atas setiap anugerah yang diberikan kepada kita. Salah satu anugerah terbesar yang kita miliki, namun mungkin tak banyak orang yang merasakannya, adalah anugerah kepemilikan terhadap Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Betapa tidak, sebanyak 1.128 suku bangsa di Indonesia (JPNN Mobile, 2010) dan 576 bahasa daerah (Akuntono, 2012) hidup dan tinggal berdampingan di seluruh wilayah Indonesia berkat adanya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sekaligus identitas bangsa. Dengan Bahasa Indonesia, masyarakat dari beragam bahasa daerah tersebut dapat saling berinteraksi, membangun kehidupan, sekaligus merekatkan tali persatuan di antara sesama anak bangsa. Tak banyak bangsa lain di dunia yang bisa menikmati anugerah yang sama. Warga India, sebagaimana yang dituturkan oleh Sari (2010), tidak memiliki satu bahasa nasional yang dapat diterima oleh semua warganya. Hal ini nampak ketika salah satu temannya yang berasal dari India bagian Selatan masih harus menggunakan Bahasa Inggris saat bercakap-cakap dengan rekan sebangsanya yang berasal dari India bagian Utara. Singapura adalah contoh negara lain yang memiliki masalah bahasa lebih pelik. Meskipun bahasa Inggris telah ditetapkan sebagai bahasa resmi negara tersebut, empat suku bangsa yang tinggal di sana ternyata tidak serta-merta mau dan mampu menggunakannya. Banyak pedagang makanan dan minuman yang berkebangsaan Cina tidak mampu dan tidak mau menggunakan bahasa Inggris ketika melayani pengunjung dari bangsa lain seperti saya. Meski demikian, menurut para ulama yang saya temui atau dengar ceramahnya, manisfestasi rasa syukur harus terlihat minimal dari dua aspek, yakni rasa syukur di hati dan lisan (dengan mengucap rasa syukur dan menghaturkan pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa) dan rasa syukur yang terwujud dalam aksi nyata sehari-hari. Saya yakin mayoritas anak bangsa secara diam-diam telah menyatakan rasa syukurnya, baik secara umum dengan bungkus kehidupan yang damai di negeri ini maupun secara khusus atas nikmat bahasa persatuan ini. Akan tetapi, manifestasi yang terwujud dalam aksi nyata barangkali masih menjadi kelemahan kita bersama.
439
2. Serbuan Bahasa Inggris dalam Iklan Perdagangan Seharusnya, kepemilikan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa pemersatu, sekaligus identitas bangsa ini menjadi sebuah kekuatan untuk unjuk diri di kancah pergaulan internasional. Akan tetapi, yang terjadi adalah justru kita mudah sekali menjadi sasaran gempuran bahasa asing dalam aktivitas keseharian kita, dalam hal ini Bahasa Inggris. Contoh yang paling kentara adalah penggunaan bahasa dalam iklan-iklan perdagangan. Banyak kita temui di sekitar kita iklan perdagangan yang banyak menggunakan Bahasa Inggris. Misalnya, beberapa hotel baru di Kota Malang memilih menggunakan Bahasa Inggris dalam iklan-iklannya ketimbang menggunakan Bahasa Indonesia. Setidaknya ada dua penyebab mengapa Bahasa Indonesia cenderung tersisih oleh Bahasa Inggris dalam iklan perdagangan (para cendekiawan bahasa menyebutnya sebagai fenomena ‘imperialisme bahasa’), yakni sebab internal dan eksternal. Sebab internal berkaitan dengan mentalitas kita sebagai bangsa yang terjajah yang dicirikan dengan lebih percaya diri bila menggunakan bahasa asing dalam komunikasi (Kontjaraningrat, 1983, dalam Suyatno, 2010). Sejarah menunjukkan adanya diskriminasi atas perlakuan penjajah (bangsa Belanda) kepada rakyat pribumi, mulai dari pembedaan sekolah, bahasa, hingga pakaian sehari-hari. Tidak mengherankan jika selama kurang lebih 350 tahun nenek moyang kita hidup dengan pola kehidupan diskriminatif semacam itu pastilah menghasilkan sebuah mental pemikiran yang melihat bahwa bahasa dan budaya asing itu lebih baik daripada milik sendiri. Kemudian, sebab eksternal berkaitan dengan pengaruh budaya dan teknologi dari bangsa lain yang lebih maju. Sudah jamak diketahui bahwa kehidupan kita di masa sekarang hampir tak dapat lepas dari produk-produk kebudayaan Barat, misalnya teknologi komunikasi. Bersamaan dengan masuknya produk-produk tersebut, masuklah pula budaya-budaya mereka yang sedikit banyak akan memengaruhi pola pikir kita, salah satunya berkaitan dengan bahasa. Maka, gambaran yang terbentuk dalam benak kita adalah segala hal yang datang dari Barat adalah kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan yang lebih baik, dan puncak aktualisasi diri sebagai manusia. Tak heran, kita pun, secara sadar maupun tak sadar, akan terbawa ke arus budaya Barat, termasuk dalam pola-pola pragmatis dalam perdagangan seperti menggunakan bahasa mereka dalam iklan. Dalam benak para pelaku perdagangan di Indonesia, sebagai akibat dari pengaruh budaya tadi, akan muncul keniscayaan bahwa sebuah produk yang ditawarkan dengan menggunakan Bahasa Inggris akan dinilai lebih bagus, lebih bergengsi bagi penggunanya, dan lebih bermanfaat. Padahal, mungkin produk tersebut dibuat oleh anak bangsa kita sendiri dan berkualitas sama dengan produk-produk lain yang dipasarkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Akan tetapi, karena masyarakat kita juga sudah memiliki pola pikir demikian, maka mereka akan lebih memilih untuk membeli produk yang ditawarkan dengan Bahasa Inggris daripada produk dengan iklan berbahasa Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah, “Sebenarnya kepada siapa iklan-iklan itu ditujukan?” Sigalingging (2013) menyatakan bahwa sebuah iklan yang bertujuan untuk mendorong orang untuk membeli sebuah produk haruslah mudah dipahami oleh target sasarannya, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan gaya bahasa dan jenis bahasa. Bila target sasaran pembuat iklan adalah orang-orang Jawa, maka wajar saja bila iklan itu ditulis atau dibuat dalam Bahasa Jawa (seperti dalam iklan produk minuman instan Sari Jahe Keraton). Bila target sasarannya adalah orang Indonesia, maka mestinya iklan itu ditulis dalam Bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin sebuah iklan di Indonesia ditulis dalam Bahasa Inggris? Kecuali, jika iklan tersebut memang ditujukan bagi mereka yang sehari-harinya berbahasa Inggris. Maka, kita dapat bertanya, “Berapa banyakkah orang asing yang sehari-hari menetap di Indonesia (khususnya di Kota Malang), sehingga produsen barang dan jasa harus bersusah payah bersaing dengan iklan berbahasa Inggris?” Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang (2010) merilis data bahwa dari 61 hotel yang ada di Kota Malang, jumlah tamu asing yang menginap di hotel berbintang adalah 20.916 orang. Angka ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah tamu domestik yang
440
menginap di hotel berbintang, yakni mencapai 161.098 orang. Sementara, jumlah tamu asing yang menginap di hotel non bintang hanya 186 orang dan tamu domestik mencapai 133.257 orang. Jadi, biar bagaimanapun, potensi tamu domestik masih jauh lebih besar dibandingkan tamu asing ke Kota Malang. Mengapa iklan-iklan hotel di Kota Malang malah didominasi oleh penggunaan Bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia? Apalagi, Kota Malang telah dikenal luas sebagai Kota Pendidikan dengan berdirinya 61 perguruan tinggi di seluruh pelosok kota. Bila setiap perguruan tinggi menyelenggarakan banyak pertemuan akademik seperti seminar dan lokakarya setiap tahunnya, potensi kedatangan tamu domestik ke Kota Malang akan sangat besar, sedangkan setiap tamu yang berkunjung membutuhkan informasi akomodasi selama kegiatannya di Kota Malang. Akan lebih baik bila tempat-tempat penginapan di Kota Malang lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia dalam iklan di tempat-tempat umum. 3. Dampak Serbuan Bahasa Inggris terhadap Mentalitas Inferior Bangsa Fenonema imperialisme Bahasa Inggris terhadap Bahasa Indonesia dalam iklan ini akan berdampak besar pada mentalitas bangsa ini sebagai bangsa yang besar. Artinya, kepercayaan diri warga negara Indonesia sebagai pemilik jatidiri Bahasa Indonesia ini dapat memudar secara perlahan dan tergantikan oleh pemikiran keharusan menguasai Bahasa Inggris. Dalam praktiknya, Bahasa Inggris akan diposisikan setara dengan Bahasa Indonesia. Bahkan, dampak yang lebih berbahaya adalah upaya-upaya tak sadar untuk menafikan Bahasa Indonesia, khususnya dalam perdagangan. Masyarakat Indonesia yang terkena dampak buruk ini akan merasa malu dan khawatir dianggap tidak maju bila tidak menguasai Bahasa Inggris. Yang terjadi sekarang adalah dunia pendidikan kita, yakni sekolah dan perguruan tinggi, merasa perlu mewajibkan penguasaan Bahasa Inggris. Berbagai kebijakan di dunia pendidikan, menurut hemat saya, telah menyimpang dari prinsip dasar penempatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan identitas bangsa. Seorang anak yang hendak kuliah kini dikenai kewajiban untuk memiliki skor kecakapan Bahasa Inggris tertentu (melalui TOEFL atau sejenisnya). Di kampus, mahasiswa yang hendak memprogram skripsi atau mengikuti wisuda diharuskan memiliki skor kecakapan Bahasa Inggris tertentu. Di dunia kerja, seorang pelamar disyaratkan memiliki skor kecakapan Bahasa Inggris tertentu. Ironisnya, Bahasa Inggris itu sendiri tidak dipakai selama proses pembelajaran di sekolah maupun di perguruan tinggi. Kalaupun ada, porsi pembelajarannya sangat sedikit, yakni hanya satu kali selama berkuliah di kampus tersebut. Padahal, sama seperti berenang, kemampuan berbahasa tidak akan pernah berkembang jika tidak pernah dilatih dan digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Lalu, bagaimana kita akan berharap seorang Sarjana yang menguasai Bahasa Inggris jika kita tidak pernah menyediakan fasilitas pembelajaran untuk kecakapan tersebut? Jika mengacu pada beberapa bangsa lain, kecakapan berbahasa Inggris bukanlah sesuatu yang sangat vital sehingga kegagalan menguasainya seolah-olah berdampak besar pada nasib kehidupan. Seorang kawan saya yang beberapa kali bepergian ke beberapa negara maju di Asia bercerita bahwa masyarakat di negara tersebut malah mayoritas tidak menguasai Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Di Jepang, mayoritas penduduknya tidak memahami Bahasa Inggris, bahkan penduduk yang tinggal di kota besar sekalipun seperti Tokyo. Masyarakat Cina juga sama, tak banyak di antara mereka yang mampu berbahasa Inggris. Demikian juga di Thailand, baik mayoritas penduduk asli di Thailand bagian Utara (yang berbahasa Thai) maupun pendatang minoritas di Thailand bagian Selatan (yang berbahasa Melayu) tak banyak di antara mereka yang mampu berbahasa Inggris. Akan tetapi, negara-negara tersebut bisa dikatakan lebih maju secara ekonomi, pendidikan, teknologi, hingga sepakbola. 4. Upaya Melindungi Bahasa Indonesia dari Serbuan Bahasa Inggris Dengan adanya masalah yang nampak sepele tapi berdampak besar pada mental dan pola pikir bangsa ke depan, terlebih menjelang diberlakukannya berbagai kesepakatan perdagangan terbuka Indonesia dengan negara-negara lain seperti AFTA 2015 atau ASEAN Community 2015, Crystal (2003, dalam Sofyan, 2012) mengusulkan enam upaya pemertahanan
441
bahasa. Keenam upaya tersebut adalah gengsi, kesejahteraan, bahasa tulis, pendidikan, teknologi, dan kekuasaan. Dari keenam upaya tersebut, saya memandang aspek teknologi cukup sulit untuk diterapkan mengingat serbuan produk teknologi asing ke Indonesia sangatlah gencar. Meskipun pakar-pakar bahasa yang bekerja di bawah naungan Badan Pengembangan dan Pengawasan Bahasa telah berusaha keras memadankan istilah-istilah asing dalam bidang teknologi, masyarakat masih sulit mencerna, menghafal, dan lalu menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Masih agak sulit bagi kita untuk lepas dari istilah-istilah seperti smartphone, flashdisk, mouse, slide, atau paste ketika bergelut dengan teknologi. Maka, saya memilih untuk tidak memasukkan aspek teknologi ke dalam salah satu upaya yang dicetuskan oleh Crystal ini. Sebaliknya, saya akan mengusulkan satu aspek yang saya pandang cukup penting untuk disisipkan, yakni keteladanan. Lebih jelasnya, berikut adalah enam upaya pemertahanan bahasa yang terdiri dari lima aspek Crystal plus satu aspek usulan saya. a. Gengsi Untuk mendorong masyarakat, khususnya para pelaku bisnis, menggunakan Bahasa Indonesia di sebagian besar aktivitas kebahasaan mereka, termasuk dalam pembuatan iklan, gengsi penggunaan Bahasa Indonesia perlu ditingkatkan. Salah satu upaya praktisnya adalah dengan memberi penghargaan kepada mereka yang setia menjaga penggunaan Bahasa Indonesia dalam aktivitasnya. Penghargaan tersebut dapat diberikan kepada orang-orang dari beragam kategori, misalnya kategori seniman atau artis, tokoh politik, tokoh pemerintahan, sastrawan, pelaku bisnis, dan lain-lain. Dengan adanya penghargaan ini, diharapkan masyarakat terpacu untuk sebisa mungkin menggunakan Bahasa Indonesia di segala aktivitas harian mereka. b. Kesejahteraan Mirip dengan langkah peningkatan gengsi, langkah meningkatkan kesejahteraan pengguna Bahasa Indonesia yang baik dapat diberikan dengan cara memberikan hadiah atau posisi kerja yang lebih baik kepada mereka yang memenuhi syarat. Misalnya, dalam institusi pemerintahan atau perusahaan, pegawai yang memiliki kecakapan berbahasa Indonesia yang baik dapat diberikan suatu penghargaan, insentif tambahan, atau posisi kerja yang lebih baik. Tindakan ini akan memicu pegawai yang lain untuk selalu berusaha menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, para pemberi kerja hendaknya mengubah pola pikir mereka dengan cara memberlakukan syarat tes kecakapan Bahasa Indonesia bagi para pelamar kerja dan meninggalkan tes kecakapan Bahasa Inggris, kecuali bila memang posisi kerja yang ditawarkan adalah posisi yang berhubungan dengan komunikasi dengan dunia internasional. c. Bahasa Tulis Melalui langkah ini, kita dapat memotivasi penggunaan bahasa tulis yang sesuai dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar di media cetak maupun elektronik dengan memberikan penghargaan kepada penulisnya. Selain itu, karya tulis oleh sang penulis tersebut dapat direkomendasikan secara luas agar ia tetap termotivasi untuk menjaga kebiasaan penggunaan bahasa yang baik tersebut. d. Pendidikan Langkah praktis dalam pendidikan adalah dengan mengubah kebijakan-kebijakan yang sebelumnya mensyaratkan siswa atau mahasiswa untuk memiliki nilai TOEFL atau sejenisnya sebelum mendapatkan haknya untuk bersekolah, berkuliah, maupun wisuda. Seharusnya, setiap siswa dan mahasiswa diberikan ujian kecakapan Bahasa Indonesia yang disebut sebagai UKBI. Misalnya, di perguruan tinggi, mahasiswa diberikan dua kali UKBI, yakni pada saat masuk kuliah pertama kali dan saat akan lulus. Dengan begitu, perguruan tinggi dapat memantau pergerakan nilai UKBI mahasiswa sembari menugaskan kepada setiap dosen untuk turut serta memerhatikan kecakapan berbahasa mahasiswa dalam penyelesaian tugas-tugas.
442
Dosen harus ikut memberi masukan tentang kecakapan berbahasa mahasiswa dalam tugas menulis maupun tugas lisan (presentasi). e. Kekuasaan Dalam struktur pemerintahan Indonesia, harus ada badan yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan memberi penghargaan sekaligus sanksi kepada lembaga milik negara maupun swasta yang tidak mengindahkan aturan mendahulukan Bahasa Indonesia daripada bahasa asing. Saya masih teringat pada era 1990an yang lalu, pemerintah bersikap tegas untuk meminta pelaku bisnis mengubah nama usahanya yang berbau bahasa asing menjadi Bahasa Indonesia. Di Kota Malang, hotel yang semula bernama “Kartika Prince” kini berubah menjadi “Kartika Graha”, dan yang semula bernama “Regent’s Park” kini berubah menjadi “Taman Regents”. Di masa kekinian, badan tersebut telah terbentuk, yakni Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang dapat memberikan teguran hingga sanksi kepada pelaku bisnis yang berlebihan dalam mengiklankan usahanya dari segi penggunaan bahasa asing. Dengan cara ini, upaya menjaga kedaulatan bahasa Indonesia pun dapat terlaksana. Dalam proses eksekusi wewenang tersebut di lapangan, Badan Pengembangan dan Pengawasan Bahasa yang bertugas dapat mewakilkan pekerjaan kepada para Duta Bahasa yang rutin dipilih setiap tahun. Hendaknya pemerintah membantu membentuk Lembaga Duta Bahasa yang rata-rata diisi oleh anak-anak muda (mahasiswa) yang akan aktif bergerak mengawasi dan memberi teguran kepada pelaku usaha yang berlebihan dalam penggunaan bahasa asing dalam iklannya. f.
Keteladanan Yang terakhir adalah perlunya keteladanan dari pemimpin bangsa, tokoh-tokoh masyarakat dan politik, untuk selalu menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar pada momentum mereka berbicara kepada rakyat Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengemban amanah tersebut beberapa tahun yang lalu, yang berbuah penghargaan sebagai tokoh berbahasa terbaik. Sayangnya, jelang masa pergantian kepemimpinan ini, beliau menjadi lebih banyak menggunakan kata-kata asing (Bahasa Inggris) dalam pidato-pidatonya. Hal ini berpotensi berpengaruh di lingkup masyarakat luas karena apa yang dilakukan seorang pemimpin dapat serta merta ditirukan oleh rakyat yang dipimpinnya. 5. Simpulan Tak dapat dipungkiri bahwa iklan-iklan perdagangan yang menggunakan Bahasa Inggris memang lebih menarik, menjanjikan nilai manfaat sekaligus gengsi yang lebih baik bagi penggunanya. Hanya saja, para pelaku bisnis tidak boleh hanya bersikap mementingkan keuntungannya saja. Sebagai anak bangsa, mereka juga berkewajiban untuk turut serta membangun bangsa dengan cara mempertimbangkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam iklan-iklan untuk produk mereka. Selain karena jauh lebih besar potensi konsumen dari kalangan wisatawan domestik daripada wisatawan mancanegara, penggunaan Bahasa Indonesia dalam iklan adalah sebuah sumbangsih nyata mereka untuk turut serta memperkuat posisi Bahasa Indonesia dalam masyarakat. Kita tidak ingin bangsa kita sendiri menjadi lemah dan tidak percaya diri di dalam pergaulan internasional, padahal kita memiliki bahasa persatuan yang besar, yang mampu menyatukan ribuan suku, yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa di dunia. Maka, kita harus terus menggunakan Bahasa Indonesia dalam aktivitas keseharian kita dan sebisa mungkin menghindari penggunaan Bahasa Inggris, kecuali bila memang sasaran yang dituju sesuai.
Pustaka Acuan Akuntono, Indra. 2012. Mau Tahu Jumlah Ragam Bahasa di Indonesia? Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2012/09/01/12030360/Mau.Tahu.Jumlah.Ragam.Baha sa.di.Indonesia. (Tanggal akses 6 Juli 2014).
443
Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. Diakses dari http://digilib.unimed.ac.id/UNIMED-Undergraduate-sk130306/25844. (Tanggal akses 6 Juli 2014). JPNN Mobile, 2010. Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa. Diakses dari http://m.jpnn.com/news.php?id=57455. (Tanggal akses 6 Juli 2014). Sari, Rosnida. 2010. Bahasa Persatuan. Diakses dari http://rosnidasarisimahbengi.blogspot.com/2010/04/bahasa-persatuan.html. (Tanggal akses 6 Juli 2014). Sigalingging, Gessi Debora. 2013. Analisis Pemakaian Gaya Bahasa pada Iklan Produk Kecantikan di RCTI dan SCTV. Diakses dari http://digilib.unimed.ac.id/UNIMEDUndergraduate-sk130306/25844. (Tanggal akses 6 Juli 2014). Sofyan, Dedi. 2012. Pengaruh Bahasa Inggris pada Penggunaan Bahasa di Indonesia. Diakses dari http://dsofyan.wordpress.com/2012/08/12/pengaruh-penggunaan-bahasa-inggristerhadap-penggunaan-bahasa-indonesia/. (Tanggal akses 6 Juli 2014). Suyatno, Suyono. 2010. Maraknya Penggunaan Bahasa Asing dari Perspektif Poskolonial. Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. Bandung: Balai Bahasa Bandung.