DEPRESI PENANGKARANDALAM EMPAT GENERASI PENYERBUKAN TERTUTUP TANAMAN KELAPA DALAM MAPANGET No.32 BERDASARKAN SIFAT MORFOLOGI DAN PENANDA MIKROSATELIT
Donata Suriaty Pandin
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Depresi Penangkarandalam Empat Generasi Penyerbukan Tertutup Tanaman Kelapa Dalam Mapanget No.32 Berdasarkan Sifat Morfologi dan Penanda Mikrosatelit adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Februari 2009
Donata Suriaty Pandin NRP P036.00008
ABSTRACT DONATA SURIATY PANDIN. Inbreeding Depression of Four Generations Close-Pollinated of Mapanget Tall Coconut Trees No.32 based on morphological characters and microsatellite markers. Supervised by ALEX HARTANA, HAJRIAL ASWIDINNOOR, and ASEP SETIAWAN. Coconuts (Cocos nucifera L) are one of the major plantation crops in the tropics, where their products play an important economical role in many developping country. The objectives of this study were to determine inbreeding depression, parentage analysis, and to identify DNA specific fragment related to coconut fruits production based on morphological and microsatellite (SSR) markers of second, third, and fourth generation close pollinated of Mapanget Tall coconut trees No.32 (DMT-32). The study was conducted using 30, 9, 40, and 38 trees of open-pollinated Mapanget Tall coconut (DMT OP), second, third, and fourth generations of close pollinated DMT-32 (DMT-32 S2, DMT-32 S3, and DMT-32 S4 respectively. Inbreeding depression expressed in both of two markers, morphological and microsatellite (SSR). Inbreeding depression occured in almost of all characters studied and have tendency to increase from generation to the next generation of DMT-32 S2, DMT-32 S3 and DMT-32 S4. Inbreeding depression was also assessed by SSR markers and show the same pattern with morphological marker, increase from generation to the next generation of DMT32. Fifteen SSR primers used were able to analyze the tree parents of DMT-32 S4 from DMT-32 S3, and DMT-32 S3 from DMT-32 S2. All of 9 coconut trees of DMT-32 S2 analyzed are the parents of DMT-32 S3, but some of those coconut palms of DMT-32 S3 are not the parents of DMT-32 S4. Each SSR locus spreads in 15 chromosomes. Two of 15 primers used, CNZ21 and CNZ51, were able to show the specific DNA fragment related to fruitless of coconut. There were indication that CNZ21-270bp and CNZ51-110bp fragments associate with coconut fruit production. Keywords : DMT No.32 Coconut, morphology, microsatellite, inbreeding depression, specific DNA fragment, number of fruit.
RINGKASAN
DONATA SURIATY PANDIN. Depresi Penangkarandalam Empat Generasi Penyerbukan Tertutup Tanaman Kelapa Dalam Mapanget No.32 Berdasarkan Sifat Morfologi dan Penanda Mikrosatelit. Di bawah bimbingan ALEX HARTANA, HAJRIAL ASWIDINNOOR, dan ASEP SETIAWAN. Indonesia memiliki keanekaragaman kelapa yang sangat tinggi, dengan luas pertanaman tertinggi di dunia, tetapi rata-rata produksi kelapa per hektar per tahun masih sangat rendah. Pengetahuan tentang karakter-karakter yang bernilai ekonomi tinggi serta identifikasi dini pohon-pohon yang berpotensi produksi tinggi sangat penting, mengingat umur mulai berbuah kelapa yang lama. Penelitian untuk mendapatkan karakter-karakter yang homozigot telah dilakukan menggunakan serbuksari campuran dari pohon-pohon terpilih dari setiap ge nerasi kelapa DMT-32 sampai pada generasi keempat. Penyerbukan antar pohon-pohon tertentu dalam generasi yang sama ini mengakibatkan terjadinya depresi penangkarandalam, dan karena serbuksari yang digunakan adalah campuran dari pohon-pohon terpilih sehingga identitas dari masing- masing pohon pada setiap generasi tidak jelas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui depresi penangkarandalam berdasarkan sifat morfologi dan molekular (SSR), melacak tetua dari DMT-32 generasi ketiga dan keempat, serta mengidentifikasi fragmen DNA spesifik yang berkaitan dengan karakter kemampuan berbuah pada tanaman kelapa Dalam Mapanget No.32 (DMT-32). Pengamatan morfologi dilakukan sesuai STANTECH COGENT, dan analisis molekular menggunakan penanda mikrosatelit (SSR). Hasil penelitian menunjukkan terjadinya depresi penangkarandalam baik pada beberapa penanda morfologi yaitu pada beberapa karakter vegetatif, generatif, dan komponen buah maupun penanda molekular. Karakter vegetatif pohon kelapa Dalam Mapanget No.32 (DMT-32) hasil penyerbukan tertutup menggunakan campuran serbuksari beberapa pohon terpilih ini memperlihatkan kecenderungan depresi penangkarandalam karakter morfologi dari generasi ke generasi berikutnya semakin banyak. Pada generasi kedua hasil penyerbukan tertutup DMT-32 S2 mengalami depresi penangkarandalam pada dua karakter vegetatif, lingkar batang 150 cm di atas permukaan tanah dan lebar anak daun. Pada generasi DMT-32 S3 karakter yang mengalami depresi penangkarandalam menjadi empat: lingkar batang 20 cm dan 150 cm di atas permukaan tanah, tinggi 11 bekas daun, dan lebar anak daun. Pada DMT-32 S4 ditemukan lima karakter vegetatif dengan persentase depresi penangkarandalam meningkat artinya karakter-karakter tersebut mengalami penurunan kekekaran dibandingkan dengan karakter-karakter pohon kelapa DMT pada populasi menyerbuk terbukanya. Karakter-karakter tersebut adalah lingkar batang 20 cm dan 150 cm di atas permukaan tanah, tinggi 11 bekas daun, lebar anak daun, dan
jumlah daun. Depresi penangkarandalam pada karakter generatif memiliki kecenderungan yang sama dengan karakter vegetatif yaitu semakin banyak karakter yang mengalami depresi penangkarandalam dengan persentase semakin meningkat dari generasi ke generasi hasil penyerbukan tertutup pohon kelapa menggunakan campuran polen dari pohon kelapa generasi yang sama. Pada generasi DMT-32 S2 ada 3 karakter yang tidak mengalami depresi penangkarandalam, sedangkan pada DMT-32 S3 tinggal 2 yang tidak mengalami depresi penangkarandalam. Pada DMT-32 S4 semua karakter generatif telah mengalami depresi penangkarandalam yang persentasenya semakin meningkat. Pada sifat komponen buah, penyerbukan tertutup tidak selalu menyebabkan depresi penangkarandalam pada generasi kedua, ketiga, dan keempat hasil penyerbukan tertutup kelapa DMT-32. Pada generasi kedua hanya satu komponen buah yang tidak mengalami depresi yaitu sabut buah. Sedangkan pada generasi ketiga air kelapa dan tempurung kelapa bertambah berat. Pada generasi keempat semua komponen buah mengalami depresi penangkarandalam. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa persentase depresi penangkarandalam untuk komponen buah pada DMT-32 S3 lebih rendah kecuali pada berat sabut dibandingkan dengan DMT-32 S2 dan meningkat lagi pada DMT-32 S4. Secara umum depresi penangkarandalam meningkat persentasenya dari DMT-32 S2 ke DMT-32 S4. Analisis hubungan tetua dengan zuriatnya dilakukan menggunakan program komputer CERVUS 2.0. Jumlah primer SSR yang digunakan sebanyak 19 primer, dan 15 diantaranya dapat digunakan untuk melacak tetua jantan dan betina dari individu- individu kelapa DMT-32 S3 dan DMT-32 S4. Semua individu DMT-32 S2 menjadi tetua dari individu- individu DMT-32 S3, tetapi tidak semua individu DMT-32 S3 menjadi tetua dari DMT-32 S4. Hasil pelacakan tetua pada DMT-32 S3 ada tiga nomor pohon yang merupakan hasil penyerbukan sendiri. Pohon DMT-32 S3 No.26 merupakan zuriat hasil penyerbukan sendiri DMT-32 S2 No.3, sedangkan DMT-32 S3 No.25 dan No.39 merupakan hasil penyerbukan sendiri DMT-32 S2 No.8. Pada DMT-32 S4 ada lima pohon merupakan hasil zigot dengan polen dari pohon yang sama. DMT-32 S4 No.30 adalah zuriat hasil penyerbukan sendiri DMT-32 S3 No.35, dan pohon-pohon DMT-32 S4 No.8, No.10, dan No.22 merupakan zuriat hasil penyerbukan sendiri DMT-32 S3 No.28, sedangkan DMT-32 S4 No.11 adalah hasil penyerbukan sendiri DMT-32 S3 No.32. DMT-32 S2 No.1 merupakan tetua betina dan jantan dari masing- masing 4 individu DMT-32 S3. Lima dari zuriatnya adalah tetua jantan dan betina dari 13 individu DMT-32 S4. DMT-32 S2 No. 2 adalah tetua betina dari 8 individu DMT32 S3 dan tetua jantan dari satu individu DMT-32 S3. Empat nomor dari DMT-32 S3 No.2 adalah tetua jantan dan betina dari 14 individu DMT-32 S4. Pohon kelapa DMT-32 S4 No.30 ,merupakan hasil penyerbukan dan zigot dengan polen yang berasal dari pohon yang sama yaitu DMT-32 S3 No.35. Pohon kelapa DMT32 S2 No.3 merupakan tetua jantan dan betina dari 2 individu DMT-32 S3, tetua jantan dari 8 individu DMT-32 S3, dan menjadi tetua jantan sekaligus tetua betina dari satu individu DMT-32 S3 yaitu DMT-32 S3 No.26. Enam nomor pohon
kelapa zuriat dari DMT-32 S2 No.3 menjadi tetua jantan dan betina dari 18 individu DMT-32 S4. DMT-32 S2 No.4 memiliki 5 zuriat yaitu sebagai tetua jantan dari 4 individu dan tetua betina dari satu individu. Dua nomor pohon diantaranya menjadi tetua jantan dan betina dari 6 individu DMT-32 S4. DMT-32 S2 No.5 merupakan tetua jantan dari 6 individu DMT-32 S3 dan tetua betina dari 4 individu DMT-32 S3. Enam nomor pohon diantaranya menjadi tetua jantan dan betina dari 24 individu DMT-32 S4. Pohon kelapa DMT-32 S4 No.8 dan No.22 merupakan hasil zigot dengan polen dari pohon yang sama yaitu DMT-32 S3 No.28. DMT-32 S2 No.6 adalah tetua jantan dari 3 individu DMT-32 S3 dan tetua betina dari satu individu DMT-32 S3. Hanya pohon DMT-32 S3 No.35 yang menjadi tetua dari 4 individu DMT-32 S4, yang satu individu merupakan hasil zigot dengan polen dari pohon tersebut yaitu DMT-32 S4 No.30. Pohon kelapa DMT-32 S2 No.7 merupakan tetua jantan dari merupakan tetua betina dan jantan dari masing- masing 5 individu DMT-32 S3. Lima diantaranya merupakan tetua jantan dan betina dari 20 individu DMT-32 S4. Pohon kelapa DMT-32 S4 No.11 merupakan hasil zigot dengan polen dari pohon DMT-32 S3 No.32. Pohon kelapa DMT-32 S2 No.8 adalah tetua jantan dari 5 individu DMT-32 S3, tetua betina dari 6 individu DMT-32 S3, dan tetua betina sekaligus tetua jantan dari satu individu yaitu DMT-32 S3 No.25. Empat nomor pohon DMT-32 S3 diantaranya adalah tetua jantan dan betina dari 15 individu DMT-32 S4. Pohon-pohon kelapa DMT32 S4 No.8, No.10, dan No.22 merupakan zigot dengan polen dari pohon yang sama yaitu DMT-32 S3 No.28. Pohon kelapa DMT-32 S2 No.9 merupakan tetua jantan dari 6 individu DMT-32 S3 dan tetua betina dari satu individu DMT-32 S3. Empat nomor dari zuriat DMT-32 S2 No.9 adalah tetua jantan dan betina dari 17 individu DMT-32 S4. Penelitian untuk mendeteksi adanya pita atau fragmen DNA spesifik yang berkaitan dengan kemampuan berbuah pada tanaman kelapa menggunakan populasi kelapa DMT No.32 hasil penyerbukan tertutup generasi kedua (DMT-32 S2), generasi ketiga (DMT-32 S3), dan generasi keempat (DMT-32 S4). Sebanyak 15 lokus mikrosatelit (SSR) kelapa digunakan untuk mendeteksi adanya fragmen spesifik. Untuk mengetahui hubungan antar lokus yang dipakai dalam penelitian ini dan korelasi antara sifat morfologi dengan penanda molekular dilakukan analisis korelasi Pearson dengan Program komputer Minitab 14. Peta keterpautan (linkage map) menggunakan MAPMAKER dengan nilai LOD 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antar lokus dari 15 lokus SSR yang digunakan, dan 15 lokus SSR tersebut tersebar dalam 15 kelompok sehingga diduga 15 lokus tersebut berada pada 15 kromosom berbeda. Kemampuan produksi buah pada tanaman kelapa DMT-32 kemungkinan berhubungan dengan ada tidaknya pita DNA yang hilang pada CNZ21-270bp dan CNZ51-110b.
Kata Kunci : Kelapa DMT No.32, morfologi, mikrosatelit (SSR), depresi penangkarandalam, pelacakan tetua, fragmen DNA spesifik, jumlah buah.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa IPB
DEPRESI PENANGKARANDALAM EMPAT GENERASI PENYERBUKAN TERTUTUP TANAMAN KELAPA DALAM MAPANGET No.32 BERDASARKAN SIFAT MORFOLOGI DAN PENANDA MIKROSATELIT
Donata Suriaty Pandin
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Disertasi : Depresi Penangkarandalam Empat Generasi Penyerbukan Tertutup Tanaman Kelapa Dalam Mapanget No.32 Berdasarkan Sifat Morfologi dan Penanda Mikrosatelit. Nama : Donata Suriaty Pandin NIM
: P036.00008
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, MSc Ketua
Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, MSc Anggota
Dr. Ir. Asep Setiawan, MS Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 2 Maret 2009
Tanggal Lulus: 18 Maret 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup
Dr. Ir. Ade Wachyar, MS Pengajar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, IPB
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka
Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, MSc Guru besar Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, IPB
Dr. Ir. Hengki Novarianto, MS Ahli Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Badan Litbang Pertanian.
PRAKATA
Depresi Penangkarandalam Empat Generasi Penyerbukan Tertutup Tanaman Kelapa Dalam Mapanget No.32
Berdasarkan Sifat Morfologi dan
Penanda Mikrosatelit merupakan judul disertasi yang dibuat penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah atas segala anugerahNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penghargaan, terima kasih, dan rasa hormat yang dalam saya sampaikan kepada komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, MSc, Dr Ir. Hajrial Aswidinnoor, MSc, dan Dr. Ir. Asep Setiawan MS, atas waktu, perhatian dan arahan-arahan yang diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Dr.Ir. Ade Wachyar MS, Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya MSc, dan Dr.Ir. Hengki Novarianto MS, sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan terbuka penulis. Masukan yang diberikan telah memperkaya dan menajamkan pembahasan dalam tulisan ini. Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Kepala Badan Litbang Pertanian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan dan kepala Balai Peneltian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Pimpinan Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Pascasarjana, yang telah menerima penulis untuk belajar dan menyelesaikan studi di Lembaga ini. Kepada Komisi Pembinaan Tenaga Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian melalui Proyek PAATP Badan Litbang Pertanian atas beasiswa dan bantuan dana penelitian yang telah diberikan, disampaikan terima kasih. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Laboratorium Biologi Tumbuhan dan Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB atas kemudahan menggunakan fasilitas laboratorium.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Dr.Ir. David Allorerung, Dr.Ir. H Novarianto, Ir. HT Luntungan MSc, Ir. E Tenda MS, Ir. H Tampake MS, Ir. Ismail Maskromo MSi, Ir Miftahorrachman, Ir. J Kumaunang MSc, serta rekan-rekan peneliti dan staf lainnya di Balitka Manado atas bantuan dan dorongan moril yang diberikan. Kepada Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi MS, Dr.Ir. Endah R Palupi MSc, Dr.Ir. Trikoesoemaningtyas MSc, Prof. Dr. Ir. Sudarsono MSc, Dr.Ir Dirvamena Boer, Dr. Fitmawati MSi, Dr. Soaloon Sinaga MSi, Dr. Amin Retnoningsih MSi, Pak Sutiyo serta rekan-rekan lain di Lab Biologi Tumbuhan dan Bioteknologi PPSHB yang tidak sempat penulis tuliskan satu per satu diucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang baik selama ini. Kepada rekan-rekan mahasiswa Sulut khususnya Hasnawaty P, Alfred L Susana R, Anderson K, Hengky S, Jack M, Erly K, Ben J T, Emma M, Agung W dan Meiliana K tak lupa diucapkan terima kasih. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis S Pandin (alm) dan LR Tandirerung (almh) untuk perhatian berlimpah dan kasih yang tulus yang diberikan kepada penulis selama hidup mereka. Kepada kakak-kakak dan adikadik serta segenap keluarga yang senantiasa mendukung dalam doa dan dana, dengan hati yang tulus penulis menyampaikan banyak terima kasih. Tanpa dukungan keluarga penulis tidak akan mungkin dapat menyelesaikan disertasi ini. Akhirnya dengan segala kekurangan yang ditemukan, penulis berharap semoga tulisan ini dapat
memberikan informasi dan bermanfaat bagi
pembangunan dan pengembangan pertanian di Indonesia.
Bogor, Februari 2009. Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palopo pada tangal 22 Agustus 1955 sebagai anak ketujuh dari pasangan Sampe Pandin (Alm) dan Ibu L.R. Tandirerung (Almh). Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus tahun 1986. Pendidikan Master ditempuh pada Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB, Institut Pertanaian Bogor dan tamat tahun 2000. Sejak tahun 1986 penulis telah bekerja sebagai staf peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. Pada tahun 2000 penulis diberi kesempatan mengikuti program doktor pada Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………....
viii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………
ix
I.
PENDAHULUAN ……………………………………………….
1
Latar Belakang ................................................................................ Tujuan Penelitian ..............................................................................
1 6
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….
7
Asal dan Keanekaragaman Kelapa ………………………………... Pemuliaan Tanaman Kelapa di Indonesia ........................................ Depresi Penangkarandalam dan Heterosis pada Tanaman Kelapa.. Penanda Mikrosatelit (SSR Simple Sequence Repeats)……………. Variabilitas dalam mikrosatelit dan mekanismenya ......................... Kegunaan potensial mikrosatelit untuk pemetaan gen ..................... Sistem Aliran Informasi Genetika (Gene Flow) ...............................
7 10 14 16 19 20 21
BAHAN DAN METODE ………………………………………...
25
Tempat Penelitian ............................................................................ Bahan Penelitian …………………………………………………... Metode Penelitian ............................................................................. Pengamatan Karakter Morfologi Tanaman .................................. Karakter Vegetatif .................................................................. Karakter Generatif ................................................................. Komponen Buah .................................................................... Analisis Molekular ……………………………………………… Isolasi DNA Total …………………………………………… Uji Konsentrasi dan Kemurnian DNA ……………………… Analisis Mikrosatelit (Simple Sequence Repeat /SSR) ........... Elektroforesis Gel PAGE ……………………………………. Pewarnaan Perak (Silver staining) ........................................... Identifikasi Fragmen DNA spesifik ......................................... Analisis Data ................................................................................. Depresi Penangkarandalam (Inbreeding Depression) ............. Penanda Morfologi ........................................................ Rata-rata Heterozigot Observasi …………………………….. Rata-rata Heterozigot Harapan ..................................................
25 25 26 26 26 26 26 26 26 27 27 27 28 29 30 30 30 30 31
II.
III.
Halaman
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………….
32
1. Depresi Penangkarandalam (Inbreeding Depression) Kelapa Dalam Mapanget No.32 (DMT-32) Hasil Penyerbukan Selama Empat Generasi ……………………………………………… 32 Depresi Penangkarandalam Berdasarkan Penanda Morfologi ………………………………………………… Karakter Vegetatif ……………………………….. Karakter Generatif ……………………………….. Komponen Buah …………………………………. Depresi Penangkarandalam Berdasarkan Penanda Molekular …………………………………………………. 2. Pelacakan Tetua Kelapa Dalam Mapanget No.32 Melalui Aliran Gen (Gene Flow) Berdasarkan Penanda Mikrosatelit (SSR) …………………………………………………………….
V.
32 32 35 39 41
45
3. Identifikasi Pita Spesifik Terpaut Dengan Karakter Produksi Buah Pada Tanaman Kelapa Berdasarkan Penanda Mikrosatelit (SSR) ………………………………………
57
SIMPULAN …………………………………………………………..
65
VI. DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 67
DAFTAR TABEL Halaman 1
Nama 5 primer SSR (Rivera et al. 1999) dan urutan basa nukleotidanya ………………………………………………
29
Nama 14 primer SSR CIRAD (2002) dan urutan basa nukleotidanya ........................................................................
29
Depresi penangkarandalam pada karakter vegetatif generasi kedua, ketiga, dan keempat kelapa Dalam Mapanget No.32 (DMT-32 ……………………………………....................
33
Depresi penangkarandala m pada karakter generative generasi Kedua, ketiga, dan keempat kelapa Dalam Mapanget No 32 (DMT-32) ………………………………………………...
36
Depresi penangkarandalam pada karakter generatif generasi kedua, ketiga, dan keempat kelapa Dalam Mapanget No.32 (DMT-32) ………………………………………………...
40
Jumlah alel, Frekuensi heterozigot, Indeks fiksasi dan depresi penangkarandalam DMT-32 S2, DMT-32 S3 dan DMT-32 S4 berdasarkan penanda SSR ……………………………………….
42
Jumlah alel, individu heterozigot, individu homozigot, tingkat polimorfisme dan kesetimbangan Hardy-Weinberg …………….
45
8
Contoh Data Biner Lokus CnCirA3 pada DMT-32 S2 ................
46
9
Contoh Data Genotipe Lokus CnCirA3 pada DMT-32 S2 ...........
47
10
Pelacakan Tetua betina dan jantan Kelapa DMT-32 generasi S3 berdasarkan 15 lokus mikrosatelit (SSR) ………………………..
48
Pelacakan Tetua betina dan jantan Kelapa DMT-32 generasi S4 berdasarkan 15 lokus mikrosatelit (SSR) ………………………..
49
Produksi buah dan tandan per pohon per tahun pada setiap generasi menyerbuk sendiri kelapa DMT-32 ……………………
58
13
Korelasi antar alel (pita) dari CNZ21 dan CNZ51 ………………
62
14
Korelasi antara sifat generatif dengan Lokus CNZ21 …………
63
15
Korelasi antara sifat generatif dengan Lokus CNZ51 …………
64
2
3
4
5
6
7
11
12
DAFTAR GAMBAR Halaman
1
Penampilan pohon dengan jumlah buah terbanyak dan tersedikit pada generasi DMT -32 S2 ……………………………………
38
Penampilan pohon dengan jumlah buah terbanyak dan tersedikit pada generasi DMT -32 S3 ……………………………………
38
Penampilan pohon dengan jumlah buah terbanyak, buah sedang dan tidak berbuah pada generasi DMT -32 S4 …………………
39
4
Contoh pita SSR CnCirA3 pada kelapa DMT-32 S2 …………..
46
5
Zuriat dari individu pohon nomor satu generasi kedua DMT-32 (DMT-32 S2 No.1) ……………………………………………..
50
Zuriat dari individu pohon nomor dua generasi kedua DMT-32 (DMT-32 S2 No.2) …………………………………………….
51
Zuriat dari individu pohon nomor tiga generasi kedua DMT-32 (DMT-32 S2 No.3) ……………………………………………..
52
Zuriat dari individu pohon nomor empat generasi kedua DMT32 (DMT-32 S2 No.4) ………………………………………….
53
Zuriat dari individu pohon nomor lima generasi kedua DMT-32 (DMT-32 S2 No.5) ……………………………………………..
53
Zuriat dari individu pohon nomor enam generasi kedua DMT32 (DMT-32 S2 No.5) …………………………………………
54
Zuriat dari individu pohon nomor tujuh generasi kedua DMT32 (DMT-32 S2 No.7) …………………………………………
55
Zuriat dari individu pohon nomor delapan generasi kedua DMT-32 (DMT-32 S2 No.8) …………………………………..
55
Zuriat dari individu pohon nomor sembilan generasi kedua DMT-32 (DMT-32 S2 No.9) …………………………………...
56
Pita spesifik yang berkaitan dengan produksi buah pada kelapa DMT-32 menggunakan primer CNZ-21 ………………………..
59
2
3
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Halaman
15
Profil Pola Pita Lokus CNZ21 pada populasi DMT-32 S4……..
60
16
Pita spesifik yang berkaitan dengan produksi buah pada kelapa DMT-32 menggunakan Lokus CNZ51 …………………………
60
Profil Pola Pita Lokus CNZ51 pada populasi DMT-32 S4 …….
61
17
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kelapa adalah salah satu tanaman strategis yang berperan bukan saja dalam bidang ekonomi tetapi juga dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Seluruh bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan baik sebagai bahan makanan maupun bukan makanan, sehingga mendapat julukan sebagai the tree of life. Peluang pengembangan agribisnis kelapa sangat tinggi karena berbagai produk bernilai ekonomi tinggi dapat dikembangkan dari tanaman kelapa. Berbagai alternatif produk yang dapat dikembangkan adalah virgin coconut oil (VCO), oleochemical (OC), desicated coconut (DC), coconut milk/cream (CM/CC), coconut charcoal (CCL), activated carbon (AC), brown sugar (BS), coconut fiber (CF), dan coconut wood (CW). Pelaku agribisnis kelapa dengan diversifikasi produk tersebut dapat meningkatkan pendapatannya 5-10 kali dibandingkan bila hanya menjual kopra (Ditjenbun 2007). Indonesia adalah Negara dengan pertanaman kelapa terluas di dunia. Pentingnya tanaman kelapa bagi masyarakat Indonesia juga tercermin dari luasnya pertanaman kelapa rakyat yang mencapai 97% (Ditjenbun 2007). Pertanaman kelapa tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Sentra kelapa tersebar di Sumatera (34.5%), Jawa (23.2%), Sulawesi (19.6%), Kalimantan (7.5%), Maluku dan Papua (7.5%), serta Bali, NTB, dan NTT (8.0%). Namun sayang produktivitas tanaman kelapa masih sangat rendah yaitu 0.8-1.2 ton kopra per hektar. Penggunaan kelapa Dalam unggul akan dapat meningkatkan produksi menjadi minimal 2.5-3.0 ton kopra per hektar per tahun dengan pemeliharaan semi intensif (Ditjenbun 2007). Migrasi suatu individu atau populasi tanaman dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu benua ke benua lain yang diikuti oleh isolasi geografi dan hibridisasi dapat menyebabkan terjadinya aliran gen (gene flow). Konsekuensi dari adanya aliran gen antar populasi tanaman akan menyebabkan meningkatnya keanekaragaman karakter genetik, menimbulkan kombinasi gen baru, dan memindahkan kemampuan beradaptasi di suatu tempat dari suatu populasi ke
populasi lainnya (Nagy 1997). Keanekaragaman karakter genetik suatu populasi semakin meningkat dengan adanya mutasi. Keanekaragaman karakter genetik akibat migrasi, isolasi geografi, seleksi, hibridisasi, dan mutasi telah terjadi pada tana man kelapa. Dari satu spesies Cocos nucifera L telah terbentuk berbagai macam populasi yang umumnya diberi nama berdasarkan tempat tumbuhnya, warna buah dan tipe tanaman kelapa. Secara umum tanaman kelapa yang tumbuh secara lokal (indigenous) di suatu daerah diklasifikasi dalam 3 tipe. Ketiga tipe kelapa tersebut adalah Typica (Kelapa Dalam), Nana (Kelapa Genjah) dan Aurantica (intermediate antara Typica dan Nana), namun yang umum dikembangkan adalah Typica dan Nana (Liyanage & Corputy 1976). Inventarisasi populasi kelapa yang dilakukan oleh COGENT, CGR (The International Coconut Genetic Resources Network, Coconut Genetic Resources) dari 17 negara dilaporkan sebanyak 936 populasi dan 309 diantaranya berasal dari Asia Tenggara. Dari 309 aksesi yang berasal dari Asia Tenggara, 105 populasi berasal dari Indonesia atau setara dengan 11.22% dari seluruh populasi kelapa yang telah dilaporkan (Batugal 1998). Keanekaragaman karakter genetik yang tinggi dari suatu populasi tanaman sangat bermanfaat sebagai sumber keanekaragaman gen untuk program pemuliaan tanaman dalam usaha perbaikan produksi tanaman pertanian dan pemeliharaan kesinambungan sumber gen yang ada. Kegiatan pemuliaan tanaman kelapa di Indonesia telah dilakukan melalui eksplorasi, koleksi, dan hibridisasi. Pemuliaan tanaman kelapa di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1911 saat pemerintah Belanda mengoleksi beberapa populasi kelapa Dalam di pulau Jawa. Pada tahun 1927 pemerintah Belanda mendirikan Klapper Proef Station di Manado dengan kegiatan eksplorasi, seleksi, dan koleksi plasma nutfah kelapa yang berada disekitar Desa Mapanget oleh seorang ahli agronomi yaitu Dr. P.L.M. Tammes, dan ditanam di kebun percobaan Mapanget. Dari kegiatan tersebut ditemukan 100 nomor yang masing- masing nomor terdiri atas 10 pohon sehingga seluruhnya berjumlah 1000 pohon. Koleksi ini kemudian dikenal sebagai Koleksi Tammes. Pada tahun 1955, seorang pemulia tanaman berkebangsaan Jerman yaitu Dipl.Ing. A.F.Ihne melakukan seleksi
negatif berdasarkan produksi tiap pohon dari koleksi Tammes dan didapatkan 42 nomor pohon terpilih. Hasil seleksi negatif tersebut selanjutnya diseleksi lagi dan didapatkan 29 nomor pohon yang digunakan sebagai tetua dalam persilangan terbuka dan buatan untuk uji keturunan (Novarianto et al. 1989) Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) di Manado, telah mengoleksi buah kelapa dari berbagai daerah di Indonesia. Populasi kelapa yang dikoleksi umumnya diberi nama sesuai dengan daerah asal misalnya kelapa Dalam Mapanget berasal dari desa Mapanget, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, dan kelapa Genjah Kuning Nias berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Beberapa nama aksesi lainnya tidak menggunakan nama daerah asalnya jika pada saat pengoleksian dilakukan, aksesi tersebut sudah diberi na ma oleh masyarakat setempat seperti kelapa Dalam Takome dan Genjah Raja yang berasal dari Maluku, dan kelapa Genjah Salak yang berasal dari Kalimantan Selatan. Untuk dapat digunakan dalam program pemuliaan, populasi kelapa yang telah dikoleksi tersebut dik arakterisasi. Pengkarakterisasian tanaman kelapa yang dikoleksi di BALITKA dilakukan terhadap sifat seperti: kecepatan berbunga pertama, jumlah daun, jumlah tandan, jumlah buah, kadar kopra, dan kadar minyak. Kelapa yang cepat berbunga adalah kelapa Genjah Salak (GSK), Genjah Kuning Nias (GKN), dan Dalam Sawarna (DSA) berturut-turut 17 bulan, 28 bulan, dan 36 bulan. Kelapa yang berbuah banyak adalah kelapa Dalam Takome (DTE) berkisar 200-230 btr/phn/thn dan kelapa GKN sekitar 80-120 btr/phn/thn. Kelapa yang memiliki kadar kopra tinggi adalah DMT, DTA, DBI, DPU, DSA, dan Dalam Riau (DRU) berkisar 270-300 gram/butir. Kelapa yang mempunyai kadar minyak tinggi adalah DMT berkisar 67-71 % (Rompas 1993). Hibridisasi yang telah dilakukan adalah antara kelapa tipe Genjah dengan tipe Dalam dan kelapa tipe Dalam dengan Dalam. Hibridisasi antara kelapa tipe Genjah dengan tipe Dalam bertujuan menggabungkan sifat baik yang dimiliki oleh kedua tipe kelapa tersebut, sedangkan persilangan kelapa tipe Dalam dengan tipe Dalam bertujuan untuk mendapatkan pohon atau populasi kelapa yang berproduksi tinggi dengan pemeliharaan sederhana. Persilangan antara kelapa Genjah dengan Dalam menghasilkan kelapa unggul yang diberi nama Khina-1, Khina-2, dan Khina-3 sedangkan Kelapa Dalam Mapanget (DMT) yang memiliki
jumlah buah banyak, kadar kopra dan kadar minyak tinggi diseleksi dan beberapa nomor pohon terpilih disilangkan. Persilangan antara nomor-nomor terpilih kelapa Dalam Mapanget menghasilkan Kelapa Baru (KB) yaitu KB-1, KB-2, KB-3, dan KB-4. Kedelapan hasil persilangan tersebut dilepas oleh Menteri Pertanian pada tahun 1984 (Novarianto 1996). Selain menghasilkan kelapa hibrida hasil silangan kelapa tipe Genjah dengan Dalam dan tipe Dalam dengan Dalam, dilakukan pula penyerbukan di antara individu-individu terseleksi populasi kelapa Dalam Mapanget (DMT). Koleksi Kelapa Dalam Mapanget (DMT) adalah salah satu kelapa dalam unggul yang berproduksi tinggi dengan kadar minyak dan protein yang baik. Selain digunakan sebagai tetua jantan dalam pembuatan kelapa hibrida, pohon-pohon terseleksi kelapa Dalam Mapanget (DMT No 10, No 32, No 55) diserbuki oleh campuran polen dari pohon-pohon tersebut. Buah kelapa dari hasil penyerbukan ini ditanam di Kebun Percobaan Mapanget membentuk populasi DMT ge nerasi pertama (DMT S1) pada 1957. Populasi DMT S1 ini diseleksi lagi dan individu pohon terseleksi diserbuki oleh campuran polen dari pohon kelapa terseleksi tersebut, dan buah kelapa yang diperoleh ditanam di Kebun Percobaan Kima Atas pada tahun 1969, me mbentuk populasi generasi kedua DMT (DMT S2). Dengan cara yang sama diperoleh populasi DMT generasi ketiga (DMT S3) pada tahun 1979, dan untuk generasi keempat (DMT S4) dilakukan penyerbukan individual yaitu polen dari pohon terseleksi pada generasi ketiga diserbuki dengan polen dari pohon yang sama dibuat pada tahun 1993. Karena polen yang digunakan merupakan campuran polen dari pohon kelapa terseleksi sampai pada generasi ketiga, dan benih yang diperoleh pada setiap generasi tidak dilabel dengan baik sehingga identitas individu tetua pohon sebagai jantan dari setiap zuriat generasi tidak diketahui. Untuk mempelajari kontrol pewarisan suatu karakter pada tanaman, maka diperlukan silsilah yang lengkap dan jelas asal usul persilangannya pada setiap generasi. Suatu karakter yang dikontrol oleh gen, pola pewarisannya akan dapat ditelusuri melalui silsilah hasil persilangan dari beberapa generasi yang jelas polanya, akan tetapi bila pola pesilangan tidak jelas maka perlu dicari suatu metode yang bisa menelusuri dengan melihat suatu fenotipe sifat yang merupakan
pencerminan genotipenya yang sedikit sekali dipengaruhi oleh lingkungan. Pewarisan genotipe ini yang dicerminkan oleh fenotipenya dari satu generasi ke generasi berikutnya, merupakan pelacakan aliran gen terutama untuk silsilah yang tetuanya tidak jelas. Penyerbukan sendiri atau penyerbukan oleh polen tanaman itu sendiri, walaupun berupa campuran polen dari pohon terpilih, pada tanaman yang bersifat menyerbuk
terbuka
dapat
mengakibatkan
terjadinya
penghanyutan
gen.
Penghanyutan genetik dan migrasi adalah proses netral dan mempengaruhi frekuensi gen pada populasi alami dan terjadi pada seluruh genom. Sedangkan rekombinasi dan seleksi menginduksi terjadinya perubahan genetik pada lokus target (Cavalli Sforza & Bodmer 1971). Penanda DNA adalah bagian kecil dari DNA yang memperlihatkan polymorfisme sekuen pada individu- individu berbeda dalam suatu spesies. Dengan
berkembangnya
teknologi
penanda
DNA,
pengkarakterisasian
keanekaragaman genetik dan aliran gen dalam plasma nutfah kelapa pada taraf DNA dapat dilakukan. Penanda DNA menawarkan alternatif analisis yang lebih baik untuk melengkapi kelemahan penanda morfologi. Penanda DNA mampu memberikan polimorfisme pita DNA dalam jumlah yang banyak, konsisten, dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Penanda DNA telah banyak digunakan untuk identifikasi suatu individu atau genotipe, derajat kekerabatan antar genotype, dan adanya variasi genetik suatu populasi tanaman (Brown et al. 1996); determinasi adanya suatu gen atau kompleks gen yang diinginkan dalam suatu genotipe spesifik, dan pengembangan varietas tanaman baru melalui transformasi (Henry 1887; Lande & Thompson 1990; Preston et al. 1999). Penanda DNA dapat digunakan untuk mengetahui adanya introgresi gen, melakukan pemetaan gen, gen tagging, dan konservasi plasma nutfah (Gupta et al. 1999). Penanda DNA dapat pula digunakan untuk DNA fingerprinting tetua untuk memperkirakan penampilan zuriatnya (hybrid), transgen backcross, homosigositas, dan peta genetik QTL (Quantitative Trait Loci) (Lee 1995). Karena lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pemuliaan tanaman kelapa, maka teknologi molekular seperti penanda DNA memiliki potensi besar untuk
digunakan sebagai alat untuk menyeleksi dan mengidentifikasi sifat-sifat genetik dalam program pemuliaan kelapa. Berbagai teknik penanda DNA telah digunakan dalam analisis keragaman genetik kelapa seperti RAPD, RFLP (Lebrun et al 1998) dan AFLP (Perera et al. 1998), SSR (Teulat et al. 2000), dan beberapa sifat QTL (Herran et al. 2000; Lebrun et al. 2001). Penanda DNA ruas berulang utamanya DNA ruas berulang sederhana (Simple Sequence Repeats, SSR) adalah suatu penanda DNA yang dapat memberikan polimorfik tinggi, merupakan lokus tunggal, kodominan dan relatif mudah dianalisis (Innan et al. 1997; Crouch et al. 1998), sehingga berpotensi tinggi untuk digunakan dalam menganalisis keragaman genetik suatu populasi (Szewe-McFaden et al. 996; Powell et al. 1996), dan menganalisis aliran gen dari tetua ke turunannya.(Perera et al. 2000; Lebrun et al. 2001), serta pemetaan genom suatu populasi (Herran et al. 2000).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mempelajari besarnya depresi penangkarandalam (inbreeding depression) yang terjadi pada karakter vegetatif, generatif dan komponen buah kelapa Dalam Mapanget No.32 (DMT-32) hasil penyerbukan tertutup buatan selama empat generasi, (2) Melacak tetua dari DMT32 hasil penyerbukan tertutup buatan generasi ketiga (DMT-32 S3) dan keempat (DMT-32 S4) melalui analisis aliran gen menggunakan penanda mikrosatelit (SSR), (3) Mengidentifikasi pita-pita yang berkaitan dengan karakter kuantitatif jumlah buah dan jumlah tandan
I.
TINJAUAN PUSTAKA
Asal dan Keanekaragaman Kelapa Tanaman kelapa termasuk genus Cocos yang hanya memiliki satu spesies yaitu Cocos nucifera L, tetapi memiliki fenotipik yang sangat beragam. Keanekaragaman tanaman ini terutama pada sifat kecepatan berbunga pertama, warna buah, bentuk dan ukuran buah, jumlah buah per tandan, tinggi batang hasil dan kualitas kopra. Daerah asal tanaman kelapa belum diketahui secara pasti. Namun dari informasi etnobotani dan fakta, tingginya keanekagaman genetik kelapa yang ada di wilayah Asia- Tenggara termasuk wilayah Indo-Malaya yang meliputi Malaysia dan Indonesia diduga sebagai pusat asal dan sumber keanekaragaman genetik kelapa di dunia. Beberapa alasan bahwa daerah Asia-Melanesia sebagai pusat asal kelapa adalah 1) adanya penemuan fosil buah spesies dari Cocos di Plelocence North Auckland, New Zealand, 2) ditemukan fosil buah kelapa di dalam aspal di Buton, Sulawesi Tenggara, 3) nama-nama lokal dan prosesing untuk kelapa lebih banyak jenisnya di Asia, 4) adanya hewan-hewan pemakan kelapa seperti Birgus letro di Melanesia dan 5) variasi genetik kelapa lebih besar di Asia. Teori ini sejalan dengan adanya pusat asal (origin centre) tumbuhan di bumi yang dikemukakan oleh botanis Rusia Vavilov (1949), yaitu terdapat 8 sentra asal-usul tanaman, dan Indo-Malaya merupakan salah satu sentra asal tanaman yang mencakup pisang (Musa spp.), kelapa (Cocos nucifera), tebu (Saccharum offinarum), yam (Dioscorea spp.) dan jeruk (Citrus maxima). Penyebaran kelapa mencakup daerah yang sangat luas. Luasnya penyebaran kelapa kemungkinan disebabkan oleh penggunaan kelapa yang telah lama memasyarakat, struktur buah yang memungkinkan dapat tahan selama transportasi dalam jangka waktu yang agak lama, ketahanannya pada berbagai kondisi, serta daya adaptasinya yang besar pada berbagai kondisi lingkungan. Penyebaran yang paling cepat dan luas adalah melalui campur tangan manusia, melalui perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain atau pelayaran antar pulau atau benua untuk tujuan perdagangan dan ekspedisi. Pola
migrasi dapat berbentuk (1) migrasi satu arah (one-way migration) yaitu migrasi yang terjadi satu arah dari populasi daratan yang besar dengan genotipe tertentu ke sebuah populasi pulau yang frekuensi genotipenya bervariasi, (2) migrasi simetrik (simetric migration) yaitu dua populasi berubah dengan frekwensi persentase yang sama dari migran setiap ge nerasi (Servedio & Kirkpatrick 1997). Migrasi suatu individu atau populasi tanaman dari satu benua ke benua lain atau dari satu tempat ke tempat lain, yang diikuti oleh terjadinya isolasi geografi dan hibridisasi menyebabkan terjadinya aliran gen (gene flow). Aliran gen antar populasi tanaman akan menimbulkan konsekuensi evolusi yang nyata dan dapat menyebabkan
meningkatnya
keanekaragaman
karakter
genetik,
dapat
menimbulkan kombinasi gen baru, dan memindahkan kemampuan beradaptasi di suatu tempat dari suatu populasi ke populasi lainnya (Nagy 1997). Penyebaran kelapa ini berawal dari Asia ke arah Timur menuju Pasifik dan Amerika, serta ke Barat menuju Afrika (Perera et al. 2000; Teulat et al. 2000). Hasil penelitian menggunakan RFLP membuktikan bahwa kelapa bergerak dari Asia Tenggara menuju Pasifik dan pantai barat Amerika (Lebrun et al. 1998). Keanekaragaman fenotipe kelapa yang besar disebabkan oleh bunga tanaman yang bertipe monocious yaitu disetiap pohon menghasilkan bunga betina dan jantan yang terpisah dalam satu tandan bunga yang sama. Bunga jantan terdapat pada bagian ujung dan bunga betina pada bagian pangkal tandan bunga. Masa antesis bunga jantan dan masa reseptif bunga betina pada kelapa Dalam tidak bersamaan sehingga lebih cenderung bersifat kawin silang. Pada tipe Genjah terdapat masa tumpang tindih antara masa reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan sehingga tipe Genjah lebih cenderung kawin sendiri. Selain itu antar populasi kelapa dan antar pohon dalam satu populasi kelapa terdapat perbedaan waktu awal dan lamanya periode antesis bunga jantan dan reseptif bunga betinanya. Perbedaan letak dan periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan menyebabkan tanaman kelapa memiliki empat kemungkinan tipe penyerbukan yaitu (1) tipe menyerbuk silang (Strict allogami) dengan ciri tidak ada tumpang tindih antara periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan, baik dalam tandan yang sama maupun dalam tandan pohon kelapa yang sama, (2) Tipe
menyerbuk sendiri tidak langsung (Indirect autogami) dengan ciri periode reseptif bunga betina pendek sehingga tidak ada tumpang tindih periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan dalam tandan yang sama, tetapi terjadi tumpang tindih periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan pada tandan berikutnya, (3) Tipe menyerbuk sendiri (Direct autogami) dengan ciri periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan tumpang tindih dalam tandan yang sama, dan (4) Tipe menyerbuk sendiri semi tidaklangsung (Semi indirect autogami) dengan ciri periode masak bunga betina pendek, terjadi tumpang tindih periode masak bunga betina dan jantan dalam tandan yang sama, maupun dalam tandan bunga berikutnya (Sangare et al. 1978). Berdasarkan kecepatan berbunga pertama, tanaman kelapa digolongkan atas 2 tipe yaitu kelapa tipe Dalam dan tipe Genjah. Kelapa tipe Dalam umumnya memiliki batang yang tinggi, sekitar >15 meter dan bagian pangkal membengkak (disebut bole), mahkota daun terbuka penuh berkisar 30 - 40 daun, panjang daun berkisar 5 - 7 meter, berbunga pertama lambat berkisar 7 - 10 tahun setelah tanam, buah masak sekitar 12 bulan
setelah
penterbukan, umur
tanaman
dapat
mencapai 80 - 90 tahun, lebih toleran terhadap macam- macam jenis tanah dan kondisi iklim, kualitas kopra dan minyak, serta sabut umumnya baik, pada umumnya menyerbuk silang (Menon & Pandalai 1958; Child 1974; Fremond et al. 1966; Foale 1992; Rompas et al. 1988; Santos et al. 1996). Kelapa tipe Genjah pada umumnya memiliki batang pendek berkisar 12 meter dan agak kecil, tidak memiliki bole, panjang daun berkisar 3 - 4 meter, berbunga pertama cepat berkisar 3 - 4 tahun setelah tanam, buah masak berkisar 11-12 bulan sesudah penyerbukan, umur tanaman dapat mencapai 35 - 40 tahun, kualitas kopra dan minyak serta sabut kurang baik (Rompas et al. 1988), umumnya menyerbuk sendiri (Foale 1992). Kelapa Dalam dapat dibagi lagi dalam tiga kelompok yaitu (1) kelompok typical yang memiliki ciri menyerbuk silang, pembungaan lambat, bunga normal, dan ukuran buah beragam dari sedang sampai besar, (2) kelompok spicata memiliki ciri menyerbuk silang, pembungaan lambat dan ukuran buah sedang, (3) kelompok androgena dengan ciri pembungaan lambat dan hanya memiliki bunga jantan (Santos 1983).
Kelapa Genjah dapat dibedakan atas 2 kelompok yaitu (1) kelompok Nana dengan ciri menyerbuk sendiri, pembungaan cepat, dan ukuran buah kecil, dan (2) kelompok Jamaica dengan ciri menyerbuk sendiri, pembungaan cepat, dan ukuran buah sedang (Santos 1983). Selain tipe kelapa Dalam dan Genjah, beberapa jenis kelapa yang dianggap unik adalah (1) kelapa Hibrida, adalah jenis kelapa hasil persilangan antara tipe kelapa Genjah dan kelapa Dalam dengan sifat lebih unggul dari kedua tetuanya, (2) kelapa Kopyor (Genjah maupun Dalam), adalah jenis kelapa yang mengalami kelainan pada endospermanya (daging buahnya sangat lunak dan mudah lepas dari tempurungnya) sehingga perbanyakannya harus melalui kultur embrio, (3) kelapa Kenari, mempunyai struktur daging buah berbeda dari kelapa normal, rasanya sangat renyah sehingga sangat cocok untuk dikonsumsi sebagai kelapa muda atau campuran fruit cocktail, (4) kelapa Sabut Merah, terdapat warna merah muda (pink) pada daerah basal (pangkal buah), (5) kelapa Bercabang, anakan muncul dari pangkal batang pohon pertama, (6) kelapa yang memiliki lembaga lebih dari satu (Novarianto & Miftahorrachman 2000). Tingginya keanekaragaman tanaman kelapa ini merupakan materi dasar yang dapat digunakan dalam program pemuliaan kelapa, oleh sebab itu pelestarian plasmanutfah kelapa adalah faktor yang sangat penting agar tidak terjadi erosi genetik atau hilangnya sumber gen potensial. Penyebab terjadinya erosi genetik kelapa di Indonesia diakibatkan oleh berbagai faktor antara lain pengalihan fungsi lahan kebun kelapa menjadi perumahan, pemakaian kelapa hibrida, penggantian tanaman kelapa dengan komoditas lain yang dianggap lebih bernilai ekonomi tinggi, organisasi dibidang konservasi genetik kelapa belum baik, dan pemulia kelapa masih sangat sedikit.
Pemuliaan Tanaman Kelapa di Indonesia Untuk berbagai tanaman seperti kelapa kegiatan pemuliaan merupakan proses yang sangat lama dan mahal. Pengujian satu keturunan tunggal membutuhkan minimal 70 pohon atau membutuhkan lahan setara 0.5 Ha untuk masa penelitian minimal selama 10 tahun setelah tanam. Selain itu jumlah zuriat yang bisa diperoleh dari satu tetua betina dalam setahun sangat rendah (Santos et
al. 1996). Pada kondisi ini diperlukan metode yang dapat meningkatkan efisiensi untuk pemuliaan tanaman kelapa. Karakterisasi dan evaluasi standar suatu aksesi secara rutin dapat dilakukan dengan berbagai metode termasuk cara-cara tradisional seperti list karakter morfologi, dan evaluasi terhadap karakter agronomis pada kondisi lingkungan bervariasi hingga karakterisasi yang melibatkan profil isozim, protein dan sekuen DNA spesifik melalui pendekatan genom berbeda (Vicente de et al. 2005). Karakterisasi adalah deskripsi suatu karakter atau kualitas suatu individu (Merriam-Webster 1991). Karakterisasi sumber genetik merujuk pada proses identifikasi atau diferensiasi aksesi. Terminologi yang disepakati oleh Genebanks dan Germplasm management
diartikan sebagai deskripsi karakter yang
pewarisannya tinggi, mudah dilihat secara kasat mata, dan terekspresi stabil pada berbagai lingkungan (IPGRI 2003). Pemuliaan tanaman kelapa di Indonesia telah dilakukan sejak 1911/1912 saat pemerintah Belanda mengoleksi 240 buah kelapa yang berasal dari pohonpohon kelapa Dalam terpilih di pulau Jawa (Reyne 1948). Pada 1927 pemerintah Belanda mendirikan Klapper Proef Station di Manado dengan kegiatan eksplorasi, seleksi dan koleksi plasma nutfah kelapa yang berada disekitar Desa Mapanget oleh seorang ahli agronomi yaitu Dr. P.L.M. Tammes. Dari kegiatan tersebut ditemukan 100 nomor. Seleksi dilakukan berdasarkan produksi buah banyak per pohon dan terseleksi 100 pohon, dari setiap pohon diambil buahnya untuk ditanam di Kebun Percobaan Mapanget yang sekarang disebut Kebun Instalasi Penelitian Mapanget (KIP Mapanget). Setiap nomor tetua ditanam dalam bentuk barisan sebanyak 10 poho n sehingga seluruhnya berjumlah 1000 pohon (Reyne 1948). Populasi ini kemudian dikenal sebagai Koleksi Tammes. Pada tahun 1955, seorang pemulia tanaman berkebangsaan Jerman yaitu Dipl. Ing. A.F. Ihne melakukan seleksi negatif berdasarkan produksi pada setiap pohon dari koleksi Tammes dan didapatkan 42 nomor pohon terpilih. Hasil seleksi negatif tersebut selanjutnya diseleksi lagi dan didapatkan 29 nomor pohon yang digunakan sebagai tetua dalam persilangan terbuka dan buatan untuk uji keturunan (Novarianto et al. 1998)
Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) di Manado, telah mengoleksi tanaman kelapa dari berbagai daerah di Indonesia. Nama populasi kelapa yang dikoleksi umumnya diberikan sesuai dengan daerah asal misalnya kelapa Dalam Mapanget berasal dari desa Mapanget, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, dan kelapa Genjah Kuning Nias berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Beberapa nama aksesi lainnya tidak menggunakan nama daerah asalnya jika pada waktu pengoleksian dilakukan, aksesi tersebut sudah diberi nama oleh masyarakat setempat. Nama itu selanjutnya digunakan sebagai nama populasi/aksesi dari koleksi tersebut contohnya kelapa Dalam Takome dan Genjah Raja yang berasal dari Maluku, dan kelapa Genjah Salak yang berasal dari Kalimantan Selatan. Program pemuliaan kelapa di Indonesia bertujuan untuk menghasilkan bahan tanaman yang memiliki karakteristik antara lain: cepat berbunga, habitat pohon pendek, resisten terhadap hama dan penyakit, hasil kopra per satuan luas tinggi dengan pemupukan rendah, ukuran buah besar, daging buah tebal, kandungan minyak tinggi, dan kandungan air rendah (Rompas et al. 1998) Untuk dapat digunakan dalam program pemuliaan, populasi kelapa yang telah dikoleksi tersebut dikarakterisasi. Untuk mendukung studi tentang keanekaragaman kelapa dan pengkarakterisasian kelapa berdasarkan penanda morfologi, COGENT telah menerbitkan Manual on Standardized Research Technique in Coconut Breeding (Stantech Manual) untuk menjadi pedoman dalam melakukan eksplorasi dan karakterisasi plasma nutfah kelapa (Santos et al. 1996). Pengkarakterisasian tanaman kelapa yang dikoleksi di BALITKA dilakukan terutama terhadap sifat morfologi seperti: kecepatan berbunga pertama, jumlah daun, jumlah tandan, jumlah buah, kadar kopra, dan kadar minyak. Kelapa yang cepat berbunga adalah kelapa Genjah Salak (GSK), Genjah Kuning Nias (GKN), dan Dalam Sawarna (DSA) berturut-turut 17 bulan, 28 bulan, dan 36 bulan. Kelapa yang berbuah banyak adalah kelapa Dalam Takome (DTE) berkisar 200 - 230 butir per pohon per tahun dan kelapa GKN sekitar 80-120 butir per pohon per tahun. Kelapa yang memiliki kadar kopra tinggi adalah Dalam Mapanget (DMT), Dalam Tenga (DTA), Dalam Palu (DPU), Dalam Sawarna (DSA), dan Dalam Riau (DRU) yaitu berkisar 270-300 gram per butir. Kelapa
yang mempunyai kadar minyak tinggi adalah DMT berkisar 67-71 % (Rompas et al. 1989; Rompas 1993). Beberapa koleksi yang tergolong unik adalah Dalam Mamuaya (Sulut), Dalam Palapi (Sulteng), dan Dalam Dobo yaitu berbuah besar, sabut tip is dengan potensi hasil 4-5 ton kopra/ha. Kelapa Dalam Santongbolang (Sulut) berbuah banyak yaitu 60-100 buah /tandan. Kelapa Kenari ditemukan secara individu dalam suatu populasi memiliki keunikan pada struktur daging buah yang berbeda dari buah normal, lebih renyah sehingga sangat cocok untuk campuran es buah. Kelapa bersabut merah ditemukan di Gorontalo dan NTT, pada bagian basal kelapa (pangkal buah kelapa) berwarna merah muda (pink). Kelapa bertunas ditemukan di Sulut dan Sulteng, keunikannya terletak pada munculnya anakan pada umur setahun setelah tanam, dan setiap 1-2 tahun muncul anakan baru yang semuanya dapat berbuah normal. Kelapa kopyor ditemukan secara alami di Jawa dan Sumatera (Novarianto & Miftahorrachman 2000). Berdasarkan hasil karakterisasi maka populasi kelapa GKN dipilih sebagai tetua betina dan tiga populasi kelapa tipe Dalam yaitu DTA, DBI, DPU digunakan sebagai tetua jantan untuk menghasilkan empat kelapa hibrida. Sifat unggul yang diharapkan dari persilangan antara kedua tipe kelapa ini adalah kelapa hibrida yang cepat berbuah dan berproduksi tinggi. Kelapa Hibrida hasil persilangan antara GKN dengan populasi DTA, DBI, dan DPU masing- masing diberi nama KHINA-1, KHINA-2, dan KHINA-3. Ketiga kelapa hibrida tersebut rata-rata mulai berbunga pada umur 3 tahun setelah tanam, dengan produksi kopra 3.66 - 4.09 ton kopra per hektar per tahun (Mahmud 1993). Selain keempat kelapa hibrida unggul tersebut berbagai silangan antara beberapa populasi kelapa tipe Genjah dengan tipe Dalam sedang dalam pengujian. Kelapa Dalam Mapanget (DMT) yang memiliki jumlah buah banyak, kadar kopra dan kadar minyak tinggi diseleksi dan beberapa nomor pohon terpilih disilangkan. Persilangan nomor-nomor terpilih tersebut dihasilkan kelapa Dalam unggul yang diberi nama Kelapa Baru (KB) yaitu KB-1 (32 x 32), KB-2 (32 x 2), KB-3 (32 x 83) dan KB-4 (32 x 99) dengan potensi produksi 3 - 3.5 ton kopra per hektar per tahun (Novarianto 1996).
Balitka selain melakukan seleksi, koleksi, dan hibridisasi pada tanaman kelapa dilakukan pula penyerbukan tertutup pada kelapa Dalam Mapanget (DMT). Penyerbukan tertutup kelapa Dalam Mapanget telah dilakukan hingga mencapai generasi keempat (S4). Kelapa DMT yang tersisa 29 nomor hasil seleksi massa negatif diseleksi lagi. Kriteria seleksi yang digunakan adalah jumlah buah per tandan dan jumlah tandan per pohon per tahun banyak. Beberapa nomor terpilih yang berproduksi tinggi di antaranya adalah No.2, No.10, No.32, No.55, No.83, dan No.99. Setiap nomor terdiri atas 10 pohon. Selanjutnya kelapa DMT No 10, No 32, dan No 55, dibuat menyerbuk sendiri menggunakan campuran serbuksari (polen bulk) pohon-pohon terseleksi dari setiap nomor tersebut. Zuriat hasil penyerbukan sendiri itu ditanam di Kebun Percobaan Mapanget (KIP Mapanget) membentuk populasi DMT S1. Populasi DMT S1 ini diseleksi lagi dan individu terseleksi dibuat menyerbuk sendiri menggunakan polen campuran dari pohon-pohon terseleksi tersebut. Zuriat yang diperoleh ditanam di Kebun Percobaan Kima Atas (KIP Kima Atas) pada tahun 1969, yang membentuk populasi DMT generasi kedua (DMT S2). Dengan cara yang sama didapatkan populasi DMT generasi ketiga (DMT S3). Untuk generasi keempat dilakukan penyerbukan individual yaitu polen dari pohon terseleksi dari generasi ketiga diserbukan kembali pada pohon yang sama dan diperoleh populasi DMT generasi keempat (DMT S4).
Depresi Penangkarandalam dan Heterosis pada Tanaman Kelapa Kelapa Dalam pada umumnya bersifat menyerbuk terbuka sedangkan kelapa Genjah pada umumnya menyerbuk sendiri (Child 1974; Thampan 1981). Penyerbukan terbuka pada tanaman kelapa Dalam disebabkan oleh adanya perbedaan masa reseptif bunga betina dan masa antesis bunga jantan. Masa reseptif bunga betina mulai kurang lebih 3 (tiga) minggu setelah seludang terbuka atau 3-6 hari setelah masa antesis bunga jantan. Pada tanaman kelapa Genjah dilaporkan adanya masa tumpang tindih antara fase reseptif bunga betina dan fase antesis bunga jantan sehingga lebih cendrung menyerbuk sendiri (Novarianto et al. 1989).
Dalam upaya merakit kelapa hibrida yang unggul karena heterosis diperlukan tetua-tetua homosigot. Persilangan antar dua tetua homosigot yang berbeda akan menghasilkan turunan yang unggul akibat pengaruh heterosis (Allard 1960). Kelapa tipe Dalam pada umumnya menyerbuk silang sehingga keturunannya memiliki penampilan beragam karena genotipe yang heterosigot (Menon & Pandalai 1960; Child 1974; Fremond et al. 1966; Foale 1992). Untuk mendapatkan tetua homosigot pada kelapa Dalam dapat diperoleh melalui teknik penyerbukan tertutup sampai beberapa generasi. Zuriat yang dihasilkan dari proses penyerbukan tertutup akan memiliki derajat homozigot yang meningkat dengan
penurunan
vigor
sebagai
akibat
adanya
peristiwa
depresi
penangkarandalam. Depresi penangkarandalam dan heterosis adalah dua fenomena bertolak belakang yang banyak dipelajari pada tanaman dan binatang. Depresi penangkarandalam berkaitan dengan menurunnya kekekaran turunan hasil penyerbukan sendiri (inbreeding) pada beberapa generasi tanaman menyerbuk terbuka (Stebbins 1958). Sebaliknya heterosis berkaitan dengan keunggulan hibrida (F1) melebihi nilai atau rata-rata kedua tetuanya bila dua galur murni yang berbeda disilangkan. Pada populasi kelapa Dalam Mapanget terutama No.10, No.32, dan No.55 penyerbukan tertutup di antara pohon-pohon terpilih dari masing- masing nomor pohon telah mencapai generasi keempat (S4), sehingga diduga tingkat homozigositas telah mencapai 93.75%. Pada tingkat ini bila dilakukan seleksi individu dan dilanjutkan dengan persilangan dengan kelapa Genjah terpilih, diharapkan akan diperoleh kelapa dengan efek heterosis tinggi (Novarianto et al. 1989). Bila dua galur murni yang berbeda disilangkan, ketegaran hibrida akan kembali (Allard 1960). Perkawinan antar individu- individu yang berkerabat dekat dalam populasi kelapa Dalam akan mengakibatkan 2 hal yaitu depresi penangkarandalam akibat peningkatan homozigositas dan penurunan heterozigositas. Generasi S3 dari kelapa DMT memiliki batang yang lebih pendek dibandingkan populasi tetuanya (Rompas et al. 1988), sedangkan generasi pertama (S1) Laguna Tall dan S1 Bago-
Oshiro Tall (keduanya populasi kelapa lokal Filipina) berbunga lebih awal dibandingkan tetuanya yang menyerbuk terbuka (Santos & Sangare 1992). Untuk mempelajari depresi penangkarandalam dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu (1) studi komparatif sifat-sifat morfologi menggunakan populasi menyerbuk terbuka (open pollination, OP) dan generasi menyerbuk tertutup dari kelapa Dalam, dan (2) penanda molekular (Ritland 1990; 1996). Untuk tujuan ini Ritland (1996) menganjurkan SSR (simple sequence repeats) sebagai penanda DNA yang tepat, karena sifatnya yang kodominan sehingga memungkinkan membedakan individu-individu homozigot dan heterozigot suatu populasi.
Penanda Mikrosatelit (SSR Simple Sequence Repeats)
DNA genom terdiri atas DNA ruas khas yang merupakan gen struktural dan DNA ruas berulang. DNA ruas berulang adalah suatu komponen yang terintegrasi di antara fragmen- fragmen DNA ruas khas dalam genom eukariot. Fragmen ruas berulang sederhana (SSR) ini dapat mencapai > 90% DNA total yang ada pada genom tanaman (Weising et al. 1995). Makin besar ukuran genom tanaman, makin besar pula proporsi DNA ruas berulangnya. Proporsi DNA ruas berulang dalam genom tanaman jagung mencapai 60% (Gupta et al. 1984), kedelai mencapai 60% (Walbot dan Goldberg, 1979), gandum mencapai 70% (Flavel 1980), dan padi mencapai 50% (McCouch et al. 1988). Pengulangan ruas berulang DNA dapat berupa pengulangan ruas secara moderat atau selang seling (interspace) dan pengulangan ruas secara berurutan (tandem). Pengulangan ruas secara tandem diklasifikasikan berdasarkan panjang dan jumlah ruas berulang di dalam genom yang dapat berupa (1) DNA Satelit, adalah DNA yang memiliki pengulangan sangat tinggi biasanya antara 1000 – 100 000 kopi, sering berada pada bagian heterokromatin, (2) Minisatelit, memiliki pengulangan yang lebih sedikit yaitu 10 – 60 pasang basa, (3) Mikrosatelit (SSR), disebut juga fragmen berulang sederhana atau fragmen berulang tandem sederhana, memiliki pengulangan lebih pendek dengan derajat pengulangan lebih sedikit berkisar 1 - 6 pasang basa, terdistribusi lebih banyak pada lokus genom,
(4) Midisatelit, memiliki ruas berulang yang merupakan kombinasi dari satelit dan minisatelit (Weising et al. 1995; Karp et al. 1995; ) DNA ruas berulang yang memiliki variasi paling tinggi dalam genom tanaman adalah sekuen berulang dengan fragmen berulang sederhana atau pendek. Fragmen ini dikenal dengan nama minisatelit dan mikrosatelit. Mikrosatelit (SSR) terdapat dalam jumlah banyak dan menyebar di dalam genom. Mikrosatelit memiliki unit berulang berkisar antara 1 – 6 pasang basa, dan minisatelit memiliki unit berulang yang lebih panjang. Variasi fragmen-fragmen ini biasanya merupakan hasil perubahan dalam jumlah kopi dari perulangan asal dan sering dikategorikan sebagai Variable number of tandem repeats (VNTR). Karena level polimorfisme yang sangat tinggi dapat dideteksi dengan fragmen ini, VNTR diakui sebagai alat yang manjur untuk sidik jari dan identitas kultivar tanaman (Karp et al. 1995). Fragmen ini juga dapat digunakan untuk mempelajari keragaman antar dan intra populasi, studi ekologi, menghitung jarak genetik, dan mempelajari evolusi tanaman (Perera et al. 2000). Mikrosatelit dikenal dengan beberapa nama seperti simple sequence repeat (SSR), simple tandem repeat (STR), sequence tagged microsatellite site (STMS), dan simple sequence length polimorphism (SSLP). Simple sequence repeat (SSR) memberikan kandungan informasi yang tinggi, pada umumnya single lokus, bersifat kodominan, membutuhkan jumlah DNA yang sangat sedikit, relatif sederhana, dan deteksi yang didasarkan pada PCR menandakan bahwa SSR merupakan alat ideal untuk banyak aplikasi genetik (Karp et al. 1995; Rivera et al. 1999; Saghai-Maroof et al. 1994; Morgante & Olivieri 1993). Sekuen mikrosatelit (SSR) yang pendek dan dengan sekuen DNA pengapit bersifat conserved, sehingga sekuen ini telah digunakan mendesain primer untuk mengamplifikasi situs spesifik menggunakan PCR. Jika primer-primer tersebut digunakan mengamplifikasi lokus- lokus SSR tertentu, maka setiap primer akan menghasilkan polimorfisme dalam bentuk perbedaan panjang hasil amplifikasi yang dikenal dengan SSLP (Simple Sequence Length Polymorphism). Setiap panjang mewakili satu alel dari suatu lokus. Perbedaan panjang terjadi karena perbedaan jumlah unit pengulangan pada lokus-lokus SSR tertentu (Morgante &
Olivieri 1993; Gupta et al. 1996; Karp et al. 1997; Liu 1998). Keanekaragaman jumlah ulangan pada mikrosatelit dapat dideteksi dengan mengelektroforesis produk DNA yang sudah diamplifikasi di dalam sekuen gel standar, yang dapat memisahkan fragmen- fragmen yang membedakan tiap-tiap nukleotida. Mikrosatelit (SSR) terdapat dalam jumlah banyak dan menyebar di dalam genom. Bentuk umum pengulangan SSR adalah pengulangan dua basa secara sederhana seperti (CA)n; (AC)n; (GT)n; (GA)n; (CT)n; (CG)n; (GC)n; (AT)n; dan (TA)n, n adalah jumlah pengulangan. Mikrosatelit dengan pengulangan 3basa dan 4-basa ditemukan juga tetapi frekuensinya lebih rendah dibandingkan pengulangan 2-basa (Liu 1998; Preston et al. 1999). Pengulangan SSR paling banyak adalah (AT)n diikuti oleh (A)n, (AG)n, (AAT)n, (AAC)n, (AGC)n, (AAG)n, (AATC)n, (AC)n (Brown et al. 1996). Pada kelapa, sekuensing yang dilakukan pada 197 klon pustaka genom dari kelapa Tagnanan menunjukkan bahwa 75% mengandung sekuen mikrosatelit dan 64% dari SSR tersebut adalah pengulangan 2-basa GA/CT, CA/GT dan GC/CG; 6 % merupakan pengulangan 3-basa dan 30 % merupakan pengulangan campuran (Rivera et al. 1999). Berdasarkan teknik PCR, primer-primer SSR yang sangat informative telah dapat dikembangkan pada berbagai tanaman. Primer-primer SSR yang telah berhasil dibuat pada tanaman kelapa merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi pemulia kelapa. Dengan penggunaan PCR multipleks (aplikasi secara simultan dari beberapa penanda genetik dalam suatu reaksi tunggal) yang digabungkan dengan deteksi DNA berdasarkan teknologi fluorescence dan ukuran alel semi otomatis, memungkinkan menghasilkan informasi genetik dengan kuantitas yang lebih besar dan akurat berdasarkan penanda-penanda DNA SSR (Mitchell et al. 1997). Sejak mikrosatelit ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak di dalam genom, dengan tingkat polimorfisme yang tinggi dan mudah dianalisis, mikrosatelit menjadi penanda pilihan untuk pemetaan genetik dan analisis keterpautan pada hampir semua spesies. Penggenotipan SSR akan memberikan seleksi yang efisien dari tetua untuk program pemuliaan kelapa, dimana pemilihan tetua-tetua yang divergen secara genetik akan memaksimalkan heterosis, dan kemudian menambah vigor
hybrid (Perera et al. 2000). Perera et al. (2000) menganalisis populasi kelapa dari berbagai daerah di dunia dan hasilnya menguatkan evolusi kelapa dan lintasan penyebarannya ke seluruh dunia. Herran et al. (2000) menggunakan SSR untuk membuat peta keterpautan dan analisis lokus sifat kuantitatif (quantitative trait loci) kecepatan berkecambah pada kelapa. Ritter et al (2000) menggunakan SSR membuat peta keterpautan produksi daun dan lingkar batang. Lebrun et al (2001) menggunakan penanda yang sama untuk membuat peta keterpautan dan analisis QTL untuk karakter-karakter produksi buah. Semua hasil ini memberikan gambaran bahwa SSR memberikan implikasi untuk tinjauan konservasi, karena primer-primer SSR dapat digunakan dalam mengidentifikasi genepool core untuk konservasi ex situ yang sangat berguna bagi program pemuliaan kelapa di masa mendatang.
Variabilitas dalam mikrosatelit dan mekanismenya
Keragaman mikrosatelit tergantung pada variasi dalam jumlah ulangan pada pusat sekuen. Derajat keragaman secara positif sangat berkorelasi dengan panjang ulangan sekuen (Weber & May, 1989), dengan panjang mikrosatelit kurang dari 20 bp maka akan kurang tingkat polimorfismenya. Variasi yang tinggi ditemukan pada genom inti bila diband ingkan dengan cpDNA menggunakan penanda RAPD, AFLP dan ISSR (Viard et al. 2001; Hultquist et al. 1996; Panda et al. 2003, Cronn et al. 2002). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mikrosatelit (SSR) memiliki tingkat diversitas yang tinggi pada berbagai tanaman yang diuji (Perera et al. 2000; Narvel et al. 2000; Burstin et al. 2001, Cipriani et al. 2002). Walaupun fungsinya masih belum jelas, namun banyak dari sekuen ini berlokasi di daerah sentromer, telomer dan di bagian dasar loop kromatin yang mempunya i peranan dalam perpasangan dan synopsis kromosom (Weising et al. 1995). Naylor dan Clark (1990) melaporkan bahwa ulangan sekuen (GT)n memiliki aktivitas peningkatan transkripsi. Mekanisme mutasi menghasilkan perubahan pada jumlah ulangan cetakan (Efstratiadis 1980; Levinson & Gutman 1987). Kemungkinan paling besar
penyebab mutasi pada fragmen sekuen berulang sederhana ini adalah terjadinya Strand slippage selama replikasi atau perbaikan DNA (Levinson & Gutman 1987). Kebanyakan mutasi yang terjadi pada sekuen mikrosatelit merupakan hasil dari kejadian-kejadian intrakromosom tanpa adanya sekuen homolog pada kromosom-kromosom lain (Webber 1989). Kegunaan potensial mikrosatelit untuk pemetaan gen
Sejak mikrosatelit ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak di dalam genom, dengan tingkat polimorfisme yang tinggi dan mudah dianalisis, mikrosatelit menjadi penanda pilihan untuk pemetaan genetik dan analisis keterpautan pada hampir semua spesies. Moran (1993) mengidentifikasi 23 model gen yang mengandung sekuen ulangan mono-, di-, tri-, dan tetra nukleotida. Ulangan- ulangan tersebut berada pada 5’-tidak terkode, 3’-tidak terkode, 3’-tidak terartikan, 5’-tidak terartikan, dan daerah-daerah pengkodean. Sebuah daerah yang membawa sekuen mikrosatelit dapat diketahui sehingga sekuen-sekuen pengapit (flanking)
mikrosatelit
digunakan untuk mendesain primer-primer untuk amplifikasi PCR. Polimorfisme dapat dideteksi dengan mengamplifikasi DNA genom dari individu- individu yang akan dipelajari menggunakan primer pada reaksi PCR. Penggunaan pendekatan semacam ini untuk memproduksi penanda-penanda mikrosatelit sudah dilakukan pada berbagai spesies baik tumbuhan seperti kelapa (Rivera et al. 1999: Teulat et al. 2000; Lebrun et al. 2001; Akuba 2002), Akasia (Prihartini et al. 2006), Jati (Boer 2007) maupun hewan seperti sapi dan domba (Moore et al. 1992). Lokasi dari sekuen berulang sederhana seperti mikrosatelit di antara gen atau yang berdekatan dengan suatu gen sangat penting, agar dapat digunakan sebagai penanda dari sifat yang disandi oleh gen tersebut. Beberapa fragmen sekuen berulang (SSR) yang terletak di dalam atau berdekatan dengan gen fungsional sudah ditemukan. Beberapa fragmen sekuen berulang (SSR) yang terletak di dalam atau berdekatan dengan gen fungsional sudah ditemukan (Kirkpatrick 1992). Penanda mikrosatelit pada satu spesies mungkin saja dapat
dihasilkan dengan mengunakan informasi sekuen dari spesies lain (Rotwein et al. 1986; Shimatsu & Rotwein 1987). Kemudahan dan kecepatan untuk mengetahui mikrosatelit, menggunakan teknologi PCR, mudah diinterpretasikan, membuat mikrosatelit menjadi penanda paling baik dalam pemetaan gen. Mikrosatelit memiliki polimorfisme yang tinggi yang berasal dari berbagai populasi dan aksesi untuk meningkatkan kemungkinan heterozigositas pada populasi F1. Kebanyakan mikrosatelit hipervariabel, sehingga jumlah genotipe individu F2 untuk analisis segregasi dapat dikurangi. Karakteristik mikrosatelit yang menarik ini telah mengurangi secara besar-besaran penggunaan dari penand a RFLP dalam penelitian pemetaan genetik (Muladno, 2006). Keanekaragaman mikrosatelit dapat dilihat dengan menggunakan PCR, dimana sekuen unik digunakan sebagai primer-primer untuk mengamplifikasi daerah mikrosatelit. Perbedaan pada ukuran fragmen DNA yang diamplifikasi dapat divisualisasi dengan pewarnaan etidium bromida setelah elektroforesis dengan gel agaros (Sambrook et al. 1989), atau pewarnaan perak dengan gel PAGE (Creste et al. 2001). Sistem Aliran Informasi Genetik (Gene Flow)
Aliran gen melalui polinasi adalah proses alami yang karenanya gen-gen berpindah di antara tanaman. Proses aliran gen dapat terjadi jika tanaman domestik memiliki keserasian secara seksual dengan baik antara tanaman domestik itu sendiri maupun kerabat liarnya. Pada tanaman proses ini dapat terjadi melalui pemuliaan secara konvensional dan bioteknologi modern. Dengan berkembangnya bioteknologi maka potensi terjadinya aliran gen dari suatu tanaman ke tanaman lainnya ataupun kerabat liarnya menjadi sangat besar. Aliran gen antar tanaman budidaya dengan kerabat liarnya adalah suatu proses penting yang memiliki implikasi kuat terhadap konservasi keanekaragaman genetik maupun pemuliaan tanaman. Introgresi antara populasi domestik dan populasi liar merupakan suatu fenomena yang menyebar luas pada kebanyakan spesies baik bersifat alogamous maupun autogamous. Pengaruh aliran gen dan
seleksi pada struktur keanekaragaman genetik populasi liar dan domestik perlu dipelajari. Sepanjang evolusi yang termasuk di dalamnya penghanyutan genetik (genetic drift), mutasi, seleksi maka proses migrasi juga menyumbang terjadinya perubahan frekuensi gen dalam populasi alami. Penyimpangan antar populasi dapat diakibatkan oleh penghanyutan genetik karena adanya isolasi parsial ataupun penuh, atau oleh seleksi heterogenous. Migrasi individu (misalnya biji) atau gamet (misalnya polen) antara subpopulasi menghalangi penyimpangan antar populasi, menyebabkan reduksi dalam keragaman genetik antar subpopulasi, dan meningkatkan tingkat keragaman genetik dalam subpopulasi. Penghanyutan genetik dan migrasi adalah proses netral dan mempengaruhi frekuensi gen pada populasi alami dan terjadi pada seluruh genom. Sedangkan rekombinasi dan seleksi menginduksi terjadinya perubahan genetik hanya pada lokus target (Cavalli-Sforza 1971; Lewontin 1988). Aliran gen (Gene flow) adalah perpindahan informasi genetik melalui transportasi serbuk sari (penyebaran gamet jantan) dan transportasi melalui biji atau benih (migrasi). Aliran gen berperan penting dalam distribusi informasi genetik dalam populasi (intrapopulation gene flow) dan antar populasi (interpopulation gene flow). Efisiensi aliran gen melalui serbuk sari dan biji merupakan hal yang sangat penting berkaitan dengan ukuran populasi efektif dalam bereproduksi. Ukuran populasi sangat penting untuk menggambarkan pola penyebaran keragaman genetik dan perbedaan genetik di antara populasi (Hamrick & Nason 2000, dan Gailing et al. 2003). Banyaknya tanaman, jarak, serta arah aliran gen melalui serbuk sari dalam setiap individu menentukan apakah perkawinan yang terjadi antar tanaman yang berbeda (outcrossing) atau dalam tanaman itu sendiri (selfing). Transfer serbuk sari pada tanaman kelapa masih dalam perdebatan. Menurut Menon dan Pandalai (1960) dan Patel (1938) transfer serbuk sari terutama melalui angin (anemophilous), sedangkan menurut Davis et al (1985) dan Ashburner et al (2001) terutama melalui serangga (entomophilous). Informasi genetik dari suatu organisme tidak mengalami perubahan sepanjang hayatnya namun tidak dapat dipertahankan karena masa hidup suatu
organisme tersebut sangat terbatas. Namun demikian setiap organisme mempunyai potensi untuk menurunkan informasi genetik yang dimilikinya ke keturunannya melalui pertukaran garnet dan hal ini akan menghasilkan rekombinasi baru. Dengan demikian dinamika dari struktur genetik tidak dapat diamati ditingkat organisme tunggal, tetapi diamati ditingkat populasi dimana setiap anggota dari populasi tersebut saling bertukar garnet. Dinamika struktur genetik ditentukan dari komposisi gen berupa frekuensi alel dan frekuensi genotipe yang menyusun populasi tersebut. Penyebaran frekuensi dari genotipe-genotipe dalam populasi disebut sebagai struktur genotipe dan penyebaran frekuensi dari alel-alel dalam satu populasi disebut struktur alel. Struktur genetik ini bersifat dinamik yaitu dalam kondisi kesetimbangan atau mengalami perubahan atau berevolusi bila terdapat kekuatan yang dapat merubah kesetimbangan seperti adanya mutasi, aliran gen (migrasi), penghanyutan genetik (genetic drift), seleksi dan model dari sistem perkawinan. Untuk
mempelajari
terjadinya
aliran
gen
pada
populasi
perlu
memperhatikan (1) antar tanaman yang dipelajari harus serasi secara seksual (sex compatible), ketidakserasian akan menyebabkan aliran gen tidak akan terjadi, (2) harus ada karakter yang berasosiasi dengan gen target. Modifikasi harus dapat meningkatkan kemampun tanaman untuk bertahan (survive) dan berkembang biak sehingga gen terseleksi dapat bertahan dari generasi ke generasi (Doebley 1990). Karena aliran gen adalah proses alami maka perlu peningkatan pemahaman terhadap fenomena ini. Bioteknologi modern sangat membantu dalam melakukan penelitian tentang aliran gen menjadi lebih akurat dan informatif. Terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk menduga aliran gen (gene flow), yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung diduga berdasarkan pada distribusi keragaman genetik di antara populasi. Secara tidak langsung aliran gen (gene flow) diduga berdasarkan hasil pengamatan dari perpindahan serbuksari dan benih. Pendugaan secara tidak langsung diduga dari nilai FST untuk menghitung banyaknya imigran efektif per generasi (N e m) sebagai berikut (Hamrick & Nason 2000):
Ne m =
1 − FST 4FST
dimana Ne adalah banyaknya individu-individu efektif dalam populasi dan m adalah laju migrasi. Pengukuran gene flow secara langsung dapat diduga dari perbedaan frekuensi alel antara tetua dan zuriatnya. Jika m adalah laju migrasi aliran gen ke dalam populasi (misal proporsi alel-alel yang berimigrasi), dan (1-m) adalah proporsi alel-alel yang tidak bermigrasi, qt adalah frekuensi alel pada generasi ke-t, dan q adalah ratarata frekuensi alel dari populasi yang mengelilingi populasi penerima (populasi donor). Hubungan antara aliran gen dengan perubahan frekuensi adalah sebagai berikut:
qt = qt−1 (1− m) + qm nilai qt
,
qt – 1 , dan q dapat diduga secara langsung dari pengamatan, nilai-nilai
tersebut dapat digunakan untuk menduga m, sebagai berikut:
m=
qt −1 − qt qt −1 − q
Aliran informasi genetik melalui penyebaran benih pada tanaman Jacaranda copaia telah dipelajari oleh Jones et al. (2005). SSR telah banyak digunakan untuk mempelajari aliran gen (gene flow) melalui serbuk sari antara lain pada tanaman Gliricidia sepium (Dawson et al. 1997), tanaman Eugenia dysentrica (Zucchi et al. 2003) dan Eterpe edulis (Gaitotto et al. 2003), pada tanaman kelapa (Herran et al. 2000; Ritter et al 2000). SSR yang ukurannya pendek dan bersifat kodominan memungkinkan untuk melacak tetua melalui aliran gen pada populasi tanaman kelapa DMT-32.
II.
BAHAN DAN METODE
Tempat Penelitian Penelitian terhadap karakter morfologi dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. Analisis molekular dilakukan di Laboratorium Biologi Tumbuhan, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan mulai Mei 2003 sampai dengan Mei 2007.
Bahan Penelitian Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah populasi kelapa koleksi Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain di Mapanget, dan hasil persilangan antar populasi seperti berikut : 1.
Bahan untuk pengamatan morfologi menggunakan: • Populsi pohon kelapa menyerbuk terbuka (DMT OP) sebanyak 30 pohon • Populasi hasil penyerbukan tertutup menggunakan polen campuran kelapa Dalam Mapanget nomor 32 (DMT-32) generasi kedua (DMT-32 S2) sebanyak 9 pohon •
Populasi
hasil
penyerbukan
tertutup
menggunakan
polen
campuran kelapa Dalam Mapanget nomor 32 (DMT-32) generasi ketiga (DMT-32 S3) sebanyak 40 pohon. •
Populasi
DMT-32
generasi
keempat
(DMT-32 S4) hasil
penyerbukan individu menggunakan polen dari pohon yang sama sebanyak 38 pohon. 2.
Bahan untuk analisis molekular adalah • daun muda dari populasi kelapa DMT-32 (S2) sebanyak 9 pohon, DMT-32 (S3) sebanyak 40 pohon, dan DMT-32 (S4) sebanyak 38 pohon. Total keseluruhan bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah 117 pohon.
Metode Penelitian Pengamatan
Karakter
Morfologi
Tanaman.Pengamatan
karakter
vegetatif, generatif, dan komponen buah kelapa mengikuti Manual on Standardized Research Techniques in Coconut Breeding (Stantech) yang dikeluarkan oleh COGENT (Santos et al. 1996). Karakter vegetatif yang diamati meliputi: Lingkar batang 20 cm dan 150 cm di atas permukaaan tanah, tinggi batang pada 11 bekas daun (cm), panjang petiole (cm), lebar petiole (cm), tebal petiole (cm), panjang helai daun (cm), jumlah anak daun, panjang helai daun (cm), lebar anak daun (cm). Karakter generatif yang diamati meliputi: Jumlah buah per tandan (bh), jumlah tandan per tahun (bh), panjang tangkai tandan (cm), jumlah bunga betina (bh) Komponen buah meliputi: Berat buah total (g), berat buah tanpa sabut (g), berat buah tanpa sabut dan air (g), berat tempurung (g), berat daging buah segar (g) Khusus untuk jumlah buah per tandan dan komponen buah per pohon dilakukan selama 2 tahun berturut-turut. Setiap tahun terdapat 6 kali pengamatan. Kriteria yang digunakan adalah: berbuah sedikit (1-20 bh/phn/thn), berbuah sedang (21-80 bh/phn/thn), dan berbuah banyak (>81 bh/phn/thn) Analisis Molekular Isolasi DNA Total. DNA total tanaman diisolasi mengikuti metode Rohde et al. (1995) yang telah dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada proses penghalusan sampel daun, sentrifugasi DNA, dan pemurnian DNA. Pada proses penghalusan sampel dilakukan penambahan pasir kuarsa sebanyak 4% dari berat sampel. Sentrifugasi DNA dilakukan pada 4000 rpm selama 10 menit.
Untuk menghilangkan
kontaqminan RNA, ke dalam suspensi DNA ditambahk an RNase A dengan konsentrasi 20 ug/ml dan diinkubasi pada suhu 37oC sampai seluruh pellet DNA larut. Selanjutnya suspensi DNA diekstraksi berturut-turut dengan 1 volume fenol, dan campuran kloroform : isoamil alkohol (24 : 1).
Uji Konsentrasi dan Kemurnian DNA. Penetapan
kuantitas
dan
kemurnian
DNA
diukur
menggunakan
spektrofotometer (Cecil CE 2020) pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. DNA mempunyai kemurnian tinggi jika ratio nilai absorbansi pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm berkisar antara 1.8 – 2.0 (Sambrook et al. 1989). Konsentrasi DNA dihitung berdasarkan rumus : pengenceran x nilai absorbansi pada 260 nm x 50 ug/ml. Kualitas DNA diketahui dengan membandingkan hasil migrasi DNA total bersama DNA standar ?/HindIII pada gel agarose menggunakan elektroforesis horizontal. DNA yang berkualitas baik adalah fragmen DNA dengan ukuran besar. Analisis Mikrosatelit (Simple Sequence Repeat /SSR). DNA kelapa diamplifikasi menggunakan 5 pasangan primer yang telah dikembangkan oleh Rivera et al. 1999 (Tabel 1), dan 14 pasangan primer oleh CIRAD (2002) (Tabel 2). Reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) yang digunakan dengan total vo lume 25 ul adalah 1 x buffer PCR (10 mM Tris-HCl, 1.5 mM MgCl2, 50 mM KCl, pH 8.3), 200 uM dNTP, 20 pmol forward primer dan 20 pmol reverse primer, 1 U Taq polymerase (AmpliTag Promega), dan 10 ng DNA dengan volume akhir reaksi 25 µl. Reaksi amplifikasi DNA berlangsung sebanyak 35 siklus pada mesin PCR (Gene Amp PCR System 2400 Perkin Elmer). Program PCR yang digunakan adalah 94o C selama 5 menit untuk pre PCR, 94o C 40 detik untuk denaturasi, 52o C – 54o C selama 1 menit untuk pelekatan primer (annealing), 72o C selama 1 menit pemanjangan primer (extension), dan 72o C selama 7 menit untuk post PCR. Pita produk amplifikasi dipisahkan menggunakan gel polyacrylamide 6% dalam 1 x .buffer TBE dan divisualisasikan menggunakan pewarnaan perak (silver staining) mengikuti metode Creste et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Elektroforesis Gel PAGE Elektroforesis produk PCR dilakukan menggunakan gel poliakrilamid 6% (Polyacrylamide Gel) dengan 3 x STR loading dye (98 % formamide yang mengandung 10 MM EDTA, 0.01% [w/v] Xylene cyanol, dan 0.01% [w/v]
Bromophenol Blue). Untuk elektroforesis gel PAGE (Polyacrylamide Gel Electrophoresis) digunakan buffer 1 x TBE pada suhu 50o C-55o C. Produk PCR yang telah dicampur dengan STR loading dye didenaturasi pada 94o C selama 5 menit dan segera diisikan pada setiap baris PAGE sebanyak 3.5 ul. Selama proses elektroforesis kuat arus dipertahankan tetap konstan 75 W dan suhu + 50o C selama 60 – 90 menit bergantung primer yang digunakan. PAGE mengandung 6% Polyacrylamide /Bis-acrylamide perbandingan 19 : 1, 7 M Urea, dan 1 x TBE (90 mM Tris-borate, 2mM EDTA). Visualisasi DNA dilakukan dengan pewarnaan gel PAGE menggunakan pewarnaan perak (silver staining) mengikuti metode Creste et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Pewarnaan Perak (Silver Staining) Gel PAGE setelah dielektroforesis direndam dalam larutan 15% alcohol absolute dan 5% asam asetat selama 10 menit, lalu dibilas dengan aquabides (ultra pure water) selama 1 menit. Gel direndam dalam larutan asam nitrit selama 3 menit kemudian dibilas dengan aquabides selama 1 menit. Gel direndam dalam larutan perak nitrat 1g/l selama 20-30 menit, kemudian dibilas dengan aquabides selama 30 detik (2 kali). Gel direndam dalam natrium carbonat 30 g/l dengan 1.5 ml formaldehyde 37% (dimasukkan saat akan digunakan) sampai pita-pita DNA muncul. Reaksi pewarnaan dihentikan dengan penambahan 10% asam asetat selama 5 menit lalu dibilas dengan aquabides selama 5 menit. Identifikasi Fragmen DNA spesifik. Fragmen DNA spesifik diidentifikasi dengan melihat ada dan tidaknya suatu pita DNA yang hanya terdapat dalam suatu generasi atau karakter tertentu pada setiap generasi. Fragmen DNA spesifik diidentifikasi pada setiap primer penanda SSR. Ukuran setiap alel diduga melalui penanda (marker) 100 bp DNA ladder (Invitrogen)
Table 1. Nama 5 primer SSR (Rivera et al. 1999) dan urutan basa nukleotidanya No
Nama
Urutan basa
1
CNZ 05
2
CNZ 09
3
CNZ 18
4
CNZ 21
5
CNZ 51
Forward (5’ – 3’) Reverse (5’ – 3’) Forward (5’ – 3’) Reverse (5’ – 3’) Forward (5’ – 3’) Reverse (5’ – 3’) Forward (5’ – 3’) Reverse (5’ – 3’) Forward (5’ – 3’) Reverse (5’ – 3’)
CTTATCCAAATCGTCACAGAG AGGAGAAGCCAGGAAAGATTT ATCTACCAGTGTGGTCCTCTC ACCAGGAAAAAGAGCGGAGAA ATGGTTCAGCCCTTAATAAAC GAACTTTGAAGCTCCCATCAT ATGTTTTAGCTTCACCATGAA TCAAGTTCAAGAAGACCTTTG CTTTAGGGAAAAAGGACTGAG ATCCATGAGCTGAGCTTGAAC
Tabel 2. Nama 14 primer SSR CIRAD (2002) dan urutan basa nukleotidanya No
Primer
Urutan basa
1
CnCir A3
2
CnCir A9
3
CnCirC3’
4
CnCirC7
5
CnCir E2
6
CnCirE10
7
CnCirE12
8
CnCir F2
9
CnCirH4’
10
CnCir H7
11
CnCir F2
12
CnCirG11
13
CnCirH4’
14
CnCir H7
Forward(5’–3’) AATCTAAATCTACGAAAGCA Reverse (5’ – 3’) AATAATGTGAAAAAGCAAAG Forward (5’ – 3’) AATGTTTGTGTCTTTGTGCGTGTGT Reverse (5’ – 3’) TCCTAATTTTTCTTCCCCTTCCTCA Forward (5’ – 3’) AGAAAGCTGAGAGGGAGGATT Reverse (5’ – 3’) GTGGGGCATGAAAAGTAAC Forward (5’ – 3’) ATAGCATATGGTTTTCCT Reverse (5’ – 3’) TGCTCCAGCGTTCATCTA Forward (5’ – 3’) TCGCTGATGAATGCTTGCT Reverse (5’ – 3’) GGGGCTGAGGGATAAACC Forward (5’ – 3’) TTGGGTTCCATTTCTTCTCTCATC Reverse (5’ – 3’) GCTCTTTAGGGTTCGCTTTCTTAG Forward (5’ – 3’) TCACGCAAAAGATAAAACC Reverse (5’ – 3’) ATGGAGATGGAAAGAAAGG Forward (5’ – 3’) GGTCTCCTCTCCCTCCTTATCTA Reverse (5’ – 3’) CGACGACCCAAAACTGAACAC Forward (5’ – 3’) TTAGATCTCCTCCCAAAG Reverse (5’ – 3’) ATCGAAAGAACAGTCACG Forward (5’ – 3’) GAGATGGCATAACACCTA Reverse (5’ – 3’) TGCTGAAGCAAAAGAGTA Forward (5’ – 3’) GGTCTCCTCTCCCTCCTTATCTA Reverse (5’ – 3’) CGACGACCCAAAACTGAACAC Forward (5’ – 3’) AATATCTCCAAAAATCATCGAAAG Reverse (5’ – 3’) TCATCCCACACCCTCCTCT Forward (5’ – 3’) TTAGATCTCCTCCCAAAG Reverse (5’ – 3’) ATCGAAAGAACAGTCACG Forward (5’ – 3’) GAGATGGCATAACACCTA Reverse (5’ – 3’) TGCTGAAGCAAAAGAGTA
Analisis Data Depresi Penangkarandalam (Inbreeding Depression) Untuk mengetahui besarnya depresi penangkarandalam berdasarkan penanda morfologi digunakan rumus :
Fib 100% Fob x
ID = 1 −
………………………… (1)
ID = nilai depresi penangkarandalam Fib = nilai rata-rata fenotipik suatu karakter yang diserbuk sendiri Fob = niali rata-rata karakter yang menyerbuk bebas Untuk mengetahui besarnya depresi penangkarandalam berdasarkan penanda mikrosatelit (SSR) digunakan rumus (Hartl 1988):
F=
HE − H0 HE
…………………………… (2)
F = koefisien penangkarandalam HE = heterozigot harapan H0 = heterozigot observasi Rata-rata Heterozigot Observasi (Ho). Rata-rata heterozigot observasi adalah rata-rata proporsi dari genotipe heterozigot aktual untuk masing- masing lokus pada setiap generasi menyerbuk sendiri sebagai berikut : k
Ho =
∑ i =1
NAa N k
………………………….. (3)
NAa = banyaknya genotype heterozigot N= total semua genotype k = banyaknya populasi
Rata-rata Heterozigot Harapan (H E). Rata-rata heterozigot harapan adalah ratarata proporsi dari genotipe heterozigot harapan untuk raasing-masing lokus untuk semua populasi, sebagai berikut: k
HE =
∑2p q
i i
i =1
k
…………………………… (4)
p dan q = alel-alel komplemen k = banyaknya populasi Untuk memudahkan penghitungan digunakan Program computer POPGENE ver. 1.32 (Yeah et al. 2001). Depresi
penangkarandalam
berdasarkan
penanda
molekular.
Untuk
mengetahui besarnya depresi penangkarandalam berdasarkan penanda molekular digunakan POPGENE ver. 1.32 (Yeah et al. 2001) Pelacakan Tetua. Untuk melacak tetua dari suatu
progeny, analisis
menggunakan program Cervus 2.0 (Marshall 2001). Peta Keterpautan (Linkage Map). Pembuatan peta keterpautan menggunakan MAPMAKER /Exp 3.0 Ed.3 dengan nilai log of odds-ratio (LOD) 3
III.
1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Depresi Penangkarandalam (Inbreeding Depression) Kelapa Dalam Mapanget No.32 (DMT-32) Hasil Penyerbukan Tertutup Selama Empat Generasi
Depresi Penangkarandalam Berdasarkan Penanda Morfologi Kelapa Dalam Mapanget (DMT) adalah salah satu aksesi kelapa yang diunggulkan karena masa produktifnya sampai 60 tahun, produksi buah tinggi, kadar minyak tinggi dan kualitas protein baik (Polnaja 1999; Rompas et al. 1989). Karakterisasi terhadap sifat morfologi dan molekular pada tanaman kelapa Dalam Mapanget No.32 (DMT-32) hasil penyerbukan pohon kelapa menggunakan campuran polen selama tiga generasi (DMT-32 S1, DMT-32 S2, DMT-32 S3) dan pada generasi keempat dilakukan penyerbukan menggunakan polen dari masingmasing individu pohon yang diserbuki ke pohon yang sama (DMT-32 S4) telah dilakukan. Populasi pohon kelapa generasi pertama hasil penyerbukan menggunakan campuran polen dari pohon-pohon terpilih yaitu DMT-32 S1 tidak bisa diamati karena sudah ditebang beberapa tahun sebelum penelitian ini dilakukan. Hasil penyerbukan tertutup tiga generasi berikutnya memperlihatkan terjadinya depresi penangkarandalam baik pada penanda morfologi yaitu pada karakter vegetatif, generatif dan komponen buah maupun penanda molekular. Karakter Vegetatif Karakter vegetatif pada kelapa Dalam Mapanget No.32 (DMT-32) hasil penyerbukan menggunakan campuran serbuksari beberapa pohon terpilih ini menunjukkan telah terjadi depresi penangkarandalam pada beberapa karakter. Generasi kedua hasil penyerbukan DMT-32 S2 mengalami depresi penangkarandalam pada karakter lingkar batang 150 cm di atas permukaan tanah, dan lebar anak daun. Pada generasi DMT-32 S3 karakter yang mengalami depresi penangkarandalam adalah lingkar batang 20 cm dan 150 cm di atas permukaan tanah, tinggi 11 bekas daun, dan lebar anak daun. Pada DMT-32 S4 ditemukan lebih banyak karakter vegetatif yang mengalami depresi penangkarandalam dengan nilai yang semakin besar. Karakter-karakter tersebut adalah lingkar batang
20 cm dan 150 cm di atas permukaan tanah, tinggi 11 bekas daun, lebar anak daun, dan jumlah daun (Tabel 3). Tabel 3. Depresi penangkarandalam pada karakter vegetatif generasi Kedua, ktiga dan keempat kelapa Dalam Mapanget (DMT-32)
Karakter pjg anak daun jum anak daun lbr tgkai daun tbl tgkai daun pjg lamina pjg tgk daun jumlah daun lgkr btg 20 cm d.p.t tg 11 bks daun lbr anak daun lgkr btg 150cm d.p.t
S4
S2
PD (%) S3
124.80 102.80 6.55 2.61 339.70 100.70 25.50
131.11 105.67 6.96 2.74 403.33 108.33 25.67
127.90 106.68 6.95 2.74 426.15 126.08 25.53
127.32 112.18 7.24 3.26 470.16 152.71 22.03
-5.05 -2.78 -6.19 -5.15 -18.73 -7.58 -0.65
-2.48 -3.76 -6.10 -4.78 -25.44 -25.19 -0.09
-2.01 -9.13 -10.52 -24.72 -38.40 -51.65 13.62
166.80 113.90 5.97
167.22 115.56 5.90
145.10 100.45 5.60
157.89 94.08 5.68
-0.25 -1.45 1.17
13.01 11.80 6.15
5.39 17.40 4.87
101.10
97.78
92.98
86.53
3.28
8.03
14.41
OP
Rata-rata S2 S3
S4
Keterangan : PD = Penangkarandalam OP = Penyerbukan terbuka ditanam 1957 S2 = DMT-32 generasi kedua hasil penyerbukan tertutup ditanam 1969 S3 = DMT-32 generasi ketiga hasil penyerbukan tertutup ditanam 1979 S4 = DMT-32 generasi keempat hasil penyerbukan sendiri ditanam 1994 d.p.t = dari permukaan tanah pjg anak daun = panjang anak daun (cm) jum anak daun = jumlah anak daun (cm) lbr tgkai daun = lebar tangkai daun (cm) tbl tgkai daun = tebal tangkai daun (cm) pjg lamina = panjang lamina (cm) pjg tgk daun = panjang tangkai dan (cm) lgkr btg = lingkar batang (cm) tg 11 bks daun = tinggi 11 bekas daun (cm) lbr anak daun = lebar anak daun (cm) Karakter vegetatif yang mengalami depresi penangkarandalam pada sifat lingkar batang 20 cm dari permukaan tanah terutama pada DMT-32 S4, mengakibatkan ukuran lingkar pangkal batang dekat permukaan tanah (bole) semakin kecil. Depresi penangkarandalam pada sifat lingkar batang 150 cm dari permukaan tanah, dan pada sifat tinggi 11 bekas daun yang semakin besar pada setiap generasi menyerbuk tertutup, mengakibatkan batang kelapa menjadi lebih
kecil dan tanaman lebih pendek sehingga cenderung mendekati penampilan kelapa Genjah. Pada kelapa tipe Dalam diameter dasar batang yang disebut bole (20 cm di atas permukaan tanah) dapat mencapai 80 cm yang dengan cepat mengecil menjadi + 40 cm pada ketinggian 150 cm di atas permukaan tanah (Child 1974). Kelapa yang memiliki batang besar dan kekar diduga memiliki perakaran lebih banyak sehingga dapat mengabsorbsi air dan unsur hara lebih banyak untuk menunjang pertumbuhan lebih baik (Novarianto et al. 1999). Karakter tinggi batang 11 bekas daun berkaitan dengan kecepatan tumbuh pohon kelapa. Di tahap awal laju pertambahan tinggi batang terbesar mencapai 150 cm per tahun dan akan semakin menurun hingga mencapai 10-15 cm per tahun ketika tanaman kelapa berumur 40 tahun atau lebih (Santos et al. 1996). Sifat pertumbuhan batang yang diinginkan adalah pohon yang tidak terlalu cepat tinggi artinya pertumbuhan daun pada batang lebih rapat sehingga lebih mudah dalam pemanenan (Novarianto et al. 1999). Depresi penangkarandalam yang terjadi pada sifat tinggi 11 bekas daun lebih menguntungkan karena lebih sesuai dengan pertumbuhan batang yang diinginkan pada tanaman kelapa. Umur tanaman kelapa dewasa berkorelasi positif dengan jumlah bekas daun. Jumlah seluruh bekas daun pada batang dibagi dengan 13 (rata-rata jumlah daun terbentuk dalam satu tahun) akan memberikan perkiraan umur pohon dalam tahun (Machindapala & Pinto 1991). Secara umum tanaman kelapa dewasa memproduksi daun sebanyak 12-16 helai per tahun, dan setiap daun dapat bertahan selama tiga tahun lalu gugur dan meninggalkan bekas daun pada batang (Santos et al. 1996). Jumlah daun dalam satu mahkota berkorelasi positif dengan jumlah tandan yang keluar, umumnya setiap pelepah menghasilkan satu tandan. Sifat daun lainnya yang dinginkan pada tanaman kelapa adalah panjang petiole agak pendek, lebih lebar dan tebal sehingga lebih kuat menyangga tandan buah yang memiliki buah banyak dan berat (Tampake 1987; Novarianto et al. 1999). Tangkai daun yang panjang tidak mampu menopang tandan buah sehingga tandan keluar dari tangkai dan terkulai (Mahmud et al. 1990). Jumlah anak daun serta panjang dan lebarnya
mempengaruhi luas daun relatif sehingga lebih banyak cahaya matahari yang dapat diserap untuk proses fotosintesa (Awuy et al. 1999). Hasil penelitian ini panjang tangkai daun, panjang lamina, tebal tangkai daun, lebar tangkai daun, jumlah anak daun, dan panjang anak daun yang tidak mengalami depresi penangkarandalam melainkan lebih tinggi dari pada DMT-32 menyerbuk terbuka (Tabel 3). Tangkai daun yang lebih panjang tidak diharapkan berkaitan dengan ketidakmampuan menyangga tandan dan buah kelapa yang berat dan banyak, sedangkan lamina yang panjang berpengaruh pada pemanfaatan lahan di bawah kelapa, dan jarak tanam kelapa yang lebih lebar. Karakter tebal tangkai daun, lebar tangkai daun, jumlah anak daun, dan panjang anak daun lebih sesuai dengan karakter daun yang diinginkan. Fungsi daun antara lain untuk menopang tandan buah yang keluar dari ketiak daun. Jumlah daun dalam satu mahkota tanaman kelapa berkorelasi positif dengan jumlah tandan buah yang keluar. Umumnya tiap pelepah menghasilkan satu tandan.
Karakter Generatif Depresi
penangkarandalam
pada
karakter
generatif
memiliki
kecenderungan yang sama dengan karakter vegetatif yaitu semakin banyak karakter yang mengalami depresi penangkarandalam dengan persentase yang semakin meningkat dari generasi ke generasi hasil penyerbukan tertutup pohon kelapa menggunakan campuran polen pada setiap generasi hingga generasi ketiga dan hasil penyerbukan menggunakan polen dari pohon yang sama pada generasi keempat (Tabel 4). Pada generasi DMT-32 S2 hanya tiga karakter yang tidak mengalami depresi penangkarandalam, sedangkan pada DMT-32 S3 tinggal dua yang tidak mengalami depresi penangkarandalam. Pada DMT-32 S4 semua karakter generatif telah mengalami depresi penangkarandalam yang persentasenya meningkat (Tabel 4). Depresi penangkarandalam ditemukan pada karakter jumlah spikelet, jumlah tandan, dan jumlah buah kelapa Dalam Bali yang diserbuk tertutup (Wardiana 1996).
Karakter yang berhubungan langsung dengan produksi buah kelapa per pohon adalah jumlah tandan, dan jumlah bunga betina per tandan. Pada tanaman kelapa yang berproduksi tinggi rata-rata menghasilkan bunga betina 150 buah per pohon per tahun, berproduksi sedang rata-rata 120 bunga betina per pohon per tahun, dan berproduksi rendah rata-rata 41 bunga betina per pohon per tahun (Menon & Pandalai 1960). Produksi jumlah betina ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu iklim dan tanah terutama pada tipe Genjah (Santos et al. 1996). Kelapa Dalam Mapanget adalah salah satu tipe kelapa Dalam yang yang memiliki jumlah bunga betina yang banyak yaitu rata-rata 24.89 buah per infloresensia (Rompas et al. 1989). Tabel 4.
Depresi penangkaran dalam pada karakter generatif generasi Kedua, ketiga dan keempat kelapa Dalam Mapanget No 32 (DMT-32)
Karakter
OP
Rata-rata S2 S3
bh / tdn (butir) tdn / phn (bh) bunga betina (bh) pjg tgkai tdn (cm) pjg B. jantan (cm) lbr tgkai tdn (cm) tbl tgkai tdn (cm)
7.60 15.60 37.00 65.50 32.40 3.23 2.12
9.67 14.44 29.11 43.11 28.89 3.39 2.41
6.73 13.28 19.28 40.50 30.68 3.59 2.31
S4
S2
1.92 6.11 5.21 28.24 22.97 2.16 1.31
-27.19 7.41 21.32 34.18 10.84 -4.92 -13.73
PD (%) S3 S4 11.51 14.90 47.91 38.17 5.31 -11.07 -8.73
74.72 60.86 85.92 56.89 29.09 33.11 38.18
Keterangan : PD = Penangkarandalam OP = Penyerbukan terbuka ditanam 1957 S2 = DMT-32 generasi kedua hasil penyerbukan tertutup ditanam 1969 S3 = DMT-32 generasi ketiga hasil penyerbukan tertutup ditanam 1979 S4 = DMT-32 generasi keempat hasil penyerbukan sendiri ditanam 1994 tdn / phn = jumlah tandan per pohon bh / tdn = jumlah buah per tandan pjg tgkai tdn = panjang tangkai tandan pjg B. jantan = panjang rangkaian bunga jantan lbr tgkai tdn = lebar tangkai tandan tbl tgkai tdn = tebal tangkai tandan Faktor utama penyebab rendahnya produksi buah pada tanaman kelapa adalah gugur buah akibat gagalnya polinasi, persaingan dalam mempertahankan fotosintat, kurangnya sarana penyerbuk seperti angin dan serangga, tercucinya serbuk sari akibat hujan, dan rendahnya kesuburan serbuk sari (Williams 1970).
Pada penyerbukan alami umumnya aborsi hasil pembuahan sebesar 50-70%, terutama pada musin kemarau (Santos et al. 1995). Pembentukan dan jumlah bunga berperan banyak gen pada tanaman dikotil maupun monokotil (Irish 2000; Whiple et al. 2004; Zahn et al. 2005). Jumlah bunga betina, persentase jumlah bunga betina menjadi buah, dan jumlah buah pada tanaman kelapa dipengaruhi oleh gen-gen aditif (Nambiar & Nambiar 1970). Sedangkan jumlah tandan dan jumlah buah lebih banyak dipengaruhi oleh gen aditif dibanding gen dominan (Munier et al. 1984). Sifat infloresensia penting lainnya adalah panjang tangkai tandan. Depresi penangkarandalam pada panjang tangkai tandan sebesar 56.89% dengan panjang tangkai tandan 28.2 cm, lebih menguntungkan karena tangkai tandan yang pendek dan tebal lebih bisa menahan buah yang banyak dan berat. Tandan yang secara keseluruhan lebih panjang, berbuah banyak, dan buah lebih berat akan lebih mudah patah (Mahmud et al. 1990). Karakter-karakter vegetatif dan generatif yang berkorelasi positif maupun negatif secara nyata dengan jumlah buah per tandan adalah jumlah daun, panjang daun, jumlah anak daun, panjang rangkaian bunga jantan dan jumlah bunga betina per infloresensia (Miftahorrachman et al. 1992; Novarianto et al. 1999). Sedangkan produksi buah tinggi pada tanaman kelapa disebabkan oleh superioritas genetik yang terjadi karena adanya kesesuaian kombinasi gen dalam kondisi heterozigot dan adanya gen pengendali hasil (produksi buah) yang dominan (Harland 1957). Kelapa Dalam Mapanget No.32 yang diseleksi berdasarkan produksi tandan dan buah banyak dan dibuat menyerbuk tertutup menggunakan polen dari pohon-pohon terseleksi pada setiap generasi selama tiga generasi dan penyerbukan individu menggunakan polen yang berasal dari pohon yang sama pada generasi keempat, telah menampakkan kecenderungan terjadinya depresi penangkarandalam secara fisik pada setiap generasi (Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3). Pada generasi kedua terlihat pada Gambar 1 (kiri) adalah pohon kelapa berbuah paling banyak yaitu 165 butir per pohon per tahun dari pohon DMT-32 S2 No.4, sedangkan Gambar 1 (kanan) adalah pohon kelapa yang berbuah paling
sedikit yaitu 104 butir per pohon per tahun dari pohon DMT-32 S2 No.5. Meskipun pohon No.5 DMT-32 S2 berbuah paling sedikit tetapi masih tergolong pohon kelapa berbuah banyak (>80 butir per pohon per tahun).
Gambar 1. Penampilan pohon dengan jumlah buah terbanyak dan tersedikit pada generasi DMT -32 S2
Pada generasi ketiga Gambar 2 (kiri) adalah pohon kelapa berbuah paling banyak yaitu 135 butir per pohon per tahun dari generasi DMT-32 S3 No.7, sedangkan Gambar 2 (kanan) adalah pohon kelapa yang berbuah paling sedikit yaitu 48 butir per pohon per tahun dari DMT-32 S3 No.38. Hasil penyerbukan tertutup DMT-32 generasi ketiga telah menampakkan kecenderungan penurunan produksi
buah
yang
penangkarandalam.
cukup
besar
sebagai
akibat
terjadinya
depresi
Gambar 2. Penampilan pohon dengan jumlah buah terbanyak dan tersedikit pada generasi DMT -32 S3 Pada generasi keempat hasil penyerbukan menggunakan polen dari pohon yang sama, pohon kelapa berbuah paling banyak mendekati pohon kelapa berbuah paling sedikit pada generasi kedua. Pada Gambar 3 (kiri) adalah pohon kelapa berbuah paling banyak yaitu 105 butir per pohon per tahun dari generasi DMT-32 S4 No.36. Gambar 3 (kanan atas) adalah pohon kelapa yang berbuah sedang yaitu 60 butir per pohon per tahun dari DMT-32 S4 No.17, sedangkan Gambar 3 (kanan bawah) adalah pohon kelapa tidak berbuah atau sampai dengan umur 11 tahun belum berbuah dari DMT-32 S4 No.8. Pada DMT-32 S4 ditemukan sebanyak 16 pohon kelapa yang sampai dengan umur 11 tahun belum berbuah dari 38 pohon populasi tersebut.
Gambar 3.
Penampilan pohon dengan jumlah buah terbanyak, buah sedang dan tidak berbuah pada generasi DMT -32 S4
Komponen Buah Penyerbukan tertutup pada populasi pohon kelapa DMT-32 tidak selalu menyebabkan depresi penangkarandalam pada komponen buah dari generasi OP, generasi kedua, dan generasi ketiga. Pada generasi kedua hanya satu komponen buah yang tidak mengalami depresi yaitu sabut buah. Sedangkan pada generasi ketiga air kelapa dan tempurung kelapa bertambah berat. Pada generasi keempat semua komponen buah mengalami depresi penangkarandalam (Tabel 5). Secara umum depresi penangkarandalam meningkat persentasenya dari DMT-32 S2 ke DMT-32 S4. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akuba (2002).
Tabel 5. Depresi penangkarandalam pada karakter generatif generasi kedua, ketiga, dan keempat kelapa Dalam Mapanget No.32(DMT-32) Karakter Buah utuh Sabut Air kelapa Tempurung Daging buah Keterangan : PD OP S2 S3 S4
OP 1290.26 320.30 310.20 195.00 425.55
Rata-rata (g) S2 S3 1173.98 323.61 260.36 178.60 393.43
1223.13 318.44 324.15 199.00 398.44
S4
S2
PD (%) S3 S4
675.04 173.40 297.78 93.95 195.59
9.01 -1.03 16.07 8.41 7.55
5.20 0.58 -4.50 -2.05 6.37
47.68 45.86 4.00 51.82 54.04
= Penangkarandalam = Penyerbukan terbuka ditanam 1957 = DMT-32 generasi kedua hasil penyerbukan tertutup ditanam 1969 = DMT-32 generasi ketiga hasil penyerbukan tertutup ditanam 1979 = DMT-32 generasi keempat hasil penyerbukan sendiri ditanam 1994
Persentase depresi penangkarandalam pada karakter komponen buah DMT-32 S4 sudah sangat tinggi, umumnya diatas 45% kecuali air kelapa 4%. Ukuran dan berat buah pada DMT-32 S4 semakin kecil mendekati uk uran buah kelapa Genjah. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa persentase depresi penangkarandalam pada DMT-32 S3 lebih rendah kecuali pada berat sabut dibandingkan dengan DMT-32 S2 dan meningkat lagi pada DMT-32 S4. Turunnya persentase depresi penangkarandalam pada DMT-32 S3 dan meningkat lagi pada DMT-32 S4 diduga disebabkan oleh (1) fenotipe yang terekspresi dikontrol oleh alel-alel resesif, ketika seleksi baik secara alami maupun buatan dilakukan alel-alel tersebut tidak terseleksi ke generasi berikutnya. Hilangnya alel-alel resesif yang menyebabkan terjadinya depresi penangkarandalam disebut penghilangan (Purging) (Ritland 1996); (2) penggunaan campuran serbuksari (polen) pada setiap melakukan penyerbukan buatan sampai pada generasi ketiga dan pada generasi keempat penyerbukan terhadap pohon terpilih menggunakan polen yang berasal dari pohon yang sama. Berat buah tanpa sabut memiliki korelasi tinggi dan positif dengan berat kopra sehingga berat kopra dapat diduga dari berat buah tanpa sabut. Faktor yang menentukan tingginya hasil kopra per pohon adalah jumlah buah per tahun dan berat kopra per butir (Thampan 1981).
Pada tanaman kelapa pengaruh depresi penangkarandalam secara alami terekspresi pada kelapa tipe Genjah yang memiliki batang lebih pendek, lebih kecil dan tidak memiliki bole, buah kecil, kualitas kopra relatif rendah, dan kurang toleran tehadap variasi lingkungan dibandingkan dengan kelapa tipe Dalam (Akuba, 2002). Depresi Penangkarandalam Berdasarkan Penanda Molekular Dari 19 primer untuk lokus SSR yang digunakan dalam penelitian ini 15 primer memperlihatkan pita-pita polimorfis dengan jumlah alel antara 3 sampai 6 sehingga didapatkan seluruhnya 60 alel atau rata-rata 4 alel per lokus. Alel- lel yang telah ditransfer menjadi data genotipe setiap individu dianalisis menggunakan program POPGENE untuk mengetahui besarnya frekuensi heterozigot, indeks fiksasi dan depresi penangkarandalam DMT-32 S2, DMT-32 S3, dan DMT-32 S4. Depresi penangkarandalam secara tidak langsung dapat dilihat pada tingkat
heterozigositas
dalam
populasi.
Depresi
penangkarandalam
direpresentasikan oleh koefisien inbreeding atau indeks fiksasi yang merupakan ukuran turun atau naiknya heterozigositas dalam populasi (Smouse 1986). Indeks fiksasi menggambarkan penurunan heterozigositas di dalam populasi relatif terhadap total populasi yang dikaitkan dengan adanya seleksi dan penghanyutan (drift). Indeks fiksasi positif mengindikasikan berkurangnya genotipe heterozigot, sedangkan indeks fiksasi negatif menunjukkan peningkatan genotipe heterozigot. Koefisien
penangkarandalam
menggambarkan
perbedaan
heterozigositas
pengamatan dari heterozigositas harapannya di dalam populasi yang kawin tidak acak. Hasil analisis terhadap jumlah alel, frekuensi heterozigot, indeks fiksasi dan depresi penangkarandalam DMT-32 S2, DMT-32 S3 DAN DMT-32 S4 berdasarkan penanda SSR disajikan pada Tabel 6. Nilai rata-rata heterozigot aktual dari kelapa DMT-32 S2, DMT-32 S3 dan DMT-32 S4 lebih kecil dari nilai heterozigot harapan, berarti bahwa pada setiap generasi hasil penyerbukan tertutup heterozigositas cenderung berkurang, sehingga struktur genotipe akan mengarah ke peningkatan homozigositas untuk lokus-lokus yang dideteksi (Tabel 6).
Tabel 6. Jumlah alel, Frekuensi heterozigot, Indeks fiksasi dan depresi penangkarandalam DMT-32 S2, DMT-32 S3 DAN DMT-32 S4 berdasarkan penanda SSR Lokus
Jumlah Heterozigot Harapan Alel (HE) S2 S3 S4 CNZ 05 4 0.905 0.805 0.707 CNZ 09 3 0.877 0.787 0.874 CNZ 18 6 0.961 0.941 0.891 CNZ 21 3 0.895 0.873 0.863 CNZ 51 3 0.864 0.794 0.764 CnCirA3 3 0.877 0.799 0.677 CnCirA9 4 0.891 0.859 0.791 CnCirC3’ 4 0.885 0.855 0.835 CnCirC7 3 0.797 0.758 0.658 CnCir E2 4 0.808 0.794 0.698 CnCirE10 5 0.929 0.878 0.729 CnCirE12 5 0.963 0.901 0.763 CnCir F2 5 0.963 0.897 0.763 CnCirH4’ 4 0.834 0.794 0.734 CnCirH7 4 0.838 0.799 0.738 Rataan 4 0.886 0.836 0.766 Indeks Fiksasi PD -
Heterozigot Aktual (Ho) S2 S3 S4 0.567 0.725 0.500 0.667 0.700 0.605 0.888 0.850 0.763 0.881 0.675 0.631 0.778 0.579 0.425 0.555 0.750 0.631 0.555 0.500 0.605 0.789 0.575 0.509 0.556 0.525 0.447 0.778 0.650 0.552 0.889 0.825 0.821 0.889 0.850 0.631 0.889 0.850 0.842 0.778 0.700 0.737 0.778 0.775 0.815 0.749 0.689 0.649 0.074 0.049 0.041 0.028 0.105 0.157
Keterangan: PD = Penangkarandalam Heterozigositas adalah karakteristik yang penting dari suatu lokus. Heterozigositas suatu lokus menentukan suatu individu bersifat heterozigot untuk lokus tertentu dalam suatu populasi. Untuk penanda molekular, suatu lokus dengan heterozigositas lebih dari 70% menunjukkan penanda tersebut memiliki polimorfisme tinggi (Ott 1992). Heterozigositas menurun dalam suatu populasi dapat terjadi karena adanya hambatan aliran gen dalam populasi, dan meningkatnya hubungan kekerabatan antar individu pohon (Gregorius & Namkoong 1983). Depresi penangkarandalam ditemukan pula pada populasi kelapa DMT-32 S2, DMT-32 S3 dan DMT-32 S4 menggunakan penanda mikrosatelit, masingmasing sebesar
2.78%,
10.54%,
15.74%. Nilai depresi penangkarandalam
menggunakan 15 lokus SSR dalam penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan yang diperoleh Akuba (2002) pada populasi kelapa DMT S3 dan DMT S4
masing- masing 94.08% dan 97.66%. Perbedaan dapat terjadi karena populasi yang digunakan Akuba adalah populasi kelapa DMT
campuran dari No.10,
No.32, dan No.55 dengan jumlah sampel yang lebih sedikit. Sedangkan dalam penelitian ini digunakan hanya zuriat dari DMT No.32, dan semua tanaman pada setiap generasi hasil penyerbukan tertutup digunakan dalam penelitian ini. Selain itu jenis dan jumlah lokus SSR yang digunakan juga berbeda. Depresi penangkarandalam berdasarkan penanda mikrosatelit (SSR) ditemukan pula pada generasi ketiga dan keempat populasi kelapa DMT-32. Nilai depresi penangkarandalam berdasarkan
penanda
SSR
ini
lebih
rendah
dibandingkan dengan nilai depresi penangkarandalam berdasarkan penanda morfologi. Tetapi memiliki kecenderungan yang sama yaitu nilainya semakin besar pada populasi-populasi generasi berikutnya, yang menunjukkan bahwa semakin banyak lokus- lokus SSR yang homozigot pada setiap kali dilakukan penyerbukan tertutup pada setiap generasi populasi kelapa DMT-32. Tingkat heterozigositas merupakan ukuran kekekaran suatu individu artinya makin tinggi nilai heterozigositas makin kekar suatu individu (Smouse 1986). Menurunnya kekekaran tanaman terlihat dengan jelas pada populasi DMT-32 S4. Adanya depresi penangkarandalam pada tanaman yang bersifat menyerbuk terbuka seperti kelapa dapat dijelaskan melalui dua hipotesis yaitu hipotesis overdominan dan hipotesis dominan. Hipotesis overdominan menerangkan bahwa depresi penangkarandalam adalah akibat dari peningkatan homozigositas pada karakter yang lebih menguntungkan dalam genotipe heterozigot. Hipotesis dominan menerangkan bahwa peningkatan homozigositas mengakibatkan peluang bertemunya alel-alel resesif yang merugikan menjadi lebih tinggi (Falconer & Mackay 1996). Alel-alel merugikan ini berpengaruh pada kekekaran tanaman secara umum. Pada awal pertumbuhan, banyak tanaman muda generasi keempat hasil penyerbukan sendiri kelapa Dalam Mapanget (DMT) mati. Kematian tanaman muda ini diduga karena bertemunya alel-alel resesif yang merugikan. Alel-alel resesif yang merugikan dan bukan alel overdominan adalah faktor utama penyebab depresi penangkarandalam (Ritland 1996). Berdasarkan hipotesis dominan, terjadinya depresi penangkarandalam pada populasi tanaman kelapa tipe Dalam
dapat
mengindikasikan
adanya
aksi
gen
dominan.
Depresi
penangkarandalam terjadi hanya karena efek dominan, artinya pada karakter yang tidak ada dominansi tidak akan terdeteksi adanya depresi penangkarandalam (Filho 1997). Dalam upaya merakit kelapa hibrida yang unggul diperlukan tetua-tetua homosigot. Persilangan antar dua tetua homozigot yang berbeda akan menghasilkan zuriat yang unggul akibat pengaruh heterosis (Allard
1960).
Kelapa tipe Dalam pada umumnya menyerbuk silang sehingga zuriatnya memiliki penampilan beragam karena genotipe yang heterozigot (Menon & Pandalai 1960; Child 1974; Fremond et al. 1966; Foale 1992). Untuk mendapatkan tetua homozigot pada kelapa Dalam dapat diperoleh melalui teknik penyerbukan tertutup sampai beberapa generasi. Zuriat yang dihasilkan dari proses penyerbukan tertutup akan memiliki derajat homozigot yang meningkat dengan penurunan vigor sebagai akibat adanya peristiwa depresi penangkarandalam. Depresi penangkarandalam dan heterosis adalah dua fenomena bertolak belakang yang banyak dipelajari pada tanaman dan binatang. Depresi penangkarandalam berkaitan dengan menurunnya kekekaran turunan hasil penyerbukan tertutup, sebaliknya heterosis berkaitan dengan keunggulan hibrida (F1) melebihi nilai atau rata-rata kedua tetuanya (Stebbins 1958). Hasil penyerbukan pohon-pohon terpilih menggunakan polen campuran dari DMT-32 sampai generasi ketiga dan polen dari pohon yang menjadi tetua betina pada generasi keempat, mengakibatkan aliran gen tidak berlangsung secara bebas. Akibatnya beberapa lokus SSR yang digunakan tidak dalam kesetimbangan Hardy-Weinberg (HW) disajikan pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat dilihat ada empat lokus yang mengalami perubahan frekuensi gen yang besar sehingga lokus SSR CNZ05, CnCirA9, CnCirC7, dan CnCirE2 tidak pada kesetimbangan Hardy-Weinberg.
Kejadian
ini
menunjukkan bahwa akibat seleksi yang dilakukan berdasarkan karakter jumlah buah lalu diikuti dengan persilangan di antara pohon-pohon yang berkerabat dekat, telah mengakibatkan beberapa lokus tidak lagi diwariskan secara bebas dari generasi ke generasi. Migrasi, mutasi dan seleksi adalah faktor- faktor penyebab terjadinya perubahan frekuensi gen dari generasi ke generasi dalam suatu populasi besar, sedangkan pada populasi kecil pemilihan sampel secara acak merupakan
faktor yang lebih berperan dalam perubahan frekuensi gen dibandingkan faktor lainnya (Liu 1998). Tabel 7. Jumlah alel, individu heterozigot, individu homozigot, tingkat polimorfisme dan kesetimbangan Hardy-Weinberg Lokus CNZ 05 CNZ 09 CNZ 18 CNZ 21 CNZ 51 CnCirA3 CnCirA9 CnCirC3’ CnCirC7 CnCir E2 CnCirE10 CnCirE12 CnCir F2 CnCirH4’ CnCirH7 Keterangan:
Alel 4 3 6 3 3 3 4 4 3 4 5 5 5 4 4
Individu Heterozigot Homozigot 87 42 45 87 59 28 87 61 26 87 42 45 87 47 40 87 59 28 87 46 41 87 49 38 87 35 52 87 42 45 87 70 17 87 62 25 87 71 16 87 57 30 87 70 17
PIC 0.459 0.565 0.720 0.647 0.622 0.591 0.561 0.638 0.580 0.570 0.662 0.717 0.718 0.678 0.682
HW ** NS NS NS NS NS ** NS ** ** NS NS NS NS NS
TP = Tingkat polimorfisme HW = Kesetimbangan Hardy-Weinberg ** = Tidak pada kesetimbangan Hardy-Weinberg NS = Pada kesetimbangan Hardy-Weinberg 2.
Pelacakan Tetua Kelapa Dalam Mapanget No.32 Melalui Aliran Gen (Gene Flow) Berdasarkan Penanda Mikrosatelit (SSR) Hasil analisis SSR DNA kelapa DMT-32 S2, DMT-32 S3, dan DMT-32
S4 menggunakan 15 primer menunjukkan polimorfisme dengan ukuran alel berbeda, setiap primer terdiri atas 3-6 alel sehingga seluruhnya berjumlah 60 alel. Setiap individu memiliki 1-2 pita yang merupakan tipikal bagi penanda SSR yang bersifat kodominan bagi organisme diploid (Gambar 4). Mikrosatelit (SSR) adalah suatu jenis penanda DNA yang dapat digunakan untuk mempelajari genotipe individu (Mullis & Faloona 1987). Pita-pita DNA dibuat dalam simbol genotipe menggunakan angka, dari generasi hasil penyerbukan tertutup kelapa DMT-32 S2, DMT-32 S3, dan DMT32 S4. Data genotipe tersebut digunakan dalam melacak pohon kelapa tetua dari kelapa DMT-32 S3 dan DMT-32 S4. Semua genotipe dari generasi kedua, ketiga,
dan keempat populasi kelapa DMT-32 (DMT-32 S2, DMT-32 S3, dan DMT-32 S4) digunakan dalam melacak tetua kelapa DMT-32 S3 dan DMT-32 S4. Pelacakan dilakukan berdasarkan pola pewarisan alel dari setiap lokus dari tetua kepada zuriatnya. Untuk memudahkan pelacakan tetua digunakan program Cervus 2.0.
Keterangan : 1 - 9 = nomor pohon 1-3 = posisi pita nomo r 1, 2, dan 3 M = penanda Gambar 4. Contoh pita SSR CnCirA3 pada kelapa DMT-32 S2 Contoh Pembuatan Data Biner dan Data Genotipe individu berdasarkan pita-pita SSR pada Gambar 4 disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9 berikut : Tabel 8. Contoh Data Biner Lokus CnCirA3 pada DMT-32 S2
Pita
1 2 3
1 1 1 0
2 1 1 0
3 1 1 0
No. Pohon 4 5 6 7 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0
8 0 1 1
9 1 0 1
Tabel 9. Contoh Data Genotipe Lokus CnCirA3 pada DMT-32 S2
Genotipe
1 1 2
2 1 2
3 1 2
No. Pohon 4 5 6 7 2 1 1 1 2 2 2 2
8 2 3
9 1 3
Pada pelacakan tetua betina dan jantan tanaman kelapa DMT-32, mulamula dilakukan pelacakan tetua betina dengan membandingkan genotipe zuriat dengan genotipe generasi tetuanya. Pembandingan dilakukan terhadap setiap primer yang digunakan. Setelah genotipe tetua betina diketahui kemudian
dianalisis untuk mengetahui genotipe tetua jantan dari setiap individu generasi zuriat dengan generasi tetuanya. Pelacakan tetua jantan dilakukan dengan membandingkan genotipe zuriat dengan genotipe tetua betina yang telah diketahui dengan individu tetua yang memiliki genotipe paling sesuai sebagai pasangan tetua. Mikrosatelit sebagai penanda kodominan juga telah digunakan untuk menganalisis tetua akasia (Prihatini et al. 2006), Cervus elaphus (Pemberton et al. 1992), dan ikan Lepomis macrochirus (Neff et al. 2000). Menurut Marshall et al (1998) beberapa faktor yang menyebabkan pelacakan tetua tidak berhasil adalah jumlah kandidat tetua yang besar, hubungan kekerabatan (relatedness) kandidat tetua yang tinggi, dan kesalahan dalam pelaksanaan penelitian. Untuk menganalisis kandidat tetua jantan digunakan likelihood ratio. Individu dengan nilai likelihood ratio tertinggi (the most likely male parent) merupakan kandidat utama tetua jantan. Untuk memudahkan analisis digunakan program Cervus 2.0 (Meagher 1986; Marshall et al. 1998). Hasil pelacakan tetua DMT-32 S3 dan DMT-32 S4 menggunakan program Cervus 2.0 disajikan pada Tabel 10 dan Tabel 11. Hasil pelacakan tetua menggunakan program Cervus 2.0 menunjukkan bahwa sebanyak 21 zuriat DMT-32 S3 dapat dilacak tetuanya dengan tingkat kesesuaian 95% dan 19 zuriat lainnya pada tingkat kesesuaian 80% (Tabel 10). Sedangkan pada DMT-32 S4 sebanyak 23 zuriat dapat dilacak tetuanya pada tingkat kesesuaian 95% dan 15 zuriat lainnya pada tingkat kesesuaian 80% (Tabel 11). Hasil pelacakan tetua DMT-32 S3 memperlihatkan bahwa ada tiga individu yang benar-benar hasil penyerbukan tertutup dari satu pohon yaitu dua pohon kelapa DMT-32 S3 No.25 dan No.39 merupakan zuriat dari DMT-32 S2 No.8, dan satu pohon yaitu DMT-32 S3 No.26 merupakan zuriat dari DMT-32 S2 No.3. Hasil pelacakan tetua dari DMT-32 S4 menunjukkan bahwa ada 5 individu yang benar-benar merupakan hasil penyerbukan dan zigot dengan polen yang berasal dari pohon tertentu. Tiga pohon kelapa yang merupakan zuriat dari pohon DMT-32 S3 No.28 adalah DMT-32 S4 No.8, No.10, dan No.22, satu pohon
adalah zuriat dari DMT-32 S3 No.32 yaitu DMT-32 S4 No.11, dan satu pohon adalah zuriat DMT-32 S3 No.35 yaitu DMT-32 S4 No.30 (Tabel 11). Tabel 10. Pelacakan Tetua betina dan jantan Kelapa DMT-32 generasi S3 berdasarkan 15 lokus mikrosatelit (SSR) Generasi Tetua Tetua Generasi Tetua Tetua S3 Betina jantan Ket. S3 Betina jantan Ket. S3-1 S2-7 S2-9 * S3-21 S2-9 S2-8 S3-2 S2-2 S2-6 * S3-22 S2-1 S2-4 S3-3 S2-7 S2-5 * S3-23 S2-1 S2-5 S3-4 S2-8 S2-3 * S3-24 S2-2 S2-9 S3-5 S2-5 S2-3 * S3-25 S2-8 S2-8 * S3-6 S2-1 S2-4 S3-26 S2-3 S2-3 * S3-7 S2-2 S2-6 * S3-27 S2-8 S2-4 * S3-8 S2-1 S2-9 S3-28 S2-8 S2-5 S3-9 S2-3 S2-5 S3-29 S2-8 S2-7 * S3-10 S2-5 S2-8 S3-30 S2-7 S2-9 S3-11 S2-3 S2-1 S3-31 S2-2 S2-8 S3-12 S2-7 S2-1 * S3-32 S2-4 S2-7 S3-13 S2-8 S2-5 S3-33 S2-5 S2-7 * S3-14 S2-3 S2-9 * S3-34 S2-3 S2-2 * S3-15 S2-3 S2-7 * S3-35 S2-2 S2-6 S3-16 S2-6 S2-3 * S3-36 S2-2 S2-7 * S3-17 S2-7 S2-1 S3-37 S2-7 S2-3 * S3-18 S2-2 S2-9 * S3-38 S2-5 S2-3 S3-19 S2-2 S2-8 * S3-39 S2-8 S2-8 S3-20 S2-8 S2-5 S3-40 S2-1 S2-4 * Keterangan : * sesuai pada taraf 95% tanpa * sesuai pada taraf 80% S2 dan S3 = hasil penyerbukan generasi kedua dan ketiga Angka dibelakang S2 dan S3= nomor pohon masing- masing generasi Individu- individu pohon kelapa yang mempunyai yang mempunyai pohon kelapa tetua betina dan jantan yang sama pada populasi DMT-32 S3 adalah No.6, No.22, dan No.40 zuriat dari persilangan pohon DMT-32 S2 No.1 x No.4: DMT32 S3 No.2, No.7, dan No.35 zuriat dari persilangan pohon DMT-32 S2 No.2 x No.6; DMT-32 S3 No.18 dan No.24 zuriat dari persilangan pohon DMT-32 S2 No.2 x No.9; DMT-32 S3 No.19 dan No.31 zuriat dari persilangan pohon DMT32 S2 No.2 x No.8; DMT-32 S3 No.13, No.20, dan No.28 zuriat dari persilangan pohon DMT-32 S2 No.8 x No.5; DMT-32 S3 No.1 dan No.30 zuriat dari persilangan pohon DMT-32 S2 No.7 x No.9; DMT-32 S3 No.12 dan No.17 zuriat
dari persilangan pohon DMT-32 S2 No.7 x No.1; DMT-32 S3 No.5 dan No.38 zuriat dari persilangan pohon DMT-32 S2 No.5 x No.3 (Tabel 10). Tabel 11. Pelacakan Tetua betina dan jantan Kelapa DMT-32 generasi S4 berdasarkan 15 lokus mikrosatelit (SSR) Generasi Tetua Tetua Ket Generasi Tetua Tetua Ket S4 Betina Jantan S4 Betina Jantan S4-1 S3-28 S3-12 S4-20 S3-34 S3-8 S4-2 S3-28 S3-26 S4-21 S3-33 S3-14 S4-3 S3-8 S3-32 * S4-22 S3-28 S3-28 * S4-4 S3-34 S3-33 * S4-23 S3-12 S3-35 S4-5 S3-1 S3-18 * S4-24 S3-1 S3-3 S4-6 S3-4 S3-28 * S4-25 S3-8 S3-32 * S4-7 S3-32 S3-10 * S4-26 S3-28 S3-12 S4-8 S3-28 S3-28 * S4-27 S3-5 S3-36 * S4-9 S3-28 S3-12 * S4-28 S3-11 S3-32 * S4-10 S3-28 S3-28 S4-29 S3-10 S3-6 * S4-11 S3-32 S3-32 S4-30 S3-35 S3-35 * S4-12 S3-4 S3-8 * S4-31 S3-28 S3-4 S4-13 S3-3 S3-14 * S4-32 S3-33 S3-36 S4-14 S3-33 S3-1 * S4-33 S3-34 S3-5 * S4-15 S3-23 S3-35 S4-34 S3-35 S3-26 S4-16 S3-23 S3-6 * S4-35 S3-4 S3-34 S4-17 S3-18 S3-1 * S4-36 S3-1 S3-14 * S4-18 S3-18 S3-5 * S4-37 S3-3 S3-14 * S4-19 S3-34 S3-1 * S4-38 S3-3 S3-21 Keterangan : * sesuai pada taraf 95% tanpa * sesuai pada taraf 80% S3 dan S4 = DMT-32 generasi ketiga dan keempat Angka dibelakang S3 dan S4= nomor pohon masing- masing generasi Dari Tabel 11 dapat dilihat individu-individu pohon kelapa pada DMT-32 S4 yang merupakan zuriat dari persilangan pohon DMT-32 S3 No.28 x No.12 adalah No.1, No.9, dan No.26. Sedangkan zuriat dari persilangan pohon DMT-32 S3 No.8 x No.32 adalah DMT-32 S4 No.3 dan No.25. Hasil penelusuran menunjukkan pula bahwa semua individu pada generasi DMT-32 S2 menjadi tetua dari DMT-32 S3, sedangkan pada populasi DMT-32 S3 beberapa nomor pohon tidak menjadi tetua dari zuriat DMT-32 S4. Hasil ini dapat dipahami karena sebelum dilakukan penyerbukan pada setiap generasi, diseleksi
terlebih dahulu pohon-pohon yang berproduksi tinggi. Nomor- nomor pohon yang berproduksi rendah tidak digunakan sebagai tetua. Hasil penelusuran ini jika dikaitkan dengan data produksi buah per pohon per tahun yang diamati selama penelitian, menunjukkan bahwa pada populasi DMT-32 S2 semua pohon masih berpotensi produksi lebih dari 100 butir per pohon per tahun sehingga semuanya digunakan sebagai tetua untuk DMT-32 S3. Sedangkan pada DMT-32 S3 beberapa pohon di antaranya berproduksi rendah yaitu berpotensi produksi kurang dari 80 butir per pohon per tahun sehingga tidak digunakan sebagai tetua untuk generasi DMT-32 S4 (Tabel 12). Berdasarkan hasil pelacakan menggunakan program Cervus 2.0 pada Tabel 10 dan Tabel 11, maka dapat dibuat silsilah dari setiap nomor pohon pada populasi kelapa DMT-32 generasi selfing kedua seperti pada Gambar 5 sampai dengan Gambar 13.
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa DMT-32 S2 No.1 merupakan tetua betina dan jantan dari masing- masing empat individu DMT-32 S3. Lima dari zuriatnya adalah tetua betina dan jantan dari 13 individu DMT-32 S4. Zuriat DMT-32 S2 No.1 merupakan tetua betina dari pohon kelapa DMT-32 S3 No.6 dan No.8 artinya benih dari pohon-pohon kelapa tersebut dipanen dari DMT-32 S2 No.1, sedangkan pohon kelapa DMT-32 S2 No.1 sebagai tetua jantan dari
DMT-32 S3 No.11, No.12 dan No.23. Tiga nomor pohon kelapa DMT-32 S3 yang lain yaitu No.17, No.22, dan No.40 tidak menjadi tetua dari DMT-32 S4. Sebanyak tujuh pohon kelapa DMT-32 S4 dipanen dari zuriat DMT-32 S2 No.1, sedangkan enam nomor pohon kelapa DMT-32 S4 lainnya menerima polen dari DMT-32 S2 No.1. Dengan demikian 13 individu pohon kelapa generasi DMT-32 S4 merupakan zuriat dari DMT-32 S2 No.1.
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa DMT-32 S2 No. 2 adalah tetua betina dari delapan individu DMT-32 S3 dan tetua jantan dari satu individu DMT-32 S3, artinya delapan zuriat tersebut dipanen dari pohon kelapa DMT-32 S2 No.2 dan satu pohon lainnya DMT-32 S2 No.2 menyumbang polen pada pohon kelapa yang lain. Empat nomor DMT-32 S3 yaitu pohon No.18, No.34, No.35, dan No.36 adalah tetua dari DMT-32 S4 sedangkan 5 nomor pohon yang lain tidak menjadi tetua dari DMT-32 S4. Dengan demikian 14 individu pohon kelapa generasi DMT-32 S4 merupakan zuriat dari DMT-32 S2 No.2.
Pada DMT-32 S4
ditemukan satu nomor pohon yaitu DMT-32 S4 No.30 merupakan hasil penyerbukan dan zigot dengan polen yang berasal dari pohon yang sama yaitu DMT-32 S3 No.35.
Dari Gambar 7, menunjukkan bahwa DMT-32 S2 No.3 merupakan tetua betina dari dua individu DMT-32 S3, tetua jantan dari delapan individu DMT-32 S3, dan menjadi tetua betina dan sekaligus tetua jantan dari satu individu DMT-32 S3 yaitu DMT-32 S3 No.26. Enam nomor pohon kelapa zuriat dari DMT-32 S2 No.3 menjadi tetua betina dan jantan dari 18 individu DMT-32 S4, dan 5 nomor pohon tidak menjadi tetua dari DMT-32 S4. Dari Gambar 7 juga dapat dilihat ada delapan pohon dari populasi DMT-32 S4 yang dipanen dari zuriat DMT-32 S2 No.3. Pohon-pohon kelapa DMT-32 S4 pohon No.6, No.12, dan No.35 dipanen dari DMT-32 S3 No.4; DMT-32 S4 pohon No.27 dipanen dari DMT-32 S3 No.5; DMT-32 S4 pohon No.28 dipanen dari DMT-32 S3 No.11; dan DMT-32 S4 pohon No.4, No.19, dan No.29 dipanen dari DMT-32 S3 No.34. Sedangkan 10 nomor pohon kelapa DMT-32 S4 lainnya dipanen dari pohon kelapa DMT-32 S3 yang lain, zuriat DMT-32 S2 No.3 berfungsi sebagai tetua jantan. Gambar 8, memperlihatkan bahwa DMT-32 S2 No.4 memiliki 5 zuriat yaitu sebagai tetua betina dari satu individu dan tetua jantan dari empat individu DMT-32 S3, artinya hanya DMT-32 S3 No.32 yang benihnya dipanen dari pohon DMT-32 S2 No.4. Dua dari lima zuriat DMT-32 S2 No.4 yaitu DMT-32 S3 No.6 dan No.32 menjadi tetua betina dan jantan dari enam individu DMT-32 S4. DMT-32 S3 No.6 berperan sebagai tetua jantan, sedangkan DMT-32 S3 No.32 berperan sebagai tetua betina DMT-32 S4 dari No.7 dan No.11 artinya benih dari
kedua pohon tersebut dipanen dari pohon kelapa DMT-32 S3 No.32, dan sebagai tetua jantan dari DMT-32 S4 pohon No.3 dan No.25.
Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa DMT-32 S2 No.5 merupakan tetua betina dari 4 individu DMT-32 S3 dan tetua jantan dari 6 individu DMT-32 S3, artinya empat nomor pohon kelapa DMT-32 S3 dipanen dari individu DMT-32 S2 No.5, sedangkan lainnya dipanen dari pohon lain yang diserbuki dengan polen individu DMT-32 S2 No.5. Enam nomor pohon diantaranya menjadi tetua betina
dan jantan dari 24 individu individu DMT-32 S4, dan empat lainnya tidak menjadi tetua dari DMT-32 S4 yaitu pohon No.9, No.13, No.20, No.38. DMT-32 S3 No.3 adalah tetua dari DMT-32 S4 yaitu pohon No.13, No.24, No.37, dan No.38. Pohon kelapa DMT-32 S4 No.8 dan No.22 merupakan hasil zigot dengan polen yang berasal dari pohon yang sama yaitu DMT-32 S3 No.28.
Dari Gambar 10, dapat dilihat bahwa dari DMT-32 S2 No.6 memiliki 4 zuriat yaitu DMT-32 S3 pohon No.2, No.7, No.16 dan No.35. Hanya DMT-32 S3 No.35 yang menjadi tetua dari 4 individu DMT-32 S4 yaitu pohon No.15, No.23, No.30 dan No.34. Pohon kelapa DMT-32 S4 No.30 dan No.34 dipanen dari individu DMT-32 S3 No.35, sedangkan individu DMT-32 S4 No.30 adalah hasil penyerbukan dan zigot dengan polen yang berasal dari pohon kelapa yang sama yaitu DMT-32 S3 No.35. Dari Gambar 11, terlihat bahwa DMT-32 S2 No.7 merupakan tetua betina dan jantan dari masing- masing lima individu DMT-32 S3. Lima individu pohon kelapa DMT-32 S3 merupakan tetua dari 20 individu pohon kelapa DMT-32 S4, sedangkan lima individu pohon lainnya tidak menjadi tetua dari DMT-32 S4. Pada populasi kelapa DMT-32 S3 ada lima nomor pohon yang benihnya dipanen dari DMT-32 S3 No.7. Pada DMT-32 S4 masing- masing ada tiga nomor pohon yang benihnya dipanen dari DMT-32 S3 No.1 dan No.33, satu pohon dari DMT-32 S3 No.12, dan dua pohon dari DMT-32 S3 No.32 merupakan hasil zigot dengan
polen yang berasal dari pohon itu sendiri. Sedangkan 11 pohon DMT-32 S4 lainnya dipanen dari pohon-pohon kelapa DMT-32 S3 yang bukan zuriat DMT32 S2 No.7.
Gambar 12, dapat dilihat bahwa DMT-32 S2 No.8 memiliki 12 zuriat pada DMT-32 S3. Empat individu diantaranya adala h tetua dari 15 individu DMT-32 S4, dan delapan individu lainnya tidak menjadi tetua dari DMT-32 S4. Lima dari zuriat tersebut benihnya dipanen dari DMT-32 S2 No.8 artinya pohon kelapa No.8 dari generasi kedua berperan sebagai tetua betina, sedangkan tujuh nomor pohon lainnya dipanen dari pohon lainnya yang diserbuki dengan polen DMT-32 S2 No.8 (tetua jantan). Dapat dilihat pula pada populasi kelapa DMT-32 generasi ketiga ada dua pohon yaitu DMT-32 S3 No.25 dan No.39 merupakan zigot hasil penyerbukan denga n polen yang berasal dari pohon yang sama yaitu DMT-32 S2 No.8. Sedangkan pada populasi kelapa DMT-32 generasi keempat ada tiga pohon yaitu DMT-32 S4 No.8, No.10, dan No.22 merupakan zigot hasil penyerbukan dengan polen yang berasal dari pohon itu sendiri yaitu pohon kelapa DMT-32 S3 No.28.
Dari Gambar 13, dapat dilihat bahwa DMT-32 S2 nomor 9 merupakan tetua tetua betina dari satu individu, dan tetua jantan dari 6 individu DMT-32 S3. Hanya satu pohon yang benihnya dipanen dari pohon DMT-32 S2 No.9. Enam pohon yang lainnya merupakan hasil penyerbukan yang polennya berasal dari DMT-32 S2 No.9. Empat dari zuriat DMT-32 S2 No.9 merupakan tetua betina dan jantan dari 17 individu DMT-32 S4, tiga lainnya tidak menjadi tetua dari
DMT-32 S4. Pada DMT-32 S4 ada tiga pohon yang benihnya dipanen dari DMT32 S3 No.1, dua pohon benihnya dipanen dari pohon DMT-32 S3 No.8, dan dua pohon individu kelapa populasi DMT-32 S3 No.18, sedangkan DMT-32 S3 No. 14 berperan sebagai tetua jantan artinya tidak ada benih yang dipanen dari pohon tersebut. Dengan diketahuinya silsilah masing- masing individu kelapa DMT-32 hasil penyerbukan sendiri generasi ketiga (DMT-32 S3) dan keempat (DMT-32 S4) secara jelas, maka peneliti kelapa yang akan mempelajari sifat-sifat tertentu yang berkaitan dengan produksi, ketahanan terhadap hama dan penyakit, kekeringan, protein, asam lemak dan lain- lain dapat memanfaatkan informasi ini. 3. Identikasi Pita Spesifik Terpaut Dengan Karakter Produksi Buah Pada Tanaman Kelapa Berdasarkan Penanda Mikrosatelit (SSR) Hasil pengamatan pada setiap generasi hasil penyerbukan tertutup dari pohon-pohon terseleksi pada setiap generasi kelapa DMT-32 (DMT-32 S2, DMT32 S3, dan DMT-32 S4), terhadap produksi buah per pohon per tahun dan jumlah tandan per pohon per tahun telah menunjukkan telah terjadi penurunan rata-rata produksi buah per pohon per tahun. Pada DMT-32 S2, pohon yang memiliki produksi buah per pohon per tahun paling rendah adalah DMT-32 S2 No.5 yaitu 104 butir. Pada DMT-32 S3, pohon yang memiliki produksi buah paling rendah adalah DMT-32 S3 No.38 yaitu 48 butir. Sedangkan pada DMT-32 S4 ditemukan 16 pohon yang sampai dengan umur 11 tahun setelah tanam tidak/belum berbuah. Data produksi buah per tandan per pohon dan jumlah tandan per pohon per tahun untuk generasi DMT-32 S2, DMT-32 S3, dan DMT-32 S4 disajikan pada Tabel 12. Untuk mengetahui ada atau tidaknya pita spesifik yang berkaitan dengan produksi buah kelapa, maka populasi pohon kelapa tiap generasi DMT-32 dibuat pengelompokan berdasarkan produksi buah per pohon per tahun. Untuk DMT-32 S2 hanya mengelompok dalam satu kelompok karena semua pohon memiliki produksi di atas 100 butir. Pada DMT-32 S3 dalam empat kelompok yaitu > 100 butir/pohon, 80-99 butir/pohon, 60-79 butir/pohon, 40-59 butir/pohon. Pada
DMT-32 S4 mengelompok menjadi empat kelompok yaitu : > 100 butir/pohon, 8-60 butir/pohon, bertandan tanpa buah, dan tanpa tandan. Tabel 12. Produksi buah dan tandan per pohon per tahun pada setiap generasi menyerbuk sendiri kelapa DMT-32 No. Pohon 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Produksi buah per pohon per Produksi tandan per pohon per tahun tahun S2 S3 S4 S2 S3 S4 156 105 117 165 104 135 156 136 119
120 60 134 84 105 118 135 98 56 112 98 120 105 128 63 66 112 122 55 55 98 108 96 55 66 96 61 114 64 65 70 104 90 84 97 105 78 48 62 69
0 24 27 48 48 12 0 0 0 20 0 0 35 44 14 0 60 33 40 18 36 0 0 55 0 0 8 10 0 0 0 0 36 12 0 105 16 18
13 15 13 14 13 15 13 17 17
15 15 15 14 15 16 15 14 14 16 14 15 15 16 9 11 14 12 11 11 11 11 12 11 11 12 9 13 14 13 14 15 15 14 14 15 13 12 12 13
0 8 9 11 12 6 0 0 0 10 0 0 11 10 7 6 12 11 10 9 8 0 5 11 8 6 8 5 0 0 0 0 9 4 4 15 8 9
Campuran DNA dari pohon-poho n kelapa yang produksinya ada dalam satu kelompok yang sama dicampur dan diPCR. Pita DNA yang spesifik adalah pita yang ditemukan selalu ada atau tidak ada pada pohon-pohon yang berbuah banyak atau tidak atau belum berbuah selama penelitian. Kalau ditemukan pita yang selalu ada pada pohon-pohon yang berbuah banyak atau tidak berbuah akan sangat membantu dalam melakukan seleksi bibit-bibit yang berpotensi produksi tinggi sejak dini. Sekuen DNA pengapit SSR dirakit menjadi primer untuk digunakan mengamplifikasi lokus- lokus SSR tertentu menggunakan PCR. Setiap pita DNA mewakili satu alel dari suatu lokus. Perbedaan panjang pita DNA terjadi karena perbedaan jumlah unit pengulangan pada lokus-lokus mikrosatelit (SSR) tertentu (Gupta et al. 1996; Karp et al. 1997; Liu 1998). Hasil PCR-SSR yang diperoleh divisualisasikan menggunakan PAGE (Polyacrylamide Gel Electrophoresis) dengan pewarnaan perak (Creste et al 2001). Primer yang memberi informasi adanya pita yang khas pada hasil PCR campuran DNA berdasarkan penge lompokan yang telah dibuat, dibandingkan dengan hasil PCR pada DNA masing- masing individu pohon kelapa DMT-32 populasi DMT-32 S2, DMT-32 S3, dan DMT-32 S4. Hasil visualisasi 15 primer (lokus) SSR menggunakan PAGE pada pengelompokan DNA, ditemukan ada dua primer dari 15 primer yang digunakan memiliki pita khas yaitu CNZ21 dan CNZ51. Visualisasi SSR primer (lokus) CNZ21 pada campuran DNA berdasarkan pengelompokan (Gambar 14) dan pada generasi DMT-32 S4 (Gambar 15), sedangkan primer (lokus) CNZ51 pada campuran DNA (Gambar 16) dan pada generasi DMT-32 S4 (Gambar 17).
Gambar 14. Pita spesifik yang berkaitan dengan produksi buah pada kelapa DMT-32 menggunakan primer CNZ-21 Dari Gambar 14 dapat dilihat pola pita lokus CNZ21 pada DNA dari pohon kelapa yang dikelompokkan berdasarkan produksi buah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lokus CNZ-21 kelapa DMT-32 yang bertandan tanpa buah dan yang tanpa tandan kehilangan pita berukuran 270 bp. Hasil ini kemudian dikonfirmasi dengan profil pola pita lokus yang sama pada generasi DMT-32 S4 (Gambar 15). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nomor-nomor pohon yang tidak berbuah sampai dengan umur 11 tahun setelah tanam kehilangan pita tersebut.
Keterangan : 1-38 = nomor pohon DMT-32 S4 M = Marker 100 bp DNA ladder Gambar 15. Profil Pola Pita Lokus CNZ21 pada populasi DMT-32 S4.
Gambar 16. Pita spesifik yang berkaitan dengan produksi buah pada kelapa DMT-32 menggunakan Lokus CNZ51 Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa pada lokus CNZ51 kelapa DMT-32 yang bertandan tanpa buah dan yang tanpa tandan kehilangan pita berukuran 110 bp. Pita yang hilang kemudian dikonfirmasi dengan profil pola pita lokus yang sama pada generasi DMT-32 S4 yang beberapa nomor pohon diantaranya sampai dengan umur 11 tahun tidak atau belum berbuah (Gambar 17). Ternyata pada pohon-pohon yang tidak berbuah (Tabel 12) kehilangan pita berukuran 110 bp pada lokus CNZ51 (Gambar 16 dan Gambar 17).
Gambar 17. Profil Pola Pita Lokus CNZ51 pada populasi DMT-32 S4 Pita-pita yang hilang pada lokus CNZ21 berukuran 270 bp dan CNZ51 berukuran 110 diduga berkaitan dengan sifat tidak berbuah atau paling tidak
sampai dengan umur 11 tahun setelah tanam nomor- nomor pohon kelapa tersebut belum berbuah. Untuk mengetahui korelasi antar lokus yang dipakai dalam penelitian ini dan korelasi antara sifat morfologi dengan penanda molekular dilakukan analisis korelasi Pearson dengan Program komputer Minitab 14. Berdasarkan hasil analisis korelasi antar alel dari 15 lokus yang digunakan ternyata tidak saling berkaitan, tetapi antara alel (pita) dalam lokus yang sama saling berkorelasi pada taraf nyata >95% (Tabel 13). Penanda mirosatelit (SSR) telah digunakan untuk pemetaan kromosom berbagai tanaman seperti peach (Dirlewangger et al. 1998), gandum (Kojima et al. 1998), barley (Davila et al. 1999), dan tomat (Saliba-Colombani et al. 2000). Lebrun at al (2001) membuat peta keterpautan (linkage map) pada kelapa Dalam RIT (Rennell Island Tall) dan menemukan 16 kelompok keterpautan, hasil ini sesuai dengan genom haploid kelapa. Tanaman kelapa merupakan tanaman diploid dengan jumlah kromosom 2 x = 32. Kelima belas lokus SSR yang digunakan dalam penelitian ini dibuat peta keterpautan (linkage map) menggunakan MAPMAKER dengan nilai LOD 3. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa 15 lokus SSR terbagi ke dalam 15 kelompok artinya tidak ada lokus yang terpaut dengan yang lain dalam satu kelompok. Jika setiap kelompok dianggap sebagai kromosom, maka hasil pengelompokan (group) 15 lokus yang digunakan tersebar di lima belas kromosom berbeda pada tanaman kelapa DMT-32. Hasil pengelompokan ini tidak menggambarkan keseluruhan jumlah kromosom kelapa karena lokus SSR yang digunakan tidak cukup banyak. Menurut Herran et al (2000) dan Lebrun et al (2001) untuk membuat peta keterpautan maka diperlukan jumlah lokus SSR dan zuriat yang cukup banyak. Rendahnya korelasi antar lokus diduga karena lokus- lokus tersebut tersebar pada kromosom yang berbeda.
Tabel 13 Korelasi antar alel (pita) dari lokus CNZ21 dan CNZ51 Korelasi
CNZ21-1
CNZ21-2
CNZ21-3
CNZ51-1
CNZ51-2
CNZ21-2
0.726 0.002 0.721 0.166 -0.174 0.107 0.095 0.379 0.028 0.495
0.849 0.020 0.197 0.067 -0.077 0.479 -0.063 0.564
0.213 0.047 -0.201 0.062 -0.026 0.509
0.691 0.000 0.578 0.099
0.760 0.015
CNZ21-3 CNZ51-1 CNZ51-2 CNZ51-3 Keterangan:
Nilai pada bagian atas setiap kolom adalah nilai korelasi antar alel dari lokus CNZ21 dan CNZ51 Nilai pada bagian atas bawah kolom adalah tingkat kepercayaan (Pearson)
Hasil korelasi antara sifat morfologi dengan penanda molekular lokus CNZ21 menunjukkan bahwa pita yang hilang pada lokus tersebut yaitu pita CNZ21-3 yang berukuran 270 bp berkorelasi negatif dengan jumlah buah, sedangkan pita berukuran 250 bp dan 238 bp berkorelasi positif dengan jumlah buah pada tingkat kepercayaan 99%. Artinya jika pita CNZ21-270bp tidak ada maka pohon kelapa DMT-32 sampai dengan umur 11 tahun setelah tanam belum berbuah, sedangkan jika pita CNZ21-250bp dan CNZ21-238bp ada maka pohonpohon kelapa DMT-32 sampai umur 11 tahun setelah tanam memiliki buah.
Tabel 14. Korelasi antara sifat generatif dengan Lokus CNZ21 Karakter buah/pohon/tahun tandan/pohon/tahun jumlah bunga betina panjang tangkai tandan Panjang bunga jantan lebar tangkai tandan Keteranga n:
CNZ21-1
CNZ21-2
CNZ21-3
0.538 0.027 -0.164 0.129 -0.239 0.025 -0.086 0.428 -0.209 0.052 -0.256 0.017
0.502 0.004 0.279 0.009 0.175 0.105 0.182 0.092 0.071 0.516 0.261 0.014
-0.744 0.154 -0.117 0.595 -0.536 0.043 0.158 0.145 0.202 0.060 0.005 0.665
Nilai pada bagian atas setiap kolom adalah nilai korelasi antar alel dan karakter generatif Nilai pada bagian atas bawah kolom adalah tingkat kepercayaan (Pearson)
Hasil korelasi antara sifat morfologi dengan penanda molecular lokus CNZ51, menunjukkan bahwa pita yang hilang pada lokus CNZ51-1 berkorelasi dengan sifat tidak atau belum berbuah sampai dengan umur 11 tahun setelah tanam. Lokus CNZ51-1 berukuran 110 bp berkorelasi dengan jumlah buah per pohon per tahun, jumlah tandan per pohon, dan jumlah bunga betina pada tingkat kepercayaan >99% (Tabel 14 dan Tabel 15). Hasil penelitian ini memperlihatkan pula bahwa jika pita CNZ51-110bp tidak ada maka jumlah tandan per pohon per tahun dan jumlah bunga betina per tandan semakin sedikit. Penanda molekular dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakter fenotipik dalam studi genetik populasi (Virk et al. 1996 ; Pillen et al. 2000). Identifikasi penanda molekular yang terpaut dengan karakter dan variasi dalam populasi sangat bergantung pada hubungan kekerabatan antara tetua yang digunakan untuk pemetaan populasi (Ford-Lloyd et al. 2001).
Tabel 15. Korelasi antara sifat generatif dengan Lokus CNZ51 Karakter buah/pohon/tahun tandann/pohon/tahun jumlah bunga betina panjang tangkai tandan Panjang bunga jantan lebar tangkai tandan
CNZ51-1
CNZ51-2
CNZ51-3
-0.692 0.002 -0.590 0.000 -0.426 0.036 0.350 0.001 0.418 0.000 0.463 0.000
-0.258 0.016 -0.330 0.002 -0.141 0.193 -0.230 0.032 -0.403 0.000 -0.310 0.003
0.125 0.249 0.178 0.100 0.097 0.370 0.185 0.086 0.085 0.433 0.061 0.572
Keterangan: Nilai pada bagian atas setiap kolom adalah nilai korelasi antar alel dan karakter generatif Nilai pada bagian atas bawah kolom adalah tingkat kepercayaan (Pearson) Dengan teridentifikasinya fragmen DNA spesifik yang berkorelasi dan berkaitan dengan karakter pohon yang tidak berbuah sampai dengan umur 11 tahun akan sangat membantu
melakukan seleksi dini terhadap pohon-pohon
kelapa yang kemungkinan tidak berbuah atau berbuah sangat lambat.
IV.
SIMPULAN
Populasi kelapa Dalam Mapanget No.32 setelah dibuat penyerbukan tertutup menggunakan campuran polen pohon-pohon terpilih sampai dengan generasi ketiga dan penyerbukan menggunakan polen dari pohon terpilih yang sama pada generasi keempat, memperlihatkan gejala depresi penangkarandalam untuk beberapa sifat vegetatif , generatif, dan komponen buah. Karakter vegetatif yang mengalami depresi penangkarandalam seperti: lingkar batang tanaman semakin kecil, tinggi pohon kelapa semakin rendah, helaian daun semakin sempit, dan jumlah daun yang terbentuk setiap tahun semakin berkurang. Sedangkan karakter generatif yang mengalami depresi penangkarandalam seperti: jumlah tandan per pohon, jumlah buah per tandan, dan jumlah bunga betina per tandan semakin kurang jumlahnya, panjang rangkaian bunga jantan, dan panjang tangkai tandan semakin pendek, serta lebar tangkai tandan semakin sempit. Kelapa Dalam Mapanget No.32 (DMT-32) mengalami depresi penangkarandalam yang semakin meningkat pada setiap generasi hasil penyerbukan tertutup, baik dalam jumlah karakter yang diamati maupun persentase depresi penangkarandalam. Sifat komponen buah mengalami depresi penangkarandalam menurun pada populasi DMT-32 generasi ketiga dan kembali meningkat pada generasi keempat, tetapi memiliki kecenderungan yang sama dengan sifat vegetatif
dan generatif
yaitu
semakin banyak karakter yang mengalami depresi penangkarandalam. Pada populasi DMT-32 generasi keempat seluruh komponen buah telah mengalami depresi penangkarandalam seperti berat buah kelapa utuh, berat sabut kelapa, berat air kelapa, berat tempurung kelapa, dan berat daging buah semakin ringan dibandingkan dengan hasil penyerbukan terbuka. Penanda molekular mikrosatelit (SSR) adalah penanda DNA yang tepat untuk menganalisis depresi penangkarandalam, melacak hubungan kekerabatan pohon-pohon kelapa DMT-32 menyerbuk tertutup menggunakan polen campuran. Sifat mikrosatelit yang kodominan memungkinkan membedakan individuindividu homozigot dan heterozigot suatu populasi. Persentase depresi penangkarandalam berdasarkan penanda mikrosatelit memiliki kecenderungan yang sama dengan sifat morfologi yaitu semakin meningkat pada setiap generasi
penyerbukan tertutup. Artinya dengan penyerbukan tertutup yang dilakukan pada tanaman kelapa Dalam Mapanget No.32 telah mengakibatkan beberapa lokus SSR tidak lagi diwariskan secara bebas. Populasi kelapa Dalam Mapanget No.32 (DMT-32) generasi ketiga dan keempat hasil penyerbukan tertutup selama empat generasi, berhasil dilacak tetuanya menggunakan 15 primer mikrosatelit. Setiap individu pohon pada DMT32 generasi kedua (DMT-32 S2) menjadi tetua jantan dan betina dari DMT-32 generasi ketiga (DMT-32 S3), tetapi tidak setiap individu pohon DMT-32 S3 menjadi tetua jantan dan betina dari DMT-32 generasi keempat (DMT-32 S4). Pada DMT-32 S3 ada tiga nomor pohon yang merupakan hasil penyerbukan sendiri. Pohon DMT-32 S3 No.26 merupakan zuriat hasil penyerbukan sendiri DMT-32 S2 No.3, sedangkan DMT-32 S3 No.25 dan No.39 merupakan hasil penyerbukan sendiri DMT-32 S2 No.8. Pada DMT-32 S4 ada lima pohon merupakan hasil zigot dengan polen dari pohon yang sama. DMT-32 S4 No.30 adalah zuriat hasil penyerbukan sendiri DMT-32 S3 No.35, dan pohon-pohon DMT-32 S4 No.8, No.10, dan No.22 merupakan zuriat hasil penyerbukan sendiri DMT-32 S3 No.28, sedangkan DMT-32 S4 No.11 adalah hasil penyerbukan sendiri DMT-32 S3 No.32. Fragmen DNA mikrosatelit primer CNZ21 pada alel CNZ21-270bp dan primer CNZ51 alel CNZ51-110 bp kemungkinan berhubungan dengan sifat berbuah kelapa DMT-32. Jika alel CNZ21- 270bp dan atau alel CNZ51-110 bp tidak ada, maka pohon kelapa ini tidak berbuah sampai dengan umur 11 tahun setelah
tanam.
Dengan
demikian
seleksi
terhadap
pohon-pohon
yang
kemungkinan berbuah sangat lambat dapat dilakukan. Primer-primer SSR yang diuji terbagi ke dalam 15 kelompok. Jika setiap kelompok dianggap sebagai kromosom, artinya hasil pengelompokan 15 lokus SSR yang digunakan diduga tersebar di 15 kromosom berbeda pada tanaman kelapa DMT-32 atau jarak fisik antar primer di dalam satu kromo som cukup jauh sehingga dalam pemetaan terpisah dalam kelompok berbeda.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Akuba RH. 2002. Breeding and Population Genetics Studies on Coconut (Cocos nucifera L) Composite Variety Using Morphological and Microsattelite Markers. Disertasi Doktor. University of Philippines Los Banos. Allard RW. 1960. Principle of Plant Breeding. John Willey & Sons. Inc. New York. hlm. 485 Ashburner GR et al. 2001. Pollination and breeding system of a population of Tall coconut palm Cocos nucifera L (Arecaceae) on Gazelle Peninsula of Papua New Guinea. Pacific Conservation Biology 6:344-351 Awuy E, Tampake H, Mamoto ESA, Sangari TK, Masinambow E. 1999. Kajian heterosis karakter daun kelapa F1 hasil persilangan Genjah x Dalam. Prosiding Simposium Hasil Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain. hlm.78-87. Batugal P. 1998. International collaboration in coconut germplasm conservation and utilization. Dalam Modernisasi Usaha Pertanian Berbasis Kelapa. Puslitbangtri. Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. hlm. 110-117 Boer D. 2007. Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara Berdasarkan Marka Mikrosatelit. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Brown SM, Szewe-McFadden, Kresovich S. 1996. Development and application of Simple Sequence Repeats (SSR) loci for plant genome analysis. In Jauhar, P P (Ed). Methods of genome analysis in plants. CRC Press. New York. hlm.147-159 Burstin J et al. 2001. Microsatellite polymorphism in Pisum sativum. Plant Breeding 120:311-317. Cavalli-Sforza LL, Bodmer WF. 1971. The Genetics of Human Populations. Child R. 1974. Coconuts, 2nd edition, Longmans, Green & Co. London. hlm.355. Cipriani G, Marrazzo MT, Marconi R, Cimato A. 2002. Microsatellite markers isolated in olive (Olea eurpeaea L) are suitable for individual finger printer and reveald polymorphism within ancient cultivars. Theor.Appl.Genet. 104:223-228 [Cirad] Centre for International Cooperation in Agricultural Research for Development. 2002. A Laboratory Manual. Coconut Microsatellite Kit. Training session, april 15-24, Cirad, Montpellier, France
Creste S, Tullman - Neto A, Figuera A. 2001 Detection of single sequence repeat polymorphism in denaturing polyacrylamide sequencing gels by silver staining. Plant Mol Bio Rep 19:299-306 Cronn RC, Small RL, Haselkorn T, Wendel JP. 2002. Rapid diversification of the cotton genus (Gossypium : Malvaceae) revealed by analysis of sixteen nuclear and chloroplast genes. American J. of Botany. 89(4):707-725 Crouch JH, Vuylsteke D, Ortiz R. 1998. Perspectives on the application of biotechnology to assist the genetic enhancement of plantain and banana (musa Spp). EJB Elec J. of Biotech 1(1):1-12 Darjanto SS. 1982. Pengetahuan dasar biologi penyerbukan silang buatan. P.T. Gramedia Jakarta.
bunga
dan
teknik
Davila JA, Loarce Y, Ferrer E. 1999. Molecular characterization and genetic mapping of random amplified microsatellite polymorphism in barley. Theor. Appl.Genet. 100:39-48 Davis TA, Sudasrip, Darwis SN. 1985. Coconut Research Institute, Manado. An overview of the research activities. CRI, Manado. Indonesia Dawson IK, Waugh R, Simons AJ, Powell W. 1997. Simple sequence repeats provide a direct estimate of pollen- mediated gene dispersal in the tropical tree Gliricidia sepium. Molecular Ecology 6:179-183 Dirlewanger et al. 1998. Genetic linkage map of peach (Prunus persica L. Batsch) using morphological and molecular markers. Theor. Appl. Genet. 97:888895 [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan 2006. Data series kelapa Tahun 1970-2009. http://ditjenbun.deptan.go.id/web/imagees/stories/testing/kelapa.pdf. 1 Oktober 2007 Doebley P. 1990. Molecular evidence for gene flow among Zea species. Bioscience 40:443-448 Efstratiadis A. 1980. The structure and evolution of human ß- globin gene family. Cell 21:653-668 Falconer DS & Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Longman Group Ltd. hlm.464 Filho MJB. 1997. Inbreeding and heterosis. The genetics and exploitation of heterosis in crops. An International Symposium. Book of Abstracts. 17-22 August 1997. Mexico City. Mexico.
Flavel RB. 1980. The molecular characterization and organization of plant chromosomal DNA sequences. Ann. Rev. Plant. Physiol. 31:292-300 Foale. 1992. Coconut genetic diversity. Present knowledge and future research needs. In Papers of the IBPGR workshop on Coconut Genetic Resources. 8-10 Oktober 1991, Cipanas, Indonesia. IBPGR Rome. hlm.46-55 Ford-Lloyd BV, Newbury HJ, Jackson MT, Virk PS. 2001. Genetic basis for coadaptive gene complexes in rice (Oryza sativa L.) landraces. Heredity 87: 530-536 Fremond Y, Ziller R, Nuce de Lamothe M de. 1966. The Coconut International Potash Inst. Switzerland. hlm.227
Palm.
Gaitotto FA, Grattapaglia D, Vencovsky R. 2003. Genetic structure, mating system and long-distance gene flow in heart of palm (Euterpe edulis Mart). Jour. of Heredity 94(5):399-406 Gregorius HR, Namkoong G. 1983. Conditions for protected polymorphisms in subdivided plant populations I. Uniform pollen dispersal. Theor.Pop.Biol. 24:252-267 Gupta PK, Balyan HS, Sharma PC, Ramesh B. 1996. Microsatellite in plants: A new class of molecular markers. Current Sci. 70(1):45-54 Hamrick JL, Nason JD. 2000. Gene flow in forest tree. Di dalam Young A, D Boshier and T Boyle. Editor. Forest Conservation Genetics, Principles and Practice. CSIRO Publishing. Australia Harland SC. 1957. The improvement of the coconut palm by breeding and selection. Bulletin 15, Coconut Research Institute, Ceylon Hartl DL. 1988. A Primer of Population Genetics. Second Edition. Washington University. School of Medicine. hlm.49 Henry RJ. 1997. Practical application of plant molecular biology. Chapman & Hall. hlm.258. Herran A et al. 2000. Linkage mapping and QTL analysis in coconut. Theor. Appl. Genet. 101:292-300 Hultquist SJ, Vogel KP, Lee DJ, Arumuganathan K, Kaepler S. 1996. Chloroplast DNA and nuclear DNA content variations among cultivars of Switchgrass, Panicum virgatum L. Crop Sci. 36:1049-1052 Innan H, Terrauchi R, Miyashita NT. 1997. Microsatellite polymorphism in natural population of the wild plant Arabidopsis thaliana. Genetics 146:1441-1452
[IPGRI] The International Board of Plant Genetic Resources Institute. 2003. Descriptores del Ulluco (Ullucus tuberosus). Instituto Internacional de Recursos Fitogeneticos, Roma Italia. Centro Internacional de la Papa, Lima Peru Irish VF. 2000. Variation on the theme: flower development and evolution. Genome Biol. 1(2): 1015.1-1015.4 Johansson M, Ellegren H, Andersson L. 1992. Cloning and characterization of highly polymorphic porcine microsatellites. J. of Heredity 83:196-198 Jones FA, Chen J, Weng GJ, Hubbell SP. 2005. A genetic evaluation of seed dispersal in the neotropical tree Jacaranda copaia (Bignoniaceae). The American Naturalist 166(5):000-000 Karp A, Kresovich S, Bhat KV, Ayad WG, Hodgkin T. 1995. Molecular tools in plant genetic resources conservation: a guide to the technologies. IPGRI. Rome. hlm.46 Kojima T, Nagaoka T, Noda K, Ogihara Y. 1998. Genetic linkage map of ISSR and RAPD markers in Einkorn wheat in relation to that of RFLP markers. Theor. Appl. Genet. 96:37-45 Lande R, Thompson R. 1990. Efficiency of marker-assisted selection in the improvement of quantitative traits. Genetics 124:743-756 Lebrun P, N’Cho YP, Seguin M, Grivet L, Baudouin L. 1998. Genetic diversity in Coconut (Cocos nucifera L) revealed by restriction fragment length polymorphism (RFLP) markers. Euphytica 101:103-108 Lebrun P et al. 2001. Construction of a linkage map of the Rennel Island Tall coconut type (Cocos nucifera L) and QTL analysis for yield characters. Genome 44:962-970 Lee M. 1995. DNA markers 265-344
and plant
breeding programs. Agronomy 55:
Levinson G, Gutman GA. 1987. Slipped-strand mispairing: a major mechanism for DNA sequence evolution. Mol Biol Evol. 4:203-221 Lewontin RC. 1988. On measures of gametic disequilibrium. Genetics 120:840852 Lincoln S, Daly MJ, Lander ES. 1992. Constructing Genetic Linkage Maps with MAPMAKER/EXP 3.0 Ed 3. USA: Whitehead Institute. Research Technical Report.
Liu BH. 1998. Statistical genomics, linkage mapping and QTL analysis. CRC Press. New York. hlm. 45-83 Liyanage DV, Corputy CHP. 1976. Coconut germplasm in Indonesia. Pemberitaan LPTI Bogor 21: 12-30 Machindapala R, Pinto JLJG. 1991. Coconut cultivation. Coconut Research Institute, Bandirippuwa Estate, Lunuwila, Sri Lanka. hlm.156 Mahmud Z, H Novarianto, T Rompas. 1990. Penyebab patah tandan muda kelapa hibrida KHINA dan penanggulangannya. Jurnal Penelitian Kelapa. 4(2):24-26 Mahmud Z. 1993. Highlight hasil penelitian Balai Penelitian Kelapa Pelita V. Buku III. Dalam Prosiding Konperensi Nasional Kelapa III. 20-23 Juli 1993. Yogyakarta. Puslitbangtri. Balitbang Pertanian. hlm.379-428 Marshall TC, Slate J, Kruuk L, Pemberton JM. 1998. Statistical confidence for likelihood-based paternity inference in natural populations. Molecular Ecology 7(5):639-655 Marshall TC. 2001. Cervus 2.0. General release version-24 April 2001. Copyright Tristan Marshall 1998-2001. tristan
[email protected] 4 Mei 2007 McCouch SR, et al. 1988. Molecular mapping of rice chromosomes. Theor Appl. Genet. 76:815-829. Meagher TR. 1986. Analysis of paternity within a natural population of Chamaelirium luteum I. Identification of most- likely male parents. The American Naturalist 128(2):199-215 Menon KPV, Pandalai KM. 1960. The Coconut Palm A Monograph. Indian Central Coconut Committee, Ernakulam-S. India. hlm.385 Merriam-Webster. 1991. Webster’s ninth new collegiate dictionary. MerriamWebster Inc, publisher, Sprinfield, Massachusetts, USA Meunier J, Sangare A, Le Saint JP, Bonnot F. 1984. Genetic analysis of yield characters in some hybrids of coconut (Cocos nucifera Linn). Oleagineux 39(12):581-586 Miftahorrachman, Tampake H, Rompas T. 1992. Analisis sidik lintas (Path analysis) karakter vegetatif dan generatif pada kelapa Dalam Palu. Bul. Balitka No.16. Januari 1992 Moore et al. 1992. Bovine and povine DNA microsatellites from the EMBL and Genebank databases. Anim Genet. 23:463-467
Moran C. 1993. Microsatellite repeat in pig (Sus domestica) and chicken (Gallus domesticus) genomes. J. Hered.85:274-280 Morgante M, Olivieri AM. 1993. PCR-amplified microsatellite as markers in plant genetics. The Plant J. 3(1):175-182 Muladno. 2006. Aplikasi Teknologi Molekuler dalam Upaya Peningkatan Produktivitas Hewan. Pelatihan Teknik Diasnogtik molekuler untuk Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan di Kawasan Timur Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas, Bogor. Mullis KB, Faloona FA. 1987. Specific synthesis of DNA in vitro by Polymerase catalysed chain reaction. Methods in Enzymology 155:335-350 Nagy ES. 1997. Frequency - dependent seed production and hybridization rates: Implications for gene flow between locally adapted plant populations. Evolution 51(3): 703-714 Nambiar MC, Nambiar KPP. 1970. Genetic analysis of yield attributes in Cocos nucifera Linn. Var. West Coast tall. Euphytica 19:543-551 Narvel J M, Fehr W R, Chu W C, Grant D, and Shoemaker R C. 2000. Simple sequence repeat diversity among soybean plant introduction and alite genotipe. Crop Sci. 40:1452-1458 Naylor CH, Clark EM. 1990. d(TG)n-d(CA)n sequences upstream of the rat prolactin gene from Z-DNA and inhibit gene transcription. Nucleic Acid Res. 18:1595-1601 Neff BD, Repka J, Gross MR. 2000. Parentage analysis with incomplete sampling of candidate parents and offspring. Molecular Ecology 9:515-528 Novarianto H, Miftahorrachman, dan Luntungan H T. 1989. Efek silang dalam terhadap beberapa karakter kelapa Dalam Mapanget. Pemberitaan Pen. Tan. Industri XIV (4):147-150 Novarianto, H. 1996. Varietas kelapa yang diinginkan petani, konservasi serta strategi pemuliaan kelapa. Laporan Bulanan Puslitbangtri. Bogor Novarianto H, Kumaunang J, Maskromo I. 1999. Keragaman morfologi plasma nutfah kelapa. Bul. Palma 25: 31-38 Novarianto H, Miftahorrachman. 2000. Koleksi dan konservasi jenis-jenis kelapa unik.Makalah poster dalam Simposium Pengelolaan Plasma nutfah dan Pemuliaan. Bogor 22-23 September. Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia
Ott J. 1992. Strategies for characterizing highly polymorphic markers in human gene mapping. Amer. J. Hum. Genet. 51:283-290 Panda S, Martin JP, Agunagalole I. 2003. Chloroplast and nuclear DNA studies in a few members of the Brassica oleraceae L group using PCR-RFLP and ISSR-PCR markers: a population genetic analysis. Theor. Appl. Genet. 106:1122-1128 Patel JS. 1938. The Coconut A monograph. Madras Government. Publ. hlm.313 Pemberton et al. 1992. Behavioral estimates of male mating success tested by DNA fingerprinting in a polygynous mammal. Behavioral Ecology 3(1):66-75 Perera L et al. 1998. Evaluating genetic relationship between indigenous coconut (Cocos nucifera L) accession from Sri Lanka by means of AFLP profiling. Theor. Appl. Genet. 96:545-550 Perera L, Russell JR, Provan J, Powell W. 2000. Use of microsatellite DNA markers to investigate the level of genetic diversity and population genetic structure of coconut (Cocos nucifera L). Genome 43:15-21 Pillen K A, et al. 2000 Mapping new EMBL-derived barley microsatellites and their use in differentiating German barley cultivars. Theor. and Appl. Genetics 101: 652-660 Polnaja C M & Ilat A. 1999. Berat buah sebagai kriteria seleksi benih kelapa Dalam Mapanget. Bul. Palma No.25:39-45 Powell W, et al. 1996. The comparison of RFLP, RAPD, AFLP and SSR (microsatellite) markers for germplasm analysis. Molecular Breeding 2:225-238. Preston LR, Harker N, Holton T, Morell MK. 1999. Plant cultivar identification using DNA analysis. Plant Varieties and Seed 12:191-205 Prihartini I, Taryono, Rimbawanto A. 2006. Penggunaan Penanda Mikrosatelit untuk analisis induk Acacia mangium Willd. Jur. Pen. Hutan Tanaman 3(2):139-148 Reyne A. 1948. Kelapa. Diterjemahkan oleh Semangun H & Lahiya AA. Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP). Yogyakarta. Ritland K. 1990. Inferences about inbreeding depression based on changes of the inbreeding coefficient. Evolution 44(5):1230-1241
Ritland K. 1996. Inferring the genetics basis of inbreeding depression in plants. Genome 39:1-8 Ritter et al . 2000. Analysis of quantitative trait loci (QTL) based on linkage maps in coconut (Cocos nucifera L). In Plant genetic engineering towards thierd millennium. Ed.by A.Arencibia. Elsevier Science BV, Amsterdam, The Netherlands.hlm.42-48 Rivera R, et al. 1999. Isolation and characterization of polymorphic microsatellites in Cocos nucifera L. Genome 42:668-675 Rohde W, Kullaya A, Rodriguez J, Ritter E. 1995. Genome analysis of Cocos nucifera L by PCR amplification of spacer sequences separating a subset of copia-like EcoR1 repetitive elements. J. Genet. And Breed. 49:170186. Rompas T, Luntungan HT, Novarianto H. 1988. Metode pemuliaan kelapa. Di Dalam Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Buku II. Kelapa I. Puslitbangtri. Bogor. hlm. 27-39 Rompas T, Novarianto H, Tampake H. 1989. Pengujian nomor-nomor terpilih Kelapa Dalam Mapanget di Kebun Percobaan Kima Atas. J. Pen. Kelapa 4(2):32-34 Rompas T. 1993. Beberapa kultivar kelapa ya ng potensial dikembangkan dan program hibridisasi. P. 567-576 di dalam Prosiding Konperensi Nasional Kelapa III 20-23 Juli 1993. Yogyakarta. Balitbang Pertanian. Puslitbangtri. Buku III Rotwein P, Pollock KM , Didier DK, Krivi GG. 1986. Organization and sequence of the human insulin- like growth factor I gene. Altenative RNA processing produces two insulin- like growth factor I precursor peptides. J. Biol. Chem. 261(11):4828-4832 Saghai-Maroof MA et al. 1994. Extraordinarily polymorphic microsatellite DNA in barley. Species diversity, chromosomal location and population dynamics. Proc.Nat.Acad.Sci. USA 91:5466-5470 Saliba-Colombani V, Causse M, Gervais L, philouze J. 2000. Efficiency of RFLP, RAPD, and AFLP markers for the construction of an intra specific map of the tomato genome. Genome 43:29-40 Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory, CSH, New York
Sangare A, Rognon F, de Nuce de Lamothe M. 1978. Male and female phases in the inflorescence of the coconut. Oleagineux 30(12):609-617. Santos GA. 1983. Coconut varieties and cultivars. In State of The Art Coconut. Crops Res. Div. Phillipine Coconut Authority Agriculture Research (PCAAR), Los Banos. hlm.47-67 Santos GA et al. 1996. Manual on Standardized Research Techniques in Coconut Breeding. COGENT, IPGRI. Servedio MR & Kirkpatrick M. 1997. The effect of gene flow on reinforcement. Evolution 51(6): 1764-1772. Shimatsu A, Rotwein P. 1987. Sequence of two rat insulin- like growth factor I mRNAs differing within the 5’ untranslated region. J. Biol. Chem. 262:7894-7900 Smouse P. 1986. The fitness consequences of multiple- locus heterozigosisy under the multiplicative overdominance and inbreeding depression models. Evolution 40(5):946-957 Stebbins GL. 1958. The inviability weakness and sterility of interspesific hybrids. Advance Genetic 9:147-771. Szewe-McFadden AK et al. 1996. Identification of polymorphic conserved simple sequences repeats (SSRs) in cultivar Brassica species. Theor.Appl.Genet. 93:534-538 Tampake H. 1987. Keragaman genetik dan fenotip pada tanaman kelapa Dalam Kima Atas. J.Pen. Kelapa 2(1) : 10 – 13. Teulat B et al. 2000. An analysis of genetic diversity in coconut (Cocos nucifera) population fromacross the geographic range using sequence- tagged microsatellite (SSRs) and AFLPs. Theor.Appl.Genet. 100:764-771 Thampan PK. 1981. Handbook on Coconut Palm. Oxford and IBH Publishing Co. New Delhi. Bombay, Calcuta. hlm.65 Vavilov N I. 1949. The Origin, Immunity and Breeding of Cultivated Plants. Chronica Botanica, Vol 13. The Chronica Botanica Co. Waltham, Mass, USA. hlm.364 Viard F, Kassabi YAE, Ritland K. 2001. Diversity and genetic structure in populations of Pseudotsuga menziesii (Pinaceae) at chloroplast microsatellite loci. Genome 44:336-344
Vicente MC de, Gusman FA, Engels J & Rao VR. 2005. Genetic characterization and its use in decision making for the conservation of crop germplasm. The Role of Biotechnology. Villa Gualino, Turin, Italy. 5-7 March 2005. hlm.121-128 Virk PBV, Ford-Lloyd M T, Jackson H, J Newbury. 1996. Predicting quantitative variation within rice germplasm using molecular markers. Heredity 76: 296-304 Walbot V, Goldberg R. 1979. Plant genome organization and its relationship to classical plant genetics. In TC Hall and J W Davies (eds). Nucleic Acids in Plants. CRC Press, Boca Raton, Florida. hlm.3-40. Wardiana E. 1996. Depresi silang dalam beberapa karakter pada sepuluh nomor famili kelapa Dalam Bali. Zuriat 7 (2):64-67 Weber JL, May PE. 1998. Abundant class of DNA polymorphisms which can be typed using the polymorphism chain reaction. American J. Hum. Genet. 44:388-396 Weising K, Nybom H, Wolff K, Meyer W. 1995. DNA Finger Printing in Plants and Fungi. CRC Press, Boca Raton, Florida. hlm.322 Whiple CJ et al. 2004. Conservation of B-class floral hpmeotic gene function between mize and Arabidopsis. Development 131:6083-6091 Williams RR. 1970. Factors affecting pollination in fruit trees, Physiology of tree crops, Academic Press London-New York, hlm.193-207. Yeah
FC, Yang RC & Boyle T. 2001. http//www.ualberta.ca/-fyeah/index.htm
POPGENE
ver.
1.32.
Zahn et al. 2005. To B or not to B a flower: The role of Deficiens and Globosa orthologs in the evolution of the angiosperms. J. Hered. 96(3):225-240 Zeng Z-B. 1994. Precision mapping of quantitative trait loci. Genetics 136:14571468 Zucchi MI et al. 2003. Genetic structure and gene flow in Eugenia dysenterica DC in the Brazilian Cerrado utilizing SSR markers. Genetics and Molecular Biology 26(4):449-457