i
ANALISIS KARAKTERISTIK ANGIN WILAYAH PANTAI MENGGUNAKAN MODEL METEOROLOGI SKALA MESO (MM5) SEBAGAI DASAR PENDUGAAN POTENSI PENYEBARAN PENCEMAR UDARA (STUDI KASUS: DKI JAKARTA)
DEWY SURYANI ULLVA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ii
ABSTRACT DEWY SURYANI ULLVA. Analysis of Wind Characteristics in Coastal Area Using Mesoscale Model Meteorology (MM5) for Prediction of Air Pollution Dispersion. Supervised by ANA TURYANTI and MAHALLY KUDSY. DKI Jakarta is faced with the problem of air pollution. The location of Jakarta, in the bayshaped beach, makes the formation of daily wind circulation. It makes the air pollution dispersion caused by daily circulation need to be assessed. The purposes of this study are to determine the wind patterns of the study area and to analyse the estimation pollution dispersion. Wind patterns are obtained by using Mesoscale Model Version 5 (MM5) then be analyzed visually. The study area is divided into mother domain and sub-domain. The modelling results of dominant wind in the both domains are generally the easterly. The wind patterns twist around the bay when the onset of sea-land breeze (at 10.00 and 04.00). Sea breeze can penetrate about 40 km inland and land breeze can penetrate about 16.65 km to the sea. When the land breeze occurs, contaminants moving toward the sea, but the twisting wind makes the pollutant only twist around the bay. While sea breezes occur, pollutants will be heading to west Jakarta. At the day, pollutants will be mixing with low concentration compared to the night and early morning. Keywords: air pollution, coastal area, DKI Jakarta, MM5, sea-land breeze.
iii
RINGKASAN DEWY SURYANI ULLVA. Analisis Karakteristik Angin Wilayah Pantai Menggunakan Model Meteorologi Skala Meso (MM5) Sebagai Dasar Pendugaan Potensi Penyebaran Pencemar Udara (Studi Kasus: DKI Jakarta). Dibimbing oleh ANA TURYANTI dan MAHALLY KUDSY. DKI Jakarta dihadapkan pada berbagai masalah lingkungan. Salah satu masalah yang cukup sulit untuk diatasi adalah pencemaran udara. Wilayah Jakarta terletak di tepi pantai, sehingga potensi penyebaran pencemar oleh sirkulasi angin harian perlu dikaji. Penggunaan pemodelan untuk mengetahui pola angin dalam memperkirakan arah distribusi pencemar diperlukan untuk analisis potensi distribusi zat pencemar dalam rangka pengendalian pencemaran udara. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik dan pola angin wilayah pantai Jakarta dan menganalisis potensi arah penyebaran pencemar. Pola angin didapatkan dengan perangkat lunak Mesoscale Model Version 5 (MM5) yang Model ini merupakan model yang di desain untuk mensimulasikan atau memprediksi sirkulasi atmosfer skala meso. Program ini terdiri atas pre-processing dan post-proccesing program. Selanjutnya pola angin dalam MM5 akan dibandingkan dengan windrose. Analisa keluaran MM5 dilakukan dengan Perangkat lunak GrADS kemudian di analisis secara visual. Hasil dari analisis tersebut digunakan untuk meduga potensi sebaran pencemar di wilayah kajian. Kajian wilayah yang terbagi dalam domain satu dan domain dua. Hasil pemodelan pada domain satu pada tanggal 20-26 Januari 2009 umumnya bertiup angin timuran dan baratan. Angin timuran umumnya terbentuk pada pukul 16.00 hingga 01.00 pada wilayah yang dekat daratan. Arah angin dipengaruhi posisi semu matahari pada bulan Januari di belahan bumi selatan (BBS) sehingga angin bergerak ke daerah yang mendapatkan pemanasan matahari yang lebih tinggi. Pola aliran angin ini tidak selalu sama dan dapat berubah secara signifikan karena pengaruh sirkulasi lokal. Wilayah domain dua menggambarkan pola angin yang meliputi wilayah Jakarta dan sekitarnya. Angin yang terbentuk pada domain dua lebih bervariasi dibanding pada domain satu. Hal ini dapat dijelaskan karena topografi di daratan tidak seragam. Arah angin dominan di daratan bergerak ke arah barat laut. Saat matahari muncul dan intensitasnya semakin kuat terutama mulai pukul 13.00 WIB arah angin memiliki tendensi ke arah barat-barat daya (Angin timuran). Pola angin baratan bertiup sekitar pukul 07.00 -10.00. Pantai berbentuk teluk ikut andil dalam pembentukkan sirkulasi angin yang sangat khas. DKI Jakarta mempunyai garis pantai berbentuk teluk menyebabkan sirkulasi angin pada daerah ini dipengaruhi oleh angin laut dan darat, selain itu timbul pola angin memutar yang timbula saat pergantian angin laut dan angi darat (pukul 10.00 dan pukul 04.00). Sirkulasi angin di atas kota Jakarta juga dipengaruhi oleh angin skala sinoptik, Arah angin terbanyak adalah angin timur sebesar 50 % angin lainnya berasal dari tengggara 30%, timur laut sebesar 15%, barat 9% . Persentase kecepatan angin terbesar adalah angin dengan kecepatan 3.6 m/s -8.8 m/s. Arah Hasil windrose sesuai dengan arah angin yang didapatkan dari MM5 bahwa angin timur berhembus pada siang hingga dini hari, sementra angin barat dominan bertiup pada pagi hari. Arah angin bergantung dari tekanan udara dan keadaan lokal topografi. Arah angin dan variasinya berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas udara. Saat pagi hari angin dominan adalah angin barat, sehingga pencemar akan bergerak ke timur Jakarta dan tersebar secara horizontal. Malam hari pola angin dominan yang terbentuk pada malam – dini hari kecepatan angin yang masuk ke darat cenderung lemah yaitu 2.5 m/s hingga 5 m/s. Angin darat akan membawa pencemar bergerak ke arah laut, namun adanya pola memutar mengakibatkan pencemar hanya berputar di sekitar teluk saja. Sementara pada siang-sore hari angin timur mendominasi, penyebaran pencemar akan menuju ke barat Jakarta. Pencemar pada siang hari akan terbawa menjauhi sumbernya dalam waktu yang lebih singkat dengan konsentrasi rendah karena mengalami pencampuran secara vertikal. Kata kunci: Angin laut-darat, DKI Jakarta, MM5, pencemaran udara, wilayah pantai.
iv
ANALISIS KARAKTERISTIK ANGIN WILAYAH PANTAI MENGGUNAKAN MODEL METEOROLOGI SKALA MESO (MM5) SEBAGAI DASAR PENDUGAAN POTENSI PENYEBARAN PENCEMAR UDARA (STUDI KASUS: DKI JAKARTA)
DEWY SURYANI ULLVA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
v
Judul skripsi :
Nama NIP
: :
Analisis Karakteristik Angin Wilayah Pantai Menggunakan Model Meteorologi Skala Meso (MM5) sebagai Dasar Pendugaan Potensi Penyebaran Pencemar (Studi Kasus: DKI Jakarta). Dewy Suryani Ullva G24050771
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Ana Turyanti, S.Si MT) NIP: 19710707 199803 2 002
(Dr. Ir. Mahally Kudsy, M.Sc) NIP: 19560424 198201 1001
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S) NIP: 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karuniaNya untuk menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Analisis Karakteristik Angin Wilayah Pantai Menggunakan Model Meteorologi Skala Meso (MM5) sebagai Dasar Pendugaan Potensi Penyebaran Pencemar Udara (Studi Kasus: DKI Jakarta)” dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan di program studi mayor Meteorologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Ibu Ana Turyanti, S.Si M.T selaku dosen pembimbing I dan bapak Dr. Ir. Mahally Kudsy, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, saran, dan kritik, serta semangat kepada penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Mas Ridwan dan seluruh staf UPT Hujan Buatan BPP Teknologi atas bantuan yang diberikan, serta untuk seluruh staf pengajar dan administrasi departemen Geofisika dan Meteorologi terutama untuk bapak Imam Santosa (Alm) atas segala canda dan nasehat yang diberikan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ayah, Ibu dan keluarga atas segala doa, kekuatan dan semangat serta bantuan moral, materi, psikologis; juga kepada Samba Wirahma untuk semua bantuan dan dukungannya. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Lisa Evana, Franz Sahidi atas segala kebersamaan dan juga rekan seperjuangan GFM 42 yang tak terlupakan dan selalu di hati: Hengky, Tigin, Cici, Ningrum, Tigin, Veza, Nancy, Wita, Epi, Anton, Apit, Dani, Singgih, Arie, Wahyu, Rifa, Ivan, Hardi, Heri, Yudi, Dori, Gito, Nizar, Aan, Tumpal, Indah, gito, Irvan, Devita, Indra, Ivan, Anis; juga untuk Fenaria H, Steven S, Yanni Trimur CT, Inda RP, Fitriawati, Ika, Kriston, Mei Yu, Novi, Lenny, Gebol, Kodel, Nanda, Icha, GFM 40, GFM 41, GFM 43 terima kasih atas semangat dan dukungannya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Jakarta, Januari 2010
Dewy Suryani Ullva
vii
RIWAYAT HIDUP Dewy Suryani Ullva lahir di Jakarta pada tanggal 30 Juli 1987, dari pasangan Drs. H Nasrul Azis MM dan ibu Dra Supriyani. Penulis merupakan anak ke-2 dari tiga bersaudara bernama Nouverta Pruliyan (Alm), Nugroho Adi Pruliyan dan Dina Ayu Larasati. Penulis lulus SD Kartika XI-I kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Tarakanita I. Penulis menyelesaikan sekolah menegah atas di SMA Tarakanita I pada tahun 2005 dan tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur IPB.
Tahun pertama penulis menjalani
program Tingkat persiapan Bersama (TPB) kelas A15. Tahun kedua, penulis diterima pada pilihan ke 21 di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Program Studi Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama menjalani perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Meteorologi pada tahun ajaran 2006/2007. Penulis aktif mengikuti berbagai organisasi selama berkuliah di IPB, antara lain: UKM Jurnalistik Gema Almamater ( 2005-2007), Himpunan Keprofesian atau Organisasi Kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) sebagai anggota pada dan Departemen Keilmuan dan Profesi (2006-2007), Departemen Kegiatan Ketatalaksanaan Khusus (2007-2008), dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FMIPA (20062007), sebagai sekretaris divisi Informasi dan komunikasi. Penulis juga melakukan kegiatan praktek lapang selama Juli-Agustus 2009 di bagian Inventarisasi Sumber Daya Alam (TISDA), BPP Teknologi Jakarta.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................. x DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................xi I PENDAHULUAN................................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1 1.2 Tujuan ........................................................................................................................ 1 II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................... 1 2.1 Pencemaran Udara ..................................................................................................... 1 2.1.1 Definisi dan Sumber Pencemar Udara ................................................................ 1 2.1.2 Jenis Pencemar Udara ....................................................................................... 2 2.1.3 Karbon Monoksida (CO) .................................................................................... 2 2.2 Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Pencemar ..................................................... 3 2.2.1 Radiasi Matahari ................................................................................................ 3 2.2.2 Stabilitas Atmosfer ............................................................................................. 3 2.2.3 Angin ................................................................................................................. 4 2.2.4 Hujan ................................................................................................................. 6 2.3 Pemodelan Penyebaran Pencemar Udara ..................................................................... 6 2.3.1 Deskripsi MM5 .................................................................................................. 7 2.3.2 Tahapan MM5.................................................................................................... 7 2.4
Kondisi Wilayah Kajian ........................................................................................... 8 2.4.1 Letak Geografis dan Topografi ........................................................................... 8 2.4.2 Kondisi Klimatologi ........................................................................................... 8 2.4.3 Kondisi Udara Jakarta ........................................................................................ 8
III METODOLOGI ................................................................................................................... 9 3.1 Waktu dan Tempat ...................................................................................................... 9 3.2 Alat dan Data .............................................................................................................. 9 3.3 Metode Penelitian ....................................................................................................... 9 IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................... 10 4.1 Analisis Domain dan Topografi Domain ................................................................... 10 4.2 Analisa Pola Angin Permukaan ................................................................................. 11 4.2.1 Pola Angin Permukaan pada Domain 1 ............................................................ 11 4.2.2 Pola Angin pada Domain 2 ............................................................................... 14 4.3 Perbandingan arah angin dominan hasil MM5 dengan Windrose ............................... 17 4.4 Potensi Penyebaran Pencemar ................................................................................... 17 V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 20 5.1 Kesimpulan............................................................................................................... 20 5.2 Saran ........................................................................................................................ 20
ix
VI DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 20 LAMPIRAN ............................................................................................................................. 22
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Pengaruh stabilitas atmosfer terhadap penyebaran pencemaran udara (Sumber Oke 1978) ..... 4 2 Ilustrasi angin laut dan darat .................................................................................................. 5 3 Modifikasi Convective internal boundary layer sepanjang pantai akibat aliran udara dingin dari laut (Hsu 1988) .............................................................................................................. 6 4 Modifikasi Convective internal boundary layer sepanjang pantai yang hangat akibat aliran udara dingin dari laut (Hsu 1988) .......................................................................................... 6 5 Domain satu dan domain dua ............................................................................................... 10 6 Peta kontur domain satu. ...................................................................................................... 11 7 Peta kontur domain dua ....................................................................................................... 11 8 Angin 850 mb dan 1000 mb pada pukul 10.00 ..................................................................... 12 9 Pola angin permukaan domain satu pukul 07.00 - 19.00....................................................... 12 10 Pola angin permukaan domain satu pada pukul 22.00 – 04.00.............................................. 13 11 Pola angin permukaan domain dua pada pukul 07.00-04.00. ............................................... 16 12 Windrose bulan Januari 2009. .............................................................................................. 17 13 Pola penyebaran pencemar pukul 06.00-09.00 (Septiyanzar 2008). ...................................... 18 14 Pola penyebaran pencemar pukul 21.00-03.00 (Septiyanzar 2008). ...................................... 19 15 Pola penyebaran pencemar pukul 12.00-15.00 (Septiyanzar 2008). ...................................... 19
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Cakupan Wilayah Domain Dua ..................................................................................... 24 2 Diagram Alir Penelitian . ...................................................................................................... 25 3 Pola Angin Permukaan Domain 1 Pada Tanggal 20 - 26 Januari 2009 ................................. 31 4 Pola Angin Permukaan Domain 2 Pada Tanggal 20 - 26 Januari 2009 ................................. 37
1
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang DKI Jakarta merupakan kota metropolitan yang padat permukiman. Jumlah penduduk Propinsi DKI Jakarta berdasarkan data BPS tahun 2005 sebesar delapan juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1.26 % /tahun maka tingkat kepadatannya 13.000 jiwa/ km2 lahan (Pemda DKI Jakarta 2007). Sejalan dengan hal tersebut, baik sektor industri dan transportasi juga berkembang pesat. Tahun 1998-2002 terdapat peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang cukup signifikan sebesar 6,10% (BPS 2002) dan kenaikan sektor industri tercatat pada tahun 2006 sebesar 51.15%. Kondisi ini membuat Jakarta dihadapkan pada berbagai masalah lingkungan. Salah satu masalah yang cukup sulit untuk diatasi adalah pencemaran udara yang timbul akibat peningkatan emisi yang dihasilkan dari sektor industri dan transportasi. Tingkat pencemaran di Jakarta dan sekitarnya sudah amat tinggi. Saat yang bersamaan sembilan juta kendaraan mengeluarkan asap pembuangan, warga dipaksa menghirup karbon monoksida dan partikel racun lainnya. Pencemaran udara menimbulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia menemukan dampak ekonomi akibat pencemaran udara di Jakarta Rp 1,8 triliun (Kompas 2009). Keberadaan pencemar selain dipengaruhi oleh sumber juga dipengaruhi oleh proses transformasi secara kimiawi transportasinya (Oke 1978). Proses transportasi pencemar yang dikeluarkan oleh berbagai aktivitas industri dan transportasi terkait erat dengan keadaan atmosfer di suatu wilayah. Faktor meteorologi yang sangat berperan dalam penyebaran pencemar adalah angin, terutama angin pada lapisan dekat permukaan tanah (Huda 1996). Berdasarkan letak geografisnya Jakarta memiliki topografi relatif datar, terletak di pesisir utara pulau Jawa tepatnya di muara sungai Ciliwung dan teluk Jakarta (BKPM 2009). Perbedaan struktur permukaan dan pantai Jakarta yang membentuk teluk menyebabkan terbentuknya sirkulasi harian di wilayah Jakarta. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kapasitas panas antara daratan dan lautan. Daratan lebih cepat menyerap dan melepas panas, sementara lautan memiliki kapasitas penyimpanan panas lebih besar, sehingga peningkatan dan perubahan suhu
pada siang atau malam hari lebih lambat dari daratan. Akibat dari karakteristik fisik yang berbeda inilah sirkulasi udara di Jakarta dipengaruhi oleh angin laut dan angin darat. Penggunaan pemodelan untuk mengetahui pola angin dalam memperkirakan arah distribusi pencemar sangat diperlukan, mengingat pengamatan pencemar membutuhkan biaya dan waktu yang banyak. Salah satu model yang dapat digunakan adalah Mesoscale Model Version 5 (MM5) yang dikembangkan oleh Penn State University dan NCAR (National Centre for Atmospheric Research). Model ini merupakan model non – hidrostatik area terbatas dengan koordinat sigma mengikuti topografi yang di desain untuk mensimulasikan atau memprediksi sirkulasi atmosfer skala meso. Melalui analisis pola angin permukaan di wilayah pantai Jakarta, diharapkan dapat diketahui karakteristik sirkulasi udara harian di wilayah ini. Analisis angin sangat penting karena dapat digunakan untuk analisis dampak lingkungan khususnya mengantisipasi dan mengendalikan masalah pencemaran udara. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis karakteristik dan pola angin wilayah pantai Jakarta 2. Menganalisis potensi arah penyebaran pencemar.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara 2.1.1 Definisi dan Sumber Pencemar Udara Definisi pencemar dapat berbeda-beda antara yang satu dan lainnya meskipun memiliki makna yang sama. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia. Hal ini menyebabkan mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Secara umum, pencemaran udara dapat dimaksudkan dengan hadirnya suatu zat pencemar dengan konsentrasi tertentu pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik
2
Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya. Definisi pencemar menurut Krupa (2004) adalah “a chemical constituent added to the atmosphere through human activities resulting in the elevation of its concentration above a background”dapat diartikan sebagai unsur kimia yang masuk ke atmosfer melalui hasil aktifitas manusia yang kadarnya melewati kondisi background. Selanjutnya menurut Ahrens (2007), pencemar adalah zat di udara, baik berupa solid, liquid atau gas yang terdapat dalam konsentrasi tinggi yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia, hewan berbahaya bagi vegetasi ataupun bersifat toksik bagi lingkungan. Sumber pencemar adalah setiap usaha atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (PP No. 41 Tahun 1999). Sumber pencemar menurut Liu dan Liptak (2000) dapat dibagi menjadi beberapa sumber, yaitu: a. Sumber Titik, termasuk dalam kelompok ini adalah titik cerobong asap industri. b. Sumber Garis, merupakan integrasi dari sumber-sumber titik yang tak terhingga banyaknya, sehingga dapat dianggap sumber garis yang seluruhnya memancarkan pencemar. c. Sumber Area, sebenarnya merupakan integrasi dari sumber titik dan garis. 2.1.2 Jenis Pencemar Udara Karbon Monoksida (CO) Asap kendaraan merupakan sumber utama bagi karbon monoksida di berbagai perkotaan. Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan karbon dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna (Saeni 1989; Sudrajad 2005). Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa, dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Tidak seperti senyawa CO mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu hemoglobin (Godish 2004). Gas CO mempunyai kemampuan berikatan dengan hemoglobin menghasilkan karboksihemoglobin. Secara langsung kompetisi ini akan menyebabkan pasokan O2 yang diangkut oleh darah menurun. Tingkat kandungan COHb dalam darah naik dengan
kenaikkan CO (Saeni 1989).
atmosfer dan aktivitas fisik
Nitrogen Oksida (NOx) Terdapat tiga macam oksida nitrogen yang penting di atmosfer yaitu nitrous oksida (N2O), nitrik oksida (NO), dan nitrogen dioksida (N2O). Nitrik oksida dan nitrogen dioksida disebut NOx (Saeni 1989). Nitrogen oksida tidak berwarna, terasa manis, dan tidak berbahaya. Senyawa ini biasa digunakan untuk membius pada bidang kedokteran dan kedokteran gigi. Sementara Nitrogen oksida (NO2 ) berwarna merah abuabu. Sebagian besar NOx bersumber dari proses antropogenik yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil, baik dari sumber diam maupun bergerak (Saeni 1989; Godish 2004). Rata-rata konsentrasi NOx berkisar antara 0.02- 0.04 ppb di hutan tropis. Konsentrasinya akan meningkat pada suhu yang tinggi (Saeni 1989; Godish 2004). NOx bersama dengan SOx merupakan zat pembentuk deposisi asam. Ahrens (2007) mengemukakan bahwa kontrol terhadap deposisi asam merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Hal ini disebabkan oleh zat pencemar pembentuk hujan asam dapat berasal dari suatu daerah yang jauh. Meskipun teknologi dapat mengontrol emisi SO2 dan NOx yang keluar dari cerobong, namun biaya yang dikeluarkan amat tinggi. Sulfur Oksida (SOx) Sulfur dioksida (SO2) memiliki sifat tidak berwarna, berbau belerang sehingga dapat dideteksi keberadaannya pada kadar 0.38 1.15 ppm. Senyawa ini bersifat korosif dan diemisikan oleh letusan gunung berapi dan aktivitas manusia. Sebagian besar pencemaran udara oleh gas belerang oksida berasal dari pembakaran bahan bakar fosil terutama batu bara. Udara yang telah tercemar SOx menyebabkan manusia mengalami gangguan sistem pernafasan. Hal ini terjadi karena gas SOx yang mudah bereaksi menjadi asam akan menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan, dan paru-paru (Tarbuck 2004; Cahyono 2008) . Senyawa ini terbentuk dari oksidasi alami yang mereduksi sulfur. Oksida sulfur terdapat dalam bentuk SO3 dan SO2 yang berasal dari pembakaran bahan bakar dan biomassa (Cahyono 2008). Hidrokarbon Bensin adalah senyawa hidrokarbon, jadi setiap hidrokarbon yang didapat di gas buang kendaraan menunjukkan adanya bensin yang
3
tidak terbakar dan terbuang bersama sisa pembakaran. Walaupun rasio perbandingan antara udara dan bensin sudah tepat dan didukung oleh desain ruang bakar mesin saat ini yang sudah mendekati ideal, tetapi tetap saja sebagian dari bensin seolah-olah tidak tampak dari api saat terjadi proses pembakaran dan menyebabkan emisi hidrokarbon pada ujung knalpot cukup tinggi. Untuk mobil yang tidak dilengkapi dengan Catalytic Converter (CC), emisi hidrokarbon yang dapat ditolerir adalah 500 ppm dan untuk mobil yang dilengkapi dengan CC, emisi hidrokarbon yang dapat ditolerir adalah 50 ppm (Faisal 2009). 2.2
Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Pencemar Atmosfer selalu dalam keadaan bergerak. Gerak atmosfer ada dua jenis, yaitu gerak nisbi terhadap permukaan bumi yang dinamakan angin dan gerak bersama-sama dengan bumi yang berotasi pada sumbunya. Jenis gerak terakhir ini berpengaruh terhadap arah angin nisbi terhadap permukaan bumi. Gerak atmosfer baik yang horizontal maupun vertikal disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan radiasi bersih, topografi dan distribusi oleh permukaan laut dan daratan (Prawirowardoyo 1996). Gerak atmosfer merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pencemar saat mengalami penyebaran, pengenceran, dan perpindahan. Seperti yang dikemukakan oleh Schenelle dan Dey (2000), bahwa radiasi matahari dan efeknya terhadap permukaan, rotasi bumi, dan topografi wilayah kajian itu sendiri sangat mempengaruhi penyebaran pencemar. Beberapa faktor meteorologi membentuk karakter meteorologi yang khas di suatu wilayah. Adapun faktor yang membentuk karakter meteorologi yang mempengaruhi penyebaran pencemar adalah radiasi surya, hujan, angin, stabilitas meteorologi, inversi, lapisan pencampuran (Suharsono 1985). 2.2.1 Radiasi Matahari Radiasi matahari merupakan sumber energi utama di atmosfer dan berperan sebagai energi penggerak utama serta pengendali cuaca di atmosfer. Selain itu baik, secara tak langsung maupun langsung dapat mempengaruhi pencemaran udara. Pengaruh secara tak langsung disebabkan oleh perbedaan penerimaan radiasi matahari menimbulkan perbedaan pemanasan permukaan, sehingga terbentuklah angin dan turbulensi. Kondisi ini mempengaruhi
terjadinya inversi dan stabilitas udara. Sementara pengaruh radiasi secara langsung mempengaruhi pencemaran udara karena mempengaruhi proses kimia di atmosfer. 2.2.2 Stabilitas Atmosfer dan Inversi Stabilitas atmosfer mempengaruhi berbagai proses dan fenomena cuaca, dan merupakan faktor penting dalam menentukan distribusi vertikal dari variabel meteorologi. Penyebaran vertikal dan percampuran dalam atmosfer dikontrol oleh kondisi stabilitas atmosfer (Suharsono 1985; Prawirowardoyo 1996). Secara umum kondisi stabilitas atmosfer terbagi menjadi tidak stabil, stabil, dan netral. Adapun penjelasannya sebagai berikut: a. Tidak stabil, jika paket udara lebih lebih tinggi suhunya dari pada udara sekelilingnya atau laju penurunan suhu paket udara lebih kecil dari laju penurunan suhu lingkungan. Akibatnya massa jenis paket udara lebih ringan sehingga paket udara akan cenderung berkembang vertikal. b. Stabil, jika paket udara lebih rendah suhunya daripada udara sekitarnya atau laju penurunan suhu paket lebih besar dari laju penurunan suhu lingkungan, sehingga paket akan kembali ke kondisi semula. c. Netral, jika suhu paket udara sama dengan suhu sekitarnya atau laju penurunan suhu udara sama dengan laju penurunan suhu lingkungan. Penyebaran pencemar pada kondisi ini secara horizontal dan vertikal lebih cepat. Kondisi stabilitas atmosfer mempengaruhi penyebaran pencemar.. Kondisi kepulan pada stabilitas udara tidak stabil disebut looping. Konsentrasi pencemar pada kondisi ini terkadang rendah dan terkadang tinggi. Pada kondisi ini kepulan mengalami osilasi yang diinterpretasikan pada Gambar 1a. Coning menunjukkan arah kepulan pada kondisi netral terjadi penyebaran pencemar secara horizontal dan vertikal dengan cepat (Gambar 1b). Penyebaran pencemar akan menjadi lambat pada kondisi stabil, baik secara vertikal dan horizontal. Kondisi ini dikenal dengan fanning (Gambar 1c).
4
Gambar 1
Pengaruh stabilitas atmosfer terhadap penyebaran pencemaran udara (Sumber Oke 1978)
Inversi suhu merupakan suatu kondisi suhu secara vertikal dimana suhu makin meningkat seiring bertambahnya ketinggian suatu tempat. Inversi adalah suatu lapisan yang sangat stabil sehingga pertukaran udara vertikal hampir terhambat sempurna. Beberapa pertukaran udara vertikal terjadi pada ketinggian di bawah inversi, sedangkan inversi sendiri bertindak sebagai sebuah tutup. Inversi yang berada di permukaan tanah terutama terjadi pada malam yang tenang dan cerah. Saat inversi terjadi dekat tanah , sementara pada bagian atas kepulan kondisinya netral dikenal dengan Lofting (Gambar 1d). Sedangkan di saat inversi terjadi di bagian atas dan tidak stabil pada bawah kepulan disebut dengan fumigation. Kondisi ini biasa berlangsung dengan singkat pada saat matahari terbit atau malam hari dengan kondisi langit cerah. Kondisi ini disebut fumigation dan berlangsung dalam kurun waktu yang sangat singkat (Suharsono 1985).
Kondisi fumigation sangat berbahaya untuk kesehatan mahluk hidup. Kepulan asap pada kondisi tersebut mengarah ke permukaan tanah, sehingga membahayakan mahluk hidup yang tinggal di permukaan Stabilitas atmosfer memiliki efek terhadap ketebalan lapisan pencampuran. Ketebalan lapisan pencampuran merupakan level ketinggian dari permukaan tanah dimana terjadi suspensi atau pembauran berbagai partikel atau senyawa. Level pencampuran yang rendah memiliki efek yang berbeda terhadap pencampuran pencemar dibandingkan level pencampuran yang tinggi. Level lapisan pencampuran dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu keadaan topografi suatu wilayah dan pemanasan matahari. Level pencampuran yang rendah (low level mixing height) berarti udara cenderung diam (tidak mengalami pencampuran/ pembauran) yang ditandai dengan terperangkapnya pencemar di permukaan tanah. Sedangkan saat terbentuk level pencampuran yang tinggi udara cenderung bergerak (mengalami pencampuran/ pembauran). Wilayah lembah low level terjadi pada malam hari dan menjelang pagi, sedangkan high level terjadi pada siang hingga sore hari. Sehingga pada malam hari pencemar akan terjebak (berkumpul) di permukaan tanah. Atau udara-udara kotor (berbahaya) tidak bisa naik dan bercampur dengan udara lain yang lebih tinggi. Sementara lapisan pencampuran di pesisir pantai sangat dipengaruhi oleh kondisi udara dan awan di laut yang menghambat radiasi pendinginan pada malam hari. 2.2.3 Angin Udara bergerak karena adanya perbedaan tekanan yang disebabkan oleh perbedaan suhu. Udara akan bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan yang rendah selain itu terdapat gaya sekunder mempengaruhi pergerakan massa udara, yaitu: gaya coriolis, gaya sentrifugal dan gaya gesekan. (June,1995). Efek dari kecepatan angin adalah peningkatan dari volume pencemar yang tersebar. Daerah perkotaan memiliki kekasapan permukaan yang tinggi sehingga dapat mengurangi kecepatan angin. Kondisi ini tidak baik, sebab emisi pencemar tertinggi berada di daerah perkotaan. Selain kecepatan angin, arah angin juga mempengaruhi penyebaran pencemar. Arah angin dan variasinya berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas udara.
5
Wilayah yang merupakan arah datangnya angin, relatif memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibanding area lain dengan jarak yang sama, baik kecepatan maupun arah angin terkait erat dengan kondisi lokal atau kondisi topografi suatu wilayah. Sirkulasi udara harian atau sirkulasi udara skala meso sangat dipengaruhi oleh gaya gesek (Holton 1970). Gaya gesek ini bergantung pada kondisi permukaan suatu daerah. Berdasarkan Prawirowardoyo (1996) kondisi permukaan suatu daerah dikenal dengan sebutan angin lokal. Angin lokal adalah angin yang bertiup di suatu daerah terbatas, kurang dari 100 km dan disebabkan oleh kondisi lokal. Angin lokal dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu angin lembah dan angin gunung; serta angin laut dan angin darat. a. Angin Gunung dan Angin Lembah Siang hari, terutama sebelum tengah hari, lereng gunung yang itu menghadap ke matahari menerima radiasi matahari lebih banyak. Oleh karena itu suhu udara di lereng lebih tinggi daripada suhu udara di tempat dengan ketinggian sama namun terletak jauh dari lereng. Sebagai akibatnya gaya gradien tekanan tidak diimbangi dengan oleh gaya berat seperti pada waktu garis permukaan isobar masih horizontal, sehingga angin akan menaiki lereng. Fenomena ini dikenal dengan sebutan angin anabatik, selain itu karena datang dari lembah dinamakan angin lembah. Malam hari karena pemancaran radiasi gelombang panjang, suhu udara di lereng lebih rendah daripada suhu udara pada ketinggian yang sama berjarak agak jauh dari lereng. Sebagai akibatnya angin akan bergerak menuruni lereng yang dinamakan angin katabatik atau angin gunung. b. Angin Laut dan Angin Darat Angin laut bertiup dari laut ke darat sepanjang hari (siang). Angin darat bertiup dari darat ke laut pada malam hari. Siang hari matahari memanasi daratan dan lautan, daratan akan lebih cepat menyerap panas dibandingkan lautan, Kondisi ini menyebabkan temperatur sepanjang siang hari menjadi lebih panas di sepanjang pantai, akibatnya udara di daratan lebih cepat memuai dan naik ke atmosfer sehingga tekanan udara di daratan berkurang dan udara yang bertekanan lebih tinggi di lautan akan mengalir menuju tempat yang bertekanan lebih rendah di daratan.
Suhu daratan dapat turun saat angin laut bertiup ke daratan. Pengaruh skala meso ini dapat dirasakan hingga 40 km (25 mil) dari garis pantai dan biasanya terbatas sampai kilometer pertama diatas permukaan. Skala meso dampak yang dirasakan lebih dari 8 sampai 10 jam. Angin laut mulai terbentuk saat matahari terbit dan semakin kuat saat radiasi matahari makin meningkat di siang hari. Kondisi ini diikuti dengan hilangnya awan cumulus yang terbentuk pada siang hari (Trewartha & Horn 1995). Angin darat berumur lebih pendek dibanding angin laut menurut Ahrens (2007) pada kondisi ini daratan merupakan daerah tekanan maksimum yang menyebabkan udara bergerak dari daratan menuju lautan dan terjadilah angin darat (Gambar 2).
Gambar 2 Ilustrasi angin laut dan darat Kecepatan angin semakin tinggi, pencemar akan semakin berkurang konsentrasinya di udara ambien dan saat arah angin semakin bervariasi, pencemar akan terpenyebaran secara merata ke seluruh arah (Godish 2004). Letak pantai sangat mempengaruhi distribusi pencemar sehubungan dengan masalah kesehatan lingkungan. Saat udara mengalir dari laut ke darat akan mengalami modifikasi saat terjadi perubahan permukaan, sehingga menghasilkan internal mekanik boundary layer dan perubahan temperatur , yang akan menghasilkan Convective internal boundary layer (CIBL) (Hsu 1988). Pada Gambar 3 tampak saat aliran udara dingin memasuki daratan yang lebih hangat akibat adanya CIBL menyebabkan terjadinya fumigation karena akan terbentuk kondisi tidak stabil pada CIBL. Namun saat udara hangat dari daratan memasuki lautan, maka akan terbentuk kondisi stabil,( Gambar 4).
6
Gambar 3 Modifikasi Convective internal boundary layer sepanjang pantai akibat aliran udara dingin dari laut (Hsu 1988)
Gambar 4 Modifikasi Convective internal boundary layer sepanjang pantai yang hangat akibat aliran udara dingin dari laut (Hsu 1988) 2.2.4 Hujan Hujan berpengaruh terhadap kualitas udara sebab hujan merupakan faktor utama untuk membersihkan udara. Jatuhnya butirbutir hujan dapat mengumpulkan partikelpartikel dan membawanya ke tanah. Pencemar dan gas-gas lain ditangkap oleh hujan melalui dua cara: yaitu bergabung dengan inti kondensasi dan yang kemudian turun bersama hujan atau saljudan yang kedua pencemar langsung tertangkap oleh butir-butir hujan. Hujan secara umum dipandang sebagai unsur pembersih udara tetapi sangat tidak efisien. Butiran hujan besar paling efektif membersihkan udara biasanya disertai dengan angin kencang dan turbulensi atmosfer sehingga untuk meminimumkan masalah pencemaran udara pengaruh hujan tidak terlalu dianggap (Suharsono 1985). 2.3
Pemodelan Penyebaran Pencemar Udara Pemodelan untuk memodelkan pola penyebaran pencemar udara, hinnga saat ini telah banyak dikembangkan berbagai selain
perhitungan matematis, sekarang juga telah dikembangkan perhitungan dengan basis komputerisasi. Beberapa model penyebaran yang dikembangkan dalam bentuk perangkat lunak adalah SCREEN, FDM (Fugitive Dust Model), EDMS (Emission and Penyebaranon Modeling System), SLAB dan lain sebagainya. Model penyebaran atmosfer dapat di buat skenario antara lain TAPM, CALPUFF, HYSPLIT dan lain sebagainya. Adapun TAPM merupakan perangkat lunak yang paling banyak digunakan di Indonesia. Perangkat lunak TAPM dapat digunakan untuk mensimulasikan prediksi meteorologi dan penyebaran pencemar dalam bentuk dua dan tiga dimensi dari sumber. TAPM merupakan pengembangan dari LADM (Lagrangian Atmospheric Dispersion Model) yang keduanya dikembangkan oleh CSIRO, Australia. TAPM bekerja pada sistem window, sehingga lebih memudahkan bagi pengguna. Besarnya konsentrasi pencemar dan parameter meteorologi dapat dilihat pada tiap grid dan level ketinggian (Sofiati et a.l 2005). Perangkat lunak CALPUFF telah disahkan oleh US EPA sebagai model yang digunakan dalam aplikasi transportasi pencemar jarak jauh serta digunakan pada kasus yang memiliki pola aliran kompleks dan keadaan tetap. CALPUFF merupakan Perangkat lunak yang dapat digunakan pada berbagai layer yang mampu mensimulasikan efek waktu dan ruang-berbagai kondisi meteorologi pada transportasi pencemar. Hal ini memungkinkan model untuk menjelaskan berbagai efek seperti variabilitas spasial kondisi meteorologi, deposisi kering dan penyebaran melalui berbagai spasial permukaan tanah, fumigasi, kecepatan angin rendah penyebaran, pencemar transformasi. CALPUFF memiliki berbagai algoritma untuk proses penyebaran parameter pencemar udara, termasuk penggunaan turbulensi berbasis koefisien penyebaran kesamaan berasal dari teori atau pengamatan. Adapun data meteorologi untuk masukan CALPUFF disediakan oleh CALMET. Analisis penyebaran pencemar selain menggunakan model penyebaran pencemar, dapat menggunakan model meteorologi untuk untuk prediksi potensi penyebaran pencemar berdasarkan arah angin. Salah satu model tersebut adalah MM5. Penelitian ini menggunakan MM5 sebagai alat untuk mensimulasikan pola angin yang memiliki keunggulan dalam menggambarkan kondisi cuaca (Cahyono 2008).
7
2.3.1 Deskripsi MM5 MM5 adalah salah satu model numerik yang merupakan model prediksi cuaca regional. Model mesoscale adalah model prediksi cuaca numerik dengan kemampuan resolusi horizontal dan vertikal yang tinggi untuk memprediksi fenomena cuaca skala meso. Fenomena ini biasanya diakibatkan oleh topografi atau garis pantai, atau karena konveksi. MM5 sendiri merupakan model numerik finite difference, maksudnya adalah model ini sangat bergantung pada bentuk grid yang dibuat dimana gradien atau perata-rataan diperlukan untuk menampilkan bentuk dari persamaan. (MMM, 2005). Penelitian penyebaran pencemar menggunakan MM5 sudah banyak digunakan. Penelitian Turyanti (2005) dengan wilayah kajian sekitar cekungan Bandung menunjukkan hasil keluaran dari MM5 mendekati nilai angin observasi. Hasil keluaran menunjukkan bahwa arah angin dapat dipengaruhi oleh perbedaan topografi. Penelitian dengan MM5 juga dilakukan oleh Cahyono (2008) untuk menentukan penyebaran pencemar NOx dan SOx. Hasil penelitian menunjukkan keluaran MM5 dapat menggambarkan pengaruh topografi wilayah kajian dengan baik. Penelitian mengenai analisis ozon total di Indonesia juga menggunakan MM5 untuk mendapatkan data meteorologi. Analisis aliran udara Jakarta dengan MM5 tahun 2004 pernah dilakukan oleh Sofyan, Kurata, Kitada (2001). Hasil penelitian menunjukkan pola sirkulasi angin harian dan sinoptik memberi pengaruh terhadap distribusi pencemar udara, namun pengaruh topografi pantai tidak dijelaskan dalam penelitian ini. Berbagai penelitian meggunakan angin permukaan untuk menjelaskan karakteristik angin setempat selanjutnya dikaitkan dengan penyebaran pencemar, seperti dalam penelitian Turyanti (2005) ; Sofyan, Kitada dan Kurata (2004). 2.3.2 Tahapan MM5 Perangkat lunak MM5 sebagian besar menggunakan bahasa fortran. MM5 merupakan sebuah Perangkat lunak yang bersifat gratis karena dikembangkan sebagai community mesoscale model dan didukung penuh oleh Mesoscale Prediction Group di Mesoscale and Microscale Meteorology Division, NCAR. MM5 merupakan suatu model numerik yang menggunakan persamaan
dasar untuk memecahkan persamaan pengatur. (Comet 1999, MMM 2005) Adapun program-program dari MM5 Modelling System yang akan digunakan: 1. TERRAIN Program ini digunakan untuk mempersiapkan domain model , baik domain satu (coarse) maupun domain dua (subdomain) beserta karakteristik topografinya. Domain pada model digunakan untuk menunjukkan daerah yang akan dikaji (Comet, 1999). Data TERRAIN berupa data elevasi permukaan, data vegetasi dan kegunaan lahan telah ada didalam MM5 hingga resolusi 5menit. Proses yang akan dilakukan adalah konfigurasi domain dengan menyiapkan data terrain, domain yang akan dijalankan, serta proyeksi yang akan digunakan. Domain adalah area yang akan dikaji. Jika model ini dijalankan secara global maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menjalankan modelnya dan hasilnya tidak akan dapat digunakan lagi untuk memprediksi cuaca jangka pendek. 2. REGRID Program ini digunakan untuk data initial condition agar dapat dibaca oleh MM5 dan berfungsi untuk menggabungkan data tersebut dengan output TERRAIN. Hasil dari program ini akan digunakan sebagai input program LITTLE_R. 3. LITTLE R Asimilasi data adalah suatu proses dalam penciptaan atau pembuatan syarat-syarat awal suatu model dari pengamatan dan medan terkaan pertama (first guess field). Tahap pertama dalam proses ini adalah untuk mengkombinasikan pengamatan dan medan terkaan pertama yaitu yaitu proses yang dikenal dengan analisis objektif. Data observasi terdiri dari data radiosonde, satelit atau yang lainnya untuk wilayah Indonesia. Data observasi ini perlu diolah lebih lanjut untuk menghasilkan bentuk atau besaran yang sesuai dengan kebutuhan proses asimilasi data yang diinginkan. Asimilasi data dalam MM5 tersedia dalam LITTLE_R. Program ini memerlukan medan terkaan pertama (first guess file) ketika menyelesaikan fungsi-fungsi penapisan (filterinng) data LITTLE_R.
8
4. INTERPF Program ini digunakan untuk melakukan interpolasi vertikal pada hasil REGRID kemudian melakukan komputasi diagnostik dan reformatting data sebelum dimasukkan ke dalam program utama MM5, dari pressure level ke sigma level. Melalui program ini didapatkan kondisi awal dan batasan yang sesuai bagi program utama MM5. 5. MM5 Program utama dalam sistem. Perhitungan atau kalkulasi keadaan atmosfer dari keadaan awal dan batasan yang diberikan. MM5 juga melakukan nesting (downscaling data) dari domain induk ke sub domain sehingga diperoleh hasil resolusi yang lebih besar. 6. GrADStoMM5 dan GrADS Menampilkan hasil MM5 dapat menggunakan GrADS karena mudah digunakan. MM5toGrADS digunakan untuk merubah format output menjadi format GrADS (.*ctl). 2.4 Kondisi Wilayah Kajian 2.4.1 Letak Geografis dan Topografi Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6°12' Lintang Selatan dan 106°48' Bujur Timur, Luas wilayah Propinsi DKI Jakarta berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1227 tahun 1989 adalah berupa daratan seluas 661.52 km² dan berupa lautan seluas 6977.5 km², terdapat tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu, terdapat pula sekitar 27 buah sungai/saluran/kanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan. Utara kota Jakarta membentang pantai dari barat ke timur sepanjang ± 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal, sementara di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan wilayah propinsi Jawa Barat, sebelah barat dengan Propinsi Banten, sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa (Pemda DKI Jakarta 2007). Wilayah administrasi Propinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 Wilayah Kotamadya dan 1 Kabupaten administratif yaitu Kotamadya Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara serta Kabupaten Kepulauan Seribu, dengan perincian pembagian wilayah administrasi pemerintahannya adalah sebagai berikut :
-
Kotamadya Jakarta Pusat Kotamadya Jakarta Pusat Kotamadya Jakarta Timur Kotamadya Jakarta Barat Kotamadya Jakarta Utara Kotamadya Jakarta Selatan Kabupaten Kepulauan Seribu
Lahan di Propinsi DKI Jakarta seluas 66.152 H, seluas 3733.49 Ha digunakan untuk Industri. Berikut perinciannya: - Kotamadya Jakarta Selatan sebesar 236,08 Ha - Kotamadya Jakarta Timur sebesar 1.233,38 Ha - Kotamadya Jakarta Pusat sebesar 54,13 Ha - Kotamadya Jakarta Barat sebesar 495,77 Ha - Kotamadya Jakarta Utara lahan yang dipergunakan untuk industri 1.714,13 Ha 2.4.2 Kondisi Klimatologi Jakarta beriklim tropis yang memiliki suhu udara panas dan kering. Ibukota NKRI ini mengalami puncak musim penghujan, dan puncak musim kemarau pada bulan Agustus. Suhu rata-rata tahunan berkisar antara 25°38°C (77°-100°F). Pantai Jakarta memiliki teluk yang dikenal dengan Teluk Jakarta. Teluk ini memiliki garis pantai memanjang sejauh 72 km dari Tanjung Pasir di Barat sampai Tanjung Karawang di Timur. Pantai berbentuk teluk akan mengakibatkan terjadinya konvergensi pada saat angin bertiup dari darat menuju ke laut dan terjadi divergensi saat terbetuk angin laut. Arah angin di sekitar teluk menunjukkan pola yang mengumpul, pada pantai yang menghadap ke barat arah angin dari tenggara, dan pada pantai yang menghadap ke timur arah angin dari selatan sampai Barat Daya (Huda 1996). 2.4.3 Kondisi Udara Jakarta Data WHO menunjukkan Jakarta dan dua puluh kota besar di dunia memiliki masalah pencemaran udara yang cukup pelik karena sukar untuk mengidentifikasi serta mencari pemecahan masalahnya versi bank dunia Jakarta juga menduduki peringkat kota tercemar nomor tiga di dunia. (Yusad 2003). Sumber utama pencemar di DKI Jakarta berasal dari transportasi, berdasarkan data BPS (2002) pada periode tahun 1998-2002 terdapat peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang cukup signifikan sebesar 6,1%
9
per tahun dan dari 3000 motor /km disinyalir dapat menyumbang 70-80% pencemaran udara kota. Kondisi ini akan semakin memperburuk kualitas udara di Jakarta. Analisis ozon total pada tahun 2008 di Indonesia dilakukan oleh Cahyono W (2009) menunjukkan konsentrasi ozon rata-rata masih dalam taraf normal, yaitu 235- 275 DU, namun saat terjadi kebakaran hutan konsentrasi ozon troposfer meningkat akibat pengaruh tingginya CO dan CH4 saat terjadi kebakaran begitu pula saat terjadi kemacetan di suatu area jalan. Hal ini perlu dikhawatirkan mengingat ruas jalan DKI Jakarta yang selalu dipadati kendaraan dari dini hari hingga tengah malam.
III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dengan mengambil fokus pada daerah DKI Jakarta (Lampiran 1). Adapun titik koordinat yang digunakan sebagai titik pengamatan adalah Stasiun Meteorologi Cengkareng 6.110 LS dan 106.650BT dan Kota Bogor, 6.430 LS dan 106.800BT pada tanggal 20 – 26 Januari 2009. Pengambilan dan pengolahan data dilakukan pada bulan Maret 2009 sampai bulan Oktober 2009 di BPP Teknologi, Jakarta serta Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Data Alat yang diperlukan adalah seperangkat PC berbasis Linux Fedora 9 dengan perangkat lunak MM5 (Mesoscale Model Version 5),GrADS, WR plot, Wordpad, Microsoft office excel, Microsoft office word. Data yang digunakan untuk analisis kondisi pola angin laut di DKI Jakarta-Bogor adalah data sounding berupa data real time observasi dan data dari NOAA (Narional Oceanic and Atmospheric Administration). Kedua data tersebut digunakan karena tidak memerlukan biaya dan mudah diperoleh. Perincian data yang diperlukan adalah sebagai berikut: Data sounding hasil pengamatan secra langsung untuk stasiun Cengkareng (6.110 LS dan 106.650BT) pada jam 00, 12 Universal Time Coordinates selanjutnya disingkat dengan UTC. Data sounding ini dapat diperoleh dari http://www.weather.uwyo.edu/upperair/so unding/html.
Data sekunder untuk pengamatan udara atas untuk wilayah Bogor (6.430 LS dan 106.800BT ) pada bulan januari pada jam 00, 12 dengan UTC diperoleh dari http://www.ready.noaa.gov/readybin/main/pl . Data NCEP FNL Operational Global Analysis dari DSS ucar sebagai data global. NCEP FNL (Final) adalah analisis data dengan grid 1.0x1.0 setiap enam jam. Produk ini dari hasil dari sistem prakiraan global Forecast (GFS) yang secara operasional berjalan empat kali dalam sehari berdasarkan data real time pada NCEP. Data angin wilayah Jakarta pada Januari 2009 sebagai data masukan WR Plot yang diperoleh dari dari http://www.dataportal.ecmwf.int. 3.3 Metode Penelitian MM5 didukung oleh beberapa preprocessing dan post-proccesing program sehingga membentuk suatu sistem yang disebut MM5 Modelling System. Adapun metode penelitian yang akan digunakan terbagi menjadi 5 tahap, yaitu pengumpulan data, pra MM5, MM5, Pasca MM5, Verifikasi data, dan analisa data. Adapun diagram alir penelitian tersaji pada lampiran 2. Metode penelitian yang dilakukan secara garis besar adalah: 1. Mengumpulkan data 2. Pra MM5 (pre processing program) Pada tahap pra MM5 yang akan dilakukan adalah TERRAIN, REGRID, LITTLE_R, INTERPF. Berikut ini penjelasannya: a. TERRAIN Pada penelitian ini digunakan dua domain. Domain satu meliputi wilayah Jawa barat ( 50 LS - 7.90 LS dan 1040 BT 1080 BT)dan domain dua meliputi wilayah Jakarta dan sekitarnya ( 5.780 LS - 6.730 LS dan 106.50 BT - 107.30 BT). Adapun konfigurasi yang digunakan adalah: Proyeksi yang digunakan : Mercator Titik tengah yang digunakan pada domain 1 merupakan titik tengah wilayah Bogor, yaitu 6.50 BT dan 106.40 LS; sementara domain 2 diatur posisinya supaya dapat meliputi wilayah yang di kaji. Domain satu (coarse domain): - Dimensi 37x76 grid - Panjang grid (Grid distance) 9 km - Resolusi data terrain: 2 menit
10
(~4 Km). Ujung kiri bawah domain (nest initial point) pada [1,1] Domain 2: - Dimensi 43x49 grid 2.2. - Panjang grid (Grid distance):3 Km - Resolusi data terrain: 2 menit (~4 km). - Ujung kiri bawah domain (nest initial point) pada [26,17] -
b. REGRID Setelah konfigurasi terrain berhasil dilakukan, selanjutnya menyiapkan data input berupa FNL sesuai format yang dibutuhkan oleh program MM5. Program ini terbagi menjadi dua sub program, yaitu: pregrid dan regridder. Langkah awal yang dilakukan adalah program REGRID berfungsi untuk membaca data FNL kemudian menulis ulang dalam format yang lebih sederhana dengan sub program pregrid. Pada subprogram regridder data hasil keluaran pregrid akan di interpolasi. c. LITTLE_R Program ini merupakan program asimilasi data. Data yang digunakan merupakan data hasil observasi. Adapun data yang diperlukan data ketinggian (m), tekanan (Pa), suhu (Kelvin), kecepatan(m/s) dan arah angin, (derajat) serta kelembaban relatif. Sebelum dimasukkan dataharus dikonversi sesuai dengan format LITTLE_R dalam MM5. Adapun konversi data yang dilakukan adalah sebagai berikut: Suhu udara : X 0C = (X 0C + 273)K..(1) Tekanan : 1 HPa = 100Pa …... ….(2) Ketinggian :1 km =1000m……….....(3) Kecepatan angin: 1 Knot = 0.52 m/s......(4) d.
INTERPF Langkah terakhir pada pra program MM5 adalah menjalankan program INTERPF. Program ini melakukan interpolasi vertikal pada hasil REGRID kemudian melakukan komputasi diagnostik dan reformatting data sebelum dimasukkan ke dalam program utama MM5. Input yang diperlukan oleh program ini berupa hasil keluaran pada program REGRID dan LITTLE_R. beberapa system perhitungan model. File kedua berfungsi untuk pengaturan menjalankan simulasi.
3. Analisis luaran MM5 Analisa luaran MM5 dilakukan dengan Perangkat lunak GrADS. Sementara proses pengubahan output MM5, sehingga dapat terbaca oleh GrADS dilakukan dengan MM5toGrADS. 4. Analisis visual Analisis ini dilakukan dengan menganalisa secara deskriptif keluaran dari GrAds 5. Membandingkan hasil MM5 dengan hasil keluaran WR plot 6. Analisis deskriptif penyebaran pencemar. Pada studi tentang analisis penyebaran pencemar dilakukan secara deskriptif dari analisis karakteristik dan pola angin Jakarta.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mengggunakan dua wilayah kajian yang terbagi dalam domain satu dan domain dua. Perbandingan jarak grid yang digunakan pada domain satu dan dua adalah 9:3 km. Resolusi data input yang digunakan adalah 5 menit (~9 km) untuk domain satu maupun dua. Tingkat resolusi ini penting untuk dapat menghasilkan tingkat keakuratan hasil output serta memperjelas fenomenafenomena atmosfer yang berskala lokal. Domain satu meliputi wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Domain dua meliputi wilayah DKI Jakarta, Depok, Tanggerang , Banten, dan Bogor (Gambar 5). Wilayah yang terdapat pada domain dua dapat dilihat pada lampiran 1.
Gambar 5 Domain satu dan domain dua 4.1. Analisis Domain dan Topografi Domain Kontur wilayah domain satu bagian utara umumnya memiliki topografi yang datar dengan garis pantai yang menghadap teluk. Semakin ke arah selatan topografi semakin
11
tinggi yang ditunjukkan oleh pola kontur rapat. Turyanti (2005) menyebutkan bahwa wilayah Jawa Barat memiliki beberapa puncak ketinggian, sehingga memiliki wilayah topografi yang cukup rumit (Gambar 6). Pemilihan letak domain satu dibuat demikian, agar dapat terlihat lebih jelas pola angin harian dan dapat menjelaskan pola angin berdasarkan letak dan topografinya terhadap wilayah lain.
Gambar 6 Peta kontur domain satu. Wilayah domain dua memiliki topografi yang datar, sementara makin ke arah selatan memiliki topografi yang cukup tinggi. Perbedaan topografi ini dapat menghasilkan pola sirkulasi harian yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah lainnya (Gambar 7).
Gambar 7 Peta kontur domain dua 4.2 Analisa Pola Angin Permukaan Metode yang digunakan menganalisis karakteristik angin hasil keluaran MM5 adalah analisis visual. Kajian tentang
karakteristik angin Jakarta telah banyak dilakukan, namun kajian karakteristik angin cenderung tidak melibatkan efek pengaruh topografi pantai dan dampaknya terhadap penyebaran pencemar. Pendugaan penyebaran pencemar pada penelitian ini menggunakan analisis angin permukaan. Adapun angin permukaan yang dimaksudkan adalah angin pada level 1000mb (hingga 10 mdpl). Angin pada level ini masih dipengaruhi topografi permukaan, sedangkan pada level yang lebih atas pengaruh permukaan akan semakin berkurang, seperti yang terlihat pada Gambar 8. Arah angin pada level 850 mb lebih teratur dibanding angin pada permukaan. Pada level 850 mb angin dominan ke timur karena pengaruh angin sinoptik, yaitu angin muson barat. 4.2.1 Pola Angin Permukaan pada Domain Satu Gambar domain satu menunjukkan pola angin, garis kontur suhu dan ketinggian wilayah. Topografi pada wilayah Jakarta di dominasi oleh warna ungu tua (0-200 m). Semakin ke arah selatan letak wilayah makin tinggi, diwakili dengan warna biru muda hingga merah. Kontur suhu menunjukkan semakin merah suhu semakin tinggi. Hasil pemodelan pada tanggal 20-26 Januari 2009, menunjukkan perubahan pola angin dari hari ke hari tidak jauh berbeda. Umumnya pada pukul 07.00 angin mengarah ke tenggara dan timur, baik di bagian pesisir utara dan selatan pulau Jawa. Kecepatan angin dominan 2.5 m/s. Berdasarkan kontur suhu terlihat, bahwa suhu lautan sebesar 299.5K , sedangkan daratan 298.2 K. Hal ini dapat terjadi karena pada pukul 07.00, meskipun matahari telah bersinar namun belum dapat memanaskan daratan dengan maksimal. Hsu (1978) mengemukakan pada jam ini berpeluang terbentuknya awan cumulus pada jarak 30 km ke arah laut. Arah angin pukul 10.00 secara umum sama dengan pukul 07.00 dengan kecepatan angin lebih tinggi. Timbul pola angin memusat atau memutar di sekitar teluk Jakarta. Kondisi ini disebabkan oleh topografi teluk Jakarta yang memiliki pantai yang menghadap barat dan timur dengan posisi pantai barat lebih menjorok ke laut dibandingkan dengan pantai yang menghadap timur. Sehingga angin yang akan melewati teluk akan mengalami pembelokan di sekitar pantai yang menghadap barat. Pukul 13.00 tampak angin laut bertiup di sepanjang pesisir Jawa. Hal ini dapat
12
dipahami karena pukul 13.00 seluruh daratan menjadi lebih panas dibanding lautan, sehingga terbentuklah angin yang berhembus dari laut ke daratan. Menurut Hsu (1988) kondisi tersebut berpeluang terbentuknya awan stratus. Kecepatan angin berkisar 2.5
m/s hingga 5 m/s. Kecepatan angin pada pukul 13.00 semakin tinggi serta arah angin makin masuk ke daratan baik di pesisir utara maupun selatan. Hasil pemodelan pukul 07.00-19.00 pada Gambar 9.
Gambar 8 Angin 850 mb dan 1000 mb pada pukul 10.00
Gambar 9 Pola angin permukaan domain satu pukul 07.00 - 19.00 Pukul 19.00 secara umum selama 6 hari arah angin di laut Jawa bergerak ke arah
selatan, namun pada saat memasuki daratan pergerakkan angin berbelok ke arah barat-
13
barat daya, kondisi ini dapat terjadi akibat adanya teluk, sehingga angin utara berbelok menjadi angin timur laut. Bagian barat pulau Jawa angin menuju barat. Suhu laut yang lebih jauh dari daratan lebih tinggi dibanding laut yang dekat daratan, namun suhu tertinggi berada di garis pantai, selain itu angin di darat bertiup lebih kencang dibanding pada pukul 13.00. Pukul 22.00 pola angin harian secara umum relatif sama. Bagian barat pulau Jawa, angin bertiup ke timur hingga barat daya. Angin laut masih berhembus hingga 22.00 karena daratan masih lebih panas dibanding lautan dan menjelang matahari terbenam, perbedaan temperatur antara daratan dan lautan semakin kecil, sehingga angin laut melemah kemudian mati pada malam hari (Trewartha 1995). Suhu daratan di bagian utara pulau Jawa masih lebih panas dibandingkan lautan, sehingga angin laut masih terjadi, sementara pada bagian pesisir selatan, sirkulasi angin darat mulai terjadi dengan arah angin ke selatan –tenggara. Pukul 01.00 mulai terbentuk pola angin memutar di sekitar teluk Jakarta dan arah angin tampak tidak beraturan pada bagian
teluk. Menjelang dini hari angin permukaan berhembus lemah dan angin laut telah lenyap. Hsu (1988) menyatakan pukul 00.00 terjadi inversi suhu dan timbul kabut di daratan. Hal ini sesuai dengan Gambar 10 yang menunjukkan penetrasi angin laut ke darat semakin lemah kecepatannya dibanding tiga jam yang lalu. Suhu di sekitar teluk Jakarta masih lebih tinggi dibanding lautan, yaitu 302 K dibandingkan lautan yang besar suhunya 300 K. Pukul 04.00 lautan menghangat karena gradien temperatur dari laut ke darat lebih besar, terjadilah angin darat. Arah angin di bagian pesisir utara Pulau Jawa dominan dari barat laut ke arah tenggara dan dari arah barat ke timur, sedangkan di bagian barat Jawa arah angin dominan dari utara ke selatan kemudian berbelok (saat mendekati pesisir) ke arah tenggara dan timur saat berada di pesisir selatan. Adanya halangan pulau Jawa bagian barat yang berupa dataran tinggi menyebabkan angin dari Sumatera bergerak ke arah selatan baru kemudian berbelok ke arah tenggara dan timur. Pada jam ini pola angin memutar yang terbentuk di sekitar teluk semakin jelas terlihat (Gambar 10).
Gambar 10 Pola angin permukaan domain satu pada pukul 22.00 – 04.00
14
Pola angin yang terbentuk pada domain satu pada pagi hingga menjelang siang (07.0010.00) angin dominan adalah angin baratan. Terlihat angin mengikuti topografi dengan adanya pembelokkan di barat pulau Jawa kemudian terbentuk anginbaratan lagi di bagian selatan. Angin timuran umumnya terbentuk pada pukul 16.00 - 01.00 pada wilayah yang dekat daratan. Arah angin dominan pada lautan merupakan angin baratbarat laut. Arah angin juga dipengaruhi letak matahari pada bulan Januari yang terletak di belahan bumi selatan (BBS), sehingga angin bergerak ke daerah yang mendapatkan pemanasan matahari yang lebih tinggi. Pola aliran angin ini tidak selalu sama dan dapat berubah secara signifikan karena pengaruh sirkulasi lokal, perbedaan intensitas radiasi matahari yang diterima, dan faktor perawanan. 4.3.2 Pola Angin Permukaan Pada Domain Dua Wilayah domain dua menggambarkan pola angin wilayah Jakarta, Tanggerang, Depok dan Bogor. Letak pantai Jakarta berbentuk teluk yang dikenal dengan nama teluk Jakarta. Skala bar digunakan untuk menerangkan ketinggian tempat pada domain dua. Warna ungu – merah menandakan ketinggian dari yang paling terendah – tertinggi. Tanggal 22-26 Januari arah angin dominan di daratan bergerak ke arah barat laut. Saat matahari muncul dan intensitasnya semakin kuat terutama mulai pukul 13.00 WIB arah angin memiliki tendensi ke arah barat-barat daya (Angin timuran). Pola angin baratan bertiup sekitar pukul 07.00 -10.00. Angin yang timbul pada domain dua tidak seteratur dan lebih bervariasi setiap harinya dibanding angin pada domain 1. Penyebab utama adalah bentuk daratan DKI Jakarta yang dipenuhi oleh bangunan dengan ketinggian beragam dan bentuk tidak seragam, sehingga dapat menjadi penghalang dari gerak angin. Sebab sirkulasi udara skala meso sangat dipengaruhi oleh gaya gesek (Holton 1970). Garis pantai berbentuk teluk yang menyebabkan sirkulasi angin pada daerah ini sangat khas dibandingkan daerah lainnya, sebab dipengaruhi oleh angin laut dan darat. Selain itu terjadi pola angin memutar yang timbul saat pergantian angin laut dan angin darat (pukul 10.00 dan pukul 04.00). Sirkulasi angin di atas kota Jakarta juga dipengaruhi oleh angin skala sinoptik, kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Sofyan, Kitada dan
Kurata (2004) yang mengatakan, arah angin sinoptik yang berhembus mempengaruhi arah angin di Jakarta dan diperkuat oleh Huda (1996) bahwa angin permukaan merupakan interaksi antara sirkulasi angin skala meso dan angin skala sinoptik. Pergerakkan angin di wilayah DKI Jakarta secara umum mengikuti tempat matahari terbit dan terbenam. Meskipun demikian, baik kecepatan maupun arahnya tidak selalu sama setiap hari, sebab terjadi perbedaan kondisi meteorologis yang terjadi setiap hari. Pola angin domain dua secara umum tampak pada Gambar 11. Pukul 07.00 angin dominan menuju ke tenggara dengan pola yang teratur baik di sekitar teluk maupun di daratan. Matahari baru saja terbit, belum dapat memanaskan daratan ataupun lautan dengan maksimal,sehingga angin laut belum terbentuk dengan baik. Angin yang bertiup lebih dipengaruhi oleh angin skala sinoptik, sehingga pola angin lebih teratur. Perubahan arah angin terjadi pukul 10.00 terjadi angin. Angin di atas teluk polanya sangat tidak beraturan. Hal ini dapat dijelaskan karena di daerah teluk terjadi pola angin memutar, sehingga pola angin tampak tidak searah. Munculnya pola angin memutar disebabkan oleh topografi teluk Jakarta yang memiliki pantai yang menghadap barat dan timur dengan posisi pantai barat lebih menjorok ke laut dibandingkan dengan pantai yang menghadap timur. Sehingga angin yang akan melewati teluk akan mengalami pembelokkan di sekitar pantai yang menghadap barat. Angin dari tenggara pada pantai yang menghadap barat mengalami pembelokkan ke arah barat daya (masuk ke daratan). Pantai yang menghadap timur, angin bergerak ke arah timur kemudian berbelok ke arah selatan ketika masuk daratan. Hal diatas sesuai dengan penelitian Huda (1996) yang menyatakan pada pantai yang berbentuk teluk akan timbul pola angin memutar. Perputaran terjadi selain karena bentuk pantai juga karena angin mendapat penghalang topografi. Saat semakin siang intensitas radiasi matahari yang diterima daratan makin besar, sehingga perbedaan suhu antara darat dan laut pun meningkat. Selain itu timbul perbedaan tekanan semakin besar dan menimbulkan angin dengan kecepatan yang makin tinggi, sehingga kecepatan angin pukul 10.00 relatif lebih tinggi dibanding pukul 07.00.
15
Pukul 13.00 di bagian pantai yang menghadap ke timur angin bergerak dari utara kemudian masuk ke daratan dan berbelok ke arah barat-barat daya. Sementara di atas teluk angin bertiup menuju arah timur laut. Arah angin di daratan tampak lebih seragam di bandingkan di laut karena angin di atas laut dipengaruhi oleh bentuk teluk. Kecepatan angin pada pukul 13.00 meningkat tajam dibanding 3 jam sebelumnya. Kecepatan meningkat dari 5-12.5 m/s pada pukul 10.00. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan tekanan antara daratan dan lautan pada tengah hari lebih besar dibanding pagi hari. Kondisi ini membuat kecepatan angin yang bertiup semakin meningkat. Kontur suhu menggambarkan, bahwa suhu laut lebih tinggi dibandingkan daratan. Suhu daratan berkisar antara 298-300 K sementara suhu laut berkisar antara 299.4 -300.3 K. Perbedaan suhu yang terjadi antara laut dan darat menyebabkan timbulnya gradien tekanan, sehingga terbentuklah aliran udara dari tempat bertekanan tinggi ke tempat bertekanan rendah. Hsu (1978) menyatakan angin semakin menguat pada pukul 15.00 saat perbedaan temperatur antara darat dan laut telah mencapai nilai maksimum. Pada jam ini , terdapat peluang terbentuknya awan cumulus yang berpeluang menjadi hujan di daratan pada pada pukul 16.00 sampai 17.00 hingga radius 30-40 km dari garis pantai. Arah angin tidak jauh berbeda antara pukul 16.00 dengan pukul 13.00. Angin bergerak dari utara kemudian masuk ke daratan dan berbelok ke arah barat-barat daya. Wilayah bertekanan rendah masih terletak di daratan, sehingga angin laut masih terbentuk. Berdasarkan kontur suhu tampak bahwa wilayah bagian barat suhunya lebih dingin yang ditandai dengan garis biru muda- kuning (298.5- 300.5 K) sementara bagian timur dominan dengan garis merah (300-302.5 K). Kondisi ini dapat diakibatkan oleh struktur bangunan dan jalanan di area tersebut, serta industri di wilayah tersebut. Angin laut yang bertiup lebih kencang dibanding 3 jam yang lalu hingga 35 m/s di daratan. Hal ini sesuai dengan Hsu (1988) yang menyatakan saat pukul 15.00 terjadi perbedaan suhu antara daratan dan lautan
yang maksimum, terdapat peluang terbentuknya awan cumulus yang berpeluang menjadi hujan di daratan pada pada pukul 16.00 sampai 17.00. Pukul 19.00-22.00 terlihat angin bergerak dari utara dan timur laut kemudian masuk ke daratan dan berbelok ke arah barat-barat daya. Pola angin darat semakin terlihat jelas pada pantai yang menghadap barat. Arah angin dominan adalah angin utara. Pukul 22.00 Suhu daratan masih lebih panas dibandingkan suhu lautan,yaitu maksimum 304K di daratan dan 300K di lautan, sehingga angin laut masih dominan. Kondisi ini juga dapat diakibatkan pengaruh area industri yang banyak di bangun di pesisir utara Jakarta, sehingga perubahan suhu mendapat pengaruh yang cukup besar dari kondisi permukaan. Pola angin memutar terjadi lagi mulai pukul 01.00 dan semakin terlihat pada pukul 04.00. Angin di teluk Jakarta seolah-olah berbalik arah saat bertemu dengan garis pantai dan angin darat mulai terbentuk. Pada malam hari daratan lebih cepat mengalami pendinginan daripada lautan sehingga udara di atas daratan lebih cepat dingin dibanding lautan, sehingga menyebabkan perbedaan tekanan. Pergerakkan angin di daratan relatif lebih teratur dibandingkan pola angin di bagian teluk dan sekitarnya. Angin darat mulai menguat pada pukul 04.00. Sofyan, Kitada dan Kurota (2001) menyatakan angin laut pada bulan Januari dapat masuk ke daratan hingga jarak 40 km, lebih dari itu tidak mendapatkan pengaruh angin darat. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil MM5, yaitu angin laut mempengaruhi wilayah Jakarta dengan kisaran jarak 16.65- 40 km, sementara angin darat bergerak sejauh16.6522.22 km di darat dan16.65 km dari garis pantai ke laut. Fase angin darat lebih pendek dibandingkan angin laut, meskipun di ekuator panjang siang dan malam relatif seimbang. Perbedaan kapasitas panas antara daratan dan lautan menyebabkan kondisi ini. Lautan dengan kapasitas panas yang besar, memiliki waktu yang lebih lama untuk menyimpan panas yang selanjutnya akan di radiasikan ke atas.
16
Gambar 11 Pola angin permukaan domain dua pada pukul 07.00-04.00.
17
Hasil penelitian menunjukkan angin darat mulai terbentuk pada dini hari. Angin di darat akan bergerak menuju Laut Jawa dan disekitar teluk terbentuk pola angin memutar di sekitar teluk, sehingga pola angin wilayah teluk tidak menuju ke laut Jawa melainkan bergerak dari timur ke barat Gambar 11 . Angin memutar dari pantai timur (menghadap ke barat) menuju ke pantai timur (menghadap ke barat). Teluk Jakarta memiliki luas pantai menjorok ke laut yang tidak seimbang antara bagian pantai barat dan pantai timur, selain itu letak Jakarta yang berada di ketinggian 8 – 50 m dpl dapat menyebabkan angin berbelok arah karena adanya perbedaan topografi, bahkan terlihat memutar. Perbedaan ini akan menjadi halangan untuk angin. Hasil MM5 menunjukan angin laut dan darat tidak terbentuk pada waktu yang sama setiap hari, terutama angin darat. Hal ini sesuai dengan penelitian Sofyan, Kitada dan Kurota (2001) yang menyebutkan bahwa di musim penghujan angin darat tidak terbentuk setiap waktu yang sama. Perbedaan waktu terbentuknya angin terkait erat dengan keawanan yang berbeda tiap harinya. 4.3 Perbandingan Arah Angin Dominan Hasil MM5 dengan Windrose Data angin yang digunakan adalah data arah angin harian per 3 jam selama bulan Januari 2009. Berdasarkan Gambar 14 pada bulan Januari arah angin terbanyak adalah angin timur sebesar 50 %. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Septiyanzar (2008) yang menyatakan bahwa pada musim hujan arah angin dominan yaitu pada 112.50 yang mengindikasikan arah angin adalah menuju arah barat laut. Persentase kecepatan angin terbesar adalah angin dengan kecepatan 3.6 m/s -8.8 m/s. Sifat angin lainnya berasal dari tengggara 30%, timur laut sebesar 15%, barat 9%. Arah terbanyak berasal dari timur menuju ke barat hal ini dapat dijelaskan karena pada bulan Januari matahari masih berada di belahan bumi bagian selatan (BBS), sehingga tekanan udara di BBS lebih rendah dan secara umum angin akan menuju selatan. Adanya pantai berupa teluk yang menyebabkan terjadi pembelokkan ke barat, sehingga angin di DKI Jakarta dominan menuju barat. Sesuai dengan hasil analisis menggunakan windrose, bahwa angin dominan adalah angin timuran (Gambar 12). Angin yang berasal dari barat memiliki persentase terbesar kedua. Hasil MM5 diketahui, bahwa angin barat berhembus pada
pagi hari dan saat menjelang siang angin berbalik menuju barat. Hasil penelitian dengan MM5, bahwa angin dominan adalah angin timur dan angin barat. Hasil ini sesuai dengan windrose Gambar 12.
Gambar 12 Windrose bulan Januari 2009. 4.4 Potensi Penyebaran Pencemar Faktor dan unsur cuaca sangat menentukan kualitas udara suatu wilayah, baik kualitas udara perkotaan, pedesaan, maupun alami. Zat pencemar akan masuk ke atmosfer dan akan mengalami proses penyebaran, pengenceran dan difusi. Salah satu unsur yang sangat mempengaruhi adalah angin. Cahyono (2008) mengatakan angin dapat membawa zat pencemar terbawa menjauhi sumbernya. Musim basah angin bergerak menuju tenggara atau sebagian timur tersebut seperti sirkulasi angin harian. Selain itu angin skala sinoptik pada level udara atas juga mempengaruhi sirkulasi angin harian (Huda 1996; Sofyan, Kitada, Kurota 2001; Cahyono 2008). Arah angin bergantung dari tekanan udara dan keadaan lokal topografi. Arah angin dan variasinya berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas udara. Wilayah yang merupakan arah tujuan angin relatif memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibanding area lain dengan jarak yang sama. Daerah perkotaan memiliki kekasapan permukaan yang tinggi sehingga dapat mengurangi kecepatan angin (Trewartha& Horn 1995). Daratan Jakarta merupakan daerah dengan wilayah bertopografi datar dan bentuk pantai Jakarta membentuk teluk, maka terbentuklah pola angin memutar pada jam tertentu. Pola angin memutar searah jarum jam yang sering
18
terjadi pada pukul 10.00 dan 04.00 dapat menyebabkan pencemar tidak dapat terbawa jauh ke lautan. Selanjutnya menurut Suharsono (1985) pengaruh pantai dapat menyebabkan pencemaran udara dari pantai terbawa kembali ke daratan dalam aliran udara atas. Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai pola penyebaran pencemar dengan mengaitkan hasil MM5 dan penelitian Septiyanzar (2008), yaitu penyebaran pencemar di wilayah DKI Jakarta yang diperoleh dengan TAPM. Kajian waktu dibagi menjadi 3 waktu merujuk hasil Septiyanzar (2008), yaitu: Pagi hari (06.00-09.00) Siang-sore hari (12.00-18.00) Malam-dini hari (21.00-03.00) Berdasarkan penelitian Septiyanzar (2008) dengan menggunakan TAPM didapatkan, bahwa pada pagi hari pencemar akan tersebar secara horizontal, terutama saat pukul 09.00. Saat pencemar cenderung tersebar horizontal dibanding vertikal, maka konsentrasi pencemar akan tinggi di permukaan dan tersebar kearah utara- timur Jakarta (Gambar 12). Seperti halnya hasil dengan MM5 menunjukkan, bahwa pada pagi
hari angin laut belum terbentuk sehingga angin baratan lebih dominan. Kondisi ini akan menyebabkan pencemar menuju ke timur Jakarta. Konsentrasi yang tinggi pada permukaan dapat membahayakan mahluk hidup yang menghirup udara tercemar ini. Soedomo (2001) menyatakan zat pencemar menyebabkan gangguan kesehatan yang berbeda tingkatan dan jenisnya, tergantung dari macam, ukuran, dan komposisi kimiawinya. Gangguan dapat terjadi pada paru-paru, pembuluh darah serta iritasi kulit dan mata. Penyebaran pencemar juga terkait dengan lapisan pencampuran di pesisir pantai. Lapisan ini dipengaruhi oleh kondisi udara dan awan di laut yang menghambat radiasi pendinginan pada malam hari. Keadaan atmosfer pagi hari cenderung pada kondisi sangat stabil hingga stabil, sehingga diduga konsentrasi pencemar di permukaan besar. Saat kondisi udara stabil ringan terbentuk di Jakarta dapat mengakibatkan pencemar terjebak di area tersebut dan dapat meningkatkan kenaikan konsentrasi pencemar (Sofyan, Kitada & Kurata 2004).
Gambar 13 Pola penyebaran pencemar pukul 06.00-09.00 (Septiyanzar 2008). Malam – dini hari kecepatan angin yang masuk ke darat cenderung lemah yaitu 2.5 m/s hingga 5 m/s, sehingga penyebaran pencemar tidak akan masuk jauh ke daratan. Hasil MM5 menunjukkan angin menuju ke laut saat dini hari dan semakin kuat pukul 04.00, sesuai dengan hasil analisis Septiyanzar (2008) pada Gambar 13 yang menunjukkan angin mulai bergerak ke laut pada pukul 03.00 dini hari. Angin darat yang terbentuk menjelang dini hari akan membawa pencemar bergerak ke arah laut. Selanjutnya Septiyanzar (2008)
menunjukan umumnya malam-dini hari pencemar memiliki tendensi menyebar secara horizontal, sehingga tidak mengalami pencampuran dengan baik. Hal ini mengakibatkan kondisi konsentrasi pada malam hari tinggi dan timbulnya pola memutar di sekitar teluk yang dominan terbentuk pukul 04.00 menyebakan pencemar tidak akan terbawa jauh ke laut. Pola penyebaran horizontal ini dapat ditandai dengan pola yang terbentuk meluas ke segala arah. Kondisi ini dapat disebabkan
19
terjadinya inversi pada permukaan, sehingga konsentrasi pencemar di wilayah penyebarannya akan tinggi. Penyebaran secara horizontal ini tampak lebih kuat pada malam hari dibanding pada pagi hari. Saat inversi terjadi zat pencemar cenderung menyebar secara horizontal saja,
sehingga pencemar akan terperangkap di permukaan (Gambar 13). Godish (2004) menerangkan, bahwa pada topografi yang datar puncak inversi mencapai 10-20 m. Hal tersebut menyebabkan pencemar lebih dekat di permukaan, sehingga lebih membahayakan.
Gambar 14 Pola penyebaran pencemar pukul 21.00-03.00 (Septiyanzar 2008). Siang-sore hari daratan menjadi lebih cepat panas dibandingkan lautan, sehingga timbul gradien tekanan yang menyebabkan terbentuknya angin laut. Saat angin memasuki daratan DKI Jakarta, angin timur mendominasi, sehingga penyebaran pencemar akan menuju ke barat Jakarta (Lampiran 4). Hasil penelitian dengan MM5 didapatkan, bahwa angin pada siang hari memiliki kecepatan lebih tinggi dibanding pada pagi dan malam hari, sementara dalam Septiyanzar (2008) pada siang hari zat
pencemar cenderung bergerak secara vertikal (Gambar 14). Berdasarkan hal tersebut, maka pencemar akan mengalami pencampuran lebih baik dibanding waktu lainnya, terutama disebabkan oleh kondisi atmosfer yang cenderung tidak stabil; lapisan pencampuran meningkat, sehingga pencemar cenderung tersebar secara vertikal. Pola pergerakan pencemar secara vertikal ditandai dengan pencemar yang hanya berupa tanda titik. Pencampuran secara vertikal semakin kuat terjadi saat tengah hari.
Gambar 15 Pola penyebaran pencemar pukul 12.00-15.00 (Septiyanzar 2008). Mekanisme yang terjadi saat siang hari ialah: saat tengah hari radiasi matahari mencapai maksimum menyebabkan perbedaan tekanan bertambah besar, sehingga kecepatan angin meningkat. Seiring peningkatan kecepatan angin, zat pencemar akan tercampur dengan baik. Kondisi ini menyebabkan konsentrasi pencemar akan rendah. Hal ini sesuai dengan Godish (2004)
yang menyatakan, bahwa semakin cepat angin bertiup, zat pencemar akan terbawa semakin jauh dari sumber dan semakin rendah konsentrasinya di udara. Siang hari kondisi stabilitas cenderung tidak stabil dan banyak angin. Kondisi ini membuat konsentrasi pencemar lebih rendah, namun dapat menjadi tinggi di beberapa waktu tertentu (Sofyan, Kitada & Kurata
20
2004). Semakin siang kondisi berubah menjadi kondisi inversi pada lapisan atas dan kondisi netral atau tidak stabil pada permukaan. Menurut Suharsono (1985) hal tersebut disebabkan oleh pada pagi hari matahari memanaskan lapisan udara paling rendah dan tanah,sehingga lapisan udara netral dan tidak stabil bergerak ke atas dan inversi dekat permukaan tanah akan hilang karena pengaruh pemanasan oleh daratan. Kondisi kawasan utara Jakarta adalah area Industri, sehingga akan menghasilkan zat pencemar ke udara. Kondisi ini menyebabkan konsentrasi pencemar akan meningkat pada waktu tertentu dan saat malam hari kawasan tinggi pencemar telah berpindah ke kawasan jauh dari pantai. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Bouchlaghem K, Nsom B dan Lattrache N (2008) yang membahas kaitan antara daerah industri dekat pantai dan kawasan yang jauh lebih pantai dengan pencemaran udara menyatakan, jika siang hari konsentrasi zat pencemar tinggi dan pada malam konsentrasinya akan menurun. Begitu pula pada waktu sebaliknya.. Hal ini terkait erat dengan pola sirkulasi angin laut dan darat.
V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Hasil MM5 menunjukkan Angin timuran mendominasi angin di DKI Jakarta.Kondisi ini diperkuat oleh hasil windrose, yaitu angin timur 50%, tenggara 30%, timur laut 15% dan barat 9%. 2. Angin laut dan darat terjadi karena DKI Jakarta berbatasan dengan laut. Angin laut dapat mencapai jarak 40 km ke daratan sementara angin darat dapat mencapai 16.65 km dari garis pantai ke laut. 3. Garis pantai yang berbentuk teluk menyebabkan terjadi pola angin memutar yang terjadi pada saat pergantian angin laut dan darat (Pukul 10.00 dan 04.00). 4. Pagi hari, angin barat mendominasi, sehingga penyebaran pencemar akan menuju ke timur Jakarta. Saat siang – sore arah angin dominan adalah angin timur, sehingga pencemar akan terkonsentrasi di wilayah barat Jakarta. Pencemar mengalami pencampuran secara vertikal sehingga konsentrasi dapat lebih rendah.. Malam-dini hari dan malam hari pencemar udara tersebar secara horizontal. Timbulnya pola angin memutar
menyebabkan pencemar tidak terbawa jauh ke laut saat terbentuknya angin darat. 5.2 Saran Sebaiknya menggunakan data area industri dan bahan yang dihasilkan untuk meningkatkan akurasi prediksi potensi penyebaran pencemar,
VI DAFTAR PUSTAKA Ahrens C . 2007. Meteorology Today. Ed ke8. USA: Thomson Brooks/ Cole, a part of The Thomson Corporation. [Bappenas]. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Udara Kota. http//www.udarakota.bappenas.go.id [7 Februari 2009]. [BPKM] Badan koordinasi Penanaman Modal. 2009. DKI Jakarta. [terhubung berkala]. http://regionalinvestment.com. sipid/id/bataswilayah.php?ia=31&is=35 [18 April 2009]. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2002. Propinsi DKI Jakarta “Statistik Perhubungan 2002”. Jakarta: BPS. Bouchlaghem K, Nsom B, Lattrache N. 2008. The Relationship between Coastal and Rural Air Pollution and Ozone Concentration in Central Tunisia. EGU 24:3: 396-403. Cahyono WE. 2008. Penyebaran Emisi SO2 dan NO2 dari Industri. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. [terhubung berkala] http://www.lapan .go.id/ [10 September 2009]. Cahyono WE. Analisis Ozon Total pada Tahun 2008. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. [terhubung berkala] http://www.lapan.go.id/ [10 September 2009]. Comet Programme, Meteorology Education &Training (MetEd). 1999. How Mesoscale Model Work. Colorado. University Corporation for Atmospheric Research (UCAR).[terhubung berkala]. http://cirrus.geoph.itb.ac.id/elearning/come t/topic_meso.htm. [4 April 2009]. Comet Programme, Meteorology Education &Training (MetEd). 1999. Impact of
21
Model Structure and Dynamics. Colorado. University Corporation for Atmospheric Research (UCAR). [terhubung berkala] .http://cirrus.geoph.itb.ac.id/elearning/comet/topic_meso.htm. [4 April 2009]. Faisal C. 2009.Pencemaran Mesin Kendaraan.[terhubung berkala] http://www.blogotomotif.com/ index.php? option=com [11 September 2009]. Godish T. 2004. Air Quality. Ed ke-4. Florida, USA: Lewish Publisher. Huda S.1996.Studi Pola Angin Permukaan Jakarta Akibat Pengaruh angin Musim. [Tesis]. Program Studi Fisika kekhususan Meteorologi.Universitas Indonesia. Hsu SA. 1988. Coastal Meteorology. California: Academic press inc. June T. 1995. Angin. Di dalam: Handoko, editor. Klimatologi Dasar: Landasan pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsurunsur Iklim Ed ke-2. Bogor: Pustaka Jaya. Hlm: 80-82. Kompas. 2009. DKI Alami Pulau Panas. [terhubung berkala] http://www.kcm.com/ index.php? option=com [10 September 2009]. Krupa SV. 1997. Air Pollution, People, and Plants. Minnesota: The American Phytopathological Society. Kuwagata T, Kondo J, Sumioka M. 1993. Boundary Layer and Heat Budget of Sea Breeze Circulation. Di dalam: Exchange Processes at the Land Surface for a range of space and Time Scales. Proceedings of the Yokohama Symposium. Yokohama:AHS publ. 1993.hlm 189-194. Lutgens FK, Tarbuck EJ. The Atmosphere. Ed ke-9. 2004. New Jersey: Pearson Education. Mardio P. 1994. Pencemaran Udara pada Lingkungan. Warta LAPAN. 40:15 [MMM] Mesoscale and Meteorology Division. 2003. PSU/NCAR Mesoscale Modeling System Tutorial Class Notes and User’s Guide” MM5 Modeling Version 3.
USA: National Center for Atmospheric Research. [PEMDA DKI] Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2007. Perindustrian. [terhubung berkala] http://www.indonesia.go.id/ index.php? option=com [20 Desember 2009]. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Perez C. et al. 2205. Evaluation of MM5 PBL Schemes in an Urban Coastal Site Over The Western Mediterranean By LIDAR and Meteorology Data [abstrak] EGU. 7:5641 Prawirowardoyo S. Bandung: ITB
1996.
Meteorologi.
Saeni M. 1989. Kimia Lingkungan. Bogor: IPB Press. Schenelle K dan Dey P. 2000. Atmospheric Dispersion Modelling Compliance Guide. USA: The Mc Graw Hills. Septiyanzar R. 2008. Analisis Trayektori Pencemar Udara Dari Sumber Garis di Kota Jakarta Menggunakan The Air Pollution Model (TAPM). [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara. Bandung: ITB. Sofyan A, Kitada T dan Kurata G. 2004. Characteristics of Local Flown in Jakarta, Indonesia and It's Implication in Air Pollution Transport. Department of ecological engineering. Toyohashi University of Technology Japan. Suharsono. H. Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Pencemaran Udara. 1985. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Trewartha GT, Horn LH. 1995. Pengantar Iklim. Andani S, penerjemah; Srigandono B, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada. Terjemahan dari: An Introduction To Climate.
22
Turyanti A. 2005. Pola Angin Cekungan Bandung Menggunakan Model Skala Meso (MM5) untuk Pendugaan Penyebaran Pencemar di Kota Bandung. [Tesis]. Program studi Tehnik Lingkungan. Fakultas Teknik sipil dan Perencanaan. Institut Teknologi Bandung.
mmmmmmmmmm
; ; ;
m
m
23
LAMPIRAN
.
24
Lampiran 1 Peta cakupan wilayah domain 2
.
25
Lampiran 2 Diagram Alir Metode Penelitian Land use Elevation Land use water,mask Soil category Soil temperature Vegetation fraction Vegetation index
TERRAIN
TERRAIN_DOMAINn
REGRID
Data FNL
REGRID_DOMAINn Data Observasi
LITTLE_R
MMOUT_DOMAINn
MM5
INTERPF LOWBDY_DOMAINn MMINPUT_DOMAINn BDYOUT_DOMAINn
MM5toGrADS
MMOUT_DOMAINn.dat MMOUT_DOMAINn.ctl
GrADS
26
Lampiran 3 Pola angin permukaan domain 1 pada tanggal 20-26 Januari 2009 20Jan09 07.00 WIB
20Jan09 13.00 WIB
20Jan09 10.00 WIB
20Jan09 16.00 WIB
20Jan09 19.00 WIB
20Jan09 22.00 WIB
21Jan09 01.00 WIB
21Jan09 04.00 WIB
27
Lanjutan 21Jan09 07.00 WIB
21Jan09 13.00 WIB
21Jan09 10.00 WIB
21Jan09 16.0 WIB
21Jan09 19.00 WIB
21Jan09 22.00 WIB
22Jan09 01:00 WIB
22Jan09 04:00 WIB
28
Lanjutan 22Jan09 07.00 WIB
22Jan09 13.00 WIB
22Jan09 10.00 WIB
22Jan09 16.00 WIB
22Jan09 19.00 WIB
22Jan09 22.00 WIB
23Jan09 01.00 WIB
23Jan09 04.00 WIB
29
Lanjutan 23Jan09 07.00 WIB
23Jan09 13.00 WIB
23Jan09 10.00 WIB
23Jan09 16.00 WIB
23Jan09 19.00 WIB
23Jan09 22.00 WIB
24Jan09 01.00 WIB
24Jan09 04.00 WIB
30
Lanjutan 24Jan09 07.00 WIB
24Jan09 13.00 WIB
24Jan09 10.00 WIB
24Jan09 16.00 WIB
24Jan09 19.00 WIB
24Jan09 22.00 WIB
25Jan09 01.00 WIB
25Jan09 04.00 WIB
31
Lanjutan 25Jan09 07.00 WIB
25Jan09 13.00 WIB
25Jan09 10.00 WIB
25Jan09 16.00 WIB
25Jan09 19.00 WIB
25Jan09 22.00 WIB
26Jan09 01.00 WIB
26Jan09 04.00 WIB
32
Lampiran 3 Pola angin permukaan domain 2 pada tanggal 20- 26 Januari 2009 20Jan09 07.00 WIB
20Jan09 10.00 WIB
20Jan09 13.00 WIB
20Jan09 16.00 WIB
20Jan09 19.00 WIB
21Jan09 01.00 WIB
20Jan09 22.00 WIB
21Jan09 04.00 WIB
33
Lanjutan 21Jan09 07.00 WIB
21Jan09 10.00 WIB
21Jan09 13.00 WIB
21Jan09 16.00 WIB
21Jan09 19.00 WIB
22Jan09 01.00 WIB
21Jan09 22.00 WIB
22Jan09 04.00 WIB
34
Lanjutan 22Jan09 07.00 WIB
22Jan09 10.00 WIB
22Jan09 13.00 WIB
22Jan09 16.00 WIB
22Jan09 19.00 WIB
23Jan09 01.00 WIB
22Jan09 22.00 WIB
23Jan09 04.00 WIB
35
Lanjutan 23Jan09 07.00 WIB
23Jan09 10.00 WIB
23Jan09 13.00 WIB
23Jan09 16.00 WIB
23Jan09 19.00 WIB
24Jan09 01.00 WIB
23Jan09 22.00 WIB
24Jan09 04.00 WIB
36
Lanjutan 24Jan09 07.00 WIB
24Jan09 10.00 WIB
24Jan09 13.00 WIB
24Jan09 16.00 WIB
24Jan09 19.00 WIB
25Jan09 01.00 WIB
24Jan09 22.00 WIB
25Jan09 04.00 WIB
37
Lanjutan 25Jan09 07.00 WIB
25Jan09 10.00 WIB
25Jan09 13.00 WIB
25Jan09 16.00 WIB
25Jan09 19.00 WIB
26Jan09 01.00 WIB
25Jan09 22.00 WIB
26Jan09 04.00 WIB