Density Mapping Mangrove On The Island Dudepo Using Quickbird Imagery 1 Marlian Paputungan, Nawir Sune, Daud Yusuf. Study Program of Geography, Department of Earths Sains and Tecnology Faculty of Math and Sciences, Universitas Negeri Gorontalo. EMAIL :
[email protected] ABSTRACT MARLIAN PAPUTUNGAN 451 410 099. “Density Mapping Mangrove On The Island Dudepo Using Quickbird Imagery” papers were guided by Dr. Nawir Sune, M.Si and Daud Yusuf, S.Kom. M.Si. Geography Education Program S1 Departemen of Earth Science and Technology Faculty of Science, University of Gorontalo 2015. This study aims to Mapping mangrove density Dudepo Island using Quickbird images. Sampling was carried out based on the mangrove areas where each area of mangrove class. As a condition to obtain classes that have been in the analysis results based on Quickbird image it is necessary in the underlying with the tentative map the vegetation cover with mangrove density classifikation methon based on color and pixel value of the spectral reflectance Quickbird imagery itself. Based on the results of Quickbird image interpretation and field checks, extensive class is 2,983 Meter2 dense mangrove, mangrove class being is 1, 438 meter2, and the rare mangrove class is 577 meter2, the level of accuracy the results of the interpretation of which 72.7 % which is a catagory that is not good because it is included in either category which is approximately 85 %. There are several possibilites the efect the results that have been obtained among others: 1) Pixel value is affected by other objects, this is because the value of the pixel will be in accordance with the reflection spectral. If there are objects or things that can stymie the spectral reflectance pixel value will also be reduced. 2) when the appearance of a different image in Quickbird image data obtained in 2012 and the research was conducted in 2014. Keywords: Density Of Mangrove, Supervised Classification And Quickbird Imagery 1
1
MARLIAN PAPUTUNGAN, 451410099, PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI, FAKULTAS MIPA, Dr. NAWIR SUNE, M.Si, DAUD YUSUF, S.Kom, M.Si Pemetaan Kerapatan Mangrove Di Pulau Dudepo Dengan Menggunakan Citra Quickbird 1 Marlian Paputungan, Nawir Sune, Daud Yusuf. ,Jurusan Ilmu dan Teknologi Kebumian, Program Studi Pendidikan Geografi F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo EMAIL :
[email protected] ABSTRAK MARLIAN PAPUTUNGAN 451 410 099. “ Pemetaan Kerapatan Mangrove Di Pulau Dudepo Menggunakan Citra Quickbird ” karya tulis yang dibimbing oleh Dr. Nawir Sune, M.Si dan Daud Yusuf, S.Kom. M.Si . Program Studi S1 Pendidikan Geografi Jurusan Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo Tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk Memetakan kerapatan mangrove di Pulau Dudepo
menggunakan
Citra Quickbird.
Pengambilan
sampel dilakukan
berdasarkan area manggrove dimana setiap area mangrove di suatu lahan diambil satu titik sampel untuk menentukan kelas-kelas kerapatanya diantaranya kelas mangrove lebat, kelas mangrove sedang, dan kelas mangrove jarang. Sebagai syaratnya memperoleh kelas-kelas hasil yang telah di analisis berdasarkan citra Quickbird maka perlu di dasari dengan peta tentatif tutupan vegetasi yakni dengan metode klasifikasi kerapatan manggrove berdasarkan Warna dan Nilai Pixel dari pantulan spektral citra quickbird itu sendiri. Berdasarkan hasil interpretasi citra Quickbird dan pengecekan lapangan, luas kelas mangrove jarang 577 m2, luas kelas mangrove sedang 1,438 m2, dan luas kelas mangrove lebat 2.983 m2. Tingkat ketelitian hasil interpretasi pada penelitian ini yakni 72,7 % yang dimana merupakan kategori yang kurang baik hal ini dikarenakan masuk dalam kategori baik kurang lebih yakni 85 %. Ada beberapa kemungkinan yang mempengaruhi hasil yang telah diperoleh antar lain: 1) Nilai Pixel yang terpengaruh oleh objek lain, hal ini dikarenakan nilai pixel akan sesuai dengan pantulan spekral. Apabila ada objek atau hal-hal yang dapat menghalang pantulan spektral maka nilai pixelnya juga akan berkurang, 2) Medan yang di tempuh berkemungkinan kurang tepat.3) Waktu perekaman citranya pada tahun yang berbeda dimana citra
Quickbird datanyadiperoleh pada tahun 2012 sedangkan pada penelitian ini dilaksanakan nanti pada tahun 2014. Kata kunci : Kerapatan Manggrove, klasifikasi Supervised dan Citra Quickbird
1 1
MARLIAN PAPUTUNGAN, 451410099, PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI, FAKULTAS MIPA, Dr. NAWIR SUNE,M.Si, DAUD YUSUF, S.Kom, M.Si
Hutan mangrove merupakan formasi dari tumbuhan yang spesifik, dan umumnya dijumpai tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang terlindung didaerah tropika dan subtropika. Kata mangrove sendiri berasal dari perpaduan antara bahasa Portugis yaitu mangue,dan bahasa Inggris yaitu grove (Macnae, dalam Pramudji 2001: 13-14). Dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis tumbuhan, dan kata mangal dipergunakan untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-individu jenis mangrove. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata mangrove dipergunakan baik untuk komunitas pohonpohonan atau rumput-rumputan yang tumbuh dikawasan pesisir maupun untuk individu jenis tumbuhan lainnya yang tumbuh yang berasosiasi dengannya. Selan itu, Mastaller (dalam Pramuji 2001:14) menyebutkan bahwa kata mangrove adalah berasal dari bahasa Melayu-kuno, yaitu mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia, dan sampai saat ini istilah tersebut masih digunakan untuk kawasan maluku. Berkaitan dengan hal tersebut, berbagai macam istilah yang digunakan untuk memberikan sebutan pada hutan mangrove, antara lain adalah coastal woodland, mangal dan tidalforest. Secara umum, Saenger et al (dalam Pramudji 2001:14) memberikan pengertian bahwa hutan adalah sebagai suatu formasi hutan yang dipengaruhi oleh adanya pasang surut air laut, dengan keadaan tanah yang anaerobic. Sedangkan Sukardjo (dalam Suryo. 2013), mendefinisikan hutan mangrove sebagai sekelompok tumbuhan yang terdiriatas berbagaimacam jenis tumbuhan dari family yang berbeda, namun memiliki persamaan daya adaptasi morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut. Terkait dengan definisidi atas, maka hal yang paling mendasar dan penting untuk dipahami adalah bahwa jenis tumbuhan mangrove mampu tumbuh dan berkembang pada lingkungan pesisir yang berkadar garam sangat ekstrim, jenuh air, kondisi tanah yang kurang stabil dan anaerob. Dengan kondisi lingkungan tersebut, beberapa jenis tumbuhan mangrove mampu mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif untuk mengeluarkan garam dari jaringan. Sementara itu, organ yang lainnya memiliki daya adaptasi dengan cara mengembangkan sistem akar napas untuk memperoleh oksigen dari system perakaran yang hidup pada substrat yang anaerobik. Disamping itu, beberapa jenis
tumbuhan mangrove seperti Rhizophora sp, Bruguiera sp. dan Ceriops sp. Mampu berkembang dengan menggunakan buah (propagul) yang sudah berkecambah sewaktu masih menempel pada pohon induknya atau disebut sebagai viviar. Namun sebagaimana halnya dengan jenis tumbuhan lainnya, tumbuhan mangrove ini tetap membutuhkan airtawar secaranormal, unsur hara dan oksigen. Selainitu, keberadaan hutan mangrove dikawasan pesisir tersebut biasanya tumbuh dan berkembang berkaitan erat dengan ekosistem lainnya, seperti padang lamun, algae dan terumbu karang. Di Indonesia, hutan mangrove tumbuh dan tersebar diseluruh nusantara, mulai dari Pulau Sumatera sampai dengan Pulau Irian. Menurut Darsidi (dalam Pramudji 2001:14) luas hutan mangrove diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar, sedangkan menurut laporan Giesen (dalam Pramudji 2001:114) luas hutan mangrove pada tahun 1993 diperkirakan sekitar 2,49juta hektar. Berdasarkan hal ini perlu diketahui juga bahwa ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bias di identifikasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Letak geografi ekosistem mangrove yang berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi darat lainnya. Efek perekaman tersebut sangat erat kaitannya dengan karakteritik spektral ekosistem mangrove. Dalam identifikasi ekosistem mangrove memerlukan suatu transformasi tersendiri (Susilo dalam Opa 2010:79). Dalam penelitian ini digunakan klasifikasi Supervised yang kemudian dilakukan analisa nilai pixelnya dimana nilai pixel akan sesuai dan berbengaruh terhadap pantulan spektralnya sehingga memantulkan nilai warna yang sesuai dengan keadaan vegetasi dilapangan. (Saripin 2003:49). Penginderaan Jauh Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) berkembang dengan pesat sejak eksplorasi antariksa berlangsung sekitar tahun 1960-an dengan mengorbitnya satelit-satelit Gemini, Apollo, Sputnik, Solyus. Kamera yang mengambil gambar permukaan bumi dari satelit memberikan informasi berbagai gejala dipermukaan bumi seperti geologi, kehutanan, kelautan dan sebagainya. Teknologi pemotretan udara yang berkembang bersamaan dengan era eksplorasi antariksa seperti sistim
kamera majemuk, multispectral scanner, vidicon, radiometer, spectrometer diikut sertakan dalam misi antariksa tersebut pada tahap berikutnya. Pada tahun 1972 satelit ERTS-1 (sekarang dikenal dengan Landsat) untuk pertama kali diorbitkan Amerika Serikat. Satelit ini dikenal dengan satelit sumber alam karena fungsinya adalah untuk memetakan potensi sumber alam dan memantau kondisi lingkungan. Menurut Lillesand dan Kiefer (dalam Syah 2010 : 2-3), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. Menurut Colwell (dalam Syah 2010:3), penginderaaan jauh yaitu suatu pengukuran atau perolehan data pada objek di permukaan bumi dari satelit atau instrumen lain di atas atau jauh dari objek yang diindera. Para praktisi dari berbagai bidang ilmu mencoba memanfaatkan data Landsat untuk menunjang program pemetaan, dalam waktu singkat disimpulkan bahwa data satelit tersebut potensial untuk menunjang program pemetaan dalam lingkup sangat luas. Sejak itu berbagai satelit sejenis diorbitkan oleh negara-negara maju lain, seperti SPOT oleh Perancis, IRS oleh India, MOSS dan Adeos oleh Jepang, ERS-1 oleh MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) dan Radarsat oleh Kanada. Pada sekitar tahun 2000 sensor berketelitian tinggi yang semula merupakan jenis sensor untuk mata-mata / intellegence telah pula dipakai untuk keperluan sipil dan diorbitkan melalui satelit-satelit Quickbird, Ikonos, Orbimage-3, sehingga obyek kecil di permukaan bumi dapat pula direkam. Penggunaan data satelit penginderaan jauh di bidang kebumian telah banyak dilakukan di negara maju untuk keperluan pemetaan geologi, eksplorasi mineral dan energi, bencana alam dan sebagainya. Di Indonesia penggunaan dalam bidang kebumian belum sebanyak di luar negeri karena berbagai kendala, diantaranya data satelit cukup mahal, memerlukan software khusus dan paling utama adalah ketersediaan sumberdaya manusia yang terampil sangat terbatas. Dalam pembahasan ini akan lebih ditekankan pada pengenalan informasi geologi dan kondisi lingkungan geologi yang dalam beberapa hal berkaitan dengan penggunaan data satelit penginderaan jauh.
Menurut Lindgren (dalam Syah 2010), penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Pada dasarnya penginderaan jauh didefinisikan sebagai suatu metoda untuk mengenal dan menentukan obyek dipermukaan bumi tanpa melalui kontak langsung dengan obyek tersebut. Banyak pakar memberi batasan, penginderaan jauh hanya mencakup pemanfaatan gelombang elektromaknetik saja, sedangkan penginderaan yang memanfaatkan sifat fisik bumi seperti kemaknitan, gaya berat dan seismik tidak termasuk dalam klasifikasi ini. Namun sebagian pakar memasukkan pengukuran sifat fisik bumi ke dalam lingkup penginderaan jauh. Di bawah ini akan disinggung secara singkat mengenai gelombang elektromaknit, pembagian dalam selang panjang gelombang (spectral range), mengapa dipakai dalam sistim perekaman citra dan bagaimana responnya terhadap benda di permukaan bumi. Penginderaan Jauh Untuk Vegetasi Mangrove Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kieferdalam Darmawan 2012:3).Aplikasi baru dari penginderaan jauh multispektral telah menitikberatkan pada estimasi jumlah dan distribusi vegetasi.Estimasi didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi.Intensitas pantulan tergantung pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga komponen vegetasi, yaitu daun, substrat dan bayangan. Pemantauan
vegetasi
pada
penginderaan
jauh
didasarkan
pada
karakteristik pantulan objek.Pada panjang gelombang infrah merah dekat dengan nilai pantulan dari objek (vegetasi) tinggi, sedangkan pada selang panjang gelombang merah nilai pantulnya rendah. Jika kedua kanal ini dikombinaskan akan di hasilkan data yang memiliki pantulan yang respon terhadap kehijauan vegetasi (Lillesand dan Kieferdalam Wijaya: 2005).
Klasifikasi Kerapatan Mangrove Pemilihan
lokasi
stasiun
berdasarkan
atas
pertimbangan,
dalam
mengklasifikasikan kerapatan mangrove lokasi yang ditentukan untuk vegetasi mangrove
harus
mewakili
wilayah
kajian,
dan
juga
harus
dapat
mengindingkasikan atau mewakili setiap zona mangrove yang terdapat diwilayah kajian. Bengen (dalam Ramadhon, A (2008). Pada penelitian ini mangrove yang di ukur adalah mangrove yang memiliki nilai % tingkat kerapatannya, yang dihitung melalui jumlah kotak pixel, dimana dipilih kotak pixel yang tergolong dalam kategori mangrove kemudian di lihat berapa % mangrove yang terdapat pada setiap sampelnya, Jumlah klasifikasi kerapatan mengacu pada metode yang digunakan oleh Ramadhon, A (2008). -
Kerapatan Relatif (RDi)
Kerapatan Relatif (RDi) merupakan perbandingan antara jumlah jenis tegakan jenis ke-i dengan total tegakan seluruh jenis, (Bengen dalam Ramadhon A. 2008). Kerapatan Relatif ini digunakan dalam penelitian ini dalam menghitung kerpatan manggrove, Penentuan kerapatan relatif (RDi) menggunakan rumus:
RDi =
ni∑n
x 100 %
Nilai kelas mangrove yang telah diperoleh disesuaikan dengan kriteria yang telah di tentukan. (Ramadhon A. 2008).
-
-
Kelas mangrove lebat, nilai presentasinya ≥ 67 – 100%
-
Kelas mangrove sedang, nilai presentasinya ≥ 34 % - 66 % Kelas mangrove jarang, nilai presentasinya adalah 1 % - 33 %
Kriteria diatas diperoleh pembagian dari nilai: 100 %jumlah kelas
mangrove = 100 %3 = 33 %. Jadi, selisih dari setiap kelas mangrove adalah 33 %. Karakteristik Satelit Quickbird Citra merupakan masukan data atau hasil observasi dalam proses penginderaan jauh. Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu obyek yang sedang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau
/
sensor,
baik
optik,
elektrooptik,
optik
mekanik
maupun
elektromekanik. Citra memerlukan proses interpretasi atau penafsiran terlebih dahulu
dalam
pemanfaatannya.
Citra
satelit
merupakan
hasil
dari
pemotretan/perekaman alat sensor yang dipasang pada wahana satelit ruang angkasa dengan ketinggian lebih dari 400 km dari permukaan bumi. Satelit Quickbird merupakan salah satu satelit tercanggih, terbaru dan terbaik karena resolusi spasialnya yang sangat tinggi, dan datanya sudah bisa didapatkan di pasaran secara komersial. Satelit ini mempunyai berat 2100 pounds dan panjang 3,04 m. Satelit
Quickbird memiliki dua macam sensor yaitu sensor panchromatic (hitam dan putih) dengan resolusi spasial 0,6 m (2-foot) dan sensor multispectral (berwarna) dengan resolusi spasial 2,44 m (8-foot). Tingginya resolusi spasial pada citra ini memberikan keuntungan untuk berbagai aplikasi, terutama yang membutuhkan ketelitian yang tinggi pada skala area yang kecil.
Karakteristik lebih lanjut dari Satelit Quickbird akan di berikan pada Tabel Berikut. Tabel 2 Karakteristik Satelit Quickbird
Kanal (Band)
Panjang Gelombang (μm)
1
0,45 – 0,52 (biru)
2
0,52 – 0,60 (hijau)
3
0,63 – 0,69 (merah)
4
0,76 – 0,89 (IR dekat)
PAN
0,45 – 0,90 (PAN)
Sumber : Suseno Wangsit Wijaya.2005 METODE PENELITIAN Dalam melakukan analisis data dengan cara klasifikasi supervised kemudian interpretasi visual/digitasi on screen dengan menggunakan software Arc GIS 9.3 dengan menghitung dan menentukan kerapatan mangrove pada setiap titik sampel. Adapun variabel dalam penelitian ini adalah kerapatan mangrove yang diklasifikasikan dengan menggunakan metode Supervised. Menggunakan teknologi penginderaan jauh dengan citra quickbird untuk pemetaan kerapatan hutan mangrove di Pulau Dudepo. HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian/ Pulau Dudepo Lokasi penelitian yakni di Pulau Dudepo yang terletak di Kabupaten Gorontalo Utara dengan luas pulau ≤ 15 km2 dengan menggunakan titik koordinat UTM yakni98400-100800 LU, dan 47300-480000 BT. Terdapat beberapa vegetasi hutan mangrove yang luas area manggrove ialah ≤ 0,4998 Hektar. Kondisi lingkungannya masih alami. Penduduk di Pulau inisebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.
Hasil klasifikasi kerapatan mangrove setelah diadakan cek lapangan disajikan pada tabel 7. Tabel. Hasil Interpretasi Kerapatan Mangrove Jumlah No Sampel
Jumlah Kotak Semua Kotak
Kelas Mangrove Jumlah
Pixel
Piksel Pada
total di
jarang Sedang Lebat
1
Titik 1
Mangrove 150.692
Sampel 158.385
kali 100 % 94 %
2
Titik 2
61.269
158.601
26 %
3
Titik 3
119.211
158.398
75 %
4
Titk 4
108. 997
158.296
69 %
5
Titik 5
81.422
158.797
51%
6
Titik 6
129.393
158.497
81 %
7
Titik 7
57.288
158.699
36 %
8
Titik 8
121.243
158.642
76 %
9
Titik 9
30.354
158.802
19 %
10
Titik 10
67.998
158.322
42 %
11
Titik 11
40.404
158.997
25 %
12
Titik 12
114.542
158.875
72 %
Jumlah
3
3
6
Peta Hasil Kerapatan Mangrove
Tabel. Hasil Ketelitian Interpretasi Kategori Hasil Interpretasi Kategori
Mangrov
Mangrov
Mangrove
Jumla
Lapangan
e Sedang 0
Jarang 1
h
Mangrove
e Lebat 3
4
1/4=25
3/4=75
3/3+1+3 =
Lebat Mangrove
0
1
1
2
% 1/2=5%
% 2/2=1%
43 % 1/1+1+2=
5/6=83
1/6=17
25% 1/1+5+1=
%
%
Sedang Mangrove Jarang Jumlah
3 6
2 3
1 3
6 12
Omisi
Komisi
Ketelitian Pemetaan
14% 72,7 %
Pembahasan Tabel tingkat ketelitian citra Quickbir. Berdasarkan uji ketelitian dengan menggunakan metode Short diketahui bahwa tingkat ketelitian hasil interpretasi penggunaan lahan dengan menggunakan citra Quickbird 2012 sebesar 72,7 % yang dimana merupakan kategori yang kurang baik hal ini dikarenakan masuk dalam kategori baik kurang lebih yakni 85 %.
Kesimpulan Total luas hutan mangrove pada Pulau Dudepo yakni ≤ 0,4998hektar. Berdasarkan hasil interpretasi citra quickbird dan pengecekan lapangan, luas kelas mangrove jarang 577 m2, luas kelas mangrove sedang 1,438 m2, dan luas kelas mangrove lebat 2.983 m2. Tingkat ketelitian hasil interpretasi pada penelitian ini yakni 72,7 % yang dimana merupakan kategori yang kurang baik hal ini dikarenakan masuk dalam kategori baik kurang lebih yakni 85 %. Ada beberapa kemungkinan yang mempengaruhi hasil yang telah diperoleh antar lain: 1) Nilai Pixel yang terpengaruh oleh objek lain, hal ini dikarenakan nilai pixel akan sesuai dengan pantulan spekral. Apabila ada objek atau hal-hal yang dapat menghalang pantulan spektral maka nilai pixelnya juga akan berkurang, 2) Medan yang di tempuh berkemungkinan kurang tepat.3) Waktu perekaman citranya pada tahun yang berbeda dimana citra Quickbird datanyadiperoleh pada tahun 2012 sedangkan pada penelitian ini dilaksanakan nanti pada tahun 2014. Saran 1.
Perlu diperoleh data citra yang sesuai dengan tahun
pelaksanaan penelitian. 2.
Melakukan penelitian kembali dengan metode prediksi
kerapatan hutan manggrove yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Amran, M. A, 1999. Karakteristik Pantulan Spektral Tumbuhan Manggrove Pada Citra Digital Landsat TM. Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Arifin, S. Taufik H. 2014. Kajian Kriteria Standar Pengolahan Klasifikasi Visual Berbasis Data Inderaja Multispektral Untuk Informasi Spasial Penutup Lahan.
http://
geo.ugm.ac.id/deteksi-parameter-geobiofisik-dan-
diseminasi-penginderaan-jauh.pdf. 22 Oktober 2014 (10:59) Darmawan, E. 2012.Comparison Of Methods Supervised And Supervised Trough Google Satellite Image Analysis Prosedure For Land Use.
http://publication.gunadarma.ac.id/handle/123456789/5340. Februari 2014 (08:16)
15
Fhadhilah, A. 2013. Pemanfaatan Citra Quickbird Untuk Evaluasi Kesesuaian Antara Lokasi Industri Dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Tegallega. Universitas Pendidikan Indonesia. Firman, F. M, 2009. Pemetaan Kerapatan Mangrove Di Kepulauan Kangean Menggunakan Alogaritma NDVI. Firman, S. Abrella Q. Asep I. 2007. Pemetaan Luas Kerapatan Hutan Mangrove Sebagai Kawasan Konservasi Laut Di Nusa Lembongan, Bali Menggunakan Citra Satelit Alos. Muhsoni, F. F. 2009. Pemetaan Kerapatan Mangrove Di Pulau Kangean Menggunakan Alogaritma NDVI. Mohammad, F. N. 2007. Tutorial ENVI, Prodi Kartografi dan Penginderaan Jauh,Jurusan Sains Informasi Geografi dan Pengembangan Wilayah,Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Opa, E. T. 2010. Analisis Perubahan Luas Lahan Mangrove di Kabupaten Pohuato Provinsi Gorontalo Dengan Menggunakan Citra Landsat. Pramudji, 2001.Ekosistem Hutan Mangrove dan Peranannya Sebagai Habitat BerbagaiFauna Aquatik. Purwadhi, S. H, 2001. Interpetasi Citra Digita. Penerbit PT Grasindo, Anggota IKAPI, Jakarta 2001. Ramadhan A. (2008). Kajian Nilai Ekologi Melalui Inventarisasi dan Nilai Indeks Penting
(INP)
Mangrove Terhadap
Perlindungan
Lingkungan
Kepulauan Kangean.Jurnal EMBRYO VOL.5 NO. 1. ISSN 02160188. JUNI 2008. Saripin, I. 2010. Identifikasi Penggunaan Lahan Dengan Menggunakan Citra Landsat Thematic Mapper. 14 Juli 2014 (14:59) Suargana N. 2008. Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Data Penginderaan Jauh Di Pantai Bahagia,Muara Gembong, Bekasi. Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 5, 2008 :64-74.