!"#$%'() !"#$%'() Edisi ini bertema ”Koperasi dalam Pemberdayaan Perempuan”. Mengapa demikian ? Karena edisi ini merupakan edisi khusus untuk menjelaskan keberadaan wanita dalam berkoperasi. Perempuan menjadi nomor dua. Begitulah posisi kaum wanita yang kerap disejajarkan apabila bersanding dengan kaum lelaki. Kaum wanita atau perempuan mempunyai kodratnya sendiri sebagai pendamping suami, ratu di rumah tangga dan pengasuh yang baik bagi anak-anaknya. Sementara kaum lelaki mempunyai beban yang tidak kalah berat, sebagai suami, kepala rumah tangga yang bertangungjawab terhadap pemenuhan ekonomi keluarganya. Distribusi peran secara seksual itu, bagai keniscayaan sejarah yang aksiomatis, bahkan di-amini oleh norma-norma adat dan agama. Perlawanan terhadap insinuasi gender itu bukannya tidak dilakukan. Di masyarakat Barat, misalnya, pada era 70 dan 80 an, kalangan wanita di Amerika Serikat (AS) menuntut peran yang setara dengan kaum lelaki. Bahwa apa yang dapat dikerjakan oleh kaum lelaki, dapat pula dilakukan kaum wanita. Itu sebabnya, secara positif kemudian lahirlah para pelaut, pilot, pemain sepak bola bahkan petinju dari kalangan wanita. Sah-sah saja memang. Namun tuntutan peran itu belakangan kian kabur. Tuntutan emansipasi itu membentur kodrat kewanitaan yang sejati, di mana wanita punya hak untuk melahirkan, menyusui serta keterbatasan genital yang tidak dimiliki kaum lelaki. Di penghujung 80-an di AS dan juga beberapa negara di Eropa muncul syndroma gender yang disebut Cinderella Complex. Kaum perempuan akhirnya menyadari bahwa keterbatasan genital itu telah memberi peran-peran spesifik, yang tidak bisa dikerjakan oleh kaum lelaki. Mereka menyadari bahwa tempat mereka yang paling pas adalah di rumah. Apakah tuntutan kesetaraan itu lalu pudar? Tidak juga. Kaum wanita tetap saja punya peran untuk tampil sebagai pelaku ekonomi andal menggantikan tugas para lelaki. Di negeri kita, misalnya tuntutan terhadap kesetaraan yang tidak asal gebyah-uyah seperti di Barat, telah mengemuka jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah negara. Gerakan koperasi wanita yang berkembang pada 1930-an dan pola tanggung renteng, Mursia Zaafril Ilyas pada 1950-an, pada dasarnya adalah sebuah gerakan dari kesadaran feminis. Kesadaran kaum perempuan akan kondisinya sebagai pihak yang dikalahkan oleh keadaan. Ketika aktualisasi peran ekonomi wanita di Indonesia mengemuka melalui gerakan koperasi, ada pengharapan bahwa kesetaraan peran itu memang sudah sampai di ujung perjuangan. Idiom koperasi bak identik dengan sosok kaum wanita. Ada roh partisipasi yang secara murni muncul dari kesadaran feminim itu. Bahwa kelebihan peran kaum wanita, yang sabar pendidik dan telaten justru sangat pas dan menemui muaranya di koperasi. Kendati demikian ada juga sindiran, bahwa gerakan kesadaran itu lebih termotivasi oleh mobilisasi massa. Bahwa perempuan berkoperasi tak lebih dari gerakan massif yang ia sendiri sebenarnya tidak tahu mau kemana?
Dengan pikiran yang jernih agaknya kita perlu mengenyampingkan tudingan pro kontra itu. Kita bersyukur bahwa apa yang telah dicapai oleh pergerakan wanita Indonesia melalui ekonomi koperasi telah menorehkan sejarah penting di negeri ini. Namun kita pun sadar, bahwa perjuangan itu masih sangat panjang. Di banding total perempuan Indonesia (mengacu sensus BPS) sebanyak 105 juta orang, tercatat baru 200 ribuan saja yang sudah berkoperasi. Jumlah ini memang yang tercantum di 1517 Koperasi Wanita yang tersebar di tanah air. Tetapi jika mengacu pada total koperasi yang mencapai 138.411 unit per 2006. tetap saja jumlahnya belum signifikan. Anggota koperasi tercatat di Kementerian Koperasi dan UKM per 2006 mencapai 27 juta orang. Kaum wanita kita boleh jadi berkiprah di berbagai bidang kehidupan, baik sosial, agama maupun politik. Namun proses menuju kesetaraan gender itu agaknya paling pas melalui aktivitas koperasi. Tumbuh-kembangnya koperasi-koperasi perempuan sendiri sesungguhnya merupakan reformasi dalam pembangunan koperasi yang selama ini terkesan didominasi oleh kaum laki-laki, akibat struktur sosial budaya yang kurang mendukung peran perempuan. Dengan semakin memudarnya diskriminasi gender, idealnya peran perempuan yang didukung oleh koperasi dalam sistem perekonomian akan semakin besar. Partisipasi ekonomi kaum wanita secara umum tentu saja lebih rendah dibanding lelaki. Beberapa penyebabnya antara lain terbatasnya kesempatan memperoleh pendidikan, tingkat kesehatan rendah dengan angka kematian ibu yang masih tinggi (307 orang per 100.000 kelahiran), dan keterwakilan di kursi parlemen (11,9% ). Jika kaum wanita, diyakini sebagai tiang negara, maka ketertinggalan posisi yang marjinal itu tentunya tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kita acapkali mendengar Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Muetia Farida Hatta Swasono, bahwa masih banyak kepentingan perempuan yang belum terakomodasi dengan baik. Secara sosialbudaya patriarki di Indonesia masih kuat sehingga muncul anggapan perempuan tidak bisa ikut bermitra sejajar dengan laki-laki. Tetapi bukankah kita setuju dan tengah menuju keseteraan peran itu, di mana wanita itu bukan sub-ordinasi kaum lelaki. Sejatinya ia mitra. (Irsyad Muchtar)
KEKUATAN KOPERASI DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Sulikanti Agusni∗ Abstrak Koperasi Wanita atau koperasi yang dikelola dan beranggotakan perempuan, telah menunjukkan kemampuannya untuk dapat bersaing dalam memberikan layanan yang baik kepada anggotanya. Namun dalam perkembangannya, jumlah koperasi wanita tidak tumbuh dan berkembang cepat. Padahal koperasi sangat memberi peluang dan kekuatan pada anggotanya yang menyadari sepenuhnya akan perannya. Jika anggota koperasi menyadari peran dan keikutsertaannya, mulai dari perencanaan kegiatan hingga pengambilan keputusan dan pelaksanaannya, niscaya koperasi tersebut akan maju pesat. Kondisi ini oleh Paolo Freire disebut ‘consciencious’, yaitu keadaan dimana anggota telah memerdekakan cara berpikirnya sehingga mampu berperan dan menentukan jalannya sendiri. ‘Kesadaran’ inilah yang masih belum banyak dimiliki oleh perempuan dan masyarakat pada umumnya. Kata kunci : Participation, partisipasi, peranserta; consciencious, kesadaran diri, oppressed, tertekan, culture of silence, budaya pasif, gender awareness.
I.
PENDAHULUAN Sejak reformasi tahun 1998 yang lalu Indonesia telah dibawa kepada perubahan-perubahan yang menimbulkan suatu pendekatan-pendekatan yang sama sekali berbeda dengan pendekatan pembangunan era Orde Baru. Reformasi bertujuan untuk mengembangkan masyarakat madani yang dilakukan melalui pemerintahan yang baik (good governance) dimana pemerintah dapat menggunakan kekuasaannya dalam mengatur sumber-sumber sosial ekonomi untuk pembangunan masyarakat secara menyeluruh dan kerjasama serta interaksi yang baik antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Salah satu pelaku masyarakat dalam mewujudkan masyarakat madani sebenarnya telah dilakukan oleh koperasi yang dikelola dan beranggotakan perempuan atau dikenal sebagai koperasi wanita. Hanya saja keberadaannya masih boleh dikatakan belum optimal dan belum mempengaruhi perilaku masyarakat koperasi khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Mengapa hal ini dapat terjadi, padahal koperasi telah menjadi salah satu soko guru perekonomian bangsa Indonesia? Koperasi wanita bukanlah suatu organisasi yang asing bagi kaum perempuan Indonesia. Keberadaannya sudah menjadi bagian dari kehidupan perempuan sejak dari zaman kebangkitan Indonesia di tahun 1930an dipelopori oleh Ibu Hajjah Sofjan, pengrajin batik dari Persatuan Perusahaan Batik Bumiputera di Surakarta. Mereka berkoperasi untuk mengatasi kesulitan mendapatkan bahan baku untuk membuat batik. Pergerakan perempuan juga berlangsung di Jawa Barat dipelopori oleh Ibu-Ibu Pasundan Isteri (PASI) dengan mendirikan koperasi simpan pinjam di tahun 1933 untuk meringankan
∗
)
Asisten Deputi Urusan Ekonomi Perempuan, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
1
beban dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Namun dalam perkembangannya koperasi wanita cenderung statis dan jumlahnya hingga saat ini diperkirakan tidak lebih dari 10% saja. Koperasi terbentuk memang atas dasar kebutuhan dan kepentingan yang sama. Bung Hatta selalu menekankan kepentingan bersama ini. Oleh sebab itu keberadaan koperasi yang dikelola oleh perempuan pun terjadi karena kepentingan dan keperluan bersama. Contohnya, Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita, Koperasi Wanita Pengusaha Indonesia (KOWAPI), Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (PUSKOWANJATI) terbentuk karena keperluan yang sama dari para anggotanya, antara lain untuk mendapatkan akses informasi dan kemudah-kemudahan lain dalam rangka menjalankan usahanya, seluruhnya bergabung dalam rangka mewujudkan kepentingan bersama. Koperasi Wanita pada umumnya sangat berpengalaman dalam aktivitas simpan pinjam yang sudah menjadi dasar dari pembentukan koperasi sendiri di kalangan perempuan. Dari sejumlah pendataan yang dilakukan beberapa lembaga diketahui bahwa koperasi wanita umunya berawal dari kelompok arisan dan kegiatan simpan pinjam di antara anggota arisan. Demikian pula halnya pada koperasi wanita yang terbentuk di lingkungan perempuan pengusaha, terbentuk karena adanya kebutuhan bersama. Hasil kajian dan observasi sebuah lembaga swadaya masyarakat menyatakan bahwa kepentingan utama perempuan berkoperasi adalah aktivitas simpan pinjam dan hasil observasi yang dilakukannya membuktikan bahwa tingkat pengembaliannya mencapai hampir 100%. Harian Pikiran Rakyat, 20 Januari 2004 mengetengahkan Koperasi Simpan Pinjam Budi Karya Wanita yang tidak berbadan hukum, tapi anggotanya mencapai 880 orang dengan 500 anggota aktif meminjam. Koperasi ini telah berusia 30 tahun dan terus berkembang, dengan permodalan di atas Rp200 juta lebih. Contoh lain yang tidak asing lagi adalah Koperasi Setia Bhakti Wanita yang menggunakan sistem tanggung renteng untuk melayani anggotanya yang berjumlah 358 kelompok dengan aset mencapai Rp.7 milyar, dan tunggakannya 0%. Ini hanya gambaran bahwa perempuan dapat berperan dan dapat mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Keikutsertaan perempuan dalam berkoperasi sebenarnya tidak perlu diragukan lagi. Namun keikutsertaan perempuan belum berarti perempuan berperanserta (participation) atau ikut mengambil keputusan, karena diperkirakan hingga saat ini tidak lebih dari 12% saja perempuan yang menjadi anggota koperasi. Jika dibandingkan dengan keikutsertaan perempuan hanya 3% seperti tercatat dalam buku Bung Hatta pada tahun 1957, maka kemajuan keikutsertaan perempuan dalam koperasi sangatlah lamban. Keberhasilan-keberhasilan yang dilakukan banyak koperasi wanita sebenarnya dapat mendorong kemajuan perekonomian secara menyeluruh. Namun kembali kepada pertanyaan di atas, mengapa tidak terjadi kemajuankemajuan yang nyata atas segala upaya yang dilakukan perempuan-perempuan sejak tahun 1930an? Sebenarnya apakah yang terjadi sehingga koperasi wanita tampaknya tidak berkembang dari tahun ke tahun? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu dilihat terlebih dahulu permasalahan yang dihadapi perempuan dan koperasi wanita itu sendiri. Namun dalam hal lambatnya kemajuan koperasi wanita sangat erat kaitannya
2
dengan pemahaman perempuan sendiri dalam keikutsertaan dan peransertanya dalam berkoperasi. II.
PEREMPUAN DAN PERMASALAHANNYA Penelitian yang dilakukan penulis sejak tahun 1988 tentang participation atau peranserta perempuan di koperasi memang menunjukkan bahwa perempuan cenderung tidak sepenuhnya berperan dalam pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan adanya faktor yang mempengaruhi perempuan itu sendiri, pertama menyangkut pengaruh dalam diri perempuan itu sendiri dan kedua menyangkut pengaruh luar dan lingkungan dimana perempuan itu berada. Namun ada satu kondisi yang nyata, bahwa koperasi wanita dan peranserta perempuan dalam koperasi mengindikasikan kemampuan mereka untuk memperbaiki kualitas hidup dan pembangunan di pedesaan. Pada penelitian lain tentang peranserta perempuan dalam koperasi, diketahui bahwa pada perempuan yang menyadari posisinya dalam koperasi dan berperanserta aktif - artinya paham sebagai anggota dapat mengemukakan pendapat, ikut merencanakan dan melaksanakan perencanaan yang telah disepakati bersama - perempuan ini menjadi lebih aktif dan mandiri. Hal ini akan menjadi lebih positif jika perempuan tersebut menjadi anggota koperasi wanita. Peranserta perempuan pada koperasi dimana anggotanya laki-laki dan perempuan, perempuan tidak selalu menunjukkan potensi dan kemampuannya, bahkan cenderung mengarah kepada ketergantungan kepada pimpinan. Rendahnya peranserta perempuan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dilihat dari rendahnya kualitas hidup perempuan Indonesia. Berdasarkan data statistik permasalahan perempuan mencakup ratarata pendidikan yang lebih rendah dari pada laki-laki, tingkat kesehatan yang masih rendah dengan angka kematian ibu yang masih tinggi (307 per 100.000 kelahiran), angka partisipasi kerja yang masih lebih rendah daripada angka kerja laki-laki, keterwakilan perempuan yang masih rendah di parlemen (11,9% saja), belum lagi dari aspek sosial budaya dan lingkungan yang juga kurang mendorong peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh sebab itu kualitas hidup perempuan harus ditingkatkan agar terjadi kesetaraan dan keadilan gender. Dapat dimengerti dengan rendahnya kualitas hidup, misalnya dengan besarnya tingkat buta aksara pada perempuan, maka semakin sempit kesempatan perempuan berpartisipasi dalam pembangunan. Demikian pula halnya dengan rendahnya tingkat kesehatan perempuan, maka semakin kecil peluangnya untuk mendapatkan pekerjaan yang memadahi. Rendahnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan, maka akan semakin kecil kesempatan mereka untuk menikmati hasil sesuai dengan yang diinginkannya. Dari permasalahan yang paling utama dan perlu diperhatikan menurut penulis adalah rendahnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan. Hal ini sejalan dengan Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing bahwa salah satu permasalahan kritis masyarakat internasional dan sipil adalah adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagi kekuasaan dan peran pengambilan keputusan di semua tingkat. Dalam tujuan dan sasaran strategisnya, disebutkan bahwa peranserta perempuan dalam pengambilan 3
keputusan sangat penting. Pengambilan keputusan ini berarti wibawa, pencapaian tujuan-tujuan persamaan, pembangunan dan perdamaian. Diakui dalam Deklarasi tersebut bahwa perempuan telah menunjukkan kepemimpinannya yang sangat berarti, tapi adanya stereotipe menyebabkan pengambilan keputusan politik tetap dilakukan oleh laki-laki. Perempuan pun secara tradisional memiliki keterbatasan sehingga dalam pengambilan keputusan sering kali tidak diikutsertakan. Koperasi apalagi koperasi wanita membuka peluang untuk ikut berperanserta dalam pengambilan keputusan. III. KOPERASI, BUDAYA DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Koperasi menurut Undang Undang nomor 25 Tahun 1992 adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas azas kekeluargaan. Dalam jati diri koperasi dikenal adanya nilai-nilai swadaya, tanggung jawab, demokrasi, kebersamaam, dan kesetiakawanan. Hampir semua nilai-nilai ini dimiliki oleh perempuan. Permasalahannya sadarkah perempuan akan potensi yang dimilikinya itu? Menurut Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan ada empat kelompok perempuan yang perlu menjadi perhatian yaitu (1) kelompok perempuan yang sama sekali tidak mampu dan tidak memiliki sumber-sumber karena beban kemiskinan; (2) perempuan yang memiliki sumber-sumber tetapi belum/tidak berusaha untuk meningkatkan dirinya; (3) perempuan yang telah melakukan usaha namun tidak memiliki sumber-sumber; dan (4) perempuan yang telah memiliki kemampuan dan peran serta mampu memanfaatkan sumber-sumber. Kelompok yang terakhir merupakan kelompok yang sudah berdaya dan mungkin sudah terbuka pikirannya dan merdeka. Proses pemberdayaan diri pada perempuan akan menjadi lebih cepat jika perempuan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan koperasi merupakan salah satu wadah yang mengakomodasikan terjadinya proses ini. Dalam berbagai pengamatan dan penelitian yang telah dilakukan, ternyata suara perempuan terdengar melalui koperasi atau organisasi lokal lain. Hal ini mungkin terjadi karena koperasi adalah suatu organisasi yang memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk ikut berproses dalam seluruh perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Perempuan jika menjadi anggota aktif dalam koperasi, apalagi dalam koperasi wanita, akan ikut dalam proses ini dan secara alami akan meningkatkan kemampuannya untuk berpikir kritis dan membuka kesadarannya untuk mengikuti semua proses berorganisasi. Pada kondisi inilah, dimana perempuan sadar dan terbuka pikirannya dan merdeka, maka ia akan berperan aktif, ikut serta dalam membangun organisasi koperasinya dan dapat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan wilayahnya. Tapi masih banyak perempuan yang belum paham bahwa di sini ia dapat memberdayakan dirinya dan orang lain. Paolo Freire (1972 dan 1993) seorang pendidik dari Brazil yang sangat memahami pembelajaran bagi orang dewasa, baik yang dapat membaca maupun yang buta aksara. Ia percaya bahwa setiap manusia memiliki pengetahuan. Pada kelompok masyarakat terpencil yang tidak sekolah misalnya,
4
melalui proses peningkatan kesadaran dan penemuan-penemuan di sekitar lingkungannya, seseorang belajar, sadar dan menjadi percaya diri. Melalui proses penemuan-penemuan yang kompleks dan terstruktur, maka seseorang semakin meningkat kesadarannya dan berpikir terbuka (conscientious). Ia akan menjadi semakin kritis dalam melihat dan memahami situasi sekitar. Pada masyarakat yang sejak kecil telah secara terstruktur mendapatkan pembelajaran dan kondisi tertentu, maka perkembangan pikiran orang tersebut menjadi ’tertekan’ (oppresed) dan kesadaran yang dapat berkembang secara alami tertahan, menjadi suatu kondisi pasif (culture of silence). Orang ini cenderung menunggu masukan apa yang dia peroleh dan tidak ingin untuk berpikir lebih lanjut serta mencari solusi. Ia baru bisa berkembang setelah alam pikirannya terbebaskan. Kondisi seperti yang dikatakan Paolo Freire sangat relevan dengan kondisi perempuan bahkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Pada perempuan yang lebih banyak mengalami tekanan-tekanan budaya sejak kecil, maka besar kemungkinan perempuan terbiasa dalam ’culture of silence’, tidak biasa mengemukakan pendapatnya. Hal ini terbukti pada penelitian yang telah dilakukan pada anggota kelompok perempuan yang tidak pernah mendapatkan pencerahan untuk melepaskan diri dari kondisi pasif dibandingkan dengan anggota kelompok yang telah memperoleh pencerahan. Pada penelitian kelompok perempuan pra koperasi di Jawa Barat dan Sumatera Barat, mereka yang telah memperoleh pelatihan bagi anggota koperasi untuk memahami participation, yaitu keikutsertaan dalam proses perencanaan secara menyeluruh hingga pengambilan keputusan dan pelaksanaannya, perempuan anggota kelompok ini berani menentukan sendiri program kerja dan tidak tergantung pada arahan pemerintah setempat yang saat penelitian masih di bawah Orde Baru yang sangat top-down. Sedangkan mereka yang belum pernah mendapatkan pelatihan bagi anggota koperasi cenderung mengikuti apa yang ditetapkan dan diarahkan oleh pihak pemerintah yang tentu saja lebih mengarah kepada mobilisasi masyarakat dalam pelaksanaan program pemerintah dari pada kesadaran mereka untuk berkoperasi yang benar. Pada perempuan yang menjadi anggota koperasi, apalagi koperasi wanita, dan mereka ikut berproses dalam pengambilan keputusan, mereka secara bertahap sadar akan peran dan fungsinya sebagai anggota, maka perempuan-perempuan ini mendapatkan kesempatan untuk berkembang dan kritis terhadap pertumbuhan koperasinya. Budaya juga sangat mempengaruhi perilaku perempuan dalam bersikap dan berperan dalam berkoperasi. Paolo Friere (1972) mensimulasi pengaruh konstruksi budaya terhadap perkembangan seseorang dan menunjukkan pengaruh pendidikan yang sangat konstruktif terhadap cara berpikir seseorang. Pada kelompok perempuan di Jawa Barat, perempuan berumur di atas 45 tahun dan yang telah menopause umumnya aktif dalam berorganisasi. Hal ini dapat dimengerti karena pada umur tersebut perempuan tidak lagi disibukkan oleh anak-anaknya. Selain itu adat setempat dimana orang tua wajib dihormati, memberi tempat bagi perempuan untuk ikut berperanserta dalam kegiatan di masyarakat. Pada kelompok perempuan di Sumatera Barat, peran perempuan dalam kelompok sudah menjadi bagian dari tradisi mereka. Namun peranserta perempuan dalam pengambilan keputusan masih terkendala dengan adanya ninik-mamak yang memiliki posisi sebagai pengambil keputusan. Budaya ini terbawa dalam aktivitas mereka dan membuatnya bersikap lebih pasif. 5
Konstruksi budaya inilah yang oleh Paolo Freire yang perlu menjadi perhati kita semua dan hal ini sejalan dengan permasalahan mendasar tentang pemahaman gender. Gender adalah persepsi seseorang terhadap perempuan dan laki-laki yang terbentuk sejak anak-anak, bukan atas dasar sex atau jenis kelaminnya, tetapi terkonstruksi dan bercampur dengan nilai-nilai budaya dan lingkungannya. Sebab itu upaya pengarusutamaan gender ke seluruh lapisan masyarakat, kelompok dan golongan harus terus digalakkan. Perlu disadari kesadaran gender (gender awareness) tidak dapat sekaligus dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat. Penyadaran gender perlu waktu untuk terjadinya perubahan pola pikir dan tingkah laku, sehingga diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk mengubah nilai dan kebiasaan masyarakat. Hasil penelitian IFC-PENSA (2004) bersama IWAPI mengungkapkan bahwa ada masalah kesadaran gender dalam mengakses permodalan. Seorang anggota IWAPI mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan karena pihak eksekutif bank menilai bahwa pinjaman kepada perempuan pengusaha hanya akan meningkatkan angka perceraian. Stereotipe pihak bank dirasakan perempuan pengusaha sebagai salah satu kendala sulitnya mengakses permodalan dari bank. Sensitivitas gender berhubungan juga dengan aspek sosial dan lingkungan. Kondisi sosial perempuan harus dilihat juga dari segi kesehatan, perlindungan terhadap kekerasan, lingkungan yang mempengaruhi kehidupan perempuan, yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kinerja usaha perempuan. Pemerintah sendiri sering kali kurang memperhatikan aspek gender ini sehingga apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah menjadi sering kurang bermakna dan tidak tepat sasaran. IV. PEMERINTAH DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Pemerintah telah banyak melakukan pembinaan kepada perempuan di bidang perkoperasian (dahulu dikenal dengan nama P2W bidang Perkoperasian) sejak tahun 1979. Pembinaan umumnya berupa pelatihan dan penyuluhan tentang perkoperasian kepada kelompok-kelompok perempuan, yang merupakan bagian program terintegrasi lintas sektoral P2W. Lebih dari 3000 orang, terdiri dari anggota koperasi wanita, motivator wanita untuk kelompok ekonomi produktif, tenaga kerja wanita perusahaan, pedagang kecil eceran dan kader koperasi terlatih, kemudian ditingkatkan dalam bentuk temu usaha antar koperasi, pengusaha kecil dan menengah serta pameran untuk membuka peluang usaha bagi wanita pengusaha kecil dan menengah. Namun hasil pembinaan P2W bidang perkoperasian masih dinilai belum mampu meningkatkan peranserta perempuan dalam perkoperasian, walaupun jumlah koperasi wanita telah menunjukkan peningkatan. Perhatian terhadap koperasi wanita surut bahkan pada tahun 1990an seiring dengan perubahan paradigma pembangunan. Hasil evaluasi dan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Koperasi (1995) menunjukkan masih kurangnya partisipasi anggota perempuan dalam perkoperasian. Program P2W bidang perkoperasian dinilai kurang efektif disebabkan dalam program lintas sektoral, perkoperasian diletakkan pada gerbong akhir dari serentetan pembinaan P2W. Ditambah pula program diberikan kepada kelompok-
6
kelompok hanya selama satu tahun anggaran. Dalam evaluasi terbukti bahwa kelompok-kelompok wanita peserta P2W tersebut belum menguasai penuh sektor perkoperasian. Secara umum, pihak BAPPENAS juga menilai bahwa proyek-proyek P2W masih sangat terbatas dan kecil pengaruhnya terhadap pembangunan. Kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan perempuan tidak terlepas dari perkembangan dunia. Seperti kita ketahui bersama, perhatian dunia terhadap perempuan sudah dimulai sejak 1946 dengan didirikannya Komisi tentang Status Perempuan yang kemudian dikukuhkan lebih lanjut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Hak-hak Manusia Dunia tahun 1948. Kemudian tahun 1975 dinyatakan sebagai Tahun Perempuan Internasional dan Konferensi Dunia tentang Perempuan untuk pertama kalinya dilaksanakan di Mexico City. Selanjutnya tahun 1976 hingga 1985 dinyatakan sebagai Tahun Dekade PBB untuk Perempuan. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan disepakati pada tahun 1979. Pada tahun 1985 dilakukan Konferensi Rencana Aksi Internasional untuk Meningkatkan Status Perempuan pada tahun 2000. Kemudian diikuti dengan Konferensi Perempuan Dunia di Beijing tahun 1995 yang menghasilkan Kesepakatan Dasar-Dasar Rencana Aksi yang harus dilaksanakan oleh setiap negara. Selanjutnya setiap negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa diminta untuk melaporkan hasil upaya peningkatan kualitas hidup perempuan. Bagi Indonesia, upaya pemerintah dalam memajukan status, peran perempuan dalam pembangunan serta kualitas hidup perempuan tidak terlepas dari perkembangan ini. Program P2W yang dilaksanakan antara tahun 1978 hingga tahun 1992 menggunakan pendekatan Women in Developoment (WID) yang memfokuskan program pembangunan khusus kepada perempuan. Perempuan menjadi kelompok target dalam peran produktifnya dan lebih sering menjadi objek daripada subjek. Pemerintah Indonesia juga meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui Undang Undang nomor 7 tahun 1984. Kemudian Undang Undang tentang Hak Asasi Manusia nomor 39 tahun 1999. Kemudian dalam Pelita VI pemerintah mencanangkan pendekatan Gender and Development (GAD) yang memfokuskan program pembangunan tidak khusus bagi perempuan, tetapi juga melihat kepada hubungan peran antar perempuan dan laki-laki. Dari pendekatan GAD diharapkan agar keikutsertaan perempuan dan laki-laki dalam pembangunan menjadi lebih setara dan memberikan akses, kontrol dan manfaat kepada pelaku pembangunan itu sendiri. Pendekatan ini sejalan dengan rencana aksi yang telah disepakati bersama dalam Konferensi Perempuan Dunia dan setiap tahunnya Indonesia melaporkan kemajuankemajuan yang telah dicapai. Oleh sebab itu Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan selalu melakukan koordinasi melalui pertemuan lintas sektoral mengisyaratkan perlunya peningkatan kualitas hidup perempuan di semua sektor. Perkembangan di bidang ekonomi dilihat dari sisi kepentingan perempuan juga senantiasa diikuti dan dilaporkan ke Perserikatan Bangsa Bangsa. Perkembangan peranserta perempuan di perkoperasian juga menjadi perhatian pemerintah. Dari pertemuan lintas sektor, diketahui bahwa upaya pemberdayaan lebih ditujukan kepada kelembagaan dan bukan kepada
7
individunya. Penelitian yang dilakukan SMERU (2003) atas kerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mengindikasikan bahwa telah banyak bantuan pemerintah dan donor yang diberikan, namun ketika dikonfirmasikan ke tingkat akar rumput ternyata upaya yang diberikan sangat kecil atau pun tidak sampai. Untuk Koperasi dan Usaha Kecil misalnya, penyediaan permodalan dilakukan melalui pendekatan sentra dimana pengusaha Mikro, Kecil dan Menengah (laki-laki dan perempuan atau masih netral gender) yang ada pada satu wilayah akan mendapatkan pendampingan oleh Lembaga Pengembangan Bisnis/Business Development Services (LPB/BDS) dan didukung dengan modal awal padanan melalui koperasi simpan pinjam/ unit simpan pinjam koperasi (KSP/USP-kop). Upaya ini tentu saja sangat terbatas dan tidak menyeluruh karena pendanaan yang juga terbatas. Akibatnya para pengusaha, apa lagi perempuan pengusaha tidak mudah mendapatkan akses permodalan dengan bunga dan persyaratan yang dapat mereka penuhi. Untuk periode Kabinet Indonesia Bersatu sekarang ini, pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi sejak 2004 lebih ditekankan melalui satu kebijakan yaitu Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP). Melalui kebijakan ini diharapkan instansi terkait berikut semua jajaran masyarakat madani berkoordinasi, bersinergi dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan melalui pemberdayaan perempuan. Beruntung rupanya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap peran perempuan di bidang ekonomi mulai dipahami dan akses pendanaan bagi perempuan pengusaha mulai diperhatikan, walaupun mungkin belum sepenuhnya paham tentang gender. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah sejak tahun 2006 telah meluncurkan program PERKASSA (Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera) yang menyalurkan dana kepada koperasi wanita agar perempuan pengusaha skala mikro dan kecil baik secara kelompok atau pun perorangan dapat mengakses pendanaan untuk modal usaha. Hasil pertemuan dengan lintas sektoral dan stakeholder lainnya menunjukkan kurangnya koordinasi atau tidak adanya pengembangan informasi dan jaringan di antara kelompok-kelompok perempuan atau organisasi yang dibentuk oleh pemerintah melalui kegiatan sektoral mau pun kelompokkelompok perempuan yang tumbuh dari bawah, sehingga perlu dilakukan advokasi, pendampingan ataupun fasilitasi terhadap penataan kelembagaan dan jaringan. Adanya berbagai kelembagaan yang dikelola perempuan seperti Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW) tampaknya lebih berfungsi sebagai lembaga kemasyarakatan dan bukan untuk keperluan kegiatan ekonomi. Sedangkan IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) yang benar-benar merupakan organisasi yang berkecimpung langsung dalam kegiatan ekonomi, dengan keadaanya yang masih serba terbatas, belum sepenuhnya dapat melakukan koordinasi dengan anggota-anggota di seluruh Indonesia. V.
KOPERASI WANITA PELUANG DAN KEKUATAN BAGI PEREMPUAN Kekuatan yang ada pada koperasi wanita seperti yang telah diungkapkan di atas menunjukkan bahwa koperasi memberikan peluang yang besar bagi perempuan yang menjadi anggota koperasi, terutama dalam proses penyadaran diri, membuka cara berpikir yang lebih lepas dan terbuka, sehingga 8
ia menjadi sosok perempuan yang percaya diri, memahami perannya dan dapat mengambil keputusan (consciencious). Pemahaman gender akan menambah kesadaran seseorang akan nilai-nilai yang telah terkonstruksi oleh lingkungannya dan budaya setempat, sehingga dalam pengambilan keputusan orang tersebut sensitif terhadap kondisi dan kebutuhan setempat. Koperasi memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berperan dan menyumbangkan potensi yang dimilikinya bagi kemajuan bersama. Dengan cara berpikir yang terbuka diikuti dengan aspek jati diri koperasi yang demokratis, perempuan akan lebih mampu melaksanakan aktivitas dan kegiatannya. Koperasi wanita pada umumnya berawal dari bentuk arisan yang menjadi dasar kemampuan koperasi itu untuk mengembangkan usaha simpan pinjam menjadi lebih efektif. Tingkat kehati-hatian kaum perempuan dalam mengelola uang (yang bukan miliknya) merupakan faktor penting dalam pelaksanaan. Koperasi memberikan perlindungan hukum dan koperasi wanita memberikan peluang untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak pemberi dana, dalam hal ini pihak perbankan. Selama ini perbankan memang amat sangat netral gender. Perbankan tidak melihat bahwa yang datang ke bank adalah manusia, laki-laki dan perempuan. Perbankan melihat yang datang adalah sebuah korporasi dengan jaminannya dan bukan orang per orang. Penilaian didasarkan pada standar-standar tertentu (5C) yang sering kali menyisihkan sisi-sisi kualitatif manusia yang positif. Namun akhir-akhir ini, dorongan internasional untuk pemahaman dan sensitif gender semakin gencar. Perbankan harus mulai menimbang dan menilai untung rugi menggunakan koperasi wanita sebagai lembaga penyalur kredit mikro bagi para pengusaha mikro. Pemerintah sendiri telah memulainya dengan program PERKASSA. Bagi perempuan Indonesia, pemenuhan hak ekonomi perempuan saat ini semakin dirasakan sebagai salah satu kebutuhan dasar apalagi dengan semakin meningkatnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan dari tahun ke tahun. Pengalaman dan pemahaman perempuan dengan arisan dapat membantu perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan perekonomian bangsa, dalam hal ini melalui perannya dalam memberikan akses pendanaan melalui koperasi kepada usaha mikro. Dalam berkoperasi, perempuan faham betul maksud untuk menyimpan, menabung, meminjam dan memanfaatkan uang yang tersedia. Perempuan sebetulnya merupakan manajer yang baik dalam usaha (ADB, 2002). Di samping itu, pemberian kesempatan atas hak ekonomi perempuan akan mengantarkan kaum perempuan pada suatu tatanan perjuangan mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Perannya dalam peningkatan produktivitas ekonomi perempuan selain meningkatkan rasa percaya diri sebagai aktor pembangunan, tetapi juga memberikan posisi tawar bagi perempuan terhadap rekan sekerja laki-laki. Tingkat kehati-hatian dalam pengelolaan uang orang lain telah menjadi bagian kehidupan dari banyak perempuan Walaupun seringkali perempuan pengusaha harus berjuang lebih berat dari pada laki-laki pengusaha, perempuan biasanya lebih tangguh untuk menghadapi berbagai kendala. Dalam bentuk koperasi wanita, perempuan dapat melakukan pengaturan dan pengelolaan dana masyarakat semaksimal mungkin bagi kepentingan anggotanya. Koperasi wanita telah terbukti dapat bersaing dengan koperasi simpan pinjam lainnya. 9
Akhirnya dapat disimpulkan koperasi memberi peluang kepada perempuan yang menjadi anggota koperasi untuk ikut dalam seluruh proses perencanaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaannya, sehingga perempuan dapat berproses membangun kesadarannya untuk menjadi consciencious. Perempuan anggota koperasi yang telah menyadari perannya akan mampu menentukan dan membangun koperasinya lebih baik lagi. Kapasitas dan kemampuan perempuan dalam mengelola keuangan memberi kesempatan kepada pihak-pihak lain untuk mau melihat dan menilai tingkat partisipasi perempuan dalam berkoperasi, bukan hanya korporasi, seperti yang dilakukan oleh perbankan. DAFTAR PUSTAKA Edeng Abdurahman, (2000). ‘Gender Mainstreaming’ dalam Perencanaan Pembangunan, makalah disampaikan pada Semiloka Penyadaran Jender bagi Perencana/Pengambil Keputusan di lingkungan Kantor Menteri Negara Koperasi dan PKM. Jakarta, 29 Pebruari 2000. IFC-PENSA, (2004). Suara-Suara Perempuan Pengusaha. Jakarta Kaye Murray, (1995). For The Love of Peace: Women and Global Peace Building. El Faro, Sydney. Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, (1996). Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan Bangsa Berwawasan Kemitrasejajaran yang Harmonis antara Pria dan Wanita dengan Pendekatan Jender. Jakarta Kementerian Koperasi dan UKM, (2002). Laporan Hasil Pemetaan: Sektor Produktif KUKM Yang Berwawasan Gender. Jakarta. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (2004) Kebijakan Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan, Jakarta. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, (2005). The BPFA Beijing Platform for Action, Fourth World Conference on Women, held at the United Nations, New York. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, (2006). The BPFA-CSW Beijing Platform for Action, disampaikan pada Koperensi Perempuan Dunia, Perserikatan Bangsa Bangsa. New York. 28 Februari – 10 Maret 2006 Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, (2006). Rencana Aksi Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan (PKHP). Jakarta. Ministry of Cooperatives, (1986). Indonesia: Country Report. Jakarta Mohammad Hatta, (1957). The Co-operative Movement in Indonesia. New York, Cornell University Press. Paolo Freire, (1972). Cultural Action for Freedom. Baltimore, Penguin Books Inc. Paolo Freire, (1993). Pedagogy of The Oppressed. England, Penguin Books Sita van Bemmelen, (1995). Jender dan Pembangunan: Apakah yang Baru? Dalam T.O Ihromi (penyunting), Kajian Wanita Dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. SMERU (2003) Upaya-Upaya Penguatan Usaha Mikro di Indonesia, Jakarta. 10
Sulikanti Agusni, (1988). The Role of Women’s Cooperatives and Women’s Participation for Rural Development in Indonesia, A Study on Women Participation, Plan B Paper for Master of Science. Sulikanti Agusni, Popular Participation amongst Women’s Organisations in West Java: An Experience of participatory and Freire’ Approach, the 29th Annual International Conference, Community Development Society, Athens, Georgia, 27-30 July 1997. Sulikanti Agusni, The Development of Popular Participation: Case Studies Of Women's Organisations In West Sumatra and West Java, Indonesia, Women's Worlds 99, 7th International Interdisciplinary Congress on Women, Tromsø, Norway, 20 -26 June 1999. Sulikanti Agusni, (1999). Popular Participation an Women’s Organisations in Indonesia, Disertasi Doktor, Curtin University of Technology, Westren Australia.
11
KOPERASI DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Sri Lestari Harsosumarto∗ Abstrak Disamping faktor pendidikan, munculnya persoalan perempuan tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor ideologi, struktural dan kultural, ketiganya saling terkait menguatkan suatu situasi yang sangat tidak menguntungkan perempuan. Ideologi patriaki yang bergandengan dengan ideologi gender telah merasuki struktur dan sistem sosio kultural masyarakat yang menempatkan perempuan di posisi pinggiran. Internalisasi nilai-nilai patriaki yang mengunggulkan peran dan status laki-laki telah mendukung terciptanya peran dan status perempuan yang bersifat sekunder. Kondisi semacam ini pada dasarnya merupakan pencerminan dari diskriminasi sosial, politik, ekonomi, adat, budaya, hukum, dan agama terhadap perempuan, Dengan berkiprah di koperasi perempuan tidak banyak terhambat oleh ideologi patriaki yang mengunggulkan pria dari pada perempuan, karena dalam koperasi pria dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban sama, dalam koperasi tidak ada diskriminasi sosial, politik, ekonomi, adat, budaya, hukum dan agama. Dalam koperasi perempuan disamping dapat memperjuangkan kepentingan ekonominya, juga dapat mengaktualisasikan jati dirinya, bebas menyampaikan aspirasi dan pendapatnya, Dengan kata lain koperasi dapat berperan strategis memberdayakan perempuan, dan sebaliknya dengan koperasi perempuan dapat membuktikan kompetensi dan kelebihannya, sebagaimana ditunjukkan oleh keberhasilan beberapa Koperasi dan UMKM yang dikelola perempuan tanpa harus mengorbankan perannya sebagai ibu rumahtangga. Kata kunci : Koperasi berperan strategis memberdayakan perempuan, dan sebaliknya dengan koperasi perempuan dapat membuktikan kompetensi dan kelebihannya, ditunjukkan dengan keberhasilannya sebagai pelaku UMKM I.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI PEREMPUAN INDONESIA Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2000 penduduk Indonesia berjumlah 209 juta merupakan jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia. Dari jumlah tersebut 105 juta (50,24%) adalah wanita dan 104 juta (49,76%) pria. Separuh jumlah penduduk tersebut tinggal di kota, persentase penduduk wanita dan pria di kota dan di desa tidak jauh berbeda, yaitu di kota : 50,1% wanita dan 49, 9% pria, sedang di desa: 49,7% wanita dan 50, 3% pria. Dilihat dari pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk Indonesia yang berusia 10 tahun keatas, pendidikan yang ditamatkan wanita masih lebih rendah dari pria di semua jenjang pendidikan terlebih lagi pada tingkat perguruan tinggi. Di kota: 27% wanita tidak tamat SD, 28 % tamat SD, 18% tamat SLTP, 22% tamat
∗
)
Kasubid Evaluasi dan Pelaporan serta Peneliti Muda Bidang Perkoperasian, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
1
SMU/SMK, dan hanya 5% tamat perguruan Tinggi, sedang pria pendidikan tertingginya 19% tidak tamat SD, 26% tamat SD, 20% tamat SLTP, 28% tamat SMU/SMK, dan 7% tamat perguruan tinggi. Di desa : 48% wanita tidak tamat SD, 34% tamat SD, 11% tamat SLTP, 6% tamat SMU/SMK, dan hanya 1% tamat perguruan Tinggi, sedang pria pendidikan tertingginya 38% tidak tamat SD, 36% tamat SD, 14% tamat SLTP, 10% tamat SMU/SMK, dan 1% tamat perguruan tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan di Indonesia (kota dan desa) tingkat partisipasi perempuan semakin rendah. Tingkat pendidikan akan berkorelasi dan berbanding lurus dengan kondisi tingkat perekonomian dan kesejahteraannya karena dengan tingkat pendidikan rendah kesempatan memperoleh pekerjaan, menduduki jabatan-jabatan strategis baik di perusahaan, pemerintahan, maupun parlemen juga rendah. Di dunia pendidikan saja sebagai contoh tingkat partisipasi perempuan sebagai tenaga pengajar juga semakin menurun dengan semakin tingginya jenjang pendidikan, yaitu partisipasi guru wanita di SD 54% , SLTP 44%, SLTA 38%, dan perguruan tinggi hanya 29%. Wanita yang bekerja umumnya hanya membantu usaha rumah tangga sedangkan pria yang bekerja pada umumnya berwiraswasta baik dengan bantuan buruh/pegawai maupun tidak, adapun data wanita bekerja yaitu 33% wiraswasta, 31% menjadi buruh/pegawai, 36% membantu usaha rumah tangga, sedang data pria bekerja: 53% wiraswasta, 37% menjadi buruh/pegawai, dan 10% membantu usaha rumah tangga. 36% wanita bekerja berstatus membantu usaha rumah tangga, disini wanita merupakan tenaga kerja keluarga tidak dibayar (unpaid family workers ), fenomena ini menunjukkan meskipun wanita aktif dalam kegiatan produktif dianggap tidak bekerja, demikian halnya dalam pekerjaan tertentu seperti kerja paruh waktu, sub kontrak, atau putting out worker tidak dianggap bekerja sehingga data statistik menunjukkan tingkat pengangguran wanita usia 15 tahun keatas lebih tinggi dari pria yaitu wanita 4,4% sedang pria 4%. Disamping faktor pendidikan sebagaimana disebutkan diatas, munculnya persoalan perempuan juga tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor ideologi, struktural dan kurtural, ketiganya saling terkait menguatkan suatu situasi yang sangat tidak menguntungkan perempuan. Ideologi patriaki yang bergandengan dengan ideologi gender telah merasuki struktur dan sistem sosio kultural masyarakat yang menempatkan perempuan di posisi pinggiran. Internalisasi nilainilai patriaki yang mengunggulkan peran dan status laki-laki telah mendukung terciptanya peran dan status perempuan yang bersifat sekunder. Kondisi semacam ini pada dasarnya merupakan pencerminan dari deskriminasi sosial, politik, ekonomi,adat, budaya, hukum, dan agama terhadap perempuan. II.
KESADARAN PEREMPUAN UNTUK BERPERAN SERTA DALAM PEREKONOMIAN Secara umum masih sedikit diantara kita yang menyadari bahwa perempuan menghadapi persoalan yang spesifik gender, yaitu persoalan yang hanya muncul karena seseorang atau kelompok orang adalah perempuan. Tidak saja di kalangan laki-laki, tapi kaum perempuan sendiri yang masih banyak tidak menyadari hal
2
tersebut, sehingga memandang tidak perlu persoalan perempuan harus dibahas dan diperhatikan secara khusus. Hal ini terjadi karena mendalamnya penanaman nilainilai mengenai peran laki-laki dan perempuan, yang menganggap sudah kodratnya perempuan sebagai ratu rumah tangga, sebagai pengendali urusan domestik saja begitu dominan di masyarakat kita, sehingga adanya pikiran dan keinginan mengenai kesempatan beraktivitas di luar domain rumah tangga dianggap sesuatu yang mengada-ada, sehingga tidak aneh muncul paradigma perempuan tidak perlu sekolah tinggi toh akhirnya hanya akan mengurus sekitar kasur, sumur, dan dapur. Seiring dengan kemajuan pembangunan dan terbukanya arus globalisasi dan informasi, serta meningkatnya tingkat pendidikan perempuan, meskipun tetap lebih rendah dari pada tingkat pendidikan laki-laki sebagai ditunjukkan data BPS tahun 2000, perempuan Indonesia sudah keluar dari tembok batas rumahnya untuk bekerja dan berkarya, baik sebagai pegawai pemerintah, karyawati, perusahaan baik nasional maupun multinasional, serta sebagai pengusaha, dengan tidak mengabaikan peran utamanya sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Perempuan yang memutuskan untuk bekerja selain untuk mengoptimalkan pendidikan dan potensinya, juga adanya kesadaran untuk menopang kehidupan rumah tangganya, karena dengan semakin majunya peradapan dunia semakin tinggi pula kebutuhan hidup dan rumah tangganya, dan yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga mencurahkan waktu sepenuhnya untuk suami dan anak-anaknya adalah keputusan yang baik pula karena sebenarnya kewajiban mencari nafkah menurut agama khususnya Agama Islam adalah berada dipundak pria atau suami. Apalagi setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis pada pertengahan tahun 1997, PHK dan pengangguran bertambah, karena krisis suami sebagai kepala rumah tangga menjadi pegangguran, kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak, kesehatan tak mungkin dihentikan, memaksa para istri yang semula hanya sebagai ibu rumah tangga mulai berperan di berbagai bidang usaha sebagai pelakon usaha. Menurut hasil penelitian Badan Pengembangan Sumberdaya KPKM tahun 2001, melalui 32 orang responden menyatakan bahwa motivasi wanita melakukan usaha adalah untuk (1) mengurangi pengangguran atau menciptakan lapangan usaha (2) meringankan beban keluarga (3) mengubah nasib (4) menjadi diri sendiri (5) kaya dan (6) meningkatkan kesejahteraan . Banyaknya motivasi wanita melakukan usaha karena ingin mengurangi pengangguran atau menciptakan lapangan usaha, menunjukkan adanya kesadaran dari wanita atas kondisi pengangguran yang semakin meningkat, adanya kesadaran dari wanita untuk menciptakan pekerjaan bukan mencari pekerjaan. Dalam kenyataannya, meskipun banyak perempuan Indonesia telah banyak memperoleh gelar sarjana, master, bahkan doctor, hanya sedikit sekali pucuk pimpinan baik di pemerintahan maupun swasta yang diduduki oleh perempuan, tentu saja selain perusahaan-perusahaan yang memang dikelola oleh perempuan seperti perusahaan catering, kosmetik, majalah wanita, jasa psikologi, kesenian, atau kerajinan-kerajinan tertentu, Dalam hal keterlibatan perempuan Indonesia dalam dunia usaha atau sebagai pengusaha/wirausaha telah ada sejak zaman ke zaman, sejak dulu wanita
3
telah terjun dalam dunia perdagangan, misalnya wanita-wanita di Solo telah membantu ekonomi keluarga bahkan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga dari usaha batik yang mereka kelola. Demikian halnya di Palembang, Padang, Lampung, dan Ujung Pandang, wanita-wanita sukses mengelola industri rumah tangga berupa kain songket, di daerah-daerah lain terkenal dengan berbagai jenis kerajinan tangan ataupun makanan sebagai ciri khas suatu daerah adalah hasil karya tangan-tangan perempuan. Wanita potensial untuk melakukan berbagai kegiatan produktif yang menghasilkan dan dapat membantu ekonomi keluarga, dan lebih luas lagi ekonomi nasional, apalagi potensi tersebut menyebar di berbagai bidang maupun sektor. Dengan potensi tersebut wanita potensial berperan aktif dalam proses recovery ekonomi yang masih diselimuti berbagai permasalahan, untuk itu potensi perempuan perlu ditingkatkan atau paling tidak dikurangi penyebab-penyebab mengapa perempuan sulit maju dalam karier bagi perempuan bekerja dan sulit maju usahanya bagi perempuan pelaku usaha. Menurut Cakrawala Cinta (Ide Usaha Kecil dan Madya, 1994), terdapat perbedaaan penting yang menentukan jiwa kewiraswastaan, antara pria dan wanita, yang mana kebanyakan wanita sulit untuk maju karena :1). Wanita kurang diajar bersaing, mereka tidak dikembangkan dengan semangat persaingan yang baik dalam dunia usaha. Sejak kehidupan kanak-kanak mereka kurang terlibat , kurang terlatih dalam teamwork, misalnya dalam teamworksport. Mereka kurang bertanding, malahan cenderung menghindari konfrontasi, karena konfrontasi bukan sifat lemah lembutnya wanita, 2).Wanita terlalu melihat detail perkara-perkara kecil, mereka terlalu terlalu berkepentingan atas hal-hal yang detail dari masalah, sehingga tidak terbiasa melihat kedudukan perspektif keseluruhannya, karena terbiasa dengan hal-hal kecil, melepaskan konteks global perusahaan, akan mengganggu pengembangan jiwa kepemimpinannya, 3). Wanita emosionil dalam situasi yang tidak tepat, sehingga banyak wanita menghabiskan waktu memikirkan ”apa kata orang nanti” ketika seharusnya dia berpikir secara profesional untuk menyelesaikan tugasnya, sering menanam ”perasaan tidak enak” secara berkepanjangan, sering emosionil dan sentimentil apabila dikritik tentang pekerjaannya, sikap maupun penampilannya, 4).Wanita kurang berani mengambil resiko, berkaitan dengan sering memikirkan ”apa kata orang nanti”, wanita cenderung melakukan tugas–tugas secara aman dan average (rata-rata kebiasaan, sehingga pimpinan menganggap mereka sebagai pegawai biasa-biasa saja yang rata-rata, tidak akan menuntut jenjang promosinya, 5).Wanita kurang cukup agresif, karena sifat agresif tidak searah dengan pendidikan yang diterimanya selama ini, bahwa wanita harus feminim, jangan agresif, sehingga tidak ”berani ” mengungkapkan perasaan dan idenya secara tegas (asertif), dan tidak ”berani ” mengatakan ”tidak” atas pendapat dan sikap teman kerjanya yang diketahuinya salah, 6).Mereka lebih senang bereaksi daripada mengambil inisiatif, mereka terlalu rikuh untuk menonjolkan kelebihan pendapat dan kepemimpinannya dan lebih suka jalur yang telah ada, 7).Wanita lebih berorientasi pada tugas dari pada tujuan, berpikir besar pada tujuan dan sasaran, terkalahkan oleh kebiasaannya dalam pekerjan rutin dan yang detail. 4
III. PROGRAM PEMERINTAH DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN USAHA MIKRO KECIL Menurut Mansour Fakih dalam Gender Sebagai Alat Analisis Sosial (1996), terdapat dua aliran dalam gerakan feminisme , yaitu antara pemikiran yang lebih memfokuskan masalah perempuan berhadapan dengan pemikiran yang memfokuskan sistim dan struktur masyarakat yang didasarkan pada analisis gender. Pemikiran yang memfokuskan pada persoalan perempuan sebagai sasaran analisis, pada dasarnya merupakan aliran mainstream dalam perbincangan nasib dan program kaum perempuan. Analisis ini mendasarkan pemikiran bahwa permasalahan perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumberdaya perempuan itu sendiri, yang berakibat mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki, termasuk dalam pembangunan. Oleh karena itu harus ada usaha untuk menghilangkan diskriminasi dalam pendidikan dan keterlibatan perempuan dalam pembangunan. Dalam analisis ini terdapat beberapa aliran antara lain yang mendasarkan pada paham modernisasi, yaitu melalui pendekatan pengentasan kemiskinan (antipoverty). Pada aliran ini dinyatakan bahwa perempuan miskin karena mereka tidak mempunyai akses terhadap sumberdaya alam maupun sumberdaya produktif, oleh karena itu perlu diciptakan proyek peningkatan pendapatan atau dilakukan pemberdayaan bagi kaum perempuan. Cara analisis yang lain dengan “pendekatan efisiensi”, yaitu pemikiran bahwa pembangunan mengalami kegagalan karena perempuan tidak dilibatkan, dengan demikian pelibatan itu sendiri lebih demi efisiensi pembangunan. Pendekatan efisisensi dan pengentasan kemiskinan (antipoverty) ini menjadi aliran mainstream mengenai usaha memecahkan masalahmasalah perempuan. Sebagian besar organisasi internasional seperti PBB, Bank Dunia, USAID,ODA, pemerintah Dunia Ketiga, sebagian besar LSM di Indonesia menganut pemikiran tersebut. Aliran tersebut diaktualisasikan dengan program global yang dikenal dengan nama Perempuan Dalam Pembangunan (Women In Development atau WID), yang mendominasi wacana, pemikiran, maupun proyekproyek yang terfokus pada perempuan. Tidak ketinggalan Pemerintah Indonesia juga memulai program Perempuan Dalam Pembangunan dengan menetapkan peran yang “tepat” dan membentuk organisasi tempat wanita memainkan perannya. Dimulai dari GBHN 1973, peran perempuan dalam pembangunan diletakkan berkaitan dengan kehidupan keluarga: “Pembinaan keluarga yang sejahtera adalah sarana pembinaan Generasi Muda. ……hak-hak wanita dijamin , serta kedudukannya dalam masyarakat dilindungi”. Kemudian dalam GBHN 1978, yang memperluas peran dunia perempuan sampai ke “segala bidang tetapi dengan peringatan bahwa peran perempuan dalam pembangunan tidak boleh mengurangi perannya dalam pembinaan keluarga sejahtera”, Pada GBHN 1983 peran perempuan makin dikembangkan :”… kegiatan wanita dalam pembinanan kesejahteraan keluarga antara lain melalui Pembinanan Kesejahteraan Keluarga (PKK), ………..hak, kewajiban, dan kesempatan perempuan sama dengan pria dalam kegiatan
5
pembangunan”. Peran tersebut diperluas dan ditingkatkan lagi dalam GBHN 1988 namun tetap dengan catatan mengikat posisi perempuan dalam keluarga. Sementara itu dalam GBHN 1993 disebutkan ”iklim sosial budaya perlu dikembangkan agar lebih mendukung upaya mempertinggi harkat dan martabat wanita hingga dapat berperan dalam masyarakat dan dalam keluarga secara selaras dan serasi” Sedang dalam GBHN 1999 antara lain mengamanatkan: ”perlunya meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam berbagai bidang pembangunan baik di pusat maupun di daerah”. Dalam program-program tersebut, peran dan fungsi wanita didefinisikan dengan lima fungsi seperti yang tertuang dalam program PKK yaitu pendamping suami, pengelola rumah tangga, penerus keturunan, pendidik anak, dan warga negara, yang mempunyai tugas sebagaimana dirumuskan dalam 10 program pokok PKK, dalam hal ini wanita hanya dianggap sebagai pelengkap pelaku, dan tidak relevan. Demikian halnya mengenai sistim kepemimpinan yang bersifat fungsional, dimana wanita menjadi pimpinan karena suami adalah pimpinan dari suatu lembaga dan apabila sang suami diganti kedudukannya otomatis lepas juga jabatan istri. Dengan demikian status dan kedudukan wanita yang seharusnya equal atau sama dan sederajat dengan dengan pria tidak equal lagi, karena prospek kepemimpinan wanita seperti itu dapat dikatakan sangat tergantung pada kepemimpinan pria. Keadaan ini jelas melanggengkan ketergantungan dan keterpinggiran perempuan. Perempuan masih tidak dianggap, setiap usaha yang akan memberikan fasilitas kepada perempuan selalu ditolak karena adanya asumsi bahwa lelaki adalah kepala rumah tangga yang akan menanggung kehidupan perempuan. Berkaitan dengan program pembangunan untuk perempuan, terdapat tiga program utama yang dilaksanakan secara sektoral oleh departemen dan lembaga, yang dikoordinasikan oleh Menteri Negara Urusan Wanita, yaitu: Program Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS), Program Bina Keluarga dan Balita (BKB), dan Program Peningkatan Pendapatan Bagi Perempuan melalui Industri Kecil. Program ini berpandangan bahwa masalah keterbelakangan perempuan karena perempuan itu sendiri, oleh karena itu programprogram yang digulirkan difokuskan pada memenuhi kebutuhan praktis, bukan memenuhi kebutuhan strategis. Kebutuhan praktis biasanya berhubungan dengan kondisi kehidupan misalnya kurangnya sumberdaya, kebutuhan dasar seperti kesehatan, pangan dan air minum, dsbnya, yang mana perempuan hanya sebagai pemanfaat dan tidak merubah peran dan hubungan sosial budaya yang ada. Sedang kebutuhan strategis berkaitan dengan peranan, dan kedudukan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor struktural, seperti ekonomi, sistem politik, perundangundangan, norma sosial budaya dan lain-lain, yang mana solusinya antara lain: a). melibatkan perempuan sebagai pelaku atau memfasilitasi perempuan untuk menjadi penentu dan pelaku kegiatan, b). dilakukan melalui penyadaran, meningkatkan kepercayaan diri, pendidikan dan pelatihan, pembentukan organisasi/lembaga, dsb.nya, c). memberdayakan perempuan agar dapat memperoleh kesempatan yang
6
lebih luas di segala bidang dan tingkat masyarakat, memperjuangkan akses perempuan terhadap sumberdaya yang lebih besar. Sehubungan dengan pemberdayaan perempuan dan usaha mikro kecil, sebenarnya pemerintah telah memberikan perhatian yang cukup serius, sebab usaha mikro kecil merupakan kegiatan ekonomi yang menjadi pilihan kebanyakan anggota masyarakat, terutama kelompok perempuan, yang banyak berkecimpung dalam kegiatan industri kerajinan dan industri rumah tangga, baik perempuan tersebut “bekerja sendiri” atau sebagai “pekerja keluarga yang tidak dibayar”. Perhatian tersebut antara lain dengan dikeluarkannya berbagai program, seperti kredit program, kredit untuk usaha kecil yang dikenal dengan KIK(Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen). Adapun tujuan sosial politik dari KIK/KMKP ini adalah: a). Untuk membantu usaha kecil yang bergerak di semua sektor perekonomian termasuk pertanian,mendapatkan pinjaman jangka menengah untuk modal investasi dan modal kerja permanent, b). Untuk mempercepat pertumbuhan usaha kecil milik pribumi dengan tujuan mengurangi kesenjangan sosial yang semakin melebar. Pada Pakjan”90 yang isinya penyempurnaan sistim perkreditan, yang antara lain mewajibkan bank komersiel menyalurkan 20% fortofolio kreditnya untuk usaha kecil, disini KIK/KMKP diganti menjadi KUK(Kredit Usaha Kecil) dengan bunga mengikuti bunga pasar, Dalam pelaksanaannya menurut hasil penelitian Mari Elka Pangestu (1992): dari dana KUK yang tersedia realisasinya pada tahun 1994 (28,50%), tahun 1995 (35,3%), dan tahun 1996 sebesar 42,1%, yang mana lebih separoh dari dana KUK yang tersedia digunakan untuk sektor perhotelan, perdagangan, restoran , kredit konsumsi golongan menengah keatas, bukan untuk kegiatan produktif usaha kecil. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan PakMei”93 untuk memperbaiki kinerja program untuk usaha kecil, yang antara lain berisi: a). Penyediaan KLBI untuk kredit program swasembada pangan, pengembangan usaha kecil dan koperasi melalui skim KKUD, KKPA, dan KPRS/SS, b). Penyempurnaan beberapa skim kredit program dengan melakukan beberapa penyesuaian dalam mekanisme dan prosedur, disesuaikan dengan kondisi saat itu, dan untuk meningkatkan efektifitas kredit program KKUD dan KKPA digabung menjadi Kredit Kepada Koperasi KKop) atau kredit untuk koperasi, c). Penambahan skim kredit untuk pembiayaan usaha kecil termasuk usaha mikro, dan meningkatkan Lembaga Keuangan Perdesaan termasuk BPR untuk pengembangan usaha kecil melaui bantuan likuiditas yang disebut skim Kredit Modal Kerja BPR(KMK-BPR) dan Kredit Pengusaha Kecil Mikro (KPKM). Dengan demikian pemberdayaan usaha mikro kecil terdapat tiga jenis kredit yaitu kredit umum, kredit khusus (program) dan kredit penerusan. Selain itu BI juga memiliki program bantuan teknis untuk meningkatkan akses usaha kecil terhadap kredit perbankan, antara lain : Program Pengembangan Usaha Kecil (PPUK), Program Kemitraan Terpadu, dan Proyek Kredit Mikro. Kebijakan lainnya yaitu: penyisihan 5% dari laba BUMN untuk pengembangan usaha kecil, diutamakan usaha kecil yang memiliki potensi ekspor, pembentukan Pos Ekonomi Rakyat (PER), merupakan kelembagaan yang diharapan dapat berfungsi sebagai pusat informasi bagi UKM. 7
Seluruh kebijakan sebagaimana diuraikan diatas bersifat umum, artinya tidak membedakan laki-laki atau perempuan, keduanya memiliki peluang yang sama untuk mendapat kredit, dengan demikian kebijakan tersebut dapat dikatakan bersifat gender blind. Karena dalam akses terhadap sumber perkreditan, yang mensyaratkan collateral/agunan, perempuan akan mengalami hambatan, sebab status kepemilikan barang berharga atau harta yang dapat diajukan sebagai jaminan kebanyakan atas nama suami sebagai kepala rumah tangga. Sedang kredit yang dikhususkan untuk perempuan hanya Proyek Kredit Mikro dari BI dan kredit untuk kelompok sasaran wanita yang dikoordinir Menperta dalam kegiatan Peningkatan Peran Wanita (P2W), khususnya untuk kegiatan Kelompok Usaha Bersama (KUB). IV. KOPERASI DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Koperasi merupakan wadah orang-orang atau badan hukum yang mempunyai kepentingan bersama dalam meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian koperasi wanita merupakan wadah yang paling tepat bagi kelompok perempuan pelaku usaha yang biasa disebut kelompok produktif dalam meningkatkan usahanya. Koperasi ini mempunyai potensi besar dalam pemberdayaan perempuan, yang kebanyakan adalah pelaku usaha mikro kecil (UMK), yang seperti kita ketahui mempunyai kelemahan dalam mengakses sumbersumber produktif seperti bahan baku, modal, teknologi, pasar, informasi, terutama kredit perbankan karena terbentur masalah collateral. Dengan berkoperasi atau berkelompok mereka dapat secara bersama-sama mempermudah memperoleh bahan baku, bahan pembantu produksinya dengan harga/biaya lebih murah, serta lebih mudah memperoleh kredit untuk penambahan modal investasi maupun modal kerja. Berdasarkan data sekunder pendataan Kementerian Koperasi dan UKM (2006), jumlah Koperasi Wanita Kopwan di Indonesia ( 31 propinsi), pada tahun 2006 sebanyak 1517 unit dengan jumlah anggota 220.740 orang, yang mana jumlah Kopwan tersebut meningkat 105,83% dari tahun 2005 (737unit), yang meningkat 83,33% bila dibanding pada tahun 2002 ( 402 unit ). Kopwan paling banyak terdapat di Jawa Timur (212 unit), diikuti Jawa Barat (195 unit), Jawa Tengah (96 unit), NAD (94 unit), dan paling sedikit di Maluku Utara dan Irian Jaya Barat masing-masing 8 unit. Sesuai kebutuhan beberapa primer Kopwan telah membentuk Puskopwan tingkat propinsi dan telah dibentuk Inkopwan yang berkedudukan di Jakarta. Meskipun wanita memiliki berbagai kelemahan yang dapat menghambat kinerja usahanya seperti diuraikan pada bab terdahulu namun dalam kenyataannya beberapa koperasi dan UKM yang dikelola wanita menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Beberapa koperasi wanita yang kinerjanya cukup baik dan dapat dikatakan cukup pesat perkembangannya antara lain : 1). Koperasi Setia Bhakti Wanita di Surabaya : dengan kegiatan usaha andalan simpan pinjam, memiliki anggota lebih dari 11.000 orang dengan 377 kelompok, pada akhir 2005 telah memiliki asset sekitar Rp 81, 2 milyar dengan volume usaha mencapai Rp 101 milyar per tahun atau Rp 8,4 milyar per bulan, 2). Kopwan Kartika Candra, 3) Koperasi Dian Wanita, 4). Kop Annisa di NTB, mempunyai anggota lebih dari
8
5000 orang dengan berbagai kegiatan pemberdayaan perempuan, 5) Kopwan Permata Kuningan dengan jumlah anggota hampir 4000 orang, dan sebagainya. Sejalan dengan tujuan pembentukan Kopwan yaitu untuk memenuhi kebutuhan kelompok wanita produktif, pelaku usaha mikro kecil guna memecahkan masalah utama yang sering menghambat perkembangan usahanya yaitu masalah permodalan, maka kegiatan usaha Kopwan yang paling banyak adalah usaha simpan pinjam (56,11%), kemudian serba usaha sekitar 23,11%, kegiatan produksi/kerajinan (1,39 %), usaha konsumsi (0,31%),dan tidak ada data (19,09%). Total modal Kopwan seluruh Indonesia sebesar Rp 831 milyar, terdiri dari modal sendiri sebesar Rp 426 milyar ( 51,24%) dan modal luar Rp 405 milyar (48,76%). Modal luar berasal dari kredit perbankan, bantuan perkuatan/dana bergulir, seperti program agribisnis, subsidi/PKBS BBM, PUK, Syariah, maupun program P2WUM, LEPMM, P2KER, MAP, P3KUM dan sebagainya. Volume usaha yang dicapai Kopwan seluruh Indonesia sebesar Rp 1.401 trilyun, dengan volume usaha tertinggi dicapai Kopwan Kartika Candra Jawa Timur yaitu Rp 110 milyar. Total Sisa Hasil Usaha yang diperoleh seluruh Kopwan Rp 118 milyar. Dilihat dari tenaga kerja yang diserap, Kopwan seluruh Indonesia mempunyai tenaga kerja sebanyak 1760 orang yang terdiri dari tenaga kerja wanita sebanyak 1576 orang atau 89,5% dan tenaga pria sebanyak 184 orang atau 10,5 %, disamping itu kebanyakan Kopwan juga memiiki tenaga kerja paroh waktu atau part time yang jumlahnya diperkirakan lebih banyak dari pada tenaga tetap. Sedang dalam hal pengangkatan manajer, Kopwan yang telah memiliki manajer sebanyak 334 unit atau 25,8 %. Peran Kopwan dalam pemberdayaan perempuan yang paling dominan adalah memberikan kredit modal investasi maupun modal kerja pada anggota pada khususnya yang sebagian besar merupakan anggota kelompok produktif yaitu pelaku UMKM dan masyarakat sekitar pada umumnya yang ingin mengembangan usahanya atau memulai usaha melalui unit simpan pinjam, yang sebelum berdirinya Kopwan mereka sering terjerat oleh para pelepas uang dengan bunga tinggi. Kopwan yang cukup berhasil dalam usaha simpan pinjamnya antara lain Kopwan Setia Bhakti Wanita, Kartika Candra di Surabaya, Citra Mandiri, Citra Lestari, Annisa di NTB, Kartini di Denpasar, Dian Wanita, K31 di Jakarta, serta Teratai di Makassar. Keberhasilannya Kopwan dalam mengelola kegiatan simpan pinjam karena kebanyakan sudah menerapkan sistim tanggung renteng, yang dipelopori oleh Kopwan Setia Bhakti Wanita. Keberhasilan Kopwan selain karena menerapkan simpan pinjam dengan sistim tanggung renteng, juga pengurus/ pengelola merupakan wanita yang professional, ulet, tangguh, penuh srategi, memiliki jiwa wiraswata tinggi sehingga cepat menangkap peluang usaha yang ada seperti usaha pertokoan/swalayan, kebutuhan konsumsi, persewaan, catering, wartel, vocher dan sebagainya. Peran Kopwan lainnya dalam pemberdayaan perempuan antara lain memberikan pelatihan, konsutasi usaha, peningkatan ketrampilan baik dalam hal teknis usaha seperti organisasi, manajemen, administrasi/akutansi usaha, maupun peningkatan kualitas produk, akses kepada sumber-sumber produktif, informasi
9
pasar, peluang usaha, juga peningkatan di bidang pendidikan, kesehatan, peningkatan kesadaran perempuan atas hak-haknya di lingkungan kerja maupun keluarga, social, hokum, maupun politik. Kopwan yang menonjol dan memiliki kompetensi seperti itu adalah Kopwan Annisa di Mataram, yang mana kopwan ini bekerjasama dengan berbagai jaringan, lembaga, baik nasional maupun internasional telah melakukan berbagai program antara lain: - Program Kredit Mikro dari BI (1999), - Program Konsultasi Keuangan Mitra Bank (2004), Program Peningkatan Pekerja Trampil (P3T) bekerjasama dengan Depnaker (1998),-Program Grameen Bank (2003), -Program Pengadaan Pangan, dengan BRI cabang NTB (1999),- Program Life Skill bekerjasama dengan Dpdiknas dan Dikpora NTB (2002-2003),- Fasilitator Tutor Keaksaraan Fungsional di NTB (2003-2006),- Pendampingan program keaksaraan fungsional se NTB (2004-2005), KUPP (2004) dan PAUD (2005),- Program Magang di NTB (2006), - Program Sistem Vocher ( 2004 – 2007),-Pendidikan Keluarga berwawasan Gender (20042005), Program Pendidikan Penanganan Gizi Buruk di Kecamatan Lingsar (20052006),- Program Penyelenggaraan Kegiatan Belajar Paket B di Kecamatan Lingsar (2005-2006),- Program Peningkatan Pendapatan Masyarakat bekerjasama dengan PT Aero Wisata (1995),-Proyek Pengembangan Kredit Candak Kulak (P3KCK) dengan Kementerian Koperasi dan UKM ( 2005), Adapun berbagai kegiatan/program pemberdayaan perempuan pelaku UMKM bekerja sama dengan jaringan lembaga internasional seperti: 1). New Zaeland Embassy: program pemberdayaan perempuan melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan serta pendampingan kelompok (1998-1999 dan 19992001). Selain itu juga melaksanakan berbagai program pemberdayaan perempuan baik dari aspek kesehatan, pendidikan, penyadaran akan hak-hak mereka dalam bidang ekonomi, sosial, politik, maupun budaya, 2). UNICEP : khususnya dalam program Development Local Material for Non Formal Education (1997), pemberdayaan ekonomi wanita, 3). Plan International, dalam program pemberdayaan sosial ekonomi kelompok dampingan Plan International Lombok Timur (199-2000), - aktualisasi warga belajar pendidikan fungsional (1999),- Need Assessement Plan Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi masyarakat melalui pembentukan Koperasi Desa Ketangga Lombok Timur ( tahun 2000 dan 20002001), - Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi masyarakat melalui pengembangan dan pendidikan fungsional bagi perempuan Desa Ketangga Lombok Timur ( 2000-2001), - Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi masyarakat melalui pengembangan dan pendidikan fungsional bagi perempuan di 4 desa binaan International PU Ketangga Lombok Timur ( 2000-2001), 4). Plan IndonesiaSIKKA NTT: program TOT fasilitator keaksaraan Fungsional (2004-2006) dan evaluasi program (2005-2006), 5). Plan Indonesia–Bima NTB dalam Need Assessement Kelompok Usaha Bersama (KUB) di 5 desa binaan Plan Indonesia– Bima (2004), 6). World Food Program di bidang Food Security Project di NTB (1998), 7). Canadian Cooperative Association (CCA), program difokuskan pada : Institusional Strenthening of Womens Small Vendor Cooperation in NTB via Capital Mobilization (1991-1992)dan Penguatan Kelembagaan Koperasi Annisa (1992 -1999), 8). CANADA FUND dalam program pemberdayaan sosial ekonomi perempuan melalui peningkatan pendapatan, pendidikan dan latihan serta 10
pendampingan kelompok, 9). FES/WSO program yang dilakukan adalah pendampingan dan bimbingan usaha dan on the job training (1997), Intalate on Internet Facilitator (1998), pelatihan dan bimbingan usaha perempuan usaha kecil (1999 – 2000) dan lokakarya dan pembentukan jaringan PUK di NTB (1999), 10). CUSO: kerjasama dengan lembaga ini di bidang identifikasi masalah gender di Lombok (1999) dan workshop hasil identifikasi masalah gender (1999), dan annual meeting gender working group (1999), 11). UNISCO dalam program pemberdayaan perempuan petani di Lombok (1999), pemberdayaan kelompok PUK di NTB (2000), program pengembangan perempuan petani berperspektif gender (2000 – 2003), dan program STEVE for Girls (2003 – 2005), 12). LAND O’LAKES dalam pemantauan susu sekolah / UKS bagi siswa SD/MI di Lombok NTB (2002 – 2004), 13). USAID dalam program Civil Education Symposium (1999) dan program PBHF (1993 – 1995), 14). UNDP dalam program pemantauan kesehatan ibu dan anak di Kecamatan Lingsar (2005 – 2006), 15). ACCESS Australia dalam program Need Assessement di 11 LKM binaan Mitra Access di NTB (2005 – 2006) Berangkat dari keberhasilan koperasi wanita dalam mengelola usaha simpan pinjam, serta peran strategis koperasi dalam pemberdayaan perempuan pelaku UMKM, maka sejak tahun 2006 Kementerian Koperasi dan UKM mencanangkan program PERKASSA (Program Perempuan Keluarga Sehat Sejahtera), Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas pelaku usaha mikro kecil dan menumbuhkan wirausaha-wirausaha baru, dengan memberikan perkuatan modal bergulir kepada kelompok-kelompok kegiatan produktif, yang kebanyakan adalah perempuan. Pada tahun 2006 dana yang telah dikucurkan melalui program ini sebesarRp 200 miliar, dan pada tahun 2007 akan ditingkatkan menjadi Rp 250 miliar, yang akan menjangkau 250 koperasi wanita. V.
PENUTUP Persoalan perempuan tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor ideologi, struktural dan kurtural, ketiganya saling terkait menguatkan suatu situasi yang sangat tidak menguntungkan perempuan. Ideologi patriaki yang bergandengan dengan ideologi gender telah merasuki struktur dan sistem sosio kultural masyarakat yang menempatkan perempuan di posisi pinggiran, peran dan status perempuan yang bersifat sekunder. Tiga program utama program pembangunan untuk perempuan, pada prinsipnya berpandangan bahwa masalah keterbelakangan perempuan karena perempuan itu sendiri, sehingga program yang digulirkan difokuskan pada memenuhi kebutuhan praktis yaitu perempuan hanya sebagai pemanfaat. Sedang kebutuhan strategis berkaitan dengan peranan, dan kedudukan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor struktural, seperti ekonomi, sistim politik, perundangundangan, norma sosial budaya dan lain-lain belum tersentuh. Usaha mikro kecil merupakan kegiatan ekonomi yang menjadi pilihan kebanyakan anggota masyarakat, terutama kelompok perempuan, yang banyak berkecimpung dalam kegiatan industri kerajinan dan industri rumah tangga, baik 11
perempuan tersebut “bekerja sendiri” atau sebagai “pekerja keluarga yang tidak dibayar”. Dalam pemberdayaan usaha mikro kecil dan perempuan pemerintah telah mengeluarkan berbagai program, seperti kredit program, kredit untuk usaha kecil yang dikenal dengan KIK dan KMKP. Namun kebijakan tersebut bersifat umum tidak membedakan laki-laki atau perempuan, keduanya memiliki peluang yang sama untuk mendapat kredit, dengan demikian kebijakan tersebut dapat dikatakan bersifat gender blind. Karena dalam akses terhadap sumber perkreditan, yang mensyaratkan collateral/agunan, perempuan akan mengalami hambatan, sebab status kepemilikan barang berharga atau harta yang dapat diajukan sebagai jaminan kebanyakan atas nama suami sebagai kepala rumah tangga. Dengan berkiprah di koperasi perempuan tidak banyak terhambat oleh ideologi patriaki yang mengunggulkan pria dari pada perempuan , karena dalam koperasi pria dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban sama, dalam koperasi tidak ada deskriminasi sosial, politik, ekonomi, adat, budaya, hukum dan agama. Dalam koperasi perempuan disamping dapat memperjuangkan kepentingan ekonominya, juga dapat mengaktualisasikan jati dirinya, bebas menyampaikan aspirasi dan pendapatnya, Dengan kata lain koperasi dapat berperan strategis memberdayakan perempuan, dan sebaliknya dengan koperasi perempuan dapat membuktikan kompetensi dan kelebihannya, sebagaimana ditunjukkan oleh keberhasilan beberapa koperasi dan UMKM yang dikelola perempuan tanpa harus mengorbankan perannya sebagai ibu rumah tangga. DAFTAR PUSTAKA Anniswati M. Kamaluddin, (2000). Pikiran, Kiprah dan Perjuangannya Mengangkat Martabat Perempuan, Intrans Jakarta, cetakan pertama. Anonim, (2001). Studi Peran Wanita Dalam Pngembangan Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Badan Pengembangan Sumberdaya KPKM. Anonim, (2000). Wanita dan Pria Di Indonesia 2000, Biro Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS, Jakarta. Anonim, (2006). Laporan Akhir Pendataan Koperasi Yang Responsif Gender, Kementerian Negara Koperasi Usaha Kecil menengah dengan PT Solusi Dinamika Manajemen Anonim, (1994). Usaha Bersaing Untuk Wanita dan Pemuda, Ide Usaha Kecil dan Madya, Cakrawala Cinta, Jakarta. Fakih M, (1996). Gender sebagai Alat Analisis Sosial, Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Perempuan, Jurnal Analisis Perempuan, Yayasan AKATIGA, Pusat Analisis Sosial, Bandung. Hetifah S. (1995), Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil, Seri Penelitian Akatiga, Yayasan Akatiga, Bandung. Wijaya S A, (2007). Menjadikan Wanita Lebih Perkasa, PIP, Jakarta.
12
Sumampouw S. A. dkk, (2000). Menegakkan Tradisi, Seri Usaha Mikro Kecil, Swisscontact & Limpad, Jakarta. Sumampouw S. A. dkk, (2000). Ada Bersama Tradisi Tradisi, Seri Usaha Mikro Kecil, Swisscontact & Limpad, Jakarta.
13
PROFIL KOPERASI WANITA SETIA BHAKTI WANITA SURABAYA JAWA TIMUR Riana Panggabean∗ Abstrak Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita dibangun dan dikembangkan oleh kaum ibu/perempuan mulai tahun 1978. Koperasi ini dimulai dari kegiatan arisan dan berkembang menjadi koperasi simpan pinjam yang besar dan menjadi kebanggaan koperasi wanita di seluruh Indonesia. Koperasi ini dirasakan banyak manfaatnya bagi anggota karena koperasi dibangun dan dikembangkan sesuai dengan nilai, prinsip dan dasar-dasar penumbuhan serta pengembangan koperasi. Pola simpan pinjam yang dikembangkan pada koperasi ini adalah pola simpan pinjam sistem tanggung renteng. Pola ini sudah di adobsi banyak koperasi dalam pengembangan usaha simpan pinjam. Dampak koperasi terhadap anggota antara lain : koperasi mampu memenuhi kebutuhan anggota melalui KSP, interaksi antar anggota dan berkembangnya solidaritas antar anggota. Sedangkan dampak terhadap lingkungannya antara lain menjadi wadah belajar bagi koperasi lain dan menumbuhkan unit usaha baru. Profil koperasi di jelaskan dengan bagaimana koperasi mengelola organisasi,usaha dan system tanggung renteng. Kata kunci: Pengembangan koperasi dengan nilai dan prinsip koperasi, tanggung renteng dan telah berdampak terhadap koperasi.
I.
PENDAHULUAN Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita berdiri tanggal 30 Mei tahun 1978, berbadan hukum 4362/bh/II/80 dan beralamat di jalan Panglima Sudirman, Surabaya Jawa Timur. Koperasi ini tumbuh dari kelompok arisan yang dimotivasi oleh Ibu Syafril. Anggota pertama terdiri dari 35 orang, setiap bulan kelompok ini pindah dari satu rumah ke rumah yang lain seperti arisan biasa. Nilai arisan pertama kali sebesar Rp. 2.000,- Pada tahun 1975 kelompok ini telah melaksanakan usaha simpan pinjam dan telah memupuk modal melalui usaha simpan pinjam, pada saat ini anggota kelompok arisan sudah bisa mendapatkan pinjaman sebesar Rp. 5.000,- yang diangsur 5 kali. Dalam proses, usaha simpan pinjam ini berkembang. Tahun 1977 Ibu Syafril mulai memperkenalkan konsep koperasi dalam rangka perluasan usaha kelompok. Karena individu didalam kelompok 35 anggota pertama telah mulai merintis perluasan kelompok dalam pola arisan yang serupa dengan kelompok pertama. Kelompok-kelompok inilah yang menjadi embrio Koperasi Setia Bhakti. Tahun 1978 bulan Mei kumpulan kelompok ini menjadi organisasi yang disebut Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita diresmikan Departemen Koperasi Kodya Surabaya dengan wilayah kerja Kecamatan Gubeg. Dua tahun kemudian tepat tanggal 15 Januari 1980 koperasi ini mendapat Badan Hukum dengan No. 4362/BH/80.
∗
) Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
1
Sebagai organisasi yang sudah dikenal masyarakat Kopwan mempunyai visi dan misi sebagai arah atau pegangan dalam menjalankan roda organisasi. Visi kopwan adalah : meningkatkan Koperasi Wanita “Setia Bhakti Wanita:” sebagai organisasi yang handal dan tangguh dengan dukungan sumber daya manusia yang profesional serta penerapan system tanggung renteng yang efektif melalui pemberdayaan anggota sehingga dapat meningkatkan ekonomi mereka. Visi itu dijabarkan kepada misi yang menjadi petunjuk operasional organisasi yaitu meningkatkan pelayanan koperasi dan kualitas sumber daya manusia untuk dapat menumbuhkan kehidupan yang lebih bertanggung jawab (mandiri) dan berkesinambungan. II.
PENGELOLAAN ORGANISASI Sebagaimana telah dijelaskan diatas Kopwan ini tumbuh dari kelompokkelompok arisan. Kemudian di gabung dalam oganisasi koperasi wanita. Perkembangan koperasi wanita ini cukup alamiah dengan modal semangat,ketekunan dan saling percaya antar anggota dan kelompok serta antar kelompok dengan organisasi koperasi. Pada koperasi ini berproses sebagaimana teori kelompok dibangun menjadi suatu organisasi yang anggotanya mempunyai satu kepentingan melalui usaha simpan pinjam. Disinilah kepiawaian ibu-ibu membangun dirinya menjadi suatu organisasi besar yang dikenal di Indonesia. Proses Badan Hukum dan Anggaran Dasar telah dilakukan berkali-kali mengikuti perkembangan jumlah anggota dan usaha. Pertumbuhan anggota yang cukup pesat dari jumlah 35 orang menjadi 2.913 orang Tahun1984. seiring dengan perkembangan tersebut wilayah kerja juga mengalami perluasan ke Kecamatan Surabaya Timur pada tahun 1988. Pada saat itu jumlah anggota sudah mencapai 3.431 orang terbagi dalam 270 kelompok. Perkembangan anggota dapat dilihat pada Tabel 1. Tahun 1996 tanggal 6 Pebruari diadakan perubahan anggaran dasar, pada saat itu wilayah kerja diperluas lagi hampir mencakup Kota Surabaya, jumlah anggota mencapai 9.832 orang terdiri dari 348 kelompok. Prestasi yang dicapai koperasi ini meliputi: koperasi klasifikasi A (sangat mantap, koperasi berprestasi, koperasi andalan, koperasi teladan,koperasi teladan utama dan koperasi berprestasi. Koperasi ini juga menjadi tempat koperasi lain untuk studi banding dan rata-rata koperasi yang datang juga berhasil mendirikan Koperasi Simpan Pinjam yang dimodifikasi sesuai dengan keadaan lingkungan setempat seperti koperasi di Maluku dan koperasi lain di Indonesia. Tabel 1. Perkembangan Anggota Koperasi Setia Bhakti Wanita No 1 2 3 5 6
Tahun < 1984 1984 1988 1996 2006
Jumlah Anggota (Orang) 35 2.913 3.431 9.832 11.000.
Perkembangan (orang) 2.878 518 6.401 1.168
Pada kopwan ini RAT dilakukan 2 kali setahun, karena jumlah anggota cukup banyak maka RAT dilakukan dengan system perwakilan. Satu kelompok diwakili oleh satu orang. Untuk kelompok besar bisa diwakili beberapa orang tergantung dari jumlah kelompok dengan memakai proporsional sebesar 5 persen total anggota. 2
Dalam menjalankan tugas Pengurus dibantu oleh manajer dan Pembimbing Penyuluh Lapangan (PPL). PPL merupakan kepanjangan tangan dari pengurus Setiap manajer membawah tugas-tugas tertentu, sedangkan PPL bertugas untuk menghadiri pertemuan kelompok yang dibawahinya. Seorang PPL membawahi maksimal 13 kelompok. Setiap bulan dari tanggal 2 sampai tanggal 13 PPL berkunjung ke kelompoknya dan pada saat tengah minggu PPL membuat laporan ke Pengurus. Status PPL adalah honorer mendapat honor Rp. 100 ribu hingga Rp. 300 ribu per bulan dan setiap kunjungan mendapat transport Rp. 75.000,- per-kelompok. Untuk menjadi PPL seseorang harus melalui prosedur mulai dari perekutan dan penyaringan. Jumlah karyawan full timer sebanyak 80 orang yang bekerja dari jam 08.00 16.00 WIB, Jumlah pengurus 6 orang terdiri dari 3 orang berpendidikan D1, 2 orang luluan S1 dan 1 orang lulusan S2 (Master Humaniora). Sistem kerja pengurus memakai sistem KOLEGA artinya suatu permasalahan akan dibicarakan secara menyeluruh oleh pengurus. Suatu keputusan paling tidak sudah dikomunikasikan kepada semua pengurus jika ada keputusan yang sulit dibicarakan dengan cara voting. Pada Tabel 2 dibawah ini dapat dilihat Profil Koperasi Setia Bhakti Wanita. Tabel 2. Profil Koperasi Setia Bhakti Wanita Tahun 2006 No 1 2 3 4 5
Indikator Profil Jumlah anggota Kelompok Aset Total Modal (thn 2002) Volume Usaha
Satuan Orang kelompok Rp/ milyar Rp/milyar Rp/milyar
Nilai 11.000 754 81,2 45,3 101
III. PERMODALAN Permodalan koperasi ini berasal dari modal sendiri yaitu simpanan anggota dan modal luar. Modal luar bersumber dari Bank, sampai saat penelitian mitra bank koperasi ini terdiri dari Bank: Mandiri, Bukopin, Bank Putra dan Bank Muamalat Indonesia. Komposisi permodalan sampai tahun 2002 adalah 45 persen modal sendiri dan 55 persen modal luar. Simpanan dari Bank diperoleh dengan menggunakan kantor sebagai jaminan. Struktur permodalan selama sepuluh tahun dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 memperlihatkan bahwa struktur permodalan Koperasi ini dari tahun 1999 sampai tahun 2001 cukup baik karena modal sendiri selalu lebih besar dari modal luar. Kemudian Tahun 2002 struktur modal berubah modal luar lebih besar dari modal sendiri. Struktur modal ini perlu dicermati untuk pengembangan usaha koperasi lebih lanjut. Dilihat dari pertumbuhan modal sendiri selama 10 tahun berjalan cukup nyata yaitu dari Rp. 2.761.724 000,- menjadi Rp. 20.186.078.000 atau meningkat menjadi Rp. 17.424.354.000,- atau 6,3 kali. Demikian juga modal luar meningkat 21 kali lipat dari Rp. 1.145.523.000,- menjadi Rp. 25.172.017.000,- atau Rp 24.026.494.000,- (200,1%)
3
Tabel 3. Permodalan Koperasi Setia Bhakti Wanita No
Tahun
1 1
2 1993
2
1994
3
1995
4
1996
5
1997
6
1998
7
1999
8
2000
9
2001
10
2002
Modal Sendiri (Rp/000) 3 2.761.724 (70,68%) 3.568.581 (66,24%) 4.441.336 (72,10%) 5.632.689 (71,27%) 6.858674 (73,89%) 8598.183 (82,47%) 8.950.090 (55,87%) 12.308.469 ( 57.36%) 12.308.469 (57.36%) 20.186.078 (44,50%)
Sumber : Koperasi Setia Bhakti Wanita 2006
Modal Luar (Rp/000) 4 1.145.523 (29,32%) 1.818.410 (33,76%) 1.718.412 (37,90%) 2.270.562 (28,73%) 2.423.438 (26,11%) 1.827.169 (17,53%) 7.068.942 ( 44.23%) 9.147.490 (42,64%) 9.147.490 (42,23%) 25.172.017 (55,60%)
Total Modal ( Rp/000) 5 3.907.247 (100%) 5.386.991 (100%) 6.159748 (100%) 7.903.251 (100%) 9.282.112 (100%) 10.425.352 (100%) 16.019.032 (100%) 21.455.959 (100%) 21.455.959 (100%) 45.358.095 (100%)
IV. PENGELOLAN USAHA Usaha kopwan ini cukup spesifik yang dikenal dengan usaha simpan pinjam system tanggung renteng. Perkembangan usaha ini mendorong tumbuhnya unit usaha baru seperti usaha unit swalayan dan unit usaha untuk Usaha Kecil Menengah. (1)
Sistem Tanggung Renteng Sistem tanggung renteng yang dikembangkan pada koperasi ini dilaksanakan sebagai berikut: (1) anggota dikelompokkan sesuai dengan jenis usaha meliputi kelompok bakul jamu, pracangan hingga intektual, (2) syarat pengajuan pinjaman dari kelompok (anggota kelompok) ini merupakan syarat boleh tidaknya seseorang meminjam, (3) jumlah kelompok minimal 15 orang dan maksimal 30 orang, (4) setiap kelompok wajib mengadakan pertemuan setiap bulan. Di dalam pertemuan inilah anggota membahas semua kebutuhan dan memecahkan masalah dan pada saat inilah pencairan pinjaman dan pembayaran dilakukan. Melalui kelompok ini terjadi transaksi pinjaman dan pembayaran kewajiban kemudian kelompok menyetor ke koperasi (5) semua kesepakatan dalam kelompok diputuskan melalui musyawarah, hasil musyawarah inilah adalah kesepakatan bersama yang menjadi rambu-rambu aturan yang diberlakukan. sehingga antar kelompok harus saling mengenal kalau tidak si peminjam tidak akan mendapat pinjaman. Inilah alat control yang ampuh dalam usaha simpan pinjam.. Dengan demikian kedekatan dan saling mengenal serta saling memperhatikan terjadi di dalam kelompok. Musyawarah
4
dalam kelompok dilakukan untuk menentukan pinjaman. Jadi ketika anggota meminjam anggota lain mengetahui dan jika semua setuju semua anggota kelompok harus menanda tangani surat pengajjuan pinjaman (SPP). Tanda tangan itu sebagai bukti setuju. Bagaimana jika ada anggota kelompok yang lalai terhadap kewajibannya, permasalahan diajukan pada waku pertemuan kelompok disana dia menjelaskan masalah. Setelah diketahui semua anggota kelompok sepakat untuk menalangi utang tersebut dari uang kas kelompok dan yang bersangkutan diminta mencicil berapa bulan. Dengan demikian beban dan tunggakan jarang terjadi. sehingga tunggakan dalam kelompok rata-rata nihil. Inilah hakekat system tanggung renteng. Intinya adalah kebersamaan, kesepakatan, saling percaya dan saling mengenal anggota dalam kelompok. Jadi dalam Kopwan yang menjadi fokus pembinaan adalah kedisplinan, saling percaya, musyawarah dan kebersamaan. Inilah kunci-kunci dasar dari organisasi ini (2)
Unit Swalayan Setelah 5 tahun kopwan berjalan telah berhasil mendirikan unit Swalayan untuk melayani anggota maupun masyarakat sekitarnya. Omzet swalayan ini rata-rata Rp. 588 juta per bulan. Anggota bebas berbelanja secara tunai maupun kredit sebagaimana di swalayan lainnya. Untuk anggota yang menggunakan kredit diberi plafon Rp. 300.000 per bulan dan bagi anggota yang memiliki toko atau pracangan juga diberi pinjaman sebesar Rp. 1 juta sampai Rp. 2,5 juta.
(3)
Unit Peminjaman Untuk Usaha Kecil dan Menengah Selain usaha simpan pinjam dan swalayan kopwan juga mengembangkan usaha pinjaman bagi anggota yang mau dan berusaha. Pemberian pinjaman diprioritaskan kepada anggota yang memiliki usaha yang sudah berjalan. Karena untuk usaha pinjaman diberi persyaratan memberikan jaminan atau agunan. Tingkat bunga sebesar 2% flat per bulan. pinjaman seperti ini diberikan kepada individu. Sampai Bulan Desember 2006 telah dikuncurkan kredit sebesar Rp 1,6 milyar untuk 338 UKM..
(4)
Sarana dan Prasarana Sebelum memiliki gedung sendiri Koperasi menyewa kantor milik Puskowanjati di Jalan Panglima Sudirman. Sesuai dengan perkembangannya pada Tahun 1996, Koperasi ini memiliki gedung berlantai dua diatas tanah seluas 1.400 meter. Sumber dana untuk pembangunan gedung ini bersal dari 6.000 anggota masing Rp. 16.000,- per-orang diangsur selama 5 bulan. Kemudian tahun 2003 Koperasi memperluas gedung dengan membeli sebidang tanah diwilayah yang sama. Sumber dana kembali berasal dari anggota. Dengan bertambahnya luas tanah tersebut Koperasi merenovasi unit toko menjadi swalayan. Keputusan untuk membangun gedung tetap meminta persetujuan para anggotanya. Sampai tahun 2006 jumlah anggota mencapai 10.000 lebih dengan total aset mencapai Rp. 81,2 milyar, volume usaha Rp. 101 milyar artinya omset masing-masing anggota rata-rata Rp 8,4 milyar. Jika dibandingkan dengan total modal pada tahun 2002 sebesar Rp. 45.358.095.000 maka perputaran modal sampai akhir bulan tahun 2006 hampir 2 kali lipat .
5
(5)
V.
Dampak Koperasi Terhadap Lingkungan Dampak kopwan terhadap lingkungan antara lain : (1) Kopwan telah berhasil memenuhi kebutuhan sosial anggotanya maupun untuk sumbangan temporer sebagai bentuk kepedulian bagi sesama. Upaya ini dilakukan melalui penyisihan 3% dari SHU sedangkan (2) Kepedulian sosial terhadap masyarakat miskin, pendidikan anak-anak anggota diupayakan melalui beasiswa di tingkat SD hingga SMU, disisihkan melalui SHU sebesar 2,5%. (3) Dampak Kopwan secara ekternal sudah sangat meluas yaitu kopwan telah berhasil menjadi wadah belajar bagi koperasi lainnya yang berusaha dalam usaha simpan pinjam, menumbuhkan koperasi lain dan pengusaha baru. sebanyak 338 unit. Untuk penumbuhan koperasi Contoh tumbuhnya koperasi wanita Panggayo Maju di Ambon
PENUTUP Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita Jawa Timur telah berhasil mengangkat jati diri koperasi wanita dan koperasi pada umumnya. Keberhasilan koperasi ini ditopang oleh kesabaran, keuletan, kerjasama untuk saling membantu antara pengurus dan anggota. Koperasi ini tumbuh dari kelompok arisan bermula dari jumlahi 35 orang tetapi sekarang sudah menjadi suatu organisasi besar yang mampu mengharumkan nama koperasi. Para pengurus mampu menjabarkan visi dan misinya pada implementasi operasional pelayanan koperasi didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang dapat menumbuhkan kehidupan yang lebih bertanggung jawab (mandiri) dan berkesinambungan. Koperasi ini telah berdampak positip terhadap anggota maupun masyarakat disekitarnya serta menjadi wadah pendidikan bagi koperasi lain.
DAFTAR PUSTAKA Alvin A. Goldberg Carli. E Larson, (1985). Komunikasi Kelompok Proses-Proses Diskusi dan Penerapannya. Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press). Jakarta. Hanel Alfred, (2005). Organisasi Koperasi. Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Organisasi Koperasi dan Kebijakan Pengembangan di Negara-Negara Berkembang. Graha Ilmu Yogyakarta. Koperasi Wanita Setia Bhati, (2006). Rapat Anggota Tahunan. Surabaya. Menteri Negara koperasi dan UKM RI. Kumpulan Kebijakan Bantuan Perkuatan dan Petunjuk Teknis Program Pembiayaan Produktif Koperasi dan Usaha Mikro (P3KUM) Pola Konvensional. Lawang Robert M.Z., (1985). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Universitas Terbuka. Lexy. J Moleong, (1993). Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Rosdakarya- Bandung.
PT Remaja
Roy, Ewel, Paul, (1989). Cooperatives Today And Tomorrow. The Interstate Printers & Publishers, Inc Dovelle Illionis.
6
Robert J Kilber Kittie W Watson. Katty J Whalers Larry, L Barker, (1993). Groups in Process An Introduction to Small Group Comunication. Prentice-Hall,I nc.Engewood Clitfs.New. Jersev. Syahriman Syamsu, M.Yusril, FX Suwarto, (1990). Dinamika Kelompok dan Kepemimpinan . Universitas Atmajaya Yogyakarta. Singarimbun, Masri dan Efendi Sofyan, (1998). Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta. Toha Miftah, (1989). Pembinaan Organisasi Proses Diagnosa dan Intervensi. Rajawali Pers Jakarta. Winardi J., (2003). Teori Organisasi dan Pengorganisasian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
7
MENGANGKAT PERAN PEREMPUAN PENGUSAHA DALAM MENGATASI PENGANGGURAN I Wayan Dipta∗ Abstrak Sektor swasta, terutama usaha kecil dan menegah (UKM) dinyatakan sebagai sektor yang berperan penting. Untuk itu kiranya perlu memperkuat peranan mereka dalam investasi. Karena UKM merupakan sektor yang dapat dimanage/dikelola oleh laki-laki maupun perempuan, maka artikel ini akan ditekankan pada peran UKM pada umumnya dan diutamakan pada perempuan pengusaha. Meskipun data tentang perempuan pengusaha sangat terbatas, tulisan ini akan mencoba memberikan beberapa pandangan tentang bagaimana mengembangkan wanita pengusaha dan perananperanan potensial yang akan menciptakan lapangan kerja. Diperkirakan bahwa sekitar Rp. 239.6 triliun dibutuhkan untuk diinvestasikan bagi UKM. Selain itu pula, bantuan pemerintah seharusnya tidak kurang dari pada Rp 26.36 triliun di tahun 2007. Bantuan pemerintah ditahun 2008 bisa ditingkatkan sehingga mencapai jumlah Rp. 30,33 triliun. Karena tidak adanya informasi tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh perempuan pengusaha, maka untuk memperkuat peranan perempuan pengusaha masih berdasarkan pada pertimbangan nilai. Di Taiwan, sebagian besar masalah perempuan pengusaha (55.2%) adalah pada akses finansial yang diikuti oleh akses pasar (15,9%). Oleh karena itu, menyediakan akses finansial dan akses pasar khususnya bagi perempuan pengusaha bisa menjadi program yang sangat penting bagi perkembangannya. Selain itu, agar lebih fokus pada perkembangan UKM khususnya perempuan pengusaha, suatu kelompok sasaran harus dipilih yaitu diantaranya sektor pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan, perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri manufaktur dan sektor jasa. Sektor ini secara dominan dikontribusikan pada penciptaan lapangan kerja baru. Pendekatan ini dapat dilakukan melalui program pengembangan klaster dan kemitraan dan restrukturisasi atau modernisasi usaha.
Kata kunci : Penciptaan lapangan kerja berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi membutuhkan investasi.
I.
PENDAHULUAN Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM pada Oktober 2005 lalu ternyata berdampak negatif terhadap semakin membengkaknya tingkat pengangguran. Meskipun ada kecenderungan penurunan, jumlah pengangguran masih tetap di atas 10,5 juta orang per Agustus 2006. Bahkan ada perkiraan bahwa setiap tahun ada tambahan sekitar 2 juta-2,5 juta angkatan kerja baru. Namun,
∗
) Staf Ahli Menteri Negara Koperasi dan UKM Bidang Pemanfaatan Teknologi
1
tambahan penyerapan tenaga kerja setiap tahun dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini maksimal hanya 1 juta lapangan kerja yang berhasil diciptakan. Jadi ada selisih yang tidak bekerja sekitar 1-1,5 juta orang setiap tahun. Untuk mengurangi masalah pengangguran ini, idealnya dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi melalui investasi dan ekspor. Upaya ini tampaknya belum berhasil terjadi selama tahun 2006 lalu. Pertumbuhan ekonomi ketika itu lebih banyak didorong oleh tingkat konsumsi masyarakat. Pertumbuhan yang tinggi melalui investasi dan ekspor, selain oleh usaha besar dapat juga dilakukan oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Peran UKM dalam mendorong pertumbuhan ekonomi telah terbukti nyata ketika Indonesia dilanda krisis moneter yang akhirnya berujung pada krisis multi dimensi. Ketika krisis terjadi pada pertengahan tahun 1997, banyak usaha besar yang selama ini tergantung pada pinjaman luar negeri dan bergulat menghadapi masalah hutangnya, UKM justru sebaliknya menikmati adanya defresiasi rupiah terhadap dollar. Banyak UKM, khususnya yang bergerak di sektor agrobisnis dan agro-industri, seperti usaha yang bergerak dalam ekspor kopi, lada, pala, cengkeh, udang, ikan dan produk perikanan lainnya, serta furnitur sangat menikmati adanya defresiasi rupiah tersebut. Menyadari akan peran penting dan strategis UKM itulah, maka harus ada upaya yang lebih terarah dalam meningkatkan peran mereka dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi guna menciptakan lapangan pekerjaan untuk berperan dalam mengatasi pengangguran, khususnya lagi bagi UKM yang dikelola oleh kaum perempuan. Bagaimana caranya dan apa saja yang mereka bisa lakukan, tulisan ini akan mencoba memaparkan upaya tersebut. II.
ANGKATAN KERJA DAN TINGKAT PENGANGGURAN Pertambahan jumlah angkatan kerja yang selalu meningkat tiap tahun yang tidak sejalan dengan kemampuan dalam penyerapannya akan selalu menambah jumlah pengangguran di dalam negeri. Kompas, 14 Desember 2005 mempublikasikan prakiraan pertumbuhan ekonomi dan pengangguran terbuka. Pada Tabel 1 di bawah ini dapat dilihat bahwa angkatan kerja baru pada tahun 2007 diperkirakan sebanyak 2,05 juta orang. Sementara itu, prakiraan lapangan kerja baru yang bisa diserap sebanyak 2,92 juta. Namun, dari pengalaman pada tahun 2006, tampaknya lapangan kerja baru yang berhasil diciptakan tidak sesuai dengan prakiraan. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5% pada tahun lalu ternyata tidak berhasil menciptakan pertambahan kesempatan kerja yang sesuai dengan harapan. Pada tahun 2006 bahkan tingkat pengangguran bertambah menjadi 10,93 juta orang atau 10,5% dari total angkatan kerja yang ada. Ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 ternyata kurang berkualitas, karena tidak banyak tenaga kerja yang berhasil diserap pada tahun 2006. Ini juga mengindikasikan, bahwa pertumbuhan ekonomi bukan karena peran sektor riil, tetapi mungkin karena investasi di sektor keuangan (pasar modal) dan juga karena konsumsi.
2
Perkembangan tentang prakiraan angkatan kerja baru, kesempatan kerja yang berhasil diciptakan dan tingkat pengangguran pada tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Terbuka Thn
Angkt Kerja (Juta)
Angkt. Kerja Baru (Juta)
Pertumb. Ekonomi (%)
Jml Angkt Kerja Bekerja (Juta)
Lap Kerja Baru (Juta)
Lap Kerja Setiap 1% Pertumb Ekonomi
Pengangguran Terbuka
Prosentase Pengangguran Terbuka (%)
2004
103,97
1,34
5,13
93,72
0,91
178.000
10,25
9,86
2005
105,95
1,98
5,50
95,73
2,01
365.000
10,22
9,65
2006
107,96
2,01
6,08
98,32
2,59
426.000
9,64
8,93
2007
110,01
2,05
6,70
101,24
2,92
436.000
8,77
7,97
2008
112,01
2,09
7,20
104,57
3,33
463.000
7,53
6,72
2009
114,23
2,13
7,64
108,39
3,82
500.000
5,84
5,11
Sumber data : Kompas 14 Desember 2005
Bahkan kalau dibedah lagi secara mendalam, distribusi penyerapan tenaga kerja oleh masing-masing pelaku ekonomi dan secara sektoral, dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Pada Tabel 2 tersebut, dapat dilihat bahwa pada tahun 2003, untuk Usaha Kecil, sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan memberikan kontribusi yang paling besar dalam penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 46,91%, disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 26,44%, jasa-jasa 10,99% dan industri pengolahan sebesar 9,29%. Sedangkan untuk Usaha Menengah, kontribusi penyerapan tenaga kerja terbesar terjadi pada sektor industri pengolahan sebesar 40,75%, dususul oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar 17,97%, kemudian perdagangan, hotel dan restoran sebesar 17,50% dan jasa-jasa sebesar 11,38%. Dari Tabel 2 ini dapat disampaikan, bahwa sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor jasa-jasa merupakan sektor yeng potensial untuk dikembangkan dalam rangka penyerapan tenaga kerja.
3
Tabel 2. Distribusi Penyerapan Tenaga Kerja Usaha Kecil, Menengah dan Besar Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2006 (Persen) Sektor
UK
UM
UB
JML
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
46,91
17,97
1,27
43,71
2. Pertambangan & Penggalian
0,69
0,67
2,11
0,74
3. Industri Pengolahan
9,29
40,75
77,82
13,49
4. Listrik, Gas dan Air Minum
0,10
0,87
1,57
0,19
5. Bangunan
0,78
2,01
0,73
0,84
6. Perdagangan, Hotel & Restoran
26,44
17,50
4,92
25,17
7. Pengangkutan & Komunikasi
4,15
3,35
2,33
4,04
8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
0,66
5,51
5,06
1,07
9. Jasa-Jasa
10,99
11,38
4,18
10,75
Jumlah
100
100
100
100
III. PERKEMBANGAN TENAGA KERJA DAN KEBUTUHAN INVESTASI UKM Peranan UKM dalam penyerapan tenaga kerja tampaknya tidak perlu disangsikan lagi. Pada tahun 2006, diperkirakan tidak kurang dari 85,4 juta orang atau 96,7% jumlah tenaga kerja diserap oleh UKM, yaitu 80,9 juta orang oleh Usaha Kecil (UK) dan 4,5 juta orang oleh Usaha Menengah (UM). Pada tahun 2003 jumlah tenaga kerja yang diserap UK sebanyak 77,95 juta orang dan oleh UM sebanyak 3,99 juta orang, maka telah terjadi kenaikan rata-rata pertahun sebanyak 1,3% untuk UK dan 4,1% untuk UM. Data di atas menunjukkan bahwa UKM memberikan kontribusi yang luar biasa dalam penyerapan tenaga kerja. Ini juga membuktikan bahwa UKM merupakan wahana yang ampuh dalam rangka mengatasi masalah pengangguran. Untuk dapat mendorong lebih besar lagi peran UKM dalam penyerapan tenaga kerja, maka investasi di UKM juga perlu terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini, maka kebutuhan dan sumber investasi untuk UKM dapat diperkirakan sebagaimana Tabel 3 berikut ini.
4
Tabel 3. Perkembangan dan Sumber Investasi Untuk Usaha Kecil dan Menengah Tahun 20052009 Tahun
Kebutuhan Investasi
Sumber Investasi
UK
UM
UKM
Bank
2005
90,84
83,96
174,80
70,60
84,97
19,23
2006
105,78
98,71
204,49
71,57
110,43
22,49
2007
123,27
116,32
239,60
83,86
129,38
26,36
2008
140,99
134,72
275,71
96,50
148,88
30,33
2009
160,11
154,87
314,98
110,24
170,09
34,65
!"#"#"$%&'"#("$ )"*"+ ,-.&/01*2($3 45(+51 6"78" 9!:,&;<&=&>?
Modal Pemerin Sendiri tah
&)"$ ;!&=&"?#$&
Pada Tabel 3 di atas dapat diperkiran bahwa kebutuhan investasi bagi UKM pada tahun 2007, kalau ingin mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2% adalah sebesar Rp.239,6 triyun. Idealnya, pemerintah harus mengalokasikan sebesar Rp.26,36 trilyun anggarannya untuk investasi UKM tersebut. Bahkan, pada tahun 2008, pemerintah mestinnya harus mampu mengalokasikan anggarannya bagi pengembangan UKM sebesar Rp.30,33 triyun. IV. BAGAIMANA MENDORONG INVESTASI Mengharapkan investasi dari luar negeri kenyataannya belum menunjukkan hasil yang berarti selama tahun 2006 lalu. Para investor asing mungkin masih menunggu adanya perbaikan iklim investasi dan beberapa peraturan yang menyangkut aspek perburuhan. Kalau upaya terobosan lain tidak dilakukan, khawatir masalah pengangguran ini akan bertambah terus pada tahun-tahun mendatang. Kalau kita cermati dari data dan fakta yang ada, upaya strategis lain yang sangat potensial untuk menyerap pengangguran adalah melalui pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Ada beberapa fakta yang dapat dijadikan acuan akan posisi penting dan strategis UMKM dalam mengatasi masalah pengangguran. Hal ini dapat dilihat dari catatan Badan Pusat Statistk tahun 2005, bahwa setiap 1% kenaikan pertumbuhan ekonomi dari kontribusi UMKM akan mampu diserap sekitar 512 ribu angkatan kerja baru. Oleh karena itu, maka kita harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi oleh UMKM. Bagaimana mendorong investasi di sektor UMKM dan pada sektor mana saja yang perlu mendapatkan perhatian. Dari data BPS tersebut terungkap bahwa beberapa sektor yang memberikan kontribusi besar dalam pembentukan PDB yang 5
memacu peningkatan pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja adalah sektor pertanian, khususnya sub-sektor agribisnis dan agroindustri, seperti minyak nilam, industri olahan dari produk kelapa, seperti sabut kelapa, tempurung kelapa, VCOVirgin Coconut Oil, dan berbagai produk kelapa lainnya. Beberapa produk perikanan dan kelautan juga sangat potensial untuk dikembangkan seperti udang, ikan kerapu dan rumput laut dan beberapa jenis budidaya perikanan dan kelautan lainnya. Sektor industri manufaktur dan kerajinan, khususnya untuk industri penunjang - supporting industries seperti komponen otomotif, elektronika, furnitur, garmen dan produk alas kaki juga memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja. Penulis juga mencermati banyak sekali produkproduk IT dan industri manufaktur yang sangat dibutuhkan, baik untuk pasar domestik, maupun untuk pasar ekspor. Di samping kedua sektor tersebut, sektor jasa keuangan, persewaan, jasa konsultasi bisnis dan jasa lainnya juga memiliki prospek baik untuk dikembangkan. Ada beberapa program yang bisa dilakukan untuk mendorong investasi di sektor-sektor tersebut di atas, antara lain: 1. Pengembangan Kemitraan; (1) Kemitraan Sub-Kontrak untuk memproduksi komponen otomotif, elektronik dan furnitur. Kalau tahun 2007 di masing-masing sub-sektor dapat dikembangkan 100 perusahaan sub-kontraktor dengan karyawan rata-rata 10 orang dan rata-rata investasi sebesar Rp.100 juta sampai Rp.200 juta, maka akan terserap 3000 orang tenaga kerja dengan kebutuhan investasi sebesar Rp.30 milyar sampai dengan Rp.60 milyar. (2) Kemitraan Inti-Plasma untuk pengembangan agrobisnis dan agroindustri. Pengembangan pola Inti-Plasma ini cukup banyak bisa dikembangkan dan juga sangat relevan untuk melakukan industrialisasi di desa sebagaimana dicita-citakan oleh Bapak Presiden dalam disertasinya yang berhasil dipertahankan pada tahun 2004. Program ini juga sangat baik untuk menahan laju urbanisasi. Kalau di setiap Kabupaten pada tahun 2007 bisa dikembangkan 1 pola Inti-Plasma atau paling sedikit sekitar 200 unit Perusahaan Inti dengan jumlah karyawan rata-rata 20 orang dengan masingmasing 1000 Perusahaan Plasma yang mempekerjakan 5, maka pada tahun 2007 ini akan mampu diserap 1,04 juta orang tenaga kerja untuk program ini. Kalau masing-masing Plasma membutuhkan investasi Rp.10 juta sampai dengan Rp.20 juta, maka kebutuhan investasi UMKM melalui pola ini sebanyak Rp.2 trilyun sampai dengan Rp.4 trilyun. (3) Kemitraan Waralaba untuk pengembangan jasa keuangan seperti model Swamitra dan jasa lainnya seperti salon, hotel dan restoran dan bisnis retail. Pengembangan usaha melalui pola ini, khususnya jasa keuangan akan bermanfaat untuk mengatasi masalah permodalan bagi usaha mikro dan kecil. Program P3KUM dan PERKASSA selain model Swamitra perlu terus dikembangkan. Usaha salon dan restoran juga sangat potensial untuk dikembangkan dengan pola ini. Kalau masing-masing 200 unit usaha dikembangkan tahun 2007 dengan jumlah tenaga kerja masing-masing 10 orang, maka kedua jenis usaha ini sudah mampu menyerap sekitar 4000 6
orang. Adapun kebutuhan investasi bagi kedua usaha ini sekitar Rp.100 juta sampai dengan Rp.200 juta atau kebutuhan total investasi sebesar Rp.4 milyar sampai Rp.8 milyar. 2. Restrukturisasi/modernisasi usaha untuk meningkatkan produktivitasnya bagi perusahaan yang masih memiliki potensi untuk berkembang. Ada beberapa perusahaan kecil dan menengah yang perlu dilakukan restrukturisasi/modernisasi usaha, antara lain usaha garmen, kulit dan alas kaki yang permintaannya masih tinggi, namun terkendala bahan baku dan penolong serta teknologi baru. Dengan pengembangan UMKM melalui kedua program di atas, diperkirakan tidak kurang dari 1 juta sampai 1,5 juta orang tenaga kerja akan bisa diserap pada tahun 2007 ini. Penciptaaan tenaga kerja seperti ini hanya sebagian kecil saja atau sebagai dampak dari program pemerintah. Kalau iklim investasi bisa diperbaiki pada tahun 2007 nanti, mestinya masalah tambahan 2 juta sampai 2,5 juta angkatan kerja baru mestinya akan mudah diserap pada tahun 2007. V.
PERAN PEREMPUAN PENGUSAHA Perempuan pengusaha dibanyak negara telah menjadi perhatian besar dalam pembangunan bidang ekonomi. Di dalam forum APEC, pengembangan perempuan pengusaha juga telah menjadi isu yang hampir setiap tahun dibahas. Pembahasan perempuan pengusaha hampir dilakukan diberbagai fora yang ada, seperti Gender Focal Point (GFN), Women Leaders Network (WLN), Micro-Enterprises SubGroup (MESG) dan Small and Medium Enterprises Working Group (SMEWG). Bahkan dalam forum APEC disepakati agar masing-masing ekonomi memberikan perhatian bagi perkembangan perempuan pengusaha, khususnya pengusaha mikro, kecil dan menengah serta dodorong agar mengembangkan disagregasi data agar pembinaan dan pengembangan perempuan pengusaha yang adalah UMKM menjadi lebih terarah. Indonesia sendiri yang menjadi anggota APEC belum banyak menindaklanjuti kesepakatan tersebut. Sampai saat ini, belum ada data yang jelas tentang jumlah perempuan pengusaha yang juga adalah tergolong UMKM. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan masih dilakukan secara minimal. Pemerintah, khususnya Kementerian Koperasi dan UKM, selain mengembangkan proyek yang khusus untuk pengembangan gender, sejak tahun 2006 telah diupayakan penguatan koperasi yang khusus dikelola oleh kaum perempuan melalui program PERKASSA (Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera). Dengan perkuatan masing-masing Rp.100 juta untuk setiap koperasi, pada tahun 2006 telah dibantu sebanyak 200 unit koperasi melalui pola konvensional (100 unit) dan pola syariah (100 unit) dengan nilai sebesar Rp. 20 milyar. Perkuatan ini diharapkan mampu mengembangkan perempuan pengusaha khususnya anggota koperasi. Berkaitan dengan upaya peningkatkan peran perempuan pengusaha dalam pengangguran, maka disamping perlu adanya data yang jelas tentang jumlah perempuan pengusaha, kiranya juga harus dipahami masalah dan tantangan yang
7
dihadapi. Dengan peta yang jelas, maka akan dapat disusun program dan kegiatan yang terarah dalam pengembangan perempuan pengusaha ke depan. Namun demikian, mempelajari secara tersirat selama, ini kelompok perempuan pengusaha sepertinya banyak bergerak dalam usaha agrobisnis, khususnya sayur-mayur, pedagang jamu, kerajinan, serta warung makan. Untuk sektor industri, tampaknya belum banyak digeluti oleh perempuan. Walaupun demikian, diperkirakan kaum perempuan pengusaha ini cukup memberikan peran besar dalam penyerapan tenaga kerja dalam rangka mengatasi pengangguran, karena usaha yang mereka kembangkan memang merupakan usaha yang memberikan peran besar dalam penyerapan tenaga kerja. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh perempuan pengusaha, khsuusnya menyangkut masalah permodalan. Di Taiwan, diperkirakan 55,2% perempuan pengusaha memerlukan dukungan pendanaan dan 15,9% menyangkut akses pasar. Kalau informasi ini juga berlaku bagi perempuan pengusaha Indonesia, maka strategi pengembangannya haruslah memberikan perhatian pada akses pendanaan dan pasar. Oleh karena itu, upaya Kementerian Koperasi dan UKM melakukan perkuatan bagi koperasi yang dikelola perempuan untuk memberdayakan perempuan pengusaha sudahlah tepat. VI. MODEL PEMBIAYAAN PENGEMBANGAN USAHA Upaya pengembangan usaha seperti di atas atau untuk menumbuhkan wirausaha baru tentu tidak akan berkembang kalau lingkungan bisnisnya kurang mendukung. Apalagi para pengusaha pemula biasanya memerlukan adanya ketersediaan modal awal yang bisa diakses untuk memulai bisnisnya. Modal awal ini merupakan pinjaman awal atau start-up capital yang bisa diperoleh para pengusaha yang baru memulai bisnisnya. Di negara lain, pinjaman awal ini biasanya disediakan oleh pemerintah melalui suatu lembaga keuangan tertentu. Di Jepang, misalnya ada lembaga National Life Finance Corporation-NLFC yang sudah berdiri sejak 1 Juni 1949. Lembaga inilah yang menyediakan pinjaman awal bagi pengusaha pemula dengan hanya menunjukkan rencana bisnis yang akan dikembangkan. Di Jepang, bisnis pemula yang biasanya dibiayai oleh NLFC ini adalah usaha yang berbasis IPTEK dan memperhatikan aspek kesehatan serta bisnis yang mau melakukan modernisasi. Dalam kaitan ini, setiap pelaku bisnis yang ingin mendapatkan pinjaman dari NLFC harus mendapat persetujuan dari Departemen Keuangan dan Departemen Kesehatan setempat. Di Indonesia sendiri, belum ada lembaga khusus yang memberikan pinjaman awal kepada para pengusaha baru. Pengusaha baru ini tidak mungkin dapat pinjaman dari perbankan. Karena perbankan selain mempersyaratkan agunan, biasanya usahanya harus sudah berjalan selama 2 tahun lebih. Oleh karena itu, kehadirin lembaga khusus yang menyediakan pinjaman awal bagi para pengusaha pemula ini haruslah ada. Selama ini peranan modal ventura atau Venture Capital Company belumlah optimal. Sering kita temui dan dengar perusahaan modal ventura melaksanakan bisnisnya seperti perbankan. Supaya tidak mendirikan lembaga baru, untuk mengatasi kebutuhan akan modal awal ini penulis melihat hal
8
ini bisa ditangani oleh PT. Permodalan Nasional Madani (PNM). Untuk mendukung pembiayaan UMKM oleh PT. PNM ini, maka setiap anggaran perkuatan pemerintah dari berbagai instansi terkait yang diperuntukkan bagi pengembangan UMKM diberikan kepada PT. PNM. PT. PNM yang akan menyeleksi usaha yang layak untuk dibiayai yang diputuskan melalui rapat Komisi yang anggotanya dari berbagai instansi terkait. Pola pembiayaan bisa seluruh modal investasi atau 50% dari kebutuhan modal investasi. Para pengusaha yang dibantu tetap harus mengembalikan pinjamannya dengan tingkat bunga di bawah bunga pasar. Melalui pola ini, PT. PNM akan terus berkembang setiap tahun membantu mengembangkan bisnis UMKM. Melalui program tersebut di atas, diperkirakan tidak lebih dari Rp.2,5 trilyun sampai dengan Rp.5 triyun biaya investasi dan modal kerja yang dibutuhkan untuk mengembangkan UMKM. Kalau setiap tahun anggaran pemerintah secara keseluruhan berjumlah Rp.10 trilyun untuk pengembangan UMKM, rasanya dana tersebut sudah jauh dari cukup untuk membangun UMKM yang sudah mampu menyerap 1 juta sampai 1,5 juta tenaga kerja baru. Kelebihan anggaran pemerintah di samping untuk pendampingan, juga untuk mengembangkan program pengembangan UMKM lainnya, seperti inkubator, kewirausahaan, sentra/klaster dan fasilitasi pengembangan pasar domestik/luar negeri. Pengurangan pengangguran selain melalui program tersebut di atas dalam rangka penciptaan lapangan kerja, juga perlu dikembangkan sarana/prasarana pendukung seperti seperti jalan, jembatan, air bersih, pemasangan telepon dan listrik. Di samping itu adalah mengembangkan usaha yang sudah ada sehingga tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang lebih besar. Berkembangnya suatu usaha akan meningkatkan kebutuhan jumlah tenaga kerja untuk menjalankan usaha yang ditanganinya. VII. PENUTUP Masalah pengangguran merupakan hal yang harus segera ditangani. Keterlambatan menangani pengangguran akan menimbulkan masalah sosial baru yang semakin komplek ke depan. Mengatasi masalah pengangguran dapat dilakukan dengan pengembangan UMKM yang fokus pada beberapa sektor/komoditi tertentu dan dengan pendekatan yang terintegratif. Dalam kaitan ini, dua pilihan program pendekatan secara umum yang bisa dilakukan, yaitu Pola Kemitraan dan Restrukturisasi/Modernisasi Usaha. Khusus untuk meningkatkan peran perempuan pengusaha, maka peningkatan akses finansial dan pasar merupakan suatu pilahan dalam pengembangannya. Adapun beberapa sektor yang potensial untuk dikembangkan adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor industri manufaktur dan sektor jasa-jasa. Masalah krusial dalam pengembangan usaha baru adalah dukungan permodalan yang secara khusus bagi pengembangan UMKM. Supaya tidak membentuk lembaga keuangan baru, maka peranan PT. PNM dengan dukungan
9
APBN dari pemertintah dapat ditingkatkan fungsinya untuk memberikan layanan bagi para pengusaha baru tersebut. Kalau upaya ini dikembangkan dengan sungguhsungguh, rasanya masalah pengangguran secara perlahan akan dapat dikurangi. DAFTAR PUSTAKA Anonim, (2006). Pengukuran dan Analisis Ekonomi Kinerja Penyerapan Tenaga Kerja, Nilai Tambah UKM serta Peranannya Menurut Harga Konstan dan Berlaku Tahun 2006. Kerjasama Badan Pusat Statistik dengan Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta. Anonim, (2007). New Business Actualization Plan. MOEA, Taipei. Anonim, (2007). National Life Finance Corporation. Jepang.
10
PROGRAM PEREMPUAN KELUARGA SEHAT DAN SEJAHTERA (PERKASSA) MELALUI PERKUATAN PERMODALAN KOPERASI WANITA Tamim Saefudin ∗ Abstrak Program Perempuan Keluarga Sehat Dan Sejahtera (PERKASSA) merupakan program perkuatan permodalan kepada Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam Koperasi atau Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah atau Unit Jasa Keuangan Syari’ah koperasi yang dikelola dan beranggotakan sebagian besar perempuan. Perkuatan permodalan ini berupa bantuan pinjaman modal kepada koperasi untuk disalurkan kepada anggota dengan persyaratan tertentu dan mekanisme dana bergulir. PERKASSA didesain untuk melayani kaum perempuan yang memiliki usaha ekonomi produktif dengan tujuan : (1) memperkuat struktur keuangan perempuan agar kemampuan ekonominya meningkat, (2) memperluas akses permodalan para perempuan yang bergerak di usaha mikro dan usaha kecil agar dapat melakukan kegiatan yang bersifat ekonomi produktif, (3)mendukung upaya pengentasan kemiskinan dan memperluas kesempatan kerja di kalangan perempuan, dan (4) Keempat, membantu ekonomi keluarga melalui program PERKASSA.Program ini sekaligus merupakan upaya pemberdayaan perempuan sebagai kekuatan baru dalam perluasan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan Kata kunci: Program perempuan keluarga sehat sejahtera adalah upaya pemberdayaan perempuan , sekaligus merupakan upaya pemberdayaan perempuan sebagai kekuatan baru dalam perluasan kesempatan kerja dan usaha mengurangi kemiskinan
I.
PENDAHULUAN Kiprah perempuan dalam bidang ekonomi terutama yang melakukan peran sebagai pengelola usaha telah merambah ke pelosok-pelosok wilayah perdesaan dengan menjalankan usaha di berbagai sektor, seperti antara lain pertanian, pengolahan makanan, industri kecil dan perdagangan. Sedangkan di perkotaan usaha perempuan lebih beragam sampai menjangkau keseluruh sektor-sektor usaha yang ada. Sebagian besar usaha perempuan pada kenyataannya juga banyak bergerak di bidang-bidang yang berkaitan dengan wilayah “domestik” dan dekat dengan lingkungan rumah tangganya, seperti pada sektor jasa, industri kerajinan dan rumah tangga serta sektor informal lainnya. Berdasarkan data BPS, bahwa sektor informal memiliki kedudukan yang penting sebagai sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, mengingat sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar 64,9% dari jumlah angkatan kerja (BPS 2000). Dalam perspektif gender, proporsi tenaga kerja perempuan dan laki-laki di sektor informal adalah 40% perempuan dan 60% lakilaki. Sedangkan menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, menyebutkan
∗
)
Asisten Deputi Urusan Permodalan, Deputi Bidang Pembiayaan, Kementerian Negara Koperasi dan UKM
1
kontribusi perempuan di sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) terbilang cukup besar yaitu sekitar 40% dari 41 juta pelaku UMKM. Angka ini menunjukkan bahwa perempuan mempunyai peran yang sangat signifikan di sektor UMKM. Kaum perempuan muda yang terjun menjadi entrepreneur jumlahnya juga terus meningkat, dengan skala usaha yang besar, kecil atau menengah terlebih lagi usaha mikro (usaha rumah tangga). Demikian pula apabila dilihat pada lembaga ekonomi yang berbadan hukum koperasi yang anggota dan pengurusnya sebagian besar kaum perempuan, juga menunjukan pertumbuhan, eksistensi dan perkembangan yang semakin pesat hingga saat ini, bahkan ada yang telah menjadi industri keuangan yang melayani usaha mikro dan kecil, untuk menyebut salah satunya adalah Koperasi Wanita “Setia Bhakti Wanita”. Keberadaan perempuan pengusaha ini telah memberikan peran dengan pengaruh spektrum yang cukup luas di masyarakat, tidak saja memberikan kontribusi kepada ekonomi keluarga dan lingkungan sekitarnya, tetapi juga dapat memberikan kontribusinya kepada peningkatan pendapatan nasional. Motivasi perempuan bekerja dan menjadi pengusaha ini dapat dibagi dalam beberapa alas an. Pertama, menurunnya pendapatan keluarga karena menurunnya nafkah dari suami dengan berbagai sebab, misalnya pendapatan suami tidak mencukupi, suami sakit, suami terkena PHK, atau suami meninggalkan istri karena meninggal, marantau atau menikah lagi. Kedua karena pengeluaran keluarga yang meningkat, misalnya anak mulai masuk sekolah, bertambahnya jumlah anak atau tanggungan, atau anak yang sakit-sakitan.Ketiga karena ingin memiliki uang sendiri supaya bebas mengeluarkan uang, hal ini terkait dengan kondisi bahwa walupun pendapatan suami mencukupi tapi istri tidak leluasa mengeluarkan terutama untuk keperluan pribadi. Ketiga alasan tersebut dan berdasarkan data yang tercatat saat ini, bahwa tidak kurang dari 6 juta perempuan yang berstatus janda mengepalai rumah tangganya, berarti pada dasarnya banyak kaum perempuan yang telah melakukan usaha-usaha produktif dalam rangka mencapai kemandirian ekonomi diri dan keluarganya. Jumlah ini akan semakin berlipat angkanya, jika data yang dikompilasi tidak terbatas pada jumlah perempuan berstatus janda, tetapi mencakup juga perempuan istri yang ditinggal suami atau tidak diberikan nafkah lagi oleh suaminya. Partisipasi Perempuan dalam Peningkatan Ekonomi Keluarga Krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1998 yang lalu telah meruntuhkan sendi-sendi perekonomian nasional dan memicu pertambahan kaum perempuan yang harus menghidupi keluarga dengan berbagai pekerjaan, karena pada masa itu banyak terjadi PHK dan jumlah pengangguran juga meningkat. Hal ini terjadi karena kebanyakan laki-laki sebagai suami yang pada saat itu menjadi korban PHK tidak bisa menerima pekerjaan apa adanya, terutama yang lebih rendah dari pekerjaan sebelumnya, sehingga kaum perempuan sebagai istri yang pada akhirnya mengambil alih tanggungjawab terhadap keluarga. Dampak lain dari krisis multidimensi ini adalah besarnya jumlah kemiskinan, yang saat ini lebih dari 39 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dan menurut sebuah penelitian, semakin miskin suatu keluarga 2
maka keluarga itu semakin bergantung pada produktivitas kaum perempuan. Padahal, sebagian besar perempuan tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal, yang memiliki upah, pensiun dan kondisi pekerjaan yang terorganisir. Olehkarena itu, akses terhadap sumber daya permodalan yang mudah dan murah sebagai komponen utama dalam mengelola usaha, menjadi sangat penting. Dan pada umumnya, perempuan di kalangan ekonomi lemah cenderung lebih telaten, lebih ulet, penuh perhitungan, memperhatikan hal-hal kecil, menghargai keuntungan yang kecil, serta lebih konsisten dalam melakukan usaha. Berkaitan dengan aktivitas perempuan dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarga ini, terdapat beberapa kendala dan permasalahan yang utamanya adalah dalam aspek permodalan disamping aspek-aspek lainnya seperti sumberdaya manusia, penguasaan teknologi, bahan baku, pasar untuk distribusi produk yang dihasilkan dan lemahnya pengetahuan tentang manajemen usaha. Upaya untuk menyediakan pelayanan permodalan sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan, namun mereka belum sepenuhnya dapat melayani kelompok usaha mikro dan kecil dengan berbagai alasan teknis, misalnya prosedur dan persyaratan bank. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga keuangan alternatif selain bank yaitu berupa Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dapat mengatasi masalah permodalan usaha mikro dan kecil khususnya dari kelompok perempuan. Mengingat kaum perempuan dalam mendapatkan akses permodalan melalui perbankan terdapat “bias gender” dan posisi perempuan yang terpinggirkan, maka Pemerintah melalui Kementerian Negara Koperasi dan UKM memandang perlu untuk menyediakan pembiayaan yang khusus diperuntukkan bagi perempuan pengelola usaha di berbagai sektor. Perempuan menjadi fokus penyediaan pembiayaan ini dikarenakan : (1) pada umumnya kaum perempuan lebih amanah atau lebih bertanggungjawab mengelola uang atau pinjaman, (2) kesulitan mendapat akses permodalan melalui lembaga keuangan seperti Bank, (3) berorientasi pada kesejahteraan keluarga (4) teratur dalam mengangsur pinjaman dan rajin menghadiri pertemuan bimbingan dan konseling usaha. Dari berbagai bentuk LKM, maka koperasi yang melaksanakan usaha simpan pinjam, termasuk Koperasi Perempuan, baik yang berupa Koperasi Simpan Pinjam maupun Unit Simpan Pinjam Koperasi (KSP/USP-Koperasi) dan Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah/Unit Jasa Keuangan Syari’ah (KJKS/UJKS), dapat memfungsikan dirinya sebagai Lembaga Keuangan Mikro yang secara khusus melayani segmen tertentu yaitu kaum perempuan. Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut di atas serta merespon kebutuhan akan perkuatan permodalan bagi perempuan pelaku usaha, maka Menteri Negara Koperasi dan UKM mengeluarkan kebijakan yang disebut dengan Program Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera (PERKASSA). II.
PROGRAM PEREMPUAN KELUARGA SEHAT DAN SEJAHTERA (PERKASSA) PERKASSA merupakan program perkuatan permodalan kepada Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam Koperasi Atau Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah atau Unit Jasa Keuangan Syari’ah koperasi yang dikelola dan
3
beranggotakan sebagian besar perempuan. Perkuatan permodalan ini berupa bantuan pinjaman modal kepada koperasi untuk disalurkan kepada anggota dengan persyaratan tertentu dan mekanisme dana bergulir. PERKASSA didesain untuk melayani kaum perempuan yang memiliki usaha ekonomi produktif dengan tujuan : Pertama, memperkuat struktur keuangan perempuan agar kemampuan ekonominya meningkat. Kedua, memperluas akses permodalan para perempuan yang bergerak di usaha mikro dan usaha kecil agar dapat melakukan kegiatan yang bersifat ekonomi produktif. Ketiga, mendukung upaya pengentasan kemiskinan dan memperluas kesempatan kerja di kalangan perempuan. Keempat, membantu ekonomi keluarga melalui program PERKASSA. PERKASSA diluncurkan pertama kali oleh Menteri Negara Koperasi dan UKM dalam rangka kunjungan Presiden RI di Pacitan pada tanggal 12 April 2006, sekaligus dilakukan penyerahan dana bergulir yang bersumber dari dana APBN Kementerian Negara Koperasi dan UKM Tahun Anggaran (TA). 2006 kepada beberapa KSP/USP-Koperasi. Surat Keputusan Penetapan Program ini dikeluarkan pada bulan Oktober 2006 dan diresmikan oleh Ibu Ani Yudhoyono dan Menteri Negara Koperasi dan UKM bersamaan dengan peringatan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember 2006. Diperkuat 200 unit koperasi melalui program ini, dengan perincian sekitar 100 koperasi konvensional dan 100 koperasi unit jasa syari’ah. Untuk tahun 2007 ini, ditingkatkan menjadi 250 koperasi dan pada tahun 2008 direncanakan jumlahnya menjadi 2.000 sampai dengan 3.000 koperasi perempuan. Adapun persyaratan koperasi yang bisa menerima pinjaman dana bergulir ini adalah koperasi yang sudah berbadan hukum dengan jumlah anggota paling sedikit sebanyak 25 orang. Mengajukan permohonan kepada Dinas/Badan yang menangani Koperasi dan UKM di Kabupaten/Kota, disertai dengan data lengkap dan rencana penyalurannya untuk diseleksi dan apabila layak akan diusulkan ke Pokja Dana Bergulir Koperasi Pusat melalui Dinas/Badan yang menangani Koperasi dan UKM di Provinsi. Pengertian dana bergulir pada program ini adalah dana Pemerintah melalui Kementerian Negara Koperasi dan UKM yang disalurkan sebagai pinjaman kepada koperasi dalam jangka waktu tertentu (10 tahun) untuk memenuhi kebutuhan permodalan anggotanya yang bergerak di berbagai usaha produktif dan selanjutnya digulirkan kepada koperasi lainnya. Nilai pinjaman maksimal 4 juta rupiah per anggota dan masa pengembalian selama tiga bulan. Apabila dalam setiap tahunnya koperasi dapat menyalurkan pinjaman ini sebanyak 4 kali, yang setiap periodenya disalurkan kepada 50 anggotanya, dan dikalikan dengan 200 koperasi yang menjadi target pada tahun 2006, maka maksimal pinjaman bergulir ini bisa dinikmati oleh 40 ribu anggota koperasi dalam setahun. Dana pinjaman kepada koperasi ini disalurkan melalui Bank pelaksana yang telah ditetapkan, dan selanjutnya pihak Bank akan melakukan pemantauan untuk penyaluran, pengambilan dan pengembalian pinjaman. Bank juga bertanggungjawab untuk memonitor dana bergulir dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaannya. Pada dasarnya dana pinjaman ini tidak dibebani biaya atau bunga apapun, tetapi karena melibatkan pihak Bank yang ditugaskan untuk mengelola dana pinjaman dan melakukan bantuan teknis dan pendampingan, maka Bank mengenakan biaya sebesar 4% sebagai jasa. Disamping itu, untuk memastikan perguliran dana ke koperasi lain, maka pihak koperasi setiap tahun membayar angsuran sebesar 10% dari dana pinjaman. Sedangkan untuk pembinaan 4
internal dan jasa audit koperasi diwajibkan menyisihkan dana sebesar 2% setiap tahun. Sesuai dengan tujuan Program PERKASSA bahwa Pemerintah memberikan akses dukungan modal dengan persyaratan yang mudah dan terjangkau serta tingkat suku bunga yang rendah, maka pihak koperasi ketika memberikan pinjaman kepada anggotanya yang merupakan perempuan pelaku usaha mikro, juga diberikan batas pagu tertinggi tingkat suku bunga hanya sebesar 2% perbulan atau 24% pertahun. Dengan struktur prosentase tersebut, maka manfaat yang bisa diperoleh adalah : Pertama, setiap tahun pihak koperasi akan memperoleh keuntungan sebesar 8% yang berasal dari selisih bunga dari pinjaman anggota dikurangi biaya pengeluaran (24%-16%). Kedua, selama kurun waktu 10 tahun menjadi peserta program, koperasi akan memperoleh akumulasi modal sebesar perolehan dana bergulir. Ketiga, anggota koperasi memperoleh pinjaman modal dengan tingkat suku bunga yang rendah. Dari pengalaman program-program seperti PERKASSA yang telah lebih dulu ada, dapat dilihat proses pelaksanaannya dan berjalan dengan baik. Demikian juga menurut laporan Pembina koperasi dari Daerah kepada Pusat juga menunjukkan tingkat perkembangan yang cukup baik. Program serupa yang telah disalurkan kepada perempuan ini telah berlangsung sejak tahun 2000 sampai dengan 2005 sudah sangat tinggi manfaatnya, baik dana yang berasal dari subsidi BBM maupun dari APBN. Bahkan lembaga asing dan lokal, yaitu Asian Development Bank (ADB), JPS, BPK dan Semeru menyatakan bahwa program dana bergulir memiliki manfaat yang sangat besar, terhitung sudah sebesar 1 trilium rupiah yang digulirkan dan saat ini sudah berkembang menjadi 1,86 triliun rupiah. Oleh karenanya melalui program ini, Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengharapkan adanya peran perempuan dalam bidang ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya, bahkan lebih jauh diharapkan mampu dikembangkan atau dilakukan upaya diversifikasi usaha menjadi lebih maju. Harapan ini sangat realistis apabila program PERKASSA dapat mencapai sasaran secara tepat yaitu bahwa dana bergulir ini bukan merupakan dan sosial yang tidak dikembalikan, akan tetapi merupakan penyaluran dana dengan menggunakan prinsip ekonomi yang hanya mengenal utang atau piutang. Sehingga para perempuan anggota koperasi penerima pinjaman dana bergulir ini harus memanfaatkannya secara maksimal. Mekanisme Pengelolaan PERKASSA Peserta program PERKASSA adalah koperasi primer Kabupaten/Kota yang memiliki anggota minimal 50 orang dan sebagian besar perempuan yang berstatus sebagai pelaku usaha mikro. Sementara itu, perempuan pelaku usaha mikro yang akan memanfaatkan modal usaha tersebut harus terlebih dahulu menjadi anggota koperasi yang bersangkutan, memiliki usaha ekonomi produktif dan tidak sedang memiliki tunggakan pinjaman. Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah mensosialisasikan Program PERKASSA ini kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang selanjutnya Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Kabupaten/Kota 5
memberitahukan/mengumumkan program ini ke masyarakat, khususnya kepada Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam Koperasi (KSP/USPK). KSP/USPK sebagai calon peserta program harus mengusulkan proposal kelayakan usaha dan usulan penggunaan dana bergurlir kepada Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Kabupaten/Kota dan selanjutnya dilakukan verifikasi/penilaian atas proposal tersebut, dengan memperhatikan unsur-unsur kelembagaan, kelengkapan organisasi, keragaan usaha, kepemilikan usaha dan rencana penggunaan dana bergulir. KSP/USPK yang memenuhi syarat sebagai calon peserta program PERKASSA, diputuskan dan ditetapkan oleh Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Kabuapten/Kota. Keputusan penetapan hasil seleksi tersebut disampaikan kepada Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Provinsi, untuk dilakukan pengecekan/verifikasi. Selanjutnya, diusulkan kepada Tim Pelaksana Dana Bergulir Pusat melalui Deputi Menteri Negara Koperasi dan UKM Bidang Pembiayaan, dengan melampirkan surat keputusan hasil seleksi dari Kepala Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Kabupaten/Kota. III. PROGRAM KREDIT USAHA SKALA RUMAH TANGGA (KRISTA) Mengingat terbatasnya APBN Kementerian Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah dalam pelaksanaan Program PERKASSA, Kementerian Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah mengupayakan alternatif pembiayaan Program PERKASSA dari dana Non APBN baik yang bersumber dari Perbankan maupun Lembaga Keuangan Non Bank. Upaya tersebut diwujudkan pada tahun 2006 Kementerian Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah bekerjasama dengan Perum Pegadaian meluncurkan skema Kredit Usaha Rumah Tangga (KRISTA) yang merupakan bagian dari Program Perkuatan Permodalan Dalam Rangka Pemberdayaan Keluarga Sehat dan Sejahtera (PERKASSA). Kredit yang disalurkan menggunakan dana Perum Pegadaian yang berasal dari penempatan dana SUP-005 ini mendapat respon yang amat positif dari masyarakat. Masyarakat yang dapat mengakses kredit ini adalah masyarakat miskin, namun prioritas utama adalah para wanita wirausaha yang memiliki usaha dalam skala mikro maupun kecil baik perorangan, berkelompok ataupun anggota Koperasi. Kredit ini diberikan dengan persyaratan sebagai berikut : 1).
Kredit diberikan kepada para wanita pengusaha mikro dan kecil yang telah memiliki usaha, setidaknya selama 1 tahun. Wanita pengusaha tersebut harus bergabung (telah menjadi anggota) dalam asosiasi-asosiasi ataupun lembagalembaga lainnya (seperti perkumpulan ibu-ibu PKK, perkumpulan pengajian Majelis Taklim, dsb) Usaha yang dimiliki ini dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Usaha, minimal dari ketua asosiasi atau lembaga yang bersangkutan. Keharusan memiliki usaha ini diperlukan untuk menjaga agar kredit yang diberikan merupakan kredit yang produktif dan bukan kredit yang konsumtif. Pemberian kredit untuk kegiatan produktif, dimaksudkan agar dana SUP 005 tersebut memang digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat akar rumput dan adanya jaminan bahwa dana tersebut tidak hilang, melainkan berputar kembali (revolving);
6
2).
Dana yang diberikan berkisar antara Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,-. Dengan kisaran kredit ini, maka kredit yang disalukan merupakan kredit mikro. Penyaluran dalam skema kredit mikro ini diberikan dengan harapan wanita pengusaha mikro dapat menjalankan usahanya dengan baik;
3).
Sistem angsuran yang diterapkan adalah sistem angsuran bulanan. Sistem angsuran ini disesuiakan dengan cash flow pengusaha mikro yang akan mengakses kredit ini;
4).
Sistem bunga yang diterapkan sebesar 1% (flat) setiap bulannya. Bunga yang diberikan ini lebih rendah dibandingkan dengan bunga yang diberikan oleh lembaga keuangan lainnya, khususnya perbankan. Kredit dengan bunga rendah ini diharapkan tidak menjadi beban bagi para pengusaha mikro yang telah mengalami kesulitan dalam menjalankan usahanya.
5).
Jaminan yang diperlukan untuk pengajuan kredit ini jenisnya disesuaikan dengan jaminan yang umumnya dimiliki oleh pengusaha mikro dan kecil. Dalam hal jaminan yang diterima, Perum Pegadaian merencanakan untuk menerima jaminan berupa peralatan rumah tangga, barang dagangan, disamping juga jaminan Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) yang diikat dengan sistem FIDUSIA sehingga barang jaminan tersebut masih dapat dipergunakan sebagai sarana transportasi usaha oleh nasabah. Jaminan dalam hal ini tidak berfungsi sebagai ukuran untuk pemberian kredit, namun lebih sebagai jaminan psikologis, sebagai pengingat bahwa pengusaha tersebut memiliki kewajiban kepada Perum Pegadaian.
Untuk lebih memperluas sasaran wilayah dan pemanfaat program KRISTA Perum Pegadaian, Kementerian Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah memantapkan komitmen dengan memfasilitasi Perum Pegadaian melalui Yayasan Sejahtera Dana Mandiri (Yayasan Damandiri) dalam ”Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro Skala Rumah Tangga Melalui Upaya Peningkatan Penguatan Pembiayaan”. Tujuan kerjasama Kementerian Koperasi dan UKM, Perum Pegadaian dan Yayasan Damandiri antara lain : 1). 2).
3). 4).
Meningkatkan akses kredit bagi usaha mikro skala rumah tangga; Meningkatkan dan mengembangkan usaha mikro skala rumah tangga dalam rangka mendukung program pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan keluarga sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup; Meningkatkan kapasitas usaha, kualitas pengelolaan dan pelayanan serta kemandirian usaha mikro skala rumah tangga; Membangun jaringan kelembagaan dan pemberdayaan usaha mikro skala rumah tangga di sejumlah Kabupaten/Kota yang disepakati bersama.
Ruang lingkup kerjasama adalah sebagai berikut : 1). Penyediaan kredit KRISTA untuk modal kerja dan atau investasi sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku; 2). Peningkatan kemampuan teknis produksi dan manajemen usaha untuk pengembangan usaha produktif; 3). Kegiatan pendampingan yang meliputi pembinaan, pemberdayaan usaha termasuk pemasaran.
7
Wujud kerjasama tripartied Kementerian Koperasi dan UKM, Yayasan Damandiri dan Perum Pegadaian adalah penempatan dana Yayasan Damandiri sebesar Rp. 5 milyar untuk disalurkan melalui KRISTA Perum Pegadaian yang realisasinya akan dilaunching pada bulan Juni atau Juli 2007 mendatang. Adapun coverage area KRISTA ditujukan pada 18 (delapan belas) kabupaten/kota yakni DKI Jakarta, Karawaci, Depok, Bogor, Tasikmalaya, Makasar, DIY, Klaten, Wonosobo, Purbalingga, Pacitan, Malang Bali, Balikpapan dan Menado. Melalui penempatan dana ini maka diperkirakan akan dapat melayani 5.000 wanita wirausaha skala rumah tangga. Tahun 2007 skema KRISTA ini sasarannya akan diperbesar dengan sumber pembiayaan dari realokasi dana SUP-005. Proses realokasinya telah di setujui Menteri Keuangan pada 16 November 2006 dimana Perum Pegadaian memperoleh tambahan dana sebesar Rp. 100 milyar dan sebagian dari dana tersebut sebesar Rp. 20 milyar akan dimanfaatkan untuk kredit KRISTA . IV. PELUANG DAN TANTANGAN PELAKSANAAN PROGRAM PERKASSA Dalam pelaksanaan dan pengembangan PERKASSA terdapat berbagai peluang dan tantangan yang dihadapi. Peluang yang bisa dimanfaatkan dalam pengembangan program, antara lain adalah sebagai berikut : 1). Kebijakan dan implementasi Millennium Development Goal’s (MDG’s) dan konvensi internasional mengharuskan pemerintah menerbitkan berbagai program, kegiatan dan akses pembiayaan yang ditujukan bagi perempuan untuk memperoleh peluang dan kesempatan dalam melakukan kegiatan usaha ekonomi produktif; 2). Karakteristik perempuan pelaku usaha yang memiliki keunggulan dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan lembaga koperasi termasuk juga dalam mengelola usahanya; 3). Persepsi dan perlakuan dari lembaga keuangan yang masih bias gender dalam menyalurkan pembiayaan sehingga memberikan peluang bagi lembagalembaga keuangan mikro atau koperasi untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan bagi perempuan pelaku usaha; Disamping peluang-peluang yang ada, terdapat tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan PERKASSA seperti antara lain : 1). Kondisi Sumber Daya Manusia yang kapasitas dan kapabilitasnya masih relative rendah, menjadi penghambat dalam pengembangan dan keberlanjutan program; 2). Kelembagaan koperasi yang relative muda, rata-rata baru berdiri 1-2 tahun sehingga cukup kritis dalam pengelolaan dan usaha, manajemen, kemampuan teknis dan pengalaman; 3). Sinergi, kolaborasi atau kerjasama dan sinergi lintas program terkait. PERKASSA akan lebih efektif apabila dalam pelaksanannya dilakukan sinergi dengan program terkait lain Misalnya dengan pengelolaan produksi, penggunaan teknologi dan aspek hulu terutama dalam bidang pemasaran.
8
Peluang dan tantangan harus dikelola secara harmonis dan proporsional diantara lintas pelaku terkait terutama pemerintah dan kaum perempuan pelaku usaha agar mampu memanfaatkan peluang dan mengliminir tantangan menjadi suatu kekuatan dalam pelaksanaan PERKASSA. V.
PENUTUP 1). Dalam pemberdayaan perempuan perlu lebih mengedepankan pada penekanan dibidang ekonomi, karena dengan demikian sekaligus merupakan upaya pemberdayaan perempuan sebagai kekuatan baru dalam perluasan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan; 2). Dalam pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi masih dijumpai adanya kenyataan bahwa akses perempuan untuk memperoleh pembiayaan melalui lembaga keuangan masih menghadapi kesulitan akibat adanya perlakuan yang bias gender. Untuk itu Kementerian Negara Koperasi dan UKM meluncurkan program perkuatan permodalan bagi koperasi, usaha mikro dan kecil dalam rangka Program Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera (PERKASSA); 3). Program PERKASSA akan berjalan efektif apabila dilakukan secara sinergi dan terintegrasi dengan program-program terkait lainnya seperti capacity building, pengolahan produksi, penggunaan teknologi tepat dan aspek pemasaran ; 4). Diperlukan dukungan yang sinergi dari berbagai lintas pelaku terkait baik dari Pemerintah Pusat yang memiliki program sejenis, Pemerintah Daerah dan gerakan koperasi serta perempuan pelaku usaha.
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM nomor : 09/Per/M.KUKM/II 2007 tentang Perkuatan Permodalan Koperasi dan Usaha Mikro Dalam Rangka Program Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera (PERKASSA) Pola Konvesional. Informasi Tentang Kredit Usaha Mikro Dan Kecil (KUMK) dari Dana SUP-005, Kementerian Negara Koperasi dan UKM RI, Tahun 2006. Laporan Perkembangan Kredit Usaha Rumah Tangga, Perum Pegadaian Cabang Pacitan, Tahun 2007.
9
MENGEMBANGKAN KOPERASI KONSUMSI MELALUI PENGEMBANGAN PERANAN WANITA Achmad H.Gopar∗ Abstrak Koperasi konsumsi dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga melalui pengembangan peranan wanita sebagai pengelola konsumsi keluarga. Peranan wanita dalam koperasi konsumsi ini dilakukan melalui kelompok dinamis yang beranggotakan sekitar sepuluh orang. Melalui kelompok ini para ibu rumahtangga berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dan ide untuk mengembangkan koperasinya, melakukan transaksi dengan koperasi secara berkelompok, dan sekaligus berinteraksi sesama anggota untuk kegiatan sosial lainnya. Partisipasi anggota melalui kelompok ini tidak satu arah melalui pengurus dan manajemen saja, namun merupakan kegiatan pembelajaran bersama antara anggota, manajemen dan pengurus dalam rangka menggali lebih luas lagi keunggulan yang dipunyai koperasi mereka. Kata kunci: Program pemerintah mendorong gerakan koperasi agar bisa mengeksplorasi dan mengeksploitasi keunggulan komparatif yang sifatnya khas untuk setiap koperasi
I.
PENDAHULUAN Peranan wanita di era sekarang ini memang sudah maju sedemikian pesatnya. Berbagai program dan aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan peranan wanita sudah sejak lama dilaksanakan, baik itu berupa pengarusutamaan gender maupun yang spesifik emansipasi wanita. Semua kegiatan tersebut memang menghasilkan kesetaraan gender, terutama dalam profesi. Namun harus dicermati, dibelahan dunia manapun, bahwa apapun profesi seorang wanita, ketika dia telah berkeluarga, tetap saja dia terikat pada fitrahnya sebagai seorang ibu rumah tangga, yang sangat berperan dalam mengatur konsumsi rumahtangga. Dengan demikian, peranan wanita dalam pengaturan konsumsi rumahtangga, yang secara berjenjang sampai pada konsumsi nasional, menjadi sangatlah penting untuk dikembangkan. Konsumsi merupakan aktivitas yang dilakukan manusia sejak lahir ke dunia, mulai dari manusia pertama di dunia, Adam dan Hawa. Aktivitas konsumsi umurnya sama dengan umur manusia, dan dilakukan oleh semua manusia. Koperasi konsumsi merupakan cikal bakal munculnya gerakan koperasi di dunia. Oleh karena itu, ketika kita membicarakan filosofi koperasi konsumsi, sama saja dengan membahas filosofi koperasi secara keseluruhan. Namun perkembangan koperasi konsumsi ini, dari berbagai analisis yang dilakukan oleh pakar koperasi, tidaklah sepesat saudaranya dari jenis koperasi yang lain, baik itu dari jenis koperasi produksi maupun koperasi jasa, terutama koperasi jasa keuangan.
∗
) Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
1
Mengembangkan koperasi konsumsi melalui pengembangan peranan wanita, dua hal yang mempunyai akar sejarah yang paling tua, seharusnya juga telah mempunyai rekam jejak yang panjang pula untuk bisa dikaji. Namun tidak banyak publikasi, baik itu berupa hasil riset, analisis, ataupun laporan, yang dapat dijadikan acuan untuk membahas hal tersebut. Dari yang tidak banyak itu, penulis mencoba menyampaikannya disini, semoga dapat berguna dalam proses pembelajaran bagi kita dalam membangun dan menggerakkan koperasi untuk meningkatkan peranannya dalam perekonomian nasional. II.
KELOMPOK HAN DI JEPANG Koperasi konsumsi di Jepang berkembang dengan cepat setelah perang dunia kedua, selama masa rekonstruksi dan masa pendudukan Amerika Serikat. Pada pertengahan tahun 1950an, koperasi konsumsi yang umumnya kecil-kecil dan tidak efisien menjadi kurang berdaya menghadapi pedagang ritel sehingga mereka bergabung dan mendirikan the Japanese Consumer Cooperative Union (JCCU) untuk menyatukan daya beli mereka. Mereka mulai membuat program untuk membangun toko yang efisien dan pengembangan manajemen. Pada tahun 1960an sebuah tim studi dikirim ke USA yang merekomendasikan untuk mengembangkan toko swalayan. Selama tahun 1960an ini pula dikembangkan program untuk mengamalgamasikan koperasi-koperasi yang lemah, mengintegrasikan mereka kedalam sistem (jaringan JCCU), dan memperkuat kemampuan manajemen mereka (Kurimoto, 1983). Partisipasi anggota merupakan bagian dari filosofi koperasi. Namun koperasi konsumsi yang besar dimanapun di dunia umumnya masih mengabaikan hal tersebut, dan hanya menggalang keikutasertaan sebagian kecil anggota saja. Ketika pada tahun 1970an gerakan koperasi konsumsi di Jepang mengalami kesulitan finansial, manajemen meminta partisipasi anggota untuk meningkatkan modal investasi. Pada proses tersebut anggota diminta untuk mengemukakan permasalahan mereka sedangkan manajemen mendengarkan keluhan anggota tersebut. Mereka menyusun rencana diskusi reguler dengan ibu-ibu rumahtangga dalam rangka untuk mengevaluasi operasi toko ditingkat lokal dan untuk mencari cara terbaik guna meningkatkan efisiensi operasional toko melalui sortasi barang, sistem harga, dan tata letak barang di toko. Berbagai perubahan dilakukan, dan menghasilkan manfaat yang sangat berharga yang dapat dirasakan hingga saat ini. Hal tersebut dapat dilakukan berkat adanya kelompok-kelompok kecil yang dinamai ”Han groups” yang anggotanya aktif berinteraksi sesamanya. Kelompok Han merupakan suatu kelompok kecil yang terdiri dari sekitar sepuluh ibu rumahangga yang bertemu secara periodik untuk memberikan kesempatan kepada anggota koperasi konsumsi memberikan pendapatnya mengenai barang konsumsi yang dijual oleh toko koperasi konsumsi mereka dan memberikan masukan kepada manajer koperasi mengenai apa yang mereka sukai dan apa yang mereka tidak sukai. Mereka tidak mempunyai kewenangan formal untuk melakukan kontrol manajemen, namun mereka didorong untuk melakukan diskusi dengan sesama anggota mengenai aktivitas toko mereka, dan apa yang mereka hasilkan
2
benar-benar didengarkan oleh manajemen dan diperhatikan dengan serius. Komunikasi tidak dilakukan satu arah, namun lebih merupakan proses pembelajaran bersama antara ibu-ibu rumahtangga, pekerja toko dan manajemen. Pertemuan kelompok Han adalah tempat dimana anggota membahas rencana kegiatan koperasi dan membuat rencana nyata dari kegiatan mereka untuk memperkuat keanggotaan, membuat komplain terhadap pelayanan toko dan kualitas barang yang dijual, membahas apa yang menjadi keinginan mereka, membagi pengalaman dan saling menolong antar sesama anggota. Pertemuan ini biasanya merupakan acara yang sangat disukai oleh anggota koperasi, dan menjadi ajang penting bagi mereka untuk melakukan interaksi sesama mereka. Tokoh dan para pemimpin gerakan koperasi di Jepang menyadari betul bahwa mereka harus selalu meningkatkan efisiensi untuk meraih pangsa pasar yang lebih besar lagi. Mereka menyadari jika para anggota yang menjadi pembeli mempunyai banyak ide penting mengenai bagaimana seharusnya toko mereka dikembangkan. Untuk mendapatkan ide-ide tersebut, harus ada proses pembelajaran yang mengikutsertakan para pembeli, pengelola dan manajemen toko koperasi konsumsi mereka. Ketika wanita tidak bekerja di luar rumah, berbelanja bahan makanan dapat menjadi kegiatan yang menyenangkan. Mereka dapat bertemu dengan para tetangga dan pembeli lainnya di toko dan melakukan perbincangan dari hal yang ringan sampai hal-hal yang penting dan serius. Hal ini dapat merupakan jalan keluar yang membebaskan mereka dari kegiatan rutin rumahtangga dan pengasuhan anak di rumah. Namun ketika seorang ibu memasuki dunia kerja formal, berbelanja barang konsumsi menjadi hal yang berbeda, karena bagi mereka berbelanja barang konsumsi menjadi pekerjaan yang membosankan. Berbelanja yang sebenarnya dapat dilakukan sepanjang hari, karena pekerjaannya para ibu hanya bisa melakukannya setelah jam kerja. Hal tersebut juga menjadi permasalahan bagi pengelola dan pekerja di toko, karena pada jam-jam tertentu toko menjadi sangat sibuk sedangkan di waktu lain yang lebih panjang toko sepi dari kegiatan sepanjang harinya. Dengan semakin banyaknya para ibu yang menjadi anggota kelompok Han memasuki lapangan kerja, mereka mengusulkan perlunya perubahan pada koperasi konsumsi mereka. Mereka yang tinggal jauh dari lokasi toko mengusulkan kelompok Han berubah menjadi ”klub belanja”. Inovasi ini lebih disukai, dan bersama dengan manajemen, mereka menyusun program belanja rumahtangga yang dikembangkan melalui pembelajaran adaptif dan eksperimen. Hasilnya adalah solusi menang/menang: toko menjadi lebih efisien dan bisa mengatasi permasalahan manajemen, dan belanja barang konsumsi menjadi lebih mudah dan menyenangkan bagi para ibu. Kelompok Han yang berubah menjadi Klub Belanja melakukan pertemuan singkat setiap minggunya. Pada saat itu anggota mengambil barang belanjaan mereka, yang telah dikirimkan untuk hari itu, dan menyerahkan daftar pesanan barang belanjaan untuk pengiriman selanjutnya kepada anggota yang mendapat giliran bertugas. Karena kelompok Han hanyalah kelompok kecil yang terdiri 3
sekitar sepuluh anggota, maka mereka mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan tetangga setidaknya sekali setiap minggunya. Toko akan menerima pesanan bersama untuk setidaknya sepuluh rumah tangga (kelompok Han) untuk keperluan seminggu kedepan. Pesanan tersebut dapat dikerjakan oleh pekerja diwaktu senggang mereka sesuai dengan jadwal masing-masing. Karena pesanan telah dilakukan dimuka, maka toko dapat mengirimkan barang belanjaan anggota dengan rute dan jadwal yang efisien sesuai dengan kegiatan dan kesibukan toko koperasi. Di masa awal, anggota yang bertugas (member on duty) harus mengumpulkan pesanan, mengkombinasikannya, menghitung harganya, dan mengumpulkan uang belanjanya. Dengan komputerisasi tugas ini menjadi lebih mudah: toko membuat rekening pra-bayar untuk setiap anggota dan anggota yang bertugas hanya perlu mengumpulkan pesanan anggota, yang sebelumnya telah dibuat berdasarkan katalog barang yang dibuat oleh toko, dan menyerahkannya kepada pegawai toko yang bertugas untuk itu. Pesanan yang terkumpul oleh petugas dimasukkan kedalam pesanan perorangan dan dibayar melalui rekening prabayar masing-masing. Anggota menerima resi rekening mereka yang telah dikurangi dengan biaya belanja mereka. Ini akan mengurangi pekerjaan yang membosankan bagi para anggota yang bertugas, lebih banyak informasi bagi anggota lainnya, dan pembayaran cepat bagi toko. Barang pesanan dapat langsung dikirimkan dari gudang tanpa harus dipajang lebih dahulu, sehingga kemanfaatan ruang di toko menjadi lebih efisien. Petugas yang mengirimkan barang belanjaan dapat bertindak sekaligus sebagai penghubung (liaison person) antara pengurus dan pengelola koperasi dan anggota kelompok Han. Dengan cara ini setidaknya dapat dibuat satu laporan mingguan untuk setiap kelompok Han kepada pengelola dan pengurus koperasi yang dihasilkan dari diskusi langsung anggota dengan petugas penghubung. Masalah, keinginan dan ide dapat langsung sampai ke pengurus dan pengelola, dan respons dapat dilakukan secepatnya. Gerakan koperasi konsumsi di Jepang telah berhasil untuk menggalang partisipasi anggota wanitanya, mendengarkan dan belajar dari anggotanya. Mereka membangun organisasi koperasi dengan menggabungkan optimisasi untuk semua kelompok anggota. Mereka lebih mementingkan untuk memenuhi kebutuhan riil anggota dibandingkan membuat perencanaan berdasarkan prediksi dan kontrol, perencanaan dibuat tidak saja dengan melibatkan pakar teknis namun juga melibatkan para ibu rumahtangga dan pengelola. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa gerakan koperasi konsumsi di Jepang telah menerapkan banyak esensi dari pradigma yang berkembang dan telah meninggalkan paradigma lama yang lebih birokratis. Apakah sistem Han ini berpengaruh secara ekonomis? Pada 1982 secara keseluruhan penjualan ritel turun 1,5% di Jepang, indeks harga konsumen naik 2,7%, jaringan toserba meningkatkan penjualan mereka sebesar 5-6%. Namun koperasi konsumsi berhasil meningkatkan penjualannya sebesar 9,1%. Penelitian yang lebih mendalam menunjukkan kenaikkan tersebut sebagian besar disumbangkan oleh koperasi konsumsi yang mempunyai Klub Belanja, sedangkan
4
koperasi konsumsi lainnya tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan (Craig, 1989). III. PENGEMBANGAN KOPERASI KONSUMSI Pendirian dan pengelolaan koperasi konsumsi dengan basis paradigma lama yang lebih dominan akan memposisikan koperasi untuk tidak mengembangkan potensi mereka yang sebenarnya. Koperasi dapat menerapkan paradigma yang berkembang mulai dari koperasi yang kecil hingga pada koperasi tinggal multinasional. Koperasi yang tidak mengembangkan paradigma baru dalam pengelolaannya, umumnya akan gagal berkembang. Oleh karena itu koperasi harus selalu mencari inovasi baru untuk mengembangkan dirinya. Inovasi maupun paradigma baru dalam pengembangan koperasi biasanya digali dan dikembangkan dari keunggulan komparatip koperasi itu sendiri. Kelompok Han dan Klub Belanja di Jepang merupakan contoh bagaimana koperasi dapat mengeksplorasi dengan baik keunggulan komparatip mereka. Anggota, pengurus dan manajemen menyadari betul keunggulan mereka jika mereka dapat meningkatkan daya beli (purchasing power) melalui peningkatan partisipasi anggota, baik dalam bertransaksi maupun dalam perbaikan manajemen. Pemesanan dimuka, penggabungan pesanan, sistem prabayar merupakan paradigma baru yang dihasilkan dari eksplorasi keunggulan komparatif yang dimiliki koperasi. Dengan demikian mereka telah berhasil dengan baik mengeksploitasi pasar kaptip (captive market) yang sebenarnya dimiliki oleh setiap koperasi. Bagaimana peranan pemerintah dalam mengembangkan koperasi konsumsi di tanah air? Belajar dari pengalaman Jepang ini, maka sebaiknya setiap program pemerintah juga didasari dan difokuskan untuk mengembangkan keungulan komparatif setiap koperasi agar bisa dieksplorasi dan diekploitasi menjadi keunggulan kompetitif. Oleh karena itu setiap program pemerintah seharusnya tidaklah berupa bantuan yang bersifat derma atau ”charity”, namun harus bisa mendorong gerakan koperasi untuk bisa mengeksplorasi dan mengeksploitasi keunggulan komparatip mereka yang sifatnya khas untuk setiap koperasi. DAFTAR PUSTAKA Craig, J.G., (1989). “Paradigms and the Theory Of Cooperation”, dalam Learning Works, Searching for Organizational Futures, edited by Susan Wright and David Morley. Toronto: The ABL Group, York University. Kurimoto, A., (1983). Research Activities-Studies-Planning Projects on the Future of Consumer Coopertives. Tokyo: Japanese Consumer Cooperative Union.
5
KOPERASI SEBAGAI BANKEER KAUM PEREMPUAN Teuku Syarif∗ & Abstrak Asas dan prinsip dasar koperasi tidak membedakan keanggotaan berdasarkan gender. Kondisi perekonomi dan sosial budaya sekarang ini telah menempatkan kaum perempuan berdiri sejajar dengan laki-laki, bahkan dapat menjadi leader, namun tidak demikian hal dengan kalangan perbankan yang sebagian masih memerlukan persertujuan para suami jika perempuan hendak meminjam uang dari mereka. Dikalangan UMKM kaum perempuan miskin menghadapi masalah yang lebih sulit lagi dibandingkan dengan laki-laki untuk berhubungan dengan perbankan. Sedangkan kaum perempuan yang berasal dari keluarga mampu memiliki tabungan yang cukup besar dikalangan perbankan. Untuk mengoptimal potensi dana dari kalangan perempuan mampu agar dapat dimanfaatkan oleh kaum perempuan dari kelompok UMKM, koperasi dengan azas dan prinsip dasarnya berpeluang untuk menjadi bankeer bagi kaum perempuan. Operasionalisasi dari konsep ini dapat dilakukan dengan dua pola yaitu; Yang pertama Pola kemitraan antar Koperasi yaitu kerjasama antara koperasi perempauan pemilik tabungan dengan koperasi para peminjam. Yang perlu diperhatikan dalam penyusunan pola ini adalah; a) Kepastian pembayaran dan atau jaminan; b) Tingkat bunga bagi peminjam dan keuntungan bagi pemoda; c) Jangka waktu pengembalian serta; d) Cara pembayaran dan cicilan. Oleh karena ditujukan untuk orang miskin, anggunan digantikan dengan jaminan kelompok, yang merupakan sosial capital. Yang kedua Pola Program Penjaminan oleh Pemerintah. Dalam pola ini pemerintah berperan sebagai penjamin, dengan menempatkan sejumlah uang pada suatu lembaga penjamin. Pinjaman modal untuk koperasi dapat dicarikan dari bebagai lembaga keuangan baik Bank maupun non Bank, yang paling ideal adalah dari koperasi sendiri (koperasi pemilik modal). Kata Kunci : Koperasi sebagai bankeer bagi kaum perempuan adalah ditujukan untuk mengoptimalkan potensi tabungan dan kebutuhan pinjaman dikalangan perempuan dengan memanfaatkan peluang koperasi sebagai lembaga perkreditan yang dalam melaksanakan kegiatannya tidak mengenal dikriminasi gender.
I.
Pendahuluan Berbeda dengan yang terjadi dalam sistem perekonomian pada umumnya, azas dan prinsip dasar koperasi tidak menghendaki adanya diskriminasi gender dalam keanggotaan dan aktifitas kegiatan koperasi. Koperasi tidak pernah membedakan peran dan kedudukan anggota antara yang laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan koperasi. Sumber perbedaan kesempatan dan kedudukan perempuan dengan laki-laki biasanya timbul dari
∗
) Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
1
struktur sosial budaya yang mempengaruhi sistem perekonomian. Menurut Higins (1989), hal ini dikarenakan struktur sosial budaya merupakan suatu bentuk kelembagaan yang mengatur kehidupan dalam bermasyarakat, oleh sebab itu mempengaruhi perilaku manusia. Ketidaksetaraan gender merupakan produk kelembagaan lama, oleh sebab itu paradigma dan kondisi yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan peradaban manusia tersebut, tentunya cepat atau lambat akan berubah mengikuti perkembangan zaman. Perubahan dapat terjadi melalui proses alami dengan tumbuhnya pranata-pranata baru (biasanya berjalan lambat). Proses ini bisa lebih cepat selesai jika terjadi perubahan internal dalam struktur sosial budaya itu sendiri, ataupun dari adanya kelembagaan baru yang memungkinkan tidak berlakunya lagi pranata dari sistem kelembagaan yang ada sebelumnya. Peran dan kedudukan kaum perempuan dalam perekonomian rumah tangga sejak lama sudah digariskan oleh struktur sosial budaya, untuk berada dibawah para laki-laki yang dinyatakan sebagai kepala keluarga. Ketentuan tersebut berdampak langsung terhadap tanggung jawab para laki-laki atas suatu kegiatan, atau persoalan ekonomi yang dilakukan oleh kaum perempuan (karena sejauh hal tersebut dilakukan oleh kaum perempuan dinyatakan pasti menyangkut urusan suatu keluarga). Anggapan-anggapan seperti itu merupakan bias dari paradigma lama yang berasumsi bahwa hubungan bisnis dengan perempuan yang sudah berkeluarga selalu harus diketahui oleh kaum laki-laki (suami), sehingga jika timbul masalah dalam hubungan tersebut, tanggung jawab masalah akan dapat dilimpahkan kepada suami-suami mereka. Paradigma lama yang demikian menjadikan kaum perempuan sebagai mahluk kelas dua, tetapi hal ini masih sering terjadi, misalnya dalam hubungan kaum perempuan dengan dunia perbankan. Kaum perempuan yang sudah berkeluarga oleh sebagian Bank, disyaratkan untuk memberita-hukan kepada suami-suami mereka, atau para suami harus ikut bertanggung jawab atas hubungan bisnis yang terjadi antara kaum perempuan dengan perbankan, terutama dalam pinjam-meminjam uang (Arsyad, 1987). Akankah kaum perempuan dapat terlepas dari bayang-bayang kedudukan para laki-laki sebagai kepala keluarga, dalam melakukan aktifitas usaha mereka ? Pertanyaan di atas memang masih sulit dijawab, walaupun sekarang ini isu kesetaraan gender sudah sangat mengemuka. Sebagian masyarakat masih sulit menerima kenyataan bahwa kaum perempuan dapat berdiri sejajar dengan laki-laki, bahkan dapat menjadi leader dalam membangun ekonomi keluarga. Yang dapat dijadikan dasar pemikiran atas pengembangan peran perempuan adalah kemampuan pembangunan ekonomi keluarga di era modern sekarang ini tidak lagi mengandalkan otot, tetapi lebih banyak mengandalkan otak. Dengan kata lain dimensi waktu telah menghapus paradigma lama yang menempatkan kaum perempuan di bawah bayang-bayang kewenangan/kekuasaan laki-laki. Masih banyak masalah dalam system perekonomian terutama dinegara berkem-bang yang terlihat bersifat diskriminatif terhadap peran perempuan, baik dari aspek produksi, pengolahan maupun pemasaran. Kesemuanya bersumber dari sistem sosial budaya yang masih dalam tahap transisi menuju demokrasi. Oleh sebab itu transformasi struktural yang lebih mengedepankan peran kaum perempuan dengan memperhatikan potensi yang dimiliki kelompok ini, harus menjadi 2
perhatian dari semua pihak. Salah satu pihak yang idealnya mampu mengembangkan peran perempuan dalam beberapa bagian aktifitas ekonomi yang layak dan mampu dilaksanakannya adalah koperasi. II.
Potensi Perempuan dan Peluang Koperasi Keikut-sertaan perempuan dalam berbagai kegiatan perekonomian baik di dalam maupun di luar keluarga sekarang ini sudah menjadi suatu keniscayaan, yang sulit untuk dihindari. Kemajuan teknologi telah merubah sifat dari berbagai kegiatan ekonomi yang tadinya hanya dapat dilakukan oleh laki-laki menjadi lebih mudah untuk dikerjakan oleh perempuan. Perempuan sekarang dapat berperan serta dalam berbagai aspek perekonomian, tetapi dengan memperhatikan karakteristik perempuan sebagai mahluk yang diberikan tanggung jawab lebih besar dalam mendukung keberhasilan keluarga, maka potensi perempuan menjadi sangat strategis dalam pemberdayaan keluarga. Satu sifat perempuan yang cukup menonjol dan perlu dikembangkan dalam sistem perekonomian sekarang adalah, semakin luasnya cakupan aktivitas yang dapat dikerjakan oleh kaum perempuan, serta peran dan ketelitian kaum perempuan dalam mengelola keuangan keluarga. Dalam hal pengelolaan keuangan keluarga di satu sisi terutama di kalangan UMKM yang kondisi keuangannya marjinal, kaum perempuan harus dapat mengelola keuangan keluarga dalam kondisi keterbatasan, oleh sebab itu kelompok ini harus mampu melakukan efisiensi penggunaan uang sebesar mungkin. Di sisi yang lain kaum perempuan yang berada dalam kelompok masyarakat yang berkecukupan (kelas menengah keatas), sangat mungkin memiliki kelebihan uang yang dapat ditabungkan. Jika tabungan tersebut dapat dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan (kelompok miskin yang sebagian besar adalah keluarga UMKM), maka efektifitas pemanfaatan uang tersebut menjadi cukup tinggi. Permasalahannya disini adalah apakah perbankan sesuai untuk dijadikan lembaga pendistribusian sumberdaya modal yang efektif. Kembali kepada kenyataan di atas bahwa, ada kecenderungan terjadinya diskriminasi (walaupun tidak disadari), dalam pelayanan perbankan terhadap perempuan, terutama dalam meminjam uang. Diskriminasi ini mungkin tidak terlalu dirasakan oleh kelompok perempuan yang memiliki kelebihan uang (karena mereka tidak meminjam, malah menabung), tetapi hal ini sangat dirasakan oleh kalangan perempuan yang membutuhkan uang, baik untuk kepentingan konsumtif maupun untuk dijadikan modal usaha. Kesulitan untuk mengakses modal dari perbankan memang sudah menjadi masalah utama bagi kalangan UMKM, tetapi peluang untuk menghadapi kendala ini lebih dirasakan oleh kaum perempuan. Perempuan dihadapkan pada berbagai bentuk persyaratan tambahan seperti surat pernyataan suami tentang kesanggupan untuk ikut bertanggung jawab terhadap sejumlah kredit yang diterima oleh isteri-isteri mereka. Demikian juga bagi kalangan perempuan adalah sangat sulit jika harus berkali-kali datang ke Bank untuk mengurus sejumlah kredit dan masih banyak lagi kendala lainnya yang membatasi kemampuan perempuan untuk mendapatkan akses pinjaman dari perbankan, seperti batasan jenis usaha yang akan dilaksanakan dan lain-lain.
3
Mubyarto (1986), mengatakan bahwa ada kecenderungan inovasi teknologi telah berdampak pada berkurangnya kesempatan kerja bagi perempuan di daerah pedesaan. Sebaliknya Sumardi (2003), dari hasil penelitiannya di Kabupaten Sukabumi jawa Barat, Kabupaten Mojokerto Jawa timur dan Kabupaten Buleleng Bali, mengatakan adanya kecenderungan meningkatnya peluang perempuan dalam berbagai kegiatan perekono-mian. Dalam hal ini Sumardi (2003), mengambil contoh perluasan bidang kegiatan perempuan dalam industri rumah tangga dan angkutan, yang sebelumnya lebih banyak didominansi oleh laki. Dengan melihat banyaknya kegiatan usaha yang sekarang dapat dilakukan oleh perempuan, maka berarti akan semakin besar permintaan kredit dari kelompok ini. Disini timbul pertanyaan, ”apakah lembaga-lembaga perkreditan formal dapat menyediakan kebutuhan kredit bagi mereka kaum perempuan yang membutuhkan dana untuk kebutuhan produksi, maupun untuk tujuan produksi, tanpa mengkaitkannya dengan suami-suami mereka?”. Sampai sekarang ini hanya Perum Pegadaian yang secara tegas sudah menghilangkan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam meminjam uang, tetapi harus diingat bahwa untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga ini diperlukan adanya agunan, sedangkan diketahui bahwa persyaratan adanya agunan sangat sedikit dapat dipenuhi oleh para perempuan yang bersandar pada kegiatan usaha UMKM. Disamping itu kemampuan lembaga ini untuk memberikan pinjaman juga terbatas, oleh karenanya diperlukan adanya lembaga keuangan yang dapat mengatasi masalah-masalah tersebut. Koperasi merupakan lembaga ekonomi yang berwatak sosial. Watak sosial koperasi dicerminkan dari tidak adanya diskriminasi pelayanan kepada anggota, termasuk tidak adanya diskriminasi gender. Potensi perempuan untuk diberdayakan oleh koperasi dapat dilihat dari berbagai aspek peranan perempuan dalam kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dari aspek konsumsi maupun produksi. Dari aspek konsumsi koperasi dapat menyediakan berbagai kebutuhan konsumsi rumah tangga dengan harga yang relatif lebih murah dan cara pembayaran yang lebih mudah, baik secara tunai, konsinyasi, mapun pertukaran (jual beli). Dari ketiga cara tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa koperasi dapat memanfaatkan potensi keuangan rumah tangga yang dikelola oleh kalangan perempuan, agar dapat lebih bermanfaat tidak saja kepada pemilik dana, tetapi juga bagi anggota lainnya yang memerlukan pinjaman. Pengembangan peran aktif koperasi sebagai lembaga keuangan bagi kelompok perempuan dapat dikatakan sebagai memerankan koperasi sebagai bankeer bagi kaum perempuan. Gambaran seberapa besar potensi keuangan kaum perempuan dan peluang koperasi untuk menjadi Bankeer bagi kaum perempuan, dapat dikemukakan seperti data pada tabel 1 di bawah ini. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah tabungan perempuan di salah satu Bank BUMN di Jawa Timur ternyata cukup banyak dan lebih besar dari jumlah pinjaman yang diberikan Bank tersebut untuk kaum perempuan, bahkan lebih besar dari pinjaman yang diberikan oleh Perum Pegadaian untuk kaum perempuan di daerah tersebut. Sebaliknya jumlah penabung perempuan ternyata jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah peminjam perempuan. Perbandingan ini mungkin menjadi lebih besar lagi jika diperoleh data tentang jumlah perempuan yang membutuhkan pinjaman, karena tidak semua mereka yang
4
butuh pinjaman tersebut dapat meminjam di Perum pegadaian, sebab mereka tidak memiliki barang yang dapat diangunkan. Dari sisi keuntungan tabungan dan bunga dari Perum pegadaian, disini terlihat adanya kerugian yang cukup besar bagi kaum perempuan karena bunga tabungan yang didapatkan dari perbankan relatif sangat kecil yaitu antara 9 sampai dengan 12% per tahun. Sebaliknya bunga yang harus di bayar oleh kaum perempuan yang meminjam dari Perum pegadaian relatif cukup besar yaitu mencapai 3.5% per bulan atau 42% per tahun. Jumlah bunga ini saja sudah cukup memberatkan bagi kelompok perempuan miskin, apalagi jika mereka harus meminjam kepada rentenir dengan bunga antara 10 sampai dengan 30% per bulan. Sungguh ini terpaksa harus dilakukan oleh kaum perempuan, apalagi jika keperluan uang tersebut sangat dibutuhkan oleh anak-anak mereka baik untuk makan, kesehatan atau untuk keperluan sekolah. Kenyataan ini membenarkan pendapat Pendapat Muhammad Yunus (1996), yang mengatakan berat menjadi orang miskin tetapi lebih berat lagi menjadi perempuan miskin. Tabel 1. Tabungan kaum perempuan di salah satu Bank BUMN dan Pinjaman Kaum perempuan pada Perum Pegadaian di Jawa Timur No 1 2 3 4
Tahun
Tabungan Perempuan Tabungan Penabung (Rp Juta) (Orang)
Pinjaman Perempuan Pinjaman Peminjam (Rp Juta) (Rp Juta)
2000 2001 2002 2003
112.432 143.547 181.198 204.890
9.178 12.053 15.237 16.425
8.278 11.444 15.341 23.228
51.276 53.112 54.987 58.213
Jumlah
642.067 160.516,75
52.893 13.224
58.291 14.572
217.588 54.397
Sumber : Sudibyo 2004 Jumlah tabungan perempuan di salah satu Bank BUMN dan Pinjaman Perempuan pada Perum Pegadaian di Surabaya Jawa Timur.
Dari tabel 1 di atas, juga dapat dilihat bahwa jika tabungan perempuan tersebut dapat dikelola dengan baik oleh koperasi, maka jumlah kaum perempuan yang dapat tertolong dari kesulitan keuangannya cukup besar dan sebaliknya bagi perempuan yang memiliki tabungan, bunga yang akan diperoleh dari tabungannya dikoperasi mungkin akan mencapai dua kali lipat dari pada yang diterima dari perbankan. Yang menjadi pertanyaan adalah 1) ”Mengapa mereka yang memiliki kelebihan uang tidak mau menyimpan dikoperasi ?”, dan sebaliknya 2) ”Mengapa mereka yang memerlukan pinjaman uang tidak meminjam di koperasi ?.” Pertanyaan pertama dapat dijawab berdasarkan permasalahan pokok yang dihadapi oleh koperasi sekarang ini yaitu : 1). Koperasi kurang populer dikalangan perempuan mampu (kelompok menengah ke atas), dan jika adapun hanya beranggotakan kalangan mereka sendiri.
5
2). Kepercayaan pemilik uang terhadap koperasi relatif rendah, karena koperasi lebih sering dinilai sebagai badan hukum yang tidak jelas penanggung jawabnya. Demikian juga petanyaan kedua dapat dijawab berdasarkan kenyataan bahwa : 1). Jumlah koperasi yang memberikan pinjaman uang dengan menggunakan pola pinjaman yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar koperasi (tidak menggunakan agunan dan bunga sesuai dengan kemampuan peminjam yang diputuskan dalam Rapat Anggota), relatif sangat sedikit dan dari yang sedikit itu jumlah dana yang tersedia juga sangat kecil, sehingga jumlah anggota yang mendapat meminjam juga sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah kaum perempuan yang membutuhkan pinjaman. 2). Sebagian besar kaum perempuan belum menjadi anggota koperasi karena yang menjadi anggota koperasi pada umumnya adalah suami-suami mereka Dari adanya alasan-alasan tersebut koperasi sampai sekarang ini dapat dinilai masih sangat sedikit yang dapat berfungsi sebagai bankeer bagi kaum perempuan. Dari 1.517 koperasi wanita yang ada di Indonesia pada tahun 2006, tabel 2 di bawah ini memperlihatkan 1.148 koperasi yang menyelenggarakan unit Simpan pinjam, dengan jumlaha anggota sebanyak 164.281 orang. Jumlah ini relatif sangat kecil (2,7%) dibandingkan dengan jumlah kaum istri yang ada di Indonesia sebanyak 60.779.231 orang, lebih lagi dibandingkan dengan jumlah perempuan usia produktif yang mencapai 65.732.873 orang Tabel 2. Jumlah Koperasi Wanita (Kopwan) dan Jumlah Kopwan Pelaksana Kegiatan Simpan Pinjam Koperasi Wanita Tahun
Jumlah Kopwan (Unit)
Jumlah Anggota (Orang)
Kopwan Pelaksana SP (Unit)
Jumlah Anggota (Orang)
2002 2003 2004 2005 2006
420 562 671 737 1.517
67.960 81490 99.308 112.024 220.740
317 498 561 628 1.148
50.086 62.924 71.280 94.553 164.281
Diolah dari :
1 2. 3.
Jumlah perempuan usia Produktif (Orang)
Jumlah Perempuan berkeluarga (Orang)
69.798.601 71.856.281 73.189.065 74.591.417 75.732,873
48.144.289 48.995.321 49.118.906 50.228.942 50.779.231 *)
Data Kementerian Koperasi dan UKM per tanggal 31 Desember tahun 2006 Statistik Indonesia, Biro pusat statistik tahun 2005 *) Angka sementara BPS per tanggal 1 Oktober 2006
Adapun jumlah koperasi yang jelas beranggotakan perempuan karena berlabel ”Koperasi Wanita” (Kopwan) sangat sedikit. Berdasarkan data yang diolah dari Dinas Koperasi dan UKM di Seluruh Indonesia, maka jumlah Kopwan aktif pada tahun 2002 sebanyak 402 Unit dan pada tahun 2005 sebanyak 737 Unit. Sedangkan pada tahun 2006 berdasarkan Study Pendataan Koperasi Wanita yang Responsif Gender diperoleh data bahwa jumlah koperasi wanita yang aktif 6
sebanyak 1.517 Unit yang tersebar pada 31 propinsi di Indonesia, dengan jumlah anggota perempuan yang merupakan anggota Kopwan adalah ± 220.740 orang perempuan Seandainya dari jumlah kaum perempuan yang sudah berkeluarga tersebut di atas (50.779.231 orang) 5 persennya (2.538.961 orang) adalah mereka yang dapat dikatagorikan penabung (berkelebihan) sedangkan sisanya (95%) atau sebanyak 48.240.269 orang adalah kaum perempuan yang tergolong miskin (sebagian besar adalah mereka yang tergolong keluarga pengusaha mikro dan pengusaha kecil) maka jumlah tabungan yang dapat dihimpun dari mereka yang berkemampuan mungkin saja dapat melebihi kebutuhan mereka yang membutuhkan pinjaman. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah ”Bagaimana menggerakan potensi perempuan baik sebagai penabung atau sebagai peminjam untuk menjadikan koperasi sebagai Bankeer bagi kaum perempuan”. Pertanyaan ini memang sangat mendasar dan untuk menjawabnya perlu bahan pertimbangan baik dari sisi kaum perempuan maupun dari sisi koperasi sebagai kelembagaan. Koperasi memang bukan lembaga keuangan sejenis Bank, tetapi koperasi merupakan lembaga keuangan formal yang diakui keberadaannya secara yuridis formal. Peran koperasi sebagai lembaga keuangan sudah ada sejak zaman kolonial, bahkan cikal bakal koperasi adalah Bank pegawai pemerintah yang didirikan oleh Patih R. Aria Wiriaatmaja di Purwokerto pada tahun 1855, dengan nama Bank Bantuan dan Simpanan bagi para pegawai pemerintah. Karena kebutuhan anggota yang terus berkembang maka kegiatan usaha koperasi juga ikut berkembang kearah serba usaha (multipurpose). Kegiatan usaha koperasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan eknomi para anggotanya baik untuk kegiatan konsumsi, maupun untuk kebutuhan barang produksi. Dengan demikian sebenarnya koperasi tidak awam dengan kegiatan simpan pijam, bahkan di banyak Koperasi Simpan Pinjam menjadi kegiatan primadona yang paling banyak diminati oleh para anggotanya. Kegiatan simpan pinjam memang menjadi kegiatan utama di banyak koperasi tetapi dalam mengembangkan kegiatan ini koperasi juga paling banyak menemui kendala dan permasalahan. Kendala utama yang dihadapi oleh koperasi adalah kesulitan akses kepada sumber-sumber permodalan, sedangkan modal internal yang ada di koperasi biasanya sangat terbatas, karena kondisi keuangan anggota yang sangat lemah, sehingga sebagian besar anggota hanya menjadi peminjam dan sangat sedikit yang menyimpan. Dari fenomena ini timbul pameo yang mengatakan karena kegiatan dalam unit simpan pinjam koperasi hanya didominasi oleh anggota yang ingin meminjam, maka lebih tepat unit usaha ini disebut unit usaha peminjaman. Simpanan yang ada dikoperasi sebagian besar hanya didominasi oleh simpanan pokok dan simpanan wajib, termasuk simpanan wajib bagi peminjam atau yang disebut sebagai simpanan wajib pinjaman. Mobilisasi dana (modal) dari anggotanya maupun masyarakat oleh koperasi untuk mengembangkan kemampuan permodalan unit simpan pinjam dibatasi oleh banyak kendala antara lain; 1) sebagian besar anggota koperasi adalah mereka yang tergolong miskin sehingga tidak memiliki sisa penghasilan yang dapat ditabungkan (konsumsi lebih besar dari penghasilan sehingga tidak ada saving); 2) koperasi
7
menghadapi kesulitan untuk mendapatkan pinjaman dana dari luar, karena oleh banyak pihak koperasi dinilai tidak Bankable disebabkan tidak memiliki anggunan dan status Badan Hukum koperasi yang tidak menempatkan pengurus untuk bertanggung jawab secara pribadi terhadap pinjaman yang akan diterima; 3) Bantuan permodalan dari pemerintah jumlahnya sangat terbatas, sehingga baru sedikit koperasi yang menikmati bantuan perkuatan di bidang permodalan tersebut III. Solusi Koperasi Sebagai Bankeer bagi Kaum Perempuan. Dari uraian diatas terlihat bahwa pengembangan koperasi untuk menjadi bankeer bagi kaum perempuan nampaknya akan banyak mengalami hambatan, oleh sebab itu perlu dirancang sistem pengembangan peran koperasi sebagai lembaga keuangan bagi kaum perempuan tersebut sesuai dengan potensi perempuan dan peluang koperasi. Untuk dapat sampai pada keinginan yang demikian perlu lebih dulu dikeluarkan kebijakan yang mampu mengeleminasi segala hambatan dan mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki oleh koperasi. Salah satu kebijakan pemerintah yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM untuk mempercepat pemberdayaan perempuan melalui koperasi adalah Program Perempuan Keluarga Sejahtera (PERKASSA). Namun keterbatasan pendanaan dari program ini menyebabkan baru sedikit sekali kaum perempuan yang mendapatkan fasilitas permodalan dari program tersebut. Sejalan dengan keinginan memberdayakan kaum perempuan melalui peran koperasi sebagai Bankeer perempuan, dapat dikemukakan beberapa alternatif pola pemberdayaan koperasi yaitu : 1. Pola kemitraan antar Koperasi Pola ini dimulai dengan pembangunan dan atau melakukan restrukturisasi koperasi wanita (Kopwan), kedalam dua bentuk yaitu koperasi pemilik modal dan koperasi konsumen. Koperasi pemilik modal adalah koperasi-koperasi yang memiliki anggota dari kalangan perempuan keluarga mampu, yang selama ini belum memiliki Badan hukum, karena koperasi bentuk ini biasanya dijumpai di lokasi-lokasi tertentu seperti perumahan dan kantorkantor dalam bentuk tabungan bersama atau arisan, atau tabungan pengajian dan lain-lain (walaupun sering menyebutkan diri sebagai koperasi). Untuk mendorong kelompok ini menjadi koperasi yang berbadan hukum dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi dan penyuluhan, dengan mengemukakan secara jujur apa manfaat yang akan diperoleh dengan membentuk koperasi. Selanjutnya dapat dibangun kerjasama antara koperasi-koperasi yang memiliki potensi dana tersebut, dengan koperasi koperasi lainnya yang kekurangan dana, dalam suatu ikatan atau kerjasama yang legal melalui prosedur hukum (Notaris) dan saling menguntungkan. Yang perlu dibangun dalam memperisiapkan pelaksanaan konsep ini adalah;
8
1).
Pola kerjasama antar koperasi Pola kerjasama harus dituangkan dalam suatu kesepakatan kontrak yang mengikat kedua pihak. Dalam penyusunan kontrak kerjasama ini perlu diperhatikan beberapa hal yaitu : (1). Kepastian pembayaran dan atau jaminan; (2). Tingkat bunga atau keuntungan yang akan diperoleh, oleh kedua pihak dari adanya kerjasama tersebut; (3). Jangka waktu pengembalian; (4). Cara pembayaran bunga dan cicilan; (5). Adanya faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan kerjasama/kemitraaan tersebut seperti bencana alam.
2).
Pola perkreditan Pola perkreditan adalah prosedur pemberian kredit kepada anggota koperasi peminjam yang mencakup faktor teknis dan non teknis pemberian pinjaman, pemanfaatan pinjaman dan pengembaliannya antara lain : (1). (2). (3). (4). (5).
Kriteria dan persyaratan peminjam Tujuan penggunaan pinjaman Agunan / penjaminan Tingkat bunga Waktu dan cara pengembalian
Oleh karena ditujukan untuk anggota yang rata-rata miskin, maka anggunan harus ditiadakan dan digantikan dengan jaminan kelompok, yang merupakan sosial capital dikalangan anggota. Untuk itu sebagai langkah awal harus dibangun kelompok-kelompok peminjam dengan kriteria-kriteria tertentu, misalnya mempunyai bidang usaha yang sama, bertetangga dan saling mengenal dekat, tetapi tidak boleh bersaudara. Kreteria-kriteria tersebut diharapkan dapat membangkitkan sosial kapital dalam kelompok. Jumlah kelompok maksimal 10 orang agar sinergi kelompok menjadi lebih besar. Dalam kelompok tersebut dibuat kesepakatan yang harus disetujui oleh semua anggota kelompok. Hal ini sangat penting karena semua anggota kelompok harus menanggung semua hutang dari kelompoknya. 2. Pola Program Penjaminan oleh Pemerintah Pola ke II ini berbeda degan Pola perkuatan permodalan dari program bantuan Pemerintah yang diberikan langsung dalam bentuk dana untuk mendukung permodalan koperasi. Dalam pola ini pemerintah hanya berperan sebagai penjamin, seperti dalam program Modal awal dan padanan (MAP). Untuk tujuan tersebut Pemerintah harus menempatkan sejumlah uang pada suatu lembaga penjamin, baik berupa Bank maupun non Bank. Pinjaman modal untuk koperasi dapat dicarikan dari bebagai lembaga keuangan baik berupa Bank maupun non Bank, tetapi yang paling ideal adalah dari koperasi sendiri
9
(koperasi pemilik modal). Dengan demikian pola ini dapat dikaitkan langsung dengan pola pertama (Pola I), sehingga peluang berhasilnya pengembangan pola pertama di atas menjadi sangat besar. Penjaminan ini sifatnya menjamin pinjaman koperasi peminjam kepada pihak-pihak lain dan bukan jaminan pinjaman anggota kepada koperasinya. Jaminan anggota kepada koperasi tetap dilakukan oleh kelompok anggota itu sendiri. Penjaminan yang dilakukan oleh pemerintah ini bertujuan untuk meyakinkan para pemilik modal, baik Bank, non bank maupun koperasi pemilik modal, bahwa pemberian pinjaman kepada koperasi dijamin oleh Pemerintah. Yang perlu diperhatikan dalam pola ke II ini adalah Bank penjamin dan koperasi pemilik modal juga harus melakukan sharing terhadap kemungkinan resiko yang timbul. Jadi penjaminan tidak hanya menerima uang jaminan dari pemerintah yang akan meningkatkan kemampuan permodalan dan likuiditas keuangannya saja. Sharing kerugian atau resiko tersebut dapat didistribusikan (risk sharing) kepada semua komponen dalam sistem terebut, yaitu Pemerintah, Bank penjamin dan koperasi pemilik modal, serta koperasi peminjam. Pendistribusian sharing dapat dilkakukan secara proporsional, misalnya pemerintah menanggung 50% atau, Bank penjamin menanggung 20%, koperasi pemilik modal menjamin 20% dan koperasi peminjam menjamin 10% dari tunggakan yang mungkin terjadi. Proporsi lebih lanjut dapat dikompromikan atau dibuat kesepakatan dalam sistem tersebut. Dalam hal ini koperasi peminjam dapat memperoleh biaya penjaminan tersebut dari nasabah dengan menambahkan biaya penjaminan kepada peminjam atau biaya asuransi peminjam misalnya sebesar 0,5% atau 1% per bulan. Biaya ini dapat diperhitungkan bersamaan dengan perhitungan bunga (ditambahkan ke bunga) atau catatkan secara terpisah. Seandainya peminjam dapat melunasi pinjamannya sampai dengan akhir masa cicilan, maka biaya penjaminan (sejenis asuransi) tersebut dapat dikembalikan kepada peminjam, baik dalam bentuk tunai, maupun dalam bentuk simpanan sukarela di koperasi. Konsep ini dapat memberikan peluang yang cukup besar bagi koperasi dalam pemupukan modal. Walaupun ada biaya penjaminan ini, tetapi jaminan kelompok tetap dijadikan jaminan utama. Dengan memperhatikan berbagai aspek dari kedua pola tersebut dapat ditentukan yang mana pola yang paling efektif dari kedua pola tersebut untuk diterapkan di lapang dalam rangka pengembangan peran koperasi untuk menjadikan Bankeer bagi kaum perempuan. Pilihan ini nampaknya tidak dapat diputuskan hanya dengan pertimbangan-pertimbangan di atas kertas, tetapi untuk mendapatkan konsep yang paling sesuai harus dilakukan suatu kajian yang komprehensif. Kepentingan kajian tersebut adalah didasarkan pada pemikiran bahwa keberhasilan suatu program perkreditan sangat banyak dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas, baik yang ada dalam pola pelaksanaan program perkreditan tersebut, maupun kondisi ekonomi dan sosial yang menjadi media tumbuh kembangnya pola-pola perkreditan itu sendiri.
10
IV. Penutup 1).
Asas dan prinsip dasar koperasi tidak membedakan peran dan kedudukan anggota antara yang laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan koperasi.
2).
Kenyataan sekarang ini baik dari aspek ekonomi maupun sosial budaya menunjukkan bahwa kaum perempuan dapat berdiri sejajar dengan laki-laki, bahkan dapat menjadi leader dalam pembangunan perekonomian maupun dalam mendukung ekonomi keluarga.
3).
Disatu sisi kaum perempuan yang tergolong kelompok miskin yang sebagian besar adalah keluarga UMKM menghadapi masalah yang lebih sulit dari mereka yang laki-laki untuk berhubungan dengan perbankan, sedangkan kaum perempuan yang berasal dari keluarga mampu memiliki tabungan yang cukup besar dilangan perbankan
4).
Untuk mengaoptimal potensi dana dikalangan perempuan dan memanfaatkan peluang koperasi untuk menjadi lembaga perkreditan bagi kalangan perempuan maka perlu dikembangkan konsep Koperasi sebagai bankeer bagi kaum perempuan.
5).
Pola kemitraan antar Koperasi adalah membangun kerjasama antara koperasi dari para pemilik tabungan dengan koperasi para peminjam. Yang perlu diperhatikan dalam penepan pola ini dilaksanakan dalam bentuk kesepakatan yang antara lain berisikan; (1) Kepastian pembayaran dan atau jaminan; (2) Tingkat bunga atau keuntungan yang akan diperoleh, oleh kedua pihak dari adanya kerjasama tersebut; (3) Jangka waktu pengembalian; (4) Cara pembayaran bunga; dan (5) cicilan dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan kerjasama/ kemitraaan tersebut seperti bencana alam
6).
Menyusun pola perkreditan yaitu prosedur pemberian kredit kepada anggota koperasi peminjam yang mencakup faktor teknis dan non teknis pemberian pinjaman, pemanfaatan pinjaman dan pengembaliannya antara lain: (1) Kriteria dan persyaratan peminjam; (2) Tujuan penggunaan pinjaman; (3). Agunan/penjaminan; (4). Tingkat bunga; (5) Waktu dan cara pengembalian.
7).
Oleh karena ditujukan untuk anggota yang rata-rata miskin, maka agunan harus ditiadakan dan digantikan dengan jaminan kelompok, yang merupakan sosial capital dikalangan anggota.
8).
Dibangun kelompok-kelompok-kelompok peminjam dengan kriteria-kriteria tertentu, misalnya mempunyai bidang usaha yang sama, bertetangga dan saling mengenal dekat.
9).
Pola Penjaminan oleh Pemerintah adalah pola dimana pemerintah berperan sebagai penjamin, dengan menempatkan sejumlah uang pada suatu lembaga penjamin, baik berupa Bank maupun non Bank. Pinjaman modal untuk koperasi dapat dicarikan dari bebagai lembaga keuangan baik berupa Bank
11
maupun non Bank, tetapi yang paling ideal adalah dari koperasi sendiri (koperasi pemilik modal). 10). Penjaminan adalah menjamin pinjaman koperasi peminjam kepada pihakpihak lain dan bukan jaminan pinjaman anggota kepada koperasinya. Jaminan anggota kepada koperasi tetap dilakukan oleh kelompok anggota itu sendiri. 11). Penjaminan yang dilakukan oleh pemerintah ini bertujuan untuk meyakinkan para pemilik modal, baik Bank, non bank maupun koperasi pemilik modal, bahwa pemberian pinjaman kepada koperasi dijamin oleh Pemerintah. 12). Bank penjamin dan koperasi pemilik modal juga harus melakukan sharing terhadap kemungkinan resiko yang timbul. Sharing kerugian atau resiko tersebut dapat didistribusikan (risk sharing) kepada semua komponen dalam sistem, misalnya Pemerintah, 50% atau 60%, Bank penjamin menanggung 15% atau 20%, koperasi pemilik modal menjamin 15% sampai dengan 20 % dan koperasi peminjam menjamin 5% atau 10 % dari tunggakan yang mungkin terjadi. 13). Proporsi lebih lanjut dapat dikompromikan atau dibuat kesepakatan dalam sistem tersebut. Dalam hal ini koperasi peminjam dapat memperoleh biaya penjaminan tersebut dari nasabah dengan menambhkan biaya penjaminan kepada peminjam atau biaya asuransi peminjam misalnya sebesar 0,5% atau 1% per bulan. Biaya ini dapat diperhitungkan bersamaan dengan perhitungan bunga (ditambahkan ke bunga) atau catatkan secara terpisah. 14). Pilihan atas kedua pola perkreditan ini tidak dapat diputuskan hanya dengan pertimbangan-pertimbangan di atas kertas, tetapi untuk mendapatkan konsep yang paling sesuai harus dilakukan suatu kajian yang komprehensif. DAFTAR PUSTAKA Anonimus, (2006). Data Statistik Perkoperasian. Kementerian Negara koperasi dan UKM, Deputi Bidang pengkajian Sumberdaya UKMK. Jakarta. Mubyarto, (1986). Peluang Kerja Perempuan di Pedesaan. Yayasan Obor Jakarta. Sumardi, (1996). Analisis Kesempatan kerja bagi Wanita di sektor Pertanian dan Industri. Jurusan Perencanaan Wilayah Program Pascasarjana IPB, Bogor (Thesis, Tidak Dipublikasikan). Sudibyo. Kajian Potensi Tabungan Penabung Wanita Untuk Mendukung Pembangunan Daerah. Jurusan Perencanaan Wilayah Program Pascasarjana IPB, Bogor (Thesis, Tidak Dipublikasikan).
12
MENGGERAKKAN DENYUT NADI KOPERASI WANITA DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI Gunari Budhiretnowati∗ dan Rapma Siahaan∗∗ Abstrak Tantangan kopwan dalam menghadapi era globalisasi antara lain : 1). Keterbatasan informasi pasar dan teknologi; 2). kendala dalam akses permodalan; 3). kapasitas SDM perempuan yang relatif rendah disebabkan faktor budaya yang membatasi ruang geraknya dalam berorganisasi; dan 4). belum dikenalnya keberadaan kopwan dikalangan masyarakat. Solusi menggerakkan denyut nadi kopwan menghadapi era globalisasi adalah melalui pemberdayaan kopwan oleh kaum perempuan sendiri secara profesional, otonom dan mandiri dalam arti berkemampuan mengelola usaha sebagaimana layaknya badan usaha lain, koperasi juga harus mampu mengoptimalkan potensi ekonominya, serta memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan seluruh stakeholders dengan tetap mendapat dukungan pemerintah dalam rangka pengendalian perilaku ekonomi. Dengan semakin besarnya peluang bagi kaum perempuan dan meningkatnya jumlah kelompok perempuan yang memiliki usaha produktif, perlu dipertimbangkan untuk menumbuhkan kopwan-kopwan baru yang otonom dan mandiri. Untuk itu perlu : 1). dimotivasi melalui pendidikan, 2). sosialisasi dalam rangka pengembangan sosial kapital kelompok perempuan, 3). membangun sistem pemberdayaan ekonomi kaum perempuan, 4). memacu pengembangan usaha produktif, 5). menumbuhkan jiwa kewirakoperasian serta 6). mempermudah mekanisme pendirian kopwan. Kata kunci: Tumbuh kembangkan kopwan otonom, mandiri dan profesional; eksis di era globalisasi I.
PENDAHULUAN Gema globalisasi perekonomian dunia yang ditandai dengan dunia tanpa batas (borderlerss World) dan terbukanya pasar bebas membuka peluang bisnis bagi sebagian kalangan, tetapi juga menumbuhkan kesulitan dari kalangan lainnya. Para penganut ekonomi pasar bebas sangat yakin dan berargumentasi bahwa konsep persaingan terbuka ini akan memberikan dampak positif bagi semua lapisan masyarakat di semua tempat, berupa pendistribusian hasil-hasil pembangunan ekonomi yang proporsional. Argumentasi ini mendapat penolakan dari ekonom lainnya yang secara nyata telah melihat dampak negatif dari konsep tersebut, karena persaingan sengaja dibuka dalam kondisi ketidakseimbangan pemilikan faktor produksi, teknologi dan kualitas sumberdaya manusia. Terlepas dari perdebatan kedua kubu yang pro dan yang kontra terhadap globalisasi, perlu dipertanyakan apakah pelaku ekonomi di Indonesia telah siap menghadapi kondisi persaingan
∗
)
Kepala Bidang Perkaderan, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian Negara Koperasi dan UKM ∗∗ ) Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
1
yang semakin ketat, sedangkan diketahui sampai sekarang ini kondisi perekonomian nasional masih diwarnai oleh ketimpangan dalam penguasaan asetaset produktif, serta kemiskinan, pengangguran yang sangat besar. Dalam menghadapi era globalisasi, sebanyak 189 negara yang tergabung dalam Dewan Milenium, pada September 2000 di markas Perserikatan BangsaBangsa (PBB) telah menyepakati suatu kerangka pembangunan global untuk perbaikan dan pencapaian kehidupan masyarakat dunia yang layak. Kerangka tersebut dituangkan dalam tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals, MDGs). Isi dari MDGs identik dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Tiga dari delapan tujuan pembangunan milenium yang dideklarasikan adalah mengentaskan kemiskinan dan kelaparan, mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan serta menjamin keberlangsungan lingkungan hidup (Kusmuljono, 2007). Dalam konsep MDGs Indonesia termasuk dalam kategori miskin. Jumlah masyarakat miskin di Indonesia pada akhir tahun 2005 adalah sebanyak 15%. Pada akhir tahun 2006 BPS dengan segala bentuk Justifikasinya menyatakan orang miskin bertambah menjadi 17,5% dari rakyat Indonesia, sedangkan Bank Dunia pada Bulan Agustus 2006 secara tegas mengumumkan bahwa lebih dari seratus juta rakyat Indonesia tergolong miskin. Sebagian besar penduduk miskin di Indonesia adalah perempuan, dan tidak kurang dari 6 juta orang diantaranya adalah kepala rumah tangga miskin dengan pendapatan rata-rata dibawah Rp. 10 ribu perhari. Persoalan perempuan miskin adalah persoalan struktural dengan faktor penyebab dan kendala yang tidak tunggal antara lain adanya keterbatasan kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan, memperoleh akses ekonomi, berorganisasi dan lain sebagainya masih tetap berlaku. Budaya tradisional yang berideologi patriikhi dimana adanya ketimpangan gender dalam seluruh aspek kehidupan merupakan kondisi utama yang menghantarkan perempuan pada kemiskinan yang berkepanjangan. Untuk menjaga kelangsungan hidup diri dan keluarganya, sebagian kaum perempuan melibatkan diri dalam berbagai usaha yang produktif ada pula yang bergabung dalam wadah memiliki legalitas seperti koperasi. Koperasi menciptakan peluang bagi perempuan untuk membantu diri sendiri. Lebih dari 800 juta orang diseluruh dunia sudah menjadi anggota koperasi. Meskipun koperasi lebih memberi fokus untuk memenuhi kebutuhan lokal para anggotanya, mereka juga bekerjasama dan terkait secara global. Mereka sama-sama mendukung dan mempraktekkan nilai maupun prinsip yang terkandung dalam ICIS (Pernyataan Internasional tentang Jatidiri Koperasi). Basis demokrasi dan kombinasi tujuan sosial ekonomi yang unik menempatkan koperasi sebagai lembaga ideal yang berperan untuk meningkatkan kelayakan globalisasi. Sesuatu yang telah mereka praktekkan selama beberapa generasi. Dalam banyak hal koperasi adalah cermin dan lebih menampakan wajah kemanusiaan dari globalisasi yang mementingkan uang dan modal semata-mata. (Wagiono Ismangil, 2007). Bukan tidak mungkin untuk menghadapai era persaingan pasar bebas pengembangan peran perempuan melalui koperasi wanita (kopwan), akan menjadi salah satu titik balik yang menjadikan era globalisasi sebagai pembukaan 2
kesempatan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk menunjukkan eksistensi dalam kancah perekonomian dunia. Untuk itu perlu dipertanyakan sejauhmana potensi dan apa yang akan dilakukan kopwan agar bertahan dalam era globalisasi yang diwarnai oleh persaingan efisiensi dan profesionalisme pelaku bisnis dan apakah sesungguhnya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkembangkan kopwan dalam memberdayakan kaum perempuan dalam potensi ekonomi. II.
POTENSI DAN TANTANGAN BAGI KOPERASI WANITA DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI 1. Potensi Kopwan Dengan adanya era otonomi daerah, menyebabkan terputus hubungan struktural antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal tersebut menimbulkan kesulitan dalam memantau perkembangan kopwan di Indonesia. Data perkembangan kopwan yang dapat dilaporkan adalah data tahun 2000 dan data yang paling mutakhir adalah data tahun 2006 yang merupakan hasil Kajian Pendataan Kopwan yang Responsif Gender di Indonesia oleh Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Dari data tersebut, dapat dikemukakan bahwa secara kuantitatif perkembangan kopwan menunjukkan peningkatan yang signifikan, seperti peningkatan jumlah kopwan aktif, jumlah karyawan dan manager, permodalan dan volume usahanya.. Sementara jika dilihat dari kualitas, kopwan cenderung lebih konsisten dan memberikan dampak positif yang lebih luas yaitu peningkatan kesejahteraan keluarga dibandingkan jenis koperasi lainnya.. Tabel 1. Rekapitulasi Keragaan Kopwan di Indonesia
Unit Unit Unit Org
Tahun 2000 *) 102,227 88,206 1,256 366,194
Tahun 2006**) 132,965 94,449 1,517 220,740
Org
1,589
2,094
153,896.84 26,379.14 142,861.00 6,605.89
426,056.20 405,507.29 1,401,000.00 118,000.00
Uraian
Satuan
Jumlah Kop. Di Indonesia Jumlah Koperasi Aktif Jumlahh Kopwan Aktif Jumlah Anggota Kopwan Jumlah Manager & Karyawan Kopwan Modal Sendiri Kopwan Modal Luar Kopwan Volume Usaha Kopwan SHU Kopwan
Rp. Juta Rp. Juta Rp. Juta Rp. Juta
Keterangan : *) Data dari Rekapitulasi Data Kopwan Berdasarkan Jenis Per 31 Desember 2000, Kementerian Negara Koperasi dan UKM **) Hasil Pendataan Kopwan yang Responsif Gender Tahun 2006 Kementerian Negara Koperasi dan UKM.
3
Keragaan kopwan di Indonesia berdasarkan analisis data kajian kopwan tahun 2006, adalah sebagai berikut : 1).
Dari 1,517 unit kopwan aktif, ternyata 52% telah melaksanakan RAT dan 48% tidak melaksanakan RAT dan tidak memberikan data. Temuan tersebut mengindikasikan lemahnya kinerja Kopwan serta lemahnya pembinaan yang dilaksanakan oleh Dinas Koperasi dan UKM di propinsi dan kabupaten/kota dalam memantau perkembangan Kopwan.
2).
Kegiatan usaha kopwan yang terbanyak adalah di bidang simpan pinjam (65%), serba usaha (23%) dan produksi/konsumsi (5%) dan sebanyak 8% tidak memberikan data.
3).
Apabila dilihat dari jumlah anggota kopwan, diperoleh gambaran bahwa rata-rata jumlah anggota kopwan 205 orang perkoperasi. Dari jumlah kopwan aktif 1,517 unit tersebut, 71%nya beranggotakan < 160 orang (berarti dibawah jumlah rata-rata 205 orang). Hal tersebut mengindikasikan bahwa jumlah kopwan yang berhasil di Indonesia menjadi besar atau layak secara organisasi (dilihat dari keaktifan anggota yang terlibat didalam koperasi) adalah relatif masih sedikit/kecil jumlahnya.
4).
Dalam hal kontribusi anggota dalam pembentukan modal sendiri, ternyata cukup besar kontribusi anggota kopwan dalam memupuk modal sendiri mencapai 51.24%. Hal tersebut menggambarkan bahwa kinerja usaha kopwan di Indonesia cukup baik.
5).
Secara rata-rata volume usaha perkopwan adalah Rp. 1,856 juta, sedangkan total modal rata-rata yang dimiliki kopwan cukup besar nilainya yaitu Rp. 547,792 juta padahal SHU rata-rata perkopwan hanya Rp. 172 juta (11%). Data tersebut menunjukan masih lemahnya pengelolaan usaha karena belum ditangani kopwan secara profesional sehingga akumulasi keuntungan yang diperoleh masih relatif kecil.
6).
Jumlah karyawan dan manager kopwan 2,094 orang terdiri dari 1,910 orang perempuan (91.21%) dan laki-laki 184 orang (0.70%). Diluar itu kopwan mempekerjakan orang yang bekerja paruh waktu yang diduga jumlahnya lebih besar dari tenaga tetap. Kurangnya partisipasi dan kontribusi anggota terhadap kegiatan koperasi tersebut akan mempengaruhi kinerja usaha kopwan.
Dari keragaan kopwan tersebut diatas terlihat adanya, indikasi bahwa kinerja organisasi dan bisnis kopwan ternyata masih cukup rendah, hal tersebut jelas berimplikasi terhadap kemampuan kopwan dalam pengembangan kapabilitas usahanya agar dapat bertahan di era globalisasi. Berdasarkan analisis jumlah kopwan dibandingkan jumlah koperasi di Indonesia pada tahun 2000 dan 2006 terlihat bahwa rasionya relatif sangat kecil yaitu 1.61% (tahun 2006).
4
Sedikitnya jumlah kopwan mengungkapkan bahwa : (1). Ternyata kaum perempuan masih sulit mendapatkan akses ekonomi terkait adanya issue gender, (2). Masih banyak perempuan yang belum paham atau belum mengenal koperasi, (3). Masyarakat/perempuan belum merasakan dampak keberhasilan kopwan yang ada di lingkungannya. Sesuai RPJM 2005 dimana ditargetkan perwujudan 70,000 unit koperasi berarti ada tantangan bagi pemerintah untuk menumbuhkan dan memantapkan koperasi tidak terkecuali kopwan. Prioritas pada pemberdayaan kopwan juga bisa dilihat dari kenyataan bahwa kopwan cenderung lebih konsisten dibandingkan jenis koperasi lainnya, dan kopwan dapat menumbuhkan antara lain kelompok usaha masyarakat yang produktif dan potensial, karena keberadaan kelompok tersebut cukup banyak. Jumlah kelompok perempuan yang memiliki usaha produktif binaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM dari tahun 2004-2006 adalah sebanyak 184 kelompok di 32 propinsi yang mendapatkan bantuan perkuatan modal usaha berbentuk dana bergulir melalui koperasi (KSP/USP) dengan pola tanggung renteng seperti terlihat pada Tabel 2. Pada tahun 2007 Kementerian Negara Koperasi dan UKM akan memberikan bantuan perkuatan modal usaha kepada satu kelompok tanggung renteng melalui satu KSP/USP per propinsi sebesar Rp. 22,500,000,-. Kelompok tanggung renteng dimaksud merupakan kelompok usaha produktif yang utamanya terdiri dari perempuan (1 kelompok terdiri dari 15 orang). Diharapkan ke depan dapat dikembangkan menjadi wadah koperasi tersendiri atau menjadi anggota koperasi yang telah ada. Tabel 2. Perkembangan Kelompok Tanggung Renteng Diutamakan Terdiri dari Perempuan Penerima Dana Bergulir Program Rintisan Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil yang Responsif Gender Tahun Penerimaan
2004 2005 2006
Jumlah Propinsi
30 29 32 Jumlah
Jumlah KSP/USP
30 29 32 91
Jumlah Kelompok Tanggung Renteng
30 58 96 184
Jumlah Dana Bergulir (Rp.000)
225,000 435,000 720,000 1,380,000
Sumber data : Perkemb. dana KSP/USP dan kelompok tanggung renteng penerima dana bergulir, Sekretariatan Kementerian Negara Koperasi dan UKM (diolah).
Sedangkan keberadaan kelompok usaha masyarakat yang produktif dan potensial binaan institusi lain adalah sebanyak 41,962 kelompok usaha masyarakat yang produktif yang tersebar di 19 propinsi dan direncanakan dikonversi menjadi 3,000 unit koperasi baru pada tahun 2006-2008 seperti terlihat pada Tabel 3.
5
Tabel 3. Rencana Pembentukan Koperasi Baru dari Kelompok Usaha Masyarakat (binaan institusi lain) Tahun 2006 – 2008 Nama Kelompok dan Instansi yang Membina 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
KUBE (Depsos) P2KP (Dep. PU) PEMP (DKP) PPK (Depdagri) P4K (Deptan) UPPKS (BKKBN) Lain-lain (organisasi kemasyarakatan) Jumlah
Jml Kelompok yang Ada*) 8.849 924 1.228 6.533 8.717 11.361 4.370 41.962
Sumber data : Deputi Bidang Kelembagaan *) Data dari 19 Propinsi
Pembentukan Koperasi Baru 2006 2007 2008 9 64 100 5 31 40 7 26 30 2 123 200 10 136 200 21 61 100 146 359 1.330 200
800
2.000
Jumlah 173 76 63 325 346 182 1.835 3.000
Adanya kelompok usaha masyarakat maupun kelompok perempuan produktif merupakan salah satu peluang bagi pengembangan koperasi baru. Berbicara mengenai koperasi baru yang dibentuk dari kelompok masyarakat, maka pada tahun 2005-2007 telah terbentuk 1,555 unit koperasi baru di 11 propinsi, dimana 124 unit (7.97%) adalah kopwan baru pada 6 propinsi (Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan) seperti terlihat pada Tabel 4. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prosentase terbentuknya kopwan baru tetap relatif masih kecil, dibandingkan pembentukan koperasi jenis lainnya. Sehubungan dengan itu, perlu dipikirkan bagaimana memotivasi masyarakat khususnya perempuan untuk membentuk kopwan. Tabel 4. Realisasi Pembentukan Koperasi Baru dari Kelompok Masyarakat Tahun 2005-2007 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Propinsi Sumatera Barat Riau Bangka Belitung Banten Jawa Barat Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Jumlah
Koperasi Baru 11 17 6 1 932 104 81 158 59 1 61 1.431 (92.03%)
Kopwan Baru 2 1 21 70 26 4 124 (7.97%)
Sumber data : Deputi Bidang Kelembagaan berdasarkan laporan daerah
Jumlah 13 18 6 1 953 174 107 158 59 5 61 1.555
6
2. Masalah dan Tantangan Kopwan Masalah dan tantangan yang dihadapi kopwan adalah sebagai berikut : 1). Akses terhadap informasi pasar dan teknologi masih relatif rendah Adopsi teknologi pada beberapa kopwan masih relatif rendah, khususnya dalam penerapan sistem administrasi dan keuangan yang masih dilakukan secara konvensional. Demikian pula dalam hal informasi pasar masih tertinggal jauh sehingga sulit bersaing dengan pengusaha lainnya. 2). Akses terhadap sumber permodalan masih rendah Berdasarkan pengamatan dan penelitian di beberapa kopwan tahun 2006, pada kenyataannya cukup banyak kopwan yang lebih mengandalkan modal sendiri. Mereka cukup puas dan pasrah berusaha hanya dengan mengandalkan modal yang dipupuk sendiri, walaupun sebenarnya membutuhkan tambahan modal. Meskipun demikian, masih ada beberapa kopwan yang masih mengharapkan bantuan modal dari pihak luar. Misalnya dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah banyak memberikan bantuan perkuatan kepada kopwan maupun kelompok perempuan yang memiliki usaha produktif antara lain melalui Program Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera (PERKASSA) dan Program Rintisan Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil yang Responsif Gender. Namun program bantuan perkuatan dana dari pemerintah sangat terbatas dan tidak menyeluruh karena terbatasnya jumlah dana. Akibatnya kopwan tidak mudah mendapatkan akses terhadap permodalan. 3). Kapasitas sumberdaya manusia masih rendah Faktor budaya menjadi salah satu kendala rendahnya tingkat pendidikan formal perempuan juga menyebabkan perempuan tidak diberi kesempatan untuk terlalu banyak aktif dalam berorganisasi. Hal tersebut mengakibatkan mereka banyak yang menjadi tenaga paruh waktu dalam koperasi. Dengan terbatasnya kapasitas sumberdaya perempuan akan berpengaruh pula dalam akses informasi pasar dan teknologi. Sehingga mengakibatkan kopwan kalah bersaing dengan pelaku usaha yang lain. 4). Keberadaan kopwan belum cukup dikenal apalagi mengakar di kalangan masyarakat. Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa kelompok perempuan, ternyata sebagian daripada kelompok perempuan tersebut tidak tahu akan keberadaan dan peran koperasi sebagai organisasi ekonomi yang dapat memberikan bantuan dalam berbagai aspek perekonomian. Ada sebagian kelompok perempuan lainnya yang takut ikut berorganisasi karena mereka menduga bahwa keikutsertaannya harus membayar sejumlah uang.
7
III. UPAYA MENGGERAKAN DENYUT NADI KOPWAN Era globalisasi yang ditandai dengan persaingan pasar bebas tidaklah selalu buruk, bahkan menjadi tantangan bagi para pelaku ekonomi termasuk kopwan untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada, seperti adanya informasi yang lebih terbuka, semua pihak dapat bebas mendapatkan akses informasi, persaingan lebih fair dan adil, serta akses teknologi mudah terjangkau dan biayanya pun murah. Agar kopwan dapat bertahan dalam menghadapi era globalisasi perlu diupayakan pemberdayaan kopwan oleh kaum perempuan sendiri secara profesional yang otonom dan mandiri dalam arti berkemampuan mengelola usaha sebagaimana layaknya badan usaha lain. Dalam era globalisasi kopwan juga dituntut untuk mengoptimalkan potensi ekonominya serta memiliki kemampuan untuk bekerjasama, saling menghargai, menghormati antar koperasi, dan seluruh stakeholder lainnya dengan tetap mendapatkan perhatian dari pemerintah. Regulasi peraturan pemerintah diperlukan apabila terjadi kesalahan di pasar sebagai akibat adanya kecurangan dari para pelaku ekonomi yang kuat terhadap yang lemah atau pasar bergerak kearah munculnya persaingan tidak sehat. Intervensi pemerintah dalam bentuk perlindungan (proteksi) diperlukan dalam rangka mengendalikan perilaku ekonomi, bukan pranata ekonomi (Mohammad Iqbal, 2004). Untuk memperkuat karakter bisnis kopwan, program pendidikan dan sosialisasi harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam organisasi dan praktek bisnis kopwan. Pendidikan dan sosialisasi dibutuhkan untuk merubah mindset, meningkatkan kualitas dan kompetensi, manajerial dan bagaimana membangun jaringan serta memperkenalkan citra koperasi dan program konversi atau pembentukan koperasi beserta konsekuensi (biaya) yang ditimbulkannya. Dalam rangka pengembangan kapabilitas usaha kopwan agar bertahan di era globalisasi dibutuhkan pula pendampingan yang dapat memperbaiki manajemen usaha, kualitas produk dan pengembangan pasar. Lembaga pendampingan seperti BDS/LPB (Business Development Services/Lembaga Pengembangan Bisnis) dan inkubator perlu diberdayakan kembali oleh pemerintah, sehingga mampu menjalankan perannya sebagai tenaga konsultan yang sangat dibutuhkan UKM dan Koperasi. Sebagian besar kopwan yakni sebanyak 65%nya memiliki jenis Usaha Simpan Pinjam (USP) yang memberikan pelayanan pinjaman kredit untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak maupun kebutuhan modal usaha bagi anggotanya. Keberadaan KSP/USP yang dikelola oleh kaum perempuan tersebut cukup signifikan manfaatnya bagi anggota demikian pula terhadap dukungan penghasilan bagi lembaga koperasinya. Namun demikian, agar tetap eksis perlu dilaksanakan : (1). Pembenahan kembali kinerja KSP/USP, (2). Penetapan pengelolanya harus benar-benar memiliki kemampuan dan kemahiran profesional dibidang keuangan mikro, (3). Perlu dipertimbangkan adanya badan atau tenaga fungsional khusus ditingkat daerah yang mamantau dan mengawasi kesehatan
8
kopwan yang memiliki USP mengingat bidang usaha memiliki kekhususan seperti bank, (4). Serta perlu dukungan dari kalangan perbankan sebagai mitra KSP/USP. Dalam hal pembentukan koperasi, Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah membuat Nota Kesepahaman Momorandum of Understanding (MoU) dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) pada tanggal 4 Mei 2004, dimana pendirian koperasi tidak sekedar cukup ditandatangani oleh 20 orang dan pengesahan dari Dinas Koperasi setempat tetapi juga harus dicatat dalam akte resmi, notariat (Untung Tri Basuki, Tahun 2005). Implikasi dari MoU tersebut tentulah antara lain timbulnya dana untuk akte notaris koperasi. Berdasarkan pengamatan langsung terhadap beberapa perempuan yang terlibat didalam kelompok usaha yang produktif, maka mereka mengeluhkan adanya akte notaris didalam pendirian koperasi dan bagaimana pembiayaannya, hal tersebut akan memberatkan. Sehubungan dengan itu perlu adanya dukungan pemerintah untuk mengantisipasi kondisi yang tidak kondusif tersebut antara lain melalui pelaksanaan sosialiasasi, pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada pembina maupun masyarakat. Apabila kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan dengan konsisten dan fokus, maka diharapkan dapat memotivasinya untuk dikembangkan menjadi wadah koperasi. Demikian juga perlu dipertimbangkan adanya kemungkinan memasukkan biaya pengurusan akte notaris dalam paket bantuan perkuatan yang diberikan kepada koperasi dan UKM. Khususnya mengenai pendidikan dan sosilasiasi kegiatan ini perlu diadakan dalam rangka pengembangan sosial kapital kelompok perempuan, membangun sistem pemberdayaan ekonomi kaum perempuan, memacu pengembangan usaha produktif, menumbuhkan jiwa kewirakoperasian, dan mekanisme pembentukan kopwan. IV. KESIMPULAN 1). Dengan adanya globalisasi ekonomi yang ditandai dengan “borderless word” dan kebebasan pasar, maka peluang akan informasi lebih terbuka, persaingan lebih fair, dan akses teknologi pasar, modal juga akan mudah terjangkau dan biayanya murah. 2). Kopwan harus memanfaatkan peluang tersebut agar dapat eksis diera globalisasi dengan terlebih dahulu mengetahui tentang potensi dan permasalahan/tantangan yang dihadapinya. 3). Permasalahan yang dihadapi kopwan antara lain : (1). akses terhadap informasi pasar dan teknologi masih relatif rendah; (2). sumber permodalan juga masih rendah; (3). kapasitas SDM perempuan yang relatif rendah dikarenakan masih adanya kendala struktural budaya menyebabkan perempuan dibatasi gerakannya dalam berorganisasi dan menjadi lambatnya akses informasi dan teknologi; (4). belum dikenalnya keberadaan kopwan dikalangan masyarakat. Permasalahan tersebut dapat menyebabkan kinerja organisasi dan bisnis kopwan menjadi cukup rendah, yang berimplikasi terhadap kemampuan
9
kopwan dalam pengembangan kapabilitas usahanya agar mampu bertahan di era globalisasi. 4). Sebagian besar kopwan yaitu sebanyak 65% dari jumlah kopwan di Indonesia adalah merupakan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang keberadaannya cukup signifikan manfaatnya bagi anggota demikian pula terhadap dukungan penghasilan bagi lembaga koperasinya. Agar eksis dalam era globalisasi perlu pembenahan/perbaikan terhadap kinerja koperasi sehingga menjadi mandiri dan otonom yang berkemampuan sendiri mengelola usaha simpan pinjam sebagaimana layaknya badan/Lembaga Keuangan Mikro lainnya dan perlu dipertimbangkan perlunya kebijakan adanya suatu badan/lembaga/tenaga fungsional KSP/USP. 5). Solusi menggerakkan denyut nadi kopwan menghadapi era globalisasi adalah melalui pemberdayaan kopwan oleh kaum perempuan sendiri secara profesional yang otonom dan mandiri dalam arti berkemampuan mengelola usaha sebagaimana layaknya badan usaha lain dan mampu mengoptimalkan potensi ekonominya serta memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan seluruh stakeholders dengan tetap mendapat dukungan pemerintah dalam rangka pengendalian perilaku ekonomi. Dengan adanya peluang meningkatnya jumlah kelompok perempuan yang memiliki usaha produktif dipertimbangkan ditumbuhkan menjadi kopwan baru yang otonom dan mandiri. Dalam rangka memotivasinya, diperlukan pendidikan dan sosialisasi untuk antara lain pengembangan sosial kapital kelompok perempuan, membangun sistem pemberdayaan ekonomi kaum perempuan, memacu pengembangan usaha produktif, menumbuhkan jiwa kewirakoperasian serta mekanisme pendirian kopwan dan konsekuensinya. DAFTAR PUSTAKA Anonim, (2006). Perkembangan Koperasi, Laporan Tahunan Dinas Koperasi dan UKM Propinsi NTB dan Sumsel. B.S. Kusmuljono, (2007). Peran Keuangan Mikro dalam Mendukung Produktivitas Ekonomi Perempuan, makalah disampaikan pada Rakor Pelaksanaan Kebijakan Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan di Jakarta Tanggal 28 Maret 2007. Kementerian Negara Koperasi dan UKM (2006), Laporan Akhir Pendataan Koperasi Wanita yang Responsif Gender. Jakarta Kementerian Negara Koperasi dan UKM, (2007). Pembentukan Koperasi dan Kelompok Usaha Masyarakat, Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasi Focal Point PUG Bidang KUKM Seluruh Indonesia di Jakarta Tanggal 7 Juni 2007. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, (2006). Kebijakan Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan. Jakarta Mohammad Iqbal, (2004). Era Baru Koperasi Indonesia, Penerbit Pusat Pengkajian Koperasi Madani Jakarta.
10
Nani Zakaria, (2006). Melalui Usaha Mikro dan Kecil, makalah disampaikan pada Diskusi Aspek Strategis di Jakarta Tanggal 20 Nopember 2006. Robby Tulus, (2004). Transnational Cooperatives, makalah disampaikan pada Seminar Koperasi dalam Era Globalisasi di Jakarta Tanggal 18 Desember 2004. Untung Tri Basuki, (2005). Akte Notaris Koperasi Jangan Jadi Beban Masyarakat, Artikel Majalah Gema No. 01/Edisi Khusus/tahun XVI/2005. Wagiono Ismangil, (2004). Strategic Alliancis, makalah disampaikan pada Seminar Koperasi dalam Era Globalisasi di Jakarta Tanggal 18 Desember 2007.
11