Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang
:ُ ﺗﻌﺎﱃ ﻗﺎل اﷲ َﻫﻞ اﻟﺒﯿﺖ ِ ِﺐ ﻋﻨﻜﻢ اﻟﺮﺟﺲ أ ْﻫ ِﯿﺬ ُ ﻟ }إﳕﺎ ﯾﺮﯾﺪ اﷲ {ّﺮﻛﻢ ﺗﻄﻬﯿﺮا و ﯾﻄﻬ ″Sesungguhnya Allah hanya menghendaki untuk menghilangkan kotoran dari kalian, Ahlul Bait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya ″ (Al-Ahzab: 33) Terdapat sekian banyak hadis Nabi Saw dari kedua mazhab; Ahli Sunnah dan Syi'ah, yang menerangkan turunnya ayat di atas khusus mengenai lima orang yang dikenal sebagai Ashhâb al-Kisâ`, dan istilah Ahlul Bayt hanya berlaku pada mereka, yaitu Nabi Muhammad Saw, Imam Ali, Siti Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husain as. Silakan merujuk Musnad Ahmad bin Hanbal (241 H.): 1/311, 4/107, 6/292 & 304; Shohîh Muslim (261 H.): 7/130; Sunan Al-Turmudzî (279 H.): 5/361; Al-Dzurriyyah Al-Thôhiroh: AlDaulabi (310 H.): 108; Al-Sunan Al-Kubrô: Al-Nasa′i (303 H.): 5/108 & 113; Al-Mustadrok ′alâ Al-Shohîhayn: Al-Hakim Al-Naisyaburi (405 H.): 2/416, 3/133, 146-147; Al-Burhân: Al-Zarkasyi (794 H.): 197; Fath Al-Bârî fî Syarh Shohîh Al-Bukhôrî: Ibnu Hajar ′Asqolani (852 H.): 7/104; Ushûl AlKâfî: Al-Kulaini (328 H.): 1/287; Al-Imâmah wa Al-Tabshiroh: Ibnu Babaweih (329 H.): 47 hadis 29; Da ′âim Al-Islâm: Al-Maghribi (363 H.): 35 & 37; Al-Khishôl: Syeikh Shaduq (381 H.): 403 & 550; Al-Amâlî: AlThusi (460 H.): hadis 438, 482 & 783. Referensi lain yang dapat dirujuk adalah kitab-kitab tafsir (di bawah tafsiran ayat di atas) seperti: Jâmi′ AlBayân: Al-Thabari (310 H.); Ahkâm Al-Qur ′ân: Al-Jashshash (370 H.); Asbâb Al-Nuzûl: Al-Wahidi (468 H.); Zâd Al-Masîr: Ibnu Jauzi (597 H.); Al-Jâmi′ li Ahkâm Al-Qur ′ân: Al-Qurthubi (671 H.); Tafsîr Ibn Katsîr (774 H.); Tafsîr Al-Tsa ′âlibî (825 H.); Al-Durr Al-Mantsûr: Al-Suyuthi (911 H.); Fath Al-Qodîr: Al-Syaukani (1250 H.); Tafsîr Al-′Ayâsyî (320 H.); Tafsîr Al-Qummî (329 H.); Tafsîr Furôt Al-Kûfî (352 H.) di bawah tafsiran ayat Ulul Amr; Majma ′ Al-Bayân: Al-Thabarsi (560 H.) dan sekian sumber lainnya.
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
:| ِ ُ اﷲ َ رﺳﻮل َﺎل ﻗ :َﯿﻦ َﻠ ﱠﻘ ُﻢ اﻟﺜ ِﯿﻜ ٌ ﻓ َﺎرك ﱢﻲ ﺗ ِإﻧــ ،ِﻲ َ ﺑﯿﺘ َﻫﻞ ِﻲ ا ْﺮﺗ ِﺘ ِ و ﻋ ،َﺎب اﷲ ِﺘ ﻛ ﱡﻮا ِﻠ َﻀ ْ ﺗ َﻦ ُﻢ ﺑﻬﻤﺎ ﻟ ْﺘ َﻤﺴﻜ ْ ﺗ ِن ﻣﺎ ا َﺎ ﺣﱴ َ َﺮﻗ ْﺘ ْ ﯾﻔ َﻦ ﱠﻬﻤﺎ ﻟ واﻧ،َﺑﺪا ا ْﺤﻮض َﻲ اﻟ ﯾﺮدا ﻋﻠ Rasulullah Saw bersabda: ″Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang amat berharga; Kitab Allah dan Itrah -Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya, kalian tak akan tersesat selamalamanya. Dan kedua-duanya tidak akan terpisah hingga menjumpaiku di telaga Al-Haudh kelak (Hari Kiamat).″ H.R. Shohîh Muslim: jld. 7, hlm. 122; Sunan AlDârimi: jld. 2, hlm. 432; Musnad Ahmad ibn Hanbal: jld. 3, hlm. 14, 17, 26; jld. 4, hlm. 371; jld. 5, hlm. 182 & 189; Al-Mustadrok ′alâ Al-Shohîhayn: AlHakim, jld. 3, hlm. 109, 147, 533; dan kitab-kitab induk hadis yang lain.
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Oleh: Tim Penyusun
Penerjemah: Muhammad Habibi Amrullah
Lembaga Internasionl Ahlul Bait
وﯾﮋه ﳏﺮم، ﭘﺮﺳﺶﻫﺎ و ﭘﺎﺳﺦﻫﺎي داﻧﺸﺠﻮﯾﻲ:ﻧﺎم ﻛﺘﺎب ﮔﺮوه ﻣﺆﻟﻔﺎن:ﻧﻮﯾﺴﻨﺪه اداره ﻛﻞ ﭘﮋوﻫﺶ ﳎﻤﻊ، اداره ﺗﺮﲨﻪ:ﲥﯿﻪ ﻛﻨﻨﺪه ^ﺟﻬﺎﻧﻲ اﻫﻞ ﺑﯿﺖ ﳏﻤﺪ ﺣﺒﯿﱯ:ﻣﱰﺟﻢ اﻧﺪوﻧﺰي- ﻣﺎﻻﯾﻮ:زﺑﺎن ﺗﺮﲨﻪ
Judul: Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharam Penulis: Tim Penyusun Penerjemah: Muhammad Habibi Penyunting: Abu Muhammad Produser: Unit Penerjemahan, Divisi Kebudayaan, Departemen Penelitian, Lembaga Internasional Ahlul Bait Penerbit: Lembaga Internasional Ahlul Bait Cetakan: Pertama Tahun cetak: 2011 Tiras: 3000 Percetakan: Mujab E-mail:
[email protected] Website: www.ahl-ul-bayt.org ISBN: 978-964-529-672-6 Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved
Daftar Isi Prakata Penerbit—17 Kata Pengantar—19
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as Kronologi peristiwa Asyura—23 Sikap Imam Husain as di Masa Kekhilafahan Mu′awiyah—25 Dialog 1: Mengapa Imam Husain as tidak melawan saat Mu′awiyah menjadi khalifah?—25 Perjanjian antara Imam Hasan as dan Mu′awiyah—25 Posisi Mu′awiyah—27 Siasat Mu′awiyah—28 Kondisi yang Berkembang—30 Menimbang Peluang di Madinah—31 Dialog 2: Mengapa Imam Husain as tidak mengangkat panji kebangkitannya semasih di Madinah?—31 Menuju Mekkah—33 Dialog 3: Kenapa Imam Husain as memulai perjuangannya dengan berhijrah dari Madinah menuju Mekkah?—33 Meninggalkan Mekkah—35 Dialog 4: Mengapa Imam Husain as meninggalkan Mekkah padahal beliau belum selesai melaksanakan ibadah haji?—35 Bahaya yang Dimungkinkan Mengancam Nyawa—36 Menjaga Kesucian Tanah Haram—36 Memilih Kota Kufah—37 Dialog 5: Mengapa Imam Husain as memilih kota Kufah sebagai titik awal perjuangannya?—37 Mendirikan Pemerintahan Islami—38 Mendirikan Pemerintahan Islami—41 Beberapa Sanggahan—45 Apakah langkahnya masuk akal?—46 Tidak Memilih Yaman—49 Dialog 6: Dengan merujuk latar belakang Yaman, mengapa Imam Husain as tidak memilihnya sebagai tujuan?—49 Pengkhianatan Warga Kufah—51 Dialog 7: Kenapa orang-orang Kufah yang sebelumnya bersemangat mendukung Imam Husain as justru kemudian memerangi beliau?—51 Siasat Intimidasi—55 Godaan yang Menggiurkan—56
8 Menyuap—59 Kehausan di Padang Karbala—60 Dialog 8: Bagaimana menjelaskan dahaga yang diderita Imam Husain as di padang Karbala?—60 Meminta Air—63 Dialog 9: Apakah benar Imam Husain as memohon kepada musuh untuk memperoleh air?—63 Makam Kepala Suci Imam Husain as—64 Dialog 10: Dimanakah kepala suci Imam Husain as dimakamkan?—64 Karbala—65 Najaf Al-Asyraf, di Sisi Makam Imam Ali as—66 Kufah—67 Madinah—67 Syam—68 Ruqqah—68 Mesir (Kairo)—68 Para Sahabat Imam Husain as—69 Dialog 11: Apakah tepat di malam Asyura ada sahabat Imam Husain as yang pergi meninggalkannya? Sebenarnya berapa jumlah sahabat beliau saat peristiwa Asyura terjadi?—69 Kesetiaan Sahabat—69 Jumlah Sahabat—71 Para Sahabat Al Husain as—72 Dialog 12: Selain Imam Ali Zainal Abidin as, apakah ada lelaki lain yang hadir bersama Imam Husain as di Karbala lalu tetap …—72 Bani Hasyim—72 Sahabat-sahabat yang Lain—73 Syahar Banu—74 Dialog 13: Apakah Syahar Banu putri Yazgard III adalah ibu Imam Ali Zainal Abidin as? Apakah ia juga hadir dalam …—74 Ibu Imam Ali Zainal Abidin as—75 Ibu Imam Ali Zainal Abidin as tidak Hadir di Hari Asyura—80 Tentang Makam Syahar Banu—81 Taubat Yazid—82 Dialog 14: Apakah setelah peristiwa Karbala, Yazid bertaubat? Sebenarnya apakah taubat seseorang seperti dia dapat diterima?—82
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as Amar Makruf dan Nahi Munkar—91 Dialog 15: Mengenai falsafah perjuangannya, Imam Husain as berkata ″Aku melakukan ini untuk menyerukan kebaikan…—91
9 Amar Makruf dan Kemungkinan Bahaya—92 Dialog 16: Salah satu syarat melakukan amar makruf nahi munkar adalah adanya keamanan dari bahaya yang mengancam …—92 Dialog 17: Salah satu syarat seseorang dapat dikenai taklif adalah kemampuan. …—95 Dialog 18: Salah satu syarat melakukan Amar Makruf adalah adanya kemungkinan usaha tersebut berdampak dan berpengaruh. …—97 Dialog 19: Dengan alasan apa Imam Husain as sama sekali tidak bersedia membaiat Yazid, meskipun dengan alasan…—100 Bahaya Yazid—106 Dialog 20: Mengapa Imam Husain as mengucapkan ″Innâ li-Allâhi wa innâ ilayhi rôji'ûn″? …—106 Menyempurnakan Argumen di Karbala—108 Dialog 21: Apa yang dimaksud dengan menyempurnakan argumen (itmâm al-hujjah)? …—108 Imam Husain as Tahu akan Mati—110 Dialog 22: Apakah Imam Husain as mengetahui bahwa beliau akan mati dibunuh? …—110 Melemparkan Diri ke dalam Kehancuran—112 Dialog 23: Jika tujuan beliau adalah kematian dan ditawannya keluarga beliau, maka akal maupun syariat tidak bisa membenarkannya. …—112 Peran Kaum Wanita—115 Dialog 24: Sementara Imam Husain as tahu akan gugur di padang Karbala, lalu mengapa beliau membawa sanak …—115 Menyampaikan Pesan—118 Menggagalkan Propaganda Bani Umayah—119 Menyingkap Kedok Kebusukan—121
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura Dialog 25: Apakah yang dilakukan Imam Husain as adalah pemberontakan? Pada dasarnya, …—127 Sudut Pandang Demokrasi—127 Hak Memberontak dalam Pandangan Agama—129 Tahapan-tahapan Pemberontakan—132 Melawan Pejabat—136 Dialog 26: Apakah peristiwa Asyura bisa dijadikan sebagai dalil kebenaran Sekularisme?—137 Falsafah dan Tujuan Pemerintahan—138 Keabsahan Sebuah Pemerintahan—139 Syarat-syarat Penguasa—141
10 Tidak Membunuh Ibnu Ziyad—142 Dialog 27: Muslim bin Aqil pada suatu hari mendapatkan kesempatan berharga untuk membunuh Ibnu Ziyad. …—142 Teror: tidak Dibenarkan—143 Dialog 28: Berdasarkan apa yang kita lihat dari sikap Muslim, dalam kehidupan sosial sehari-hari…—143 Teror dalam Perspektif Barat—144 Teror dalam Pandangan Islam—144 Asyura dan Revolusi Islam Iran—148 Dialog 29: Apa alasan kita yang menyatakan bahwa Revolusi Islam Iran terinspirasi oleh peristiwa Asyura? …—148 Pengaruh Pesan Asyura dalam Meletusnya Revolusi—149 Pengaruh Asyura dalam Kemenangan Revolusi—151 Pengaruh Asyura dalam Kelanggengan Revolusi—152
Bagian Keempat: Memperingati Asyura Falsafah Memperingati Asyura—157 Dialog 30: Apa masuk akal jika kita bertanya tentang falsafah di balik peringatan hari Asyura?—157 Dialog 31: Apa gunanya kita mengadakan acara-acara peringatan hari Asyura?—157 Menguatkan Kecintaan kepada Ahlul Bait as—157 Menciptakan Pribadi yang Agung—158 Menciptakan Masyarakat yang Berjiwa Mulia—158 Menyampaikan Nilai-nilai Luhur Kesyiahan kepada Generasi Muda—159 Dialog 32: Apakah hikmahnya kita bersedih untuk Imam Husain as?—159 Mengenang Asyura dalam Riwayat—160 Dialog 33: Apakah ada riwayat yang menganjurkan diadakannya acara-acara dan upacara peringatan hari Asyura?—160 Awal Mula Diadakannya Peringatan Asyura—161 Dialog 34: Apakah peringatan kesyahidan Imam Husain as seperti ini juga pernah diadakan di zaman para imam maksum?—161 Dialog 35: Apakah pada masa pemerintahan Shafawi juga pernah diadakan acara-acara peringatan syahadah Imam Husain as?—164 Dialog 36: Apa dasarnya kita memperingati hari Asyura dengan cara memukuli badan dengan rantai-rantai tajam, memukul dada….—166 Dialog 37: Apakah cara-cara kita mengadakan acara peringatan hari Asyura yang tidak pernah dilakukan sebelumnya di zaman nabi bukan merupakan bid′ah?—167
11 Dialog 38: Mengapa cara kita mengadakan acara peringatan meninggalnya Imam-Imam yang lain berbeda dengan cara kita memperingati hari wafatnya Imam Husain as?—168 Dialog 39: Apa arti mengenakan pakaian hitam dalam memperingati hari Asyura?—169 Dialog 40: Apakah memakai pakaian-pakaian hitam juga merupakan hal yang biasa bagi bangsa-bangsa yang lain? …—171 Kebiasaan mengenakan pakaian berwarna hitam—171 Berpakaian hitam dalam kebiasaan Ahlul Bait as—173 Pakaian hitam dan Bani Abbas—174 Cara Memperingati Asyura—175 Dialog 41: Apa batasan-batasan dalam mengadakan acara peringatan Asyura?—175 Dialog 42: Bukankah Imam Husain as melambangkan keberanian dan kegagahan?...—176 Dialog 43: Mengapa untuk memperingati hari Asyura kita tidak cukup mengadakan majelis ilmiah saja?—177 Waktu Mengadakan Peringatan Asyura—181 Dialog 44: Mengapa kita juga mengadakan acara-acara peringatan Asyura pada hari-hari jauh sebelum Asyura?—181 Pahala Mengadakan Peringatan Asyura—181 Dialog 45: Banyak riwayat yang menerangkan bahwa pahala mengadakan majelis-majelis aza′ besar sekali…—181 Pentingnya Ziarah Asyura—184 Dialog 46: Mengapa ziarah Asyura menjadi salah satu doa ziarah yang sangat penting? Apa faedah dan manfaat doa ziarah ini?—184 Menguatkan Cinta dan Mewujudkan Keterikatan dengan Imam Maksum—185 Mewujudkan Jiwa Penentangan terhadap Kezaliman—185 Menjauhi Penyelewengan—186 Menjadikan maksumin sebagai tauladan—186 Mewujudkan kecintaan kepada kesyahidan—186 Menghidupkan ajaran dan mewujudkan tujuan-tujuan Ahlul Bait as—186 Dialog 47: Mengapa harus melaknat musuh Imam Husain as? …—187 Tangisan dan Ratapan—191 Dialog 48: Seperti apakah arti tangisan dalam budaya kesyiahan sehingga begitu ditekankan?—191 Jenis-Jenis Tangisan—191 Tangisan yang Bernilai dalam Pandangan Al-Quran—195 Tangisan yang Bernilai dalam Pandangan Riwayat—197
12 Dialog 49: Ada beberapa riwayat yang membicarakan masalah tangisan karena Imam Husain as. Apa falsafah menangisi beliau?—198 Dialog 50: Apa yang harus aku lakukan supaya aku bisa menangis dan hatiku menjadi luluh saat meratapi Imam Husain as?—200 Dialog 51: Apakah orang yang kebiasaannya bermaksiat akan menjadi orang yang suci tanpa dosa hanya dengan menangisi Imam Husain as?—203 Dialog 52: Mengapa dalam mazhab Syiah, meratap, bersedih dan menangis selalu menjadi prioritas?—205 Dialog 53: Apa hubungan agama dengan kegembiraan dan kesenangan? Apakah agama mendukung kegembiraan ataukan justru menentangnya?—206 Islam dan Kebutuhan Asasi Manusia—206 Kegembiraan adalah Kebutuhan—207 Faktor-Faktor Kegembiraan—207 Islam dan Kesenangan—208 Batasan Kesenangan—210 Beberapa Poin—212 Dialog 54: Jika kita meyakini bahwa Imam Husain as telah mencapai derajat fana-yang merupakan derajat tertinggi …—214 Dialog 55: Apa arti ungkapan ″Imam Husain as telah dizalimi″?—215 Sebagian Muslimin dan Peringatan Asyura—216 Dialog 56: Mengapa orang-orang Ahli Sunah membenci peringatan Asyura dan menganggap itu sebagai tanda kebodohan kita?—216 Dialog 57: Mengapa sebagian Muslimin menentang penyelenggaraan acara-acara berkabung berdasarkan riwayat yang berbunyi…—217
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan Tsârullah—221 Dialog 58: Apa arti tsârullah? Apakah penyebutan Imam Husain as dengan nama ini berdasarkan ayat dan riwayat?—221 Peran Tangisan dalam Sair Suluk—223 Dialog 59: Apa hubungan antara menangisi Imam Husain as dengan usaha kita dalam melakukan sair suluk (perjalanan ruhani) menuju Tuhan?—223 Di Balik Sedih dan Tangisan—226 Antara Cinta dan Akal—229 Dialog 60: Segala sikap Imam Husain as dalam peristiwa Asyura berdasarkan kecintaan, dan bukan bersifat rasional…—229 Keindahan Asyura—231
13 Dialog 61: Bagaimana kita bisa memahami keindahan Asyura dan memahami makna ucapan Sayidah Zainab, ″Tidak ada yang kulihat selain keindahan″?—231 1. Simbol Kesempurnaan Insani—232 2. Keindahan Ridha akan Qadha—232 3. Melukiskan Kebenaran dan Kebatilan—233 4. Indahnya Kemenangan Hakiki—233 5. Berjalan di Jalur Masyiyyah Tuhan—234 6. Malam-Malam Penuh Keindahan—234 Nilai-Nilai Mistis dan Moral Asyura—236 Dialog 62: Apa saja nilai-nilai irfani dan moral yang terkandung dalam peristiwa Asyura?—236 1. Pancaran Keagungan dan Makrifat Imam Husain as—237 2. Mengerjakan Tugas Ilahi dan Mengokohkan Nilai-Nilai Insani—237 Kasih Sayang Imam Husain as—238 Dialog 63: Meskipun Imam Husain as telah melihat sendiri betapa buruk musuh-musuhnya, akan tetapi mengapa beliau tak henti…—238 Shalat di Siang Hari Asyura—240 Dialog 64: Apakah ada hal yang sangat mendesak Imam Husain as untuk melakukan shalat Zuhur dan Ashar di siang hari Asyura …—240 Menelusuri Akar Kezaliman di Karbala—242 Dialog 65: Bagaimana Imam Husain as menelusuri akar-akar kezaliman di Karbala? Penjelasan dan ucapan beliau tentang…—242 Kriteria Sahabat Imam Husain as—244 Dialog 66: Bagaimana dengan martabat para sahabat Imam Husain as? Apakah mereka memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah…—244 Hurr bin Yazid Riyahi—245 Zuhair bin Qain—248 Ubaidillah bin Hurr Ju′fi—250 Jaun, Budak Kulit Hitam—252 Seorang Budak Turki—253 Asyura dan Sastra Persia—253 Dialog 67: Bagaimana pengaruh pribadi Imam Husain as dan perjuangan Asyura terhadap dunia kesusastraan Persia?—253
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan Tangisan dan Pengaruhnya—259 Dialog 68: Tidakkah menangisi Imam Husain as merupakan anjuran untuk mewujudkan keadaan sedih yang memberikan efek negatif bagi jiwa?...—259
14 Tangisan yang Mengalahkan Segalanya—264 Dialog 69: Sebagaimana yang kita ketahui, tawa dan gembira adalah obat bagi penyakit apa saja.,,—264 Sebab Timbulnya Pertanyaan—265 Kesedihan dan Kegembiraan dalam Islam—266 Kesedihan Menurut Ilmu Psikologi—271 Berpakaian Hitam: Makruh atau Mustahab?—276 Dialog 70: Mengapa kita harus memakai pakaian berwarna hitam? Bukannya itu bertentangan dengan apa yang kita pelajari dalam Psikologi …—276 Agar Bisa Menangis—278 Dialog 71: Apa yang paling tidak harus aku lakukan agar dapat menangis ketika menghadiri acara peringatan hari Asyura?—278 Memperingati Asyura: Masuk Akal ataukah Emosional?—280 Dialog 72: Sebagaimana yang kita sadari, perilaku kita seharusnya berdasarkan makrifat dan pengetahuan…—280 Faktor Pembentukan Perilaku—280 Motivasi Memperingati Asyura—282
Bagian Ketujuh: Peringatan Asyura dan Hukum Fiqih Hukum Membaca Kronologi Peristiwa Karbala—287 Dialog 73: Di majelis dan tempat-tempat peringatan Asyura sering diadakan pembacaan kronologi peristiwa Karbala…—287 Hukum Membawa Bendera—287 Dialog 74: Apa hukumnya menggunakan bendera dalam acara peringatan Asyura?—287 Penggunaan Alat musik—288 Dialog 75: Apa hukumnya menggunakan alat-alat musik untuk beraza′?—288 Dialog 76: Apakah kita tidak boleh meniup terompet dan seruling dalam peringatan Asyura?—288 Dialog 77: Apa hukumnya menggunakan genderang dalam peringatan Asyura atau acara-acara lainnya?—289 Melukai Diri—289 Dialog 78: Apakah boleh melukai diri dalam Memperingati Asyura?—289 Dialog 79: Bagaimana jika dalam memperingati Asyura, ada yang melukai badannya, karena sebelumnya pernah ber-nadzar akan melakukan demikian?—290 Memukulkan Rantai ke Badan—290
15 Dialog 80: Sebagaimana yang sering dilakukan banyak dari saudarasaudara kita, apa sebenarnya hukum memukulkan rantai ke badan sebagai ungkapan ratapan di hari Asyura?—290 Dialog 81: Bagaimana hukum menggunakan rantai-rantai yang ada siletnya untuk melakukan ma′tam (berkabung)?—290 Melepas Pakaian dalam Ber-ma′tam—291 Dialog 82: Apa hukumnya tidak mengenakan pakaian saat melakukan ma′tam?—291 Dialog 83: Apakah dalam acara peringatan Asyura, kaum lelaki boleh melepas pakaian, meskipun ada peserta perempuan di dalamnya?—291 Berloncat-loncat sambil Memukuli Dada—291 Dialog 84: Apa hukumnya berloncat-loncat sambil memukuli dada dalam upacara peringatan Asyura?—291 Pembacaan Kronologi Karbala oleh Perempuan—292 Dialog 85: Apa hukumnya wanita yang membacakan kronologi peristiwa Karbala saat mengadakan acara khusus untuk merek…—292 Shalat dan Ma′tam—292 Dialog 86: Jika sekiranya mengikuti acara kemazhaban seperti ini, dan karena acara itu ia melewatkan kewajibannya …—292 Dialog 87: Mana yang lebih penting: shalat berjamaah di awal waktu ataukah meneruskan acara peringatan Asyura …—292 Dialog 88: Suara yang terdengar dari masjid dan husainiah (majelis taklim) terdengar kencang sekali sehingga mengganggu …—293 Nadzar dalam Asyura—293 Dialog 89: Orang yang ber-nadzar untuk membagikan halim (sejenis bubur daging di Iran) di hari Asyura, lalu tidak bisa melakukannya…—293 Berias di Hari Asyura—293 Dialog 90: Apa hukumnya merias rambut dan berdandan bagi wanita di hari Asyura?—293 Pernikahan di Bulan Muharram—294 Dialog 91: Apakah kita boleh mengadakan acara pernikahan di bulan Muharram?—294
Daftar Pustaka—295
Prakata Penerbit Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang Pusaka dan peninggalan berharga Ahlul Bait as yang sampai sekarang masih tersimpan rapi dalam khazanah mereka merupakan universitas lengkap yang mengajarkan berbagai ilmu Islam. Universitas ini telah mampu membina jiwa-jiwa yang berpotensi untuk menguasai pengetahuan dari sumber tersebut. Mereka mempersembahkan kepada umat Islam ulama-ulama besar yang membawa risalah Ahlul Bait as, ulama-ulama yang mampu menjawab secara ilmiah segala kritik, keraguan dan persoalan yang dikemukakan oleh berbagai mazhab dan aliran pemikiran, baik dari dalam maupun luar Islam. Berangkat dari tugas-tugas yang diemban, Lembaga Internasional Ahlul Bait (Majma‘ Jahani Ahlul Bait) berusaha mempertahankan kemuliaan risalah dan hakikatnya dari serangan tokoh-tokoh firqah (kelompok), mazhab, dan berbagai aliran yang memusuhi Islam. Dalam hal ini, kami berusaha mengikuti jejak Ahlul Bait as dan penerus mereka yang sepanjang masa senantiasa tegar dalam menghadapi tantangan dan tetap kokoh di garis depan perlawanan. Khazanah intelektual yang terdapat dalam karya-karya ulama Ahlul Bait as tidak ada bandingannya, karena buku-buku tersebut berpijak pada landasan ilmiah dan didukung oleh logika dan argumentasi yang kokoh, serta jauh dari pengaruh hawa nafsu dan fanatik buta. Karya-karya ilmiah yang dapat diterima oleh akal dan fitrah yang sehat tersebut juga mereka peruntukkan kepada para ulama dan pemikir. Dengan berbekal sekian pengalaman yang melimpah, Lembaga Internasional Ahlul Bait berupaya mengetengahkan metode baru kepada para pencari kebenaran melalui berbagai tulisan dan karya ilmiah yang disusun oleh para penulis kontemporer yang mengikuti dan mengamalkan ajaran mulia Ahlul Bait as. Di samping itu, lembaga ini berupaya meneliti dan menyebarkan berbagai tulisan bermanfaat dari hasil karya ulama Syi‘ah terdahulu. Tujuannya adalah agar kekayaan ilmiah ini menjadi sumber mata air bagi setiap pencari kebenaran di seluruh penjuru dunia. Perlu dicatat bahwa era
18
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
kemajuan intelektual telah mencapai kematangannya dan relasi antarindividu semakin terjalin demikian cepatnya sehingga pintu hati terbuka untuk menerima kebenaran ajaran Ahlul Bait as. Kami mengharap kepada para pembaca yang mulia kiranya sudi menyampaikan berbagai pandangan berharga dan kritik konstruktifnya demi kemajuan Lembaga ini di masa mendatang. Kami juga mengajak kepada berbagai lembaga ilmiah, ulama, penulis, dan penerjemah untuk bekerja sama dengan kami dalam upaya menyebarluaskan ajaran dan budaya Islam yang murni. Semoga Allah Swt berkenan menerima usaha sederhana ini dan melimpahkan taufik-Nya serta senantiasa menjaga Khalifah-Nya (Imam Al-Mahdi as) di muka bumi ini. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih banyak dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Tim Penyusun yang telah berupaya menulis buku ini. Demikian juga kami sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Sdr. Muhammad Habibi Amrullah yang telah bekerja keras menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Tak lupa kami sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan buku ini. Divisi Kebudayaan Lembaga Internasional Ahlul Bait
Kata Pengantar Kritis, kuriositas, dan suka bertanya adalah karakter manusia yang membedakan dirinya dari makhluk lain. Ini demikian mengingat kedudukannya sebagai makhluk agung yang di hadapannya malaikat dan jin diperintahkan untuk bersujud. Yakni, karena iman manusia, mereka bersedia sujud di hadapannya; karenanya pula iblis dan setan berteriak keras menolaknya. Betapa indah perkataan sang mentari Kufah, ″Bertanya dengan baik adalah tanda orang berilmu, dan tanda orang berilmu adalah bertanya dengan baik.″ Dari ilmu bertanya dan menjawab tumbuh Laksana bunga dan dedurian Dari air dan tanah keduanya tumbuh Ya, orang yang bertanya dengan baik akan memperoleh ilmu sebagai hasilnya. Demikian masyarakat yang sehat, berperadaban, dan berbudaya dapat dibangun dengan satu fondasi yang kokoh, yaitu ″suka bertanya″ dan sikap kritis yang didasari rasa serbaingin tahu akan kebenaran. Salah satu kebanggaan kita adalah, dari satu sisi, mempunyai banyak pemuda dan pemudi berjiwa bersih, suka bertanya, cinta kebenaran dan kesempurnaan, dan dari sisi lain, kita memiliki ajaran mulia yang mampu menghilangkan dahaga mereka; ajaran yang dengan kekayaan khazanahnya kita dapat memuaskan mereka. Puji syukur kepada Allah Swt atas kesempatan yang terbuka bagi Lembaga Kebudayaan Nahad hingga dapat memberikan kontribusi terbaiknya guna menampung berbagai pertanyaan kawula muda sekaligus menyuguhkan jawaban dan pencerahan. Tentu saja, budaya tanya jawab dan proses dialogis ini akan memperkaya pengetahuan kita semua. Adalah kebanggaan kami untuk menjadi pelayan kalangan pemuda yang tanggap dan kritis. Lembaga ini memiliki delapan departemen ilmiah yang masingmasing menangani satu bidang khusus: 1. Departemen Tafsir, Ulumul Quran dan Hadis. 2. Departemen Fiqih dan Hukum Syar′i.
20
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram 3. Departemen Filsafat dan Teologi. 4. Departemen Etika dan Irfan. 5. Departemen Psikologi dan Pendidikan. 6. Departemen Ilmu Politik. 7. Departemen Sosial dan Budaya. 8. Departemen Sejarah.
Kali ini, buku yang ada di tangan Anda adalah koleksium tanya jawab Muharram yang telah kami sajikan dengan ringkas. Kami berkeinginan—semoga Tuhan memberikan taufik kepada kami— untuk meneruskan langkah ini hingga dapat senantiasa mempersembahkannya kepada sidang pembaca. Dalam pada itu, kami juga sangat mengharapkan saran dan input dari pembaca agar dapat memberikan yang lebih dan lebih baik lagi. Akhirnya, kami ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada Sayid Ibrahim Husaini, Sayid Mujtaba Husaini, Ali Zinati, Ni′matullah Shafari Forushani, Mohammad Riza Kashefi, Ali Reza Mohammadi, Kazem Moshtafai, dan rekan-rekan yang lain, khususnya Hujatul Islam Hamid Reza Shakirin dan Shaleh Qanadi, yang telah berupaya keras mempersiapkan tuntas karya ini. Semoga Allah selalu memberikan rahmat-Nya kepada mereka dan taufik untuk berkhidmat kepada Ahlul Bait as demi terbangunnya budaya Islami yang cerah dan megah. Wa mâ tawfîqî illâ bi-Allâh. Sayid Muhammad Reza Faqihi Direktur Lembaga Kebudayaan Nahad
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
Nikma tulla h Sha fa r i F a r usha ni
Kronologi peristiwa Asyura1 Peristiwa Walid, gubernur Madinah, meminta baiat kepada Imam Husain as Walid kembali bertemu dengan Imam Husain as Imam Husain as keluar dari Madinah
Tahun Jum′at, 27 Rajab 60 H. Sabtu, 28 Rajab 60 H Malam Minggu, 28 Rajab, 60 H
Imam Husain as tiba di Mekkah
Malam Jum′at, 3 Sya′ban, 60 H
Tinggal di Mekkah
Bulan Sya′ban, Ramadhan, Syawal, Dzul Qa′dah s/d 8 Dzul Hijjah (empat bulan lima hari).
Pertama kalinya surat warga Kufah sampai ke tangan Imam Husain as Muslim bin Aqil keluar dari Mekkah Muslim bin Aqil memasuki Kufah
Rabu, 10 Ramadhan, 60 H Senin, 15 Ramadhan, 60 H Selasa, 5 Syawal, 60 H
Muslim bin Aqil tewas dibunuh
Selasa, 8 Dzul Hijjah, 60 H
Imam Husain as meninggalkan Mekkah
Selasa, 8 Dzul Hijjah, 60 H
Imam Husain tiba di Karbala
Jum′at, 3 Muharram, 61 H
Umar bin Sa′ad tiba di Karbala
Jum′at, 3 Muharram, 61 H
Umar bin Sa′ad mempersiapkan pasukannya dan dialognya dengan Imam Husain as
3 s/d 6 Muharram, 61 H
1 Kronologi ini singkat ini sesuai artikel yang berjudul Al-Bu′d Al-Zamânî fî Al-Tsawroh Al-Husayniyyah, karya Ahmad Al Qadhi dalam jurnal Risâlat Al-Husain, no. 2.
24
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Sahabat-sahabat Imam Husain as dicegah dari mengambil air Sahabat-sahabat Imam Husain as diserang oleh musuh untuk pertama kalinya
Selasa, 7 Muharram 61 H Kamis, 5 Muharram 61 H
Kejadian Asyura
Jum′at, 10 Muharram 61 H
Para tawanan digiring meninggalkan Karbala
Selasa siang, 11 Muharram 61 H
Sikap Imam Husain as di Masa Kekhilafahan Mu′awiyah Dialog 1: Mengapa Imam Husain as tidak melawan saat Mu′awiyah menjadi khalifah? Selama 11 tahun menjadi imam umat dan pemimpin agama, Imam Husain as sering melakukan dialog dengan Mu′awiyah. Ini dapat disaksikan dalam surat-surat beliau yang ditujukan kepada Mu′awiyah. Dalam surat-surat itu, tidak jarang beliau menyinggung kejahatan yang dilakukan Mu′awiyah bahkan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Syi′ah seperti: Hajar bin ′Uday dan ′Amr bin Hamq. Dalam surat-surat itu juga Imam Husain as menyebut kekuasaan Mu′awiyah sebagai petaka besar bagi Muslimin.1 Demikianlah beliau menunjukkan protes dan penentangannya terhadap rezim yang berkuasa. Beliau juga menyebut jihad melawan Mu′awiyah sebagai jihad yang paling mulia, sedemikian hingga orang meninggalkannya harus beristighfar.2 Adapun mengapa Imam Husain as tidak melancarkan perlawanan terhadap Mu′awiyah, jawabannya dapat ditemukan dengan melongok kembali apa yang sering beliau sampaikan dalam ucapan-ucapannya. Selebihnya, kita dapat menemukan jawaban tersebut dengan cara menelaah kembali data dan bukti sejarah yang berkaitan. Perjanjian antara Imam Hasan as dan Mu′awiyah Dalam sepucuk surat yang ditulis untuk Mu′awiyah, Imam Husain as menyatakan bahwa beliau benar-benar menghormati butir-butir perjanjian yang telah disepakati bersama. Masih dalam surat yang
1- Al-Imâmah wa Al-Siyâsah, jld. 1, hlm. 180: Imam Husain as berkata, ″Aku tidak menyaksikan kejahatan yang lebih besar dari pemerintahanmu terhadap Muslimin". 2- Ibid. Imam Husain as berkata, ″Demi Tuhan, aku tidak mengenal jihad yang lebih utama daripada jihad melawanmu. Jika aku melakukannya, sesungguhnya itu untuk mendekatkan diri kepada Allah; dan jika aku tidak melakukannya, maka aku harus beristighfar.″ Ucapan beliau ini juga dicatat Allamah Majlisi dalam Bihâr AlAnwâr, jld. 44, hlm. 213 dengan sedikit perbedaan redaksi.
26
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
sama, beliau juga membantah tuduhan bahwa dirinya telah melanggar perjanjian itu.1 Namun, di sini muncul pertanyaan lain: bukankah sejak awal memasuki Kufah, Mu′awiyah sudah menginjak-injak perjanjian itu? Bukankah sejak awal dia tidak menghormatinya? Lalu, mengapa Imam Husain as msaih saja konsisten terhadap perjanjian yang praktisnya sudah dilanggar sendiri oleh Mu′awiyah? Rangkaian pertanyaan di atas dapat diupayakan penuntasannya dari beberapa sudut pandang: Pertama, jika diperhatikan pernyataan Mu′awiyah yang tercatat dalam surat-suratnya, kita tidak menemukan bukti yang tegas bahwa dia telah melanggar perjanjiannya. Dari perkataannya, ″Aku telah menjanjikan beberapa hal kepada Hasan bin Ali [bin Abi Thalib]…″, kita dapat memahami bahwa boleh jadi, hal-hal yang dijanjikan Mu′awiyah kepada Imam Husain tersebut di luar lingkup dan konteks perjanjian yang sedang kita bicarakan. Oleh karena itu, kita tidak bisa secara langsung menilai Mu′awiyah telah melanggar perjanjiannya dengan Imam Hasan as atau, paling tidak, dia mempunyai alasan agar tidak ditengarai sebagai pihak yang telah melanggar perjanjian. Kedua, harus kita bedakan antara pribadi Mu′awiyah dan pribadi Imam Husain as dalam dunia perpolitikan. Perbedaan dalam dunia ini sejatinya juga sudah glamblang antara dirinya dan Imam Ali as Mu′awiyah adalah tipe orang yang menghalalkan segala carasekalipun kotor-untuk mencapai maksud dan tujuannya. Fakta ini dapat kita rujuk buktinya ketika dia berselisih dengan Imam Ali as, seperti alasan penuntutan darah Utsman, merayu Thalhah dan Zubair, menancapkan Al-Quran di ujung tombak sdalam Perang Shiffin, menyerang kota-kota yang berada di bawah kedaulatan Imam Ali as sebagai penguasa yang sah, dan masih banyak lagi. Ini jelas tidak bisa dibanding-samakan dengan pribadi Imam Husain as: seorang lelaki yang enggan menempuh jalur-jalur kotor dan curang untuk meraih tujuannya. Demikian Imam Ali as juga bukan tipe orang yang sudi menghalalkan segala cara untuk mencapai kemenangan. Ia berkata, 1- Mawsû′ah Kalimât Al-Imâm Husain as, hlm. 239, beliau berkata, ″Aku berlindung kepada Allah! Aku tidak sekali-kali melanggar perjanjian yang telah disepakati oleh kakakku, Hasan, denganmu.″
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
27
″Aku tidak akan pernah menggunakan kezaliman untuk meraih kemenanganku.″1 Oleh karena itu, pantas saja bila Imam Husain as tidak bersedia melanggar perjanjian kakaknya, Imam Hasan as, dengan Mu′awiyah meskipun nama terakhir ini telah melanggarnya. Ketiga, kita harus benar-benar memahami konteks sejarah masa itu; mari kita pikirkan apa yang akan terjadi jika Imam Husain as tidak memandang penting perjanjian tersebut. Pada waktu itu, Mu′awiyah dikenal sebagai seorang penguasa negeri Islam. Rezimnya luas sekali; membentang dari negeri Syam, Iraq, Hijaz, sampai Yaman. Di setiap sudut negeri yang dia kuasai, terdapat kelompok-kelompok yang bekerja untuk kepentingannya, melakukan segala jurus propaganda yang memberikan keuntungan politis kepada Mu′awiyah. Ketika berselisih dengan Imam Ali as saja, Mu′awiyah mampu menyembunyikan kesalahannya dalam upaya memberikan perlindungan kepada Utsman dan akhirnya khalifah ketiga itu tewas dibunuh. Bahkan dia mengklaim di hadapan publik banyak bahwa dirinya adalah penuntut darah Utsman. Apalagi di zaman Imam Husain as, masa yang tidak lagi menyisakan kekuatan berarti yang dapat menandingi Mu′awiyah. Kalau saja Imam Husain as tidak peduli terhadap perjanjian yang telah disepakati oleh kakaknya dengan Mu′awiyah, sudah barang tentu ia akan dituduh sebagai pihak pelanggar dan pengkhianat. Jika ini terjadi, maka beliau suak atau tidak akan berhadapan dengan opini masyarakat luas. Akibatnya, usaha Imam Husain as dan para sahabat beliau dalam menyingkap kedok Mu′awiyah menjadi gagal dan sia-sia. Posisi Mu′awiyah Citra Mu′awiyah begitu harum dalam benak umat Islam masa itu, terutama masyarakat Syam; sehingga sukar untuk mempertahankan kemungkinan bangkitnya sebuah gerakan perlawanan terhadap rezimnya. Lebih dari itu, orang-orang mengenal Mu′awiyah sebagai sahabat mulia Nabi, pencatat wahyu, dan saudara dari salah satu istri Rasulullah Saw. Di mata mereka, Mu′awiyah berjasa besar sebagai
1- Nahj Al-Balâghoh, pidato 126.
28
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
orang yang memiliki peran utama dalam penyiaran Islam di wilayah Suriah dan Damaskus. Bagitu juga dari sisi pengalaman di dunia politik serta usia yang panjang, Mu′awiyah jauh lebih tua dari Imam Hasan as. Sementara beliau sendiri dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Imam Hasan as. Mencatat bahwa Mu′awiyah menyebut dua hal tadi sebagai bukti kelayakannya menduduki kursi kekhalifahan.1 Dengan demikian, posisi dan kredibilitas Mu′awiyah sangat sulit diganggu gugat. Siasat Mu′awiyah Mu′awiyah selalu memanfaatkan kesempatan apa pun untuk dapat menekan keluarga Bani Hasyim, sampai-sampai berhasil membunuh Imam Hasan as dengan cara meracuni beliau.2 Akan tetapi, gerakgeriknya begitu halus dan tersembunyi; bagaimana dia berlaku keji di ruang tertutup, sementara di ruang publik dia tampil layaknya orang terdepan dalam menyatakan penghormatan terhadap Bani Hasyim, khususnya Imam Husain as. Satu dari sekian siasat Mu'awiyah ialah kerap mengirimkan limpahan hadiah bulanan dan tahunan kepada Imam Hasan as, Imam Husain as, dan Abdullah bin Ja′far. Semua kebaikan lahiriah ini tidak mereka tolak dengan pertimbangan yang sudah jelas, yakni bahwa di samping kewenangan mereka memegang harta Baitul Mal, mereka juga paling tahu bagaimana mengunakan dan mengelolanya.3 Inilah siasat Mu′awiyah dan kelicikannya. Ini tak henti-hentinya dipertahankan, bahkan sesaat sebelum dia mati pun sempat menasehati anaknya, Yazid, bahwa kelak, jika Husain bangkit memerangimu, jangan sekali-kali kamu membunuhnya.4 Kita dapat menyadari tujuan apa saja yang dirahasiakan Mu′awiyah di balik berbagai siasat liciknya. Keterangan di atas mengungkapkan
1- Maqôtil Al-Tôlibiyîn, hlm. 40, Mu′awiyah mengatakan, ″Sesungguhnya aku lebih layak dan lebih berpengalaman daripada kamu, belum lagi umurku lebih tua di atasmu… maka tunduklah padaku.″ 2- Al-Irsyâd, hlm. 357. 3- Mawsû′ah Kalimât Al-Imâm Al-Husain as, hlm. 209 & 210. 4- Al-Akhbâr Al-Tiwâl, hlm. 227, dan Tajârib Al-Umam, jld. 2, hlm. 39.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
29
maksud Mu′awiyah, yakni berusaha menduduki kursi kekhilafahan yang dipandang sah oleh masyarakat umum. Dia tidak ingin terganggu kenyamanannya duduk di atas kursi kekhilafahan lantaran tangan yang terlumuri darah Imam Husain as; dia tidak ingin masyarakat memandangnya sebagai musuh keluarga Nabi Saw. Dengan demikian, dia menebar citra dan memamerkan kebaikankebaikannya terhadap keluarga Nabi Saw di hadapan publik, padahal motif-motif yang dipendam Mu′awiyah di bawah penghargaan lahiriah itu justru yang paling keji terhadap Bani Hasyim. Dia melakukan semua itu atas pikirannya bahwa dengan begitu, dia bisa membuat masyarakat merasa berhutang padanya dan menumpas kemungkinan munculnya gelombang pemberontakan di tengah mereka. Di samping demonstrasi kebaikan di hadapan publik, Mu′awiyah juga tak segan-segan menyisipkan kata-kata pongah; bagaimana dia berkata kepada Imam Hasan as dan Imam Husain as, ″Ambillah harta yang melimpah ini! Tapi ketahuilah, aku ini anak Hindun, dan tidak seorang pun dari mereka akan pernah berbuat seperti ini kepadamu kecuali aku, baik sebelum aku atau setelah kematianku nanti.″ Imam Husain as menegaskan bila dirinya sama sekali tidak merasa berhutang apa pun kepada Mu′awiyah. Tentang limpahan hadiahnya itu, beliau berkata, ″Demi Tuhan, tidak ada satu pun orang baik-entah sebelummu maupun setelahmu-yang dapat memberi hadiah-hadiah seperti ini kepada orang yang lebih mulia dari kami: dua bersaudara ini.″1 Mu′awiyah tahu betul bahwa menggunakan kekerasan secara terangterangan dalam menyikapi Bani Hasyim hanya kontraproduktif, membuahkan hasil yang tak diharapkan. Jika ia terang-terangan tampil sebagai musuh Bani Hasyim, masyarakat umum bakal terheran-heran dengan sikapnya dan lambat laun timbul kebencian di hati mereka terhadap rezim, lalu satu per satu dari mereka akan menyadari kenyataan yang sesungguhnya, sampai akhirnya berdiri di barisan pendukung Bani Hasyim. Yang perlu digarusbawahi lebih tebal lagi, Mu′awiyah di masa-masa itu sama sekali tidak pernah memperkirakan adanya ancaman dan bahaya besar yang datang dari 1- Târîkh Ibn 'Asâkir, biografi Imam Husain as, jld. 7, hadis ke-5.
30
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Imam Husain as. Karenanya, jalan terbaik adalah menjalankan siasat demikian tadi. Dari pihak yang berseberangan, Imam Husain as selalu berupaya mengangkat tanda tanya dan meneriakkan protes sebesar-besarnya terhadap pemerintahan yang ilegal ini. Salah satunya tertuang dalam surat-surat yang ditulis untuk Mu′awiyah sebagai upaya Imam Husain as mengingatkannya atas berbagai tindak pelanggaran dan bid′ahnya.1 Demikian pula penentangan beliau atas sikap Mu′awiyah: sesaat sebelum meninggal dia menerbitkan wasiat yang menunjuk anaknya sendiri, Yazid, sebagai penggantinya.2 Imam Husain as pun sangat menyadari bahwa kecerobohan dalam menggalang perlawanan terhadap rezim tidak akan memberikan hasil apa-apa, apalagi siasat busuk Mu′awiyah-seperti yang diuraikan di atas-dan kerja keras kroni-kroninya tak pernah berhenti melakukan politik propagandis. Kondisi yang Berkembang Sesaat setelah sang kakak tercinta, Imam Hasan as, meninggal dunia, Imam Husain as menerima derasnya banjir surat dari warga Kufah yang mengaku diri mereka sebagai pengikut setia dan menyiapkan hidup-mati mereka di bawah perintahnya.3 Akan tetapi, beliau sama sekali tidak yakin akan menang dan berhasil perjuangannya jika ia bergabung dengan orang-orang Kufah itu. Pandangan beliau ini didasarkan pada beberapa faktor, di antaranya: kuatnya sistem kekuasaan Mu′awiyah yang berbasis di Syam; keberadaan kota Kufah secara total di bawah kekuatan rezim; rangkaian pengalaman warga Kufah yang pernah mengecewakan sang ayah, Imam Ali bin Abi Thalib as, dan sang kakak, Imam Hasan as; pencitraan diri Mu′awiyah yang berlaku tak ubahnya seorang pemimpin bijak Muslimin secara lahiriah, meski kenyataannya bagai serigala berbulu domba. Oleh karena itu, berbgabung dengan orang Kufah untuk melawan kekuasaan zalim hanya membuang-buang tenaga, semangat sia-sia, kalau bukan malah sebuah aksi pemberontakan semu. Inilah kondisi-kondisi yang, di era rezim Yazid, berubah dan beda. 1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 212. 2- Târîkh Al-Ya ′qûbî, jld. 2, hlm. 228; Al-Imâmah wa Al-Siyâsah, jld. 1, hlm.186. 3- Ibid., jld. 2, hlm. 228.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
31
Menimbang Peluang di Madinah Dialog 2: Mengapa Imam Husain as tidak mengangkat panji kebangkitannya semasih di Madinah? Pertanyaan ini bisa diklarifikasi bila juga benar-benar dicermati seperti apa kondisi yang berkembang pada konteks masa itu. Saat Imam Husain as masih berada di Madinah, berita kematian Mu′awiyah belum benar-benar tersiar ke mana-mana. Lagi pula, masyarakat masih belum melihat perbedaan antara rezim Yazid dan rezim sebelumnya, Mu′awiyah. Meskipun beberapa pihak seperti Imam Husain as sendiri, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar dan Abdurrahman bin Abu Bakar meyakini Yazid sebagai pemabuk yang suka bermain dengan kera dan anjing,1 tapi masyarakat umum masih terbawa arus propaganda sebelumnya sebagai bagian dari siasat busuk Mu′awiyah.2 Kota Madinah saat itu bukanlah tempat yang tepat untuk dijadikan titik tolak perjuangan Imam Husain as karena beberapa hal: Pertama, meskipun di Madinah terdapat banyak pengikut Ahlul Bait as seperti kaum Anshar, akan tetapi mereka begitu lemah untuk bersedia mengorbankan nyawa demi Ahlul Bait as, bahkan untuk halhal yang lebih kecil dari itu. Lemahnya tekad mereka ini dapat kita saksikan pada peristiwa Balai Saqifah dan setelahnya. Amat menakjubkan bila kita melihat ketidaksediaan mereka saat Imam Ali as meminta mereka untuk membantu melawan musuh-musuh beliau. Akhirnya beliau hanya memiliki beberapa ratus pejuang saja yang bersedia membantunya melawan ribuan pasukan musuh di salah satu peperangan bersejarahnya. Kedua, sepeninggal Rasulullah Saw, Madinah selalu tunduk dengan langkah-langkah politik kekhalifahan yang berkuasa. Madinah sangat tunduk dengan sunah-sunah Syaikhain (Abu Bakar dan Umar). Salah satu contoh yang menggambarkan kenyataan ini adalah ketika Abdurrahman bin ′Auf mendesak Imam Ali as untuk mengikuti sunah-sunah Syaikhain sebagai syarat peralihan kendali pemerintahan
1- Târîkh Al-Ya ′qûbî, jld. 2, hlm. 228. 2- Al-Imâmah wa Al-Siyâsah, jld. 1, hlm. 161-164.
32
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
ke tangannya; akan tetapi ia menolak desakan itu.1 Imam Ali as akhirnya menjadi khalifah; itu pun yang mendorongnya menerima kekhalifahan sebenarnya bukanlah orang-orang Madinah itu sendiri, tapi sekelompok orang yang berhijrah dari tempat lain, khususnya Kufah, dan mereka bersikeras mendesak agar Imam bersedia menjadi khalifah. Ketiga, ada beberapa orang dari sejumlah kabilah Quraisy yang memiliki pengaruh besar di Madinah dan bekerja untuk Muawiyah seperti: Marwan dan keluarganya. Tak dapat diragukan lagi, orangorang seperti mereka tidak akan tinggal diam kapan saja mengetahui gerak-gerik Imam Husain as yang mulai membahayakan. Keempat, jumlah warga Madinah tidak terlalu banyak untuk menjadi pejuang melawan pemerintahan ilegal. Artinya, jika perjuangan itu terjadi, tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Ini dapat kita pahami jika kita bandingkan Madinah dengan kota-kota yang lain seperti: Kufah, Bashrah dan Syam. Kelima, di sepanjang sejarah Madinah tidak pernah terbukti bahwa kota itu merupakan tempat yang mendukung jalannya perjuangan melawan pemerintahan ilegal. Dalam sejarah tercatat bahwa setiap pergerakan yang terjadi di kota ini selalu mengalami kegagalan seperti: gerakan sia-sia penduduk Madinah melawan pemerintahan Yazid pada 63 H yang dikenal dengan peristiwa Harrah.2 Begitu juga dengan perjuangan kaum Alawi seperti: Muhammad bin Abdullah yang dikenal dengan Nafsu Zakiyah pada 145 H,3 dan perjuangan Husain bin Ali yang dikenal sebagai Syahid Fakh pada 169 H;4 semuanya menuai kegagalan. Keenam, terbukti bahwa penduduk Madinah tidak pernah mau membela Ahlul Bait as di masa-masa kekhilafahan dinasti Umayyah. Salah satu contohnya adalah sikap mereka terhadap siasat pelaknatan Imam Ali as yang dijalankan oleh Mu′awiyah; masyarakat Madinah tidak pernah menunjukkan penolakan mereka terhadap siasat tersebut. Mereka membiarkan pejabat-pejabat pemerintah melaknat Imam Ali 1- Târîkh Al-Ya ′qûbî, jld. 2, hlm. 162. 2- Al-Kâmil fî Al-Târîkh, jld. 2, hlm. 593. 3- Ibid., jld. 3, hlm. 563-579. 4- Târîkh Al-Ya ′qûbî, jld. 2, hlm. 404 dan 405.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
33
as sepuas-puasnya, tanpa ada satu pun yang menentang. Hanya keluarga Bani Hasyim yang berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan tradisi itu, terutama Imam Husain as. Akan tetapi beliau pun tidak pernah mendapatkan dukungan dan pembelaan dari pihak masyarakat.1 Ketujuh, gubernur dari keluarga Umauyyah saat itu, Walid bin Utbah, memegang kendali total atas Madinah. Dengan demikian, tidak mungkin dengan meletusnya pemberontakan kecil, kendali kekuasaannya dapat beralih ke tangan yang lain. Menuju Mekkah Dialog 3: Kenapa Imam Husain as memulai perjuangannya dengan berhijrah dari Madinah menuju Mekkah? Alasannya, saat itu Yazid memerintahkan Walid bin Utbah (gubernur Madinah), melalui surat yang ia tulis, untuk meminta baiat dari beberapa orang penting yang, salah satunya, Imam Husain as. Dia juga memerintahkan agar tidak melepaskan mereka sebelum merebut baiat dari mereka.2 Meski Walid bin Utbah lebih memilih untuk bersikap baik terhadap Imam Husain as3 dan tak bersedia menumpahkan darahnya, akan tetapi ia selalu mendapat tekanan dari orang-orang seperti: Marwan bin Hakam, untuk membunuh beliau. Sebagaimana yang kita ketahui, begitu mendapatkan surat dari Yazid, Walid langsung bermusyawarah dengan Marwan. Orang belakangan ini berkata, ″Pendapatku, segera saja kamu utus delegasi untuk membawa mereka ke sini, lalu mintalah baiat dari mereka. Jika mereka bersikeras tak mau memberikan baiat, maka pisahkanlah kepala mereka dari badannya sebelum mereka tahu tentang berita kematian Mu′awiyah! Karena jika mereka sampai mengetahui berita kematian Mu′awiyah, setiap salah
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 211. 2- Waq′at Al-Toff, hlm. 76. Yazid berkata, ″Paksalah Husain, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar untuk memberikan baiatnya. Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak membaiat! Wasalam.″ 3- Ibnu A′tam, Al-Futûh, jld. 5, hlm. 12; Waq′at Al-Toff, hlm. 81.
34
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
seorang dari mereka akan berpencar dan masing-masing mengajak banyak orang untuk melawan kita semua!″1 Imam Husain as tidak dapat berbuat apa-apa di Madinah; nyawa beliau pun terancam. Hal ini cukup untuk menjadi alasan beliau berhijrah meninggalkan kota itu. Satu lagi yang dapat menguatkan kemungkinan ini adalah ayat yang dibaca Imam Husain as ketika hendak bertolak menuju Mekkah. Sebagaimana yang ditulis oleh Abu Makhnaf, beliau pergi meninggalkan Madinah bersama rombongan keluarganya seraya membaca ayat yang menukil kata-kata Nabi Musa as ketika ia pergi meninggalkan Mesir karena merasa tidak aman di sana.2 Ayat tersebut berbunyi: ″Lalu ia keluar dari Mesir dalam keadaan takut dan berkata, ″Wahai Tuhanku, selamatkan aku dari kaum yang zalim.″3 Beliau memilih pergi menuju Mekkah pada saat berita kematian Mu′awiyah tersebar luas dan orang-orang yang menentang rezim belum berinisiatif memulai aksi penentangan mereka. Saat itu, Imam Husain as juga belum mendapatkan sepucuk surat pun dari warga kota-kota lain seperti Kufah, agar beliau berjuang bersama mereka. Oleh karenanya, beliau harus memilih tempat yang, pertama, benarbenar membuat beliau merasa nyaman di sana agar dapat menyampaikan pandangan-pandangannya kepada masyarakat setempat dengan leluasa, dan kedua, dari situ beliau dapat menyebarkan pemikirannya ke seluruh penjuru negeri Islam. Kota Mekkah saat itu memiliki dua kriteria sebagai kota yang diinginkan Imam Husain as. Mekkah adalah tempat yang aman sebagaimana disebut dalam ayat, ″…dan barangsiapa memasukinya, maka tempat itu aman untuknya.″4 Di kota tersebut terdapat tanah haram (suci) yang aman untuk siapa pun. Berbagai kelompok Muslimin dari segala penjuru dunia pasti datang ke sana untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Dengan demikian, Imam Husain as dapat menggunakan kesempatan yang ada dengan sebaik1- Waq′at Al-Toff, hlm. 77. 2- Ibid., hlm. 85 dan 86. 3- Al-Qashash, 21. 4- Al Imran, 97.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
35
baiknya untuk mengungkapkan pandangan dan pemikirannya tentang mengapa ia menentang Yazid bin Mu′awiyah, sekaligus juga dapat mengajarkan beberapa masalah agama yang diperlukan oleh orangorang yang beliau temui di sana; apalagi beliau harus selalu menjalin kontak dengan Muslimin yang berada di beberapa kota penting seperti: Kufah dan Bashrah.1 Imam Husain as memasuki kota Mekkah pada malam Jum′at 3 Sya′ban tahun 60 H dan terus melakukan aktivitasnya di sana hingga 8 Dzul Hijjah pada tahun itu juga.2 Meninggalkan Mekkah Dialog 4: Mengapa Imam Husain as meninggalkan Mekkah padahal beliau belum selesai melaksanakan ibadah haji? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya kita memperjelas sebuah masalah terlebih dahulu. Sebenarnya, dari sudut pandang ilmu Fiqih, tidak benar jika kita mengatakan Imam Husain as pergi meninggalkan Mekkah padahal ibadah hajinya belum usai; karena beliau pergi meninggalkan Mekkah, sementara ibadah beliau jatuh pada 8 Dzul Hijjah, yaitu Yaum Tarwiyah.3 Padahal, ibadah haji-yang dimulai dengan ihram di Mekkah dan wuquf di Arafat-dimulai dari malam ke-9 Dzul Hijjah. Dengan demikian, Imam Husain as belum memulai ibadah hajinya. Maka, kita tidak bisa mengatakan bahwa beliau meninggalkan haji yang belum usai. Memang benar, Imam Husain as melakukan umrah mufradah saat beliau memasuki Mekkah, dan mungkin juga beliau melakukan ibadah umrah berkali-kali selama tinggal di sana beberapa bulan. Hanya perlu diketahui, orang yang melakukan ibadah umrah bukan berarti telah memulai ibadah Haji. Di sebagian riwayat dengan tegas disebutkan bahwa Imam Husain as hanya melakukan umrah mufradah.4
1- Waq′at Al-Toff, hlm. 103-107. 2- Ibid., hlm. 88. 3- Ibid., hlm. 147. 4- Imam Shadiq as berkata, ″Sesungguhnya Husain bin Ali as. keluar dari Mekkah pada hari Tarwiyah menuju Iraq dalam keadaan sedang berumrah.″ Rujuk Wasâ ′il Al-Syî′ah, jld. 1, hlm. 246, Kitab Al-Hajj, bab 7, Abwâb Al-'Umroh, jld. 2 dan 3.
36
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Adapun jika kita menelaah sejarah yang ada, memang kita pasti akan bertanya-tanya tentang mengapa Imam Husain as tiba-tiba meninggalkan Mekkah begitu saja, padahal pada musim haji di Mekkah selalu dipenuhi oleh Muslimin dari berbagai tempat yang merupakan kesempatan emas bagi beliau untuk mengutarakan pemikiran-pemikirannya. Kita akan meneliti lebih jauh alasan apakah yang mendesak beliau sampai meninggalkan Mekkah. Bahaya yang Dimungkinkan Mengancam Nyawa Dari beberapa ucapan Imam Husain as yang beliau ungkapkan kepada beberapa orang, kita dapat memahami bahwa menurut beliau, Mekkah sudah tidak aman lagi. Ini sebagaimana yang beliau ungkapkan kepada Ibnu Abbas, ″Bagiku lebih baik mati di tempat lain dari pada harus mati di Mekkah.″1 Dalam perbincangannya dengan Abdullah bin Zubair, beliau juga sempat berkata, ″Demi Tuhan, lebih baik aku mati di luar Mekkah meski hanya berjarak satu jengkal dari kota itu dari pada aku mati di dalamnya. Demi Tuhan, mereka akan menyeretku keluar meskipun aku bersembunyi di sarang-sarang hewan. Mereka tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan dariku.″2 Imam Husain as pernah menerangkan kepada saudaranya, Muhammad bin Hanafiyah, bahwa Yazid berencana untuk membunuhnya meski ia berada di dalam tanah suci Allah Swt.3 Tercatat pula dalam sejarah bahwa Yazid pernah mengutus barisan bersenjatanya ke Mekkah untuk meneror beliau.4 Menjaga Kesucian Tanah Haram Dalam lanjutan dari ungkapan-ungkapan Imam Husain as di atas disebutkan bahwa beliau tidak ingin kesucian tanah haram Ilahi terkoyak dengan bertumpahnya darah beliau; meskipun jelas sekali 1- Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah, jld. 8, hlm. 159. 2- Waq′at Al-Toff, hlm. 152. 3- Sayid bin Thawus, Al-Luhûf, hlm. 82. 4- Ibid. Diduga dalam teks buku ini terjadi kesalahan penulisan, karena disebutkan dalam bagian teks bahwa pemimpin mereka adalah Umar bin Sa′ad bin Abi Waqqash, sementara dalam teks-teks lain dijelaskan bahwa yang benar adalah Amr bin Sa′id bin Ash.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
37
yang menanggung dosa besar adalah pihak musuh. Hal ini beliau nyatakan sejelas-jelasnya kepada Abdullah bin Zubair, ″Ayahku, Ali bin Abi Thalib, berkata kepadaku bahwa pada suatu hari, akan terjadi suatu peristiwa di Mekkah yang mengoyak kesucian rumah Allah. Oleh karena itu, aku tidak mau menjadi perwujudan dari peristiwa itu.″1 Memilih Kota Kufah Dialog 5: Mengapa Imam Husain as memilih kota Kufah sebagai titik awal perjuangannya? Pertanyaan ini seringkali dilontarkan kepada para peneliti, baik Sunni maupun Syi′ah, bahkan juga kalangan orientalis. Masing-masing memberikan jawabannya sesuai hasil penelitian. Beberapa hal yang membuat pertanyaan ini menjadi sangat penting adalah sebagai berikut: Pertama, Imam Husain as dalam perjuangannya secara sekilas mengalami kekalahan fatal. Kekalahan ini disebabkan oleh kepercayaan beliau pada warga Kufah hingga beliau memilih kota tersebut untuk dituju. Kedua, beberapa tokoh penting di zaman itu, seperti Abdullah bin Ja′far (sepupu sekaligus suami Zainab as),2 Abdullah bin Abbas,3 Abdullah bin Muthi′,4 Miswar bin Mukhramah5 dan Muhammad bin Hanafiah6 benar-benar telah berusaha mencegah Imam Husain as agar tidak pergi ke Kufah. Sebagian dari mereka mengingatkan beliau bahwa sebelumnya, warga Kufah telah menipu dan meninggalkan Imam Ali as. Akan tetapi Imam Husain as tidak mempedulikan pendapat mereka dan membulatkan tekatnya untuk tetap pergi menuju Kufah. Akhirnya, secara sepintas kita melihat bahwa nasehat orang-orang di atas benar dan Imam Husain as celaka karena tidak menuruti 1- Ibnu Atsir, Al-Kâmil fî Al-Târîkh, jld. 2, hlm. 546. 2- Ibnu A′tsam Kufi, Al-Futûh, jld. 5, hlm. 67. 3- Ibid., hlm. 66. 4- Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah, jld. 8, hlm. 162. 5- Ibid., hlm. 163. 6- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 364.
38
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
pandangan mereka. Hal inilah yang sampai-sampai membuat para ahli sejarah seperti: Ibnu Khuldun, menyalahkan Imam Husain as dan menganggapnya ceroboh.1 Dari pandangan sejajaran tokoh di atas, termasuk Ibnu Abbas, juga dapat dipahami bahwa ada pilihan lain selain Kufah, misalnya negeri Yaman. Ibnu Abbas berkata kepada Imam Husain as, ″Jika engkau benar-benar hendak pergi dari Mekkah, sebaiknya engkau menuju Yaman. Di sana ada banyak lembah dan tempat-tempat yang nyaman. Di sana pula engkau dapat menghimpun pengikutmu lalu mengutus mereka ke berbagai tempat.″2 Perlu kita pertanyakan mengapa beliau tidak memilih yang tempat lain. Banyak dari kalangan peneliti selain dari kelompok Syi′ah-baik kalangan Sunni maupun para orientalis-yang menyalahkan Imam Husain as atas kekalahan materi (lahiriah) yang beliau alami. Mereka memberikan kesimpulan dengan begitu mudahnya tanpa sedikit menengok prinsip-prinsip teologis kita. Tapi kalangan peneliti dari kelompok Syi′ah, berdasarkan prinsipprinsip seperti kepercayaan bahwa manusia-manusia maksum memiliki ilmu gaib dan kemaksuman yang mampu melindungi mereka dari kesalahan, memberikan penjelasan atas permasalahan ini sebagaimana dapat diringkas ke dalam dua pendapat berikut: Mendirikan Pemerintahan Islami Pendapat ini memiliki dua landasan: 1. Setiap imam maksum, ketika menyandang julukan sebagai imam, membuka lembaran-lembaran rahasia yang di dalamnya tertulis segala tugas-tugas yang harus dilaksanakan sampai akhir hayatnya.3 2. Ketika Imam Husain as membuka lembaran keimamannya, beliau membaca, ″Berperanglah, berjuanglah, dan ketahuilah engkau akan mati terbunuh. Pergilah bersama kelompokmu
1- Muqoddimah Ibn Kholdûn, hlm. 211. 2- Ibnu Katsir, Al-Kâmil fi Al-Târîkh, jld. 2, hlm. 545. 3- Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, hlm. 27-36, bab ″Sesungguhnya para Imam tidak melakukan apa pun selain yang telah ditugaskan oleh Allah Swt.″
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
39
meninggalkan tempat tinggalmu untuk kesyahidan. Ketahuilah bahwa mereka tidak akan mencapai kesyahidan kecuali denganmu.″1 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah Swt sedari awalnya telah berkehendak agar Imam Husain as mencapai kesyahidan di jalan itu. Beliau tidak memiliki pilihan terbaik selain menjalankan apa yang dikehendaki-Nya. Hal ini juga disampaikan kepada beliau dengan cara lain, yaitu mimpi yang beliau alami sebelum bertolak menuju Kufah. Dalam mimpi itu, beliau melihat Rasulullah Saw memintanya untuk pergi menuju Kufah. Ketika saudaranya, Muhammad bin Hanafiyah, bertanya tentang mengapa hendak menuju Kufah, beliau menjawab, ″Aku bermimpi Rasulullah Saw mendatangiku lalu berkata, ″Pergilah wahai Husain! Sesungguhnya Allah ingin melihatmu dalam keadaan terbunuh.″2 Menurut pendapat ini,3 perjalanan Imam Husain as menuju Kufah adalah perjalanan menuju kesyahidan. Tujuan beliau adalah kesyahidan, dan beliau benar-benar tahu bahwa dirinya akan disambut dengan kesyahidan. Perlu diketahui pula bahwa sikap ini adalah kewajiban dan tugas khusus Imam Husain as yang imamimam selainnya pun tidak dapat meniru beliau. Jika demikian, maka tidak ada lagi tanda tanya yang tersisa. Permasalahannya menjadi jelas. Sesungguhnya Imam Husain as lebih mengetahui dari siapa pun bahwa orang-orang Kufah terkenal dengan tipu daya dan muslihatnya. Beliau mengetahui bahwa kelak, mereka akan meninggalkan beliau sendiri, dan bahkan memerangi dan membunuh beliau. Meskipun sudah tahu dengan jelas, beliau tetap berjalan menuju Kufah, menyambut kesyahidan, karena itu adalah kewajibannya. Orang-orang yang memiliki pandangan seperti ini saling berbeda pendapat mengenai apa tujuan kesyahidan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tujuan dari kesyahidan tersebut adalah 1- Ibid., hlm. 27, hadis pertama. 2- Al-Luhûf, hlm. 84. 3- Untuk mengetahui lebih lanjut siapa sajakah yang memiliki pendapat seperti ini, silahkan merujuk: Muhammad Sihati Sardarwadi, Syahid Fatih dar Ayene e Andishe, hlm. 205-231.
40
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
menjalankan tugas amar makruf nahi munkar. Imam Husain as ingin menyirami pohon Islam dengan darah beliau sendiri; dan inilah derajat yang tinggi dari amar makruf nahi munkar. Darah beliaulah yang menghidupkan Islam dan memyingkap kedok Yazid juga Bani Umayah, lalu akhirnya pada tujuh puluh tahun kemudian, peristiwa besar terjadi, yaitu runtuhnya dinasti Bani Umayah (132 H). Sebagian orang yang mengajukan pandangan lain yang bangkit dari pola pikir dangkal tanpa landasan yang kokoh. Mereka mengatakan bahwa tujuan kesyahidan Imam Husain as adalah syafaat untuk membayar dosa-dosa yang telah dilakukan para pengikut beliau. Pemikiran ini mirip sekali dengan keyakinan orang-orang Kristen yang meyakini bahwa disalibnya Al Masih adalah untuk membayar dosa-dosa para pengikutnya.1 Pendapat bahwa Imam Husain as memilih kesyahidan memicu sejumlah reaksi kritis seperti di bawah ini: 1. Telah diyakini secara umum di kalangan pengikut mazhab Syi′ah sepanjang sejarah bahwa para imam maksum adalah suri tauladan bagi setiap pengikutnya. Jika dikatakan bahwa Imam Husain as memiliki misi dan tugas khusus yang harus beliau jalani dan tidak boleh diemban oleh selainnya, ini artinya beliau menjadi seorang imam yang tidak bisa dijadikan tauladan untuk ditiru. 2. Pendapat di atas bertentangan dengan ucapan Imam Husain as sendiri, ″Aku adalah tauladan yang harus kalian contoh.″2. 3. Memang telah dinubuwatkan oleh para nabi sebelumnya, termasuk juga oleh Rasulullah Saw, bahwa Imam Husain as kelak akan mencapai kesyahidan, demikian pula dari perkataan Imam Husain as sendiri, kita dapat memahami bahwa beliau tahu bakal mati terbunuh. Namun begitu, itu semua tidak berarti Imam Husain as menjadikan kematian sebagai tujuan akhirnya. Kita harus mencari kembali katakata apakah yang terucap dari lisan beliau mengenai perjuangannya. Dalam masalah ini, kita dapat menjumpai
1- Syahid Fatih, hlm. 239. 2- Târîkh Al-Tobarî, jld. 5, hlm. 403.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
41
deklarasi perjuangan beliau yang terucap dengan jelas, ″Sesungguhnya aku berjuang untuk mengusahakan perbaikan bagi umat kakekku. Aku ingin menyeru kepada kebenaran dan mencegah kebatilan; dan supaya aku berjalan di jalan kakekku dan ayahku, Ali bin Abi Thalib.″ Dari kalimat ini, kita dapat menarik tiga tujuan yang beliau maksudkan: ingin menciptakan perbaikan, amar makruf nahi munkar, dan bersikap sebagaimana Rasulullah Saw dan Imam Ali as. Inilah tiga hal yang menjadi fokus tujuan perjuangan beliau, bukan mencari kematian. Mendirikan Pemerintahan Islami Sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa kalangan ahli, pandangan ini pertama kali dijumpai dalam karya tulis Sayid Murtadha yang dikenal dengan Alamul Huda (436 H-355 H). Ia adalah salah seorang ulama besar Syi′ah abad IV dan V H. Dalam karyanya, ia menjawab suatu pertanyaan mengenai Imam Husain as seperti ini, ″Imam Husain as tidak bergerak menuju Kufah untuk mendirikan pemerintahan yang ia inginkan kecuali ia telah yakin akan meraih kemenangan dengan adanya kesepakatan dan baiat warga Kufah.″1 Lambat laun, pendapat Sayid Murtadha ini bukan hanya tidak didukung oleh kalangan sepemikiran, bahkan beberapa ulama seperti Syaikh Thusi, Sayid bin Thawus, Allamah Majlisi, dan ulama besar lainnya bersikeras menentang pendapat ini.2 Baru-baru ini saja, banyak cendekiawan yang membangkitkan kembali pandangan Syaid Murtadha dalam rangka memberikan jawaban yang sama, berdasarkan sejarah, atas isu-isu yang muncul di kalangan Ahli Sunnah dan kaum orientalis. Pada saat itu juga pandangan ini pun menuai banyak kritik keras dari beberapa tokoh kontemporer Syi′ah seperti: Muthahari dan Syariati.3 Sangkalan
1- Ibid., hlm. 170, menukil dari Tanzîh Al-Anbiyâ ′, hlm. 175. 2- Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap, silahkan merujuk Syahid Fatih, hlm. 184-190 dan hlm. 205-231. 3- Untuk mendapatkan iformasi lebih lengkap, silahkan merujuk tulisan Rasul Ja′fariyan, Jarayon-ho va Junbesy-ho-ye Mazhabi–Siyosi-e Iron, hlm. 208-214.
42
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
paling keras terhadap pandangan yang satu ini adalah seakan-akan Imam Husain as tidak memiliki ilmu gaib. Sebenarnya inti dari pandangan ini, yakni Imam Husain as berjuang dan berusaha menegakkan pemerintahan yang islami yang, dalam rangka realiasasinya, beliau harus menumpas Yazid dan kroni-kroni busuknya, dibenarkan oleh tokoh-tokoh lainnya seperti: Imam Khomeini. Ia beberapa kali menyinggung permasalahan ini. Menurutnya, usaha mendirikan pemerintahan yang sah dan berdasarkan agama adalah salah satu dari tujuan perjuangan Imam Husain as. Sebagai contoh, pada 6/3/50 HS,1 Imam Khomeini berpidato di Najaf Asyraf - Irak, ″Imam Husain as meminta Muslim bin Aqil untuk meminta baiat dari warga Kufah agar mereka memberikan baiat untuk berdirinya satu pemerintahan islami yang haq dan menggulingkan pemerintahan batil.″2 Ia juga pernah berkata, ″Ketika Sayidus Syuhada (Imam Husain as) datang ke Mekkah dan dalam keadaan seperti itu kemudian pergi dari kota itu, ketahuilah bahwa gerakannya adalah gerakan politis, gerakan politik islami. Gerakan politik islami inilah yang telah menggulingkan pemerintahan ilegal Bani Umayah, dan jika tidak ada perjuangan beliau, Islam telah diinjak-injak kehormatannya.″3 Ia juga berkata, ″Sayidus Syuhada datang ingin merebut pemerintahan. Ia datang untuk tujuan ini, dan inilah kebanggaan. Mereka salah jika mengira Imam Husain as dan pengikutnya datang bukan untuk mengambil alih pemerintahan. Salah. Mereka datang untuk pemerintahan. Karena sesungguhnya tali pemerintahan adalah hak seseorang seperti Sayidus Syuhada, seperti pengikut-pengikut setianya.″4 Pendapat ini dapat dibenarkan dengan adanya beberapa alasan berikut: 1- HS (Hijriah Syamsiah) adalah penanggalan resmi Republik Islam Iran yang berdasarkan penanggalan Syamsiah namun perhitungan tahun dimulai dari hijrah Rasulullah Saw. 2- Shahifeh-e Nur, jld. 1, hlm. 174. 3- Ibid., jld. 18, hlm. 130. 4- Ibid., jld. 20, hlm. 190.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
43
Pertama, argumen terbaik adalah ucapan Imam Husain as yang terungkap dari mulut suci beliau sendiri saat pergi meninggalkan kota Madinah yang, darinya, dapat kita tarik tiga hal poin berikut: mengusahakan perbaikan umat, amar makruf nahi munkar, dan bersikap seperti Rasulullah Saw dan Imam Ali as.1 Dengan jelas kita dapat memahami bahwa mewujudkan perbaikan umat dan amar makruf nahi munkar memerlukan faktor pendukung, yaitu pemerintahan yang berdiri atas dasar yang benar. Dalam pemerintahan yang benar dan islami, seorang penguasa syar ′i akan memiliki kekuasaan untuk menjalankan tugas-tugasnya, dan yang lebih utama dari itu semua adalah meneruskan pola Rasulullah Saw dan Imam Ali as. Mereka berdua memberikan contoh terbaik dalam memerintah, dan Imam Husain as ingin meneruskan langkah mereka. Kedua, dari nada bicara yang teraba dari tulisan dalam surat-surat penduduk Kufah-yang seringkali menyinggung bahwa mereka memiliki banyak pasukan yang siap tapi tidak memiliki seorang pemimpin-kita pahami bahwa sebenarnya mereka menganggap pemerintahan Yazid tidak sah, dan mereka ingin agar Imam Husain as datang ke Kufah untuk menjadi pemimpin mereka sehingga pemerintahan yang sah dapat terwujud. Maka beliau pun bangkit memenuhi panggilan ini dan memulai perjalanannya. Sebagai contoh, kita dapat melihat beberapa surat seperti yang ditulis oleh Sulaiman bin Shard Jaza′i, Masib bin Najbah, atau Habib bin Mazahir, ″Kami tidak memiliki seorang pemimpin. Datanglah kemari, semoga dengan perantara dirimu, Allah akan menjadikan kami bersatu dalam kebenaran.″2 Ketiga, jawaban pertama kali diberikan Imam Husain as untuk penduduk Kufah, dimana saat itu Muslim bin Aqil yang diutus untuk menyampaikan pesan beliau kepada mereka, menunjukkan bahwa masalah yang sesungguhnya adalah masalah pemerintahan dan kepemimpinan. Sungguh menarik, beliau menulis dalam suratnya, ″Aku memahami apa yang kalian maksud. Kalian semua mengaku tidak memiliki seorang pemimpin...″3
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 20, hlm. 190. 2- Abi Makhnaf, Waq′at Al-Toff, hlm. 92. 3- Ibid., hlm. 91.
44
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Keempat, dalam surat-surat lain Imam Husain as dapat disaksikan pengakuan beliau bahwa pada kenyataannya, orang yang benar-benar memenuhi kriteria hanyalah dirinya seorang. Hal ini dapat juga kita tambahkan kepada dalil-dalil yang lain untuk menguatkan pendapat ini. Perlu diperhatikan bahwa dalam surat-surat Imam Husain as, beliau lebih sering menyinggung hal-hal yang bersikap praktis dalam pemerintahan, bukan tentang menjelaskan hukum syariat yang, tak lama kemudian, kebanyakan orang berpikiran bahwa posisi keimaman terbatas hanya pada penjelasan-penjelasan hukum syariat. Sebagai misal, Imam Husain as pernah menulis, ″Demi nyawaku aku bersumpah bahwa satu-satunya orang yang dapat menjadi seorang pemimpin umat hanyalah seorang yang sejalan dengan kitab Allah, mewujudkan keadilan, mendirikan kebenaran, dan segalanya ia lakukan di jalan Tuhan.″1 Kelima, dari usaha yang dilakukan segenap jiwa oleh Muslim bin Aqil dapat dipahami bahwa satu-satunya tujuan Imam Husain as adalah mendirikan pemerintahan yang haq. Sesungguhnya Muslim telah memberikan banyak jasa seperti: membantu beliau dalam meminta baiat, mencatat nama-nama orang yang berbaiat, dan lain sebagainya.2 Tercatat pada saat itu bahwa jumlah mereka sekitar 12.000 sampai 18.000 orang.3 Keenam, pada saat itu, sebagian penduduk Kufah yang pro Yazid merasakan kekhawatiran akan apa yang sedang terjadi. Mereka menulis banyak surat untuk pemerintah dan meminta Yazid untuk segera bertindak. Menurut mereka, jika tidak ada penanganan atas apa yang sedang terjadi saat itu, mereka akan kehilangan Kufah. Mereka menulis, ″Jika engkau masih mencintai Kufah, maka utuslah seorang utusan yang tangguh, sehingga ia dapat melakukan apa yang kamu inginkan dan bersikap tegas terhadap musuh-musuhmu sebagaimana yang kamu inginkan.″4 Ketujuh, Muslim bin Aqil melihat realitas politik saat itu bahwa penduduk Kufah memang benar-benar bersemangat dan siap
1- Ibid. 2- Târîkh Al-Ya ′qûbî, jld. 20, hlm. 215 dan 216. 3- Murûj Al-Dzahab, jld. 3, hlm. 64; Syaikh Mufid, Al-Irsyâd, hlm. 383. 4- Waq′at Al-Toff, hlm. 101.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
45
membantu Imam Husain as, lalu ia melaporkan kenyataan tersebut kepada beliau.1 Hal ini merupakan salah satu argumen yang menguatkan pendapat kedua. Imam Husain as, di tengah perjalanan, menulis suratnya untuk warga Kufah dan memerintahkan Qais bin Musahar Shaidawi untuk mengirimkannya. Dalam surat itu, beliau menyatakan kepercayaanya akan isi surat dan laporan yang diterima dari Muslim. Beliau menjelaskan bahwa rombongan bergerak menuju Kufah pada 8 Dzulhijah. Beliau meminta mereka untuk terus menunjukkah kesungguhan sampai beliau tiba di kota. Berikut tulisan beliau, ″Surat yang telah dikirimkan oleh Muslim bin Aqil tentang kesiapan, semangat dan kepercayaannya akan kesetiaan kalian telah sampai padaku. Aku memohon kepada Allah agar memudahkan masalah kita dan memberi kalian balasan sebaik-baiknya. Kami bergerak keluar dari kota Mekkah menuju kota kalian pada hari kedelapan dai bulan Dzulhijah, hari Tarwiyah. Begitu utusanku sampai pada kalian, maka bersiap-siaplah dan bersungguhsungguhlah, karena tak lama lagi kami akan tiba.″2 Beberapa Sanggahan Ada banyak sanggahan terhadap pendapat kedua ini. Akan tetapi, kita hanya akan membahas dua sanggahan yang terpenting dalam kesempatan ini. 1. Pendapat ini bertentangan dengan prinsip Teologi Syi′ah: keyakinan bahwa para imam memiliki ilmu gaib. 2. Pendapat ini memberikan kesan seakan-akan para imam maksum melakukan kesalahan. Hal ini jelas bertentangan dengan kemaksuman yang menjadi keistimewaan mereka. Sanggahan ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya alasan yang membuat kebanyakan orang keberatan menerima pendapat di atas.
1- Ibid., hlm. 112. Muslim bin Aqil berkata, ″Mereka tidak berbohong. Aku telah menerima baiat dari delapan belas ribu penduduk Kufah. Sesungguhnya mereka semua berpihak kepadamu dan tidak ada yang condong kepada keluarga Mu′awiyah.″ 2- Al-Irsyâd, hlm. 418.
46
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Untuk menjawab sanggahan tersebut, kita mesti kembali mengkaji tema-tema Teologi seperti: tema tentang makna dan kandungan ilmu gaib, kemaksuman dan dalil-dalil pembuktiannya. Kita mesti mampu mengurai permasalahan ketika kita berhadapan dengan pertentangan antara faham kemaksuman dan ilmu gaib dengan realitas yang telah terjadi dalam sejarah. Tapi di sini singkat saja, kita tidak akan membahas terlalu jauh sehingga kita melenceng dari fokus pembahasan, yaitu pembahasan dan penilaian berdasarkan sejarah. Tetapi, kami perlu singgung bahwa tidak mustahil jika kita menyelesaikan masalah ini dengan menjadikan ilmu Teologi sebagai perspektif, sebagaimana yang dilakukan sendiri oleh Imam Khomeini. Penjelasanya, bergerak untuk mendirikan pemerintahan adalah sebuah kewajiban. Tetapi, ada syarat-syarat yang harus diketahui seperti: integritas, penyempurnaan bukti (itmâm al-hujjah), kecakapan dan kerjasama. Itu hal-hal yang diperlukan. Adapun hasil yang kelak akan diraih sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Kita harus puas dengan apa yang Dia putuskan. Seandainya kita memiliki ilmu yang pasti akan hasil yang kelak kita raih, pengetahuan itu sendiri tidak bertentangan dengan tugas yang dibebankan ke atas kita; yakni kita tetap melaksanakan tugas. Sesungguhnya bagi orang yang berjuang di jalan kebenaran, kekalahan hanya sekedar fenomena lahiriah, sementara kemenangan yang sebenarnya akan diraih di alam hakikat. Sebagaimana yang kita simak dari sanggahan-sanggahan di atas, Imam Husain as tidak berhasil mendirikan pemerintahan islami, dan bahkan beliau justru dikhianati, maka Imam Husain as salah dalam menentukan politik, sedangkan perkiraan orang-orang seperti: Ibnu Abbas, lebih tepat sesuai dengan kenyataan ketimbang perkiraan beliau. Kita akan memberikan jawaban untuk permasalahan ini dengan, lagi-lagi, mengkaji sejarah. Mari kita lihat dalam lembar sejarah apakah langkah Imam Husain as benar-benar masuk akal atau tidak. Apakah langkahnya masuk akal? Jika ada seseorang yang benar-benar matang dalam dunia politik, maka ketika ia membaca situasi dan kondisi yang ada di depan mata, meneliti dan mengamatinya dengan seksama, lalu ia memberikan satu
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
47
keputusan untuk bertindak dengan bijak dan cermat, akan tetapi tibatiba terhadang oleh kendala-kendala tak terduga hingga ia tidak berhasil melangkah, maka sebenarnya orang seperti itu tidak bisa dinilai salah dan gagal. Kita yakin bahwa Imam Husain as telah memikirkan kondisi Kufah dengan sebaik-baiknya. Pada masa kekhalifahan Mu′awiyah, beliau tidak pernah memberikan jawaban ″ya″ untuk permintaan-permintaan penduduk Kufah dan dengan tegas menolak mentah-mentah.1 Bahkan beliau sempat melarang saudaranya, Muhammad Hanafiah, untuk membalas surat-surat mereka.2 Dalam peristiwa Asyura (10 Muharam), juga beliau tidak langsung mempercayai mereka begitu menerima surat yang mereka kirim. Belaiu baru mempercayai mereka setelah mengutus sepupunya, Muslim bin Aqil, menuju Kufah dan ia tinggal di sana selama sebulan untuk melihat dari dekat situasi yang sebenarnya. Setelah itu, baru beliau menilai bahwa sudah tepat baginya untuk mengambil langkah. Tapi sesungguhnya lebih tepat jika kita katakan bahwa Imam Husain as tiba-tiba meninggalkan Mekkah di hari-hari pelaksanaan ibadah haji karena kekhawatirannya akan bahaya yang mengancam beliau di kota itu. Dalam peristiwa Asyura, kendala tak terduga adalah digantikannya Nu′man bin Basyir sebagai walikota Kufah oleh Ubaidillah bin Ziyad. Benar-benar tidak disangka dan tak satu pun orang yang paham politik akan memprediksikan hal ini. Situasi dan kondisi yang dapat dipahami secara sempurna tidak memberikan tanda-tanda pergantian walikota. Apalagi saat itu sering didengar bahwa Yazid marah pada Ibnu Ziyad3 dan ia berencana menurunkan jabatannya dalam pemerintahan Bashrah.4 Sering pula didengar kata-kata ″Yazid adalah musuh besar Ibnu Ziyad.″5 Dengan adanya faktor ini, seandainya Muslim bin Aqil berlaku seperti Ibnu Ziyad yang tak enggan menggunakan cara kekerasan dan intimidasi, maka akan lain lagi ceritanya. Ia dapat memanfaatkan 1- Diynawari, Al-Akhbâr Al-Tiwâl, hlm. 203. 2- Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah, jld. 8, hlm. 163. 3- Târîkh Al-Tobarî, jld. 5, hlm. 356 dan 357; Al-Kâmil fî Al-Târîkh, jld. 2, hlm. 535. 4- Ibnu Maskawiyah, Tajârib Al-Umam, jld. 2, hlm. 42; Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah, jld. 8, hlm. 152. 5- Shibt Ibnu Jauzi, Tadzkirot Al-Khowâshsh, hlm. 138.
48
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
segala kesempatan mulai dari segi ekonomi, politik, sosial dan mental, sebagaimana Ibnu Ziyad. Jika seperti itu, maka kemungkinan besar kemenangan akan memihaknya. Satu misal saja, seandainya saat itu Muslim bin Aqil mau menjalankan saran Syarik bin A′war dan Abdus Salul untuk membunuh Ibnu Ziyad di rumah Hani,1 maka jalan yang ia tempuh akan lebih mudah. Di sinilah kita bisa katakan bahwa pandangan Imam Husain as terhadap penduduk Kufah berbeda dengan pandangan Ibnu Abbas. Beliau melihat Kufah saat itu, tetapi Ibnu Abbas melihat Kufahpaling tidak-dua puluh tahun yang lalu, yakni Kufah pada masa kekhalifahan Imam Ali as. Imam Husain as memiliki dalil-dalil yang menguatkan kebenaran pandangannya terhadap Kufah, seperti surat-surat yang dikirim oleh Sulaiman bin Shard dan Habib bin Mazahir, juga surat wakil khususnya, Muslim bin Aqil. Sedangkan Ibnu Abbas hanya sekedar mengira tanpa bukti. Perlu diketahui bahwa Kufah saat itu sudah jauh berbeda dengan Kufah dua puluh tahun yang lalu. Kufah yang sekarang lebih tampak dapat dipercaya ketimbang duhulu dan memungkinkan Imam Husain as untuk bergabung dengan mereka. Karena pertimbangan berikut: Pertama, saat itu Kufah kalah bersaing dengan Syam dalam perihal satus kota: manakah yang akan menjadi pusat pemerintahan. Akhirnya, Syam jatuh sebagai pilihan. Karena, politik Bani Umayah pada masa itu, salah satunya, adalah membuat Kufah terbelakang. Dengan demikian, penduduk Kufah terdorong untuk melakukan segala hal agar keagungan yang pernah dimiliki kota itu dapat diraih kembali. Kedua, orang-orang Kufah, khususnya orang-orang Syi′ah kota itu, sering mendapatkan tekanan berat dari pihak rezim yang akhirnya membangkitkan amarah mereka untuk memusuhi Bani Umayah.
1- Al-Kâmil fî Al-Târîkh, jld. 2, hlm. 537.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
49
Ketiga, sebelumnya penduduk Kufah telah mengenal betul siapa Yazid; mereka mengerti perbedaan antara dia dengan Imam Husain as. Pengetahuan inilah yang membuat mereka enggan menerima kepemimpinan Yazid. Hal yang perlu kita perhatikan secara lebih serius lagi adalah pemerintahan Yazid yang berpusat di Syam memiliki banyak kekurangan. Yazid adalah seorang bocah yang tidak berpengalaman, jauh berbeda dengan ayahnya, baik dari segi kepicikan, kecakapan, dan taktik. Kufah pun dipegang oleh seorang walikota yang lemah semacam Nu′man bin Basyir. Dengan mengamati kondisi yang ada, sangat memungkinkan sekali, jika Imam Husain as berjuang memanfaatkan kesempatan ini, beliau akan mencapai kemenangan dan berhasil mendirikan pemerintahan islami yang jauh berbeda prinsipnya dengan pemerintahan Yazid. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa jika kita kembali menelaah sejarah, sesungguhnya keputusan Imam Husain as untuk bergerak menuju Kufah-dengan melihat kembali pribadi beliau dan realitas politik yang ada-adalah tekad dan keputusan yang sangat tepat. Seandainya tidak ada kendala tak terduga yang muncul di tengah jalan, beliau tidak akan menerima kekalahan materi (meski kekalahan materi bukanlah kekalahan hakiki-penj.). Tidak Memilih Yaman Dialog 6: Dengan merujuk latar belakang Yaman, mengapa Imam Husain as tidak memilihnya sebagai tujuan? Ibnu Abbas adalah salah satu orang yang pernah menyarankan Imam Husain as untuk pergi ke Yaman supaya di sana beliau dapat menghimpun pengikut, menyusun kekuatan dan memulai perjuangannya.1 Lalu, kini kita bertanya-tanya, mengapa Imam Husain as sama sekali tidak memandang penting pilihan itu? Untuk menjawab pertanyaan, kita harus menggaribawahi beberapa hal berikut:
1- Al-Kâmil fî Al-Târîkh, jld. 2, hlm. 545.
50
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram 1. Meskipun Yaman memiliki masa lalu yang baik saat Imam Ali as pergi ke sana di masa hidup Rasulullah Saw;1 pada masa itu pun mereka tak pernah henti-hentinya mengungkapkan kesetiaan kepada Imam Husain as, akan tetapi Yaman tidak bisa dibandingkan dengan Kufah saat itu untuk disebut sebagai pusat kekuatan Syi′ah (pengikut beliau). 2. Yaman sebenarnya juga memiliki masa lalu yang buruk. Orang-orang Yaman pernah terbukti tidak dapat menunjukkan keberanian dalam kondisi genting. Contohnya, saat Imam Ali as menjadi khalifah waktu itu, mereka melakukan banyak kesalahan saat pasukan Mu′awiyah yang jumlahnya tak seberapa menyerang mereka (pada peristiwa yang dikenal dengan Gharat)2 dengan pergi meninggalkan pemimpin mereka (Ubaidillah bin Abbas) begitu saja. Akhirnya ia terpaksa berlindung di Kufah dan pasukan bengis Mu′awiyah yang dipimpin Basr bin Abi Urtah memasuki kota dan membantai banyak orang, di antaranya dua anak kecil buah hati Ubaidillah sendiri.3 3. Yaman tidak termasuk negeri yang sangat vital dalam pemerintahan Islam. Jaraknya pun terlalu jauh dengan negeri yang lain. Adapun Kufah berdekatan dengan kota-kota penting seperti: Bashrah, Madain, dan selainnya. Jarak yang dekat ini dapat memudahkan para pengikut Imam Husain as yang berada di kota-kota lain untuk bergabung dan menghimpun kekuatan di Kufah. 4. Yaman juga memiliki masa lalu yang buruk yang masih membekas dalam memori masyarakat. Dahulu, tak lama sepeninggal Rasulullah Saw, banyak kabilah-kabilah di Yaman yang murtad. Maka akan ada satu kemungkinan: jika Imam Husain as memilih Yaman lalu dari sana menunjukkan pertentangannya terhadap pemerintah, maka masyarakat awam akan menyamakannya dengan orang-orang Yaman
1- Ibid., jld. 1, hlm. 651. 2- Untuk keterangan lebih lanjut, silahkan rujuk Al-Ghôrôt. 3- Al-Kâmil fî Al-Târîkh, jld. 2, hlm. 431.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
51
yang pernah murtad pada masa dahulu itu. Pihak rezim Umayah pun tidak akan ketinggalan kesempatan; akan menggunakan kondisi tersebut untuk merusak citra perjuangan beliau. 5. Keberadaan geografis Yaman yang jauh dari negeri-negeri lain memberikan peluang besar bagi rezim Umayah untuk menaklukkan Imam Husain as dan para sahabatnya dengan mudah jika beliau memilih negeri tersebut. 6. Tercatat dalam sejarah bahwa Imam Husain as tidak mendapatkan permintaan yang berarti dari Yaman. Warga di sana tidak menunjukkan semangat untuk memberikan dukungan dan pembelaan terhadap beliau. Jelas, ini tidak dapat dibandingkan dengan Kufah saat itu yang selalu mendorong beliau untuk maju. Penduduk kota ini terbukti memberikan dukungan-dukungan seperti mengembalikan kejayaan Kufah yang telah direbut Syam, mendirikan pemerintahan Alawi (keluarga Imam Ali as) yang adil di Kufah, melenyapkan kezaliman dinasti Umayah dan lain sebagainya. Pengkhianatan Warga Kufah Dialog 7: Kenapa orang-orang Kufah yang sebelumnya bersemangat mendukung Imam Husain as justru kemudian memerangi beliau? Jawaban pertanyaan ini akan kita dapatkan dengan menjawab dua pertanyaan lain di bawah ini: 1. Motif apa yang mendorong warga Kufah hingga mereka menulis surat kesetiaan sebanyak-banyaknya kepada Imam Husain as? 2. Bagaimana cara Ubaidillah bin Ziyad memadamkan api yang bergolak di Kufah? Pertama, perlu kita ketahui bahwa pertama kali warga Kufah menulis surat untuk Imam Husain as adalah saat beliau berada di Mekkah (10
52
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Ramadhan 60 H).1 Jumlah surat yang mereka kirimkan luar biasa banyak. Sungguh mencengangkan, hingga diperkirakan setiap harinya ada enam ratus surat yang sampai ke tangan Imam Husain as, dan jumlah surat itu secara keseluruhan mencapai angka 12.000.2 Dengan memperhatikan identitas para pengirim surat yang dapat diketahui dari nama dan tanda tangan yang tercantum di akhir surat mereka, dapat disimpulkan bahwa mereka bukanlah dari satu atau kelompok yang sama; para penulis surat terdiri dari berbagai macam orang dan dari berbagai kelompok dengan maksud yang berbeda-beda. Sebagai contoh, beberapa orang yang menulis surat-surat tersebut adalah tokoh Syi′ah istimewa seperti: Sulaiman bin Shard Khaza′i, Musayyab bin Najbah Khazari, Rufa′ah bin Syidad, Habib bin Mazahir dan lain sebagainya.3 Itu satu kelompok. Kelompok lain yang nama-namanya tertera dalam surat-surat tersebut justru pendukung Umayah. Misalnya, Sabts bin Rab′i yang pernah membangun sebuah masjid sepeninggal Imam Husain as sebagai rasa syukur atas terbunuhnya beliau;4 Hajjar bin Abjar, orang yang menjadi prajurit dalam pasukan Umar bin Sa′ad dan, di hari Asyura, mengingkari bahwa ia pernah menulis surat untuk Imam Husain as;5 Yazid bin Harits bin Yazid yang juga mengingkari bahwa dirinya pernah menulis surat untuk beliau;6 Azrah bin Qais, komandan pasukan berkuda Umar bin Sa′ad;7 Amr bin Hajjaj Zubaidi, komandan pasukan penjaga sungai Furat yang bertugas mencegah rombongan sahabat beliau dari mendapatkan air sungai tersebut.8 Sungguh menakjubkan, sebagian surat yang di dalamnya terdapat semangat yang berkobar, memberi dukungan kepada Imam Husain as dan mengaku bahwa telah siap bala tentara yang akan membantunya, justru orang-orang kerdil seperti ini.
1- Waq′at Al-Toff, hlm. 92. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 344. 3- Waq′at Al-Toff, hlm. 90 dan 91. 4- Târîkh Al-Tobarî, jld. 6, hlm. 22. 5- Ibid., jld. 5, hlm. 425. 6- Ibid. 7- Ibid., hlm. 142. 8- Waq′at Al-Toff, hlm. 93-95.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
53
Kelompok lain lagi yang nama-nama mereka tidak tertulis, kemungkinan besar adalah orang-orang awam yang hanya menuntut keuntungan materi dan suka mengikuti ke mana angin berhembus. Mereka ini tidak tahu apa-apa, dan sebenarnya tidak berarti. Mereka bagaikan gelombang besar yang kuat, yang jika ada penakhluk gelombang lihai mengarahkan mereka untuk kepentingan tertentu, gelombang tersebut akan memberikan banyak keuntungan bagi mereka. Kemungkinan besar, kebanyakan dari delapan belas ribu orang yang memberikan baiat kepada Muslim bin Aqil adalah orang-orang dari kelompok ini. Terbukti, ketika mereka merasa kepentingan duniawinya terancam karena siasat yang dijalankan oleh Umar bin Ziyad, mereka meninggalkan Muslim bin Aqil sendirian dan membiarkannya menggelandang di jalanan Kufah. Maka wajar sekali bila kita melihat orang-orang seperti mereka berada di pihak Ubaidillah bin Ziyad karena kepentingan duniawi mereka ada di situ. Mereka tidak mungkin bergabung dengan Imam Husain as yang jumlahnya beberapa orang saja dan kemungkinan menang hanya satu per seribu. Memang, mereka memiliki kecintaan kepada beliau sebagai cucu Rasulullah Saw dan putra Ali bin Abi Thalib as, tetapi mereka jugalah yang menghunuskan pedang ke arah beliau. Tentang mereka, Mujmi′ bin Abdullah ′Aidzi berkata kepada Imam Husain as, ″hati kebanyakan dari mereka bersamamu, namun kelak merekalah yang menghunuskan pedang ke arahmu.″1 Sebagian orang yang tidak jauh berbeda dari mereka, di hari Asyura, hanya menonton peristiwa pembantaian cucu Nabi Saw sambil menangis dan berdoa, ″Ya Allah, tolonglah Husain!″2 Sekarang, atas dasar apa yang telah kita jelaskan sekilas di sini, dapat disimpulkan bahwa motif dan tujuan para penulis surat dari warga Kufah untuk Imam Husain as itu tidaklah satu. Mereka dari berbagai kalangan dan motif mereka juga beragam. Motif dan tujuan tersebut dapat diringkas demikian:
1- Târîkh Al-Tobarî, jld. 4, hlm. 306. 2- Abdul Razzaq Muqarram, Maqtal Al-Husain, hlm. 189.
54
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram 1. Para pengikut setia Imam Husain as seperti: Habib bin Mazahir dan Muslim bin ′Ausyajah, mengakui bahwa kepemimpinan hakiki yang sebenarnya adalah hak dan kewenangan Ahlul Bait as, dan pemerintahan zalim yang menindas harus digulingkan. Jadi tujuan mereka mengajak Imam Husain as untuk menjadi pemimpin di Kufah adalah mengambil alih pemerintahan dan mendudukkan orang yang berhak di atas kursi kepemimpinan. Tetapi terus terang saja, orang-orang yang memiliki pola pikir seperti ini sangat terbatas sekali jumlahnya. 2. Sebagian banyak adalah orang-orang awam. Orang-orang tua yang teringat betapa makmurnya negeri mereka saat rezim Imam Ali as berkuasa lalu, di sisi lain, mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa zalimnya pemerintahan Bani Umayah yang telah berdiri selama dua puluh tahun itu. Untuk melepaskan diri dari kezaliman Bani Umayah, mereka menarik pakaian cucu Rasulullah Saw dan merengek kepada beliau; dengan harapan Imam Husain as dapat melenyapkan pemerintahan yang zalim itu. 3. Sebagian dari mereka yang meributkan nama baik dan kejayaan Kufah yang telah berpindah ke Syam selama dua puluh tahun memang sedang membutuhkan seseorang yang dapat menyertai mereka agar Kufah kembali menjadi seperti dulu lagi. Oleh karenanya, mereka menggebu-gebu meminta Imam Husain as agar bergabung dengan mereka; karena menurut mereka, orang yang paling tepat di zaman itu adalah Imam Husain as. Mereka tahu bahwa beliau memiliki pengaruh yang sangat besar di kalangan warga Kufah, dan beliau pun sama seperti mereka, yakni sama-sama menganggap pemerintahan Bani Umayah sebagai pemerintahan yang tidak sah. 4. Sebagian lain adalah pembesar-pembesar kabilah seperti Syabts bin Rab′i dan Hajjar bin Abjar. Mereka hanya memikirkan kekuasaan. Ketika melihat kebanyakan orang di Kufah sedang ramai-ramai memberikan dukungan kepada Imam Husain as untuk merebut tampuk kekuasaan dari Bani Umayah, mereka berpikiran bahwa mungkin tidak lama lagi
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
55
Imam Husain as memang benar-benar mencapai kemenangannya dan pemerintahan yang baru akan terwujud. Oleh karena itu, agar kabilah mereka tidak tertinggal, dan supaya kelak memiliki posisi dalam pemerintahan, mereka tidak mau kalah dalam memberikan dukungan dan semangat untuk Imam Husain as. Dengan demikian, mereka ikutikutan dalam menulis surat kepada beliau. 5. Sebagian yang lain merupakan orang-orang pengisi perut yang melihat betapa maraknya penduduk Kufah menulis surat untuk cucu nabi. Mereka dengan usahanya masingmasing ikut memeriahkan keramaian. Kedua, dengan datangnya Ibnu Ziyad ke Kufah, para pembesar kabilah dan kelompok-kelompok pendukung Bani Umayah menghela nafas panjang. Mereka berkumpul mengelilingi Ibnu Ziyad dan menceritakan masalah-masalah Kufah kepadanya. Sejak awal memasuki Kufah, Ubaidillah bin Ziyad menyadari kecintaan dan dukungan warga Kufah kepada Imam Husain as. Karena saat memasuki Kufah, ia memakai imamah (sorban) berwarna hitam dengan wajahnya yang ia tutupi kain, kebanyakan orang mengiranya sebagai Imam Husain as dan menyambutnya dengan meriah, namun ternyata ia bukan orang yang dinantikan.1 Di luar dugaan, Ubaidillah bin Ziyad baru memahami bahaya besar yang akan mengancam rezim. Ia bergegas merancang siasat sesuai dengan pengalamannya saat menjabat di Bashrah untuk meredam api yang berkobar di Kufah. Langkah-langkah Ubaidillah bin Ziyad pada waktu itu dapat dijelaskan berikut ini: Siasat Intimidasi Ibnu Ziyad telah menjalankan siasat ini sejak pertama kali datang ke Kufah; siasat buruk, pemaksaan, dan intimidasi. Dalam pidato pertamanya di Masjid Jami′ Kufah, ia berkata bahwa dirinya bagai seorang ayah yang baik hati terhadap orang-orang yang mematuhi
1- Waq′at Al-Toff, hlm. 109.
56
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
pemerintah; dan sebaliknya, ia tak pernah enggan menggunakan pedangnya untuk menghukum setiap pembangkang.1 Salah satu langkah efektif yang dipilih oleh Ibnu Ziyad pada waktu itu adalah mendatangkan bala tentara dari Syam menuju Kufah untuk menangani setiap gerak-gerik pemberontak-seperti peristiwa pengepungan Istana Darul Imarah yang dipimpin oleh Muslim- yang mungkin timbul tiap saat.2 Setelah peristiwa perdamaian antara Imam Hasan as dengan Mu′awiyah,dimana pada waktu itu adalah terakhir kalinya penduduk Kufah bersitegang dengan pasukan Syam, mereka mulai merasa segan terhadap pasukan Syam dan tidak memiliki rasa percaya diri jika harus berhadapan dengan kekuatan lawan. Mereka sama sekali tidak melihat adanya kekuatan dalam diri mereka untuk melawan pasukan Syam. Hal-hal seperti ini yang menciutkan nyali penduduk Kufah dan akhirnya sedikit demi sedikit Muslim bin Aqil ditinggalkan oleh kawan-kawannya.3 Dengan demikian, Muslim bin Aqil yang di siang hari bersama empat ribu pengikutnya berhasil mengepung Istana Darul Imarah dan hampir menjatuhkan Ubaidillah dari atas menara, malam harinya ia ditinggalkan seorang diri dan terluntang-lantung di jalanan Kufah.4 Godaan yang Menggiurkan Pada masa itu, tradisi kehidupan sosial mereka masih khas sekali. Hal itu menyebabkan besarnya pengaruh para pembesar kabilah-kabilah dalam urusan sosial sehari-hari. Seperti yang telah dijelaskan, kebanyakan pembesar kabilah waktu itu, seperti Syabts bin Rab′i, Amr bin Hajjaj dan Hajar bin Abjar, ikut serta dalam penulisan surat dalam mengajak Imam Husain as agar datang ke Kufah. Akan tetapi yang disayangkan, kebanyakan dari mereka hanya mementingkan kekuasaan dan kekuatan. Oleh sebab itu, dengan kedatangan Ubaidillah bin Ziyad ke Kufah beserta ancaman-ancamannya, mereka 1- Ibid., hlm. 110. Ia berkata, ″Kami akan menganyomi dan berbuat baik terhadap kalian bagaikan seorang ayah jika kalian mematuhi kami. Apabila kalian menentang dan membelot dari kami, maka kalian akan rasakan sayatan pedang kami.″ 2- Ibid., hlm. 125. 3- Ibid. 4- Ibid., hlm. 126.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
57
berubah pikiran dan lebih memilih meninggalkan Muslim bin Aqil daripada harus kehilangan dunia mereka. Akhirnya, mereka tidak berkeinginan lagi untuk berjuang bersama Muslim. Ini karena Ubaidillah bin Ziyad sendiri memang pintar dan tahu bagaimana memikat mereka agar berkumpul mengelilinginya. Dengan siasat ancaman dan iming-iming yang menggiurkan, Ubaidillah berhasil mengajak para pembesar kabilah ikut bersamanya. Sebagaimana yang diceritakan oleh Mujtami bin Abdullah Aidzi (orang yang tahu betul keadaan Kufah dan baru saja pergi meninggalkan Kufah lalu bergabung dengan cucu Rasulullah Saw) kepada Imam Husain as, ″Para pembesar kabilah-kabilah di Kufah telah menerima banyak suapan. Kantong-kantong mereka penuh terisi gandum dan pangan. Tekat mereka telah dibayar. Mereka tidak lagi menginginkan kebenaran. Kini mereka bersatu untuk melawanmu.″1 Kekuatan lain dalam masyarakat yang dimanfaatkan oleh Ubaidillah bin Ziyad adalah kaum ′urafa. ′Urafa adalah bentuk plural dari kata ′arif; maksudnya adalah orang-orang yang bertugas melakukan pengawasan atas beberapa orang dan bayaran setiap tahun yang mereka dapatkan dari pemerintah kira-kira sebesar seratus ribu dirham.2 Pendapatan mereka berbeda-beda, sesuai dengan berapa banyak orang yang harus mereka awasi; ada yang sepuluh orang, ada yang sampai seratus orang.3 Sejak banyaknya kabilah Arab yang menetap di Kufah, kedudukan ini menjadi kedudukan resmi dalam pemerintahan.4 Memberikan dan mencopot jabatan ini pun dilakukan oleh wali kota Kufah sendiri, bukan pemimpin kabilah. Jabatan inilah yang menjembatani pemerintah dengan rakyat. Karena orang-orang yang berada di bawah kontrol jabatan tersebut lebih sedikit daripada jumlah orang yang dipimpin langsung oleh pemimpin kabilah, maka mengkontrol mereka pun menjadi lebih mudah. Tugas asli seorang ′arif adalah menyediakan daftar nama-nama orang yang ia awasi beserta para istri dan anak-anak mereka. Setiap ada 1- Waq′at Al-Toff, hlm. 174. 2- Târîkh Al-Tobarî, jld. 3, hlm. 12. 3- Ibid. 4- Al-Hayât Al-Ijtimâ'iyyah wa Al-Iqtishôdiyyah fî Al-Kûfah, hlm. 49.
58
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
bayi yang lahir, mereka mencatat namanya; ketika ada yang meninggal dunia, nama mereka dihapus dari daftar tersebut dengan segera. Dengan demikian, mereka memiliki pengetahuan yang cukup akan orang-orang yang mereka awasi. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu seperti: jika terlihat adanya indikasi-indikasi pemberontakan, tugas mereka menjadi lebih berat lagi. Karena, mereka juga ditugaskun untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam lingkungan mereka masing-masing. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa jika terjadi pemberontakan oleh beberapa kelompok lalu pihak pemerintah meminta jajaran ′arif tersebut untuk melaporkan nama-nama mereka, maka nama-nama tersebut akan sampai ke tangan pemerintah dengan cepat.1 Sejak awal Ubaidillah bin Ziyad datang ke Kufah, ia tampak begitu lihai memanfaatkan kekuatan ini. Dalam hal ini, kemungkinan besar ia mencontoh ayahnya, Ziyad, dimana sebelumnya juga pernah menjadi wali kota Kufah. Setelah pidato pertama kalinya di masjid Jami′, ia datang ke istana Kufah dan mengumpulkan para ′arif lalu berkata kepada mereka, ″Kalian harus menuliskan nama-nama orang asing dan orang-orang yang menentang Amirul Mukminin, Yazid, sebagaimana yang kalian ketahui. Begitu juga kalian harus menuliskan nama-nama mereka yang bertujuan menebar ikhtilaf untukku. Bagi kalian yang menjalankan perintahku, tidak ada masalah; tapi jika ada di antara kalian yang tidak menuliskan nama-nama mereka, maka kalian harus menjamin bahwa tidak ada satu pun pemberontak di antara mereka. Jika ternyata terbukti ada satu pemberontak pun, maka harta dan darah kalian menjadi halal bagi kami. Jika di antara kalian sendiri termasuk seorang pemberontak, maka hukumannya adalah digantung di rumah kalian sendiri dan kami tidak akan memberikan bayaran untuknya sedikit pun.″2 Dengan demikian kita dapat memberikan kesimpulan bahwa siasat yang dijalankan oleh Ibnu Ziyad inilah yang memadamkan api kebangkitan di hati para pengikut Muslim bin Aqil.
1- Ibid. 2- Waq′at Al-Toff, hlm. 11; Târîkh Al-Tobarî, jld. 4, hlm. 267.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
59
Menyuap Pada waktu itu, penghasilan terbesar masyarakat adalah hadiah dan pemberian dari pihak penguasa. Kebiasaan ini telah berlangsung sejak keberhasilan pemerintahan Islam menguasai Persia. Orang-orang yang pernah ikut berperang melawan Persia, mendapatkan bagian mereka masing-masing. Pembiayaan pemerintah ini terus berlangsung lama dan oleh sebab itu kebanyakan orang menjadikan pemberian ini sebagai sumber utama kehidupan mereka. Jarang sekali orang-orang Arab yang mencari nafkah dengan cara menjadi petani, pedagang, pekerja dan lain sebagainya. Kebanyakan yang melakukan pekerjaanpekerjaan seperti itu adalah orang-orang non-Arab yang telah melakukan perjanjian sebelumnya dengan mereka untuk bekerja. Sampai-sampai saat itu pekerjaan seperti: berdagang, bertani dan lain sebagainya menjadi sesuatu yang aib bagi orang Arab dan bukan pekerjaan yang pantas untuk mereka lakukan.1 Pemberian yang dikenal dengan ′atha adalah pemberian yang dibagikan oleh pemerintah untuk rakyat baik secara tunai maupun kredit dalam bentuk uang. Adapun jirah adalah pemberian dalam bentuk bahan pangan seperti: kurma, gandum, minyak goreng dan lain sebagainya. Kebiasaan seperti ini jelas sekali dapat menciptakan ketergantungan mayoritas masyarakat Arab di sana kepada pemerintah. Pemerintah yang bertujuan buruk bisa dengan mudah memanfaatkan keadaan tersebut dan menyalahgunakannya. Ibnu Ziyad dalam ancaman-ancamannya kepada para ′arif pemerintah tidak lupa menyinggung masalah ini. Di antaranya, jika ditemukan seorang pemberontak dan ia berada di bawah pengawasan seorang ′arif, maka hukuman ′arif tersebut adalah diputusnya pengucuran dana yang selama ini dia diperoleh. Dalam kondisi seperti ini, tentunya tidak hanya ′arif yang bekerja keras mencabut akar-akar pemberontakan, tapi kalangan oportunis dan pencari keuntungan yang lain pun tak mau kalah. Tercatat pula dalam sejarah bahwa ketika Muslim dan pengikutnya berhasil mengepung istana Ubaidillah bin Ziyad, satu-satunya faktor besar yang menyebabkan berpalingnya pengikut Muslim dari tujuan
1- Al-Hayât Al-Ijtimâ ′iyyah wa Al-Iqtishôdiyyah fi Al-Kûfah, hlm. 219.
60
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
utama mereka adalah rayuan Ibnu Ziyad yang intinya: jika mereka membubarkan diri dan mau mematuhi rezim, maka penguasa akan berjanji menambahkan jumlah ′atha yang akan diberikan kepada mereka.1 Dengan menjalankan siasat ini, Ibnu Ziyad di Kufah mampu membubarkan barisan yang pernah bersatu untuk Imam Husain as dengan jumlah mereka yang tak kurang dari tiga puluh ribu orang.2 Dengan cara ini, dia mampu membuat pasukan Imam Husain as sendiri rela menghunuskan pedang ke arah beliau, padahal sebelumnya hati mereka senantiasa bersamanya.3 Imam Husain as juga menyadari hal ini. Beliau menyebut ketergiuran mereka lantaran uang sebagai salah satu kesalahan besar. Pada hari Asyura, beliau berkata kepada semua orang, ″Kalian semua mengkhianatiku dan tidak mendengarkan perkataanku. Menerima uang haram dan mengenyangkan perut kalian dengan makanan haram adalah penyebab pengkhianatan kalian. Dengan demikian, maka hatihati kalian telah terhijab.″4 Kehausan di Padang Karbala Dialog 8: Bagaimana menjelaskan dahaga yang diderita Imam Husain as di padang Karbala? Dalam sejarah kita sering membaca bahwa sejak hari ketujuh dari bulan Muharram, yakni tiga hari sebelum kesyahidan Imam Husain as, turun perintah dari Ubaidillah bin Ziyad yang intinya, ″Rentangkan jarak antara Husain dengan air. Jangan sampai dia meminum setetes pun air (dari sungai Furat).″ Mereka juga mengaku bahwa sikap ini adalah bentuk pembalasan dendam atas kejadian ditutupnya aliran air bagi Utsman bin Affan.5 Begitu mendengar perintah ini, segera Ibnu Sa′ad memerintahkan ′Amr bin Hajjaj bersama lima ratus pasukan berkudanya untuk menjaga jarak antara rombongan Imam Husain as dan sungai Furat 1- Waq′at Al-Toff, hlm. 125; Târîkh Al-Tobarî, jld. 4, hlm. 277. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 4. 3- Hayât Al-Imâm Al-Husain, jld. 2, hlm. 453. 4- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 8. 5- Balâdzarî, jld. 3, hlm. 180.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
61
agar mereka tidak dapat mengambil air darinya.1 Dalam dua dan tiga hari ini, Imam Husain as bersama para sahabatnya berusaha mendapatkan air, bagaimanapun caranya. Tak dapat dibayangkan betapa beratnya menahan dahaga di tengah padang gersang seperti itu, apalagi bagi rombongan Imam Husain as yang melibatkan kaum wanita dan anak-anak. Dalam sebagian riwayat yang lain disebutkan bahwa Imam Husain as berusaha menggali sebuah sumur di dekat perkemahan yang beliau dirikan. Namun ketika berita tersebut sampai ke telinga Ibnu Ziyad, ia memerintahkan Ibnu Sa′ad untuk menyusahkan Imam Husain as dan mehalanginya dari menggali sumur.2 Dalam sejumlah riwayat terpercaya yang lainnya juga disebutkan bahwa pada suatu malam, Abul Fadhl Abbas bersama tiga puluh pasukan berkudanya yang dipimpin oleh Nafi′ bin Hilal berhasil menyerang pasukan penjaga sungai Furat. Setelah beberapa lama berperang melawan kelompok ′Amr bin Hajjaj, mereka kembali ke perkemahan dengan dua puluh wadah air yang penuh terisi.3 Tidak ada keterangan jelas kapan waktu yang dimaksudkan dalam riwayat ini. Tetapi disebutkan bahwa yang pasti, kejadian itu adalah ketika rasa dahaga begitu dahsyat dirasa oleh Imam Husain as dan para sahabatnya. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa Imam Husain as pernah memercikkan tetesan-tetesan air ke wajah adiknya, Zainab as, saat ia pingsan setelah mendengar kakaknya berkata tentang kesyahidannya telah dekat.4 Dengan menyimak riwayat-riwayat di atas, ada kemungkinan bahwa mereka masih memiliki air di malam Asyura. Allamah Majlisi menulis dalam Bihâr Al-Anwâr bahwa di pagi hari Asyura, Imam
1- Ibid. 2- Al-Futûh, jld. 5, hlm. 91. ″… aku mendengar bahwa Husain dan anak-anaknya dapat meminum air dengan mudahnya. Mereka menggali sumur dan mengibarkan bendera-bendera. Setelah pesanku ini sampai ke telinga kalian, bergegaslah untuk mencegah mereka agar tidak dapat menggali sumur. Buatlah mereka susah dan jangan biarkan mereka mengambil air dari sungai Furat.″ 3- Waq′at Al-Toff, hlm. 152. 4- Târîkh Al-Ya ′qûbî, jld. 2, hlm. 244; Waq′at Al-Toff, hlm. 201; Al-Luhûf, hlm. 104.
62
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Husain as dan rombongannya masih memiliki banyak air. Beliau menulis perkataan Imam Husain as kepada para sahabatnya, ″Bangkitlah, minumlah karena air ini akan menjadi bekal terakhir kalian. Berwudhulah, mandi, dan sucikan pakaian kalian karena sebentar lagi akan menjadi kafan kalian.″ Setelah itu beliau melakukan shalat Subuh bersama-sama.1 Dari kata ″bekal terakhir kalian″ juga dengan membaca riwayatriwayat yang lain, dapat dipahami bahwa ketika air yang mereka miliki di pagi hari itu telah habis, mereka mulai merasakan dahaga yang mencekik dan tidak bisa mendapatkan air lagi. Sejak siang hari Asyura yang panas sampai detik-detik pembantaian, Imam Husain as dan para sahabatnya bertempur di padang Karbala yang gersang dengan menahan beban rasa haus yang begitu berat. Allamah Majlisi melanjutkan catatannya dengan membawakan ucapan salah satu tentara dari pasukan Umar bin Sa′ad yang bernama Tamim bin Hashin Khazaari. Dia mengatakan, ″Wahai Husain, wahai sahabat-sahabat Husain, tidakkah kalian melihat kilauan air sungai Furat bagai perut ular yang mengkilau? Demi Tuhan, kalian tidak akan pernah bisa meminum darinya meskipun setetes saja sampai kalian semua mati.″2 Di hari Asyura, ketika sedang menasihati penduduk Kufah yang hadir di Karbala, salah satu sahabat Imam Husain as bernama Hur mencaci maki mereka karena telah mengharamkan air untuk Imam Husain as dan keluarganya.3 Disebutkan pula bahwa Imam Husain as telah berupaya sekuat tenaga untuk mendapatkan air, akan tetapi beliau malah ditertawakan dan dihina oleh Syimir lalu beliau pun melaknatnya.4 Allamah Majlisi juga menukilkan beberapa riwayat yang intinya adalah permohonan Abul Fadhl Abbas untuk bertempur dan perintah Imam Husain as kepada dirinya agar mengambil air dari sungai Furat untuk anak-anak kecil yang menangis kehausan. Akan tetapi, Abul 1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 317. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 317. 3- Ansâb Al-Asyrôf, jld. 3, hlm. 189; Al-Irsyâd, hlm. 453. 4- Abul Faraj Esfahani, Maqôtil Al-Tôlibiyyîn, hlm. 86, menukil dari Bihâr AlAnwâr, jld. 45, hlm. 51.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
63
Fadhl Abbas tidak berhasil membawakan air. Ia terbunuh di jalan ketika kembali ke perkemahan.1 Meminta Air Dialog 9: Apakah benar Imam Husain as memohon kepada musuh untuk memperoleh air? Memang, sejak paruh siang pertama hari Asyura, Imam Husain as dan para sahabatnya sudah merasakan dahaga yang dahsyat. Akan tetapi, tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada saat itu, Imam Husain as memohon air dari pihak musuh. Pada dasarnya, masalah haus atau dahaga di hari Asyura tidak menjadi topik utama dalam riwayat-riwayat sahih yang menceritakan tragedi Asyura. Lain halnya dengan apa yang sering diutarakan dalam buku-buku tentang Asyura akhir-akhir ini. Bahkan jika dengan seksama kita membaca syair-syair yang ditulis tentang Asyura, Imam Husain as dan sahabat-sahabatnya, kita tidak menemukan topik pembicaraan yang menitikberatkan rasa haus yang dirasakan mereka. Bahkan kebalikannya, syair-syair dan ucapan-ucapan Imam Husain as sendiri di hari Asyura semuanya mengandung kata-kata tentang kemuliaan dan kemenangan. Sebagai contoh, kita akan membawakan perkataan Imam Husain as yang beliau ucapkan di hari Asyura, ″Ketahuilah bahwa anak zina putra anak zina (Ibnu Ziyad) telah memintaku memilih salah satu dari dua hal: bertempur melawan mereka atau menyerah, membaiat Yazid dan menerima kehinaan. Tetapi sesungguhnya kehinaan amatlah jauh dari kami. Sungguh Allah, rasul-Nya, orang-orang beriman dan semua orang yang mulia tidak akan membenarkanku jika aku memilih kehinaan daripada kemuliaan dengan cara menuruti orang-orang yang hina; lebih mulia mati tersayat-sayat pedang tapi dengan penuh kemuliaan.″2 Dalam kesempatan-kesempatan tertentu, saat diadakan acara peringatan hari Asyura, seringkali warna-warna asli perjuangan Imam Husain as menjadi luntur dan, sebagai gantinya, kita mengingat beliau dengan penuh rasa kasihan, kesedihan dan isak tangis. Sangat
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 41 dan 42. 2- Al-Luhûf, hlm. 123 dan 124.
64
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
disesalkan terkadang juga sampai-sampai kita membicarakan beritaberita tentang Asyura yang kita buat-buat sendiri dengan tujuan agar peristiwa Asyura lebih dramatis, tragis, menyedihkan dan lebih membuat kita menangis. Dan lebih parah lagi, terkadang kita malah sudi menciptakan citra yang hina untuk Imam Husain as. Sebagai contoh, ada yang menambahi kejadian Asyura dengan cerita bohong seperti ini: Imam Husain as berjalan menuju Umar bin Sa′ad lalu meminta tiga hal darinya. Permintaan kedua beliau adalah, ″Berilah aku seteguk air, karena tenggorokanku kering dan terbakar dahaga.″1 Lalu Umar bin Sa′ad mengabaikan permintaan ini begitu saja. Ya, memang benar dengan membawakan cerita bohong seperti ini kita lebih tergugah hingga mudah menangis, tetapi hal ini sangat menondai martabat mulia Imam Husain as dan keagungan peristiwa Asyura. Tidak ada keuntungan yang kita dapatkan bahkan kita sendiri yang akan merasakan dampak buruknya sebagai pengikut mazhab Syi′ah.2 Makam Kepala Suci Imam Husain as Dialog 10: Dimanakah kepala suci Imam Husain as dimakamkan? Dalam sumber-sumber sejarah, baik dari kelompok Syi′ah maupun Sunni, ada banyak pendapat mengenai tempat kepala suci Imam Husain as juga kepala-kepala suci para syuhada yang lain dimakamkan. Terlepas dari segala pendapat harus kita teliti dahulu sebelum kita terima, sampai saat ini yang diyakini kebanyakan pengikut mazhab Ahlul Bait as adalah kepala suci Imam Husain as bersama jasadnya dimakamkan di Karbala setelah beberapa waktu. Di sini kita akan mengadakan pembahasan lebih lanjut khusus masalah ini.
1- Tharihi, Al-Muntakhab, hlm. 439. 2- Untuk membaca lebih lanjut mengenai hal ini, silahkan rujuk Ezzat-talabi dar Nehdhat-e Emam Husain, Nikmatullah Shafari Forushani, dalam majalah Hukumate Eslomi, no. 26, hlm. 79-116.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
65
Karbala Pendapat mengenai dimakamkannya kepala suci Imam Husain as di Karbala adalah pendapat masyhur di kalangan Syi′ah, sebagaimana Allamah Majlisi telah mengisyaratkan hal itu.1 Berdasarkan perkataan putri Imam Zainal Abidin as dan saudari Imam Husain as, Syaikh Shaduq menceritakan bahwa di Karbala itu juga kepala dan jasad Imam Husain as disatukan kembali.2 Akan tetapi, mengenai bagaimana kepala dan jasad beliau disatukan, juga banyak pendapat yang berbeda-beda. Sebagian ulama seperti Sayid Ibnu Thawus menerangkan bahwa disatukannya kepala dan jasad suci Imam Husain as adalah perkara Ilahi. Yakni, Allah dengan kekuasaan-Nya telah melakukan demikian. Setelah memberikan penjelasan ini, ia mencegah kita untuk bertanyatanya lagi tentang masalah tersebut.3 Sebagian yang lain berpendapat bahwa Imam Zainal Abidin as kembali lagi ke Karbala empat puluh hari setelah Asyura,4 atau di hari lain selain hari itu, kemudian menguburkan kepala Imam Husain as di dekat makam jasad beliau.5 Apakah kepala dan jasad beliau benar-benar menyatu kembali seperti semula ataukah hanya dimakamkan berdekatan dengan badan beliau, mengenai masalah ini tidak ada penjelasan yang detil. Sayid Ibnu Thawus juga mencegah kita untuk mencari tahu akan hal ini.6 Sebagian kelompok yang lain mengatakan bahwa saat Yazid memerintah, kepala suci Imam Husain as, setelah dipisahkan dari jasadnya, digantungkan di pintu gerbang Damaskus selama tiga hari. Setelah itu kepala beliau diturunkan dan disimpan dalam peti penyimpan harta milik pemerintah dan kepala suci tersebut tetap di situ sampai era pemerintahan Sulaiman bin Abdul Malik. Kemudian
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 45. 2- Ibid., jld. 45, hlm. 140, menukil dari Al-Amâlî, Shaduq, hlm. 231. 3- Sayid Ibnu Thawus, Iqbâl Al-A'mâl, hlm. 588. 4- Syahid Qadhi Thabathabai, Tahqiq dar boreh-e Avolin-e Arba'in-e Hadhrat-e Sayidussyuhada, jld. 3, hlm. 304. 5- Al-Luhûf, hlm. 232. Hanya saja dalam kitab ini, nama Imam Ali Zainal Abidin as tidak disebutkan dengan jelas. 6- Iqbâl Al-A'mâl, hlm. 588.
66
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
pada suatu hari, Sulaiman bin Abdul Malik mengeluarkannya dari peti itu lalu mengafaninya dan menguburkannya di pemakaman Muslimin di kota Damaskus. Setelah itu, pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H), kepala beliau dikeluarkan dari kuburnya dan tidak diketahui apa yang telah dilakukan terhadapnya waktu itu. Tetapi, jika kita ingat bagaimana Umar bin Abdul Aziz dikenal umum sebagai pemimpin yang menjalankan syariat secara baik, maka kemungkinan kepala beliau dipindahkan ke Karbala dan dimakamkan di sana.1 Sebagai penutup, perlu kita ketahui bersama bahwa beberapa ulama Ahli Sunah seperti Syabrawi, Syablanji dan Ibnu Huwaizi, kurang lebih juga mempercayai bahwa kepala suci beliau dimakamkan di Karbala.2 Najaf Al-Asyraf, di Sisi Makam Imam Ali as Jika kita menelaah karya Allamah Majlisi dan meneliti berbagai riwayat yang lain, kita dapat menyimpulkan bahwa kepala suci Imam Husain as telah dimakamkan di Najaf di sisi makam Imam Ali as.3 Adanya riwayat yang menceritakan bahwa setelah Imam Shadiq as dan anak beliau yang bernama Ismail melakukan shalat di samping makam Imam Ali bin Abi Thalib as, mereka mengucapkan salam kepada Imam Husain as. Ini menunjukkan kemungkinan kepala beliau dimakamkan di situ.4 Ada banyak riwayat-riwayat lain yang juga menguatkan kemungkinan ini. Misalnya, dalam kitab-kitab Syi′ah sendiri pun terdapat beberapa doa ziarah untuk Imam Husain as yang dibaca ketika kita berada di sisi makam Imam Ali as.5 Adapun mengenai bagaimana kepala suci Imam Husain as itu bisa sampai ke tempat ini? Diriwayatkan dari Imam Shadiq as bahwa 1- Amini, Muhammad Amin, Ma ′a Rikâb Al-Husaini, jld. 6 hlm. 324, menukil dari Maqtal Al-Khawârazmi, jld. 2, hlm. 75. 2- Ibid., hlm. 324 dan 325. 3- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 45. 4- Ibid., jld. 45, hlm. 178, menukil dari Kâmil Al-Ziyârôt, hlm. 34 dan Al-Kâfî, jld. 4, hlm. 571. 5- Ibid., hlm. 175; rujuk pula Ma ′a Rikabil Husaini, jld. 6, hlm. 325-328.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
67
kepala beliau dicuri oleh salah seorang pecinta Ahlul Bait as dari kaki tangan pemerintahan Syam lalu membawanya ke makam Imam Ali as.1 Tetapi riwayat ini dapat diperdebatkan kembali karena sesungguhnya makam Imam Ali as sebelum masa keimaman Imam Shadiq as belum diketahui keberadaannya oleh semua orang. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa setelah beberapa lama berada di Damaskus, kepala suci Imam Husain as kemudian dikembalikan kepada Ibnu Ziyad. Karena Ibnu Ziyad takut akan kemarahan masyarakat di sekitarnya, maka ia memerintahkan kaki tangannya untuk membawa kepala suci beliau keluar dari kota Kufah dan menguburkannya di sisi makam Imam Ali as.2 Akan tetapi, riwayat ini juga masih diragukan kebenarannya sebagaimana riwayat sebelumnya. Kufah Sibth bin Jauzi yang berpendapat bahwa kepala suci Imam Husain as dimakamkan di Kufah. Ia berkata, ″′Amr bin Harits Makhzumi mengambilnya dari Ibnu Ziyad. Lalu setelah memandikan, mengkafani dan memberinya wewangian, ia menguburnya tepat di rumahnya.″3 Madinah Ibnu Sa′ad, penulis Al-Tobaqôt Al-Kubrô, menerima pendapat ini dan berkata demikian, ″Yazid mengirimkan kepala tersebut kepada gubernur Madinah, ′Amr bin Sa′id. Kemudian setelah ia mengkafaninya, kepala tersebut dimakamkan di pemakaman Baqi′ di dekat makam ibunda Fathimah Zahra as.″ 4 Pendapat ini memiliki banyak pendukung di kalangan ulama Ahli Sunah seperti: Khwarazmi dalam Maqtal Al-Husain dan Ibnu Imad Hanbali dalam Syadzarôt Al-Dzahab.5
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, halamn 145. 2- Ibid., hlm. 178. 3- Tadzkirot Al-Khowashsh, hlm. 259, menukil dari Ma ′a Rikâb Al-Husaini, jld. 6, hlm. 325-328. 4- Ibnu Sa′ad, Al-Tobaqôt Al-Kubrô, jld. 5, hlm. 112. 5- Ma ′a Rikâb Al-Husaini, jld. 6, hlm. 330 dan 331.
68
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Pendapat ini dapat ditentang dengan kenyataan tidak diketahuinya makam putri Rasulullah Saw. Bagaimana bisa dimakamkan di dekat makam Fathimah Zahra as sedangkan makam beliau sendiri tidak dketahui? Syam Mungkin dapat dikatakan bahwa kebanyakan riwayat Ahli Sunah menjelaskan bahwa kepala suci beliau dimakamkan di Syam. Tapi kemungkinan ini sendiri masih diperdebatkan oleh mereka. Belum lagi di bawah kemungkinan ini akan muncul berbagai kemungkinan lainnya. Ada yang mengatakan bahwa kepala tersebut dimakamkan di sebuah kebun di pinggir Masjid Jami′ Umawi; ada yang mengatakan di Darul Imarah; ada yang mengatakan di pemakaman Damaskus; ada juga yang mengatakan di dekat gerbang Tuma kepala suci tersebut dimakamkan.1 Ruqqah Ruqqah adalah sebuah kota kecil di dekat sungai Furat. Disebutkan bahwa Yazid mengirimkan kepala itu untuk keluarga Abi Muhith (sanak saudara Utsman bin Affan yang saat itu tinggal di sana) lalu mereka menguburkannya di sebuah rumah dan lambat laun rumah tersebut dirubah menjadi masjid.2 Mesir (Kairo) Dinukilkan bahwa dinasti Fathimi yang bermazhab Syi′ah Ismailiyah dan memerintah di Mesir sejak paruh kedua abad IV hingga paruh kedua abad VII telah mengambil kepala suci tersebut dari pintu gerbang Faradis di Syam dan dipindahkan ke Asqalan kemudian ke Kairo; lalu mereka membangun makam terkenal bernama Tajul Husain di sana pada abad VI.3 Muqrizi menyebutkan bahwa dipindahkannya kepala Imam Husain as dari Asqalan menuju Kairo terjadi tepatnya adalah pada tahun 548 H. Disebutkan pula bahwa saat itu, darah kepala suci
1- Ibid., jld. 6, hlm. 331-335. 2- Ibid., hlm.334, menukil dari Tadzkirot Al-Khowashsh, hlm. 265. 3- Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah, jld. 8, hlm. 205.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
69
tersebut terlihat masih segar dan tidak pernah mengering serta selalu beraroma wangi semerbak Misik.1 Allamah Sayid Muhsin Amin Amili (termasuk ulama penting Syi′ah) setelah menceritakan dipindahkannya kepala Imam Husain as dari Asqalan menuju Mesir, menuturkan, ″Di tempat dimakamkannya kepala tersebut telah dibangun kubah besar dan di dekatnya juga dibangun sebuah masjid. Pada tahun 1321 HS aku pernah berziarah ke sana. Di sana aku melihat banyak peziarah yang khusyuk membaca doa, baik lelaki maupun perempuan.″ Ia melanjutkan, ″Tidak diragukan bahwa sebuah kepala seorang syahid memang telah dipindahkan dari Asqalan menuju Mesir. Akan tetapi, tetap ada keraguan apakah kepala itu milik Imam Husain as atau orang lain.″2 Allamah Majlisi juga menyinggung adanya sekelompok orang dari Mesir yang mengaku di negerinya terdapat sebuah kubah besar dan dikenal dengan Masyhadul Karim (tempat kesyahidan yang mulia).3 Para Sahabat Imam Husain as Dialog 11: Apakah tepat di malam Asyura ada sahabat Imam Husain as yang pergi meninggalkannya? Sebenarnya berapa jumlah sahabat beliau saat peristiwa Asyura terjadi? Pertanyaan ini adalah dua pertanyaan yang harus dibahas secara terpisah seperti berikut: Kesetiaan Sahabat Dalam referensi-referensi sejarah disebutkan bahwa dalam peristiwa Karbala Imam Husain as pernah mempersilahkan sahabat-sahabatnya yang ikut bersamanya untuk meninggalkan beliau. Akan tetapi mereka mengucapkan kata-kata kepahlawanan dan berikrar untuk membela Al Husain as. Tak satu pun dari mereka yang pergi meninggalkan beliau. Di sinilah Imam Husain as mengucapkan perkataannya yang sering kita dengar, ″Sesungguhnya aku tidak melihat ada sahabat yang lebih baik dari sahabat-sahabatku. Aku juga
1- Ma ′a Rikabil Husaini, jld. 6, hlm. 337. 2- Amin Amili, Sasyid Muhsin, Lawaijul Asyjan fi Maqtalil Husain, hlm. 250. 3- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 144.
70
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
tidak melihat ada keluarga yang lebih baik dan lebih menjaga ikatan keluarga selain keluargaku ini.″1 Itu dari satu sisi. Tapi di sisi yang lain, disebutkan pula bahwa banyak sahabat-sahabat Imam Husain as yang lain yang membubarkan diri di rumah Zabalah setelah mendengar berita kematian saudara sesusu Imam Husain as (Abdullah bin Yaqthir). Setelah itu Imam Husain as menulis sebuah tulisan. Setelah menyinggung tentang kematian Muslim, Hani dan Abdullah, beliau berkata, ″Para pengikut kami telah menghinakan kami. Siapa pun yang ingin meninggalkan kami silahkan. Kami tidak akan menuntut apa-apa.″2 Setelah itu kelompok demi kelompok pengikut beliau pergi meninggalkan rombongan. Hanya beberapa orang yang tersisa dan tetap mendampingi beliau. Mereka adalah orang-orang yang telah ikut bersama Imam Husain as sejak dari Madinah. Orang-orang yang pergi meninggalkan Imam Husain as saat itu adalah orang-orang Arab baduwi yang sejak awal menyangka jika mereka ikut bersama beliau, maka mereka akan merasakan hidup yang lebih baik dan tentram. Karena di mata mereka Imam Husain as pergi menuju suatu tempat lalu mendirikan pemerintahannya di sana.3 Oleh karenanya, jika mereka meninggalkan beliau seperti ini, maka sudah sewajarnya begitu. Dalam riwayat-riwayat terpercaya yang lain tidak disebutkan ada beberapa sahabat yang meninggalkan Imam Husain as setelah peristiwa di rumah Zabalah. Akan tetapi, dalam sebuah kitab yang kurang begitu terpercaya yang bernama Nûr Al-'Uyûn disebutkan bahwa Sukainah putri Imam Husain as bercerita tentang adanya beberapa sahabat yang pergi meninggalkan sang ayah kelompok demi kelompok. Sukainah pun sakit hati karena mereka.4 Tapi riwayat ini tidak dapat dijadikan pegangan jika dibanding dengan riwayat-riwayat sebelumnya yang memiliki kejelasan sanad. Terlebih lagi riwayat ini bertentangan dengan ucapan-ucapan 1- Waq′at Al-Toff, hlm. 197, dan rujuk pula: Thabaqatu Ibnu Sa ′ad, jld. 5, hlm. 418; Syaikh Mufid, Al-Irsyâd, hlm. 442. 2- Waq′at Al-Toff, hlm. 166. 3- Bid., hlm. 166. 4- Iksîr Al-Ibâdah fî Asrôr Al-Syahâdah, jld. 2, hlm. 182.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
71
kepahlawanan para sahabat dan keluarga beliau di malam Asyura, juga dengan ucapan beliau tentang mereka. Jumlah Sahabat Sumber-sumber sejarah tidak menyatakan hal yang sama dalam menyebutkan jumlah para sahabat Imam Husain as.1 Misalnya Thabari dalam kitabnya menyebutkan bahwa jumlah mereka sebanyak seratus orang. Di antara mereka terdapat lima anak Imam Ali as, enam belas orang dari Bani Hasyim juga selain Bani Hasyim yang berasal dari kabilah yang berbeda-beda.2 Sebagian yang lain seperti Ibnu Syahr Asyub menyebutkan bahwa jumlah mereka sebanyak 82 orang.3 Ibnu Nama seorang alim Syiah pada abad VI dan VII menyebutkan bahwa sahabat Imam Husain saat itu jumlahnya sebanyak seratus pasukan pejalan kaki dan empat puluh lima pasukan berkuda.4 Sibth Ibnu Jauzi juga berpendapat sama.5 Riwayat-riwayat yang ditukil dari Imam Bagir as yang terdapat pada kitab-kitab hadis Ahli Sunah juga menguatkan pendapat ini.6 Yang paling aneh adalah pendapat Mas′udi. Ia berkata bahwa jumlah pasukan Imam Husain as pada hari Asyura sebanyak seratus pasukan pejalan kaki dan lima ratus pasukan berkuda.7 Akan tetapi yang masyhur di kalangan kita sampai saat ini adalah, pasukan Imam Husain as di Karbala sebanyak 72 orang: 32 orang dari mereka adalah pasukan berkuda dan 40 orang pasukan pejalan kaki.8 1- Referensi pembahasan ini sampai terakhir adalah kitab yang berjudul Târîkh Imam Husain, jld. 3, hlm. 242-250. Kitab setebal lima jilid ini diterbitkan oleh Entesyarat-e Amozesy va Parvaresy. Kitab ini membahas seputar peristiwaperistiwa yang berkenaan dengan tragedi Asyura. 2- Târîkh Al-Tobarî, jld. 5, hlm. 393. 3- Al-Manaqib, jld. 4, hlm. 98. 4- Mîrôts Al-Ahzân, hlm. 27 dan 28. 5- Tadzkirot Al-Khowâshsh, hlm. 143. 6- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 4. 7- Murûj Al-Dzahab, jld. 3, hlm. 70. 8- Ansâb Al-Asyrôf, jld. 3, hlm. 187; Diynawari, Al-Akhbâr Al-Tiwâl, hlm. 254; Ibnu A′tsam, Al-Futûh, jld. 5, hlm. 183; Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 4; Fattaal Neyshaburi, Raudhatul Wa ′idzin, hlm. 158. Untuk mengetahui lebih laanjut tentang
72
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Para Sahabat Al Husain as Dialog 12: Selain Imam Ali Zainal Abidin as, apakah ada lelaki lain yang hadir bersama Imam Husain as di Karbala lalu tetap hidup sampai setelah peristiwa itu usai? Dengan merujuk kepada sumber-sumber sejarah, kita dapat memahami bahwa waktu itu ada beberapa kelompok yang masih tetap hidup setelah peristiwa Asyura. Mereka adalah para sahabat beliau yang sebagian dari mereka adalah Bani Hasyim. Kita akan membahasnya dalam dua bagian: Bani Hasyim Mereka yang tetap hidup adalah Imam Ali Zainal Abidin as dan Hasan bin Hasan (Hasan Al-Mutsanna). Pada hari Asyura, ia terluka parah dan akhirnya ditawan. Saat Asma′ bin Kharijah hampir membunuhnya, Umar bin Sa′ad melarangnya. Ia menikah dengan Fathimah putri Imam Husain as dan meninggal pada usia 35 tahun. Ia juga sempat mengalami hidup bersama Imam Ali as sekian lamanya.1 Hasan bin Hasan adalah ayah Abdullah bin Hasan yang dikenal dengan Abdullah Mahdh. Dan Abudullah adalah ayah Muhammad bin Abdullah yang dikenal dengan Nafs Zakiyah. Ia disebut dengan sebutan itu karena ia adalah orang pertama yang lahir dari bapak dan ibu Alawi. Zaid bin Hasan. Ia juga putra Imam Hasan as. Dalam sebagian kitab sejarah, disebutkan kehadirannya pada peristiwa Karbala.2 Ia hidup sampi umur 90 tahun dan menjadi tokoh Bani Hasyim.3
nama-nama para sahabat, silahkan merujuk: Bihâr Al-Anwâr, jld. 101, hlm. 269274. Di sini terdapat Ziarah Nahiyah Muqaddas yang menyebutkan nama-nama para syuhada dan mengirimkan salam kepada mereka; Samawi, Syaikh Muhammad, Abshôr Al-Husain fî Anshôr Al-Husain, yang menyebutkan nama 113 sahabat Imam Husain as dan biografinya; Fudhail bin Zubair, dalam Tasmiyatu man Qutila ma ′a Al-Husain min Âlih wa awlâdihi wa syî'atih, dalam majalah Turôtsunâ, vol. 2, tahun 1406 H. 1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 166 dan 167. 2- Maqatil Al-Talibin, hlm. 119, menukil dari Syahid-e Javid, hlm. 109. 3- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 163-165.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
73
Amr (Umar) bin Hasan. Dalam sebagian sumber-sumber sejarah juga disebutkan tentang berita kehadirannya pada hari Asyura dan ia tetap hidup setelah hari itu.1 Nama lainnya adalah Muhammad bin Aqil dan Qasim bin Abdullah bin Ja ′far.2 Sahabat-sahabat yang Lain Uqbah bin Sam′an. Ia adalah budak Rubab, istri Imam Husain as yang pada hari Asyura ditawan dan dibawa untuk Umar bin Sa′ad. Tetapi, ketika Umar bin Sa′ad mendengar berita itu, ia memerintahkan pasukannya untuk melepasnya.3 Dhahhak bin Abdullah Masyriqi. Sebelum peristiwa Asyura terjadi, ia telah membuat kesepakatan dengan Imam Husain as, yaitu ia bersedia menemani beliau selama beliau tidak sendiri; akan tetapi jika suatu saat beliau sendirian, maka ia boleh pergi meninggalkannya. Oleh karena itu, pada hari Asyura, ia mengingatkan kesepakatannya kepada Imam Husain as. Beliau tidak keberatan kemudian bertanya, ″Bagaimana engkau akan menyelamatkan dirimu? Jika engkau bisa menjaga dirimu maka pergilah.″ Setelah mendengar perkataan Imam Husain as ini, ia menaiki kudanya lalu membelah barisan pasukan musuh dan lolos dari peperangan dengan selamat secara menakjubkan.4 Di kalangan para sejarawan, ia dikenal sebagai seorang perawi yang meriwayatkan berbagai kejadian penting dalam peristiwa Asyura.5 Ghulam Abdurrahman bin Abdullah Anshari. Ia hadir dalam peristiwa Karbala dan meriwayatkan banyak hal mengenai peristiwa itu. Tentang dirinya sendiri ia bercerita, ″Ketika aku melihat banyak sahabat Imam Husain as gugur tewas, aku lari menyelamatkan diri.″6
1- Târîkh Al-Tobarî, jld. 4, hlm. 359, menukil dari Syahid-e Javid, hlm. 109. 2- Siyar A′lam Al-Nubala ′, jld. 3, hlm. 203, menukil dari Syahid-e Javid, hlm. 109. 3- Waq′at Al-Toff, mukadimah, hlm. 32, menukil dari Târîkh Al-Tobarî, jld. 5, hlm. 454. 4- Al-Kâmil fî Al-Târîkh, jld. 2, hlm. 569. 5- Waq′at Al-Toff, hlm. 34 dan 35 (mukadimah). 6- Ibid., hlm. 35, menukil dari Târîkh Al-Tobarî, jld. 5, hlm. 421 dan 422.
74
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram Marqa ′ bin Tsamanah Asadi Muslim bin Rabbah Maula Ali1
Sebagaimana yang telah disebutkan, riwayat-riwayat dalam sumbersumber sejarah yang menceritakan tragedi Karbala kebanyakan berasal dari mereka, baik secara langsung ataupun tidak. Syahar Banu Dialog 13: Apakah Syahar Banu putri Yazgard III adalah ibu Imam Ali Zainal Abidin as? Apakah ia juga hadir dalam peristiwa Karbala? Apa benar Imam Husain as meminta Syahar Banu agar pergi ke Persia guna menyelamatkan diri dan makamnya kini berada di kota Tehran (Iran)? Akhir-akhir ini memang banyak tulisan yang menukil cerita-cerita yang dikira benar. Misalnya disebutkan bahwa dalam beberapa buku sejarah tercatat bahwa di hari Asyura, Imam Husain as memerintahkan Syahar Banu untuk pergi menuju negeri Persia. Lalu dengan menunggangi kuda beliau, Shaharbanu berangkat dan dengan izin Tuhan tak lama kemudian ia sampai di perbukitan Rey. Ia dimakamkan di sana di dekat makam Sayid Abdul Adzim Hasani.2 Disebutkan pula bahwa telah masyhur di kalangan masyarakat akan adanya suatu kain seperti penutup wajah di atas bukit itu. Dan yang menakjubkan, tidak ada satupun lelaki yang bisa mendekatinya. Seorang perempuan yang sedang mengandung bayi laki-laki pun juga tidak bisa mendekat.3 Juga masyhur di kalangan banyak orang bahwa ketika Shaharbanu sedang mendekati Rey, ia meminta pertolongan kepada Allah dengan menyebut kata Huw (yang artinya adalah Allah-penj.). Akan tetapi, ia salah bicara, ia tidak mengatakan Huw akan tetapi mengatakan Kuh (bahasa Parsi yang artinya adalah ″gunung″-penj.) Akhirnya tiba-tiba ia ditelan gunung dan terkubur dalam perutnya.4
1- Syahid-e Javid, hlm. 109, menukil dari Târîkh Al-Tobarî, jld. 4, hlm. 347 dan Tadzhîb Târîkh Ibn Asâkir, jld. 4, hlm. 338. 2- Mula Agha Darbandi, Iksir Al-Ibâdah fî Asrôr Al-Syahâdah, jld. 3, hlm. 110. 3- Ibid. 4- Syahidi, Sayid Ja′far, Zendegoni Ali ibn Husain.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
75
Mungkin sebagian orang menganggap dengan pasti bahwa pada peristiwa Asyura ibu Imam Ali Zainal Abidin as tidak hadir waktu itu. Mungkin juga tidak perlu ada penjelasan panjang lebar bagi mereka tentang tidak hadirnya istri Imam Husain as ini di hari Asyura. Akan tetapi di kalangan orang-orang awam terdapat banyak kekeliruan mengenai masalah ini. Oleh karenanya, kita akan membahasnya di sini. Untuk membahas permasalahan ini, kita akan memberikan sedikit penjelasan sebelumnya memasukinya. Ibu Imam Ali Zainal Abidin as Dengan merujuk sumber-sumber sejarah baik milik Syiah maupun Ahli Sunah, kita dapat memahami bahwa salah satu masalah yang mana ulama Syiah banyak berbeda pendapat tentangnya, adalah masalah siapa nama ibu Imam Ali Zainal Abidin as. Para ulama dengan merujuk referensi-referensi kepercayaan mereka menyebutkan berbagai nama yang kurang lebih sampai empat belas atau enam belas nama. Nama-nama tersebut adalah: o Syahar Banu. o Syahar Banuwiyah. o Syahzanan. o Jahansyah. o Sahzanan. o Syaharnaz. o Jahanbanuwiyeh. o Khaulah. o Barrah. o Salafah. o Ghazalah. o Salamah. o Harar. o Maryam.
76
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram o Fathimah. o Syaharban.
Dalam sumber-sumber sejarah Sunni ibu Imam Ali Zainal Abidin as lebih dikenal dengan sebutan Salafah, Salamah, dan Ghazalah.1 Tetapi di kalangan kaum Syiah, terutama yang disebut dalam kitabkitab riwayat terkemuka, ibu Imam Ali Zainal Abidin as lebih dikenal dengan sebutan Syahar Banu. Berdasarkan yang ditulis oleh sebagian peneliti,2 untuk pertama kalinya nama ini disebut dalam kitab Habâ'ir Al-Darojât karya Muhammad bin Hasan Shafar Qumi (290 H.)3 Lalu setelah itu, perawi terkenal Al Kulaini menuliskan riwayat tersebut dalam kitabnya Al-Kâfî.4 Adapun sumber-sumber yang lain, jika mereka tidak menukil dari kedua kitab di atas, mungkin mereka menukil riwayat-riwayat yang dha'if (lemah) dan tanpa sanad yang baik.5 Dalam riwayat itu disebutkan: ″Ketika putri Yazgard dibawa ke hadapan Umar, para wanita perawan Madinah berdatangan untuk melihatnya. Ketika ia memasuki masjid, tempat itu diterangi dengan cahayanya. Umar menatapnya lalu perempuan itu menutupi wajahnya dan mengatakan beberapa patah kata dengan bahasa Persia, ″Oh, betapa kelam hari-hari Harmuz.″ Tiba-tiba Umar berkata, ″Perempuan ini mencaciku!″ Imam Ali as berkata kepadanya, ″Tidak. Biarkan ia memilih salah seorang Muslim di antara kita dan hitunglah saham ghanimah-nya.″ Umar melakukan apa yang beliau minta. Tak lama kemudian, perempuan itu meletakkan tangannya di atas kepala Imam Husain as. Imam Ali as bertanya kepada perempuan tersebut, ″Siapa namamu?″ Ia menjawab, ″Jahansyah.″ Imam Ali as kemudian berkata, ″Namamu adalah Syahar Banuwiyah.″ Kemudian beliau berkata kepada Imam Husain as, ″Akan lahir seorang manusia yang terbaik di antara semua penghuni bumi dari perempuan ini untukmu. Ia akan dikenal dengan sebutan Ibnu 1- Eftekharzadeh, Mahmudreza, Syu'ubiyeh-e Nasionalism-e Iron, hlm. 305 yang menukil nama-nama di atas dari kitab Ansâb Al-Asyrôf milik Baladzari, Al-Tobaqôt milik Ibnu Sa′ad, Al-Ma ′ârif milik Ibnu Qutaibah Dinawari, dan Al-Kâmil. 2- Shahidi, Zendegoni-e Ali bin Al-Husain, hlm. 12. 3- Bihâr Al-Anwâr, jld. 46, hlm. 9, hadis 20. 4- Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, hlm. 369. 5- Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sejarah hidup Syahar Banu, silahkan merujuk: Syu'ubiyeh-e Nasionalism-e Iron, hlm. 289-337.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
77
Khiyaratain, yakni anak dari dua darah terbaik pilihan Tuhan, yang pertama dari Bani Hasyim dan yang kedua dari Persia.″1 Riwayat ini perlu dibahas baik sanad maupun teksnya. Dari sisi sanad, riwayat ini diriwayatkan oleh beberapa orang seperti: Ibrahim bin Ishaq Ahmar2 dan Amr bin Syimr dimana mereka pernah disebut sebagai orang yang berlebihan dalam mencintai Ahlul Bait (Ghuluw) dan tidak pernah dipercaya oleh ahli Rijal (ilmu yang membahas kriteria dipercaya atau tidaknya perawi hadis-pent.) kalangan Syiah.3 Adapun dari sisi teks riwayatnya, kita dapat menemukan beberapa titik lemah di bawah ini: 1. Ditawannya putri Yazgard diragukan kebenarannya dalam sejarah. 2. Ditawannya perempuan tersebut dan dinikahkannya dengan Imam Husain as di zaman Umar tidak masuk akal. 3. Selain riwayat yang satu ini, tidak ada satu pun riwayat lain yang menyebutkan bahwa Imam Ali Zainal Abidin as memiliki julukan Ibnu Khiyaratain. Bukankah ini hanya upaya orang-orang Iran saja yang ingin membanggakan dirinya karena dengan pengakuan itu maka artinya darah dinasti Sasanid telah bercapur dengan darah suci Ahlul Bait dalam tubuh Imam Ali Zainal Abidin as? Banyaknya pembahasan yang mengkritik riwayat yang seperti ini membuat kita benar-benar keberatan menerima bahwa cerita tersebut nyata. Ini tak lain adalah cerita buatan para pencipta hadishadis palsu. Lebih baik kita tidak menyebut ibu Imam Ali Zainal Abidin as dengan nama Syahar Banu. Mengenai nasab ibu Imam Ali Zainal Abidin as, terdapat banyak perbedaan yang kita temukan dalam sumber-sumber sejarah. Sebagian sejarawan seperti: Ya′qubi (281 H),4 Muhammad bin Hasan
1- Dengan menggunakan terjemahan Sayid Jawad Mustafawi, Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, hlm. 369. 2- Ayatullah Khui, Mu'jam Rijâl Al-Hadîts, jld. 1, hlm. 202 dan jld. 13, hlm. 106. 3- Ibid. 4- Târîkh Al-Ya ′qûbî, jld. 2, hlm. 303.
78
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Qumi (290 H),1 Kulaini (329 H),2 Muhammad bin Hasan Shafar Qumi (290 H),3 Syaikh Shadiq (381 H)4 dan Syaikh Mufid (413 H)5 menyebutkan bahwa ia memang putri Yazgard. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai siapa namanya. Kepercayaan akan berakhirnya nasab ibu Imam Ali Zainal Abidin as pada Yazgard telah mengakar di pikiran orang-orang awam saat ini sehingga tidak menyisakan tempat sedikit pun bagi berdirinya pendapat yang lain mengenai nasabnya.6 Selain pendapat di atas, dalam sumber-sumber sejarah baik terdahulu maupun yang baru-baru ini disebutkan bahwa ia berasal dari Sistan; ada yang menyebutkan Sind, Kabul, dan lain sebagainya. Kebanyakan sumber-sumber kita tidak menyebutkan di mana tempat ditawannya perempuan ini. Mereka hanya menyebutkan bahwa ia adalah Umul Walad, yakni seorang budak perempuan yang memiliki seorang anak.7 Sebagian menyebut nama-nama pembesar Persia seperti Subhan, Sinjan, Nushjan atau Syirviyeh sebagai nama ayahnya.8 Dalam membahas nasabnya, bahkan kita tidak perlu memberikan penilaian apa pun terhadap sanad riwayat-riwayat tersebut. Karena dengan jelas kita melihat tidak ada satu pun sanad riwayat yang kuat. Bahkan kitab sejarah seperti Târîkh Al-Tobarî tidak menyebutkan referensi ketika membahas masalah ini. Maka itu, kita hanya akan membahas teks riwayat ini saja. Kandungan teks riwayat ini memiliki beberapa kelemahan seperti: 1. Salah satu kritik yang bisa kita utarakan untuk riwayat ini adalah berbeda-bedanya nama yang disebutkan untuk perempuan itu. Ada yang menyebut Harar, Syahar Banu, Salakhah dan Ghazalah. Hal ini mengindikasikan adanya
1- Torikh-e Qom, hlm. 195. 2- Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, hlm. 369. 3- Bihâr Al-Anwâr, jld. 46, hlm. 9. 4- 'Uyûn Akhbâr Al-Ridhâ, jld. 2, hlm. 128. 5- Al-Irsyâd, hlm. 492. 6- Zendegoni-e Ali bin Al Husain, hlm. 12. 7- Syu'ubiyeh-e Nasionalism-e Iron, hlm. 305. 8- Hawl Sayyidah Syahar Banu, hlm. 28.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
79
usaha sebagian orang yang ingin membanggakan kepersiaannya dengan cara menghubung-hubungkan orangorang Persia dengan para imam maksum lalu menganggap darah kerajaan Persia telah mengalir di darah para Imam Ahlul Bait as dengan pernikahan Imam Husain as dan Syahar Banu. 2. Kita dapat mengkritik riwayat-riwayat ini dengan melihat berbeda-bedanya waktu terjadinya penawanan yang disebutkan. Karena sebagian riwayat menyebutkan bahwa penawanan tersebut adalah di masa kekhalifahan Umar; ada pula yang menyebutkannya di masa kekhalifahan Utsman. Sebagian yang lain seperti Syaikh Mufid menyebutkan bahwa kejadian tersebut adalah di masa kekhalifahan Imam Ali as.1 3. Pada dasarnya, kitab-kitab seperti Târîkh Al-Tobarî dan AlKâmil karya Ibnu Katsir ketika menyebutkan peperanganpeperangan Muslimin dengan orang-orang Persia hanya menceritakan kaburnya Yazgard ke berbagai kota Persia, namun sama sekali tidak menyinggung ditawannya putri Yazgard. Padahal jika kejadian itu memang nyata, masalah tersebut lebih penting dari masalah-masalah lainnya. Titik ini menguatkan pandangan kita akan palsunya riwayat-riwayat tersebut. 4. Sebagian penulis seperti Mas′udi, ketika menceritakan tentang anak-anak Yazgard ketiga ia menyebut nama-nama seperti Adrak, Shahin dan Mardavand, yang sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan nama-nama yang telah disebutkan untuk ibu Imam Ali Zainal Abidin as. Bahkan dalam tulisan-tulisannya sama sekali tidak disinggung mengenai ditawannya putri Yazgird.2 5. Sumber sejarah terpenting mengenai ibu Imam Ali Zainal Abidin as adalah surat-surat khalifah Manshur kepada Muhammad bin Abdullah yang dikenal dengan Nafs Zakiyah. Nafs Zakiyah adalah seorang pemimpin pergerakan 1- Syu′ubiyeh-e Nasionalism-e Iron, hlm. 324. 2- Ibid.
80
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram kebangkitan keluarga Alawi Madinah di zaman kekhalifahan Manshur. Dalam salah satu surat Manshur, ia menentang Muhammad yang membanggakan nasabnya dengan menulis, ″Setelah Rasulullah Saw tidak ada seorang yang lebih mulia nasabnya selain Ali bin Husain as meskipun ia adalah anak Ummu Walad (budak wanita yang memiliki anak).″1 Tidak ada yang menentang perkataan Manshur baik Muhammad sendiri atau selainnya. Seandainya ibu Imam Ali Zainal Abidin as adalah anak Syahar Banu putri raja Persia, maka mereka pasti menentang dan berkata, ″Tidak, Ali bin Husain as adalah putra seorang putri raja Persia!″
Dengan demikian, kita sampai pada satu kesimpulan bahwa anggapan tentang Syahar Banu, seorang putri raja Persia, sebagai ibu Imam Ali Zainal Abidin as sama sekali tidak benar dan pasti riwayat yang menceritakan hal itu adalah riwayat buatan. Riwayat tersebut jelas bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa ia adalah seorang budak perempuan. Para perawi sebelum akhir abad III selalu meriwayatkan seperti demikian, yakni ia adalah budak perempuan dari Sind atau Kabul.2 Ibu Imam Ali Zainal Abidin as tidak Hadir di Hari Asyura Di sini kami mesti menjelaskan bahwa hampir semua riwayat-riwayat kita menyatakan bahwa ibu Imam Ali Zainal Abidin as meninggal dunia begitu ia melahirkan anaknya.3 Juga disebutkan pula bahwa salah satu budak perempuan Imam Ali as diperintahkan untuk membesarkannya. Kebanyakan orang mengira perempuan tersebut adalah ibunya. Tak lama kemudian, setelah ia dinikahkan dengan seorang lelaki, mereka baru mengerti bahwa ia bukanlah ibunya.4 Dengan demikian, jelas sekali bahwa ibu beliau tidak hadir dalam peristiwa Asyura.
1- Al-Kâmil fî Al-Târîkh, jld. 2, hlm. 570. 2- Hawl Sayyidah Syahar Banu, hlm. 28. 3- 'Uyûn Akhbâr Al-Ridhâ, jld. 2, hlm. 128 4- Bihâr Al-Anwâr, jld. 26, hlm. 8.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
81
Tentang Makam Syahar Banu Dengan penjelasan yang telah lalu, maka dengan sendirinya pembahasan kita menjadi jelas. Juga berdasarkan penelitian berbagai peneliti sesungguhnya makam yang dikenal dengan Makam Syahar Banu di timur perbukitan Rey tidak ada kaitannya dengan ibu Imam Ali Zainal Abidin as. Bangunan terkenal di tempat itu adalah sebuah bangunan yang telah dibangun beberapa abad setelah masa hidup Imam Ali Zainal Abidin as. Terbukti dari penelitian yang telah dilakukan bahwa bangunan tersebut dibangun pada tahun 888 H pada zaman dinasti Shafavid dan pernah direnovasi di masa dinasti Qajar.1 Syaikh Shaduq yang kita kenal sebagai seorang ulama asli Rey tidak pernah menyinggung sedikit pun tentang bangunan itu, padahal ia bertahun-tahun lamanya tinggal di kampung halamannya. Ini juga meyakinkan kita bahwa bangunan tersebut belum ada pada abad IV H. Penulis-penulis ternama yang lain juga tidak pernah menyinggungnya. Mereka hanya berbicara tentang Abdul Adzim Hasani yang dimakamkan di situ juga tokoh-tokoh besar yang lain. Kemungkinan besar, keberadaan Makam Syahar Banu disebabkan adanya seorang perempuan bertakwa yang pernah dimakamkan di bukit itu dan namanya adalah Syahar Banu. Lalu, lambat laun kebanyakan masyarakat yang meyakini bahwa ibu Imam Ali Zainal Abidin as adalah Syahar Banu mengira makam tersebut adalah makam Syahar Banu: ibu sang Imam. Atau, mungkin ada unsur kesengajaan yang membuat masyarakat meyakini makam tersebut adalah makam ibu Imam Ali Zainal Abidin as.2 Taubat Yazid Dialog 14: Apakah setelah peristiwa Karbala, Yazid bertaubat? Sebenarnya apakah taubat seseorang seperti dia dapat diterima? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita membutuhkan dua pembahasan; pertama, seputar sejarah dan, kedua, tentang ilmu Kalam (teologi
1- Syu'ubiyeh-e Nasionalism-e Iron, hlm. 326. 2- Untuk memahami lebih dalam akan tidak mungkinnya Makam Syahar Banu di Rey adalah makam ibu Imam Ali Zainal Abidin as, silahkan merujuk Boston, karya Karimiyan dan Danesynomeh-e Iron va Eslom, seputar Syahar Banu.
82
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Islam). Pembahasan kedua dalam menjawab pertanyaan ini bergantung dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah mungkin orang seperti ini mendapatkan taufik untuk bertaubat setelah melakukan dosa luar biasa besar tersebut? Jika memang ia bertaubat, apakah taubatnya memang benar-benar atau hanya sekedar berpura-pura? Dengan membaca ayat-ayat dan riwayat yang menerangkan bahwa segala dosa dapat diampuni, apakah sebenarnya ada pengecualian? dan pertanyaan-pertanyaan lain seperti itu… Pertanyaan ini pada dasarnya adalah pertanyaan yang muncul dari jawaban pertanyaan yang lain, yaitu ″Apakah Yazid benar-benar bertaubat dan membayar dosanya?″ Jika pertanyaan tersebut dijawab positif, maka barulah kita bertanya kembali, apakah taubatnya bisa diterima? Tetapi jika terbukti dalam sejarah bahwa Yazid sama sekali tidak menyesali perbuatannya, maka jelaslah permasalahannya. Hampir semua sejarawan, ulama dan ahli hadis Islam meyakini Yazid sebagai seorang pendosa besar yang patut dikecam, terutama setelah terbukti bahwa dialah yang menciptakan peristiwa Asyura. Akan tetapi, ada juga sebagian tokoh seperti Ghazali dalam Ihyâ' 'Ulûm AlDîn yang melarang kita melaknat Yazid karena mungkin dia telah bertaubat. Ghazali yang dengan ketenarannya itu tidak diterima advokasinya untuk Yazid. Banyak yang menentang pendapatnya, seperti Ibnu Jauzi (597 H) yang sampai menulis satu kitab yang berjudul Al-Rodd 'alâ Mu′tashib Al-'Anîd. Akan tetapi di sepanjang masa sering terdengar bisik-bisik mengenai adanya kemungkinan Yazid bertaubat, khususnya dari para orientalis seperti Lamens, seorang Yahudi, dalam Maqôlât Da ′irot Al-Ma ′ârif Al-Islâm (cetakan pertama). Di kalangan Muslimin juga akhir-akhir ini sering terdengar hal yang sama. Dengan demikian, kita merasa permasalahan ini sangat penting sekali untuk dibahas. Di sini kita akan membawakan beberapa potong teks yang terdapat dalam beberapa sumber yang dijadikan oleh banyak orang sebagai dalil adanya kemungkinan Yazid bertaubat setelah peristiwa Asyura:
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
83
1. Ibnu Qutaibah dalam Al-Imâmah wa Al-Siyâsah1 menulis, ″Setelah kejadian-kejadian itu berlangsung di istana Yazid, ia menangis begitu lama sehingga hampir saja nyawa melayang dari tubuhnya karena kesedihan yang dirasa.″ 2. Ketika kepala-kepala para syuhada dan para tawanan dihadirkan di istana Syam, Yazid terharu dan menuding Ibnu Ziyad sebagai pelaku kejahatan lalu berkata, ″Semoga Allah melaknat Ibnu Marjanah (Ubaidillah bin Ziyad) yang mencoreng mukaku di hadapan Muslimin sehingga aku dibenci oleh mereka!″2 Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa sebenarnya ia tidak ingin bersikap keras terhadap Imam Husain as atas pertentangan beliau terhadap dirinya. Ia sama sekali tidak menerima terbunuhnya Imam Husain as. Maka itu, ia lantas menuduh Ibnu Ziyad sebagai pembunuh beliau yang sebenarnya.3 3. Ketika rombongan keluarga dan sahabat Imam Husain as sedang bergerak menuju Madinah, Yazid berkata kepada Imam Ali Zainal Abidin as, ″Semoga Allah melaknat Ibnu Marjanah. Sumpah demi Allah, seandainya aku yang berada di hadapan Husain as, maka aku akan memenuhi apa pun yang ia minta dan aku tidak akan membiarkannya terbunuh meskipun apa yang kulakukan itu menyebabkan kematian anak-anakku sendiri.″4 Jika, anggap saja, kita mau menerima riwayat-riwayat di atas tanpa peduli dengan sanadnya, maka kita akan mendapatkan beberapa poin berikut ini: Pertama, pelaku pembunuhan Imam Husain as yang sebenarnya adalah Ibnu Ziyad, sedangkan Yazid sama sekali tidak memberikan perintah kepada Ibnu Ziyad untuk memenggal kepala beliau. Kedua, Yazid sangat marah dan melaknat Ibnu Ziyad akibat perbuatannya.
1- Al-Imâmah wa Al-Siyâsah, jld. 2, hlm. 8. 2- Sibth Ibnu Jauzi, Tadzkirot Al-Khowâshsh, hlm. 256. 3- Al-Kâmil fî Al-Târîkh, jld. 2, hlm. 578. 4- Ibid.
84
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Ketiga, Yazid sangat terharu dan menyesali terbunuhnya Imam Husain as. Mengenai hal pertama, dalam sejarah dengan teramat jelas tercatat bukti-bukti kejahatan yang telah Yazid lakukan, dan dengan demikian, jika Yazid mengaku tidak bersalah, maka ini artinya kebohongan yang nyata. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, begitu tahta pemerintahan jatuh di tangan Yazid setelah kematian ayahnya, ia segera menuliskan sebuah surat yang diperuntukkan kepada Walid bin Utbah yang isinya, ″Begitu suratku sampai di tanganmu, maka bergegaslah bawa Husain bin Ali dan Ibnu Zubair ke hadapanmu, mintalah baiat dari mereka berdua, dan jika mereka menolak, penggallah kepala mereka berdua dan bawa kepadaku.″1 Dalam sumber-sumber yang lain juga disebutkan bahwa begitu Yazid mengetahui keberadaan Imam Husain as di Mekkah, ia mengirimkan beberapa orang utusannya dan mereka ditugasi untuk membunuh beliau di saat melaksanakan ibadah haji beliau.2 Hal ini juga disinggung oleh Ibnu Abbas dalam suratnya yang ditulis untuk Yazid.3 Juga pernah disebutkan juga bahwa ketika Imam Husain as bergerak menuju Iraq, Yazid dengan segera menuliskan suratnya kepada Ibnu Ziyad untuk bersikap keras terhadap beliau,4 dan pada akhirnya Ibnu Ziyad sendiri mengaku bahwa Yazid memang memerintahkannya untuk membunuh Imam Husain as.5 Abdullah bin Abbas menulis sepucuk surat untuk Yazid, dan di dalamnya ia memanggilnya sebagai pembunuh Imam Husain as dan para pemuda keturunan Abdul Muthalib. Ia mencaci Yazid dengan berkata, ″Jangan pernah kau kira aku lupa bahwa engkau telah membunuh Husain dan para pemuda keturunan Abdul Muthalib!″6
1- Târîkh Al-Ya ′qûbî, jld. 2, hlm. 241. 2- Al-Luhûf, hlm. 82. 3- Tadzkirot Al-Khowâshsh, hlm. 275 yang mana Ibnu Abbas berkata kepada Yazid, ″Apakah engkau lupa bahwa engkau pernah mengirimkan utusanmu menuju Mekkah untuk membunuh Al Husain as.?″; Târîkh Al-Ya ′qûbî, jld. 2 hlm. 249. 4- Ibnu Abdur Rabbah, Al-Aqd Al-Farîd, jld. 5, hlm. 130; Suyuthi, Târîkh AlKhulafâ', hlm. 165. 5- Tajârib Al-Umam, jld. 2, hlm. 77 6- Târîkh Al-Ya ′qûbî, jld. 2, hlm. 248.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
85
Kejahatan Yazid begitu jelas sekali. Anaknya sendiri yang bernama Mu′awiyah bin Yazid pada suatu hari pergi ke atas mimbar Masjid Jami′ Damaskus dan berpidato sambil memaki ayahnya dengan berkata, ″…dia telah membunuh keturunan Rasulullah Saw!″1 Kesimpulannya, kenyataan bahwa Imam Husain as dibunuh atas perintah Yazid tidak dapat diingkari lagi dan tercatat jelas dalam sejarah.2 Adapun mengenai kemarahan Yazid ketika mendengar Ibnu Ziyad memenggal kepala Imam Husain as, tak lain dan tak bukan hanyalah kebohongan semata. Terbukti dalam buku-buku sejarah bahwa ketika mendengar terbununhnya Imam Husain as, ia justru merasa bahagia dan bahkan memberikan acungan jempol kepada Ibnu Ziyad. Dalam kitabnya, Sibth bin Jauzi menceritakan pujian-pujian Yazid kepada Ibnu Ziyad, hadiah-hadiah berharga yang ia berikan kepadanya, pesta semalaman dengan acaara meminum minuman keras sekeluarga dan lain sebagainya. Ia juga menukilkan syair-syair Yazid yang kandungannya adalah dukungan serta pujiannya terhadap Ibnu Ziyad yang telah membunuh cucu nabi.3 Sejarah juga menceritakan bahwa Yazid sama sekali tidak punya niatan untuk menurunkan jabatan yang disandang Ibnu Ziyad di Iraq. Ibnu Ziyad tetap di jabatannya hingga tahun 63 H, dan saat Ibnu Zubair memimpin gerakan perjuangannya, Yazid meminta Ibnu Ziyad untuk ikut berperang melawannya.4 Oleh karenanya, seandainya ia menunjukkan kemarahannya atas terbunuhnya Imam Husain as maka itu pasti karena ia bermaksud berpura-pura. Saat itu, banyak orang terbawa ucapan Zainab as dan Imam Ali Zainal Abidin as sehingga mereka membenci Yazid. Untuk menghilangkan kebencian inilah Yazid berpura-pura tidak terima akan perbuatan Ibnu Ziyad.
1- Ibid., jld. 2, hlm. 254. 2- Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, silahkan rujuk Al-Rikâb Al-Husainî fî Al-Syâm wa minhu ila Al-Madînah Al-Munawwarah, jld. 6, yang merupakan bagian dari satu kumpulan Ma ′a Al-Rikâb Al-Husainî fî Al-Syâm wa minhu ila Al-Madînah Al-Munawwarah, jld. 6, hlm. 54-61. 3- Tadzkirot Al-Khowâshsh, hlm. 29. 4- Tajârib Al-Umam, jld. 2, hlm. 77.
86
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Adapun Yazid sangat bersedih dan menyesali kepergian Imam Husain as, ini juga jelas-jelas bohong. Dalam sejarah disebutkan dengan jelas bahwa ketika kepala-kepala para syuhada dan para tawanan dihadirkan ke hadapan Yazid di Damaskus, ia menampakkan kegirangannya lalu memukul-mukul gigi Imam Husain as dengan tongkat kayu!1 Ia juga tidak lupa membacakan syair-syairnya yang menandakan kebencian keluarga Umayah terhadap Bani Hasyim,2 karena pada suatu hari, kakeknya yang bernama Hindun, saudaranya Walid, dan beberapa orang dari keluarganya, terbunuh di tangan kaum sahabat Rasulullah Saw. Dalam syairnya terdapat kata-kata yang menggambarkan kedangkalan pikirannya. Ia menganggap kenabian sebagai alasan untuk mendapatkan kekuasaan duniawi. Ia berkata, ″Bani Hasyim telah bermain-main dengan kekuasaan ini. Sungguh tidak ada yang namanya kenabian juga tidak pernah turun yang namanya wahyu.″3 Ya, dia pasti menunjukkan kesedihannya saat itu; karena jika ia menunjukkan kegembiraannya di saat orang-orang di sekitarnya sedih pasti ia akan dihajar masa. Sebagai penutup permasalahan:
pembahasan,
kami
ingin
menjelaskan
dua
Pertama, kita pasti bisa membaca bahwa ketika Yazid menunjukkan rasa sedih atau kemarahan atas terbunuhnya Imam Husain as, di saatsaat seperti itu maka kenyataan yang sesungguhnya adalah kebalikannya. Dia hanya bersiasat. Sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda penyesalan dan taubatnya yang penuh ketulusan. Oleh karena itu, kita mesti menganalisa sikap Yazid tersebut dalam segi politik. Karena, sikap yang demikian tidak dapat disebut dengan taubat sehingga kita mesti bertanya-tanya lagi setelah itu, ″Apakah boleh kita melaknat Yazid jika ia telah bertaubat?″ Kedua, jika Yazid benar-benar bertaubat, mari kita buktikan dengan melihat sikap dan perbuatannya setelah taubat itu. Dengan jelas sejarah menceritakan perilakunya sepanjang hidup yang jelas-jelas
1- Târîkh Al-Ya ′qûbî, jld. 2, hlm. 245. 2- Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj Al-Balâghoh, jld. 14, hlm. 280. 3- Maqtal Khwarazmi, jld. 2, hlm. 58; Tadzkirot Al-Khowâshsh, hlm. 261.
Bagian Pertama: Sejarah Perjuangan Imam Husain as
87
bertentangan dengan taubat. Dua tahun sebelum kepemimpinannya berakhir, ia melakukan dua kejahatan yang lain: 1. Membantai warga Madinah dan menghalalkan harta benda mereka untuk pasukannya selama tiga hari. Banyak para sahabat nabi yang terbunuh di kota itu. Kejadian ini dikenal dengan peristiwa Harrah.1 2. Ia memerintahkan pasukannya untuk menyerang Mekkah dan menginjak-injak kehormatan Ka′bah dengan cara membakarnya.2 Jika kita membaca sejarah, kita akan dapati bahwa Yazid bukan hanya tidak menyesali perbuatannya, bahkan ia terus melakukan kejahatan sesuka hatinya. Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk melaknat Yazid.
1- Ibnu Atsir, Al-Kâmil fî Al-Târîkh, jld. 2, hlm. 593. 2- Ibid., hlm. 206.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
Sa yid Ibr a him Husa ini
Amar Makruf dan Nahi Munkar Dialog 15: Mengenai falsafah perjuangannya, Imam Husain as berkata ″Aku melakukan ini untuk menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran.″ Apa maksud dari perkataan beliau ini? Sesungguhnya ucapan beliau di atas telah menjelaskan kepada kita tentang kedudukan dan peran amar makruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaan) yang sebenarnya. Dengan ucapan tersebut beliau juga ingin menjelaskan peran amar makruf nahi munkar yang sesungguhnya. Beliau telah menjadikan hal tersebut sebagai tujuan utama perjuangannya. Jika kita memahami arti amar makruf nahi munkar yang sebenarnya, maka dengan mudah kita dapat memahami maksud beliau. Pada dasarnya, amar makruf nahi munkar adalah ajaran suci agamaagama Ibrahimi. Ia merupakan tugas suci para nabi, para imam dan orang-orang yang beriman. Ia bukan hanya sekedar kewajiban syar′i yang kita temukan dalam hukum-hukum fiqih. Ia bahkan alasan diutusnya para nabi. Sesungguhnya alam materi ini alam bercampurnya kebaikan dan keburukan, kegelapan dan cahaya, juga kemuliaan dan kehinaan. Mereka semua bercampur sehingga sulit dibeda-bedakan. Kemudian agama datang mengenalkan kebaikan dan keburukan dengan sejelas-jelasnya, lalu memerintahkan para pemeluk agama untuk menjalankan kebaikan dan menghindari keburukan. Agama memberikan cahaya petunjuk kepada manusia, lalu membimbingnya menuju jalan yang lurus. Mengenai keutamaan dan pentingnya amar makruf nahi munkar, Rasulullah Saw bersabda, ″Orang yang melakukan amar makruf nahi munkar adalah khalifah Allah di muka bumi, pengganti Rasul-Nya dan kitab Allah.″1 Imam Ali as juga berkata, ″Berdirinya agama dan syariat bergantung pada amar makruf nahi munkar.″2
1- Mîzân Al-Hikmah, jld. 3, hlm. 80. 2- Ghurar Al-Hikam, jld. 2, hlm. 400.
92
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Begitu pula dalam Al-Quran, Allah Swt mendahulukan satu kriteria Muslim ini, yaitu amar makruf nahi munkar, di atas kriteria yang lain.1 Dalam sebuah hadis, Imam Baqir as berkata, ″Amar makruf nahi munkar adalah jalan para nabi dan tugas orang-orang yang saleh. Ia adalah satu kewajiban yang kepadnya kewajiban-kewajiban lain bergantung. Amannya jalanan bergantung kepadanya. Kehalalan penghasilan kita juga bergantung padanya. Dengan menjalankan amar makruf nahi munkar, musuh-musuh akan mengembalikan hakhak yang telah mereka rampas ... Segalanya bergantung pada amar makruf nahi munkar.″2 Oleh karena itu, amar makruf nahi munkar, pada dasarnya, bukan hanya tugas Imam Husain as. Pada zaman beliau, kebaikan dan kemunkaran telah berbaur menjadi satu, kejahatan merajalela, dan kebaikan sering ditinggalkan dan segalanya meredupkan cahaya agama dan membuat sunah para rasul ditinggalkan. Imam Husain as tidak menemukan cara selain amar makruf nahi munkar untuk menjaga agama Allah dan sunah nabi-nabi-Nya. Dengan demikian, beliau menjadikan kewajiban mulia ini sebagai tujuan dari perjuangannya dengan berkata, ″Aku tidak melakukan ini untuk membuat kerusakan di muka bumi atau berbuat zalim. Sungguh aku menginginkan perbaikan untuk umat kakekku serta menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran.″3 Amar Makruf dan Kemungkinan Bahaya Dialog 16: Salah satu syarat melakukan amar makruf nahi munkar adalah adanya keamanan dari bahaya yang mengancam diri pelaku. Syarat ini bukan hanya tidak terpenuhi pada waktu itu, bahkan melawan Yazid, baik dilakukan oleh Imam Husain as atau selainnya, adalah mati bunuh diri! Lalu mengapa beliau tetap melakukannya meskipun keadaannya demikian? Dalam ajaran agama, kita diharuskan mempelajari syarat-syarat hukum fiqih juga cabang-cabangnya dari para imam suci kita. Dalil 1- Al-Taubah: 7. 2- Ushûl Al-Kâfî, jld. 5, hadis 1, hlm. 55. 3- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, bab 37, hadis 2.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
93
diperbolehkan atau tidaknya suatu perbuatan adalah apa yang dijelaskan dan dilakukan sendiri oleh imam suci. Dengan kata lain, ucapan dan perbuatan imam maksum adalah dalil syar′i bagi kita semua. Memang benar, dalam amar makruf nahi munkar disyaratkan adanya kemungkinan bergunanya usaha kita dan tidak adanya bahaya yang akan menimpa kita. Lalu, mari kita amati Imam Husain as yang tetap melakukan tugas tersebut meskipun syarat di atas tidak ada. Jika kita pikirkan lebih mendalam, kita akan memahami bahwa seandainya keadaan memang menuntut kita untuk tetap melakukan amar makruf nahi munkar meskipun tidak ada kemungkinan usaha kita berguna, bahkan kita akan terancam bahaya, maka dalam keadaan seperti ini kita tetap harus melakukan kewajiban itu; sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Husain as. Oleh karena itu, kita mesti mempertimbangkan antara kemungkinan bahaya yang menimpa kita dengan tujuan amar makruf itu sendiri. Seandainya tujuan amar makruf kita, misalnya, untuk mempertahankan agama dari kehancuran, maka tujuan tersebut lebih penting dari segalanya. Yakni, kita harus menanggung bahaya yang akan menimpa dan kita tidak boleh meninggalkan kewajiban tersebut. Dengan penjelasan lain, kita perlu membedakan antara amar makruf nahi munkar yang biasa kita lakukan-yaitu tatkala kita ingin menegur teman kita agar melakukan suatu kebaikan atau meninggalkan suatu keburukan-dengan amar makruf yang berkaitan dengan skala yang lebih besar seperti: amar makruf nahi munkar yang bertujuan untuk menjaga cahaya agama dan berdirinya syariat yang, jika tidak dilakukan, agama akan lenyap untuk selamanya dan bahayanya akan menimpa seluruh orang. Amar makruf yang dilakukan Imam Husain as di zaman Yazid berbeda dengan amar makruf yang sederhana. Saat itu, umat Rasulullah Saw sedang mengalami dekadensi moral yang, jika tidak dicegah, akan menghasilkan kekufuran umum dan agama akan ditinggalkan untuk selamanya. Amar makruf jenis pertama disyaratkan tidak adanya kemungkinan bahaya akan menimpa kita. Akan tetapi, amar makruf jenis kedua tidak membutuhkan keamanan sebagai syarat, karena menjaga
94
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
eksistensi agama lebih utama dari apa saja, meskipun nyawa sebagai tebusannya. Imam Husain as benar-benar menyadari bahaya yang sedang menimpa agama. Oleh karenanya, sejak awal (saat diminta Marwan untuk membaiat Yazid) beliau berkata, ″Inna li-Allahi wa inna lilayhi raji'un, lenyaplah Islam jika ada pemimpin seperti Yazid.″ Yakni, jika Yazid memimpin Muslimin, kita bisa membayangkan bagaimana nasib agama kita nantinya. Karena logikanya, jika Islam harus berdiri, Yazid tidak boleh ada; dan jika Yazid ada, maka Islam harus lenyap. Di hadapan kemunkaran seperti ini, Imam Husain as harus bangkit dan melakukan sesuatu yang besar agar Islam tetap terjaga, meskipun ia harus mengorbankan nyawanya juga nyawa sahabat-sahabat atau keluarganya. Beliau menyadari bahwa Islam lebih bernilai daripada dirinya sendiri dan keluarganya. Dengan demikian, beliau tetap teguh menjalankan tugas ini, meski harus menderita. Ya, amar makruf nahi munkar sejati adalah apa yang telah dilakukan oleh Imam Husain as. Sejarah mencatat perjuangan beliau dengan jelas. Meskipun beliau dan para sahabatnya mengalami kekalahan materi, akan tetapi di balik itu terdapat kemuliaan. Beliau telah menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Imam Husain as dalam rangka melakukan amar makruf nahi munkar telah menunjukkan keberaniaannya di hari Asyura. Ia diuji dengan segala peristiwa yang ada dan di antara para syuhada yang lain ia berada di barisan pertama. Sepertinya tidak salah jika di sini kita menyimak penjelasan Ayatullah Muthahari, ″Biasanya, selama amar makruf nahi munkar tidak menyebabkan timbulnya bahaya, maka banyak yang mau melakukannya. Akan tetapi ketika diketahui bahwa usaha tersebut akan membawa kerugian untuk orang yang melakukannya, maka sebagian orang berkata, ″Usaha kita cukup sampai di sini, kita tidak bisa meneruskannya.″ Maksudnya, karena amar makruf tersebut akan menimbulkan bahaya, maka hentikan saja sampai di sini; kita tidak usah melakukannya. Pemahaman seperti inilah yang menurunkan nilai amar makruf nahi munkar yang sejatinya. Tetapi orang-orang yang mengerti hakikat amar makruf nahi munkar akan berkata, ″Tidak, tidak seperti itu.″ Jika yang kita perjuangkan dengan amar
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
95
makruf nahi munkar adalah sesuatu yang sederhana, maka dengan adanya kemungkinan bahaya, kewajiban itu bisa kita tinggalkan. Akan tetapi, jika usaha itu dalam rangka misalnya, menjaga kehormatan Al-Quran, keadilan, persatuan Muslimin, atau lain sebagainya, maka apa pun resikonya kita harus bersedia menanggung. Kita tidak boleh berkata, ″Aku tidak ingin melakukannya, karena jika aku lakukan, maka nyawaku akan terancam, atau aku kehilangan muka, atau tidak disukai banyak orang...″ Oleh karenanya, ketika amar makruf nahi munkar berkaitan dengan hal-hal yang besar, maka ia tidak mengenal batas, meskipun bahaya yang menjadi resikonya adalah besar. Inilah yang kami maksudkan bahwa Imam Husain as telah menunjukkan nilai amar makruf nahi munkar yang sebenarnya. Ia tidak hanya mengorbankan nyawanya, bahkan keluarga dan para sahabatnya. Dari apa yang dilakukan beliau, kita dapat memahami bahwa jika amar makruf nahi munkar berkaitan dengan sesuatu yang besar dan sangat penting, maka kita tetap wajib melakukannya dan kita juga harus menanggung bahaya sebagai resikonya. Dialog 17: Salah satu syarat seseorang dapat dikenai taklif adalah kemampuan. Dalam riwayat Ahlul Bait sendiri ditekankan bahwa amar makruf nahi munkar diwajibkan kepada orang-orang yang mampu melakukannya. Lalu, mengapa Imam Husain as pergi ke Karbala, padahal beliau tahu tidak akan mendapatkan perlindungan dan dukungan dari orang-orang yang lemah jiwanya untuk mendirikan pemerintahan yang adil? Bagaimana beliau tetap melakukan perjuangan tersebut lalu menyebutnya sebagai pengemban amar makruf nahi munkar? Ayatullah Murtadha Muthahari berkata mengenai masalah ini bahwa satu lagi yang termasuk syarat-syarat amar makruf nahi munkar adalah memiliki kemampuan.1 Yakni, orang yang lemeh tidak diwajibkan untuk melakukannya. Banyak yang memahami: jika kita memiliki kemampuan, baru kita melakukan amar makruf nahi munkar; namun seandainya kita tidak punya kekuatan, maka melakukan kewajiban itu sama artinya dengan membuang-buang 1- Disebutkan, ″Amar makruf nahi munkar diwajibkan bagi orang yang mampu dan memiliki pengetahuan.″ –Furû′ Al-Kâfî, jld. 5, hlm. 59.
96
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
tenaga, jadi tidak usah kita melakukannya. Ini adalah salah satu kesalahan besar hingga sebagian orang dengan mudahnya berkata, ″Aku tidak punya kemampuan untuk melakukan tugas itu. Islam juga mengajarkan seandainya kita tidak memiliki kemampuan, maka tak perlu kita lakukan.″ Sebagai jawaban perkataan ini kita bisa berkata, ″Bukan begitu, justru jika kita tidak mampu, maka marilah kita berusaha agar kita memiliki kemampuan tersebut hingga kita bisa mencapai tujuan kita.″ Berusaha agar kita menjadi mempu untuk melakukan amar makruf nahi munkar sangatlah penting dan bahkan, dalam kondisi tertentu, tetap dibolehkan meskipun dengan cara menghalalkan perbuatan yang haram. Sebagai contoh, jika ada pemerintahan yang zalim, lalu kita ingin melakukan amar makruf nahi munkar, kita diperbolehkan untuk meraih jabatan dan duduk sebagai pejabat pemerintahan tersebut guna mencapai tujuan itu, dan mungkin kita wajib untuk mengambil langkah ini. Dalam sejarah kita, disebutkan bahwa banyak juga sahabat para imam suci yang diperintahkan untuk meraih jabatan di istana pemerintahan para khulafa untuk mencapai tujuan ini. Tidak benar jika kita mengira amar makruf nahi munkar wajib atas kita selama kita memiliki kekuatan dan kemampuan saja, lalu ketika sudah tidak memiliki kemampuan, kita dapat meninggalkan kewajiban itu begitu saja. Mari kita fahami nilai amar makruf nahi munkar dalam Islam. Dalam Islam, amar makruf nahi munkar dianggap sebagai kunci terus tegakknya agama. Terbukti bahwa untuk menjaga tegakknya agama, Imam Husain as melakukan tugas mulia itu meskipun harus mengorbankan nyawa dan keluarganya ditawan. Dalam sebuah riwayat disebutkan salah satu sifat umat akhir zaman, ″Mereka tidak mewajibkan amar makruf nahi munkar kecuali jika dalam keadaan aman.″1 Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Imam Bagir as disebutkan, ″Amar makruf nahi munkar adalah jalan para nabi dan orang-orang yang saleh. Dengan tegaknya kewajiban itu, kewajiban yang lain akan terus tegak, jalanan menjadi aman, dan musuh-musuh akan 1- Furû′ Al-Kâfî, jld. 5, hlm. 55.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
97
mengembalikan hak-hak yang mereka rampas.″1 Mengenai kewajiban yang sangat penting demikian ini, apakah kita bisa dengan mudahnya mengatakan, ″Nanti sajalah, kalau sudah punya kemampuan, pasti kita akan melakukannya. Kalau tidak, itu tidak wajib, kok.″ Ini artinya adalah jika kamu bisa menjaga agamamu tetap tegak, maka jagalah; tapi jika kamu tidak mampu, biarkan saja agamamu runtuh.″ Mengenai kemungkinan bergunanya usaha kita juga demikian: kita tidak bisa mengatakan, ″Jika usaha yang kita lakukan dapat memberikan hasil positif, maka kita akan menjalankan kewajiban itu. Sekiranya tidak berguna, maka untuk apa kita harus bersusah payah?.″2 Mengenai masalah kemungkinan berguna atau tidaknya usaha kita, mari kita lihat tauladan kita, Ahlul Bait as. Dalam peristiwa Asyura, Ahlul Bait as tidak menganggap kematian Imam Husain as sebagai akhir kisah. Sepeninggal beliau, sampai berada di istana Yazid, saudara-saudari Imam Husain as tetap memburu tujuan yang sejak awal mereka inginkan. Kepergian Imam Husain as bagi mereka adalah awal usaha, bukan akhir cerita. Dialog 18: Salah satu syarat melakukan Amar Makruf adalah adanya kemungkinan usaha tersebut berdampak dan berpengaruh. Kemungkinan ini tidak kita temukan dalam perjuangan Imam Husain as. Dalam perjuangan beliau tidak ada kemungkinan Yazid melepaskan pemerintahannya juga tidak ada kemungkinan Yazid merubah caranya memerintah. Lalu apa alasan beliau yang sebenarnya dalam perjuangan tersebut sehingga beliau menganggapnya sebagai tugas Ilahi yang suci? Sebagaimana yang pernah kita jelaskan sebelumnya, kita harus mencontoh Imam Husain as dalam menjalankan amar makruf nahi munkar. Karena beliau melakukan tugas tersebut dalam keadaan seperti itu, maka artinya amar makruf nahi munkar tetap harus kita lakukan, meskipun kondisi kita seperti kondisi beliau. Karena, sesungguhnya apa yang dikatakan dan dilakukan oleh maksum adalah hujjah dan dalil kehalalan dan keharaman bagi kita.
1- Furu′ Al Kafi, jld. 5, hlm. 55. 2- Humase e Husaini, jld. 1, hlm. 312-304.
98
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Sebenarnya kita dapat menerangkan masalah kemungkinan adanya hasil usaha dalam amar makruf dengan dua penjelasan. Pertama, ketika kita ingin mencegah sesorang yang ingin melakukan maksiat, lalu kita memahami bahwa pencegahan kita tidak berguna, maka kita tidak wajib mencegahnya. Kedua, jika kita tahu bahwa usaha kita dalam mencegah kemunkaran tidak berguna untuk saat itu, akan tetapi usaha itu akan memberikan hasilnya yang baik pada suatu hari kelak, maka kita harus melakukannya. Satu contoh lagi, misalnya kita ingin memerangi didirikannya pusat prostitusi di suatu tempat, maka kita dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat sekitar akan bahayanya prostitusi tersebut. Dengan demikian, mungkin tempat maksiat tersebut akan ditutup atau paling tidak dampak buruknya lebih sedikit dari sebelumnya. Dan seandainya usaha ini tidak memberikan dampak apa pun bagi si pendiri pusat tersebut, akan tetapi dengan usaha tersebut paling tidak kita dapat menyelamatkan banyak orang di sekitarnya dari bahaya besar. Dalam keadaan seperti ini, kita harus melakukan amar makruf nahi munkar, karena tetap ada kemungkinan bergunanya usaha tersebut pada suatu hari nanti. Dalam sejarah dunia kita tahu bahwa bangsa-bangsa yang berhasil meraih kemerdekaannya pasti telah bersusah payah melakukan usaha ini. Untuk memperjuangkan kemerdekaan, banyak sekali nyawa yang mereka korbankan dan darah yang tertumpah. Semuanya mereka lakukan hanya untuk tertancapnya bendera kemerdekaan di tanah mereka. Mereka dengan senang hati berperang merebut kemerdekaan dengan harapan: pada suatu hari nanti usaha mereka akan membawakan hasil dan hasil tersebut dapat dirasakan oleh anak cucu mereka. Para wali Allah terkadang menggunakan cara ini untuk mencapai tujuan mulia mereka. Meskipun mereka tahu akan dibunuh dan kepala mereka akan ditancapkan di ujung tombak-tombak musuh, mereka tetap bertekat memperjuangkan agama Allah. Dengan pengorbanan yang dicurahkan, mereka tetap memperjuangkan tujuan mereka dengan harapan perjuangan tersebut akan membangkitkan yang lainnya dan merubah jalur sejarah. Waktu itu terlihat jelas tanda-tanda bahaya yang sedang mengintai Islam dan hukum-hukum Al-Quran. Jika tidak diadakan perubahan
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
99
masa depan pasti akan menjadi kelam. Di mata Imam Husain as, terlihat dengan jelas bahwa tak lama lagi mentari Islam akan terbenam dan semua orang kembali ke zaman Jahiliyah. Bagi seorang imam suci seperti beliau, jelas beliau sama sekali tidak bisa tinggal diam dan duduk berpangku tangan menyaksikan musibah besar ini. Imam Husain as tidak hanya memperkirakan adanya dampak baik dari usahanya, bahkan beliau yakin jika beliau berjuang di jalan ini, maka hasilnya adalah terjaganya Islam. Imam Husain as yakin bahwa jika Yazid berani membunuh beliau, maka umat Rasulullah Saw akan bangkit dengan penuh amarah dan kekuatan Yazid bakal runtuh; karena beliau adalah cucu sang nabi yang memiliki kemuliaan di mata umat datuknya. Jika Yazid sampai berani membunuh beliau, artinya Yazid harus bersiap-siap tahtanya diguncang peristiwa besar yang berujung pada kehancuran. Sayid Syuhada (penghulu para syahid) yakin, jika Yazid membunuh beliau dan menawan keluarga beliau, maka perbuatannya itu sendiri akan membuka kedok wajah busuk Bani Umayah. Lalu yang akan terjadi adalah kebalikan dari apa yang diharapkan oleh Yazid, yaitu Islam akan mengakar kuat di hati umat Rasulullah Saw. Pengorbanan beliau telah membangkitkan orang-orang yang selama ini tertidur dan membangunkan jiwa-jiwa islami mereka. Dengan demikian, tergulinglah tahta Yazid dan semua orang pun membencinya. Imam Husain as tahu, jika ia terbunuh, maka keburukan Bani Umayah akan nampak jelas; masyarakat akan memahami betapa buruk jalan yang ditempuh kekhalifahan yang tak sah itu. Meski selama ini Bani Umayah mengenakan topeng Islam, akan tetapi kini wajah aslinya terlihat dan tidak lama lagi masa kepemerintahan mereka akan usai. Mereka tidak akan lagi bisa mengaku sebagai pemimpin Muslimin. Peristiwa Karbala yang telah mengguncang sejarah Islam. Bagaikan sang Nabi sendiri yang terbunuh, terbunuhnya Imam Husain as membangkitkan amarah banyak orang dan kebencian terhadap Bani Umayah. Tak terelakkan lagi, peristiwa tersebut menimbulkan gerakan-gerakan anti Bani Umayah dan akhirnya runtuhlah pemerintahan yang mengatasnamakan Islam untuk menebar kesyirikan dan kezaliman. Dengan demikian darah suci para syahid
100
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
ditebus dengan keagungan Islam yang tertanam di hati umat Rasulullah Saw. Jadi, amar makruf nahi munkar yang dilakukan oleh Imam Husain as adalah amar makruf yang diwajibkan dalam fiqih dan sesuai dengan kaidahnya. Untuk menjalankan kewajiban ini, tidak ragu-ragu beliau mengorbankan segalanya, dan harapan beliau hanyalah Islam. Di sini, ada baiknya jika kita menyimak ucapan Syahid Muthahari, ″Syarat lain diwajibkannya amar makruf nahi munkar adalah adanya kemungkinan usaha tersebut berpengaruh. Yakni kewajiban yang satu ini tidak seperti shalat atau puasa yang bisa kita lakukan begitu saja. Kita diwajibkan mendirikan shalat dan kita tidak usah bertanya jika kita shalat apakah ada gunanya atau tidak? Adapun amar makruf nahi munkar adalah kewajiban yang harus dilakukan dengan dipikirkan sebelumnya. Yakni, seseorang yang ingin melakukan kewajiban itu harus memperhitungkan hasil yang akan diperoleh dari usaha tersebut. Pola pikir yang kita miliki ini sangat berbeda dengan pola pikir kaum Khawarij. Mereka berkata, ″Meski tidak ada kemungkinan sedikit pun akan hasil dari usaha kita, kita tetap harus melakukan amar makruf nahi munkar!″ Bahkan sebagian orang beranggapan bahwa orang-orang Khawarij disebut sebagai kelompok yang keluar dari jalur agama karena mereka memiliki pola pikir seperti ini. Taqiyah yang kita yakini dalam ajaran Syi′ah juga menggunakan taktik seperti ini dalam melakukan amar makruf nahi munkar. Taqiyah yakni menggunakan sebagai pertahanan diri; yakni berusaha memukul, tapi juga berusahalah agar tidak terkena pukulan.″ Akan tetapi, memperkirakan adanya hasil usaha dalam amar makruf nahi munkar bukan berarti kita duduk di rumah dan menghitunghitung sesuka hati, melainkan kita mesti turun ke medan dan melakukan penelitian semaksimal mungkin untuk mengetahui apakah usaha yang akan kita lakukan bakal memberikan hasil atau tidak. Dialog 19: Dengan alasan apa Imam Husain as sama sekali tidak bersedia membaiat Yazid, meskipun dengan alasan demi kemaslahatan umat? Kita harus tahu bahwa pada masa kekhalifahan Yazid dan keimaman Imam Husain as adalah masa-masa yang genting; keadaan saat itu
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
101
menuntut adanya satu di antara kedua tokoh besar kebenaran dan kebatilan; Imam Husain as atau Yazid. Penyelewengan sunah Nabi Saw dan keadilan Imam Ali as telah berjalan sekian lamanya, namun kenyataan pahit ini terus berlangsung lantaran kemunafikan, yakni sikap menampakkan kebaikan di luar dan menyembunyikan keburukan di dalam. Ahlul Bait as dan sahabatsahabat mereka seperti: Salman Alfarisi, Abu Dzar, Ammar Yasir dan yang lainnya, senantiasa berusaha memberikan pengertian yang sebenarnya tentang masalah ini kepada banyak orang. Masa genting tersebut adalah masa sepeninggal Muawiyah dan pengambilalihan Yazid akan kursi kekhilafahan. Di satu sisi, ada Yazid yang mengingkari segala hal tentang Islam. Dialah orang yang pernah berpuisi: Bani Hasyim telah bermain-main dengan kekuasaan Sungguh tidak ada berita kenabian Dan tak ada pula wahyu yang diturunkan.1 Yazid secara zalim dan dengan unsur pemaksaan serta ancaman menduduki kursi kekhilafahan. Bahkan sebelum tersebarnya berita kematian Mu′awiyah, dia telah memerintahkan kaki tangannya untuk memaksa Imam Husain as, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar agar membaiat dirinya. Dengan melihat sikap Yazid yang seperti itu, Imam Husain as sudah sepatutnya menunjukkan sikap tegasnya. Langkah tepat yang diambil oleh beliau adalah menyempurnakan hujjah-nya dengan memenuhi panggilan orang-orang Kufah, lalu berdasarkan itu beliau memulai perjuangan yang sekiranya dapat menampilkan kezaliman Bani Umayah agar wajah mereka tercoreng sehitam-hitamnya di mata umat Rasulullah Saw dan kejahatan mereka tidak pernah bisa dilupakan. Tujuan yang diinginkan beliau ini hanya dapat ditempuh melalui jalan kesyahidan. Di mata Imam Husain as, kepemimpinan sebagai seorang imam menuntut kriteria-kriteria yang tidak dimiliki oleh Yazid dan orangorang yang sepertinya. Beliau berkata, ″Seorang pemimpin adalah 1- Maqtal Khwarazmi, jld. 2, hlm. 85; Tadzkirot Al-Khowâshsh, hlm. 261.
102
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
orang yang mengamalkan Al-Quran, menegakkan keadilan, berperilaku sesuai ajaran agama dan selalu mencari keridhaan Allah.″1 Setelah Walid meminta Imam Husain as datang menemuinya, lalu setelah dia membacakan surat dari Yazid untuk beliau,2 maka beliau menjawabnya dengan mengatakan, ″Tentunya, tidak cukup bagimu seandainya aku membaiat Yazid begitu saja di tempat sepi seperti ini. Kamu pasti ingin aku mengumumkan baiatku kepada Yazid di depan banyak orang.″ Walid berkata, ″Ya, benar.″ Kemudian Imam Husain as berkata, ″Bersabarlah sampai esok pagi.″ Kemudian Marwan berkata, ″Sumpah, jika kau biarkan Husain pergi begitu saja dari sini, engkau tidak akan bisa menemukannya lagi! Penjarakan dia, jangan biarkan ia pergi dari sini! Minta ia membaiat Yazid, dan kalau menolak, penggal saja kepalanya!″ Imam Husain as berkata, ″Celaka engkau! Engkau menginginkan kematianku? Betapa hinanya dirimu.″ Lalu beliau memandang Walid dan berkata, ″Hai Walid, kami adalah keluarga Nabi. Kami tinggal di rumah turunnya wahyu yang menjadi tempat lalu lalang malaikat dan penuh rahmat dan berkat. Karena kamilah Allah menciptakan segalanya, dan karena kami pula Allah akan mengakhiri semuanya. Yazid adalah orang yang fasik, pendosa, peminum arak, pembunuh orang-orang tak berdosa, dan dia suka menampakkan perbuatan maksiatnya terang-terangan. Orang sepertiku tidak akan pernah membaiat orang sepertinya. Tetapi esok pagi, kita akan lihat siapakah yang lebih layak untuk kekhilafahan.″ Setelah Imam Husain as pergi meninggalkan Walid, Marwan berkata, ″Kamu tidak menuruti perkataanku. Sumpah, kamu tidak akan mendapatkan kesempatan seperti ini untuk kedua kalinya.″ Walid berkata, ″Celaka bagimu! Kamu meminta aku untuk kehilangan dunia dan agamaku?! Sungguh aku tidak ingin memiliki dunia dengan cara membunuh Husain. Subhanallah, apakah aku harus membunuh 1- Târîkh Al-Tobarî, jld. 4, hlm. 262. 2- Sebagaimana yang dituliskan oleh Ya′qubi dan Khwarazmi, Yazid dengan tegas berkata kepada Walid, ″Jika Husain dan Ibnu Zubair tidak mau membaiat, maka penggal kepala mereka dan kirimkan kepala-kepala itu kepadaku.″ Târîkh AlYa ′qûbî, jld. 2, hlm. 51; Maqtal Khwarazmi, jld. 1, hlm. 180.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
103
Husain karena ia berkata, ″Aku tidak ingin membaiat Yazid″? Demi Allah, barangsiapa berani menumpahkan darah Husain, kelak di Hari Kiamat, timbangan amalnya sangat ringan, Allah tidak akan mempedulikannya di hari itu dan Dia tidak akan mencurahkan rahmat-Nya. Allah akan menyiksanya dengan azab yang pedih!″1 Keadaan saat itu sangat genting sekali. Imam Husain as sudah mempunyai alasan yang cukup untuk berjuang melawan keinginan Yazid. Alasan-alasan beliau untuk menolak pembaiatan Yazid dapat diterima siapa pun yang mendengarnya. Walid pun sebagai sepupu Yazid sendiri mengakui kebenaran ucapan beliau; dia sama sekali tidak membantah. Beliau mengucapkan ″Orang sepertiku tidak akan membaiat orang seperti dia″ adalah ucapan yang sesuai dengan kenyataan. Beliau dengan posisi dan kedudukannya sebagi seorang imam tidak akan pernah membaiat Yazid pendosa. Karena, baiat bukan hal sederhana; baiat adalah pengakuan dan janji untuk menaati seseorang yang menjadi pusat kekuatan untuk mewujudkan tujuan-tujuan mulia agama dan kepemimpin; yaitu menegakkan norma-norma islami, pembawa keagungan Islam dan Muslimin, pembela Al-Quran, penyeru kepada kebaikan dan pencegah dari kemunkaran dan, dengan ungkapan lain, pengganti Nabi Saw. Makna baiat yang sebenarnya adalah menunjukkan kesiapan diri untuk mematuhi perintah seorang pemimpin, mengorbankan diri untuknya dalam menjalankan perintah-perintahnya. Pemimpin tersebut adalah pemimpin yang wajib ditaati sebagaimana disebut dalam Al-Quran, ″Taatilah Allah, Rasul-Nya, dan pemimpinpemimpin kalian.″ Jika baiat itu dilakukan untuk Yazid, ini artinya mengesahkan segala kefasikan dan kemunkaran yang ia lakukan. Imam Husain as tidak akan pernah membaiatnya yang artinya beliau tidak mungkin mengesahkan kezalimannya. Membaiat Yazid berarti bekerja sama dengannya untuk membunuh orang-orang yang tidak berdosa atau mencoreng nama baik Islam dan kemuliaannya. Imam Husain as jelas tidak akan bertindak seperti itu. Perkataan ″Orang sepertiku tidak akan membaiat orang sepertinya″
1- Sumuw Al-Ma ′nâ, hlm. 113 dan 114; Maqtal Al-Husain, Khwarazmi, hlm. 184.
104
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
adalah ungkapan betapa jelasnya: siapa Imam Husain as dan siapa Yazid, dan tak satu pun Muslim bisa membenarkan jika beliau membaiat Yazid. Semua orang dapat memahami apa yang dikatakan Imam Husain as tentang siapa dirinya dan siapa Yazid. Andai saja seluruh Muslimin membaiat Yazid, beliau tak akan pernah membaiat seseorang sepertinya. Imam Husain as tidak seperti orang biasa yang lain. Beliau adalah Ahlul Bait, keluarga suci utusan Allah yang terakhir, putra satusatunya putri tercinta Rasulullah Saw. Pada suatu hari beliau berkata kepada Farazdaq, ″Kebanyakan orang-orang ini telah menaati setan dan meninggalkan ketaatan kepada Allah. Mereka menyemarakkan kemunkaran dan meninggalkan hukum-hukum Tuhan. Mereka peminum arak dan suka memakan harta orang-orang miskin. Aku adalah orang yang paling layak untuk berjuang mencari kemuliaan dan membela agama serta syariat.″1 Ketika seorang penjahat seperti Yazid berkeinginan untuk duduk di tempat duduk Nabi dan meminta diakui sebagai pemimpin seluruh Muslimin, maka untuk seorang Imam seperti beliau tidak ada yang patut dilakukan selain mengumumkan bahaya Yazid dan memeranginya serta mencapnya sebagai kebatilan. Karena membaiat Yazid hakikatnya adalah mengesahkan kebatilan dan membiarkan masyarakat Muslim tersesat sesesat-sesatnya. Bagi hamba-hamba yang terdekat dengan Tuhannya, berat sekali untuk menerima Yazid dan memenuhi perintahnya. Atas dasar logika ini, Imam Husain as bangkit. Beliau berkata, ″Seorang pemimpin adalah orang yang mengamalkan Al-Quran, menegakkan keadilan, berperilaku sesuai ajaran agama dan selalu mencari keridhaan Allah.″2 Meskipun di padang gersang Karbala, Imam Husain as merasakan pedihnya musibah yang menimpa, tapi beliau di sana tetap berpegang teguh pada logika tersebut. Beliau berkata, ″Sumpah demi Allah, aku
1- Tadzkirot Al-Khowâshsh, hlm. 252. 2- Târîkh Al-Tobarî, jld. 4, hlm. 262.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
105
tidak akan pernah memenuhi permintaan orang-orang ini meskipun aku harus mati dalam keadaan muka berlumuran darahku sendiri.″1 Supaya kita dapat memahami lebih mendalam mengenai kondisi sosial Muslimin di zaman Imam Husain as, mari kita menyimak ucapan salah satu ulama Sunni terkenal, yaitu Sayid Qutub. Beliau menulis, ″Kekhilafahan Bani Umayah bukan kekhilafahan islami. Mereka adalah para diktator dan bertentangan dengan wahyu Ilahi. Mereka adalah orang-orang yang lahir dari rahim Jahiliyah. Jika kita ingin tahu seperti apa sebenarnya kekhilafahan Bani Umayah, cukup kita melihat bagaimana cara Yazid meminta baiatnya. Sebelum mati, Mu′awiyah sempat mengumpulkan beberapa orang istananya untuk meminta pendapat mereka mengenai pembaiatan Yazid. Lalu seseorang yang bernama Yazid bin Qafqa′ berdiri dan berkata, ″Amirul mukminin adalah ini (sambil menunjuk kepada Mu′awiyah).″ Lalu ia melanjutkan, ″Jika Amirul Mukminin Mu′awiyah meninggal dunia, maka Amirul Mukminin setelahnya adalah ini (sambil menunjuk kepada Yazid).″ Kemudian ia melanjutkan, ″Jika ada yang tidak menerima Yazid sebagai Amirul Mukminin, maka ini (sambil menujukkan pedangnya).″ Lalu Mu′awiyah berkata, ″Duduklah, engkau adalah orang yang paling pandai dalam berbicara.″ Lalu Sayid Qutub menceritakan bagaimana caranya Yazid meminta baiat dari orang-orang Mekkah. Betapa Yazid orang yang keras dan suka menggunakan ancaman dalam meminta baiatnya.2 Setelah menceritakan sifat-sifat Yazid seperti suka berzina dan meninggalkan shalat, Sayid Qutub menukilkan, ″Dosa-dosa Yazid seperti membunuh Imam Husain, mengepung Ka'bah, melemparinya, merusaknya, membakarnya dan lain sebagainya, itu semua memang nyata dan bukan hal dibuat-buat secara berlebihan. Kekhilafahan Yazid adalah pukulan keras yang menghantam dada Islam dan keagungannya.″3 Di masa pemerintahan Mu′awiyah, hari demi hari semakin tampak bahwa pola pemerintahan mereka semakin jauh dari ajaran-ajaran 1- Sumuww Al-Ma ′nâ, hlm. 118. 2- Al-Adâlat Al-Ijtimâ ′iyyah fî Al-Islâm, hlm. 180 dan 181. 3- Ibid.
106
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Islam. Perubahan besar terjadi dalam pemerintahan Mu′wiyah, dan lengkap sudah keburukan tersebut dengan dijadikannya Yazid sebagai putra mahkota. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayid Quthb tadi, kekhilafahan Yazid adalah pukulan yang mengoyak jantung dan dada Islam. Dengan demikian, Imam Husain as berkewajiban untuk membenahi segala yang telah terjadi, mengobati luka-luka di tubuh Islam, lalu memahamkan semua orang akan hakikat yang sebenarnya. Dengan kebangkitannya, Imam Husain as menerangkan kepada kita semua apa kekhalifahan Yazid di mata agama. Jika Imam hanya diam saja, apalagi membaiatnya, maka umat Rasulullah Saw akan mengalami kekeliruan yang lebih parah dari sebelumnya dan Islam hanya tinggal namanya saja. Ghazali, seorang penulis terkenal Ahli Sunah, menulis tentang busuknya kekhalifahan Bani Umayah, ″Kenyataan yang sebenarnya, kekhalifahan Bani Umayah adalah satu fitnah besar untuk Islam yang telah meruntuhkan segala rukun-rukunnya.″1 Inilah sekilas dari keburukan dan bahaya seorang Yazid yang menimpa Islam. Dialah orang yang merubah citra pemerintahan menjadi buruk, padahal wajah pemerintahan dalam Islam adalah wajah yang menggambarkan keadilan sosial; tapi itu telah dia rusak. Seandainya Imam Husain as tidak melakukan perjuangan yang dapat menggambarkan menyimpangnya Bani Umayah dengan nilai-nilai Islami, maka bahaya yang sangat besar akan menimpa agama langit ini; keadilan dan aturan-aturan Tuhan akan diinjak-injak tak dipedulikan. Bahaya Yazid Dialog 20: Mengapa Imam Husain as mengucapkan ″Innâ liAllâhi wa innâ ilayhi rôji'ûn″? Apa maksud beliau saat mengatakan bahwa lenyaplah Islam jika ada pemimpin seperti Yazid? Bahaya yang dimaksud oleh Imam Husain as adalah kembalinya umat Rasulullah ke zaman Jahiliyah. Bahaya ini lebih mengkhawatirkan dari bahaya-bahaya yang lain. Ujung-ujung tombak dan ancaman1- Al-Islâm wa Al- Istibdâd Al-Siyâsî, hlm. 187 dan 188.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
107
ancaman Bani Umayah adalah faktor terbesar ditinggalkannya aturanaturan agama, kerapuhan sosial dan penghinaan terhadap agama. Masyarakat Muslimin, khususnya yang berada di kota-kota besar dan penting seperti Mekkah, Madinah, Kufah, Bashrah, sedang menderita penyakit diam dan masabodoh. Kekerasan orang-orang pemerintah seperti Ziyad, Samrah dan Mughirah yang tidak segan membunuh orang tak berdosa juga penghinaan mereka terhadap agama, membuat masyarakat Muslimin menjadi ketakutan dan putus asa akan segala usaha untuk mengambil langkah perlawanan. Bani Umayah memang pada dasarnya ingin menghancurkan nilai-nilai Islam dan menghapuskannya. Alaili berkata, ″Para pemikir Islam bersepakat bahwa Bani Umayah adalah lambang keburukan dan pembaru kehidupan Jahiliyah serta pembangkit tradisi-tradisinya. Inilah Bani umayah.″1 Sibth Ibnu Jauzi berkata, ″Kakekku dalam kitabnya yang berjudul AlTabshiroh berkata, ″Sesungguhnya Imam Husain as bangkit berjuang karena agama berada di ambang kehancuran. Ia bangkit untuk menegakkan kembali rukun-rukun Islam.″2 Jika tangan Yazid tidak diikat erat, maka sebagaimana yang diinginkan ayahnya Mu′awiyah, kalimat syahadat dan risalah kenabian akan ditinggalkan selamanya; Islam tidak akan tersisa kecuali namanya; kalaupun ada yang tersisa, maka yang bernama Islam adalah Bani Umayah dan aturan-aturan mereka. Jika Yazid tidak disingkirkan dari panggung sejarah, maka ia pasti menamakan dirinya sebagai pengganti sang nabi, negeri-negeri islami menjadi pusat maksiat, perjudian, tarian, nyanyian dan kekejian. Karena pada dasarnya secara alami masyarakat akan mengikuti pemerintahnya dan menjadikan mereka sebagai tauladan. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain untuk menggagalkan rencanarencana Bani Umayah selain kebangkitan yang telah Imam Husain as lakukan. Dengan usaha itu, semua orang menyadari bahwa Bani Umayah telah melenceng jauh dari aturan dan ajaran Rasulullah Saw. Imam Husain as harus membangkitkan jiwa umat datuknya agar
1- Sumuww Al-Ma'nâ, hlm. 28. 2- Tadzkirot Al-Khowâshsh, hlm. 283.
108
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
semua orang menentang kebatilan yang nampak di hadapan mata mereka secara nyata; agar semua orang menunjukkan ketidakcocokannya terhadap Bani Umayah; agar semua orang menyebut Bani Umayah sebagai pengkhianat dan penipu. Jadi usaha beliau bertujuan untuk menyingkap topeng Bani Umayah sekaligus membangkitkan umat kakeknya agar menentang mereka dengan setegas-tegasnya. Imam Husain as berusaha mengajak semuanya kembali kepada keluarga Rasul Saw dan bersama-sama menjunjung nilai-nilai agama. Kebengisan dan keras kepalanya musuh-musuh Imam Husain as tidak menjadi halangan untuk mencapai tujuan. Karena, beliau adalah seorang pejuang di jalan Allah yang baginya tidak ada beda: apakah ia akan menang ataupun kalah secara materi, karena bagi beliau, kemenangan dan kekalahan materi hakikatnya adalah kemuliaan. Allah Swt berfirman, ″Katakanlah, apa yang kalian tunggu dari kami selain dua kemuliaan (kesyahidan dan kemenangan) yang akan menjadi milik kami? ″1 Beliau gugur di jalan Allah. Semua pembunuhnya dilaknat oleh Allah, malaikat dan seluruh makhluknya. Beliau bersama para sahabatnya meraih derajat tertinggi kemuliaan di sisi Sang Maha Esa.2 Menyempurnakan Argumen di Karbala Dialog 21: Apa yang dimaksud dengan menyempurnakan argumen (itmâm al-hujjah)? Pertanyaan ini mengingat Imam Husain as telah melakukan menyempurnakan argumen dengan kedatangannya ke Karbala. Imam Husain as dalam perjuangannya selalu mengambil langkahlangkah terbaik untuk menampilkan kenyataan yang sebenarnya kepada semua orang. Langkah-langkah terbaik itulah yang menjadikan peristiwa Asyura menjadi kekal sepanjang masa dan membuatnya selalu terjadi dari segala pandangan miring. Langkahlangkah tersebut juga yang memberikan semangat kepada para
1- Al-Taubah: 52. 2 Majaleh-e Al-Adl, vol. 9, tahun 2, hlm. 6.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
109
sahabat beliau untuk berjuang bersamanya. Langkah-langkah itu juga yang telah mengguncangkan hati-hati musuh dan menyingkap segala keburukan mereka. Salah satu langkah itu adalah menyempurnakan argumen (itmâm al-hujjah). Dengan cara ini, Imam Husain as memberi ikhtiar kepada semua orang untuk memilih jalan mana yang mereka tempuh setelah dijelaskan mana jalan yang benar dan mana yang salah. Cara ini merupakan cara yang menghidupkan budaya retorika dalam kehidupan bermasyarakat. Cara ini adalah cara yang beliau pelajari dari Rasulullah Saw. Imam Husain as waktu itu melihat dengan jelas bahwa budaya berdakwah, berdiskusi dan bermusyawarah telah tergantikan dengan budaya kekerasan, pemaksaan dan ancaman. Oleh karena itu, dengan itmâm al-hujjah dan berdebat, Imam Husain as menunjukkan betapa pentingnya ″berbicara dengan baik″ sebagai budaya terbaik untuk setiap umat. Dalam salah satu itmâm al-hujjah-nya, Imam Husain as mengatakan, ″Bukankah aku putra Fathimah putri Rasulullah Saw?! Apakah aku bukan putra sepupu Rasulullah Saw: orang pertama yang masuk Islam?! Apakah ucapan Rasulullah Saw tidak sampai ke telinga kalian bahwa aku dan Hasan adalah penghulu pemuda surga?! Jika kalian menganggapku seorang penipu, maka tanyalah kepada Jabir bin Abdullah Anshari, Abu Sa′id Khidri, Sahl bin Sa′d Sa′idi, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik tentang siapa aku! Apakah aku pernah membunuh salah seorang dari kalian sehingga kalian kemari untuk membalas dendam?! Apakah aku pernah merampas harta salah seorang dari kalian sehingga kalian kemari untuk menuntutnya?! Apakah aku pernah melukai salah seorang dari kalian sehingga kalian ingin menghukumku?!″ Tak satu pun di antara mereka yang menjawab. Saat itu Imam Husain as berteriak, ″Wahai Syabts bin Rab′i, wahai Hajjar bin Abjar, wahai Qais bin Ast′ats, hai Yazid bin Harits, bukankah kalian telah menulis surat untukku dan berkata bahwa di situ buah-buah di pohon telah matang dan taman-taman telah hijau subur, lalu kalian memintaku untuk datang secepatnya, karena pasukan yang telah siap sedang menantiku?! Demi Tuhan, aku tidak akan pernah membaiat
110
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Yazid seperti orang-orang yang hina, dan aku tidak akan lari seperti budak-budak yang ketakutan.″1 Dengan ucapan-ucapannya beliau menjelaskan kebenaran dirinya dan menunjukkan kepada semua orang bahwa beliau tidak akan pernah bersedia menerima kehinaan. Sahabat-sahabat beliau juga melakukan hal yang sama, mereka itmâm al-hujjah dan menyempurnakan argumen sebelum mereka terbunuh di tangan para durjana.2 Imam Husain as Tahu akan Mati Dialog 22: Apakah Imam Husain as mengetahui bahwa beliau akan mati dibunuh? Jika demikian, lalu kenapa beliau justru menghampiri kematiannya? Berdasarkan hadis-hadis yang tercatat dalam kitab-kitab riwayat Syi′ah, para imam Ahlul Bait as memiliki ilmu ghaib yang diilhamkan oleh Allah Swt. Dia berfirman, ″Ia mengetahui hal yang gaib dan yang tidak ghaib, dan Dia tidak memberitahukannya kecuali kepada para utusan-Nya yang Dia ridhai.″3 Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu gaib adalah ilmu yang khusus dimiliki oleh Allah Swt, dan tidak ada seorang pun yang memiliki ilmu itu. Akan tetapi, mungkin saja para nabi dengan izin Allah Swt diberitahu akan ilmu tersebut. Juga tidak menutup kemungkinan selain nabi juga mengetahui ilmu ghaib tersebut ketika Allah Swt mengizinkan dan dengan perantara nabi orang tersebut diberitahu. Allamah Thabathabai penulis Tafsîr Al-Mîzân berkata bahwa Imam Husain as adalah Imam ketiga bagi kaum Syi′ah dan pemilik wilayah mutlak. Ilmu para Imam, sebagaimana yang telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalilnya yang jelas, dapat dibagi menjadi dua macam: Pertama, mereka dengan izin Allah diberi pengetahuan akan segala hal yang terjadi di alam wujud, baik segala yang dapat dijangkau indera atapun yang tidak. Misalnya, kejadian-kejadian yang ada di langit dan di bumi, kejadian yang akan datang dan yang telah lampau. 1- Târîkh Al-Tobarî, jld. 5, hlm. 424-427. 2- Ibid., hlm. 417. 3- Al-Jin: 26.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
111
Kedua, adalah ilmu biasa yang dimiliki para nabi juga orang-orang biasa. Berdasarkan ilmu ini, mereka melakukan apa yang sebaiknya dilakukan.1 Di sini perlu kita catat bahwa pengetahuan pasti para imam maksum akan kejadian tertentu tidak akan menimbulkan sesuatu yang disebut jabr (pemaksaan). Pengetahuan pasti Allah Swt akan segala hal yang akan terjadi juga tidak menimbulkan jabr. Karena, pada dasarnya pengetahuan Allah Swt bergantung kepada perbuatan yang dilakukan oleh manusia berdasarkan ikhtiarnya. Yakni, Allah Swt tahu apa yang akan dilakukan oleh seorang manusia berdasarkan ikhtiarnya sendiri. Mengenai Imam Husain as, kita tahu bahwa dalam kitab-kitab sejarah dan riwayat terpercaya kita tercatat bahwa Rasulullah Saw dan Imam Ali as telah memberitakan kesyahidan beliau sebelumnya. Banyak para sahabat, keluarga dan orang-orang terdekat mereka yang telah mendengar berita ini. Oleh karena itu, ketika Imam Husain as bertolak dari Madinah menuju Mekkah, begitu juga saat beliau hendak meninggalkan Mekkah menuju Irak, banyak para sahabat yang sedih dan khawatir. Kekhawatiran mereka hampir mendekati yakin bahwa, sebagaimana yang telah diceritakan oleh Rasulullah Saw, saat itu kesyahidan sedang menanti Imam Husain as. Apalagi dengan melihat kenyataan bahwa Bani Umayah sedang menguasai negeri Islam dengan kekerasan dan kejahatannya. Mereka sendiri tidak berani melawan Bani Umayah untuk merebut kekhilafahan yang telah disalahgunakan. Satu hal lagi yang juga menambah kekhawatiran mereka adalah masa lalu penduduk Kufah yang buruk di zaman kekhilafahan Imam Ali as. Dengan demikian, bagi mereka, kemungkinan Imam Husain as akan gugur di perjalanannya sangat besar, dan kemungkinan beliau terelak dari kematian juga sangat kecil. Imam Husain as sendiri telah berkali-kali mengkabarkan bahwa ia akan terbunuh. Akan tetapi, beliau tidak menyatakan kepada siapa pun bahwa ia akan pergi untuk merebut kekuasaan dan menyingkirkan Yazid. Pada dasarnya, semua orang berkewajiban untuk membantu beliau dan menolak pembaiatan Yazid serta 1- Rabbani Khalkhali, Ali, Cehreh-e Derakhsyon-e Husain bin Ali as, hlm. 134-140.
112
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
melakukan aksi pemberontakan. Tapi Imam Husain as tahu bahwa pembertontakan besar ini tidak akan berhasil. Pada hematnya, beliau harus melakukannya dengan beberapa orang dari kelompoknya dan harus mati di jalan itu. Oleh karenanya, beliau sering memberitahukan kematian dirinya sebelum itu benar-benar terjadi. Terkadang ketika ada orang yang mencegah beliau agar tidak pergi menuju Kufah beliau berkata, ″Aku bermimpi melihat Rasulullah Saw memerintahkanku untuk melakukan sesuatu yang, jika aku melakukannya, maka itulah yang terbaik.″1 Dalam kitab Kashf Al-Ghummah ditukil dari Imam Zainul Abidin as bahwa beliau berkata, ″Di setiap rumah yang kami datangi ayahku selalu menceritakan meninggalnya nabi Yahya putra Zakariya. Beliau berkata, ″Salah satu buruknya dunia di mata Allah Swt adalah mereka telah memenggal kepala Yahya lalu membawa kepala suci itu ke hadapan wanita pezina dari Bani Israil.″2 Jadi, berdasarkan yang kita baca dalam buku-buku sejarah, sesungguhnya Imam Husain as menyadari bahwa ia akan terbunuh dan mengalami kekalahan materi. Tetapi tujuan beliau adalah tujuan yang sangat mulia: menegakkan kembali pilar-pilar agama, menunjukkan kebatilan kekhilafahan Bani Umayah, menghapuskan syubhat-syubhat dan kesalahan-kesalahan dalam berpikir serta menyelamatkan Islam dari pukulan dahsyat yang telah menghantamnya. Langkah tepat beliau adalah menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya dengan cara memenuhi ajakan orangorang Kufah untuk menyempurnakan argumen dan mengorbankan dirinya secara terzalimi sehingga kedok musuh tersingkap, keburukan wajah mereka terlihat sejelas-jelasnya dan takkan pernah terlupakan sepanjang sejarah. Tujuan ini tidak akan terwujud tanpa pengorbanan nyawa Imam Husain as dan ditawannya keluarga beliau. Melemparkan Diri ke dalam Kehancuran1 Dialog 23: Jika tujuan beliau adalah kematian dan ditawannya keluarga beliau, maka akal maupun syariat tidak bisa
1- Târîkh Al-Tobarî, jld. 4, hlm. 292; Al-Hasan wa Al-Husain Sibtoy Rosûlillâh, hlm. 91-92. 2- Qamqam, hlm. 359; Nazm dar Ralmusmithin, hlm. 215.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
113
membenarkannya. Sebagaimana Allah berfirman, ″Dan janganlah kalian hempaskan diri-diri kalian ke arah kehancuran.″2 Mengapa beliau mendatangi kehancuran diri dan keluarganya? Pertama, menjerumuskan diri kedalam kecelakaan adalah permasalahan yang relatif; terkadang kita tidak boleh melakukannya, terkadang tidak apa-apa dan terkadang justru wajib. Itu semua tergantung pada kondisi yang kita hadapi. Jadi tidak selamanya dan tidak selalu perbuatan seperti itu diharamkan, karena terkadang justru menjadi kewajiban. Kalau saja kita anggap perbuatan tersebut memang mutlak keharamannya, namun pasti ada alasan-alasan tertentu yang akan membolehkan. Seandainya Islam berada di ambang kehancuran, apakah kita tidak boleh melemparkan diri kita sendiri ke dalam kehancuran demi menyelamatkan Islam? Jika ada orang yang mementingkan diri sendiri dan berlindung dari kehancuran, akan tetapi ia membiarkan agamanya hancur, apakah sikapnya kelak tidak akan dipertanyakan di akherat? Apakah ini bukan berjihad dan pengorbanan yang jelas-jelas sangat tinggi keutamaannya? Berjihad untuk menegakkan tauhid dan mengembalikan Islam menjadi Islam yang sebenarnya atau menjaga negeri Islam dari kehancuran adalah kewajiban. Kita wajib melakukannya, meski kita yakin kita akan mati dan harus menghempaskan diri ke dalam kehancuran. Jika tegakknya kebenaran menuntut pengorbanan dan kematian kita, maka kita wajib memberikan yang terbaik untuknya. Kita wajib memperjuangkannya. Kedua, hukum diharamkannya melemparkan diri ke dalam kehancuran adalah hukum irsyadi (bersifat penyadaran) yang meneguhkan apa yang dipahami akal, karena akal benar-benar memahami keburukan perbuatan itu. Akan tetapi, jika akal menilai kita harus melakukannya demi sesuatu yang lebih penting dari itu, maka mendahalukuan yang lebih penting adalah kewajiban.
1- Maksudnya adalah sengaja menghampiri bahaya yang menghasilkan celaka untuk diri sendiri. 2- Al-Baqarah: 195.
114
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Ketiga, yang dimaksud dengan kehancuran dalam ayat di atas adalah kehancuran tanpa tujuan yang masuk akal. Jika tujuan perbuatan itu benar, seperti menjaga keutuhan agama, maka pada hakikatnya pengorbanan itu bukanlah kehancuran. Orang yang mengorbankan dirinya di jalan Allah tidak akan mati siasia, bahkan ruhnya abadi di sisi Tuhan. Oleh karena itu, berjihad dan menjemput kematian demi Allah bukanlah kehancuran. Seperti halnya kita diharamkan menghambur-hamburkan uang dengan tidak ada tujuan yang jelas. Akan tetapi, jika kita kucurkan uang tersebut untuk tujuan yang mulia, usaha tersebut tidak sia-sia. Keempat, kesabaran dan ketegaran dalam jiwa para pejuang dalam berjihad ketika mereka yakin bahwa kelak kematian akan menjemput mereka, adalah sifat terpuji yang sangat dimuliakan agama. Tak seorang pun menganggap mental baja dan usaha mereka sebagai pencelakaan diri. Khususnya di masa hidup Rasulullah Saw, tekat para pejuang seperti ini sangat dipuji, seperti halnya kegagahan Ja′far Thayar dalam perang Mu′tah. Mereka berjuang di jalan Allah untuk menggapai kemuliaan tertinggi, bukan untuk mencari kehancuran. Kelima, karena yang diharamkan dalam ayat tersebut adalah ″melemparkan diri ke dalam kehancuran″, maka keharaman tersebut akan terwujud ketika seseorang melakukan sesuatu yang menyebabkan kehancurannya. Ada kemungkinan, jika si fulan melakukan sesuatu maka akan menyebabkan kehancurannya, akan tetapi jika orang lain yang melakukannya, ia tidak akan terseret ke dalam kehancuran. Dengan penjelasan ini, kita perlu menambahi bahwa para Imam adalah orang yang paling mengerti akan hukum-hukum syariat dan maksum "terjaga dari kesalahan"; segala yang mereka lakukan telah mendapatkan persetujuan dari Allah dan sesuai dengan tugas agama. Di sini juga perlu dijelaskan bahwa Bani Umayah memiliki satu tujuan yang benar-benar harus mereka capai, yaitu membunuh Imam Husain as. Jadi, entah beliau berangkat ke Kufah atau tidak, Bani Umayah tidak akan membiarkan beliau berumur panjang. Tapi Imam Husain as lebih memilih untuk mati dalam keadaan berjuang, yaitu syahid di padang Karbala, agar tujuan utama perjuangannya benarbenar terwujudkan. Setiap orang yang mengkaji sejarah peristiwa
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
115
Asyura pasti akan menyadari bahwa segala yang beliau putuskan adalah keputusan-keputusan yang berdasarkan pemikiran yang cermat dan matang. Yang perlu dijelaskan juga adalah maksud Imam Husain as tidak membaiat Yazid, pergi menuju Kufah, tidak menyerah dan bersabar memikul musibah yang besar adalah untuk terjaganya Islam. Tidak sia-sia jika beliau mengorbankan nyawa diri dan keluarga serta sahabatnya di jalan ini. Karena alasan tersebut, beliau dengan ikhtiarnya memikul musibah besar dan menyambut kesyahidannya dengan penuh ikhlas. Tujuan beliau tak lain hanyalah menjalankan apa yang menjadi tugasnya di mata Allah Swt dalam menegakkan kebenaran dan menggulingkan kebatilan. Untuk mencapai tujuan itu, tidak ada jalan lagi bagi beliau selain berjuang sekuat tenaga dan kita tidak bisa menyebut usaha mulia tersebut sebagai pencelakaan diri. Peran Kaum Wanita Dialog 24: Sementara Imam Husain as tahu akan gugur di padang Karbala, lalu mengapa beliau membawa sanak saudara bersamanya? Apa peran kaum wanita yang dibawa beliau dalam revolusi Husaini? Sebenarnya perjuangan Imam Husain as memiliki dua wajah. Wajah pertama adalah perjuangan dan pengorbanan, dan wajah kedua adalah penyampaian pesan. Kita sendiri tahu bahwa menyampaikan pesan yang dimaksud oleh beliau tidak akan terlaksana tanpa pengorbanan yang beliau lakukan. Jika kita menyimak sejarah beliau, kita akan mendapati bahwa para wanita yang ikut bersama beliau memiliki peran penting dalam penyampaian pesan tersebut. Meskipun mereka juga berperan dalam membantu para pejuang dan melayani mereka, tapi peran para wanita yang sebenarnya adalah peran penyampaian pesan. Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang peran para perempuan yang ikut bersama Imam Husain as, kita perlu memberikan dua pendahuluan. Pertama, semua kebijakan Imam Husain as didahului oleh perhitungan yang matang dan pemikiran yang cermat. Yang dapat kita jelaskan tentang mengapa beliau membawa keluarganya
116
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
menuju Kufah adalah karena beliau pernah mendapatkan ilham sebelumnya melalui Nabi yang beliau lihat di mimpinya agar beliau membawa keluarganya dalam perjuangannya. Diilhamkan kepada beliau bahwa keluarga mereka akan ditawan.1 Beliau menyadari bahwa keridhaan Allah ada pada tertawannya keluarga beliau. Dengan demikian, atas dasar kemaslahatan, beliau memutuskan untuk membawa mereka. Pada hakikatnya, dengan langkah ini, beliau telah mengirimkan para penyampai pesannya ke berbagai kota, dan bahkan ke dalam istana khalifah. Kedua, tentang peran para perempuan dalam sejarah yang mana tak ada satu orang pun yang mengingkari peran mereka dalam sejarah. Meskipun terkadang tidak nampak, tapi paling tidak mereka secara tidak langsung memiliki perannya masing-masing. Tidak ada yang mengingkari bahwa salah satu peran perempuan adalah membentuk pribadi lelaki, dan lelaki mencipta sejarah. Dan sesungguhnya peran wanita dalam membentuk lelaki lebih banyak dan lebih besar dari peran lelaki dalam membentuk jalur sejarah. Jika kita ingin membahas bagaimana para perempuan berperan dalam sejarah, kita bisa membagi para perempuan tersebut menjadi tiga kelompok: (a) para wanita yang dianggap sebagai sesuatu yang berharga tapi tidak memiliki peranan yang berarti. Keberhargaan ini yang membuat kaum lelaki menyimpan wanita di tempat yang aman bagai ″benda″, dan keberhargaan inilah yang memberikan pengaruh-pengaruh tertentu terhadap lelaki. (b) pada sebagian komunitas, para wanita tidak lagi dianggap sebagai ″benda″, tapi manusia. Mereka memiliki peran yang nyata dalam sosial. Akan tetapi, mereka terlalu membaur dalam pergaulan bebas, hadir di mana-mana dan menyebabkan mereka tidak lagi memiliki keistimewaan sebagai sosok perempuan yang berharga. Mereka kehilangan nilai diri karena pergaulan mereka yang tanpa batas. Dalam keadaan seperti ini, memang wanita memiliki peran dalam sosial, akan tetapi dikarenakan beberapa faktor lain yang tak
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 364.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
117
terkendali, perempuan menjadi sesuatu yang biasa dan tidak memiliki keistimewaan yang begitu penting. (c) wanita yang diinginkan Islam. Dalam pandangan Islam, perempuan haruslah berupa sosok yang berharga. Dengan artian, mereka harus berupa pribadi yang memiliki jiwa sehat, terhiasi dengan kesempurnaan insani seperti ilmu, seni, tekad yang kuat, keberanian, kepandaian dan lain sebagainya. Akan tetapi di sisi lain, perempuan harus menjaga martabat dan kepribadiannya dalam pergaulan. AlQuran sering menceritakan para wanita yang memiliki kemuliaan tinggi seperti ini, contohnya adalah Hawa yang diberi kemuliaan sebagai istri Nabi Adam, Sarah istri Ibrahim yang mampu melihat para malaikat dan berbicara dengan mereka, Maryam yang diberi rezeki dari langit oleh Tuhannya sehingga Nabi Zakaria terheran-heran, juga Fathimah Zahra as yang merupakan telaga Kautsar bagi Rasulullah Saw. Dalam sejarah Islam, sebaik-baiknya perempuan yang dapat dijadikan tauladan adalah Fathimah Zahra as. Ia sangat gembira ketika Rasulullah Saw menyerahkan urusan rumah tangga kepadanya. Tapi di lain sisi, ia juga pandai berpidato di masjid dan mengungkapkan kata-kata tentang Tauhid yang tak mampu diungkapkan seseorang seperti Ibnu Sina. Tapi pada saat itu juga, beliau menyampaikan pidatonya di balik tabir, yakni menjaga jaraknya dari para lelaki. Kenyataan ini menunjukkan betapa seorang perempuan dapat memberikan dampak positifnya kepada masyarakat. Dengan dua pendahuluan ini, kita mesti katakan bahwa perjuangan di Karbala adalah peristiwa yang mana lelaki dan perempuan memiliki peran di dalamnya. Akan tetapi, peran tersebut dijalankan dengan cara yang semestinya tanpa keluar dari lingkaran yang telah digariskan. Peran para lelaki dalam peristwa Asyura telah kita ketahui dengan jelas, akan tetapi setelah peristiwa itu terjadi, yakni setelah hari Asyura, baru terlihat peran para wanita yang salah satunya adalah Sayidah Zainab as. Beliau memperlakukan jasad suci Imam Husain as dengan perlakuan yang membuat kawan maupun lawan menangis haru. Dialah orang pertama yang mengadakan majlis tangisan atas Imam
118
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Husain as; dialah yang merawat Imam Zainal Abidin as dan para wanita lainnya serta anak-anak kecil. Di dekat pintu gerbang Kufah, ia berpidato dengan lantang yang menggambarkan keberanian Ali as dan keanggunan Ibunda Fatimah Zahra as. Dengan pidatonya, ia membangunkan jiwa penduduk Kufah dan, dengan demikian, mereka sadar akan apa yang telah mereka lakukan. Seperti inilah perempuan yang diinginkan Islam. Islam menginginkan perempuan yang berpribadi agung juga menjaga kesuciannya.1 Berdasarkan apa yang telah kita jelaskan, sesungguhnya keberadaan keluarga Imam Husain as pada peristiwa itu sangat penting sekali. Pertama, mereka memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menyampaikan pesan Imam Husain as. Kedua, selain mereka mampu menyampaikan pesan, musuh pun tidak berani mencederai mereka, karena jika mereka melukai para wanita dan anak kecil mereka akan dicela luar biasa di mata masyarakat dunia sepanjang sejarah. Juga jika kita ingin memandang peristiwa Asyura dengan kaca mata irfani, kita akan memahami bahwa Imam Husain as berusaha menyerahkan dan mengorbankan segala wujudnya tanpa sedikit pun tersisa di jalan Allah. Beliau melakukan segalanya dengan ikhlas dan hasilnya adalah Asyura selalu membekas sepanjang masa dan selalu memberikan dampaknya yang luar biasa baik terhadap Muslimin maupun selainnya. Di Hari Kiamat pun para syuhada Asyura akan mendapatkan derajat yang sangat tinggi sehingga semua orang menjadi iri. Untuk kembali memberikan penjelasan lebih lanjut tentang masalah yang sedang kita bahas akan diberikan dua keterangan sebagai berikut: Menyampaikan Pesan Tugas dan peran dalam kehidupan bersosial tidak hanya milik kaum lelaki. Para perempuan Muslimah juga berkewajiban untuk mematuhi sang pemimpin dan membelanya. Mereka juga berkewajiban untuk menentang pemimpin-pemimpin yang tidak adil dan mengkritik
1- Hamaseh-e Husaini, jld. 1, hlm. 397-411 dan jld. 2 hlm. 231-236.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
119
mereka. Perempuan juga harus hadir dalam kegiatan-kegiatan sosial yang konstruktif. Sebagaimana Fathimah Zahra as yang tak kenal lelah menuntut hak Imam Ali as dan membeberkan keburukan sebagian orang munafik, Sayidah Zainab ra juga melakukan hal yang sama untuk kakaknya pada peristiwa Karbala. Setiap perjuangan seperti yang dilakukan oleh Imam Husain as terdiri dari dua unsur: darah dan pesan. Darah adalah perjuangan dan pengorbanan; sedangkan pesan adalah maksud dan tujuan-tujuan dari perjuangan tersebut. Dua unsur ini terlihat jelas dalam peristiwa Asyura. Perjuangan yang dilakukan Imam Husain as hingga sore hari Asyura memiliki unsur darah, yakni pengorbanan. Setelah itu, tampak unsur kedua, yaitu penyampaian pesan sepeninggal Imam Husain as; sebuah tugas yang diemban oleh Sayidah Zainab as dengan bantuan Imam Zainal Abidin as. Dengan kata-katanya yang berapi-api belau menyampaikan pesan Asyura, pesan Imam Husain as, dan dengan demikian tersingkaplah siapa Bani Umayah yang sesungguhnya. Bani Umayah sejak zaman Mu′awiyah telah melancarkan propagandanya yang bertujuan menjelekkan Ahlul Bait as. Oleh karena itu, jika keluarga Imam Husain as yang tidak terbunuh di padang Karbala tidak meneruskan usaha beliau untuk menyingkap keburukan mereka, maka sampai selamanya keburukan tersebut akan terus tertutupi dan keluarga nabi semakin dilupakan dan dianggap tidak berharga. Tapi para perempuan itu telah memberikan jasa terbaiknya dan dengan demikian Bani Umayah tidak bisa seenaknya melakukan apa pun yang mereka inginkan. Kita akan memahami lebih dalam lagi bagaimana peran mereka jika kita mengkaji sejarah pemerintahan Bani Umayah di Syam. Menggagalkan Propaganda Bani Umayah Syam semenjak dikuasai oleh Muslimin, negeri itu berada di bawah kendali orang-orang seperti Khalid bin Walid dan Mu′awiyah bin Abi Sufyan.
120
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Penduduk negeri ini jarang sekali menerima nasehat-nasehat dan tutur kata Rasulullah Saw; mereka juga tidak tahu seperti apa sahabatsahabat nabi dan bahkan pengetahuan mereka tentang Islam sangat terbatas sekali. Tidak lama setelah Islam memasuki Syam, ada 113 sahabat Rasulullah Saw yang tinggal di sana, entah mereka datang ke negeri itu bersamaan dengan ditakhlukkannya Syam ataukah setelah itu. Tetapi, hanya segelintir orang saja di antara mereka yang pernah bertemu dengan Nabi Saw untuk beberapa saat dan mereka cuma menukil beberapa penggal hadis dari beliau. Kebanyakan dari mereka telah meninggal dunia di masa kekhilafahan Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan. Ketika peristiwa Asyura terjadi, saat itu jumlah mereka tinggal sebelas orang. Saat itu mereka adalah orang-orang lanjut usia yang berusia sekitar tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Mereka lebih memilih hidup menyendiri daripada bermasyarakat. Akibatnya, generasi muda penduduk kota Syam tidak mengetahui apa-apa tentang Islam. Mungkin menurut mereka, Islam sama seperti kekuasaan-kekuasaan lainnya yang pernah menguasai negeri mereka. Tidak aneh bagi mereka ketika mereka melihat para penguasa membangun istana yang megah, berfoya-foya dan menghukum siapa saja yang menentang mereka. Mereka terbiasa dengan semua itu karena sebelumnya negeri mereka juga dikuasai oleh orang-orang yang bersifat sama. Mereka pasti mengira apa yang terjadi di Madinah sama seperti apa yang sedang terjadi di tempat tinggal mereka.1 Mu′awiyah kurang lebih memerintah di Syam selama 42 tahun. Selama memerintah, ia melakukan segala usaha untuk membuat masyarakat buta akan agama yang sebenarnya dan tidak bertanyatanya lagi tentang apa yang dilakukan penguasa mereka.2 Mu′awiyah tidak hanya menguasai mereka dengan kekuatan militernya, tapi ia juga menguasai pola pikir mereka. Segala yang disampaikan oleh Mu′awiyah kepada mereka diberi nama ajaran Islam dan mereka pun menerimanya begitu saja. Bani Umayah selalu melancarkan propagandanya dalam rangka menjelekkan Ahlul Bait as. Begitu juga sebaliknya, mereka menyebut 1- Sayid Ja′far Syahidi, Qiyom-e Imom Husain as, hlm. 185. 2- Muhammad Ibrahim Ayati, Barresi-e Torikh-e Osyuro, hlm. 47.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
121
diri mereka sebagai keluarga yang paling dekat dengan Rasulullah Saw. Fenomena ini sangat memprihatinkan. Ketika pemerintahan Bani Abbas berdiri, beberapa orang yang pernah menjabat dalam pemerintahan Umayah berkata kepada orang-orang Bani Abbas, ″Sumpah setelah kematian Marwan (khalifah terakhir Bani Umayah) kami baru tahu bahwa Rasulullah Saw juga memiliki keluarga selain Bani Umayah yang dapat menjadi pewarisnya.1 Oleh karenanya, kita tidak perlu terheran-heran saat membaca kronologi peristiwa Asyura kita mendengar pembicaraan warga Damaskus yang berkata kepada Imam Zainal Abidin as, ″Segala puji bagi Allah karena kalian telah dibinasakan dan kami menjadi aman dari bahaya kalian.″ Imam diam dan bersabar. Lalu tak lama kemudian beliau membaca ayat, ″Sesungguhnya Allah hendak mensucikan kalian hai Ahlul Bait sesuci-sucinya.″ Kemudian beliau berkata, ″Ayat ini turun untuk kami.″ Setelah itu baru orang tadi menyadari kenyataan yang sebenarnya. Mereka baru tahu bahwa para tawanan itu bukan orang asing, tetapi mereka adalah cucu-cucu Rasulullah Saw. Mereka menyesali kebodohan diri mereka lalu bertaubat.2 Oleh karena itu, usaha Imam Husain as, Sayidah Zainab as dan Imam Ali Zainal Abidin as untuk mendatangi rumah-rumah dan berpidato di depan khalayak adalah untuk menggagalkan propaganda Bani Umayah tersebut. Menyingkap Kedok Kebusukan Tujuan lain keberadaan keluarga Imam Husain as pada peristiwa Asyura adalah menyingkap keburukan Yazid dan pemerintahannya. Salah satu cara yang sangat efektif dalam propaganda adalah berpurapura terzalimi. Banyak orang yang melakukan cara ini demi mencapai tujuan-tujuannya. Karena secara alami semua orang membenci kezaliman begitu juga orang-orang yang zalim. Kebanyakan orang merasa kasihan dengan orang yang dizalimi dan paling tidak, orang yang dizalimi lebih mendapatkan perhatian dari mereka.
1- Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj Al-Balâghoh, jld. 7, hlm. 158. 2- Akhtab Khwarazmi, Maqtal Al-Husain, jld. 2, hlm. 61; Al Al-Luhûf, hlm. 74.
122
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Akan tetapi yang terjadi di Karbala bukanlah dibuat-buat. Ahlul Bait as dengan nyata dizalimi meski mereka memang ingin berkorban untuk agama. Mereka menyampaikan pesan-pesan Imam Husain as kepada semua orang dengan sebaik-baiknya; dan bahkan sekarang pun kita bisa mendengar suara mereka di hati kita karena keterzaliman mereka. Anak-anak kecil dan para wanita yang tidak memiliki senjata dan tidak mampu membela diri harus berhadapan dengan kekerasan yang luar biasa. Anak kecil berusia enam bulan meninggal dunia di tepi sungai Furat dalam keadaan haus. Seorang anak perempuan tergeletak di samping tubuh ayahnya yang berlumur darah. Kemah-kemah terbakar api yang melahap. Keadaan mereka sebagai orang yang dizalimi membuat hati banyak orang bergetar dan suara mereka lebih didengarkan. Keterzaliman mereka sangat berperan dalam menjaga kekekalan Asyura dan para syuhada sepanjang masa. Ketika Imam Ali Zainal Abidin as berada di Syam dan ingin mengumumkan keburukan Bani Umayah, beliau berkata, ″Mereka telah membunuh ayahku dengan memotong-motong tubuhnya. Bagaikan seekor burung yang bulu-bulunya dicabut dan sayapsayapnya dipatahkan.″ Jika Imam Ali Zainal Abidin as hanya berkata, ″Mereka telah membunuh ayahku.″ Maka perkataan beliau tidak memberikan dampak apa pun di hati mereka. Karena mereka telah terbiasa mendengar ada orang yang terbunuh dalam peperangan dan Imam Husain as tidak ada bedanya dengan mereka. Imam Ali Zainal Abidin as berkata, ″Jika kalian ingin membunuhnya, lalu mengapa harus seperti ini kalian membunuh? Mengapa kalian mencincang tubuhnya bagai mematah-matahkan sayap seekor burung tak berdaya? Mengapa kalian membunuhnya dalam keadaan haus padahal ia berada di dekat air? Mengapa kalian tidak menguburkannya? Mengapa kemah-kemah kami kalian bakar? Mengapa kalian membunuh anak-anak kecil tak berdosa?″ Kata-kata beliau memberikan dampak yang cukup dalam di hati orang-orang yang hadir pada waktu itu dan menyebabkan kesadaran dan kebangkitan mereka.
Bagian Kedua: Falsafah Perjuangan Imam Husain as
123
Sebagai penutup, pada dasarnya Yazid ingin membunuh Imam Husain as dan menawan keluarganya supaya tidak ada lagi gerakgerik yang menentang dan melawan mereka. Dia mengejar tujuannya dengan menggunakan cara kekerasan. Akan tetapi, yang dia dapat justru sebaliknya; dengan terbunuhnya Imam Husain as serta jasa para perempuan dari keluarga beliau, keburukan nyata Bani Umayah tersingkap dan terdengar di mana-mana lalu pada akhirnya kehancuran Bani Umayah yang menjadi kalimat akhir kisah mereka.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
Ali Reza Muha mma di
Dialog 25: Apakah yang dilakukan Imam Husain as adalah pemberontakan? Pada dasarnya, dalam keadaan apa saja Islam membolehkan kita untuk memberontak dan melawan kekuasaan? Di hari Asyura, A′mr bin Hajjaj yang berada di antara pasukan Umar bin Sa′ad berteriak, ″Wahai penduduk Kufah! Bersatulah dalam kekuatan dan jangan ragu untuk menumpas orang-orang yang keluar dari agama dan menentang sang khalifah!″ Dengan kata-kata ini, dia menyebut Imam Husain as sebagai orang murtad dan penentang. Sangat disayangkan, sekarang pun masih banyak yang berpikiran seperti itu. Tak diragukan lagi, perjuangan Imam Husain as adalah pemberontakan dan perlawanan terhadap kekuasaan yang zalim di zamannya. Pada dasarnya, tidak ada hukum haram secara mutlak mengenai pemberontakan. Hanya saja, sebagian mazhab melarangnya. Memberontak berkaitan dengan ketaatan. Untuk menjawab apakah kita boleh memberontak, kita dapat bertanya kepada diri kita apakah kita harus mentaati? Apakah mentaati kekuasaan suatu rezim adalah perkara mutlak yang wajib hukumnya dalam keadaan apa pun? Jika tidak mutlak, dalam keadaan seperti apa saja kita boleh tidak mentaati? Kita akan menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan ini dari sudut pandang demokrasi juga agama. Sudut Pandang Demokrasi Barat menjadikan penerimaan dan persetujuan masyarakat sebagai dasar keabsahan suatu pemerintah. Tugas utapa pemerintah adalah memberikan layanan dan keamanan untuk masyarakat, dan sebagai timbal baliknya, masyarakat harus mentaati pemerintah. Aturanaturan dalam pemerintahan pun adalah aturan-aturan yang telah disepakati oleh para wakil rakyat. Ada dua pendapat mengenai pemberontakan dalam sistem pemerintahan seperti ini; ada yang tidak membolehkan, dan ada yang membolehkan tapi dengan syarat: pelaku pemberontakan adalah rakyat, bukan individu secara pribadi.
128
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Sebagaimana slogan kemerdekaan Amerika yang berbunyi, ″Pemerintahan yang adil berdiri berdasarkan persetujuan rakyat. Jika suatu saat pemerintahan telah melanggar aturan ini, maka rakyat berhak untuk menggulingkannya, merombak sistemnya atau menggantinya dengan sistem yang lain.″1 John Loach mendukung pembelaan terhadap hak-hak rakyat dan menentang penyelewengan rezim serta membolehkan pemberontakan melawan rezim pada kondisi-kondisi tertentu. Tetapi ucapannya tidak begitu jelas; ia berkata dalam salah satu tulisannya mengenai pemerintahan sipil, ″Berdasarkan aturan yang menjadi landasan bagi aturan-aturan yang lainnya, rakyat memiliki hak untuk memberikan keputusan terakhirnya untuk kehidupan mereka...″2 Tapi tetap saja, meskipun hak memberontak adalah milik mayoritas masyarakat, pemberontakan dipandang sebagai sikap yang buruk; kendati pemberontakan tersebut dikarenakan adanya seorang pemimpin tak layak dan tidak beramanah.3 Oleh karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa pemberontakan sebenarnya tidak dibenarkan dalam pandangan demokrasi. Menurut mereka dalam sistem pemerintahan yang berasaskan demokrasi, kelompok minoritas dalam masyarakat akan diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapat tanpa dengan baik.4 Pendapat mereka mengenai tidak dibolehkannya memberontak dalam sistem pemerintahan yang berdemokrasi menghadapi banyak kritikan tegas: Pertama, mengapa individu secara pribadi tidak berhak untuk menunjukkan sikapnya ketika ia melihat sebuah rezim pemerintahan tidak sejalan dengan kenyamanan hidupnya?5 Kedua, tidak menutup kemungkinan jika pada suatu saat nanti akan ada mayoritas yang memiliki keinginan yang dapat menginjak hak-
1- John Salvin Shapirov, Liberalism, hlm. 157. 2- Jean Jack Shvalee, Osor-e Buzurgh-e Siyosi, hlm. 104. 3- Cin Hopten, Falsafeh-e Siyosi, hlm. 107. 4- Shoroush Muhammad, Muqovemat va Masyru'iyat, dalam jurnal Hukumat-e Eslomi, tahunke-7, vol III, musim gugur, 1381, hlm. 79. 5- Falsafeh-e Siyosi, hlm. 117.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
129
hak minoritas. Sebagaimana yang telah terbukti, pemerintahan yang berdasarkan demokrasi terkadang bisa menjadi pemerintahan diktator, penjajah dan bahkan pemerintahan yang terburuk. Sejarah telah membuktikan bahwa terkadang keinginan mayoritas berujung kepada kediktatoran.1 Ketiga, apa yang menjamin terpenuhinya kebutuhan dan keinginan minoritas sehingga mereka tidak perlu menunjukkan sikap melawan rezim? Jika yang menyatakan masalah ini adalah salah seorang dari mayoritas rakyat, maka pada dasarnya ia tidak memihak minoritas. Sebagaimana yang dikatakan Frantes Newman, ″Pandangan demokrasi sama sekali tidak memikirkan jalan keluar dalam soal hak pemberontakan rakyat.″2 Keempat, menurut pola pikir demokrasi, hanya pendapat mayoritas masyarakat yang memiliki arti dan dapat didengarkan. Adapun pendapat minoritas tidak dianggap dan tak ada artinya. Itu artinya, minoritas tidak bisa berbuat apa-apa ketika rezim pemerintahan tidak sejalan dengan kebutuhan mereka. Tidak menutup kemungkinan keterbatasan gerak minoritas dalam kehidupan bermasyarakat yang demokratis serta berkuasanya mayoritas dalam pemerintahan secara mutlak bisa menyebabkan terbentuknya rezim anarkis.3 Hak Memberontak dalam Pandangan Agama Dalam kaca mata agama, satu-satunya yang menjadi dasar keabsahan suatu pemerintahan adalah keselarasannya dengan hukum-hukum Ilahi serta keridhaan Tuhan. Pemerintahan seperti ini sepanjang sejarah terwujud dengan berbagai perwujudan yang bermacammacam. Dahulu kala, para emperatur dan firaun menganggap diri mereka sebagai Tuhan. Banyak propaganda yang bertujuan agar semua orang menganggap raja-raja mereka adalah tangan Tuhan, dan segala keputusan mereka adalah keputusan Tuhan. Pada Abad
1- Alan Duniwata, Ta'amuli dar Maboni-e Demokrasi, terj. Buzurg Naderzad, hlm. 43 dan 71. 2- Frantes Newman, Ozodi va Qudrat va Qanûn, hlm. 368. 3- Muqovemat va Masyru'iyat, hlm. 81.
130
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Pertengahan, pemerintahan dianggap sebagai sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan dan di negeri timur pun juga demikian.1 Masalah pemberontakan dalam pandangan agama ada beberapa pembahasan:
Dalam Kitab Suci Di permulaan pasal ketiga belas disebutkan, ″Semua orang harus mentaati pemimpinnya. Karena sesungguhnya setiap kekuatan bersumber dari Tuhan dan setiap pemimpin adalah tangannya. Barangsiapa menentang pemimpinnya, ia menentang Tuhannya dan ia harus mempersiapkan diri untuk menerima azab yang besar.″ Thomas Aquinas juga berkeyakinan seperti itu; yakni tidak ada satu orang pun yang boleh menentang pemimpinnya dan apalagi membunuhnya, meskipun perbuatan itu mungkin saja bisa terjadi jika dilakukan oleh banyak orang.2 Sebelumnya kita sudah jelaskan bahwa sistem pemerintahan dan politik barat memiliki unsur yang menyinggung pesan ini. Para penguasa menyebut dirinya sebagai tangan kekuatan Tuhan dan masyarakat harus menerima siapa pun pemimpinnya meski seorang yang zalim sekalipun.3
Pandangan Ahli Sunah Terdapat perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin mengenai masalah ini. Kebanyakan kelompok Muslim membolehkan perlawanan terhadap sorang pemimpin yang zalim serta menyingkirkannya dari posisi pemerintahan; meskipun penerbitan fatwa seperti ini sebenarnya sangat dikhawatirkan akan timbulnya fitnah dan kekacauan besar.4 Bahkan sebagian tokoh seperti Abu
1- Falsafeh-e Siyosat, Mu'aseseh-e Omuzesyi va Pezhuhesyi-e Emom Khomeini, hlm. 127. 2- Muqovemat va Masyru'iyat, hlm. 81. 3- Jack Rosev, Qarordod-e Ejtemo'i, terj. Mortadha Kelantriyan, hlm. 318. 4- Al-Mawsû′at Al-Fiqhiyyah, jld. 6, hlm. 320.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
131
Hanifah, ia tidak hanya membolehkan melawan pemimpin yang zalim, bahkan mewajibkannya.1 Di lain pihak, ada pendapat yang bertentangan dengan pendapat sebelumnya. Ini adalah pendapat orang-orang mazhab Hanbaliyah yang melarang pemberontakan. Patut disayangkan sekali bila di kalangan Ahli Sunah, pendapat tentang tidak diperbolehkannya memberontak melawan pemerintahan zalim lebih sering diamalkan ketimbang diperbolehkannya; karena: Pertama, kebanyakan ulama Ahli Sunah Rasulullah Saw yang berbunyi, ″Dengarkanlah mereka harus menjalankan tugas mereka menjalankan tugas kalian sendiri″, dengan tampaknya dangkal.
memahami hadis dan taatilah, karena dan kalian harus pemahaman yang
Kedua, kebanyakan orang yang mengamalkan pendapat ini adalah orang-orang yang dekat dengan penguasa. Ketiga, kecenderungan mereka terhadap pandangan rasional mulai pudar, sementara pemikiran kelompok-kelompok seperti Muktazilah tidak terlalu diperhatikan. Ibnu Abil Hadid Muktazili berkata, ″Orang-orang yang sepaham dengan kami membolehkan perlawanan terhadap para pemimpin yang zalim. Akan tetapi, para pengikut Asy′ariyah-seperti Abu Hamid Ghazali-tidak membolehkan hal itu.″2
Pandangan Syiah Karena masalah pemberontakan sebenarnya berkaitan dengan legal atau tidaknya suatu pemerintahan, oleh karena itu kita akan membagi pembahasan ini menjadi dua bagian pembahasan. Yaitu pembahasan tentang pemerintahan yang legal dan yang ilegal. Berdasarkan keyakinan Syiah, kepemimpinan adalah hak seorang maksum dimana kemaksuman tersebut merupakan syarat kepemimpinan. Oleh karena itu, pemimpin selain maksum adalah orang yang menyandang sandangan yang bukan haknya. Di masa keghaiban ini, jika ada seorang pemimpin yang tidak mendapatkan persetujuan dari Imam Zaman, maka ia adalah seorang yang zalim. 1- Muqovemat va Masyru'iyat, hlm. 84. 2- Ibid., hlm. 84.
132
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Telah terbukti bahwa di zaman ghaibah tidak ada izin bagi seseorang untuk menjadi seorang pemimpin kecuali orang itu adalah faqih yang adil dan memenuhi syarat-syaratnya. Oleh karenanya, setiap negara yang tidak berada di bawah kepemimpinan seorang faqih yang adil adalah negara yang dipimpin oleh taghut.1 Pemerintahan yang keberadaannya tidak sah tidak wajib ditaati oleh rakyatnya. Akan tetapi, demi menjaga kemaslahatan yang lebih besar, kita didorong untuk tetap bersikap baik dan tidak membuat kekacauan selama pemerintahan tersebut selalu berjalan sesuai dengan kemaslahatan bersama. Dalam keadaan seperti ini, dianjurkannya kita untuk menaati pemerintah bukan karena legal dan sahnya pemerintahan tersebut, akan tetapi dikarenakan adanya kemaslahatan bersama. Para fuqaha mengharamkan kita untuk bekerja sama dengan pemerintahan yang tidak adil. Tapi pada saat-saat tertentu, kita boleh mengikuti mereka; misalnya ketika kita bersama-sama ingin bertahan dari serangan musuh yang memerangi agama kita. Bahkan dalam kondisi seperti ini wajib hukumnya kita bekerja sama dengan pemerintah. Ketaatan kita terhadap pemerintahan tersebut bukan karena keabsahannya, melainkan karena adanya kemaslahatan yang ingin kita dahulukan. Pola pikir seperti inilah yang diajarkan dalam agama kita, yang mana Imam Musa bin Ja′far as pernah berkata, ″Jika ada kelompok asing yang ingin memerangi agama kita, maka kita harus berjuang bersama-sama dengan pihak pemerintah. Tapi perjuangan ini bukan untuk membantu pemerintah zalim itu, melainkan untuk menjaga kesejahteraan Muslimin.″2 Tahapan-tahapan Pemberontakan Berdasarkan ajaran Islam, pemberontakan melawan pemerintahan yang tidak adil memiliki beberapa tahapan berikut ini: Pertama, mengingkari dan menolak. Mengingkari dan menolak untuk membaiat orang yang ingin menjadi pemimpin zalim adalah tradisi para imam suci kita. Sebagaimana Imam Ali as dan Fatimah Zahra as yang sepanjang hayatnya tidak bersedia untuk membaiat 1- Imam Khomeini, Wiloyat-e Faqih, hlm. 37. 2- Kulaini, Furû′ Al-Kâfî, jld. 5, hlm. 21.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
133
para khalifah; begitu juga Imam Husain as yang tidak pernah bersedia membaiat Yazid dan berkata kepada Abdullah bin Zubair, ″Aku tidak akan pernah membaiat Yazid, karena keimaman setelah kakakku, Hasan, adalah hak milikku.″1 Perlu diketahui bahwa haramnya pembaiatan di atas adalah hukum awali (hukum yang asli-penj.). Yakni dengan berubahnya kondisi dan kemaslahatan hukum tersebut bisa berubah; sebagaimana halnya Imam Ali as yang akhirnya bersedia membaiat para khalifah demi terjaganya kesatuan Muslimin dan keutuhan Islam. Beliau mengatakan, ″Aku takut Islam akan tertimpa bahaya yang lebih besar dan lebih buruk dari keburukan dirampasnya hak pemerintahan dariku.″2 Tetapi perlu kita ketahui bahwa kondisi di zaman Imam Husain as berbeda dengan kondisi di zaman ayahnya. Seandainya beliau membaiat Yazid saat itu, itu artinya beliau mengesahkan semua kejahatan Yazid dan dia dengan mudahnya akan mempermainkan Islam; akhirnya Islam tak akan tersisa di dunia kecuali hanya namanya saja. Dengan demikian, seburuk apa pun resiko yang akan menimpa, Imam Husain as tetap bersikeras untuk tidak membaiat Yazid. Beliau berkata, ″Sunah Nabi telah terpendam dan tradisi bid′ah telah dihidupkan.″3 Kedua, beraksi dan berjuang. Tugas kita stelah itu adalah melakukan amar makruf nahi munkar. Tugas tersebut kita mulai dengan menggunakan lisan, dan jika tidak berpengaruh kita lanjutkan dengan cara menggunakan kekuatan demi menjatuhkan pemerintah zalim tersebut. Di sinilah saat untuk memberontak tiba. Salah satu contohnya adalah pemberontakan pertama Muslimin yang pernah terjadi di masa kekhalifahan Utsman bin Affan karena di zaman itu bid′ah-bid′ah telah merajalela. Contoh lainnya adalah perjuangan Imam Husain as yang sedang kita bahas saat ini. Perjuangan tersebut benar-benar beliau lakukan atas dasar menjalankan amar makruf nahi munkar terhadap Yazid. Imam Husain as memerintahkan kita untuk menentang orang-orang zalim 1- Allamah Majlisi, Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 325. 2- Nahj Al-Balâghoh, surat ke 62. 3- Târîkh Al-Tobarî, jld. 3, hlm. 280.
134
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
dan mewajibkan perlawanan terhadap kemunkaran. Beliau menggugah kita mengapa kita mesti diam saja di hadapan gejala yang penuh kezaliman? Beliau berkata, ″Mengapa hanya karena takut akan kematian kalian bersedia memberikan kesempatan kepada orangorang zalim untuk terus mengumpulkan kekuatannya sehingga mereka dengan mudah menguasai kalian? Mereka semena-mena memerangi kaum yang lemah, menindas kaum miskin dan melakukan segala yang mereka inginkan atas nama pemerintahan...″1 Beliau juga berkata, ″Sumpah demi Allah, seorang pemimpin adalah orang yang mengamalkan kitab Allah, mendirikan keadilan, menjalankan aturan agamanya dan menyerahkan dirinya di jalan keridhaan Allah.″2 Beliau juga pernah berkata kepada para prajuit Hur Riyahi, ″Mereka telah mewajibkan ketaatan terhadap setan dan melarang ketaatan terhadap Allah. Mereka menyemarakkan kemunkaran dan meninggalkan aturan agama. Mereka menghalalkan segala yang haram dan mengharamkan yang halal. Sesungguhnya aku lebih layak dari siapa pun (untuk menjalankan tugas ini).″3 Lalu bagaimana dengan pemberontakan terhadap pemerintahan yang legal? Dalam pandangan Syi′ah, pemerintahan yang legal dan sah adalah pemerintahan yang dikendalikan oleh seorang Imam maksum. Di masa keghaiban seperti sekarang, keberadaan seorang pemimpin harus melalu persetujuan seorang faqih yang adil dan telah memenuhi syarat-syaratnya. Sepertinya jelas sekali bahwa kita tidak mempunyai alasan untuk memberontak melawan pemerintahan yang dipegang oleh imam maksum kita. Karena maksum, mereka terlepas dari kesalahan dan dosa. Oleh karenanya, menentang manusia maksum adalah penyelewengan dan pembelotan. Allamah Hilli berkata mengenai hal ini, ″Disepakati bahwa kita wajib memerangi siapa saja yang menentang imam maksum.″4
1- Bahrani, Tuhaf Al-'Uqûl, hlm. 168. 2- Mawsû′ah Kalimât Al-Imâm Husain as. hlm. 314. 3- Târîkh Al-Tobarî, jld. 3, hlm. 306. 4- Tadzkirot Al-Fuqohâ', jld. 9, hlm. 410.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
135
Tapi yang perlu kita bahas di sini adalah masa keghaiban sekarang ini. Yakni dalam keadaan apa saja kita boleh memberontak melawan pemerintahan yang berada di tangan seorang faqih? Sebagaimana yang telah kita jelaskan sebelumnya, ketaatan terhadap pemimpin adalah suatu kewajiban ketika ketaatan tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang telah Allah tetapkan. Jika pemimpin kita adalah manusia maksum, maka tidak mungkin mereka memberikan suatu perintah yang berlawanan dengan hukum syariat sehingga kita harus memberontak terhadapnya. Akan tetapi mengenai para pemimpin selain maksum, kita tidak bisa mentaati mereka secara mutlak yang sekiranya kita tidak perlu berpikir lagi dalam mentaati; sebagaimana yang sering kita dengar, ″Kita tidak boleh mentaati siapa pun jika ketaatan itu merupakan maksiat kepada Allah.″1 Kita wajib mentaati orang-orang yang terpilih sebagai pemimpin berdasarkan kriteria-kriteria yang telah dijelaskan oleh imam maksum. Akan tetapi ketaatan tersebut terbatas pada masalahmasalah yang tidak bertentangan dengan hukum syariat dan sesuai dengan kemaslahatan sosial. Sebagaimana yang telah dilakukan Imam Ali as, meskipun Malik Asytar bagi beliau adalah seorang sahabat yang luar biasa dipercaya dan beliau selalu memujinya, ketika melantiknya sebagai seorang hakim di negeri Mesir, beliau meminta rakyat Mesir untuk mentaatinya selama Malik berada di jalan kebenaran.2 Ketika mengangkat Abdullah bin Abbas sebagai seorang hakim Bashrah, beliau berkata, ″Selama ia mentaati Allah dan RasulNya, maka taatilah ia. Jika ia menyebarkan bid′ah di antara kalian atau ia keluar dari jalur kebenaran, maka beritakan kepadaku agar aku menurunkan jabatannya.″3 Tetapi perlu digarisbawahi bahwa orang yang berhak melakukan penilaian dan memberikan pandangan tentang benar-tidaknya asas suatu pemerintahan dan aturan-aturannya adalah orang yang benarbenar memahami hukum-hukum Islam sekaligus kebutuhankebutuhan zaman.
1- Nahj Al-Balâghoh, hikmah 165. 2- Ibid., surat ke 38. 3- Syaikh Mufid, Al-Jumal, hlm. 420.
136
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Perlu ditambahkan pula bahwa kesalahan seorang pemerintah bermacam-macam; terkadang berkaitan dengan ketidakbertakwaan dan ketidakadilan, dan terkadang berkaitan dengan kurang dipahaminya masalah-masalah agama atau kondisi sosial dengan baik dan benar.1 Oleh karenanya, kita harus membedakan dua hal penting ini. Karena, keluar dari jalur ketakwaan dan keadilan sama sekali tidak bisa ditoleransi, dan hal itu menyebabkan tidak layaknya seorang untuk memerintah. Akan tetapi kesalahan-kesalahan yang dikarenakan oleh salah pemahaman akan masalah-masalah islami atau kondisi sosial adalah kesalahan yang dapat ditolerir selama kesalahan tersebut tidak disengaja atau tidak berkelanjutan. Di setiap sikap pejabat negara, pasti ada kesalahan-kesalahan seperti ini dan memang masuk akal jika seorang pemerintah yang tidak maksum terkadang salah. Syahid Shadr berkata mengenai masalah ini, ″Ketika seorang mujtahid yang berada dalam posisi wilâyat al-faqîh mengeluarkan suatu hukum, meski kita pikir hukum tersebut salah, kita tidak boleh menentangnya. Orang yang mengira ia salah tidak boleh bersikap sesuka hatinya dan tidak mempedulikan hukum yang ditetapkannya.″2 Tetapi, jika kesalahan seperti itu terus terjadi berulang kali, maka itu benar-benar menunjukkan ketidak pandaiannya dalam memahami masalah-masalah agama dan kondisi sosial; dengan demikian ia tidak lagi memiliki kelayakan untuk menjadi seorang pemimpin Muslimin. Melawan Pejabat Salah satu bentuk peralawanan dan pemberontakan adalah perlawanan terhadap para pejabat yang bekerja di bawah kekuasaan pemimpin islami. Mengenai hal ini, Syahid Beheshti berkata, ″Jika para pejabat dalam pemerintahan tidak melakukan tindakan atas segala hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka setiap orang wajib untuk memberitahukannya secara langusng kepada pemimpin tertinggi supaya mereka dapat bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya. Dengan demikian, setiap orang akan bertindak sesuai dengan apa yang ditugaskan oleh pemimpin tertinggi tersebut, dan
1- Muqovemat va Masyru'iyat, hlm. 106. 2- Muhammad Baqir Al-Shadr, Minhâj Al-Shôlihîn, jld. 1, hlm. 11.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
137
dengan cara demikian masyarakat tidak akan menimbulkan anarki dalam bertindak.″1 Imam Khomeini juga menjelaskan kepada kita bagaimana cara masyarakat seharusnya bertindak ketika mereka melihat para pejabat yang tidak melakukan tugasnya dengan baik. Beliau berkata dalam surat wasiatnya, ″Segala hal yang bertentangan dengan ajaran Islam dan kemaslahatan sosial Muslimin harus dicegah. Jika tidak ada penindak lanjutan terhadap hal-hal seperti itu, maka siapa pun berkewajiban untuk menggugah para petugas yang berwenang. Jika mereka tidak menjalankan tugasnya, maka semua orang harus turun tangan sendiri.″2 Dialog 26: Apakah peristiwa Asyura bisa dijadikan sebagai dalil kebenaran Sekularisme? Sebaian orang berpendapat bahwa peristiwa Asyura adalah dalil yang membenarkan Sekularisme. Menurut mereka, kebangkitan Imam Husain as dilakukan atas dasar demokrasi, yakni atas dasar permintaan banyak orang. Dengan alasan ini, mereka menetapkan keterpisahan agama Allah dari politik. Mahdi Bazargan berkata, ″Imam Husain as berangkat menuju Kufah atas dasar permintaan warga Kufah agar beliau menjadi pemimpin dan pengatur segala urusan mereka serta menyelamatkan mereka dari kezaliman Bani Umayah. Oleh karena itu permintaan mereka adalah permintaan yang murni demokratis... Peristiwa Asyura dan pengorbanan Imam Husain as, selain merupakan pembelaan dan penjagaan terhadap agama, semua itu menunjukkan bahwa pemerintahan pada hakikatnya bukan milik Yazid, bukan milik beliau, juga bukan milik Tuhan; tetapi milik umat dan berdasarkan keinginan mereka.″3 Jika kita sekali lagi mengkaji peristiwa Asyura juga ucapan-ucapan Imam Husain as dalam perjuangannya dengan seksama, kita akan menemukan sisi-sisi Ilahi dalam perjuangan politik beliau yang justru akan memperjelas kesalahan pemikiran Sekularisme. Untuk memahami dengan sebenarnya akan pemerintahan apa yang diinginkan oleh Imam Husain as dengan perjuangannya itu, kita perlu 1- Mavodhe′-e Mo, hlm. 69. 2- Shahifeh-e Emom, jld. 21, hlm. 436. 3- Mahdi Bazargan, Okherat va Khudo Hadaf-e Be′sat, hlm. 43.
138
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
memperhatikan perbedaan utama antara pemerintahan agama dan pemerintahan sekuler; karena keduanya memiki banyak perbedaan penting yang dapat kita lihat dari sisi falsafah dan tujuan pemerintahan, bentuk keabsahan pemerintahan dan syarat-syarat seorang pemimpin. Oleh karena itu di sini kita akan menyimak ucapan-ucapan sang Imam as secara ringkas mengenai tujuan-tujuan beliau: Falsafah dan Tujuan Pemerintahan Berbeda dengan paham sekular dunia, Imam Husain as melakukan perjuangannya lebih dari memenuhi kebutuhan materi dan duniawi masyarakat. Saat meninggalkan kota Madinah, beliau menjelaskan bahwa tujuan beliau adalah pembenahan urusan umat Rasulullah Saw dan melakukan amar makruf nahi munkar. Beliau berkata, ″Sesungguhnya aku bangkit untuk mengusahakan kebaikan bagi umat kakekku dan melakukan amar makruf nahi munkar.″1 Ini artinya, seandainya Imam Husain as tahu-meskipun bukan dengan ilmu ghaibnya-bahwa ia tidak akan berhasil mendirikan pemerintahan yang ia inginkan juga ia tahu bahwa penduduk Kufah akan mengingkari janji mereka, beliau tetap tidak akan mengurungkan niatnya untuk pergi ke Kufah. Karena tujuan utama beliau adalah menghidupkan dan menjaga agama; adapun pemerintahan, itu adalah masalah belakangan. Setelah kematian Mu′awiyah, Imam Husain as berpidato panjang lebar di Mina mengenai tujuan perjuangan yang akan ia lakukan dan pidato beliau dihadiri oleh seratus tokoh penting di zamannya. Dalam pidato tersebut beliau berkata, ″Ya Tuhan, Engkau bersaksi bahwa kami sama sekali tidak menginginkan keuntungan materi dalam usaha ini, kami hanya ingin melihat agama-Mu ditegakkan, menginginkan kebaikan di negeri-Mu, sehingga orang-orang lemah hidup dengan tentram, kewajiban-kewajiban-Mu dijalankan dan larangan-laranganMu diindahkan.″2 Saat di perjalanan menuju Karbala, yaitu ketika singgah di rumah Shafah, beliau berbincang-bincang dengan Farazdaq dan berkata 1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, bab 37, hadis 2. 2- Tuhaf Al-'Uqûl, hlm. 243.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
139
kepadanya, ″Wahai Farazdaq, sesungguhnya mereka telah mewajibkan pentaatan terhadap setan-setan dan melarang pentaatan terhadap Tuhan. Mereka melakukan kerusakan di muka bumi, meninggalkan aturan-aturan Ilahi, meminum minuman keras dan memakan harta fakir miskin. Sesungguhnya aku adalah orang yang paling pantas untuk berjuang di jalan agamaku agar kalimat Allah terjunjung tinggi.″1 Dengan pengorbanannya, beliau menunjuk Bani Umayah sebagai satu-satunya penganut Sekularisme, dan tujuan utama beliau adalah memerangi mereka demi terjaganya agama Allah. Dengan jelas kita dapat melihat bahwa tujuan perjuangan Imam Husain as adalah meninggikan kalimat-kalimat Allah. Dengan berdirinya agama Allah di muka bumi, maka tak diragukan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi umat manusia akan tergapai. Keabsahan Sebuah Pemerintahan Dengan mengamati ucapan-ucapan Imam Husain as kita dapat memahami bahwa pemerintahan yang sah adalah pemerintahan Ilahi yang dipegang oleh hamba-hamba Allah yang faqih dan memahami agama-Nya. Pemerintahan Ilahi tidak memerlukan persetujuan dan baiat masyarakat untuk disebut sebagai pemerintahan yang sah; meskipun baiat juga memiliki peran yang penting dalam pemerintahan. Paham seperti ini bertentangan dengan pemikiran orang-orang yang fanatik menjunjung tinggi sistem pemerintahan Barat dan selalu berusaha menjauhkan kaitan Ilahi dengan pemerintahan. Imam Husain as bekata kepada gubernur Madinah yang meminta beliau untuk membaiat Yazid, ″Wahai amir, kami adalah Ahlul Bait Nabi, kami tinggal di tempat para malaikat berlalu lalang membawa wahyu dan rahmat. Karena kami Allah membuka dan karena kami Allah menutup. Yazid adalah seorang lelaki pendosa, peminum arak, pembunuh orang-orang tak berdosa dan menebarkan kemunkaran. Sesungguhnya orang sepertiku tidak akan membaiat orang seperti dia.″2 1- Mawsû′ah Kalimât Al-Imâm Husain as, hlm. 336. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 325.
140
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Dengan ucapannya ini Imam Husain as mengaku bahwa dirinya yang lebih pantas untuk menduduki kursi kepemimpinan. Yazid bukan hanya seorang pemimpin yang sah karena Allah tidak menjadikannya pemimpin, bahkan lebih dari itu, karena ia adalah seorang fasik yang suka bermaksiat. Oleh sebab itu Imam Husain as sama sekali tidak mau membaiatnya. Ketidaksetujuan Imam Husain as akan pemerintahan Yazid dengan sendirinya menunjukkan bahwa pemikiran Sekularisme itu tidak benar. Yang benar adalah adanya pertalian antara agama dan politik. Meskipun tanpa ada peristiwa Asyura, sikap Imam Husain as yang menolak membaiat Yazid itu saja sudah cukup untuk membuktikan tidak benarnya pemikiran Sekularisme. Dalam beberapa riwayat, Imam Husain as pernah menjelaskan bahwa pemerintahan yang sah adalah pemerintahan yang dikehendaki oleh Allah untuk Nabi-Nya, lalu diserahkan kepada para imam suci setelahnya. Beliau juga berkata, ″Sesungguhnya urusan segala sesuatu diserahkan kepada tangan hamba-hamba yang alim serta memahami halal dan haram.″1 Titik terang dalam riwayat ini adalah Imam Husain as tidak hanya menyatakan bahwa tidak sembarang orang berhak menduduki jabatan sebagai pemerintah; hak itu hanya diperuntukkan kepada para ulama yang faqih.2 Ketika Ibnu Zubair bertanya kepada Imam Husain as tentang mengapa beliau tidak mau membaiat Yazid, beliau menjawab, ″Sungguh aku tidak akan pernah membaiatnya sampai kapanpun, karena sesungguhnya pemerintahan ini adalah hakku setelah menjadi hak kakakku.″3 Dalam surat yang beliau tulis untuk penduduk Bashrah, Imam Husain as berkata, ″Kami adalah keluarga Nabi, orang yang dekat dengannya, pewarisnya dan kami orang yang paling berhak untuk menjadi penggantinya. Akan tetapi orang lain merebut hak kami ini
1- Ibid. 2- Muhammad Husain Qadrdani Qaramaliki, Sekularism dar Masihiyat va Eslom, hlm. 317. 3- Mawsû′ah Kalimât Al-Imâm Husain as, hlm. 278.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
141
dan kami membiarkannya. Kami tidak menginginkan perpecahan dan kami mendahulukan persatuan dari segalanya. Ini kami lakukan padahal kami tahu bahwa kami yang lebih layak untuk kedudukan itu.″1 Dalam suratnya yang ditulis untuk para pembesar Kufah beliau berkata, ″Kami lebih berhak dalam perkara ini karena kami lebih dekat dengan Rasulullah Saw.″2 Syarat-syarat Penguasa Menurut Imam Husain as, tujuan utama pemerintahan adalah berdirinya aturan-aturan Tuhan yang mana dengan dasar itu umat manusia dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Keabsahan dan legalitas suatu pemerintahan juga merupakan perkara Ilahi. Oleh karenanya, semestinya seorang pemerintah harus memenuhi syaratsyarat di bawah ini:
1. Memahami Hukum-Hukum Allah Salah satu sebab penentangan Imam Husain as terhdaap khalifah zaman itu adalah permasalahan ini. Dalam salah satu perbincangannya dengan khalifah kedua, beliau pernah berkata, ″Engkau memimpin berdasarkan kitab yang mana kitab tersebut turun di rumah kami dan engkau hanya pernah mendengar ayat-ayatnya saja tanpa mengetahui takwil dan tafsirnya.″3 Di hadapan para tokoh besar zamannya, di padang Mina, Imam Husain as berkata, ″Perkara ini harus berada di tangan orang-orang yang mengenal Allah, memahami halal dan haram; tak lain orang yang seperti itu adalah seorang imam maksum."
2. Mengamalkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Imam Husain as pernah menuliskan sepucuk surat untuk penduduk Kufah yang sebagian dari isinya berbunyi, ″Demi Allah, seorang pemimpin adalah orang yang mengamalkan kitab Allah, mendirikan
1- Ibid., hlm. 315. 2- Ibid., hlm. 377. 3- Ibid., hlm. 117.
142
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
keadilan, menjalankan aturan agama dan mengikhlaskan dirinya di jalan keridhaan Allah.″1 Beliau menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengamalkan kitab Allah dan sunah Rasul-Nya.
3. Menegakkan Keadilan Keadilan adalah salah satu syarat seorang pemimpin. Dalam suratnya beliau berkata, ″...mendirikan keadilan.″ Penentangan beliau terhadap para khulafa Bani Umayah adalah karena ketidakadilan mereka. Dengan demikian, menurut pandangan Imam Husain as sesungguhnya agama tidak bisa dipisahkan dari politik dan tujuantujuan pemerintahan serta keabsahan juga syarat-syaratnya semuanya berkaitan dengan aturan-aturan Islam. Pemerintahan yang berdasarkan aturan-aturan agama inilah yang kelak akan menghantarkan manusia menuju kebahagiaan dua alam. Tidak Membunuh Ibnu Ziyad Dialog 27: Muslim bin Aqil pada suatu hari mendapatkan kesempatan berharga untuk membunuh Ibnu Ziyad. Akan tetapi, mengapa beliau melewatkannya begitu saja? Dalam ajaran Islam dan Al-Quran, mengalahkan musuh dengan berbuat aniaya adalah sikap yang tidak dibenarkan. Sebagaimana dalam salah satu peperangan di zaman Imam Ali as, ketika musuh bersembunyi di dalam hutan, para sahabat beliau menyarankan agar hutan tersebut dibakar akan tetapi beliau menolak dan berkata, ″Aku tidak ingin meraih kemenangan dengan berbuat aniaya.″2 Muslim bin Aqil adalah orang yang dididik dengan akhlak mulia Ahlul Bait as. Oleh karenanya, Muslim menolak ketika Hani dan Syuraik bin A′war sakit lalu Ibnu Ziyad datang menjenguk mereka kemudian A′war berkata kepada Imam, ″Jika Ibnu Ziyad datang, maka bunuhlah ia seketika. Dengan demikian engkau dapat duduk di Darul Imarah.″ Tak lama kemudian Ibnu Ziyad datang dan berbincang-bincang beberapa lama kemudian pergi. Syuraik bertanya kepada Muslim mengapa ia tidak membunuh Ibnu Ziyad? Muslim
1- Ibid., hlm. 313. 2- Maqtal Abî Mikhnaf.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
143
menjawab, ″Aku tidak membunuhnya karena dua hal: pertama, karena Hani tidak ingin darah Ibnu Ziyad tertumpah di rumahnya. Kedua, karena Rasulullah Saw berkata, ″Seorang yang beriman tidak akan menyerang musuhnya dari belakang dengan tiba-tiba.″1 Kemudian Hani menambahkan, ″Ya, jika engkau tadi membunuhnya, maka engkau telah membunuh orang fasik dan pendosa; tapi sayang aku tidak ingin darahnya tertumpah di rumahku.″2 Teror: tidak Dibenarkan Dialog 28: Berdasarkan apa yang kita lihat dari sikap Muslim, dalam kehidupan sosial sehari-hari, apakah kita boleh membunuh seseorang atau menerornya tanpa meminta izin dari seorang penguasa yang sah? Jawabannya, Islam sangat menghormati pribadi manusia secara individual, baik Muslim maupun non-Muslim. Menjaga nyawa seseorang yang tinggal dalam pemerintahan islami adalah tugas pemerintah. Begitu pentingnya masalah nyawa dalam Islam, hingga diibaratkan bahwa ketika kita membunuh seseorang yang tidak berdosa, ini sama dengan kita telah membunuh semua orang di muka bumi; begitu juga sebaliknya, jika kita menghidupkan seorang manusia, artinya kita telah menghidupkan banyak orang.3 Dengan demikian, nyawa seorang manusia wajib dijaga, kecuali jika seseorang tersebut telah melakukan kejahatan yang hukumannya adalah mati. Sebagian kejahatan-kejahatan tersebut contohnya seperti membunuh orang tak berdosa, kemurtadan yang menyebabkan kesesatan banyak orang, memerangi pemerintahan islami dan lain sebagainya. Tetapi perlu diingat bahwa hukuman mati tidaklah sederhana, hukuman tersebut harus diputuskan oleh seorang hakim syar′i berdasarkan kaidah-kaidah syariat yang pokok. Adapun mengenai teror, untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus membahas apa teror itu sendiri. Dengan demikian, kita akan membahas pengertian teror dalam perspektif Barat dan syariat Islam.
1- Waq′at Al-Toff, hlm. 114. 2- Abu Ja′far Thabari, Târîkh Al-Tobarî, jld. 4, hlm. 271. 3- Al-Maidah: 32.
144
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Teror dalam Perspektif Barat Teror dalam pandangan Barat adalah suatu jenis perbuatan yang membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi dalam keadaan terpaksa; perbuatan yang membuat mereka seperti itu dilakukan dengan cara-cara kasar, menakutkan, dan memiliki tujuan-tujuan yang berkaitan dengan politik atau kepentingan kekuasaan.1 Pengertian teror dalam pandangan barat begitu mengambang dan tidak jelas. Banyak negara yang mendefinisikan teror sesuai dengan kepentingannya masing-masing, sehingga timbul banyak pertanyaan mengenai masalah ini. Misalnya, kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang haknya dirampas, apakah perbuatan mereka dapat disebut dengan teror? Contoh yang lain, apakah perlawanan orang-orang Palestina yang dirampas hak-hak mereka dianggap sebagai teroris sehingga mereka harus pasrah dan menyerah kepada Israel? Bukankah teroris yang sebenarnya adalah Israel dan negara-negara yang telah merampas hak mereka? Teror dalam Pandangan Islam Dalam pandangan Islam, teror adalah padanan untuk kata fatk, yang artinya menyerang dan membunuh secara tiba-tiba.2 Dalam sudut pandang Fikih Islam, dapat kita katakan bahwa: Pertama, membunuh orang yang tidak bersalah, apa pun agama dan mazhabnya, tidak diperbolehkan dalan agama. Ayatullah Ali Khamenei mengenai peristiwa 11 September, pengeboman menara kebar WTC dan gedung Pentagon, bahkan mengenai segala bentuk teror yang pernah ada, mengatakan, ″Teror seperti ini tidak dibenarkan; entah di Hiroshima, entah di Nagasaki, entah di Ghana, Siberia, Bosnia, Kosovo, ataupun di tempat-tempat lainnya.″ Sebuah hadis yang ditukil dari Rasulullah Saw yang berbunyi, ″Seorang yang beriman tidak akan menyerang musuhnya dengan tibatiba″1 juga menekankan haramnya teror seperti ini.
1- Ibid., hlm. 431. 2- Muhmmadi Reyshahri, Mîzân Al-Hikmah, jiild
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
145
Kedua, orang yang telah melakukan kejahatan tertentu dapat dihalalkan darahnya. Orang-orang seperti itu wajib dibunuh; akan tetapi harus berdasarkan aturan-aturannya. Kejahatan mereka ini mungkin seperti ikut bersama musuh untuk melawan Muslimin; menginjak-injak kehormatan Islam, misalnya menghina Nabi Muhammad Saw, para imam atau menyakiti mereka; membantu tersebarnya kemungkaran yang membahayakan banyak orang dan lain sebagainya. Dalam sejarah Islam, kita sering mendapati masalah wajib dibunuhnya penjahat-penjathat seperti ini. Pada peristiwa Fathu Mekkah, sebelum pasukan Islam memasuki kota Makah, Rasulullah Saw berkata kepada sahabat-sahabatnya, ″Aku ingin menaklukkan kota Mekkah tanpa ada pertumpahan darah. Jadi jangan kalian bunuh orang-orang yang tidak menghadang kita. Tetapi ada sepuluh orang yang jika kalian menemukan mereka di manapun mereka berada, kalian harus menangkap dan menghukum mereka semua.″ Sepuluh orang tersebut adalah Ikrimah bin Abu Jahl, Habar bin Aswad, Abdullah bin Sa′d Abi Sarh, Muqayis Sababah Laytsi, Huwairits bin Nufail, Abdullah bin Hadzl, Shafwan bin Umayah, Wahsyi bin Harb (pembunuh Hamzah), Abdullah bin Az Zubairi, Harits bin Thalathalah, juga empat orang perempuan yang salah satu di antara mereka adalah Hindun istri Abu Sufyan dan dua orang di antara mereka adalah penyanyi yang suka mengatakan ucapan-ucapan kotor terhadap Rasulullah Saw. Orang-orang tersebut adalah para pelaku kejahatan di mata Rasulullah Saw dan beliau menjatuhkan hukuman mati ke atas mereka.2 Poin yang sangat penting dalam pembahasan kali ini adalah, pertama, pada dasarnya hukum semacam ini bukanlah perkara yang kabur dan tersembunyi dalam agama. Seorang Wali Amr Muslimin dapat menjatuhkan putusan hukuman mati kepada orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut. Dengan demikian orang itu disebut 1- Waq′at Al-Toff, hlm. 114. 2- Untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut, silahkan merujuk: Ibnu Hisyam, AlSîrah Al-Nabawiyyah, jld. 4, hlm. 51-54; Thabrasi, Majma ′ Al-Bayân fî Tafsîr AlQur'ân, jld. 9 dan 10, hlm. 848; Abbas Al Qumi, Safînat Al-Bihâr, jld. 7, hlm. 17; Muhammad bin Umar Waqidi Maghazi, Torikh-e Jang-ho- ye Peyombar, jld. 2, hlm. 631; Ja′far Subhani, Faroz-ho'i az Torikh-e Peyombar-e Eslom, hlm. 443.
146
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
buronan dan harus ditangkap ke manapun dia melarikan diri. Ini seperti halnya Rasulullah Saw yang telah mengumumkan nama-nama sepuluh orang di atas kepada para prajuritnya untuk ditangkap.1 Dengan demikian, pasukan beliau tahu siapa yang harus dibunuh, dan orang-orang kafir sendiri juga tahu darah siapa di antara mereka yang telah dihalalkan. Adanya hukuman mati dalam ajaran Islam bukan berarti agama ini adalah agama yang mengajarkan kekerasan dan menentang keamanan hidup; tapi justru sebaliknya. Kaidah yang menjadi dasar segala hukum adalah terhormatnya nyawa semua manusia. Tapi kehormatan tersebut bisa diabaikan ketika ada yang melakukan pengkianatan atau sebagian kejahatan besar yang menuntut dijatuhkannya hukuman ini. Dengan demikian, permasalahan ini menjadi jelas. Imam Khomeini juga pernah menjatuhkan hukuman ini secara tegas kepada Salman Rusydi, ″Aku umumkan kepada seluruh Muslimin di penjuru dunia, bahwa penulis buku Ayat-Ayat Setan yang telah menghina Rasulullah Saw dan Al-Quran, juga para penerbit yang memahami kandungan buku ini lalu menerbitkannya, telah dijatuhi hukuman mati. Setiap Muslim yang menemukan Salman Rusydi harus segera membunuhnya sehinga tidak ada lagi yang berani melakukan penghinaan terhadap Islam. Siapa pun yang mati di jalan ini adalah orang yang mati syahid, Insya Allah. Jika ada yang menemukannya, tetapi tidak mampu membunuhnya, maka ia harus mengumumkannya kepada banyak orang supaya hukuman dijatuhkan padanya.″2 Ayatullah Khamenei telah memberikan penjelasan, ″Pada dasarnya, ada hukum tersendiri dalam Islam mengenai peneroran seorang buron yang telah dijatuhi hukuman mati oleh pemerintahan islami. Jika seorang faqih memandang hukum ini perlu dijalankan, maka ia akan mengumumkannya di publik, bukan dengan cara diam dan rahasia.″ Kedua, dalam keadaan-keadaan yang menuntut pemukulan dan melukai-kecuali dalam kasus penista (sâbb) Nabi atau para imam maksum-kita harus mengingat beberapa hal:
1- Ja′far Subhani, Faroz-ho'i az Torikh-e Peyombar-e Eslom, hlm. 443. 2- Shahifeh-e Nûr, jld. 21, hlm. 86.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
147
1. Harus ada izin dari pemimpin islami; yaitu Nabi, Imam, atau Wali Amr.1 2. Dalam pemerintahan islami yang dipimpin oleh seorang Wali Faqih, hukum tersebut bisa dijalankan. Tetapi, jika tidak ada Wali Faqih yang memiliki kekuasaan seperti ini, maka seorang marja′ (otoritas hukum fikih) juga bisa menjatuhkan hukuman tersebut. 3. Izin ini mungkin hanya diberikan oleh sekelompok orang tertentu dengan pemberitahuan yang berkelanjutan. Ketiga, mengenai penghinaan terhadap Rasulullah Saw dan para imam maksum, Sayidah Fathimah Zahra juga pernah menjelaskan hukuman khusus untuk mereka.2 Kesimpulannya, Islam menentang dan melarang kita untuk membunuh orang yang tidak bersalah, dengan cara apa pun dan dengan alasan apa pun, juga apa pun agama mereka. Bahkan perbuatan itu sendiri adalah kejahatan yang berat hukumannya dan pelakunya akan dijatuhi hukuman mati. Adapun mengenai teror dan penjatuhan hukuman mati yang pernah dijalankan (di Iran) sebelum Revolusi, hukuman-hukuman tersebut ada dua macam: Pertama, ada kelompok-kelompok yang bertugas untuk meneror beberapa orang seperti Hezir, Kosrovi, Razm Ava dan lain sebagainya. Tapi perlu diketahui bahwa mereka yang bertugas bukanlah orang sembarangan; mereka orang-orang yang dikenal taat dengan hukum-hukum syar′i dan selalu terhubung dengan para marja′. Teror yang mereka lakukan berdasarkan fatwa para marja′ dan sesuai dengan aturan islami berdasarkan kemaslahatan-kemaslahatan tertentu. Kedua, peneroran yang dilakukan oleh beberapa kelompok seperti Mujahidin Khalk, kelompok komunis dan lain sebagainya, tidak memiliki izin syar′i dan tidak berdasarkan hukum yang sah. 1- Tahrîr Al-Wasîlah, jld. 1, hlm. 462, masalah ke-11 bagian ″Tingkatan Amar Makruf Nahi Munkar″. 2- Untuk mendapatkan keterangan lebih lengkap, rujuk: Ayatullah Fadhil Lankarani, Tafshîl Al-Syarî′ah fî Syarh Tahrîr Al-Wasîlah, bab Hudud, hlm. 318-325.
148
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Peneroran mereka jelas merupakan kejahatan dan tidak dibenarkan Islam. Asyura dan Revolusi Islam Iran Dialog 29: Apa alasan kita yang menyatakan bahwa Revolusi Islam Iran terinspirasi oleh peristiwa Asyura? Apa peran Asyura dalam terwujudnya, kemenangan dan resistensi Revolusi Islam ini? Menurut kebanyakan pengamat Revolusi Islam Iran, meletus dan menangnya revolusi ini dipengaruhi oleh keyakinan kemazhaban Syiah yang kuat.1 Michael Foucoult, seorang filsuf Perancis, berkata bahwa Revolusi Islam Iran bersumber dari keterikatan spiritual rakyat Iran dengan mazhab dan agamanya. Ia menulis bahwa jiwa Revolusi Islam pada hakikatnya adalah jiwa rakyat Iran yang selalu mencari perubahan dan pembenahan dalam dirinya baik secara pribadi maupun bermasyarakat. Tujuan utama mereka adalah menciptakan perubahan yang pokok dalam pola pikir dan cara pandang mereka baik secara pribadi maupun kolektif. Mereka menemukan apa yang diinginkan dalam agama Islam. Bagi mereka Islam adalah tawaran terbaik untuk hidup mereka.2 Dalam Iran-e Eslomi: Enqelob va Dhedd-e on, Ashif Husain berkata bahwa kita mesti mengamati Revolusi Islam dari sisi spiritualitas dan keislamannya.3 Hamid Algar juga menulis dalam Risyeh-ho-ye Enqelob-e Eslomi bahwa ada satu keyakinan yang menjadi sumber terwujudnya revolusi. Keyakinan tersebut memiliki tiga unsur: kesyiahan, kepemimpinan Imam Khomeini dan Islam.4
1- Silahkan merujuk: Amid Zanjani, Enqelob-e Eslomi-e Iron va Risyeh-e on; Sayid Hamid Ruhani, Nehdhat-e Emom Khomeini, Manucher Muhammadi, Tahlil bar Enqelob-e Eslomi, Ali Davini, Nehdhat-e Rûhoniyûn-e Iron, Jamilah Kadivar, Rûyorû'i-e Enqelob-e Eslomi-e Iron va Omriko. 2- Michael Foucoult, Ironi-ho cheh ru'yo'i dar sar dorand?, terj. Husain Mashomi Mohamadi. 3- Ditukil dari Dheyofat-ho-ye Nazdari bar Enqelob-e Eslomi, kompilasi artikel Abdul Wahab Furati, hlm. 297. 4- Ibid.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
149
Dengan mengamati dan mendengar ucapan tokoh-tokoh revolusi kita, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa hal berkenaan dengan mazhab yang memiliki peran penting dalam kemenangan revolusi di Iran. Salah satu unsur tersebut adalah unsur Asyura atau kebangkitan Husaini. Pesan yang diberikan oleh Asyura adalah, budaya kesyahidan, budaya perlawanan terhadap kebatilan, perlawanan terhadap pemimpin yang zalim, mendahulukan keridhaan Ilahi dan kemaslahatan Muslimin dan budaya mencegah merebaknya kemunkaran yang disebut dengan amar makruf nahi munkar.1 Pelajaran-pelajaran yang diberikan Asyura memang memberikan kekuatan kepada kita untuk memenangkan revolusi dan menjaga kelanggengannya. Di sini kita akan membahasnya lebih mendalam lagi. Pengaruh Pesan Asyura dalam Meletusnya Revolusi
1. Dampaknya dalam Kejiwaan para Revolusioner Tujuan rakyat Iran dalam revolusi adalah dijalankannya aturan-aturan Islam dengan sebenar-benarnya; yang mana di mata mereka ini adalah makruf. Tujuan mereka yang lain adalah menggulingkan kekuasaan zalim serta memutus tali ketergantungan dengan kekuatan asing; yang mana ini di mata mereka adalah munkar. Tujuan dan motivasi ini sama seperti tujuan Imam Husain as dalam perjuangannya. Beliau berkata, ″Aku bangkit untuk mengusahakan kebaikan bagi umat kakekku, melakukan amar makruf nahi munkar, berjalan di jalan kakekku, Rasulullah Saw, dan ayahku, Ali bin Abi Thalib as.″ Jika Yazid dan keluarganya adalah orang-orang yang suka bermaksiat terang-terangan, begitu juga Shah Pahlevi dan keluarganya. Shah sangat memimpikan kehancuran Islam. Salah satu contoh keburukannya adalah, ia ingin merubah penanggalan yang berdasarkan hijrah Rasulullah Saw menjadi penanggalan yang 1- Harisi Hasyim Zade, Ushûl-e Farhang va Ta'olim-e Osyûro, ringkasan artikel Seminar Internasional Imam Khomeini dan Budaya Asyura, cet. Musasah Penerbitan Karya Imam Khomeini, hlm. 189.
150
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
berdasarkan sejarah kerajaan Persia. Imam Khomeini pernah berkata, ″Imam Husain as telah mengajarkan kita akan apa yang harus kita lakukan terhadap kezaliman dan orang-orang yang zalim.″1 Sebagian ulama Islam berkeyakinan kuat bahwa tujuan utama kebangkitan Imam Husain as adalah didirikannya pemerintahan Islami. Mengenai hal ini Imam Khomeini berkata, ″Hidup Imam Husain as, hidup para nabi, hidup Imam Zaman dan hidup wali-wali Allah memiliki satu tujuan, yaitu menentang dan melawan kezaliman serta mendirikan keadilan.″2 Oleh karenanya, kita sering mendengar bahwa salah satu slogan para revolusioner kita adalah kata-kata, ″Kebangkitan kami adalah kebangkitan Husaini, pemimpin kami adalah Khomeini.″
2. Dampaknya bagi Pemimpin Revolusi Asyura telah melahirkan seorang pemimpin layaknya Al Husain as yang bernama Imam Khomeini dalam Revolusi Islam kita. Semua orang dapat melihat keberanian dan kegagahan Imam Husain as dalam pribadi beliau. Kenyataan ini nampak dalam salah satu slogan mereka, ″Wahai Khomeini, engkaulah pewaris Husaini.″
3. Dampaknya dalam cara Berjuang Dalam kaca mata pemikiran materialisme, kita tidak bisa berjuang melawan musuh yang bersenjata sedang kita sendiri tidak memiliki senjata. Akan tetapi, pola pikir pejuang kita tidak seperti itu. Mereka mempelajari pola pikir dari Imam Husain as. Dengan slogan ″Allahu Akbar″ mereka maju melawan mesin peluru, granat dan bahkan tanktank. Imam Khomeini berkata, ″Perjuangan kita melawan pemerintahan zalim beserta kekuatan dahsyatnya adalah praktek dari pelajaran yang telah kita ambil dari peristiwa Asyura.″3 Para pejuang kita menjadikan ajaran Imam Husain as sebagai ilham bagi jiwa mereka. Mereka berslogan, ″Bunga melawan senjata″, 1- Qiyom-e Osyûro dar Kalom va Bayon-e Emom Khomeini, hlm. 55. 2- Ibid., hlm. 38. 3- Shahifeh-e Emom, jld. 17, hlm. 56.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
151
″Tentara Iran telah menjadi tentara Husain, pemimpin Iran adalah Khomeini.″1
4. Dampak Lain Asyura Hari-hari Asyura dan tempat-tempat diadakannya acara peringatan hari Asyura menjadi mata air kekuatan bagi hati para pejuang kita. Dengan meminum dari mata air itu, mereka mendapatkan kekuatan baru untuk bangkit, berdemonstrasi dan melakukan aktivitas-aktivitas mereka di jalam revolusi. Di hari-hari Asyura, khususnya pada puncaknya, yakni setelah hari Tasu′ah, pilar-pilar rezim Pahlevi bergetar karena aura Husaini yang begitu luar biasa. Para pemimpin agen rahasia SAVAK pernah berkata, ″Jika kita bisa melewati bulan Muharram dengan baik, maka tugas kita akan baikbaik saja. Tetapi kita semua menyaksikan bahwa setelah Arba′in Husaini pada tahun 1399, rezim ini hancur setelah berusia 2500 tahun dalam jangka waktu tidak lebih dari satu bulan.″2 Pengaruh Asyura dalam Kemenangan Revolusi Dengan melihat sejarah perjuangan dalam Revolusi Islam, kita dapat menyimpulkan betapa Asyura memberikan pengaruhnya yang sangat besar dalam keberhasilan ini. 1. Gerakan 15 Khurdad-yang merupakan salah satu hari bersejarah dalam Revolusi Islam Iran-terlaksana sesaat setelah pidato Imam Khomeini di siang hari Asyura (13 Khurdad 1342). Mengenai 15 Khurdad beliau berkata, ″Di hari hari yang bertepatan dengan 15 Khurdad, rakyat Iran telah berilham dari pelajaran-pelajaran Asyura dan melakukan sesuatu yang sangat besar. Kalau saja tidak ada Asyura, tidak tentu akan ada peristiwa besar seperti ini.″3
1- Musthafi Kavakiyan, Haft Qatre az Jori Zulol-e Andisyehe Emom Khomaini, hlm. 229. 2- Kemenangan Revolusi Islam 23 hari setelah Arbain Husaini (40 hari setelah 10 Muharram). 3- Shahifeh-e Emom, jld. 16, hlm. 290.
152
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram 2. 17 Syahriwar juga merupakan hari bersejarah. Pada hari itu pengaruh Asyura benar-benar dapat dirasakan. Imam Khomeini berkata, ″17 Syahriwar bagaikan Asyura. Bundaran Syuhada bagaikan Karbala. Para syahid kita seperti para syahid Karbala. Musuh-musuh kita seperti Yazid dan golongannya.″1 3. Deklarasi Imam Khomeini di hari bersejarah 21 Bahman 1357 adalah salah satu contoh yang lain. Pada hari itu, rencana kudeta dan penangkapan para tokoh revolusi tergagalkan dan, dengan demikian, untuk selamanya revolusi mencapai kemenangannya. Masyarakat turun ke jalanan sebagaimana yang diinginkan pemimpin mereka, dan semuanya bekerja sama mencabut kebatilan sampai akarakarnya. Imam Khomeini berkata, ″Jika tidak ada kebangkitan Imam Husain as, kita tidak akan bisa menggapai kemenangan di hari ini. Asyura yang memberikan kita kekuatan untuk menang. Usaha kita mengenang Asyura yang telah memenangkan kita di hari ini.″2
Pengaruh Asyura dalam Kelanggengan Revolusi Asyura tidak hanya melahirkan Revolusi Islam Iran, bahkan ia juga yang menjadikan revlolusi ini berumur panjang. Jika kita ingin revolusi ini berumur panjang, kita harus memperhatikan nilai-nilai yang telah diajarkan Asyura kepada kita, yaitu jiwa tak takut mati, cinta kebebasan, kemuliaan, perjuangan, perlawanan terhadap kezaliman dan lain sebagainya. Kita harus memperhatikan poin-poin tersebut dalam setiap kebijakan dalam dan luar negeri kita. Kita semua harus berpegang teguh pada ajaran-ajaran Husaini. Jika kita lihat Revolusi Islam kita sama sekali tidak goyah dengan segala cobaannya, jika kita lihat perang 8 tahun dengan Irak sama sekali tidak menggoyahkan Revolusi Islam kita, maka kita harus tahu bahwa penyebabnya adalah Asyura Husaini.″3
1- Ibid., hlm. 346. 2- Shahifeh-e Emom, jld. 16, hlm. 346. 3- Haft Qatre, hlm. 235.
Bagian Ketiga: Siasat dan Politik Seputar Asyura
153
Imam Khomeini berkata seputar masalah ini, ″Terus hidupkanlah Muharram ini. Apa pun yang telah kita miliki semuanya berkat Muharram. Kita mendapatkan semua ini karena pengorbanan Imam Husain as. Mari kita rasakan benar-benar pengaruh Asyura dalam hidup kita yang mana pengaruh itu sampai sekarang tetap ada. Jika tidak ada majelis-majelis yang mengingatkan kita akan Asyura dan pelajaran-pelajarannya, kita tidak akan pernah menang. Semuanya berjuang di bawah bendera Imam Husain as. Sekarang pun jika kita pergi mengunjungi para pejuang kita, kita melihat mereka selalu menghangatkan negeri mereka dengan jiwa husaini dan kecintaan mereka terhadap Imam Husain as.″1 Pada kesempatan yang lain, beliau juga berkata, ″Pengorbanan Imam Husain as yang telah menjaga Islam agar tetap hidup untuk kita. Jika kalian ingin kebangkitan kalian terus hidup, maka jagalah tradisi ini.″2
1- Shahifeh-e Emom, jld. 17 & 58. 2- Ibid., jld. 15, hlm. 331 dan 230. Lebih lanjut tentang pengaruh Asyura terhadap Revolusi Islam Iran, silakan merujuk: Abdul Wahab, Dhiyofat-e Nazdari bar Enqelob-e Eslomi (kompilasi artikel), hlm. 91; jurnal ilmiah Hukûmat-e Eslomi, tahun ke-7, edisi I, musim semi 1382 HS, hlm. 396.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
Muha mma d Ridha Ka shifi
Falsafah Memperingati Asyura Dialog 30: Apa masuk akal jika kita bertanya tentang falsafah di balik peringatan hari Asyura? Di era modern ini, manusia lebih cenderung untuk melakukan penilaian terhadap segala fenomena yang terjadi dalam hidupnya. Melakukan penilaian terhadap fenomena-fenomena tersebut adalah salah satu kriteria manusia di zaman ini. Oleh karena itu, tidak heran jika ada orang yang memperhatikan masalah peringatan hari Asyura lalu memberikan penilaian-penilaian tertentu. Berdasarkan penilaian tersebut, selama hasil penilaiannya akan masalah tersebut berlawanan dengan akal dan tidak sejalan dengan pemikirannya, ia tidak akan bersedia menerima kenyataan itu. Sifat seperti ini sangat terpuji. Rasa ingin tahu sesorang akan menguatkan iman seseorang ketika dia mendapatkan jawabannya. Tidak boleh dilupakan bahwa iman sejati harus berdasarkan makrifat yang kuat. Oleh karena itu, jika kita dapat memberikan penjelasan yang benar mengenai masalah peringatan-peringatan hari Asyura dengan baik, maka pandangan dan kepercayaan pemuda-pemuda generasi baru kita mengenai tradisi Asyura akan semakin kuat. Dialog 31: Apa gunanya kita mengadakan acara-acara peringatan hari Asyura? Kita dapat memahami manfaat diadakannya acara-acara peringatan Asyura dari beberapa perkara di bawah: Menguatkan Kecintaan kepada Ahlul Bait as Al-Quran dan riwayat-riwayat mewajibkan kita untuk mencintai Ahlul Bait as.1 Jelas, kecintaan membutuhkan konsekuensi; dan pecinta yang sebenarnya harus memiliki tanda-tanda kecintaannya. Salah satu ekspresi kecintaan adalah ikut merasakan sakit ketika yang dicintainya sedang sakit.2 Oleh sebab itu, dalam riwayat-riwayat kita ditekankan untuk diadakannya acara-acara penuh kegembiraan di 1- Al-Syura: 23; Hud: 29; Mîzân Al-Hikmah, jld. 2, hlm. 236. 2- Al-Mahabbah fî Al-Kitâb wa Al-Sunnah, hlm. 169, 170, 181 & 182.
158
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
hari-hari kegembiraan Ahlul Bait as dan acara-acara berkabung pada hari-hari mereka berduka. Dalam sebuah riwayat, Imam Ali as berkata, ″Syiah kami bersedih dan bergembira sebagaimana kami sedih dan gembira.″1 Imam Shadiq as juga pernah berkata, ″Syiah dan pengikut kami telah diciptakan dari sisa-sisa tanah asal kami diciptakan. Mereka bersedih dan bahagia sebagaimana kami sedih dan bahagia.″2 Oleh karenanya, masuk akal jika di hari berkabung Ahlul Bait as, kita sedikit makan dan minum3 serta mengenakan pakaian yang sekiranya mengekspresikan kesedihan kita di hari itu. Menciptakan Pribadi yang Agung Dengan diadakannya acara-acara peringatan hari Asyura, kita dapat menghidupkan lagi nilai-nilai serta mengingat pesan-pesan yang disisipkan Imam Husain as dalam perjuangannya. Dengan demikian kita akan tertarik dengan sendirinya untuk mencontoh dan menjadikan sifat tokoh-tokoh Asyura sebagai tauladan kita. Orang yang mengikuti acara-acara sedemikian rupa dengan penuh kesadaran, ia akan mengkombinasikan makrifat dan perasaan hatinya sehingga saat ia keluar dari majlis tersebut ia akan bergegas untuk mewujudkan sifat-sifat kecintaan mereka dalam dirinya. Menciptakan Masyarakat yang Berjiwa Mulia Ketika nilai-nilai Asyura dapat memberikan dampak yang baik dalam pembentukan pribadi individu, maka dengan sendirinya terbentuknya pribadi yang agung itu akan menyebabkan terciptanya masyarakat yang berjiwa mulia dan berperangai agung. Dengan penjelasan lain, diadakannya acara peringatan Asyura adalah sarana ditegakkannya nilai-nilai Ahlul Bait dalam kehidupan keseharian sekelompok masyarakat. Dengan demikian dapat 1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 287. 2- Al-Amâlî, hlm. 305. 3- Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Imam Shadiq as kepada Mu′awiyah bin Wahab, di hari Asyura para pengikut mekeka tidak makn dan minum sampai beberapa saat setelah waktu Ashar. Rujuk Târîkh Al-Nahiyyah Al-Imâm Al-Syahîd Al-Husain ibn 'Alî, jld. 1 hlm. 157-159.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
159
diakatakan bahwa hikmah memperingati Asyura adalah menciptakan masyarakat yang berlandaskan nila-nilai luhur tauladan mereka. Menyampaikan Nilai-nilai Luhur Kesyiahan kepada Generasi Muda Tidak ada yang mengingkari bahwa ketika anak-anak muda atau bahkan anak-anak kecil kita mengikuti acara-acarara peringatan hari Asyura, dengan sendirinya mereka akan mengenal budaya Ahlul Bait as. sejak dini. Sesungguhnya diadakannya acara-acara seperti ini salah satu manfaatnya adalah tersampaikannya pola pikir para Imam maksum kepada generasi mendatang dengan mudah. Peringatan Asyura adalah cara yang baik untuk mengenalkan budaya Ahlul Bait as. dan mendidik generasi muda dengan pendidikan suci mereka. Dialog 32: Apakah hikmahnya kita bersedih untuk Imam Husain as? Masalah membentuk pribadi dan mencetak masyarakat yang mulia serta menyampaikan pesan-pesan Asyura kepada generasi mendatang adalah masalah yang sangat penting. Pelajaran-pelajaran dari Asyura sangat berguna bagi kehidupan kita sehari-hari baik dari segi pendidikan, politik, sosial dan budaya. Dengan diadakannya acaraacara yang memperingati Asyura dan tokoh-tokohnya, kita dapat menyampaikan pesan-pesan berharga ini kepada generasi muda setelah kita. Banyak sekali pelajaran-pelajaran dari Asyura yang dapat mencetak pribadi yang baik, masyarakat yang baik dan budaya yang baik. Pelajaran-pelajaran tersebut seperti cinta ibadah, pengorbanan, keberanian, tawakal, kesabaran, amar makruf nahi munkar, hancurnya Islam jika Muslimin dipimpin oleh orang-orang seperti Yazid, haramnya membaiat orang-orang seperti Yazid, lebih utamanya mati syahid dari pada hidup dengan penuh kehinaan, sedikitnya manusia yang sejati tatkala sedang diuji, perlunya jiwa berani mati pada saat fenomena keburukan nampak di mana-mana, indahnya kesyahidan untuk seorang manusia, wajibnya melawan kezaliman dan orang-orang zalim, berserah diri kepada takdir Ilahi, keharusan menyertai orang-orang yang berjuang di jalan Allah, haramnya menerima kehinaan bagi orang-orang yang beriman, yakin bahwa kesyahidan adalah jembatan untuk menuju surga, begitu juga
160
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
ada pelajaran cinta kebebasan, kejantanan, meminta bantuan untuk berjuang di jalan kebenaran dan didirikannya keadilan dan seterusnya.1 Dalam kandungan sepatah bait syair Persia disebutkan, ″Imam Husain as telah mengajarkan pelajaran tentang kemerdekaan kepada dunia. Pemikiran-pemikirannya menebarkan bibit ketangguhan di setiap hati. Hiduplah dengan merdeka; inilah yang diajarkan Husain. Matilah dengan mulia, jangan hidup dengan menyandang kehinaan; inilah ajaran Husain.″ Selain manfaat-manfaat yang telah kita sebutkan di atas, kita bisa menambahkan lagi bahwa manfaat memperingati hari Asyura adalah: Merupakan bentuk pertentangan terhadap orang-orang zalim di zaman ini sekaligus pembelaan terhadap orang-orang yang dizalimi; Menguatkan rasa haus keadilan dan kebencian terhadap orang-orang zalim. Menciptakan sarana yang memudahkan bagi para pengikut Ahlul Bait as untuk mengikuti dan menegakkan kebenaran. Mengenang Asyura dalam Riwayat Dialog 33: Apakah ada riwayat yang menganjurkan diadakannya acara-acara dan upacara peringatan hari Asyura? Banyak sekali riwayat-riwayat seperti itu. Di sini kita akan menyebutkan tiga saja di antaranya: Pertama, Imam Shadiq as berkata, ″Semoga Allah merahmati pengikut kami. Sungguh, para pengikut kami adalah orang-orang yang beriman. Sungguh mereka adalah orang-orang yang bersedih hati jika mengingat musibah yang menimpa kami.″2 Kedua, Imam Ali Ridha as berkata, ″Orang-orang yang menangis mengingat musibah dan kezaliman yang menimpa kami kelak akan bersama kami di Hari Kiamat dan berada satu derajat dengan kami. 1- Silahkan merujuk: Farhang e Asyura, hlm. 268-271; Husain, Aql e Sorkh, hlm. 77-119; Emam Hasan Va Emam Husain, hlm. 116. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 43, hlm. 222.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
161
Orang yang menyampaikan berita tentang hari-hari kami lalu ia menangisinya dan membuat orang lain menangis karenanya, maka orang-orang seperti itu tidak akan menangis matanya saat semua orang menangis di hari kiamat. Orang yang menghidupkan kami di majelis-majelis mereka tidak akan mati hatinya di saat hati semua orang mati.″1 Ketiga, Imam Shadiq as berkata kepada Fudhail, ″Apakah kalian mengadakan majelis-majelis dan menceritakan apa saja yang telah terjadi pada kami?″ Fudhail berkata, ″Iya, kami mengadakannya.″ Lalu Imam berkata, ″Aku menyukai majelis-majelis seperti itu. Jadi hidupkanlah perkara kami, barangsiapa yang menghidupkan perkara kami maka akan mendapatkan rahmat Allah. Wahai Fudhail, barangsiapa mengingat kami lalu menangis atas kesedihan kami, maka dosa-dosanya akan diampuni meski ia meneteskan air mata sekecil sayap lalat.″2 Awal Mula Diadakannya Peringatan Asyura Dialog 34: Apakah peringatan kesyahidan Imam Husain as seperti ini juga pernah diadakan di zaman para imam maksum? Iya, pernah. Di sini kita akan menyebutkan beberapa contoh saja: 1. Bani Hasyim berkabung atas meninggalnya Imam Husain as. Diriwayatkan dari Imam Shadiq as bahwa setelah kejadian Asyura, tidak ada satu perempuan Bani Hasyim pun yang memakai celak di matanya. Tidak terlihat asap mengepul di atas rumah-rumah mereka yang menandakan mereka memasak makanan. Suasana seperti ini terus berlangsung sampai kematian Ibnu Ziyad. Semenjak peristiwa Asyura kami selalu meneteskan air mata.3 2. Berkabungnya Imam Ali Zainal Abidin as. Disebutkan dalam riwayat bahwa beliau sepanjang hidupnya selalu bersedih hingga ia tak pernah berhenti meneteskan air mata. Kesedihan beliau akibat mengingat tragedi yang menimpa
1- Ibid., hlm. 278. 2- Ibid., hlm. 282 & 289. 3- Emom Hasan va Emom Husain, hlm. 145.
162
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram ayahnya, saudara-saudaranya dan keluarganya. Setiap saat ia dibawakan air minum, ia meneteskan air mata dan berkata, ″Bagaimana aku bisa meminum air sedangkan mereka membunuh cucu Rasulullah Saw dalam keadaan haus?″1 Dan terkadang beliau juga berkata, ″Setiap saat aku mengingat terbunuhnya anak-anak Fathimah, aku tidak bisa menahan tangis.″2
Imam Shadiq as berkata kepada Zurarah, ″Ketika kakekku, Ali bin Husain as, mengingat ayahnya, ia selalu menangis sehingga air mata membasahi janggut beliau dan membuat orang-orang lain yang melihatnya terharu dan menangis.″3 3. Bersedihnya Imam Baqir as. Pada hari Asyura, Imam Baqir as selalu mengadakan majelis peringatan musibah yang menimpa Imam Husain as. Pada suatu hari, di majelis tersebut sesorang membacakan sedikit syair untuknya. Ketka pembaca syair tersebut sampai pada kata-kata ″…telah terbunuh Husain…″, Imam Baqir as menangis dan berkata kepada pembaca syair itu, ″Andai aku punya banyak harta untuk kuberikan padamu karena syair ini, pasti akan aku berikan. Tapi imbalan untukmu adalah doa yang pernah Rasulullah Saw panjatkan untuk Hasan bin Tsabit bahwa karena engkau membela Ahlul Bait as, maka senantiasa engkau akan berada di bawah perlindungan Ruhul Kudus.″4 4. Bersedihnya Imam Shadiq as. Imam Musa Kadzim as berkata, ″Ketika bulan Muharam tiba, aku tidak pernah melihat ayahku tertawa. Wajahnya selalu murung dan selalu menangis hingga hari kesepuluh. Pada hari kesepuluh, kesedihan beliau memuncak. Beliau tidak pernah berhenti menangis dan berkata, ″Ini adalah hari syahidnya ayahku, Husain as.″5
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 145. 2- Al-Khishôl, jld. 1, hlm. 131. 3- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 207. 4- Mishbâh Al-Mutahajjid, hlm. 713. 5- Imom Hasan wa Imom Husain as, hlm. 143.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
163
5. Berkabungnya Imam Musa Kazim as. Disebutkan bahwa Imam Ridha as berkata, ″Ketika bulan Muharam tiba, tidak ada orang yang melihat ayahku pernah tertawa dan keadaan ini terus berlangsung hingga hari Asyura. Di hari itu kesedihannya meluap-luap dan berkata, ″Di hari inilah Husain as dibunuh.″1 6. Bersedihnya Imam Ridha as. Beliau begitu bersedih mengingat peristiwa Asyura sehingga beliau berkata, ″Sungguh hari terbunuhnya Husain as telah membuat kelopak mata kami terluka dan mengucurkan air matanya.″2 Pada suatu hari, Da′bal mendatangi Imam Ridha as. Ia menuturkan beberapa patah kata mengenai ratapan atas Imam Husain as. Beliau berkata, ″Wahai Da′bal, orang yang menangisi kakekku, Husain as, dosa-dosanya akan diampuni.″ Lalu setelah itu beliau merentangkan tabir antara keluarga beliau dengan para hadirin untuk mengadakan majelis peringatan musibah Asyura.″ Kemudian beliau berkata lagi kepada Da′bal, ″Bacakanlah syair untuk Imam Husain as! Selama kamu hidup, lakukanlah ini untuk kami dan jangan berhenti selama engkau mampu.″ Sambil meneteskan air mata, Da′bal membacakan syair-syairnya, ″…Husain as terbunuh kehausan di tepi sungai Furat…″ Lalu Imam Ridha as dan keluarganya menangis.3 7. Bersedihnya Imam Mahdi as. Menurut banyak riwayat, beliau terus menangis meratapi peritiwa yang menimpa ayah beliau, baik di saat beliau gaib atau setelah kemunculannya nanti. Beliau akan berkata kepada kakeknya, Imam Husain as, ″Jika zaman telah memisahkanku jauh darimu, sehingga aku tidak ada waktu itu sehingga mampu menolongmu, tapi kini aku meratapimu pagi dan petang hari dan sebagai ganti air mata darah mengalir dari mata kami.
1- Husain, Nafs-e Mutma'inneh, hlm. 56. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 284. 3- Ibid., jld. 45, hlm. 257.
164
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram Betapa hati ini menimpamu.″1
penuh
luka
karena
musibah
yang
Kepergianmu membuatku menangis dengan luka di hati ini. Aku menangis atas musibah yang menimpamu dan jika air mata ini kering, biarlah darah yang menjadi air mataku.2 Dialog 35: Apakah pada masa pemerintahan Shafawi juga pernah diadakan acara-acara peringatan syahadah Imam Husain as? Majelis-majelis ratapan syahadah Imam Husain as terus diadakan sepeninggal beliau. Akan tetapi, majelis-majelis tersebut diadakan secara tersembunyi sampai pada zaman Ali Buwaih (352 H). Sebelum abad IV H, majelis-majelis ratapan tersebut diadakan tidak secara terang-terangan dan biasanya diadakan di dalam rumah. Akan tetapi semenjak paruh kedua abad IVt, acara peringatan Imam Husain as diadakan secara terang-terangan di jalanan dan tempat umum. Hal ini telah disinggung juga oleh sebagian ahli sejarah dalam kitab-kitab mereka (seperti Ibnu Jauzi dalam kitabnya Al-Muntazdom, Ibnu Atsir dalam Al-Kâmil, Ibnu Katsir dalam Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah juga Yafi′i dalam Mir'ât Al-Jinân, begitu juga dengan Dzahabi dan selainnya) bahwa kaum Syiah mengadakan acara-acara tersebut secara terang-terangan semenjak tahun 352 H sampai setelahnya. Ibnu Jauzi juga menuliskan, ″Pada tahun 352, Mu′izzu Dawlah Daylami memerintahkan masyarakat untuk berkumpul bersama pada hari Asyura untuk menampakkan kesedihan. Pada hari itu, pasarpasar diliburkan dan tidak ada aktivitas jual beli. Para penjual daging tidak lagi menyembelih hewan-hewan sembelihannya dan penjual makanan tidak menjualnya lagi. Orang-orang tidak meminum air di hari itu. Para wanita menangis meratapi hari Asyura.″3 Hamadani juga menulis, ″Di hari itu, para wanita menghitamkan wajah mereka dan memukuli pipi mereka. Mereka berjalan dalam keadaan seperti itu di jalanan untuk meratapi Imam Husain as.″4
1- Biharul Anawar, jld. 101, hlm. 320. 2- Mustafa Arang, menukil dari Ashk-e Huseini, Sarmoyeh-e Syi′eh, hlm. 66. 3- Al Muntadzam Fi Tarikhil Muluk Wal Umam, jld. 7, hlm. 15. 4- Taklimatut Tarikh At Thibbi, hlm. 183.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
165
Menurut perkatan Syafi′i, hari itu adalah hari pertama kalinya diadakan acara peringatan Asyura secara terang-terangan.1 Ibnu Katsir ketika menceritakan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada tahun 352 H menyebutkan, ″Orang-orang Ahli Sunah tidak mampu melarang kaum-kaum Syiah untuk mengadakan acara ini. Karena jumlah kaum Syiah sangat banyak dan pemerintahan ada di tangan mereka. Setelah tahun 352 sampai pertengahan abad kelima, yang mana pada saat itu Ali Buwaih sudah tidak berperan seperti dulu lagi, peringatanperingatan hari Asyura mulai tidak semarak seperti dahulu. Jika kebetulan hari Asyura bertepatan dengan hari Nuruz atau Mehregan, peringatan hari Asyura diundur.2 Pada tahun-tahun inilah Fathimiyah dan Ismailiyah baru menguasai Mesir dan membangun kota Kairo lalu mereka mengadakan acaraacara peringatan hari Asyura di sana. Berdasarkan yang ditulis oleh Muqraizy, pada hari Asyura 363 H, seperti biasa kaum Syiah berkelompok-kelompok berjalan menuju Masyhad Kultsum dan Masyhad Nafisah (salah satu dari anak-anak Imam Husain as) dan di sana mereka memulai acara peringatan hari tersebut. Mereka menangis dan berteriak. Di masa pemerintahan Fatimiyun, setiap tahun diadakan acara peringatan hari Asyura. Pasar-pasar diliburkan dan banyak orang berkumpul di Masjid Jami′ Kairo; mereka di sana mengadakan acara ratapan atas Imam Husain as bersama-sama.3 Pada era berikutnya, karena kaum Syiah mulai terkucilkan, acaraacara peringatan seperti itu sudah tidak diadakan secara besar-besaran lagi, meskipun keadaan waktu itu tidak seburuk masa-masa sebelum Ali Buwaih. Berdasarkan beberapa kitab, khususnya kitab Raudhatus Syuhada milik Kashifi, sebelum masa pemerintahan Shafawiyah majelis-majelis ratapan Imam Husain as juga sering diadakan.4 Kemudian pada masa-masa setelah Shafawiyah, karena Syiah telah
1- Miraatul Jinan, jld. 3, hlm. 248. 2- Annujumuz Zahirah Fi Muluk Mishr Wa Qahirah, jld. 4, hlm. 218. 3- Al Khathath, Muqraizy, 2/289; Annujumuz Zahirah, jld. 4, hlm. 126; Ittiadzul Hunafa, jld. 2, hlm. 67, menukil dari Siyah Pushy Dar Sough e Aeme e nur, hlm. 161. 4- Maqalat e Tarikhi, Rasul Ja′fariyan, jld. 1, hlm. 182-185 dan 201-206.
166
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
menjadi mazhab yang banyak sekali pengikutnya, acara-acara peringatan Asyura kembali diadakan dengan besar-besaran. Dialog 36: Apa dasarnya kita memperingati hari Asyura dengan cara memukuli badan dengan rantai-rantai tajam, memukul dada. Apa maksud Ta′ziyah dan apa itu yang disebut dengan Alamah? Berasal dari budaya manakah semua ini? Kebiasaan memukuli badan dengan rantai-rantai tajam asal muasalnya dari India dan Pakistan yang kemudian menyebar di Iran. Dengan melihat banyaknya keburukan yang timbul dari pemukulan badan dengan rantai-rantai tajam, sperti terlukanya tubuh, kebanyakan ulama mengharamkan amal perbuatan itu. Tapi jika perbuatan ini tidak menyebabkan terlukanya badan dan tidak buruk di mata orang-orang awam atau tidak menyebabkan dihinanya nilai-nilai Asyura, maka tidak ada salahnya dilakukan. Jika di Iran kita melihat banyak orang yang memukuli dirinya dengan rantai, itu karen mereka melakukannya sesuai dengan aturan yang diterangkan dalam syariat (rantai yang digunakan di Iran tidak tajam dan tidak dapat melukai kulit-pent.).1 Adapun memukul dada, sebenarnya berasal dari tradisi orang-orang Arab yang kini menjadi kebiasaan kita saat menghadakan acara peringatan Asyura tapi dengan cara yang sedikit berbeda; yakni dengan gerakan yang sedikit berat berirama dan pukulan diarahkan ke dada. Ungkapan kesedihan seperti ini mulanya merupakan ekspresi kesedihan yang bersifat pribadi; namun setelah kaum Syiah mendapatkan kesempatan untuk mengadakan peringatan Asyura bersama-sama, maka memukul dada pun menjadi kebiasaan yang dilakukan bersama-sama.2 Adapun Ta ′ziyah, artinya adalah melukiskan peristiwa Asyura dan menunjukkannya. Sepertinya kebiasaan ini sudah ada sejak zama Karim Khan Zand berkuasa di Iran dan menyebar di masa Nashiruddin Shah. Sebabnya mungkin karena shah sering berkunjung ke negara-negara Eropa dan melihat teater-teater di sana lalu ia menginginkan diadakannya hal serupa untuk peringatan peringatan Asyura. Perlu diketahui bahwa diadakannya Ta ′ziyah tidak hanya di 1- Mausuatul Atabatil Muqadasah, jld. 8, hlm. 378. 2- Musiqi ye Mazhabi e Iran, hlm. 26.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
167
Iran saja, tapi juga di negeri-negeri Islami lainnya; tentunya dengan cara dan model yang berbeda-beda; seperti di India dan Pakistan.1 Alamah adalah sebuah alat yang biasa digunakan dalam acara-acara peringatan hari Asyura. Digunakannya alat ini mulai marak setelah adanya hubungan antara Iran dengan Eropa pada masa pemerintahan Qajar dan tradisi ini sebenarnya milik budaya kristiani. Alat itu hanya sekedar symbol yang terkadang sayang sekali banyak orang yang tidak mengetahui arti dan nilai-nilai sebenarnya sehingga mereka hanya terpaku pada simbol tanpa memahami makna.2 Dialog 37: Apakah cara-cara kita mengadakan acara peringatan hari Asyura yang tidak pernah dilakukan sebelumnya di zaman nabi bukan merupakan bid′ah? Pertama, perlu difahami bahwa cara kita memperingati hari Asyura bukanlah esensi dari meratapi hari Asyura itu sendiri. Pada dasarnya ratapan akan musibah yang menimpa Imam Husain as adalah suatu esensi yang dapat diekspresikan dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, cara kita melakukannya hanya sekedar ekspresi dan ungkapan hati saja, tidak lebih. Kedua, cara mengekspresikan belasungkawa atas Imam Husain as harus sesuai dengan kandungan dan nilai-nilai esensi perjuangan beliau, sehingga pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat tersampaikan kepada yang lain dengan sebaik-baiknya. Seperti pakaian yang tidak boleh terlalu besar dan tidak boleh terlalu kecil. Karena jika terlalu kecil, dia tidak akan menutupi seluruh anggota tubuh yang perlu ditutup; dan jika terlalu lebar, tidak enak dipandang. Ketiga, tidak ada salahnya jika kita menggunakan alat-alat yang berasal dari negeri dan budaya asing untuk kita manfaatkan. Sebagaimana Islam pernah memanfaatkan bahasa Urdu untuk menyebarkan Islam di India. Sebagaimana kita juga memanfaatkan Filsafat yang datangnya dari Yunani. Keempat, Islam sama sekali tidak menentang budaya dan adat suatu kaum selama itu tidak bertentangan dengan esensi agama. Contohnya 1- Ibid., hlm. 33-35 dan Dar Amadi Bar Namayesh Va Nayayesh Dar Iran, hlm. 86, Mehr, hlm. 27. 2- Farhang e Asyura, hlm. 346.
168
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Islam tidak memberikan batasan-batasan tertentu-selama tidak bertentangan dengan jiwa Islam-dalam cara berpakaian, berbahasa, makian, minum dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, pada dasarnya duka cita dan meratapi kepedihan peristiwa Asyura dapat diekspresikan dengan cara dan bentuk yang bermacam-macam sesuai dengan budaya tiap kaum masing-masing. Hal tersebut sah-sah saja selama tidak merubah atau apalagi merusak esensi yang sebenarnya. Dengan demikian tidak masalah jika kita memperingati hari Asyura dengan cara yang belum pernah dilakukan di zaman Rasul atau para Imam as dahulu kala. Tidak hanya bukan bid′ah, bahkan jika cara yang kita lakukan itu benar dan memberi kebaikan, seperti menciptakan ketertarikan di hati banyak orang kepada Ahlul Bait as, justru terdapat ganjaran tersendiri untuknya. Sekali lagi kami tekankan bahwa cara berekspresi hanya sebuah alat dan tidak lebih. Juga tidak sepatutnya alat lebih menjadi pusat perhatian dari pada kandungan sehingga makna terlupakan. Alat hanya jembatan yang membantu kita menyebrang agar sampai ke tujuan; kita melewati jembatan bukannya untuk bermain-main di situ. Memang suatu kenyataan yang pahit bahwa kita sering melihat banyak orang lebih terpaku pada sisi lahiriah dari pada sisi batin dan makna. Dialog 38: Mengapa cara kita mengadakan acara peringatan meninggalnya Imam-Imam yang lain berbeda dengan cara kita memperingati hari wafatnya Imam Husain as? Ini karena kekhususan yang dimiliki oleh peristiwa Asyura. Kondisi dunia Islam pada waktu itu, keadaan para pemerintah dan kezaliman mereka, terinjak-injaknya kemanusiaan dan kebebassan, penghinaan terhadap umat Islam, tidak adanya keamanan, beratnya kezaliman yang menimpa kaum Syiah, dilupakannya ajaran-ajaran penting seperti Amar Makruf Nahi Munkar, menyebarnya bid′ah yang masuk ke dalam agama, perpecahan, ditinggalkannya akhlak mulia… dan di sisi lain, Imam Husain as dengan kondisi dan keadaannya, kezaliman yang menimpanya sedangkan ia sendirian, caranya menghadapi orang-orang yang mengaku Islam dan bertampang teman tapi berhati musuh, caranya beliau membela diri secara fisik dalam peristiwa Karbala, keluarga dan para sahabatnya, pelajaran-pelajaran yang
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
169
beliau sispkan dalam peristiwa itu, semua dan semuanya membuat peristiwa Asyura menjadi peristiwa yang sangat besar. Tak sedikit peneliti dan pengkaji yang menghabiskan umurnya untuk menggali peristiwa ini sehingga muncul banyak buku dan tulisan tentangnya. Rasulullah Saw, Imam Ali as, Sayidah Fathimah Zahra as, Imam Hasan as dan maksumin setelah Imam Husain as selalu menekankan para pengikutnya agar tak pernah berhenti untuk terus menghidupkan Asyura serta memperingatinya.1 Segala kekhususan yang dimiliki Asyura membuatnya jauh berbeda dengan segala peristiwa bersejarah lainnya. Sebagaimana yang pernah terucap dari mulut suci Imam Shadiq as, ″Tidak ada hari seperti harimu, wahai Abu Abdillah.″2 Jelas sekali, besarnya peringatan suatu peristiwa bersejarah begantung pada besar tidaknya peristiwa tersebut. Karena Asyura memiliki kekhususan-kekhususan yang seperti ini, maka peringatannya pun lain dari pada yang lain. Dialog 39: Apa arti mengenakan pakaian hitam dalam memperingati hari Asyura? Warna hitam memiliki khasiat dan kekhususan tersendiri dan dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang menginginkan khasiatkhasiat tersebut. Dari satu sisi, warna hitam identik dengan ketertutupan; yakni warna hitam digunakan untuk menutupi dan menyembunyikan sesuatu.3 Warna hitam juga warna yang identik dengan wibawa dan kegagahan. Oleh karenanya pakaian resmi orangorang berkelas kebanyakan berwarna hitam atau kebiru-biruan. Dalam buku-buku sejarah masalah warna hitam ini juga sering disinggung.4
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 223-293. 2- Syaikh Shaduq, Amali, hlm. 77. 3- Yaddasht Ha I Dar Zamine e Farhang Va Tarikh, hlm. 272. 4- Ibnu Atsir, salah satu ahli sejarah menulis, ″Abu Muslim Khurasani pada suatu hari berpidato. Seorang lelaki berdiri dan bertanya, ″Pakaian hitam yang engkau pakai apa artinya?″ Ia berkata, ″Abu Zubair meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Anshari bahwa Rasulullah Saw bersabda, ″Ketika Rasulullah saw. datang untuk memenagkan Mekkah, beliau mengenakan amamah berwarna hitam.″ Adapun pakaian ini, ini adalah pakaian resmi pemerintahan.″ Terjemahan Al Kamil, jld. 9, hlm. 114.
170
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Salah satu lagi kekhususan yang dimiliki oleh warna hitam adalah keidentikannya dengan kesedihan dan secara alami warna itu memang warna yang menyedihkan. Oleh karenanya warna hitam cocok untuk digunakan dalam acara-aacara ratapan. Kita juga sering melihat kebanyakan orang di dunia mengenakan pakaian hitam ketika mereka sedang berkabung. Ketkika kita mengenakan pakaian berwarna hitam juga menggelar kain berwarna hitam di dinding dan tiang-tiang rumah di hari-hari Muharram, pada hakikatnya kita sedang menunjukkan betapa kelamnya hari-hari penuh kesedihan yang kita jalani itu. Sayidah Fathimah Zahra pada hari kedelapan meninggalnya Rasulullah Saw pergi ke pusara ayahnya dan menangis, ″Wahai ayahku, engkau pergi dan artinya adalah mentari dunia ini telah terbenam. Kini kami tidak bisa merasakan indahnya dunia. Dunia indah karena keindahan dan cahayamu. Tapi dengan kepergianmu kini hari-hari menjadi kelam dan keseedihan selalu melanda kami…″1 Tanpa mentari hai-hari menjadi kelam dan seumur hidup hanya malam yang dapat dirasakan. Oleh karena itu, warna hitam dijadikan lambang kesedihan dan sudah menjadi tradisi para pengikut Ahlul Bait as untuk mengenakan pakain berwarna hitam ketika meratapi kepergian para Imamnya. Hitam juga menandakan cinta dan kesetiaan serta ikrar kepatuhan terhadap para pemimpin kebebasan.2 Mengenakan pakaian hitam di hari Asyura mencerminkan lahir yang gelap dengan jiwa yang cemerlang. Luarnya gelap, tapi dalamnya terang benderang. Betapa indah ucapan Syaikh Mahmud Shushtari dalam Golhsen e Raz, ″Warna hitam, jika kalian tahu pada dasarnya adalah cahaya. Di dalam kegelapan itu terdapat mata air hayat. Tidak jarang ada malam-malam yang terang di antara siang-siang yang penuh kegelapan.″
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 43, hlm. 174. 2- Siyahposhi Dar Sough e Aeme e Nur, hlm. 31.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
171
Dialog 40: Apakah memakai pakaian-pakaian hitam juga merupakan hal yang biasa bagi bangsa-bangsa yang lain? Apakah budaya memakai pakaian-pakaian hitam datang ke negeri Persia setelah tersebarnya Islam dengan pemerintahan Bani Abbas atau disebabkan oleh kalangan orang-orang Arab sendiri yang menyusupkan budaya ini dan sebelumnya tidak ada kebiasaan seperti ini di Iran? Pertama, memakai pakaian berwarna hitam adalah kebiasaan semua bangsa sepanjang sejarah. Kebiasaan ini dimiliki bangsa-bangsa Persia kuno, Yunani juga orang-orang Arab jahiliyah. Kedua, budaya memakai pakaian hitam tidak datang ke negeri Persia dikarenakan berkuasanya Bani Abbas; karena sejak dahulu bangsa kita juga pernah memiliki kebiasaan ini. Di sini kita akan membahasnya sedikit lebih melebar agar dua permasalahan ini menjadi jelas. Kebiasaan mengenakan pakaian berwarna hitam Dari sumber-sumber dan kesaksian sejarah yang kita dapatkan terbukti bahwa bangsa-bangsa di berbagai penjuru dunia terbiasa mengenakan pakaian-pakaian berwarna hitam dalam mengadakan acara-acara yang identik dengan kesedihan. Karena keterbatasan ruang dan waktu, kita di sini hanya akan sedikit menyinggung kebiasaan tersebut yang pernah ada pada bangsa Persia kuno, bangsa Yunani dan Arab Jahiliyah.
Bangsa Persia Kuno Bukti-bukti bersejarah yang kita temukan dalam literatur kuno Persia menunjukkan bahwa pengenaan pakaian hitam dilakukan pada saatsaat tertentu yang berhubungan dengan kesedihan dan ratapan. Dalam Shahname e Ferdowsi sering disebutkan bahwa ada kebiasaan memakai pakaian berwarna hitam bagi bangsa Persia kuno ketika mereka berada dalam saat-saat bersedih. Ketika Ferdowsi menceritakan kematian Rostam di tangan suadaranya, ia menyebutkan, ″Pada suatu tahun di Sistan terlihat banyak orang berkabung. Mereka semua mengenakan pakaian berwarna hitam.″
172
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Ketika menceritakan kematian Bahram Gour dan dijadikannya Yazgird sebagai putra mahkota dalam kerajaan Sasanid, ia juga menyebutkan, ″Empat puluh hari meratapi Bahram semua orang berpakaian hitam.″ Ketika Fraidun meninggal, anak-anaknya juga melakukan hal yang sama. ″Manucehr sesak hatinya selama seminggu. Air matanya selalu berlinangan dan wajahnya pucat sedangkan para pasukan mengenakan pakaian hitam.″ Hingga sampai saat ini, budaya memakai pakaian hitam terus berjalan di Iran.1
Bangsa Yunani Kuno Dalam sebuang dongen Yunani kuno disebutkan ketika Tites bersedih hati karena Patrocleus terbunuh di tangan Hector, ia mengenakan pakaiannya yang berwarna hitam dan paling gelap untuk mengungkapkan kesedihannya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sejak zaman Homer bangsa Yunani kuno telah terbiasa mengenakan pakaian gelap ketika sedang berkabung. Bangsa Ibraniyan (salah satu bangsa Yunani kuno) juga memiliki kebiasaan yang sama; ketika mereka tertimpa kesedihan, mereka mencukur rambut kepala dan melumurinya dengan abu kemudian mengenakan pakaian berwarna hitam.2 Bustani dalam Dairatul Ma ′arif-nya menyebutkan bahwa warna hitam merupakan warna terbaik dalam budaya Eropa pada abad-abad terakhir. Ia menulis, ″Masa berkabung mereka terkadang seminggu dan kadang sampai setahun. Para perawan mereka paling tidak berkabung selama setahun dan selama itu pula mereka mengenakan pakaian berwarna hitam tanpa ada sedikit corak atau hiasan apa pun.″
Bangsa Arab Sejarah, dongeng-dongeng serta syair-syair menunjukkan bahwa bangsa Arab (bangsa yang tinggal di Mesir, Syamat, sampai Iraq dan 1- Mu′jamul Buldan, hamuwi, jld. 3, hlm. 452 dan Tarikh e Gilan Va Deylamestan, hlm. 223. 2- Dairatul Ma ′arif, jld. 6, hlm. 710.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
173
Hijaz) terbiasa mengenakan pakaian-pakaian hitam ketika mereka sedang berdukacita. Zamakhsyari (seorang sastrawan dan ahli tafsir abad ke-6) menulis, ″Salah satu dari sastrawan berkata, ″Aku melihat seorang rahib mengenakan pakaian berwarna hitam. Aku bertanya kepadanya, ″Mengapa engkau mengenakan pakaian berwarna hitam?″ Ia balik bertanya, ″Ketika di antara orang Arab ada yang meninggal, mereka memakai pakaian berwarna apa?″ Aku menjawab, ″Hitam.″ Kemudian ia berkata lagi, ″Aku mengenakan pakaian ini karena sedang berkabung atas kematian dosa-dosa.″1 Dalam kitab-kitab sejarah juga disebutkan bahwa orang-orang Arab terbiasa mengenakan pakaian berwarna hitam ketika mereka sedang berdukacita.2 Di masa hayat Rasulullah Saw, setelah usai perang Badar-yang mana dalam perang itu tujuh puluh orang musyrik mati di tangan Musliminpara wanita Mekkah mengenakan pakaian hitam ketika meratapi para korban.3 Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa berbagai bangsa sejak dahulu kala telah terbiasa untuk menjadikan pakaian berwarna hitam sebagai lambang kesedihan. Dengan demikian, budaya ini bukan budaya khusus milik Iran di masa tersebarnya Islam, bahkan orang-orang Arab sebelum Islam, bangsa Persia dan Yunani kuni sudah memiliki kebiasaan seperti itu sebelumnya.4 Berpakaian hitam dalam kebiasaan Ahlul Bait as Banyak bukti yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. dan para Imam tidak menentang budaya dan kebiasan berpakaian hitam dalam suasana berkabung; bahkan mereka sendiri melakukannya. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balaghah disebutkan bahwa Imam Hasan as mengenakan pakaian
1- Rabi′ul Abrar wa Nushusul Akhbar, jld. 3, hlm. 747. 2- Akhbarud Daulatil Abbasiyah, hlm. 247. 3- As Sirah An Nabawiyah, jld. 3, hlm. 10. 4- Tamadon e Eslami dar Qarn e Charom e Hejri, jld. 2, hlm. 127.
174
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
hitam di hari wafat ayahnya, Imam Ali as dan berlalu lalang di tengah banyak orang kemudian berkhutbah di hadapan mereka.1 Dalam sebuah hadis terkenal disebutkan bahwa Imam Baqir as berkata, ″Ketika para wanita Bani Hasyim meratapi kepergian Abu Abdillah as, mereka mengenakan pakaian berwarna hitam. Mereka tidak lagi mempedulikan panas dan dingin. Mereka tidak melakukan apa-apa hingga ayahku Imam Ali Zainal Abidin as yang membuatkan makanan untuk mereka.″2 Pakaian hitam dan Bani Abbas Bani Abbas berkuasa dengan menyebut dirinya sebagai orang yang menuntut darah Ahlul Bait as yang tertumpah. Ketika pemerintahan mereka berdiri, mereka menyebut pemerintahan itu dengan sebutan Daulatu Ali Muhammad (Pemerintahan Keluarga Muhammad Saw.) dan penerus kekhilafahan Ali bin Abi Thalib as. Mereka menyebut Abu Salamah Kallal sebagai Waziru Ali Muhammad (Mentri Keluarga Nabi) dan Abu Muslim Khurasani sebagai Amiru Ali Muhammad (Amir Keluarga Nabi). Mereka memilih pakaian hitam karena siasat mereka untuk menunjukkan diri sebagai orang-orang yang meneruskan keluarga Imam Husain as dalam berkabung.3 Itu alasan mereka untuk mengenakan pakaian hitam; jadi bukan karena ingin membudayakan berpakaian hitam di Iran. Karena sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa mengenakan pakaian hitam dalam meratapi orang yang telah pergi adalah hal yang sudah membudaya, apalagi yang bersangkutan dengan Ahlul Bait as. Bani Abbas berlaga menjadi pembalas dendam terbunuhnya para syahid Karbala, Zaid dan Yahya dengan cara mengibarkan benderabendera hitam dan mengenakan pakaian-pakaian berwarna itu. Dengan cara ini juga mereka menarik hati para pecinta Ahlul Bait kea rah mereka serta selalu berusaha agar tercipta image yang salah di pikiran masyarakat. Mereka menjadikan sikap berpura-pura ini 1- Syarhu Nahjil Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 16, hlm. 22. 2- Bihâr Al-Anwâr, Ibnu Abil Hadid, jld. 45, hlm. 188; Wasâ ′il Al-Syî′ah, jld. 2, hlm. 890. 3- Syarh Nahj Al-Balâghoh, jld. 7, hlm. 172.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
175
sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Setelah mereka meraih kekuasaan, mereka meresmikan warna hitam sebagai warna pemerintahan mereka.1 Karena kondisi seperti ini pada suatu masa Imam Shadiq as juga beberapa Imam yang lain menentang penggunaan pakaian berwarna hitam. Karena pada waktu itu warna hitam telah identik dengan Bani Abbas; menggunakan warna hitam berarti mendukung Bani Abbas. Dengan demikian pelarangan mereka dikarenakan siasat dan propaganda Bani Abbas, bukan karena mereka memang melarang kita untuk mengenakan pakaian hitam dalam berdukacita.2 Cara Memperingati Asyura Dialog 41: Apa batasan-batasan dalam mengadakan acara peringatan Asyura? Dengan memperhatikan diadakannya peringatan Asyura berdasarkan hikmah dan tujuan yang baik, maka batasannya adalah syariat dan akal. Ketika kita melakukannya dengan cara yang menyebabkann kita melenceng dari tujuan dan nilai luhur yang semestinya, maka itu artinya kita telah melanggar batasannya dan tidak dibenarkan. Ketika kita melakukannya dengan cara yang dicela oleh kebanyakan orang dengan kaca mata mereka, maka perbuatan kita akan menjatuhkan nama baik mazhab dan kandungan Asyura itu sendiri dan jelas ini diharamkan. Perlu dijelaskan bahwa kita harus mengadakan acara peringatan dengan cara yang baik yang sekiranya hasilnya adalah tersampaikannya pesan-pesan Asyura kepada orang lain serta menguatkan keyakinan kita terhadap apa yang kita yakini sebelumnya. Tetapi, jika cara yang kita lakukan justru membuat nilanilai Asyura terabaikan dan bahkan dihina, maka kita perlu mengubahnya. Inii tak bedanya dengan seseorang yang mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya, pasti memalukan. Sebagai contoh, memperingati hari Asyura dengan melukai diri, sebagaimana yang juga ditegaskan oleh Ayatullah Khamenei,
1- Akhbâr Al-Dawlat Al-Abbâsiyyah, hlm. 230. 2- Siyohpûsyi dar Sugh-e Aimeh-e Nûr, hlm. 195.
176
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
perbuatan tersebut bukan hanya tidak berhasil menyampaikan pesan Asyura, bahkan membuatnya terhina dan dihinakan.1 Dialog 42: Bukankah Imam Husain as melambangkan keberanian dan kegagahan? Mengapa dalam acara-acara peringatan Asyura sering disinggung hal-hal yang menggambarkan kelemahan dan kemalangannya? Kemuliaan, yang maksudnya adalah kekuatan dan ketegaran, merupakan sifat mulia yang dibanggakan dalam Al-Quran juga sifat Rasulullah Saw dan orang-orang yang beriman.2 Imam Husain as dan para sahabatnya gigih menunjukkan kemuliaan mereka. Mereka enggan menerima kehinaan sekecil apa pun. Slogan mereka adalah hayhât minna al-dzillah (sungguh jauh kehinaan dari kami) yang menjadi syiar satu-satunya dalam kebangkitan Asyura. Akan tetapi sangat disayangkan dalam sebagian sumber tertulis katakata yang melunturkan corak kegagahan mereka dalam perjuangan di Karbala, dan tidak diragukan lagi itu adalah hal yang ditambahtambahi. Salah satu faktor yang sangat berperan dalam masalah ini adalah kelemahan sebagian dari saudara-saudara kita yang kurang mampu memberikan pengetahuan yang benar mengenai Asyura kepada pendengarnya. Sebagai ganti usaha ilmiah untuk mencapai tujuan itu, mereka lebih memilih untuk masuk melalui jalur emosi, yakni mereka lebih cenderung melakukan banyak hal yang sekiranya pendengar mereka terdorong untuk menangis. Mereka menukilkan berita-berita yang tidak jelas sanadnya dan menyampaikannya kepada banyak orang begitu saja, meskipun kandungannya justru melumuri wajah pahlawan kita. Sangat ditegaskan sekali bahwa kita tidak boleh menggambarkan para imam maksum kita dengan gambaran yang hina. Perbuatan sedemikian rupa sangat tidak dibenarkan dalam agama kita.
1- Silahkan rujuk: Piromûn-e Azodori-e Osyûro, kumpulan pidato Ayatullah Khamenei mengenai Asyura. 2- Silahkan rujuk: Al-Nisa: 139; Al-Munafiqun: 8; Nahj Al-Balâghoh, hikmah ke371; Muntakhob Mîzân Al-Hikmah, hlm. 346.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
177
Tapi pada dasarnya ungkapan bahwa Imam Husain as dizalimi itu tidak bertentangan dengan kemuliaan beliau dan para sahabatnya; justru menggambarkan betapa mulia mereka. Kemuliaan itu dapat kita saksikan bagaimana mereka menyikapi musibah yang menimpa diri mereka, bagaimana mereka bertahan dan bagaimana mereka bersabar. Dialog 43: Mengapa untuk memperingati hari Asyura kita tidak cukup mengadakan majelis ilmiah saja? Ya, kerap pertanyaan ini dilontarkan dengan berbagai aksentuasi. Misalnya, apakah cara menghidupkan Asyura hanya terbatas pada memukul dada, menghitamkan kota, orang-orang sampai tengah malam sibuk memukuli dada dan bahkan terkadang sampai melupakan kegiatan mereka? Apalagi jika kita berpikir kegiatan yang berlebihan seperti ini memberi dampak buruk dalam perekonomian kita. Apakah tidak mungkin dilakukan perubahan sehingga kita mengadakan acara yang tidak menimbulkan kerugian, baik secara ekonomi ataupun dari segi sosial? Misalnya kita mengadakan diskusi meja bundar, seminar atau acara ilmiah lainnya? Bukannya dengan diadakannya kegiatan-kegiatan seperti ini kita juga dapat menghidupkan Asyura? Membahas tentang Imam Husain as dalam kegiatan-kegiatan ilmiah seperti itu sangat penting sekali. Kita pun sebenarnya telah melakukan kegiatan ini dengan baik dan tidak sedikit yang merasakan manfaat darinya. Kegiatan-kegiatan seperti ini memang penting pada tempatnya. Tetapi, apakah cara itu saja cukup bagi kita untuk memanfaatkan Asyura secara sempurna? Bukannya acara-acara seperti pembacaan maqtal dan pemukulan dada juga memiliki faedah? Jawaban dari pertanyaan ini bergantung pada pandangan kita terhadap manusia. Jika kita memandang manusia dari sisi psikologi, maka kita dapat bertanya, apakah faktor yang dapat memberi pengaruh dalam perilaku manusia hanya terbatas pada faktor-faktor pengetahuan secara ilmiah yang disengaja, ataukah juga ada faktor lain di sana yang juga berpengaruh meskipun tidak bersifat ilmiah? Jika kita memperhatikan perilaku diri kita, kita akan mendapati bahwa kelakuan-kelakuan tersebut merupakan dampak dari berbagai faktor yang dapat kita kelompokkan menjadi dua bagian. Ada faktor-
178
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
faktor yang bersifat ilmiah dan berkaitan dengan pengetahuan yang dengan itu manusia dapat memahami sesuatu dan menerimanya. Tidak diragukan bahwa pengetahuan memiriki peran yang sangat besar dalam perilaku kita. Tapi mungkin ada faktor-faktor lain yang pengaruh dan perannya lebih besar dari pengetahuan. Faktor-faktor itu bisa kita sebut dengan perasaan, dorongan hati, kecenderungan dan lain sebagainya. Ini adalah kumpulan faktor-faktor yang berada dalam jiwa dan memiliki pengaruh terhadap perilaku kita. Ketika meneliti perilaku diri kita, betapa banyak sekali kita menemukan faktor-faktor yang sifatnya menggerakkan dan mendorong diri kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang kita sebut perilaku. Allamah Muthahari berkata, ″Pasti ada faktor tertentu dalam diri kita yang mendorong kita untuk melakukan suatu perbuatan. Kita harus memiliki kecenderungan untuk melakukan sesuatu agar kita dapat benar-benar melakukannya. Kita harus memiliki selera melakukan suatu pekerjaan agar kita benar-benar dapat mengerjakannya. Faktor tersebut, terkadang bukan pengetahuan saja, tapi kita butuh faktor kejiwaan yang lain di luar pengetahuan yang dapat mendorong kita melakukan suatu perbuatan. Faktor-faktor seperti ini disebut dengan faktor perasaan, kecenderungan, ketertarikan dan lain sebagainya. Sekumpulan faktor-faktor tersebutlah yang mendorong kita sehingga kita melakukan suatu perbuatan. Selama tidak ada faktor-faktor itu, kita tidak akan melakukan apa-apa. Contohnya, meski seseorang tahu bahwa suatu makanan sangat berfaedah untuk badannya, selama ia tidak berselera ia tidak akan memakannya. Jika ada orang yang terkena penyakit kehilangan nafsu makan, makanan apa pun yang akan disodorkan kepadanya dan ia diberitahu bahwa makanan-makanan tersebut sangat berguna bagi kesehatannya, ia tidak akan memakannya dengan penuh selera. Jadi, faktor pengetahuan saja tidak cukup untuk menggerakkan seseorang melakukan sesuatu, tapi diperlukan juga faktor-faktor kejiwaan yang lain. Misalnya, sekelompok orang meskipun mereka tahu bahwa suatu aktivitas sosial tertentu bermanfaat untuk kepentingan bersama, jika mereka tidak punya dorongan dalam jiwa, mereka tidak akan melakukannya.″ Kini setelah kita pahami bersama bahwa faktor-faktor yang mendorong manusia untuk melakukan suatu pekerjaan ada dua
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
179
macam: yang bersifat pengetahuan dan yang bersifat perasaan, dan setelah kita sadari bahwa perjuangan Imam Husain as betapa penting perannya bagi kemanusiaan, maka kita akan mendapati bahwa hanya pengetahuan saja tidak cukup untuk menjadi faktor yang menggerakkan manusia agar melakukan suatu pebuatan tertentu. Dengan demikian memahami Asyura saja tidak cukup untuk menggerakkan kita mengamalkan hal-hal yang diajarkannya, tapi kita membutuhkan faktor lain yang akan menguatkan dorongan tersebut. Pengetahuan saja tidak cukup untuk mendorong kita melakukan suatu perbuatan, tetapi kita butuh sentuhan-sentuhan pada perasaan kita sehingga kita merasakan dorongan kuat untuk menjalankan kewajiban sebaik Imam Husain as menjalankan kewajibannya. Diadakannya acara-acara ilmiah seperti diskusi atau seminar hanya akan menghasilkan pengetahuan untuk kita. Memang, kegiatankegiatan Ilmiah juga memberikan dampak pada perasaan kita hingga timbullah faktor emosional; tapi dampak tersebut tidak sebesar kegiatan-kegiatan lain yang memang memberikan dampaknya secara langsung pada perasaan. Ketika kita berusaha untuk menciptakan suasana yang mirip dengan suasana malam Asyura misalnya, apa yang kita rasakan berbeda dengan jika kita hanya mengadakan pembahasan Ilmiah seputar Asyura. Kenyataan ini benar-benar jelas dan kita sendiri sering merasakannya. Kita semua tahu peristiwa Asyura. Kita semua tahu bagaimana Imam Husain as meninggal dunia. Akan tetapi apakah pengetahuan tersebut detik ini juga membuat kita meneteskan air mata? Kemudian mengapa ketika kita duduk di majelis Asyura mendengar pembaca maqtal menceritakan tragedi karbala, apalagi jika suaranya indah dan membacakan kisah itu dengan baik, secara tidak sengaja air mata kita berlinang? Cara seperti ini memberikan pengaruh yang besar pada perasaan Anda dan kekhususan yang ada padanya tidak dimiliki oleh membaca buku atau menghadiri acara-acara ilmiah. Jelas sekali, melihat berbeda dengan mendengar. Selain kita harus memahaami dan mengkaji peristiwa Asyura, kita juga harus meresapinya dengan hati sehingga Asyura benar-benar hidup bagi kita. Semakin Asyura hidup
180
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
dengan cara seperti ini, semakin kita merasakan pengaruhnya dalam pola hidup kita sehari-hari. Jadi, membahas dan mengkaji Asyura secara ilmiah saja tidak cukup. Kita juga perlu menggambarkan suasana Asyura dalam kehidupan kita sehingga kita terasa dekat dengannya dan perasaan kita melebur padanya. Suasana yang kita saksikan jika kita keluar rumah kita melihat orang-orang berpakaian hitam dan bendera-bendera hitam dikibarkan, tidak diragukan hati kita akan tergetar karenanya. Ketika orang-orang hanya mengetahui bahwa besok adalah awal Muharram, mungkin mereka tidak akan merasakan apa-apa. Tetapi, jika semua orang tahu bahwa besok adalah awal Muharram, kemudian ketika mereka keluar rumah mereka melihat banyak bendera berwarna hitam, pasti perasaan mereka tersentuh dengan suasana itu. Kita pasti tersentuh ketika melihat sekelompok orang melakukan ma ′tam bersama-sama dengan berpakaian hitam; yang mana sentuhan perasaan seperti ini tidak dihasilkan dengan cara-cara yang lain. Di sinilah kita memahami ucapan Imam Khomeini, ″Segala yang kita miliki adalah berkat Muharram dan Shafar.″ Mengapa kita mengadakan peringatan Asyura seperti ini? Karena terbukti selama empat belas abad bahwa peringatan Asyura seperti ini sangat berhasil dalam menyentuh hati Muslimin dan membangkitkan emosi mereka lalu terwujudlah mukjizat besar (seperti Revolusi Islam Iran-pent.). Dalam sejarah kita terbukti bahwa kebanyakan dari kemenangankemenangan kita dihasilkan oleh semangat membara pejuang kita berkat nama Sayidus Syuhada as. Pengaruh Imam Husain as tidak kecil. Kita tidak bisa membayangkan adanya pengganti Asyura yang dapat menciptakan semangat seperti ini di hati banyak orang. Tidak ada selain cinta suci ini yang dapat membuat semua orang siap untuk mati Syahid. Jika kita katakan bahwa tidak ada yang melebihi Asyura, ini bukanlah ungkapan yang berlebihan, bahkan kenyataan.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
181
Waktu Mengadakan Peringatan Asyura Dialog 44: Mengapa kita juga mengadakan acara-acara peringatan Asyura pada hari-hari jauh sebelum Asyura? Acara-acara yang diadakan sebelum hari Asyura adalah pengantar acara peringatan hari Asyura. Mengadakan acara-acara ratapan mengingat Asyura merupakan sunah yang ditekankan, adapun waktu pelaksanaan serta caranya, sedikit banyak terpengaruh oleh adat dan tradisi kaum yang menjalankannya. Misalnya di beberapa tempat, acara peringatan Asyura diadakan sejak hari pertama Muharram sampai hari kesepuluh. Sebagian yang lain mengadakan acara tersebut sejak hari pertama Muharram hingga Asyura. Di sebagian tempat yang lain, acara peringatan Asyura tidak dilakukan hanya pada sepuluh hari awal Muharram saja, bahkan sejak hari pertama Muharram sampai sampai akhir Shafar dan pada hari-hari tertentu sepanjang tahun. Tidak ada masalah kita mengadakan majlis-majlis aza ′ seperti ini. Sebagaimana yang pernah kita jelaskan sebelumnya, acara-acara tersebut dapat dilakukan sesuai dengan budaya dan adat masingmasing, dan acara intinya galib diadakan pada malam Asyura. Pahala Mengadakan Peringatan Asyura Dialog 45: Banyak riwayat yang menerangkan bahwa pahala mengadakan majelis-majelis aza′ besar sekali dan tidak terbatas. Sejauh mana kebenaran riwayat-riwayat tersebut? Meratapi peristiwa Asyura merupakan salah satu cara terbaik untuk bertakarub kepada Allah Swt dan memiliki pahala yang sangat banyak. Banyak sekali riwayat yang menekankan masalah ini, dan tidak sedikit pula riwayat-riwayat sahih yang kandungannya seperti itu. Mengenai masalah ini, kita perlu menjelaskan beberapa poin: 1. Riwayaat-riwayat yang menerangkan pahala meratapi Asyura bermacam-macam, ada yang saqim (cacat) dan ada yang sahih. 2. Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa jika kita melakukan suatu perbuatan, maka dampaknya adalah demikian atau demikian, maksudnya amal perbuatan itu bukanlah sebab memadai (illah
182
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
tammah) terwujudnya dampak yang dimaksud. Sebab memadai adalah sekumpulan faktor-faktor yang memberikan dampak kepada akibatnya tanpa halangan apa pun. Ketika ada sebab memadai, maka terwujudnya akibat adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, sebab yang tidak memadai (illah naqishoh) tidak bisa meniscayakan terwujudnya akibat, seperti jika ada suatu penyebab akan tetapi ada yang menghalangi sebab tersebut sehingga tidak menimbulkan akibat apa-apa. Kenyataan ini sangat jelas jika kita memperhatikan kejadiankejadian di sekitar kita. Misalnya, kita tahu bahwa api membakar. Kita perlu ketahui bahwa api dapat membakar ketika ada syaratsyarat yang lain, seperti adanya oksigen dan lain sebagainya. Ketika tidak ada syarat-syarat atau sebab-sebab yang lain, api tidak akan membakar, (dan dengan demikian, api bukanlah sebab sempurna bagi terbakarnya suatu benda-penj.). Jadi, jika ada orang yang melemparkan kayu basah ke dalam api, dia akan melihat kayu tersebut tidak terbakar. Kita tidak perlu meragukan hukum ″Api itu membakar.″ Yang perlu kita lakukan adalah meneliti syarat-syarat apa sajakah yang membuat api dapat membakar. Dengan demikian, kita menyadari bahwa api memang membakar tapi ada syaratsyaratnya. Jika semua syarat tersebut terkumpul dan memadai, maka ia menjadi sebab memadai dan sempurna yang pasti dan niscaya membakar benda di dekatnya. Meratapi peristiwa Asyura juga merupakan salah satu dari sebabsebab-yang keseluruhannya disebut sebab sempurna-dari diberikannya pahala. Lalu apakah syarat-syarat lain agar ratapan Asyura menghasilkan pahala dan ganjaran? Seberapa besar peran dari tiap-tiap syarat tersebut? Apakah pengaruh amal beserta syarat-syarat tersebut tidak berbeda-beda dalam berbagai keadaan? Apakah sebab dan faktor tersebut merupakan faktor yang utama ataukah dalam keadaan lain ada faktor lain yang bisa menggantikannya? Bagaimana faktor-faktor tersebut memberikan dampaknya? Ini dan pertanyaanpertanyaan serupa yang lainnya adalah permasalahan yang belum bisa dipecahkan akal manusia secara sempurna dan salah satu khidmat para nabi untuk manusia adalah diberitahukannya kepada kita bahwa terdapat faktor lain yang tidak bisa dipahami akal begitu saja. Berdasarkan kajian-kajian filosofis terhadap teks-teks agama kita, disimpulkan bahwa lingkaran sebab-sebab tidak terbatas pada sebab-
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
183
sebab materi; lebih luas dari itu, banyak sebab-sebab non materi yang berkaitan dengan sebab-sebab tersebut. 3. Kita sebenarnya tidak perlu takjub mendengar begitu banyaknya pahala yang dijanjikan kepada orang-orang yang mengingat Asyura, menangisi dan meratapinya. Karena, semua itu memang pada tempatnya; dengan melihat pengorbanan para syuhada, keberanian, tawakal, keikhlasan, kejantanan, dan… Masalah ini akan lebih jelas jika kita menyimak sebuah cerita di bawah ini: Pada suatu hari, Allamah Sayid Bahrul Ulum pergi menuju Samara. Di pertengahan jalan, ia larut dalam renungan; memikirkan masalah terhapusnya dosa-dosa ketika kita menangisi Imam Husain as. Kemudian ada seorang Arab Baduwi menaiki tunggangannya, lalu lewat di depannya dan mengucapkan salam. Ia bertanya, ″Wahai Sayid, aku melihat Anda sedang merenung begini. Jika ada masalah, Anda bisa ceritakan dan mungkin saya bisa membantu.″ Sayid Bahrul Ulum berkata, ″Aku berpikir tentang bagaiman Allah Swt memberikan pahala yang begitu banyak kepada para peziarah dan orang-orang yang menangis untuk Imam Husain as. Misalnya, ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa pahala setiap langkah peziarah Imam Husain as adalah pahala haji dan umrah, dan ketika ia meneteskan air mata sedikit apa pun maka dosa-dosanya akan diampuni.″ Orang Arab badauwi itu berkata, ″Tidak perlu terheran-heran, aku akan memberikan suatu gambaran untuk Anda supaya masalahnya menjadi jelas. Ada seorang sultan yang tertinggal di tempat ia berburu dan tertinggal dari budak-budaknya. Di gurun tersebut, ia memasuki sebuah tenda yang mana terdapat seorang nenek tua dan anaknya di dalamnya. Mereka hanya punya seekor kambing dan mereka hidup dari susu kambing itu; mereka tidak memiliki harta selain kambing itu. Meskipun demikian, wanita tua itu menyembelih kambingnya dan dihidangkan kepada sultan. Pada dasarnya, ia tidak tahu kalau lelaki tersebut adalah seorang sultan; ia menyembelih kambingnya hanya sebagai rasa hormat terhadap tamu. Malam itu, sultan tinggal di kemah tersebut dan keesokan harinya saat mereka berada di tengahtengah banyak orang ia menceritakan kejadian semalam. Ia bercerita, ″Kemarin aku tertinggal di gurun itu dan terpisah dari budakbudakku. Aku saat itu lapar dan kehausan. Lalu aku melihat sebuah
184
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
tenda dan aku mendatanginya. Di situ, ada wanita tua dan anaknya yang hanya memiliki seekor kambing. Mereka tidak tahu bahwa aku adalah seorang sultan. Mereka menghormatiku sebagai tamu dan menyembelih satu-satunya kambing yang mereka punya untuk menjamuku. Kini aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membalas budi kepada wanita tua itu.″ Salah satu dari menterinya berkata, ″Berikanlah seratus ekor kambing kepadanya.″ Yang lain menyahut, ″Berikan seratus kambing juga uang.″ Yang lain berkata, ″Berikanlah ladang untuk mereka.″ Sultan berkata, ″Apa pun yang aku akan berikan masih tidak ada apaapanya. Mungkin imbalannya adalah aku harus memberikan kekuasaan ini kepadanya, karena ia telah memberikan satu-satunya kepadaku.″ Ya, Imam Husain as telah mengorbankan segala yang ia punya di jalan Allah. Oleh karena itu, jika Allah memberi pahala yang begitu besar kepada orang-orang yang berziarah kepadanya dan menangisinya, kita tidak perlu terheran-heran.″ Setelah memberi penjelasan ini, orang Arab Baduwi itu pergi meninggalkan Sayid Bahrul Ulum.1 Pentingnya Ziarah Asyura Dialog 46: Mengapa ziarah Asyura menjadi salah satu doa ziarah yang sangat penting? Apa faedah dan manfaat doa ziarah ini? Banyak sekali riwayat yang menjelaskan pentingnya ziarah-ziarah Imam Husain as.2 Mengenai ziarah Asyura, amat banyak hadis yang diriwayatkan dari Imam Baqir as dan Imam Shadiq as.3 Imam Baqir as mengajarkan ziarah ini kepada salah satu sahabatnya yang bernama Alqamah bin Muhammad Hadhri. Doa ziarah ini memiliki banyak keistimewaan; kandungan yang menakjubkan seperti: menjelaskan garis pemikiran Ahlul Bait as dan pengikutnya yang sebenarnya. Banyak sekali doa-doa ziarah lain 1- Al-Abqori Al-Hasan, jld. 1, hlm. 199, menukil dari Ashk-e Husaini, Sarmoyeh-e Syi'eh, hlm. 46. 2- Kâmil Al-Ziyârôt, hlm. 180. 3- Bihâr Al-Anwâr, jld. 101 hlm. 290; Iqbal Al-A′mâl, hlm. 38.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
185
yang diriwayatkan dari para imam maksum kita. Doa-doa ziarah tersebut diajarkan kepada para sahabatnya dan mengandung muatanmuatan yang sangat berharga dan kaya pengetahuan. Ziarah Asyura adalah doa ziarah yang diajarkan oleh Imam Baqir as. Doa ini memiliki pengaruh yang luar biasa dalam diri seseorang secara baik secara pribadi maupun sosial. Ziarah ini menjelaskan pemikiran dan keyakinan Syiah yang sebenarnya, dan memperjelas jalan-jalan manakah yang pada dasarnya menyeleweng dari jalan yang lurus. Beberapa ringkasan bernilai yang dapat dipetik dari ziarah ini adalah sebagai berikut: Menguatkan Cinta dan Mewujudkan Keterikatan dengan Imam Maksum Kecintaan inilah yang mendorong seorang pengikut setia maksum untuk berusaha meluruskan garis pemikirannya dan menyesuaikannya dengan perangai manusia-manusia maksum. Sebagaimana dalam doa tersebut terdapat ungkapan, ″Ya Allah, hidupkanlah kami seperti hidupnya Muhammad dan keluarganya. Matikanlah kami seperti matinya Muhammad dan keluarganya.″ Karena kecintaann ini di jalan Allah, maka kecintaan ini merupakan langkah mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ziarah itu pula terdapat suatu ungkapan, ″Ya Allah, kami mendekatkan diri kepadaMu dengan bertawalli kepada Nabi-Mu dan keluarga Nabi-Mu.″ Mewujudkan Jiwa Penentangan terhadap Kezaliman Banyaknya laknat yang terulang-ulang atas orang-orang zalim dalam ziarah ini menimbulkan rasa ingkar terhadap mereka. Dengan mengungkapkan pengingkaran terhadap musuh-musuh Allah dan kecintaan kepada wali-wali Allah iman menjadi kokoh. Karena sesungguhnya iman adalah cinta dan benci di jalan Allah. Orang yang beriman tidak pernah tinggal diam di hadapan kezaliman. Orang mukmin adalah orang yang memusuhi kezaliman. ″Waha Abu Abdillah, kami bersahabat dengan sahabat-sahabatmu dan kami memusuhi musuh-musuhmu.″
186
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Menjauhi Penyelewengan Dalam ziarah ini akar-akar kezaliman digambarkan dengan jelas. ″Semoga Allah melaknat orang-orang yang berupaya dan berusaha menzalimi kalian, wahai Ahlul Bait. Semoga Allah melaknaat orangorang yang menghalangi kalian dari hak-hak kalian dan menyingkirkan kalian dari kedudukan yang telah ditetapkan oleh Allah.″ Penyelewengan musuh-musuh Ahlul Bait dalam peristiwa Asyura adalah akar dosa dan keburukan-keburukan yang lainnya. Karena dengan kekhilafahan yang zalim agama Allah terlupakan dan maksiat-maksiat dijalankan. Menjadikan maksumin sebagai tauladan Dalam ziarah itu disebutkan, ″Aku memohon kepada Allah yang telah memuliakan kami dengan mengenal kalian dan memberi kami taufik untuk berlepas tangan dari musuh-musuh kalian agar menjadikan kami selalu bersama kalian, baik di dunia maupun di akherat, dan mengokohkan langkah kami bersama kalian di dunia dan di akherat.″ Setelah mengakui kebenaran Ahlul Bait, kita melangkahkan kaki bersama mereka. Kita bersama petunjuk mereka berjalan menuju kebahagiaan hakiki yang dirahmati di sisi Allah. Yakni menjadikan mereka sebagai suri tauladan kita dalam setiap perbuatan. Mewujudkan kecintaan kepada kesyahidan Ziarah ini juga mewujudkan rasa cinta terhadap kesyahidan dalam diri kita sehingga kita tidak takut untuk mati di jalan Allah. Menghidupkan ajaran dan mewujudkan tujuan-tujuan Ahlul Bait as Ziarah Asyura mendorong diri kita untuk terus menghidupkan budaya dan sunah para wali Allah dan mewujudkan tujuan-tujuan mereka.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
187
Dialog 47: Mengapa harus melaknat musuh Imam Husain as? Apakah tujuannya? Bukankah ini menunjukkan kekejaman dan kekerasan? Di zaman ini, kita harus bersikap ramah terhadap semua orang; tidak pantas lagi mengungkapkan kebencian yang keterlaluan seperti ini. Di zaman ini, kita harus mendahulukan kerukunan daripada permusuhan. Apa yang pantas seribu empat ratus tahun yang lalu kini sudah tidak pantas untuk kita. Sikap seperti ini sudah tidak disukai masyarakat zaman sekarang. Lalu mengapa kita masih saja melakukan kebiasaan ini? Jiwa manusia, tidak hanya terwujud dari pengetahuan, tetapi juga mengandung hal-hal yang bersifat emosional. Emosi juga tidak selamanya positif; manusia pasti juga punya perasaan-perasaan negatif. Sebagaimana kita memiliki rasa bahagia, kita juga mempunyai rasa sedih. Beginilah Tuhan menciptakan kita. Manusia tidak dapat hidup tanpa kegembiraan dan kesedihan. Tuhan telah menciptakan potensi tertawa kepada kita dan Dia juga menciptakan potensi menangis. Kita harus tertawa pada tempatnya, dan kita juga harus menangis pada tempatnya pula. Meliburkan salah satu bagian dari kehidupan kita artinya kita mengabaikan apa yang telah Allah ciptakan untuk kita. Allah menciptakan potensi menangis pada diri kita karena pada saatsaat tertentu kita memang harus menangis. Yang pasti kita harus mencaritahu pada saat-saat apa sajakah kita boleh menangis lalu kita menangis pada tempatnya; karena jika tidak artinya kita melupakan potensi diri kita untuk menangis. Untuk apa Tuhan menciptakan kekuatan untuk menangis pada diri kita? Pasti ada hikmahnya. Artinya, kita juga butuh menangis dalam hidup ini, dan menangis ada tempatnya. Misalnya, sangat terpuji sekali jika kita takut di hadapan Allah akan siksa-siksa-Nya atau menangis karena cinta kepada-Nya; tangisan-tangisan seperti ini memiliki peran penting dalam perjalanan manusia kepada kesempurnaan. Sudah tabiat manusia melunakkan hati pada keadaan-keadaan tertentu dan menangis. Allah menciptakan rasa cinta pada diri kita agar kita mencintai orangorang yang berbuat baik kepada kita atau orang-orang yang memiliki kesempurnaan di mata kita.
188
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Di sisi lain, kita juga memiliki rasa benci yang merupakan lawan dari cinta. Sebagaimana kita mencintai orang yang berbuat baik kepada kita, jika kita menemui orang yang berbuat buruk pada kita kita secara alaminya akan mmbenci orang tersebut. Sebenarnya, kerugian dan keburukan duniawi bagi seorang yang beriman tidak ada artinya, karena pada dasarnya dunia tidak terlalu berharga baginya. Dalam masalah-masalah duniawi seperti itu seorang mukmin masih bisa memendam rasa bencinya. Tetapi bagaimana dengan keburukan yang berkaitan dengan agama dan akherat? Apakah orang yang beriman boleh diam saja ketika ada seorang musuh yang melakukan keburukan di mata agama? Dalam Al-Quran disebutkan, ″Sesunggunya setan adalah musuh kalian, maka musuhilah setan.″1 Setan adalah musuh kita dan kita harus membencinya. Setan adalah sumber keburukan dan kita tidak boleh tersenyum padanya. Jika kita harus mencintai wali-wali Allah, kita juga harus memusuhi musuh-musuh mereka. Sikap seperti ini adalah sikap yang fitri dan merupakan jenjang kesempurnaan manusia. Jika tidak ada kebencian terhadap musuh-musuh kebaikan, lama kelamaan kita akan dekat dengan keburukan dan lambat laun berteman dengannya. Akhirnya kita terjerumus kepada keburukan dan kita termasuk setan-setan yang disebut dalam ayat di atas. Dengan penjelasan lain, sikap memusuhi terhadap musuh-musuh kita dengan sendirinya akan menciptakan sejenis tameng yang menghalangi masuknya kejahatan-kejahatan mereka ke dalam diri kita. Sebagaimana badan memiliki daya serap dalam pencernaan sehingga nutrisi yang terdapat pada makanan dapat dimanfaatkan oleh tubuh, juga mempunyai daya tolak yang menghalangi bakteri atau penyakit agar tidak memasuki jaringan organ-organ tubuh. Inilah yang disebut dengan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh kita yang membunuh kuman-kuman dan penyakit. Jika daya tahan kita lemah, maka bakteri dan penyakit akan mudah berkembang dan menyebar lalu merugikan kita; dan jika keadaan seperti ini tidak ditangani, seseorang yang terkait akan terancam kematian.
1- Fathir: 6.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
189
Jika kita membiarkan bakteri dan penyakit masuk ke tubuh kita begitu saja, jika kita malah menyambut kedatangan bakter-bakteri tersebut, apakah badan kita akan sehat? Bakteri dan penyakit harus dimusnahkan; ini sunah Ilahi. Berdasarkan hikmah dan kebijaksanaan, Allah menciptakan dua sistem seperti ini dalam makhluk hidup ciptaannya. Selain badan harus menyerap nutrisi-nutrisi yang terkandung dalam makanan, bajuga harus menolak bakter-bakteri dan menjauhkannya dari tubuh. Daya tahan atau daya tolak tersebut pasti ada dalam setiap makhluk hidup. Itu yang berkenaan dengan materi. Adapun berkenaan dengan jiwa, kita berani pastikan bahwa ada daya tolak pula dalam jiwa manusia. Kita harus memiliki ketertarikan dan kebencian. Dengan adanya rasa tertarik, kita akan mencintai orang-orang yang berbuat baik dengan kami; dan sebaliknya kita memiliki kebencian yang membuat kita menjauh dari orang-orang yang berbuat buruk terhadap kita. Mengapa manusia memiliki rasa cinta terhadap orang-orang yang berbuat baik padanya? Karena manusia haus mendekati orang-orang seperti itu untuk mendapatkan kebaikan yang lebih banyak lagi. Kita harus mencintai orang-orang yang memiliki perangai baik dan kesempurnaan akhlak agar kita termasuk bersama mereka. Kita juga harus memusuhi orang-orang yang berbuat jahat agar kita jauh dari mereka. Allah Swt telah berfirman, ″Sesungguhnya Ibrahim dan para pengikutnya telah dijadikan sebagai suri tauladan kalian ketika mereka kepada kaum musyrik, ″Kami berlepas tangan atas kalian dan berhala-berhala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian. Cukup jelas permusuhan antara kita dan kami membenci kalian hingga kalian mau beriman kepada Allah yang maha Esa.″1 Al-Quran memerintahkan kita untuk menjadikan Nabi Ibrahim as sebagai tauladan kita. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Ibrahim termasuk nabi yang memiliki derajat sangat mulia di mata Islam sampai-sampai Rasulullah Saw sendiri berkata bahwa beliau juga termasuk pengikut nabi Ibrahim as.
1- Al-Mumtahanah: 4.
190
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Islam adalah nama yang diberikan Nabi Ibrahim as kepada ajarannya; ″Dan dia menyebut kalian orang-orang yang berserah (muslimin).″1 Allah memerintahkan kita untuk mencontoh Nabi Ibrahim as. Apa yang telah dilakukan Nabi Ibrahim as untuk kita contoh? Nabi Ibrahim as dan para sahabatnya berkata kepada musyrikin penyembah berhala yang telah mengusir beliau dan pengikutnya, ″Kami berlepas tangan dari kalian.″ Tidak hanya itu saja, setelah itu mereka berkata, ″Cukup jelas permusuhan di antara kita hingga Hari Kiamat, kecuali jika kalian mengimani Allah.″ Hanya sekedar mencintai para wali Allah tidaklah cukup. Mencintai mereka tanpa memusuhi musuh-musuh mereka tidak ada artinya. Seperti halnya badan, jika badan hanya bisa menyerap zat-zat makanan tanpa menolak zat-zat merugikan, apa gunanya zat makianan diserap toh nanti badan tidak akan merasakan manfaatnya karena kesehatan badan terganggu? Terkadang kita tak lepas dari kesalahan; yang seharusnya kita menyerap sesuatu tapi justru kita menolaknya. Kita tidak boleh memusuhi orang-orang yang misalnya secara tidak sengaja mengatakan sesuatu yang salah tanpa atas pengetahuan dan tanpa disadarinya, lalu setelah itu ia menyesali dan meralatnya atau jika, misalnya, kita berbicara baik-baik, mereka akan menerima kesalahannya. Ketika ada orang yang melakukan suatu kesalahan, kita tidak boleh mengusirnya begitu saja, tetapi paling tidak kita harus melakukan upaya untuk meluruskannya. Ia bagaikan seorang pasien yang harus dirawat agar sembuh. Dalam keadaan seperti ini, kita tidak boleh mengumbar permusuhan, kecuali jika orang tersebut memang seorang bajingan yang berusaha melakukan kerusakan dan mempengaruhi banyak orang. Ini adalah penghkianatan dan kita wajib memusuhinya. Kita tidak bisa mengaku sebagai pengikut setia Imam Husain as kecuali kita melaknat musuh-musuh beliau terlebih dahulu lalu mengucapkan salam untuknya. Dalam Al-Quran pun disebutkan ″Tegas dan keras terhadap orang-orang kafir.″ terlebih dahulu lalu setelah itu ″Dan penyayang di antara oang-orang yang beriman.″2 1- Al-Hajj: 78. 2- Al-Fath: 29.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
191
Maka dengan demikian, selain ada salam juga harus ada laknat. Selain ada tawalli dan wilayah juga harus ada tabarri dan menunjukkan lepas-diri dari musuh-musuh Islam. Tangisan dan Ratapan Dialog 48: Seperti apakah arti tangisan dalam budaya kesyiahan sehingga begitu ditekankan? Pertama-tama, kita ingin jelaskan bahwa di alam kehidupan ini banyak sekali rahasia-rahasia yang tidak kita ketahui. Kebanyakan orang hanya melihat fenomena yang nampak di mata mereka tanpa memahami apa yang tersimpan di balik itu semua; yaitu rahasiarahasia berupa perkara yang lebih besar dan penting. Tangisan juga seperti itu. Sebagian orang menganggap tangisan sebagai tanda kepedihan dan perasaan yang hancur. Sebagian orang ada yang bertentangan dengan tangisan dan berpendapat bahwa tangisan hanya mengasilkan kemurungan saja; zaman ini zamannya orang bekerja keras dengan semangat, bukan zamannya orang haus air mata. Di sini, kita akan memberikan penjelasan singkat mengenai tangisan. Semoga dengan penjelasan ini arti tangisan dalam pandangan Syiah dapat teruraikan dengan jelas. Jenis-Jenis Tangisan Tangisan bermacam-macam. Di sini kita akan menyebutkan di antaranya yang terpenting:
1. Menangis karena Rasa Tkut Tangisan seperti ini kebanyakan adalah tangisan anak-anak kecil. Dengan cara menangis anak kecil dapat menunjukkan bahwa dirinya ketakutan.
2. Tangisan Meminta Kasih Sayang Tangisan ini sendiri juga terbagi menjadi dua macam; ada yang alamiah dan ada yang dibuat-buat. Tangisan alami seperti tangisan anak kecil yang meminta kasih sayang orang tuanya. Tangisan meminta kasih sayang yang dibuat-buat seperti tangisan seseorang
192
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
yang ingin temannya tahu bahwa ia sedang bersedih dan ingin dikasihi.
3. Menangis karena Bersedih Tangisan ini pada dasarnya menggambarkan hati yang diselimuti kegelapan dan kesedihan. Kegunaan tangisan seperti ini, salah satunya, adalah membuat hati yang tertekan menjadi lega, oleh karena itu kita sering melihat setelah seseorang menangis ia lebih merasakan ketenangan.
4. Tangisan Kebahagiaan Biasanya orang yang menangis seperti ini adalah orang yang mulanya merasa putus asa akan sesuatu lalu tiba-tiba ia mendapatkan jalan dan keluasan.
5. Tangisan karena Ketakwaan dan Kedewasaan Jiwa Tangisan seperti ini adalah tangisan hamba-hamba Allah. Tangisan ini disebabkan rasa rindu, penyesalan, cinta, rasa lemah dan harapan kepada Tuhan. Tangisan seperti inilah yang dapat membasuh hati dari dosa-dosa dan mendekatkan diri kepada Sang Mahakuasa. Tangisan ketakwaan adalah tangisan yang menarik perhatian para malaikat dan membawakan keridhaan Ilahi, rahmat serta curahan kasih sayang-Nya. Selama awan tidak menangis, kapan rerumputan akan tumbuh? Selama sang bayi tidak merengek, kepan air susu sang ibu tercurah? Seorang bayi tahu bagaimana cara mendapatkan air susu ibunya. Apakah kalian tahu cara mendapatkan rahmat-Nya? Menangislah yang banyak hingga Ia mencurahkan ramat dan kasih sayang-Nya.1 5.1. Menyesali Dosa Terkadang para hamba setia menangis karena menyesali dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Tangisan ini membuat seseorang benarbenar menyesali kesalahannya dan tekatnya untuk tidak mengulangi kesalahan itu semakin kuat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
1- Matsnawi, jld. 3, bagian ke-5.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
193
Ali as, ″Betapa beruntung orang-orang yang kembali kepada ketaatan Allah dan menangisi dosa-dosanya.″1 Sentuhlah dinding Ka'bah dan tumpahkan segala keluh di dada. Mengadulah karena dengan pengaduanmu akan turun hujan rahmat. Seorang ibu akan menyusui anaknya ketika ia menangis. Maka menangislah di hadirat-Nya agar Dia curahkan rahmat dan kasih sayang.2 5.2. Tangisan Kekhawatiran akan Ketergeliciran Hamba-hamba pilihan Allah Swt yang selalu menyadari perjalanannya menuju keridhaan-Nya selalu khawatir akan ketergelinciran. Dengan usaha dan jerih payahnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, apakah kelak akan ada kelalaian sehingga ia tergelincir dari jalan yang benar? Hamba-hamba ini selalu mengkhawatirkan dirinya dan kekhawatiran inilah yang membuat mereka menangis. Tangisan-tangisan seperti ini terungkap dalam sebagian munajat Imam Ali Zainal Abidin as, ″Bagaimana akut tidak menangis sedangkan aku sendiri tidak tahu bagaimana nasibku nanti dan bagaimana perjalananku? Bagaimana aku tidak menangis sedangkan nafsu selalu menghantui dan mengintaiku? Bagaimana aku tidak menangis sedangkan kematian telah siap merenggutku? Aku menangis untuk hari dibangkitkannya aku. Aku menangis untuk gelapnya kuburku. Aku menangis...″3 5.3. Tangisan Cinta dan Kerinduan Para pecinta Ilahi yang sebenarnya selalu menangis merindukan kekasihnya. Hanya Allah kekasih mereka dan mereka merindukan pertemuan dengan-Nya. Malam-malam perpisahan sangat menyesakkan nafas pecinta. Wajar jika mereka menangis darah karena panjangnya malam perpisahan. Rasa sesak yang mereka rasakan membuat semuanya menjadi hampa.4 1- Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-176, hlm. 185. 2- Matsnawi, jld. 1, bagian ke-2. 3- Mafâtîh Al-Jinân, doa Abu Hamzah Tsumali. 4- Hafiz.
194
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
5.4. Rasa Takut akan Keagungan Ilahi Rasa takut ini berdasarkan kearifan dan pemahaman. Ketika para wali Allah Swt memandang keagungan Tuhannya, mereka menangis dengan hati yang bergetar. Imam Shadiq as berkata, ″Setiap mata akan meneteskan air matanya pada hari kiamat kecuali mata-mata yang menjauh dari apa yang diharamkan, mata yang tak terpejam sepanjam malam karena ibadah-Nya, dan mata yang menangis karena keagungan-Nya.″1 5.5. Kehilangan Sahabat Sejati Dalam ayat-ayat dan riwayat disebutkan bahwa orang-orang yang dicintai Allah adalah sahabat yang hakiki; mencintai mereka seperti mencintai Allah.2 Ketika hamba-hamba pilihan Allah kehilangan sahabat-sahabat seperti ini mereka pasti menangis sedih. Mencintai dengan cinta sperti ini tidak seperti cinta yang lainnya. Mencintai kecintaan Allah adalah mencintai Sang Maha Esa. Tangisan para Imam ketika mengingat meninggalnya Imam-Imam yang lain, tangisan Rasulullah akan kepergian Hamzah, istri beliau … semua itu adalah tangisan yang seperti ini. 5.6. Ketiadaan Perangai Mulia sebagaimana para Wali Allah Ketika hamba Allah menyadari bahwa dirinya tidak memiliki perangai yang mirip dengan perangai wali-wali Allah, ia akan menangisi dirinya sendiri. Tangisan seperti ini yang akan membangun jiwanya dan membuatnya semakin bersungguh-sungguh untuk mendapatkan perangai-perangai mulia tersebut. Dalam salah satu doa Imam Ali Zainal Abidin as kita membaca, ″Ya Allah, berilah daku taufik untuk menangisi diri ini yang telah menghabiskan umurnya sehingga tidak mendapatkan apa yang semestinya didapat.″3
1- Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, bagian Doa, bab Menangis. 2- Silahkan merujuk, Dust-syhenosyi va dusyman-syenosyi dar Qur ′on, pasal ke-3. 3- Doa Abu Hamzah Tsumali.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
195
Tangisan yang Bernilai dalam Pandangan Al-Quran Meskipun tidak dijelaskan nilai-nilai dari beberapa tangisan di atas, akan tetapi yang keutamaan tangisan yang disinggung dalam AlQuran adalah tangisan ketakwaan dan kedewasaan jiwa. Tangisan yang berasal dari kerendahan hati dan ketakwaan mengalirkan ketenangan, nikmat, kebahagiaan dan kemuliaan.1 Dan tangisan yang berasal dari kekhawatiran akan ketergeliciran akan mengalirkan kejayaan dan kenikmatan syuhudi.2 Tangisan seperti ini secara dahirnya hanyalah sekedar tangisan, tetapi di bailk itu ada kedekatan dengan Sang Penguasa.3 Dalam pandangan Al-Quran dan riwayat, tangisan seperti ini memiliki kekhususan-kekhususan berikut:
1. Bersumber dari Makrifat dan Kearifan Tangisan ketakwaan adalah tangisan yang bersumber dari kearifan dan pemahaman; bukan tangisan karena ikut-ikutan atau sebab lainnya. Dalam Al-Quran disebutkan, ″Wahai Rasulullah, katakan kepada mereka bahwa tidak ada beda bagi kami entah mereka mengimani Al-Quran ini atau tidak. Sesungguhnya telah kami berikan makrifat kepada orang-orang sebelum mereka dan ketika mereka mendengar ayat-ayat kami mereka menundukkan kepala dan berkata, ″Maha Suci Tuhan kami. Sungguh janji Tuhan pasti terlaksana.″ Dengan menangis mereka bersujud di atas tanah dan senantiasa merasa takut akan azab Ilahi.″4 Dapat dipahami dari ayat di atas bahwa ketika seseorang memiliki makrifat dan kearifan yang tinggi, maka dengan mendengar bacaan ayat-ayat Al-Quran ia akan menangis lalu bersujud di hadapan Yang Maha Esa dengan penuh pengharapan rahmat yang tak terputus. Adapun orang yang tak bermakrifat, ia tidak akan merasakan getaran di hati dan tak pernah basah pipinya karena tangisan.
1- Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, bagian Doa, bab Menangis. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 73, hlm. 157. 3- Ushûl Al-Kâfî, bagian Doa, bab Menangis. 4- Al-Isra ′: 107-109.
196
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Sebagai contoh, orang yang tidak tahu dampak dosa bagi jiwanya ia akan melakukan maksiat dengan mudahnya dan lambat laun dosadosa tersebut membuat hatinya keras dan orang yang berhati keras tidak akan meneteskan air mata. Oleh karena itu, kita pernah membaca dalam sebuah riwayat bahwa keringnya mata pertanda kerasnya hati.1 Adapun kerasnya hati pertanda banyaknya dosa.2 Adapun banyaknya dosa tak lain disebabkan oleh kebodohan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Matsnawi, ″Selama seseorang tidak memandang dirinya sebagai pendosa, dia tidak akan meneteskan air mata.″3
2. Senjata untuk Jihad Akbar Senjata Jihad Akbar adalah tangisan ini. Sebagaimana yang diungkapkan beliau dalam doa Kumail, ″…dan senjatanya adalah tangisan.″ Allah memberikan potensi untuk menangis di jalan ini, hanya saja sayang tidak banyak yang menyadarinya.
3. Taufik Penuh Rahmat dari Sang Maha Esa Allah Swt berfirman, ″Mereka adalah para nabi yang Allah telah memberikan nikmat dan rahmat-Nya. Mereka adalah keturunan Adam, juga orang-orang yang menaiki bahtera keselamatan bersama Nabi Nuh, dan dari anak-anak Nabi Ibrahim dan Israil, juga orangorang yang telah kami pilih dan kami beri hidayah; yang mana ketika mereka mendengar ayat-ayat kami mereka menangis dan berjsujud di atas tanah.″4 Dalam ayat ini Allah Swt menjelaskan bahwa tangisan seperti ini adalah ciri-ciri para nabi yang mana mereka adalah guru-guru kearifan yang hakiki.
4. Menunjukkan Penghambaan Sejati Allah Swt berfirman, ″Ketika mereka mendengar ayat-ayat Allah dibacakan oleh para utusan-Nya, mereka meneteskan air mata; karena 1- Mîzân Al-Hikmah, jld. 1, hlm. 455, hadis ke-1845. 2- Ibid., hadis ke-1846. 3- Matsnawi, jld. 3, bagian ke-5. 4- Maryam: 58.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
197
mereka mengakui kebenaran ayat-ayat yang telah diturunkan kepada para Rasul. Mereka berkata, ″Ya Tuhan, kami mengimani Rasul-Mu Muhammad Saw dan kitab suci-Mu Al-Quran. Kumpulkanlah kami bersama orang-orang yang beriman.″1
5. Rahasia Keagungan dan Kebahagiaan Tangisan ini memiliki rahasia-rahasia Ilahi. Di sini tampak kesedihan dan hati yang terbakar, tetapi di sana akan nampak kegembiraan dan kejayaan.2 Di satu sisi terlihat air mata, namun di sisi lain akan nampak senyuman indah. Tangisan yang Bernilai dalam Pandangan Riwayat Kita akan membahas betapa berharganya tangisan ini dalam pandangan riwayat-riwayat: Imam Shadiq as berkata, ″Seorang hamba akan berada sangat dekat dengan Tuhannya ketika ia sedang dalam keadaan sujud sambil menangis.″3 Imam Baqir as berkata, ″Tidak ada tetesan air mata yang lebih disukai Allah selain tetes air mata seorang hamba yang bermunajat di malam hari yang ketakutan akan kegungan-Nya, dan tidak memiiliki tujuan apa pun selain meraih keridhaan-Nya.″4 Dalam sebuah doa disebutkan, ″Aku berlindung pada-Mu dari hati yang tidak merasa takut dan mata yang tidak mau menangis.″5 Juga dalam sebuah doa disebutkan, ″Berilah daku taufik untuk menangisi diriku.″6 Imam Shadiq as berkata, ″Jika engkau tidak bisa menangis, maka berpura-puralah menangis di hadapannya.″7
1- Al-Maidah: 83. 2- Maqalat, jld. 3, hlm. 379. 3- Ushûl Al-Kâfî, bagian Doa, bab Menangis. 4- Ibid. 5- Mafâtîh Al-Jinân, doa setelah Ziarah Imam Ali as. 6- Doa Abu Hamzah Tsumali. 7- Mir'ât Al-'Uqûl, jld. 12, hlm. 56.
198
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Dialog 49: Ada beberapa riwayat yang membicarakan masalah tangisan karena Imam Husain as. Apa falsafah menangisi beliau? Beberapa riwayat yang berbicara seputar tangisan terhadap Imam Husain as adalah: Imam Maksum as berkata, ″Setiap mata pada hari kiamat akan metesekan air mata kecuali mat-mata yang pernah menangis untuk Imam Husain as; mata ini akan ceria di hari itu.″1 Imam Ali Ridha as berkata, ″Menangisi Imam Husain as dapat menghapus dosa-dosa besar.″2 Imam Shadiq as berkata, ″Orang yang mengingat Imam Husain as lalu menangis meskipun tetesan air matanya sekecil sayap lalat maka Allah akan menjanjikan surga untuknya.″3 Diriwayatkan dari imam maksum as bawa ia berkata, ″Orang yang menangis untuk Imam Husain as, atau berpura-pura menangis, atau menampakkan keadaan sedih karenanya, maka Allah akan menjanjikan surga untuknya.″4 Imam Ridha as berkata, ″…wahai putra Syubaib, jika engkau ingin menangis untuk sesuatu, maka menangislah untuk Husain bin Ali as yang mana mereka telah menyembelihnya sebagaimana mereka menyembelih kambing… Wahai putra Syubaib, jika engkau menangis untuk Imam Husain as sehingga janggotmu terbasahi air mata, maka Allah akan mengampuni semua dosa-dosamu, baik yang besar maupun yang kecil....″5 Banyak sekali penjelasan yang telah diberikan mengenai hikmah menangis atas Imam Husain as. Misalnya: Ada yang mengatakan, menangis sangat baik dampaknya untuk membersihkan jiwa. Menangis di majelis ratapan dalam rangka mengingat Imam Husain as akan berdampak lebih besar dari tangisan biasa.
1- Al-Khoshô'ish Al-Husainiyyah, hlm. 140. 2- Musnad Al-Imâm Al-Ridhô as, jld. 2, hlm. 27. 3- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 291. 4- Al-Khoshô'ish Al-Husainiyyah, hlm. 142. 5- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 285.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
199
Ada juga yang berkata bahwa menangis atas Imam Husain as pada dasarnya adalah menunjukkan rasa terimakasih kepada beliau. Tetapi pendapat ini tidak benar. Jika kita harus mengungkapkan rasa terimakasih, ada banyak jalan lain yang dapat kita tempuh selain dengan cara menangis. Lagi pula Imam Husain as tidak membutuhkan ungkapan rasa terimakasih kita. Ada yang berpendapat bahwa Imam Husain as mengambil manfaat dari tangisan kita. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dengan menangis kita dapat menaikkan derajat keimanan kita, salah satunya adalah dengan menangisi Imam Husain as. Tak diragukan tangisan kita juga akan menambah derajat dan tingkatan beliau. Pendapat yang lain, kita menagisi Imam Husain as untuk mendapatkan ganjaran dan balasannya. Pendapat-pendapat di atas memang ada benarnya, tapi bukan berarti tidak ada hikmah yang lebih besar dan lebih berarti dari semua itu. Apakah hikmah tangisan hanya terbatas pada syafaat, pahala atau rasa terimakasih? Berdasarkan pembahasan yang telah lalu seputar falsafah meratapi Imam Husain as dan tangisan ketakwaan, dapat dikatakan bahwa menangisi beliau memiliki dua hikmah penting yang dapat ditemukan dalam dua perkara: Pertama, hikmahnya di sisi akhlak. Sebagaimana yang pernah dijelaskan, di pandangan agama tangisan yang bernilai adalah (a) tangisan yang membawakan keridhaan Ilahi dan kesucian jiwa, dan (b) tangisan tersebut bersumber dari makrifat dan pengetahuan. Tangisan atas Imam Husain as terkadang disebabkan dikarenakan ingatan kita akan kepergian seorang kekasih Allah yang kita cintai. Terkadang juga karena kita sadar betapa jauhnya jarak antara kita dengan Imam Husain as, karena kita tidak memiliki perangaiperangai mulia yang mendekatkan kita dengannya. Pada dasarnya kita menangis melihat siapa Habib bin Mazahir, seperti apa perangainya, lalu kita melihat siapa kita, bagaimana perangai kita. Menangis untuk Ali Akbar artinya kita menangis betapa pemuda itu memiliki perangai yang sangat agung dan kita tidak.
200
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Jika selama ini tangisan kita tidak seperti ini, maka selayaknya kita rubah maksud tangisan kita agar kita dapat merasakan hikmah tangisan-tangisan tersebut. Kedua, hikmahnya dalam akspek sosial. Jika tangisan tersebut berdasarkan makrifat dan kesadaran akhlaki, kemudian memberikan perubahan-perubahan dalam jiwa tiap pribadi seseorang, maka dengan sendirinya akan terwujud perubahan masal di dunia sosial. Ketika tangisan yang membangun pribadi seseorang membuatnya bertekat untuk melakukan perubahan yang bermakna dalam dirinya, dengan sendirinya akan terlahir perubahan sosial dan terciptalah masyarakat yang berpemikiran cerah. Ketika seseorang menyadari apa tujuan dan pesan-pesan Imam Husain as dalam kebangkitannya, kesadaran tersebut pasti akan mempengaruhi dirinya; dan pengaruh dalam tiap pribadi akan menghasilkan perubahan besar dalam kehidupan sebuah masyarakat. Efek Asyura tidak hanya untuk pribadi, tapi juga untuk masyarakat. Dengan penjelasan lain, hikmah tangisan dan ratapan atas Imam Husain as secara tidak langsung adalah timbulnya perubahan besar dalam dunia sosial. Perubahan yang menggariskan nilai-nilai Asyura dan faham Ahlul Bait as dalam kehidupan bermasyarakat; dan mungkin inilah yang dimaksud dengan ″Terbitnya mentari Islam berkat Muhammad Saw dan kelanggengannya berkat Al-Husain.″ Dialog 50: Apa yang harus aku lakukan supaya aku bisa menangis dan hatiku menjadi luluh saat meratapi Imam Husain as? Pertama, menampakkan kesedihan dan menangisi Imam Husain as adalah hal yang ditekankan sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak riwayat.1 Kedua, kesedihan yang memiliki nilai dan ditekankan seperti ini adalah kesedihan yang bersumber dari makrifat serta pengetahuan. Jika kita tidak merasakan apa-apa di hati saat mengingat Imam Husain as dan tragedi Asyura, jika kita terkadang tidak bisa menangis, maka kita harus berusaha untuk menambah pengetahuan
1- Al-Khoshô'ish Al-Husainiyah, hlm. 142 dan Wasâ'il Al-Syî'ah, jld. 4, hlm. 1121 dan 1124.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
201
dan pemahaman kita akan Ahlul Bait as, kita harus memperkuat makrifat kita dan menyingkirkan penghalang-penghalangnya. Hal-hal yang membantu kita untuk memperkaya makrifat tentang Ahlul Bait as adalah: 1. Mengkaji sejarah dan riwayat hidup Ahlul Bait as. 2. Menghayati dan meresapi ucapan-ucapan mereka. 3. Mengenal Allah Swt, karena sesungguhnya Ahlul Bait as adalah manifestasi Tuhan dan dengan mengenal Tuhan serta sifat-sifat-Nya kita dapat menggapai makrifat tentang Ahlul Bait as. Beberapa penghalang dan kendala makrifat yang membuat mata dan hati kita kering1 adalah sebagai berikut: 1. Banyak bicara selain dzikir.2 2. Banyaknya dosa.3 3. Banyaknya angan-angan panjang.4 4. Sering mendengarkan hal-hal yang tidak berguna.5 5. Menimbun kekayaan.6 6. Meninggalkan ibadah.7 7. Bergaul dengan orang-orang yang zalim dan sesat.8 8. Bergaul dengan orang-orang yang hina.9 9. Banyak tertawa.1 1- Dalam sebuah hadis Rasul disebutkan, ″Pertanda kecelakaan adalah keringnya mata.″ –Mîzân Al-Hikmah, jld. 1, hlm. 255. Imam Ali as berkata, ″Mata tidak akan kering kecuali karena kerasnya hati, dan hati tidak keras kecuali karena banyaknya dosa.″ –Mîzân Al-Hikmah, jld. 1, hlm. 255, riwayat ke-18406. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 71, hlm. 281. 3- Ibid., jld. 70, hlm. 55. 4- Ibid., jld. 78, hlm. 83. 5- Ibid., jld. 75, hlm. 370. 6- Mustadrak Al-Wasâ'il, jld. 2, hlm. 341. 7- Tanbîh Al-Khowâtir, hlm. 360. 8- Bihâr Al-Anwâr, jld. 1, hlm. 203. 9- Ibid., jld. 77, hlm. 45.
202
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Banyak cara untuk merubah hati yang keras menjadi hati yang bersih dan lembut. Beberapa yang terpenting di antaranya adalah: 1. Mengingat kematian.2 2. Banyak mendengar nasehat dan tutur kata mulia.3 3. Bertafakur pada ayat-ayat Allah, hari kiamat dan keadaan dirinya.4 4. Bergaul dengan orang-orang berilmu.5 5. Bergaul dengan orang-orang yang berperangai mulia.6 6. Berdiskusi masalah ilmiah.7 7. Memberi makan orang-orang miskin.8 8. Menyayangi anak-anak yatim piatu.9 9. Berzikir.10 10. Mengingat keutamaan-keutamaan dan musibah-musibah yang menimpa Ahlul Bait as.11 11. Membaca Al-Quran.12 12. Beristighfar.13 Yang terbaik dari cara-cara di atas adalah, kita memohon kepada Allah Swt agar mengaruniai kita mata yang mudah menangis dan menjadikan Ahlu Bait as sebagai wasilah kita.
1- Ibid. 2- Ibid., jld. 14, hlm. 309. 3- Ibid., jld. 77, hlm. 199. 4- Ibid., jilia 78, hlm. 115. 5- Ibid., hlm. 308. 6- Mu′jam Alfâzd Ghuror Al-Hikam, hlm. 863. 7- Bihâr Al-Anwâr, jld. 1, hlm. 203. 8- Misykât Al-Anwâr, hlm. 107. 9- Ibid. 10- Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-222. 11- Ibid. 12- Ibid., pidato ke-176. 13- Bihâr Al-Anwâr, jld. 93, hlm. 284.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
203
Dialog 51: Apakah orang yang kebiasaannya bermaksiat akan menjadi orang yang suci tanpa dosa hanya dengan menangisi Imam Husain as? Jawaban pertanyaan ini akan menjadi jelas dengan memahami arti syafaat yang sebenarnya. Dalam banyak riwayat sering disebutkan bahwa ada beberapa hal yang dapat meruntuhkan semua dosa-dosa yang telah dilakukan oleh seorang manusia dan menjadikannya suci. Rahasia syafaat para imam maksum, khususnya syafaat Imam Husain as yang akan dihasilkan dengan cara meratapi beliau, baik dilakukan oleh orang yang dosanya sedikit ataupun banyak, adalah adanya keterikatan dan hubungan antara hamba dengan imam maksum. Yakni ketika ada seorang manusia yang memiliki jalinan ruhani dengan seseorang yang lain, maka mereka akan memiliki satu pemikiran, satu keyakinan, satu jalan. Mereka saling mengenal dan saling mencintai dan terjalin ikatan yang kuat di antara mereka. Oleh karenanya, ketika seseorang meyakini seorang imam maksum, menaatinya, dan paling tidak mendengarkan ucapannya, mengamalkannya, maka ia akan menjadi orang yang sepemikiran dengan imam, sejalan, seakidah dan dapat disebut serupa dengannya; dan atas dasar ini mereka saling mencintai. Ini menggambarkan adanya hubungan dan keterikatan orang tersebut dengan sang maksum; yakni hubungan antara jiwa orang tersebut dengan jiwa maksum di alam arwah atau alam batin. Semakin orang tersebut berperilaku seperti maksum, semakin kuat pula keterikatan antara mereka; begitu pula sebaliknya. Dengan adanya keterikatan ini, kelak jika di Hari Kiamat seorang yang terikat dengan imam maksum tersebut mengalami kesulitan dalam perhitungan amalnya, maka beliau dapat menarik tangannya dan mengangkatnya kehadirat sang Khalik. Dengan demikian ia dapat tertolong dari susahnya Hari Hisab dan terselamat dari jilatan api neraka. Seputar masalah syafaat terdapat sebuah pembahasan penting. Yaitu, harus kita ketahui bahwa seseorang dapat diberi syafaat dengan syarat orang tersebut dengan kemauan dirinya sendiri pernah melangkahkan kakinya menuju keridhaan Allah dan menjauhi dosa-dosa; yakni orang yang dapat diberi syafaat hanyalah orang yang telah beriman,
204
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
pernah melakukan amal baik, punya usaha untuk mentaati aturan Allah, lalu meskipun ia pernah berdosa, tetapi ia bukan termasuk orang yang sangat banyak dan berlebihan dosa-dosanya.1 Oleh karenanya, tidak sembarang orang dapat mendapatkan syafaat; dan sekedar tangisan untuk Imam Husain as saja tidak cukup untuk mensucikannya dari dosa. Jadi, para pendosa tidak berhak dengan mudahnya berkhayal bahwa jika mereka berbuat dosa, hanya dengan menangis dan jatuh cinta terhadap Imam Husain as, lantas dosa-dosa mereka akan diampuni, kecuali jika kecintaan kepada Imam Husain as adalah kecintaan yang hakiki dan dapat mencegahnya dari ketergelinciran. Juga, salah satu syarat diberikannya syafaat adalah keridhaan Allah itu sendiri; yakni seseorang dapat diberi syafaat ketika Allah ridha dengan iman dan amal saleh yang pernah dilakukannya. Imam Shadiq as menuliskan sebuah surat kepada para sahabatnya dan menjelaskan masalah ini, ″Ketahuilah bahwa tidak ada satu pun dari makhluk Allah yang bisa membuat seorang manusia tidak membutuhkan Tuhannya, baik malaikat ataupun nabi. Oleh karena itu, barangsiapa menginginkan pertolongan syafaat untuknya di Hari Kiamat, maka ia harus berusaha agar Allah ridha terhadapnya.″2 Oleh karena itu, adanya kemungkinan tertolongnya seseorang dengan syafaat ketika ia tidak melakukan dosa-dosa yang membuat Allah tidak ridha terhadapnya. Karena, jika Allah tidak ridha terhadap seseorang, maka tidak akan ada lagi yang bisa menolongnya. Jadi seseorang yang melakukan perbuatan dosa dengan mudahnya dan ia tidak menyesalinya, lalu kemudian duduk di majelis aza ′ dan menangis untuk Imam Husain as, maka dia tidak akan mendapatkan keridhaan Allah; orang yang tidak diridhai, tidak akan bisa diberi syafaat. Akan tetapi, seorang pendosa yang juga tak pernah berhenti menyesali dosanya, memikirkan cara terhindar dari dosa-dosa itu, karena pada dasarnya dalam batin orang tersebut terdapat rasa benci terhadap dosa, akan tetapi ia berkali-kali gagal menguasai dirinya.
1- Mengenai masalah ini, silahkan merujuk, Tajassum-e Amal va Shafo'at, hlm. 106. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 8, hlm. 53.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
205
Mungkin ketika ia mendatangi majelis Asyura dan menangis untuk Imam Husain as, dosa-dosanya dapat terampuni. Jadi, jika kita menginginkan syafaat Imam Husain as di Hari Kiamat nanti, maka kita harus berusaha untuk menyesuaikan diri dengannya, berakidah seperti dia, berperangai baik dan menirunya. Lalu selain itu, kita mesti berharap agar Allah meridhai kita dan menerima syafaat para manusia suci untuk kita. Dialog 52: Mengapa dalam mazhab Syiah, meratap, bersedih dan menangis selalu menjadi prioritas? Pertama, tidak selamanya Syiah menomorsatukan kesedihan. Dalam mazhab Syiah banyak sekali hari-hari kelahiran para Imam, hari raya Idul Ghadir, Idul Adha dan Idul Fitri, yang mana di hari-hari itu kita semua berbahagia. Kedua, jika kita melihat keburukan yang nampak dalam diri pengikut sebuah ajaran, kita tidak boleh terburu-buru menyalahkan ajaran tersebut, karena bisa jadi keburukan itu berasal dari diri mereka sendiri. Ketiga, Ahlul Bait as tidak hanya menekankan kita untuk bersedih di hari-hari wafatnya para Imam, tapi mereka juga memerintahkan kita untuk berbahagia pada tempatnya, dan bahkan memerintahkan kita untuk membuat sesama kita menjadi bahagia. Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk membahagiakan anak-anak yatim, anakanak kecil dan orang-orang yang beriman. Dalam sebuah hadis beliau bersabda, ″Seseorang yang membuat saudara seimannya bahagia, maka ia telah membuatku bahagia, dan orang yang telah membuatku bahagia, maka ia telah membuat Allah ridha.″1 Keempat, memang dapat diakui kesedihan lebih mendominasi dari pada kebahagiaan dalam mazhab Syiah. Satu-satu alasannya adalah karena sepanjang sejarah, Ahlul Bait as selalu dizalimi, dan sejarah tidak mencatat adanya hamba Allah yang lebih terzalimi selain mereka. Dengan demikian, apa salahnya jika kita sering teringat akan kezaliman yang menimpa kecintaan kita dalam majelis-majelis aza ′ dan acara peringatan? Di antara kezaliman-kezaliman yang menimpa
1- Silahkan merujuk, Muntakhob Mîzân Al-Hikmah, hlm. 249.
206
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Ahlul Bait as, yang paling berat dan pahit diingat adalah kezaliman yang menimpa Imam Husain as. Oleh karena itu, kita lebih sering meratapi Imam Husain as dari pada imam-imam maksum yang lain. Dialog 53: Apa hubungan agama dengan kegembiraan dan kesenangan? Apakah agama mendukung kegembiraan ataukan justru menentangnya? Jika kita merujuk kepada Al-Quran dan hadis, kita akan mendapati bahwa Islam tidak bertentangan dengan kegembiraa dan suka ria yang, dengan kegembiraan, kita bisa mengerjakan tugas-tugas kita dengan bersemangat. Akan tetapi, yang dimaksud dengan kegembiraan tersebut adalah kesenangan yang tidak berlebih-lebihan; semua harus pada tempatnya. Islam dan Kebutuhan Asasi Manusia Ajaran yang terbaik adalah ajaran yang sesuai dengan tabiat diri manusia serta dapat memenuhi segala kebutuhannya secara fitri; jika tidak, agama seperti ini tidak dapat dijalankan manusia dan tidak akan bisa mengantarkan manusia kepada kebahagiaannya. Karena Islam memperhatikan keadaan manusia secara alamiahnya dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya, Islam menjadi agama yang tidak kenal batas ruang dan masa; tidak hanya untuk orang-orang Arab, bahkan untuk seluruh penduduk dunia. Alamah Thabathabai menjelaskan bahwa Islam tidak mengabaikan kebutuhan-kebutuhan materi manusia, juga tidak membuat manusia terfokus kepada kebutuhan materi saja. Islam tidak memerintahkan manusia meninggalkan dunianya, juga tidak membebaskan manusia tanpa agama begitu saja. Dengan keseimbangan ini, Islam mengantarkan manusia kepada tujuan-tujuan hakikinya serta kebahagiaannya yang sejati abadi. Jika tidak ada keseimbangan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka manusia akan mengalami ketergelinciran dalam hidup yang berujung kepada kecelakaan.1
1- Tafsîr Al-Mîzân, jld. 16, hlm. 203.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
207
Kegembiraan adalah Kebutuhan Banyak definisi yang diutarakan mengenai kesenangan dan kegembiraan. Seperti kegembiraan adalah perasaan positif yang dirasakan ketika meraih suatu kemenangan.1 Kegembiraan adalah sekumpulan rasa nikmat tanpa adanya kepedihan.2 Kegembiraan adalah perasaan yang muncul ketika seseorang mendapatkan apa yang diinginkannya.3 Seperti apa pun definisi kegembiraan yang mereka paparkan, yang terpenting adalah semuanya sepakat bahwa kegembiraan dan kesenangan merupakan kebutuhan asasi manusia. Kita tidak akan pernah menemukan seorang pun yang tidak membutuhkan kegembiraan. Pada dasarnya, segala keindahan alam ciptaan ini diciptakan untuk manusia agar timbul perasaan bahagia dalam dirinya. Seperti musih semi dengan bunga-bunganya, pagi hari dengan angin lembutnya, alam dan keindahannya, air terjun yang menakjubkan, bunga-bunga berwarna-warni, teman-teman yang baik, pernikahan dengan orang yang sangat dicintai dan lain sebagainya. Banyak sekali yang diciptakan untuk manusia agar ia merasakan kegembiraan. Para ahli psikologi berpandangan bahwa kegembiraan sangat penting sekali bagi manusia, karena ia merupakan satu-satunya cara terselamatkannya manusia dari tekanan-tekanan kesedihan, keputusasaan, rasa takut, kekhawatiran dan seterusnya. Ini semua menandakan bahwa kesenangan adalah perkara yang sangat penting dalam kehidupan. Faktor-Faktor Kegembiraan Dengan mengkaji pendapat para ulama dan ilmuwan, juga dengan merujuk kepada matan-matan riwayat dan Al-Quran, kita dapat menyimpulkan bahwa faktor-faktor kegembiraan adalah beberapa hal di bawah ini: 1. Iman. 2. Keikhlasan dan kerelaan. 3. Menghindari dosa. 1- Anggizesy va Hayajon, hlm. 367. 2- Ravon-syenosyi-e Syodi, hlm. 42 dan 172. 3- Jelveh-ho-ye Syodi dar Farhang va Syari'at, hlm. 47.
208
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram 4. Melawan kekhawatiran. 5. Senyuman dan tawa. 6. Bergurau dan canda tawa 7. Wewangian. 8. Menghias diri. 9. Mengenakan pakaian-pakaian berwarna cerah. 10. Mengikuti acara-acara yang menggembirakan. 11. Berolahraga. 12. Harapan hidup. 13. Usaha dan kerja. 14. Melakukan perjalanan. 15. Berekreasi. 16. Membaca Quran. 17. Bertafakur dan memikirkan ciptaan Tuhan. 18. Memberi sedekah. 19. Memandangi hehijauan.
Islam dan Kesenangan Karena kegembiraan adalah kebutuhan asasi manusia, Islam sangat mendukung dan tidak menentangnya ssama sekali. Satu-satunya sumber agama kita, yaitu Al-Quran, menjelaskan bahwa hidup dengan kebahagiaan adalah rahmat dari Allah; juga sebaliknya, kehidupan penuh dengan kesuraman bertentangan dengan rahmat dan nikmat-Nya. Salah satu buktinya adalah ayat yang berbunyi, ″Sedikitlah tertawa dan menangislah yang banyak.″1 Asbab nuzul ayat ini yaitu pada suatu saat Rasulullah Saw memerintahkan Muslimin untuk memperkuat barisan untuk melawan pasukan kafir yang telah menyerang negeri Islam. Akan tetapi, sebagian dari mereka tidak 1- Al-Taubah: 82.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
209
mematuhi beliau dengan memberikan berbagai alasan. Oleh sebab itu Allah menurunkan ayat yang menerangkan bahwa adzab hari kiamat menanti mereka lalu setelah itu Ia berfirman, ″Sedikitlah tertawa dan banyaklah menangis.″ Kita pasti memahami bahwa adzab dan hukuman selalu berlawanan dengan hati orang yang dihukum. Allah Swt menganggap kegembiraan dan canda tawa sebagai hal yang alamiah dalam hidup manusia. Tetapi, karena ingin menghukum mereka, maka Allah Swt menuunkan azab agar mereka sedikit tertawa dan banyak menangis.1 Ketika kita membaca ayat-ayat yang mengambarkan kenikmatan surga dan kegembiraan di dalamnya kita pasti menyadari bahwa ternyata Islam tidak menganggap kesenangan dan kegembiraan sebagai hal yang tak penting. Surga diciptakan sedemikian rupa untuk hamba-hamba-Nya karena Allah menginginkan kegembiraan para penduduknya nanti. Dalam ayat yang lain kita membaca bahwa kebahagiaan sebenarnya hanyalah milik orang-orang yang beriman. Allah Swt berfirman, ″Barangsiapakah yang telah mengharamkan perhiasan-perhiasan Allah yang telah diciptakan untuk hamba-hamba-Nya juga segala hal yang baik dar rezeki-rezeki. Katakanlah bahwa semua itu untuk orang-orang yang beriman di dunia dan di akherat.″2 Hanya saja bedanya kesenangan di dunia tidak murni kesenangan; karena kesenangan yang hakiki tanpa ada kesedihan adalah kesenangan di surga.3 Ayat ini menunjukkan bahwa kesenangan dalam kehidupan adalah karunia yang diberikan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Dengan demikian Islam tidak menentang kesenangan. Kita juga akan mendengar hal yang sama dari lisan para imam maksum. Rasulullah Saw bersabda, ″Orang yang beriman adalah orang yang gembira dan bahagia.″4 Imam Ali as juga berkata,
1- Goftor-ho, jld. 2, hlm. 225. 2- Al-A′raf: 32. 3- Goftor-ho, jld. 2, hlm. 227. 4- Bahrani, Tuhaf Al-'Uqûl, hlm. 49.
210
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
″Kegembiraan akan menghilangkan kekhawatiran.″1 Beliau juga berkata, ″Saat-saat gembira adalah harta yang berharga.″2 Juga beliau berkata, ″Orang yang jarang merasakan kesenangan, maka hidupnya di ambang kecelakaan.″3 Imam Shadiq as berkata, ″Tidak ada seorang mukmin yang tidak memiliki selera untuk bercanda.″4 ″Selera untuk bercanda dan berbahagia adalah salah satu dari perangai yang baik.″5 Imam Ridha as dalam sebuah hadis panjang berkata, ″Berusahalah untuk membagi waktumu menjadi empat bagian; pertama untuk menyendiri dan beribadah kepada Allah, kedua untuk bergaul dengan orang-orang di sekitar Anda yang Anda percayai dan selalu menjaga aib-aib Anda, ketiga waktu untuk bersenang-senang agar Anda selalu memiliki semangat melakukan segala hal, keempat waktu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.″6 Dalam sejarah maksumin kegembiraan dan kesenangan begitu dipentingkan sehingga mereka tidak hanya menekankan kesenangan itu sendiri, bahkan juga menekankan kita agar menciptakan suasana yang membawakan kesenangan.7 Banyak lagi hadis-hadis lainnya yang menganjurkan kita untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang tujuannya adalah menjaga kebugaran jiwa, seperti berjalan-jalan, menunggangi kuda, berenang, memandangi hehijauan, makan dan minum, menyikat gigi, bercanda, tertawa dan seterusnya.8 Batasan Kesenangan Dengan melihat tujuan hidup yang sebenarnya, Islam memberikan batasan-batasan dalam kesenangan. Cara dan bentuk kesenangan tidak boleh bertentangan dengan ruh tauhidi yang dibawakan Islam untuk manusia. Karena, Islam tidak setuju dengan segala hal yang
1- Amadi, Ghuror Al-Hikam, hadis ke-2023. 2- Ibid., hadis ke-1084. 3- Bihâr Al-Anwâr, jld. 78, hlm. 12. 4- Kulaini, Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, hlm. 663. 5- Ibid. 6- Bihâr Al-Anwâr, jld. 75, hlm. 321. 7- Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, hlm. 192. 8- Wasâ'il Al-Syî'ah, jld. 12, hlm. 112; Bihâr Al-Anwâr, jld. 16, hlm. 298; Hasan Nuri, Mustadrak Al-Wasâ'il, jld. 8, hlm. 418.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
211
pada hakikatnya mencegah tercapainya tujuan hidup manusia yang sebenarnya. Jadi, kesenangan yang dibenarkan Islam adalah segala hal menyenangkan yang tidak hanya akan menghalangi manusia mencapai kesempurnaannya, bahkan dapat membantunya menuju tujuan-tujuan itu. Jadi kita harus memilih kebahagiaan untuk tujuan yang baik. Karena, sesungguhnya segala perbuatan yang kita lakukan ada tujuannya, sebagaimana yang dikatakan oleh para ilmuwan; dan kebahagiaan juga tidak lepas dari itu.1 Dengan demikian, jika tujuan dari kegembiraan itu adalah tujuan yang mulia, maka kegembiraan tersebut adalah hal terpuji, dan jika tujuannya tidak baik, maka kegembiraan seperti itu tidak dibenarkan dalam Islam. Bercanda adalah salah satu cara untuk mendapatkan kegembiraan. Tetapi jika kita bercanda dengan cara yang menyakiti orang lain, itu disebut dengan hazal dan hajw; Islam sangat tidak menyukainya.2 Jika kita bercanda tanpa batasan dan keluar dari aturan, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan sia-sia dan dicela agama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ali as, ″Terlalu banyak bercanda akan menghilangkan wibawa.″3 Senyuman dan tertawa juga demikian. Kita boleh tersenyum atau tertawa, akan tetapi senyuman atau tawaan kita tidak boleh berupa sindiran atau ejekan terhadap orang lain. Kita tidak boleh tertawa dengan tujuan menghina orang lain. Derajat seorang manusia diibaratkan seperti kehormatan Ka′bah, oleh karenanya kita diharamkan menghina sesama.4 Kegembiraan tidak boleh ditampakkan dengan cara yang tak terpuji yang hanya menurunkan martabat diri. Kita tidak boleh tertawa terbahak-bahak. Disebutkan dalam hadis bahwa ertawa terbahak1- Akhloq-e Islomi, hlm. 98-99; Akhloq-e Ilohi, jld. 5, hlm. 238. 2- Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, ″Wahai Rasulullah, apakah kita boleh bercanda dan bergurau dengan teman-teman kami?″ Beliau menjawab, ″Jika kalian bercanda tidak dengan cara mengucapkan kata-kata yang menyakitkan temanmu, tidak masalah.″ (Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, hlm. 663) 3- Ghuror Al-Hikam, hlm. 222. 4- Akhloq-e Ilohi, jld. 5, hlm. 256.
212
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
bahak adalah sifat setan.1 Sebaik-baiknya cara menampakkan kegembiraan adalah senyuman.2 Waktu dan tempat untuk bergembira juga harus kita perhatikan. Kita tidak boleh bergembira ria di harihari berkabung dalam ajaran kita atau di tempat-tempat suci seperti masjid.3 Rasulullah Saw pernah bersabda, ″Barangsiapa menertawai jenazah seseorang, maka di Hari Kiamat Allah Swt akan menghinakannya di depan semua orang dan tidak akan mengabulkan doa-doanya. Dan orang yang tertawa di kuburan dia akan diberikan kesusahan seberat gunung Uhud.″4 Dengan penjelasan ini kita menyadari bahwa jika ada kesenangankesenangan yang diharamkan dalam Islam, maka kesenangankesenangan itu pada dasarnya merupakan kesenangan yang keluar dari jalur kebaikan dan batasan-batasannya. Adapun kesenangan itu sendiri, Islam sama sekali tidak pernah menentangnya. Beberapa Poin Pertama, kehidupan selalu memiliki pertemuan dan perpisahan, kebahagiaan dan kesedihan, semangat dan kemalasan, putus asa dan harapan, dan seterusnya. Dalam kehidupan dunia ini, kebahagiaan yang kita rasakan pasti bercampur dengan kesusahan. Tidak ada kebahagiaan mutlak yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini. Kesusahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindaari oleh siapa pun. Dalam sebuah syair Persia disebutkan, ″Tuhan memang telah menciptakan dunia seperti ini, terkadang ada sekelompok orang yang bersedih dan sekelompok yang lain bersenang-senang.″ Kedua, dalam sebagian riwayat jika kita mendengar bahwa orang yang beriman adalah orang yang selalu sedih, kesedihan ini perlu kita tafsirkan: kesedihan orang-orang yang beriman berkaitan dengan masalah sosial dalam hidup mereka, yakni mereka selalu bersedih melihat keadaan saudara-saudara dan sesamanya yang sedang kesusahan atau mengalami kepahitan hidup yang lain. Pada dasarnya, 1- Al Kafi, jld. 2, hlm. 664. 2- Ghuror Al-Hikam, hlm. 222. 3- Akhloq-e Ilohi, jld. 5, hlm. 258. 4- Ibid.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
213
kesedihan seperti ini adalah kesedihan yang baik, karena merupakan tanda tenggang rasa yang memang manusiawi.1 Sa′di dalam puisinya menyebutkan, ″Sebagian dari keturunan Adam adalah bagian dari yang lainnya, mereka seperti satu tubuh. Mereka diciptakan dari bahan yang sama. Ketika salah satu bagian dari tubuh itu merasa sakit, bagian yang lainnya juga demikian.″ Ketiga, sebagian faktor kegembiraan dan kebahagiaan memberikan pengaruh positif bagi tubuh juga secara tidak langsung berpengaruh pula bagi ruh manusia. Sebagian faktor kegembiraan yang lain terkadang berpengaruh langsung terhadap ruh manusia. Faktor-faktor seperti membaca Al-Quran, bertafakur dalam ciptaan Allah, iman dan memperkuat iman, memberi sedekah, menghindari dosa dan lain sebagainya adalah faktor-faktor kegembiraan yang secara langsung dapat memberikan pengaruh baik bagi ruh manusia. Faktor-faktor yang lainnya seperti memakan makanan yang bergizi, berolah raga, menghias diri, memakai pakaian berwarna cerah, berjalan-jalan, memandang hehijauan dan lain sebagainya adalah faktor-faktor kegembiraan yang memberikan dampak langsung terhadap tubuh materi manusia; dan tidak diingkari bahwa faktorfaktor tersebut juga memberikan pengaruhnya terhadap ruh meskipun secara tidak langsung. Keempat, sebagian orang sufi Muslim selalu berusaha mencari kebahagiaan dan kegembiraannya dari dalam jiwanya sendiri. Menurut mereka rasa gembira yang dihasilkan dari terhubungnya jiwa dengan Dzat Yang Tercinta jauh lebih baik dari kebahagiaankebahagiaan lainnya. Mereka menganggap kesedihan adalah kunci kebahagiaan irfani. Mereka tidak ragu untuk mengorbankan kebahagiaan-kebahagiaan mereka demi mencapai kebahagiaan yang hakiki. Mereka berkeyakinan bahwa untuk mencapai kebahagiaan mereka harus melewati kesedihan-kesedihan. Dalam sepatah syair Persia disebutkan, ″Siapa yang pernah kamu lihat orang yang bahagia tanpa merasakan kesusahan di waktu itu juga?!″2
1- Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, hlm. 163; Wasâ'il Al-Syî'ah, jld. 20, hlm. 213. 2- Shabastari.
214
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Bagi mereka kegembiraan-kegembiraan duniawi sama seperti dunia itu sendiri; kenikmatannya bercampur dengan kesusahannya. Disebutkan juga dalam sepatah syair, ″Tidak ada kebahagiaan tanpa kesusahan di pasar (dunia) ini. Tidak pernah kau temukan harta karun yang tidak dijaga sekumpulan ular dan lumpur penuh duri di situ. Jalan mencapai kenikmatan ada di dalam hati ini, bukan di luar. Hanya orang bodoh saja yang mencari kebahagiaan di istana-istana para raja.″1 Para aruif-sufi adalah pengikut mazhab cinta. Menurut mereka satusatunya yang menciptakan kebahagiaan adalah cinta suci. Yang terpenting untuk kita ketahui adalah, para urafa selalu mencari kebahagiaan mutlak. Terkadang cara mereka untuk mencapai kebahagiaan itu adalah dengan cara mengorbankan kebahagiaan duniawi mereka. Tapi diri mereka sendiri tidak menginginkan orang lain sedih karena apa pun, sebagaimana mereka tidak mau ada orang lain yang tahu bahwa diri mereka merasakan kesedihan.2 Dialog 54: Jika kita meyakini bahwa Imam Husain as telah mencapai derajat fana-yang merupakan derajat tertinggi kearifandengan kesyahidannya, lalu untuk apa kita menangisi beliau? Jika kita renungkan, pemikiran seperti ini tidak benar dari dua sisi. Pertama, kita menangisi Imam Husain as bukan karena pengorbanan dan dizaliminya beliau serta keluarga beliau saja; dan kedua, para imam-imam maksum sendiri-yang tidak diragukan lagi bahwa mereka telah mencapai derajat yaqin-menangisi dan mengenang Asyura bahkan menganjurkan semua pengikutnya untuk selalu menghidupkan hari Asyura. Memangnya mereka tidak tahu hikmah dan rahasia peristiwa Karbala? Jelas, banyak sekali hikmah lainnya ketika kita menangisi Imam Husain as. Peristiwa Asyura memiliki dua wajah. Wajah pertama adalah Imam Husain as, sahabat-sahabat dan keluarganya dibantai oleh pasukan
1- Maulawi. 2- Imam Ali as berkata, ″Orang-orang yang zuhud di dunia ini adalah orang-orang yang meskipun merek tertawa, tapi mereka menangis di hati. Meskipun mereka terlihat bahagia, tapi di hatinya penuh kesedihan.″ (Nahj Al-Balâghoh, pidato 113; silahkan merujuk Syarh Maqômât Al-Arba'în, hlm. 260).
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
215
Yazid dan keluarga beliau ditawan, lalu Yazid meraih kemenangan lahiriah. Jika kita menangis karena melihat wajah yang satu ini, tangisan kita memang merupakan luapan rasa kasih sayang tatkala melihat pihak yang dizalimi. Tangisan seperti ini adalah ungkapan kesedihan kita melihat fenomena Asyura yang mengharukan. Menangisi Imam Husain as dari sisi ini tidak ada bedanya dengan tangisan untuk para korban bom atom Hiroshima. Tetapi, jika kita mengamati Asyura dari sisi yang lain, bahwa kemenangan dalam peristiwa itu adalah milik Imam Husain as, sementara Yazid dan pasukannya, pada hakikatnya, adalah pihakpihak yang kalah, maka di hari Asyura terdapat kemenangan sifatsifat mulia di atas sifat-sifat tercela. Jika kita menangis dengan melihat sisi kedua ini, tangisan kita bukan hanya tangisan kasih sayang yang muncul dari keluluhan hati lantas kita bertanya untuk apa kita menangisi orang yang telah mencapai derajat fana dan kesempurnaan. Dialog 55: Apa arti ungkapan ″Imam Husain as telah dizalimi″? Kezaliman adalah lawan dari keadilan yang artinya tidak memberikan hak kepada pemiliknya. Maksud Imam Husain as dizalimi adalah orang-orang yang zalim pada waktu itu merampas hak kekhilafahan yang sudah ditetapkan untuk Imam Husain as. Yang juga termasuk hak beliau adalah hak dikenal, dihormati dan dicintai. Akan tetapi, karena gelombang besar propaganda Bani Umayah, hak-hak tersebut tidak diberikan kepada pemiliknya. Artinya, banyak Muslimin yang tidak mengenal beliau, apalagi menunaikan pernghormatan kepada beliau! Terbunuhnya Imam Husain as juga bukti bahwa beliau begitu dizalimi. Akan tetapi, dizaliminya Imam Husain as dengan pembunuhan belum apa-apa jika dibanding dengan dirampasnya hak beliau sebagai pemimpin Muslimin serta terlupakannya beliau dari ingatan umat Rasulullah Saw. Perlu diketahui bahwa dizalimi, atau mazdlûm dalam bahasa Arab, berbeda dengan munzdolim yang artinya pasrah dan tidak melawan ketika dizalimi. Arti kata mazdlûm adalah orang yang dizalimi tetapi tidak sekadar diam; ia juga melawan dan berjuang merebut hak-
216
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
haknya. Dalam agama, menerima kezaliman adalah sifat yang tak terpuji. Sebagian Muslimin dan Peringatan Asyura Dialog 56: Mengapa orang-orang Ahli Sunah membenci peringatan Asyura dan menganggap itu sebagai tanda kebodohan kita? Mereka terbawa riwayat-riwayat yang melarang mereka untuk menangisi orang yang sudah mati. Padahal, riwayat-riwayat itu sendiri di pandangan sebagian ulama besar mereka tidak sahih sanad dan kandungannya. Nawawi, salah satu ulama Ahli Sunah, berkata, ″Riwayat-riwayat di atas tidak diterima oleh Aisyah. Ia menyebut para perawi riwayat tersebut salah atau lupa, karena khalifah kedua dan anaknya Abdullah telah menukil kata-kata ini tidak secara benarbenar dari Nabi.″ Ibnu Abbas juga berkata, ″Riwayat-riwayat ini adalah ucapan khalifah, bukan ucapan Rasulullah Saw.″1 Di sisi lain, tercatat dalam sejarah bahwa kalangan Ahli Sunah juga pernah mengadakan acara belasungkawa untuk beebrapa tokoh besar seperti Juwaini (478 H). Mengenai kepergian Juwaini, Dzahabi menyebutkan dalam kitabnya, ″Pertama kalinya ia dikuburkan di rumahnya. Lalu setelah itu makamnya dipindahkan ke pemakaman Imam Husain. Hari itu adalah hari berkabung yang besar, pasar-pasar sepi, banyak yang membacakan syair-syair kesedihan untuknya. Ia memiliki empat ratus pelajar dan mereka semua mematahkan pena dan alat tulis mereka masing-masing sebagai ungkapan kesedihan. Mereka berkabung sampai setahun dan tidak memakai sorban mereka selama setahun itu sehingga tak satupun orang lain yang berani memakai sorban. Karena kepergiannya masyarakat sekota berkabung terus menerus dan melebihi batasnya.2 Ia juga menulis, ″Dengan kematiannya aktivitas pasar diliburkan. Semua orang berkabung untuknya. Banyak orang yang tidak tidur
1- Syarh Al-Nawawî, jld. 5, hlm. 308. 2- Siyar A′lâm Al-Nubalâ ′, jld. 18, hlm. 468.
Bagian Keempat: Memperingati Asyura
217
semalaman di kuburannya pada bulan Ramadhan sampai pagi hari … kami mengadakan acara berkabung pada hari sabtu.…″1 Memang menajubkan ketika banyak ulama Ahli Sunah yang tidak mempermasalahkan acara-acara berkabung untuk tokoh-tokoh mereka akan tetapi ketika kita berkabung untuk Ahlul Bait dan Imam Husain as mereka melontarkan seribu satu kritikan kepada kita. Apa bedanya tangisan kita dengan tangisan mereka?!2 Dialog 57: Mengapa sebagian Muslimin menentang penyelenggaraan acara-acara berkabung berdasarkan riwayat yang berbunyi, ″Bukan dari golongan kami orang-orang yang menampari pipi, menyobek-nyobek kantong pakaian dan berdoa dengan doa-doa Jahiliyah″? Pertama, hadis ini ditujukan kepada orang yang kehilangan kekasihnya lalu ia memukuli dirinya sendiri, menyobek pakaian, tidak menerima takdir Allah, serta mengucapkan kata-kata buruk yang membawa murka Allah. Tangisan kita terhadap Imam Husain as tidak seperti itu, bahkan tangisan ini merupakan salah satu cara yang paling baik untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, termasuk cara menghidupkan syiar Ilahi, bentuk kesetiaan terhadap Imam, juga memiliki falsafah serta hikmah yang beragam. Kedua, dalam menyobek pakaian pun ada pengecualiaan. Kita boleh merobek pakaian kita ketika kehilangan seorang ayah, ibu dan saudara; sebagaimana Nabi Musa as pernah menyobek pakaiannya karena bersedih lantaran berpisah dengan Nabi Harun as, juga Imam Hasan Askari as yang merobek pakaiannya karena kepergian Imam Hadi as.3 Oleh karena itu, tidak ada masalah ketika kita sampai merobek pakaian kita karena puncak kesedihan yang kita rasa, apalagi untuk Imam Husain as yang merupakan ayah ruhani kita semua; bahkan merupakan salah satu cara meraih keridhaan Allah. Tangisan dan kesedihan terhadap kematian yang dicela dalam sebagian riwayat adalah kesedihan yang menyebabkan ketidakridhaan 1- Ibid., hlm. 379. 2- Cerai-ye Geryeh va Sugvori, hlm. 19-24. 3- Wasâ'il Al-Syî'ah, jld. 22, hlm. 402 dan jld. 3, hlm. 274.
218
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Allah. Cara seperti ini adalah kebiasaan orang-orang Jahiliyah ketika mereka ditinggal orang yang dicintai; sebagaimana yang dilarang oleh hadis Rasulullah Saw, ″Bukan dari golongan kami orang-orang yang menampari pipi, menyobek-sobek kantong pakaian dan berdoa dengan doa-doa Jahiliyah.″ Akan tetapi tangisan dan ratapan untuk Imam Husain as berbeda dengan tangisan dan ratapan yang lain. Karena, dalam ratapan ini terdapat banyak hikmah yang berkaitan dengan tegaknya agama dan memiliki pengaruh-pengaruh kejiwaan positif bagi setiap individu Muslim.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
Ka zim Mustha fa ie
Tsârullah Dialog 58: Apa arti tsârullah? Apakah penyebutan Imam Husain as dengan nama ini berdasarkan ayat dan riwayat? Kata tsâr berasal dari tsa ′r dan tsu′rah yang artinya membalas dendam atau menuntut darah. Terkadang kata ini berarti darah.1 Pertama, kata tsarullah memiliki arti dan tafsiran bermacam-macam. Salah satunya, Allah adalah wali dan penuntut darah Imam Husain as. Yakni Allah Swt sendiri yang akan menuntut darah beliau dari pembunuh-pembunuh beliau. Karena sesungguhnya menumpahkan darah Imam Husain as pada dasarnya adalah menginjak-injak kehormatan Allah Swt dan melawan-Nya. Apalagi Ahlul Bait as disebut sebagai âlullah yang berarti keluarga Allah. Dengan demikian, membunuh mereka sama dengan menumpahkan darah manusia yang berkaitan erat dengan Allah Swt.2 Meskipun kata tsarullah tidak disebutkan dalam Al-Quran, akan tetapi kita bisa mengaitkannya dengan ayat seperti: ″Barangsiapa mati terbunuh karena dizalimi, maka Allah telah memberikan hak qisas kepada wali-nya (orang yang bertanggung jawab terhadapnya)″3 Setiap orang-terlepas apa pun golongan dan mazhabnya-yang mati dalam keadaan mazlum dan dizalimi, orang-orang terdekat mereka memiliki hak untuk membalas dendam dan menuntut pembunuh mereka. Imam Husain as pun juga begitu. Beliau telah gugur di jalan Allah Swt karena berjuang menegakkan keadilan. Dengan demikian Allah sendiri yang akan menjadi penuntut darah beliau. Dengan demikian, maksud dari tsarullah adalah Allah penuntut darah Imam Husain as dan akan membalas apa yang telah dilakukan oleh para pembunuh beliau. Ungkapan ini merupakan gambaran betapa 1- Rujuk: Majma ′ Al-Bahroyn, jld. 1, hlm. 237; Muhammad Mu′in, Farhang-e Forsi, jld. 1, hlm. 1185; Mufrodât Al-Rôghib, hlm. 81. 2- Jawad Muhadisi, Dars-hoi az Ziyorat-e Osyuro, hlm. 14; Azizi Tehrani, Syarh-e Ziyorat-e Osyuro, hlm. 35. 3- Al-Isra' :33.
222
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
kuatnya keterikatan antara Allah Swt dengan Imam Husain as sehingga dengan tertumpahnya dara beliau seakan-akan ada darah dari keluarga Allah (sekali lagi ini hanya kiasan saja-penj.) yang tertumpah dan hanya Allah yang akan menuntutnya.1 2. Jika kita mengartikan kata tsar dengan artian darah, maka maksud tsarullah bukan makna hakikinya, tetapi sebatas kiasan. Karena, tidak masuk akal jika kita menganggap Allah sebagai suatu maujud yang memiliki tubuh dan darah. Maka, arti tsarullah sekedar kiasan yang menggambarkan suatu kenyataan dengan gambaran yang dapat kita fahami. Sebagaimana darah sangat penting untuk tubuh, keberadaan Imam Husain as juga sangat penting bagi agama Allah Swt, dan kelanggengan Islam berkat peristiwa Asyura. 3. Mungkin tidak ada salahnya jika kita mengkaji masalah ini dengan kacamata irfani yang tentunya juga berpegangan dengan riwayatriwayat. Sebagaimana yang kita ketahui, Imam Ali as disebut dengan asadullah al-ghalib (singa Allah yang menang) dan yadullah (tangan Allah) dan dalam hadis qurb nawafil diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa Allah berfirman, ″Hamba-hamba-Ku menunjukkan rasa cinta mereka terhadap-Ku dengan cara mengerjakan kewajibankewajiban dan shalat malam. Maka Aku mencintai mereka, dan aku menjadi telinga mereka yang mana dengan telinga itu mereka mendengar; lalu Aku menjadi mata mereka sehingga mereka melihat dengan mata itu; lalu Aku menjadi tangan mereka sehingga mereka memukul dengan tangan itu; lalu Aku menjadi kaki mereka yang dengan kaki itu mereka berjalan. Aku sangat suka melihatnya bermunajat kepada-Ku, dan ketika mereka meminta sesuatu, Aku akan memberikannya.″2 Dengan riwayat ini, kita memahami bahwa hamba-hamba saleh Allah Swt adalah para khalifah dan manifestasi kesempurnaan-Nya di dunia ini. Allah bukan materi, tapi jika Dia menginginkan sesuatu, ia mewujudkannya melalu tangan-tangan para wali-Nya. Jika Dia ingin darahnya tertumpah demi tegaknya agama-Nya maka itu akan terlaksana dengan tertumpahnya darah para wali-Nya. Seperti itu pula
1- Rujuk: Farhang-e Osyuro, kata tsar. 2- Barqi, Al-Mahâsin, jld. 1, hlm. 291.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
223
mengapa Imam Ali as disebut dengan sebutan yadullah dan Imam Husain as dengan sebutan tsarullah. Oleh karena itu, kita membaca dalam ziarah Asyura, ″Salam bagimu wahai darah Allah dan putra darah-Nya.″ Begitu juga dengan yang dinukilkan oleh almarhum Ibnu Quwalaih dalam ziarah Imam Husain as yang ketujuh belas dan kedua puluh tiga, ″Sesungguhnya engkai adalah darah Allah yang tidak ada penuntutnya di dunia selain Allah.″1 Sebagaimana darah sangat penting bagi seorang manusia dan menentukan hidup dan matinya, keberadaan Imam Husain as juga sangat penting bagi berdirinya agama Allah; jika tidak ada Imam Husain as, tidak akan ada Islam dan tidak akan ada Syiah. Ya, selama nama Imam Husain as tetap hidup, selama kecintaan kepada beliau selalu ada di hati, selama kesetiaan kita kepada sang pemimpin ini selalu terjaga, selama ucapan ″ya Husain″ selalu terdengar, dzikir Allah pun tidak akan terlupakan. Beliau adalah seorang pemimpin yang telah mengorbankan segala yang ada di jalan Allah. Berkat beliau, wajah asli musuh-musuh Allah tersingkap jelas dan agama Islam yang murni tetap tegak terjaga. Dengan demikian, darah beliau layak diberi penghormatan dengan sebutan tsarullah. Peran Tangisan dalam Sair Suluk Dialog 59: Apa hubungan antara menangisi Imam Husain as dengan usaha kita dalam melakukan sair suluk (perjalanan ruhani) menuju Tuhan? Seorang pejalan maknawi dan seorang arif harus mengerti nilai tangisan dan kesedihan dalam beristighfar ikhlas memohon ampun kepada Allah. Jik ia tidak mampu menangis dengan tangisan yang sebenarnya, maka paling tidak ia berusaha menunjukkan kesedihannya dengan tangisan yang dibuat-buat. Pada dasarnya dalam perjalan irfani, tangisan dan kesedihan dalam hati telah menjadi hal yang pokok, baik dalam keadaan istighfar maupun selain itu; dan masalah ini tidak bisa dijelaskan panjang lebar di sini karena keterbatasan yang ada. 1- Kâmil Al-Ziyârôt, hlm. 368 & 406.
224
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Rasa sedih dan tangisan baik karena rasa rindu, rasa takut, istighfar, membaca Quran, bersujud, dan baik dalam keadaan-keadaan lainnya, adalah tangisan yang muncul dari tingkatan makrifat dan kearifan. Orang yang faham dan arif pasti akan menangis meneteskan air mata, tapi orang yang tadak tahu apa-apa tidak akan merasakan apa pun di hatinya apalagi meneteskan air mata. Jika kita memperhatikan ayat 107-109 surah Al-Isra', kita akan memahami dengan jelas bahwa cara orang-orang arif dalam menggapai derajat tertinggi adalah tunduk dengan khusyuk dan meneteskan air mata karena meresapi ayat-ayat Allah Swt. Allah berfirman, ″Katakanlah bahwa tidak ada bedanya bagi Allah baik kalian mengimaninya atau tidak; sesungguhnya orang-orang arif sebelum mereka ketika mereka mendengarkan ayat-ayat Allah mereka tunduk dan bersujud sambil dan berkata, ″Maha suci Tuhan kami dan sesungguhnya janji Allah akan terlaksana.″ Mereka tunduk dengan menangis dan bertambah kekhusuykan di hati mereka.″1 Para pesuluk yang ikhlas tak pernah lalai merenungi ayat-ayat Allah dan bertadabur. Mereka meresapi kalam Ilahi dan mengimani kebenarannya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang Arif ketika mendengar ayat-ayat Allah mereka mencapai suatu makrifat hakiki, mempercayainya dan mengimani janji-janji Allah. Karena itulah kekhusyukan mereka lantas bertambah. Mereka semakin tunduk dan rasa sedih meliputi diri mereka karena takut akan murka-Nya. Mereka semakin bersungguh-sungguh di jalan Allah dan menganggap dirinya bukan apa-apa. Mereka bersujud ke atas tanah dan dengan hati penuh kesedihan menangis meneteskan air mata dengan harapan Allah akan melihat keadaan mereka dan mencurahkan rahmat-Nya. Tapi orang yang tidak bermakrifat tidak mengerti apa hakikat neraka yang telah diciptakan untuknya. Ada penghalang antara dia dengan hakikat yang suci sehingga mereka tidak mengetahui apa-apa. Dalam ayat tersebut digambarkan bahwa orang-orang arif yang hakiki hati mereka selalu dipenuhi kesedihan dan air mata selalu menetes di
1- Al-Isra': 107-109.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
225
hati mereka. Kearifan mereka adalah kearifan yang telah menyatu dengan jiwa; tidak seperti orang-orang alim yang hanya sekedar memiliki pengetahuan tapi jiwa mereka tak pernah tersentuh makrifat yang dimilikinya. Banyak sekali orang alim tapi tidak memiliki kekhususan yang dimiliki orang-orang arif dalam ayat di atas. Jadi, menangis dengan hati yang luluh dan bersujud di atas tanah yang hina adalah salah satu kekhususan yang dimiliki oleh orang arif dan bermakrifat tinggi. Al-Quran menyebut kekhususan ini sebagai kekhususan yang dimiliki oleh para nabi yang merupakan guru setiap arif. Dalam surah Maryam disebutkan sekumpulan nabi-nabi juga sifat-sifat mereka, ″Mereka adalah orang-orang yang telah Kami beri nikmat, mereka adalah para nabi dari keturunan Adam dan orangorang yang kami ikut sertakan bersama Nuh dalam bahteranya dan dari keturunan Ibrahim, Israil dan orang-orang yang telah kami beri hidayah kepada mereka semua yang jika dibacakan ayat Allah kepada mereka, mereka tunduk dan sujud sambil menangis.″1 Kalimat yang berbunyi, ″Jika dibacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, mereka tunduk dan bersujud sambil menangis″ menggambarkan ketundukan mereka dan tangisan mereka saat mendengar ayat-ayat Allah Swt, entah karena perasaan takut akan murka-Nya atau rindu kepada-Nya. Dalam ayat di atas terdapat rahasia dan isyarat yang tersembunyi bagi ahli Tauhid. Dalam permulaan surah Al-An′am setelah disebutkannya nama-nama sebagian nabi kita, Allah berfirman, ″Mereka adalah hamba-hamba yang telah Kami curahi nikmat yang banyak.″ Lalu akhir ayat disebutkan bahwa jika dibacakan ayat Allah kepada mereka, mereka akan tunduk bersujud. Allah menyebut kekhususankekhususan yang mereka miliki sebagai nikmat yang besar. Ayat ini mengisyarahkan bahwa taufik untuk bersujud dan menangis di hadapan keagungan Allah Swt adalah nikmat yang tiada taranya. Dalam ayat yang lain disebutkan, ″Barangsiapa mengimani Allah, maka Dia akan memberikan petunjuk kepada hatinya.″
1- Maryam: 58.
226
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Rasulullah Saw bersabda, ″Hati seorang mukmin berada di antara dua jari dari jari-jari Al-Rahman.″1 Imam Muhammad Baqir as berkata, ″Sesungguhnya hati manuysia berada di antara dua jari dari jari-jari Allah yang merubahnya dari satu keadaan ke keadaan yang lain, sebagaimana yang diinginkannya.″2 Dari hadis pertama kita pahami bahwa orang yang benar-benar beriman kepada Allah berada di bawah pengaruh nama Allah yang disebut ″Al-Rahman″ dan selalu terpengaruh oleh manifestasinya. Yakni, hati setiap mukmin, sesuai dengan potensi yang dimilikinya selalu berada di bawah naungan manifestasi nama mulia ini. Dari hadis kedua dapat dipahami bahwa hati setiap manusia, entah manusia yang beriman atau bukan, berada di bawah kekuatan nama ″Allah″. Nama penuh berkah inilah yang dengan manifestasinya selalu memberikan pengaturan terhadap setiap hati dan merubah keadaan suatu hati dari satu keadaan menjadi keadaan yang lainnya; pada satu saat begini dan di saat yang lain begitu. Seorang salik harus memahami arti tangisan entah berada di derajat apa pun dia sampai; khususnya pada derajat istighfar. Ia harus mempertahankan keadaan ini. Ia tidak boleh menggantikan ketundukan dan istighfar dengan yang lainnya, dan selayaknya selalu waspada karena musuh tidak pernah lelah mengincarnya. Ia harus memanfaatkan segala kesempatan untuk terus naik setinggi-tingginya. Seyogyanya ia tidak pernah berhenti menangis tunduk dan beristighfar. Jangan sampai ia merubah keadaan dirinya, karena jika ia kehilangan kesempatan ini, maka ia tidak akan mendapatkannya lagi. Di Balik Sedih dan Tangisan Kesedihan seorang arif, di satu sisi memanglah kesedihan, tapi di sisi yang lain, kesedihan itu hakikatnya adalah ketenangan, kenikmatan dan kemuliaan.
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 70, hlm. 39. 2- Ibid., jld. 70, hlm. 53.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
227
Ungkapan ini akan menjadi jelas dengan menyimak hadis-hadis para Imam di bawah ini:
1. Tangisan dan Ketenangan Imam Shadiq as berkata, ″Setiap mata akan menangis di Hari Kiamat kecuali tiga: mata yang terjaga dari melihat apa yang diharamkan Allah; mata yang tida tidur di malam hari karena menjalankan ibadah; dan mata yang menangis karena kekhusyukan di hadapan Tuhan.″1 Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa di dunia ini tangisan seorang arif adalah tangisan kesedihan yang perwujudannya hanyalah air mata; akan tetapi kelak di saat segala hakikat disingkapkan, yakni di Hari Kiamat, kesedihan sorang arif di dunia akan menghasilkan kebahagiaan abadi di hari itu. Hari Kiamat adalah hari tersingkapnya segala hakikat yang selama ini tertutupi. Apa pun yang terjadi di hari kiamat adalah perwujudan dan hakikat dari segala hal yang terjadi di dunia ini.
2. Tangisan Kenikmatan dan Keagungan Rasulullah Saw bersabda, ″Allah sangat menyukai hati yang selalu bersedih.″2 Maksud kesukaan di sini adalah suatu keadaan yang mana dalam keadaan itu seorang hamba akan semakin dekat dengan Tuhannya. Dengan demikian artinya adalah, di balik kesedihan seorang arif terdapat kedekatan diri dengan Sang Maha Penguasa; yang mana kedekatan dengan Allah memiliki unsur kenikmatan dan kelezatan maknawi tersendiri. Imam Muhammad Baqir as berkata, ″Tidak ada yang lebih disukai Allah selain tetesan air mata seorang hamba di tengah malam karena takut akan murka Tuhannya, dan ia tidak menginginkan selain Allah.″3
1- Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, bagian Doa, bab Menangis. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 73, hlm. 157. 3- Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, bagian Doa, bab Menangis.
228
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Ini artinya adalah, seorang hamba yang menangis takut akan murka Allah pada dasarnya merasakan kenikmatan kedekatan diri dengan Sang Maha Esa dan merasakan keagungan rububiyah. Kedekatan diri yang pada hakikatnya penuh nikmat inilah yang jika dilihat dhahirnya ia hanya berupa air mata dan tangisan. Di balik tangisan terdapat keagungan dan kenikmatan syuhudi. Jika ada seseorang arif lainnya yang dapat melakukan mukasyafah dan melihat hakikat apa yang sedang terjadi pada seorang hamba yang sedang menangis di malam hari karena takut Tuhannya, ia akan melihat sesuatu yang menakjubkan; ia akan melihat seorang hamba berada dalam dua keadaan yang secara lahiriah bertentangan. Di satu sisi ia menangis sedih, tapi di batinnya terdapat kenikmatan taqarub, kenikmatan syuhud, kenikmatan maknawi. Ini hanya sedikit saja dari keajaiban alam irfani; dengan demikian kita tidak bisa menganggap diri kita telah memahimi rahasia-rahasia alam semesta.
3. Tangisan dan Kedekatan dengan Tuhan Imam Shadiq as dalam sebuah riwayat berkata kepada Abu Bashir mengenai doa dan tangisan. Beliau menukil dari ucapan Imam Baqir as yang mana beliau berkata, ″Satu keadaan yang mana dalam keadaan tersebut seorang hamba berada sangat dekat Tuhannya adalah ketika ia bersujud dan menangis.″1 Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa di balik kerendahan hati bersujud ke atas tanah, ada keagungan dan kemuliaan karena kedekatan dengan Al-Khaliq.
1- Ibid., jld. 2, bagian Doa, bab Menangis.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
229
Antara Cinta dan Akal1 Dialog 60: Segala sikap Imam Husain as dalam peristiwa Asyura berdasarkan kecintaan, dan bukan bersifat rasional. Apakah itu artinya perbuatan beliau berlawanan dengan akal? Dalam diri setiap manusia selalu ada peperangan antara sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk yang biasanya disebut sebagai jihad terbesar (jihad akbar); padahal jihad tersebut adalah jihad menengah (jihad awsath) (jihad antara jihad terbesar dan jihad terkecil-asghar). Orang yang selalu melakukan segala sesuatu berdasarkan akal dan menentang hawa nafsunya disebut dengan orang yang melakukan jihad menengah. Dia ingin menjadi orang yang menuruti akal dan menentang nafsu; derajat yang lebih dari itu baru disebut dengan jihad menengah, yaitu peperangan antara akal dan cinta, antara hikmah dar irfan dengan rasional dan intuitif. Dalam jihad ini, akal menerima kebenaran suatu kenyataan berdasarkan dengan dali-dalil rasional. Pengikut akal selalu menerima segala sesuatu jika ada dalil yang masuk akal. Akan tetapi dengan cinta, ia tidak mencukupkan pengetahuan yang didapat dengan usahanya saja (ilmu husuli), bahkan ia menginginkan ilmu yang menyatu dengan jiwa (ilmu huduri) sehingga apa yang ia pahami ia juga merasakannya dengan seluruh wujudnya. Oleh karena itu, di sini terjadi peperangan antara akal dan cinta, lalu mulailah jihad terbesar. Perlu diketahui bahwa keduanya tidak ada yang salah dan semua benar; hanya saja salah satunya benar dan yang satu lagi lebih benar; yang satu baik dan yang satunya lagi lebih baik; satu di antaranya sempurna dan yang satu lagi lebih sempurna. Berdasarkan ini, sesungguhnya segala yang dilakukan oleh para wali Allah selalu berdasarkan cinta. Imam Shadiq as berkata, ″Sebaik-baik manusia adalah orang yang mencintai ibadah.″2 Dan orang yang mencintai ibadah adalah orang yang telah merasakan hakikat surga dan neraka. Akal menetapkan adanya surga dan neraka dengan dali-dalil yang masuk akal. Tapi cinta berkata, ″Aku ingin melihat surga dan 1- Jawaban permasalahan ini diberikan oleh Ayatullah Jawadi Amuli. 2- Ushûl Al-Kâfî, jld. 2.
230
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
neraka.″ Orang yang selalu berusaha menetapkan kebenaran surga dan neraka dengan dalil-dalil rasional adalah orang yang berakal; tapi orang yang selalu ingin melihat dan memaknai surga dan neraka adalah orang yang cinta. Apa yang dilakukan oleh Imam Husain as berdasarkan cinta. Cinta berada di atas akal, bukan hal yang bertentangan dengan akal. Terkadang kita menyebut seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak masuk akal, yakni melakukan perbuatan tanpa didasari akal pemikiran. Terkadang juga kita mengatakan bahwa seseorang telah melakukan suatu perbuatan bukan hanya masuk akal, bahkan di atas itu, ia melakukannya dengan penuh cinta; ia tidak hanya memahami, tetapi juga meresapi dengan wujud dirinya. Ketika seorang manusia telah menggapai hakikat dan berjalan sesuai syuhud dan cinta, maka akal sudah tidak terlalu berperan lagi. Tidak bergunanya akal dalam artian bahwa cahaya akal di bawah kekuatan cahaya yang lebih terang lagi; bukan berarti akal sudah tidak bercahaya lagi. Jadi, akal dalam dua keadaan tidak diperhatikan lagi oleh manusia: 1. Ketika seorang manusia berada dalam keadaan marah atau syahwat kemudian melakukan suatu maksiat. Di sini, akal sama sekali tidak dipandang, dan apa yang ia lakukan berdasarkan kebodohan. Hal ini tidak ada bedanya dengan bulan purnama yang tak nampak karena gerhana bulan total terjadi. Di sini akal orang tersebut tidak lagi bersinar. Akal orang yang bermaksiat seperti bulan yang tampak karena gerhana. Inilah yang dimaksud oleh Imam Ali as ketika beliau berkata, ″Betapa sering akal ditawan oleh hawa nafsu.″ 2. Akal tetap bercahaya, tapi ada cahaya lain yang lebih terang dari cahayanya. Hal ini sama seperti bintang-bintang yang bersinar. Bintang tidak berguna di siang hari karena ada cahaya matahari yang lebih terang darinya. Orang yang jatuh cinta akalnya tetap bekerja, tapi cahaya cintanya lebih terang dari cahaya akal.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
231
Apa yang dijalankan oleh Imam Husain as di Karbala tidak hanya masuk akal, bahkan lebih dari itu, beliau melakukan segalanya dengan penuh cinta. Keindahan Asyura Dialog 61: Bagaimana kita bisa memahami keindahan Asyura dan memahami makna ucapan Sayidah Zainab, ″Tidak ada yang kulihat selain keindahan″?1 Terkadang, sebagaimana yang diungkapkan sebagian orang, dikatakan bahwa keagungan ada pada cara memandang dan bukan pada apa yang dipandang, maka keindahan pun juga demikian: keindahan terkadang ada pada cara memandang meskipun tidak ada keindapan pada apa yang dipandang. Ketika seseorang memandang dunia ini dengan kacamata Sistem Terbaik (Nizdam-e Ahsan), ia akan melihat banyak hal dan ia melihat semuanya indah, sehingga ia tidak perlu kebingungan lagi untuk memandang alam semesta dari sudut pandang yang mana. Keindahan dalam hidup selain memberikan ketenangan dalam jiwa, ia juga memberikan kelanggengan dan kekuatan untuk memikul beban berat serta kesusahan. Jika kita memandang Asyura dengan cara pandang yang indah, sebagaimana Sayidah Zainab memandang, maka peristiwa itu memanglah indah. Kata-kata Sayidah Zainab, ″Aku tidak melihat apa pun selain keindahan.″ adalah ungkapan yang pernah dikatakan oleh Imam Husain as bahwa apa pun yang akan terjadi, baik kalah atau mati, semuanya adalah kebaikan.2 Seorang adik memandang Asyura dengan pandangan keindahan dan kakaknya memandang apa yang dilakukannya dengan pandangan kebaikan; keduanya saling menyempurnakan. Banyak sekali perwujudan keindahan dalam peristiwa Asyura yang mana di sini kita akan menyinggung beberapa di antaranya:
1- Jawaban permasalahan ini adalah penjelasan Jawad Muhadisi. 2- A′yân Al-Syî'ah, jld. 1, hlm. 597.
232
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
1. Simbol Kesempurnaan Insani Seorang manusia dapat terbukti apakah ia telah mencapai kesempurnaannya, menyatu dengan Tuhannya, fana pada dzat-Nya, ketika ia berada di medan amal. Pada peristiwa Karbala, terlukis sampai setinggi manakah derajat seorang manusia. Pada peristiwa tersebut terbukti bahwa Imam Husain as adalah figur kesempurnaan. Poin penting ini begitu indah bagi para pencari makna peristiwa Asyura. 2. Keindahan Ridha akan Qadha Dalam perjalanan maknawiah ifrani, mencapai maqam keridhaan akan qadha Ilahi adalah perjalanan yang sangat berat dan sukar. Tak perlu heran jika Sayidah Zainab memandang semua yang terjadi di hari Asyura indah; karena beliau melihat indahnya lukisan yang menggambarkan Imam Husain as dan para sahabatnya telah mencapai derajat keridhaan ini. Sesungguhnya Imam Husain as dan para sahabatnya sama seperti kita; mereka menyukai kesenangan dan membenci kesusahan. Tapi mereka ridha dengan apa yang digariskan Tuhan. Karbala menggambarkan keridhaan mereka. Imam Husain as di akhir nafasnya berkata, ″Ya Allah, aku ridha dengan qadha-Mu.″ Beliau juga pernah mewasiatkan kepada saudarinya Sayidah Zainab dan berkata, ″Relakanlah dan ridhalah atas qadha Allah.″ Derajat keirfanan ini adalah derajat yang sangat tinggi; yakni tidak menganggap diri sebagai apa-apa dan hanya melihat Allah serta menganggap selain-Nya hampa. Dalam khutbahnya ketika beliau memulai perjalanannya menuju Kufah, beliau berkata, ″Kerdihaan Allah adalah keridhaan Ahlul Bait.″1 Inilah dasar kecintaan Imam Husain as dan adiknya, Sayidah Zainab, tidak memandangnya kecuali sebagai suatu keindahan.
1- Mawsû′ah Kalimât Al-Imâm Husain as, hlm. 328.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
233
3. Melukiskan Kebenaran dan Kebatilan Salah satu keindahan Asyura adalah terlukiskannya garis-garis kebenaran dan kebatilan, terlukiskannya sifat-sifat manusia bersifat malaikat dan manusia bersifat iblis. Ketika kebenaran dan kebatilan bercampur, kegelapan yang dimiliki kebatilan membuat cahaya kebenaran terselimut kabut. Keindahan Asyura adalah Imam Husain as menyalakan pelita yang terang benderang sehingga nampak jelas perbedaan jalan yang benar dan salah, serta menyingkap keburukan musuh-musuh Allah sehingga tidak ada lagi keburukan yang mengakar. Inilah keindahan. Asyura ibarat sebuah lukisan berharga yang menggambarkan jalur kebenaran dan kebatilan, memisahkan antara pemeluk Islam yang sejati dari munafik. Jikalau pengorbanan Imam Husain as itu pun kurang menyingkap tira-tirai yang menutupi kebatilan, khutbahkhutbah Zainab di Syam dan Kufahlah yang telah menyingkapnya sehingga semuanya nampak jelas di mata umat Muhammad Saw. Inilah keindahan Asyura. 4. Indahnya Kemenangan Hakiki Salah satu keindahan Asyura adalah munculnya pengertian baru tentang kemenangan. Selama ini banyak yang berpikiran salah, mereka menganggap kemenangan adalah kemenangan militer dan kekalahan adalah kematian. Asyura membuktikan bahwa keterzaliman, darah dan kematian di jalan Allah dapat menjadi tombak kemenangan. Imam Husain as telah mencapai kemenangannya dengan peristiwa Asyura; dan betapa indah kemenangan itu. Inilah arti kemenangan darah atas pedang-pedang yang juga pernah disinggung oleh Imam Khomeini dalam peristiwa revolusi, ″Bangsa yang menganggap kesyahidan sebagai kebahagiaan adalah bangsa yang menang. Kita menang dalam membunuh dan dibunuh di jalan Allah.″1 Orang yang menjalankan tugasnya, dia adalah orang yang menang dan kemenangan itu adalah kemenangan hakikinya. Pola pikir seperti inilah yang dimiliki oleh Imam Husain as, Imam Ali Zainal 1- Shahifeh-e Nûr, jld. 13, hlm. 65.
234
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Abidin as dan Sayidah Zainab. Di mata mereka, meskipun secara lahiriah semua yang terjadi di hari Asyura menyakitkan, tetapi karena tegaknya Islam hanya dengan cara pengorbanan tersebut, maka kepahitan itu terasa manis dan indah. Ketika Ibrahim bin Talhah bertanya kepada Imam Ali Zainal Abidin as, ″Siapakah yang menang?″ Beliau menjawab, ″Ketika tiba waktu shalat, kumandangkan adzan dan iqamah, lalu saat itulah engkau tahu siapa yang menang.″1 Inilah keindahan Asyura. 5. Berjalan di Jalur Masyiyyah Tuhan Tidak ada yang lebih indah dari seorang hamba yang berusaha berperilaku sesuai dengan masyiyyah (kehendak) Allah. Telah tertulis di lauh mahfudz bahwa Imam Husain as serta para sahabatnya terbunuh, sedangkan Sayidah Zainab ditawan; dan betapa indah melihat sekelompok orang seperti mereka berjalan di jalan yang telah digariskan? Bukankah sebelumnya secara ghaib Imam Husain as telah diberitahu bahwa Allah ingin melihatnya mati syahid? Bukankah masyiyyah Allah menghendaki keturunan suci Rasulullah ditawan demi tegaknya agama-Nya? Lalu untuk apa bersedih akan kematian dan penawanan ini? Keduanya harus dilaksanakan demi tegaknya agama Rasulullah Saw; itu pun dengan penuh cinta dan sabar! Bagi Sayidah Zainab betapa indah perjalanan yang mereka lakukan tersebut sesuai dengan apa yang temaktub di lauh mahfudz. Ia memandang segala yang terjadi dari awal hingga akhir sebagai perwujudan apa yang termaktub di sisi Allah. Ia melihat semua itu indah. Apakah jika kita memandang Asyura dengan sudut pandang seperti ini kita tidak menemukan keindahan di dalamnya? 6. Malam-Malam Penuh Keindahan Peristiwa ini adalah salah satu manifestasi keindahan. Mereka adalah orang-orang yang memilih untuk berhenti dan diam-yang merupakan simbol kesetiaan dan pengorbanan-ketika berhadapan dengan dua 1- Al-Amâlî, Syaikh Thusi, hlm. 66.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
235
persimpangan jalan. Mereka lebih memilih untuk menyertai Imam Husain as dan di mata mereka hidup tanpa beliau adalah kematian dan kehinaan. Banyak keindahan yang dapat kita temukan di Asyura. Kita mendengar pujian Imam Husain as terhadap para sahabatnya yang setia, bincang-bincang beliau dengan Qasim, para sahabat yang tidak tidur semalaman hingga pagi hari, terdengarnya tilawah Al-Quran dari bibir-bibir sahabat di setiap kemah, ungkapan kesetiaan para sahabat di hadapan Sayidah Zainab dan Imam Husain as, semua itu sangatlah indah; bangaimana Sayidah Zainab tidak melihat keindahan? Perjuangan Imam Husain as menjadi suri tauladan bagi perjuanganperjuangan melawan kebatilan yang lainnya; bukankah ini keindahan? Detik-detik Asyura telah berubah menjadi pelajaran-pelajaran berharga bagi umat manusia tentang kebebasan, kesetiaan, iman, keberanian, pemahaman dan lain sebagainya; apakah ini bukan keindahan? Darah yang tertumpah di hari itu telah menjadi cambuk adzab bagi kezaliman dan orang-orang yang zalim; bukankah ini keindahan? Musuh-musuh Allah mengira bahwa dengan membantai Imam Husain as beserta sahabatnya mereka dapat menggapai impian mereka. Tetapi di mata Sayidah Zainab, justru mereka telah menggali kuburan untuk diri mereka sendiri. Justru cahaya Ahlul Bait as semakin bersinar terang mengalahkan gemerlap sinar yang lainnya; nama mereka kekal dikenang dan agama Allah tegak terjaga. Sayidah Zainab as mengerti arti semua pengorbanan besar ini. Dengan jiwa yang besar, ketika gubernur Kufah dengan lidah kotornya berkata, ″Apa pendapatmu terhadap apa yang telah dilakukan Tuhan terhadap saudara dan keluargamu?″, beliau menjawab, ″Aku tidak melihat apa pun selain keindahan.″
236
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Nilai-Nilai Mistis dan Moral Asyura Dialog 62: Apa saja nilai-nilai irfani dan moral yang terkandung dalam peristiwa Asyura? Bintang-bintang di langit tidak pernang semurung saat mereka menyaksikan tragedi Asyura. Mata hari tidak pernah sesuram dan sepucat saat ia menyaksikan tertumpahnya darah putra Rasulullah Saw. Tidak ada titik di bumi ini seperti Nainawa: yang telah menyaksikan perwujudan kebenaran dan kebatilan sejelas-jelasnya di hari Asyura. Di sepanjang sejarah, tidak ada peristiwa seagung Asyura Husaini yang telah memberikan banyak pelajaran insani kepada umat manusia. Dengan perjuangannya, Tauhid terlahir kembali untuk kedua kalinya; cinta ditafsirkan dan bermakna; Al-Quran difahami dengan sebenarnya; rahasia bersujudnya para malaikat di hadapan Adam tersingkap dengan jelas dan secara sekaligus Tuhan tampak dengan segala keindahan dan kesempurnaan-Nya. Mengalir mata air makrifat, pengorbanan dan kesetiaan dari bibir kehausan Abbas yang akan menghilangkan dahaga setiap insan pencari hakikat dan kebenaran. Sahara berlimbah darah suci Imam Husain as menjadi simbol kemenangan para pecinta keadilan atas kezaliman. Karbala adalah padang makrifat dan pembangunan jiwa. Tidak ada satu pun madrasah yang seperti madrasah Karbala. Dari madrasah itu lahir insan-insan istimewa. Di kelas cinta, keagungan, kekuatan, kesabaran, keberanian, penghambaan, semua orang mulai dari bapak tua, anak kecil, pemuda, wanita menyusui, semuanya duduk bersama dam berguru kepada Sayidus Syuhada as. Mereka adalah murid-murid terbaik Imam Husain as. Mereka menyelesaikan ujiannya masing-masing dengan baik dan nama mereka abadi dikenang bersama nama pemimpin mereka. Mereka mendapatkan satu kebanggan, yaitu mendapatkan salam khusus Imam Zaman AlMahdi as. Setiap detik peritiwa yang terjadi di hari Asyura terlahir dari makrifat, keutamaan dan akhlak. Tanah suci Nainawa adalah lukisan keagungan dan jiwa penghambaan manusia-manusia mulia.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
237
Banyak sekali yang dapat dikaji mengenai Asyura. Di sini kita hanya cukupkan dengan membahas beberapa saja di antaranya kaena keterbasan yang ada: 1. Pancaran Keagungan dan Makrifat Imam Husain as Mengajak manusia kepada Tauhid baik dengan cara ajakan lisan maupun amaliah adalah poros utama makrifat-makrifat langit dan tujuan tertinggi diutusnya para nabi. Perjuangan Imam Husain as juga begitu, sejak detik-detik awal hingga saat-saat akhir nafas beliau, semuanya beraroma Tauhid. Sejak pertama kali beliau melangkah hingga beliau menghembuskan nafas terakhirnya, ia tak pernah lepas dari dzikir dan memuji Tuhan. Kata-kata yang pertama kali beliau ucapkan saat berangkat menuju Kufah adala, ″Segala puji bagi Allah, masya-Allah, tak ada kekuatan selain kekuatan-Nya.″ Ketika ia menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan badan berlumur darah, beliau mengucapkan, ″Ya Tuhan, aku bersabar akan qadhaMu. Tidak ada yang patut disembah selain-Mu, wahai Penolong bagi orang-orang yang meminta pertolongan.″1 2. Mengerjakan Tugas Ilahi dan Mengokohkan Nilai-Nilai Insani Setiap orang yang berjuang melawan musuhnya pasti bertujuan untuk mencapai kemenangan dan mengalahkan musuh tersebut. Imam Husain as pun juga demikian; hanya saja kemenangan di mata beliau tidak seperti apa yang dibayangkan kebanyakan orang dan mereka sulit menerima itu. Di mata Imam Husain as, kemenangan adalah keberhasilan dalam menjalankan tugas Ilahi dan taklif serta mengkokohkan nilai-nilai insani; entah dalam perjuangan itu beliau mengalami kekahan materi ataupun tidak. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran jika kita melihat Imam Husain as tidak mundur ketika mendengar penduduk Kufah telah menghkianati beliau; karena beliau tetap berkewajiban menunaikan tugasnya. Ketika Imam Husain as bertemu dengan Tharmah bin Udaiy, orang ini berkata kepada beliau, ″Tokoh-tokoh dan pembesar Kufah telah menerima uang sogokan dari Ibnu Ziyad dan mereka bekerja sama 1- Ali Saadat Pur, Furugh-e Syahodat, hlm. 185.
238
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
dengan musuh Anda. Semua orang hatinya condong kepadamu, akan tetapi pedang-pedang mereka terhunus ke arahmu. Wahai putra Rasulullah, demi Allah, jangan kau teruskan perjalanan ini dan kembalilah ke tempat yang aman dan jauh dari gangguan para musuh.″ Tetapi Imam Husain as menjawab dengan kata-kata yang memahamkan Tharmah bahwa beliau tetap berkewajiban menunaikan tugas Ilahinya. Beliau menjawab, ″Telah terikat perjanjian antara kami dengan penduduk Kufah dan kami pantang melanggar janji. Kita akan terus berjalan dan kita lihat saja apa hasilnya.″ Yakni beliau telah berjanji kepada warga Kufah untuk datang ke tengah mereka sebagai pemimpin mereka; entah mereka menepati janji mereka sendiri ataukah tidak, beliau tetap menepati janjinya meskipun beliau harus menghadapi segala kesulitan dan kesusahan.1 Kasih Sayang Imam Husain as Dialog 63: Meskipun Imam Husain as telah melihat sendiri betapa buruk musuh-musuhnya, akan tetapi mengapa beliau tak hentihentinya menunjukkan kasih sayang kepada mereka semua? Kasih sayang terhadap segala makhluk Tuhan adalah salah satu kriteria yang dimiliki para nabi dan hamba-hamba Allah. Jika kita mengkaji sejarah dan apa yang telah dijelaskan Al-Quran, kita akan mendapati bahwa para nabi sangat menderita masyarakat di sekelilingnya tersesat; para nabi merasa kasihan melihat keadaan mereka. Hati mereka luluh melihat orang-orang di dekatnya kehausan makrifat; mereka menangis dan selalu berdoa agar umat mereka mendapat hidayah. Memandang gejala kekufuran dan berjalan di antara mereka, bagi para nabi, sangat menyakitkan. Hati lembut Rasulullah Saw juga merasakan yang sama; beliau sangat sedih melihat keadaan orangorang di sekitarnya. Sampai-sampai Allah Swt berfirman, ″Seakanakan engkau ingin mencelakakan dirimu sendiri karena bersedih melihat mereka tidak mengimanimu.″2
1- Muhammad Shadiq Najmi, Sukhanon-e Husain bin Ali az Madineh to Karbala. 2- Al-Syuara: 3; Al Kahf: 6.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
239
Selama tidak ada sifat seperti ini di hati seorang pemimpin, maka orang tersebut tidak layat disebut sebagai pemimpin. Imam Husain as adalah buah risalah. Ia adalah buah hati Rasulullah Saw dan cucu beliau. Ia adalah dari Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw darinya, sebagaimana yang dikatakan sendiri oleh beliau, ″Husain dariku dan aku dari Husain.″1 Imam Husain as adalah pewaris segala kesempurnaan Nabi dan cermin keutamaan beliau. Curahan kasih sayang dan rahmat Rasulullah Saw nampak pula dalam dirinya. Oleh sebab itulah, ia tidak pernah lelah berusaha memberikan petunjuk kepada orangorang di sekitarnya, meskipun mereka adalah musuhnya. Ucapanuacapannya sendiri adalah bukti kelembutan hati dan kasih sayangnya terhadap sesamanya. Imam Husain as tak pernah berhenti memberikan nasehat-nasehatnya kepada semua orang yang hadir di Karbala. Beliau terus menasehati musuh-musuh meskipun mereka benar-benar telah siap untuk memerangi beliau. Beliau mengucapkan kata-kata mutiaranya kepada mereka yang setiap katanya memerlukan tafsir dan pemaknaan.2 Imam Husain as juga tidak enggan menasehati pemimpin-pemimpin pasukanmusuh seperti Umar bin Sa′ad dan Syimir bin Dzil Jausyan. Di hari Asyura, beliau berkata kepada Umar bin Sa′ad dan di hadapan pasukannya, ″Celakalah engkau wahai putra Sa′ad! Apakah engkau tidak takut kepada Tuhan yang mana kelak engkau akan kembali menuju-Nya? Apakah engkau tetap memerangiku meskipun engkau tahu aku anaknya siapa? Tinggalkan pasukanmu dan bergabunglah bersama kami agar engkau mendapatkan kedudukan yang dekat dengan Allah.″ Umar bin Sa′ad berkata, ″Aku takut rumah roboh dan kehilangan kehidupan duniawiku.″ Beliau menjawab, ″Aku akan membetulkannya dan memberikan yang lebih baik kepadamu.″ Ia berkata, ″Aku takut kekuasaan dan tanah milikku diambil dariku.″ 1- Kâmil Al-Ziyârôt, bab 14, hlm. 52, hadis 11. 2- Sukhanon-e Emom Husain az Madineh to Karbala, hlm. 219; Furugh-e Syahodat.
240
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
″Aku akan memberikan segala yang lebih baik dari yang aku punya di Hijaz.″ jawab Imam Husain as. Umar bin Sa′ad berkata, ″Aku takut akan istri dan anak-anakku.″ Lalu setelah itu Imam Husain as diam dan tidak berkata apa-apa. Tujuan beliau adalah menyadarkan musuhnya; tapi musuh lebih memilih dunia daripada mengikuti beliau. Pada hakikatnya, Umar lebih memilih neraka jahanam dengan cara membunuh Imam Husain as dari pada kebahagiaan abadi. Imam Husain as memiliki dua tujuan dari khutbah-khutbah dan nasehat-nasehat tersebut: 1. Menyempurnakan argumen atas musuh-musuh beliau sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk mengelak dari adzab jahanam. 2. Membangunkan beberapa orang seperti Hurr bin Yazid Riyahi yang, pada dasarnya, ia sendiri memiliki cahaya kecintaan di hatinya terhadap Ahlul Bait as. Seperti inilah hati seorang pemimpin. Seperti inilah seorang imam menyikapi musuh. Inilah putra Siti Fathimah as yang selalu menjaga setiap langkahnya dan tak pernah membelot sedikit pun dari jalan yang diridhai Tuhannya. Shalat di Siang Hari Asyura Dialog 64: Apakah ada hal yang sangat mendesak Imam Husain as untuk melakukan shalat Zuhur dan Ashar di siang hari Asyura sehingga karenanya banyak sahabat yang mati? Shalat adalah tiang agama1 dan tali pengikat yang kuat antara seorang hamba dengan Tuhannya. Seorang yang beriman dikenal dengan shalatnya dan dengan shalat itulah seorang hamba terus naik ke langit menuju derajat kedekatan dengan Tuhan.2 Shalat adalah cara pendekatan diri kepada Tuhan dan cahaya mata para nabi.3 Shalat adalah awal dan akhir nasehat Rasulullah Saw.1 1- Mîzân Al-Hikmah, jld. 5, hlm. 368, hadis ke-10243. 2- Ibid., hadis ke-10238. 3- Ibid., hlm. 367, hadis ke-10235.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
241
Shalat adalah pelindung jiwa dari kotoran dan nista.2 Bahkan shalat yang tak berjiwa pun dapat menjaga seorang manusia dari perbuatan dosa.3 Muawiyah bin Wahab-salah satu sahabat Imam Shadiq as-bertanya kepada sang Imam, ″Perbuatan terbaik apa yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya dan Tuhan pun sangat menyukai perbuatan itu?″ Imam menjawab, ″Setelah mengenal Tuhan, aku tidak melihat ada yang lebih afdhal daripada shalat.″4 Jika tujuan dari perjuangan Imam Husain as adalah menghidupkan ajaran Allah Swt dan memberantas kezaliman, sedangkan shalat adalah tiang agama, maka apa yang mencegah beliau untuk mendirikan shalat di padang Karbala meskipun sejadahnya adalah darah? Di siang hari Asyura, ketika matahari mulai zawal, Abu Tsamamah Shaidawi mengabarkan waktu shalat kepada Imam Husain as dengan harapan ia dapat melakukan shalat jamaah yang dipimpin oleh beliau, kemudian bersama-sama menemui Sang Mahakuasa. Beliau berkata kepadanya, ″Engkau telah mengingatkanku akan tibanya waktu shalat. Allah akan membangkitkanmu bersama orang-orang yang mendirikan shalat.″5 Imam Husain as dan beberapa orang dari sahabatnya melaksanakan shalat Zuhur dan Ashar meskipun anak panah menghujani mereka dari segala arah. Sebagian dari mereka jatuh bersimbah darah dan syahid menemui dzat yang dicintai. Ibadah, munajat, dan bacaan ayat-ayat suci Imam Husain as, keluarga dan sahabatnya di malam Asyura adalah fenomena ibadah yang terindah. Beliau telah mempelajari pelajaran cinta terhadap shalat dan bermunajat kepada Allah Swt dari ayahnya. Ibnu Abbas ketika berada di medan peperangan Shiffin menatap Imam Ali as yang tengah menengadahkan kepalanya kearah langit seakan menanti sesuatu. Ia bertanya kepada beliau, ″Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau sedang mengkhawatirkan sesuatu?″ Beliau menjawab, ″Aku sedang 1- Ibid., hadis ke-10234. 2- Al-Ankabut: 45. 3- Ibid., jld. 5, hlm. 371, hadis ke-10254. 4- Ibid., hlm. 369, hadis ke-10245. 5- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 21.
242
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
menunggu tibanya waktu shalat.″ Ibnu Abbas berkata, ″Kita tidak bisa melaksanakan shalat di saat genting seperti ini!″ Imam Ali as menjawab, ″Sesungguhnya kita memerangi mereka hanya karena memperjuangkan shalat.″ Jika para pemimpin kita saja selalu mementingkan shalat dengan baik dalam kondisi yang sangat genting seperti itu, apakah kita pantas untuk menganggap remeh shalat awal waktu dalam keadaan biasabiasa saja? Apakah pantas kita mengaku sebagai pecinta mereka akan tetapi kita tidak meniru perilaku mereka? Kita harus memahami arti shalat dimana mereka semua berjuang agar shalat ditegakkan. Mari kita bertanya kepada diri kita sendiri tentang seperti apa kenikmatan shalat, doa dan tilawah Al-Quran serta rahasia apa yang ada padanya sehingga Imam Husain as tidak mau meninggalkannya meski di saat-saat seperti itu? Beliau mengutus Abul Fadhl Abbas ke arah para musuh untuk meminta mereka mengundur peperangan dan di malam Asyura. Beliau berkata kepadanya, ″Semoga malam ini kita bisa menjalankan shalat yang banyak dan bermunajat kepada Tuhan serta memohon ampunan-Nya. Sesungguhnya Tuhan tahu betapa aku mencintai shalat, membaca Al-Quran, berdoa dan beristighfar.″1 Betapa agungnya shalat dan munajat sehingga Imam Husain as lebih mendahulukan shalat daripada keselamatan jasmaninya, dan meminta musuh untuk mengundur peperangan agar beliau mendapat kesempatan untuk menjalankan sebaik-baiknya ibadah. Menelusuri Akar Kezaliman di Karbala Dialog 65: Bagaimana Imam Husain as menelusuri akar-akar kezaliman di Karbala? Penjelasan dan ucapan beliau tentang hal ini lebih jelas dan mudah dipahami. Kezaliman dan jiwa haus darah adalah buah kerasnya hati seseorang. Banyak sekali faktor yang menyebabkan kerasnya hati; tapi faktor terbesarnya adalah memakan makanan yang haram. Keras dan matinya hati yang membuat manusia tidak mau condong kepaa kebenaran adalah hasil dari memakan makanan-makanan haram. Islam adalah agama yang menganggap menghindari makanan haram 1- Ibid., jld. 44, hlm. 392.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
243
sebagai ibadah besar dan sebaliknya, memakan makanan haram sebagai dosa besar. Imam Muhammad Baqir as berkata, ″Tidak ada ibadah yang lebih besar dari menjaga perut dan kemaluan.″1 Ada satu lagi faktor kerasnya hati yang, pada gilirannya, disebabkan oleh dosa-dosa yang lain. Hal itu adalah hati yang telah ditutup kedua matanya sehingga tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk yang membawakan sifat keras kepala di hadapan kebenaran serta kekufuran. Saat para musuh mengelilingi Imam Husain as di medan Karbala, dalam pidatonya beliau menjelaskan faktor dan akar kesesatan mereka. Beliau menjelaskan sebab terjerumusnya mereka ke dalam kezaliman, ″Barangsiapa menaati kami, maka ia termasuk orangorang yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa membelot dari kami, maka mereka termasuk orang-orang yang celaka. Tetapi aku tahu kalian semua tetap menentang kami. Karena, kami tahu perut kalian telah terpenuhi makanan-makanan haram dan hati kalian telah terkunci tertutupi. Celakalah kalian semua yang telah tertutupi telinganya!″2 Faktor terpenting lainnya yang menyebabkan kerasnya hati adalah lupa terhadap Allah. Mengingat Allah adalah pangkal dari segala bentuk kebahagiaan, kesempurnaan dan berkah. Ketika seseorang mengingat Allah, ia akan merasakan bahwa dirinya bagai setetes air yang menetes ke permukaan samudra luas keindahan dan keagungan. Ia akan merasakan dirinya menembus keterbatasan dan terbang tinggi ke langit penuh cahaya. Ketika seseorang lalai dari Tuhannya, pada hakikatnya ia sedang berada di suatu tempat yang rawan ketergelinciran dan jauh dari cahaya hati. Hati yang hampa tanpa zikir Ilahi mudah menjadi sarang setan dan kawan-kawannya. Bibit-bibit dosa mudah tersebar di hati seperti ini dan tak lama kemudian orang tersebut menjadi tawanan setan dan termasuk dari kelompoknya.
1- Wasâ'il Al-Syî'ah, jld. 11, hlm. 197, bab 22. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 8.
244
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Imam Husain as berkata kepada musuh-musuhnya, ″Tidak diragukan lagi setan telah menguasai kalian dan kalian telah melupkan Allah.″1 Ucapan beliau adalah ungkapan lain dari kandungan ayat yang berbunyi, ″Setan telah menguasai mereka sehingga membuat mereka melalaikan Tuhannya. Mereka adalah kelompok setan. Ketahuilah bahwa kelompok setan adalah kelompok yang merugi.″2 Imam Husain as telah meninggalkan pesan kepada kita bahwa diri kita harus menjadi tameng dari pedang-pedang tajam kesesatan dan kezaliman. Beliau mengajarkan kita untuk tidak lengah sedikitpun dalam berzikir kepada Sang Penguasa. Kriteria Sahabat Imam Husain as Dialog 66: Bagaimana dengan martabat para sahabat Imam Husain as? Apakah mereka memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah dan mereka semua, sejak awal hingga akhir, terus menyertai Imam Husain as? Pengikut suatu ajaran adalah cerminan ajaran tersebut. Keluarga dan para sahabat Imam Husain as di Karbala seakan tidak ada yang menandingi kecintaan, kesetiaan dan pengorbanan mereka. Mereka bagaikan bintang-bintang yang menghias langit; cahaya mereka menerangi hati orang lain; nama-nama mereka pun selalu dikenang para pecinta kebebasan dan keadilan. Kemuliaan para sahabat Imam Husain as susah terlukiskan. Biarlah beliau sendiri yang mengenalkan mereka kepada kita. Beliau berkata, ″Aku tidak mengenal sahabat sebaik kalian, sesetia kalian. Aku juga tidak mengenal keluarga sebaik kalian dan tidak ada yang lebih menyambung tali kekeluargaan daripada kalian. Semoga Allah memberikan balasan-Nya kepada kalian semua.″3 Dalam sebuah doa ziarah, kita menyebut sahabat-sahabat Imam Husain as sebagai penghulu para syuhada.4 Juga dalam sebuah ziarah yang ditukil dari Imam Shadiq as disebutkan, ″Kalian adalah orangorang pilihan Allah yang telah Ia pilihkan untuk Imam 1- Ibid., jld. 45, hlm. 5. 2- Al-Mujadalah: 19. 3- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, bab 35; Furûgh-e Shahodat, hlm. 192 dan sertelahnya. 4- Kâmil Al-Ziyârôt, bab 79, hlm. 196.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
245
Husain as.″1 Ungkapan ″orang-orang pilihan Allah″ adalah ungkapan yang menggambarkan seperti apa kemuliaan sahabat-sahabat beliau. Dengan melihat biografi kehidupan sahabat-sahabat Imam Husain as terbukti bahwa meskipun mereka semuanya sama-sama mencapai keridhaan Ilahi dan surga, tapi keadaan mereka sebelum mencapai kesyahidan berbeda-beda satu sama lainnya. Karena mengkaji sejarah hidup dan biografi mereka dapat memberikan banyak pelajaran yang membangun untuk kita, maka di sini kita akan membahas biografi beberapa orang dari sahabat beliau: Hurr bin Yazid Riyahi Setelah melewati beberapa tempat peristirahatan, rombongan yang dipimpin Imam Husain as sampai di Syaraf. Tak seberapa lama setelah itu, datang sekelompok pasukan yang dipimpin oleh Hurr bin Yazid Riyahi; mereka diperintahkan untuk menghadang beliau. Pada waktu itu, Imam Husain as melihat pasukan Hurr kelelahan dan kehausan setelah menempuh jarak yang jauh melewati gurun pasir. Oleh karenanya, beliau memerintahkan beberapa sahabatnya untuk memberi minum kepada mereka. Mereka mematuhi perintah beliau. Sebagian orang dari mereka memenuhi tempat air dengan air segar, dan sebagian yang lain membagi-bagikan air minum tersebut kepada pasukan Hurr dan hewan tunggangan mereka. Salah seorang prajurit Hurr berkata, ″Waktu itu aku tertinggal dan tak lama kemudian aku menyusul mereka dan sampai di tempat peristirahatan Husain. Waktu itu, sahabat-sahabat Husain sedang sibuk membagikan air minum kepada teman-temanku, dan karena aku terpisah dari mereka dan baru datang, mereka tidak perhatian kepadaku. Aku sangat kelelahan dan haus sekali. Tak lama kemudian Al Husain as melihatku dan menghampiriku dengan membawakan air. Aku tidak bisa meminumnya karena begitu lemah dan tidak berdayanya aku akibat rasa lelah yang luar biasa. Oleh karena itu Husain as sendiri yang meminumkan air tersebut kepadaku.″ Beberapa saat kemudian, setelah mereka cukup istirahat, tiba waktu shalat Zuhur dan Ashar. Salah seorang sahabat Imam Husain as 1- Ibid., hlm. 242.
246
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
mengumandangkan adzan. Beliau berkata kepada Hurr, ″Shalatlah bersama pasukanmu.″ Tapi Hurr menjawab, ″Aku dan pasukanku akan shalat di belakang Anda.″ Mereka melakukan shalat Zuhur dan Ashar bersama-sama. Seusai shalat, Imam Husain as berdiri di antara pasukan Hurr dan mulai berpidato. Setelah itu, Hurr berkata kepada beliau, ″Kami diperintahkan untuk menyertaimu dan tidak berpisah darimu hingga kita sampai di Kufah, lalu kami membawa kalian ke hadapan Ibnu Ziyad.″ Imam Husain as tidak suka mendengarnya lalu berkata, ″Lebih baik mati daripada engkau berpikiran seperti ini.″ Kemudian beliau memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk kembali. Hurr dan pasukannya menghadang Imam Husain as. Beliau bertanya kepadanya, ″Semoga ibumu duduk menangisi kematianmu! Apa yang kau inginkan dariku?″ Hurr menjawab, ″Jika bukan engkau yang menyebut-sebut ibuku, pasti aku akan membalasnya. Tapi, karena ibumu adalah Zahra, maka tidak ada kata-kata selain penghormatan untuknya.″ Di hari Asyura ketika pasukan Umar bin Sa′ad telah bertekat bulat untuk membunuh Imam Husain as sahabat-sahabatnya, Hurr tergugah; ia merasa berada di antara dua pilihan, surga atau neraka. Akhirnya dengan pikiran matang Hurr memilih surga daripada neraka. Ia menunggangi kudanya sambil memegang kepalanya. Ia memohon ampunan kepada Tuhan dan berlutut di hadapan Imam Husain as seraya berkata, ″Semoga aku menjadi tebusanmu, wahai putra Rasulullah. Akulah yang telah menghalangi kalian untuk kembali dan akhirnya kalian tertimpa musibah di tempat yang penuh bala ini. Sungguh aku tidak mengira sebelumnya mereka akan memperlakukan anda seperti ini. Kini aku menyesal dan bertaubat. Apakah Allah akan menerima permintaan maafku?″ Imam menjawab, ″Iya, Allah memaafkanmu dan menghapus kesalahanmu.″1 Di sini kita melihat bahwa Hurr telah beruntung; ia berhasil memilih jalan yang benar dengan berpihak kepada Imam Husain as. Jika kita 1- Syaikh Abbas Qumi, Muntahâ Al-Âmâl, jld. 1, hlm. 613; Sukhanon-e Emom Husein az Madineh to Karbalo, hlm. 137.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
247
ingin cari tahu apa penyebab keberuntungannya, mungkin bisa dikatakan bahwa ini berkat penghormatan Hurr terhadap beliau, seperti shalat berjamaah di belakang beliau, juga penghormatan kepada ibu beliau. Pada akhirnya, Hurr mendapatkan taufik untuk membela Imam Husain as dan mengorbankan nyawa untuknya. Akhirnya, ia mati syahid di jalan Allah. Sahabat-sahabat beliau menggendong jasadnya dan membawanya ke hadapan Imam Husain as. Beliau mengusapkan tangan di wajahnya sambil berkata, ″Engkau adalah orang yang bebas (Hurr, adalah kata bahasa arab yang berarti ″orang merdeka″-penj.) sebagaimana nama yang diberika oleh ibumu.1 Mungkin Imam Husain as menyebutnya sebagai orang yang bebas karena Hurr telah terbebaskan dari keterikatan duniawi dan cinta dunia serta kedudukan. Hurr telah mencapai kesempurnaan insaninya dan taufik tersebut berkat kecintaannya kepada Ahlul Bait as. Bahkan Hurr juga disebut sebagai orang yang bebas baik di dunia maupun di akherat.2 Pilihan tepat Hurr adalah lentera yang terang bagi manusia ketika ia dihadapkan di antara dua pilihan kemuliaan dan kehinaan. Memberontak keterikatan jiwa dengan dunia dan perkara-perkara lahiriah adalah sifat orang-orang seperti Hurr. Memilih berpisah dari pasukan kezaliman dan bergabung bersama pasukan Imam Husain as adalah pekerjaan yang berat, tapi di balik itu terdapat keagungan yang besar. Pilihan tepat Hurr adalah pelajaran bagi kita semua saat berada di hadapan dua jalan yang bertentangan. Kita harus memilih jalan kebahagiaan abadi kita dan meninggalkan yang lainnya. Ya, Asyura memberikan banyak pelajaran kepada umat manusia. Oleh karena itu Imam Shadiq as berkata, ″Setiap hari adalah Asyura dan setiap tempat adalah Karbala.″3 Yakni, Asyura adalah mata air hikmah yang dapat menyirami hati kita di manapun kita dan kapan saja. Karena pergelutan antara kebatilan dan kebenaran selalu ada;
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 14. 2- Furûgh-e Shahodat, hlm. 208. 3- Ibid.
248
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
antara Habil dengan Qabil, antara Imam Ali as dengan Muawiyah, antara Imam Husain as dengan Yazid dan seterusnya. Kita selalu bisa mengamalkan pelajaran Asyura, karena kesempatan memisahkan diri dari kegelapan dan bergabung dengan cahaya tidak pernah ada batas akhirnya selama nyawa masih di dada. Suara panggilan ″Siapakah yang akan menolongku?″ tidak hanya di Karbala, tapi di sepanjang hayat kita suara itu selalu ada dan selayaknya kita jawab panggilan itu. Zuhair bin Qain Zuhair adalah salah seorang tokoh ternama di Kufah. Ia adalah seorang lelaki pemberani. Ia orang yang dikenal sebagai seorang pahlawan di medang peperangan. Mulanya ia adalah pengikut Utsman. Pada tahun 60-tahun dimana Imam Husain as bersama rombongannya berangkat menuju Kufah-ia kembali dari ibadah haji bersama keluarganya. Ia tidak ingin bertemu beliau di perjalannya menuju Kufah apalagi tinggal bersama. Setiap kali Imam Husain as dan rombongannya berjalan, Zuhair memilih untuk tinggal. Ketika beliau tinggal untuk beristirahat, Zuhari memilih untuk berjalan. Pada suatu hari mereka terpaksa beristirahat bersama-sama dalam satu waktu. Akhirnya Zuhair mendirikan kemahnya tapi dengan jarak yang cukup jauh dari kemah Imam Husain as. Beberapa orang dari kawan Zuhair bercerita, ″Saat kita sedang makan bersama, datang seorang utusan dari kelompok Imam Husain as. Ia berkata kepada Zuhair, ″Imam Husain memanggilmu.″ Kami tidak mengira ada utusan Imam Husain as yang datang saat itu. Oleh karenanya kami kebingungan, makanan yang ada di tenggorokan kita tidak bisa kami telan dan tidak dapat kami keluarkan lagi. Istri Zuhair berkata kepada suaminya, ″Subhanallah! Engkau dipanggil oleh putra Rasulullah! Bergegaslah ke sana...″ Zuhair tidak suka mendengar kata-kata itu dan ia kesal. Akhirnya Zuhair mendatangi Imam Husain as, lalu beliau berbincangbincang dengannya. Beliau menuturkan kata-kata mutiaranya yang membuat hati Zuhair tersinari. Ia bahagia dengan hati yang bercahaya kembali ke kemahnya, kemudian membongkarnya dan mendirikannya di dekat kemah Imam Husain as.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
249
Karena beratnya perjalanan, dan ia tidak ingin ada kesusahan yang menimpa istrinya, akhirnya ia menceraikan istrinya dan meminta rombongannya untuk mengantarkannya ke Kufah. Istrinya tidak berburuk sangka, ia berpikiran positif. Ia berlutut di kaki suaminya dan mendoakannya agar mendapatkan syafaat Rasulullah Saw. Pada suatu hari, ketika Hurr menghadang Imam Husain as, Zuhair menyarankan beliau untuk memerangi mereka, tetapi beliau tidak mengizinkannya. Di sore hari kesembilan Muharram (Tasu'a), Zuhair adalah salah satu sahabat yang berikrar mengungkapkan kesetiaannya terhadap Imam Husain as ketika beliau mempersilahkan sahabat-sahabatnya untuk kembali jika mereka memang ingin kembali. Pada saat itu, Zuhair berkata, ″Aku rela terbunuh seribu kali lalu dibangkitkan lagi sebanyak seribu kali untuk membela Ahlul Bait as.″1 Pada hari kesepuluh Muharram (Asyura), Imam Husain as menjadikan Zuhair sebagai komandan pasukan sayap kanan beliau. Ia adalah orang pertama setelah beliau Imam yang berusaha menasehati musuh-musuh mereka. Dia bersama Sa′ad bin Abdullah adalah orang yang berdiri di depan beliau Imam Husain as saat beliau menjalankan shalat Zuhur dan Ashar sebagai tameng agar sang Imam tidak terkena panah. Seusai beliau shalat, mereka bergegas melawan pasukan musuh dan akhirnya mereka mencapai derajat kesyahidan. Kemudian Imam Husain as mendoakan jenazahnya dan melaknat pembunuhpembunuhnya.2 Berubahnya pikiran Zuhair yang semula menjauh dari Imam Husain as, tetapi kemudian menjadi pengikut setianya adalah salah satu keajaiban yang penuh rahasia dalam peristiwa Asyura. Tidak jelas kata-kata apa yang dia dengar dari mulut suci Imam Husain as saat itu sehingga dapat membuat Zuhair memalingkan wajahnya dari dunia dan menjadi pecinta setia Ahlul Bait as. Tidak diragukan lagi yang terjadi pada Zuhair adalah hijab yang menutupi hatinya telah tersingkap lalu cahaya wilayah menyinari hatinya. Dengan demikian ia mengenal imamnya. Segala
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 292. 2- Muntaha Al-Âmâl, jld. 1, hlm. 607; Farhang-e Osyuro, hlm. 201.
250
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
pengorbanan dan usahanya untuk membela beliau adalah cermin kesempurnaan pengetahuannya terhadap Imam Husain as.1 Zuhair mendapatkan petunjuk karena ia memiliki potensi untuk menerima petunjuk itu. Mungkin karena di hatinya masih ada sisasisa cahaya petunjuk lainnya yang mendukung diterimanya cahaya petunjuk yang lebih terang. Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda, ″Terkadang angin rahmat Allah berhembus lembut ke arah kalian. Maka bangkitlah dan nikmati angin itu.″2 Hurr dan Zuhair termasuk orang yang menikmati hembusan angin rahmat tersebut dan berkat itu mereka terbimbing menuju jalan kebahagiaan abadi. Ini di satu sisi. Di sisi yang lain, Imam Husain as pernah meminta sebagian orang untuk menyertai beliau, akan tetapi mereka bukanlah orangorang yang layak untuk mendapatkan kehormatan sebagai sahabat Imam Husain as yang rela mati untuknya. Ada beberapa orang yang seperti ini dan di sini kita hanya ingin menyebutkan salah satu di antaranya saja: Ubaidillah bin Hurr Ju′fi Ketika rombongan Imam Husain as beristirahat di persinggahan yang dikenal dengan Bani Muqatil, beliau mendengar bahwa Ubaidillah bin Hurr Ju′fi tinggal di situ juga. Ia adalah salah satu pengikut setia Utsman. Sepeninggal Utsman, ia bergabung bersama Mu′awiyah dan menjadi salah satu prajuritnya dalam perang Shiffin melawan Imam Ali as.3 Imam Husain as mengutus salah satu sahabatnya yang bernama Hajjaj bin Saruq. Hajjaj berkata, ″Aku membawakan kabar gembira untukmu. Imam Husain as datang ke sini dan mengajakmu untuk menyertainya. Kelak engkau akan mendapatkan bahala yang banyak dan kebahagiaan abadi.″ Ubaidillah berkata, ″Sumpah, aku sendiri pergi dari Kufah karena aku melihat orang-orang Kufah sedang mempersiapkan dirinya untuk 1- Furûgh-e Syahodat, hlm. 200. 2- Allamah Sayid Muhammad Husain Tehrani, Risâlah Lubb Al-Lubâb, hlm. 25. 3- Silahkan merujuk Târîkh Al-Tobarî, jld. 7, hlm. 167.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
251
memerangi Husain bin Ali dan para pengikutnya. Jelas sekali di mataku bahwa Husain akan mati terbunuh di peperangan ini dan aku tidak bisa memberikan bantuan apa-apa untuknya. Bahkan sejujurnya aku tidak ingin terlihat olehnya!″ Hajjaj kembali dan menceritakan apa yang dikatakan Ubaidillah kepada Imam Husain as. Akhirnya Imam sendiri yang mendatangi Ubaidillah dan beliau didampingi beberapa orang dari sahabatnya. Ubaidillah pun menyambutnya dengan baik. Imam Husain as berkata kepadanya, ″Dalam hidupmu, kamu banyak melakukan dosa. Apakah engkau tidak ingin dosa-dosamu dihapuskan?″ Ubaidllah berkata, ″Bagaimana caranya?″ Imam menjawab, ″Sertailah aku, anak lelaki putri nabimu ini dan berperanglah bersamaku.″ Ia menjawab, ″Aku bersaksi bahwa orang yang menaati perintahmu pasti akan menggapai kebahagiaan di akherat. Tetapi aku tidak yakin bisa membantumu. Maafkan aku tentang ini. Aku belum siap untuk mati. Tapi sebagai gantinya aku akan memberika kuda terbaikku kepadamu.″ Imam berkata, ″Engkau enggan mengorbankan nyawamu untuk kami. Jadi kami tidak membutuhkanmu juga tidak membutuhkan kudamu.″ Ubaidillah menyesali dirinya karena kehilangan kesempatan berharga ini. Ia tidak akan mendapatkan kesempatan yang sama sampai ia mati. Jika dicermati gerak gerik para imam suci, baik saat berperang atau berdamai, kita akan mendapati bahwa mereka benar-benar meneruskan misi para nabi. Tujuan mereka satu-satunya adalah membebaskan manusia dari ketergeliciran. Ketika Imam Husain as mendatangi kemah Ubaidillah, pada hakikatnya, sama seperti seorang tabib yang mendatangi pasiennya. Di mata para wali Allah, menyelamatkan sesama manusia dan menunjukkan jalan yang benar adalah pekerjaan yang sangat mulia. Itulah tujuan Imam Husain as dalam kebangkitannya dengan pengorbanan luar biasa. Tetapi beliau sadar bahwa Ubaidillah tidak memahami tujuan beliau. Ubaidillah hanya memikirkan materi dan mengira dengan memberikan kuda masalah yang sebenarnya akan
252
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
selesai. Oleh karenanya, beliau menolak dan berkata bahwa ia tidak membutuhkan Ubaidillah juga kudanya.1 Jaun, Budak Kulit Hitam Di sisi yang lain lagi, ada orang-orang seperti Jaun yang menyertai Imam Husain as di perang Karbala. Ia adalah seorang budak berkulit hitam yang pernah dibeli oleh Imam Ali as lalu beliau memberikannya kepada Abu Dzar. Ia hidup bersama Abu Dzar sampai pada suatu ketika ia meninggal dunia di tahun ke-32 H di padang tandus yang kering karena diasingkan. Setelah itu, Jaun kembali kepada Imam Ali as dan ia bangga berkhidmat kepada beliau. Setelah itu ia diberikan kepada Imam Hasan as, lalu Imam Husain as, kemudian tinggal bersama Imam Ali Zainal Abidin as. Di siang hari Asyura, ketika peperangan mulai berkecamuk, hati putih budak berkulit hitam itu luluh melihat apa yang menimpa Imam Husain as. Ia meminta izin darinya untuk ikut berperang, namun beliau berkata, ″Aku mengizinkanmu untuk kembali saja; karena kamu bersama kami untuk mendapatkan kenyamanan, bukan untuk berperang dan bergelut dengan kesusahan. Kamu tidak perlu melakukannya.″ Budak itu mencium kaki sang Imam sambil berkata, ″Wahai putra Rasulullah, apakah aku harus merasakan ketenangan sedangkan engkau ditimpa musibah dan aku diam saja? Sumpah, aku yang berbadan hitam dan berbau tak sedap ini tidak akan berpisah darimu sampai darahku yang kelam bercampur dengan darahmu.″ Akhirnya, Jaun beroleh izin. Ia berperang bagai ksatria dan akhirnya gugur sebagai seorang syahid. Kenikmatan tertinggi bagi para sahabat Imam Husain as adalah menatap sang Imam di nafas-nafas terakhir hayatnya sambil melihat indahnya bayangan surga; lalu baginya kematian serasa lebih manis dari madu. Imam Husain as menghampiri tubuh Jaun yang tergeletak tak berdaya. Beliau berdoa, ″Ya Allah, putihkanlah wajahnya, wangikan aromanya dan bangkitkanlah ia bersama orang-orang yang baik; 1- Sukhanon-e Emom Husain az Madineh to Karbala, hlm. 165.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
253
kumpulkanlah ia kelak bersama Muhammad dan keluarganya.″1 Doa beliau begitu mustajab hingga saat itu juga terkabulkan. Karena, Imam Baqir as pernah menukilkan sebuah hadis dari ayahnya, ″Sepuluh hari setelah peristiwa Asyura, ketika orang-orang berdatangan ke Karbala untuk menguburkan jasad para Syuhada, mereka menemukan tubuh Jaun beraroma wangi misik.″2 Seorang Budak Turki Disebutkan bahwa dalam peristiwa itu ada lagi seorang budak yang dikenal dengan budak Turki. Ketika budak Turki itu sedang menjemput ajalnya, Imam Husain as mendatanginya dan melakukan hal yang sama seperti yang pernah ia lakukan terhadap anaknya Ali Akbar; yakni menyentuhkan wajah mulia beliau dengan wajah budak itu. Budak itu tak percaya akan keindahan yang sedang dilihatnya. Ia tersenyum dan terbang melayang bersama para syuhada yang lain.3 Imam Husain as mencurahkan kasih sayang dan cintanya kepada budak Turki itu dan menunjukkan ke seluruh penghuni alam bahwa tidak ada perbedaan dalam menegakkan kebenaran antara orang yang berkulit hitam dengan yang berkulit putih. Warna yang menyatukan kita semua adalah warna Ilahi, yakni warna ketakwaan. Asyura dan Sastra Persia Dialog 67: Bagaimana pengaruh pribadi Imam Husain as dan perjuangan Asyura terhadap dunia kesusastraan Persia? Permasalahan ini sangatlah luas dan tidak bisa dibahas secara menyeluruh dalam tulisan singkat ini. Oleh karenanya kita hanya akan menjelaskan beberapa pembahasan secara ringkas saja. Tema perjuangan Imam Husain as memasuki dunia kesusastraan Persia pada pertengahan abad III. Yang pasti mulanya tidak bersifat serius, hanya sekedar dalam bentuk permisalan-permisalan yang menyinggung kronologi beliau dibunuh.
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 45, hlm. 32. 2- Ibid. 3- Furûgh-e Syahodat, hlm. 214.
254
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Baru seabad atau dua abad kemudian, yakni sekitar abad kelima dan keenam, Sanai melakukan isyarah secara langsung mengenai tragedi Asyura. Setelah abad kelima, yakni zaman Nashir Kosrov, ada isyarah-isyarah mendetail mengenai Asyura dan Imam Husain as. Tetapi itu masih belum sempurna kecuali di zaman Timuriyan. Pada masa pemerintahan Shafawiyah, karena mazhab Syiah telah diresmikan oleh pemerintah, mulai banyak penyair-penyair yang condong ke permasalahan Asyura.1 Salah satu orang yang dikenal pernah bergelut dengan permasalahan Asyura setelah masa pemerintahan Shafawi adalah Ibnu Hasam. Ia adalah seorang penyair yang kebanyakan syair-syairnya berkenaan dengan tragedi Asyura. Setelah itu banyak penyair lainnya yang mulai bermunculan dan menciptakan syair-syair mengenai Asyura, hingga karya-karya mereka terkumpul dalam bentuk buku kompilasi syair Asyura. Di sini kita akan menerangkan beberapa di antara penyairpenyair tersebut: Salah satu dari mereka adalah Muhtashim Kashani yang terkenal dengan karya-karyanya seputar Asyura dan Imam Husain as. Ia adalah penyair paling terkenal di masa pemerintahan Shafawi dengan karya-karya syairnya seputar nasehat dan tutur kata Ahlul Bait. Dapat juga dikatakan bahwa ia termasuk penyair terbaik dalam bidangnya di negeri ini. Karya-karya syairnya dikenal sampai sekarang. Dalam syairnya ia berkata: Peristiwa dahsyat apakah yang sedang terjadi ini? Duka apakah ini yang begitu dalam? Peristiwa apakah ini yang telah Membangkitkan seluruh penghuni alam? 2 Penyair ternama yang lain setelah itu adalah Shabahi Bigdeli. Ia adalah seorang penyair abad keduabelas dan ketigabelas hijriyah. Ia hidup di masa pemerintahan Zand. Ia memiliki banyak karya syair seputar Asyura.
1- Hamoseh-e Osyuro dar Adabiyot-e Forsi, wawancara dengan Abdul Jabbar Kakai. 2- Abul Qasim Radifar, Chand Martsieh az Syo'iron e Porsi Go, hlm. 57.
Bagian Kelima: Akhlak dan Irfan
255
Dalam salah satu syairnya ia berkata, ″Senja terlihat begitu murung melihat kepala-kepala yang terpisah dari jasadnya. Lalu aku berkata kepadanya bahwa inilah Muharam.″1 Kemudian setelah itu ada Malakus Syuara Muhammad Taqi Bahar. Ia adalah penyair terkenal di bidang ini pada era Orde Konstitusionalisme (Mashrotiyeh). Dalam salah satu syairnya ia berkata, ″Wahai dunia! Engkau telah mencelakakan keluarga Muhammad dan membawanya ke tanah yang penuh bala.″2 Lalu salah satu penyair yang sezaman dengan kita saat ini adalah Sayid Muhammad Husain Shahriyar. Ia adalah penyair yang terus mengalirkan karya-karyanya seputar Asyura dan Imam Husain as Salah satu karya terkenalnya adalah Karavan-e Karbala. Disebutkan di dalamnya: Hati-hati pengikutmu telah terikat dengan Nainawa, Wahai Husainku! Di hati mereka sedang bersama karavan Karbala, Wahai Husain! Sungguh musuh-musuh Husain telah celaka, Dan kepercayaannya adalah penghianat.3 Sepertinya di sini kita hanya membuang-buang waktu jika hanya membahas syair-syair dan penyair kita. Oleh karena itu kami hanya akan menyebutkan beberapa rujukan di bawah ini: 1. Pisyineh-e Saro′i-ye Osyuro dar Adabiyot-e Forsi, Majalah Basyo′ir, tahun ketiga, edisi ke-24. 2. Jaygoh-e Sye′r dar Tabyin-e Farhang-e Osyuro, Nashriyeh-e Rah-e Tusyeh-e Rahiyon-e Nur, edisi Muharam, cetakan Daftar-e Tablighat-e Islami, 1375.
1- Ibid., hlm. 69. 2- Ibid. 3- Divon-e Asy'or-e Syahryor, jld. 1, hlm. 98.
256
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram 3. Marsie Pardazi dar Adabiyat e Farsi, Nashriyeh-e Shorush, Nasyr-e Sheda va Sima, 1360, edisi 132. 4. Negohi beh Enqelob-e Karbalo Nashriyeh-e Etela′at, 21/1/82.
dar
Adab-e
Forsi,
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
Ali Zina tie
Tangisan dan Pengaruhnya Dialog 68: Tidakkah menangisi Imam Husain as merupakan anjuran untuk mewujudkan keadaan sedih yang memberikan efek negatif bagi jiwa? Mengapa Islam menganjurkan kita untuk bersedih hati? Mengapa agama yang sempurna ini menganjurkan kita untuk melakukan hal negatif? Dalam agama kita, banyak sekali riwayat-riwayat imam maksum yang menganjurkan kita untuk sering menangis, dan di balik tangisan tersebut banyak pahala dan ganjaran.1 Di sini ada dua masalah yang patut kita perhatikan: Pertama, tangisan tidak selamanya berasal dari kesedihan. Tangisan bermacam-macam, maka kita perlu menghukuminya sesuai dengan jenisnya masing-masing. Tangisan, tangisan yang berasal dari kesedihan bukanlah hal negatif dan tidak memberikan dampak buruk. Tangisan bukan kesedihan itu sendiri2, juga bukan kesedihan yang berupa penyakit3 untuk lantas Anda sebut sebagai gejala negatif. Perlu diketahui, istilah ma ′tam, yaitu apa yang kita lakukan dalam memperingati tragedi Karbala, didefinisikan kurang kurang jelas. Ma ′tam, kesedihan, histeria, berkabung, semua itu memiliki arti tersendiri yang tidak bisa kita campur-aduk dalam satu topik pembahasan. Ma ′tam berbeda dengan kekacauan jiwa yang dirasakan oleh orangorang beriman lemah ketika ditinggal sang kekasih. Berkabung adalah ungkapan kesedihan yang tidak dapat dipisahkan dari keterikatan sosial manusia. Semua itu adalah satu dari sekian bentuk kesedihan. Dan kesedihan itu adalah suatu keadaan emosional yang dirasakan ketika kita kehilangan sesuatu yang penting bagi kita. Kesedihan adalah reaksi jiwa terhadap peristiwa yang menyakitkan, dan ini bukan persamaan stres atau tekanan jiwa. Meskipun tak 1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 44, hlm. 291; Al-Khoshô'ish Al-Husainiyyah, hlm. 142. 2- Grief. 3- Dysphoria.
260
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
diragukan stres juga mengandung keadaan-keadaan yang disebut dengan kesedihan. Mari kita buktikan: apakah semua kesedihan memberikan dampak negatif terhadap jiwa sebagaimana yang dalam pertanyaan di atas; untuk selanjutnya kita mencapai jawaban atas pertanyaan: apakah memperingati kejadian Asyura dan bersedih karenanya itu baik ataukah tidak. Dari sudut pandang ilmu Psikologi, tidak semua kesedihan diidentifikasi sebagai penyakit. Kesedihan yang merupakan penyakit dapat dilihat tanda-tandanya seperti ketika kesedihan itu terus menerus nampak dalam diri seseorang dan, adakalanya, kesedihan itu memuncak tanpa sebab yang jelas. Kesedihan yang dirasakan orangorang yang melakukan ma ′tam bisa menjadi penyakit jiwa ketika mereka terlalu berlebihan dan membuat jiwa mereka tertekan sehingga tidak ada habisnya. Dengan penjelasan lain, jika kita melihat gejala-gejala di bawah ini pada diri orang-orang yang giat berkabung untuk Imam Husain as, maka perlu kita ketahui bahwa kesedihan itu memang penyakit adanya. Gejala-gejala tersebut adalah: 1. Kehilangan kebugaran; 2. Mengucilkan diri; 3. Perasaan tidak menghargai diri; 4. Merasa berdosa; 5. Munculnya pikiran bunuh diri; 6. Kesedihan terus menerus tanpa henti; dan 7. Munculnya kesedihan yang memuncak tanpa sebab. Kini, coba kita lihat: apakah orang-orang Syiah yang selalu mengadakan acara peringatan Asyura mengidap gejala-gejala penyakit jiwa di atas ini? Jika kita teliti secara ilmiah, berkabung untuk Imam Husain as bukanlah sebuah ungkapan kesedihan yang tidak normal; perbuatan itu dilakukan atas dasar pengetahuan yang pasti.
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
261
Oleh karena itu, peringatan Asyura diadakan tanpa terikat dengan bentuk lahiriah tertentu, juga bukan sebagai simbol tanpa makna. Peringatan tersebut diadakan oleh Muslimin berdasarkan pengetahuan akan arti Asyura, Imam Husain as, tujuan-tujuan mulia beliau, dan lain sebagainya. Kita melakukan perbuatan-perbuatan yang jelas tujuan dan maknanya sepanjang memperingati Asyura; bukan tanpa tujuan yang berguna. Memperingati Asyura jelas-jelas memberikan makna dan nilai ke dalam kehidupan kita, juga meluruskan apa-apa yang selama ini menyimpang namun kita tidak menyadarinya. Semua yang kita lakukan disadari hanya akan berujung kepada kemuliaan dan makrifat. Dengan demikian, menangis untuk Imam Husain as bukan gejala kesedihan dalam kategori penyakit jiwa. Bahkan, tangisan kita untuk Imam Husain as justru merupakan tanda sehatnya jiwa kita, karena jika kita menangis untuknya, itu artinya jiwa kita menyertai jiwa beliau dan kita terbang bersamanya. Jika ada seorang yang beriman tidak meneteskan air mata dengan mengenang peristiwa bersejarah ini, dari segi psikologis, boleh jadi orang itu justru memiliki penyakit jiwa. Orang seperti itu disebut dengan penderita yang kehilangan perasaan sedih, meskipun ia melihat hal-hal yang memang menyedihkan. Pada dasarnya, keadaan seperti ini adalah suatu penyakit. Ya, jika dilihat secara sekilas tatkala ada orang yang kehilangan kekasihnya, tetapi ia tidak bersedih dan menangis, mungkin kita akan mengaguminya karena hatinya yang sedemikian kuat dan tegar, padahal di balik itu sesungguhnya dia adalah orang yang sakit; ia kehilangan perasaan dan kesedihan yang lazim. Sebagaimana orang-orang yang melakukan ma ′tam dan berkabung untuk Imam Husain as, jika memiliki tanda-tanda yang kita jelaskan tadi, adalah orang yang terkena penyakit jiwa, maka orang yang tidak nampak kesedihan dalam dirinya manakala kita gambarkan peristiwa Karbala di hadapannya adalah orang yang juga sakit. Mungkin kita akan sedikit bertanya-tanya: apakah orang yang tidak berkabung di hari Asyura adalah orang yang sakit jiwa? Tidak. Kita sama sekali tidak berkata demikian. Karena, bisa saja orang tersebut tidak memiliki keterikatan dan kecintaan kepada Imam Husain as sehingga ia tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi pada beliau.
262
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Tidak ada jalinan jiwa dan pikrian antara dia dengan Imam Husain as; dia tidak merasakan apa yang dirasakan beliau. Sebagaimana yang kita jelaskan tentang kesedihan di atas, kesedihan biasanya muncul ketika seseorang kehilangan sesuatu yang dicintainya, maka orang yang tidak mengenal dan mencintai Imam Husain as tidak akan bersedih ketika beliau ditimpa musibah. Tidak menutup kemungkinan ada sebagian orang yang, meskipun ia mencintai Imam Husain as, tetapi tidak bisa bersedih menyimak musibah yang menimpa beliau; maka orang yang seperti ini memiliki penyakit jiwa, yaitu tidak bisa bersedih. Akan halnya bila orang itu sehat secara ruhani, juga mengaku sebagai pecinta Imam Husain as, akan tetapi ia kesusahan untuk bersedih saat mengenang Asyura, maka orang tersebut harus meninjau kembali akidah dan keimanannya dalam beragama. Ia harus bertanya terhadap dirinya bahwa Muslim seperti apa dirinya sehingga sama sekali tidak bisa bersedih kala mengingat Imam Husain as ditimpa musibah besar seperti itu? Dia tidak termasuk pengikut Ahlul Bait as sebagaimana yang disebutkan kriterianya oleh Imam Shadiq as, ″Syiah kami adalah orang-orang yang sama seperti kami; tercipta dari satu bahan yang sama; jika kami merasakan kesedihan, mereka juga merasakannya; dan jika kami merasakan kebahagiaan, mereka pun bahagia. Mereka tidak akan berpisah dari kami, kami pun tidak akan berpisah dari mereka.″1 Jadi, menangis untuk Imam Husain as bukanlah hal yang negatif. Justru sebaliknya, sebagian orang yang tidak bisa menangis untuk Imam Husain as adalah orang-orang yang sakit jiwanya. Perlu diketahui juga, tangisan ternyata memiliki banyak khasiat yang memberikan berbagai manfaat kepada diri orang yang menangis itu sendiri. Tangisan yang muncul dari luapan kesedihan yang teratur dapat memberikan ketenangan bagi orang yang bersedih. Akan tetapi, kesedihan yang tak teratur, tangisan histeris yang berlebihan, justru akan mengacaukan keseimbangan zat kimiawi dalam tubuh. Sebagian
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 51, hlm. 151.
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
263
mengatakan, ″Menangis akan mengeluarkan zat-zat beracun dari tubuh dan mengembalikan keseimbangan jiwa.″ Peristiwa Asyura adalah peristiwa Ilahi yang mulia. Kita membahas peringatan Asyura dari segi ilmu Psikologi bukan berarti mengurangi nilai keilahian peristiwa itu, tapi kita hanya ingin membuktikan bahwa bersedih kala mengingat Asyura dan Imam Husain as tidak bertentangan dengan kesehatan jiwa sehingga tidak muncul pertanyaan-pertanyaan seperti di atas itu. Menurut Psikologi, kalau kita melihat acara peringatan Asyura yang diadakan di sekitar kita, kita tidak melihat perbuatan-perbuatan yang dilakukan sehingga berefek negatif pada jiwa. Kita melihat mereka mengadakan acara peringatan itu dengan cara yang benar dan wajar. Salah satunya, jika dalam acara peringatan Asyura kita melihat seseorang yang membacakan kronologi tragedi Karbala, maka dari sudut pandang ilmu Psikologi, apa yang ada di hati dapat kita keluarkan dan beban yang terasa menjadi lebih ringan hanya dengan bercerita demikian. Seperti seseorang yang sedang mencintai kekasihnya, selama ia tidak mencurahkan isi hatinya kepada orang yang ia percaya, rasanya ada sesuatu yang besar sekali mengganjal di hati dan berat untuk dipendam terus menerus. Dengan bercerita atau bercurah hati, ia merasakan kelegaan tersendiri. Yang jelas, tujuan diadakannya acara-acara peringatan Asyura dalam ajaran mazhab kita bukanlah masalah yang sedang kita bahas; ini hanyalah efek positifnya bagi kejiwaan saja. Akan tetapi, tujuan utama menghidupkan budaya Asyura tak lain adalah untuk terus menjungjung tinggi nila-nilai kebenaran yang diperjuangkan Imam Husain as. Dengan terus menghidupkan Asyura, pelajaran-pelajaran yang kita ambil darinya akan senantiasa hidup, pelajaran-pelajaran seperti ketaatan beragama, kebebasan, keberanian, dan lain sebagainya. Sekali lagi, tujuan utama diadakannya acara-acara peringatan hari Asyura bukan sekedar mengeluarkan uneg-uneg dari dada saja. Peringatan Asyura yang dilakukan, pada umumnya, memiliki dua landasan utama: pertama, sunah dan adab mazhabi; dan kedua, adat dan kebiasaan kaum yang mengadakan acara-acara tersebut. Jadi, acara peringatan Asyura tidak hanya sesuai dengan selera kebangsaan kita, tapi juga sesuai dengan aturan-aturan mazhab ini; ini adalah cara
264
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
yang baik untuk berkabung dan meratapi Asyura. Jelas, jika kita melakukan segala sesuatu dengan baik, kita tidak akan menerima efek buruk darinya. Pembacaan-pembacaan kronologi tragedi Karbala dilakukan berdasarkan apa yang diajarkan oleh para imam maksum kepada kita. Cara yang diajarkan para imam tentunya merupakan cara yang baik, dan tentunya inilah cara terbaik bagi para pengikut mereka untuk mencurahkan kesedihan di hati mereka ketika mengingat kepedihan yang menimpa pemimpin mereka. Mendengar pembacaan kronologi Asyura dan tangisan-tangisan para pendengarnya sangat nikmat bagi pecinta sejati Imam Husain as. Begitu pula sebaliknya, orang yang sama sekali tidak memiliki kecintaan dan keterikatan batin dengan beliau hanya menganggap mereka yang sedang menangis tak ubahnya dengan orang gila. Orang-orang yang merasakan kesedihan di hari Asyura akibat mengingat musibah yang menimpa Imam Husain as akan merasakan ketenangan jika ia berkumpul bersama dan mengadakan acara ma ′tam. Bagi mereka, ini lebih baik dan lebih meringankan penderitaan di hati mereka daripada harus berkumpul dengan orangorang lainnya yang berbahagia dan memiliki perasaan berbeda dengan mereka. Metode penenangan jiwa ketika sedang tertekan kesedihan terkadang berupa konsultasi psikologi, dan terkadang mengungkapkan kesedihan itu sendiri. Pada hakikatnya, mengadakan acara peringatan Asyura adalah metode kedua dari penenangan jiwa. Dengan demikian, menangis dalam acara peringatan Asyura bukan hanya tidak baik, tetapi bahkan banyak kebaikan yang dihasilkan darinya. Tangisan yang Mengalahkan Segalanya Dialog 69: Sebagaimana yang kita ketahui, tawa dan gembira adalah obat bagi penyakit apa saja. Tetapi, mengapa agama terus menganjurkan kesedihan kepada kita? Pertanyaan ini menunjukkan ketidakjelasan pola pikir kita dalam beragama. Di sini, kita tidak akan memberikan jawaban yang terlalu rumit. Hanya sebagai gantinya, kita akan membahas permasalahan ini
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
265
dengan ringkas saja. Kita akan menjawab pertanyaan ini dengan menelusuri empat poin di bawah ini: Mencari tahu sebab munculnya pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Menjelaskan nilai kesedihan dan kegembiraan menurut pandangan Islam. Menjelaskan kesedihan dan kegembiraan itu sendiri menurut ilmu psikologi berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya. Menerangkan kegembiraan dan kesedihan yang dapat dinilai positif. Sebab Timbulnya Pertanyaan Mungkin kita bertanya seperti di atas karena melihat fenomena kemazhaban di sekitar kita yang rata-rata kesedihan mendominasi segalanya. Padahal, jika kita melihat lebih luas lagi, kenyataan yang sebenarnya tidaklah begitu. Memang, kalau saja kita melihat kenyataan di sekitar kita; ketika saudara-saudara kita mengadakan acara-acara kemazhaban, dan bahkan dalam acara-acara peringatan kelahiran para imam maksum, mereka lebih menekankan sisi kesedihan ketimbang sisi-sisi yang lainnya, sehingga jika kita melihat secara sekilas, seakan-akan ajaran kita isinya hanya kesedihan dan kesedihan melulu. Sangat disayangkan memang, banyak saudara-saudara kita yang berpikiran bahwa pekerjaan membuat orang lain menangis adalah pekerjaan mulia. Pemikiran seperti ini disebabkan oleh pemikiran lain yang intinya bahwa kesedihan adalah kebaikan, karena dengan bersedih, seorang hamba akan menjadi dekat dengan Tuhannya. Oleh karena itu, saudara-saudara kita yang seperti itu selalu berupaya bagaimana caranya agar ia dapat membuat orang lain menangis. Mereka menganggap dirinya telah berhasil melakukan sesuatu yang luar biasa saat membuat orang-orang yang duduk di majelis-majelis keagamaan meneteskan air mata. Adanya orang-orang yang menganggap dirinya bertugas untuk membuat orang menangis adalah penyebab timbulnya pertanyaan-pertanyaa semacam ini.
266
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Saudara-saudara kita itu mungkin juga terpengaruh riwayat-riwayat yang menekankan dan menganjurkan kesedihan kepada umat Islam, dan diri mereka pun berlebihan dalam menyikapi riwayat-riwayat tersebut. Di sisi lain, ada saudara-saudara kita yang terpengaruh dengan riwayat-riwayat yang intinya menyarankan kita untuk bergembira dan membuat orang lain menjadi gembira; dan mereka pun keterlaluan dalam menanggapi riwayat-riwayat tersebut. Akhirnya, mereka menjadi orang-orang yang daya dan usahanya selalu bertujuan untuk menggembirakan orang lain. Mereka melakukan apa saja agar tujuan mereka tercapai, yakni menggembirakan orang lain. Kedua kelompok di atas dalam agama istilahnya telah terperangkap ifrot dan tafrît. Adanya dua kelompok di atas membuat Islam terkadang terkesan sebagai agama cengeng, dan terkadang terkesan sebagai agama konyol, sehingga keduanya tidak dapat disatukan. Kedua kelompok di atas seakan tidak menyadari bahwa jalan yang terbaik adalah jalan di antara kedua jalan tersebut. Padahal pada hakikatnya, jalan lurus yang dibawakan Islam adalah jalan yang tidak berlebihan (ifrot) tijak pula berkekurangan (tafrît), yakni seimbang (i'tidâl). Kesedihan dan Kegembiraan dalam Islam Dalam pandangan Islam, tawa dan tangisan, kesedihan dan kebahagiaan, semua itu tidak memiliki nilai esensial sehingga kita dapat mendahulukan yang ini dari yang itu. Islam tidak meminta kita untuk menangis dengan arti menangis itu sendiri, sebagaimana Islam tidak memerintahkan kita untuk tertawa hanya untuk tertaa; tanpa ada maksud tertentu. Perintah-perintah Islam berdasarkan tujuan-tujuan tertentu di baliknya. Kesedihan dan kebahagiaan adalah sifat alamiah yang dimiliki manusia. Semuanya sama saja tatkala tidak memberikan efek buruk bagi seseorang dalam menghamba kepada Tuhannya, bahkan kalau bisa memberikan dampak yang positif. Kesedihan yang berlarut-larut dan kegembiraan yang keterlaluan adalah perbuatan yang tercela, karena memberikan dampak buruk bagi penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dengan demikian, kita
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
267
dapat memberikan penilaian kepada kesedihan dan kegembiraan berdasarkan motif dan efek keduanya itu. Tertawa yang menunjukkan kebodohan seseorang adalah tidak ada apa-apa ia malah tertawa sendiri. Sifat seperti ini adalah sifat jelek. Dinukilkan dari Imam Hasan Askari as, ″Yang termasuk tanda kebodohan adalah tertawa tanpa sebab.″1 Imam Kazim as juga pernah berkata, ″Tuhan tidak suka dengan orang yang tertawa tanpa ada hal menakjubkan yang membuatnya tertawa.″2 Sebaliknya, tertawa yang berdasarkan makrifat dan sebab-sebab tertentu adalah hal yang wajar dan terkadang justru terpuji. Maka itu, tidak semua tawa itu buruk, sebagaimana tidak semua tawa itu jelek. Kesedihan juga begitu; tidak semuanya jelek, bahkan kesedihan karena takut akan azab Ilahi adalah perbuatan yang sangat terpuji dalam ajaran agama. Imam Muhammad Baqir as berkata, ″Tidak ada tetesan air yang lebih disukai oleh Allah selain tetesan air mata dari seorang hamba yang menangis di tengah malam karena takut akan azab Ilahi dan tidak mengharapkan apa-apa selain keridhaan-Nya.″3 Imam Ali as berkata, ″Tangisan karena rasa takut akan azab Allah adalah kunci rahmat-Nya.″4 Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa tangisan seperti ini membuat hati menjadi bersinar dan terjaga dari dosa.5 Jadi, tawa dan tangisan tidak selalu bertentangan dengan kesehatan jiwa. Senyum dan tawa yang berdasarkan makrifat, tangisan yang berdasarkan rasa takut akan azab Allah, kedua-duanya mendatangkan berkah dan keridhaan Ilahi; dan tak dipungkiri, kedua-duanya juga memberikan dampak yang baik bagi kesehatan jiwa seseorang. Di sini kita akan membawakan beberapa poin tentang pandangan Islam mengenai topik ini:
1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 72, hlm. 59. 2- Ibid., jld. 78, hlm. 309. 3- Ushûl Al-Kâfî, jld. 2, bagian Doa, bab Menangis. 4- Mîzân Al-Hikmah, jld. 1, hlm. 453, hadis ke-1836. 5- Ibid., hlm. 354.
268
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Pertama, tangisan yang meluap dan tak terarah saat tertimpa musibah tidaklah dibenarkan. Pernah ditukil bahwa Rasulullah Saw selalu menghibur para sahabatnya dan mengajak mereka sedikit bercanda ketika mereka tertimpa musibah.1 Para imam maksum juga menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk bergembira dalam hidup. Mereka berkata, ″Bergembiralah di jalan keridhaan Allah, supaya kalian dapat menikmati hidup dengan penuh kebahagiaan.″ Kedua, tangisan yang diberi nilai positif oleh Islam adalah tangisan kesedihan karena takut akan azab Allah. Tangisan seperti ini bukan hanya tidak memberikan dampak buruk bagi kejiwaan, bahkan merupakan salah satu jalan membentuk keperibadian yang mulia. Menangis saking cintanya terhadap sesama atau karena bencinya terhadap musuh-musuh Allah juga seperti ini. Ketiga, tertawa bukanlah perbuatan yang buruk, bahkan terkadang kita dianjurkan untuk berbahagia yang salah satu ekspresinya berupa tawa. Segala hal yang berkenaan dengan kebahagiaan, seperti: tesenyum, tertawa, bercanda ria dan lain sebagainya, selama tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama dan moral, tidak dipermasalahkan oleh agama dan sah-sah saja. Keempat, Islam tidak menjadikan kesedihan sebagai anjuran yang paling utama, tidak juga menjadikan kebahagiaan sebagai nomor satu. Kedua-duanya, bagi Islam, adalah keadaan yang dimiliki manusia dalam hidupnya; di saat yang tepat, ia bisa bersedih dan, di saat yang tepat, ia bisa tertawa. Kelima, dalam keadaan normal dan biasa-biasa saja, manusia lebih disarankan untuk berbahagia, bukannya memenuhi hari-harinya dengan kesedihan. Oleh karenanya, kita dianjurkan untuk mengisi hari-hari dengan senyuman, tawa, canda, olah raga, memakai pakaian yang cerah warnanya, dan lain sebagainya. Di mata Islam, pada dasarnya seorang yang beriman adalah orang yang berwajah ceria dan penuh senyum; sedangkan orang munafik berwajah cemberut dan tak sedap dipandang.2
1- Sunan Al-Nabî, hlm. 60. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 77, hlm. 155.
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
269
Rasulullah Saw bersabda, ″Aku adalah manusia seperti kalian yang terkadang bercanda juga tertawa.″1 Beliau juga bersabda, ″Aku juga bercanda, akan tetapi dalam pembicaraanku aku selalu jujur dan tak pernah berbohong.″2 Keenam, tawa yang baik adalah tawa yang berdasarkan makrifat dan hikmah; juga tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama, moral dan nilai-nilai kebijakan. Jika kita ingin melihat salah satu contohnya, itu adalah canda-nya Rasulullah Saw dengan beberapa orang tua. Kepada mereka, beliau mengatakan, ″Surga adalah tempat tinggal orang-orang yang berusia muda, dan di sana tidak ada tempat untuk orang tua.″3 Spontan saja orang-orang tua itu tampak khawatir. Melihat keadaan mereka berubah, beliau bersabda, ″Kalian semua akan menjadi muda, lalu setelah itu masuk surga.″ Oleh karena itu, tawa-tawa yang dicaci agama adalah tertawanya orang-orang bodoh yang tak berakal, tertawa dengan suara terbahak bahak, tertawa yang bercampur dengan gunjingan atau dosa-dosa yang lainnya. Terlalu banyak tertawa juga kurang dipuji agama. Rasulullah Saw bersabda, ″Banyak tertawa akan menghapuskan keimanan.″4 Beliau juga bersabda, ″Celakalah orang-orang yang suka berkata bohong dan menertawakan sesamanya. Celakalah mereka dan celakalah mereka.″5 Imam Shadiq as berkata, ″Tertawa terbahak-bahak adalah tertawanya setan.″6 Ketujuh, tangisan yang bermakna dalam pandangan Islam adalah tangisan karena takut akan azab Allah, karena kecintaan kepada sesama dan kebencian terhadap musuh. Maka, tangisan-tangisan yang lainnya tidak memiliki makna, apa pun itu motivasinya. Jadi Islam tidak suka dengan tangisan-tangisan lainnya, apalagi jika dibarengi
1- Kanz Al-'Ummâl, jld. 3, hlm. 648. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 16, hlm. 295. 3- Mîzân Al-Hikmah, jld. 1, hlm. 484. 4- Ibid., hlm. 482. 5- Ibid., hlm. 484. 6- Ibid., hlm. 481.
270
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
dengan berteriak-teriak dan mengucapkan kata-kata yang tidak sopan.1 Dengan memperhatikan poin-poin di atas, kita bisa membayangkan bahwa orang-orang yang salah mengerti akan masalah kesedihan dan kegembiraan, kebanyakan adalah orang-orang yang hanya melihat sebagian riwayat saja tanpa mau memandang secara lebih luas dan lengkap. Dengan hanya merujuk hadis-hadis yang menekankan kesedihan, mereka berpikiran bahwa kegembiraan adalah buruk; dan mereka yang hanya mengingat hadis-hadis yang menekankan kegembiraan saja berpikiran bahwa kesedihan itu buruk. Dengan demikian, kedua kelompok tersebut sama-sama keluar dari jalur keseimbangan yang seharusnya. Sebenarnya keadaan asli manusia, pertama-tama, adalah kebahagiaan, bukan kesedihan. Jadi pada dasarnya, tanpa perlu sebab apa-apa, seorang manusia yang hidup akan berbahagia dengan kehidupannya. Tetapi kesedihan membutuhkan waktu-waktu khusus untuk menguasai keadaan seseorang hingga menjadi sedih. Ada sebab-sebab tertentu yang menuntut manusia untuk jatuh sedih. Ketika agama menganjurkan orang beriman untuk banyak-banyak bersedih, ajakan itu untuk pribadi. Yakni, seseorang dianjurkan untuk menangis di malam hari karena takut akan azab Allah atau karena merasa kecil di hadapan keagungan-Nya; bukannya menangis seperti itu di siang hari di tengah halayak, atau di saat-saat yang bukan tempatnya untuk menangis. Islam memang menyadari bahwa keadaan asli manusia yang sebenarnya adalah kegembiraan dan kebahagiaan. Tetapi, ini bukan berarti Islam melegalkan diadakannya acara-acara dan majelis-majelis yang inti tujuannya hanyalah semata-mata tertawa dan membuat orang lain tertawa; karena dalam agama, majelis-majelis seperti itu adalah majelis-nya orang-orang yang suka melakukan perbuatan siasia dan tak berguna.2
1- Mîzân Al-Hikmah, jld. 5, hlm. 449. 2- Mîzân Al-Hikmah, jld. 5, hlm. 484.
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
271
Kesedihan Menurut Ilmu Psikologi Untuk menyempurnakan jawaban ini, kita akan sedikit menyinggung beberapa poin mengenai kegembiraan dalam pandangan ilmu psikologi. Di sini kita akan membahas definisi kegembiraan juga jalan mencapai kegembiraan tersebut.
Definisi Gembira Meskipun kegembiraan adalah masalah yang sudah lama dibahas dalam ilmu Psikologi, tapi pembahasan itu jarang dibahas. Banyak yang mendefinisikan kegembiraan dengan definisi yang berbedabeda. Ada yang mengatakan bahwa kegembiraan adalah perasaan positif yang dihasilkan ketika seseorang merasa telah mencapai kemenangan dan memenuhi keinginannya. Juga ada yang mendefinisikannya sebagai gumpalan rasa nikmat dalam jiwa. Menurut Aristoteles, kita tidak bisa mendefinisikan kegembiraan yang dirasakan oleh bermacam-macam orang dengan definisi yang sama; oleh karenanya dia menerangkan tiga fase kegembiraan yang dirasakan oleh manusia: fase pertama, orang yang merasa gembira itu merasakan nikmat; fase kedua, orang tersebut melakukan perbuatan-perbuatan baik; dan fase ketiga, ia merasa dirinya memiliki pola hidup yang masuk akal dan bijak. Kalangan awam biasanya hanya merasakan kegembiraan hanya dari sisi kenikmatan saja; tidak peduli rasa nikmat yang mereka rasakan merupakan buah dari perbuatan-perbuatan tercela ataukah terpuji. Kegembiraan seperti ini, pada dasarnya, bukan kegembiraan yang hakiki, karena banyak orang yang mencari kegembiraan tersebut, tetapi ia justru tidak memperhatikan martabat kemanusiaan dirinya, kalau bukan malah kehilangan kepuasan ketika melihat dirinya sendiri. Di sinilah Sokrates berkata, ″Lebih baik aku bersedih daripada aku gembira tapi martabat diriku seperti babi.″ Dengan demikian, nilai kegembiraan yang paling rendah seharusnya bukan kegembiraan yang hanya mengandung unsur nikmat saja, tapi harus tidak bertentangan dengan martabat kemanusiaan diri sendiri agar kita merasakan kepuasan dalam hidup. Jadi, kegembiraan yang paling rendah adalah merasa nikmat sekaligus puas dengan keadaan
272
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
diri sebagai seorang manusia yang baik. Oleh karenanya, kita tidak boleh menitikberatkan kenikmatan di bawah nilai-nilai kemanusiaan supaya kita tidak disebut sebagai orang-orang yang bermartabat binatang.
Jalan Mencapai Kegembiraan Hidup memang perjalanan yang penuh kesusahan dan membutuhkan perjuangan dan kerja keras yang sarat beban. Akan tetapi, itu bukan berarti kita boleh diam saja dan membiarkan kesusahan terus menindih kita; kita harus mengejar kebahagiaan juga dalam hidup ini. Oleh karena itu, kita harus mencari jalan untuk mencapai kegembiraan. Tetapi kita sebagai manusia harus selalu menyadari bahwa kita mesti memilih jalan-jalan yang sesuai dengan normanorma kemanusiaan dan aturan agama untuk menuju kegembiraan tersebut. Jadi, kegembiraan tidak boleh kita artikan sebagai kenikmatan semata; kita harus menyadari bahwa jalan yang harus kita tempuh untuk mencapai kebahagiaan itu tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan manusiawi. Secara ilmiah terbukti ada beberapa cara meraih kegembiraan dan kebahagiaan yang dapat kita tempuh: 1. Melawan kekhawatiran; 2. Membesarkan hati untuk menerima segala hal; 3. Bersafari; 4. Berolahraga; 5. Tersenyum dan tertawa; 6. Bercanda; 7. Mengenakan pakaian bercorak cerah; 8. Merias diri; 9. Ikut dalam acara-acara yang penuh gembira; dan 10. Mengurangi harapan dan angan-angan.
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
273
Ekspresi Kegembiraan dan Kesedihan yang Benar Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan di bawah ini: Pertama, cara terbaik mengekspresikan kebahagiaan ialah dengan tersenyum. Namun, perlu diketahui bahwa harus selalu bahagia itu bukannya selalu tertawa; ini perlu dibedakan. Karena, kita telah sadari bahwa kebahagiaan adalah tujuan yang kita inginkan dalam hidup ini. Kedua, kita tidak sepatutnya merasa cukup dengan kebahagiaan tingkat rendah, yakni hanya merasakan kenikmatan dan kepuasan saja. Sebagaimana yang dikatakan Sokrates, Plato dan Aristoteles, kebahagiaan dan kegembiraan terbaik adalah kegembiraan yang berdasarkan kebijakan dan pemikiran, maka sebaiknya kita harus mencapai derajat kebahagiaan tertinggi itu. Menurut riwayat-riwayat dalam agama kita, kegembiraan seperti ini disebut dengan kegembiraan orang yang zuhud. Imam Ali as berkata, ″Orang yang zuhud adalah orang yang suka tersenyum meskipun di batinnya ia menangis; ia terlihat bahagia kendati sebenarnya bersedih.″1 Jadi, alangkah baiknya jika kita mencapai derajat tertinggi sebagai manusia yang tidak hanya merasa puas dengan kebahagiaan yang rendah. Ketiga, seharusnya masyarakat secara keseluruhan merupakan masyarakat yang berbahagia; tapi hal itu akan terwujud ketika setiap orang di dalamnya juga manusia yang berbahagia. Jika agama kita terkesan hanya mementingkan dan menekankan kesedihan saja, perlu kita sadari bahwa anggapan ini disebabkan oleh ulah orang-orang yang telah kita sebutkan sebelumnya, yakni orang-orang yang terjebak dalam jerat ifrath dan tafrith: sikap yang berlebihan atau berkekurangan, bukan dikarenakan ajaran Islam memang seperti itu. Tangisan dan kesedihan yang sangat ditekankan dalam agama kita hanyalah tangisan karena takut akan azab Allah.
1- Ibid., hlm. 485.
274
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Keempat, tujuan acara-acara kemazhaban yang biasanya diadakan kurang lebih adalah (a) menerangkan hukum-hukum agama, faktafakta ilmiah, tugas-tugas sosial dan individual serta kebutuhankebutuhan bersama; (b) menanamkan bibit-bibit perangai baik di hati setiap orang; dan (c) ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Oleh karena itu, menangis atau tertawa bukanlah permasalahan inti; tangisan dan tawa hanya bersifat sekunder saja. Dengan memperhatikan poin-poin di atas, kini tiba saatnya kita membahas diadakannya acara-acara kemazhaban seperti pembacaan kronologi peristiwa Asyura, pembacaan ziarah, ma ′tam, dan lain sebagainya: 1. Tidak semua acara-acara keagamaan dan kemazhaban yang kita adakan menekankan kesedihan dan tangisan di dalamnya. Acara-acara yang biasanya berkaitan dengan kesedihan dan tangisan hanya terbatas pada peringatanperingatan Asyura atau hari wafatnya imam-imam suci kita. Sesuai dengan ajaran para Imam kita, selayaknya kita menciptakan suasana kesedihan dalam acara-acara peringatan hari-hari berkabung dan kita juga selayaknya menciptakan suasana bahagia di acara-acara peringatan hari kebahagiaan Ahlul Bait as. Sebagaimana dikatakan oleh Imam kita, ″Syiah kami bersedih ketika kami bersedih dan berbahagia ketika kita bahagia.″1 Oleh karenanya, jika kita menemui sekelompok orang yang menciptakan suasan kesedihan di hari-hari bahagia Ahlul Bait as, maka perlu kita ketahui bahwa mereka telah berlebihan atau terjebak dalam ifrot dan tafrit. 2. Meskipun acara-acara hari berkabung kita terkesan penuh kesedihan, tapi tidak bertujuan untuk menciptakan kesedihan yang tidak membangun. Memang benar, kita menangis dan meneteskan air mata dalam majelis-majelis seperti itu, tetapi di balik tangisan itu ada semangat yang membara yang niscaya akan mengarahkan kita untuk selalu berada di jalan Ahlul Bait as. Sebagaimana tidak semua tawa menandakan kebahagiaan, tangisan untuk Ahlul Bait as pun tidak 1- Bihâr Al-Anwâr, jld. 51, hlm. 151.
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
275
semuanya tanda kesedihan yang bermakna negatif. Oleh karena itu, kita menegaskan bahwa menangis karena rasa takut akan azab Allah adalah baik karena tangisan tersebut tidak meninggalkan dampak keburukan, justru membuahkan banyak kebaikan pada diri kita. 3. Tujuan menyelenggarakan acara peringatan Asyura ialah mengungkapkan rasa cinta dan ikatan batin antara kita dan Ahlul Bait as. Dengan mengadakan acara-acara seperti ini, kita akan merasa lega, karena kita telah mencurahkan perasaan yang ada di hati kita. Dengan demikian, diadakannya acara-acara tersebut tidak bertujuan agar kita bertambah sedih dan berperasaan kacau. Acara-acara peringatan yang kita adakan tidak selamanya berkenaan dengan hari-hari berkabung Ahlul Bait as, ada banyak harihari gembira Ahlul Bait as yang juga kita rayakan. 4. Pada dasarnya, diadakannya acara-acara peringatan yang berkenaan dengan hari-hari duka para imam suci kita merupakan bentuk loyalitas kita sebagai orang yang beragama dan bermazhab dan menunjukkan bahwa kita selalu berada di jalan ajaran mereka ini. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, memiliki hidup yang teratur dan sesuai dengan jalan-jalan agama adalah salah satu kebahagiaan yang dapat kita nikmati. 5. Tidak sepatutnya juga diabaikan bahwa perilaku sebagian penganut dari suatu mazhab tidak bisa dijadikan cerminan yang sesungguhnya dari ajaran mazhab tersebut. Oleh karenanya, jika kita melihat sebagian kelompok dari saudarasaudara kita melakukan hal-hal yang sebagaimana disinggung dalam pertanyaan di atas, perlu disadari bahwa mereka termasuk orang-orang yang telah keluar dari jalur yang seimbang; entah itu dalam perangkap ifrot ataukah tafrit. Jadi, inti dari penyelenggaraan acara dan ritual keagamaan kita adalah penghambaan dan ibadah, sebagaimana yang diajarkan oleh Ahlul Bait as, memperjelas jelas perkara-perkara agama dan segala yang berkaitan dengannya, menciptakan keterikatan sesama dan usaha
276
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
untuk mengimplementasikan nila-nilai dan keutamaan Ahlul Bait as dalam kehidupan kita. Berpakaian Hitam: Makruh atau Mustahab? Dialog 70: Mengapa kita harus memakai pakaian berwarna hitam? Bukannya itu bertentangan dengan apa yang kita pelajari dalam Psikologi bahwa lebih baik kita mengenakan pakaian berwarna cerah untuk membangkitkan semangat? Pertanyaan ini seoleh mengira ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan apa yang diajarkan agama. Untuk menjawabnya, kita akan mengkaji apakah menurut ilmu pengetahuan, mengenakan pakaian berwarna hitam secara mutlak itu tidak baik? Sebenarnya, tidak ada pertentangan antara ajaran agama dengan apa yang kita ketahui dalam ilmu Psikologi. Barangkali sebagian orang mengatakan bahwa warna hitam adalah kehampaan hidup yang artinya ketiadaan dan kehancuran.1 Namun, perlu kita ketahui bahwa warna hitam dengan arti seperti itu tidaklah mutlak. Pengaruh warna bagi kejiwaan seseorang bersifat secara tidak langsung. Kita tidak bisa menjadikan warna pakaian yang cerah sebagai terapi efektif bagi orang yang merasakan tekanan jiwa. Pengaruh warna bagi jiwa akan tampak setelah beberapa lama, tidak secara langsung dan begitu saja. Warna hitam adalah pilihan terakhir bagi orang yang berhadapan dengan berbagai macam pilihan warna dalam hidupnya. Digunakannya warna hitam rata-rata hanya pada saat-saat tertentu saja dan jarang sekali. Sebagaimana yang kita ketahui, kebanyakan orang lebih memilih mengenakan pakaian berwarna hitam hanya di saat berkabung saja. Hal ini sangat alamiah sekali. Warna hitam adalah warna pilihan orang-orang yang ingin menunjukkan sisi diam, berhenti, dan kehampaan. Dan pilihan ini sangat cocok di saat-saat tertentu yang sesuai dengannya sebagaimana yang telah kita jelaskan di atas.2
1- Max Luche, terj. Munirah Ravani Pur, 1368. 2- Akbar Zadeh, 1374.
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
277
Oleh karena itu, tidak tidak benar jika secara ilmiah kita mengatakan warna hitam adalah warna yang buruk dan tidak tepat. Pemilihan warna hitam adalah fenomena alamiah yang sesuai dengan selera jiwa seseorang. Bahkan warna hitam, jika dikaitkan dengan orang-orang yang sedang berada dalam keadaan sedih dan berkabung, akan memberikan efek berupa ketenangan dan penawar kegoncangan jiwa. Dengan demikian, jiwa orang tersebut akan tenang setelah kegoncangan. Lebih dari itu, pemilihan warna hitam bagi orang-orang yang merasakan kesedihan merupakan bentuk penyesuaian antara suasana jiwa dengan suasana di luar jiwa.1 Bagi orang yang merasakan kesedihan dalam hatinya, sebaiknya ia tidak berada di tempat-tempat yang bersuasana ceria, karena itu akan menyebabkan kecamuk dan pertentangan antara jiwa orang tersebut dan suasana di sekitarnya sehingga sangat tidak baik untuknya. Ia harus mencari suatu tempat yang sesuai dengan kondisi kejiwaannya dan memilih warna hitam yang menandakan kesunyian sebagai tempat baginya untuk menenangkan jiwa. Dengan cara seperti ini, seseorang yang sedang menderita kesedihan akan merasa lebih baik dan tenang. Jadi, warna hitam tidak memberikan efek negatif bagi kejiwaan seseorang, juga tidak ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan agama sebagaimana yang kita sangka sebelumnya. Sekarang, mari kita membahas apakah Islam memang menjadikan warna hitam sebagai warna utama dan menganjurkan pemeluknya untuk memilih warna tersebut ketimbang warna yang lain? Di sini, kita harus jelaskan bahwa, pada dasarnya, warna hitam adalah warna yang tidak disukai Islam. Warna hitam melambangkan kehancuran, setan, kezaliman, dan segala hal yang negatif. Islam pada mulanya tidak pernah menganjurkan pemeluknya untuk menjadikan warna hitam sebagai prioritas. Disebutkan dalam sebuah riwayat, ″Janganlah mengenakan pakaian berwarna hitam, karena itu adalah cara berpakaian Fir′aun.″2
1- Ramadhan Zadeh, 1371. 2- Bihâr Al-Anwâr, jld. 83, hlm. 248.
278
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Warna yang diutamakan Islam adalah warna putih, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Baqir as, ″Tidak ada pakaian yang lebih baik dari pakaian berwarna putih.″1 Setelah warna putih, banyak anjurananjuran yang lain yang mendorong kita untuk memilih warna kuning dan hijau. Dalam pandangan Islam, warna putih adalah warna yang identik dengan semangat, sedangkan warna hitam (malam) adalah warna yang identik dengan ketenangan. Warna hitam yakni warna malam; warna yang memberikan ketenangan bagi manusia; warna yang membuat seseorang merasakan istirahat setelah kelelahan dan kesibukan siang hari.2 Dalam Al-Quran juga disinggung ihwal siang sebagai usaha dan bekerja serta malam sebagai ketenangan dan istirahat.3 Dalam ajaran Ahlul Bait as, warna hitam hanya digunakan pada saatsaat tertentu saja dan tidak selamanya, yakni pada hari-hari berkabung. Ibnu Abil Hadid menceritakan bahwa ketika Imam Ali as meninggal dunia, Imam Hasan as mengenakan pakaian berwarna hitam lalu berbpidato di depan publik.4 Pada dasarnya, warna hitam adalah warna yang kurang disukai dan dimakruhkan untuk melakukan shalat, yakni makruh mendirikan shalat dengan mengenakan pakaian berwarna hitam.5 Dengan demikian, warna hitam jarang kita kenakan. Kalaupun kita gunakan warna hitam, hanya di saat-saat tertentu dengan tujuan, misalnya, menenangkan jiwa kita ketika kita sedang dilanda kesedihan. Karena, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, warna hitam juga merupakan warna ketenangan. Agar Bisa Menangis Dialog 71: Apa yang paling tidak harus aku lakukan agar dapat menangis ketika menghadiri acara peringatan hari Asyura? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mencari tahu sebab-sebab tangisan sebagai suatu perilaku manusia. Sebagaimana yang kita 1- Ibid., jld. 78, hlm. 330; Rey Syahri, Mîzân Al-Hikmah, jld. 8, hlm. 472. 2- Nadzir Al-Hamadan, 2002. 3- Al-Qashash: 73. 4- Syarh Nahj Al-Balâghoh, jld. 16, hlm. 22. 5- Tariqedar, 1380.
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
279
ketahui, tangisan itu bermacam-macam, mencakup juga tangisan yang disebabkan tercapainya puncak kebahagiaan. Maka itu, di sini dapat kita tentukan dengan pasti bahwa tangisan di hari Asyura adalah tangisan kesedihan, kemudian kita akan mengaji apa itu tangisan kesedihan dan apa penyebab-penyebabnya: Tangisan dan tetesan air mata kesedihan, pada dasarnya, adalah ungkapan kesedihan dalam hati. Oleh karenanya, kita harus merasakan kesedihan untuk bisa menangis. Maksudnya, kita harus merasakan kesedihan atas apa yang terjadi pada Imam Husain as, setelah itu mungkin kita baru bisa menangis. Jadi, kita harus bersedih terlebih dahulu. Oleh karena itu pula kita harus mengkaji apa itu kesedihan juga apa sebab-sebabnya. Kesedihan adalah perasaan yang ditimbulkan oleh terlihatnya peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan atau disebabkan oleh kehilangan orang atau sesuatu yang sangat dicintai. Dengan pengertian ini, kita dapat katakan bahwa, pertama-tama, kita harus memiliki kecintaan kepada sesuatu supaya ketika kehilangan sesuatu tersebut, kita bisa bersedih. Dengan demikian, agar kita bisa menangis untuk Imam Husain as, pertama-tama kita harus bersedih atas apa yang menimpa beliau; dan supaya kita bisa bersedih, sebelumnya kita harus memiliki rasa cinta dan keterikatan dengan beliau. Orang yang tidak merasa punya ikatan batin dengan Imam Husain as, terang saja tidak akan merasakan kesedihan saat beliau ditimpa keburukan, apalagi menangis untuknya. Baginya, ada dan tiadanya Imam Husain as sama saja. Dengan demikian, modal utama yang akan menghasilkan tangisan untuk Imam Husain as adalah kecintaan kepada beliau. Lalu, bagaimana caranya agar kita memiliki rasa cinta itu? Ya, tak kenal maka tak sayang. Cara untuk dapat mencintai sesuatu adalah mengenalnya. Dari segi ilmiah, ketika seseorang hidup bersamaan dengan sesuatu yang dikenalinya, lama kelamaan akan menimbulkan kecintaan kepada sesuatu tersebut. Bagi kita, itu aakan diperoleh cukup dengan mempelajari sejarah kehidupan mereka dan melakukan beberapa usaha untuk mengenali mereka; karena dengan mengenal kebaikan mereka kita akan dengan sendirinya jatuh cinta.
280
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Untuk mencintai Imam Husain as, kita harus mengenal siapa beliau, tujuan-tujuan beliau, ajaran beliau, pemikiran, peran dan kedudukan beliau. Dengan pengenalan-pengenalan ini, cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Yang terpentig dalam mengenal di sini adalah tidak hanya mengenal para imam semata, tapi setelah mengenal mereka, kita harus menjadikan mereka sebagai suri tauladan dan kita harus berjalan di jejak kaki mereka. Kalau tidak begitu, tidak akan ada gunanya; sebagaimana kita tahu bahwa banyak sekali orang yang kita kenal, tetapi kita tidak mencintai mereka. Jadi, selain mengenal, kita mesti menjadikan mereka sebagai orang yang benar-benar berarti bagi hidup kita; seakan-akan kita sedang hidup bersama mereka sehingga tumbuhlah rasa cinta kepada mereka. Kita tahu bahwa cinta adalah sesuatu yang bertingkat-tingkat. Oleh karenanya, semakin mendalam cinta kita, semakin kita bersedih ketika kehilangan kekasih kita; juga jika cinta kita hanya sealakedarnya saja, mungkin sekadar itu pula akan bersedih tatkala kehilangan apa yang kita cintai. Sayangnya, banyak sekali yang tidak memiliki kecintaan seperti ini, sehingga di hari wafatnya Imam Husain as, mereka bukan hanya tidak bisa merasakan kesedihan, bahkan menertawakan orang-orang yang bersedih untuk beliau! Memperingati Asyura: Masuk Akal ataukah Emosional? Dialog 72: Sebagaimana yang kita sadari, perilaku kita seharusnya berdasarkan makrifat dan pengetahuan. Lalu kenapa kita memperingati hari Asyura hanya berdasarkan dorongan emosional saja? Kenapa yang dipilih harus tangisan, bukan yang lainnya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya dikemukakan dua pendahuluan terlebih dahulu: pertana, faktor-faktor apa sajakah yang berguna dalam pembentukan perilaku?, dan kedua, apa tujuan para pengikut mazhab Syiah dari penyelenggaraan acara peringatan Asyura? Faktor Pembentukan Perilaku Berkabung dan meratapi peristiwa Asyura adalah satu dari sekian perilaku yang dimengambil bagian dari kehidupan umat manusia.
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan
281
Dalam ilmu Psikologi, setiap perilaku memiliki penyebabpenyebabnya, begitu juga perilaku berkabung dan meratapi Asyura. Dalam disiplin ilmu ini, paling tidak, ada dua faktor pembentuk suatu perilaku: pengetahuan dan motivasi. Yakni, salah satu faktor pembentuk perilaku seseorang adalah pengetahuan. ketika ia mengetahui sesuatu, maka apa yang ia kerjakan akan ia sesuaikan dengan pengetahuan tersebut. Jika seseorang tidak memiliki pengetahuan tertentu tentang suatu hal, ia tidak akan melakukan pekerjaan apa-apa berkenaan dengan hal itu. Tetapi pengetahuan saja tidak cukup untuk membuat seseorang mengaktualisasikan sebuah perilaku. Ada faktor lain yang bersamaan dengan faktor pengetahuan; keduanya akan mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Faktor tersebut adalah motivasi. Selain pengetahuan, harus ada motivasi dan ketertarikan pada jiwa seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Kita bisa ibaratkan pengetahuan tak ubahnya dengan sebuah jalan. Tetapi, kendaraan kita yang berupa diri memerlukan motor penggerak, pendorong atau penarik agar berjalan sesuai jalan tersebut. Kita mengetahui masalah Asyura, Imam Husain as dan perjuangan beliau. Tetapi, pengetahuan kita saja tidak cukup untuk kita bisa bergerak dan mengadakan acara-acara peringatan hari itu; harus ada dorongan lainnya. Banyak orang yang mengenal Imam Husain as, namun mereka tidak merasa terdorong untuk mengadakan majelis peringatan Asyura. Mereka hidup biasa-biasa saja; meskipun mengenal pemimpin mereka, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka tidak hanya tidak memperingati hari Asyura, bahkan menertawakan sesamanya yang mengikuti acara peringatan Asyura. Mereka mengatakan, ″Imam Husain as telah melakukan tugasnya untuk berjuang. Entah perjuangan itu manis atau pahit; semua sudah berlalu! Untuk apa setelah bertahun-tahun berlalu, kita terus menerus menghidupkannya?! Apa gunanya untuk Imam Husain as juga apa gunanya untuk kita?″ Di sini timbul pertanyaan lain: bagaimana caranya agar kita mendapatkan motivasi dan dorongan untuk mau memperingati hari Asyura? Hanya sayangnya, bukan pada tempatnya jika kita menjawab
282
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
pertanyaan ini. Yang harus kita bahas sekarang adalah apa saja motivasi mengadakan acara peringatan Asyura? Motivasi Memperingati Asyura Maksud dari motivasi melakukan suatu perbuatan adalah sebab suatu perbuatan itu dilakukan. Dengan kata lain, mengapa mereka mengadakan acara peringatan Asyura? Kami perlu mengingatkan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan motivasi mengadakan acara peringatan ini bukanlah motivasi individual yang ada pada tiap-tiap orang Muslim, tetapi maksud kami adalah motivasi yang dijelaskan agama. Dengan kata lain, mengapa agama menganjurkan penyelenggaraan acara peringatan Asyura? Jawabannya, (a) menjadikan peristiwa bersejarah agar selalu dikenang dan diingat; (b) ungkapan penghormatan dan balas jasa; dan (c) mencontoh peristiwa sejarah tersebut sebagai teladan mulia. Bagi kita, peristiwa bersejarah Asyura adalah peristiwa yang sangat besar yang, dengan perisitiwa itu, risalah kenabian Rasulullah Saw terjaga utuh.1 Peristiwa itu juga mengandung nilai-nilai luhur untuk kehidupan kita di sepanjang masa. Oleh karena itu, kita perlu mengabadikannya dengan cara terus mengingat dan memperingatinya di setiap tahun. Di sisi lain, Muslimin pecinta Imam Husain as merasa berhutang budi kepada beliau. Oleh karenanya, mereka mengharuskan diri untuk terus menghidupkan perjuangan Imam Husain as sebagai rasa terimakasih mereka. Mungkin saja Asyura dianggap tidak ada manfaat yang bergitu terasa untuk saat ini; tetapi kita semua menyadari bahwa berkat Asyura-lah kita semua berada di jalan ini. Dengan demikian, kita selalu merasa berkewajiban untuk menghormati perjuangan Imam Husain as dalam menjaga tegaknya agama Muhammadi dengan cara mengadakan majelis-majelis peringatan Asyura. Dengan cara itu, kita akan selalu teringat nila-nilai Asyura; kita akan selalu ingat nilai-nilai dan sifat-
1- Rasulullah Saw bersabda, ″Husain dariku dan aku dari Husain.″ Khulosheh-e Torikh-e Eslom, jld. 3, hlm. 19.
Bagian Keenam: Pendidikan dan Kejiwaan sifat kepribadian Imam Husain as: bagaimana memperjuangkan kebenaran dan memerangi kebatilan.
283 beliau
Jelas sekali, motivasi melakukan suatu perbuatan akan menentukan bagaimana perbuatan tersebut akan dilakukan. Sebagaimana bila kita ingin membangun rumah, maka rumah yang akan kita bangun tidak berbentuk pertokoan. Peringatan Asyura dilaksanakan dengan cara-cara tertentu yang dapat menyampaikan maksud-maksudnya dengan baik. Jadi, bagaimanakah caranya? Apakah dengan membuat teater? Memutar film? Membagikan makanan? Mengadakan seminar? Jadi, bagaimana itu? Kita tidak bisa mengadakan pesta untuk memperingati perjuangan Imam Husain as, karena ini sama sekali tidak sesuai. Kita tidak cukup untuk hanya mengadakan acara-acara ilmiah seperti seminar dan konferensi; karena acara-acara ilmiah hanya mengantarkan kita kepada tingkatan pengetahuan dan wawasan saja; kita belum tentu, dengan cara-cara itu, bisa mewujudkan nilai-nilai Asyura dalam amal perbuatan kita sehari-hari. Segala yang kita lakukan untuk mengingat tragedi Asyura, jika hanya berujung pada penambahan pengetahuan dan perluasan wawasan saja, tidak akan begitu efektif. Kita perlu faktor-faktor lain yang juga membangkitkan perasaan dan emosi diri kita. Sampai di sini, mungkin kita bertanya: memang benar bahwa kita juga perlu mengikutsertakan emosi dan perasaan dalam mengenang perjuangan Imam Husain as, tetapi mengapa hanya satu emosi yang dipilih, yaitu kesedihan, tangisan dan duka saja? Ya, tawa dan tangis adalah emosi manusia, tapi pengaruh keduanya tidak sama persis. Dengan demikian, kita harus memilih satu dari keduanya yang sejalan dengan pencapaian tujuan-tujuan yang kita inginkan sebelumnya. Kita tidak bisa menghidupkan hari Asyura dengan tawa; tawa, gembira ria, dan sejenisnya tidak bisa mendorong kita untuk mencontoh perangai mulia para imam suci. Misalnya, rasa tidak takut mati. Kita tidak bisa mewujudkan rasa tak takut mati dalam diri kita dengan cara tertawa, berkelakar, dan bersenda gurau. Di sisi lain, rasa cinta dari hati terhadap Imam Husain as lebih tulus terungkapkan ketika dilakukan dengan cara bersedih. Bahasa tangis
284
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
lebih jujur dan lugas daripada bahasa tawa. Betapa banyak orang yang mengaku teman kita dengan menunjukkan keakrabannya serta canda tawanya dengan kita, tetapi pada dasarnya ia justru memusuhi kita. Akan halnya tangis tidak seperti itu; bahasa tangis lebih jujur. Ketika kita mengungkapkan kecintaan dengan tangis, ungkapan itu hampir selalu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya ada dalam hati. Oleh karenanya, kita pernah mendengar, ″Tidak mengherankan jika ada orang yang suka berteman dengan orang-orang yang suka bergembira ria. Yang menakjubkan adalah bila ada orang yang berteman dengan orang yang sering bersedih dan tak punya apa-apa selain kesusahan.″ Perlu ditambahkan pula, jika kita memperingati Asyura dengan majelis penuh tangisan, kita akan lebih mudah meresap semuanya daripada dengan majelis penuh tawa. Sebagai penutup, sesungguhnya kita lebih bisa menghayati kebersamaan hati kita dengan hati Imam Husain as dengan cara menangis dan bersedih hati. Kesedihan kita di saat mereka bersedih menunjukkan kebersamaan jiwa kita dengan jiwa mereka. Jika kita ingin membuktikan bahwa kita adalah pengikut yang selalu berada di jalan mereka, maka di saat mereka bersedih, kita juga harus bersedih. Jadi, acara-acara peringatan Asyura yang kita adakan dengan penuh ekspresi kesedihan adalah ikrar kebersamaan kita dengan Imam Husain as.
Bagian Ketujuh: Peringatan Asyura dan Hukum Fiqih
Sa yid Mujta ba Husa ini
Hukum Membaca Kronologi Peristiwa Karbala Dialog 73: Di majelis dan tempat-tempat peringatan Asyura sering diadakan pembacaan kronologi peristiwa Karbala. Dan dengan cara ini, hadirin dapat menciptakan suasana Karbala dalam benaknya masing-masing juga memiliki dampak yang positif. Sebenarnya apa hukum dari kegiatan ini? Semua Marja ′: Jika pembacaan kronologi tidak memiliki unsur kebohongan, manipulasi fakta sejarah dan, dengan berjalannya waktu, tidak menyebabkan terhinanya mazhab (Syi'ah), maka tidak masalah.1 Shafi: Jika kegiatan itu tidak mencakup hal-hal yang diharamkan, maka tidak ada masalah.2 Hukum Membawa Bendera Dialog 74: Apa hukumnya menggunakan bendera dalam acara peringatan Asyura? Imam Khomeini, Tabrizi, Fadhil, Makarim dan Sistani: Tidak masalah.3 Imam Ali Khamenei: Pada dasarnya tidak masalah; tapi itu tidak boleh dianggap sebagai bagian dari agama.4 Nuri: Tidak ada larangan ketika digunakan secara wajar.5 Shafi: Penggunaan bendera bisa jadi disebut sebagai syiar agama dan tidak masalah.6
1- Imam Khomeini, Istiftâ ′ât, jld. 2, dan Makasib Muharramah, masalah ke-70; Khamenei, Ajwibat Al-Istiftâ ′ât, Dialog 1440; Makarim, Istiftâ ′ât, jld. 1, masalah ke-572 dan 573; Fadhil, Jâmi′ Al-Masâ ′il, jld. 1, masalah ke-2166 dan 2170; Nuri, Istiftâ ′ât, jld. 2, masalah ke-596; Tabrizi, Istiftâ ′ât, masalah ke-2003 dan 2014. 2- Shafi, Jâmi′ Al-Ahkâm, jld. 2, masalah ke-1599. 3- Imam Khomeini, Istiftâ ′ât, jld. 2, dan Makâsib Muharramah, masalah ke-72; Tabrizi, Istiftâ ′ât, masalah ke-2007; Fadhil, Jâmi′ Al-Masâ ′il, jld. 1, masalah ke2174; Makarim, Istiftâ ′ât, jld. 1, masalah ke-579. 4- Khamenei, Ajwibat Al-Istiftâ ′ât, masalah ke-1444. 5- Nuri, Istiftâ ′ât, jld. 2, masalah 598 dan 604. 6- Shafi, Jâmi′ Al-Ahkâm, jld. 2, masalah ke-1595.
288
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Penggunaan Alat musik Dialog 75: Apa hukumnya menggunakan alat-alat musik untuk ber-aza′? Semua Marja ′: Jika yang digunakan adalah alat-alat musik yang khusus untuk hal-hal yang haram, maka tidak boleh hukumnya, kecuali yang digunakan adalah alat-alat musik yang dihalalkan dan dengan tujuan yang baik. Dalam masalah alat musik, tidak ada perbedaan antara penggunaannya dalam acara peringatan Asyura atau di acara-acara lainnya.1 Shafi: Menggunakan alat musik hukumnya haram secara mutlak dan tidak ada bedanya baik di acara peringatan Asyura atau selainnya.2 Dialog 76: Apakah kita tidak boleh meniup terompet dan seruling dalam peringatan Asyura? Imam Khomeini, Ali Khamenei dan Fadhil: Kita tidak boleh menggunakan alat-alat musik yang melenakan, bersifat sia-sia, dan sesuai dengan acara-acara maksiat.3 Makarim, Sistani, Tabrizi, Nuri dan Wahid: Menggunakan alat-alat musik dengan cara lahw (sia-sia) dan sesuai dengan acara-acara maksiat tidak diperbolehkan.4 Shafi dan Bahjat: Ya, tidak boleh dalam keadaan apa pun.5
1- Imam Khomeini, Istiftâ ′ât, jld. 2 dan Makâsib Muharramah, masalah ke-30; Khamenei, Ajwibat Al-Istiftâ ′ât, masalah ke-1164; Fadhil, Jâmi′ Al-Masâ ′il, jld. 1 masalah ke-992; Makarim, Istiftâ ′ât, jld. 1, masalah ke-524 dan 525 dan jld. 2 masalah ke-707 dan 710; Tabrizi, Istiftâ ′ât, masalah ke1054 dan 1065 dan Shirôt Al-Najâh, jld. 1, hlm. 1005; Bahjat, Tawdhîh Al-Masâ ′il. 2- Shafi, Jâmi′ Makârim, jld. 1, masalah ke-1003, 1015 dan 1018. 3- Imam Khomeini, Istiftâ ′ât, jld. 2, dan Makasib Muharramah, masalah ke-45; Khamenei, Ajwibat Al-Istiftâ ′ât, masalah ke-1161; Fadhil, Jâmi′ Al-Masâ ′il, jld. 1, masalah ke-988 dan 2176. 4- Mkaraim, Istiftâ ′ât, jld. 1, masalah ke-516 dan 521; Nuri, Istiftâ ′ât, jld. 2, masalah ke-471; Tabrizi, Istiftâ ′ât, masalah ke-2019. 5- Shafi, Tawdhîh Al-Masâ ′il, masalah ke 2833.
Bagian Ketujuh: Peringatan Asyura dan Hukum Fiqih
289
Dialog 77: Apa hukumnya menggunakan genderang dalam peringatan Asyura atau acara-acara lainnya? Semua Marja ′: Jika terkesan wajar dan tidak bersifat lahw (sia-sia), maka tidak masalah.1 Shafi dan Bahjat: Tidak masalah menggunakannya.2 Himbauan: Meskipun ada sebagian marja′ yang membolehkan digunakannya suatu alat musik tertentu tanpa menyebutkan syarat ″asal tidak lahw″, tapi maksud mereka jelas adalah dibolehkannya penggunaan alat-alat tersebut asalkan tidak lahw. Melukai Diri Dialog 78: Apakah boleh melukai diri dalam Memperingati Asyura? Imam Khomeini, Khamenei dan Fadhil: Karena perbuatan seperti itu tidak memiliki dasar yang rasional dan menjatuhkan martabat mazhab kita, maka tidak boleh melakukannya.3 Makarim dan Tabrizi: Menghidupkan perjuangan Imam Husain as dengan mengadakan peringatan hari Asyura adalah salah satu syiar agama. Tapi dalam mengadakannya, kita harus menjauhi perbuatanperbuatan yang dapat membuat citra buruk mazhab kita.4 Nuri: Tidak masalah.5 Shafi: Kita boleh menggunakan alat-alat apa saja dalam melakukan ma ′tam asal tidak sampai melukai diri.1 1- Imam Khomeini, Istiftâ ′ât, jld. 2 dan Makasib Muharramah, masalah ke-27 dan 36; Khamenei, Ajwibat Al-Istiftâ ′ât, masalah ke-1441; Makarim, Istiftâ ′ât, jld. 1, masalah ke-516; Nuri, Istiftâ ′ât, jld. 2, masalah ke-604 dan 596 dan jld. 1, masalah ke-448; Tabrizi, Istiftâ ′ât, masalah ke-2009 dan Shirôt Al-Najâh, jld. 6, masalah 1477; Fadhil, Jâmi′ Al-Masâ ′il, jld. 1, masalah ke-2174. 2- Shafi, Jâmi′ Al-Ahkâm, jld. 1, masalah 1602 dan Tawdhîh Al-Masâ ′il, masalah ke-2833. 3- Imam Khomeini, Istiftâ ′ât, jld. 3 dan Su′olot-e Motafareqeh, masalah ke-37; Khamenei, Ajwibat Al-Istiftâ ′ât, masalah ke-1461; Fadhil, Jâmi′ Al-Masâ ′il, jld. 1, masalah ke-2173. 4- Makarim, www.makaremshirazi.org; Tabrizi, Istiftâ ′ât, masalah ke-2003, 2012 dan 2014. 5- Nuri, Istiftâ ′ât, jld. 2, masalah ke-597.
290
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Dialog 79: Bagaimana jika dalam memperingati Asyura, ada yang melukai badannya, karena sebelumnya pernah ber-nadzar akan melakukan demikian? Khamenei: Memukuli dengan rantai-rantai yang tajam yang sekiranya dapat melukai diri, tidak baik dalam pandangan umum, bukan termasuk ekspresi kesedihan, tidak pernah dilakukan di zaman para imam dan tak satupun imam maksum memberikan izin kepada kita untuk melakukannya. Sekarang pun, jika kita melakukannya akan menyebabkan terhinanya ajaran kita. Adapun orang yang bernadzar untuk melakukan perbuatan itu, maka sebenarnya nadzarnya tidak sah, karena syarat-syarat sahnya nadzar tidak terpenuhi.2 Memukulkan Rantai ke Badan Dialog 80: Sebagaimana yang sering dilakukan banyak dari saudara-saudara kita, apa sebenarnya hukum memukulkan rantai ke badan sebagai ungkapan ratapan di hari Asyura? Khamanei: Jika di mata umum merupakan hal yang wajar saja dan orang yang melihatnya dapat menilai pelakunya sedang berkabung, maka tidak masalah.3 Dialog 81: Bagaimana hukum menggunakan rantai-rantai yang ada siletnya untuk melakukan ma′tam (berkabung)? Imam Khomeini, Khamenei, Tabrizi, Makarim, Fadhil: Jika hal tersebut menyebabkan terlukanya tubuh dan terhinanya ajaran kita di mata banyak orang, maka kita tidak boleh melakukannya.4 Shafi: Tidak apa-apa jika tidak menyebabkan luka pada diri sendiri.5 Nuri: Melakukan ma ′tam sesuai kebiasaan dan tradisi di antara kita tidaklah masalah.1
1- Daftar-e Shafi. 2- Khamenei, Ajwibat Al-Istiftâ ′ât, masalah 1461. 3- Ibid., masalah ke-1463. 4- Imam Khomeini, Istiftâ ′ât, jld. 3, dan Su′olot, masalah ke-34 dan 37; Khamenei, Ajwibat Al-Istiftâ ′ât, masalah ke-1441; Tabrizi, Istiftâ ′ât, masalah ke-2003 dan 2012; Makarim, Istiftâ ′ât, jld. 1, masalah ke-574 dan jld. 2 juga alamat situs: www.makaremshirazi.org. 5- Shafi, Jâmi′ Al-Ahkâm, jld. 2, masalah ke-1594.
Bagian Ketujuh: Peringatan Asyura dan Hukum Fiqih
291
Melepas Pakaian dalam Ber-ma′tam Dialog 82: Apa hukumnya tidak mengenakan pakaian saat melakukan ma′tam? Jawaban kebanyakan Marja ′: Tidak masalah asal tidak membawa kemudaratan. Makarim: Secara ihtiyath wajib, tidak boleh.2 Dialog 83: Apakah dalam acara peringatan Asyura, kaum lelaki boleh melepas pakaian, meskipun ada peserta perempuan di dalamnya? Imam Khomeini dan Fadhil: Jika tidak membawa keburukan, maka tidak masalah. Tetapi wanita tidak boleh melihat mereka.3 Makarim: Secara ihtiyath wajib, lebih baiknya tidak dilakukan.4 Tabrizi: Tidak masalah.5 Shafi: Tidak masalah jika tidak dilihat wanita.6 Berloncat-loncat sambil Memukuli Dada Dialog 84: Apa hukumnya berloncat-loncat sambil memukuli dada dalam upacara peringatan Asyura? Khamenei: Sebaiknya kita tidak melakukan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan berkabung dan memperingati Asyura; adapun perbuatan itu, jika tidak menyebabkan dihinanya ajaran kita, maka tidak masalah.7
1- Nuri, Istiftâ ′ât, jld. 1, masalah ke-1063 dan jld. 2, masalah ke-106. 2- Makarim, www.makarimshirazi.org. 3- Imam Khomeini, Istiftâ ′ât, jld. 3 dan Su′olot Mutafariqah, masalah ke-64; Fadhil, Jâmi′ Al-Masâ ′il, jld. 1, masalah ke-2163 dan 2165. 4- Makarim, Istiftâ ′ât, jld. 2, masalah ke-765. 5- Tabrizi, Istiftâ ′ât, masalah ke-2004 dan www.tabrizi.org. 6- Shafi, Jâmi′ Al-Ahkâm, jld. 2, masalah ke-1597. 7- Daftar Rahbar.
292
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Pembacaan Kronologi Karbala oleh Perempuan Dialog 85: Apa hukumnya wanita yang membacakan kronologi peristiwa Karbala saat mengadakan acara khusus untuk mereka (kaum wanita), tetapi suaranya sampai terdengar keluar? Kebanyakan Marja ′: Jika sekiranya suara mereka tidak membuat para lelaki menikmati suara tersebut, maka tidak masalah.1 Makarim: Tidak boleh.2 Shalat dan Ma′tam Dialog 86: Jika sekiranya mengikuti acara kemazhaban seperti ini, dan karena acara itu ia melewatkan kewajibannya yang lain seperti: shalat, apakah sebaiknya ia tidak usah ikut lagi? Atau apakah jika ia tidak lagi ikut-serta dalam acara tersebut, maka ia akan dianggap telah jauh dari Ahlul Bait as? Semua Marja ′: Jelas sekali, shalat adalah kewajiban yang harus didahulukan dari menghadiri majelis-majelis ma ′tam (berkabung) di hari Asyura. Kita tidak boleh meninggalkan shalat dengan alasan mengikuti majelis-majelis tersebut. Jika majelis-majelis seperti itu tidak menyebabkan kita melewatkan kewajiban yang lain, maka menghadirinya termasuk perbuatan mustahab yang ditekankan. Dialog 87: Mana yang lebih penting: shalat berjamaah di awal waktu ataukah meneruskan acara peringatan Asyura yang sedang berlangsung? Semua Marja ′: Shalat jamaah adalah lebih penting; sebagaimana Imam Husain as sendiri tidak meninggalkan shalat jamaah di waktu Dzuhur hari Asyura. Oleh karenanya, ditekankan bagi kita agar selalu melaksanakan shalat jamaah di awal waktunya sebisa mungkin. Karena sesungguhnya tujuan perjuangan wali-wali Allah adalah
1- Fadhil, Jâmi′ Al-Masâ ′il, jld. 1, masalah ke-2182; Shafi, Jâmi′ Al-Ahkâm, jld. 2, masalah ke-1681; Khamenei, Ajwibat Al-Istiftâ ′ât, masalah ke-1145; Nuri, Istiftâ ′ât, jld. 2, masalah ke-545; Imam Khomeini, Istiftâ ′ât, jld. 3; Tabrizi, Istiftâ ′ât, masalah 1057. 2- Makarim, Istiftâ ′ât, jld. 2, masalah ke-764 dan jld. 1, masalah ke-785.
Bagian Ketujuh: Peringatan Asyura dan Hukum Fiqih
293
menegakkan agama, adapun shalat adalah masalah terpenting setelah ma ′rifatullah (mengenal Allah).1 Dialog 88: Suara yang terdengar dari masjid dan husainiah (majelis taklim) terdengar kencang sekali sehingga mengganggu ketenangan warga di sekitarnya. Tetapi penyelenggara tetap saja tidak peduli. Apa kewajiban kita dalam masalah ini? Semua: Meskipun diadakannya acara-acara itu pada tempatnya adalah perbuatan yang mustahab dan ditekankan dalam ajaran kita, tapi selayaknya pihak penyelenggara berusaha untuk mengaturnya sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu ketenangan warga yang tinggal di sekitar.2 Nadzar dalam Asyura Dialog 89: Orang yang ber-nadzar untuk membagikan halim (sejenis bubur daging di Iran) di hari Asyura, lalu tidak bisa melakukannya, apakah ia boleh membagikan makanan jenis lain? Atau, apakah juga boleh melakukannya di kemudian hari? Semua Marja ′: Jika nadzar tersebut diucapkan dengan lafalnya secara benar, maka ia wajib menunaikannya. Tapi jika tidak, ia bisa memilih.3 Berias di Hari Asyura Dialog 90: Apa hukumnya merias rambut dan berdandan bagi wanita di hari Asyura? Semua Marja ′: Jika tidak bertujuan untuk bermaksiat atau menghina hari Asyua, maka tidak apa-apa.
1- Fadhil, Jâmi′ Al-Masâ ′il, jld. 1, masalah ke-2176 dan 2177; Nuri, Istiftâ ′ât, jld. 2, masalah 599. 2- Khamenei, Ajwibat Al-Istiftâ ′ât, masalah ke-1447. 3- Imam Khomeini, Istiftâ ′ât, jld. 2, masalah ke-20 dan 26; Bahjat, Tawdhîh AlMasâ ′il, masalah ke-2135; Makarim, Istiftâ ′ât, jld. 2, masalah ke-1255 dan jld. 1, masalah ke-1012; Fadhil, Jâmi′ Al-Masâ ′il, jld. 1, masalah ke-8326; Nuri, Istiftâ ′ât, 725; Tabrizi, Istiftâ ′ât, masalah ke-1734, masalah ke-1734.
294
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram
Pernikahan di Bulan Muharram Dialog 91: Apakah kita boleh mengadakan acara pernikahan di bulan Muharram? Semua Marja ′: Jika dilaksanakan acara pernikahan tidak mengandung unsur maksiat, maka tidak masalah. Tapi sebaiknya acara-acara seperti ini dilangsungkan di luar bulan Muharram dan di momen yang tepat.
Daftar Pustaka
Abi Makhnaf, Maqtal Al-Husain, tahkik Yusefi Gharavi, Muhammad Hadi, terjemahan Javad Sulaimani, Intisharat Muasasah Amozeshi va Pazhoheshi Imam Khomeini, 1377. Abi Makhnaf, Waq′at Al-Toff. Abu Ja′far Thabari, Tarikhul Umam Wal Mamluk, Maktabah Urumiyah. Abul Hasani, Ali, Siyah Poshi Dar Soghvari e Aeme e Nur, Qum, penerbit Mualaaf, cetakan pertama, musim semi 1375. Abzic Mail, Ravan Shenashi e Shadi, terjemahan Mehrdad Fairuz Bakht, Khoshayar Bighi, Badr, 1375. Akbar Zade, Ali, Rangg-e Tarbiat e Mohammadi, 1374. Al Amili, Al Hurr, Wasail Al-Syiah, tahkik Abdurrahim Rabani Shirazi, Dar Ihya At Turats Al Arabi, cetakan kelima. Al Ya′qubi, Ahmad bin Muhammad bin Wadhih, Tarikh Ya ′qubi, Beirut, Dar Shadir. Alen Dunivata, Taamoli dar Mabanie Demokrasi, terjemahan Bozhorg Naderzad. Alimi, Muhammad Ali, Hasan, Nafs e Motmaenne, Tehran, Entesharat e Amiri, cetakan pertama, Khurdad 1372. Amin Amili, Sayid Muhsin, Lawaij Al-Ashjan fi Maqtal AlHusain. Amini, Muhammad Amin, Ma ′a Al-Rikab Al-Husaini fi Al-Syam wa Minh Ila Al-Madinah Al-Munawarah. Anshariyan, Husain, Erfane Eslami, Tehran, Daftar e Tablighat e Eslami, cetakan pertama. At Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk.
296
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram At Thabrasi, Fadhl bin Al Hasan bin Ali, Majma ′ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Beirut, Darul Ma′rifah. Ayati, Muhammad Ibrahim, Barresi-e Tarikh-e Asyura, Ketab Khane e Tehran, cetakan kedua, 1347. Azizi Tehrani, Asghar, Sharh-e Ziyarat-e Asyura, Darus Shadiqin. Azizi, Abbas, Fazael va Sireh-e Emam Husain, Shalat, 1381. Bahrani, Ibnu Shuba, Tuhaf Al-Uqul. Barqi, Ahmad, Mahasin Barqi. Bazarghan, Mehdi, Akherat va Khoda Hadaf-e Besat, Tehran, Moasese e Khadamat e Farhanggi e Rasa, 1377. Dadestan, Porbarkh, Ravan Shenashi-e Marazi, Entesharat e Semat, 1376. Darbandi, Mola Agha, Iksir Al-Ibadat fi Asrar Al-Syahadat. Dinvari, Ahmad bin Davud, Al-Akhbar Al-Thiwal. Dinvari, Ibnu Qutaibah, Al-Imamah wa Al-Siyasah. Eftekhar Zade, Mahmud Ridha, Shoubi-e Nasionalism-e Iran. Falsafeh-e Seyasat, Moasese e Amozeshi va Pazhoheshi Emam Khomeini. Fathal, Neishaburi, Raudhat Al-Waidzin. Focko, Michael, Iraniha Ce Royaha Dar Sar Darand, terjemahan Husain Mashoome Hamadhani. Fudhail bin Zubair bin Dirham Asadi Arrasan Al Kufi, Wa Tasmiyatu Man Qutila ma ′a Al-Husain alaih Al-Salam min Ahlih wa Awladih wa Syiatih. Hamadan, Nazir, Al-Dhau′ wa Al-Dunn fi Al-Qur’an Al-Karim, Dar Abi Katsir, Beirut 2002. Hamavi, Yaqut, Mu′jam Al-Buldan. Hasan, Rahimpur Arghadi, Husain, Aql-e Sorkh, Tehran, Sorush, cetakan ketiga, Shahrivar 1381.
Daftar Pustaka
297
Hashim Zade Harisi, Hashim, Oshul-e Farhangg va Taalim-e Asyura, Nashr e Pazine, 1381. Homptin, Jean, Falsafeh-e Siyasi, terjemahan Khoshayar Deyhami. Hurr Amili, Muhammad bin Hasan, Wasail Al-Syiah, Tehran, Maktabatul Islamiyah. Ibnu A′tsam Kufi, Al-Futuh. Ibnu Abdurabbah, Al-Aqd Al-Farid. Ibnu Abil Hadid, Sharh Nahj Al-Balaghah, Mesir, Darul Ihya Al Kutubil Arabiyah, 1961. Ibnu Asakir, Abul Qasim Ali bin Husain, Tarikh Dimask. Ibnu Atsir, Abil Hasan bin Abil Kiram, Al-Kamil fi Al-Tarikh. Ibnu Hisyam, Al-Sirah Al-Nabawiyah, Beirut, Darul Qalam. Ibnu Jauzi, Shibt, Tadzkirat Al-Khawash. Ibnu Khuldun, Al-Ibar wa Divan Al-Mubtada ′ wa Al-Khabar. Ibnu Maaskawih, Tajarib Al-Umam. Ibnu Sa′ad, Al-Thabaqat, terjemahan Doktor Mahmud Mahdavi Damaghani, jilid 5, halaman 112. Imam Khomeini, Ruhullah, Tahrir Almaktabatul Ilmiyah Al Islamiyah.
Al-Wasilah,
Tehran,
Imam Khomeini, Ruhullah, Sahifeh-e Nur, jilid 13. Imam Khomeini, Ruhullah, Welayat-e Faqih, Nashr-e Moasese-e Tandzim-e va Nashr-e Atsar-e Emam Khomaini, 1377. Isfahani, Abul Faraj, Maqôtil Al-Tôlibiyîn. J Moory, Eduward, Anghizhesh va Hayajan, terjemahan Barahini Muhammad Taqi, Sherkat-e Sahami-e Chehr, 1363. Ja′fari, Muhammad Taqi, Tafsir va Naqd va Tahlil-e Matsnavi, Tehran, Entesharat e Eslami, 1350. Ja′fariyan, Rasul, Maqalat-e Tarikhi, Qum, Daftar-e Nashrul Hadi, cetakan pertama, musim dingin, 1375.
298
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram Jack Chvalie, Jhan, Asar-e Bozorgh-e Syasi, terjemahan Laila Sazgar. Kashefi, Mohammad Ridha, Ain-e Mehrvarzi, Qum, Daftar-e Tablighat-e Islami, cetakan ketiga, 1378. Kashefi, Mohammad Ridha, Ceshme-e Feiz va Falsafeh-e Siyah Poshi, Tehran, Khime-e Sayidus Syuhada, Muharram 1423. Kashefi, Mohammad Ridha, Dust Shenashi va Doshman Shenashi dar Qoran, Tehran, Kanun-e Andishe-e Javan. Khamenei, Ali, Ajwibat Al-Istiftaat, Tehran, Al Huda, 1371. Khosrovi, Zohre, Ravan Darmani Daghdideghi, Entesharat Naghsh Hasti, 1374. Khui, Sayid Abul Qasim, Mu′jam Rijal Al-Hadits, jld. 1 dan jilid 13. Khwarazmi, Khatib, Maqtal Al-Husain, jld. 2, Qum, Manshorat Al Mofid. Kulaini, Muhammad bin Ya′qub, Furu′ Al-Kafi, Darul Kutubil Islamiyah. Kulaini, Muhammad bin Ya′qub, Ushûl Al-Kâfî, terj. Sayid Jawad Mustafawi. Luthfi, Muhammad Hasan, Dovreh-e Atsar-e Aflatun, jilid 3. Majaleh-e Seyasat-e Khariji, tahun ketujuh, musim panas dan musim gugur 1372, edisi kedua dan ketiga, halaman 430. Majlisi, Muhammad Baqir, Bihâr Al-Anwâr. Makarim Syirazi, Nashir, Esteftaat-e Jadid. Maks Luche, terjemahan Munirah Ravani Pur, 1367. Masudi, Abul Hasan, Murujudz Dzahab, Beirut, Darul Andalus. Mausuatu Kalimatil Imam Husain. Mavlavi, Jalaluddin Muhammad, Matsnavi. Mehr Ara, Ali Akbar, Zamine-e Ravan Shenashi-e Ejtemai, Entesharat e Mehrdad 1373.
Daftar Pustaka
299
Misbah Muhamad Taqi, Azarakhsi Digar az Aseman-e Karbala, Entesharat-e Moasese-e Amozeshi Pazhoheshi Emam Khomaini, 1379. Moqaram, Abdurrazzaq, Maqtal Al-Husain. Mostafa Orang, menukil dari Ashk-e Hosaini, Sarmayeh-e Shieh, hlm. 66. Motamadi, Gholam Husain, Ensan va Marg, Nashr-e Markaz, 1372. Mothahari, Murtadha, Homase e Husaini, Entesharat-e Shadra, 1367. Muhadisi, Jawad, Darshai az Ziyarat-e Asyura, Entesharat-e Darul Hadis. Muhadisi, Jawad, Farhangg-e Asyura, Nashr-e Ma′ruf, cetakan keliam, Esfand 1380. Muhamadi Reyshahri, Muhammad, Al-Mahabah fi Al-Kitab wa Al-Sunnah, Beirut, Darul Hadis Littibaah Wan Nashr, cetakan pertama 1421. Muhammadi Reyshahri, Muhammad, Muntakhab Mîzân AlHikmah, Qum, Darul Hadis, cetakan pertama 1422. Muqraizi, Abul Abbas Ahmad bin Ali, Al Khatath. Muqraizi, Abul Abbas Ahmad bin Ali, Ittiadzul Hunafa ′. Najmi, Muhammad Shadiq, Sokhanan-e Husain bin Ali az Madineh ta Karbala, Daftar-e Entesharat-e Eslami, cetakan ketujuh, 1365. Naviman, Frantes, Azadi va Qodrat va Qanun, terj. Izzatullah Fuladin. Neyshaburi, Abdul Husain, Ashk Husaini, Sarmayeh-e Shieh, Qum, Entesharat-e Dalile Ma, cetakan kedua, musim semi 1380. Nuri, Mirza Husain, Mustadrak Al-Wasail, Tehran, Maktabatul Islamiyah wa Muasasah Ismailiyah, 1383.
Al
Plachick Robert, Hayajanha, terj. Mahmud Ramadhan Zade, Astane Quds e Razavi, 1371.
300
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram Qadhi Thabathabai, Ali, Tahkik dar Bareye Avalin-e ArbaineHazrat-e Sasyidus Syuhada. Qadrdani Qaramaliki, Muhammad Hasan, Sekularism dar Masihiyat va Eslam, Entesharat-e Tablighat-e Hovze-e Ilmie-e Qom, 1379. Qiyam-e Asyura dar Kalam va Bayan-e Emam Khamaini, Moaseseh-e Tanzim va Nashr-e Asar-e Emam Khomeini, cetakan pertama, 1373. Qumi, Shaikh Abbas, Safinat Al-Bihar. Qumi, Syaikh Abbas, Mafatih Al-Jinan. Qumi, Syaikh Abbas, Muntah Al-‘Amal, jld. 1, Entesharat-e Hejrat, cetakan keempat. Rabbani, Khalkhali, Ali, Cehreh-e Derakhshan-e Husain bin Ali, Entesharat Maktab Al Husain, cetakan keenam, tahun 1379. Radfar, Abul Qasim, Cand Marsiye az Shaeran-e Parsigu, Entesharat-e Amir Kabir, cetakan pertama, 1365. Ramadhan Zade, Mahmud, Hayajanha, Entesharat-e Astan-e Moqadas-e Razavi, 1371. Rasuli Mahalati, Sayid Hashim, Kholaseh-e Tarikh-e Eslam, Entesharat-e Daftar Nashr-e Farhang-e Eslami, 1372. Rusu, Jhan Kalantriyan.
Jhack,
Qarardad-e
Ejtemai,
terj.
Murtadha
Saadat Parvar, Ali, Forugh-e Shahadat, Entesharat-e Payam-e Azadi. Sayid Ibnu Thawus, Ali bin Musa bin Ja′far, Al-Luhuf fi Qatl AlThufuf, Qum, Mashurat-e Maktabatud Davari. Sayid Ibnu Thawus, Ali bin Musa bin Ja′far, Iqbal Al-A′mal. Shadr, Sayid Muhammad Baqir, Minhaj Al-Shalihin, jld. 1. Shahidi, Sayid Ja′far, Qeyam-e Emam Husain, Tehran, Daftar-e Nashr-e Farhang-e Eslam, 1359.
Daftar Pustaka
301
Shahrestani, Sayid Shalih, Tarikhun Nahiyah Al Imam as Syahid Al-Husain bin Ali, Tehran, cetakan Ittihad, 1370. Shahryar, Sayid Muhammad Husain, Divan Ash′ar, Entesharat-e Zerrin va Negah, cetakan ketujuh, 1371. Shapiru, Jhan Shalvin, Liberialism, terj. Muhammad Sa′id Hanai Kashani. Shariful Qurashi, Baqir, Hayat Al-Imam Al-Husain. Shoari Nejad, Ali Akbar, Farhangg-e Olum-e Raftari, Amir Kabir, 1364. Shojai, Muhammad, Maqalat, Tehran, Sorush, cetakan kedua, 1372. Shojai, Muhammad, Tajasom-e A′mal va Shafaat, Tehran, Moasese Farhanghi-e Danesh va Andishe-e Moasher, cetakan pertama, 1380. Shustari, Syaikh Ja′far, Al-Khashaish Al-Husainiyah, Najaf, Matbaatul Haidariyah, 1375. Sokhanan-e Emam Husain az Madineh ta Karbala. Sorush, Mohamad, Moqavemat va Mashroiyat, Buliteni Musiman Hokumat-e Eslami, tahun ketujuh, nomor ketiga, musim gugur 1381. Subhani, Ja′far, Farazha az Tarikh-e Peyambar, Tehran, Nashr-e Mas′ar, cetakan ketujuh, 1376. Suyuthi, Abdurrahman, Tarikh Al-Khulafa. Syaikh Mufid, Muhammad bin Nu′man, Al-Irsyâd, terj. Syaikh Muhammad Baqir Saidi Khorasani, Syaikh Mufid, Muhammad bin Nu′man, Al-Jamal. Syaikh Shaduq, Al-Amali, Beirut, Muasasatul Wafa, cetakan kedua, 1401. Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan, Misbah Al-Mutahajid. Tadzkirat Al-Fuqaha. Tahriqe Dar, Abul Fadhl, Shar ′ va Shadi, Hodhur, 1380.
302
Dialog-Dialog Pilihan: Isu-Isu Muharram Tarikh-e Gilan va Dilamestan. Tarikh-e Qom. Tehrani, Sayid Muhamad Husain, Risâlah Lubb Al-Albâb, Entesharat e Hekmat. Thabasi, Najmuddin, Cerai-e Gerye va Sughvari, Qum, Entesharat-e Dalil-e Ma, cetakan pertama, musim gugur, 1380. Turaihi, Al-Muntakhab. Waqidi, Muhammad bin Umar, Maghazi, Tarikh-e Janggha-ye Peyambar, terj. Mahmud Mahdawi Damaghani, Tehran, Markaze Nashr-e Daneshgahi, 1366. Warai, Sayid Javad, Hokumat-e Dini az Didgah-e Emam Husain, Majmoeh-e Maqalat-e Homayesh-e Emam Husain, Nashr-e Majma′ Jahani Ahlul Bait, 1381. Yaddashthai Dar Zamineh-e Farhangg va Tarikh. Yusufi, Shaikh Muhammad Hadi, Maqaleh-e Haul Al-Sayidah Syahar Banu, Majaleh-e Risalatul Husain, tahun pertama, edisi kedua, Rabiul Awal 1412. Zabidi, Muhammad Husain, Al-Hayah Al-Ijtimaiyah wa AlIqtishadiyah fi Al-Kufah. Zamakhshari, Abul Qasim Mahmud bin Umar, Rabi Al-Abrar wa Nushush Al-Akhbar, Qum, Razi, 1369.