DEMOKRASI PERSPEKTIF ISLAM Kadenun1 Abstract: The democratic government is a government that is made up of people elected from the people in free and on their pure desire to be a leader (who will carry out their aspirations). But in reality, in practice it is difficult to be found in their entirety, because it is not uncommon in towns and in villages cause to disppear a country that raised embraced democracy as a system, arguing that residents in the area opposed to the existence of a democratic system. In a democracy, government is a government of the people above all else, with the term "sovereignty of the people", then in the proclamation of independence of the United States said that "all power is taken from the approval authority of the people". In the Qur'an and Sunnah has been established some fundamental principles relating to political life, which is like the ash-shura / deliberation, fairness, responsibilities, legal certainty, guarantees haq al-'ibad (human rights) , and others, all of which have a close connection with the shura or democracy. So in Islam, democracy, better known as shura, as Prophet Muhammad was sent to His people in each of deciding matters that face should always be consulted among their peers. After the migration of the Prophet Muhammad in Medina, He formed such consultative assembly known as the Ahl alHall wa al-'Aqdi to represent them in resolving certain matters. Here He began to form an embryo Islamic countries listed in the charter that governs the relationship between individuals with the other communities, both Muslim and non-Muslim communities. While the conditions that must be met for members of Ahl al-Hall wa al-'Aqdi are: Adil, have knowledge of the caliphate and the requirements to become a Caliph, and has the skills and wisdom enough in the lead. It is a way of him to respect the aspirations of the people and its sovereignty by choosing their representatives to represent him in a consultative assembly / deliberation. Keywords: Democracy, Islam. PENDAHULUAN Politik merupakan cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia, oleh karena itu Islam dan umat Islam memberi perhatian kepada masalah politik. Dalam hal ini, Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa “Allah SWT mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab suci-Nya agar manusia melaksanakan suatu keadilan yang sesuai dengan prinsip langit dan prinsip bumi. Jika suatu keadilan bisa muncul dan dapat terlihat kapan saja dan dalam acara apapun, maka itulah syari’at Allah (syari’at Islam) dan agama Allah (Islam). Bahkan Allah SWT telah menjelaskan bahwa garisgaris yang telah ditetapkan dimaksudkan untuk memujudkan keadilan di kalangan hambahamba-Nya dan agar manusia berbuat adil di muka bumi ini. Cara apapun yang ditempuh jika sesuai dengan garis-garis yang telah dijelaskan untuk mewujudkan keadilan merupakan bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya.
1
Penulis adalah dosen Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo
Jadi tidak bisa dikatakan bahwa politik yang adil itu bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh syari’ah, melainkan dia harus sesuai dengan apa yang dibawa oleh syari’ah itu sendiri bahkan dia merupakan bagian integral dari padanya. Sedangkan Imam Syafi’i mendefinisikan sebuah politik adalah: “Hal-hal yang sesuai dengan syara‟”. Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu Aqil bahwa politik adalah: Hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rasulullah SAW atau dibawa oleh wahya Allah SWT. Ketika dunia semuanya sedang berada dalam abad pertengahan (abad kegelapan), alQur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tahun 610 M dan mengumumkan berakhirnya masa kegelapan ini, berakhirnnya kekuasaan agama, dan kekaesaran sekaligus. Allah telah mengatakan dalam al-Qur’an Surat Yusuf (12): 40, yaitu:
ِ ..... ك الدِّيح ُن احل َقيِّ ُم إِ ِن ح..... َ حم إِالَِّ هللِ أ ََمَر أَالَّ تَ حعبُ ُد حوا إِالَّ إِيَّاهُ ذل ُ اْلُك
….. keputusan (hukum)itu hanyalah kepunyaan Allah, Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia, itulah agama yang lurus ….. (QS. Yusuf; 12: 40).2 Firman Allah tersebut menjelaskan maksud dari “keputusan (hukum)” adalah perundangundangan bukan seorang penguasa. Allah menjelaskan bahwa penguasa berkewajiban mengemukakan undang-undang Allah SWT, jika tidak yaitu dengan membuat undang-undang sendiri, maka ia telah menempatkan diri pada posisi mitra Allah dan menjadikan wali manusia selain Allah. Padahal Allah telah berfirman dalam al-Qur’an Surat al-A’raf (7): 3, yaitu:
..... َاِتَّبِعُ حوا َما أُنح ِزَل إِلَحي ُك حم ِم حن َربِّ ُك حم َوالَتَتَّبِعُ حوا ِم حن ُد حونِِه أ حَولِيَاء
Ikutilah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya …..(QS. al-A’raf; 7: 3).3 Sedangkan pada masa sebelumnya (abad kegelapan), segala macam bentuk aturan hukum dan perundang-undangan dari manusia yang bertentangan dengan aturan Allah dipandang suatu bentuk kejahiliyaan. Undang-undang yang diturunkan dari Allah itu adalah berupa kitab suci yaitu al-Qur’an yang telah diterapkan Nabi Muhammad SAW dengan bimbingan wahyu illahi yaitu yang dikenal dengan Sunnah Qauliyah, Sunnah Fi‟liyah, dan Sunnah Taqririyah. AlQur’an telah mewajibkan manusia untuk menganut azas musyawarah dalam hal memilih seorang pemimpin, baik dalam pertanggungjawaban maupun pemberhentiannya. Allah telah berfirman dalam al-Qur’an Surat Ali Imran (3): 159, yaitu:
..... َو َشا ِوحرُه حم ِِف احأل حَم ِر.....
….. dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu) ….. (QS. Ali Imran; 3: 159).4 Ayat ini secara redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap seorang pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya. Dalam bermusyawarah, orang yang ikut di dalamnya harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf, karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan 2
Depag. RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), 354. Ibid., 221. 4 Ibid., 103. 3
pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan jika hal itu masuk ke dalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Kemudian orang yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerahan atau ketajaman analisis saja tidaklah cukup. William James, filosof Amerika kenamaan, menegaskan bahwa: “Akal akan mengagumkan. Ia mampu membatalkan suatu argument dengan argument lain. Ini akan dapat mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilainilai hidup kita”.5 MAKNA DEMOKRASI Demokrasi berasal dari Yunani kuno yang diutarakan oleh Plato pada abad 5 SM di Athena. Kata demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan kata lain rakyatlah yang mempunyai kekuasaan, pemerintah pada negara demokrasi pada dasarnya adalah pilihan rakyat yang diberi tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan negara dan mempertanggungjawabkannya kepada rakyat.6 Demokrasi adalah kekuasaan rakyat, mereka itulah yang memilih undang-undang yang mengatur mereka dan mereka yang memilih pemimpin yang menerapkan undang-undang ini.7 Sistem yang dianut oleh Militer Barat dan Militer Timur (Komunis) sepakat bahwa pemerintah demokrasi adalah pemerintah yang terdiri dari orang-orang yang terpilih dari rakyat secara bebas dan atas kehendak murni mereka untuk menjadi pemimpin yang akan melaksanakan aspirasi mereka. Tetapi secara realita dalam prakteknya sulit untuk dapat ditemukan secara utuh, sebab tidak jarang ditemukan di kota-kota maupun di desa-desa yang membumingasuskan suatu negara yang mengangkat demokrasi sebagai sistem yang dianut, dengan alasan bahwa penduduk di daerah itu menentang demokrasi dan prinsip yang mereka pegang adalah kebebasan bagi rakyat dan tidak ada kebebasan bagi musuh rakyat. Dalam setiap demokrasi, pemerintahan rakyat merupakan pemerintahan di atas segalanya, dengan istilah “kedaulatan rakyat”. Dalam proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat dikatakan bahwa “segala wewenang kekuasaan diambil dari persetujuan rakyat”. Pada bab kelima Piagam Negara di Mesir yang diajukan oleh Gamal Abdul Naser kepada rakyat (setelah berhasil menggenggam kekuasaan dan dapat memenjarakan Muhammad Najib) menegaskan sekali lagi tentang kedaulatan rakyat. Akan tetapi dia memegang seluruh kekuasaan di tangannya untuk mewujudkan ambisinya dengan bersembunyi di balik slogan yang selalu disampaikan di hadapan rakyat pada bulan Juli setiap tahunnya, yaitu: Kebebasan seluruhnya milik bangsa dan tidak ada tempat bagi kebebasan musuh. Pemakaian istilah demokrasi telah dijadikan simbol bagi negara-negara maju, seperti di Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet, dan lain sebagainya, tetapi pengertian istilah demokrasi belum tentu sama dengan istilah demokrasi di negara-negara lain, seperti negara-negara Komunis.
5
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Cet. Ke- IX (Bandung: Mizan, 1999), 474. Lihat http:// guru-ppkn.blogspot.sg/2014/10/demokrasi-dalam-islam.html?m=1. 7 Salim Ali al-Bahnasami, Wawasan Sosial Politik Islam, diterjemahkan oleh Mushthalah Maufur MA (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1995), 102. 6
Perlu kiranya dikemukakan di sini sekilas gambaran historis tentang dekmokrasi.8 1. Demokrasi Yunani Kuno. Demokrasi ini memiliki karakteristik dasar, yaitu: a. Demokrasi Langsung, yaitu bahwa rakyat ikut ambil bagian secara langsung dalam pemerintahan itu sendiri melalui perkumpulan majlis (assembly) atau ecelesia. Pengertian demokrasi langsung adalah bahwa di sana tidak ada wakil-wakil yang dipilih, melainkan yang ada adalah hak masuk ke dalam majlis (assembly) dan ambil bagian dalam pembicaraan merupakan hak setiap individu masyarakat. b. Demokrasi Klasik, demokrasi ini tidak mengenal kebebasan (dalam pengertian modern). Di sini tidak ada jaminan kebebasan beribadah bagi individu, yang ada adalah kewajiban untuk mengikuti agama negara dan dia harus mengikuti aturan-aturan negara meskipun terdapat di dalamnya perampasan hak-haknya dan kebebasan individualnya. Dengan pengertian lain bahwa keterlibatan rakyat dalam kekuasaan belum mendapatkan wewenang untuk membuat undang-undang. Sebagaimana pendapat Duguit mengatakan bahwa pengertian kebebasan bagi bangsa Yunani Kuno diambil dari prinsip persamaan di depan hukum negara dengan mengabaikan pertimbangan pada keyakinan yang menjadi dasar undang-undang diktator yang tidak memperhatikan kaidah moral dan keadilan. 2. Demokrasi Kekaisaran. Demokrasi terwujud dalam pemerintahan Napoleon Bonaparte, sesuai dengan undangundang yang dikeluarkan pada 13 Desember 1799, dikenal dengan undang-undang tahun ke delapan dan undang-undang serupa yang dibuat oleh Louis Napoleon, dikenal dengan istilah undang-undang tahun 1852. Demokrasi ini berdiri di atas penyembahan terhadap penguasa yang ketika itu disebut dengan kaesar, percaya mutlak kepadanya dalam i’tiqad dan kemampuannya. Oleh karena itu rakyat menyerahkan kekuasaan mutlak ditangannya setelah diadakan pengumpulan pendapat umum. Hasilnya seluruh institusi parlementer diambil oleh kewenangan untuk kemudian diserahkan kepada kaesar yang bersama kaki tangannya melaksanakan seluruh tugas-tugas negara. Negara dapat menghapus kebebasan umum, seperti kebebasan berkumpul, kebebasan pers, dan kebebasan-kebebasan lainnya. 3. Demokrasi Tidak Langsung. Demokrasi ini merupakan demokrasi yang dijadikan oleh Revolusi Perancis sebagai dasar sistem hukum Perancis dan dasar perundang-undangan, kemudian tersebar ke berbagai negaranegara Eropa Barat, bahkan hingga sekarang menjadi model yang diikuti oleh banyak negara di masa modern ini. 4. Demokrasi Rakyat. Demokrasi ini telah menjadi slogan oleh aliran Maxisme dan penerapannya di negara Uni Soviet, di samping Eropa Timur, seperti: Polandia, Chekoslovakia, Rumania, Bulgaria, Yugoslavia, Albania, Hongaria, Republik Rakyat Cina, dan Jerman Timur (Republik Demokratik Jerman). Di masa sekarang terdapat sebagian pemerintahan republik yang lebih diktator daripada pemerintahan dengan sistem kerajaan, sehingga di beberapa negara Arab lebih menyukai pemerintahan dengan sistem kerajaan. Sistem pemerintahan kerajaan dapat memberi kebebasan kepada keturunannya untuk memilih para wakil mereka menduduki jabatan dalam suatu
8
Abdul Ghaffar Adawi, ad-Dimuqrathiyyah (Mesir: t.p, t.th),14-16.
pemerintahan. Bahkan sebagian penulis / pendapat berujung pada kesimpulan bahwa sistem kerajaan bahkan lebih baik dari pada republik.9
DEMOKRASI DI MASA LALU Sejak satu abad yang lalu Karl Marx mengatakan bahwa demokrasi yang dilahirkan oleh Revolusi Perancis (pada tahun 1789) itu merupakan sebagai “Demokrasi Borjuis” (kelas dan para pemilik modal yang memonopolinya). Menurut dia demokrasi ini merupakan demokrasi palsu dan penyebutan yang lebih tepat adalah kediktatoran yang terselubung untuk mengabdi kepada kepentingan kelas Borjuis sebagai penguasa. Iraq merupakan salah satu negara yang mengalami penderitaan sejak bertahun-tahun di bawah kekuasaan militer (lebih-lebih di masa pemerintahan Saddam Husein), sehingga menjadi suatu negara diktator di dunia. Menurut laporan yang dimuat oleh majalah New Statesman10, Inggris merupakan negara pertama yang menganut sistem demokrasi di dunia. Seorang sejarahwan Inggris menulis dalam bukunya world history pada halaman 73 mengatakan bahwa selama masa 3360–2400 SM, negeri Iraq memiliki sistem yang berasaskan demokrasi. Sedangkan menurut Ensiklopedia Sejarah Peradaban Dunia menegaskan bahmenegaskan bahwa adanya satu pemerintahan demokrasi primitip di wilayah Iraq pada masa tersebut, akan tetapi Eropa menutup mata terhadap sejarah ini dan menampilkan dirinya sebagai pencetus pertama demokrasi di dunia yaitu di Athena Yunani pada tahun 508 SM. Oleh karena itu masyarakat Eropa pada bulan Mei 1994 yang lalu telah memperingati 2500 tahun berdirinya demokrasi di Yunani yaitu tepatnya di Athena11.
ISLAM DAN DEMOKRASI Al-Qur’an dan as-Sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok yang berkaitan dengan kehidupan politik, seperti asy-syura/musyawarah, keadilan, tangung jawab, kepastian hukum, jaminan haq al-„ibad (hak-hak manusia), dan lain-lain yang kesemuanya itu memiliki kaitan yang erat dengan syura atau demokrasi.12 Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-w-r yang pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti “mengatakan atau mengajukan sesuatu”. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Madu bukan saja manis, melainkan obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah, yaitu makhluk yang sangat berdisiplin, kerjasamanya mengagumkan, makananya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak. Ia tidak pernah mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat. Seperti itulah
9
Mahmud Helmi, al-Mabadi’ ad-Dusturiyah al-‘Am Cet. Ke-2 (t.t: t.p, 1996), 194. Majalah al-Wathan, Kuwait, ed., 14 Mei 1994, 5. 11 Ibid. 12 M. Quraish Shihab, Op. Cit., 482. 10
makna permusyawaratan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi SAW menyamakan seorang mukmin dengan lebah.13 Sebagian qolongan mengecam terhadap sistem Islam yang beranggapan bahwa para muslim pada generasi awal tidak memiliki wakil-wakil mereka untuk duduk di majlis syura. Sedangkan musyawarah yang ada pada saat itu hanyalah musyawarah yang bentuknya masih sangat primitife, di sisi lain mereka beranggapan bahwa sistem demokrasi merupakan sesuatu yang tabu bahkan menganggap kekufuran dengan alasan bahwa Islam tidak mengenal sistem pemilu (Pemilihan Umum). Ini semua adalah bersumber dari sangking ketidaktahuan mengenai hakekat makna demokrasi dan karena sebagian mereka (para muslim) berpedoman pada bentuk yang pernah dilakukan pada periode shahabat yang dimaknai mentah-mentah/secara dhahir bahwa pada periode itu ada setiap pemilihan kepala negara dengan sistem pemilu yang berlaku seperti sekarang ini. Mereka tidak memahami bahwa bentuk ini memang tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah secara dhahirnya, tetapi sebetulnya sistem ini juga ada ditemukan di dalam al-Qu’an dan as-Sunnah dengan bentuk tertentu jika diteliti secara detail. Dan para shahabat juga memakaikannya/mengambilnya walaupun ada yang berbentuk (kalimat) lain, tetapi pada prisipnya mempunyai tujuan yang sama. Sebab makna sesuatu itu dapat dilihat dari substansinya bukan dari bentuk bangunannya dan gambarnya saja. Demokrasi pada awal mulanya adalah suatu demokrasi yang bersifat langsung yaitu penduduk berkumpul di satu tempat, di mana pemimpin mengajukan rencana-rencana / program kerja dan masalah-masalah dengan meminta pendapat dari mereka. Setelah itu pertemuan diakhiri kesepakatan untuk mendukung pendapat mayoritas, tetapi setelah jumlah penduduk bertambah dan masalah-masalah yang muncul semakin semakin beragam, mereka kemudian mengambil cara demokrasi tidak langsung yaitu rakyat memilih para wakil mereka melalui pemilihan umum utuk melaksanakan tugas-tugas atas nama rakyat, sebagai berikut di antaranya: 1) Membuat undang-undang 3) Menetapkan anggaran negara 4) Mengawasi tugas-tugas pemerintahan. Untuk mencapai itu, maka anggota parlemen membentuk komite teknis khusus yang membidangi tugas-tugas tersebut. Hal tersebut telah tertera dalam al-Qur’an surat asySyura (42): 38, artinnya: Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka.14 Dan surat Ali Imran (3): 159, artinya: Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.15 Memang banyak persoalan yang dapat diambil jawabannya dari ayat musyawarah tersebut, namun tidak sedikit dari jawaban tersebut merupakan pemahaman para sahabat Nabi SAW atau Ulama. Meskipun ada juga yang merupakan petunjuk-petunjuk umum yang bersumber dari Sunnah Nabi SAW, tetapi petunjuk-petunjuk tersebut dapat dikembangkan atau tidak sepenuhnya mengikat. Allah memberi kebebasan dalam masalah ini dalam mempertimbangkan kondisi masyarakat masing-masing karena cara-cara ini semua akan selalu berubah dengan adanya perubahan zaman, sehingga yang paling pokok adalah mengambil subtansi dari demokrasi itu sendiri yaitu dengan asas musyawarah dalam pengertian syari’ah Arab Jahiliyah merupakan jawaban orang Quraisy kepada Qushay dan para pemimpin sesudahnya, yaitu: “Anda adalah pemuka kami, dan pendapat kami mengikuti pendapat anda”. Dan mengandalkan kepada orang pintar adalah merupakan suatu cara untuk mencari kebenaran.16
13
Ibid., 469. Depag. RI., Op. Cit., 789 15 Ibid., 103. 16 Adnan Ali Ridha, asy-Syura la ad-Dimuqratiyah, 63. 14
Islam menghapus praktek perdukunan/merujuk kepada orang pintar (kahin) untuk menemukan kebenaran dan Islam memandangnya sebagai bentuksuatu bentuk kemusyrikan kepada Allah. Sedangkan bentuk pengikutan kepada para pemuka Arab Jahiliyah itu merupakan kepatuhan mutlak terhadap mereka hingga dalam hal-hal yang sangat mendasar bagi kabilah dipegang oleh mereka. Rasulullah SAW memasukan perubahan-perubahan substansi dalam kehidupan bangsa Arab menjadi sistem syura Islam yang tidak kurang sistem demokrasi modern, yaitu dalam halhal yang berhubungan dengan sisi positif demokrasi dan sifat dasar pemilihan ahli syura dan pemimpin. Sedangkan dari sisi negatife, demokrasi yang menjadikan perundang-undangan buatan manusia tidak diterima dalam Islam atau agama samawi yang asli manapun.Sebab semua hal itu berhubungan dengan perilaku manusia yang mengetahui hanyalah Sang Pencipta manusia itu sendiri. Penduduk Madinah telah mengutus delegasi yang terdiri dari tujuh puluh tiga orang untuk memberi baiat kepada Nabi SAW di Mekah. Semasa periode ini, pengorganisasian pertama urusan-urusan mereka dengan perintah Nabi SAW untuk memilih wakil sebanyak dua belas orang yang menangani urusan-urusan mereka. Dengan demikian Nabi SAW membentuk ahl alhalli wa al-„aqdi dalam kelompok kecil untuk mewakili mereka. Di Madinah setelah Rasulullah hijrah, beliau mulai membentuk embrio negara Islam yang dicantumkan dalam piagam yang mengatur hubungan antar individu masyarakat dengan yang lainya, baik masyarakat muslim maupun non muslim. Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi anggota ahl al-halli wa al-„aqdi adalah: a. Adil (dengan semua persyaratan keadilan menurut Islam). b. Memiliki pengetahuan tentang khilafah dan persyaratan-persyaratan menjadi khalifah. c. Memiliki kecakapan dan kearifan yang cukup dalam memimpin. Ini adalah cara untuk menghormati aspirasi rakyat dan kedaulatannya yakni dengan memilih wakil-wakil mereka. Cara ini baru dicapai oleh bangsa-bangsa lain setelah melalui pengalaman berabad-abad lamanya dan mengorbankan banyak jiwa selama perjalanan sejarah abad pertengahan di Eropa. Disebut ahl al-halli wa al-„aqdi, karena mereka mempunyai hak untuk menerima atau menolak dan menahan atau meloloskan untuk dilaksanakan. Sumpah-sumpah yang disengaja (aqd) merupakan kesepakatan antara kedua pihak yang menjadi keharusan bagi masing-masing untuk melaksanakannya, dan ahl al-halli wa al-„aqdi merumuskan kesepakatan yang diambil oleh rakyat. Menurut Hasan al-Banna, secara implicit para ulama melukiskan bahwa sifat-sifat yang cocok untuk dikenakan pada ahl al-halli wa al-„aqdi adalah menjadi kelompok, yaitu: a. Para ulama (fuqaha mujahidun) yang memiliki kemampuan member fatwa hokum Islam. b. Para pakar dalam urusan umum. c. Orang-orang yang memiliki integitras kepemimpinan di kalangan masyarakat (keluarga suku, dan organisasi). Sebagian kecil, orang mempunyai kecenderungan untuk mengkafirkan orang lain atau kelompok lain padahal yang demikian itu membahayakan terhadap diri sendiri dan orang lain (masyarakat). Rasulullah SAW telah memperingatkan (melaknat) kepada manusia agar tidak mengkafirkan terhadap orang lain, seperti sabda beliau yang artinya: “Sesungguhnya seorang hamba apabila melaknati sesuatu, laknatnya itu naik ke langit lalu pintu-pintu langit itu ditutup, kemudian turun lagi ke bumi lalu pintu-pintu bumi pun ditutup. Dia
menengok ke kanan dan kiri, apabila tetap tidak menemukan satu pintu pun, laknat itu kembali kepada yang dilaknat, maka ia kembali kepada yang mengucapkan laknat itu”.17 Idiologi agama Islam terhadap masalah demokrasi memerlukan peta baru paradigma pemikiran Islam yang lebih relevan untuk memahami Islam, ketimbang menggunakan peta yang ada. Clifford Greertz mengklarifikasi bahwa umat Islam secara cultural religious menjadi priyayi (elite), santri (purely religious), dan abangan (non religious). Banyak orang mengkritik tiga penggolongan klasifikasi ini, karena sesungguhnya priyayi (elite) adalah kelas sosial yang tidak bisa dipadamkan dengan kategori santri (purely religious) atau abangan (non religious). Tetapi mestinya adalah kelas sosial yang lawannya wong cilik (proletar). Baik santri maupun abangan sama-sama mempunyai priyayi atau elite maupun wong cilik atau proletar. Sehingga dengan demikian ada priyayi santri maupun priyayi abangan, ataupun masyarakat bawah santri maupun abangan. Secara kasar ideologi umat beragama dapat dibagi dalam empat paradigm social, yaitu golongan tradisinalis, modernis, revivalis, transformatife.18 Demokrasi yang sesungguhnya adalah demokrasi yang didukung dengan iman dan tanggung jawab keagamaan. Dalam kondisi seperti ini, kalian ingin mengenalkan sebuah sistem politik Islam dan sistem kenegaraan Republik Islam – yang berlandaskan pada demokrasi agama – kepada dunia. Republik adalah kata lain dari demokrasi. Islam, yakni agama. Sebagian orang beranggapan bahwa ketika memaparkan teori tentang demokrasi agama, berarti kita menciptakan sebuah ide yang lain. Republik Islam berarti demokrasi agama. Hakekat dari demokrasi agama adalah sebuah pemerintahan harus diatur berdasarkan petunjuk ilahi dan kehendak rakyat. Masalah yang dihadapi oleh rezim-rezim di dunia pada umumnya adalah karena mereka menafikan petunjuk ilahi. Atau jika ada petunjuk ilahi, atau mereka mengklaim keberadaanya, di sana suara rakyat tidak memiliki andil. Atau malah mungkin kedua unsur itu tidak ada, dan demikian halnya kondisi di banyak negara. Artinya di sana, rakyat tidak punya andil dalam mengatur negara dan tidak ada pula bimbingan agama di dalamnya.19
KONTROVERSI TENTANG DEMOKRASI Pengertian demokrasi merupakan konsep yang paling banyak diperdebatkan, sehingga istilah ini dipakai dalam pengertian politik dan konsepsional. Demokrasi mempunyai pengertian bahwa kekuasaan rakyat secara langsung maupun melalui para wakil terpilih yang dengan partai-partai politik dan persekutuan pemilik modal kekuasaan itu menjadi kekuasaan para pemilik modal dan para pemimipin partai. Komitmen terhadap kemauan partai merupakan suatu komitmen yang buta meskipun bertentangan bertentangan dengan maslahat umum yaitu aspirasi mayoritas yang seharusnya diwakili oleh para parlemen. Dan hal itu adalah merupakan penyebab utama terhadap timbulnya penyelewengan suatu demokrasi. Gejala seperti ini pernah diutarakan oleh salah seorang anggota parlemen Inggris, dengan mengatakan: “Saya sudah sering mendengar di majlis umum (house of common) suatu pidato yang membuat pandangan saya berubah, akan tetapi saya belum pernah mendengar suatu pidato yang membuat suaraku berubah”.20 1. Sisi Baik Demokrasi 17
Hadis Riwayat Abu Daud. Mansour Fakih, Agama dan Proses Demokrasi di Indonesia Suatu Analisis Krisis yang disadur dalam Nasionalisme Reflesi Kritis Kaum Ilmumwan Pengantar Ariel Heryanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 50. 19 Lihat http:/id.al-shia.org/page.php?id=539, pandangan imam khamenei tentang demokrasi agama. 20 Lihat at-Ta’addudiyah as-Siyasiyah, 18. 18
Dalam sistem demokrasi terdapat sisi positif yang tidak dapat ingkari, di antaranya adalah tentang kedaulatan rakyat. Dalam hal ini rakyat mempunyai hak dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan pemilihan anggota majelis, yakni dengan memilih penguasa, mengontrol, dan bahkan memecatnya. Dari sisi ini, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, maka jika memilih tentang hal keyakinan (agama), itu merupakan kebebasan rakyat demikian juga dalam hal memilih para pemimpin pun diberi kebebasan kepada rakyat itu sendiri. Dalam hal kebebasan untuk memilih keyakinan (agama), Allah berfirman dalam al-Qur’an surat Yunus (10): 99 artinya: “….. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orangorang yang beriman semuanya? (Yunus;10: 99)”21 Adapun tentang kebebasan dalam hal memilih pemimpin, Rasulullah SAW telah bersabda kepada kaum Anshar artinya: “Keluarkanlah kepadaku duabelas orang utusan di antara kamu untuk mengurusi kaum mereka”22 Kebebasan beragama dalam Islam adalah muncul sebelum orang yang bersangkutan masuk Islam, tetapi setelah dia masuk Islam, maka dia tidak dibenarkan untuk keluar lagi dari Islam. Kaum Yahudi banyak yang dengan sengaja masuk Islam lalu keluar lagi dari Islam, dengan maksud untuk menunjukkan bahwa risalah Islam itu memang tidak benar keberadaanya. 2. Sisi Buruk Demokrasi Sisi buruk demokrasi tercermin dalam penetapan hak legislatife dari sebagian para wakil rakyat mengenai kebebasan perpendapat yang terkadang terlalu lepas tanpa melihat boleh-tidak boleh menurut Islam atau bahkan bertentangan dengan syari’at Islam, seperti menyekutukan Tuhan Allah SWT. Allah berfirman dalam surat al-An’am (6): 148 artinya: “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapakbapak tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami”.23 Kekufuran ini dapat dihindari jika para anggota parlemen juga menghidari dari pembuatan undang-undang yang mungkin akan bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Para penguasa muslim dapat menghindarkan diri dari perangkap dalam isyarat hukum pada alQur’an surat al-Maidah (5): 44 artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zalim”.24 Dengan memasukan penegasan dalam undang-undang negara tentang penghapusan aturan-aturan yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah atau memasukan undangundang yang menegaskan bahwa syariat Islam adalah merupakan pokok perundang-undangan yang tidak boleh dikesampingkan dalam pembentukan undang-undang. Dengan demikian perlu kiranya membentuk mahkamah khusus yang menangani masalah-masalah yang bertentangan dengan (hukum) syariat Islam. PENUTUP Demokrasi yang dikehendaki Islam di sini adalah demokrasi yang ketika memutuskan segala sesuatu perkara selalu dengan sistem musyawarah dan memperhatikan nilai-nilai Islam dalam menetapkan segala bentuk peraturan di pemerintahan. Hal ini telah sesuai dengan undang21
Depag. RI, Op. Cit., 322. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari Jilid 2 (Mesir: Daar al-Hadits, t.th) 23 Depag. RI, Op. Cit., 213. 24 Ibid., 167. 22
undang yang diturunkan Allah adalah kitab suci al-Qur’an, diterapkan Nabi Muhammad SAW dengan bimbingan wahyu illahi yang dikenal dengan Sunnah Qauliyah, Sunnah Fi‟liyah, dan Sunnah Taqririyah. Al-Qur’an telah mewajibkan manusia untuk menganut azas musyawarah dalam hal memilih seorang pemimpin, baik dalam pertanggungjawabannya maupun pemberhentiannya. Allah telah berfirman dalam al-Qur’an Surat Ali Imran (3): 159, artinya:….. dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu) ….. (QS. Ali Imran; 3: 159).25 Secara redaksional ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat/anggota masyarakatnya, tetapi ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap seorang pemimpin agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya dalam memutuskan perkara/urusan tertentu juga. Dengan demikian Nabi SAW setelah hijrah di Madinah telah membentuk semisal Majelis Permusyawaratan Rakayat (MPR) dengan sebutan pada waktu itu yaitu Ahl al-Halli wa al-„Aqdi (dalam kelompok kecil) untuk mewakili mereka dalam memutuskan perkara di suatu majelis. Di sini beliau mulai membentuk embrio negara Islam yang dicantumkan dalam piagam yang mengatur hubungan antar individu masyarakat dengan yang lainya, baik masyarakat muslim maupun non muslim. Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi anggota ahl al-halli wa al-„aqdi adalah: 1) Adil (dengan semua persyaratan keadilan menurut Islam), 2) Memiliki pengetahuan tentang khilafah dan persyaratan-persyaratan menjadi khalifah, dan 3) Memiliki kecakapan dan kearifan yang cukup dalam memimpin. Disebut ahl al-halli wa al-„aqdi, karena mereka mempunyai hak untuk menerima atau menolak dan menahan atau meloloskan untuk dilaksanakan. Sumpah-sumpah yang disengaja (aqd) merupakan kesepakatan antara kedua pihak yang menjadi keharusan bagi masing-masing untuk melaksanakannya, sedangkan Ahl al-Halli wa al-„Aqdi merumuskan kesepakatan yang telah diambil oleh rakyat tersebut. DAFTAR RUJUKAN Abdul Ghaffar Adawi. Ad-Dimuqrathiyyah. Mesir: t.p, t.th. Adnan Ali Ridha. Asy-Syura la ad-Dimuqratiyah. At-Ta’addudiyah as-Siyasiyah. Depag. RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra, 1989. Ibnu Hajar al-Asqalani. Fathul Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari Jilid 2. Mesir: Daar al-Hadits, t.th. Majalah al-Wathan. Kuwait, ed., 14 Mei 1994. Mahmud Helmi. Al-Mabadi’ ad-Dusturiyah al-‘Am Cet. Ke-2. t.t: t.p, 1996. Mansour Fakih. Agama dan Proses Demokrasi di Indonesia Suatu Analisis Krisis yang disadur dalam Nasionalisme Reflesi Kritis Kaum Ilmumwan Pengantar Ariel Heryanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. M.Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an Cet. Ke- IX. Bandung: Mizan, 1999.
Salim Ali al-Bahnasami. Wawasan Sosial Politik Islam, diterjemahkan oleh Mushthalah Maufur MA. Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1995. http:// guru-ppkn.blogspot.sg/2014/10/demokrasi-dalam-islam.html?m=1. http:/id.al-shia.org/page.php?id=539, pandangan imam khamenei tentang demokrasi agama.
25
Depag. RI., Op. Cit., 103.