DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA | HEGEMONI POLITIK DALAM PUISI DONGENG DARI KERAJAAN SEMBAKO KARYA ACEP ZAMZAM NOOR
Etti Rs Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNINUS
[email protected]
ABSTRAK Dongeng dari Kerajaan Sembako adalah salah satu puisi karya Acep Zamzam Noor yang dimuat dalam buku Tangan Besi, Antologi Puisi Reformasi. Buku ini diterbitkan oleh Forum Sastra Bandung sebulan setelah terjadinya peristiwa monumental dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, yaitu peristiwa Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998. Buku ini memuat 48 puisi karya 13 orang penyair, dua puisi diantaranya karya Acep Zamzam Noor berjudul Pernyataan Cinta dan Dongeng dari Kerajaan Sembako (DDKS). Puisi DDKS mengungkapkan berbagai peristiwa dalam percaturan politik di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Situasi pemerintahan serta perilaku para birokrat dan politisi di Indonesia pada saat itu digambarkan dengan bahasa sederhana dalam 13 bait puisi yang tiap baitnya diberi nomor. Obyek atau sasaran pengungkapan dalam puisi ini adalah presiden, menteri, walikota, dan para wakil rakyat. Semua yang diungkapkan dalam puisi ini merupakan paparan tentang wajah pemerintahan dan politik Orde Baru di Indonesia, mulai dari urusan suksesi, selebriti, teknologi, seni, ekonomi, pendidikan, kampanye, hingga urusan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Penggunaan bahasa dalam DDKS tanpa gaya bahasa puitis, semua diungkapkan dengan bahasa sederhana yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kesederhanaan bahasa demikian tampaknya sengaja dilakukan penyair karena ingin mencurahkan „unek-unek‟ yang dipendamnya selama ini dengan sejelas-jelasnya, baik kepada masyarakat (pembaca) maupun kepada pelaku/obyek puisi ini. Siapa pun yang mengalami hidup pada masa orde baru, niscaya akan tersenyum jika membaca puisi ini. Kata Kunci: reformasi, suksesi, orde baru
17
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA A. PENDAHULUAN Teks atau tulisan merupakan salah satu wujud wacana yang selalu berkaitan dengan konteks. Oleh sebab itu dalam kegiatan Critical Discourse Analysis (CDA) atau Analisis Wacana Kritis (AWK) yang berkualitas akan selalu dinilai dari segi kemampuan untuk menempatkan teks dalam konteksnya yang utuh dan holistik melalui pertautan antara analisis pada jenjang teks dengan analisis terhadap konteks pada jenjangjenjang yang lebih luas. Sebagaimana yang dikemukakan Eriyanto (2009 : xi) bahwa salah satu kriteria yang berlaku bagi sebuah studi kritis adalah sifat holistik dan kontekstual, maka metode analisis perlu menekankan pada multilevel analisis dan mempertautkan analisis pada jenjang mikro (teks) dengan analisis pada jenjang meso atau makro. Bagaimana mempertautkan analisis teks sebagai jenjang mikro dengan analisis konteks sebagai jenjang meso atau makro? Sebagaimana yang dikemukakan Norman Fairclough (Wodak & Meyer, 2001 : 121) bahwa AWK tidak lebih merupakan sebuah teori tentang bahasa dan merupakan semiotik (semiosis) dari unsur-unsur proses sosial. Adapun semiosis itu dapat berupa bahasa gambar, bahasa tubuh, warna, dan sebagainya; yang memberikan cara-cara analisis bahasa yang dihubungkan dengan kajian proses sosial. Singkat kata, kerangka berpikir AWK adalah mencoba menjelaskan pandangan bahasa sebagai unsur yang terpadu dari proses sosial. Oleh sebab itu, Fairclough menyebutkan bahwa dalam teori AWK, wacana dianggap sebagai sarana latihan bersosialisasi. Dalam hal ini, wacana
18
terbagi oleh struktur sosial, kelas, dan relasi sosial lain yang berhubungan dengan relasi spesifik dari institusi tertentu. Berhubung semiotik itu dapat dikatakan sebagai ilmu tanda, maka dalam melakukan AWK tentu akan berhadapan dengan tanda-tanda itu. Adapun yang disebut „tanda‟ dapat berupa simbol, lambang, atau ikon yang dapat diinterpretasi berdasarkan konteks, baik konteks budaya maupun konteks sosial. Di dalam sebuah teks terdapat tanda-tanda tekstual, bahkan segala yang terdapat pada teks dapat dianggap sebagai suatu tanda. Penyusunan kalimat dalam puisi (keteraturan suku kata, pengulangan fonetik, tipografi, dan sebagainya) adalah tanda. Tanda-tanda yang paling menarik adalah tanda yang tidak disadari yang hanya tampak setelah dilakukan analisis struktural yang sangat mendalam. Aart van Zoest (1992 : 15) memaparkan bahwa suatu gejala struktural, baik yang muncul dalam teks pada tingkatan mikrostruktural (kalimat, sekuen) maupun pada tingkatan makrostruktural (teks yang lebih luas) selalu dapat dianggap sebagai tanda. Hal ini tergantung pada penganalisis, apa yang akan dipilihnya. Bila ia menganggap tanda yang dipilihnya itu sebagai ikon, maka konsep ikonositas dapat dipakainya sebagai alat analisis dan interpretasi. Wujud wacana yang menjadi objek analisis dalam makalah ini adalah sebuah karya sastra tulis berbentuk puisi dengan judul Dongeng dari Kerajaan Sembako (DDKS) karya penyair Azep Zamzam Noor. Ditinjau dari segi cara pemaparannya, teks puisi yang dianalisis
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA | termasuk ke dalam wacana deskriptif. Wacana ini merupakan rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Uraian pada wacana deskriptif ini ada yang memaparkan sesuatu secara objektif dan ada juga yang memaparkannya secara imajinatif. Pemaparan pertama bersifat menginformasikan sebagaimana apa adanya, sedangkan yang kedua dengan menambahkan daya khayal. Oleh sebab itu, sifat pemaparan yang kedua ini banyak dijumpai dalam karya sastra (Darma, 2009 : 12). Sebagai salah satu bentuk sastra, puisi berbeda dengan prosa walaupun sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat pengungkapannya. Dalam menghadapi puisi, kita tidak hanya berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang ditulis penyair. Penyair mempunyai maksud tertentu mengapa baris-baris dan bait-bait dalam puisinya disusun sedemikian rupa, mengapa penyair menggunakan kata-kata, lambang, kiasan, dan sebagainya; semua yang ditampilkan penyair merupakan tanda yang memiliki makna. Bagaimana AWK menghadapi teks berbentuk puisi? Dalam pandangan kritis, fitur-fitur wacana lebih dipandang hanya sebagai „gejala‟ dari persoalanpersoalan yang lebih besar, seperti ketidakadaan perbedaan kelas, seksisme, rasisme, kekuasaan, dan dominasi subjek. Van Dijk dalam Darma (2009 : 71) mengatakan bahwa wacana memainkan
peran yang penting dalam perumusan ideologi, reproduksi komunikatif, prosedur penentuan sosial dan politis, serta manajemen institusi dan representasi isu-isu sosial lain. Selain itu, konsep sentral dalam AWK adalah ideologi yang dikonstruksi oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Sehubungan dengan pendapat ini, sebenarnya tidak ada masalah dengan bentuk puisi jika di dalamnya terkandung isu-isu serta ideologi yang dikonstruksi kelompok yang mendominasi. Bagaimana AWK menghadapi puisi DDKS? Sebagai salah satu puisi dalam antologi puisi reformasi, DDKS sarat dengan hegemoni dan muatan politik yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru. Apa yang dikemukakan Michael Foucault (Darma, 2009 : 103) bahwa setiap pembentukan wacana pada dasarnya merupakan bentuk pemberlakuan kekuasaan, itu terdapat dalam puisi DDKS yang menggambarkan betapa kuatnya cengkraman kekuasaan dan politik Orde Baru pada masa itu. Hegemoni cenderung bekerja dengan cara mencari dukungan yang legitimit dan legal dari kelompok mayoritas yang terdominasi melalui proses-proses yang „demokratis‟. Hegemoni politik yang tersirat dalam puisi DDKS merupakan objek AWK dalam makalah ini. B. ANALISIS WACANA KRITIS Ikhtisar Di dalam buku antologi puisi Tangan Besi, puisi DDKS dimuat pada halaman 22-23 dan penulisnya berada pada urutan penyair kedua setelah
19
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Rendra. Puisi yang terdiri dari 13 nomor (bait) ini pada intinya memaparkan perilaku para pemegang kekuasaan dan pemegang kebijakan sebelum dan sesudah reformasi. Mereka yang dipaparkan perilakunya dalam puisi ini adalah: presiden, dua orang gubernur, dua orang menteri, seorang walikota, para penguasa, para konglomerat, dan wakil rakyat. Adapun topik yang diungkapkan dalam puisi ini adalah tentang: masa jabatan Presiden Soeharto, gubernur yang jadi penyanyi, walikota emosional, pembakaran rumah wakil rakyat, menteri yang flamboyan, alat tukar penjualan pesawat, anak pejabat yang jadi pengusaha, para ambisius jabatan, perilaku „bunglon‟ para penguasa, utang negara, nepotisme, kebijakan pendidikan, dan kampanye terselubung. Puisi DDKS cukup komunikatif, bahasanya sederhana dan mudah dicerna oleh siapapun yang membacanya. Walaupun menggunakan kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari sebagai perangkat penulisannya, namun puisi ini tidak kehilangan gaya bahasa sebagaimana yang ada dalam karya sastra. Gaya bahasa hiperbola pada bait akhir misalnya, digunakan penyair dengan nada seperti bercanda padahal itu merupakan sindiran yang sangat pedas. Untuk memenuhi kebutuhan rima (persajakan), penyair melakukannya dengan pilihan kata yang cukup lucu dan membuat tersenyum namun tetap mengandung sindiran tajam, misalnya pada bait nomor 12: ...../diganti oleh menteri yang lugu/ menjadi Gita Cita dari SMU.
20
Dari tiga belas bait puisi DDKS, sembilan bait di antaranya ditulis dengan nada kalimat bercanda sehingga akan membuat pembacanya tersenyum simpul. Akan tetapi semua candaan itu sesungguhnya merupakan sindiran tajam yang akan membuat merah muka yang disindirnya. Empat bait lagi merupakan ungkapan kekecewaan terhadap iklim pemerintahan Orde Baru yang melahirkan antipati dari masyarakat. Keempat bait ini diungkapkan dengan bahasa berupa kritikan pedas terhadap pemerintah dan para petinggi negeri saat itu. Secara keseluruhan, puisi DDKS ini enak dibaca, mudah dicerna, dan ditulis dengan ungkapan kata-kata yang terasa ringan, santai, dan segar. Kekuasaan dan Ambisi Pemerintah Orde Baru merupakan pemegang kekuasaan terlama dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, yaitu selama 32 tahun; dan selama itu pula jabatan presiden sebagai kepala negara dipegang Soeharto. Program Repelita (rencana pembangunan lima tahun) yang dilajutkan dengan Pelita (pembangunan lima tahun) roda pemerintahan Indonesia dijalankan yang diperkuat oleh jajaran kabinet yang relatif „langgeng‟ dan kokoh. Soeharto yang dikenal sebagai seorang ahli strategi, menggunakan keahliannya dalam menempatkan para pembantunya di kabinet dan memanfaatkan dan memainkan kendaraan politiknya (Golkar) sebagai pengusung ambisinya untuk mengabadikan jabatannya sebagai presiden. Soeharto bagaikan seorang raja, segala perintahnya tak ada yang berani membantahnya. Ambisinya untuk
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA | memegang kekuasaan seumur hidup nyaris tak ada yang mempermasalahkannya, terutama dari para pembantunya (kabinet) dan juga dari anggota MPR yang mungkin telah dikondisikan sesuai dengan strateginya. MPR seperti sengaja dikondisikan untuk membuat aturan dan atau kriteria calon presiden dengan tujuan agar kriteria itu selalu terpenuhi oleh Soeharto, sebagaimana yang ditulis dalam majalah Tempo Interaktif edisi 34/I Oktober 1996 (1997: 196-197) Siapa yang layak menjadi Presiden Republik Indonesia? Ada 14 syarat yang harus dipenuhi; di antaranya, dia harus orang Indonesia asli, telah berusia 40 tahun, harus bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berwibawa, jujur, dan mendapat dukungan dari rakyat yang tercermin dalam majelis. Seluruh aturan itu ada dalam Ketetapan MPR nomor 2 tahun 1973. Ada aturan lain: jika semua fraksi kebetulan mengusulkan nama yang sama alias calon tunggal, maka rapat paripurna majelis langsung mengesahkan calon itu sebagai presiden (hal. 196). Sejak aturan itu keluar, MPR memang belum pernah „direpotkan‟ untuk menyeleksi calon-calon presiden dengan 14 kriteria tadi. Apalagi mengadakan voting, karena setiap lima tahun sekali sampai Sidang Umum MPR tahun 1993, semua fraksi kompak memilih kembali Soeharto sebagai presiden RI. Jadi tak ada perdebatan soal
kriteria (hal.197)
presiden
lainnya
Keinginan Soeharto untuk menjadi presiden selamanya, memang tidak secara eksplisit keluar dari ucapannya, namun dikemas dalam strategi yang seolah-olah itulah keinginan rakyat melalui pemilihan di MPR. Masih dalam Tempo Interaktif, hal itu tampak dalam perkataan Harmoko sebagai Ketua Golkar sekaligus Ketua MPR waktu itu, bahwa Golkar memiliki 5 kriteria calon Presiden RI untuk periode 1998-2003 yaitu : calon harus sesuai dengan UUD ‟45, dipilih oleh MPR, punya kemampuan sebagai pemimpin, berwawasan kebangsaan, dan harus diterima oleh mayoritas rakyat. Terhadap kriteria ini, ada seorang wartawan yang nyeletuk, “Lho itu kan Pak Harto” yang dijawab Harmoko sambil tersenyum , “Saudara jangan membuat rumors” (hal. 197). Sebagus-bagusnya strategi dan sepandai-pandainya para politisi bersandiwara, kemasan demokrasi dalam pemilihan Presiden RI pada saat itu tetap termaknai oleh rakyat luas. Masa jabatan presiden pada masa Orde Baru ibarat masa jabatan seorang raja untuk seumur hidup. Itu semua telah melahirkan antipati di kalangan rakyat Indonesia namun nyaris tak ada yang berani melontarkan antipatinya. Keberanian masyarakat mencetuskan antipatinya terwujud setelah Orde Baru tumbang pada bulan Mei 1998, di antaranya diungkapkan penyair melalui kalimat sindiran lucu dengan kata-kata sederhana namun cukup menggigit dalam DDKS pada bait nomor 1:
21
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Ada seorang raja/Hobinya jadi presiden Selain ambisi terhadap jabatan yang melanda para birokrat dan petinggi Indonesia, dalam puisi ini pun diungkapkan tentang ambisi para penguasa untuk meraih kekayaan yang berlimpah melalui profesi lain di luar jabatannya. Pada masa Pemerintahan Orde Baru bukan rahasia lagi apabila para pejabat memiliki beberapa perusahaan, baik atas nama dirinya maupun (kebanyakan) atas nama keluarga atau sanak-saudaranya. Kondisi demikian semakin merajalela, terutama dalam keluarga Soeharto dan segenap kerabatnya atau lebih dikenal dengan julukan Keluarga Cendana. Hampir semua sektor ekonomi dikuasai oleh pengusaha dari keluarga Soeharto dan para pejabat yang berkuasa. Hal ini diungkapkan penyair pada bait nomor 7 dan 8: Setiap pengusaha/Anaknya pasti pengusaha/Semua orang ingin jadi penguasa/Karena sekaligus akan jadi pengusaha Kekuasaan dan Arogansi Para pemegang kekuasaan di Indonesia pada era Orde Baru hampir semuanya – disadari atau tidak – telah menerapkan budaya feodalisme sehingga rakyat cenderung tidak berkutik menghadapi perilaku penguasa. Dalam penegakan hukum misalnya, banyak perkara yang menjerat para petinggi negeri ini kemudian di-peties-kan dan atau disiasati agar bebas dari tuduhan bersalah. Sebaliknya, apabila ada rakyat kecil yang berbuat salah maka penegakkan hukum benar-benar
22
dijalankan sesuai aturannya atau „si tersalah‟ itu diperlakukan dengan semena-mena. Di dalam puisi DDKS ditampilkan peristiwa semena-mena yang dilakukan oleh seorang walikota melalui bait nomor 3: Ada seorang walikota/berkelahi dengan pemain sepak bola/ menampar supir bis kota serta merontokkan gigi/satpam toserba Walikota yang dimaksud pada bait di atas adalah salah seorang Walikota Bandung periode 1993 – 1998 bernama Wahyu Hamijaya. Dia pernah menampar sopir bis kota ketika kendaraan yang ditumpanginya disalip sebuah bis kota dalam perjalan menuju kantor dinasnya di Balai Kota. Peristiwa lainnya yaitu perkelahian dengan seorang pemain sepak bola, Adjat Sudradjat; dan peristiwa „penganiayaan‟ (pemukulan dan pemecatan) seorang satpam di pusat pertokoan Bandung Indah Plaza (BIP). Peristiwa itu diawali ketika isteri Wahyu Hamijaya berbelanja pakaian di BIP, dan pelayan tidak mencopot alat „sensor‟ yang dilekatkan pada pakaian tersebut sehingga alat itu berbunyi ketika Ny. Wahyu Hamijaya melewati pintu/tiang penangkap sensor. Peristiwa ini terakses pada http://www.suarapembaruan.com/mutiara /News/1997/08/120897/Kasus/kas3.html sebagai berikut : Untuk kesekian kalinya pejabat Bandung, WH, menjadi bahan pembicaraan. Bukan lantaran prestasinya, tapi sikapnya yang arogan. Sekitar empat tahun memangku jabatan terhormat itu,
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA | telah lima kali ia melakukan perbuatan tercela. Peristiwa pertama, tahun 1994, pejabat itu menempeleng dua satpam Swalayan Yogya. Itu gara-gara sebelumnya satpam itu menggeledah istrinya pada saat berbelanja. Kedua, Oktober 1995, memaki-maki wartawan Pikiran Rakyat Tendi Somantri. Pejabat itu menilai, laporan Tendi menjelek-jelekkan Persib. Ketiga, Juni 1996, pejabat itu menempeleng sopir bus kota Damri di Jalan ABC. Alasannya, bus itu menyalip mobil dinasnya di jalan yang menikung. Keempat, pada bulan yang sama pejabat itu nyaris berkelahi dengan pemain Bandung Raya, Adjat Sudrajat, pada saat pertandingan Liga Indonesia 1996 berlangsung. Kelima, pada 29 Juli 1997 lalu, mengancam wartawan Republika, Djoko Suceno. Wartawan Republika Djoko Suceno pada 29 Juli lalu menanyakan isu suap-menyuap menyangkut renovasi Pasar Leuwipanjang kepada pejabat itu pada acara pembukaan Pameran Buku di Bandung Promotion Centre. Saat ditanya, seketika pejabat itu naik pitam dengan melontarkan kata-kata bernada ancaman. "Jangan nulis berita ini (Pasar Leuwipanjang, -Red.) Saya nggak mau berita ini. Nanti saya cari kalau nulis berita ini. Ini saksinya banyak," ujar WH seraya menunjuk beberapa pejabat di sampingnya.
Sikap arogansi kekuasaan dan atau sikap feodalisme para petinggi di Indonesia pada waktu itu telah melahirkan rasa antipati, apatis, dan kecemburuan sosial yang tinggi di kalangan rakyat. Salah satu bukti respons masyarakat yang menunjukkan kecemburuan sosial dan rasa antipati itu tercermin dalam puisi DDKS bait nomor 4: Ada seorang wakil rakyat/ rumahnya habis dibakar rakyat Dua larik puisi di atas ditujukan kepada Harmoko yang waktu itu menjabat sebagai Ketua DPR/MPR. Menjelang Soeharto melengserkan diri dari jabatannya sebagai presiden akibat desakan rakyat/mahasiswa pada Mei 1997, kerusuhan dan anarkis terjadi di Jakarta berupa penjarahan, pemerkosaan, dan pembakaran gedung; semuanya merupakan pelampiasan kekesalan terhadap pemerintah. Aksi anarkis itu terjadi pula di Solo, salah satu di antaranya dibakarnya rumah Harmoko di kota tersebut akibat arogansi pemiliknya selama memegang jabatan, terutama ketika menjadi Menteri Penerangan beberapa periode. Arogansi kekuasaan pada era Orde Baru diwujudkan pula dalam menetapkan beberapa kebijakan dalam bidang pendidikan, di antaranya melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 035/0/1997 tentang Perubahan Nomenklatur SMP menjadi SLTP dan SMA menjadi SMU. Kebijakan perubahan nomenklatur ini dilakukan ketika Mendikbud dijabat oleh Wardiman Djojonegoro. Walaupun tampak seperti hal sepele, namun
23
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA kebijakan perubahan ini berdampak vital terhadap anggaran, yaitu adanya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti kop surat, plang sekolah; yang akhirnya bermuara pada beban orang tua murid. Mendikbud yang memprakarsai perubahan nomenklatur ini dilukiskan Acep Zamzam Noor pada bait nomor 12 puisi DDKS sebagai menteri yang lugu dengan ilustrasi judul novel (yang dibuat film) karya Eddy D. Iskandar, Gita Cita dari SMA: Ada sebuah novel remaja/yang berjudul Gita Cinta dari SMA‟/diganti oleh seorang menteri yang lugu/menjadi “Gita Cinta dari SMU” Kekuasaan dan Nepotisme Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu bahwa julukan KKN sangat lekat dengan Pemerintahan Orde Baru. Korupsi dan kolusi yang terjadi pada setiap institusi pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif; mengakibatkan pelaksanaan program kegiatan pembangunan dipegang oleh para kerabat pejabat. Rekanan-rekanan lembaga pemerintah adalah mereka yang menjadi anak atau keluarga pejabat, termasuk putra-putri presiden; sebagaimana yang diungkapkan pada bait nomor 7 dan 8 berikut ini : Setiap penguasa/anaknya pasti pengusaha Semua orang ingin jadi penguasa/ karena sekaligus akan jadi pengusaha Selain dalam hal rekanan proyek pemerintah, nepotisme pun terjadi dalam menempatkan orang-orang yang menjadi
24
anggota DPR/MPR, terutama anggota dari Golongan Karya (Golkar). Sebagaimana yang diwartakan Tempo Interaktif edisi 31/I September 1996, bahwa Golkar menyusun daftar calonnya dengan menampung calon-calon dari tiga jalurnya, tiga kekuatan yang melahirkan dan mendukung Golkar. Ketiganya adalah jalur A (ABRI) yang menampung wakil-wakil Forum Komunikasi Putra Putri ABRI dan Putra Putri Purnawirawan, Dharma Pertiwi, para veteran dan putra-putrinya. Keadaan pencalonan anggota legislatif seperti ini diungkapkan penyair DDKS bait nomor 11 dalam larik-larik seperti ini : Wakil-wakil rakyat adalah :/ayah, ibu, anak, mantu, keponakan/ paman/bibi, pacar gelap, teman, anaknya teman dan seterusnya ... Data yang mendukung pada lariklarik di atas terdapat dalam Tempo Interaktif (1997: 528) berjudul Nepotisme dalam Daftar Calon Sementara Legislatif 1997 Golkar. Pada daftar ini terdapat 45 orang calon anggota legislatif, berarti hampir 50 persen dari jumlah anggota fraksi, yang merupakan hubungan kekerabatan; dan empat orang di antaranya putra-putri Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar sekaligus Presiden RI plus tiga orang kerabat dekatnya (menantu, sepupu, adik Soeharto) Kekuasaan dan Ekonomi Jika pada masa pemerintahan Bung Karno yang diprioritaskan adalah pembangunan politik, maka pada pemerintahan Soeharto, pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas.
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA | Penyusunan berbagai kebijakan dan strategi untuk mengembangkan perekonomian nasional kerap dilakukan, mulai dari konsep anggaran berimbang hingga mengembangkan industri nasional yang telah berjalan. Akan tetapi, kebijakan dan strategi yang dilakukan pemerintah kadang kurang proporsional dan menuai pro dan kontra di masyarakat, misalnya dalam hal kebijakan mobil nasional dan penjualan pesawat terbang CN 235 bernama Tetuko. Pada bulan April 1996 silam, Presiden RI yang kedua, Soeharto, memutuskan untuk menukar dua pesawat buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), CN-235, dengan beras ketan Thailand. Kebijakan itu kemudian menjadi olok-olok. Banyak orang yang merasa terhina. Bagaimana mungkin produk unggulan nasional itu cuma ditukar dengan 110.000 ton beras ketan? Bagaimana mungkin ratusan insinyur kita yang cerdas gemilang itu, disetarakan dengan para petani di Thailand. Harga dua pesawat itu mencapai US$ 34 juta atau Rp78,2 miliar. Kebijakan Presiden Soeharto ini terungkap dalam puisi DDKS bait nomor 6 : Ada pesawat terbang/ditukar dengan beras ketan Kebijakan ekonomi yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru menumbuhsuburkan para pengusaha di Indonesia, baik pengusaha pribumi maupun para investor dari luar. Para pemodal kuat seperti „keranjingan‟ membuka usaha dalam berbagai sektor, mulai dari pertanian, pertambangan, transportasi, hingga media massa. Maka
dalam beberapa tahun Indonesia telah memiliki banyak konglomerat yang menguasai roda perekonomian tanah air. Pemerintah sengaja melakukan kebijakan untuk mempermudah perizinan dan pinjaman modal dengan bunga rendah bagi para pengusaha dengan tujuan menghidupkan dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Proses perizinan yang dipermudah tersebut mengakibatkan banyak orang tergiur, terutama para pejabat untuk menjadi pengusaha. Iklim perekonomian demikian tercetuskan dalam puisi DDKS pada bait nomor 10 : Semua orang ingin jadi konglomerat/karena hutangnya akan ditanggung rakyat Tanpa basa-basi Acep Zamzam Noor mengungkapkan realitas iklim perekonomian dalam puisi tersebut. Dampak dari tumbuh suburnya para penguasaha besar itu adalah terjadinya kesenjangan antara konglomerat dengan penguasaha kecil yang kian tersisih. Situasi ekonomi demikian memang bukan fiktif atau rekaan seorang penyair, sebagaimana yang tersurat dalam rubrik Analisa & Peristiwa pada Tempo Interaktif Edisi September 1966-Februari 1997 yang menyoroti soal kerusuhan (pemberontakan para santri) di Tasikmalaya. Rubrik itu memuat hasil wawancara wartawan dengan Tatang Setiawan, Ketua Yayasan Bina Sektor Informal yang juga salah seorang staf pengajar Institut Agama Islam Cipasung. Menurut dia,penyebab utama kerusuhan adalah kesenjangan ekonomi yang menganga lebar. Masyarakat terpinggirkan oleh masuknya modal kuat konglomerat, akibatnya terjadi
25
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA pengangguran. Ciri khas perekonomian masyarakat Tasikmalaya adalah tukang kredit, namun profesi itu menjadi hilang karena para konglomerat pun bergerak dalam jasa kredit. Pendapat lainnya datang dari Prof. Achmad Muflih Saefuddin, ekonom Partai Persatuan Pembangunan, mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia belum berpihak kepada rakyat, melainkan berpihak pada segelintir orang. Kekuasaan dan Politik Reformasi di Indonesia dicapai dengan tebusan yang sangat mahal. Peristiwa penculikan, pemerkosaan, penjarahan, dan korban jiwa; semuanya terjadi dalam rangka memperjuangkan reformasi yang dipelopori Amien Rais melalui gerakan mahasiswa. Ketika rezim Orde Baru tumbang yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, banyak para tokoh Orde Baru yang melakukan korupsi dan kolusi yang dengan sigap mengganti „bajunya‟ dengan warna reformasi. Konsep yang berlaku dalam dunia politik memang konsep „bunglon‟ yang tidak menganut adanya lawan abadi dan atau kawan abadi melainkan kepentingan abadi. Mereka itulah yang dimaksud puisi DDKS pada bait nomor 9 ini : Ada banyak penguasa dan pengusaha/yang kerjanya korupsi dan kolusi/sekarang ramai-ramai berteriak :/”hidup reformasi !” Pada masa Pemerintahan Orde Baru, kekuasaan Golkar identik dengan kekuasaan pemerintah. Golkar telah menyusup ke dalam tubuh pemerintahan dan sedikit demi sedikit menjalar menjadi
26
urat nadi birokrasi. Bagi PNS pada waktu itu sangat sulit untuk melepaskan diri dari Golkar karena keterikatannya dengan Korpri, secara otomatis PNS menjadi anggota Korpri; sedangkan Korpri merupakan bagian dari Golkar. Maka, jadilah institusi birokrasi menjadi „kerajaan‟ Golkar. Dampaknya, kebijakan-kebijakan dan keputusan pemerintah dari pusat hingga daerah kerap berkaitan dengan kebijakan dan strategi untuk memperkokoh posisi Golkar. Kondisi dan situasi demikian terungkap dalam puisi DDKS bait nomor 13 melalui larik-larik : Ada seorang gubernur /maniak warna kuning/ hingga rakyatnya sendiri/dilarang gosok gigi Gaya bahasa hiperbola pada dua larik akhir digunakan penyair menjadi sebuah humor namun sesungguhnya sebagai sindiran pedas yang mempermalukan pembuat kebijakan. Adapun yang dimaksud dalam larik-larik di atas adalah Gubernur Jawa Tengah, Soewardi, yang mengeluarkan kebijakan „menguningkan‟ Jawa Tengah pada tahun 1995–1997 sebagai upaya untuk mencapai target memenangkan Golkar pada pemilu 1997. Terkait dengan kebijakan tersebut, berikut ini artikel Kuningisasi dan politik „Koboi‟ di Jawa Tengah pada Tempo Interaktif Edisi 47/I Januari 1997: Apa warna jubah Pangeran Diponegoro? Menurut sejarawan Onghokham, warnanya putih. Tapi, di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Barat, tepatnya di daerah Banjar, patung sang Pangeran dari Goa Selarong itu berjubah kuning
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA | – walau ketika dibangun patung itu berjubah putih. Inilah „kreativitas‟ baru pemerintah daerah Jawa Tengah: mencat kuning pagar penduduk, pot bunga, fasilitas umum, markah jalan, warung, becak, pagar kuburan, dan apa saja. Bahkan, dalam sebuah acara, seekor kerbau juga sempat dicat kuning (hal. 471). Kekuasaan dan Selebritis Lain dulu lain sekarang. Perbedaan itu terletak pada fenomena pemanfaatan ketenaran untuk beralih profesi. Dewasa ini fenomena tersebut melanda para artis dan atau selebritis untuk terjun ke dunia politik dan uji publik dalam pilkada. Sebelum reformasi, fenomena itu terjadi sebaliknya; yaitu ketenaran sebagai pejabat tinggi yang dimanfaatkan untuk terjun ke dunia selebriti, di antaranya menjadi penyanyi seperti yang dilakukan Basofi Sudirman, gubernur Jawa Timur yang menjajal kemampuannya menyanyi dangdut. Basofi sempat mengeluarkan album lagu yang berjudul Tidak Semua Laki-laki. Promosi album ini cukup gencar dan hampir tiap hari video klip lagu ini ditayangkan di televisi nasional. Gubernur inilah yang dimaksud Acep Zamzam Noor dalam puisi DDKS pada bait nomor 2 : Ada seorang penyanyi dangdut/ iseng-iseng jadi gubernur Kerapnya promosi (tayangan) video klip itu di televisi menjadikan sosok Basofi Sudirman benar-benar seperti artis tulen yang profesi utamanya
penyanyi. Hal ini mendorong Acep menulis sindiran dalam puisinya dengan memutar balik fakta bahwa Basofi seorang penyanyi dangdut yang isengiseng menjadi gubernur. Pemutarbalikan fakta ini sesungguhnya merupakan sindiran tajam yang bermakna bahwa Basofi Sudirman lebih mengutamakan menyanyi daripada tugasnya sebagai gubernur. Kedekatan antara pejabat tinggi pada zaman Orde Baru pada umumnya diawali ketika tiba musim kampanye. Tiap Orsospol peserta pemilu melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian masyarakat dalam kampanye, di antaranya dengan cara menggaet artis untuk ikut dalam acara kampanye, baik secara langsung maupun sebagai artis yang mengisi acara hiburan. Salah seorang artis yang dekat dan sempat dikabarkan akan menikah dengan seorang menteri gara-gara event kampanye adalah Dessy Ratnasari. Pemain sinetron dan penyanyi asal Sukabumi ini gencar dikabarkan berhubungan asmara dengan Abdul Latief yang saat itu menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja. Infotainment ini pun tidak luput dari pengamatan Acep Zamzam Noor yang dituangkannya dalam puisi DDKS bait nomor 5: Ada seorang menteri/bersaing dengan rakyatnya sendiri/ memperebutkan penyanyi/asal Sukabumi Sebagai penyair yang cukup kreatif dan memiliki pendalaman interpretatif tinggi, pada bait di atas Acep Zamzam Noor melukiskan dan atau „mafhum‟ bahwa seorang Dessy
27
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Ratnasari pasti cukup diidolakan dan diimpikan oleh kebanyakan kaum pria. Oleh sebab itu, ia mengungkapkan bahwa menteri itu bersaing dengan rakyatnya sendiri untuk memperebutkan seorang Dessy Ratnasari. C. PENUTUP Sebagai puisi yang mengusung tema reformasi dan diungkapkan dalam bahasa sehari-hari, DDKS sangat sarat bermuatan politik. Strategi dan kebijakan pemerintah Orde Baru yang cukup memuakkan rakyat Indonesia digambarkan dengan bahasa yang ringan, mengandung sindiran pedas, penuh canda, segar, dan menggelitik nurani. Melalui kalimat-kalimat pendek pada setiap baitnya, DDKS mampu mengungkapkan kritikan tajam tentang situasi dan perilaku para pemegang kewenangan dengan mitra kerjanya. Ideologi hegemoni dan politik begitu kuat mencengkram kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Program pembangunan yang dicanangkan pada setiap periode pemerintahan, ideologi itu semakin kuat „mencekoki‟ roda pembangunan dari periode ke periode. Rezim Orde Baru dan kekuatan Orsospol Golkarnya, mendominasi pembangunan dan kehidupan masyarakat Indonesia dengan kebijakan yang cenderung menguntungkan pihak penguasa. Paling tidak, muatan itulah yang terakumulasi dan terungkapkan dalam puisi DDKS.
28
DAFTAR PUSTAKA Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: CAPS. Eriyanto. 2009.Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS Forum Sastra Bandung. 1998. Tangan Besi, Antologi Puisi Reformasi. Bandung: Forum Sastra Bandung & PT Rekamedia Multiprakarsa. Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat, Edisi Paripurna. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. Ed. 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia. Waluyo, J. Herman. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Wodak, Ruth & Michael Meyer. 2001. Methods of Critical Discourse Analysis, Introduction Qualitative Methods. London: Sage Publications Ltd. Tempo Interaktif Volume II: September 19967 – Februari1997http://www.suarapem baruan.com/mutiara/News/1997
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA | Lampiran DONGENG DARI KERAJAAN SEMBAKO 1 Ada seorang raja Hobinya jadi presiden 2 Ada seorang penyanyi dangdut Iseng-iseng jadi gubernur 3 Ada seorang walikota Berkelahi dengan pemain sepakbola Menampar supir bis kota serta merontokkan gigi Satpam toserba 4 Ada seorang wakil rakyat Rumahnya habis dibakar rakyat 5 Ada seorang menteri Bersaing dengan rakyatnya sendiri Memperebutkan penyanyi Asal Sukabumi 6 Ada pesawat terbang Ditukar dengan beras ketan 7 Setiap penguasa Anaknya pasti pengusaha 8 Semua orang ingin jadi penguasa Karena sekaligus akan jadi pengusaha 9 Ada banyak penguasa dan pengusaha Yang kerjanya korupsi dan kolusi Sekarang ramai-ramai berteriak : “Hidup reformasi !” 10 Semua orang ingin jadi konglomerat Karena hutangnya akan ditanggung rakyat 11 Wakil-wakil rakyat adalah : Ayah, ibu, anak, adik, mantu, keponakan, paman, Bibi, pacar gelap, teman, anaknya teman dan seterusnya ... 12 Ada sebuah novel remaja Yang berjudul “Gita Cinta Dari SMA” Diganti oleh seorang menteri yang lugu Menjadi “Gita Cita dari SMU”
29
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 13 Ada seorang gubernur Maniak warna kuning Hingga rakyatnya sendiri Dilarang gosok gigi 1998
30