DAYA TAHAN HIDUP Toxoplasma gondii DALAM SUSU KAMBING PADA PASTEURISASI SUHU RENDAH WAKTU LAMA DAN SUHU TINGGI WAKTU SINGKAT
RISMAYANI SARIDEWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Daya Tahan Hidup Toxoplasma gondii dalam Susu Kambing pada Pasteurisasi Suhu Rendah Waktu Lama dan Suhu Tinggi Waktu Singkat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014 Rismayani Saridewi NIM B261100021
RINGKASAN RISMAYANI SARIDEWI. Daya Tahan Hidup Toxoplasma gondii dalam Susu Kambing pada Pasteurisasi Suhu Rendah Waktu Lama dan Suhu Tinggi Waktu Singkat. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN, MIRNAWATI SUDARWANTO dan UMI CAHYANINGSIH. Protozoa Toxoplasma gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang bersifat zoonotik, menyebar secara luas di alam dan dapat menginfeksi banyak spesies hewan berdarah panas. Toksoplasmosis pada kambing dapat menurunkan produksi, keguguran, kematian janin, mumifikasi janin, kerugian ekonomi dan berbahaya bagi kesehatan manusia melalui konsumsi daging dan susu yang terkontaminasi. Penyakit ini dianggap sangat penting dalam dunia kedokteran hewan dan kesehatan masyarakat. Susu kambing akhir-akhir ini menjadi trend untuk dikonsumsi dibandingkan susu sapi, sebab kandungan gizi dalam susu kambing lebih baik dibandingkan susu sapi. Susu kambing mengandung protein sebanyak 3.3-4.9% dan lemak 4-7.3% sedangkan susu sapi mengandung protein sebanyak 3.3% dan lemak 3.7%. Susu kambing lebih mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi, karena ukuran molekul lemak susu kambing lebih kecil dan homogen. Susu kambing juga diketahui memiliki khasiat dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan sebagai pengganti air susu ibu bagi bayi yang alergi terhadap protein susu sapi. Susu kambing segar diyakini mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan susu kambing yang telah dipanaskan sehingga masyarakat lebih memilih mengonsumsi susu kambing segar tanpa dipasteurisasi. Gejala klinis toksoplasmosis pada manusia senantiasa dihubungkan dengan konsumsi susu kambing tanpa pasteurisasi. Pasteurisasi merupakan metode pengolahan dengan pemanasan di bawah titik didih untuk memperpanjang masa simpan susu segar. Dikenal dua metode pasteurisasi susu, yaitu: suhu rendah waktu lama (low temperature long time/LTLT), pemanasan pada suhu rendah 63 ºC selama 30 menit dan suhu tinggi waktu singkat (high temperature short time/HTST), pemanasan pada suhu 72 ºC selama 15 detik dan 85 °C selama 1-2 detik. Takizoit T. gondii juga dapat ditemukan di dalam susu kambing segar dan diduga penularan melalui laktasi dapat juga terjadi pada manusia. Sejauh ini belum ada laporan penelitian tentang kemampuan hidup takizoit dalam susu pasteurisasi. Peneliti sebelumnya hanya mendeteksi keberadaan T. gondii melalui uji polymerase chain reaction (PCR) yang tidak diketahui masih hidup atau sudah mati. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah takizoit masih dapat hidup dalam susu pasteurisasi. Takizoit yang hidup kemungkinan masih dapat menyebabkan infeksi dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini melalui 5 tahapan. Tahap pertama: yaitu mencit dan aklimatisasi. Tahap kedua yaitu peremajaan isolat T. gondii, tahap ketiga yaitu pasteurisasi pra-perlakuan, tahap keempat yaitu pasteurisasi susu berisi takizoit dan tahap kelima adalah infeksi mencit dan pemeriksan cairan peritoneum. Hasil penelitian tahap pertama diperoleh mencit yang telah beradaptasi dengan lingkungan dan siap diinfeksikan. Tahap kedua diperoleh isolat T. gondii
yang telah diremajakan setelah melakukan pasase beberapa kali. Tahap ketiga yaitu pasteurisasi pra-perlakuan memberikan hasil status mikrobiologi di bawah batas maksimal cemaran mikroba (BMCM) dan uji Storch menunjukkan enzim peroksidase belum terhidrolisis sempurna pada pemanasan suhu 63 ºC selama 30 menit dan telah terhidrolisis sempurna pada suhu 72 °C selama 15 detik. Tahap keempat diperoleh 4 kelompok susu yang dicampur dengan takizoit dan 1 kelompok susu yang tidak dicampur dengan takizoit sebagai kontrol negatif. Kelima kelompok pada tahap ini terdiri dari (1) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 63 ºC selama 30 menit (K1); (2) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 72 ºC selama 15 detik (K2); (3) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 85 ºC selama 1-2 detik (K3); (4) susu pasteurisasi dan takizoit tanpa dipanaskan sebagai kontrol positif (K4); dan (5) susu yang tidak dicampur takizoit dan berperan sebagai kelompok kontrol negatif (K5). Hasil dari tahap terakhir (tahap kelima) yaitu takizoit T. gondii galur RH yang dipanaskan pada suhu 63 ºC selama 30 menit menunjukkan pada kelompok kontrol positif ditemukan takizoit pada cairan peritoneum pada hari ke4, sedangkan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol negatif tidak ditemukan takizoit sampai hari ke-16. Hasil pengamatan selanjutnya yaitu kelompok mencit yang diinfeksikan dengan susu dan takizoit T. gondii RH yang dipanaskan pada suhu 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1-2 detik menunjukkan pada kelompok kontrol positif ditemukan takizoit pada cairan peritoneum pada hari ke-4, sedangkan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol negatif tidak ditemukan takizoit sampai hari ke-16. Kata kunci: pasteurisasi, susu kambing, Toxoplasma gondii
SUMMARY RISMAYANI SARIDEWI. Survival of Toxoplasma gondii in Goat Milk with Pasteurization in Low Temperature Long Time and High Temperature Short Time. Under the supervision of DENNY WIDAYA LUKMAN, MIRNAWATI SUDARWANTO and UMI CAHYANINGSIH. Protozoan Toxoplasma gondii is an obligate intracellular parasite that is zoonotic, spread widely in nature and can infect many species of warm-blooded animals. Toksoplasmosis in goats may decrease production, miscarriage, fetal death, fetal mummification, economic losses and harmful to human health through the consumption of contaminated meat and milk, so the disease is considered very important in the world of veterinary medicine and public health. Goat milk into today's trend to be consumed than cow milk, because nutrient content in goat milk is more than cow milk. Goat milk contains protein as much as 3.3-4.9% and 4-7.3% fat, whereas cow's milk contains proteins and fats as much as 3.3-3.7%. Goat's milk is easier to digest than cow's milk, because of the size of goat milk fat molecules are smaller and naturally had to be in a homogeneous state. Goat milk is also known to have the efficacy to cure various diseases and as a substitute for breast milk for infants who are allergic to cow milk protein. Fresh goat milk is believed have a higher nutritional value rather the goat milk after heating so the people prefers to consump fresh non pasteurized goat milk. Clinical symptom of Toxoplasmosis in humans is always associated with the consumption of unpasteurized goat milk, but this is not true for all types, for raw milk only. Pasteurization is a method of treatment by heating below the boiling point for extending the shelf life of fresh milk. There are two methods of milk pasteurization, namely: low temperature long time (LTLT) at 63 ºC for 30 minutes and high temperature short time (HTST) at 72 ºC for 15 seconds and 85 °C for 1-2 seconds. Tachyzoite T. gondii can also be found in fresh goat milk and lactation through the suspected transmission can also occur in humans. There have been no research reports on the living ability of tachyzoite inpasteurized milk. Dubey (1998) found T. gondii DNA in the milk using a polymerase chain reaction test (PCR), and the tachyzoite contained in milk was unknown whether it was alive or dead. Based on the description above, this study was conducted to determine whether tachyzoite still alive in pasteurized milk because the living tachyzoite may still be able to cause infection and harmfulness to public health. The method of this study was conducted in five steps. The first step is mice and acclimatization. The second step is the rejuvenation of T. gondii isolates, the third step is pasteurization pre-treatment, the fourth step is pasteurization of milk contains tachyizoite, and the fifth steps are mice infection and examination of peritoneal fluid. The results showed that mice have adapted to the environment and ready for infected. T. gondii isolates rejuvenation be stable after passage several times. Pasteurization pre treatment showed that microbiology below the microbial contamination maximal limit (BMCM) and peroxidase from Storch test was not hydrolyzed perfectly on heating at 63 ºC for 30 minutes and it was hydrolyzed perfectly at 72 °C for 15 seconds. The fourth step is obtained 4 groups of
tachyzoites mixed with milk and 1 group is without mixed with tachyzoite as a negative control. The fifth group consists of (1) pasteurized milk and tachyzoite heated at a temperature of 63 ºC for 30 minutes (K1); (2) pasteurized milk and tachyzoite heated at a temperature of 72 ºC for 15 seconds (K2); (3) pasteurized milk and tachyzoite heated at a temperature of 85 ºC for 1-2 seconds (K3); (4) pasteurized milk and tachyzoite without being heated as a positive control (K4); and (5) pasteurized milk without tachyzoite as a negative control (K5). Observations of infected mice group with T. gondii was heated at low temperature long time (63 ºC for 30 minutes) and high temperature short time (72 ºC for 15 seconds and 85 ºC for 1-2 seconds) showed that the positive control group was found tachyzoite in peritoneal fluid on day 4, whereas in treatment group and negative control group were not found tachyzoite until day 16. Keyword: goat milk, pasteurization, Toxoplasma gondii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAYA TAHAN HIDUP Toxoplasma gondii DALAM SUSU KAMBING PADA PASTEURISASI SUHU RENDAH WAKTU LAMA DAN SUHU TINGGI WAKTU SINGKAT
RISMAYANI SARIDEWI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr drh Elok Budi Retnani, MS drh Suhardono, MVSc, PhD
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr drh Hardiman, MM Dr med vet drh Hadri Latif, MSi
Judul Disertasi
Nama NIM
: Daya Tahan Hidup Toxoplasma gondii dalam Susu Kambing pada Pasteurisasi Suhu Rendah Waktu Lama dan Suhu Tinggi Waktu Singkat : Rismayani Saridewi : B261100021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi Ketua
Prof Dr drh Mirnawati B. Sudarwanto Anggota
Prof drh Umi Cahyaningsih, MS, PhD Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi
Tanggal Ujian Kamis, 12 Juni 2014
Dekan Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus
PRAKATA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga disertasi berjudul “Daya Tahan Hidup Toxoplasma gondii dalam Susu Kambing pada Pasteurisasi Suhu Rendah Waktu Lama dan Suhu Tinggi Waktu Singkat” dapat disusun dan diselesaikan. Disertasi ini memuat topik untuk mengetahui apakah T. gondii dalam susu kambing yang telah dipanaskan dengan suhu rendah waktu lama dan suhu tinggi waktu singkat masih dapat bertahan hidup atau tidak. Disertasi ini menghasilkan dua artikel yang diterbitkan pada dua jurnal. Naskah pertama yang berjudul “Survival of Toxoplasma gondii in Goat Milk after Pasteurization with Low Temperature and Long Time” telah dipublikasikan pada jurnal Global Veterinaria 11(6):789-793 tahun 2013 (ISSN:1992-6197). Naskah kedua yang berjudul “Daya Tahan Hidup Toxoplasma gondii dalam Susu Kambing dengan Pasteurisasi Suhu Tinggi Waktu Singkat” telah diterima di Jurnal Kedokteran Hewan dan akan dipublikasikan pada Vol 9 No 2 September 2015 (ISSN 1978-225X). Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Ketua Komisi Pembimbing Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi, atas bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat yang diberikan kepada penulis selama pendidikan hingga penyelesaian studi. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof Dr drh Mirnawati B. Sudarwanto dan Prof drh Umi Cahyaningsih, MS, PhD atas segala bimbingan, arahan dan masukan perencanaan dan berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian disertasi ini. Jasa dan kebaikan dari komisi pembimbing kepada penulis sungguh sangat berharga dan tidak akan dilupakan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, yang terhormat Dr drh Elok Budi Retnani, MS dan drh Suhardono, MVSc, PhD; dan kepada Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, yang terhormat Dr drh Hardiman, MM dan Dr med vet drh Hadri Latif, MSi. Pertanyaan, saran, kritik dan koreksinya sangat berharga dalam penyempurnaan disertasi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang telah memberikan izin belajar, drh Syamsul Ma’arif, MSi selaku Kepala Balai Veteriner Lampung yang memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengikuti program doktor, drh Endang Ekowati selaku Kepalai Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan dimana tempat penulis dititiptugaskan selama penyelesaian studi, drh Boethdy Angkasa, MSi yang menerima penulis pada awal penitipan, dan drh Soeparno MP, MM yang selalu memberikan motivasi bagi penulis. Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, penulis ucapkan terima kasih untuk izin magang dan penelitiannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner beserta seluruh staf pengajar, staf administrasi Pak Agus Haryanto dan laboran Pak Yuhendra di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Mbak Selin di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Dr drh Agustin Indrawati, MSi untuk rekomendasi awal masuk Pascasarjana IPB, Prof drh
Ekowati Handharyani, MSi, PhD dan Prof drh Dondin Sajuti, PhD atas saran dan bantuan untuk memperoleh ACUC sebelum penelitian dimulai. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada drh Didik Tulus Subekti, M.Kes yang telah banyak menolong penulis selama penelitian, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Bapak. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pak Edi dan rekan-rekan di BBALITVET Bogor dan Mas Yuri yang banyak membantu di Rumah Sakit Hewan IPB. Penulis menyampaikan terima kasih kepada rekan seangkatan (Annytha Ina Rohi Detha, Mazdani Ulfah Daulay, Ferry Davidson Maitindom, Rahmat Setya Adji, Heri Yulianto), rekan-rekan di Balai Veteriner Lampung, rekan-rekan di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan dan berbagai pihak yang membantu penyelesaian studi penulis. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih disampaikan kepada kedua orang tua, almarhum ayahanda, ibunda tersayang, keluarga di Depok, kakanda Nurhalina Afriana dan Ferdinand P Siagian, anakanakku Rafa Zavier Asadel, Bryan Daniswara Siagian, dan Talitha Dearhoney Siagian, keluarga kakanda Rita Wizni di Medan atas doa, kasih sayang dan dukungan kepada penulis selama ini, suamiku Jalaluddin penulis ucapkan terima kasih banyak atas kasih sayang, pengorbanan dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi. Disertasi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dan menyempurnakan disertasi ini sangat penulis harapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat. Terima kasih.
Bogor, Juni 2014 Rismayani Saridewi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Toxoplasma gondii Siklus Hidup Toxoplasma gondii Deteksi Toksoplasmosis Penyebaran Toksoplasmosis Pencegahan dan Pengobatan Toksoplasmosis Susu Kambing
4 4 5 7 8 9 10
3 METODE Waktu dan Tempat Metode Penelitian
12 12 12
4 PASTEURISASI SUSU KAMBING SEBELUM PENAMBAHAN ISOLAT TAKIZOIT TOXOPLASMA GONDII GALUR RH Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
15 15 15 15 16 17 18
5 DAYA TAHAN HIDUP TOXOPLASMA GONDII DALAM SUSU KAMBING DENGAN PASTEURISASI SUHU RENDAH WAKTU LAMA Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
19 19 19 19 20 23 25
DAFTAR ISI (lanjutan) 6 DAYA TAHAN HIDUP TOXOPLASMA GONDII DALAM SUSU KAMBING DENGAN PASTEURISASI SUHU TINGGI WAKTU SINGKAT Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
26 26 26 27 28 30 32
7 PEMBAHASAN UMUM
33
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
36 36 36
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
37 44 82
DAFTAR TABEL 1. Hasil pasteurisasi susu terhadap uji angka lempeng total, agar darah dan Storch 2. Hasil pengamatan kelompok mencit yang diinfeksikan susu pasteurisasi 3. Jumlah takizoit yang diperoleh dari kelompok kontrol positif 4. Hasil pengamatan dari setiap kelompok perlakuan campuran susu dan takizoit
17 23 24 30
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4.
Bagan alur metode penelitian secara umum Bagan alur metode penelitian LTLT Bagan alur metode penelitian HTSError! Bookmark not defined. Jumlah takizoit dari cairan peritoneum kelompok kontrol positifError! Bookmark not defined.
14 22 29 31
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Publikasi jurnal internasional Surat keterangan telah diterima oleh jurnal nasional Draft jurnal nasional Formulir ACUC Sertifikat ACUC Peremajaan isolat takizoit T. gondii RH
44 49 50 62 78 79
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki udara hangat dengan kelembaban tinggi, memiliki kerugian terutama menyangkut aspek kesehatan. Kerugian tersebut antara lain disebabkan oleh mikroorganisme yang dapat berkembang biak dengan baik berupa virus, bakteri, cendawan dan protozoa. Salah satu mikroorganisme tersebut bersifat zoonotik, dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Penyakit zoonotik yang cukup meresahkan masyarakat adalah toksoplasmosis. Penyakit ini menjadi perhatian karena dapat ditularkan secara kongenital serta menyebabkan abortus. Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas. Induk semang definitif penyakit ini yaitu kucing dan beberapa spesies dari bangsa kucing liar (Dharmojono 2001). Infeksi T. gondii pada anak kucing ditularkan secara transplasenta pada masa kebuntingan induknya (Dubey dan Hoover 1977; Dubey et al. 1995, 1996; Omata et al. 1994; Powell dan Lappin 2001). Takizoit T. gondii ditemukan dalam susu domba, kambing, sapi, dan tikus (Dubey 1998; Pettersen 1984; Tenter et al. 2000). Infeksi pada manusia ditularkan melalui konsumsi susu kambing mentah (Sacks et al. 1982; Skinner et al. 1990) dan diduga penularan melalui laktasi dapat juga terjadi pada manusia (Bonametti et al. 1997). Gejala klinis toksoplasmosis pada manusia telah dihubungkan dengan konsumsi susu kambing tanpa pasteurisasi (Riemann et al. 1975; Sacks et al. 1982; Chiari dan Neves 1984; Skinner et al. 1990). Tenter (2009) menyatakan bahwa hanya susu mentah yang dapat menularkan toksoplasmosis. Takizoit dari T. gondii telah ditemukan pada beberapa jenis susu (Dubey dan Beattie 1988). Transmisi toksoplasmosis melalui susu yang tidak dipasteurisasi, atau keju yang berasal dari susu tanpa pasteurisasi, merupakan salah satu sumber penularan toksoplasmosis (Hiramoto et al. 2001). Susu pasteurisasi adalah hasil olahan susu segar dan merupakan cara untuk memperpanjang daya tahan susu segar. Pasteurisasi dimaksudkan untuk membunuh kuman patogen yang ada dalam susu dan mempertahankan semaksimal mungkin nutrisi serta cita rasa susu segar (Purnomo dan Adiono 1987). Metode pasteurisasi yang umum dilakukan pada susu ada dua cara, yaitu: low temperature long time (LTLT) yakni pasteurisasi pada suhu rendah waktu lama 63 ºC selama 30 menit dan high temperature short time (HTST) yaitu pasteurisasi pada suhu tinggi waktu singkat 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1-2 detik (Rennie 1989). Menurut Hadiwiyoto (1983) pada umumnya pasteurisasi dilakukan pada suhu 63 ºC selama 30 menit dan 72 ºC selama 15 detik. Adnan (1994) menyatakan bahwa pasteurisasi hanya mematikan 95-99% bakteri yang ada. Menurut Standar Nasional Indonesia 7388:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan, yaitu batas cemaran mikroba yang
2 diperbolehkan dalam susu pasteurisasi adalah 3 x 104 cfu/ml (BSN 2009). Mikroorganisme yang dapat hidup dalam susu pasteurisasi bergantung pada suhu penyimpanan, jumlah dan tipe mikroorganime (Frazier dan Westhoff 1979). Menurut Lake et al. (2002), bradizoit (kista) T. gondii dalam daging babi akan mati pada suhu 49 ºC selama 336 detik, suhu 55 ºC selama 44 detik dan suhu 61 ºC selama 6 detik. Pemanasan pada suhu 65 ºC menggunakan gelombang mikro memberikan hasil yang bervariasi untuk mematikan bradizoit yang ada dalam daging kambing. Bradizoit dalam jaringan juga dilaporkan dapat mati pada suhu 49 ºC selama 53.5 menit, 55 ºC selama 5.8 menit, 61 ºC selama 3.8 menit dan 67 ºC selama 3.6 menit. Takizoit akan mati pada suhu 55 ºC selama 30 menit, kista akan mati pada suhu 55 ºC selama 30 menit, dan ookisa akan mati pada suhu 58 ºC selama 15 menit dan -20 ºC selama 3 minggu. Toksoplasmosis dapat terjadi melalui minum susu kambing yang tidak dipasteurisasi (Sacks et al. 1982; Chiari dan Neves 1984; Skinner et al. 1990). Chiari dan Neves (1984) melaporkan bahwa ekskresi takizoit di dalam susu berasal dari kambing yang terinfeksi T. gondii secara alami. Walaupun infeksi terjadi akibat mengonsumsi susu kambing, tetapi peneliti lain melaporkan bahwa mengonsumsi produk susu mentah pada hewan lain juga dapat menyebabkan penularan T. gondii secara horizontal (Spalding et al. 2005; Kijlstra dan Jongert 2008). Konsumsi susu kambing, domba, dan sapi serta produknya yang tidak dipasteurisasi dapat berisiko terhadap penularan takizoit T. gondii (Dubey 1998). Kejadian ini mengindikasikan bahwa infeksi takizoit dapat terjadi secara oral (Cook et al. 2000). Kasus toksoplasmosis juga dilaporkan pada anak-anak yang mengonsumsi susu ibu yang terinfeksi toksoplasmosis akibat memakan daging domba setengah masak. Takizoit yang berada dalam susu tidak dapat dihancurkan oleh asam lambung (Bonametti et al. 1997). Selama ini belum ada penelitian tentang kemampuan hidup takizoit dalam susu pasteurisasi, karena Dubey (1998) hanya menemukan DNA T. gondii pada susu melalui uji PCR yang sumber infeksinya belum diketahui berasal dari induk atau kontaminasi. Takizoit yang terkandung di dalam susu tidak diketahui masih hidup atau sudah mati. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian ini untuk mengetahui apakah takizoit masih dapat hidup dalam susu pasteurisasi, sebab takizoit yang hidup kemungkinan masih menyebabkan infeksi dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Karakter biologi dari masing-masing tipe Toxoplasma berbeda satu dengan yang lain. Beberapa karakter berbeda yang telah diketahui di antaranya adalah kemampuan replikasi, migrasi dan kemampuan melewati sel atau jaringan. Perbedaan lainnya juga terlihat pada kemampuan menginduksi sistem imun yang mengarah pada efek detrimental serta kemampuan menyebabkan kematian (letalitas) pada hewan coba terutama mencit. Penelitian ini menggunakan mencit sebagai hewan coba dengan melihat keberadaan takizoit di dalam cairan peritoneum. Pasteurisasi dilakukan pada susu kambing yang telah diberi isolat T. gondii dengan suhu rendah dan waktu lama (low temperature long time), yaitu 63 ºC selama 30 menit serta dengan suhu tinggi dan waktu singkat (high temperature short time) yaitu 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1-2 detik.
3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan hidup takizoit T. gondii galur RH dalam susu yang dipasteurisasi dengan suhu 63 ºC selama 30 menit, 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1-2 detik (dengan melihat keberadaan takizoit di dalam cairan peritoneum mencit).
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah a) memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya mengonsumsi susu kambing mentah; b) mengetahui bahwa takizoit dapat mati pada susu pasteurisasi LTLT dan HTST.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Toxoplasma gondii Nama Toxoplasma diambil dari bahasa Yunani “toxon”, berarti busur panah atau lengkung. Ini sesuai dengan bentuk Toxoplasma yang seperti bulan sabit. Adapun bentuk seperti ini didapatkan pada Toxoplasma dalam bentuk tropozoit fase proliferasi, merozoit dari kista, merozoit dari skizogoni pada epitel usus kucing dan pada sporozoit dari ookista. Toksoplasmosis disebabkan oleh parasit obligat intraselular yaitu T. gondii. Parasit ini merupakan golongan protozoa yang hidup bebas di alam. T. gondii pertama kali ditemukan tahun 1908 oleh Nicolle dan Manceaux dari limpa dan hati hewan pengerat (rodensia) Ctenodactyles gondii (gundi) di Sahara Afrika Utara (Sciammarella 2001). Toxoplasma termasuk dalam filum Apicomplexa, kelas Sporozoa (Sarcocytidae), subkelas Coccidia (Coccidiasina), ordo Eucoccidiorida, famili Sarcocystidae, genus Toxoplasma dan spesies Toxoplasma gondii (Levine 1990). Parasit ini mempunyai sifat yang tidak umum dibandingkan dengan genus lain, diantaranya dapat menginfeksi inang antara dalam kisaran yang sangat luas (tidak bersifat inang spesifik). Filum Apicomplexa terdiri dari 3 stadium yaitu stadium takizoit merupakan stadium multiplikasi aktif dari tropozoit dan biasanya teramati pada infeksi akut. Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 µm, lebar 2-4 µm dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi (Levine 1990). Stadium ini paling sering dijumpai pada organ tubuh khususnya otak, otot daging, otot jantung dan mata, ditularkan secara transplasental kepada fetus maupun neonatal. Stadium kedua adalah stadium bradizoit merupakan stadium kista tidak aktif dan berada dalam jaringan, berukuran 7-10 µm, lebih sering dijumpai pada daging babi dan kambing. Stadium kista jarang ditemukan pada daging sapi. Menurut Levine (1990), pada infeksi kronis kista dapat ditemukan dalam jaringan organ tubuh dan terutama di otak. Stadium ketiga adalah stadium ookista yang berada dalam kotoran/feses kucing, sangat tahan terhadap lingkungan dan menulari manusia serta bangsa burung. Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 µm x 9-11 µm. Ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya ke dua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 µm (Frenkel 1989; Levine 1990). Keragaman spesies T. gondii ternyata tidak selalu bermakna adanya kesamaan karakter biologis maupun patogenitasnya. Beberapa galur tertentu menunjukkan tingkat patogenitas yang tinggi, sedangkan yang lainnya hampir non patogenik. Secara keseluruhan saat ini telah diketahui bahwa T. gondii memiliki struktur yang terdiri dari tiga tipe atau klonet dasar dan dua tipe baru sebagai bentuk rekombinan, yaitu tipe I, II, III, IV, dan V. Awalnya hanya tiga klonet atau tipe yang diketahui yaitu tipe I, II dan III (Howe dan Sibley 1995; Darde 1996; Sibley dan Howe 1996). Namun seiring dengan semakin berkembangnya marka genetik, saat ini telah dibedakan menjadi lima tipe dengan tambahan dua tipe baru
5 yaitu tipe IV dan V. T. gondii IV merupakan hasil rekombinasi akibat perkawinan silang dari parental tipe I dan III. Sementara itu, T. gondii V merupakan hasil rekombinasi dari parental tipe II dan III (Subekti dan Arrasyid 2006). Rekombinasi antar tipe tersebut dapat terjadi karena adanya perkembangan seksual pada siklus hidup T. gondii. Teknik untuk menentukan patogenitas T. gondii dapat dilakukan secara langsung pada hewan hidup yang peka ataupun dengan analisis genetik menggunakan marka genetik tertentu. Kedua teknik tersebut tidak dilakukan secara terpisah tetapi saling melengkapi. Hewan peka yang selalu dapat menunjukkan gejala klinis pada infeksi T. gondii adalah mencit. Oleh sebab itu, berbagai studi dan penentuan patogenitas dan imunopatogenesis dari infeksi T. gondii umumnya menggunakan mencit (Darde 1996; Sibley dan Howe 1996). T. gondii yang patogen umumnya mengakibatkan kematian pada mencit (LDI00) dalam kurun waktu 6-9 hari pascainfeksi dan tergantung dari dosis infeksinya (Sibley dan Howe 1996). Namun berbagai hasil percobaan dan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa infeksi secara intraperitoneum takizoit T. gondii I (T. gondii RH) dengan dosis lebih besar dari 103 hampir selalu mengakibatkan kematian (LD100) pada 3-5 hari pascainfeksi, sedangkan infeksi dengan dosis lebih kecil dari 103 akan membunuh semua mencit pada hari ke-8 sampai 9 pascainfeksi. Selanjutnya T. gondii II dan III merupakan kelompok yang mudah membentuk kista dan hanya menyebabkan kematian (LD50) pada mencit jika diinfeksikan dengan dosis di atas 103 (Sibley et al. 2002; Su et al. 2002; Robben et al. 2004). Sebaliknya, apabila diinfeksikan pada dosis kurang dari 103 umumnya akan membentuk kista dan mencit dapat terus bertahan hidup tanpa menunjukkan gejala klinis (Sibley et al. 2002; Su et al. 2002).
Siklus Hidup Toxoplasma gondii Siklus hidup T. gondii diperantarai oleh sel inang ke intraselular inang dan kemudian melakukan multiplikasi. Parasit ini mempunyai siklus hidup yang bersifat obligat dengan fase seksual dan aseksual. Siklus seksual terjadi pada tubuh kucing dan siklus aseksual terjadi pada berbagai inang antara yang sangat bervariasi (Sciammarella 2001). Inang definitif adalah kucing dan hospes perantaranya adalah manusia dan mamalia lainnya, serta beberapa jenis burung. Siklus seksual T. gondii hanya terdapat pada kucing melalui gametogoni (reproduksi seksual). Kucing dapat terinfeksi saat memakan tikus yang mengandung kista, pseudokista atau ookista dari lingkungan. Kemudian tropozoit masuk ke dalam epitel usus kucing dan membentuk skizon yang kemudian membentuk makrogamet dan mikrogamet. Hasil perkawinan makrogamet dan mikrogamet membentuk ookista, lalu dikeluarkan bersama feses kucing 3-5 hari setelah terinfeksi dan menetap di dalam feses selama 1-2 minggu. Ookista kemudian menjadi infeksius saat terjadi sporulasi setelah 1-3 hari pada suhu 22-32 ºC. Ookista dapat bertahan pada berbagai macam kondisi lingkungan dan pada udara bebas selama 1 tahun atau lebih. Toksoplasmosis mempunyai masa inkubasi 10-23 hari bila penularan melalui makanan (daging yang dimasak kurang matang) dan 5-20 hari bila penularannya melalui ookista pada feses kucing. Penularan toksoplasmosis juga
6 dapat melalui transplasenta wanita hamil ke anaknya. Tingginya prevalensi kasus toksoplasmosis membawa resiko tingginya kejadian cacat lahir maupun keguguran. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari pada yang lahir cukup bulan, dapat disertai anemia, trombositopenia, hepatomegali, splenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan saraf pusat dan lesi mata. Infeksi pada kehamilan muda dapat menyebabkan abortus atau lahir mati (Jones et al. 2003). Apabila toksoplasmosis menyerang wanita hamil pada trimester ketiga dapat mengakibatkan hidrosefalus, khorioretinitis, tuli atau epilepsy (Soeharsono 2002; Dharmojono 2001). Bila infeksi ini mengenai ibu hamil trimester pertama akan menyebabkan 20% janin terinfeksi T. gondii atau kematian janin, sedangkan bila ibu terinfeksi pada trimester ketiga 65% janin akan terinfeksi. Infeksi ini dapat berlangsung selama kehamilan (Indrawati 2002). Penularan juga dapat terjadi lewat transfusi darah atau transplantasi organ (jantung, ginjal dan hati) yang mengandung kista T. gondii. Infeksi pada orang dewasa biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala (asimptomatik), tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapatkan infeksi primer, maka ia dapat melahirkan anak dengan toksoplasmosis kongenital. Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis akuisita adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala (Gandahusada et al. 2002). Menurut Wu (2001) dan Shakespeare (1998), transmisi T. gondii dapat terjadi melalui: a) transmisi transplasental dari wanita hamil yang terinfeksi kepada janin yang dikandungnya (toksoplasmosis kongenital); b) konsumsi daging mentah atau kurang matang yang mengandung kista jaringan atau takizoit; c) konsumsi air, susu, sayuran atau buah-buahan yang terkontaminasi ookista, atau tertelan ookista yang berasal dari tanah; d) infeksi di laboratorium akibat bekerja dengan hewan percobaan yang diinfeksi dengan T. gondii, melalui jarum suntik, alat laboratorium lain yang terkontaminasi dengan T. gondii, serta dapat terinfeksi pada saat melakukan autopsi hewan terinfeksi; e) transfusi darah atau transplantasi organ dari donor yang menderita toksoplasmosis laten. Daging merupakan rute penularan yang banyak dilaporkan. Babi, kambing dan domba merupakan ternak yang sangat penting sebagai sumber penularan T. gondii. Selain ternak tersebut sapi, unggas dan hewan buruan juga berperan sebagai sumber penularan (Dubey 1999). Di Amerika Serikat diperkirakan 50% orang terinfeksi toksoplasmosis karena mengonsumsi daging (Roghmann et al. 1999). Kambing yang terinfeksi oleh T. gondii akan mengekskresikan takizoit pada mukosa vaginal, air liur, sekresi nasal, urin dan susu. Tingkat mortalitas dan morbiditas dari parasit ini cukup tinggi pada pasien yang immunocompromise (AIDS, kanker, transplantasi) dan pada anak-anak yang tertular melalui ibunya (Dubey 1999). Marcin et al. (2007) melakukan penelitian terhadap 41 susu domba yang diambil 2 kali sehari selama 7 hari berturut-turut, lalu diuji dengan indirect fluorescent antibody test (IFAT) dengan mendeteksi keberadaan antibodi IgG dan IgM dari darah domba, 8 sampel menunjukkan titer antibodi positif. DNA T. gondii dideteksi pada 7 sampel susu dari 5 ekor domba seropositif T. gondii. Hasil sequensing yang diperoleh dari susu adalah 97-100% mengandung T. gondii. Penemuan ini menyatakan bahwa pada periode peripartum masih ditemukan adanya takizoit T. gondii di dalam jaringan dan dapat disirkulasikan kembali serta dikeluarkan melalui susu (Camossia et al. 2011). Umumnya, pemeriksaan secara
7 luas pada peternakan domba menunjukkan bahwa 3.4% susu mengandung DNA T. gondii, kenyataan bahwa kasus ini berhubungan penting terhadap kesehatan manusia (Fusco et al. 2007). Menurut Chiari dan Neves (1984) bahwa ekskresi takizoit pada susu di Brazil berasal dari kambing yang terinfeksi T. gondii secara alami dan menyebabkan penularan toksoplasmosis pada manusia akibat mengonsumsi susu tersebut. Survei epidemiologi di Belo Horizonte, Minas Gerais State, Brazil, mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara manusia yang terinfeksi T. gondii secara serologis dengan konsumsi susu kambing yang terinfeksi (Chiari et al. 1987).
Deteksi Toksoplasmosis Perkembangan teknik diagnosis toksoplasmosis beragam seiring dengan majunya ilmu dan teknologi. Menurut Remington et al. (2004), bahwa secara prinsip teknik diagnosis toksoplasmosis terbagi empat macam yaitu secara morfologis, serologis, molekuler dan serologis molekuler. Teknologi yang pertama kali berkembang adalah pemeriksaan morfologis dengan menggunakan mikroskop. Teknik ini bertujuan untuk identifikasi, diferensiasi dan klasifikasi T. gondii. Diagnosis morfologis dilakukan untuk mengidentifikasi ookista, takizoit atau bahkan kista yang berisi bradizoit. Ookista dan takizoit dapat diperiksa secara natif ataupun dengan pewarnaan, sedangkan bradizoit umumnya dalam bentuk preparat histopat. Teknik diagnosis morfologis menggunakan alat dan bahan yang sangat sederhana serta relatif mudah diaplikasikan di laboratorium. Teknik diagnosis kedua adalah secara serologis pada hewan dan manusia. Beberapa teknik serologis yang telah digunakan untuk diagnosis toksoplasmosis yaitu Dye test (Sabin-Feldman dye test), CFT (complement fixation test), MAT (modified agglutination test), CAT (card agglutination test), DAT (direct agglutination test), IHA (indirect hemagglutination test), LAT (latex agglutination test), IFA (indirect fluorescen assay), FA (fluorescen assay), ELISA (enzyme linked immunosorben assay), immunoblotting (Jenum dan Straypedersen 1998; Figueiredo et al. 2001; Pietkiewietz et al. 2004) dan PCR (polymerase chain reaction) (Jones et al. 2000; Lin et al. 2000; Menotti et al. 2003; Chabbert et al. 2004; Remington et al. 2004; Vidal et al. 2004). Penggunaan teknik diagnosis serologis pada hewan di Indonesia sampai saat ini terbatas pada CAT dan LAT, sedangkan pada manusia menggunakan DAT, IHA dan ELISA. Diagnosis serologis sangat terkait dengan evaluasi profil respon imun dan penetapan status infeksi. Teknik diagnosis ketiga adalah diagnosis molekuler, salah satunya adalah teknik PCR yaitu dapat mendeteksi respon antibodi melalui ekspresi gen tetapi spesifisitasnya masih jauh di bawah ELISA. Diagnosis molekuler sangat esensial untuk menentukan keberadaan parasit dalam darah dan tipe atau klonet T. gondii. Penggunaan PCR untuk diagnosis diarahkan pada determinasi tipe toksoplasma yang menginfeksi hewan dan manusia. Prinsip PCR yaitu satu gen tertentu dari DNA atau RNA akan diamplifikasi sebanyak mungkin yang selanjutnya dielektroforesis dalam gel agarose. Teknik diagnosis yang memanfaatkan basis
8 teknologi PCR serta mulai banyak digunakan adalah RFLP (random fragment length polymorphism), sedangkan yang dapat dipakai untuk penentuan klonet T. gondii adalah RT PCR (real time polymerase chain reaction) yang memiliki sensitivitas dan spesivisitas tinggi dibanding PCR konvensional (Lin et al. 2000; Grigg et al. 2001; Simmon et al. 2004). Teknik diagnosis keempat secara serologis molekuler. Teknik yang telah dikembangkan yaitu PCR ELISA dan Multiplex PCR (Menotti et al. 2003; Schwab dan Mcdevitt 2003; Simmon et al. 2004; Ajzenberg et al. 2005). Teknik PCR ELISA memungkinkan dilakukan kuantifikasi seperti halnya RT PCR dengan sensitivitas yang setara (Menotti et al. 2003), namun pada PCR ELISA, waktu yang dibutuhkan sedikit lebih lama karena menggabungkan teknik PCR dengan ELISA produk PCR. Apabila ditinjau dari segi biaya operasional, PCR ELISA jauh lebih terjangkau.
Penyebaran Toksoplasmosis Toksoplasmosis di Indonesia pada manusia pertama kali dilaporkan oleh Catar pada tahun 1962, ketika melakukan survei di Jawa dan Bali dengan hasil 27.4% sampel positif terhadap toksoplasmosis. Kemudian pada tahun 1964 diperoleh 24% penduduk asli di Lembah Baliem dan daerah Merauke yang berumur 10-50 tahun mengidap atau pernah mengidap toksoplasmosis. Kasus toksoplasmosis juga ditemukan di Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Surabaya, Sulawesi Utara, Boyolali dan Sumatera Utara. Pemeriksaan serologis terhadap 1693 penduduk Jakarta yang berumur 20-85 tahun, Terazawa et al. (2003) melaporkan bahwa tingkat seroprevalensi toksoplasmosis pada penduduk Jakarta adalah 70%, tanpa ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki (71%) dan perempuan (69%). Chandra (2001) melaporkan bahwa 52.25% kejadian abortus spontan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta dan rumah sakit Hasan Sadikin Bandung akibat infeksi T. gondii. Gandahusada et al. (2002) melaporkan bahwa prevalensi toksoplasmosis pada manusia berkisar antara 2-63%, kucing 35-73%, anjing 75%, babi 11-36%, kambing 11-61%, sedangkan sapi dan kerbau kurang dari 10%. Chandra (2001) menyebutkan adanya takizoit T. gondii yang ditemukan pada daging kambing di pasar tradisional di kotamadya Surabaya dengan prevalensi mencapai 66.7%. Hal ini mengindikasikan daging sebagai bahan pangan berpotensi sebagai sumber penularan toksoplasmosis. Seroprevalensi kejadian toksoplasmosis di dunia sangat bervariasi yaitu di Jepang 12%, Inggris dan Amerika 21-36%, Perancis dan El Salvador 84-90% dan Jerman 80% (Sciammarella 2001). Menurut Jones et al. (2003), di Amerika Serikat diperkirakan terjadi 400-4000 kasus toksoplasmosis kongenital setiap tahunnya. Pada orang dewasa dilaporkan 40% mengalami toksoplasmosis yang asimptomatik. Survei serologis dari berbagai jenis hewan di Amerika prevalensi antibodi terhadap toksoplasmosis didapatkan pada kucing (34%), sapi (47%), kambing (48%), babi (30%), anjing (34-59%) (Sciammarella 2001). Akhir-akhir ini toksoplasmosis telah menarik perhatian dunia kedokteran karena merupakan zoonosis yang berbahaya. Meskipun demikian, penyakit ini masih sedikit dikenal oleh masyarakat. Tingginya prevalensi kasus toksoplasmosis membawa resiko tingginya kejadian cacat lahir maupun
9 keguguran. Soeharsono (2002) dan Dharmojono (2001) menyatakan bahwa apabila toksoplasmosis mengenai wanita hamil trimester ketiga dapat mengakibatkan hidrosefalus, khorioretinitis, tuli atau epilepsi. Kejadian toksoplasmosis di beberapa kota besar di Indonesia juga pernah diteliti tahun 2003. Adapun prevalensi kasus toksoplasmosis pada manusia di Indonesia adalah Aceh (59.09%), Sumatera Utara (68.98%), Sumatera Barat (54%), Riau (55%), Jambi (51.20%), Lampung (88.23%), Jakarta (76.92%), Jawa Barat (68.66%), Jawa Tengah (58.62%), Jawa Timur (48.78%), Bali (53.57%), Nusa Tenggara Barat (28.95%), Nusa Tenggara Timur (80%), Kalimantan Barat (55.88%), Kalimantan Tengah (68.42%), Kalimantan Selatan (55.26%), Kalimantan Timur (81.25%), Sulawasi Tengah (76.47%) dan Irian Jaya (68%) (Subekti 2008). Suhardjo et al. (2003) melakukan penelitian pada 173 pasien penderita toksoplasmosis okular (98 orang laki-laki dan 75 orang wanita) yang berumur 3 bulan sampai 68 tahun di rumah sakit Dr Sardjito dan Klinik mata Dr Yap di Yogyakarta. Suhardjo et al. (2003) menyatakan bahwa manifestasi klinis toksoplasmosis okular yang paling sering adalah khorioretinitis (71.2%), luka pada retina mata (22.4%), mata juling (6.4%), katarak kongenital (2.8%), nistagmus (6.4%) dan pengecilan pupil mata (2.8%). Penderita imunosupresan, yaitu penderita AIDS, kanker ataupun pasien transplantasi organ gejala klinis akan cepat terlihat. Pada tahun 1980-an ensefalitis toksoplasmik muncul sebagai penyakit parasitik yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS. Gejala klinis lainnya yaitu adanya gangguan sistem syaraf, ensefalitis, pembesaran limfoglandula, gangguan mata, gangguan pendengaran, gangguan pernafasan dan gangguan jantung. Angka kematian pada penderita imunosupresan cukup tinggi (Wu 2013). Kucing piara (Felis catus) dan hewan-hewan tergolong famili Felidae, antara lain jaguarundi (F. yagouroundi), ocelot (F. paradalis), singa gunung (F. concolor), leopard (F. bengalensis) dan bobcat (Lynx rufus) merupakan hospes definitif. Hospes perantaranya adalah manusia, mamalia lainnya dan burung (Soeharsono 2002). Lima belas sampai 85% populasi anak-anak di dunia secara kronis terinfeksi oleh toksoplasmosis dipengaruhi oleh kondisi geografi, suhu, ataupun kelembaban (Indrawati 2002). Faktor kelembaban dan suhu yang sesuai ookista akan mampu bertahan beberapa bulan sampai lebih dari satu tahun. Lalat, cacing, kecoak dan serangga lain mungkin dianggap sebagai agen mekanis dalam penyebaran parasit ini. Faktor lain yang berpengaruh adalah umur. Umur berpengaruh secara serologi pada orang yang mengonsumsi daging babi yang proses pemasakannya tidak sempurna dan pada orang yang selalu menangani daging mentah.
Pencegahan dan Pengobatan Toksoplasmosis Kista T. gondii dalam daging dapat bertahan hidup pada suhu -4 ºC selama 3 minggu. Kista tersebut akan mati jika daging dalam keadaan beku pada suhu -15 ºC selama tiga hari dan pada suhu -20 ºC selama dua hari. Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 65 ºC selama 4-5 menit atau lebih, maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat (WHO 1979). Kista jaringan dalam induk semang antara (kambing, sapi, babi dan ayam) sebagai
10 sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya pada suhu 66 ºC sampai matang sebelum dimakan (Chahaya 2003). Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70 ºC yang disiramkan pada feses kucing (Remington dan Desmont 1983; Siegmund 1979). Lundén dan Uggla (1992) menyatakan bahwa pemanasan pada suhu 50 ºC atau lebih, kemungkinan dapat membunuh kista dalam daging kambing. Peneliti lain menunjukkan bahwa kista dalam jaringan dapat mati pada suhu -12 ºC selama beberapa hari (Kotula et al. 1991). Pencegahan toksoplasmosis dapat dilakukan melalui: a) tidak memakan daging mentah atau kurang matang; b) mencuci tangan setelah memegang daging mentah; c) mencuci alat dapur bekas daging mentah; d) mencuci sayuran mentah/lalapan sebelum dikonsumsi; e) mencuci tangan setelah berkebun atau memegang kucing dan f) mencegah lalat dan kecoa menghinggapi makanan (Chahaya 2003). Tingginya kadar antibodi dari pemeriksaan toksoplasmosis secara serologis untuk menyatakan seseorang sudah terinfeksi adalah beragam, tergantung pada cara peneraan yang dipakai dan kendali mutu serta batasan baku masing-masing laboratorium. Tidak semua ibu hamil yang terinfeksi toksoplasmosis akan menularkan toksoplasmosis bawaan pada bayinya. Bilamana dalam pemeriksaan sebelum hamil menunjukkan IgG positif terhadap Toxoplasma, berarti ibu tersebut terinfeksi sudah lama, tetapi bukan berarti bahwa 100% bayinya akan bebas dari toksoplasmosis bawaan. Gandahusada (1992) menyatakan bahwa obat-obat yang cukup efektif terhadap toksoplasmosis antara lain pirimetamin (daraprim, fansidar) dengan dosis 1 mg/kg berat badan/hari secara oral. Obat ini dapat menyebabkan depresi sumsum tulang, maka harus diberikan bersamaan dengan asam folinat 3-10 mg IM/hari dan diberikan setiap hari selama dua minggu dan tidak boleh diberikan kepada wanita hamil karena efek samping teratogenesis. Sulfadiazin juga dapat diberikan secara oral yaitu dosis dewasa 3-6 g/hari, anak 150 mg/kg berat badan/hari dan efek sampingnya adalah gangguan ginjal. Spiramisin diberikan secara oral dengan dosis dewasa 2-3 g/hari, anak 50 mg/kg berat badan/hari dan efek samping ringan serta dapat diberikan kepada wanita hamil. Kortikosteroid perlu diberikan juga, seperti prednison dengan dosis 1-2 mg/kg berat badan/hari secara oral, diberikan dua kali sehari selama masa peradangan, kemudian dosis diturunkan. Pencegahan toksoplasmosis pada ternak dapat dilakukan dengan memutus rantai siklus hidupnya, yaitu mencegah kontaminasi T. gondii pada pakan. Pengobatan pada ternak hanya efektif terhadap bentuk takizoit, tetapi tidak dapat menghilangkan bentuk kista. Klindamisin dengan dosis 25-50 mg/kg berat badan per hari dibagi menjadi dua dosis, yaitu pagi dan sore diberikan secara oral dan diberikan sampai dua minggu setelah gejala klinis hilang. Sulfadiazin dengan dosis 30 mg/kg berat badan diberikan secara oral setiap 12 jam. Pirimetamin 0.5 mg/kg berat badan dan diberikan juga asam folinic 5 mg/hari (Iskandar 1999).
Susu Kambing Susu kambing di Indonesia umumnya berasal dari kambing perah Peranakan Etawah (PE) dan mempunyai prospek pengembangan yang baik. Susu
11 kambing dianggap sebagian masyarakat dapat menyembuhkan berbagai penyakit pernafasan seperti asma dan tuberkulosis, walaupun belum terbukti secara ilmiah. Oleh karena itu, permintaan akan susu kambing cenderung semakin meningkat. Susu kambing belum dikenal secara luas seperti susu sapi padahal memiliki komposisi kimia yang cukup baik (Fauzan 2011). Menurut hasil penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor (1996), susu kambing mengandung protein sebanyak 3.3-4.9% dan lemak 4.0-7.3%, sedangkan susu sapi mengandung protein sebanyak 3.3% dan lemak 3.7%. Susu kambing lebih mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi, karena ukuran molekul lemak susu kambing lebih kecil dan secara alamiah sudah berada dalam keadaan homogen. Globula-globula lemak yang berdiameter kecil yaitu 4.5 µm pada susu kambing lebih banyak yaitu 82.7%, sedangkan pada susu sapi hanya 65.4%. Menurut Gaman dan Sherrington (1992) susu segar yang berkualitas baik mempunyai ciri-ciri tidak memiliki aroma yang kuat, ada sedikit rasa manis dari laktosa (gula susu), warnanya putih sampai sedikit kekuningan (akibat larutan zat karoten dalam lemak susu), belum terpisahnya lemak, tidak terdapat lendir, serta tidak ada penggumpalan protein susu yang sering terjadi jika susu mulai mengalami proses pengasaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Food and Agriculture Organization (FAO 1990) bahwa struktur molekuler susu kambing berbeda dengan susu sapi, demikian juga dengan kasein susunya. Selain laktalbumin, berbagai fraksi protein susu kambing berbeda dengan susu sapi. Susu kambing lebih mudah dicerna dibandingkan susu sapi sehingga lebih cocok diberikan pada bayi yang tidak toleran terhadap susu sapi (Moeljanto et al. 2002).
12
3
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet) Bogor, Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), Laboratorium Terpadu FKH IPB, dan Rumah Sakit Hewan IPB dari April 2012 sampai Desember 2012.
Metode Penelitian Mencit dan Aklimatisasi Penelitian ini menggunakan mencit sebagai hewan coba dan dilakukan aklimatisasi mencit sebelum perlakuan. Mencit yang digunakan adalah mencit jantan strain DDY berumur 4-5 minggu dengan berat 20-25 g, diperoleh dari biakan inbreed dari laboratorium Badan Pengawasan Obat dan Makanan Jakarta. Selanjutnya hasil biakan mencit dibawa ke Balai Besar Penelitan Veteriner Bogor, dipelihara dengan diberikan makan dan minum ad libitum untuk adaptasi, setelah satu minggu kemudian mencit siap diinfeksikan dengan takizoit T. gondii RH Bbalitvet Bogor secara intraperitoneum. Peremajaan Isolat Toxoplasma gondii Peremajaan isolat takizoit T. gondii RH dari Bbalitvet Bogor mulai dilakukan setelah mencit siap untuk diinfeksikan. Peremajaan ini dilakukan dengan pasase berulang. Tujuannya adalah membuat isolat menjadi stabil. Isolat takizoit T. gondii RH dari cryo tube dikeluarkan dari nitrogen cair. Isolat mengandung 1.19 x 105 takizoit/ml, kemudian disuntikkan secara intraperitoneum ke kelompok mencit pertama yang terdiri dari 5 ekor setiap kelompoknya yaitu mencit yang sudah disiapkan tersendiri untuk pasase. Pertumbuhan takizoit yang disuntikkan ke dalam tubuh mencit diamati setiap hari selama 4-6 hari atau sampai mencit kelihatan sakit. Satu ekor mencit yang sudah tampak sakit diambil, sebelum mati, selanjutnya mencit dieutanasi dengan pemberian Ketamin HCl. Nekropsi dilakukan dengan membuka kulit bagian perut tanpa membuka lapisan peritoneum. Takizoit dipanen dengan cara mencuci rongga peritoneum dengan 5 ml larutan phosphate buffer saline (PBS) dan diaspirasi sampai habis. Cairan yang diaspirasi diencerkan 100 kali, lalu jumlah takizoit dihitung dalam kamar hitung Neubauer. Bila populasi takizoit masih terlalu padat sehingga sulit dihitung, cairan aspirat diencerkan lagi sampai jumlah takizoit dapat dihitung dengan baik. Selanjutnya dilakukan pasase ke kelompok berikutnya sampai diperoleh isolat stabil. Setelah diperoleh isolat stabil maka disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 20 menit dalam suhu 4 ºC. Lalu supernatan dibuang dan endapan diambil. Endapan yang diambil selanjutnya diencerkan 100 kali dan ditetesi di atas kamar hitung Neubauer untuk diketahui jumlah takizoitnya dengan melihat di bawah mikroskop. Konsentrasi takizoit yang diperoleh setelah peremajaan adalah 2.76 x 106 takizoit/ekor dan isolat ini yang akan digunakan untuk pengujian susu pasteurisasi.
13
Pateurisasi Pra-Perlakuan Tahap selanjutnya adalah pasteurisasi susu kambing segar yang dilakukan sebelum penambahan isolat. Tujuan pasteurisasi untuk membunuh mikroba patogen lain sehingga kematian yang terjadi pada mencit hanya terkait dengan infeksi T. gondii saja. Hal demikian untuk menghilangkan faktor perancu dalam penelitian ini. Susu kambing segar sebanyak 250 ml masing-masing dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan dipanaskan di dalam penangas air dengan suhu 63 ºC selama 30 menit dan 72 °C selama 15 detik. Parameter yang diamati setelah pasteurisasi adalah uji mikrobiologi dengan metode angka lempeng total, agar darah dan uji Storch untuk mendeteksi keberadaan enzim peroksidase di dalam susu. Pasteurisasi Susu Berisi Takizoit Tahap keempat adalah pecampuran susu dan takizoit. Susu dan takizoit yang telah dicampur dibagi atas 4 kelompok perlakuan yaitu (1) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 63 ºC selama 30 menit (K1); (2) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 72 ºC selama 15 detik (K2); (3) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 85 ºC selama 1-2 detik (K3); (4) susu pasteurisasi dan takizoit tanpa dipanaskan sebagai kontrol positif (K4); sedangkan kelompok ke-5 yaitu susu yang tidak dicampur takizoit dan berperan sebagai kelompok kontrol negatif (K5). Kelima kelompok susu di atas yang selanjutnya akan diinfeksikan ke mencit. Infeksi Mencit dan Pemeriksaan Cairan Peritoneum Tahap terakhir yaitu susu kambing yang sudah dibagi dalam 5 kelompok, lalu disuntikkan sebanyak 0.3 ml/ekor secara intraperitoneum. Konsentrasi takizoit dalam susu kambing sebanyak 2.76 x 106 takizoit/ekor. Sebanyak 25 ekor mencit digunakan dalam studi ini dan dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu (1) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 63 ºC selama 30 menit (K1); (2) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 72 ºC selama 15 detik (K2); (3) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 85 ºC selama 1-2 detik (K3); (4) susu pasteurisasi dan takizoit tanpa dipanaskan sebagai kontrol positif (K4); dan (5) susu pasteurisasi tanpa takizoit sebagai kontrol negatif (K5). Mencit yang telah disuntik dipelihara selama 16 hari dan diamati gejala klinis setiap hari. Pada hari ke-3, ke-5, ke-7, ke-9, ke-11, ke-13, ke-15, dan ke-16 cairan peritoneum diambil dari 1 ekor mencit dari setiap kelompok perlakuan. Kemudian cairan tersebut diperiksa di bawah mikroskop secara natif dengan pembesaran 400 kali serta diamati terhadap keberadaan takizoit. Bagan alur metode penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Prosedur pengujian di atas telah mendapat persetujuan dari komisi etik hewan RSH IPB, ACUC No. 09-2012 RSH-IPB.
14
Susu kambing pasteurisasi
Ditambahkan takizoit T. gondii RH
Dibagi menjadi 4 bagian
Dipanaskan pada suhu 63 ºC selama 30 menit (K1)
Dipanaskan pada suhu 72 ºC selama 15 detik (K2)
Dipanaskan pada suhu 85 ºC selama 2 detik (K3)
Tanpa dipanaskan sebagai kontrol positif (K4)
Kelompok kontrol negatif (K5)
Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masingmasing 0.3 ml
Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masingmasing 0.3 ml
Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masingmasing 0.3 ml
Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masingmasing 0.3 ml
Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masingmasing 0.3 ml
Cairan IP diambil pada hari ke-3 dan ke-5
Cairan IP diambil pada hari ke-3 dan ke-5
Cairan IP diambil pada hari ke-3 dan ke-5
Cairan IP diambil pada hari ke-3 dan ke-4
Cairan IP diambil pada hari ke-15
3 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-7
3 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-7
3 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-7
5 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-5
Cairan IP diambil pada hari ke-9, 11, 13 dan ke-15
Cairan IP diambil pada hari ke-9, 11, 13 dan ke-15
Jumlah takizoit dihitung dari setiap ekor mencit
5 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-16 dan diamati keberadaan takizoit dari cairan peritoneum
Cairan IP diambil pada hari ke-9, 11, 13 dan ke-15
2 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-16 dan diamati keberadaan takizoit dari cairan peritoneum
2 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-16 dan diamati keberadaan takizoit dari cairan peritoneum
2 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-16 dan diamati keberadaan takizoit dari cairan peritoneum
Gambar 1 Bagan alur metode penelitian secara umum
15
4 PASTEURISASI SUSU KAMBING SEBELUM PENAMBAHAN ISOLAT TAKIZOIT Toxoplasma gondii GALUR RH Abstract The purpose of this study is to kill microbial pathogens in milk. When T. gondii add into the pasteurized milk, it will get pure T. gondii without mix with other microbes, further then it will be existence observed in mice body easily. This study used low temperature long time (LTLT) at 63 ºC for 30 minutes and high temperature short time (HTST) at 72 ºC for 15 seconds and continued microbial test (total plate count and blood agar) and Storch test. The results showed that value of total plate count was below the microbial contamination maximum limit, and no colonies growing on blood agar media. Storch test results showed that milk have bluish color for LTLT and did not change colour for HTST. Key words: microbes, milk, pasteurized, Storch
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah membunuh mikroba patogen yang ada di dalam susu agar diperoleh susu dan T. gondii tanpa campuran mikroba lain sehingga keberadaan T. gondii dalam tubuh mencit lebih mudah teramati. Penelitian ini menggunakan metode pasteurisasi suhu rendah waktu lama (LTLT) yaitu 63 ºC selama 30 menit dan suhu tinggi waktu singkat (HTST) yaitu 72 ºC selama 15 detik dan dilanjutkan uji mikroba (angka lempeng total dan agar darah) serta uji Storch. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai angka lempeng total berada di bawah batas maksimum cemaran mikroba, dan tidak ditemukan koloni yang tumbuh pada media agar darah. Hasil uji Storch menunjukkan susu berwarna kebiruan dari LTLT dan tidak berubah warna dari HTST. Kata kunci: mikroba, pasteurisasi, susu, Storch
Pendahuluan Susu adalah bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto 1983). Susu mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan seimbang seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral yang diperlukan oleh tubuh. Nilai gizi susu yang tinggi menyebabkan susu menjadi medium yang disukai oleh mikroba untuk berkembang biak. Mikroba yang berkembang biak dalam susu menyebabkan kerusakan susu sehingga dalam waktu singkat susu menjadi tidak layak dikonsumsi dan membahayakan konsumen apabila tidak ditangani dengan benar. Menurut Walstra et al. (1999), mikroba dalam susu yang tidak diinginkan
16 umumnya bersifat patogen yakni menyebabkan penyakit bagi inangnya seperti Escherichia coli, Salmonella sp. dan Staphylococcus aureus. Kerusakan pada susu dapat dikurangi dengan penanganan yang tepat seperti pemanasan ataupun penyimpanan pada suhu rendah. Pengolahan susu seperti pasteurisasi susu merupakan suatu teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan umur simpan susu. Pasteurisasi merupakan salah satu cara untuk membunuh kuman patogen di dalam susu. Susu pasteurisasi mempunyai sifat tidak tahan lama dan mudah rusak. Susu pasteurisasi hanya mampu bertahan pada suhu 4 ºC selama 5 hari. Pasteurisasi susu adalah sebuah proses pemanasan susu bertujuan membunuh mikroba merugikan seperti bakteri, virus, protozoa, kapang dan khamir. Metode pengolahan ini merupakan cara paling efektif dalam menjaga kemurnian nutrisi susu segar tanpa tambahan zat apapun sehingga umur simpan produk menjadi lebih lama dibanding susu segar mentah (susu murni). Manfaat susu pasteurisasi sama dengan manfaat susu murni, yaitu kandungan asam amino, vitamin, kalsium, mineral, protein, lemak dan laktosa merupakan sumber energi yang baik dalam mendukung aktivitas fisik, membantu pertumbuhan tulang dan gigi pada anak. Susu kambing saat ini sudah mulai populer jika dibandingkan susu sapi, sebab kandungan gizi dalam susu kambing lebih banyak dibandingkan susu sapi. Susu kambing mempunyai globula-globula lemak yang berdiameter kecil sehingga lebih mudah dicerna. Susu merupakan makanan yang mengandung nutrisi lengkap dan banyak digemari baik manusia, hewan maupun mikroorganisme sehingga mengakibatkan kerusakan bahkan pembusukan bila tidak ditangani dengan tepat dan cepat. Beberapa cara untuk menekan pertumbuhan mikroba khususnya bakteri yaitu proses pendinginan dan pemanasan. Metode pemanasan bertujuan membunuh bakteri patogen yang terkandung di dalam susu, tetapi tidak membunuh spora yang ada, sehingga daya simpannya relatif lebih singkat. Faktor cara penyimpanan susu berperan terhadap masa simpan susu terutama pada susu segar tanpa pemanasan dan susu pasteurisasi. Susu dan produk susu yang dipasteurisasi sebaiknya disimpan dalam kulkas, agar pertumbuhan mikroba dapat dihambat. Pasteurisasi susu kambing yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk membunuh bakteri patogen sehingga akan diperoleh susu dan Toxoplasma gondii¸ tanpa campuran mikroba lainnya, dengan demikian keberadaan Toxoplasma gondii dalam tubuh mencit lebih mudah teramati.
Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu susu kambing segar yang langsung diperoleh dari peternakan kambing, buffered peptone water (BPW), plate count agar (PCA), agar darah (blood agar), darah domba, HCl paraphenylene diamine 2% dan H2O2 0.5%. Alat yang digunakan adalah erlenmeyer, termometer, penangas air, cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, botol media, jarum inokulasi, bunsen, timbangan, vortex, inkubator, autoklaf dan inkubator.
17 Metode Susu kambing segar sebanyak 250 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan dipanaskan di dalam penangas air dengan suhu 63 ºC selama 30 menit dan 72 °C selama 15 detik serta diamati. Parameter yang diamati setelah pasteurisasi adalah uji mikrobiologi dengan metode angka lempeng total, agar darah dan uji Storch. Cara uji angka lempeng total yaitu dipindahkan 1 ml suspensi dari susu pasteurisasi yang ada dalam erlenmeyer dengan pipet steril ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk dibuat pengenceran 10-1, 10-2 dan 10-3. Masing-masing 1 ml diambil dari larutan tersebut ke cawan petri secara duplo, ditambahkan 15-20 ml Plate Count Agar dan setelah beku inkubasikan pada suhu 37 ºC selama 24-48 jam. Cawan petri dipilih yang jumlah angka koloninya antara 25-250 cfu/gram, lalu ditentukan rata-rata yang merupakan jumlah kuman per 1 gram. Pengujian dengan menggunakan agar darah yaitu diambil susu yang telah dipasteurisasi dengan menggunakan jarum inokulasi lalu digoreskan pada agar darah, selanjutnya diinkubasi dalam suhu 37 °C selama 18-24 jam. Keesokan harinya dilakukan pengamatan. Prosedur uji Storch yaitu diisi 5 ml susu ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 0.5 ml HCl paraphenylene diamine 2% dan juga ditambahkan 4 tetes H2O2 0.5%, Campuran tersebut dikocok dan diamati warnanya. Hasil uji ditandai dengan susu mentah berubah menjadi biru (-) dan susu yang sudah dimasak tetap berwarna susu/krem (+).
Hasil dan Pembahasan Hasil yang diperoleh dari kedua suhu pasteurisasi pada uji mikrobiologi angka lempeng total adalah kurang dari 25 koloni yaitu di bawah batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dan tidak ditemukan pertumbuhan koloni pada agar darah untuk kedua suhu pasteurisasi 63 ºC selama 30 menit dan 72 °C selama 15 detik. Hal ini sesuai dengan SNI nomor 7388 tahun 2009 tentang batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. Uji Storch diperoleh warna agak kebiruan dari susu pasteurisasi suhu 63 ºC selama 30 menit yang berarti bahwa hanya sebagian enzim peroksidase yang terhidrolisis dengan pemanasan ini, sedangkan pasteurisasi suhu 75 ºC selama 15 detik diperoleh hasil susu tidak berubah warna, berarti semua enzim peroksidase yang ada di dalam susu telah terhidrolisis semua dengan pemanasan ini, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil Pasteurisasi susu terhadap uji angka lempeng total, agar darah dan Storch No
Suhu dan waktu
1
63 ºC; 30 menit
2
72 ºC; 15 detik
Hasil uji Agar darah
Angka Storch Lempeng Total <25 koloni Tidak ditemukan Agak kebiruan koloni <25 koloni Tidak ditemukan Warna tidak koloni berubah
18 Uji angka lempeng total dimaksudkan untuk menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar. Jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, sel mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Kualitas susu ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor kebersihan. Faktor ini baik secara langsung maupun secara tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Menurut SNI nomor 7388 tahun 2009 tentang batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan ditetapkan BMCM dalam susu segar dan susu pasteurisasi, untuk total bakteri pada susu segar 1 x 106 koloni/ml dan untuk susu pasteurisasi 5 x 104 koloni/ml. Menurut Forsythe dan Hayes (1998) bahwa proses pasteurisasi susu ditujukan untuk membunuh bakteri patogen dalam susu, dengan cara merusak dinding sel bakteri, merusak membran sitoplasma bakteri dan menghambat kerja enzim yang dapat mengganggu metabolisme sel bakteri. Pertumbuhan mikroorganisme dalam susu pasteurisasi dapat disebabkan oleh metode pasteurisasi dan kontaminasi peralatan yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fardias (1992), bahwa pencemaran bakteri setelah pasteurisasi dapat terjadi karena adanya bakteri yang tahan panas atau terjadi kontaminasi bakteri setelah proses pasteurisasi, misalnya dari peralatan yang digunakan. Susu segar dengan mikroba awal yang rendah yaitu kurang dari 106, maka untuk memperolehnya harus diperhatikan dalam penanganannya, yaitu penanganan sebelum pemerahan dan setelah pemerahan. Penanganan sebelum pemerahan meliputi: pembersihan kandang dan lingkungan; sterilisasi peralatan pemerahan dan wadah; ternak dan ambing serta pekerja. Penanganan setelah pemerahan meliputi: pasteurisasi susu (HTST dan LTLT); sterilisasi susu (suhu 105-121 ºC selama 30 detik) dan pendinginan susu (suhu 4-10 ºC). Keamanan konsumen susu segar dari kontaminasi mikroba harus dijaga, sehingga sebelum konsumsi susu, harus dilakukan pasteurisasi susu, karena dengan pasteurisasi susu dapat mematikan mikroba patogen dan perusak. Menurut Codex susu diperbolehkan mengandung mikroba 10 000 sampai 1 000 000/ml susu. Dengan mengetahui tahapan-tahapan di atas maka kontaminasi mikroba pada susu segar dapat diminimalisasilkan. Kegunaan uji Storch adalah mengetahui apakah susu sudah mengalami pemanasan sempurna. Prinsip dalam susu segar terdapat adanya enzim peroksidase yang dapat menguraikan H2O2 → H2O + O2. Oksigen yang bebas ini akan mengoksidasi HCl paraphenylene diamine sehingga berwarna biru. Enzim peroksidase musnah oleh pemanasan 70-80 ºC.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas maka diperoleh simpulan bahwa pasteurisasi pada suhu 63 ºC selama 30 menit dan 72 ºC selama 15 detik mampu membunuh kuman patogen yang ada di dalam susu dan yang membedakan kedua suhu pasteurisasi ini adalah pada uji Storch yaitu pada suhu 63 ºC selama 30 menit enzim peroksidase mengalami hidrolisis sebagian sedangkan pemanasan suhu 72 ºC selama 15 detik menyebabkan enzim peroksidase terhidrolisis sempurna.
19
5 DAYA TAHAN HIDUP Toxoplasma gondii DALAM SUSU KAMBING DENGAN PASTEURISASI SUHU RENDAH WAKTU LAMA Abstract The purpose of this study was to determine survival of T. gondii tachyzoite RH strain in goat milk after being pasteurized in low temperature for along time. In this study we used in vivo, i.e., using mice that were infected with a T. gondii tachyzoite intraperitoneumly in a dose of 2.76 x 106. The infected mice were divided into 3 groups; (1) pasteurized milk and tachyzoite heated at a temperature of 63ºC for 30 minutes (K1), (2) pasteurized milk and tachyzoite without being heated as a positive control (K4), and (3) pasteurized milk without tachyzoite as a negative control (K5). The results showed that tachyzoites did not detect in the peritoneum fluid in group K1 and K5. However, T. gondii tachyzoites were detected in group PC whose amount was nearly equal to the amount before and after the mice infection. Keywords: goat milk, long time, low temperature, pasteurization, T. gondii
Abstrak Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan apakah takizoit T. gondii RH masih dapat hidup dalam susu kambing dengan pasteurisasi suhu rendah waktu lama. Penelitian ini menggunakan metode in vivo yaitu menggunakan mencit yang diinfeksi dengan takizoit T. gondii RH secara intraperitoneum dengan konsentrasi 2.76 x 106. Mencit yang diinfeksi dibagi atas 3 Kelompok perlakuan, yaitu (1) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 63 ºC selama 30 menit (K1); (2) susu pasteurisasi dan takizoit tanpa dipanaskan sebagai kontrol positif (K4); dan (3) susu pasteurisasi tanpa takizoit sebagai kontrol negatif (K5). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan takizoit di dalam cairan peritoneum pada K1 dan K5. Takizoit T. gondii RH ditemukan pada K4 yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah sebelum dan setelah infeksi. Kata kunci: pasteurisasi, suhu rendah, susu kambing, T. gondii, waktu lama
Pendahuluan Protozoa T. gondii merupakan parasit obligat intraseluler dari filum Apicomplexa, menyebar secara luas di alam dan dapat menginfeksi banyak spesies pada hewan berdarah panas, sehingga bersifat zoonotik (Weiss dan Dubey 2009). Toksoplasmosis (kambing) adalah penyakit parasit yang sangat penting dalam dunia kedokteran hewan dan kesehatan masyarakat karena dapat menurunkan produksi dan kerugian ekonomi, serta berbahaya bagi kesehatan manusia melalui konsumsi daging dan susu yang terkontaminasi T. gondii (Jittapalapong et al.
20 2005). Penyakit ini penting karena menyebabkan menyebabkan keguguran, kematian dan mumifikasi janin pada domba (Buxton et al. 2007; Dubey 2009). Gejala klinis toksoplasmosis pada manusia senantiasa dihubungkan dengan konsumsi susu kambing tanpa pemanasan (Riemann et al. 1975; Sacks et al. 1982; Chiari dan Neves 1984; Skinner et al. 1990). Takizoit dari T. gondii telah ditemukan pada beberapa jenis susu (Dubey dan Beattie 1988). Transmisi toksoplasmosis melalui susu yang tidak dipasteurisasi atau keju yang berasal dari susu tanpa pasteurisasi merupakan salah satu sumber penularan potensial toksoplasmosis (Hiramoto et al. 2001). Pasteurisasi merupakan metode pengolahan dengan pemanasan di bawah titik didih untuk memperpanjang masa simpan susu segar. Metode pasteurisasi susu ada 2 cara, yaitu pasteurisasi yang dilakukan pada suhu 63 ºC selama 30 menit dan 72 ºC selama 15 detik (Hadiwiyoto 1983). Sejauh ini belum ada laporan penelitian tentang kemampuan hidup takizoit dalam susu pasteurisasi, karena Dubey (1998) hanya menemukan DNA T. gondii pada susu melalui uji polymerase chain reaction (PCR) yang sumber infeksinya belum diketahui berasal dari induk atau kontaminasi. Takizoit yang terkandung di dalam susu tidak diketahui masih hidup atau sudah mati. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah takizoit masih dapat hidup dalam susu pasteurisasi dengan suhu rendah waktu lama (63 °C selama 30 menit), sebab takizoit yang hidup kemungkinan masih dapat menyebabkan infeksi dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu susu kambing segar, isolat takizoit T. gondii RH, 15 ekor mencit jantan galur DDY umur 4-5 minggu, phosphat buffer saline (PBS), kapas, alkohol, klorin, nitrogen cair, ketamin HCl, xylol, Larutan HCl-parafenildiamin 2% dalam air dan larutan H2O2 (0.2-1%) dalam air dan pepton count agar. Alat yang digunakan terdiri dari dispossible syringe 1 ml dan 5 ml, tabung reaksi 50 ml, sentrifus, pipet pasteur, penangas air, timer, termometer, kaca preparat, kaca penutup, mikroskop, pinset, gunting, komputer, kamera, sarung tangan, hemositometer, tabung mikro, freezer, kulkas, masker, homogenizer, tip dan mikropipet.
Metode Penelitian ini dilaksanakan secara in vivo dengan menggunakan mencit jantan DDY umur 5-6 minggu sebagai hewan coba. Mencit dipelihara seminggu sebelum perlakuan serta diberi makan dan minum ad libitum. Mencit diinfeksi dengan cairan campuran antara susu kambing dengan perlakuan tertentu dan takizoit T. gondii RH. Konsentrasi takizoit dalam susu kambing sebanyak 2.76 x 106 takizoit/ekor. Campuran susu kambing dan takizoit disuntikkan secara intraperitoneum sebanyak 0.3 ml. Sebanyak 15 ekor mencit digunakan dalam studi ini dan dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu (1) susu pasteurisasi dan takizoit
21 yang dipanaskan pada suhu 63 ºC selama 30 menit (K1); (2) susu pasteurisasi dan takizoit tanpa dipanaskan sebagai kontrol positif (K4); dan (3) susu pasteurisasi tanpa takizoit sebagai kontrol negatif (K5). Proses pasteurisasi diverifikasi melalui uji Storch dan uji angka lempeng total (ALT). Mencit yang telah disuntik dipelihara selama 16 hari dan diamati gejala klinis setiap hari. Pada hari ke-3, ke-5, ke-7, ke-9, ke-11, ke-13, ke-15 dan ke-16 cairan peritoneum diambil dari 1 ekor mencit dari setiap kelompok perlakuan. Kemudian cairan tersebut diperiksa di bawah mikroskop secara natif dengan pembesaran 400 kali serta diamati terhadap keberadaan takizoit. Jika keberadaan takizoit cukup banyak daripada sel normal, maka mencit dieutanasi dengan Ketamin HCl (0.03 ml). Setelah mati, maka dilakukan nekropsi tanpa membuka peritoneum. Sebanyak 5 ml PBS dimasukkan menggunakan syringe ke dalam rongga perut melalui peritoneum, kemudian mencit digoyang secara hati-hati. Kemudian cairan peritoneum disedot kembali menggunakan syringe. Cairan tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 20 menit. Supernatan dibuang dan endapan dicampur dengan 1 ml PBS, selanjutnya diteteskan di kamar hitung Neubauer dan selanjutnya dihitung di bawah mikroskop pembesaran 400 kali menggunakan kamar hitung leukosit. Bagan alur metode penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Prosedur pengujian di atas telah mendapat persetujuan dari komisi etik hewan RSH IPB, ACUC No. 09-2012 RSH-IPB.
22 Susu kambing pasteurisasi
Dihomogenkan dengan takizoit T. gondii RH
Dipanaskan pada suhu 63 ºC selama 30 menit (K1)
Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masing-masing 0.3 ml
Tanpa pemanasan sebagai kontrol positif (K4)
Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masing-masing 0.3 ml
Cairan IP diambil pada hari ke-3 dan ke-5
Cairan IP diambil pada hari ke-3 dan ke-5
3 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-7
5 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-5 dan diamati keberadaan takizoit dari cairan peritoneum
Cairan IP diambil pada hari ke-9, 11, 13 dan ke-15 2 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-16 dan diamati keberadaan takizoit dari cairan peritoneum
Kontrol negatif (K5) Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masing-masing 0.3 ml
Cairan IP diambil pada hari ke-15
5 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-16 dan diamati keberadaan takizoit dari cairan peritoneum
Jika positif, maka jumlah takizoit dihitung dari setiap ekor mencit
Jika positif, maka jumlah takizoit dihitung dari setiap ekor mencit
Gambar 1 Bagan alur metode penelitian pasteurisasi LTLT
23 Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan dari kelompok mencit yang diinfeksi dengan susu dan takizoit T. gondii RH menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol positif (K4) ditemukan takizoit pada cairan peritoneum pada hari ke-4, sedangkan pada kelompok perlakuan (K1) dan kelompok kontrol negative (K5) tidak ditemukan takizoit sampai hari ke-16. Hasil pengamatan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hari ke3 4
5
7
9 11 13 15 16
Hasil pengamatan kelompok mencit yang telah diinfeksi Kelompok perlakuan K1 K4 Tidak ditemukan Tidak ditemukan takizoit takizoit Cairan Ditemukan takizoit peritoneum tidak diambil Tidak ditemukan Ditemukan takizoit dan takizoit dilakukan eutanasi terhadap kelima ekor mencit untuk dihitung jumlah takizoitnya Eutanasi dari 3 ekor mencit dan tidak ditemukan takizoit Tidak ditemukan takizoit Tidak ditemukan takizoit Tidak ditemukan takizoit Tidak ditemukan takizoit Eutanasi dari 2 ekor mencit dan tidak ditemukan takizoit
K5 Cairan peritoneum tidak diambil Cairan peritoneum tidak diambil Cairan peritoneum tidak diambil
Cairan peritoneum tidak diambil
Cairan peritoneum tidak diambil Cairan peritoneum tidak diambil Cairan peritoneum tidak diambil Tidak ditemukan takizoit Eutanasi dari 5 ekor mencit dan tidak ditemukan takizoit
K1: pasteurisasi suhu 63 ºC selama 30 menit, K4: kontrol positif, K5: kontrol negatif
Pada K4, takizoit mulai terlihat pada hari ke-4, walaupun cairan peritoneum mulai diambil pada hari ke-3. Pada hari ke-3, mencit-mencit yang ada di K4 telah menunjukkan gejala klinis yaitu gerakan kurang aktif, kurang nafsu makan, lebih banyak berkumpul dan berdiam diri di sudut bak, serta rambut mulai berdiri. Berdasarkan gejala klinis ini, maka pengambilan cairan peritoneum dilakukan keesokan harinya yaitu hari ke-4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kematian mencit diperkirakan sekitar 5-6 hari pascainfeksi. Hasil yang diperoleh
24 ini sesuai dengan penelitian Subekti et al. (2005) yaitu pada infeksi takizoit konsentrasi 106 sampel diambil pada hari ke-4. Laporan serupa juga dikemukakan Sibley dan Howe (1996) yang menyatakan bahwa T. gondii RH menyebabkan kematian mencit dalam jangka waktu 6-9 hari tergantung pada dosis pascainfeksi. Kelompok mencit yang diinfeksi dengan susu kambing yang dipasteurisasi tidak menunjukkan keberadaan takizoit dalam cairan peritoneum. Hal ini disebabkan pemanasan pasteurisasi dapat membunuh takizoit. World Health Organization (1979) menyatakan bahwa daging yang dipanaskan pada suhu 65 ºC selama 4-5 menit dapat mematikan kista aktif T. gondii. Hal yang sama dinyatakan pula oleh Chahaya (2003) bahwa kista T. gondii dalam jaringan dapat dimusnahkan dengan pemasakan 66 ºC. Jumlah takizoit pascainfeksi yang diperoleh dari cairan peritoneum mencit dari kelompok kontrol positif (K4) tidak berbeda jauh dengan jumlah takizoit yang diinfeksi (Tabel 2). Tabel 2 Jumlah takizoit yang diperoleh dari kelompok kontrol positif Mencit 1 2 3 4 5
Jumlah takizoit (per ml) 2.6 x 106 6.0 x 106 1.0 x 107 3.0 x 106 7.0 x 106
Takizoit T. gondii RH tipe I yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai kemampuan induksi sitokin tipe I dan destruktifitasnya sangat tinggi dibandingkan tipe lainnya sehingga memiliki LD 100 dalam jangka waktu singkat. Apabila masih ditemukan takizoit yang hidup di dalam susu dan dikonsumsi manusia, hal ini dapat menyebabkan infeksi pada manusia yang mengonsumsi susu tersebut. Pasteurisasi dalam penelitian ini menggunakan suhu 63 ºC selama 30 menit sebab pemanasan dengan suhu ini mampu membunuh bakteri patogen dan nutrisi yang ada di dalam susu tidak banyak hilang. Ookista bertahan dan tetap infektif dalam air dan feses selama berbulanbulan pada suhu 20-37 ºC (Dumètre dan Dardé 2003). Bradizoit dalam daging dinonaktifkan dengan memasak, pembekuan, pengawetan, iradiasi, dan tekanan. Suhu 66 ºC dapat menonaktifkan kista dalam daging (Goldsmid et al. 2003). Sedangkan suhu untuk membunuh takizoit di dalam susu belum pernah ada data yang diperoleh. Ternak kecil seperti kambing merupakan sumber penting dari daging (sangat populer di beberapa kelompok etnis, terutama dari Asia) dan susu di banyak negara berkembang dan dapat berperan sebagai sumber infeksi bagi manusia yang tinggal di daerah tersebut (Shrestha dan Fahmy 2005). Selain itu, konsumsi susu kambing mentah dan produk olahan susu yang berasal dari susu mentah, telah dikaitkan dengan kasus toksoplasmosis pada manusia (Riemann et al. 1975; Sacks et al.1982; Skinner et al. 1990; Meerburg et al.2006). Ekskresi takizoit T. gondii melalui susu dapat terjadi secara alami dan menyebabkan penularan toksoplasmosis pada manusia akibat mengonsumsi susu tersebut. Mekanisme penularan ini terjadi karena takizoit yang masuk ke dalam
25 tubuh akan menuju ke dalam pembuluh darah dan menempati sel berinti yang selanjutnya dialirkan ke seluruh tubuh. Susu dihasilkan dari darah, sehingga takizoit yang ada di dalam darah kemungkinan akan dapat dieksresikan juga melalui susu.
Simpulan Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa hasil inokulasi takizoit T. gondii RH mati pada susu pasteurisasi 63 ºC selama 30 menit.
26
6
DAYA TAHAN HIDUP Toxoplasma gondii DALAM SUSU KAMBING DENGAN PASTEURISASI SUHU TINGGI WAKTU SINGKAT Abstract
The purpose of this study was to determine the survival of T. gondii tachyzoite of RH strain in goat milk after being pasteurized in high temperature for a short time. This study used in vivo method i.e. using mice that were infected with a T. gondii tachyzoite with a RH strain intraperitoneumly at a concentration of 2.76 x 106 tachyzoite/each. The infected mice were divided into 3 treatment groups i.e. they were given (1) pasteurized milk and tachyzoite heated at a temperature of 72 ºC for 15 seconds and 85 °C for 1-2 seconds (K2 and K3), (2) pasteurized milk and tachyzoite without being heated as a positive control (K4), and (3) pasteurized milk without tachyzoite as a negative control (K5). The results showed that tachyzoite did not detect in the peritoneum fluid on K2, K3, and K5. However, T. gondii tachyzoites were detected in PC whose amount was nearly equal to the amount before and after the mice infection. Keyword : goat milk, high temperature, pasteurization, short time, T. gondii
Abstrak Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui daya hidup takizoit T. gondii RH pada suhu tinggi waktu singkat. Metode in vivo digunakan dalam penelitian ini dan mencit diinfeksi dengan takizoit T. gondii RH secara intraperitoneum dengan konsentrasi 2.76 x 106 takizoit/ekor. Mencit yang diinfeksi dibagi atas 3 kelompok perlakuan, yaitu (1) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 72 ºC selama 15 detik dan 85 °C selama 1-2 detik (K2 dan K3); (2) susu pasteurisasi dan takizoit tanpa dipanaskan, sebagai kontrol positif (K4); dan (3) susu pasteurisasi tanpa takizoit, sebagai kontrol negatif (K5). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan takizoit di dalam cairan peritoneum pada K2, K3 dan K5. Takizoit T. gondii RH ditemukan pada K4 yang mempunyai jumlah konsentrasi hampir sama sebelum dan setelah infeksi. Kata kunci: pasteurisasi, suhu tinggi, susu kambing, T. gondii, waktu singkat
27 Pendahuluan Toksoplasmosis disebabkan oleh T. gondii yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas. Induk semang definitif penyakit ini yaitu kucing dan beberapa spesies dari bangsa kucing liar (Dharmojono 2001). Infeksi T. gondii pada anak kucing ditularkan secara transplasenta pada masa kebuntingan (Dubey dan Hoover 1977; Dubey et al. 1995, 1996; Omata et al. 1994; Powell dan Lappin 2001). Takizoit T. gondii ditemukan dalam susu domba, kambing, sapi dan tikus (Dubey 1998; Pettersen 1984; Tenter et al. 2000). Infeksi pada manusia ditularkan melalui mengonsumsi susu kambing mentah (Sacks et al. 1982; Skinner et al. 1990) dan diduga penularan melalui laktasi dapat juga terjadi pada manusia (Bonametti et al. 1997). Toksoplasmosis dapat terjadi melalui mengonsumsi susu kambing yang tidak dipasteurisasi (Sacks et al. 1982; Chiari and Neves 1984; Skinner et al. 1990). Chiari dan Neves (1984) melaporkan bahwa ekskresi takizoit di dalam susu berasal dari kambing yang terinfeksi T. gondii secara alami. Walaupun infeksi terjadi akibat mengonsumsi susu kambing, tetapi peneliti lain melaporkan bahwa mengonsumsi produk susu mentah dari hewan lain juga dapat menyebabkan penularan T. gondii secara horizontal (Spalding et al. 2005; Kijlstra dan Jongert 2008). Konsumsi susu kambing, domba, dan sapi serta produknya yang tidak dipasteurisasi dapat berisiko terhadap penularan takizoit T. gondii (Dubey 1998). Kejadian ini mengindikasikan bahwa infeksi dapat terjadi melalui takizoit secara oral (Cook et al. 2000). Kasus toksoplasmosis juga dilaporkan pada anak-anak yang mengonsumsi susu ibu yang terinfeksi toksoplasmosis akibat memakan daging domba setengah masak. Takizoit yang berada dalam susu tidak dapat dihancurkan oleh asam lambung (Bonametti et al. 1997). Pemanasan pada suhu pasteurisasi dimaksudkan untuk membunuh kuman patogen yang ada dalam susu, dengan seminimal mungkin kehilangan zat gizinya dan mempertahankan semaksimal mungkin sifat fisik serta cita rasa susu segar (Purnomo dan Adiono 1987). Pasteurisasi yang sering dan umum digunakan adalah pemanasan pada 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1-2 detik (Rennie 1989). Menurut Hadiwiyoto (1983) pada umumnya pasteurisasi dilakukan pada suhu 63 ºC selama 30 menit dan 72 ºC selama 15 detik. Sejauh ini belum ada laporan penelitian tentang kemampuan hidup takizoit dalam susu pasteurisasi, karena Dubey (1998) hanya menemukan DNA T. gondii pada susu melalui uji polymerase chain reaction (PCR) yang sumber infeksinya belum diketahui berasal dari induk atau kontaminasi. Pemeriksaan takizoit pada susu secara PCR melalui deteksi DNA. Takizoit yang terkandung di dalam susu tersebut tidak diketahui masih hidup atau sudah mati. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah takizoit masih dapat hidup dalam susu pasteurisasi, sebab takizoit yang hidup kemungkinan masih dapat menyebabkan infeksi dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
28 Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu susu kambing segar, isolat takizoit T. gondii galur RH, 20 ekor mencit jantan DDY umur 4-5 minggu, phosphat buffer saline (PBS), kapas, alkohol, klorin, nitrogen cair, ketamin HCl, xylol, Larutan HCl-parafenildiamin 2% dalam air dan larutan H2O2 (0.2-1%) dalam air dan pepton count agar. Alat yang digunakan terdiri dari dispossible syringe 1 ml dan 5 ml, tabung reaksi 50 ml, sentrifus, pipet pasteur, penangas air, timer, termometer, kaca preparat, kaca penutup, mikroskop, pinset, gunting, komputer, kamera, sarung tangan, hemositometer, tabung mikro, freezer, kulkas, masker, homogenizer, tip dan mikropipet. Metode Penelitian ini dilaksanakan secara in vivo dengan menggunakan mencit jantan DDY umur 5-6 minggu sebagai hewan coba. Mencit dipelihara seminggu sebelum perlakuan serta diberi makan dan minum ad libitum. Mencit diinfeksi dengan cairan campuran antara susu kambing dengan perlakuan tertentu dan takizoit T. gondii RH. Konsentrasi takizoit dalam susu kambing sebanyak 2.76 x 106 takizoit/ekor. Cairan campuran susu kambing dan takizoit disuntikkan secara intraperitoneum sebanyak 0.3 ml. Sebanyak 15 ekor mencit digunakan dalam studi ini dan dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu (1) susu pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 72 ºC selama 15 detik (K2) dan 85 ºC selama 1-2 detik (K3); (2) susu pasteurisasi dan takizoit tanpa dipanaskan sebagai kontrol positif (K4); dan (3) susu pasteurisasi tanpa takizoit sebagai Kontrol negatif (K5). Proses pasteurisasi diverifikasi melalui uji Storch dan uji angka lempeng total (ALT). Mencit yang telah disuntik dipelihara selama 16 hari dan diamati gejala klinis setiap hari. Pada hari ke-3, ke-5, ke-7, ke-9, ke-11, ke-13, ke-15 dan ke-16 cairan peritoneum diambil dari 1 ekor mencit dari setiap Kelompok perlakuan. Kemudian cairan tersebut diperiksa di bawah mikroskop secara natif dengan pembesaran 400 kali serta diamati terhadap keberadaan takizoit. Jika keberadaan takizoit cukup banyak daripada sel normal, maka mencit dieutanasi dengan Ketamin HCl (0.03 ml). Setelah mati, maka dilakukan nekropsi tanpa membuka peritoneum. Sebanyak 5 ml PBS dimasukkan dengan syringe ke dalam rongga perut melalui peritoneum, kemudian mencit digoyang secara hati-hati. Kemudian cairan peritoneum disedot kembali menggunakan syringe. Cairan tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 20 menit. Supernatan dibuang dan endapan dicampur dengan 1 ml PBS, selanjutnya diteteskan di kamar hitung Neubauer dan selanjutnya dihitung di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali dengan menggunakan kamar hitung leukosit. Bagan alur metode penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Prosedur pengujian di atas telah mendapat persetujuan dari komisi etik hewan RSH IPB, ACUC No. 09-2012 RSH-IPB.
29
Susu kambing pasteurisasi
Ditambahkan takizoit T. gondii RH
Dibagi menjadi 3 bagian
Dipanaskan pada suhu 72 ºC selama 15 detik (K2)
Dipanaskan pada suhu 85 ºC selama 2 detik (K3)
Tanpa dipanaskan sebagai kontrol positif (K4)
Kelompok kontrol negatif (K5)
Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masingmasing 0.3 ml
Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masingmasing 0.3 ml
Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masingmasing 0.3 ml
Diinfeksikan kelima ekor mencit secara IP masingmasing 0.3 ml
Cairan IP diambil pada hari ke-3 dan ke-5
Cairan IP diambil pada hari ke-3 dan ke-5
Cairan IP diambil pada hari ke-3 dan ke-4
Cairan IP diambil pada hari ke-15
3 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-7
3 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-7
5 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-5
Cairan IP diambil pada hari ke-9, 11, 13 dan ke-15
Cairan IP diambil pada hari ke-9, 11, 13 dan ke-15
Jumlah takizoit dihitung dari setiap ekor mencit
5 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-16 dan diamati keberadaan takizoit dari cairan peritoneum
2 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-16 dan diamati keberadaan takizoit dari cairan peritoneum
2 ekor mencit dieutanasi pada hari ke-16 dan diamati keberadaan takizoit dari cairan peritoneum
Gambar 1 Bagan alur metode penelitian pasteurisasi HTST
30
Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan dari kelompok mencit yang diinfeksikan dengan susu dan takizoit T. gondii RH menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol positif ditemukan takizoit pada cairan peritoneum pada hari ke-4, sedangkan pada kelompok perlakuan dan kontrol negatif tidak ditemukan takizoit sampai hari ke16. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil pengamatan dari setiap kelompok perlakuan campuran susu dan takizoit Kelompok perlakuan K2 dan K3 K4 K5
Hasil pengamatan + -
K2: pasteurisasi suhu 72 ºC selama 15 detik , K3: pasteurisasi suhu 85 ºC selama 1-2 detik, K4: kontrol positif, K5: kontrol negatif
Pengamatan hari ke-3, mencit-mencit yang ada di kontrol positif (K4) telah menunjukkan gejala klinis yaitu gerakan kurang aktif, kurang nafsu makan, lebih banyak berkumpul dan berdiam diri di sudut bak, serta rambut mulai berdiri. Berdasarkan gejala klinis ini, maka pengambilan cairan peritoneum dilakukan keesokan harinya yaitu hari ke-4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kematian mencit diperkirakan sekitar 5-6 hari pascainfeksi. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan penelitian Subekti et al. (2005) yaitu pada infeksi takizoit konsentrasi 106 sampel diambil pada hari ke-4. Laporan serupa juga dikemukakan Sibley dan Howe (1996) yang menyatakan bahwa T. gondii galur RH menyebabkan kematian mencit dalam jangka waktu 6-9 hari pascainfeksi tergantung pada dosis infeksi. Kelompok mencit yang diinfeksi dengan susu kambing yang dipasteurisasi tidak menunjukkan keberadaan takizoit dalam cairan peritoneum. Hal ini disebabkan pemanasan pasteurisasi dapat membunuh takizoit. Lundén dan Uggla (1992) menemukan bahwa pemanasan pada suhu 50 ºC atau lebih, kemungkinan dapat membunuh kista dalam daging kambing. Peneliti lain menunjukkan bahwa kista dalam jaringan dapat mati pada suhu -12 ºC selama beberapa hari (Kotula et al. 1991). Pencegahan terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70 ºC yang disiramkan pada feses kucing (Remington dan Desmont 1983; Siegmund 1979). Jumlah takizoit pascainfeksi yang diperoleh dari cairan peritoneum mencit dari kontrol positif (K4) tidak berbeda jauh dengan jumlah takizoit yang diinfeksi. Hasil ini disajikan pada Gambar 2.
31 Gambar 2 menunjukkan bahwa konsentrasi takizoit yang diperoleh masih berada dikisaran 106, yaitu (1) 2.6 x 106; (2) 6 x 106; (3) 10 x 106; (4) 3 x 106; (5) 7 x 106, rata-rata keseluruhan berkisar 5.72 x 106 takizoit/ml.
Jumlah Takizoit x 106
12
10 8 6 4 2 0 1
2
3
4
5
Mencit keGambar 2 Jumlah takizoit dari cairan peritoneum kelompok kontrol positif Observasi dilanjutkan pada kelompok K2, K3 dan K5 selama 16 hari untuk melihat sejauh mana gejala klinis yang timbul pada mencit selama 2 minggu pascainfeksi. Takizoit ditemukan pada kelompok kontrol positif pada hari ke-5 pascainfeksi. Jika mencit tidak segera dipanen untuk mengambil cairan peritoneum, maka mencit akan segera mati sehingga sulit untuk menghitung takizoit. Takizoit T. gondii RH termasuk jenis patogen dan mengakibatkan kematian pada mencit dalam jangka waktu selama seminggu. Hal ini sesuai dengan penelitian Sibley dan Howe (1996) bahwa T. gondii yang patogen sering menyebabkan kematian mencit (LDI00) dalam jangka waktu 6-9 hari pascainfeksi, tergantung dari dosis infeksi. Sibley et al. (2002) telah menggunakan takizoit T. gondii tipe I konsentrasi 101 dan tipe II konsentrasi 105. Hasil yang diperoleh, terjadi kematian mencit 8 hari pascainfeksi. Kematian lain lagi terjadi akibat infeksi T. gondii tipe I konsentrasi 101 dan dicampur dengan tipe II konsentrasi 105, menyebabkan tikus hidup lebih lama. Pengamatan sampai hari ke-16 dalam penelitian ini tidak mengambil organ untuk pemeriksaan kista atau bradizoit dalam jaringan, karena penelitian ini menggunakan takizoit T. gondii RH. Galur RH ini adalah jenis T. gondii yang sulit membentuk kista atau bradizoit di dalam organ/jaringan. Setelah pengamatan sampai hari ke-16 maka tidak ditemukan kematian pada mencit setelah pascainfeksi, hal ini menunjukkan bahwa pasteurisasi suhu tinggi waktu singkat (72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1-2 detik) pada susu mampu membunuh semua takizoit dalam susu. Dosis yang diinfeksikan dalam penelitian ini adalah 2.76 x 106 takizoit/ekor yang merupakan dosis tinggi. Takizoit umumnya berkembang secara cepat dalam rongga peritoneum dalam dosis tinggi serta dapat langsung menginvasi organ dan berada di dalam sistem sirkulasi dalam jumlah cukup tinggi sehingga dapat mengakibatkan kerusakan masif dalam waktu singkat. Perkembangan dalam
32 peritoneum dapat terjadi karena di dalam rongga peritoneum banyak terdapat makrofag dan limfosit yang merupakan sel target utama takizoit.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil inokulasi takizoit T. gondii RH mati pada susu pasteurisasi suhu 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1-2 detik.
33
7
PEMBAHASAN UMUM
Pasteurisasi Susu Low Temperature Long Time dan High Temperature Short Time Pasteurisasi pada suhu LTLT yaitu 63 ºC selama 30 menit dan HTST yaitu 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 2 detik memberikan hasil yang sama yaitu tidak ditemukan takizoit dalam cairan peritoneum mencit yang diinfeksi. Takizoit yang ada di dalam susu yang dipanaskan pada ketiga suhu ini telah mati. Menurut Lundén dan Uggla (1992) pemanasan pada suhu 50 ºC atau lebih, kemungkinan dapat membunuh kista (bradizoit) dalam daging kambing. Peneliti lain menunjukkan bahwa kista dalam jaringan dapat inaktif pada suhu -12 ºC selama beberapa hari (Kotula et al. 1991). Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 65 ºC selama 4 sampai 5 menit atau lebih, maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat (WHO 1979). Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan ayam) sebagai sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya pada suhu 66 ºC sampai matang sebelum dimakan (Chahaya 2003). Takizoit hanya ditemukan pada kelompok kontrol positif yaitu kelompok susu pasteurisasi dan takizoit yang tidak dipanaskan. Kelompok kontrol positif dinekropsi pada hari ke-5 pascainfeksi sebab, dikuatirkan akan terjadi kematian keesokan harinya sehingga takizoit tidak dapat dihitung karena sudah terkontaminasi dengan mikroba lainnya. Dosis yang diinfeksikan sebesar 2.76 x 106 takizoit/mencit merupakan dosis tinggi. Dosis ini dapat membunuh mencit tidak lebih dari 7 hari. Hal ini sesuai dengan penelitian Subekti et al. (2005) yaitu infeksi dengan dosis tinggi (5 x 106 takizoit/mencit) secara intraperitoneum menyebabkan kematian seluruh mencit pada hari ke-6 pasca infeksi, sebaliknya infeksi dengan dosis rendah (2.5 x 103 takizoit/mencit), maka seluruh mencit mengalami kematian setelah hari ke-9 pasca infeksi. Kematian yang cepat pada kelompok kontrol positif disebabkan jumlah takizoit yang tinggi dalam tubuh mencit diikuti dengan replikasi yang cepat sehingga jumlah takizoit semakin tinggi dan menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Kerusakan jaringan yang luas karena takizoit mampu menginfeksi leukosit dalam jumlah yang lebih besar dan menyebar serta menginfeksi sel-sel pada berbagai jaringan secara cepat. Menurut Jerome et al. (1998); Black dan Boothroyd (2000); Huynh et al. (2003) bahwa terjadinya deplesi leukosit dan kerusakan jaringan disebabkan keluarnya takizoit dari dalam sel setelah mengalami multiplikasi cepat yang sel menjadi pecah dan terdestruksi. Menurut Black dan Boothroyd (2000) bahwa satu takizoit yang menginfeksi satu sel akan berkembang menjadi 64-128 takizoit baru dalam kurun waktu 24 sampai 48 jam dan selanjutnya akan menghancurkan sel tersebut untuk keluar dan menginfeksi sel lain disekitarnya. Sebaliknya Hu et al. (2004) menyatakan bahwa dalam kurun waktu 24-48 jam takizoit intraseluler akan mencapai 256 atau lebih sebelum terjadi proses lisis. Jumlah tersebut jauh di atss jumlah sel yang bermitosis dalam periode waktu yang sama sehingga laju replikasi dan destruksi oleh takizoit lebih tinggi dibanding laju regeneratif sel.
34 Pada mitosis satu sel akan berkembang menjadi 64 sel baru dalam waktu 96 jam dengan rataan waktu belahan biner adalah 8 jam (Subekti et al. 2005). Penyebaran takizoit ke dalam sirkulasi darah, limpa dan paru-paru untuk T. gondii RH mulai terjadi 12 jam setelah infeksi intraperitonuem pada mencit (Mordue et al. 2001; Barragan dan Sibley 2002; Sibley et al. 2002). Umumnya jaringan yang segera diinvasi takizoit akan mengalami kerusakan parah adalah limpa, hati, pankreas, usus, kelenjar limfe, paru-paru dan otak (Mordue et al. 2001; Haziroglu et al. 2003). Kemampuan takizoit khususnya dari T. gondii tipe I untuk bermigrasi dan transmigrasi menembus jaringan secara aktif telah dilaporkan oleh Barragan dan Sibley (2002). Galur RH merupakan T. gondii tipe I yang memiliki kapabilitas tinggi dalam menembus jaringan dan melakukan migrasi dalam jarak yang cukup jauh (Barragan dan Sibley 2002). Kemampuan tersebut memungkinkan penyebaran ke berbagai organ dan jaringan yang cukup jauh dari lokasi infeksi baik secara aktif dengan pergerakan takizoit maupun secara pasif dengan memanfaatkan migrasi leukosit yang terinfeksi. Takizoit dapat berkembang cepat dalam rongga peritoneum dengan dosis tinggi karena di dalam rongga peritoneum banyak terdapat makrofag dan limfosit yang merupakan sel target utama takizoit.
Perbandingan Pasteurisasi Low Temperature Long Time dan High Temperature Short Time Susu kambing mulai digemari akhir-akhir ini, mengingat nutrisi yang dikandung dalam susu kambing dan manfaatnya bagi kesehatan manusia. Susu kambing yang dikonsumsi tanpa proses pemanasan terlebih dahulu, memiliki kandungan fluorine yang lebih tinggi dibandingkan susu kambing yang dimasak terlebih dahulu. Susu kambing ditenggarai memiliki antiseptik alami dan diduga dapat membantu menekan pertumbuhan bakteri dalam tubuh karena mengandung fluorine 10-100 kali lebih besar dari susu sapi. Susu kambing juga memiliki protein dan efek laksatifnya rendah, sehingga tidak menyebabkan diare bagi yang mengonsumsinya. Susu sebagai salah satu produk ternak mempunyai kandungan zat gizi yang lengkap seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin. Sifat zat gizi tersebut mudah dicerna dan diserap secara sempurna (Ressang dan Nasoetion 1989). Kondisi zat gizi yang baik pada susu tersebut juga memberi peluang yang baik pula bagi pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan berbagai mikroba tersebut akan mengubah mutu susu, ditandai dengan perubahan rasa, aroma, warna dan penampakan, yang akhirnya menyebabkan susu tersebut rusak (Punc dan Olson 1984). Untuk itu, susu perlu mendapatkan penanganan yang cepat sebelum rusak, antara lain melalui pasteurisasi. Metode pasteurisasi yang umum dilakukan pada susu ada dua cara, yaitu: low temperature long time (LTLT) yakni pasteurisasi pada suhu rendah 63 ºC selama 30 menit dan high temperature short time (HTST), yakni pemanasan pada suhu tinggi 72 ºC selama 15 detik (Hadiwiyoto 1983). Kandungan nutrisi dari kedua pemanasan ini tidak berbeda jauh. Rozi (1990) menyatakan bahwa kadar air setelah pasteurisasi dengan LTLT dan HTST tidak berbeda nyata, tetapi kadar air berbeda nyata pada lama penyimpanan. Ratih (1989), yang menemukan bahwa kadar lemak tidak berbeda nyata pada suhu
35 pasteurisasi. Rata-rata kadar lemak susu pasteurisasi dengan metode LTLT berkisar antara 3.63-4.10% dan metode HTST berkisar antara 3.40-4.86%. Menurut Adnan (1994), kadar lemak susu berkisar antara 2.5-8%, sedangkan menurut Packard dan Guin (1983), kadar lemak susu bervariasi antara 2.3-7.3%, bergantung pada bangsa hewan dan pakan. Kadar air setelah pasteurisasi dengan LTLT dan HTST tidak berbeda nyata, tetapi kadar air berbeda nyata pada lama penyimpanan. Menurut Tamine dan Deeth (1980), kadar protein susu pada pemanasan tertentu cenderung berubah. Rataan kadar protein susu pasteurisasi dengan metode LTLT berkisar antara 3.57-5.37%, sedangkan dengan metode HTST berkisar antara 3.67-4.33%. Hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa jumlah total mikroorganisme pada kedua suhu pasteurisasi tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata pada lama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pederson (1988), yang menyatakan bahwa suhu pasteurisasi tidak berbeda nyata terhadap jumlah bakteri. Perlakukan pasteurisasi baik dengan suhu 63 ºC selama 30 menit (LTLT) maupun dengan suhu 72 ºC selama 15 detik (HTST) mampu mengurangi jumlah total mikroorganisme dari jumlah total pada susu segar. Berdasarkan data di atas maka tidak ada alasan kalau susu kambing yang dipanaskan dapat mengurangi nutrisi, maka sebaiknya dilakukan pasteurisasi terhadap susu kambing segar sebelum dikonsumsi guna mencegah penularan toksoplasmosis ke manusia.
36
8
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Takizoit T. gondii RH mati pada susu pasteurisasi LTLT dengan suhu 63 ºC selama 30 menit. 2. Takizoit T. gondii RH mati pada susu pasteurisasi HTST dengan suhu 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1-2 detik.
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini maka diajukan beberapa saran yang perlu ditindaklanjuti yaitu: 1. Penting melakukan pasteurisasi susu kambing segar sebelum dikonsumsi guna pencegahan toksoplasmosis. 2. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang keberadaan T. gondii pada produk susu kambing seperti keju atau mentega yang berasal dari susu kambing segar tanpa pasteurisasi. 3. Perlunya pengembangan teknik diagnosa lapang yang cepat dan akurat untuk mendeteksi keberadaan T. gondii pada susu.
37
DAFTAR PUSTAKA Adnan M. 1994. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Ajzenberg D, Dumètre A, Dardé ML. 2005. Multiplex PCR for typing strains of Toxoplasma gondii. J Clin Microbiol. 43(4):1940-1943. Araujo FG, Williams DM, Grumet FC, Remington JS. 1976. Strain-dependent differences in murine susceptibility to toxoplasma. Infect Immunol. 13(5):1528–1530. Barragan A, Sibley LD. 2002. Transepithelial migration of Toxoplasma gondii is linked to parasite motility and virulence. J Exp Med. 195:1625-1633. [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan Bogor. 1996. Informasi Teknologi Budidaya, Pasca Panen dan Analisis UsahaTernak Kambing Perah. Bogor (ID): BPPT. Bonametti AM, Passos JN, Koga de Silva EM, Macedo ZS. 1997. Probable transmission of acute toxoplasmosis through breast feeding. J Trop Pediatr. 43:116. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Jakarta (ID): SNI Nomor 7388. Buxton D, Maley SW, Wright SE, Rodger S, Bartley P, Innes EA. 2007. Toxoplasma gondii and ovine toxoplasmosis: new aspects of an old story. J Vet Parasitol. 149:25–28. Camossia LG, Júniora HG, Corrêaa APFL, Pereiraa VBR, Silva RC, Da silva AV, Langonia H. 2011. Detection of Toxoplasma gondii DNA in the milk of naturally infected ewes. J Vet Parasitol. 177:256–261. Chabbert E, Lachaud L, Crobu L, Bastien P. 2004. Comparison of two widely used PCR primer systems for detection of Toxoplasma in amniotic fluid, blood and tissues. J Clin Microbiol. 42(4):1719-1722. Chahaya I. 2003. Epidemiologi Toxoplasma gondii. Bagian Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Medan (ID): USU Pr. Chandra G. 2001. Toxoplasma gondii: Aspek Biologi, Epidemiologi, Diagnosis, dan Penatalaksanaannya. Medika (5) XXVll. hlm 297-304. Chiari CA, Neves DP. 1984. Toxoplasmose humana adquirida através da ingestão de leite de cabra. Mem Inst Oswaldo Cruz. 79:337–340. Chiari CA, Lima WS, Antunes CMF, Lima JD. 1987. Soroepidemiologia da toxoplasmose caprina em minas gerais. Arq Bras Med Vet Zootec. 39:587–609. Cook AJC, Gilbert RE, Buffolano W, Zufferey J, Peterse E, Jenum PA, Foulon W, Semprini AE, Dunn DT. 2000. Sources of toxoplasmosis infection in pregnant women: European multicentre case-control study. BMJ. 32:142–147. Darde ML. 1996. Biodiversity in Toxoplasma gondii. Berlin (DE): Gross Univ Pr. Dharmojono H. 2001. Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Jakarta (ID): Milenia Populer. Dubey JP, Frenkel JK. 1976. Feline toxoplasmosis from acutely in fated mice and the development of toxoplasma cycts. J Protozoa. 23:534-541 . Dubey JP, Hoover EA. 1977. Attempted transmission of Toxoplasma gondii infection from pregnant cats to their kittens. J Am Vet Med Assoc. 170:538–540.
38 Dubey JB. 1981. Isolation encysted Toxoplasma gondii from musculature of mouse and pronghorn in Montana. J Am Vet Res. 42:126-127. Dubey JP, Beattie CP. 1988. Toxoplasmosis of Animals and Man. Boca Raton, Florida (US): CRC Pr. Dubey JP, Lappin MR, Thulliez P. 1995. Diagnosis of induced toxoplasmosis in neonatal cats. J Am Vet Med Assoc. 207:179–185. Dubey JP, Mattix ME, Lipscomb TP. 1996. Lesions of neonatally induced toxoplasmosis in cats. Vet Pathol. 33:290–295. Dubey JP. 1998. Re-examination of resistance of Toxoplasma gondii tachyzoites and bradyzoites to pepsin and trysin digestion. Parasitol. 116:43–50. Dubey JP. 1999. Toxoplasma gondii. Parasitol [internet]. [diunduh 20 Maret 2011]. Tersedia pada: http://www.medimicro chapter84.htm/. Dubey JP. 2009. Toxoplasmosis in sheep–the last 20 years. J Vet Parasitol. 163:1–14. Dumètre A, Dardé ML. 2003. How to detect Toxoplasma gondii oocysts in environmental samples. J FEMS Microbiol Rev. 27:651-661. Fauzan. 2011. Tingkat keamanan susu kambing pasteurisasi UD Atjeh live stock farm ditinjau dari aspek mikrobiologisnya [skripsi]. Banda Aceh (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1990. The technology of traditional milk products in developing countries. FAO Animal Production and Health Paper 85. Figueiredo JF, Silva DAO, Cabral DD, Mineo JR. 2001. Seroprevalence of Toxoplasma gondii infection in goats by the indirect haemagglutination, immunofluorescence and immunoenzymatic test in the region of uberlândia, Brazil. Mem Inst Oswaldo Cruz. 96(5):687-692. Forsythe SJ, Hayes PR. 1998. Food Hygiene, Microbiology and HACCP. 3rd ed. Gaithersburg, Maryland (US): Aspen. Frazier WC, Westhoff DC. 1979. Food Microbiology. 4th ed. Singapore (SG): McGraw-Hill Pr. Frenkel JK, Dubey JP. 1972. Toxoplasmosis and its prevention in cats and man. J Infect Dis. 126:664-673. Fusco G, Rinaldi L, Guarino A, Proroga YTR, Pesce A, Giuseppina DM, Cringoli G. 2007. Toxoplasma gondii in sheep from the Campania region (Italy). J Vet Parasitol. 149:271–274. Gaman PM, Sherrington KB. 1992. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Gandahusada S. 1992. Diagnosis dan penatalaksanaan toksoplasmosis. Parasitologi Indones. 5(1):7-13. Gandahusada S, Ilahude HHD, Pribadi W. 2002. Parasitologi Kedokteran. Ed ke3. Jakarta (ID): UI Pr. Goldsmid J, Speare R, Bettiol S. 2003. The Parasitology of Food. Foodborne microorganism of public health significance. New South Wales (AU): Australian Institute of Food Science & Technology. hlm 705-21. Grigg ME, Boothroyd JC. 2001. Rapid identification of virulent type I strains of protozoan pathogen Toxoplasma gondii by PCR restriction fragment length polymorphism analysis at the B1 gene. J Clin Microbiol. 39(1):398-400.
39 Hadiwiyoto. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Yogyakarta (ID): Liberty Pr. Hartati S. 1992. Prevalensi Toksoplasmosis secara Serologis pada Sapi Perah di Yogyakarta. Volume 2. Bogor (ID): Balitbang Pr. hlm 436-441. Haziroglu R, Altintas K, Atasever A, Gulbahar MY, Tunca OKR. 2003. Pathological and immuno-histochemical studies and rabbits experimentally infected with Toxoplasma gondii. J Anim Sci. 27:285-293. Hiramoto RM, Mayrbaurl MB, Galisteo AJ, Meireles LR, Macre MS, Andrade HF. 2001. Infectivity of cystis of the ME-49 Toxoplasma gondii strain in bovine milk and homemade cheese. Rev Saude Publica. 35:113-118. Howe DK, Sibley LD. 1995. Toxoplasma gondii comprises three clonal lineages: correlation of parasite genotype with human disease. J Infect Dis. 172:15611566. Hu K, Roos DS, Angel SO, Murray JM. 2004. Variability and heritability of cell division pathways in Toxoplasma gondii. J Cell Sci. 117:5697-5705. Huynh M, Rabenau KE, Harper JM, Baetty WL, Sibley LD, Carruthers VB. 2003. Rapid invasion of host cells by Toxoplasma gondii requires secretion of the MIC2-M2AP adhesive protein complex. J EMBO. 22:2082-2090. Indrawati A. 2002. Toksoplasmosis, Aspek Kesehatan dan Penatalaksanaannya. [diunduh 20 Maret 2011]. Tersedia pada: http://rudyct.250x.com/sem1_012/ agustin_indrawati.htm. Iskandar T, Partoutomo S, Beriajaya, Pratomo HW. 1996. Studi toksoplasmosis pada domba dan kambing di RPH Jakarta. Temu Ilmiah Nasional Veteriner; 1996 Maret 12-13; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Badan Litbang Pertanian. hlm 205-208. Iskandar T. 1999. Tinjauan tentang toksoplasmosis pada hewan dan manusia. Wartazoa. 8(2):58-63. Jacobs L, Remington JS, Melton ML. 1960. A survey of meat samples from swine, cattle and sheep for the presence of encysted Toxoplasma gondii. J Parasitol. 46:23-26 . Jenum P, Straypedersen B. 1998. Development of specific immunoglobulins G, M, and A following primary Toxoplasma gondii infection in pregnant women. J Clin Microbiol. 36(10):2907-2913. Jerome ME, Radke JR, Bohne W, Roos DS, White MW. 1998. Toxoplasma gondii bradyzoites form spontaneously during sporozoites initiated development. J Infect and Immun. 66(10):4838-4844. Jittapalapong S, Sangvaranond A, Pinyopanuwat N, Chimnoi W, Khachaeram W, Koizumi S, Maruyama S. 2005. Seroprevalence of Toxoplasma gondii infection in domestic goats in Satun Province, Thailand. J Vet Parasitol. 127:895–901. Jones CD, Okhravi N, Adamson P, Tasker S, Lightman S. 2000. Comparison of PCR detection methods for B1, P30 and 18S rDNA genes of Toxoplasma gondii in aqueous humor. Invest Ophthal Vis Sci. 41:634-644. Jones J, Lopez A, Wilson M. 2003. Toxoplasmosis congenital. [diunduh 15 Mei 2003]. Tersedia pada: http://www.aafp.org/afp/ 20030515/2131.html. Kijlstra A, Jongert E. 2008. Control of the risk of human toxoplasmosis transmitted by meat. Int J Parasitol. 38:1359-1370.
40 Kotula AW, Dubey JP, Sharar AK, Andrews CD, Shen SK, Lindsay DS. 1991. Effect of freezing on infectivity of Toxoplasma gondii tissue cysts in pork. J Food Protection. 54:687-690. Krahenbuhl JL, Remington JS. 1982. Immunology of Parasitic Infection. 2nd ed. Oxford (GB): Blackwell and Scientic Pr. Lake R, Hudson A, Cressey P. 2002. Risk Profile: Toxoplasma gondii in Red Meat and Meat Products. Christchurch (NZ): Christchurch Science Centre Pr. Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Lin MH, Chen TC, Kuo TT, Tseng CC, Tseng CP. 2000. Real time PCR for quantitative detection of Toxoplasma gondii. J Clin Microbiol. 38(11):41214125. Lundén A, Uggla A. 1992. Infectivity of Toxoplasma gondii in mutton following curing, smoking, freezing or microwave cooking. Int J Food Microbiol. 15:357-363. Marcin T, Gorecki, Andrzejewska I, Steppa R. 2007. Order of voluntarily entrance to milking parlour related to Toxoplasma gondii infection in sheep. Appl Anim Behav Sci. 110:392-396. Matsuo K. 1996. Survei serologik antibodi Toxoplasma gondii dengan uji aglutinasi lateks pada ayam di Propinsi Lampung. J Ilmu Ternak Vet. 1(2):7375. Meerburg BG, Van Riel JW, Cornelissen JB, Kijlstra A, Mul MF. 2006. Cats and goat whey associated with Toxoplasma gondii infection in pigs. Vector Borne and Zoonotic Diseases. hlm 6(3):266–274. Menotti J, Vilela G, Romand S, Garin YJF, Ades L, Gluckman E, Derouin F, Ribaud P. 2003. Comparison of PCR-enzyme linked immunosorbent assay and real time PCR assay for diagnosis of an unusual case of cerebral toxoplasmosis in a stem cell transplant recipient. J Clin Microbiol. 41(11):5313-5316. Moeljanto, Damayanti R, Wiryanta BT. 2002. Khasiat dan Manfaat Susu Kambing. Depok (ID): Agromedia Pustaka Pr. Mordue DG, Monroy F, Regina ML, Dinarello CA, Sibley LD. 2001. Acute toxoplasmosis leads to lethal overproduction of the cytokines. J Immunol. 167:4574-4584. Omata Y, Oikawa H, Kanda M, Mikazuki K, Dilorenzo C, Claveria FG, Takahashi M, Igarashi I, Saito A, Suzuki N. 1994. Transfer of antibodies to kittens from mother cats chronically infected with Toxoplasma gondii. Vet Parasitol. 52:211-218. Packard VS, Guin RE. 1983. The influence of previous treatment on accuracy of milk fat analysis determined. J Milk Food Technol. 36(1):28-29. Pettersen EK. 1984. Transmission of toxoplasmosis via milk from lactating mice. J APMIS. 92:175-176. Pederson CS. 1988. Microbiology of Food Fermentation. Connecticut (US): The Avi Publishing Co. hlm 81-82. Pietkiewietz H, Hiszezynska-Sawicka E, Kur J, Petersen E, Nielsen HV, Stankiewiez M, Andrzejewska I, Myjak P. 2004. Usefulness of Toxoplasma gondii specific recombinant antigens in serodiagnosis of human toxoplasmosis. J Clin Microbiol. 42(4):1779-1781.
41 Powell CC, Lappin MR. 2001. Ocular toxoplasmosis in neonatal kittens. Vet Ophthal. 4:87-92. Punc ID, Olson JC. 1984. Comparison between standard methods procedure and surface plate method for estimating psychrophylic bacteria in milk. J Milk Food Technol. 37(2):101-103. Purnomo H, Adiono. 1987. Ilmu Pangan. Cetakan Pertama. Jakarta (ID): UI Pr. Ratih. 1989. Pengaruh metode pasteurisasi dan pengemasan terhadap mutu susu selama penyimpanan [skripsi]. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. Remington JS, Desmonts G. 1983. Infectious Diseases of the Fetus and Newborn Infant. London (GB): WB Saunders. Remington JS, Thulliez P, Montoya JG. 2004. Minireview: Recent developments for diagnosis toxoplasmosis. J Clin Microbiol. 42(3):941-945. Rennie DM. 1989. Food Control in Environmental Health. Boston (US): Butterworths Pr. Ressang AA, Nasoetion AM. 1989. Pedoman Mata Pelajaran Ilmu Kesehatan Susu. Jakarta (ID): Universitas Sebelas Maret Pr. Riemann HP, Meyer ME, Theis JH, Kelso G, Behymer DE. 1975. Toxoplasmosis in an infant fed unpasteurized goat milk. J Pediatr. 87:573-576. Robben PM, Mordue DG, Truscott SM, Takeda K, Akira S, Sibley LD. 2004. Production of IL-12 by macrophages infected with Toxoplasma gondii depends on the parasite genotype. J Immunol. 172:3686-3694. Roghmann MC, Faulkner CT, Lefkowitz A, Patton S, Zimmerman J, Morris JR. 1999. Decreased seroprevalence for Toxoplasma gondii in sevent day adventists in maryland. J Am Trop Med Hyg. 60(5):790-792. Rozi A. 1990. Pengaruh pasteurisasi metode HTST terhadap masa simpan susu sapi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sacks JJ, Roberto RR, Brooks NF. 1982. Toxoplasmosis infection associated with raw goat’s milk. J Am Vet Med Assoc. 248:1728-1732. Sasmita R, Ernawati R, Samsuddin M. 1988. Insiden toksoplasmosis pada babi dan kambing di RPH Surabaya. J Parasitol Indones. 2:71-75. Schwab KJ, Mcdevitt JJ. 2003. Development of a PCR-enzyme immunoassay oligoprobe detection method for Toxoplasma gondii oocysts, incorporating PCR controls. App Env Microbiol. 69(10):5819-5825. Sciammarella J. 2001. Toxoplasma gondii. [diunduh 8 Juli 2002]. Tersedia pada: http://www.emedicine.com/. Shakespeare M. 1998. Zoonoses. London (GB): Pharmaceutical Pr. Shrestha JNB, Fahmy MH. 2005. Breeding goats for meat production: a review. Small Rumin Res. 58:93-106. Sibley LD, Howe DK. 1996. Genetic Basis of Pathogenicity in Toxoplasmosis. Berlin (DE): Gross Univ Pr. Sibley LD, Mordue DG, Su C, Robben PM, Howe DK. 2002. Genetic approaches to studying virulence and pathogenesis in Toxoplasma gondii. Genetic resources, management and breed evolution. London (GB): Trans R Soc. hlm 357:81-88. Siegmund OH. 1979. Toxoplasmosis. 5th ed. New York (US): Merck Veterinary Mannual and Co. hlm 466-469.
42 Simmon A, Labalette P, Ordinaire I, Fréalle E, Di-cas E, Camus D, Delhaes L. 2004. Use of fluorescence resonance energy transfer hybridization probes to evaluate quantitative real time PCR for diagnosis of ocular toxoplasmosis. J Clin Microbiol. 42(8):3681-3685. Skinner LJ, Timperley AC, Wightman D, Chatterton JMW, Ho-Yen DO. 1990. Simultaneous diagnosis of toxoplasmosis in goats and goatowner’s family. J Infect Dis. 22:359-361. Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta (ID): Kanisius. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domestic Animals. 7th ed. London (GB): Balliere Tindall. Spalding SM, Amendoeira MRR, Klein CH, Ribeiro LA. 2005. Serological screening and toxoplasmosis exposure factors among pregnant women in south of Brazil. Rev Soc Bras Med Trop. 38:173-177. Su C, Howe DK, Dubey JP, Ajioka JW, Sibley LD. 2002. Identification of quantitative trait loci controlling acute virulence in Toxoplasma gondii. PNAS. 9:10753-10758. Subekti DT, Iskandar T, Sari ESP, Ratih D, Haerlani R, Diani EF, Widyastuti DR. 2005. Leukositopenia pada mencit setelah diinfeksi Toxoplasma gondii dosis tinggi dan dosis rendah. J Bio Indon. 10:420-430. Subekti DT, Arrasyid NK. 2006. Imunopatogenesis Toxoplasma gondii berdasarkan perbedaan galur. Wartazoa. 16(3):128-145.. Subekti DT. 2008. Tinjauan terhadap toksoplasmosis dan resikonya pada manusia. Prosiding KIVNAS X PDHI tanggal 19-22 Agustus 2008; Bogor, Indonesia. Suhardjo, Utomo PT, Agni AN. 2003. Clinical manifestations of ocular toxoplasmosis in Yogyakarta, Indonesia: a clinical review of 173 cases. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 34(2):291-297. Tamine AY, Deeth HC. 1980. Yoghurt technology and biochemistry. J Food Protection. 43(12):939-977. Tenter AM, Heckeroth AR, Weiss LM. 2000. Toxoplasma gondii from animals to humans. Int J Parasitol. 30:1217-1258. Tenter AM. 2009. Toxoplasma gondii in animals used for human consumption. Mem Inst Oswaldo Cruz. 104: 364-369. Terazawa A, Muljono R, Susanto L, Margono SS, Konishi E. 2003. High toxoplasma antibody prevalence among inhabitants in Jakarta, Indonesia. J Infect Dis. 56:107-109. Vidal JE, Colombo FA, De oliveira ACP, Focaccia R, Pereira chioccola VL. 2004. PCR assay using cerebrospinal fluid for diagnosis of cerebral toxoplasmosis in Brazilian AIDS patients. J Clin Microbiol. 42(10):4765-4768. Walstra P, Geurts TJ, Noomen A, Jellema A, Van Boekel MAJS. 1999. Dairy Technology Principles of Milk Properties and Processes. 1st Ed. New York (US): Marcel Dekker. hlm 752. Weiss LM, Dubey JP. 2009. Toxoplasmosis: a history of clinical observations. Int J Parasitol. 39:895-901. [WHO] World Health Organization. 1979. Parasitic Zoonoses. Report of A WHO Expert Committee With The Participation of FAO. WHO Technical Report Series 637:35. New York (US): WHO publicaton center.
43 Wu L. 2013. Ophthalmologic manifestations of toxoplasmosis. Medscape. [diunduh 27 Maret 2013]. Tersedia pada: http://emedicine.medscape.com/article/2044905-overview.
44 Lampiran 1 Publikasi jurnal internasional
45
46
47
48
49 Lampiran 2 Surat keterangan telah diterima oleh jurnal nasional
50 Lampiran 3 Draft jurnal nasional
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62 Lampiran 4 Formulir ACUC
KOMISI PENGAWASAN KESEJAHTERAAN DAN PENGGUNAAN HEWAN PENELITIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Animal Care and Use Committee (ACUC) Jalan Agatis, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680. Telp/Fax: (0251) 8425503
FORMULIR APLIKASI PEMELIHARAAN DAN PENGGUNAAN HEWAN/JARINGAN HEWAN UNTUK PENELITIAN/PENGUJIAN/PELATIHAN Bagian I: Pernyataan Peneliti Utama 1. Pernyataan dan tanda tangan Peneliti Utama: Saya, yang bertanda tangan di bawah ini: a. Telah mengerti peraturan di RUMAH SAKIT HEWAN IPB dalam penggunaan hewan/jaringan hewan untuk tujuan penelitian/pelatihan/uji. b. Peneliti Utama bertanggung jawab atas semua prosedur yang dilakukan oleh personil yang terlibat pada penelitiannya; bertanggung jawab melibatkan individual yang memiliki kualifikasi, pengalaman, dan pelatihan yang memadai untuk melakukan prosedur yang akan dilakukan pada penelitian ini, dan hewan yang akan digunakan. c. Semua prosedur yang dilakukan pada penelitian ini akan dilakukan sesuai yang tercantum pada protokol yang telah di approved/disahkan oleh ACUC. Addendum akan diberikan pada ACUC RUMAH SAKIT HEWAN IPB, jika ada perubahan dalam prosedur. Dan tidak akan ada prosedur baru, yang tidak tercantum dalam protokol yang telah di approved, dilakukan sebelum approval atas addendum.
Bogor, 31 Agustus 2012 Penanggungjawab/Peneliti Utama Rismayani Saridewi
Alamat dan nomor Peneliti Utama: Institusi : Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Reg III Lampung Alamat : Jln. Untung Suropati No.2, Kelurahan Labuhan Ratu, Kedaton, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung Telepon : 0721-772894 Fax : 0721-772894 Email :
[email protected]
63 Bagian II: Narasi Prosedur Mohon dijelaskan secara singkat, tetapi spesifik, berdasarkan pertanyaan berikut ini. Judul: Daya Tahan Hidup Toxoplasma gondii dalam Susu Kambing dengan Pasteurisasi Suhu Rendah Waktu Lama dan Suhu Tingi Waktu Singkat II.1. Tujuan Prosedur: Penelitian Pelatihan/ Training Produksi Antibodi Penangkaran/ Pengembangbiakan Veterinary Care, atau Pemeliharaan Hewan, atau Health Surveillance Lainnya (sebutkan): __________________________________________ II.2.
Lay Summary
Mohon dijelaskan latar belakang scientific and tujuan penelitian, serta hipotesis dari penelitian. Latar belakang Gejala klinis toksoplasmosis pada manusia telah dihubungkan dengan konsumsi susu kambing tanpa pasteurisasi (Riemann et al. 1975; Sacks et al. 1982; De Andrade Chiari dan Pereira Neves 1984; Skinner et al. 1990). Bagaimanapun, hal ini tidak berlaku untuk semua jenis susu, hanya khusus susu mentah (Tenter 2009). Takizoit dari Toxoplasma gondii telah ditemukan pada beberapa jenis susu (Dubey dan Beattie 1988). Transmisi toksoplasmosis melalui susu yang tidak dipasteurisasi, atau keju yang berasal dari susu tanpa pasteurisasi, merupakan salah satu sumber penularan toksoplasmosis (Hiramoto et al. 2001). Toxoplasma gondii pada susu dapat dideteksi melalui uji PCR (Dubey 1998). Uji ini tidak dapat membedakan Toxoplasma gondii yang ditemukan dalam keadaan hidup atau mati. Penelitian ini menggunakan mencit sebagai hewan coba, yaitu untuk membuktikan kemampuan hidup Toxoplasma gondii pada suhu pasteurisasi susu. Pasteurisasi dilakukan pada susu kambing yang telah diberi isolat Toxoplasma gondii dengan suhu rendah dan waktu lama (low temperature long time), yaitu 63 ºC selama 30 menit serta dengan suhu tinggi dan waktu singkat (high temperature short time) yaitu 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1 sampai 2 detik. Sejauh ini belum ada penelitian tentang kemampuan hidup takizoit dalam susu pasteurisasi, karena Dubey (1998) hanya menemukan DNA Toxoplasma gondii pada susu melalui uji PCR yang sumber infeksinya belum diketahui berasal dari induk atau kontaminasi. Pemeriksaan takizoit pada susu secara PCR adalah deteksi DNA. Takizoit yang terkandung di dalam susu tidak diketahui masih hidup atau sudah mati. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian ini untuk mengetahui apakah takizoit masih dapat hidup dalam susu dengan suhu pasteurisasi, sebab
64 takizoit yang hidup kemungkinan masih dapat menyebabkan infeksi dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan daya tahan hidup Toxoplasma gondii dalam susu yang dipasteurisasi dengan suhu 63 ºC selama 30 menit, 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1 sampai 2 detik, dengan melihat keberadaan takizoit di dalam cairan peritoneum mencit. Hipotesis a. Toxoplasma gondii akan mati semua dalam susu pasteurisasi pada suhu 63 ºC selama 30 menit. b. Toxoplasma gondii masih ditemukan hidup dalam susu pasteurisasi pada suhu 72 ºC selama 15 detik. c. Toxoplasma gondii masih ditemukan hidup dalam susu pasteurisasi pada suhu 85 ºC selama 1 sampai 2 detik. II.3.
Deskripsi and Prosedur
Mohon dijelaskan secara rinci dan jelas semua prosedur yang dilakukan terhadap setiap hewan penelitian/ jaringan, termasuk design penelitian dan metoda. Penelitian dilakukan mulai April 2012 sampai Desember 2012 di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) Bogor, laboratorium Kesmavet FKH IPB, laboratorium terpadu FKH IPB dan Rumah Sakit Hewan IPB. Adapun prosedur penelitian yang dilakukan sebagai berikut : Setiap kelompok menggunakan mencit sebanyak 5 ekor, ditambah 2 ekor mencit dalam setiap kelompok (kecuali Kontrol negatif ) sebagai sentinel untuk pengambilan cairan peritoneum. Mencit sentinel digunakan dalam pemeriksaan cairan peritoneum pada hari ke-3, 7, 11, 15, dan 19. Tujuan penggunaan mencit sentinel ini adalah mengurangi stress dan kekeliruan kematian antara yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii atau akibat pengambilan cairan peritoneum yang berulang pada kelompok mencit yang diteliti, sehingga mencit sentinel ini dapat mewakili untuk melihat keberadaan Toxoplasma gondii dari mencit-mencit lainnya. a. Sampel susu dan Toxoplasma gondii konsentrasi 105-6 Susu kambing segar, masing-masing sebanyak 100 ml ditambahkan masing-masing 1 ml isolat Toxoplasma gondii konsentrasi 105-6 dan dihomogenkan dengan vorteks. Selanjutnya masing-masing susu dipasteurisasi dengan suhu 63 ºC selama 30 menit, 72 ºC selama15 detik dan 85 ºC selama 1 sampai 2 detik. Masing-masing 0.3 ml sampel susu diinfeksikan pada mencit secara intra peritoneum untuk setiap suhu
65 pasteurisasi. Mencit-mencit yang telah terinfeksi dipelihara dalam kandang pemeliharaan dan diberi makan serta minum ad libitum. Pemeriksaan cairan peritoneum mencit dilakukan pada 2 ekor mencit sentinel, dimulai pada hari ke-3, ke-7, ke-11, ke-15 dan ke-19 setelah infeksi secara natif. Cairan peritoneum diambil sedikit dengan menggunakan spuit insulin 1 ml pada hari ke-3, ke-7 dan ke-11 dari 1 ekor mencit sentinel yang mewakili setiap Kelompok perlakuan. Selanjutnya cairan tersebut diteteskan di atas kaca preparat dan ditutupi kaca penutup untuk diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Lalu pada hari ke-15 dan ke-19 diambil cairan peritoneum dari 1 ekor mencit sentinel yang lain untuk dilakukan pemeriksaan yang sama seperti hari ke-3, 7 dan 11. Hasil positif ditandai dengan ditemukannya takizoit dalam cairan peritoneum, sedangkan hasil negatif tidak ditemukan takizoit dalam cairan peritoneum. Selanjutnya pada hari terakhir kesemua mencit diperiksa cairan peritoneumnya. Kemudian mencit positif dieutanasi dengan melakukan pembiusan terlebih dahulu menggunakan kapas yang diberi eter dan dimasukkan ke dalam stoples tertutup. Setelah mencit mati, segera dilakukan nekropsi dengan mengambil cairan peritoneum. Bagan alur metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
66 @100 ml susu kambing segar + 1 ml Toxoplasma gondii konsentrasi 105-6 dipasteurisasi
63 ºC; 30 menit
72 ºC; 15 detik
85 ºC; 1 sampai 2 detik
Diinfeksikan secara intra peritoneum @ 0.3 ml
7 ekor mencit
7 ekor mencit
7 ekor mencit
Cairan peritoneum diperiksa dari 2 ekor sentinel pada hari ke-3, 7, 11, 15, 19
Cairan peritoneum diperiksa dari 2 ekor sentinel pada hari ke-3, 7, 11, 15, 19
Cairan peritoneum diperiksa dari 2 ekor sentinel pada hari ke-3, 7, 11, 15, 19
Positif
Positif
Positif
Cairan peritoneum diperiksa dari 5 ekor
Cairan peritoneum diperiksa dari 5 ekor
Cairan peritoneum diperiksa dari 5 ekor
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Gambar 1 Bagan alur susu dan Toxoplasma gondii konsentrasi 105-6 b. Sampel susu dan Toxoplasma gondii konsentrasi 103-4 Susu kambing segar, masing-masing sebanyak 100 ml ditambahkan masing-masing 1 ml isolat Toxoplasma gondii konsentrasi 103-4 dan dihomogenkan dengan vorteks. Selanjutnya masing-masing susu dipasteurisasi dengan suhu 63 ºC selama 30 menit, 72 ºC selama15 detik dan 85 ºC selama 1 sampai 2 detik. Masing-masing 0.3 ml sampel susu diinfeksikan pada mencit secara intra peritoneum untuk setiap suhu pasteurisasi. Mencit-mencit yang telah terinfeksi dipelihara dalam kandang pemeliharaan dan diberi makan serta minum ad libitum. Pemeriksaan cairan peritoneum mencit dilakukan pada 2 ekor mencit sentinel, dimulai pada hari ke-3, ke-7, ke-11, ke-15 dan ke-19 setelah infeksi secara natif. Cairan peritoneum diambil sedikit dengan menggunakan spuit insulin 1 ml pada hari ke-3, ke-7 dan ke-11 dari 1 ekor mencit sentinel yang mewakili setiap Kelompok perlakuan. Selanjutnya cairan tersebut diteteskan di atas
67 kaca preparat dan ditutupi kaca penutup untuk diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Lalu pada hari ke-15 dan ke-19 diambil cairan peritoneum dari 1 ekor mencit sentinel yang lain untuk dilakukan pemeriksaan yang sama seperti hari ke-3, 7 dan 11. Hasil positif ditandai dengan ditemukannya takizoit dalam cairan peritoneum, sedangkan hasil negatif tidak ditemukan takizoit dalam cairan peritoneum. Selanjutnya pada hari terakhir kesemua mencit diperiksa cairan peritoneumnya. Kemudian mencit positif dieutanasi dengan melakukan pembiusan terlebih dahulu menggunakan kapas yang diberi eter dan dimasukkan ke dalam stoples tertutup. Setelah mencit mati, segera dilakukan nekropsi dengan mengambil cairan peritoneum. Bagan alur metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
@100 ml susu kambing segar + 1 ml Toxoplasma gondii konsentrasi 103-4 dipasteurisasi
63 ºC; 30 menit
72 ºC; 15 detik
85 ºC; 1-2 detik
Diinfeksikan secara intra peritoneum @ 0.3 ml
7 ekor mencit
7 ekor mencit
Cairan peritoneum diperiksa dari 2 ekor sentinel pada hari ke-3, 7, 11, 15, 19
Cairan peritoneum diperiksa dari 2 ekor sentinel pada hari ke-3, 7, 11, 15, 19
Cairan peritoneum diperiksa dari 2 ekor sentinel pada hari ke-3, 7, 11, 15, 19
Positif
Positif
Positif
Cairan peritoneum diperiksa dari 5 ekor lagi
Negatif
Positif
Cairan peritoneum diperiksa dari 5 ekor lagi
Negatif
Positif
7 ekor mencit
Cairan peritoneum diperiksa dari 5 ekor lagi
Negatif
Gambar 2 Bagan alur susu dan Toxoplasma gondii konsentrasi 103-4
Positif
68 c. Kontrol positif dengan Toxoplasma gondii konsentrasi 105-6 Susu kambing segar sebanyak 100 ml ditambahkan 1 ml isolat Toxoplasma gondii konsentrasi 105-6 dan dihomogenkan dengan vorteks. Kemudian 0.3 ml sampel susu diinfeksikan pada 7 ekor mencit secara intra peritoneum. Mencit-mencit yang telah terinfeksi dipelihara dalam kandang pemeliharaan dan diberi makan serta minum ad libitum. Pemeriksaan cairan peritoneum mencit dilakukan pada 2 ekor mencit sentinel, dimulai pada hari ke-3, ke-7, ke-11, ke-15 dan ke-19 setelah infeksi secara natif. Cairan peritoneum diambil sedikit dengan menggunakan spuit insulin 1 ml pada hari ke-3, ke-7 dan ke-11 dari 1 ekor mencit sentinel yang mewakili setiap Kelompok perlakuan. Selanjutnya cairan tersebut diteteskan di atas kaca preparat dan ditutupi kaca penutup untuk diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Kemudian pada hari ke-15 dan ke-19 diambil cairan peritoneum dari 1 ekor mencit sentinel yang lain untuk dilakukan pemeriksaan yang sama seperti hari ke-3, 7 dan 11. Hasil positif ditandai dengan ditemukannya takizoit dalam cairan peritoneum, sedangkan hasil negatif tidak ditemukan takizoit dalam cairan peritoneum. Lalu pada hari terakhir kesemua mencit diperiksa cairan peritoneumnya. Selanjutnya mencit positif dieutanasi dengan melakukan pembiusan terlebih dahulu menggunakan kapas yang diberi eter dan dimasukkan ke dalam stoples tertutup, setelah mencit mati, segera dilakukan nekropsi dengan mengambil cairan peritoneum. Bagan alur metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
@100 ml susu kambing segar + 1 ml Toxoplasma gondii konsentrasi 105-6
7 ekor mencit Cairan peritoneum diperiksa dari 2 ekor sentinel pada hari ke-3, 7, 11, 15, 19 Positif Cairan peritoneum diperiksa dari 5 ekor lagi
Negatif
Positif
Gambar 3 Bagan alur kontrol positif dengan Toxoplasma gondii konsentrasi 105-6
69 d. Kontrol positif dengan Toxoplasma gondii konsentrasi 103-4 Susu kambing segar sebanyak 100 ml ditambahkan 1 ml isolat Toxoplasma gondii konsentrasi 103-4 dan dihomogenkan dengan vorteks. Kemudian 0.3 ml sampel susu diinfeksikan pada 7 ekor mencit secara intra peritoneum. Mencit-mencit yang telah terinfeksi dipelihara dalam kandang pemeliharaan dan diberi makan serta minum ad libitum. Pemeriksaan cairan peritoneum mencit dilakukan pada 2 ekor mencit sentinel, dimulai pada hari ke-3, ke-7, ke-11, ke-15 dan ke-19 setelah infeksi secara natif. Cairan peritoneum diambil sedikit dengan menggunakan spuit insulin 1 ml pada hari ke-3, ke-7 dan ke-11 dari 1 ekor mencit sentinel yang mewakili setiap Kelompok perlakuan. Selanjutnya cairan tersebut diteteskan di atas kaca preparat dan ditutupi kaca penutup untuk diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Kemudian pada hari ke-15 dan ke-19 diambil cairan peritoneum dari 1 ekor mencit sentinel yang lain untuk dilakukan pemeriksaan yang sama seperti hari ke-3, 7, dan 11. Hasil positif ditandai dengan ditemukannya takizoit dalam cairan peritoneum, sedangkan hasil negatif tidak ditemukan takizoit dalam cairan peritoneum. Selanjutnya pada hari terakhir kesemua mencit diperiksa cairan peritoneumnya. Selanjutnya mencit positif dieutanasi dengan melakukan pembiusan terlebih dahulu menggunakan kapas yang diberi eter dan dimasukkan ke dalam stoples tertutup, setelah mencit mati, segera dilakukan nekropsi dengan mengambil cairan peritoneum. Bagan alur metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
@100 ml susu kambing segar + 1 ml Toxoplasma gondii konsentrasi 103-4
7 ekor mencit Cairan peritoneum diperiksa dari 2 ekor sentinel pada hari ke-3, 7, 11, 15, 19 Positif Cairan peritoneum diperiksa dari 5 ekor lagi
Negatif
Positif
Gambar 4 Bagan alur kontrol positif dengan Toxoplasma gondii konsentrasi 103-4
70 e. Kontrol negatif Susu kambing segar, masing-masing sebanyak 100 ml dipasteurisasi dengan suhu 63 ºC selama 30 menit, 72 ºC selama15 detik dan 85 ºC selama 1 sampai 2 detik. Masing-masing 0.3 ml sampel susu diinfeksikan pada mencit secara intra peritoneum untuk setiap suhu pasteurisasi. Mencit-mencit yang telah terinfeksi dipelihara dalam kandang pemeliharaan dan diberi makan serta minum ad libitum. Pemeriksaan cairan peritoneum mencit dilakukan dari 1 ekor mencit pada hari ke-19 setelah infeksi secara natif. Cairan peritoneum diambil sed ikit dengan menggunakan spuit insulin 1 ml. Selanjutnya cairan tersebut diteteskan di atas kaca preparat dan ditutupi kaca penutup untuk diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Kemudian 1 ekor mencit negatif dieutanasi dengan melakukan pembiusan terlebih dahulu menggunakan kapas yang diberi eter dan dimasukkan ke dalam stoples tertutup. Setelah mencit mati, segera dilakukan nekropsi dengan mengambil cairan peritoneum. Bagan alur metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
@100 ml susu kambing segar dipasteurisasi
63 ºC; 30 menit
72 ºC; 15 detik
85 ºC; 1 sampai 2 detik
Diinfeksikan secara intra peritoneum @ 0.3 ml
5 ekor mencit Cairan peritoneum diperiksa dari 1 ekor mencit pada hari ke-19
5 ekor mencit Cairan peritoneum diperiksa dari 1 ekor mencit pada hari ke-19
5 ekor mencit Cairan peritoneum diperiksa dari 1 ekor mencit pada hari ke-19
Gambar 5 Bagan alur susu dan Toxoplasma gondii konsentrasi 103-4
71 II.4. Hewan Penelitian/Uji/Pelatihan Tabel II. 4. Identifikasi hewan Spesies: Mencit Breed/ Strain/ Stock (jika ada): ddy Umur Sex 4 - 5 minggu jantan
Berat ± 20 gram
Jumlah 71 ekor
II. 5. Justifikasi Jumlah Hewan Mohon dijelaskan alasan jumlah hewan yang digunakan/jumlah hewan ditentukan dan metoda yang digunakan. Jumlah hewan yang digunakan sebanyak 71 ekor mencit. Metoda yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dan data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif. II.6. Kualifikasi Personel Mohon disebutkan semua personel yang akan terlibat dalam prosedur penelitian yang melibatkan hewan/jaringan. Tabel II.6. Data pendamping peneliti Nama
Pendidikan
Didik Tulus Dokter hewan Subekti Magister Sains
Peranan dalam Training, dan penelitian pengalaman bekerja dengan hewan yang digunakan/prosedur yang dilakukan (lamanya) Pendamping di 12 tahun laboratorium
Jika ada personel yang belum pernah terlibat dalam prosedur yang akan dilakukan, atau mendapatkan training, atau bekerja dengan species yang akan digunakan, mohon sebutkan. Terutama untuk prosedur yang menyangkut penggunaan hewan Primata dan “Occupational Health and Safety”. Section III: Pertimbangan Etik III.1.
Hewan Penelitian Mohon dijelaskan, alasan penggunaan spesies/jaringan, sehingga digunakan sebagai model atau objek dalam penelitian ini, terutama jika metoda alternatif (non hewan) telah tersedia.
72 Alasan menggunakan mencit dalam penelitian ini adalah Toxoplasma gondii dapat hidup baik dan menyebabkan kematian pada mencit sehingga lebih mudah dalam pengamatannya. III.2. Apakah penelitian ini merupakan pengulangan penelitian yang pernah dilakukan? Tidak (Lanjutkan ke III.3.) Ya Mohon dijelaskan alasan kepentingan untuk pengulangan ini. III.3. Apakah hewan yang akan digunakan pada penelitian ini pernah digunakan untuk penelitian sebelumnya? Tidak (Lanjutkan ke III.4.) Ya Mohon disebutkan prosedur yang pernah dilakukan terhadap hewan tersebut di atas. Mohon dijelaskan apakah ada kemungkinan prosedur tersebut diatas akan mempengaruhi hasil penelitian pada prosedur yang akan dilakukan. III.4. Berapa lama hewan akan dipergunakan dalam prosedur? Kira-kira 3 (tiga) minggu III.5. Prosedur Penggunaan Hewan III.5.1. Anesthesia ACUC dapat memberikan referensi Standard Procedure for Anesthesia and Monitoring Animal under Anesthesia III.5.1.1. Apakah hewan dalam protokol ini akan di anesthesi? Tidak (Lanjutkan ke III.5.2) Ya Silahkan lengkapi tabel berikut ini. Termasuk untuk semua komponen anesthesi, pre-anesthesi, sedasi, dan tranquilizer. III.5.1.2. Tabel penggunaan anesthesi Obat/ Komponen)
Dosis (mg/ kg BB)
Rute
Untuk hewan kecil rodent, dapat diberikan dalam mg/100gram. Unit sebaiknya tidak disebutkan dalam ml/kg BB atau dalam unit volume/BB. IU/BB atau Unit/BB dapat diberikan pada komponen seperti hormon atau lainnya yang secara umum diberikan dalam unit.
73 III.5.1.3. Jelaskan frekuensi prosedur anesthesi dilakukan pada setiap hewan. III.5.1.4. Berapa lama perkiraan durasi setiap prosedur anesthesi? III.5.1.5. Jelaskan bagaimana hewan dimonitor selama prosedur anesthesi ini dilakukan? III.5.2. Pain dan Distress III.5.2.1. Apakah penelitian ini melibatkan, minimal satu prosedur, yang diketahui menyebabkan atau mempunyai potensi menyebabkan lebih dari rasa sakit sesaat (momentary pain) dan distress? Tidak (Lanjutkan ke III.5.3.) Ya , Prosedur: infeksi intra peritoneum Mohon dilengkapi pertanyaan dibawah ini. III.5.2.2 Bagaimana hewan akan dimonitor? Setiap hari III.5.2.3 Apakah analgesia akan diberikan pada hewan penelitian? Tidak Ya Karena .............. Mohon dijelaskan alasannya, termasuk jika penggunaan analgesia merupakan kontraindikasi pada hasil penelitian ini. Mohon dilengkapi tabel berikut ini. Agen
Dosis (mg/ kg BB)
Rute
Frekuensi dan Durasi
ACUC dapat memberikan referensi Dosage Recommendation. III.5.3. Administrasi obat/reagent/vaccine/sel substances, dsb Mohon disebutkan dalam tabel di bawah ini, semua komponen obat/agen/substansi (selain agen anesthesia, pre-anesthesia, sedasi, tranquilizer, dan analgesia) yang akan digunakan dalam penelitian. Termasuk komponen yang diteliti, maupun yang digunakan dalam prosedur (seperti antibiotik post-surgery, jika ada). III.5.3.1. Tabel pemberian anesthesi Agent Isolat Toxoplasma gondii Susu kambing
Dose (mg/kg BW) 0.3 ml/ekor
Route Intra peritoneum
Frequency and duration 1 kali
ACUC dapat memberikan referensi Dosage Recommendation.
74
III. 5.3.2. Mohon disebutkan agen yang diketahui memiliki kontraindikasi atau mempengaruhi validasi data penelitian, jika diberikan pada hewan penelitian. (Termasuk agen yang digunakan untuk veterinary care). Tidak (Lanjutkan ke III.5.4.) Ya (mohon disebutkan): ________________________________ III.5.4. Survival Surgery III.5.4.1. Apakah penelitian ini melibatkan prosedur surgery? Tidak (Lanjutkan ke III.5.5.) Ya, Secara spesifik: Terminal (Non survival) (Lanjutkan ke III.5.5.) Survival (Mohon dilengkapi tabel berikut ini) Experimental group (jumlah hewan)
Jumlah major Jumlah minor Jenis survival surgery survival surgery per surgery per hewan* hewan**
III.5.5. Adjuvants dan Produksi Antibodi ACUC dapat memberikan referensi Standard Procedure Monitoring Animal in Adjuvants and Antibody Production. III.5.5.1. Apakah penelitian ini melibatkan adjuvant atau antibody production? Tidak (Lanjutkan ke III.5.6.) Ya (silahkan lengkapi pertanyaan berikut) III.5.5.2. Bagaimana hewan akan dimonitor dan katagori apa yang akan digunakan untuk mengakhiri produksi pada hewan yang digunakan? III.5.6. Uji Tingkah Laku III.5.6.1. Apakah test behavior/ tingkah laku akan dilakukan? Tidak (lanjutkan ke III.5.7.) Ya (lengkapi III.5.6.2.) III.5.6.2. Apakah hewan akan dilatih sebelum pengambilan data pada penelitian ini, dengan membatasi akses makan/ minum selama proses ini ? Tidak (lanjutkan ke III.5.7.) Ya Jelaskan metoda, jumlah pemberian, dan metoda hewan dimonitor. III.5.7. Hazardous Agents (radioactive, bahan kimia dan biological agent). Jika hazardous agent akan dipergunakan dalam penelitian, silahkan menghubungi laboratorium dimana prosedur ini akan dilakukan, sebelum megirimkan aplikasi ini pada ACUC. Mengingat pentingnya konfirmasi
75 tersedianya fasilitas dengan biosafety level yang sesuai untuk agen yang digunakan dalam penelitian. III.5.7.1. Apakah hazardous agents akan dipergunakan dalam penelitian ini? Atau, adakah agen yang dipergunakan dalam penelitian ini mempunyai resiko terhadap kesehatan personel yang terlibat, maupun hewan lain di fasilitas hewan? Tidak (Lanjutkan III.5.8.) Ya (Jelaskan secara spesifik dosis, yang akan digunakan adalah hewan hidup ataukah jaringan, efek terjadi pada hewan, bahaya terhadap manusia, cara monitor, hal yang harus dilakukan untuk melindungi personel). Dosis isolat Toxoplasma gondii + susu yang diberikan 0.3 ml per ekor intraperitoneum. Efek terjadi pada mencit menyebabkan kematian. Bahaya terhadap manusia: abortus (pada wanita), infertilitas (pada pria), cacat janin (hidrosefalus, chorioretinitis, down syndrom). Agent Rumus Kimia (jika ada) Karsinogenik Infectious agent Toxic chemical Lainnya (sebutkan)
: Isolat Toxoplasma gondii tipe A :: Ya Tidak : Ya Tidak : Ya Tidak :-
III.5.7.2. Biosafety level berapakah yang akan digunakan untuk agen/prosedur ini? Minimal level 2+ III.5.7.3. Dimanakah prosedur ini akan dilakukan? di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor dan Rumah Sakit Hewan IPB III.5.7.4. Jika ada, jelaskan prosedur penanganan dan metoda pembuangan/ pemusnahan substansi dan buangan dari hewan. Dibakar di insenirator III.5.7.5. Apakah Radioisotopes akan digunakan dalam penelitian ini? Tidak ( LanjutkanIII.6.8.) Ya (Sebutkan waktu paruh dan metoda penanganan/pembuangan sisa buangan). III.5.8. Pengambilan Darah III.5.8.1. Apakah pengambilan darah akan dilakukan pada penelitian ini? Tidak (Lanjutkan ke III.5.9.) Ya (Lengkapi tabel berikut ini)
76
Experimental Group
Rute
Volume (ml, or ml/ kg BB)
Frekuensi
III.5.9. Pakan Khusus atau Pembatasan Akses Makanan/ Minum (sebutkan jumlah pemberian, komposisi, durasi) III.5.9.1. Apakah special diet akan diberikan pada penelitian ini? Tidak Ya (jelaskan) III.5.9.2. Apakah metoda pembatasan akses makanan/minum akan dilakukan? Tidak (Lanjutkan ke III.5.10.) Ya Jelaskan metoda pembatasan, jumlah pemberian, hewan dimonitor. ACUC dapat memberikan referensi Standard Procedure for monitoring animal under food and/ or water deprivation. III.5.10. Agen Paralyticum III.5.10.1. Apakah paralytic agent/ neuromuscular atau blocking agent lainnya akan diberikan pada hewan dalam penelitian ini? Tidak (Lanjutkan ke III.5.11.) Ya (Jelaskan kepentingan penggunaan agen ini, dosis, frekuensi, dan metoda untuk memonitor hewan). III.5.11. Eutanasia ACUC dapat memberikan referensi Standard Procedure untuk Humane Eutanasia. III.5.11.1. Apakah eutanasia akan dilakukan pada hewan dalam penelitian ini? Tidak (Lanjutkan ke III.5.12.) Ya (lengkapi pertanyaan berikut) III.5.11.2. Kapan eutanasia akan dilakukan dan metoda apa yang akan digunakan? Pada saat mencit menunjukkan gejala lemah dan hampir mati Metode eutanasi yang akan digunakan adalah menggunakan eter, setelah mati, dilakukan nekropsi mengambil organ untuk pengujian histopatologi III.5.12. Kematian Hewan sebagai end point III.5.12.1. Apakah kematian (yang bukan dieutanasia) digunakan sebagai “end point” penelitian? Tidak (Lanjutkan ke III.5.13.)
77 Ya (Mohon dijelaskan metoda dan frequensi memonitor hewan, dan prosedur untuk meminimalkan rasa sakit, stress, dan distress). III.5.13. Restrain Jangka Panjang III.5.13.1. Apakah hewan akan menjalani restrain yang panjang (lebih dari 12 jam)? Tidak (Lanjutkan ke III.5.14.) Ya (Jelaskan metoda, frekuensi, dan durasi.) III.5.14. Transplantasi atau Induksi Tumor ACUC dapat memberikan referensi Standard Procedure untuk Tumor Development in Study Animal. III.5.14.1. Apakah penelitian ini melibatkan tumor? Tidak (Lanjutkan ke III.5.15.) Ya (Jelaskan jenis tumor, situs, defisiensi fungsi hewan yang akan terjadi, metoda, dan frekuensi monitor. Jelaskan pula end point yang digunakan untuk terminasi hewan dari penelitian ini). III.5.15. Uji Toksisitas III.5.15.1. Apakah test toxisitas akan dilakukan pada penelitian ini? Tidak (Lanjutkan ke III.5.16.) Ya (Jelaskan jenis toksisitas, metoda, dan frekuensi monitor hewan, end point katagori yang akan digunakan untuk menterminasi hewan dari penelitian). III.5.16. Koleksi Jaringan atau Organ Identifikasi jaringan yang akan dikoleksi dari penelitian ini, dan metoda (eutanasia, surgery/ biopsi). Jaringan yang akan dikoleksi dalam penelitian ini terdiri dari otak, jantung, hati dan otot paha. Metode eutanasia dengan menggunakan eter III.5.17. Pemeliharaan Hewan Untuk penelitian yang menggunakan hewan hidup. III.5.17.1. Jenis pengandangan: Individual Pasangan
Group
III.5.17.2. Fasilitas mana yang akan digunakan untuk penelitian? Kandang dan laboratorium
78 Lampiran 5 Sertifikat ACUC
79 Lampiran 6 Peremajaan isolat takizoit Toxoplasma gondii galur RH Persiapan Hewan Coba - Mencit jantan strain DDY umur 4-5 minggu dengan berat 20-25 g - Mencit diaklimatisasi dengan diberikan makan dan minum ad libitum selama 1 minggu - Mencit diinfeksikan dengan takizoit Toxoplasma gondii galur RH secara intraperitoneum Isolasi Takizoit Toxoplasma gondii dari Mencit - Isolat takizoit Toxoplasma gondii galur RH Bbalitvet Bogor dari cryo tube dikeluarkan dari nitrogen cair - Isolat disuntikkan secara intraperitoneum ke kelompok mencit pertama - Mencit diamati setiap hari selama 4-6 hari atau sampai mencit kelihatan sakit - Satu ekor mencit yang sudah tampak sakit diambil, sebelum mati mencit dibunuh dengan pemberian Ketamin HCl. Nekropsi dilakukan dengan membuka kulit bagian perut tanpa membuka lapisan peritoneum. Takizoit dipanen dengan cara mencuci rongga peritoneum dengan 5 ml larutan phosphate buffer saline (PBS) lalu diaspirasi sampai habis. Cairan yang diaspirat diencerkan 100 kali, lalu jumlah takizoit dihitung dalam kamar hitung Neubauer. Bila populasi takizoit masih terlalu padat sehingga sulit dihitung, cairan aspirat diencerkan lagi sampai jumlah takizoit dapat dihitung dengan baik. Aspirat hasil panen takizoit yang telah diketahui konsentrasinya, dibuatlah inokulan dengan konsentrasi yang diinginkan, dan disiapkan dalam spuit 1 ml untuk diinjeksikan ke mencit yang telah disiapkan dalam kandang masing-masing. Bahan inokulan diperoleh dari hasil panen seekor mencit yang telah diinfeksi dari isolat hasil biakan/pasase pertama. Awal pasase terjadi kematian mencit yang tidak serentak, sehingga isolat yang telah dipanen disuntikkan lagi ke kelompok mencit kedua yang terdiri dari 5 ekor mencit. Kembali diamati keadaan mencit-mencit tersebut seperti kelompok pertama. Selanjutnya dilakukan pasase ke kelompok berikutnya sampai diperoleh isolat stabil. Setelah diperoleh kematian serentak pada kelompok mencit yang dipasase, maka dapat dikatakan isolat tersebut telah stabil. - Isolat stabil diperoleh dengan mencuci rongga cairan peritoneum mencit dengan PBS lalu diaspirasi sampai habis. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung dan disentrifus 3500 rpm selama 15 menit. Lalu supernatan dibuang dan endapan diambil. Endapan yang diambil selanjutnya diencerkan 100 kali dan ditetesi di atas kamar hitung neubaur untuk diketahui jumlah takizoitnya. Setelah diperoleh konsentrasi takitazoit/ml, maka isolat ini dapat digunakan untuk pengujian susu pasteurisasi.
80
Gambar 1 Isolat takizoit Toxoplasma gondii
Gambar 2 Penyuntikan isolat ke mencit secara intraperitoneum
Gambar 3 Gejala klinis pascainfeksi Toxoplasma gondii
81 Panen Isolat Takizoit Toxoplasma gondii galur RH diperoleh dari mencit yang diinfeksikan. Toxoplasma gondii dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x (Gambar 4).
Gambar 4 Takizoit Toxoplasma gondii dengan pembesaran 400x Konsentrasi takizoit dihitung dengan menggunakan kamar hitung neubaur yang dihitung di empat sudut kamar leukosit. Konsentrasi takizoit yang diperoleh berdasarkan kamar hitung Neubauer sebesar 2.76 x 106/mencit.
82
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 23 Juni 1978 merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara dari Bapak Nirwansyah (Alm) dan Ibu Damra Nafsiah Saragih. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 067261 Medan pada tahun 1990, sekolah menengah pertama di SMP Negeri 18 Medan (SMPN 20 Medan sekarang) pada tahun 1993 dan menamatkan sekolah menengah atas di SMA Negeri Labuhandeli Medan (SMAN 9 Medan sekarang) pada tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada tahun 1996 sampai 2000, dan melanjutkan Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2002. Sejak 2004 sampai sekarang penulis bekerja di Balai Veteriner Lampung, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Pada Tahun 2005 penulis menikah dengan Jalaluddin dan dianugerahkan seorang anak yang bernama Rafa Zavier Asadel pada tahun 2011. Pada tahun 2005-2007, penulis menempuh pendidikan Magister Teknologi Agroindustri pada Program Studi Teknologi Agroindustri Universitas Lampung. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan studi Doktor pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Institut Pertanian Bogor.