DAUN X SEBAGAI ALTERNATIF UPAYA PENANGANAN DIABETES MELITUS TIPE I
Oleh : R. WINNY GUNANTIANI DEWI F24101057
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN DAUN X SEBAGAI ALTERNATIF UPAYA PENANGANAN DIABETES MELITUS TIPE I SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh : R. WINNY GUNANTIANI DEWI F24101057 Dilahirkan pada tanggal 19 Juni 1982 Di Matsumoto, Jepang Tanggal lulus : Menyetujui, Bogor, Januari 2006
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Dosen Pembimbing I
Dr. drh. Tutik Wresdiyati Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
Ketua Departemen ITP R. Winny Gunantiani Dewi. F24101057. Daun X Sebagai Alternatif Upaya Penanganan Diabetes Melitus Tipe I. Dibawah bimbingan: Made Astawan dan Tutik Wresdiyati. 2006. RINGKASAN Diabetes melitus adalah suatu kondisi dimana pankreas tidak menghasilkan insulin yang cukup bagi tubuh atau berhenti menghasilkan insulin sama sekali. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat diserap oleh sel-sel tubuh yang membutuhkan energi. Diabetes melitus memiliki beberapa tipe, yaitu tipe I, tipe II, gestational diabetes dan beberapa tipe lainnya (Rimbawan dan Siagian, 2004). Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang belum memiliki rangkaian penanganan yang dapat menyembuhkan secara permanen. Biaya dan ketidakpatuhan penderita terhadap diet atau jadwal minum obat menjadi kendala yang cukup berat dalam penanganan diabetes melitus. Oleh karena itu, WHO sejak tahun 1980 merekomendasikan penggunaan tanamantanaman berkhasiat obat sebagai alternatif cara dalam penanganan diabetes melitus agar kualitas hidup penderita menjadi lebih baik. Daun X merupakan salah satu tanaman yang dipercaya secara tradisional memiliki aktivitas antihiperglikemik. Tujuan penelitian ini adalah (1) menguji aktivitas hipoglikemik daun X, sekaligus sebagai pembuktian secara ilmiah dari khasiat tradisional daun X sebagai ramuan penyembuh diabetes melitus tipe I, (2) mengevaluasi pengaruh pemberian ekstrak daun X dalam berbagai tingkatan dosis terhadap kadar glukosa darah pada tikus percobaan diabetes melitus tipe I, dan (3) mendapatkan gambaran histologi pulau Langerhans dan jumlah sel β pada jaringan pankreas tikus diabetes melitus tipe I akibat pemberian ekstrak daun X. Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Dalam penelitian pendahuluan dilakukan ekstraksi daun X menjadi tepung ekstrak daun X dan dilakukan analisis proksimat terhadap tepung ekstrak daun X dan ransum pelet. Dalam penelitian utama dilakukan pengujian aktivitas hipoglikemik ekstrak daun X terhadap penurunan glukosa darah tikus diabetes melitus. Kondisi diabetes pada tikus percobaan diciptakan melalui induksi alloxan secara intraperitoneal dengan dosis 100 mg/kg bobot tikus (Kesenja, 2005). Tikus percobaan dibagi menjadi delapan kelompok, yaitu kontrol negatif (tanpa induksi alloxan, tanpa pemberian ekstrak daun X), kontrol positif (dengan induksi alloxan, tanpa pemberian ekstrak daun X), kelompok diabetes yang diberi perlakuan ekstrak daun X sebanyak 8 mg/ekor/hari (kelompok A), 16 mg/ekor/hari (kelompok B), 32 mg/ekor/hari (kelompok C), 64 mg/ekor/hari (kelompok D) dan 128 mg/ekor/hari (kelompok E) serta kelompok diabetes yang diberi perlakuan obat diabetes komersial (kelompok F). Pemberian ekstrak daun X atau obat selama 30 hari berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar glukosa darah hari ke-28, peningkatan jumlah pulau Langerhans per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 100x luasan pulau Langerhans per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 400x, dan peningkatan jumlah sel β per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 100x
dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Dosis yang rendah memberikan hasil yang lebih konsisten dan positif. Dosis 8 mg ekstrak daun X per hari merupakan dosis yang optimum untuk memberikan kesembuhan pada tikus yang menderita diabetes melitus.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Matsumoto, Jepang pada tanggal 19 Juni 1982 dari pasangan Bapak Wisnu Gunarso (Alm.) dan Ibu Dewi Murtianingsih, merupakan putri pertama dari tiga bersaudari. Pendidikan dasar penulis diselesaikan di SD Regina Pacis Bogor pada tahun 1995. Pendidikan lanjutan pertama penulis diselesaikan pada tahun 1998 di SLTP Regina Pacis Bogor. Tahun 2001, penulis lulus dari SMU Regina Pacis Bogor dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan dan kegiatan organisasi, baik tingkat departemen maupun institut, diantaranya sebagai anggota HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan), ketua Science and Technology Department dalam Food Chat Club (2004-2005) dan sebagai Deputy Chairperson dalam IPB Debating Community (2004-2005). Prestasi penulis semasa kuliah adalah beberapa kali menjuarai lomba karya tulis bahasa Inggris tingkat IPB maupun tingkat nasional dan pernah terpilih menjadi salah satu pemakalah dalam konferensi pangan tingkat nasional (2003). Penulis juga beberapa kali mewakili IPB dalam kejuaraan debat bahasa Inggris antar universitas antara tahun 2004-2005, baik sebagai peserta maupun juri. Penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PT. Indokom Samudra Persada, Lampung dengan judul laporan Aspek Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Udang Beku di PT. Indokom Samudra Persada, Lampung. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi yang berjudul Daun X Sebagai Alternatif Upaya Penanganan Diabetes Melitus Tipe I.
KATA PENGANTAR
Ahamdulillahirabbilalamin. Penulis menghaturkan syukur dan berterima kasih ke hadirat Allah SWT yang telah memberi waktu, kesehatan, dan kesempatan untuk menimba ilmu di kampus IPB serta dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang berjudul Daun X Sebagai Alternatif Upaya Penanganan Diabetes Melitus Tipe I. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati penulis menyadari selama kegiatan penelitian berlangsung telah banyak menerima bantuan, baik materil maupun spirituil. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. selaku Pembimbing I atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis, juga atas bantuan dana penelitian yang telah diberikan serta dalam pengadaan sampel (daun X). 2. Dr. drh. Tutik Wresdiyati selaku Pembimbing II atas kesabaran, bimbingan dan kebaikan dalam memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga bagi penulis. 3. Ir. Sri Widowati, MAppSc. selaku dosen penguji dari Balai Penelitian Pasca Panen yang bersedia memberikan berbagai masukan yang sangat bermanfaat bagi perbaikan tulisan ini. 4. Alm. Papa, Mama, Onya dan Baby tercinta atas limpahan doa, nasehat, dukungan, pengorbanan dan kasih sayangnya yang begitu indah yang selalu menyertai penulis sampai kapanpun. 5. Keluarga Oom Djoko Ismujono beserta Tante Tety dan keluarga yang senantiasa memberikan dukungan yang tak henti-hentinya, baik materiil maupun spirituil. 6. Rio Armindo atas perhatian, dorongan semangat, dukungan, pengorbanan dan doanya yang tulus. 7. Ibu Waysima dan Ibu alumni yang senatiasa menjadi tumpuan harapan penulis dalam susah dan senang.
8. Ibu Dewi, Miss Sherly dan seluruh keluarga besar Kinderfield dan Mutiara Montessori School atas pengertian, kebaikan hati dan dukungannya selama ini. 9. Bapak Adi Winarto dan Bapak I Ketut M. Adnyane untuk bantuan dan keramahannya selama penulis melakukan penelitian di Laboratorium Histologi, FKH. 10. Pak Adi, Pak Ganda, Pak Wahid, Pak Sobirin, Ibu Rubiyah, Pak Rojak, Teh Ida dan semua keluarga laboran TPG-IPB atas bantuan yang diberikan selama penulis menjalankan penelitian. 11. Evi Nurdin, teman seperjuangan yang selalu tabah dan menyenangkan. 12. Kakak-kakakku yang baik, Bang Pandi dan Mbak Reni yang banyak membantu penulis. 13. Teman-teman terbaikku, Eva, Wewen, Hendry, Aria, dan juga semua temanteman TPG 38, terutama golongan B, atas semua kebersamaan yang berharga dan dukungannya selalu. 14. Semua pihak-pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu atas dukungannya selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, Januari 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii DAFTAR TABEL ...................................................................................... v DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. vii I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................................. 1 B. Tujuan Penelitian ............................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA
..................................................................... 4
A. Diabetes Melitus ............................................................................... 4 B. Kadar Glukosa Darah ........................................................................ 7 C. Tanaman Obat Untuk Terapi Diabetes Melitus ................................. 8 D. Insulin................................................................................................. 10 E. Pankreas .............................................................................................. 13 F. Alloxan ............................................................................................... 15 G. Analisis Histologi ............................................................................... 17 H. Tikus Sprague-Dawley ..................................................................... 21 III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 23 A. Bahan ................................................................................................ 23 B. Alat .................................................................................................... 24 C. Metode Penelitian ............................................................................... 25 1. Penelitian Pendahuluan ................................................................ 25 a. Pembuatan tepung ekstrak daun X ........................................... 25 b. Analisis fisiko kimia ................................................................ 25 2. Penelitian Utama .......................................................................... 30 a. Masa adaptasi hewan percobaan .............................................. 31 b. Injeksi Alloxan .......................................................................... 31 c. Seleksi tikus dan kelompok perlakuan ..................................... 31 d. Pengukuran kadar glukosa darah ............................................. 33
e. Pengukuran bobot tubuh .......................................................... 33 f. Pengukuran jumlah konsumsi ransum pelet ............................. 33 g. Pembedahan tikus .................................................................... 34 h. Analisis kolesterol serum ......................................................... 34 i. Analisis hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) .............................. 35 j. Analisis histologi jaringan pankreas ......................................... 35 k. Pengamatan dan pemotretan .................................................... 41 D. Rancangan Percobaan ..................................................................... 42 E. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 42 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 43 A. Penelitian Pendahuluan ..................................................................... 43 1. Tepung Ekstrak Daun X ............................................................... 43 2. Analisis Proksimat Ransum Pelet Dan Tepung Ekstrak Daun X.. 44 B. Penelitian Utama ............................................................................... 45 1. Aktivitas Hipoglikemik Tepung Ekstrak Daun X ........................ 45 2. Konsumsi Ransum dan Perubahan Bobot Tubuh Tikus .............. 51 3. Analisis Kolesterol Lengkap Serum Darah Tikus ...................... 54 4. Analisis Hemoglobin Terglikosilasi (HbA1c) .............................. 56 5. Analisis Histologi Jaringan Pankreas ........................................... 57 a. Pengamatan terhadap jaringan pankreas tikus 30 hari ............. 58 b. Pengamatan terhadap jaringan pankreas tikus 60 hari ............. 65 V. KESIMPULAN ...................................................................................... 71 A. Kesimpulan ....................................................................................... 71 B. Saran .................................................................................................. 72 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 73 LAMPIRAN ................................................................................................ 76
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tanaman-tanaman obat berkhasiat untuk diabetes melitus ............ 33 Tabel 2. Prosedur analisis kolesterol lengkap .............................................. 35 Tabel 3. Hasil analisis proksimat ransum pelet dan tepung ekstrak daun X ............................................................................................ 45 Tabel 4. Hasil uji statistik kadar glukosa darah masing-masing kelompok berdasarkan periode ........................................................................ 50 Tabel 5. Konsumsi ransum dan kenaikan bobot tubuh tikus ........................ 52 Tabel 6. Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Serum Tikus Percobaan ....................................................................................... 55 Tabel 7. Kadar HbA1c tikus percobaan ........................................................ 57 Tabel 8. Jumlah, luasan pulau Langerhans dan jumlah sel β tikus 30 hari .. 59 Tabel 9. Jumlah, luasan pulau Langerhans dan jumlah sel β tikus 60 hari .. 64
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Gambaran kinerja insulin terhadap sel ....................................... 12 Gambar 2. Posisi Pankreas ........................................................................... 13 Gambar 3. Struktur Kimia Alloxan .............................................................. 16 Gambar 4. Tikus Sprague Dawley ............................................................... 21 Gambar 5. Dislocatio cervicalis .................................................................. 34 Gambar 6. Tissue Embedding Console ........................................................ 38 Gambar 7. Mikrotom.. .................................................................................. 39 Gambar 8. Tepung ekstrak daun X.. ............................................................. 43 Gambar 9. Ransum pelet .............................................................................. 45 Gambar 10. Hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus perlakuan ........... 46 Gambar 11. Perubahan kadar glukosa darah tikus selama perlakuan .......... 48 Gambar 12. Fotomikrograf pulau Langerhans tikus 30 hari hasil pewarnaan hematoksilin-eosin pada perbesaran 100x ............................... 60 Gambar 13. Fotomikrograf sel β pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus 30 hari hasil pewarnaan imunohistokimia pada perbesaran 100x ...................................................................... 64 Gambar 14. Fotomikrograf pulau Langerhans tikus 60 hari hasil pewarnaan hematoksilin-eosin pada perbesaran 100x ............................... 67 Gambar 15. Fotomikrograf sel β pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus 60 hari hasil pewarnaan imunohistokimia pada perbesaran 100x ...................................................................... 69
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Pengukuran kadar glukosa darah tikus selama masa perlakuan ................................................................................... 77 Lampiran 2. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus hari ke-0 .......................................................................................... 78 Lampiran 3. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus hari ke-28 ........................................................................................ 79 Lampiran 4. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus hari ke-60 ......................................................................................... 79 Lampiran 5. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol negatif berdasarkan periode......................... 80 Lampiran 6. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol positif berdasarkan periode ......................... 80 Lampiran 7. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok 8 mg berdasarkan periode ........................................ 81 Lampiran 8. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok 16 mg berdasarkan periode ...................................... 82 Lampiran 9. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok 32 mg berdasarkan periode ...................................... 82 Lampiran 10. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok 64 mg berdasarkan periode .................................... 83 Lampiran 11. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok 128 mg berdasarkan periode .................................. 84 Lampiran 12. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok obat berdasarkan periode ....................................... 85 Lampiran 13. Konsumsi ransum tikus selama perlakuan. ............................ 86 Lampiran 14. Bobot tubuh tikus selama perlakuan ...................................... 91 Lampiran 15. Hasil uji statistik terhadap jumlah konsumsi ransum tikus selama 30 hari pertama ............................................................. 94
Lampiran 16. Hasil uji statistik terhadap jumlah konsumsi ransum tikus selama 30 hari kedua ............................................................... 94 Lampiran 17. Hasil uji statistik terhadap persentase kenaikan bobot tubuh tikus selama 30 hari pertama .................................................. 95 Lampiran 18. Hasil uji statistik terhadap persentase kenaikan bobot tubuh tikus selama 30 hari kedua ...................................................... 95 Lampiran 19. Hasil perhitungan jumlah pulau Langerhans per lapang pandang tikus 30 hari (perbesaran 100x) ............................... 96 Lampiran 20. Hasil uji statistik terhadap jumlah pulau Langerhans per lapang pandang pada tikus 30 hari (perbesaran 100x) ........... 97 Lampiran 21. Hasil uji statistik terhadap luasan pulau Langerhans per lapang pandang pada tikus 30 hari (perbesaran 400x) ............ 98 Lampiran 22. Hasil uji statistik terhadap jumlah sel β pankreas per lapang pandang pada tikus 30 hari (perbesaran 100x) ........... 99 Lampiran 23. Hasil perhitungan jumlah pulau Langerhans per lapang pandang tikus 60 hari (perbesaran 100x) ............................. 100 Lampiran 24. Hasil uji statistik terhadap jumlah pulau Langerhans per lapang pandang pada tikus 60 hari (perbesaran 100x) ......... 101 Lampiran 25. Hasil uji statistik terhadap luasan pulau Langerhans per lapang pandang pada tikus 60 hari (perbesaran 400x) .......... 102 Lampiran 26. Hasil uji statistik terhadap jumlah sel β pankreas per lapang pandang pada tikus 60 hari (perbesaran 100x) ......... 103
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus adalah suatu kondisi dimana pankreas tidak menghasilkan insulin yang cukup bagi tubuh atau berhenti menghasilkan insulin sama sekali. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat diserap oleh sel-sel tubuh yang membutuhkan energi. Diabetes melitus memiliki beberapa tipe, yaitu tipe I, tipe II, gestational diabetes dan beberapa tipe lainnya (Rimbawan dan Siagian, 2004). Diabetes melitus adalah salah satu penyakit yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat secara luas. Selain itu, diabetes melitus juga merupakan penyakit yang memiliki komplikasi sangat banyak, terutama terhadap jaringan otak (stroke), mata (katarak dan kebutaan), jantung (serangan mendadak dan kegawatan), ginjal (gagal ginjal), serta gangren. Diabetes melitus merupakan penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi kedua setelah jantung (Mangoenprasodjo, 2005). Oleh karena itu, diabetes melitus tercantum dalam urutan keempat prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler dan geriatri (Tjokroprawiro, 2003). Berdasarkan penelitian diabetes di Surabaya dan analisis data dari Poliklinik Diabetes di seluruh Indonesia, rata-rata prevalensi diabetes melitus di Indonesia tahun 1994 adalah sebesar 1.5 hingga 2.5 % dari jumlah penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun dengan 95 % kasus diabetes melitus tipe I terjadi pada penduduk berusia di bawah 25 tahun. Prevalensi terbesar terdapat di Manado, yaitu sebesar 6.1 % (Rimbawan dan Siagian, 2004). Tahun 2000, penderita diabetes melitus meningkat menjadi 4 juta jiwa dan pada tahun yang sama, sedikitnya 175.4 juta jiwa penduduk dunia menderita penyakit tersebut (Tjokroprawiro, 2003). Saat ini, diperkirakan sedikitnya 5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes melitus. Hal ini berarti satu dari 40 orang penduduk Indonesia mengidap diabetes (Mangoenprasodjo, 2005). Pada tahun 2020, diperkirakan Indonesia dengan 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan prevalensi
diabetes melitus sebesar 4.6 %, maka 8.2 juta penduduk Indonesia diperkirakan akan menderita diabetes melitus. Angka ini merupakan angka yang sangat besar dan perlu diantisipasi serta dicegah sedini mungkin untuk menghindari dampak buruk yang ditimbulkannya (Tjokroprawiro, 2003). Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang belum memiliki rangkaian penanganan yang dapat menyembuhkan secara permanen. Obat-obat diabetes penurun glukosa darah atau insulin yang diberikan secara intramuskular
hanya
memiliki
efek
sementara
dan
tidak
memberi
kesembuhan. Oleh karena itu, penderita diabetes melitus harus menjalani diet rendah glukosa dan mengkonsumsi obat suplemen insulin sepanjang hidupnya. Hal ini memberikan berbagai keterbatasan bagi penderita diabetes melitus. Mahalnya biaya perawatan dan pengobatan diabetes melitus serta kejenuhan dan ketidakpatuhan penderita terhadap diet atau jadwal minum obat seringkali menjadi kendala yang cukup berat dalam penanganan diabetes melitus. Expert Committee on Diabetes Mellitus, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sangat tanggap terhadap masalah tersebut, maka sejak tahun 1980 mereka merekomendasikan penggunaan berbagai bahan alami seperti tanaman-tanaman berkhasiat obat sebagai alternatif cara dalam penanganan diabetes melitus agar para penderita dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Hal ini akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Dalam penelitian ini akan dilakukan uji aktivitas hipoglikemik (aktivitas penurunan kadar glukosa darah) terhadap ekstrak suatu tanaman yang dipercaya berkhasiat sebagai obat diabetes melitus, terutama dari bagian daunnya. Selanjutnya substansi yang diujikan ini akan disebut sebagai daun X. Penggunaan daun X telah menyebar luas secara tradisional sebagai minuman jamu yang dipercaya sebagai ramuan penyembuh diabetes melitus. Pengujian ekstrak daun X sebagai salah satu alternatif penanganan diabetes melitus tipe I dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk : 1. Menguji aktivitas hipoglikemik daun X, sekaligus sebagai pembuktian secara ilmiah dari khasiat tradisional daun X sebagai ramuan penyembuh diabetes melitus tipe I. 2. Mengevaluasi pengaruh pemberian ekstrak daun X dalam berbagai tingkatan dosis terhadap kadar glukosa darah pada tikus percobaan diabetes melitus tipe I. 3. Mendapatkan gambaran histologi pulau Langerhans dan jumlah sel β pada jaringan pankreas tikus diabetes melitus tipe I akibat pemberian ekstrak daun X.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. DIABETES MELITUS Diabetes melitus atau biasa disebut diabetes adalah penyakit kronik yang timbul karena terlalu banyak glukosa yang terkandung dalam darah. Hal ini disebabkan oleh gangguan sekresi insulin sehingga kadar insulin rendah, aktivitas metabolik insulin yang rendah, atau keduanya. Kadar glukosa darah normal adalah 80-120 mg/dl (puasa) atau 100-180 mg/dl (setelah makan). Kadar glukosa darah saat istirahat atau tidur berkisar antara 100 hingga 140 mg/dl darah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Diabetes melitus juga merupakan sekelompok gangguan metabolik dengan suatu manifestasi umum, yaitu hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi) (Mayfield, 1998). Kadar glukosa darah penderita diabetes melitus adalah >120 mg/dl saat puasa atau >200 mg/dl setelah makan (Mayfield, 1998 ; Tjokroprawiro, 2003). Hiperglikemia yang berkepanjangan dapat merusak pembuluh darah dan jaringan-jaringan tubuh secara permanen. Komplikasi lain yang mungkin terjadi akibat hiperglikemia adalah kerusakan otak (stroke), penyakit kardiovaskuler, gangguan penglihatan dan kebutaan, gangren dan amputasi, penyakit periodontal, kerusakan ginjal (nephropathy) dan kerusakan sel-sel neuron (neuropathy) yang menyebabkan insensitivitas saraf pada kaki dan telapak kaki serta kanker (Foster, 2004 ; Mangoenprasodjo, 2005 ; Smith, 2005). Gejala-gejala umum yang menyertai penderita diabetes melitus adalah sering merasa lapar (polifagia), haus berlebih dan dehidrasi (polidipsia), frekuensi buang air kecil tinggi (poliuria), berat badan menurun secara bertahap, kelelahan, pandangan sering kabur, sering mengalami infeksi dan waktu penyembuhan luka yang lama serta sering mengalami kesemutan pada tangan atau kaki (Anonim, 2003 ; Mangoenprasodjo, 2005). Badan Kesehatan Dunia (WHO), melalui laporan kedua Expert Committee on Diabetes Mellitus mengelompokkan diabetes menjadi dua kelompok utama, yaitu insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) dan noninsulin dependent diabetes melitus (NIDDM). Pada IDDM, pankreas tidak
menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup, sementara NIDDM disebabkan oleh insulin yang dihasilkan tidak mampu bekerja dengan baik (WHO, 1980). Insulin adalah hormon yang disekresikan pankreas sebagai respon terhadap perubahan kadar glukosa darah. Insulin adalah polipetida yang disintesis di dalam sel β pada pulau langerhans, suatu bagian kecil dari pankreas (Rimbawan dan Siagian, 2004). Tahun 1997, Expert Committee on Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus (ECDCDM) menyepakati sistem klasifikasi baru diabetes melitus. Mereka mengelompokkan diabetes menjadi diabetes melitus tipe I, tipe II, diabetes selama kehamilan (gestational diabetes) dan beberapa diabetes tipe lainnya (ECDCDM,1997). Diabetes melitus tipe I (yang sebelumnya disebut sebagai IDDM atau juvenile diabetes) dicirikan oleh kerusakan sel β yang disebabkan oleh proses autoimun. Diabetes melitus tipe I biasanya berujung pada defisiensi insulin absolut. Diabetes melitus tipe I biasanya bersifat akut. Penderita diabetes melitus tipe 1 membutuhkan insulin eksogen untuk mempertahankan hidupnya dan memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya ketoasidosis. Prevalensi diabetes melitus tipe I sama besar terhadap pria dan wanita. Persentase penderita diabetes melitus tipe I adalah 5-10 % dari seluruh penderita diabetes (Rimbawan dan Siagian, 2004). Menurut Gepts (1981), diabetes melitus tipe I ditandai oleh adanya defisiensi insulin akut akibat menurunnya jumlah sel β pankreas. Pada kasus diabetes melitus tipe I tahap awal (early onset) penurunan jumlah sel β hanya menyisakan 10 % dari jumlah normalnya dan jumlah ini akan terus menurun tanpa penanganan yang tepat. Sebagian besar pasien diabetes melitus tipe I telah kehilangan seluruh sel β-nya. Lebih jauh Gepts (1981) menambahkan bahwa kerusakan dan destruksi sel β dapat disebabkan oleh terjadinya insulinitis. Insulinitis adalah proses masuknya sel darah putih ke dalam sel β pada pulau langerhans pankreas dan menyebabkan reaksi autoimun (Rimbawan dan Siagian, 2004). Insulitis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut diduga dapat mengikatkan dirinya ke dalam DNA dan
merusak sekuen yang mengkode pembentukan sel β dalam pulau langerhans pankreas (Gepts, 1981). Diabetes melitus tipe II (sebelumnya disebut NIDDM atau adult-onset) terdapat dalam beberapa bentuk yang bervariasi mulai dari resistensi insulin yang disertai defisiensi insulin relatif, atau adanya gangguan pada sekresi insulin yang disertai resistensi insulin pada jaringan perifer (ECDCDM,1997). Diabetes tipe II adalah jenis penyakit diabetes paling lazim berkaitan dengan riwayat diabetes keluarga, usia lanjut, obesitas, perubahan pola makan dan aktivitas fisik yang kurang. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia pada akhirnya menyebabkan kerusakan toleransi glukosa. Sel β yang rusak menjadi lemah, selanjutnya mendorong intoleransi glukosa dan hiperglikemia. Etiologi diabetes tipe II ini adalah multifaktor dan kemungkinan berkaitan dengan faktor genetik (Mayfield, 1998). Penderita diabetes melitus tipe II mengambil persentase 90 hingga 95 % dari seluruh penderita diabetes melitus (Rimbawan dan Siagian, 2004). Menurut Foster (2004), penderita diabetes melitus tipe II memiliki resiko yang lebih besar terhadap penyakit degeneratif lain, terutama penyakit kardiovaskuler. Resiko utama yang dihadapi dari golongan penyakit kardiovaskuler adalah serangan stroke dan penyakit jantung koroner. Diabetes selama kehamilan (gestational diabetes) adalah klasifikasi operasional dan bukan klasifikasi berdasarkan kondisi patofisiologis. Diabetes yang diderita sebelum hamil disebut juga sebagai pregestational diabetes. Wanita yang mengalami diabetes tipe I pada saat hamil dan wanita yang asimptomatik diabetes tipe II yang tidak terdiagnosis, dikelompokkan menjadi gestational diabetes. Namun, sebagian besar wanita penderita gestational diabetes memiliki homeostatis glukosa yang normal selama paruh pertama (hingga bulan kelima) masa kehamilannya. Selain itu, juga mengalami defisiensi insulin relatif pada paruh kedua (antara bulan keempat dan kelima) masa kehamilan. Umumnya kadar glukosa darah akan kembali normal setelah melahirkan. Meskipun demikian, gestational diabetes meningkatkan resiko diabetes tipe II pada usia lanjut (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Diabetes melitus tipe lain dapat disebabkan oleh hal-hal berikut: a. Kerusakan genetik fungsi sel beta (genetic defect of ß cells). Kerusakan ini diwariskan melalui pola gen autosom dominan yang dapat terjadi pada kromosom 12, kromosom 7 (glukokinase), kromosom 20, dan DNA mitokondria b. Mutasi pada reseptor insulin yang mempengaruhi kerja hormon insulin c. Penyakit eksokrin pankreas, diantaranya akibat adanya trauma/ pankreatektomi,
infeksi,
pankreatitis,
neoplasma,
systicfibrosis,
hemochromatosis, atau pankreatopati fibrokalkulus d. Endokrinopati akibat kerja hormon yang saling antagonis, seperti yang terjadi karena sindroma cushing, pheocromocytoma, hipertiroidisme, somatostannoma, aldosteronoma dan akromegali e. Pengaruh dari penggunaan obat atau zat kimia seperti vacor, pentamidin, asam nikotinat, dilantin, glukokortikoid, hormon tiroid, tiazid, dan interferon alfa f. Penyakit infeksi, seperti rubella kongenital dan CMV (Cytomegalovirus) g. Adanya abnormalitas proses imunologi seperti pada sindroma Stiffman, dan antibodi yang menghalangi kerja reseptor insulin h. Adanya sindroma genetik lain seperti sindrom down, klinefelter, turner, wolfram, friedriech ataxia, huntington chorea, laurence-moon-biedl, myotome distrophy, porphyna, dan sindrom prader-willi B. KADAR GLUKOSA DARAH Kadar glukosa darah adalah besarnya jumlah glukosa yang terdapat dalam darah. Setelah makan, kadar glukosa darah akan meningkat dan tetap bertahan dalam waktu yang singkat untuk kemudian secara berangsur-angsur kembali menurun. Kondisi ini oleh para dokter digambarkan sebagai kurva glukosa darah sesudah makan (postprandial). Normalnya, kurva ini berada di antara 65-139 mg/dl. Kadar glukosa darah setelah makan yang sangat tinggi adalah suatu tanda umum dari diabetes (Smith, 2005). Penderita diabetes melitus memiliki glukosa darah yang terlalu banyak, sehingga meningkatkan resiko komplikasi dan penyakit degeneratif lainnya.
Glukosa darah yang tiba-tiba meningkat setelah makan merupakan sinyal yang diartikan oleh pankreas sebagai stimulan sekresi insulin. Insulin merangsang perubahan glukosa menjadi glikogen untuk disimpan dalam otot skeletal dan jaringan adiposa. Insulin juga menurunkan pembentukan glukosa oleh hati (Rimbawan dan Siagian, 2004). Selama beberapa jam berikutnya, bila konsentrasi glukosa darah dan kecepatan sekresi insulin berkurang, maka hati akan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Dalam hal ini, hati berperan sebagai suatu sistem penyangga glukosa darah yang sangat penting. Mekanisme peningkatan kadar glukosa darah diatur oleh hormon glukagon dari sel alpha, growth hormone dari hofise anterior, epinefrin dari medulla adrenal, serta glukokortikoid dari korteks adrenal (Mangoenprasodjo, 2005). Konsentrasi glukosa dalam darah harus dijaga agar konstan dan stabil, oleh karena itu, harus diusahakan agar konsentrasi glukosa dalam tubuh tidak terlalu rendah (hipoglikemia). Bila keadaan ini terjadi, gejala yang timbul adalah gugup, pusing, lemas, dan lapar. Akan tetapi, konsentrasi glukosa darah juga harus dijaga agar tidak meningkat terlalu tinggi, hal ini dikarenakan beberapa hal : (1) glukosa sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik dalam cairan ekstraseluler, dan bila konsentrasi glukosa meningkat berlebihan akan mengakibatkan terjadinya dehidrasi seluler, (2) sangat tingginya konsentrasi glukosa darah menyebabkan ditemukannya glukosa dalam urin, dan (3) keadaan-keadaan di atas dapat menimbulkan diuresis ginjal, yang akan mengurangi jumlah cairan tubuh dan elektrolit (Guyton, 1993). C. TANAMAN OBAT UNTUK TERAPI DIABETES MELITUS Salah satu cara untuk mengatasi diabetes melitus adalah dengan melakukan suatu terapi yang disebut sebagai terapi herbal. Terapi herbal merupakan proses penyembuhan diabetes melitus menggunakan ramuan yang dibuat dari tanaman berkhasiat obat (Utami, 2004). Saat ini, terapi herbal sedang populer dalam masyarakat. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah karena pengobatan jenis ini memiliki efek samping yang sedikit, harganya murah dan mudah didapat. Umumnya, terapi herbal dilakukan sebagai
pengobatan alternatif. Meskipun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang menggunakannya sebagai tindakan preventif. Menurut Utami (2004), beberapa definisi tanaman obat, diantaranya (1) tanaman obat merupakan suatu jenis tanaman yang sebagian, seluruh tanaman, dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan atau ramuan obat-obatan, (2) tanaman obat dibagi atas tiga kelompok, yaitu : •
Tanaman obat tradisional adalah jenis tanaman yang dipercaya masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.
•
Tanaman obat modern adalah jenis tanaman yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
•
Tanaman obat potensial adalah jenis tanaman yang mengandung senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara medis. Sedangkan definisi tanaman obat menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia adalah sebagai berikut : •
Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau disebut juga jamu.
•
Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan baku obat (prekursor).
•
Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstraknya digunakan sebagai obat. Berdasarkan dari definisi yang ada, maka daun X dapat dikategorikan
sebagai tanaman obat potensial yang ekstraknya digunakan sebagai obat. Tanaman obat adalah tanaman yang memiliki kegunaan sebagai obat. Kini, tanaman obat tidak hanya diperoleh dari alam, tetapi juga telah banyak yang dibudidayakan. Dalam Tabel 1 dapat dilihat berbagai macam tanaman obat, terutama yang dapat mengobati diabetes melitus.
Tabel 1. Tanaman-tanaman obat berkhasiat untuk diabetes melitus N o
Nama Tanaman
Mimba (Azadirachta indica) 2 Sambiloto Alpukat 3 (Persea sp.) Ciplukan 4 (Physalis peruviana L.) Daun sendok 5 (Plantago sp.) Kumis kucing 6 (Orthosiphon sp.) Lidah buaya 7 (Aloe vera L.) Pare 8 (Momordia charantia) Mengkudu 9 (Morinda citrifolia) Salam 10 (Syzigium polyanthum) Daun dewa 11 (Gynura segetum (Lour)) Sambung nyawa 12 (Gynura procumbens) Daun sembung 13 (Blumea balsamifera) Bawang putih 14 (Allium sativum L.) Brotowali 15 (Tinospora crispa) Sumber : Utami (2004) 1
Bagian Tanaman yang dimanfaatkan Daun, biji, kayu Daun, batang, akar Daun, biji, buah Daun, akar, batang Daun, akar, biji Daun Daun, bunga, akar Daun, buah, biji, akar Daun, akar, buah, kulit batang, bunga Daun, kulit batang, buah, akar Daun, akar, batang Daun Daun, akar, batang Umbi Kulit batang
Senyawa Aktif Azadurachtin, fenantenon Lakton, flavonoid Saponin, alkaloid, flavonoid Alkaloid, asam klorogenik Plantagin, aucubin Saponin, orthosipon glukosida Aloin, isobarbaloin, aleonin, aleosin Charantin, momordisin Morindin, morindon,soranjidiol Flavonoid, eugenol Saponin, flavonoid Alkaloid, saponin, flavonoid Flavonoid, kamper, tanin Garlisin, alliin, allistatin Alkaloid, kokulin
D. INSULIN Insulin pertama kali ditemukan oleh Frederick Banting dan Best pada tahun 1921 dengan mengikat saluran pankreas sehingga kelenjar eksokrin dan bagian asinar mengalami atropi. Insulin adalah suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel β dari pulau Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1 % massa pankreas. Insulin adalah salah satu hormon terpenting yang mengkoordinasikan penggunaan energi oleh jaringan. Efek metaboliknya adalah anabolik seperti sintesis glikogen, triasilgliserol dan
protein (Champe dan Harvey seperti dikutip oleh Rimbawan dan Siagian, 2004). Insulin dibentuk oleh 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai polipeptida (rantai A dan rantai B). Rantai A dihubungkan dengan rantai B melalui jembatan disulfida. Molekul insulin juga mengandung jembatan disulfida intramolekuler antara residu asam amino 6 dan 11 pada rantai A. Struktur insulin manusia berbeda dengan struktur insulin sapi atau babi. Pada rantai A, posisi asam amino treonin dan isoleusin (residu ke-8 dan ke-10) pada insulin manusia, berturut-turut digantikan oleh alanin dan valin. Sementara treonin pada ujung C (terminal-C) rantai B digantikan oleh alanin. Insulin babi berbeda dengan insulin manusia hanya pada ujung C rantai B, yaitu alanin menggantikan treonin pada insulin manusia (Rimbawan dan Siagian, 2004). Secara alami, kebutuhan insulin di dalam tubuh dipenuhi dengan mensintesisnya (biosintesis) dari dua prekursor, yaitu preproinsulin dan proinsulin. Sintesis ini berlangsung dalam sitoplasma sel β pankreas. Prekursor ini secara berurutan pecah membentuk hormon aktif. Insulin disimpan dalam sitosol dalam bentuk granula yang dengan rangsangan tepat dilepaskan oleh eksositosis. Insulin didegradasi oleh enzim insulinase yang terdapat dalam hati dan dalam jumlah kecil terdapat di ginjal. Insulin memiliki waktu paruh plasma sekitar 6 menit. Tahapan biosintesis insulin sebagai berikut : (1) gen yang memberi kode untuk insulin ditranskripsikan ke mRNA di nukleus, (2) setelah memasuki sitoplasma, mRNA ditranslasikan oleh polysom yang menempel ke retikulum endoplasma kasar, (3) sintesis polipeptida dimulai dengan pembentukan suatu sinyal peptida ujung-N yang menembus membran retikulum endoplasma kasar, (4) pemanjangan lanjutan mengarahkan rantai polipeptida ke dalam lumen retikulum endoplasma kasar yang menghasilkan preproinsulin, (5) sinyal peptida dipecah dan proinsulin dibentuk di ruang eksternal retikulum endoplasma kasar, (6) proinsulin diangkut dari retikulum endoplasma kasar ke kompleks golgi untuk dipecah membentuk insulin, (7) insulin dan C-peptida
terdapat dalam granula sekretori, (8) granula sekretori dilepaskan dari sitoplasma dengan mekanisme eksositosis (Rimbawan dan Siagian, 2004). Sekresi
insulin
oleh
sel
β
dari
pulau
Langerhans
pankreas
dikoordinasikan dengan pelepasan glukagon dari sel α pankreas. Jumlah relatif insulin dan glukagon yang dilepaskan oleh pankreas diatur sehingga laju pembentukan glukosa di hati dijaga agar sama dengan laju penggunaan glukosa pada jaringan perifer. Dari peran koordinasinya, sel β merespon berbagai rangsangan. Secara khusus, sekresi insulin ditingkatkan oleh glukosa, asam amino, hormon gastrointestinal dan glukagon. Insulin akan berikatan dengan reseptor insulin dan meningkatkan permeabilitas sel terhadap glukosa, asam amino, ion kalium, nukleosida, dan fosfat anorganik pada jaringan otot dan lemak, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel dan disimpan oleh tubuh. Gambaran kinerja insulin tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Di dalam otot, glukosa akan diubah menjadi glikogen, sedangkan pada jaringan lemak glukosa akan diubah menjadi trigliserida dan asam lemak. Penggunaan dan penyimpanan glukosa dalam otot dan jaringan lemak menyebabkan penurunan kadar glukosa dalam darah.
(a)
(b)
Gambar 1. Gambaran kinerja insulin terhadap sel, (a) glukosa darah ( ) tidak dapat masuk ke dalam sel tanpa insulin, (b) insulin ( ) menempel pada reseptor ( ) di dinding sel dan memungkinkan glukosa darah masuk ke dalam sel
Penurunan kadar glukosa darah akan merangsang pembentukan glukagon, adrenalin dari kelenjar adrenal, dan hormon pertumbuhan dari hipofise anterior yang akan merangsang proses glikogenolisis di hati. Kadar glukosa yang rendah juga merangsang terbentuknya glukokortikoid dari kelenjar adrenal yang merangsang proses glukoneogenesis di hati. Kedua mekanisme tersebut akan menghasilkan glukosa dan akan meningkatkan kadar glukosa darah dalam upaya menjaga stabilitasnya. E. PANKREAS Pankreas merupakan kelenjar yang besar dan memiliki peranan-peranan yang penting. Pankreas merupakan suatu organ yang lunak, terletak pada rongga perut di belakang lambung dan menempel memanjang pada limpa, bagian pangkalnya terletak dekat dengan duodenum sementara bagian ujungnya menempel pada limpa. Pankreas umumnya berwarna putih hingga merah muda. Dengan mata telanjang, permukaan pankreas terlihat memiliki banyak tonjolan (Ham dan Leeson, 1961 ; Roesma, 2005). Posisi pankreas dalam tubuh dapat dilihat pada Gambar 2. Pankreas merupakan kelenjar majemuk, terdiri dari kelenjar eksokrin yang menghasilkan enzim-enzim pankreas (pancreatic amylase, lipase, dan peptidase) yang dialirkan masuk ke dalam duodenum, dan kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon-hormon (insulin, glukagon, somatostatin, dan pancreatic polypeptide).
Hati Lambung
Pankreas
Usus Besar
Gambar 2. Posisi pankreas
Fungsi endokrin pankreas ada pada sekelompok sel yang telah ditemukan oleh Langerhans pada tahun 1869, sehingga sekelompok sel tersebut dinamakan ”pulau Langerhans” yang menghasilkan hormon. Terdapat empat jenis sel utama pada pulau Langerhans, yaitu sel α, sel β, sel γ dan sel δ. Sekitar 70 % sel-sel pulau Langerhans adalah sel β. Keempat sel tersebut memiliki aktivitas hormonal yang kemudian disekresi oleh pulau Langerhans pankreas. Hormon-hormon tersebut berperan penting dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Oleh sebab itu, pankreas sering disebut sebagai bagian dari sistem pencernaan. Dua hormon penting yang disekresi oleh pulau langerhans adalah yaitu hormon insulin yang disekresi oleh sel β dan hormon glukagon yang disekresi oleh sel α. (Ham dan Leeson, 1961). Kedua hormon ini berlawanan dalam keseluruhan kinerjanya dan dalam banyak hal disekresi pula secara berlawanan. Insulin merupakan hormon anabolik, meningkatkan simpanan glukosa, asam lemak, dan asam amino. Glukagon bersifat katabolik, memobilisasi glukosa, asam lemak dan asam amino dari tempat penyimpanan ke dalam darah. Glukagon dapat menyebabkan hiperglikemia, sebaliknya insulin menyebabkan hipoglikemia. Kekurangan insulin dapat menyebabkan diabetes melitus, kelebihan glukagon akan memperburuk diabetes melitus. Pada abad 19 telah diketahui bahwa perubahan pankreas berkaitan dengan penyakit diabetes melitus. Frerichs seperti dikutip oleh Gepts (1981) menyatakan bahwa ada perubahan besar pada pankreas di sebagian besar kasus penyakit diabetes melitus. Perubahan ini dapat terjadi secara kuantitatif maupun kualitatif. Perubahan kuantitatif pada pulau Langerhans dapat berupa pengurangan jumlah pulau Langerhans dimana pengurangan ini lebih banyak terjadi pada diabetes mellitus tipe 1 daripada diabetes melitus tipe 2. Perubahan ukuran pulau Langerhans akibat terjadinya hipertrofi dan perubahan proporsi pulau Langerhans akan lebih terlihat pada diabetes melitus tipe 1 (Gepts, 1981). Perubahan kualitatif yang terjadi berupa perubahan hidropik sel beta, hipertrofi pada sel beta, degranulasi pada sel beta, atrofi pada sel-sel pulau
Langerhans, perubahan inti, penimbunan lemak, fibrosis pulau Langerhans, kalsifikasi pulau Langerhans, infiltrasi sel-sel radang pada pulau Langerhans (insulinitis), amyloidosis, hialinisasi, dan kemungkinan regenerasi sel pada pulau Langerhans. Menurut Gepts (1981), penurunan sel beta terjadi hingga 90 % dari keadaan normal pada diabetes melitus tipe 1, dan penurunan terjadi sebanyak 50-60 % dari keadaan normal pada diabetes melitus tipe 2.
F. ALLOXAN Hewan seperti tikus, kelinci maupun monyet telah digunakan secara luas sebagai hewan model dalam penelitian diabetes melitus. Telah banyak bukti
yang
menunjukkan
bahwa
penggunaan
hewan
model
dapat
menggambarkan dengan baik berbagai keadaan diabetes pada manusia, baik dari aspek fisiologi maupun morfologi. Selain itu, hewan model juga merupakan sarana yang baik untuk memanipulasi beberapa keadaan yang tidak memungkinkan dilakukan pada manusia (Andayani, 2003). Rane dan Reddy seperti dikutip oleh Andayani (2003) menyatakan bahwa diabetes eksperimental pada hewan model dapat terjadi melalui beberapa
cara
diantaranya
dengan
pankreatektomi
ataupun
dengan
menggunakan bahan kimia diabetogenik, seperti alloxan dan streptozotosin dengan dosis yang dapat menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel-sel β pankreas, sehingga menghasilkan keadaan hiperglikemia permanen yang merupakan salah satu etiologi dari IDDM. Alloxan
(2,4,5,6-tetraoksipirimidine;5,6-dioksiurasil)
pertama
kali
ditemukan oleh Brugnatelli tahun 1818, tetapi Dunn et al seperti yang dikutip oleh Cooperstein dan Watkins (1981) melaporkan adanya toksisitas alloxan terhadap sel β, dimana alloxan dosis tinggi yang disuntikkan ke dalam tubuh kelinci mampu menimbulkan kematian sel-sel pulau Langerhans pada kelinci. Lukens seperti yang dikutip oleh Cooperstein dan Watkins (1981) kemudian melaporkan bahwa hewan percobaan seperti tikus dan kelinci yang disuntik alloxan mengalami kondisi hiperglikemik permanen, walaupun tidak dapat bertahan hidup lama untuk menderita diabetes. Dosis pemberian alloxan bervariasi tergantung pada spesies, nutrisi dan rute pemberian. Dosis
pemberian alloxan pada tikus umunya berkisar antara 70-120 mg/kg bobot tubuh tikus (Szkudelski, 2001). Struktur kimia alloxan dapat dilihat pada Gambar 3. O C
H C O
H
N
N C
C O
O Gambar 3. Struktur kimia Alloxan Akumulasi alloxan dalam tubuh meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit jantung, multiple sclerosis, arthritis, kanker payudara dan kolon, serta diabetes. Dosis pemberian alloxan bervariasi tergantung pada spesies, nutrisi, dan rute pemberiannya (Szkudelski, 2001). Injeksi alloxan akan mempengaruhi kadar glukosa darah, yang apabila diplotkan dalam kurva, terbagi atas tiga fase. Fase pertama, yaitu 1-4 jam setelah injeksi, adalah terjadinya hiperglikemia. Kemudian diikuti dengan hipoglikemia pada selang waktu 6-12 jam setelah injeksi. Akhirnya pada fase ketiga terjadi hiperglikemia permanen, yaitu pada 12-24 jam setelah induksi (Cooperstein dan Watkins, 1981). Pengaruh alloxan di dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh kadar thiol dalam darah (semakin tinggi kadar thiol, maka pengaruh alloxan akan semakin rendah), genetik, tempat dan cara pemberian, lama pemberian, serta umur hewan percobaan. Afinitas alloxan terhadap komponen sel yang memiliki gugus thiol, gluthation tereduksi (GSH), sistein, dan kelompok protein (termasuk enzim) bergugus thiol, sangat tinggi. Glukokinase merupakan suatu enzim yang mengandung gugus thiol dan berperan penting dalam sekresi insulin dengan induksi glukosa. Dengan demikian, glukokinase sangat mudah bereaksi dengan alloxan membentuk ikatan disulfida dan menyebabkan inaktivasi enzim (Szkudelski, 2001).
Reduksi alloxan akan menghasilkan asam dialurat disertai adanya radikal oksigen (O2•) yang menghadirkan hidrogen peroksida (H2O2). Adanya reaksi Fenton dengan logam bebas seperti Fe akan dapat menghasilkan radikal hidroksil yang sangat reaktif. Radikal bebas yang terjadi merusak sel β pankreas sehingga mengganggu produksi insulin (Andayani, 2003). G. ANALISIS HISTOLOGI Mikroteknik atau teknik histologi merupakan ilmu atau seni mempersiapkan organ, jaringan atau bagian jaringan untuk diamati dan ditelaah. Penelaahan umumnya dilakukan dengan bantuan mikroskop, karena struktur jaringan secara terperinci pada galibnya terlalu kecil untuk diamati dengan mata telanjang. Metode yang umum digunakan dalam teknik histologi adalah sediaan utuh, sediaan irisan, sediaan uraian, sediaan ulasan, sediaan rentang, sediaan gosok dan sediaan supravital (Gunarso, 1989). Metode sediaan utuh mempersiapkan sediaan yang terdiri atas keseluruhan organisme, baik hewan maupun tumbuhan, secara utuh, spesimen kultur, organ maupun bagian organ, embrio, sel telur, spermatozoa, potongan saraf, pembuluh darah, jenis-jenis selaput tipis dan sebagainya. Metode sediaan irisan dianggap sebagai teknik baku bagi penyiapan spesimen histologi maupun histopatologi. Tebal tipisnya sayatan tergantung pada pengalaman serta tujuan penyiapan spesimen. Tebal sayatan yang umum berkisar antara 6-15 mikron. Metode sediaan uraian dapat berarti juga pembedahan dalam skala kecil, tingkatnya berada antara pembedahan biasa (regular dissecting) dan pembedahan
mikro
(micro
dissecting).
Metode
ini
memungkinkan
dilakukannya penguraian organ maupun jaringan menggunakan jarum pengurai. Metode sediaan ulas merupakan pengerjaan preparat dengan penyapuan sampel jaringan pada gelas preparat, sampel yang diamati umumnya berbentuk cairan. Metode sediaan rentang memungkinkan organ untuk mendekati keadaan aslinya dengan perentangan. Metode sediaan gosok diberlakukan terhadap jaringan yang keras sifatnya, seperti tulang, gigi, kuku dan organ lain yang sulit untuk dijadikan sayatan. Metode sediaan supravital
merupakan metode yang menggunakan jaringan tanpa difiksasi. Dengan kata lain, jaringan masih dalam keadaan hidup dan dapat diamati pertumbuhan, perkembangan serta fungsinya. Metode parafin merupan metode irisan yang merupakan metode rutin atau standar. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam metode ini adalah : (1) pembiusan (narcose), (2) pengambilan jaringan (diseksi), (3) fiksasi (fixation), (4) pencucian (washing), (5) dehidrasi (dehydration), (6) penjernihan (clearing), (7) infiltrasi (infiltration), (8) penanaman (embedding), (9) penyayatan
(sectioning),
(10)
afiksing
(afixing),
(11)
deparafinisasi
(deparaffination), dan (12) pewarnaan (staining). Pembiusan tidak mutlak dilakukan, tetapi tergantung pada jenis hewan yang akan diambil jaringannya untuk dijadikan preparat mikroteknik. Penelaahan yang menyangkut kelenjar-kelenjar (endokrinologi) umumnya tidak memerlukan proses pembiusan, karena mungkin akan berpengaruh terhadap hormon-hormon yang terkandung di dalamnya. Fiksasi bertujuan untuk mematikan (menghentikan proses-proses metabolisme) jaringan dengan cepat sehingga keadaannya sedikit banyak mendekati keadaan aslinya, mencegah autolisis dan menaikkan daya pewarnaan karena adanya bahanbahan keras (mordant) yang merupakan kombinasi cairan fiksatif. Pencucian (washing) dapat dilakukan sebelum dan setelah fiksasi serta setelah pewarnaan. Biasanya pencucian memerlukan waktu yang lebih lama daripada
fiksasi
atau
pembiusan.
Tujuan
pencucian
adalah
untuk
menghilangkan cairan maupun bahan yang masih tertinggal pada jaringan yang tidak terikat jaringan maupun berlebihan sifatnya. Cairan pencuci yang digunakan umumnya adalah air dengan selalu diganti baru atau dialirkan. Dalam penelitian ini dilakukan pencucian organ sebelum fiksasi dengan NaCl fisiologis. Organ yang telah difiksasi dengan larutan Bouin, langsung dimasukkan dalam alkohol 70 %. Dehidrasi merupakan langkah penting yang memerlukan perlakuan yang prosesnya tidak terputus-putus. Dehidrasi adalah proses pengeluaran air dari dalam jaringan dengan menggunakan bahan-bahan kimia tertentu. Kesalahan yang terjadi dalam dehidrasi dapat mengakibatkan terhalangnya
proses penanaman dalam parafin (embedding) yang merupakan proses lanjutan setelah dehidrasi tersebut, karena mungkin tisu akan menjadi keras dan rapuh jika terlalu lama didehidrasi. Dehidran yang paling umum digunakan dalam metode mikroteknik media parafin adalah alkohol, dioksan, N-butil alkohol, minyak anilin dan minyak bergamot. Tujuan utama penjernihan adalah menggantikan tempat alkohol dalam jaringan yang telah mengalami proses dehidrasi dengan suatu solven atau medium penjernih
menjelang proses penanaman sebelum dilakukan
penyayatan. Setelah dilakukan penjernihan, jaringan akan tampak transparan. Xylol merupakan penjernih yang paling sering digunakan karena murah, bekerja
cepat,
membuat
jaringan
cepat
menjadi
transparan,
cepat
menyingkirkan dan mengganti kedudukan alkohol dari proses dehidrasi. Xylol sendiri tempatnya mudah digantikan oleh parafin waktu proses infiltrasi dan cepat pula menggantikan kedudukan parafin dalam proses deparafinisasi selama proses pewarnaan. Infiltrasi adalah usaha menyusupkan media penanaman (embedding media) ke dalam jaringan dengan jalan menggantikan kedudukan dehidran dan bahan penjernih (clearing agents). Media penanam yang umum digunakan adalah parafin. Parafin dibedakan berdasarkan titik didihnya, jadi ada yang bertitik didih 48, 54, 56, dan 58 oC. Untuk jenis jaringan hewan umumnya digunakan parafin bertitik didih 58 oC. Proses infiltrasi parafin dilaksanakan dan dilangsungkan dalam dua cara, yaitu dengan oven biasa dan oven vakum. Penanaman (embedding) merupakan proses memasukkan atau menanam jaringan ke dalam blok-blok parafin (cetakan) sehingga memudahkan pada saat penyayatan dengan bantuan mikrotom. Proses penyayatan mencakup berbagai cara yang akan menghasilkan sayatan tipis. Afiksasi merupakan proses perlekatan atau penetapan sayatan jaringan pada kaca preparat dengan bantuan media perekat tertentu. Dalam penelitian ini penyayatan dilakukan dengan mikrotom. Hasil sayatan diapungkan dalam akuades dan dibentangkan dalam akuades hangat (35-40 oC). Sayatan yang baik kemudian ditempelkan pada gelas obyek.
Pewarnaan dilakukan dengan tujuan mempertajam dan memperjelas berbagai elemen jaringan, terutama sel-selnya, sehingga dapat dibedakan dan ditelaah dengan mikroskop. Tanpa pewarnaan, jaringan akan transparan sehingga sukar untuk melakukan penelaahan melalui mikroskop. Pewarnaan akan memperjelas rinci suatu jaringan sehingga mudah untuk dipelajari. 1. Pewarnaan hematoksilin-eosin Pewarnaan hematoksilin-eosin merupakan salah satu teknik pewarnaan ganda. Dalam pewarnaan ganda, umumnya pewarna yang digunakan satu bersifat asam sedangkan yang lain bersifat basa. Paduan sifat demikian adalah menyebabkan bagian-bagian jaringan yang bersifat asidolitik dan basolitik dapat ditonjolkan. Hematoksilin selalu digunakan lebih dahulu, dan baru setelah melalui proses diferensiasi, maka barulah eosin digunakan. Pertukaran tempat keduanya tampaknya akan menimbulkan kesukaran, karena pewarna hematoksilin akan mewarnai jauh lebih cepat daripada pewarna paduannya yang umum berperan sebagai counterstain yang intensitas pewarnannya dapat diatur tanpa mempengaruhi pewarnaan hematoksilin. 2. Pewarnaan imunohistokimia Imunohistokimia adalah metode pewarnaan jaringan yang merupakan gabungan dari tiga cabang ilmu, yaitu imunologi karena prinsip pewarnaan ini adalah ikatan antara antigen dan antibodi, histologi karena menyangkut penggunaan preparat dengan ketebalan mikro yang pengamatannya dilakukan dengan mikroskop cahaya, dan ketiga adalah kimia karena pewarnaan dilakukan berdasarkan reaksi kimia. Manfaat dari teknik imunohistokimia adalah untuk mempelajari distribusi enzim yang spesifik serta mendeteksi keberadaan komponen sel, serta biomakromolekul seperti protein, karbohidrat dan enzim termasuk antioksidan (Griffith dan Hoppeler, 1986). Proses pengamatan, deteksi dan identifikasi dilakukan dengan menggunakan bantuan mikroskop cahaya, terhadap kompleks antigen-
antibodi yang telah dilabel sebelumnya. Menurut Kuhlmann (1984), substansi yang cocok untuk melabel kompleks antigen-antibodi tersebut adalah yang dapat memberi reaksi warna yang tegas, yaitu kromogen. Kromogen yang digunakan dalam metode imunohistokimia pada penelitian ini adalah DAB (diaminobenzidine) yang menghasilkan kromoganin berupa endapan coklat. Kromoganin tersebut akan timbul dengan adanya substrat H2O2 dan peroksidase. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah polymer peroxidase. Metode ini merupakan salah satu metode dari teknik imunohistokimia yang menggunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer (antibodi monoklonal terhadap insulin) dan antibodi sekunder yang telah dikonjugasi dengan peroxidase. Kelebihan metode ini adalah penggunaan antibodi sekunder (Dako Envision Peroxidase) yang telah dikonjugasikan peroxidase sehingga bereaksi dengan berbagai jenis antibodi monoklonal yang disekresi oleh beberapa jenis hewan. H. TIKUS Sprague-Dawley Terdapat lima macam basic stock tikus putih yang biasa digunakan, yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan Wistar (Muchtadi, 1989). Tikus Sprague Dawley (Gambar 4) telah diketahui sifatnya dengan baik, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan peka terhadap pengaruh perlakuan dalam komponen dietnya.
Gambar 4. Tikus Sprague Dawley
Beberapa karakteristik tikus Sprague Dawley adalah: (1) Nocturnal, berarti aktif pada malam hari dan tidur di siang hari, (2) Tidak mempunyai kantung empedu (gall blader), (3) Tidak dapat mengeluarkan isi perutnya (muntah), dan (4) Tidak pernah berhenti tumbuh, walaupun kecepatannya menurun setelah berumur 100 hari. Zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tikus hampir sama dengan manusia, yaitu: (1) karbohidrat, (2) minyak atau lemak, (3) protein, (4) mineral atau elemen anorganik, dan (5) vitamin (Muchtadi, 1989).
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan 1. Bahan Pengujian Aktivitas Hipoglikemik Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun X, tikus Rattus novergicus strain Sprague Dawley jantan dengan berat ± 150–250 gram yang diperoleh dari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, akuades, obat diabetes Amaryl® 1 mg, ransum pelet merk SINTA (diperoleh dari penyalur resmi di Cibanteng, Kabupaten Bogor), sekam, alloxan, kristal NaCl murni, larutan NaCl fisiologis, kapas, obat antiseptik dan alkohol 70 %. 2. Bahan Ekstraksi dan Analisis Fisiko-Kimia Tepung Ekstrak Daun X dan Ransum Pelet Akuades, n-heksana, kertas saring, kapas, HCL 0.01 N, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, H3BO3, indikator merah metil 0.2 % dalam alkohol, metilen blue 0.2 % dalam alkohol dan Na2S2O3. 3. Bahan Sampling dan Analisis Jaringan Pankreas Pada akhir penelitian diperlukan serum darah tikus, organ pankreas, kertas label, kertas film, larutan pemfiksasi organ (larutan Bouin yang terdiri dari asam pikrat jenuh, formalin p.a, dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15 : 5 : 1), alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70, 80, 90 dan 95 %, serta alkohol absolut I, II, III), xylol I, II, III, parafin cair I, II, dan III. Bahan lain yang juga diperlukan akuades, air kran, gliserin, pewarna Hematoxylin-Eosin, entelan, pemucat Hematoxylin (HCl 0.5% dalam alkohol 70%), serta bahan perekat preparat (neophren : toluen = 1 : 9), Na2HPO4.12H2O, NaH2PO4.2H2O,
NaCl, NaOH, HCl,
timerosal,
deionized water, antibodi monoklonal insulin, es batu dan reagen-reagen untuk analisis kolesterol lengkap serta HbA1c.
B. Alat 1. Alat Penanganan Tikus Alat-alat penanganan tikus terdiri dari pembuat larutan ekstrak (neraca analitik, sudip, gelas piala), sonde, glukometer Elite® beserta stripnya, alat pemeliharaan tikus (kandang, botol minum, plastik klip dan wadah ransum), timbangan tikus dan alat pembedahan serta pengambilan sampel (papan bedah, tissue, aluminium foil, gunting, pinset, cawan petri, syringe, microsentrifuse tube, tabung sentrifus dan sentrifus). 2. Alat Penanganan daun X Alat pembuatan tepung daun X meliputi oven, willey mill dan blender kering. Alat pembuatan ekstrak terdiri dari gelas piala 1000 ml, hotplate, gelas pengaduk, corong, kain saring, rotary evaporator dan freeze-dryer. 3. Alat Analisis Fisiko-Kimia Tepung Ekstrak Daun X dan Ransum Pelet Alat-alat yang digunakan dalam analisis fisiko-kimia adalah sudip, neraca analitik, cawan aluminium, oven, desikator, cawan porselin, tanur, labu lemak, tabung Soxhlet, heating mantle, labu Kjeldahl, hotplate, destilator, labu Erlenmeyer, buret, pH meter, labu takar, tissue, sendok, tabung sentrifuse, sentrifuse, pipet dan vortex. 4. Alat Analisis Jaringan Pankreas Alat-alat pengamatan histologi yang digunakan adalah inkubator, tabung film, silet, tissue embedding console, bunsen, cetakan pagoda, balok kayu (ukuran 3 cm x 1 cm x 1 cm), mikrotom, penangas, gelas obyek, gelas penutup, staining jar, corong gelas, lap, stop watch, kotak preparat dan mikroskop, gelas ukur, magnetic stirer, kertas saring, alumunium foil, akuades dalam botol semprot, styrofoam, jarum, mikrotip, label, keranjang preparat, handuk, dan refrigerator.
C. Metode Penelitian 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah pembuatan tepung ekstrak daun X serta analisis fisiko-kimia. Analisis fisiko-kimia hanya dilakukan terhadap tepung daun X sedangkan pelet ransum tikus hanya diujikan secara kimia. Analisis fisika yang dilakukan terhadap daun X meliputi penentuan rendemen, kapasitas pengikatan air dan indeks kelarutan air. Analisis kimia yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat pangan dan kadar karbohidrat (by difference). a. Pembuatan tepung ekstrak daun X Daun X kering diblender kering dan ditimbang bobot awalnya. Daun X kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi akuades dan dipanaskan dengan pengadukan di atas penangas listrik selama dua jam hingga volumenya berkurang 50 %. Hasil pemanasan kemudian disaring menggunakan kertas saring untuk memperoleh filtratnya. Filtrat dipekatkan menggunakan rotary evaporator bersuhu 75 oC selama satu jam.
Filtrat
pekatan
kemudian
dikeringbekukan
(freeze
dried)
menggunakan freeze dryer. Tepung yang diperoleh kemudian ditimbang untuk menentukan rendemen. b. Analisis fisiko-kimia Prosedur analisis fisika yang dilakukan terhadap daun X adalah sebagai berikut : 1) Penentuan rendemen daun X Rendemen daun X dihitung berdasarkan bobot keringnya. Rendemen daun X dapat dihitung dengan rumus :
Bobot tepung ekstrak daun X Rendemen (%) = ----------------------------------------- x 100 % Bobot tepung daun X 2) Kapasitas Pengikatan Air dan Indeks Kelarutan Air, metode Anderson (Paton dan Spratt, 1984) Sebanyak 2.5 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse yang telah diketahui bobotnya (t), kemudian ditambahkan 25 ml akuades, divortex agar seluruh sampel terdispersi dalam air. Tabung berisi suspensi kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot awalnya (a-t). Setelah itu, tabung disentrifusi dengan kecepatan 2000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh dituang secara hati-hati ke dalam wadah lain yang telah diketahui bobotnya untuk mengetahui bobot supernatan (b). Sementara itu, 2 ml supernatan ditempatkan dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (x). Cawan tersebut kemudian dipanaskan dalam oven bersuhu 105 oC selama satu jam. Setelah satu jam, cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang kembali (d). Indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air ditentukan dengan rumus berikut : (a-t) - b Indeks penyerapan air (g/g) = --------------------bobot sampel d-x Indeks kelarutan air (g/ml) = ---------------------volume sampel
Prosedur analsis kimia yang dilakukan terhadap daun X dan pelet ransum tikus adalah sebagai berikut : 1) Kadar Air (AOAC, 1995)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator hingga mencapai suhu ruang, kemudian ditimbang (A). Neraca di-nol-kan lalu sebanyak + 5 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang kembali (B). Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 100
o
C selama enam jam. Selanjutnya cawan berisi sampel
dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Setelah itu dilakukan penimbangan akhir hingga bobotnya konstan (C). B-(C–A) Kadar air (% b/b) = ----------------------- x 100 % B-A
2) Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 500
o
C,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sebanyak 3-5 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang kembali (B). Cawan berisi sampel kemudian dibakar di atas hotplate hingga tidak berasap lagi, lalu dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 500 oC selama enam jam hingga diperoleh abu berwarna putih. Selanjutnya cawan berisi sampel dikeluarkan dari tanur dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Setelah itu dilakukan penimbangan akhir (C). C-A Kadar abu (% b/b) = ---------------- x 100 % B-A
3) Kadar Protein Kasar (metode Kjeldahl) (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 0.1-0.15 gram ditimbang, kemudian dimasukan ke dalam labu Kjeldahl. Ditambahkan 2 ml H2SO4 pekat, 1.9 gram
K2SO4, 40 mg HgO dan beberapa batu didih. Sampel didestruksi hingga larutan berwarna jernih. Setelah dingin, ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan dan kemudian didinginkan. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi, labu dicuci dan dibilas 2-3 kali dengan akuades dan air cuciannya dipindahkan ke dalam alat destilasi dengan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi larutan 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran 1 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol dengan 1 bagian metilen blue 0.2 % dalam alkohol) dihubungkan dengan destilator, dimana ujung saluran destilator harus terendam di dalam larutan H3BO3. Selanjutnya dilakukan destilasi hingga tertampung kira-kira 15 ml destilat berwarna hijau dalam Erlenmeyer. Selanjutnya destilat dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi ungu dan dilakukan juga titrasi blanko. (ml HCL – ml blanko) % N = ---------------------------------- x N x 14.007 x 100 mg sampel % protein = % N x 6.25 4) Kadar Lemak Kasar Metode Soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 100 oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sebanyak + 5 gram sampel dibungkus kertas saring dan dimasukkan ke dalam tabung Soxhlet. Kondensor dirangkaikan pada bagian atas dan bagian bawahnya dihubungkan dengan labu lemak yang berisi 30 ml pelarut heksana di atas heating mantle. Refluks dilakukan selama kira-kira enam jam. Setelah itu, sampel dikeluarkan dari tabung Soxhlet dan dilakukan destilasi heksana. Labu lemak yang berisi lemak sampel hasil ekstraksi kemudian dipanaskan dalam oven bersuhu 105 oC selama 30 menit hingga pelarut menguap seluruhnya. Setelah dikeluarkan
dari oven, labu lemak didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan kemudian ditimbang (B). B-A Kadar lemak (%) = --------------------- x 100 % Bobot sampel
5) Kadar serat pangan, metode enzimatik Sebanyak 2 gram sampel diekstrak lemaknya dengan petroleum eter selama 15 menit. Kemudian diambil 1 gram dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan 25 ml 0.1 M buffer fosfat pH 6.0 serta dicampur secara menyeluruh. Lalu ditambahkan 0.1 ml alpha amylase (termamyl 120 l) dan labu ditutup dengan aluminium foil. Diinkubasi dalam penangas air panas (80 oC) bergoyang selama 15 menit. Selanjutnya dibiarkan dingin dan ditambahkan 20 ml air destilata, pH diatur menjadi 1.5 dengan HCl dan elektroda dibersihkan dengan beberapa ml air. 0.1 gram pepsin ditambahkan, ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40
o
C selama 60 menit, kemudian
ditambahkan 20 ml air destilata dan diatur pH menjadi 6.8 dengan NaOH dan elektroda kembali dibersihkan dengan 5 ml air. Selanjutnya ditambahkan 0.1 gram pankreatin, kemudian labu ditutup dengan aluminium foil dan kembali diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 oC selama 60 menit, serta pH diatur menjadi 4.5 dengan HCl. Kemudian disaring dengan crucible, dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata. Residu (Insoluble fiber). Residu dalam crucible dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 90 % dan 2 x 10 ml aseton. Crucible dikeringkan pada suhu 105 oC sampai bobot tetap dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan pada suhu 550
o
C selama 5 jam, lalu
didinginkan dalam desikator dan ditimbang (L1).
Filtrat (Soluble fiber). Volume filtrat diatur dan dicuci dengan air sampai 100 ml, kemudian ditambahkan 400 ml etanol 95 % hangat (60 oC) dan dibiarkan presipitasi selama satu jam (waktu dapat diperpendek). Lalu disaring dengan crucible yang kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 gram celite, selanjutnya dicuci berturut-turut dengan 2 x 10 ml etanol 78 %, 2 x 10 ml etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton. Setelah filter gelas dikeringkan dalam desikator (D2), dan terakhir diabukan pada suhu 550 oC selama 5 jam serta ditimbang setelah pendingingan dalam desikator (L2). Dilakukan pula perhitungan nilai serat blanko dengan menggunakan prosedur di atas tetapi tanpa menggunakan sampel. Perhitungan: % serat pangan tak larut
= [ (D1-L1-B1) / W] x 100% ….(1)
% serat pangan larut
= [ (D2-L2-B2) / W] x 100% ….(2)
% Total serat pangan
= (1) + (2)
Keterangan: W = berat sampel (gram) D = berat setelah pengeringan (gram) L = berat setelah pengabuan (gram) B = berat blanko bebas abu (gram) 6) Kadar karbohidrat (by difference) Perhitungan
kadar
karbohidrat
dilakukan
dengan
metode
pengurangan (by difference) sebagai berikut : Kadar karbohidrat (%) = 100%--(kadar air + abu + protein + lemak) %
2. Penelitian Utama Penelitian utama akan menguji pengaruh dosis tepung ekstrak daun X terhadap kadar glukosa darah tikus, yang menderita diabetes melitus tipe I
akibat induksi alloxan secara intraperitoneal, bila dibandingkan dengan pengaruh obat diabetes komersial. a. Masa adaptasi hewan percobaan Tikus percobaan diadaptasikan terlebih dahulu sebelum diberi perlakuan. Masa adaptasi bertujuan untuk membiasakan tikus terhadap lingkungan percobaan dan juga untuk menstabilkan bobot tubuh tikus minimal pada angka 150 gram. Setelah tikus berbobot minimal 150 gram, tikus siap untuk diinjeksi alloxan dan dibagi menjadi kelompokkelompok perlakuan. Tikus-tikus yang akan dijadikan kelompok kontrol negatif, dipisahkan. b. Injeksi alloxan Injeksi alloxan dilakukan untuk menginduksi tikus percobaan agar menderita diabetes melitus tipe I. Untuk memudahkan perhitungan dosis injeksi, dibuat larutan stok alloxan dengan konsentrasi 5 % (5 gram alloxan dalam 100 ml NaCl fisiologis). Dosis alloxan yang digunakan adalah 100 mg/kg bobot tubuh tikus (Kesenja, 2005). Sebelum dilakukan injeksi, tikus dipuasakan selama satu malam. Injeksi alloxan dilakukan secara intraperitoneal pada semua tikus, kecuali tikus yang telah dipisahkan sebagai kontrol negatif. Setelah diinjeksi, tikus diberi ransum pelet dan air minum. c. Seleksi tikus dan kelompok perlakuan Dua hari setelah tikus diinjeksi, tikus diukur glukosa darahnya menggunakan perangkat glukometer Elite®. Pengukuran glukosa darah dilakukan dengan mengambil darah dari ekor tikus, yang telah dibersihkan, sebanyak satu tetes. Darah tikus tersebut kemudian diteteskan pada strip glukometer yang telah terpasang pada glukometer Elite®. Hanya tikus yang memiliki kadar glukosa darah spontan lebih dari 250 mg/dl yang digunakan dalam perlakuan.
Tikus yang telah terseleksi berdasarkan kadar glukosa darah kemudian dibagi ke dalam delapan kelompok perlakuan, yaitu : 1)
Kelompok K(-) : kelompok kontrol negatif, tidak menderita diabetes melitus tipe I, diberi ransum pelet, tanpa disonde larutan ekstrak daun X.
2)
Kelompok K(+) : kelompok kontrol positif, menderita diabetes melitus tipe I, diberi ransum pelet, tanpa disonde larutan ekstrak daun X.
3)
Kelompok A : menderita diabetes melitus tipe I, diberi ransum pelet, disonde 1 ml larutan ekstrak daun X per hari yang mengandung 8 mg tepung ekstrak daun X.
4)
Kelompok B : menderita diabetes melitus tipe I, diberi ransum pelet, disonde 1 ml larutan ekstrak daun X per hari yang mengandung 16 mg tepung ekstrak daun X.
5)
Kelompok C : menderita diabetes melitus tipe I, diberi ransum pelet, disonde 1 ml larutan ekstrak daun X per hari yang mengandung 32 mg tepung ekstrak daun X.
6)
Kelompok D : menderita diabetes melitus tipe I, diberi ransum pelet, disonde 1 ml larutan ekstrak daun X per hari yang mengandung 64 mg tepung ekstrak daun X.
7)
Kelompok E : menderita diabetes melitus tipe I, diberi ransum pelet, disonde 1 ml larutan ekstrak daun X per hari yang mengandung 128 mg tepung ekstrak daun X.
8)
Kelompok F : menderita diabetes melitus tipe I, diberi ransum pelet, disonde 1 ml larutan obat Amaryl® per hari yang mengandung 0.018 mg obat. Setiap kelompok perlakuan terdiri dari empat ekor tikus. Perlakuan
terhadap tikus dibagi menjadi dua, yaitu perlakuan ekstrak daun X selama 30 hari pertama dan perlakuan tanpa ekstrak daun X selama 30 hari kedua. Total waktu seluruh perlakuan adalah 60 hari. Selama perlakuan berlangsung akan dilakukan pengukuran kadar glukosa darah,
pengukuran bobot tubuh, pengukuran konsumsi ransum, analisis kolesterol dan analisis histologi jaringan pankreas pada akhir perlakuan. d. Pengukuran kadar glukosa darah Pengukuran kadar glukosa darah tikus perlakuan dilakukan setiap lima hari sekali selama 28 hari pertama dan setiap tujuh hari selama 32 hari kedua. Seperti pengukuran glukosa darah saat seleksi tikus, darah diambil dari ekor tikus yang telah dibersihkan sebanyak satu tetes yang kemudian diteteskan pada strip glukometer. Kadar glukosa darah akan terukur pada glukometer Elite® setelah 30 detik dan dinyatakan dalam satuan mg/dl. e. Pengukuran bobot tubuh Bobot tikus dipantau dengan cara menimbang tikus menggunakan timbangan tikus. Penimbangan pertama dilakukan pada saat tikus diabetes telah terseleksi. Penimbangan selanjutnya dilakukan setiap tiga hari selama 60 hari dimulai saat tikus diberi sampel hingga akhir perlakuan. Bobot tikus dinyatakan dalam satuan gram. f. Pengukuran jumlah konsumsi ransum pelet Pengukuran konsumsi ransum pelet dilakukan setiap hari selama 60 hari. Tujuan dilakukan pengukuran adalah mengetahui jumlah ransum pelet harian yang dikonsumsi oleh tiap ekor tikus perlakuan. Konsumsi ransum pelet dapat ditentukan dengan mengumpulkan dan menimbang ransum sisa. Ransum sisa yang dikumpulkan, dipisahkan terlebih dahulu dari sekam yang tercampur dalam ransum. Setelah bersih, sisa ransum ditimbang dengan neraca analitik dan dinyatakan dalam satuan gram. Jumlah konsumsi ransum dihitung dengan mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum yang telah ditimbang.
g. Pembedahan tikus Pembedahan tikus dilakukan seteleh masa perlakuan pertama dan kedua berakhir, yaitu pada hari ke-31 dan hari ke-61. Tikus yang akan dibedah dipingsangkan terlebih dahulu dengan metode dislocatio cervicalis (Gambar 5). Saat pembedahan dilakukan pengambilan darah, dan pankreas. Darah diambil dari organ jantung menggunakan syringe bervolume 5 ml. Darah disentrifusi 3000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan serum dan sel-darah merah. Serum darah diambil untuk analisis kolesterol lengkap. Pankreas yang telah diambil dicuci dengan larutan NaCl 0.9 % kemudian dimasukkan ke dalam larutan fiksatif Bouin untuk kemudian dianalisis histologi.
Gambar 5. Dislocatio cervicalis h. Analisis kolesterol serum Analisis kolesterol serum secara lengkap dilakukan dengan mengirim sampel serum darah ke laboratorioum klinik. Analisis kolesterol lengkap yang dilakukan meliputi analisis kadar kolesterol total, kadar trigliserida, kadar HDL dan kadar LDL darah. Prosedur analisis kolesterol lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Prosedur analisis kolesterol lengkap Parameter Total Trigliserida HDL Kolesterol Serum Serum Serum tidak tidak tidak Sampel hemolisis hemolisis hemolisis 10 10 100 Volume (μl)
Metode Suhu (oC)
Kolorimetrik, Kolorimetrik, Panjang Panjang gelombang gelombang 546 nm 546 nm 25-30
Precipitat, Panjang gelombang 546 nm
25-30
30
LDL Serum tidak hemolisis 500 Direct Precipitat, Panjang gelombang 546 nm 30
i. Analisis hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) Analisis hemoglobin terglikosilasi dilakukan dengan mengirim sampel darah ke laboratorium klinik. Analisis hemoglobin terglikosilasi dilakukan dengan metode sebagai berikut : Sampel
: Darah EDTA
Metode
: High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Persiapan hemolysat Pembacaan glikohemoglobin secara spektrofotometri Panjang gelombang 415 nm
j. Analisis histologi jaringan pankreas Analisis histologi jaringan pankreas dilakukan untuk melihat perubahan pada pulau Langerhans. Analisis histologi dilakukan dengan pembuatan preparat dari organ pankreas seluruh tikus perlakuan. Pembuatan preparat tersebut dilakukan dalam delapan tahap, yaitu pengambilan sampel, pengawetan, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi parafin, pencetakan, pemotongan dan pewarnaan.
1) Pengambilan sampel (sampling) Sampel berupa jaringan pankreas tikus perlakuan diambil saat pembedahan. Setelah dilakukan dislocatio cervicalis, tikus dibedah dan diambil pankreasnya. Pankreas kemudian dicuci dalam NaCl 0.9 % dan dimasukkan ke dalam larutan fiksatif Bouin. 2) Pengawetan (fiksasi) Pengawetan dilakukan dalam larutan fiksatif Bouin selama 24 jam sejak jaringan pankreas dimasukkan. Larutan Bouin dibuat satu hingga dua jam sebelum dilakukan pengambilan sampel. Larutan Bouin dibuat dari campuran asam pikrat jenuh, formalin p.a dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15 : 5 : 1. setelah 24 jam dalam larutan Bouin, pankreas dipindahkan ke dalam alkohol 70 % untuk menghentikan proses pengawetan. Fase penghentian ini disebut juga sebagai stopping point. Dalam fase ini pankreas sudah terfiksasi sempurna dan siap untuk dilakukan tahap selanjutnya. 3) Dehidrasi Dehidrasi dilakukan untuk menarik air secara perlahan-lahan dari dalam jaringan. Dehidrasi dilakukan dengan menggunakan larutan alkohol bertingkat. Dalam persiapan dehidrasi, jaringan pankreas yang berada pada fase stopping point dalam alkohol 70 % dipotong melintang dengan ukuran ketebalan ± 0.3 mm menggunakan silet. Kemudian potongan jaringan pankreas tersebut dimasukkan ke dalam tissue cassete, dan dilakukan perendaman dalam alkohol bertingkat, dimulai dari alkohol 80 % selama 24 jam, kemudian dipindahkan dalam alkohol 90 % selama 24 jam, larutan alkohol 95 % selama 1224 jam, alkohol absolut I selama 1 jam, alkohol absolut II selama 1 jam, dan alkohol absolut III selama 1 jam.
4) Penjernihan (Clearing) Penjernihan merupakan tahapan lanjutan dari dehidrasi yang dilakukan
secara
serta
merta.
Tahap
ini
dilakukan
untuk
menjernihkan dan menghilangkan sisa alkohol dari dalam jaringan pankreas. Setelah perendaman dalam alkohol absolut III, penjernihan segera dilakukan dengan perendaman dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama 1 jam, dan xylol III selama 30 menit pada suhu ruang dan 30 menit pada oven yang bersuhu 65 oC. 5) Infiltrasi parafin Infiltrasi parafin dilakukan untuk memudahkan pemotongan. Parafin larut dalam xylol, sehingga dalam infiltrasi diharapkan agar xylol yang telah masuk ke seluruh bagian jaringan dapat digantikan oleh parafin yang akan memudahkan proses pemotongan. Potongan pankreas yang berada dalam xylol III dikeluarkan dari tissue cassete untuk dimasukkan ke dalam parafin cair I parafin cair II, dan parafin cair III secara berurutan masing-masing selama 1 jam dalam oven 65 o
C. Setelah infiltrasi parafin selesai, jaringan dapat dicetak
(embedding). 6) Pencetakan dalam parafin (embedding) Embedding
dilakukan
untuk
mencetak
jaringan
sebelum
dilakukan pemotongan. Embedding dilakukan dengan alat Tissue Embedding Console (Gambar 6). Jaringan pankreas yang sebelumnya terdapat dalam parafin cair III dimasukkan kedalam cetakan pagoda yang telah diberi gliserin dan diisi dengan parafin cair hingga cembung. Peletakan jaringan pankreas dilakukan sedemikian rupa agar permukaan yang rata terdapat di dasar. Setelah parafin agak mengeras, jaringan pankreas yang di-embedding masing-masing diberi label menggunakan kertas film.
Gambar 6. Tissue Embedding Console Cetakan pagoda yang telah berisi parafin dan potongan pankreas kemudian didinginkan hingga mengeras, dengan diapungkan diatas wadah yang berisi air dingin. Setelah benar-benar mengeras dan warna parafinnya berubah menjadi lebih putih, cetakan pagoda yang terapung dibiarkan tenggelam hingga dilakukan pelepasan parafin dan organ dari cetakan. Setelah lepas dari cetakan, potongan parafin yang telah dicetak dalam parafin dipotong individual membentuk blok dengan sisi-sisi dibuat seperti piramida. Blok ini kemudian ditempelkan diatas balok kayu berukuran 3 cm x 1 cm x 1 cm yang telah diberi label dengan pensil. Blok yang telah ditempelkan diatas balok kayu disimpan dalam refrigerator untuk persiapan pemotongan dengan mikrotom. 7) Pemotongan (sectioning) Blok parafin yang berisi jaringan pankreas dan telah ditempelkan pada balok kayu kemudian dipotong menggunakan mikrotom (Gambar 7). Pemotongan awal dilakukan dengan ketebalan 10 mikron untuk memperoleh pita dengan irisan seluruh permukaan potongan pankreas. Pemotongan awal ini disebut juga sebagai trimming. Pemotongan berikutnya dilakukan dengan ketebalan 4 mikron. Hasil potongan kemudian diapungkan dalam akuades dan
dibentangkan dalam air hangat bersuhu 35-40 oC. Potongan jaringan yang baik dipilih, lalu ditempelkan pada gelas objek dan disimpan dalam inkubator selama semalam. Potongan ini kemudian siap untuk diwarnai.
Gambar 7. Mikrotom 8) Pewarnaan (staining) Pewarnaan yang dilakukan dalam penelitian adalah pewarnaan hematoksilin-eosin dan pewarnaan imunohistokimia terhadap insulin. Proses
pewarnaan
hematoksilin-eosin
diawali
dengan
tahap
deparafinasi. Tahap ini dilakukan dengan merendam gelas objek yang berisi potongan jaringan pankreas (preparat) dalam xylol III selama 3 menit. Xylol II selama 3 menit dan xylol I selama 5 menit. Preparat kemudian direhidrasi dengan perendaman dalam alkohol absolut I, II, III, alkohol 95 %, alkohol 90 % dan alkohol 80 % masing-masing selama 3 menit dan dalam alkohol 70 % selama 5 menit. Preparat kemudian direndam dalam air kran selama 15 menit dan dalam akuades selama 10 menit. Preparat kemudian dicelupkan dalam pewarna hematoksilin selama 2-5 detik. Setelah itu, preparat direndam dalam air kran selama 1-2 menit dan dipindahkan dalam akuades. Preparat kemudian diamati dengan mikroskop, jika warnanya terlalu pucat, pencelupan dalam hematoksilin diulang kembali. Preparat dengan warna yang baik direndam dalam akuades
selama 5-10 menit. Preparat kemudian diwarnai dengan eosin selama 5 menit. Setelah direndam dalam akuades, preparat kemudian didehidrasi sebagai tahap akhir. Dehidrasi dilakukan dengan pencelupan dalam alkohol 70, 80, 90 dan 95 %, masing-masing sebanyak 3 celupan, alkohol absolut I, II, III selama 1, 2 dan 5 menit. Preparat kemudian diamati kembali dengan mikroskop untuk melihat kekontrasan warna eosin. Jika warna eosin kurang pekat, pewarnaan diulang kembali. Jika warna telah dinilai baik, dilakukan pencelupan preparat dalam xylol I dan II masing-masing sebanyak 3 celupan, kemudian dalam xylol 3 selama 5 menit. Tahap terakhir adalah mounting, yaitu penempelan gelas penutup di atas preparat dengan entelan atau DPX mountax sebagai perekatnya. Preparat siap diamati. Pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk mendeteksi sel β (penghasil insulin). Seperti pada pewarnaan hematoksilin-eosin, pewarnaan imunohistokimia diawali dengan deparafinasi. Preparat direndam dalam xylol III selama 3 menit. Xylol II selama 3 menit dan xylol I selama 5 menit. Preparat kemudian juga diberi perlakuan rehidrasi dengan perendaman dalam alkohol absolut I, II, III, alkohol 95 %, alkohol 90 % dan alkohol 80 % masing-masing selama 3 menit dan dalam alkohol 70 % selama 5 menit. Preparat kemudian direndam dalam air bebas ion (deionized water) selama 10-15 menit. Selanjutnya preparat direndam dalam larutan H2O2 dalam metanol (1 : 100) selama 15 menit. Preparat direndam dalam air bebas ion dan PBS masing-masing selama 3 x 10 menit. Preparat kemudian diletakkan dalam kotak preparat dan ditetesi serum normal 10 % dalam PBS (50-60 μl per preparat). Preparat kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 60 menit. Setelah inkubasi, preparat dicuci PBS selama 3 x 5 menit. Preparat kemudian ditetesi antiinsulin dalam PBS (1 : 1000) sebanyak 50-60 μl per preparat dan diinkubasi dalam refrigerator selama semalam. Keesokan harinya, preparat dicuci dalam PBS sebanyak 3 x
10 menit. Preparat kemudian ditetesi DAKO envision peroxidase yang telah diencerkan dengan PBS (DAKO : PBS = 3 : 1), 50-60 μl per preparat. Setelah ditetesi DAKO, preparat diinkubasi dalam ruang gelap bersuhu 37 oC selama 60 menit. Preparat kemudian dicuci PBS selama 3 x 5 menit. Selanjutnya preparat ditetesi sebanyak 50-60 μl larutan 10 mg DAB (diaminobenzidine) dan 50 μl H2O2 dalam 50 ml Tris buffer. DAB dibiarkan bereaksi dalam keadaan gelap selama 2530 menit. Reaksi diamati dengan mikroskop, jika hasilnya positif preparat lalu dicuci air bebas ion selama 2 x 5 menit. Reaksi positif ditunjukkan dengan pembentukan warna coklat pada sel-sel β. Reaksi tersebut berjalan sebagai berikut : DAB + H2O2
peroksidase
endapan coklat + H2O
Selanjutnya, dilakukan dehidrasi terhadap preparat. Dehidrasi dilakukan dengan pencelupan dalam alkohol 70 %, 80 %, 90 %, 95 %, absolut I, II, masing-masing sebanyak 2 celupan dan dalam alkohol absolut III selama 1 menit. Penjernihan kemudian dilakukan dengan pencelupan preparat dalam xylol I, II dan III masing-masing sebanyak 2 celupan. Tahap terakhir adalah mounting, yaitu penempelan gelas penutup di atas preparat dengan entelan atau DPX mountax sebagai perekatnya. Preparat pun siap diamati. k. Pengamatan dan pemotretan Preparat yang telah diwarnai hematoksilin-eosin dan imunohistokimia diamati dan didokumentasikan dengan mikroskop cahaya yang telah dilengkapi dengan kamera (Nikon E6000). Pengamatan yang dilakukan pada preparat yang diwarnai hematoksilin-eosin terdiri dari pengamatan pulau Langerhans secara deskriptif, penghitungan jumlah pulau Langerhans per bidang pandang dengan perbesaran 100 x dan pengukuran luasan pulau Langerhans per bidang pandang dengan
pembesaran 400 x. Sedangkan pengamatan yang dilakukan pada preparat yang diwarnai secara imunohistokimia adalah penghitungan jumlah sel β per bidang pandang dengan pembesaran 100 x.
D. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Menurut Torrie dan Robert (1991), RAL sangat fleksibel dalam arti banyak perlakuan dan ulangan hanya dibatasi oleh banyaknya satuan percobaan yang tersedia. Pengamatan diuraikan menjadi jumlah dua komponen, yaitu nilai tengah dan komponen acak. Selanjutnya nilai tengah tersebut merupakan jumlah beberapa komponen. Asumsi dasar dalam analisis keragaman adalah bahwa komponen acak bersifat bebas satu dengan yang lain dan menyebar normal di sekitar nilai nol dan ragam yang sama. Nilai percobaan dapat diterangkan dengan model linear aditif. Data yang dikumpulkan adalah kadar glukosa darah dan bobot tikus. Model linear untuk penelitian ini adalah : Yij = μ + πi + εij Keterangan : Yij = nilai parameter pengamatan dari perlakuan ke-i, pengamatan ke-j μ = nilai tengah umum rata-rata sebenarnya πi = pengaruh perlakuan ke-i εij =pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i, pengamatan ke-j Apabila pengaruh perlakuan tersebut nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut berdasarkan Uji Duncan pada galat 5 %.
E. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Februari-Oktober 2005. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan, Pengolahan Pangan dan Kimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta-IPB. Selain itu, penelitian juga dilakukan di Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan-IPB dan laboratorium klinik Medialisa, Darmaga, Bogor.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan 1. Tepung Ekstrak Daun X Tepung ekstrak daun X dibuat dengan bahan baku daun X yang telah dikeringkan dan ditepungkan. Tepung ekstrak daun X yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8. Penepungan daun X kering dilakukan untuk memperluas bidang ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan pelarut akuades dan dengan pemanasan. Hal ini dilakukan untuk membentuk kondisi yang menyerupai aplikasi pembuatan jamu anti diabetes dari daun X secara konvensional. Jamu daun X dibuat secara tradisional oleh masyarakat dengan cara perebusan. Konsumsi jamu daun X dilakukan dengan cara meminum air rebusan daun X.
Gambar 8. Tepung ekstrak daun X Cairan hasil ekstraksi daun X berwarna hijau tua. Tepung ekstrak daun X yang dihasilkan berwarna hijau tua pekat kehitaman. Warna yang pekat diperoleh karena telah dilakukan pemekatan dan pengeringan. Pengeringan ekstrak daun X dilakukan menggunakan freeze dryer. Hal ini dilakukan karena hasil ekstrak berbentuk cairan, dan tepung yang dikehendaki adalah tepung murni tanpa bahan tambahan lainnya. Pengeringan beku (freeze drying) juga merupakan metode yang sangat baik dalam mempertahankan mutu suatu bahan yang dikeringkan, terutama secara sensori. Mutu yang
baik dapat dipertahankan karena pengeringan beku menggunakan suhu yang sangat rendah dan tekanan vakum, sehingga kerusakan bahan akibat panas dapat terhindarkan. Prinsip dari pengeringan beku adalah membekukan air yang terdapat dalam bahan dengan suhu rendah dan kemudian mensublimasikannya langsung menjadi gas dengan tekanan yang sangat rendah (Hariyadi, et al., 2002). Suhu pengeringan beku yang digunakan dalam penelitian ini adalah -105 oC dan tekanan yang digunakan adalah 75 mmHg. Keuntungan dari produk yang dikeringbekukan adalah bersifat porous, sehingga mudah direhidrasi. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan pembuatan tepung ekstrak daun X. Rendemen tepung ekstrak daun X yang dihasilkan adalah 11.71 %. 2. Analisis proksimat ransum pelet dan tepung ekstrak daun X Hasil analisis proksimat ransum pelet dan tepung ekstrak daun X tersaji dalam Tabel 3. Penggunaan ransum pelet dalam penelitian ini bertujuan untuk mengkondisikan metabolisme tikus percobaan dalam keadaan senormal mungkin. Hal ini dilakukan dengan meminimalkan intervensi terhadap konsumsi makanan. Pengkondisian ini dibentuk untuk menyerupai pola konsumsi manusia sehari-hari yang terdiri dari berbagai jenis pangan, sehingga kadar berbagai zat gizi yang masuk dalam tubuh pun beragam dan tidak sama dari hari ke hari. Demikian pula dengan kadar glukosa darahnya. Oleh karena itu, komposisi ransum pelet yang digunakan dalam penelitian ini tidak ditepatkan seperti pada komposisi ransum standar menurut AOAC (1984). Hal ini penting untuk membangun dugaan aktivitas hipoglikemik tepung ekstrak daun X terhadap tikus, sesuai dengan keadaan manusia sehari-hari. Ransum pelet dapat dilihat pada Gambar 9.
Tabel 3. Hasil analisis proksimat ransum pelet dan tepung ekstrak daun X Ransum Pelet
Tepung Ekstrak Daun X
1. Kadar Air (% bb)
9.64
10.61
2. Kadar Abu (% bb)
10.10
18.88
3. Kadar Lemak (% bb)
6.2
0.63
4. Kadar Protein (% bb)
28.72
21.07
5. Kadar Karbohidrat (% bb)
45.29
48.82
a. Serat Pangan Tidak Larut (% bk)
10.49
16.39
b. Serat Pangan Larut (% bk)
4.11
5.09
c. Serat Pangan Total (% bk)
14.61
21.48
7. Indeks Penyerapan Air (g/g)
-
0.46
8. Indeks Kelarutan Air (g/ml)
-
0.07
Parameter
6. Kadar Serat Pangan :
Analisis proksimat dilakukan sebanyak satu kali ulangan, duplo
Gambar 9. Ransum pelet B. Penelitian Utama 1. Aktivitas Hipoglikemik Tepung Ekstrak Daun X Aktivitas hipoglikemik tepung ekstrak daun X dilakukan dengan pengukuran kadar glukosa darah secara berkala. Pada 28 hari pertama perlakuan, pengukuran kadar glukosa darah dilakukan setiap lima hari, dan pada 32 hari berikutnya, pengukuran dilakukan setiap tujuh hari. Hasil
pengukuran kadar glukosa darah tikus perlakuan tersaji dalam Gambar 10. Menurut Mayfield (1998), penderita diabetes melitus memiliki kadar glukosa darah kasual (spontan) di atas 200 mg/dl. Oleh karena itu, tikus yang disertakan dalam perlakuan adalah yang memiliki kadar glukosa darah spontan lebih dari 250 mg/dl (setelah diinjeksi dengan alloxan). Parameter ini juga tetap menjadi pedoman untuk menentukan kesembuhan tikus perlakuan. Tikus yang telah memiliki kadar glukosa darah kurang dari 200 mg/dl dinyatakan telah sembuh atau telah
339.5 373 b
382
398.8
378.5
281
136
220
218
97a
100
110 a
200 150
288 b
148.5 a
250
275
300
387.5 320.5 b
350
279.5
320 344 b
400
291.5
450
80.5 89a
Kadar Glukosa Darah (mg/dl)
normal dari penyakit diabetes melitus.
D
E
50 0 K(-)
K(+)
A
B
C
F
Kelompok Hari ke-0
Keterangan
K(-) K(+) A B C D E F
Hari ke-28
Hari ke-60
: huruf yang sama pada setiap nilai menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang nyata (p > 0.05) : Kontrol negatif : Kontrol positif : Dosis 8 mg ekstrak daun X/ekor/hari : Dosis 16 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 32 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 64 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 128 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 0.018 mg obat/ekor/hari
Gambar 10. Hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus perlakuan Hasil pengukuran kadar glukosa darah menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol negatif tidak terjadi perubahan yang signifikan selama 28
hari perlakuan. Kadar glukosa darah kelompok kontrol negatif juga tetap berada pada kisaran normal (< 200 mg/dl) dalam periode tersebut. Hal ini dimungkinkan karena tikus kontrol negatif memang tidak diinjeksi dengan alloxan, sehingga tidak menderita diabetes melitus. Sebaliknya pada kelompok kontrol positif, kadar glukosa darah terus mengalami kenaikan dan tetap berada pada kisaran diatas 200 mg/dl selama 28 hari. Hal ini disebabkan kelompok kontrol positif tetap menderita diabetes melitus akibat injeksi alloxan pada awal masa percobaan dan tidak diberi perlakuan apapun untuk menghentikan perusakan oleh alloxan selama masa percobaan. Penurunan kadar glukosa darah yang terbesar pada hari ke-28 terjadi pada kelompok 128 mg dan kedua terbesar adalah pada kelompok 64 mg. Kadar glukosa darah hari ke-28 kelompok 8 mg, 64 mg dan 128 mg telah mencapai kisaran normal, sedangkan kelompok 16 mg dan 32 mg belum berada pada kisaran normal. Kadar glukosa darah pada hari ke-28 cenderung mengalami penurunan pada kelompok perlakuan daun X, kecuali pada kelompok yang diberi perlakuan obat, kadar glukosa darah mengalami sedikit kenaikan. Kenaikan kadar glukosa darah kelompok obat lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Pemberian ekstrak daun X menghasilkan penurunan glukosa darah yang lebih baik daripada pemberian obat diabetes melitus. Rincian hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus selama masa perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus hari ke-0 dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil uji statistik (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak daun X memberikan pengaruh nyata (p < 0.05) terhadap kadar glukosa darah tikus pada hari ke-28. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar glukosa darah hari ke-28 pada kelompok 8 mg, 64 mg dan 128 mg tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif. Kadar glukosa darah hari ke-28 kelompok 16 mg, 32 mg dan obat tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun X terhadap tikus-tikus diabetes melitus mampu memberikan kesembuhan, yang
ditandai dengan penurunan kadar glukosa darahnya. Penurunan kadar glukosa darah mungkin disebabkan oleh beberapa senyawa biokimia aktif yang memiliki efek hipoglikemik dalam ekstrak daun X. Kadar glukosa darah kelompok 16 mg dan 32 mg belum mencapai kisaran normal pada akhir hari ke-28. Perubahan kadar glukosa darah tikus selama perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11. Penurunan kadar glukosa darah pada kelompok 8 mg dapat dianggap lebih baik daripada penurunan kadar glukosa darah kelompok 64 mg dan 128 mg. Hal ini disebabkan penurunan kadar glukosa darah kelompok 8 mg terjadi secara bertahap selama masa perlakuan sedangkan penurunan kadar glukosa darah kelompok 64 mg dan 128 mg terlalu besar dan cepat.
Kadar Glukosa Darah (mg/dl
450
K(-)
400
K(+)
350 A
300
B
250 200
C
150
D
100
E
50
F
0 0
3
8
13
18
23
28
35
42
49
56
60
Hari ke-
Keterangan : K(-) K(+) A B C D E F
: Kontrol negatif : Kontrol positif : Dosis 8 mg ekstrak daun X/ekor/hari : Dosis 16 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 32 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 64 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 128 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 0.018 mg obat/ekor/hari
Gambar 11. Perubahan kadar glukosa darah tikus selama perlakuan
Penurunan
yang
terlalu
cepat
menimbulkan
resiko
terjadinya
hipoglikemia. Penurunan kadar glukosa darah kelompok 64 mg telah mencapai nilai normal pada hari ke-18. Kenaikan kadar glukosa darah pada kelompok obat merupakan akibat memburuknya kondisi diabetes melitus. Diabetes melitus merupakan penyakit yang hingga kini belum ada penyembuhnya, sehingga pemberian obat pun hanya bertujuan untuk membantu mengendalikan kadar glukosa darah, namun tidak dapat menghilangkan gejala klinis diabetes melitus secara menyeluruh. Hasil pengukuran kadar glukosa darah hari ke-60 pada kelompok perlakuan daun X menunjukkan bahwa kadar glukosa darah cenderung meningkat kembali ke kisaran diabetes melitus. Kadar glukosa darah kelompok 16 mg dan 32 mg, walaupun mengalami penurunan bila dibandingkan dengan hari ke-28, namun tetap berada pada angka di atas 200 mg/dl. Kadar glukosa darah kelompok obat justru mengalami penurunan ke kisaran yang normal. Hasil uji statistik (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan daun X maupun obat tidak memberikan pengaruh nyata (p > 0.05) terhadap kadar glukosa darah tikus pada hari ke-60. Kadar glukosa darah hari ke-60 tidak berbeda nyata pada semua kelompok. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa dosis perlakuan ekstrak daun X memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap kadar glukosa darah tikus pada akhir periode. Rekapitulasi kadar glukosa darah dapat dilihat pada Tabel 4. Kadar glukosa darah kelompok kontrol negatif tidak berbeda nyata pada hari ke-0 maupun hari ke-28 (Lampiran 5), karena kelompok ini tidak diberi perlakuan apapun untuk mengintervensi perubahan kadar glukosa darahnya. Kelompok kontrol negatif memiliki kadar glukosa darah yang tetap normal (< 200 mg/dl) karena tidak diinjeksi alloxan, sehingga tidak menderita diabetes melitus. Sebaliknya, kelompok kontrol positif memiliki kadar glukosa darah yang senantiasa di atas 200 mg/dl akibat injeksi alloxan dan tanpa perlakuan ekstrak daun X maupun obat untuk menanganinya. Kadar
glukosa darah kelompok kontrol positif pada hari ke-0 maupun hari ke-28 tidak berbeda nyata (Lampiran 6). Tabel 4. Hasil uji statistik kadar glukosa darah masing-masing kelompok berdasarkan periode Kadar Glukosa Darah (mg/dl) hari keKelompok 0 28 60 K(-) 80.5 ± 7.8a 89.0 ± 8.5a K(+)
320.0 ± 97.6a
344.0 ± 1.4a
A
291.5 ± 31.0b
148.5 ± 28.9a
279.5 ± 126.6b
B
387.5 ± 64.2a
320.5 ± 16.3a
275.0 ±
C
378.5 ± 148.3a
288.0 ± 33.9a
218.0 ± 117.4a
D
398.8 ± 148.9c
110.0 ± 11.3a
220.0 ± 113.1b
E
382.0 ± 148.7c
97.0 ± 69.3a
281.0 ± 108.9b
F
339.5 ± 63.5b
373.0 ± 50.9b
136.0 ± 48.1a
Keterangan K(-) K(+) A B C D E F
8.5a
: huruf yang sama pada setiap nilai menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (p > 0.05) (hanya berlaku per baris) : Kontrol negatif : Kontrol positif : Dosis 8 mg ekstrak daun X/ekor/hari : Dosis 16 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 32 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 64 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 128 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 0.018 mg obat/ekor/hari
Kelompok 8 mg memiliki kadar glukosa darah hari ke-28 yang berbeda nyata terhadap hari ke-0 dan hari ke-60 (Lampiran 7). Hal ini berarti penurunan kadar glukosa darah yang terjadi akibat intervensi ekstrak daun X sejumlah 8 mg selama 28 hari telah memberikan kesembuhan. Meskipun demikian, kadar glukosa darah hari ke-60 yang tidak berbeda nyata dengan hari
ke-0
menunjukkan
bahwa
ekstrak
daun
X
belum
dapat
mempertahankan kesembuhan bila dihentikan konsumsinya. Kelompok 16 mg dan 32 mg memiliki kadar glukosa darah hari ke-0, hari ke-28 dan hari ke-60 yang tidak berbeda nyata satu sama lain (Lampiran 8 dan 9).
Kadar glukosa darah hari ke-0, hari ke-28 dan hari ke-60 pada kelompok 64 mg dan 128 mg berbeda nyata satu sama lain (Lampiran 10 dan 11). Hal ini menunjukkan bahwa pada dosis tinggi, penyembuhan dapat terjadi pada hari ke-28 dan perlakuan ekstrak yang telah diberikan dapat mempertahankan kondisi hingga hari ke-60 agar tidak kembali memburuk seperti pada awal perlakuan (hari ke-0). Meskipun demikian, dosis 64 dan 128 mg/ekor/hari perlu dikaji secara mendalam mengenai toksisitas dan keamanan konsumsinya, mengingat dosis tersebut cukup tinggi apabila dikonversi untuk manusia. Dengan rata-rata bobot tubuh tikus sebesar 200 g, maka dosis 8 mg apabila dikonversi untuk manusia berbobot 70 kg adalah sebesar 0.44 g. Sedangkan konversi untuk dosis 64 dan 128 mg adalah sebesar 3.5 dan 7.1 g. Dosis yang sangat besar untuk dikonsumsi manusia. Kenaikan kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan ekstrak daun X pasca konsumsi (hari ke-60) menandakan bahwa substansi tersebut belum dapat menjadi penyembuh diabetes melitus secara tuntas. Dengan kata lain, konsumsi ekstrak daun X dapat digunakan sebagai alternatif penanganan diabetes melitus, terutama untuk mengendalikan kadar glukosa darah, tetapi tidak dapat menyembuhkannya secara tuntas. Meskipun demikian, justifikasi penyembuhan ini harus diperkuat dengan parameter yang lain. Kenaikan kadar glukosa darah kelompok obat pada hari ke-28 mungkin disebabkan oleh kurang terkontrolnya pola makan tikus diabetes melitus. Selain itu, pemberian obat pun memang tidak dapat memberikan kesembuhan yang tuntas terhadap diabetes melitus. Penurunan kadar glukosa darah hari ke-60 pada kelompok obat mungkin disebabkan penyembuhan selama masa perlakuan. Kadar glukosa darah hari ke-60 kelompok obat, berbeda nyata dengan hari ke-0 dan 28 (Lampiran 12.) 2. Konsumsi Ransum dan Perubahan Bobot Tubuh Tikus Rata-rata konsumsi ransum harian dan kenaikan bobot tubuh tiap kelompok selama 30 hari pertama dan kedua tersaji dalam Tabel 5. Rincian
perhitungan konsumsi ransum harian dan perkembangan bobot tubuh tikus selama masa perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Tabel 5. Konsumsi ransum dan kenaikan bobot tubuh tikus Rata-rata Konsumsi Kenaikan bobot tubuh Ransum (%) Kelompok (g/hari) 30 hari 30 hari 30 hari 30 hari pertama kedua pertama kedua K(-) 14.9 ± 1.6 42.6 ± 34.0 K(+)
19.5 ± 1.1
-
1.7 ± 7.1
-
A
19.9 ± 1.8
18.8 ± 1.8
22.3 ± 15.9
16.4 ± 23.3
B
20.8 ± 2.3
23.2 ± 1.5
18.1 ± 67.5
21.3 ± 12.6
C
17.1 ± 7.6
24.2 ± 0.4
32.5 ± 6.7
12.3 ± 9.7
D
18.5 ± 1.8
18.8 ± 6.6
12.3 ± 18.4
16.1 ± 6.6
E
20.7 ± 4.1
20.4 ± 0.5
- 0.1 ± 7.6
4.3 ± 3.0
F
22.4 ± 3.7
20.3 ± 2.8
26.6 ± 18.5
-16.9 ± 14.6
Keterangan : 30 hari pertama : hari ke-0 s/d hari ke-30 30 hari kedua : hari ke-31 s/d hari ke-60 K(-) : Kontrol negatif K(+) : Kontrol positif A : Dosis 8 mg ekstrak daun X/ekor/hari B : Dosis 16 mg ekstrak daun X /ekor/hari C : Dosis 32 mg ekstrak daun X /ekor/hari D : Dosis 64 mg ekstrak daun X /ekor/hari E : Dosis 128 mg ekstrak daun X /ekor/hari F : Dosis 0.018 mg obat/ekor/hari Terdapat kecenderungan tikus-tikus yang menderita diabetes melitus memiliki gejala klinis seperti sering merasa lapar (polifagia), haus berlebih dan dehidrasi (polidipsia), frekuensi buang air kecil tinggi (poliuria) dan berat badan menurun secara bertahap. Meskipun demikian, hasil uji statistik terhadap jumlah konsumsi ransum harian 30 hari pertama (Lampiran 15) menunjukkan bahwa konsumsi ransum kelompok-kelompok perlakuan ekstrak daun X (8 mg, 16 mg, 32 mg, 64 mg dan 128 mg) tidak berbeda nyata terhadap kelompok kontrol negatif. Konsumsi ransum kelompokkelompok perlakuan ekstrak daun X juga tidak berbeda nyata dengan
kelompok kontrol positif. Konsumsi ransum yang paling sedikit terjadi pada kelompok kontrol negatif. Konsumsi ransum kelompok tikus diabetes melitus berkisar antara 17.1-22.4 g/hari. Angka konsumsi ransum harian kelompok tikus diabetes melitus cenderung lebih besar daripada konsumsi ransum kelompok kontrol negatif (tikus normal). Hasil uji statistik terhadap jumlah konsumsi ransum harian 30 hari kedua (Lampiran 16) menunjukkan bahwa konsumsi ransum harian semua kelompok tidak berbeda nyata (p > 0.05). Jumlah konsumsi ransum harian yang cenderung tinggi dalam masa 30 hari kedua disebabkan karena tikustikus percobaan kembali mengalami kenaikan kadar glukosa darah ke kisaran diabetes melitus (> 200 mg/dl). Persentase kenaikan bobot tubuh tikus tertinggi pada 30 hari pertama terjadi pada kelompok kontrol negatif. Persentase kenaikan bobot tubuh yang terkecil terjadi pada kelompok 128 mg, dimana persentasenya benilai negatif. Hal ini berarti tikus kelompok 128 mg mengalami penurunan bobot tubuh. Kelompok kontrol positif memiliki persentase kenaikan bobot tubuh yang kecil, karena masih menderita diabetes melitus. Kenaikan bobot tubuh kelompok 8 mg, 16 mg, 32 mg, 64 mg dan 128 mg terjadi karena adanya proses penyembuhan selama masa perlakuan. Hasil uji statistik terhadap kenaikan bobot tubuh 30 hari pertama (Lampiran 17) menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberi pengaruh nyata (p > 0.05) terhadap kenaikan bobot tubuh tikus. Persentase kenaikan bobot tubuh tikus terbesar pada 30 hari kedua terjadi pada kelompok 16 mg. Hal ini dimungkinkan karena konsumsi ransum hariannya pun cukup tinggi. Persentase kenaikan bobot tubuh tikus terkecil terjadi pada kelompok obat. Tikus kelompok obat mengalami penurunan bobot tubuh hingga 16.9 %. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek jangka panjang dari diabetes melitus. Hasil uji statistik terhadap kenaikan bobot tubuh 30 hari kedua (Lampiran 18) menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata (p > 0.05) terhadap kenaikan bobot tubuh tikus.
3. Analisis Kolesterol Lengkap Serum Darah Tikus Kondisi patologis penderita diabetes melitus akibat kekurangan hormon insulin antara lain dicirikan oleh berkurangnya penggunaan glukosa darah oleh sel tubuh sehingga terjadi peningkatan konsentrasi glukosa darah, dan peningkatan penggunaan simpanan lemak dari jaringan adiposa tubuh yang dapat meningkatkan resiko aterosklerosis (Guyton, 1993). Kekurangan hormon insulin mempengaruhi metabolisme lemak dalam tubuh. Dalam jangka panjang, gangguan metabolisme tersebut dapat meningkatkan resiko aterosklerosis, serangan jantung, stroke, serta penyakit kardiovaskuler lainnya. Ketika jumlah insulin di dalam tubuh berkurang, enzim lipase pada jaringan lemak akan teraktivasi sehingga timbul hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol yang dilepas ke dalam peredaran darah. Asam lemak bebas inilah yang dijadikan sumber energi bagi sel tubuh. Adanya asam lemak bebas di hati yang berlebih juga akan mendorong hati untuk mengkonversinya menjadi kolesterol dan fosfolipid. Bersama dengan trigliserida yang ada, akan dibentuk lipoprotein yang kemudian beredar ke dalam darah. Lipoprotein plasma bahkan dapat meningkat tiga kali lipat menjadi 2 % dibandingkan dalam keadaan normal yang hanya 0.6 % (Guyton, 1993). Peredaran kolesterol dan trigliserida di dalam tubuh berada dalam bentuk lipoprotein. Hati memproduksi very low density lipoprotein (VLDL) dan selama sirkulasi VLDL melepaskan kolesterol dan trigliserida kepada sel yang memerlukan serta berubah menjadi intermediate density lipoprotein (IDL) dan low density lipoprotein (LDL). HDL memegang peranan penting dalam proses reverse cholesterol transport, yaitu proses dimana HDL mengangkut kolesterol yang tak dibutuhkan dari jaringan perifer tubuh untuk kembali ke hati. Di dalam hati, kolesterol akan diubah menjadi asam empedu yang dapat disimpan dalam kantong empedu (Heslet, 2004).
American Diabetes Asociation (ADA) menyatakan bahwa di Amerika penderita diabetes melitus usia dewasa memiliki resiko kematian dua hingga empat kali lipat akibat penyakit jantung koroner dan stroke dibandingkan manusia sehat biasa. Selain itu, kebutaan, penyakit ginjal, gangguan terhadap saraf, dan amputasi juga lebih sering terjadi pada penderita diabetes. Rekomendasi ADA untuk kadar total kolesterol darah ialah < 200 mg/dl, trigliserida < 150 mg/dl, LDL < 160 mg/dl, dan kadar HDL 35-55 mg/dl untuk laki-laki dan 45-65 mg/dl untuk wanita. Analisis kolesterol dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui resiko kemungkinan timbulnya komplikasi dari penyakit diabetes melitus, terutama yang mengarah pada penyakit kardiovaskuler. Analisis kolesterol lengkap yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan kolesterol total, trigliserida, HDL, dan LDL. Hasil analisis serum tikus percobaan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Serum Tikus Percobaan Total Trigliserida LDL HDL Kelompok Kolesterol (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl) K(-) 65.9 79 22 28 K(+)
64
40
31
28
A
27
14
13
8
B
65.3
72
29
23
C
66.6
36
41
18
D
56
64
14
29
E
66.3
67
25
28
F
67.9
62
30
25
Keterangan : K(-) K(+) A B C D E F
: Kontrol negatif : Kontrol positif : Dosis 8 mg ekstrak daun X/ekor/hari : Dosis 16 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 32 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 64 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 128 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 0.018 mg obat/ekor/hari
Hasil analisis serum menunjukkan bahwa, kadar total kolesterol semua kelompok berada dalam kisaran normal, yaitu sebesar < 200 mg/dl. Demikian pula halnya dengan nilai trigliserida, LDL dan HDL, ketiga atribut uji pada semua kelompok juga memiliki kadar yang normal. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan kadar kolesterol darah akibat diabetes melitus selama masa perlakuan. Hal ini juga dapat diartikan bahwa selama masa perlakuan tidak terjadi komplikasi dari diabetes melitus. Kondisi tersebut dapat terjadi karena daun X mungkin memiliki kandungan
senyawa-senyawa
biokimia
aktif
yang
memiliki
efek
hipokolesterolemik dan anti-aterosklerosis. 4. Analisis Kadar HbA1c Darah Tikus Terdapat satu metode diagnosis lain untuk penderita diabetes melitus. Metode tersebut adalah tes jumlah hemoglobin terglikosilasi (test for glycosylated Haemoglobin). Hemoglobin terglikosilasi disebut sebagai HbA1c. Hemoglobin terglikosilasi merupakan molekul-molekul hemoglobin dalam darah yang berikatan dengan molekul glukosa. Tes ini masih tergolong kurang populer bagi penderita diabetes melitus di Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan oleh biaya analisis yang tergolong masih sangat mahal. Mengukur jumlah haemoglobin terglikosilasi sebenarnya bukan tes yang cocok yang diterapkan untuk diagnosis awal diabetes, tetapi kelebihan tes ini adalah dapat mendeteksi tingkat keparahan dari diabetes melitus. Tes ini dapat dilakukan setiap waktu dan tidak dipengaruhi oleh konsumsi makanan. ADA merekomendasikan para penderita diabetes untuk melakukan tes HbA1c setiap enam bulan sekali. Jumlah HbA1c normal dalam darah adalah 6.5 – 8.0 %. Jumlah HbA1c sebesar 11-12 % menunjukkan konsumsi karbohidrat yang kurang terkendali (Simon, 2003 ; Anonim, 2005). Nilai HbA1c darah terbentuk dalam waktu sekitar empat minggu dan relatif stabil untuk jangka waktu tiga hingga empat bulan. Hemoglobin terglikosilasi dapat terdegradasi setelah jangka waktu tersebut, sesuai
dengan umur sel darah merah yang berkisar antara 90-120 hari. Setelah jangka waktu tersebut, nilai HbA1c dapat berubah (Kinshuck, 2005). Analisis kadar HbA1c dalam penelitian dilakukan untuk mengetahui kadar glukosa darah tikus percobaan selama masa perlakuan. Tes HbA1c darah hanya dilakukan pada tikus yang melalui 60 hari masa perlakuan. Hasil tes kadar HbA1c darah tikus percobaan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kadar HbA1c tikus percobaan Kelompok
Keterangan : K(-) A B C D E F
Nilai HbA1c (%)
K(-)
4.8 ± 0.6
A
7.7 ± 0.3
B
6.9 ± 1.6
C
5.9 ± 0.4
D
6.5 ± 0.6
E
6.2 ± 0.0
F
6.8 ± 0.4
: Kontrol negatif : Dosis 8 mg ekstrak daun X/ekor/hari : Dosis 16 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 32 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 64 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 128 mg ekstrak daun X /ekor/hari : Dosis 0.018 mg obat/ekor/hari
Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar HbA1c tikus percobaan semua kelompok masih berada dalam kisaran yang normal. Hal ini berarti tikustikus diabetes melitus mengalami penyembuhan selama perlakuan dan hal ini sangat mendukung kinerja daun X sebagai substansi yang dapat menjadi alternatif untuk menangani diabetes melitus. 5. Analisis Histologi Jaringan Pankreas Analisis histologi pankreas dilakukan dengan pewarnaan hematoksilineosin (HE) dan pewarnaan imunohistokimia terhadap sel β pankreas penghasil insulin. Pewarnaan HE terhadap preparat memungkinkan pulau
Langerhans untuk dibedakan dengan sel-sel pankreas lainnya, sedangkan pewarnaan imunohistokimia terhadap insulin secara spesifik dapat menunjukkan sel-sel β pankreas. Pengamatan yang dilakukan terhadap preparat yang diberi pewarnaan HE adalah jumlah pulau Langerhans per lapang pandang dan pengukuran luasan pulau Langerhans. Pengamatan yang dilakukan terhadap preparat yang diwarnai imunohistokimia terhadap insulin adalah jumlah sel β pankreas. a. Pengamatan terhadap jaringan pankreas tikus 30 hari Jumlah pulau Langerhans (PL) per lapang pandang pada jaringan pankreas tikus 30 hari dengan pembesaran 100x untuk masing-masing kelompok tersaji dalam Tabel 8. Terlihat bahwa pada tikus 30 hari, jumlah PL tertinggi hingga terendah secara berurutan adalah kelompok 128 mg, obat, 32 mg, kontrol negatif, 16 mg, 64 mg, 8 mg dan kontrol positif. Hasil perhitungan jumlah PL per lapang pandang 30 hari secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 19. Fotomikrograf pulau Langerhans tikus 30 hari hasil pewarnaan HE pada perbesaran 100x dapat dilihat pada Gambar 12. Jumlah PL per lapang pandang kelompok kontrol positif paling rendah karena memang tikus-tikus kelompok tersebut masih mengalami diabetes melitus hingga akhir perlakuan. Injeksi alloxan pada awal perlakuan telah merusak sel-sel β pada pankreas dan mereduksi jumlah dan ukuran PL-nya. Kondisi tersebut tidak berubah hingga akhir masa perlakuan karena tikus kelompok kontrol positif tidak diberi perlakuan ekstrak daun X maupun obat untuk menangani diabetes melitusnya. Hasil uji statistik terhadap jumlah PL per lapang pandang pada tikus 30 hari (Lampiran 20) menunjukkan bahwa baik perlakuan ekstrak daun X maupun obat memberi pengaruh yang nyata terhadap jumlah PL per lapang pandang pada masing-masing kelompok (p < 0.05). Jumlah PL per lapang pandang kelompok 32 mg dan obat tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif dan jumlah PL semua kelompok perlakuan
berbeda nyata dengan kontrol positif. Jumlah PL per lapang pandang kelompok perlakuan daun X (8 mg, 16 mg, 32 mg, 64 mg dan 128 mg) dan kelompok perlakuan obat lebih tinggi daripada jumlah PL kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun X ataupun obat selama perlakuan, dapat memicu proses penyembuhan terhadap diabetes melitus yang ditandai dengan peningkatan jumlah PL. Perubahan jumlah PL pada penderita diabetes melitus dapat dimungkinkan terjadi secara kualitatif maupun kuantitatif, yang mencakup atropi, hipertropi, maupun degranulasi pada sel-sel pulau Langerhans (kualitatif) dan perubahan jumlah dan komposisi sel-sel pulau Langerhans (kuantitatif), terutama pada penderita diabetes melitus tipe 1 (Gepts, 1981). Tabel 8. Jumlah*, luasan** pulau Langerhans dan jumlah sel β*** tikus 30 hari Jumlah Jumlah Sel β Pulau Luasan Pulau Kelompok (buah) Langerhans Langerhans (μm2) (buah) K(-) 4.05 ± 1.1c 12823.28 ± 4035.8c 64.20 ± 18.2c K(+)
1.10 ± 0.8a
8214.54 ± 3164.5ab
7.80 ± 3.3a
A
2.60 ± 1.8b
10898.23 ± 3861.3c
26.80 ± 10.4b
B
3.05 ± 1.7b
9301.25 ± 2104.8b
16.60 ± 13.0ab
C
4.05 ± 1.6c
9510.70 ± 3415.8b
12.60 ± 3.4a
D
2.85 ± 1.4b
9488.67 ± 3547.9b
9.60 ± 4.5a
E
5.05 ± 1.7d
6085.85 ± 3686.4a
11.00 ± 4.0a
F
4.35 ± 0.9cd
5417.94 ± 3835.7a
13.80 ± 5.7a
Keterangan : huruf yang sama pada setiap nilai menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (p > 0.05) * Jumlah : Jumlah pulau Langerhans per lapang pandang dengan perbesaran 100x ** Luasan : Luasan pulau Langerhans per lapang pandang dengan perbesaran 400x *** Sel β : Jumlah Sel β per lapang pandang dengan perbesaran 100x
PL
PL
50 μm
K(-)
PL
PL
50 μm
A
50 μm
K(+)
50 μm
B
PL
PL
50 μm
C
PL
E
50 μm
D
PL
50 μm
F
50 μm
Keterangan : K(-) : kontrol negatif, K(+) : kontrol positif, A, B, C, D, E (8, 16, 32, 64, 128 mg ekstrak daun X/ekor/hari), F (obat) PL = Pulau Langerhans ; 50 μm Gambar 12. Fotomikrograf pulau Langerhans tikus 30 hari hasil pewarnaan hematoksilin-eosin pada perbesaran 100x
Parameter kuantitatif lainnya yang dapat diamati dari pulau Langerhans (PL) adalah luasnya. Perbaikan ukuran dari pulau Langerhans dapat mengindikasikan adanya penyembuhan terhadap diabetes melitus selama masa perlakuan yang diintervensi oleh pemberian ekstrak daun X maupun obat diabetes melitus. Pengamatan terhadap luasan PL per lapang pandang pada jaringan pankreas tikus 30 hari pada perbesaran 400x menunjukan bahwa kelompok kontrol positif memiliki luasan PL yang jauh lebih kecil daripada kelompok kontrol negatif. Sebagian besar kelompok perlakuan daun X (8 mg, 16 mg, 32 mg dan 64 mg) memiliki luasan PL yang relatif lebih besar daripada kontrol positif. Tabel 8 menunjukkan bahwa luasan PL per lapang pandang dengan perbesaran 400x tertinggi dimiliki oleh kelompok kontrol negatif dan kelompok 8 mg memiliki luasan PL yang paling mendekati. Luasan PL terendah dimiliki oleh kelompok obat. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek obat yang tidak ditujukan untuk memperbaiki jaringan pankreas, jumlah serta luasan PL-nya. Mekanisme kerja obat lebih dipusatkan pada regulasi kadar glukosa darah melalui peningkatan sensitivitas insulin pada reseptor. Hal ini berarti ekstrak daun X mungkin memiliki daya regenerasi yang tinggi terhadap pulau Langerhans. Hasil uji statistik pada Lampiran 21 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun X pada tikus selama 30 hari memberikan pengaruh yang nyata terhadap luasan PL per lapang pandang. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa luasan PL kelompok kontrol positif berbeda sangat nyata terhadap kontrol negatif. Hal ini menunjukkan adanya degenerasi dan penurunan massa total sel pada PL tikus diabetes melitus. Luasan PL per lapang pandang kelompok 16 mg dan 64 mg lebih besar daripada kontrol positif tetapi kelompok 128 mg dan obat memiliki luasan yang lebih kecil daripada kontrol positif. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek toksik yang ditimbulkan oleh ekstrak daun X apabila dikonsumsi dalam dosis tinggi. Efek toksik menyebabkan regenerasi PL menjadi terhambat. Obat yang diberikan juga tidak
berfungsi sebagai pemicu penyembuhan pulau Langerhans, sehingga luasannya tidak bertambah. Luasan PL kelompok 8 mg tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif. Hal ini berarti pemberian ekstrak daun X dengan dosis 8 mg/ekor/hari dapat memberikan kesembuhan terhadap tikus diabetes melitus, baik secara aktivitas hipoglikemik maupun regenerasi PL. Pemberian ekstrak daun X dalam dosis tinggi (64 dan 128 mg) memberikan efek hipoglikemik yang cukup baik terhadap tikus-tikus perlakuan. Kadar glukosa darah kelompok 64 dan 128 mg telah mencapai kisaran normal pada hari ke-28, namun karena penurunannya yang cukup drastis dan efek regenerasi PL yang kurang memuaskan, maka penggunaan dosis 64 dan 128 tidak disarankan. Disamping itu, toksisitas dari ekstrak daun X dosis tinggi belum diteliti secara jelas. Pemberian ekstrak daun X dalam dosis 16 dan 32 mg, meskipun memberikan regenerasi PL yang cukup baik, dalam hal jumlah maupun luas, tetapi belum memperlihatkan efek hipoglikemik yang mencapai normal. Sel β merupakan sel penghasil insulin yang mendominasi sekitar 6070 % dari sel-sel pulau Langerhans (Gepts, 1981). Jumlah sel β yang terkandung dalam PL juga dapat menjadi parameter yang menentukan tingkat kesembuhan diabetes melitus. Pengamatan terhadap jumlah sel β tikus 30 hari pada perbesaran 100x dapat dilihat pada Tabel 8. Sel β pankreas penderita diabetes melitus dapat mengalami penurunan kemampuan sekresi hingga 80 % dan juga dapat mengalami destruksi cepat setelah kondisi diabetes. Fotomikrograf sel β pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus 30 hari hasil pewarnaan imunohistokimia pada perbesaran 100x tersaji dalam Gambar 13. Hasil uji statistik pada Lampiran 22 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun X pada tikus selama perlakuan (30 hari) memberikan pengaruh yang sangat nyata dalam membantu peningkatan jumlah sel β per lapang pandang pada tikus diabetes melitus. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa jumlah sel β kelompok kontrol positif berbeda sangat nyata dengan kontrol negatif. Kontrol positif memiliki jumlah sel
β yang terendah. Kondisi diabetes melitus yang tidak ditangani pada kontrol positif menyebabkan tidak terjadinya perbaikan sel-sel β, bahkan destruksi yang terjadi adalah yang paling besar. Kontrol positif memiliki sel β yang hanya sekitar 12 % dari jumlah sel β normal (kontrol negatif). Hal ini mendekati teori Gepts (1981), yang mengungkap bahwa jumlah sel β penderita diabetes melitus hanya berjumlah 10 % dari kondisi normalnya. Jumlah sel β kelompok-kelompok perlakuan daun X (8 mg, 16 mg, 32 mg, 64 mg dan 128 mg) dan kelompok perlakuan obat memiliki jumlah sel β yang lebih tinggi daripada kontrol positif. Pengaruh pemberian ekstrak daun X yang paling nyata terlihat pada kelompok 8 dan 16 mg, dimana jumlah sel β per lapang pandang yang tertinggi diantara kelompok perlakuan yang menderita diabetes melitus dicapai oleh kelompok 8 mg dan diikuti oleh 16 mg. Meskipun jumlah sel β kelompok 8 mg masih belum menyamai jumlah normalnya (kontrol negatif), namun perbaikan yang terjadi telah mencapai 40 % atau meningkat empat kali lipat dibanding kondisi awalnya (kontrol positif). Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa konsumsi ekstrak daun X sejumlah 8 mg/hari telah dapat memberikan efek positif terhadap regenerasi sel β dan aktivitas hipoglikemik. Pada dosis di atas 8 mg (16, 32, 64, 128 mg) hanya sedikit terjadi perbaikan jumlah sel β. Perbaikan jumlah sel β cenderung meningkat seiring dengan menurunnya dosis. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa dosis yang tinggi mungkin justru menghambat perbaikan jaringan pankreas, terutama sel β. Sementara itu, perbaikan jumlah sel β pada kelompok obat mungkin disebabkan oleh lebih terkontrolnya kadar glukosa darah, sehingga kebutuhan insulin berkurang dan kerja sel β dalam menghasilkan insulin menjadi lebih ringan. Dengan demikian, sel β memiliki kesempatan untuk beregenerasi.
K(-)
50 μm
K(+)
50 μm
A
50 μm
B
50 μm
C
50 μm
D
50 μm
E
50 μm
F
50 μm
Keterangan : K(-) : kontrol negatif, K(+) : kontrol positif, A, B, C, D, E (8, 16, 32, 64, 128 mg ekstrak daun X/ekor/hari), F (obat) sel β ; 50 μm Gambar 13. Fotomikrograf sel β pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus 30 hari hasil pewarnaan imunohistokimia pada perbesaran 100x
b. Pengamatan terhadap jaringan pankreas tikus 60 hari Jumlah pulau Langerhans (PL) per lapang pandang pada jaringan pankreas tikus 60 hari dengan pembesaran 100x tersaji dalam Tabel 9. Hasil perhitungan jumlah PL per lapang pandang 60 hari secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 23. Jumlah PL tikus 60 hari cenderung mengalami penurunan dibandingkan jumlah PL tikus 30 hari. Penurunan jumlah PL pada kelompok 16 mg, 32 mg, 64 mg, 128 mg dan obat berturut-turut adalah 8.2, 16.0, 36.8, 38.6 dan 18.4 %. Penurunan jumlah PL per lapang pandang yang terjadi pada 30 hari kedua dapat terjadi karena memburuknya kondisi diabetes melitus tikus karena tidak diberi penanganan. Destruksi PL kembali terjadi saat pemberian ekstrak daun X maupun obat dihentikan. Kondisi ini tercermin dari peningkatan kadar glukosa darah selama periode tersebut. Fotomikrograf pulau Langerhans tikus 60 hari hasil pewarnaan hematoksilin-eosin pada perbesaran 100x dapat dilihat pada Gambar 14. Satu-satunya kelompok yang mengalami peningkatan jumlah PL per lapang pandang pada hari ke-60 adalah kelompok 8 mg. Peningkatan jumlah PL yang terjadi adalah sebesar 44.2 %. Hal ini dapat berarti regenerasi PL menuju penyembuhan terhadap diabetes melitus telah terjadi secara berkesinambungan sejak awal perlakuan pada tikus kelompok 8 mg. Penyembuhan mungkin dapat terjadi dengan diinduksi oleh aktivitas senyawa-senyawa biokimia aktif yang terkandung dalam ekstrak daun X dan masih terus berlanjut saat pemberian ekstrak daun X dihentikan. Hasil uji statistik (Lampiran 24) terhadap jumlah PL per lapang pandang pada tikus 60 hari menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata (p < 0.05) terhadap jumlah PL pasca perlakuan, baik pemberian ekstrak daun X maupun obat selama 30 hari kedua. Jumlah PL kontrol positif tetap berbeda nyata dengan kontrol negatif. Jumlah PL kelompok 64 mg tidak berbeda nyata dengan kontrol positif. Jumlah PL kelompok 16 mg, 32 mg, 128 mg dan obat berbeda nyata dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Sedangkan jumlah PL kelompok 8 mg tidak berbeda nyata
dengan kontrol negatif. Hal ini membuktikan bahwa perbaikan jumlah PL pada kelompok 8 mg telah mencapai normal. Luasan PL per lapang pandang pada tikus 60 hari (Tabel 9) yang mengalami perlakuan daun X maupun obat juga cenderung menurun apabila dibandingkan dengan tikus 30 hari. Penurunan luasan PL dapat terjadi akibat menyusutnya massa sel karena destruksi kembali yang dipicu oleh memburuknya kondisi diabetes melitus pasca perlakuan daun X maupun obat. Tabel 9. Jumlah*, luasan** pulau Langerhans dan jumlah sel β*** tikus 60 hari Jumlah Luasan Pulau Pulau Jumlah Sel β Kelompok Langerhans (μm2) Langerhans (buah) (buah) K(-) 4.05 ± 1.1c 12823.28 ± 4035.8c 64.20 ± 18.2c K(+)
1.10 ± 0.8a
8214.54 ± 3164.5ab
7.80 ± 3.3a
A
3.75 ± 1.9c
12096.71 ± 4445.1c
52.80 ± 42.4bc
B
2.80 ± 1.6b
10038.03 ± 3210.1bc
9.00 ± 3.5a
C
3.40 ± 1.8b
8382.84 ± 3434.8ab
29.40 ± 13.9ab
D
1.80 ± 0.6a
5445.46 ± 2876.8a
14.00 ± 6.6a
E
3.10 ± 1.5b
6729.40 ± 3691.2ab
6.20 ± 1.6a
F
3.55 ± 1.8bc
7198.97 ± 3642.7ab
29.80 ± 14.1ab
Keterangan : huruf yang sama pada setiap nilai menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (p > 0.05) * Jumlah : Jumlah pulau Langerhans per lapang pandang dengan perbesaran 100x ** Luasan : Luasan pulau Langerhans per lapang landang dengan perbesaran 400x *** Sel β : Jumlah Sel β per lapang pandang dengan perbesaran 100x
PL
PL
50 μm
K(-)
50 μm
K(+)
PL PL
50 μm
A
PL
PL
50 μm
C
50 μm
D
PL
PL
E
50 μm
B
50 μm
F
50 μm
Keterangan : K(-) : kontrol negatif, K(+) : kontrol positif, A, B, C, D, E (8, 16, 32, 64, 128 mg ekstrak daun X/ekor/hari), F (obat) PL = Pulau Langerhans ; 50 μm Gambar 14. Fotomikrograf pulau Langerhans tikus 60 hari hasil pewarnaan hematoksilin-eosin pada perbesaran 100x
Penurunan luasan PL per lapang pandang pada kelompok 32 mg dan 64 mg berturut-turut adalah 11.9 dan 42.6 %. Penurunan luasan PL berhubungan
dengan
peningkatan
kadar
glukosa
darah
yang
mengindikasikan memburuknya kondisi diabetes melitus tikus pada 30 hari kedua. Sebaliknya luasan PL pada kelompok 8 mg, 16 mg, 128 mg dan obat mengalami peningkatan sebesar 9.9 %, 7.3 % 9.5 % dan 24.7 %. Perbaikan jaringan pankreas, terutama luasan PL mungkin disebabkan oleh efek penyembuhan jangka panjang dari senyawa-senyawa biokimia aktif dalam ekstrak daun X atau obat. Hasil uji statistik pada Lampiran 25 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata terhadap luasan PL per lapang pandang pasca perlakuan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa luasan PL kontrol negatif berbeda nyata dengan kontrol positif. Kelompok 32 mg, 64 mg, 128 mg dan obat memiliki luasan yang tidak berbeda nyata dengan kontrol positif. Kelompok 8 mg memiliki luasan tertinggi yang tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pada 30 hari kedua perbaikan terhadap luasan PL dapat dipertahankan dan ditingkatkan hingga tetap tidak berbeda dengan luasan normalnya (kontrol negatif). Jumlah sel β per lapang pandang pada tikus 60 hari cenderung mengalami peningkatan dibanding pada tikus 30 hari (Tabel 9). Jumlah per lapang pandang tertinggi dicapai oleh kelompok 8 mg dengan 52.80 sel. Peningkatan jumlah sel β per lapang pandang dialami oleh tikus kelompok 8 mg, 32 mg, 64 mg dan obat sebesar 97 %, 133.3 %, 45.8 % dan 115.9 %. Peningkatan jumlah sel β mungkin disebabkan oleh adanya regenerasi jaringan akibat efek jangka panjang dari konsumsi ekstrak daun X maupun obat. Penurunan jumlah sel β per lapang pandang terjadi pada kelompok 16 mg (45.8 %) dan 128 mg (43.6 %). Penurunan mungkin disebabkan oleh penurunan jumlah PL per lapang pandang akibat memburuknya kondisi diabetes melitus. Fotomikrograf sel β pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus 60 hari hasil pewarnaan imunohistokimia pada perbesaran 100x tersaji dalam Gambar 15.
K(-)
A
C
50 μm
50 μm
50 μm
K(+)
B
D
50 μm
50 μm
50 μm
50 μm 50 μm E F Keterangan : K(-) : kontrol negatif, K(+) : kontrol positif, A, B, C, D, E (8, 16, 32, 64, 128 mg ekstrak daun X/ekor/hari), F (obat) sel β ; 50 μm Gambar 15. Fotomikrograf sel β pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus 30 hari hasil pewarnaan imunohistokimia pada perbesaran 100x
Hasil uji statistik (Lampiran 26) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata terhadap jumlah sel β per lapang pandang pasca perlakuan
ekstrak
daun
X
maupun
obat.
Hasil
uji
Duncan
memperlihatkan jumlah sel β per lapang pandang kelompok 8 mg tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif, sedangkan jumlah sel β per lapang pandang kelompok 16 mg, 32 mg, 64 mg, 128 mg dan obat tidak berbeda nyata dengan kontrol positif. Jumlah sel β per lapang pandang kelompok 8 mg telah mencapai jumlah normal pada akhir 30 hari kedua. Penurunan kadar glukosa darah hingga kisaran normal, peningkatan jumlah dan luasan pulau Langerhans serta peningkatan jumlah sel β hingga mendekati kelompok kontrol negatif merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur kesembuhan tikus diabetes melitus. Semakin banyak dan luas pulau Langerhans, diharapkan jumlah sel β yang terdapat di dalamnya akan semakin meningkat. Peningkatan jumlah dan luasan pulau langerhans serta jumlah sel β berkaitan erat dengan regulasi penurunan kadar glukosa darah. Dengan demikian, insulin yang dihasilkan pun akan semakin meningkat. Insulin yang cukup akan berperan aktif dalam menjaga mekanisme regulasi kadar glukosa darah, sehingga kondisi hipoglikemia ataupun hiperglikemia dapat dihindarkan. Peningkatan dosis konsumsi ekstrak daun X berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar glukosa darah hari ke-28, peningkatan jumlah pulau Langerhans per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 100x, peningkatan luasan pulau Langerhans per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 400x, dan peningkatan jumlah sel β per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 100x dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Berdasarkan hasil dari beberapa parameter, terdapat indikasi bahwa konsumsi ekstrak daun X dengan dosis yang tinggi (> 32 mg/hari) memberikan hasil yang kurang konsisten. Sebaliknya, dosis yang rendah memberikan hasil yang lebih konsisten dan positif. Dosis 8 mg ekstrak daun X per hari sudah dapat memberikan kesembuhan pada tikus yang menderita diabetes melitus.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pemberian ekstrak daun X memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus diabetes melitus sehingga mencapai kisaran normal pada hari ke-28, yaitu pada kelompok 8 mg, 64 mg dan 128 mg pada hari ke-28 berturut-turut bernilai 148.5, 110.0 dan 97.0 mg/dl. Pasca pemberian ekstrak daun X, kadar glukosa darah kelompok perlakuan meningkat kembali pada kisaran diabetes melitus. Selama perlakuan juga tidak terjadi peningkatan resiko komplikasi diabetes melitus. Pemberian ekstrak daun X berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah pulau Langerhans per lapang pandang dengan pembesaran 100x pada tikus 30 hari. Jumlah pulau Langerhans per lapang pandang tertinggi hingga terendah adalah kelompok 128 mg (5.05 buah), obat (4.35 buah), 32 mg (4.05 buah), kontrol negatif (4.05 buah), 16 mg (3.05 buah), 64 mg (2.85 buah), 8 mg (2.60 buah) dan kontrol positif (1.10 buah). Jumlah pulau Langerhans tikus 60 hari cenderung menurun dibandingkan junlah pulau Langerhans tikus 30 hari. Penurunan jumlah pulau Langerhans pada kelompok 16 mg, 32 mg, 64 mg, 128 mg dan obat berturut-turut adalah 8.2, 16.0, 36.8, 38.6 dan 18.4 %. Pemberian ekstrak daun X berpengaruh nyata terhadap luasan pulau Langerhans per lapang pandang 30 hari dan jumlah sel β per lapang pandang 30 hari. Sebagian besar kelompok perlakuan daun X (8 mg, 16 mg, 32 mg dan 64 mg) memiliki luasan pulau Langerhans yang lebih besar daripada kontrol positif. Luasan pulau Langerhans per lapang pandang terbesar dimiliki oleh kontrol negatif (12823.28 μm2) dan kelompok 8 mg memiliki luasan yang tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif (10898.23 μm2). Luasan terkecil dimiliki oleh kelompok obat (5417.94 μm2). Penurunan luasan pulau Langerhans per lapang pandang 60 hari terjadi pada kelompok 32 mg dan 64 mg berturut-turut adalah 11.9 dan 42.6 %. Jumlah sel β per lapang pandang kelompok perlakuan ekstrak daun X mengalami peningkatan dibandingkan kelompok kontrol positif. Jumlah sel β per lapang pandang kontrol negatif berjumlah 64.20 buah dan jumlah tertinggi
diantara kelompok perlakuan dicapai oleh kelompok 8 mg (26.80 buah). Jumlah sel β per lapang pandang pada tikus 60 hari cenderung meningkat dibanding pada tikus 30 hari. Jumlah per lapang pandang kelompok 8 mg dengan 52.80 sel tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif. Peningkatan jumlah sel β per lapang pandang dialami oleh tikus kelompok 8 mg, 32 mg, 64 mg dan obat sebesar 97, 133.3, 45.8 dan 115.9 %. Pemberian ekstrak daun X atau obat selama 30 hari berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar glukosa darah hari ke-28, peningkatan jumlah dan luasan pulau Langerhans per lapang pandang 30 hari, serta peningkatan jumlah sel β per lapang pandang 30 hari dibandingkan dengan kontrol positif. Dosis yang rendah memberikan hasil yang lebih konsisten dan positif. Dapat disimpulkan bahwa dosis 8 mg ekstrak daun X per hari merupakan dosis paling optimum yang dapat memberikan kesembuhan pada tikus yang menderita diabetes melitus. B. Saran Penggunaan ekstrak daun X sebagai salah satu alternatif penanganan diabetes melitus tipe I cukup menjanjikan, namun perlu diadakan penelitian ulangan dan lanjutan menggunakan tikus diabetes melitus dengan kadar glukosa awal yang sama atau dalam berbagai kisaran tertentu. Hal ini diperlukan untuk mengetahui efektivitas kinerja ekstrak daun X terhadap berbagai tingkat keparahan diabetes melitus tipe I secara lebih lanjut. Selain itu, perlu dikaji mengenai komponen-komponen biokimia aktif yang terkandung dalam daun X.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, Y. 2003. Mekanisme Aktivitas Antihiperglikemik Ekstrak Buncis (Phaseolus vulgaris Linn) pada Tikus Diabetes dan Identifikasi Komponen Bioaktif. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonim. 2003. Diabetes Overview. http://www.4woman.gov. Anonim. 2005. Tools: Convert HbA1c to Average Blood Sugar Level. http://www.diabetesgourmet.com AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of Official Analytical Chemistry. AOAC. Inc. Arlington Cooperstein, S.J. dan D. Watkins. 1981. Action of toxic drugs on islet cells. Di dalam: Cooperstein S.J., D. Watkins (Eds.), The Islet of Langerhans, Biochemistry, Physiology and Pathology. Academic Press, New York, London, Toronto, Sydney, San Fransisco. ECDCDM, 1997. Report of The Expert Diagnosis and Classification Committee on Diabetes Mellitus. Diabetes Care 20 : 1183-1197. Foster. 2004. A survey of diabetes services in primary care organizations. http:// www.diabetes.org.uk. Gepts, W. 1981. Islet changes in human diabetes. Di dalam: Cooperstein S.J., D. Watkins (Eds.), The Islet of Langerhans, Biochemistry, Physiology and Pathology. Academic Press, New York, London, Toronto, Sydney, San Fransisco. Griffith, G. dan Hoppeler. 1986. Quantitation in immunocytochemistry : correlation of immuno gold labelling to absolute number of membrane antigen. J. Histochem 34 : 1389-1398. Gunarso, W. 1989. Mikroteknik. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Guyton, A. C. 1993. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-7. EGC, Jakarta. Ham, A. W. dan T. S. Leeson. 1961. Histology. 4th edition. J. B. Lippincott Company, Philadelphia, Montreal.
Hariyadi, P., E. H. Purnomo, D. R. Tirtasujana, D. Tresnakusumah, N. Sudiana, dan N. Wulandari. 2002. Satuan Operasi Ilmu Pangan. Teknologi Pangan Dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Heslet, L. 2004. Kolesterol : Yang Perlu Anda Ketahui. Terjemahan : Adiwiyoto, A. Megapoin, Jakarta. Kesenja, R. 2005. Pemanfaatan Tepung Buah Pare (Momordica charantia L.) untuk Penurunan Kadar Glukosa Darah Pada Tikus Diabetes Mellitus. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kinshuck, D. 2005. What is HbA1c? http:// www.diabeticretinopathy.org.uk Kuhlmann, W.D. 1984. Immuno enzyme techniques in cytochemistry. Basel Verlag Chemie. Florida pp 2-69. Mangoenprasodjo, A. S. 2005. Hidup Sehat dan Normal dengan Diabetes. ThinkFresh, Yogyakarta. Mayfield, J. 1998. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus : New Criteria. Published by American Academy of Family Physician, Oktober 15, 1998. Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Praktikum Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Paton, D. dan W.A. Spratt. 1984. Component interaction in the cooking process influence of process condition on the functional viscosity of the wheat flour system. Journal of Food Science 49 : 1380-1385. Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya, Jakarta. Roesma, S. 2005. Diabetes Melitus. Ray Medika Indonesia, Jakarta. Simon, H. 2003. Diabetes Diet. A.D.A.M Inc., Massachusetts, Smith, M. D. 2005. User’s Guide to : Preventing and Reversing Diabetes Naturally. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Szkudelski, T. 2001. The mechanism of alloxan and streptozotocin action in beta cells of the rat pancreas. Physiol. Res. 50 : 536-546.
Tjokroprawiro, A. 2003. Diabetes Melitus : Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi. Edisi ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Torrie, J. H. dan G. D. Robert. 1991. Prinsip dan Proses dari Statistika suatu Pendekatan Biometrik. PT Gramedia, Jakarta. Utami, P. 2004. Sehat dengan Ramuan Tradisional : Tanaman Obat Untuk Mengatasi Diabetes Melitus. Agromedia Pustaka, Tangerang. WHO. 1980. Expert Committee on Diabetes Mellitus : Second Report. WHO Technical Report Series 646 : 1-80.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengukuran kadar glukosa darah tikus selama masa perlakuan Klmpk
Ulngn 1
K(-)
Kadar Glukosa Darah (mg/dl) hari ke0
5
10
15
22
28
86
121
110
102
91
95
2
75
74
79
75
71
83
Rata-rata
80.5
97.5
94.5
88.5
81
89
Kadar Glukosa Darah (mg/dl) hari ke-
K(+)
A
B
C
D
E
F
0
3
8
13
18
23
28
35
42
49
56
60
1
389
399
295
310
337
315
343
-
-
-
-
-
2
251
388
370
346
324
249
345
-
-
-
-
-
Rata-rata
320
393.5
332.5
328
330.5
282
344
-
-
-
-
-
1
326
262
600
155
120
116
128
-
-
-
-
-
2
251
453
197
268
274
213
169
-
-
-
-
-
3
299
226
301
600
294
377
322
440
462
372
360
369
4
290
299
600
339
309
281
135
170
154
123
200
190
Rata-rata
291.5
310
424.5
340.5
249.3
246.8
188.5
305
308
247.5
280
279.5
1
325
290
316
288
264
259
309
-
-
-
-
-
2
429
436
476
388
344
413
332
-
-
-
-
-
3
455
418
375
381
400
389
393
434
385
315
325
269
4
341
452
367
315
324
294
435
339
296
281
321
281
Rata-rata
387.5
399.0
383.5
343.0
333.0
338.8
367.3
386.5
340.5
298.0
323.0
275.0
-
-
-
-
1
600
437
377
455
291
302
264
-
2
301
350
367
270
352
315
312
-
-
-
-
-
3
323
277
304
374
385
482
383
335
234
318
321
301
4
290
449
289
279
274
306
128
140
118
102
121
135
Rata-rata
378.5
378.3
334.3
344.5
325.5
351.3
271.8
237.5
176.0
210.0
221.0
218.0
1
285
253
241
119
128
106
118
-
-
-
-
-
-
-
-
-
389
350
379
300
2
287
260
336
194
123
123
102
-
3
600
600
277
180
22
354
459
285
4
423
435
402
354
160
324
381
251
250
139
107
140
Rata-rata
398.8
387.0
314.0
211.8
108.3
226.8
265.0
268.0
319.5
244.5
243.0
220.0
1
278
270
312
182
227
154
146
-
-
-
-
-
2
275
369
250
232
147
130
48
-
-
-
-
-
127
-
-
3
592
416
308
291
427
324
227
315
490
4
383
476
334
331
429
350
348
310
289
208
214
281
Rata-rata
382.0
382.8
301.0
259.0
307.5
239.5
192.3
312.5
389.5
167.5
214.0
281.0
1
398
355
600
356
457
329
337
-
-
-
-
-
2
328
600
365
335
374
377
409
-
-
-
-
-
3
255
209
196
116
108
118
144
119
91
132
132
102
4
377
417
394
456
487
348
505
431
453
325
300
170
Rata-rata
339.5
395.3
388.8
315.8
356.5
293.0
348.8
275.0
272.0
228.5
216.0
136.0
Lampiran 2. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus hari ke-0 Oneway ANOVA GLU_0 Sum of Squares 180512.46 157006.25 337518.71
Between Groups Within Groups Total
Mean Square 25787.495 7850.313
df 7 20 27
F
Sig.
3.285
0.17
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets GLU_0 a
Duncan
KELOMPOK
N
Subset for alpha = .05 1 80.50
K(-) 2 A 4 K(+) 2 F 4 C 4 E 4 B 4 D 4 Sig. 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed
2 292.00 320.00 339.50 378.50 382.00 387.50 398.75 .195
a
. uses Harmonic Mean Sample Size = 3.200
b
. The group size are unequal. The harmonic mean of the group size is used. Type I error levels are not guaranteed
Lampiran 3. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus hari ke-28 Oneway ANOVA GLU_28 Sum of Squares 205998.00 9853.000 215851.00
Between Groups Within Groups Total
Mean Square 29428.286 1231.625
df 7 8 15
F
Sig.
23.894
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets GLU_28 a
Duncan
KELOMPOK
Subset for alpha = .05
N
1 89.00 97.00 110.00 148.50
2
K(-) 2 E 2 D 2 A 2 C 2 B 2 K(+) 2 F 2 Sig. .150 Means for groups in homogeneous subsets are displayed a
288.00 320.50 344.00 373.00 .053
. uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000
Lampiran 4. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus hari ke-60
Oneway ANOVA GLU_60
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 27710.417 56840.500 84550.917
df 5 6 11
Mean Square 5542.083 9473.417
F
Sig.
.585
.714
Lampiran 5. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol negatif berdasarkan periode Oneway ANOVA GLU_K-
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 72.250 132.500 204.750
df 1 2 3
Mean Square 72.250 66.250
F
Sig.
1.091
.406
Report Std. Deviation HARI 0 28 Total
GLUKOSA 7.778 8.485 8.261
Lampiran 6. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol positif berdasarkan periode Oneway ANOVA GLU_K+
Between Groups Within Groups Total
Report Std. Deviation HARI GLUKOSA 0 97.581 28 1.414 Total 58.023
Sum of Squares 576.000 9524.000 10100.000
df 1 2 3
Mean Square 576.000 4762.000
F
Sig.
.121
.761
Lampiran 7. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok 8 mg berdasarkan periode Oneway ANOVA GLU_A Sum of Squares 29173.500 840.500 30014.000
Between Groups Within Groups Total
Mean Square 14586.750 168.100
df 2 5 7
F
Sig.
86.774
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets GLU_A a
Duncan
HARI
N
Subset for alpha = .05
2 2 28 279.500 2 60 291.500 4 0 .357 1.000 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed a . uses Harmonic Mean Sample Size = 2.400 b . The group size are unequal. The harmonic mean of the group size is used. Type I error levels are not guaranteed
Report Std. Deviation HARI 0 28 60 Total
GLUKOSA 31.032 28.991 126.572 83.601
1 148.500
Lampiran 8. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok 16 mg berdasarkan periode Oneway ANOVA GLU_B
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 18180.375 12683.500 30863.875
df 2 5 7
Mean Square 9090.188 2536.700
F
Sig.
3.583
.108
Report Std. Deviation HARI 0 28 60 Total
GLUKOSA 64.153 16.263 8.485 66.401
Lampiran 9. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok 32 mg berdasarkan periode Oneway ANOVA GLU_C
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 36400.500 80911.000 117311.50
Report Std. Deviation HARI 0 28 60 Total
GLUKOSA 148.303 33.941 117.380 129.456
df 2 5 7
Mean Square 18200.250 16182.200
F
Sig.
1.125
.395
Lampiran 10. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok 64 mg berdasarkan periode Oneway ANOVA GLU_D Sum of Squares 121424.88 128.000 121552.88
Between Groups Within Groups Total
Mean Square 60712.440 25600
df 2 5 7
F
Sig.
2371.580
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets GLU_D a
Duncan
HARI
N
Subset for alpha = .05 2
3 2 28 220.000 2 60 398.800 4 0 1.000 1.000 1.000 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed a . uses Harmonic Mean Sample Size = 2.400 b . The group size are unequal. The harmonic mean of the group size is used. Type I error levels are not guaranteed
Report Std. Deviation HARI 0 28 60 Total
GLUKOSA 148.903 11.314 113.137 169.378
1 110.000
Lampiran 11. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok 128 mg berdasarkan periode Oneway ANOVA GLU_E Sum of Squares 118633.50 4802.000 123435.50
Between Groups Within Groups Total
Mean Square 59316.750 960.400
df 2 5 7
F
Sig.
61.763
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets GLU_E a
Duncan
HARI
N
Subset for alpha = .05 2
3 2 28 281.00 2 60 382.00 4 0 1.000 1.000 1.000 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed a . uses Harmonic Mean Sample Size = 2.400 b . The group size are unequal. The harmonic mean of the group size is used. Type I error levels are not guaranteed
Report Std. Deviation HARI 0 28 60 Total
GLUKOSA 148.735 69.296 108.894 169.731
1 97.00
Lampiran 12. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus kelompok obat berdasarkan periode Oneway ANOVA GLU_F Sum of Squares 70619.000 17005.000 87624.000
Between Groups Within Groups Total
Mean Square 35309.500 3401.000
df 2 5 7
F
Sig.
10.382
.017
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets GLU_F a
Duncan
HARI
N
Subset for alpha = .05
2 2 60 339.50 4 0 373.00 2 28 .557 1.000 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed a . uses Harmonic Mean Sample Size = 2.400 b . The group size are unequal. The harmonic mean of the group size is used. Type I error levels are not guaranteed
Report Std. Deviation HARI 0 28 60 Total
GLUKOSA 63.511 50.912 48.083 111.883
1 136.00
Lampiran 13. Konsumsi ransum tikus selama perlakuan
Klmpk K(-) K(+)
A
B
C
D
E
F
Ulngn
Konsumsi Ransum (g) hari ke0
1
2
3
4
5
6
7
1
9.5
17.5
10.1
20.1
2
16.5
13.9
16.3
21.5
18.7
5.8
22.1
24.7
14.8
15.7
20.9
12.0
1
7.9
17.6
16.6
2
9.5
21.0
17.5
21.6
12.1
2.4
0.7
1
9.1
12.2
20.0
16.9
15.6
14.8
2
19.6
20.6
16.3
18.5
18.5
3
12.6
20.8
18.7
14.6
12.9
19.8
23.2
13.2
21.4
21.7
4
21.2
19.1
12.1
16.4
1
15.8
20.1
23.5
2
3.0
7.8
3
11.5
7.2
4
19.9
1
7.4
2
8
9
10
11
12
9.7
17.5
20.7
13.0
17.6
13.0
12.8
19.6
6.2
13.0
18.8
22.5
18.3
19.1
19.3
15.5
9.0
24.5
10.9
19.0
22.0
20.3
13.8
14.6
15.0
16.4
16.8
15.9
18.0
20.3
19.9
15.2
18.2
21.1
15.7
15.0
19.3
18.5
16.8
18.2
25.2
12.7
8.7
16.5
23.0
23.2
25.9
25.8
18.6
25.2
24.6
12.0
22.5
24.0
20.8
25.1
22.4
22.7
21.7
25.2
19.9
25.8
20.4
9.5
14.4
21.4
15.3
23.7
23.8
24.4
23.2
18.5
25.3
13.9
14.0
11.0
16.3
16.4
17.8
19.3
15.7
20.6
18.3
22.0
19.4
12.8
23.1
24.0
19.6
17.2
23.2
26.5
26.7
22.1
25.9
14.1
25.0
0.1
15.3
6.2
17.0
0.2
16.9
17.9
14.3
21.5
21.5
22.3
5.6
9.4
14.0
5.7
1.4
6.7
18.1
2.4
0.0
4.2
0.0
1.6
0.0
1.9
3
24.8
23.5
25.8
26.2
18.8
26.5
25.8
17.1
19.9
16.4
21.4
16.3
22.5
4
14.8
12.6
16.8
19.4
22.8
20.3
18.1
31.2
19.8
14.7
21.2
17.9
26.2
1
16.6
12.0
13.6
9.1
14.1
21.1
21.6
15.3
12.5
11.0
15.4
14.9
23.9
2
4.1
14.7
25.6
10.3
15.8
19.3
9.9
18.0
10.1
16.2
15.7
16.8
19.7
3
3.0
12.4
13.5
14.5
14.2
20.8
1.1
18.4
20.4
20.8
14.7
14.6
24.2
4
17.5
23.7
0.9
15.9
6.9
20.9
13.4
20.4
18.5
22.8
17.8
18.6
17.9
1
16.4
14.0
17.9
20.1
14.9
18.0
16.8
21.4
18.1
18.0
15.8
16.8
14.6
2
15.6
23.0
16.8
16.0
24.4
19.4
19.8
23.6
17.3
22.6
18.5
22.1
15.4
3
10.8
9.9
17.8
14.3
19.3
17.2
29.0
19.2
21.7
15.2
21.5
18.9
27.8
4
15.6
28.9
28.6
18.5
28.8
19.9
27.9
28.7
24.0
18.4
27.8
25.4
26.3
1
24.8
23.4
22.2
26.1
24.3
18.6
24.9
25.2
25.0
25.9
24.0
24.4
29.6
2
22.5
11.2
16.5
19.6
21.0
19.4
19.8
18.1
23.1
17.3
24.3
24.9
17.8
3
16.6
22.7
13.7
15.8
24.1
21.5
18.2
19.7
30.1
12.3
13.2
15.7
20.7
4
16.5
21.4
16.2
17.5
23.6
19.3
26.6
19.6
15.7
18.4
21.0
15.6
22.5
Lampiran 13. Konsumsi ransum tikus selama perlakuan (lanjutan)
Klmpk K(-) K(+)
A
B
C
D
E
F
Ulngn
Konsumsi Ransum (g) hari ke13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
1
19.7
18.5
12.5
2
16.7
12.9
5.5
20.1
9.6
14.4
21.8
9.6
14.6
16.0
20.5
14.0
10.2
17.4
10.0
11.0
14.0
5.3
11.0
14.0
20.7
7.7
2.2
1
23.1
21.3
2
26.2
19.1
22.5
23.4
27.5
12.8
19.1
15.7
20.1
17.9
18.2
25.8
1
25.4
24.3
0.1
27.9
30.0
15.8
30.4
10.9
23.0
26.5
19.8
16.9
2
17.1
18.7
11.0
16.1
20.8
16.3
17.1
17.2
12.5
14.4
14.2
22.3
6.8
3
18.0
19.8
21.8
18.2
27.1
18.9
17.3
19.2
13.6
16.3
22.8
21.1
10.7
22.0
24.3
24.8
26.2
15.4
18.6
23.5
19.0
22.2
22.5
19.9
18.9
16.4
4
24.3
23.7
25.4
29.1
23.5
24.4
30.6
28.1
27.3
18.0
22.2
9.6
18.9
1
19.4
23.0
25.1
21.0
25.8
27.6
25.5
21.6
16.5
18.0
24.7
21.7
13.3
2
19.7
25.5
23.3
26.8
29.2
28.5
28.5
29.2
27.0
21.5
22.6
30.6
20.6
3
1.4
21.6
24.3
26.9
16.9
20.3
13.8
11.8
20.2
20.0
16.7
14.6
20.0
4
21.2
13.0
30.2
17.3
18.3
20.1
18.1
17.3
30.5
25.0
28.5
29.6
22.8
1
23.7
16.6
19.1
28.3
19.2
27.3
19.9
15.5
17.4
19.5
19.4
15.0
25.2
2
14.3
1.1
0.0
5.9
10.0
5.1
9.8
12.8
4.2
4.4
8.7
7.5
10.3
3
27.2
16.9
16.0
16.3
30.5
18.2
20.7
20.7
26.9
8.6
29.9
26.4
17.5
4
17.4
20.7
25.6
9.0
25.9
25.2
23.9
11.4
28.4
22.9
19.0
24.8
29.5
1
24.4
24.3
29.5
29.5
29.1
9.2
11.1
27.3
28.9
21.6
30.8
23.7
29.6
2
18.1
17.1
17.2
17.9
16.3
17.0
13.6
15.4
19.6
16.8
11.8
18.5
16.7
3
24.4
21.2
21.0
25.6
13.0
26.7
10.2
11.7
25.6
21.8
12.8
17.1
23.4
4
17.7
16.0
19.1
19.0
15.8
22.5
14.8
19.2
16.7
13.7
17.3
16.8
19.5
1
19.6
13.1
14.9
12.7
19.1
4.3
15.7
4.3
14.3
18.3
9.0
19.3
10.9
2
19.0
19.8
23.1
17.4
19.3
20.4
21.3
18.0
18.8
9.6
23.9
23.6
7.8
3
16.7
6.9
21.6
16.2
25.1
26.0
23.3
31.2
29.0
16.9
28.0
8.6
17.1
4
23.3
30.8
5.8
29.7
29.4
29.4
23.2
29.6
29.3
29.7
29.8
25.7
19.5
1
28.5
31.1
30.2
29.5
29.2
29.5
17.3
16.6
28.8
29.8
30.4
24.7
29.7
2
28.8
29.6
20.8
17.1
21.0
21.4
22.0
14.0
22.1
21.7
18.1
16.0
20.0
3
17.6
11.4
11.8
19.7
18.2
23.1
16.4
22.1
30.0
15.9
15.5
9.8
19.8
4
22.3
19.0
21.9
28.8
26.4
22.1
30.9
21.2
19.2
21.8
23.2
12.7
21.0
Lampiran 13. Konsumsi ransum tikus selama perlakuan (lanjutan)
Klmpk K(-) K(+)
A
B
C
D
E
F
Ulngn
Konsumsi Ransum (g) hari ke26
27
28
1
12.8
14.7
13.9
2
12.4
13.7
1
16.2
22.9
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
20
11.4
-
-
-
-
-
-
-
-
11.3
1.0
30.0
-
-
-
-
-
-
-
-
20.8
30.0
29.3
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
21.5
13.7
14.5
29.9
29.7
-
1
15.1
18.6
19.5
30.0
30.1
-
-
-
-
-
-
-
-
2
10.2
19.9
18.8
22.3
28.8
-
-
-
-
-
-
-
-
3
23.1
21.4
23.9
15.0
19.4
17.5
8.5
15.3
21.2
19.5
30.0
27.7
18.3
4
16.9
12.8
17.7
22.2
21.0
19.1
22.0
6.3
18.2
24.8
29.4
16.6
15.3
-
-
-
-
-
-
-
1
14.4
28.7
16.0
29.6
18.0
-
2
21.6
18.4
24.0
0.4
18.7
-
-
-
-
-
-
-
-
3
19.5
19.2
18.6
16.2
19.0
19.6
15.6
16.9
22.9
21.5
31.0
22.1
26.8
4
29.1
26.3
21.5
18.3
30.0
4.4
14.9
28.0
19.2
31.7
28.3
17.7
30.7
1
24.6
16.7
19.0
0.1
19.5
-
-
-
-
-
-
-
-
2
11.8
14.9
5.1
0.0
0.0
-
-
-
-
-
-
-
-
3
18.1
25.0
23.2
21.0
25.6
19.7
28.4
29.7
19.9
20.9
23.8
24.1
27.5
4
29.1
21.3
25.2
28.3
29.1
30.1
30.8
30.7
30.7
18.6
30.2
30.8
30.4
-
-
-
-
-
-
-
1
24.2
24.1
12.1
21.1
31.1
-
2
24.1
18.0
13.4
18.2
31.3
-
-
-
-
-
-
-
-
3
21.8
24.6
12.7
20.5
21.7
20.9
18.6
31.2
20.6
29.5
22.0
23.7
25.3
4
16.5
13.2
22.4
16.4
11.7
17.7
13.7
14.3
17.4
17.2
13.0
8.7
14.9
-
-
-
-
-
-
-
1
17.4
25.5
14.7
10.1
16.0
-
2
24.3
17.7
16.9
17.8
21.0
-
-
-
-
-
-
-
-
3
29.6
18.1
17.4
29.0
15.4
20.4
30.5
20.2
29.4
11.5
23.3
20.2
12.3
4
29.6
28.6
14.3
28.2
30.2
19.8
18.8
28.4
21.9
28.0
21.8
26.8
24.2
1
30.2
29.9
29.4
29.1
30.7
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
20.5
30.0
24.1
27.5
29.0
-
3
19.2
5.8
19.8
20.4
15.1
20.2
18.5
15.6
18.8
19.3
16.4
15.8
20.8
4
20.8
22.8
24.1
15.1
28.0
25.5
11.9
15.4
22.5
29.8
23.6
16.6
23.8
Lampiran 13. Konsumsi ransum tikus selama perlakuan (lanjutan)
Klmpk K(-) K(+)
A
B
C
D
E
F
Ulngn
Konsumsi Ransum (g) hari ke39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
19.4
24.4
21.8
23.0
26.3
19.1
17.8
20.5
11.0
28.3
25.2
23.6
15.5
4
17.5
14.8
15.2
16.0
18.3
19.8
15.2
20.4
13.4
12.4
17.9
17.6
23.6
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
18.5
19.3
25.3
20.8
23.0
23.4
21.9
24.2
12.0
34.0
26.6
23.3
21.4
4
28.2
27.3
30.3
22.3
25.0
28.0
22.1
22.6
28.5
29.6
29.3
29.3
21.1
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
23.1
24.3
28.1
7.7
15.2
24.1
23.8
28.4
23.4
17.8
24.8
0.5
29.1
4
30.7
29.2
30.0
30.0
28.5
20.8
30.0
30.0
28.1
1.0
17.0
20.5
16.1
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
1.4
20.6
28.1
4.0
23.2
27.1
20.5
23.5
20.0
28.4
22.5
22.3
18.5
7.7
4
15.4
14.9
18.8
14.8
26.1
14.0
0.5
11.2
12.9
13.1
14.1
12.9
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
27.1
30.4
17.7
29.4
23.8
24.3
15.8
14.5
13.1
22.2
18.2
10.8
9.9
4
16.8
19.6
18.2
24.3
18.5
17.3
19.9
22.1
28.5
21.8
17.1
22.6
26.5
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
21.1
16.5
19.4
18.0
18.2
17.9
19.6
17.3
19.8
17.9
21.6
22.0
14.0
4
27.1
7.8
26.4
26.6
13.9
15.7
4.6
22.2
29.6
23.7
29.3
28.2
29.3
Lampiran 13. Konsumsi ransum tikus selama perlakuan (lanjutan)
Klmpk K(-) K(+)
A
B
C
D
E
F
Ulngn
Konsumsi Ransum (g) hari ke52
53
54
55
56
57
58
59
60
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
28.1
12.8
24.1
27.4
25.8
11.5
4.8
18.5
16.1
4
17.7
17.7
18.2
16.4
14.4
17.7
21.6
13.5
15.0
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
21.9
24.9
8.6
20.0
25.4
15.8
30.5
21.9
23.9
4
29.5
23.2
21.6
29.8
21.2
22.5
27.8
17.4
15.3
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
29.3
26.1
30.2
30.5
29.9
30.1
30.3
29.5
30.8
4
29.6
19.3
11.9
18.7
13.2
17.1
14.6
24.0
24.5
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
27.7
28.4
24.8
24.5
20.3
20.3
27.9
28.6
27.0
9.3
14.2
9.6
4
5.9
14.1
12.5
12.0
17.8
11.0
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
17.8
14.3
19.3
17.2
29.0
19.2
21.7
15.2
21.5
4
24.9
26.4
12.7
20.6
19.3
17.9
13.3
12.5
11.4
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
29.2
18.5
8.0
18.3
24.4
20.1
21.0
15.4
6.3
4
26.5
29.3
17.9
17.7
30.2
28.1
25.6
28.7
10.3
Lampiran 14. Bobot tubuh tikus selama perlakuan
Kelompok Ulangan
3
168.0 172.0 171.8
186.0 181.0 181.5
210.0 190.0 202.5
229.0 195.0 195.0
2
150.0 150.0 150.0 155.0 155.0
155.0 129.0 142.0 190.0 178.0
150.0 160.0 155.0 202.0 187.0
3
153.0
180.0
4
152.0 160.5 153.0 180.0 150.0 189.0 168.0 155.0 172.0 125.0 171.0 155.8 165.0 153.0 165.0 150.0 158.3 179.0 209.0 185.0 154.0 181.5 175.0 172.0 200.0 148.0 173.8
170.0 184.5 170.0 155.0 148.0 202.0 168.8 152.0 135.0 125.0 180.0 148.0 155.0 160.0 150.0 133.0 149.5 190.0 224.0 173.0 157.0 186.0 190.0 187.0 215.0 170.0 190.5
1 K(-)
2 Rata-rata 1
K(+)
2 Rata-rata 1
A
Rata-rata 1 2 B
3 4 Rata-rata 1 2
C
3 4 Rata-rata 1 2
D
3 4 Rata-rata 1 2
E
3 4 Rata-rata 1 2
F
Berat badan (g) hari ke6 9 12
0
3 4 Rata-rata
15
18
244.0 196.0 196.0
246.0 191.0 191.0
251.0 200.0 200.0
139.0 174.0 156.5 207.0 192.0
145.0 158.0 151.5 208.0 187.0
146.0 168.0 157.0 221.0 194.0
146.0 142.0 144.0 230.0 200.0
171.0
184.0
174.0
190.0
196.0
161.0 190.5 182.0 141.0 140.0 210.0 168.3 146.0 155.0 145.0 175.0 155.3 167.0 155.0 129.0 137.0 147.0 198.0 225.0 162.0 157.0 185.5 189.0 172.0 222.0 168.0 187.8
177.0 200.0 205.0 154.0 149.0 221.0 182.3 150.0 165.0 149.0 185.0 162.3 162.0 170.0 149.0 151.0 158.0 208.0 238.0 156.0 165.0 191.8 201.0 174.0 235.0 163.0 193.3
168.0 201.0 195.0 127.0 140.0 213.0 168.8 157.0 152.0 147.0 190.0 161.5 174.0 186.0 157.0 157.0 168.5 205.0 252.0 163.0 166.0 196.5 167.0 184.0 236.0 158.0 186.3
165.0 208.8 197.0 110.0 144.0 225.0 169.0 158.0 148.0 152.0 198.0 164.0 186.0 200.0 161.0 162.0 177.3 219.0 263.0 150.0 145.0 194.3 203.0 190.0 240.0 171.0 201.0
170.0 218.0 211.0 115.0 150.0 221.0 174.3 170.0 158.0 165.0 203.0 174.0 193.0 215.0 156.0 172.0 184.0 212.0 277.0 152.0 175.0 204.0 219.0 188.0 250.0 175.0 208.0
Lampiran 14. Bobot tubuh tikus selama perlakuan (lanjutan)
Kelompok Ulangan
24 275.0
2
195.0 195.0 150.0 178.0 164.0 237.0 205.0
185.0 185.0 151.0 178.0 164.5 243.0 214.0
198.0 198.0 150.0 180.0 165.0 228.0 218.0
204.0 204.0 145.0 182.0 163.5 255.0 220.0
3
165.0
165.0
160.0
4
175.0 225.5 223.0 110.0 151.0 228.0 178.0 157.0 175.0 160.0 204.0 174.0 163.0 222.0 152.0 169.0 176.5 217.0 286.0 148.0 180.0 207.8 209.0 185.0 265.0 186.0 211.3
182.0 233.5 220.0 103.0 147.0 231.0 175.3 170.0 152.0 132.0 211.0 166.3 197.0 225.0 160.0 165.0 186.8 222.0 297.0 148.0 175.0 210.5 210.0 187.0 268.0 174.0 209.8
186.0 233.3 225.0 125.0 153.0 240.0 185.8 175.0 177.0 156.0 209.0 179.3 204.0 237.0 174.0 170.0 196.3 235.0 285.0 145.0 183.0 212.0 220.0 182.0 272.0 168.0 210.5
1 K(-)
2 Rata-rata 1
K(+)
2 Rata-rata 1
A
Rata-rata 1 2 B
3 4 Rata-rata 1 2
C
3 4 Rata-rata 1 2
D
3 4 Rata-rata 1 2
E
3 4 Rata-rata 1 2
F
Berat badan (g) hari ke27 30 33 265.0 280.0
21 266.0
3 4 Rata-rata
36
39
-
-
-
163.0
147.0
148.0
180.0
210.0 247.5 232.0 101.0 155.0 251.0 184.8 177.0 180.0 172.0 218.0 195.0 219.0 243.0 178.0 175.0 203.8 242.0 305.0 145.0 187.0 212.3 231.0 182.0 282.0 166.0 215.3
221.0 221.0 -
230.0 230.0 -
242.0 242.0 -
165.0 233.0 199.0 -
173.0 250.0 211.5 -
152.0 260.0 206.0 -
172.0 218.0 195.0 -
173.0 218.0 195.5 -
190.0 219.0 204.5 -
169.0 175.0 172.0 -
182.0 164.0 173.0 -
171.0 177.0 174.0 -
156.0 184.0 170.0 -
125.0 178.0 151.5 -
159.0 192.0 175.5 -
286.0 140.0 213.0
294.0 167.0 230.5
299.0 170.0 234.5
Lampiran 14. Bobot tubuh tikus selama perlakuan (lanjutan)
Kelompok Ulangan
45
2
-
-
-
-
3
167.0
177.0
157.0
4
244.0 244.0 -
250.0 250.0 -
179.0 268.0 223.5 -
1 K(-)
2 Rata-rata 1
K(+)
2 Rata-rata 1
A
Rata-rata 1 2 B
3 4 Rata-rata 1 2
C
3 4 Rata-rata 1 2
D
3 4 Rata-rata 1 2
E
3 4 Rata-rata 1 2
F
Berat badan (g) hari ke48 51 54
42
3 4 Rata-rata
57
60
-
-
-
177.0
190.0
185.0
163.0
255.0 255.0 -
269.0 269.0 -
269.0 269.0 -
275.0 275.0 -
279.0 279.0 -
180.0 275.0 227.5 -
188.0 261.0 224.5 -
196.0 276.0 236.0 -
202.0 280.0 241.0 -
175.0 278.0 226.5 -
202.0 282.0 242.0 -
197.0 222.0 209.5 -
200.0 225.0 212.5 -
194.0 225.0 209.5 -
202.0 224.0 213.0 -
200.0 216.0 208.0 -
206.0 226.0 216.0 -
205.0 230.0 217.5 -
189.0 180.0 184.5 -
184.0 180.0 182.0 -
198.0 183.0 190.5 -
150.0 188.0 169.0 -
120.0 176.0 148.0 -
133.0 191.0 162.0 -
207.0 184.0 195.5 -
202.0 185.0 193.5 -
210.0 189.0 199.5 -
215.0 195.0 205.0 -
165.0 165.0 -
190.0 190.0 -
190.0 190.0 -
195.0 195.0 -
300.0 169.0 234.5
302.0 171.0 236.5
311.0 166.0 238.5
321.0 185.0 253.0
322.0 179.0 250.5
305.0 175.0 240.0
205.0 155.0 180.0
Lampiran 15. Hasil uji statistik terhadap jumlah konsumsi ransum tikus selama 30 hari pertama Oneway ANOVA RNSM30_1
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 116.427 303.747 420.174
df 7 20 27
Mean Square 16.632 15.187
F
Sig.
1.095
.403
Report Std. Deviation KELOMPOK 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
RNSM30_1 1.5556 1.0607 1.8392 2.2847 7.5662 1.7981 4.1724 3.6845 3.9449
Lampiran 16. Hasil uji statistik terhadap jumlah konsumsi ransum tikus selama 30 hari kedua Oneway ANOVA RNSM30_2
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 58.074 58.135 116.209
Report Std. Deviation KELOMPOK 3 4 5 6 7 8 Total
RNSM30_2 1.8385 1.4849 .3536 6.6468 .4950 2.8284 3.2503
df 5 6 11
Mean Square 11.615 9.689
F
Sig.
1.199
.409
Lampiran 17. Hasil uji statistik terhadap persentase kenaikan bobot tubuh tikus selama 30 hari pertama Oneway ANOVA BBT30_1
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 6032.304 6808.505 12840.809
df 7 8 15
Mean Square 861.758 851.063
F
Sig.
1.013
.487
Report Std. Deviation KELOMPOK 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
BBT30_1 34.01184 7.07107 15.98061 67.52870 6.71751 18.45549 7.56604 18.52620 29.25840
Lampiran 18. Hasil uji statistik terhadap persentase kenaikan bobot tubuh tikus selama 30 hari kedua Oneway ANOVA BBT30_2
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1977.797 1062.925 3040.723
Report Std. Deviation KELOMPOK 3 4 5 6 7 8 Total
BBT30_2 23.26381 12.65721 9.68736 6.64680 3.04056 14.63711 16.62616
df 5 6 11
Mean Square 395.559 177.154
F
Sig.
2.233
.178
Lampiran 19. Hasil perhitungan jumlah pulau Langerhans per lapang pandang tikus 30 hari (perbesaran 100x) Rata-rata RataKelompok 1 2 3 4 5 PL/lpg pndg rata /ekor 4 5 3 4 5 4.2 P1 4.30 K(-)-1 P2 2 5 6 6 3 4.4 4 5 3 4 4 4 P1 3.80 K(-)-2 P2 3 5 3 3 4 3.6 2 0 1 1 2 1.2 P1 1.00 K(+)-1 P2 1 1 0 1 1 0.8 1 2 1 0 2 1.2 P1 1.20 K(+)-2 P2 3 0 0 1 2 1.2 1 2 1 0 2 1.2 P1 1.20 A1 P2 2 0 1 1 2 1.2 4 4 3 5 5 4.2 P1 4.00 A2 P2 6 3 5 2 3 3.8 5 4 6 5 3 4.6 P1 4.40 B1 P2 5 4 4 3 5 4.2 2 2 1 3 2 2 P1 1.70 B2 P2 1 0 2 3 1 1.4 5 6 6 3 7 5.4 P1 5.20 C1 P2 5 6 6 3 5 5 4 3 3 2 2 2.8 P1 2.90 C2 P2 3 2 3 3 4 3 6 2 3 3 3 3.4 P1 3.20 D1 P2 2 5 3 3 2 3 2 4 3 1 2 2.4 P1 2.50 D2 P2 5 4 2 1 1 2.6 3 4 4 6 9 5.2 P1 5.10 E1 P2 8 7 3 4 3 5 4 6 6 4 4 4.8 P1 5.00 E2 P2 6 6 5 5 4 5.2 4 5 5 5 4 4.6 P1 4.90 F1 P2 7 5 5 4 5 5.2 3 5 5 3 4 4 P1 3.80 F2 P2 4 4 4 3 3 3.6
Lampiran 20. Hasil uji statistik terhadap jumlah pulau Langerhans per lapang pandang pada tikus 30 hari (perbesaran 100x) Oneway ANOVA PL_30
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 216.475 303.500 519.975
df 7 152 159
Mean Square 30.925 1.997
F
Sig.
15.488
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets PL_30 a
Duncan
KELOMPOK
N
1 1.10
Subset for alpha = .05 2 3
20 K(+) 2.60 20 A 2.85 20 D 3.05 20 B 20 K(-) 20 C 20 F E .347 1.000 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed a
. uses Harmonic Mean Sample Size = 20.000
Report Std. Deviation KELOMPOK K(-) K(+) A B C D E F Total
PL_30 1.099 .852 1.759 1.669 1.572 1.387 1.669 .998 1.808
4.05 4.05 4.35 .531
4
4.35 5.05 .119
Lampiran 21. Hasil uji statistik terhadap luasan pulau Langerhans per lapang pandang pada tikus 30 hari (perbesaran 400x) Oneway ANOVA L_PL30
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 4.07E+08 7.50E+08 1.16E+09
df
Mean Square
F
Sig.
7 72 79
58204375.520 10411234.312
5.591
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets L_PL30 a
Duncan
KELOMPOK
N
1 5417.94 6085.85 8214.54
Subset for alpha = .05 2
10 F 10 E 8214.54 10 K(+) 9301.25 10 B 9488.67 10 D 9510.70 10 C 10 A 10 K(-) .101 .070 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed a
. uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000
Report Std. Deviation KELOMPOK K(-) K(+) A B C D E F Total
L_PL30 4035.7959 3164.4918 3861.2795 2104.7833 3415.8148 3547.9703 3686.3620 3835.7471 4042.8477
3
10898.23 12823.28 .186
Lampiran 22. Hasil uji statistik terhadap jumlah sel β pankreas per lapang pandang pada tikus 30 hari (perbesaran 100x) Oneway ANOVA BETA_30 Sum of Squares 12209.600 2806.800 15016.400
Between Groups Within Groups Total
Mean Square 1744.229 87.712
df 7 32 39
F
Sig.
19886
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets BETA_30 a
Duncan
KELOMPOK
N
1 7.80 9.60 11.00 12.60 13.80 16.60
Subset for alpha = .05 2
5 K(+) 5 D 5 E 5 C 5 F 16.60 5 B 26.80 5 A 5 K(-) .202 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed a
. uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000
Report Std. Deviation KELOMPOK K(-) K(+) A B C D E F Total
BETA_30 18.240 3.271 10.426 13.012 3.435 4.506 4.000 5.675 19.622
3
64.20 .095
1.000
Lampiran 23. Hasil perhitungan jumlah pulau Langerhans per lapang pandang tikus 60 hari (perbesaran 100x)
Kelompok K(-)-1 K(-)-2 K(+)-1 K(+)-2 A3 A4 B3 B4 C3 C4 D3 D4 E3 E4 F3 F4
P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2
1
2
3
4
5
Ratarata
4
5
3
4
5
4.2
2 4
5 5
6 3
6 4
3 4
4.4 4
3 2
5 0
3 1
3 1
4 2
3.6 1.2
1 1
1 2
0 1
1 0
1 2
0.8 1.2
3 4
0 6
0 2
1 3
2 4
1.2 3.8
2 9
4 4
1 3
3 3
4 2
2.8 4.2
4 2
7 7
5 4
1 4
4 2
4.2 3.8
4 4
2 2
5 0
3 1
2 1
3.2 1.6
2 3
2 2
2 1
4 4
3 1
2.6 2.2
1 3
2 4
4 5
2 3
2 7
2.2 4.4
3 1
4 1
8 2
4 1
5 1
4.8 1.2
2 2
2 3
2 2
3 1
2 2
2.2 2
2 2
2 3
2 2
1 2
2 2
1.8 2.2
4 6
2 4
1 2
3 3
2 4
2.4 3.8
7 7
2 5
3 4
4 4
4 5
4 5
5 2
5 2
6 3
7 1
3 2
5.2 2
2
2
2
2
2
2
Rata-rata PL/lpg pndg /ekor 4.30 3.80 1.00 1.20 3.30 4.20 3.50 2.10 2.20 4.60 1.70 1.90 2.30 3.90 5.10 2.00
Lampiran 24. Hasil uji statistik terhadap jumlah pulau Langerhans per lapang pandang pada tikus 60 hari (perbesaran 100x) Oneway ANOVA PL_60 Sum of Squares 144.044 338.450 482.494
Between Groups Within Groups Total
Mean Square 20.578 2.227
df 7 152 159
F
Sig.
9.242
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets PL_60 a
Duncan
KELOMPOK
N
1 1.10 1.80
Subset for alpha = .05 2
20 K(+) 20 D 2.80 20 B 3.10 20 E 3.40 20 C 3.55 20 F 20 A 20 K(-) .074 .140 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed a
. uses Harmonic Mean Sample Size = 20.000
Report Std. Deviation KELOMPOK K(-) K(+) A B C D E F Total
PL_60 1.099 .852 1.943 1.609 1.875 .616 1.483 1.849 1.742
3
3.55 3.75 4.05 .095
Lampiran 25. Hasil uji statistik terhadap luasan pulau Langerhans per lapang pandang pada tikus 60 hari (perbesaran 400x) Oneway ANOVA L_PL60 Sum of Squares 4.72E+08 9.30E+08 1.40E+09
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
Sig.
7 72 79
67390274.891 12916543.143
5.217
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets L_PL60 a
Duncan
KELOMPOK
N
1 5445.46 6729.40 7198.97 8214.54 8382.84
Subset for alpha = .05 2
10 D 6729.40 10 E 7198.97 10 F 8214.54 10 K(+) 8382.84 10 C 10038.03 10 B A K(-) .069 .108 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed a
. uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000
Report Std. Deviation KELOMPOK K(-) K(+) A B C D E F Total
L_PL60 4035.7959 3164.4918 4445.0603 3210.1039 3434.7710 2876.7834 3691.1830 3642.6629 4212.2832
3
10038.03 12096.71 12823.28 .106
Lampiran 26. Hasil uji statistik terhadap jumlah sel β pankreas per lapang pandang pada tikus 60 hari (perbesaran 100x) Oneway ANOVA BETA_60 Sum of Squares 16781.900 10367.200 27149.100
Between Groups Within Groups Total
Mean Square 2397.414 323.975
df 7 32 39
F
Sig.
7.400
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets BETA_60 a
Duncan
KELOMPOK
N
1 6.20 7.80 9.00 14.00 29.40 29.80
Subset for alpha = .05 2
5 E 5 K(+) 5 B 5 D 29.40 5 C 29.80 5 F 52.80 A K(-) .060 .076 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed a
. uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000
Report Std. Deviation KELOMPOK K(-) K(+) A B C D E F Total
BETA_60 18.240 3.271 42.376 3.536 13.939 6.595 1.643 14.132 23.967
3
52.80 64.20 .324