DARI AN NASHER HINGGA ASSYABAAB: PERANAN ETNIS ARAB DALAM SEPAK BOLA DI SURABAYA TAHUN 1930-1948 1)
Nur Hidayat 2) Gayung Kusuma Abstrak
Olahraga sepak bola mulai dikenal oleh masyarakat Surabaya khususnya pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda sekitar tahun 1900-an. Masyarakat Surabaya dengan mudah menerima olahraga yang sangat populer ini dibanding dengan cabang olahraga lainnya, hal ini terlihat dengan munculnya beberapa bond atau klub sepak bola yang didirikan oleh kelompok masyarakat yang ada di Surabaya baik dari orang Belanda, Cina, pribumi, dan Arab. Khususnya orang Arab, pada awalnya mereka bermain sepak bola ala kadarnya saja, setelah terbentuknya Nederlandsche Indische Voetbal Bond (NIVB) pada tahun 1919 mereka mulai terangsang untuk berhimpun dan membentuk klub sepak bola. Pada tahun 1930 mereka membentuk klub sepak bola yaitu An Nasher. Permasalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah perkembangan sepak bola etnis Arab dan peranan klub An Nasher hingga menjadi Assyabaab pada tahun 1948 terhadap persepakbolaan yang ada di Surabaya khususnya. Kata kunci: Sepak bola, Etnis Arab, An Nasher, Assyabaab. Abstract
The sport football began to be know and implement by indigenous people Surabaya in colonial Dutch East Indies since 1900s. The Surabaya people accepted this very popular sport compared with other sports, as seen by the emergence of some bond or a foot ball club that was founded by a group of people in Surabaya both of the Netherlands, China, Indigenous, and Arabic. Especially the people of Arabs, at first they play football perfunctory course, after the formation of the Nederlandsche Indische Voetbal Bond (NIVB) in 1919 they began to be encouraged to come together and form a football club. In 1930 they formed a foot ball club that is An Nasher. Problems studied in this researchis the development of foot ball clubs and the role of ethnic Arabs An Nasher to be Assyabaab in 1948 against foot ball in Surabaya in particular. Keyword: Foot Ball, Ethnic Arabs, An Nasher, Assyabaab. Pendahuluan
Sepak bola memang tidak terlepas dari peranan kolonialisme Belanda. Terbentuknya klub-klub sepak bola dari orang Eropa (Belanda) di Surabaya merupakan hal penting mendorong pertumbuhan klub-klub
yang ada baik dari Pribumi, Tionghoa, kemudian dari orang Arab yang turut dalam perkembangan sepak bola yang ada di Surabaya khususnya. Perkembangan olahraga klub sepak bola dari orang Arab merupakan suatu perspektif baru tentang suatu kajian
1) Mahasiswa Ilmu Sejarah Angkatan 2008, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga,
[email protected]
2) Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
31
Dari An Nasher Hingga Assyabaab
tentang sepak bola, dimana orang Arab juga yang mempunyai peranan penting dalam perjalanan sepak bola yang ada di Surabaya, tidak terlepas mereka juga sangat berperan besar dalam sektor sosial, ekonomi, dan budaya. Tebentuknya klub An Nasher yang setelah itu berubah menjadi Assyabaab merupakan suatu kajian yang menarik khususnya dalam perkembangan sejarah sepak bola yang ada di Surabaya. Pendirian klub sepak bola dari orang Arab yaitu An Nasher merupakan bagian dari perjalanan orang Arab yang ada di Surabaya. Sepak bola telah berkembang menjadi suatu identitas baru yang mewakili kelompok mereka. Perjalanaan panjang melalui pengorbanan berupa tenaga, pikiran, dan materi menjadi perhatian penting olahraga sepak bola ini tumbuh dikalangan orang Arab. Kecintaan terhadap sepak bola merupakan bagian dari perkembangan sepak bola yang ada di Surabaya menjadi bisa dikenal. Klub An Nasher: Cikal Bakal Klub Etnis Arab di Surabaya Penelusuran sejarah sepak bola bisa dilacak melalui peranan kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa Eropa, terutama Belanda dan Inggris. Sejak kedatangan orang-orang Eropa (Belanda) ke Nusantara pada abad ke-15, persilangan budaya terjadi seiring bergulirnya waktu. Persilangan tersebut bisa menjadi sebuah gambaran awal bagaimana sepak bola bisa masuk dan mengakar di Hindia Belanda (R.N. Bayu Aji, 2010: 50). Keberadaan klub-klub sepak bola yang ada di Surabaya khususnya, menjadi tanda keberlangsungan interaksi oleh orang Belanda dengan masyarakat pribumi termasuk orang Arab yang berada di Surabaya telah membawa pengaruh dibidang olahraga sepak bola. Sebagai masyarakat yang mendiami kota Surabaya, pada tahun
32
1930 orang Arab membentuk klub sepak bola yaitu An Nasher (wawancara moch. Barmen). Pada awalnya orang Arab bermain sepak bola ala kadarnya saja, hanya sekedar bisa bermain dan menendang bola. Keberadaan NIVB telah mendorong mereka untuk membentuk klub sepak bola dari kalangan orang-orang Arab. Mereka sadar keberadaan bond Belanda telah memicu mereka untuk berhimpun lewat organisasi sepak bola. Klub sepak bola An Nasher terbentuk sebagai representasi kesebelasan yang dibentuk oleh orang-orang Arab yang tinggal di sekitar Ampel (wawancara Moch. Barmen). Klub ini berdiri berawal dari keinginan para pemuda yang berada di Ampel yang awalnya ingin menyalurkan hobi bermain sepak bola di waktu senggang mereka. Olahraga sepak bola waktu itu menjadi pilihan utama dibanding dengan olahraga lainnya. Akan tetapi daripada itu berdirinya klub An Nasher ini tidak lain sebagai penunjukan identitas dari orang-orang Arab itu sendiri bahwa mereka juga memiliki klub sepak bola. Nama An Nasher sendiri diambil dari bahasa Arab yang mempunyai arti kemenangan (Fuad Alkatiri, 2008:10), dengan nama tersebut diharapkan dalam dunia olahraga khususnya sepak bola klub An Nasher memperoleh kemenangan dan suatu kejayaan dalam setiap pertandingan. Dipilihnya nama An Nasher yang berasal kata bahasa Arab, menandakan bahwa klub sepak bola An Nasher lahir dari kalangan orang Arab yang ada di Surabaya khususnya. Adapun pengurus An Nasher terdapat pada gambar berikut ini.
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013
Gambar 1. Pengurus An Nasher pertama
Sumber: Dokumen Pribadi Agiel bin Zein Gambar diatas adalah para pengurus awal klub An Nasher. Di waktu itu kepengurusan klub sudah terbentuk walaupun masih bersifat longgar, dengan kata lain para pengurus masih merangkap sekaligus sebagai pemain pada saat An Nasher bertanding. Pendiri klub An Nasher diantaranya Yislam Murtak, Salim Barmen, Mohammad bin said Martak, dan Mohammad Balmar (Fuad Alkatiri, 2008: 6). Pemilihan ketua d a n k e pe n g ur u sa n be r d a s a rk a n kemampuan materi dan orang tersebut sebagai seorang pemuka (tokoh). Dengan mengangkat orang dengan kriteria tersebut, biasanya cuma diharap mereka punya banyak uang untuk bisa menghidupi klub saja tanpa bisa mengelola klub dengan baik agar bisa bersaing dengan klub lain (Aliran Baroe, 1939: 30). Dengan Faktor keuangan orang tersebut klub An Nasher bisa bertahan lebih lama. Hal ini yang banyak terjadi, banyak klub yang tidak bisa ber t ahan l a ma kare na m asa l ah keuangan. Pada awalnya klub An Nasher ini berbentuk PO (perhimpunan olahraga) (Aliran Baroe, 1939: 30). Cabang yang dinaungi tidak hanya sepak bola saja, tetapi juga diantaranya pencak silat dan bola voli. Cabang olahraga tersebut yang paling populer dan eksis adalah sepak
bola. Keterbatasan terhadap akses fasilitas termasuk sarana olahraga akibat hegemoni pemerintah Belanda menyebabkan sepak bola kurang berkembang awalnya dikalangan orang Arab maupun pribumi yang ada di Surabaya khususnya termasuk cabang olahraga lainnya. Perjalanan sepak bola dikalangan orang Arab masih bersifat sembunyi-sembunyi saat bermain sepak bola, figur seorang tokoh dikalangan masyarakat Arab m asih san gat dihormati, mereka awalnya tidak setuju dengan olahraga sepak bola ini, karena dianggap telah meniru budaya barat (Belanda) yang meraka anggap tidak baik untuk dicontoh dikalangan etnis Arab yang agamis (wawancara Agiel bin Zein). Persoalan yang menjadi masalah dikalangan orang Arab yang melarang mereka bermain sepak bola datang dari golongan Sayid, golongan ini melarang orang Arab meniru gaya pakaian yang telah dibawah oleh orang Barat (Belanda) tersebut saat bermain sepak bola. Menjadi permasalahan mengapa dilarang adalah pakaian pemain sepak bola yang memakai celana pendek, menurut golongan tersebut karena tidak sesuai dengan pakaian orang Islam. Hal ini tidak menghalangi beberapa orang Arab untuk tidak lagi bermain sepak bola. Kenyataanyan meskipun dilarang, orang Arab tidak bisa meninggalkan sama sekali permainan yang terlanjur dianggap sebagai bagian dari kebudayaan dan sangat populer dimasa itu (Andi Cipta Nugraha, 2012: 2). Hampir semua orang Arab gemar bermain sepak bola dibanding dengan cabang olahraga lain seperti tenis, badminton, renang, dan lain-lain. Umumnya orang Arab mengangap permainan selain sepak bola adalah permainan anak-anak (Aliran Baroe, 1939: 8).
33
Dari An Nasher Hingga Assyabaab
Adanya hubungan baik antara orang Arab dengan Belanda pada tanggal 13 Mei 1932 An Nasher masuk menjadi anggota NIVB yang dibentuk oleh pemerintah Belanda yaitu dengan bisa mengikuti kompetisi SVB (Sin Tit Po, 1939). Dengan masuk menjadi anggota SVB klub An Nasher memanfaatkan betul kesempatan sebagai anggotanya. Wa l a u p u n s e c a r a t i m m a u p u n oraganisasi masih kalah bersaing, An Nasher merasa bangga bisa masuk menjadi anggota anggota SVB, bisa mensejajarkan dengan klub yang dibentuk oleh Belanda. Masuk menjadi anggota SVB setiap klub mempunyai keuntungan yaitu memiliki lapangan sendiri saat berlatih dan menggelar pertandingan tak terkecuali klub An Nasher. Pada tabel diatas adalah klubklub anggota SVB termasuk klub An Nasher. Pada tanggal 13-14 November 1936 telah diadakan pertemuan di gedung Al Irsyad guna memilih ketua
dan kepengurusan klub An Nasher yang baru guna demi kemajuan klub dan lebih tertata dalam kepengurusan (Sin Tit Po, 1936). Kemampuan materi saja yang sebelumnya di rasa tidak cukup bisa membuat klub An Nasher bisa berkembang dan bersaing dengan klubklub angota SVB dalam mengikuti kompetisi yang diadakan pemerintah Belanda. Dalam pertemuan tersebut d i a da ka n pe m i l i h an ke t u a da n pengurusan yang baru, diantaranya susunan kepengurusan sebagai berikut. Penasehat : Salim Barmen Ketua : A.S Bahlwan Wakil : Moh. Bin Salim Basilim Sekertaris : Zijn bin Ali Bobsaid Wakil : Abdullah bin Alie Bobsaid Bendahara : Moehammad Bobsaid Komisaris : Osman Bobsaid, Said bin Oemar Alamoedi, Ali Salim, Achmad bin Alie, Saleh bin Agiel.
Tabel 1 Klub anggota Soerabaische Voetbal Bond No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Nama Klub Anggota Ajax An Nasher ASC Exelsior HBS HOTNB Happy Kim Hoo MLD Mena Moeria RKS THOR Tiong Hoa Zeemacht
Alamat Van Hoorstraat 1 Panggoeng Straat 32 Schoomakers Park 14 Embong Kenongo 3 Toenjoengan 2 Poedak Straat 7 Nangking Straat Zuid 14 Kapasarie XII-54 Marine Vilegkamp Paneleh V-15 Kleine Kalongan 7 C.B 7 Gading Srtaat Oedjoengweg D 16
Sumber: Jemmy Husni Mubarak, Perkembangan SIVB Menuju Klub Persebaya Tahun 1927-1978 (Surabaya: Skripsi Progam Sarjana Unair Fakultas Ilmu Budaya Departemen Ilmu Sejarah,2007), hlm 28
34
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013
Setelah terpilihnya ketua dan pengurus yang baru diharapkan tokoh yang terpilih benar-benar mau bekerja keras untuk memajukan klub, sehingga mampu membawa klub jauh lebih baik (Sin Tit Po, 1936). Masalah keuangan klub yang biasanya banyak menjadi masalah dan kendala setiap klub sepak bola bisa diatasi guna diharapkan klub bisa bersaing dalam kompetisi yang panjang. Melakukan pertandingan persahabatan atau menjelang kompetisi juga dilakukan oleh An Nasher, selain menambah pengalam bertanding juga diharapkan bisa meningkatkan ketrampilan pemain dalam bermain (Sin Tit Po, 1936). Daripada itu hasil kemenangan dari sebuah pertandingan persahabatan bisa menambah kas keuangan klub dengan hadiah yang diperoleh (Sin Tit Po, 1936). Para pemain dan pengurus An Nasher terlihat pada gambar di bawah ini. Gambar 2. Para pemain An Nasher dan pengurus
kulit (Hari Wahyudi, 2008: 29). Pada perjalanannya di tahun itu An Nasher menyumbangkan beberapa pemainnya untuk memperkuat Tim Persebaya antara lain, Ali Basofi, Abu Bakar Basofi, dan Umar Bawedon, bahkan juga An Nasher pernah menyumbangkan satu pemainnya untuk memperkuat Tim PSSI yaitu Ali Basofi (Fuad Alkatiri, 2008: 8). Ketika bermain dilapangan, kebanggaan pada klub yang di bela ataupun negara melibih pada uang. Keadaan ini banyak yang diinginkan oleh setiap pemain bisa membela SIVB (Persebaya) bahkan Timnas Indonesia (Hindia Belanda) merupakan suatu kebanggaan tersendiri sebagai wujud rasa kecintaannya pada klub yang ingin dibelannya (Arif Natakusuma, 2008: 139). Adapun pemain An Nasher bisa dikatakan memiliki pemain terbaik terdapat pada gambar skema di bawah ini. Gambar 3. Daftar pemain inti An Nasher tahun 1935-1937. (Sin Tit Po, 1937)
Abd. Munief
Soeparman
Oesman
Abd. Munief
Husein H
Mochtar
Badjober
A. Basofi
Barie
Sumber: Dokumen Pribadi Agiel bin Zein Foto diatas merupakan para pemain An Nasher tahun 1935-1937. Sepak bola telah memepertemukan manusia dari berbagai penjuru dunia. Olahraga ini sebagai media egaliter dan pemersatu bagi manusia. Tidak ada lagi sekat etnis, suku, agama maupun warna
S. Atemimi
A. Bahaswan
Sumber: Majalah Aliran Baroe, 1 Februari 1937 Skema pemain diatas merupakan pemain An Nasher dalam kejuaraan SVB. An Nasher sudah bisa dikatakan memiliki pemain yang hebat dan memiliki skill. Banyaknya kemenangan yang didapat dalam kompetisi SVB, sehingga An Nasher menempati posisi Eerste klasse (kelas satu) dari enam
35
Dari An Nasher Hingga Assyabaab
kelas pada kompetisi SVB yang telah diikutinya (Sin Tit Po, 1936). Sebagian besar pertandingan-pertandingannya diadakan pada hari Sabtu dan Minggu. Kostum yang digunakan oleh An Nasher dalam kompetisi waktu itu menggunakan kaos berwarna hijau berkerah putih dan menggunakan celana putih. Kompetisi SVB berjalan sangat ketat, Para klub anggota merebutkan tempat agar bisa naik ke kelas utama (Hoofdklasse ) (Sin Tit Po, 1936), sehingga bisa meraih juara di kompetisi SVB tersebut. Kompetisi itu diadakan rutin setiap tahunnya. S e l a m a b e rj al an ny a waktu keberadaan bond Belanda yang menanungi kompetisi klub-klub sepak bola tersebut, dinilai tidak adil oleh klub yang menjadi anggotanya. Sebagai induk organisasi tertinggi sepak bola Belanda (NIVB) tidak bisa mewadahi aspirasi keberadaan klub anggota dalam naungannya. Sebagian klub-klub tersebut selalu dirugikan oleh bond Belanda dalam kompetisinya, termasuk klub An Nasher (Sri Agustina Palupi, 2004: 80). Tidak seperti pikiran orang, hubungan dengan induk organisasi Belanda tidak selalu berjalan dengan baik. Boikot sepak bola terjadi seiring konflik antar bond sepak bola Belanda dengan klub-klub lokal yang masuk menjadi anggotanya, di samping itu faktor politik, dimana posisi orangorang Belanda di Surabaya yang masih terancam dan terpojokkan sebagai penjajah, yang mengakibatkan klub An Nasher mengambil sikap tegas memilih keluar dari bond tersebut. Disamping itu didukung dengan cita-cita PAI (Partai Arab Indoesia) yang mendukung kemerdekaan Indonesia dari penjajah (Surabaya Post, 1979: 36). Bahwa orang Arab yang ada di Surabaya merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dengan bangsa Indonesia. Ketika pendudukan Jepang di
36
Surabaya, kota ini tidak luput dari serangan ofensif tentara Jepang. Akibatnya terjadi suksesi pemerintahan di tingkat pusat Pergantian pemerintahan dari pemerintahan Belanda kepada pemerintahan militer Jepang (Djajusman, 1978: 77). Pendudukan Jepang juga memberikan pengaruh cukup besar tidak terkecuali dibidang olahraga termasuk sepak bola. Dibidang olahraga Jepang membentuk lembaga yang memiliki kewenangan untuk menangani kegiatan olahraga. Lembaga bentukan Jepang tersebut adalah Tai Iku Kai (Soeara Asia, 1943). Tekanan yang kuat oleh tentara Jepang telah mempengaruhi perkumpulan sepak bola yang ada di Surabaya yang dibentuk oleh pemerintah Belanda (SVB) lambat laun mati dari percaturan sepak bola di Surabaya (Jemmy Husni M, 2007: 37). Kejadian dan persoalan tersebut membuat An Nasher keluar dari kompetisi SVB, karena An Nasher tidak ingin gulung tikar dan ingin tetap eksis dalam persepakbolaan yang ada di Surabaya. Walaupun kompetisi yang digelar di beberapa kota di Indonesia mengalami vakum tidak membuat klub anggota SVB bubar, terbukti dengan konsistennya beberapa klub termasuk klub An Nasher tetap hidup. Masa pendudukan Jepang berpengaruh dalam pergantian nama An Nasher menjadi Al vaoz yang artinya kemenangan (Fuad Alkatiri, 2008: 7). Nama An Nasher yang sebelumnya dipakai berganti seiring pemerintahan Jepang yang melarang keras penggunaan bahasa maupun nama yang dipakai pada masa pemerintahan Belanda. Dalam cakupan yang luas di bidang olahraga sepak bola khususnya, pada tahun 1943 pemerintah militer Jepang mengadakan pertandingan sepak bola yakni “ GELORA” (Soeara Asia, 1943). Pertandingan itu digelar untuk
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013
merebutkan gelar juara daerah yang diikuti oleh beberapa klub lainnya, diantaranya: Selo, Maroeto, PS Hizbul Wathon, Jong Ambon (SVJA), serta klub Indo Belanda. Kompetisi yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang tidak berlangsung secara berkala, sebab situasi dan kondisi nasional masih diselimuti oleh suasana perang untuk mempertahankan kemerdekaan. Sebagai elelmen-elemen bangsa tak terkecuali orang Arab dengan gagah berani mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan.
Adapun hal ini terlihat pada gambar di bawah ini. Gambar 4. Logo Assyabaab
Perubahan Nama Dari An Nasher Menjadi Assyabaab Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 tidaklah membuat situasi persepakbolaan berjalan secara optimal. Situasi yang diliputi oleh suasana perang menjadi penghambat untuk menggelar kompetisi sepak bola. Ini lantaran tidak membuat klub Al Vouz setelah An Nasher berganti nama di era pendudukan Jepang klub ini bubar atau tidak bertahan lama. Sebab orang Arab menganggap sepak bola memiliki arti penting, karena olahraga ini sudah menjadi identitas dan eksisitensi bagi orang Arab itu sendiri lewat klub sepak bola. Disamping itu olahraga sepak bola menurut orang Arab bisa menyehatkan badan dan mampu mengusir kepenatan setelah bekerja. Seiring berjalannya waktu pekembangan yang mempengaruhi perjalanaan An Nasher menjadi Assyabaab melalui proses panjang, melalui pengorbanan berupa tenaga, pikiran, dan materi menjadikan klub sepak bola etnis Arab tetap terus ada. Ketika kompetisi mengalami kevakuman untuk sementara waktu seiring terjadinnya peperangan, hal ini lantaran tidak menghalangi aktifitas klub sepak bola etnis Arab juga terhenti, sebab di situasi ini An Nasher telah berganti nama menjadi Assyabaab.
Sumber: Fuad Al Katiri, My Assyabaab, (Surabaya: PO Assyabaab, 2008), hlm 11. Pada foto di atas adalah logo Assyabaab, tepat pada tanggal 16 Juni 1948 nama Al vaos pada masa pemerintahan Jepang yang sebelumnya dipakai ditinggalkan dan berganti nama menjadi Assyabaab (Fuad Alkatiri, 2008: 10). Dipilihnya n a m a A ss y a b a a b , b e r a s a l d a r i penyebutan dari anak-anak muda orang Arab yang dipanggil dengan sebutan “Syabaab” yang artinya pemuda. Kata Assyabaab yang terdiri dari 9 bilangan angka merupakan bilangan tertinggi yang melambangkan superioritas (Fuad Alkatiri, 2008: 11). Makna yang tertera di logo Assyabaab tersebut seorang pemuda yang melakukan sundulan bola menunjukkan bahwa Assyabaab adalah perkumpulan sepak bola, sedangkan bulan bintang menggambarkan simbol orang Islam yang identik dengan orang A r a b t e r s e b u t . Wa r n a h i j a u bergaris–garis putih berarti rumput atau lapangan sepak bola. nama Surabaya menandakan klub ini berdomisisli di Surabaya. Dengan pemilihan nama baru itu diharapkan Assyabaab memiliki daya semangat seperti seorang pemuda dan prestasinya jauh lebih baik dari
37
Dari An Nasher Hingga Assyabaab
sebelumnya khususnya di kompetisi internal Persebaya. Perg antian nam a m enjadi Assyabaab awalnya menjadi masalah, ada yang tidak setuju dengan pergantian nama menjadi Assyabaab. Konflik internal yang terjadi di dalam klub m en g i n g i n k an per ubaha n na m a Assyabaab menjadi putra Indonesia ( Wa w a n c a r a M o c h . B a r m e n ) . Pergantian nama menjadi Putra Indonesia karena ada pengurus yang menginginkan perubahan nama tersebut dikarenakan nama Assyabaab yang berbau etnis dan dikawatirkan setiap pertandingan mendapat teriakan minor oleh penonton. Beberapa pengurus Assyabaab yang lain tidak menginginkan perubahan nama, mereka ingin tetap memakai nama Assyabaab karena beberapa klub di Surabaya juga memakai nama yang sama berbau etnis seperti Al Badar, Al Hilal serta Hizbul Wathon yang tidak dipermasalahkan. Sehingga nama Assyabaab masih tetap menjadi pilihan yang akan digunakan. disamping itu dukungan datang dari Menteri Olahraga waktu itu agar nama Assyabaab agar tetap dipakai.
Gambar 5. Pengurus Assyabaab Pertama
Zein bin Agil, Ali Bahalwan, disamping Mochtar, Ali Salim, dan pengurus lainnya saat menonton Assyabaab saat bertanding . Terpilihnya Zein bin Agil sebagai ketua Assyabaab yang pertama, karena kecintaannya dia pada olahraga sepak bola dan diharapkan mampu membawa Assyabaab lebih baik dalam kompetisi maupun permainan. Di tunjuknya Zein bin Agil sebagai ketua klub Assyabaab karena dia adalah mantan pemain An Nasher pada waktu itu (wawancara Agiel bin Zein). Dibawah kepemimpinan Zein bin Agil, Assyabaab masih belum bisa dikatakan bisa bersaing dengan klub-klub anggota Persebaya sebagai berikut. Tabel 4. Klub Anggota Persebaya NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
NAMA KLUB ANGGOTA Naga Kuning PORIS Bintang Timur HBS THOR POMM TNH PSAD POPS PSAL Angkasa RKS Indonesia Muda PSHW MAESA Assyabaab
Sum ber: Soepangat , Pe rsebaya (Surabaya: tp, tt)
Sumber: Dokumen Pribadi Agil bin Zein Foto diatas merupakan para pendiri klub Assyabaab, mereka adalah
38
Tabel diatas merupakan daftar namanama resmi klub anggota kompetisi Persebaya. Klub-klub tersebut terintegrasi didalam naungan resmi Persebaya sebagai badan induk tertinggi yang ada di Surabaya. Secara tim Assyabaab belum punya kekuatan besar dikancah persepakbolaan di Surabaya, bahkan tidak sedikit orang memandang sebelah mata kekuatan tim Assyabaab.
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013
Adapun pemain Assyabaab diawal pembentukan ada pada gambar ini. Gambar 6. Pemain Assyabaab tahun 1948
Sumber: Dokumen Pribadi klub Assyabaab Pada gambar diatas adalah pemain-pemain Assyabaab di era awal pembentukan. Sepak bola etnis Arab Assyabaab masih belum bisa dikatakan bagus. Pemain Assyabaab masih kalah dengan klub-klub sepak bola yang ada di Surabaya khususnya baik kemampuan materi dan kualitas pemain. Upaya pengurus Assyabaab untuk tampil lebih baik dalam bermainan saat bertanding yakni dilakukan pertandingan persahabata dengan tim-tim yang ada di Surabaya maupun diluar kota (wawancara moch. Barmen). Pertandingan yang dilakukan agar pemain Assyabaab memiliki mental saat bertanding guna sebelum mengikuti kompetisi yang di gelar oleh Persebaya. Seiring berjalannya waktu Assyabaab memiliki materi pemain yang baik, Pemain Assyabaab di panggil untuk memperkuat Persebaya dan dipanggil tim PSSI, diantaranya: Fauzi Hasan, Alwi bin Syech Abu Bakar, Saleh Mahri dan Husain bin Agil (Fuad Alkatiri, 2008: 16). Sedangkan pemain yang pernah memperkuat Persebaya diantaranya: Achmad Barajak, Amak Guk Aljufri, Amak Bazrewan, Achmad Bajardana, Abdullah Aljufri, Ali
Bahalwan, Saad bin Thalib, Said Bagor, Kadir Mahdami, Ali Bahabel, Moch bin Mahfud, Ali Basofi, Bakar Basafi, dan Abdullah Basofi, dan Abdullah Basofi. Peranan Sepak Bola Etnis Arab di Surabaya Klub sepak bola An Nasher sudah ada sejak zaman kolonial turut berperan membentuk karakter persepakbolaan yang ada di Surabaya. Masa sebelum kemerdekaan adalah suatu momen terpenting bagi perkembangan sepak bola. Perekonomian yang mulai membaik di akhir tahun 20-an, masuknya teknologi (listrik dan telefon) serta transportasi (mobil dan kereta api) kian mendukung dan mempopulerkan olahraga ini (Arif Natakusuma, 2008: 70). Kontribusi besar media massa yang mulai aktif juga mempengaruhi lahirnya budaya sepak bola di Surabaya. Secara umum, sepak bola adalah wadah dimana orang-orang dari latar belakang etnis yang berbeda dapat bertemu, meskipun dalam beberapa pertandingan terkadang berakhir dengan pertengkaran antara orang-orang dari latar belakang yang berbeda tersebut. Pemain sepak bola pada awalnya adalah orang-orang Eropa (Belanda), tidak lama setelah itu muncul para pemain dari orang pribumi, cina, maupun dari orang Arab yang mulai bergabung dan membentuk klub sepak bola. Ketika olahraga sepak bola menjadi olahraga yang merakyat, pe rsai ng an di a nt ara t i ga k e l as masyarakat di Hindia Belanda juga cukup marak, karena secara sadar maupun tidak, suatu identitas kelas dan kultur tersebut ikut melekat. Identitas dan kultur yang melekat itu bisa diartikan sebagai persaingan untuk menunjukan eksisitensi mereka kedalam sepak bola lewat pembentukan klub (Arif Natakusuma, 2008: 68). Namun daripada itu Sepak bola etnis Arab sangat erat dengan kondisi masyarakat di
39
Dari An Nasher Hingga Assyabaab
Surabaya khususnya baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Adapun peranannya sebagai berikut ini. Bidang Politik Fakta sejarah bahwa, sepak bola adalah olahraga impor dari bangsa Inggris, yang dikembangkan bangsa Belanda dan jadi komonditas penguasa lokal dan pemerintah kolonial. Olahraga sepak bola ini di plot sebagai perbedaan status manusia khusunya di Surabaya. Sistem politik yang digunakan pemerintah Belanda mempengaruhi klasifikasi di dalam masyarakatnya ( Abu Hanifah MD, 1978: 7). Hal ini tidak menghalangi bagi orang Arab khususnya untuk memainkan dan membentuk perkumpulan dalam bentuk klub sepak bola. karena menganggap sepak bola telah memiliki daya magis yang luar biasa, yang mampu membikin orang bangga dan bahagia (Shindhunata, 2002: xi). Pendirian perkumpulan (bond) atau klub-klub sepak bola yang dilakukan oleh orang Bumiputera maupun orang Arab belum bisa menempatkan pemain mereka mencapai tingkatan yang bisa dikatakan tinggi, cara bermain mereka belum bisa disamakan dengan dengan cara bermain klub-klub Belanda atau klub lain. Hal ini disebabkan karena belum adanya pelatih maupun pemain yang handal dan mereka belum memiliki ikatan antara pemain satu klub (Aliran Baroe, 1936: 9). Dalam perjalanannya, masuk menjadi anggota SVB An nasher banyak dirugikan dalam megikuti kompetisi yang diselenggarakan SVB. Tidak hanya klub An Nasher saja banyak klub-klub yang dibentuk oleh pribumi mendapat perlakuan sama tidak adil seperti halnya klub An Nasher. Terbentuknya klub-klub sepak bola di Surabaya dan klub-klub lainnya juga tak terlepas klub An Nasher semakin mempererat rasa persaudaraan serta rasa nasionalisme masyarakatnya.
40
Perasaan yang sama menghadapi kekuatan bond Belanda dengan segala bentuk kecurangan dan ketidakadilan yang sering merugikan klub-klub lokal di Surabaya mendorong keinginan bersatu menghadapi bond Belanda. Dalam suatu kasus yang pernah dialami oleh klub An Nasher adalah mereka pernah di skorsing 9 bulan larangan bermain oleh SVB, An Nasher dianggap bermain kotor saat melawan Zeemacht dalam kompetisi SVB (Aliran Baroe, 1936: 19). Kemengan saat melawan Zeemacht dengan angka 4-2 tidak dianggap sah oleh SVB, lantaran An Nasher dianggap bermain curang. Banyak orang Arab menyayangkan keputusan menghukum An Nasher, banyak suara dari orang Arab yang menyarankan agar klub An Nasher mengundurkan diri saja dari SVB (Aliran Baroe, 1936: 19). Sepak bola di Surabaya menjadi ekspresi dari orang-orang dan aspirasi yang tidak terpuaskan. Sikap dan perlakuan yang dilakukan pemerintah Belanda pada klub-klub sepak bola p r i b u m i , Ti o n g h o a , d a n A r a b . Bersepakat untuk memebentuk suatu perkumpulan sepak bola yang dapat mewakili aspirasi kalangan pribumi termasuk orang Arab di Surabaya (Viki Nurisman A, 2013: 13). Klub-klub tersebut mengintergrasikan diri mereka kedalam SIVB guna menyaingi perkumpulan sepak bola Belanda (NIVB) yang sudah ada sebelumnya. Adanya bond SIVB akhirnya dapat menyatukan klub-klub sepak bola di Surabaya untuk menunjukkan eksisitensi didalam olahraga sepak bola. Dimasa itu merupakan masa yang penuh intrik dan permasalahan pada klub-klub sepak bola. Sepak bola menjadi ekspresi dari orang-orang dan aspirasi yang tidak terpuaskan Klub sepak bola yang terdiri dari orang pribumi, Tionghoa, dan Arab melakukan protes besar-besaran terhadap bond Belanda. Peristiwa penculikan redaktur
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013
koran Sin Tit Po, penculikan ini terjadi karena sebelumnya redaktur Koran tersebut menuliskan ajakan untuk tidak melihat pertandingan SVB, melainkan untuk mengajak masyarakat Surabaya menyaksikan pertandingan SIVB di pasar turi. Pihak Belanda merasa geram sehingga terjadi penculikan tersebut. Peristiwa ini membuat semakin solid diantara orang pribumi, Cina, dan Arab dalam memperjuangkan sepak bola pribumi. Awalnya sikap yang diambil oleh klub An nasher tidak mau lantaran klub tidak mau gulung tikar, karena lebih mementingkan keberadaan klub supaya tetap ada. Dengan tujuan yang sama yaitu terciptanya kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah lewat sepak bola (Aliran Baroe, 1939: 19). Klub An Nasher juga akhirnya ikut memboikot dan melakukan protes kepada organisasi sepak bola Hindia Belanda. Era pergerakan merupakan masa perintis bagi bangsa Indonesia, tidak hanya melahirkan organisasi-organisasi politik yang berjuang guna melepaskan diri dari cengkraman penjajah Belanda, tetapi turut pula andil klub-klub sepak bola yang diwadahi oleh sebuah bond sebagai induk organisasi sepak bola yang ada di Surabaya (SIVB) turut berperan dalam perjuangan bangsa. Semangat Nasionalisme dan sepak Bola memiliki keterkaitan dan persamaan. Nasionalisme merupakan sebuah spirit atau jiwa, dan sepak bola merupakan bentuk fisiknya. Nasionalisme memiliki semangat untuk mempersatukan segala bentuk perbedaan seperti etnisitas, budaya, bahasa, dan agam untuk menjadi komunitas bangsa yang mendiami Negara (Slamet Mulyana, 1968: 7). Pada masyarkat Arab di Surabaya yang terbungkus lewat suatu klub sepak bola yaitu An Nasher, nilai-nilai dan jiwa patriotismenya yang menggangap Indonesia telah menjadi bagian dari tanah airnya terbentuk dari adanya kesadaraan akan bentuk diskriminasi
lewat sepak bola yang dilakukan oleh Belanda. Lewat sepat bola kesadaran akan berbangsa dan bernegara terwujud dalam perjuangan bangsa oleh klub-klub sepak bola yang ada di Surabaya. Dalam perjuangan untuk mengharumkan nama bangsa maupun dari penjajah tidak selalu melalui jalur politik saja maupun berperang mengangkat senjata. Perjuangan akan berbagsa dan bernegara bisa dipersembahkan melalui sepak bola. Lewat Klub sepak bola ekspresi perlawanan yang ingin melepaskan diri dari bond Belanda menjadikan klub An Nasher sebagai identitas dan harapan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Bidang Sosial Pengaruh sepak bola bukan hanya menyangkut masalah politik saja melainkan juga kondisi sosial. Sepak bola telah membawa sebuah mobilitas sosial bagi orang Arab khususnya. Jika semula golongan tertentu yang bisa bermain dan masuk dalam perkumpulan sepak bola Belanda, maka dengan permaiinan sepak bola inilah orang yang tidak memiliki tingkatan pendidikan yang tinggi dan bukan pula keturunan ba ngsa wa n bi sa m e nge nal d a n memainkan olahraga sepak bola yang dibawa ol eh Bel anda (Ri ch ard Giulianotti, 2006: v). Sepak bola mampu menjadi alat untuk menyedot massa, sepak bola menghadirkan suguhan yang tidak bernilai olahraga saja, tetapi sepak bola secara tegas mengajak siapa saja senantiasa berani dalam keadaan menang dan kalah dalam pertandingan. Oleh sebab itu, sepak bola telah mengajarkan orang untuk menghadapi pengalaman realitas nasib (Shindhunata, 2002: ix). NIVB sebagai induk tertinggi organisasi sepak bola milik Belanda menetapkan peraturan tentang keangotaannya maupun didalam
41
Dari An Nasher Hingga Assyabaab
kompetisi yang diselenggarakan (ANRI), pada setiap dilangsungkan pertandingan selalu disambut meriah oleh masyarakat tidak terkecuali orang Arab. Sepak bola di Surabaya tidak hanya kompetisi rutin yang terselenggara yang merebutkan juara. Beberapa pertandingan sepak bola juga dilakukan dalam rangka k ep erlu an amal , bantuan sosial, memajukan pendidikan untuk orangorang yang buta huruf atau bahkan hanya sekedar pertandingan persahabat (Sin Tit Po, 1937). Ketika kompetisi SVB berhenti sementara waktu karena situasi perang, pengurus SVB membuat gagasan untuk menyelenggarakan pertandingan amal. Klub-klub sepak bola yang berada dalam naungan SVB tak terkecuali An Nasher turut berpartisipasi dalam rangka penyelenggaraan pertandingan amal yang bersifat simbolik dan sesaat. Olahraga dan sepak bola memiliki makna yang menarik lebih dari sekedar sepak bola sehingga tidak hanya mementingkan kemajuan klub maupun pemain saja. Sepak bola memiliki sisi sosial dan perhatian terhadap sesama maupun bangsa. Permasalahan olahraga dan sosial sangat menarik. Perang yang terjadi seiring kemerdekaan bangsa Indonesia mengakibatkan terjadi korbankorban yang terluka bahkan meninggal. Pengumpulan dana untuk bantuan melalui olahraga sepak bola menunjukkan bukti bahwa sepak bola turut serta dalam memikirkan keadaan bangsa (Sin Tit Po, 1937). Sport untuk negeri, bukan negeri untuk sport (Pewarta Soerabaya, 1940). Ungkapan tersebut harus dipegang untuk para atlit termasuk orang Arab. Setelah menjadi anggota SIVB An Nasher dalam naungan induk organisasi tertinggi yaitu PSSI, dalam mempererat persaudaraan antar klub didalam induk organisasi PSSI diselenggarakannya beberapa pertandingan persahabatan. Dengan maksud untuk mempererat tali persaudaraan yang lebih erat satu sama lain, memperkenalkan persaudaraan
42
sebagai rasa perjuangan bersama yang telah dicita-citakan bersama yaitu kemerdekaan (Berita PSSI, 1940). Ketika di dalam kompetisi kerap terjadi perselisihan kata-kata maupun dalam perselisihan pertandingan sepak bola, cara yang dilakukan oleh PSSI agar menjalin silaturahmi antar anggotanya (Berita PSSI, 1940). Dengan demikian antar klub sepak bola dalam suatu perhimpunan agar selalu terjaga dari adanya pertikaian yang timbul karena balas dendam, agar terjaga dari adanya perpecahan satu ama lain. Bidang Budaya Pada dasarnya sepak bola berasal dari budaya luar Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa sepak bola merupakan budaya yang dibawa oleh bangsa penjajah yang bersal dari Eropa (Belanda). Melalui persilangan inilah sampailah sepak bola pada masyarakatnya. Proses kolonialisasi tidak selalu berhubungan dengan dengan eksploitasi ekonomi, tetapi juga disertai dengan penyebaran kebudayaan salah satunya adalah olahraga yaitu sepak bola. Kebudayaan yang dibawa oleh barat tersebut telah berpengaruh dalam kehidupan masyarakat khusunya di Surabaya. Seperti di kota-kota lainnya pada umumnya di Hindia Belanda, di Surabaya kebijakan pemerintah Belanda yang membagi kelompok masyrakatnya kedalam tiga lapisan yakni Eropa (Belanda), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing diantaranya Melayu, Tionghoa, Arab, India), dan Inlander yakni orangorang pribumi, pembagian tersebut untuk menjalankan fungsi kontrol atas penguasaannya agar lebih mudah (Sartono Kartodirjo, 1992: 73-74). Khusus Vreemde Oosterlingen disini kebijakan tersebut berdampak bagi masyrakat orang Arab khusunya, dengan masuknya orang Belanda di Surabaya tanpa tidak sadar membawa pengaruh di bidang olahraga sepak bola bisa dikenal dan dimainkan
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013
oleh masyarakatnya tak terkecuali orang Arab. Orang Arab tidak tersadar menjadikan permainan ini sebagai salah satu permainan yang menarik untuk dilakukan dan dicoba sehari- hari. Pembagian kelompok penduduk berdasarkan ras berpengaruh terhadap pembentukan klub sepak bola yang ada di Surabaya. Sebagai olahraga yang populer sepak bola berkembang sangat pesat dikalangan masyarakat. Mereka Sebagaian besar mendirikan klub sepak bola dari golongan mereka. Golongan orang Arab membentuk klub An Nasher segai representasi kesebelasan sepak bolanya dan golongan Cina membentuk klub Tionghoa. Pembedaan kelompok masyarakat yang terjadi di Hindia Belanda tersadar maupun tidak turut menjadi salah satu faktor penguat bahwa sepak bola tumbuh melalui etnisitas kelompok maupun suku. Kelas masyarakat yang ada di Surabaya secara perlahan melalui proses kolonialisasi mengenal sepak bola dan membentuk kesebelasan dari kelompok mereka masing-masing. Ketika sepak bola menjadi olahraga rakyat, persaingan dintara klub-klub sepak bola di kelompok masyarakat di Surabaya menjadi persaingan yang menarik, secara sadar maupun tidak, identitas kelas mereka melekat di kesebelasan sepak bola mereka (R.N Bayu Aji, 2010: xv). Sebagai induk orgsnisasi sepak bola waktu itu Belanda membentuk SVB untuk menaungi klubklub yang ada di Surabaya tidak terkecuali klub An Nasher yang menjadi anaggotanya dengan mengadakan kompetisi secara rutin. Bidang Ekonomi Sepak bola sebagai salah satu permainan yang memiliki banyak penggemar dapat digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan massa. Pemimpinpemim pi n m emanfaat kan lati han bersama, pertandingan antar klub.
Permainan ini memberi kesempatan untuk melepaskan tekanan dan rasa frustasi yang menghalangi. Permainan sepak bola yang semula sekedar sarana kesenangan dan ajang sosialisasi maupun tukar pikiran mulai dikembangkan sebagai suatu alat untuk mendapatkan keuntungan (uang) oleh beberapa klub. Orang-orang mencoba mencari nafkah lewat pembentukan maupun pertandingan klub sepak bola (Sri Agustina Palupi, 2004: 44). Sepak bola dikalangan orang Arab khususnya tidak bisa diandalkan sebagai sandaran hidup untuk mencari mata pencaharian dalam kehidupan mereka sebagai pemain klub An Nasher dengan kepandaian bermain bola yang dimiliki (Aliran Baroe, 1936: 9). Para orang tua lebih menganjurkan anakanaknya untuk bersekolah, bekerja maupun berdagang ketimbang mendorong anaknya untuk berkarier sebagai pesepakbola. Klub An Nasher sebagai ajang sosialisasi dan silaturahmi warganya dengan kesamaan hobi sepak bola. Pada perkembangannya partisipasi klub milik orang Arab yaitu An Nasher dalam kompetisi yang ada di Surabaya turut meramaikan persaingan kompetisi yang di gelar oleh pemerintah Belanda. Mereka mulai menyadari sepak bola bisa dijadikan hiburan rakyat yang menarik, disamping itu mereka mendapatkan keuntungan dari sebuah pertandingan bagi masyarakat tertentu. Namun pada akhirnya menjadi persoaalan bagaimana klub ini bisa terus bertahan tanpa ada dana untuk menghidupi klub dalam mengikuti kompetisi yang ada. Pertandingan persahabat dilakukan oleh An Nasher di berbagai kota seperti di Malang, Jember dan Bojonegoro menjadi cara untuk menambah kas atau kantong klub dengan kemenangankemenangan yang diperoleh dari laga persahabatan maupun kompetisi yang dilakakun dibeberapa kota (Sin Tit Po, 1936). Dengan pertandingan yang
43
Dari An Nasher Hingga Assyabaab
diselenggarakan hasil penjualan tiket pun dijadikan pemasukan klub maupun bagi organisasinya. Bermain dalam suatu pertandingan persahabatan juga memberi peluang bagi pemain An Nasher untuk mencari pengalaman bertanding di berbagai bond atau klub sepak bola di seluruh Indonesia. Keuntungan yang demikian mendorong beberapa orang berkecimpung dalam membentuk kesebelasan sepak bola. Semakin banyaknya tumbuh dan berkembangnya berbagai klub sepak bola yang bermunculan yang ada disurabaya menambah banyaknya suatu hiburan masyarakat untuk menonton sepak bola selepas mereka bekerja untuk menghilangkan kepenatan. Semakin bertambahnya jumlah pertandingan karena bermunculan klub-klub sepak bola yang ada di Surabaya termasuk klub An Nasher, membuka munculnya masyarakat yang melakukan perjudian di dalam pertandingan sepak bola (Sri Agustina Palupi, 2004: 47) . Kerumunan orangorang yang menyaksikan pertandingan sepak bola terdapat petaruh. Adapun orang-orang yang mealukan taruhan terdiri dari orang Jawa (Pribumi), Cina, dan orang Arab (Sri Agustina Palupi, 2004: 47). Taruhan dalam sepak bola untuk menjagokan kesebelasan tertentu merupakan penambah semangat pertandingan supaya lebih seru dan meneganggkan saat menonton. Kesimpulan Pada awal perkembangannya sepak bola etnis Arab hanya bermain ala kadarnya saja, hanya sebatas bisa mendang bola tanpa mempunyai tehnik bermain. Ketika mereka menyadari keberadaan induk organisasi sepak bola Belanda NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Bond) dengan mengadakan kompetisi yang bernama SVB ( Soerabaische Voetbal Bond ) telah mendorong mereka untuk berhimpun dan membentuk klub sepak bola khusunya dari
44
kelompok mereka sendiri yaitu An Nasher. An Nasher didirikan pada tahun 1930 yang mempunyai arti kemenangan, ketika masa pemerintahan Jepang pada tahun 1942 klub ini berganti nama menjadi Al Vouz. Ketika masa kemerdekaan pada 16 Juni 1948 klub ini berganti nama lagi menjadi Assyabaab yang mempunyai arti pemuda. Perkembangan sejarah sepakbola yang ada di Surabaya tidak boleh terlupakan, orang Arab mempunyai peranan penting dalam olahraga sepak bola. kedatangan orang Arab di Surabaya yang pada awalnya sebagai pedagang dan penyebar agama Islam, pada realitanya orang Arab mempunyai peranan dan corak dalam perjalanan panjang dalam persepakbolaan yang ada di Surabaya khususnya. DAFTAR PUSTAKA Sumber Arsip Huishoudelijk Reglement van Den Soerabaische Voetbal Bond te Soerabaia. Jakarta: ANRI. Sumber Koran, dan Majalah: Aliran Baroe. Tahun 1936, 1937 Sin Tit Po. 21, 25 Agustus 1936, 27 Oktober 1936, 26 November 1936, 26 Desember 1936, 1 Februari 1937, 2 Maret 1937. Pewarta Surabaya, 24 April 1940. Berita PSSI (Persatuan Sepakraga Seloeroeh Indonesi). No 11 Tahun 1940. Soeara Asia, 23 Juli 1943. Suber Buku: Abu, Hanifah MD. 1978. Renungan Perjuangan Bangsa, Dulu dan Sekarang, Jakarta: Yayasan Idayu. Andi Cipta Nugraha. 2012. Mahir Sepak Bola, Bandung: Nuansa Cendikia. Arif Nata Kusuma. 2008. Drama Itu Bernama Sepak Bola: Gambaran Silang Sengkarut Olahraga,
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013
Politik dan Budaya.Jakarta: PT. Gramedia. Djajusman. 1978. Hancurnya Angkatan Perang Hindia Belanda (KNIL), Bandung: Angkasa. Fuad Al Katiri. 2008. My Assyabaab. Surabaya: PO Assyabaab. Giulianotti, Richard, 2006. Sepak Bola Pesona Sihir Permainan Global. Yogyakarta: Apeiron Pilotes. Jemmy Husni Mubarak, 2007. Perkembangan SIVB Menuju Klub P e r s e b a y a Ta h u n 1 9 2 7 1978.Surabaya: Skipsi Program Sarjana Unair Fakultas Ilmu Budaya Departemen Ilmu Sejarah Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sej arah Perge rakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. R.N. Bayu, Aji. 2010. Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola 1915-1942. Yogyakarta: Ombak. Slamet. Mulyana, 1968. Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan Bangsa, Djakarta: tp. Sri Agustina Palupi, 2004. Politik dan Sepakbola di Jawa 1920-1942. Yogyakarta: Ombak.
Soepangat, Persebaya, Surabaya: tp, tt. Shindhunata, 2002. Air Mata Bola: Catatan Sepak Bola Shindhunata. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. INIS. 2002. Bola-Bola Nasib: Catatan Sepak Bola Shindhunata .Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2002. Bola-Bola di Balik Bulan: Catatan Sepak Bola Shindhunata Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Viki Nurisman Arisandy. “Nasionalisme dalam Sepak Bola Surabaya (SIVB) Tahun 1927-1942”. Jurnal Pendidikan Sejarah. Volume 1, No 2, Mei 2013. Nara Sumber: 1. Nama : Agiel bin Zein Alamat : Jln. Rungkut Asri Timur XII No. 8 Surabaya Umur : 54 tahun Pekerjaan : Wiraswasta 2. Nama : Moch. Barmen Alamat : Jln. Ketapang Besar No. 28 Surabaya Umur : 74 tahun Pekerjaan : P e m b i n a Assyabaab 3. Nama : H. Soepangat Alamat : Jln. Karang Gayam No. 25 Surabaya Umur : 60 Tahun Pekerjaan : Humas Persebaya
45