DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL TERHADAP INDUSTRI TURUNAN KELAPA SAWIT NASIONAL
DISERTASI
EDY SUPRIYADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul:
DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL TERHADAP INDUSTRI TURUNAN KELAPA SAWIT NASIONAL merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2012
Edy Supriyadi NRP : A.1610300101
ABSTRACT
EDY SUPRIYADI. Impact of Biodiesel Development Toward Derivative Product Crude Palm Oil Nasional Industry (Harianto as Chairman, Akhmad Fauzi, dan M. Firdaus as Members of advisory Committee) The Decreasing petroleum products from time to time will embrace scarcity of petroleum oil for purposes of economy in various sectors of its dedicated transport, industry and electricity sector. To overcome this issue, it is necessary to find an alternative as a substitute for feedstock materials of oil earthbased exploration with the raw material of plant or vegetable based. In this study it is selected palm oil as alternative raw materials, including those in which Indonesia's largest producer in the world. In general, the purpose of research is to analyze the impact of the development of biodiesel from palm oil to palm oil derivative products based on food. To achieve this goal, the econometric approach is used to build models of systems of simultaneous equations consisting of 20 structural equations and an identity equation. These models used 2SLS method. Scenario 1 is made of 20 percent biodiesel development which resulted in the dominant variable is the price of fresh fruit bunches increases 4.72 percent, consumption increases 24.99 percent palm oil, diesel oil imports fell down 5.83 percent, cooking oil demand increases 8.43 percent and rising demand for margarine 10.36 percent. Scenario 2 is the development of biodiesel and 20 percent export tax on palm oil increase 10 percent provides positive effect on the price of fresh fruit bunches 5.09 percent and 25.81 percent consumption of palm oil, diesel oil imports decline in 5.85 per cent and rising demand for palm cooking oil and margarine amounting to 8.41 and 9.46 percent. Scenario 3 is the development of 20 percent biodiesel and 10 percent of world oil prices. The response to rising prices of fresh fruit bunches 6.45 percent, 11.40 percent palm oil consumption, diesel oil imports fell 2.19 percent and cooking palm oil production increase 8.74 percent and 7.64 percent rising demand for margarine. Scenario 4 is the development of 20 percent biodiesel and 10 percent exchange rate. The response of prices of fresh fruit bunches increase 6.01 percent, 11.01 percent of palm oil consumption, imports fall 5.90 percent oil diesel and cooking palm oil demand rises 8.35 percent and demand for margarine increases 9.81 percent. Key word : crude palm oil, cooking oil, margarine, biodiesel, econometric
RINGKASAN EDY SUPRIYADI. Dampak Pengembangan Biodiesel Terhadap Industri Turunan Kelapa Sawit Nasional (Harianto sabagai ketua, Akhmad Fauzi, dan M. Firdaus sebagai Anggota Komisi) Berkurangnya hasil minyak bumi dari waktu ke waktu akan terjadinya kelangkaan keperluan bahan bakar minyak bagi roda perekonomian di berbagai sektor khusus nya sektor transportasi, industri dan kelistrikan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan mencari alternatif sebagai bahan penganti bahan baku miyak bumi yang berbasis eksplorasi dengan bahan baku yang berbasis tanaman atau nabati. Dalam penelitian ini dipilih kelapa sawit sebagai bahan baku alternatif tersebut dimana Indonesia termasuk penghasil terbesar di dunia. Secara umum tujuan penelitian adalah untuk menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap produk turunan kelapa sawit yang berbasis pangan. Untuk mencapai tujuan ini, digunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 1 persamaan identitas. Model ini menggunakan metode 2SLS. Hasil pendugaan parameter model digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario kebijakan yang relevan. Skenario 1 yaitu dilakukan pengembangan biodiesel 20 persen berakibat pada peubah dominan yaitu kenaikan harga tandan buah segar 4.72 persen, konsumsi minyak sawit naik 24.99 persen, impor minyak diesel turun 5.83 persen, permintaan minyak goreng sawit naik 8.43 persen dan permintaan margarin naik 10.36 persen. Skenario 2 yaitu pengembangan biodiesel 20 persen dan pajak ekspor minyak sawit naik 10 persen berpengaruh positif terhadap peubah harga tandan buah segar 5.09 persen dan konsumsi minyak sawit 25.81 persen, penurunan impor minyak diesel 5.85 persen dan kenaikan permintaan minyak goreng sawit dan margarin sebesar 8.41 dan 9.46 persen. Skenario 3 yaitu pengembangan biodiesel 20 persen dan harga minyak dunia 10 persen. Adapun respon harga tandan buah segar naik 6.45 persen, konsumsi minyak sawit 11.40 persen, impor minyak diesel 2.19 persen dan produksi minyak goreng sawit naik 8.74 persen dan permintaan margarin naik 7.64 persen. Skenario 4 yaitu pengembangan biodiesel 20 persen dan penguatan nilai tukar uang 10 persen. Adapun respon harga tandan buah segar naik 6.01 persen, konsumsi minyak sawit 28.22 persen, impor miyak diesel turun 5.90 persen dan permintaan minyak goreng sawit naik 8.35 persen dan permintaan margarin naik 9.81 persen. Kata Kunci : Minyak kelapa sawit, minyak goreng sawit, margarin, biodiesel, ekonometrika
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL TERHADAP INDUSTRI TURUNAN KELAPA SAWIT NASIONAL
EDY SUPRIYADI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si Staf Pengajar pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 2. Dr. Luckytawati Anggreini SP, M.Si Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Abuzar Asra, M.Sc Staf Ahli pada Badan Pusat Statistik 2. Dr. Ir. Demitria Dewi Hendaryati, MM Staf Bagian Statstik pada Kementrian Pertanian
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan almarhum Nursyamlukman dan almarhumah Rahmah. Penulis dilahirkan pada 30 April 1954 di Batusangkar, Sumatra Barat. Pada Tahun 1989, Penulis menikah dengan Dra. Lily Yurida dan dikaruniai tiga orang putra bernama Fermita Celsyana Sandikapuri, Muhammad Tesar Sandikapura dan Muhammad Jihad Sandikapura. Penulis menyelesaian pendidikan D3 Jurusan Statistik di Akademi Ilmu Statistik dengan bea siswa dari Biro Pusat Statistik, Tahun 1985 melanjutan S1 pada Jurusan Statistik Fakultas MIPA, dan menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor Tahun 1987 melalui bea siswa Biro Pusat Statistik. Pada Tahun 1993 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi S2 di Santo Thomas University Manila, Pilipina mengambil Master Business Administration melalui beasiswa Universitas Pancasila dan lulus pada Tahun 1995. Kesempatan menempuh S3 diperoleh penulis pada Tahun 2003 melalui beasiswa dari DIKTI. Setelah lulus D3
pada Tahun 1976 sampai dengan pertengahan Tahun
1989, penulis bekerja sebagai computer programmer di Biro Pusat Statistik dan sejak Tahun 1990 sampai dengan saat ini bekerja sebagai dosen di Universitas Pancasila.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat-Nya penelitian disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk melakukan penelitian Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada : 1.
Dr. Ir. Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan ide kepada penulis sehingga penulis sampai dapat menyelesaikan penelitian ini.
2.
Prof. Dr. Ir. Achmad Fauzi, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan memotivasi penulis untuk tetap bersemangat menyelesaikan menyelesaikan penelitian ini.
3.
Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan dukungan untuk menyelesaikan penelitian ini.
4.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas dorongan dan bimbingannya selama kuliah sampai dapat menyelesaikan disertasi ini.
5.
Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si yang telah memberikan masukan pada ujian tertutup demi kesempurnaan disertasi ini.
6.
Dr. Luckytawati Anggreini SP, M.Si yang telah memberikan masukan pada ujian tertutup demi kesempurnaan disertasi ini.
7.
Dr. Dedy Budiman Hakim, M.Ec yang telah memberikan masukan pada ujian terbuka demi kesempurnaan disertasi ini.
8.
Prof. Dr. Abuzar Asra, M.Sc sebagai penguji luar ujian terbuka yang telah banyak memberikan masukan demi kesempurnaan disertasi ini.
9.
Dr. Ir. Demitria Dewi Hendaryati, MM sebagai penguji luar ujian terbuka yang telah banyak memberikan masukan demi kesempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada :
1.
Rektor Universitas Pancasila dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila, atas kesempatan yang diberikan untuk melanjutkan studi program doktor.
2.
Rekan-rekan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila yang telah memberikan memotivasi penulis hingga selesainya disertasi ini.
3.
Rekan-rekan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Presiden yang telah memberikan memotivasi penulis hingga selesainya disertasi ini.
4.
Seluruh staff
sekretariat Jurusan Ekonomi Ilmu Pertanian Institut
Pertanian Bogor Mbak Ruby dan Mbak Yani yang telah membantu dalam penyelesaian studi. 5.
Seluruh keluarga, Istri, Mertua, Anak-anak, adik-adik dan Famili yang telah memberikan dukungan dan motivasi penulis agar proposal dapat diselesaikan dengan secepatnya.
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil semoga Allah SWT membalas segala amalnya dengan segala rahmat dan rahim-Nya.
Bogor,
Februari 2012
Edy Supriyadi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
xxv
I. PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................
16
1.3. Tujuan .............................................................................................
17
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ..................................
17
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
19
2.1. Prospek Biofuel di Indonesia………..............................................
19
2.2. Potensi Pengembangan Biodiesel dan Bioethanol..........................
21
2.2.1. Biodiesel………………………………..............................
21
2.2.2. Bioethanol……………………………. .............................
27
2.3. Kebijakan Pemerintah………………. ..........................................
28
2.4. Klasifikasi Sumber Energi ……………………………………….
33
2.5. Tantangan Masa Depan Biofuel …….............................................
34
2.5.1. Tantangan Produksi ………………………………………..
34
2.5.2. Tantangan Biofuel dan Ketahanan Pangan ………………..
35
2.5.2.1. Biofuel dan Pangan Saling Mendukung … ……….
35
2.5.2.2. Biofuel VersusKetahanan Pangan ………………...
37
2.5.2.3. Peta Lahan Sebagai Pengembangan Bahan Bakar Nabati .......................................................................
41
2.6. Generasi Bahan Bakar Transportasi ……………………………..
44
2.7. Hasil Penelitian Terdahulu ……..……………………………….
46
KERANGKA TEORITIS……………………………………………..
63
III.
3.1. Teori Harga ……………………………………………………….
63
3.2. Fungsi Produksi Minyak Sawit …………………………………...
64
Halaman
3.3. Permintaan Faktor Produks dan Penawaran Minyak Sawit..........
66
3.4. Produksi dengan Dua Keluaran dan Cakupan Eknomis…...........
68
3.5. Fungsi Permintaan Minyak Goreng Sawit Oleh Konsumen.........
70
3.6. Ekspor…………………………...................................................
72
3.6.1. Pengertian Ekspor …………………………………….....
72
3.6.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ekspor …………......
72
3.7. Dampak Pengembangan Biodisel dari Kelapa Sawit …….........
73
3.8. Biodiesel dari Kelapa Sawit …………………………................
74
3.9. Keterkaitan Pengembangan Biodiesel Dari Kelapa Sawit Terhadap Permintaan dan Harga Tandan Buah Segar………….
77
3.10. Dampak Penggunaan Minyak Sawit sebagai biodiesel Terhadap Pangan………………………………………………………… .
78
3.11. Indeks Harga Konsumen ……………………………………….
79
3.12. Skenario Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit …………
80
3.13. Model Ekonometrik … ..………………………………………..
82
IV. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................
83
4.1. Kerangka Pemikiran……………………….............................. ..
83
4.2. Sumber Data…………………………………............................
85
4.3. Spesifikasi Model ………………................................................
85
4.4. Luas Areal Kelapa Sawit ……..………………………………..
88
4.5. Produksi Minyak Kelapa Sawit ……………………………….
89
4.6. Bahan Baku Biodiesel …………………………………………
91
4.7. Bahan Bakar Biodiesel …………………………………………
92
4.8. Minyak Goreng Kelapa Sawit …………………………………..
93
4.9. Margarin ………………………………………………………..
95
4.10. Identifikasi Model………………….............................................
95
4.11. Metode Estimasi Model ..............................................................
97
4.11.1. Uji Statisik F dan Uji Statistik t.......................................
97
4.11.2. Uji Statistk Durbin Watson dan Durbin h .......................
98
Halaman
4.11.3. Validasi Model ................................................................
99
4.11.4. Prosedur Analisis ............................................................
101
4.12. Simulasi Kebijakan Pengembangan Biodiesel ...........................
101
GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT, BAHAN BAKAR BIODIESEL DAN PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT..................................................................................................
105
5.1. Perkebunan Kelapa Sawit .............................................................
105
5.2. Minyak Kelapa Sawit ....................................................................
107
5.3. Bahan Baku Biodiesel ...................................................................
110
5.4. Bahan Bakar Biodiesel ..................................................................
112
5.5. Bahan Bakar Diesel .......................................................................
112
5.6. Produk Turunan Minyak Kelapa Sawit Berbasis Pangan .......
115
5.6.1. Minyak Goreng Sawit .........................................................
115
5.6.2. Margarin ..............................................................................
117
VI. PENDUGAAN MODEL PENGEMBANGAN BIODIESEL TERHADAP PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT.....................
119
V.
6.1. Hasil Pendugaan Model Secara Umum ..........................................
119
6.1.1. Luas Areal Kelapa Sawit ....................................................
120
6.1.2. Minyak Kelapa Sawit .........................................................
122
6.1.3. Bahan Baku Biodiesel ..........................................................
126
6.1.4. Minyak Diesel ......................................................................
128
6.1.5. Minyak Goreng Kelapa Sawit .............................................
132
6.1.6. Margarin ..............................................................................
134 136
6.2. Hasil Pendugaan Simulasi .............................................................
6.2.1. Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit ......... 6.2.2. Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dan Kenaikan Pajar Ekspor Minyak Kelapa Sawit sebesar 10 persen ....... 6.2.3. Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dan Kenaikan Harga Minyak Bumi sebesar 10 persen ........................ ....
136 139
142
Halam an
6.2.4. Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dan Penguatan Nilai Tukar Uang Rupiah terhadap US Dollar sebesar 10 persen .............................................................. VII.
KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN .............
143 147
7.1. Kesimpulan......................................................................................
147
7.2. Implikasi Kebijakan .......................................................................
149
7.3. Saran...............................................................................................
150
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
155
LAMPIRAN ..........................................................................................
161
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang
berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi. Peranan sektor ini di Indonesia masih dapat ditingkatkan lagi apabila dikelola dengan baik karena belum optimalnya penggarapannya sampai saat ini. Masa depan sektor ini akan terus menjadi sektor penting dalam upaya pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan nasional dan penerimaan ekspor serta berperan sebagai produsen bahan baku untuk penciptaan nilai tambah di sektor industri dan jasa. Pada sektor pertanian, subsektor perkebunan diharapkan tetap memainkan peran penting melalui kontribusinya dalam Produk Domestik Bruto, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan wilayah terutama di luar pulau Jawa. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit antara lain memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, produksi yang menjadi bahan baku industri pengolahan yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri (produksi tahun 2008 sebanyak 18.31 juta ton), ekspor yang menghasilkan devisa (sebesar 12.37 miliar USD) dengan luas areal 7.02 juta Ha (Indonesian Palm Oil Statistic, 2008) Pengembangan kelapa sawit di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sejak tahun 1970 terutama periode 1980-an. Semula pelaku perkebunan kelapa sawit hanya terdiri dari Perkebunan Besar Negara (PBN)
namun pada tahun yang sama pula dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR) melalui pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit adalah 294 000 ha dan pada tahun 2008 luas areal perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 7.02 juta ha dimana 50.05 persen dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta, 41.48 persen dimiliki oleh Perkebuan Rayat , dan 8.48 persen dimiliki oleh Perkebuna Besar Negara. Produksi minyak sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera diikuti oleh Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 24.32 persen dari produksi nasional pada tahun 2008 dan diikuti Sumatra Utara menyumbang minyak sawit sebesar 23.34 persen dari produksi nasional dengan luas lahan mencapai 40.11 persen dari luas lahan nasional.
Minyak kelapa sawit atau crude palm oil merupakan bahan baku yang juga dapat diolah menjadi produk pangan dan non pangan. Beberapa produk non pangan hasil olahannya diantaranya minyak goreng, margarin, shortening, cocoa butter substitutes, vegetable ghee dan emulssifier. Sedangkan beberapa produk olahan non pangan yang dapat dihasilkan dari minyak kelapa sawit adalah asam lemak, alkohol lemak, gliserin, biodiesel dan surfaktan. Indonesia saat ini baru mampu memproduksi sekitar 23 jenis produk turunan kelapa sawit (Depperin, 2008). Melihat gambaran perkembangan produk turunan dan ekspor kelapa sawit, ditunjukan pada Tabel 1. yang menyatakan bahwa ekspor kelapa sawit dari tahun ke tahun selalu meningkat dari tahun 2004 sampai 2008 tapi tahun 2009
terjadi penurunan sedikit. Begitu juga Olein juga terjadi peningkatan hanya pada tahun 2009 terjadi penurunan sedikit. Untuk Stearin mulai tahun 2006, 2008 dan 2009 hampir tetap hanya tahun 2007 terjadi penurunan.
Tabel 1. Perkembangan Ekspor Crude Palm Oil dan Produk Turunannya (Juta US $) Produk 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Crude Palm Oil Olein, Refined, bleached deodor Crude Oil of Palm Kernel or babasssu Stearin, refined, bleached & deodor ised (rbd) Palm Oil , refined, bleached & deodor ised (rbd)
1444.4
1593.3
2375.4
3787.7
6561.3
5702.1
0.0
0.0
1116.9
2525.9
0.0
0.0
396.0
449.0
506.0
807.9
1172.2
919.6
0.0
0.0
831.2
592.4
882.5
862.0
0.0
0.0
380.2
562.2
724.5
480.7
telah
memacu
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Perkembangan
kemajuan
teknologi
dan
industri
pertumbuhan konsumsi enerji yang cukup tinggi selama beberapa dasawarsa terakhir di dunia sehingga mempengaruhi tatanan ekonomi global, regional, maupun ekonomi suatu negara. Penggunaan energi yang berasal dari minyak mineral di dunia diperkirakan mencapai 91.6 million barrels per hari tahun 2010 (International Energy Outlook, 2006). Kebutuhan energi ke depan diperkirakan akan semakin meningkat, sedang faktor penyediaan relatif tetap atau cenderung menurun dengan faktor harga berfluktuasi atau sulit diprediksi. Masalah tersedianya energi yang terjadi di berbagai dunia mendorong banyak negara untuk terus mencari energi alternatif dalam rangka memenuhi kebutuhan energi mereka. Ketersediaan energi fosil yang terdapat di dalam perut bumi diprediksi semakin menipis, sementara itu konsumsi diperkirakan akan meningkat seiring dengan pertambahan industri. Akibat semakin menipisnya
persediaan energi yang tidak terbarukan seperti minyak bumi, akan berdampak pada kenaikan harga minyak dunia. Ketika harga minyak bumi melambung pada beberapa tahun yang lampau, semua berusaha membuka lembaran usang dari dokumen-dokumen mengenal energi alternatif untuk segera diimplementasikan sebagai pengganti bahan bakar minyak yang selama ini mendominasi kebutuhan energi sumberdaya angin, air, matahari sampai gelombang air laut mulai dikembangkan kembali. Namun, semua itu belum bisa memberi jawaban yang maksimal mengingat investasi yang diperlukan masih sangat mahal. Hal inilah yang membuat kita menoleh kepada sumber alam lain seperti tanaman untuk dijadikan alternatif penghasil energi, oleh karena itu mulai saatnya harus dipikirkan energi alternatif yang dapat dikembangkan sebagai substitusinya. Tabel 2. Kondisi Minyak Mentah Dunia (Juta barel) Kondisi Minyak
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Produksi
3612
3598
3673
3699
3864
3891
3908
3902
3928
Konsumsi
3551
3571
3605
3672
3810
3861
3894
3839
3927
Sumber : Asean Development Bank, 2009 Tabel 2 menunjukan produksi minyak bumi dari waktu ke waktu menunjukan kenaikan dari tahun 2000 sampai tahun 2008, hanya dari tahun 2000 ke 2001 menunjukan penurunan, dan juga tahun 2006 ke tahun 2007 terjadi penurunan. Begitu juga konsumsi minyak bumi dunia mulai tahun 2000 menunjukan kenaikan dari tahun ke tahun seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan pemakaian kendaraan dan perkembangan industri yang membutuhkan energi.
Menurut Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2000, kebutuhan enerji yang berasal dari minyak mineral atau fosil nasional juga semakin meningkat, yang mengkibatkan disamping mengekspor, pemerintah masih harus mengimpor 200 000 bph minyak mentah dan 9 juta ton petroleum diesel. Sejak terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 sampai sekarang belum ada investasi baru di bidang eksplorasi minyak mineral. Jika hal ini terus berlanjut diperkirakan konsumsi dan produksi minyak mentah mineral di Indonesia akan mengalami titik impas pada tahun 2010. Harga bahan bakar yang berasal dari minyak mineral masih disubsidi menyebabkan tingginya beban pemerintah dan impor sebagian dari bahan bakar tersebut menyebabkan pengurangan devisa negara yang cukup besar. Dengan kondisi perminyakan di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir tidak lagi menjadi negara eksportir minyak, akan tetapi telah menjadi salah satu negara importir minyak dunia dan kondisi ini dipengaruhi oleh laju peningkatan konsumsi serta terbatasnya kapasitas kilang minyak nasional. Tabel 3. Kondisi Perminyakan di Indonesia (Juta barrel) Kondisi Minyak
2000
2001
2002
2003
2004
Produksi Konsumsi Ekspor Impor
517.4 383.9 225.8 79.2
489.8 375.6 239.9 118.3
455.7 358.8 216.9 121.2
415.8 373.1 211.1 129.7
400.4 375.4 180.2 148.4
2005 385.4 357.4 156.7 120.1
2006 359.2 349.8 114.1 113.5
2007
2008
348.3 321.3 127.1 111.1
358.7 248.1 104.1 48.8
Sumber : Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009 Tabel 3 menunjukkan` bahwa produksi minyak mentah di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ketahun. Pada tahun 2000 cadangan minyak Indonesia sekitar 517.4 juta barel dan tahun 2008 menjadi sekitar 358.7 juta barel. Konsumsi minyak mentah dari tahun 2000 sebesar 383.9 juta barel minyak mentah terjadi penurunan dari waktu ke waktu sehingga tahun 2008 terdapat bahwa jumlah sebesar 248.1 juta barel. Sedangkan ekspor minyak Indonesia
terlihat bahwa jumlah ekspor juga terjadi penurunan mulai tahun 2000 sebesar 225.8 juta barel hingga tahun 2008 sebesar 104.1. Jumlah impor minyak Indonesia kenaikan mulai tahun 2000 sebesar 79.2 juta barel terjadi kenaikan hingga tahun 2005 sebesar 120.1 selanjutnya ketahun berikutnya terjadi penurunan sehingga pada tahun 2008 menjadi sebesar 48.8 juta barel minyak mentah. Penurunan produksi minyak mentah disebabkan oleh dua faktor utama yaitu eksploitasi minyak selama bertahun-tahun dan minimnya eksplorasi atau survei geologi untuk menemukan cadangan minyak terbaru. Tanpa ditemukan cadangan minyak baru, praktis persedian minyak di Indonesia hanya dapat dieksploritasi sampai sekitar 30 tahunan. Produksi minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun hingga tahun 2008 yaitu sebesar 358.7 juta barel. Penurunan ini disebabkan oleh sumur-sumur yang ada sudah tua, teknologi yang digunakan sudah ketinggalan dan iklim investasi disektor pertambangan minyak kurang kondusif sehingga tidak banyak perusahaan asing maupun nasional melakukan investasi disektor perminyakan. Sedangkan disisi konsumsi terhadap produk minyak/Bahan Bakar Minyak terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sejak tahun 2004, jika hasil produksi minyak mentah Indonesia di semua kilang dihitung, maka hasilnya tetap tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sejak tahun 2004, Indonesia telah mengalami defisit sebesar 49.3 ribu barel/hari. Volume ekspor minyak mentah juga memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun, sebaliknya kegiatan impor minyak mengalami peningkatan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan minyak nasional yang mengalami
defisit. Kapasitas pengilangan menunjukan tidak adanya penambahan kilang minyak baru, kondisi ini terlihat kapasitas kilang yang tidak berubah selama kurun waktu lima tahun, sebesar 1 057 000 barel/hari. Besarnya dampak ketergantungan terhadap energi yang bersumber dari bahan bakar fosil terutama minyak bumi dan yang telah dilakukan oleh kesuksesan Brazil dalam pengembangan bioetanol telah membangkitkan banyak negara di dunia termasuk Indoenesia untuk memulai mengembangkan bahan bakar nabati . Untuk pengembangan energi alternatif menggunakan bahar baku nabati pemerintah Indonesia telah menerbitkan undang-undang dan peraturanperaturan pemerintah :
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang mengatur mengenai energi mulai dari penguasaan dan peraturan sumberdaya energi sampai dengan penelitian dan pengembangan energi nasional.
2.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional untuk meningkatkan pernggunaan energi alternatif hingga 80 persen dan menurunkan penggunaan Bahan Bakar Minyak hingga kurang dari 20 persen pada tahun 2005.
3.
Intruksi Presiden Nomor 1 Tanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain.
4.
Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
5.
Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pengembangan
Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengyurangan Kemiskinan dan Pengangguran. Bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan di Indonesia salah satunya adalah biodiesel karena memiliki prospek yang cukup baik mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah. Bahan baku potensial yang dapat dimanfaatkan pada proses produksi biodiesel adalah minyak kelapa sawit. Hal ini mengingat Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia (Aprobi, 2009). Sebagai Negara yang berpotensi mengembangkan biodiesel terdapat 18 pabrik biodiesel di seluruh Indoenesia. Pabrik yang terbesar adalah PT Wilmar berlokasi di Dumai sebesar 1 206 897 dengan kapasitas produksi kiloleter per tahun. Diikuti pabrik PT Musim Mas dan PT Energi Perkasa di Batam dan Dumai dengan kapasitas sebesar 482 759 dan 459 770 kiloleter per tahun, sedangkan total kapasitas pertahun dari seluruh pabrik yang tersebar di seluruh Indonesia sebesar 3 184 311 kiloleter pertahun. Sebaran lokasi dan kapasitas berdasarkan tabel 4 menunjukan beberapa perusahaan berlokasi di Jakarta yaitu P.T. Energi Alternatif Indonsia dan P.T. asedana Biofuels Mandiri dan P.T. Prima Nusa Palma Energi dengan kapasitas masing-masing 8 046, 10 240 dan 24 000 kiloliter per tahun. Daerah Jawa Barat terletak di Bekasi yaitu P.T. Sumi Asih Aleo , PT Darmex Biofuels dan PT Multi Kimia dengan kapasitas 114 943, 172 414 dan 14 000,. sedangkan pabrik yang lain tersebar di Jawa Timur dengan lokasi Gresik dengan kapasitas yatu sebsar 45 977 kiloliter
Jumlah industri berdasarkan kapasitas ditunjukan
pada tabel 5 yang
menggambarkan wilayah menurut propinsi di Indonesia yang tersebar di 20 propinsi. Secara umumnya berada di Riau, Sumatra Utara dan Sumatra Selatan sebanyak 128, 87 dan 48 perusahaan. Tapi secara umum pabrik biodiesel tersebar provinsi di seluruh Indonesia. Tabel 4. Data Pabrik Biodiesel Indonesia, Tahun 2009 (kiloliter) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Perusahaan P.T. Energi Alternatif Indonesia P.T. Indo Biofuels Energi P.T. Anugrah Inti Gemanusa P.T. Eterindo Nusa Graha P.T. Eternal Buana Chemical In P.T. Wilmar Bio Energi Indo. P.T. Sumi Asih Oleo – Chemical P.T. Darmex Biofuels P.T. Pelita Agung Agrindustri P.T. Prima Nusa Palma Energi P.T. Sintong Abadi P.T. Musim Mas P.T. Multi Kimia Inti Pelangi P.T. Cemerlang Energi Perkasa P.T. Petro Andalan Nusantara P.T. Bioenergi Pratama Jaya P.T. Pura Agung P.T. Pasadena Biofuels Mandiri
Lokasi Jakarta Merak – Banten Gresik – Jawa Timur Gresik – Jawa Timur Tangerang – Banten Dumai – Riau Bekasi – Jawa Barat Bekasi – Jawa Barat Sumatera Utara Jakarta Sumatera Utara Batam – Kep Riau Bekasi – Jawa Barat Dumai – Riau Sumatera Utara Dumai – Riau Mojokerto – Jatim Jakarta
Jumlah yang tersedia Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009
Kapasitas Produksi 8 046 68 966 45 977 45 977 45 977 1 206 897 114 943 172 414 229 885 24 000 35 000 482 759 14 000 459 770 150 000 75 429 10 500 10 240
3 184 311
Begitu banyaknya perusahaan yang begerak dalam industri biodiesel, menurut Miranti (2008) ada beberapa alasan yang merupakan peluang besar industri kelapa sawit di Indonesia. Diantaranya pertama, permintaan dunia yang semakin meningkat sejalan dengan meningk atnya permintaan di negara-negara importir seperti China, India, dan Uni Eropa. Kedua, semakin pentingnya posisi minyak sawit sebagai sumber minyak dari tahun ke tahun.
Ketiga semakin berkembangnya industri biodiesel sebagai
bahan bakar alternatif yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakunya yang dapat mendorong peningkatan permintaan minyak sawit. Saat ini bahan bakar biodiesel telah digunakan secara luas di sejumlah negara sejalan dengan
Tabel 5. Jumlah Industri dan Lokasi Per Propinsi
Kapsitas Kelapa Sawit Berdasarkan
(Ton Tandan Buah Segar/jam) No. Provinsi Jumlah Industri Kapasitas Pengolahan Kelapa Sawit 1 NAD 13 410 2 Sumatera Utara 87 3 030 3 Sumatera Barat 20 1 080 4 Riau 128 5 645 5 Jambi 31 1 503 6 Sumatera Selatan 48 2 290 7 Bangka Belitung 5 345 8 Bengkulu 12 540 9 Lampung 4 125 10 Jawa Barat 1 30 11 Banten 1 60 12 Kalimantan Barat 20 905 13 Kalimantan Tengah 24 1 290 14 Kalimantan Selatan 3 110 15 Kalimantan Timur 10 510 16 Sulawesi Tengah 3 90 17 Sulawesi Selatan 1 40 18 Sulawesi Barat 4 140 19 Papua 3 90 20 Irian Jaya Barat 2 110 Total 421 18 343 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan hidup yang berkelanjutan, seperti EU-27, AS, Brazil, Australia, Singapura, Malaysia, dan Thailand yang konsumsinya diperkirakan akan semakin meningkat di masa-masa yang akan datang sejalan dengan meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan hidup yang berkelanjutan, seperti EU-27, AS, Brazil, Australia, Singapura, Malaysia, dan
Thailand yang konsumsinya diperkirakan akan semakin meningkat di masa-masa yang akan datang sejalan dengan kebijakan pemerintah setempat. Sementara di dalam negeri sendiri, pemerintah melalui kebijakan energi nasional telah menargetkan penggunaan biodiesel sebesar 5 persen dari bauran energi nasional. Dengan sejumlah keunggulan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel seperti harga yang lebih murah, memberikan yield per ha yang lebih tinggi, dan tingkat emisi karbon yang lebih rendah dibanding minyak nabati lainnya, akan semakin mendorong penggunaan minyak sawit di industri ini yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan permintaan minyak sawit. Keempat, masih relatif rendahnya
konsumsi minyak
dan
lemak per kapita
di
negara-negara
pengkonsumsi kelapa sawit terbesar seperti China (22.7 kg per kapita), Indonesia (21.7 kg per kapita), dan India (12.5 kg per kapita) dibanding AS (57.3 kg per kapita), dan EU 27 (54.9 kg per kapita) memberi peluang peningkatan permintaan kelapa sawit di masa mendatang di ketiga negara tersebut terutama China dan India yang berpenduduk besar. Kelima, margin keuntungan agribisnis kelapa sawit yang relatif besar baik dari sisi net profit margin, Return Of Asset yang tercermin dari laporan keuangan beberapa perusahaan kelapa sawit besar yang tercatat di bursa seperti Astra Agro Lestari, Sampoerna Agro, Sinar Mas Agro dan Lonsum Sumatera Indonesia.
Dalam menunjang pabrik biodiesel di Indonesia bisa dilihat sejauh mana ketersediaan bahan baku nabati yang bisa dimanfaatkan untuk memproduksi biodisel tersebut yang terdiri dari Jagung, Kelapa Sawit, Singkong dan Tebu digambarkan pada Gambar 1 .
Gambar 1 menunjukan kenaikan produksi
jagung, singkong, sawit dan tebu dari tahun 2000 sampai 2009, di mana singkong
yang tertinggi diikuti oleh sawit, jagung, dan tebu. Sebagai usaha dalam mendukung pengembangan energi alternatif biofuel beberapa perusahaan telah membangun kebun bibit dan kebun sumber untuk tumbuhan jarak pagar (Jatropha
09 20
08 20
07 20
06 20
05 20
04 20
03 20
02 20
20
20
01
25000 20000 15000 10000 5000 0 00
Ribu Ton
Cucus Linn.) sebagai salah satu bahan baku BBN.
Tahun Jagung
Singkong
Sawit
Tebu
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 Gambar 1. Produksi Jagung, Singkong, Sawit dan Tebu, Tahun 2000 – 2009
Pengembangan tumbuhan jarak pagar tersebut bertujuan mengganti minyak tanah sebagai Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satu keuntungan dari jarak pagar ini adalah ramah lingkungan dan bukan merupakan tumbuhan persaingan dengan kebutuhan pangan. Singkong juga merupakan tanaman yang sangat mungkin untuk dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia. Penanaman dan pemeliharaan singkong relatif mudah dan memilki tingkat produksi ang sangat tinggi. Tanaman ini mampu menghasilkan sekitar 30-60 ton per ha. Singkong merupakan jenis tanaman yang fleksibel karena dapat tumbuh dan berproduksi di daerah dataran
rendah maupun dataran tinggi. Hal tidak akan terjadi kompetisi atau perebutan lahan antara budidaya tanaman singkong dan budidaya tanaman singkong. Seiring dengan pemikiran pengembangan energi alternatif di dunia, muncul dampak negatif yang disebut dengan istilah “silent tsunami” yang akhir-akhir ini booming di skala internasional untuk mengambarkan adanya bahaya krisis pangan yang dialami hampir seluruh dunia. Berdasarkan informasi president Word Bank adapun salah satu penyebab utama
kenaikan harga pangan pada tiga tahun
terakhir secara potensial mengakibatkan 100 juta penduduk di negara berpendapatan rendah menjadi penduduk sangat miskin, ini disebabkan terjadinya permintaan etanol dan biofuel yang melonjak tinggi. Masalah pangan meningkat karena naiknya harga pangan. Satu fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia pertanian. Dalam beberapa tahun terakhir, harga beras naik dari $65 per ton sampai dengan tahun 2000, menjadi sekitar $330 per ton di tahun 2005 dan sekarang $700 per ton; harga gula naik dari $220, $550 dan $700 per ton pada tahun 2000, 2005 dan 2008; harga kedelai naik $320 tahun 2000, $600 per ton sampai satu tahun terakhir; begitu juga gandum naik dari $300 per ton menjadi $700 per ton, hanya kelapa sawit yang semula menunjukan kenaikan $ 220 per ton menjadi $ 1100 per ton dan pada tahun ini terjadi penurunan drastis. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama karena penduduk dunia bertambah. Setiap 15 tahun, betambah 15 milyar jiwa. Kedua, karena sebagian komoditas pertanian yang tadinya hanya digunakan untuk keperluan pangan, seperti jagung, tebu dan kelapa sawit juga mulai digunakan secara besar-besaran sebagai energi alternative, biofuel. Amerika serikat di tahun 2007 menggunakan
48 juta ton jagung untuk bahan etanol. Brazil menggunakan tebu dan Indoensia memanfaatkan minyak kelapa sawit untuk memproduksi biofuel. Ketiga, meningkatnya komoditas pangan juga disebabkan kebutuhan ternak untuk memproduksi ternak yang lebih banyak. Produk pertanian untuk manusia juga digunakan untuk pakan ternak. Keempat, seiring dengan kemunduran di pasar modal dan pasar financial global, banyak investor yang mengalihkan ke sektor lain industri, transportasi. Kelima, disebabkan dinamika ekonomi internasional. Ekonomi Cina dan India yang berpopulasi raksasa tumbuh tinggi, juga menyebabkan orang Cina dan India lebih sejahtera dari sebelumnya. Penyebab lain peningkatan harga pangan dunia yang berdampak pada potensi gejolak sosial dan kerusuhan, merupakan tantangan globalisasi dan era makanan murah sudah berakhir, masalah tersebut utamanya disebabkan demand side bukan masalah kegagalan panen tetapi tekanan permintaan yang begitu tinggi dari beberapa negara seperti China, India. Salah satu cara yang dianjurkan adalah menghentian subsidi biofuel di negara kaya. Untuk menjadi alternatif bahan bakar fosil, biofuel harus menghasilkan keseimbangan energi positif, memiliki manfaat lingkungan, secara ekonomi yang layak, dan jumlah produksi kuantitas yang besar
tanpa mempengaruhi pada
keamanan pangan Produksi dan menggunakan biofuel memiliki potensi untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi dan meningkatkan kualitas lingkungan, menurunkan emisi rumah hijau, mengembangkan wilayah pedesaan dan menyediakan pekerjaan bagi para petani. Namun tidak ada jaminan bahwa tujuan akan dipenuhi seperti yang diharapkan.
Runge dan Huang (2007) menunjukkan bahwa produksi generasi pertama biofuel
memiliki
dampak
negatif
terhadap
ketahanan
pangan
karena
mengkonsumsi banyak makanan. Menggunakan tanaman pertanian non sebagai bahan baku, produksi
biofuel generasi kedua tidak akan mempengaruhi
ketahanan pangan dan akan meningkatkan lingkungan untuk menjadi lebih baik dari biofuel generasi pertama. Dalam rangka untuk memproduksi biofuel secara berkelanjutan, pergeseran dari produksi biofuel generasi pertama ke biofuels generasi kedua adalah dianjurkan Di dunia nyata, produksi dan penggunaan biofuel mungkin memiliki dampak positif terhadap lingkungan, tetapi tidak benar-benar hasilnya tergantung pada faktor-faktor tertentu seperti situs, teknologi produksi, pasar dan lainnya. Misalnya Farrel menyimpulkan bahwa untuk produksi dan penggunaan bioethanol membuat kontribusi terhadap kemandirian energi dan perbaikan lingkungan. Sementara Crutzen mengungkapkan bahwa hasil produksi biodiesel dalam peningkatan emisi gas rumah kaca karena penggunaan pupuk nitrogen dan Patzek dan Pemintal
menemukan bahwa keseimbangan energi dalam memproduksi
etanol dari jagung adalah negatif. Scharlerman dan Laurance menyatakan bahwa perbandingan dengan bahan bakar fosil ada 12 jenis biofuel memiliki dampak lingkungan yang lebih besar daripada bahan bakar fosil, termasuk bioetanol jagung di AS bioethanol tebu dan biodiesel kedelai di Brazil dan minyak sawit di Malaysia. Untuk menunjang diperlukan untuk mengakses kinerja ekonomi, lingkungan dan energi biodiesel sebelum industri biofuel dikembangkan dalam skala besar, sehingga untuk menghindari risiko dan memberikan dasar untuk
penentu kebijakan dalam pengembangan industri biofuel. Siklus hidup penilaian (LCA) adalah sebuah metode yang cocok untuk tujuan ini dan secara luas digunakan dalam penilaian dampak yang terkait dengan biofuel. Berdasarkan uraian di atas untuk mengatasi masalah energi di Indonesia perlu kebijakan yang diambil khususnya dalam pemilihan macam bahan bakar nabati
yang sesuai dengan kondisi lahan tersedia. Berdasarkan rencana
pemerintah maka akan dipilih sumber tumbuhan yang cocok untuk kondisi Indonesia yaitu tumbuhan singkong, tebu, sawit dan jarak pagar. Dalam penelitian ini sesuai dengan topik akan dipilih bahan baku nabati untuk pengembangan biodiesel adalah kelapa sawit. 1.2.
Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas, terlihat dengan adanya masalah energi dunia
berdampak terhadap kebutuhan energi di Indonesia
dan selanjutnya akan
berimbas terhadap perkembangan industri turunan kelapa sawit nasional yang diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk dan berkembangnya sektor industri dan transportasi. Untuk menunjang pengembangan produksi biodiesel sudah saatnya aturan wajib menggunakan
biofuel bagi industri, pembangkit listrik dan transpotasi
umum untuk pasar domestik. Berkaitan dengan mengatasi ketersediaan energi di Indonesia dengan pendukung peraturan pemerintah tentang penggunaan biofuel maka pelaksanaan penelitian mengacu pada beberapa permasalahan : 1.
Bagaimana keragaan pasar biodiesel dari industri turunan kelapa sawit di Indonesia ?
2.
Bagaimana dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap industri produk turunan kelapa sawit di Indonesia ?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.
Menganalisis keragaan pasar biodiesel dari industri turunan kelapa sawit di Indonesia
2.
Menganalisis dampak pengembangan industri biodiesel dari kelapa sawit terhadap industri turunan kelapa sawit di Indonesia
1.4.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan mikro-makro-ekonometrika, yang
dikembangkan dengan menitikberatkan pada fungsi sisi permintaan dan penawaran komoditi yang digunakan. Sementara data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series tahunan dengan priode waktu dari tahun 1989 sampai 2009. Pemilihan komoditi energi alternatif dititikberatkan berdasarkan pada komoditi yang secara strategis berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan tersedianya lahan. Untuk komoditi energi alternatif hanya dibatasi pada tanaman kelapa sawit. Hasil produksi yang diharapkan berdasarkan bahan baku yang digunakan berupa biodiesel sebagai produk turunan non pangan. Sedangkan produk turunan industri kelapa sawit berbasis pangan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan output yang dominan
terdiri dari Minyak Goreng,
Margarin. Sehubungan tidak tersedianya data biodiesel maka produksi biodiesel di proxi dari produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel (Hartoyo, 2009).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Prospek Biofuel di Indonesia Selama lima tahun terakhir, produksi minyak Indonesia telah menurun
karena
penurunan
produksi
minyak
waduk
di
sumur.
Di
lain
sisi,
peningkatan jumlah penduduk Indonesia telah meningkatkan akan kebutuhan sarana transportasi dan industri serta kegiatan yang menunjukkan meningkatnya konsumsi dan permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan bakar, pemerintah telah mengimpor beberapa bahan bakar. Menurut Dirjen Minyak dan Gas Bumi, impor minyak bumi yang terus meningkat signifikan dari 106.9 juta barel per tahun. Tahun 2002 menjadi 116.2 juta barel pada tahun 2003 dan 154.4 juta barel pada tahun 2004. Dalam hal jenis produk impor minyak bumi, bahan bakar solar penyumbang terbesar volume impor untuk bahan bakar minyak dalam setiap tahun. Pada tahun 2002, impor dari jenis bahan bakar mencapai 60.6 juta barel atau terdiri dari 56.7 persen dari total impor bahan bakar, terjadi kenaikan 61.1 dan 77.6 juta barel pada tahun 2003 dan 2004. Ketergantungan Indonesia pada impor minyak bumi telah membebani pemerintah ketika harga minyak dunia terus meningkat hingga mencapai di atas USD 70 per barel pada Agustus 2005, untuk menjaga kestabilan ekonomi pemerintah memberikan subsidi terhadap harga Bahan Bakar Minyak. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengurangi subsidi minyak yang diterapkan dalam dua tahap yaitu pada Maret dan Oktober 2005. Konsekuensi kebijakan ini ditunjukkan oleh penurunan yang signifikan dari konsumsi minyak. Menurut Pertamina data harian total konsumsi minyak
turun 27 persen setelah promulgating yang harga minyak pada 1 Oktober 2005 yang meningkat dari 191.0 ribu kiloliter per hari menjadi 139.8 ribu kiloleter pe r hari. Bahan bakar diesel yang ditolak 30.3 persen dari 77.0 ribukiloliters ke 53.6 ribu kiloliters per hari. Sementara, yang Premium slumped 36.8 persen dari 53.4 ribu kiloliters ke 33.7 kiloliters per hari. Alasan utamanya ini diperkirakan akan menurun karena berkurangnya daya beli masyarakat dan selektivitas lebih besar dari masyarakat dalam kegiatan sehari-hari memilih untuk menekan mereka menggunakan bensin. Dengan kondisi di atas,
pemerintah telah merencanakan untuk
mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar minyak dan telah diputuskan oleh Presiden memperkenalkan peraturan Nomor 5, 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan suatu energi alternatif sebagai substitusi untuk bahan bakar minyak. Pemerintah Indonesia juga telah memberikan perhatian serius dari pengembangan biofuel oleh mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1, 2006 pada 25 Januari 2006 tentang penyediaan dan menggunakan biofuel sebagai energi alternatif. Beberapa Biofuels yang dapat dikembangkan adalah biodiesel dan bioethanol. Indonesia telah potensi yang besar untuk menghasilkan biodiesel dan bioethanol mengingat bahwa kedua biofuels dapat mendapatkan keuntungan dari kondisi geografis serta sumber daya biofuel berasal dari tanaman yang tumbuh di tanah Indonesia. Berdasarkan penelitian di Badan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi itu menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang memiliki potensi sebagai energi alternatif. Sebagai contoh adalah kelapa sawit, kelapa, kastroli tanaman, Kapuk yang dapat digunakan sebagai biodiesel
untuk menggantikan bahan bakar solar, dan tebu, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan rumbia yang dapat dibentuk sebagai bioethanol untuk menggantikan bensin. Tabel 6. Macam Tumbuhan dan Energi yang Diperoleh Tumbuhan
Oil Production
Barrels of Oil Equivalent
Elaies guineensis (coconut plam) Jatropha(castrol oil plant)
3 600 - 4 000
33 900 - 37 700
2 100 - 2 800
19 800 - 26 400
Aleurits fordii(kemiri seed)
1 800 - 2 700
17 000 - 25 500
2 450
16 000
1 020
6 600
Sacharum officinarum (sugar cane) Manithot esculenta(Cassava)
Ricinus comunis(jarak kepyar) 1 200 - 2 000 11 300 - 18 900 Sumber : Kementrian Energi Sumber Daya Mineral, 2008 Tabel 6 di atas menunjukkan contoh dari tanaman yang menghasilkan energi dengan potensi produksi minyak dalam liter per hektar dan energi setara 2.2. Potensi pengembangan Biodiesel dan Bioethanol 2.2.1. Biodiesel Biodiesel yang dihasilkan dari bahan bakar bio-minyak yang memiliki kesamaan karakteristik dengan minyak diesel. Biofuel adalah ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang lebih baik dibandingkan dengan minyak diesel dan juga adalah bebas belerang, yang rendah dan jumlah asap tinggi cetane nomor yang jelas membuat pembakaran, memiliki karakteristik pelumas pada mesin piston, dan juga biodegradable sehingga menjadi energi yang tidak beracun. Menurut penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, biodiesel bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar untuk mesin diesel tanpa perlu ada modifikasi mesin atau campuran dengan bahan bakar solar dengan konsentrasi mulai pada 5persen.
Pengembangan biodiesel yang membutuhkan minyak mentah bio-bahan yang dapat dibentuk dari tanaman yang mengandung asam lemak seperti minyak mentah kelapa sawit, Jatropha curcas , Kelapa, soursop, annona, dan kapuk. Tanah Indonesia yang kaya sumberdaya alam yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk biodiesel. Crude Palm minyak merupakan salah satu calon biosumber untuk bahan baku minyak di Indonesia mengingat bahwa Indonesia memproduksi minyak kelapa sawit dalam volume yang besar dan meningkat setiap tahunnya. Sebagai produsen terbesar kedua kelapa sawit di dunia, Indonesia memiliki potensi besar menjadi produsen dengan menggunakan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit, baik dari kelapa sawit atau turunannya. Di Indonesia produksi kelapa sawit di tahun 2003 mencapai sekitar 9 juta ton, dan meningkat hingga 15 persen setiap tahun. Hampir seluruh produk kelapa sawit dapat diolah menjadi biodiesel, mulai dari yang terbaik berkualitas dengan gratis Fatty Acid (FFA) kurang dari 5 persen menjadi lebih dari 70 persen dari Palm Distilat Fatty Acid (PFAD). Saat ini, sebagian besar kebutuhan nasional kelapa sawit yang diserap oleh pabrik minyak goreng dengan kebutuhan rata-rata 3.5 juta ton per tahun. Pabrik minyak goreng yang dapat menghasilkan PFAD sekitar 6 persen dari mereka perlukan, sehingga bisa mencapai 0.21 juta ton PFAD
dalam satu
tahun. Karena harga kelapa sawit masih tinggi (hingga US $ 400/tons), Rekayasa Pusat-PPT telah mengembangkan kelapa sawit Parit atau kelapa sawit Palm dari limbah pabrik minyak yang akan digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Harga limbah kelapa sawit yang relatif murah (sekitar Rp. 500 - Rp. 100 per liter), sehingga bahwa jika sudah ditambahkan dengan biaya produksi, harga
akhir masih kompetitif dibandingkan untuk harga solar yang masih dapat subsidi dari pemerintah. Hasil penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, selain kelapa sawit, terdapat lebih dari 40 jenis minyak di biooil Indonesia yang potensial dapat digunakan sebagai bahan baku untuk biodiesel, seperti jarak minyak, minyak kelapa, minyak kedelai dan minyak kapuk. Bahan baku di antara mereka, kastroli tanaman merupakan tanaman unggul untuk pengembangan biodiesel. Tanaman ini adalah sebagai calon bahan baku biodiesel karena dapat tumbuh di lahan kritis dan karakteristik minyak adalah cocok untuk biodiesel. Biaya operasional untuk mengembangkan minyak jarak tanaman lebih ekonomis dari kelapa sawit. Untuk tujuan perbandingan, Biaya pengembangan
dan pemeliharaan
kebutuhan tanaman minyak jarak hanya 20 persen sampai 25 persen dari total biaya produksi. Sementara itu, minyak kelapa sawit memerlukan 40 persen menjadi 50 persen. Di Indonesia, masih banyak lahan kritis yang dapat digunakan untuk bahan bakar hijau perkebunan seperti kelapa sawit dan minyak jarak. Menurut Badan Pusat Statistik (2006) area lahan kritis di Indonesia pada akhir tahun 2006
sekitar 27.1 juta hektar (7.9 juta hektar pada konservasi
kawasan hutan dan 14,1 juta hektar hutan di luar kawasan konservasi). Menurut penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2006) , jika semua orang infertil tanah ditanam pohon kastroli mereka akan menghasilkan lebih dari 400 ribu barel solar per hari. Sementara itu, hanya kurang dari 10 persen dari tanah yang telah dan akan digunakan. Adalah isyarat bahwa utilisation tanah yang subur namun tidak optimal. Beberapa lembaga telah menanam jarak pagar
seperti PT Rekayasa Industri dan Bandung Institute of Teknologi (ITB) berlokasi di NTB dengan luas wilayah 12 hektar (30 ribu pohon). PT Energi Alternatif Indonesia (48 ribu pohon), di Departemen Pertanian NTT (3000 pohon) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia di Indramayu (850 hektar). Pada saat yang sama, Perhutani juga telah menyiapkan 10 ribu hektar di Jawa sejak 2006 selama 5 tahun yang dapat menghasilkan 30 ribu ton biji jarak per tahun atau setara dengan 20 ribu ton minyak jarak. Kudus pemerintah daerah yang juga telah disediakan 35 hektar lahan untuk perkebunan minyak jarak. Menurut
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Departemen
Pertanian,
Saat ini, total kebutuhan biodiesel mencapai 4.12 juta kiloliter per tahun. Sementara, kapasitas produksi pada tahun 2006 hanya 110 ribu per tahun kilolitre. Dalam kapasitas produksi tahun 2007 berencana untuk naik ke 200 ribu per tahun kilolitres. Produsen lainnya yang akan beroperasi pada tahun 2008, sehingga kapasitas produksi akan berjalan kaki ke sekitar 400 ribu per tahun kilolitres. Cetak biru yang Pengelolaan Energi Nasional telah menetapkan target untuk biodiesel produksi yang 0.72 juta kiloliters pada tahun 2010 untuk menggantikan 29 persen dari diesel bahwa kebutuhan konsumsi 200 ribu hektar perkebunan kelapa sawit dan 25 unit pengolahan dengan kapasitas 30 ribu ton per tahun. Mereka yang memiliki kegiatan nilai investasi sebesar Rp. 1.32 triliun hingga 4.7 juta kilo liter pada tahun 2025 untuk mengganti 5 persen dari konsumsi solar. Perlu 1.34 juta hektar kelapa sawit perkebunan dan 45 unit pengolahan dengan kapasitas 100 ribu ton per tahun yang memiliki nilai investasi sebesar Rp. 9 triliun.
Dengan sekitar
150
asumsi ribu
bahwa
kiloliter
per
dengan
penambahan
tahun
untuk
produksi
periode
biodiesel
2006-2015,
dan
meningkat hingga 300 ribu kiloliter per tahun periode 2016-2025, sehingga target produksi biodiesel diproyeksikan sebagai berikut: Tabel 7. Proyeksi Produksi Biodiesel, Tahun 2006 Sampai 2025 Tahun 2006 2007 2008 Produksi 110.0 262.5 415.0 Rata-rata 152.5 152.5 152.5 tambahan per tahun Sumber : Kementrian Pertanian, 2009
2009 567.0 152.5
2010 720.0 156.0
(Juta Kilo liter) 2015 2025 1500 4.700 156.0 320.0
Saat ini, pabrik biodiesel yang dimiliki oleh BPPT dengan kapasitas produksi 1.5 ton per hari telah beroperasi di Kawasan Puspitek Serpong, dan diperkirakan pada Juli 2006 kedua pabrik biodiesel milik BPPT juga akan beroperasi dengan kapasitas 3 ton per hari. Kedua pabrik menggunakan berbagai jenis bahan baku seperti minyak kelapa sawit di berbeda kualitas, minyak jarak, dan kualitas minyak yang dihasilkan dari minyak goreng dan kopra limbah pabrik. Pabrik pengolahan biodiesel yang tidak perlu tinggi biaya investasi, sehingga dapat dikembangkan melalui unit kecil dan dikelola oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Sebagai gambaran, pabrik dengan produksi kapasitas 3 ton per hari hanya membutuhkan biaya investasi sebesar Rp. 3.9 juta dan payback periode hanya sekitar 3 tahun.
Gatot (2003) menyatakan bahwa kondisi Biodiesel di Indonesia dari data-data dan penjelasan mengenai harapan biodiesel diketahui bahwa pemakaian solar di Indonesia sekitar 44 juta kiloliter/tahun. Dari angka ini, 6 juta kiloliter untuk kebutuhan industri dan Perusahaan Listrik Negara 12 juta kiloliter. Jika 20
persen dari kebutuhan Perusahaan Listrik Negara dan industri dapat diganti biodiesel maka kebutuhan biodiesel mencapai 3.60 juta kiloliter/tahun. Jumlah tersebut akan menjadi 4.12 juta kiloliter/tahun, jika sarana transportasi dengan kebutuhan 26 juta kiloliter solar, dapat memakai biodiesel 2 persen saja. Sementara kemampuan produksi biodiesel pada 2006 baru 110 000 kiloliter/tahun. Pada 2007 baru akan ditingkatkan kapasitasnya sampai 200.000 kiloliter/tahun. Dengan adanya faktor pertimbangan produsen lain pada tahun 2007, maka diperkirakan produksi biodiesel mencapai 400 000 kiloliter/tahun.
Kenyataan di atas sangat tergantung, pada situasi dan kondisi yaitu:
1.
Mesin-mesin telah dirancang untuk berbahan bakar solar, diganti
biodiesel
tidak
apakah jika
timbul masalah baru berkaitan dengan
permesinan ?. Jika timbul masalah baru dan perlu adanya mesin baru berbasis bahan bakar biodiesel maka jelas penggunaan solar tidak dapat ditinggalkan dalam waktu cepat, dan penggunaan biodiesel juga akan bergerak secara perlahan 2.
Dari sisi harga, apakah ada jaminan jangka panjang bahwa harga biodiesel selalu lebih murah atau setidaknya sama dengan bahan bakar solar/bahan bakar minyak bumi? Hal ini juga sangat bergantung dari kemampuan memproduksi minyak jarak/kelapa sawit sebagai bahan baku minyak diesel, serta kondisi pasar dunia dengan segala dinamikanya.
3.
Kondisi yang menguntungkan dari penggunaan biodiesel ini adalah faktor keamanan lingkungan dan dapat diperbaharui. Bagaimanapun dalam
masalah budidaya tananaman juga perlu diperhitungkan dampak lain seperti pengubahan fungsi hutan menjadi perkebunan jarak/kelapa sawit.
2.2.2. Bioethanol Dalam rangka untuk mengganti penggunaan minyak tanah, terdapat gasohol sebagai energi alternatif dihasilkan oleh campuran antara minyak bumi dan bioethanol. Bioethanol adalah sumber dari karbohidrat yang dihasilkan dari potensi bahan baku seperti jagung, manis kentang, cassavas, sagu, dan tebu. Setelah melakukan fermentasi proses, Bioethanol akan dihasilkan. Menurut penelitian BPPT, tanaman jagung adalah sangat unggul bioethanol sebagai bahan baku utama, tidak hanya lebih murah tapi juga volume Bioethanol sebagai hasil lebih besar daripada tanaman lainnya seperti ubi jalar, ubi kayu, sagu dan tebu. Satu ton jagung menghasilkan 400 liter Bioethanol, sedangkan ubi jalar, ubi kayu, sagu dan tebu hanya menghasilkan 166.6, 125, 90, dan 250 liter bioethanol masing-masing. Jagung dapat menghasilkan 99.5 persen atau bahan bakar etanol grade etanol yang dapat digunakan untuk campuran gasohol. BPPT laboratorium yang telah diuji pada kendaraan roda empat dan menunjukkan bahwa sudut emisi karbon dan zat air arang dari Gasohol E-10 yang dibentuk dari campuran minyak bumi dan etanol 10persen lebih rendah dari campuran minyak bumi dan pertamax. Puntiran yang menguji kekuatan dan juga menunjukkan bahwa etanol 10 persen identik atau menampilkan kecenderungan lebih baik daripada pertamax. Etanol 35 persen terdiri dari oksigen, sehingga dapat meningkatkan efisiensi proses pembakaran mesin. Berdasarkan proyeksi dari
Badan Pengkajian Penelitian
Teknologi, jika pada tahun 2010, 20 persen dari 15 juta kilolitres dari bensin diganti oleh gasohol BE-10, akan diperlukan 100 ribu hektar manis kentang
perkebunan yang dapat menghasilkan 30 ton ubi jalar per hektar. Peternakan produk ini melibatkan 50 ribu petani. Profit yang dapat diperoleh oleh para petani ubi jalar dari pertanian ke industri pasokan gasohol sekitar Rp. 290 miliar per tahun. Dengan perkiraan permintaan gasohol untuk kendaraan di 2010 akan menjadi 200 ribu kiloliter, sedangkan pada tahun 2915 dan 2020 adalah 600 dan 1.1 kilo liter juta masing-masing. Dalam rangka untuk mencapai target, diperlukan gasohol pengembangan industri yang memiliki kapasitas 200 ribu kiloliter pada tahun 2010. Menurut Badan Pengkajian Penelitian Teknologi (2006),
saat ini
terdapat 6 produsen etanol di Indonesia dengan total produksi 174 ribu kiloliter pada tahun 2002. Meski demikian, sebagian besar mereka masih memfokuskan bagaimana untuk memenuhi kebutuhan industri dan ekspor. Sementara, Indonesia Koordinasi investasi Board menyatakan bahwa sampai pertengahan tahun 2005 terdapat sebelas investor yang sudah siap untuk membangun pabrik Bioethanol dan biodiesel di Indonesia dengan kapasitas mulai dari 50 ribu hingga 150 ribu kilolitres per tahun. Tiga perusahaan di antaranya telah disiapkan untuk membangun Bioethanol pabrik di Lampung dan ini diprediksi akan selesai tahun depan dengan total kapasitas sampai kiloliter ke 300 ribu per tahun.
2.3
Kebijakan Pemerintah Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak
pemerintah berperan aktif untuk menanggulangi masalah harga minyak yang makin meningkat dan cadangan yang makin menipis. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan biofuel dengan membentu tim nasional pengembangan Bahan Bakar Nabati sebagai upaya untuk mendukung pengembangan bahan bakar
nabati dengan menerbitkan blue print dan road map untuk mewujudkan pengembangan bahan bakar nabati tersebut. Selain itu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan presiden republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai altenatif pengganti bahan bakar minyak. Ditambah dengan penerbitan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tertanggal 25 januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels), sebagai energi alternatif . Tabel 8. Sumber Energi Terbaharukan di Indonesia Jenis sumber energi Hidro
Kapasitas terpasang (MW)
4 200.00
Mikrohidro
206.00
Geotermal
807.00
Biomass
302.40
Surya
6.00
Angin
0.60
Sumber : Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2008 Dalam rangka mengantisipasi kelangkaan energi di masa mendatang, perlu dikaji potensi sumber energi lain terutama energi yang dapat diperbarui. Indonesia diketahui memiliki berbagai macam sumber energi yang dapat diperbaharui seperti energi air, angin, matahari, panas bumi dan energi biomas. Salah satu sumber energi biomas yang mempunyai potensi untuk dikembangkan adalah energi biomas yang berasal dari minyak kelapa sawit atau disebut biodiesel, selain itu dapat juga berasal dari jagung untuk menghasilkan
bioethanol. Beberapa bentuk alternatif energi yang dapat menggantikan minyak bumi untuk kebutuhan masyarakat banyak dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi sebagai berikut : Klasifikasi energi sama dengan klasifikasi sumber daya alam, antara lain energi tidak terbarukan dan energi terbarukan. Energi terbarukan merupakan energi yang dapat dihasilkan kembali, secara alami atau dengan bantuan manusia. Sedangkan energi tidak terbarukan merupakan energi yang dapat habis sekali pakai. Klasifikasi ini harus memperhatikan aspek lain, seperti aspek pemakaian (use) dan aspek komersial (commercial). Sumber energi, dilihat dari aspek pemakaian, terdiri atas energi primer dan energi sekunder. Energi primer adalah energi yang diberikan oleh alam dan dapat langsung dikonsumsi walaupun belum diproses lebih lanjut. Sementara itu, energi sekunder adalah energi primer yang telah diproses lebih lanjut. Sebagai contoh, minyak bumi ketika baru digali dari dalam tanah masih merupakan energi primer. Namun, jika minyak bumi diproses lebih lanjut menjadi bahan bakar, maka bahan bakar ini adalah energi sekunder. Demikian pula bila air terjun dipasang alat pembangkit listrik, maka listrik yang dihasilkan merupakan energi sekunder, sedangkan air terjun itu sendiri disebut energi primer. Bila dilihat dari nilai komersial, maka sumber energi terdiri dari sumber energi komersial, sumber energi non-komersial, dan sumber energi baru. Energi komersial adalah energi sudah digunakan dan diperdagangkan dalam skala ekonomis. Energi non-komersial adalah energi yang sudah dipakai tetapi tidak dalam skala ekonomis. Energi baru adalah energi yang sudah dipakai tetapi masih dalam tahap pengembangan (pilot project). Energi baru belum dapat diperdagangkan karena belum mencapai skala ekonomi.
Secara ekonomi, jika harga energi fosil di level tingggi, biofuel akan kompetitif. Brazil memproduksi etanol dari tebu dengan biaya produksi hanya $0.16 per liter atau $26 per barrel sedangkan di Amerika Serikat sekitar $59 per barrel. . Namun diperkirakan untuk Indonesia biaya diproduksi di bawah $60 per barrel sehingga diperkirakan biofuel akan menjadi komoditi kompetitif. Dari berbagai sudut pandang tersebut hampir semua mendorong industri biofuel. Bagi sektor pertanian yang redup dan terpinggirkan kembali perlu diperhatikan, selama ini produk pertanian amat tergantung pada pasar tradisional (pangan, pakan dan sandang) dan sekarang mempunyai peluang besar diversifikasi di pasar energi. Dengan menurunnya harga minyak kelapa sawit akhir-akhir ini maka akan menambah kesempatan bagi pengusaha sawit yang mempunyai hasil produksi minyak kelapa sawit 17.2 ton per tahun untuk mengalokasikan sebagian sebagai bahan baku biofuel. Secara nasional kebutuhan Bahan Bakar Minyak Indonesia berbagai sektor cukup besar. Kebutuhan yang demikian besar ini terbentur dengan akses masyarakat terhadap perolehan yang masih terbatas, bukan saja karena kemampuan atau daya beli konsumen yang rendah, tetapi juga karena belum semua potensi sumberdaya energi yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal inilah yang menjadi satu alasan pemerintah untuk memberi subsidi Bahan Bakar Minyak kepada rakyat.
Subsidi tersebut meliputi tiga jenis komoditas yaitu
premium (20 juta kiloleter), solar (22 juta kiloliter) dan minyak tanah (12 juta kiloleter) yang menempati angka 63 persen dari energi final. Informasi dari kementrian sumberdaya alam dan energi menyatakan ada beberapa alternatif tanaman yang merupakan prioritas utama dapat dijadikan biofuel yaitu Tanaman tebu, dan Singkong untuk menghasilkan Bioethanol
sedangkan tanaman sawit dan jarak pagar untuk menghasilkan biodiesel atau solar.
Sumber : Kementrian Ekonomi Sumer Daya Mineral, 2006 Gambar 2 . Bahan Baku Bahan Bakar Nabati Pada Tabel 9, dapat dilihat tumbuhan yang memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi antara lain alpukat, jarak pagar, kelapa, kemiri dan kelapa sawit. Berdasarkan jumlah kandungan minyak yang dimiliki, alpukat memiliki kandungan minyak yang tertinggi. Kenyataannya, sawit dan jarak pagar memiliki kandungan minyak relatif lebih rendah, merupakan tanaman yang lebih banyak digunakan dalam pembuatan produk biodiesel. Hal ini didasarkan atas ketersediaan bahan baku, serta kemudahan di dalam proses budidaya tanaman itu sendiri. Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit yang terbesar di dunia sesudah Malaysia tentunya kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk menyediaka bahan bakar minyak khususnya bahan bakar minyak diesel atau disebut biodiesel. Sudah banyak pabrik-pabrik yang meproduksi bahan baku minyak kelapa sawit untuk dijadikan minyak diesel. Diharapkan produksi biodiesel ini dapat membantu mengatasi krisis energi yang dalam waktu dekat.
Tabel 9. Tumbuhan Penghasil Biodiesel Yang Dapat Dikembangkan di Indonesia No
Nama Indonesia
Nama Latin
Sumber
P/NP
Daging Buah
Kadar persenBkr 40-80
1
Alpukat
2 3 4 5 6 7
Jagung Jarak Kaliki Jarak Pagar Kapuk/randu Karet Kayu manis
8
Kecipir
9 10
Kelapa Kemiri
11 12 13
Padi Pepaya Rambutan
14
Randu alas
15
Sawit
Hodgsonia Macrodcarpa Zea Mays Ricinus Comnunis Arachis Hypogea Ceiba petandra Havea Brasiliensis Cinnamomun burmani Psophocarpus tetrag Cocos mucifera Aleurites Moluccana Oryza Sativa Crica Papaya Nephellium lappacean Bombax malabaricum Elaeis guineensis
Germ Biji Biji Biji Biji Biji
33 45-50 35-55 24-40 40-50 30
P P NP NP P P
Biji
15-20
P
Daging Buah Inti Biji
60-70 57-69
P NP
Dedak Biji Inti Biji
20 20-25 37-43
P P P
Biji
18-26
NP
Daging Buah
46-54
P
P
Sumber : Majalah Komoditi, 2006 Keterangan : BKR : kering P : minyak/lemak pangan (edible fat/oil) NP : minyak/lemak nonpangan(nonedible fat/oil)
2.4. Klasifikasi Sumber Energi Dari klasifikasi sumber energi pada tabel 10 sesuai dengan rencana pemerintah dalam mengembangkan energi alternatif adalah berasal dari Bahan Bakar Nabati(BBN) atau biofuel. Yang termasuk dalam biofuel adalah biomassa dengan input tumbuhan, hewan dan senyawa organik. Adapun prospek pengembangan biofuel diarahkan pada biodiesel, bioetanol, biooil/biokeosene. Dari beberapa macam energi baru yang terbarukan berikut biomassal salah satu yang sangat mungkin untuk dikembangkan di Indonesia.
Tabel 10. Klasifikasi Sumber Energi Berdasarkan ketersediaan 1. Tidak terbarukan • Minyak bumi • Batubara • Uranium • Bijih mineral 2. Terbarukan • Tenaga angin • Tenaga air • Panas bumi • Tenaga surya • Samudera • Biomassa
Berdasarkan nilai komersial 1. Komersial • Minyak bumi • Gas alam • Batubara • Tenaga air • Panas bumi • Uranium 2. Non komersial • Kayu bakar • Limbah pertanian 3. Energi baru • Tenaga surya • Tenaga angin • Tenaga Samudera • Biomassa
Berdasarkan pemakaian 1. Primer • Minyak bumi • Gas alam • Batubara • Tenaga air • Panas bumi 2. Sekunder • Listrik • LPG • BBM • Gas alam • Briket • batubara
Sumber : Ditjen Migas, Kementrian Ekonomi Sumer Daya Mineral 2008 2.5. Tantangan Masa Depan Biofuel 2.5.1. Tantangan Produksi Pengembangan bioethanol dan biodiesel perlu motor yang bergerak dan modal yang besar untuk keuangan budidaya bahan baku baik dalam hal pengadaan lahan, bibit, fertiliser obat atau aspek.
Perusahaan besar yang
beroperasi di perkebunan dan peternakan yang diharapkan dapat menjadi motor yang bergerak untuk usaha ini akibat tingginya biaya nya dan pengembangan pertanian. Pada saat ini, beberapa kendala Bioethanol dan biodiesel untuk pembangunan yang ketersediaan lahan, pasar yang terbatas, dan user itu sendiri. Juga terdapat kemungkinan sosial halangan dalam pengembangan tanaman jarak
yaitu membangun kepercayaan tanaman jarak antara petani dan pengusaha atau pemilik dari pengolahan minyak jarak. Meskipun tanaman jarak sangat potensial untuk dikembangkan sebagai energi baru dengan harga murah, memiliki kemampuan untuk tumbuh di lahan kritis dan dapat meningkatkan pendapatan petani, tidak semua orang menyadari potensi mereka. Penggunaan dan komersialisasi biodiesel dan bioethanol di Indonesia barangkali tidak dapat dilihat dalam waktu dekat. Hal ini bisa terjadi karena tidak tersedianya peraturan dan hukum yang jelas dalam industri ini dan standardisasi penggunaan bahan untuk teknologi biodiesel dan bioethanol dapat membuat kesulitan bagi pengusaha
dan industriawan dalam mencari pembiayaan dan
menjalankan bisnis mereka. Selain itu, kurangnya jaringan distribusi dan infrastruktur juga menghambat pemasaran dari biodiesel dan bioethanol di pasar domestik. Akibatnya, sebagian besar bioethanol dan biodiesel yang diproduksi di Indonesia saat ini ditujukan untuk ekspor pasar. 2.5.2. Tantangan Biofuel dan Ketahanan Pangan 2.5.2.1. Biofuel dan Pangan Saling Mendukung Bahan Bakar Minyak berperan sangat kritikal dalam sektor transportasi, maka produksi dan pemanfaatan
Bahan Bakar Nabati yang sesuai untuk
penggunaan dalam transportasi darat, yaitu bioetanol dan biodiesel (masingmasing untuk pencampur/pengganti bensin dan solar) menjadi fokus perhatian berbagai negara. Fakta dewasa ini bahwa keduanya dibuat dari bahan pangan, yaitu bioetanol dibuat dari bahan bergula/berpati sedang biodiesel dibuat dari minyak nabati, menimbulkan kekuatiran bahwa penyediaan BBN akan bersaing
dengan (dan mengancam ketersediaan) pangan. Kekuatiran ini mengakibatkan sebagian menentang pengembangan Bahan Bakar Nabati. Sebenarnya tak perlu
mengkuatirkan terjadinya persaingan “pangan
versus bahan bakar” tersebut, karena para periset dan pengembang teknologi Bahan Bakar Nabati sebenarnya telah sejak lama menyadari marabahaya itu dan kini sedang melakukan (bahkan hampir menuntaskan) pengembangan teknologi Bahan Bakar Nabati generasi kedua. Generasi ke dua ini adalah teknologi pembuatan Bahan Bakar Nabati dari bahan-bahan yang secara ilmiah dikenal dengan nama bahan lignoselulosa dan mencakup antara lain bagas tebu, jerami dan sekam padi, batang dan tongkol jagung, tandan kosong sawit, dan kayu (perhatikan bahwa contoh-contoh yang disebut ini sebagian besar adalah sisa panen produk pangan). Pabrik biodiesel generasi kedua yang pertama (disebut pabrik biodiesel BTL atau Biomass-To-Liquids) telah mulai beroperasi tanggal 18 April 2008 di Freiberg, Jerman, memproduksi 18 juta liter/tahun biodiesel BTL dari bahan mentah limbah kayu (dahan, ranting, dan sisa pemotongan). Pabrikpabrik demonstrasi bioetanol generasi kedua kini sedang dibangun di Amerika Serikat dan Kanada (berlainan dengan di Eropa, bagian terbesar kendaraan transportasi di Amerika Utara berbahan bakar bensin). Presiden A.S., G.W. Bush, rasa-rasanya tak mungkin mendeklarasikan program “20 in 10” (substitusi 20 Bahan Bakar Minyak oleh Bahan Bakar Nabati pada 2017 alias 10 tahun sejak tahun pendeklarasian yaitu 2007), tanpa jaminan bahwa teknologi bioetanol generasi kedua sudah komersial sebelum tahun 2015. Berkembangnya teknologi bahan bakar nabati generasi kedua tersebut di atas hendaknya menenteramkan hati kita semua bahwa bahan bakar nabati tak
akan bersaing dan bahkan saling mendukung (meningkatkan nilai tambah) dengan pangan. Sekarang ini, kita bangsa Indonesia sebaiknya mengantispasi dengan baik era BBN dunia dengan mengembangkan tumbuh-tumbuhan penghasil bahan pangan (a). menghasilkan biomassa sisa panen besar (padi, sawit, kelapa, jagung, tebu, sorgum, jali/hanjeli, dll.) dan (b). tumbuh cepat sehingga bisa dirotasi tebang-tanam dalam jangka 3 – 8 tahun (contoh : kacang hiris/gude, sukun, kelor, dll.). 2.5.2.2. Biofuel versus Ketahanan Pangan Sejarah ekonomi pertanian memasuki era baru. Permintaan terhadap hasil panen ikut dipengaruhi kebutuhan untuk bahan bakar (John Carey dan Adrienne Carter, Business Week, 2007). Perdebatan soal ketahanan pangan di Indonesia, sektor pertanian kini menghadapi tantangan baru dari persoalan krisis energi global. Menjulangnya harga minyak global mendorong pencarian sumber energi alternative pengganti minyak bumi yang notabene adalah sumber energi terbesar yang digunakan oleh banyak negara. Saat ini, harga minyak bumi sudah mencapai US$ 59.26 per barel. Dibanding bulan Januari lalu yang hanya US$ 54.57 per barel . Diperkirakan angka-angka tersebut masih akan terus naik hingga menembus US$ 70 per barel. Di tengah situasi pelik ini, tren biofuel, sumber energi alternatif yang berasal dari tumbuhan, muncul ke kepermukaan. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa tanaman yang berpotensi menghasilkan biofuel kebanyakan berasal dari tanaman pertanian, seperti jagung, singkong, tebu, kedelai, gandum, sorgum, dan kacang-kacangan. Tanaman-tanaman ini ada yang diubah menjadi etanol dan biodiesel yang bisa digunakan sebagai sumber energi pengganti minyak bumi. Jika demikian keadaannya, krisis pangan bisa jadi akan
terus berlangsung, karena terjadi perebutan komoditas untuk kepentingan produksi bahan bakar dan kepentingan pangan. Dilemma krisis energi ini amat terasa bagi negara-negara berkembang dan negara yang memiliki populasi penduduk padat. Seperti di Indonesia, jumlah penduduk yang besar dan kemiskinan yang merajarela menjadi faktor pendorong utama rentannya persoalan ketahanan pangan. Badan Pusat Statistik, (2008) menunjukkan bahwa kecepatan pertambahan produksi pangan masih tertinggal jauh di belakang laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang rata-rata mencapai 1.3 persen per tahun . Contohnya laju pertumbuhan produksi padi periode 2000-2005 masih relatif rendah, yakni 0.82 persen. Selain itu, masalah kemiskinan juga memicu kerawanan pangan. Dari laporan Badan Pusat Statistik, hingga Maret 2006 jumlah orang miskin di Indonesia sudah mencapai 39.05 juta jiwa atau 17.75 persen dari total penduduk sebesar 220 juta jiwa . Angka itu meningkat sebesar 3.95 juta orang dari tahun sebelumnya, dan 63.4 persen dari jumlah warga miskin tersebut ada di pedesaan . Wacana yang berkembang di Tanah Air hanya berkutat pada apakah Indonesia perlu impor atau tidak. Kenyataannya, kebijakan impor pangan justru menimbulkan kerugian bagi petani. Akibat impor pangan ini, harga di pasar domestik perlahan-lahan hancur, sehingga pendapatan petani semakin berkurang. Sekedar diketahui, Indonesia mengimpor rata-rata 1.5 juta ton beras per tahunnya . Fenomena ini berlangsung hingga tahun 2004. Untuk gula, jumlah yang diimpor sebesar 1.5 juta ton (kedua terbesar di dunia) atau 40 persen dari konsumsi nasional. Lalu Indonesia juga mengimpor kedelai sebesar 1.3 juta ton (terbesar di dunia) yang menutup 45 persen konsumsi kedelai nasional. Sedangkan volume impor untuk jagung berjumlah tidak kurang dari 1 juta ton. Indonesia juga
mengimpor buah-buahan dan sayur, seperti apel, jeruk, pir, kentang, bawang, dan lain-lain. Tampak ironis ketika situasi ini membuat Negara yang pernah mengklaim diri sebagai Negara agraris, justru masuk menjadi Negara pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Di sisi lain, ketahanan energi Indonesia juga bukan tanpa masalah. Berdasarkan laporan Bappenas , pemenuhan energi di dalam negeri masih menemui kendala. Selama ini, terjadi ketergantungan yang tinggi terhadap penggunaan energi primer, seperti minyak bumi (54.4 persen), gas bumi (26.5 persen), batubara (14.1 persen); sedangkan sumber-sumber energi lainnya hanya sekitar 4.8 persen. Pemanfaatan energi akhir juga masih bertumpu pada beberapa jenis, yaitu Bahan Bakar Minyak (63 persen), gas bumi (17 persen), dan listrik (10 persen). Konsumsi energi ini juga dinilai relatif lebih boros dibandingkan negaranegara lainnya. Data ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) Energy Review menunjukkan bahwa pada tahun 1993 rumah tangga dan sektor komersial Indonesia mengkonsumsi energi sebesar 52 persen dari konsumsi energi total yang dikonsumsi oleh rumah tangga dan sektor komersial di ASEAN(Association of Southeast Asian Nations). Sementara konsumsi energi negara lainnya seperti Thailand sebesar 20.9 persen, Malaysia 11.2 persen, Philipina 10.6 persen, Singapura 4.7 persen, dan Brunei hanya 0.8 persen. Konsumsi energi ini akan semakin besar bila ditambah dengan konsumsi dari sektor industri dan transportasi. Sehubungan dengan hal itu, pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri dihadapkan pada tiga tantangan yaitu : pertama, mempercepat pencarian sumber energi sebagai upaya peningkatan cadangan sumber daya energi nasional. Kedua, meningkatkan proses produksi dan penciptaan nilai tambah produksi, dan
ketiga, menyediakan energi kepada masyarakat dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau. Di samping itu, demi mengurangi ketergantungan yang tinggi terhadap Bahan Bakar Minyak, maka pemerintah mulai menggalakkan pemanfaatan energi alternatif, khususnya biofuel. Timbulnya Persaingan Kepentingan Energi dan Pangan adalah suatu pandangan yang dangkal dan prematur bila gencarnya peningkatan produksi minyak Bahan Bakar Nabati (BBN), dipandang sebagai kebijakan yang bijaksana. Tidak menafikan pula bahwa Bahan Bakar Nabati bersifat renewable. Beberapa pihak yang berpandangan optimis berpendapat bahwa strategi peningkatan produksi Bahan Bakar Nabati tersebut mempunyai banyak dampak posistif, seperti ramah lingkungan, bahan baku berasal dari sumber daya domestik, membuka lapangan kerja baru di pedesaan, sampai dengan argumen ketahanan energi untuk negara. Jika harga minyak global tetap tinggi, diperkirakan produk biofuel ini memang akan tetap kompetitif; dan beberapa negara telah lebih dulu memproduksi biofuel dalam jumlah besar. Diantaranya, Brazil memproduksi bioetanol dengan bahan baku jagung dan tebu, Amerika menggunakan kedele dan jagung, Filipina menggunakan kelapa, dan Cina menggunakan jagung dan gandum. Disadari atau tidak, kondisi ini berpotensi memperburuk proses penyediaan komoditas pangan. Terutama bagi negara-negara yang melakukan impor bahan pangan dan negara-negara dengan jumlah penduduk yang relatif banyak, termasuk Indonesia. Dampak awal yang terjadi adalah kenaikan harga gula. Harga gula di Bursa Berjangka London yang semula sekitar 300 dollar AS melonjak menjadi hampir 490 dollar AS per ton. Kenaikan ini terjadi karena
produsen gula seperti Brazil memilih mengonversi komoditas itu menjadi etanol untuk menggantikan atau menyubstitusi bahan bakar minyak . Lain halnya dengan Amerika. Sejak Amerika Serikat (AS) mengumumkan hasil risetnya yang menyebutkan komoditas jagung lebih ekonomis dibanding gula dalam produksi etanol, kontan harga gula langsung anjlok ke harga 400 dollar AS. Sebaliknya harga jagung melonjak dari sekitar 135 dollar AS per ton pada bulan Agustus menjadi 210 dollar AS per ton sampai di pelabuhan Indonesia pada bulan Oktober 2006. Amerika Serikat telah memutuskan memproduksi etanol dengan menggunakan jagung, bukan gula. Selama setahun, yakni dari Oktober 2005 hingga Oktober 2006, AS mulai membangun 54 pabrik etanol. Direktur Earth Policy Institute Lester R Brown memperkirakan, dengan lama konstruksi satu pabrik sekitar 14 bulan, semua pabrik akan berproduksi pada akhir 2007. Jika semuanya beroperasi akan dihasilkan empat miliar galon etanol. Produksi ini akan membutuhkan 39 ton komoditas biji-bijian yang dipastikan hampir semuanya dari jagung .
2.5.2.3. Peta Lahan sebagai Pengembangan Bahan Bakar Nabati
Sesuai dengan hasil Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati tentang penyediaan lahan telah berhasil membuat peta kesesuain lahan untuk tiga komoditas penting, yaitu kelapa sawit, jarak pagar dan tebu. Peta ini diharapkan sebagai arahan dalam pengembangan bahan baku Bahan Bakar Nabati, meskipun masih terdapat kendala mengenai status lahan dan penggunaannya. Komoditi kelapa sawit telah dilakukan secara luas di Indonesia, baik dikawasan barat
maupun di kawasan timur Indonesia. Potensi lahan untuk kelapa sawit umunya bervariasi, yaitu lahan berpotensi tinggi,
sedang dan rendah. Lahan yang
berpotensi tinggi adalah lahan yang memiliki Kelas Kesesuaian Lahan (KKL) untuk kelapa sawit tergolong sesuai (>75persen) dan sesuai bersyarat (<25persen). Lahan berpotensi sedang memiliki KKL(Kelas Kesesuaian Lahan) tergolong sesuai (25-50persen) dan sesuai bersyarat (50-75persen). Sementara lahan berpotensi rendah memiliki KKL tergolong sesuai bersyarat (50-75persen) dan tidak
sesuai
(25-50persen).
Penyebaran
areal
yang
berpotensi
untuk
pengembangan kelapa sawit tersebut terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (454.468 ha), Sumatera Utara (285 652 ha), Sumatera Barat (47 796 ha), Riau (1 557 863 ha), Jambi (511 433 ha), Sumatera Selatan (1 350 275 ha), Kalimantan Barat (1 252 371 ha), Kalimantan Tengah (1 401 236 ha), Kalimantan Timur (2 830 015 ha), Kalimantan Selatan (965 544 ha), Irian Jaya (1 511 276 ha) dan Sulawesi Tengah (215 728 ha).
Pada saat ini areal pengembangan kelapa sawit yang berpotensi tinggi sudah terbatas ketersediaannya. Areal yang masih cukup tersedia dan berpeluang untuk dikembangkan adalah yang berpotensi rendah-sedang. Areal tersebut memiliki beberapa faktor pembatas, sebagai berikut :
1.
Faktor iklim, yaitu jumlah bulan kering yang berkisar 2-3 bulan per tahun yang menggambarkan penyebaran curah hujan yang tidak merata dalam setahun.
2.
Topografi, areal yang berbukit-bergunung dengan kelerengan 25-40persen (areal dengan kemiringan lereng di atas 40persen tidak disarankan untuk pengembangan tanaman kelapa sawit).
3.
Kedalaman efektif tanah yang dangkal, terutama pada daerah dengan jenis tanah yang memiliki kandungan batuan yang tinggi dan kondisi drainase kurang baik.
4.
Lahan gambut.
5.
Drainase yang jelek pada dataran pasang surut, dataran alluvium, dan lahan gambut.
6.
Potensi tanah sulfat masam pada daerah dataran pasang surut.
Di luar Peta Kesesuaian Lahan jarak pagar, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian
Departemen
Pertanian
tahun
2006
telah
mengidentifikasi kesesuai lahan untuk jarak pagar di berbagai provinsi. Dari identifikasi tersebut didapatkan sebanyak 14 277 juta ha lahan yang sangat sesuai dan 5 534 juta ha lahan sesuai untuk jarak pagar. Apabila dibulatkan, ada sekitar 19.8 juta ha lahan yang cocok untuk ditanamin tanaman jarak pagar. Lahan tersebut tersebar hampir di semua provinsi, kecuali dua provinsi, Provinsi Bengkulu dan DKI Jakarta. Sebaran yang merata ini menunjukan bahwa pengembangan Bahan Bakar Nabati berbahan baku jarak pagar berpotensi menyentuh banyak pihak, menyentuh banyak desa dan wilayah yang terisolir. Jumlah lahan terbesar ada tujuh provinsi, yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Lampung dan Papua serta Irian Jaya Barat. Jika ditambah jumlah lahan yang kurang sesuai, potensi lahan jumlahnya mencapai 49.5 juta ha.
Iklim di Indonesia sangat sesuai untuk tebu. Indonesia juga merupakan negara terkaya sumberdaya genetik tebu dan di yakini sebagai daerah asal tebu dunia (Papua). Dari identifikasi kesesuaian lahan yang pernah dilakukan, saat ini setidaknya tersedia sekitar 2 juta ha lahan yang sesuai untuk tanaman tebu. Lahan tersebut tersebar di Papua (mayoritas), Kalimantan, dan Maluku. Dengan perencanaan, kebijakan dan pengembangan yang tepat, sangat mungkin Indonesia akan dapat kembali menjadi negara eksportir gula sekaligus menjadi produsen bioetanol dari tebu, sama seperti Brazil.
Selain itu para ahli gula dunia berpendapat bahwa Indonesia berpotensi untuk mengembangkan industri berbasis gula. Indonesia termasuk salah satu dari 33 negara yang dikenal sebagai IOR (Indian Ocean Rim), yang berperan penting dalam pergulaan dunia. Karena Indonesia mampu menghasilkan 34persen produksi gula dunia, mengonsumsi 29persen konsumsi gula dunia, dan menyuplai 33persen ekspor gula dunia. Ke-14 negara di antara 33 negara IOR, yang dipandang sebagai eksportir gula dunia, yaitu India, Pakistan, Madagaskar, Afrika Selatan, Zimbabwe, Zambia, Sudan, Swaziland, Vietnam, Thailand, Mauritius, Autralia, dan Indonesia. Memang sekarang Indonesia masih menjadi negara importer gula yang amat besar, tetapi penilaian para ahli gula dunia bahwa Indonesia berpotensi besar untuk menjadi negara produsen dan ekspotir gula dunia bukanlah suatu penilaian yang mengada-ada dan tak berdasar.
2.6. Generasi Bahan Bakar Transportasi Pada Konferensi Dunia Biomassa untuk Energi dan Perubahan Cuaca yang kedua, tahun 2003 di Roma, Italia, Volkswagen-Exxon Mobile menyebarkan
bahwa berdasarkan jebis bahan bakar dan otomotif yang akan mendominasi pasar, dunia kan dihadapkan pada empat generasi bahan bakar transportasi, yaitu : 1.
Generasi pertama, merupakan generasi Bahan Bakar Minyak (BBM) berbasis petroleum (minyak bumi) yang diperkirakan akan mendominasi pasar hingga tahun 2010.
2.
Generasi kedua, merupakan generasi Bahan Bakar
campuran antara
Bahan Bakar Minyak terbarukan dan Bahan Bakar Minyak petroleum yang saat ini telah banyak digunakan dan diperkirakan akan bertahan hingga tahun 2050. Masa ini ditandai dengan komersialisasi biodiesel (pengganti minyak petro-diesel) dan bioe thanol(pengganti minyak bensin). 3.
Generasi ketiga, merupakan generasi Bahan Bakar Minyak terbarukan (Advance Synthetic Fuel), seperti Flash Pyrolysis Oil (bio Oil), Fisher Tropsh (FT) Metahanol, dan
Hydro-Thermal Upgrading Oil (HTU).
Teknologi pembuatannya lebih sulit dan memakan biaya produksi yang tinggi. Produk ini diperkirakan baru akan ekonomis pada kisaran 20502100. 4.
Genersi keempat, merupakan generasi hidrogen,. Pada tahun 2010, setelah minyak bumi benar-benar habis, hidrogen diprediksikan akan menjadi andalan, mengingat bahan ini memilki nilai kalori yang tertinggi (143 MU/kg) diantara sumber energi lainnya. Nilai kalori satu liter hydrogen setara dengan empat kali nilai kalori lima liter bensin atau empat liter diesel.
2.7.
Hasil Penelitian Terdahulu Sudhir ( 2007) melakukan penelitian mengenai potensi minyak goreng
bekas sebagai bahan dasar biodiesel. Hasil penelitian menunjukan
bahwa
pengujian dilakukan untuk membandingkan biodiesel dengan bahan bakar diesel dasar lokal dalam hal kinerja mesin dan emisi gas terbuang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja termal ester dari WCO(Waste Cooking Oil) sangat mirip kinerja ester minyak segar. Pada operasi beban lebih tinggi dari ester dari mesin berbahan bakar WCO(Waste Cooking Oil) berkurang hampir 2 persen kehilangan efisiensi termal. Menariknya emisi hidrokarbon dari WCO(Waste Cooking Oil)-bahan bakar biodiesel diamati menjadi sekitar 35 persen lebih rendah dari operasi dasar solar. Triyanto (2007) melakukan penelitian mengenai pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit dan pengaruhnya terhadap stabilitas pasokan minyak goreng di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang paling mempengaruhi perkembangan bidiesel dari kelapa sawit adalah faktor politik dan faktor ekonomi. Pengembangan bisnis biodiesel dari kelapa sawit memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan dengan strategi yang tepat. Jika produksi bidiesel dari kelapa sawit dilakukan secara besar-besaran dan dalam waktu dekat dapat menganggu stabilitas pasokan minyak kelapa sawit untuk minyak goreng. Cheenkachorn (2006) melakukan penelitian mengenai biodiesel sebagai suatu tambahan untuk diesohol. Penelitian mengatakan bahwa sejumlah studi saat ini fokus pada bahan bakar alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak bumi. Biodiesel dan etanol antara kandidat yang dipelajari
dan diuji di banyak negara termasuk Thailand. Etanol pencampuran dengan solar biasa untuk membentuk diesohol telah dikenal sebagai salah satu strategi untuk mengurangi penggunaan solar biasa. Namun, pengemulsi tersebut diperlukan untuk menghomogenkan campuran. Dalam penelitian ini, biodiesel menawarkan aplikasi alternatif sebagai emulsifier dan aditif dipakai untuk diesohol. Uji emulsifikasi dilakukan untuk memilih campuran yang tepat. Diagram tiga fasa dibangun untuk memverifikasi suatu komposisi yang tepat emulsi. Sifat fisik dan kimia dari campuran yang dipilih diperiksa untuk memenuhi persyaratan dari diesel konvensional. Hasil dari percobaan yang menjanjikan segra. Menunjukkan studi yang sedang berlangsung bahwa diesohol dihomogenkan oleh biodiesel dapat menjadi calon yang baik untuk mesin diesel. Rifaat (2009) melakukan penelitian mengenai korelasi antara sttruktur kima biodiesel dan sifat fisiknya. Penelitian melihat bahwa Biodiesel adalah Bahan bakar yang dapat diperbaharui serta biodegradable, ramah lingkungan, hemat energi, substitusi bahan bakar yang dapat memenuhi kebutuhan keamanan energi tanpa mengorbankan kinerja operasional mesin. Oleh karena itu memberikan solusi layak untuk krisis kembar deplesi bahan bakar fosil dan kerusakan lingkungan. Sifat-sifat dari berbagai ester lemak individu yang terdiri dari biodiesel menentukan sifat-sifat keseluruhan dari bahan bakar biodiesel. Pada gilirannya, sifat dari ester lemak ditentukan oleh berbagai fitur struktural dari asam lemak dan gugus alcohol yang terdiri dari ester lemak. Pemahaman yang lebih baik struktur-fisik hubungan properti dalam ester asam lemak ini penting ketika memilih minyak nabati yang akan memberikan kualitas biodiesel yang diinginkan. Dengan memiliki akurat pengetahuan tentang pengaruh struktur
molekul pada sifat ditentukan, komposisi dari minyak dan alkohol yang digunakan keduanya dapat dipilih untuk memberikan kinerja yang optimal. Dalam makalah ini disorot hubungan antara struktur kimia dan sifat fisik ester minyak nabati ditinjau dan rekayasa profil asam lemak untuk mengoptimalkan karakteristik bahan bakar biodiesel. Campbell (2008) melakukan penelitian mengenai Biodiesel : Alga adalah salah atau bahan bakar nabati untuk bahan bakar cair. Dunia sedang menghadapi penurunan cadangan bahan bakar cair pada saat permintaan energi meledak. Sebagai dwindles pasokan dan meningkatnya biaya, negara-negara akan dipaksa untuk memanfaatkan sumber energi alternatif. Batubara, baik non-terbarukan dan merusak lingkungan, adalah kandidat jangka dekat yang paling mungkin untuk menggantikan minyak sebagai sumber energi primer. Dalam rangka untuk mencapai pasokan energi yang aman dan stabil yang tidak menyebabkan kerusakan lingkungan, sumber energi terbarukan harus dieksplorasi dan teknologi yang menjanjikan harus dikembangkan. Biodiesel berasal dari biomassa ganggang hijau memiliki potensi untuk volume tinggi, biaya produksi yang efektif. Hal ini dapat karbon netral dan diproduksi secara intensif pada area yang relatif kecil lahan marginal. Kualitas produk bahan bakar minyak diesel sebanding dengan dan dapat digabungkan dengan perubahan minimal ke dalam infrastruktur bahan bakar yang ada. Teknik yang inovatif, termasuk penggunaan limbah industri dan domestik sebagai pupuk, dapat diterapkan untuk lebih meningkatkan produktivitas biodiesel. Sugiyono (2005) Dengan harga minyak mentah sebesar 40 US$/barel, teknologi transportasi berbasis minyak solar dan bensin ternyata masih tetap lebih
ekonomis dibanding dengan penggunaan biodiesel atau bioethanol. Biodiesel dan bioethanol dapat bersaing dengan Bahan Bakar Minyak pada harga minyak mentah di atas 55 US$/barel. Namun demikian pada harga minyak mentah di atas 55 US$/barel menyebabkan teknologi transportasi berbasis Bahan Bakar Gas juga menjadi pilihan yang optimal. Makalah ini membahas salah satu aspek pengembangan biofuel yang berkaitan dengan harga minyak mentah. Masih banyak aspek seperti: aspek lingkungan, aspek pencampuran biofuel dengan BBM, aspek teknologi pemrosesan, dan aspek sumber daya alam perlu menjadi pertimbangan dalam pengembangan. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut berbagai aspek tersebut dalam membuat strategi untuk pengembangan biodiesel dan bioethanol di masa datang. Szulczyk dan
McCarl
(2010) meneliti mengenai Penetrasi pasar
biodiesel. Penelitian ini menguji secara rinci teknologi dan ekonomi dari mengganti biodiesel untuk solar # 2. Usaha ini membahas tiga bidang. Pertama, manfaat biodiesel diperiksa, dan teknis masalah skala besar implementasi. Kedua, kemungkinan produksi biodiesel yang diperiksa untuk minyak kedelai, minyak jagung, lemak, dan kuning lemak, yang merupakan sumber terbesar bahan baku untuk Amerika Serikat. Memeriksa secara rinci kemungkinan produksi memungkinkan untuk mengidentifikasi tingkat perubahan teknologi, biaya produksi, produk sampingan, dan Gas Rumah Kaca (GRK). Akhirnya, model fasomghg digunakan untuk memprediksi penetrasi pasar biodiesel, mengingat kemajuan teknologi, berbagai teknologi dan bahan baku, interaksi pasar, harga energi, dan setara dioksida harga karbon. Faosmghg memiliki hasil yang menarik. Pertama, harga solar berdampak ekspansif terhadap
industri biodiesel. Semakin tinggi harga solar, biodiesel lebih dihasilkan. Namun, mengingat keadaan yang paling menguntungkan, penetrasi pasar biodiesel maksimum adalah 9 persen pada 2030 dengan harga diesel $ 4 per galon. Kedua, dua sumber dominan biodiesel dari jagung dan kedelai. Sumber-sumber seperti lemak dan minyak kuning lebih terbatas, karena mereka adalah produk sampingan lainnya industri. Ketiga, harga gas rumah kaca berdampak ekspansif pada harga biodiesel, karena biodiesel adalah gas umah kaca cukup efisien. Akhirnya, subsidi pemerintah Amerika Serikat pada biofuel berdampak ekspansif terhadap produksi biodiesel yang data meingkakan penetrasi pasar mnimal 3 persen. Stambul (2009) dalam tulisannya mengenai dilema Indonesia
antara
memilih krisis energi dan krisis pangan, dalam tulisannya menyatakan bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 1 juta barel minyak per hari, sementara konsumsi mencapai 1.4 juta barel. Kekurangan 0.4 juta barel ditutup dengan impor. Cadangan minyak bumi diperkirakan 9 miliar barel, dengan konsumsi 1.4 juta barel per hari atau setahun 450 juta barel, maka cadangan tersebut akan habis dalam waktu 20 tahun. Kalau dilihat harga minyak fosil semakin tinggi, tahun 2003 harga minyak dunia US$ 25 per barel, dua tahun kemudian US$ 60 per barel. Pada tahun 2008 melonjak menjadi US$ 92 per barel bahkan sempat menembus angka US$ 150 per barel. Namun, memasuki tahun 2009 kembali turun ke angka US$30 per barel, tapi kini harga naik lagi US$54 per barel. Munculnya masalah di atas akan berdapak negatif terhadap petani yang mengalihkan lahan mereka dari tanaman pangan ke tanama biofuel dan lamat laun akan terjadi ancaman food security. Sehingga tulisan ini memberikan kesimpulan
sangat diperlukan pegembangan biofuel dan biodiesel sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan dan perlu ada titik kompromi agar biofuel dan biodiesel tidak berdampak food insecurity, dengan menggunakan lahan kritis bukan lahan produktif yang digunakan untuk tanaman pangan. Arianto (2007) melakukan penelitian mengenai korelasi harga minyak sawit dan harga minyak bumi serta kelayakan konversi palm-biodisel, dalam penelitian dihasilkan pengujian secara statisik korelasi harga minyak sawit pada priode 1999 sampai 2007 menunjukan bahwa minyak sawit dan minyak bumi memang berkorelasi positif sebesar 0.68. Berdasarkan pengujian korelasi dan regresi harga minyak sawit dan harga minyak bumi pada bebagai tahun terdapat hasil nilai korelasi pada priode 1999-2007, 199-2005, 2006-2007 dan 2007 terdapat korelasi sebesar 0.68, 0.14, 0.73 dan 0.97. Terlihat pada hasil korelasi pengujian tahun 2007 yang mempunyai nilai korelasi tertinggi. Dalam penelitian tersebut juga disinggung faktor-fakotr yang mempengaruhi permintaan biodisesel antara lain Kyoto protocol yang mengatur emisi karbon, Regulasi pemerintah kewajiban menggunakan energi hijau, dan pengurangan pajak bagi pengguna energi hijau, Proteksi pemerintah berupa dukungan untuk petani dan perkebunan, meningkatnya kebutuhan energi dunia seperti di China dan India. Goldemberg (2008) penelitian tentang “Pendekatan multifeedstock adalah penting untuk produksi biofuel berkelanjutan di Afrika Selatan”. Berkaitan dengan produksi etanol, biofuel produsen harus diperbolehkan untuk mengakomodasi berbagai tumbuhan sebagai bahan baku biofuel termasuk tanaman jagung. Sebuah multifeedstock pendekatan akan memungkinkan produsen untuk memilih tanaman cocok dengan agroklimat dari daerah ditempat
mereka berada dan digunakan suatu cara untuk meminimalkan biaya logistik dan produksi yang mendekati pasar. Beberapa waktu terakhir, rencana untuk menggunakan jagung untuk memproduksi etanol telah menaikkan kekhawatiran bahwa hal ini dapat merusak ketahanan pangan di Afrika Selatan. Penelitian ini berkonsentrasi pada dampak pada ketahanan pangan adalah ketika jagung digunakan untuk memproduksi etanol. Dikatakan bahwa peningkatan permintaan lokal untuk jagung akan memastikan Afrika Selatan penuh potensi produksi jagung dapat digunakan. Hal ini akan memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan dengan membantu kemudahan harga menaik, dan menjamin pasokan yang lebih besar dari jagung. selain itu, terdapat yang penting dalam pembangunan pedesaan dan logistik akan mendapat keuntungan untuk menggunakan jagung untuk memproduksi etanol. Selain itu di Afrika Selatan, tidak seperti ini kasusnya di Amerika Serikat dan Uni Eropa, di mana produksi biofuel yang terutama didorong oleh keamanan energi dan lingkungan, motivasi utama untuk produksi biofuel
adalah
untuk
menciptakan
peluang
mendapatkan
penghasilan
berkelanjutan pendapatan marginal daerah. Perluasan budidaya jagung untuk produksi etanol memiliki potensi penting dalam hal ini. Hernas (2009) menulis mengenai “Pangan dan Bioenergi Saling Mendukung”
mengatakan bahwa Bioenergi, alias energi berbasis bahan hayati,
mencakup 2 kategori energi komersial. Yang pertama dan lebih utama adalah Bahan Bakar Nabati (BBN atau biofuels), yang kedua adalah listrik berbasis biomassa (biomass-based electricity). Pengembangan industri BBN dewasa ini menjadi arus utama (mainstream) dinamika sektor energi di seluruh dunia. Ini bisa dimaklumi mengingat, ditengah bergeloranya kehendak untuk mengurangi
ketergantungan pada Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengakibatkan pemanasan global, BBN merupakan bahan bakar yang paling mudah dibuat dari aneka sumber energi terbarukan yang ada (biomassa, panas bumi, tenaga air, tenaga angin, sinar surya, dsb.). Karena Bahan Bakar Minyak berperan sangat kritikal dalam sektor transportasi, maka produksi dan pemanfaatan 2 Bahan Bakar Nabati yang sesuai untuk penggunaan dalam transportasi darat, yaitu bioetanol dan biodiesel (masing-masing untuk pencampur/pengganti bensin dan solar) menjadi fokus perhatian berbagai negara. Fakta dewasa ini bahwa keduanya dibuat dari bahan pangan, yaitu bioetanol dibuat dari bahan bergula/berpati sedang biodiesel dibuat dari minyak nabati, menimbulkan kekuatiran bahwa penyediaan BBN akan bersaing dengan (dan mengancam ketersediaan) pangan. Secara umum sebenarnya tak perlu mengkuatirkan terjadinya persaingan “pangan versus bahan bakar” tersebut,
karena para periset dan pengembang
teknologi Bahan Bakar Nabati sebenarnya telah sejak lama menyadari marabahaya itu dan kini sedang melakukan (bahkan hampir menuntaskan) pengembangan teknologi Bahan Bakar Nabati generasi kedua. Ini adalah teknologi pembuatan BBN dari bahan-bahan yang secara ilmiah dikenal dengan nama bahan lignoselulosa dan mencakup antara lain bagas tebu, jerami dan sekam padi, batang dan tongkol jagung, tandan kosong sawit, dan kayu (perhatikan bahwa contoh-contoh yang disebut ini sebagian besar adalah sisa panen produk pangan). Pabrik biodiesel generasi kedua yang pertama (disebut pabrik biodiesel BTL atau Biomass-To-Liquids) telah mulai beroperasi tanggal 18 April 2008 di Freiberg, Jerman, memproduksi 18 juta liter/tahun biodiesel BTL dari bahan mentah limbah kayu (dahan, ranting, dan sisa pemotongan). Pabrik-pabrik
demonstrasi bioetanol generasi kedua kini sedang dibangun di Amerika Serikat dan Kanada (berlainan dengan di Eropa, bagian terbesar kendaraan transportasi di Amerika Utara berbahan bakar bensin). Presiden A.S., G.W. Bush, rasa-rasanya tak mungkin mendeklarasikan program “20 in 10” (substitusi 20 BBM oleh BBN pada 2017 alias 10 tahun sejak tahun pendeklarasian yaitu 2007), tanpa jaminan bahwa teknologi bioetanol generasi kedua sudah komersial sebelum tahun 2015. Berkembangnya teknologi Bahn Bakar Nabati generasi kedua tersebut di atas hendaknya menenteramkan hati kita semua bahwa Bahan Baar Nabati tak akan bersaing dan bahkan saling mendukung (meningkatkan nilai tambah) dengan pangan. Sekarang ini, kita bangsa Indonesia sebaiknya mengantispasi dengan baik era BBN dunia dengan mengembangkan tumbuh-tumbuhan penghasil bahan pangan yang (a) menghasilkan biomassa sisa panen besar (padi, sawit, kelapa, jagung, tebu, sorgum, jali/hanjeli, dll.) atau (b) tumbuh cepat sehingga bisa dirotasi tebang-tanam dalam jangka 3 – 8 tahun (contoh : kacang hiris/gude, sukun, kelor, dll.). Goldemberg (2008) melakukan penelitian mengenai
“The Bazilian
biofuels industry” menyatakan Etahanol adalah suatu hasil dari biofuel yang digunakan sebagai bahan bakar pengganti sebesar 3persen dari bahan baku fossil. Pada umumnya biofuel diperoduksi dari sugarcane di Brazil dan Jagung di Amerika Serikat. Dampak lain yang bisa diambil adalah kontribusi ethanol yang dapat mengurangi emisi rumah kaca. Di Brazil 325 plants yang meghasilkan 425 tons sugarcane per tahun, dimana 50persen digunakan untuk produksi gula dan 50persen untuk bioethanol.
Zheng (2008) melakukan penelitian mengenai ”Penyediaan bahan baku biofuel di Washington mengalami ketidakpastian harga” mengatakan bahwa Biofuels, sebagai alternatif bahan bakar untuk transportasi, kini digunakan secara global. Merupakan keuntungan bagi negara pemasok adalah mencari cara yang efisien untuk merangsang biofuel di negara industri dan ekonomi lokal. Karya ini menggunakan mean-variance model dalam memaksimumkan utilitas dalam memperkirakan keseimbangan penggunaan penyediaan tanaman baku biofuel di Washington. Antara lain mempertimbangkan risiko harga, memeriksa hasil statika komparatif model, dan juga digunakan untuk pengambilan keputusan penting sebagai implikasi bagi petani bahan baku biofuel di Washington. Dari tiga potensi tanaman bahan baku biofuel , hanya satu yang dapat diimplikasikan di Washington. Hochman and Steven (2008) melakukan penelitian tentang “The economiccs of Biofuel Policy and Biotechnology “
menggunakan sebagian
keseimbangan perdagangan untuk menunjukkan bahwa kerangka kebijakan biofuel dapat pengganti kebijakan pertanian tradisional yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan tani.
Ia juga menunjukkan bagaimana makanan
volatility pasar dapat menimbulkan puncak di industri etanol, sehingga dari episode kebangkrutan dan pengurangan modal investasi. Karya ini lebih lanjut model efek dari dua spesifik inovasi teknologi-cellulosic ethanol pertanian dan bioteknologi-makanan dan bahan bakar pasar dan teknologi menunjukkan bahwa etanol dapat menurunkan volatility pasar. J parameterized model digunakan untuk menggolongkan dampak biofuels makanan dan pasar bahan bakar.
David dan
Jean (2006) mealukan penelitian mengenai ”Dampak
produksi biofuel produksi pada pekerjaan dan pendapatan petani suatu kasus di Perancis” bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana kosekuensi kesejahteraan petani perencanaan produksi massal biofuel yang akan diatur di Perancis. Yang mana akan mempunyai konsekuensi dua kali lipat. Di satu sisi, akan diusahakan untuk mengukur kelebihan produksi tanaman bahan baku energi, dan juga akan dinilai bagaimana kelebihan tanaman baru ini dapat membantu mempertahankan beberapa usaha pertanian seperti pendapatan tambahan. Pertanyaan-pertanyaan ini diperlukan untuk membangun model kesimbangan OSCAR. Kesimpulan artikel dikatakan bahwa dampak pembangunan biofuel secara besar-besaran pada pendapatan dan pekerjaan petani akan tetap cukup sederhana. Yang benar-benar merupakan kepentingan petani yang nyata diperoleh dari
biofuels terutama terletak di
kapasitas yang merangsang kekurangan
pasokan sepanjang tanaman pangan bersangkutan, maka yang mengarah terhadap harga umum. Ia juga harus dicatat bahwa penelitian dibatasi hanya dalam satusatunya sektor pertanian. Tentu saja, beberapa pekerjaan yang akan diciptakan dalam transformasi tanaman biofuel. Sesuatu yang tidak bisa disangkal adalah suatu tema yang menarik mengenai impor dari biofuels, yang dapat mengubah efek harga positif Johnston (2006) melakukan penelitian mengenai perbandingan secara global potensi produksi biodiesel nasional, secara umum studi yang menyajikan konsistensi, tingkat nasional evaluasi potensi volume dan harga biodiesel, direplikasi di 226 negara, dan wilayah protectorates. Memanfaatkan semua komersial
diekspor
lipid
feedstocks
yang
ada
lahan
pertanian,
kami
membandingkan atas batas untuk memperluas potensi biodiesel produksi dalam hal mutlak biodiesel volume, potensi keuntungan dari biodiesel ekspor, dan potensi dari produksi minyak nabati diperluas melalui meningkatkan hasil pertanian. Temuan-temuan ini dibandingkan negara di berbagai ekonomi, energi, dan lingkungan metrik. Kami menunjukkan hasil-batas atas volume di seluruh dunia potensi dari 51 milyar liter dari 119 negara; 47 miliar yang dapat menghasilkan laba pada hari ini harga impor. Juga signifikan memperoleh produksi yang dimungkinkan melalui peningkatan hasil pertanian - 12 kali lipat lebih meningkatkan potensi yang ada, terutama pada hinging lebih baik dari manajemen oilseed varietals tropis. Wirawan (2006) dalam tulisannya berjudul ”The Current and Prospects of Biodiesel Develpment in Indoensia : A Review” memberikan kesimpulan bahwa upaya pemerintah untuk mengembangkan biodiesel di Indonesia sebenarnya telah dilakukan beberapa tahun lalu. Berkurangnya sumber daya energi fosil, peningkatan konsumsi domestik diesel minyak, kenaikan harga minyak mentah, masalah lingkungan dan kelimpahan bahan mentah material menjadi latar belakang utama pengembangan biodiesel Kesempatan untuk pasar biodiesel
telah banyak dibuka sebagai pemerintahan sekarang sepenuhnya
mendukung pengembangan biofuel. Dukungan ini diwujudkan dalam beberapa pemerintah peraturan yang mencakup Kebijakan Energi Nasional (Peraturan Presiden No 5 / 2006 dan Instruksi Presiden No.1/2006), SNI 04-7182-2006 Standar Biodiesel dan Keputusan Minyak dan Gas Bumi Direktorat Jenderal No 3675K/2/DJM/2006 tentang pencampuran regulasi. Peraturan ini telah membuat jalan bagi Pertamina untuk peluncuran biosolar (Biodiesel B5) di seluruh Outlet
Bahan Bakar Pertamina di Jakarta dan kemudian akan di seluruh Indonesia. Sebagai perusahaan yang memasok 99persen bahan bakar domestik, Pertamina harus jaminan untuk menjadi pengambil dari produser biodiesel domestik. Tahapan pengembangan biodiesel dari penelitian untuk siap dikomersialisasikan memiliki telah dilakukan dan beberapa tonggak penting telah dicapai tetapi lebih masih harus dilakukan. Ini termasuk cara untuk mempercepat pembangunan pabrik biodiesel baru, perkebunan sebagai pendorong utama dalam kontinuitas bahan baku yang didukung oleh pemerintah berkomitmen kebijakan dan peraturan. Ini berarti seluruh stakeholder biodiesel harus bekerja lebih keras untuk keberhasilan program biodiesel di Indonesia. Aqba (2010) melakukan penelitian mengenai Pengembangan Industri Biodiesel untuk Transportasi Secara Efektif di Pedesaan
makalah ini mengkaji
dampak industri pada transformasi pedesaan di Nigeria. Dimana tempat industri biofuel sebagai instrumen keunggulan yang efektif dalam pembangunan pedesaan. Potensi daerah pedesaan yang mendukung pengembangan biofuel industri di Nigeria serta tantangan untuk perkembangannya sama-sama dibahas. Sejalan dengan tantangan dan menempatkan kertas ini ke tempat pengembangan biofuel industri sebagai alat penting untuk transformasi pedesaan di Nigeria, menyusul rekomendasi antara lain dibuat bahwa penggunaan lahan di Nigeria tindakan harus diubah dengan tujuan untuk membuat lahan yang tersedia untuk pertanian skala besar pinjaman jangka panjang dan insentif pertanian harus diberikan kepada petani terutama di daerah pedesaan untuk menumbuhkan tanaman yang mendukung produksi biofuel.
Wijaksana dan Kusuma (2007) melakukan penelitian mengenai sebuah Studi Eksperimental pada tentang mesin diesel
yang menggunakan minyak
Biodiesel kelapa sawit. Karena harga minyak diesel terus berubah dan cadangan terus menurun, penggunaan minyak diesel untuk transportasi dan atau industri harus diminimalkan dan diganti sebanyak mungkin oleh alternatif biofuel. Salah satu alternatif biofuel adalah minyak sawit mentah biodiesel, yang diproduksi oleh pencampuran minyak kelapa sawit dengan metanol dan hydrxide kalium dalam konsentrasi tertentu, sehingga akan memiliki karakteristik fisik yang erat sebagai minyak diesel. Sesuai untuk menguji untuk penggunaan biodiesel ini pada mesin diesel, dapat dilihat sangat jelas bahwa pada kecepatan 2050 rpm atas pada diesel mesin, rata-rata, penggunaan biodiesel ini memiliki konsumsi bahan bakar lebih rendah dibandingkan dengan minyak diesel, sedangkan bio-diesel memiliki konsumsi bahan bakar lebih tinggi spesifik daripada bio-diesel. Sebaliknya, penggunaan biodiesel ini belum diberi meningkatkan torsi, daya yang efektif, dan efisiensi termal sebagai minyak diesel. Dewi dan Fatimah (2009) melakukan penelitian mengenai dampak permintaan biodiesel dari kelapa sawit pasar Malaysia
dalam penelitiannya
menyatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, dengan latar belakang kekhawatiran mengenai peningkatan keamanan pasokan energi serta kepedulian lingkungan telah meningkatkan minat untuk sumber energi terbarukan. Hal ini telah mengakibatkan beberapa negara untuk mencari berbasis bio energi alternatif yang mengarah pada peningkatan permintaan untuk bio berbasis bahan baku seperti kelapa dan minyak rapeseed (untuk biodiesel) dan gula tebu dan jagung (untuk etanol). Karena pentingnya peningkatan biodiesel di Malaysia dan di
tempat lain, dampak dari permintaan baru telah menambahkan dimensi baru dalam lemak dan pasar minyak khususnya kelapa sawit. Makalah ini berusaha untuk menguji dampak dari permintaan biodiesel minyak sawit Malaysia industri. Studi ini mencoba untuk mengintegrasikan dinamika ekonometrik dan sistem pendekatan dalam pemodelan minyak sawit pasar di Malaysia. Salah satu masalah dengan pemodelan ekonometrik adalah ketidakmampuannya untuk berurusan dengan hubungan timbal balik dari skenario dunia nyata jika tidak ada data. Dinamika sistem pada sisi lain memberikan alternatif platform untuk menangani sistem umpan balik multi-loop dan nonlinier yang ada di pasar yang kompleks seperti kelapa minyak. Ini menganalisis perilaku dari sistem komoditas dengan mengidentifikasi
hubungan
sebab
dan
akibat
dan
umpan
balik
kontrol yang menciptakan dinamika dalam sistem. Elemen sistem yang dimasukkan dalam model ini adalah, pasokan, domestik permintaan, permintaan ekspor, harga harga dunia, domestik dan saham. Model secara umum mampu menangkap kompleks ketergantungan yang ada dalam sistem dan dapat digunakan untuk mempelajari efek perubahan dalam satu atau lebih dikontrol peubah pada kinerja sistem. Sulistyanto (2011) melakukan peneliian dengan judul Faktr-faktor yang mempengaruhi Kinerja Ekspor Minyak Mentah di Indonesia. Kelapa sawit telah memainkan peran penting dalm pereknomian. Sejak tahun 2007, Indonesia telah menjadi produsen minyak sawit mentah utama di dunia dengan total produksi 16.8 juta ton. Penenlitian ini bertujuan untuk menganalisis yang mempengaruhi kinerja ekspor minyak sawit mentah. Alat analisis utama adalah regresi berganda dengan data 38 tahun. Ditemukan bahwa kebijakan pemerintah tidak optimal dalam
mendukung ekspor minyak sawit mentah, sementara pembiayaan ekspor merupakan factor yang penting dimana factor lain adalah harga minyak sawit di pasar dunia. Sementara itu harga minyak dunia memiliki signifkan negatif. Harga minyak bunga matahari dan kedelai memiliki positif dan sigifikan berdampak pada ekspor minyak sawit mentah Peubah yang tidak memilik dampak adalah harga minyak mentah dalam negri, konsumsi, volume produksi minyak mentah, nilai tukar, PDB per kapita, kebijakan pemerintah. Meskipun terkena dampak krisis global ekspor Indonesia mash memilki prospek yang baik yang sangat ceraj di masa mendatang. Zen (2006) melakukan penelitian mengenai Kelapa Sawit di Indonesia memperbaiki Sosial Ekonomi. Pemerintah Indonesia telah menggunakan kelapa sawit sebagai alat utama perbaikan sosial-ekonomi pedesaan . Pemerintah melakukan hal ini melalui 'kebun inti' yang dioperasikan oleh perusahaan real dan melalui
membantu
individu
petani
kecil.
Inisiatif
telah
bersama-sama
meningkatkan pendapatan lebih dari 500.000 petani, dan dapat dinilai intervensi pasar yang berhasil yang jauh lebih unggul laissez faire. Tapi meskipun kinerja ekonomi dan sosial rata-rata kedua inisiatif memiliki sudah wajar, hasil mereka sangat bervariasi. Lahan inti kadang-kadang menderita dari manajemen yang salah, hubungan masyarakat yang buruk, konversi lahan sulit, dan kesalahan instansi pemerintah dan koperasi pemukim. Mereka juga dihentikan pada 2001, karena langka keuangan. Bantuan kepada petani kecil secara individu selalu memiliki dana pendek, membatasi ruang lingkup. Kedua inisiatif yang dimulai pada masa Orde Baru, dan menghadapi tantangan baru dalam era demokrasi dan otonomi Daerah. Hasil analisis pada makalah ini tetap menunjukkan bahwa
intervensi bahasa Indonesia harus dilanjutkan, meskipun dengan lebih banyak modal yang diberikan dan kekurangan mereka sedang diperbaiki. Ini menunjukkan bahwa intervensi sebanding dengan resmi upaya di negara-ngara lain untuk memeperkuat aksi dalam membantu desa katagori miskin. Susila dan Munadi (2008) meakukan penelitian mengenai dampak pengembangan biodiesel bebasis crude palm oil terhadap kemiskinan di Indonesia menggunakan model ekonometrika dan model simulasi memanfaatkan hasil-hasil penelitian terdahulu. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengembangan biodiesel bebasis crude palm oil berengaruh positif terhadap industry crude palm oil namun terhadap industry minyak goreng domestic dan secara umum dapat mengurangi penduduk iskin walaupun relative kecil. Hsieh (2008) menerangkan hasil penelitiannya tentang dampak harga minyak terhadap kondisi makro ekonomi pada output yang fluktuasi di Korea bahwa dengan menerapkan model persamaan simultan, studi ini menemukan bahwa elastisitas output terhadap harga minyak riil diperkirakan -0,042, menunjukkan bahwa jika harga minyak riil naik 10 persen, GDP riil akan turun sebesar 0.42 persen Selain itu, output riil di Korea secara berhubungan positif dengan jumlah uang beredar, pengeluaran sedangkan harga saham berpengaruh negatif nyata depresiasi nilai uang won.
III.
3.1.
KERANGKA TEORITIS
Teori Harga
Harga komoditi merupakan titik keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Penawaran dan permintaan merupakan kekuatan pasar, apabila dalam proses produksi terjadi peningkatan, maka bisa menyebabkan terjadinya pergeseran kurva penawaran dan menyebabkan terjadinya penurunan harga. Begitu juga apabila terjadi peningkatan permintaan, maka akan menyebabkan kenaikan harga.
Sumber : Pindyck, 1991 Gambar 3. Pengaruh Jumlah Pemintaan dan Penawaran Terhadap Harga dan Kuantitas Barang Dari Gambar di atas terlihat bahwa apabila terjadi kenaikan penawaran dari s1 ke s2 dengan permintaan tetap d1, maka harga akan turun dari p1 ke p2 dan kuantitas
meningkat dari q1 ke q2. Apabila terjadi kenaikan konsumsi yang jauh lebih besar misalnya dari d1 ke d2 maka terlihat kuantitas meningkat dari q1 ke q2 dan harga naik dari p1 ke p3. Besarnya perubahan harga atau kuantitas tergantung besarnya kemiringan atau slope dari kurva penawaran dan permintaan, slope kemiringan terkenal dengan nilai elastisitas.
3.2.
Fungsi Produksi Minyak Kelapa Sawit Pindyck (1999) menyatakan produksi adalah suatu proses untuk mengubah
suatu input menjadi output sehingga terjadi pertambahan nilai input atas komoditas tersebut. Yang dimaksud dengan input adalah barang atau jasa yang digunakan sebagai masukan pada suatu proses produksi, sedangkan output adalah barang atau jasa yang dihasilkannya. Hubungan input dan output dapat digambarkan dalam hubungan fungsional melalui fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan hubungan teknis yang menghubungkan antara faktor produksi (input) dengan hasil produksinya. Fungsi produksi juga mencerminkan tingkat teknologi yang digunakan, baik oleh perusahaan, Industri atau perekonomian. Hubungan input output tersebut digambarkan dengan persamaan sebagai berikut: Y
=
F(X1,X2,X3,……..
,Xn)
..................................................................(1) dimana: Y Xi
= Produksi sebagai peubah dependent, dan = Faktor produksi sebagai peubah independent.
Dengan demikian maka pada tingkat teknologi tertentu, fungsi produksi minyak sawit dapat dinyatakan dalam formula,
M
=
H(L,
K,
T,
U)
..................................................................................(2) dimana: M L K T U
= Jumlah produksi minyak kelapa sawit (ton) = Luas areal produktif (hektar) = Jumlah Modal (Ribu Rupiah) = Tenaga kerja ( orang) = Jumah tanda buah segar(ton)
Selanjutnya bila kita ingin memaksimumkan produksi minyak sawit dengan biaya tertentu, maka kita harus merumuskan fungsi biaya total. Perumusan fungsi biaya total menurut Yogiyanto (1992), adalah sebagai berikut Bt
=
Bo+P1L+PkK+PtT+PuU
......................................................................(3) dimana: Bt Bo P1 Pk Pt Pu
= Biaya Total (Rupiah/hektar) = Biaya Tetap Total (Rupiah/hektar) = Harga Lahan (Rupiah/hektar) = Harga Kapital (Rupiah/hektar) = Harga Tenaga Kerja (Rupiah/Hok) = Harga Tandan Buah Segar (Rupiah/ton)
Dengan demikian fungsi keuntungan produksi minyak sawit dirumuskan sebagai fungsi dari harga minyak sawit kali jumlah produksi minyak sawit dikurang biaya total, yaitu : Π = PmM -BT atau .....................................................................................(4) . Π = Pmh (L, K,T, U) - (B0 + L + PkK+ PtT + PuU) .................................(5) Sehingga: π = Pmh (L, K,T, U)- Bo - PLL - PkK- PtT - PUU dimana:
π Pm M Bt
= Keuntungan (Rupiah) = Harga minyak sawit (rupiah/ton) = Jumlah produksi minyak sawit (ton) = Biaya (Rupiah/Ha)
Dari fungsi keuntungan yang disajikan maka keuntungan maksimum akan diperoleh jika turunan pertama keuntungan tersebut sama dengan nol dan turunan kedua lebih kecil nol (nilai Hessian Determinant lebih besar dari nol). Turunan pertama dari fungsi keuntungan tersebut adalah: Əπ/ƏL = PmL – Pl
= 0 atau PmL = Pl
Əπ/ƏK = PmK – PK = 0 atau PmK = PK Əπ/ƏT = PmF – PT
= 0 atau PmT = PT
Əπ/ƏU = PmT – PU = 0 atau PmU = PU Dari persamaan di atas diketahui dengan bahwa Pm, Pl, Pk,Pt, Pu merupakan perubah eksogen sedangkan M, L, K,T, U adalah perubah endogen. Oleh karena itu fungsi penawaran minyak sawit dan permintaan faktor-faktor produksi dirumuskan sebagai berikut: M = m (Pm, Pl, Pk,Pt, Pu) L
= l (Pm, Pl, Pk,Pt, Pu)
K
= k (Pm, Pl, Pk,Pt, Pu)
T
= t (Pm, Pl, Pk,Pt, Pu)
U
= u (Pm, Pl, Pk,Pt, Pu)
Dari persamaan di atas terlihat bahwa perubahan harga minyak sawit (Pm) berhubungan secara positif dengan perubahan permintaan faktor-faktor produksi komoditi minyak sawit. Dengan demikian jika terjadi peningkatan harga minyak sawit akan menyebabkan bertambahnya permintaan terhadap faktor produksinya. Disisi lain peningkatan harga faktor produksi akan menurunkan jumlah
penawaran minyak sawit, sebab turunan pertama dari total biaya merupakan “Fungsi Penawaran”. Jika produktvitas minyak sawit per hektar lahan dihitung dengan membagi total produksi minyak sawit (M) dengan luas M/L. Dan jika M/L digantikan dengan Y maka fungsi produktivitas minyak sawit tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: Y 3.3.
= Y ( Pm,Pl,Pk,Pt,Pu) …..…………………………………………...(6)
Permintaan Faktor Produksi dan Penawaran Minyak Sawit Berdasarkan jangka waktu produksi (planning horizon), faktor produksi
dapat dibedakan atas faktor produksi tetap dan faktor produksi peubah. Pada Pasar Persaingan Sempurna, seorang produsen mencapai kondisi keseimbangan penggunaan suatu input apabila nilai produk marginal (dalam satuan uang) atau value of marginal product dari input sama dengan harga per unit input tersebut. Kurva permintaan produsen akan input dinamakan kurva value of marginal product input yang bersangkutan yang diturunkan dari kurva produk marginal (marginal product). Dengan demikian permintaan akan suatu faktor produksi tergantung pada teknologi, harga faktor produksi dan produktivitas faktor produksi tersebut (Boediono, 1990). Pada posisi jangka pendek kita dapat membedakan secara jelas faktor produksi tetap dan faktor produksi peubah tetapi untuk jangka panjang atau jangka sangat panjang maka seluruh faktor produksi cenderung bersifat peubah. Hal ini terjadi karena dalam jangka panjang kemajuan teknologi produksi akan rnenyebabkan perubahan atau perkembangan produksi yang mengakibatkan produsen harus selalu menyesuaikan faktor produksi tetapnya dengan kebutuhan. Untuk membedakan posisi jangka panjang dan jangka sangat panjang kita dapat
mengetahui ada tidaknya perubahan teknologi, pada umumnya jangka sangat panjang diindikasikan dengan adanya perubahan teknologi. Jika dalam setiap proses produksi kita asumsikan bahwa produsen akan bertindak rasional yaitu dengan memaksimumkan keuntungan pada tingkat biaya tertentu sesuai dengan harga pasar yang berlaku maka fungsi produksi dengan keuntungan maksimum dirumuskan secara matematis sebagai fungsi permintaan akan faktorfaktor produksi yang sekaligus menjelaskan fungsi penawaran produk bagi industri yang bersangkutan (Koutsoyiannis, 1977). Untuk mencapai keadaan fungsi yang optimal, ada syarat yang harus dipenuhi yaitu First Order Condition (FOC) dan Second Order condition (SOC). Pada FOC dinyatakan bahwa suatu fungsi akan mencapai keadaan maksimum atau minimum jika turunan pertama (TP) tersebut sama dengan nol (TP=0), ini berarti FOC merupakan syarat keharusan. Sedangkan SOC menunjuk pada salah satu keadaan saja maksimum atau minimum, dengan memperhatikan turunan kedua (TK) dari fungsi yang dianalisis, jika TK< 0 maka fungsi dalam keadaan maksimum sebaliknya apabila TK > 0 maka fungsi dalam keadaan minimum. Dalam hal ini Henderson and Quandt, 1980 dan Koutsoyiannis, 1975 menyatakan bahwa fungsi akan berada dalam keadaan maksimum jika Hessian Determinannya lebih besar dari nol.
3.4.
Produksi dengan Dua Keluaran dan Cakupan Ekonomis
Banyak perusahaan memproduksi lebih dari satu produk. Dalam kasus perusahaan mungkin sekali menikmati keuntungan produksi atau keuntungan biaya apabila memproduksi dua atau lebih produk. Keuntungan karena pemakaian
masukan atau fasilitas produksi secara bersamaann akan terdapat penghematan biaya. Untuk mempelajari keunggulan ekonomis dari produk gabungan, dalam hal ini harus ditentukan berapa jumlah produksi setiap produk.
Gambar 4
menunjukan dua kurva transformasi produk. Setiap kurva memperlihatkan berbagai macam kombinasi yang dapat diproduksi dengan masukan tenaga kerja dan mesin tertentu. Kurva O1 menggambarkan semua kombinasi dari kedua output yang dapat diproduksi dengan masukan yang relatif rendah, dan kurvaq O2 menggambarkan kombinasi keluaran dengan masukan dua kali lipat.
Kurva transformasi produk mempunyai kemiringan yang negatif karenanya, untuk mendapatkan lebih dari satu produk perusahaan harus melepaskan sebagian dari keluaran yang lainnya.
Sumber : Pindyck, 1991 Gambar 4. Kurva Transformasi
Kurva Transformasi produk yang melengkung keluar karena produksi gabungan akan mempunyai keunggulan yang memungkinkan perusahaan tunggal memperoleh produksi lebih banyak output dengan sumberdaya sama dari pada perusahaan
yang
memproduksi
masing-masing
produk
yang
terpisah.
Cakupan ekonomis terjadi apabila keluaran gabungan sebuah perusahaan tunggal lebih besar dari pada keluaran yang dapat dicapai oleh dua perusahaan yang masing-masing memproduksi produk tunggal.
SC =
C (Q1) + C (Q2) − C (Q1, Q2) C (Q1, Q2)
.............................................................(7)
C(Q1) adalah biaya untuk memproduksi keluaran Q1, C(Q2) adalah biaya untuk memproduksi keluaran Q2 dan C (Q1,Q2))
adalah biaya gabungan untuk
memproduksi kedua keluaran. Dengan cakupan ekonomis, biaya gabungan akan kurang dari biaya individu, sehingga nilai SC adalah lebih besar dari nol, dan nilai SC negatif merupakan cakupan tidak ekonomis.
3.5.
Fungsi Permintaan Minyak Goreng Sawit
Fungsi permintaan diturunkan dari fungsi kepuasan marginal konsumen (Koutsoyiannis, 1975) kepuasan total konsumen atas konsumsi minyak goreng, sabun. dinyatakan.dalam rumusan sebagai berikut : M
=
f(X1,X2).........................................................................................(8) dimana:
M goreng,
= Utilitas (kepuasan) total konsumen dari konsumsi minyak
sabun, dan margarine. X1
= jumlah konsumsi minyak goreng sawit(ton)
X2
= jumlah konsumsi minyak goreng non sawit(ton)
Bila kita nyatakan bahwa konsumen terhadap minyak goreng dan goreng non sawit akan bertindak rasional, maka konsumen yang bersangkutan akan memaksimumkan kepuasannya yaitu pada tingkat harga yang berlaku dengan anggaran tertentu yang ada padanya. Dengan demikian kendala yang dihadapi konsumen tersebut adalah anggaran yang dimilikinya, akan dinyatakan dalam rumus Y0 = P1X1 +P2X2 .................................................................................................................... (9) Bila anggaran konsumen setara dengan jumlah perkalian antara harga rnasing-masing produk dengan masing-masing kuantitasnya masing-masing, maka rumusan d iatas dapat dinyatakan dalam bentuk lain yaitu, Y0 – P1X1 - P2X2
=0
hingga yang akan dimaksimumkan kepuasan konsumen adalah : Z
= f(X1, X2) + λ (Y° - P1X2 - P2X2 )
dimana : Z
= Kepuasan konsumen yang akan dimaksimumkan dengan kendala anggaran Y°
λ
= Pengali lagrange
untuk memaksimumkan kepuasan maka turunan parsil pertama dan fungsi M, harus sama dengan nol (Z’=0) atau turunan keduanya harus lebih kecil nol (Z’’<0)
Dari persamaan di atas rumusan turunan pertama yang dimaksud adalah sebagai berikut :
∂z = f 1 − P1 = 0 ∂x1 ∂2z <0 x12 ∂z = f 2 − P2 = 0 ∂x 2 ∂2z <0 x22 ∂z = Y − p1x1 − p 2 x 2 = 0 ∂λ ∂2z <0 2
λ
Dari turunan pertama itu kita akan mendapatkan :
λ=
f1 f 2 f 3 = = p1 p 2 p3
Persamaan
di atas menunjukkan bahwa kepuasan maksimum bagi
konsumen akan tercapai bila kepuasan marginal untuk masing-masing produk yang dibagi dengan harga masing-masing produk tersebut harus sama dengan kepuasan marginal pendapatan (λ ) Dengan demikian fungsi permintaan individu minyak goreng dan minyak goreng non sawit dengan batasan anggaran yang ada dirumuskan sebagai berikut : DX1 = f1(P1,
P2,
P3,Y)……………………………………………………(10) DX2 =
f2(P1,
………………………….………………………..(11)
3.6.
Ekspor
P2,
P3,Y)
3.6.1.
Pengertian Ekspor Ekspor adalah kegiatan perdagangan internasional yang memberikan
rangsangan guna menumbuhkan permintaan dalam negeri yang menyebabkan tumbuhnya industri – industri pabrik besar, bersama dengan struktur politik yang tidak stabil dan lembaga sosial yang fleksibel. Dengan kata lain ,ekspor mencerminkan aktifitas perdagangan antar bangsa yang dapat memberikan dorongan dalam dinamika pertumbuhan perdagangan internasional, sehingga suatu negara yang sedang berkembang kemungkinan untuk mencapai kemajuan perekonomian setara dengan negara – negara yang lebih maju (M. Todaro,1983). Kegiatan ekspor merupakan hal yang terpenting bahkan mendapat perhatian utama dalam kegiatan ekonomi mengingat peranannya yang sangat besar dalam menunjang setiap program pembagunan yang dilaksanakan yakni sebagai penggerak kegiatan ekonomi dan pembangunan (generating sector)alasan yang mendesak mengapa suatu negara perlu menggalakkan ekspor adalah untuk meningkatkan kekayaan negara yang berarti pula meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat.
3.6.2.
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Baldwin (1972) ada beberapa faktor yang mempengaruhi ekspor antara
lain : 1.
Harga internasional. Makin besar selisih antara harga di pasar internasional dengan harga domestik akan menyebabkan jumlah komoditi yang akan diekspor menjadi bertambah banyak.
2.
Nilai Tukar Uang
Makin tinggi nilai tukaruang suatu negara (mengalami apresiasi ) maka harga ekspor negara itu dipasar internasional menjadi mahal. Sebaliknya, makin rendah nilai mata uang suatu negara ( mengalami depresiasi) harga ekspor negara itu dipasar internasional menjadi lebih murah. 3.
Quota Ekspor- Impor Yakni kebijaksanaan perdagangan internasional berupa kuantitas (jumlah) barang.
4.
Kebijakan tarif dan Non tarif Kebijakan tarif adalah untuk menjaga harga produk dalam negeri dalam tingkatan tertentu yang dianggap mampu atau dapat mendorong pengembangan komoditi tersebut.
3.7.
Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Jumlah produksi biodiesel berhubungan dengan harga minyak bumi.
Menurut Hartoyo (2009) Fungsi produksi biodiesel di Amerika Serikat dapat dihubungkan dengan harga minyak bumi adalah Ln Y =
0.68
+
3.12
Ln
P
.........................................................................(12) dimana Y adalah produksi biodiesel dan P adalah harga minyak mentah. Dari
persamaan di atas diketahui bahwa jika harga minyak mentah
meningkat 1 persen maka produksi biodiesel akan meningkat sebesar 3.12 persen. Sebaliknya, jika terjadi kenaikan produksi biodiesel sebesar 1 persen maka harga minyak mentah akan meningkat sebesar 0.32 persen. Data produksi biodiesel di Amerika Serikat juga nienunjukkan bahwa rata-rata produksi biodiesel meningkat 60 persen per tahun. Sehingga dapat disimpulkan peningkatan produksi biodiesel
sebesar 60 persen dapat teijadi jika harga minyak bumi meningkat sebesar 19.2 persen (perkalian antara 0.32 dengan 60),
3.8.
Biodiesel dari Kelapa Sawit Permintaan untuk biodiesel meningkat khususnya karena keperluan
campuran sesuai mandatori yang diadopsi oeh negara-negara konsumen energi besar. Pada tahun 2003, Uni Eropa menargetkan pencampuran bahan bakar nabati pada tingkat 2 persen tahun 2005 dan 5.75 persen tahun 2010. Beberapa negara Eropa juga rnendukung penggunaan bahan bakar nabati melalui pengurangan pajak atau pencampuran yang lebih tinggi (Altenburg et al., 2009). Secara global lahan pertanian yang tersedia adalah sekitar 3,8 milyar ha. Untuk memenuhi 10 persen substitusi bahan bakar petroleum dengan bahan bakar nabati generasi pertarna hanya memerlukan lahan pertanian sekitar 118 —508 juta ha (FAO, 2008). Produksi biodiesel dan bahan baku yang sesuai dapat menghasilkan keuntungan ekonomi dan lingkungan di sejumlah negara sedang berkembang, menciptakan tambahan lapangan kerja, mengurangi beban energi impor dan membuka potensi pasar ekspor. Untuk Indonesia, biodiesel yang dapat digunakan berasal dan minyak kelapa sawit karena ketersediaan lahan tanaman tersebut, kesesuaian iklim, produktivitas yang cukup baik dan jumlah produksi yang mencapai lebib dari 20 juta ton per tahun. FAO (2008) mencatat tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan biodiesel 2.500 - 6.000 liter/ha, sementara tanaman jarak pagar hanya menghasi!kan biodiesel 400 - 2.200 liter/ha. Minyak kelapa sawit atau crude palm oil merupakan bahan yang juga dapat diolah menjadi produk pangan dan non pangan. Beberapa produk pangan
hasil olahan diantaranya adalah minyak goreng, margarin, shortening, cocoa butter substitutes, vegetable ghiee dan emulsifier. Sedangkan beberapa produk olahan non pangan yang dapat dihasilkan dari minyak kelapa sawit adalah asam lemak, alkohol lemak, gliserin, biodiesel dan surfaktan. Indonesia, saat ini barn mampu memproduksi sekitar 23 jenis produk turunan kelapa sawit (Depperin, 2008). Gambaran lengkap produk yang dapat dihasilkan dari kelapa sawit dapat dilihat pada pohon industri kelapa sawit pada Gambar 5.
Sumber : Kementrian Perindustrian, 2008 Gambar 5. Pohon Industri Kelapa Sawit Biodiesel dari kelapa sawit diproduksi menggunakan minyak kelapa sawit (crude palm oil) yang dihasilkan dari tandan buah segar kelapa sawit dapat diolah menjadi tiga kelompok produk yaitu Olein, Stearin dan PFAD (Palm Fatty Acid Distillated). Olein dapat diolah lagi menjadi asam lemak (fatty acid), alkohol lemak (fatty alcohol), minyak goreng dan biodiesel, Stearin dapat diolah Jagi
menjadi margarin, asam lemak (fatty acid), alkohol lemak (flutty alcohol) dan biodiesel. PFAD (Palm Fatly Acid Distiliated) sendini dapat diolah lagi menjadi sabun dan tepung lemak (fat powder). Dengan demikian, biodiesel dari kelapa sawit dapat dihasilkan, baik dari Olein maupun Stearin. Diagram sederhana produk turunan dari minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 5. Malaysia telah memulal program pengembangan biodiesel da kelapa sawit sejak tahun 1982 melalui riset yang dibiayai oleh iuran dan para produsen minyak kelapa sawit di Malaysia. Pabrik biodiesel komersial resmi beroperasi tahun 2006 dan pada akhir 2007 ada 92 proyek biodiesel yang telah disetujui oleb pemerintah Malaysia. Pengembangan industri biodiesel di Malaysia didukung secara penuh oleh pemerintah Malaysia melalui berbagai insentif pajak dan subsidi (Lopez dan Laan, 2008). Pengembangan bahan bakar nabati termasuk biodiesel dan kelapa sawit memberikan dampak terhadap indikator makroekonomi suatu perekonomian terutama terkait dengan kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Raswant et al. (2008) menyatakan pengembangan bahan bakar nabati, walaupun ada kecemasan akan bendampak pada kenaikan harga pangan, dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi terutama da perdesaan melalui tambahan aliran modal masuk, menciptakan permintaan untuk pangan dan jasa yang membuka lapangan kerja, menurunkan perpindahan dan perdesaan ke perkotaan dan menciptakan efek pengganda bagi perekonomian. Pengembangan bahan bakar nabati dapat berkontribusi pada penurunan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja karena produksi bahan bakar nabati yang padat karya dapat menciptakan lapangan kerja yang signifikan.
3.9.
Keterkaitan Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Permintaan dan Harga TBS Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit dapat meningkatkan
permintaan terhadap minyak kelapa sawit sebagaimana dapat dilihat pada gambar 12 .Naiknya permintaan terhadap minyak kelapa sawit pada gambar
akan
bergeser kurva D1 ke D2 pergeseran ini membuat permintaan terhadap minyak kelapa sawit naik dari q1 ke q2, sehingga harga minyak kelapa sawit juga naik dari p1 ke p2.
Gambar 6 . Dampak Penggunaan Minyak Kelapa Sawit Sebagai Biodiesel Terhadap Permintaan dan Harga TBS
Perubahan permintaan dan harga dari minyak kelapa sawit berdampak pada perubahan permintaan harga pada komoditas tandan buah segar kelapa sawit
sebagaimana terlihat pada Gambar 6. Kenaikan permintaan terhadap minyak kelapa sawit berdampak pada kenaikan permintaan terhadap berdampak terhadap tandan buah segar kelapa sawit di mana kurva D1 bergeser ke kanan menjadi D2. Pergeseran ini menyebabkan terjadi perubahan dimana TBS naik dari q1 menjadi q2 dan harga juga naik dari p1 menjadi p2 (Pindyc and Rubinfeld, 2001)
3.10. Dampak Penggunaan Minyak Sawit sebagai biodiesel terhadap Bahan Pangan
Gambar 7. Dampak Penggunaan Biodiesel Terhadap Bahan Pangan
Penggunaan minyak kelapa sawit untuk bahan bakar biodiesel di sisi lain juga dapat menjadi ancaman bagi industri hilir yang menggunakan minyak kelapa sawit juga berkembang untuk biodiesel maka akan menyebabkan permintaan kelapa sawit meningkat. Peningkatan permintaan CPO ditunjukan oleh bergesernya kurva permintaan CPO dari D1 ke D2. Meningkatnya permintaan CPO membuat harga CPO juga meningkat dari p1 ke p2. Ini berarti harga input minyak goreng meningkat. Dengan asumsi bahwa produsen minyak goreng rasional(memaksimumkan keuntungan) maka keuntungan maksimum dapat dicapai pada saat nilai produk marginal (NPM) sama dengan harga input. Pada saat harga input (kelapa sawit) sebesar p1 maka keuntungan maksimum tercapai pada saat input yang dipergunakan sebesar x1, tetapi jika harga input meningkat menjadi p2 maka keuntungan maksimum tercapai pada saat input yang digunakan sebesar x2, yang lebih kecil dari x1. Ini berarti bahwa penggunaan kelapa sawit sebagai biodiesel menyebabkan penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng menurun.. Menurunnya penggunaan kelapa sawit sebagai bahan balu minyak goreng maka berakibat produksi minyak goreng juga menurun, yaitu menurun dari y1 menjadi y2. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan kelapa sawit sebagai biodiesel akan menyebabkan harga kelapa sawit meningkat, permintaan keapa sawit produsen minyak goreng menurun dan produksi minyak goreng juga menurun (Hartoyo et al. , 2009).
3.11. Indeks Harga Konsumen Indeks Harga Konsumen adalah suatu ukuran statistik yang dapat menunjukkan perubahan-perubahan pada harga komoditas, dan jumlah barang
yang diminta oleh konsumen dari waktu ke waktu. Indeks harga konsumen disusun oleh Badan Pusat Statistik berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber relevan, seperti pasar konsumen, produsen, lembagalembaga
konsumen,
dan
sebagainya.
Penetapan indeks harga konsumen dilakukan dengan mempergunakan metode tertentu baik dengan indeks angka ditimbang, maupun dengan angka indeks tidak ditimbang. Adapun waktu dasar yang dipergunakan adalah tahun di mana ekonomi dianggap dalam keadaan stabil dan tidak berjauhan dengan tahun yang
akan
datang.
Dalam penetapan indeks harga konsumen, ada beberapa faktor yang dianggap mempunyai pengaruh cukup besar terhadap pembentukan harga konsumen, sebagai berikut: 1.
Kebijakan pemerintah berkenaan dengan politik ekonomi dan moneter
serta politik perdagangan luar negeri. 2.
Kebijakan harga yang ditetapkan oleh pemerintah.
3.
Jumlah permintaan konsumen terhadap komoditas.
4.
Kenaikan pendapatan masyarakat.
5.
Biaya produksi yang dikeluarkan oleh produsen.
6.
Nilai mata uang jika dibandingkan dengan kurs.
3.12. Skenario Pengembangan Biodiesel dan Kelapa Sawit Trend kenaikan harga bahan bakar fosil, akibat keterbatasan sumber daya telah menarik banyak nega untuk menggunakan biodiesel sebagai salah satu bahan bakar nabati. Pada tahun 2001 sekitar 79.4 persen dan energi primer dunia masih
berasal dari bahan bakar fosil dimana 44 persen diantaranya berupa bahan bakar minyak (UNDP, 2004). Kombinasi dari harga, permintaan, cadangan dan penurunan biaya pnoduksi biodiesel telah menarik banyak negara untuk bergabung dengan trend bahan bakar nabati m (LEA, 2006). Sielhorts et al.,(2008) Wetlands International menyatakan bahwa terdapat dua skenario yang sering digunakan sebagai dasar dalam pengembangan bahan bakar nabati yang terjadi di seluruh dunia termasuk untuk biodiesel dan kelapa sawit.
Skenario tersebut adalah sebagal benikut :
1.
Skenario substitusi impor Skenario substitusi impor digunakan berdasarkan asumsi negara pengembang bahan bakar nabati akan melakukan substitusi impor bahan bakar bensin dan diesel dengan etanol dan biodiesel. Besarnya tingkat substitusi disesuaikan dengan ketersediaan lahan, investasi yang dibutuhkan dan kemampuan teknologi yang dimiliki.
2.
Skenario peningkatan ekspor Skenario peningkatan ekspor digunakan berdasarkan kemampuan negara negana pengembang bahan bakar nabati memenuhi permintaan bahan bakar nabati dari konsumen dunia. Besarnya permintaan yang dapat dipenuhi tergantung pada daya saing masing-masing produsen bahan bakar nabati. Permintaan bahan bakar nabati ini jika terpenuhi dapat menjadi tambahan nilai ekspor bagi negara bersangkutan.
Pengembangan bahan bakar nabati terutama biodiesel memberikan peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan ketahanan energi nasional me!alui pengurangan pengeluaran dan ketergantungan mereka terhadap sumber energi impor yang tidak stabil dan berbiaya tinggi (Raswant et. al. 2008). Faktor lain yang berperan dalam pengembangan biodiesel adalah skala potensial produksi, ukuran pasar nasional dan regional, investasi infrastruktur yang diperlukan, dukungan dan rezim kebijakan, pilihan negara untuk ekspor da harga pasar da bahan baku yang digunakan untuk produksi biodiesel (COM, 2006). Untuk
Indonesia,
Triyanto
(2007) menyatakan bahwa ada
tiga
kemungkinan yang dapat terjadi dalam pengembangan biodiesel da kelapa sawit. Pertama, bisnis biodiesel dari minyak kelapa sawit berkembang dengan pesat dan tidak mengganggu stabilitas pasokan bahan baku minyak goreng (55.56 persen). Kedua, bisnis biodiesel dan minyak kelapa sawit tidak berkembang (27.27 persen). Ketiga, bisnis biodiesel dan minyak kelapa sawit berkembang sangat pesat dalam waktu yang singkat, sehingga mengganggu stabilitas pasokan bahan baku minyak kelapa sawit untuk minyak goreng (17.17 persen). Untuk itu agar pengembangan biodiesel dari kelapa sawit berhasil dengan baik maka strategi yang dapat dilakukan adalah pengembangannya dilakukan bertahap, teknologi yang digunakan fleksibel untuk multi bahan baku, pembangunan industninya terpadu dan dilakukan aliansi dengan negara maju.
3.13. Model Ekonometrik Untuk
melihat
hubungan
antar
peubah-peubah
didalam
model
diformulasikan dalam bentuk sebuah model ekonometrika agar dapat diketahui tanda dan besaran penduga parameter setiap persamaan perilakunya. Karena
secara umum system ekonomi biodiesel dan dampaknya terhadap pangan yang terdiri fungsi permintaan dan penawaran, produksi adalah merupakan model dinamis dalam bentuk persamaan simultan. Selain itu akan diuraikan prosedur analisis untuk memperoleh nilai parameter penduga tersebut yang meliputi jenis dan sumber data, metode pendugaan, program aplikasi komputer dan uji statistik yang digunakan termasuk kriteria validasi dan metode aplikasi model untuk analisis simulasi.
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan studi pustaka dan logika berpikir yang digunakan dalam menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap produk turunan industri
kelapa sawit digunakan banyak peubah yang saling
mempengaruhi satu sama lain. Peubah peubah yang saling berkaitan tersebut menjadi dasar dalam perancangan model yang digunakan. Peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian ini mencakup yang berkenaan dengan miyak kelapa sawit (Crude Palm Oil), biodiesel,
olein-stearin, kelapa sawit, bahan bakar
disesel, produk turunan dari minyak kelapa sawit antara lain minyak goreng, minyak margarin, minyak shortening dan minyak kelapa. Kerangka berpikir analisa dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh terhadap output turunan kelapa sawit khususnya yang berbasis pangan sehingga akan terjadi persaingan antara biodiesel dan produk turunan tersebut sehingga diperlukan suatu alternatif dalam memilih bahan dasar biodosel atau perlu dikembangakan lagi lahan untuk memenuhi kebutuhan kesimbangan antara produksi biodiesel dan produk turunan pangan. Persediaan energi dari fosil yang makin berkurang akan mempengaruhi permintaan terhadap biodisel. Diperlukan suatu alternatif dalam memenuhi persediaan energi dari bahan nabati atau tanaman yaitu kelapa sawit, tebu, singkong dan jarak pagar Dengan pengembangan biodiesel dari kelapa sawit akan mempengaruhi produk tanaman turunan kelapa sawit terutama yang berbasis
pangan. Terjadi persaingan antara biodiesel dan tanaman produk turunan kelapa sawit. Diperlukan suatu studi kelayakan dan mencari alternatif lain yang tepat yang tidak akan mempengaruhi persaingan antara produk turunan berbasis pangan. Diperlukan suatu kebijakan oleh pemerintah untuk mengatasi hal di tersebut.
Gambar 8. Alur Kerangka Berpikir Penelitian
4.2.
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa time series tingkat nasional dari tahun 1989 sampai 2009. Data sekunder bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementrian Tenaga Kerja, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Pertamina, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) dan dari berbagai instansi atau asosiasi terkait lainnya, Data sekunder time series di atas digunakan untuk membangun model ekonometrika, untuk kemudian dilakukan pendugaan parameter berdasarkan model yang telah dibangun.
4.3.
Spesifikasi Model
Model merupakan suatu penjelasan dari fenomena aktual sebagai suatu system atau proses. Model ekonometrika menurut Intriligartor et. al. (1996) merupakan suatu pola khusus dari model aljabar yaitu suatu unsur yang bersifat sthotastic mencakup satu atau lebih peubah penganggu. Model ekonometrika merupakan gambaran hubungan dari masing-masing peubah penjelas (explonatary variables) dan peubah endogen (endogenous variables). Model yang baik adalah model yang memenuhi kriteria ekonomi khususnya yang menyangkut tanda dan besaran (sign and magnitude) dari penduga parameter yang sesuai dengan harapan teoritis (theoreticalyl meaningful) secara apriori, criteria statistik yang bisa dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) dan kriteria ekonometrika yang menetapkan suatu taksiran memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, efficiency, sufficiency dan consistency (Kutsoyiannis, 1977).
Spesfikasi model yang dirumuskan dalam studi ini sangat terkait dengan tujuan penelitian yaitu merumuskan model produksi biodiesel dari kepala sawit terhadap produk turunan industri kelapa sawit berbasis pangan. Model yang dibangun adalah model persamaan simultan. Model persamaan simultan yang dirumuskan terdiri dari 4 blok persamaan yang dapat dikelompokan menjadi blok kelapa sawit, blok produk minyak kelapa sawit dan bahan bakar, blok biodiesel dan blok produk turunan industri kelapa sawit yang berbasis pangan. Peubah yang digunakan terdiri dari peubah endogen, peubah eksogen dan peubah lag endogen yang sesuai dengan untuk masing-masing blok persamaan. Diagram keterkaitan secara detail antar peubah pada masing-masing blok persamaan dalam model biodiesel dari kelapa sawit dan produk turunan kelapa sawit yang berbasis pangan dapat dlihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Industri
Diagram Keterkaitan Antar Blok Biodiesel dengan
Turunan Kelapa Sawit
Gambar 10. Diagram Keterkaitan Antar Peubah Dalam Model Biodiesel dari Kelapa Sawit dengan Industri Kelapa Sawit
Peubah yang digunakan terdiri dari peubah endogen dan eksogen dan peubah lag endogen yang sesuai dengan masing-masing blok persamaan. Diagram keterkaitan secara detail antar peubah pada masing-masing blok persamaan dalam model biodiesel dari kelapa sawit dan indiustri kelapa sawit dapat dilihat pada gambar 10.
4.4.
Luas Areal Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman asal bahan baku untuk industri biodiesel dari kelapa sawit. Persamaan untuk blok kelapa sawit. Persamaan untuk blok kelapa sawit terdiri dari persamaan luas areal kebun kelapa awit, produksi TBS dan harga TBS. Luas areal kebun kelapa sawit dipengaruhi oleh harga ekspor minyak kelapa sawit, rasio harga domestik harga dengan upah minimum perkebunan dan luas areal kebun kelapa sawit tahun lalu. Produksi tandan buah segar kelapa sawit dipengaruhi oleh harga tandan buah segar kelapa sawi, luas areal perkebunan kelapa sawit, produksi tandan buah segar kelapa sawit tahun lalu. Harga tanda buah segar kelapa sawit dipengaruhi oleh harga minyak kelapa sawit domestik, harga pupuk, produksi tandan buah segar dan harga tandan buah segar kelapa sawit tahun lalu. Persamaan yang dapat diformulasikan untuk kelapa sawit adalah sebagai berikut. 1.
Persamaan Luas Areal Sawit :
LSWt
= a0 + a1 HTBSt + a2 RHDSWUPt + HRPPKt +Ua….
LSWt
= Luas areal Sawit (juta ha)
HTBSt
= Harga rata-rata tanaman perkebunan lainnya(Rp/Kg)
(13)
RHDSWUPt = Rasio harga domestik Minyak Kelapa Sawit dengan upah minimum Perkebunan(Rp/Kg) HRPPKt 2.
= Harga Pupuk (Rp/Kg)
Produksi Tandan Buah Segar kelapa sawit PTBSt
= bo + b1 HTBSt + b2 LSWt + PTBSLt +Ub........................(14)
PTBSt
= Produksi TBS sawit Indonesia (juta ton)
HTBSt
= Harga TBS (Rp/kg)
3.
LSWt
= Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit(juta ha)
PTBSL
=Produksi TBS tahun lalu
Harga Tandan Buah Segar kelapa sawit HTBSt
= co + c1 HDSWt + c2 HRPPK +c3 PTBSt + c4 HTBSLt + Uc……............................................................................(15)
HTBSt
= Harga real TBS (rupiah/kg)
HDSWt
= Harga minyak kelapa sawit domestik(rupiah/kg)
PTBSt
= Produksi Tandan Buah Segar (juta ton)
HTBSLt
= Harga TBS tahun lalu (rupiah/kg)
Koefisien regesi yang diharapkan (hipotesis) adalah : a1,a2>0, a3<0
4.5.
b1,b2 >0 ; 0
0 0
Produksi Minyak Kelapa Sawit
Persamaan untuk blok minyak kelapa sawit
terdiri dari persamaan
produksi minyak kelapa sawit, konsumsi minyak kelapa sawit, harga domestik minyak kelapa sawit, harga ekpor minyak kelapa sawit dan ekspor minyak kelapa sawit. Persamaan untuk blok minyak kelapa sawit ini menggunakan peubah yang berasal dari kombinasi hasil penelitian Susila dan Munadi (2008) dan Hartoyo et al. (2009) dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitan yang terdahulu dan penyesuaian yang dilakukan maka produksi minyak kelapa sawit
dipengaruhi oleh rasio harga
domestik minyak kelapa sawit, harga tandan buah segar, konsumsi/permintaan minyak kelapa sawit. Permintaan minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh rasio harga domestik minyak kelapa sawit dengan upah minimum perkebunan, harga ekspor minyak kelapa sawit, haga minyak goreng sawit, pajak ekspor minyak kelapa sawit dan total
olein dan sterain. Harga domestik minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh haga ekspor minyak kelapa sawit, pajak ekspor minyak kelapa sawit, konsumsi minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh pajak eksor minyak kelapa sawit, volume ekspor minyak kelapa sawit, harga domestik, harga minyak dunia. Volume ekspor minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh harga ekspor minyak kelapa sawit, pajak ekspor minyak kelapa awit, nilai tukar rupiah dan tingkat inflasi.
PSWt
= d0 + d1 RHDSWUPt + d2 HTBSt + d3 KDSWt +........+. + Ud................................................................................(16)
KDSWt
= e0 + e1 RHDSWUPt + e2 HESWt + e3 HMGRSWt + ...+ e4 PJKSWt +e5 TOLSTRt + Ue ................................... (17)
HDSWt
= f0 + f1 HESW + f2 PJKESW + f3 KDSWt+ f4 PSWt + +Ue...................................................................................(18)
HESWt
=
g0 + g1 PJKESWt + g2 ESWt + g3 HDSWt+ ............+ g4 HMDUNIA + Uf....................................................... (19)
ESWt
= h0 + h1 HESW + h2 PJKESWt.+ h3 NTR + h4 INF + ....+ Uh....................................................................................(20)
PSWt
= Produksi minyak kelapa sawit (juta ton)
HDSWt
= Harga domestik minyak kelapa sawit (rupiah/kg)
LSWt
= Luas Area kebun Kelapa Sawit (juta ha)
PSWt-1
= Lag Produksi minyak kelapa sawit (juta ton)
KDSWt
= Permintaan minyak kelapa sawit (juta ton)
HMGRSWt= Harga minyak goreng sawit (rupiah/kg) HESWt
= Harga ekspor minyak kelapa sawit ( US$/ton)
HMDUNIAt= Harga miyak dunia (US$/barel) PJKESWt = Pajak ekspor minyak kelapa sawit (persen) NTRt
= Nilai tukar rupiah terhadap US$(rupiah/US$)
INFt
= Tingkat Inflasi (persen)
Dengan dugaan Parameter yang diharapkan : d1,d2,d3>0
e1,e2,e3,e4<01 e5>0
f1,f2,f4>0;f3<0
4.6.
g1,g3,g4>0;g2<0
h1,h4>0; h2,h3<0
Bahan Baku Biodiesel Persamaan untuk blok biodiesel menggunakan persamaan produksi olein
dan stearin karena olein dan stearin adalah produk turunan minyak kelapa sawit, yang menjadi bahan baku untuk memproduksi biodiesel dari kelapa sawit di Indonesia. Selain bahan baku biodiesel dari kelapa sawit, olein juga merupakan bahan baku untuk minyak goreng dan stearin terdiri dari persamaan produksi olein, produksi stearin terdiri dari persamaan produksi olein, produksi stearin dan total produksi olein dan stearin. Berdasarkan penelitian Hartoyo et al. (2009) yang menggunakan fungsi produksi biodiesel di
Amerika Serikat sebagai
landasan keterkaitan produksi bodiesel denga harga minyak bumi sehingga produksi olein dan starin sebagai bahan baku biodiesel dari kelapa sawit diasumsikan juga dipengaruhi oleh harga minyak bumi. Berdasarkan asumsi tersebut maka produksi olein dan stearin dipengaruhi oleh harga domestik minyak kelapa sawit,
harga minyak goreng kelapa sawit,
harga Margarin, harga minyak mentah dunia dan harga minyak diesel. Sehingga persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut : POLEINt
= i0 + i1HDSWt + i2HMGRSWt+ i3RHMGRINt + i4 HMDUNIAt +i5 HDSLt
PSTRINt
........................................................(21)
= j0 + j1HDSWt + j2HMGRSWt+ j3HMGRINt + j4 HMDUNIAt +j5 HDSLt
.......................................................(22)
TOLSTt
= POLEINt + PSTRINt .................................................(23)
POLEINt
= Produksi olein (ribu ton/thn)
HDSWt
= Harga domestik minyak kelapa sawit (rupiah/kg)
HMDUNIAt = Harga minyak mentah internasional (US$/barrel)
PMGRSWt
= Produksi/permintaan minyak goreng (ribu ton/thn)
POLEINLt-1
= Lag produksi olein (ribu ton/thn)
PSTRINLt
= Produksi stearin (ribu ton/thn)
PMGRINt
= Permintaan margarin (ribu ton/thn)
PSTRINLt-1
= Lag produksi stearin (ribu ton/thn)
dengan dugaan parameter yang diharapkan : i1,i2,i3,i4> 0
4.7.
j1,j2,j3,j4> 0
Bahan Bakar Biodiesel Persamaan bahan bakar diesel digunakan untuk melihat keterkaitan bahan
bakar diesel dengan produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari kelapa sawit dan penurunan impor bahan bakar diesel. Persamaan untuk blok bahan bakar diesel terdiri dari persamaan produksi minyak diesel, konsumsi minyak diesel, harga minyak diesel dan impor minyak diesel. Produksi minyak diesel dipengaruhi oleh harga minyak diesel, harga minyak dunia, import minyak diesel, subsidi dan produksi stearin olein. Konsumsi minyak diesel dipegaruhi oleh harga minyak diesel, permintaan minyak diesel untuk industri, permintaan minyak diesel untuk transportasi, permintaan minyak diesel untuk kelistrikan dan konsumsi minyak diesel tahun lalu. Harga minyak diesel dipengaruhi oleh harga domestik minyak kelapa sawit, konsumsi minyak diesel, harga minyak diesel tahun lalu. Impor minyak diesel dipengaruhi oleh konsumsi minyak diesel, produksi minyak diesel, impor minyak diesel tahun lalu. Persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut :
PDSLt
= k0 + k1 HDSLt + k2 HMDUNIA + k3 IMDSL +............+ k4 SBDLt + k5 TOLSTR + Uk.....................................(24)
KDSLt
= l0 + l1 HDSL + l2 TRDLt + l3INDL t + l4LISDLt + ...+
l5 PDSLt + Ul...............................................................(25) HDSLt
= m0 + m1HDSW + m2 KDSL + m3 HMDUNIAt + ...........+ m4 HDSLL+ Um...........................................................(26)
IMDSLt
=n0 + n1 KDSLt + n2 PDSLt + n3 IMDSLL +Un ...........(27)
PDSLt
= Produksi minyak diesel (juta kilo liter/thn)
IMDSLt
= Impor minyak diesel (juta kilo liter/thn)
TOLSTt
= Produksi olein dan stearin (ribu ton/thn)
PDSLt-1
= Lag produksi minyak diesel (juta kilo liter/thn)
KDSLt
= Konsumsi minyak diesel (kilo liter/thn)
HDSLt
= Harga minyak diesel (rupiah/liter)
TRDLt
= Permintaan minyak diesel untuk transportasi (juta kiloliter/thn)
INDLt
= Permintaan minyak diesel untuk industri (juta kilo liter/thn)
LISDLt
= Permintaan minyak diesel untuk listrik (juta kilo liter/thn)
KDSLt-1
= Lag konsumsi minyak diesel (juta kilo liter/thn)
HMDUNIAt = Harga minyak mentah internasional (US$/barel) SBDLt
= Subsidi minyak diesel (rupiah/liter)
INFt
= Tingkat inflasi (persen)
HDSLt-1
= Lag harga minyak diesel (rupiah/liter)
IMDSLt-1
= Lag impor minyak diesel (juta kilo liter/thn)
dengan dugaan parameter yang diharapkan: k1, k2,k4 > 0; k3,k5< 0 m1,m3 > 0; m2 < 0 ; 0 < m4 < 1
4.8.
l1 < 0; l2, l3, l4,i5<0 n1 > 0; n2<0 0< n3 < 1
Minyak Goreng Kelapa Sawit
Minyak goreng sawit merupakan salah satu produk turunan dari kelapa sawit. Persamaan untuk blok minyak goreng sawit terdiri dari
persamaan
produksi minyak goreng sawit, permintaan minyak goreng sawit dan harga
minyak goreng sawit. Produksi minyak goreng sawit dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit, harga minyak kelapa sawit domestik tahun lalu. Persamaan permintaan minyak goreng sawit dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit, total olein dan stearin, permintaan minyak goreng sawit tahun lalu. Persamaan harga minyak goreng sawit dipengaruhi oleh harga minyak mentah dunia dan harga minyak kelapa sawit domestik.
PMGRSWt
= o0 + o1 HMGRSWt+ o2 HDSWt+ Uo ......................(28)
PMGRSWt
= Produksi minyak goreng sawit (juta ton/thn)
HMGRSWt
= Harga minyak goreng sawit (rupiah/kg)
HDSWt
= Harga domestik minyak kelapa sawit (Rupiah/kg)
Permintaan Minyak Goreng Sawit
DMGRSWt
= p0 + p1 HMGRSWt + p2 TOLSTRt + p3 DMGRSWL+ +Up................................................................................(29)
DMGRSWt
= Permintaan minyak goreng sawit (juta ton/tahun)
HMGRSWt
= Harga Minyak Goreng Sawit (Rp/kg)
HMGRKt
= Harga minyak goreng kelapa(Rp/kg)
Harga Minyak Goreng Sawit
HMGRSWt
= q0 + q1 HMDUNIA + q2 HDSWt + Uq......................(30)
HMGRSWt
= Harga minyak goreng sawit (rupiah/kg)
DMGRSWt
= Permintaan Minyak Goreng Sawit (juta ton/tahun)
HMDUNIA
= Harga Minyak Dunia ( US$/barel)
Dengan dugaan parameter yang diharapkan : o1, o2>0
p1,p3<0, p2>0;
q1,q2> 0
4.9.
Margarin
Margarin merupakan salah satu produk turunan dari kelapa sawit. Persamaan untuk blok margarin terdiri dari
persamaan
produksi magarin,
permintaan margarin dan harga margarin. Produksi margarin dipengaruhi oleh harga margarin, harga minyak kelapa sawit domestik. Persamaan permintaan margarin dipengaruhi oleh harga margarin, total olein stearin, harga minyak goreng kelapa. Persamaan harga margarin dipengaruhi oleh harga minyak dunia, harga kelapa sawit domestik, permintaan margarin. PMGRINt
= r0 + r1 HMGRSWt + r2 DSWt+Ur.............................(31)
PMGRINt
= Produksi margarine (juta ton/thn)
HMGRSWt
= Harga Minyak Goreng Sawit (rupiah/kg)
HDSWt
= Harga domestik Minyak Kelapa Sawit(Rupiah/kg)
Permintaan Margarin DMGRINt
= s0 + s1 HMGRSWt + s2 PSTRINt + s3 HMGRKt + Us..............................................................................(32)
DMGRINt
= Permintaan margarin (juta ton/tahun)
HMGRKt
= Harga minyak goreng kelapa(rupiah/kg)
Harga Margarin HMGRINt = t0 + t1 HMDUNIA + t2 HDSWt + t3 DMGRIN + Ut.......(33) HMGRINt = Harga margarin (rupiah/kg)
Dengan dugaan parameter yang diharapkan : r1,r2>0
s1,s3<0; s2>0
4.10. Identifikasi Model
t1,t2> 0; t3<0
Fungsi dari identifikasi model adalah untuk mengetahui apakah model tersebut dapat diduga atau tidak. Setelah mengetahui kondisi estimasi model, maka
dapat ditentukan juga metode estimasi apa yang digunakan dalam
mengestimasi model. Identifikasi model dilakukan dengan menggunakan metode order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1977) serta Sitepu dan Sinaga (2006) rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition adalah: (K-M) > (G-1)...........................................................................................
(34)
dimana: K = jumlah total variabel dalam model (endogen dan predetermined) M = jumlah variabel (endogen & eksogen) dalam persamaan yang diidentifikasi G = jumlah total persamaan dalam model (jumlah total variabel endogen). Jika: (K-M) > (G-1): persamaan over identified (teridentifikasi secara berlebih); (K-M) = (G-1): persamaan exactly identified (teridentifikasi secara tepat); (K-M) < (G-1): persamaan unidentified (tidak teridentifikasi). Tiga jenis identifikasi tersebut akan menentukan teknik ekonometrik etimasi yang dapat digunakan untuk mengestimasi model. Jika secara keseluruhan unidentified maka model tersebut tidak dapat diduga parameternya dengan teknik ekonometrik manapun. Jika, exactly identified maka teknik yang dapat digunakan dalam estimasi model adalah Indirect Least Squares (ILS). Jika over identified maka estimasi parameter dapat dilakukan dengan berbagai teknik ekonometrik seperti Two Stage Least Squares (2SLS), atau dengan Three Stage Least Squares
(3SLS). Hasil identifikasi seperti ditunjukkan pada Lampiran menunjukkan bahwa persamaan over identified.
4.11. Metode Estimasi Model Pada studi ini 2SLS dipilih karena dapat menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana, dan lebih mudah (Gudjarati, 1999). Estimasi model dilakukan dengan program komputer SAS versi 9.1. Kriteria rank condition menentukan bahwa suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Model merupakan sistem persamaan simultan, dimana perilaku beberapa peubah ditentukan secara bersama; peubah endogen disatu persamaan masuk menjadi peubah eksogen pada persamaan lainnya. Pada persamaan simultan yang saling terkait, kerapkali melanggar asumsi dasar model regresi, ordinary least square, seperti heteroskedasitas.
4.11.1. Uji Statistik F dan uji Statistik t
Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersamasama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F. Selanjutnya, untuk menguji apakah masingmasing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan dilakukan uji statsitik t. Pada uji satatistik-F, hipotesis yang digunakan: H 0 : β 1 + β 2 ...... = β 1 = 0,
H 1 : min imal ada satu β1 ≠ 0,
Keterangan: I = banyaknya variabel bebas dalam suatu persamaan. Apabila nilai peluang (P-value) uji statistik F < tarf α=5%, maka tolak H0. Tolak H0
Berarti variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata
terhadap variabel endogen. Pada uji satatistik t, hipotesis yang digunakan: H 0 : β 1 = 0,
H 1 : uji satu
a) Β1 > 0;
arah
b) Β1 < 0;
Uji dua arah c) β1 ≠ 0, Kriteria uji Jika: β1 > 0, bila P-value uji t < α, maka disimpulkan tolak H0.
β1 < 0, bila P-value uji t < α, maka disimpulkan tolak H0. β1 ≠ 0, bila P-value uji t < α/2, maka disimpulkan tolak H0. Pada penelitian ini menggunakan uji dua arah dan taraf α =20% sehingga jika nilai peluang (P-value) uji statistik-t < taraf α =20%, maka tolak H0 atau suatu variabel eksogen tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel endgen.
4.11.2. Uji Statistik Durbin watson (Dw) dan Durbin h Untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan uji Dw dan Dh. Uji Dh digunakan
apabila dalam persamaan tersebut terdapat variabel beda kala (lag endogenouus variable). Menurut Pyndic dan Rubinfiled (1991) uji serial korelasi menggunakan uji statistik Dw (Durbin watson) tidak valid untuk digunakan pada persamaan yang menagandung variabel beda kala. Sebagai penggantinya, maka dignakan uji ststistik Dh dengan formula”
n 1 hhitung = 1 − d ...................................................... …(35) 2 1 − n [ (var β )] dimana: D = dw statisitik N = jumlah observasi Var (β)=varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable.
Jika ditetapkan taraf α=0.05, diketahui -1.96 ≤ hhitung ≤ 1.96, maka disimpulkan bahwa tidak persamaan tidak mengalami serial autokorelasi. Jika diketahui nilai hitung hhitung ≤ 1.96 maka terdapat autokorelasi negatif, sebaliknya jika diketahui hhitung ≥ 1.96 maka terdapat autokorelasi positif.
4.11.3. Validasi Model Validasi Model merupakan tahap penting dalam Model ekonometrika. Validasi dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana model yang dibangun mampu menjelaskan fenomena yang sebenarnya. Jika model persamaan simultan yang dibangun pada penelitian ini dianggap syah (valid), maka terhadap model tersebut dapat dilakukan berbagai macam peramalan dan simulasi. Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk simulasi alternatif kebijakan, maka dilakukan validasi model. Keragaman antara kondisi aktual dengan yang
disimulasi dapat dilihat menggunakan beberapa kriteria statistik, yaitu: RMSE (Root Mean Square Error), RMSPE (Root Mean Square Percent Error, dan U = Theils Inequality Coefficient. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara yang aktual dengan yang disimulasi digunakan R2 (koefisien determinasi). Makin kecil nilai RMSE, RMSPE, U dan makin besar R2 maka model semakin valid untuk disimulasi. RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur-alur nilai aktualnya dalam ukuran relatif (%), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti
perkembangan
nilai aktualnya. Semakin
kecl
nilai RMSPE
menunjukkan pendugaan model yang makin baik. Kemudian, Statistik U yang nilainya berkisar antara 0-1 bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Semakin mendekati nol atau semakin kecil nilai U-Theil, pendugaan model semakin baik. Nilai statitistik tersebut dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
(
)
T 2 RMSE = 1 / T ∑ Yt s − Yt a t =1
{(
0 ,5
..............................................................
) }
T 2 RMSPE = 1 / T ∑ Yt s − Yt a / Yt a t =1
(
)
0, 5
..................................................
R2 =
∑ yˆ / ∑ y 2 i
2 i
(37)
0,5
T s a 2 1 / T ∑ Ys − Ys t =1 U-Theil = 0,5 0 , 5 ................................... T T s 2 a 2 1 / T ∑ Yt + 1 / T ∑ Ys t =1 t =1
( )
(36)
( )
/ .................................................................................
dimana: RSME = Root Mean Squares Error RMSPE= Root Mean Squares Percent Error
(38)
(39)
U
= Koefisien Ketidaksamaan Theil
T
= Jumlah Priode Pengamatan
R2
= Koefisien Determinasi
4.11.4. Prosedur Analisis Menurut Koutsoyiannis (1977) terdapat tiga kriteria yang perlu dipenuhi oleh suatu model guna menangkap fenomena ekonomi, yaitu kriteria teoritis, kriteria statistik, dan kriteria ekonometrik. Kriteria teoritis ditetapkan oleh teori ekonomi berkenaan dengan tanda dan besaran koefisien. Kriteria ini ditentukan pada tahap awal pemodelan, yaitu tahap spesifikasi model operasional. Selanjutnya setelah kriteria teoritis dipenuhi, maka perlu memenuhi kriteria kedua, yaitu statistik atau first order test untuk evaluasi hasil pendugaan parameter. Setelah kriteria kedua terpenuhi, maka terakhir adalah memenuhi kriteria ekonometrik, menguji goodness dari hasil pendugaan. Akan tetapi pada model ekonometrik sering dihadapkan pada persoalan antara kriteria statistik dan kriteria ekonomi. Idealnya pada kriteria statistik mempunyai nili R2 yang tinggi dan standard error yang pendugaan parameter yang kecil. Jika salah satu dari kedua tersebut tidak terpenuhi, maka perlu dipilih sesuai tujuan. Jika tujuannya untuk peramalan, maka lebih tepat menggunakan R2.Jika untuk menjelaskan perilaku, maka kriteria yang tepat adalah standard error. Jika kriteria statistik tidak terpenuhi, maka kriteria terkahir yang perlu dipertahankan adalah kriteria ekonomi, yaitu memperhatikan arah (sign) dan besaran (size) paaremeter yang diduga (Koutsiyannis, 1977).
4.12.
Simulasi Kebijakan Pengembangan Biodiesel Simulasi pada dasarnya merupakan solusi matematis dari suatu kumpulan
berbagai persamaan secara simultan. Simulasi model dengan demikian merujuk kepada sekumpulan persamaan tersebut. Simulasi model dilakukan dengan berbagai alasan, misalnya untuk pengujian dan evaluasi model, analysis kebijakan historis dan untuk peramalan (Rubinfield, 1991.)
Untuk melihat bagaimana dampak pengembangan biofuel terhadap peubah lainnya khususnya adalah yang terkait dengan produk turunan kelapa sawit dilakukan
simulasi
terhadap
beberapa
peubah
yang
dianggap
sangat
mempengaruhi kebijakan tersebut.
Penelitian Lopez (2008) yang dihubungkan dengan harga minyak mentah di Amerika Serikat adalah Ln Y = 0.68 + 3.12 Ln P, dimana Y adalah produksi biodiesel da P adalah harga minyak mentah. Dari persaamaan ini menyatakan jika harga minyak mentah naik 1 persen maka produksi biodiesel akan meningkat sebesar 3.12 persen atau jika produksi biodiesel naik 1 persen maka harga minyak mentah akan meningkat 0.32 persen. Penelitian
yang
di
Malaysia
juga
menunjukan bahwa Produksi biodiesel dari kelapa sawit dipengaruhi oleh harga minyak kelapa sawit.
Adapun simulasi tersebut dilakukan terhadap peubah berikut : 1.
Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen.
2.
Kombinasi Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dan harga minyak dunia 10 persen.
3.
Kombinasi Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dan pajak ekspor
minyak kelapa sawit 10 persen. 4.
Kombinasi Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dan nilai tukar rupiah menguat 10 persen. Hasil simulasi ini akan digunakan untuk menganalisis kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi terhadap produk turunan kelapa sawit yang terkait dengan pengembangan biodiesel dari kelapa sawit. Hasil ini selanjutnya akan digunakan untuk merumuskan impilikasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemeri ntah.
V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT, BAHAN BAKAR DIESEL DAN PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT
5.1. Perkebunan Kelapa Sawit Luas Area Kelapa Sawit di Indonesia senantiasa meningkat dari waktu ke waktu. Perk embangan luas areal kelapa sawit cukup pesat dalam periode 2000 sampai 2005, yaitu dengan pertumbuhan rata-rata 20.5 persen per tahun. Pertumbuhan yang sangat pesat tersebut dilanjutkan pada periode 2006 sampai 2009 sebesar 30.82 persen .
8.00 J u ta H a
6.00 4.00 2.00
08
20
06
20
04
20
02
20
00
20
98
19
96
19
94
19
92
19
90
19
19
88
0.00
Tahun Sumber : Kementrian Pertanian, 2009 Gambar 11. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Dilihat data tahun 2006 menunjukan luas areal kelapa sawit sebesar 6.59 juta hektar dan naik sebesar 0.02 hektar pada tahun 2007 dan 2008 sedangkan
pada tahun 2009 terjadi kenaikan sebesar 0.1 hektar dari tahun sebelumnya sehingga pada tahun 2009 bisa mencapai 7.13 hektar.
08
20
06
20
04
20
02
20
00
20
98
19
96
19
94
19
92
19
90
19
19
88
J u ta H a
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
Tahun Sumber : Kementrian Pertanian , 2009 Gambar 12. Perkembangan Produksi Tandan Buah Segar Produksi Tandan Buah Segar
secara umum dari tahun ke tahun
menunjukan kenaikan seiring dengan peningkatan luas areal kepala sawit. Secara akumulaif dari tahun 1989 sampai 2006 terjadi peningkatan rata-rata 11.2 persen per tahun. Mulai tahun 2006 tersebut mulai menunjukan pengembangan yang stabil hingga tahun 2009. Tahun 2006 dengan jumlah produksi Tandan Buah Segar sebesar 82.62 juta ton dan tahun berikutnya terjadi kenaikan 0.11 juta ton menjadi 82.73 ton tahun 2007. Selanjutnya tahun 2008 terjadi sedikit penurunan menjadi 81.47 ton dan akhirnya pada taun 2009 meningkat kembali menjadi 84.36 juta ton produksi Tandan Buah Segar.
08
20
06 20
04
20
02 20
00
20
98 19
96
19
94
19
92 19
90
19
19
88
R u p ia h p er K g
2500.00 2000.00 1500.00 1000.00 500.00 0.00
Tahun Sumber : Kementrian Pertanian, 2009 Gambar 13. Perkembangan Harga Tandan Buah Segar Perkembangan produksi tandan buah segar
akan dipengaruhi
harga
Tandan Buah Segar, secara umum perkembangan harga tandan buah segar cukup baik terjadi kenaikan dari waktu ke waktu mulai tahun 1989 harga tandan buah segar sebesar Rp 377.36 per kg hanya pada tahun tahun 1998 terjadi kenaikan yng mencolok sebesar Rp 1971.25 per kg dan pada tahun 1999 terjadi penurunan kembali sebesar Rp 446 per kg. Mulai tahun 2006 harga tandan buah segar sebesar Rp 730 per kg dan selanjutnya naik Rp 420 per kg menadi Rp 1.155 per kg, dan pada tahun 2009 bisa mencapai Rp 1.238 per kg.
5.2. Minyak Kelapa Sawit Produksi minyak kelapa sawit merupakan komoditas utama di Indonesia, banyak produk turunan yang dapat dihasilkan dari minyak kelapa sawit baik yang berbentuk pangan atau non pagan. Yang berbentuk pangan antara lain minyak goreng sawit, margarin, cocoa butter, shortening dan lain-lain. Gambar 14
menunjukan produksi minyak kelapa sawit menunjukan kenaikan dari tahun ke tahun.
25.00 Ju ta T o n
20.00 15.00 10.00 5.00
08 20
06 20
04 20
02 20
00 20
98 19
96 19
94 19
92 19
90 19
19
88
0.00
Tahun Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Gambar 14. Perkembangan Produksi Minyak Kelapa Sawit Pada tahun 1988 produksi mencapai 1.71 juta ton hingga tahun 2009 sudah mencapai 21.51 juta ton, ini merupakan suatu kenaikan yang pesat selama 20 tahun. Kenaikan yang cukup besar terjadi pada tahun 2005 sebesar 11.86 juta ton
menjadi 17.35 juta ton
pada tahun 2006. Dari trend data ini dapat
diperkirakan bahwa komoditi minyak kelapa sawit bisa merupakan devisa utama bagi Negara.
Juta Ton
8.00 6.00 4.00 2.00
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009
20 08
20 06
20 04
20 02
20 00
19 98
19 96
19 94
19 92
19 90
19 88
0.00
Gambar 15. Perkembangan Permintaan Minyak Kelapa Sawit Dengan meningkatnya produksi minyak kelapa sawit dari tahun ke tahun ini berdampak besar terhadap permintaan minyak kelapa sawit. Perkembangan permintaan minyak kelapa sawit dari tahun memang menunjukan kenaikan mulai tahun 1988 sampai 1999 terjadi penurunan permintaan pada tahun 2000 sebesar 2.89 juta tetapi mulai tahun 2005 baru menunjukan kenaikan yang pesat yaitu
10000.00 8000.00 6000.00 4000.00 2000.00 0.00 19 88 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08
Rupiah/Kg
menjadi 5.25 juta ton per tahun hingga akhir tahun 2009 mencapai 6.02 juta ton.
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009
20.00 15.00 10.00 5.00
08 20
06 20
04 20
02 20
00 20
98 19
96 19
94 19
92 19
19
19
90
0.00 88
Juta Ton/Tahun
Gambar 16. Perkembangan Harga Minyak Kelapa Sawit
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statitik, 2009 Gambar 17. Perkembangan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Untuk meningkatkan devisa Negara pemerintah melakukan kebijakan untuk memperluas areal tanaman kelapa sawit sehingga produksi minyak kelapa
sawit dan akhirnya bisa mengekspor minyak kelapa sawit ke Negara lain. Mulai tahun 1988 sampai tahun 1998 terlihat bahwa volume ekspor minyak kelapa sawit tidak menunjukan kenaikan yang berarti tetapi sejak tahun 2000 terlihat sekali kenaikan ekspor minyak kelapa sawit meningkat tajam dari 4.11 juta ton per tahun hingga 15.50 juta ton per tahun pada tahun 2009. Ini menunjukan kenaikan yang
2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 0 19 88 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08
US$ per Ton
pesat sebesar 4 kali lipat.
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Gambar 18. Perkembangan Harga Ekspor Minyak Kelapa Sawit Harga eskpor minyak kelapa sawit secara umum stabil dari waktu ke waktu, pada awal tahun 1988 harga ekspor minyak kelapa sawit sebesar US$ 769.61 per ton . Pada tahun 1998 terjadi kenaikan yang ekstrim sebear US$ 1.823 per ton ini disebabkan kondisi krisis ekonomi, berikutnya terjadi harga ekspor yang stabil hingga akhirnya pada tahun 2009 harga ekspor minyak kelapa sawit tetap stabil sebesar US$ 786 per ton.
5.3. Bahan Baku Biodiesel Bahan baku biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit diproses menjadi Olein dan Stearin. Produksi OLein dan Stearin
ini menjadi peranan
penting untuk pengembangan biodiesel. Produksi olein dan stearin dari waktu ke waktu kita lihat selalu meningkat sehingga meyatakan bahwa produk turunan
kelapa sawit ini memang berperan penting untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Perkembangan olein lebih banyak jika dibandingkan dengan perkembangan stearin, disebabkan karena produk turunan yang dominan seperti bodiesel dan minyak goreng sawit berasal dari olein. Pada tahun 1988 poduksi olein sebesar 375 ribu ton meningkat terus hingga tahun 2009 mencapai produksi sebesar 3 880 ribu ton. Dari lima tahun terahir menunjukan kenaikan yang cukup pesat sebesar 49.34 persen. Sedangkan perkembangan produksi stearin tahun 1988 hanya sebesar 83 ribu ton dan pada tahun 2009 mencapai 856 ribu ton Dari lima tahun terakhir produksi stearin tahun 2005 sebesar 573 ribu ton sedang kan tahun 2009 mencapai 856 ribu ton dengan besar kenaikan 49.39 persen.
5000.00 R ib u T o n
4000.00 3000.00 2000.00 1000.00
Tahun Olein Sumber : Kementrian Perindustri, 2010
Stearin
08
20
06
20
04
20
02
20
00
20
98
19
96
19
94
19
92
19
90
19
19
88
0.00
Gambar 19 .
Perkembangan Olein dan Stearin
Ribu Kilo Liter
5.4 . Bahan bakar Biodiesel
3000.00 2500.00 2000.00 1500.00 1000.00 500.00 0.00 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Sumber : Direktorat Jenderal Energi Terbarukan dan Konversi Energi, 2011
Gambar 20 .
Perkembangan Biodiesel
Bahan bakar Biodiesel mulai berkembang sejak tahun 2005. Produksi biodiesel tahun 2005 berkisar 120 ribu kiloliter seperti terlihat pada Gambar di atas tahun 2006 meningkat menjadi 456,60 ribu kiloliter dan menjadi 1.550 ribu kiloliter pada tahun 2007 dan meningkat lagi menjadi 2 329 ribu liter dan dua tahun terakhir berturut-turut menpai 2 521 ribu kiloliter dan 2 647 ribu kilo liter pada tahun 2009 dan 2010.
5.5. Bahan Bakar diesel Produksi minyak diesel yang datang dari perut bumi bisa dikatakan cukup berkembang dan pada periode tertentu stabil mulai tahun 1998 pada periode tertentu produksi mengalami stabil dari tahun 2001 sapai 200 8 berkisar antara 11.68 sampai 14.76 tetapi pada tahun 2009 menunjukan kenaikan cukup pesat sebesar 14.76 juta kilo liter tahun 2008 menjadi 18.82 juta kilo liter.
Ribu Ton
20.00 15.00 10.00 5.00
08 20
06 20
04 20
02 20
00 20
98 19
96 19
94 19
92 19
90 19
19
88
0.00
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Gambar 21. Perkembangan Produksi Minyak Diesel Produksi minyak diesel tentunya dipengaruh oleh permintaan
minyak
diesel antara lain karena meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan peralatanperalatan yang menggunakan minyak diesel. Pada tahun 1988 konsumsi minyak diesel sebesar 10.27 juta kiloliter terus naik sampai tahun 1996 sebear 18.83 juta kilo liter dan sempat turun pada tahun 1997 hingga 18.83 juta kilo liter namun sesudah itu terjadi kenaikan dari tahun ke tahun hingga mencapai 27.09 juta kilo
08 20
06 20
04 20
02 20
00 20
98 19
96 19
94 19
92 19
19
19
90
30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 88
Ribu Ton
liter pada tahun 2009.
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statitik, 2009
Gambar 22. Perkembangan Konsumsi Minyak Diesel dari, tahun 1998 sampai 2009
08 20
06 20
04 20
02 20
00 20
98 19
96 19
19
94
92 19
90 19
19
88
Rupiah pe Liter
10000.00 8000.00 6000.00 4000.00 2000.00 0.00
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Gambar 23. Perkembangan Harga Minyak Diesel Harga minyak diesel mulai tahun 1988 menunjukan harga yang stabil hingga tahun 2005 berkisar antara Rp 204 hingga Rp 284 per liter, namun mulai tahun 2005 naik sebesar Rp 762 per liter hingga pada tahun 2007 mencapi harga minyak diesel yang tertingi sebesar Rp 997 per liter, dua tahun terakhir tahun 2008 dan 2009 mencapai harga miyak diesel sebesar Rp 661 per liter dan Rp 487 per liter.
Tahun
20.00 15.00 10.00 5.00
Ribu Ton Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Gambar 24. Perkembangan Impor Minyak Diesel
08 20
06 20
04 20
02 20
00 20
98 19
96 19
94 19
92 19
90 19
19
88
0.00
Jumlah produksi
minyak diesel yang lebih sedikit dari konsumsi
mengakibatkan diperlukan impor minyak diesel dari Negara lain. Gambar di atas menunjukan kenaikan impor dari tahun ketahun seiring dengan kebutuhan dalam negeri. Impor minyak diesel pada tahu 1998 sebesar 3.89 juta kilo liter meningkat terus hingga tahun 2005 sebesar 14. 47 juta kilo liter, sejak dikembangkan biodiesel mulai tahun 2005 mulai terjadi penurunan impor pada lima tahun terakhir terlihat tahun 2006 dengan impor sebesar 10.85 juta kilo liter, pada tahun berikut kenaikan sebesar 12.37 da 12.28 juta kilo liter pada tahun 2007 dan 2008 sehingga akhirnya terjadi penurunan pada tahun 2009 sebesar 9.27 juta kilo liter.
5.6. Produk Turunan Minyak Kelapa Sawit berbasis Pangan 5.6.1. Minyak Goreng Sawit
Juta Ton/Tahun
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00
20 08
20 06
20 04
20 02
20 00
19 98
19 96
19 94
19 92
19 90
19 88
0.00
Tahun Produksi
Permintaan
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Gambar 25. Perkembangan Produksi dan Permintaan Minyak Goreng Kelapa Sawit Komoditi minyak goreng sawit merupakan salah satu produk turunan utama dari minyak kelapa sawit yang sangat penting dibutuhkan di masyarakat. Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar, produsen minyak goreng sawit mampu memproduksi minyak sawit pada tahun 1988 sebesar 2.85 juta ton dan
menunjukan kenaikan dari tahun ke tahun sehingga tahun 2009 produksi minyak goreng sawit mencapai 849 juta ton.
Terjadi kenaikan dalam waktu lima tahun
terakhir sebesar 28.57 persen. Meningkatnya produksi minyak goreng sawit dipengaruhi oleh permintaan minyak goreng sawit domestik. Beberapa merek minyak goreng dengan bahan baku minyak kelapa sawit yang banyak di pasar antara lain merek delima, bimoli, berneo, filma, kunci mas dan lain-lain dengan segmen pasar A dan B. Jumlah pabrik minyak goreng yang berbasis minyak kelapa sawit sebanyak 67 buah tersebar di seluruh Indonesia, tetapi baru 31 persen yang beroperasi secara maksimal (Arifin et al. 210). Dari grafik di atas menunjukan jumlah permintaan tahun 1989 sebanyak 1.15 juta ton dan terjadi peningkatan pada tahun 2002 sebesar 2.30 juta ton dan pada tahun 2009 mencapai permintaan minyak goreng dari kelapa sawit sebesar 4.35 juta ton.
Rupiah /Kg
1,500 1,000 500
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Gambar 26. Perkembangan Harga Minyak Goreng Kelapa Sawit
8 20 0
6
4
20 0
20 0
2 20 0
0 20 0
6
8 19 9
19 9
4 19 9
2 19 9
0 19 9
19 8
8
0
Dari pekembangan permintaan minyak goreng ini diiringi dengan perubahan harga dari waktu ke waktu, secara umum harga minyak goreng sawit terjadi peningkatan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu dari awal tahun 1 988 sampai 1998
bergerak stabil
berkisar antara
harga Rp 1000 per kg. Mulai
tahun 1999 mulai terjadi peningkatan sebesar Rp 1.746 per kg hingga 2005 dan tahun berikutnya terjadi penurunan harga sebesar Rp 879 per kg dan akhirnya pada tahun 2009 mencapai hanya Rp 1.409 per kg.
20 08
20 06
20 04
20 02
20 00
19 98
19 96
19 94
19 92
19 90
0.7000 0.6000 0.5000 0.4000 0.3000 0.2000 0.1000 0.0000 19 88
Juta Ton
5.6.2. Magarin
Tahun Permintaan
Produksi
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Gambar 27. Perkembangan Produksi dan Permintaan Margarin Margarin salah satu produk turunan minyak kelapa sawit, melihat Gambar di atas menunjukan perkembangan produksi margarin dari waktu ke waktu terjadi kenaikan tahun 1988 dengan jumlah produksi sebesar 0.19 juta ton hingga tahun 2009 produksi margarin menjadi sebesar 0.60 juta ton. Perkembangan selama empat tahun terakhir tahun terjadi kenaikan produksi magarin sebesar 50 persen. Seiring dengan perkembangan produksi margarin diikuti dengan perkembangan permintaan margarin yang menunjukan kenaikan dari tahun 1998 sampai tahun 2003, dimana terjadi pnurunan permintaan margarine tahun 2005
sebesar 0.34 juta ton dan selanjutnya terjadi kenaikan cukup pesat hingga tahun 2009 sebesar 0.30 juta ton. Meningkatnya produksi margarin dipengaruhi oleh perkembangan harga margarin yang cukup baik seperti terlihat pada gambar 99. Pada tahun 1988 harga margarin sebesar Rp 7044 per kg,
hingga tahun 2009 harga margarin naik
menjadi Rp 32.115 per kg. harga margarine ini tentunya dipengaruhi harga
40000.00 30000.00 20000.00 10000.00
08 20
06 20
04 20
02 20
00 20
98 19
19
96
94 19
92 19
19
19
90
0.00 88
Rupiah Per Kg
domestik minyak kelapa sawit sebagai bahan baku dari margarin.
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Gambar 28. Perkembangan Harga Margarin Meningkatnya produksi margarin dipengaruhi oleh perkembangan harga margarin yang cukup baik seperti terlihat pada gambar 99. Pada tahun 1988 harga margarin sebesar Rp 7044 per kg,
hingga tahun 2009 harga margarin naik
menjadi Rp 32.115 per kg. harga margarine ini tentunya dipengaruhi harga domestik minyak kelapa sawit sebagai bahan baku dari margarin.
VI. PENDUGAAN MODEL PENGEMBANGAN BIODIESEL TERHADAP PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT 6.1.
Hasil Pendugaan Model Secara Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada masing-masing
blok yang terdiri dari blok luas areal kelapa sawit, blok minyak diesel, blok bahan baku biodiesel, blok produk turunan kelapa sawit, pada penelitian ini sesuai dengan pejelasan sebelumya diduga menggunakan metode 2SLS (two-stage least squares met hod). Pendugaan dilakukan berdasarkan data sekunder pada priode 1999 sampai 2009. Pembahasan dilakukan dahulu secara umum, dan dilanjutkan dilakukan interpretasi berdasarkan blok-blok persamaan yang ada.
6.1.1 Luas Areal Kelapa Sawit. Persamaan untuk blok kelapa sawit terdiri dari persamaan
luas areal
perkebunan kelapa sawit, produksi tandan buah segar dan harga tandan buah segar, memperlihatkan koefisien Determinasi R2 masing-masing sebesar 0.77, 0.95 dan 0.77 artinya peubah-peubah penjelas yang dimasukan dalam setiap persamaan mampu menjelaskan keragaman setiap peubah endogen. Selain itu tanda paraneter dugaan yang diperoleh secara umum masih sesuai dengan logika ekonomi. Luas Areal Kelapa Sawit dipengaruhi oleh harga tanda buah segar , rasio harga minyak kelapa sawit domestik dengan upah minimum perkebunan dan harga pupuk. Peningkatan harga tandan buah segar dan rasio harga minyak sawit domestik dengan upah minimum perkebunan akan meningkatkan luas Areal perkebunan kelapa sawit, sementara harga pupuk berpengaruh menurunkan luas Areal perkebunan kelapa sawit. Melihat sejauh mana hubungan antara peubah
penjelas dengan endogen hasil pendugaan parameter menyatakan bahwa rasio harga minyak kelapa sawit domestik dengan upah minimum perkebunan dan harga pupuk mempengaruhi peubah endogen, pada taraf nyata 0.01 sementara itu harga tandan buah segar berpengaruh terhadap peubah endogen pada tingkat signifikan pada alpha 0.015. Harga tandan buah segar merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap luas areal perkebuanan kelapa sawit dengan nilai parameter dugaan 0.004163. Jika harga tandan buah segar naik sebesar Rp 1 per kg maka akan meningkatkan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 0.004163 juta ha. Koefisien harga tandan buah segar dan rasio harga minyak kelapa sawit domestik dengan upah minimum perkebunan mempunyai tanda 0.004163 dan 465.1184 dengan tanda positif yang mengartikan bahwa jika terjadi kenaikan kedua peubah ini akan berpengaruh menaikan luas areal perkebunan kelapa sawit. Sebalikya harga pupuk bertanda negatif -1.56968 yang mengartikan bahwa jika terjadi kenaikan harga pupuk akan menurunkan luas areal perkebunan kelapa sawit. Permasalahan yang dihadapi petani adalah ini memberi respon kepada petani tidak bisa memperluas areal perkebuan sawit karena tingginya harga pupuk. Faktor lain yang cukup mempengauhi luas areal perkebunan kelapa sawit adalah harga lahan sendiri yang cukup tinggi berkisar antara 20 juta sampai 50 juta per ha (PT. CIC , 2007). Hasil pendugaan parameter persamaan produksi tandan buah segar kelapa sawit bahwa peubah-peubah penjelas di dalam
persamaan tersebut dapat
menerangkan 95 pesen fluktuasi peubah produksi tandan buah segar kelapa sawit. Peubah endogen produksi tandan buah segar kelapa sawit dipengaruhi secara
nyata oleh harga tandan buah segar kelapa sawit, luas area perkebunan kelapa sawit dan produksi tandan buah segar tahun lalu. Hasil
pendugaan
memperlihatkan bahwa harga tandan buah segar dan luas areal perkebuan kelapa sawit sebagai peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata 0.01 yang ditunjukan oleh statistik F dengan nilai 167.82. Tabel 11. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Areal Kebun Kelapa Sawit Variable
Parameter Standart Error t Value Estimate 1.Luas Area Kelapa Sawit
Pr > |t|
Intercept 0.986319 0.934778 1.06 HTBS 0.004163 0.001470 2.83 RHDSWUP 465.1184 151.4831 3.07 HRPPK -1.56968 0.654663 -2.40 Durbin-Watson = 1.85 R-Square = 0.77 Prob-value < 0.0001 2.Produksi tandan buah segar
0.3061 0.0115 0.0069 0.0283
Intercept HTBS
-4.60911 0.005996
6.520647 0.016251
-2.93 2.22
0.0090 0.0399
LSW
6.245353
0.917725
14.55
0.0001
PTBSL
0.457829
0.217965
2.10
0.0509
Durbin-Watson = 0.5037 R-Square = 0.95 Prob-value 0.0001 3.Harga tandan buah segar Intercept -219.159 132.9038 -1.65 HDSW 0.453376 0.255454 1.77 PTBS 272.2344 77.84919 3.5 UPAHMP 5.682256 1.737369 3.27 HTBSL -0.49302 0.35867 -1.37 Durbin-Watson = 1.8344 R-Square = 0.77 Prob-value 0.0001
0.1186 0.095 0.003 0.0048 0.1882
Hasil pendugaan persamaan produksi tandan buah segar menunjukan secara nyata dipengaruhi oleh harga tandan buah segar dan luas areal pekebunan areal kelapa sawit dengan masing-masing nilai parameter dugaan
sebesar
0.005996 dan 6.245353. Nilai dugaan ini menjelaskan arti jika terjadi kenaikan harga tandan buah segar meningkat sebesar Rp 1 per kg maka akan menaikan
produksi tandan buah segar sebesar 0.005996 juta ton. Sementara itu jika terjadi perluasan perkebunan kelapa sawit sebesar 1 juta ha akan menaikan produksi tandan buah segar sebesar 6.245353 jua ton. Hal ini menyatakan bahwa dengan adanya kenaikan harga tandan buah segar akan memberi motivasi kepada petani untuk meningkatkan produksi tandan buah segar yang diikuti juga jika peluasan perkebunan sawit meningkat. Harga tandan buah segar akan dipengaruhi oleh harga minyak kelapa sawit domestik, produksi tandan buah segar, upah minimum perkebunan dan harga tandan buah segar tahun lalu, dari hasil pendugaan terlihat dari nilai koefisien determinasi sebesar 0.77 dan juga mempunyai nilai sinifikan yang bertaraf 0.01. Harga tandan buah segar dipengaruhi oleh harga minyak kelapa sawit domestik, harga pupuk, produksi tandan buah segar nilai parameter pendugaan masing-masing sebesar 0.457575, -2.04901 dan 0.001216. Dari nilai parameter pendugaan ini diartikan bahwa jika harga minyak kelapa sawit domestik naik 1 per kg maka akan menaikan harga tandan buah segar sebesar 0.457575 rupiah per kg. Secara umum dapat dikatakan bahwa petani kelapa sawit cenderung menaikan harga tandan buah segar
jika terjadi kenaikan harga minyak kelapa sawit
domestik, harga pupuk, dan produksi tandan buah segar. 6.1.2. Minyak Kelapa Sawit Persamaan untuk blok minyak kelapa sawit
terdiri dari persamaan
produksi minyak kelapa sawit, konsumsi minyak kelapa sawit, harga domestik minyak kelapa sawit, harga ekpor minyak kelapa sawit dan ekspor minyak kelapa sawit. Berdasarkan hasil penelitan yang terdahulu dan penyesuaian yang
dilakukan maka produksi minyak kelapa sawit
dipengaruhi oleh rasio harga
minyak kelapa sawit domestik dengan upah minimum perkebunan, harga tandan buah segar, dan konsumsi/permintaan minyak kelapa sawit domestik. Konsumsi minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh rasio harga domestik minyak kelapa sawit dengan upah minimum perkebunan, harga ekspor minyak sawit, , harga minyak goreng kelapa sawit, pajak ekspor minyak kelapa sawit dan total bahan baku biodesel yaitu olein dan stearin. Harga domestik minyak kelapa sawit
dipengaruhi oleh harga ekspor
minyak kelapa sawit, konsumsi minyak kelapa sawit, produksi minyak kelapa sawit domestik dan harga minyak dunia. Harga ekspor minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh pajak ekspor minyak kelapa sawit, ekspor minyak kelapa sawit dan harga domestik minyak kelapa sawit. Selanjutnya volume ekspor minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh harga ekspor minyak kelapa sawit, pajak ekspor minyak kelapa sawit, nilai tukar rupiah dan inflansi.
Tabel 12.
menyajikan
hasil pendugaan persamaan produksi minyak
kelapa sawit, Permintaan minyak kelapa sawit, Harga domesik minyak kelapa sawit, harga ekspor minyak kelapa sawit
dan ekspor minyak kelapa sawit.
Koefisien determinasi hasil pendugaan mendapatkan hasil 0.76 , 0.76, 0.78, 0.84 dan 0.74.
Dari nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa produksi minyak kelapa
sawit, harga domestik minyak kelapa sawit dan harga ekspor minyak kelapa sawit yang dapat dijelaskan oleh peubah penjelas di atas 75 persen, sedangkan yang lain ekspor minyak kelapa sawit hanya dapat menerangkan 0.74 . Pengaruh signifikan peubah penjelas untuk peubah endogen
produksi
minyak kelapa sawit yaitu peubah rasio harga domestik minyak kelapa sawit
dengan upah minimum perkebunan, harga tandan buah segar dan
konsumsi
minyak kelapa sawit. Peubah penjelas yang mempunyai pengaruh nyata pada taraf 0.05 terhadap peubah endogen yaitu harga tandan buah segar sedangkan rasio harga domestik minyak kelapa sawit dengan upah minimum perkebunan dan permintaan minyak kelapa sawit pada taraf level 0.10. Untuk permintaan minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh rasio harga domestik minyak kelapa sawit dengan upah minimum perkebunan, harga ekspor minyak kelapa sawit, harga minyak goreng dari kelapa sawit, pajak ekspor minyak kelapa sawit dan total olein-stearin. Dari nilai parameter dugaan persamaan konsumsi minyak kelapa sawit yang bertanda positif yaitu peubah harga ekspor minyak kelapa sawit dan total olein-stearin sedangkan peubah lainnya bertanda negatif. Tanda ini bermakna bahwa setiap pengembangan atau menaikan bahan baku biodiesel sebesar 1 ribu ton olein-stearin akan meningkatkan konsumsi minyak kelapa sawit sebesar 0.001291 ribu ton. Harga domestik minyak kelapa sawit juga sangat memberikan respon yang positif terhadap harga ekspor minyak kelapa sawit, pajak ekspor minyak kelapa sawit, permintaan minyak kelapa sawit, harga minyak mentah dunia. Respon harga eksor minyak kelapa sawit sangat bepengaruh terhadap harga domestik minyak kelapa sawit yang menunjukan koefisien dengan tanda positif yang mempunyai arti setiap kenaikan harga ekspor minyak kelapa sawit sebesar US$ 1 per ton akan menaikan harga domestik minyak kelapa sawit sebesar Rp 0.416557 per kg.
Persamaan harga ekspor minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh harga pajak ekspor minyak kelapa sawit, volume ekspor, harga domestik minyak kelapa sawit dan harga minyak mentah dunia. Tabel 12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi, Konsumsi, Harga Minyak Kelapa Sawit Variable
Parameter Standart t Value Estimate Error 1.Produksi Minyak Kelapa Sawit
Pr > |t|
Intercept -4.26561 1.846227 -2.31 0.0337 RHDSWUP 728.5524 412.4956 1.77 0.0953 HTBS 0.007566 0.003715 2.04 0.0575 KDSW 1.171903 0.708292 1.65 0.1164 Durbin-Watson = 1.3121 R-Square = 0.75 Prob-value < 0.0001 2.Konsumsi Minyak Kelapa awit Intercept 2.43586 2.657612 0.92 0.3739 RHDSWUP -351.766 188.89 -1.86 0.0823 HESW 0.003446 0.001355 2.54 0.0225 HMGRSW -0.00284 0.003516 -0.81 0.4318 PJKESW -0.00415 0.01524 -0.27 0.7892 TOLSTR 0.001291 0.000366 3.52 0.0031 Durbin-Watson = 1.837062 R-Square = 0.76 Prob-value 0.0003 3. Harga Minyak Kelapa Sawit Domestik Intercept 295.7971 46.24158 6.4 0.0001 HESW 0.344459 0.074584 4.62 0.0003 PJKESW 0.111591 1.112198 0.1 0.9213 KDSW 41.85765 17.94889 2.33 0.0331 HMDUNIA -3.60217 4.154651 -0.87 0.3987 Durbin-Watson = 2.579111 R-Square = 0.78 Prob-value < 0.0001 4. Harga Ekspor minyak kelapa sawit Intercept -445.929 168.4718 -2.65 0.0176 PJKESW 3.340501 2.028907 1.65 0.1192 ESW -24.1615 12.45119 -1.94 0.0702 HDSW 1.625883 0.250602 6.49 <.0001 Durbin-Watson = 2.3775 R-Square = 0.85 Prob-value < 0.0001 5. Ekspor minyak kelapa sawit Intercept -3.39421 2.46627 -1.38 0.1877 NTR 0.007246 0.004571 1.59 0.1324 HESW -0.05886 0.045613 -1.29 0.2152 INF 0.961481 0.185126 5.19 <.0001
D urbin-Watson = 0.5200
R-Square = 0.71 Prob-value < 0.0001
Persamaan
harga ekspor minyak kelapa sawit
menunjukan hasil
pendugaan volume ekspor minyak kelapa sawit, harga domestik minyak kelapa sawit dan harga minyak dunia berpengaruh nyata pada taraf level 0.07, 0.001 dan 005 sedangkan pajak ekspor minyak kelapa sawit berpengaruh pada level 0.11 terhadap harga ekspor minyak kelapa sawit. Persamaan volume ekspor minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh harga ekspor minyak kelapa sawit, pajak ekspor minyak kelapa sawit, nilai tukar rupiah dan inflasi . Secara bersama-sama peubah penjelas dapat menerangkan peubah endogen sebesar 74 persen. Untuk masing-masing peubah penjelas nilai tukar uang rupiah terhadap US Dollar dan inflasi yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor dengan taraf level 0.05 sedangkan harga ekspor minyak kelapa sawit hanya berpengaruh nyata pada taraf 0.13 terhadap peubah endogen.
6.1.3.
Bahan Baku Biodisel
Persamaan untuk blok bahan baku biodiesel menggunakan persamaan produksi olein dan stearin karena olein dan stearin adalah produk turunan minyak kelapa sawit, yang menjadi bahan baku untuk memproduksi biodiesel dari kelapa sawit di Indonesia. Selain bahan baku biodiesel dari kelapa sawit, olein juga merupakan bahan baku untuk minyak goreng dan stearin merupakan bahan baku margarin.
Persamaan bahan baku biodiesel yaitu produksi olein
dan produksi
stearin terdiri dari persamaan harga domestik minyak goreng kelapa sawit, harga minyak goreng sawit, harga margarin, harga minyak dunia dan harga minyak diesel.
Hasil pendugaan parameter persamaan produksi olein dan stearin diperoleh koefisien determinasi persamaan produksi Olein dan Stearin sebesar 0.941 dan 0.942 sehingga dapat dinyatakan bahwa variable penjelas dapat menerangkan produksi olein dan stearin. Dari persamaan regresi olein diperoleh terlihat harga minyak kelapa sawit domestik yang mempunyai nilai koefisien negatif ini mengartikan bahwa setiap kenaikan harga minyak goreng kelapa sawit akan menyebabkan penurunan produksi olein. Sedangkan jika terjadi harga minyak dunia, harga margarin, harga minyak dunia, harga minyak diesel harga domestik minyak kelapa sawit akan menaikan produksi olein. Tabel 13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Bahan Baku Diesel Variable
Parameter Estimate
Standart Error
t Value
Pr > |t|
1. Produksi Olein(POLEIN) Intercept HDSW HMGRSW
480.8816 0.602437 -2.07005
961.8221 0.648711 1.459780
0.5 0.93 -1.42
0.6244 0.3678 0.1768
HMGRIN 0.126731 0.023219 5.46 <.0001 HMDUNIA 8.646700 6.326146 1.37 0.1909 HDSL 1.782461 0.578939 3.08 0.0076 Durbin-Watson = 2.1522 R-Square = 0.94 Prob-value < 000001 2. Produksi Stearin(PSTRIN) Intercept 93.35404 209.0848 0.45 0.6616 HDSW 0.130756 0.141019 0.93 0.3685 HMGRSW -0.44090 0.317333 -1.39 0.1850 HMGRIN 0.027820 0.005048 HMDUNIA 1.999913 1.375203 HDSL 0.387011 0.125852 Durbin-Watson = 2.1547 R-Square = 0.94
5.51 <.0001 1.45 3.08
0.1665 0.0077
Prob-value < 0.0001
Hasil pendugaan parameter persamaan produksi stearin memberikan nilai koefisien detrminasi sebesar 0.94. Hal ini berarti variasi peubah-peubah penjelas di dalam prsamaan tersebut dapat menjeaskan 94 persen flluktuasi peubah
produksi stearin. Peubah endogen di dalam persamaan produksi stearin dipengaruhi secara nyata oleh peubah-peubah penjelas antara lain harga margarin dan harga minyak diesel pada taraf nyata 0.01, sedangkan peubah yang lain berpengaruh pada taraf di atas 0.10.
6.1.4. Minyak Diesel
Persamaan minyak diesel digunakan untuk melihat keterkaitan minyak diesel dengan produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari kelapa sawit dan penurunan impor minyak diesel. Persamaan untuk blok minyak diesel terdiri dari persamaan produksi minyak diesel, konsumsi minyak diesel, harga minyak diesel dan impor minyak diesel. Produksi minyak diesel dpengaruhi oleh harga minyak desel, subsidi minyak diesel dan total olein dan stearin. Konsumsi minyak diesel dipengaruhi oleh permintaan minyak diesel untuk industri, permintaan minyak diesel untuk transportasi, permintaan minyak diesel untuk kelistrikan dan produksi minyak
diesel tahun lalu.
Harga minyak diesel
dipengaruhi oleh harga minyak bumi dunia dan volume ekspor minyak kelapa sawit. Impor minyak diesel dipengaruhi oleh konsumsi minyak diesel dengan produksi minyak diesel dan impor minyak diesel tahun lalu. Koefisien determinasi persamaan
produksi minyak diesel, konsumsi
minyak diesel, harga minyak diesel dan impor minyak diesel diperoleh nilai masing-masing 0.75, 0.71, 0.71dan 0.92 sehingga dapat dikatakan bahwa peubah penjelas masing-masing persamaan dapat menerangkan peubah endogen cukup besar. Untuk koefisien peubah
penjelas untuk persamaan
produksi minyak
minyak diesel, peubah penjelas harga minyak diesel dan total olein dan stearin
signifikan pada level 0.05, dan tapi subsidi minyak diesel berpengaruh pada level 0.14. Harga domestik minyak diesel berpengaruh terhadap produksi minyak diesel dengan tanda negatif, yang mempunyai arti jika harga domestik minyak diesel naik sebesar 1 rupiah per liter maka akan menurunkan produksi minyak diesel sebanyak 0.01009 juta kilo liter. Sementara itu peubah total olein dan stearin jika terjadi pengembangan biodiesel sebanyak 1 ribu ton maka akan menaikan produksi minyak diesel sebesar 0.002295 juta kilo liter. Peubah subsidi yang diberikan pemerintah terhadap minyak diesel jika terjadi pemberian subsidi sebesar 1 rupiah per liter maka akan terjadi kenaikan produksi minyak diesel sebesar 0.000183 juta kilo liter.
Persamaan konsumsi minyak diesel yang dipengaruhi oleh permintaan minyak diesel dari sektor transportasi, industri, kelistrikan dan produksi minyak diesel, semua bertanda positif
dengan parameter penduga masing-masing sebesar
0.827501, 0.710736, 1.543628 dan 0.092351 yang mengartikan bahwa setiap terjadi kenaikan permintaan dan produksi minyak diesel akan meningkatkan konsumsi minyak diesel. Dari koefsien determinasi untuk persamaan konsumsi minyak diesel sebesar 0.71, ini mengartikan bahwa peubah penjelas dapat menjelaskan peubah endogen sebesar
71 persen atau dikatakan persamaan
penduga sangat baik sebagai penduga peubah penjelas. Permintaan minyak diesel untuk sektor transportasi merupakan faktor yang bepengaruh nyata dalam meningkatkan konsumsi minyak diesel dengan taraf nyata pada level 0.01 dengan nilai parameter sebesar 0.827501. Nilai parameter ini mengartikan bahwa setiap peningkatan permintaan minyak diesel dari sektor
transportasi sebesar 1 juta kilo liter akan menaikan konsumsi minyak diesel sebesar 0.827501 juta kilo liter. Permintaan minyak diesel untuk sektor industri juga merupakan faktor yang bepengaruh nyata dalam meningkatkan konsumsi minyak diesel dengan taraf nyata pada level 0.01 dengan nilai parameter sebesar 0.710736. Nilai parameter ini mengartikan bahwa setiap peningkatan permintaan minyak diesel dari sektor industri sebesar 1 juta kilo liter akan menaikan konsumsi minyak diesel sebesar 0.710736 juta kilo liter. Permintaan minyak diesel untuk sektor kelistrikan juga merupakan faktor yang bepengaruh nyata dalam meningkatkan konsumsi minyak diesel dengan taraf nyata pada level 0.01 dengan nilai parameter sebesar 1.543628. Nilai parameter ini mengartikan bahwa setiap peningkatan permintaan minyak diesel dari sektor keistrikan
sebesar 1 juta kilo liter akan menaikan konsumsi minyak
diesel sebesar 1.543628 juta kilo liter. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi minyak diesel adalah produksi minyak diesel sendiri, setiap terjadi kenaikan produksi sebesar 1 juta kilo liter akan menaikan konsumsi sebesar 0.092351 juta kilo liter. Persamaan harga minyak diesel dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan volume ekspor minyak kelapa sawit. Koefisien determinasi dari hasil pendugaan didapat sebesar 0.71 ini menunjukan bahwa peubah penjelas dapat memberikan kontribusi terhadap peubah endogen dalam hal ini harga minyak diesel sebesar 71 persen. Dari kedua peubah penjelas peubah haraga minyak dunia yang berpengaruh terhadap haraga minyak diesel pada taraf level signifikan sebesar
0.05 sedangkan peubah volume ekspor minyak kelapa sawit berpengaruh sebesar taraf level signifikan 0.1960. Tabel 14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Minyak Diesel Variable
Parameter Standart Error t -Value Estimate 1. Produksi Minyak Diesel(PDSL)
Pr > |t|
Intercept 10.55231 1.054332 10.01 <.0001 HDSL -0.00665 0.003592 -1.85 0.0839 HMDUNIA -0.09139 0.044714 -2.04 0.0589 IMDSL 0.300451 0.237289 1.27 0.2248 SBDL 0.000297 0.000169 1.76 0.0993 TOLSTR 0.002165 0.000601 3.6 0.0026 Durbin-Watson = 1.27 R-Square = 0.80 Prob-value < 0.0001 2. Konsumsi Minyak Diesel(KDSL) Intercept 0.436494 0.563883 0.77 0.4509 HDSL 0.001744 0.001065 1.64 0.1223 TRDL INDL
0.897582 0.648736
0.134118 0.200816
6.69 3.23
0.0001 0.0056
LISDL PDSL
1.353896 0.099736
0.128572 0.079156
10.53 1.26
0.0001 0.2269
Durbin-Watson = 1.67 R-Square = 0.99 Prob-value < 0.00001 3. Harga Minyak Diesel(HDSL) Intercept 8.402205 172.3967 0.05 HDSW -0.08882 0.242759 -0.37 KDSL 1.546452 9.082042 0.17 HMDUNIA 4.94285 2.760936 1.79 HDSLL 0.392615 0.224932 1.75 Durbin-Watson = 1.5053 R-Square = 0.73 Prob-value 0.0001 4. Impor Minyak diesel(IMDSL) Intercept -2.98733 1.22415 -2.44 KDSL 0.805406 0.1609 5.01 PDSL -0.58008 0.18351 -3.16 IMDSLL 0.207168 0.144709 1.43 Durbin-Watson = 1.40 R-Square = 0.92 Prob-value < 0.0001
0.9617 0.7193 0.8669 0.0923 0.1001
0.0259 0.0001 0.0057 0.1704
Persamaan impor minyak diesel yang dipengaruhi oleh konsumsi minyak diesel, produksi minyak diesel dan impor minyak diesel tahun lalu memberikan
nilai penduga koefsien determinasi sebesar 0.92. Hal ini berarti variasi peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelskan 92 pesen fluktuasi peubah impor minyak diesel.
6.1.5. Minyak Goreng Kelapa Sawit
Minyak goreng sawit merupakan salah satu industri produk turunan dari kelapa sawit. Persamaan untuk blok minyak goreng sawit terdiri dari persamaan produksi minyak goreng sawit,
permintaan minyak goreng sawit dan harga
minyak goreng sawit. Produksi minyak goreng sawit dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit, harga minyak kelapa sawit domestik. Persamaan produksi minyak goreng kelapa sawit dari hasil pendugaan mempunyai koefisien determinasi sebesar 0.60, yang berati peubah penjelas hanya mampu menerangkan peubah endogen sebesar 60%.
Produksi minyak goreng kelapa sawit dipengaruhi oleh peubah harga
minyak goreng kelapa sawit pada taraf
level 0.0003, dengan nilai penduga
parameter sebesar 0.01707 yang bertanda posistif. Nilai parameter ini mempunyai arti setiap terjadi kenaikan Rp 1 per kg akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi minyak goreng
kelapa sawit sebesar 0.01707 juta ton. Sementara itu
harga minyak goreng kelapa sawit domestik hasil pendugaan paramter bertanada negatif sebesar -0.00306 yang mengartikan bahwa jika terjadi kenaikan harga minyak kelapa sawit domestik sebesar Rp 1 per kg akan mengakibatkan terjadi penurunan tehadap produksi minyak kelapa sawit sebesar 0.00306 juta ton. Hasil pendugaan parameter
persamaan permintaan minyak goreng
memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.97. Hal ini berarti variasi
peuah-peubah pejelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 97 persen fluktuasi peubah permintaan minyak goreng sawit. Peubah endogen di dalam persamaan permintaan minyak goreng kelapa sawit. Dipengaruhi secara bersamasama pada taraf nyata 0.01 yang dirunjukan oleh statistik F sebesar 184.10. Hasil pendugaan
persamaaan permintaan minyak goreng kelapa sawit
menunjukan permintaan minyak goreng kelapa sawit secara nyata dipengaruhi oleh harga domestik minyak kelapa sawit, produksi total olein dan stearin yang merupakan bahan baku produksi minyak goreng kelapa sawit dengan level signifikan sebesar 0.0004 da 0.0037. Tabel 15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Minyak Goreng Sawit Variable
Intercept
Parameter Standart t- Value.49 Pr > |t|0 Estimate1.416768 Error0.948694 0.1612 1. Produksi M inyak Goreng Sawit(PMGRSW) -9.6239
2.875308
-3.35
0.0036
HMGRSW 0.01707 0.003432 4.97 0.0001 HDSW -0.00306 0.002568 -1.19 0.2488 Durbin-Watson = 0.8985 R-Square = 0.60 Prob-value = 0.0003 2. Permintaan Minyak Goreng Sawit(DMGRSW) Intercept 0.466571 0.564243 0.83 HMGRSW -0.00037 0.000742 -0.5 HDSW 0.000407 0.000092 4.44 DMGRSWL 0.544222 0.161859 3.36 Durbin-Watson = 2.3031 R-Square = 0.97 Prob-value = 0.0001 3. Harga Minyak Goreng Sawit(HMGRSW)
0.4198 0.6222 0.0004 0.0037
Intercept 605.6058 79.52577 7.62 0.0001 HMDUNIA 2.751484 0.664844 4.14 0.0006 HDSW 0.297542 0.113247 2.63 0.0171 Durbin-Watson = 1.962183 R-Square = 0.96 Prob-value = 0.0045
Hal ini dicerminkan oleh nilai penduga parameter sebesar 0.0000407 yang mengartikan bahwa setiap kenaikan harga Rp 1 pe kg akan menaikan permintaan minyak goreng kelapa sawit sebesar 0.000407 juta ton. Hasil pendugaan
persamaaan harga
minyak goreng kelapa sawit
menunjukan harga minyak goreng kelapa sawit dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan harga domestik minyak kelapa sawit. Harga minyak dunia dan harga domestik minyak kelapa sawit berpengaruh nyata terhadap peubah endogen pada taraf level 0.01. Hal ini dicerminkan oleh nilai penduga parameter harga minyak dunia sebesar 2.751484 yang mengartikan bahwa setiap terjadi kenaikan harga minyak dunia sebesar 1 US Dollar per barel
akan menaikan harga minyak
goreng kelapa sawit sebanyak 2.751484 rupiah per kg.
Sedangkan harga
domestik minyak goreng kelapa sawit jika terjadi kenaikan sebesar 1 rupiah per kg akan menaikan harga minyak goreng kelapa sawit sebesar 0.297542 rupiah per kg. 6.1.6.
Margarin Margarin merupakan salah satu produk turunan dari kelapa sawit.
Persamaan untuk blok margarin terdiri dari
persamaan
produksi magarin,
permintaan margarin dan harga margarin. Produksi margarin dipengaruhi oleh harga margarin, harga minyak kelapa sawit domestik. Persamaan permintaan margarin dipengaruhi oleh harga margarin, produksi stearin dan harga minyak goreng kelapa. Persamaan harga margarin dipengaruhi oleh harga minyak dunia, harga domestik minyak goreng kelapa sawit dan permintan margarin Hasil pendugaan parameter persamaan produksi margarin memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.81. Hal ini berarti variasi peubah-
peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan
81 persen
fluktuasi peubah permintaan minyak goreng sawit. Peubah endogen di dalam persamaan produksi margarin dipengaruhi secara bersama-sama pada taraf nyata 0.00001 yang ditunjukan oleh statistik F sebesar 108.36.
Hasil pendugaan
persamaaan
menunjukan produksi
margarin
dipengaruhi oleh harga margarin dan harga domestik minyak kelapa sawit. Harga margarin berpengaruh nyata pada produksi margarin dengan taraf nyata sebesar 0.01 Tabel 16. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Minyak Margarin Variable
Parameter Standart Error t Value Estimate 1. Produksi Margarin(PMGRIN)
Pr > |t|
Intercept 0.089061 0.032643 2.73 0.0138 HMGRIN 0.000016 1.17E-06 13.57 0.0001 HDSW 0.000027 0.000051 0.52 0.6091 Durbin-Watson = 1.975923 R-Square = 0.81 Prob-value =0.00001 2. Permintaan Margarin(DMGRIN) Intercept 0.16713 0.050824 3.29 0.0043 HMGRIN -0.00001 5.95E-06 -2.5 0.0229 TOLSTR 0.000104 0.000025 4.15 0.0007 HMGRK 0.00008 0.000034 2.37 0.0296 Durbin-Watson = 1.469798 R-Square = 0.60 Prob-value = 0.0025 3. Harga Margarin(HMGRIN) Intercept -3906.79 5140.313 -0.76 0.4576 HMDUNIA 158.5705 50.14202 3.16 0.0057 HDSW 13.6898 6.639952 2.06 0.0549 DMGRINT 7619.346 11117.37 0.69 0.5024 Durbin-Watson = 1.686627 R-Square = 0.86 Prob-value < 0.00001 Persamaan permintaan margarin dipengaruhi oleh harga margarin, total olein stearin dan harga minyak goreng kelapa, dari ketiga peubah ini harga margarin sangat mempengaruhinya yaitu pada taraf alpha 0.0229, 0.0007 dan
0.0296. Dari tanda peubah penjelas harga margarin mempunyai tanda negatif, yang mengartikan bahwa setiap kenaikan harga magarin
akan menurunkan
permintaan margarin. Sementara harga margarin dipengaruhi oleh harga minyak dunia, harga minyak sawit domestik dan poduksi margarin. Diantara peubah penjelas harga minyak dunia dan harga minyak sawit domestik yang berpegaruh nyata pada taraf 0.057 dan 0.0549 sedangkan produksi margarin bepengaruh hanya pada 0.5024.
6.2. Hasil Pendugaan Simulasi Dengan melakukan simulasi historis, diharapkan mengetahui dampak yang timbul bila diterapkan kebijakan-kebijakan tertentu, atau bila terjadi perubahan pada faktor non-kebijakan atau faktor external. Dampak ini yang ditimbulkan diukur dari presentasi deviasi dari peubah-peubah endogen akibat suatu skenario simulasi. Evaluasi dapat dilakukan dengan membandingkan
dampak yang
ditimbulkan suatu kebijakan dengan dampak yang ditimbulkan kebijakan lainnya. Sementara simulasi non kebijakan juga perlu diakukan untuk mengetahui seberapa besar dampak terhadap peubah endogen, agar dapat dilakukan strategi yang bersifat antisipatip. Melihat dampak perubahan rata-rata pada beberapa peubah endogen dilakukan untuk 4 skenario simulasi historis dianalisa masingmasing berikut.
6.2.1.
Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit Skenario pertama dilakukan dengan simulasi peningkatan olein dan stearin
sebesar 20 persen sebagai indikator pengembangan biodisel dari minyak kelapa sawit. Hasil simulasi terlihat pada tabel 17 menunjukan bahwa pengembangan biodiesel dari kelapa sawit berdampak pada
industri minyak kelapa sawit
nasional dimana konsumsi atau permintaan domestik minyak kelapa sawit meningkat 24.99 persen sehingga produksi minyak kelapa sawit meningkat sebesar 13.45 persen. Kenaikan produksi minyak kelapa sawit ini menyebabkan harga domestik minyak kelapa sawit meningkat 8.35 persen yang berpengaruh pada kenaikan harga ekspor minyak kelapa sawit yang meningkat sebesar 10.08 persen. Kenaikan harga ekspor minyak kelapa sawit minyak kelapa sawit akan mendorong ekspor minyak kelapa sawit terjadi peningkatan sebesar 10.37 persen. Pengembangan Biodiesel kelapa sawit sendiri menyebabkan produksi tandan buah segar kelapa sawit meningkat 3.36 persen dan harga tandan buah segar naik 4.72 persen. Kenaikan produksi dan harga tandan buah segar kelapa sawit memberikan peluang kepada petani untuk memperluas perkebunan sehingga luas perkebunan kelapa sawit naik 3.36 persen. Kenaikan produksi minyak kelapa sawit akan meningkatkan konsumsi minyak diesel sebesar 0.37 persen dan medorong kenaikan produksi minyak diesel sebesar 6.54 persen. Selanjutya kenaikan konsumsi tersebut juga berakibat terjadi penurunan harga minyak diesel sebesar 1.42 persen dan sebagai dampak produksi kenaikan minyak diesel meningkat berpengaruh terhadap impor minyak diesel yang mengalami penurunan sebesar 5.83 persen. Pengembangan bahan baku biodiesel juga berdampak pada kepada produk turunan kelapa sawit yaitu minyak goreng dan margarin. Dampak yang terjadi terjadi kenaikan produksi minyak goreng sawit sebesar 2.62
persen, sementara
harga naik sebesar 1.74 persen. Karena kenaikan jumlah penduduk dan minyak goreng sebagai produk primer yang sangat dibutuhkan di rumah tangga, sehingga
Tabel 17. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dengan kenaikan 20 persen Peubah Endogen
Uraian
1. Perkebunan Kelapa Sawit LSW Luas Areal Sawit (juta ha) PTBS Produksi tandan buah segar sawit (juta ton) HTBS Harga tandan buah segar sawit (rupiah/kg) 2. Minyak Kelapa Sawit PSW Produksi minyak kelapa sawit Indonesia (juta ton/thn) KDSW Konsumsi minyak kelapa sawit domestik(juta ton/thn) HDSW Harga minyak kelapa sawit domestik (rupiah/kg) HESW Harga expor minyak kelapa sawit (US$/ton) ESW Ekspor minyak kelapa sawit (juta ton/thn) 3. Minyak Diesel PDSL Produksi Minyak Diesel (juta kilo ltr/thn) KDSL Konsumsi Minyak Diesel (juta kilo ltr/thn) HDSL Harga Minyak Diesel (rupiah/liter) IMDSL Impor Minyak Diesel (juta kilo ltr/thn) 4. Minyak Goreng Sawit PMGRSW Produksi Minyak Goreng Sawit(juta ton/thn) DMGRSW Permintaan Minyak Goreng Sawit (juta ton/thn) HMGRSW Harga Minyak Goreng Sawit (rupiah/kg) 5. Margarin PMGRIN Produksi Margarin (juta ton/thn) DMGRIN Permintaan Margarin (juta ton/thn) HMGRIN Harga Margarin (rupiah/kg)
Nilai Simulasi Dasar
Nilai prediksi
% Deviasi Rata-rata
3.749
3.8751
3.364
38.7196
39.6883
2.502
641.9
672.2
4.720
8.515
9.6603
13.450
3.1271
3.9088
24.998
655.1
709.8
8.350
749.4
825
10.088
5.2791
5.8269
10.377
13.0302
13.8831
6.546
20.4639
20.5407
0.375
337.1
332.3
1.424
7.42
6.987
5.836
4.2066
4.3169
2.622
2.0487
2.2216
8.439
927.7
943.9
1.746
0.305
0.3185
4.426
0.3687 12393.5
0.4069 13142
10.361 6.039
berpengaruh terhadap konsumsi
minyak goreng sawit mengakibatkan terjadi
kenaikan sebesar 8.43 persen. Selanjutnya dampak yang terjadi terhadap produk turunan kelapa sawit yang lain yaitu margarin, menunjukan produksi margarin terjadi kenaikan sebesar 4.42 dan mengakibatkan harga naik sebesar 6.03 persen. Karena
margarin
merupakan bahan dasar pebuat kue sehingga sangat dibutuhkan pada produksi makanan dan mengakibatkan terjadi kenaikan permintaan margarin sebear 10.36 persen.
6.2.2. Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dan Kenaikan Pajak Ekspor Minyak Kelapa Sawit sebesar 10 persen.
Pada skenario kedua dilakukan simulasi kombinasi antara pengembangan biodiesel sebesar 20 persen dan kenaikan pajak ekspor sebesar 10 persen. Hasil simulasi pada Tabel 19 menunjukan bahwa pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit yang dikombinasikan dengan kenaikan pajak ekspor minyak kelapa sawit berdampak meningkatnya harga ekspor minyak kelapa sawit sebesar 11.35 persen dan mendorong volume ekspor minyak kelapa sawit sebesar 10.69 persen. Diiringi dengan kenaikan produksi minyak kelapa sawi sebesar 1401 persen dan juga terjadi kenaikan konsumsi minyak kelapa sawit sebesar 25.81 persen. Sementara
permintaan
minyak
diesel
meningkat
0.37
persen
mengakibatkan penurunan harga minyak diesel sebesar 1.54 persen dan kenaikan produksi minyak diesel dan berdampak pada penurunan impor minyak diesel sebesar 5.85 persen.
Dampak kenaikan pengembangan biodoesel menyebabkan
kenaikan terhadap produksi tandan buah segar sebesar 2.69 persen sementara harga tandan buah segar juga naik sebesar 5.04 persen.
Tabel 18. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel 20 persen dan Pajak Ekspor Minyak Kelapa Sawit 10 persen Peubah Endogen
Uraian
1. Perkebunan Kelapa Sawit LSW Luas Areal Sawit (juta ha) PTBS Produksi tandan buah segar sawit (juta ton) HTBS Harga tandan buah segar sawit (rupiah/kg) 2. Minyak Kelapa Sawit PSW Produksi minyak kelapa sawit Indonesia (juta ton/thn) KDSW Konsumsi minyak kelapa sawit domestik(juta ton/thn) HDSW Harga minyak kelapa sawit domestik (rupiah/kg) HESW Harga expor minyak kelapa sawit (US$/ton) ESW Ekspor minyak kelapa sawit (juta ton/thn) 3. Minyak Diesel PDSL Produksi Minyak Diesel (juta kilo ltr/thn) KDSL Konsumsi Minyak Diesel (juta kilo ltr/thn) HDSL Harga Minyak Diesel (rupiah/liter) IMDSL Impor Minyak Diesel (juta kilo ltr/thn) 4. Minyak Goreng Sawit PMGRSW Produksi Minyak Goreng Sawit(juta ton/thn) DMGRSW Permintaan Minyak Goreng Sawit (juta ton/thn) HMGRSW Harga Minyak Goreng Sawit (rupiah/kg) 5. Margarin PMGRIN Produksi Margarin (juta ton/thn) DMGRIN Permintaan Margarin (juta ton/thn) HMGRIN Harga Margarin (rupiah/kg)
Nilai Simulasi Dasar
Nilai prediksi
% Deviasi Rata-rata
3.749
3.885
3.628
38.7196
39.7645
2.699
641.9
674.6
5.094
8.515
9.7084
14.015
3.1271
3.9345
25.819
655.1
714.1
9.006
749.4
834.5
11.356
5.2791
5.8436
10.693
13.0301
13.8852
6.562
20.4646
20.5402
0.373
337.5
331.9
-1.543
7.4208
6.9855
-5.856
4.2066
4.3256
2.829
2.0487
2.2211
8.415
927.7
945.2
1.886
0.305
0.3196
4.787
0.3687 12393.5
0.4036 13200.9
9.466 6.515
Tabel 19. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel 20 persen dan Harga Minyak Dunia naik 10 persen Peubah Uraian Nilai Nilai % Endogen Simulasi prediksi Deviasi Dasar Rata-rata 1. Perkebunan Kelapa Sawit LSW Luas Areal Sawit (juta ha) 3.749 3.9213 4.596 PTBS Produksi tandan buah segar 38.7196 40.0435 3.419 sawit (juta ton) HTBS Harga tandan buah segar 641.9 683.3 6.450 sawit (rupiah/kg) 2. Minyak Kelapa Sawit PSW Produksi minyak kelapa sawit Indonesia (juta 8.515 9.8724 15.941 ton/thn) KDSW Konsumsi minyak kelapa 3.1271 4.0181 28.493 sawit domestik(juta ton/thn) HDSW Harga minyak kelapa sawit 655.1 729.8 11.403 domestik (rupiah/kg) HESW Harga expor minyak kelapa 749.4 872.1 16.373 sawit (US$/ton) ESW Ekspor minyak kelapa sawit 5.2791 6.1682 16.842 (juta ton/thn) 3. Minyak Diesel PDSL Produksi Minyak Diesel 13.0301 13.4021 2.854 (juta kilo ltr/thn) KDSL Konsumsi Minyak Diesel 20.4646 20.5294 0.320 (juta kilo ltr/thn) HDSL Harga Minyak Diesel 337.5 353.4 4.835 (rupiah/liter) IMDSL Impor Minyak Diesel (juta 7.4208 7.257 2.197 kilo ltr/thn) 4. Minyak Goreng Sawit PMGRSW Produksi Minyak Goreng 4.2066 4.5744 8.743 Sawit(juta ton/thn) DMGRSW Permintaan Minyak Goreng 2.0487 2.2147 8.103 Sawit (juta ton/thn) HMGRSW Harga Minyak Goreng 927.7 962.6 3.762 Sawit (rupiah/kg) 5. Margarin PMGRIN Produksi Margarin (juta 0.305 0.3351 9.869 ton/thn) DMGRIN Permintaan Margarin 0.3687 0.3969 7.648 (ribu ton/thn) HMGRIN Harga Margarin (rupiah/kg) 12393.5 14148.8 14.163
Produk turunan lain yaitu minyak goreng sawit juga terjadi kenaikan produksi sebesar 2.83 persen dikuti dengan kenaikan harga 1.88 persen. Beitu juga produk turunan lain yaitu margarin terjadi kenaikn produksi sebesar 4.78 persen dan berdampak pada kenaikan harga sebesar 6.51 persen.
6.2.3. Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dengan Kenaikan Harga Minyak Bumi Dunia sebesar 10 persen
Skenario yang dilakukan dengan simulasi peningkatan olein dan stearin sebesar 20 persen sebagai indikator pengembangan biodisel dari minyak kelapa sawit dan kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 pesen . Hasil simulasi terlihat pada Tabel 19
menujukan bahwa kombinasi pengembangan biodiesel dari
kelapa sawit dan kenaikan harga minyak bumi dunia berdampak harga ekspor minyak kelapa sawit dengan kenaikan sebesar 16.37 persen, selanjutnya berdampak pada kenaikan produksi minyak kelapa sawit dan harga domestik minyak kelapa sawit masing-masing sebesar 15.94 persen dan 11.04 persen dan selanjutnya mempengaruhi meningkatnya volume ekspor minyak kelapa sawit sebesar 16.84 persen. Permintaan di dalam negeri sendiri berhubung dengan minyak kelapa sawit bahn baku untuk produk turunannya mengalami kenaikan sebesar 28.94 persen. Pengembangan Biodiesel
kelapa sawit sendiri menyebabkan produksi
tandan buah segar kelapa sawit meningkat 3.14 persen dan harga tandan buah segar naik 6.45 persen. Kenaikan produksi dan harga tandan buah segar kelapa sawit memberikan peluang kepada petani untuk memperluas perkebunan sehingga luas perkebunan kelapa sawit naik 4.59 persen.
Kenaikan produksi minyak kelapa sawit akan meningkatkan konsumsi minyak diesel sebesar 0.32 persen dan medorong kenaikan produksi minyak diesel sebesar 2.85
persen. Selanjutya kenaikan produksi tersebut juga
mendorong kenaikan harga minyak diesel sebesar 4.83 persen dan sebagai akibat kenaikan kenaikan produksi minyak diesel akan berpengaruh teradap impor minyak diesel yang mengalami penurunan sebesar 2.19 persen. Pengembangan bahan baku biodiesel juga berdampak pada kepada produk turunan kelapa sawit yaitu minyak goreng kelapa sawit dan margarin. Dampak yang terjadi terjadi kenaikan produksi minyak goreng sawit sebesar 8.74 persen, sementara harga naik sebesar 3.76
persen dan juga
berpengaruh terhadap
konsumsi minyak goreng sawit sehingga terjadi kenaikan sebear 8.10 persen. Dari hasil dugaan ini sebagai akibat kenaikan jumlah penduduk dan minyak goreng sebagai produk primer yang sangat dibutuhkan di rumah tangga. Selanjutnya dampak yang terjadi terhadap produk turunan kelapa sawit yang lain yaitu margarin, menunjukan produksi margarin terjadi kenaikan sebesar 9.86 dan mengakibatkan harga naik sebesar 14.16 persen dan mengakibatkan terjadi kenaikan
permintaan margarin sebear 7.64
persen, salah satu
penyebabnya adalah maragarin merupakan bahan dasaa pembuat kue sehingga sangat dibutuhkan pada produksi makanan.
6.2.4. Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dan Penguatan Nilai Tukar Uang Rupiah terhadap US Dollar sebesar 10 persen Skenario yang dilakukan dengan simulasi peningkatan olein dan stearin sebesar 20 persen sebagai indikator pengembangan biodisel dari minyak kelapa sawit dan penguatan nilai tukar uang sebesar 10 pesen .
Hasil simulasi terlihat pada tabel 20 menunjukan bahwa kombinasi pengembangan biodiesel dari kelapa sawit dan penguatan nilai tukar rupiah berdampak pada volome ekspor minyak kelapa sawit, harga ekspor dan harga domestik minyak kelapa sawit terjadi kenaikan sebesar 3.15, 14.78 dan 10.62 persen. Dengan terjadi kenaikan harga domestik minyak kelapa sawit mendorong meningkatnya produksi minyak kelapa sawit, selanjutnya kesempatan ini digunakan oleh industri produk turunan minyak kelapa sawit sehingga mendorong pemintaan minyak kelapa sawit sebesar 28.22 persen. Sementara itu untuk memenuhi permintaan tersebut diiringi dengan kenaikan permintaan minyak diesel sebesar 0.36 persen dan berdampak terjadi penurunan harga minyak diesel sebesar 1.81 persen dan juga diikuti dengan kenaikan produksi minyak diesel sebesar 6.60 persen kenaikan produksi ini berdampak terhadap impor minyak diesel terjadi penurunan sebesar 5.90 persen. Sementara itu pengembangan biodiesel dan penguatan nilai tukar rupiah juga berpengaruh terhadap kenaikan produksi minyak goreng sawit dan margarin dari minyak kelapa sawit. Dampak terhadap minyak goreng kelapa sawit terjadi kenaikan produksi minyak goreng kelapa sawit sebesar 3.34 persen dan mengakibatkn terjadi kenaikan harga minyak goreng kelapa sawit sebesar 2.31 persen. Seiring dengan kebutuhan akan minyak goreng sawit meningkat sebagai kebutuhan makanan pokok berdampak terjadi kenaikan permintaan minyak goreng sawit sebesar 8.35 persen. Begitu juga produk margarin terjadi kenaikan produksi sebesar 5.6 persen dan mengakibatan harga naik 6.68 persen dan diiringi dengan kenaikan permintaan sebesar 9.81 persen.
Tabel 20. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel 20 persen dan Menguatnya Nilai Tukar Uang 10 persen Peubah Endogen
Uraian
1. Perkebunan Kelapa Sawit LSW Luas Areal Sawit (juta ha) PTBS Produksi tandan buah segar sawit (juta ton) HTBS Harga tandan buah segar sawit (rupiah/kg) 2. Minyak Kelapa Sawit PSW Produksi minyak kelapa sawit Indonesia (juta ton/thn) KDSW Konsumsi minyak kelapa sawit domestik(juta ton/thn) HDSW Harga minyak kelapa sawit domestik (rupiah/kg)
Harga expor minyak kelapa sawit (US$/ton) ESW Ekspor minyak kelapa sawit (juta ton/thn) 3. Minyak Diesel PDSL Produksi Minyak Diesel (juta kilo ltr/thn) KDSL Konsumsi Minyak Diesel (juta kilo ltr/thn) HDSL Harga Minyak Diesel (rupiah/liter) IMDSL Impor Minyak Diesel (juta kilo ltr/thn) 4. Minyak Goreng Sawit
Nilai Simulasi Dasar
Nilai prediksi
% Deviasi Rata-rata
3.749
3.9095
4.281
38.7196
39.9529
3.185
641.9
680.5
6.013
8.515
9.8411
15.574
3.1271
4.0098
28.227
655.1
724.7
10.624
749.4
857.9
14.478
5.2791
5.4647
3.516
13.0301
13.8903
6.601
20.4646
20.5391
0.367
337.5
331
1.810
7.4208
6.9816
5.908
4.2066
4.3471
3.340
2.0487
2.2199
8.357
927.7
948.4
2.231
0.305
0.3222
5.639
0.3687
0.4049
9.818
HESW
PMGRSW
Produksi Minyak Goreng Sawit(juta ton/thn) DMGRSW Permintaan Minyak Goreng Sawit (juta ton/thn) HMGRSW Harga Minyak Goreng Sawit (rupiah/kg) 5. Margarin PMGRIN DMGRIN
Produksi Margarin (juta ton/thn) Permintaan Margarin (juta ton/thn)
HMGRIN
VII.
7.1.
Harga Margarin (rupiah/kg)
12393.5
13346.3
7.688
KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil pendugaan model pengembangan biodiesel terhadap produk
turunan kelapa sawit dan diberikan kebijakan perilaku faktor ekonomi, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : Luas areal
kelapa sawit berpengaruh signifikan terhadap harga tandan
buah segar, rasio harga domestik minyak kelapa sawit dengan upah minimum perkebunan, harga pupuk pada taraf nyata 0.05. Produksi tandan buah segar dipengaruhi oleh luas areal kelapa sawit dan produksi tandan buah segar tahun lalu dengan taraf nyata pada 0.05. Sementara harga tandan buah segar berpengaruh pada harga domestik minyak kelapa sawit, produksi tandan buah segar dengan taraf nyata pada 0.05.dan harga tandan buah segar. Produk minyak kelapa sawit secara nyata dipengaruhi oleh rasio harga domestik minyak kelapa sawit dengan upah minimum perkebunan dan harga tandan buah segar. Konsumsi minyak kelapa sawit secara nyata dipengaruhi oleh rasio harga domestik minyak kelapa sawit dengan upah minimum perkebunan, harga ekspor minyak kelapa sawit dan total produksi olein dan stearin. Harga domestik minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh harga ekspor minyak kelapa sawit dan permintaan minyak kelapa sawit. Harga ekspor minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh volume ekspor, harga domestik minyak kelapa sawit dan harga minyak mentah dunia. Ekspor minyak kelapa sawit secara yata dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.
Bahan baku biodiesel yaitu olein sebagai indikator biodiesel dipengaruhi nyata harga margarin, harga minyak diesel dengan level signifikan 0.0001 dan 0.007. Sedangkan produksi stearin dipengaruhi nyata terhadap harga margarin, harga minyak diesel dan harga minyak dunia dengan level signifikan 0.0001, 0.007 dan 0.009. Produksi minyak diesel yang diproduksi dari fossil dipengaruhi harga minyak diesel, harga minyak dunia, subsidi minyak diesel dan total stearin dan olein pada sigifikan level sebesar 0.08, 005, 009 dan 0.002. Sedangkan kosumsi minyak diesel dipengaruhi oleh seluruh permintaan minyak diesel yaitu sektor industri, transportasi dan kelistrikan. Harga minyak diesel hanya dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Sementara impor minyak diesel berpengaruh pada produksi dan konsumsi dalam negeri. Minyak
goreng
kelapa
sawit
secara
umum
dipengaruhi
oleh
pengembangan biodiesel dan diikuti oleh peubah harga minyak sawit domestik, sedangkan permintaan minyak goreng kelapa sawit dipengaruhi oleh produksi bahan baku olein dan stearin, selanjutnya harga minyak goreng kelapa sawit dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan harga domestik minyak kelapa sawit . Produksi margarin dipengaruhi oleh harga margarin sendiri, sedangkan permintaan margarin dipengaruhi oleh harga margarin, total olein dan stearin dan harga minyak kelapa sawit dan harga margarin dipengaruhi oleh harga domestik minyak kelapa sawit. Berdasarkan hasil simulasi dari model diperoleh hasil sebagai berikut : 1.
Pengembangan olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit dapat meningkatkan produksi minyak kelapa sawit (13.45
persen), menurunkan harga minyak diesel (1.42 persen) dan mengurangi impor minyak diesel (5.83 persen). Sementara itu berdampak pada peningkatan produksi minyak goreng sawit (2.62 persen) dan margarin (4.42 persen). 2.
Pengembangan olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit dengan kombinasi kenaikan pajak ekspor minyak kelapa sawit dapat meningkatkan produksi minyak kelapa sawit (14.02 persen), menurunkan harga minyak diesel (1.54 persen) dan mengurangi impor minyak diesel (5.85 persen). Sementara itu berdampak pada peningkatan produksi minyak goreng sawit (2.82 persen) dan margarin (4.78 persen).
3.
Pengembangan olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit dengan kombinasi kenaikan harga minyak dunia dapat meningkatkan luas areal kelapa sawit (4.59 persen), produksi minyak kelapa sawit (15.94 persen), meningkatkan ekspor minyak sawit (16.84 persen) dan mengurangi impor minyak diesel (5.83 persen). Sementara itu berdampak pada peningkatan produksi minyak goreng sawit (8.74 persen) dan margarin (9.89 persen).
4.
Pengembangan olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit dengan kombinasi menguatnya nilai tukar rupiah dapat meningkatkan produksi minyak kelapa sawit (15.57 persen), menurunkan harga minyak diesel (1.81 persen) dan mengurangi impor minyak diesel (5.91 persen). Sementara itu berdampak pada peningkatan produksi minyak goreng sawit (3.34 persen) dan margarin (5.63 persen).
7.2
Implikasi Kebijakan
Pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit secara umum dapat meningkatkan luas lahan perkebunan sawit, menaikan harga tandan buah segar dan produksi tandan buah segar. Disamping itu juga meningkatkan produksi minyak goreng dan margarin dari minyak kelapa sawit, dan berdampak cukup besar mengurangi impor minyak diesel. Jika pemerintah ingin mengembangkan industri biodiesel pemerintah harus memelihara kelangsungan industri biodiesel dengan cara agar ketersediaan bahan baru khususnya olein dan stearin tetap ada sehingga industri tidak sulit medapatkannya dalam memenuhi permintaan biodiesel.
Begitu juga terhadap
petani kelapa sawit agar diberi motivasi khusus untuk bisa memperluas lahan dalam penyediaan pupuk yang diperlukan. Untuk perluasan lahan diberikan kemudahan dalam memperluas lahan dengan memberikan subsidi terhadap harga lahan dan pupuk, selain itu diperlukan dukungan insenstif pemerintah secara jangka panjang dapat meyakinkan industri minyak kelapa sawit dalam memilih antara output berbentuk pangan dan non pangan. Penerapan pajak ekspor minyak kelapa sawit memegang peranan penting khususnya untuk meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit dan pemerintah agar menyusun kebijakan dalam jangka panjang, sehingga memberikan kepastian berusaha atau iklim yang kondusif bagi investor.
7.3.
Saran
1.
Menambah peubah dengan mempergunakan data biodiesel terdiri dari produksi, konsumsi dan harga serta data bahan baku biodiesel juga dilengkapi dengan data konsumsi dan harga olein dan stearin.
2.
Agar diteliti juga pengaruh produk turunan minyak kelapa sawit lainnya seperti cocoa butter, Shortening dan lain-lain produk turunan
industri
kelapa sawit. 3.
Dilakukan perbandingan dengan negara lain seperti malaysia termasuk negara crude palm oil terbesar dunia.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Tumbuhan Penghasil Biodiesel. Majalah Komoditi. Jakarta Agus, S. 2005. Pemanfatan Biofuel Dalam Penyediaan Energi Nasioal Jangka Panjang. Seminar Tekologi untuk negeri 2005, Jakarta. Ahluwalia W. 2008. Krisis pangan dan biofuel. http://www.inilah.com, di-download pada tanggal 25 April 2010. Altenburg, T., H. Dietz, M. N. Nikolidakis, C. Rosendhal and K. Seelge. 2009. Biodiesel in India Value Chain Organzatio and Policy Options for Rural Development. German Development Institut tudies ISSN 1860-0468. Amalia, S. 2006. The Prospect of Biodiesel and Bioethanol Development as The Alternative In Indonesia. Economic Review no. 203, Jakarta. Arianto, E. 2007. Analisa Ekonom Minyak Sawit : Sisi penawaran Malindo dan Sisi Permintaan Chindia, Jakarta. Aqba, A., M. Ushie, I. Abam, S. Michel, dan O. James. 2010. Developing the Biofuel Industry for Effecive Rural Transformation in Nigeria. Europen Journal of Scientific Research, 40(3): 441-49 Asean Development Bank. 2009. Statistics Data. http://www.adb.org. didownload pada tanggal 20 Mei 2010. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2002. Biodiesel Kelapa Sawit, Alternatif BBM Ramah Lingkungan. http://indobiofuel.com, didownload pada tanggal 11 Juni 2010. Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia 2009. ISSN : 0216-2912. Penerbit Badan Pusat Statistik, Jakarta __________________ 2010. Data Strategis Badan Pusat Statistik. ISSN : 20872011. Penerbit Badan Pusat Statistik, Jakarta __________________. 2009. Statitik Industri Besar Dan Sedang. ISBN : 978979-064-280-5. Penerbit Badan Pusat Statistik, Jakarta __________________. 2005. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2005 Berdasarkan Hasil SUSENAS Buku I. ISBN : 979-724453-9. Penerbit Badan Pusat Statistik. Jakarta Baldwin, R. dan G. Meier. 1972. Ekonomi Pembangunan. Bhratara, Jakarta.
Braun, J. 2008. Biofuels, International Food Prices, And the Poor. http://www.wnbiodiesel.com/, di-download pada tanggal 14 Juni 2010. Cheenkachorn, K., H. Narasingha and J . Pupakornnopparut. 2006. Biodiesel as an Additive for Diesohol. Asian Journal on Energy and Environtment, 7(01): 267-276. Campbell, N. 2008. Biodiesel : Algae as a Renewable Source for Liquid Fuel. Guelph Enieering Journal, 6(1): 2 – 7. Crutzen. 2007. Bioefuel could boots global warming.. http://www.rsc.org, di download tanggal 10 Mei 2009. Departemen Pertanian Direktorat Jendral Perkebunan. 2009. Statistik Perkebunan 2008-2010. Sekretariat Direktorat Jendral Perkebunan, Jakarta Dewi H. dan E. Fatimah. 2009. An Econometric Analysis of the Link between Biodiesel Demand and Malaysian Palm Oil Market. International Journal of Business and Management , 6(2):30-46 Economist, 2008, The future of energy, http://www.economist.com, di-download pada tanggal 13 Juli 2010. FAO. 2008. Biofuels : Prospect, Risk and Opportunities Food and Agriculture Organization, Rome. Gal, H. and S. Sexton 2008. The Economics of Biofuel and Biotechnlogy. Journal of Agriultural & Food Industrial Organization. The Berkeley Elecronic Press. California, USA Gatot, I., K. Hidayat. 2003. Prospek Biodiesel yang Cerah. www.scribd.com, didownload pada tanggal 16 Maret 2009. Geoffrey, A. dan P. J. Reny. Advanced Microeconomi Theory. Second Edition. Additon Wesley. Bostom, USA. Getty. 2008. The Silent Tsunami, http://www.economist.com, di-download pada tanggal 20 Maret 2010. Goldemberg, J. 2008. Biotechnology For Biofuels”, http://www.wnbiodiesel.com/, di-download pada tanggal 20 Maret 2010. ---------------. 2008. Mulfeedstock Approach for Biofuel Production in South Africa”, http://www.wnbiodiesel.com/ , di-download pada tanggal 20 Maret 2010.
Hartoyo, S., E. I. Kumala Putri dan Hastuti. 2009. Dampak Perubahan Permintaan Crude Palm Oil Sebagai Bahan Bakar Nabati Terhadap Ketersediaan Pangan dan Kebijakan Terkait. Laporan Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hambali, E. 2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia, Jakarta. Hsieh, W. 2008. Effects of il Price Shocks and Macroeconomic Condition on Output Fluctuations for Korea. Journal of Internasional and Global Economic Studies, 1(2): 84-91. Hocman, G. Dan S. Steven. 2008. The Economics of Biofuel Policy and Biotechnology. Journal of Agruculture and Food Industrial Organization 06(8) : 123-140. Intriligator, M. D., R. G. Bodkin and C. Hsio. 1996. Econometric Models, Techniques, and Applications, Second edition. Prentice Hall Inernatonal, Inc. New Jersey. Joachim, V. 2008. Biofuels, International Food Prices, and the Poor.Institute Food Policy Resarch Institute, Washington DC. Jerry and Tiffaby. 1998. Economic Analysis Of Biodiesel Usage In Underground Mines. Bioenergy 98’ Epanding Beegy Partership University Minnesola. http://www.wnbiodiesel.com/. di-download pada tanggal 20 Maret 2010. John, C. dan C. Adrean. 2007. Sejarah Ekonomi Memasuki Era Baru. http://www.g-excess.com, di-download pada tanggal 11 Juli 2010. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics : An Introduction Exposition of Econometric Methods. Second Edition, Macmillan Education Ltd. Keith, C. 2008, The Role Of Biofuels And Other Factors In Increasing, http://www.wnbiodiesel.com/. di-download pada tanggal 20 2010.
Maret
Kementrian Pertanian Direktorat Jendral Perkebunan Kementrian Pertaian. 2009. Statistik Perkebunan 2008-2010. Sekretariat Direktorat Jendral Perkebunan Kementrian Pertanian. Jakarta. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2008. Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konversi Energi (Energi Hijau). Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
______________________________________. 2004. Potensi Energi Baru Terbarukan di Indonesia. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta. Kementrian Perindustrian. 2008. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit., http://www.kementrian.go.id/download/235/pohon industri-kimia-huluturunan-kelapa-sawt. di-download pada tanggal 9 Mei 2010. International Energy Oulook. 2010. Renewable Energy.http://www.iea.org.weo, di-download pada tanggal 10 April 2010. Lashitew, A. 2008. Competition Between Food And Biofuel Production In Ethiopea : A Partial Equilibrium Analysis. http://www.wnbiodiesel.com/. di-download pada tanggal 20 Maret 2010. Moreira, J. 2009. Global Biomass Energy Potentioal, Brazilian Reference Center on Biomass, Brazil Mansyur. 2007. Condition And Prospect Of Biofuel Industry In Indoensia. http://www.wnbiodiesel.com/, di-download pada tanggal 20 Maret 2010. Mankiw, N. G. 2000. Macroeconmics 6th Edtion. Worth Publishers, New York. ------------------. 2004. Princples of Economics. 3th Edition. Thomson, Ohio. Ming, K. 2002. Malaysia Palm Oil Industry at Crossroads and its Future Direction. Kuala Lumpur, Malaysia. Miranti, E. 2008. Prospek Pengembangan Kelapa Sawit. www.searchpdf.com /sumer-biodiesel, di-download pada tanggal 11 Maret 2009. Park, C. Y. 2005. Higher Oil Prices : Asian Persepectives And Implication for 2004- 2005. http://www.wnbiodiesel.com/, di-down load 11 Oktober 2008 Pemerintah Republik Indonesia. 2005. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan Dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. __________________________. 2007. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 tentang Mengatur Mengenai Energi mulai dari Penguasan dan Peraturan Sumberdaya Energi sampai dengan Penelitian dan Pengembangan Energi Nasional. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
__________________________. 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk meningkatkan Penggunaan Energi Alternatif hingga 80 persen dan menurunkan penggunaan Bahan Bakar Minyak hinga kurang 20 persen pada taun 2005.. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. __________________________. 2007. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfatan Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. __________________________. 2008. Mengurangi Subsidi Harga BBM agar Generasi Mendatang Terhindar Krisis Energi. http://www.inovasionline.com, di-download pada Tanggal 20 Maret 2010. Pindyck, R. S and D. L. Rubienfeld. 1991. Econometric Model and Econometric Forecast. McGraw-Hill International Edition Singapore. ______. 2001. Microeconomic. Fith Edition. Prentice Hall International Inc. New Jersey. Praptijanto. 2003. Pengaruh Dampak Lingkungan Pada Biodiesel Sebagai Bahan Bakar Alternatif di Negara Berkembang Khususnya Asia Tenggara. Pusat Penelitian Informatika LIPI. Bandung. Purba. 2002. Model Ekonometrik Kelapa Sawit Indoensia : Analisis Simulasi Kebijakan Internal dan external, Bogor Putu, W., H. Siregar dan Sudajat. 2008. Keragaan Kessuain Lahan dan Estimasi Reson Produksi Kelapa Sawit. Presiden Republik Indonesia. 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, Jakarta Prihandana, R. 2007. Meraup Untung dari Jarak Pagar. P.T Agromedia Pustaka, Jakarta. Prateek, S. 2007. Biodiesel. http://www.wnbiodiesel.com/. di-download pada tanggal 20 Maret 2010. Qiujie, Z. 2008. Washington Biofuel Feedstck Suplly under Price Uncrtainty. Western Agicultue Economics Association Meeting. Big Sky. Montana Raswani, H. and Romano. 2008. Biofuel Expansion : Chalengges, Risk And Opportunities For Rural Poor Pepole, http://www.wnbiodiesel.com/, di download 20 Februari 2008.
Richard, K. dan Perrin. 2008. Ethanol and Food Prices-Preliminary Assessmen. University of Nebraska. Rifaat, A. 2009. Correlation between the chemical structure of biodiesel and its physial properties. International Journal Environ Science Thechnology, 6(4): 677-694. Runge
dan Huang. 2007. Bioethanol development in China. Cubeing.zhogsou.com, di- d ownload tanggal 10 Mei 2009.
www.
Sulistyanto, A. dan A. Roberto. 2010. Dinamika Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonsia. Sekolah Pascasajana Universitas Gajah Mada Yogyakarta Sielhorts, S., J. W. Molenaar, and D. Offermans. 2008. Biofuels in Africa : An Assessment of Risk and Bnefits for African Wetlands. Wetlands International, Amsterdam. Singh, R. K. and Misra. 2005. Biofels from Biomass, Department of Chemical Engineering National Institue of Technology, Rourkela Stambul, K. 2009. Dilema Indonesia : Pilih Krisis Energi atau Krisis Pangan,.www.kemalstamboel.com/.../dilema-indonesia-pilih-krisisenergi, di download pada tanggal 27 Juni 2009. Sudhir, C., Y. Sharma. P, dan Mohanan. 2007. Potential of Waste Cooking Oil as Biodiesel Feed StockPotential of Waste Cooking Oil as Biodiesel Feed Stock. Emirates Journal for Enginering Resmirates Journal for Enginering Research, 12(3), 69-75. Sudrajat. 2006. Memproduksi Biodiesel Jarak Pagar. Penerbit Swadaya. Jakarta. Sugiyono, A. 2005. Pemanfatan Biofuel dalam Penyediaan Energi Nasional Jangka Panjang. Seminar Teknologi Nasional. BPPT. Jakarta. Sulistyanto, A. dan A. Roberto. 2011. Factors Affecting the Performane of Indoensia’s Crude Palm Oil Export. International Cnference on Ecoomics and Finance Research IPEDR Vol 4 . Singapore. Susila, W. R. dan E. Munadi. 2008. Dampak Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Journal Informatika Pertanian Volume 17 No. 2. Szulczyk, K. dan B. McCarl. 2010. Market Penetration of Biodiesel. International Journal Of Energy And Environtent. Volume I, 53-68. Texas, USA Tim Pengembangan Nasional. 2002. BBN-Bahan Bakar Nabati, Jakarta, Penebar Swadaya.
_________________________. 2007. BBN, Bahan Bakar Alternatif dari Tumbuhan Sebagai Pengganti Minyak Bumi dan Gas. Penerbit Swadaya. Jakarta. Tirto, P. 2007. Potensi Biodiesel Indonesia. Laboatorium Trfluida dan Sistem Utilitas.Departemen Teknik Kimia ITB. Bandung. Todaro, M. dan C. Smith. 2006. Economic Development 9th Edition. Person Education Limited. United Kingdom. Treguer, C. 2006. The Impact of Biofuel Production On Farm Jobs And Income. http://www.wnbiodiesel.com/, France, di download pada 13 January 2006. Triyanto, A. 2007. Analisis Pengemangan Bisnis Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Pasokan Minyak Goreng di Indonesia.Thesis Maister Manajemen. Program Studi Manajemen dan Bisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. UNDP. 2004. World Energy Assessment : Overview 2004 Update. United Nations Development Program. New York. Varian, H. 2006. Intermediate Microeconomics. Seventh Edition. Norton. Wang, Z., Y. Lu dan S. Li. 2009. Producing Biodiesel from Jatropha curcas L. in Yunnan, China : Lifecycle Environtetal, Economic and Energy Performance. Yunan Univrsity. Yunan. China. Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. 2006. Biodiesel Berbahan Baku Minyak Kelapa Sawit. Medan. Wijaksana, H. dan G. Kusuma. 2007. An Experimental Study on Diesel Engine Performances Using Crude Palm Oil Biodiesel. Asian Journal on Energy and Environtment 08(04), 650-653. Willie, N. 2005. Home of Farm Fresh Biodiesel. http://www.wnbiodiesel.com/. di-download pada tanggal 20 Maret 2010. Willim, F. and A. Valdes. 2008 Biofuels in Chile. Asian and Latin American Agri-Food Research Network. Bogor. Indonesia. Wirawan, S. dan H . Tambunan. 2006. The Current Status and Procespects of Biodiesel Development in Indoensia : a review”. Prestansi pada seminar Workshop Biomass Asia. Tsukuba. Japan. Zen, Z., C. Barlow and R. Gondowarsito. 2006. Oil Palm in Indonesian Socio-Economic Improvement. Oil Palm Industry Journal 6(1) : 18-29.
Zheng, Q. 2008.Washington Biofuels Feedstock Supply Under Price Uncertainty. Western Agriculture Economics Association Meeting, June 25-27 June. Montana. didownload pada tanggal 20 Maret 2010. Zilberman, O., and Sexton. 2008. The Economics Of Biolofuel Policy And Biotechnology. Journal Agriculture and Food Industrial Organization. http://www.wnbiodiesel.com/, di-download pada tanggal 20 Maret 2010.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 : Pendugaan Model Persamaan Simultan Model Dependent Variable Label
LSW LSW LSW
Analysis of Variance
Source
DF
Model Error Corrected Total
3 17 20
Squares 67.74389 20.40649 88.15038
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value Pr > F
22.58130 1.200382
18.81
<.0001
1.09562 3.74905 29.22394
R-Square Adj R-Sq
0.76850 0.72765
Parameter Estimates
Variable Intercept HTBS1 rshdswup HRPPK
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
0.986319 0.004163 465.1184 -1.56968
0.934778 0.001470 151.4831 0.654663
1.06 2.83 3.07 -2.40
0.3061 0.0115 0.0069 0.0283
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Model Dependent Variable Label
Variable Label Interc HTBS1 HRPPK
1.850119 21 0.010259 PTBS PTBS PTBS
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
3 17 20
13035.07 440.1550 13475.23
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square 4345.025 25.89147
5.08837 38.72000 13.14144
Mean F Value Pr > F 167.82
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.96734 0.96157
Parameter Estimates
Variable Intercept HTBS1 LSW PTBSL
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
-4.60911 3.851930 -1.20 0.005996 0.007879 0.76 6.245353 1.931274 3.23 0.457829 0.217965 2.10 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.2479 0.4570 0.0049 0.0509 1.706997 21 0.142254
Variable Label ntercept HTBS1 LSW PTBSL
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 : Pendugaan Model Persamaan Simultan Model Dependent Variable Label
LSW LSW LSW
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
3 17 20
67.74389 20.40649 88.15038
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value Pr > F
22.58130 1.200382
18.81
1.09562 3.74905 29.22394
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.76850 0.72765
Parameter Estimates
Variable Intercept HTBS1 rshdswup HRPPK
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
0.986319 0.004163 465.1184 -1.56968
0.934778 0.001470 151.4831 0.654663
1.06 2.83 3.07 -2.40
0.3061 0.0115 0.0069 0.0283
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Variable Label Inter HTBS1 HRPPK
1.850119 21 0.010259
Model Dependent Variable Label
PTBS PTBS PTBS
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
3 17 20
13035.07 440.1550 13475.23
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value
Pr > F
167.82
<.0001
4345.025 25.89147
5.08837 38.72000 13.14144
R-Square Adj R-Sq
0.96734 0.96157
Parameter Estimates
Variable Intercept HTBS1 LSW PTBSL
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
-4.60911 0.005996 6.245353 0.457829
3.851930 0.007879 1.931274 0.217965
-1.20 0.76 3.23 2.10
0.2479 0.4570 0.0049 0.0509
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Model
1.706997 21 0.142254 HTBS1
Variable Label Interc HTBS1 LSW PTBSL
Dependent Variable Label
HTBS1 HTBS1
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
4 16 20
1776800 213505.1 1990305
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value Pr > F
444199.9 13344.07
33.29
115.51652 641.93000 17.99519
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.89273 0.86591
Parameter Estimates
Variable Intercept HDSW HRPPK PTBS HTBSL
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
-219.159 0.453376 272.2344 5.682256 -0.49302
132.9038 0.255454 77.84919 1.737369 0.358670
-1.65 1.77 3.50 3.27 -1.37
0.1186 0.0950 0.0030 0.0048 0.1882
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Variable Label Interc HDSW HRPPK PTBS HTBSL
1.287834 21 0.353524
Model Dependent Variable Label
PSW PSW PSW
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
3 17 20
553.4594 152.9845 706.4439
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square 184.4865 8.999088
2.99985 8.51524 35.22917
Mean F Value Pr > F 20.50
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.78344 0.74523
Parameter Estimates
Variable Intercept rshdswup HTBS1 KDSW
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
-4.26561 728.5524 0.007566 1.171903
1.846227 412.4956 0.003715 0.708292
-2.31 1.77 2.04 1.65
0.0337 0.0953 0.0575 0.1164
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.220414 21 0.355257
Variable Label Interc HTBS1 KDSW
Model Dependent Variable Label
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
5 15 20
33.54861 10.74442 44.29303
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
KDSW KDSW KDSW
Analysis of Variance Sum of Mean Square F Value Pr > F 6.709722 0.716295
9.37
0.84634 3.12714 27.06438
0.0003
R-Square Adj R-Sq
0.75742 0.67657
Parameter Estimates
Variable Intercept rshdswup HESW HMGRSW PJKESW tolstr1
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1 1
2.435860 -351.766 0.003446 -0.00284 -0.00415 0.001291
2.657612 188.8900 0.001355 0.003516 0.015240 0.000366
0.92 -1.86 2.54 -0.81 -0.27 3.52
0.3739 0.0823 0.0225 0.4318 0.7892 0.0031
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Variable Label Interc HESW HMGRSW PJKESW
1.837062 21 0.023665
Model Dependent Variable Label
HDSW HDSW HDSW
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
4 16 20
333966.4 65392.21 399358.6
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value
83491.59 4087.013
63.92975 655.14286 9.75814
20.43
Pr > F <.0001
R-Square Adj R-Sq
0.83626 0.79532
Parameter Estimates
Variable Intercept HESW PJKESW KDSW PSW
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
295.7971 0.344459 0.111591 41.85765 -3.60217
46.24158 0.074584 1.112198 17.94889 4.154651
6.40 4.62 0.10 2.33 -0.87
<.0001 0.0003 0.9213 0.0331 0.3987
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.824796 21 -0.49039
Variable Label Interc HESW PJKESW KDSW PSW
Model Dependent Variable Label
HESW HESW HESW
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
4 16 20
1341229 252190.1 1593419
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value
Pr > F
335307.3 15761.88
21.27
<.0001
125.54632 749.36386 16.75372
R-Square Adj R-Sq
0.84173 0.80216
Parameter Estimates
Variable Intercept PJKESW ESW HDSW HMDUNIA
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
-445.929 3.340501 -24.1615 1.625883 4.929318
168.4718 2.028907 12.45119 0.250602 2.337515
-2.65 1.65 -1.94 6.49 2.11
0.0176 0.1192 0.0702 <.0001 0.0511
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Model Dependent Variable Label
Variable Label Interc PJKESW ESW HDSW HMDUNIA
2.460556 21 -0.24636 ESW ESW ESW
Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total
DF 4 16 20
Squares 333.8142 116.4090 450.2232
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square 83.45355 7.275561
Mean F Value 11.47
2.69732 5.27910 51.09445
R-Square Adj R-Sq
Pr > F 0.0001
0.74144 0.67680
Parameter Estimates
Variable Intercept HESW PJKESW NTR INF
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
-3.39421 0.007246 -0.05886 0.961481 -0.18662
2.466270 0.004571 0.045613 0.185126 0.071074
-1.38 1.59 -1.29 5.19 -2.63
0.1877 0.1324 0.2152 <.0001 0.0184
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.704608 21 0.576515
Variable Label Interc HESW PJKESW NTR INF
Model Dependent Variable Label
POLEIN POLEIN POLEIN
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
5 15 20
26048262 1520959 27569221
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value Pr > F
5209652 101397.3
51.38
318.42939 1800.04762 17.69005
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.94483 0.92644
Parameter Estimates
Variable Intercept HDSW HMGRSW HMGRIN HMDUNIA HDSL
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1 1
263.6772 0.840008 -1.98884 0.121984 10.64253 1.693001
903.1146 0.601905 1.307991 0.022432 6.207105 0.541207
0.29 1.40 -1.52 5.44 1.71 3.13
0.7743 0.1832 0.1492 <.0001 0.1070 0.0069
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
DF
Model Error Corrected Total
5 15 20
PSTRIN PSTRIN PSTRIN
Analysis of Variance Sum of Mean Squares Square F Value 1277670 72038.88 1349709
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Interc HDSW HMGRSW HMGRIN HMDUNIA HDSL
2.25669 21 -0.14233
Model Dependent Variable Label
Source
Variable Label
255534.1 4802.592
53.21
69.30074 397.57143 17.43102
R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
0.94663 0.92884
Parameter Estimates
Variable Intercept HDSW HMGRSW HMGRIN HMDUNIA HDSL
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1 1
46.16280 0.180874 -0.42211 0.026796 2.426251 0.367483
196.5475 0.130994 0.284662 0.004882 1.350871 0.117785
0.23 1.38 -1.48 5.49 1.80 3.12
0.8175 0.1876 0.1588 <.0001 0.0927 0.0070
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.253905 21 -0.14186
Variable Label Interc HDSW HMGRSW HMGRIN HMDUNIA HDSL
Model Dependent Variable Label
PDSL PDSL PDSL
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
5 15 20
156.5370 38.42511 194.9621
Sum of Square
Mean F Value Pr > F
31.30739 2.561674
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
12.22
1.60052 13.03143 12.28202
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.80291 0.73721
Parameter Estimates
Variable Intercept HDSL HMDUNIA IMDSL SBDL tolstr1
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1 1
10.55231 -0.00665 -0.09139 0.300451 0.000297 0.002165
1.054332 0.003592 0.044714 0.237289 0.000169 0.000601
10.01 -1.85 -2.04 1.27 1.76 3.60
<.0001 0.0839 0.0589 0.2248 0.0993 0.0026
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Variable Label Interc HDSL HMDUNIA IMDSL SBDL
1.274424 21 0.338766
Model Dependent Variable Label
KDSL KDSL KDSL
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
5 15 20
545.4984 2.630519 548.1289
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value
Pr > F
109.0997 0.175368
622.12
<.0001
0.41877 20.46476 2.04630
R-Square Adj R-Sq
0.99520 0.99360
Parameter Estimates
Variable Intercept HDSL TRDL INDL LISDL PDSL
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1 1
0.436494 0.001744 0.897582 0.648736 1.353896 0.099736
0.563883 0.001065 0.134118 0.200816 0.128572 0.079156
0.77 1.64 6.69 3.23 10.53 1.26
0.4509 0.1223 <.0001 0.0056 <.0001 0.2269
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Model Dependent Variable Label
1.675462 21 0.013931 HDSL HDSL HDSL
Variable Label Interct HDSL TRDL INDL LISDL PDSL
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
4 16 20
851063.9 309723.2 1160787
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value Pr > F
212766.0 19357.70
10.99
139.13196 337.42857 41.23301
0.0002
R-Square Adj R-Sq
0.73318 0.66647
Parameter Estimates
Variable Intercept HDSW KDSL HMDUNIA HDSLL
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
8.402205 -0.08882 1.546452 4.942850 0.392615
172.3967 0.242759 9.082042 2.760936 0.224932
0.05 -0.37 0.17 1.79 1.75
0.9617 0.7193 0.8669 0.0923 0.1001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Variable Label Interc HDSW KDSL HMDUNIA HDSLL
2.435773 21 -0.21861
Model Dependent Variable Label
IMDSL IMDSL IMDSL
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
3 17 20
240.3612 21.85684 262.2180
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square 80.12039 1.285697
1.13389 7.42000 15.28148
Mean F Value Pr > F 62.32
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.91665 0.90194
Parameter Estimates
Variable Intercept KDSL PDSL IMDSLL
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
-2.98733 0.805406 -0.58008 0.207168
1.224150 0.160900 0.183510 0.144709
-2.44 5.01 -3.16 1.43
0.0259 0.0001 0.0057 0.1704
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Model Dependent Variable Label
1.405911 21 0.170312 PMGRIN PMGRIN PMGRIN
Analysis of Variance Sum of
Mean
Variable Label Interc KDSL PDSL IMDSLL
Source
DF
Squares
Square
F Value
Pr > F
Model Error Corrected Total
2 18 20
0.200191 0.016664 0.216855
0.100096 0.000926
108.12
<.0001
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.03043 0.33733 9.01965
R-Square Adj R-Sq
0.92316 0.91462
Parameter Estimates
Variable Intercept HMGRIN HDSW
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1
0.089061 0.000016 0.000027
0.032643 1.173E-6 0.000051
2.73 13.57 0.52
0.0138 <.0001 0.6091
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Model Dependent Variable Label
Variable Label Interc HMGRIN HDSW
1.747983 21 0.107675 DMGRINT DMGRINT DMGRINT
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
3 17 20
0.154983 0.080520 0.235503
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value
Pr > F
0.051661 0.004736
10.91
0.0003
0.06882 0.27633 24.90543
R-Square Adj R-Sq
0.65809 0.59776
Parameter Estimates
Variable Intercept HMGRIN TOLSTR HMGRK
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
0.167130 -0.00001 0.000104 0.000080
0.050824 5.947E-6 0.000025 0.000034
3.29 -2.50 4.15 2.37
0.0043 0.0229 0.0007 0.0296
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.206591 21 0.392313
Variable Label Interc HMGRIN TOLSTR HMGRK
Model Dependent Variable Label
HMGRIN HMGRIN HMGRIN
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
3 17 20
4.7854E8 2.8955E8 7.681E8
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value Pr > F
1.5951E8 17032411
9.37
0.0007
4127.03416 14493.9988 28.47409
R-Square Adj R-Sq
0.62303 0.55650
Parameter Estimates
Variable Intercept HMDUNIA HDSW DMGRINT
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
-3906.79 158.5705 13.68980 7619.346
5140.313 50.14202 6.639952 11117.37
-0.76 3.16 2.06 0.69
0.4576 0.0057 0.0549 0.5024
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Model Dependent Variable Label
Variable Label Interc HMDUNIA HDSW DMGRINT
0.947199 21 0.161401
PMGRSW PMGRSW PMGRSW
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
2 18 20
54.91047 37.89324 92.80371
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square 27.45524 2.105180
1.45092 4.20571 34.49887
Mean F Value Pr > F 13.04
0.0003
R-Square Adj R-Sq
0.59168 0.54632
Parameter Estimates
Variable Intercept HMGRSW HDSW
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1
-9.62390 0.017070 -0.00306
2.875308 0.003432 0.002568
-3.35 4.97 -1.19
0.0036 <.0001 0.2488
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.838739 21 0.552735
Variable Label Interc HMGRSW HDSW
Model Dependent Variable Label
DMGRSW DMGRSW DMGRSW
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
3 17 20
21.91666 0.674319 22.59097
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square
Mean F Value
Pr > F
184.18
<.0001
7.305552 0.039666
0.19916 2.04671 9.73085
R-Square Adj R-Sq
0.97015 0.96488
Parameter Estimates
Variable Intercept HMGRSW tolstr1 DMGRSWL
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
0.466571 -0.00037 0.000407 0.544222
0.564243 0.000742 0.000092 0.161859
0.83 -0.50 4.44 3.36
0.4198 0.6222 0.0004 0.0037
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Variable Label Interc HMGRSW DMGRSWL
2.303609 21 -0.20084
Model Dependent Variable Label
HMGRSW HMGRSW HMGRSW
Analysis of Variance
Source
DF
Squares
Model Error Corrected Total
2 18 20
132024.8 91595.82 223620.7
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Square 66012.42 5088.657
71.33482 927.66667 7.68970
Mean F Value 12.97
Pr > F 0.0003
R-Square Adj R-Sq
0.59040 0.54488
Parameter Estimates
Variable Intercept HMDUNIA HDSW
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1
605.6058 2.751484 0.297542
79.52577 0.664844 0.113247
7.62 4.14 2.63
<.0001 0.0006 0.0171
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.012759 21 0.390547
Variable Label Interc HMDUNIA HDSW