DAMPAK PEMBIAYAAN BAGI HASIL TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN PETAMBAK UDANG DI KABUPATEN TULANG BAWANG (PERIODE TAHUN 2014-2015)
SHOFIYANTO
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Pembiayaan bagi Hasil terhadap Pengentasan Kemiskinan Petambak Udang di Kabupaten Tulang Bawang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2015 Shofiyanto NIM H54110047
ABSTRAK SHOFIYANTO. Dampak Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Pengentasan Kemiskinan Petambak Udang di Kabupaten Tulang Bawang (Studi Kasus: Kemitraan Bumi Dipa Periode 2014-2015). Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A dan SALAHUDDIN EL AYYUBI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pembiayaan, faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan budi daya udang, serta dampak pembiayaan bagi hasil terhadap pengentasan kemiskinan petambak di Kecamatan Rawajitu Timur, Tulang Bawang. Data yang digunakan adalah data primer hasil wawancara kepada informan dari Kemitraan Bumi Dipa sebanyak 5 orang dan responden yang terdiri dari 100 petambak yang menjadi anggota Kemitraan Bumi Dipa. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, analisis kualitatif dan analisis indeks kemiskinan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan pembiayaan yang dikelola oleh Kemitraan Bumi Dipa sudah tergolong efektif, namun ada beberapa hal yang perlu dikoreksi yaitu jangka waktu pengembalian yang kurang longgar, loyalitas anggota yang kurang optimal, serta belum adanya dampak pembiayaan bagi kondisi usaha petambak sebagai akibat dari kegagalan budi daya petambak yang menjadi anggota kemitraan. Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan budi daya anggota Kemitraan Bumi Dipa adalah faktor alam lingkungan, teknis, perilaku menyimpang dari anggota, serta faktor eksternal lain seperti harga jual udang yang sedang menurun cukup drastis di pasar domestik. Sementara menurut analisis terhadap indikator kemiskinan, justru terjadi kenaikan pada headcount ratio Index,poverty gap index (P1), income gap index(I), dan sen index (P2) setelah petambak menjadi anggota kemitraan sebagai akibat kegagalan budi daya. Kata kunci: efektivitas, indeks Sen, kemiskinan, kemitraan, pembiayaan bagi hasil.
ABSTRACT SHOFIYANTO. Impact of Profit Loss Sharing Financing on Poverty Alleviation of Farmers in Tulang Bawang Regency (Case Study: Kemitraan Bumi Dipa Period 2014-2015). Supervised by MUHAMMAD FINDI A and SALAHUDDIN EL AYYUBI. This research aims to analyze the effectivity of financing, factors could cause failure of shrimp’s cultivation on farm, and the impact of profit loss sharing financing on poverty alleviation of farmers in Rawajitu Timur District, Tulang Bawang Regency. The research uses primary data from interviewing 5 key informants from Kemitraan Bumi Dipa and 100 farmers who become member of it. Descriptive analysis, qualitative analysis and poverty indices are used as the analyses method. The result shows that the financing managed by Kemitraan Bumi Dipa is effective, but there are some indicators such as payback period, loyality of members, and the impact of financing on improving farm condition to its members that should be optimized. The factors that cause failure of shrimp’s cultivation on members of Kemitraan Bumi Dipa are the environment of farm, technical problem, moral hazard of members, and the decreased of shrimp’s price in domestic market. Based on poverty indices result, headcount ratio index (H), poverty gap indiex (P1), income gap index (I) and sen index of farmer increase after become member of Kemitraan Bumi Dipa as the result of the failure of their shrimp’s cultivation. Keywords : effectivity, poverty, partnership, profit loss sharing financing, sen index
DAMPAK PEMBIAYAAN BAGI HASIL TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN PETAMBAK UDANG DI KABUPATEN TULANG BAWANG (PERIODE TAHUN 2014-2015)
SHOFIYANTO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SYARIAH DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Adapun skripsi ini berjudul “Dampak Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Pengentasan Kemiskinan Petambak Udang di Kabupaten Tulang Bawang” dengan waktu penelitian selama 1 bulan yang dimulai dari akhir April sampai akhir Mei 2015. Dalam hal ini, penulis ingin menyampaikan apresiasi sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu, baik berupa materi maupun moril, serta kritik dan saran yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada : 1. Orang tua penulis Mukhlasin dan Rohmah yang selalu memberikan dukungan kepada penulis, termasuk dalam kelancaran penelitian ini. 2. Seluruh masyarakat Dipasena yang telah memberikan dukungannya atas ketersediaan data dalam penelitian ini. Kupersembahkan skripsi ini untuk kampung halamanku tercinta, Dipasena. 3. Dr. Muhammad Findi A, SE, ME dan Salahuddin El Ayyubi, Lc, MA selaku dosen pembimbing segala masukan dan transfer ilmunya yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini. 4. Dr. Jaenal Effendi, S.Ag, MA selaku penguji utama dan Khalifah Muhammad Ali, S.Hut, M.Si selaku Komisi Pendidikan atas kritik dan sarannya yang membangun dalam penyusunan skripsi ini. 5. Teman-teman satu bimbingan, Nadia, Elsa, dan lain-lain atas dukungan moril yang telah diberikan. 6. Keluarga Ilmu Ekonomi Syariah 48 atas dukungan dan masukannya dalam penyusunan skripsi ini. 7. BEM FEM Kabinet Simfoni, khususnya Jenal, Ening, Icha, Selva, Eko, dan Putsof serta BEM FEM Kabinet Prioritas, khususnya Ka Desta, Ka Setia, Ka Ijul dan temanteman di Bem Corporation. Selama 2 tahun di organisasi ini, banyak pelajaran berharga yang telah saya dapatkan. 8. Teman-teman penulis selama di Institut Pertanian Bogor, baik teman satu asrama, satu kelas TPB, satu kos, dan lain-lain. 9. Semua pihak yang mohon maaf tak bisa saya sebutkan satu persatu. Bogor, Juli 2015 Shofiyanto
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA METODE
7 15
Jenis dan Sumber Data
15
Lokasi dan Waktu Penelitian
15
Metode Pengumpulan Data
15
Metode Analisis dan Pengolahan Data
16
GAMBARAN UMUM
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
27
Karakteristik Responden
27
Analisis Efektivitas Pembiayaan yang Dikelola Kemitraan Bumi Dipa
31
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Budi Daya Anggota Kemitraan Bumi Dipa 38 Dampak Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Indeks Kemiskinan Petambak Udang
41
Kajian Syariah terhadap Permasalahan Kemitraan Bumi Dipa
43
SIMPULAN DAN SARAN
47
Simpulan
47
Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
49
LAMPIRAN
52
RIWAYAT HIDUP
62
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Produksi Perikanan Menurut Subsektor (ribu ton), 2009-2013 Laporan Triwulan Kemitraan Bumi Dipa Peluang pembiayaan di masing-masing sub-sektor pertanian Ringkasan hasil penelitian terdahulu Banyaknya Penduduk Kabupaten Tulang Bawang menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin, 2013 Banyaknya Keluarga menurut Tahapan Keluarga Sejahtera per Kecamatan Laporan Permodalan Kemitraan Bumi Dipa Kemitraan Bumi Dipa Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Pengajuan Pembiayaan Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Realisasi Pembiayaan Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Pengembalian Pembiayaan Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Dampak Pembiayaan Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Aspek Penawaran Rekapitulasi Tanggapan Responden terhadap Kemitraan Bumi Dipa Indikator Kemiskinan
1 5 9 11 23 24 26 27 31 32 33 35 36 37 42
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kerangka Pemikiran Peta Wilayah Dipasena Pola Bagi Hasil Karakteristik Responden Berdasarkan Rentang Usia Karakteristik Responden Berdasarkan Status Pernikahan Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran Rumah Tangga Per Bulan Karakteristik Responden berdasarkan Lama Usaha Karakteristik Responden berdasarkan Lama menjadi Mitra Ahli Aktif Pemetaan Permasalahan Kemitraan Bumi Dipa
14 20 26 28 28 29 29 30 31 43
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Hasil Uji t Berpasangan ....................................................................................................... 52 Dokumentasi ........................................................................................................................ 53 Kuesioner Penelitian (Informan) .......................................................................................... 53 Kuesioner Penelitian (Responden) ....................................................................................... 53
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di sektor pertanian. Meskipun struktur perekonomian telah mengalami transfromasi kepada sektor industri dan jasa, namun sektor pertanian masih menjadi penopang pembangunan perekonomian di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (2013), sektor ini menempati urutan pertama sebagai sektor yang mampu menyerap tenagakerja yang cukup besar yaitu 35.09%. Selain itu, sektor pertanian mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) bagi negara sebesar 14.44%. Salahsatu bagian potensial dari pertanian Indonesia adalah sektor perikanan. Hal ini dapat dipahami dari fakta bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17 504 buah dan panjang garis pantai mencapai 104 000 km (Bakosurtanal 2006). Total luas laut Indonesia sekitar 3.544 juta km2 atau sekitar 70% dari wilayah Indonesia (Ditjen P2HP 2011). Adapun produksi perikanan menurut subsektor (perikanan budi daya dan perikanan tangkap) selama tahun 2009 - 2013 adalah sebagai berikut. Tabel 1 Produksi Perikanan Menurut Subsektor (ribu ton), 2009-2013 2009 2010 2011 2012 2013 Subsektor Perikanan Budi daya Budi daya Laut 2 820 3 515 4 606 5 770 8 379 Tambak 907 1 416 1 603 1 757 2 345 Kolam 554 820 1 127 1 434 1 774 Karamba 102 121 131 178 200 Jaring Apung 239 309 375 455 505 Sawah 87 97 86 82 97 Jumlah Perikanan Budi daya 4 709 6 278 7 929 9 676 13 301 Perikanan Tangkap Perikanan Laut 4 812 5 039 5 346 5 436 5 707 Perairan Umum 296 345 369 394 398 Jumlah Perikanan Tangkap 5 108 5 384 5 714 5 829 6 105 Total
9 817
11 662
13 643
15 505
19 406
Sumber : Kementerian Perikanan dan Kelautan RI 2014
Kondisi geografis ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sumberdaya perikanan yang besar. Menurut Daryanto (2007), sumberdaya pada sektor perikanan merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi hajat hidup masyarakat dan memiliki potensi dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi nasional. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki sumberdaya perikanan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, industri di sektor perikanan memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya. Ketiga, industri perikanan berbasis sumberdaya nasional atau dikenal dengan istilah national
2 resources based industries, dan keempat Indonesia memiliki keunggulan (comparative advantage) yang tinggi di sektor perikanan sebagimana dicerminkan dari potensi sumberdaya yang ada. Apa yang terjadi pada masyarakat pesisir sebagai pelaku utama usaha perikanan di Indonesia nyatanya menunjukkan paradoks jika dibandingkan dengan potensi tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 mencatat jumlah nelayan miskin di Indonesia mencapai 7.87 juta atau sekitar 25.14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31.02 juta orang (Jannah 2014). Hal ini tak terlepas dari krisis perikanan yang sebenarnya memang terjadi secara global. Menurut Fauzi (2000), secara umum diakui bahwa sumber utama krisis perikanan global adalah buruknya pengelolaan perikanan yang dapat dilihat dari fenomena yang menonjol, yakni overcapacity dan destruksi habitat. Dari kedua fenomena itu kemudian muncul berbagai penyebab lain, misalnya subsidi yang massive, kemiskinan, overfishing, dan berbagai derivative lainnya. Apalagi jika dilihat dari konteks negara berkembang seperti Indonesia dimana faktor sosial, politik, ekonomi, dan demografi yang tidak mendukung menyebabkan pengelolaan perikanan menjadi the big challenging exercise bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya. Tak mengherankan apabila kemudian selama puluhan tahun bangsa ini merdeka, sektor perikanan belum menunjukkan giginya sebagai sektor yang dapat diunggulkan, meski realitas potensi fisik dan geografis sumberdaya ikan jauh lebih baik daripada negara-negara di Asia lainnya. Kemiskinan masyarakat pesisir juga dapat dikaji dari sisi keterbatasannya terhadap akses permodalan. Terdapat hubungan timbal balik antara masyarakat miskin bila dikaitkan dengan akses permodalan. Masyarakat pesisir yang miskin menyebabkan mereka tidak dapat mengakses modal, lalu karena tidak dapat mengakses modal mereka tetap miskin. Menurut Maarif (2008) dalam Ariansyach (2009), secara garis besar penyebab kemiskinan masyarakat pesisir dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu eksternal dan internal. Faktor internal adalah kemiskinan yang berpangkal pada diri masyarakat pesisir sendiri, di antaranya keterbatasan akses modal dan budaya subsistence atau bekerja sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan faktor eksternal adalah kemiskinan sebagai akibat mikro-struktural seperti pola hubungan patron-klien dan makro-struktural seperti kebijakan politik masa lalu. Upaya untuk mengeluarkan masyarakat pesisir dari kemiskinan ini sebenarnya telah sejak dulu dilakukan oleh pemerintah. Tercatat beberapa kebijakan pemerintah dilaksanakan secara langsung, yakni perluasan lapangan usaha, modernisasi alat tangkap, dan bantuan permodalan seperti Kredit Usahatani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK), Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Pihak swasta seperti perbankan dan lembaga keuangan pun sebenarnya memiliki program kredit untuk masyarakat pesisir. Namun sayangnya program-program yang selama ini diberikan kepada masyarakat masih bersifat bantuan dibandingkan program pembiayaan, selain itu hanya masyarakat menengah ke atas saja yang menikmati akses ini. Akibatnya, pembangunan ekonomi masyarakat pesisir pun menjadi terhambat dan tidak merata. Di sisi lain, rendahnya akses masyarakat pesisir terhadap lembaga permodalan dan pasar telah menyebabkan masyarakat pesisir untuk lebih memilih berhubungan dengan lembaga keuangan non formal seperti tengkulak dan rentenir yang justru semakin menjerumuskan masyarakat pesisir kedalam keadaan tidak berdaya. Keberadaan lembaga keuangan nonformal ini di satu sisi mampu memberikan solusi terhadap akses permodalan, karena lebih mudah untuk mengakses sejumlah uang untuk
3 usahanya. Namun di sisi yang lainnya telah menyebabkan sebagian masyarakat pesisir terjerat oleh utang, akibat dari bunga yang sangat tinggi. Kondisi ini tentunya telah menjadi lingkaran setan yang menyebabkan ketidakberdayaan masyarakat pesisir (Ariansyach 2009). Berbagai kelemahan dalam sistem kredit yang telah dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga keuangan selama ini seharusnya dapat dievaluasi dan dicari alternatif pembiayaan lain yang lebih sesuai untuk digunakan pada sektor perikanan. Sistem kredit atau pembiayaan yang ditawarkan hendaknya relevan dengan kondisi masyarakat pesisir. Salah satu solusi bagi permasalahan sistem pembiayaan tersebut adalah sistem pembiayaan syariah. Sistem pembiayaan syariah yang lebih berorientasi pada peningkatan kesejahteraan ternyata memberikan harapan baru terhadap masa depan petani, khususnya di bidang perikanan. Secara umum, sistem keuangan Islam menghasilkan dua tipe desain pembiayaan yaitu pembiayaan dalam bentuk utang dan pembiayaan modal (Ghafar dan Ismail 2006). Pembiayaan dalam bentuk utang seperti murabahah dan ijarah memakai skema markup-based, sedangkan pembiayaan modal seperti mudharabah dan musharakah menggunakan prinsip profit loss sharing (PLS). Prinsip bagi hasil (profit loss sharing) sendiri merupakan bentuk pembiayaan yang diutamakan karena dapat mendorong perekoonomian di sektor riil serta mengandung nilai keadilan, terutama pada pembagian keuntungan maupun kerugian bagi para pelaku syirkah. Ditilik dari sejarahnya, sistem bagi hasil dalam kerjasama untuk menjalankan usaha sebenarnya telah dipraktekan sejak zaman sebelum masehi. Sistem ini umum dilakukan oleh masyarakat Mekah dan Madinah jauh sebelum Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. Di Madinah masa itu sistem bagi hasil banyak diterapkan dalam kerja sama di bidang pertanian dan perdagangan serta pemeliharaan ternak. Kerja sama pertanian yang lazim dipraktekan pada masa itu adalah mukhabarah dan muzara’ah. Menurut Hosen dan Ali (2007), mukhabarah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal penggarapnya. Muzara’ah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal pemilih lahan. Afzalurrahman (1997) menyatakan bahwa Kaum Quraisy mempunyai pengetahuan dagang yang sangat baik dan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Usaha perdagangan dilakukan dalam berbagai bentuk. Aneka jenis organisasi organisasi usaha pun telah mereka dirikan. Syirkah (kerjasama) dalam berbagai tipe dijalankan, di mana para pemilik modal dapat secara langsung terlibat dalam perdagangan atau hanya sleeping partner, dan dengan cara demikian mereka ikut menikmati keuntungan dan menderita kerugian (mudharabah). Lebih lanjut Afzalurrahman menerangkan bahwa kerjasama dengan sistem bagi hasil ini telah dipraktekan Nabi Muhammad SAW pada masa mudanya antara usia 17 atau 18 tahun. Nabi menjalankan bisnisnya dengan cara menjalankan modal uang orang lain, baik dengan mendapat upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil sebagai mitra. Kerjasama bisnis Nabi Muhammad yang banyak diriwayatkan adalah kerjasama Nabi dengan Siti Khadijah. Praktek kegiatan bisnis yang berlandaskan prinsip syariah sebenarnya juga sudah sejak lama diterapkan oleh para petani di Indonesia seperti sistem maro dan mertelu. Hal ini menjadikan penerapan prinsip pembiayaan syariah pada sektor–sektor pertanian nampaknya bukanlah menjadi hal yang menyulitkan petani, namun
4 memberikan keuntungan yang lebih besar bagi mereka dan keadilan yang lebih merata bagi semua pihak yang terlibat (Anjani 2013). Sistem bagi hasil dalam sektor keuangan (perbankan) pertama diawali dengan berdirinya sebuah bank tabungan lokal di Desa Mit Ghaur tahun 1963. Meskipun beberpa tahun kemudian tutup, namun telah mengilhami diadakannya konferensi Ekonomi Islam pertama di Mekkah pada tahun 1975. Kemudian lahirlah Islamic Development Bank (IDB) yang kemudian diikuti dengan pembentukan lembaga-lembaga keuangan Islam di berbagai negara. Di Indonesia Bank syari’ah pertama kali berdiri pada tahun 1992 yaitu Bank Muamalat Indonesia (Soemitra 2009). Selanjutnya berkembanglah berbagai macam lembaga keuangan syariah di Indonesia hingga saat ini. Yousfi (2013) menyatakan bahwa kontrak pembiayaan modal yang menggunakan prinsip profit loss sharing, terutama akad mudharabah mampu mengatasi masalah moral hazard dalam pembiayaan karena memberikan mekanisme insentif yang sangat kuat pada kasus dimana terdapat risiko kegagalan pada suatu usaha. Pembiayaan seperti ini akan memicu pihak pengelola dana (mudharib) untuk berusaha secara maksimum dalam menjalankan usahanya. Sedangkan akad musyarakah dinilai belum dapat mengatasi masalah moral hazard. Hal ini karena pembiayaan musyarakah dinilai kurang memberikan mekanisme insentif yang kuat bagi pihak-pihak yang melakukan syirkah sehingga mereka tidak terpacu untuk memberikan usaha terbaiknya dalam mensukseskan pembiayaan. Selain penerapan sistem pembiayaan yang sesuai syariah, hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah inklusivitas sistem itu sendiri. Pembiayaan yang diberikan seharusnya mampu menjangkau masyarakat pesisir yang miskin ini serta memberikan manfaat bagi mereka. Menurut Khaleequzzaman dan Shirazi (2013), peran inklusi keuangan juga dibutuhkan dalam proses pengentasan kemiskinan sehingga dapat membangun aset segmen target yang bisa membawa perubahan sosial-ekonomi dalam hidup masyarakat miskin. Oleh sebab itu, pada akhirnya perlu diuji apakah pembiayaan dengan sistem bagi hasil yang diberikan kepada pelaku usaha perikanan telah efektif, dalam arti mampu menjangkau mereka serta mampu memberikan manfaat. Selain itu juga perlu diuji apakah pembiayaan berbasis bagi hasil ini mampu memberikan dampak terhadap kesejahteraan pelaku usaha perikanan. Hasil dari analisis ini kemudian dapat digunakan sebagai acuan rekomendasi penerapan pembiayaan bagi hasil untuk sektor perikanan.
Perumusan Masalah Pemberian modal berupa modal kerja kepada petani adalah suatu upaya penting guna meningkatkan produktivitas pertanian, apalagi untuk petani di Indonesia yang umumnya miskin sehingga sulit mendapatkan akses permodalan. Dengan adanya modal ini diharapkan agar mereka dapat melakukan usaha produktif sehingga mampu meningkatkan pendapatannya, bahkan mampu mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dana yang disalurkan dapat langsung digunakan sebagai modal untuk petani yang berhak menerimanya. Permodalan yang berbasis sistem bagi hasil direkomendasikan bagi petani karena dinilai lebih adil dan dapat menjadi pemicu bagi petani untuk berusaha secara maksimal. Bagaimanapun juga, penerapan pembiayaan dengan sistem bagi hasil ini bukan tanpa kendala dan hambatan. Menurut Sutrisno (2008), pembiayaan dengan sistem bagi hasil masih sangat lemah bila dibandingkan dengan sistem pembiayaan syariah yang
5 berbasis mark up seperti murabahah. Hal ini tak terlepas dari kendala-kendala dalam penerapannya, baik dari sisi shahibul mal (pemilik modal) maupun mudharib (pengelola dana). Kendala-kendala pada sisi shahibul mal adalah masalah keagenan (asymmetric information yang berdampak pada terjadinya adverse selection dan moral hazard), tingginya tingkat resiko (tingkat return bisa positif atau negatif), segi teknis (pegawai belum profesional dalam menangani permasalahan profit loss sharing), sumber pendanaan bank syariah yang sebagian besar masih dalam jangka pendek (dalam jangka panjang dinilai kurang menguntungkan terutama bagi nasabah yang mengejar profit semata), dan ketidakefektifan pembiayaaan profit loss sharing. Adapun kendala-kendala pada sisi mudharib antara lain adalah standar moral (persyaratan kriteria yang rumit bagi nasabah), kurangnya kebebasan dalam menjalankan usaha (bank syariah ikut andil dalam pengambilan keputusan dan nasabah sulit melakukan pemisahan penghitungan akuntansi terhadap aliran modal yang berasal dari bank syariah serta aliran modal dari sumber lain), segi biaya (beban tambahan atas penyewaan tenaga ahli), dan permasalahan efisiensi (Sutrisno 2008). Kendala-kendala ini tentunya akan berpengaruh terhadap kinerja pembiayaan bagi hasil itu sendiri. Kemitraan Bumi Dipa merupakan program yang mengelola pembiayaan untuk petambak dengan sistem bagi hasil di Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang. Kemitraan ini telah 2 tahun mengelola pembiayaan untuk petambak dan telah menunjukkan perkembangannya. Tabel 2 Laporan Triwulan Kemitraan Bumi Dipa Periode
Modal (Dalam Rupiah)
Jumlah Mitra
Penyaluran Pembiayaan (Dalam Rupiah)
April-Juni 2013 Oktober-Desember 2013 Maret-Mei 2014 Juni-Agustus 2014
1 517 208 000 3 383 762 777
62 110
1 496 302 195 2 649 472 935
Pembiayaan Bermasalah (Dalam Rupiah) 0 222 443 427
4 291 648 239 4 370 847 319
125 163
5 257 449 239 6 110 613 592
367 008 475 265 432 516
Sumber : www.bumidipa.com, 2014 (diolah)
Berdasarkan laporan triwulan tersebut, dapat diketahui bahwa dari sisi modal dan jumlah anggota Kemitraan Bumi Dipa mengalami peningkatan yang cukup stabil. Tetapi pada sisi kelancaran pembiayaan, Kemitraan Bumi Dipa mengalami penurunan yang cukup drastis. Tercatat bahwa pada periode April-Juni 2013 tidak terdapat pembiayaan yang bermasalah. Hal ini disebabkan pada Kemitraan Bumi Dipa terdapat CRU (Cadangan Rasio Usaha) yang berasal dari anggota yang sukses budi dayanya sehingga dapat menutupi kerugian dari budi daya yang gagal. Namun pada periode berikutnya Kemitraan Bumi Dipa justru mengalami kemacetan pembiayaan sebesar Rp 222 443 427,- serta masih terus berlanjut hingga periode Agustus 2014. Kemacetan pembiayaan Hal ini mengimplikasikan bahwa CRU pada periode tersebut tidak mampu menutupi kemacetan pembiayaan yang ada. Ini juga menyebabkan modal yang tersedia di periode setelahnya tidak mampu mencukupi kebutuhan pembiayaan yang diminta. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah efektivitas pembiayaan yang dikelola Kemitraan Bumi Dipa bagi petambak udang di Kecamatan Rawajitu Timur ?
6 2. Apakah faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan budi daya anggota Kemitraan Bumi Dipa? 3. Bagaimanakah dampak dari Kemitraan Bumi Dipa terhadap pengentasan kemiskinan masyarakat di Kecamatan Rawajitu Timur Tulang Bawang?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan dan latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis efektivitas dari pembiayaan yang dikelola Kemitraan Bumi Dipa bagi petambak udang di Kecamatan Rawajitu Timur. 2. Menguraikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan budi daya anggota Kemitraan Bumi Dipa. 3. Menganalisis dampak dari Kemitraan Bumi Dipa terhadap pengentasan kemiskinan masyarakat di Kecamatan Rawajitu Timur Tulang Bawang.
Manfaat Penelitian 1. 2.
3.
Manfaat yang diharapkan didapat dari penelitian ini antara lain : Memberikan sumbangsih pemikiran dan pengetahuan bagi akademisi mengenai penyaluran dana untuk subsektor perikanan. Menjadi bahan masukan berupa informasi tentang penyaluran pembiayaan yang efektif sehingga dapat menentukan kebijakan kedepan bagi lembaga keuangan syariah. Diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat, khususnya para petambak serta bagi para pengambil kebijakan dalam hal ini adalah pemerintah dalam mengembangkan dan memajukan subsektor perikanan di Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, maka ruang lingkup dalam penelitian ini adalah instansi dengan konsentrasi pada pembiayaan produktif yang diberikan kepada para petambak yang menganut sistem bagi hasil yang menganut prinsip syariat Islam. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil studi kasus pada para petambak di Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung yang menjadi anggota Kemitraan Bumi Dipa. Hasil dari penelitian ini akan lebih menjelaskan fenomena yang terjadi pada sistem pembiayaan bagi hasil berbasis bagi hasil pada petambak di Kecamatan Rawajitu Timur, Tulang Bawang, Lampung.
7
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kemiskinan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015), kemiskinan adalah situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum. Menurut BPS kemiskinan dipandang sebagai suatu ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, sehingga BPS menyimpulkan bahwa penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan konsep gabungan antara Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Sementara itu, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengartikan kemiskinan sebagai konsep kesejahteraan keluarga. BKKBN membagi kriteria keluarga ke dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS), Keluarga Sejahtera I (KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III-Plus). Dalam hal ini BKKBN mengkategorikan Keluarga Pra Sejahtera sebagai keluarga sangat miskin dan Keluarga Sejahtera I sebagai keluarga miskin (Beik et al 2013). Papilaya (2013) mengemukakan bahwa terdapat dua teori utama mengenai kemiskinan yaitu teori neo-liberal dan sosial demokrat. Teori neo-liberal mengatakan bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahankelemahan individu atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Sedangkan teori sosial demokrat memandang bahwa kemiskinan bukan masalah individu tetapi masalah struktural yang disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Sajogyo (1996) mengungkapkan bahwa konsep miskin tak terbatas hanya pada ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup secara fisik/ biologis saja, tetapi juga berkaitan tentang ketidakmampuan seseorang untuk hidup dan berfungsi sebagai masyarakat “biasa” dalam lingkungan masyarakatnya. Satu konsekuensi dari kesepakatan untuk mengaitkan kemiskinan dengan konsep “hidup layak” adalah, bahwa ukuran kemiskinan itu harus dibuat relatif, yaitu berubah dari waktu ke waktu. Perubahan ini tak hanya menyangkut perubahan harga, tetapi perubahan dalam apa yang dibutuhkan orang untuk hidup layak dari masa ke masa dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Sajogyo juga menambahkan bahwa garis kemiskinan yang relevan untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah yang langsung merefleksikan kebutuhan hidup terpenting, dalam hal ini kecukupan pangan. Kemiskinan menurut jenisnya dibagi menjadi dua, yaitu (1) kemiskinan relatif dan (2) kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan yang lainnya. Contohnya seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada suatu daerah tertentu bisa jadi yang termiskin di daerah lainnya. Sementara itu kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diderita seseorang atau keluarga apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan serta pendapatan mereka tidak cukup untuk
8 memenuhi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. (Beik et al 2013) Dalam hal ini yang membedakan antara kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif yaitu terletak pada standar penilaiannya. Jika kemiskinan relatif, standar penilaiannya ditentukan secara subyektif oleh masyarakat setempat. Sedangkan untuk standar penilaian kemiskinan absolut ditentukan dari kehidupan minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan, baik makanan maupun non makanan (garis kemiskinan). Konsep kemiskinan dalam Islam merujuk pada pengertian kemiskinan absolut yang selama ini berkembang yaitu diukur dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Selanjutnya, dalam konsep Islam kemiskinan absolut dibangun atas dua indikator yaitu kemiskinan secara material dan kemiskinan secara spiritual. Kemiskinan material didasarkan pada ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan material sepenuhnya, sedangkan kemiskinan spiritual didasarkan pada ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan spiritual minimal seperti pelaksanaan ibadah-ibadah wajib. Apabila suatu rumah tangga mengalami kemiskinan material dan kemiskinan spiritual, maka rumah tangga tersebut dapat dikatakan mengalami kemiskinan absolut. Kemiskinan dalam Islam lebih bersifat multidimensional karena tidak hanya mengaitkan konsep kemiskinan pada aspek material semata melainkan juga melibatkan aspek spiritual (Beik et al 2013). Definisi Pembiayaan Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewamenyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Secara teori, ada tiga hal yang menjadi penciri dari pembiayaan berbasis syariah, yaitu (1) bebas bunga, (2) berprinsip bagi hasil dan risiko, dan (3) perhitungan bagi hasil tidak dilakukan di muka. Berbeda dengan kredit konvensional yang memperhitungkan suku bunga di depan, ekonomi syariah menghitung hasil setelah periode transaksi berakhir. Hal ini berarti dalam pembiayaan syariah pembagian hasil dilakukan setelah ada keuntungan riil, bukan berdasar hasil perhitungan spekulatif. Sistem bagi hasil ini dipandang lebih sesuai dengan iklim bisnis yang memang mempunyai potensi untung dan rugi. (Anonim 2005). Prospek Pembiayaan Syariah bagi Pertanian Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Pembiayaan dan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian pada tahun 2011, terdapat beberapa pola pembiayaan yang telah dibentuk sehingga dapat menjadi
9 rujukan bagi para pelaku usaha pertanian dalam menetapkan bentuk pembiayaan yang lebih sesuai bagi setiap usaha di berbagai subsektornya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan syariah sangat fleksibel diterapkan pada semua subsektor agribisnis/pertanian. Data mengenai pola-pola pembiayaan syariah pada sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Peluang pembiayaan di masing-masing sub-sektor pertanian Proses/subsistem Hulu
Budi daya
Kegiatan Penyediaan lahan Penyediaan pupuk dasar Penyediaan benih Penyediaan pestisida/fungisida Penyediaan alat dan mesin (alsin) berupa traktor atau ternak kerja Alat tanam/semprot Penyediaan pupuk/obat-obatan Pengairan intensif Pemasaran padi/gabah
Hilir
Penyediaan alsin pascapanen (Rice Milling Unit) dan pengolahan Seluruh proses (hulu-hilir)
produksi Permodalan perkongsian (pelaku usaha dan lembaga keuangan) Permodalan sepenuhnya lembaga keuangan
Akad Ijarah 1. Murabahah 2. Istisna’ 3. IMBT
1. Murabahah 2. Istisna’ 3. Murabahah 4. Istisna’ Musyaqah 1. Salam 2. Murabahah 3. Murabahah 4. IMBT 5. Istisna’ Musyarakah Mudharabah
Sumber: Kementerian Pertanian RI 2011
Menurut Ashari dan Saptana (2005), terdapat beberapa hal yang melandasi prospek pembiayaan syariah untuk sektor pertanian, yaitu: 1. Karakteristik pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian. Skim pembiayaan syariah terutama bagi hasil, sangat sesuai dengan sifat bisnis pertanian sehingga lebih memberikan rasa keadilan. 2. Skim pembiayaan syariah sudah dipraktikkan secara luas oleh petani di Indonesia. Secara budaya masyarakat petani sudah mengenal model pembiayaan yang menyerupai sistem syariah seperti sistem maro dan mertelu. Petani akan lebih mudah dan cepat memahami konsep pembiayaan syariah karena secara historis maupun faktual skim tersebut pernah atau masih dipraktikkan. 3. Luasnya cakupan usaha di sektor agribisnis/pertanian. Semua subsistem agribisnis memungkinkan untuk menggunakan pembiayaan dengan model syariah, demikian juga dilihat dari ragam komoditas. 4. Produk pembiayaan syariah cukup beragam. 5. Tingkat kepatuhan petani dan karakteristik petani yang positif. Pertanian banyak digeluti oleh petani kecil di pedesaan yang cukup taat beragama. Adanya skim
10 pembiayaan yang sesuai dengan ajaran agama diharapkan secara emosional akan mempermudah petani dalam menerima sistem pembiayaan syariah. 6. Usaha di sektor pertanian merupakan bisnis riil. Hal ini sesuai dengan prinsip pembiayaan syariah yang menitikberatkan pada pembiayaan sektor riil dan justru melarang pembiayaan sektor yang spekulatif. 7. Mengandung nilai yang bersifat universal dan tidak eksklusif sehingga akan mempermudah penerimaan konsep pembiayaan syariah oleh semua lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras, dan golongan. Konsep Efektivitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015), efektif didefinisikan sebagai upaya yang berhasil guna. Keefektifan atau efektivitas berarti melakukan perbuatan atau proses yang berhasil guna atau yang benar. Menurut Anjani (2013), efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan. Efektivitas dapat digambarkan dengan 4 hal, yaitu: 1. Mengerjakan sesuatu dengan benar sesuai dengan rencana dan aturan yang berlaku. 2. Mencapai tingkat di atas pesaing yang mampu menjadi yang terbaik dibandingkan dengan para pesaing. 3. Membawa hasil ketika apa yang telah dikerjakan mampu memberikan manfaat bagi orang/pihak lain. 4. Mampu menangani tantangan masa depan. Efektivitas dapat diartikan sebagai hubungan antara keluaran (output) suatu pusat pertanggungjawaban dengan sasaran yang harus dicapai. Semakin besar kontribusi output yang dihasilkan terhadap pencapaian sasaran, maka semakin efektif pusat pertanggungjawaban (Agustina 2010). Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah efektivitas tidak menyatakan tentang berapa besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut tetapi efektivitas hanya melihat apakah suatu pekerjaan atau kegiatan telah mencapai tujuan yang ditetapkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aryanti (2006) dalam Azzahrah (2014), efektivitas pembiayaan dapat dinilai dari prosedur pembiayaan dan dampak pembiayaan teradap kondisi usaha. Prosedur pembiayaan terdiri dari mekanisme pengajuan, penyaluran dan pengembalian, sedangkan dampak pembiayaan terdiri dari peningkatan pendapatan, keuntungan, dan kondisi usaha. Menurut Ita dan Rahman (2011), terdapat tiga tahapan penting dalam prosedur pembiayaan Mudharabah yaitu analisis dan evaluasi pembiayaan, pengusulan, dan persetujuan pembiayaan.
Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian yang menganalisis efektivitas dari pembiayaan syariah dan dampak pembiayaan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat pesisir. Hal tersebut dapat dilihat dari penelitian-penelitian pada Tabel 4 dan Tabel 5.
11 Tabel 4 Ringkasan hasil penelitian terdahulu Peneliti Azzahrah (2014)
Judul dan Model Penelitian Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Pembiayaan Mudharabah bagi UMKM dan Efektivitas Pembiayaan bagi UMKM : Studi Kasus : BMT X Jakarta Metode : Analisis deskriptif dan Path Analysis
Hasil Penelitian Permintaan pembiayaan Mudharabah pada BMT X Jakarta secara signifikan dipengaruhi oleh pendapatan usaha sebelum mendapat pembiayaan Mudharabah sebesar 0.47%, margin pembiayaan sebesar 0.12% dan besaran agunan sebesar 0.36%. Efektivitas pembiayaan Mudharabah yang diberikan pada BMT X Jakarta berdasarkan hasil penilaian responden dapat dikategorikan pada kriteria cukup efektif.
Anjani (2013)
Analisis Efektivitas Pembiayaan Syariah bagi Sektor Pertanian pada KBMT Ibadurrahman, Ciawi, Bogor Metode : Skala Likert
Efektivitas pembiayaan pada KBMT Ibaadurrahman berdasarkan hasil penilaian responden dapat dikategorikan efektif. Akan tetapi, pada tahap pencairan dan pengembalian pembiayaan masih memiliki nilai efektivitas yang cukup rendah. Hal ini disebabkan oleh pihak KBMT Ibaadurrahman masih belum optimal dalam memberikan pelayanannya dalam pencairan pendanaan.
Ariansyach (2009)
Pengaruh Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Pendapatan Masyarakat Pesisir Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat Metode : Uji t Berpasangan
Pengaruh Program PEMP dari sisi ekonomi terlihat dari penggunaan dana DEP bergulir untuk biaya usaha yang berpengaruh nyata pada peningkatkan pendapatan masyarakat peserta program. Terjadi rata-rata peningkatan biaya usaha pada keseluruhan responden adalah sebesar 30.27 persen, peningkatan biaya usaha ini ternyata mampu meningkatkan pendapatan ratarata perbulan sebesar 31.19 persen atau rata-rata Rp2 258 000,- dari pendapatan awal seluruh responden sebelum mengikuti program PEMP. Terhadap sisi sosial, tidak terlihat pengaruh nyata dari program PEMP.
12 Tabel 5 Ringkasan hasil penelitian terdahulu (lanjutan) Peneliti Wina (2009)
Judul dan Model Penelitian Analisis pengaruh pendayagunaan zakat, infaq, dan shadaqah sebagai modal kerja terhadap indikator kemiskinan dan pendapatan mustahiq (Studi Kasus Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) Metode : OLS, FGT Index
Hasil Penelitian Pada taraf nyata 1 persen, variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap pendapatan per kapita mustahiq adalah pendapatan mustahiq yang diperoleh dari usaha yang menggunakan dana dari Program Ikhtiar dan variabel dummy keaktifan bekerja mustahiq. Besarnya modal/pembiayaan yang diterima dan banyaknya mustahiq melakukan pembiayaan melalui Program Ikhtiar tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pendapatan per kapita mustahiq.
Rodiana (2014)
Efektivitas Penerapan Bayar Pascapanen pada Pengembalian Pembiayaan Akad Murabahah Pertanian Padi di BMT As Salam, Kramat, Demak Metode : Regresi Logistik, Skala Likert
Khaleequzzama n, Shirazi (2013)
Islamic Microfinance – An Inclusive Approach with Special Reference to Poverty Eradication in Pakistan
Hasil penelitian menunjukkan alasan memilih sistem pembayaran berpengaruh signifikan terhadap pilihan petani padi. Penerapan sistem yarnen sudah efektif di seluruh tahapan pembiayaan dan memberi dampak positif pada usahatani anggota. Hasil penelitian ini merekomendasikan perlunya memperluas lingkup lembaga keuangan syariah melalui diversifikasi produk, inovasi dan downscaling operasi bank syariah yang menghubungkan lembaga keuangan mikro, khususnya untuk sumber dana, penasihat Syariah, dan transfer teknologi. Peran inklusi keuangan juga dibutuhkan dalam proses pengentasan kemiskinan, membangun aset segmen target yang bisa membawa perubahan sosial-ekonomi dalam hidup masyarakat miskin
Effendi J (2013)
The Role of Islamic Microfinance in Poverty Alleviation and Environmental Awareness in Pasuruan, East Java, Indonesia
Hasil penelitian dari peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM) syariah dan konvensional dalam mengentaskan kemiskinan mengungkapkan bahwa kedua jenis lembaga memiliki efek positif pada pengentasan kemiskinan. Namun efek dari lembaga keuangan syariah sedikit lebih baik dari lembaga keuangan konvensional. Sistem penyaringan yang digunakan oleh LKM Syariah memiliki dampak yang signifikan pada kemampuan LKM Syariah untuk menghindari risiko kredit yang dihadapi oleh LKM konvensional, sebagaimana juga perkembangan usaha kliennya.
13 Adapun poin penting yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sebagai berikut. 1. Penelitian yang membahas tentang dampak pembiayaan syariah terhadap pengentasan kemiskinan petani pada umumnya dilakukan pada sektor pertanian bercocok tanam (padi, palawija, dan lain-lain). Penelitian tentang dampak pembiayaan syariah pada sektor perikanan masih jarang dilakukan. 2. Penelitian yang membahas dampak pembiayaan terhadap perkembangan usaha perikanan pada umumnya merupakan pembiayaan kredit yang masih berbasis bunga. 3. Penelitian yang membahas tentang dampak pembiayaan syariah terhadap perkembangan usaha tani pada umumnya hanya berfokus pada aspek pemberdayaan petani dengan pemberian modal produktif saja tanpa melihat lebih rinci faktor-faktor non finansial yang juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan usaha tani. Bagaimanapun, permasalahan pertanian di Indonesia adalah permasalahan yang kompleks yang belum tentu dapat diselesaikan hanya dengan pemberian modal produktif bagi para petani.
Kerangka Pemikiran Perikanan merupakan sektor yang memiliki potensi yang sangat besar di Indonesia. Hal tersebut dapat dipahami dari fakta bahwa Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumberdaya lautnya. Salahsatu faktor penting yang dibutuhkan pelaku usaha perikanan guna mendukung berkembangnya sektor ini adalah modal. Karakteristik pelaku usaha perikanan yang masih miskin tentu menjadi penghambat dalam mendapatkan akses permodalan yang tepat. Oleh karena itu diperlukan model pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik usaha perikanan. Pembiayaan dengan skim bagi hasil yang sesuai syariah merupakan salahsatu model yang tepat bagi pelaku usaha perikanan ini. Skim bagi hasil menawarkan skema yang lebih adil bagi pelaku usaha perikanan karena adanya pembagian keuntungan risiko dan keuntungan yang disepakati bersama. Pada akhirnya, perlu diteliti efektivitas pembiayaan dengan skim bagi hasil secaara keseluruhan untuk menunjukkan pencapaian tujuan penerapan sistem ini. Selain itu perlu juga diuraikan faktor-faktor non finansial yang berpengaruh terhadap kegagalan usaha perikanan. Pada akhirnya, perlu dianalisis apakah pembiayaan dengan skim bagi hasil ini dapat menjadi solusi tunggal guna mengentaskan kemiskinan pelaku usaha perikanan di tengah kompleksnya permasalahan di sektor ini yang sebenarnya tak hanya disebabkan faktor finansial saja. Adapun kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut.
14
Potensi subsektor perikanan Keterbatasan akses modal masyarakat pesisir dan petambak
Pembiayaan informal berbasis bunga Kekurangan : petani terjerat utang berkepanjangan akibat bunga yang tinggi
Program kredit pemerintah Kekurangan : Hanya bersifat bantuan dan belum mampu menjangkau pelaku usaha perikanan yang kecil
Sistem Pembiayaan Syariah (bagi hasil)
Analisis efektivitas pembiayaan yang dikelola Kemitraan Bumidipa
Analisis faktor-faktor penyebab kegagalan budi daya udang petani
Analisis dampak Kemitrraan Bumidipa terhadap pendapatan petambak udang
Rekomendasi
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
15
METODE Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam terhadap informan kunci dari pihak yang terlibat dalam kemitraan dan responden. Informan dalam penelitian ini adalah Ketua Perhimpunan Petambak Udang Windu (P3UW) Dipasena, Ketua Koperasi Petambak Bumi Dipasena (KPBD), Kepala KCP Bank Syariah Mandiri Tulang Bawang, Kepala Biro Budi Daya P.T. Bumi Dipa dan Kepala Bidang Community Development (Comdev) P.T. Bumi Dipa. Adapun responden terdiri dari 100 petambak yang menjadi anggota Kemitraan Bumi Dipa. Data sekunder diperoleh dari laporan keuangan Kemitraan Bumi Dipa, Kementerian Perikanan dan Kelautan, Biro Pusat Statistik, buku, jurnal, skripsi terkait serta data lainnya yang dapat membantu ketersediaan data.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Kemitraan Bumi Dipa yang beroperasi di Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja) dengan mempertimbangkan bahwa Kemitraan Bumi Dipa merupakan program pembiayaan perikanan tambak udang yang menggunakan skim bagi hasil yang sesuai syariah, dan masih tergolong cukup baru. Hal inilah yang menyebabkan perlunya dilakukan evaluasi terhadap sistem yang sudah berjalan melalui penelitian ini sehingga dapat memberikan rekomendasi untuk mengembangkan sistem yang ada dengan lebih baik lagi. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Mei 2015.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode studi kasus (case study) kepada para petambak yang menjadi sampel penelitian. Pendekatan studi kasus adalah penelitian yang dilakukan untuk mengeksplorasi atau menjelaskan fenomena dalam konteks tertentu dengan berbagai sumber data. Kasus yang diteliti adalah Kemitraan Bumi Dipa yang terdapat di Kecamatan Rawajitu Timur Kabupaten Tulang Bawang. Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah key informant (informan kunci) dan responden. Key informant memberikan informasi mendalam tentang seluk-beluk Kemitraan Bumi Dipa serta faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan kegagalan budi daya anggota kemitraannya. Sedangkan informasi responden dikumpulkan dan dimodelkan untuk menganalisis efektivitas pembiayaan yang dikelola oleh Kemitraan Bumi Dipa serta dampak pembiayaan terhadap pengentasan kemiskinan petambak udang di wilayah Dipasena, Kecamatan Rawajitu Timur. Untuk menganalisis efektivitas pembiayaan digunakan skala likert sedangkan untuk mengukur dampak pembiayaan digunakan Indeks Sen.
16 Selain itu, untuk mendukung penelitian digunakan juga data sekunder yang berkaitan dengan kondisi wilayah Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik serta survei terhadap wilayah Dipasena yang pernah dilakukan sebelumnya. Kajian pustaka juga dilakukan guna mendukung penelitian. Penentuan sampel dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Purposive sampling adalah metode pengambilan sampel dengan mengambil responden tertentu yang menjadi sampel penelitian yang didasarkan pada kriteria yang ditentukan peneliti. Sementara Snowball Sampling adalah teknik penentuan sampel yang semula jumlahnya kecil, kemudian lama-lama membesar untuk mendapatkan informasi yang utuh dan lengkap. Teknik purposive sampling digunakan untuk menentukan sampel responden. Sementara teknik snowball sampling dilakukan untuk menentukan informan kunci dalam penelitian.
Metode Analisis dan Pengolahan Data Analisis Kualitatif Model Miles dan Huberman Penelitian ini menggunakan analisis pendekatan kualitatif Model Miles dan Huberman, terutama dalam mengolah hasil informasi dari key informant dan literatur terkait. Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2010) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan conclution drawing/verification. Skala Likert Skala Likert merupakan alat ukur untuk mengetahui sikap, tindakan atau persepsi seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu gejala atau fenomena yang terjadi. Hal inilah yang menjadi pertimbangan penggunaan skala Likert pada penelitian ini. Langkah selanjutnya yaitu dilakukan skoring terhadap data agar bisa digolongkan dan dikelompokkan dalam katergori-kategori tertentu. Cara penentuan total skor untuk tiap kategori yaitu sebagai berikut: Total skor = Jumlah responden x Nilai skor tiap kategori Penilaian responden terhadap efektivitas Kemitraan Bumi Dipa dilihat dari aspek pengajuan pembiayaan, pencairan pembiayaan, pemanfaatan pembiayaan, pengembalian pembiayaan, dan dampak pembiayaan yang dirasakan nasabah. Total skor untuk setiap prosedur adalah berkisar antara 100-300. Skor ini diperoleh dari hasil perkalian antara skor terendah dan tertinggi dengan jumlah pertanyaan dalam setiap prosedur dan juga jumlah responden. Selang diperoleh dari selisih total skor tertinggi yang mungkin dibagi jumlah kategori jawaban kemudian dikurangi 1 (Sugiyono 2011). Selang =
Nilai Maksimum−Nilai Minimum Kategori Jawaban
−1
Selang untuk setiap penilaian adalah 199. Hasil dari selang tersebut kemudian diperoleh pengelompokkan kategori beserta nilai skornya, yaitu: 1. Tidak efektif bila total skor antara 300-499
17 2. Cukup efektif bila total skor antara 500-699 3. Efektif bila total skor antara 700-900 Hasil penilaian yang sudah diolah akan memberikan gambaran mengenai tingkat efektivitas dari masing-masing prosedur tahapan pembiayaan yang dikelola oleh Kemitraan Bumi Dipa kepada anggotanya. Selanjutnya akan diberikan berbagai alternatif tindakan yang dapat berguna bagi peningkatan pelayanan Kemitraan Bumi Dipa kepada para petambak yang menjadi mitranya terkait dengan efektivitas pembiayaan yang dilakukan. Uji t-Berpasangan Uji t berpasangan digunakan untuk mengetahui perbedaan yang terjadi setelah anggota mendapatkan pembiayaan. Data dalam uji t berpasangan ini merupakan data pendapatan berpasangan sebelum menerima pembiayaan dan setelah menerima pembiayaan dengan ragam tidak diketahui (Walpole 2005). Hipotesis uji t : H0 : µ = 0 H1 : µd > 0 d d0 Statistik uji : thit = sd/ n Keterangan : d = Selisih pendapatan sd = Standar deviasi n = Jumlah observasi Kriteria uji : thit < ttabel : terima H0, artinya pendapatan setelah bermitra tidak berbeda nyata pada taraf α = 5% terhadap pendapatan sebelum bermitra. thit > ttabel : tolak H0, artinya pendapatan setelah bermitra berbeda nyata pada taraf α = 5% terhadap pendapatan sebelum bermitra. Headcount Ratio Index (H) Headcount Ratio Index (H) mengukur jumlah petambak yang penghasilannya di bawah garis kemiskinan sebagai persentase dari populasi yang diobservasi. Kategori miskin didasarkan pada standar garis kemiskinan yang dikeluarkan BPS kemudian dikonversi menjadi garis kemiskinan keluarga per bulan. Formula untuk mengukur headcount ratio sebagai berikut : H=
𝑞
𝑛 Keterangan : H = headcount ratio q = jumlah petani yang berada di bawah garis kemiskinan n = jumlah observasi
Garis kemiskinan keluarga diperoleh dari mengalikan garis kemiskinan per kapita per bulan dengan rata-rata besar ukuran keluarga. Garis kemiskinan Kabupaten Tulang Bawang pada tahun 2013 sebesar Rp 295 738,- per kapita per bulan. Rata-rata
18 besaran rumah tangga merupakan hasil dari rasio total penduduk dengan jumlah rumah tangga yang terdapat di Kabupaten Tulang Bawang. Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kabupaten Tulang Bawang sebanyak 417 767 jiwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 111 537. Rata-rata besaran rumah tangga = Jumlah penduduk Kabupaten Tulang Bawang / Jumlah rumah tangga Kabupaten Tulang Bawang = 417 767 / 111 537 3.745 Sehingga garis kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Tulang Bawang (K) adalah : K = Garis kemiskinan per kapita per bulan x rata-rata besaran rumah tangga = Rp 295 738,- x 3.745 = Rp 1 107 539,- per rumah tangga per bulan Penggunaan headcount ratio sebagai alat analisis dalam penelitian ini untuk mengukur jumlah keluarga petambak yang berada di bawah garis kemiskinan dan menggambarkan perubahan yang terjadi setelah menjadi anggota Kemitraan Bumi Dipa. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Income Gap Index (I) Indeks kedalaman kemiskinan disebut juga poverty gap / kesenjangan kemiskinan (P1) dan Income Gap Index (I) digunakan untuk mengukur kedalaman kemiskinan. Rumusnya adalah : 𝑞 𝑧−𝑦𝑖 P1 = ∑𝑖=1 𝑞 Keterangan: P1= Kesenjangan kemiskinan Z = garis kemiskinan yi = pendapatan petambak ke-i q = jumlah petani yang berada di bawah garis kemiskinan
I= ∑𝑖=∈S(z)
𝑔𝑖
𝑞𝑧 Keterangan: I = Income gap ratio gi = selisih antara garis kemiskinan dengan pendapatan individu q = jumlah orang yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan z = garis kemiskinan
Sen Index of Poverty (P2) Sen Index of Poverty atau Indeks keparahan kemiskinan digunakan untuk menerangkan ketimpangan pendapatan antar penduduk miskin. Formula untuk indeks Sen : P2 = H [I + (1 − I)𝐺𝑝 ] H = Headcount ratio I = Income-gap ratio
19 Gp = Koefisien gini petani miskin Nilai indeks gini berkisar antara 0-1. Untuk indeks gini = 0 menandakan pemerataan pendapatan yang sempurna 0
GAMBARAN UMUM Sejarah Kemitraan Dipasena Dipasena merupakan kawasan pertambakan udang yang berada di Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung dan merupakan wilayah tambak udang terbesar di Asia Tenggara dengan luas wilayah sebesar 16 250 hektare. Kawasan ini terbagi menjadi 8 desa, yaitu Bumi Sentausa, Bumi Dipasena Utama, Bumi Dipasena Agung, Bumi Dipasena Jaya, Bumi Dipasena Mulia, Bumi Dipasena Makmur, Bumi Dipasena Sejahtera, dan Bumi Dipasena Abadi. Setiap desa terbagi menjadi 2 blok. Di setiap blok terbagi lagi menjadi 6 subblok (setara RW). Dipasena ini dulunya dikelola oleh P.T. Dipasena Citra Darmaja. Tambak udang Dipasena cukup berjaya pada masanya. Menurut Fadilasari (2012), pada tahun 1994 total ekspor yang dicapai Dipasena sebanyak 11 068 ton. Angka itu makin meningkat pada tahun 1995 yang naik menjadi 15 597 ton, dan mencapai puncaknya pada tahun 1996 yang mencapai 19 116 ton. Tercatat devisa negara yang disumbangkan oleh Dipasena mencapai U$ 3 juta. Tahun 1991, Dipasena mampu membukukan sebesar U$ 10 juta. Disusul U$ 30 juta pada tahun 1992. Dan puncaknya pada tahun 1995 hingga 1998 menghasilkan U$ 167 juta. Dalam pengelolaannya, P.T. Dipasena Citra Darmaja mencakup industri udang dari hilir ke hulu, yang terdiri dari pembibitan benur dengan kapasitas 8 miliar ekor pertahun, pabrik pakan dengan kapasitas 220 ribu ton pertahun, dan pabrik pengolahan udang 200 ton perhari. Selain itu P.T. Dipasena juga memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 160 MW, pabrik pengolahan udang dengan kapasitas 200 ton perhari, gudang penyimpanan udang beku (cold storage) berkapasitas 2 340 ton, dua
20 kapal untuk pengangkutan container dengan kapasitas 760 ton, serta enterpot produksi untuk tujuan ekspor (Fadilasari 2012).
Sumber : Survei Comdev Bumi Dipa 2014
Gambar 2 Peta Wilayah Dipasena . Pola kemitraan yang diterapkan oleh P.T. Dipasena Citra Darmaja dengan petambak adalah pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat) atau disebut juga pola inti plasma. Pada pola kemitraan ini, perusahaan bertindak sebagai inti yang menyediakan modal budi daya bagi petambak dalam bentuk pengadaan saprotam (sarana produksi tambak) seperti benur, pakan, dan obat-obatan. Sedangkan petambak bertindak sebagai plasma yang mengelola tambak dan melakukan budi daya udang. Selanjutnya, hasil budi daya udang ini dijual kembali ke perusahaan. Petambak tidak menerima imbal hasil dari laba bersih penjualan udangnya, melainkan dari bonus yang diberikan oleh perusahaan. Selain mendapat bonus, petambak juga mendapat tunjangan berupa sembako dan uang setiap bulannya yang akan diakumulasikan sebagai biaya operasi di akhir periode budi daya (panen). Pada awal berdirinya, P.T. Dipasena Citra Darmaja meminta seluruh petambak untuk menandatangani perjanjian kredit dengan bank guna mendapatkan kucuran dana. Dalam perjanjian kredit tersebut, petambak bertindak sebagai debitur (peminjam) sementara perusahaan bertindak sebagai avalis (penjamin). Dana pinjaman digunakan untuk membangun seluruh sarana dan prasarana kawasan pertambakan udang Dipasena. Adapun pengembaliannya akan dilakukan dengan cara mencicil yang didapat dari pemotongan dari laba bersih di setiap periode panen. Kemitraan yang dibangun oleh perusahaan dan petambak ini memang sempat berjaya. Namun, ketidakadilan dan diskrriminasi yang dilakukan oleh perusahaan nyatanya telah terjadi dalam prosesnya selama bertahun-tahun. Diskriminasi ini berujung kisruh yang dilakukan oleh petambak sendiri yang merasa hak-haknya telah direnggut oleh perusahaan. Kisruh terus berlanjut dan menyebabkan keadaan Dipasena kacau balau. Hal ini diperparah dengan krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada
21 tahun 1998 yang menyebabkan nilai utang kredit P.T. Dipasena Citra Darmaja mengalami inflasi yang berkali-kali lipat. Perusahaan pun bangkrut karena tak mampu membayar utang dan akhirnya melakukan pemutusan hubungan kerja dengan petambak. Aset Dipasena akhirnya diambil alih pemerintah. Setelah mengalami proses panjang, pada tahun 2007 aset Dipasena diambil alih oleh P.T. Central Proteinaprima (CP Prima) melalui proses tender. Pola kemitraan yang sama pun kembali dijalin antara perusahaan baru dengan petambak. Agenda kemitraan dimulai dengan revitalisasi prasarana Dipasena seperti tambak dan saluran pengairan yang rusak dan menjalankan kembali budiaya udang dengan perusahaan. Kemitraan ini mulanya berjalan cukup baik. Namun karena perlakuan yang sama seperti saat bermitra dengan P.T. Dipasena Citra Darmaja ditambah revitalisasi yang terkesan ditunda dan tidak merata, kisruh kembali terjadi dan berujung konflik antara perusahaan dan petambak. Konflik ini berakhir dengan ketidakjelasan hubungan antara petambak dengan CP Prima. Perusahaan tidak bersedia memutus hubungan kerja dengan petambak. Padahal revitalisasi terhenti begitu pula dengan produksi udang. Ribuan petambak pun menjadi tidak jelas nasibnya. Guna meneruskan usaha budi daya, para petambak memilih menggunakan modal sendiri atau menggunakan akses permodalan yang terjangkau hingga saat ini. Pola kemitraan yang dijalankan oleh pihak petambak dan pihak perusahaan ini seharusnya dapat menguntungkan kedua belah pihak. Bagi petambak, kemitraan membuka lapangan kerja dan penghasilan yang layak terbuka bagi mereka. Adapun bagi perusahaan kemitraan membuat mereka mendapatkan tenaga kerja yang terlatih sehingga usaha yang dijalankan lebih berkembang pesat. Namun, dalam praakteknya pihak perusahaan (inti) sangat mendominasi sehingga menyebabkan ketidakadilan terjadi pada petambak. Terdapat 3 permasalahan utama yang terjadi pada pola kemitraan inti-plasma ini, yaitu : a. Monopoli Perusahaan selaku inti menguasai industri dari hulu ke hilir. Mulai dari sarana produksi tambak sampai kebutuhan hidup petani dikuasai oleh inti. Petani harus membeli semua kebutuhan tersebut, terutama kebutuhan budi daya udang dari perusahaan, lalu menjual kembali hasil budi dayanya hanya kepada perusahaan. Dalam prakteknya, harga sarana produksi tambak dibuat melambung tinggi sehingga biaya operasi budi daya menjadi sangat besar sementara harga jual udang dibuat sangat rendah. Laba bersih yang didapat pun menjadi sangat kecil. Padahal sebagian dari laba bersih itu digunakan untuk membayar cicilan kredit petambak yang juga dijembatani oleh perusahaan. Imbal hasil yang diterima petambak bukan berasal dari laba bersih penjualan hasil buidayanya, melainkan dari bonus yang ditetapkan oleh inti. Ini merupakan praktek monopoli yang disertai diskriminasi. Pada akhirnya, petani memiliki posisi yang sangat lemah dalam kemitraan ditambah eksploitasi yang mengharuskan mereka terus menerus meningkatkan produktifitasnya untuk kepentingan perusahaan semata. Sementara mereka tidak dapat melepaskan diri dari kemitraan karena terjerat utang kredit berkepanjangan. b. Lemahnya sistem akuntansi plasma Sejak awal bermitra, perusahaan sangat tidak transparan dalam melaporkan arus keuangan petambak. Pada saat perjanjian kredit, petambak hanya diminta menandatangani akad yang disediakan tanpa memperoleh penjelasan sama sekali tentang berapa utang petani yang dibebankan oleh perusahaan, untuk apa penggunaannya, serta berapa besar cicilan dan jangka waktunya. Petani yang
22 rata-rata hanya tamatan SMA ini hanya mengikuti prosedur yang diajukan perusahaan. Praktek serupa juga terjadi pada saat panen. Perusahaan hanya memberikan faktur penjualan hasil budi daya kepada petani, tanpa memberikan laporan hasil budi daya secara akurat sehingga petani tak mengetahui berapa besar laba bersih yang didapat dan berapa persen yang digunakan untuk mencicil utangnya. Ini merupakan ‘pembodohan massal’ yang dilakukan oleh inti terhadap inti yang dilakukan guna terus menerus mengeksploitasi plasma (petambak) yang tidak pernah tahu sebenarnya bagaimana posisi keuangan mereka. Sikap tertutup perusahaan ini juga yang menyebabkan ketidakpercayaan dari pihak plasma yang lambat laun berujung kisruh. c. Tidak ada jaminan invetasi Pada saat masih terikat dengan pola PIR (Perusaaan Inti Rakyat), petambak sebenarnya telah membuka akses kepada investor dan lembaga keuangan sehingga mendapatkan pembiayaan yang besar guna membangun pertambakan udang yang produktif. Akses ini tentunya didapat karena adanya pihak perusahaan yang bertindak sebagai avalis (penjamin). Ini juga yang menjadi pertimbangan lain ketika mereka ingin memutuskan hubungan kerja dengan perusahaan. Pemutusan hubungan kerja akan menyebabkan para petambak sulit mendapat investor baru karena tidak adanya jaminan atas investasi. Sebagaimana permasalahan pertanian di Indonesia, sulitnya mendapat akses permodalan ini menyebabkan tersendatnya proses produksi petani. Kesulitan dalam mengakses modal ini disebabkan oleh tidak adanya jaminan yang dapat diagunkan oleh petani, baik berupa barang agunan maupun berupa lembaga penjamin, akibat kondisi perekonomian mereka yang lemah (miskin). Hal ini ditambah lagi usaha budi daya pertanian adalah usaha yang berisiko tinggi sehigga mengancam keamanan modal yang diinvestasikan.
Kondisi Demografis dan Ekonomi Kawasan Dipasena mulanya masuk dalam kecamatan Menggala, Kabupaten Lampung Utara. Setelah pemekaran wilayah, Dipasena yang terdiri dari 8 desa ini menjadi Kecamatan tersendiri yaitu Rawajitu Timur. Keberadaan Dipasena menjadi kecamatan tersendiri karena sudah mencukupinya persyaratan wilayah tersebut sebagai sebuah kecamatan, baik dari segi jumlah penduduk maupun luas wilayah. Berikut data fasilitas umum dan fasilitas sosial di Kecamatan Rawajitu Timur : 1. Sarana Ibadah • Masjid & Mushola : 108 unit • Gereja : 3 unit • Pura (Hindu) : 1 unit 2. Sarana Pendidikan • Taman Kanak-kanak : 9 unit • Sekolah Dasar : 9 unit • Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : 1 unit • Sekolah Kejuruan Perikanan Udang : 1 unit 3. Sarana Kesehatan & Poliklinik : 9 unit 4. Pasar & Waserba : 9 unit 5. Lapangan & Sarana Olah Raga : 9 unit
23 6. Kantor Pemerintah Kampung 7. Kantor Kecamatan
: :
8 unit 1 unit
Adapun jumlah penduduk Kecamatan Rawajitu Timur tahun 2013 menurut data BPS Tulang Bawang tahun 2014 adalah sebagai berikut. Tabel 6 Banyaknya Penduduk Kabupaten Tulang Bawang menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah
Kecamatan Banjar Agung Banjar Margo Gedung Aji Penawar Aji Meraksa Aji Menggala Penawar Tama Rawajitu Selatan Gedung Meneng Rawajitu Timur Rawa Pitu Gedung Aji Baru Dente Teladas Banjar Baru Menggala Timur
Laki-Laki 19 987 20 882 7 245 9 513 7 699 24 015 14 512 16 274 20 258 8 850 10 528 11 578 30 945 7 256 6 954 216 496
Penduduk Perempuan 18 835 18 932 6 874 8 749 6 824 23 765 13 488 15 546 18 730 7 482 9 206 10 265 29 271 6 792 6 512 201 271
Jumlah 38 822 39 814 14 119 18 262 14 523 47 780 28 000 31 820 38 988 16 332 19 734 21 843 60 216 14 048 13 466 417 767
Sumber : BPS Kabupaten Tulang Bawang 2014
Berdasarkan Tabel 6, jumlah penduduk Kecamatan Rawajitu Timur pada tahun 2013 adalah sebanyak 16 332 jiwa, atau 3.9% dari jumlah total penduduk Kabupaten Tulang Bawang. Rincian jumlah penduduk tersebut menurut kategori jenis kelamin adalah laki-laki sebanyak 8 850 atau 4.08% dari total penduduk laki-laki Kabupaten Tulang Bawang dan perempuan sebanyak 7 482 atau 3.7% dari total penduduk perempuan Kabupaten Tulang Bawang. Dilihat dari sisi kesejahteraan keluarga, masih banyak penduduk Kecamatan Rawajitu Timur yang tergolong dalam kategori pra sejahtera (sangat miskin) dan sejahtera I (miskin). Berdasarkan Tabel 7, terdapat 2 684 keluarga, atau 31,59% dari jumlah keluarga di Kecamatan Rawajitu Timur yang tergolong sebagai keluarga pra sejahtera. Kemudian terdapat 1 967 keluarga atau 23,15% dari jumlah keluarga di Kecamatan Rawajitu Timur yang tergolong sebagai keluarga sejahtera 1. Menurut BKKBN, definisi keluarga pra sejahtera (sangat miskin) adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: a. Indikator Ekonomi 1. Makan 2 kali sehari atau lebih 2. Memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah, bekerja/ sekolah dan bepergian) 3. Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah b. Indikator Non-Ekonomi 1. Melaksanakan ibadah
24 2. Bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan Adapun definisi keluarga sejahtera 1 (miskin) adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat mmenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi : a. Indikator Ekonomi 1. Paling kurang seminggu sekali keluarga makan daging atau ikan atau telur 2. Setahun terakhir selurruh anggota keluarga memperoleh paling kurang 1 stel pakaian baru 3. Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni b. Indikator Non-Ekonomi 1. Ibadah teratur 2. Sehat 3 bulan terakhir 3. Punya penghasilan tetap 4. Usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin 5. Usia 6-15 tahun bersekolah 6. Anak lebih dari 2 orang, ber-KB Tabel 7 Banyaknya Keluarga menurut Tahapan Keluarga Sejahtera per Kecamatan Kabupaten Tulang Bawang 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Total
Kecamatan Banjar Agung Banjar Margo Gedung Aji Penawar Aji Meraksa Aji Menggala Penawar Tama Rawajitu Selatan Gedung Meneng Rawajitu Timur Rawa Pitu Gedung Aji Baru Dente Teladas Banjar Baru Menggala Timur
Keluarga Pra Sejahtera 1 946 3 011 3 265 1 492 2 406 3 656 3 744 3 024 5 588 2 684 3 274 2 995 5 895 1 238 1 652 45 870
Keluarga Sejahtera I (KS I) 3 661 3 665 223 2 965 1 164 3 883 4 129 1 992 4 268 1 967 2 246 1 962 1 030 1 418 1 262 35 835
KS II
KS III
KS III+
Jumlah KK
3 872 2 535 120 1 048 98 2 909 1 377 1 514 1 810 1 603 788 805 3 095 1 228 957 23 759
193 361 27 21 2 239 35 847 499 1 318 220 360 88 223 31 4 464
64 3 0 0 0 8 0 280 116 924 79 116 6 6 0 1 602
9 736 9 575 3 635 5 526 3 670 10 695 9 285 7 657 12 281 8 496 6 607 6 238 10 114 4 113 3 902 111 530
Sumber : BPS Kabupaten Tulang Bawang 2014
Kemitraan Bumi Dipa sebagai Kemitraan dengan Pola Bagi Hasil Kemitraan dengan pola inti plasma yang telah dijalani oleh Dipasena memang selalu berakhir dengan kegagalan dan pemutusan hubungan kerja yang tak terlepas dari 3 permasalahan kemitraan yang telah dipaparkan sebelumnya. Hal ini yang lalu memicu P3UW (Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu) sebagai organisasi petambak Dipasena mulai mengkaji model kemitraan yang tepat untuk diterapkan bagi petambak. Setelah mengalami diskusi panjang, P3UW melalui KPBD (Koperasi Petambak Bumi Dipasena) mendirikan P.T. Bumi Dipa pada tahun 2013. Pihak manajemennya adalah
25 para profesional yang direkrut oleh P3UW beserta sebagian pengurus P3UW dan KPBD sendiri. P.T. Bumi Dipa memiliki struktur kerja yang memberikan pelayanan pada tiga bidang utama, yaitu: a. Bidang Operasi dan Pemasaran. Bentuk layanan yang diberikan pada bidang ini di antaranya adalah: 1. Operasional budi daya, panen serta pasca panen. 2. Pelayanan konsultasi bagi mitra petambak mengenai budidya dan panen. 3. Perawatan sarana produksi tambak. 4. Penelitian dan pengembangan. b. Bidang Keuangan dan Umum. Bentuk layanan yang diberikan pada bidang ini adalah: 1. Administrasi investasi dan permodalan budi daya. 2. Manajemen transaksi budi daya dan non budi daya. 3. Administrasi sarana produksi tambak. c. Bidang Pengembangan Komunitas (Community Development). Bidang ini memberikan layanan kepada petambak dalam bentuk: 1. Manajemen usaha “non-budi daya” (Sembako, dll). 2. Pengembangan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat. 3. Perawatan fasilitas umum dan fasilitas sosial. 4. Pembinaan lingkungan sosial. Struktur P.T. Bumi Dipa adalah sebagai berikut 1. Komisiaris 2. Komisaris 3. Direktur Utama 4. Direktur Budi daya 5. Direktur Comdev (Community Development) 6. Direktur Keuangan
: Nafian Faiz : Ikhsanudin Nursi : Jupri Syahroni : Towilun : Dani Setiawan : Razib
Bentuk kemitraan yang dijalankan adalah kemitraan (pembiayaan) budi daya tambak udang berbasis bagi hasil. Hal ini karena pembiayaan berbasis bagi hasil dipandang sebagai sistem yang sesuai syariah dan mengandung asas kekeluargaan yang sesuai dengan prinsip UUD 1945 pasal 33 ayat 1 tentang koperasi. Sistem kemitraan Bumi Dipa sebenarnya berpedoman pada sistem ekonomi syariah. Hanya saja supaya lebih universal dan sesuai dengan basis perekonomian Indonesia yaitu UUD 1945, maka sistem ini disebut sistem ekonomi konstitusi, atau dapat juga disebut sistem ekonomi kerakyatan. Kemitraan Bumi Dipa memiliki komitmen untuk menyejahterakan petambak dalam kemitraannya. Bagi hasil pun ditetapkan sebesar 80% untuk mitra petambak, 15% untuk pemodal, dan 5% untuk manajemen Bumi Dipa dan persentase tersebut diambil dari laba bersih penjualan hasil budi daya udang. Mitra petambak mendapat porsi paling besar karena dalam kemitraan ini petambak dianggap sebagai “orang yang berilmu” yang memiliki pengalaman budi daya udang selama puluhan tahun. Sehingga mitra petambak dalam kemitraaan in disebut juga “mitra ahli” yang diistimewakan dengan mendapat porsi bagi hasil terbesar. Hal ini juga sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 :
26 “Dan Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang menuntut ilmu dengan beberapa derajat.” Untuk mengatasi masalah jaminan investasi, manajemen kemitraan menetapkan adanya CRU (Cadangan Rasio Usaha), yaitu potongan yang dikenakan kepada mitra ahli yang berhasil dalam budi dayanya. Besar CRU ini adalah 10% dari biaya operasional budi daya. Dana CRU digunakan untuk menutupi kerugian dari mitra ahli yang gagal budi dayanya, sehingga mitra ahli yang gagal tersebut tidak menanggung kerugian serta modal tidak berkurang. Mekanisme CRU ini adalah bentuk tabarru’ (saling menanggung) atau ta’awun (saling tolong-menolong) antar sesama mitra ahli. Tabel 8 Laporan Permodalan Kemitraan Bumi Dipa Periode Juni 2014 Agustus 2014 Desember 2014 Maret 2015
Total Dana Investor (Dalam Rupiah) 4 317 124 999 4 705 124 999 5 283 476 999 5 627 476 999
Sumber : www.bumidipa.com, 2014 (diolah)
Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat bahwa dana investasi Kemitraan Bumi Dipa meningkat cukup stabil. Ini menandakan adanya kepercayaan investor terhadap bahwa pada sistem pembiayaan yang dilakukan oleh Kemitraan Bumi Dipa memiliki sistem yang baik terutama dalam masalah pengamanan modal usaha. Kerugian dari kegagalan budi daya petambak mitra tidak ditanggung oleh investor, namun oleh CRU (Cadangan Rasio Usaha). CRU merupakan potongan yang dibebankan kepada mitra petambak yang berhasil dalam budi dayanya. Akumulasi CRU inilah yang digunakan untuk menanggung kerugian dari mitra petambak yang gagal. Pola bagi hasil yang diterapkan di kemitraan ini secara ringkas adalah sebagai berikut :
Sumber : www.bumidipa.com
Gambar 3 Pola Bagi Hasil
27 Komitmen lain yang diterapkan Kemitraan Bumi Dipa untuk menyejahterakan petambak juga ditunjukkan pada manajemen budi daya. Pada kemitraan ini modal yang diberikan untuk mitra ahli (petambak) bukan dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk saprotam (sarana produksi tambak) yang diberikan secara berkala sesuai kebutuhan. Prinsip yang dipegang dalam hal ini adalah menyediakan saprotam berkualitas baik namun dengan harga murah, sehingga biaya operasional yang digunakan menjadi efisien. Selain itu komitmen ini ditunjukkan dengan menjual hasil budi daya udang dengan harga tertinggi. Pada akhirnya, laba bersih yang didapat dari budi daya udang akan tinggi karena biaya operasional yang murah serta harga jual yang tinggi. Tidak akan ada permasalahan diskriminasi terhadap petambak sebagaimana yang terjadi saat menggunakan pola inti plasma dalam kemitraan. Selanjutnya untuk mengatasi sistem akuntansi yang lemah, Kemitraan Bumi Dipa bekerja sama Bank Syariah Mandiri dalam pengelolaan modalnya (Cash Management). Dengan adanya kerjasama ini kemitraan akan mampu mengelola keuangannya secara akuntabel, profesional, dan transparan untuk petambak. Keuntungan yang diperoleh Bank Syariah Mandiri berasal dari dana mengendap dari investor serta transaksi kas di kemitraan. Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan sebelumnya, terdapat empat pihak yang terlibat dalam Kemitraan Bumi Dipa. Pihak-pihak tersebut antara lain P.T. Bumi Dipa, KPBD, Bank Syariah Mandiri, dan P3UW. Peran masing-masing pihak dalam kemitraan adalah sebagai berikut:
Pihak Pendukung P.T. Bumi Dipa KPBD (Koperasi Petambak Bumi Dipasena) BSM (Bank Syariah Mandiri) P3UW (Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu)
Tabel 9 Kemitraan Bumi Dipa Peran Wali amanah atau manajemen pengelolaan pembiayaan budi daya udang petambak Wadah kerja petambak berbadan hokum koperasi sebagai sarana menampung seluruh petambak dipasena yang sepakat dengan pola kemitraan bagi hasil Bank yang mendukung seluruh sistem administrasi transaksi tunai (cash management) para petambak dan mitra kerjanya Organisasi kemasyarakatan milik petambak Bumi Dipasena yang berfungsi mendukung dan mengawasi pelaksanaan kemitraan agar sesuai dengan falsafah kemitraan yang ada
Sumber : www.bumidipa.com
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Dalam penelitian ini pembagian karakteristik responden adalah berdasarkan rentang usia, status pernikahan, pendidikan, pengeluaran rumah tangga, lama usaha budi daya, dan lama menjadi anggota kemitraan.
28 Rentang Usia Usia responden dalam penelitian ini dibagi menjadi 4 rentang, yaitu rentang kurang dari 30 tahun, 30-39 tahun, 40-49 tahun, dan 50-59 tahun. Adapun komposisinya dapat dilihat di Gambar 4.
Rentang Usia < 30 tahun
30-39 tahun
40-49 tahun
8%
10%
50-59 tahun
11%
71%
Gambar 4 Karakteristik Responden Berdasarkan Rentang Usia Gambar 4 menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki usia pada rentang 40-49 tahun dengan persentase sebesar 71% atau sebanyak 71 orang. Selanjutnya sebanyak 10% responden memiliki usia kurang dari 30 tahun, 11% responden memiliki usia pada rentang 30-39 tahun dan 8% responden memiiki usia pada rentang 50-59 tahun. Usia terendah responden adalah 21 tahun sementara usia tertinggi responden adalah 56 tahun. Status Pernikahan Responden Responden dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi 2 kategori status, yakni status sudah menikah dan status belum menikah. Data karakteristik responden berdasarkan status pernikahan dapat dilihat pada Gambar 5.
Status Pernikahan Menikah
.
Belum Menikah 2%
98%
Gambar 5 Karakteristik Responden Berdasarkan Status Pernikahan
29 Berdasarkan Gambar 5, dapat diketahui bahwa 98% responden telah menikah sementara sisanya belum. Dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh responden berstatus menikah. Tingkat Pendidikan Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan responden cukup beragam, mulai dari lulusan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Diploma, dan Strata 1 (S1). Mayoritas responden adalah lulusan SMA dengan persentase 70%. Adapun 4% responden adalah lulusan SD, 24% lulusan SMP, serta untuk lulusan Diploma dan S1 masing-masing 1%.
Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah
SD 1%
SMP 1% 0%
SMA
Diploma
S1
4% 24%
70%
Gambar 6 Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Pengeluaran Rumah Tangga Pengeluaran rumah tangga perbulan responden cukup bervariasi, dengan rentang Rp 500 000,- sampai dengan Rp 8 000 000,-. Oleh karena itu, pengeluaran rumah tangga responden kemudian dikelompokkan menjadi 5 selang, yakni responden dengan pengeluaran Rp 0-Rp 1 juta, lebih dari Rp 1 juta-Rp 2 juta, lebih dari Rp 2 juta-Rp 3 juta, lebih dari Rp 3 juta-Rp 4 juta dan lebih dari Rp 4 juta.
Pengeluaran Rumah Tangga Perbulan 0-1 juta
>1-2 juta 11%
8%
>2-3 juta
>3-4 juta
>4 juta
10%
36% 35%
Gambar 7 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran Rumah Tangga Per Bulan
30 Berdasarkan Gambar 7, pengeluaran rumah tangga responden paling banyak adalah pada selang lebih dari Rp 1 juta-Rp 2 juta dengan persentase 36% sedangkan paling sedikit adalah pada selang lebih dari Rp 4 juta dengan persentase 8%. Lama Usaha Budi daya Berdasarkan Gambar 8, responden menjadi petambak Dipasena dalam rentang waktu yang sangat bervariasi dari 1-25 tahun. Sebanyak 78% responden telah menjadi petambak Dipasena pada rentang waktu 16-25 tahun. Ini menandakan bahwa mayoritas responden telah menjadi petambak Dipasena sejak era P.T. Dipasena Citra Darmaja (1899-2000). Sementara 16% responden menjadi petambak sejak masa transisi (20012006) dan masa Dipasena bermitra dengan CP Prima (2007-2010).
Lama Usaha (Tahun) 1-5
6-10
32%
11-15
16-20
13%
>20
6% 3%
46%
Gambar 8 Karakteristik Responden berdasarkan Lama Usaha Hal ini menandakan hampir seluruh responden pernah merasakan sistem budi daya udang yang mapan di bawah kendali perusahaan (inti) sehingga mereka cukup terlatih dalam budi daya udang secara modern. Namun sayangnya pengalaman di masa lalu ini tidak diimbangi dengan pengetahuan yang cukup memadai sehingga petambak menjadi kesulitan dalam melakukan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan yang ada terutama pada saat kondisi alam yang tidak mendukung seperti pergantian musim, perairan yang tidak baik, dan penyakit udang dari alam. Lama menjadi Mitra Ahli Aktif Untuk mengetahui berapa lama responden telah menjadi mitra ahli yang aktif dibiayai dapat dilihat dari berapa siklus budi daya udang responden yang dibiayai oleh Kemitraan Bumi Dipa. Satu siklus budidaya rata-rata berkisar antara 70 sampai dengan 90 hari dalam kondisi normal. Berdasarkan Gambar 9, dapat dilihat bahwa kebanyakan responden telah menjadi mitra ahli yang aktif dibiayai selama 2-3 siklus budi daya dengan persentase sebanyak 52%. Sementara persentase terkecil adalah 5 siklus budi daya sebanyak 6%.
31
Lama menjadi Mitra Ahli Aktif 1 siklus
2 siklus
3 siklus
6%
12%
4 siklus
5 siklus
6 siklus
18%
12% 21%
31%
Gambar 9 Karakteristik Responden berdasarkan Lama menjadi Mitra Ahli Aktif
Analisis Efektivitas Pembiayaan yang Dikelola Kemitraan Bumi Dipa Efektivitas pembiayaan yang dikelola oleh Kemitraan Bumi Dipa dinilai berdasarkan persepsi petambak yang menjadi anggota. Penilaian efektivitas pembiayaan yang dikelola dilihat dari aspek pengajuan, pencairan pembiayaan, pengembalian pengembalian, dampak terhadap kondisi usaha anggota, serta penawaran pembiayaan. Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Pengajuan Pembiayaan Tahap pengajuan merupakan tahapan awal yang harus dilalui bagi petambak yang ingin menjadi anggota Kemitraan Bumi Dipa. Indikator-indikator yang dijadikan acuan untuk menilai efektivitas pembiayaan yang dikelola Kemitraan Bumi Dipa pada tahap pengajuan adalah persyaratan kemitraan, prosedur pembiayaan, dan saldo minimal investasi. Tabel 10 Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Pengajuan Pembiayaan Skor A Skor B Skor C No Aspek Pengajuan Total (3) (2) (1) 1 Persyaratan Kemitraan 99 1 0 299 2 Prosedur Pembiayaan 95 5 0 294 3 Saldo Minimal Investasi 100 0 0 300 Total Skor 893 Sumber: Data primer (2015).; Skor 1, Skor 2, Skor 3 (orang) Keterangan: Skor 1 untuk jawaban (nomor 1) sulit, (nomor 2) lama, (nomor 3) besar Skor 2 untuk jawaban (nomor 1, 2, dan 3) sedang Skor 3 untuk jawaban (nomor 1) mudah, (nomor 2) cepat, (nomor 3) kecil
Tabel 10 menjelaskan bahwa mayoritas responden mengatakan persyaratan untuk pengajuan Kemitraan Bumi Dipa mudah. Hal ini karena untuk mendaftar seebagai mitra ahli, persyaratan yang dibutuhkan hanya berupa fotokopi KTP, surat
32 rekomendasi dari desa setempat, serta membuka rekening Bank Syariah Mandiri yang sudah disediakan di kantor P.T. Bumi Dipa. Selanjutnya dari segi prosedur pembiayaan, mayoritas responden mengatakan bahwa prosedur pengajuan pembiayaan di Kemitraan Bumi Dipa cepat dan tidak rumit. Hal ini karena memang tidak ada prosedur lain yang harus dilengkapi oleh petambak selain melengkapi persyaratan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, pembiayaan juga tidak mensyaratkan agunan apapun sehingga setelah mendaftar petani tersebut langsung terdaftar sebagai mitra ahli (anggota). Pada Kemitraan Bumi Dipa, terdapat syarat untuk membuka rekening Bank Syariah Mandiri dengan sejumlah saldo tertentu. Salahsatu tujuan dari adanya rekening ini adalah untuk investasi bagi mitra ahli. Saldo awal yang ditanam di rekening digunakan sebagai modal yang selanjutnya akan dikelola oleh manajemen. Dengan adanya rekening ini pula, sitem pembukuan keuangan mitra ahli juga menjadi rapi dan trasparan. Dari Tabel 10, seluruh responden mengatakan bahwa saldo minimal yang dibutuhkan utuk membuka rekening kecil, yaitu berkisar Rp 200 000,- saja untuk mendapatkan pembiayaan yang berkisar Rp 40 000 000,-. Secara keseluruhan, pengajuan pembiayaan pada Kemitraan Bumi Dipa tergolong efektif dengan skor 893. Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Realisasi Pembiayaan Pada Kemitraan Bumi Dipa, modal yang diberikan kepada anggota bukan dalam bentuk uang seperti yang dilakukan oleh lembaga keuangan pada umumnya. Modal diberikan dalam bentuk pengadaan saprotam (sarana produksi tambak) secara berkala sesuai dengan kebutuhan budidaya udang anggota. Dengan demikian, modal dapat digunakan secara tepat untuk kegiatan budi daya udang yang produktif. Penilaian terhadap efektivitas pencairan pembiayaan dilakukan dengan mengacu pada 3 indikator, yaitu realisasi pembiayaan (pengadaan saprotam), biaya administrasi yang timbul selama realisasi pembiayaan atau pun pada saat pengadaan saprotam, serta kemampuan dalam memenuhi pembiayaan. Tabel 11 Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Realisasi Pembiayaan Skor A Skor B Skor C No Aspek Pencairan Pembiayaan Total (3) (2) (1) 1 Realisasi Pembiayaan 61 20 19 242 2 Biaya Administrasi 100 0 0 300 3 Kemampuan dalam Memenuhi 73 27 0 273 Pembiayaan Rata-Rata Skor 815 Sumber: Data primer (2015).; Skor 1, Skor 2, Skor 3 (orang) Keterangan: Skor 1 untuk jawaban (nomor 1) lama, (nomor 2) berat, (nomor 3) tidak mampu Skor 2 untuk jawaban (nomor 1 dan 2) sedang, (nomor 3) kurang mampu Skor 3 untuk jawaban (nomor 1) cepat, (nomor 2) ringan, (nomor 3) mampu
Tabel 11 menjelaskan bahwa 19% responden mengatakan realisasi pembiayaan yang diajukan tergolong lama dengan jangka waktu lebih dari 1 bulan serta 20% responden mengatakan realisasi pembiayaan tergolong sedang dengan jangka waktu sebulan. Sedangkan 61% responden mengatakan bahwa realisasi pembiayaan tergolong cepat dengan jangka waktu kurang dari sebulan. Hal ini disebabkan karena pembiayaan yang dilakukan kepada mitra ahli memang dilakukan secara bergulir serta keterbatasan
33 modal untuk membiayai mitra ahli dalam jumlah banyak secara secara serempak. Namun, secara keseluruhan realisasi pembiayaan masih tergolong efektif dengan skor 242. Dari segi administrasi, seluruh responden mengatakan bahwa biaya yang dibutuhkan dalam realisasi pembiayaan tergolong efektif tergolong ringan. Hal tersebut karena tidak ada biaya administrasi khusus yang dibutuhkan dalam proses realisasi pembiayaan. Hanya biaya-biaya pengiriman saprotam (sarana produksi tambak) saja yang ada selama proses pembiayaan dan dibebankan sebagai biaya operasi di akhir periode budi daya. Dari segi pembiayaan, sebanyak 27% responden mengatakan bahwa Kemitraan Bumi Dipa kurang mampu memenuhi permintaan pembiayaan sesuai keinginan anggota (mitra ahli). Hal ini karena memang modal yang tersedia pada Kemitraan Bumi Dipa masih terbatas ditambah lagi kerugian yang dialami selama beberapa periode terakhir sedangkan 73% responden lainnya masih menganggap kemitraan mampu memenuhi pembiayaan sesuai keinginan. Untuk tahap realisasi pembiayaan secara keseluruhan, Kemitraan Bumi Dipa tergolong efektif dengan skor 815. Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Pengembalian Pembiayaan Pada Kemitraan Bumi Dipa, pengembalian pembiayaan yang telah diberikan tidak dilakukan dengan membayar uang secara langsung sebagaimana yang diterapkan pada lembaga-lembaga pembiayaan pada umumnya. Akan tetapi, pengembalian pembiayaan dilakukan mitra ahli dengan cara menjual hasil panennya melalui pihak manajemen ke pembeli (buyer) dengan harga tertinggi di akhir periode budi dayanya (panen). Batas maksimum budiayanya sendiri ditentukan selama 85 hari. Lalu, dilakukan penghitungan terhadap hasil penjualan udang berikut biaya operasionalnya. Setelah itu dilakukan penghitungan bagi hasil dengan pola yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menentukan efektivitas kemitraan Bumi Dipa dari tahap pengembalian pembiayaan dapat ditentukan dari beberapa indikator, yaitu besarnya potongan-potongan yang timbul dalam penghitungan laba bersih hasil penjualan (CRU, infaq, dan iuran-iuran lainnya), jangka waktu budi daya yang ditetapkan, serta persentase bagi hasil untuk pihak manajemen dan mitra pemodal. Tabel 12 Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Pengembalian Pembiayaan No Aspek Pengembalian Skor A Skor B Skor C Total Pembiayaan (3) (2) (1) 1 Besar CRU, Infaq, dan Iuran 68 15 17 251 Lain 2 Jangka Waktu Budi daya 2 81 17 185 3 Persentase Bagi Hasil untuk 92 7 1 291 Pihak Manajemen dan Investor Total Skor 727 Sumber: Data primer (2015).; Skor 1, Skor 2, Skor 3 (orang) Keterangan: Skor 1 untuk jawaban (nomor 1) besar, (nomor 2) cepat, (nomor 3) berat Skor 2 untuk jawaban (nomor 1, 2, dan 3) sedang Skor 3 untuk jawaban (nomor 1) kecil, (nomor 2) lama, (nomor 3) kecil
34 Berdasarkan Tabel 12, sebanyak 68% responden menyatakan bahwa besarnya potongan-potongan dalam penghitungan laba bersih budi daya, terutama CRU dan infaq tergolong tidak memberatkan. Hal ini karena mereka memahami bahwa dana CRU memang digunakan untuk menutupi kerugian mitra ahli lain yang budi dayanya gagal. Ini merupakan bukti komitmen para mitra ahli untuk saling menanggung (tabarru’) dan saling tolong-menolong (ta’awun) antar sesama. Sedangkan adanya potongan infaq merupakan bentuk zakat yang dilakukan guna membersihkan harta mereka. Meskipun demikian, 15% responden menyatakan bahwa potongan-potongan tersebut terutama CRU sedang (agak memberatkan) dan 17% responden menyatakan bahwa potongan tersebut besar (memberatkan). Ini karena persentase CRU adalah 10% dari total biaya operasi, bukan dari laba kotor sehingga terasa besar dan cukup memberatkan. Dari segi jangka waktu budi daya, 81% responden menyatakan batas waktu yang ditetapkan oleh pihak manajemen tergolong sedang (terlalu minimum atau kurang longgar), sedangkan 17% responden menyatakan terlalu cepat. Hal ini seperti penuturan beberapa responden berikut: “Emang kalo budi dayanya dibatesin 85 hari itu masih kecepetan sebenernya. Kalo bisa ya dibikin lebih longgar lagi atau sesuai permintaan anggota. Biar panennya juga lebih maksimal.” “Budidaya vaname itu kan sebenernya normalnya 3 bulan atau lebih dikit. Jadi kalo bisa jangan 85 hari lah paling lama bates budi dayanya. Mendingan dibikin 90 atau 100 hari aja.” Penetapan jangka waktu budi daya maksimum 85 hari ini memang berdasarkan proyeksi pihak manajemen terhadap standar waktu budi daya serta modal yang harus digulirkan secara tepat waktu untuk membiayai mitra ahli lainnya. Namun memang sebaiknya pihak manajemen dapat lebih mengkaji jumlah mitra ahli maksimal yang dapat dibiayainya sesuai dengan ketersediaan modal serta memberikan fleksibilitas kepada mitra ahli (anggota) untuk melakukan budi daya sesuai jangka waktu yang diinginkannya. Hal ini supaya hasil budi daya udang yang didapat menjadi lebih maksimal. Dari segi persentase bagi hasil untuk pihak manajemen dan mitra pemodal (margin pembiayaan), sebanyak 92% responden menyatakan bahwa margin tersebut kecil, sedangkan 7% responden menilai sedang dan 1% responden menilai besar (memberatkan). Secara keseluruhan, margin pembiayaan tergolong efektif dengan skor 291. Ini membuktikan komitmen Kemitraan Bumi Dipa dalam menyejahterakan mitra ahlinya dengan memberikan porsi yang besar dalam bagi hasil. Secara total, pada tahap pengembalian pembiayaan Kemitraan Bumi Dipa tergolong efektif dengan skor 727. Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Dampak Pembiayaan Pada dampak pembiayaan, efektivitas Kemitraan Bumi Dipa diukur dengan menganalisis perkembangan usaha budi daya udang mitra ahli, peningkatan keuntungan, dan peningkatan asset budi daya anggota. Berdasarkan Tabel 13, dari segi perkembangan usaha 37% responden menyatakan ada perkembangan usaha budi daya sejak menjadi mitra ahli di Kemitraan Bumi Dipa, 38% responden menyatakan belum ada perkembangan usaha budi daya sementara 25% responden menyatakan terjadi penurunan usaha budi daya. Belum
35 adanya perkembangan usaha ini juga dapat dilihat dari tingkat keuntungan dan peningkatan aset yang didapat. Tabel 13 Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Dampak Pembiayaan No Aspek Dampak Pembiayaan Skor A Skor B (2) Skor C Total (3) (1) 1 Perkembangan Usaha 37 38 25 212 2 Tingkat Keuntungan 31 4 65 166 3 Peningkatan asset 35 60 5 230 Total Skor 608 Sumber: Data primer (2015).; Skor 1, Skor 2, Skor 3 (orang) Keterangan: Skor 1 untuk jawaban (nomor 1, 2, dan 3) menurun Skor 2 untuk jawaban (nomor 1, 2, dan 3) tetap Skor 3 untuk jawaban (nomor 1 dan 2) meningkat, (nomor 3) ya
Pada tingkat keuntungan, sebanyak 31% responden menyatakan bahwa terdapat peningkatan keuntungan yang didapat sejak menjadi anggota Kemitraan Bumi Dipa. Sedangkan 65% responden justru menyatakan terjadi penurunan keuntungan dan sisanya menyatakan bahwa tingkat keuntungan yang didapat cenderung tetap. Pada segi peningkatan aset, sebanyak 35% responden menyatakan bahwa terdapat peningkatan aset, terutama aset budi daya udang sejak menjadi anggota Kemitraan Bumi Dipa. Sementara 60% responden menyatakan belum ada peningkatan aset dan sisanya justru menyatakan bahwa aset budi dayanya menurun karena rusak dan tidak ada biaya untuk memperbaikinya. Belum berkembangnya usaha budi daya ini bukan disebabkan oleh kurang baiknya pembiayaan yang dikelola oleh Kemitraan Bumi Dipa, namun lebih karena memang terjadi kegagalan budidaya udang anggota selama beberapa periode terakhir. Hal ini sebagaimana penuturan beberapa orang responden sebagai berikut. “Emang masih sama aja sih budi dayanya. Belum berkembang. Tapi ya bukan karena saya ikut Bumi Dipa. Budi dayanya aja yang emang lagi susah. Lagi musim telek putih (nama penyakit udang).” “Pas ikut Bumi Dipa emang kebetulan pas budi dayanya lagi susah, jadi gagal. Tapi malah saya diuntungin sama Bumi Dipa. Soalnya kan kalo budi dayanya gagal ga nanggung kerugian. Jadi enaknya ya walaupun budi daya gagal tapi ga nanggung utang ke Bumi Dipa. Karena ada CRUnya itu sih jadi bisa nutup kerugian.” Kurang berkembangnya usaha budi daya ini disebabkan oleh faktor alam seperti perubahan lingkungan, musim, serta penyakit udang yang selama beberapa periode terakhir ini menyebabkan kegagalan budi daya. Selain itu, banyak juga diantara mitra ahli yang masih melakukan budi daya udang tanpa memperhatikan SOP budi daya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, perlu adanya pembinaan secara intensif dan berkala yang dilakukan oleh pihak manajemen sehingga mitra ahli dapat melakukan budidaaya udang sesuai SOP yang ada. Secara keseluruhan, Kemitraan Bumi Dipa masih cukup efektif dalam memberikan dampak terhadap kondisi usaha petambak dengan skor 608.
36 Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Aspek Penawaran Penilaian terhadap efektivitas pembiayaan dari aspek penawaran dilakukan dengan menilai beberapa indikator, yaitu pemahaman responden tentang model kemitraan, sosialisasi model kemitraan, dan loyalitas responden terhadap kemitraan. Tabel 14 Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Aspek Penawaran No Aspek Penawaran Skor A Skor B Skor C Total (3) (2) (1) 1 Pemahaman tentang Model 99 1 0 299 Kemitraan 2 Sosialisasi Model Kemitraan 80 17 3 277 3 Loyalitas dalam Kemitraan 62 6 32 230 Total Skor 806 Sumber: Data primer (2015).; Skor 1, Skor 2, Skor 3 (orang) Keterangan: Skor 1 untuk jawaban (nomor 1) tidak mudah dimengerti dan merugikan, (nomor 2) tidak aktif, dan (nomor 3) tidak Skor 2 untuk jawaban (nomor 1) tidak mudah dimengerti namun menguntungkan, (nomor 2) kurang aktif, (nomor 3) ragu-ragu Skor 3 untuk jawaban, (nomor 1) mudah dimengerti dan menguntungkan, (nomor 2) aktif, (nomor 3) ya
Dari segi pemahaman terhadap konsep kemitraan, hampir seluruh responden memahami model Kemitraan Bumi Dipa. Hal ini menandakan pihak manajemen mampu mendesain pola kemitraan yang mudah dipahami mitra ahlinya. Sebagaimana menurut Anjani (2013), praktek kegiatan bisnis yang berlandaskan prinsip syariah sebenarnya sudah sejak lama diterapkan oleh para petani di Indonesia seperti sistem maro dan mertelu. Hal ini menjadikan penerapan prinsip pembiayaan syariah pada sektor–sektor pertanian nampaknya bukanlah menjadi hal yang menyulitkan petani, namun memberikan keuntungan yang lebih besar bagi mereka dan keadilan yang lebih merata bagi semua pihak yang terlibat. Sebanyak 80% responden menyatakan bahwa petugas tergolong aktif dalam mensosialisasikan sistem kemitraan di setiap pertemuan. Sementara itu sebanyak 17% responden menyatakan bahwa petugas kurang aktif dalam mensosialisasikan sistem kemitraan dan sisanya menyatakan tidak aktif. Pihak manajemen Kemitraan Bumi Dipa memang secara rutin mensosialisasikan sistem kemitraan di setiap pertemuan, terutama kepada mitra ahli yang baru. Pada awal terbentuknya kemitraan bahkan petugas aktif “menjemput bola” ke petambak untuk menawarkan sistem kemitraan. Brosur dan pedoman dalam kemitraan pun diberikan kepada setiap mitra ahli. Selain itu, pihak manajemen juga membuka layanan konsultasi via sms kepada mitra ahlinya setiap hari pada jam-jam tertentu. Dari segi loyalitas terhadap kemitraan, sebanyak 62% responden menyatakan bahwa mereka akan tetap loyal terhadap kemitraan. Hal tersebut karena pada kemitraan ini mitra ahli tidak menanggung risiko kegagalan budi daya serta sistem yang sesuai syariah sehingga mereka dapat lebih tenang dalam menjalankan usaha budi dayanya. Kemitraan juga dinilai masih menguntungkan dan mampu menjangkau petambak yang miskin dan kekurangan modal. Sementara itu, sebanyak 32% responden menyatakan bahwa mereka tidak lagi loyal terhadap kemitraan dan 6% responden menyatakan ragu-ragu. Hal ini disebabkan
37 2 hal. Pertama, modal yang diberikan dinilai terbatas sehingga kurang memenuhi kebutuhan akan budi daya udang. Kedua, pihak manajemen melakukan penundaan pembiayaan terhadap mitra ahli yang dinilai kondisi budi dayanya sedang tidak baik. Hal ini seperti penuturaan beberapa responden: “Saya itu ya sebenernya masih pengen dimodalin sama Bumi Dipa lagi. Tapi dari Bumi Dipanya yang nunda-nunda terus. Gara-garanya budi daya saya gagal. Nundanya juga ga jelas berapa lama. Jadi ya saya mending ikut binaan lain biar dimodalin budi dayanya.” “Waktu itu kan saya nelpon ke orang Bumi Dipa. Minta kejelasan. Katanya saya ditunda dulu tebar udangnya (diberi permodalan budi daya). Tapi ga jelas berapa lama. Lha penghasilan saya kan cuma dari budi daya ini. Jadi ya tebar sendiri dulu walaupun modal pas-pasan.” Dalam Kemitraan Bumi Dipa, mitra ahli memang tidak diikat dengan perjanjian untuk selalu mendapat pembiayaan. Mitra ahli dapat melakukan budi daya dengan modal sendiri jika sedang tidak ingin dibiayai atau ketika kemitraan belum mampu membiayai usaha budi dayanya. Lalu di periode selanjutnya mitra ahli ini dapat kembali mengajukan pembiayaan tanpa perlu mendaftar lagi. Keadaan seperti ini berpotensi menimbulkan moral hazard yang dapat dilakukan baik oleh mitra ahli maupun pihak manajemen, dimana pihak manajemen bisa saja menunda pembiayaan disaat usaha budi daya petambak sedang berisiko dan kembali memberikan pembiayaan disaat usaha budi dayanya tidak berisiko besar. Adapun pihak mitra ahli bisa saja mengajukan pembiayaan disaat usaha budi dayanya berisiko tinggi dan tidak mengajukan pembiayaan disaat usaha budi dayanya tidak sedang berisiko. Berdasarkan keempat indikator diatas, Kemitraan Bumi Dipa dari segi penawaran tergolong efektif dengan skor 806. Meskipun demikian perlu diperhatikan beberapa catatan yang diberikan agar Kemitraan Bumi Dipa dapat meningkatkan efektivitasnya pada tahap penawaran.
Rekapitulasi Tanggapan Responden terhadap Kemitraan Bumi Dipa Total skor dari mulai tahap pengajuan hingga dampak pembiayaan secara keseluruhan sebesar 769.8. Data tersebut ditampilkan pada Tabel 15. Tabel 15 Rekapitulasi Tanggapan Responden terhadap Kemitraan Bumi Dipa No Aspek Skor 1 2 3 4 5
Pengajuan Pembiayaan Realisasi Pembiayaan Pengembalian Pembiayaan Dampak Pembiayaan Penawaran Pembiayaan Rata-Rata Skor
893 815 727 608 806 769.8
Sumber: Data primer (2015)
Rekapitulasi tanggapan responden tersebut menunjukkan bahwa tahapan prosedur pembiayaan mulai tahap pengajuan hingga dampak pembiayaan yang dirasakan oleh
38 mitra ahli Kemitraan Bumi Dipa sudah memenuhi kriteria efektif. Akan tetapi, pada dampak pembiayaan masih memiliki nilai efektivitas yang cukup rendah. Hal ini karena memang terjadi kegagalan budi daya udang anggota Kemitraan Bumi Dipa pada beberapa periode terakhir.
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Budi Daya Anggota Kemitraan Bumi Dipa Pada analisis sebelumnya telah dijelaskan bahwa belum berkembangnya usaha budi daya udang anggota Kemitraan Bumi Dipa disebabkan oleh kegagalan budi daya udang selama beberapa periode terakhir. Kegagalan budi daya anggota Kemitraan Bumi Dipa disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain : a. Alam Pada beberapa periode terakhir usaha budi daya udang yang dijalankan oleh mitra ahli mengalami penurunan produktifitas cukup tajam akibat faktor alam. Usaha budi daya udang memang sangat rentan terhadap perubahan-perubahan kondisi alam seperti perubahan cuaca, musim serta kondisi lahan tambak. Lingkungan Dipasena yang tidak terawat menyebabkan masalah seperti perairan yang tercemar sehingga budi daya menjadi tidak kondusif. Mayoritas petambak masih mengandalkan bahan-bahan kimia yang berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan. Kemunculan penyakit-penyakit udang sebagai derivasi dari lingkungan yang tercemar juga menjadi penyebab kegagalan budi daya. Saat ini di wilayah Dipasena sedang mewabah virus white feses disease atau lebih dikenal dengan Telek Putih yang menyerang udang vaname. Virus ini menyebar sangat cepat dan biasanya menyerang pada udang yang berusia 20-30 hari pasca tebar benur. Ciri yang terlihat udang-udang ini mau diberi makan, tapi biasanya sore hari sudah tidak mau lagi dan tak lama mengambang kotoran berwarna putih dan saat dilakukan pengeringan kolam, udang-udang sudah banyak yang mati. Selain itu juga. Sementara penanganan yang dilakukan petambak untuk masalah ini, terutama masalah penyakit udang masih sekedar coba-coba saja tanpa diagnosis yang akurat karena keterbatasan pengetahuan petambak tentang penyakit udang. Pada saat masih bermitra dengan sistem inti plasma, masalah ini juga sebenarnya muncul namun tidak berdampak ekstrim bagi keberhasilan budi daya udang petambak karena pihak perusahaan memiliki sistem yang mapan serta perawatan terhadap lingkungan yang baik sehingga budi daya udang dapat dilakukan secara intensif. b. Teknis Masalah sarana dan prasarana serta teknis berbudi daya juga memiliki kontribusi terhadap kegagalan budi daya udang mitra ahli. Keterbatasan-keterbatasan sarana dan prasarana ditambah lagi kebanyakan budi daya dilakukan berdasarkan pengalaman petani saja menyebabkan budi daya udang tidak memenuhi standar yang ada. Hal ini sebagaimana penuturan salah satu informan: “Petambak dipasena itu sebenernya kalo dari segi pengalaman budi daya udang sangat mapan karena udah puluhan tahun dan udah pernah 2 kali di bawah perusahaan pas zaman masih normal (bermitra dengan pola inti-
39 plasma). Tapi ya kalo dari segi teori emang masih kurang. Makanya ke depan sedang kita rencanakan untuk coba diadakan pembinaan dari tenaga ahli budi daya udang.” Menurut Amri dan Kanna (2008), terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam budi daya udang vaname, antara lain sebagai berikut : 1. Kualitas Air Sebagai organisme yang sepenuhnya hidup dan berkembang di dalam air, kelangsungan hidup udang vaname dari saat tebar sampai panen sangat dipengaruhi oleh kualitas air tempat udang tersebut dibudi dayakan. Itu sebabnya, untuk menghindari kegagalan dalam budi daya udang vaname, pengelolaan kualitas air secara benar menjadi prioritas utama. Pengelolaan kualitas air pada budi daya udang vaname relatif tidak jauh berbeda dari pengelolaan kualitas budi daya udang pada umumnya, yaitu meliputi pengelolaan parameter-parameter seperti salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, warna air, kekeruhan, amonia, serta nitrit dan nitrat. 2. Konstruksi Tambak Dari segi konstruksi, kelemahan-kelemahan tambak yang sering terjadi adalah kebocoran tambak dan sistem pembuangan atau pembersihan kotoran dari dalam tambak dengan pipa paralon kurang berfungsi. 3. Pestisida yang Digunakan Pestisida diperlukan untuk pemberantasan hama dan penyakit. Pemberantasan dilakukan pada saat persiapan tambak sebelum benur ditebar. Kecenderungan yang umum dilakukan petambak adalah menggunakan pestisida secara intensif, bahkan melebihi dosis yang dianjurkan. 4. Mutu Benur Mutu benur (benih udang) bisa saja mengalami penurunan dari waktu ke waktu, bahkan tidak tertutup kemungkinan benur yang beredar adalah benur bermutu rendah. Keluhan yang mungkin muncul adalah pertumbuhan udang yang lambat, ukuran yang tidak seragam, dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan sehingga secara keseluruhan menyebabkan rendahnya produksi. Tinggi rendahnya mutu benur terkait dengan kualitas induk yang menghasilkan benur tersebut. Karena udang vaname tidak ada di perairan Indonesia, maka untuk mengembangbiakannya perlu dilakukan impor induk agar benur keturunannya dapat disebarluaskan dengan mudah di tanah air. Induk yang diimpor seharusnya adalah induk penjenis (Great Grand Parent Stock). Sayangnya induk jenis ini harganya mahal sehingga menyebabkan hatchery (pembenih) mengambil jalan pintas dengan menggunakan induk asal impor yang murah, dengan konsekuensi induk asal impor tersebut tidak diketahui asal usulnya. Penggunaan induk seperti ini berisiko terhadap terjadinya perkawinan induk sekerabat (in breeding). 5. Manajemen Pakan Pakan merupakan unsur terpenting yang menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang vaname. Terlebih dalam budi daya udang vaname secara intensif, peken merupakan variable cost (biaya tidak tetap) terbesar dari total biaya produksi, yaitu sekitar 50%-70%. 6. Teknik Pemeliharaan Udang Vaname
40 Berdasarkan spesifikasi teknologi budi dayanya, udang vaname dapat dibudi dayakan secara intensif, semi intensif, dan ekstensif (tradisional). Namun, sampai saat ini belum ada standar baku untuk ketiga spesifikasi teknologi budi daya tersebut. Oleh karena itu perlu ada batasan tersendiri untuk memudahkan pemahaman dan penerapan teknologi budi dayanya. 7. Peralatan Tambak Udang Intensif Tambak udang intensif memiliki kelengkapan peralatan standar tertentu yan dipergunakan untuk menunjang operasional pemeliharaan udang. Dengan dilengkapi peralatan penunjang ini, padat penebaran benur dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan atau sesuai tingkat produktifitas tambak. Beberapa peralatan standar yang dipergunakan dalam operasional tambak intensif antara lain pompa air, aerator (kincir air), pengukur kualitas tanah dan air, alat ukur berat (timbangan), alat ukur panjang, jaring, serta peralatan penunjang lainnya seperti ember, baskom, keranjang plastik, kantong plastik, karung atau kotak styrofoam. c. Sumberdaya Manusia Ketidakjujuran mitra ahli merupakan masalah serius yang dihadapi Kemitraan Bumi Dipa. Pada sistem kemiraan ini mitra ahli yang mengalami kerugian tidak menanggung risiko karena adanya mekanisme CRU. Akhirnya ada beberapa mitra ahli yang melakukan kecurangan-kecurangan (moral hazard) untuk menguntungkan diri sendiri dengan cara melaporkan hasil panen secara tidak jujur dan dengan sengaja memperbesar kerugian hasil budi daya seperti menjual saprotam (pakan, obat-obatan) yang disediakan tanpa sepengetahuan pihak manajemen dan menjual sebagian hasil panen tidak kepada manajemen kemitraan secara sembunyi-sembunyi. Praktek kecurangan-kecurangan ini tak hanya merugikan pihak Kemitraan Bumi Dipa, namun juga mitra ahli yang lain sebagai akibat menurunnya kemampuan kemitraan dalam memberikan pembiayaan. Kecurangan-kecurangan ini juga timbul karena sulitnya melakukan pengawasan kepada seluruh anggota Kemitraan Bumi Dipa yang tersebar secara acak di wilayah Dipasena. Hal ini seperti penuturan beberapa informan: “Kita memang beberapa kali menemukan kecurangan dari mitra ahli. Jadi kaya misalnya pakan sama obat-obatan yang harusnya buat budi daya malah dijualin ke tetangganya. Ada juga yang jual sebagian hasil panennya ga lewat Bumi Dipa sehingga kerugian budi dayanya jadi besar. Memang masih jadi PR Bumi Dipa ini gimana caranya ngasih pembianaan moral yang pas ke mitra ahli.” “Saya akui memang masih sulit untuk pengawasan mitra ahli. Karena kemitraan kita sistemnya masih random. Jadi mitra ahlinya mencar-mencar. Ke depan sedang kita rencanakan untuk sistemnya jadi cluster (berkelompok). Supaya lebih baik juga pengawasannya.” Sadr dan Iqbal (2000) menyatakan bahwa strategi yang dapat dilakukan dalam mengurangi permasalahan moral hazard tentu meningkatkan supervisi dan monitoring secara intensif terhadap pelaksanaan proyek atau usaha. Upaya tersebut tetaplah diperlukan walaupun proses panduan pembuatan kontrak telah dilakukan dengan baik. Monitoring dan pengawasan tertutup seharusnya
41 dipertimbangkan sebagai biaya ekstra tetapi semestinya juga dipandang sebagai investasi untuk membangun pengetahuan dasar tentang kualitas super pengusaha dan proyek. Hal ini juga senada dengan Ahmed (2000) yang menemukan bahwa random auditing menghasilkan sebuah struktur insentif dalam mengurangi permasalahan moral hazard. Selain ancaman dan reward/penalty, random audit ini juga memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk tidak melaporkan profit lebih rendah dari keadaan aktual. d. Faktor Eksternal Lainnya Faktor eksternal lain yang menyebabkan kegagalan budi daya udang petambak udang Dipasena pada umumnya adalah anjloknya harga udang vaname di pasar domestik pada beberapa periode budi daya terakhir sebagai akibat dari supply yang tinggi. Sementara harga sarana produksi tambak tidak berubah. Akhirnya laba bersih yang diterima petambak turun cukup drastis. Hal ini juga sebagaimana penuturan beberapa informan: “Harga udang vaname ini emang lagi anjlok disini. Katanya sih memang karena supplynya lagi tinggi di pusat sana. Tapi maunya diteliti lagi harga udang ini anjok karena supplynya yang tinggi atau ada stockist (supplier) yang nakal.” “Kalo ditanya kenapa banyak budi daya yang hasilnya menurun salah satu alasannya karena harga udangnya sedang anjlok.” Menurut Amri dan Kanna (2008), harga udang vaname di pasar domestik saat ini terlihat masih berfluktuasi sangat tinggi. Nilai jual udang vaname pada saat pertama kali dibudi dayakan di Indonesia mencapai Rp 70 000/kg, bahkan lebih. Lama-kelamaan banyak petambak yang membudidayakan udang vaname, sehingga terjadi kelebihan pasokan yang mengakibatkan harga menjadi murah. Bahkan sempat dikabarkan harga jualnya tidak dapat memenuhi biaya produksi.
Dampak Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Indeks Kemiskinan Petambak Udang Uji t Berpasangan Uji t digunakan untuk mengetahui perbedaan yang terjadi pada pendapatan mitra ahli setelah mendapatkan pembiayaan. Data dalam uji t statistik ini merupakan data pendapatan berpasangan sebelum menerima pembiayaan dan setelah menerima pembiayaan dengan ragam tidak diketahui. Hipotesis uji t :
H0 : µ = 0 H1 : µd ≠ 0 Statistik uji : thit =
d d0 sd/ n
Keterangan : d = Selisih pendapatan sd = Standar deviasi n = Jumlah observasi Kriteria uji :
42 thit < ttabel : terima H0, artinya pendapatan setelah menerima pembiayaan tidak berbeda pada taraf nyata 1%. thit > ttabel : tolak H0, artinya pendapatan setelah menerima pembiayaan berbeda nyata pada taraf α = 1%. Berdasarkan penghitungan tersebut, didapat nilai thit sebesar -4.2125 dimana nilai mutlaknya │-4.2125│= 4.2125 yang berarti lebih dari nilai ttabel sebesar 2.576. Maka artinya pendapatan responden sesudah menerima pembiayaan dari Kemitraan Bumi Dipa berbeda pada taraf nyata 1%. Dengan nilai thit negatif, artinya justru terdapat penurunan pendapatan responden setelah menerima pembiayaan dari Kemitraan Bumi Dipa. Analisis Perubahan Indeks Kemiskinan Petambak Setelah menganalisis perbedaan pendapatan petambak antara sebelum dan sesudah menjadi anggota Kemitraan Bumi Dipa, selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan indikator kemiskinan. Hal ini untuk melihat lebih jelas bagaimana perubahan tingkat kemiskinan yang terjadi pada petambak setelah mendapat pembiayaan. Berdasarkan Tabel 16, nilai indeks headcount ratio sebelum menjadi anggota kemitraan adalah sebesar 0.08 yang artinya dari seluruh rumah tangga hanya terdapat 8% keluarga yang tergolong miskin menurut garis kemiskinan keluarga. Pada saat menjadi anggota kemitraan, nilai headcount ratio justru meningkat dari 0.08 menjadi 0.33.
Indikator Kemiskinan H P1 (rupiah) I P2 Gp
Tabel 16 Indikator Kemiskinan Sebelum menjadi Sesudah menjadi anggota kemitraan anggota kemitraan 0.08 206 539 0.19 0.04 0.32
0.33 417 099 0.38 0.21 0.44
Persentase perubahan (%) 10.25 67.53 10.70 4.47 9.09
Nilai indeks poverty gap atau kesenjangan kemiskinan mengalami kenaikan dari Rp 206 539 menjadi Rp 417 099. Artinya, sebelum menjadi anggota kemitraan, jarak antara rata-rata pendapatan rumah tangga petambak yang miskin dengan garis kemiskinan adalah Rp 206 539. Pada saat menjadi anggota kemitraan nilai indeks ini justru naik menjadi Rp 417 099. Hal yang sama juga terjadi pada indeks kesenjangan pendapatan dimana indeks kesenjangan pendapatan naik dari sebelum menjadi anggota kemitraan sebesar 0.19 menjadi 0.38 setelah menjadi anggota. Nilai indeks sen atau tingkat keparahan kemiskinan sebelum petambak menjadi anggota kemitraan sebesar 0.04 menunjukkan bahwa kelompok petambak berada pada tingkat keparahan kemiskinan yang rendah. Nilai indeks ini juga justru meningkat menjadi 0.21 setelah petambak menjadi anggota kemitraan. Untuk melihat apakah terjadi kesenjangan pendapatan petambak baik sebelum maupun sesudah menjadi anggota kemitraan, digunakan analisis gini coefficient of the poor (Gp). Nilai Gp petambak sebelum menjadi anggota kemitraan adalah sebesar 0.32.
43 Artinya, kesenjangan pendapatan petambak sebelum menjadi anggota kemitraan tergolong sedang. Setelah menjadi anggota kemitraan gp petambak meningkat menjadi 0.44. Ini berarti kesenjangan pendapatan petambak justru meningkat setelah menjadi anggota kemitraan. Meskipun demikian, kesenjangan pendapatan petambak masih tergolong sedang baik sebelum maupun sesudah menjadi anggota kemitraan. Kenaikan nilai indeks-indeks kemiskinan pasca petambak menjadi anggota kemitraan ini disebabkan oleh penurunan pendapatan yang diterima petambak pada saat menjadi anggota Kemitraan Bumi Dipa. Sedangkan penurunan pendapatan petambak lebih disebabkan oleh kegagalan budi daya udang yang memang pada umumnya dialami petambak Dipasena pada beberapa periode terakhir, bukan karena petambak tersebut menjadi anggota kemitraan.
Kajian Syariah terhadap Permasalahan Kemitraan Bumi Dipa Sebelum mengkaji permasalahan yan terjadi pada Kemitraan Bumi Dipa dan memberikan rekomendasi, perlu dirangkum bagaimana hubungan antara permasalahanpermasalahan yang terjadi berdasarkan hasil analisis-analisis yang sudah diuraikan sebelumnya.
Moral Hazard
Pembiayaan Kemitraan Macet
Kemampuan Pembiayaan turun
Budi daya anggota gagal
Pendapatan anggota turun
Alam Miskin
Teknis
Harga udang
Gambar 10 Pemetaan Permasalahan Kemitraan Bumidipa Berdasarkan pemetaan permasalahan tersebut, dapat dijelaskan bahwa kegagalan budi daya anggota Kemitraan Bumi Dipa selama beberapa periode terakhir disebabkan oleh 4 faktor, yaitu faktor alam lingkungan, teknis (sarana, prasarana, serta pengetahuan petambak yang terbatas), faktor moral hazard dari anggota kemitraan sendiri, dan penurunan harga udang vaname di pasar domestik. Kegagalan budi daya udang ini menyebabkan pendapatan petambak menjadi turun sebagaimana hasil dari uji t berpasangan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Penurunan pendapatan ini lalu menyebabkan jumlah petani miskin, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan petambak meningkat sebagaimana penilaian terhadap perubahan indikator-indikator kemiskinan. Peningkatan kemiskinan ini juga mengimplikasikan bahwa mayoritas petambak Dipasena hanya mengandalkan budi daya udang sebagai mata pencaharian
44 utamanya sehingga penurunan hasil budi daya udang akan berpengaruh langsung pada tingkat kemiskinannya. Di sisi lain, kegagalan budi daya anggota kemitraan juga menyebabkan pembiayaan yang dikelola menjadi bermasalah. Sebenarnya pada Kemitraan Bumi Dipa terdapat CRU yang digunakan untuk menutupi defisit yang disebabkan kegagalan budi daya anggota. Namun tingginya tingkat kegagalan budi daya menyebabkan dana CRU tidak mampu menutupi defisit tersebut. Kemudian defisit yang tidak tertutup ini berimplikasi pada penurunan kemampuan Kemitraan Bumi Dipa dalam memberikan permodalan bagi anggotanya. Pada akhirnya penurunan permodalan yang diberikan juga berimplikasi pada penurunan pendapatan petambak udang. Pemaparan tersebut membawa sebuah kesimpulan bahwa permasalahan Kemitraan Bumi Dipa sebenarnya bersumber pada 4 faktor yang menyebabkan kegagalan budi daya udang anggota kemitraan, selain sedikit critical point yang telah dijelaskan pada analisis efektivitas pembiayaan yang dikelola. Pertama, masalah alam dan lingkungan. Pada dasarnya, manusia adalah khalifah yang diutus Allah Swt untuk mengelola bumi dengan segala sumberdaya alamnya. Hanya saja karena sifat manusia yang serakah, pengelolaan terhadap sumberdaya ini menjadi tidak terkendali dan menyebabkan kerusakan di muka bumi. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S. Ar Rum: 41) Hal tersebut juga terjadi di lingkungan Dipasena. Wilayah pertambakan udang yang sudah berusia puluhan tahun ini mulanya sangat produktif. Namun karena lingkungan perairan yang kurang terjaga, ditambah lagi penyakit udang yang bermuculan mengakibatkan produktifitas udang yang dihasilkan menurun. Menurut Amri dan Kanna (2008), munculnya berbagai penyakit di sebagian besar kawasan pengembangan tambak udang di Indonesia merupakan dampak dari penurunan kuaitas lingkungan perairan pantai karena berbagai cemaran atau polusi yang mengakibatkan semakin berkembangnya patogen di kawasan pertambakan. Penurunan kualitas lingkungan budi daya tambak disebabkan oleh faktor internal (kegiatan budi daya udang) dan eksternal (pencemaran lingkungan sekitar). Permasalahan tentang pencemaran lingkungan ini tentu memerlukan perhatian tersendiri. Oleh karena itu penelitian tentang lingkungan Dipasena menjadi mutlak diperlukan guna memberikan diagnosis dan rekomendasi yang akurat dalam menanganinya. Rekomendasi ini juga termasuk bagi petambak agar budi daya yang dilakukan tidak mencemari lingkungan. Kedua, permasalahan teknis budi daya. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, petambak Dipasena pada dasarnya sudah memilliki pengalaman yang sangat matang dalam budi daya udang. Sayangnya pengalaman ini kurang diimbangi dengan pengetahuan secara teoritis yang cukup tentang budi daya udang sehingga
45 petambak menjadi sulit melakukan antisipasi terutama saat keadaan budi daya udang sedang berjalan tidak normal. Dalam Islam, seorang muslim diwajibkan untuk bertanya atas segala sesuatu yang tidak atau belum diketahuinya kepada ahlu dzikri (ahli dalam permasalahan tersebut). Persoalan yang dimaksud tak terbatas tentang masalah agama saja, namun juga permasalahan yang umum. Hal ini sebagaimana dalam firmanNya.
“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Q.S. Al Anbiyaa : 7) Permasalahan ini mengimplikasikan bahwa perlu adanya pendampingan dan pembinaan oleh para ahli terhadap petambak. Dengan adanya pendampingan ini, diharapkan petambak dapat lebih profesional dalam pengelolaan budi daya udangnya. Dalam Islam, seorang muslim dituntut untuk profesional dalam pekerjaannya karena segala perbuatan berada atas pengawasan Allah Swt. Hal ini sebagaiana firman Allah Swt.
“Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orangorang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. AtTaubah: 105) Ketiga adalah faktor moral hazard dari anggota kemitraan sendiri. Moral hazard atau perilaku jahat dalam ekonomi adalah tindakan pelaku ekonomi yang menimbulkan kemudharatan baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Untuk menjustifikasikan apakah suatu tindakan ekonomi merupakan moral hazard ataukah bukan, perlu mempelajari prinsip-prinsip dari transaksi yang Islami, yang dihalalkan ataupun yang diharamkan.sehingga perlu ada kajian kembali mengenai permasalaan ini. Berkaitan dengan hal tersebut, Allah SWT telah menjelaskan bahwa pada dasarnya semua manusia itu memiliki dua potensi dalam dirinya, yaitu potensi taqwa dan fasik sebagaimana dalam firmanNya :
46
“Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. Al-Syams: 7-10) Menurut Mursi (1997) pada dasarnya, menurut tabiat dan bentuk kejadiannya, manusia diberi bekal kebaikan dan keburukan, serta petunjuk dan kesesatan. Ia mampu membedakan kebaikan dan keburukan serta mampu mengarahkan diri pada kebaikan dan keburukan. Sebenarnya kemampuan ini secara potensial telah ada pada dirinya. Melalui bimbingan-bimbingan dan berbagai faktor lain, bekal tersebut dibangkitkan dan terbentuk. Pembinaan moral ini merupakan salah satu cara untuk mengembangkan potensi taqwa seseorang. Selain itu, pembinaan juga merupakan pemenuhan terhadap kebutuhan rohani anggota kemitraan. Jadi, bukan hanya kebutuhan jasmaninya saja yang dipenuhi dalam bentuk pemberian pembiayaan produktif namun juga pemenuhan kebutuhan rohani. Mursi (1997) juga menyatakan bahwa solusi ideal terhadap konflik jasmani dan rohani dalam diri manusia adalah menyeimbangkan keduanya. Sebab, di satu sisi manusia membutuhkan pemenuhan kebutuhan jasmani dalam batas-batas yang diperbolehkan dalam syariat Islam, dan di sisi lain manusia dituntut untuk memenuhi kebutuhan ruhani. Penyeimbangan keduanya merupakan hal yang mungkin dilakukan jika manusia konsisten dalam pola kehidupan yang wajar, yakni mengutamakan sikap tengah (tidak berat sebelah). Sanrego dan Antonio (2013) dalam penelitiannya membuktikan bahwa sebuah program pembiayaan dapat berjalan secara lancar dan berkelanjutan melalui pengimplementasian 3 aspek yaitu aspek finansial, aspek spiritual, dan aspek sosial secara terus-menerus. Pengimplementasian ini dalam program pembiayaan memiliki pengaruh signifikan terhadap kelancaran pembiayaan anggota, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sanrego dan Antonio (2013) juga menyatakan bahwa pentingnya mendesain sebuah pembinaan aspek spiritual (agama) yang memiliki standar tertentu dalam sebuah program pembiayaan sehingga hasil dari pembinaan tersebut dapat dievaluasi secara rutin. Permasalahan terakhir yaitu fluktuasi harga udang vaname. Islam memandang bahwa fluktuasi harga dalam suatu perekonomian pada dasarnya merupakan ketentuan Allah Swt sehingga tidak boleh ada intervensi dalam penetapannya. Intervensi hanya boleh dilakukan pada saat kondisi harga pasar tidak stabil. Yahya bin Umar dalam Amalia (2010) menyatakan bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan, sebagai hujahnya Hadis dari Anas bin Malik dia berkata: “Telah melonjak harga (di pasar) pada masa Rasulullah Saw. Mereka (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, tetapkan harga bagi kami”. Rasulullah menjawab, “sesungguhnya Allah lah yang menguasi harga, yang memberi rezeki, yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap dan berjumpa dengan Allah dan tidak seorangpun memintaku untuk melakukan suatu kezaliman dalam persoalan jiwa dan harta”. (HR. Abu Daud)
47 Menurut Yahya bin Umar dalam Amalia (2010) pemerintah tidak boleh intervensi harga kecuali dalam 2 hal: 1. Para pedagang tidak memperdagangkan kebutuhan pokok masyarakat, sehingga terjadi keresahan dan merusak mekanisme pasar. 2. Para pedagang melakukan siyasah al-iqraq (dumping) atau banting harga yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian lanjutan terhadap permasalahan fluktuasi harga udang vaname tersebut. Dengan adanya penelitian ini, maka dapat diidentifikasi apakah fluktuasi tersebut memang disebabkan oleh mekanisme pasar atau karena penyimpangan yang dilakukan oleh para pedagang yang terlibat dalam rantai pasok perdagangan udang vaname. Penelitian ini juga dilakukan guna memberikan rekomendasi yang tepat terhadap permasalahan fluktuasi harga udang ini.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain : 1. Efektivitas pembiayaan yang dikelola oleh Kemitraan Bumi Dipa secara keseluruhan tergolong efektif berdasarkan penilaian terhadap 5 aspek, yaitu aspek pengajuan pembiayaan, realisasi pembiayaan, pengembalian pembiayaan, dampak pembiayaan terhadap kondisi usaha petambak, dan penawaran pembiayaan. Meskipun demikian, tingkat efektivitas Kemitraan Bumi Dipa belum mencapai efektivitas tertinggi karena masih ada beberapa hal dalam aspek realisasi pembiayaan, aspek penawaran, aspek pengembalian pembiayaan dan aspek dampak pembiayaan terhadap kondisi usaha petambak udang yang belum optimal. Pada aspek penawaran, Kemitraan Bumi Dipa belum optimal dalam membangun loyalias anggotanya. Pada aspek pengembalian pembiayaan, Kemitraan Bumi Dipa belum optimal dalam mengatur jangka waktu budi daya mitra ahlinya sehingga terkadang hasil panen yang didapat kurang maksimal. Sementara pada segi dampak pembiayaan, Kemitraan Bumi Dipa belum optimal dalam memberikan dampak bagi kondisi usaha budi daya anggotanya, baik dari segi perkembangan usaha budi daya, tingkat keuntungan, dan peningkatan asset. 2. Penurunan hasil budi daya anggota Kemitraan Bumi Dipa disebabkan oleh 3 faktor, yaitu faktor alam (pergantian musim, keadaan lingkungan perairan, dan penyakit udang yang sedang mewabah), faktor teknis (keterbatasan sarana dan prasarana budi daya tambak udang serta keterbatasan pengetahuan petambak udang), serta faktor moral hazard mitra ahli yang sengaja memperbesar kerugian hasil budi daya sehingga tak hanya merugikan pihak kemitraan, namun juga mitra ahli yang lain sebagai akibat menurunnya kemampuan kemitraan dalam mamberikan pembiayaan. Belum optimalnya pengawasan yang dilakukan juga memang masih membuka peluang terjadinya kecurangan-kecurangan tersebut.
48 3. Berdasarkan analisis terhadap indikator kemiskinan, terjadi terjadi kenaikan pada headcount ratio Index,poverty gap index (P1), income gap index(I), dan sen index (P2) setelah petambak menjadi anggota kemitraan sebagai akibat kegagalan budi daya. Pada uji t berpasangan ,pendapatan petambak menurun secara signifikan pada taraf nyata 1% setelah mendapat pembiayaan. Ini tak terlepas dari penurunan hasil budi daya udang yang dialami oleh kebanyakan petani udang Dipasena. Penurunan kesejahteraan ini juga mengindikasikan bahwa mayoritas petambak hanya mengandalkan usaha budi daya udang sebagai mata pencahariannya, sehingga penurunan hasil budi daya udang akan berdampak pada penurunan kesejahteraan petambak. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran atau rekomendasi yang dapat diajukan, antara lain : 1. Untuk meningkatkan efektivitas pembiayaan yang dikelola, Kemitraan Bumi Dipa harus lebih berkomitmen untuk konsisten dalam memberikan pembiayaan bagi mitra ahlinya. Selain itu, petambak selaku mitra ahli harus berkomitmen untuk terus menggunakan fasilitas pembiayaan yang diberikan selama menjadi anggota sehingga loyalitas mitra ahli dapat meningkat dan terjaga. 2. Guna menangani faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan budidaya, hal-hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Perlu dilakukan penelitian terhadap sektor perikanan budi daya di Dipasena. Penelitian ini dapat dimulai dari segi pengadaan saprotam (sarana produksi tambak), persiapan penebaran udang, proses budi daya, proses panen hingga faktor alam pendukung budi daya seperti kondisi lingkungan perairan dan potensi wabah penyakit udang. b. Kemitraan Bumi Dipa hendaknya lebih selektif dalam memilih mitra ahlinya, baik dari segi teknis maupun dari segi moral. Jumlah mitra ahli harus lebih disesuaikan dengan kemampuan permodalan yang ada sehingga pembiayaan dapat lebih optimal. c. Diperlukan upaya untuk mengatur mekanisme pengawasan terhadap anggota kemitraan sehingga dapat meminimalisir kecurangan yang mungkin terjadi. d. Perlu dilakukan pembinaan terhadap budi daya udang kepada mitra ahli secara rutin sehingga budi daya udang yang dilakukan dapat lebih sesuai dengan SOP yang ada. e. Perlu dilakukan pembinaan agama terhadap mitra ahli sehingga dapat menjaga moralitasnya dari perilaku yang menyimpang dan curang. f. Perlu adanya penelitian tentang gejolak harga udang di Dipasena sehingga alternatif yang tepat dapat direkomendasikan bagi permasalahan harga tersebut. 3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang penerapan sistem bagi hasil pada sektor perikanan di tempat lain serta dengan skala lebih besar sehingga rekomendasi yang diberikan dapat bersifat lebih umum dan dapat diterapkan pada wilayah yang lebih luas.
49
DAFTAR PUSTAKA Afzalurrahman. 1997. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Jakarta (ID): Yayasan Swarna Bhumi. Agustina R. 2010. Analisis Kualitas Pembiayaan dan Pengaruhnya terhadap Efektivitas Pendapatan pada PT. BPR Syariah PNM Al-Ma’soem Bandung. [internet]. [diunduh 2015 Mar 26]. Tersedia pada: http:/ dir.unikom.ac.id/s1-finalproject/fakultasekonomi/akuntansi/2010/ jbptunikompp-dgl-ratihagust21817/19jurnal.docx/pdf/19-jurnal.pdf Ahmed H. 2000. Incentive-compatible profit-sharing contracts: a theoretical treatment. Di dalam: Iqbal M, LIewellyn DT, editor. Buku_Islamic Banking and Finance: New Perspective on Profit- Sharing and Risk [internet]. the Fourth International Conference on Islamic Economics and Banking. 2000 Agust 13-15; Loughborough University, United Kingdom. Loughborough University (UK): Edward Elgar Publishing Limited. Hlm 40-56. [diunduh 2013 Nop 1]. Tersedia pada: http://www.iefpedia.com/english/wp content/uploads/2013/06/International_Conference_on_Islamic_Economics_and Bookos.org_.pdf Amalia E. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok (ID): Gramata Publishing. Amri, Kanna. 2008. Budi daya Udang Vaname secara Intensif, Semi Intensif, dan Tradisional. Jakarta (ID) : P.T. Gramedia Anjani. 2013. Analisis Efektivitas Pembiayaan Syariah bagi Sektor Pertanian pada KBMT Ibadurrahman, Ciawi, Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2005. Konsep Permodalan dalam Perspektif Bank Syariah. http://www.inkubator.itb.ac.id/viewberitadetil.php?beritaid.g20&/22/03/05h Ariansyach. 2009. Pengaruh Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Pendapatan Masyarakat Pesisir Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ashari dan Saptana. 2005. Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian: Bogor. Azzahrah. 2014. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Pembiayaan Mudharabah bagi UMKM dan Efektivitas Pembiayaan Mudharabah bagi UMKM pada BMT X Jakarta. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut. 2006. Buku Tahunan [internet]. Bogor. [diunduh 2015 Feb 2015]. Tersedia pada : www.bakosurtanal.go.id Beik, et al. 2013. Pengembangan Konsep Islamic Poverty Line (laporan akhir). Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama pada Tahun 2004-2012. [Internet]. [Diunduh 2013 Mar 25]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=0 6¬ab=2. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun 2004-2012.[Internet]. [diunduh 2013 Mar
50 25]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek= 11¬ab=1. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tulang Bawang. 2014. Banyaknya Keluarga menurut Tahapan Keluarga Sejahtera per Kecamatan Kabupaten Tulang Bawang 2013 [internet]. gdiunduh 2015 Mar 25h. Tersedia pada: tulangbawangkab.bps.go.id [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tulang Bawang. 2014. Banyaknya Penduduk Kabupaten Tulang Bawang menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2013. [internet]. gdiunduh 2015 Mar 25h. Tersedia pada : tulangbawangkab.bps.go.id [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2014. Garis Kemiskinan Provinsi Lampung menurut Kabupaten/Kota, 2008-2013 [internet]. [diunduh 2015 Apr 15]. Tersedia pada : lampung.bps.go.id Daryanto, Arief. 2007. Dari Klaster Menuju Peningkatan Daya Saing Industri Perikanan. Buletin Craby & Starky, Edisi Januari 2007. [Ditjen P2HP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. P2HP Dalam Angka 2010 [internet]. [diunduh 2015 Feb 25]. Tersedia pada: kkp.go.id Effendi J. 2013. The Role of Islamic Microfinance in Poverty Alleviation and Environmental Awareness in Pasuruan, East Java, Indonesia.[Desertasi]. Tersedia pada http://www.sub.uni-goettingen.de Fadilasari. 2012. Dipasena : Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang. Bandarlampung (ID) : Sijado Institut. Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: isu, sintesis, dan gagasan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta (ID) Ghafar A, Ismail. 2006. Does the Islamic financial system design matter?. Emerald [internet]. [diunduh 2015 Mar 1] ; 22(1): 5-16. Tersedia pada: http://www.1stethical.com/wpcontent/uploads/2010/07/Does_the_Islamic_finan cial_system_design_matter.pdf Hosen, Ali. 2007. Menjawab keraguan umat Islam terhadap bank syariah. Jakarta (ID) : Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah Ita S, Rahman A 2011. Evaluasi Penerapan Pembiayaan Mudharabah dan Pengaruhnya terhadap Laba Perusahaan [Jurnal]. Jurnal Ilmiah Ranggadang Volume 11, Nomor 3, April 2011. Jannah. 2014. 25% Penduduk Miskin adalah Nelayan. http://economy.okezone.com/read/2014/11/24/320/1069854/25-pendudukmiskin-adalah-nelayan. [4 Juli 2015] [KB] Kemitraan Bumi Dipa. 2014. Laporan Budi daya Kemitraan Bumi Dipa [internet]. Tersedia pada : www.Bumi Dipa.com [Kemenag RI] Kementerian Agama Republik Indonesia. 2010. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Fokusmedia: Bandung (ID) [Kemdikbud RI] Kementerian Pendidikan dan Budaya RI. KBBI Daring III [Internet]. tersedia pada: http://kbbi.web.id [Kementan RI] Kementerian Pertanian RI. 2011. Pola Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian. Jakarta (ID) : Direktorat Pembiayaan Kementerian Pertanian. Khaleequzzaman, Shirazi. Islamic Microfinance – An Inclusive Approach with Special Reference to Poverty Eradication in Pakistan. [Jurnal]. International Journal of Economics, Management and Accounting 20.1 (2012): 19-49.
51 [KKP RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. 2014. Produksi Perikanan Menurut Subsektor pada Tahun 2009-2013 [internet]. [diunduh 2015 Feb 25]. Tersedia pada: kkp.go.id Mursi AH. 1997. SDM yang Produktif Pendekatan Al-Qur’an dan Sains. Jakarta (ID) : Gema Insani Press [OJK] Otoritas Jasa Keuangan. 2008. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah [Internet]. tersedia pada: http://www.ojk.go.id/undangundang-nomor-21-tahun-2008-tentang-perbankan-syariah Papilaya EC. 2013. 7 Kiat Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pemiskinan Bangsa. Bogor (ID) : IPB Press Rodiana. 2014. Efektivitas Penerapan Bayar Pascapanen pada Pengembalian Pembiayaan Akad Murabahah Pertanian Padi di BMT As Salam, Kramat, Demak. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sadr K, Iqbal Z. 2000. Choice between debt and equity contracts and asymmetrical information: some empirical evidence. Di dalam: Iqbal M, LIewellyn DT, editor. Buku_Islamic Banking and Finance: New Perspective on Profit- Sharing and Risk [internet]. the Fourth International Conference on Islamic Economics and Banking. 2000 Agust 13-15; Loughborough University, United Kingdom. Loughborough University (UK): Edward Elgar Publishing Limited. Hlm 40-56. gdiunduh 2013 Nop 1h. Tersedia pada: http://www.iefpedia.com/english/wpcontent/uploads/2013/06/International_Conference_on_Islamic_Economics_and Bookos.org_.pdf Sajogyo. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Bogor (ID): P.T. Grasindo. Sanrego, Antonio. 2013. The Effect of Social Capital on Loan Repayment Behavior of The Poor. gJurnalh. Bogor. Journal of Indonesian Economy and Business Volume 28, Number 2, 2013, 209-231 Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung (ID): Alfabeta. Soemitra A. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta (ID): Prenada Media Group. Sutrisno W. 2008. Pembiayaan Syariah dengan Prinsip Bagi Hasil menurut UU No. 21 tentang Perbankan Syariah dari Sudut Pandang Hukum Islam. [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro Walpole RE. 2005. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta (ID) : P.T. Gramedia Wina. 2009. Analisis pengaruh pendayagunaan zakat, infaq, dan shadaqah sebagai modal kerja terhadap indikator kemiskinan dan pendapatan mustahiq (Studi Kasus Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor). [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Yousfi O. 2013. Does PLS solve moral hazard problem?. JIEBF [internet]. [diunduh 2015 Mar 1] ; 9(3). Tersedia pada: http://www.isu.ac.ir/farsi/Academics /economics /edu/dlc/2rd/02/instructor/art2.pdf
52 Lampiran 1 Hasil Uji t Berpasangan Paired Samples Statistics Std. Mean Pair 1
sebelum
sesudah
Std.
Error
N Deviation Mean
3.860
1
2.2
4E6
00
9026E6
2.498
1
2.0
7E6
00
6252E6
2.29026E5
2.06252E5
Paired Samples Correlations N Pair 1
sebelum & sesudah
Correlation
100
Sig.
-.101
.320
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mea n Pair 1
sebelum sesudah
Std. Deviation
1.36 169E6
3.232 49E6
Std. Error Mean 3.232 49E5
U Lower 7.202 92E5
pper
d t
2. 00309E6
4.213
f
Sig. (2-tailed) 9
9
.000
Lampiran 2 Dokumentasi Kantor P3UW
Kantor Lapang P.T. Bumi Dipa
53 Kantor KPBD
Kantor Direksi P.T. Bumi Dipa
54 Lampiran 3 Kuesioner Penelitian (Informan) KUISIONER PENELITIAN
“Dampak Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Pengentasan Kemiskinan Petani Tambak Udang di Kabupaten Tulang Bawang” (PERIODE TAHUN 2014-2015) Terima kasih atas partisipasi Bapak/Ibu dalam pengisian kuesioner penelitian ini. Kuesioner ini merupakan instrumen penelitian dalam rangka menyusun skripsi program sarjana yang dilakukan oleh: Nama :Shofiyanto NIM :H54110047 Program Studi :Ilmu Ekonomi Syariah Departemen :Ilmu Ekonomi Fakultas :Ekonomi dan Manajemen Universitas :Institut Pertanian Bogor Saya mohon Bapak/Ibu berpartisipasi mengisi kuesioner ini secara lengkap dan benar agar informasi ilmiah yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan dan tercapai hasil yang diinginkan. Dalam pengisian kuesioner ini tidak ada jawaban benar atau salah. Oleh karena itu, responden diharapkan mengisi semua pertanyaan yang diberikan. Kuesioner ini hanya digunakan untuk kepentingan penelitian, sehingga jawaban yang Bapak/Ibu sampaikan sepenuhnya akan dijaga kerahasiaannya. Atas kerja sama Bapak/Ibu, saya ucapkan terima kasih.
No Pewawancara Hari/tanggal wawancara Pukul
: : :
Daftar Pokok Pertanyaan untuk Informan 1. Cari tahu nama, alamat, usia, tempat tinggal, dan pekerjaan. 2. Cari tahu profil Kemitraan Bumidipa 3. Cari tahu sejarah Kemitraan Bumidipa, pihak-pihak yang terlibat serta perannya, sudah berapa lama berdiri. 4. Cari tahu perkembangan Kemitraan Bumidipa. 5. Cari tahu perkembangan petani tambak di Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang. 6. Cari tahu kendala-kendala utama yang menghambat kesuksesan budi daya udang petani tambak.
55 Lampiran 4 Kuesioner Penelitian (Responden) KUISIONER PENELITIAN
“Dampak Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Pengentasan Kemiskinan Petambak Udang di Kabupaten Tulang Bawang” (PERIODE TAHUN 2014-2015) Terima kasih atas partisipasi Bapak/Ibu dalam pengisian kuesioner penelitian ini. Kuesioner ini merupakan instrumen penelitian dalam rangka menyusun skripsi program sarjana yang dilakukan oleh: Nama :Shofiyanto NIM :H54110047 Program Studi :Ilmu Ekonomi Syariah Departemen :Ilmu Ekonomi Fakultas :Ekonomi dan Manajemen Universitas :Institut Pertanian Bogor Saya mohon Bapak/Ibu berpartisipasi mengisi kuesioner ini secara lengkap dan benar agar informasi ilmiah yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan dan tercapai hasil yang diinginkan. Dalam pengisian kuesioner ini tidak ada jawaban benar atau salah. Oleh karena itu, responden diharapkan mengisi semua pertanyaan yang diberikan. Kuesioner ini hanya digunakan untuk kepentingan penelitian, sehingga jawaban yang Bapak/Ibu sampaikan sepenuhnya akan dijaga kerahasiaannya. Atas kerja sama Bapak/Ibu, saya ucapkan terima kasih.
No Pewawancara Hari/tanggal wawancara Pukul
: : : :
56 I.
Identitas Responden 1. Nama Responden : 2. Nomor Telepon : 3. Jenis Kelamin : 4. Usia : 5. Alamat : 6. Status Pernikahan : 1. Menikah 2. Belum menikah II. Komposisi Anggota Keluarga yang Dibiayai 1. Profil Kepala Keluarga Jenis Kelamin Hubungan Usia Status Pendidikan dengan KK Pernikahan 1. Laki-laki 1. Suami/Istri 1. Belum 1. Tidak 2. Perempuan 2. Anak menikah pernah 3. Saudara 2. Menikah sekolah kandung 3. Janda/Duda 2. SD 4. Orang tua 3. SMP 5. Mertua 4. SMA 6. Kerabat 5. Diploma 7. Lainnya 6. Universitas 7. Lainnya (……...….) INFORMASI ANGGOTA KELUARGA
Pekerjaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tidak bekerja Ibu Rumah Tangga Pelajar/Mahasiswa Pedagang Petani Peternak Karyawan Lainnya (…..……….)
2. Keluarga 2.1 Jumlah KK + AK 2.2 Jumlah Tanggungan (istri/suami, anak, orangtua, dll) 2.3 Jumlah anak dibawah 15 tahun/ belum menikah/ masih belajar/ belum bekerja dan orangtua, yang tinggal di rumah berbeda namun menjadi tanggungan 2.4 Jumlah 2.2 + 2.3
3. Pendapatan Bulanan KK dan semua AK (yang tinggal satu rumah dari pekerjaan yang dilakukan dalam satu periode pembiayaan terakhir (jika ada) 4.
57
Jenis Pendapatan
KK (Rp/hari atau Rp/Bulan)
Semua AK(Rp/Tahun atau Rp/bulan) AK 1
AK 2
AK 3
AK 4
Jumlah Pendapatan Keluarga (Rp/bulan)
AK 5
Gaji Hasil jualan/dagang Komisi Upah Jumlah
5. Pendapatan bulanan KK dan semua AK dalam rupiah, yang didapat dari sumbangan orang lain (keluarga atau dermawan yang bukan keluarga) dalam satu satu periode pembiayaan terakhir jika ada.
Jenis Pendapatan
KK (Rp/hari atau Rp/Bulan)
Semua AK(Rp/Tahun atau Rp/bulan) AK 1
AK 2
AK 3
AK 4
Jumlah Pendapatan Keluarga (Rp/bulan)
AK 5
Kiriman dari keluarga Bantuan dari orang lain yang bukan keluarga (beasiswa, bantuan anak yatim) Total
6. Pendapatan bulanan KK dan semua AK yang didapat dari property/asset yang didapat dalam satu periode budi daya yang dibiayai oleh Kemitraan Bumi Dipa
Jenis Pendapatan
KK (Rp/Bulan)
Semua AK(Rp/Tahun atau Rp/bulan) AK 1
AK 2
AK 3
AK 4
AK 5
Tanah yang disewakan Rumah yang disewakan Peralatan yang disewakan Total 7. Pendapatan bulanan KK dan semua AK yang didapat dari menjalankan pekerjaan sampingan dalam satu tahun terakhir jika ada. Jumlahkan dulu semua, kemudian dibagi dengan berapa bulan periode pembiayaan, dan masukan ke tabel berikut.
Jumlah Pendapatan Keluarga (Rp/bulan)
58
Jenis Pendapatan
KK (Rp/hari atau Rp/Bulan)
Semua AK(Rp/Tahun atau Rp/bulan) AK 1
AK 2
AK 3
AK 4
Jumlah Pendapatan Keluarga (Rp/bulan)
AK 5
Bertani Berternak Nelayan Lainnya (…………………..) Total
8. Pengeluaran Rumah Tangga Jenis Pengeluaran
RT (Rp/bulan/hari)
Total Pengeluaran Keluarga (Rp/bulan)
Sewa rumah Listrik dan air Konsumsi makanan sehari-hari Biaya Sekolah (termasuk uang saku) Utang jatuh tempo Pelunasan pembiayaan Lainnya
(Rekreasi, kesehatan, iuran wajib) Jumlah
III.
Analisis Efektivitas Pembiayaan yang Dikelola Kemitraan Bumi Dipa A. Karakteristik Usaha Responden No Uraian Keterangan 1 Lama usaha 2 Lama menjadi anggota kemitraan 3 Modal sebelum mengikuti kemitraan B. Proses Pembiayaan 1. Menurut Bapak, bagaimana pemenuhan persyaratan dasar dalam pengajuan fasilitas pembiayaan? a. Mudah b. Sedang c. Sulit 2. Proses pembiayaan Bagaimana tahapan yang harus dilalui dari proses permoonan pembiayaan sampai dengan realisasi pembiayaan? a. Cepat (tidak rumit, dan prosesnya cepat antara 1-2 hari) b. Sedang (tidak rumit tapi prosesnya agak lama antara 3-4 hari) c. Lama (rumit/prosesnya panjang dan lama antara 5-7 hari)
59 3. Rekening BSM Jumlah saldo minimal dalam membuat rekening baru tergolong? a. Kecil (lebih kecil dari nilai modal yang diberikan) b. Sedang (sebanding dengan nilai modal yang diberikan) c. Besar (lebih besar dari nilai pinjaman) 4. Pelayanan petugas Bagaimana pelayanan petugas saat menghadapi Bapak dalam mengajukan pembiayaan? a. Ramah b. Biasa saja c. Tidak ramah 5. Realisasi pembiayaan Pencairan pembiayaan setelah pengajuan disetujui tergolong? a. Cepat (kurang dari 1 bulan) b. Sedang (1 bulan) c. Lama (lebih dari 1 bulan) 6. Biaya administrasi pembiayaan Besarnya biaya administrasi yang dikeluarkan selama proses realisasi pembiayaan, tergolong ? a. Ringan b. Sedang c. Berat 7. Besarnya pembiayaan Pembiayaan yang disetujui tergolong? a. Besar (lebih dari yang diajukan) b. Sedang (sesuai dengan pengajuan) c. Kecil (kurang dari pengajuan) 8. Kemampuan kemitraan dalam memenuhi permintaan pembiayaan Kemampuan kemitraan dalam memenuhi permintaan pembiayaan tergolong? a. Mampu (besar pembiayaan sesuai dengan keinginan anggota) b. Kurang mampu (besar pembiayaan yang terealisasi kurang dari pengajuan) c. Tidak mampu (besar pembiayaan yang terealisasi jauh dari pengajuan) 9. Besar modal + CRU + iuran lain yang harus diberikan saat panen Besar modal + CRU + iuran lain yang arus diberikan saat panen tergolong? a. Kecil (tidak memberatkan) b. Sedang (masih terjangkau) c. Besar (memberatkan) 10. Jangka waktu panen Jangka waktu panen maksimum yang disepakati tergolong a. Lama (longgar) b. Sedang c. Cepat 11. Keaktifan petugas dalam melakukan supervisi dan pada saat panen Keaktifan petugas dalam melakukan supply sarana produksi tambak dan pada saat panen tergolong? a. Aktif
60
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
b. Kurang aktif c. Tidak aktif Persentase bagi hasil bagi investor dan pihak manajemen Bagi hasil tergolong? a. Ringan (anggota tidak merasa dirugikan) b. Sedang (sama-sama menguntungkan) c. Berat (anggota dirugikan) Apakah Bapak mengerti dengan pembiayaan bagi hasil? a. Ya b. Sedang c. Tidak Model kemitraan yang ditawarkan Model kemitraan yang ditawarkan tergolong? a. Mudah dimengerti dan menguntungkan b. Tidak mudah dimengerti namun menguntungkan c. Tidak mudah dimengerti dan merugikan Peranan petugas dalam memberikan sosialisasi sistem pembiayaan kemitraan Peranan petugas dalam memberikan sosialisasi sistem pembiayaan kemitraan tergolong? a. Aktif (memberikan sosialisasi dalam setiap pertemuan) b. Kurang (jarang/hanya saat awal realisasi) c. Tidak aktif (tidak pernah) Dampak pembiayaan terhadap kondisi usaha anggota Bagaimana perkembangan usaha bapak setelah mendapatkan pembiayaan pada kemitraan Bumi Dipa? a. Meningkat b. Tetap c. Menurun Bagaimana tingkat keuntungan yang anda peroleh setelah mendapatkan pembiayaan? a. Meningkat b. Tetap c. Menurun Apakah Bapak mengalami peningkatan asset setelah menerima pembiayaan? a. Ya b. Tetap c. Menurun Apakah kesejahteraan hidup Bapak meningkat seiring peningkatan asset dan pendapatan usaha? a. Ya, dalam bentuk… b. Tidak ada peningkatan kesejahteraan c. Menurun Apakah bapak tetap setia memilih Kemitraan Bumi Dipa sebagai sarana pembiayaan? a. Ya, alasan … b. Ragu-ragu , alasan …
61 c. Tidak, alasan … C. Kritik dan saran untuk Kemitraan Bumi Dipa Kritik dan saran untuk Kemitraan Bumi Dipa agar tetap memberikan pelayanan yang baik kepada anggotanya : …..
62
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Shofiyanto, lahir di Bumi Dipasena Utama, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung pada tanggal 6 November 1992. Penulis adalah anak tunggal dari pasangan Mukhlasin dan Rohmah. Penulis dulunya bersekolah di SD Negeri 1 Bumi Dipasena Utama, dilanjutkan di MTs Negeri 1 Tanjung Karang, SMA Negeri 9 Bandarlampung, dan akhirnya melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor, tepatnya di program studi Ilmu Ekonomi Syariah, Departemen Ilmu Ekonomi melalui jalur SNMPTN tulis hingga lulus pada tahun 2015. Penulis juga merupakan penerima beasiswa dari Bidik Misi selama kuliah di IPB. Selama kuliah, penulis aktif mengikuti organisasi dan kepanitiaan, baik di tingkat Departemen, Fakultas, dan IPB. Organisasi yang pernah diikuti adalah BEM FEM selama dua masa kepengurusan (2012-2014), dimulai dari menjadi staff Biro Bem Corporation hiingga akhirnya diamanahkan menjadi Kepala Biro Bem Corporation. Adapun kepanitiaan yang pernah diikuti adalah staff keamanan dan kesehatan Gebyar Nusantara 2012 (BEM KM), OC Event pada AIESEC Exchange Project 2012 (AIESEC), kepala divisi PJL MPD IE 2013, kepala divisi logistik dan transportasi Fem Day 2013 (FEM), kepala divisi logistik dan transportasi Paragon Goes to Campus 2013, kepala divisi danus the 6th Politik Ceria 2013, ketua pelaksana Seminar Perpajakan 2013, bendahara Paragon Goes to Campus 2014, kepala divisi humas Teknopreneur Forum on Campus 2014, kepala divisi humas dan LO Charity Concert: A Day with Tulus 2014, kepala divisi logistik dan transportasi Seminar Dunia Kerja 2014, sekretaris DJPU Goes to Campus 2014, kepala divisi konsumsi Wardah Goes to Campus 2014 (BEM FEM) dan lain-lain. Dalam bidang pengabdian masyarakat, penulis mengikuti Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Cibaregbeg, Kabupaten Sukabumi pada bulan Juli-Agustus 2014. Selain aktif dalam organisasi dan kepanitiaan, penulis juga aktif menjadi pengajar, baik di kampus maupun di luar kampus. Penulis pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Ekonomi Umum pada tahun 2013-2014 selama 3 semester. Penulis juga pernah menjadi pengajar mata pelajaran ekonomi untuk SMA di Bimbingan Belajar Nurul Fikri cabang Bogor pada tahun 2014.