sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ISSN 0216-1877
Oseana, Volume XVII, Nomor 4: 135-158
DAMPAK PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK ( TERUTAMA LIMBAH TERMAL ) TERHADAP EKOSISTEM AKUATIK oleh Malikusworo Hutomo
*)
dan O.H. Arinardi
**)
ABSTRACT THE IMPACT OF POWER PLANT (ESPECIALLY THERMAL DISCHARGE) TO THE MARINE ECOSYSTEM. In order to fulfill the national electric energy demand for accelerating industrial development, Indonesian government plans to establish several power plants in the country. The power plant usually uses large quantities of water to cool the condenser and discharges the warmed water into the river, estuary or coastal water and this water discharge may effect the aquatic ecosystem. This paper shows the biological affects due to thermal pollution which have been observed in Tanjung Priok (Jakarta), Muara Karang (Jakarta) and LNG Bontang (East Kalimantan).
PENDAHULUAN
Tenaga listrik merupakan salah satu ciri ukuran kemajuan suatu bangsa. Makin maju suatu masyarakat, makin banyak mereka menggantungkan kehidupan sehari-hari pada tenaga listrik. Pemakaian tenaga listrik per kapita dapat dijadikan tolak ukur kemajuan suatu bangsa atau negara. dalam rangka memenuhi laju pertumbuhan permintaan akan tenaga listrik dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah
*)
Republik Indonesia membangun beberapa pembangkit tenaga listrik yang diantaranya kita kenal dengan nama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). Pada saat ini telah beroperasi PLTU Tanjung Priok (150 MW), PLTU Muara Karang (700 MW), PLTU Sunday a (3.000 MW), PLTU Semarang (200 MW) dan PLTU Gresik sebesar 1.400 MW. Beberapa pembangkit yang akan dan sedang dibangun ialah PLTU Paiton (4.000 MW) dan PLTGU Muara Karang (450 MW) (Tabel 1).
Bidang Jasa & Informasi - Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI.
**) Balai Penelitian dan Pengembangan Iingkungan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI.
135
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Daya terpasang dan kapasitas air pendingin beberapa PLTU/PLTGU di Indonesia.
Sumber: MARTONO 1984, ISHGNO 1984.
PLTU adalah suatu pusat pembangkit listrik yang menggunakan tenaga uap sebagai penggerak utama turbin guna menghasilkan tenaga listrik. Sistem ini bekerja dengan menggunakan air sebagai cairan kerja. Air diubah menjadi uap di ketel uap (boiler). Keluar dari turbin, uap dimasukkait ke mesin pengembun (kondensor) dengan pendingin berasal dari air, baik air tawar maupun air laut, sehingga mencair kembali, setelah cair, air dipompakan lagi ke ketel uap untuk diuapkan lagi (Gambar 1). Tugas utama air pendingin ini hanyalah mengambil kalor dari kondensor sehingga air pendingin ini tadi mengalami kenaikan suhu. Jadi PLTU mempunyai produk sampingan berupa air panas yang suhunya lebih tinggi dari pada suhu air sebelum dipakai untuk pen-
dingin. Besarnya kebutuhan air pendingin tergantung pada kapasitas maksimum dari unit-unit di PLTU itu. Pada umumnya penggunaan air pendingin pada beban penuh untuk setiap megawatt diperlukan sebanyak antara 45 - 55 1/detik (AKMAL 1984). PLTU Muara Karang yang berkapasitas 700 MW misalnya diperlukan air pendingin sebanyak 31,5 - 38,5 m3/detik atau 113,4 juta I/jam - 138,6 juta 1/jam (BURHANUDDIN 1988). Air pendingin yang bersuhu relatif tinggi, bervolume besar, dan secara berkesinambungan dibuang kembali ke perairan setempat. Perairan penerima air pendingin itu akan naik suhunya dan lambat laun mempengaruhi lingkungan akuatik di sekitar PLTU tersebut (Gambar 2).
136
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 1. Sistem pendingin pent) angkit listrik dan potensi dampak biologisnya. (Sumber : CLARK 1974)
Gambar 2. Dampak potensial pembangkit terhadap striped bass dan makanannya. (Sumber: CLARK 1974)
137
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Kerusakan atau perubahan komunitas bahari oleh limbah air panas mungkin terjadi di sekitar muara saluran pelimbahan karena organisme tropis hidup pada suhu hanya beberapa derajat lebih dekat pada batas suhu letal tertinggi (COLES 1977). Oleh karena itu peningkatan suhu yang lebih kecil dari suhu alami dapat menimbulkan akibat yang fatal (KASTORO 1977). Faktor lainnya adalah kebanyakan ikan dan invertebrata memiliki toleransi suhu yang sempit. Keadaan ini menyempitkan kelulushidupan bagi biota itu bila menghadapi kenaikan suhu secara mendadak. Perubahan yang demikian ini banyak dijumpai di perairan yang berdekatan dengan pembangkit listrik tenaga uap dengan daya terpasang ratusan megawatt. Makalah ini merupakan rangkuman mengenai berbagai tulisan mengenai dampak limbah air panas yang dipublikasikan di Indonesia maupun manca negara. Diuraikan juga mengenai suhu sebagai faktor lingkungan dan uraian singkat mengenai fiingsi dan manfaat beberapa ekosistem laut dangkal. SUHU SEBAGAI FAKTOR LINGKUNGAN
Menurut Hukum Van't Hoff, kenaikan suhu 10°C akan menaikkan kecepatan reaksi kimia dua kali lipat. Walaupun hukum ini tidak dapat diterapkan begitu saja, namun dapat diperkirakan bahwa perubahan suhu lingkungan hidup dapat mempengaruhi proses-proses hayati di dalam organisme karena proses-proses tersebut bersifat kimiawi. Suhu juga merupakan faktor pembatas terhadap sebaran biota dan mempengaruhi viskositas air. Viskositas air menurun dengan
meningkatnya suhu. Mengingat hal-hal tersebut di atas, suhu merupakan faktor ekologi yangpenting. Suatu keuntungan dalam lingkungan hidup akuatik ialah tingginya panas jenis air, dimana air lambat menyerap panas dan lambat pula melepaskannya. Akibatnya suhu air laut relatif konstan, jarang terjadi perubahan suhu yang sangat tajam. Panas jenis air yang tinggi memungkinkan dipindahkannya kalor (panas) dalam jumlah besar lewat gerakan-gerakan massa air tanpa atau sedikit menaikkan suhu air. Kenyataan di alam menunjukkan bahwa kisaran suhu yang dapat ditoleransi oleh berbagai biota bahari berbeda-beda. Organisme yang dapat mentoleransi kisaran suhu yang besar dikatakan bersifat euritermal, sedangkan yang hanya dapat mentoleransi kisaran suhu yang sempit disebut stenotermal. Biota adalah sebuah sistem hayati yang hetferogen, artinya proses-proses hidup pada biota bersifat kimiawi dan fisik. Telah umum diketahui bahwa resistensi reaksreaksi kimia terhadap suhu menurun dengan meningkatnya suhu. Kenaikan suhu akan mempercepat reaksi-reaksi kimia. Tetapi kecepatan reaksi kimia di dalam tubuh biota juga dipengaruhi oleh faktor fisik misalnya difusi. Karenanya, pada kenaikan suhu yang sama, percepatan proses-proses hidup tidak perlu sama dengan percepatan reaksi-reaksi kimia dalam tabung. Jadi hukum Van't Hoff yang menyatakan bahwa naiknya suhu dengan 10°C akan mempercepat proses-proses faal dua kali lipat (dinyatakan sebagai Q10 = 2 dalam ilmu faal) sebenarnya bukanlah suatu hukum tetapi hendaknya dipandang sebagai suatu prinsip umum saja. Denyut jantung, laju pernapasan, konsumsi oksigen, produksi CO2,
138
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
asimilasi CO2 oleh tumbuhan merupakan beberapa contoh proses faal yang kecepatannya meningkat dengan meningkatnya suhu. Berdasarkan kemampuannya mengatur suhu tubuh, he wan dibagi 2 golongan : hewan homoiotermal dan hewan poikilotermal. Hewan homiotermal memiliki mekanisme mengatur suhu yang dapat mempertahankan suhu tubuhnya pada suatu suhu tertentu. Hewan poikilotermal adalah hewan yang suhu tubuhnya berubah sejalan dengan berubahnya suhu lingkungan hidup. Bagi sistem hayati, suhu optimal ialah suhu dimana laju proses-proses metabolik mekanikal terjadi tetapi masih tetap selaras dengan pemeliharaan sistem tersebut. Suhu tertinggi dimana hewan masih dapat hidup disebut suhu maksimal sedangkan suhu terendah dimana hewan masih dapat hidup disebut suhu minimal. Apabila suhu terus meningkat sehingga dicapai suatu suhu dimana hewan mati, suhu ini disebut titik maut termal atau suhu maut atas (upper lethal temperature). Titik ekstrim lain ialah suhu paling rendah dimana proses hayati masih dapat dilaksanakan. Ekstrim ini dikenal dengan istilah ambang suhu efektif. Banyak organisme bahari mati pada suhu-suhu yang tidak banyak berbeda dengan suhu perairan dimana mereka hidup. Khususnya bagi organisme bahari wilayah tropik, titik maut termal mereka hanya beberapa derajat Celcius di atas suhu ratarata perairan. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa beberapa hewan kutub hidup 13° - 16° C di bawah titik maut termal. Akibatnya bagi organisme bahari tropik ialah bahwa mereka peka sekali terhadap pencemaran termal.
EKOSISTEM LAUT DANGKAL KRITIS
Pada umumnya PLTU dibangun di tepi pantai karena tanah yang relatif murah dan dekat air laut yang dipakai sebagai pendingin. Oleh karena itu dampak yang diakibatkan oleh limbah PLTU ini akan menimpa ekosistem laut dangkal seperti estuaria, mangrove, terumbu karang dan padang lamun maupun berbagai biota yang hidup di dalamnya. Tabel 2 adalah berbagai ekosistem pesisir dan laut dangkal di Indonesia serta fungsi dan manfaatnya. Uraian selanjutnya adalah mengenai empat ekosistem laut dangkal di Indonesia yang relevan dengan kasus pencemaran limbah PLTU. Estuaria
Estuaria adalah suatu perairan pesisir yang semi tertutup yang mempunyai hubungan dengan laut terbuka. Estuaria sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Air laut bercampur dengan air tawar yang berasal dari drainasi daratan, baik berasal dari sungai maupun berasal dari aliran permukaan. Estuaria merupakan ekosistem yang produktif. Produktivitasnya setaraf dengan produktivitas hutan hujan tropik dan ekosistem terumbu karang, Estuaria cenderung memiliki produktivitas hayati yang lebih tinggi daripada perairan bahari yang membekalinya dengan air lauf dan perairan tawar yang membekalinya dengan air tawar. Sebabsebab tingginya produktivitas estuaria adalah: 1) Estuaria berperan sebagai jebak zat hara. 2) Produsen primer terdiri dari berbagai tipe yaitu : lamun, mangrove, mikrofita bentik dan fitoplankton. 3) Estuaria memperoleh subsidi hara dan makanan lewat fenomena pasang surut.
139
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 2. Ekosistem pesisir dan laut dangkal di Indonesia (BURBRIDGE and MARAGOS)
140
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Mangrove
Sediment filter Nutrient filter Fishery resources (fin and shellfish) Net transfer of production to coastal fisheries Breeding and spawning for many coastal species Nursery ground for coastal estuarine species Links to seagrass, Coral reefs Shoreline protection Buffer for tidal swamps Timber Fuel Tanning and other chemicals
Transmigration sites Conversion to dry land Excessive upland soil erosion Over exploitation of wood Over exploitation of fishery resources Upland irrigation and water withdrawal Oil pollution
Degraded coastal water quality Loss of most values, functions and uses Loss and degradation of habitat due to sediment filling Reduced fisher)' production Reduced fry production Reduced nursery habitat Secondary impact to reefs, scagrasses, swamps
Seagrass beds
Nutrient filter Net transfer of production to coastal fisheries Feeding habitat for green turtles and dugongs Nursery grounds for coastal fisheries Links to mangroves, coral reefs Fisher>' production, especially finfish
Coastal urban pollution (thermal and domestic sewage) Industrial pollution Excessive coral mining Excessive upland soil fisheries Inappropriate coastal development
Degradation of habitat Loss of habitat due to filing in Loss ofhabitatdueof hydraulic changes Displacement of scagrasses Reduced fisher)' production Loss of fry and breeding habitat
Coral reefs
Links to seagrass, mangroves, beaches and coral islands Shoreline protection Beach sand replenishment, productivity Shellfish production Finfish production Spawning grounds for fish Nursery grounds for fish Tourism and recreation Ornamental species (shells, corals, fish etc.) Sea weed harvesting Mariculture
Excessive coral mining Sedimentation Dredging and filling Over exploitation Industrial discharges Fishing with poisons and explosives Urban pollution Oil pollution Water pollution
Coastal erosion Degraded tourism Loss of nursery and spawning habitat for fish Destruction from sedimentation, filling and dredging Degradation from water pollution Destruction of habitat
Demersal Ecosystems
High productivity in upwelling and coastal areas High prawn and finfish production
Over exploitation Excessive coastal pollution Oil pollution Inappropriate fishing techniques
Loss of fishery habitat Reduced fishery production Degraded and tainted catch
Pelagic Ecosystems
High productivity in upwelling area High yield migratory species
Over exploitation Oil pollution
Reduced fishery production Degraded and tainted catch
141
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Mangrove
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas, terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai daerah tropis dan subtropis yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Segala tumbuhan dalam hutan ini saling berinteraksi dengan lingkungannya, baik yang bersifat biotik maupun yang abio-tik. Sehiruh sistem yang saling bergantung ini membentuk apa yang kita kenal sebagai ekosistem mangrove. Dilihat dari segi ekosistem bahari, hutan mangrove mempunyai arti yang sangat penting. Berbagai jenis hewan laut hidup di kawasan ini atau sangat bergantung pada ekosistem hutan mangrove. Perairan mangrove dikenal berfangsi sebagai tempat asuhan (nursery ground) bagi berbagai jenis hewan akuatik yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti ikan, udang dan kerang4cerangan. Sumbangan terpenting hutan mangrove terhadap ekosistem pesisir adalah lewat daun yang gugur. Luruhan daun mangrove merupakan sumber bahan organik penting dalam rantai makanan di lingkungan perairan yang mencapai 7 — 8 ton/ha/tahun. Daun yang gugur ke dalam air segera menjadi bahan makanan bagi berbagai biota laut. Atau dfliancurkan lebih dahulu oleh kegiatan bakteri dan fungi (jamur). Hancuran bahan organik (detritus) kemudian menjadi bahan makanan penting bagi cacing, Crustacea dan hewan-hewan lain. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan inipun menjadi makanan bagi hewan-hewan lain yang lebih besar dan seterusnya. Terumbu karang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang unik didapatkan di perairan tropika dan umumnya ditandai dengan
menonjolnya kekayaan jenis biota yang hidup di dalamnya. Perpaduan antara berbagai kehidupan di dalamnya memberikan nilai ilmiah dan estetika yang tinggi. Dalam ekosistem terumbu karang, peranan karang batu sangat menonjol.Peranan karang analog dengan peranan pohon-pohon pada ekosistem hutan. Perusakan dan kematian pohon-pohon pada kawasan hutan akan merusak atau mengubah lingkungan setempat dan berakibat terganggunya keseimbangan komunitas di situ. Kejadian serupa akan terjadi pada daerah terumbu karang bila karang-karangnya rusak atau mati. Pada umumnya karang bersimbiose dengan suatu alga mikroskopik bersel tunggal yang disebut zooxanthella. Hubungan yang erat antar komponen hewani dan nabati suatu koloni karang dijelaskan oleh ODUM (1971). Sel algaezooxanthella hidup di dalam jaringan polip karang. Fotosintensis sel algae tersebut membantu suplai makanan bagi polip karang dan pembentukan kerangka kapur. Algae menghasilkan oksigen dan bahan makanan bagi polip karang, sedangkan karang menghasilkan sisa-sisa produk karbon dioksida, mated mengandung fosfat dan nitrat yang digunakan oleh algae sebagai makanannya. Proses daur ulang ini merupakan salah satu faktor yang menunjang tingginya produktivitas ekosistem ini. Produktivitas terumbu karang sama atau melebihi ekosistem alam lainnya, dan sebuah terumbu mungkin mendukung sebanyak 3000 species biota. Meskipun demikian, perairan tropis dimana terumbu karang tumbuh merupakan perairan yang miskin fosfat dan nitrat. Oleh karena itu mempakan hal yang menakjubkan bahwa terumbu karang mampu mendukung kehidupan yang kaya pada kondisi yang demikian. Produk-
142
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
tivitas primer yang tinggi dari ekosistem ini terutama karena beberapa hal: — mengalirnya air di atas permukaan terum bu; — efisiensinya daur ulang biologis; — dan kemampuan yang tinggi
Jumlah species angiospermae yang mempunyai sifat-sifat tersebut di atas adalah 49, dan di Indonesia telah tercatat ada 12 species. Tumbuhan ini hidup dan berkembang di laut dangkal dan seringkali merupakan hamparan yang luas sehingga disebut padang lamun (seagrass bed).
menahan hara. Kompleksitas fisik dari terumbu karang menyumbang terhadap keanekaragaman dan produktivitasnya. Didapatkannya banyak lubang dan gua pada terumbu karang memberikan banyak naungan terhadap ikan dan invertebrata, dan penting bagi asuhan ikan. Selanjutnya, hewan-hewan yang sangat "specialized" seperti ikan kakatua (parrot fish), ikan kepe-kepe (butter fly fish) dan nudibranchia menjadi tergantung kehidupannya pada terumbu karang. Terumbu karang merupakan substrat bagi berbagai zoo-benthos (moluska, spong, tunikata, kipas laut, anemone, algae) untuk menetap dan tumbuh. Produktivitas primer yang tinggi dari ekosistem terumbu karang tidak hanya mendukung kelulusan hidup (survival) berbagai biota dan menciptakan sistem yang kompleks, tetapi memberikan berbagai manfaat bagi manusia. Padang lamun (seagrass bed) Lamun dalah tumbu-tumbuhan berbunga (angiospermae) yang secara penuh beradaptasi pada kehidupan di lingkungan bahari. Tumbuh-tumbuhan ini mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya berhasil hidup di laut, sebagai berikut (den HARTOG1977). 1) Mampu hidup di media air asin; 2) Mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam; 3) Mempunyai sistem perakaran yang berkembangbaik; 4) Mampu melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam.
RANDALL (1963) di West Indies mendapatkan 30 species ikan pemakan lamun dari 59 species herbivor yang diamati isi lambungnya. Meskipun demikian proses dekomposisi merupakan hal yang penting. Proses dekomposisi menghasilkan materi yanglangsung dapat dikonsumsi oleh hewan pemakan serasah. Serasah yang mengendap akan dikonsumsi oleh fauna bentik, sedangkan partikel-partikel serasah di dalam air merupakan makanan invertebrata pemakan
143
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
Padang lamun juga merupakan satu ekosistem bahari yang paling produktif. Ekosistem yang mempunyai produktivitas primer tinggi, dengan sendirinya mampu menopang sumberdaya yang tinggi pula. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekosistem ini mendukung kehidupan beraneka ragam tumbuhan dan hewan dengan memberikan tempat menempel,naungan dan makanan. Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan baik melalui pemanfaatan langsung oleh herbivora maupun melalui proses dekomposisi sebagai serasah. THAYER et al (1975) memperkirakan laju produksi Zostera berkisar antara 300 — 600 g berat kering/m2/tahun.Untuk Thalassia, menurut THORHAUG dan ROESTER (dalam THORHAUG dan AUSTIN, 1976), produksinya berkisar antara 1 5 — 1 500 g berat kering/m2/tahun. Proses dekomposisi berlangsung dalam dua kondisi, yaitu kondisi erobik dan anerobik (FENCHEL, 1977).
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
penyaring. Pada gilirannya nanti hewanhewan tersebut akan menjadi mangsa dari karnivor yang terdiri dari berbagai jenis ikan dan invertebrata. Di perairan tropis, padang lamun juga penting bagi kelangsungan hidup hewan yang dilindungi yaitu penyu dan dugong. Kedua hewan ini makan lamun dan rumput laut. Kelestarian kedua hewan tersebut sangat ditentukan kelestarian padang lamun.
PENGARUH PUSAT PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK TERHADAP EKOSISTEM AKUAUK
Sumber tenaga pembangkit listrik yang menggunakan siklus uap untuk menggerakkan turbin dapat berasal dari batu bara, gas, minyak atau nuklir. Pada waktu uap di dalam kondensor didinginkan maka kondensor menjadi panas dan perlu didinginkan dan untuk ini membutuhkan sejumlah besar air. Limbah bekas air pendingin ini lalu dibuang kembali ke perairan lain atau ke perairan semula. Limbah air panas ini yang pada mulanya diduga menyebabkan kematian atau kerusakan struktur komunitas ekosistem akuatik. Namun dari hasil analisa beberapa data yang ada ternyata dampak negatif dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar yatiu : A. Dampak limbah air panas B. Dampak Biosida C. Dampak fisik atau mekanik. Ketiga faktor itu kadang-kadang bekerja sendiri-sendiri tetapi lebih sering bekerja bersama. Faktor stress ini memegang peranan penting dalam kematian biota laut dan dapat dianggap sebagai predator selektif
yang tidak saja mengurangi kelimpahan organisme hidup tetapi juga struktur komunitas dengan membunuh jenis-jenis tidak toleran. Di negara sub-tropik,misalnya Amerika Serikat, thermal stress dapat menjadi penyebab utama kematian biota pada waktu niusim panas. Sedangkan chemical stress lebih berdampak negatif pada waktu pemberian khlor yang digunakan untuk menghalangi atau membunuh biota penempel. Namun yang tidak tergantung pada waktu dan musini adalah physical stress dan berpengaruh sepanjang tahun. Faktor-faktor stress itu umumnya mempengaruhi semua biota penghanyut dan beberapa nekton yaitu mulai dari bakteria, plankton sampai pada ikan-ikan kecil. Disini dibedakan dalam dua hal yaitu : 1. Pump (intake) entrainment adalah terpompanya biota ke dalam sistem saluran pendingin dan kemudian dibuang kembali ke lingkungan. 2. Plume entrainment yaitu terperangkapnya biota di buih pelimbahan tanpa biota itu ikut ke dalam pompa sistem saluran pendingin. Dampak limbah Air Panas Pada pembangkit listrik dengan siklus uap yang menggunakan sistem sirkuit terbuka sekali jalan (once-through cooling system) suhu limbah air panas hampir selalu lebih tinggi daripada suhu air sekitar (ambient temperature) dan biasanya At-nya berkisar antara 5 - 40°C (THE COMMITTEE ON ENTRAINMENT 1978). Kenaikan suhu yang tiba-tiba ini sangat mempengaruhi berbagai sifat fisika dan kimia yang berhubungan dengan kualitas air seperti densitas; viskositas; oksigen terlarut; karbon dioksida; pH serta biota akuatik. Pada biota yang tidak dapat menghirrdar, kenaikan suhu
144
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
yang tiba-tiba sebesar 3 - 5°C di atas suhu maksimal air sekitar akan menyebabkan kematian biota bahari. Sedangkan kenaikan suhu 2 - 3°C dapat mengakibatkan penga-
ruh sub-lethal (COLES et al. 1976 dalam COLES 1977). Pengaruh limbah air panas terhadap berbagai niacam biota bahari di berbagai negara dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh pencemaran air panas terhadap beberapa ekosistem dan biota bahari
(Sumber :GESAMP1984)
145
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Beberapa contoh kasus dampak limbah air panas di Indonesia. PLTU Muara Karang
Dalam penelitiannya di Muara Karang, BURHANUDDIN (1988) mendapatkan bahwa pembuangan limbah termal dari PLTU Muara Karang telah menyebabkan berbagai dampak sebagai berikut: 1) Keragaman nilai jauh di atas nilai suhu Teluk Jakarta (Gambar 3-6). Nilai suhu berkisar antara 28,7°C - 42,2°C. Suhu air tertinggi terjadi pada bulan April — Mei 1983. Pada musim Peralihan I dan II sebaran limbah termal ini berada jauh dari mulut pelimbahan (effluent) hingga
mencapai jarak 1700 m dari gafis pantai. 2) Kenaikan suhu perairan tersebut telah mengakibatkan menurunnya jumlah jenis di sana. Tabel 4 berikut menggambarkan pengurangan jumlah jenis ikan, crustacea dan molusca akibat limbah termal PLTU Muara Karang. 3) Diantara spesies dari ketiga kelompok biota tersebut ada yang toleran terhadap suhu tinggi dan adapula yang tidak tole ran. Biota yang toleran tercatat sebanyak 22 jenis untuk ikan, 7 jenis untuk crustasea dan 2 jenis untuk molusca. Dcanikan pelagis seperti ikan layur, ikan ten. ikan tembang dan ikan japuh termasuk pada kelompok yang bertoleransi kecil terhadap kenaikan suhu.
Tabel 4. Dampak limbah termal terhadap komunitas ikan, Crustacea dan molusca.
146
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 3. Sebaran suhu Juni 1982 (Musim Timur) ( Sumber: BURHANUDDIN 1988 )
147
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 4. Sebaran suhu November 1982 (Musim Peralihan II). ( Sumber: BURHANUDDIN 1988 )
148
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 5. Sebaran suhu Februari 1983 (Musim Barat) ( Sumber : BURHANUDDIN 1988 )
149
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 6. Sebaran suhu April 1983 (Musim Peralihan I). ( Sumber: BURHANUDDIN 1988 )
150
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
4) Batas suhu tertinggi bagi biota ketika msih terjaring di perairan Muara Karang adalah sebesar 38° C untuk ikan, sebesar 37,9°C untuk crustasea dan sebesar 36,7°C untuk molusca. Tabel 5 berikut memperlihatkan pengelompokkan biota
di perairan Muara Karang berdasarkan suhu air tertinggi ketika biota tertangkap. Biota kelompok pertama dengan suhu antara 29,0°C dan 35,0°C sedangkan kelompok II yang tahan pada suhu 35,2°C sampai 38,l°C.
Tabel 5. Pengelompokkan biota di perairan Muara Karang berdasarkan suhu air tertinggi ketika biota tertangkap.
151
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
152
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Proses Gas Alam Cair (LNG) di Bontang
Untuk mencairkan gas alam, dipergunakan air sebagai pendingin. Tempat penyedotan di dekat dok (Gambar 7).
Setelah proses pencairan, limbah air panas dibuang memulai saluran yang panjangnya sekitar 4 km sampai mencapai ujung dari dua terumbu yang menjorok dimana terletak pelimbahan.
Gambar 7. Sebaran air panas di Bontang, Maret 1983. (Sumber: NONTJI1986) 153
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pengamatan dilakukan pada tahun 1983 dimana instalasi pengolahan gas alam cair baru beroperasi dua"train" (NONTJI 1986). Setiap "train" membuang air sebagai pendingin sejumlah 9.75 m3/detik. Suhu di tempat penyedotan berkisar antara 29°C - 31°C dan di titik keluar dari instalasi (discharge point) adalah 45°C. Setelah melalui saluran yang panjang air buangan bercampur dengan air laut dan suhunya menjadi 36° - 38°C (Gambar 7.). Pada sebaran air panas tersebut dipengaruhi oleh arus laut dan pasang surut. Pada saat surut daerah dampak menjadi semakin luas. Apabila diasumsikan bahwa suhu ambient air laut adalah 31°C, maka terlihat bahwa suhu yang lebih tinggi dari ambient mencapai 1650 m sebelah timur dari titik pelimbahan (outfall). Gambaran ini adalah pada bulan Mei 1983 dimana masih beroperasi dua train. Maka dapat diprakirakan dampak pada saat ini, setelah empat train beroperasi, akan lebih meluas. Gambaran mengenai kondisi saat itu melalui bawah air adalah sebagai berikut : — Tidak ada organisme bentik yang hidup di daerah pelimbah (outfall). — Pada radius 500 m sekitar pelimbahan kondisi kehidupan sangat miskin. Sebagian besar karang batu mati dan kerangkanya ditumbuhi oleh algae biru-hijau berbentuk benang (filamentous algae) yang lebih tahan terhadap stress panas. Dean, Crustacea, ekhinodermata, microalgae dan lamun sangat jarang. — Di dekat karang terumbu, air panas membentuk lapisan yang berbeda dengan lapisan air di bawahnya setebal 3 m. Kedua lapisan air tersebut tetap tidak ber campur sampai beberapa meter dari pe-
limbahan. Dengan adanya stratifikasi tersebut, biota yang hidup di perairan yang lebih dalam tidak terpengaruh langsung limbah air panas tersebut. Sementara di PLTU Muara Karang, dilihat dari jumlah jenis dan jumlah ekornya ternyata ikan di perairan limbah air panas lebih banyak tertangkap dengan jala dan jaring pantai daripada di perairan yang relatif dingin. Mengingat bahwa perbedaan suhu tidak terlalu besar yaitu rata-rata 35,5°C pada perairan panas dan 33,33°C pada perairan dingin maka diduga bahwa suhu di perairan panas lebih disenangi oleh ikan-ikan setempat (MAHLAN 1981). Dari komunitas bentos terlihat kecenderungan bahwa makin dekat pelimbahan akan makin sedikit kelimpahan dan komposisi bentos. Apabila dilihat dari komposisi diatom tampak bahwa PLTU Muara Karang tidak mempengaruhi jumlah genera melainkan sangat mempengaruhi jumlah sel dari masing-masing genera tersebut. Sedang komunitas zooplankton lebih didominasi oleh Copepo-da yang bersifat eurythermal (Acartia sp.) dan sejenis amphipoda. Dampak limbah air panas terhadap kandungan zooplankton hanya terbatas sekitar 1000 m dari tempat terjunnya limbah air panas ke perairan sekitar (ARINARDI 1985). Pada Tabel 6 terlihat bahwa konsentrasi zooplankton di perairan Muara Karang pada tahun 1983 hanya sebesar 34% atau sepertiganya daripada kandungan zooplankton tahun 1973 yaitu pada saat PLTU tersebut belum dibangun. Rendahnya konsentrasi zooplankton ini selain karena dampak limbah air panas mungkin karena pencemaran dari Kali Karang dan limbah minyak dari pelabuhan ikan di sekitarnya.
154
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 6. Konsentrasi zooplankton (ribuan ekor/m3) sebelum dan sesudah PLTU Muara Karang beroperasi.
PLTU Priok
Di PLTU Priok, limbah air panas mempengaruhi komposisi jenis ikan di pelimbahan. Makin tinggi suhu-suhu perairan makin sedikit jumlah jenis ikan yang hidup di sana. Suhu yang lebih rendah dari 37°C belum mempengaruhi kehidupan ikan sedang pada suhu 39 - 40°C mulai terlihat dampaknya (BURHANUDDIN 1981). Pengaruh Biosida
Dalam melakukan pencegahan kerusakan bangunan dan sistem air pendingin serta memperlancar pemindahan panas (heat transfer) di dalam kondensor, pihak pengelola secara berkala menggunakan biosida untuk membersihkan dan juga mencegah biota penempel di saluran pengambil. Biota penempel yang sering merupakan gangguan itu umumnya adalah teritip, algae, fungi, tunicate, kerang-kerangan, dan sebagainya. Pada sistem sirkuit terbuka sekali jalan, biosida yang digunakan adalah gas khlorin atau Ca (OC1)2 dan NaOCl. Namun dari pengalaman selama ini terbukti pemberian khlorin akan menyebabkan stress atau bahkan kematian biota yang berada di dalam air atau pelimbahan (MORGAN & CARPENTER 1978). Sungguhpun terda-
pat bermacam variasi dalam konsentrasinya untuk kematian biota, tetapi sebagian besar species umumnya sudah dipengaruhi pada konsentrasi khlorin rendah (residu kurang dari 0,5 ppm). Pengaruh khlorin terhadap zooplankton telah pula diamati (DAVIES & JENSEN dalam MORGAN & CARPENTER 1978) dan ternyata pada residu khlorin dengan kadar 0,25 - 0,75 mg/1, 50% zooplankton mati. Sedangkan pada kadar antara 0,50 — 5,00 mg/1, sekitar 85 - 100% zooplankton terbunuh. Khlorin ini diduga berdampak terhadap abnormalitas dalam pertumbuhan dan reproduksi dan pengaruh sub4ethal terhadap biota tersebut. Sejauh ini belum ada penelitian mengenai pengaruh biosida terhadap biota bahari di Indonesia.
Pengaruh Fisik atau Mekanik Pada akhir-akhir ini para ahli mulai menyadari bahwa limbah air panas tidak selalu penyebab utama kerusakan ekosistem akuatik. Lebih sering terjadi adalah kematian biota yang hidupnya bebas bergerak di dalam air dan lalu terhisap oleh pompa sistem saluran air pendingin. Biota ini (antara lain terdiri dari ikan, plankton, dan
155
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
larva kerang-kerangan) akan terhisap oleh tenaga pompa dan kemudian melekat di travelling screen dan yang paling sering menderita adalah plankton (Gambar 1). Kerusakan fisik pada biota terhisap ini menyebabkan kematian biota di perairan pembangkit tenaga listrik. Pengaruh fisik ini sangat menonjol karena berlangsung terus menerus selama air pendingin di pompa ke dalam kondensor. Pengaruh fisik pembangkit tenaga listrik terhadap zooplankton telah banyak pula diamati dan umumnya berpengaruh kurang menguntungkan. Di pembangkit tenaga listrik Millstone Point, Niantic, 70% zooplankton yang memasuki sistem air pendingin mati karena tekanan fisik atau hidrolis (CARPENTER et al 1974). Sedang BECK & MILLER (1974) melaporkan bahwa 50% kematian zooplankton disebabkan pengaruh pemompaan air untuk pendingin. Dari data yang telah ada, kematian biota yang terperangkap tergantung dari beberapa faktor seperti ukuran tubuh dan tingjcat hidupnya (life stage); toleransi dan tingkat hidup; serta perbedaan rancang bangun sistem air pendingin dan karakteristik operasionalnya. Seperti juga penelitian dampak biosida maka dampak mekanik terhadap biota di Indonesia juga belum pernah dilakukan.
2. Dari contoh kasus PLTU Muafa Karang (Jakarta); PLTU Priok (Jakarta) dan proses gas alam cair (LNG) Bontang (Kalimantan Timur) terbukti bahwa dampak limbah air panas sudah terjadi pula di Indonesia. 3. Pemantauan jangka panjang ekosistem akuatik perlu dilakukan untuk lebih memahami akibat sistem pendingin PLTU secara menyeluruh, terutama: a. PLTU yang sudah mempunyai rona awal. b. PLTU yang berlokasi di dekat ekosistem laut dangkal yang kritis. c. PLTU yang dekat dengan daerah vital yaitu perairan yang secara ekologis kri tis, berpotensi besar, produktivitas primer tinggi dan yang sangat penting untuk dapat berfungsinya suatu ekosistem. 4. Selain penelitian di lapangan, perlu pula dilakukan penelitian di laboratorium teruta ma untuk mengetahui dampak limbah air panas dan biosida terhadap biota air yang mempunyai nilai niaga penting dan meroplankton (ichtyoplankton dan larva invertebrata). 5. Dalam membangun PLTU yang baru perlu pula diteliti (selain rona awal) : a. Pemilihan lokasi dipandang dari sudut lingkungan. b. Rancang bangun sistem pendingin pem bangkit tenaga listrik dan kriteria opera sionalnya untuk menghindari suhu limbah air panas yang terlalu akstrim.
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Pembangkit listrik dengan siklus uap merupakan predator selektif yang tidak hanya mengurangi kelimpahan biota air tetapi juga merusak struktur komunitas dengan membunuh jenis-jenis tidak toleran.
AKMAL, F. 1984. "Masalah mutu air pendingin PLTU Muara Karang". Diskusi ilmiah tentang masalah limbah air panas PLTU, 17 Januari 1984. Pusat Penyelidikan Masalah Kelestarian 7 hal.
156
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ARINARDI, O.H. 1985. Pengaruh PLTU Muara Karang, Jakarta, terhadap kandungan plankton di perairan saluran pemasukan dan saluran pengeluaran air pendingin. Thesis MS. Fak. Pasca Sarjana, IPB: 136 hal. BECK, AD. & D.C. MILLER 1974. Analysis of inner plant passage of estuarine biota. Proc. Amer. Soc. Civil Eng. Power Div. Spec. Conf.y Boulder Col : 119 — 226. BURBRIDGE, P.R. and J.E. MARAGAS 1983. Coastal resources management and environmental assessment needs for aquatic resources development in Indonesia. Washington, D.C; International Institute for Environment and Development. BURHANUDDIN & S. BIROWO 1981. Pengaruh limbah air panas PLTU Priok terhadap komposisi jenis ikan di perlim bahannya. ODI14 : 19 - 30. BURHANUDDIN 1988. Pengaruh limbah panas Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang terhadap komposisi jenis, toleransi dan kejerahan pisces, crustacea dan molusca di perairan Muara Karang, Teluk Jakarta. Desertasi Doktor, Institute Teknologi Bandung : 358 hal. CARPENTER, E.J., B.B. PECK & S.J. ANDERSON 1974. Survival of copepods passing through a nuclear power station on north-eastern Long Island Sound,
USA. Mar. Bio I 24 :49-55. COLES, S.L. 1977. Marine management and the siting of electrical generating station on tropical shorelines area. Mar. Res. Indonesia 19 : 51 - 72. FEUCHEL, T. 1977. Aspects of the decomposition of seagrass, p. 123 — 245. In : CP. Me Roy and C. Hellferick (eds.). Seagrass ecosystem. A scientific perspective. Mar. Sci. Vol. 4, Marcel Dekker Inc. New York.
GESAMP 1984. Thermal discharge in the environment. Report of studies GESAMP (24): 44 pp. HARTOG, C. den 1976. The role of seagrass in shallow coastal waters in the Caribbean. In : E.A. Van Gesan, W.Bove, Krusteusen and H.A.M. de Kruiff (eds.). Stinapa 11 : 84-86. HARTOG, C. den 1977. Strucutre, function and classification in seagrass communities, pp : 89 - 121. In : CP. Me. Roy and C. Helferich (eds.). Seagrass ecosystem. A scientific perspective. Mar. Sci. Vol. 4 Marcel Dekker Inc. New York. ISTIGNO 1984. Penyebaran panas limbah air pendingin utama PLTU. Diskursi flmiah tentang masalah Limbah Air Panas, Jakarta, 17 Januari 1984. PUSLIDIK Masalah Kelistrikan PLN : 23 hal. KASTORO 1977. Hasil-hasil pengamatan hidrologi di perairan sekitar Pulau Lancangf Dalam ; M. Hutomo, K, Romimohtarto dan Burhanuddin (eds.). Teluk Jakarta ; Sumberdaya, Sifat-sifat Oseanologij serta permasalahannya. Proyek Penelitian Sumberdaya Ekonomi, LON - LIPI: 179 _ 196. LON-LIPI 1974. Final report on the first stage of the oceanological investigation and survey in connection with the Muara Karang Steam Power Station Project. Chapter III. Biological survey, LONIIPIJakarta: III 1 -44. MAHLAN, M. 1981. Pengaruh limbah air panas PLTU Muara Karang terhadap ikan, teritip dan organisme dasar perairan Muara Karang, Teluk Jakarta. Thesis MS. Fak. Pasca Sarjana, IPB : 92 hal. MARTONO, A. 1984. Batasan suhu limbah air pendingin PLTU. Diskusi ilmiah tentang Masalah limbah Air Panas, Jakarta, 17 Januari 1984. PUSLIDIK Masalah Kelistrikan, PLN: 11 hal. 157
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
MORGAN, RJP. III and EJ. Carpenter 1978. Biocides. Hal 95 - 135. Dalam : J.R. Schubel & B.C. Marcy, (eds.) Power plant entranment, a biological assessment. Acad. Press Inc., London : 271 hal. NONTJI, A. 1986. Coral pollution and degradation by LNG Plant in South Bontang (East Kalimantan), Indonesia. Proc. MAB-COMAR Reg. Workshop on Coral Reed Ecosystem : Their management Practices and Research/Training needs : 92-98. ODUM, EJP. 1971. Fundamental of ecology. Third Edition W.B. Sounders Company, Philadelphia : 574 pp.
RANDALL, J£. 1963. An analysis of the fish population of artificial and natural reefs in the Virgin Islands. Caribbean. J.Sci. 3(1): 1 -10. THAYER, G.W., SM. ADAMS and M.W. LA CROIX 1975. Structural and functional aspects of recently established Zostera marine community, pp. 518 540. In : L.E. Croin (ed.). Estuarine Research Vol. I Academic Press, New York. THORHOUG, A. and C.B. AUSTIN 1976. Restoration of seagrass with economic analysis. Env. Consent. 3 (4) : 259 267.
158
Oseana, Volume XVII No. 4, 1992