Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
DAMPAK PEMANFAATAN LIMBAH BUAH SEMU METE TERFERMENTASI TERHADAP PENDAPATAN PETANI DI DESA JUNTAL KECAMATAN KUBU KARANGASEM (The Impact of Fermented Chashew Waste on the Farmer Income in Juntal Village Kubu Karangasem) I.A. PARWATI, S. GUNTORO, RAIYASA dan I NYOMAN SUYASA Balai Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Jl. Bypass Ngurahrai, Denpasar
ABSTRACT Research to observe the income recieved by farmer on the growing kid by giving fermented cashew waste was done in Kubu Village, Karangasem. Study was conducted by survey and direct observation methode. Twenty four kids of 3 months of age were used, they were divided into 2 groups (12 each), group P1 kid only receive forage (HMT) and P2 kid fed HMT + cashew waste (Concentrate) of 200 g/head/day, reseach was done for 3 months. Parameters observed were net income, R/C ratio, Production BEP and Price BEP. Result show that growing kid fed fermented cashew waste can increase benefit of 10,87% with R/C ratio of 190 compared to that raised farmer way, with R/C ratio of 1,90. P2 reach the price BEP of Rp 10.529, while for P1 the price BEP reached on Rp 18.172. In addition, P2 give production BEP on the kid body weight of 31,40 kg. Key Words: Chesew Waste, Farming System, Income ABSTRAK Untuk melihat tingkat pendapatan yang diterima petani pada pembesaran anak kambing dengan pemberian limbah mete terfermentasi telah dilakukan penelitian di Desa Kubu Karangsem. Studi dilakukan dengan metode survei dan pengamatan langsung. Jumlah ternak yang dikaji sebanyak 24 ekor ternak kambing lepas sapih umur 3 bulan yang dibagi dalam 2 kelompok (masing-masing 12 ekor ternak), kelompok P1 : kambing hanya diberikan hijauan (HMT) sesuai cara petani dan P2 : kambing diberikan HMT + pakan penguat limbah mete 200 gram/ekor/hari, penelitian dilakukan selama 3 bulan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah, pendapatan bersih petani, Gross B/C ratio, Titik Impas Produksi (TIP) dan Titik Impas Harga (TIH). Hasil analisis menunjukkan, bahwa usaha pembesaran anak kambing dengan introduksi limbah mete terfermentasi (konsentrat) dapat meningkatkan keuntungan sebesar 10,87% dibandingkan dengan cara petani, dengan Gross B/C ratio sebesar 1,90. Teknologi cara petani (P1) hanya membutuhkan bobot badan akhir sebesar 30,51 kg dengan tingkat harga Rp 18.172/ekor agar memperoleh penerimaan yang dapat menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan tanpa memperoleh keuntungan. Sedangkan perlakuan P2 membutuhkan pertambahan bobot badan akhir sebesar 31,40 kg/ekor dengan harga Rp 10.529/ekor untuk terjadinya titik impas produksi dan harga. Kata Kunci: Limbah Mete, Usahatani, Pendapatan
PENDAHULUAN Peluang pasar untuk komoditas kambing hingga kini masih terbuka lebar. Di daerah Bali produksi kambing masih belum dapat memenuhi kebutuhan, sebagai contoh pada tahun 2002, sebanyak 10.962 ekor kambing dari luar daerah masuk ke Bali. Disamping kebutuhan nasional masih kurang, peluang eksport kambing juga terbuka seperti ke
negara-negara ASEAN dan Timur Tengah. Sementara itu potensi alam untuk pengembangan kambing di Bali masih cukup besar, terutama dikawasan sentra perkebunan dan lahan marginal. Di daerah Bali terdapat areal perkebunan seluas 166.454 ha diantaranya terdiri dari perkebunan kopi (39.923 ha), kelapa (72.500 ha), cengkeh (23.250 ha), mete: (15.266) ha, kakao (6.223 ha), panili (448 ha). Disamping itu juga terdapat areal lahan kering
561
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
yang tidak produktif atau lahan marginal seluas 50.627 hektar yang potensial untuk ternak kambing (ANON., 2004). Untuk meningkatkan populasi dan produktivitas ternak di Bali, pakan merupakan faktor pembatas. Bahan konsentrat seperti jagung, kedelai dan tepung ikan sebagian besar harus didatangkan dari luar sehingga harganya relatif mahal. Di pihak lain untuk pengembangan tanaman makanan ternak (HMT), mengalami kendala keterbatasan lahan, mengingat padatnya penduduk, perkembangan sektor industri dan jasa, sehingga pemanfaatan lahan menjadi kompetitif (TISNA., 2002). Karena itu, salah satu alternatif untuk penyediaan pakan yang murah dan tidak kompetitif adalah melalui pemanfaatan limbah baik limbah pertanian, peternakan maupun industri (MASTIKA, 1991). Di Bali terdapat beberapa jenis limbah yang produksinya cukup besar seperti jerami padi yang saat ini sudah mulai banyak dimanfaatkan sebagai sumber pakan (SUYASA et al., 2003). Jenis limbah lain adalah limbah perkebunan, salah satunya adalah limbah buah semu mete yang dapat diolah sehingga menjadi sumber konsentrat (GUNTORO et al., 2002). Berdasarkan hasil proximate analysis limbah buah semu mete yang difermentasi dengan Aspergilus niger, protein limbah buah semu mete meningkat dan kandungan serat kasar menurun. Hasil penelitian BPTP Bali, menunjukkan bahwa melalui proses fermentasi, limbah buah semu mete bisa dimanfaatkan untuk pakan penguat kambing maupun babi (GUNTORO et al., 2004). Lebih jauh dikatakan bahwa dengan pemberian limbah buah semu mete pada ternak kambing mampu meningkatkan berat badan ternak 59,65 g/ekor/hari sementara yang hanya diberikan hijauan saja hanya 33,58 g/ekor/hari. Demikian juga keuntungan yang diterima petani lebih besar dari hanya memberikan hijaun saja. Bila limbah-limbah tersebut dapat dimanfaatkan secara tepat dan optimal, akan dapat menyediakan pakan yang murah dan bermutu, sehingga akan dapat meningkatkan pendapatan petani, mendukung upaya peningkatan populasi dan produktivitas ternak, membuka peluang usaha, sekaligus dapat mengatasi pencemaran lingkungan. Paket teknologi pengolahan limbah perkebunan khususnya mete merupakan paket teknologi baru yang mampu meningkatkan
562
produktivitas peternakan kambing. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah sejauh mana pemberian dedak dari limbah mete pada pembesaran anak kambing memberikan kontribusi pada pendapatan usahaatani ternak dan apakah layak untuk dikembangkan. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Desa Juntal Kecamatan Kubu Karangasem, yang merupakan sentra perkebunan mete di Bali selama 84 hari. Penetapan wilayah dilakukan secara sengaja (purposive sampling), sedangkan pemilihan ternak dilakukan dengan metode acak sederhana sebanyak 24 ekor dengan berat ± 15 kg/ekor yang terbagi menjadi 2 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 12 ekor kambing umur 3 – 4 bulan dengan perlakuan sebagai berikut: P1: Kambing diberi pakan hijauan (HMT) sesuai cara petani; P2: Kambing mendapat HMT + pakan penguat limbah mete 200 g/ekor/hari pada pascasapih. HMT diberikan minimal 10% dari berat badan. Data yang dikumpulkan meliputi data masukankeluaran usahatani ternak kambing melalui kuesioner. Metode analisis yang digunakan: 1. Untuk mengetahui pendapatan bersih petani pada usaha pengembangan ternak kambing dengan penambahan limbah mete dapat digunakan rumus sebagai berikut: NR = TR – TC TR = Py. Y – (Px.X + TFC) dimana: NR = TR = TFC = TC = X = Py =
Net Revenue (pendapatan bersih) Total Revenue(pendapatan total) Total Fixed Cost (total biaya tetap) Total Cost (biaya total) Input; Y = Output Harga output ; Px = Harga input
2. B/C rasio, yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: B/C = PXH B dimana: P = Produksi; H= Harga Produksi; B = Total Biaya
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Analisis kelayakan usaha pembesaran anak kambing digunakan untuk melihat tingkat pengembalian atas biaya usaha tani yang telah dikeluarkan untuk menerapkan teknologi introduksi. Apabila Gross B/C > 0, maka usaha tani dianggap layak secara finansial, karena keuntungan bersih masih lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. 3. Batas aman usaha pembesaran anak kambing dapat dilihat melalui analisis Titik Impas Produksi (TIP) maupun Titik Impas Harga (TIH). Angka tersebut merupakan batas dimana penerapan teknologi masih memberikan tingkat keuntungan normal. Nilai titik impas dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut (ADNYANA et al., 1994):
badan rata-rata untuk P1: 18,4 kg dan P2: 20,56 kg. Dengan demikian pada P1 diperoleh pertambahan bobot badan (PBB) rata-rata 33,58 g/ekor/hari dan P2: 59,65 g/ekor/hari dan secara statistik berbeda nyata (P ≤ 0,05). Demikian pula, tidak terjadi gangguan kesehatan (serangan penyakit) pada kambing P1 maupun P2. Tabel 1. Hasil analisa laboratorium fermentasi limbah mete dengan Aspergilus Niger Parameter
Perlakuan Non-fermentasi
Fermentasi
CP
7,61
21,29
CF
14,48
8,56
TIP = B/HP TIH = B/P
Fat
0,96
0,92
Ca
0,03
0,03
dimana: TIP = TIH = B = HP =
P
0,14
0,24
P
Titik Impas Produksi Titik Impas Harga Biaya Total harga produksi (Harga anak kambing akhir penggemukan) = Produksi (berat ternak saat akhir penggemukan) HASIL DAN PEMBAHASAN
Limbah buah semu mete segar mencapai 92% dari total berat seluruh buah, setelah menjadi tepung diperoleh rendemen 18 – 25%. Berdasarkan hasil Proximate analysis menunjukkan bahwa Crude Protein (CP) meningkat dari 7,61 sebelum difermentasi menjadi 21,29 setelah difermentasi (Tabel 1), kandungan serat kasar Crude Fiber (CF) menurun dari 14,48 menjadi 8,56. Dari analisa tersebut kandungan gizi limbah mete terfermentasi jauh lebih baik bila dibandingkan dengan dedak padi yang harganya pada saat ini sangat tinggi hampir Rp 1200/kg. Dari hasil penimbangan di lokasi penelitian terhadap pembesaran anak kambing dengan pemberian limbah mete olahan sebanyak 200 g/ekor/hari dapat meningkatkan pertumbuhan kambing kacang 77,63%. Pada penimbangan pertama yaitu 24 ekor kambing sampel diperoleh bobot awal rata-rata untuk P1: 15,67 kg/ekor dan P2: 15,55 kg/ekor. Selama perlakuan 12 minggu (84 hari), diperoleh bobot
CP = Crude Protein, CF= Crude Fiber, Fat = Lemak, Ca= Kalsium, P = Fosfor Sumber: Data primer
Jika petani mengeluarkan seluruh biaya produksi, maka biaya riil yang dikeluarkan untuk membesarkan anak kambing selama 84 hari meliputi biaya bibit, pakan tambahan (dedak limbah mete, obat-obatan dan probiotik) dan tenaga kerja. Biaya tenaga kerja merupakan biaya yang diterima kembali oleh petani karena tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja keluarga. Namun dalam analisis tenaga kerja tersebut dibagi menjadi kelompok keuntungan riil dan tidak riil. Keuntungan riil merupakan keuntungan yang diterima petani setelah pendapatan kotor dikurangi biaya produksi dengan menghitung biaya tenaga kerja keluarga. Rata-rata petani mengeluarkan tenaga kerja keluarga sebesar Rp. 178.500 untuk pemeliharaan per ekor ternak kambing selama 84 hari, baik cara petani (P1) maupun dengan tambahan dedak limbah mete (P2). Namun petani rata-rata mengeluarkan biaya pakan tambahan sebesar Rp. 15.000 (P1) dan Rp. 27.600 untuk P2. Total biaya produksi yang dikeluarkan dalam penerapan pada perlakuan P1 sebanyak Rp. 610.216/ekor/84 hari sedangkan perlakuan P2 sebesar Rp. 628.030/ekor/84 hari. P1 (cara petani) cendrung mengeluarkan biaya lebih sedikit dibandingkan dengan P2.
563
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Nilai penerimaan kotor dengan perlakuan P1 mencapai Rp. 671.600 sedangkan P2 Rp. 1.193.000. Penerimaan finansial yang diperoleh dalam usahatani pembesaran anak kambing dapat diketahui dengan menghubungkan variabel input dan harga yang diterima petani (Tabel 2). Dengan menggunakan tingkat harga yang diterima oleh petani ternak sebagai dasar perhitungan, keuntungan yang diperoleh dari usahatani pembesaran anak kambing denagn perlakuan P1 dan P2 pada tingkat harga Rp. 20.000/kg secara riil (biaya tenaga kerja dihitung) masing-masing sebesar Rp. 61.384 dan Rp. 564.970 per ekor selama 84 hari. Rasio antara penerimaan dengan biaya menunjukkan bahwa perlakuan P1 memiliki Gross B/C sebesar 1,10 lebih rendah dari Gross B/C P2 yang mencapai 1,90 (Taebl 3).Pada perlakuan P1 setiap Rp. 100 biaya yang
dikeluarkan untuk usahatani pembesaran anak kambing mampu mendatangkan penerimaan sebesar Rp. 10. Sedangkan pada perlakuan P2 dengan memberikan tambahan konsentrat berupa limbah mete terfermentasi pada pembesaran anak kambing mampu memberikan keuntungan jauh lebih banyak dari P1 yaitu sebesar Rp. 90 selama 84 hari. Dari analisis ini menunjukkan bahwa pada perlakuan P2 biaya yang dikeluarkan petani lebih banyak dari perlakuan P1 namun karena pertambahan berat badan harian anak-anak kambing yang diberikan tambahan konsentrat berupa limbah mete terfermentasi (P2) lebih berat dari P1 masing-masing sebesar 0,3 kg (P1) dan 0,6 kg (P2). Sehingga output yang diterima petani lebih banyak yang menyebabkan kambing dengan perlakuan P2 lebih layak untuk dikembangkan. Keuntungan yang dicapai ditentukan oleh pelaksanaan
Tabel 2. Analisis finansial pembesaran anak kambing per ekor No I A
B C II
III
Komponen input-output Komponen input Biaya tidak tetap a. Pembelian bibit (15 kg/ekor) b. Pembelian HMT @ Rp 200 P1 = 0.3 kg x 84 hari = 33.58 kg P2 = 0.60 kg x 84 hari = 59.65 kg c. Pembelian konsentrat P1 = 0 P2 = 16.8 kg @ Rp750 d. Vitamin dan Obat-obatan e. Tenaga kerja pemeliharaan selama 84 hari, @ 2.125/jam Biaya tetap a. Penyusutan kandang dan alat Total Biaya Penggemukan Komponen output Hasil penjualan kambing P1 = 33.58 kg @ Rp 20.000; P2 = 59.65 kg @ Rp 20.000 Keuntungan
P1= Kambing hanya diberikan Hijauan MakanTernak (HMT) P2= kambing diberikan HMT + dedak limbah mete Bibit kambing merupakan kambing lokal Umur lepas sapih dengan berat awal 15 kg/ekor Jumlah masing-masing perlakuan 12 ekor Harga berdasarkan berat badan (tanpa memperhatikan performans) HMT diberikan ± 10% dari berat badan
564
Perlakuan P1
P2
400,000
400,000
6,716.00 11,930.00
15,000 178,500
12,600 15,000 178,500
10,000 610,216
10,000 628,030
671,600
1,193,000
61,384
564,970
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
alokasi masukan output. Alokasi masukan yang optimal akan memaksimumkan pendapatan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh MACHMUD (1990). Sedangkan HERMAN SUPRIADI et al. (2001) menyatakan bahwa pendapatan petani dapat ditingkatkan melalui pemacuan produksi (bobot hidup/hari) dalam hal ini dengan pemberian pakan tambahan berupa konsentrat dari limbah mete terfermentasi memberikan tambahan pendapatan petani. Teknologi cara petani (P1) hanya membutuhkan bobot hidup akhir sebesar 30,51 kg dengan tingkat harga Rp. 18.172/ekor agar memperoleh penerimaan yang dapat menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan tanpa memperoleh keuntungan. Sedangkan perlakuan P2 membutuhkan pertambahan bobot badan akhir sebesar 31,40 kg/ekor dengan harga Rp. 10.529/ekor untuk terjadinya titik impas produksi dan harga. Tampaknya teknologi cara petani (P1) membutuhkan pertambahan bobot badan akhir lebih sedikit untuk mencapai titik impas. Namun teknologi cara petani (P1) memerlukan tingkat harga pasar yang lebih tinggi untuk mencapai titik impas tersebut. Tabel 3. Rasio, titik impas produksi dan harga per ekor ternak kambing Uraian
P1
Gross B/C
P2
1,10
1,90
Titik impas harga (Rp./kg)
18.172
10.529
Titik impas produksi (kg)
30,51
31,40
P1 = P2 =
Kambing hanya diberikan Hijauan Makan Ternak (HMT) kambing diberikan HMT + dedak limbah mete
KESIMPULAN Limbah mete terfermentasi (perlakuan P2) mampu meningkatkan berat badan harian ternak kambing lebih baik dari cara petani (P1). Sehingga penerimaan petani meningkat yang pada akhirnya mampu memberikan keuntungan yang lebih banyak. Pembesaran ternak kambing dengan perlakuan P2 layak untuk dikembangkan. Teknologi cara petani (P1) membutuhkan pertambahan bobot badan akhir lebih sedikit untuk mencapai titik impas, namun memerlukan tingkat harga pasar yang
lebih tinggi untuk mencapai titik impas tersebut. DAFTAR PUSTAKA ADNYANA, M.O., A. DJULIN, K. KARIYASA dan A. SYAM. 1994. Study Pertumbuhan Produksi Jagung di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan bekerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. ANON. 2004. Bali Tourism Statistics 2003. Brosur Bali Goverment Tourism Office- Denpasar, Bali. GUNTORO, S., RAIYASA dan I.A. PARWATI. 2002. Limbah Perkebunan (kakao dan Kopi) Untuk Pakan Ternak dan Pupuk Organik. Kerjasama BPTP Bali dengan Bappeda Propinsi Bali. GUNTORO, S., MADE RAI YASA, RUBIYO dan I NYOMAN SUYASA. 2004. Optimalisasi integrasi usahatani kambing dengan tanaman kopi. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 389 – 395. HERMAN SUPRIADI, D. ZAENUDDIN dan S. GUNTORO. 2001. Analisa Ekonomi Pemanfaatan Limbah Dapur dan Restoran untuk Ransum Ternak di Tingkat Petani. Pros. Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya Optimalisasi Potensi Wilayah Mendukung Otonomi Daerah. MACHMUD, M. 1990. Analisis Ekonomi Pengembangan Supra Insus di Sulawesi Selatan Dalam Rangka Pemanfaatan Swasembada Beras Nasional. Tesis Magister Sains, Institut Pertanian Bogor. MASTIKA, I.M. 1991. Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfatan nya untuk Makan Ternak. Pidato Humas Pengukuhan Guru Besar Ilmu Makanan Ternak pada Fakultas Peternakan UNUD, Denpasar. SUYASA, I-N., I-K.W. SOETHAMA dan S. GUNTORO. 2004 Produktivitas Usahatani Lahan Sawah Dalam Pendekatan Sistem Integrasi TanamanTernak di Subak Rejasa, Tabanan Bali. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi TanamanTernak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 211 – 217.
565
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
TISNA. 2002. Pendayagunaan Tanah dalam Rangka Pembangunan Wilayah Propinsi Bali. Makalah Seminar Nasional. ”Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Tanah dan Air yang Tersedia untuk Keberlanjutan Pembangunan, Khususnya di Sektor Pertanian”. Denpasar, 6 April 2002. Fakultas Pertanian UNUD.
DISKUSI Pertanyaan: 1. Bagaimana memproses buah samu menjadi pakan? 2. Bagaimana cara pemberiannya? Jawaban: 1. Buah semu diperas lalu difermentasi 5 – 6 hari dengan Aspergillus niger kemudian dikeringkan dan selanjutnya dibuat tepung. 2. Dedak meta dicampur air (pasta) kemudian diberikan ke ternak.
566