Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 2016
MENARA Ilmu
DAMPAK NEGATIF BERMAIN GAME DAN MENONTON TAYANGAN BERMUATAN KEKERASAN PADA ANAK (PENYULUHAN PADA SISWA SDN 06 PASAR MUARA LABUH, KAB. SOLOK SELATAN) Hariyadi, S.Kom, M.Kom Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat email:
[email protected] ABSTRACT This community service was motivated by the condition in which there a lot of game and TV program containing violence consumed by children. In a city like Muara Labuh, most parents do not have enough time to keep watching and accompany the children neither when playing the game nor watching TV. In addition, the children now have an easy access to play any game. The aim of this project is to deliver the knowledge to the children about the impact of violent contents in TV program and game. The method used in this activity was a talk show including showing the example of proper program for the children as well as the improper one, then it was comprehended by discussion session between the participants and the presenters. After this activity had been conducted, the result showed that the average knowledge of the participants was in maximum value, 2 (after rounded up) which means there is 47% increase in the knowledge on the impact of violent contents in TV program and game. This result is expected to become a foundation for the participants to control the media they consumed without fully depending on parents‟ guidance and control. Key words: Media lite racy, media effect, violence, children ABSTRAK Pelayanan masyarakat ini dilatar belakangi oleh kondisi di mana ada banyak program permainan dan TV yang mengandung kekerasan dikonsumsi oleh anak-anak. Di sebuah daerah seperti Muara Labuh, kebanyakan orang tua tidak memiliki cukup waktu untuk tetap menonton dan menemani anak-anak tidak saat memainkan game atau menonton TV. Selain itu, anakanak sekarang memiliki akses yang mudah untuk bermain game apa saja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada anak-anak tentang dampak isi kekerasan dalam program TV dan game. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah talkshow termasuk yang menunjukkan contoh program yang tepat untuk anak-anak serta orang yang tidak benar, maka hal itu dipahami oleh sesi diskusi antara peserta dan peneliti. Setelah kegiatan ini telah dilakukan, hasilnya menunjukkan bahwa pengetahuan rata-rata peserta adalah nilai maksimum, 2 (setelah dibulatkan) yang berarti ada 47% peningkatan pengetahuan tentang dampak dari isi kekerasan dalam program TV dan game. Hasil ini diharapkan menjadi landasan bagi peserta untuk mengontrol media yang mereka konsumsi tanpa sepenuhnya tergantung pada orang tua "bimbingan dan kontrol. Kata kunci: Media, efek media, kekerasan, anak-anak PENDAHULUAN Media massa, terutama televisi, telah menjadi bagian penting bagi anakanak. Banyak waktu yang digunakan anak untuk menonton tayangan televisi. Menurut penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah jam menonton TV anak usia sekolah dasar berkisar antara 30-35 jam seminggu, atau lebih kurang 1.500 jam setahun. Jumlah ini bahkan lebih besar dibandingkan dengan waktu anak belajar di bangku SD negeri selama setahun yang hanya sekitar 750 jam. (www.kidia.org, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya anak-anak menggunakan waktunya untuk menonton 166
LPPM UMSB
ISSN 1693-2617
MENARA Ilmu
Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 2016
televisi lebih banyak dari pada untuk kegiatan belajar. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan banyak pihak, seperti orang tua, guru, dan para pembuat kebijakan. Kepopuleran televisi ini disebabkan beberapa hal antara lain karena televisi adalah media audio visual, tidak seperti radio yang hanya menampilkan siaran audio saja, ataupun media cetak yang menampilkan informasi secara visual. Sifat televisi yang audio visual itulah yang sangat menarik bagi anak. Di samping itu harganya pun terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Anak-anak menjadi salah satu segmen pasar yang potensial bagi stasiun televisi. Oleh karena itu banyak acara yang dirancang untuk audience anak, seperti bermacam-macam macam film kartun yang marak di berbagai stasiun televisi. Selain itu juga tidak ketinggalan berbagai macam iklan yang ditujukan bagi khalayak anak-anak, seperti iklan makanan (snack), mainan, dan lain- lainnya. Meskipun banyak sekali program untuk anak di berbagai stasiun televisi, namun tidak semua program anak layak untuk ditonton oleh anak-anak. Terdapat acara-acara anak yang berada dalam kategori aman, hati-hati, dan berbahaya (http://www.kidia.org, 2009). Pada umumnya acara-acara anak yang masuk dalam kategori hati-hati dan berbahaya adalah karena adanya adegan kekerasan (violence) dalam tayangannya, atau pun penggunaan bahasa yang kasar. Jika diamati, sebagian acara anak dari beberapa stasiun televisi masuk kategori aman, karena sebagian besar berisi cerita yang memang didesain untuk anak dan sebagian bersifat edukatif, seperti Sibolang, Laptop SiUnyil, ataupun Si Unyil Keliling Dunia. Akan tetapi, hal yang penting diperhatikan adalah bahwa tidak semua tayangan kartun aman untuk anak, misalnya film Tom & Jerry, Popeye, Naruto, dan beberapa acara lain. Di sisi lain, anak perlu mendapat perhatian dan perlindungan, sesuai dengan UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 pasal 36 “Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran”. Posisi televisi sebagai media yang paling populer di kalangan masyarakat sesungguhnya memiliki memiliki arti strategis, karena televisi diharapkan dapat melakukan fungsinya sebagai media informasi, edukasi, dan hiburan, yang dapat menjangkau audience yang luas hingga ke pelosok desa. Namun sebaliknya, banyaknya acara televisi yang dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi pemirsanya, terutama anak-anak. Pada umumnya anak-anak belum dapat memahami tayangan di televisi. Anak-anak belum memahami bahwa media, termasuk televisi, menampilkan realitas yang dikonstruksikan kembali oleh media. Mereka juga belum dapat memilah-milah sendiri tayangan yang mereka lihat di televisi, dan membedakan mana tayangan yang boleh mereka tonton dan yang tidak. Dalam konteks kajian media, hal ini disebut sebagai kemampuan media literacy (melek media), yang berarti khalayak media memiliki kemampuan yang baik dalam menilai isi media, dan bersikap kritis terhadap apa yang mereka lihat atau tonton di media, termasuk televisi. Pada akhirnya khalayak dapat mengambil manfaat positif dari media, dan meminimalkan dampak negatifnya. Di sisi yang lain, saat ini anak-anak juga mengakses media-media hiburan yang lain, seperti game on line, game di hp, komputer, dan paly station. Beraneka ragam jenis permainan hadir di media-media tersebut, mulai dari permainan yang bersifat mendidik hingga permainan yang sarat dengan kekerasan, sadisme, dan pornografi juga tersedia. Saat ini, anak-anak di perkotaan, bahkan di perdesaan mengalokasikan sebagian waktunya untuk memainkan berbagai permainan tersebut. Namun yang memprihatinkan adalah anak-anak menaglokasikan waktu yang cukup banyak untuk hal tersebut akibat “kecanduan game”, sehingga mengabaikan aktivitas-aktivitas penting dan bermakna. Selain itu, isi, tampilan game sarat dengan kekerasan, sadisme, dikhawatirkan sama berbahayanya, atau bahkan lebih, dibandingkan tayangan kekerasan di televisi, karena di lihat, dimainkan secara intens oleh anak-anak yang masih memiliki daya seleksi pesan yang rendah namun daya rekam yang tinggi. Masih ingat dengan kasus anak/siswa SD yang menikam temannya sendiri karena ketahuan mencuri telephone seluler temannya tersebut? Ketika diwawancarai, diketahui bahwa, yang bersangkutan kerap kali bermain game yang sarat dengan kekerasan dan sadisme. Efek “peniruan” perilaku kekerasan ISSN 1693-2617
LPPM UMSB
167
Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 2016
MENARA Ilmu
yang dilakukan oleh anak, pada masa sekarag ini kerap kali kita dengar. Sebenarnya apa yang terjadi pada anak-anak ketika mereka terterpa oleh pesan-pesan visual tentang kekerasan yang tersaji dalam kemasan yang menyenangkan untuk anak? Berikut beberapa kutipan yang mungkin dapat memberikan gambaran mengenai hal tersebut. Saat bermain game bagi anakanak adalah aktivitas yang menyenangkan. Apalagi kini, banyak game tersedia dalam berbagai variasi, mulai dari game komputer dan game online, dari perangkat nintendo, sega, hingga yang paling canggih, playstation, ps3 dan xbox. Tampilan game yang seru dan menarik, bahkan sanggup membuat anak-anak terpukau dan kecanduan. "Dalam keadaan berkonsentrasi hingga terpukau, misal saat bermain game, gelombang alfa pada otak dalam keadaan aktif. Ini tentu saja memudahkan informasi yang tertangkap menjadi lebih cepat terserap," ungkap bunda Wening, konsultan anak dari As-Syifa Institute. (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/wanita/2012/01/13/1218/Main-Game-olehboleh-Saja-Asal) Game yang berunsur kekerasan ternyata berpengaruh pada otak anak dan remaja, terutama di bagian yang berhubungan dengan fungsi kognitif dan pengendalian emosi. Pengaruh video game yang bernuansa kekerasan terhadap perkembangan anak terus menjadi polemik. Berbagai pro dan kontra pun mewarnai permasalahan ini.Yang terbaru, sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan, game kekerasan menyebabkan reaksi negatif di otak. Hal ini terjadi karena saat pemindaian otak menggunakan fMRI (functional magnetic resonance imaging) saat bermain gameterekam di otak. Inilah yang lantas membuat anak bisa mengalami perubahan dalam bagian-bagian otak yang berhubungan dengan fungsi kognitif dan pengendalian emosi. Berkaitan dengan berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak dan berbagai pendapat ahli serta hasil riset yang mengemukakan mengenai dampak negatif game dan tayangan kekerasan pada anak, maka dipandang perlunya dilakukan kegiatan yang dapat membuat anak memiliki kemampuan untuk menyeleksi game dan tayangan di televisi untuk mereka konsumsi. PERUMUSAN MASALAH Seperti telah diuraikan di atas, masalah yang dapat diidentifikasi adalah banyaknya tayangan di media, khususnya televisi, dan berbagai game yang kurang mendidik dan berdampak negatif bagi anak. Di sisi lain, anak-anak masih belum memiliki kemampuan untuk memahami bahwa media tidak menyajikan realitas yang sebenarnya kepada mereka. Oleh karena itu perlu diberikan pemahaman mengenai pentingnya memilih berbagai tayangan dan permainan yang bersifat mendidik dan meninggalkan tayangan dan permainan yang sarat kekerasan dan sadisme, karena akan menimbulkan efek negatif pada anak-anak, sehingga mereka dapat menerima pesan media secara lebih cerdas, dan dapat memilih tayangan dan game yang baik untuk mereka. Hal ini sangat penting, karena sedikit anak yang memahami dan mendapat pemahaman dari orang tua atau orang-orang disekelilingnya. TUJUAN KEGIATAN Sesuai dengan uraian terdahulu, maka tujuan dari kegiatan penyuluhan ini adalah memberikan pemahaman kepada anak ketika mengkonsumsi isi media, terutama televisi, dan permainan-permainan di media visual yang bermuatan kekerasan, mengenai dampak tindakan tersebut bagi mereka, dalam rangka meminimalkan dampak negatif televisi dan game tersebut bagi anak. Setelah kegiatan ini dilaksanakan, maka diharapkan terjadi perubahanperubahan yang lebih baik (positif) dalam hal konsumsi media di kalangan anak-anak. Secara lebih jelasnya, setelah mengikuti kegiatan penyuluhan ini, diharapkan memahami mengenai dampak negatif tayangan-tayangan kekerasan, game yang bermuatan sadisme, sehingga mereka dapat mengontrol tindakan mereka untuk tidak menonton dan memainkannya. Hal ini diharapkan dapat meminimalkan dampak negatif televisi dan bermain game.
168
LPPM UMSB
ISSN 1693-2617
MENARA Ilmu
Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 2016
Tinjauan Pustaka 1. Teori Belajar Sosial Teori ini dikemukakan oleh Albert Bandura, kajian ini menjelaskan bagaimana kita belajar dari pengalaman langsung seperti halnya dari pengamatan atau permodelan. Teori pembelajaran sosial menjelaskan perilaku merupakan hasil dari faktor lingkungan dan faktor kognitif. Teori ini mempertimbangkan unsur-unsur penguatan dalam berperilaku dan stimulus sebagai hal yang penting, tetapi hal itujuga mempertimbangkan pengaruh proses berpikir terhadap pembelajaran pada manusia. Teori pembelajaran sosial secara khusus relevan dengan komunikasi massa karena banyak perilaku yang kita pelajari melalui permodelan (modelling) merupakan pengamatan pertama di mesia massa (Winarso, 2005:173). Media massa menduduki peran penting dalam teori pembelajaran sosial, karena sebagian besar dari kita terbatas dalam hal yang dapat kita amati secara langsung selama kegiatan rutin sehari-hari, banyak dari yang kita pelajari diamati dari media massa, khususnya media visual. Teori pembelajaran sosial menganggap media sebagai agen sosialisasi yang paling utama setara dengan keluarga, kelompok sebaya, dan guru-guru sekolah (Winarso, 2005:175). Sebuah contoh berikut dari pendekatan belajar yang menganggap fenomena imitasi sebagai alat primer untuk belajar tingkah laku sosial. Menurut tokoh teori ini yakni Albert Bandura, anak belajar tingkah laku baru dengan melihat orang lain (model) yang melakukannya dan mengamati konsekuensi dari sejumlah tingkah laku (Dayakisni, 2003:13). 2. Media Literacy Potter (2001) menyatakan bahwa kita sekarang hidup di dua dunia, yaitu dunia nyata dan dunia media. Kita menggunakan media ketika kita merasa bahwa dunia nyata menjadi terbatas dan kita tidak mendapatkan pengalaman dan informasi yang kita inginkan dari dunia nyata. Namun, terkadang kita mengalami kesulitan untuk membedakan antara dunia nyata dengan dunia media. Menurut Potter, inti dari media literacy adalah “taking control‟ atau kita sebagai audience hendaknya bisa mengontrol pengaruh media terhadap kita. Jika kita telah media literate, maka kita akan memiliki perspektif yang lebih jelas mengenai batas antara dunia nyata dan dunia yang dibuat oleh media, sehingga kita dapat memperoleh informasi dan pengalaman yang kita inginkan tanpa terganggu oleh hal-hal yang berbahaya atau kurang baik. Media literacy penting bagi semua kalangan khalayak media, dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Akan tetapi, karena pada usia tertentu anak-anak mengalami kesulitan membedakan dunia nyata dan dunia media, dan mereka juga rawan terhadap pengaruh media terhadap perilakunya, maka kemampuan media literacy ini terutama penting bagi anak-anak. Di sinilah pentingnya media literacy karena sebenarnya apa yang kita lihat dari media bukan pesan yang sebenarnya. Media sering kali memberikan pesan yang tersembunyi (layers of meanings). Jika kita sebagai khalayak menyadari hal ini, maka kita akan lebih mudah mengontrol pesan yang kita inginkan. Secara sederhana media literacy adalah kemampuan berpikir tentang pentingnya media massa dalam menciptakan dan mengendalikan budaya yang membatasi kita dan hidup kita. Media literacy dapat juga didefinisikan sebagai : a. Kemampuan dan keinginan untuk membuat kemajuan dalam memahami isi, memperhatikan dan menyaring informasi media b. Kemampuan untuk berpikir kritis tentang pesan media c. Sebuah pengetahuan untuk memahami dampak media. Oleh karena itu, media literacy merupakan keterampilan informasi dan komunikasi yang responsif terhadap perubahan sifat informasi dalam masyarakat. Di Amerika, sebagian besar organisasi media literacy dan para pemimpinnya menerima definisi dari acara media yang berarti untuk memberi masyarakat informasi faktual yang dapat diandalkan. Pada saat ini di media lebih banyak tersedia acara-acara infotaiment dan penurunan nilai berita yang objektif, netral, dan reliabel. Oleh karena kecenderungan itu, warga negara yang bertanggung jawab perlu memiliki kemampuan untuk mempertanyakan akurasi dan otentisitas dari informasi dalam semua bentuknya, tidak hanya tercetak. Mereka perlu memiliki kemampuan untuk ISSN 1693-2617
LPPM UMSB
169
Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 2016
MENARA Ilmu
membuat tanggapan kritis terhadap informasi yang mereka terima. Namun media literacy tidak sekedar mengkonsumsi informasi. Individu yang media literate mampu untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai bentuknya termasuk cetak dan non cetak. Seperti literacy yang tradisional, hal ini termasuk kemampuan untuk membaca (komprehensi) dan menulis (membuat, merancang, memproduksi). Lebih lanjut, hal ini bergerak dari hanya mengenali dan mengkomprehensi informasi kepada tingkat yang lebih tinggi yaitu berpikir kritis, termasuk mempertanyakan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang mereka terima. Dalam kaitannya dengan tayangan anak di televisi, orang tua dan anak perlu memiliki kemampuan media literacy yang baik, sehingga mereka akan mampu memilih tontonan yang berkualitas, dan menilai apa yang mereka lihat di media, khususnya televisi. 3. Dampak Media Media massa secara relatif mempunyai pengaruh kepada khalayaknya. Baik pengaruh terhadap kognisi, afeksi, konasi, besar atau kecil, positif atau negatif, dan lain sebagainya. Untuk melawan pengaruh tersebut, Prof. Beeker mengatakan: “First, you must control your own behaviour, making conscious in your uses of media. Second, you must actively pressure those who operate the media and those who influence the operator to make available of kinds of service you and other in this heterogenous society needs”. (Muis, 2001: 7) Dengan kata lain, untuk melawan pengaruh tersebut bisa dilakukan dengan melakukan pengawasan terhadap para pekerja media maupun pemilik media tersebut, disamping juga dengan memperkuat komunikasi sosial yang ada. Maksudnya, anggota keluarga perlu selalu ditopang dengan informasi-informasi yang bisa menciptakan sikap selektif yang kuat terhadap arus informasi dari berbagai jenis media massa. Disinilah dituntut peran tiap-tiap anggota keluarga untuk menangkis pengaruh yang ditimbulkan oleh tayangan-tayangan media. Harus diakui, media massa mampu menjadi mediator dan fasilitator dalam pembelajaran sosial. Menurut prinsip konstruktivis dalam proses pembelajaran sebagaimana diungkapkan oleh Suparno (1997), fungsi mediator dan fasilitator tersebut dapat dijabarkan sebagai: a. Menyediakan pengalaman belajar b. Menyediakan atau memberi kegiatan-kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan pebelajar, dan menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar. Dalam konteks pembelajaran melalui media massa terhadap anak-anak, media massa hendaknya menjadi sarana bagi kegiatan pembelajaran sementara orang tua dituntut menjadi pembelajar yang mampu menyediakan situasi yang mendukung dimana dialog secara kritis perlu dikembangkan. Jadi peran sebagai mediator dan fasilitator dalam proses pembelajaran tersebut seharusnya diambil alih oleh orang tua. Perkembangan di bidang media massa baik dari segi teknologi maupun dari segi kelembagaan terutama dalam kaitannya sebagai lembaga bisnis, yang kemudian berimplikasi pada format dan kontent yang disajikan oleh media massa, ternyata belum memberikan porsi yang memadai dan berkontribusi secara signifikan pada pendidikan anak-anak di Indonesia. Media masih menempatkan anak bukan sebagai khalayak yang perlu dicerdaskan pengetahuan dan mentalnya dimana media massa, khususnya dalam hal ini adalah televisi, memiliki tanggung jawab untuk melakukannya. Anak dan remaja dianggap sebagai konsumen media, yang dibuat sedemikian rupa untuk selalu setia “menyantap” hidangan tontonan televisi dengan segala format dan isinya, yang tidak jarang dapat berpengaruh negatif pada anak-anak yang notabene merupakan khalayak media dengan daya selektivitas pesan yang rendah. Televisi seringkali menyuguhkan tayangan-tayangan dengan format yang disukai oleh anak, tetapi isinya tidak bermanfaat dan tidak dibutuhkan oleh anak dalam membantu untuk mengembangkan dirinya. Dalam bukunya, anak-anak dan Televisi (1996), Milton Chen 170
LPPM UMSB
ISSN 1693-2617
MENARA Ilmu
Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 2016
mengatakan bahwa tidak banyak hal lain dalam kebudayaan kita yang mampu menandingi kemampuan televisi untuk menyentuh anak-anak dan mempengaruhi cara berpikir dan berprilaku mereka. Memang di layar televisi, anak adalah modal, investasi, konsumen, sasaran berondongan iklan dan korban yang paling polos dari bujuk rayu para pemasar. Betapa sering kita melihat figur anak yang dieksploitasi untuk meneror nurani konsumtif orang tua. Terkait dengan masalah kekerasan yang tilihat anak melalui media, berikut ini beberapa eksperimen tentang efek media violence (dikutip dari Spark & Spark, dalam Bryant dan Zillman 2002), meskipun dilakukan di luar negeri tetapi dapat memberikan gambaran tentang dugaan dan pembuktian secara ilmiah tentang hal negatif apa yang ditimbulkan oleh tayangan kekerasan di media: Leonard Berkowitz cs. (1973, 1966, 1967, 1979, 1963), Laboratory Experiment, Penyelidikan dipusatkan pada subjek, yaitu pelajar college. Perilaku mereka, baik yang diprovokasi oleh media violence atau tidak (diprovokasi nonviolence media). Mereka yang diprovokasi bertingkah lebih agresif pada peneliti dibanding yang tidak diprovokasi. Riset lain yang dilakukan Berkowitz cs. (1975, 1977), Field Experiment, dipadu dengan penyelidikan laboratorium, Subject: Delinquent boys yang diamati perilaku agresi verbal dan nonverbal setelah menonton media violence selama beberapa minggu. Hasilnya dibandingkan dengan mereka yang tidak menonton. Selain itu, Williams (1986), Natural Esperiment, Mengamati perubahan agresi yang terjadi secara alamiah selama beberapa tahun dalam sebuah kota di Kanada. Semula kota itu tidak mendapatkan akses sinyal TV. Setelah mendapatkan akses sinyal TV, perilaku peduduknya diamati. Meningkatnya terpaan media meningkatkan pula perilaku agresif. Phillips (1979, 1983, 1986) dan Centerwall (1989), Natural Experiment, Centerwall mengamati peningkatan angka pembunuhan clikaitkan dengan peningkatan intensitas terpaan media di Amerika Serikat, Kanada dan Afrika Selatan. Phillips mengamati peningkatan ratarata pembunuhan setelah acara gelut berhadiah besar dipublikasikan meluas, juga mencermati peningkatan kecelakaan mobil dan pesaat setelah program berita banyak memberitakan bunuh diri. Survey Huesmann & Eron (1986) menguatkan tesis hubungan positif media violence dan perilaku agresif. Huesmann meneliti anak-anak yang diterpa siaran televisi sejak mereka berumur delapan tahun hingga berusia 30 tahun. Melalui survey longitudinal (panel survey) ditemukan hasil bahwa mereka yang menonton TV violence pada level tertinggi saat anakanak lebih cenderung terlibat dalam kejahatan serius ketika dewasa. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut, tayangan kekerasan di televisi ternyata berpengaruh pada audiensnya. Tinjauan tentang Kekerasan Kekerasan seringkali hanya diartikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan sakit atau rasa tidak nyaman secara fisik saja. Namun sebenarnya makna kekerasan adalah lebih luas dari itu. Sebagai acuan berikut pengertian kekerasan dalam batasan yang lebih luas, meskipun batasan ini lebih terfokus pada kekerasan terhadap perempuan, namun menurut penulis pemaknaan ini dapat memberikan pemahaman lebih tentang batasan kekerasan yang sesungguhnya. Kekerasan terhadap perempuan menurut pasal 1 deklarasi PBB, 1993 tentang Penghapusan kekerasan terhadap Perempuan, menyebutkan bahwa: "Kekerasan terhadap Perempuan adalah setiap perbuatan yang dikenakan pada seseorang atau sekelompok orang yang berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan bagi perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi" (SN Laila, 2004 :22-23)” Jadi jelaslah bahwa batasan tentang kekerasan tidaklah sesempit yang kita kira. Jika dengan batasan kekerasan yang sempit, sebatas fisik saja, sudah sedimikian banyak kejadian yang kita lihat di televisi, apalagi jika batasan kekerasan menjadi seluas ini. Tampaknya 24 jam waktu siar televisi memberikan peluang yang sangat besar untuk kita dapat melihat adegan kekerasan setiap saat. Baik yang diangkat dari sebuah realita dalam beritaberita, maupun hasil perjalanan imajinasi dalam bentuk karya-karya fiksi. Jika kita cermati bagaimana tayangan-tayangan stasiun-stasiun televisi kita saat ini yang sangat gemar ISSN 1693-2617
LPPM UMSB
171
Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 2016
MENARA Ilmu
menayangkan berbagai adegan kekerasan dengan berbagai kemasan. mulai dari sinetron remaja. sinetron yang yang bertopeng sejarah, sinetron mistis, dan atau sinetron mistis yang berkedok religius, belum lagi berita-berita kriminal yang ditambah lagi dengan laporan berkedalamannya yang menjadi menu utama yanu disajikan oleh media. Tersedia alokasi waktu 24 jam sehari bagi penonton untuk melihat kekerasan, pornografi dan pornoaksi, iirasionalitas yang menyesatkan. Bila hal itu terjadi ditengah-tengah penurunan pewarisan nilai- nilai religius dan nilai- nilai lokal tradisional, yang sebenarnya dapat menjadi tameng, baik lewat lembaga pendidikan formal vang lebih menonjolkan kemampuan intelektual. maupun dalam keluarga dimana pengawasan orang tua semakin minim. sepertinya tayangan tayangan tersebut di media benar-benar dapat menciptakan patologi sosial yang bahkan dapat menjadi wabah, meskipun bersifat silent pandemic, tidak disadari tetapi jumlah terus bertambah. Hal-hal negatif yang muncul, dapat dan mungkin muncul akibat tayangantayangan tersebut sangat beragam dan dengan tingkat "keparahan" yang bervariasi. Efek kultifikasi media terjadi di sini, hal ini dapat kita ketahui dari berita-berita tentang tindak kriminal perkosaan, pencabulan, pembunuhan, ketakutan dan sejenisnya dengan jumlah kasus yang semakin meningkat, dan ironisnya peningkatan ini dipicu oleh media, berita yang tidak proporsional, tidak berimbang, terkadang justru mengajarkan orang berbuat jahat, mengajarkan metode kejahatan baru, menstimuli orang untuk mengimitasi tindak kriminal tersebut. Secara teoritis, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Telah terjadi social learning, Lingkungan sosial menjadi sarana bagi individu untuk bertingkah laku, dengan cara mengimitasi. Berlandaskan logika ini, berkembang tesis bahwa media massa menjadi salah satu sarana individu untuk belajar bersikap, bertingkah laku, dan mengonstruksi realitas sosial. Implikasinya, karakter yang berperan sebagai model untuk aggressive behavior juga ditonton oleh khalayak. Dan konsekuensinya, bergantung pada jenis sangsi atau ganjaran yang diberikan dalam tontonan tersebut, khalayak akan mengimitasi (atau tidak meniru) perilaku tersebut Selain itu, adegan kekerasan di televisi dapat mengaktivasi tanggapan penonton terhadap perilake agresif. Artinya, terpaan media violence dapat menonaktifkan pemikiranpemikiran, evaluasi, bahkan perilaku agresif. Arousal. Zillman (1991) dalam teori excitation transfer memperkenalkan properti arousal inducing pada media violence untuk memahami intensitas reaksi emosional, setelah menonton. Hasilnya, seorang penonton bangkit rasa marahnya setelah diterpa media violence. Arousal atau bangkitnya rasa marah ini dapat ditransfer pada kemarahan yang sesungguhnya, bahkan mengintensifkannya hingga menambah kecenderungan berprilaku agresif. Desensitization, terpaan media violence yang berulang- ulang akan mengurangi sensitivitas (kepekaan) terhadap kekerasan. Misalnya, yang dulu takut melihat darah, kini menyaksikan maling dihakimi sampai mati saja tidak bergeming. Desensitisasi ini akan lebih mudah mendorong perilaku agresif. Cultivation & Fear, Gerbner, Gross, dan Morgan (1984) menyimpulkan, terpaan media violence dalam jangka panjang kemungkinan akan menanamkan pandangan tertentu tentang realitas sosial (sesuai dengan isi media yang menerpa). Cantor (1999) mengungkapkan, ketakutan yang amat sangat dapat bertahan selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan tahunan (Spark & Spark, dalam Bryant dan Zillman: 2002). D. METODE Kegiatan ini dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan dan pemahaman kepada anak-anak mengenai dampak negatif menonton tayangan dan memainkan game yang tidak mendidik. Anak-anak dimaksud adalah siswa SDN 06 Pasar Muara Labuh, Kab. Solok Selatan. Sedangkan mengenai alasan pemilihan lokasi, lokasi ini dipilih dengan pertimbangan wilayah Muara Labuh merupakan daerah yang mulai berkembang dan merupakan bagian wilayah Kabupaten Solok Selatan terpadat penduduknya, dimana anak-anak memiliki akses yang cukup mudah terhadap televisi dan pusat-pusat media permainan, seperti rental play station, game online, warnet. 172
LPPM UMSB
ISSN 1693-2617
MENARA Ilmu
Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 2016
Pendekatan yang akan kami lakukan adalah dengan memberikan pembelajaran atau pengetahuan tentang pentingnya anak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memilih tayangan-tayangan, dan game, yang bermanfaat bagi mereka. Dan sebaliknya menghindari untuk menonton acara-acara dan bermain game yang dapat menimbulkan pengruh buruk bagi mereka, saat ini maupun masa yang akan datang. Sebagai masyarakat akademisi yang memiliki kewajiban untuk menyumbangkan kemampuannya dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat, merode penyuluhan dapat menjadi salah satu alternatif bagi kami untuk membantu masyarakat memecahkan masalahnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Margono Slamet (1986), bahwa salah satu pendekatan pemecahan masalah yang mengacu kepada Dharma Pengabdian pada Masyarakat yang meliputi pendidikan dan pendekatan kemanusiaan masyarakat sebagai sasaran kegiatan diberikan penyuluhan dan keterampilan agar pada saatnya mereka mampu memecahkan masalahnya sendiri. Dengan demikian, metode yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan ini adalah: a. Tim menyampaikan materi yang telah disiapkan dengan metode ceramah, dan penayangan contoh tayangan dan game, dan peserta penyuluhan mendengarkan serta menyimak materi yang diberikan. b. Setelah tim memberikan ceramah untuk memperdalam materi yang telah disampaikan, dilanjutkan dengan berdialog/berbincang dengan anak-anak mengenai materi ceramah, yaitu peserta dipersilahkan bertanya dan menyampaikan keluhan mereka mengenai materi yang telah disampaikan dan menanyakan tentang masalah-masalah yang mereka alami, dan tim akan memberikan penjelasan dengan bahasa yang sederhana, persuasif, dan menyenangkan sesuai dengan karakter anak. c. Memberikan penjelasan mengenai strategi memilih tayangan televisi dan game d. Menayangkan beberapa contoh tayangan, dan memberikan kesempatan untuk menerapkan strategi yang telah di jelaskan. E. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Lokasi SD Negeri 06 Pasar Muara Labuh, Kab. Solok Selatan adalah satu diantara beberapa sekolah dasar yang ada di Muara Labuh. Sekolah ini memiliki posisi yang strategis dan sangat mudah di akses karena letaknya berada di tepi jalan utama dan berapada dipusat keramain. Meskipun letak yang demikian juga mengandung resiko yang cukup besar dalam hal kesalamatan, selain polusi udara dan polusi suara (kebisingan suara kendaraan) Dipilihnya SDN 06 Pasar Muara Labuh sebagai lokasi kegiatan didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, letak sekolah ini yang berada di Daerah Muara Labuhyang notabene adalah Pusat dari Aktifitas Pendidikan di Kabupaten Solok Selatan, sehingga karakter siswa di sekolah ini dianggap merepresentasikan karakter anak di perkotaan, diantarnya, tumbuh di keluarga dengan kedua orang tua yang bekerja, kurang pengawasan yang optimal dari orang tua, mendapatkan sejumlah uang saku dari orang tua. Selain itu, kemudahan untuk mengakses tempat-tempat perbelanjaan, pusat pertokoan, dan jasa penyewaan play station (PS), bermain game online di warnet bahkan banyak diantara mereka yang memiliki sendiri sarana ini. Hal ini membuat akses mereka untuk membeli cd atau dvd game, dan memainkan game juga lebih mudah. Pertimbangan berikutnya, sekolah ini juga berdekatan dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Pasar, sehingga banyak sekali tersedia jasa warung internet (warnet di dekat sekolah) dan di dekat tempat tinggal mereka. Hal ini juga memudahkan mereka untuk mengakses jaringan internet untuk meaminkan game secara online atau men down load gamegame yang tersedia oleh situs situs tertentu. Kemudahan-kemudahan mengakses ini hendaknya diimbangi dengan pengetahuan yang memadai yang dapat membangun kesadaran anak/para siswa agar mereka hati-hati dalam memilah dan memilih tayangan di televisi dan game, karena banyak dari apa yang mereka lihat dalam kedua sarana hiburan ini, yang berpengaruh negatif bagi perkembangan fisik, kesehatan fisik dan mental mereka. Baik dalam waktu jangka pendek bahkan jangka panjang. ISSN 1693-2617
LPPM UMSB
173
Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 2016
MENARA Ilmu
2. Pemahaman Siswa terhadap Pengaruh Tayangan Kekerasan di Televisi dan Game Kondisi pengetahuan 50 orang peserta sebelum dilakukannya penyuluhan, secara umum dapat dilihat dari jawaban-jawaban mereka terhadap pertanyaan yang diajukan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah 14 soal. Siswa masih memiliki pengetahuan yang minim mengenai beberapa hal yang terkait dengan dampak negatif televisi dan game, terutama pada pengetahuan mereka tentang (soal no 3,4,dan 13) yaitu durasi menonton televisi dan memainkan game,dan kode acara televisi berdasarkan usia. Setelah diberikan penyuluhan tampak bahwa hampir semua responden menjawab bahwa mereka telah mengetahui hal-hal mengenai dampak menonton kekerasan di televisi dan game, seperti yang ditanyakan dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mulai nomor 1 hingga nomor 14. 3. Analisis Hasil Adapun kesimpulasn dari tabel pre test dan post test dapat dilihat pada tabel berikut.
Jika dicermati dari tabel tersebut, tampak terjadi peningkatan yang sangat signifikan, hingga 100%, pada pengetahuan peserta terutama pada aspek pengetahuan mengenai durasi maksimum yang diperkenankan kepada mereka untuk menonton televisi dan memainkan game, yaitu total 2 jam selama 1 hari. Karena melebihi jumalah tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan pengaruhpengaruh yang negatif baik bagi fisik maupun mental anak. Peningkatan yang juga sangat signifikan juga terjadi pada pengetahun peserta mengenai kode-kode acara siaran di televisi, yaitu sebesar 94%. Semula mereka tidak mengetahui adanya kode-kode acara yang muncul dilayar televisi. Misalpun mereka pernah melihat tertulis kode huruf pada acara yang disiarkan di televisi, mereka tidak mengetahui apa makna kode tersebut. Jika mereka tidak tahu, tidak memahami, tentu saja mereka tidak dapat menindaklanjutinya dengan tindakan yang tepat. Kode-kode tersebut adalah kode acara berdasarkan usia, bahwa acara berkode A adalah acara untuk anak-anak, R adalah acara untuk remaja, D adalah kode untuk acara bagi usia dewasa, BO adalah acara yang boleh ditonton oleh anak-anak tetapi dengan bimbingan orang tua, dan SU adalah kode acara yang diperbolehkan ditonton oleh semua golongan umur, meskipun bagi anak-anak, pendampingan orang tua tetap mutlak diperlukan. Peningkatan yang juga sangat baik terjadi pada pengetahuan siswa yang menjadi peserta penyuluhan mengenai tindakan apa yang harus mereka lakukan jika mereka menyaksikan adanya tayangan yang bermuatan kekerasan pada acara yang mereka tonton di televisi atau game yang mereka mainkan. Peningkatan terjadi sebesar 62%, sebuah angaka yang sangat baik. Sebagian peserta yang semula tidak mengetahui harus melakukan apa, setelah mereka mendapat penyuluhan, mereka menjadi tahu bahwa sebagian besar atau bahkan seluruhnya adalah hasil rekayasa, bahwa itu adalah tindakan yang tidak patut untuk mereka lihat, tidak layak untuk ditiru. Sehingga mereka harus segera memindahkan saluran 174
LPPM UMSB
ISSN 1693-2617
MENARA Ilmu
Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 2016
televisi atau mematikannya, tidak membeli dan atau memainkan game yang sarat dengan kekerasan. Para siswa yang menjadi peserta penyuluhan juga mengalami perubahan pengetahuan kearah yang lebih baik, yaitu dikisaran 50% pada aspek pengetahuan mereka akan pengaruh negatif terlalu lama bermain game dan menonton televisi. Sebagian peserta yang semula tidak mengetahui dampak bahwa jika terlalu lama bermain game dan menonton televisi dapat berpengaruh buruk pada kesehatan fisik dan kesehatan mental mereka. Apalagi jika tayangan tersebut sarat dengan tindakan-tindakan kekerasan. Dimana kekerasan yang semula mereka pahami hanya sebagai tindakan yang menyakiti fisik saja, namun setelah mendapat penyuluhan mereka menjadi lebih memahami apa yang dimaksud sebagai kekerasan. Mereka menjadi tahu, bahwa tindakan menghardik, menghina, mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan orang lain adalah juga tindakan kekerasan. Peningkatan pengetahuan mengenai hal ini juga cukup baik yaitu sebesar 40%. Pada aspek-aspek yang lain dimana terjadi peningkatan pengetahuan pada kisaran 20%-30 %, yaitu pada pengetahuan peserta mengenai apa yang boleh mereka tonton dan mainkan, dampak menonton acara yang berisi kekerasan atau game yang bermuatan kekerasan, bukan karena kondisi pengetahuan mereka mengenai hal ini masih rendah. Peningkatan yang tidak terlalu tinggi, tetapi tetap menggembirakan, lebih dikarenakan memang sejak awal, sebelum mereka mengikuti penyuluhan mereka telah memiliki pengetahuan yang mapan mengenai hal ini sebagai hasil pendidikan dalam keluarga dan di sekolah. Tidak menyaksikan dan dan memainkankan game yang sarat kekerasan adalah sebuah nilai umum yang biasa diajarkan dalam keluarga, karena kekerasan, meskipun baru diartikan sebagai kekerasan fisik saja, merupakan sebuah tindakan yang jelas tidak baik, dan setiap orang tua pasti tidak menginginkan anak-anak mereka menyaksikan tayangan kekerasan tersebut. Pada aspek pengetahuan peserta mengenai apakah semua tayangan di televisi dan semua isi permainan dalam game yang mereka mainkan bernilai positif, baik untuk mereka, secara eksplisit dalam hasil rekapitulasi dalam bentuk angka memang tidak mengalami peningkatan (peningkatan 0%) Karena memang sejak awal, sebelum peserta mengikuti penyuluhan, mereka telah memiliki pengetahuan mengenai bahwa tidak semua isi tayangan televisi dan game baik untuk mereka. Tetapi tidak dapat diketahui dengan pasti seberapa lengkapnya informasi yang mereka di awal. Sehingga dapat diasumsikan, bahwa sebenarnya terjadi penambahan pengetahuan siswa mengenai isi tayangan dan game, semakin melengkapi pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya. Namun karena keterbatasan format pertanyaan pada soal, membuat hal tersebut tidak dapat terukur secara lebih jelas dan akurat. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dari kegiatan ini. Sebuah pelajaran berharga bagi pelaksanaan kegiatan serupa di masa yang akan datang. Jika direrata seluruh aspek maka terdapat peningkatan sebesar 47% dari kondisi pengetahuan sebelum mengikuti penyuluhan dengan kondisi setelah mengikuti penyuluhan. Meskipun sebaran angka yang tidak merata pada setiap aspek, dimana terdapat peningkatan yang sangat besar pada beberapa aspek, sementara peningkatan yang kecil di aspek yang lain bahkan hingga 0%, rata-rata peningkatan pengetahuan tersebut adalah sebuah angka yang cukup baik. Artinya, bahwa terdapat penambahan pengetahuan yang cukup berarti pada diri peserta mengenai pengaruh menonton tv dan bermain game. Penambahan pengetahuan ini diharapakan dapat menjadi bekal bagi para siswa ketika mengakses media televisi dan bermain game. Dengan demikian mereka akan memiliki kontrol pribadi terhadap tayangan yang tidak aman bagi mereka, tanpa harus menggantungkan seluruhnya pada bimbingan orang tua. F. SIMPULAN Jika direrata seluruh aspek maka terdapat peningkatan sebesar 47% dari kondisi pengetahuan sebelum mengikuti penyuluhan dengan kondisi setelah mengikuti penyuluhan. Meskipun sebaran angka yang tidak merata pada setiap aspek, dimana terdapat peningkatan yang sangat besar pada beberapa aspek, sementara peningkatan yang kecil di aspek yang lain bahkan hingga 0%, rata-rata peningkatan pengetahuan tersebut adalah sebuah angka yang ISSN 1693-2617
LPPM UMSB
175
Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 2016
MENARA Ilmu
cukup baik. Artinya, bahwa terdapat penambahan pengetahuan yang cukup berarti pada diri peserta mengenai pengaruh menonton tv dan bermain game. Penambahan pengetahuan ini diharapakan dapat menjadi bekal bagi para siswa ketika mengakses media televisi dan bermain game. Dengan demikian mereka akan memiliki kontrol pribadi terhadap tayangan yang tidak aman bagi mereka, tanpa harus menggantungkan seluruhnya pada bimbingan orang tua. DAFTAR PUSTAKA Dahar, R.W. 1988. Teoti-Teori Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi P2LPTK Herdiyani, Rena (2004), ”Dampak Media bagi Remaja Perempuan", Yayasan Jurnal Perempuan Update Rating Kualitatif Acara TV Anak dan Remaja, http://www.kidia.org, 25 Juni 2009. Media Literacy, www.medialit.org Yayasan Jurnal Perempuan (2004), ”Remaja Melek Media”, Jakarta. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran P3SPS tahun 2012
176
LPPM UMSB
ISSN 1693-2617