Catatan Awal Tahun 2004
Dampak Kelambanan Pengesahan RUU A-KDRT: 303 Lembaga Membantu Perempuan Korban Kekerasan Tanpa Dukungan Landasan Hukum Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Jakarta, 19 Januari 2004
Pengantar Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak lahir pada bulan Oktober 1998, berusaha mengemban misi bersama masyarakat anti kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 tahun 1998, Komnas Perempuan merupakan mekanisme nasional untuk penegakan HAM perempuan Indonesia yang mempunyai mandat untuk : a) menyebarluaskan pemahaman tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia; b) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta bagi perlindungan hak asasi manusia perempuan; c) meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, secara khusus, dan perlindungan hak asasi manusia perempuan, secara umum. Dalam menjalankan mandatnya untuk menyebarluaskan pemahaman tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia, Komnas Perempuan setiap tahun mempublikasikan Catatan awal tahun. Catatan awal tahun merupakan publikasi data kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang terlapor pada lembaga pemberi layanan setiap tahunnya. Metoda yang dipakai dalam pengumpulan data yaitu dengan menyebarkan kuesioner kepada lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan berkaitan dengan data kekerasan terhadap perempuan, dan pengalaman mereka dalam memberikan layanan. Selanjutnya Komnas Perempuan mengumpulkan data tersebut, mengklasifikasikannya dan mengkompilasi menjadi laporan publik. Sumber data untuk Catatan Awal Tahun 2004 berasal dari 189 lembaga pemberi layanan di 22 provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Kalimanta Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB, NTT dan Maluku. Lembaga pemberi layanan yang berkontribusi ini terdiri dari 3 rumah sakit di 2 provinsi, 11 Ruang Penanganan Khusus (RPK) Polda di 11 provinsi, 14 Pengadilan Negeri di 4 provinsi, 1 pengadilan agama dari 1 provinsi, dan 35 LSM yang tersebar di 22 kota dari 18 provinsi di Indonesia, serta data yang bersumber dari investigasi mengenai buruh migran asal Indonesia di Pulai Pinang, Malaysia. Data juga diperoleh dari pengaduan yang datang ke Komnas Perempuan, meskipun Komnas Perempuan tidak mempunyai mandat untuk
1
melakukan pendampingan langsung terhadap korban. Adapun daftar lembaga-lembaga yang berkontribusi dalam catatan akhir tahun ini terlampir. I. Kiprah Lembaga Pemberi Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan: Tanpa Dukungan Landasan Hukum Sampai dengan tahun 2003 ini, Komnas Perempuan mencatat adanya 303 lembaga yang memberi layanan bagi perempuan korban kekerasan. Lembaga-lembaga ini terdiri dari: (a) organisasi perempuan yang berbentuk WCC (women’s crisis center) dan lembaga bantuan hukum; (b) unit-unit khusus dalam institusi kepolisian yang dijalankan oleh polisi perempuan (polwan); (c) unit ‘gender focal point’ di Kejaksaan Agung; (d) rumah sakit yang membuka pelayanan khusus bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
Jumlah Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan, 2003 160 140 120 100 80 60 40 20 0
137
134
32
Organisasi Perempuan
Ruang Pelayanan Khusus (kepolisian)
Rumah Sakit
Dari segi jumlah, terbanyak adalah organisasi perempuan pemberi layanan (WCC dan lembaga bantuan hukum), yaitu sejumlah 137 lembaga (45%). Mereka tersebar di seluruh Indonesia, khususnya di 22 kota dari 18 propinsi, dari Aceh hingga Papua. Tersebar di pulau Sumatera 27 lembaga, Jawa 35 lembaga, Kalimantan 14 lembaga, Bali 2 lembaga, kepulauan NTT 22 lembaga, kepulauan NTB 3 lembaga, Maluku 6 lembaga, Sulawesi 15 lembaga, Papua (Irian) 11 lembaga. Di kalangan lembaga-lembaga penegak hukum, POLRI mempunyai kontribusi yang paling menonjol dalam hal penanganan kekerasan terhadap perempuan. Sampai tahun 2003, tercatat 134 Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang tersebar di 26 propinsi, meliputi 29 RPK di pulau Sumatera, 48 RPK di Jawa, 14 RPK di Kalimantan, 11 RPK di Sulawesi, 1 RPK di Bali, 8 RPK di NTB, 16 RPK di NTT, 6 RPK di Maluku, 1 RPK di Papua (Irian). Sejumlah RPK ini dijalankan oleh 286 personil yang sebagian besar adalah polwan. Diantara polwan tersebut, 148 orang telah dilatih oleh organisasi perempuan, terutama Derap Warapsari yang didirikan oleh mantan petinggi polwan. Memang, tersebarnya RPK di sedemikian banyak daerah di Indonesia tidak terlepas dari
2
kerja keras oleh sejumlah purnawirawan polwan dan istri-istri mantan petinggi POLRI yang terus-menerus mendesak jajaran pimpinan Polda dan Polres untuk membuka layanan khusus bagi perempuan dan anak korban kekerasan. No.
1 2 3 4 5 6 7 8
Daerah
Sumatera Jawa & Bali Kalimantan Sulawesi Maluku NTB NTT Papua Jumlah
WCC & LBH RPK Kepolisian swadaya masyarakat 27 29 37 49 14 14 15 11 6 6 3 8 22 16 11 1 137 134
Pelayanan Khusus di Rumah Sakit 9 16 2 3 0 1 1 0 32
Patut disayangkan bahwa RPK belum diakui secara resmi oleh POLRI sehingga tidak masuk dalam struktur organisasi POLRI yang telah mandiri. Hal ini mempunyai dampak yang sangat besar terhadap semangat kerja para polwan yang selama ini berbakti untuk penanganan para korban kekerasan. Tanpa apresiasi formal dari jajaran POLRI sendiri atas kerja keras mereka, tanpa kejelasan akses pada peningkatan karir bagi polwan yang berkiprah di RPK, tanpa kepastian sumber daya yang memadai untuk menjalankan operasional RPK, segala langkah maju di kalangan kepolisian RI yang selama ini dibanggakan oleh komunitas gerakan perempuan akan terancam hilang. Kejaksaan Agung telah membentuk suatu gugus tugas khusus, bernama ‘Unit Gender Focal Point’, yang bertujuan untuk mengarustamakan jender dalam kinerja kejaksaan. Melalui kerja unit ini, Kejaksaan Agung mengumpulkan data tentang kekerasan terhadap perempuan untuk tahun 2003 yang mencatat terjadinya 1.853 kasus (sampai dengan bulan November): 37% KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), 35% perkosaan, 28% pelecehan seksual. Perlu dicatat bahwa pada tahun 1996, Kejaksaan Agung telah memelopori penanganan kekerasan terhadap perempuan dengan menerbitkan Surat Edaran Kejaksaan Agung tentang kejahatan perampokan yang sering mengandung tindak kekerasan dan perkosaan. Isi surat edaran ini adalah untuk mempertimbangkan hukuman yang berat bagi kasus-kasus tersebut. Bersama Convention Watch UI, Kejaksaan Agung juga menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan kepekaan jender bagi para jaksa muda dan jaksa senior. Lembaga-lembaga pengadilan mulai berkontribusi dalam hal pendataan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani. Untuk keperluan laporan ini, 14 pengadilan negeri dari 4 propinsi dan 1 pengadilan agama telah memberikan data kepada Komnas Perempuan. Sejumlah hakim dan mantan hakim telah menunjukkan keprihatinan besar pada persoalan ini, termasuk seseorang yang kini menjadi Wakil Ketua Komnas Perempuan untuk periode 2003-2006.
3
Pada tahun 2003 ini tercatat 32 rumah sakit yang menyediakan layanan khusus bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Layanan ini tersebar di rumah sakit utama, seperti RSCM (Pusat Krisis Terpadu RSCM, Jakarta); di rumah sakit umum sepertu RSU Tugu di Semarang, termasuk RS Polri dan RS Angkatan Laut Mintoharjo di Jakarta maupun 28 RS Bhayangkara yang tersebar di 20 propinsi; dan juga di rumah sakit swasta, seperti RS Panti Rapih di Yogyakarta. Sejumlah Rumah sakit ini tersebar di beberapa pulau yaitu Sumatera 9 rumah sakit, Jawa 15 rumah sakit, Bali 1 rumah sakit, NTB 1 rumah sakit, NTT 1 rumah sakit, Sulawesi 3 rumah sakit. Rumah-rumah sakit ini kebanyakan bekerja dengan organisasi-organisasi perempuan yang memberi layanan bagi perempuan korban kekerasan (WCC) di wilayahnya masing-masing. Keseluran lembaga ini (303 lembaga), baik dari kalangan organisasi perempuan, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan rumah sakit, bekerja keras untuk menangani kasuskasus kekerasan terhadap perempuan tanpa dukungan landasan hukum. Padahal, Rancangan UU Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga telah sekian lama berada di tangan DPR RI dan Pemerintah untuk disahkan menjadi bagian dari kerangka hukum nasional Indonesia. Upaya sepanjang tahun 2003 dari segenap organisasi perempuan untuk mendorong pengesahan RUU ini masih belum menampakkan hasil yang memuaskan. Jika landasan hukum bagi penanganan kekerasan terhadap perempuan gagal direalisasikan sebelum Pemilu 2004, maka sekian banyak warga negara yang bekerja di WCC, lembaga bantuan hukum, pengadilan, kepolisian, kejaksaan dan rumah sakit akan mengalami pukulan berat. Tanpa landasan hukum yang diharapkan mereka tak akan mendapatkan kekuatan hukum yang dibutuhkan maupun sumber daya kerja yang memadai, baik dalam konteks sumber daya finansial maupun SDM. Ini merupakan keprihatinan yang paling besar pada saat kita memasuki tahun 2004 ini. II. Situasi kekerasan terhadap perempuan tahun 2003 Perbandingan Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2001, 2002, dan 2003 (yang tercatat oleh Komnas Perempuan) 7000
5934
6000
5163
Jumlah
5000 4000 3000
3169
2000 1000 0
2001
2002
2003
Tahun
4
Berdasarkan data yang terkumpul, telah terjadi 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sepanjang tahun 2003. Selain jumlah tersebut di tingkat Kejaksaan Agung dilaporkan 1.853 kasus kekerasan (sampai November 2003). Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2002 (5.163 kasus) dan 2001 (3.169 kasus). Walaupun demikian data ini merupakan peristiwa kekerasan yang berhasil dilaporkan ke lembaga pengada layanan ataupun yang dimonitoring oleh lembaga tersebut. Pada kenyataannya lebih banyak kasus kekerasan yang dialami perempuan yang tidak dapat dilaporkan, baik karena budaya yang tidak mendukung proses ini maupun kurangnya akses perempuan terhadap informasi lembaga layananan yang mereka butuhkan.
Jumlah
Perolehan Data Kekerasan terhadap Perempuan per Jenis Lembaga, 2003 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 1013 0 Rumah Sakit
3733
162 Pengadilan
1007 19 Ruang Pelayanan Khusus
Organisasi Perempuan
Komnas Perempuan
Lembaga
Dari total 5.934 kasus, 1.007 kasus dilaporkan oleh lembaga kepolisian, 1.013 kasus dilaporkan oleh Rumah Sakit, 162 kasus dilaporkan oleh lembaga pengadilan dan 3.733 oleh LSM.
5
Proporsi Kekerasan terhadap Perempuan, 2003
Kekerasan dalam keluarga 46%
Kekerasan dalam komunitas 54%
Dari 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan, 2.703 kasus (46 %) adalah kasus kekerasan dalam keluarga. Tercakup dalam kategori ini adalah kekerasan yang dilakukan terhadap isteri (KTI) sebanyak 2.025 kasus (75 %), kekerasan yang dilakukan terhadap anak perempuan (KTAP) 389 kasus (14 %), kekerasan dalam pacaran (KDP) 266 kasus (10%), dan kasus kekerasan dalam keluarga lainnya yang berjumlah 23 kasus (1 %). Pada kekerasan dalam keluarga ini pelakunya adalah orang yang mempunyai hubungan yang dekat dengan korban –antara lain suami, pacar, ayah, kakek dan paman. Kekerasan dalam Keluarga, 2003
266
23
389
2025
Kekerasan terhadap Istri
Kekerasan terhadap Anak Perempuan
Kekerasan dalam Pacaran
Lain-lain
Dari total 5.934 kasus 3.231 (54 %) lainnya terjadi di lingkup masyarakat terdiri 294 (9,1 %) kasus kekerasan di tempat kerja (termasuk yang dialami buruh migran), 283 (8,7 %) kasus perdagangan perempuan, termasuk 12 kasus (0,4 %) kekerasan di wilayah konflik, 2.642 (81,8 %) lainnya adalah perkosaan, pelecehan seksual, penipuan dan lain-lain. Pada
6
kekerasan dalam komunitas ini, pelaku umumnya adalah orang tak dikenal, teman kerja, tetangga ataupun orang yang memiliki hubungan struktural dengan korban, misalnya atasan di tempat kerja, majikan pada konteks buruh migran, agen pada konteks trafficking. Secara khusus dalam situasi konflik, kekerasan terjadi berkaitan dengan konsentrasi pihak keamanan sebagaimana yang dialami perempuan di Aceh dan Poso. Perdagangan perempuan adalah sebuah proses rekruitmen, transportasi, transfer, menampung atau menerima perempuan dengan tindakan pemaksaan termasuk ancaman atau penggunaan kekuasaan, penggelapan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, dan kerentanan perempuan untuk tujuan eksploitasi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di berbagai kota melaporkan adanya lonjakan kasus perdagangan perempuan sebesar 884 % yaitu dari 32 kasus yang terjadi pada tahun 2002 menjadi 283 kasus pada tahun 2003. Sebagai ilustrasi, salah satu LSM di Batam menemukan 166 kasus perdagangan perempuan; sementara salah satu LSM anak di Solo mendapatkan laporan 15 kasus perdagangan anak untuk tujuan seksual komersil; dan dilaporkan dua kasus perdagangan perempuan untuk tujuan seksual komersil di Semarang. Angka ini belum ditambah dengan kasus-kasus yang dilaporkan langsung pada polisi atau kasus-kasus temuan polisi sendiri. Modus operandi perdagangan perempuan dan anak perempuan umumnya menggunakan tipuan atau janji palsu akan mempekerjakan korban sebagai pembantu rumah tangga atau buruh pabrik di dalam maupun di luar negeri. Menurut Detektif Polisi wilayah Sumatera Utara, rute perdagangan perempuan di wilayahnya meliputi: Medan - Tanjung BalaiKarimun, dan Batam. Rute perdagangan perempuan yang lain dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, yaitu: Surabaya - Pare-pare, Nunukan, dan Tawao. Kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik Kekerasan di Wilayah Konflik; Aceh, 2003 1 2
4
1
2
2
Perkosaan
Pelecehan Seksual
Penangkapan
Penggerebekan
Intimidasi
Pembunuhan
Sumber data kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik di tahun 2003 terfokus pada wilayah Aceh. Pada tahun ini dilaporkan 12 kasus kekerasan terhadap perempuan
7
yang terkait dengan konflik bersenjata. Kasus terdiri dari 4 kasus perkosaan, 2 kasus pelecehan seksual, 2 kasus penangkapan, 1 kasus intimidasi, 1 kasus penggrebekan dan 1 kasus pembunuhan disertai pengrusakan organ reproduksi. Jumlah terlapor menurun dibandingkan tahun 2002, namun hal ini lebih berkaitan dengan kesulitan hubungan antara lembaga pengada layanan dengan korban kekerasan sehubungan dengan pemberlakuan darurat militer di Aceh. Jika membandingkan data kekerasan dari tahun 2001 sampai 2003, ditemukan beberapa kecenderungan. Data kekerasan pada tahun 2001 menunjukan terjadinya terorisme seksual terhadap perempuan, yaitu berupa penyerangan meluas yang ditujukan pada tubuh dan seksualitas perempuan, sehingga korban merasa terintimidasi dan terancam akibat keberadaannya sebagai perempuan. Situasi itu didorong oleh krisis ekonomi, gejala perdagangan perempuan, konflik bersenjata di Aceh dan pengungsian NTT dan Maluku, serta semangat otonomi daerah yang berdampak pada pembatasan kebebasan perempuan. Sedangkan data pada tahun 2002 menunjukan pengaruh signifikan deportasi massal pekerja migran Indonesia dari Malaysia (peristiwa Nunukan). Dari 5.163 kasus, 2.250 kasus terjadi pada proses deportasi. Pada tahun 2003 kasus perdagangan perempuan mengalami lonjakan yang cukup drastis yaitu 884 % dari tahun 2002 yaitu 32 kasus dan tahun 2003 terlapor 283 kasus. III. Mencari makna dibalik realitas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan Merenungkan realitas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan hasil kerja bersama Komnas Perempuan dengan para mitra, kita dapat merasakan adanya secercah harapan. Kalau dilihat dari hambatan yang memberati langkah menuju penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, perjalanan kita masih panjang. Tetapi kepedulian masyarakat untuk menanggapi masalah ini makin bertambah. Hal ini terbukti dengan makin bertambahnya lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan. Kecenderungan meningkatnya jumlah dan kualitas Women’s Crisis Center (WCC), Ruang Pelayanan Khusus-kepolisian, rumah sakit dan pengadilan terus mendukung kinerja Komnas Perempuan dalam mengemban mandatnya. Peningkatan layanan lintas sektoral secara terpadu menunjukkan bahwa setiap lembaga menyadari kalau masalah kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dikerjakan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan tali temali yang mempunyai keterikatan secara menyeluruh. MOU Kesepakatan Bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang “Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” menunjukkan bahwa pemerintah telah merealisasikan niat baiknya untuk menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tentunya masih ada tantangan dalam penyamaan perspektif gender diantara lembaga-lembaga ini. Dari sisi masalah kekerasan terhadap perempuan yang kita hadapi, meningkatnya kasus, membuat kita gelisah. Muncul pertanyaan dibenak kita : Berapa kasus yang tidak/belum terlapor? Berapa jumlah perempuan korban kekerasan yang belum mau dan belum mampu mengungkapkan penderitaannya ? Pertanyaan seperti itu dapat melemahkan semangat kita, tetapi dapat pula sebaliknya mendorong rasa keingin tahuan kita untuk
8
menelusuri dan memantau kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan secara lebih luas dan mendalam. Kasus kekerasan terhadap isteri (KTI) menunjukkan angka tertinggi (2.025), mengajak kita untuk merenung, ada apa dalam hubungan suami-isteri dan mengapa isteri mendapat perlakuan kekerasan. Pertanyaan refleksi dapat berlanjut : Apakah masih terjadi relasi berbasis kekuasaan antara suami isteri ? Apa yang menghambat proses menuju relasi setara antara suami isteri, demi terjadi kedamaian dalam keluarga ? Situasi sosial, ekonomi, politik dan budaya serta konflik yang terjadi di Indonesia melatar belakangi munculnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Catatan kasus-kasus hasil pilahan tempat kejadian menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi dalam komunitas lebih banyak (54%) dibandingkan dengan yang terjadi dalam keluarga (46%). Baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, pelaku kekerasan hampir selalu orang atau kelompok yang mempunyai relasi kekuasaan dengan korban. Dalam keluarga, dimana suami atau orang yang seharusnya melindungi, cenderung untuk menjadi pelaku kekerasan. Demikian pula dalam komunitas, orang atau orang dari lembaga yang sebenarnya berfungsi melindungi masyarakat, justru menjadi pelaku kekerasan. Lalu, apa makna pelindung? Apakah pelindung berarti penguasa, sehingga melindungi cenderung diartikan menguasai? Relasi menguasai dan dikuasai, ketika diberi label budaya dan didukung oleh politik kekuasaan, menjadi kuat bahkan mengkristal menjadi batu. Relasi antar manusia yang membatu, akan menjauh dari prinsip dasar relasi kemanusiaan. Baik budaya maupun politik adalah karya manusia, jadi manusia pula yang dapat menentukan pilihan. Komnas Perempuan mempunyai visi dan misi untuk mengajak siapa saja mengupayakan relasi antara manusia atas dasar nilai kemanusiaan tetap dimiliki oleh semua manusia khususnya bangsa Indonesia. IV. Upaya-upaya Komnas Perempuan dalam peningkatan kapasitas layanan dan terbangunnya landasan hukum bagi lembaga pemberi layanan Lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan, baik itu WCC (Women Crisis Center) atau lembaga bantuan hukum maupun institusi rumah sakit serta kepolisian adalah para kontributor data yang dikompilasi dalam Catatan Awal Tahun ini. Hal ini menunjukan bahwa korban sendiri maupun keluarganya semakin mampu melaporkan insiden-insiden kekerasan yang dialaminya, serta meindikasikan upaya korban untuk mencari jalan keluar permasalahannya. Meskipun layanan tersebut masih terbatas di kota-kota besar dan di kota kabupaten, namun upaya pengadaan layanan juga telah mulai dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tingkat desa. Salah satu upaya adalah mengujicobakan layanan yang disebut “berbasis komunitas”, yang tujuannya mempermudah akses layanan bagi perempuan korban yang tinggal di wilayah-wilayah terpencil dan kurang terjangkau oleh lembaga pengada layanan pada umumnya. Komnas Perempuan bukan lembaga pengada layanan dalam arti langsung memberikan layanan medik atau psikologi atau hukum kepada korban. Kendati demikian, Komnas Perempuan berfungsi sebagai fasilitator pengembangan sistem pemulihan bagi perempuan korban kekerasan, baik untuk tataran kebijakan pada tingkat nasional
9
maupun untuk mekanisme dan aturan main layanan di tingkat wilayah. Misalnya dalam mengembangkan standar prosedur pelaksana layanan medik, psikologi dan hukum yang terpadu, atau untuk layanan terpadu dalam menyusun mekanisme rujukan korban. Komnas Perempuan juga memerani fasilitasi forum belajar diantara lembaga pengada layanan dari wilayah yang berbeda-beda (Jawa-Bali, Sumatera, Sulawesi-Maluku-NTTPapua), sehingga pertukaran keahlian, pengalaman dan kebutuhan saling belajar organisasi pengada layanan dapat dikelola secara matang dan sistematis. Untuk membangun landasan hukum bagi lembaga pemberi layanan tersebut, Komnas Perempuan bersama organisasi perempuan lainnya mendesak disahkannya beberapa perundangan yaitu Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU A-KDRT) dan Rancangan Undang Undang Perlindungan Saksi. Untuk RUU AKDRT, Komnas Perempuan juga bekerja sama dengan Forum Parlemen. Saat ini RUU A-KDRT telah menjadi usul inisiatif dari DPR dan Ketua DPR-RI telah mengirimkan surat kepada Presiden guna penunjukan mitra dari pihak pemerintah. Sedangkan untuk mendesakan RUU Perlindungan Saksi, Komnas Perempuan bekerja sama dengan berbagai LSM dan beberapa lembaga lainnya. Untuk menguatkan proses yang sedang berjalan di tataran kebijakan dan mekanisme layanan korban, Komnas Perempuan bekerja sama dengan 14 organisasi di 15 wilayah di Indonesia untuk melakukan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Kampanye ini bertujuan untuk menuntut tanggung jawab negara bagi pemenuhan hakhak perempuan korban kekerasan melalui layanan lintas sektoral. Kampanye yang diselenggarakan 25 November hingga 10 Desember 2003 ini secara bersamaan dilakukan di Makasar, Bone, Maumere, Mataram, Samarinda, Jombang, Padang, Batam, Papua, Maluku, Semarang, Jogja, Bengkulu, Bandung dan Jakarta. Dalam merespon persoalan kekerasan terhadap buruh migran perempuan, Komnas Perempuan melakukan beberapa upaya antara lain advokasi nasional, advokasi internasional dan membangun bersama sistem pelayanan korban dengan melibatkan organisasi-organisasi perempuan, organisasi massa, dan organisasi kesehatan. Di tingkat nasional, Komnas Perempuan antara lain melakukan advokasi untuk: (1) penyempurnaan isi RUU Perlindungan Buruh Migran dari Perspektif Perempuan dan Pekerja Rumah Tangga; (2) pengembangan isi MoU Indonesia-Malaysia agar mencakup masalah Buruh Migran pekerja rumah tangga, dan (3) mengusulkan konsep pelayanan terpadu bagi buruh migran perempuan korban kekerasan. Kegiatan ini ditindak lanjuti dengan aksi-aksi konkrit, antara lain terlibat dalam program pengadaan ambulan bersama Aliansi Tujuh; dan memfasilitasi kerjasama Gerakan Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran (GPPBM) dengan RS Polri dalam program relawan pendamping buruh migran perempuan yang bermasalah. Di tingkat internasional, pada tahun 2003 Komnas Perempuan memfasilitasi penyusunan country report Indonesia untuk acara konsultasi dengan pelapor khusus PBB. Komnas Perempuan juga menghadiri acara sidang tahunan Komisi HAM PBB di Geneva, dan akan menyiapkan kerangka acuan studi tentang buruh migran perempuan pekerja rumah
10
tangga di wilayah Asia Pasifik untuk diimplementasikan oleh LSM regional Asia Pacific Forum on Law, Women, and Development (APWLD). Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat memperkuat mekanisme layanan dan landasan hukum bagi lembaga-lembaga pemberi layanan, seiring semakin meningkatnya jumlah kekerasan terhadap perempuan yang terlapor, sebagaimana laporan stuasi kekerasan pada tahun 2003 berikut ini. V. Tugas dan tanggungjawab bersama Budaya patriarkhi yang masih kuat tertanam merupakan benteng kokoh yang menutupi realitas bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak azasi perempuan. Pelanggaran hak azasi manusia meliputi diskriminasi terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan pelanggaran terhadap hak dasar perempuan. Sedangkan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam Undang-undang Pengadilan HAM dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan. Kaum perempuan sendiri masih banyak yang belum menyadarinya karena budaya, ajaran tradisi dan ajaran agama memberikan peneguhan bahwa mereka wajib menerima kekerasan terhadap perempuan sebagai realitas hidup. Bahkan apabila mereka mengalami kekerasan mereka menutupinya, karena peristiwa itu dianggap aib yang harus ditutup. Oleh karena itu kegiatan pemantauan tidak akan berjalan mulus kalau masyarakat, khususnya perempuan belum memahami dan menyadarinya. Sosialisasi ketidak adilan gender, dimana kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu bentuk ketidak adilan gender, telah memperlancar jalan bagi kita untuk melakukan pemantauan dari perspektif perempuan. Perempuan yang sadar sudah berani mengungkapkan pengalamannya, mencari tempat untuk mengadu. Atas dasar realitas tersebut di atas, Komnas Perempuan akan terus mendorong kesadaran masyarakat bahwa pekerjaan memantau kekerasan terhadap perempuan yang ada di masyarakat adalah tugas, kewajiban dan tanggungjawab bersama. Khususnya kaum perempuan sendiri perlu menyadari bahwa setiap individu mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan sebagai lembaga negara berkewajiban melanjutkan tugas dan tanggungjawab ini kepada publik. Untuk memenuhi tugas tersebut Komnas Perempuan memerlukan informasi mengenai data kekerasan terhadap perempuan dari lembagalembaga yang menangani korban kekerasan terhadap perempuan serta jaringan kerjanya, secara terus menerus. VI. Rekomendasi Rekomendasi kepada Presiden Megawati dan DPR Periode 2000 - 2004 : Untuk menegakkan hak korban dan dan memberikan landasan hukum bagi lembaga pemberi layanan, Komnas Perempuan mendesak Presiden Megawati dan DPR RI Periode 2000 – 2004 untuk segera: 1. Mensahkan RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU A-KDRT), sebelum Pemilu 2004 berjalan. 2. Meratifikasi Konvensi Perlindungan bagi Buruh Migran dan anggota keluarganya dan mensahkan RUU Buruh Migran.
11
3. Mengalokasikan dana dari kas negara untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga-lembaga pemberi layanan bagi perempuan korban kekerasan. Rekomendasi kepada masyarakat : Membangun kesadaran publik bahwa pemantauan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan adalah tanggung jawab bersama sebagai salah satu upaya untuk penegakan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia. Rekomendasi kepada lembaga pengada layanan : Membangun kesepakatan standar bersama pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan dengan mengacu pada standar internasional, sehingga data yang terkumpul dapat diakses dan digunakan di tingkat lokal, nasional dan internasional.
12
Lampiran Komnas Perempuan mengucapkan terima kasih kepada lembaga-lembaga di bawah ini atas kerja samanya dalam menyusun Catatan Awal Tahun 2004. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.
Rumah Sakit Sukanto – Jakarta PKT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo – Jakarta Rumah Sakit Bhayangkara A. Mappa Ouddang – Makasar RPK Polri Metro Jaya RPK Polda Sumbar RPK Polda Jateng RPK Polda Kalteng RPK Polda Kaltim RPK Sulteng RPK Polda Kalsel RPK Sulsel RPK Polda NTB RPK Polda NTT RPK Jogjakarta PN Jeneponto, Sulsel PN Mamuju, Sulsel PN Sidenreng Rappang, Sulsel PN Nakale, Sulsel PN Watansoppeng, Sulsel PN Bantaeng, Sulsel PN Sinjai, Sulsel PN Polewali, Sulsel PN Watampone, Sulsel PN Selayar, Sulsel Pengadilan Tinggi Kendari, Sultra Pengadilan Tinggi Sumbar Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali PN Sengkang, Makasar, Sulsel Pengadilan Agama Palu, Sulteng Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LKBH PeKa), Jakarta Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan - Jakarta (LBH APIK Jakarta), Jakarta Solidaritas Perempuan, Jakarta Mitra Perempuan, Jakarta Solidaritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan (SIKAP), Jakarta Kalyanamitra, Jakarta Insitut Perempuan Bandung (IP Bandung), Bandung Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Medan Yayasan Sada Ahmo (YSA), Sidikalang Serikat Perempuan Independen (SPI), Labuhan Batu
13
40. Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), Semarang 41. Yayasan Kakak Solo 42. Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), Surakarta 43. Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Jakarta 44. Yayasan Pengembangan Wanita (YPW), Aceh 45. Rifka Annisa WCC, Yogyakarta 46. WCC Suara Nurani Perempuan –Yabinkas,Yogyakarta 47. Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan (FPMP SS) Makasar 48. Lembaga Bantuan Hukum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBH-P2I), Makasar 49. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Makasar (LBH APIK- Makasar), Makasar 50. Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Bone 51. Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST), Palu 52. Cahaya Perempuan WCC PKBI Bengkulu, Bengkulu 53. WCC Palembang, Palembang 54. Yayasan Advokasi Perempuan dan Anak (YASVA), Bengkulu 55. WCC Nurani Perempuan-Padang 56. Jombang WCC 57. Samaritan Peduli (Sampel), Rote – NTT 58. Forum Peduli Perempuan Atambua (FPPA), Atambua -NTT 59. Savy Amira – Surabaya 60. Jaringan Perempuan untuk Keadilan (JARI) Aceh, Aceh 61. Divisi Perempuan Tim Relawan Kemanusiaan Flores (TRUK-F), Maumere-NTT 62. Yayasan Amnaut Bife “Kuan” (YABIKU), Kefa – NTT 63. Swara Parangpuan, Menado 64. Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan (YMKK), Batam 65. Komite HAM, Samarinda 66. Arikal Mahina, Maluku
14
15