Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
DAMPAK DIPOLE MODE TERHADAP ANGIN ZONAL Eva Gusmira, S.Si., M.Si Abstrak Dalam jurnal ini telah dilakukan analisis terhadap angin zonal di Sumatera Barat yang diakibatkan oleh fenomena Dipole Mode (DM) yang terdapat di Samudera Hindia. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui variabilitas iklim di Sumatera Barat khususnya angin zonal. Analisis yang dilakukan menggunakan metoda (i) korelasi silang antara indeks DM dengan angin zonal pada tahun DM, (ii) analisis komposit anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) dan vektor angin di Sumatera Barat dan Samudera Hindia untuk tahun DM(+) serta DM(-). Secara umum didapatkan bahwa fenomena DM berpengaruh kuat terhadap curah hujan di Sumatera Barat yaitu : korelasi DM terhadap angin zonal di Sumatera Barat hanya terlihat pada angin permukaan, saat DM(+) angin permukaan bergerak timuran dengan kecepatan maksimum 3 m/s. Sebaliknya saat DM(-) bergerak baratan dengan kecepatan maksimum 1 m/s. Hal ini tidak terlihat pada angin atas (200 mb). Kata Kunci : Dipole Mode, Angin Zonal, Suhu Permukaan Laut 1. PENDAHULUAN Pemanasan global, efek monsun dan fenomena El Niño (La Niña) menyebabkan cuaca dan iklim ekstrim di Indonesia. Curah hujan ekstrim tinggi pada musim hujan akan menyebabkan bencana banjir dan ektrim rendah pada musim kemarau akan menyebabkan bencana kekeringan. Fenomena ini juga memiliki korelasi kuat dengan osilasi atmosfer skala luas atau Osilasi Selatan (OS). Gambaran keseluruhan OS dengan El Niño dikenal dengan El NiñoSouthern Oscillation (ENSO) yang diidentifikasikan dengan berfluktuasinya curah hujan, kecepatan dan arah angin, pola arus laut dan suhu permukaan laut di perairan Indonesia dan sekitarnya serta Samudera Pasifik ekuator. Belakangan ditemukan pula suatu fenomena lain yang menyerupai ENSO yang terjadi di Samudera Hindia yang disebut Dipole Mode Event (DME) yang memberikan dampak yang serupa dengan ENSO (Saji et.al.,1999; Webster et.al.,1999). Struktur Dipole Mode (DM) ditandai dengan adanya perbedaan anomali suhu permukaan laut (SPL) antara Samudera Hindia tropis bagian barat (50 0E – 70 0E / 10 0S – 10 0N) dengan Samudera Hindia tropis bagian timur (90 0E – 110 0E / 10 0S - ekuator) yang disertai dengan adanya anomali 49
Eva Gusmira, Dampak …
angin dan presipitasi. Pada saat anomali SPL Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya yang disebut DM (+) maka terjadi peningkatan curah hujan dari keadaan normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat sedangkan di Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari keadaan normalnya yang menyebabkan kekeringan. Fenomena yang berlawanan juga terjadi yang disebut sebagai DM (-). Proses interaksi atmosfer-laut ini bersifat unik dan melekat di Samudera Hindia dan terlihat tak bergantung pada ENSO (Saji et.al.,1999; Webster et.al.,1999; Ashok et.al.,2001; Yamagata et.al.,2000). Sumatera Barat merupakan daerah yang dilalui oleh garis Ekuator dan terletak di dekat Samudera Hindia sehingga adanya kemungkinan cuaca lokal dipengaruhi oleh angin zonal yang diakibatkan DM di Samudera Hindia. Selama ini belum ada kajian secara rinci yang mempelajari tentang angin zonal dan curah hujan di atas Wilayah Sumatera Barat. Walaupun Murata et.al., (2002) telah menganalisa hubungan antara angin dan curah hujan di Sumatera Barat khususnya Kototabang, namun tidak menunjukkan perilaku angin zonal yang dipengaruhi oleh DM. Bannu (2003) dan Setiawan (2002) juga telah menganalisa kaitan antara DM dengan curah hujan dan angin permukaan secara umum, yang meliputi Benua Maritim Indonesia (BMI). Dengan demikian diperlukan suatu kajian yang dapat mempelajari pola angin zonal diatas wilayah Sumatera Barat akibat adanya DM secara spesifik. Pada penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perilaku angin zonal di atas wilayah Sumatera Barat akibat adanya pengaruh dipole mode dan mengidentifikasikan parameter yang dapat dijadikan indikator dalam menganalisis pengaruh dipole mode di Sumatera Barat. 2. DATA DAN METODA ANALISIS 2.1 Data Data yang digunakan dalam pembahasan ini adalah data angin yang meliputi lima stasiun pengamatan di Sumatera Barat, dua stasiun (Tabing dan Sicincin) mewakili daerah bagian selatan ekuator pada posisi berturut-turut yaitu 0862 LS - 10035 BT; 0605 LS - 10025BT. Dua stasiun (Petok dan Talu) mewakili daerah bagian utara ekuator pada posisi 0294 LU - 1001 BT; 023 LU - 9988 BT dan satu stasiun (Sasak) mewakili daerah yang terletak di ekuator pada posisi 008 LS - 99784 BT (Gambar 1) yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jakarta, sedangkan data asimilasi dari data angin zonal bulanan (Januari 1981-Desember 2000) di Sumatera Barat yang diperoleh dari NCEP/NCAR Reanalysis base period 1981-2000 yang diperoleh melalui : http://www.cpc.ncep.noaa.gov) berdasarkan posisi lintang dan bujur masing-masing stasiun (Gambar 1)
50
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
Gambar 1
Lokasi posisi stasiun pengamatan curah hujan di Sumatera Barat
Indeks Dipole Mode (IDM) ditentukan dari perbedaan anomali SPL Samudera Hindia di lepas pantai Sumatera (900 – 110 0BT / 10 0 LS – ekuator, kotak B pada Gambar 2) dan anomali SPL Samudera Hindia bagian barat (50 0 – 700BT / 100 LS – 100 LU, kotak A pada Gambar 2). Data IDM bulanan (Januari 1981 – Desember 2000) diperoleh melalui http://w3.frontier.esto.or.jp.
Gambar 2
Lokasi fenomena Dipole Mode (DM) yang didefinisikan berdasarkan Saji et.al (1999) di Samudera Hindia (Bannu, 2003)
Data global dalam bentuk grid meliputi, data suhu permukaan laut (SPL) bulanan (Januari 1981 – Desember 2000), data angin zonal bulanan (Januari 1981 - Desember 2000). Sumber data diperoleh dari data bulanan NCEP/NCAR Reanalysis pada http://www.cpc.ncep.noaa.gov. Resolusi spatial data ini adalah 2 x 2 atau 200 km (Kalnay et.al., 1996). Range waktu 1981-2000 dipilih untuk memperoleh data yang lebih pasti karena data reanalysis menggunakan satelit sounder TOVS dimulai pada tahun 1979. 51
Eva Gusmira, Dampak …
2.2 Metoda Analisis Pengolahan Data Grid Pengolahan data grid global dilakukan dengan menggunakan software Grid Analysis Display System (GrADS) versi 1.8SL8 yang diperoleh melalui http:/grads.iges.org/. Perhitungan korelasi silang dilakukan dengan memanfaatkan fungsi ‘tcorr’ yang terdapat dalam dokumentasi GraDS sebagai berikut : Tcor(expr1, expr2, tdim1, tdim2) (2) dimana : - expr1 : ekspresi GrADS yang bervariasi dengan waktu - expr2 : ekspresi GrADS yang bervariasi dengan waktu serta lintang dan bujur - tdim1 dan tdim2 : waktu awal dan akhir dari expr1 dan expr2 Deret waktu expr1 dikorelasikan dengan deret waktu setiap titik grid pada expr2. Hasil korelasi berupa harga koefisien korelasi yang memiliki dimensi lintang dan bujur seperti expr2, dengan harga koefisien korelasi ditampilkan pada range (-0,8) sampai (0,8) dengan interval kontur 0,2 dan harga koefisien korelasi signifikan diambil untuk r 0,3. 3. HASIL 3.1 Pengaruh Dipole Mode terhadap Angin Zonal Analisis angin zonal di Sumatera Barat menunjukkan dampak yang berbeda pada ketinggian yang berbeda pula saat terjadinya DM. Pada kesempatan ini dibahas pengaruh DM terhadap angin pada level 200 mb (angin atas) dan pada ketinggian 10 m (angin permukaan). Analisis arah dan kecepatan angin secara spasial dilakukan untuk mengidentifikasi lebih jauh pola dan kecepatan angin saat DM(+) dan DM(-). Hasil analisis dilakukan secara spasial dan temporal dalam skala musiman sebagai berikut : 3.1.1 Juni-Juli-Agustus Analisis korelasi silang dilakukan untuk mengetahui atau mengidentifikasi pengaruh DM terhadap pola dan kecepatan angin di Sumatera Barat. Pada periode ini, hasil korelasi silang antara IDM dengan angin zonal 200 mb saat DM(+), tidak ditemukan adanya korelasi antara keduanya (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa adanya anomali positif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat tidak mempengaruhi pola dan kecepatan angin zonal 200 mb untuk bulan JJA. Sementara itu, hasil korelasi silang antara IDM dengan angin zonal 200 mb saat DM(-), diperoleh adanya korelasi positif yang cukup signifikan (r 0,7). Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat DM(-), adanya anomali negatif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat bersamaan 52
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
dengan adanya penguatan angin timuran (ke arah barat) yang diperlihatkan pada Gambar 4. Pada saat DM(+), hasil korelasi silang antara IDM dengan angin permukaan komponen zonal belum ditemukan adanya korelasi yang signifikan antara keduanya. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya anomali positif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat belum mempengaruhi pola dan kecepatan angin permukaan komponen zonal di Sumatera Barat (Gambar 5). Sedangkan saat DM(-), hasil korelasi silang antara IDM dengan angin permukaan komponen zonal, diperoleh adanya korelasi negatif yang cukup signifikan (r -0,3). Ini mengindikasikan bahwa adanya anomali positif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat diikuti oleh adanya penguatan angin permukaan kearah timur (angin baratan) yang diperlihatkan pada Gambar 6. 3.1.2 September-Oktober-November Pada periode ini saat DM(+), dari hasil korelasi silang hubungan antara IDM dengan angin zonal 200 mb (Gambar 3), diperoleh adanya korelasi positif yang cukup signifikan (r 0,5). Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat DM(+), adanya anomali positif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat bersamaan dengan adanya penguatan angin baratan (ke arah timur). Sedangkan saat DM(-), hasil korelasi silang antara IDM dengan angin zonal 200 mb, diperoleh adanya korelasi positif yang cukup signifikan (r 0,7). Ini mengindikasikan bahwa adanya anomali negatif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat tidak diikuti oleh adanya penguatan angin kearah timur (angin baratan), melainkan kearah sebaliknya (Gambar 4). Hasil korelasi silang hubungan antara IDM dengan angin permukaan komponen zonal (Gambar 5) pada saat DM(+), diperoleh korelasi negatif yang cukup signifikan (r 0,5). Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat DM(+), adanya anomali positif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat bersamaan dengan adanya penguatan angin permukaan ke arah barat (timuran). Sementara itu saat DM(-), hasil korelasi silang antara IDM dengan angin permukaan komponen zonal (Gambar 6), diperoleh adanya korelasi negatif yang cukup signifikan (r -0,7). Ini mengindikasikan bahwa adanya anomali negatif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat diikuti dengan adanya penguatan angin permukaan kearah timur (angin baratan). Hasil ini sesuai dengan Saji et.al (1999) dan Vinayachandran (2001). 3.1.3 Desember-Januari-Februari Pada periode ini saat DM(+), dari hasil korelasi silang hubungan antara IDM dengan angin zonal 200 mb (Gambar 3), diperoleh adanya korelasi negatif yang cukup signifikan (r 0,7). Hal ini mengindikasikan bahwa adanya anomali positif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat pada saat 53
Eva Gusmira, Dampak …
DM(+),bersamaan dengan adanya penguatan angin timuran (ke arah barat). Sedangkan saat DM(-), hasil korelasi silang antara IDM dengan angin zonal 200 mb, diperoleh adanya korelasi positif yang cukup signifikan (r 0,3). Ini mengindikasikan bahwa adanya anomali negatif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat tidak diikuti oleh adanya penguatan angin permukaan kearah timur (angin baratan), melainkan kearah sebaliknya (Gambar 4). Hasil korelasi silang hubungan antara IDM dengan angin permukaan komponen zonal (Gambar 5) pada saat DM(+), diperoleh korelasi negatif yang cukup signifikan (r 0,5). Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat DM(+), adanya anomali positif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat bersamaan dengan adanya penguatan angin timuran (ke arah barat). Sementara itu saat DM(-), hasil korelasi silang antara IDM dengan angin permukaan komponen zonal (Gambar 6), diperoleh bahwa sebagian besar wilayah Sumatera Barat (bagian utara ekuator) memiliki korelasi positif yang cukup signifikan (r 0,3) dan bagian arah selatan ekuator tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan. Ini mengindikasikan bahwa adanya anomali negatif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat tidak diikuti dengan adanya penguatan angin permukaan kearah timur (angin baratan). DESEMBER – JANUARI - FEBRUARI
JUNI – JULI – AGUSTUS
Gambar 3
54
MARET – APRIL - MEI
SEPTEMBER – OKTOBER - NOVEMBER
Korelasi Silang antara Indeks Dipole Mode (IDM) dengan Angin Zonal (200 mb) (1981-2000) untuk Tahun Dipole Mode positif. Interval kontur 0,2 dengan koefisien korelasi signifikan r 0,3
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012 DESEMBER – JANUARI - FEBRUARI
JUNI – JULI – AGUSTUS
Gambar 4
SEPTEMBER – OKTOBER - NOVEMBER
Korelasi Silang antara Indeks Dipole Mode (IDM) dengan Angin Zonal (200 mb) (1981-2000) untuk Tahun Dipole Mode negatif. Interval kontur 0,2 dengan koefisien korelasi signifikan r 0,3.
DESEMBER – JANUARI - FEBRUARI
JUNI – JULI – AGUSTUS
Gambar 5
MARET – APRIL - MEI
MARET – APRIL - MEI
SEPTEMBER – OKTOBER - NOVEMBER
Korelasi Silang antara Indeks Dipole Mode (IDM) dengan Angin Permukaan Komponen Zonal (1981-2000) untuk Tahun Dipole Mode positif. Interval kontur 0,2 dengan koefisien korelasi signifikan r 0,3
55
Eva Gusmira, Dampak … DESEMBER – JANUARI - FEBRUARI
JUNI – JULI – AGUSTUS
Gambar 6
JUNI – JULI – AGUSTUS
56
SEPTEMBER – OKTOBER - NOVEMBER
Korelasi Silang antara Indeks Dipole Mode (IDM) dengan Angin Permukaan Komponen Zonal (1981-2000) untuk Tahun Dipole Mode negatif. Interval kontur 0,2 dengan koefisien korelasi signifikan r 0,3
DESEMBER – JANUARI - FEBRUARI
Gambar 7
MARET – APRIL - MEI
MARET – APRIL - MEI
SEPTEMBER – OKTOBER - NOVEMBER
Komposit Anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Angin (200 mb) di Sum-Bar (1981-2000) dan Samudera Hindia untuk Tahun Dipole Mode positif, dengan kecepatan angin maksimum = 4 m/s
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012 DESEMBER – JANUARI - FEBRUARI
JUNI – JULI – AGUSTUS
Gambar 8
SEPTEMBER – OKTOBER - NOVEMBER
Komposit Anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Angin (200 mb) di Sum-Bar (1981-2000) dan Samudera Hindia untuk Tahun Dipole Mode negatif, dengan kecepatan angin maksimum = 3 m/s.
DESEMBER – JANUARI - FEBRUARI
JUNI – JULI – AGUSTUS
Gambar 9
MARET – APRIL - MEI
MARET – APRIL - MEI
SEPTEMBER – OKTOBER - NOVEMBER
Komposit Anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Angin Permukaan di Sum-Bar (1981-2000) dan Samudera Hindia untuk Tahun Dipole Mode positif, dengan kecepatan angin maksimum = 3 m/s
57
Eva Gusmira, Dampak … DESEMBER – JANUARI - FEBRUARI
JUNI – JULI – AGUSTUS
MARET – APRIL - MEI
SEPTEMBER – OKTOBER - NOVEMBER
Gambar 10 Komposit Anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Angin Permukaan di Sum-Bar (1981-2000) dan Samudera Hindia untuk Tahun Dipole Mode negatif, dengan kecepatan angin maksimum = 1 m/s. 3.1.4 Maret-April-Mei Pada periode ini, hasil korelasi silang antara IDM dengan angin zonal 200 mb saat DM(+) memiliki nilai korelasi yang bervariasi. Dimana wilayah Sumatera Barat bagian utara memiliki korelasi negatif yang cukup signifikan (r 0,7), yang mengindikasikan bahwa adanya anomali positif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat, diikuti oleh penguatan angin kearah barat (angin timuran). Sementara itu, wilayah Sumatera Barat bagian selatan tidak ditemukan adanya korelasi antara keduanya (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa tidak mempengaruhi pola dan kecepatan angin zonal 200 mb untuk bulan MAM. Sementara itu, hasil korelasi silang antara IDM dengan angin zonal 200 mb saat DM(-), diperoleh korelasi yang berlawanan dengan kondisi DM(+). Dimana, wilayah utara ekuator memiliki korelasi positif yang cukup signifikan (r 0,3) dan wilayah selatan ekuator tidak ditemukan adanya korelasi yang signifikan (Gambar 4). Periode ini merupakan periode peralihan ke musim kemarau. Pada saat DM(+), hasil korelasi silang antara IDM dengan angin permukaan komponen zonal, diperoleh adanya korelasi negatif yang cukup signifikan (r 0,5). Hal ini mengindikasikan bahwa adanya anomali positif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat diikuti oleh penguatan angin timuran (Gambar 5) di wilayah Sumatera Barat. Sedangkan saat DM(-), hasil korelasi silang antara 58
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
IDM dengan angin permukaan komponen zonal, menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Sumatera Barat tidak memiliki korelasi yang signifikan, walaupun sebagian kecil wilayah di bagian utara ekuator memiliki korelasi positif yang cukup signifikan (r -0,5). Ini mengindikasikan bahwa adanya anomali positif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat tidak mempengaruhi pola angin permukaan komponen zonal (Gambar 6). 3.2 Analisis Umum Sirkulasi atmosfer yang ikut terjadi saat JJA dan SON menunjukkan adanya anomali negatif angin permukaan komponen zonal di Samudera Hindia bagian timur (sebelah barat Sumatera) yang mengindikasikan terjadinya pelemahan sirkulasi walker ketika DM(+). Hasil korelasi silang antara indeks DM (IDM) dengan kecepatan angin permukaan komponen zonal menunjukkan bahwa pada saat DM(+) terdapat korelasi negatif antara anomali SPL Samudera Hindia dengan kecepatan angin permukaan komponen zonal, yang berarti terdapat anomali negatif (terjadi penguatan angin ke arah barat) di Sumatera Barat dan sekitarnya (Gambar 9). Sementara itu hasil korelasi silang antara anomali SPL Samudera Hindia dengan angin zonal 200 mb, terdapat korelasi positif yang signifikan (Gambar 3), yang berarti adanya penguatan angin kearah timur (baratan). Ini menunjukkan bahwa angin zonal 200 mb tidak mengikuti pola kejadian DM. Anomali negatif angin permukaan komponen zonal di Sumatera Barat saat DM(+) berlangsung dari JJA hingga DJF dan pola yang jelas saat SON dengan kecepatan angin maksimum 3 m/s (Gambar 9). Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat DM(+) menyebabkan musim kemarau menjadi lebih panjang dan lebih kering. Korelasi yang berlawanan dengan fenomena DM(+) antara anomali SPL dengan angin permukaan komponen zonal, terjadi pada saat DM(-) seperti ditunjukkan pada Gambar 10. Kondisi ini dimulai pada periode JJA hingga DJF, dan mencapai puncaknya pada periode SON. Sedangkan pada korelasi hubungan antara anomali SPL dengan angin zonal 200 mb tidak terlihat adanya pola DM. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Hendon (2002), dimana anomali SPL akan berperan dalam menggerakkan angin permukaan. Hal ini juga ditunjukkan dari komposit kecepatan dan arah angin, yang memperlihatkan bahwa angin pada 200 mb memiliki pola yang tidak menunjukkan adanya pengaruh DM dengan kecepatan yang lebih besar (4 m/s saat DM(+) dan 2 m/s saat DM(-)) dibandingkan dengan angin permukaan (3 m/s saat DM(+) dan 1 m/s saat DM()). Pola arah angin pada 200 mb juga tidak di pengaruhi oleh adanya pemanasan atau pendinginan anomali SPL. Dari nilai korelasi IDM dengan angin permukaan komponen zonal, mengandung arti bahwa pada saat DM(+), maka musim kemarau di Sumatera Barat menjadi lebih panjang dan kering sehingga memperlambat awal tibanya musim hujan. Hal ini disebabkan uap-uap air dibawa oleh angin menuju 59
Eva Gusmira, Dampak …
Samudera Hindia tropis sebelah barat. Sebaliknya saat DM(-), dimana musim hujan akan tiba lebih awal dari biasanya. Dengan demikian, fenomena DM(+) merupakan suatu gangguan yang dapat memperpanjang dan memperparah musim kemarau di Sumatera Barat, sedangkan DM(-) memberikan dampak pada datangnya musim hujan lebih awal. Pola arah angin seperti halnya saat DM tidak terlihat pada angin permukaan maupun angin 200 mb untuk tahuntahun normal. Analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa DM merupakan fenomena yang mempunyai pengaruh terhadap angin zonal di Sumatera Barat terutama angin permukaan komponen zonal. 4. KESIMPULAN Hasil pengolahan data dan analisis menggambarkan pengaruh fenomena Dipole Mode yang terjadi di Samudera Hindia selama Januari 1981 sampai dengan Desember 2000 mempunyai pengaruh terhadap angin zonal di Sumatera Barat. Fenomena DM memberikan pengaruh terhadap kecepatan dan arah angin permukaan komponen zonal. Fenomena ini terlihat berpengaruh pada arah angin dan kecepatannya pada masing-masing kejadian DM(+) dan DM(-), yaitu 3 m/s ke arah barat saat DM(+) dan 1 m/s ke arah timur (sebelah barat Sumatera) saat DM(-). Sebaliknya, DM tidak mempengaruhi angin zonal di tingkat yang lebih tinggi (200mb).
REFERENSI Ashok, K.Z., Guan, and T. Yamagata, (2001), Impact of the Indian Ocean Dipole on the Relationship between the Indian Monsoon Rainfall. (Accepted for Publication in Geophys. Res. Lett) Bannu, (2003), Analisis Interaksi Monsun, ENSO dan Dipole Mode serta Kaitannya dengan Variabilitas Curah Hujan dan Angin Permukaan di Benua Maritim Indonesia. Tesis Magister, Departemen GM, ITB Bayong, Tj.H.K., and A.M. Mustofa, (2000), Seasonal Rainfall Variation Over Monsoonal Areas. Jurnal Teknologi Mineral. Vol. VII, No.4/2000 BMG (2000), Prakiraan Musim Kemarau di Indonesia, Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta Kalnay.E, Kanamitsu, M., R. Kistler, Roy Jenne, Dennis Joseph, (1996), The NCEP/NCAR 40-Year Reanalysis Project. Bulletin of the American Meteorological Society, Amerika. Vol. 77, No. 3, pp. 437-472 Murata, F., Yamanaka, M.D, Fujiwara, M., Ogino, S., Hashiguchi, H., Fukao, S., Kudsy, M., Sribimawati, T., Sriworo, and Kelana, E., (2002), Relationship between Wind and Precipitation Observed with a UHF Radar, GPS 60
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
Rawinsondes and Surface Meteorological Instruments at Kototabang, West Sumatera during September – October 1998. Journal of the Meteorological Society of Japan, Vol. 80. No. 3.PP. 347-360 Saji, N. H, B. N. Goswani, P. N. Vinayachandran, and T.Yamagata, (1999), A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean. Nature Vol. 401, 360-363 Saji, N. H, and T.Yamagata, (2001), The Tropical Indian Ocean Climate System from the Vantage Point of Dipole Mode Event. (Submitted to J. Climate) Setiawan, Agus, (2002), Analisis Variabilitas Parameter MeteorologiOseanografi di Benua Maritim Indonesia dalam Hubungannya dengan Interaksi antara Fenomena Monsun, ENSO dan Dipole Mode. Tesis Magister, Departemen GM, ITB Vinayachandran, P.N., Lizuka, S. and Yamagata, T., (2001), Indian Ocean Dipole Mode Events in an Ocean General Circulation Model. Preprint Submitted to Elsevier Science Webster, P. J., J.P. Loschnigg, A.M. Moore, and R.R. Leben, (1999), Coupled Ocean-Atmosphere Dynamics in the Indian Ocean during 1997-1998. Nature, 401, 356-359 Yamagata, T., Lizuka, S, and Matsura, T, (2000), Successful Reproduction of the Dipole Mode Phenomenon in the Indian Ocean Using a Model – Advance toward the Prediction of Climate Change-. Geophysical Research Letter (GRL)
61