Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN Peneliti di Matatimoer Institute Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ e-mail:
[email protected]
Pengantar Hibriditas budaya dan budaya hibrid saat ini menjadi istilah-istilah yang banyak diperbincangkan dalam ranah kajian sosio-humaniora seperti sosiologi, antropologi, religi, sastra, dan media, meskipun pada awalnya banyak digunakan dalam wacana saintifik. Tidak bisa disangkal lagi, populerisasi istilah-istilah tersebut terkait erat dengan perkembangan wacana poskolonial dan globalisasi yang dari hari ke hari semakin berkembang dalam perdebatan akademis, baik dalam jurnal, buku, maupun mimbar seminar dan konferensi. Dalam konteks kedua wacana tersebut, hibridisasi merujuk pada sebuah proses yang mempertemukan dua atau lebih budaya dalam satu ruang kultural yang kemudian menghasilkan strategi-strategi untuk melakukan percampuran, namun dengan tujuan-tujuan politis untuk menegosiasikan kepentingan lokalitas dalam menghadapi “yang dari luar”, sebagai akibat dari kolonialisasi, neokolonialisasi, dan globalisasi yang memang selalu menghadirkan praktik dan bentuk kultural dari luar ruang lokal. Dalam perkembangannya, istilah budaya hibrid seringkali hanya dipahami semata-mata sebagai bentuk dan praktik percampuran dua atau lebih budaya dengan hasil sebuah format baru yang berwarna campuraduk tanpa menghilangkan karakteristik budaya-budaya sebelumnya. Terma-terma yang biasa muncul dari konteks tersebut antara lain musik hibrid, film hibrid, ritual hibrid, pakaian hibrid, gaya hidup hibrid, dan masih banyak lagi. Pemahaman tersebut tentu sah-sah saja dalam konteks akademis. Namun demikian, pemahaman tersebut cenderung meletakkan kajian semata-mata pada hasil atau produk percampuran dari hibridisasi untuk kemudian mengkebiri “potensi politis dan strategis” di balik hibridisasi kultural yang berlangsung. Gilroy, sebagaimana dikutip Hutnyk (2005: 82-83) secara kritis mengingatkan „kesalahkaprahan‟ tersebut: Siapa juga yang menginginkan kemurnian?...ide hibriditas, antarpercampuran, mengasumsikan dua kemurnian yang saling berhadapan…Saya pikir tidak ada kemurnian, tidak ada kemurnian yang frontal…oleh karena itu saya berusaha untuk tidak menggunakan kata hibrid…produksi kultural tidaklah seperti koktail yang terdiri dari campuran bahan-bahan…
Dalam tulisan lain, Gilroy (dikutip Hutnyk, 2005: 82) juga menekankan: …kurangnya piranti untuk mendeskripsikan secara tepat, marilah kita menteoretisasikannya sendiri, percampuran-antara, fusi, dan sinkretisme tanpa megarah pada eksistensi kemurnian „tak terkontaminsasi‟ yang saling frontal. Kalaupun proses percampuran digambarkan sebagai sesutau yang bersifat fatal, kita harus siap untuk
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
menyerah pada ilusi bahwa kemurnian etnik dan kultural memang sudah ada sejak lama, marilah memberikannya fondasi sendiri bagi masyarakat sipil. Ketidakhadiran bahasa yang kritis dan konseptual memang dilemahkan dan direpotkan oleh pelebihan absurd yang berusaha untuk mengunakan konsep hibriditas yang secara menyeluruh diperlambat oleh sisa-sisa aktif dari artikulasi terma-terma di dalam kosa-kata teknis dari pengetahuan rasial abad ke-19.
Kritik Gilroy memang mengajak untuk tidak serta-merta menggunakan kata hibrid, hibriditas, maupun hibridisasi kalau itu semua hanya mengekor pada penggunaan katakata tersebut dalam bidang pengetahuan lain, seperti pengetahuan rasial, biologi, maupun pertanian, yang memang sekedar menunjukkan fakta laboratoris usaha-usaha untuk melakukan percampuran. Baginya, percampuran kultural di antara dua atau lebih budaya merupakan proses yang tidak sesederhana dengan proses yang terjadi dalam pengetahuan-pengetahuan tersebut. Percampuran yang terjadi dipenuhi dengan negosiasi dan artikulasi yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politis di dalamnya. Artinya, hibridisasi dan produk hibrid yang dihasilkan, merupakan “situs pertarungan” yang di dalamnya terdapat pertarungan kepentingan kultural yang ingin dinegosiasikan, diartikulasikan, dan diperjuangkan oleh masing-masing pihak yang terlibat di dalam ruang dan proses budaya yang semakin membaur satu sama lain. Agar pemahaman terhadap hibridisasi budaya, hibriditas budaya, dan budaya hibrid tidak semata-mata terjebak ke dalam persoalan hasil, maka pembahasan dalam bab ini akan lebih difokuskan pada usaha untuk memaparkan bermacam pendapat para pemikir dalam persoalan hibriditas. Persoalan dan hibridisasi kultural dalam konteks kolonial, pascakolonial, dan globalisasi akan mendapatkan penekanan lebih, karena kebanyakan pemikir memang mengaitkan persoalan budaya hibrid dengan ketiga proses tersebut. Yang tidak kalah penting untuk dipaparkan adalah landasan perspektif diskursif tentang kritik dan kajian terhadap budaya hibrid beserta proses-proses yang mengikutinya, utamanya dalam perspektif hegemoni Gramscian, wacana Foucauldian, dan
dekonstruksi
Derridean.
Paparan-paparan
yang
ada
diharapkan
mampu
memberikan pemahaman lebih tentang hibridisasi budaya, hibriditas budaya, dan budaya hibrid beserta keluasan implikasi teoretis-kritis yang menyertainya. Menelusuri makna sang hibrid Salah satu dalil penting yang dilontarkan Edward Said dalam kajian-kajiannya, baik dalam Orientalism (1978) maupun Power and Culture (1993) adalah superioritas kuasa Barat yang salah satunya disebarkan melalui hegemoni dan konstruksi diskursif tentang
Timur—berlandaskan
Foucauldian—yang
selalu
pada
dalil
ditundukkan
hegemoni
melalui
Gramscian
stereotipisasi
dan
wacana
pencitraan
dan
penundukan wacana sebagai entitas yang “tidak beradab”, “tidak berpendidikan”, dan “perlu dicerahkan” melalui „proyek pemberadaban‟ bagi bangsa-bangsa Timur, yakni imperialisme. Akibatnya, secara diskursif dan praksis bangsa-bangsa Timur tidak bisa melepaskan dirinya dari imajinasi superioritas Barat yang sedemikian kuatnya berlangsung dalam praktik kolonialisasi dan imperialisasi. Dalil itu pula yang
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
kemudian menjadi titik-berangkat kajian poskolonial dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.1 Dalam Orientalism, Said secara kritis menekankan pentingnya perhatian pada pengaruh politis dan material dari pengetahuan dan institusi pendidikan Barat serta afiliasi mereka terhadap dunia luar. Secara tegas dia menolak pemahaman liberal tradisional yang mengatakan bahwa pengetahuan humaniora terorganisir demi pemenuhan pengetahuan „murni‟ atau „nir-kepentingan‟. Lebih dari itu, dalam pengetahuan sebenarnya terdapat operasi dan teknologi kuasa, karena para ilmuwan maupun seniman adalah subjek yang dipengaruhi oleh afiliasi historis, kultural, dan institusional partikular, yang digerakkan oleh ideologi atau pengetahuan dominan dan kepentingan politik dalam masyarakatnya.2 Sangat wajar kiranya, kalau representasirepresentasi3 yang dihasilkan oleh para ilmuwan maupun para seniman Barat pada masa imperialisme sangat stereotip. Manusia dan peradaban Timur direpresentasikan sebagai Liyan yang kurang beradab, tidak berpendidikan, bermartabat rendah, takhayul,
dan
perlu
dicerahkan.
Sementara
manusia
dan
peradaban
Barat
direpresentasikan sebagai kekuatan superior yang unggul dalam segala aspek kehidupan karena mereka lebih rasional, logis, berpendidikan, dan beradab. Sementara
dalam
Culture
and
Imperialism,
Said
berusaha membongkar
beroperasinya kuasa dalam memposisikan manusia dan kebudayaan di luar mainstream Eropa melalui kerja-kerja kultural—termasuk di dalamnya karya-karya sastra—dalam konteks imperialisme. Di samping membedah karya-karya metropolitan yang dihasilkan oleh sastrawan-sastrawan besar Eropa, Said juga mulai melihat karya-karya non-Eropa sebagai bahan kajiannya, seperti novel Afrika maupun Karibia, sehingga pemikiranpemikirannya lebih beragam bila dibandingkan dengan buku sebelumnya.4 Dalam buku ini, Said juga membuat penekanan terhadap resistensi—lagi-lagi merujuk pada Foucault—yang bisa dimunculkan oleh para pengarang eks-kolonial atau poskolonial. Sehingga, baginya apa yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah moda kritik kultural yang merefleksikan, atau bahkan mengadopsi, hibriditas yang berasal sejarah-sejarah yang saling terkait dari dunia modern dan yang menghindari konsepsi identitas berdasarkan kategori ontologis kaku, baik dalam ras, etnisitas, ataupun identitas nasional.5 Pergeseran pemikiran tersebut mengimplikasikan beberapa hal. Pertama, bahwa memang benar proses hegemoni melalui representasi-representasi kultural yang menekankan superioritas Barat ketimbang Timur, mampu mempengaruhi pola dan praktik kultural bagi bangsa-bangsa terjajah. Kedua, dalam proses hegemoni tersebut selalu muncul ketidakstabilan hegemoni, di mana bangsa terjajah bisa menyerang balik atau meresistensi melalui penguatan budaya nasional mereka. Keempat, bahwa dalam konstruksi budaya nasional bangsa Timur sangat mungkin terjadi hibridisasi kultural dan hibriditas budaya yang mewarnai kehidupan mereka di masa kolonial maupun poskolonial.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Kemampuan
subjek
kolonial—utamanya
si
terjajah
(the
colonized)—dan
pascakolonial untuk melawan ataupun meniru sebagian teks dan praktik kultural penjajah (the colonizer) dan bekas penjajah menjadi perhatian utama dari Hommi K. Bhabha dalam bukunya The Location of Culture (1994). Dengan mengadopsi pemikiranpemikiran pos-strukturalis, Bhabha mencoba untuk memberikan penekanan berbeda tentang masyarakat kolonial dan pascakolonial. Samahalnya dengan Said, dalil-dalil yang dilontarkan oleh Bhabha juga ikut mewarnai keragaman teoretis, perspektik, dan analisis dalam kajian poskolonial berikutnya. Beberapa pemikiran yang memperkuat posisi akademisnya dalam kajian poskolonial antara lain: ruang antara” atau “ruang ketiga”, “peniruan”, “pengejekan” dan “hibriditas”. Dalam ruang antara—di antara kuasa dan budaya kolonial dan tradisi-lokal—subjek kolonial dan poskolonial bisa melakukan praktik-praktik mimikri, pengejekan, dan hibriditas yang menjadi strategis politik dan kedirian mereka di tengah-tengah budaya asing. …peniruan/mimikri kolonial merupakan sebuah hasrat bagi Liyan yang tereformasi, dapat diakui, sebagai subjek perbedaan yang hampir sama, tapi tidak sepenuhnya sama. Dalam artian, bahwa wacana mimikri dikonstruksi di seputar ambivalensi; agar bisa efektif, mimikri harus secara kontinyu menghasilkan keselipan, kelebihan, dan perbedaannya. Otoritas dari moda wacana kolonial yang saya sebut mimikri, dengan demikian, dicapai melalui indeterminasi: mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan yang menjadikannya proses pengingkaran. Mimikri, dengan demikian, merupakan tanda artikulasi ganda; sebuah strategi kompleks perbaikan, regulasi, dan disiplin, yang „menyesuaikan‟ Liyan karena strategi tersebut menampakkan kuasa. Mimikri juga merupakan tanda ketidaksesuaian, di sisi lain, sebuah perbedaan atau perlawanan yang menyatu dengan fungsi strategis dominan dari kuasa kolonial dalam mengintensifkan pengawasan, sehingga menciptakan gangguan imanen, baik bagi pengetahuan yang dinormalkan maupun kuasa disiplin. Pengaruh mimikri terhadap kekuasaan wacana kolonial bersifat dalam dan cukup mengganggu…Dari area antara mimikri dan ejekan (mockery), misi perbaikan dan pemberadaban diganggu dengan menggantikan pandangan dari penggandaan kedisiplinan…Apa yang ada sebenarnya adalah proses diskursif di mana kelebihan atau keselipan yang dihasilkan dari ambivalensi (hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya sama) tidak semata-mata „memecah‟ wacana yang ada, tetapi mentransformasikannya ke dalam ketidakmenentuan yang mengatur subjek kolonial sebagai kehadiran yang „parsial‟. Yang dimaksud parsial adalah baik yang bersifat „tidak lengkap‟ dan „mendekati‟. (Bhabha, 1994: 86).
Dengan pemikiran tersebut, subjek kolonial dan poskolonial sebenarnya juga mampu melakukan strategi resistensi, seperti yang dikatakan Foucault,6 dengan tetap berada dalam lingkaran kuasa, melalui peniruan-peniruan terhadap praktik dan pengetahuan dari penjajah atau yang pernah menjajah untuk mendapatkan pengakuan dalam lingkaran kuasa sekaligus mengejek praktik kuasa yang terjadi. Proses itulah yang disebut sebagai strategis kedirian dan kultural di ruang ketiga atau ruang antara yang kemudian melahirkan “hibriditas”. Hibriditas bukanlah sekedar percampuran dua budaya yang menghasilkan sebuah bentuk budaya baru, baik dalam masa kolonial maupun poskolonial, tetapi sebuah „proyek politik‟ yang bagi penjajah atau yang pernah menjajah bisa digunakan untuk menegaskan kuasanya, dan sebaliknya bagi yang terjajah atau pernah terjajah digunakan untuk mengejek dan sekaligus melawan kuasa tersebut.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Hibriditas merupakan tanda produktivitas kuasa kolonial, pergeserannya memaksa dan menentukan; ia adalah sebutan bagi pembalikan strategis dari proses dominasi melalui pengingkaran (yakni, produksi identitas diskriminatoris yang mengamankan identitas „murni‟ dan orisinil dari kekuasaan). Hibriditas merupakan pemaknaan kembali dari asumsi identitas kolonial melalui repetisi dari efek identitas diskriminatoris. Ia menampakkan deformasi dan penggantian yang penting dari semua situs diskriminasi dan dominasi. Ia tidaklah mengakhiri kebutuhan mimetik atau narsistik dari kuasa kolonial tetapi me-reimplikasi-kan identifikasinya dalam strategi subversi yang merubah pandangan dari „yang terdiskriminasi‟ kembali kepada mata kuasa. Karena hibrid kolonial merupakan artikulasi dari ruang ambivalen di mana ritus kuasa dijalankan pada situs hasrat, sehingga menjadikan objeknya disipliner sekaligus menyebar—transparansi yang negatif…Jika efek kuasa kolonial dilihat sebagai produksi hibridisasi ketimbang perintah langsung dari kekuasaan kolonial atau represi secara diam-diam terhadap tradisi penduduk asli, maka perubahan penting terjadi. Ambivalensi pada sumber dari wacana tradisional tentang kekuasaan memudahkan bentuk subversi, yang dibentuk pada ketidakmampuan memutuskan yang mengubah kondisi diskursif dominasi ke dalam tataran intervensi…Hibriditas memang tidak mempunyai kedalaman atau kebenaran yang bisa diberikan: ia bukanlah terma ketiga yang menyelesaikan tegangan antara dua budaya…dalam permainan dialektis „pengakuan‟. Penggantian simbol menjadi tanda menciptakan krisis bagi semua konsep kekuasaan yang berdasarkan sistem pengakuan: spekularitas kolonial, penulisan ganda, tidak memproduksi cermin yang mana diri melekatkan dirinya; ia selalu berupa layar yang pecah dari diri dan kegandaannya, sang hibrid…Objek hibrid menjaga kemunculan simbol kekuasaan tapi memaknainya kembali dengan melawannya sebagai penanda Enstellung—sesudah intervensi terhadap perbedaan. Adalah kuasa dari metonimi kehadiran untuk benar-benar mengganggu konstruksi sistematik (dan sistemik) dari pengetahuan diskriminatoris di mana budaya sebagai medium kekuasaan tidak bisa secara virtual dikenali…Penampakan hibriditas—„replikasi‟ ganjilnya—menteror kekuasaan dengan tipu daya pengakuan, meniru sekaligus mengejek. (Bhabha, 1994: 112-115)
Dengan pemikiran tersebut, Bhabha ingin menunjukkan bahwa subjek kolonial dan poskolonial sebenarnya mempunyai kemampuan strategis dalam menghadapi hegemoni budaya Barat/penjajah yang menyebar dalam formasi diskursif di ruang kolonial maupun pascakolonial, sehingga mereka mampu memainkan politik untuk tidak sepenuhnya mengikuti budaya tersebut, tetapi juga tidak menolak sepenuhnya. Semua
dilakukan
untuk
kepentingan
mereka.
Jadi,
subjek kolonial maupun
pascakolonial tidak bisa terus dibayangkan sebagai mereka yang tidak bisa keluar dari jejaring dan pengaruh diskursif kolonialisme.7 Dengan bermain-main di ruang antara kebudayaan, mereka bisa melanjutkan tradisi-lokal, sekaligus mengambil dari yang Barat, tetapi tidak sepenuhnya. Ini adalah bentuk politik kesadaran untuk tidak menolak yang Barat tetapi tidak juga melupakan yang lokal. Dengan kesadaran hibrid inilah kedirian dan budaya masyarakat lokal akan terus berlanjut dalam konteks zaman yang selalu bertransformasi, sekaligus untuk melakukan resistensi terhadap pengaruh-pengaruh budaya luar. Bhabha, lebih jauh lagi, mengelaborasi pemikirannya tentang hibridisasi kultural dan fungsinya sebagai strategi dan alat perjuangan kultural, baik bagi bangsa terjajah maupun pascakolonial—terutama untuk melawan pengaruh-pengaruh politis yang dihasilkan melalui formasi diskursif budaya asing—sebagai berikut:
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Anda tidak bisa memahami hubungan antara penjajah dan terjajah, yang hidup dalam sebuah kedekatan selama ratusan tahun, yang harus melakukan dialog dalam ketidaksaamaa, tanpa memahami bahwa si terjajah haruslah bersikap ambivalen dalam berhubungan dengan penjajah. Dan para penjajah merasa penting melalui keseluruhan proses kolonialisasi untuk juga bersikap ambivalen. Keseluruhan sejarah kolonialisasi adalah tentang antagonisme dan ambivalensi. Mudah kiranya untuk mendukung beberapa jenis moralisme politik yang reduktif, beberapa jenis dalil simplisistik tentang kemerdekaan dan emansipasi. Kemerdekaan merupakan sesuatu yang amat sulit. Dan, ia hanya ketika berada dalam kondisi tertekan Anda akan memahami cara untuk bertahan, dan cara Anda untuk bertahan adalah berfungsi di dalam dan melalui ambivalensi atau melalui hibridisasi budayamu. Orang-orang yang menjajah rakyat, di mana kepada mereka beragam budaya dipaksakan, yang kemudian menjadi bagian dari repertoar budaya mereka, tidak secara pasti memberi pilihan: Apakah kamu ingin budayamu terhibridasikan? Tidak setiap budaya itu sendiri tidak terhibridasi. Mereka adalah serangkaian hibridisasi lateral, jika tidak, vertikal maupun hirarkial. Namun, di sisi lain, terdapat penguatan kembali otentisitas kultural. Anda tahu, inilah budayaku, dan ini telah diambil dari saya dan saya ingin ia kembali, sebuah gerakan yang cukup bagus. Namun, Anda tidak bisa memahami mengapa permintaan untuk essensialisme atau otentisitas kultural, yang Anda bisa memahaminya dalam beberapa konteks, mengapa hal itu terjadi jika Anda tidak memahami ambivalensi dan pertarungan di seputar kekuatan budaya. Hibridisasi bukan hanya tentang percampuran budaya-budaya. Hibridisasi merupakan perjuangan untuk memperkuat budaya atau memperlemahnya.8
Tentu saja kedekatan dengan budaya lain dalam pemikiran Bhabha tidak hanya berlaku pada masa kolonial, tetapi juga poskolonial yang diwarnai dengan globalisasi. Budaya global yang banyak dipenuhi oleh struktur budaya Barat menjadi sebuah rezim kebenaran baru yang setiap saat dinikmati oleh masyarakat pascakolonial. Meskipun tidak sama dengan pola kolonialisasi, namun pengaruh budaya Barat bisa disejajarkan dengan imperialisme kultural yang sedikit demi sedikit menggeser popularitas budaya lokal. Dalam kondisi itulah, subjek poskolonial „bertingkah‟ dengan melakukan pembacaan dan peniruan di ruang poskolonial untuk kemudian menciptakan produk budaya hibrid. Bagi beberapa pemikir lain yang ikut mengelaborasi dalil hibriditas Bhabha, hibriditas menandakan adanya keberlangsungan kreativitas dalam dinamika aspek kebudayaan. Clothier (2006: 19-21) menjelaskan hibriditas kultural sebagai produk kultural di ruang ketiga yang unik dan kas dan bukan sekedar percampuran antara dua budaya atau lebih, tetapi bisa menjadi: (1) kritik terhadap dalil otentisitas budaya; (2) tanda dinamika budaya, di mana batas-batas kultural melebur dan saling melampaui dalam ruang ketiga; (3) bentuk kreativitas kultural yang selalu berkembang melampaui batas-batas yang ada di antara budaya-budaya yang ada; dan (4) bentuk otentisitas baru dari sebuah budaya masyarakat. Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa hibridisasi kultural merupakan proses panjang dari sejarah kemanusian dan kebudayaan yang tidak hanya terjadi sekarang. Hibridisasi kultural, pada kenyataannya, merupakan proses kultural yang berusia sangat tua dan terus berkembang hingga saat ini. Pieterse (2001: 222) menjelaskan:
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Hibridisasi sebagai sebuah proses memang setua sejarah itu sendiri, tetapi percepatan percampuran semakin pesat dan bidangnya meluas dalam kebangkitan perubahanperubahan struktural, seperti teknologi-teknologi baru yang memudahkan fase baru dari kontak interkultural. Globalisasi kontemporer yang semakin cepat merupakan contoh dari fase tersebut. Ranah baru utama dari percampuran-percampuran baru yang muncul adalah kelas-kelas menengah dengan praktik sosio-kultural yang muncul dalam konteks migrasi dan diaspora serta modernitas baru dari „pasar yang muncul‟. Selama hampir dua dekade rata-rata pertumbuhan ekonomi Macan Asia dan pasar-pasar lain yang muncul berlipat ganda setinggi negara-negara Barat. Hal itu bergantung pada aplikasi besarbesaran dari teknologi baru dan munculnya moral sosial dan pola konsumsi baru. Itu semua, secara tipikal, merupakan budaya penggabungan yang menggabungkan teknologi baru dengan praktik sosial dan nilai-nilai kultural yang eksis.
Hibridisasi memang sebuah keniscayaan yang terjadi dalam masyarakat dan mampu melintasi ruang dan waktu. Pieterse (2001: 223), lebih jauh lagi, secara historis menjelaskan ranah-ranah yang menyuburkan perkembangan wacana hibridisasi. Pertama, terma hibriditas berawal dalam pastoralisme, pertanian, dan hortikultura. Hibridisasi merujuk pada pengembangan kombinasi baru dengan menyilangkan satu tanaman atau buah dengan yang lain. Kedua, hibridisasi dalam hal genetika. Ketika keyakinan dalam „ras‟ memainkan bagian dominan, percampuran genetis dan „percampuran ras‟ menjadi dalil yang begitu terkenal. Ketiga, hibriditas merujuk pada kombinasi dari binatang-binatang yang berbeda, dan juga merujuk pada cyborg (cybernetics organism/organisme sibernetik), kombinasi dari manusia atau binatang dengan teknologi (hewan piaraan diberi chip untuk identifikasi, sebuah rekayasa biogenetik). Keempat, hibriditas kemudian memasuki ranah pengetahuan sosial via antropologi religi, melalui tema sinkretisme. Kelima, bahasa-bahasa kreol dan kreolisasi dalam linguistik merupakan bidang lanjutan yang menjadikan titik perhatian pengetahuan sosial. Keenam, yang berkembang sekarang adalah hibridisasi kultural. Ketujuh, perkembangan yang lain juga terkait dengan hibridisasi institusional, termasuk pemerintahan. Kedelapan, hibridisasi organisasional dan pengaruh-pengaruh kultural yang beragam dalam hal teknik manajemen. Kesembilan, interdisiplineritas dalam ilmu pengetahuan menjadi bentuk hibrid baru semisal ekonomi ekologi. Kesepuluh, menu menjadi semacam monumen bagi hibriditas kultural. Kesepuluh, yang paling umum dalam hibriditas adalah identitas, perilaku konsumen, gaya hidup, dan lain-lain. Membicarakan hibridisasi dengan segala potensi kritis, strategis, maupun politis yang menyertainya tentu tidak bisa dilepaskan dari jejak-jejak historis yang menyertainya, meskipun titik-tekannya tetap pada kondisi dan praktik yang terjadi pada masa kini. Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, hibridisasi kultural bisa didefinisikan sebagai sebuah proses kultural yang ditandai dengan usaha-usaha untuk memadukan dua budaya atau lebih ke dalam sebuah bentuk budaya yang tetap bersandar pada budaya lokal tetapi tidak sepenuhnya, mengambil yang asing tetapi juga tidak sepenuhnya. Sedangkan hibriditas kultural merupakan sebuah realitas dari produksi budaya yang mengambil beberapa unsur dari dua atau lebih budaya yang bisa menciptakan bentuk baru atau memperbarui budaya yang sudah ada. Akibatnya,
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
budaya hibrid yang dihasilkan bisa jadi kehilangan sebagian unsur keasliannya dan ditambah unsur baru. Namun, apa yang lebih penting adalah bahwa menjadi sang hibrid adalah bukan sekedar percampuran, tetapi sebuah perjuangan untuk terus menegosiasikan gagasan dan praktik kultural dengan mengartikulasikan lokalitas dan globalitas dalam ruang ketiga demi kepentingan politis budaya lokal. Dengan memahami hibridisasi kultural dengan produk-produk hibrid yang dihasilkannya, realitas dan pertarungan kultural dalam masyarakat kontemporer lebih bisa dimaknai kembali, dikaji ulang, dan diceritakan ulang, sehingga kajian sosial dan humaniora tidak terus terjebak pada pemikiran esesnsialisme budaya. Sang hibrid yang melawan esensialisme (identitas) kultural Pemahaman terhadap hibriditas budaya yang menghasilkan campuraduk kultural dengan kepentingan dan potensi strategis yang menyertainya, menghadirkan kritik tajam terhadap pemikiran esensialisme kultural. Secara sederhana, esensialisme kultural merupakan pandangan yang memposisikan teks, praktik, dan identitas kultural sebuah komunitas atau masyarakat selalu bersifat stabil, inherent, dan tidak akan banyak berubah. Dougan (2003: 33) mengungkapkan beberapa karakteristik dari esensialisme kultural, yakni: (1) menganggap adanya sebuah inti dari unsur-unsur sebuah budaya yang penting bagi eksistensi bdaya tersebut; (2) bersifat ahistoris dan tak berkesudahan; (3) berusaha menstabilkan identitas kultural yang sebenarnya tidak stabil dan menyederhanakan asal-usul yang menyatu dari pengalaman hidup; dan (4) menyediakan batasan-batasan yang permanen, jelas, dan mendalam bagi pembedaanpembedaan sosial, di mana batasan-batasan itu akan menjadi alat untuk menghormati dan menyalahkan, distribusi nilai harga dan keuntungan, regulasi masyarakat, dan mobilisasi pelaku bagi aksi kolektif. Akibatnya, esensialisme dan batasan-batasan mendalam mampu menjadi instrumen bagi dua gerakan besar dalam kolonialisme, yakni
penaklukan
dan
perjuangan
melawan
penaklukan.
Artinya,
penjajah
menggunakan esensialisme kultural dari calon terjajah, seperti bodoh, tidak beradab, tidak berpendidikan, mitis, takhayul, dan lain-lain untuk memberikan kuasa legal bagi praktik kolonialime yang akan dijalankan atas nama pencerahan. Sementara kaum terjajah menggunakan esensialisme kultural yang melekat pada masyarakatnya untuk bisa membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah. Esensialisme kultural juga seringkali digunakan kelompok etnis, agama, ataupun ras tertentu untuk melakukan politik identitas (identity politics) yang terkadang tidak digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap budaya yang ada, tetapi lebih sering digunakan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi maupun politik tertentu. Gimenez (2006: 431-432) menegaskan:
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Politik identitas, sebagai ideologi dan praktik, mengaburkan persoalan lokasi kelas sebagai sumber pengalaman dan permasalahan bersama, membuka dan menutup kesempatankesempatan edukasional, sosial, dan ekonomi. Komonalitas tersebut mentransendenkan perbedaan rasial, etnik, dan kultural serta bisa menjadi basis bagi mobilisasi dan pengorganisasian kolektif dalam setting yang beragam, seperti ketetenggaan, sekolah, komuniti, dan tempat kerja. Memang, politik identitas menjadikan orang dari dengan perbedaan historis, keturunan, dan budaya mengalami komonalitas berbasis kelas dari perspektif yang berbeda, namun kondisi material dan kebutuhannya tidak pernah serupa. Sebagai contoh, minoritas etnik dan rasial kelas pekerja, khususnya dari strata miskin, membutuhkan pelatihan kerja, pekerjaan layak, rumah terjangkau, perawatan kesehatan, dan lain-lain. Karena politik identitas tidak pernah berdasarkan pada kondisi-kondisi struktural yang menghasilkan kepentingan objektif, seperti kelas, ia bisa menjadi senjata ideologis bagi semua kepentingan politik: menggiring orang dengan kesamaan kepentingan untuk melawan yang lain, mengaburkan kondisi-kondisi bagi kerjasama dan penerimaan potensial bagi kekuatan politik. Dan, bisa digunakan kelas dominan dan identitas dominan untuk mengklaim opresi dan eksklusi dengan kebijakan-kebijakan dini yang ditujukan untuk menata kembali pengaruh dari ketidaksamaan, melalui klaim “diskriminasi berbalik” dan “pembenaran politik”.
Esensialisme identitas kultural, dengan demikian, bisa menjadi senjata untuk kepentingan-kepentingan politis partikular dengan mengatasnamakan kepentingan bersama. Penggunaan atribut-atribut kultural yang diasumsikan sebagai ciri khas komunitas tertentu, bisa menjadi senjata politis efektif karena anggota komunitas tersebut juga memiliki kedekatan satu sama lain melalui kesamaan identitas kultural. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kesamaan identitas kultural, tetapi ketika kesamaan tersebut lebih dimaknai dalam kepentingan politis, esensialisme kultural hanya menjadi topeng pihak-pihak tertentu untuk berkuasa dan tetap menjadi dominan dalam masyarakat. Esensialisme kultural yang selalu membayangkan adanya kemurnian, pada kenyataannya, memang sangat sulit untuk diwujudkan meskipun beberapa pihak politis berusaha untuk mempolitisirnya. Perkembangan masyarakat yang banyak dipengaruhi proses-proses sosial, seperti kolonialisasi, migrasi, dan globalisasi, telah menjadikan bertemunya banyak identitas kultural dan menghasilkan perdebatan teoretis. Di dalam proses interaksi dan komunikasi tentu memunculkan wacana-wacana dan tanda-tanda kultural baru yang kemudian bisa menjadi medan diskursif bagi pembentukan kedirian kultural masing-masing mereka yang terlibat. Pertanyaan tentang identitas kultural, kemudian, tidak bisa semata-mata dibicarakan dari identitas kultural awal yang diposisikan sebagai esensi dari subjek. Hall secara kritis menjelaskan bahwa identitas haruslah dikonseptualisasikan sebagai hubungan di antara subjek-subjek dan praktikpraktik diskursif yang lebih luas (dikutip Durham, 2004: 141). Senada dengan Hall, Clifford (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321) dengan panjang lebar memaparkan betapa sulitnya menemukan kemurnian kultural seperti yang dibayangkan oleh esensialisme kultural. Seorang sejarahwan intelektual dari tahun 2010, jikalau saja seseorang bisa berimajinasi, bisa melihat kembali 2/3 pertama dari abad kita (semisal abad ke-20) dan mengamati bahwa abad ini merupakan masa ketika kaum intelektual Barat terobsesi dengan dasardasar makna dan identitas yang mereka sebut „budaya‟ dan „bahasa‟ (kebanyakan cara kita
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
saat ini melihat abad ke-19 dan mempersepsikan adanya titik tekan problematik terhadap „sejarah‟ dan „kemajuan‟ evolusioner). Saya pikir kita sedang melihat tanda-tanda bahwa keutamaan-keutamaan yang diberikan bahasa natural dan juga budaya natural mulai memudar. Objek-objek dan dasar-dasar epistemologis tersebut sekarang muncul sebagai konstruk-konstruk, menjelma fiksi-fiksi, yang memuat dan mendomestikasi heteroglosia. Dalam sebuah jagat di mana terlalu banyak suara yang berbicara secara bersamaan, sebuah jagat di mana sinkretisme penemuan parodik menjadi aturan, tidak terkecuali, sebuah jagat urban, multinasional dari transpengetahuan institusional—di mana pakaian Amerika yang dibuat di Korea dipakai oleh anak muda Rusia, di mana akar setiap orang pada setiap tingkatan terpotong. Dalam jagat yang seperti itu, sangatlah sulit untuk melekatkan makna dan identitas manusia pada „budaya‟ dan „bahasa‟ yang koheren.
Masih dalam pemikiran senada, Waldron (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321) menjabarkan: Kita hidup dalam jagat yang dibentuk oleh teknologi dan perdagangan; oleh imperilaisme agama, ekonomi, dan politis serta turunan-turunannya; oleh migrasi massa dan penyebaran pengaruh kultural. Dalam konteks tersebut, mengikatkan seseorang dalam praktik-praktik tradisional…bisa menjadi eksperimen antropologis yang menyenangkan, namun hal itu melibatkan pengalihan artifisial dari apa-apa yang sebenarnya terjadi di jagat ini. Bahwa itu semua bersifat artifisial dibuktikan oleh fakta bahwa keterikatan seringkali mensyaratkan subsidisasi khusus dan kondisi ekstraordiner bagi mereka yang hidup dalam jagat dimana budaya dan praktik tidak bergerak dari satu sama lain…Dari sudut pandang kosmopolitan, keterikatan pada tradisi komunitas partikular dalam jagat modern sepertihalnya hidup di Disneyland dan berpikir bahwa lingkungan sekitar seseorang mewujudkan apa-apa yang dibutuhkan budaya untuk eksis. Masih lebih buruk lagi, hal itu sepertihalnya membutuhkan dana untuk hidup di Disneyland, sementara masih mengatur untuk meyakinkan diri seseorang bahwa apa yang terjadi di dalam Disneyland adalah segalanya yang ada hanyalah untuk hidup yang mandiri.
Dua pemikiran di atas bertemu dalam benang merah yang mengganggap saat ini sangat sulit untuk menemukan akar, identitas, dan makna kultural yang bersifat esensial dalam masyarakat atau komunitas tertentu. Kekuatan akar kultural yang dulunya melekat pada jatidiri komunitas tertentu dan diaplikasikan melalui ritual dan tradisi, dari hari ke hari semakin banyak yang pudar atau bertransformasi ke dalam hibriditas yang tidak bisa dielakkan. Esensialisme
budaya,
kemudian,
mendapat
kritik
tajam
dari
kalangan
konstruktivisme (constructivism) yang memaknai budaya sebagai (1) narasi wacana; (2) proses; dan (3) identitas.9 Sementara para pemikir realisme kritis (critical realism) memberikan pemikiran-pemikiran yang sekaligus mengkritisi essensialisme dan konstruktivisme dengan menekankan bahwa (1) semua konsep dan teori adalah konstruksi sosial, termasuk pengetahuan saintifik, dan secara historis dan sosial mewujud, tetapi tetap memandang adanya struktur; (2) struktur—baik secara natural maupun sosial—bisa berubah karena proses interaksi dan relasi antarmanusia, termasuk budaya yang juga mempunyai struktur; (3) struktur tidak perlu digambarkan sebagai esensi dan budaya tidaklah eksis a priori, sehingga masyarakat tidak perlu didefinisikan secara ontologis sebelum mereka dideskripsikan ketika mengerjakan sesuatu, untuk kemudian menganalisis bagaimana budaya menstrukturasikan praktik; dan
(4)
penolakan
terhadap
kapasitas
kausal
budaya
(atau
bahasa)
untuk
menstrukturkan praktik kultural (atau tindak tutur) merupakan reaksi berlebihan
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
terhadap determinisme kultural atau linguistik, sehingga kita tetap butuh struktur dan kompetensi bagi aktivitas transformasional.10 Baik pemikiran konstruktivisme dan realisme kritis sebenarnya menekankan adanya sebuah proses kultural yang tidak bisa lagi diterjemahkan sebagai sebuah kekakuan, tetapi sebuah proses yang sangat cair. Identitas kultural adalah sebuah situs pertarungan di mana representasi-representasi yang dipengaruhi oleh bermacam wacana dominan dalam masyarakat dimunculkan oleh subjek-subjek sosial, sesuai dengan tempat, ruang, dan waktu partikular. Memang identitas kultural bawaan sangat mungkin tetap
eksis dalam
praktik
sehari-hari masyarakat,
meskipun tidak
sepenuhnya. Namun, negosiasi citra, praktik, nilai, dan bentuk budaya lain bisa merekonstruksi kedirian dan identitas kultural subjek-subjek dalam masyarakat melalui artikulasi11 yang mereka lakukan. Inilah yang menjadikan formasi diskursif tentang hibriditas budaya berkembang pesat dalam masyarakat kontemporer karena terma tersebut mampu menjangkau dan menggambarkan serta lebih menjanjikan dalam membicarakan realitas identitas kultural dan budaya terkini.12 Hibriditas lanjut: Poskolonialisasi dan globalisasi Sebagaimana dijelaskan oleh Bhabha, bahwa pada masa kolonial yang seringkali dipenuhi dengan praktik dan formasi diskursif dengan penekanan superioritas penjajah, subjek terjajah, nyatanya, mampu melakukan pembacaan dan taktik strategis untuk mengatasi problem kedirian dengan melakukan mimikri, pengejekan, dan hibriditas di ruang ketiga. Kondisi tersebut, sampai dengan masa pascakolonial juga tetap berlangsung,
baik
pada
awal-awal
pascakemerdekaan
maupun
pada
masa
perkembangan lanjut dari sebuah bangsa dan negara. Pada masa poskolonial, ketika kuasa administratif dan definitif dari penjajah sudah tidak berlangsung lagi di tanah bekas jajajan mereka, bermacam situs pertarungan kultural, ideologis, yuridis, ekonomi, sosial, maupun politik masih saja berlangsung dan seringkali bisa dilihat adanya pengaruh diskursif dari bangsa asing/bekas penjajah. Pengaruh diskursif tersebut bisa saja disepakati sebagai proses yang natural dengan mengimpikan teks dan praktik kultural bangsa bekas penjajah sebagai sebuah kebenaran yang selayaknya diikuti oleh bangsa eks-terjajah ataupun dilawan dengan beragam strategis, siasat, dan taktik, baik dalam ranah budaya, ekonomi, hukum, religi, ekonomi, sosial, maupun politik. Keluasan ragam teks dan praktik bangsa pascakolonial itulah yang menjadi ranah kajian poskolonial dewasa ini. Aschroft, dkk (1995: 2): Terma poskolonial berkembang luas dengan disertai ambiguitas dan kompleksitas dari banyak pengalaman pengalaman budaya berbeda yang ia implikasikan…ia diarahkan pada semua aspek dari proses kolonial dari awal kontak kolonial. Kritik dan teori poskolonial harus menimbang implikasi menyeluruh dari pembatasan makna „setelah-kolonialisme‟ atau setelah-kemerdekaan. Semua masyarakat poskolonial masihlah menjadi subjek dalam satu cara atau cara lain bagi bentuk yang tak kentara atau menipu dari dominasi neokolonial, sehingga kemerdekaan tidak bisa serta-merta menyelesaikan masalah tersebut. Perkembangan elit-elit baru di dalam masyarakat merdeka, seringkali didukung oleh institusi-institusi neo-kolonial; perkembangan pembagian internal berdasarkan
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
diskriminasi rasial, linguistik, atau religius; keberlanjutan perlakuan yang tidak sama terhadap masyarakat pribumi dalam masyarakat masyarakat pendatang atau penginvasi—semua persoalan tersebut membuktikan fakta bahwa poskolonialisme merupakan proses berlanjut dari resistensi dan rekonstruksi. Hal tersebut tidak mengimplikasikan bahwa praktik-praktik poskolonial bersifat mandeg dan homogen, tetapi mengindikasikan ketidakmungkinan untuk semata-mata memahami berbagai bagian dari proses kolonial tanpa menimbang para pendahulu (apa-apa yang terjadi pada masa kolonial, pen) dan konsekuensinya.
Pemikiran di atas, paling tidak menghadirkan beberapa pemahaman tentang kajian poskolonial. Pertama, istilah poskolonial bukan semata-mata dipahami sebagai proses keterjajahan sebuah bangsa selama masa kolonial, tetapi bisa jadi berlanjut hingga masa setelah kemerdekaan: terjajah dan pernah terjajah. Kedua, untuk memahami kondisi masyarakat poskolonial, seorang peneliti juga harus mempunyai pengetahuan tentang proses kolonialisasi yang terjadi pada masa kolonial sebuah bangsa atau masyarakat. Artinya terdapat “proses kontinyu” dari wacana dan praktik yang ada pada masa kolonial hingga saat ini yang diwarnai dengan rekonstruksi dan resistensi. Rekonstruksi dimaksudkan sebagai proses kolonial yang masih berlangsung setelah kemerdekaan yang berasal dri kuasa diskursif wacana, pengetahuan, dan praktik yang pernah terjadi dalam masa kolonial dan berlanjut hingga saat ini serta mempengaruhi proses dan praktik sosio-kultural yang ada. Sementara resistensi berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan perlawanan terhadap kuasa diskursif tersebut. Hal itulah yang menjadikan kajian poskolonial tidak terjebak dalam satu fokus, tetapi sangat beragam, dari migrasi, perbudakan, pemaksaan, resistensi, representasi, perbedaan, ras, gender, lokasi, serta respons terhadap wacana tuan dari imperial Eropa seperti sejarah, filsafat, dan linguistik. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Faruk (2007: 14-15) mengelaborasi beberapa perspektif teoretis yang bisa digunakan untuk membaca masyarakat pascakolonial. Pertama, teori poskolonial merupakan sekumpulan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan (kesusastraan, politik, sejarah, dan lain-lain) dari koloni-koloni negera-negara Eropa dan hubungan negara-negara itu dengan belahan dunia sisannya, dengan asumsi: (1) mempertanyakan efek negatif dari apa yang justru dianggap bermanfaat oleh kekuasaan imperial, semisal pernyataan mengenai hadiah peradaban, warisa sastra Inggris, dan sebagainya; (2) mengangkat isu-isu seperti rasisme dan eksploitasi; dan, (3) mempersoalkan posisi subjek kolonial dan pascakolonial. Kedua, teori poskolonial berusaha untuk melihat efek penjajahan yang masih berlangsung hingga saat ini serta kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk neokolonialisme (internal maupun global) dan juga respons resistensi atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah terhadap kuasa penjajahan dengan tetap memperhatikan adanya ambivalensi atau ambiguitas. Pemahaman teoretis tersebut mengisyaratkan adanya kata kunci dari penjajahan dan segala tindakannya, mengikuti pemikiran Foucauldian, yakni efek kuasa diskursif dari wacana dan pengetahuan penjajah ke dalam kebudayaan—dalam artian wacana, pikiran, nilai, orientasi, dan tindakan—bangsa terjajah atau pernah terjajah: di masa lalu dan masa
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
kini. Bagi bangsa yang terjajah dan pernah terjajah, kondisi itu memunculkan kecenderungan untuk menjadi subjek pascakolonial yang melakoni bentuk, wacana, dan pengetahuan terkait dengan kebudayaan penjajah atau memungkinkan juga mereka bersifat resisten dalam bentuk ambivalensi peniruan. Hibridisasi kultural jelas-jelas terjadi dalam konteks masyarakat pascakolonial. Mereka yang baru saja bangkit untuk mengisi kemerdekaan tentu memerlukan modelmodel ideal dalam membangun kebangsaan yang akan menopang keberlanjutan kehidupan bernegara. Maka, model-model ideal dalam hal pemerintah, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya yang pernah dipraktikkan bangsa penjajah di tanah jajahan ataupun praktik-praktik lanjut di negara mereka. Memang, slogan-slogan bombastis seperti “budaya nasional” bisa menjadi usaha untuk menjelaskan, menjustifikasi, dan memunculkan kesadaran bagi masyarakat pascakolonial untuk mengembangkan eksistensinya. Bagi Fanon (1995: 153-157) budaya nasional memang bisa memancing dan memperkuat munculnya kesadaran nasional, tetapi juga bisa menghadirkan kembali proses retrogresi, kembalinya konservatisme tradisional, ketika kekuatan-kekuatan politik yang ada di negara pascakolonial kembali pada konsep kesukuan dalam membangun kesadaran politik dan budaya bangsanya. Kondisi ini merupakan ketidakmampuan kelas elit nasional dalam merasionalisasikan tindakan populer, atau ketidakmampun untuk memberikan alasan bagi tindakan tersebut. Kelemahan tradisional bukan hanya sebagai akibat dari mutilasi pihak terjajah oleh rezim kolonial. Lebih dari itu, hal itu merupakan akibat kemalasan kelas elit nasional, terutama dalam hal kemiskinan spiritual dan kecenderungan kosmopolitan sehingga tidak bisa menciptakan strategi nasional yang mampu memperkuat kesadaran nasional melalui penyadaran kultural. Karena sulitnya sosialisasi diskursif budaya nasional, maka sangat wajar ketika hibridisasi menciptakan hibriditas kultural dan budaya hibrid yang berlangsung dari level elit negara hingga masyarakat bawah. Kenyataannya, masyarakat pascakolonial memang masih berusaha menjalankan budaya tradisi sebagai situs negosiasi identitas kultural sekaligus untuk menumbuhkan patriotisme dan nasionalisme, namun mereka juga dengan rajin pula mengenakan pakaian-pakaian yang mengikuti mode-mode Eropa maupun Amerika maupun memainkan atau mendengarkan musik Barat. Hibriditas kultural tersebut menandakan sebuah proses antara: menjejakkan kaki di negerinya, memimpikan sesuatu yang ideal dari Barat sebagai penanda bentuk kemajuan peradaban. Dengan menjadi sang hibrid, mereka membayangkan diri mereka sebagai bagian dari praktik budaya yang berlangsung di negara-negara Barat. Inilah wacana dan praktik kosmopolitanisme13 yang menghinggapi masyarakat pascakolonial. Masyarakat
pascakolonial
yang
masih
saja
melakukan
pembayangan-
pembayangan ideal terhadap negara Barat, semakin dimanjakan oleh representasi kultural dan pemikiran dari media, film, televisi, dan produk-produk industri budaya lainnya yang semakin deras masuk di tengah-tengah era globalisasi. Memang beberapa
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
tesis tentang globalisasi lebih memfokuskan pada proses homogenisasi kultural bagi masyarakat negara-negara di Dunia Ketiga atau masyarakat pascakolonial karena logika kekuatan modal dan kekuatan produksi industri budaya yang digerakkan dari negara-negara maju dengan Amerika Serikat sebagai pusatnya, sehingga imperalisme atau neokolonialisasi kultural kembali berlangsung di negara-negara pascakolonial (Kien, 2004; Gills, 2002; Banerjee, 2002; dan, Sparks, 2007). Sementara, beberapa tesis lain menyatakan bahwa globalisasi merupakan proses dinamis dimana masyarakat lokal mampu menegosiasikan keragaman kultural sembari mengartikulasikan budaya Barat/global dalam konteks lokalitas masing-masing yang kemudian menghadirkan glokalisasi dan lokalisasi dengan produk budaya glokalnya (Appandurai, 2001; Schuerkens, 2003; Giulianotti and Robertson, 2007; Edwars, 2002; dan, Holton, 2002). Dalam konteks globalisasi, sebagaimana dijelaskan Giulianotti dan Robertson (2007), masyarakat lokal di negara-negara poskolonial sebenarnya mempunyai kemampuan kreatif untuk melakukan negosiasi dan artikulasi terhadap masuknya budaya global bernuansa Barat untuk kepentingan lokalitas masing-masing. Proses inilah yang kemudian dinamakan glokalisasi. Menurut mereka, terdapat empat proyek dalam glokalisasi. Pertama, “relativisasi” yang menandakan kemampuan masyarakat lokal dalam mempertahankan institusi, praktik, dan makna kultural di dalam sebuah lingkungan baru, sehingga menunjukkan komitmen untuk berbeda dengan budaya induk, dalam hal ini budaya Barat. Kedua, “akomodasi” di mana masyarakat lokal secara pragmatis menyerap praktik, institusi, dan makna kultural dari masyarakat lain, demi tetap melestarikan elemen-elemen kunci dari budaya lokal yang ada. Ketiga, “hibridisasi” yang menunjukkan kemampuan masyarakat lokal untuk mensitesakan budaya lokal dan budaya lain untuk menghasilkan praktik, institusi, dan makna kultural hibrid yang berbeda. Keempat, “transformasi” yang menggambarkan keputusan masyarakat lokal untuk lebih memilih untuk menjalani praktik, institusi, dan makna kultural yang berasal dari budaya lain, sehingga menghasilkan budaya yang sama sekali baru yang sekaligus sebagai bentuk penolakan terhadap budaya lokal. Memang, keempat proyek glokalisasi tersebut bisa saja terjadi pada masyarakat lokal
dengan
kecenderungannya
masing-masing.
Namun
demikian,
hibridisasi
kulturallah yang paling banyak mengisi ruang lokalitas masyarakat. Masyarakat lokal sebenarnya ingin tetap menjalankan dan melangsungkan praktik budaya lokal yang mereka warisi dari leluhur, namun mereka juga tidak bisa menolak sepenuhnya kehadiran budaya global yang dari hari ke hari semakin beragam, menarik, dan dinamis. Realitas hibriditas kultural tersebut bisa dilihat dalam bermacam ranah budaya, dari industri budaya/kreatif, pakaian, hingga kesenian tradisi-lokal. Musik industrial di negara-negara poskolonial, misalnya, beraroma sangat hibrid dan berusaha meniru atau memasukkan unsur-unsur musik Barat ke dalam produk musik nasional mereka. Kaum muda semakin mengidolakan penyanyi maupun grup band dari Amerika. Program-program televisi lebih banyak meniru program dari Barat, dari sinetron, kuis,
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
hingga reality show. Pakaian yang dikenakan sehari-hari sangat Western-minded, meskipun diproduksi di dalam negeri. Kesenian tradisi-lokal seperti wayang kulit, jaranan, maupun campursari, mulai memasukkan unsur-unsur musik (modern) ke dalam pertunjukan mereka. Dalam ranah budaya akademis kondisi serupa juga terjadi. Banyak dosen ataupun mahasiswa yang berhasrat untuk menempuh kuliah di luar negeri, baik untuk gelar S1, S2, maupun S3, dengan alasan memperoleh pendidikan yang lebih baik dan untuk bisa merasakan atmosfer akademis di negara-negara dengan tingkat pendidikan yang lebih maju. Sekali lagi, ini adalah hasil dari proses globalisasi, terutama yang dibawa oleh media dan industri kreatif lainnya—dari televisi hingga internet—yang menawarkan banyak „nilai-nilai pencerahan‟ bagi masyarakat lokal. Politik sang hibrid Sebagai sebuah realitas kultural, masyarakat pascakolonial di era globalisasi memang tidak mungkin kembali ke dalam kehidupan purba, ketika teknologi aksara dan mesin belum muncul, ketika teknologi lisan masih menjadi raja bagi kehidupan budaya. Mereka adalah masyarakat yang setiap hari mendapatkan dan menikmati produk-produk budaya global dalam aktivitas sosio-kultural, di samping keinginan untuk tetap menjalankan budaya lokal mereka. Ketika mereka menjalani kehidupan sebagai sang hibrid, sangat mungkin muncul operasi kuasa dan potensi politik, baik yang sadari atau tidak. Operasi kuasa di balik sang hibrid bisa jadi digunakan pihak Barat untuk terus menanamkan pengaruh diskursif kultural mereka ke dalam kehidupan kultural masyarakat lokal, melalui hegemoni yang tidak kentara sebagai kuasa karena ada kesepakatan-kesepakatan dari pihak lokal untuk menganggap dan memposisikannya sebagai rezim kebenaran. Meskipun masyarakat lokal masih mampu menegosiasikan gagasan dan praktik kultural mereka, namun sebagian praktik tersebut sudah dipengaruhi oleh produk-produk budaya global yang sangat Barat. Di sisi lain, dengan menjadi sang hibrid, masyarakat lokal sangat mungkin bisa melakukan politik untuk terus menegosiasikan gagasan, praktik, dan makna kultural mereka di tengahtengah budaya global, meskipun akan kehilangan sebagian dari budaya yang ada. Dengan demikian mereka akan terus bisa berkontestasi di ruang antara sebagai strategi survival, di mana budaya global tidak bisa sepenuhnya menaklukkan mereka karena keliatan strategi hibrid yang dijalankan. Hibriditas budaya dan operasi kuasa menuju hegemoni Salah satu kekhawatiran besar akibat membanjirnya produk-produk Barat melalui mesin ekonomi dan perdagangan yang dibawa globalisasi adalah semakin kuatnya pengaruh diskursif budaya Barat ke dalam kehidupan masyarakat lokal. Budaya lokal dibayangkan akan semakin tergerus akibat masyarakat lebih memilih dan menyukai budaya Barat dan turunan-turunannya dalam konteks nasional yang bersifat lebih dinamis dan modern. Hal itu diperparah dengan ketidakberpihakan aparat birokrat
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
dalam membela kepentingan dan eksistensi budaya lokal. Setali dua uang, birokrat dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, membuka pintu selebar-lebarnya bagi investasi asing, termasuk produk-produk industri budaya ke ruang lokal. Akibatnya, masyarakat lokal, dari hari ke hari, semakin terbiasa dengan produk-produk budaya beraroma asing. Ada anggapan bahwa kondisi itulah yang menyebabkan mundurnya atau semakin tersisihnya keragaman budaya lokal dari ruang kultural masyarakat. Di samping itu, produk-produk industri budaya seperti musik, film, dan program televisi yang digerakkan kekuatan modal di ibu kota semakin dekat dengan budaya global bernuansa Barat. Memang produk industri budaya di negara pascakolonial tetap mengusung semangat lokalitas (negara dibayangkan sebagai lokal), terutama ditandai dengan penggunaan bahasa nasional dalam produksi teksnya. Namun demikian, genre, style, maupun aliran yang dibawakan oleh entertainer-entertainer ibu kota jelas meniru apaapa yang disuguhkan industri budaya di Hollywood maupun Eropa. Hibriditas kultural di level nasional ini menjadi penanda bagi lahirnya budaya kontemporer yang dengan bermacam usaha estetik, pencitraan, distribusi, dan pemasaran dianggap mampu menjadi “tuan rumah di negeri sendiri”. Aroma percampuran gaya Barat dalam produk industri budaya nasional jelas merupakan realitas kultural yang tidak bisa dielakkan lagi. Meskipun realitas tiruan seringkali diwacanakan sebagai hasil kreativitas anak negeri, secara eksplisit adaptasi dan kontekstualisasi unsur-unsur budaya Barat sangat kentara dan mewarnai produk-produk budaya yang dihasilkan perusahaan-perusahaan di level nasional. Inilah yang kemudian bisa dibaca sebagai pola hegemoni kultural Barat melalui lahirnya budaya-budaya global yang cenderung diikuti oleh teks dan praktik kebudayaan di negara-negara pascakolonial. Model kuasa hegemonik memang selalu memberikan ruang bagi negosiasi dan artikulasi kepentingan-kepentingan strategis masing-masing kelas yang terlibat sehingga akan membentuk “kelas pemimpin” sebagai “blok historis” yang dicapai melalui konsensus—bukan semata-mata tindakan koersif—dan untuk selanjutnya akan diwarnai oleh kepemimpinan kultural, intelektual, dan moral (Gramsci, 1981: 191-192; Laclau & Mouffe, 1981: 226; Boggs, 1984: 16; Bennet, 1986: xv; Slack, 1997: 115). Dalam perspektif hegemoni kultural, para kreator di negara-negara Dunia Ketiga, memang mempunyai kebebasan untuk berkarya sesuai dengan konteks lokalitasnya masingmasing. Namun, apa yang harus diingat adalah bahwa kreator yang lahir dalam level nasional rata-rata berasal dari generasi yang lebih sering menikmati produk-produk budaya Barat. Wacana dalam teks-teks budaya Barat seperti sudah menjadi santapan sehari-hari, sehingga membentuk formasi diskursif yang menjadikan subjek-subjek pascakolonial tidak bisa terlepas dari jejaringnya sehingga menjadikan dan merujuk teks-teks tersebut sebagai rezim kebenaran yang membentuk pengetahuan bagi mereka. Akibatnya, hasil kreativitas mereka pada akhirnya cenderung meniru dan memosisikan yang Barat sebagai kemutlakan yang sekaligus menandakan eksistensi mereka dalam
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
jejaring “kewarganegaraan kosmopolitan”14 yang diyakini bisa memberikan pencerahan dengan beragam keyakinan bahwa yang lokal bisa memberikan warna bagi yang global, meskipun yang lokal kemudian menjadi sangat terikat dengan yang global. Produk-produk budaya yang dihasilkan dalam level industri kreatif nasional memang selalu diposisikan sebagai kreasi anak negeri yang bersifat hibrid. Namun, apabila diperhatikan lagi sifat hibrid itu hanyalah terwakili oleh elemen kebahasaan yang dianggap menandakan identitas bangsa, sementara genre dan style tetaplah menjadi Barat. Hibridisasi kultural yang terjadi kemudian lebih mengarah pada transformasi kultural yang dalam banyak kasus telah memotong akar tradisi dan kultural yang ada sebelumnya. Steven Flusty (2004: 109) menjabarkan: …hibriditas kultural merupakan wujud identitas personal dan kolektif baru dari kombinasi-kombinasi baru yang berasal dari atribut, praktik, dan pengaruh kultural yang berbeda…muncul dari kondisi-kondisi yang terlepas dari akar dan tertinggal tanpa tempat asal. Ketidaksinambungan yang diimplikasikan hibridisasi membuahkan hasil-hasil yang beragam, bahkan kontradiktif. Dalam terma positif, hibridisasi bisa jadi menghasilkan, semisal, tawaran-tawaran kultural yang lebih luas dan sebuah tantangan terhadap sifatsifat yang sudah mapan tentang ras; negatifnya, hal itu bisa berasosiasi dengan perpindahan, hilangnya tradisi, dan permasalahan sosial.
Memang hibridisasi kultural yang sedikit demi sedikit menciptakan keterpisahan dengan budaya lokal dari sebuah bangsa lebih banyak terjadi di pusat-pusat kota yang lebih dekat dengan lalu-lintas budaya global. Impian-impian kultural yang teursmenerus membayangkan kosmopolitanisme benar-benar menciptakan percampuranpercampuran yang seolah-olah menciptakan ketiadaan batas etnisitas, namun di balik itu, orang-orang menjadi tercerabut dari ikatan-ikatan sosio-kultural dengan kearifan maupun bentuk-bentuk budaya dari generasi-generasi sebelumnya. Maka, budaya global yang diyakini beragam, nyatanya tetap diwarnai oleh hegemoni budaya Barat dengan porosnya Hollywood dan Eropa. Ironisnya, realitas peniruan terhadap budaya Barat pada beberapa bidang kehidupan nyatanya tidak bisa menghasilkan hibriditas budaya bagi bangsa poskolonial. Memang pada masa-masa awal kemerdekaan, masyarakat poskolonial dianggap mampu melakukan pembacaan ulang dengan budaya masa lampau (kolonial) untuk kepentingan nasional pascakemerdekaan. Mereka berusaha untuk menemukan identitas baru yang tidak sepenuhnya menyalahkan masa lampau kolonial, namun juga melakukan „penyelamatan‟ terhadapa budaya-budaya lokal dan kolonial untuk memproduksi bentuk-bentuk yang sesuai sehingga bisa merepresentasikan realitas poskolonial. Dengan demikian identitas poskolonial bersifat ironis, kontradiktif, dan ragu-ragu, diwarnai oleh „ketidakaslian‟ yang dibentuk oleh identifikasi secara relatif terhadap budaya penjajah dan penolakan terhadapnya (Kusno, 2000). Ambivalensi hibriditas tersebut menunjukkan ketidakmampuan masyarakat pascakolonial untuk keluar dari jejaring diskursif pengaruh asing apalagi di era globalisasi saat ini. Kondisi itu tampak sekali misalnya pada tatanan budaya kota-kota pascakolonial. Yeoh (2001: 8), merefleksikan pendapat Dick dan Hammer, memaparkan:
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
…(dalam konteks Asia Tenggara) untuk konvergensi dengan bentuk-bentuk metropolitan urban sebagai akibat logika globalisasi, terjadi peningkatan polarisasi sosial dengan adanya ekspansi kelas menengah, penurunan derajat keamanan personal, sebagaimana halnya ketergantungan tinggi terhadap pakar-pakar asing dalam hal desain dan perencanaan tata kota…kota poskolonial sebagai tipe yang berbeda merupakan „pengalaman yang tidak biasa dan transitori‟ dan akan segera hilang oleh kecenderungan kota yang mengglobal.
Perkembangan terkini mall, plaza, apartemen mewah, resort, lapangan golf, dan lainlain
hanya
meniru
secara
mentah-mentah
dari
model
Barat
dan
sekedar
memindahkannya ke ruang geografis poskolonial. Masyarakat yang sudah bisa memasuki atau mendiami ruang-ruang baru tersebut akan mendapatkan pengalamanpengalaman kultural yang semakin mendekatkan mereka kepada kecenderungan menjadi Barat. Akibatnya, masyarakat semakin biasa meniru, tanpa bisa memberikan penekanan dan evaluasi kritis dari apa-apa yang mereka tiru. Dalam kondisi tersebut hegemoni kultural terhadap masyarakat poskolonial yang sudah masuk jejaring globalisasi dan budaya global semakin kentara dan terasa dalam aspek, konsep, impian, bentuk, dan praktik kultural. Penguatan lokalitas di balik hibriditas budaya Para pemikir yang memandang „agak positif‟ terhadap globalisasi seringkali berargumen bahwa kuatnya pengaruh globalisasi telah menghasilkan proses, praktik, dan teks kultural baru yang ditandai dengan kemunculan neolokalisme atau lokalisasi. Pandangan ini membayangkan adanya kebangkitan budaya lokal melalui pembaruanpembaruan bernuansa hibrid sebagai respons kreatif terhadap maraknya budaya global di tengah-tengah masyarakat lokal. Schuerkens (2003) menjelaskan: Masuknya elemen-elemen budaya global ke dalam masyarakat lokal ditransformasikan selama proses integrasi dan mewujud dalam lingkungan lokal baru. Budaya global diinterpretasikan dalam hubungannya dengan budaya lokal dan pengalaman khusus penduduk lokal. Budaya global disesuaikan oleh prasyarat lokal dan dipenuhi dengan muatan dan fungsi yang saling berkaitan. Masyarakat lokal mengambil dan membentuk kembali budaya metropolitan untuk keperluan mereka sendiri. Namun, proses penyesuaian dan transformasi dari elemen-elemen kultural yang ada mengarah pada munculnya— selama proses percampuran elemen budaya lokal dan impor—sesuatu yang baru dan unik. Perbenturan lokal dengan elemen-elemen kultural yang berbeda menandakan kreasi bentuk-bentuk budaya, gaya hidup, dan representasi baru. Dalam konteks budaya global, hal itu menandakan keragaman budaya global: namun keragaman yang dihasilkan dari jejaring kultural global terkini, dari penyesuaian kultural dari elemen-elemen eksternal oleh penduduk lokal dan dari percampuran kreatif elemen-elemen global dengan makna dan bentuk budaya lokal.
Ketika masyarakat lokal semakin terbiasa dengan budaya global yang dinikmati dalam kehidupan sehari-hari, pada saat bersamaan mereka juga masih mempunyai kerinduankerinduan akan nuansa kedirian lokal yang mengendap dan berusaha untuk dimunculkan. Namun demikian, untuk memunculkan yang sepenuhnya lokal adalah kemustahilan dan mungkin hanya dapat dilakukan oleh segelintir masyarakat lokal. Akibatnya, interpretasi terhadap budaya global dalam konteks lokalitas menjadi pilihan
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
strategis untuk mempertahankan budaya lokal yang masih bisa dinegosiasikan dalam konteks sosio-kultural kontemporer. Proses percampuran kultural memang tidak bisa dihindari lagi. Masyarakat lokal dengan cara pembacaan dan interpretasinya masing-masing berusaha secara kontinyu untuk membuka ruang dialektika dengan elemen-elemen baru yang berasal dari dunia luar. Usaha tersebut merupakan strategi untuk terus-menerus menegaskan identitas lokal sehingga mampu bergerak dan berkembang mengikuti arus transformasi yang tidak bisa dibendung lagi. Produk-produk budaya hibrid memang tercipta sebagai bentuk
kreasi
kultural
yang
mampu
mempertemukan
aspirasi
lokalitas
dan
kecenderungan global. Masyarakat lokal, dengan demikian, tidak lagi memposisikan budaya Barat maupun budaya global sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan dan keberlanjutan budaya lokal mereka masing-masing. Mereka memposisikan budaya global sebagai tantangan yang harus dimaknai, dirombak, direkonstruksi, diramu, dan di-lokal-kan, bukan untuk kepentingan hegemoni budaya global, tetapi untuk kepentingan budaya lokal yang mesti terus diusahakan eksistensinya. Masyarakat lokal, dengan demikian, berhasil melakukan pembacaan dan interpretasi dekonstruksi terhadap kemapanan struktur, bentuk, dan formasi diskursif dari budaya global yang sampai ke mereka. Budaya global memang kuat dan sudah menjadi rezim kebenaran baru yang diakui di seluruh dunia. Mereka memang masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan warga lokal. Mereka memang ditopang oleh kekuatan modal yang masuk melalui investasi modal maupun perusahaan transnasional di negara-negara berkembang. Mengikuti logika Derridean,15 sebagai sebuah struktur bentuk dan makna, teks budaya global tidaklah utuh sepenuhnya. Artinya, masih terdapat celah-celah di dalam struktur teks di mana masyarakat lokal bisa menunda dan memecah-mecah keutuhan struktural dan makna dari budaya global untuk kemudian memasukkan atau mencampurkan elemen-elemen budaya lokal sehingga membentuk budaya baru yang bersifat dialogis dan campur-aduk. Hal serupa juga mereka lakukan terhadap budaya lokal sehingga terdapat proses resiprokal antara yang lokal dan yang global untuk menciptakan sang hibrid. Seringkali, bagi para kreator di tingkat lokal, kekayaan budaya lokal merupakan sumber inspirasi kreatif dalam perkembangan industri kreatif yang bernuansa hibrid. Dengan penyerapan dan adaptasi dari elemen-elemen lokalitas dan percampuran dengan elemen-elemen budaya Barat, maka akan muncul produk-produk hibrid yang terus-menerus mampu menciptakan jenis budaya baru bagi selera estetik masyarakat. Negara-negara pascakolonial/berkembang, baik Asia maupun Afrika, sebenarnya mempunyai potensi yang cukup besar untuk mengarah pada perkembangan industri kreatif karena memiliki keragaman budaya lokal yang menunggu untuk diberikan sentuhan-sentuhan baru.16 Dengan melahirkan produk-produk baru bernuansa hibrid tersebut, masyarakat lokal juga bisa berkontestasi untuk perjuangan eksistensial di tengah-tengah budaya global dan sekaligus menunda atau bahkan meresistensi
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
popularitas budaya global yang banyak bernuansa Barat. Dengan mensintesakan budaya lokal dan budaya global bernuansa Barat dalam „ruang pertemuan kreatif‟, masyarakat lokal bisa mengambil keuntungan politis dari budaya hibrid, yakni negosiasi terus-menerus potensi dan praktik kultural mereka di tengah-tengah transformasi sosio-kultural. Namun demikian, untuk bisa mencapai level budaya hibrid yang memberdayakan kepentingan budaya lokal, maka dibutuhkan kreativitas dan kesadaran serta keyakinan ideologis dari masyarakat terhadap keutamaan dan kedinamisan budaya yang mereka miliki. Keyakinan ideologis bisa muncul ketika teks dan praktik budaya tidak sekedar menjadi dogma-dogma yang dikuasai oleh segelintir elit lokal, tetapi mampu menjadi representasi-representasi riil yang tersebar melalui beragam mekanisme, medium, dan institusi sehingga mampu menjadi kesadaran dan membentuk kognisi sosial masyarakat untuk selalu merujukkan tindakan dan perilaku sosio-kulturalnya kepada konstruksi wacana yang ada dalam budaya lokal.17 Ketika budaya lokal sudah menjadi keyakinan ideologis, dan bukan sekedar selebrasi-selebrasi untuk memenuhi formalitas, maka mereka akan bisa dimaknai secara dinamis oleh para pendukungnya dalam konteks perkembangan zaman yang semakin transformatif. Bentuk-bentuk kreativitas baru yang bernuansa hibrid akan bisa diterima dan diposisikan tidak sedang menggusur budaya lokal, karena mereka menyadari tindakan tersebut sebagai bentuk negosiasi kultural untuk memperkuat nilai tawar budaya lokal dan untuk tidak sekedar tunduk dan menyerah pada tawaran budaya global beraroma Barat. Melawan konservatisme budaya lokal Aspek kebaruan dari budaya hibrid yang memadukan nilai dan elemen budaya lokal dengan nilai dan elemen budaya global seringkali diposisikan „mengganggu‟ kemurnian budaya awal. Slogan-slogan bombastis yang mengatasnamakan kemurnian “budaya lokal”, “budaya nasional”, “budaya adiluhung”, dan “awas budaya asing” banyak diwacanakan oleh mereka yang selalu bermimpi tentang identitas yang esensial. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan mimpi-mimpi besar kebudayaan di tengah-tengah gelombang globalisasi. Asumsi-asumsi tentang virus budaya global yang sangat Barat menjadi formasi diskursif bagi mereka yang ingin melakukan pemurnian, baik yang semata-mata terkait budaya maupun agama. Masalahnya adalah bahwa kontak kultural dengan budaya asing, tidak mungkin lagi dihindari. Di samping itu, tidak banyak negara-negara Dunia Ketiga yang siap dengan strategi kebudayaan untuk lebih memantapkan eksistensi beragam budaya lokal yang menandai budaya nasional mereka. Apa yang harus dipahami secara kritis adalah sebuah proses politis di balik keadiluhungan budaya yang dimiliki sebuah bangsa. Budaya, apakah itu berupa nilai, ritual, pandangan hidup, maupun produk-produk material, tentu tidak bisa dilepaskan dari proses sosio-kultural yang membentuknya. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
struktur kelas sosial yang berperan dominan dalam sebuah komunitas atau masyarakat. Untuk menjalankan fungsi sosialnya, kelas dominan akan menciptakan bermacam praktik kebiasaan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun ritual tradisi, yang bersifat mengikat para subjek dari kelas sosial lainnya sebagai sebuah aturan kolektif. Aturan kolektif tersebut lambat-laun menjadi kebiasaan kultural yang mewujud sebagai keyakinan dan kesepakatan bersama untuk terus menjalankannya. Akibatnya, kebiasaan tersebut mengalami proses naturalisasi terus-menerus sehingga membentuk habitus. Bordieu (dalam Dirk, dkk, 1994), memposisikan habitus yang menjelma dalam kehidupan tradisi dan sehari-hari sebagai konsensus objektif yang akan membentuk pengetahuan kolektif sebagai basis untuk menjalankan kekuasaan simbolik tanpa harus menunjukkan perintah kuasa, tetapi melalui pengesanan arbitrer yang seolah-olah mengilangkan makna kuasanya. Proses itulah yang kemudian menemukan basis materialnya dalam praktik-praktik objektif dalam kehidupan masyarakat sehingga— hampir sama dengan Foucault—mereka tidak lagi memposisikan kekuasaan sebagai sesuatu yang menakutkan, tetapi sebagai sebuah kebenaran karena bertujuan untuk mengatur kehidupan kolektif warga. Dalam konteks tersebut, moda dominasi— hegemoni dalam bahasa Gramsci—berjalan tidak melalui mekanisme dan medium penyebar kuasa, tetapi melalui modal sosial dan kultural yang dimiliki kelas-kelas dominan yang sudah dianggap sebagai kebenaran objektif oleh kelas-kelas sosial lainnya. Namun, moda dominasi yang dibangun oleh kuasa simbolik melalui habitus dalam kehidupan sosio-kultural tersebut bukan berarti tidak bisa diganggu. Menurut Bordieu, ketika habitus sudah menjadi doksa yang mengikat dalam bingkai ortodoksi, maka kehadiran doksa-doksa baru yang dihasilkan dari “kontak-kontak kultural” dengan masyarakat lain bisa digunakan untuk mengganggu ortodoksi, sehingga akan menghasilkan heterodoksi. Rezim kebenaran tentang budaya adiluhung, dengan demikian, bisa diganggu dan dilawan dengan menghadirkan nilai, praktik, dan teks kultural baru yang berasal dari luar. Dengan menghadirkan doksa kultural baru, maka kemapanan praktik kuasa simbolik akan mendapatkan tantangan-tantangan yang secara kontinyu akan memberikan pemahaman-pemahaman alternatif bagi subjek-subjek sosial. Namun demikian, untuk merubah sepenuhnya kebenaran kultural yang sudah mapan, sangat tidak mungkin. Pilihan untuk menjadi sang hibrid menjadi lebih masuk akal, karena perlahan-lahan kemapanan ortodoksi bisa diganggu dan dilawan dari dalam (resistance from within). Mereka tidak sepenuhnya bersikap dan berperilaku resisten terhadap ortodoksi kultural yang dipenuhi kepentingan kuasa, tetapi tidak juga sepenuhnya menerima aturan, nilai, norma, atapun praktik kutlural yang hanya memapankan relasi dan kepentingan kuasa.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Hibridisasi Kultural dan diaspora Salah satu isu yang sangat populer dalam wacana dan praktik kolonialisasi, globalisasi, dan poskolonialisasi adalah diaspora. Migrasi penduduk etnis atau ras tertentu dari negara jajahan atau negara berkembang ke negara induk atau negara maju telah melahirkan komunitas-komunitas kultural yang bernuansa diasporik. Meskipun pada awalnya kelahiran diaspora digunakan untuk menandai migrasi global kaum Yahudi ke belahan-belahan dunia yang lebih maju dan bisa menjamin kemerdekaan religius mereka setelah penaklukan terhadap tanah Palestina oleh Babilonia dan Romawi, tetapi saat ini istilah tersebut telah meluas dan tidak lagi sebatas persoalan religi. Hall (dikutip oleh Sinclair & Cunningham, 2000: 23) menjelaskan relasi strategis antara diaspora dan hibriditas budaya sebagai berikut: Diaspora-diaspora baru yang terbentuk di seluruh dunia… dipaksa untuk menghuni paling tidak dua identitas, berbicara minimal dua bahasa kultural, serta menegosiasikan dan „menterjemahkan‟ di antara keduanya. Dengan cara ini, meskipun mereka terus berjuang dalam batas-batas modernitas, mereka tengah berada dalam garis batas paling depan sebagai perwakilan dari pengalaman „modern-akhir‟. Mereka adalah produk dari hibriditas kultural. Dalil hibriditas di sini sangatlah berbeda dari narasi besar kaum internasionalis, juga berbeda dari superfisialitas pluralisme gaya lama ketika tidak ada batas yang dilintasi, dan berbeda dari perjalanan nomadik trendi posmodernisme atau versi simplistik versi homogenisasi global—satu mengutuk sesuatu setelah yang lain atau perbedaan yang tidak membuat perbedaan. Sang hibrid terikat jejaring yang kuat pada dan identifikasi dengan tradisi dan tempat asal mereka. Namun, mereka tidak mempunyai ilusi untuk kembali secara nyata kepada kemasalampuaan. Mereka tidak akan pernah kembali, dalam makna literal apapun, karena tempat mereka akan kembali juga sudah bertransformasi dari semua pemaknaan awal sebagai akibat proses yang begitu kuat dari transformasi modernisme. Dalam pemaknaan tersebut, tidak ada pembicaraan untuk “pulang ke rumah” lagi. Mereka membawa jejak-jejak partikular dari budaya, tradisi, bahasa, sistem keyakinan, teks, dan sejarah yang membentuk mereka. Namun, mereka juga terpaksa untuk masuk ke terma-terma dengan dan membuat sesuatu yang baru dari budaya-budaya yang mereka jalani, tanpa harus secara mudah berasimilasi ke mereka. Mereka tidak dan tidak akan pernah dipersatukan secara kultural dalam makna lama, karena mereka secara pasti merupakan produk dari banyak budaya dan sejarah yang saling terkait, secara bersamaan memiliki banyak „rumah‟—sehingga tidak ada satu rumah khusus…Mereka adalah produk dari kesadaran diasporik. Mereka harus masuk ke terma-terma dengan fakta bahwa dalam jagat modern…identitas selalu menjadi permainan terbuka, kompleks, dan tidak pernah selesai—selalu berada dalam konstruksi.
Senada dengan paparan Hall, Rinderle (2005: 296) menjelaskan diaspora sebagai: Sebuah kelompok yang bisa diidentifikasi bertempat tinggal di sebuah wilayah geografis lain yang mengalami bukan hanya kepindahan secara fisik, tetapi juga hibriditas kultural; merindukan tanah kelahiran; alienasi dari tanah induk; relasi struktural yang kompleks antara tanah kelahiran, negara induk, dan diaspora; serta identitas kolektif yang secara luas didefinisikan oleh relasi antara tanah kelahiran dan negara induk.
Dari pemikiran-pemikiran tersebut diaspora bisa dibaca sebagai sebuah praktik kultural dari kelompok masyarakat tertentu yang berusaha untuk melakukan pembacaan dan interprertasi terhadap kondisi-kondisi kultural baru yang mereka lihat, alami, dan rasakan di negara atau wilayah baru. Perasaan teralienasi dari praktik kultural yang terjadi di negara baru dan memori kolektif akan praktik kultural di tanah kelahiran tersebut menjadikan mereka selalu merindukan “keberasalan”. Tetapi mereka
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
juga tidak mungkin lepas dari jejaring „budaya baru‟ yang mereka hadapi di negara baru. Artinya, mereka perlu menegosiasikan tradisi kultural di tempat asal sembari berusaha mengartikulasikan tradisi kultural baru sehingga mereka melakukan hibridisasi yang menghasilkan hibriditas kultural dan budaya hibrid. Hibriditas kultural yang terjadi pada komunitas diasporik, kemudian, mengimplikasikan ambiguitas yang mengkontestasi ide strukturalis tentang stabilitas makna dan identitas, menantang konsep negara bangsa yang terpisah, dan mendukung dalil poskolonial tentang transformasi mutual antara penjajah dan terjajah dalam situasi poskolonial. Ambiguitas, transformasi, dan kekaburan batas merupakan bagian integral dari pengalaman diasporik (Rinderle, 2005: 297). Lahirnya budaya hibrid dalam komunitas diasporik, dalam perkembanganya, lebih banyak berlangsung pada keturunan dari generasi diasporik pertama. Mereka memproduksi representasi-representasi dalam produk dan praktik kultural yang menunjukkan percampuran kultural sebagai strategi untuk mengingat sebagian budaya asal dan mengambil sebagian budaya induk. Hall (1990: 235) menjelaskan: ,..diaspora tidaklah merujuk pada suku-suku yang tersebar yang identitasnya hanya bisa diamankan dalam relasi dengan tanah kelahiran yang disucikan pada mana mereka semua harus kembali dengan resiko apapun, meskipun harus merugikan mengorbankan suku lain. Hal itu merupakan bentuk yang sangatlah kuno, menjajah, menghegemoni dari „etnisitas‟…Pengalaman diaspora sebagaimana yang saya maksudkan di sini dimaknai bukan oleh pemaknaan akan kemurnia, tapi oleh pengakuan bagi pentingnya heterogenitas dan keberagaman, oleh sebuah konsepsi identitas yang hidup dengan dan melalui, bukan tidak menghargai, perbedaan; oleh hibriditas.
Hibridisasi kultural bagi komunitas diasporik, kemudian, menjadi sebuah keniscayaan yang harus terus dinegosiasikan dan dijalani, meskipun dalam kasus-kasus tertentu seringkali menimbulkan konflik antara generasi pertama diasporik dengan generasi berikutnya. Budaya hibrid bisa dilihat, misalnya, dari produk-produk dan praktik kultural yang dihasilkan seperti film, karya sastra, dan percampuran bahasa asal dan induk yang menciptakan kreolisasi, tradisi pernikahan, dan lain-lain. Memang, komunitas diasporik pada awalnya lahir dengan bermacam alasan, baik religi, ekonomi, politik, dan lain-lain. Migrasi atas nama religi, misalnya, dilakukan oleh komunitas Yahudi ketika kemerdekaan mereka dalam beribadah terganggu oleh ekspansi kerajaan Babilonia dan Romawi, meskipun mereka juga punya motivasi ekonomi. Para buruh migran juga menjadi mempunyai motivasi ekonomi untuk memperbaiki nasib karena di tanah kelahiran mereka mengalami penderitaan ekonomi. Para pencari suaka politik dari negara-negara yang sedang berkonflik berusaha tinggal di negara-negara maju yang kehidupan demokrasinya dianggap mampu menjami kebebasan politik mereka. Ketika mereka sudah settle di negara-negara tujuan, mereka tidak mungkin bisa lepas dari jejaring kultural yang mereka alami setiap hari. Hibridisasi kultural, dengan demikian, tidak terhindarkan lagi karena mereka adalah “manusia-manusia di antara” yang selalu bermimpi akan kesejahteraan dan jaminan masa depan serta keindahan kemasalampuan.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Komunitas diasporik, dengan demikian, telah melakukan politik kultural untuk melanjutkan eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat baru. Dengan meniru praktik dan gaya budaya masyarakat baru, mereka mengidentifikasi diri sebagai bagian dari masyarakat tersebut sehingga akan mendapatkan pengakuan dari anggota masyarakat yang lain. Pengakuan sosial merupakan faktor yang sangat penting bagi para pendatang diasporik karena meskipun masyarakat baru tersebut bersifat multikultural, tetapi pasti terdapat nilai-nilai dan praktik kultural yang dianggap berlaku bagi anggota masyarakatnya, sehingga anggota masyarakat baru tetap harus beradaptasi dan menerapkan nilai dan praktik tersebut. Dengan menjadi bagian dari masyarakat dan budaya baru, tanpa meninggalkan semua yang asal, menciptakan komunitas diasporik yang memainkan strategi sosial, ekonomi, dan politik untuk kepentingan survival dan kontestasi, baik di negara atau wilayah baru dan negara atau wilayah asal. Vertovec (1999) menjelaskan pemaknaan diaspora dalam peran sosial, ekonomi, dan politik melalui kontekstualitasnya masing-masing. Strategi sosial komunitas diasporik lahir ketika subjek-subjek diasporik masih mempunyai kerinduan terhadap identitas kultural dan kolektivitas sosial asal karena tidak sepenuhnya bisa beradaptasi dengan masyarakat baru sehingga memunculkan jejaring dan solidaritas etnis di wilayah atau negara baru. Kekuatan solidaritas sosio-kultural kemudian menjadi modal utama untuk membangun kekuatan ekonomi baru di tanah rantau. Pemahaman akan kolektivisme menjadikan mereka melakukan aktivitas ekonomi berbasis kesamaan etnis dengan skala global sehingga perputaran uang dan usaha berimplikasi pada kekuatan keluarga, kekerabatan yang meluas, maupun jejaring etnis. Perpaduan kekuatan sosiokultural dan kekuatan ekonomi-modal menjadikan komunitas diasporik mempunyai peran politik yang seringkali dibingkai sebagai setrategi politik yang berpengaruh pada negara induk maupun negara asal. Komunitas Yahudi di Amerika dan Eropa, misalnya, bisa menjadi kelompok penekan dan kelompok lobi yang ikut mewarnai dinamika politik, baik di Amerika Serikat dan Eropa maupun di Israel dan Palestina. Bahkan, kelompok diasporik juga sangat berperan dalam konflik-konflik politik yang terjadi di negara asal.18 Perbincangan tentang komunitas diasporik dan hibridisasi kultural di atas memang lebih mengarah pada konteks migrasi dan globalisasi. Apa yang harus diperhatikan adalah komunitas-komunitas diasporik tidak hanya muncul dalam arus besar globalisasi, tetapi bisa juga muncul dalam berkembang dalam konteks migrasi lokal yang terjadi dalam satu negara, apakah karena alasan ekonomi, politik, maupun sosio-kultural. Migrasi etnik-etnik tertentu ke wilayah etnik lain yang mayoritas, banyak juga menciptakan komunitas-komunitas diasporik-lokal yang secara pasti memunculkan praktik-praktik kultural diasporik sehingga semakin menambah keragaman budaya yang ada. Harapan akan kemakmuran ekonomi dan pengakuan sosial seringkali memunculkan strategi kultural untuk meniru perilaku kultural dari
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
etnis mayoritas yang dipandang lebih superior karena kemapanannya selama ini. Proses peniruan tersebut, tentu saja, tidak pernah berlangsung sempurna karena mereka masih memegang beberapa prinsip dan elemen dasar budaya asal, seperti bahasa, ritual, maupun seni tradisi-lokal. Namun demikian, hibridisasi kultural dalam komunitas diasporik-lokal, terkadang tidak berlangsung secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari. Ada kalanya hibridisasi tersebut berlangsung dalam konteks-konteks partikular, semisal ketika komunitas diasporik tersebut bertemu dengan anggota dari etnis mayoritas. Hal itu menjadi bentuk negosiasi dan strategi untuk mendapatkan simpati dan pengakuan dari etnis mayoritas bahwa mereka adalah bagian yang sah dari masyarakat yang dihuni etnis tersebut. Etnis mayoritas sendiri, pada dasarnya, juga masih menyisakan „ketidakrelaan‟
terhadap
perilaku
hibrid tersebut
karena mereka masih saja
membayangkan diri dan budaya mereka sebagai „yang lebih unggul‟. Komplikasi dari permasalahan
tersebut,
menyebabkan
komunitas
diasporik
tidak
sepenuhnya
menjalankan hibridisasi kulturalnya, sehingga dalam ruang domestik—rumah maupun lingkungan tempat tinggal—mereka akan kembali mempraktikkan tradisi kultural asal, meskipun juga sudah tidak sepenuhnya sama. Hibridisasi kultural berlapis Perbincangan tentang hibridisasi kultural yang cenderung memposisikan „yang Barat‟ dan „yang Timur‟ seringkali menyisakan persoalan diskursif yang belum menyentuh permasalahan sebenarnya di ruang lokal. Mengapa? Karena persoalan hibridisasi kultural di ruang lokal tidak semata-mata tentang percampuran kultural antara yang Barat dan yang Timur, tetapi juga melibatkan pengaruh-pengaruh diskursif dari agama dan religi tertentu yang berasal dari luar masyarakat. Meskipun banyak pakar memisahkan persoalan agama dari budaya, tetapi kenyataannya, teks dan praktik agama mampu mempengaruhi konstalasi sosio-kultural yang berkembang dalam masyararakat lokal. Beberapa agama yang „diimpor‟ dari luar dan sudah menjadi mayoritas,
sangat
menentukan
arah
perkembangan
sosio-kultural
yang
terus
bertransformasi. Barat, melalui globalisasi media dan budayanya, memang menjadi faktor yang tidak bisa ditolak, tetapi nilai-nilai agama juga tidak bisa dianggap sepele dalam
merekonfigurasi
format
sosio-kultural
karena
subjek-subjek
yang
ada
memposisikan nilai-nilai tersebut sebagai kebenaran yang wajar untuk diikuti dalam praktik keseharian mereka. Selain itu, terdapat kecenderungan di tingkat lokal yang menunjukkan adanya penyerapan sebagian kultur yang dimiliki etnis tertentu oleh etnis lain. Dalam konteks tersebut, telah terjadi hibridisasi kultural berlapis. Hibridisasi kultural berlapis merupakan proses hibridisasi kultural yang melibatkan percampuran bermacam bentuk dan praktik kultural yang berasal dari budaya global, budaya yang berasal dari ajaran agama, budaya dari etnis-etnis lain, dan budaya yang berlangsung
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
di ruang lokal dari etnis partikular yang masih berusaha terus menegosiasikan budayanya. Kehadiran budaya global dalam ruang kultural domestik—dalam artian keluarga—adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Televisi setiap hari menampilkan program-program bearoma global, baik yang diimpor langsung maupun yang sudah dihibridisasikan oleh productioan house dalam bentuk „ibu kota‟, dari pagi hingga menjelang pagi lagi. Dalam ruang edukasi, pola pikir rasionalisme dan positivisme ala Barat menjadi acuan utama bagi lembaga-lembaga pendidikan umum, dari level desa hingga metropolitan. Sementara, lembaga-lembaga pendidikan formal yang bernuansa agama, berusaha menggabungkan pola pendidikan Barat dengan pola pendidikan yang diturunkan dari ajaran-ajaran agama yang diyakini. Penguatan basis keagamaan juga berlangsung secara kontinyu di tengah-tengah masuknya beragam praktik dan teks kultural global beraroma Barat. Penguatan tersebut dikelolah oleh lembaga-lembaga keagamaan, baik yang bersikap akomodatif terhadap budaya lokal maupun yang menginginkan syariatisasi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dominasi budaya dari etnis dominan dalam masyarakat juga menciptakan efek diskursif kepada etnis tertentu yang mencoba menterjemahkannya dalam budaya mereka, bersama-sama dengan beragam pengaruh budaya lain. Hibridisasi kultural yang dialami etnis tertentu, pada dasarnya, juga melibatkan proses, hegemoni elemenelemen budaya dominan, resistensi terhadap budaya asal, ataupun strategis politis terus menegosiasikan budaya mereka dalam ruang transformatif masyarakat. Realitas tersebut menjadikan kehidupan sosio-kultural dalam ruang lokal semakin beragam dan tidak bisa lagi semata-mata „dibedah‟ dari sudut pandang identitas budaya asal. Simpulan: Menentukan sikap kultural dalam hibridisasi Kompleksitas „campuraduk‟ kultural yang menjadi warna kontemporer budaya masyarakat lokal memang harus dipahami sebagai proses dan praktik diskursif yang harus dikaji secara terus-menerus secara mendalam. Dengan kajian-kajian itulah, akademisi maupun peneliti tidak akan lagi terjebak pada generalisasi yang terlalu memudahkan persoalan. Komunitas A, misalnya, tidak bisa lagi dikatakan sepenuhnya berbudaya A, tanpa melalui proses penjelasan deskriptif-kritis dari apa-apa yang mereka representasikan dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan-jangan komunitas A mempraktikkan budaya A hanya dalam rangka ritual-ritual tertentu. Sementara, dalam kehidupan sehari-hari, mereka sudah melakukan praktik kultural hibrid yang lebih banyak aroma budaya-budaya lain, sedangkan budaya mereka sendiri hanya sekedar tempelan pemanis. Atau, jangan-jangan komunitas A berapi-api mengatakan atau menunjukkan berbudaya A ketika terdapat kepentingan-kepentingan politis yang hendak diperjuangkan secara kolektif. Yang tidak kalah penting untuk mendapatkan kritisi adalah perspektif masyarakat lokal terhadap proses hibridisasi kultural. Pertama, dengan menjadi sang hibrid, apakah mereka mampu melakukan strategi kedirian untuk terus menciptakan
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
kreativitas-kreativitas kultural berbasis budaya lokal sehingga eksistensi budaya lokal akan terus bertransformasi. Kedua, ketika hibridisasi kultural tidak diimbangi dengan keyakinan ideologis dari masyarakat lokal, maka yang terjadi hanyalah hegemoni kultural oleh budaya global bernuansa Barat serta menunjukkan ketidakmampuan masyarakat lokal untuk meneruskan budaya nenek-moyangnya. Ketiga, ketika hibridisasi kultural mampu menjadi kesadaran ideologis untuk selalu menemukan produk-produk kreatif, maka budaya lokal pada dasarnya bisa terterima dan bertransformasi sebagai kekuatan bagi masyarakat untuk tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan kultural asing. Keempat, budaya hibrid bisa saja menjadi kekuatan alternatif untuk melawan konservatisme budaya lokal yang menguntungkan segelintis elit yang memperoleh keuntungan dari esensialisme kultural yang disosialisasikan secara terus-menerus. Pembacaan kritis terhadap kemungkinan-kemungkinan di atas akan mengarahkan pada penjelasan-penjelasan akademis yang mampu membongkar realitas kultural kekinian dari sebuah masyarakat atau etnis tertentu. Memang, hibridisasi kultural telah terjadi pada sebagian masyarakat lokal di Indonesia saat ini. Tidak harus disesali ataupun disalahkan karena alasan-alasan pemertahanan budaya lokal yang selalu diimpikan sebagai kekuatan adiluhung. Masyarakat tidak mungkin kembali kepada zaman purba di mana interaksi hanya terbatas dengan anggota kelompok. Masyarakat kontemporer adalah masyarakat yang dihasilkan dari saling-silang pengaruh kultural, baik yang berasal dari budaya global bernuansa Barat, nilai-nilai agama tertentu, atau superioritas etnis-etnis dominan. Dari desa hingga kota metropolitan, hibridisasi kultural dan budaya hibrid sudah menjadi kecenderungan umum yang tidak bisa disangkal lagi. Yang dibutuhkan kemudian adalah sikap kultural dari masyarakat lokal untuk menempatkan budaya mereka dalam ruang antara yang selalu menghadirkan kemungkinan-kemungkinan di atas. Kejelasan sikap kultural itulah yang akan menentukan arah dan gerak kultural di masa mendatang. Artinya, konseskuensi apapun yang terjadi dari hibridisasi kultural, masyarakat mampu memahami dan meyakininya sebagai pilihan strategis bagi kehidupan mereka. Tanpa itu semua, hibridisasi kultural hanya menjadi „lagu lain‟ dari ketidakberdayaan
masyarakat
dan
budaya
lokal
dalam
ruang
sosio-kultural
transformatif. Catatan akhir Moore-Gilbert (1997: 34-35) menjelaskan nilai penting kajian Said terhadap kajian poskolonial. Pertama, Said adalah pemikir yang mengkombinasikan pemikiran Perancis dengan dunia akademik Anglo-Amerika. Kedua, mampu menerapkan kombinasi kajian tersebut untuk membuka hubungan Barat dan Timur yang dipenuhi kepentingan politik melalui representasi-reprensentasi kultural dan pengetahuan yang diciptakan. Ketiga, Said mampu melakukan transformasi dari pendekatan-pendekatan teoretis yang bersifat metropolis bagi kajian sastra kerajaan dan sastra baru yang mulai muncul sejalan dengan dekolonisasi, menuju sebuah kajian yang sekarang disebut kajian poskolonial. Lebih jauh lagi, Orientalism juga berhasil memancing kajian-kajian lanjut yang dilakukan oleh para pemikir lain. Joseph Bristow dalam bukunya Empire Boy jelas-jelas menekankan pentingnya kajian Said. Hal serupa juga ditekankan oleh Gayatri Spivak dan Hommi K. Bhabha, dua figur penting dalam kajian poskolonial. 1
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Dengan pemikiran ini, Said sebenarnya merujuk pada pemahaman wacana dan pengetahuan/kuasa Foucauldian. Menurut Foucault (a) sekumpulan pernyatan, (b) berkaitan dengan topik tertentu, (c) ada momen dan kondisi historis tertentu, dan (d) mensyaratkan adanya formasi dan praktik diskursif dalam praktik sosio-kultural. Sebagai contoh adalah wacana tentang dominasi laki-laki. Wacana itu tidaklah bisa berdiri sendiri untuk menjadi terma yang begitu kuat dalam masyarakat tanpa adanya pernyataanpernyataan lain yang dibentuk dalam konsep serupa. Wacana dalam formasi diskursifnya, kemudian, akan menyebar dalam masyarakat dalam waktu historis tertentu serta mempengaruhi kesadaran mereka. Karena berada dalam ruang historis partikular, maka wacana dipraktikkan dalam kaidah-kaidah, strategistrategi, dan regulasi-regulasi yang menggiring penerimaan bersama. Inilah yang disebut “praktik diskursif” (discurssive practice). Untuk menjadi sebuah formasi dan praktik diskursif maka dibutuhkan: (a) person-person yang dianggap mumpuni untuk membicarakan wacana-wacana tersebut dan (b) kehadiran institusi-institusi yang akan menjadi medan penyemaian wacana-wacana tersebut. Keberadaan person dan institusi tersebutlah yang akan mempertegas hubungan yang ada di antara wacana-wacana tersebut sehingga memungkinkan untuk membicarakan objek-objek, memecahkan persoalan yang muncul, menamai mereka, melakukan analisis terhadap mereka, mengklasifikasi mereka, dan lain-lain. Proses itulah yang kemudian melahirkan “pengetahuan” (knowledge). Pengetahuan yang terus disebarkan dalam praktikpraktik diskursif ini kemudian menentukan subjek-subjek diskursif. Proses inilah yang kemudian menghadirkan kuasa yang akan terus menyebar ke segala penjuru, bukan dipaksakan, tetapi melampaui batas-batas kelas karena pengetahuhan menjadi praktik normalisasi yang benar-benar dianggap wajar oleh para subjek. Lebih jauh lagi lihat Foucault, 2002: 52, 58, 72-83, 177, 190; 1980: 194-196; 1998: 94-95, 131; 1992: 88. 2
Dalam pandangan Hall (1997a: 15-17), mengadopsi pemikiran Barthes dan Foucault, representasi merupakan: (1) penggunaan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang penuh makna tentang, atau untuk merepresentasikan, dunia dengan penuh makna, kepada orang lain; (2) bagian penting dari sebuah proses yang dengannya makna diproduksi dan dipertukarkan di antara para anggota sebuah kebudayaan; dan, (3) produksi makna dari konsep yang ada dalam pikiran kita melalui bahasa. Representasi bukan sekedar kehadiran sesuatu dalam medium terntentu. Lebih dari itu, representasi merupakan sebuah „kehadiran makna‟ melalui bahasa—dalam bermacam bentuknya—yang darinya seseorang bisa memberikan makna tentang sesuatu kepada orang lain yang berada dalam satu kebudayaan. Dengan representasi seseorang juga bisa mengekspresikan pemikiran kompleks tentang objek, peristiwa, dan jagat manusia, kepada orangorang lain, atau mengkomunikasikan mereka melalui bahasa dalam cara-cara tertentu sehingga orang lain bisa mengerti. 3
4
Moore, 1997: 61-62.
5
Ibid.hlm.65.
Foucault (1998: 95-96) menjelaskan resistensi beberapa poin terkait resistensi terhadap kuasa yang beroperasi dalam masyarakat. Pertama, bahwa resistensi pada dasarnya selalu muncul ketika berlangsung sebuah kuasa. Kedua, samahalnya dengan beroperasinya kuasa yang menggunakan beragam poin, resistensi juga bisa berasal dari beragam poin. Ketiga, resistensi bersifat plural. Pluaritas ini bisa menjadi keunggulan karena bisa mewujudkan resistensi tidak dalam ketunggalan yang mudah dideteksi, tetapi juga bisa merugikan ketika tidak bisa diorganisir dan diolah kembali. Ketiga, resistensi hanya bisa berjalan efektif atau menghasilkan perubahan ketika ia berlangsung dalam medan strategis relasi kuasa. Artinya, untuk melawan kuasa, subjek-subjek yang sadar dan kritis tidak harus sepenuhnya membuat poin maupun terma baru yang bertentangan dengan relasi kuasa, tetapi dengan memaknai kembali relasi yang ada dan kemudian digunakan untuk memetakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa digunakan menyerang balik. Keempat, dalam resistensi dibutuhkan poin resistensi yang bersifat mobile dan cepat berubah sehingga bisa memecah relasi yang sudah mapan dalam masyarakat untuk kemudian dilakukan reorganisasi dan re-grouping terhadap mereka-mereka yang punya kesadaran kritis sehingga mampu memunculkan wacana dan pengetahuan baru yang bisa memberikan penyadaran dan melampaui stratifikasi sosial yang ada. Kelima, perlu dilakukan kodifikasi atau semacam pengaturan yang bersifat strategis terhadap poin-poin resistensi yang bersifat plural sehingga revolusi menjadi mungkin terjadi. Memang pikiran Foucault mengenai resistensi bersifat sangat ideal, dan mungkin akan sulit diwujudkan dalam masyarakat yang sudah semakin kompleks dewasa ini. Namun, pikiran-pikiran ideal itu bukan tidak mungkin diwujudkan ketika kesadaran kritis dan resisteni bisa disebarkan terus-menerus, baik dalam pola maupun strategi yang beragam dan terorganisir. 6
Nandata Duta (dikutip dalam Drichel, 2008: 588) menyatakan bahwa tendensi dari teori poskolonial adalah mengkritisi konstruksi-konstruksi kolonialis tentang keliyanan, tapi, karena kebanyakan kajiannya bersandar pada “moda historiografi balas dendam” (the mode of revenge historiography), maka penelanjangan sang liyan sebagaimana dikonstruksi oleh kolonialisme, telah menjadi ranah tersibuk dari kajiannya. Sang liyan sebagai objek kajian bagi kolonialisme telah ditransformasikan semata-mata sebagai „sang liyan yang dikonstruksikan oleh kolonialisme‟ sebagai objek kajian dari poskolonialisme. 7
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Lihat Bhabha, “The Rigth to Narrate”, interwiew oleh http://hrp.bard.edu/resource_pdfs/chance.hbhabha.pdf, 1 Juni 2009. 8
Kerry
Chance,
diakses
dari
Bader (2001: 256-261) memaparkan ketiga persoalan itu sebagai berikut. Budaya merupakan konsep multidimensional yang salah satu dari dimensinya berkaitan erat dengan hubungan antara budaya, habitus/sikap, dan praktik…praktik—apa-apa yang dilakukan orang secara nyata—dipengaruhi oleh habitusnya (budaya yang terinkorporasi) dan oleh cara-cara quasi-teorbjektivikasi dalam memandang dan melakukannya (makna predominan dari budaya). Wacana-wicara yang lazim, sama-sama menolak habitus dan budaya yang „termaterialisasikan‟ serta mengarah pada konsep luas yang tidak terdeskriminasikan dari wacana. Konsep terakhir dari wacana, tidak hanya berupa bahasa, kerangka kognitif dan normatif atau „aturan‟, citra, mitos dan simbol dunia, masyarakat dan diri (budaya simbolis); tetapi juga berupa kebiasaan, ritual, cara tradisional untuk bertindak, institusi dan nilai-nilai kebaikan (budaya material). Sebagai sebuah proses, budaya dimaknai sebagai “membuat budaya”, “kreasi”, “perubahan”, “pertunjukan”, dan “sebuah proses tanpa akhir”. Sementara sebagai identitas, perlu dipahami bahwa (1) praktik kultural bisa jadi secara relatif sangat stabil, sementara definisi identitas individual dan kolektif mungkin berubah secara cepat, atau sebaliknya, (2) definisi identitas kolektif etnis dan religius secara realtif bisa jadi stabil, sedangkan praktik kultural dan religius mungkin berubah secara cepat, serta (3) praktik kultural bisa menjadi salah satu basis bagi definisi identitas. 9
10
Ibid.hlm.254-256.
Hall (dikutip Slack, 1997: 115) menjelaskan artikulasi sebagai bentuk koneksi yang bisa menciptakan satu kesatuan dari dua elemen yang berbeda, dengan syarat-syarat tertentu. Artikulasi adalah jejaring yang tidak harus ditentukan, absolut, dan esensial sepanjang waktu. Apa yang dikenal dengan „kesatuan‟ dari sebuah wacana benar-benar merupakan artikulasi dari perbedaan, elemen-elemen yang berbeda yang mana bisa dire-artikulasikan dalam cara-cara berbeda karena mereka tidak mempunyai kepemilikan yang tidak perlu. „Kesatuan‟ yang substansinya adalah jaringan antara wacana yang diartikulasikan dan kekuatan sosial yang mana dengannya ia bisa, dalam kondisi historis tertentu, tapi tidak begitu perlu, bisa dihubungkan. Kesatuan yang dibentuk oleh kombinasi atau artikulasi, selalu merupakan, perlu, „struktur kompleks‟: sebuah struktur yang merelasikan berbagai hal, seperti banyak melalui perbedaan-perbedaan mereka sebanyak pula melalui persamaan-persamaan mereka. Hal itu membutuhkan mekanismemekanisme yang menghubungkan bentuk-bentuk yang tidak serupa harus ditunjukkan—karena tidak perlu korespondensi atau homologi ekspresif. Hal itu juga berarti—karena kombinasi merupakan sebuah struktur (kombinasi yang diartikulasikan) dan bukan keterhubungan yang acak—bahwa ada relasi yang distrukturkan di antara bagian-bagiannya, semisal relasi dari dominasi dan subordinasi. 11
Menurut Cougan (2004: 34) terdapat tiga gerakan utama dalam wacana hibridisasi, yakni pergeseran (1) dari penekanan kepada kemurnian menuju pada percampuran, (2) dari penekanan terhadap stabilitas menuju konsepsi proses terbuka, (3) dari penekanan terhadap pembedaan diri/liyan menuju kesamaan manusia. 12
Kosmopolitanisme sebenarnya bisa dilacak secara historis sejak perkembangan filsafat modern Eropa. Cheah (2006), mengikuti pemikiran beberapa filosof seperti D‟Alembert, Rousseau, maupun Kant, menjelaskan bahwa pada awal abad modern, kosmopolitanisme dimaknai sebagai hilangnya batas-batas negara yang mengekang warga sehingga setiap orang bisa mengembangkan kemanusiaan melalui bermacam praktik dalam bingkai kewarganegaraan universal. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa praktik kosmopolitanisme saat ini menyatu dalam globalisasi yang ditandai oleh lalu lintas produk-produk budaya (yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional) dengan representasi-representasinya dan juga oleh maraknya praktik migrasi dari Dunia Ketiga ke Eropa maupun Amerika. Artinya, bayangan-bayangan akan kesejahteraan “negara-negara induk” (the host countries), memang masih menarik banyak orang di Asia maupun Afrika, sebagai bangsa eks-terjajah. Sementara Nava (2002) berargumen bahwa kosmopolitanisme dalam konteks masyarakat Dunia Ketiga melekat pada modernitas yang menyatu dalam aktivitas komersial masyarakat urban (seperti mall atau plaza) dan produksi industri budaya bernuansa Barat. Akibatnya, kosmopolitanisme sekaligus menjadi sebuah formasi dialogis yang cenderung melawan konservatisme dan identifikasi nasional yang sempit dari budaya warisan generasi terdahulu. 13
Smith (2007: 38-39) menjelaskan bahwa warga negara kosmopolitan bisa diinterpretasikan sebagai keanggotaan dalam komunitas politik kosmopolitan baik secara hipotetis maupun riil serta sebagai identitas yang mengadopsi serangkaian disposisi dan keterikatan kosmopolitan. Kosmopolitanisme dalam konteks tersebut mempunyai proyek politik transformatif yang selalu mengatasnamakan hak asasi manusia, demokrasi, dan keragaman kultural dalam era globalisasi. 14
Dekonstruksi Derridean berusaha memberikan kritik terhadap keutuhan makna dalam struktur sebagaimana diyakini oleh para pemikir strukturalis. Dalam struktur terdapat permainan bebas yang memunculkan penundaan dan perbedaan sehingga ketunggalan makna diganggu dan disubversi di dalam strukturnya sendiri, bukan oleh kekuatan di luar struktur, tetapi oleh kontradiksi yang ada di dalamnya. 15
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Lihat, Derrida, 1989: 231-247; Borradori, 2000: 1-22; Leledakis, 2000: 175-193; Saul, 2001: 1-120; Cilliers, 2005: 255-267. Kozul-Wright (2001) menjelaskan bahwa dalam konteks industri kreatif, semisal musik, negara-negara berkembang sebenarnya bisa lebih siap dan mampu karena mempunyai bahan mentah (raw materials) seperti keahlian untuk menciptakan suara/bebunyian baru yang berasal dari khasanah musik lokal yang jenisnya sangat beragam. 16
Pemahaman budaya lokal sebagai keyakinan ideologis dikembangkan dari pemaknaan ideologi bukanlah semata-mata sebagai nilai dan ide yang bersifat utopis-deterministik, tetapi lebih sebagai kerangka bagi kognisi sosial, menyebar dan dijalani oleh anggota kelompok sosial, dibentuk oleh seleksi-seleksi relevan dari nilai sosio-kultural, dan diorganisir dengan skema ideologis yang merepresentasikan definisi-diri dari kelompok tersebut. Di samping fungsi sosialnya untuk menjalankan kepentingan-kepentingan kelompok, ideologi juga mempunyai fungsi kognisi untuk mengorganisir representasi sosial (sikap, pengetahuan) dari kelompok, sehingga secara tidak langsung mengawasi praktik-praktik sosial yang berkaitan dengan kelompok, dan juga teks serta pembicaraan dari masing-masing anggotanya (Althusser, 1971: 162-177; Hall, 1982: 71, 1997b: 26; van Dijk: 1995: 284). 17
Untuk kasus konflik politik di negara asal, bisa dilihat, misalnya, peran komunitas Yahudi Amerika terhadap konflik berdarah antara Israel dan Palestina, komunitas Kroasia Jerman terhadap konflik politik yang menyebabkan hancurnya Yugoslavia dari peta dunia, kelompok Harimau Tamil di London dan perannya dalam konflik berdarah di Sri Lanka, komunitas Kurdistan di Belanda, dan masih banyak lagi. Lihat Demmers, 2002: 85-96. 18
Daftar bacaan Althusser, Louis.1971. Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review Press. Appadurai, Arjun.2001. “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”. Dalam Steven Siedman and Jeffrey C. Alexander. The New Social Theory Reader: Contemporary Debates. London: Routledge. Aschroft, Bill, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin, “General Introduction”, dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin.1995. The post-colonial studies reader. London: Routledge. Bader, Veit. “Culture and Identity, Contesting constructivism”, dalam Jurnal Ethnicities, Vol. 1, No. 2, 2001. Banerjee, Indrajit, “The Local Strikes Back?: Media Globalization and Localization in the New Asian Television Landscape”, dalam Gazette: The International Journal for Communication Studies, Vol. 64, No. 6, 2002. Bhabha, Hommi K.1994. The Location of Culture. London: Routledge. Bhabha, “The Rigth to Narrate”, interwiew oleh Kerry Chance, diakses dari http://hrp.bard.edu/resource_pdfs/chance.hbhabha.pdf, 1 Juni 2009. Bennet, Tony.1986. “Introduction: the turn to Gramsci” in Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott (Eds). Popular Culture and Social Relation. Philadelphia: The Open University Press. Boggs, Carl.1984. The Two Revolutions: Gramsci and the Dilemmas of Western Marxism. Boston: South End Press. Borradori, Giovanna. “Two versions of continental holism: Derrida and structuralism”, dalam Journal Philosophy and Social Criticism, Vol. 26, No. 4, 2000. Bourdieu, Pierre. “Structur, Habitus, Power: Basis for a Theory of Symbolic Power dalam Nicholas B.Dirk, Geoff Eley, & Sherry B. Ortner.1994. Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Social Theory. London: Routledge.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Cheah, Pheng. “Cosmopolitanism”, dalam Theory, Culture, and Society, Vol. 23, No. (23), 2006. Cilliers, Paul, “Complexity, Deconstruction, and Relativism”, dalam Journal Theory, Culture, and Society, Vol. 22, No. 5, 2005. Demmers, Joe. “Diaspora and Conflict: Locality, Long-Distance Nationalism, and Delocalization of Conflict Dynamics” dalam Jurnal The Public, Vol. 9 (1), 2002. Derrida, Jacques.1989. “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Science”, dalam Davis Robert Con & Ronald Schleifer. Contemporary Literary Criticism: Literary and Cultural Studies. New York: Longman. Dougan, Henry. “Hybridization: Its Promise and Lack of Promise”, dalam CODESRIA Bulletin, Nos 1 & 2, 2005. Drichel, Simone. “The time of hybridity”, dalam Philosophy & Social Criticism, Vol. 34, No. 6, 2008. Durham, Meenakshi Gigi, “Constructing the “New Ethnicities”: Media, Sexuality, and Diaspora Identity in the Lives of South Asian Immigrant Girls”, dalam Critical Studies in Media Communication, Vol. 21, No. 2, June, 2004. Edwards, Sebastian, “Capital Mobility, Capital Controls, and Globalization in the Twenty-first Century”, in The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, January 2002. Fanon.1995. “National Culture”, dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin (eds). The post-colonial studies reader. London: Routledge. Faruk. 2007. Belenggu Pascakolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Flusty, Steven.2004. “Miscege-Nation”, dalam De-Coca-Colonisation: Making the Globe from the Inside Out. New York, Routledge. Foucault, Michel.2002. Arkeologi Pengetahuan. (terj. oleh H.M. Mochtar Zoerni). Yogyakarta: Qalam. Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge. Brighton: Harvester. Foucault, Michel.1992. “Discipline and Punish” dalam Anthony Easthope & Kate McGowan.1992. A Critical and Cultural Theory Reader. Buckingham: Open University Press. Foucault, Michel.1998. The Will to Knowledge, The History of Sexualities Volume 1 (English trans. Robert Hurley). London: Penguin Books. Gills, Barry K. “Democratizing Globalization and Globalizing Democracy”, dalam ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, May 2002. Gimenez, Martha E. “With a little class: A critique of identity politics”, dalam Ethnicities, Vol. 6 (3), 2006. Giulianotti, Richard & Roland Robertson, “Forms of Glocalization: Globalization and the Migration Strategies of Scottish Football Fans in North America”, in Journal Sociology, Vol. 41, No. 1, 2007. Gramsci, Antonio.1981. “Class, Culture, and Hegemony”, dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Hall, Stuart.1990. “Cultural Identity and Diaspora”, dalam Jonathan Rutherford. Identity: Community, Culture, Difference. London: Lawrence & Wishart. Hall,
Stuart.1997a. “The Work of Representation”, dalam Stuart Hall (ed). Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University.
Hall, Stuart.1997b. “The problem of ideology, Marxism without guarantees”, dalam David Morley and Kuan-Hsing Chen (ed). Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge. Holton, Robert, “Globalization‟s Cultural Consequences”, dalam The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, July 2002. Hutnyk, John. “Hybridity”, dalam Jurnal Ethnic and Racial Studies, Vol. 28, No. 1, Januari, 2005. Kien, Grant, “Culture, State, Globalization: The Articulation of Global Capitalism”, dalam Cultural Studies <-> Critical Methodologies, Vol. 4, No. 4, 2004. Kompridis, Nikolas. “Normativizing Hibridity/Neutralizing Culture”, dalam Political Theory, Vol. 33, No. 3. Juni 2005. Kozul-Wright, Zeljka. 2001. “From Minor to Major: Opportunities and Challenges for Developing Countries in the Music Industries”, dalam Roche, François, Boris Marcq, and Delfin Colome (eds). The Music Industry in the new economy. Lyon: Institut d‟Etudes politiques de Lyon (DRECI). Kusno, Abidin.2000. Behind the postcolonial: architecture and political cultures in Indonesia. New York: Routledge. Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe.1981. “Hegemony and Ideology in Gramsci”, dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press. Leledakis, Kanakis, “Derrida, deconstruction, and social theory”, dalam European Journal of Social Theory, Vol. 3, No. 2, 2000. Moore-Gilbert, Bart.1997. Postcolonial Theory: Context, Practices, and Politics. London: Verso. Nava, Mica. “Cosmopolitan Modernity: Everyday Imaginaries and the Register of Difference”, dalam Jurnal Theory, Culture, and Society, Vol. 19, No. 1-2, 2002. Pieterse, Jan Neverdeen. “Hybridity, So What? The Anti-hybridity Backlash and The Riddles of Recognition”, dalam Jurnal Theory, Culture, and Society, Vol 18 (2-3), 2001. Rinderle, Susan, “The Mexican Diaspora: A Critical Examination of Signifiers” dalam Journal of Communication Inquiry, Vol. 29 (4), October 2005. Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Pantheon Books. Said, Edward. 1993. Imperialism and Culture. New York: Vintage. Saul, Newman, “Derrida‟s deconstruction of authority”, in Journal Philosophy and Social Criticism, Vol. 27, No. 3, 2001. Schuerkens, Ulrike, “The Sociological and Anthropological Study of Globalization and Localization”, dalam Journal Current Sociology, Vol. 5, No. 3/4, 2003.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Slack, Jennifer Daryl.1997. “The theory and method of articulation in cultural studies”, dalam David Morley & Kuan-Hsing Chen.1997. Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge. Smith, William. “Cosmopolitan Citizenship: Virtue, Irony and Worldliness”, dalam European Journal of Social Theory, 10 (1), 2007. Sinclair, John & Stuart Cunningham. “Go with the Flow Diasporas and the Media”, dalam Jurnal Television and New Media, Vol. 1 (1), Februari, 2000. Sparks, Collin, “What‟s wrong with globalization?”, dalam Global Media and Communication, Vol. 3, No. 2, 2007. van Dijk, Teun A., “Discourses semantics and ideology”, dalam Jurnal Discourse and Society, Vol. 6, No. 2, 1995. Vertovec, Steven. “Three meanings of „diaspora‟, exemplified among South Asian religions”, dalam Jurnal Diaspora 7 (2), 1999. Yeoh, Brenda S.A. “Postcolonial cities”, dalam Progress in Human Geography Vol. 25, No. 3, 2001.