Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
DAKWAH INFORMATIF DAN TRANSFORMATIF PENYULUH AGAMA BADARUDDIN Abstract Form of informative missionary movement for religious educator is to provide explanations and religious illumination either through the media or not and can be included in models of oral propaganda. Thaht is propaganda in the form of delivering a message of religious messages through lectures or sermons and lectures religious with missionary movement informative form is not always required the presence of special abilities. For different religious educator with a transformative movement to enforce those special abilities that support the occurrence of the condition comunity. Missionary movement transformative including it as an attitude change towards progress toward mad’u significn to people’s lives. Good provision for the extension of religion course is to each their own potentional in the form of science, technology skill and the right to worship based by religious value Kata Kunci: Dakwah Informatif dan Transformatif, Penyuluh Agama A. PENDAHULUAN Dakwah secara sederhana pada dasarnya merupakan upaya penyampaian pesan-pesan Ilahiyat yang ditujukan kepada umat manusia untuk disebarkan ke seluruh alam dan seisinya agar tercipta kesejah teraan lahir dan batin, jasmani dan rohani (Perhatikan al-Baqarah, 104). Kewajiban dakwah merupakan tugas suci yang datang dari Allah demi kemaslahatan umat manusia selama masih hidup di muka bumi. Oleh karena itu pekerjaan dakwah hakekatnya adalah tugas mulia yang semestinya menjadi pilihan setiap orang. Al-Mu‟tazilah sebagai aliran kalam memasukkan tugas dakwah sebagai gerakan amar ma‟ruf nahil munkar dalam doktrin ushulul khamsyahnya dan bagi mereka fardhu „ain hukumnya bagi setiap muslim. Artinya setiap muslim wajib hukumnya untuk melaksanakan dakwah,
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
52
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
dengan demikian merupakan suatu keharusan yang mesti dilakukan 1 guna terbebasnya umat manusia dari keterbelakangan dari beberapa aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan lain sebagainya. Oleh karena itu ada gerakan dakwah yang bersifat informatif dan yang lainya adalah dakwah yang bersifat transformatif.2 Dakwah sebagai gerakan informatif merupakan kegiatan yang sifatnya memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran agama terhadap orang lain baik individual maupun komunal dalam arti kata person atau masyarakat, sedangkan dakwah sebagai gerakan transformatif pada dasarnya adalah upaya da‟i dalam menciptakan suasana yang baik bagi kehidupan umat, agar memperoleh kesejahteraan jasmani dan rohani.3 Dengan istilah lain dakwah informatif berarti mewartakan suatu kebaikan (al-ma‟ruf) kepada pihak lain agar mengetahui dan sekaligus mengamalkannya setiap saat, sementara itu dakwah transformatif sebenarnya tindak lanjut dalam implementasi kebaikan ( al ma‟ruf ) menjadi hal yang bajik ( al khair ) sehingga terjadi perubahan menjadi lebih baik. Kedua model dakwah di atas pada dasarnya merupakan esensi dakwah yang selalu beriringan dilakukan ditengah masyarakat agar tercapai tujuan dakwah yakni adanya kemajuan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat (mad‟u) berupa maju dalam pemahaman, maju dalam pengamalan dan maju dalam peningkatan kualitas hidup material maupun spiritual berdasarkan ajaran Islam, yang diistilahkan dalam bahasa agama hasanah fiddunya, hasanah fil akhirat dan waqina adzabannar. Ketiganya merupakan tujuan hidup yang dicita-citakan oleh setiap muslim yang manakala dihayati dengan baik tentunya akan dapat memaknai kehidupan ini dengan prinsip iman dan amal shaleh. Dalam hal ini setiap orang selalu berencana untuk mencapainya dengan cara yang sehat. Pelaksanaan dakwah secara umum merupakan tugas dan kewajiban setiap muslim yang banyak dianjurkan bahkan menjadi kriteria khairu ummah bagi yang selalu komitmen terhadap dakwah yang
Lihat Harun Nasution, 1987. Teologi Islam, Jakarta, UI Press. Hal. 13 M. Bahri Ghazali, 1999.Dakwah Komunikatif, Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya.1999. Lihat pula M. Bahri Ghazali. , Dakwah di Kepulauan, Yogyakarta, Penerbit Amanah .2011.Hal.33 3 ibid 1 2
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
53
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
tertuang didalam al Qur‟an dan al Hadits Rasulullah (Ballighu 4 anny walau ayah/ sampaikan dari Ku walaupun satu ayat). Al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa tingkah laku manusia itu bisa dibangun, diluruskan atau diubah. Perubahan itu bisa datang dari diri sendiri atau terbentuk karena pengaruh yang datangnya dari luar. Dalam hal ini alQur‟an memberikan contoh tentang terbukanya pintu taubat bagi orangorang yang menyesali kekeliruannya dan peluang bagi orang jahat untuk kembali kepada jalan Allah 5. Pekerjaan merubah tingkah laku atau prilaku adalah pekerjaan mengubah cara berpikir, mengubah mental dan mengubah karakter. Akan tetapi, proses perubahan itu tidaklah semudah yang dibayangkan karena menyangkut aspek jiwa dan kemauan dari manusia itu sendiri. Menurut teori psikologi, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengubah tingkah laku manusia, yaitu hukuman dan ganjaran 6. Atau dalam bahasa lain memberikan pahala atau siksaan. Penyuluh Agama adalah pembimbing umat beragama dalam rangka pembinaan mental, moral dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Penyuluh Agama Islam, yaitu pembimbing umat Islam dalam rangka pembinaan mental, moral dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, serta menjabarkan segala aspek pembangunan melalui pintu dan bahasa agama. Kata “baligh” dalam bahasa Arab artinya sampai, mengenai sasaran atau mencapai tujauan. Bila dikaitkan dengan qawl (ucapan atau komunikasi), “baligh”, berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu, prinsip qawlan baligha dapat diterjemahkan sebagai prinsip komunikasi yang efektif. 5 Mubarok, Jiwa dalam al-Qur’an, Jakarta.Paramadina. 2000. Hal. 229 6 Menurut teori psikologi sosial, ada nilai (value) pada stimulus yang mempengaruhi prilaku manusia, tinggi atau rendah. Seorang pemuda desa yang miskin memandang sepeda motor sebagai sesuatu yang bernilai, tetapi bagi pemuda kota yang kaya dan setiap hari naik motor, karena sudah jenuh naik motor maka ia tidak memandang tinggi benda tersebut. Manusia bisa dikendalikan prilakiunya dengan mempermainkan keinginanya terhadap sesuatu yang bernilai itu. Di samping nilai teori psikologi juga menyebut adanya hukuman dan ongkos. Hukuman yang tak dapat dihindari dari suatu prilaku disebut ongkos dari tingkah laku tersebut. Seorang pencuri yang kemudian dipenjara, maka hukuman penjara itu merupakan suatu ongkos yang harus dibayar dari aktivitas mencurinya. Oleh karena mahalnya ongkos hukuman, manusia akan mengubah prilakunya, atau lari dari biaya mahal. Pemberian hukuman atau ganjaran keduanya, menurut teori psikologi dapat digunakan untuk mengubah prilaku manusia. Manusia akan menghitung-hitung laba dari selisih antara ganjaran dan ongkos hukuman, untuk dituangkan dalam tingkah laku yang menguntungkan dirinya. lihat Sarlito W. Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta. Bulan Bintang. 1989.Hal. 24-26. 4
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
54
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
Sedangkan penyuluh agama yang berasal dari PNS sebagaimana yang diatur dalam keputusan Menkowasbangpan No. 54/KP/MK.WASPAN/9/1999, adalah Pegawai Negri Sipil yang diberi tugas tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama Islam dan pembangunan melalui bahasa agama.7 Jadi Penyuluh Agama Islam adalah para juru penerang penyampai pesan bagi masyarakat mengenai prinsip-prinsip dan etika nilai keberagaman yang baik. Disamping itu Penyuluh Agama Islam merupakan ujung tombak dari Kementerian Agama dalam pelaksanaan tugas membimbing umat Islam dalam mencapai kehidupan yang bermutu dan sejahtera lahir batin. Hasil akhir yang ingin dicapai dari penyuluh agama pada hakekatnya ialah terwujudnya kehidupan masyarakat yang memiliki pemahaman mengenai agamanya secara memadai yang ditunjukkan melaui pengamalannya yang penuh komitmen dan kosisten disertai wawasan multi cultural, untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang harmonis dan saling menghargai satu sama lain. Penyuluhan agama adalah usaha penyampaian ajaran Islam kepada umat manusia oleh seseorang atau kelompok orang secara sadar dan terencana, dengan berbagai methode yang baik dan sesuai dengan sasaran penyuluhan, sehingga berubahlah deadaan umat itu kepada yang lebih baik, untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Profesionalisme tenaga penyuluh agama tidak terlepas dari tiga fungsi yang diemban: informatif dan edukatif, konsultatif, serta advokatif. Optimalisasi fungsi ini menjadi penting ditingkatkan di tengah problem keumatan dan kemasyarakatan yang kian kompleks. Idealnya penyuluh agama juga menguasai peta dakwah, piawai menganalisis data potensi wilayah, dan menjadi agen perubahan melalui pemberdayaan. 8 Maksudnya bahwa banyak sedikitnya ilmu yang dimiliki bukan menjadi syarat seseorang menyampaikan pesan-pesan agama, namun demikian tentunya akan lebih tepat sesuatu kegiatan itu apabila diberikan kepada ahlinya. Artinya efektifitas akan tercapai manakala keahlian seseorang itu menunjang profesi yang ditekuninya, jadi kualifikiasi seseorang 7Sebagaimana
yang diatur dalam keputusan MENKOWASBANGPAN NO. 54/KP/MK.WASPAN/9/1999 8 semiloka yang digelar jurusan Bimbingan dan Penyuluhan (BPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung, di Auditorium Fidkom UIN Bandung, (14-April2013).
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
55
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
sangat menunjang keberhasilan tugasnya (idza wusyidal amru ila ghairi ahliha fantadziris saah, demikian sabda Nabiyullah Muhammad SAW). Berdakwah merupakan keahlian yang mesti dibebankan kepada Da‟i (petugas dakwah) yang sekarang secara profesional dikenal jabatan PENYULUH AGAMA di Kementrian Agama. B. PENYULUH AGAMA SEBAGAI DA’I PROFESIONAL Penyuluh Agama adalah tenaga profesional yang bertugas untuk memberikan penjelasan dan penerangan agama termasuk Islam kepada masyarakat muslim, agar masyarakat memiliki pengertian dan pemahaman tentang Islam sekaligus juga mampu mengamalkannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof Prayitno ( 2008 ) bahwa penyuluhan lebih menekankan kepada penjelasan dan penerangan tentang sesuatu kepada masyarakat, sedangkan konseling diutamakan kepada penanganan kasus se hingga yang diperlukan adalah pemberian solusi 9. Jadi penyuluh agama adalah da‟i profesional yang semestinya ditunjang oleh kompetensi yang sesuai dengan profesionalitas keda‟iannya. Kompetensi penyuluh agama manakala dikaitkan dengan undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, terdapat empat kompetensi secara esensial meliputi kompetensi pedagogi, professional, kepribadian dan sosial. 1. Kompetensi pedagogi berkaitan dengan bidang ilmu yang ditekuninya 2. Kompetensi profesional erat kaitannya dengan etos kerjanya. 3. Kompetensi kepribadian terutama berkaitan dengan prilaku yang ditampakkannya. 4. Kompetensi sosial erat kaitannya dengan amal sosial dalam masyarakat.10 Keempat kompetensi di atas dapat dijadikan kreteria kinerja yang baik bagi seorang tenaga professio nal termasuk di dalamnya seorang penyuluh agama. Artinya jabatan fungsional penyuluh agama sebenarnya sangat strategis dalam konteks dakwah baik informatif maupun transformatif apabila di lengkapi dengan operasionalisasi kompetensi di atas. Oleh karena itu kualifikasi penyuluh agama di dalam melaksanakan tugas dakwah sangat penting dan diutamakan guna terwujudnya efektifitas dakwah secara komprehensif. Lebih jauh dari pada itu seharusnya seorang penyuluh 9
Prayitno. Pengantar Bimbingan dan Konseling, Jakarta, Rajawali. 2008. Hal. 23 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
10
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
56
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
agama memiliki keterampilan yang khas dalam menjawab pola dakwah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mad‟u), maksudnya setiap penyuluh agama seharusnya mampu membaca kebutuhan mad‟unya sehingga akan terjadi komunikasi yang baik antara da‟i dan mad‟unya dan kemungkinan terjadi interaksi sosial secara baik dan terpadu. Karena keberhasilan dakwah itu sebenarnya tergantung kepada adanya sinergitas da‟i dan mad‟unya. Penyuluh agama yang baik semestinya merupakan kerah total potensi da‟ i dalam berdakwah terutama kemampuan menyampaikan pesan-pesan dakwahnya sekaligus juga mampu mempengaruhi mad‟u untuk berubah, dalam arti kata berdakwah secara informatif di satu sisi dan berdakwah secara transformatif disisi lain. Tenaga penyuluh Agama terdapat tiga fungsi yaitu fungsi informatif dan edukatif penyuluh agama Islam harus memposisikan sebagai da‟i yang berkewajiban mendakwahkan Islam, dan mendidik masyarakat. Fungsi konsultatif bagi seorang penyuluh mengandung makna kesediaan diri untuk memikirkan dan memecahkan beragam persoalan yang dihadapi masyarakat. “Fungsi advokatif menuntut penyuluh agama melakukan pembelaan umat dari berbagai ancaman dan tantangan yang merugikan akidah, ibadah, dan akhlak,”11 Menurut Jalaluddin, seorang da‟i (atau komunikator) mungkin tidak akan bisa memahami secara holistik-komprehensif karakter, nilai, pendidikan, atau tata norma pada suatu masyarakat. Namun setidaknya, sebagai seorang komunikator yang hendak menyampaikan pesan (yang efektif), ia hendaknya memahami hal-hal tersebut meskipun sedikit. Dan ini menjadi hal yang niscaya, jika seorang da‟i berkeinginan pesan dakwahnya bisa dimengerti dengan baik dan benar oleh orang lain. Untuk tujuan ini, seorang da‟i hendaknya selalu memperhitungkan karakteristik suatu masyarakat. Bukan saja tingkat pendidikan dan penghasilannya, namun juga nilai, norma, dan pandangan hidup mereka.12 Dengan cara demikian, da‟i Kasie Penyuluhan dan Lembaga Dakwah Bidang Penamas Kanwil Kemenag Jabar, HA Wahid Sudja‟i dalam semiloka yang digelar jurusan Bimbingan dan Penyuluhan (BPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung, di Auditorium Fidkom UIN Bandung, (14-April-2013). 12 Teori ini sebenarnya dalam buku „Islam Aktual digunakan Jalaluddin sebagai teori komunikasi yang efektif, atau dalam istilahnya sendiri komunikasi yang beradab, dan bukan menjelaskan teori dakwah, apalagi dakwah bi al-hikmah. Namun, teori ini bisa digunakan dalam konteks dakwah, sebab ia (baca: dakwah) adalah proses komunikasi antara komunikator (da‟i) dengan komunikan (mad’u), baik dakwah itu diartikulasikan dalam 11
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
57
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
bisa memilih dan memilah hal mana saja yang tidak perlu dan perlu disampaikan kepada masyarakat. Tujuannya jelas, yakni agar ajaran Islam dan kebenaran yang inheren di dalamnya bisa mudah dipahami orang lain. Itulah sebabnya mengapa sejumlah pakar komunikasi menyarankan agar khalayak (yang dijadikan sasaran komunikasi) hendaknya dijadikan sebagai mitra yang setara, bukan objek yang dimanipulasi. Untuk itu, hal pertama yang perlu dilakukan da‟i adalah mengakui jati diri orang lain; menghargai apa yang mereka hargai. Di samping itu, ia juga harus berempati dan memahami realitas dari perspektif mereka.13 Dengan memahami konteks seseorang atau sebuah masyarakat, seorang da‟i bisa menentukan “jenis pengetahuan” atau nilai yang bisa dikedepankan pada masyarakat tersebut untuk disampaikan dan diajarkan pada masyarakat terkait. Dakwah Islam harus ditujukan untuk membangkitkan potensipotensi baik yang ada pada diri terdidik, dan mengurangi potensinya yang jelak.14 Dan salah satu cara yang memungkinkan hal ini adalah dengan memberi mau’idzah hasanah pada manusia. Seruan dan ucapan yang baik yang dikumadangkan da‟i berpotensi membangkitkan spirit kebaikan yang inhern dalam diri manusia. Berangkat dari tulisan di atas seharusnya setiap penyuluh agama harus dibekali atau membekali dan menyiapkan diri dengan bekal kemapuan atau kompetensi yang sesuai dengan kepentingan dakwah berhadapan dengan makin berkembangnya social demand yang membutuhkan respon serius persoalan kemasyarakatan bahkan kebangsaan. Bekal yang baik bagi penyuluh agama tentunya adalah disesuaikan dengan potensi diri masing-masing baik berupa ilmu pengetahuan, keterampilan dan teknologi tepat guna yang masih sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat yang di dasarkan terhadap nilai ibadah (ketaqwaan) semata-mata (Perhatikan „Ali Imran 97). Semua yang diupayakan oleh manusia yang didasarkan atas keridhaan Allah pasti bernilai ibadah termasuk gerakan dakwah yang bersifat informatif dan transformatif dalam pandangan agama pasti tergolong ibadah.
bentuk lisan maupun tulisan. lihat Jalaluddin Rakhmad, Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 2003. Hal. 62. 13 Ibid., Hal. 63 14 Jalalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, Cet. X, 1999. Hal. 116-117.
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
58
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
C. DAKWAH INFORMATIF DAN TRANSFORMATIF PENYULUH AGAMA Bentuk gerakan dakwah informatif bagi penyuluh agama adalah memberikan penjelasan dan penerangan agama baik melalui media maupun tidak dan dapat digolongkan pada model dakwah bil lisan yakni dakwah yang berbentuk penyampaian pesan-pesan agama melalui kegiatan pengajian atau tabligh dan ceramah agama. Bentuk inilah yang umum dilakukan sebagai upaya pencerahan agama terhadap masyarakat yang secara sederhana dapat dilaksanakan oleh mereka yang memiliki minat dalam penyebaran dan penyiaran agama. Sebab dalam bentuk gerakan dakwah informatif tidak selalu dituntut adanya kemampuan khusus bagi penyuluh agama. Berbeda halnya dengan gerakan dakwah transformatif sangat diperlukan adanya kemampuan khusus yang menunjang terjadinya perubahan pada kondisi masyarakat (mad‟u). Gerakan dakwah transformatif termasuk dalam dakwah bil hal karena merupakan sikap melakukan perubahan terhadap mad‟u dari kondisi tertinggal atau terbe lakang menuju kemajuan yang signifikan bagi kehidupan masyarakat ( mad‟u )15 Dakwah informatif dapat dilakukan melalui majlis-majlis taklim dan majlis zikir atau lembaga-lembaga penyiaran seperti radio dan TV serta media telekomunikasi lainnya, karena yang diharapkan hanya pengetahuan dan pemahaman mad‟unya. Sedangkan dakwah transformatif cendrung bergerak pada lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan dan pelatihan ( DIKLAT ) seperti balai latihan kerja ( BLK ) yang cendrung mengantar para pesertanya memiliki keter ampilan dan kemampuan kerja. Dengan terbentuknya kemampuan dan keterampilan dalam bekerja secara otomatis akan terpenuhilah kebutuhan baik primer maupun sekunder dalam keluarga, masyarakat bahkan bangsa dan negara secara luas. Jadi dakwah informatif lebih menekan aspek kognetifnya dibandingkan aspek afektif dan psiko motorik. Sedangkan dakwah transformatif cendrung pada aspek afektif dan psikomotorik. Penyuluh agama sebaiknya menjadi mercusuar dalam kegiatan dakwah dengan melakukan dakwah baik secara informatif maupun transformatif, namun demikian penyuluh agama sebaiknya memiliki kemampuan ganda baik teoritik maupun praktek dalam men dampingi masyarakat sehingga mampu mengantarkan ke arah kesejahteraan yang 15
M. Arifin. Psikologi Dakwah, Jakarta, Reneka.1987.Hal. 11
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
59
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
lebih kongkrit. Oleh karena itu penyuluh agama sebenarnya merupakan tugas pilihan yang semestinya dilaksana kan dengan sepenuh hati, bukan menjadi tugas sampingan yang bersifat melengkapi kegiatan utama dan bersifat sekunder. Jadi sebenarnya penyuluh agama memiliki peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat jika benar- benar dilaksanakan dengan baik, penuh rasa tanggung jawab terhadap Allah dan sesama manusia, sebab tugas penyuluh agama sangat mulia dalam pandangan Allah karena maslahah bagi kehidupan umat manusia. Namun demikian dalam melaksanakan tugas agama tentu tidak terlepas dari aneka ragam tantangan yang menjadi pemicu terjadinya kegagalan atau pemacu keberhasilan dalam melaksanakan tugas dakwahnya. Istilah Transformasi bisa terdapat beragam istilah diantaranya Transformasi Politik, dan Transformasi Budaya. Istilah ini juga muncul pada trend pemikiran Islam yaitu “Teologi Transformatif” (Sosialisme Demokrasi Islam) tetapi pandangan yang hendak di sampaikan pada tulisan ini bukan pemikiran teologi transformatif tetapi Gerakan Dakwah yang berpijak pada Transformasi tatanan masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Sesungguhnya Gerakan Dakwah Transformatif adalah gerakan dakwah yang diberjalankan oleh Rosulullah SAW. Beliau melaksanakan Transformasi yang fondamental dalam tatanan masyarakat pada seluruh aspek kehidupan. Transformasi ideologi, politik, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan bahkan sistem keamanan negara dan struktur negara. Inilah yang dijaman Rosulullah dikenal dengan Perjuangan Islam Kaffah. Dakwah yang merubah perilaku individu, masyarakat, dan negara secara utuh, integral dengan cara “Radikal” dan “Revolusioner”. Metode dakwah Islam yang lebih konstruktif niscaya memuat beberapa hal antara lain: 1. Membuat pendekatan secara intensif terhadap masyarakat yang menjadi objek dakwah. 2. Menyampaikan dakwah dengan argumentasi rasional dan kontekstual.16
16 Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 2003. Hal. 76-87.
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
60
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
3. Mengajak masyarakat secara persuasif untuk bersama-sama menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kemasyarakatan. 17 4. Memberi terapi psikologis dan motivasi kepada masyarakat yang kehilangan kepercayaan diri untuk selalu berusaha dalam aktivitas kehidupannya.18 Dakwah merupakan media transformasi teori emansipatoris.19Artinya sejauhmana dakwah mampu membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan (mundigkeit) berpikir dan bertindak. Baginya masyarakat yang reflektif (cerdas) adalah yang berhasil melakukan komunikasi yang baik dan memuaskan dengan yang lainnya dalam berinteraksi. 20 Dalam konteks ini para da‟i itu hendaknya membuat lawan bicara atau objek yang dihadapinya mampu memahami maksudnya dengan mencapai apa yang disebut dengan klaim-klaim kesahihan (validity claim). Atas dasar itu kemudian para da‟i seakan dipaksa untuk membuat sebuah acuan metodis tentang kurikulum dakwah agar validitas kalam yang digulirkannya menjadi sesuatu yang mengena. Selanjutnya para da‟i niscaya untuk memahami ruang lingkup dakwah yang hendak dituju. Termasuk bagaimana tipologi masyarakat yang yang hendak didakwahi. Dari situ akan terjadi keselarasan komunikatif dan dinamika dakwah yang benar-benar sehat. Selain da‟i yang telah mengenal cara pandang dan watak masyarakat dapat menyampaikan materi dakwah sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut, masyarakat juga akan merespons dengan sangat baik apa yang disampaikan da‟i. D. TANTANGAN DAKWAH BAGI PENYULUH AGAMA Tugas penyuluh tidak semata-mata melaksanakan penyuluhan agama dalam arti sempit berupa pengajian saja, akan tetapi keseluruhan kegiatan penerangan baik berupa bimbingan dan penerangan tentang berbagai program pembangunan. Ia berperan sebagai pembimbing umat dengan rasa 17 Dalam persoalan ini Jalal memberi contoh fenomena sosial yang terkait dengan peranan perempuan ditengah masyarakat Islam. Lebih lanjut lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus , Bandung: Mizan, Cet. X, 1999.Hal. 124-136. 18 Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim.Op.Cit. Hal. . 70-71. 19 Jalaluddin Rakhmat, kutipan Pembicaraan, Bandung, 18 Mei 2004 20 Andi Darmawan, Landasan Epistemologis Ilmu Dakwah, dalam Metodologi Ilmu Dakwah. Yogyakarta. LESFI. 2002, Hal. 71.
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
61
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
tanggung jawab, membawa masyarakat kepada kehidupan yang aman dan sejahtera. Posisi penyuluh agama Islam ini sangat strategis baik untuk menyampaikan misi keagamaan maupun misi pembangunan. Penyuluh agama Islam juga sebagai tokoh panutan, tempat bertanya dan tempat mengadu bagi masyarakatnya untuk memecahkan dan menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Apalagi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tantangan tugas penyuluh agama Islam semakin berat, karena dalam kenyataan kehidupan ditataran masyarakat mengalami perubahan pola hidup yang menonjol. Penyuluh agama sebagai figure juga berperan sebagai pemimpin masyarakat, sebagai imam dalam masalah agama dan masalah kemasyarakatan serta masalah kenegaraan dalam rangka menyukseskan program pemerintah.Dengan kepemimpinannya, penyuluh agama Islam tidak hanya memberikan penerangan dalam bentuk ucapan-ucapan dan kata-kata saja, akan tetapi bersaama-sama mengamalkan dan melaksanakan apa yang dianjurkan. Keteladanan ini ditanamkan dalam kegiatan sehari-hari, sehingga masyarakat dengan penuh kesadaran dan keihklasan mengikuti petunjuk dan ajakan pemimpinnya. Menjadi seorang petugas dakwah atau penyuluh agama di era yang terbilang serba sulit ini terutama dalam artian memenuhi tuntutan hidup duniawi, kiranya penyuluh agama terbilang menghadapi dilema yang cukup sulit apalagi di wilayah tugas yang terbilang masih rendah tingkat penghargaannya terhadap peran agama dalam masyarakat. Sementara penyuluh agama dituntut oleh tugas yang termasuk pelik sehubungan dengan kondisi masyarakatnya yang dihadapkan pada dimensi per soalan kehidupan. Di sisi lain penghargaan jabatan penyuluh agama yang diberikan oleh pemerintah masih terbilang belum memadai, belum lagi sebagian penyuluh agama masih dalam posisi petugas honorer yang sangat berbeda statusnya dengan tenaga kependidikan ( guru ) yang sudah beranjak lebih makmur alias sejahtera, karena tunjangan profesi sudah merambah menyentuh tenga kependidikan honorer. Berkaitan dengan masalah di atas penyuluh agama dihadapkan pertama masalah penghargaan yang kurang memadai dari pemerintah, terlebih lagi dari masyarakat yang tergolong tertinggal dibanding masyarakat yang kebanyakan di perkotaan, sementara itu kebanyakan penyuluh agama menempati tugas di pedesaan. Kedua profesionalitas penyuluh agama masih terbilang rendah dalam arti kata se bagian penyuluh agama diangkat bukan VOL. VIII, No.1 Januari 2013
62
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
dari basis lulusan dari fakultas dakwah, akibatnya penyuluh agama belum didukung oleh kompetensi pedagogi dan professional yang memadai. Realitas kebanyakan penyuluh agama diangkat dari basis yang berbeda dari tugasnya bahkan ada penyuluh agama karena hobbi menjadi dasar pengangkatannya dengan pertimbangan dari pada kosong. Sebaliknya terdapat beberapa alumni dakwah yang diangkat menjadi petugas KUA atau Naib. Ketiga era teknologi sebagai tantangan besar baik sebagai efek maupun ekses dari berkembangnya teknologi di dunia maya, sebagian masyarakat begitu gandrung terhadap media teknologi ini tetapi tidak sadar akan bahayanya, disisi lain menurut Ziauddin Sardar ( 1988 ) sebagian dunia Islam gagap akan manfaat teknologi ini21. Disadari atau tidak para penyuluh agama masih cukup tertinggal bahkan tidak memilikinya sehingga sulit mengikuti perkembangan dunia yang makin jauh meninggalkan kita. Sementara itu, menurut Kapusdiklat Depag menyatakan bahwa aparat Depag pada umumnya dan khususnya PAI masih menghadapi persoalan sikap mental dan pengetahuan serta keterampilan, seperti: 1) budaya kerja lemah, kurang inisiatif dan lebih banyak menunggu perintah, dan kurang kesungguhan dalam pekerjaan, 2) pengetahuan dan kesadaran terhadap tugas dan misi institusi masih kurang, 3) sikap amanah dan saling percaya (trust) lemah, 4) budaya pamrih berlebihan, 5) orientasi pada pencapaian hasil dalam pelaksanaan tugas masih kurang, 6) kurang orientasi pada kepuasan jama‟ah sasaran/binaan (customer), akibat kepekaan dan empati terhadap keutuhan stakehorders yang masih rendah, 7) minat untuk menambah pendidikan formal meningkat, tetapi belum diikuti kesadaran pemanfaatan pengetahuan baru dalam menjalankan tugas, 8) lebih banyak tenaga yang kurang memiliki keahlian (unskilled), 9) gagap teknologi, tetapi semangat untuk pengadaan teknologi baru tinggi, dan 10) pemanfaatan informasi baru dalam pelaksanaan tugas masih rendah.22 Kemudian, permasalahan terakhir dalam penyuluhan adalah kultur atau budaya. Dalam hal masalah budaya ini, ada dua aspek yang menonjol, yaitu budaya internal kepenyuluhan dan budaya masyarakat. Khusus menyangkut budaya kepenyuluhan, sementara ini masih dihadapkan dengan Ziauddin Sardar. Tantangan Global Teknologi Komunikasi di Dunia Islam, Jakarta. Reneka.1988. Hal. 34 22 Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Penyuluh Agama Tahun 2002, Petunjuk teknis jabatan fungsional Penyuluh Agama Islam, Jakarta, (Cet. Ke-3). 21
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
63
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
budaya paternalis dan struktural. Komunikasi antara penyuluh dan atasan dibangun berdasarkan pola hubungan yang ketat antara atasan dan bawahan. Para penyuluh diposisikan sebagai pelaksana teknis yang wajib menjalankan apa saja kebijakan atasan dengan dibingkai loyalitas pada atasan, bukan loyalitas pada profesi atau pekerjaan. Sedangkan budaya pada masyarakat, program penyuluhan dihadapkan pada budaya global yang cenderung pragmatis, materialis dan ada kecenderungan kurang memandang penting persoalan agama bagi kehidupan23. Masyarakat kita, khususnya masyarakat Islam sebagai sasaran penyuluhan, sekarang ini sedang menghadapi dislokasi dan disorientasi hidup. Mereka gagap menghadapi perkembangan zaman yang ditandai dengan perubahan budaya sebagai akibat dari penemuan dan penerapan berbagai teknologi canggih, khususnya di bidang transportasi, komunikasi dan informasi. Di satu sisi, realitas semacam ini sebenaranya dapat menjadi peluang, tetapi sementara ini masih menjadi tantangan bagi penyuluhan agama. Kesadaran untuk memperdalam agama secara intens dan reguler di kalangan masyarakat masih kurang. Di kalangan anak-anak ataupun remaja, cenderung berkembang anggapan bahwa kalau sudah bisa membaca Alquran, mereka merasa belajar agama sudah selesai. Demikian juga di kalangan masyarakat, pengajian rutin mingguan, bulanan atau selapanan, seperti; yasinan, mudzakarah, atau istighasah dapat sebenarnya berjalan. Tetapi, program-program itu lebih bersifat simbolik sebagai agenda ritual yang bersifat pribadi atau massal. Beberapa kegiatan itu belum mampu menggerakkan kesadaran untuk meningkatkan pemahaman, pengamalan dan penghayatan keagamaan yang lebih baik. Secara detail, beberapa problem penyuluhan yang perlu dicermati secara kritis antara lain sebagai berikut : 1. Penentuan program-program penyuluhan masih bersifat sentralistik. Sejak diterapkannya otonomi daerah, Kanwil Depag propinsi dan Kandepag Kabupaten/Kota memang diberi kesempatan untuk membuat perencanaan program yang akan dimasukkan di dalam Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP) dalam setiap tahun anggaran melalui rapat kerja daerah (Rakerda). Tetapi, kesempatan itu baru sebatas usulan. Pada akhirnya, ketentuan program mana yang akan dijalankan, yaitu di masukkan di dalam DIK/DIP tetap berada di pusat. 23
Ibid
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
64
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
2.
Kemampuan perencanaan program-program penyuluhan yang kreatif, inovatif dan proyektif di tingkat Kanwil dan Kandepag masih lemah. 3. Pengelolaan sumber daya penyuluh belum efektif. 4. Lemahnya pemahaman para penyuluh terhadap konsep dasar penyuluhan, pendekatan penyuluhan, teknik-teknik penyuluhan dan teori-teori penyuluhan. 5. Implementasi pelaksanaan penyuluhan cenderung bersifat formalistik dan strukturalistik. 6. Para penyuluh agama belum memahami secara komprehensif pedoman operasional penyuluhan, misalnya menyangkut petunjuk teknis jabatan fungsional, materi bimbingan dan penyuluhan, pedoman identifikasi potensi wilayah, pedoman identifikasi kebutuhan sasaran, pedoman penilaian angka kredit, dan pedoman-pedoman lainnya. 7. Metode pelaksanaan penyuluhan lebih cenderung bersifat konvensional, belum partisipatif dan transformatif. 8. Belum efektifnya pelaksanaan pelaporan dan evaluasi program yang dapat menjadi dasar pengembangan program secara berkelanjutan. 9. Kemampuan penyuluh dalam hal penguasaan teknologi pendukung masih lemah. 10. Frekuensi dan kesempatan pengembangan dan pelatihan yang sangat terbatas dan belum efektif. 11. Belum adanya peluang atau kesempatan pemfasisilitasian, khususnya pembiayaan (beasiswa) untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi. 12. Belum adanya biaya operasional pelaksanaan penyuluhan di lapangan. 13. Belum dimanfaatkannya perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang memadai untuk mendukung proses penyuluhan. 14. Lemahnya data base seputar kelompok sasaran penyuluhan. 24 Masalah di atas menjadi tantangan bagi penyuluh agama apakah masih bisa tetap bertahan untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam 24 Romli. Penyuluhan agama menghadapi tantangan baru, Jakarta. Bina Rena Pariwara.2001. Hal. 42
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
65
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
menyiarkan ajaran agama dan melaksanakan tugas yang mulia ini atau sebaliknya meninggalkannya sama sekali dan beralih ke profesi lain. Kiranya perlu di carikan solusinya dengan baik sehinnga missi Rasul dapat berjalan sesuai dengan harapan. Merespon permasalahan penyuluh agama diatas kiranya perlu dilakukan upaya mencarikan solusi yang lebih tepat, meliputi : 1. Mempertimbangkan peningkatan penghargaan jabatan fungsional penyuluh agama baik oleh pemerintah maupun masyarakat. 2. Memperhatikan alumni Fakultas Dakwah sebagai solusi peningkatan kualitas penyuluh agama, bukan mengangkat semua alumni PTAI yang bukan dari Fakultas Dakwah. 3. Memberikan diklat praktis terhadap penyuluh agama tentang pemanfaatan media teknologi dalam kegiatan dakwah. E. PENUTUP Penyuluh agama Islam sebagai pelaksana kegiatan penyiaran agama mempunyai peranan yang sangat strategis. Karena berbicara masalah dakwah atau kepenyuluhan agama berarti berbicara masalah ummat dengan semua problematika. Sebab banyak kasus dan dari banyak fakta dakwah, kita melihat tanda-tanda betapa kemalahatan ummat (jamaah) tidak merupakan sesuatu yang obyektif atau dengan kata lain belum mampu diwujudkan oleh pelaksana dakwah (Penyuluh). Hal ini merupakan salah satu problematika dakwah dari sisi pelaksana dakwah (da‟i, muballigh, Penyuluh), dimana sebagian aktivitas dakwah belum mampu menterjemahkan persoalan yang dihadapi umat secara rinci, untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya dalam konteks dakwah islam. Ungkapan ini tidak memperkecil peran para pelaksana dakwah, Sebab, betapapun rendahnya kualitas keilmuan dan kemampuan penyampaian seorang da‟i, muballigh, ataupun penyuluh agama, umumnya umat Islam (obyek dakwah) menyadari bahwa ia (Da‟i, Muballigh atau Penyuluh Agama Islam) tetap merupakan figure sentral dari gerakan dakwah. Da‟i/penyuluh Agama Islam merupakan agent of change, juga sebagai leader atau pemimpin bahkan sayyidul qaum. Dai/Penyuluh Agama Islam merupakan ungsur yang dominan dalam pelaksanaan dakwah/kepenyuluah agama, bahkan lebih dari itu ia merupakan pemegang kunci yang terpenting terhadap sukses atau tidaknya pelaksanaan dakwah/penyuluhan agama. Sehingga penyuluh agama sebagai figure central kepenyuluhan harus mampu merealisasikan kegiatan penyuluhan dalam VOL. VIII, No.1 Januari 2013
66
Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas
masyarakat, dimanapun ia berada. Sebab tanpa realisasi penyuluh agama/amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh orang/umat dengan kualitas terbaik (khaira ummatin), maka ummatan wahidatan menjadi tidak mungkin. Maka dakwah/penyuluhan agama menjadi bagian esensial yang tidak mungkin terpisahkan dengan ihtiar mewujudkan tatanan masyarakat yang ummatan wahidatan yang adil dalam ridha Allah “baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur”. Daftar Pustaka Al-Qur‟anul Karim Andi Darmawan, Landasan Epistemologis Ilmu Dakwah, dalam Metodologi Ilmu Dakwah. Yogyakarta. LESFI. 2002 Arifin.M. Psikologi Dakwah, Jakarta, Reneka.1987 Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Penyuluh Agama Tahun 2002, Petunjuk teknis jabatan fungsional Penyuluh Agama Islam, Jakarta, (Cet. Ke-3). Ghazali,Bahri.Dakwah Komunikatif, Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya.1999 ___________, Dakwah di Kepulauan, Yogyakarta, Penerbit Amanah.2011. Nasution,Harun. Teologi Islam, Jakarta, UI Press. 1987 Mubarok, Jiwa dalam al-Qur’an, Jakarta.Paramadina. 2000 Prayitno. Pengantar Bimbingan dan Konseling, Jakarta, Rajawali. 2008 Romli. Penyuluhan agama menghadapi tantangan baru, Jakarta. Bina Rena Pariwara.2001 Rakhmad,Jalaluddin, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, Cet. X, 1999. _________________. Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 2003. Sarlito W. Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta. Bulan Bintang. 1989. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Ziauddin Sardar. Tantangan Global Teknologi Komunikasi di Dunia Islam, Jakarta. Reneka.1988. Hal. 34
VOL. VIII, No.1 Januari 2013
67