DAFTAR ISI Agustina Dewi S Fungsi Asosiasi Pornografi dalam Pemberitaan Perkosaan di Harian Memo Timur - 83 Syahrur Marta Dwisusilo Mitos Tradisional Geisha: Representasi Perempuan Penghibur Jepang dalam Novel Yukiguni, Memoar of Geisha, dan Kembang Jepun - 90 Ema Faiza Respon Penutur Bahasa Indonesia Terhadap Pujian: Sebuah Kajian Pragmatik - 99 Lina Puryanti Representasi Multikulturalisme Australia dalam Puisi Australia dan Wogs Karya Ania Walwics - 110 Maimunah Indigenous Homosexsual: Representasi Waria dalam Film Panggil Aku Puspa - 121 Henriono Nugroho Wise Leaders in Wordsworth’s Poem - 129 Yulia Indarti Studi tentang Metafora dalam Kidung Ludruk - 139 Made Pramono Kultur Objektivitas Tubuh: Filsafat Dualisme Cartesian - 148
FUNGSI ASOSIASI PORNOGRAFI DALAM PEMBERITAAN PERKOSAAN DI HARIAN MEMO TIMUR Agustina Dewi S. Abstrak The aim of this article generaly to describing the use of pornography association of rape case in Harian Memo Timur Newapaper. As for stages;steps [of] performed within this research cover three phase, that is: ( 1) method and technique of data collecting, ( 2) method and technique analyse data, and ( 3) presentation method result of data analysis. Pursuant to analysis which have been done, term rape in Harian Memo Timur used a substitute terms such as menggarap, menggoyang, melepas hajat, dilumat, menghilangkan keperawanan, dan digilir. The term replacement conducted since relevant with interesting element in news writing. Beside of writing factor Drawing, the term replacement also very related with taboo theory. This matter because of view existence socialize us which "mensakralkan" of something which deal with seksualitas. The taboo theori gone into effect in the news of rape case since rape case represent a tragedy for sacrifice which can generate big ignominy so that have to be hidden. At its growth, the term replacement really also generate pornography association. Pursuant to solution result of inferential the research that function of pornography association at news rape are ( 1) drawing attention, ( 2) amusing, and ( 3) refining Keyword: fungsi asosiasi, pornografi, ragam jurnalistik
Pendahuluan Pasca Orde Baru, pemberitaan kriminal begitu marak di media. Salah satunya adalah pemberitaan kasus perkosaan. Salah satu alat utama yang digunakan media dalam menyampaikan informasi pada publik adalah bahasa. Fungsi bahasa tersebut telah mencakup lima fungsi dasar yang oleh Kinneavy (dalam Chaer, 2003) disebut dengan (a) fungsi ekspresi, (b) fungsi informasi, (c) fungsi eksplorasi, (d) fungsi persuasi, dan (e) fungsi entertainment. Dunia jurnalistik merupakan salah satu dari realisasi pemakaian bahasa dalam masyarakat. Secara umum sifat khas bahasa ragam jurnalistik adalah
singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik. Salah satu sifat khas dalam bahasa ragam jurnalistik yang seringkali diprioritaskan oleh media adalah ciri menarik. Dengan ciri menarik media berharap dapat membangun citra diri media tersebut pada publik. Hal ini dengan harapan bahwa salah satu strategi ini mampu menaikkan oplah penjualan media yang bersangkutan. Salah satu upaya yang dilakukan media untuk menimbulkan efek menarik adalah dengan memuat pemberitaan tentang perkosaan. Dalam pemberitaan kasus perkosaan, para jurnalis menggunakan variasi bentuk dalam memaparkan berita tentang perkosaan. Pada
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Jember
[email protected]
83
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 perkembangannya, variasi dalam pemberitaan tersebut mengacu pada asosiasi pornografi. Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana fungsi asosiasi pornografi dalam pemberitaan perkosaan di salah satu media massa, yaitu Harian Memo Timur. Memo Timur dipilih sebagai sampel dalam penelitian ini karena Memo Timur merupakan salah satu media massa yang sangat banyak memuat pemberitaan kasus perkosaan dengan menggunakan variasi bahasa yang mengacu pada asosiasi pornografi. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mendes kripsikan fungsi asos iasi pornografi dalam pemberitaan perkosaan di Harian Memo Timur. Dalam penelitian ini diharapkan dapat diperoleh beberapa manfaat. Pertama, dengan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh sebagian deskripsi tentang fungsi asosiasi pornografi dalam pemberitaan di media massa. Kedua, topik penelitian ini dapat menyajikan salah satu bahasan tentang fenomena asosiasi pornografi dalam ragam jurnalistik. Ketiga, deskripsi tentang fungsi asosiasi pornografi dalam pemberitaan di Memo Timur ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai data dasar bagi penelitian lebih lanjut dan dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa. Metode Pelaksanaan penelitian ini menggunakan tiga tahapan, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data (Sudaryanto, 1993:5). Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah metode simak
84
dengan teknik simak bebas, libat baca sebagai teknik dasar dan teknik catat sebagai teknik lanjutnya. Data diambil secara acak dari beberapa Harian Memo Timur yang terbit selama tahun 2004. Data yang telah terkumpul kemudian diklasifikasikan dengan melakukan pemilihan untuk mendapatkan data sebagai sampel penelitian. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua prosedur, yaitu (1) analisis selama pengumpulan data, (2) analisis setelah pengumpulan data (Miles dan Huberman, 1984:21-25; Muhadjir, 1996:105). Prosedur analisis selama pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah: (1) reduksi data, (2) sajian data, dan (3) pengambilan simpulan. Adapun prosedur analisis setelah pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah: (1) transkripsi data hasil pencatatan, (2) pengelompokan data yang berasal dari pencatatan, (3) Penafsiran fungsi asosiasi pornografi dalam pemberitaan perkosaan, dan (4) penyimpulan. Tahap terakhir adalah pemaparan hasil analisis data. Kerangka Dasar Teori Media massa merupakan realisasi penggunaan bahasa dalam masyarakat. Salah satu hal yang cukup menarik untuk dikaji berkaitan dengan pemberitaan di media massa adalah pemberitaan perkosaan. Hal itu menjadi cukup menarik karena variasi pemberitaan perkosaan tersebut mengarah pada munculnya asosiasi pornografi. Secara etimologi, pornografi berasal dari bahasa Yunani porne “perlacur” dan graphein “tulisan”. Dengan demikian, pornografi merupakan
Fungsi Asosiasi Pornografi dalam Pemberitaan Perkosaan di Harian Memo Timur
tulisan atau pendeskripsian mengenai pelacuran. Di samping itu, pornografi dapat diartikan sebagai tulisan atau gambar yang disajikan untuk membangkitkan nafsu birahi bagi orang yang membaca atau melihatnya. Di samping itu, menurut Hoed (1994:4) pornografi dapat diartikan penyajian halhal yang cabul, tidak senonoh, dan kotor. Cabul dalam KBBI (1995) berarti tidak s e no noh ( m e l a ngga r ke s op an an , kesusilaan). Menarik Perhatian Asosiasi pornografi dalam pemberitaan perkosaan untuk menarik perhatian pembaca. Hal ini sebagai upaya agar pemberitaan tersebut diminati untuk d i b a c a . D a y a t a r i k y a n g d a pa t memunculkan asosiasi pornografi tersebut dapat berupa kata, frasa, maupun klausa. Dengan adanya asos ias i pornografi tersebut, pembaca seakanakan terhipnotis untuk menikmatinya. Hal ini dapat dilihat pada data berikut. Judul: Biadab! Perkosa Gadis Bisu sampai Hamil, Disuruh Nikahi, Malah Ingkar Janji
... Pengakuan tersangka, ia nekat menggoyang anak tetangga itu karena tak betah dengan kemulusan korban. (MT, 21/4/2004)
Judul: Dirayu, Menolak, Dipaksa
.... Saat digoyang di dalam kamar pelaku, korban berkali-kali meronta minta dilepaskan. Tapi Jumali tak menghiraukannya. (MT,
22/5/2004) Data 1 dan 2 tersebut merupakan wacana yang berasosiasi pornografi. Daya tarik asosiasi pornografi dalam wacana
tersebut yaitu adanya ameliorasi yaitu perubahan makna kata menjadi lebih menyenangkan (sensual) dan tidak lagi menegangkan. Selain ameliorasi , sinestesia atau perubahan makna yang berkaitan dengan pertukaran indera juga menjadi salah satu daya tarik. Kata digoyang dan menggoyang harusnya mengacu pada gerakan tubuh yang sedang menari. Namun, pada data tersebut kata goyang bukan mengacu pada tubuh yang sedang menari tetapi sebagai pengganti kata perkosaan. Kata goyang umumnya menyatakan suatu perbuatan yang menyenangkan karena terkait dengan aktivitas berayun. Kata menggoyang tidak akan mengalami ameliorasi apabila diterapkan pada konteks kalimat yang lain, misalnya: Inul menari dengan menggoyang pinggulnya. Menghibur Asosiasi pornografi dalam pemberitaan perkosaan berfungsi pula untuk menghibur pembaca. Pembaca biasanya akan terhibur apabila membaca berita yang berasosiasi pornografi. Pemberitaan perkosaan yang berasosiasi pornografi ini dapat mengurangi rasa penat dan tegang. Oleh karena itu, pemberitaan perkosaan yang berasosiasi pornografi tersebut dapat dijadikan sebagai hiburan murah yang dapat meregangkan saraf-saraf dan otot-otot yang tegang. Hal ini dapat dilihat pada data berikut. Judul: Ayah Perkosa Anak Tiri Diancam Tujuh Tahun
.... Wardah menceritakan bagaimana tubuhnya dilumat oleh Samsi Abidin, ayah tirinya enam kali berturut-turut.
(MT, 20/2/2004)
85
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Pada data tersebut dapat kita lihat klausa tubuhnya dilumat digunakan oleh Harian Memo Timur untuk menggantikan istilah diperkosa. Apabila mengacu pada KBI kedua kata tersebut merupakan kata yang memiliki makna berbeda. Istilah diperkosa merupakan tindakan pasif perbuatan pemaksaan dengan cara kekerasan, sedangkan dilumat yang berasal dari bentuk dasar lumat yang bermakna 'sangat halus'. Dilumat merupakan aktivitas tubuh yang menggunakan indera pengecap (mulut). Pada data di atas dapat kita lihat bagaimana penulis mencoba menggantikan kata diperkosa dengan kata dilumat. Bisa kita amati bagaimana p en ggun aa n kat a di lum at unt uk menggantikan kata diperkosa yang justeru menimbulkan perubahan makna yang berupa sinestesia yaitu perubahan makna kata sebagai akibat dari adanya ungkapan yang bersangkutan dengan suatu indera yang dipakai untuk objek atau konsep tertentu, yang biasanya disangkutkan dengan indera lain. Menurut Keraf (1981) sinestesia terjadi karena hubungan antara suatu indera dengan indera yang lain dirasakan begitu rapat sehingga kata yang sebenarnya hanya dikenakan pada indera tertentu, dikenakan pula kepada indera yang lainnya. Pada data di atas dapat kita lihat bahwa perbedaan tanggapan indera pencecap yang menyebabkan terjadinya perubahan makna, yaitu dari kata diperkosa menjadi dilumat. Kata dilumat merupakan aktivitas yang menggunakan indera pengecap (mulut) sebagai alat. Pada pemberitaan kasus perkosaan di Harian Memo Timur, kata dilumat dipergunakan juga untuk
86
menggantikan kata diperkosa. Memperhalus Judul: Dirayu, Menolak, Dipaksa .... Setelah puas melepaskan hajatnya, korban disuruh ke luar rumahnya.
(MT, 22/5/2004)
Pada data tersebut dapat kita lihat klausa melepaskan hajat juga digunakan oleh Harian Memo Timur untuk menggantikan istilah perkosa. Apabila mengacu pada KBI kedua bentuk gramatikal yang berbeda tersebut, memiliki makna yang berbeda pula. Istilah perkosa bermakna 'pemaksaan atau penundukan dengan cara kekerasan', sedangkan klausa melepaskan hajat adalah suatu tindakan alamiah yang berupa membuang hajat (buang air besar/ kecil). Hal serupa dapat juga dilihat pada data berikut. Bisa kita amati bagaimana penggunaan klausa melepaskan hajat digunakan untuk menggantikan kata perkosa yang menimbulkan perubahan makna berupa eufemisme. Dengan penggantian kata perkosa menjadi klausa melepaskan hajat tersebut membuat kata perkosaan tersebut menjadi terkesan lebih halus karena melepaskan hajat adalah suatu tindakan yang alamiah dan tidak sarat dengan nuansa kekerasan. Judul: Perkosa 2 Bocah Dibui 11 Tahun, Denda Rp 60 Juta
.... Yang memalukan, pelaku sempat meludahi alat vital korban sebelum menggarap dan menghilangkan keperawanan bocah itu. .... (MT,
28/1/2004) Judul: Perkosa 2 Bocah Dibui 11 Tahun, Denda Rp 60 Juta
Fungsi Asosiasi Pornografi dalam Pemberitaan Perkosaan di Harian Memo Timur
... Entah bagaimana ceritanya, kedua bocah tersebut digilir, bahkan digerayangi hingga sembilan kali.
(MT, 28/1/2004) Berdasarkan data 5 dan 6 dapat diamati bagaimana penggunaan klausa menggarap dan menghilangkan keperawanan dan kata digilir digunakan untuk menggantikan kata perkosa yang menimbulkan perubahan makna berupa eufemisme. Dengan penggantian kata perkosa menjadi klausa menggarap dan menghilangkan keperawanan pada data (5) tersebut membuat kata perkosaan tersebut menjadi terkesan lebih halus karena seolah-olah tindakan yang berupa menggarap dan menghilangkan keperawanan tersebut adalah tindakan y a ng t i da k d i se n g a j a , s e h i n g ga nampaknya tidak sarat dengan nuansa kekerasan. Pada data 6 tersebut dapat dilihat bagaimana kata perkosaan diganti dengan bentuk digilir. Padahal kata digilir memiliki makna 'berganti, bertukar, berputar'. Pada kata digilir dijumpai perubahan makna menjadi lebih halus, yaitu pada istilah perkosa terdapat unsur kekerasan, sedangkan pada istilah digilir unsur kekerasan tersebut nampak samar atau tidak jelas. Hal ini tentu membuat pemberitaan kasus perkosaan tersebut seolah-olah menjadi suatu aktivitas yang dilakukan dengan suka sama suka sehingga terkesan sensual. Eufemisme ini dilakukan karena sangat terkait dengan teori tabu terhadap sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas dalam masyarakat kita. Dalam masyarakat, kata-kata yang berhubungan dengan seksualitas selalu dicari penggantinya menjadi lebih halus. Hal ini
dikarenakan hal-hal yang berbau seksualitas selalu dianggap sebagai sesuatu yang tabu dalam masyarakat, sehingga tidak boleh ditampilkan secara eksplisit. Simpulan Dalam memberitakan kasus perkosaan dapat kita lihat penggantian kata perkosaan dengan berbagai diksi lain dengan tujuan melakukan variasi sehingga tidak membuat pemberitaan di media menjadi monoton dan membosankan. Variasi ini dilakukan dengan berbagai macam cara salah satunya dengan menggunakan asosiasi pornografi. Salah satu media massa yang menggunakan asosiasi pornografi ini adalah Harian Memo Timur. Penggunaan asosiasi pornografi dalam pemberitaan kasus perkosaan dalam Harian Memo Timur ini selain dipilih karena sebagai salah satu cara untuk membuat pemberitaan menjadi menarik, juga sangat terkait dengan teori tabu. Hal ini dikarenakan adanya pandangan masyarakat kita yang mensakralkan sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas. Teori tabu tersebut diberlakukan dalam pemberitaan kasus perkosaan karena kasus perkosaan merupakan sebuah tragedi bagi korban yang dapat menimbulkan aib besar sehingga harus disembunyikan. Untuk menyembunyikan aib besar tersebut maka digunakanlah perubahan makna yang cenderung pada asosiasi pornografi untuk menggantikan istilah perkosa. Istilah perkosa dalam Harian Memo Timur digunakan istilah-istilah pengganti seperti menggarap, menggoyang, melepas hajat, dilumat, menghilangkan keperawanan, dan digilir.
87
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Penggantian istilah tersebut ternyata juga menimbulkan asosiasi pornografi. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi asosiasi pornografi pada pemberitaan perkosaan adalah (1) menarik perhatian, (2) menghibur, dan (3) memperhalus.
DAFTAR PUSTAKA Bloomfield, Leonard. 1961. Language. New York: Holt, Rinehart and Winston. Campbell, Lyle. 1998. Historical Linguistics an Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press
Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London and New York: Longman. Hymes, Dell. 1968. “On Comunicative Competence”. Dalam Pride and Holmes (ed.) Sociolinguistics. England: Pinguin Books. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta:Gramedia. Miles, Matthew B., dan A. Michael Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis. Terjemahan Tjetjep Rohendi R. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI.
Chaer, Abdul. 1989. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta.
Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rakesarasin.
……………….1993. Pembakuan Bahasa Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta.
Parera, Jos Danial. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
……………….1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
……………….2003. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta:Rineka Cipta.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Te k n i k A n a l i s i s B a h a s a . Yo g y a k a r t a : D u t a Wa c a n a University Press.
Crowly, Terry. 1992. An Introduction to Historical Linguistics. New York: Oxford University Press.
Tarigan, Henry. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung:Angkasa.
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
Wardaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.
Hoed, Benny Hoedoro. 1994. “Erotisme dalam Bahasa” dalam Lembar Sastra Universitas Indonesia.
Memo Timur. 28/1/2004. “Perkosa 2 Bocah Dibui 11 Tahun, Denda Rp 60 Juta”.
88
Fungsi Asosiasi Pornografi dalam Pemberitaan Perkosaan di Harian Memo Timur
Memo Timur. 20/2/2004. “Ayah Perkosa Anak Tiri Diancam Tujuh Tahun ”. Memo Timur. 21/4/2004. “Biadab! Perkosa gadis Bisu Sampai Hamil, Disuruh Nikahi, Malah Ingkar Janji”. Memo Timur. 22/5/2004. “Dirayu, Menolak, Dipaksa”.
89
MITOS TRADISIONAL GEISHA: REPRESENTASI PEREMPUAN PENGHIBUR JEPANG DALAM NOVEL YUKIGUNI, MEMOAR OF GEISHA DAN KEMBANG JEPUN Syahrur Marta Dwisusilo Abstract In the process of cultural and language transformation, word of Geisha has been interpreted in many kind of meaning. The image of Geisha as a Japanese prostitute and comfort woman is traditionally known as a common stereotype of people around the world and represented in many media and literature works. The purpose of this research is to explore and compare stereotype image of Japanese Geisha in literary world that represented by Geisha characters in Memoir of Geisha, Kembang Jepun and Yukiguni. This research uses history perspective and extrinsic analysis on creation process and representation of character image on texts. Patriarchies culture and existency of characters reference in the real world are the most important factors that influence representation of Geisha image on these novels. Kata-kata kunci : Geisha, Representasi, Stereotip, Budaya Patriarkis Pendahuluan Geisha, adalah salah satu simbol budaya tradisional Jepang yang eksotis telah banyak di eksplorasi dalam berbagai media representasi seperti: sastra, cinematografi maupun dalam bentuk produk budaya material seperti, fashion. Selain menjadi simbol tradisionalisme dari sebuah komunitas bangsa, secara khusus Geisha juga telah menjadi representasi dari perempuan yang menjadi atribut dari dominasi budaya tradisonal yang patriarkis. Bahkan penyajian ataupun pemunculan atmosfer tradisionalisme Jepang melalui Geisha akan identik dengan sosok berbaju
*)
berkimono, bersanggul, ber-make-up tebal dan berperilaku pendiam dan lemah lembut dihadapan pria. Lebih parah lagi, reduksi makna Geisha menjadi sekadar pelacur ala Jepang yang keberadaannya sebagai pemuas nafsu laki-laki, sudah persepsi umum yang banyak dianut oleh komunitas dunia, termasuk Indonesia. Stigma dan stereotype ini masih berlanjut dan melekat sampai sekarang ini sebagai sebuah pemahaman komunal masyarakat terhadap simbol budaya tersebut. Pemaknaan terhadap figur Geisha yang beranjak dari stereotip dan stigma diatas telah banyak mengalami diversifikasi (keragaman) dalam proses
Departemen Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, tlp 031-5035676
90
Mitos Tradisional Geisha
transformasi sejarah, bahasa dan budaya. Yukiguni (Kawabata Yasunari), Kembang Jepun (Remy Silado) dan Memoar of Geisha (Arthur Gordon) adalah contoh dari novel yang mengalami proses transformasi tersebut Ketiganya memakai penandaan yang sama, yaitu kata Geisha, untuk menandai identitas tokoh ceritanya, akan tetapi perbedaan tampak dalam pengembangan karakter yang mempresentasikan oleh tokoh Geisha dalam masing-masing novel itu itu sendiri. Geisha dalam Perspektif Sejarah Kata Geisha pada awalnya lazim digunakan untuk menyebut makna orang yang punya bakat luar biasa dalam bidang seni. Kata Geisha juga bukan hanya digunakan untuk merujuk profesi penghibur seperti yang terjadi pada saat sekarang ini tapi juga untuk menyebut orang yang pandai dalam ilmu bela diri dan berperang. Sebutan Geisha yang merujuk pada makna penghibur juga tidak hanya sebatas ditujukan untuk kaum perempuan saja, saat itu laki-laki yang bekerja di bidang seni juga disebut dengan panggilan Geisha. Keduanya dibedakan dengan sebutan OtokoGeisha (laki-laki) dan OnnaGeisha. Selanjutnya OtokoGeisha lebih lazim disebut Houkan. Dalam perkembangan selanjutnya, kata Geisha di wilayah Tokyo (Edo) digunakan hanya untuk menyebut Geisha perempuan, dan sebaliknya di daerah Kansai (Osaka dan Kyot o), Gei sha jus tru menj adi kependekan nama dari OtokoGeisha (laki-laki), sedangkan yang perempuan disebut dengan nama varian baru yang
masih terkenal sampai sekarang yaitu Geiko. OnnaGeisha pada awalnya hanya tinggal dan bekerja di tempat khusus perempuan penghibur atau yang biasa disebut dengan nama Yuukaku atau Yuri Akan tetapi kemudian sejalan dengan waktu, banyak juga yang mulai bekerja diluar Yuukaku serta melakukan melakukan kegiatan prostitusi untuk mendapatkan tambahan pendapatan, sehingga muncul apa yang disebut dengan istilah Miban Geisha. Awalnya muncul Geisha wanita sebagai penghibur berasal dari sejenis pelayan wanita khas asia timur dalam perjamuan-perjamuan makan yang disebut dengan nama Sirabyoushi. Shirabyoushi ini mempunyai tugas dan pekerjaan menari sambil membawakan syair-syair lama Jepang atau kesenian-kesenian China jaman dulu. Persentuhan Geisha dengan dunia prostitusi diawali dari antara tahun 16881704 (Genroku ), dimana Shirabyoushi mulai berkembang menjadi 2 bentuk yang berbeda. Perkembangan pertama yaitu dari Shirabyoushi yang kurang memiliki bakat seni, dan dipekerjakan di tempat hiburan yang lazim disebut dengan Yuukaku. Di dalam Yuukaku mendapat sebutan nama sebagai taiko jouro. Dari taiko jouro menjadi salah satu objek industri hiburan komersial antara tahun 1751-1764l dan menjadi cikal bakal Geisha dalam artian wanita penghibur di dalam rumah-rumah hiburan (Yuukaku). Akar kemunculan Geisha dan pelacur meskipun bisa dikatakan berbeda, akan tetapi persentuhan Geisha dengan dunia prostitusi secara intens ditemukan dalam kehidupan di Yuukaku ini. Sebelum Geisha muncul, pemberian nama wanita
91
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 penghibur dalam kompleks hiburan Yuukaku dibedakan menurut tingkatan pendapatnnya dimana penyebutan antara daerah (Osaka dan Kyoto) dan Kanto (Tokyo) berbeda. Untuk daerah Kyoto disusun dengan urutan penyebutan nama seperti: Tayu- Tenjin – Kyokujoro (Hashijorou) dan seterusnya, sedangkan untuk daerah Tokyo disusun dengan urutan penamaan seperti Oiran- Koshi – Sancha dan seterusnya. Wanita penghibur kelas tertinggi seperti Tayu dan Oiran juga mempelajari seni, dan terkadang muncul dalam pertunjukan drama Noh, tarian, dan Samisen sehingga disebut juga Maitayu atau Nohtayu. Antara Geisha dan Maitayu menjadi sulit dibedakan karena kemampuan seninya. Salah satu wanita penghibur yang erat hubungan dengan perkembangan Geisha adalah yang disebut dengan Taiko Shinzou atau Taiko Jorou. Seperti yang telah disinggung diatas, Taiko Jorou ini b e r as a l d ar i S hi r ab you shi y an g dipekerjakan di Yuukaku dan bertugas menghibur dengan kesenian seperti, samisen, tarian dan lagu-lagu dalam drama boneka Joruri. Taiko Shinzo inilah yang banyak disebut sebagai awal dari lahirnya Geisha didalam kompleks hiburan Yuukaku,dan berkembang dengan sebutan Geisha Yuukaku. P e r k e m b a n ga n k e d u a d a r i Shirabyoushi adalah yang disebut dengan nama Odoriko yang merupakan wanita penghibur yang tidak berada di bawah naungan lembaga yang memiliki ijin resmi (Yuukaku) dari pemerintah saat itu. Sesuai dengan namanya yang berarti anak perempuan penari, pekerjaan pertama yang digelutinya adalah menari dan kebanyakan dilakukan oleh remaja
92
perempuan belasan tahun. Akan tetapi seiring dengan banyaknya permintaan dan makin tenarnya Odoriko ini, selanjutnya pekerjaan seni seperti memetik Shamisen juga dilakukan perempuan-perempuan dewasa yang mulai tertarik untuk yang menjadi Odoriko. Pada antara tahun Meiwa (17641772), dengan memperbandingkan panggilan Geisha yang ada di Yuukaku, Odoriko disebut juga dengan nama Geisha Machi atau Geisha Kota. Geisha Machi ini umumnya diundang secara pribadi di rumah-rumah kaum samurai dan pedagang perkotaan. Selain itu juga Geisha Machi juga menerima panggilan dari restoran-restoran makan, tempat minum teh ataupun restoran kapal. Geisha Machi yang hidup di luar Yuukaku ini disebut juga Okabasho. Mereka tinggal di distrik-distrik seperti Gion di Kyoto, Fukugawa, Yanigabashi dan Akasaka di Tokyo, dan membentuk kelompok sendiri dengan aturan-aturan dan budaya mereka sendiri. Geisha kota yang mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding Geisha dalam Yuukaku, sehingga di Edo (nama lama Tokyo) bahkan bisa dikatakan bahwa ada 2-3 Geisha di setiap wilayah distrik kota. Di distrik-distrik kota seperti Gion (Kyoto) dan Asakusa (Tokyo) inilah Geisha masih bertahan sampai sekarang. Pada awal tahun 1779, Geisha di daerah Tokyo mengalami standarisasi dalam berpakaian dan aturan, serta dicatat di sebuah kantor regristrasi dan mulai membayar pajak dari penghasilannya. Diluar perkembangan Geisha diatas, di daerah dikenal juga apa yang disebut Geisha Onsen atau Geisha Ryokan. Geisha ini bekerja di tempat-tempat pemandian air panas dan penginapan di
Mitos Tradisional Geisha
daerah-daerah pedesaan. Perkembangan Geisha ini bersamaan dengan perkembangan wanita hiburan di tempat pemandian yang disebut furoujorou yang bertugas menemani para pelanggan yang ingin berendam air panas di tempattempat pemandian umum. Pada awal berdiri nya lokasi baru Yuukaku Yoshiwara tahun pertengahan tahun Meireki (1655-1658) wanita penghibur jenis ini masih dipekerjakan di dalam Yuukaku. Akan tetapi pada pertengahan tahun Kanbun (1661-1673) Pemerintahan Tokugawa Bakufu memberlakukan aturan ketat yang melarang keberadaan wanita penghibur selain mereka yang secara resmi diberikan ijin oleh pemerintah saat itu. Akhirnya jenis wanita penghibur ini menyingkir ke daerah-daerah dan bersamaan dengan itu di daerah-daerah juga muncul Geisha-Geisha sebagai penghibur yang memiliki kemampuan seni. Pada masa akhir pemerintahan Meiji (1868~1912), dimana Jepang mulai membuka isolasinya terhadap dunia luar, dunia Geisha atau yang biasa disebut dengan kairyuukai mengalami perubahan besar dimana pengawasannya beralih ke tangan polisi kota. Pada saat itulah Geisha ini mulai masuk dan terdengar di kalangan pemerintahan. Ini disebabkan mulai dipergunakannya Geisha dalam perjamuan pemerintahan dan pertemuanpertemuan politik yang biasa disebut dengan Machiai-Seiji. Disebabkan tradisi dan aturan-aturan yang ketat dalam menjaga rahasia klien yang diberlakukan pada diri Geisha, maka tugas menemani tamu dalam pertemuan-pertemuan rahasia diserahkan pada Geisha. Pekerjaan ini membuat posisi dan strata sosial Geisha
naik di mata masyarakat dari hanya sekedar seorang wanita penghibur biasa. Kemampuan seni Geisha juga semakin dipertajam melalui sekolah-sekolah khusus Geisha, bahkan cerita-cerita tentang kehidupan Geisha mulai dimuat dalam catatan-catatan syair masa itu. Akan tetapi seiring dengan pertambahan jumlah Geisha, semakin banyak pula Geisha yang memiliki kemampuan seni rendah di tempat-tempat minum dan jamuan yang sulit dibedakan dengan hostes atau pelayan wanita (Shakufu). Pada masa setelah Perang Dunia ke-2, tepatnya tahun 1947 pengawasan dipindahkan dalam pengawasan Dewan Keamanan Umum bentukan Amerika dan keluarlah aturan tentang pembatasan jumlah dan wilayah operasi bisnis yang berkaitan dengan Geisha. Seiring dengan kemajuan negara Jepang dan masuknya budaya-budaya populer barat serta maraknya bar-bar atau tempat hiburan yang lebih murah dan praktis, jumlah Geisha di seluruh Jepang sekarang ini semakin berkurang dan diperkirakan hanya sekitar 15.000 orang di seluruh Jepang. Selain itu Geisha yang ada sekarang ini, terutama yang berada di desa kebanyakan telah berusia lanjut. Geisha pertama kali dikenal di dunia internasional dengan sebutan “Geisha Garu” (Geisha Girl) melalui orang-orang Barat yang datang ke Jepang pada masa Meiji dan lebih sering dipandang sebagai wanita pelacur ala t i m u r. I n i l a h y a n g k e m u d i a n melatarbelakangi stereotype dan mitos tradisional Geisha pada media-media budaya sekarang ini, termasuk sastra.
93
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Geisha dalam Memoir of Geisha Dari keseluruhan karakteristik tokoh Geisha yang dimunculkan oleh Arthur Gordon dalam novelnya itu, kesemuanya berkaitan erat dengan tema persaingan dan kompetisi dalam mendapatkan ketenaran sebagai Geisha yang terbaik di kawasan Gion. Arthur Gordon mendasarkan cerita mengenai kehidupan Geisha ini melalui penuturan seorang mantan Geisha yang bernama Iwasaki Mineko yang pada pada tahun 1960-an merupakan Geisha terpopuler di kawasan Gion, Tokyo. Informan sekaligus model yang penting dalam novel ini. Hal ini menjadikan sosok Geisha yang diangkat Gordon dalam novelnya hanya terbatas pada Geisha di wilayah perkotaan Gion. Dalam novel ini terdapat 2 titik balik penting yang mempengaruhi kehidupan Geisha yaitu apa yang disebut dengan nama Mizuage dan hubungan patronasi dengan Dana-san. Mizuage adalah upacara untuk melepaskan keperawanan dari seorang calon Geisha oleh seorang pelanggan terpilih sebagai penisbahan dalam memasuki dunia profesinya. Harga dari Mizuage ini menentukan kepopuleran dan kedudukannya dalam Okiya tempat Geisha itu dibesarkan. Semakin mahal harga mizuage maka Geisha tersebut dianggap berprospek baik dalam profesinya. Sedangkan apa yang disebut Dana merupakan pelanggan tetap yang memiliki kontrak khusus dengan institusi Okiya, untuk mendapatkan hak-hak khusus dalam memperoleh pelayanan seorang Geisha. Kontrak khusus ini sekaligus mengganti seluruh biaya
94
operasional seorang untuk menjadi Geisha, bahkan memberikan keuntungan kepada Okiya dimana Geisha itu berada, sehingga semakin tinggi nilai kontrak tersebut semakin ternama seorang Geisha tersebut. Selain itu pekerjaan, strata sosial yang dimiliki oleh Dana juga mempengaruhi karier seorang Geisha. Kontrak profesional Geisha dan Dana secara umum dijelaskan dalam teks dengan sebagai berikut : Syarat-syarat kesepakatan ini mungkin mewajibkansi danna membayar sebagian utang si Geisha dan menutup banyak biaya hidupnyasetiap bulan- seperti misalnya, biaya make-up dan mungkin sebagian biaya pendidikannya, mungkin juga biaya pengobatannya. Kendati sudah membayar biaya-biaya mahal ini, laki-laki itu masih harus membayar tarif per jam si Geisha yang biasa setiap kali dia melewatkan waktu dengan si Geisha, sama seperti para pelanggan lainnya.(Arthur Golden, 2002:161)
Kata Dana sendiri dalam konteks budaya Jepang memiliki makna ganda. Pertama adalah digunakan sebagai panggilan bagi patron atau pelindung seperti hubungan antara Samurai dengan Tuannya, sedangkan makna kedua adalah suami, yang sampai saat ini masih secara luas dipakai sebagai panggilan dalam keluarga Jepang. Hubungan patron-client yang ditujukan melalui pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari serta keterikatan pada sebagai seorang pasangan, dan sebagai bentuk imbalan
Mitos Tradisional Geisha
dari pelayanan baik kebutuhan seksual maupun kebutuhan spiritual dari patron, membuat representasi Geisha dalam novel Gordon mengarah pada image seorang istri simpanan. Pelukisan Mizuage sebagai salah satu tradisi yang penting dalam dunia Geisha juga merupakan salah satu aspek sensual dari Geisha yang diangkat oleh Gordon dan mendekatkan figurGeisha ke arah dunia prostitusi, meskipun Gordon telah membuat perbedaan yang jelas antara pelacur dan Geisha dengan membedakannya tempat Geisha Okiya dengan tempat pelacuran yang disebut dengan nama Jourou-ya dalam novelnya itu. Selain itu Gordon juga banyak mengangkat aspek-aspek seni dalam diri Geisha seperti kemampuan tarian, bermain samisen dan bernyanyi dalam diri Geisha melalui penuturan tokoh utamanya. Geisha dalam Memoir of Geisha adalah seorang Geisha yang terinstitusional pada sebuah lembaga yang bernama Okiya. Oleh karenanya dikenal hirarki hubungan yang kuat antara Geisha senior dan junior, Geisha dengan pemilik Okiya, Geisha dengan pelanggan. Selain itu aturan-aturan dan tradisi yang ketat seperti tidak boleh berhubungan dengan orang lain selain pelanggan, bepergian secara bebas, keharusan belajar musik tradisonal dan seterusnya, menunjukkan keberadaan Geisha sebagai sebuah komunitas masyarakat dalam sebuah ikatan profesi yang memiliki kode etiknya tersendiri. Melihat dari gambaran waktu dan tempat yang melatarbelakangi novel ini, yang berkisar antara masa-masa sekitar Perang Dunia II maka representasi Geisha di kawasan Gion ini adalah
representasi dari kehidupan Geisha Machi (Geisha perkotaan) pada saat itu. Seperti yang telah dituliskan dalam tinjauan sejarah diatas, pada masa tersebut Geisha Machi yang tinggal di tempat-tempat Okabasho seperti Gion menjadi sangat populer dan dikenal oleh dunia Barat serta dekat dengan dunia politik dan prostitusi. Karena tidak mengherankan bila Geisha yang direpresentasikan dalam novel ini adalah Geisha Machi dengan dana dari kalangan militer dan politik serta dekat dengan status sebagai istri simpanan. Geisha dalam Kembang Jepung Geisha yang direpresentasikan dalam novel ini jauh berbeda dengan yang disajikan dalam dua novel lainya. Dimunculkan melalui tokoh bernama Keiko yang pada awalnya bernama Keke, adalah seorang gadis belia Manado yang dijual di tempat pelacuran bernama Shinju milik seorang Jepang, Kotaro Tamura yang terletak di jalan Kembang Jepun dan dilatih untuk menjadi Geisha yang melayani tamu di tempat pelacuran tersebut dengan pertimbangan lebih ekonomis daripada mengimpor Geisha dari Jepang. Geisha Kembang Jepun merupakan tiruan atau mimetik dari sosok Geisha yang berada di Jepang dan sebagaimana yang dilakukan oleh Arthur Golden, Remi Silado melakukan penafsiran terhadap simbol budaya Jepang ini, kemudian mencoba menghadirkannya dalam konteks keindonesiaan. Meski Remi Silado juga mahir menggunakan istilah-istilah bahasa Jepang yang berkaitan dengan kehidupan Geisha akan tetapi Remi Silado juga sepertinya mengalami kebingungan
95
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 dalam merepresentasikan sosok Geisha sebagai seorang pelacur atau bukan dalam novelnya ini. Dalam awal pembuka novelnya figur Geisha didiskripsikan melalui penuturan Yoko sebagai berikut : Saya Geisha. Saya suka menjadi Geisha, sebab Geisha menyenangkan. Gei berarti seni, Sha berarti pribadi. Sejak usia sembilan tahun, saya memang dibina untuk menguasai seni. Saya pandai menyanyi, memainkan shamisen dan taiko, menuangkan teh dan sake, memijat dan mengurut, serta menghibur dengan menyerahkan seluruh badan saya kepada semua lelaki yang datang pada saya di Shinju. (Remi Silado, 2002:5)
Remi Sylado melakukan misinterpretasi atau paling tidak simplifikasi dalam melakukan diskripsi tentang tokoh Geisha dengan mempersamakan Geisha dengan Yujo adalah mencampuradukan antara dunia Geisha dan pelacuran. Di Jepang, Yujo adalah sebutan untuk wanita penghibur atau pelacur secara umum yang bekerja di sebuah tempat yang disebut Yuukaku. Geisha juga bekerja di Yuukaku akan tetapi dikhususkan untuk menemani dan menghibur dengan kesenian tradisional Jepang seperti Samisen. Keinginan Remi untuk bisa menampilkan daya tarik Geisha, menyebabkan novel ini begitu ambisius untuk melakukan eksploitasi terhadap kehidupan seksual Geisha, sehingga menyebabkan representasi Geisha pada novel ini lebih dekat ke figur pelacur
96
Jepang. Ilustrasi hubungan seksual yang luar biasa berulangkali muncul untuk mengekploitasi aspek sensualitas dari Geisha ini. Kesulitan dalam melakukan pemisahan terhadap dunia Geisha dengan dunia pelacuran Jepang bisa jadi karena Geisha wanita juga dibesarkan di rumahr u m a h h i b u r a n a t a u Yu u k a k u sebagaimana halnya pelacur biasa. Selain itu, dalam sejarah hubungan Jepang –I ndone si a, p ada aw al s e be lu m kemerdekaan sesuai dengan setting waktu novel ini, pelacur-pelacur Jepang yang disebut dengan nama Karayuki banyak beroperasi di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang dengan dandanan khas Jepang seperti Sanggul, baju kimono dan make-up tebalnya mudah untuk disalahartikan sebagai Geisha dalam terminologi pekerja seni. Lat a r se j ar ah i ni l a h yang mempengaruhi representasi Geisha dalam novel Jepun masih kuat melekat pada mitos Geisha sebagai pelacur Jepang kelas tinggi yang mampu memberikan kepuasan pada laki-laki. Geisha dalam Yukiguni Dalam Novel Yukiguni, Geisha dimunculkan melalui tokoh Komako, seorang Geisha paruh waktu yang bekerja d i s e b u a h Ry o k a n ( P e n g i n a p a n Tr a d i s i o na l J e p a n g) d a n O n se n (pemandian air panas). Melalui tokoh utamanya Shimamura, dari awal Kawabata telah mempresentasikan Geisha sebagai seorang wanita yang mengerti benar memberikan kenyamanan dan memahami perasaan seorang laki-laki. Berbeda dengan Geisha pada
Mitos Tradisional Geisha
Memoir of Geisha dan Kembang Jepun yang mengeksloitasi daya tarik Geisha dalam aspek seksualitas dan fisik, pada Geisha Yukiguni ini justru tidak menyentuh wilayah ini. Dalam novel ini tidak terdapat satupun penggambaran mengenai kehidupan seksualitas Geisha, ataupun terminologi kata yang berkaitan dengannya seperti Yonaki ataupun Mizuage. Sebaliknya melalui Shimamura, Kawabata lebih banyak mengangkat sensualitas Geisha dari kepandaian seninya, terutama dalam memainkan shamisen. Dalam Memoir of Geisha dan Kembang Jepun, Geisha yang menjadi tokoh utamanya selalu digambarkan sebagai wanita yang cantik secara fisik, akan tetapi Geisha yang direpresentasikan Kawabata berbeda dan bukanlah wanita yang sempurna secara fisik. Geisha Yukiguni adalah jenis Geisha Onsen daerah pedesaan yang bersifat lebih bebas dan tidak terikat oleh aturan institusional seperti Geisha Machi maupun Geisha Yuukaku yang direpresentasikan oleh Memoir of Geisha dan Kembang Jepun. Karenanya hubungan Komako sebagai Geisha dan Shimamura, bukan sekedar hubungan profesional dengan pelanggan tapi lebih bersifat personal antara seorang wanita dan pria. Begitu juga perasaanperasaan yang mengiringi hubungan mereka. Dal am m enci pt akan t okoh Komako dalam Yukiguni sebagai seorang Geisha Ryokan, sebagaimana memoir of Geisha , Kawabata juga memiliki model yang bernama Matsue. Seorang Geisha dengan nama asli Kotaka Kiku yang ditemui Kawabata di sebuah tempat
makan dan penginapan yang bernama Toyodaya di kota Yuzawa 2 tahun sebelum novel ini diterbitkan. Mengomentari tokoh Geisha Komako ini, dalam wawancara Kawabata menyangkal bahwa tokoh Komako dan tokoh utama aku dalam novel ini adalah dirinya dan Matsue yang ada di dunia nyata, akan tetapi tidak bisa dibantah bahwa dalam mempresentasikan sosok Geisha sebagai Geisha Onsen pedesaan, Kawabata Yasunari terinspirasi oleh Matsue. Kesimpulan Dari pembahasan ke tiga novel yang diciptakan oleh pengarang dari 3 latar budaya yang berbeda ini, dengan mempertimbangan aspek kesejarahan simbol budaya yang diangkat, proses penciptaan dan pembacaan secara dekat terhadap teks itu sendiri dapat diambil simpulan antara lain bahwa dalam merepresentasikan Geisha, ketiga novel masih menumpukkan pada figur wanita sebagai sebuah stereotype umum sekaligus bias dalam gender yang tidak bisa dilepaskan oleh ketiga pengarang tersebut, m engingat pada as p ek kesejarahan profesi Geisha sebagai pekerja seni tidak hanya didominasi oleh wanita tapi juga laki-laki. Hal ini menunjukkan kuatnya budaya patriarkis yang sukar dilepaskan dalam lingkar budaya tersebut yang menempatkan Geisha sebagai objek dari dunia laki-laki. Selain itu, perbedaan-perbedaan konsepsi ini disebabkan oleh perbedaan rentang budaya antara penulis dengan budaya asal dimana simbol budaya itu lahir dan perbedaan latar waktu dimana Geisha itu dimunculkan dalam novel tersebut
97
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 menyebabkan terjadi misinterpretasi seperti yang terjadi pada beberapa ikon bahasa yang dipakai dalam kembang jepun. Keberadaan model dari karakter Geisha yang diciptakan juga factor yang menentukan perbedaan representasi citra Geisha dalam ketiga novel tersebut. Dalam merepresentasikan Geisha, ketiga novel masih menumpukkan pada figur wanita sebagai sebuah stereotype umum sekaligus bias dalam gender yang tidak bisa dilepaskan oleh ketiga pengarang tersebut, mengingat pada aspek kesejarahan profesi Geisha sebagai pekerja seni tidak hanya didominasi oleh wanita tapi juga laki-laki. Hal ini menunjukkan kuatnya budaya patriarkis yang sukar dilepaskan dalam lingkar budaya tersebut yang menempatkan Geisha sebagai objek dari dunia laki-laki. DAFTAR PUSTAKA Ajip Rosidi, 1980, Daerah Salju, Jakarta: Pustaka Jaya
Louis Frederic, Japan Encyclopedia, 2002, London: The Belknap Press of Harvard Mineko Iwasaki, 2002, Geisha Life, New York:Atria Books Ono Takeo, 1983, Yuujo To Kuruwa No Zushi, Tokyo, Tenposha Sakuragawa, 1981, Taikomochi, Tokyo, Hyobonsha Siichi Yoshida, 1980, Gendai Nihon Bungakushi, Tokyo: Oufuusha Silado Remi, 2002, Kembang Jepun, Jakarta: Gramedia Tsunoda Ryusaku, De Barry, WM Theodore, Kenne Donald, 1964, Source of Japanese Tradition, Vol.2 New York: Columbia Press TeeuwA, 1983, Membaca dan Menilai Sastra, Jakarta: Gramedia
Fokema, D.W., Kunne-Ibsch, Elrud, 1998, Teori Sastra Abad kedua Puluh, Jakarta: Gramedia
Varley Paul, 2000, Japanese Culture, Honolulu: University Press
Golden Arthur, 2002, Memoar of Geisha, Jakarta: Gramedia
Yasunari Kawabata, 1987, Yukiguni, Tokyo:Kakugawabunkou
Hall, Stuart (editor), 1997, R E P R E S E N TAT I O N C u l t u r a l Representations and Signifying Practices, London: Sage Publication in association with The Open University. Harold, Aram Veeser, 1989, The New H i s t o r i c i s m , N e w Yo r k London:Routledge
98
RESPON PENUTUR BAHASA INDONESIA TERHADAP PUJIAN (Sebuah Kajian Pragmatik) Ema Faiza Abstract As one of the culturally-bound speech acts, the realization of compliment responses may vary greatly among speakers of different languages. By assumming that speakers of different languages respond to a compliment using different utterances and strategies, the main focus of this article is to investigate the type of compliment responses uttered by Indonesians. It will also describe the pattern of strategy used by Indonesians to respond to a compliment in terms of the use of politeness principles in maintaining the social relationship. The findings show that Indonesians tend to apply politeness principles in responding to a compliment with the aim of saving 'face', either for the speaker or the hearer. This is done by most of them by choosing the nonverbal response type, i.e. smiling or applying 'smiling strategy' so that they can give face to the speaker by smiling to signify acceptance of the compliment given. At the same time, they also lessen the risk of losing face by not govong a verbal response that might invite an unexpected response in return. All in all, the pattern of strategies and the choice of response type in compliment response are very much related to the cultural background of the speakers. For Indonesias, complimenting and responding to a compliment sebuah are not a common daily behavior. On the other hand, in western culture, complimenting and responding to a compliment by way of acceptance or positive elaboration are regarded as a common norm. Cultural differences in relation with the pragmatic use of language in daily communication can surely become the means of raising cross-cultural awareness so that it may reduce misunderstanding in the communication among people with different cultural backgrounds. Keyword: pujian, prinsip kesopanan, prinsip kerjasama Latar Belakang Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam pergaulan masyarakat mengingat fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi dalam interaksi verbal antaranggota masyarakat. Interaksi ini merupakan suatu bentuk aktifitas sosial yang bertujuan utama untuk menjaga dan memelihara hubungan sosial. Demi menjaga hubungan tersebut seorang penutur
*)
bahasa tidak hanya dituntut untuk memahami bentuk-bentuk ujaran yang digunakan dalam sebuah peristiwa tutur, tetapi juga yang lebih penting lagi adalah memahami fungsi ujaran-ujaran tersebut. Untuk dapat menjalin komunikasi dengan baik, seorang penutur bahasa dituntut untuk memiliki pengetahuan kebahasaan agar dapat mengemas makna yang ingin disampaikan dan memahami makna ujaran yang diucapkan oleh kawan
Departemen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, tlp 031-5035676
99
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 bicaranya. Pengetahuan bahasa ini oleh Chomsky (1965: 4) disebut kompetensi (competence) yang mengacu kepada pengetahuan penutur bahasa tentang bahasa yang digunakan. Kompetensi ini selanjutnya dikontraskan dengan performa (performance) yang merupakan penggunaan bahasa secara aktual dalam situasi kongkrit. Membantah pendapat Chomsky, Hymes (1972) menyatakan bahwa kompetensi tidak hanya mencakup pengetahuan tentang serangkaian kaidah untuk memformulasikan kalimat yang benar secara gramatikal, tetapi juga mencakup pengetahuan tentang kaidah berbicara (rules of speaking) yang melibatkan faktor-faktor nonbahasa dalam situasi tutur seperti kapan seseorang berbicara, kapan tidak berbicara, dengan siapa ia berbicara dan tentang apa, dimana, bilamana dan dengan cara yang bagaimana. Kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah-kaidah gramatikal bahasa tersebut dari kaidah-kaidah sosial penggunanya disebut kompetensi komunikatif (communicative competence). Kompetensi komunikatif menurut Hymes mencakup empat aspek, yaitu kemungkinan (possibility), kelayakan (feasibility), kesesuaian dengan konteks (approprateness) dan kemunculan ( o c c u r re n c e ) . Te o r i H y m e s i n i mempengaruhi model kompetensi komunikatif yang dikemukakan oleh Canale dan Swain (1981) yang terdiri atas tiga komponen, yakni kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi strategis. Canale (1983) menambahkan satu lagi komponen
100
kompetensi komunikatif, yakni kompetensi wacana yang merupakan kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan makna gramatikal untuk membentuk teks dalam bentuk lisan dan tulisan secara utuh sesuai dengan genre. Berkembangnya teori kompetensi ko m u ni ka t i f i ni s e i r i n g d e ng an munculnya pendekatan baru yang mengkaji fenomena-fenomena bahasa yang tidak lagi hanya melihat bahasa dari sudut kajian linguistik murni saja, atau dikenal dengan pendekatan formal. Pendekatan baru yang dikenal sebagai pendekatan fungsional ini lebih menekankan telaah bahasa pada kaidah pragmatik bahasa. Salah satu kajian bahasa yang menggunakan pendekatan ini adalah kajian tindak tutur yang dipelopori oleh Austin (1962). Dalam kajian ini, sebuah ujaran tidak ditelaah semata-mata berdasarkan ciri-ciri linguistiknya melainkan lebih didasarkan pada fungsinya. Kajian tentang tindak tutur tertentu bisa saja menelaah ujaran-ujaran seorang penutur sebagai realisasi linguistik tindak tutur tersebut dikaitkan dengan strategi yang diterapkan penutur untuk menjaga hubungannya dengan peserta tutur lainnya melalui ujaranujaran yang diucapkannya. Sementara itu, Searle mendefinisikan sebuah ujaran yang mengemban fungsi tertentu dalam komunikasi yang dalam kajian pragmatik dikenal dengan istilah tindak tutur, sebagai 'unit dasar atau terkecil dalam komunikasi linguistik' (Mey, 2001: 93). Tindak tutur ini biasanya dilakukan ketika seseorang meminta maaf, memohon, mengundang, memuji ataupun merespon
Respon Penutur Bahasa Indonesia ....
sebuah pujian. Dalam melakukan tindak tutur tersebut, yang diperlukan bukan sekedar pemahaman terhadap sebuah bahasa melainkan juga pemahaman tentang penggunaan bahasa tersebut secara tepat dalam budaya terkait. Sebagai salah satu jenis tindak tutur yang sangat dipengaruhi oleh budaya, respon terhadap pujian tidaklah sama antar penutur bahasa yang berbeda. Beberapa penelitian terdahulu mengenai respon terhadap pujian yang dilakukan pada para penutur bahasa yang berbeda telah menunjukkan adanya perbedaan dalam tipe respon terhadap pujian yang sangat erat kaitannya dengan budaya masyarakat penutur bahasa tersebut. Perbedaan semacam ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman antara para peserta tutur, khususnya yang memiliki latar budaya yang berbeda, sehingga dapat berujung pada kegagalan komunikasi. Penelitian tentang respon terhadap pujian pada penutur bahasa Indonesia telah dilakukan sebelumnya oleh Ibrahim dan Riyanto (2000), akan tetapi penelitian mereka lebih dititikberatkan sebagai kajian sosiolinguistik yang membandingkan respon terhadap pujian dalam bahasa Inggris antara orang Amerika dan Indonesia. Sementara itu, kajian pragmatik berkenaan dengan respon penutur bahasa Indonesia terhadap pujian dalam bahasa Indonesia belum pernah dilakukan secara komprehensif. Respon terhadap pujian juga erat kaitannya dengan prinsip kesantunan yang seringkali dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh seorang penutur bahasa dalam melakukan sebuah tindak tutur. Prinsip kesantunan ini diterapkan
dengan tujuan untuk menjaga dan memelihara hubungan sosial (termasuk risiko keterancaman muka) antar peserta tutur. Dengan mempertimbangkan prinsip kesantunan ini maka seorang penutur akan menerapkan strategi tertentu dalam melakukan sebuah tindak tutur sesuai dengan situasi tutur dan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan tindak tutur tersebut. Dengan berpijak pada asumsi bahwa penutur bahasa yang berbeda merespon pujian dengan ujaran dan strategi yang berbeda, fokus utama dalam artikel ini adalah mengkaji tipe-tipe ujaran penutur Bahasa Indonesia dalam merespon sebuah pujian. Penelitian ini juga akan memerikan pola strategi yang digunakan oleh para penutur Bahasa Indonesia dalam merespon pujian yang mereka terima terkait dengan penerapan prinsip kesantunan dan keseimbangan dalam hubungan sosial antar peserta tutur. D a t a y a n g di b a ha s d a l a m penelitian ini adalah data yang berupa ujaran-ujaran yang dihasilkan dalam percakapan/wawancara yang dilakukan oleh peneliti dan informan. Tidak semua ujaran dalam percakapan akan dianalisis melainkan hanya ujaran-ujaran tertentu yang diklasifikasikan sebagai respon terhadap pujian yang diberikan peneliti kepada informan selama percakapan berlangsung. Dengan demikian, jumlah dan jenis ujaran yang dihasilkan dalam setiap percakapan dengan masing-masing informan pun bervariasi. Tipe-Tipe Ujaran Penutur Bahasa Indonesia dalam Merespon Pujian Dari hasil wawancara dengan 30 (tiga puluh) orang informan diperoleh
101
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 data ujaran yang dapat dikategorikan sebagai tindak tutur respon terhadap pujian sebanyak 80 (delapan puluh) respon yang mencakup respon verbal maupun nonverbal. Keseluruhan respon tersebut akan diklasifikasikan menurut kategorisasi respon terhadap pujian dari Chiang & Pochtrager (1993) dan Cedar (2006) untuk dapat memerikan tipe ujaran yang digunakan para informan dalam menghasilkan tindak tutur tersebut. Berdasarkan kategorisasi ini dapat dilihat pada tabel 1 bahwa tipe-tipe respon terhadap pujian yang paling sering digunakan oleh penutur Bahasa Indonesia adalah respon nonverbal yang diekspresikan dalam bentuk senyum atau tawa kecil yang dapat ditemui dalam 27 respo n yang diberi kan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar informan tidak merasa nyaman untuk merespon pujian secara verbal dan mereka menganggap ekspresi nonverbal lebih pantas digunakan dalam konteks situasi tutur tersebut. Pemilihan respon ini ditujukan untuk menutupi rasa malu sehingga penutur tidak memberikan respon verbal secara eksplisit meskipun mereka setuju atas hal positif yang dinyatakan dalam pujian tersebut. Sebagai contoh: P :”Lucu ya mbak anaknya.” R (16) :(Senyum) P : ” Wa h k e l i h a t a n n y a B a h a s a Inggrisnya mahir juga.” R(22) :(Senyum)
102
Tabel 1 Hasil Kategorisasi Tipe Respon terhadap Pujian No. 1 2 3 4 5 6 7
Tipe Respon Jumlah Penerimaan (Acceptance) 14 Elaborasi Positif 5 (Positive Elaboration) Elaborasi Netral 12 (Neutral Elaboration) Elaborasi Negatif 5 (Negative Elaboration) Pengingkaran (Denial) 9 Senyum/tawa 27 (smiling/laughing) TidakAda Respon 8 (No response) Total 80
Sementara itu, tipe respon yang menempati urutan berikutnya paling banyak digunakan dalam merespon pujian adalah penerimaan (acceptance) yang dijumpai setidaknya dalam 14 respon. Yang patut dicatat dari penggunaan tipe respon ini adalah umumnya respon yang merupakan penerimaan terhadap pujian ini disampaikan dalam bentuk 'ritual' penyampaian rasa terimakasih sebagai persetujuan atas pujian yang diterima. Akan tetapi, dari sebagian besar respon yang diberikan informan yang menerima pujian hanya satu respon yang secara eksplisit dinyatakan dengan ungkapan ”Terima kasih” sebagian besar lainnya lebih banyak menerima pujian yang diberikan dengan secara singkat berkata ”Iya.” Tipe respon selanjutnya adalah elaborasi netral (neutral elaboration) yang mencapai 12 respon. Dengan memberikan respon elaborasi netral, penutur umumnya berusaha untuk meminta konfirmasi atau penegasan atas pujian yang baru diterimanya atau mengalihkan pujian yang diterimanya kepada orang lain atau hal lain. Dari data
Respon Penutur Bahasa Indonesia ....
respon pujian dalam penelitian ini, tipe respon elaborasi netral yang digunakan oleh informan semuanya merupakan pengalihan pujian. Sebagai contoh: P :”Fisik bapak kuat.” R (69):”Ya Alhamdulillah, semua kan karena Gusti Allah.” P :”Tasmu lucu ya.” R(54):”Ini beli di temanku.”
Penolakan/pengingkaran (denial) menempati urutan berikutnya dengan jumlah 9 (sembilan) respon. Informan yang menggunakan tipe respon ini biasanya memilih untuk tidak berpendapat atau berpendapat negatif dalam merespon pujian yang diterimanya. Sebagai contoh: P :”Bajumu selalu serasi ya.” R (4):”Ah enggak kok... Memang temanteman suka bilang begitu tapi nggak juga sih.” P :”Berarti mas pinter dong.” R(52):”Nggak.”
Yang cukup menarik di sini juga cukup tingginya penggunaan tipe respon kategori terakhir yakni tanpa respon (no response) yang dijumpai sebanyak 8 (delapan) respon. Jumlah ini bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan dua kategori yang lain, yakni elaborasi positif dan elaborasi negatif yang masing-masing sejumlah 5 (lima) respon. Hal ini menunjukkan bahwa dalam merespon sebuah pujian, penutur Bahasa Indonesia cenderung untuk tidak menanggapi pujian tersebut secara langsung seolah-olah mereka tidak mendengarnya dan memilih untuk melanjutkan percakapan. Sementara itu, tipe respon elaborasi positif dan negatif tampaknya merupakan tipe respon yang paling sedikit digunakan
oleh para informan dalam penelitian ini sebagaimana terlihat dalam contoh berikut: Elaborasi Positif: P :”Hebat ya Bapak bisa menguliahkan anak dari hasil berdagang sepatu ini.” R (68): ” I y a , i t u [ b e r k a t ] k e t e k u n a n k i t a menyekolahkan anak.” Elaborasi Negatif: P:”Pinter masak juga ternyata.” R(47): ”Iya, masak air.” Dalam contoh di atas dapat dilihat bahwa respon elaborasi positif diberikan ole h pet utur unt uk m em be rik an penjelasan atau komentar positif tentang pencapaian yang dianggap positif dan memeroleh pujian dari penutur dengan menyatakan bahwa keberhasilannya membiayai anak hingga ke bangku kuliah merupakan buah dari ketekunan ia dan istrinya selama ini. Sementara, dalam contoh respon elaborasi negatif, dapat dilihat adanya upaya petutur untuk menurunkan kadar pujian yang diterimanya dengan nada bergurau bahwa kepandaiannya memasak hanya terbatas bisa memasak air. Strategi Penutur Bahasa Indonesia dalam Merespon Pujian Sebagaimana diuraikan di atas, data yang diperoleh dari penutur Bahasa Indonesia yang menjadi informan dalam penelitian ini menunjukkan adanya beberapa catatan menarik terkait pemilihan tipe respon yang digunakan dalam merealisasikan tindak tutur merespon pujian. Tipe respon yang dipilih tersebut sedikit banyak mencerminkan
103
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 strategi yang dipilih oleh penutur Bahasa Indonesia dalam merespon pujian. Untuk memahami strategi penutur Bahasa Indonesia dalam merespon sebuah pujian terkait penerapan prinsip kesantunan dan keseimbangan, berikut akan dibahas lebih detil kaitan antara pemilihan tipe respon dengan pola strategi yang digunakan dalam kerangka budaya masyarakat Indonesia khususnya dalam hal kebiasaan memberikan pujian dan meresponnya. Sebagaimana diilustrasikan dalam Tabel 1 di atas, total respon pujian yang dilakukan penutur Bahasa Indonesia yang termasuk dalam kategori penerimaan (acceptance) dan elaborasi positif (positive elaboration) adalah 19 respon. Jumlah ini masih jauh lebih kecil dibandingkan respon berupa senyum yang merupakan respon favorit para informan yang jumlahnya mencapai 27 respon. Bahkan jumlah respon elaborasi positif menduduki urutan terakhir dengan hanya didapatinya 5 (lima) respon. Jumlah yang sama juga dijumpai pada respon elaborasi negatif. Hal ini menunjukkan sebuah pola strategi yang umum digunakan penutur Bahasa Indonesia yang dalam merespon sebuah pujian yang sangat kuat dipengaruhi oleh latar belakang budaya Indonesia yang mempunyai kebiasaan sulit untuk menerima pujian secara verbal karena ada kekhawatiran akan dianggap sombong atau arogam. Oleh karena itu, tipe respon nonverbal dengan membalas pujian dengan senyuman dianggap hal yang pantas dilakukan dengan pertimbangan untuk menjaga 'muka' baik penutur maupun petutur dalam situasi tersebut. Dengan tersenyum maka petutur telah memberi muka kepada penutur karena ia telah mengungkapkan
104
persetujuan atas pujian yang diberikan penutur sehingga penutur tidak akan kehilangan muka. Sementara, bagi petutur sendiri strategi ini dianggap aman bagi muka petutur karena ia telah menerapkan prinsip kesantunan dengan merespon pujian penutur dan juga menghindari risiko kehilangan muka dengan tidak memberikan respon verbal yang dikhawatirkan akan mengundang respon balik yang dapat mengancam muka petutur. Pemilihan tipe respon pengingkaran (denial) dan tanpa respon (no response) yang dijumpai sebanyak 17 respon juga memiliki alasan serupa dengan pemilihan tipe respon nonverbal di atas, yakni mengedepankan prinsip kesantunan. Namun, dalam memilih tipe tanpa respon petutur tampaknya merasa tidak nyaman dengan pujian yang diterima sehingga memilih untuk tidak memberikan respon dengan diam saja atau m e l a nj u t ka n p e m b i c a r a a n t a n p a mengindahkan pujian yang baru diterimanya. Sekali lagi hal ini erat kaitannya dengan kebiasaan memuji dan merespon pujian yang dirasakan bagi sebagian besar penutur Bahasa Indonesia masih jarang dilakukan. Kalaupun dipuji, penutur Bahasa Indonesia cenderung memilih untuk menolak pujian tersebut dengan menyatakan bahawa hal tersebut tidak benar dengan tujuan agar ia tidak dianggap sombong atau arogan sehingga dapat merusak hubungan antar peserta tutur. Dalam merespon pujian, penutur Bahasa Indonesia memiliki persamaan dengan penutur Bahasa Thai dalam penelitian yang dilakukan Cedar (2006: 16). Keduanya sama-sama cenderung
Respon Penutur Bahasa Indonesia ....
lebih memilih “strategi senyum” dan “tanpa respon” yang tidak banyak digunakan oleh penutur Bahasa Inggris Amerika. Tampaknya perbedaan antara budaya Barat dan Timur dalam mengungkapkan pujian merupakan kunci perbedaan ini. Sebagaimana dalam budaya Indonesia, dalam budaya Thai orang juga tidak terlalu terbuka dalam mengungkapkan pujian terhadap orang lain. Hal ini tentu berbeda dengan budaya Barat yang menganggap pemberian pujian atas segala hal yang bersifat seharihari sekalipun sebagai hal yang sangat lumrah. Baik bagi penutur Bahasa Indonesia dan Thai, dipilihnya strategi ini memungkinkan mereka untuk menghindar dari menerima pujian tersebut yang dapat dianggap sebagai mengagungkan diri sendiri karena menerima secara terang-terangan sebuah pujian dianggap seperti mengagumi diri sendirisesuatu hal yang dianggap tidak pantas dalam budaya Thai maupun Indonesia. Sebagaimana dalam budaya Thai, fungsi senyum dalam budaya Indonesia dalam konteks ini juga ditujukan untuk mengurangi rasa malu dan menurunkan ketegangan (tension) antar peserta tutur. Mungkin juga ada kekhawatiran bahwa pujian yang dilontarkan tidaklah tulus, apalagi jika pujian tersebut datang dari orang yang tidak dikenal dengan baik, sehingga strategi ini dianggap sebagai cara yang aman dalam merespon pujian yang diterima. Hal lain yang dapat dicatat dari wawancara yang dilakukan terhadap ke30 informan tersebut adalah interpretasi fungsi pujian dalam percakapan yang berbeda antara penutur Bahasa Indonesia
dan penutur Bahasa Inggris Amerika. Sekali lagi budaya merupakan faktor utama yang melatari perbedaan ini. Dalam budayaAmerika, menurut Wolfson (1989) pujian dapat berfungsi sebagai cara untuk mengawali sebuah percakapan atau small talk sehingga ketika diberikan pujian, orang Amerika akan cenderung untuk melanjutkan percakapan dengan cara mengelaborasi respon mereka atau bertanya kembali pada pewawancara berdasarkan aspek yang dipuji. Sementara itu, selama proses wawancara dalam penelitian ini berlangsung, peneliti mengamati bahwa hal yang sama tidak berlaku pada orang Indonesia. Dalam hal ini orang Indonesia memiliki kemiripan dengan orang Thai yang cenderung diam dan tidak bertanya kembali setelah diberi pujian sehingga hal ini menyebabkan pewawancara biasanya harus melemparkan topik pembicaraan lain untuk menghindari jeda yang terlalu lama atau tidak berjalannya percakapan. Frekuensi pujian dalam budaya Amerika dan Barat pada umumnya yang sangat tinggi juga memengaruhi kebiasaan memuji yang telah dianggap sebagai kebiasaan sehari-hari. Sebaliknya, dalam budaya Indonesia dan juga Thai kemunculannya sangat rendah sehingga pujian tidak dapat digunakan sebagai cara untuk mengawali sebuah percakapan dalam Bahasa Thai maupun Bahasa Indonesia. Hal ini menjelaskan alasan sebagian besar penutur Indonesia untuk lebih memilih menggunakan strategi yang lebih bersifat 'pasif' dalam merespon sebuah pujian, seperti dengan tersenyum dan tidak merespon, dibandingkan dengan strategi yang lebih 'aktif', seperti elaborasi.
105
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Hubungan antara Latar Budaya dan Respon Terhadap Pujian Latar belakang budaya Jawa yang dimiliki lawan tutur berperan penting dalam kecenderungannya untuk merespon pujian. Karakteristik orang Jawa yang selalu mempertahankan sikap rendah hati untuk menghindari konflik menjadi penentu mengapa persentase respon pujian terbesar adalah respon netral. Bahwa prinsip kerukunan dan prinsip hormat yang diterapkan orang Jawa dapat disejajarkan dengan prinsip kesopanan menjadi suatu temuan penting dalam penelitian ini. Prinsip kesopanan memiliki karakteristik yang mirip dengan prinsip hormat yang selalu berupaya untuk bersikap rendah hati dalam menerima pujian. Penerapan maksim kerendahan hati yang diterapkan dalam merespon pujian dibarengi dengan maksim kecocokan yang berakibat pada terpeliharanya suasana harmonis antara penutur dan lawan tutur dalam konteks melontarkan dan merespon pujian. Orang Jawa yang merespon pujian secara positif atau terbuka mungkin malah akan menimbulkan konflik karena karakteristik budaya yang cenderung untuk mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Sementara prinsip kerjasama justru menjadi sesuatu yang bertentangan dalam hal merespon pujian karena pelanggaran maksim seperti maksim kualitas dan kuantitas serta bergayut dan cara dalam respon pujian oleh orang berlatar budaya Jawa menjadi temuan yang berperan cukup penting dalam upaya pemahaman lintas budaya. Melontarkan pujian bila ditinjau dari prinsip ini bersifat
106
tidak informatif, kebenarannya tidak dapat dibenarkan secara nyata, mungkin tidak berhubungan atau sesuai dengan harapan lawan tutur, dan mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan. Jelas dalam hal ini melontarkan maupun merespon pujian merupakan tindakan basa-basi yang menjadi bagian dari percakapan. Meskipun bersifat basa-basi, tuturan ini menjadi bagian dari pola pertuturan karena pada kenyataannya apa yang kita bicarakan tidak akan selalu mengarah pada hal-hal bersifat teknis sehingga memerlukan penggunaan bahasa yang praktis. Kenyataan bahwa basa-basi menjadi bagian dari percakapan tidak terhindarkan dalam budaya manapun. Sementara prinsip kesopanan memiliki karakteristik yang mirip dengan prinsip hormat yang selalu berupaya untuk bersikap rendah hati dalam menerima pujian. Simpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penutur Bahasa Indonesia cenderung untuk menerapkan prinsip kesantunan dalam merespon pujian dengan tujuan untuk menjaga 'muka' baik penutur maupun petutur. Hal ini dilakukan oleh sebagian besar dari mereka dengan cara memilih tipe respon nonverbal yakni dengan tersenyum atau menerapkan 'strategi senyum' agar mereka tetap dapat memberi muka kepada penutur dengan memberikan senyuman sebagai respon telah menerima pujian tersebut, dan pada saat yang sama mereka juga memperkecil risiko kehilangan muka dengan tidak memberikan respon verbal yang mungkin dapat mengundang respon balik yang tidak diinginkan.
Respon Penutur Bahasa Indonesia ....
Sementara itu, tipe respon lain berupa elaborasi, baik positif maupun negatif, tidak banyak digunakan dibandingkan elaborasi netral. Hal ini tampaknya dikarenakan elaborasi netral dianggap sebagai tipe respon yang lebih aman dibandingkan dua tipe respon elaborasi lainnya, khususnya dalam menjaga risiko keterancaman muka. Sedangkan pemilihan tipe-tipe respon lainnya juga sangat terkait dengan upaya untuk menerapkan prinsip kesantunan dan keseimbangan dalam komunikasi antar peserta tutur. Secara keseluruhan, pola strategi dan pemilihan tipe respon dalam merespon sebuah pujian sangat erat kaitannya dengan latar budaya penutur bahasa. Bagi orang Indonesia, memuji dan merespon sebuah pujian merupakan sebuah kebiasaan yang kurang lazim dilakukan sehari-hari. Hal ini erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dipahami masyarakat Indonesia bahwa mengagumi atau mengagung-agungkan sesuatu secara berlebihan dianggap tidak pantas sehingga sikap demikian dapat membuat seseorang dianggap sombong atau arogan. Oleh karena itu, sesuatu yang ditujukan sebagai pujian terkadang tidak dianggap sebagai pujian atau seolah-olah bukan merupakan sebuah pujian sehingga penerimanya enggan untuk memberikan respon secara verbal atau bahkan tidak merespon sama sekali. Kebiasaan semacam ini tidak hanya dapat ditemui dalam budaya Indonesia saja, tetapi juga dalam budaya Timur yang mungkin memiliki kedekatan dengan Indonesia seperti budaya Thai. Sebaliknya, dalam budaya Barat, pujian dan merespon pujian dengan penerimaan (acceptance) atau
elaborasi positif dianggap sebagai norma yang sewajarnya. Perbedaan budaya yang sangat erat kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari ini tentunya dapat menjadi sebuah sarana untuk lebih meningkatkan kesadaran lintas budaya sehingga dapat mengurangi kesalahpahaman dalam komunikasi antar peserta tutur dengan latar budaya yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Al Falasi, Hessa. 2007. “Just Say 'Thank You': A Study of Compliment Responses” dalam The Linguistics Journal, April 2007, Vol. 2 No.1. 28-42. http://www.linguisticsjournal.com/April_2007_haf.php . Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge, M.A.: Harvard University Press. Brown, P. dan S. C. Levinson. 1992. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Canale, M. dan M. Swain. 1981. “A Theoretical Framework for Communicative Competence.” dalam A.S. Palmer, dkk (ed.). The Construct Validation Tests of Communicative Competence. Washington, D.C.: TESOL. 31-36. Canale, M. 1983. “From Communicative Competence to Language Pedagogy.” dalam J. Richards dan J. Schmidt (ed.). Language and Communication. London:
107
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Longman. 2-27. Cedar, Payung. 2006. “Thai and American Responses to Compliments in English” dalam The Linguistics Journal, June, Vol. 1 No. 2. 6-28. h t t p : / / w w w. l i n g u i s t i c s journal.com/June_2006_pc.php. Chen, R. 1993. “Responding to Compliments: A Contrastive Study of Politeness Strategies between American English and Chinese Speakers” dalam Journal of Pragmatics, 20. 49-75. Chiang, B. dan Pochtrager, F. 1993. “A Pilot Study of Compliment Responses of American-born English Speakers and Chineseborn English Speakers.” (ERIC_NO: Ed356649). Chomsky, N. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge, M.A.: MIT Press. Geertz, Clifford. 1976. The Religion of Java. Chicago: University Press Goffman, E. 1967. Interaction Ritual: Essays on Face-to-Face Behavior. Garden City, New York.
Budaya. Jakarta: Lembaga Bahasa UnikaAtmajaya. 179-205. Gunarwan, Asim. 2003. “Realisasi Tindak tutur Pengancam Muka dikalangan Orang Jawa: Cerminan Nilai Budaya?” dalam Sang Pembayun: The Steel Magnolia as a Frontiers Woman. Semarang: Fakultas Sastra UNDIP Herbert, K. 1986. “Say 'Thank You' or Something” dalam American Speech, 61(1). 76-88. Herbert, R. K. & Straight, S. 1989. “Compliment Rejection versus Compliment-Avoidance: Listenerbased versus Speaker-based Pragmatic Strategies” dalam Language and Communication, 9 (1). 35-47. Holmes, J. 1987. “Paying Compliments: A Sex-Preferential Poli tenes s Strategy” dalam Journal of Pragmatics, 12. Hofstede, Geert. 1991. Cultures and Organization: Software of the Mind. London: McGraw Hill Book Company.
Grice, H.P. 1975. Logic and Conversation. Dalam Syntax and Semantics, Speech Act, 3. New York: Academy Press
Hymes, D. 1972. “On Communicative Competence.” dalam J. B. Pride dan J. Holmes (ed.). Sociolinguistics. Harmondsworth, England: Penguin Books. 269-293.
Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta.” dalam Bambang K. Purwo (ed.). PELLBA 5: Bahasa
Ibrahim, J. dan Riyanto T.J. 2000. “A Sociolinguistic Study of Compliment Responses among Americans and Indonesians and Its I m p l i c a t i o ns f or Te a c hi ng
108
Respon Penutur Bahasa Indonesia ....
English” dalam k@ta, Vol. 2 No.1. 21-30.
Cambridge University Press. 112120.
Magnis-Suseno, Franz. 1984 .Etika Jawa : Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Yoko, U. 2003. “Japanese Compliment Response: A Comparison to American English Norms” dalam Japan Journal of Multilingualism and Multiculturalism, 2. 116-128.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Ed. Revisi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Manes, J. 1983. “Compliments: A Mirror of Social Values” dalam N. Wolfson dan E. Judd (ed.). Sociolinguistics and Language Acquisition. Rowley, M.A.: Newbury House. 82-95.
Yu, M.C. 2003. “On the Universality of Face: Evidence from Chinese Compliment Response Behavior” dalam Journal of Pragmatics, 35. 1679-1710.
Mey, J.L. 2001. Pragmatics: An Introduction. Edisi ke-2. Malden, M.A.: Blackwell Publishers, Inc. Searle, J. R. 1975. “Indirect Speech Acts.” dalam P. Cole dan J. Morgan (ed.). Syntax and Semantics 3: Speech Acts. New York: Academic Press. 59-82. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Te k n i k A n a l i s i s B a h a s a . Yo g y a k a r t a : D u t a Wa c a n a University Press Wierzbicka, A. 1991. Cross Cultural Pragmatics: The Semantics of Human Interaction.. Berlin: Mouton de Gruyter. Wolfson, N. 1986. “Compliments in Cross-cultural Perspective” dalam J. M. Valdes (ed.). Culture Bound: Bridging the Cultural Gap in Language Teaching. Cambridge:
109
REPRESENTASI MULTIKULTURALISME AUSTRALIA DALAM PUISI AUSTRALIA DAN WOGS KARYA ANIA WALWICZ Lina Puryanti Abstract The issue of representation of rnuiticulturalism is significant for setter communities such as Australia that still indicate double standart. Literary orks like poems are often used as a means of counter representation by narginal authors to deconstruct the mmigrant stereotypes performed by he canon texts. It is also an author's trategy for a bctLer position Sxiicc it is lot only subjects of multiculturalism hat experience marginalitv but also the nulticultural texts. 'Australia' and 'Wogs' are two poems that represent 'problems' of multicultural practice in Australia from the point of view of a woman immigrant author, Ania Walwize. Key words: representation, multi-ilturalism, Australia, Ania Walwizc, oems, Wogs. Pendahuluan Australia dan Wogs adalah dua buah puisi ditulis oleh Ania Walwicz merupakan bagian dari kumpulan cerita Neighbor: Multicultural Writing of 1980s yang diedit oleh R.F. Holt. Bberbagai bagian dari kumpulan teks dengan label multikulturalisme maka dua teks ini saya anggap sangat menarik dianalisis karena keduanya masing-masing memposisikan dirinya cara berhadapan. Aku lirik pada Australia disuarakan sebagai bagian dari komunitas imigran khususnya dari Eropa Timur yang terlihat dari sebutan Wogs (untuk memudahkan analisis selanjutnya istilah yang dipakai adalah NESB-Non English Speaking Background) yang mengungkap berbagai 'borok' (pada) Australia. Sementara itu, pada puisi Wogs disuarakan protes dari kelompok 'native' kulit putih Australia (AngloAustraliaAA) terhadap keberadaan I EGB
*)
di negaianya. Hal yang paling mencolok mata adalah kenyataan bahwa kedua teks yang "bermusuhan" ini ternyata ditulis oleh penulis' yang sama yaitu Ania Walwicz, seorang penulis perempuan imigran asal Polandia. Stuart Hall dalam esainya "Cultural Identity and Diaspora"2 mengatakan bahwa "we all write and speak from a particular place and time, from a history and a culture which is specific. ^A/imt we say is always in 'context', positioned." Dari sudut pandang ini, meskipun teks itu sendiri dalam teknik penyampaiannya menggunakan sudut pandang orang pertama yang diasumsikan bersifat sangat subjektir (dalam hal ini suara sang aku lirik pada Australia adalah NESB sementara pada Wogs adalah AA), 'posisi' Walwicz sendiri dalarn kedua teks tersebut akan menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih
Departemen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, tlp 031-5035676
110
Representasi Multikulturalisme Australia ...
dalam. Konteks posisi tersebut pada akhirnya akan menggiring kepada model representasi yang masing-masing dihadirkan pada kedua karya tersebut oleh Walwicz. Representasi yang secara diskursus merefleksikan hubungan kekuasaan antara yang merepresentasi dan yang direpresentasikan menjadi suatu konsep yang penting bagi sebuah settlers community seperti Australia yang masih menunjukkan adanya standar ganda dalam artian bahwa di satu pihak Australia adalah negara pascakolonial karena melepaskan diri dari Inggils semeritara kondisi kolonia! masih diperlihatkan dalam konteks hubungan Australia dengan penduduk as Aborigin dan imigran (dalam hal ini Aborigin tidak dibahas). Posisi apa serta representasi yang bagaimana dimunculkan dalam kedua puisi yang akan dibahas di sini Analisis Analisis terhadap kedua puisi tersebut akan diawali dengan pembahasan bentuk dan isi puisi. Selanjutnya pembahasan akan beranjak kepada praktek kebijakan multikulturalisme di Australia terhadap warga pendatang dan pemaknaan representasi Anglo Australia dan Non English Speaking Background yang dilakukan oleh pengarang. Analisis Bentuk dan Isi Puisi Australia dan Wogs D al a m Wo gs ya n g pa l i n g mencolok dari segi bentuknya adalah teks ini dibuka dengan kata tanpa huruf besar, tidak ada tanda baca, serta terjadi pengulangan kalimat yang sama beberapa kali/ misalnya "they're not us they're them they're them they're else what you don't
know what you don't know ...". Dalam hal ini pembacaan yang mirip dengan pembacaan litani, rattling, barzanzi, dhikir, yang diucapkan secara cepat dan berulang seperti ini menimbulkan suatu efek yang amat mendukung keabsenan tanda baca pada teks. Pada konteks yang berbcda, namun masih relevan untuk dipakai dalam memahami teks ini, pembacaan seperti litani bisa pula ditemui pada situasi dimana seorang subjek sedang tercekam dalam ketakutan atau ketidakpercayaan yang amat besar terhadap sesuatu. Seorang subjek akan mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri dengan cara mengulang-ulang hal yang sama. Penolakan yang diulang-ulang diucapkan dapat dibaca sebagai suatu perilaku yang ingin meyakinkan diri sendiri bahwa yang ditolak ataupun tidak disukai itu tidak eksis walaupun dalam kenyataannya mereka ada. Semakin besar penolakan yang dilakukan berarti semakin besar pula arti keberadaan subjek yang ditolaknya. Bentuk lainnya adalah pemilihan subjek they dan bukan you yang bisa dimaknai bahwa AA tidak berani berhadapan langsung dengan NESB serta s ekal igus pada s aa t ya ng s am a menunjukkan bagaimana AA sebagai seorang 'native Australia' yang berbahasa Inggris sangat menguasai kunvensi berbahasa yang menyarankan adanya penghalusan dalam penunjukan objek dengan cara tidak menunjuk secara langsung melalui subjek orang kedua you melainkan they. S e c a r a g r a m a t i k a l / Wo g s menunjukkan bentuk yang lebih kompleks atau lebih baik dibandingkan dengan Australia/ misalnya adanya
111
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 kalimat "why don't you learn to speak english properly... is you child educated by in australian" Bentuk-bentuk semacam ini tidak ditemui pada Australia. Penggunaan 'to be' juga secara disiplin pakai dalam Wogs. Adapun pilihan kata atau diksi dalam mengekspresikan mauannya relatif sederhana dikembangkan denganAustralia. Pada Australia ditemui bentuk baik yang sama sekali berbeda dengan wogs. Ditemui adanya kesalahan miatikal misalnya dengan ketiadaan 'to be', "You big ugly. You too empty….." kemudian juga penghilangan subyek kalimat seperti "follow the leader, can't engine", dan lainlain. Di sini Australia representasikan kelompok imigran yang memang mengalami kesulitan dalam mengekspresikan sesuatu dengan bahasa Inggris yang benar. Ia Framing Marginally dikatakan bahwa "ethnic minority writing is valued cisely in so far as it is inscribed with marks of linguistic naivety and (even) kompetence: broken language is received as s ymptomatic of subjects not 'assimilated' (rendered the same) or turalised". Demikian juga menggunakan subyek 'You' yang makin menguatkan asumsi ini serta sekaligus menegaskan posisi NESB yang berpresentasikan oleh Walwics ada dalam posisi menegasi atau lawan perlakuanAA. Menyoroti pengarang dari kedua puisi tersebut/ tampaknya kesan ini bukan dengan tanpa maksud digunakan sebagai suatu bentuk strategi penulisan. Ada maksud tertentu yang sengaja dipakai sebagai semacam eye-catched bahkan jauh sebelum pembaca membaca dan membandingkan isi kedua puisi tersebut. Pembaca sudah digiring untuk membuat asumsi tertentu dalam model representasi
112
dua pihak yang berhadapan ini yang diharapkan akan meiahirkan sebuah sikap, posisi/ konteks, keberpihakan yang memang sengaja diciptakan oleh pengarangnya. Wogs dimulai dengan pernvataan sebagai berikut : "they're not us they're them they're them they're else what you don't know what you don't know what they think they got their own ways they stick together you don't know what they're up to you never know with them you just don't know with them no we didn't ask them to come here they come and they come there is enough people here already now they crowd us wogs they give me winter colds...."
Bandingkan dengan bagian-bagian awal dariAustralia: "You big ugly. You too empty. You desert with your nothing nothing nothing. You scorched suntanned. Old too quickly."
Bagian awal Wogs menyatakan bagaimana AA sangat tidak menyukai kehadiran NESB karena mereka adalah pendatang non Anglo-Celtics sehingga dianggap sebagai bukan bagian dari Australia. Tersirat pula semacam kekhawatiran, ketakutan, dan ketidaksukaan karena NESB cenderung sangat kuat terikat dengan kelompoknya. AA juga menyatakan bahwa penduduk Australia sudah cukup banyak dan bahwa kedatangan NESB hanya membuat tempat itu terasa sesak, mereka menganalogikan keberatan ini seperti seolah-seolah mendapatkan bencana musim dingin yang berat (NESB sebagian besar adalah imigran dari Eropa Timur,
Representasi Multikulturalisme Australia ...
Selatan, dan Utara yang di negara asalnya mempunyai empat musim/ padahal AA sendiri juga berasal dari Inggris dan Irlandia yang juga mempunyai iklim yang sama). Akan tetapi/ pada teks Australia bagian awal pernyataan-pernyataan itu dinegasikan. NESB/ menempatkan dirinya tidak sebagai subjek yang tidak berdaya. Ia memposipikan dirinya sebagai subjek yang mampu untuk berbalik memandang. Misalnya, pernyertaan bahwa; kehadiran mereka hanya menyesakkan Australia dibalikkan dengan fakta bahwa kehadiran mereka jusfrru disebabkan karena sangat sedikitnya penduduk Australia dan mereka diperlukan untuk membangun negeri itu, "You too empty." Mereka dianggap sebagai "they're not us" dan malah dijungkiikan dengan pernyataan "You big ugly" kenapa saya harus menjadi bagian dari Australia yang besar tetapi jelek karena memang masih baru 'dibuka'. Musim dingin pun yang tidak disukai oleh AA, tidak berbanding dengan padang pasir landus tanpa kehidupan serta kulit gosong karena panas matahari, "You desert with your nothing notlung nothing. You scorched suntanned." Keberadaan benua Australia yang sebenarnya sudah amat tua tetapi yang paling akhir ditemukannya dibandingkan dengan benua-benua lainnya disindir pula, "Old too quickly." Persoalan kelas jnga terdapat pada Wogs sementara negasinya muncul pada Australia. "They take my jobs they take us they use us they come here to make their money then they go away they take us they rip us off landlords they rise rent they take
us tiley work too hard they take us they use us bosses we work in their factory rich wogs in wogs cars rich jezws in rich cars they take us they work so hard we are relaxed they get too much they owen us they take my jobs away from me... they come they work for less they can luork in worse they take anything they work too hard' Kecemasan dan kecemburuan yang tumbuh karena merasa kedudukannya terancam memang pada satu sisi dapat dimengerti. Fakta yang ada menunjukkan bahwa latar belakang imigrasi NESB ke Australia ini memang amat beragam. Banyak di antara mereka datang dari latar kelas menengah yang karena persoalan politik di negerinya harus tergusur ke luar (being exiled) sementara yang berasal dari kelas proletar juga membekali dirinya dengan spirit class struggle yang membuat mereka menjadi pejuang yang tangguh di tempat yang baru tersebut. Dengan bekal itu, kemungkinan bagi imigran untuk meraih keberhasilan di negerinya yang baru ini, termasuk menjadi orang kaya baru, memang amat mungkin terjadi. Pada kalimat "they use us bosses we work in their factory rich wogs in wogs cars rich Jews in rich cars they take us ..." nampak sekali kecemburuan itu muncul karena NESB memang sangat berdaya baik secara kapital maupun keterampilan untuk bersaing di tempat baru tersebut yang menyebabkan NESB menjadi tuan, borjuis baru. Akan tetapi kalimat yang dipilih Walwicz dalam Wogs they work 50 hour we are relaxed lalu juga pada they come they work for less tiley can work in worse they take anything they work too hard" da lam k alima t ter sebu t
113
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 menunjukkan bahwa AA memanglah pemalas dan tidak suka bekerja keras dibandingkan dengan kaum imigran. Suatu fakta yang masuk akal karena AA sendiri sebagian besar sebenarnya berasal dari lower class di tempat asalnya yang dari segi kemampuan untuk membangun tempat baru tersebut ataupun etos kerjanya memang amat terbatas. Tampaknya kesengajaan untuk tidak menampilkan persoalan bahwa keberadaan NESB yang mengancam ladang" hidup AA pada Australia bisa mulai menunjukkan "posisi" Walwicz protes-protes yang meluncur terhadap berhasilan NESB disederhanakan dengan pernyataan bahwa hal tersebut semata disebabkan karena mereka 'malas' dan uniknya, justru diakui secara tidak langsung oleh AA ketika memprotes NESB. Bandingkan karang "suara" yang hampir sama pada Australia: "Across of suburb-teaching they telly. You bore me. Freckle y children. You nothing much" Dalam konteks ini pilihan ungkapan lebih samar meskipun tidaklah pedasnya. Bagi NESB, AA adalah malas yang sukanya nonton televisi, membosankan, dan bagai anak-anak yang masih punya bintik di wajahnya. AA nyatanya bukan siapa-siapa melainkan hanya pengeluh. Perbandingan yang berkaitan dengan persoalan rasial yang bersifat diskriminatif juga diangkat oleh Walwicz kedua teks. "they look strange they are strange they don't belong here they are different different skin color hair ... let them go back where they come from to their own they're everywhere they got everywhere you can't speak to them why don't you learn to speak english
114
properly they are not like you or me they're are not the same as everybody they change us is your children educated by an australinn? Is it? do you know if? you don't know what they think you don't knoiv what they can do here they change us they paint their houses blue green have you seen blue liouses who ever heard of that they live to many together they are too noisy they chatter you don't know what they say they smell funny there some tiling funny about them strange not like you or me I don't want to see asian tram conductor they are not us not us they're them tliey're them ... they rude they act if they own the place they look wrong too dark too squat too short all wrong ugly too fat woman go to fat dark skin monkeys I want to be with my own kind people like me exactly ..." (Wogs)
Kemudian kita bandingkan dengan Australia: "You want everyone to be the same. You are dumb. You do like anybody else .... You never accept me. For you own. You always ask me where I'am from. You always ask me. You tell me I look strange. Different. You don't adopt me. You laugh at the way I speak. You think you're better than me. You don't like me... You are rough. I can't speak to you. You burly burly... You ugly furniture. You ugly house ... Wait for other people to tell you what to do. Follow the leadei. ...You shiver on a tram.”
Dari kalimat-kalimat pada Wogs terlihat sekali bagaimana kecurigaan dan kebencian yang berujung kemudian pada praktek rasialis muncul antara lain karena s e c a r a f i s i k da n k e bi a s a a n A A
Representasi Multikulturalisme Australia ...
menganggap dirinya berada dalam posisi yang lebih tinggi (higher culture) dari NESB (lower culture). Adapun pada Australia NESB menganggap bahwa sikap AA yang menginginkan setiap orang menjadi sama dalam segala-segalanya (Politik Asimilasi) yang sebenarnya berpangkal dari ketakutan terhadap sesuatu yang berbeda dianggap sebagai sesuatu yang amat tidak masuk akal dan bodoh, karena hal tersebut memang amat memaksa dan nyaris tidak mungkin dilakukan. Nuansa politik asimilasi yang lain juga ditunjukkan dengan pertanyaan: "Is your children educated by an Australian? Is it? do you know if” Dalam konteks praktek rasial mereka pada NESB yang bahkan sampai pada tataran fisik dan keinginan mereka untuk menyamaratakan hal yang memang tidak sama menunjukkan bahwa AA menderita semacam ketakutan akan segala sesuatu yang asing (Xenophobia). AA lebih merasa nyaman untuk berkumpul dengan sesamanya: "1 want to be with my own kind people like me exactly" Dalam hal ini Gunew5 mengatakan (1987a:133) bahwa: "the predicament is viewed, so to speak, from the other side. An unpunctuated, relentless chorus announces the stereotypes of prejudice familiar to immigrants. Although it is an evocation of unt utore d voi ce s , f ull of contradictions, it is uncannily reminiscent of certain enunciations deriving from so-called high culture. The logical momentum of tlic poem invokes all the standard fears associated with racism: miscegenation, alien food, skin the wrong colour, and uncontrolled
breeding. All add up to the concept of 'wogs' as non-human ('dark skin mon keys)"
Pernyataan Gunew menunjukkan bahwa warga "asli Australia" memang merasakan ketakutan rasialis yang amat besar terhadap para pen-datang ini serta s e k a l i gu s m e n un j u kk a n ko n t e k s hubungan kekuasaan yang biasanya diterapkan dalam pola hubungan antara oppressor (penindas) dan oppressed (yang ditindas). Pilihan kata Wogs sendiri yang merujuk pada non-human, dark skin monkeys merupakan pula suatu bukti bagaimana politik rasialis yang bila ditarik ke sejarah di masa lampau merupakan bentuk manifestasi politik sosial Darwin menjadi dibenarkan pelaksanaannya. Contoh lain dari Xenophobia ini juga ditunjukkan dengan ketidaksukaan AA pada pekerja Asia, "I don't want to see asian tram conductor they are not us" yang kemudian mendapat ejekan pada Australia karena menurut NESB hal tersebut terjadi karena AA memang takut pada trem, "You shiver on a tram" atau dengan kata lain tidak menguasai keterampilan mengoperasikan tram. Demikian juga ketidaksukaan AA pada rumah-rumah NESB yang di cat warnawarni dinegasikan dengan pernyataan NESB bahwa rumah dan perabotan AA amat jelek/ tidak berselera sebelum kedatangan NESB. Kalimat pada Australia, Wait/or other people to tell you what to do follow the leader menegaskan bagaimana sebenarnya ketakutan dan kebencian AA pada NESB itu terjadi karena pada dasarnya mereka tidak mandiri dan hanya membeo pada the railing class Australia.
115
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Persoalan kebudayaan Australia yang nyaris tanpa identitas karena mereka memang suatu settler community yang tidak mempunyai suatu 'shared history and ancestry hold in common (sejarah dan leluhur yang sama) mendapatkan cukup besar porsmya pada Australia sementara pada Wogs hal tersebut hanya sedikit di angkat: "You nothing much. With your big sea. Beach beach beach. I've seen enough already. You dumb dirty cib/with bars stools... You copy. You too far everywhere. I came from crowded and many. I came from rich. You have nothing to offer. You're peer and spread thin. You big. So what. I am small. It's what's in. You silent on Sunday. Nobody on your screed...You don't excite me.. You don't have any interest in another country. Idiot center of your own self: You think the rest of the world walks around without shoes or electric light. You don't go anywhere. You stay at home"
Sebagai sebuah negara yang tidak mempunyai suatu komunitas lokal yang asli memang persoalan identitas kebudayaan Australia nyaris tidak mempunyai akar. Salah satunya yang disebut adalah apa yang mereka sebut sebagai kebudayaan pantai (beach ulture) yang sebenarnya tidak lebih dari kebiasaan dan kesenangan untuk terjemur di tepi pantai (sun bathing), yang tidak bersifat khas dan dapat ditemukan di banyak tempat, I've seen nough already. Bahkan dalam hubungannya dengan ketiadaan identitas ini tokoh Somers dalam novel D.H. Lawrence (Kangaroo) m engat akan bahwa kot a Si dne y sebenarnya tidak lebih dari imitasi kota
116
London, You copy, dan yang banyak bermunculan tidak lebih dari You dumb dirty city with bars stools. Dibandingkankan kemudian oleh si aku lirik bahwa NESB sebagai imigran yang berasal dari Eropa telah mempunyai peradaban yangjauh lebih maju dan kaya dibandingkan dengan kebudayaan AA yang miskin. Persoalan kehidupan keberagamaan di Australia yang nyaris kering juga disindir dalam Australia, You silent on Sunday. Nobody on your streets. Peran Australia yang hampir tidak ada suaranya di percaturan dunia juga disindir dengansangat tajam pada Australia karena hal tersebut mereka anggap menyebabkan AA menjadi amat self-centered dan cenderung menganggap sekitarnya lebih rendah, "You don't have any interest in another countn/. Idiot center of your own self: You think the rest of the world walks around without shoes or electric light. You don't go anywhere. You stay at home ...." Bahkan peran mereka yang pertama di percaturan dunia yaitu perang di Gallipoli (meskipun tidak secara eksplisit disebutkan pada Australia) tidak lebih dari sekedar kekonyolan yang ironisnya justru dirayakan dengan penuh kebanggaan sebagai hariAnzac Day diAustralia. Multikulturalisme diAustralia: Representasi Tandingan Subjek Multikulturalisme Terlebih dahulu terminologi multikulturalisme hendaknya dibedakan dengan masyarakat multikultural karena adakalanya multikulturalisme sebagai suatu kebijakan negara tidak harus hadir daiam suatu masyarakat yang multikultural (USA sebagai suatu pembanding).
Representasi Multikulturalisme Australia ...
Dalam kontek? politik multikulturalisme di Australia/ terminologi ini diartikan sebagai sebuah pengakuan resmi dari pemerintah tentang keberadaan kelompok etnik dalam suatu state's borders. Ditinjau dari sudut pandang sejarah, multikulturalisme dapat dipahami sebagai suatu konsekuensi kegagalan proyek modern bangsa-negara (nationstate) yang sangat menekankan pada unity (kesatuan) dan sameness (persamaan) daripada difference (perbedaan) dan diversity (kebinekaan). Artinya, bagi suatu negara yang mengadopsi kebijakan ini secara eksplisit diasumsikan bahwa kebinnekaan budaya adalah 'good thing' bagi bangsa dan perlu secara aktif dipromosikan. Kaum imigran didorongdan pada tataran tertentu dipaksa untuk mempertahankan warisan budaya mereka yang dengan kata lain kedudukan mereka dalam masyarakat ditentukan oleh adanya pengakuan resmi terhadap identitas etnik yang melekat pada diri mereka. Agak menarik diri ke belakang, terminologi 'nation' sendiri menjadi sesuatu yang bersifat amat ambivalen ketika berupaya diterapkan pada negara settler commnunity seperti Australia. Istilah nation (bangsa) lebih mengacu kepada pengalaman komunal orang-orang dalam negara yang dipersatukan oleh bahasa, budaya, dan tradisi yang sama. Teori ini menjadi amat problematik bagi Australia karena tidak adanya raw material berupa budaya nasional yang hcmogen yang terbentuk oleh kelompok lokal (kulit putih Australia yang di legitimasi sebagai native penduduk asli datang ke tempat tersebut dari Inggris). Penjelasan Benedict Anderson
tentang bangsa sebagai suatu 'imajined community' (nation-state) agaknya akan berguna karena amat menekankan pada artificial simbol identitas bangsa yang bersifat berdaulat dan otonom. Berkenaan dengan sifat berdaulat dan otonom ini, pada tahun 1960-an persoalan identitas nasional di Australia memang amat ambivalen karena di satu sisi a da keinginan untuk benar-benar menjadi Australia sementara di sisi lain ia tidak bisa melepaskan diri dari Inggris sebagai mantan penjajah sekaligus mothercountry, Australia terjepit dalam relasi sameness dan difference dengan Inggris. Dalam upayanya kemudian untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Inggris maka kebijakan multikulturalisme oleh negara diluncurkan pada tahun 1970an. Dalam hal ini wacana multikulturalisme tidaklah diposisikan bersifat antagonistik terhadap konsep nation-state, tetapi justru menjadi salah satu ciri yang sangat distingtif. Kebijakan ini membawa akibat bahwa penekanan pada komunitas terbayang yang homogen yang semula ada pada tataran nasional berubah menjadi pada tataran etnik. Kebangsaan kemudian dipahami sebagai suatu wilayah (space) dimana banyak komunitas terbayang (dalam hal ini etniketnik) hidup dan berinteraksi. Dengan perkataan lain, proses penciptaan identitas nasional dilakukan dengan memakai piranti-piranti budaya. Secara singkat (kegagalan politik asimilasi serta White Australia Policy yang juga menjadi bagian dari sejarah bangsa Australia tidak dibahas dalam tulisan ini) multikulturalisme harus dipahami sebagai suatu upaya untuk mengkonstruksi definisi identitas
117
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 nasional Australia dan dianggap sebagai bentuk 'unity-in-liversity' yang ideal bagi negara tersebut. Budava minoritas etnik tidak lagi dianggap sebagai ancaman melainkan dirayakan sebagai faktor yang memperkaya budaya nasionalAustralia. Akan tetapi sebagaimana terlihat dari analisis kedua kedua puisi tersebut meminjam pernyataan krisis dari Homi Bhabha yang mengatakan bahwa "policies of multiculturalism represent an altempt back to respond to and to control the dynamic process of the erticniation of cultural difference, admistering a consensus based on a norm iat propagates cultural diversity kenyataanya memang kebijakan ini adalah kebijakan yang setengah hati dalam arti bahwa politik multikulturalisme hanya menjadi sebuah alat kontrol bagi keberadaan imigran. Dalam hal ini Prangtoon dan Ang bersepakat mengadakan bahwa “national community can imagined as a unity in diversity only a containment of cultural differece” bahwasannya cita-cita Bhineka Tung gal I ka itu ha nya da pa t dilangsungkan dengan cara pengurungan pembungkaman budaya yang berbeda. Bahwasanya tujuan sebenarnya dari politi tesebut tetaplah pada unsur Ika, unity-nya toleransi terhadap bhinmeka, diversitynya hanya merupakan suatu alat bagi terpeliharanya, terjaganya Ika, unity itu sendiri. Sejalan dengan pendapat ini, Winata mengatakan bahwa diluncurkannya kebijakan publik untuk menangani imigran (NESB) tidak menjamin bahwa problema imigran langsung terpecahkan. Sebaliknya kebijakan yang dituduh melindungi kepentingan kapitalis dengan cara
118
mengontrol dan menjinakkan imigran sebagai masalah sehingga, dengan demikian, melatenkan representasi stereotipik imigran sebagai problema. Sebuah kontrol menarik dikemukakan dalam esai Migrants and Class in Postwar Australia oleh Robert Tierney yang membahas tentang hubungan kelas di Australia. Di situ dikatakan “apa yang diakui sebagai etnik sebenarnya tidak lebih dari sekedar aktivitas budaya yang kasat mata misalnya aktivitas kesenian tradisional, sementara yang lebih bersifat spirit, padahal yang semua itu yang sebagian besar melandasi keputusan mereka untuk berimigrasi ke Australia, misalnya perjuangan kelas menjadi hal yang tidak bisa diterima karena akan mengganggu stabilitas the rulling class. Lebih lanjut dikatakan dalam esai yang sama bahwa “traditional nuclear family remains an importans center of society stability, and witihin many migrant communities, highly seist traditional devision of labor is continued and legitimized as part of ethnicity”. Dengan memakai perspekti jender aka akan nampak jelas bahwa pembagian peran dalam keluarga imigran pun diatur sedemikian rupa sehingga peran perempuan imigran akan selalu berada dalam wilayah domestik karena dalam konsep keluarga inti traditional laki-laki adalah pemimpin dan pencari nafkah, sementara perempuan adalah pengelola di area domestik, alih-alih hal ini dilegitimasi sebagian penting untuk menjaga kestabilan sosial dan pula diberi “signified” sebagai suatu etnisitas kaum imigran. Stuart Hall dalam hal ini
Representasi Multikulturalisme Australia ...
mengatakan, “if the black subject and black experience (in this case refer to NESB in Australia) are not stabilized by Nature of by some other essential guarantee, then it must the case that they are constructed historycally, culturally, politically, and the concept which refers to this ethnicity”. Hal tersebut mengartikan bahwa konsep etnisitas ini bukanlah suatu yang bekas dari segenap wacana kekuasaan yang beredar di dalamnya. Meminjam Foucoult, ada Regime of Truth yang bekerja didalamnya termasuk kepentingan politik yang dalam hal ini adalah kepentingan politik Australia dalam rangka pembangunan National Identit ynya yang l agi-l agi akan menggusur eksistensi kaum imigran pada posisi marginal. Kembali lagi pada konsep pembahasan kedua puisi tersebut tampak bahwa peran yang dimainkan oleh Walwizs adalah sebuah peran yang berupa untuk mencipatkan suatu posisi bicara. Pambalikan-pembalikan yang menunjukkan suatu strategi agar kedua puisi tersebut dapat lebih mudah diterima oleh publik yang luas tanpa harus menimbulkan negasi yang hebat. Winata mengomentari persoalan tersebut dengan mengatakan bahwa bukan hanya subyek (perempuan) imigran yang di representasikan sebagai problema tetapi teks-teks (perempuan) multikultural pun sebagai stereotif dianggap sebagai teks yang nyaris tidak memiliki kapital budaya dan tidak direpresentasikan dalam antologi maupun sejarah literer atau dengan kata lain, disingkirkan dari kanon sastra (budaya dominan). Dalam menghadapi rezim dominan yang terlanjur
merepresentasikan subyek kulit hitam (dalam hal ini NESB) secara stereotif dan diskriminatif, Hall menganjurkan agar dilakukan intervensi dengan membentuk representasi tandigan guna mendekonstruksi representasi stereotipik yang terlajur beredar. Dalam konteks ini Walwicz menggunakan kedua puisi tersebut sebagai suatu alat, sebagai representasi tandigan untuk bersuara, menciptakan posisi bicara dihadapan teks yang dominan. Yang menarik disini adalah strategi representasi tandingan ini tidak dihadirkan secara frontal bahkan memakai aku lirik Anglo Australia dalam Wo g s u n t u k m e r e p r e s e n t a s i k a n keburukan dirinya sendiri. Keberatan mereka dengan kehadiran NESB disuarakan dengan nada yang penuh ketakutan dan penuh dengan kontradiksi disana-sini. Adapun Australia dengan aku lirik NESB disuarakan dalam narasi yang jauh lebih kuat dan membuat AA hanya seperti pecundang di hadapan mereka. Representasi tandingan ataupun pembalikan-pembalikan memang tidak akan begitu saja mengubah hubungan kekuasaanya antara teks dominan dan teks pinggiran. Akan tetapi representasi merupakan suatu konsep diskursi yang amat penting karena dapat dipolitisir untuk menguasai memarjinalisasi atau sebaliknya, memberdayakan identitas obyek yang direpresentasikan. Dalam konteks inilah upaya-upaya merepresentasikan kaum marginal (dalam hal ini kelompok masyarakat multikultural Australia) menjadi amat penting dan termakna.
119
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Penutup
Daftar Pustaka
Satu catatan penting yang tidak ingin dikatakan bahwa sebagai suatu teks yang memiliki pretensi untuk menjadi sebuah representasi tandingan teks-teks dominan yang cenderung tidak m e ng ak om o di r s e c a ra m a ks i m a l kepentiangan golongan NESB, Wogs memang masih menyisakah banyak pertanyaan. Isu penting itu adalah kontradiksi yang sangat mencolok hadirkan dalam teks Wogs yang justru menghadirkan AA sebagai pihak yang tidak cukup berdaya di NESB, karena keterbatasan mereka dalam mengakses berbagai kesempatan dibandingkan dengan NESB meskipun disisi lain mereka sangat arogan. Meskipun berbagai kebijakan telah diterapkan oleh pemerintah Australia untuk melindungi kepentingan warga Anglo Australia / Anglo Celtics tetapi akan tetap saja persoalan-persoalan yang bermuara pada perbedaan kelas pada masyarakat asli Australia (Anglo Celtics) sendiri menyebabkan bahwa The lower class juga mengalami kesulitan dalam usahanya untuk bertahan dalam keluarga besar Multikultural Australia. Salah satu pekerjaan rumah dari kebijakan multikultural pun harus memikirkan kepentingan the lower class dari kelompok Anglo Australia agar tidak tumbuh kelas-kelas marginal baru yang tidak terakomodir kepentingan dan kebutuhannya.
Hal, Stuart. 1992. New Ethnicities in Race, Cultural and Different. London : Sage.
120
Hal, Stuart. 1990. “Cultural identity in Diaspora”, dalam Jonathan Rutherford, (ed) Identity: Community, Culture, Difference, London: Lawrence and Wishart. http//www.english.ubc.ca/~sgunew/framarg/ four.htm. Stratton, Jon and Ien Ang. “Multicultural Imagined Communities : Cultural Difference and National Identity in the USA and Australia”, dalam Bennet David (ed), Rethinking Difference and Identity. Seymour, Alan. The One Day of The Year. Materi Kuliah Sejarah Kesusteraan Australia di Progam Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Tierney, Robert, “Migrants and Class in PostwarAustralia”, dalam Rick Kuhn dan Tom O'Lincoln (ed), Class and Class Conflict in Australia, Addison Wesley Longman Pty Ltd, 1996. Reni Winata. 2000. Politik Representasi d a l a m Wa c a n a P e r e m p u a n Multikultural di Australia (Ringkasan). Walwicz, Ania. Tth. Neighbor: Multicultural Writing of the 1980's (ed) R.F. Holf; Australia and Wogs.
Indigenous Homosexual: Representasi Waria dalam Film Panggil Aku Puspa Maimunah Abstract This paper discusses about the existence of the representation of nonnormative homosexuality in one of Indonesian contemporary queer movies. This movie shows an effort to negotiate with the Orde Baru (one of Indonesian Government Period) paradigm of sexuality which is monolithic and essentialism. The analysis of the existence of queer movies, particularly after the falling of Orde Baru regime, becomes very important since in certain part of Indonesia, homosexual behavior tends to be accepted but the homosexual identity is considered taboo. Gay is one of the non-normative sexual entities that is very often categorized as a typical indigenous homosexuality of Indonesia. Different from gay and lesbian that are constructed as sexual orientation of western culture, gay is constructed as part of Indonesian culture. Moreover, in its representation in queer movies, particularly in Orde Baru movies, gay has only a role as a joke. However, in the queer nmnmnmnmovie entitled Panggil Aku Puspa, directed by Firman Triyadi, this movie deconstructs the role of a gay into more realistic and humanity. In this movie, the figure of gay is portrayed as a responsible father that is very brave to change his attribute as a gay for his children future. This movie performs the process of gender transformation completely from a normal man named Said as a gay and it also shows the essential differences between lesbian and gay. Key words; Gay, Indigenous Homosexuality, Queer film Introduction Released originally in 2002 as a television drama serial, Panggil Aku Puspa was adapted to Video Compact Disc format in 2004. It was described by the 2004 Indonesian Film Festival jury as a high quality non-commercial television film which offers an alternative view of the realities of Indonesian life (Suara Pembaruan, 25 November 2004). The film was directed by Firman Triyadi and the script was written by Imam Tantowi, who is well known as a script writer for Indonesian television drama serials (sinetron), especially on religious themes. The film tells a story of Said, a *)
young boy who prefers to play with dolls and adopt feminine behaviour. Growing up in a patriarchal conservative and religious family in a Javanese rural area, Said faces psychological and social conflicts when he gives in to his desire to wear women's clothes and falls in love with a man. In order to “cure” his abnormal gender identity, his father forces him to marry Zulaika (Ika), his cousin. The arranged marriage suppresses his gender behaviour and he becomes a biological father, before Said and his wife decide to peacefully separate. Perhaps surprisingly, Said then forms a new family
Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, 031-5035676
121
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 unit with his daughter Khana, and they move to Jakarta to start a new life. Without the educational background and skills experience to be able to find employment, Said works for a time as a prostitute, before deciding that the beauty salon is his ideal workplace. A problem arises when Khana demands that Said/Puspa be a “real man” when she begins dating Bobby. Despite the fact that Khana personally accepts Said's waria identity, she worries that the feminine behaviour of her father will affect Bobby's love for her. In order to be a “real man” Said/Puspa makes a serious attempt to suppress his femaleness and play up his masculinity. However, to Khana's disappointment, he fails to control his feminine mannerisms in front of Bobby. Said/Puspa then strives to explain to his daughter that becoming a “real man” or a “real father” does not mean adopting a masculine voice or male mannerisms but fulfilling his fundamental responsibilities as a father and a single parent. Khana finally realises that human responsibility is more important than sexual preference and gender behaviour. Unlike the stock use of waria characters as objects of fun in the New Order films, Said/Puspa in this film is represented as a religious character, an obedient son and a responsible father. Without passing judgment on the sensitive issue of transgenderism, Panggil Aku Puspa explores the complexity of life for a contemporary waria from a positive point of view. However, in spite of its pioneering humanisation of the waria subject, the film has not received any significant attention from film critics and has never been discussed in academic writing. From the point of view of queer
122
film studies, the film is worth exploring, because it attempts to challenge the monolithic constructions of waria in contemporary Indonesia As discussed in Part I, the waria subject position is already well-known in Indonesian social life. A familiarity with male-female transgendered behaviour is also evident in Indonesian film. In fact, the first recognisable “queer” character in the history of Indonesian film was a male cross-dresser in Nawi Ismail's film Benyamin Brengsek (1973). Male to female transgender related-themes subsequently appear in Lilik Sudjio's Wadam (1978) and Benyamin Sueb's Betty Bencong Slebor (1978). In all these films, the waria characters are played by prominent comedians: Benyamin Sueb in Benyamin Brengsek and Betty Bencong Slebor and Kardjo AC-DC in Wadam. In both Benyamin Brengsek and Betty Bencong Slebor the waria main character is a young jobless man who becomes waria for economic survival and sexual pleasure (Kristanto, 1995: 179, 194). As such, waria tends to be framed as a temporary profession rather than sexual/gender identity. This pattern is also familiar in Western films. John Phillips (2006: 5, 52) observes that transgenderism almost always appears in comedy films, as a playful way of exploring temporary transformations of gender. The crossdresser films are usually “the story of a male protagonist who is 'compelled' by social and economic forces to disguise himself in order to get a job, or escape repression, or gain political 'freedom'”. For example, cross-dressing appears as a device to escape the mob and secure
Indienious Homosexual
employment in Billy Wilder's Some Like it Hot, (1959), to land an acting job in Sydney Pollack's Tootsie (1982) or a si ng i n g j o b i n B l a ke E dw a r d' s Victor/Victoria (1982), and to gain access to children following a marital separation in Chris Columbus's Mrs Doubtfire ( 199 3) . S i g ni f i c an t l y, t h e m ai n protagonist cross-dressers are performers: singer in Victor/Victoria, actor in Tootsie, voice-over artist in Mrs Doubtfire, and musicians in Some Like it Hot. Crossdressing in these films thus supports Butler's view of gender as performative, something that must be achieved and reachieved by an imitated regular exercise and practice. In this sense, Benyamin Brengsek (1973) and Betty Bencong Slebor (1978) belong to the same genre as the Western cross-dressing film comedy. From Said to Puspa: the Process of Becoming Waria Panggil Aku Puspa challenges the formulaic depiction of waria in New Order films through its chronological depiction of the transformation of a waria from childhood to adulthood. Consistent with Boellstorff's observation that “most warias begin identifying as such while children or by their early teens, and in some cases as young as five years old” (2007: 88), Said confesses to his daughter in the film's opening scene that he never wanted to become a waria/banci, but from his childhood, he felt himself to be a boy with a girl's soul: “Saya tidak pernah menginginkan diri saya menjadi banci, bahkan sejak semula saya tidak tahu bahwa saya banci, dari kecil saya merasa sebagai seorang wanita dengan naluri dan kegemaran seperti gadis kecil sebaya”.
The signs of waria subjectivity begin to emerge when the waria selfhood challenges the normative dichotomisation of masculinity and femininity, especially in gendered play. Said's preference for playing with dolls symbolises his being born with the “soul of woman”. Growing up in environment where gender difference is strongly enacted, Said's activities are viewed by his family as a sexual perversion. The next stage of the transformation is the cross-dressing phase, when Said steals his sister's clothes, uses women's make up and asks his friends to call him Saidah. In this stage, Said acknowledges his “abnormal” gender behaviour, though he does not identify himself as waria. Unlike gay men, it is unnecessary for waria to come out, since the external markers of their difference are visible (Boellstorff, 2007: 88). Said's demand to be called Saidah reflects the way he publicly reveals his gender identity without worrying about other people's perceptions of him. However, the negative reaction from his family forces Said to deny his desire to become more feminine or look like a woman. In confessing to his sister, Said tells of his struggle to reduce his femaleness and enhance his maleness: Saya mencoba berteman dengan teman-teman wanita supaya saya mungkin tertarik dengan salah satu dari mereka, tapi naluri kewanitaan saya malah makin mengental, berteman dengan teman-teman lakilaki dengan harapan untuk memperoleh sikap jantan mereka tapi ternyata justru birahi saya yang semakin berkobar-kobar, gimana
123
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 dong, mbak?.
This statement reflects the way Said gradually becomes convinced that he has the soul (jiwa), temperament (sifat) and feeling (perasaan) of a woman. In contrast to Boellstorff's argument that most waria think of themselves according to the category of “waria” not “woman” (2007: 90), Said believes that he is a woman. “Saya ini wanita tapi tidak ditakdirkan memiliki payudara dan alat kelamin seperti wanita yang lain, tapi jiwa, naluri dan perasaan saya 100% wanita.” Said's confession indicates that the belief that having the “soul of a woman” is the essential first step in the transformation process of becoming a waria, rather than physical manifestations such as wearing women's clothes or using women's make up. As such, the film suggests that the internal state should be prioritised over external indications. From Said's perspective, looking like a woman may be less important than the reality that he cannot deny what he perceives to be his “woman's soul”. The film shows Said not as a crossdresser who dresses as a woman all day long. There are only two scenes in which Said wears women's clothes: when he steals his sister's clothes and when he works as a prostitute. In this way, Said negotiates the stereotype of New Order films in two ways: firstly, by adopting a waria identity not as a temporary profession but as a fundamental part of growing up, and secondly, in his attempt to reconcile his femaleness and maleness. This more realistic and humanistic d e p i c t i o n of t h e w a r i a s u b j e c t significantly subverts the comical crossdresser characterisation in New Order
124
film. It also poses a challenge for Western understandings of queer theory, in that Said's gender identity is not a kind of performativity, but an essential part of his life. Said:ANon-Stereotypical Waria Said's ident ity as a m ale transgender person is reinforced by the fact that he does not wear women's clothes for sexual pleasure, such as is usually understood to be the case with a male transvestite. Said is not a fetishist since in his daily life, he typically wears men's clothes. He embodies Oetomo's definition of waria/banci as “a category/label for non conforming gender behaviour or for gender identity” (2000: 48). The non-stereotypical aspects of the representation of Said's waria-ness are strengthened by his attempt to reconcile the complexity between desire and faith. The way Said perceives his gender behaviour is in fact the key moral message of the film. For him, becoming a waria is God's wish (takdir). As he confesses to Khana at the end of the film: “Satu hal yang kamu harus tahu, Khana, papa tidak pernah mengharapkan papa jadi banci dan papa tidak pernah mampu mengubah takdir Tuhan”. Here, the film is reinforcing the characterisation of Said as a religious waria. In his mind, his inability to change God's will is evidence that God wishes him to be a waria. A revealing scene shows his patriarchal father condemning the lifestyle of waria as a serious sin, to which Said spontaneously replies that being a waria is different from behaviour that is sinful, such as adultery. For Said, becoming a waria is no different from the process of becoming a man. The constructive portrayal of Said
Indienious Homosexual
as a non-stereotypical waria is further reinforced in his decision to quit his temporary occupation as a sex worker. Besides beauty work, it is widely believed that waria works as prostitutes since employment options are limited and the bureaucratic system discriminates against their potential to engage in professional work (Kortschak, 2007). Said's decision to give up sex work seems to be based on his devout family background and his commitment of Khana's future. The representation of Khana is another aspect of the film's attempt to “normalise” the waria, since she is portrayed as having the ability to cope with the social and psychological pressure of having a waria father. In this respect, Panggil Aku Puspa seems designed to convince its youth audience that warianess is not inherited, is not an immoral lifestyle choice, and is not something to be stigmatised. Waria: between Femininity and Masculinity Unlike Benyamin Brengsek and Betty Bencong Slebor which focused on waria characters simply for their laughable feminine appearance, Panggil Aku Puspa takes seriously the yearning of the biological male for the female reproductive experience. Boellstorff suggests that while the majority of gay men usually perceive gay-ness as for the “desire for the same-sex”, waria/banci tend to prioritise the desire to look like a woman and have the female reproductive experience (2005a: 57, 175). In Panggil Aku Puspa, Said's obsessive desire to be pregnant not only reinforces the gay and waria/banci boundary, but also stresses the priority of the internal state over
external presentation. Being pregnant and being a mother is a more fundamental need for Said than wearing women's clothes. As Said confess to Ika, his wife, when she is pregnant: “Saya ingin sekali hamil seperti ini, saya merindukan sekali keadaan seperti ini.” Boellstorff (2007: 91) notes that “the waria's subject position is not founded in a sexual orientation: warias usually assume that their desire for men flows causally from [what they see as] a prior mismatching of soul and body”. Their desire is not a kind of homosexuality but the desire of femininity for masculinity. Consequently, it is understandable that waria regard themselves as heterosexual, not homosexual. When Said falls in love with his friend Hernowo, the film portrays his desire as not due to sexual motives but to the feminine desire for the masculine, since Hernowo is depicted as a wise, fatherly man with a quiet, assertive demeanour. And most importantly, Hernowo tolerates Said's waria-ness. His tolerance of Said's femininity and his protection of Said when his brother physically attacks him are the reasons Said is attracted to him, rather than any suggestion of sexual desire. In this way, Hernowo can be seen as a substitute for the father's masculine role, rather than an object of desire. Similarly, Said reveals to his friends that he has fallen in love with mas Karyo, the leader of karang taruna, a youth organisation. Again, Said's inclination is to find a fatherly figure, not simply to respond to physical attraction. A man's care and affection is more important for Said than sexual and romantic experience. In other ways, however, the
125
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 characterisation of Said differs from the typical waria subject who seeks romance with normal boyfriend or husband (suami). Boellstorff argues (2007: 101) that although that relationship is not formalised, waria believe that having a man is essential “to secure their recognition by normal society”. By contrast Said lives alone, with only his daughter, not with a boyfriend or a husband. He is quite confident and selfassured and he is able to secure a living in the normal world. In all these respects, the characterisation of Said as a nonstereotypical waria invites the audience's sympathy for the struggle which he has to endure. The Beauty Salon and Déndong One stereotype that is perhaps evident in this film is the association of waria culture with the beauty salon. “Female skills” such as cutting and styling hair, applying make up, including bridal make up, wedding design and tailoring are closely associated with the waria as well as those in the gay world who come from lower class backgrounds (Oetomo, 1996: 267). The beauty salon has become the central focus of these groups' attempts to find community and employment. Boellstorff (2007: 194) convincingly argues that in most South East Asian countries, the beauty salon is an essential site for the majority of male transvestites where they “interface with public culture”. The identification of waria with the beauty salon is also influenced by the waria's desire to look like a woman when speaking, walking and gesturing. In order to be refined (halus) and coy as women, they must learn feminine behaviour and
126
appearance through practice and repetition. The middle-aged waria commonly adopts the image of the ibu-ibu (matron) as an ideal feminine style (Oetomo, 1996: 266). In order to perform as “beautifully as a woman” or “speak exactly like a woman”, the beauty salon plays a pivotal role; this is where “they can transform others” (Boellstorff, 2007: 92) while transforming themselves. This transformation may include certain bodily modifications such as consuming massive doses of female hormones, injecting silicon and undergoing a sex-change operation. However, bodily modification depends on financial factors that certainly vary in the waria community. In addition, the salon worker occupation often becomes an indicator of the waria's achievement (prestasi) in public life, which subsequently affects the level of acceptance both in the family and society. Good deeds and prestasi lead to greater recognition as a high quality waria. Boellstorff (2007: 105) argues that the most significant prestasi for waria is their work in the beauty salon. This is exemplified in the life story of Chenny Han, one of Indonesia's most famous waria. In the period of the 1980s and 90s, Han made a successful career as an international wedding make up artist and hairdresser, something which in her autobi ography s he des cribed a s strengthening her self-confidence and leading to greater social acceptance. Acknowledgment of her status as waria became the primary goal of her entire life. One of her greatest prestasi was her skill in making hair buns (sanggul) in both modern and traditional styles from Indonesia's 27 provinces (Boellstorff,
Indienious Homosexual
2007: 106; Soentoro, 1996: 42). Han's narrative suggests that make up (dandan/déndong) is a fundamental factor in shaping social status as a waria. For gay men, déndong is only possible on special performance occasions internal to the gay world, like drag shows. Gay men do not déndong in the normal world or to attract a sexual partner. As such, déndong marks another boundary between the gay and waria worlds (Boellstorff, 2005a: 167). What is significant here is that even though Panggil Aku Puspa links Said to the beauty salon worker stereotype, it does not go on to endorse this associated notion of an ideal or high quality waria. For Said, the most important prestasi and form of good deed is the work of being a responsible father. As Said promises his wife, Khana's future is the main concern of his existence. So, rather than being drawn into the world of déndong, Said takes care of the psychological development and spiritual needs of his daughter. This is illustrated in a scene where Khana asks her father about the definition of sin and whether kissing is sinful. Said replies that: “pacaran juga menuntut nilai-nilai, semakin kamu mengikuti hawa nafsumu, hal-hal yang tadinya punya nilai tinggi akan semakin kehilangan nilainya”. This is a key scene in the film's attempt to define a new image of waria culture. In Indonesia as elsewhere, there has been controversy and stigmatisation over the ability of waria or homosexual parents to provide a positive and a healthy family environment for children. For Said, becoming a good parent is more important than déndong, more important than bodily modification. In his characterisation, the stereotypical waria subjectivity is
replaced by a sense of morality and responsibility, enacted against all the pressures of a harsh and condemnatory social environment.
Referrences Boellstorff, Tom. 2004. Playing Back the Nation: Waria, Indonesian Transvestites. Cultural Anthropology 19 (2):159-195. Boellstorff, Tom. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton: Princeton University Press. Boellstorff, Tom. 2007. Coincidence of Desires: Anthropology, Queer Studies and I n d o n e s i a . Durham: Duke University Press. Kortschak, Irfan. 2007. Defining Waria: Indonesia's Tr ans gendered Community is Raising its Profile. (Accessed 6 December 2007), A v a i l a b l e f r o m http://insideindonesia.org/content /view/624/29/. Kristanto, J.B. 1995. Katalog Film Indonesia 1926-1995. Jakarta: GrafiAsri Mukti. Kristanto, J.B. 2005. Katalog Film Indonesia 1926-2005. Jakarta: Nalar Oetomo, Dede. 1996. "Gender and Sexual Orientation in Indonesia". In Fantasizing the Feminine in
127 1
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Indonesia, edited by L. J. Sears. Durham: Duke University Press Oetomo, Dede. 2000. "Masculinity in Indonesia": Genders, Sexualities, and Identities in a Changing Society. In Framing the Sexual Subject: the Politics of Gender, Sexuality and Power, edited by R. Parker, R. M. Barbosa and P. Anggleton. Barkeley: University of California Press. Oetomo, Dede. 2001. Memberi Suara pada yang Bisu. Jakarta: Galang Press. Phillips, John. 2006. Transgender on Screen. New York: Palgrave Mc Millan. Soentoro, Isye. 1996. Anak Kehidupan. Jakarta: Cipta Cinta and Suara Pembaruan. Suara Pembaruan. Film Tak Komersial, Lolos FFI Televisi. 25 November 2004.
128
Wise Leaders in Wordsworth's Poem Henriono Nugroho Abstract This article concerns with a systemic stylistic analysis on a poem in terms of Systemic Functional Linguistics and Verbal Art Semiotics. The writing uses library research, qualitative data, documentary study, descriptive method and intrinsic-objective approach. The semantic analysis results in both automatized and foregrounded meanings. Then the automatized meaning produces lexical cohesion and in turn, it produces subject matter. Meanwhile, the foregrounded meaning produces the literary meaning and in turn, it creates theme. Finally, the analysis indicates that subject matter is about English people who prevent England from downfall, the literary meaning is about the wise leaders and theme is about leadership. Keyword: automatized meaning, foregrounded meaning, subject matter, literary meaning, theme Introduction In fact a text is a semantic unit and a clause is a grammatical unit. Then semantics is an interface between context of situation and lexicogrammar. In this sense the semantic systems are related upwards to contextual systems but also t he y ar e re l a t e d d own wa r ds t o lexicogrammatical systems; moreover these semantic systems are sideways related to cohesive systems (Halliday and Hasan 1985, Martin 1992, Eggins 1994 and Mathiessen 1995). The contextual systems are Field (subject matter), Tenor (role relation) and Mode (rhetoric). The semantic systems are logical, experiential, interpersonal and textual meanings. The cohesi ve sys tem s are s t ruct ural conjunction, lexical cohesion, conversational structure, cohesive conjunction, reference, substitution and ellipsis. Specifically, lexical cohesion deals with repetition, synonym, antonym,
hyponym, cohyphonym, meronym, comeronym and collocation. The lexicogrammatical systems are Complexing, Transitivity, Mood and Theme. Then logogenesis, ontogenesis and phylogenesis constitute semogenesis. Actually logogenesis is a process of creating meanings through instantial system (shifting system) in the unfolding text. The shifting system is used not only by writer/ speaker as a resource to create a text but also by reader / listener as a resource to interpret the text; logogenetic pattern reveals coincidence between shifts in grammatical pattern and shifts in t e x t u al s t ru c t u r e ( H a l l i d ay a n d Matthiessen, 1999). In general literariness is defined as the difference between automatization or background and de f a m i l i a ri za t i on or f or e gr o un d (Jefferson, 1995: 37). Background is also called as ground, familiarization,
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember
[email protected]
129
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 automatization and the normal, canonical, habitual, common, automatized and familiarizing pattern; whereas foreground(ing) is also called as figure, defamiliarization, deautomatization and the foregrounded, dominant, prominent, motivated, deautomatized and defamiliarizing pattern (Mukarovsky, 1977). The opposition of background and foreground in Verbal Art is analogous to the reversal of ground and figure in Gestalt Psychology (Butt, 1996). In other words the opposition of semantic background (subject matter) and semantic foreground (literary meaning) in Verbal Art is analogous to the reversal of ground (two black faces: dua wajah warna hitam) and figure (white chalice: gelas anggur warna putih) in Gestalt Psychology. The reversal of ground and figure is diagramed in the following Figure 1. Figure 1: The Reversal of Ground and Figure
In addition, consistency of foregrounding has two aspects. By s t a b i l i t y of s em a nt i c di r ec t i on , consistency of foregrounding means that the various foregrounded patterns point toward the same general kind of meaning. By stability of textual location, consistency of foregrounding means that
130
the significant patterns of foregrounding have a tendency to occur at a textually important point (Hasan, 1985: 95). In particular the concept of the consistency of foreground(ing) is used by Hasan (1985, 1996) to propose the two semiotic systems of verbal art and of human language. The semiotic system of verbal art is concerned with verbalization (expression), symbolic articulation (content 2) and theme (content 1), whereas the verbalization is the semiotic system of human language concerned with phonology (expression), lexicogrammar (content 2) and semantics (content 1). The two semiotic systems are shown in Figure 2. Figure 2: Two semiotic systems of verbal art and of language (Hasan, 1985: 99). THEME SYMBOLIC ARTICULATION
the semiotic system of SEMANTICS LEXICOGRAMM AR
the semiotic system of
At the stratum of verbalization, the consistency of foregrounding makes the foregrounded patterns firstly produce the first order meaning. The first order meaning is also called as the deep level of meaning and consistently foregrounded meaning. At the stratum of symbolic articulation, then, the first order meaning functions as sign, symbol or metaphor for the second order meaning. The second order meaning is also called as the deeper level of meaning and literary meaning. At the stratum of Theme, next, the second order meaning creates Theme. Theme is also called as the deepest level of meaning and the third order meanings. Thus the first order meanings are the products of
Wise Leaders in Wordsworth's Poem
linguistic semiotics but both the second order meanings and the deepest level of meaning are the products of artistic semiotics. This article is concerned with a stylistic analysis on a poem of William Wordsworth shown as follow: November 1806 Another year!another deadly blow! Another mighty Empire overthrown! And we are left, or shall be left alone: The last that dare to struggle with the Foe. Tis well! From this day forward we shall know That in ourselves our safety must be sought, That by our own right hands it must be wrought; That we must stand unpropped, or be laid low. O dastard whom such fore taste doth need cheer We shall exult, if they who rule the land Be men who hold its many blessings dear, Wide, upright, valiant, not a servile band, Who are to judge of danger that they fear, And honour that they do not understand (William Wordsworth)
The Semiotic System of Language Logical Meaning,Logical Metafunction or Logical Semantics Logical meaning is a resource for constructing logical relation (Halliday, 1994: 36) and the logical meaning describes a clause type (clause complex). In other words, logical meaning concerns with the logical relation of clause complexes in the text, and the logical relation includes taxis (parataxis and hypotaxis), expansion (elaboration, extension and enhancement) and projection (locution and idea). In terms of logical meaning, the poem is encoded by 17 ranking (non-embedded) clauses and 3 rankshifted (embedded) clauses. Out of 17 ranking clauses, there are 3 clause complexes and 1 clause simplex. The clause complex consists of 3 main
Table 1: Complexing analysis Note: [.......] = elliptical word(s)
131
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 (independent) clauses and 13 sub (dependent) clauses. Out of 13 subclauses, there are 5 clauses of hypotactic elaboration, 1 clause of paratactic elaboration, 4 clauses of hypotactic projection and 1 clause of hypotactic enhancements. Thus, elaboration is the automatized pattern or the background of the poem because the poem is normally realized by elaborated clauses. Moreover, ranking (non-embedded) clause is also automatized. The analysis of complexing is shown in table 1.
Experiential Meaning, Experiential Metafunction or Experiential Semantics Experiential meaning is a resource for construing experience (Halliday, 1994: 36) and the experiential meaning discusses a process type (processes). In other words, experiential meaning deals with the process of clauses in the text, and the process includes material process (process of doing), mental process (process of sensing), verbal process (process of saying), behavioral process (process of behaving), existential process (process of existing) relational process (process of being) and causative process
Table 2: Transitivity Analysis Note: [......] = elliptical word(s)
132
Wise Leaders in Wordsworth's Poem
Table 3: Logogenetic Process
(process of causing). In fact, the poem is expressed by 20 clauses consisting of 17 ranking (non-embedded) clauses and 3 rankshifted (embedded) clauses. In terms of Experiential Meaning is expressed by 10 clauses of material process, 7 clauses of mental process and 3 clauses of relational process. Thus, material process is the automatized pattern or the background of the poem because the poem is frequently expressed by process of doing. Of course, Experiential Meaning is expressed by Transitivity and the analysis of Transitivity is provided in table 2. Logogenetic Process According to Halliday and Matthiessen (1998: 184-5), logogenesis is a process of making meaning through an instantial system (a changing system) when text unfolds (in the unfolding text). The speaker/writer uses the instantial system (the changing system) as a resource to create a text, whereas the listener/reader uses the instantial system (the changing system) as a resource to interpret the text. Moreover, Matthiessen (1995: 40) adds that logogenetic process reveals that lexicogrammatical shift (Cf. Butt, 1988: 83 on “latent patterning”) coincides with episodic shift (Hasan,
1988: 60 on “textual structure”). Textual structure is also called narrative structure (O'Toole, 1983), schematic structure (Martin, 1985), staging structure (Plum, 1988) and generic structure (Eggins, 1994). In this poem, the shifts are described as follow: Firts, shift from material process (clause 5) to relational process (clause 6) coincides with shift from the threat of English downfall to the importance of safety. Second, shift from material process (clause 11) to mental process (clause 12) coincides with shift from the importance of safety to the demand of good leaders. In this poem, the instantial system of process is used to make meanings. Finally, logogenetic pattern is provided in table 3. Lexical Cohesion A poem is realized by a series of lexical chain and each chain has a number of lexical items. In terms of lexical cohesion, the poem is encoded by lexical chains consisting of lexical items. The lexical chains concern with we, they, repetition, synonym, antonym, co hyponym and collocation. Actually there are three major chains such as participant
133
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Table 4: Lexical Analysis
chain, process chain and reiteration chain. The lexical item we is the longest participant chain. Material process is the longest process chain. Synonym is the longest reiteration chain. Thus, the main lexical chains (three longest chains) deal with we, material process and synonym. In short, the lexical cohesion reveals that the lexical items of we, material process and synonym are automatized. Then, lexical cohesion is realized by lexical chains, and the analysis of lexical chains is drawn in Table 4. Subject Matter Field includes subject matter as one special manifestation (Halliday, 1993: 110) and Field is realized by Experiential Meaning (Halliday, 1993: 143). Then, Field is encoded by Experiential Meaning and lexical cohesion (Eggins, 1994: 113). Moreover, subject matter is expressed by lexical chains (Butt, 1988: 177) and specifically subject matter is indicated by the main lexical chains (Butt, 1988: 182).
134
Thus, subject matter is realized by Experiential Meaning and lexical cohesion. In section 2.2, Experiential Meaning is frequently realized by material processes. In section 2.3, lexical cohesion is frequently realized by material process. In other words, subject matter is frequently realized by material processes. In fact, the automatized pattern of material processes indicates that the functional elements deal with Actor (we), Process (struggle, stand), Goal (Foe, Empire) and Circumstance (in our selves, by our own hands). In summary, the subject matter is that English people should fight against the enemy to save English downfall by themselves. The analysis of material processes is displayed in table 5.
Wise Leaders in Wordsworth's Poem
Table 5: The analysis of Material Processes
Semiotic System of VerbalArt Verbalization: The Deep Level of Meaning Section 2.1 shows that elaboration is automatized so a combination of elaboration and enhancement is foregrounded. Thus, foregrounding of logical relation takes place in clauses 12, 12.1, 13, 14, 15, 16, 16.1, 17 and 17.1. Still section 2.1 indicates that ranking clause is automatized so embedded clause is foregrounded. Therefore, foregrounding of embedding happens to clauses 12.1 16.1 and 17.1. Then section 2.2 explains that material process is automatized so other processes are foregrounded. Consequently, foregrounding of process occurs in clauses 4, 6, 7, 12, 12.1, 13, 16, 16.1, 17 and 17.1. Again, section 2.2 describes that present tense is automatized so future tense foregrounded. Accordingly foregrounding of tense exists in clauses 1, 3, 4 and 12. Based on the paragraph above, patterning of all foregrounded patterns points to clauses 12, 12.1, 13, 14, 15, 16, 17 and 17.1. It means that consistency of
foregrounding converges to the last clause complex. The consistency of foregrounding refers to the last clause complex due to the foregrounding of logical relation (elaboration and enhancement), embedding, process and t ens e. Then t he cons is t ency o f foregrounding make the foregrounded patterns of the last clause complex produce consistency foregrounded meaning which is also called the first order meaning and the deep level of meaning. In conclusion, the consistently foregrounded meaning of the last clause complex is the deep level of meaning in the poem: O dastard when such foretaste doth not cheer we shall exult if they be men who rule the lend, who hold its many blessings dear, wise, upright, valiant, not a servile band, who are to judge danger that they fear and honour that they do not understand. Patterns of foregrounding are mapped out in table 7.
135
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Ta ble 6: Pattern of Foregrounding Note: dotted line = clause complex boundary
.Symbolic Articulation: The Deeper Level of Meaning The deep level of meaning produces the deeper level of meaning which is also called the literary meaning and the second order meaning. In section 3.1, the deep level of meaning suggests that English people need good leaders who rule England with affection, wisdom, honesty, bravery and honour. In section 2.5, logogenetic pattern describes the demand of good leaders. In short, the deeper level of meaning is about good leaders. Theme: The Deepest Level of Meaning The deeper level of meaning creates the deepest level of meaning
136
which is also called Theme and the third order meaning. Hasan (1985: 97) states that Theme is the deepest level of meaning in verbal art; it is what a text is about when dissociated from the particularities of that text. In its nature, the Theme of verbal art is very close to generalizations which can be viewed as a hypothesis about some aspect of the social life of man. Moreover, Hasan (1985: 54) adds that the deepest level of meaning is a meaning that arises from saying one thing and meaning another. In this poem, sating one thing (good leaders) means another (leadership). In conclusion, the deepest level of meaning is about leadership.
Wise Leaders in Wordsworth's Poem
Conclusion The lexicogrammatical analysis produces semantic components and there are two kinds of semantic patterns such as automatized and foregrounded. On the one hand, the automatized pattern produces the automatized meaning, and in turn the automatized meaning produces subject matter. At the stratum of Verbalization, on the other hand, consistency of foregrounding makes some foregrounded patterns produce consistently foregrounded meaning which is also called the deep level of meaning and the first order meaning. At the stratum of symbolic articulation, the deep level of meaning functions as symbol, sign or metaphor of the deeper level of meaning which is also called the second order meaning and literary meaning. At the stratum of Theme, the deeper level of meaning creates the deepest level of meaning which is also called Theme and the third order meaning. In summary, there is a symbolic relation between lexicogrammar and Theme in verbal art. Then the meanings in the poem are outlined in the following table.
Bibliography Butt, David. 1988. “Randomness, Order and the Latent Patterning of Text” in David Birch and Michael O' Toole (eds.) Functions of Style. London: Pinter Publishers. Butt, David. 1996. “Literature, Culture and Classroom: the Aesthetic Function in our Information Era”, in Joyce E. James (Ed.), The Language-Culture Connection, Anthology Series 37. Singapore: Semeo Regional Language Center. Byatt, A.S. 1970. Unruly Times: Wordsworth and Coleridge in Their Time. London: Thomas Nelson & Sons Ltd. Darbishire, Helen. 1958. Wordsworth. London: Longman Group Ltd. Durrant, Geoffrey. 1970. Wordsworth and the Great System. London: CUP. Eggins, Suzanna. 1994. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. London: Pinter Publishers. Gregory, Richard. 1984. Mind in Science:
Table 7: Meanings of Verbal Art Semiotics.
137
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 A History of Explanations in Psychology and Physics. London: Penguin. Halliday, MAK and Ruqaiya Hasan. 1985. Language, Context, and Text: Aspects of language in a socialsemiotic perspective. Melbourne: Deakin University Press. Halliday, MAK. 1994. An Introduction to Functional Grammar. London: EdwardArnold. Halliday, MAK & Christian Matthiessen. 1999. Construing Experience through Meaning: a LanguageBased Approach to Cognition. Berlin: de Gruyter. Hasan, Ruqaiya. 1985. Linguistics, Language and Verbal Art. Melbourne: Deakin University Press. Hasan, Ruqaiya. 1988. “The Analysis of One Poem: Theoretical Issues in Practice” in David Birch and Michael O Toole (eds.) Functions o f St y l e . L o n d o n : P i n t e r Publishers. Hasan, Ruqaiya. 1996. “On Teaching Literature Across Cultural Distances” in Joyce E. James (ed.), The Language-Culture Connection. Anthology series 37. Singapore: Seameo Regional Language Center J effe rs on , Ann. 1995. “ Rus si a n Formalism” in Jefferson, Ann & David Robey (eds). Modern Literary Theory. London: BT
138
Basford Ltd. Martin, J.R. 1992. English Text System and Structure. Amsterdam: John Benjamins Publishing. Mukarovsky, Jan. 1977. The Word and Verbal Art. tr. J. Burbank and P. Steiner. New Haven: Yale University Press. Matthiessen, Christian. 1995. Lexicogrammatical cartography: English Systems. Tokyo, Taipei, Dallas: International Language Sciences Publishers. Pradopo, R.D. 1996. Pengkajian Puisi. Jogjakarta: Gajah Mada University Press. P r e m i n g e r, A . 1 9 7 4 . P r i n c e t o n Encyclopedia of Poetry and Poetics. Princeton: Princeton University Press.
STUDI TENTANG METAFORA DALAM KIDUNG LUDRUK1 Yulia Indarti*) Abstract Metaphors are classified into two categories; universal metaphors and cultural metaphors. Metaphors in a certain language are considered having universal characters if their target domains share the same semantic fields with other languages. On the other hand, metaphors are considered cultural if their target domains are only bounded to a certain culture. This study aims at finding out cultural metaphors in kidung ludruk of East Java in which their target domains are bounded to Javanese culture. The meanings of Javanese metaphor symbols cannot be understood literally and therefore are classified on the basis of four semantic fields: fauna, social experiences, moral experiences, and myth as they interact with the environment i.e. East Java. Keywords: metaphors, kidung ludruk, East Java Pendahuluan Dalam sebuah pertunjukan ludruk, terdapat tiga macam nyanyian atau yang
sejumlah penyanyi waria sebelum mereka menari dan menyanyi lagulagu Jawa populer di atas panggung dan mempunyai
disebut sebagai kidung, yaitu kidung
isi pesan yang sama dengan kidung lawak.
ngrema, kidung lawak, dan kidung
Sebagai ciri khas sandiwara ludruk,
bedhayan . Kidung ngrema adalah
kidung mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Disamping mempunyai fungsi
nyanyian yang berisi salam pembuka, perkenalan nama perkumpulan ludruk, dan permintaan maaf apabila terjadi kesalahan selama pertunjukan berlangsung . Kidung lawak adalah nyanyian yang dibawakan oleh pelawak ludruk dan berisi sindiran, kritik sosial, dan pesanpesan tertentu; (Supriyanto, 2001) sedangkan kidung bedhayan adalah nyanyian yang ditampilkan oleh
utama untuk menghibur penonton , nyanyian ini mempunyai fungsi tambahan yaitu sebagai sarana untuk menyindir kehidupan masyarakat yang dinilai tidak sesuai dengan norma yang disepakati dan sebagai sarana lisan untuk mendidik masyarakat. Studi tentang metafora yang terdapat dalam kidung ludruk penting untuk dianalisis lebih mendalam. Sebagai
*) Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, kampus B, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan, Surabaya 60286. Telp (031) 5035676, H e-mail:
[email protected] pada The First International Symposium, Fakultas Sastra, Universitas Airlangga, Surabaya pada tanggal 11 Desember 2008
139
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 sandiwara khas masyarakat Jawa Timur, ludru k ad alah pert unjukan s eni masyarakat kelas bawah yang identik
dasar pemikiran kedua metafora tersebut. Metafora universal didasarkan pada keyakinan bahwa semua bahasa memiliki
dengan hidup menderita. Tujuan dari pertunjukan tersebut adalah membuat penonton terhibur dan tertawa tetapi tetap terfokus pada tujuan untuk
sejumlah sifat yang sama, sedangkan metafora kultural adalah berdasarkan keyakinan pada kenyataan bahwa penutur satu bahasa mempunyai pengalaman fisik dan pengalaman kultural yang tidak dimiliki oleh penutur dari budaya yang
menyampaikan informasi, penyuluhan, dan kritikkritik sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemain ludruk seringkali menuturkannya dengan menggunakan media metafora yang terkadang tidak dapat langsung dipahami maksud, tujuan atau makna ungkapan. Untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap metafora dalam kidung ludruk, diperlukan pengetahuan tentang budaya Jawa. Kurangnya pengetahuan terhadap budaya Jawa mengakibatkan salah pengertian tentang makna sebenarnya yang terkandung dalam metafora. Bahkan, dimungkinkan juga terjadinya ketidaksampaian pesan kepada penonton. Pembagian metafora ke dalam dua kelompok besar didasarkan atas pemikiran Wahab (1990) yaitu metafora universal dan metafora kultural. Yang dimaksudkan dengan metafora universal adalah metafora yang mempunyai medan semantik yang sama bagi sebagian besar budaya di dunia, baik lambang kias maupun makna yang dimaksudkan . Disamping itu , yang dimaksudkan dengan metafora yang terikat oleh budaya adalah metafora yang medan semantik untuk lambang dan maknanya terbatas pada satu budaya saja, yaitu budaya Jawa. Terdapat perbedaan yang menjadi
140
berbeda. Dengan demikian, kriteria yang dipakai untuk menentukan metafora yang terikat pada budaya juga terbatas pada lingkungan fisik dan pengalaman kultural yang khas dimiliki oleh penutur asli bahasa Jawa. Selanjutnya, Wahab mengatakan bahwa kategori medan semantik lambang metafora kultural Jawa akan tampak seperti diagram di bawah ini: Medan semantik Pengalaman diri
Lingkungan fisik
Pengalaman kultural
Fauna Flora Sosial Moral Kepercayaan
Seni
Dari diagram di atas , dapat diketahui bahwa medan semantik lambang metaforis lingkungan fisik terbatas pada flora dan fauna karena kedua lingkungan fisik ini sangat tergantung pada iklim dan geografi tampat kelompok manusia tertentu tinggal . Di samping itu , karena pengalaman budaya manusia sangat luas, maka dalam studi metafora itu, Wahab membatasi diri pada pengalaman sosial,
Studi tentang Metafora dalam Kodung Ludruk
pe n ga l a m a n m o r al , pe n ga l a m a n
kepercayaan bahwa binatang ini adalah
kepercayaan, dan pengalaman seni. Berikut ini adalah data mengenai kidung ludruk yang diambil dari
lambang pernikahan. Sebagai contoh,
Sindhunata (2006) dan Supriyanto
melepas masa lajangnya. Pada awalnya, hal tersebut hanyalah sebatas cerita dari
(2004). Kidung - kidung tersebut dikelompokkan berdasarkan medan semantiknya yaitu medan semantik fauna, pe nga l am a n s os i al , pen gal a m a n kepercayaan, dan pengalaman moral. Metafora dengan Medan Semantik Fauna Dalam kidung ludruk, ditemukan adanya metafora dengan medan semantik fauna yaitu ula ijo , undur -undur . Penjelasannya dapat dilihat dalam data. Arek sik prawan durung duwe bojo Direwangi pasa supaya oleh jodho Ben bengi melek sampek jam loro Bareng malem Sabtu Wage diketoki ula ijo
apabila seorang gadis bermimpi ular, maka dalam waktu dekat dia akan
orang-orang tua, tapi ternyata banyak gadis yang mengalami bermimpi ular hijau dan menikah sesudahnya. Selain itu, ula ijo adalah binatang yang sangat berbahaya, gigitannya yang mengandung bisa, dapat menyebabkan kematian. Selain itu kata ula ijo tersebut di atas, terdapat penggunaan kata Sabtu Wage. Dalam budaya Jawa Sabtu Wage adalah kependekan dari frase metune ageage 'keluarnya cepat'. Oleh karena itu, peringatan sakral seperti upacara tingkepantujuh bulan pada saat bayi berada di dalam kandunganjuga selalu diadakan pada hari Sabtu Wage dengan harapan pada saat berusia sembilan bulan,
Seorang masih perawan belum mempunyai suami Dibantu puasa supaya mendapatkan jodoh Setiap malam tidak tidur sampai jam dua Tiba malam Sabtu Wage didatangi ular hijau
bayi segera lahir dengan selamat. Benang merah yang dapat ditarik antara penjelasan tersebut dengan klausa pada
Kalimat terakhir di atas berisikan kiasan metafora yang menyatakan
(1) mempunyai isi pemberitaan bahwa seorang gadis melakukan tirakat dengan tidak tidur sampai jam dua dini hari agar
perkawinan. Metafora ini khas ada dalam budaya Jawa karena signifier yang digunakan mungkin hanya ada dalam budaya Jawa yaitu ula ijo. Bagi masyarakat Jawa Timur, terdapat sebuah penjelasan mengenai ula ijo. Sejak zaman nenek moyang, terdapat
baris terakhir syair kidung (1) adalah anak perawan segera cepat mendapatkan jodoh setelah menjalani puasa. Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa kidung
segera mendapatkan jodoh . Data selanjutnya, tertulis seperti di bawah ini. Lempuyangan setasiun sepur Munggah jalan layang becakku mlorot mudhun Ngoyak layangan numpak montor
141
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 mabur Urip sepisan mek dadi undur- undur Lempuyangan setasiun kereta api Naik jalan layang becakku merosot ke bawah Mengejar layang - layang naik pesawat terbang Hidup sekali hanya menjadi undur undur
Data di atas , mengandung
Syair kidung diatas menunjukkan
penggunaan metafora garangan. Metafora tersebut menggambarkan seorang buruk
penggunaan metafora undur - undur . Metafora di atas menggambarkan kehidupan yang mengalami kemunduran. Makna yang dimaksud dalam undurundur terungkap lewat simbolisme budaya Jawa. Undur-undur adalah hewan kecil berwarna abu-abu yang hidup di dalam rongga tanah dan berjalan dengan arah mundur . Apabila undur-undur berjalan di atas tanah, bekas jalannya akan terlihat berupa tumpukan tanah yang kecil. Sekarang, meskipun jarang sekali terdapat undur-undur, mungkin karena rusaknya ekosistem kita, penutur bahasa asli masih menggunakan binatang tersebut untuk menyatakan kemunduran kualitas hidup. Jadi, kidung di atas berisi tentang keluhan seseorang yang merasa bahwa kualitas hidupnya mengalami kemunduran . Penggunaan metafora selanjutnya terdapat dalam kidung selanjutnya. Ngethok pring ndhik alas kidul Mari dikethok digawe pasangan Turu miring nggak bisa kumpul Bojo mek sitak digawa garangan
142
Memotong bambu di hutan selatan Setelah dipotong dibuat pasangan sapi Tidur miring tidak bisa berkumpul Isrti cuma seorang dibawa pergi garangan
rupa yang berkepribadian jahat. Makna yang terdapat dalam garangan terlihat dari bentuk dan kebiasaan hewan tersebut. Garangan adalah hewan berkaki empat, berbadan lebih besar daripada kucing dan mempunyai bulu warna abu-abu. Dengan mulutnya yang panjang , garangan mempunyai kebiasaan mencuri dan memakan ayam hidup warga kampung. Pada saat ini, keberadaan garangan sudah langka tetapi masyarakat masih menggunakan kiasan metafora tersebut untuk memberi label pada seseorang yang mempunyai bentuk fisik dan perangai yang buruk. Dengan demikian, kidung (3) mengisahkan tentang curahan hati seorang pria yang merasa sedih dan k e s e p i a n k a r e n a i s t r i n ya p e rg i meninggalkannya bersama lelaki lain. Medan Sematik Pengalaman Sosial Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) memberikan definisi kata sosial sebagai sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat. Sejalan dengan definisi tersebut, dalam tulisan ini ditemukan penggunaan metafora dengan medan semantik sosial yang selengkapnya tertera
Studi tentang Metafora dalam Kodung Ludruk
di bawah ini. Oleh bojo tepak wong wedok sing gak nriman Mula gawene wani mbarek wong lanang Blanja wis cukup ngomong sik kurang Wong wedok iku gak kenek gawe pedaringan Mendapatkan istri kebetulan wanita yang tidak bisa menerima Seringkali berani sama suami Belanja sudah cukup tapi berkata masih kurang Istri itu tidak dapat dijadikan pedaringan Kalimat terakhir pada kutipan di atas berisikan metafora yang menggambarkan kemampuan untuk mengatur keuangan keluarga. Metafora ini khas ada dalam budaya Jawa, karena signifier kata pedaringan diambil dari fungsi dan sosial budaya yang mugkin hanya terdapat di Jawa. Pengetahuan bahwa metafora tersebut adalah khas budaya Jawa didasarkan pada pengetahuan tentang budaya Jawa. Bagi masyarakat Jawa, terdapat sebuah penjelasan mengenai pedaringan ini. Secara literal, pedaringan berarti tempat untuk menyimpan beras. Beras adalah makanan pokok masyarakat Jawa. Seorang istri yang tidak dapat dijadikan pedaringan dapat diartikan bahwa istri tersebut tidak dapat mengatur dan menyimpan sebagian uang yang dihasilkan oleh suami untuk keperluan di kemudian hari. Metafora selanjutnya terdapat dalam kidung berikut.
Aku ngelak tak ombeni ciu Botole putih njerone biru Aku seneng dadi guru masio mendem tetep digugu Wadhuh- dhuh- dhuh cek enake Ciuku cap guru lan murid Gajiku thithik mek dadi sak slilit. Aku haus minum arak Botolnya putih dalamnya biru Aku senang jadi guru walaupun mabuk tetap menjadi panutan Wadhuh - dhuh - dhuh beta pa enaknya Arakku cap guru dan murid Gajiku sedikit hanya jadi satu slilit
Kiasan metafora yang terdapat dalam kidung diatas adalah sak slilit. Arti literal slilit adalah sisa makanan yang menempel di gigi dan biasanya dibersihkan dengan menggunakan tusuk gigi atau benang gigi. Makna literal yang dikandung dalam slilit adalah kecil. Jadi, gaji kecil guru hanya dapat digunakan untuk mencukupi sedikit kebutuhan. Kidung di atas berisi ungkapan hati seorang guru yang merasa bahagia karena dapat menjadi panutan muridmuridnya. Meski begitu, guru yang mendapat gelar kehormatan pahlawan tanpa tanda jasa , pada dasarnya mempunyai gaji rendah sehingga seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan selama satu bulan. Untuk menghilangkan kepenatan dan keresahan hatinya karena himpitan ekonomi, guru tersebut meminum arak hingga mabuk.
143
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Medan Sematik Pengalaman Moral Kamus Besar Bahasa Indonesia
Aja ninggal bojo sing jawa
(2002:754) memberikan definisi moral sebagai ajaran tentang baik buruk yang
Ani-ani ya ani-ani Jangan meninggalkan padi jawa Kamu menikah ya menikahlah Jangan meninggalkan istri yang jawa.
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak, budi pekerti, susila. Berkaitan dengan pengalaman moral , masyarakat Jawa umumnya memiliki prinsip yang sama. Mereka menyadari keberadaannya sebagai mahluk moral, sosial, dan individual. Sebagai makhluk moral , manusia mempunyai kewajiban kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kewajiban terhadap masyarakat sedangkan sebagai makhluk individual mereka mempunyai kewajiban
Metafora yang ditemukan dalam kidung diatas adalah jawa yang secara sintaksis termasuk kata sifat. Makna yang terdapat di balik kiasan metafora tersebut adalah indah, tulus, ikhlas, sopan dan mengandung kebaikan. Dalam syair kidung di atas, terdapat penggunaan metafora Jawa yang mengandung kearifan lokal. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh
terhadap diri dan keluarga pribadi. Sejalan dengan hubungannya
penulis dengan informan , terdapat
dengan ketiga peran di atas, falsafah adat merupakan sumber kearifan lokal bagi
Jawa mempunyai makna indah, tulus,
masyarakat Jawa. Salah satu falsafah yang ada adalah mendhem jero mikul dhuwur. Maksud yang terkandung di baliknya adalah bahwa menjadi orang harus mempunyai kepribadian yang baik, tegas, bertanggungjawab, dapat menjaga rahasia orang lain , dan pandai menempatkan diri di semua tempat. Contoh kidung ludruk berikut ini menunjukkan penggunaan metafora dengan medan semantik pengalaman moral. Penjelasan selangkapnya terlihat dalam data. Ani ani ya ani ani Aja ninggal pari jawa Pena laki ya lakia
144
pandangan bahwa dalam budaya Jawa, ikhlas, sopan dan mengandung kebaikan sehingga beberapa hal juga diberi label Jawa seperti beras dan gula. Beras Jawa adalah beras yang punel dan harum baunya sedangkan gula Jawa adalah gula merah yang rasanya manis. Selain itu, bahasa Jawa dikenal sebagai bahasa yang indah dan pakaian tradisional Jawa juga dikenal dengan kesopanannya yang ditunjukkan dengan pemakaian blangkon dan sarung untuk pria serta jarit kebaya untuk wanita. Jadi, isi kidung diatas adalah himbauan yang ditujukan bagi para suami untuk tidak menelantarkan dan meninggalkan istri yang baik. Selanjutnya , penggunaan metafora terdapat dalam kidung berikut ini.
Studi tentang Metafora dalam Kodung Ludruk
Tuku lenga nek nggawa obor Ana tempe kok diuyahi Wong ndonya iki gak sak godhong kelor Wong dulur ipe kok diuyahi Membeli minyak dengan membawa obor Ada tempe kok digarami Dunia ini tidak selebar daun kelor Saudara ipar kok digarami Dalam syair kidung di atas, terdapat penggunaan simile dan metafora. Simile ditemukan pada baris ketiga yaitu 'wong ndonya iki gak sak godhong kelor'. Godhong kelor, sejenis daun berwarna
Dunia ini sangat luas dan terdiri dari banyak sekali orang sehingga tidak sepantasnya menggoda dan menggerayangi saudara ipar. Medan Sematik Pengalaman Kepercayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan dua definisi kepercayaan yaitu (1) anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata dan (2) sebutan bagi sistem religi di Indonesia yang tidak termasuk salah satu dari kelim a agama yang res mi (2002:856). Pulau Jawa adalah satu daerah
hijau yang bentuknya kecil - kecil . Penggunaan godhong kelor dalam
penuh dengan legenda, kekuatan gaib dan
pepatah didasarkan pada dua pemikiran.
percaya akan adanya hantu-hantu, roh-
Pertama, masyarakat Jawa percaya bahwa godhong kelor mempunyai kekuatan magis untuk menghilangkan susuk yang menempel pada seseorang sehingga seringkali godhong kelor dipercikkan
roh leluhur, mahluk halus, animisme, dan
pada tubuh seseorang menjelang ajalnya. Selain itu, daun ini dicampur dengan bunga boreh bunga untuk orang mati dan air menjadi syarat penyiraman jenazah pada saat upacara pemandian. Jadi, simile di atas mengandung arti bahwa dunia ini sangat luas dan memiliki penduduk yang sangat banyak. Selain itu, terdapat penggunaan kiasan metafora diuyahi yang mengandung arti digoda dan digerayangi. Dengan demikian, isi kidung ludruk itu adalah himbauan untuk tidak menggoda saudara ipar karena meskipun tidak sekandung, saudara ipar adalah juga sudah menjadi seperti saudara kandung.
mistis. Oleh karena itu, masyarakat Jawa
kehidupan dunia akhirat . Contoh penggunaan metafora, dapat dilihat pada data. Mula nek sugih, Dulur, ajak sombong Mbesok sugih miskin , padha mujur ngalor Makanya kalau kaya, Saudara, jangan sombong Nantinya kaya ataupun miskin, semuanya membujur ke arah utara
Dari data diatas dapat dilihat bahwa kiasan metafora yang tertera adalah mujur ngalor yang berarti meninggal dunia. Penentuan makna ini didasarkan pada posisi penyemayaman
145
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 mayat membujur ke arah utara selatan dengan posisi kepala di sebelah utara. Dalam syair di atas, dapat dilihat bahwa isi yang ingin disampaikan oleh penyanyi kidung kepada penonton adalah nasehat tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap dalam menjalani kehidupan di dunia ini, tidak peduli kaya ataupun miskin. Masyarakat Jawa yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam percaya akan adanya kehidupan abadi sesudah manusia meninggalkan dunia fana ini. Menurut ajaran agama Islam, pembeda seseorang di hadapan Tuhan adalah kadar ketaqwaan seseorang selama hidup di dunia, bukan kekayaan materi. Oleh karena itu, penyanyi kidung mengingatkan penonton untuk tidak hidup sombong meskipun mempunyai
sandiwara wayang kulit. Masyarakat Jawa mempunyai kesenian tradisional wayang. Salah satu tokoh dalam wayang adalah bethara kala yaitu raksasa rakus yang berperan antagonis dengan memangsa anak yang mempunyai sengkala misalnya anak ontang-anting 'tunggal'. Cerita wayang dengan tokoh bethara kala biasanya diangkat dalam acara ruwatan untuk menghindari sesuker 'kesialan'. Berikut ini adalah gambar raksasa yang terdapat dalam cerita wayang. Dalam kidung diatas dapat dilihat nasehat agar seorang gadis menjalankan ibadah puasa sunah Senin Kamis agar t i da k m e nda p at k an j o doh ya ng mempunyai kepribadian seperti bethara
harta yang berlimpah . Metafora
kala dalam cerita wayang. Jadi, dengan berpuasa Senin Kamis diharapkan bahwa gadis akan disunting oleh pria yang
selanjutnya terlihat seperti berikut ini.
berkepribadian bagus.
Awanawan udan gerimis Gentheng bocor tambalen bata Dadi perawan pasaa Senin Kamis Cek gak dilamar bethara kala Siangsiang hujan gerimis Genting bocor tamballah dengan batubata Jadi perawan puasalah Senin Kamis Agar tidak dilamar bethara kala
Kesimpulan Penggunaan metafora kidung ludruk mencakup seluruh aspek-aspek kehidupan dan dapat dikelompokkan ke dalam empat medan semantik yang berbeda. Selain itu, dapat diketahui bahwa lambang metafora yang digunakan dalam kidung ludruk sudah disesuaikan dengan karakteristik kehidupan sosial dan budaya masyarakat Jawa.
Kidung diatas memperlihatkan kiasan metafora bethara kala yang memiliki makna pria dengan kepribadian tidak bagus. Penetapan makna denotasi di balik kiasan tersebut adalah berdasarkan bentuk dan perangai bethara kala dalam
146
Daftar Pustaka Dirven, Rene. 2002. Metoniny and Metaphor dalam Metaphor and Metonimy in Comparasion and Contrast. Berlin: Mouton de
Studi tentang Metafora dalam Kodung Ludruk
Gruyter.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002.
Foley, William A. 1997. Anthropological
Jakarta: Depdiknas.
Linguistics: An Introduction .
Lakoff, Johson. 1980. Metaphor We Live
M a s s a c h u se t t s : B l a c k w e l l
By. Chicago: The University of
Publishers Inc.
Chicago Press.
Guttenplan, Samuel. 2005. Objects of Metaphor. Oxford: Clarendon Press.
Linguistics. Austin: University of Texas Press.
Halley, Michael C, 1980. 'Concrete Abstraction : The Linguistic Universe of Metaphor' dalam Linguistic Perspective on Literature.
Mathews , 1997. Metaphors dalam Toward A Theory of Cultural
London: Routledge
and Kegan Paul. Supriyanto, Henricus. 1984. Deskripsi Lakon Ludruk di Malang. M a l a ng: De wa n K es e ni a n Malang. _________________. 2001. Ludruk Jawa Timur: Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon. Surabaya: Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur _________________.2004. Kidungan Ludruk. Malang: Pemerintah Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Widya Wicana Nusantara Jakobson, Roman dan Morris Halle. 1956. Fundamentals of Language. The Haque: Mouton & Co - 'S-Gravenhage
Michael, Paul. 1989. Figurative Speech. New York: Stimulus Foundation. S i n d hu n a t a . 2 0 0 6 . G e nd h a k a n : Visualisasi Parikan Ludruk . Yogyakarta: Bentara Budaya. _________________. 20 0 4. I lmu Ngglethek Prabu Minohek . Yogyakarta: Boekoe Tjap Petroek _________________.2004. Kidungan Ludruk. Malang : Pemerintah Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Widya Wicana Nusantara Udu, Hamiruddin. 2006. Metafora dalam Kanti Pengantar Tidur. Tesis tidak diterbitkan. UGM Wahab, Abdul. 1990. Sepotong Model Studi tentang Metafora dalam P en gem ba ngan Pe ne l i t i a n Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Hiski
147
KULTUR OBJEKTIVITAS TUBUH: FILSAFAT DUALISME CARTESIAN Made Pramono Abstract Study of the body of human is not a new subject in history of philosophy. There are many assumptions, many conceptions, and also many paradigms which come in a discourse of mind-body problems, from ancient greek to contemporary world, from Plato to Marleau-Ponty. All opinions about body are agree, that soul/mind is always thought when they talked about body. Many consequences will be founded in any field of human living, from spiritually philosophy to sport, from medicine to social engineering. One of the greatest philosophy about the human body was founded in Descartes's philosophy, whom separated body from soul, and its implementation became a culture which I call “body objectivity's culture”. These culture has many consequencies, but in this essay will not be dicuss, we just will explore in a literature study, the philosophy of body in the Cartesian's philosophy. Keywords: Philosophy of The Body, Cartesian's Philosophy, Body Objectivity's Culture Apakah Tubuh? “Apakah tubuh?”, begitu Anthonny Synnott bertanya, mengawali bukunya: Tubuh Sosial: Sosialisme, Diri, dan Mayarakat (2003). Cara melihat terhadap tubuh hampir pasti diikuti perlakuan yang sesuai dengan pendapat itu. Ada yang melihat tubuh sebagai penjara jiwa (Plato), bait Allah (Santo Paulus), mesin (Descartes), dan diri (Sartre). Tubuh dapat menandai realitasrealitas yang sangat berbeda, beserta persepsi-persepsinya mengenai realitas yang ada. Pendapat tentang hubungan tubuh dan jiwa masih sangat layak untuk dipertimbangkan dalam kajian filsafat modern. Selain fenomena sosial seperti konsumtivisme, seni versus agama, dan trend pemujaan tubuh ideal, faktor lain seperti psikologi dan kedokteran juga
menjadi alasan pragmatis keilmuan untuk mengangkat tema tubuh dan jiwa sebagai kajian filsafat. Dalam hal tubuh, persepsi dan konsepsi sering tak persis berjajaran, bahkan bisa sangat bertentangan. Di satu pihak, dalam hidup keseharian, tubuh selalu dialami sebagai sesuatu yang primer, di pihak lain dalam kerangka filsafati ataupun religius tubuh cenderung dianggap sebagai sesuatu yang sekunder (Bambang, dalam Made, 2005: 27). Seperti yang disitir oleh Pasi Falk (1993: 1), tubuh manusia menempati peran ambigu dan paradoksal dalam kategorisasi kultural. Peran “dobel” tubuh dapat dirumuskan dalam sejumlah oposisi biner: tubuh sekaligus adalah yang sama dan yang lain, subjek dan objek, interior dan eksterior. Atau, dari sudut pandang eksperimen, tubuh bergerak antara kehadiran dan ketidakhadiran.
*) Fakultas Ilmu Keolahragaan dan koordinator MPK Filsafat Ilmu di UNESA
148
Kultur Objektifitas Tubuh ...
Yunani Kuno memuja tubuh. Patung, lukisan, dan keramik mereka yang terbuat dari batu, cat, dan tanah liat merayakan indahnya postur tubuh manusia yang telanjang. Perlombaan Olimpiade di lereng suci Gunung Olimpus, merayakan kekuatan dan kekuasaan tubuh. Mereka tampaknya memiliki sikap yang sangat fleksibel terhadap seks, terutama di Athena yang dilegalkan oleh lysistrata. Orang Yunanilah yang pertama-tama m engem bangkan t eor i m engena i kecantikan (Synnott, 2003: 24). Ketelanjangan bagi orang Yunani waktu itu adalah metafor untuk “keberanian yang telanjang”. Jadi proses pengetahuan sejati adalah proses penyingkapan objek, penelanjangan, tersingkapnya seluruh bagian. Puncak pengetahuan adalah theoria, yaitu memandang dengan teliti dan tepat. Makna antropologis tubuh masa Yu n a n i K u n o o l e h k a r e n a n y a , ketelanjangan berada dalam satu kerangka metafisika dengan pengutamaan jiwa (Bambang, dalam Made, 2005: 28). Synnott (2003: 24) mencatat satu hal penting, bahwa meskipun kebudayaan Yunani berpusat pada tubuh dan memuja tubuh “ideal”, namun tidak ada konsensus filsafati mengenai tubuh. Teori tentang hubungan tubuh dan jiwa bermacammacam, mulai dari yang sangat mengutamakan jiwa sampai dengan yang mementingkan tubuh. Beberapa aliran tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Hedonisme, di mana penciptanya, Aristippus (435-366 SM) menegaskan bahwa “kesenangan tubuh jauh lebih baik daripada kesenangan jiwa”. Kedua, Epikureanisme, lawan dari hedonisme. Epikuros (341-270 SM) pendiri madzab Epikureanisme
menyatakan dengan tegas: “kita menyebut kesenangan sebagai alfa dan omega bagi kehidupan yang diberkati. Kesenangan adalah kebaikan kita yang pertama-tama, dan tertinggi”. Bagi kaum Epikurean, (kesenangan) jiwa lebih baik dari (kesenangan) tubuh. Ketiga, Orfisme yang didirikan salah satu pahlawan Yunani, meyakini dari kisah pembunuhan Dionysus oleh Titan, bahwa tubuh harus dianggap sebagai makam jiwa. Kehidupan Orfik ditujukan untuk mengembangkan “kodrat Ilahi” melalui asketisme: pantang daging, anggur, dan hubungan seksual (Synnott, 2003: 24-25). Filsafat soma-sema ini (tubuh = makam) meskipun tidak populer, namun mempengaruhi beberapa filsuf utama pada masa-masa berikutnya seperti Pythagoras, Sokrates, dan Plato, dan kemudian Neoplatonisme dan Kristianitas. Sokrates (466-399 SM) menggambarkan jiwa sebagai “tawanan yang tidak berdaya, dengan tangan dan kaki dirantai, dipaksa untuk melihat realitas tidak secara langsung, melainkan hanya melalui jeruji-jeruji penjara”. Tubuh merupakan 'perangkap' jiwa, sebuah 'rintangan' dan sebuah 'kelemahan, ya ng t e ru s m e ne ru s m e m ot o n g , mengganggu, memecah belah dan mencegah kita untuk memperoleh secuil kebenaran… Ia memperbudak dan membelenggu kita… Sesungguhnya tubuh adalah 'makam' (kuburan) jiwa (Plato, 1963: 66, 47-50, 437). Tubuh dan jiwa tidak hanya terpisah, namun juga bertentangan. Plato (427-348 SM) mempertahankan dualismenya dengan mengatakan bahwa “ jiwa sungguhsungguh lebih unggul daripada tubuh…
149
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 tubuh tidak lebih daripada bayangbayang yang terus menjaga kita untuk tetap utuh… Hanya di dalam kematian saja 'jiwa… dibebaskan dari keinginankeinginan dan nafsu jahat tubuh'” (Plato, 1963: 1503, 4661). Plato menegaskan bahwa tugas filsuf adalah membebaskan dan memisahkan jiwa dari tubuh (Plato, 1963: 50). Namun Plato tidak seluruhnya menyangkal tubuh. Ia juga mengatakan bahwa tubuh molek adalah jalan pertama menuju Keindahan Absolut dan Tuhan. Ini berarti, menurutnya tubuh dapat mendekatkan manusianya kepada Tuhan, atau menjauhkannya. Tubuh yang indah dapat menginspirasikan para filsuf, atau sebaliknya merintangi, mencemari dan membelenggu filsuf yang sama (Synnott, 2003: 26-27). Aristoteles (384-322 SM), bekas murid Plato, sangat tertarik kepada tubuh, dan menolak dualisme Plato dan negativisme tubuh. Ia mendefinisikan jiwa sebagai 'prinsip kehidupan', dan menggambarkannya sebagai 'bentuk istimewa dari tubuh yang hidup'. Tidak ada yang satu tanpa yang lain. Tetapi di sisi lain ia menyetujui Plato bahwa jiwa lebih unggul daripada – dan memerintah – tubuh. Bisa dikatakan, dalam filsafat Aristoteles masih terdapat dualisme (meski tanpa negativisme) ketika ia menegaskan bahwa manusia harus merawat tubuh 'demi kebaikan jiwa', dan bahwa 'akal lebih dari apapun dalam membentuk manusia' (Aristoteles, dalam Synnott, 2003: 27). Filsafat tubuh setelah masa-masa Yuna ni K u n o be rga nt i an an t a ra pandangan yang monistik dengan dualistik, antara yang idealistik dengan y an g m a t eri al i s t i k, ant ar a ya ng
150
mengutamakan jiwa dengan yang mengutamakan tubuh. Di sini bisa ditem ukan ali ran ideali sm e dan materialisme di masa-masa Romawi, arus pemikiran Yahudi, di masa dominasi gereja atau di masa renaissance, dan juga di jaman modern. Belum lagi kekayaan tersembunyi pemikiran di daerah Asia tentang tubuh yang pada awal-awal abad ke-21 ini menjadi fenomena tersendiri (lihat misalnya: Capra, 1997; Chopra, 1996). Oxford English Dictionary mendefinisikan tubuh sebagai 'kerangka atau struktur fisik atau material manusia atau hewan; seluruh organisme material ini dilihat sebagai sebuah entitas organik' (dalam Synnott, 2003: 23). Opini yang muncul terhadap pendefinisian tubuh seperti rumusan di atas beraneka ragam. Namun setidaknya, satu hal yang tentu semua orang sepakat, satu-satunya entitas yang mampu berpikir tentang tubuh, pasti juga memiliki jiwa. (Bukan sesuatu yang dianggap urgen dalam hal relevansinya dengan tema utama penelitian ini untuk mengangkat isu paling fenomenal di ujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 tentang tubuh, yaitu pengontrolan tubuh saat kapitalisme muncul. Oleh karena itu, meskipun filsafat yang dikembangkan Descartes maupun Merleau-Ponty memiliki akses teoritis (bahkan bisa jadi paradigmatis) ke arah sana, namun gagasan-gagasan Max Weber dengan prioritas agama ('rasionalisasi' tubuhtubuh), Michael Foucolt dengan tekanan pada politik (tubuh-tubuh yang 'disiplin' dan 'patuh'), dan Karl Marx dengan panglima ekonominya ('mesinisasi' tubuh), tidak dibahas). Salah satu arus pemikiran filsafat
Kultur Objektifitas Tubuh ...
tubuh yang gemanya sampai sekarang masih sangat terasa dan merasuki hampir segala sendi kemanusiaan adalah pandangan Descartes tentang tubuh sebagai mesin (Zaner, 1964: 29). Pernyataannya yang terkenal “cogito, ergo sum” menjadi lambang penekanan rasionalitas di dunia Barat saat ini. Pemisahan substansi tubuh (res extensa) dengan jiwa (res cogitans) menelurkan konsep dunia mekanis yang saat ini masih menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu, dan mempengaruhi secara luar biasa banyak aspek kehidupan (Capra, 1997: 32). Analisis Konseptual Rene Descartes dianggap sebagai pendiri filsafat modern. Dia adalah seorang ahli matematika yang cemerlang, dan pandangan filsafatnya sangat dipengaruhi oleh fisika dan astronomi. Dia tidak menerima semua pengetahuan tradisional, tetapi siap membangun suatu sistem pemikiran baru yang utuh, yang belum pernah terjadi sejak jaman Aristoteles (Russell, 1961: 542). Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, seperti yang dikatakannya sendiri: “ Semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas… kita menolak semua pengetahuan yang hanya berupa kemungkinan, dan kita hanya percaya pada hal-hal yang benar-benar diketahui dan tidak ada keraguan tentangnya” (dalam Garber, 1978: 65). Kepercayaan a la Descartes pada kebenaran ilmiah masih tersebar luas saat ini dan tercermin pada sikap scientism yang telah menjadi ciri kebudayaan Barat. Kejeniusan Descartes adalah
kejeniusan seorang ahli matematika, dan ini juga tampak pada filsafatnya. Untuk melaksanakan rencananya membangun ilmu alam yang lengkap dan pasti, dia mengembangkan metode penalaran baru. Inti metode itu adalah keraguan yang mendasar (radical doubt). Semua diragukannya, termasuk bahwa dia mempunyai tubuh. Satu hal yang tak dapat lagi dia ragukan, yakni keberadaan dirinya sebagai pemikir. Dari sini Descartes menyimpulkan bahwa esensi hakikat manusia terletak pada pikirannya, dan bahwa semua benda yang dapat ditangkap secara jelas adalah benar. Bagi Descartes, cogito-nya telah membuat pikiran menjadi lebih pasti daripada materi dan membawanya kepada kesimpulan bahwa akal dan materi merupakan dua hal yang terpisah dan berbeda secara mendasar (Capra, 1997: 60-61). Descartes menyandarkan seluruh pandangannya tentang alam pada pemisahan fundamental antara dua alam yang mandiri dan terpisah, yaitu alam materi atau “benda berkeluasan” (res extensa) dengan alam pikiran atau “benda berpikir” (res cogitans). Pemisahan ini termasuk juga pada manusia. Tubuh dipandang sebagai benda yang tidak berpikir, berkeluasan, dan merupakan substansi material, sedangkan pikiran adalah benda berpikir, tidak berkeluasan, dan substansi imaterial. Tubuh merupakan mesin yang tak berkesadaran, dan dikenai hukum-hukum alam sebagaimana mesin sebuah arloji. Sementara pikiran m erupa ka n subs tans i be ba s d an berkesadaran yang tidak memiliki kualitas keluasan, sehingga tidak dikenai atau didominasi hukum-hukum alam
152
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 (Descartes, 1967: 116). Bagi Descartes, alam materi tidak lebih dari sekadar mesin. Demikian juga dengan tubuh manusia: Aku menyadari diriku sendiri, pertama-tama karena ia memiliki sebuah wajah, tangan, lengan, dan seluruh mesin yang dibuat dari daging dan tulang, sama seperti terlihat pada seonggok mayat, dan yang saya tunjuk dengan nama tubuh (Descartes, 1967: 127) Ini dijadikan paradigma ilmu pada masa setelah Descartes, termasuk teori fisika Isaac Newton. Dalam usahanya membangun ilmu alam yang lengkap, Descartes memperluas pandangan mekanistiknya hingga pada organisme hidup. Tumbuh-tumbuhan dan binatang dianggap sebagai sekadar mesin; manusia dihuni oleh sebuah akal rasional yang dihubungkan dengan tubuhnya melalui kelenjar pineal di pusat otak. Sejauh berhubungan dengan tubuhnya, manusia tidak dapat dibedakan dengan mesin atau binatang. Descartes menerangkan dengan panjang lebar bagaimana gerak dan berbagai fungsi biologis tubuh dapat direduksi menjadi kerja mekanis. Kata Descartes: Kita melihat arloji, air mancur buatan, dan mesin-mesin buatan lainnya yang, meskipun buatan manusia, memiliki kekuatan untuk menggerakkan dirinya sendiri dengan berbagai macam cara… Saya tidak melihat perbedaan mesin-mesin buatan manusia itu dengan berbagai tubuh yang disusun oleh alam sendiri (Rodes-Lewis, 1978: 78). Meskipun begitu, Anthonny Synnott (2003: 49) berpesan kepada
152
pembacanya untuk memperhatikan satu titik yang harus diklarifikasi: sangat sedikit orang yang melihat diri hanya sebagai mesin atau hewan. Descartes menegaskan hal ini, karena menurutnya hewan dan mesin tidak mampu bercakapcakap dan berpikir. Thomas Hobbes, filsuf yang setuju dengan dualisme mekanistik Cartesian, menambahkan agama sebagai pembeda manusia dengan hewan atau mesin. Lagi pula mekanisme tidak dapat m e n j e l a s k a n k e h i d u p a n, e n e rg i , pertumbuhan, dan gerakan (Synnott, 2003: 49). Baik pikiran maupun materi adalah ciptaan Tuhan. Eksistensi Tuhan yang sangat esensial bagi filsafat Descartes ditinggalkan oleh para ilmuwan di abad-abad berikutnya, dan mereka hanya mengembangkan secara paradigmatik pemisahan pikiran dan materi Cartesian (Capra, 1997: 61). Pandangan Descartes tentang organisme hidup mempunyai pengaruh yang menentukan dalam perkembangan ilmu-ilmu kehidupan. Hal ini juga berdampak pada tugas utama para psikolog, biolog dan dokter yang cenderung memperlakukan organisme hidup kurang lebih sekadar sebagai sebuah mesin. Pendiri Psikologi Be haviori sm e, John B . Wa t s on, menegaskan bahwa “tubuh manusia… bukan rumah harta atau misteri, melainkan sejenis mesin organik yang sangat umum” (dalam Synnott, 2003: 57). Sejak awal abad kedua puluh, biologi, kedokteran, psikologi, sosiologi, dan filsafat menemukan titik persetujuan yang sangat besar dalam materialisme mereka: tubuh adalah segalanya (Synnott, 2003 d a n C a p r a , 1 9 9 7 ) . Te s i s y a n g dikemukakan Descartes, cogito ergo sum,
Kultur Objektifitas Tubuh ...
secara argumentatif dijadikan referensi – setidaknya di tingkat istilah – tesis Pasi Falk, I consume, therefore I am (Falk, 1993), meskipun dalam hal ini Falk menganalisis tubuh secara sosiologis fenomenologis. Synnott (2003: 49) mengembangkan lebih jauh pembagian Descartes atas homo sapiens menjadi jiwa dan tubuh dengan menempatkan jiwa pada gereja dan tubuh pada ilmu dalam sebuah 'pembagian kekuasaan' yang sangat jelas. Ini sekaligus merefleksikan pembagian di dalam masyarakat, dan seolah-olah konstruksi mekanistik tubuh kongruen dengan mekanisasi masyarakat. Mekanisme menjadi filsafat yang sangat kuat, terutama dalam kedokteran dan psikologi terapan (Synnott, 2003: 58), dan ia diaplikasikan juga pada anak-anak dan pekerja industri, selain derap mengagumkan perubahan teknologi, seperti cybernetics, mesin yang 'berpikir sendiri'. Itulah ilmu Descartes yang luar biasa. Dengan metode berpikir analitiknya, dia berusaha memberikan perhitungan tepat tentang semua fenomena alam dalam satu sistem prinsip mekanis tunggal. Tentu saja, Descartes tidak mampu melaksanakan rencana ambisiusnya sendiri, dan dia mengetahui bahwa ilmunya tidak lengkap. Tetapi metode penalaran dan garis-garis besar teorinya tentang fenomena alam telah membentuk pikiran ilmiah Barat selama tiga abad (Capra, 1997: 64). Salah satu disiplin ilmu yang intensif membahas tema “tubuh” adalah Ilmu Keolahragaan. Pengaruh fisiologi mekanistik Cartesian terhadap pemahaman kontemporer tentang
olahraga (termasuk ranah kajian filsafat olahraga) juga luar biasa. Filsafat olahraga penuh dengan penegasan dan pernyataan kembali (baik secara implisit maupun eksplisit) dualisme Cartesian, meskipun kadang-kadang ada juga yang menegaskan sebaliknya. Tingkat penerimaan yang terorganisir dari masyarakat olahraga terhadap kerangka kerja ilmu-ilmu alam serta penerapan skema behavioristik dan stimulus-respon merupakan bukti yang jelas untuk hal ini, yang meneguhkan pemahaman bahwa perwujudan manusia (atlet) lebih sering diojektivikasi dan direduksi sedemikian rupa (Meier, dalam Morgan dan Meier, 1995: 91). Beberapa Keberatan Menurut Bambang Sugiharto (dalam Made, 2005: 27-28), dualisme yang melanda pemikiran kultur Barat tentang jiwa dan tubuh juga diasalkan dari paham Greco-Roman yang memilah realitas menjadi dua: pikiran dan nafsu, roh dan tubuh, Apollo dan Dionysus. Paham ini memasung tubuh sebagai penjara bagi jiwa. Paham dualisme Cartesian yang ditopang ramai-ramai dengan mitologi dan filsafat – yang mengutamakan jiwa di atas tubuh seperti paham Greco-Roman tersebut – menjadi sebuah raksasa ide yang mendasari hampir semua ruang gerak umat manusia. Meskipun demikian, sejarah membuktikan bahwa dinamika pemikiran umat, manusia selalu diramaikan dengan pro dan kontra (dalam bahasa Hegelian: dialektika). Benedict Spinoza adalah salah seorang filsuf yang terang-terangan menolak premis Cartesian. Dalam salah satu suratnya kepada Leibniz, Spinoza
153
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 mengatakan: “Descartes bertolak dari pikiran, namun saya bertolak dari Tuhan”. Sedangkan dalam bukunya Ethics (1677) ia katakan bahwa manusia terdiri atas jiwa yang bersatu dengan tubuh, tidak ada yang berada di bawah yang lain, keduanya dua sisi dari satu realitas Tuhan. Teori ini dikenal dengan hilozoisme Spinoza. Sedangkan La Mettrie, filsuf Prancis juga menolak dualisme Cartesian ini, namun dari perspektif materialistik. Menurutnya, manusia adalah sebuah mesin, sama seperti hewan lainnya. Dalam bukunya L'homme Machine (1748) ia juga mengatakan bahwa “t ubuh manusia adalah sebuah jam, sebuah mesin yang menghidupkan gagasannya sendiri”, sedangkan jiwa digambarkannya sebagai sebuah gagasan yang tidak masuk akal… suatu dunia yang kosong” (dalam Synnott, 2003: 50). Kontribusi utama diskusi tentang kebertubuhan selama abad kesembilan belas berasal dari Feurbach, Marx, Darwin, Nietzsche, dan Freud. Ludwig Feurbach misalnya, menekankan dasar material bagi kemanusiaan: “ Individu menjadi seorang individu hanya dalam… hidup kebertubuhannya”. Namun baru Karl Marx-lah (bersama Engels) yang menyelidiki hidup kebertubuhan dalam praktek. Destruksi, mekanisasi, dan animalisasi tubuh para pekerja diselidikinya. Tubuh dihadapkan dengan mesin. Pada titik ini tubuh merupakan aset yang dapat dibuang begitu saja (Synnott, 2003: 50-51). Charles Darwin, tokoh evolusi biologis sepanjang jaman, juga melihat manusia sebagai hewan. Dalam The Descent of Man, Darwin mengatakan dengan terus terang bahwa: “Manusia
154
diturunkan dari nenek moyang yang berambut lebat seluruh tubuhnya, dilengkapi dengan cakar dan telinga yang kecil, bahkan mungkin dengan kebiasaan bergantungan, dan penghuni dari sebuah Dunia Purba”. Menurutnya, manusia bukan hanya hewan yang secara tubuh berkembang dari hewan lain, namun tubuh itu masih terus berkembang. Darwin secara efektif membalikkan nilainilai Victorian (yang mengunggulkan jiwa), karena sekarang jiwa bergantung pada tubuh, dan manusia bukanlah penguasa hewan, melainkan diturunkan dari hewan. Dikotomi-dikotomi kuno pikiran/tubuh, manusia/hewan, superior/inferior yang diyakini Plato sampai Descartes dalam beberapa segi dijungkirbalikkan (Synnott, 2003: 51-52). Penolakan terhadap keunggulan jiwa juga tersirat dari Nietzsche, seperti yang telah dibahas di muka. Dalam Thus Spoke Zarathustra, ia menampilkan diri sebagai 'yang meninggikan tubuh', menolak konsep kebertubuhan Kristianitas (asketisme dan negativisme), serta mengatakan “terdapat rasio yang lebih besar dalam tubuhmu daripada di dalam kebijaksanaanmu yang paling tinggi”. Rasio didefinisikannya lebih terkait dengan tubuh, bukan jiwa, sehingga bisa dikatakan bahwa ciri khas manusia bukan pada jiwa, melainkan tubuhnya (Synnott, 2003: 53). Pada gilirannya, Foucault memakai tengara Nietzsche ini dengan mengungkapkan kebalikan tesis Descartes: bukan tubuh yang menjadi penjara bagi jiwa, tetapi jiwa adalah penjara bagi tubuh. Foucault mengaitkan tesis ini dengan a rg um e n t a s i n y a d a l a m “ S e j a r a h Seksualitas” yang ditulisnya (Falk, 1993:
Kultur Objektifitas Tubuh ...
5). Bersama dengan Breuer, Sigmund Freud menulis buku Studies on Hysteria dan menunjukkan bahwa fenomena psikologis dapat diubah menjadi fenomena fisik (psikosomatis). Tubuh dan jiwa adalah satu. Teorinya tentang 'perubahan' dari jiwa menuju tubuh tampaknya disebabkan oleh keberhasilan terapinya, namun ini juga mempertanyakan dualisme Cartesian, dikotomi jiwa dan tubuh (Synnott, 2003: 55). Meskipun psikologi behaviorisme juga salah satu yang terpengaruh paradigma Cartesian, namun sesungguhnya Watson menghilangkan dualisme tubuh-jiwa dan menghilangkan jiwa: “tak seorangpun yang pernah menyentuh jiwa, atau melihatnya dalam s eb u ah t a bu n g p e ng uj i a n, a t a u berhubungan dengannya seakan-akan ia adalah objek yang lain dari pengalamannya sehari-hari” (dalam Synnott, 2003: 57). Postulat pemisahan ekstrim tubuh dan jiwa seperti Descartes, tentu berhadapan langsung dengan beberapa kesulitan. Refleksi terbuka pada p e n g a l a m a n k e h i d up a n m a n u s i a mengindikasikan bahwa distingsi semacam itu tidaklah absolut. Meskipun tidak selalu, aktivitas manusia yang spesifik dapat dikatakan tak sadar dan mekanis, misalnya tindakan reflek, komponen tertentu persepsi dan kesadaran seperti sensasi sakit dan suara, lapar dan haus, dan ekspresi emosional dan nafsu, menantang secara signifikan struktur dualistik dengan suatu implikasi kesatuan intim antara tubuh dan jiwa. Ini disebut Meier sebagai “quasi-
substantial”. Beberapa contoh dapat diajukan di sini, misalnya fenomena bahwa pikiran memiliki kemampuan untuk menekan atau mengulang langsung hasrat inderawi. Selain itu juga keadaan mental seperti gairah atau semangat yang menggebu-gebu yang menampak pada perubahan sistem pernafasan dan dalam tingkat intensitas penampilan fisik (Meier, dalam Meier dan Morgan, 1995: 90). Descartes mungkin menjawab bahwa tubuh memancar dari prosedurprosedur penampilam mekanisnya sendiri pada “arahan kehendak” yang pada akhirnya tergantung juga pada pikiran (Descartes, 1962: 195). Pendapat ini memunculkan bukti baru kesulitan dualisme Cartesian: bagaimana bisa substansi material yang berkeluasan dipengaruhi oleh materi spiritual yang tak berkeluasan, dan, oleh karenanya, tak ada tempat untuk interaksi? Descartes merespon hal tersebut dengan menyatakan bahwa sifat interaksi ini kabur. Istilah yang digunakan Descartes untuk ini misalnya “kadang-kadang” atau “kejadian spontan”. Satu lokasi bagi penyatuan jiwa dan tubuh ini menurut Descartes ada pada kelenjar pineal, terminal seluruh sistem syaraf yang terletak ditengah-tengah otak (Descartes, 1962: 293, 345). Di sinilah jiwa dipostulasikan mengendalikan “semangat hewani” untuk mengarahkan gerakan anggota tubuh (Descartes, 1962: 333). Introduksi kelenjar pineal ini tampaknya menyiratkan frustasi metafisis daripada menawarkan solusi. Logika metafisis apa yang membolehkan kelenjar yang material-berkeluasan (jadi dalam wilayah tubuh) mempertemukan jiwa (yang tidak berkeluasan) dan tubuh?
155
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6, No.2 Juli - Desember 2009: 83 - 157 Dalam ranah ilmu-ilmu sosial, wacana tentang tubuh mulai muncul sekitar tahun 1980-an, terutama dipicu dengan pro dan kontra aspek sosial dan politis dari feminisme, persoalan rumit seputar teknologi medis dalam fertilisasi, teknologi realitas virtual, teknologi cyborg di bidang industri dan kemiliteran, serta estetika tubuh dalam budaya k o ns u m t i f m od er n. K em u nc ul a n bermacam-macam wacana sosiologi tubuh dipengaruhi tradisi teoritis filsafati tertentu, namun demikian karya-karya Michel Foucault bisa dianggap karya paling signifikan dalam analisis sosial tentang kebertubuhan. Perlu dicatat di sini, perspektif Foucault tentang disiplin tubuh bercorak perspektif fenomenologis a la Merleau-Ponty. Tentu saja peran Husserl, Heidegger, dan juga Wilhelm Dilthey harus dipertimbangkan sebagai satu garis pertumbuhan eksplorasi dan pemahaman sosiologi-fenomenologis tubuh. Tanggapan kritis terhadap pandangan rasionalisme Cartesian menyeruak dan mengambil tempat kemudian ke dalam orientasi post-strukturalis, dengan menggagas tema-tema tentang emosi, hasrat dan kasih sayang, diri modern menuntut sensibilitas dan emosi-emosi, dan keintiman kebertubuhan (Turner, dalam Falk, 1994: vii-viii). Penutup Pro dan kontra terhadap pandangan dualistik-dikotomis tubuh dan jiwa yang diasalkan pada Descartes bertengger di salah satu puncak diskusi kefilsafatan. Dalam praktek penerapan kemasyarakatan dan keilmuanpun paradigma Cartesian ini menempati posisi dominan dalam mensketsakan dan
156
melandasi kerangka kerja, eksplisit maupun implisit. Sebagaimana dikatakan Capra seperti tersebut di atas, kultur objektivitas tubuh Cartesian ini berimbas di banyak bidang kehidupan hingga saat ini. Dalam kedokteran misalnya, apabila paradigma kebertubuhan yang diasosiasikan dengan mesin ini dianut, maka pasien di mata dokter tak lebih dari hadirnya penyakit yang harus ditangani dengan mekanisme prosedural pengobatan yang bersikukuh pada teknis non-emosional/spiritual. Demikian juga dalam proyeksi bidang keolahragaan, tubuh dilihat sebagai objek yang diperkuat, dipercepat, dibugarkan dengan segala cara sambil meminimalisir peran moralpsikologis. Tentu saja skala yang dipakai sebagai penyimpulan ini berkarakter dominan dan sub-ordinat. Artinya, tidak mungkin dalam berbagai bidang kehidupan manusia menangani dunia dan kehidupannya dengan sekaku itu. Namun bagaimanapun juga, Descartes melalui pemisahan tubuh dan jiwa yang berujung menjadikan tubuh sebagai mesin, telah mencanangkan filsafat rasional yang gaungnya sampai saat ini masih terasa dan layak mendapat apresiasi menyejarah. Hadirnya berbagai pemikiran alternatif seperti asketisme modern di ranah tradisional maupun fenomenologi tubuh dalam koridor filsafat, menjadikan kajian tentang tubuh ini masih menempati posisi penting dan debatable.
Kultur Objektifitas Tubuh ...
DAFTAR PUSTAKA Capra, Fritjof, 1997, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, alih bahasa: M. Thoyibi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta. Chopra, Deepak, 1996, Tubuh Yang Tak Kenal Tua, Pikiran Abadi: Alternatif Untuk Menjalani Kehidupan, alih bahasa T. Hermaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Descartes, R., 1967, The Philosophical Works of Descartes, Vol. One., E.S. Haldane dan G.R.T. Ross (transl. & ed.), Cambridge University Press, Cambridge, England.
Johns Hopkins University Press, Baltimore. Russell, Bertrand, 1961, History of Western Philosophy, Allen & Unwin, London. Synnott, Anthony, 2003, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, alih bahasa Yudi Santoso, Jalasutra, Yogyakarta. Turner, Bryan S., 1994, Preface, dalam Falk, Pasi, The Consuming Body, Sage, London. Zaner, R.M., 1964, The Problem of Embodiment: Some Contributions to a Phenomenology of the Body, Martinus Nijhoff, The Hague, Netherlands.
Falk, Pasi, 1994, The Consuming Body, Sage, London. Garber, Daniel, 1978, Science and Certainty in Descartes, In Hooker, Michael, ed., Descartes, Johns Hopkins Uni vers ity Press , Baltimore. Made Pramono, 2005, Filsafat Olahraga, Unesa University Press, Surabaya. Meier, K.V., 1995, “Embodiment, Sport and Meaning”, dalam William J. Morgan dan Klause V. Meier, Philosophic Inquiry in Sport, Second Edition, Human Kinetics, Champaign, USA. R o de s -L e w i s , G en e vi e ve , 1 9 78 , Limitations of the Mechanical Model in the Cartesian Conception of the Organism, In Hooker, Michael, ed., Descartes,
157
Ucapan Terimakasih Mozaik, Jurnal Ilmu Humaniora dikelola oleh Unit Penelitian, Publikasi dan Dokumentasi Fakultas ilmu Budaya Universitas Airlangga. Mozaik, Jurnal Ilmu Humaniora merupakan jurnal yang berusaha mengakomodir setiap wacana terkait dengan isu-isu kebudayaan dan kemanusiaan. Bagaimanapun, dalam konteks pembangunan peradaban kebangsaan, isu-isu ini jarang mendapat tempat yang layak, sesungguhnya isu ini menduduki peran penting dalam membingkai peradaban kebangsaan dalam konteks kemanusiaan dan kebudayaan. Selanjutnya, ucapan terimakasih kami sampaikan kepada mitra bestari yang selalu siap mendampingi jurnal ini untuk lebih baik dan lebih berkualitas dalam setiap artikel yang diterbitkan. Secara khusus, ucapan terimakasih ini kami berikan kepada Prof. Dr. Setyo Yuwono Slamet Sudikan, Prof. Dr. Kaelan, dan Prof. Dr. Kisyanti yang telah meluangkan waktu untuk memberikan catatan dan saran terhadap artikel-artikel yang dikirimkan ke jurnal Mozaik. Catatan-catatan mitra bestari cukup penting demi perbaikan kualitas dan content tulisan dalam edisi kali ini.