Daftar Isi
ISSN : 1907-9419
DAFTAR ISI ◙
PENGANTAR REDAKSI
◙
DAFTAR ISI
iii-iv
◙
LEMBAR ABSTRAK
v-xiii
1
HUBUNGAN NILAI SOSIAL, BUDAYA DAN LINGKUNGAN DALAM MENDUKUNG PARIWISATA BERKELANJUTAN DI YOGYAKARTA
i
121-126
Joko Tri Haryanto 2
PERAN CARRYING CAPACITY DALAM PERENCANAAN PARIWISATA BERKELANJUTAN
127-144
I Ketut Surya Diarta, SP., MA 3
ANALISA PENGARUH KEPUASAN PENGUNJUNG TERHADAP KEINGINAN UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI PADA TAMAN WISATA PEMANDIAN AIR PANAS TIRTA SANITA
145-157
Mawardin M. Simpala, STP, M. Sc dan Darmawan Damanik, SH. MM 4
DAMPAK PENYELENGGARAAN TOUR DE SINGKARAH BAGI MASYARAKAT LOKAL PROVINSI SUMATERA
159-171
Addin Maulana 5
DARI SEBUAH BENTENG, TRI HITA KARANA SAMPAI ROMANTISME; EVALUASI PUSH & PULL FACTOR PERKEMBANGAN PANTAI KUTA, BALI
173-187
Arief Faizal Rachman 6
TOURISM AND THE SHIFING VALUES OF CULTURAL HERITAGE: VISITING PASTS, DEVELOPING FUTURES
189-197
Devi Roza K. Kausar 7
PERENCANAAN DAN MANAJEMEN KAWASAN WISATA YANG BERKELANJUTAN STUDI KASUS BENTENG OTANAHA DI KOTA GORONTALO
199-209
Krishna Anugrah, M.Par
iii
Daftar Isi
ISSN : 1907-9419
DAFTAR ISI 8
RINGKASAN DISERTASI
211-220
Showroom Batik di Kampoeng Batik Laweyan Diringkas oleh: Destha Titi Raharjana- Puspar UGM 9
TINJAUAN BUKU International Tourism: Culture and Behaviour – Yvette Reisinger Ditinjau oleh: Destha Titi Raharjana
221-223
10
BIO DATA PENULIS
225- 227
11
PEDOMAN PENULISAN
229-230
iv
Devi Roza K. Kausar: Conference Report: Tourism and The Shifing Values of Cultural Heritage Visiting Pasts, Developing Futures
Conference Report (Laporan Konferensi) Tourism and the Shifting Values of Cultural Heritage: Visiting Pasts, Developing Futures Devi Roza K. Kausar Fakultas Pariwisata, Universitas Pancasila
[email protected] Sari Tulisan ini merupakan laporan dan ulasan terhadap sebuah konferensi internasional yang belangsung pada tanggal 5 sampai 9 April 2013 di ibukota Taiwan, Taipei, bertema “Tourism and the Shifting Values of Cultural Heritage: Visiting Pasts, Developing Futures”. Konferensi ini memfokuskan pada pemanfaatan, pelestarian serta berbagai permasalahan terkait warisan budaya atau cultural heritage dalam konteks pariwisata. Penyelenggara konferensi adalah University of Birmingham, Inggris, dan National Taiwan University, Taiwan, serta didukung oleh UNESCO UNITWIN Network on Tourism, Culture, and Development dan Universite Paris 1 Pantheon-Sorbonne, Perancis. Diikuti oleh peserta dari kurang lebih 30 negara, konferensi ini telah menjadi wadah bagi pertukaran ilmu pengetahuan di bidang pariwisata dan budaya, diseminasi dan diskusi topik penelitian dari berbagai negara, dan menjadi ajang penjajakan berbagai kerjasama internasional. Kata kunci: pariwisata, warisan budaya, pelestarian, pembangunan
Pendahuluan Pada tanggal 5 sampai 9 April, 2013, sebuah konferensi akademik internasional bertema “Tourism and the Shifting Values of Cultural Heritage: Visiting Pasts, Developing Futures”, diselenggarakan di Taipei, Taiwan, oleh University of Birmingham, Inggris, dan National Taiwan University, Taiwan, serta didukung oleh UNESCO UNITWIN Network on Tourism, Culture, and Development dan Universite Paris 1 Pantheon-Sorbonne, Perancis. Tujuan dari konferensi ini adalah untuk mengkaji hubungan yang kompleks antara berbagai bentuk warisan budaya, baik yang berwujud
(tangible) maupun tak benda (intangible) dengan pariwisata maupun wisatawan. Konferensi internasional ini diikuti oleh kurang lebih 195 peserta dari 30 negara yang terdiri dari akademisi, peneliti, maupun para praktisi yang lingkup penelitian maupun pekerjaannya berhubungan dengan pariwisata dan warisan budaya. Konferensi diselenggarakan di gedung Chiang Kai Sek Memorial (CKS Memorial), yang di dalamnya terdapat monumen dan museum Chiang Kai Sek, pendiri negara Taiwan atau Republic of China. Gedung ini memiliki sebuah auditorium yang digunakan untuk sesi
189
Jurnal Kepariwisataan Indonesia
Vol. 8 No. 2 Juni 2013 ISSN 1907-9419
pembukaan konferensi dan presentasi dari pembicara kunci, ruang-ruang kelas yang digunakan untuk sesi paralel, serta beberapa buah ruangan untuk makan siang dan coffee break. Penggunaan gedung tersebut untuk penyelenggaraan konferensi, memungkinkan peserta konferensi untuk sekaligus memahami sejarah berdirinya negara Taiwan melalui kegiatan tour keliling CKS Memorial yang diorganisir secara bersama oleh panitia konferensi dan pihak pengelola gedung dan museum. Konferensi internasional selama lima hari tersebut terdiri dari beberapa program yang akan dijelaskan secara lebih detail pada bagian-bagian selanjutnya dari tulisan ini. Program konferensi secara garis besar terdiri dari sesi presentasi pembicara kunci, sesi paralel dengan berbagai tema di mana para pemakalah mempresentasikan makalah yang telah diseleksi oleh panitia, dan sesi diskusi khusus yang diselenggarakan oleh International Council on Monuments and Sites (ICOMOS). Ada pula programprogram sampingan lainnya seperti kunjungan ke berbagai daya tarik wisata budaya dan acara makan malam yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Taipei.
pembicara kunci yaitu Profesor Maria Gravari-Barbas dari Universite Paris 1, Pantheon-Sorbonne, Marilyn Truscott dari ICOMOS International Committee on Intangible Cultural Heritage dan Profesor Nelson Graburn dari University of California Berkeley, AS. Gravari-Barbas yang membawakan presentasi berjudul “Tourism and Heritage in a Globalized Context: A New Paradigm” mengatakan bahwa pariwisata adalah sebuah motor penggerak yang sangat kuat dalam proses heritage production atau produksi sebuah “warisan” atau “pusaka”. Menurut asalnya katanya, heritage berarti sesuatu yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Heritage production berkaitan erat dengan pendapat beberapa ahli bahwa heritage adalah sesuatu yang terpilih untuk dilestarikan (Ashworth 2006). Di dalam konsep heritage, menurut Ashworth dan Tunbridge (1999), terkandung interpretasi dari sejarah masa lalu yang hadir melalui monumen dan artefak, dikombinasikan dengan memori kolektif individu maupun kelompok, untuk merespon kebutuhan masa kini yang meliputi penguatan identitas maupun kebanggaan menjadi bagian dari identitas tersebut, serta kebutuhan akan sebuah sumber daya yang dapat dimanfaatkan, misalnya untuk pariwisata. Schouten (1995) bahkan mengatakan bahwa heritage tidak sama dengan sejarah karena ia telah diproses melalui sebuah mitologi, ideologi, nasionalisme, kebanggaan lokal, ide-ide romantis atau bahkan hanya sebuah ide
Hubungan Pariwisata dan Warisan Budaya dalam Konteks Personal, Lokal dan Global Hubungan dan saling keterkaitan antara pariwisata dan warisan budaya dalam konteks lokal maupun global, serta dalam dimensi identitas nasional, masyarakat maupun pribadi, menjadi tema besar yang diusung pada sesi pembicara kunci pada konferensi ini. Terdapat tiga
190
Devi Roza K. Kausar: Conference Report: Tourism and The Shifing Values of Cultural Heritage Visiting Pasts, Developing Futures
pemasaran, sehingga menjadi suatu komoditas. Dalam presentasinya, GravariBarbas membahas tentang peran pariwisata dalam lahirnya konsep modern tentang heritage, juga dalam fenomena patrimoniophilia atau penetapan warisan-warisan yang diakui secara global atau dimiliki oleh masyarakat dunia, seperti pada penetapan situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Gravari-Barbas memberikan contoh bagaimana pariwisata turut memproduksi (coproduce) Mont St. Michel di Perancis sebagai warisan budaya yang akhirnya menjadi Warisan Dunia. Mont St. Michel adalah sebuah gereja dan biara yang dibangun pada abad ke-7 di sebuah pulau pasang berbatu di daerah Normandy, Perancis. Dalam perjalanan waktu, perubahan maupun penambahan-penambahan yang dilakukan pada Mont St. Michel banyak dipengaruhi oleh kedatangan pendatang atau wisatawan ke pulau tersebut. Jumlah pengunjung yang sebanyak kurang lebih tiga juta orang per tahun (http://www.otmontsaintmichel.com/en/histoire.htm) juga memberikan justifikasi terhadap gereja dan biara ini untuk menjadi World Heritage yang menganut prinsip kepemilikan secara universal (patrimondialisation). Marilyn Truscott dari ICOMOS International Committee on Intangible Cultural Heritage membahas tentang warisan tak benda (intangible heritage) dalam kaitannya dengan pariwisata. Truscott berpendapat bahwa pariwisata dalam berbagai kasus, menunjukkan perannya sebagai pendorong pelestarian intangible heritage, yang akhirnya berpengaruh terhadap
keberlanjutan suatu kebudayaan (community cultural continuity). Namun demikian, pariwisata juga dapat menjadi suatu faktor yang mengintervensi atau mendominasi praktek kebudayaan sehingga kepentingan masyarakat pemilik suatu kebudayaan menjadi terkalahkan oleh kepentingan wisatawan. Hal ini misalnya terjadi pada modifikasi pertunjukan kesenian ataupun mata budaya seperti kerajinan yang menafikan unsurunsur filosofis dari kebudayaan tersebut. Pembicara kunci yang ketiga yaitu Profesor Nelson Graburn, seorang antropolog dari University of California Berkeley, AS. Graburn, yang merupakan salah satu founding fathers dari ilmu pariwisata, menyampaikan paparan yang berjudul “Cultural Tourism and Heritage as Learning: Personal Explorations of Alterity and Identity”. Dengan menarik, Graburn memaparkan berbagai dilema yang timbul ketika pariwisata dilihat dari sudut pandang ekonomi dan antropologi. Pariwisata sebagaimana diakui oleh Graburn dan juga dikatakan oleh beberapa penulis, adalah salah satu alat pembangunan ekonomi (Telfer 2002a; Brohman 1996; Walpole dan Goodwin 2000). Promosi pariwisata, terutama pariwisata internasional, mengharuskan setiap negara maupun tempat untuk menawarkan sesuatu yang unik bagi wisatawan. Graburn mengatakan bahwa pada konteks heritage, warisan budaya sering kali diekploitasi menjadi suatu sumber daya yang menguntungkan dengan tak jarang mengubah maksud dari pelestarian dan penggunaannya. Tak
191
Jurnal Kepariwisataan Indonesia
Vol. 8 No. 2 Juni 2013 ISSN 1907-9419
jarang makna dari keberadaan warisan budaya tersebut pun bergeser, misalnya dari tempat ibadah menjadi daya tarik wisata. Di samping itu, Graburn juga memaparkan bahwa telah banyak energi dan dana digunakan untuk mengembalikan kembali suatu memori atau kejayaan masa lampau dengan tujuan agar suatu destinasi pariwisata mempunyai identitas yang dapat dipasarkan. Untuk tujuan tersebut monumen, sisa-sisa peninggalan masa lalu, maupun kebiasaan-kebiasaan yang sudah ditinggalkan kembali direstorasi dan dihidupkan dengan pariwisata sebagai motor penggeraknya. Namun demikian, berbagai dilema juga timbul, misalnya apakah suatu destinasi akan merestorasi kembali suatu monumen atau membiarkannya dalam kondisi seperti ketika monumen tersebut diwariskan oleh generasi sebelumnya. Dalam dilema tersebut, terkandung isu-isu lain, seperti otentisitas dan komodifikasi suatu wujud kebudayaan untuk kepentingan pariwisata. Pada akhirnya paparan ketiga pembicara kunci di atas berhasil mendorong berbagai diskusi hangat antara pembicara kunci dengan para peserta maupun antar sesama peserta konferensi mengenai berbagai isu dalam hubungan pariwisata dan warisan budaya. Di antara berbagai isu yang dibahas adalah tantangantantangan yang timbul ketika harus menyeimbangkan pariwisata dan pelestarian warisan budaya, mengelola isu kepemilikan, pergesaran maksud kegiatan pelestarian dan makna keberadaan sebuah situs warisan budaya – dari kepentingan masyarakat menjadi
kepentingan wisatawan, serta keadilan di antara berbagai kelas sosial pada masyarakat dalam mengakses warisan budaya serta manfaat yang timbul dari warisan budaya tersebut. Keadilan inilah yang disebut oleh Throsby (2003) sebagai intra-generational equity, yang dapat dicapai jika keanekaragaman dalam pemanfataan warisan budaya dapat dipertahankan. Misalnya suatu warisan budaya tidak dimanfaatkan secara ekslukif untuk pariwisata tetapi juga sebagai tempat kegiatan sosial bagi masyarakat yang hidup di sekelilingnya. Paparan Gravari-Barbas menawarkan suatu landasan pikir karena bahasannya bersifat konseptual mengenai hubungan mendasar antara pariwisata dan warisan budaya, selain juga bahasan mengenai paradigma kepemilikan universal yang relatif baru berusia tiga dekade. Di samping itu, Truscott yang memberikan paparan mengenai warisan budaya tak benda, berhasil mengingatkan peserta bahwa peran pariwisata dalam pelestarian warisan budaya tak benda bagai “pisau bermata dua” yang mampu menjadi insentif namun juga dapat menjadi faktor yang menafikan kepentingan masyarakat pemilik warisan tak benda tersebut. Sedangkan paparan Graburn merupakan suatu telaah kritis yang mendorong peserta untuk memikirkan kembali berbagai dampak pariwisata terhadap warisan budaya. Di antara berbagai dampak adalah adanya dorongan untuk menghidupkan kembali jejak kebudayaan dan memori masa lampau yang hadir melalui situs dan bangunan bersejarah, bahkan kesenian yang telah jarang
192
Devi Roza K. Kausar: Conference Report: Tourism and The Shifing Values of Cultural Heritage Visiting Pasts, Developing Futures
dipertunjukkan sebagai daya tarik pariwisata. Hal ini tentunya merupakan dampak positif pariwisata sebagai pendorong pelestarian budaya. Namun demikian, terdapat juga dampak negatif yang kadang timbul dari dorongan di atas. Di antaranya adalah masalah otentisitas yang terabaikan ketika membangun kembali suatu situs dan monumen, serta masalah komodifikasi atau perubahan suatu wujud kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Paparan Graburn berhasil mencerahkan sekaligus juga memprovokasi peserta untuk melihat hubungan pariwisata dan warisan budaya secara lebih kritis. Narasi Global versus Lokal dalam Pengelolaan Pariwisata Warisan Budaya Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya, konferensi internasional ini juga memberikan kesempatan pada para pemakalah yang telah diseleksi karyanya untuk mempresentasikan penelitian, studi kasus maupun suatu best practice. Karya tulis para pemakalah telah diseleksi terlebih dahulu dan kemudian dipresentasikan dalam sesi paralel dengan berbagai tema. Pada setiap harinya terdapat dua sampai tiga slot waktu untuk pelaksanaan sesi paralel, di mana pada setiap slot waktu dibagi menjadi empat sesi paralel berdasarkan tema-tema yang berbeda. Pada setiap sesi paralel terdapat tiga sampai empat makalah yang dipresentasikan. Adapun berbagai tema sesi paralel antara lain World Heritage management, cultural heritage and identity, development through heritage tourism, community engagement,
cultural heritage management, city heritage and tourism, digital technology and heritage, World Heritage – identities and conflict, dan tema lainnya. Pada sesi paralel inilah dua pemakalah dari Indonesia mempresentasikan karyanya. Penulis termasuk salah satu pemakalah pada sesi community engagement dengan makalah penelitian mengenai pariwisata berbasis masyarakat di Kompleks Percandian Muarajambi, Sumatra (Kausar dan Zilberg 2013). Makalah ini diawali dengan pembahasan mengenai sejarah Muarajambi dan signifikansi kawasan percandian Muarajambi dalam perkembangan agama Budha dan sebagai salah satu pusat Kerajaan Sriwijaya. Namun demikian, kompleks percandian Muarajambi yang masuk dalam daftar sementara situs Warisan Dunia ini mengalami beberapa ancaman terhadap kelestariannya, yaitu dengan keberadaan pabrik pemrosesan minyak kelapa sawit dan adanya tumpukan (stockpile) batu bara yang berjarak sangat dekat dengan salah satu candi. Kebijakan pemerintah pusat, yang merepresentasikan Indonesia sebagai peratifikasi Konvensi Warisan Dunia, tercermin dalam upaya pemerintah pusat mendaftarkan Muarajambi dalam daftar sementara Warisan Dunia. Pada langkah pemerintah pusat tersebut terkandung maksud untuk mengenalkan kembali peran Muarajambi dalam sejarah peradaban dunia, melestarikan situs tersebut untuk generasi yang akan datang dan untuk mendorong kunjungan wisatawan. Sedangkan pemerintah daerah, tetap memberikan ijin usaha
193
Jurnal Kepariwisataan Indonesia
Vol. 8 No. 2 Juni 2013 ISSN 1907-9419
kepada industri batu bara dan kelapa sawit (dua industri penyumbang terbesar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Jambi) walaupun keberadaan kedua industri tersebut mengancam pelestarian situs. Besarnya kemungkinan bahwa masih banyak sisa-sisa peninggalan yang belum digali seharusnya menjadi pertimbangan untuk membebaskan kawasan percandian dari keberadaan industri. Di samping itu, debu dari tumpukan batu bara telah dapat merusak batu-batu candi yang telah dibangun sejak abad ke-7 tersebut. Namun demikian, di tengah tidak sejalannya arah kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dan belum ditetapkannya kawasan percandian Muarajambi sebagai kawasan cagar budaya, terdapat suatu upaya dari anggota masyarakat untuk mendorong perkembangan pariwisata dan meningkatkan pemahaman generasi muda atas sejarah Muarajambi. Penulis membahas inisiatif ini sebagai modal sosial untuk berkembangnya pariwisata dan upaya pelestarian berbasis masyarakat yang sangat penting bagi Muarajambi. Sedangkan pemakalah lainnya dari Yogyakarta mempresentasikan kerangka perundang-undangan untuk perlindungan warisan budaya (Fadillah 2013). Dari beberapa sesi makalah yang diikuti oleh penulis, terdapat beberapa catatan penting khususnya mengenai pengelolaan warisan budaya, terutama situs Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage). Isu-isu penting ini merupakan benang merah yang dapat diamati dari berbagai penelitian dengan studi kasus di tempat yang
berbeda-beda. Pertama, pedomanpedoman pelestarian yang digaungkan dalam Konvensi Warisan Dunia (World Heritage Convention) atau dalam tataran global acap kali tidak terlaksana di tingkat lokal (daerah) karena kurangnya kerangka institusional seperti perundangan, mekanisme koordinasi antar lembaga, bahkan rencana tata ruang. Di samping itu pada negara-negara yang telah melaksanakan desentralisasi, kebijakan pemerintah pusat yang merupakan pihak yang meratifikasi Konvensi Warisan Dunia, sering tidak diikuti oleh kebijakan yang searah di tingkat daerah yang memiliki kewenangan otonom. Isu pertama ini antara lain terjadi pada situs Muarajambi yang masuk daftar sementara (tentative list) Warisan Dunia di Indonesia (Kausar dan Zilberg 2013) dan beberapa situs heritage di Inggris (dikutip dari diskusi tanya jawab). Kedua, beberapa studi kasus menunjukkan beberapa konflik yang terjadi ketika pembangunan pariwisata dilakukan di sekitar kawasan pelestarian dan berdampak kepada relokasi anggota masyarakat. Konflik yang terjadi bukan saja karena pengorbanan-pengorbanan ekonomi yang harus dialami oleh masyarakat, tetapi juga karena relokasi sering kali menjauhkan masyarakat dari akar budaya maupun sumber penghidupan mereka. Hal ini misalnya dialami oleh suatu kelompok masyarakat di Shilin (stone forest) World Heritage Site di China (Swain dan Shi 2013). Berbagai kasus yang dipresentasikan oleh para pemakalah menunjukkan indikasi bahwa kebijakan, arah, pedoman atau secara
194
Devi Roza K. Kausar: Conference Report: Tourism and The Shifing Values of Cultural Heritage Visiting Pasts, Developing Futures
garis besar disebut “narasi” di tingkat global sering berbeda dengan berbagai kenyataan di tingkat lokal. Narasi global versus lokal terjadi misalnya pada proses pencanangan suatu situs menjadi sebuah warisan (heritage) tanpa menganut asas partisipatif di tingkat lokal, sementara pada Konvensi Warisan Dunia dihimbau penerapan asas partisipatif; pencanangan rencana tata ruang yang di tingkat lokal tidak mempertimbangkan pelestarian; serta kebijakan di tingkat nasional yang tidak diikuti oleh peraturan-peraturan untuk pelaksanaan di tingkat daerah. Penutup Sebuah konferensi akademik bertujuan untuk menyediakan wadah bagi pertukaran akademis, yang terdiri dari diseminasi hasil penelitian serta refleksi atas perkembanganperkembangan yang terjadi dengan pemikiran kritis yang konstruktif. Konferensi internasional yang bertajuk “Tourism and the Shifting Values of Cultural Heritage: Visiting Pasts, Developing Futures” pun mempunyai tujuan serupa khususnya dalam mengkaji hubungan yang kompleks antara berbagai bentuk warisan budaya, baik yang berwujud (tangible), maupun tak benda (intangible) dengan pariwisata maupun wisatawan. Kombinasi berbagai program pada konferensi ini telah berhasil menjadi wadah bagi pertukaran ilmu pengetahuan di bidang pariwisata dan budaya, diseminasi dan diskusi topik penelitian dari berbagai negara, dan menjadi ajang penjajakan berbagai kerjasama internasional.
Bagi Indonesia yang sangat berkepentingan dengan pengembangan industri pariwisatanya, konferensi ini dapat memberikan wawasan mengenai berbagai isu yang harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan warisan budaya untuk pariwisata. Konferensi ini juga memberikan wawasan berupa best practice pengelolaan heritage tourism maupun pelajaran dari masalah-masalah yang dihadapi dalam pengelolaan heritage tourism dari berbagai tempat di dunia. Beberapa hal yang perlu dicapai dalam pengembangan heritage tourism di Indonesia adalah tercapainya keselarasan antara kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kerjasama antar keduanya dan partisipasi masyarakat. Daftar Pustaka Asworth, G.J. dan Tunbridge, J.E. 1999. Old Cities, New Pasts: Heritage Planning in Selected Cities of Central Europe. GeoJournal 49: 105-116. Asworth, G.J. 2006. The Commodification of the Past as an Instrument for Local Development: Don’t Count on It. Pada McLoughlin, J., Kaminski, J. and Sodagar, B. (editor) Heritage Impact 2005: Proceedings of the First International Symposium on the Socio-economic Impact of Cultural Heritage. Budapest: Archaeolingua. Brohman, J. 1996. New Directions in Tourism for Third World Development. Annals of
195
Jurnal Kepariwisataan Indonesia
Vol. 8 No. 2 Juni 2013 ISSN 1907-9419
Tourism Research 23(1): 48 – 70. Fadillah, A. 2013. National Regulations as Guard and Certainty for the Sustainable Protection and Measurement of Cultural Heritage. Prosiding. International Conference “Tourism and the Shifting Values of Cultural Heritage: Visiting Pasts, Developing Futures”, Taipei, 5 – 9 April. Graburn, N. 2013. Cultural Tourism and Heritage as Learning: Personal explorations of Alterity and Identity. Presentasi kunci. International Conference “Tourism and the Shifting Values of Cultural Heritage: Visiting Pasts, Developing Futures”, Taipei, 5 – 9 April. Gravari-Barbas, M. 2013. Tourism and Heritage in a Globalized Context: A New Paradigm. Presentasi kunci. International Conference “Tourism and the Shifting Values of Cultural Heritage: Visiting Pasts, Developing Futures”, Taipei, 5 – 9 April. http://www.otmontsaintmichel.com/e n/histoire.htm Kausar, D.R.K. dan Zilberg, J. 2013. Community-based Tourism and Conservation in Muarajambi Temple, Indonesia. Prosiding. International Conference “Tourism and the Shifting Values of Cultural Heritage: Visiting Pasts,
Developing Futures”, Taipei, 5 – 9 April. Schouten, F.F.J. 1995. Heritage as historical reality. Pada Herbert, D.T. (editor) Heritage, Tourism and Society. London: Mansell Publishing Limited. Swain, M.B. and Shi, Y. 2013. Tangible Removal and Intangible Renewal in China’s Stone Forest World Heritage Site. Prosiding. International Conference “Tourism and the Shifting Values of Cultural Heritage: Visiting Pasts, Developing Futures”, Taipei, 5 – 9 April. Telfer, D.J. 2002a. The Evolution of Tourism and Development Theory. Pada Sharpley, R. and Telfer, D.J. (editor) Tourism and Development: Concepts and Issues. Aspects of Tourism Series. Multilingual Matters, Ltd. Throsby, D. 2003. Cultural Sustainability. Pada Ruth Towse (editor) A Handbook of Cultural Economics. Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham. Truscott, M. 2013. Intangible Heritage and Tourism: Outsiders and Community Cultural Continuity. Presentasi kunci. International Conference “Tourism and the Shifting Values of Cultural Heritage: Visiting Pasts, Developing Futures”, Taipei, 5 – 9 April. Walpole, M.J. dan Goodwin, H.J. 2000. Local Economic
196
Devi Roza K. Kausar: Conference Report: Tourism and The Shifing Values of Cultural Heritage Visiting Pasts, Developing Futures
Impacts of Dragon Tourism in Indonesia. Annals of Tourism Research 27(3): 559-576.
197