Daftar Isi KERTHA PATRIKA Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Volume 36 Nomor 2, September 2011
Penanggung Jawab: Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.,MH. Pemimpin Redaksi: Prof. Dr. I Wayan P. Windia, S.H.,M.Si. Dewan Redaksi: Prof. Dr. Philipus M. Hadjon,SH. (Unsakti) Prof. Dr. Nindyo Pramono,SH.,MS. (UGM) Prof. Dr. Hikmahanto Juwana,SH.,LLM. (UI) Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.,MS (Unud) Prof. Dr. I Nyoman Sirtha,SH.,MS. (Unud) Prof. Dr. I Gusti Ayu Agung Ariani,SH.,MS. (Unud) Prof. Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS. (Unud) Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum. (Unud) Prof. Dr. Ibrahim R. SH.,M.Hum. (Unud) Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan,SH.,M.Hum. (Unud) Sekretaris Redaksi: I Ketut Sudantra,SH.,MH. IGN Parikesit Widiatedja,S.H.,M.Hum. Administrasi: I Gede Yusa,SH.,MH. Cok Istri Anom Pemayun,SH.,MH. AA Istri Ari Atu Dewi,SH.,MH. Cokorda Dalem Dahana,SH.,M.Kn. Kadek Sarna,SH.,M.Kn. Bendahara: Ni Luh Gede Astariyani,SH.,MH. Distribusi: Luh Putu Sri Arwati,SE. Ni Nengah Serni Mitra Bestari Prof.Dr. I Nyoman Budiana,S.H.,M.Si Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional Prof.Dr. Putu Gelgel,S.H.,M.Hum Fakultas Hukum Universitas Hindu Indonesia Alamat Redaksi: Fakultas Hukum Universitas Udayana Jalan Bali No.1 Denpasar, Bali Telp.(0361) 222666, Fax (0361)222666
[email protected]
Pengantar Redaksi .................................
2
“The Right To Tourism” dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia Ni Ketut Supasti Dharmawan, dkk. ............. 3-20 Fungsi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) dalam Melindungi Pembangunan Pariwisata Bali Desak Putu Dewi Kasih, dkk. ....................... 21-34 Pelanggaran Terhadap Peraturan tentang Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali pada Pembangunan Hotel dan Restoran di Kabupaten Badung Ni Nyoman Sukeni, dkk ................................. 35-44 Hubungan Kunjungan Wisatawan Asing dengan Tingkat Kejahatan Narkotika di Bali Gde Made Swardhana, dkk ............................ 45-57 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perusakan Fisik Daya Tarik Wisata I Gusti Ketut Ariawan, dkk .......................... 58-71 Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian General Agreement on Trade in Services (GATS) pada Pengaturan Penanaman Modal Asing di Bidang Pariwisata di Indonesia A.A Gede Duwira Hadi Santosa, dkk .......... 72-84 Perkembangan Pariwisata di Desa Plaga I Ketut Sandhi Sudharsana, dkk ..................
85-95
Dampak Perkembangan Ekonomi Pariwisata Terhadap Hukum Tanah Adat di Desa Tenganan Pagringsingan Tjok Istri Putra Astiti, dkk ............................ 96-102 Eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai Penopang Industri Pariwisata Berkelanjutan di Bali Ra Retno Murni, dkk ...................................... 103-111 Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Penyelenggaraan Pariwisata di Bali I Made Subawa, dkk....................................... 112-123
Pracetak: Udayana University Press Kampus Unud Sudirman Jl. P.B. Sudirman, Denpasar-Bali Telp. (0361) 9173067 Design & Layout: I Putu Mertadana
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
1
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Pengantar Redaksi
Ada yang berbeda dari Kertha Patrika edisi September 2011 ini. Keseluruhan substansi edisi ini merupakan keseluruhan kegiatan penelitian dari dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Penelitian yang telah berlangsung sejak 6 bulan lalu ini dibiayai oleh Project Nuffic IND 223 dan telah diseminarkan pada tanggal 16 Agustus 2011. Terdapat setidaknya 10 tulisan seputar diskursus hukum dan pariwisata yang menghiasi edisi khusus Jurnal Kertha Patrika ini meliputi “THE RIGHT TO TOURISM” DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA” yang ditulis oleh NI KETUT SUPASTI DHARMAWAN, DKK. FUNGSI HUKUM PERJANJIAN BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) DALAM MELINDUNGI PEMBANGUNAN PARIWISATA BALI oleh DESAK PUTU DEWI KASIH, DKK. PELANGGARAN TERHADAP PERATURAN TENTANG TATA RUANGWILAYAH PROPINSIBALIPADAPEMBANGUNANHOTEL DAN RESTORAN DI KABUPATEN BADUNG oleh NI NYOMAN SUKENI,DKK HUBUNGAN KUNJUNGAN WISATAWAN ASING DENGAN TINGKAT KEJAHATAN NARKOTIKA DI BALI oleh GDE MADE SWARDHANA, DKK dan PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERUSAKAN FISIK DAYA TARIK WISATA oleh I GUSTI KETUT ARIAWAN, DKK Selanjutnya,PRINSIP NON DISKRIMINASI PERJANJIAN GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) PADA PENGATURAN PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG PARIWISATA DI INDONESIA ditulis oleh A.A GEDE DUWIRA HADI SANTOSA,DKK. PERKEMBANGAN PARIWISATA DI DESA PLAGA oleh I KETUT SANDHI SUDHARSANA, DKK. DAMPAK PERKEMBANGAN EKONOMI PARIWISATA TERHADAP HUKUM TANAH ADAT DI DESA TENGANAN PAGRINGSINGAN oleh TJOK ISTRI PUTRA ASTITI,DKK. EKSISTENSI USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH SEBAGAI PENOPANG INDUSTRI PARIWISATA BERKELANJUTAN DI BALI oleh RA RETNO MURNI,DKK. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PARIWISATA DI BALI oleh I MADE SUBAWA,DKK Semoga dengan beragamnya informasi dan pengetahuan yang diberikan oleh penulis dari beberapa disiplin hukum yang berbeda, akan memperkaya khazanah keilmuan hukum khususnya bagi seluruh civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Udayana. Redaksi 2 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
“THE RIGHT TO TOURISM” DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA1 oleh: Ni Ketut Supasti Dharmawan Ni Made Nurmawati Kadek Sarna2 Abstract The right to tourism now is part of human right and it becomes important to be implemented. By enjoying leasure time during travelling for tourism, people can improve their quality of life including their productivity of works. This research will study two research questions. First, the recognation of the right to tourism as part of human right. Second, the implementation of this right for the workers in tourism industrial companies in Bali. The study shows that the right to tourism as part of human right have recognized in international, regional and national level. In Indonesia the recognation of the right to tourism is regulated in Consideration (b) and Article 19 (1) a the Act No. 10 Tahun 2009 Concerning Tourism. At international level, the recognition of the k rights to tourism exsis through the UDHR 1948 Article 13 dan 14, the ICESCR article 6 dan 7, the European Social Charter article 2 (2-4), dan the UNWTO Global Code of Ethics Article 7 dan article 8. The implementation of the right to tourism for the workers at tourism industrial companies in Bali were not effective, the employees tend to used their free time or holyday time for the religions activities, and even lot of them do not know concening the right to tourism as part of human right. Key words: the right to tourism, human right, international, Indonesia.
I.
PENDAHULUAN
Kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata, sekarang ini digolongkan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Kajian HAM dalam konteks ini masih belum mendapat perhatian seperti halnya HAM yang lainnya, terutama HAM yang berkaitan dengan Hak Sipil dan Hak Politik. Dalam realitanya studi tentang HAM Generasi Pertama dan HAM Generasi Kedua di negara-negara berkembang, umumnya lebih difokuskan pada ranah hak sipil dan hak politik dari warga negara dalam konteks kenegaraan, hak sosial serta hak ekonomi dari setiap warga negara untuk hidup yang layak dalam konteks hak untuk mendapat pekerjaan serta remunerasi yang seimbang dengan pekerjaannya. Negara-negara Berkembang umumnya masih belum menaruh perhatian pada bidang HAM yang berkaitan dengan Hak Berwisata. Hal tersebut berbeda dengan di Negara Maju, seperti halnya European Union (the EU), mereka cukup menaruh perhatian dan salah satu fokus konsentrasinya adalah hak setiap orang dalam berwisata (the right to tourism) yang 1 2
Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian “Pengakuan Hak Berwisata Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia : Studi Empiris Pelaksanaan Hak Berwisata Bagi Para Pekerja Pada Perusahaan Industri Pariwisata Di Bali, dibiayai oleh Project Nuffic IND 223 dan telah diseminarkan pada tanggal 16 Agustus 2011. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH,MHum,LLM dosen FH UNUD dari Bagian Hukum Keperdataan dalam personalia penelitian ini sebagai Ketua Penelitian . Ni Made Nurmawati,SH,MH dosen FH UNUD dari Bagian Hukum Tata Negara serta Kadek Sarna,SH,MKn dosen FH UNUD dari Bagian Hukum Administrasi Negara dalam personalia penelitian ini masing-masing sebagai Tim Anggota Peneliti. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
3
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
dihubungkan dengan peningkatan kualitas kehidupan manusia. Kepedulian the EU terhadap hak setiap orang untuk berwisata serta dikatagorikan sebagai hak asasi manusia (Human Right) dideklarasikan secara tegas oleh Antonio Tanjani, the European Union Commissioner for Enterprise and Industry dengan menyatakan bahwa : ”Travelling for tourism today is a human right. Instrumen hukum Hak Asasi Manusia yang memberi landasan yuridis tentang keberadaan the right to tourism” dapat dilihat dalam Article 24 of the Universal Declaration of Human Rights 1948 sebagai berikut3: Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay. Antonio Tajani mengemukakan dalam konprensi tingkat menteri (ministrial conference) di Madrid bahwa “Traveling for tourism today is a right. The way we spend our holidays is a formidable indicator of our quality of life”. Uni Eropa akan mensubsidi kegiatan holidays bagi warganegara miskin, para pensiunan dan mahasiswa atau murid-murid untuk dapat berwisata.4 Keseriusan perhatian dan dukungan terhadap keberadaan dan pengakuan Hak Berwisata, Uni Eropa dalam pilot project-nya menganggarkan subsidi 30 % untuk biaya vacations bagi para pensiunan, para senior, anak-anak muda umur 18-25 tahun serta keluarga yang menghadapi kesulitan dalam kehidupannya. Indonesia, khususnya Pulau Bali adalah merupakan salah satu tujuan wisata bagi masyarakat Uni Eropa. Relatif banyak wisatawan yang berasal dari Eropa menghabiskan waktu libur, rileks dan menikmati liburan dengan berwisata di Pulau Bali yang indah dan spesial dengan adat dan kebudayaannya. Melalui kegiatan berwisata para wisatawan sejenak melupakan urusan-urusan pekerjaan yang menuntut konsentrasi tinggi. Situasi rileks dan fress setelah berwisata pada akhirnya akan membawa kesegaran baru untuk beraktivitas kembali yang sesungguhnya adalah salah satu faktor penting yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, begitu diyakini oleh pemikir-pemikir yang pro terhadap urusan berwisata adalah bagian dari hak asasi manusia. Berkaitan dengan penyelenggaraan kepariwisatan di Indonesia, melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, prihal the right to tourism juga diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan kata lain ketentuan hukum tersebut secara yuridis formal telah eksis di Indonesia yang tentunya membutuhkan pengimplementasian secara kongkrit dalam prakteknya. Jika sudah ada kesepahaman bahwa urusan berwisata atau “tourism” termasuk salah satu kebutuhan mendasar manusia sehingga pantas diklasifikasikan sebagai human right, persoalannya adalah apakah para pengusaha di industri pariwisata maupun karyawan-karyawan yang bekerja di industri pariwisata termasuk di industri pariwisata di Bali, yang keseharian mereka memang disibukkan dengan urusan bagaimana caranya menyuguhkan layanan jasa yang terbaik bagi para wisatawannya tersebut menyadari bahwa mereka sesungguhnya juga punya HAM yang sama, yaitu hak asasi untuk berwisata sebagaimana halnya yang banyak dinikmati oleh wisatawan-wisatawan manca negara yang mereka layani Apakah Hak Berwisata di Indonesia mendapatkan ruang yang memadai sebagai bagian dari HAM bagi setiap orang?, Apakah para pengusaha memberikan waktu yang memadai bagi karyawannya untuk berlibur agar kualitas kehidupannya menjadi lebih baik sebagai pemenuhan atas HAM-nya? Apakah sudah relevan 3 4
4 •
David Chalk, European Union : Tourism Is A Universal Human Rights, p.2, http://www.nileguide.com, diakses tanggal 14 Nopember 2010 Alex Korbel, 2010, EU declares “Tourism Is A Human rights” with Holiday Subsidies For Poorer Citizens, http:// alexkorbel.wordpress.com/2010/04/19, p. 1, diakses 10 Juni 2011. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
“The Right To Tourism” dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia
menggolongkan kegiatan berwisata sebagai hak asasi manusia di Indonesia, mengingat kondisi Indonesia sangat jauh berbeda dengan Negara-Negara Maju, Indonesia masih memiliki persoalanpersoalan kebutuhan fundamental seperti penduduk miskin kelaparan, mengemis dan tidak memiliki tempat tinggal yang layak, putus sekolah karena tidak mempunyai cukup biaya untuk melanjutkan sekolah, serta persoalan-persoalan sosial lainnya. Sehubungan dengan pertanyaanpertanyaan tersebut maka menjadi penting dan menarik untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan ”the right to tourism” dalam perspektif hak asasi manusia. II. PEMBAHASAN 1.
Aspek-Aspek HAM Dalam Kegiatan Kepariwisataan Dalam Perspektif Nasional Dan Internasional Konsep fundamental hak asasi manusia bertitik tolak dari the Universal Declaration of Hman Rights 1948. Fondasi HAM tidak lahir begitu saja dari langit melainkan merupakan bagian dari sistem hukum domistik dan hukum internasional. G Oestreich mengemukakan bahwa “human rights, in particular, do not come out of the the blue”.5 Setiap regim hukum memiliki intelektual dan fondasi ideologinya masing-masing, demikian pula dalam bidang HAM. Sebelum menjadi hukum, ideologi dan konsep HAM perlu dikongkretisasikan sebagai elemenelemen dalam suatu sistem hukum agar bisa mendapat pengakuan sebagai HAM (the idea and concepts have to materialize as elements of a legal system, according to he applicable secondary rules, before being capable of being recognized as human rights.6 HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Human rights are “basic rights and freedoms that all people are entitled to regardless of nationality, sex, national or ethnic origin, race, religion, language, or other status.”7 HAM adalah universal dan egalitarian, setiap orang memiliki persamaan hak yang sejatinya melekat pada hakekat dan keberadaan manusia. Keberadaan hak-hak tersebut eksis sebagai hak alami (natural rights) ataupun ha-hak yang diatur dalam suatu sistem hukum secara formal (legal rights) baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional.8 Secara nasional, di Indonesia melalui Undang-Undang No.39/1999 Republik Indonesia . pengertian HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, da setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam perkembangannya dalam level internasional HAM dikelasifikasikan daam 3 (tiga) generasi yaitu Generasi Pertama berkaitan dengan hk-hak sipil dan politik (civil and political rights) tercantum dalam Article 3 sampai dengan Article 21 the UDHR, yang kemudian diatur pula melalui kesepakatan internasionl yaitu the international Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR 1966). Dalam Generasi Pertama ini karakteristik HAM-nya adalah melindngi keidupan pribadi manusia, menghormati kedaulatan individu serta ketdakadaan intervensi dari Negara. HAM Generasi Kedua berkaitan dengan pengakuan terhadap hak asasi manusia dalam 5 6 7 8
G. Oestreich dalam Christian Tomuschat, 2008, Human Rights Between Idealism and Realsm, Oxford University Press, New York, p. 1. Ibid, p. 2. Amnesty Basic Definition of Human rights”, Amnesty International, http://www.amnestyusa.org/research/humanrights-basic, 19 Juni 2011. Nickel James2006, Human Rights, http://plato.stanford.edu/archives/spr2009, diakses 10 Agustus 2011 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
5
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
bidang ekonomi, sosial, dan budaya. HAM jenis ini diatur dalam Artice 22 sampai Article 28 the UDHR dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966. HAM Generasi Ketiga berbasis hak solidaritas atau persaudaraan (fraternity). The third generationis rights of solidarity based on the principle of fraternity. HAM yang termasuk dalam klasifikasi Generasi Getiga meliputi : the right to peace, the right to development, and the right to clean environment. HAM Generasi Ketiga ini adalahhak kolektif , pengaturannya dalam tingkar regional dapat diketahui melalui Article 24 of the African Charter on Human and Peoples Rights. Meskipun termasuk dalam hak-hak kolekti f “Collective Rights Sebagai salah satu industri paling besar, kegiatan pariwisata telah memberikan dampak yang amat positif bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Seperti misalnya dapat meningkatkan pendapatan pajak Negara, membuka lapangan pekerjaan baru, serta dapat menghadirkan perbaikan dan pembangunan infrastruktur baru seperti pembukaan jalan-jalan beraspal serta infrastruktur penting lainnya. Namun demikian kegiatan pariwisata secara besar-besaran juga dalam realitanya membawa dampak negatif. Seperti misalnya terjadi kerusakan lingkungan di daerah tujuan pariwisata, polusi lingkungan, polusi sosial, eksploitasi terhadap sumber daya alam air, ekploitasi kebudayaan serta kurang dihormatinya budaya-budaya lokal setempat, kejahatan seksual pariwisata (child sex tourism, trafficking), ketidaksetaraan gender dalam pekerjaan, dan lain-lain. Dalam perspektif HAM , phenomena seperti itu dikatagorikan sebagai pelanggaran HAM. Di Indonesia, menurut Pasal 1 (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2009, Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha. Dalam Undang-Undang Kepariwisataan dikemukakan juga istilah wisata. Menurut Pasal 1(1) wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. World Tourism Organization (WTO) memberikan difinisi tentang tourism dengan mengacu pada konsep tourism dan visitor pada Ottawa International Conference 1993. Menurut WTO, tourism is the activities of persons traveling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leasure business and other purposes. Sedangkan visitor is defined as those persons who travel to a country other than that in which they have their usual residence but outside their usual environment for a priod not exceeding twelve months and whose mind purpose of visit is other than the exercise of an activity remunerated from within the place visited.9 Definisi tourism maupun visitor sebagaimana diacu dalam the UN WTO Global Code of Ethics jika dikaitkan dengan Undang-Undang Kepariwisataan di Indonesia, tampaknya definisi tersebut lebih mendekati difinisi “wisata”, meskipun di Indonesia batasan bepergian untuk berwisatanya hanya disebutkan dalam jangka waktu “sementara” , sedangkan dalam definisi the UN WTO Global Code of Ethics secara tegas disebutkan batasannya yaitu “ tidak lebih dari satu tahun”. Dari konsep “tourism” yang dikemukakan baik dalam konteks the UN WTO Global Code of Ethics yang sudah jelas mengemukakan tentang lama kunjungan adalah “tidak lebih dari setahun” atau dalam konteks pengertian “wisata” menurut Undang-Undang 9
Tourism; Principles, Practices, Philosophes, Part one, www.mccoy.lib.siu.edu, diakses tanggal 10 Agustus 2011. Lihat juga www.world-tourism.org, diakses tanggal 10 Agustus 2011.
6 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
“The Right To Tourism” dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia
Kepariwisataan yang batas waktunya adalah “sementara”, maka kemudian berawal dari rentang waktu inilah dapat dikaji tentang persoalan-persoalan HAM apa saja yang berkaitan dengan suatu kegiatan wisata. Mencermati unsur-unsur yang ada dalam definisi “tourism” atau “wisata” seperti tersebut di atas, baik dalam Undang-Undang Kepariwisataan di Indonesia maupun dalam the UN WTO Global Code of Ethics for Tourism dinyatakan sebagai bagian dari HAM atau Human Rights. Dalam perkembangan dunia modern sekarang ini, banyak hal ditambahkan sebagai bagian dari HAM termasuk didalamnya hak untuk berwisata. Sesungguhnya tidak mudah untuk dapat menerima begitu saja bahwa berwisata adalah suatu “hak” dan bagian dari HAM, mengingat masih banyak hak-hak fundamental yang dimiliki manusia yang jauh lebih pantas untuk diperjuangkan, dipromosikan serta dihormati demi harkat dan martabat manusia. Namun di Indonesia melalui Undang-Undang Kepariwisataan secara yuridis formal telah mengakui bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata adalah bagian dari HAM. Secara singkat dari ketentuan Article 3 The UN WTO Global Code of Ethics for Tourism tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa pengembangan pariwisata berkelanjutan tidak hanya dimaksudkan dapat memenuhi kebutuhan perkembangan kepariwisataan saat ini akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah suatu bentuk kegiatan berkelanjutan dan bertanggungjawab bagi generasi mendatang (the development of sustainable tourism as a process that meets the need of present tourists and host communities whilst protecting and enhancing needs in the future).10 Dalam perspektif nasional di Indonesia, senada dengan difinisi sustainable development sebagaimana diatur dalam the UN WTO Global Code of Ethics for Tourism, melalui ketentuan Pasal 1 (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Hidup juga dikemukakan pengertian tentang pembangunan berkelanjutan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahtraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Dalam Undang-Undang Kepariwisataan di Indonesia pengaturan tentang sustainable development tercantum pada bagian “Menimbang huruf c” yang menyebutkan bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggungjawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Berkaitan dengan pencapaian tourism sustainable development (pengembangan kepariwisataan berkelanjutan) ada tiga pilar penting yang wajib diperhatikan dan dijaga keharmonisannya yaitu : keseimbangan ekonomi, lingkungan dan sosial serta ditambah dengan pilar climate change. Persoalan climate change mempunyai pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan ekonomi dan sosial budaya.11 Kewajiban dan tanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan nampaknya selalu eksis dalam berbagai konsep tentang pengembangan tourism atau kepariwisataan , baik dengan 10
Kishore Shah, Jan Mc Harry and Rosalie Gardiner, 2002, Towards Earth Summit 2002, sustainableTourism-Turning The Tide, Briefing Paper, Economic Briefing No. 4, p. 1, Stakeholder Forum-UNEP, United Nations Foundation, www. eartsummit2002.org, diakses 12 Maret 2011. 11 Navamin Chatarayamontri, 2009, Sustainable Tourism And The Law: Coping wih Climate Change, Dissertation & Theses, Paper 6, http://digitalcommons.pace.edu/lawdissertations/6, p. 2 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
7
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
sebutan tourism sustainable development ataupun ecotourism. Beranjak dari konsep-konsep tersebut maka keberadaan aspek HAM dalam kegiatan ”tourism” dalam konteks yang lebih luas yaitu “tourism activity” atau kepariwisataan dapat dikemukakan sebagai berikut : 2.1. HAM Berkaitan Dengan “The Right to Clean Environment“ Prihal aspek HAM yang berkaitan dengan “The right to clean environment “dalam kegiatan kepariwisataan, pengaturannya dapat dilihat dari berbagai instrumen hukum sebagai berikut: • Principle 1 of the Rio Deklaration 1992 menyatakan: “entitled to a healthy and productive life in harmony with nature” • Principle 1 stockholm Declaration of the United nations Conference on the Human Environment 1972 : “Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate condition of life, in an environment of a quality that permits a life of dignity and wellbeing, and he bears a solemn responsibility to protect and improve the environment for present and future generation. • The UN general Assembly Resolution 45/94 (1990) : “all individuals are entitled to live in an environment adequate for their health and well-being” • The UN Commission on Human Rights Resolution 1990/41: “affirmed the relationship between the protection of the environment and the promotion of human rights” • Article 24 of the African Charter on Human and Peoples Rights : “all people shall have the right to general satisfactory environment favorable to their development” • Article 12 ICESCR 1966 ; “the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health through the improvement of all aspects of environmental and industrial hygiene”. • Article 3 of the World Tourism Organization Global Code of Ethics for Tourism : “Tourism a factor of sustainable development” Semua instrumen hukum di atas menjadi landasan hukum bagi pembangunan berkelanjutan dalam bidang lingkungan, yang juga dapat diperluas maknanya sampai kepada pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan scara khusus juga mengatur tentang konsep kepariwisataan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Konsep penyelenggaraan kepariwisataan berkelanjutan dan bertanggungjawab di Indonesia tampaknya mengadopsi ketentuan Article 1 the UN WTO Global Code of Ethics for Tourism (Kode Etika Moral Kepariwisataan Dunia) tentang Tourism’s contribution to mutual understanding and respect between peoples and societies yang pada prinsipnya mengemukakan pariwisata hendaknya mempromosikan nilai-nilai etika yang umum berlaku pada kemanusiaan, dengan sikap bertoleransi dan respek atas keberagaman agama, falsafah dan moral kepercayaan yang keduanya merupakan fondasi kepariwisataan yang bertanggungjawab.12 Selain Article 1, Indonesia juga nampaknya mengadopsi ketentuan Article 3 dari the UN WTO Global Code of Ethics for Tourism. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan meskipun tidak secara tegas dikemukakan mengacu atau meratifikasi the UN WTO Global Code of Ethics for Tourism, namun pengakuan dan kepatuhannya terhadap Soft Law tersebut 12
Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, PT Alumni, Bandung, hlm.49.
8 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
“The Right To Tourism” dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia
sesungguhnya tercermin dalam Pasal 5 (g) yang menyatakan “Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata”. 2.2. HAM Berkaitan Dengan The Right to Life Aspek HAM yang berkaitan dengan the right to life dalam kegiatan kepariwisataan, pengaturannya dapat dilihat dari berbagai instrumen hukum sebagai berikut: • European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms: Article 8 right to respect for family and private life, Article 2 right to life • Universal Declaration of Human Rights (1948): Article 3: “everyone has the right to life, liberty and the security of person.” Article 4: “No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms.” Article 5: “No one shall be subjected to turtore or to cruel, inhuman or regarding treatment or punishment.” • International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) article 6 until 8. • The UN WTO Global Code of Ethics for Tourism: Article 2 (3). Instrumen-instrumen tersebut di atas berhubungan dengan hak asasi manusia untuk hidup (the right to life) termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan. 2.3. HAM Berkaitan Dengan The Right to Work Aspek HAM yang berkaitan dengan the right to work dalam kegiatan kepariwisataan, pengaturannya dapat dilihat dari berbagai instrumen hukum sebagai berikut: • Universal Declaration of Human Rights (1948) Article 23: (1) Everyone has the right to work, to free choise of employment, to just and favourable conditions of work and to protection against unemployment. • International Covenant on Economic and Social Rights (ICESCR) 1966: Article 6 and 7. • The UN WTO Global Code of Ethics for Tourism: Article 9 Rights of the workers and entrepreneurs in the tourism industry. • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan : Pasal 9. Instrumen-instrumen hukum tersebut di atas baik secara implisit maupun eksplisit mengakomodir hak asasi manusia bagi setiap orang untuk bekerja. 2.4. HAM Berkaitan Dengan The Right to Tourism Aspek HAM yang berkaitan dengan the right to tourism dalam kegiatan kepariwisataan, pengaturannya dapat dilihat dari berbagai instrumen hukum sebagai berikut: • The UDHR 1948 : Article 13 yang menyatakan : “Everyone has the right to freedom of movement and residence within the borders of each State”. dan Article 24 menyatakan “ Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay”. • International Covenant on Economic and Social Rights (ICESCR) 1966 Article 7 mengemukakan : The state parties to the present Covenant recognize the right of JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
9
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular: (d) rest, leisure and reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay, as well as remuneration for public holidays. The European Social Charter (1961) pada Article 2 (2) :” to provide for public holidays with pay’ The UN WTO Global Code of Ethics for Tourism : Article 7 . Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan dalam Bagian menimbang huruf b. mengemukakan bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pasal 19 (1) a. secara tegas menyatakan: “Setiap orang berhak memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata”.
• • •
Pengakuan akan HAM dalam kegiatan kepariwisataan dapat diketahui pula dari prinsip penyelenggaraan kepariwisataan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 (b). Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan yang menyatakan: Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip:Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan local. Berdasarkan instrumen-instrumen hukum tersebut di atas seperti misalnya yang tercantum dalam pengaturan Article 7 (d) ICESCR, jelas pada HAM generasi kedua ini keberadaan Hak Berwisata sebagai bagian dari HAM telah diakui secara internasional, dimana banyak negaranegara di dunia menjadi anggotanya, termasuk didalamnya Indonesia yang telah mengesahkannya sejak tahun 2005. Dalam level regional, seperti misalnya di Eropa, keberadaan dan pengakuan terhadap Hak Berwisata sebagai bagian penting dari HAM yang wajib diimplementasikan oleh negara-negara anggota diatur dalam the European Social Charter (1961) pada Article 2 yang menyebutkan 13 : With a view to ensuring the effective exercise of the right to just conditions of work, the Contracting Parties undertake: 1. to provide for reasonable daily and weekly working hours, the working week to be progressively reduced to the extent that the increase of productivity and other relevant factors permit; 2. to provide for public holidays with pay 3. to provide for minimum of two weeks’ annual holiday with pay; 4. to provide for additional paid holidays or reduced working hours for workers engaged in dangerous or unhealthy occupations as prescribed; 5. to ensure a weekly rest period which shall, as far as possible, coincide with the day recognized by tradition or custom in the country or region concerned as a day of rest. Dalam Penjelasan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 yang menyatakan : bahwa kepariwisataan telah berkembang menjadi suatu fenomena global, menjadi kebutuhan dasar, serta menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dunia usaha pariwisata, dan masyarakat berkewajiban untuk dapat menjamin agar berwisata sebagai hak setiap orang dapat ditegakkan, sehingga mendukung tercapainya peningkatan harkat dan martabat manusia, peningkatan kesejahtraan, serta persahabatan 13
Ibid, p.320.
10 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
“The Right To Tourism” dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia
antarbangsa dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia.14 Sebagai konsekuensi dari keberadaan the right to tourism sebagai bagian dari HAM, para wisatawan dalam perjalanannya berwisata berhak memperoleh the right to inform (Hak informasi) yang tercantum dalam Article 8 (2) the UNWTO Global Code of Ethics serta Pasal 20 ayat a Undang-Undang No. 10 tahun 2009 yang mengemukakan bahwa setiap wisatawan berhak memperoleh informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata. 2.
Studi Kritis Terhadap Pengakuan Hak Berwisata Sebagai Bagian Dari HAM Dalam perkembangannya di era globalisasi sekarang ini, nampaknya ada kecenderungan untuk menjadikan, mengklaim atau mendeklarasikan segala sesuatu urusan sebagai bagian dari HAM atau Human Rights. Memang mudah untuk mendeklarasikan dan mengklaim, serta juga tidak terlalu sulit untuk mencarikan dasar hukumnya sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya. Berbagai legal instruments telah tersedia untuk mewadahi HAM, namun tidak mudah untuk mewujudkan terlebih mengimplementasikan dalam praktek dan kehidupan yang senyatanya. Seperti contoh HAM Generasi Ketiga yaitu : the right to clean environment, the right to peace, dan the right to development, yang eksis dengan ketidakpastian. All human rights of the third generation are surrounded by grave uncertainties regarding their holders, the duty-bearers, and their substance.15 Sederetan HAM-HAM baru telah muncul ke permukaan, mulai dari yang tergolong dalam HAM Generasi Ketiga, kemudian the right to health care, hingga yang terakhir the right to tourism sebagaimana dideklarasikan di Belgia. Pengakuan akan the right to tourism telah dideklarasikan di Negara Belgia yang menyatakan bahwa : ”Now Brussels has declared that tourism is a human right and pensioners, youths and those too poor to afford it should have their travel subsidized by the taxpayer.”16 Jika dicermati secara lebih kritis, bidang-bidang yang diklaim sebagai HAM akhir-akhir ini seperti ”the right to tourism”, sesungguhnya sudah sangat jauh bergeser dari pemahaman tentang HAM yang dikenal sebelumnya yaitu sebagai hak yang benar-benar bersifat fundamental atau sangat mendasar (basic) bagi manusia. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa HAM Generasi Ketiga seperti ”the right to Development” masih penuh dengan ketidakpastian dan ketidakjelasan ketika dilakukan pengetesan dengan elemen-elemen mendasar yang harus dipenuhi agar dapat dikatagorikan sebagai ”Human Right”. Adapun elemen-elemen yang digunakan untuk mengetes berkaitan dengan: • The Holders (siapa pemegang haknya) • The Duty-Bearers (siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan ) • The Substance ( apa yang menjadi substansi dari jenis HAM tersebut) Berkaitan dengan pengakuan terhadap ”the right to tourism” sebagai ”Human Right” atau HAM tampaknya juga sangat penuh dengan ketidakjelasan jika pemahaman tentang “tourism” atau “berwisata” ditest dengan unsur-unsur HAM sebagaimana tersebut di atas. Berdasarkan definisi “wisata” atau “berwisata” menurut hukum di Indonesia atau “tourism”menurut the UN WTO Global Code of Ethics yang mengacu Ottawa International Conference 1993 dapat ditarik unsur-unsur atau elemen-elemen dari tourism atau perjalanan berwisata sebagai 14 15 16
Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, http://www.legalitas.org/, hal 11, diakses tanggal 1-122010. Christian Tomuschat, Op.,Cit., p. 57. Bojan Pancevski, 2010, Get packing: Brussels decrees holidays are a human right, p.1, http://www.timesonline.co.uk/, diakses tanggal 1-12-2010. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
11
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
berikut: • Adanya kegiatan perjalanan (traveling) dari seseorang untuk tujuan berekreasi atau bersenang-senang (leisure) • Kegiatan rekreasi atau bersenang-senang dilakukan dengan bepergian ke suatu tempat di luar daerah lingkungan kerja atau kediamannya sehari-hari melalui kegiatan perjalanan (bergerak travelling atau movement) • Kegiatan perjalanan mengisi waktu luang berlibur dengan tujuan bersenang-senang di luar daerahnya dilakukan untuk sementara waktu tidak lebih dari satu tahun. Dari unsur-unsur “berwisata” terlihat bahwa definisi “berwisata” jauh lebih kompleks dengan kegiatan mengisi hari libur atau memanfaatkan waktu cuti (free time) dengan rileks berdiam di rumah atau sekalipun melakukan perjalanan atau bepergian namun tidak untuk tujuan bersenang-senang, karena kegiatan mengisi liburan seperti itu tidak dapat dikatagorikan ‘berwisata” atau melakukan perjalanan “tourism” karena tidak memenuhi unsur-unsur “tourism”. Dengan memahami betapa kompleks dan luasnya definisi dari “tourism” seperti misalnya “kegiatan rekreasi bersenang-senang”, apakah ukuran bersenang-senang? Apakah dengan berbaring di pasir putih di bawah terik matahari pantai Sanur Bali yang indah orang dapat bersenang-senang? berenang di kolam alam atau kolam indah buatan hotel? massage spa atau mandi susu? Atau justru makan siang di restaurant alam terbuka? Dan sederetan aktivitasaktivitas lainnya yang mungkin sangat berbeda antara satu orang dengan yang lainnya untuk pemenuhan kreteria “bersenang-senang’ atau “leisure”. Unsur-unsur ”tourism” akan terlihat semakin tidak mudah untuk dijabarkan apalagi diimplementasikan sebagai bagian dari HAM terutama jika di-test dengan elemen-elemen HAM yang harus dipenuhi sebagai berikut: 1.
Unsur ”their holders” (siapa pemegang haknya, siapa yang memiliki hak untuk berwisata) : dari berbagai instrumen-instrumen hukum dikemukakan adalah ””Everyone” atau ”setiap orang” : • Orang Muda, Orang Bekerja, Orang tua, pensiunan • Orang tidak mampu, orang yang memiliki keterbelakangan • Orang yang memiliki problem sosial. Dari unsur pertama jawaban dari ”hasil test” terhadap siapa yang berhak untuk berwisata adalah masih termasuk memenuhi katagori jelas, artinya jelas the right holders-nya. Sehingga jawabannya adalah : YES 2.
Unsur The Duty-Bearers (siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan ) Test yang kedua prihal ”The Duty Bearers” dalam konteks ”Human Right” bermakna ; ”the obligation to respect”, ”the obligation to protect” dan ”the obligation to fulfill”. Siapa yang harus menghormati, melindungi, dan memenuhi tuntutan atau kebutuhan ”tourism” agar hak setiap orang terwujud untuk berwisata. Jika orang yang bersangkutan atau ”Everyone” yang mempunyai the duty-bearers, bagaimana jika orang tersebut sangat miskin (poorers people), bagaimana jika orang tersebut tidak punya penghasilan. Jika perusahaan atau korporasi tempat orang tersebut bekerja yang mempunyai kewajiban atau the duty-bearers, bisa mengakibatkan keuangan perusahaan habis untuk membiayai hal-hal bersifat ”luxury good” secara rutin tiap tahun dan pada akhirnya perusahaan tidak bisa melanjutkan kegiatan usahanya dan itu 12 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
“The Right To Tourism” dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia
berarti tidak ada lapangan pekerjaan lebih lanjut. Jika pemerintah yang mempunyai kewajiban atau the duty-bearers, maka pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah apakah pantas memprioritaskan membiayai orang berwisata sementara di depan mata masih ribuan orang kelaparan, kena bencana, putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan, dan persoalan-persoalan sosial lainnya yang jauh lebih bersifat fundamental. Kiranya dari hasil ”Test” terhadap unsur yang kedua ”the duty-bearers” adalah penuh dengan ketidakpastian. Dengan demikian jawabannya adalah: NO. 3.
The Substance ( apa yang menjadi substansi dari jenis HAM tersebut Unsur ketiga yanag di-test agar memenuhi katagori ”Human Right” adalah unsur ”the substance”. Dalam konteks ini pertanyaan yang harus dijawab adalah apa substansi dari ”tourism” atau ”berwisata”?. Untuk menjawab kiranya bisa berawal dari definisi ”tourism” yaitu : bepergian mengisi waktu luang dan tidak bekerja untuk tujuan bersenang-senang (leisure) dalam jangka waktu tertentu tidak lebih dari satu tahun. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab adalah ; pertama konsep ”bepergian atau movement’, apakah berarti bepergian ke luar desa sudah termasuk, atau ke luar daerah, provinsi atau harus ke luar negeri, apakah dengan kendaraan, kapal laut, atau harus pesawat udara. Pada konsep pertama ini tidak ada indikator yang tegas. Kedua, konsep ”bersenang-senang atau leisure”, apakah berjemur di pantai, massage dan spa, makan di restaurant ala Italy, menikmati alam pegunungan, internet dan menelpun, shopping. Seperti halnya konsep yang pertama, pada konsep kedua juga tidak jelas. Ketiga, konsep selanjutnya yang harus di test dan dijawab adalah konsep tentang jangka waktu tertentu yang tidak lebih dari setahun. Apakah seminggu, satu bulan, tiga bulan, atau 9 bulan 25 hari. Bayangkan jika setiap orang berwisata dalam jangka waktu yang maksimal misalnya memilih menggunakan waktu 9 bulan 25 hari, dan yang memiliki the duty bearers untuk obligation to respect, to protect, and to fulfill adalah pemerintah atau government, maka dapat dibayangkan pada akhirnya negara akan menjadi bangkrut. Sehubungan dengan hal tersebut dapatlah dikemukakan bahwa hasil ”test’ terhadap unsur yang ketiga ”the substance” menunjukkan hasil penuh dengan ketidakpastian. Dengan demikian jawabannya adalah : NO. Masyarakat Eropa meskipun sangat terkenal menaruh perhatian paling serius terhadap urusan-urusan yang berkaitan dengan HAM, khususnya yang berkaitan dengan HAM yang bersifat fundamental, begitu juga sebagai Negara Maju yang sangat memperhatikan kesejahtraan dan kualitas kehidupan warga negaranya, pemenuhan-pemenuhan kepentingan yang bersifat privacy bagi warganegaranya dihormati dan sangat diperhatikan, seperti misalnya mengisi waktu liburan dengan berwisata, namun berkaitan dengan deklarasi dari the EU yang menyatakan ”travelling for tourism today is a human right”, terlebih dengan strategi pilot program dengan membiayai atau mensubsidi kegiatan berwisata melalui pernyataan bahwa ”The EU subsidize 30 % of vacations for pensioners, seniors, young adults aged 18 to 25, disabled people, and families facing difficult social, financial or personal circumstances”, ternyata banyak pendapat yang kontra terhadap keputusan tersebut. Di Belanda sebagai salah satu Negara Maju di Eropa, memang mengenal tradisi bahwa berlibur atau vakansi adalah sesuatu yang perlu mendapat perhatian serius, dimana sekurangkurangnya 5 minggu dalam setahun, dan pada bulan Mei orang Belanda menerima tunjangan liburan, 8 persen dari gaji bruto setahun untuk membiayai liburannya.17 Indonesia menjadi 17
Media Independen Online, Orang Belanda Berhak Berlibur 5 Minggu Dalam Setahun, http://www.poskota.c0.id, hal. 1, diakses tanggal 1 Desember 2010. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
13
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
salah satu tujuan wisata terpilih yang banyak dikunjungi oleh orang Belanda. Begitu padatnya lalu lintas dalam musim liburan yang digunakan untuk kegiatan berwisata atau tourism, hingga Belanda memandang perlu mengeluarkan dan mengenal kebijakan mengatur waktu liburan musim panas. Berkaitan dengan waktu liburan Negara Belanda dibagi 3, setiap zone mendapat liburan pada waktu yang tidak bersamaan, hal tersebut dilakukan untuk mencegah jangan sampai lalu lintas terlalu macet kalau para wisatawan berangkat pergi berlibur ke luar Belanda. Bagi orang Belanda, wisata adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Orang Belanda juga mendapat tunjangan liburan setiap tahun sebagai tambahan gaji mereka. Job Zeedzen, dosen sekolah tinggi pariwisata di Breda, Belanda Selatan, menyatakan bahwa Belanda bisa jadi termasuk dalm daftar top 3 dalam hal berwisata.18 Namun demikian, sekali lagi perlu dicermati bahwa mereka mengisi waktu liburanya dengan kegiatan berwisata adalah dengan biaya sendiri atau tunjangan liburan sebagai bagian dari tambahan gaji mereka, dan bukan dari ”taxpayers”( hasil pendapatan pajak yang di bayar oleh masyarakat) untuk membiayai kegiatan berwisata. Sehubungan dengan hal tersebut menjadi tidak heran jika masyarakat Eropa banyak yang kontra terhadap kebijakan yang dicetuskan oleh Antonio Tajani, the European Union Commissioner for Enterprise and Industry pada tanggal 15 april 2010 di Madrid. Sebagai contoh Peyton Miller mengemukakan : ”A vacation is a luxury good if ever there were one, and its classification by the EU as a ”human right” is laughable in the extreme and using taxpayers to cover it. Why not spend this money to better house and feed the millions of homeless in EU countries? Why not use it to combat human trafficking (i.e. modern-day slavery for purposes of prostitution and forced labor in Europe, especially since the U.N. estimated last November that there could be around 270,ooo trafficking victims in E.U countries. Why not use it to better educate European youth?”19 Di Indonesia prihal pengakuan terhadap ”the right to tourism as a human right”, yaitu pengakuan terhadap kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dicantumkan secara eksplisit dalam bagian Menimbang huruf b. Undang-Undang No. 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Tampaknya Indonesia mengadopsi begitu saja standar-standar internasional termasuk didalamnya ketentuan dalam the UN WTO Global Code of Ethics terkait dengan pengakuan hak berwisata sebagai hak asasi manusi dengan tanpa mempertimbangkan kondisi dan situasi negara sendiri. Jika cukup bijaksana, paling tidak ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan, dipertimbangkan dan dibenahi sebelum menentukan bahwa hak berwisata adalah hal asasi manusia. Adapun komponen-komponen tersebut seperti misalnya: • Ketentuan tentang hari libur : cuti dan waktu istirahat (free time) Menurut Pasal 79 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, cuti dan waktu istirahat bagi pekerja diberikan oleh pengusaha sekurang-kurangnya 12 hari setelah pekerja berturut-turut bekerja secara penuh dalam setahun. Kemudian cuti atau istirahat panjang selama 2 bulan diberikan berturut-turut satu bulan pada tahun ketujuh dan satu bulan lagi pada tahun kedelapan pada karyawan yang telah bekerja berturut-turut selama 18 19
Philip Smet dan Jean van de Kok, Berlibur Hak Orang Belanda, hal. 1, http://static.rnw.nl/, diakses tanggal 1-12-2010. Peyten Millor, Vacation is a Human Rights, http://hpronline.org/uncategorized- April 20,2010., lihat juga http:// landlopers.com/2010/05/27, http://www.americanthinker.com/blog/2010/04, http://www.forumopolis.com/ showthread.php?, 2010-04-21. http://www.letsrun.com/forum/flat /4/20/2010
14 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
“The Right To Tourism” dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia
•
•
6 tahun dalam perusahaan yang sama. Berdasarkan ketentuan tersebut itu berarti untuk dapat menikmati waktu istirahat yang memadai yaitu satu bulan untuk berwisata seorang karyawan harus menunggu telah bekerja selama 7 tahun secara berturut-turut dalam perusahaan yang sama. Dalam situasi seperti itu di satu sisi apakah relevan menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia. Selain itu, bagi pekerja yang telah bekerja setahun mereka mendapatkan waktu istirahat 12 hari, pertanyaannya apakah waktu tersebut cukup signifikan untuk merencanakan liburan dengan konsep berwisata atau ”tourism”. Kiranya jika mengatur tourism as a human right, maka setidaknya seharusnya disinkronkan dengan ketentuan hukum lainnya yang berkaitan, seperti misalnya dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Gaji Pegawai Negeri & Gaji UMR Kegiatan berwisata atau ”tourism” adalah kegiatan yang termasuk ”luxury good” dan membutuhkan biaya yang relatif tidak sedikit atau relatif banyak. Jika mencantumkan ketentuan bahwa kegiatan berwisata adalah hak asasi manusia, artinya yang harus dihormati, dipromosikan dan diwujudkan dalam implementasinya, maka apakah sudah dipertimbangkan gaji pegawai negeri sekalipun sekelas dosen Gol. IV b gajinya adalah tidak lebih dari 4, 5 juta sebulan. Apakah dengan kondisi seperti itu mereka akan mampu memenuhi kebutuhan hak asasi manusinya dalam berwisata. Terlebih jika pertanyaan yang sama dipertanyakan pada karyawan yang menerima gaji dengan batasan gaji UMR (Upah Minimum Regional). UMR di Jakarta yang tertinggi di tahun 2011 adalah Rp. 1290.000, sementara UMR tertinggi di Bali Rp.1.110.000 sebulan. Sekali lagi jika mengatur tentang hak berwisata adalah hak asasi manusia, setidaknya seharusnya disinkrunkan terlebih dahulu dengan penetapan UMR. Dengan kata lain UMR perlu ditingkatkan agar sinkron dengan Undang-Undang Kepariwisataan. Dengan UMR yang ada sekarang ini terlalu berlebihan jika orang harus memenuhi hak berwisatanya sebagai bagian dari hak asasi manusinya, sementara untuk mampu memenuhi kebutuhan penting untuk dapat melanjutkan kehidupannya saja masih harus berjuang keras. Persoalan-Persoalan Sosial yang Bersifat Fundamental Indonesia masih berhadapan dengan berbagai persoalan sosial mulai dari masyarakat miskin dan kelaparan, bencana alam, putus sekolah, persoalan trafficking, TKW yang disiksa dan diperjualbelikan, dan persoalan sosial lainnya, sehingga tampaknya jauh lebih bijaksana jika berfokus untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial tersebut di atas daripada mengedepankan hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia.
3.
Pengimplementasian Hak Berwisata Bagi Para Pekerja Pada Perusahaan Industri Pariwisata Di Bali Di Indonesia, pada perusahaan-perusahaan besar pemberian dan pemanfaatan hak berwisata bagi karyawan mulai banyak diperhatikan, meski belum fokus seperti halnya di Negara Maju seperti Eropa. Seorang karyawan dari Jakarta mengemukakan bahwa perusahaannya memberi dua kali liburan dalam setahun. Liburan tersebut dimanfaatkan untuk bersantai dan beristirahat, meski tidak merasakan adanya peningkatan produktifitas, namun program tersebut dapat membuat karyawan merasa nyaman dan betah berada pada perusahaan yang bersangkutan.20 20
Acara Liburan Bisa Meningkatkan Produktivitas Dan menyegarkan Semangat Karyawan, http://www.korantempo/, diakses tanggal 2 -12-2010. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
15
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, tidak mengatur secara eksplisit perihal hak berwisata atau the right to tourism sebagaimana diatur dalam UU Kepariwisataan. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan waktu istirahat hanya 12 hari dalam setahun, sehingga terkesan tidak sinkron jika dikaitkan dengan hak setiap orang melakukan perjalanan wisata adalah hak asasi manusia, karena persoalan yang perlu dijawab adalah bagi mereka yang bekerja di perkantoran apakah waktu 12 hari cukup untuk merencanakan berwisata. Secara lebih rinci Pasal 79 c Undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan karyawan berhak mendapat cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. Kemudian menurut pasal 79 d, karyawan juga memperoleh hak istirahat panjang sekurang kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ke 7 dan ke 8, masing-masing 1 bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama. Berkaitan dengan hak cuti sebagaimana tersebut dalam ketentuan diatas, dalam implementasinya, hasil studi empiris menunjukkan bahwa umumnya perusahaan-perusahaan yang mendukung industri pariwisata di Bali telah memenuhi kewajibannya karena karyawan telah memperoleh hak cuti setelah bekerja selama 1 tahun dengan lama cuti setahun 12 hari. Sebanayak 66,7 % responden mengemukakan bahwa mereka memperoleh cuti setelah satu tahun bekerja serta sebanyak 76,7 % mengemukakan lama cuti yang diperoleh dalam setahun adalah 12 hari. Hasil itu menunjukkan bahwa dalam tarap implementasi relatif telah terjadi kesesuaian dengan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ketenagakerjaan di Indonesia. 21 Tabel 1 : Lama Cuti Karyawan dalam Setahun Lama Cuti / Tahun Tidak tahu Dibawah 12 hari 12 hari Lebih dari 12 hari
Sumber : 60 orang responden dan Informan pada perusahaan di Bali (Hotel, Villa, Telekomunikasi,Travel Agent, Gallery, Perak,Pabrik Furniture, Garment, Adventure )
Jumlah 2 4 46 8
% 3,3 6,7 76,7 13,3
Restaurant,Bank,LKBB, Jasa
Sehubungan dengan hak cuti yang diberikan oleh perusahaan, hasil studi empiris menunjukkan sangat minim (13,4 %) karyawan menggunakan haknya untuk kepentingan the rights to tourism atau hak berwisata. Pada umumnya mereka menggunakan cutinya untuk kepentingan keagamaan dan keluarga yaitu masing-masing 43, 3 %. Sebagai masyarakat yang tinggal di Bali yang banyak memiliki kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan dan adat, mereka lebih memperioritaskan menggunakan hak cutinya untuk kegiatan tersebut, masih belum terlalu memikirkan untuk kegiatan berwisata. Bahkan masih banyak responden yang menjawab tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan hak berwisata sebagai hak asasi manusia. Kecendrungan masyarakat di Bali termasuk karyawan-karyawan yang bekerja pada pariwisata memanfaatkan cuti yang diperolehnya untuk kepentingan upacara keagamaan seperti panca yadnya. Mereka bahkan tidak pernah memikirkan menggunakannya untuk berlibur dan berwisata. Ketika mereka melakukan yadnya meskipun melelahkan akan tetapi mereka memperoleh kebahagiaan tersendiri, yang belum tentu diperoleh oleh mereka jika dilakukan 21
Sumber : 60 orang responden dan Informan pada perusahaan di Bali (Hotel, Villa, Restaurant,Bank,LKBB, Jasa Telekomunikasi,Travel Agent, Gallery, Perak,Pabrik Furniture, Garment, Adventure )
16 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
“The Right To Tourism” dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia
dengan berlibur dalam bentuk perjalanan berwisata.22 Sehubungan dengan pandangan-pandangan seperti tersebut diatas maka tidak mengherankan jika studi empiris juga menunjukkan hasil bahwa sepengetahuan karyawan-karyawan yang bekerja di perusahaan-perusahan yang mendukung industri pariwisata di Bali, hampir tidak pernah merencanakan penyelenggaraan rencana berwisata. Mereka juga mengemukakan bahwa belum mengetahi manfaat dari berwisata dalam kaitannya dengan produktivitas serta kinerja mereka. Responden juga mengemukakan bahwa terkadang ada keinginan merencanakan untuk melakukan perjalanan berlibur, namun waktu cutinya tidak memadai, selain cuti kurang panjang juga disebabkan sudah digunakan untuk kebutuhan upacara keagamaan, adat dan upacara keluarga. Selain itu dari segi pendanaan atau gaji juga tidak mencukupi untuk berlibur sampai ke luar daerah apalagi memikirkan berlibur ke luar negeri. Berkaitan dengan perencanaan berwisata kemungkinan tidak terlaksana secara rinci disajikan dalam tabel-tabel berikut. Tabel 2 : Rencana Berwisata tidak terlaksana/terlaksana Sebagian Rencana Berwisata tidak terlaksana/terlaksana Sebagian, karena Tidak tahu Cuti kurang panjang Hak cuti habis (dipakai yang lain) Dana tidak mencukupi
Jumlah 10 8 16 26
% 16,6 13,4 26,7 43,3
Sumber : 60 orang responden dan Informan pada perusahaan di Bali (Hotel, Villa,Restaurant,Bank,LKBB, Jasa Telekomunikasi,Travel Agent, Gallery, Pabrik Perak,Pabrik Furniture, Garment, Adventure )
Keberadaan pengakuan Hak Berwisata sebagai bagian dari HAM masih belum banyak diketahui dalam praktek, hasil studi empiris menunjukkan bahwa sekitar 63,3 % responden mengemukakan bahwa mereka tidak mengetahui jenis HAM yang satu ini. Masyarakat responden yang diwawancarai nampaknya belum menganggap kebutuhan untuk melakukan kegiatan berwisata sebagai kebutuhan penting yang bersifat fundamental. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya mereka lebih menggunakan waktu cuti untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat keagamaan , keluarga dan adat. Meskipun belum menganggap sebagai kebutuhan mendasar, namun kedepannya jika waktunya cukup serta pendanaan memadai, responden juga mengemukakan mereka membutuhkan untuk berwisata. Berkaitan dengan temuan-temuan studi baik yang dilakukan melalui studi kepustakaan maupun studi empiris terhadap pengakuan hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia, tampaknya ke depannya di Indonesia penting untuk mensinkronkan perundang-undangan yang terkait, seperti halnya Undang-Undang Ketenagakerjaan, agar pengakuan terhadap hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia yang telah diatur secara yuridis formal dalam Undang-Undang Kepariwisataan di Indonesia dapat diimplementasikan secara efektif dalam prakteknya.
22
Wawancara dengan Ibu Helina sekretaris Dinas Pariwisata Kab. Badung, tanggal 6 Juni 2011. Hal senada juga dikemukakan oleh I Gst Ketut Rai Wirawan, owner Enjung Beji Resort, 7 Mei 2011. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
17
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
III . PENUTUP 1.
Simpulan: Berdasarkan uraian pada sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara yuridis formal Hak Berwisata sebagai bagian dari HAM mendapat pengakuan baik dalam tingkat internasional, regional maupun nasional. Dalam perspektif nasional Indonesia secara eksplisit diatur dalam Bagian Menimbang b. serta ketentuan Pasal 19 (1) a Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Sementara itu dalam perspektif internasional keberadaan the rights to tourism eksis melalui the UDHR 1948 Article 13 dan 14, the ICESCR article 6 dan 7, the European Social Charter article 2 (2-4), dan the UNWTO Global Code of Ethics Article 7 dan article 8. 2. Hasil pengujian terhadap pengakuan ”the right to tourism as a human right” terhadap elemen-elemen penting hak asasi manusia yang terdiri dari: the right holders, the duty-bearers, dan the substance, hasilnya menunjukkan penuh ketidakpastian terutama dari aspek the-duty bearers dan the substance, oleh karena itu tidak signifikan dan terlalu dini mengklaim megitu saja perjalanan melakukan wisata sebagai hak asasi manusia atau human right. 3. Pengimplementasian Hak Berwisata bagi para pekerja pada perusahaan Industri Pariwisata Di Bali belum efektif, karena pada umumnya para pekerja lebih memilih memanfaatkan waktu cuti yang diperolehnya untuk kepentingan yang berkaitan dengan upacara keagamaan adat. Bahkan masih relatif banyak yang mengemukakan bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan ketentuan yang mengatur bahwa perjalanan untuk melakukan kegiatan wisata atau the right to tourism dalam kegiatan kepariwisataan tergolong sebagai hak asasi manusia.
2.
Saran: 1. Mengingat masih relatif banyak pekerja yang bekerja di daerah industri pariwisata di Bali belum mengetahui keberadaan dan pengakuan Hak Berwisata adalah bagian dari HAM, maka penting untuk dilakukan sosialisasi tentang konsep the right to tourism 2. Berkaitan dengan pengakuan terhadap the right to tourism as a human right, sebaiknya disinkronkan terlebih dahulu dengan ketentuan-ketentuan perundangundangan terkait seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan khususnya berkaitan dengan lamanya waktu cuti agar diperpanjang sehingga signifikan untuk digunakan berwisata, serta ketentuan yang menyangkut peningkatan UMR (Upah Minimum Regional) agar setiap orang di Indonesia benar-benar dapat menikmati hak asasi manusianya dalam berwisata, karena melalui peningkatan UMR atau gaji, masyarakat sekurang-kurangnya memiliki keuangan yang memadai untuk membiayai perjalanan berwisatanya. 3. Diharapkan perusahaan yang bergerak di industri kepariwisataan di Bali memfasilitasi pengimplementasian the right to tourism bagi karyawannya sehingga para pekerja dapat menikmati hak cutinya disamping digunakan untuk kepentingan-kepentingan upacara keagamaan juga untuk kepentingan the right to tourism yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan kualitas hidup serta perbaikan produktifitas kerja.
18 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
“The Right To Tourism” dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia
DAFTAR BACAAN Attorney Stephen Elias & the editors of Nolo, 2009, Legal Research How to Find & Understand the Law, Nolo, Berkeley California Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004 Christian Tomuschat, Human Rights Between Idealism and Realism, Oxferd University Press, New York, 2008 Fayed & Fletcher, 2002 in Yvette reisinger, 2009, International Tourism Cultures and Behavior, Butterworth-Heinemann, Oxford Guide to International Legal Research, Second Edition, Butterworth Legal Publishers, United States, 1993 IGN Parikesi Widiatedja, 2011, Keijakan Liberalisasi Pariwisata Konstruksi Konsep Ragam Masalah Dan Alternatif Solusi, Udayana University Press, Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, banyumedia Publishing, Malang, 2007 Morris L. Cohen, Kent C. Olson, Legai Research, West Group, USA, 2000 Peyton Miller, E.U : vacationing a Human Right, http://hpronline.org/uncategorized Sandy Ghandhi, 2008, Blackstone’s International Human Rights Documents, Oxford University Press, New York Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya, Huma, 2002 Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, PT Alumni, Bandung David Chalk, European Union : Tourism Is A Universal Human Rights, http://www.nileguide. com. Jeannie DeAngelis, Traveling is a Human Rights? ,http://www.americanthinker. com/blog/2010/04 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, http://www.legalitas.org/ Kishore Shah, Jan Mc Harry and Rosalie Gardiner, 2002, Towards Earth Summit 2002, Sustainable Tourism-Turning The Tide, Briefing Paper, Economic Briefing No. 4, Stakeholder Forum-UNEP, United Nations Foundation, www.eartsummit2002.org. Karen Roach, 2011, The International Year of Ecotourism : Tackling the Challenges of Global Regulation, Suffolk Transnational Law Review 191 Media Independen Online, Orang Belanda Berhak Berlibur 5 Minggu Dalam Setahun http://www.poskota.c0.id Matt Long, is Travel a Human Right?, (http://landlopers. com/2010/05/27 Navamin Chatarayamontri, 2009, Sustainable Tourism And The Law: Coping with Climate Change, Dissertation & Theses, Paper 6, http://digitalcommons.pace.edu/ lawdissertations/6 Philip Smet dan Jean van de Kok, Berlibur Hak Orang Belanda, Bojan Pancevski, 2010, Get packing: Brussels decrees holidays are a human right, http://www.timesonline.co.uk/ Tourism; Principles, Practices, Philosophes, Part one, www.mccoy.lib.siu.edu Amnesty Basic Definition of Human rights”, Amnesty International, http://www.amnestyusa. org/research/human-rights-basic Undang-undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
19
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICESCR Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 Tetang Upah Minimum, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum, http:// allows.wordpress.com/2009/01/12/informasi Universal Declaration of Human Right European Social Charter American Convention on Human Right. The ICCPR The ICESCR The UNWTO Global Code for Ethics
20 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
FUNGSI HUKUM PERJANJIAN BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) DALAM MELINDUNGI PEMBANGUNAN PARIWISATA BALI Oleh Desak Putu Dewi Kasih Ni Putu Purwanti Abstract Innovation investment cooperation are able to combine a variety of different interests to be cooperative. The concept of BOT agreements is variety of types of project financing known as contractor provided financing. In the standard contracting company provided financing. A project entity may request proposals for construction of a project pursuant to the which the contractor will of not only provided the materials and services needed to complete the project but also provideorat least will arrange the necessary financing. In the Build Operate and Transfer (BOT) contract for the variety provided financing, the contractor will also need to operate the project and use its cash flows to repay the debt it has in curred. Key words : BOT agreements
I.
PENDAHULUAN
Sektor pariwisata sampai saat ini masih diharapkan sebagai penghasil devisa yang andal untuk membangun perekonomian negara termasuk Indonesia. Tahun 2010 Indonesia kedatangan wisatawan mancanegara 6 juta orang, diantaranya 2,5 juta orang mengunjungi Bali, dengan meraih devisa sebesar 7.57 milyar dolar Amerika Serikat.1 Khusus ditinjau dari sisi ekonomi, sektor pariwisata telah diakui memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah atau negara sebagai suatu destinasi pariwisata. Bagi Indonesia sektor pariwisata masih menjadi salah satu sektor andalan dalam menghasilkan devisa setelah minyak dan gas.2 Dengan meningkatnya pembangunan kepariwisataan juga mengakibatkan kebutuhan akan sarana dan prasarana penunjang pariwisata juga ikut meningkat termasuk juga meningkatnya kebutuhan akan lahan-lahan strategis untuk tempat usaha. Fenomena ini menunjukkan bahwa kerjasama dengan model Build Operate and Transfer semakin dibutuhkan. Lembaga Build Operate and Transfer (selanjutnya disebut BOT) sebagai bentuk kerjasama usaha kepariwisataan nampaknya masih jarang dikenal dalam masyarakat, sekilas tampak hubungan kerjasama model ini akan membawa keuntungan bagi kedua belah pihak, karena pihak pemegang hak atas tanah yang tidak memiliki modal untuk membangun akan terbantu oleh investor (pemilik dana) yang berkepentingan akan lahan strategis untuk tempat usaha.3 Lebih lanjut guna memaksimalkan pembangunan pariwisata sebagai sektor andalan termasuk devisa negara sebagai dampak positif, pengembangan pariwisata di Bali serta meminmalisir dampak negatif dari pariwisata maka sangatlah penting untuk dibahas lebih lanjut tentang : Fungsi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer dalam melindungi Pembangunan 1 2 3
Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2010 Wardana, 2006, Pengaruh Lingkungan Budaya dan Strategi Pemasaran Terhadap Kinerja Pemasaran dan Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan di Provinsi Bali, Disertasi, Univ. Airlangga, Surabaya. Dewi Kasih, 2003, Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer) Sebagai Alternatif Kerjasama Investasi Bidang Pariwisata di Bali, Tesis, Univ. Diponegoro, Semarang. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
21
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Pariwisata Bali. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman tentang pengaturan dan konstruksi hukum perjanjian Build Operate and Transfer dalam pengembangan pariwisata. Secara khusus penelitian ini dimaksudkan untuk, mengkaji dan menjelaskan keberlakuan hukum dalam menunjang kegiatan pariwisata dan konstruksi hukum perjanjian Build Operate and Transfer, untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat. Untuk memperoleh pemecahan atau jawaban yang akurat atas pokok permasalahan penelitian ini, maka akan digunakan penalaran normatif untuk dapat menguraikan logika yang menjadi dasar dari proses penelitian. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). II.
PEMBAHASAN
Pembangunan pariwisata adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan. Dengan demikian dapat berarti bahwa pendekatan pariwisata berkelanjutan adalah upaya terkoordinasi dan terintegrasi dari pihak-pihak yang terkait untuk mengamankan sumber-sumber pariwisata secara berkelanjutan. Pembangunan kepariwisataan menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan adalah : Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memerhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Batasan pengembangan pariwisata berkelanjutan dari WTO dicantumkan sebagai berikut:4 Sustainable tourism development meets the needs of present tourist and host regions while protecting and enhancing opportunities for the future. It is envisaged as leading to management of all resources in such a way that economic, social and aesthetic needs can be fulfilled while maintaining cultural integrity, essential ecological processes, biological diversity and life support systems. Berdasarkan batasan di atas, maka pengembangan pariwisata berkelanjutan menetapkan tiga kondisi yaitu : 1) sumber-sumber lingkungan harus dilindungi; 2) masyarakat lokal harus memperoleh manfaat, baik secara ekonomi maupun manfaat dalam meningkatkan kualitas hidup dan 3) wisatawan harus mendapatkan pengalaman yang berkualitas. Lebih lanjut di Indonesia khususnya di Bali, dalam melakukan kegiatan-kegiatan usaha kepariwisataan seringkali dilakukan dengan melakukan kerjasama baik dengan pihak domestik, 4
Roberto and Perez, Suistainable Tourism : Emerging Global and Regional Regulation, Georgetown International Environment Law Review, ABI / Inform Research, 2001, h. 801.
22 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Fungsi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer (Bot) dalam Melindungi Pembangunan Pariwisata Bali
pihak asing maupun kerjasama untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan perusahaan. Hubungan-hubungan usaha demikian dilakukan dengan dilandasi oleh kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Secara pasti, tujuan dari diadakannya kerjasama adalah untuk memperoleh keuntungan maupun untuk mengatasi masalah permodalan. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) adalah suatu perjanjian baru, dalam arti peraturan perundang-undangan secara khusus tidak ada mengatur masalah ini, namun secara faktual telah banyak dipraktekkan oleh pelaku-pelaku ekonomi di Indonesia. 1.
Struktur Hukum Yang Berkaitan dengan Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT)
Perjanjian kerjasama dengan model BOT merupakan metode pembiayaan yang banyak diaplikasikan dalam kontrak konstruksi atau pembangunan infrastruktur dan sebagai salah satu bentuk kerjasama sektor pemerintah dengan swasta maupun antara swasta dengan swasta yang banyak dipraktekkan di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia. Konsep perjanjian BOT menurut Clifford W. Garstang, adalah :5 Variety of type of project financing known as contractor provided financing. In the standard contractor provided financing. A project entity may request proposals for construction of a project pursuant to which the contractor will not only provided the materials and services needed to complete the project but will also provideorat least arrange-the necessary financing. In the Build Operate and Transfer (BOT) variety the contract for provided financing, the contractor will also need to operate the project and use its cash flows to repay the debt it has in curred. Perjanjian Build Operate and Transfer (Build Operate and Transfer) adalah : suatu perjanjian baru, dalam arti peraturan perundang-undangan secara khusus tidak mengatur masalah ini, dimana pemilik hak eksklusif atau pemilik lahan menyerahkan studi kelayakan, pengadaan barang dan peralatan, pembangunan serta pengoperasian hasil pembangunannya kepada investor, dan investor ini dalam jangka waktu tertentu diberi hak mengopeasikan, memelihara serta mengambil manfaat ekonomi dari bangunan bersangkutan dengan maksud untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan investor dalam membangun proyek tersebut, kemudian setelah jangka waktu tersebut selesai bangunan beserta fasilitas yang melekat padanya diserahkan kepada pemilik hak eksklusif atau pemilik lahan. Yang dimaksud dengan pemilik hak eksklusif adalah pihak yang memiliki hak untuk mengoperasikan sesuatu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5
Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayan Proyek Insfratsuktur dengan Model BOT (Build Operate Transfer), Genta Press, Yogyakarta, h. 14. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
23
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Gambar 1 : Struktur Hukum Yang Berkaitan dengan Perjanjian Build Operate and Transfer KUH Perdata
Hukum Pemerintahan Daerah
Hukum Pertanahan
Hukum Perpajakan
Hukum Perjanjian BOT dalam Kegiatan Pariwisata
Hukum Pariwisata
Hukum Penanaman Modal
Hukum Perusahaan
Hukum Tata Ruang dan Hukum Lingkungan Hidup Hukum Perijinan
Berdasarkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan dapat ditemukan beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan sebagai landasan hukum oleh para pihak untuk membuat perjanjian Build Operate and Transfer di ini antara lain : a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu : Dalam pasal 1233 sampai dengan pasal 1403 KUH Perdata yang mengatur mengenai perjanjian pada umumnya. Dalam pasal 1548 sampai dengan pasal 1600 KUH perdata yang mengatur mengenai perjanjian sewa menyewa. b. Peraturan Perundang-undangan yang menjadi landasan hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Perusahaan Daerah yaitu : Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Inpres No. 5 Tahun 1988 tentang Pedoman Penyehatan dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983, yang telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO). Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM). Keputusan Menteri Keuangan RI No. 740/KMK.00/1989, tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1989 tentang Bentuk-bentuk Penyertaan Modal Daerah pada swasta Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Bentuk-bentuk Kerjasama yang dapat Dilaksanakan Antara Perusahaan Daerah dan Swasta. c. Peraturan Perundang-undangan di bidang Investasi (Penanaman Modal) Undang-undang No. 1 Tahun 1967 yang telah diperbaharui dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2007, 24 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Fungsi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer (Bot) dalam Melindungi Pembangunan Pariwisata Bali
d.
e.
f. g.
h.
i.
tentang Penanaman Modal Peraturan Pemerintah RI No. 83 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1991 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam rangka PMA. Peraturan Perundang-undangan di bidang Pertanahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya seperti : Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. Peraturan Presiden RI Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Peraturan Perundang-undangan di bidang Perpajakan Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Undang-undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Kepmen. Keuangan No. 248/KMK-04/1995 tanggal 2 Juni 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-pihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Build Operate and Transfer (Build Operate and Transfer). Undang-undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Undang-undang Lingkungan Hidup Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang perkembangan dan pengelolaan lingkungan hidup. Undang-undang Tata Ruang Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara tahun 2007 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4725). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dala Penataan Ruang. Undang-undang Pemerintah Daerah Undang-undang No. 32 tahun 2004 jo. No. 12 tahun 2008. PP. No. 45 tahun 2008, PP. No. 27 tahun 2009, Peraturan Kepala BKPM No. 12 tahun 2009.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
25
KERTHA PATRIKA 2.
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Konstruksi Sistem Transaksi dalam Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT)
Adapun tahapan-tahapan proses pemanfaatan kontrak BOT dalam kegiatan bisnis pariwisata yang dilakukan tersebut adalah : (1) Tahap Pra Kontrak meliputi : (i) Negosiasi Negosiasi ini merupakan. proses upaya untuk mencapai kesepakatan diantara pihak investor dan pihak pemilik lahan. Dalam tahap negosiasi inilah proses tawarmenawar berlangsung. Selama negosiasi berlangsung banyak informasi penting yang perlu dicatat atau didokumentasikan. (ii) Desain Proyek Untuk mendesain suatu proyek dengan sistem perjanjian Build Operate and Transfer sangat erat kaitannya dengan alternatif yang tersedia, seperti pertimbangan khusus mengenai keuntungan dan kerugian yang akan dihadapi atas investasi yang dilakukan, kepentingan para pihak, kepentingan penyandang dana, serta keterlibatan pemerintah dalam proyek investasi bersangkutan. Sebagai contoh apabila pembebanan atas lahan untuk keperluan pembangunan proyek hotel atas tanah pemerintah daerah selaku pernegang hak eksklusif akan membawa pengaruh yang berbeda dalam penentuan. pelaksanaan perjanjian. Ada atau tidaknya jaminan pemerintah daerah dalam investasi proyek-proyek tertentu akan membawa akibat yang berbeda dalam mendesain dan melaksanakan proyek-proyek tersebut. Demikian pula ada atau tidaknya unsur dana dari luar negeri juga akan membawa pengaruh bagaimana proyek bersangkutan akan dilaksanakan. (iii) Studi kelayakan (feasibility study) Hal ini dilakukan untuk melihat tingkat kelayanan dan prospek dari perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) yang akan dilaksanakan dari berbagai sudut pandang yang diperlukan (misalnya : ekonomi, keuangan, pernasaran, teknik, lingkungan sosial budaya dan hukum). Hasil dari studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan hal-hal yang telah dinegosiasikan sebelumnya. (2)
Tahap Kontrak (i) Persiapan Dokumen Tahap penyiapan draft clokumen yang tepat dan baik sangat terkait dengan alternatif yang diambil dalam pelaksanaan suatu proyek pembangunan. Proyek-proyek pembagunan dengan sistem pemanfaatan tanah model Build Operate and Transfer di Bali, biasanya menggunakan model dokumen yang sederhana dalam bentuk “Perjanjian Sewa Menyewa”, “Perjanjian Sewa Menyewa Tanah” dan “Perjanjian Pemakaian Tanah”. Dari sumber bahan hukum yang diperoleh dan dikaji tidak ada yang sama, padahal unsur-unsur perjanjian Build Operate and Transfer telah dipenuhi. Hal ini dijumpai antara lain dalam perjanjian kerjasama pengusahaan tanah Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Dalam dokumen perjanjian kerjasama tersebut dengan sistem Build Operate and Transfer di Bali, tampak didalamnya dimana konstruksi perjanjian terdiri dari : tujuan perjanjian, ruang lingkup perjanjian, pemanfaatan, jangka waktu, beban pajak,
26 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Fungsi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer (Bot) dalam Melindungi Pembangunan Pariwisata Bali
(ii)
(3)
pembayaran kompensasi, jaminan pihak pemilik lahan, kewajiban pihak investor, permohonan hak guna bangunan, berakhirnya perjanjian, perubahan perjanjian, pembiayaan dan domilisi. Penandatanganan Dokumen Penandatanganan perjanjian dilakukan oleh para pihak di tempat yang telah ditentukan dan disepakati. Misalnya dihadapan notaris dan sebagainya. Apabila perjanjian (kontrak) sudah ditandatangani berarti penyusunannya sudah selesai maka selanjutnya tinggal pelaksanaannya.
Tahap Pasca Kontrak (i) Pelaksanaan Perjanjian Kenyataan menunjukkan bahwa lebih mudah membuat dan menandatangani perjanjian daripada melaksanakan perjanjian tersebut. Dalam setiap perjanjian dapat diatur sanksi bagi tiap-tiap pelanggaran kesepakatan dalam perjanjian, namun pelaksanaannya tetap tergantung dari itikad baik para pihak yang melaksanakan perjanjian. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) telah menetapkan sanksi apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian, akan tetapi jika pihak yang melakukan prestasi tidak bersedia menyelesaikannya secara musyawarah, maka salah satu pihak dapat menuntut pemenuhan perjanjiannya. Hal-hal khusus yang harus dilakukan dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama / sewa menyewa model Build Operate and Transfer ini meliputi : (a) Status Perusahaan Investor asing / domestik yang akan melakukan kerjasama / sewa menyewa dengan sistem Build Operate and Transfer ini terutama untuk pembangunan proyek pemerintah harus membentuk suatu perusahaan. Perusahaan mana harus didirikan menurut hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. (b) Bidang Usaha Bidang usaha dan ruang lingkup usaha dari perusahaan tersebut akan ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan dan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Perusahaan. (c) Kepemilikan Disyaratkan bahwa proyek kerjasama dengan model perjanjian Build Operate and Tansfer itu merupakan proyek suatu orang perseorangan maupun badan usaha, jika dilakukan oleh kementerian, maka hasil pembangunan proyek akan dimiliki oleh pemerintah. Sedangkan terhadap perusahaan investor akan diberikan hak untuk mengelola dan mengoperasikan atas hasil pembangunan yang bersangkutan. Dan jika yang memiliki proyek adalah swasta, (pribadi) demikian pula kontraktor swasta, maka hasilnya menjadi milik swasta, sebagai pihak dalam perjanjian yang bersangkutan. (d) Izin-izin (i) Setiap investasi akan dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
27
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
(ii)
(e)
(f)
(g)
(h)
28 •
Jangka waktu “operating permint” akan ditetapkan dengan mempertimbangkan investasi yang dibuat. Masalah Perburuhan (i) Perusahaan investor harus mempekerjakan tenaga kerja lokal jumlah lebih besar; (ii) Tenaga kerja asing diizinkan dengan persetujuan Depnaker dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPPM); (iii) Tenaga kerja asing yang bersangkutan pada saatnya akan digantikan oleh tenaga kerja Indonesia yang dididik untuk itu. Perpajakan Dalam melakukan pembangunan ataupun pengoperasian bangunan yang dibiayai dengan mmodel perjanjian Build Operate and Transfer, maka akan terkena pajak sebagai pemasukan negara. Adapun pengenaan pajak tersebut, apakah pada waktu membangun ataupun pada waktu pengoperasionalan bangunannya, berdasarkan atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Peraturan Pelaksanaannya, dan Undang-Undang No. 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta Peraturan Pelaksanaannya. Masalah Pertanahan Untuk metaksanakan perjanjian kerjasama investasi dengan sistem Build Operate and Transfer ini berkaitan erat dengan penguasaan hak atas tanah untuk pembangunan proyek yang bersangkutan guna mengantisipasi masalah ini maka para pihak harus memahami peraturan Perundang-undangan di bidang Pertanahan seperti Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (BP) atas Tanah. Dimana prinsip-prinsip dasar yang berkenaan dengan pengaturan Hak Guna Usaha (HGU); Hak Guna Bangun (HGB) dan Hak Pakai (HP) yang merupakan pengaturan tentang penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah. Secara umum Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) ini, mengatur beberapa hal yang terbagi dalam ketentuan umum dan substansi pokok yang masing-masing terdiri dari delapan bagian yaitu : Subyek hak (atas tanah); Jenis / macam tanah yang dapat diberikan dengan HGU/HGB/BP; Terjadinya hak; Kewajiban dan hak-hak pemegang hak, Pembebanan; Peralihan hak; dan Hapusnya hak. Masalah Kontrak Konsesi Kontrak konsesi ini merupakan kontrak untuk membangun serta
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Fungsi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer (Bot) dalam Melindungi Pembangunan Pariwisata Bali
pengoperasiannya sekaligus juga penerimaan / pendapatan dari investasi yang telah dilakukan oleh investor dalam jangka waktu tertentu (disebut jangka waktu konsesi) atau kontrak yang berisikan tentang hak investor untuk mengoperasikan, memelihara serta untuk mengambil manfaat ekonomi guna menutup (mengganti) biaya pembangunan yang bersangkutan dan memperoleh keuntungan yang diharapkan. Adapun hal-hal yang termuat dalam kontrak konsesi tersebut antara lain : Penyataan yang jelas mengenai hak konsesi yang ekskusif seperti halnya kontrak BOT pada umumnya, seringkali berkaitan dengan masalah monopoli dalam pengelolaan atau pengoperasiannya serta tidak jarang keuntungan pengoperasian proyek dengan Sistem Build Operate and Transfer (BOT) ini hanya dapat diraih dengan pemberian monopoli, namun demikian tidak semuanya melibatkan monopoli didalamnya, sehingga apabila manfkat ekonomi proyek tersebut tergantung pada segi-segi monopoli tersebut, maka pemilik hak eksklusif / pemilik lahan, harus memberikan hak eksklusif di dalam kontrak konsesi ini. Lingkup proyek, jangka waktu terpendek dari pengoperasian serta kemungkinan perpanjangan Dalam kontrak konsesi ini dijelaskan tentang apa-apa yang dibutuhkan oleh investor, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dan yang paling penting adalah untuk berapa lama pengelolaan diberikan atau berapa lama waktu yang dibutuhkan investor / pengelola untuk mengembalikan sernua investasi serta biaya yang telah dikeluarkan. Komitmen dukungan pemerintah; Komitmen dukungan pemerintah dibutuhkan apabila kontrak Build Operate and Transfer (BOT) diadakan antara, pemerintah dengan investor (swasta). Dalam pelaksanaannya akan memerlukan berbagai macam bantuan dari pemerintah, sehingga dalam kontrak konsesi harus dijelaskan bentuk dukungan, bentuk pernberian jaminan, peraturan perundang-undangan, perkecualian atas perubahan pemerintahan atau bentuk bantuan lain yang hanya dapat diberikan oleh pernerintah. Aspek keuangan, supply dana, pertukaran mata uang asing dan pajak keuntungan yang diterima dari pengoperasian pembangunan proyek bersangkutan. Pengalihan pada operator lain; Pemilik hak eksklusif / pemilik lahan dalam kondisi khusus berharap dapat menunjuk pengganti operator lain atau mengambil alih operasional jika operator semula tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka secara tegas dicantumkan dalam kontrak konsesi. Hak atas property Hak atas property ini dimaksudkan hal selama kontrak berlangsung dan pada akhir masa konsesi untuk dialihkan kepada pemerintah / pemilik lahan.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
29
KERTHA PATRIKA (ii)
3.
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Penyelesaian Sengketa Apabila terjadi sengketa berkaitan dengan pelaksanaan kontrak tersebut, maka para pihak dapat memilih untuk menyelesaikan diluar pengadilan atau membawanya ke depan pengadilan. Para pihak dalam perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) atas dasar kesepakatan bebas untuk memilih cara penyelesaian yang ingin ditempuh karena hubungan kontrak merupakan hubungan keperdataan yang bersifat kepentingan pribadi.
Konstruksi Hukum dan Pemanfaatan Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT)
Berdasarkan temuan di lapangan, penelitian terlihat konstruksi Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) yang umumnya dilakukan oleh departemen (BUMN) maupun pemerintah daerah dan pemilik lahan selaku pemegang hak atas tanah dalam kerjasama dengan model Build Operate and Transfer, biasanya mengatur antara lain hal-hal sebagai berikut : Bab I Ketentuan umum, yang berisi mengenai pengertian (terminologi) dan para pihak. Bab II Ketentuan pelaksanaan umum, yang berisi mengenai lingkup pekerjaan, biaya pembangunan, syarat pelaksanaan pernbangunan, uji terima, kewajiban para pihak, asuransi, pengawas pelaksana, laporan, izin-izin, dokumentasi, keselamatan kerja, gudang dan pos kerja, kerusakan dan kerugian. Bab III Ketentuan Pengoperasian dan Bagi Hasil, yang berisi mengenai pengoperasian, pelaksanaan pernasaran, pernbagian penclapatan, tarif, asset dan penyerahan hak. Bab IV Ketentuan lain, yang berisi mengenai jaminan investor, jaminan departemen yang bersangkutan, force majeur, pemutusan perjanjian, domisili, penyelesaian perselisihan, lampiran, amandemen, forum konsultasi, perjanjian tambahan dan penutup. Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT), sebagai perikatan yang lahir dari hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah atau pemegang hak eksklusif atas tanah dengan investor untuk tujuan memperoleh keuntungan yang diharapkan. Berdasarkan hasil penelitian melibatkan para pihak yaitu : (1)
(2)
30 •
Pihak pertama dapat terdiri dari : a. Pemilik tanah strategis (Swasta) yaitu pihak yang menyediakan tanah yang letaknya strategis pada jalur perekonomian ataupun letaknya sangat mungkin diambil manfaat ekonominya secara besar; b. Pihak pemegang / pemilik hak eksklusif (umumnya pemerintah) yaitu suatu badan hukum pemerintah yang berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan memiliki hak untuk menjalankan suatu usaha tertentu. Misalnya Pemerintah Daerah dan BUMDnya, Departemen dan BUMN, yang memiliki hak untuk mengelola satu unit usaha. Oleh karena hak kelola tersebut dimiliki atau diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka hak itu dinamakan hak ekslusif Pihak Kedua Yang dimaksud pihak kedua dalam perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) ini adalah investor atau penyandang dana yang menanamkan modal atau dananya untuk membangun proyek yang dibiayai dengan. sistem Build Operate and Transfer (BOT), yang dalam hal JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Fungsi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer (Bot) dalam Melindungi Pembangunan Pariwisata Bali
ini bisa perorangan, suatu badan usaha yang berbadan hukum maupun badan usaha yang bukan badan hukum atau dapat pula suatu kumpulan. yang menyedialcan dananya untuk membiayai pembangunan proyek dengan sistem Build Operate and Transfer (BOT). Gambar 3 : Pihak-pihak Dalam (BOT)
Perjanjian Kerjasama Build Operate and Transfer
Pemerintah Pusat / BUMN Pemerintah Perjanjian Kerjasama Build Operate and Transfer (BOT)
Perorangan Pemerintah Daerah / BUMD Perseorangan
Investor / Penyandang Dana
Badan Usaha
Swasta Kelompok Masyarakat
Kerjasama investasi melalui perjanjian Build Operate and Transfer (BOT), disamping dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan bidang ekonomi, juga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pembangunan non-ekonomi yang pada prinsipnya meliputi : a. Pemanfaatan lahan-lahan terlantar Penelantaran tanah sebagai akibat terbatasnya anggaran pembiayaan sering terjadi, baik tanah-tanah sebagai aset / modal pemerintah daerah (Pemda) yang menguasai tanah dengan hak pakai, hak pengelolaan atau sebagai pemmegang hak eksklusif maupun tanah-tanah hak milik yang dikuasai oleh swasta. Akibat penelantaran tanah ini telah banyak terjadi pemanfaatan oleh penggarap-penggarap liar yang pada, akhimya akan menimbulkan sengketa-sengketa tanah baik antara sesama penggarap, antara penggarap dengan pemilik swasta maupun pemerintah. Dari kondisi tersebut kiranya, menetralisir pemanfaatan lahan secara efektif dan efisien dapat dilakukan dengan cara mengundang investor untuk kerjasama dalam memanfaatkan lahan-lahan melalui perjanjian Bangun Guna, Serah (BOT) karena kerjasama pembangunan dengan cara (BOT) dapat dilakukan tanpa ada pengalihan hak atas tanah. Pihak investor dalam jangka waktu yang diperjanjikan mendapat kesempatan untuk memperoleh kembali dana yang diinvestasikan dan mendapatkan keuntungan selama masa konsesi dan masa enjoyment. b. Pemanfaatan lahan sebagai upaya mengurangi eksploitasi lahan yang berimplikasi pada struktur kependudukan dan pembangunan budaya daerah. Dimana pemanfaatan kerjasama investasi melalui perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) sebagaimana telah diuraikan diatas, tidak mengubah status tanah, tidak mengalihkan hak atas tanah dan yang terjadi hanya pengelolaan tanahnya saja. Sehingga pembangunan budaya pada masyarakat dapat dilakukan secara berkelanjutan. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
31
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Pemanfaatan Administratif Pembangunan Tata Ruang Daerah / Kota Hal ini terlihat dari pengadaan studi kelayakan terhadap suatu proyek dalam perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) dilakukan oleh pihak investor sehingga pemerintah tidak harus mengadakan studi kelayakan lagi disamping biaya dan resiko ada pada pihak lain yaitu investor serta dari segi mutunya pun dapat diandalkan. 4.
Fungsi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT)
Fungsi hukum dapat diartikan sebagai aspek dinamis atau aspek operasioanl dari sistem hukum dan sebagai pengertian teknis dari istilah “Funitional” dalam penamaan teori hukum fungsional (Fuctional Theory of Law). Fungsi dalam istilah hukum fungsional merupakan istilah yang menunjuk pada pengertian bekerja atau belum bekerjanya suatu norma hukum untuk mewujudkan tujuan hukum.6 Menurut Rescoe Pound proses yuridis tidak mampu memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah konkrit yang timbul di dalam masyarakat secara tepat. Bagi Rescoe Pound hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak atau merupakan suatu tertib hukum saja, tetapi hukum juga merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan selain itu hukum juga merupakan sarana untuk menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan semaksimal mungkin, dengan menimbulkan pergeseran seminimal mungkin. Lebih lanjut Roscoe Pound mengemukakan konsepsi social engineering, dimana disebutkan bahwa fungsi hukum adalah melakukan social engineering di dalam masyarakat. Hukum menurut Pound adalah lembaga sosial untuk memenuhi kebutuhan sosial dengan menekankan sekecil mungkin pengorbanan pihak tertentu, sepanjang kebutuhan atau tentutan tersebut dapat dipenuhi dengan cara mengatur perilaku manusia melalui masyarakat yang terorganisir secara politis.7 Fungsi hukum dalam perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) dapat dimanfaatkan sebagai upaya dalam melidnungi, meningkatkan dan memperlancar pembangunan pariwisata Indonesia, khususnya bali oleh karena fungsi hukum perjanjian (kontrak) dapat meningkatkan efisiensi ekonomi. Dengan mendasarkan pada pendapat tersebut diatas maka dapat dikemukakan pentingnya mengkonstruksikan8 kontrak Build Operate and Transfer dalam pemanfaatan lahan-lahan strategis untuk melindungi para pihak. Dalam pemanfaatan perjanjian Build Operate and Transfer terdapat fungsi hukum sebagai sarana untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan, untuk menjamin pemenuhan kebutuhan para pihak dalam kontrak Build Operate and Transfer semaksimal mungkin dengan menimbulkan pergeseran seminimal mungkin, untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum serta sebagai sarana untuk pembaharuan masyarakat. Segagaimana pandangan yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa : Hukum itu tidak saja merupakan asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (Institutions) dan proses-proses (Processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan 6 7 8
Combridge International Dictionary of English, Cambridge University Press, London, 1995, h. 574 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy Law, Yale University Press, Transaktion Publishers, New Jersy, 1999, h. 12 Mochtar Kusumaatmadjo, Pembinaan Hukum dalam Kerangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1997, h. 11
32 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Fungsi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer (Bot) dalam Melindungi Pembangunan Pariwisata Bali
Berdasarkan konsep tersebut Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa fungsi hukum itu adalah sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian huku, serta sarana untuk pembaharuan masyarakat. III. PENUTUP 1.
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dalam pembahasan terhadap permasalahan yang dikemukakan maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: a. Pengaturan kerjasama usaha pariwisata dengan model Build Operate and Transfer dalam hukum Indonesia, masih tersebar didalam berbagai peraturan perundang-undangan yang masih bersifat umum, dipergunakan sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraannya, sehingga belum tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang perjanjian dengan model Build Operate and Transfer. Dengan demikian para pihak yang nengadakan perjanjian dengan model Build Operate and Transfer mengatur hubungan hukumnya melalui perjanjian yang disepakatinya. b. Konstruksi hukum perjanjian Build Operate and Transfer yang dapat melindungi pembangunan pariwisata adalah penyusunan perjanjian yang berasaskan pada keadilan dan kepastian hukum dimana asas-asas keadilan yang dipilih bersama-sama merupakan hasil kesepakatan bersama dan semua pihak bebas, rasional dan sederajat. Sehingga harus mengedepankan kesetaraan kedudukan dan hak, dengan demikian perjanjian model BOT ini akan terdiri dari perjanjian kerjasama pemanfaatan lahan dan perjanjian pengelolaan bangunan (konsesi) akibat dari pemanfaatan lahan tersebut, untuk dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. 2.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan tersebut di atas maka dapat disarankan halhal sebagai berikut : a. Pemerintah segera membentuk peraturan yang mengatur tentang perjanjian dan lebih mengkhusus lagi tentang BOT, mengingat belum ada yang mengatur secara khusus. b. Bagi para pihak yang akan memanfaatkan perjanjian model BOT dalam kegiatan usahanya, maka harus memahami substansi perjanjiannya secara komprehensif mengingat pelaksanaan perjanjiannya akan bersinergi dengan ketentuan-ketentuan lain, selain hukum perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir Muhamad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung. Andjar Pachta Wirana, Laporan Akhir Penelitian Tentang : Aspek Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT), BPHN, 1994 / 1995. Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayan Proyek Insfratsuktur dengan Model BOT (Build Operate Transfer), Genta Press, Yogyakarta. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
33
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Dewi Kasih, 2003, Perjanjian Build Operate and Transfer (Build Operate and Transfer) Sebagai Alternatif Kerjasama Investasi Bidang Pariwisata di Bali, Tesis, Univ. Diponegoro, Semarang. James Penner et.al (Editor), 2002, Introduction to Jurisprudence and Legal Theory (Comentary and Material), London, Butter Wroths. Munir Fuady, 1998, Kontrak Pembangunan Mega Proyek, Citra Aditya Bakti, Bandung. Poerwadarminta, W.J.S, 1989, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,, Surabaya, Peradaban. Raymond Wack, 1995, Jurisprudence, London, Blackstone Press Limited. Roberto and Porez, Suistainable Tourism : Emerging Global and Regional Regulation, Georgetown International Environment Law Review, ABI / Inform Research. Subekti R, 1992, Aneka Perjanjian, Cet. Kesembilan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Subekti R. & Tjitro Sudibio R. 1999, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Edisi Revisi, Pradnya Paramita, Jakarta. Satjipto Rahardjo, Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah, Masalahmasalah Hukum Nomor 1-6 Tahun X/10 : 70. Wardana, 2006, Pengaruh Lingkungan Budaya dan Strategi Pemasaran Terhadap Kinerja Pemasaran dan Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan di Provinsi Bali, Disertasi, Univ. Airlangga, Surabaya.
34 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
PELANGGARAN TERHADAP PERATURAN TENTANG TATA RUANG WILAYAH PROPINSI BALI PADA PEMBANGUNAN HOTEL DAN RESTAORAN DI KABUPATEN BADUNG Oleh: Ni Nyoman Sukeni Abstract The purposes of this research are to identify the violation, to find out the cause of the violation, and the solution that is benefit the government to improve the regulation, to inform the society which build in order to protect the environment. The activities in this research are: (1) Data collection, (2) Data analysis, and (3) Data presentation. Data collection was conducted by doing interview, survey, and documentation. The method used was qualitative analysis. The result of the research is that the violation occurs on the border in front of the building, the distance on the right, left, and back of the building, make a new building without permission, no building permit, the height of the building, and the architecture. The solutions for the violation are: by reprimanding, asking to get building permit, demolishing the building. Key words: Spatial, violation, solution.
I.
PENDAHULUAN
Bali dengan keindahan alam dan kekayaan seni budayanya berhasil menjadi salah satu tujuan wisata Indonesia. Sebagai tujuan wisata membawa resiko tersendiri. Seperti cepat mengalami perkembangan khususnya dalam pembangunan sarana pariwisata yang sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi Bali. Perkembangan pembangunan berdampak pada penggunaan tanah dalam pembangunan hotel dan restaoran. Tanah yang diperlukan yakni adalah yang letaknya strategis, memilliki pemandangan yang indah, bahkan ada yang terletak pada zona yang dilindungi. Selain itu tanah merupakan sumbar alam yang terbatas adanya dan tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu dalam pemanfaatan tanah untuk pembangunan diperlukan kebijaksanaan dan kehati-hatian dalam rangka menjaga lingkungan hidup agar dapat digunakan secara berkesinambungan oleh generasi mendatang dan lestari adanya. Untuk itu diperlukan suatu aturan dalam penggunaan ruang (tanah) agar dapat memberikan manfaat yang sebesarbasarnya tanpa merusak lingkungan. Misalnya merusak pemandangan dengan tidak teraturnya bangunan, merusak terumbu karang, apabila tidak diatur sempadan pantai, dan mencemari kawasan suci dan sebagainya. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu dalam pemanfaatanya, penatana, pengawasan dan pengendalian serta pemulihan lingkungan. Menurut Daud Silalahi, pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka pembangunan harus digunakan secara rasional yang dapat memberikan manfaat yang sebesar mungkin dengan tidak merugikan kepentingan generasi mendatang1. Artinya dalam pembanguan nditerapkan asas kelestarian bagi sumber alam tanpa merusak lingkungan. Oleh karena itu menuirut Gatot ,P,R,M Soemartono, dalam melasanakan npembangunan perlu perencanaan yang matang dan berwawasan lingkungan artinya supaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola 1
Daud Silalahi. 1992. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung : Alumni Kotak Pos 1282, Cetakan I, hal. 15
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
35
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
sumber daya alam secara bijaksana dalam pembangunan2. Dalam upaya mencapai tujuan di atas, pemerintah Propinsi Bali telah mengeluarkan Peraturan Tata Ruang yang terbaru yakni Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009, namun belum ada Peraturan Pelaksannannya. Peraturan sebelumnya adalah Undang-Undang Nomor 2 tahun 1974, Peraturan Daerah Kabupaten Badung, Undang-Undang Nomor 29 tahun 1995 tentang Tata Ruang Pemerintah Propinsi Bali, Bisama Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Thun 1994 dan Peraturan Mentri Pariwisata, Pos dan Telekumunikasi Nomor KM 94/HK.130/ MPTT-87. Selain peraturan di atas, juga diperlukan ijin prinsip dalam pembangunan sarana pariwisata (hotel dan restoran) yang dikeluarkan oleh pemerintah Pusat dalam hal menyertakan modal asing. Apabila tidak menyertakan modal asing dan ijin prinsip dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Walaupun telah diberlakukan beberapa peraturan tentang tata ruang dalam pembangunan sarana pariwisata khususnua hotel dan restoran, namun dalam penerapan peraturan tersebut terjadi beberapa pelanggaran. Hal ini terlihat dari laporan hasil Seksi Pengawasan Bangunan Dinas Cipta Karya tahun 2009. Pelanggaran yang terjadi seperti: tidak adanya jarak bangunan, tidak mempunyai IMB, penambahan bangunan tanpa ijin, tinggi bangunan, arsitektur, sepadan jalan dan lainnya. Sedangkan penyelesaian pelanggaran terhadap peraturan tata ruang hanya diselesaikan dengan memanggil yang berangkutan untuk ditegur tentang kesalahannya, disuruh mengurus ijin bagi yang belum mempunyai ijin, dan membongkar bangunan bagi yang melanggar tinggi bangunan. Berdasarkan latarbelakang di atas, maka perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan merumuskan beberapa masalah seperti: faktor-faktor apakah yang mendorong terjadinya pelanggaran, jenis pelanggaran apakah yang terjadi dalam penerapan peraturan tata ruang pada pembangunan hotel dan restoran, dan upaya-upaya apakah yang ditempuh dalam penyelesaian pelanggaran yang terjadi. Peneitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi pelanggaran yang terjadi, mengetahui faktor-faktor pendorong terjadinya pelanggaran, serta ingin mengetahui upaya–upaya yang ditempuh dalam penyelesaiannya .Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Untuk mengumpulan data lapangan (primer) digunakanteknik wawancara, sedangkan untuk mengumpulkan data kepustakaan (skunder) digunakan metode dokumen. Analisa data adalah kualitatif dan disajikan secara deskriptif analitis. II.
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Hukum Lingkungan
Pengelolaan lingkungan sudah dilaksanakan dengan hati-hati dengan menerapkan beberapa peraturan dan kebijaksaan. Hal ini dilakukan karena adanya kekhawatiran akan rusaknya lingkungan dan makin berkurang sumber daya alam sehingga tidak dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Selain itu permasalahan lingkungan bukan merupakan masalah negara yang bersangkutan saja, melainkan pihak-pihak negara luar pun turut campur dalam permasalah tersebut. Hal ini menunjukan kepedulian dunai terhadap lingkungan sangat besar, lebih-lebih lagi dalam era pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Deploment) yang memang memerlukan perhitungan yang cermat akan adanya daya dukung dan kesinambungan 2
Gatot, P, R.M Soemartono. 1996. Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 199.
36 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pelanggaran Terhadap Peraturan tentang Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali pada Pembangunan Hotel dan Restoran di Kabupaten Badung
ketersediaan sumber alam. Pembangunan dan permasalahan lingkungan merupakan dua hal yang selalu berimpitan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, terkadang sangat sulit menentukan pilihan antara pembangunan dan pelestariaan lingkungan seperti yang dinyatakan oleh Pangeran Hamlet dari Denmark; “to grow or not grow that is the question”3 Hal ini tidak dapat disangkal, bahwa bangsa-bangsa di dunia dihadapkan pada suatu pilihan antara dua alternatif yaitu membangun dan berkembang terus dengan menghadapi kemungkinan menjadi punah atau berhenti ditempat (Stagnant) dengan segala kemiskinan yang disebabkan oleh tidak adanya perkembangan (pembangunan). Permasalahan lingkungan justru hadir dan bermunculan dalam era pembangunan yang disebabkan oleh penggunaan sumber daya alam yang sebakin besar dengan intensitas tinggi. Selain itu permasalah lingkungan bukan semata-mata persoalan lingkungan ansich, melainkan telah merambah ke sisi lain yang lebih luas yaitu; politik, di mana Indonesia pernah dituduh oleh negara-negara maju serta organisasi internasional yang bergerak di bidang lingkungan sebagai negara yang tidak peduli akan kelestarian lingkungan hutan tropis atau telah merusak lingkungan hutan tropis yang sebenarnya mereka tidak mengetahui secara persis tentang kebijakan pemerintah yang cukup berhati-hati dalam pemberian ijin HAK Pengusaha Hutan (HPH) dengan ketentuan tebang pilih. Hal ini dilakukan oleh negara-negara maju sebagai pertimbangan dalam pemberian bantuan kepada negara berkembang4. Kebijakan pembangunan sejak Orde baru berwatak kapitalis dengan kemasan pembangunan 25 tahun sangat menguasai alam pikiran penggagas pembangunan Indonesia. Akibanya penguasaan Negara terhadap bumi air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang menjadi amanat konstitusi mengalami distorsi dalam pemaknaannya5. Selain itu pengelolaan atas bumi erat diartikan adanya hak penuh dari Negara mengizin kan kapitalis mengeksploitasi semua sumber alam dan lingkungan yang ada di Indonesia. Hal ini tidak lenyap begitu saja namun masih mempengaruhi pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan tanah dalam pembangunan sarana pariwisata banyak yang dimiliki oleh non pribumi yang mendapat perlakuan lebih tidak terkecuali di Bali. Untuk memberikan definisi hukum lingkungan ternyata tidak mudah, seperti yang dinyatakan oleh Mac Andrews dan Chia Lin Sien “The Nature of environmental law is such that the subyect defies precise detitation. As simple working definition. We might say that environmental law is the set of legal rules addressed specically to activities wichpotentally affect the quality of the environment, whether natural or man made. But it will immediately apparent that even such general definition raises wich insome cases, call for the drawing of essientially abrittatary lines”6 Luasnya cakupan materi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan seperti bidang hukum lingkungan administrativ, hukum lingkungan keperdataan, dan hukum lingkungan kepidanaan. Hukum lingkungan yang dikemukakan oleh Drupsteen terdiri dari Hukum Lingkungan Pemerintahan, (Bestuursrechtelijk milierech), hukum lingkungan Ketetanegaraan (Staatrechtelijk milierecht), hukum lingkungan kepidanaan (Strafrechtelijk milierecht), dan hukum lingkungan keperdataan (Privaatrechtelijk milierecht). Sedangkan hukum lingkungan 3 4 5 6
Zeni, M.T, 1985 Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta: Gramedia 1985, hal. 1 Wairocana. 1994. Peranan Hukum Lingkungan dan Kebijakan Dalam Pengelolaan Lingkungan, hal. 146 Wiyasa Putra, Ida Bagus dkk. 2003. Hukum Bisnis Pariwisata. Bandung : P.T Refika Aditama, Cetakan I, hal. 50. Siti, Sundari Rangkuti. 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya : Airlangga University Press, Edisi Ketiga, hal. 286 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
37
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
pemerintahan dibagi menjadi hukum kesehatan lingkungan, hukum perlindungan lingkungan dan hukum tata ruang7. Namun dalam kenyataan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu pengaturan masalah lingkungan bagian terbesar merupakan hukum pemerintah. Secara nasional Tata Ruang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dengan Peraturan Pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Tata Ruang Wilayah Nasional. Sesuai dengan hakekat negara kesatuan hanya ada satu pemerintah Pusat. Menurut pasal 18 Undang-Undang –Undang Dasar Tahun 1945 negara dibagi menjadi daerah besar dan kecil dengan bentuk pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Pemerintah daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi yang kemudian dikenal dengan istilah daerah otonomi.Oleh karena itu penyebutan pemerintah daerah selalu Propinsi Tingkat I dan Kabupaten Tingkat II. Ini berarti Gubernur mempunyai dua fungsi yakni sebagai kepala wilayah pemerintah pusat di daerah dan sebagai kepala daerah Tingkat I. Kedua fungsi ini memberikan kedudukan dan peranan masing-masing dalam pelaksanaan pemerintah di daerah. Sebagai kepala Wilayah memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas pemerintah di daerah, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Oleh karena itu prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah yang menyangkut segi-segi pembiayaan. Berdasarkan uraian di atas, maka pengaturan tata ruang dan pembinaannya diatur dengan peraturan daerah, maka secara teknis penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang diintegrasikan dengan nilai-nilai kearifan lokal Bali terkait dengan penataan ruang.yang sekurang-kurangnya harus memuat : a. Tujuan, kebijakan, dan straregi penataan ruang wilaya propinsi; b. Rencana struktur ruang wilayah propinsi, meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan pedesaan dalam wilayah pelayanannya; c. Rencana tata ruang wilayah propinsi Bali meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis. Tata Ruang Bali mencakup keterkaitan dan keserasian tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara serta alokasi sumber daya melalui koordinasi dan upaya penyelesaian konflik antar kepentingan. Oleh karena itu RTRW Bali merupakan penjabaran tata ruang nasional dan sebagai payung terhadap tata ruang kabupaten dan kota. Badung sebagai salah satu kabupaten di Bali sampai saat ini masih mengacu pada peraturan tata ruang seblumnya yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1974 dan Peraturan Daerah Kabupaten nomor 29 tahun 1995, karena Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 belum dapat diterapkan karena belum ada peraturan pelaksanaannya, sehingga belum dapat diterapkan dalam pengelolaan lingkungan khususnya tata ruang dalam pembangunan hotel dan restoran.
2.2. Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Pelanggaran Terhadap Tata Ruang 7
Koesnadi Hardjasoemantri. 1990. Hukum Tata Lingkungan Edisi Kelima, Cetakan Kedua, hal. 15
38 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pelanggaran Terhadap Peraturan tentang Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali pada Pembangunan Hotel dan Restoran di Kabupaten Badung
Setiap perbuatan tidak dapat dipungkiri pasti ada penyebab atau faktor yang mendorong terjadinya perbuatan tersebut. Seperti halnya terjadinya pelanggaran terhadap peraturan tata ruang dalam pembangunan hotel dan restaoran di kabupaten Badung. Berdasarkan hasil penelitian, maka ditemukan beberapa hal yang mendorong terjadinya pelanggaran. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut. a. Faktor Sosialisasi Undang-Undang Sosialisasi Undang-Undang selama ini diumumkan melalui Edaran. Hal ini sangat kecil kemungkinan untuk dibaca oleh masyarakat luas. Oleh karena itu masyarakat banyak yang tidak tahu adanya undang-undang yang berlaku baginya termasuk Peraturan Daerah karena diundangkan melalui edaran daerah. Cara ini memang wajar dilakukan atau tidak salah, karena tidak mungkin pemerintah mendatangi satu persatu penduduk untuk memberi tahukan bahwa ada undang-undang baru yang berlaku. Cara ini menurut Mochtar Kusumaatmadja disebut teori “fiksi” (anggapan) artinya bahwa dengan dimuat dalam edaran dianggap semua anggota masyarakat sudah mengetahui dan paham terhadap undang-undang yang diberlakukan8. Oleh karena itu masyarakat tidak dapat mengatakan tidak mengetahui ada peraturan yang berlaku apabila melanggar. b. Faktor Penyuluhan Penyuluhan adalah suatu upaya untuk menindaklanjuti penyampaian peraturan kepada masyarakat secara langsung bertatap muka untuk menyampaikan adanya undang-undang yang berlaku dan memberikan keterangan sebagai media untuk membahas dengan adanya kesempatan tanya jawab antara masyarakat dan penyuluh dalam hal ini pihak pemerintah sehingga undang-undang yang diterapkan lebih dipahami sehingga ada kemungkinan untuk ditaati dan dapat meminimalkan terjadinya pelanggaran. Namun hal ini tidak dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Badung, sehingga masyarakat yang tidak rajin membaca tidak mengetahui adanya undang-undang yang berlaku, karena penyampaian undang-undang hanya sampai pada kepala desa /lurah.Oleh karena itu masyarakat banyak yang tidak tahu adanya peraturan tata ruang yang berlaku, sehingga banyak terjadi pelanggaran. c. Faktor Budaya Hukum Masyarakat Budaya hukum menurut Hilman Adikusuma adalah sikap menolak atau menerima terhadap peraturan yang berlaku terhadap suatu pristiwa hukum. Sikap dan prilaku manusia terhadap masalah hukum dan pristiwa hukum terbawa ke dalam masyarakat9. Oleh karena itu apabila masyarakat bersikap menolak aturan tata ruang yang berlaku, maka akan terjadilah pelanggaran seperti yang terjadi di Kabupaten Badung banyaknya bangunan yang belum berijin dan sudah beroperasi. Hal ini menunjukan adanya penolak terhadap peraturan tata ruang. d. Faktor Kesadaran Hukum Kurangnya kesadaran hukum masyarakat juga merupakan pendorong terjadinya pelanggaran. Seperti banyaknya bangunan yang sudah dibangun, bahkan sudah beroperasi namun belum memiliki ijin membangun. Pada hal itu merupakan persyaratan yang harus dipenuhi apabila ingin membangun selain syarat lainnya seperti ijijn prinsip. Disamping itu pengurusan ijin sekarang tidak lama dan tidak sukar, karena adanya program peningkatan 8 9
Mohtar Kusumaatmadja. 1985. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. Bandung : Bina Cipta. Hilman. 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung Alumni. Hal. 52 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
39
KERTHA PATRIKA
e.
f.
2.3
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
kinerja pegawai negeri. Dalam kenyataan prosedur pengurusan ijin sudah dipermudah. Hal ini menunjukan kurangnya kesadaran hukum masyarakat sebagai pendorong terjadinya pelanggaran peraturan tata ruang dalam pembangunan hotel dan restoran. Faktor Pengawasan Pengawasan terhadap pelaksanaan hukum merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh pemerintah agar hukum dilaksanakan secara maksimal. Pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang di Kabupaten Badung dilaksanakan oleh Kasie Pengawasan Cipta Karya. Mereka melakukan pengecekan hampir setiap hari kerja untuk mendata bangunan yang belum mempunyai ijin, melanggar lainnya seperti sempadan, arsitektur dan lainnya. Mengadakan patroli dengan membawa ijin yang sudah dikeluarkan dan mencocokan dengan bangunan yang ada. Selain itu mengecek bangunan yang dicurigai tidak memiliki ijin atau yang menyalah gunakan ijin seperti menambah bangunan tidak sesuai dengan ijin Mereka juga menerima laporan dari masyarakat yang mengetahui adanya pelanggaran dalam pembangunan khususnya mereka yang berkeberatan adanya bangunan yang merugikannya. Walaupun telah dilakukan pengawasa secara rutin dan menemukan beberapa pelanggaran, namun hal ini tidak dapat dilakukan secara maksimal, karena personilmya sedikit, sehingga tidak menjangkau wilayah yang begitu luas. Sedangkan penentuan bangunan yang akan diawasi dilakukan dengan sistem acak mengenai lokasi yang akan diperiksa. Hal ini tentunya masih banyak pelanggaran yang belum terungkap dan merupakan peluang empuk bagi pelanggar untuk melakukan pelanggaran. Faktor Penegakan Hukum Penegakan hukum sebagai usaha menerapkan hukum baik dalam arti sempit maupun dalam arti yang luas. Dalam arti sempit penegakan hanya dilakukan oleh polisi. Sedangkan dalam arti luas, adalah menjalanlan hukum oleh alat-alat pelengkap negara yaitu: kepolisian, kejaksaan, dan hakim. Dalam arti yang lebih luas penegakan hukum adalah tugas dari pembentuk undang-undang, pengacara, lembaga masyarakat, aparat eksekusi, dan setiap orang yang bersangkutan dengan proses berjalannya hukum. Namun penegakan hukum tata ruang di Kabupaten Badung dilakukan oleh Kasie Pengawasan dengan memanggil pelanggar dan menegur mengenai pelnggaran yang dilakukan, menyuruh mengurus ijin, dan memperbaiki bangunan yang dilanggar. Dalam penerapan sanksi hampir tiak ada merugikan pelanggar dengan alasan, mereka masih diperlukan dalam pembangunan ekonomi masyarakat dan hampir tidak ada yang ditutup, dibongkar diadili sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini mendorong terjadinya pelanggan karena sanksinya tergolong ringan, sehingga mereka tidak takut melakukan pelenggaran. Jenis-Jenis Pelanggaran Yang Terjadi
Pelanggaran dalam hal ini adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang atau badan hukum dalam menggunakan ruang tidak sesuai dengan peraturan tata ruang yang berlaku. Adapun pelanggaran yang terjadi di Kabupaten Badung dalam dua tahun terakhir pada pembangunan hotel dan restaoran sejumlah 29 buah. Sedangkan jenis pelanggaran adalah sebagai berikut. a. Pelanggaran terhadap jarak bangunan satu dengan lainnya seperti yang terjadi pada bangunan hotel Melati yang terletak di Jalan Seminyak Kuta ditemukan pada tanggal 31 Januari Tahun 2010, dimana tidak ada jarak kana, kiri dan belakang bangunan dengan kata lain 0 meter, pada hal peraturan tata ruang mengenai jarak kanan, kiri minimal 2 meter dan 40 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pelanggaran Terhadap Peraturan tentang Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali pada Pembangunan Hotel dan Restoran di Kabupaten Badung
b.
c.
d.
e.
f.
belakang 3 meter yang diatur pada pasal 12 Peraturan Daerah No.2 Tahun 1974 tentang bangunan umum seperti hotel dan restaoran. Hal ini juga diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 29 Tahun 1995. Pelanggaran sempada depan bangunan dan tidak memiliki Ijin Mendirikan Banguan (IMB) terjadi pada banguan restoran di jalan Pratama Tanjung Benoa dan bangunan Kondotel di jalan raya Kuta yang sama sekali tidak memiliki sempadan depan dan bangunan langsung berada dibibir jalan yang ditemukan pada tanggal 18 Januari Tahun 2010.Pada hal, dalam peraturan tata ruang menetapkan sempadan jalan sama dengan sempadan pantai smestinya seratus meter. Namun Peraturan tata ruang Kabupaten Badung berdasarkan kebijakan Bupati yang dituangkan dengan keputusan setiap kecamatan, dimana untuk jalan Bay Pass Ngurah Rai ditetapkan 26 meter dan Kuta 30 meter disesuaikan dengan kelabilan tanah, daya dukung dan posisi landai curamnya pantai. Penambahan luas bangunan dan kolam tanpa ijin ditemukan atas hasil patroli petugas Pengawasan yang dilakukan secara acak terhadap bangunan yang ada. Pelanggaran ini terjadi pada bangunan hotel Melati di jalan By Pass Ngurah Rai. Setelah dicocokan dengan ijin ternyata ada tambahan bangunan dan kolam renang tidak sesuai dengan ijin yang dikeluarkan oleh Cipta Karya Badung. Pelanggaran ini ditemukan pada tanggal 31 Januari tahun 2010. Pelanggaran terhadap tinggi bangunan mencapai 17,5 meter yang seharusnya maksimal 15 meter sesuai dengan peraturan tata ruang propinsi, kabupaten Badung dan Surat Keputusan Bupati untuk masing-masing kecamatan. Pelanggaran ini terjadi pada bangunan Kondotel di jalan Wana Segara Kutaditemukan Senin tanggal 20 April tahiun 2009. Pelanggaran terhadap arsitektur Bali yakni bangunan yang tidak menggunakan arsitetur Bali sebagai ciri khas kebudayaan Bali yang seharusnya atap berbentuk (lelimasan) atau piramid. Pelanggaran ini terjadi pada bangunan hotel Melati yang terletak di banjar Batu Belig Kerobokan Selatan. Pelanggaran ini ditemukan pada hari Selasa tanggal 18 Mei tahun 2010 dan Hotel Santika yang dimuat pada Koran Bali Post tanggal 9 Oktober 2010. Pelanggaran terhadap kawasan pemukiman terjadi pada bangunan hotel Best Western yang berlokasi di Kuta yang dibangun dikawasan pemukiman penduduk yang tidak diperbolehkan untuk membangun hotel.
2.4. Upaya-Upaya Yang Ditempuh Dalam Penyelesaian Pelanggaran Tata Ruang Untuk menganalisa peramasalahan lingkungan digunakan teori kontrak yang diatur dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikaran dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena Undang-Undang lebih lanjut ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan demikian berarti perikatan adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban pada pihak-pihak yang mengadakan perikatan10. Tata cara penyelesaian pelanggaran tata ruang menurut Pasal 143 Peraturan daerah Propinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tahap pertama dapat diselesaiankan dengan prisip musyawarah mufakat. Apabila peneyelsaian tahap pertama tidak dapat diakhiri dengan musyawarah, para 10
Subekti Tjitro Sudibbio, R. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Edisi Revisi, Pradnya Paramita, Jakarta. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
41
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
pihak dapat menyelesaiakn lewat pengadilan dan di luar pengadilan (nonlitigasi) seperti yang diatuir dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 antara lain dengan konsultasi, mediasi, konsoliasi,negosiasi, pendapat hukum dan arbitrase. Namun penyelesaian pelanggaran tata ruang di Kabupaten badung diselesaian dengan cara sebagai berikut. a. Untuk pelanggaran sempadan depan samping, dan belakang bangunan, tidak dianggap melanggar peraturan tata ruang karena sudah ada persetujuan dari pemilik bangunan sekitarnya walaupun jaraknya nol meter pada banguan restaoran di jalan Pratama Tanjung Benoa dan Kondotel di Jaln Kuta Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bisnis, karena tanah 2 meter diperkotaan sangat berguna dan mahal sangat berguna bagi pemilik bangunan dan bernilai ekonomis. Hal ini juga dilakukan untuk ketenanga dunia bisnis yang penting tidak menggangu usaha pariwisata yang sangat diharapkan dalam pertumbuhan ekonomi.Namun apabila pelanggaran semacam ini dibiarkan terus an tidak diberikan sanksi, maka tata ruang tidak dapat mewujudkan tujuannya yakni Bali yang BALI (Bersih, Aman, Indah dan Lestari), karena dengan tidak adanya jarak menyebabkan bangunan tidak sehat dan semrawut atau tidak terwujudnya lingkungan yang sehat. Keadaan demikian tidak baik untuk bangunan hotel dan restaoran sebagai tempat istirahat yang seharusnya bebas dari kebisingan karena tidak adanya sempadan jalan yang cukup. b. Penyelesaian pelanggaran peluasan bangunan hanya diselesaiakan dengan memberikan teguran yang bersangkutan baik lisan maupun tertulis tanpa membongkar bangunan. Hal ini tidak sesuai dengan Keputusan Mentri Pariwisata, Pos da Telekomunikasi Nomo KM 94/H/KH 130/MPPT-87. Dalam Pasal 1 diatur tentang perbandingan antar ruang yang dibangun 50%, penunjang 30% dan parkir 20% dari luas tanah keseluruhan. Pembongkaran tidak dilakukan untuk menghidari terjadinya kegoncangan di masyarakat dan menginginkan adanya ketenangan bagi pengusaha hotel dan restoran dan dapat memperlacar industri pariwisata dan perekonmian Bali umumnya Badung khususnya. Penyelaeasian cara ini lebih bersifat sosilogi dan ekonomis dibandingkan penekan hukum sehingga tidak menyebabkan jera pelanggar. c. Pelanggaran Kondotel di jalan Raya Kuta tidak memiliki ijin dan hanya dipanggil untuk memohon ijin dengan membuat surat pernyataan akan mengurus ijin bangunan sedangkan sempada depan dibiarkan. Hal ini akan menambah kemacetan karena jalan dipakai parkir oleh pengunjung dan merusak pemandangan. Semestinya harus dilakukan pembongkaran agar pihak yang ingin membangun selanjutnya menjadi kahawatir dan mentaati peraturan tata ruang. d. Penyelesaian bangunan yang melanggar tinggi bangunan pada hotel Wana Segara Kuta baru akan dibongkar atau baru direncanakan untuk dibongkar yang dilakukan oleh Sapol PP Kabupaten Badung sebagai badan eksekusi setelah ada surat perintah pembongkaran dari Bupati berdasarkan hasil rapat antara instansi seperti kehakiman, kejaksaan, lingkungan hidup, cipta karya. Hal ini pantas untuk dilakukan pembongkaran untuk memberikan jera bagi pelanggar agar berikutnya tidak lagi ada yang melanggar. Selain itu ada kepentingan yang lebih besar dan menyangkut kepentingan umum seperti keselamatan penerbangan apalagi yang dekat dengan lapangan terbang. e. Penyelesaian pelanggara kawasan yang terjadi pada Best Western yang berlokasi di Kuta, direncanakan akan dibongkar karena mengganggu pemukiman penduduk. Hal ini baru diadakan penyegelan namun belum dibongkar. Sebelumnya sudah diberikan teguran tertulis dan menyarankan membongkar sendiri namun belum dilakukan pembongkaran. 42 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pelanggaran Terhadap Peraturan tentang Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali pada Pembangunan Hotel dan Restoran di Kabupaten Badung
f.
Sanksi pembongkaran bangunan yang melanggar sangat penting dilakukan agar pelanggar menjadi jera dan menjadi pelajaran bagi pengusaha nakal. Sanksi pembongkaran sudah tepat dilakukan oleh pemerintah, karena menurut Siti Sundari, pemerintah tidak boleh menerapkan sanksi ganti rugi, seperti yang diatur dalam pasal 1236 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata, karena ganti rugi tidak dapat mengilangkan pencemaran /kerusakan dan penyebab pencemaran11. Apabila pemerintah memerima ganti rugi berarti membenarkan adanya kerusakan dan pencemaran lingkungan. Walaupun menurut Abdul Kadir Mohammad pelanggaran ada kaitannya dengan perikatan yang bersumber pada undangundang dimana yang menjadi pihak adalah pemerintah dengan masyarakat pengguna lingkungan yang terkandung hak dan kewajiban di dalamnya. Pemerintah mempunyai hak untuk menerapkan sanksi bagi pelanggar undang-undang dan kewajiban masyarakat mentati undang-undang12. Penyelesaian pelanggaran arsitektur / atap yang terjadi pada hotel yang berlokasi di jalan Batu Belig Kerobokan tidak dilakukan pembongkaran, namun hanya ditegur. Dalam hal ini tidak dilakukan pembongkaran, karena tidak ingin membikin kapok pengusaha yang sangat diharapkan dalam pengembangan industri pariwisata Bali sebagai sumber penghasilan daerah. Pelanggaran ini seharusnya diterapkan sanksi pembongkaran, untuk melestarikan arsitektur Bali sebagai pembeda bangunan di luar Bali atau sebagai ciri khas bangunan di Bali sekaligus daya tarik pariwisata agar tidak punah.
III. SIMPULAN DAN SARAN 3.1
Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Jenis pelanggaran terhadap peraturan tata ruang yang terjadi di kabupaten Badung dua tahun terakhir yaitu; mengenai batas kanan, kiri dan belakang bangunan, sempadan depan bangunan, ijin mendirikan bangunan, tinggi bangunan, penambahan luas bangunan tanpa ijin, arsitektur/atap bangunan, dan kawasan/zona. Upaya-Upaya yang ditempuh dalam penyelesaian pelangaran terhadap tata ruang di Kabupaten Badung yaitu: dengan musyawarah, seperti memberi teguran, menyarankan mengurus ijin bagi yang belum memiliki ijin mendirikan bangunan, membiarkan pelanggaran batas kanan, kiri, belakang dan sempadan depan bangunan serta rencana pembongkaran beberapa bangunan. 3.2
Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut. Pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran terhadap tata ruang sebaiknya lebih mengutamakan penegakan hukum dengan menerapkan sanksi yang tegas untuk memberi rasa jera bagi pelanggar dan jangan terlalu berpihak kepada kepentingan sosial ekonomi dan mengorbankan kesehatan lingkungan yang menyangkut kepentingan lebih besar dan arstektur Bali sebagai ciri khas budaya Bali dengan tidak menerapkan sanksi pembongkaran. Selain itu pemerintah hendaknya menambah personil 11 12
Siti, Sundari Rangkuti. 2005. Op Cit. hal. 2 Abdil Kadir Muhammad. 1982. Hukum Perikatan. Bandung : Alumni, hal. 78 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
43
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
pengawas agar pelanggaran dapat dilaksanakan secara maksimal sehingga pelanggaran dapat diketahui lebih dini dan segera diselesaikan. Bagi masyarakat sebaiknya mentaati peraturan tata ruang yang berlaku sebagai kewajiban untuk menghindari kerugian yang lebih besar yakni tidak tercapainya tujuan tata ruang Bali yakni ingin mewujudkan Bali yang Bersih, Aman, Indah dan Lestari yang dapat dinikmati barsama juga untuk generasi mendatang.
DAFTAR BACAAN Abdul Kadir Mohammad, 1982, Hukum Perikatan,Alumni Bandung. Daud Silalahi, 1982, Hukuim Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: Alumni Kotak Pos 1282 Cetakan I Gatot, P,R.M Soemartono, 1996 , Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hilman Adikuma, 1986, Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: Alumni hal 52 Koesnadi Hardjasoemantri. 1990. Hukum Tata Lingkungan Edisi Kelima, Cetakan Kedua. Mohtar Kusumaatmadja, 1985, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Bina Cipta Siti, Sundari Rangkuti, 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya: Airlangga University Press edisi ketiga Soebekti Tjitro Sudibio R. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Edisi Revisi. Jakarta: Pradnya paramita (terjemahan) Wairocana, I Gusti Ngurah, “Peranan Hukum dan Kebijaksanaan Dalam Pengelolaan Lingkungan” dalam Hukum Teori dan Praktek Kumpulan Karangan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana,Denpasar. Fakultas Hukum Udayana ISSN. Wiyasa Putra Ida Bagus, 2003. Hukum Bisnis Pariwisata cetakan I. Bandung: P.T Refika Aditama. Zeni, MT, 1985, Menuju Kelestarian Lingkungan. Jakarta: Gramedia. Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Yahun 2007 Tentang Penataan Tata Ruang. Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 2 Tahun 1974 Peraturan Daerah Kabupaten Badung nomor 29 tahun 1995 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Peraturan Daerah Propinsi bali Nomor 16 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2010 Tentang Penataan Ruang Keputusan Mentri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor KM 94/HK130/MPPT-87
44 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
HUBUNGAN KUNJUNGAN WISATAWAN ASING DENGAN TINGKAT KEJAHATAN NARKOTIKA DI BALI oleh Gde Made Swardhana I Ketut Rai Setiabudhi Ida Bagus Surya Dharma Jaya Sagung Putri M.E. Purwani I Gusti Ngurah Parwata ABSTRACT One of transnational crime is a crime of narcotics. Narcotics crime can not be separated from the presence of foreign and domestic tourists who visited Bali. In this study there are two problems: (1) How is the development of foreign tourists visit related with narcotics crimes in Bali?, (2). How efforts to control narcotics crimes committed by foreign tourists in Bali? The purpose of this study to determine and analyze how the relationship with the level of tourist arrivals in Bali narcotics crimes. and critically examines efforts to control narcotics crimes that occurred in Bali and rehabilitation of drug addicts. The result also will experience a difference in the imposition ofcriminal prosecution in Court. Foreign citizens as evidence of narcotic crimes in quantity and quality is very large then there wasthe imposition of criminal which up to 20 years in prison, 15 years, as well as those 10 years and under. Compared with the highest Indonesian citizens 10 years of sanctions. For 2011alone in Denpasar Penitentiary narcotics crimes and the imposition criminal prominent among 35 people narcotics offenders. Title: Travellers, Narcotics
I.
PENDAHULUAN
Keunikan budaya dan keindahan alam Bali merupakan potensi yang sangat penting sebagai daya tarik wisata, sejak awal perkembangan kepariwisataan di daerah ini. Budaya dan keindahan alam, telah menjadi image kepariwisataan daerah Bali. Sehubungan dengan hal itu pemerintah daerah Bali sejak awal mencanangkan bahwa jenis kepariwisataan yang dikembangkan di daerah ini adalah pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama Hindu. Sedangkan tujuan penyelenggaraan pariwisata budaya adalah untuk memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata, mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan agama dan kehidupan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup, mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan kepariwisataan. Perkembangan kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali menunjukkan tiap tahunnya mengalami konjungtur naik turun, bahkan sejak terjadinya peristiwa Bom Bali tahun 2008 jumlah wisatawan asing yang langsung ke Bali meningkat sejumlah 300.038. Ini berarti dampak kunjnungan tidak berpengaruh kemungkinan besar faktor ekonomi yang sangat drastis mengalami penurunan. Yang menjadi kunjungan primadona ketika itu terjadi di tahun 2009 (2.385.122 orang) jika dibandingkan dengan kunjungan selama lima tahun terakhir. Untuk data
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
45
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
tahun 2010 belum dapat dituangkan dalam Buku Bali Dalam Angka karena masih sedang dalam proses pembuatan. Kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali menunjukkan tahun 2009 yang paling menonjol disusul tahun 2008, ketiga tahun 2007 keempat tahun 2005 dan paling sedikit ketika itu kunjungannya pada tahun 2006. Total keseluruhan kunjungan selama kurun waktu wisatawan manca negara yang langsung berkunjung ke Bali berjumlah 8.790.258 orang. Tabel 1 DATA KUNJUNGAN PARIWISATA ASING KE BALI SEJAK TAHUN 2005 S/D 2009 NO 1 2 3 4 5
TAHUN 2005 2006 2007 2008 2009 TOTAL
*) Sumber “Bali Dalam Angka” 2010
JUMLAH 1.388.984 1.262.537 1.666.531 2.085.084 2.385.122 8.790.258
Dengan kunjungan wisatawan mancanegara maupun domestik terlepas dari perkembangan sejak peristiwa Bom Bali bulan Oktober 2008, Bali masih tetap menjadi primadona kunjungan wisatawan karena keindahan alam dan keramahan penduduknya. Tabel 2 DATA KUNJUNGAN WISATAWAN MANCANEGARA KEBANGSAAN YANG BERKUNJUNG KE BALI TAHUN 2010 NO 1 2 3 4 5 6
KEBANGSAAN ASEAN ASIA(tanpa ASEAN) AMERIKA EROPA OSEANIA AFRIKA
2005 119.233 557.673 75.743 361.141 268.273 6.921
2006 129.539 562.318 68.769 350.340 145.580 5.991
TAHUN 2007 2008 168.160 250.837 760.371 820.903 84.449 100.421 425.583 523.224 219.700 329.966 10.268 11.887
2009 229.168 853.347 109.155 594.282 470.678 12.587
MENURUT
JUMLAH 896.937 3.554.612 438.537 2.254.570 1.434.197 47.654
*) Sumber Bali Dalam Angka 2010
Data di atas menunjukkan negara Asia (tanpa Asean) sebagai penyumbang wisatawan terbesar selama kurun waktu lima tahun terakhir sejak tahun 2005 - 2009, yakni berjumlah 3.554.612 jiwa, di susul negara Eropa sebanyak 2.254.570 jiwa, dan negara Oseania (Australia, New Zealand, dan Oseanaia lainnya) berjumah 1.434.197 sebagai urutan ketiga. Negara keempat adalah ASEAN sejumlah 896.937 jiwa, sedang yang terakhir adalah negara Afrika dengan kunjunan wisatawannya 47.654 jiwa. Kunjungan turis mancanegara juga tidak hanya karena kunjungan tourism murni tetapi juga berbagai dalih. Misalnya berbagai cara dilakukan antara lain pemasokan narkotika dan psikotropika ke Bali melalui jalur udara/airport, terorisme dalam peristiwa bom Bali Oktober 2002, pencucian uang, perdagangan anak dan perempuan, dan sebagainya. Kejahatan-kejahatan seperti itu tidak saja dilakukan oleh orang Indonesia tetapi juga melibatkan orang asing. Dan ini sangat berdampak pada perkembangan pariwisata budaya di Bali Dari data di atas akan dibandingkan dengan jumlah kejahatan penyalahgunaan narkotika dan sanksi pidana yang dijatuhkan antara Warga Negara Asing dengan Warga negara Indonesia. Hal ini dilakukan agar secara tegas dapat diketahui bahwa adakah hubungan antara kedatangan wisatawan asing (manca negara) dengan kejahatan penyakahgunaan narkoba dan penjatuhan pidana bagi warga negara asing, serta barang bukti, di samping warga negara Indonesia, ini 46 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Hubungan Kunjungan Wisatawan Asing dengan Tingkat Kejahatan Narkotika di Bali
dimaksudkan untuk mencari kualitas kejahatan narkoba itu sendiri yang dilakukan oleh wisatawan manca negara. Selain dampak negatif yang ditemukan diatas, pariwisata sangat rentan terhadap persoalan kejahatan transnasional yang tidak saja merusak kepariwisataan yang ada tetapi sudah merambah pada wilayah internasional. Perubahan itu cenderung kejahatan terjadi seiring dengan era globalisasi yang tidak dapat di hindarkan. Dalam era globalisasi batas-batas fisik antar negara menjadi tidak bermakna lagi. Teknologi telematika telah membuat antara individu antar negara di seluruh dunia dapat dilakukan seketika. Keadaan tersebut mempermudah dilakukannya kejahatan lintas negara atau kejahatan transnasional (transnational crime). Kejahatan lintas negara tidak hanya terjadi pada dua negara yang berbatas langsung, tetapi juga dapat terjadi pada dua negara atau lebih yang tidak mempunyai batas fisik langsung. Dalam konteks penelitian ini dibatasi pada penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Tantangan terberat yang tengah dihadapi oleh masyarakat Indonesia dewasa ini adalah bagaimana mencegah semakin meluasnya penyalahgunaan obat-obatan seperti narkotika, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Napza). Kehkawatiran tersebut bukannya tanpa alasan, sebab dari bebagai media massa dapat diketahui bahwa ternyata pengguna obatan-obatan terlarang sudah merambah ke berbagai lapisan masyarakat. Indonesia khususnya Bali akan menjadi solusi bagi para kriminal dalam kejahatan transnasional karena letak strategis dan kunjungan wisatawan manca negara. Sasarannya adalah pada negara-negara yang melakukan kunjungan ke Bali, Indonesia. Upaya ke arah penanggulangannyapun sudah dilakukan baik secara preventif, pre-emptif, maupun represif, yang mungkin menjadikan Bali harus tetap selalu waspada akan keterlibatan dan dampak penyalahgunaan narkotika. Dari pemaparan di atas maka terlihat permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perkembangan kunjungan wisatawan asing dikaitkan dengan kejahatan narkotika di Bali? 2. Bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan narkotika yang dilakukan oleh wisatawan asing di Bali? II.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Perkembangan kunjungan wisatawan asing dan tingkat kejahatan narkotika di Bali.
1.1
Tingkat perkembangan kunjungan wisatawan mancanegara / asing ke Bali Perkembangan kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali menunjukkan tiap tahunnya mengalami konjungtur naik turun, bahkan sejak terjadinya peristiwa Bom Bali tahun 2008 jumlah wisatawan asing yang langsung ke Bali meningkat sejumlah 300.038. Ini berarti dampak kunjnungan tidak berpengaruh kemungkinan besar faktor ekonomi yang sangat drastis mengalami penurunan. Yang menjadi kunjungan primadona ketika itu terjadi di tahun 2009 (2.385.122 orang) jika dibandingkan dengan kunjungan selama lima tahun terakhir, dapat dikatakan terjadi peningkatan. Untuk data tahun 2010 belum dapat dituangkan dalam Buku Bali Dalam Angka karena masih sedang dalam proses pembuatan. Kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali menunjukkan tahun 2009 yang paling menonjol disusul tahun 2008, ketiga tahun 2007 keempat JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
47
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
tahun 2005 dan paling sedikit ketika itu kunjungannya pada tahun 2006. Total keseluruhan kunjungan selama kurun waktu wisatawan manca negara yang langsung berkunjung ke Bali berjumlah 8.790.258 orang. Jika diperhatikan wisatawan – selain domestic – negara / kebangsaan yang berkunjung ke pulau Dewata sesuai dengan table di bawah ini menunjukkan: Tabel 2 DATA KUNJUNGAN WISATAWAN MANCANEGARA MENURUT KEBANGSAAN YANG BERKUNJUNG KE BALI TAHUN 2005 - 2009 TAHUN NO 1 2 3 4 5 6
KEBANGSAAN ASEAN ASIA(tanpa ASEAN) AMERIKA EROPA OSEANIA AFRIKA
2005 119.233 557.673 75.743 361.141 268.273 6.921
2006 129.539 562.318 68.769 350.340 145.580 5.991
2007 168.160 760.371 84.449 425.583 219.700 10.268
2008 250.837 820.903 100.421 523.224 329.966 11.887
2009 229.168 853.347 109.155 594.282 470.678 12.587
JUMLAH 896.937 3.554.612 438.537 2.254.570 1.434.197 47.654
*) Sumber : Bali Dalam Angka 2010
Data di atas menunjukkan negara Asia (tanpa Asean) sebagai penyumbang wisatawan terbesar selama kurun waktu lima tahun terakhir sejak tahun 2005 - 2009, yakni berjumlah 3.554.612 jiwa, di susul negara Eropa sebanyak 2.254.570 jiwa, dan negara Oseania (Australia, New Zealand, dan Oseanaia lainnya) berjumah 1.434.197 sebagai urutan ketiga. Negara keempat adalah ASEAN sejumlah 896.937 jiwa, sedang yang terakhir adalah negara Afrika dengan kunjunan wisatawannya 47.654 jiwa. Kunjungan turis mancanegara juga tidak hanya karena kunjungan tourism murni tetapi juga berbagai dalih. Misalnya berbagai cara dilakukan antara lain pemasokan narkotika dan psikotropika ke Bali melalui jalur udara/airport, terorisme dalam peristiwa bom Bali Oktober 2002, pencucian uang, perdagangan anak dan perempuan, dan sebagainya. Kejahatan-kejahatan seperti itu tidak saja dilakukan oleh orang Indonesia tetapi juga melibatkan orang asing. Dan ini sangat berdampak pada perkembangan pariwisata budaya di Bali 1.2
Perkembangan kejahatan narkotika di Bali Laporan tahunan Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan kasus narkoba periode tahun 2001 – 2005 meningkat rata-rata 36,9%. dari 3.617 kasus di tahun 2001 menjadi 14.514 pada tahun 2005. Jumlah tersangkanyapun melonjak 36,8% dari 4.924 orang di tahun 2001 menjadi 20.023 orang di tahun 2005. Jumlah kasus narkoba yang diungkap pada tahun 2007 sebenayak 17.757 kasus, terdri atas 8.888 kasus Narkotika, 7.433 kasus Psikotropika, dan 1.436 kasus bahan adiktif lainnya. Adapun kasus tersangka narkotba yang ditangkap tahun 2007 sebanyak 29.800 orang terdiri dari dari atas 29.747 WNI dan 53 orang WNA. Data tersebut memberikan gambnaran di lapangan, bahwa kasus narkotika dari tahun ke tahun semakin meningkat. Peningkatan jumlah kasus narkotika ini pada akhirnya seiring dengan peningkatan penghuni penjara. Pada tahun 2006, penghuni penjara mencpai 116.000 orang(kapasitas 17 orang). Pada Januari 2007, penghuni lembaga pemayarakatan sudah naik menjadi 118.453 orang. Dari jumlah itu, sekitar 30 persen atau 23.200 napi merupakan pemakai/ pecandu narkoba.(Arsetyanita Puspitasari, 2009: http.//www.prakarsa-rakyat.org. 14 Jul 2010).
48 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Hubungan Kunjungan Wisatawan Asing dengan Tingkat Kejahatan Narkotika di Bali
Sejalan dengan hal di atas maka di Bali sesuai penelitian yang diperoleh di Lembaga Pemasyarakatan menunjukkan data sebagai berikut : Tabel 3 PELAKU WARGA NEGARA INDONESIA TENTANG NARKOTIKA SELAMA TAHUN 2009 S/D JULI 2011 TAHUN 2009 2010 2011 Jumlah
KEJAHATAN
NAPI PENYALAHGUNA NARKOTIKA LAKI-LAKI 173 163 262 598
PEREMPUAN 12 24 36 72
TOTAL 185 187 298 670
*) Sumber : Lembaga Pemasyarakatan Denpasar
Data di atas menunjukkan bahwa jumlah pelaku kejahatan narkotika yang berasal dari warga negara Indonesia (WNI) sendiri selama kurun waktu tiga tahun hingga Juli 2011 menunjukkan angka 670 orang pelaku yang terdiri dari 598 orang laki-laki dan 72 orang perempuan. Terjadi pelonjakan yang sangat siginifikan dari tahun 2010 ke tahun Juli 2011 mencapai 100% yakni meingkat sebanyak 111 orang, dibandingkan dengan tahun sebelumnya peningkatannya hanya kurang dari 1% atau hanya 2 orang saja. Ini berarti secara periodisasi perkembangan kejahatan narktoika tetap saja sebagai primadona yang dilakukan sendiri oleh warga kita sendiri. Table 4 PELAKU WNI TENTANG KEJAHATAN NARKOBA SESUAI KLASIFIKASINYA TAHUN 2009 s/d 2011 TAHUN 2009 2010 2011 Jumlah
KLASIFIKASI PELAKU/ NAPI PENYALAHGUNA NARKOTIKA PENGEDAR PEMAKAI TOTAL 19 166 185 19 168 187 30 268 298 68 602 670
*) Sumber: Lembaga Pemasyarakatan Denpasar
Klasifikasi pelaku kejahatan narkotika hanya dibagi dua saja yakni antara pengedar dan pemakai saja, karena dtanya diperoleh demikian. Dari jumlah penyalahguna narkotika ini selama kurun waktu tiga tahun hingga Juli 2011 menunjukkan angka 670 orang yang terdiri dari 602 orang sebagai pemakai dan 68 orang sebagai pengedar. Persoalan yang muncul adalah begitu tingginya angka pemakai narktoika yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan Denpasar ditengarai para narapidana ini hanyalah ingin coba-coba, gengsi, ingin membuktikan dirinya, dan yang pasti para pemakai ini sebagian besar adalah frustasi, stress, dan lain sebagainya. Prosentasenyapun samasama mengalami peningkatan, bagi pengedar terjadi peningkatan 96%, dan sebagai pemakai terjadi peningkatan hingga 100 orang (100%). Warga negara asing (WNA) yang berkunjung ke Bali tidak saja ingin menikmati betapa indahnya panorama Bali tetapi ada juga bermaksud yang berbeda, yakni selain menikmati Bali juga menikmati narkotika. Beberapa pengakuan WNA menyatakan bahwa karena di negaranya diperbolehkan namun dalam dosis yang kecil, tetapi ada juga yang sengaja menyelundupkannya dan bahkan menyimpannya, bahkan memiliki jaringan untuk mendapatkan barang haram tersebut. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
49
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Tabel 5 PELAKU WARGA NEGARA ASING TENTANG KEJAHATAN NARKOBA SELAMA TAHUN 2009 S/D 2011 TAHUN 2009 2010 2011 Jumlah
NAPI PENYALAHGUNA NARKOTIKA LAKI-LAKI PEREMPUAN TOTAL 12 2 14 29 2 31 29 6 35 70 10 80
*) Sumber: Lembaga Pemasyarakatan Denpasar
Para napi WNA selama tiga tahun ini menunjukkan 80 orang sebagai pengedar maupun sebagai pelaku, naum perkembangannya cukup konstan di dua tahun terakhir yakni 2010 hingga Juli 2011, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni tahun 2009 melonjak hingga 100%. Para WNA laki-laki yang paling banyak menggunakan narkotika (70 orang) dibandingkan dengan yang perempuan (10 orang). Tabel 6 PELAKU WARGA NEGARA ASING TENTANG KEJAHATAN NARKOBA SESUAI KLASIFIKASINYA TAHUN 2009 s/d 2011 TAHUN 2009 2010 2011 Jumlah
PENGEDAR 10 21 25 56
KLASIFIKASI PELAKU NARKOBA PEMAKAI 4 10 10 24
*) Sumber: Lembaga Pemasyarakatan Denpasar
TOTAL 14 31 35 80
Jika diklasifikasikan antara pelaku kejahatan narkotika selama kurun waktu tiga tahun pengedar lebih banyak (56 orang) dibandingkan dengan pemakai (24 orang). Sehingga totalnya berjumlah 80 orang. Jika diperhatikan lagi bahwa sebagai pengedar lebih banyak disebabkan karena Bali sebagai daerah wisata pengedarannya dapat dilakukan antar sesama WNA, atau juga WNI yang “memerlukan” barang tersebut. Jumlah pengedar dengan pemakai bagi kalangan WNA lebih banyak sebagai pengedar (51%) dari jumlah 80 orang yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan Denpasar. Memperhatikan data kunjungan pariwisata bagi Warga Negara Asing / Manca negara ke Bali sesuai dengan Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa tingkat kunjungan wisatawan ke Bali dihubungkan dengan pelaku (baik sebagai pengedar maupun pemakai) di kalangan warga negara asing menunjukkan anggka yang sangat jauh sekali bahkan sepersekian mil, antara jumlah kunjungan wisatawan manca negara dengan pelaku kejahatan narkotika. Dari pemaparan data di atas dapat dikatakan bahwa antara kunjungan wisatawan mancanegara dengan tingkat kejahatan narkotika baik sebagai pelaku (pengedar maupun pemakai) tidak menunjukkan korelasi yang signifikan. Sesuai dengan kajian Spradley bahwa situasi sosial atau social situation yang dilakukan oleh wisawatan mancanegara dalam melakukan (terlibat) kejahatan narkotika disesuaikan dengan tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) di Bali. Hal ini bisa dipengaruhi oleh faktor tempat, misalnya karena berkunjung ke Bali, beranggapan bahwa di negara asalnya memperbolehkan menggunakan narkotika dalam jumlah tertentu namun di Bali, Indonesia dilarang. Selain itu pangsa pasar peredaran narkotika di Indonesaia khususnya Bali hanyalah digunakan sebagai daerah transit antar negara seperti pengakuan beberapa pengedar narkotika, 50 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Hubungan Kunjungan Wisatawan Asing dengan Tingkat Kejahatan Narkotika di Bali
hal ini jelas-jelas melanggar sesuai dengan Undang Undang Nomer 35 tahun 2009. Di sisi pelaku, dari paparan data yang ada pelaku tidaklah demikian signifikan bila dilihat dari jumlah kunjungan yang ada. Seperti sering diungkap dalam adagium crime is eternal as eternal as society, di mana ada masyarakat disanalah ada kejahatan atau sebaliknya. Situasi sosial lainnya yang ketiga adalah aktivitas (activity). Aktivitas para wisatawan mancanegara yang datang ke Bali berbagai ragam, ada karena bisnis, tour, akademik, dan lain-lain. Di tengah kesibukan aktivitas itulah terkadang tanpa disadari terjadi penyalahgunaan narkotika baik sebagai pengedar maupun sebagai pemakai. Tabel 7. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN NARKOTIKA TERHADAP WARGA NEGARA ASING, YANG MENONJOL S/D TAHUN 2011 PELAKU *
5 – 10 TH
WNA
Sumber LP Denpasar
19
PENJATUHAN PIDANA SEUMUR 10 - 15 TH 15 - 20 TH HIDUP 11 5 -
MATI
TOTAL
-
35
Tabel 8. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN NARKOTIKA TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA YANG MENONJOL S/D TAHUN 2011 PELAKU
5 – 10 TH
WNA *
47
PENJATUHAN PIDANA SEUMUR 10 - 15 TH 15 - 20 TH HIDUP 3 -
MATI
TOTAL
-
50
Sumber LP Denpasar
Di lihat dari kualitas penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika menunjukkan bahwa pelaku WNA dijatuhi pidana lebih berat daripada warga negara Indonesia. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari barang bukti berupa narkotika yang diselundupkan ke Indonesia. Terhadap WN Asing penjatuhan pidana nya lebih berat ada sekitar 5 kasus yang dijatuhi pidana selama 20 tahun, dan 11 kasus antara 10 – 15 tahun, sisanya 19 kasus antara 5 – 10 tahun. Total pelaku yang kejahatannya menonjol adalah 35 orang Sedangkan pelaku warga negara Indonesia terbanyak dijatuhi pidana antara 5-10 tahun sebanyak 47 orang, dan 3 orang dijatuhi pidana 10-15 tahun. Total pelaku yang kejahatannya menonjol adalah 50 orang. Dengan demikian bahwa secara kualitas penjatuhan pidana dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas narkotika yang diselundupkan ke Bali. Paparan di atas menunjukkan bahwa warga negara asing lebih menonjol secara kuantitas maupun kualitas kejahatan narkotkanya dibandingkan dengan warga negara Indonesia. 2.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Narkotika Di Bali
2.1
Pencegahan Mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, maka diaturlah penguatan kelembagaan yang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2007, BNN tersebut merupakan lembaga non struktural
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
51
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi, kemudian berdasarkan Undangundang Nomor 35 Tahun 2009, BNN tersebut ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementrian ( LPNK ) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Badan Narkotika Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 83 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional. Untuk mencegah kerancuan pengertian dasar hukum pembentukan BNN yakni dari Keputusan Presiden ( Kepres Nomor 83 Tahun 2007 ) menjadi Peraturan Presiden ( Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010, Apabila dikaji secara mendalam tugas dan wewenang BNN cukup luas, mencakup aspekaspek pre-emtif, preventif dan represif. Menyangkut wewenang penyelidikan dan penyidikan selain berkaitan dengan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, juga tidak bisa dilepaskan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahkan juga dengan Sistem Peradilan Pidana yang payung hukumnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Bertolak dari komponen sistem peradilan pidana dan tujuannya seperti tersebut diatas, dapat dianalisa bahwa Badan Narkotika Nasional tidak termasuk sebagai sub sistem peradilan dari sistem peradilan pidana, namun berdasarkan Pasal 71 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika ditentukan :” Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika”.(Wawancara Kompol Ni Ketut Masmini, Kabag Sumber Daya Polres Badung, tanggal 16 Juli 2011) Muladi mengemukakan, Sistem peradilan pidana susuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisisk dalam arti sinkronisasi struktural ( structural syncronization ), dapat pula bersifat substansial ( substanciaal syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural kesempatan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana ( the administration of justice ) dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial, maka keserempakan ini mengandung makna baik vertikal maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum posisitf yang berlaku. Sedangkan sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 2.2
Penindakan
a.
Rehabilitasi terhadap pelaku Rehabilitasi dapat diartikan sebagai “Proses pemulihan yang diartikan sebagai berikut: 1. Rehablitasi adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula) (Soebandrio, 1995: 120) 2. Rehabilitasi adalah perbaikan yang mengarah pada normalitas pemulihan ditunjukan untuk status yang paling memuaskan terhadap individu yang pernah menderita suatu penyakit mental (Caplin, CP, 1995: 12) 3. Rehabilitasi adalah cara dengan semua tindakan medis, operatif untuk meninggikan kekuatan orang yang sebesar-besarnya, biat bagaimanapun besar cacatnya (Henry, H Kessler, 1995: 5)
52 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Hubungan Kunjungan Wisatawan Asing dengan Tingkat Kejahatan Narkotika di Bali
Rehabilitasi juga merupakan program untuk memabntu memulihkan orang yang memiliki penyakit kronis baik dari fisik ataupun psikologisnya. Program rehabilitasi individu adalah program yang mencakup penialian awal, pendidikan pasien, pelatihan, bantuan psikologis, dan pencegahan penyakit. Rehabilitasi juga merupakan tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. Bila melihat paparan tentang korban dan sekaligus sebagai pelaku kejahatan, maka pecandu narkotika berhak atas pembinaan dan rehabilitasi. Hak rehabilitasi atas pecandu narkotika sesungguhnya telah di atur dalam beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang terkait dengan pecandu narkotika adalah : 1. Undang Undang Nomer 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; 2. KEPMENKES No. 999/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasis Penyalahgunaan dan ketergantungan Narkotika; Pada dasarnya rehabilitasi yang diatur dalam regulasi tersebut ada 2 (dua) yakni Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Menurut Undang Undang Narkotika Nomer 35 / 2009 (vide Pasal 54), Rehabilitasi Medis adalah “suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan”. Dan Rehabilitasi Sosial adalah “suatu proses kegiatan pemulihan secara gerpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat” Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, memperhatikan bahwa sebagian besar Narapidana dan tahanan kasus narkoba termasuk katagori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan. b.
Pemidanaan terhadap pelaku Pemidanaan terhadap pelaku disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukannya. Di dalam UU No. 35 / 2009 perbuatan-perbuatan yang dapat diancam dengan pidana antara lain: 1. Tanpa hak dan melawan hokum menanam, memlihara, memiliki, penyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golonagn I, golongan II, dan golongan III (dalam bentuk tanaman maupun bukan tanaman, yang beratnya melebihi 5 gram, 1 kg atau melebihi 5 batang pohon (vide Pasal 111, 112, 117, dan 122); 2. Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III (dalam bentuk tanaman yang beratnya melebihi 1 kg atau melebihi 5 batang pohon, dan bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram (vide Pasal 113, 118, dan 123); 3. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima menjadi perantara jual beli, menukar atau menyerahkan, membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito, narkotika narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III (dalam bentuk tanaman dan bukan tanaman) (vide Pasal 114, 115, 119, 120, 124, dan 125); 4. Menggunakan narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III terhadap orang lain atau memberikan untuk digunakan orang lain (vide Pasal 116, 121, dan 126); 5. Menyalahgunakan narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III bagi diri sendiri JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
53
KERTHA PATRIKA
6. 7.
8. 9. 10.
11.
12. 13.
14.
15. 16.
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
(vide Pasal 128); Orang tua / wali dari si pecandu belum cukup umur yang sengaja tidak melapor (vide Pasal 128); Memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan prekusor narkotika untuk perbuatan narkotika, memproduksi, mengimpor, mengekspor atau, menyalurkan prekusor narkotika untuk pembuatan narkotika, menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan prekusor narkotika untuk perbuatan narkotika; membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito prekusor narkotika untuk pembuatan narkotika (vide Pasal 129); Setiap orang yang dengan tidak sengaja melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 – 126 dan Pasal 129, 123); Menggunakan atau menyuruh anak ayng belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika (vide Pasal 133); Pengurus industry farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 yakni tidak mencantumkan label pada kemasan narkotika dan keterangan yang dicantumkan dalam label kemasan narkotika tidak lengkap dan dapat menyesatkan (vide Pasal 135); Menempatkan, membayarkan, atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penyamatan investiasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang yang diketahuinya berasal dari tindak pidana narkotika (vide Pasal 137); Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan (vide Pasal 138); Nahkoda atau Kapten penerbang yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 27, atau Pasal 28 antara lain, tidak membuat berita acara muatan narkotika, tidak melapor adanya muatan narkotika kepada kepala kantor pabean setempat (vide Pasal 139); Penyidik (PPNS / Polri) yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 88 dan Pasal 89 antara lain: tidak melakukan penyegelan dan pembuatan berita acara penyitaan, tidak memberitahu atau menyerahkan barang sitaan, tidak memusnahkan tanaman narktoika yang ditemukan (vide Pasal 140): Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum (vide Pasal 142); Saksi yang tidak memberi keterangan yang tidak benar di pengadilan (vide Pasal 143) Penyalahgunaan narkotika tidak saja pemakainya saja yang dijatuhi atau dikenakan pidana tetapi juga menurut ketentuan yang tercantum di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana yakni Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Subjek tindak pidana (yang dapat dipidana) dapat berupa perorangan maupun koorporasi.
III. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Simpulan
Dari pemaparan di atas maka dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Memperhatikan data kunjungan wisatawan manca negara bagi Warga Negara Asing / Manca negara ke Bali sesuai dengan Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa tingkat kunjungan 54 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Hubungan Kunjungan Wisatawan Asing dengan Tingkat Kejahatan Narkotika di Bali
b.
wisatawan ke Bali dihubungkan dengan pelaku (baik sebagai pengedar maupun pemakai) di kalangan warga negara asing menunjukkan angka yang tidak disginifikan, antara jumlah kunjungan wisatawan manca negara dengan pelaku kejahatan narkotika. Dari pemaparan data di atas dapat dikatakan bahwa antara kunjungan wisatawan mancanegara dengan tingkat kejahatan narkotika baik sebagai pelaku (pengedar maupun pemakai) tidak menunjukkan korelasi yang signifikan. Sesuai dengan kajian Spradley bahwa situasi sosial atau social situation yang dilakukan oleh wisawatan mancanegara dalam melakukan (terlibat) kejahatan narkotika disesuaikan dengan tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) di Bali. Hal ini bisa dipengaruhi oleh faktor tempat, misalnya karena berkunjung ke Bali, beranggapan bahwa di negara asalnya memperbolehkan menggunakan narkotika dalam jumlah tertentu namun di Bali, Indonesia dilarang. Selain itu pangsa pasar peredaran narkotika di Indonesaia khususnya Bali hanyalah digunakan sebagai daerah transit antar negara seperti pengakuan beberapa pengedar narkotika, hal ini jelas-jelas melanggar sesuai dengan Undang Undang Nomer 35 tahun 2009. Namun bila dikaji secara kualitas barang narkotika yang diselundupkan paling menonjol dilakukan tahun 2011 oleh pelaku WNA lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan WNI. Hal ini sangat berpengaruh pada penjatuhan pidana yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri. Di lihat dari kualitas penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika menunjukkan bahwa pelaku WNA dijatuhi pidana lebih berat daripada warga negara Indonesia. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari barang bukti berupa narkotika yang diselundupkan ke Indonesia. Terhadap WN Asing penjatuhan pidana nya lebih berat ada sekitar 5 kasus yang dijatuhi pidana selama 20 tahun, dan 11 kasus antara 10 – 15 tahun, sisanya 19 kasus antara 5 – 10 tahun. Total pelaku adalah 35 orang Sedangkan pelaku warga negara Indonesia terbanyak dijatuhi pidana antara 5-10 tahun sebanyak 47 orang, dan 3 orang dijatuhi pidana 10-15 tahun. Total pelaku yang kejahatannya menonjol adalah 50 orang. Dengan demikian bahwa secara kualitas penjatuhan pidana dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas narkotika yang diselundupkan ke Bali. Paparan di atas menunjukkan bahwa warga negara asing lebih menonjol secara kuantitas maupun kualitas kejahatan narkotkanya dibandingkan dengan warga negara Indonesia. Upaya penanggulangannya dapat berupa Penindakan maupun Pemidanaan. 1. Penindakan dapat berupa : Rehabilitasi terhadap pelaku. Rehabilitasi juga merupakan program untuk membantu memulihkan orang yang memiliki penyakit kronis baik dari fisik ataupun psikologisnya. Program rehabilitasi individu adalah program yang mencakup penialian awal, pendidikan pasien, pelatihan, bantuan psikologis, dan pencegahan penyakit. Rehabilitasi juga merupakan tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. Bila melihat paparan tentang korban dan sekaligus sebagai pelaku kejahatan, maka pecandu narkotika berhak atas pembinaan dan rehabilitasi. Hak rehabilitasi atas pecandu narkotika sesungguhnya telah di atur dalam beberapa peraturan perundangundangan nasional yang terkait dengan pecandu narkotika adalah : 1. Undang Undang Nomer 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; 2. KEPMENKES No. 999/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
55
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasis Penyalahgunaan dan ketergantungan Narkotika; Pada dasarnya rehabilitasi yang diatur dalam regulasi tersebut ada 2 (dua) yakni Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Menurut Undang Undang Narkotika Nomer 35 / 2009 (vide Pasal 54), Rehabilitasi Medis adalah “suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan”. Dan Rehabilitasi Sosial adalah “suatu proses kegiatan pemulihan secara gerpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat” Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, memperhatikan bahwa sebagian besar Narapidana dan tahanan kasus narkoba termasuk katagori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan. 2.
Pemidanaan terhadap pelaku Pemidanaan terhadap pelaku disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukannya sesuai dengan UU No. 35 / 2009 perbuatan-perbuatan yang dapat diancam dengan pidana. Selain itu Penyalahgunaan narkotika tidak saja pemakainya saja yang dijatuhi atau dikenakan pidana tetapi juga menurut ketentuan yang tercantum di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana yakni Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Subjek tindak pidana (yang dapat dipidana) dapat berupa perorangan maupun koorporasi.
B.
Saran-saran a. b.
Sebaiknya para tourism yang berkunjung ke Bali untuk tidak mencoba membawa atau memakai narkotika, termasuk para wisatawan domestic; Hendaknya dapat dibedakan secara klinis mana sebenarnya sebagai pemakai pecandu, agar supaya tidak setiap orang yang memakai narkotika adalah pecandu, sehingga hal ini memudahkan untuk melaksanakan tindakan rehabilitasi. Di samping itu penjatuhan pemidanaan yang dilakukan oleh hakim pengadilan dirasa terlalu kecil, sehingga tidak membuat jera pelaku penyalahguna narkotika. Pengadilan harus berani memberi penjatuhan hukum yang maksimal karena narkotika ini tergolong extra ordinary crime.
DAFTAR PUSTAKA Alan Wright, Organized Crime, Willan Publishing, Cullompton, Devon and Portland, OR, 2006, p. 49 Barda Nawawi Arief, SH.1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.. Bernd-Dieter Meier, Kriminologie, Beck, Munich, 2007, p. 27; Klaus van Lampe, “The Interdiciplinary dimensions of the study of the organized crime’, in Trends in Organized 56 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Hubungan Kunjungan Wisatawan Asing dengan Tingkat Kejahatan Narkotika di Bali
Crime, Vol. 9, No.3, 2006, pp 77-94 Bossiouni, 1978. Substantive Criminal Law. Burn, Peter, M, and A. Holden, 1995. Tourism a New Perspective. London; Prentice Hill Chaplin, CP, 1995. Rehabilitation of Mental Illness, Encyclopedia Clinnard, MB dan R. Quinney. 1972. Criminal Behavior System. A Typology 2nd Ed. New York, Holt, Rinehart and Winston, Edwin H. Sutherland, The Professional Thief, University of Chicago, Press, Chicago, 1937; see further, Mary McIntosh, The Organization of Crime, Macmillan, London, 1975, pp. 9ff Graduate Institute of International and Development Studies (ed) Small Arms Survey, 2007. Guns and the City, Cambridge University Press, Cambridge, 2007. Pp. 169-176. See also Oliver Bangerter : Territorial gangs and their consequences for humanitarian players’, in this issue. Hagan proposes ‘ that “Organized Crime” be used to refer to crime organization, while “organized crime” will refer to activities, crimes that often require a degree of organization on the part of the committing them’ and notes ‘that not all “organized crime” is committed by “Organized Crime” groups’. See Frank E. Hagan, “Organized Crime” and “organized crime”: indeterminate problems of definition’, in Trend in Organized Crime, Vol. 9, No. 4, 2006, p. 134. Henry H. Kessler, 1995. Medical Rehabilitation, Encyclopedia James O. Finckenauer, ‘Problems of definitions: what is organized crime?” in Trends in Organized Crime, Vol.8. No. 3, 2005, p. 75 Jan van Dijk, ‘Mafia markers: assessing organized crime and its impact on societies’, in Trend in Organized Crime, Vol. 10, 2007, p.40; Allan Castle, “Transnational organized crime and international security’, Institute of International relations, University of British Columbia, Working Paper No. 19, 1997, p. 2; Stefan Mair, “The world of privatized violence”, in Alfred Pfaller and Marika Lerch (eds), Challenges of Globalization: New Trend in International Politics and Society, Transaction Publishers, New Brunswick, NJ, 2005, p. 54. Michael Levi, ’Organized crime and Terrorism’ in Mike Maguire, Rod Organ, and Robert Reiner (eds) The Oxford Handbook of Criminology, Oxford University Press, Oxford and New York, 2007, p. 771; Hans Joachim Schneider, ‘Organisiertes Verbrechen’, in Rudolf Sieverts and Hans Joachim Schneider (eds) Handworterbuch der Kriminologie, de Gruyter, Berlin and New York, 1998, p.562. Michael Woodiwiss and Dick Hobbs, ’Organized evil and the Atlantic Alliance: moral panic and the rhetoric of organized crime policing in America and Britain,’ in British Journal of Criminology, Vol. 49, 2009, pp. 106-128 Muhammad Mustofa, 2007. Kriminologi, Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum, Penerbit FISIP UI Press Sahetapy, J.E. 1995. Karya Ilmiah Pakar Hukum – Bunga Rampai Viktimisasi, Penerbit Eresco bandung Shaw, Garth and A.M. Williams 1997. Individual Consumption of Tourism. Dalam France, Soedarto, 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Soebandrio, 2001. Kesaksianku tentang G 30 S, Penerbit Forum Pendukung Reformasi Total, Jakarta JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
57
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERUSAKAN FISIK DAYA TARIK WISATA
Oleh : I Gusti Ketut Ariawan I Made Tjatra Yasa I Wayan Suardana Ida Bagus Surya Darma Jaya Anak Agung Ngurah Yusa Darmadi Abstract Development of the tourism sector, has resulted in widespread phenomenon that affects the environment. Act No. 10 of 2009, in the criminalization of policy as well as criminal still not adequate. Law no. 10 of 2009 requires that the physical damage tourism in the formulation ofsubstantive offense, in terms of occurrence of criminal damage tophysical attraction can occur with the onset of the prohibited result in the formulation of the offense. The consequence of the formulation of criminal acts of physicaldamage materially tourist attraction will cause difficulties in the formulation of physical damage to a tourist attraction, the crime occurred because of “an effect” which is a crime of material, this will cause difficulties, unlike the case with formal offense. Offenserequires the existence of material resulting from the occurrence of acts of physical damage to a major tourist attraction due to theactions specified in limitatif in the formulation of paragraph (2). Another issue related to the subject of a criminal act, which the Law no. 10 Year 2009 on tourism, not to regulate the corporationas the subject of a criminal act, whereas in tourism activity,greater involvement of the corporation. Keywords: criminal liability, physical attraction
1.
Pendahuluan
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) mengamanatkan, bahwa : ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Dalam mewujudkan kemakmuran rakyat berdasarkan amanat konstitusi, diperlukan usaha-usaha untuk memanfaatkan setiap potensi yang ada dengan sebenar-benarnya, baik potensi yang berupa sumber daya alam ataupun sumber daya manusia yang akan mengolahnya, dan tetap didasarkan pada pelestarian alam. Dengan demikian disatu pihak pembangunan dilaksanakan demi tercapainya tujuan nasional yang dicita-citakan, dipihak lain pembangunan itu sendiri juga harus melindungi kepentingan masyarakat dan tetap memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pembangunan pariwisata tidak dapat dilepaskan dengan kondisi alam serta keragaman budaya sebagai pendukung utama kelangsungan sektor pariwisata. Secara geografis, Indonesia menduduki posisi strategis, ditambah lagi dengan keanekaragaman bahasa dan suku bangsa, keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala serta peninggalan sejarah, seni dan budaya, merupakan sumber daya serta modal dalam membangun sektor pariwisata. Eksploitasi terhadap keindahan alam Indonesia, dalam mendukung pembangunan sektor pariwisata, telah
58 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perusakan Fisik Daya Tarik Wisata
mengakibatkan munculnya fenomena yang berdampak luas terhadap kelestarian lingkungan hidup. Padahal, di dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, diisyaratkan : “kepariwisataan merupakan bagian intergral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan dan bertanggungjawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup serta kepentingan nasional” Ini tentunya sejalan dengan apa yang digariskan dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengisyaratkan bahwa dalam setiap kegiatan atau usaha yang berkaitan dengan lingkungan hidup adalah bagaimana pencegahan serta penanggulangan pencemaran/ perusakan lingkungan hidup. Dalam hal ini UU No. 23 tahun 1997 juga memuat prinsip-prinsip pokok pengelolaan lingkungan hidup sebagai “instrumen pengaman masa depan”, diantaranya : 1) pelestarian fungsi lingkungan yang mengatur pentingnya analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan pengelolaan limbah hasil usaha; 2) persyaratan penataan lingkungan hidup seperti pentingnya perizinan, pengawasan, audit lingkungan; dan 3) penerapan sanksi baik sanksi administratif, perdata maupun sanksi pidana.1 Mengingat pentingnya daya tarik wisata, maka di dalam ketentuan Pasal 27 UU No. 10 Tahun 2009 ditentukan tentang larangan, perusakan terhadap fisik daya tarik wisata, yang selengkapnya dapat dibaca : (1) setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya tarik pariwisata. (2) Merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah melakukan perbuatan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu, mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil, menghancurkan atau memusnahkan daya tarik wisata sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan / atau Pemerintah Daerah. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan (2) ancaman pidananya ditentukan dalam Pasal 64, yang secara jelas menentukan : (1) setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). (2) Setiap orang yang karena kelalaiannya dan melawan hukum merusak fisik atau mengurangi nilai daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Rumusan Pasal 64 ayat (1) dan (2) membedakan ancaman pidana apabila tindak pidana terjadi karena kesengajaan dengan karena kelalaian. Mencermati rumusan Pasal 27, ada beberapa persoalan yang perlu dikaji lebih lanjut sebagai suatu permasalahan yang sifatnya mendasar. Permasalahan pertama adalah : Rumusan Pasal 27, memberikan kemungkinan atau dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya, dalam rumusan merusak fisik daya tarik wisata , tindak pidana terjadi karena “suatu akibat” yang merupakan delik materiel, hal ini akan menimbulkan kesukaran, berbeda halnya dengan delik formil. Delik materiel mensyaratkan 1
Koesnadi Hadjasoemantri 2001. Hukum Tata Lingkungan, edisi ke tujuh, cetakan ke 16, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,. hal. 231 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
59
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
adanya akibat dari perbuatan yakni terjadinya rusaknya fisik daya tarik wisata yang diakibatkan oleh perbuatan yang ditentukan secara limitatif dalam rumusan ayat (2). Sementara itu, syarat limitatif berupa “mencemarkan lingkungan” dalam ayat (2) juga menimbulkan konsekuensi yuridis, yakni apabila akibat pencemaran dimaksud baru dirasakan akibatnya setelah selang beberapa waktu, bisa juga tahunan, di mana bahan-bahan pencemaran itu berakumulasi (setelah adanya konsentrasi tinggi) dalam media lingkungan2. Permasalahan kedua, bertalian dengan realita bahwasanya dalam dasa warsa terakhir, tindak pidana lingkungan banyak juga dilakukan korporasi dalam bentuk badan hukum/bukan badan hukum, namun dalam UU No 10 tahun 2003, korporasi Belem dirumuskan sebagai subyek tindak pidana, padahal diketahui, badan hukum adalah subyek hukum dalam hubungan hukum yang dapat membawa hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum3 Korporasi sebagai subjek hukum dapat juga bertindak dalam pemenuhan hak dan kewajiban hukum atau bahkan dapat menerima sanksi hukum, baik sanksi administrasi, perdata, tata tertib bahkan sanksi pidana. 2.
Permasalahan.
Latar belakang pemikiran sebagaimana telah dipaparkan di atas, memunculkan beberapa persoalan yang memerlukan kajian lebih lanjut. Dalam tulisan ini, 2 (dua) rumusan masalah yang diangkat adalah : a. Masalah pembuktian tindak pidana perusakan daya tarik fisik pariwisata; b. Pertanggungjawaban Korporasi dalam tindak pidana perusakan daya tarik fisik pariwisata. 3.
Pembahasan
Tentang kebijakan kriminalisasi UU No. 10 tahun 2003 dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 27, yang menentukan : (1) setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya tarik pariwisata. (2) Merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah melakukan perbuatan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu, mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil, menghancurkan atau memusnahkan daya tarik wisata sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan / atau Pemerintah Daerah. Dari ragaan tersebut di bawah dapat diketahui bahwa ketentuan pidana UU No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, kebijakan formulasi ketentuan pidananya hanya mencantumkan orang perorangan (personlijk persoon) sebagai subyek tindak pidana. Rumusan delik tentang perusakan daya tarik pariwisata dirumuskan secara materiil, dalam artian, delik tersebut dianggap selesai (voltoid) apabila timbul akibat yang dilarang oleh UU (baca rumusan delik). Akibat yang dilarang adalah : berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan / atau Pemerintah Daerah. 2 3
Lihat pula Raja Siregar 2006. Air Mata di Minahasa. Buletin Tanah Air WALHI. Jakarta. hal.5 Chaidir Ali 1991. Badan Hukum, Bandung : Penerbit Alumni,. hal. 62.
60 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perusakan Fisik Daya Tarik Wisata
Tentang cara / perbuatan, ditentukan secara limitatif, yakni : mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu, mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil, menghancurkan atau memusnahkan daya tarik wisata. Persoalan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu, memindahkan, mengambil, menghancurkan atau memusnahkan daya tarik wisata, mungkin saja tidak banyak menimbulkan persoalan dalam masalah pembuktiannya, tetapi persoalan yang dapat muncul adalah rumusan “mencemarkan lingkungan”. Ketentuan Pasal ini memberikan kemungkinan atau dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya, dalam rumusan pencemaran lingkungan hidup, tindak pidana terjadi karena “suatu akibat” yang merupakan delik materiil, hal ini akan menimbulkan kesukaran, beda halnya dengan delik formil, seperti melanggar ambang batas atau perizinan dapat dikonstruksi sebagai perbuatan melanggar peraturan perundangan. No
Subyek tindak pidana
Perbuatan yg dilarang -
1
2
Setiap orang
Korporasi
merusak fisik daya tarik wisata
-
-
Melakukan perbuatan/ Cara Mengubah warna Mengubah bentuk Menghilangkan species tertentu Mencemarkan lingkungan Memindahkan Mengambil Menghancurkan atau memusnahkan -
Sasaran
Daya tarik wisata
-
Akibat Berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan / atau Pemerintah Daerah -
Delik materiil mensyaratkan adanya akibat dari perbuatan yakni terjadinya akibat yang dilarang dalam rumusan delik. Di dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2009 akibat dari perbuatan yakni terjadinya rusaknya fisik daya tarik wisata yang diakibatkan oleh perbuatan yang ditentukan secara limitatif dalam rumusan ayat (2). Sementara itu, syarat limitatif berupa “mencemarkan lingkungan” dalam ayat (2) juga menimbulkan konsekuensi yuridis, yakni apabila akibat pencemaran dimaksud baru dirasakan akibatnya setelah selang beberapa waktu, bisa juga tahunan, di mana bahan-bahan pencemaran itu berakumulasi (setelah adanya konsentrasi tinggi) dalam media lingkungan .4 Tentang pencemaran lingkungan memang telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana di dalam ketentuan umum Pasal I angka 12 dimana disebutkan bahwa, pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Dari perumusan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan unsur-unsur pencemaran lingkungan hidup sebagai berikut : 1) Masuknya atau dimasukannya mahiuk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lainnya kedalam lingkungan hidup, 2) Dilakukan oleh manusia, 4
Lihat pula Raja Siregar 2006. Air Mata di Minahasa. Buletin Tanah Air WALHI. Jakarta. hal.5 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
61
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
3)
Menimbulkan penurunan kualitas lingkungan sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya Untuk memperoleh kejelasan mengenai kalimat terakhir Pasal 1 angka 12 yang berbunyi, “... sehingga kualitas lingkungan turun sampai “ketingkat tertentu” yang menyebabkan lingkungan menjadi berkurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya”, maka tidak cukup ditentukan dari perspektif yuridis semata, namun sangat ditentukan pula oleh kajian disiplin lain di luar ilmu hukum. Sedangkan ancaman pidana atas terjadinya pencemaran lingkungan diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 UU No. 23 Tahun 1997 terdapat makna strafbaar feit yakni : 1. Barang siapa; 2. secara melawan hukum; 3. sengaja atau kealpaan; 4. mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup; dan 5. diancam dengan hukuman. Rumusan pasal di atas menegaskan sebagai suatu strafbaar feit di mana adanya tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang yakni terjadinya pencemaran lingkungan, maka perbuatan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dan dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Terjadinya pencemaran lingkungan sebagai akibat dan perbuatan manusia, di mana Lingkungan merupakan media manusia untuk melakukan berbagai aktifitas termasuk melakukan pengelolaan/pemanfataan lingkungan seperti usaha atau kegiatan pembangunan sektor ekonomi. Dari rumusan pasal di atas maka dapat disimpulkan unsur-unsur perusakan lingkungan adalah sebagai benikut : 1. adanya tindakan. 2. yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan. 3. yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Dalam hal terjadinya perusakan lingkungan, yang menjadi masalah adalah kritenia apakah untuk menentukan telah terjadinya perubahan fisik dan atau hayati, dan kriteria apakah untuk menentukan lingkungan masih atau tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan, hal ini tidak hanya dilihat dari perubahan fisik lingkungan saja, akan tetapi dibutuhkan juga disiplin ilmu lain dalam menentukan apakah lingkungan tersebut sudah tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Rumusan ketentuan Pasal 1 angka 12 (pencemaran lingkungan hidup) dan Pasal 1 angka 14 (perusakan lingkungan hidup) dalam UU No. 23 Tahun 1997, beberapa kalangan menilai bahwa perumusan tersebut kurang tepat. Diantaranya ada yang menilai bahwa perumusan tersebut agak lemah, karena hanya mengatur perkara lingkungan hidup yang “over aktif ’ saja, yaitu hanya mengaitkan pada pecemaran dan perusakan lingkungan sehingga kurang menjangkau luas kepentingan lingkungan hidup yang lain 5 5
N.H.T.Siahaan 1987. Ekologi Pembangunan dan Hukuin Tata Lingkungan, Jakarta : Erlangga,. hal 206
62 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perusakan Fisik Daya Tarik Wisata
Di pihak lain ada yang menilai perumusan tersebut terlalu Luas, sehingga dapat mengundang berbagai penafsiran yang akhirnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, dengan memberikan beberapa contoh pertanyaan: apakah yang dimaksud istilah komponen lainnya” dalam Pasal I angka 12 tersebut belum ada kejelasan apa makna kalimat tersebut ?. Kapankah dikatakan ada perubahan lingkungan”, “menurunnya kualitas lingkungan sampai derajat tertentu” atau “lingkungan menjadi kurang/tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya atau dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan 6 Selain itu, UU No. 23 Tahun 1997 ini juga akan menjadi landansan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang lingkungan hidup yang berlaku, seperti peraturan perundang-undangan mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, pemukiman, penataan ruang, tata guna tanah dan lain-lain (penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1997)7 Sedangkan perbuatan lain yang melanggar ketentuan perundang-undangnan yang berlaku sesuai dengan Pasal 50 (ketentuan penutup) dan UU No. 23 Tahun 1997 yang menyatakan: ”Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini semua peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan undang-undang iini.” Dalam pelaksanaan fungsi pelestarian lingkungan UU No. 23 Tahun 1997 juga menentukan ukuran batasan apakah telah terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup sebagai upaya menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup diatur dalam Pasal 1 angka 11 yang menyatakan Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup : Dalam Pasal I angka 13 menyatakan : Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang; Lebih jelasnya ketentuan di atas dijabarkan juga dalam Pasal 14 UU No. 23 Tahun 1997 3.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam tindak pidana perusakan daya tarik fisik pariwisata.
Ketentuan Pidana UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan hanya menentukan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hal terjadi pelanggaran atas Pasal 27 ayat (1) dan (2) adalah “setiap orang”. Rumusan demikian jelas pertanggungjawaban pidana dibatasi pada orang pribadi, bukan korporasi atau suatu badan. Dengan demikian di dalam UU No. 10 Tahun 2009 masih ada kekosongan norma tentang korporasi, sebagai subyek tindak pidana. Dengan belum tercovernya korporasi sebagai subyek tindak pidana, padahal dalam aktivitas pariwisata, pelaku pariwisata lebih banyak dalam bentuk korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Dalam hal korporasi telah dimasukkan sebagai subyek hukum, persoalan lain juga akan muncul, yakni bagaimana mengkonstruksi kesalahan korporasi berupa kesengajaan dan kealpaan, karena unsur kesalahan ini adalah syarat untuk adanya pertanggungjawaban korporasi. Di mana kesalahan hanya dapat dilakukan oleh manusia dan 6 7
Barda Nawawi Arief 1982, ”Masalah Pemidanaan Sehubungan Dengan Perkembangan Krirninalitas dan Perkembangan Delik-delik Khusus dalarn Masyarakat Modern”. Makalah dalam Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat yang Mengalaini Modernisasi, Bina Cipta, Bandung. hal.18-19. Ibid JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
63
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
dapat dipertanggungjawabkan. Dalam mengkonstruksi adanya kesalahan maka disyaratkan adanya unsur kesengajaan, di mana pelaku memang memiliki keinginan untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu. Oleh karena itu, unsur kesalahan hanya dapat dipenuhi oleh orang (naturlijk persoon). Bagi korporasi, unsur kesalahan ini sulit apabila diterapkan, karena korporasi bukanlah manusia. Ia tidak memiliki jiwa dan karena itu sulit untuk mengetahui sifat serta mengukur kedewasaannya. Namun, apabila korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hanya karena sulitnya membuktikan kesalahan, maka akan terjadi impunitas terhadap korporasi, padahal korporasi juga banyak melakukan tindak pidana. Pemidanaan terhadap korporasi adalah penting, walaupun korporasi telah banyak mendorong kemajuan ekonomi. Atas dasar moralitas dan tingkat kejahatan yang dilakukan, maka layaklah kejahatan korporasi, dapat dipidana. Kejahatan yang dilakukan korporasi begitu professional dengan struktur organisasi yang begitu luas, menjadi ruang yang potensial munculnya kejahatan sehingga sulit untuk diberikan batasan apakah yang dilakukan korporasi sebagai kejahatan ataukah tidak. Hal ini di ungkapkan oleh Michael B. Blankenskip, to examine stematically the problem of corporate criminality, specifically addressing the evolution and liminations involved in understanding this genre of crime. The study of corporate criminality also provides us whit the opportunity to explore larger issues, such as social justice. The weight of the evidence strongly suggests that the notion of the rule of law as a 8 prevailing principle of justice as a cruel eupheinism for hegemony Dalam perkembangannya kejahatan dilakukan secara terorganisir dalam perwujudan korporasi, banyak istilah atau pengertian kejahatan korporasi sering terjadi kerancuan dalam membedakan mana sebenarnya kejahatan korporasi baik dan pelaku maupun karakteristik dan kejahatan tersebut. Maka untuk memperjelas masalah tersebut, bisa dijelaskan dengan beberapa batasan pengertian kejahatan kaitannya dengan korporasi diantaranya adalah : 1. Crime for Corporation: Merupakan kejahatan korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi itu sendiri bukan untuk kepentingan individu atau pelaku. ini dilakukan oleh organ korporasi (pengurus) semata-mata hanya untuk keuntungan korporasi. 2. Crime Againt Corporation: Kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan individu yang sering dilakukan oleh pekerja korporasi (employee crime) terhadap korporasi tersebut, inisalnya penggelapan dana perusahaan oleh pejabat atau karyawan dan korporasi itu sendiri. 3. Criminal Corporation: Korporasi yang sengaja dikendalikan untuk melakukan kejahatan, kedudukan korporasi disini hanya sebagai sarana untuk melakukan kejahatan, korporasi hanya sebagai topeng dan tujuan jahatnya 9 Pembedaan diatas semakin menunjukkan, kejahatan tidak hanya dilakukan secara personal akan tetapi sudah begitu profesional dalam suatu wadah organisasi, crime for corporation adalah merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dengan tujuan semata-mata untuk mencari keuntungan ekonomi, atas dasar motif ekonomi ini maka korporasi sering melakukan pelanggaran hukum. 8 9
Michael B. Blankenskip 1993. Understanding Corporate Criininality, New York : Garland Publishing,. hal. xx. H. Setiyono 2002. Kejahatan Korporasi-Analisa Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang : Averroes Press,. hal. 16-18.
64 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perusakan Fisik Daya Tarik Wisata
Belum tercovernya korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 10 Tahun 2009 bukan berarti korporasi lepas dari pertanggungjawaban pidana dalam hal korporasi melakukan tindak pidana perusakan fisik daya tarik wisata, karena terhadapnya dapat diberlakukan UU No. 23 Tahun 1997. Pentingnya pemidanaan terhadap korporasi tidak dapat dilepaskan dengan konsep pemikiran serta argumen yang melatarbelakngi perlunya pemidanaan terhadap korporasi. Dalam perkembangan kejahatan korporasi ini, dapat di inventarisir beberapa bentuk kejahatan dan korban kejahatan korporasi antara lain, pelanggaran terhadap konsumen, pencemaran lingkungan, pelanggaran adminisratif, finansial, perburuhan, manufakturing serta persaingan dagang yang tidak sehat. Oleh karena itu kejahatan korporasi menurut pandangan Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeagar menyatakan bahwa : “A Corpotrate crime is any act cominited by corporation that punished by the state, regardies or whether is it punished under adininistrative, or criinina law” 10 Gejala pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi seperti diatas mempunyai dampak negatif yang resikonya sangat luas terhadap kehidupan sosial, atas dasar ini maka badan hukum mulai menjadi sorotan perhatian para pakar hukum agar badan hukum tidak hanya menjadi subjek hukum perdata akan tetapi juga dapat menjadi subjek hukum pidana sehingga dapat dituntut dan dijatuhi pidana. Faktor yang mempengaruhi pergeseran badan hukum sebagai subjek hukum pidana adalah terutama karena perkembangan ekonomi. Selain itu juga karena tuntutan pembangunan hukum itu sendiri yang menurut Satjipto Raharjo ada dua aspek yang mempengaruhinya yaitu : Pertama modernisasi hukum, yaitu tuntutan dalam memperbaharui hukum positif sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kedua adalah fungsionalisasi hukum dengan memberikan peran pada hukum di dalam mengadakan perubahan pada masa pembangunan 11 Ada beberapa alasan yang cukup mendasar dalam perkembangan hukum pidana mengapa badan hukum atau korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidaa menurut Hamdan adalah sebagai berikut : Karena perkembangan pembangunan dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup, bahwa ternyata untuk beberapa tindak pidana tertentu, hanya ditetapkan pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidaklah cukup sementara keuntungan yang didapat dalam kejahatan tersebut juga banyak dinikmati oleh badan hukum. Sisi lain adalah jika pengurus tersebut terbukti melakukan tindak pidana yang berakibat pada tercemarnya atau bahkan rusaknya lingkungan hidup, maka akan lebih besar kerugian yang diderita negara atau masyarakat (korban) jika dibandingkan dengan denda yang dijatuhkan sebagai pidana terhadap pengurus badan hukum tersebut. Selain denda dipidananya (penjara) pengurus, tidak memberikan jaininan yang cukup bahwa badan hukum tidak akan lagi melakukan tindak pidana, dengan kata lain detterent effect dan perbuatan tersebut tidak dapat diharapkan apabila hanya pengurus saja yang dipidana 12 Ternyata memidana pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan upaya represif terhadap tindak pidana pencemaran/perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh badan hukum, oleh karena itu sangat penting juga untuk dimungkinkan pertanggungjawaban pidana dengan 10 11 12
Clinard, Marshall B & Peter C.Yeagar 1980. Corporate Crime, New York : The Free Press,. hal. 16. Satjipto Raharjo 1983. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : Alumni, hal.231. M.Hamdan, Op. cit, hal. 81-82.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
65
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
memidana korporasi dan pengurus atau pengurus saja, artinya bahwa siapa yang melakukan tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan untuk dijatuhi sanksi pidana. Untuk memperjelas pandangan tentang penjatuhan pidana ada tiga teori yang membenarkan penjatuhan hukum pidana menurut H.L.Packer yaitu : 1. Teori retribution (teori pembalasan), bahwa hakikat dan pembenaran dan pemidanaan itu adalah pembalasan. Seorang yang telah melakukan kejahatan harus dibals dengan hukuman penderitaan yang setimpal sebagai tebusan dan kejahatan yang telah dilakukannya. 2. Teori utilitarian (teori manfaat), bahwa hakikat dan pembenaran dan pemidanaan itu adalah terletak pada menfaat bagi si pelaku kejahatan agar ia tidak berbuat lagi, di samping bermanfaat bagi orang lain/masyarakat guna mencegah mereka supaya tidak melakukan kejahatan. 3. Teori behavioral (teori prilaku), bahwa pembenaran dan pemidanaan itu adalah melalui pendekatan penilaku manusia atau orang yang melakukan kejahatan. Dengan mengetahui sebab-sebab orang berpenilaku jahat, maka kita akan mengetahui bagaimana cara menyelesaikannya apakah dengan cara melumpuhkannya atau mengasingkannya ke dalam penjara atau dengan cara membinanya supaya dia tidak melakukan kejahatan lagi 13 Dari pandangan pemidanaan diatas, pemidanaan terhadap korporasi lebih tepat kiranya digunakan teori utilitarian, dengan dasar bahwa dengan cara menerapkan sanksi pidana dalam UUPLH terhadap badan hukum atau korporasi yang melakukan pencemaran lingkungan hidup, agar badan hukum itu tidak lagi melakukan pencemaran, sekaligus bermanfaat mencegah badan hukum yang lain agar tidak melakukan pencemaran/perusakan lingkungan hidup. Di lihat dari resiko yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi tidak berlebihan kiranya teori pemidanaan Cesare Beccaria dalam bukunya “on crime and punishment” sumbangan terbesarnya dalam hukum pidana adalah konsepsinya bahwa pidana harus cocok dengan kejahatan yang dilakukan “punishment schuld fit the crime”.14 Pandangan ini rasanya lebih mendekati rasa keadilan masyarakat atas dampak kerugian yang diderita atas tindak pidana pencemaran/perusakan lingkungan hidup. Lain halnya dengan Hegel dalam teori absolutnya yang dikenal dengan “quasi-mathematic” mengatakan; “Wrong being (crime) is the nagation of right and punisment is the negation of that negation”. Pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan, karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dan cita-cita susila, maka pidana merupakan “negation der negation” (peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran) 15 Dalam UUPLH mengenai pertanggungawaban pidana badan hukum pencemar/perusak lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 46 UUPLH yakni mereka yang bertindak sebagai peinimpin dalam suatu perbuatan tindak pidana dan badan hukum maupun ataupun kedua-duanya. Dengan demikian dan uraian bunyi Pasal 46 UUPLH apabila suatu korporasi melakukan tindak pidana ada kemungkinan yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya adalah ; pengurus korporasi, korporasi dan pengurusnya dan terakhir korporasi itu sendiri. Tentang pertanggungjawaban korporasi apabila melakukan tindak pidana, masalah yang akan muncul adalah apakah asas-asas umum dalam hukum pidana tentang pertanggungjawaban pidana manusia pribadi (naturlijk person), juga berlaku terhadap badan hokum. Sebab 13 14 15
M. Hamdan, Op. cit, hal.37-58. Barda Nawawi Arif & Muladi; 1992, Teori-teori Kebijakan Pidana dan Pemidanaan. Bandung : Alumni,. hal. 27. Ibid. hal 12
66 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perusakan Fisik Daya Tarik Wisata
bagaimanapun badan hukum tidak sama dengan manusia yang meiniliki sikap batin. S.T. Reid menyatakan bahwa : “The law requires criininal intent, or mens rea , the element required to establish culpability. This element is extremely importtant, for in many cases it will be the critical factor in determining whether an act was or was not a crime” 16 Asas umum yang masih dianut oleh KUHP kita adalah bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia alainiah (naturlijk persoon), tindak pidana dilakukan secara fisik dan asas tiada pidana tanpa kesalahan serta adanya alasan yang mengecualikan hukuman (kejiwaan). Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Berdasarkan hal tersebut Vos tentang pengertian kesalahan mempunyai tiga ciri khas yaitu a) kemampuan bertanggungjawab dan orang yang melakukan perbuatan b) hubungan batin tertentu dan orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan c) tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya. 17 Tentang kesalahan, Roeslan Saleh mengatakan bahwa dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan 18 Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung kepada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Jadi dalam hal perbuatan pidana, disyaratkan adanya peraturan atau undang-undang yang melarang perbuatan tertentu, maka disini berlaku apa yang dinamakan asas legalitas: “Nullurn Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” yang berarti bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali telah ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat dipidana atau tidak, hal ini bergantung kepada apakah ia mempunyai kesalahan. Sebab di dalam hukum pidana berlaku asas “Geen Straf Zonder Schuld” yang berarti tiada pidana tanpa adanya kesalahan. Untuk memperjelas arti tentang kesalahan, yang merupakan syarat menjatuhkan pidana, dijumpai beberapa pendapat antara lain : a) Pompe mengatakan antara lain: Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatanya. Segi dalamnya yang bertalian dengan kehendak si pembuat kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dan dua sudut: menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid) dan menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (verinijdbaarheid) perbuatan yang melawan hukum. b) Mezger mengatakan kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana (Schuldist der Erbegrifff der vorraussezugen, die aus de Straftat einen personlichen Verwurfgegen dan tater begrunden). c) Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “Social-ethisch” dan mengatakan antara lain: Sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch dan si pembuat dan hubungannya terhadap berlaku apa yang 16 17 18
Sui Titus Reid 1985. Crime and Criininology, HoIa-Rreinhard & Winston. hal.7. Leden Marpaung. Op.cit. hal. 28. Roeslan Saleh 1982. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta : Aksara Baru, hal. 75.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
67
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
dinamakan asas legalitas: “Nullum Delicturn Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” yang berarti bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali telah ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan : “Tiada suatu perbuatan boleh di hukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat dipidana atau tidak, hal ini bergantung kepada apakah ia mempunyai kesalahan. Sebab di dalam hukum pidana berlaku asas “Geen Straf Zonder Schuld” yang berarti tiada pidana tanpa adanya kesalahan. Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “Social-ethisch” dan mengatakan antara lain: Sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch dan si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa berdasarkan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dicelakan kepada si pembuat 19. Pandangan lebih khusus dan H.L.Packer tentang adanya kesalahan terhadap seseorang haruslah terlebih dahulu disyaratkan adanya pembuktian ”a person is not to be held quality of crime merely on a showing that in all probability, based upon reliable evidence, he did factually what he is said to have done”20
d)
Pandangan yang berbeda tentang kesalahan sebagai syarat dan adanya penjatuhan pidana terhadap korporasi tidak mutlak adanya kesalahan. Pandangan ini dikemukakan oleh Roeslan Saleh yang berpandangan dualistis atas hal tersebut; Membedakan dapat dipidananya perbuatan dengan dapat dipidanya orang yang melakukan perbuatan, atau membedakan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti yang selauas-luasnya, asas geen straf .zoder schuld tidak mutlak berlaku. Artinya untuk mempertanggungjawabkan korporasi tidak selalu harus memperhatikan kesalahan pembuat. Tetapi cukup mendasarkan adagium res loquitur (fakta sudah bicara sendiri). Karena realitas dalam masyarakat menunjukkan bahwa kerugian dan bahaya yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan korporasi sangat besar, baik kerugian yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial (sosial cost). Disamping itu yang menjadi korban bukan hanya perorangan, melainkan juga masyarakat dan negara 21 Dalam menentukan kesalahan dan korporasi yang melakukan tindak pidana pencemaran/ perusakan lingkungan tidaklah gampang, aparat penegak hukum dalam hal ini sening mengalami kesulitan bagaimana menentukan kesalahan korporasi yang melakukan tindak pidana pencemaran/ kerusakan lingkungan disebabkan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki aparat penegak hukum sementara resiko dan pencemaran/kerusakan lingkungan begitu sangat tinggi. Sehingga dalam hal ini telah terjadi pergeseran dan perubahan konsep tanggungjawab (liability concepts) dan konsep mengenai kesalahan kearah konsep tentang resiko yang kemudian melahirkan “strict liability”. James E. Krier menyatakan The Doktrine of Strict Liability can be of the great aid and comfort in environmental litigation because many of the activities whicht exprerience has shows to be frequent causes injury to the environment have been held to be ultrahazardous for purposes of application of a rule of liability without fault 22 Pandangan yang lebih konkrit dan Reksodipuro, bahwa dalam hal “Public Welfare Offences” untuk memidana badan hukum janganlah terlalu menekankan pada kesalahan, cukup 19 20 21 22
Hamdan, Op. cit, hal. 73-74. Herbert L.Packer, Op.cit, hal. 166. H.Setyono, Op.cit,. hal. 131. Suprapto Wijoyo 2003. Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Diputes Resolution), Surabaya : Airlangga Press, hal.28.
68 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perusakan Fisik Daya Tarik Wisata
apabila telah ada unsur melawan hukun badan hukum tersebut 23 Di Indonesia menurut Hamdan jika badan hukum dituduh berbuat delik yang termasuk dalam “Public Welfare Offences” maka harus digunakan ajaran “fait materiel” di mana tidak diperlukan adanya kesalahan 24 Pendapat lain dan Muladi menyatakan doktnin tentang adanya kesalahan dikecualikan untuk tindak pidana tertentu yaitu doktrin “strict liability” dan doktrin “vicarious liability” Dalam tindak pidana yang menimbulkan resiko yang besar seperti digambarkan diatas bahwa memang tidak mutlak adanya kesalahan, cukup bukti yang memperlihatkan bahwa telah terjadi bahaya besar yang diakibatkan oleh korporasi, maka atas dasar tersebut korporasi juga harus bertanggungjawab atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan, Muladi memberikan alasan kenapa korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana, yaitu karena a) atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan sosial. b) atas dasar asas kekeluargaan c) untuk memberantas anomie of succes (sukses tanpa aturan) d) untuk perlindungan konsumen e) untuk kemajuan teknologi.25 Dari pandangan-pandangan di atas tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, dapat diperjelas dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi sebagaimana dikemuakan Barda Nawawi Arief, sebagai berikut : 1. Direct Liability Doctrine, dalam teori ini ditegaskan perbuatan/kesalahan oleh pejabat senior “senior officer” di indentifikasi sebagai kesalahan korporasi. 2. Vicarius Liability, bahwa majikan (employer,) adalah penanggung jawab utama perbuatan para buruh/karyawan. 3. Strict Liability, adalah teori tanggung jawab mutlak adalah doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang 26 Dari beberapa doktrin tentang korporasi dapat pertanggungjawaban menurut hukum pidana, telah cukup dijadikan suatu titik tolak pemidanaan terhadap korporasi, khususnya juga terhadap korporasdi yang melakukan tindak pidana perusakan fisik daya tarik wisata. 4.
Penutup.
Bertolak dari rumusan masalah serta hasil penelitian serta pembahasan yang telah dipaparkan dalam Bab sebelumnya, dapat dikemukakan simpulan dan saran sebagai berikut : 1.
Simpulan a. Perumusan pasal tentang merusak fisik pariwisata di dalam UU No 10 Tahun 2009, merupakan perumusan delik materiil, dalam artian terjadinya tindak pidana merusak fisik daya tarik wisata dapat terjadi dengan timbulnya akibat yang dilarang dalam
23
Mardjono Reksodipuro 1982. Tinjauan Terhadap Perkembangan Delikdelik Khusus dalam Masyarakat yang Mangalami Modernisasi, Bandung : Binacipta,. hal. 53. M. Hamdan, Op.cit. hal. 97. Dwidja Priyatno 2004. Kebijakan Legslasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung : CV.Utomo, hal.58 Barda Nawawi Arief 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti,. hal. 233-238.
24 25 26
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
69
KERTHA PATRIKA
b.
2.
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
perumusan delik. Kosekuensi dari perumusan tindak pidana merusak fisik daya tarik wisata secara materiil akan menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, belum mengatur tentang korporasi sebagai subyek tindak pidana, padahal dalam aktivitas pariwisata, lebih banyak melibatkan korporasi. Namun demikian, dalam hal korporasi melakukan tindak pidana perusakan fisik daya tarik wisata, dapat diberlakukan undang-undang tentang pengelolaan lingkungan.
Saran a. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan perlu ditinjau kembali, terutama di dalam kebijakan formulasi delik tentang perusakan daya tarik fisik pariwisatanya. b. Mengingat aktivitas pariwisata banyak melibatkan korporasi, maka ke depan korporasi perlu dimasukkan juga sebagai subyek tindak pidana dalam pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana perusakan daya tarik fisik pariwisata.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Buku/Artikel :
Ali, Chidir 1991. Badan Hukum, Bandung : Penerbit Alumni Amsyari, Fuad 1986. Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Jakarta : Ghalia Indonesia, Arief, Barda Nawawi 1982. ”Masalah Pemidanaan Sehubungan Dengan Perkembangan Krirninalitas dan Perkembangan Delik-delik Khusus dalarn Masyarakat Modern”. Kumpulan Makalah dalam Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat yang Mengalami Modernisasi, Bandung : Bina Cipta. ------------dan Muladi; 1992, Teori-teori Kebijakan Pidana dan Pemidanaan. Bandung : Alumni,. ------------1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang : Badan Penerbit UNDIP. ------------2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti. Blankenskip, Michael B. 1993. Understanding Corporate Criminality, New York : Garland Publishing. Clinard, Marshall B & Peter C.Yeagar 1980, Corporate Crime, New York : The Free Press, Fauzi, Noer 2003. Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria, Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global, (Seri gerakan Sosial Baru), Yogyakarta : Insist Press, Hamdan, M 2000. Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung Mandar Maju Hadjasoemantri, Koesnadi 2001. Hukum Tata Lingkungan, edisi ke tujuh, cetakan ke 16, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Harsono, Budi 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok agraria, isi dan Pelaksanaanya. edisi Revisi, Jakarta : Djambatan. Heuvel, Van den. 1989. ”Corporate Crime”, Makalah dalam seininar tentang Kejahatan Korporasi, di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang tanggal 23-24 November 1989 Loqman, Loebby 1989. “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Korporasi dalam Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup”. Makalah dalam Diskusi Dua Hari Tentang Masalah70 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perusakan Fisik Daya Tarik Wisata
masalah Prosedural dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Jakarta. 19-20 Juni M Husen, Harun 1992. Lingkungan Hidup, Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Jakarta : PT. Bumi Aksara Marpaung, Laden 1997. Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya, Jakarta : Sinar Grafika Muladi 1989. ”Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi”, Makalah dalam Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang tanggal 23-24 November 1989. Packer, Herbert L 1969. The Limits of the Criminal Sanction. New York : California University Press Prasetya, Budi 1995. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, Raharjo, Satjipto 1983. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : Penerbit Alumni, Rangkuti, Siti Sundari 2000. Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, Surabaya : Airlangga Press Mardjono Reksodipuro; 1982, Tinjauan Terhadap Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat yang Mangalami Modernisasi, Bandung : Binacipta, Priyatno, Dwidja 2004. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung : CV. Utomo. Saleh, Roeslan 1982. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta : Aksara Baru, Schamffmeister, dkk. dalam terjemahan Sahetapy, J.E; 2003, “Hukum Pidana” Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana dalam rangka kerjasama hukum Indonesia-Belanda, Yogyakarta : Penerbit Liberty Setiyono, H 2002. Kejahatan Korporasi-Analisa Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang : Penerbit Averroes Press. Siahaan, N.H.T. 1987, Ekologi Pembangunan dan Hukuin Tata Lingkungan Jakarta : Erlangga. Siregar ,Raja 2006. Air Mata di Minahasa. Buletin Tanah Air WALHI. Jakarta. Stiglistz, Joseph E 2002, Wahington Consensus (Liberalisasi, Deregulasi, Privatisasi) Arah Menuju Jurang Kemiskinan, Jakarta : Infid Sutherland, E.H 1977, “Crime of Corporation”, dalam Geis dan Meier. White Collar Crime, offences in Bussines, Politics, and the Professions. New York : The Free Press. Titus Reid, Sui 1985. Crime and Criminology, Hola-Rreinhard & Winston. Semendawai, A.H. 2005. Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam RUU KUHP, Jakarta : Penerbit Yayasan Elsam. Tolleng, A.Rahman: 1982. Piramida Korban Manusia; Etika Politik dan Perubahan Sosial, Jakarta : LP3ES, Utrecht; 1960, Hukum Pidana, Jakarta : Universitas Indonesia Press. 2.
Peraturan perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
71
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
PRINSIP NON DISKRIMINASI PERJANJIAN GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) PADA PENGATURAN PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG PARIWISATA DI INDONESIA oleh A.A Gede Duwira Hadi Santosa Ida Bagus Erwin Ranawijaya I Gde Putra Ariana Ni Made Suksma Prijandhini Devi Salain IGN Parikesit Widiatedja ABSTRACT It is unmistakable that GATS agreement has been a cornerstone of proliferation of liberalisation. It consisted two main principle encompassing: most favoured nation and national treatment. According to Uruguay round, investment especially on tourism is a legally binded sector which is obliged to apply non discrimination principle. This research is focused to identify and analyse on three legal problems surprising: 1. The construction of Indonesia’s regulation on foreign investment on tourism, 2. The conformity process of non discrimination principle of GATS in the Indonesia’s regulation on foreign investment on tourism, 3 The policy of Indonesia’s government in regulating non discrimination principle of GATS on foreign investment on tourism. The result of this research revealed that the construction of the regulation on foreign investment on tourism in Indonesia has been implemented from VOC era, old era, new era, and reformation era which has specific and characteristic underlied by political background, social contruction, economic development, and integrated policy. Meanwhile the conformity process of non discrimination principle of GATS is liberalised progressively. Indonesia’s government has applied several differential treatments which can be legal under the progressive liberalisation. Therefore, several policies have been undertaken to regulate non discrimination principle of GATS. Key words: Non discrimination principle, GATS, Foreign Investment, Tourism
1.
Latar Belakang
Penanaman modal secara tepat guna menjadi prasyarat kompulsif dalam mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia menuju kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Argumentasi ini dikarenakan penanaman modal memberikan stimulus dalam mendukung dana dan teknologi untuk menjaga konsistensi dan keberlanjutan pembangunan. Salah satu bidang penanaman modal yang dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia ialah bidang pariwisata. Faktor keanekaragaman hayati dan kekhasan budaya serta keindahan alam merupakan salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia. Realitas ini tentu menarik minat investor baik asing maupun dalam negeri untuk menanamkan modalnya di bidang pariwisata. Salah satu permasalahan dunia dengan adanya globalisasi dan liberalisasi ekonomi terkait dengan iklim penanaman modal adalah adanya jurang perbedaan yang cukup lebar antar negaranegara di dunia. Negara yang mempunyai iklim penanaman modal yang baik dan kondisi yang stabil bagi kegiatan usaha yang sehat serta program penyelesaian sengketa yang adil akan berhasil dalam menarik investor. Sebaliknya negara yang memberlakukan berbagai hambatan 72 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian General Agreement on Trade in Services (Gats) pada Pengaturan Penanaman Modal Asing di Bidang Pariwisata di Indonesia
dalam penanaman modal dapat mengurangi arus modal itu sendiri. Hal ini merupakan efek dari globalisasi yang tidak seimbang, dengan ketidaksetaraan distribusi dari kerugian dan manfaat. Kesenjangan ini menyebabkan polarisasi antara negara satu dengan lainnya, antara suatu kelompok satu dengan lainnya,juga antara individu satu dengan lainnya. Satu pihak bisa maju pesat, pihak lain semakin termajinalisasi. Guna mengatasi kesenjangan itulah dalam putaran Uruguay ditetapkan suatu aturan main di dalam bidang perdagangan jasa. Perjanjian di bidang perdagangan jasa-jasa yang dihasilkan dalam perundingan Putaran Uruguay terdapat dalam General Agreement On Trade In Services yang dalam penulisan selanjutnya disebut GATS. GATS merupakan salah satu isu baru yang dikembangkan dalam perundingan Putaran Uruguay yang sebelumnya tidak pernah menyentuh masalah ini. 1 Dokumen utama GATS merupakan kerangka kerja (framework agreement) yang mencakup aturan permainan yang berlaku secara umum bagi semua sektor-sektor di bidang jasa seperti: perbankan, telekomunikasi, konsultasi, pariwisata, dan pengangkutan. Prinsip-prinsip umum utama yang terurai dalam perjanjian ini adalah prinsip non diskriminasi meliputi: Most Favoured Nation (MFN) dan National Treatment, Transparansi, Progresive Liberalization atau liberalisasi secara bertahap, di samping aturan umum lainnya yang tercantum dalam perjanjian.2 Prinsip non-diskriminasi dalam GATS meliputi prinsip most favoured nation (MFN) dan National Treatment. Prinsip most favoured nation yang selanjutnya disebut MFN (pasal II GATS) adalah suatu Perjanjian dimana setiap negara anggota harus dengan segera dan tanpa syarat memberikan perlakuan yang tidak berbeda (no less favourable) kepada jasa dan pemasok jasa dari negara lain dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada pemasok jasa dari negara lainnya. Dengan demikian maka semua negara harus turut menikmati peluang yang tercapai dalam liberalisasi perdagangan jasa internasional dan memikul jawaban yang sama3. Kaidah lain mengenai prinsip non-diskriminasi adalah kaidah perlakuan nasional atau national treatment (pasal XVII GATS), klausul ini mensyaratkan suatu negara anggota harus memberikan perlakuan kepada jasa dan pemasok dari negara lain yang tidak berbeda dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan terhadap jasa dan pemasok jasa yang berasal dari negara itu sendiri, sesuai dengan jadwal komitmen yang telah disepakati.4 Diterbitkannya Undang-Undang no 7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang pengesahan (ratifikasi)” Agreement Establishing the World Trade Organization” menjadikan Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua Perjanjian yang ada didalamnya telah sah dan menjadi legislasi nasional termasuk Perjanjian GATS ini. Inilah yang pada tataran selanjutnya akan menimbulkan sejumlah permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaannya di lapangan. Guna mengatasi keadaan tersebut di atas, dibutuhkan ketentuan hukum yang telah mengadopsi dan menyesuaikan diri terhadap Perjanjian GATS yang memuat prinsip non diskriminasi. Hal ini harus disertai pula dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia yang mampu mengakomodiir adanya prinsip non diskriminasi Perjanjian GATS tersebut. 1 2 3 4
GATS merupakan hasil kesepakatan putaran Uruguay yang khusus mengatur bidang-bidang perdagangan jasa. Putaran Uruguay sendiri merupakan salah satu agenda rutin GATT/WTO yang menghasilkan adanya suatu persetujuan baru yang memperluas lingkup perdagangan meliputi : perdagangan jasa (GATS), investasi (TRIMs) dan HaKI (TRIPs) H.S Kartadjomena,1996. GATT dan WTO, Sistem Forum dan Lembaga Internasional Di Bidang Perdagangan, Jakarta : UI-Press, h. 77. ibid , h.109. ibid JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
73
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi berharga dalam penanaman modal di Indonesia. Jasa pariwisata menyangkut jasa perhotelan, jasa transportasi (udara maupun laut), dan berbagai jasa lainnya yang tumbuh seiring dengan perkembangan pariwisata. Pada tahun 2001, industri jasa pariwisata menyumbang sekitar USD 5,4 milliar, dan Bali memberikan kontribusi sebesar 40%.5 Kemudian pada tahun 2004 industri pariwisata menyumbang 534.290.000 USD untuk penanaman modal asing dan 312.625.000 USD untuk penanaman modal dalam negeri.6 Kontribusi pariwisata lainnya dapat dilihat dalam Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2002 pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar setelah ekspor migas. Oleh karenanya, sektor ini mampu berperan penting dalam penyerapan kesempatan kerja serta menopang pertumbuhan ekonomi yang sampai saat itu masih lambat Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mengetengahkan judul “ Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian General Agreement on Trade in Services (GATS) Pada Pengaturan Penanaman Modal Asing di Bidang Pariwisata Di Indonesia” yang akan diulas tentang pengaturan penanaman modal asing di bidang pariwisata di Indonesia, kesesuaian prinsip non diskriminasi Perjanjian GATS pada pengaturan hukum mengenai penanaman modal asing di bidang pariwisata yang ada di Indonesia, dan berbagai kebijakan yang berhubungan dengan pelaksanaan prinsip non diskriminasi dalam Perjanjian GATS yang diambil oleh pemerintah Indonesia. II.
Metode Penelitian
Secara umum penelitian yang diambil disini adalah penelitian hukum normatif (normative legal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan-perundangundangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Pada penelitian ini, penulis akan dikaji konstruksi pengaturan dan kesesuaian prinsip non diskriminasi Perjanjian GATS pada pengaturan penanaman modal asing di bidang pariwisata di Indonesia disertai kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia.Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.7 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1
Konstruksi Pengaturan Penanaman Modal Asing di Bidang Pariwisata
3.1.1 Masa Mulai Berlakunya Tanam Paksa oleh VOC Di Indonesia, salah satu negara Eropa Barat yang paling kuat melakukan membangaun fundamental ekonomi yang kapitalistik atau eksploitatif adalah Belanda. Pada tahun 16001800 penguasaan dilakukan melalui Persatuan Pedagang Belanda (VOC) yang menerapkan pola monopoli dalam membeli komoditas perdagangan nasional seperti lada, pala, cengkeh, kopi, dan gula. Setelah VOC bangkrut (bubar) tahun 1799, dikarenakan pemerintahan Belanda 5 6 7
Ida Bagus Wyasa Putra (ed) ,2003. Hukum Bisnis Pariwisata, Bandung :Refika Aditama, h.32 Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2004, www.budpar.go.id/statistik.html/catid/231204/ diakses pada 22 Januari 2006 Soejono dan H. Abdurahman, 2003.Metode Penelitian Hukum, Jakarta :Rineka Cipta, h. 56
74 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian General Agreement on Trade in Services (Gats) pada Pengaturan Penanaman Modal Asing di Bidang Pariwisata di Indonesia
telah di duduki oleh Jerman, untuk sementara pemerintahan di Hindia Belanda di ambil alih oleh Inggris selama 1811-1816. Letnan Gubernur Thomas R. Raffles mempekenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Tahun 1830 Hindia Belanda sudah kembali di kuasai oleh Belanda, kebijakan ekonomi yang kemudian di gunakan adalah Sistem Tanam Paksa, yang bertujuan mengisi kekosongan kas atau defisit anggaran pemerintah Belanda yang diakibatkan oleh kekalahannya dalam perang yang berkepanjangan. Sistem ini adalah manifestasi dari spesialisasi paksaan yang didasarkan analisa keuntungan komparatif David Ricardo yang kemudian diterapkan oleh negara penjajah terhadap setiap negara jajahannya8, hal ini berlaku pula terhadap Penanaman modal yang mana banyak perusahaan perkebunan Belanda menanamkan modalnya di Indonesia dengan mengadopsi sistem tanam paksa untuk lebih meningkatkan eksistensi dan keuntungannya. 3.1.2 Penanaman Modal Asing di Era Orde Lama Dalam perkembangannya kebijakan pemerintah orde lama itu yang bernafas patriotisme dengan melakukan berbagai nasionalisasi menimbulkan permasalahan baru. Dimana eksistensi sebuah lembaga hukum penanaman modal terancam, kebijakan nasionalisasi itu menyebabkan pemilik modal asing enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia,mereka takut selain kondisi sosial politik saat itu yang tidak stabil juga ketakutan akan kelangsungan hidup perusahaannya kelak di Indonesia. Disini dapat terlihat bahwa faktor politik begitu mendominasi terkait eksistensi penanaman modal asing. Kebijakan-kebijakan mengenai penanaman modal asing cenderung mengakibatkan menurunnya nilai penanaman modal asing di Indonesia. Kondisi ini diperparah kondisi masyarakat Indonesia yang boleh dikatakan belum siap dalam menerima setiap penanaman modal asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Euforia kemerdekaan masih menjadi isu yang utama dan belum menganggap penanaman modal asing sebagai hal yang memberikan kontribusi bagi pembangunan. Selain itu pengaruh dari adanya penanaman modal asing dikhawatirkan bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan kepribadian bangsa. 3.1.3 Penanaman Modal Asing di Era Orde Baru Orde baru sebagai pembuat UU PMA ( UU no 1 tahun 1967) telah membuka kran penanaman modal secara luas,bahkan saking luasnya mengakibatkan penanaman modal asing dan pinjaman luar negeri mengakibatkan ketimpangan dalam kehidupan bangsa. Ini terjadi karena terjadi sebuah konfigurasi ekonomi yang bersifat oligarkhi, dimana kedaulatan ekonomi ditentukan oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan untuk menetapkan sebuah kebijakan termasuk didalamya penanaman modal asing berdasarkan kepentingan krono-kroninya. Pada masa orde baru inilah lembaga hukum penanaman modal asing mencapai puncaknya, adanya ketentuan-ketentuan ekonomi Internasional seperti adanya ketentuan-ketentuan GATT/ WTO dan gencar-gencarnya pembicaraan mengenai Tata Ekonomi Dunia Baru yang mana bidang Penanaman modal menjadi salah satu elemen krusialnya,mengakibatkan diadopsinya ketentuan-ketentuan hukum barat yang melandasi aturan hukum GATT/WTO tersebut ke dalam ketentuan hukum nasional. Hal ini pada awalnya sempat menimbulkan kerancuan karena sebagai negara berkembang dan dari dunia ketiga tentu tidaklah mudah dalam menerapkan 8
Heri Kristanto. “MENIMBANG SEJARAH DALAM EKONOMI INDONESIA”www.ekonomirakyat.com, 11 januari 2003
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
75
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
ketentuan-ketentuan tersebut secara langsung dan tepat. 3.1.4 Penanaman Modal Asing di Era Reformasi Memasuki era liberalisasi, pemerintah Indonesia sesungguhnya dapat dikatakan terlambat dalam menerbitkan sebuah kaidah hukum yang mengadopsi GATT/WTO dan GATS, Menyangkut pengaturan perusahaan asing, setelah mengalami perdebatan yang panjang dan berlarut-larut, pemerintah akhirnya menerbitkan Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang benar-benar sangat akomodatif dan permisif terhadap ketentuan dalam GATT/WTO dan GATS. Pada asasnya undang-undang ini menerapkan perlakuan sama dan tidak membedakan asal negara suatu investor. Undang-undang ini sempat memunculkan reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia karena memperbolehkan penanaman modal asing untuk memiliki hak atas tanah yang diberikan, dan dapat diperpanjang sekaligus di muka, serta dapat pula diperbarui kembali. Jika diakumulasikan, hak guna usaha dapat diberikan dengan total waktu 95 tahun, hak guna bangunan diberikan dengan total waktu 80 tahun dan hak pakai diberikan dengan total waktu 70 tahun. Pada perkembangan terakhir, Mahkamah Konstitusi membatalkan isi ketentuan ini karena dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria. 3.2 Kesesuaian Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian GATS Pada pembahasan menyangkut kesesuaian prinsip non diskriminasi Perjanjian GATS pada pengaturan penanaman modal asing di bidang pariwisata di Indonesia, penelitian ini mengidentifikasi dua hal yang menjadi topik pembahasan yaitu menyangkut aspek perizinan penanaman modal asing di bidang pariwisata dan pemberian fasilitas-fasilitas dalam penanaman modal asing di bidang pariwisata. Hal ini disebabkan karena dalam dua hal tersebut sangat erat kaitannya dengan pemberlakuan prinsip non diskriminasi yang meliputi most favoured nation dan national treatment yang telah menjadi kesepakatan Internasional melalui GATT/WTO dan GATS. 3.2.1 Kesesuaian Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian GATS Pada Pengaturan Perizinan Berdasarkan amanat prinsip most favoured nation itu, pemerintah tidak memberlakukan ataupun mengistimewakan suatu negara tertentu yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Setiap investor diberikan perlakuan yang sama antar negara dengan tidak melihat kondisi negara tersebut (negara maju atau negara berkembang) ataupun negara tersebut masuk dalam suatu keanggotaan organisasi internasional ataupun forum kerjasama internasional antar negaranegara. Pada hakekatnya pelaksanaan prinsip most favoured nation dalam perizinan penanaman modal asing di bidang pariwisata dapat diterapkan secara penuh. Hal ini didukung dengan kenyataan bahwa untuk memenuhi pembiayaan pembangunan melalui penanaman modal, pemerintah pada awalnya mengutamakan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri baik pemerintah (anggaran pemerintah) maupun sektor swasta. Pemerintah Indonesia masih memberlakukan perbedaan-perbedaan perlakuan pada proses perizinan dalam penanaman modal asing di bidang pariwisata, khususnya terkait prinsip national treatment yang menghendaki adanya persamaan antara pelaku investor dalam negeri dengan 76 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian General Agreement on Trade in Services (Gats) pada Pengaturan Penanaman Modal Asing di Bidang Pariwisata di Indonesia
investor asing. Hal ini terlihat dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Hal-hal yang masih berbeda menyangkut penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri pada bidang pariwisata sejauh yang ditemukan dalam penelitian ini adalah menyangkut hal-hal seperti : a. Bidang Usaha Pariwisata Pada bidang usaha pariwisata, Pasal 14 Undang-undang No.10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, tidak menyebutkan dengan tegas adanya pembatasan-pembatasan bidang usaha dalam aktivitas pariwisata. Undang-undang ini hanya menyebutkan jenis-jenis bidang usaha dalam lapangan usaha pariwisata yang meliputi: daya tarik wisata, kawasan pariwisata, jasa transportasi wisata, jasa perjalanan wisata, jasa makanan dan minuman, penyediaan akomodasi, penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi, penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran, jasa informasi pariwisata, jasa konsultan pariwisata, jasa pramuwisata, wisata tirta dan spa. Perbedaan perlakuan dalam bidang usaha sesungguhnya memang bertentangan dengan Perjanjian GATS. Artikel II jo. XVII Perjanjian GATS melarang negara anggota WTO memberikan tindakan yang berbeda antara penyedia jasa asing dengan penyedia jasa dalam negeri. Negara anggota dilarang melakukan diskriminasi terkait commercial presence dari perusahaan jasa asing. Dengan kata lain, investasi jasa dalam bidang usaha yang termasuk dalam komitmen liberalisasi suatu negara harus mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah dengan tidak mendikotomikan statusnya sebagai PMA atau PMDN. b.
Bentuk Badan Usaha Pariwisata Menyangkut bentuk badan usaha hotel yang merupakan usaha penyediaan akomodasi pariwisata, Pasal 59 Peraturan Pemerintah No.67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan yang dinyatakan masih tetap berlaku, menyebutkan bahwa usaha hotel harus berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Keputusan Menteri Pariwisata No. KM.94/HK.103/MPPT-87 lalu menetapkan secara lebih tegas terhadap bentuk usaha hotel. Keputusan menteri ini menyebutkan bahwa hotel bintang 1 (satu) dan 2 (dua) dapat menggunakan perseroan komanditer (CV), firma atau koperasi, sementara untuk hotel bintang 3 (tiga), 4 (empat) dan 5 (lima) harus berbentuk badan usaha Perseroan Terbatas (P.T).
c.
Tenaga Kerja pada Usaha Pariwisata Pasal 10 ayat 2 Undang-undang 25 tahun 2007 menyebutkan bahwa perusahaan baik asing ataupun dalam negeri berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kemudian pasal 10 ayat 4 mencantumkan persyaratan bahwa perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada warga negara Indonesia.
Perbedaan perlakuan menyangkut tenaga kerja sesungguhnya bertentangan dengan Perjanjian GATS. Namun Perjanjian GATS belum mengatur ketentuan larangan bagi pengutamaan tenaga kerja dalam negeri. Hanya saja, terdapat pembatasan jasa yang diatur dalam Artikel XVI ayat (2) huruf d Perjanjian GATS, yang melarang pembatasan jumlah personil yang diperkerjakan oleh pemasok jasa dalam sektor jasa tertentu. Persyaratan pembatasan ini JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
77
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
bahkan tidak dibenarkan dengan alasan penilaian kebutuhan secara ekonomis. Meskipun demikian, Indonesia belum menerima larangan tersebut dalam schedule of specific commitment-nya. Oleh karena itu, adanya pembatasan khusus terhadap jumlah personil sektor jasa berdasarkan hukum di Indonesia masih diperbolehkan. 9 d.
Pemakaian Tanah pada Usaha Pariwisata Pasal 21 ayat 1 Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, menyatakan bahwa hanya warga-negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Pembatasan dalam kepemilikan hak milik serta syarat-syaratnya merupakan sesuatu yang sangat rasional. Sebab, apabila orang asing atau badan hukum asing diberikan keleluasaan untuk memiliki hak milik atas tanah, maka lambat laun tanah Indonesia akan habis dimiliki oleh orang asing yang memiliki ketersediaan modal tidak terbatas. Adanya pembatasan hak milik atas tanah ini sesuai dengan asas nasionalisme dalam hukum agraria. Ditutupnya kemungkinan orang asing untuk mempunyai hak milik atas tanah juga tidak berarti bahwa orang asing tidak dapat memiliki hak atas tanah. Warga negara asing dapat memiliki hak atas tanah, tetapi di luar tanah hak milik.10
3.2.2 Kesesuaian Prinsip Non Diskriminasi Dalam Pengaturan Pemberian Fasilitas dan Insentif Salah satu upaya untuk meningkatkan arus penanaman modal asing adalah dengan memberikan fasilitas-fasilitas dan kelonggaran-kelonggaran yang merupakan stimulus agar investor berminat untuk menanamkan modalnya di Indonesia . Dengan adanya fasilitas-fasilitas ataupun insentif-insentif yang diberikan Indonesia juga memiliki daya saing dengan host country lainnya yang telah lebih dulu memberikan berbagai fasilitas ataupun kemudahan-kemudahan dalam menanamkan modalnya. Pada akhirnya dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki dapat menempatkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia Pemberlakuan berbagai fasilitas dan kelonggaran atau insentif perpajakan tersebut pada dasarnya diberikan kepada semua negara yang akan menanamkan modalnya di Indonesia sebagai salah satu penarik / perangsang bagi investor dalam pelaksanaan penanaman modal. Tidak ada suatu keistimewaan yang diberikan kepada suatu negara ataupun kelompok negara tertentu untuk diperlakukan berbeda satu sama lain. Dalam penanaman modal asing tidak terdapat pendikotomian antara negara maju dan berkembang ataupun pemisahan antara negara industri dengan non-industri. Hal ini telah sesuai dengan amanat prinsip most favoured nation, khususnya mengenai penanaman modal asing di bidang pariwisata. Pada pemberian fasilitas dan insentif dalam Penanaman Modal khususnya di bidang pariwisata, dalam pelaksanaannya tidak terdapat suatu perbedaan antara investor asing dengan investor dalam negeri. Setiap pemberian fasilitas dan insentif dalam Penanaman Modal ternyata tidak melihat atau membedakan investor lokal dengan asing. Hal ini tentunya berbeda jika dibandingkan dengan pengurusan perijinan dalam Penanaman Modal dimana masih terdapat perbedaan perlakuan antara investor asing dengan investor dalam negeri.
9 10
Mahmul Siregar, op.cit., h.289. IB Wyasa Putra dkk,op.cit.,h.87. Lihat juga Urip Santoso.2006. Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media, h.93-95.
78 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian General Agreement on Trade in Services (Gats) pada Pengaturan Penanaman Modal Asing di Bidang Pariwisata di Indonesia
3.3
Kebijakan Pemerintah Indonesia terkait Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian GATS
3.3.1 Dalam Bentuk Undang-undang a. Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Memasuki era liberalisasi jasa, pemerintah Indonesia sesungguhnya dapat dikatakan terlambat dalam menerbitkan sebuah kaidah hukum yang mengadopsi prinsip non diskriminasi Perjanjian GATS. Menyangkut pengaturan perusahaan asing, setelah mengalami perdebatan yang panjang dan berlarut-larut, pemerintah akhirnya menerbitkan Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang benar-benar sangat akomodatif dan permisif terhadap ketentuan dalam Perjanjian GATS. Pada asasnya undang-undang ini menerapkan perlakuan sama dan tidak membedakan asal negara suatu investor. Undang-undang ini sempat memunculkan reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia karena memperbolehkan investasi asing untuk memiliki hak atas tanah yang diberikan, dan dapat diperpanjang sekaligus di muka, serta dapat pula diperbarui kembali. Jika diakumulasikan, hak guna usaha dapat diberikan dengan total waktu 95 tahun, hak guna bangunan diberikan dengan total waktu 80 tahun dan hak pakai diberikan dengan total waktu 70 tahun. Pada perkembangan terakhir, Mahkamah Konstitusi membatalkan isi ketentuan ini karena dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria. b. Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Setelah menunggu cukup lama, pemerintah akhirnya menerbitkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang dalam penulisan selanjutnya disebut UUK. Pasal 22 point a UUK menentukan bahwa setiap pengusaha pariwisata berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan. Pemerintah dan pemerintah daerah pun berkewajiban dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi: terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian hukum. Pasal 23 ayat 1 point b UUK mengatur ketentuan ini. Sementara pasal 26 point c UUK mewajibkan setiap pengusaha pariwisata untuk memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif. 3.3.2 Dalam Bentuk Aturan Pelaksanaan a. Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994. Memasuki era globalisasi dengan disetujuinya Putaran Uruguay, pemerintah Indonesia sebenarnya telah menyiapkan sebuah peraturan pemerintah yang dikeluarkan sebagai upaya antisipasi dalam menghadapi globalisasi tersebut. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Menurut pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing, perusahaan patungan antara modal asing dan dalam negeri dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
79
KERTHA PATRIKA
b.
c.
d.
11
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kareta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media. Mengenai kepemilikan saham, saham peserta Indonesia berdasarkan pasal 6 dalam perusahaan sekurang-kurangnya ialah 5 % (lima perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian. Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004. Guna menghadapi adanya prinsip non diskriminasi Perjanjian GATS pada penanaman modal asing di bidang pariwisata, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan satu atap yang bersifat non diskriminasi. Ini dilakukan karena Undang-undang yang mengatur kegiatan investasi jasa pariwisata di Indonesia masih belum mengadopsi adanya prinsip non diskriminasi Perjanjian GATS. Adanya Keputusan Presiden ini diharapkan dapat memberikan kepastian berusaha dan persamaan perlakuan bagi investor yang menanamkan modalnya di Indonesia khusunya di bidang jasa pariwisata. Pada pertimbangannya, keppres ini dibuat dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam menarik investor untuk melakukan investasi di Indonesia, sehingga dipandang perlu untuk menyederhanakan sistem pelayanan penyelenggaraan penanaman modal dengan metode pelayanan satu atap Penerbitan Inpres No.3 Tahun 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya meneken Inpres No 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Paket ini memuat 85 langkah yang harus dilakukan pemerintah dalam setahun untuk memperbaiki iklim investasi. Paket ini tidak hanya mencakup deregulasi investasi umum, tetapi juga meliputi aspek lain dalam perekonomian seperti: kepabeanan dan cukai, perpajakan, ketenagakerjaan serta usaha kecil menengah. Paket ini juga mengamanatkan harmonisasi berbagai peraturan serta perundang-undangan yang ada, terutama yang berkenaan dengan kelancaran arus barang dan modal, baik yang bersifat horizontal administrasi pusat maupun vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.11 Peraturan Presiden No.36 Tahun 2010 Sebagai tindak lanjut Undang-undang no. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, pemerintah lalu menetapkan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2010 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal atau yang lazim disebut sebagai daftar negatif investasi. Dalam produk hukum yang mulai berlaku sejak 25 mei 2010 tersebut, bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. Sementara itu, bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.
Jawa Pos, 3 Maret 2006. Paket Investasi Diluncurkan, h.5
80 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian General Agreement on Trade in Services (Gats) pada Pengaturan Penanaman Modal Asing di Bidang Pariwisata di Indonesia
Menyangkut sektor pariwisata, terdapat beberapa bidang usaha yang terbuka bagi kepemilikan asing dengan proporsi saham yang bervariasi mulai 49%, 51%, 67% hingga 100% dengan persyaratan lokasi dan kesesuaian dengan peraturan daerah (Perda) setempat. Konstruksi ini telah memperluas komitmen liberalisasi pariwisata Indonesia sejak pertama kali digulirkan pada 1 Januari 1995. Usaha jasa pariwisata yang terbuka bagi kepemilikan asing hingga 100 % adalah usaha jasa Golf yang harus terletak di kawasan timur Indonesia yakni Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Sementara itu, usaha jasa pariwisata yang terbuka bagi kepemilikan asing hingga 67% meliputi: galeri seni, galeri pertunjukan seni, dan ketangkasan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah setempat. Usaha jasa pariwisata yang terbuka bagi kepemilikan asing hingga 51% meliputi: 1. Hotel bintang 1 dan bintang 2 sepanjang tidak bertentangan dengan Perda setempat; 2. Jasa akomodasi motel dan lodging services di Indonesia bagian timur meliputi: Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua; 3. Jasa Restoran atau Rumah Makan Talam; 4. Jasa Boga/catering. Jasa Konvensi, pameran, dan perjalanan insentif; 5. Pengusahaan obyek wisata budaya meliputi museum dan peninggalan sejarah yang dikelola swasta; 6. Golf sepanjang tidak bertentangan dengan Perda setempat; 7. SPA; 8. Pengusahaan obyek wisata alam di luar kawasan konservasi. Usaha jasa pariwisata yang terbuka bagi kepemilikan asing hingga maksimal 49% dan dapat menjadi 51% dengan menjalin kemitraan dengan UMKM dan Koperasi meliputi: 1. Jasa akomodasi motel dan lodging services sepanjang tidak bertentangan dengan perda setempat; 2. Restoran atau rumah makan non talam; 3. Biro perjalanan wisata; 4. jasa impresariat; 5. Usaha Rekreasi dan Hiburan meliputi: taman rekreasi, gelanggang renang, pemandian alam, kolam pemancingan, gelanggang permainan, gelanggang bowling,rumah biliar, kelab malam, diskotik,panti pijat, panti mandi uap, Bowling, Renang, Sepak Bola, Tenis Lapangan, Kebugaran/Fitness, Sport Centre, dan Kegiatan Olahraga Lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan Perda setempat. 6. Golf 7. Bar, Café, singing room (karaoke) Usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi meliputi: 1. Pondok wisata, 2. agen perjalanan wisata, 3. jasa pramuwisata, dan 4. sanggar seni.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
81
KERTHA PATRIKA IV.
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Melihat kesesuaian prinsip non diskriminasi yakni most favoured nation (MFN) dan national treatment pada pengaturan penanaman modal asing di bidang pariwisata di Indonesia, pemerintah belum melakukan proses penyesuaian prinsip secara menyeluruh. Pada pengaturan prinsip national treatment masih terdapat perbedaan-perbedaan perlakuan antara investor dalam negeri dengan investor asing dalam beberapa hal seperti menyangkut bidang usaha, bentuk badan usaha, tenaga kerja, pemakaian tanah, jangka waktu, kepemilikan saham dan persyaratan minimum modal. Sedangkan menyangkut prinsip most favoured nation (MFN), pemerintah telah dapat menyesuaikan prinsip ini dalam pengaturan kegiatan penanaman modal di bidang pariwisata di Indonesia. Perbedaan perlakuan dalam pengaturan prinsip national treatment masih diberlakukan Pemerintah Indonesia untuk menjaga agar kepentingan Indonesia tidak dirugikan dalam pelaksanaan penanaman modal baik asing ataupun dalam negeri. Berbagai kebijakan yang telah ditempuh pemerintah terkait adanya prinsip non diskriminasi Perjanjian GATS pada pengaturan penanaman modal asing di bidang pariwisata di Indonesia meliputi: a. Dalam Bentuk Undang-undang 1. Undang-undang No.25 Tahun 2007 2. Undang-undang No.10 Tahun 2009 b.
Dalam Bentuk Aturan Pelaksanaan 1. Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994 2. Keputusan Presiden No.29 Tahun 2004 3. Intruksi Presiden No.3 Tahun 2006 4. Peraturan Presiden No.36 Tahun 2010
4.2
Saran
a.
Bagi Pemerintah 1. Penyederhanaan dalam tata cara perizinan penanaman modal. Pada pelaksanaannya, investor seringkali menghadapi permasalahan kurang efektifnya pelayanan yang diberikan dan cenderung berbelit-belit serta saling tumpang tindih satu sama lain antar aturan perizinan yang berlaku. Keadaan ini tentu sangat merugikan Indonesia dalam bersaing menarik investor khususnya bidang pariwisata dengan negara lain sehingga dapat mengakibatkan berpalingnya investor dari Indonesia ke negara lain atau batalnya rencana investasi yang akan dilaksanakan di Indonesia. 2. Pemerintah diharapkan memberikan prioritas pendanaan dalam sistem keuangan Negara kepada sektor jasa pariwisata agar dapat berkembang dengan baik. Ini dikarenakan sektor jasa pariwisata merupakan kontributor kedua terbesar penerimaan pajak setelah migas. Adanya prioritas pendanaan ini diharapkan dapat meningkatkan minat investor di bidang jasa pariwisata untuk berinvestasi di Indonesia. Prioritas pendanaan ini dapat dilakukan dengan cara: - penyiapan alokasi dana tetap yang bisa dimanfaatkan sektor jasa pariwisata
82 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian General Agreement on Trade in Services (Gats) pada Pengaturan Penanaman Modal Asing di Bidang Pariwisata di Indonesia
b.
sebagai antisipasi apabila terjadi sebuah gangguan seperti keamanan atau isuisu lainnya. Bagi Investor Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ada khususnya bagi investor dalam negeri dalam bidang pariwisata. Hal ini sangat krusial karena dengan keikutsertaan Indonesia dalam GATS kita harus senantiasa berinteraksi dan berkompetisi secara bebas dengan dunia Internasional yang tentunya bagi Indonesia hal ini membutuhkan penyesuaianpenyesuaian ataupun perubahan-perubahan kebijakan yang diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA Adolf,Huala,1997. Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar, Jakarta :Raja Grafindo Persada. Bain, Gofar.2001. Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan, Jakarta : Djambatan Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan RI, 1997. Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, Jakarta: Departemen Perdagangan RI. Direktorat Jenderal Pariwisata,1990. Pengantar Pariwisata Indonesia, Jakarta Hartono, Sunarjati. 1991. Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti. Hadjon, Philipus M, 1988. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu. J.G Starke, 2001. Pengantar Hukum Internasional 1, Diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djaatmadja. Jakarta :Sinar Grafika. --------------. 2001. Pengantar Hukum Internasional 2, Diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djaatmadja Jakarta :Sinar Grafika J. Spillane,James,1990. Ekonomi Pariwisata,Yogyakarta: Kanisius. Kartadjomena,H.S,1996. GATT dan WTO, Sistem Forum dan Lembaga Internasional Di Bidang Perdagangan, Jakarta: UI-Press. --------------------, 1997.GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, Jakarta:UI-Press. Kusumaatmadja, Mochtar, 1990. Pengantar Hukum Internasional, Bandung :Bina Cipta Pendit, Nyoman S. 2003. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana, Jakarta: Pradnya Paramitha. P. Todaro,Michael,1995. Ekonomi Untuk Negara Berkembang, Diterjemahkan oleh Haris Munandar. Jakarta:Bumi Aksara. Rahardjo, Satjipto, 1996 .Ilmu Hukum, Bandung :Citra Aditya Bakti Erman Rajagukguk, 2000. Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Rajidi,Lili dan Wyasa,I.B Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung :Mandar Maju. Rasjidi, Lili & Rasjidi Ira,2001. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti. Sidharta, Bernard Arief ,2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000 Siregar, Mahmul. 2005. Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, Medan: Sekolah JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
83
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Soekanto,Soejono,1980. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta:Rajawali. --------------------,1986., Pengantar Penelitian Hukum Normatif,Jakarta: Rajawali Pers Soemitro,Ronny Hanitijo,1990. Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:Ghalia Indonesia. Sunny, Ismail dan Rochmat, Radioro 1968. Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, Jakarta : Pradnya Paramita. Syahrir, 2004. Transisi Menuju Indonesia Baru, Jakarta: Yayasan Indonesia Baru Wijaya, I.G. Rai ,2000. Penanaman Modal, Jakrta :Pradnya Paramita Wignjosoebroto, Soetandyo, 1995. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Wyasa Putra,Ida Bagus (ed), 2003 Hukum Bisnis Pariwisata, Bandung :Refika Aditama
84 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
PERKEMBANGAN PARIWISATA DI DESA PLAGA oleh I Ketut Sandhi Sudharsana I Wayan Wiryawan A.A Ngurah Gede Dirksen Yuwono I Nyoman Bagiastra Ayu Putu Laksmi Danyathi ABSTRACT Naughty District is one district that has the potential development of alternative tourism in Bali, North Badung Especially because it has a natural attraction for tourists who are very good. Various external factors that occurred in Bali tourism that affect the decrease in the number of tourist visits, which also happens to Bagus Agro Plaga as one of the Agro tourism businesses in North Badung who developed Agro Tourism. Bagus Agro Plaga new actually stood up and develop in accordance with the development of the tourists who come but the number of tours that come to Bagus Agro Plaga not flat, the guests who come to the Bagus Agro Plaga has begun a visit to the area in 2006. Besides it is influenced also by the lack of supporters who worked on crafting the place is. Until now there is no factors to support it so that guests who come to the Bagus Agro Plaga not see it so that guests feel lonely because there is no Art Shop, Art Market, and Shopping is very limited presence. So the plants are grown on Bagus Agro Plaga also limited so that tourists can not enjoy Agro tourism activities to the fullest.
I.
LATAR BELAKANG
Pengembangan pariwisata Indonesia menggunakan konsepsi pariwisata budaya yang dirumuskan dalam Undang-Undang Pariwisata Nomor 09 Tahun 1990 menyatakan bahwa “kepariwisataan mempunyai peranan penting untuk memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta memupuk rasa cinta tanah air, memperkaya kebudayaan nasional, dan memantapkan pembinaannya dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa dan mempererat persahabatan antar bangsa”. Dalam operasionalnya istilah pariwisata sebagai pengganti istilah “tourism” atau “travel” diberi makna oleh Pemerintah Indonesia “ Mereka yang meninggalkan rumah untuk mengadakan perjalanan tanpa mencari nafkah di tempat-tempat yang dikunjungi sambil menikmati kunjungan mereka1. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjalanan wisata merupakan suatu perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih dengan tujuan antara lain untuk mendapatkan kenikmatan dan memenuhi hasrat ingin mengetahui sesuatu. Dapat juga karena kepentingan yang berhubungan dengan olahraga untuk kesehatan konvensi keagamaan dan keperluan usaha yang lainnya.2 Pariwisata merupakan salah satu sektor andalan pemerintah untuk memperoleh devisa dari penghasilan non migas. Sumbangan pariwisata bagi pembangunan nasional, 1 2
Nyoman S.Pandit, 2002, Ilmu Pariwisata sebuah Pengantar Perdana, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.1 Gamal Suwantoro, 2009, Dasar-Dasar Pariwisata, Penerbit Andi Yogyakarta, hal.3 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
85
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
selain menyumbangkan devisa bagi negara, pariwisata juga mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional, yaitu : memperluas lapangan usaha, memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemerintah, mendorong pelestarian dan pengembangan budaya bangsa, memperluas wawasan nusantara, mendorong perkembangan daerah, mendorong pelestarian lingkungan hidup, memperluas wawasan nusantara dan menumbuhkan rasa cinta tanah air.3 Dipilihnya pariwisata sebagai salah satu sumber devisa karena pariwisata oleh para ahli ekonomi dianggap sebagai “industri tanpa cerobong asap” yang berarti bahaya maupun kerugian yang ditimbulkannya relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan industri- industri lainnya yang padat teknologi.4 Untuk menunjang pengembangan pariwisata di Indonesia maka obyek wisata merupakan ujung tombak dalam pengembangan pariwisata di Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan dengan tegas bahwa obyek wisata merupakan hal paling utama yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pariwisata di indonesia. Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Kemudian pasal ini disusul dengan pasal 4 yang berbunyi : 1) Pemberdayaan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi. 2) Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah. 3) Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan 4) Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Sehubungan dengan hal tersebut diatas dan sesuai dengan pasal (27) ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini dapat diartikan bahwa pekerjaan yang menjadi hak tiap-tiap warga negara tersebut, harus sesuai dengan kemampuan pendidikan dan latihan kerja secara individual dan dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat. Hak untuk memperoleh pekerjaan tersebut merupakan hak yang fundamental dari hokum ketenagakerjaan. Karena tenaga kerja merupakan modal utama dalam pelaksanaan pembangunan, maka sudah sewajarnya kalau perluasan kesempatan kerja dilakukan secara menyeluruh pada semua sektor.5 Dalam pembangunan nasional tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan6. Promosi pariwisata belakangan ini menjadi isu yang sangan menarik, karena dipergencar dan diperlancar, menembus pasar-pasar asing dan didukung peralatan canggih termasuk internet, tetapi tidak didasarkan kepada kondisi riil potensi bisnis domestic.7 Kunjungan wisatawan ke Bali sejak Tahun 1973 sampai sekarang terus meningkat dari 149.000 tahun 1973 sampai 2.070.000 di Tahun 1994. Kunjungan pariwisata Internasional ke Bali dapat dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama yaitu wisata berombongan yang biasanya mereka tinggal di Bali selama tiga samapai lima hari dan menginap di Hotel berstandar 3 4 5 6 7
Hari Karyono, 1997, “Kepawisataan Penerbit PT.Gramedia Widisauna Indonesia, Jakarta, hal.19 Oka Yoeti A, 1993, Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit Angkasa, Bandung, hal.48 Zaeni Asyhadie, 2007, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan bidang hubungan kerja, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.10 Asri Wijayanti, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal 6 I.B Wyasa Putra,1998, Bali dalam Sentuhan pariwisata, Upada Sastra Denpasar, hal.52
86 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Perkembangan Pariwisata di Desa Plaga
Internasional. Pariwisata Bali menjadi terkenal sejak Tahun 1970, namun belum merata di seluruh Bali, kemudian mulai dikembangkan ke seluruh plosok-plosok Bali. Oleh karena itu berkembang pula objek-objek Pariwisata samapi ke Desa Plaga, Kabupaten Badung. Di Desa Plaga sudah dikembangkan beberapa objek pariwisata seperti Hotel, Air Terjun, dan terakhir ini di bangun Sebuah Jembatan Panjang yang menghubungkan kabupaten Badung dan kabupaten Bangli, sehingga jalannya sudah menjadi jalan provinsi dan jembatan itu menjadi isu perkembangan wisata lokal yang saban hari ramai dikunjungi oleh wisata lokal. Namun tentang hotel yang berada di daerah Plaga kelihatannya masih sepi dari pengunjung walaupun sarana-sarana yang lain sudah menunjang untuk pariwisata di wilayah Desa Plaga. II.
RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas,maka penulis merasa tertarik untuk mengidentifikasi permasalahan pada hal-hal sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perkembangan usaha kepariwisataan di Desa Plaga Kabupaten Badung, apakah sudah sesuai dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 ? 2. Apakah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sudah diterapkan dalam mempekerjakan karyawan di Desa Plaga Kabupaten Badung ? 3. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pengembangan usaha kepariwisataan di di Desa Plaga Kabupaten Badung ? III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Perkembangan Usaha Kepariwisataan di Desa Plaga Kabupaten Badung Desa Plaga adalah salah satu desa yang memiliki potensi alam yang sangat menarik perhatian dari semua kalangan steakholders baik pemerintah, pengusaha, akademisi maupun masyarakat untuk mengembangkan sektor pertanian agar dapat disinergikan dengan sektor pariwisata yang berkembang saat ini. Dari potensi alam yang dimiliki oleh Desa Pelaga, maka dapat dijadikan sebagai peluang yang cukup besar dalam mengembangkan potensi alam dan potensi pertanian yang sangat menarik untuk dikemas menjadi produk wisata baru. Oleh karena itu, Desa Pelaga menjadi salah satu desa yang dipilih sebagai daerah pengembangan agrowisata di wilayah Badung Utara sesuai dengan Rencana Pengembangan Dati II Kab. Badung, melalui SK Bupati KDH TK.II No.2028 Tahun 19948. Berdasarkan surat keputusan diatas, maka Bapak Bagus Sudibya selaku pengusaha berupaya untuk membangun Desa Pelaga dengan melakukan pembangunan infrastruktur pariwisata berupa sarana akomodasi dan restoran untuk menunjang kegiatan kepariwisataan di Desa Pelaga khususnya dan daerah Badung Utara umumnya, selanjutnya diberi nama “Bagus Agro Pelaga” yang disingkat dengan BAP. Bagus Agro Pelaga mulai beroperasi sejak 12 Mei 2005, akan tetapi belum dapat beroperasi secara maksimal. Selanjutnya Tahun 2007 Bagus Agro Pelaga mulai dikenal oleh masyarakat dan juga oleh wisatawan baik mancanegara maupun nusantara. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya 8
Ni Putu Ida Yuliani, 2004, Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Kawasan Agro Wisata di Dusun/Banjar Adat Kiadan Desa Plaga Kecamatan Petang kabupaten Badung sebuah Tesis, Denpasar, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hal.15 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
87
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
jumlah kunjungan wisatawan yang mencapai 1.642 orang walaupun jumlah kunjungan wisatawan saat ini relatif sedikit dari jumlah yang diharapkan. Kondisi ini membawa angin segar bagi masyarakat sekitarnya dan juga orang-orang yang berkepentingan dalam industri pariwisata. Berdirinya Bagus Agro Pelaga telah memberikan semangat baru bagi masyarakat Desa Pelaga, karena masyarakat mengharapkan Desa Pelaga dapat berkembang seperti desa-desa lainnya yang ada di Kabupaten Badung. Dalam pengembangan tersebut diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dari berbagai segi kehidupan. Oleh karena itu, Bagus Agro Pelaga mengajak masyarakat Desa Pelaga untuk bersama-sama ikut berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata di Desa Pelaga dengan cara merekrut beberapa masyarakat dari Desa Pelaga sendiri sebagai tenaga kerja di Bagus Agro Pelaga. 2.
Produk Unggulan Bagus Agro Pelaga Agrobisnis merupakan sektor yang memiliki prospek yang sangat cerah untuk mendukung perekonomian Bali. sektor ini dapat dikembangkan secara intensif bila dikelola secara profesional, berorientasi pasar. Sebagai agrobisnis yang berorientasi pasar, maka tidak perlu bergantung sepenuhnya pada sektor pariwisata karena produk yang dihasilkan dapat dijual kepada konsumen lokal, nasional maupun untuk diekspor.9 Secara garis besar, produk agrobisnis yang dikembangkan di Bagus Agro Pelaga dan menjadi produk unggulan adalah: a. Sayur (Vegetables) Jenis sayur-sayuran yang ditanam adalah sayuran yang dapat berproduksi dalam waktu singkat dan laku di pasar, antara lain: Tomat (tomato roma, beef tomato, tomato cheri), paprika, brokoli, selada /lettuce (lolorosa, iceberg, romaine), herbs (mayora dan basil), wortel, bunga kol, kentang dan jagung manis. b. Bunga Potong (Cutting Flowers) Jenis bunga potong yang ditanam, antara lain: sedap malam, anyelir, gerbra, krisan, aster, anggrek. c. Buah-buahan (Fruits) Jenis buah-buahan yang ditanam, antara lain: manggis, durian, alpukat, nenas, leci, klengkeng, jeruk (jeruk siam, jeruk manis), salak gula pasir, strawberry, pisang (terutama yang buahnya kecil-kecil), pepaya dan tanaman tradisional (undis,bude dan lain-lain). d. Tanaman Langka Bagus Agro Pelaga merupakan objek dan daya tarik wisata, selain ketiga jenis tanaman komoditas diatas, di dalam kawasan Bagus Agro Pelaga juga ditanam beberapa jenis tanaman langka dan tanaman kesehatan (obat), seperti: mahkota dewa, calista, matoa, kunyit dan kemuning. Semua tanaman yang ada didalam kawasan agro akan dilengkapi dengan nama Latin dan Indonesia. C.
Kegiatan Wisata di Bagus Agro Pelaga
Bagus Agro Pelaga memiliki divisi leisure yang menangani kegiatan wisata. Divisi ini mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan pengunjung, seperti: menyambut 9
88 •
R.S Damarjati, 1995, Istilah-istilah Dunia Pariwisata Edisi Revisi Jakarta, Pradnya Paramita, hal.54 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Perkembangan Pariwisata di Desa Plaga
kedatangan tamu pada pintu masuk, memandu pengunjung melihat-lihat kebun sayur, bunga dan buah, serta menjelaskan tentang tanaman yang ditanam disekitar kawasan agro dan juga fasilitas yang tersedia. Disamping itu, divisi ini juga menawarkan produk makanan, minuman dan beberapa produk yang tersedia di supermarket. Selain itu divisi ini juga menangani kegiatan camping dan menangani kegiatan rekreasi, seperti: cycling, trekking, bird watching dan kegiatan wisata lainnya. Kegiatan wisata yang ditawarkan oleh Bagus Agro Pelaga terdiri dari dua pilihan, yaitu: kegiatan wisata dapat dilakukan didalam kawasan agro dan diluar kawasan agro, antara lain: 1. Hiking Bagi para pengunjung yang senang dengan hiking, kegiatan ini dapat dilakukan di dalam kawasan agro. Pengunjung dapat berjalan kaki (hiking) sambil menikmati pemandangan berbagai macam sayuran, buah, bunga, ternak dan kolam ikan. Setelah itu pengunjung dapat beristirahat di saung-saung (bale bengong) yang disediakan sambil menikmati makanan atau minuman. 2. Tamasya mengelilingi properti dengan buggy Mengelilingi kawasan agro bukan hanya dengan berjalan kaki, tetapi kegiatan ini dapat juga dilakukan dengan menggunakan buggy yang tidak berisik untuk melakukan tour mengelilingi kawasan agro. Selama dalam perjalanan, petugas agro akan menjelaskan mengenai tanaman yang dibudidayakan di sekitar areal agro. 3. Cycling Merupakan kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan sepeda gunung sehingga kegiatan ini dapat dilakukan di luar kawasan agro. Rute yang dilalui tidak terlalu jauh yakni disekitar Desa Tiyingan yang terletak disebelah barat kawasan agro. Sepanjang jalan terdapat jalan aspal yang berlikuliku, perkampungan, pertanian yang menyajikan pemandangan alam yang indah. 4. Bird watching Di sekitar kawasan agro terdapat berbagai jenis burung yang hidup bebas dialam terbuka. Sehingga kegiatan bird watching dapat dilakukan bagi para pengunjung yang hobi dengan kegiatan ini. Kegiatan ini dapat dilakukan pada waktu subuh ketika fajar tiba. 5. Children playground Merupakan areal bermain bagi anak-anak. Areal ini disediakan bagi para pengunjung yang datang dengan putra dan putrinya. Tempat bermain ini dibuat sedemikian rupa sehingga anak-anak bisa lebih dekat dengan alam dan mengenal alam sejak dini. 6. Camping ground Bagi pengunjung yang menyukai kegiatan berkemah di alam terbuka, Bagus Agro Pelaga telah menyiapkan tempat berkemah yang dilengkapi dengan fasilitas games yang menarik. Tempat berkemah ini merupakan lapangan terbuka yang dikelilingi pepohonan sebagai perindang. Tempat berkemah ini juga dibuka untuk umum sehingga masyarakat umum yang ingin melakukan kegiatan berkemah, maka Bagus Agro Pelaga telah menyiapkan tempat yang nyaman untuk berkemah. Dalam kaitannya dengan kegiatan wisata (leisure), di kawasan ini juga dibangun prasarana dan sarana dalam menunjang kegiatan wisata, antara lain: 1. Jalan melingkar sepanjang 1,6 km. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
89
KERTHA PATRIKA
2.
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Jalan ini dapat dilalui oleh kendaraan kecil dan dibuat seasri mungkin yang dilengkapi pula dengan jalan setapak dengan padang rumput dikanan dan kiri jalan sehingga pengunjung merasakan kenyamanan saat berjalan kaki sambil menyaksikan keindahan pemandangan kebun sayur, buah dan bunga. Jenis kendaraan yang diperbolehkan melintasi jalan melingkar ini adalah silent buggy yang tidak menimbulkan kebisingan sama sekali. Jalan melingkar sepanjang 1,6 km ini dibuat dengan mempergunakan sistem drainase yang baik untuk menghindari genangan air pada musim hujan sedangkan dipinggir jalan ditanam pula tanaman peneduh seperti tanaman manggis. Villa Villa ini disebut juga “Farm House”, dibangun diperbatasan kawasan areal konservasi dan areal kebun yang berjumlah 4 (empat) buah dengan satu kolam renang yang dapat digunakan bersama dan diperuntukkan bagi direksi PT. Bagus Agro Pelaga atau para tamu direksi yang ingin bermalam di kawasan ini. Villa ini dibangun dengan konsep minimalis sehingga menimbulkan kesan santai. Villa dengan dinding kacanya yang bening membuat pengunjung dapat melihat pemandangan ke segala arah, sedangkan disekeliling villa ditanami pepohonan untuk menjaga privasi penghuni villa. Jarak dari satu villa dengan villa yang lainnya sekitar 10 meter. Pintu masuk (gapura) ke kompleks villa dibuat sedemikian rupa sehingga mengesankan bahwa ditempat tersebut pernah ada bangunan tua. Kalau ada tamu yang ingin menginap di villa tersebut maka tamu itu ditawarkan bahwa harga pervilla $80/hari
Pemasaran Bagus Agro Pelaga Dalam bidang pemasaran dan penjualan (sales and marketing) terhadap produk-produk yang dimiliki Bagus Agro Pelaga, seperti: paket wisata, restoran, villa dan supermarket, maka pihak Bagus Agro Pelaga melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, yakni “Bagus Discovery Group”. Dimana “Bagus Discovery Group” merupakan salah satu perusahaan besar dan telah dikenal memiliki perangkat pemasaran dan penjualan yang cukup mapan dan memiliki jaringan pemasaran yang cukup luas yang mencakup hotel dan biro perjalanan wisata baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dengan terjalinnya kerjasama ini, maka biaya pemasaran dan penjualan terhadap produk Bagus Agro Pelaga dapat diminimalisasikan dibandingkan jika dilakukan sendiri. Sistem Pemasaran yang dilakukan pada produk Bagus Agro Pelaga, merupakan suatu strategi yang mengemas produk Bagus Agro Pelaga sedemikian rupa sehingga menjadi suatu paket wisata yang dapat menghasilkan nilai jual yang tinggi. Sehingga paket-paket yang dijual menjadi bervariasi yang dikombinasikan dengan kegiatan wisata yang ada pada beberapa biro perjalanan wisata. Paket Outing Paket outing dalam hal ini Bagus Agro Pelaga juga dapat dijual sebagai tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan outing, seperti: meeting, outing, arisan, camping dan pengenalan tanaman kepada anak-anak. Ketersediaan prasarana dan sarana serta fasilitas di Bagus Agro Pelaga adalah baik, karena segenap fasilitas dan sarana yang tersedia telah disesuaikan dengan keadaan disekitar kawasan agro, sehingga pengunjung dapat merasakan kenyamanan ketika menikmati panorama alam disekitar agro. Dengan tersedianya prasarana dan sarana untuk mendukung kegiatan wisata 90 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Perkembangan Pariwisata di Desa Plaga
di Bagus Agro Pelaga, memberikan nilai positif bagi wisatawan yang berkunjung dan bahkan banyak wisatawan yang ingin kembali berkunjung ke Bagus Agro Pelaga. kegiatan wisata di Bagus Agro Pelaga, karena sebagian besar wisatawan berpendapat bahwa kegiatannya bervariasi tidak hanya melihat tanaman agro tetapi dapat melakukan kegiatan lainnya diluar agro dengan tetap mengedepankan produk agro sebagai produk unggulan Bagus Agro Pelaga. Kepuasan wisatawan menggunakan jasa travel agent, maka dengan jelas menggambarkan bahwa ini memberi pengaruh nyata terhadap kepuasan wisatawan yang berkunjung ke Bagus Agro Pelaga. Berdasarkan pengukuran faktor tempat atau lokasi merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan letak suatu objek wisata. Dalam lokasi yang cukup jauh beberapa perantara dapat digunakan seperti jasa Biro Perjalanan Wisata atau travel agent, dimana sebagian besar tamu merasa senang dan puas dengan adanya travel agent sebagai perantara untuk mengantarkan wisatawan ke obyek wisata yang dituju. Dalam buku pemasaran jasa mengungkapkan bahwa people, proses dan physical efidense merupakan 3 elemen penting yang sering kali mencerminkan jasa yang ditawarkan dan berperan signifikan dalam kepariwisataan.10 Biasanya tamu-tamu yang ramai berkunjung ke Bagus Agro Pelaga Bulan Februari, Juni, Juli, Agustus, dan September. Disamping tamu-tamu yang dating ke Bagus Agro Plaga tempat ini juga digunakan untuk Rapat/Konfrensi baik oleh swasta maupun Pemda Badung. Tamutamu yang datang ke objek wisata Bagus Agro Plaga kalau melihat dari jumlahnya adalah masih sedikit karena belum dikenal secara luasdan umunya seperti daerah-daerah Kintamani, Ubud dan objek wisata lainnya. Kalau melihat dari jumlah kunjungan ke objek wisata Bagus Agro Plaga kebanyakan tamu-tamu berasal dari Jepang yang biasanya datang bergroup, sedangkan tamu-tamu lainnya seperti Prancis, Inggris,Jerman, dll biasanya datang secara individual. Kebanyakan tamu-tamu yang menginap di Bagus Agro Plaga merasa senang dan member comment baik tentang tempat tersebut. Selain tempat wisata di Bagus Agro Plaga juga didukung oleh sarana yang lain seperti Air terjun Nunung, yang letaknya hanya 3 Km dari Desa Plaga, Tracking ke Puncak Mangu dan Perkampungan Tradisional. Selain untuk berwisata tamu-tamu yang datang ke Bagus Ageo Plaga kebanyakan tamu-tamu yang berbisnis atau berekreasi. Dengan demikian kegiatan yang diadakan oleh objek wisata yang baru ini sudah sesuai dengan perkembangan hukum yaitu hukum bisnis. Bahwa bisnis merupakan kegiatan perdagangan namun meliputi pula unsure-unsur yang lebih luas yaitu pekerjaan, profesi, penghasilan mata pencaharian dan keuntungan.11 4.
Penerapan UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan di Bagus Agro Plaga
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu sendiri adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan /atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 10 11
Ciptono Fuady, 2006, Manajemen Jasa, Yogyakarta Audi, hal.123 Yohanes Ibrahim dan Lindawati Sewu, 2004, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, PT. Rafika Aditama, Bandung, hal.26 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
91
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Menurut Profesor Mochtar kusumaatmadja, fungsi hokum itu adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan, yang dimaksud dengan cara pembaharuan itu adalah sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah yang diharapkan oleh pembangunan12. Sebagaimana halnya dengan hukum yang lain, hukum ketenagakerjaan mempunyai fungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang menyalurkan arah kegiatan manusia kearah yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pembangunan ketenagakerjaan. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan pembangunan nasional diarahkan untuk mengatur, membina dan mengawasi segala kegiatan yang berhubungan dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya ketertiban untuk mencapai keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju perkembangan pembangunan yang semakin pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial dan peningkatan perlindungan tenaga kerja. Hukum ketenagakerjaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam dunia kepariwisataan, sebagaimana pentingnya tenaga kerja dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu diperlukan adanya hukum ketenagakerjaan yang benar-benar merupakan hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law) sehingga tidak terjadi penghisapan manusia oleh manusia yaitu penghisapan tenaga kerja yang ekonomis lemah oleh pihak yang ekonomis kuat yang dalam hal ini adalah pengusaha. Karena begitu pentingnya peranan tenaga kerja dalam pembangunan nasional, maka diperlukan upaya yang lebih memadai untuk melindungi hak dan kepentingan tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan baik untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Untuk mengatur, membina dan mengawasi segala kegiatan yang berhubungan dengan tenaga kerja ini, diperlukan adanya hukum ketenagakerjaan yang benar-benar dapat mencerminkan aspirasi tenaga kerja itu sendiri. Sehingga bisa diwujudkan hubungan kerja yang baik dengan membentuk perjanjian kerja bersama.13 Dalam pengupahan dan istirahat yang kesemuannya itu merupakan perangkat hokum ketenagakerjaan dengan demikian kepariwisataan tidak bisa lepas dari tenaga kerja itu sendiri karena dalam dunia pariwisata harus menempatkan tenaga kerja yang baik dalam bidang tertentu karena hal tersebut dapat menghasilkan perbedaan yang sangat besar dalam kepuasan pelanggan.14 Dalam mempekerjakan karyawan Bagus Agro Plaga sudah menerapkan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang ketenagakerjaan. Jumlah karyawan Bagus Agro Plaga sebanyak 34 orang. 11 orang di restoran, 2 orang satpam, 19 orang tukang kebun, dan 1 orang management. Dari jumlah karyawan tersebut kebanyakan masih harian, namun gajinya sudah disesuaikan dengan aturan pemerintah sehingga Bagus Agro Plaga tidak menyalahi aturan yang ada khususnya aturan penggajian di Kabupaten Badung. Apabila tamu-tamu yang datang ke Bagus Agro Plaga banyak, maka dipekerjakan tenaga kerja/siswa-siswa perhotelan dan tamatan perhotelan di Desa Plaga dipekerjakan saat tamu-tamu ramai. Jadi tentang pengupahan karyawan sudah sesuai dengan Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003 12 13 14
Shidarta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Penerbit CV.Utomo, Jakarta, hal.411 Senjun H. Manulang, 2001, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Pnerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.63 Kolter Philip, 2005, Manajemen Pemasaran Jilid 2 Edisi Bahasa Indonesia, PT. Index Kelompok Gramedia, Jakarta, hal.116
92 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Perkembangan Pariwisata di Desa Plaga
tentang ketenagakerjaan sehingga karyawan yang bekerja di Bagus Agro Plaga tidak ada yang protes. Namun demikian karena tenaga kerja di Bagus Agro Plaga kebanyakan masih harian maka untuk membentuk organisasi buruh adalah tidak mungkin, padahal pada dasarnya organisasi buruh adalah alat utama bagi buruh/tenaga kerja untuk melindungi dan memperjuangkan kedudukan yang baik.15 Dalam keseharian tenaga kerja di Bagus Agro Plaga tidaklah terlalu sibuk karena tamutamu yang datang kesana kebanyakan sekitar jam 13.30 Wita, mulai saat itulah pekerja baru sibuk melayani para tamu yang makan disana, dengan perkembangan kepariwisataan di Desa Plaga yang merupakan program dari Pemda Badung untuk memajukan Badung Utara akan membawa dampak dari Desa Plaga dikemudian hari. Kalau Badung Utara (Desa Plaga) maju maka akan sangat berpengaruh pada penduduk Desa Plaga secara keseluruhan dalam menempuh kehidupan, tidak saja sebagai petani, tetapi juga bisa bekerja dibidang kepariwisataan yang sudah ditata sejak Tahun 2005 yang lalu. 5.
Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pengembangan usaha kepariwisataan di Desa Plaga Kabupaten Badung
Sejak beroperasinya Bagus Agro Plaga pada tanggal 12 Mei 2005, banyak kendala yang dihadapi. Kendala yang paling menonjol adalah belum dikenalnya proyek pariwisata yang ada di Desa Plaga yang diberi nama Bagus Agro Plaga. Sejak saat itulah mulai diinformasikan bahwa di Desa Plaga ada objek wisata yang diberi nama Bagus Agro Plaga informasi yang dilakukan adalah melalui media cetak dan internet. Hal ini yang memberi informasi bahwa di Badung Utara ada objek wisata yang diberi nama Bagus Agro Plaga. Untuk mempermudah atau menggampangkan wisatawan mengetahui adanya objek wisata di Desa Plaga tersebut, dibuatkan promosi yang berupa brosur, printing, player, booklet,leaflet. Disamping hal tersebut diatas digunakan juga promotion mix (personal selling, sales promotion, public relation, word of mounth, direct email). Hal ini sesuai dengan pendapat Arif Muhtosim dalam bukunya Pemasaran jasa dan kualitas pelayanan menyebutkan bahwa pemasaran merupakan teori bauran pemasaran.16 Berbagai macam alat promosi yang digunakan untuk memberitahukan produk yang hendak ditawarkan kepada calon wisatawan yang menjadi target pasar. Dari promotion tersebut menunjukkan sebagian besar wisatawan memberi tanggapan positif terhadap alat promosi yang digunakan karena promotion mix merupakan alat dalam melakukan promosi suatu produk adalah sangat penting jika tanpa promosi maka wisatawan tidak dapat mengetahui keberadaan Bagus Agro Plaga sebagai objek wisata yang baru. Kendala-kendala yang dihadapi Bagus Agro Plaga adalah jangkuan/jarak tempuh yang cukup jauh. Disamping hal tersebut belum didukung oleh fasilitas-fasilitas yang lain seperti art shop, dan pasar seni yang mendukung bisa berkembangnya Bagus Agro Plaga. Disamping itu karena objek wisata ini baru dan segala cara sudah ditempuh oleh management Bagus Agro Plaga tetapi kunjungan tamu ke Bagus Agro Plaga tidak sebanyak ditempat wisata lainnya, seperti Kintamani, Ubud, Mengwi Taman Ayun. 15 16
Imam Soepomo, 1976, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Jambatan, hal.36 Arif Mutosim, 2006, Pemasaran Jasa dan Kualitas Pelayanan, Malang, Bayu Media, hal.18 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
93
KERTHA PATRIKA IV.
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan a.
b.
c. d.
Perkembangan usaha kepariwisataan di Desa Plaga kabupaten Badung adalah pariwisata agraris dimana konsep-konsep wisata yang dikembangkan adalah pertanian yang mengacu kepada agrobisnis namun dalam pembangunan yang sudah ada baru sedikit yang dapat dikembangkan mengingat jumlah kunjungan wisata masih sangat terbatas. Dalam perkembangannya sudah sesuai dan mengacu pada undang-undang No.9 Tahun 1990. Namun dari pendapat para tamu yang berkunjung ke Bagus Agro Plaga kebanyakan tamu-tamu merasa senang. Tapi belum didukung oleh objek-objek yang merupakan daya tarik tersendiri para tamu yang berkunjung objek wisata tersebut. Tentang penerapan UU Ketenagakerjaan sudah dilakukan disana namun karyawan yang dikontrak jumlahnya masih sedikit dibandingkan dengan yang harian. Hambatan-hambatan yang dilakukan dalam pengembangan kepariwisataan di Desa Plaga antara lain karena usaha kepariwisataan di Desa Plaga yang disebut Bagus Agro Plaga baru berdiri sejak tahun 2005 mulai beroperasi, dan belum didukung oleh fasilitas-fasilitas yang lain seperti art shop, pasar seni dan fasilitas-fasilitas lainnya.
2.
Saran Berdasarkan pada simpulan diatas, beberapa saran yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut: 1) Mengembangkan keanekaragaman produk wisata yang menarik bagi wisatawan dan sesuai dengan karakter objek yang dimiliki, terutama menambah jenis tanaman pertanian dan juga menambah kegiatan wisata yang dapat dilakukan di sekitar kawasan Bagus Agro Pelaga. 2) Melakukan pendidikan dan pelatihan kepada petani, staf dan karyawan dari berbagai devisi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan dan menjalin kerjasama yang baik antara staf dan karyawan agar dapat menciptakan suasana kerja yang nyaman, tenang dan bersahabat dilingkungan sekitar agro.
DAFTAR PUSTAKA 1.
BUKU
Asyhadie Zaeni, 2007, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan bidang hubungan kerja, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. Damarjati R.S, 1995, Istilah-istilah Dunia Pariwisata Edisi Revisi Jakarta, Pradnya Paramita. Fuady Ciptono, 2006, Manajemen Jasa, Yogyakarta Audi. Ibrahim Yohanes dan Lindawati Sewu, 2004, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, PT. Rafika Aditama, Bandung. 94 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Perkembangan Pariwisata di Desa Plaga
Karyono, Hari, 1997, Kepariwisataan, Penerbit PT. Gramedia Widisauna Indonesia, Jakarta. Manulang Senjun H., 2001, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Pnerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta. Mutosim Arif, 2006, Pemasaran Jasa dan Kualitas Pelayanan, Malang, Bayu Media. Ngurah Bagus I Gusti, 1975, Bali Dalam Sentuhan Pariwista. Pandit Nyoman S., 2002, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Picard Michel, 2006, Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta Selatan. Philip Kotler, 2005. Manajemen Pemasaran, jilid 2. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia. Pengantar Pariwisata Indonesia, 1985, Penerbit Direktorat Jendral Pariwisata Shidarta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan, Penerbit CV Utomo, Jakarta. Suwantoro Gamal, SH, 2004, Dasar-dasar Pariwisata, Penerbit Andi Yogyakarta, Yogyakarta. Soepomo Imam, 1976, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Jambatan. Wijayanti Asri, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Wyasa Putra I.B., SH, MH, 1998, Bali Dalam Perseptif Global, Penerbit PT. Upada Sastra, Denpasar-Bali. Yuliani Ni Putu Ida, 2004, Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Kawasan Agro Wisata di Dusun/Banjar Adat Kiadan Desa Plaga Kecamatan Petang kabupaten Badung sebuah Tesis, Denpasar, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Yoeti ,Oka A., Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit Angkasa, Bandung, 1983 2.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
95
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
DAMPAK PERKEMBANGAN EKONOMI PARIWISATA TERHADAP HUKUM TANAH ADAT DI DESA TENGANAN PAGRINGSINGAN
oleh: Tjok Istri Putra Astiti I Nyoman Wita Anak Agung Istri Ari Atu Dewi Sagung Ngurah I Gusti Ngurah Dharma Laksana Abstract The purpose of this research are to study three research questions as bellow: 1) Are there individualization process toward communal land right by occurring tourism development? 2) Are there transfer of the land function and transaction of the land to the outsider by occurring tourism development? And 3) are there conflict about land by occurring tourism development in Tenganan Pagringsingan village? The main purpose of this research is to analyse the impact of the tourism development to the adat land law This research use qualitative approach in collecting, processing, and analyzing data. It also use legal anthropology approach in context understanding to legal culture, conflict or dispute and dispute resolution. To understand several terms about right to land, this research use emic approach. In collecting data, is used elite interviewing method and observation. There are several elites of community that varies in profession, education, age, and sex who were interviewed. The result of this research are : 1) Tourism development in Tenganan Pagringsingan Village has influenced economic aspect of the community life as significantly. It can be said like that, because a lot of community member receives tourism sector as livelihood besides agriculture. But, the development of tourism economic is not accompanied by individualization process of communal land right; 2) The tourism development in Tenganan Pagringsingan Village is also not followed by transfer of the land function and transaction of land right to the outsider; 3) There are conflict related to use the communal land as an area of tourism activity by individu, because it disturb the village performance as a traditional village, but the conflict has been arranged by negotiation. In general can be concluded that the tourism development in Tenganan Pagringsingan Village has not impact to the adat land law. Key Words : Tourism economic development ,Adat land law
I.
PENDAHULUAN
Desa Adat Tenganan Pagringsingan adalah salah satu desa tua di Bali yang terletak di Kabupaten Karangasem. Desa ini mempunyai adat-istiadat yang unik dan masih dipertahankan oleh masyarakatnya. Walaupun desa ini relatif tertutup dari budaya luar, namun kenyataannya sejak lama masyarakat setempat sudah berinteraksi dengan orang luar. Keunikan adat-istiadatnya itulah yang menjadi daya tarik berbagai pihak, antara lain peneliti, seniman, dan juga wisatawan untuk berkunjung ke desa ini. Kunjungan orang-orang dari luar desa, luar daerah, bahkan dari luar negeri secara langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan dampak positip maupun negatip bagi kehidupan masyarakat setempat. Sebagai salah satu desa obyek wisata, tampaknya desa ini semakin banyak mendapat kunjungan wisatawan baik domestik maupun Manca Negara. Pada mulanya perkembangan 96 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Dampak Perkembangan Ekonomi Pariwisata Terhadap Hukum Tanah Adat di Desa Tenganan Pagringsingan
pariwisata di desa ini menimbulkan pro dan kontra, akan tetapi dalam perkembangannya kemudian, tampaknya masyarakat setempat lebih terbuka dibandingkan dengan keadaan tahun 80-an. Hal tersebut terbukti dari bertambah maraknya kegiatan kepariwisataan yang dijadikan mata pencaharian baru oleh masyarakat setempat dari awalnya sekedar bertani kemudian juga mengembangkan bisnis pariwisata. Melihat pengalaman-pengalaman di tempat lainnya di Bali di mana terjadi perkembangan ekonomi pariwisata yang begitu pesat, pada umumnya diikuti oleh adanya alih fungsi lahan, penjualan tanah semakin marak dilakukan termasuk tanah-tanah adat, demikian juga proses individualisasi kepemilikan atas tanah yang tidak jarang diikuti dengan konflik terkait dengan terjadinya pergeseran-pergeseran hak-hak atas tanah tersebut. Seperti diketahui, Desa Adat Tenganan Pagringsingan termasuk desa yang selama ini cukup kuat mempertahankan hak-haknya atas tanah, akan tetapi karena sekarang ini perkembangan ekonomi pariwisata di masyarakat setempat juga cukup pesat dibandingkan sebelumnya, maka pengalaman-pengalaman yang terjadi di desa lainnya dapat diduga juga akan terjadi di desa ini. Artinya, bahwa perkembangan ekonomi pariwisata tersebut, cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap hukum adat setempat khususnya yang terkait dengan hak-hak atas tanah Untuk mendapatkan kebenaran atas dugaan tersebut di atas, penelitian ini penting dilakukan dengan mengemukakan permasalahan sebagai berikut: 1) Apakah terjadi proses individualisasi terhadap hak-hak atas tanah adat (tanah komunal) dengan berkembangnya ekonomi pariwisata di desa ini? Kalau hal ini terjadi, berarti di desa setempat telah terjadi pergeseran nilai-nilai komunal ke nilai-nilai individual. 2) Adakah alih fungsi lahan dan peralihan hak atas tanah kepada orang luar desa setelah perkembangan ekonomi pariwisata di desa ini? Hal ini perlu dipertanyakan karena aturan (awig-awig) di desa ini melarang terjadinya pengalihan hak atas tanah (penjualan, penggandaian, penghibahan dll). kepada orang luar desa. Kalau hal ini terjadi, berarti hukum adat atas tanah di desa adat setempat mulai melemah. 3) Adakah konflik yang timbul berkaitan dengan hak atas tanah, sebagai dampak dari berkembangnya pariwisata di desa ini? Hal ini perlu dipermasalahkan, karena secara teoritis, setiap terjadi perubahan sosial (dalam hal ini terjadinya perkembangan ekonomi pariwisata) cenderung diikuti dengan konflik termasuk di dalamnya konflik atas tanah. Berdasarkan permasalahan tersebut, secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ada tidaknya pengaruh perkembangan pariwisata di desa setempat terhadap1hukum tanah adat, khususnya hak-hak atas tanah. II.
Teori dan Metoda
Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan di atas adalah teori perubahan sosial yang berkaitan dengan perubahan hukum. Teori ini antara lain dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang pada intinya mengatakan bahwa ada berbagai faktor yang menimbulkan 1
1 Soeryono Soekanto, et al., 1993, Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, hal. 17 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
97
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
perubahan di dalam suatu masyarakat, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam. Dalam proses perubahan tersebut umumnya perubahan aspek material berlangsung lebih cepat dibandingkan perubahan aspek mental.1 Terjadinya perubahan sosial, tidak serta merta menimbulkan perubahan hukum, karena di dalam masyarakat di mana perubahan itu terjadi kadangkala ada faktor-faktor esensial yang bekerja sedemikian rupa sehingga memberi corak konservatif kepada masyarakat yang bersangkutan dan berusaha membiarkan masyarakat untuk tetap bertahan pada keadaan semula.2 Masih diperlukan dua persyaratan lagi yang dapat menimbulkan perubahan hukum, yaitu : pertama, bahwa perubahan (hal yang baru) dalam masyarakat benar-benar telah terjadi; kedua, hal tersebut diikuti pula oleh kemauan atau kesadaran masyarakat untuk menyesuaikan hukum dengan keadaan baru tersebut.3 Hal ini sesuai dengan pandangan tradisional tentang perubahan hukum di dalam suatu masyarakat yang pada intinya menyatakan bahwa hukum itu berkembang mengikuti kejadian-kejadian yang terjadi di suatu tempat dan selalu berada di belakang peristiwa yang terjadi itu. Hukum bersifat pasif dan berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan.4 Dalam konteks perubahan sosial yang terjadi di Desa Adat Tenganan Pagringsingan, perubahan yang benar-benar terjadi adalah di bidang mata pencaharian penduduk dari sematamata pertanian, kemudian juga telah terdorong untuk melakukan usaha di sektor pariwisata. Hal ini telah dilakukan oleh sebagian besar penduduk setempat. Perubahan hukum yang dikaji dalam kaitan dengan perubahan sosial tersebut adalah hukum tanah, khusunya hak-hak atas tanah yang uraiannya dikemukakan dalam BAB V tentang Hasil dan Pembahasan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam keseluruhan proses dari proses pengumpulan, pengolahan dan analisis data. Dalam konteks pemahaman tentang budaya hukum masyarakat dan penyelesaian sengketa/konflik berkaitan dengan perkembangan pariwisata digunakan pendekatan antropologi hukum. Pemahaman terhadap beberapa istilah yang terkait dengan hak-hak atas tanah digunakan pemdekatan emik, artinya, dalam mencari pengertianpengertian atas istilah-istilah yang dimaksud didasarkan atas pandangan para informan, bukan berdasarkan pada pandangan peneliti. Selanjutnya, dalam mengkaji bekerjanya hukum adat (awig-awig) setempat di masyarakat digunakan pendekatan sosiologi hukum. Pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan teknik wawancara dan obseravsi. Wawancara dilakukan dengan para tokoh masyarakat (elite interviewing),5 yang dianggap mempunyai pengalaman dan pandangan yang luas tentang desanya. Para tokoh masyarakat (elit desa) yang dijadikan informan tersebut bervariasi dari segi usia, mata pencaharian, pendidikan, dan jenis kelamin. Data kemudian diolah dengan melakukan pengeditan, dan dianalisis secara kualitatif melalui proses describing, classifying, dan connecting.6 Proses describing dilakukan dengan medeskripsikan atau mengambarkan karakteristik sesuatu (orang, obyek, atau kejadian) secara mendalam (thick description).7 Dalam proses classifying dilakukan dua langkah yaitu menginterpretasikan (membuat suatu tindakan menjadi bermakna bagi orang laina), dan menjelaskan bagaimana suatu tindakan saling berhubungan satu dengan yang lain. Dalam proses connecting dibuat 2 3 4 5 6 7
Pandangan ini berasal dari Sinzheimen, dikutip Satjipto Rahardjo, 1980. Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, hal.101. Abdul Manan, 2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, hal.25-26. Ibid, hal. 7. Catharine Marshall & Gretchen B. Rossman 1990. Designing Qualitative Research, Sage Publication, New York, London, New Delhi, hal. 94. Ian Dey, 1993, Qualitative Data Analysis, Routledge, London & New York, hal.30 Mengenai thick description, baca lebih jauh Geertz.C., 1973, The Interpretation of Culture, Basics Book, New York.
98 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Dampak Perkembangan Ekonomi Pariwisata Terhadap Hukum Tanah Adat di Desa Tenganan Pagringsingan
hubungan antara variabel satu dengan yang lain. Dalam konteks penelitian ini dibuat hubungan causal antara variabel perkembangan ekonomi pariwisata dengan variabel hukum tanah adat. Data yang telah selesai dianalisis kemudian diadakan triangulasi untuk pengecekan kredibelitas data dengan cara melakukan konfirmasi kepada informan, membandingkan dengan hasil penelitian orang lain, atau penelitian sebelumnya, dan mengkaji dengan teori yang digunakan sebagai alat analisis. III.
Hasil dan Pembahasan
Desa Adat Tenganan Pagringsingan adalah sebuah desa tua di Bali, terletak di Kabupaten Karangasem, + 18 km ke arah barat dari Amlapura ibukota kabupaten, dan + 67 Km ke arah timur dari Denpasar, ibukota Propinsi Bali, dan + 3 Km ke arah utara dari kawasan wisata Candidasa. Desa ini mempunyai adat-istiadat yang unik, salah satu di atanranya yang sudah dikenal di dunia kepariwisataan adalah adat makare-kare atau perang pandan, yaitu tradisi yang dilakukan setiap tahun, dimana dua orang laki-laki secara bergiliran melakukan perang tanding dengan memakai perisasi di tangan kiri dan bersenjatakan satu ikat daun pandan berduri. Lukaluka yang dialami karena goresan duri pandan tersebut diobati dengan obat penawar yang dibuat sendiri oleh masyarakat setempat. Keunikan lain yang dimiliki desa ini adalah awig-awignya yang melarang untuk mengalihkan hak kepemilikan tanah kepada orang luar desa, baik melalui jual beli, gadai ataupun melalui proses hibah dan pewarisan. Hak-hak atas tanahnyapun cukup unik, karena adanya kepemilikan hak atas tanah kolektif (komunal) yang masih kuat, di samping hak kepemilikan individu. Beragam hak atas tanah telah diuraikan secara rinci oleh Astiti dalam penelitiannya tahun 1983.8 Pada intinya, hak atas tanah milik individu dan hak milik tanah kolektif (druwe sekaa) mempunyai kaitan yang erat dengan tanah komunal milik desa (druwe desa), artinya, di satu pihak individuindividu sebagai krama desa mendapat hak untuk memakai (hak pakai) tanah pekarangan milik desa untuk tempat tinggal, mempunyai hak untuk memungut hasil hutan (buah-buahan, dan lain-lainnya) milik desa, hak untuk mendapat hasil panen yang disebut tika dari sawah milik desa. Di pihak lain, desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum juga memiliki hak-hak tertentu terhadap tanah milik individu warga dan milik sekaa berupa hak ngalang (hak untuk mengambil hasil kebun milik individu warga ataupun sekaa berupa daun sirih, tebu, pisang, buah pinang, buah kelapa, setiap bulan untuk keperluan upacara di desa); hak ngambeng (hak untuk mengambil nira atau tuak dari pohon enau dan kelapa di kebun milik individu maupun milik sekaa); dan hak ngarampag (hak desa untuk mengambil kayu/pohon, antara lain, kayu nangka, cempaka, enau, kelapa, pinang, bambu, untuk keperluan upacara di desa, tanpa harus minta ijin kepada pemiliknya. Demikian eratnya hubungan antara tanah milik individu dan tanah milik sekaa dengan tanah milik desa yang bersifat saling menguntungkan, dimana secara konkret hak milik komunal (druwe desa) memberi kontribusi terhadap kesejahteraan krama (warga), dan sebaliknya tanah milik individu dan sekaa juga memberi kontribusi terhadap desa, maka dapat diduga bahwa hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat setempat masih menjunjung tinggi nilai-nilai komunal atas tanah, yang merupakan nilai masyarakat agraris. 8
Tjok Istri Putra Astiti, 1983, ‘Hukum Tanah Adat di Desa Tenganan Pagringsingan’, Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana, hal.4-16.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
99
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Dengan berkembangnya pariwisata di desa setempat, pengaruhnya secara signifikan dapat dilihat dari tumbuhnya mata pencaharian di sektor pariwisata, namun mata pencaharian pertanian masih tetap dipertahankan. Dilihat dari tahapan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat setempat, dapat dikatakan masih pada tahap awal, yaitu tahap initial euphoria,9 dapat diketahui dari adanya respon positip masyarakat terhadap perkembangan pariwisata, karena dirasakan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bagaimana pengaruh perkembangan ekonomi pariwisata pada tahap-tahap selanjutnya, terutama terhadap hak-hak atas tanah baik tanah individu maupun tanah milik kolektif, perlu dipertanyakan dan penting diteliti pada masa yang akan datang. Terkait dengan perkembangan ekonomi pariwisata di desa Tenganan Pagringsingan, ada beberapa temuan yang penting dikemukakan di antaranya adalah bahwa: 1) Perkembangan ekonomi pariwisata ternyata tidak diikuti oleh proses individualisasi hak kepemilikan atas tanah kolektif dan juga tidak ada alih fungsi lahan, hal ini berbeda dengan apa yang umumnya terjadi di desa lain. Ditemukan adanya satu kasus alih fungsi lahan di depan pintu masuk desa, dari yang dulunya tidak produktif, menjadi produktif (dari lahan kosong kemudian diubah menjadi bangunan arshop yang berfungsi ekonomi). Walaupun tidak terjadi alih fungsi lahan, akan tetapi di desa setempat terjadi alih fungsi bangunan di dalam pekarangan, yang semula berfungsi untuk melaksanakan kegiatan adat dan keagamaan, kemudian dalam kesehariannya bangunanbangunan tersebut difungsikan sebagai arshop (fungsi ekonomi) untuk memajang barang-barang cenderamata keperluan para turis yang berkunjung. Penggunaan bangunan-bangunan tersebut sebagai arshop hanya bersifat sementara, yang sewaktu-watu apabila pemiliknya melakukan kerja adat dan keagamaan, bangunan kembali difungsikan seperti semula. 2) Perkembangan ekonomi pariwisata di Desa Adat Tenganan Pagringsingan tidak diikuti oleh adanya transaksi tanah kepada orang luar desa, walaupun terkait dengan hal ini ditemukan dua kasus transaksi tanah kepada orang luar desa, yang terjadi karena proses lelang, akan tetapi salah satu kasus tersebut telah diselesaikan dengan cara negosiasi dimana desa membeli kembali tanah tersebut. Hanya dalam kasus kedua tanah objek lelang masih berada di tangan orang luar desa, karena desa tidak dapat memenuhi konvensasi yang dituntut pembeli, berupa sejumlah lahan yang terletak di luar desa. Kejadian ini menunjukkan bahwa kontrol atau pengawasan desa atas tanah yang ada di lingkungan wilayah desa adat Tenganan Pagringsingan masih cukup kuat, dan berarti juga bahwa ketentuan awig-awig desa yang melarang pengalihan hak atas tanah kepada orang luar desa masih tetap ditaati. Ditinajau dari segi budaya hukum masyarakat berarti masyarakat setempat dapat dikatakan bersikap dan bertindak taat (patuh) terhadap hukum khususnya hukum tanah adat. Secara sosiologis hal ini mengindikasikan bahwa bekerjanya hukum adat (awig-awig) setempat masih efektif. 3) Dengan adanya perkembangan ekonomi pariwisata di desa setempat memang pada mulanya terjadi konflik, akan tetapi tidak begitu serius dan telah berhasil diselesaikan berdasarkan musyawarah dan mufakat. Konflik yang terjadi termasuk konflik positip (konflik fungsional)10 yang bersifat memperkuat struktur dan tidak menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat desa. Penyelesaian konflik yang berhasil dilakukan secara musyawarah dan mufakat serta tidak berakhir dengan perpecahan, itu merupakan pertanda bahwa sengketa/konflik telah berhasil 9 10
Ada 5 tahapan (stage) dampak social dari pariwisata, yaitu : 1) initial euphoria, 2) apathy, 3) increasing irritaton, 4) outright antagonism, 5) cherishd value are forgotten and the environment destroyed. Baca J.Lea, 1988. Tourism and Development in the Third World, Roulledge, London, hal. 64. Doyle Paul Johnson, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (terjemaham Robert M Z Lawang), jilid 2, PT Gramedia, Jakarta, hal.196.
100 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Dampak Perkembangan Ekonomi Pariwisata Terhadap Hukum Tanah Adat di Desa Tenganan Pagringsingan
diselesaikan berdasarkan azas rukun, laras, dan patut.11 IV.
Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa : 1) Dengan berkembanganya ekopnomi pariwisata pada masyarakat setempat, ternyata tidak diikuti dengan perilaku alih fungsi lahan dan juga tidak ada proses individualisasi atas lahan milik kolektif. 2) Dengan berkembangnya ekonomi pariwisata, ternyata juga tidak diikuti oleh perilaku atau budaya hukum) melakukan transaksi tanah kepada orang luar desa. 3) Perkembangan ekonomi pariwisata ternyata pada awalnya menimbulkan konflik, akan tetapi konflik tersebut dapat diselesaiakan dengan musyawarah dan mupakat. Ada beberapa saran dapat dikemukakan, antara lain, 1) Sebagai salah satu desa wisata, Desa Adat Tenganan perlu dikembangnkan dengan memberdayakan sumberdaya alam yang dimiliki dengan tetap menjaga kelestariannya, dan juga memberdayakan sumberdaya manusianya secara optimal sehingga mampu berpartisipasi untuk menuju kemandirian masyarakat desa, dengan demikian, perkembangan pariwisata setempat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam proses pemberdayaan tersebut para pihak yang terlibat di dalamnya, perlu memperhatikan misi pemberdayaan, yaitu : a) penyadaran, b) Pengoraganisasian, c) Kaderisasi, d) dukungan teknis, e) pengelolaan system.12 2) Dalam mengembangkan pariwisata, desa setempat harus tetap mempertahankan adatistiadatnya yang unik karena adat-istiadatnya inilah yang menjadi sumberdaya tarik wisatawan. 3) Ketentuan awig-awig yang sudah usang perlu diperbarui untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, akan tetapi ketentuan awig-awig yang mempertahankan hak-hak atas tanah serta menjaga kelestarian lingkungan harus tetap dipertahankan dan bahkan perlu dipertegas untuk mengantisipasi pengaruh negatip perkembangan pariwisata.
Daftar Pustaka Abdul Manan, 2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta Astiti, Tjok Istri Putra. 1983. Hukum Tanah Adat di Desa Adat Tenganan Pagringsingan (laporan penelitian) Fakultas Hukum Universitas Udayana. Catharine Marshall & Gretchen B. Rossman, 1990, Designing Qualitative Research, Sage Publication, New York, London, New Delhi. Geertz. C. 1973, The Interpretation of Culture, Basics Book, New York. Johnson, Paul Doyle. 1986 Teori Sosiologi klasik dan Modern terjemahan Robert M.Z Lawang), jilid 2, PT Gramedia, Jakarta. Ian Dey, 1993, Qualitative Data Analysis, Routledge, London and New York. Koesnoe. Moh. 1979. Catatan-Catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya. 11 12
Asaz rukun, laras, dan patut merupakan azas kerja dalam penyelesaian sengketa (perkara) yang dikemukakan oleh Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, hal.44-53. Sajogyo,dkk. 1999, Menuju Perekonomian Rakyat, (disunting Mubyarto), Kerjasama BAPPENAS dan Yayasan Agro Ekonomika. Aditya Media, Jogyakarta, hal. 20-26.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
101
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Lea, J. 1988. Tourism and Development in the Third World, Roulledge, London. Satjipto Raharjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung. Sayogyo, dkk. 1999. Menuju Perekonomian Rakyat (disunting Mubyarto), kerjasama BAPPENAS dan Yayasan Agro Ekonomika, Aditya Media, Yogyakarta. Soerjono Soekanto, 1993, Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum, Bhina Akasara, Jakarta.
102 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
EKSISTENSI USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH SEBAGAI PENOPANG INDUSTRI PARIWISATA BERKELANJUTAN DI BALI Oleh RA Retno Murni Adiwati I Gusti Nyoman Agung Abstract The new phenomenal existence of Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) in Indonesia became an important issue after the Indonesian economy felt the impact of the global economic crisis of 2007. MSMEs have been proven to be capable of surviving an economic crisis, however, the Indonesian government has paid little attention to the continuity of the existence of MSMEs in domestic and global markets. Even the existence of MSMEs is diminishing with the tight competition domestically and globally. The main objective of the research is to ascertain whether the effectiveness of the Laws grant the necessary legal protections to MSMEs; and to give inputs to central and local government regarding the existence and legal protections of MSMEs in doing business in the local, national and international settings. This research was conducted using Juridical Empirical method based on the application of triangulation, using observation and interviews to obtain qualitative data, questionnaires and semi-structured interviews for quantitative data, and documentary. The research locations were Badung and Gianyar Regency determined by the area where the MSMEs industries of gold-silver accessories and weave (endek) are centred. The results of the research have been descriptively analysed. Based on surveys and the analysis of data, it was concluded that there is no single definition of MSMEs; no single institution that deal with MSMEs; laws and regulations ineffective; the legal protections, empowerments and development of MSMEs in Indonesia, especially Bali, is not optimal, not a bottom-up, incompatible with the needs of MSMEs. Key Words: existence, effective, legal protection.
I.
PENDAHULUAN
Fenomena baru keberadaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), menjadi isu penting setelah sektor perekonomian Indonesia dapat bertahan dari dampak keterpurukan krisis keuangan ekonomi global 2007. Pada saat krisis ekonomi justru sektor usaha ini dapat tetap bertahan dari krisis, sedangkan perusahaan-perusahaan besar yang begitu luar biasa mendapat dukungan pemerintah ternyata tidak mampu menghadapi krisis bahkan banyak yang collapse dan berguguran1. UMKM merupakan fenomena baru dimana eksistensinya dalam perekonomian Indonesia menjadi isu penting sebagai pilar ekonomi disamping Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Swasta, dan bentuk badan usaha lainnya. Namun kenyataannya, keberadaan UMKM kurang mendapat perhatian pemerintah, bahkan terpinggirkan dalam situasi kerasnya menghadapi persaingan bisnis domestik dan free trade global seperti Asean China Free Trade Agreement (ACFTA). Bali, sebagai daerah destinasi wisata utama di Indonesia dengan sektor unggulan pariwisata 1
Diswandi, 2010. “Strategi Pengembangan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (Umkm) Di Indonesia”. http://diswandi. wordpress.com/2010/02/03/strategi-pengembangan-usaha-mikro-kecil-dan-menengah-umkm-di-indonesia/, 17/3/201; Sulisto, B Suryo, 2010. “UMKM dalam Peran Selamatkan Perekonomian Bangsa” http://umkm.bcbali.com, 22-01-2011 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
103
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
juga tak lepas dari berbagai bencana ekonomi. Krisis ekonomi global, ledakan bom di jalan Legian tahun 2002, di Jimbaran dan Kuta tahun 2005, telah memporak porandakan perekonomian di Bali. Korporat, hotel, restoran, agen perjalanan, dan aktivitas pariwisata lumpuh. Namun UMKM mampu bertahan ditengah-tengah krisis ini2. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan hasil identifikasi Dinas Koperasi dan PKM Bali 2010, saat ini jumlah UMKM di Bali sekitar 377.248 atau 99,59% (persen) dari seluruh usaha yang ada3. Berdasarkan angka tersebut, menunjukkan besarnya kebutuhan Bali terhadap penggerak sektor riil ekonomi yang berasal dari UMKM, serta menunjukkan bahwa UMKM memegang peranan penting dalam peningkatan ekonomi Bali. Di berbagai negara seperti Amerika, Inggris, dan negara Asia lainnya, usaha kecil dan menengah berkembang pesat, dengan jumlah rata-rata UMKM lebih dari 90% dari total keseluruhan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Kondisi UKM di negara-negara tersebut sangat sehat dan kuat karena pemerintahnya menunjukkan keberpihakan pada pelaku usaha tersebut dan menerapkan peraturan serta kebijakan yang efektif4. Di Indonesia, ironisnya eksistensi UMKM termajinalkan meskipun berdasarkan data dan besarnya peran UMKM sebagaimana diuraikan diatas, UMKM mempunyai peranan vital dalam pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan peraturan perundangundangan dan kebijakan berupa pengakuan, penguatan, perlindungan dan pemberdayaan agar UMKM tetap eksis dan berkembang sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi. Disamping, perlindungan diperlukan mengingat kerasnya persaingan bisnis global di Bali terutama dengan diberlakukannya ACFTA (Asean China Free Trade Agreement) yang semakin menambah beratnya persaingan bisnis yang harus dijalani pelaku UMKM di Bali. Apabila situasi ini tidak didukung dengan perlindungan hukum dan kebijakan oleh pemerintah, maka keberadaan atau eksistensi UMKM sebagai mayoritas penopang ekonomi Bali akan terpinggirkan oleh pengusaha besar baik ditingkat domestik, nasional, maupun internasional. Dengan disahkannya UU No 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, UU No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, UU No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, seharusnya peranan UMKM menjadi kuat sebagai mitra pengusaha besar (Pasal 11 UU UMKM, Pasal 17 UUK). Sehingga UMKM akan mampu berkembang dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan (Pasal 3 UU UMKM) sebagaimana dikemukakan Akhmadi5 “Ruh dari UU Pariwisata yang baru adalah sebagai upaya pemerintah untuk mendorong usaha kecil dan menengah agar lebih tumbuh dan berkembang sehingga tercipta Sustainable Tourism Industry untuk mengurangi kemiskinan”. Namun kenyataannya, bahwa dalam pelaksanaannya peraturan perundang-undangan ataupun kebijakan yang memberi perlindungan berupa pengakuan, penguatan, dan pemberdayaan terhadap UMKM belum memadai. Keberadaan UMKM kurang mendapat perhatian pemerintah, bahkan terpinggirkan dalam situasi kerasnya persaingan bisnis global khususnya Bali dengan 2 3 4 5
Mudda, 2010. “UMKM Bali Tahan Badai Ekonomi”. http://muddabima.wordpress.com/20101/10/23, 20-01-2011 Terdapat 298.227 unit usaha mikro, 74.727 unit usaha kecil dan menengah sekitar 4.294 unit, sementara usaha besar hanya 1.356 unit perusahaan. Suhady, 2001. “Model Vitalisasi Usaha Kecil Menengah di Berbagai Negara (Models of Vtalizing Small-Medium Enterprises in Various Countries)” Jakarta: Lembaga Administrasi Negara -Pusat Kajian Administrasi. Akhmadi dikutp dari Anas, Pandu G, 2009. “UU No 10 Tahun 2009 Pariwisata Demi UMKM”. http://m.beritajatim. com 26 Februari 2009
104 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai Penopang Industri Pariwisata Berkelanjutan di Bali
struktur ekonominya mayoritas ditopang oleh UMKM. Hal ini didukung oleh pendapat praktisi bisnis, Sofyan Tan6, “Undang-undang yang mengatur tentang usaha kecil dan menengah yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat masih belum memihak usaha kecil”. Pengesahan undang-undang baru itu tidak memberikan dampak positif selama pasal-pasal yang ada tidak dijalankan. Diperlukan segera peraturan pemerintah dan peraturan daerah, sehingga hukum dapat ditegakkan (law enforcement). Disamping kebijakan dan dukungan yang memihak, bahwa dalam mengembangkan UMKM diperlukan strategi pengembangan di semua lini bisnisnya7. Seperti di sektor produksi, pengolahan, peningkatan sumber daya manusia (SDM), peningkatan sarana dan prasarana, bantuan permodalan dan program kemitraan, eskpansi pasar, dan meningkatkan daya saing UMKM. Peraturan perundang-undangan khususnya UU UMKM maupun kebijakan pemerintah dan bagaimana implementasinya di Bali, perlu dikaji khususnya tentang eksistensi atau keberadaan UMKM antara lain dari aspek: hukum, kelembagaan, pendanaan, sarana dan prasarana, kemitraan, pembinaan dan pengembangan. Dengan demikian, diharapkan akan tercapai tujuan dalam mewujudkan usaha kecil dan menengah agar lebih tumbuh dan berkembang sehingga tercipta Sustainable Tourism Industry (industri pariwisata berkelanjutan) untuk mengurangi kemiskinan, disamping UMKM akan mampu berkembang dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Juga diperlukan perhatian khusus dalam menghadapi persaingan perdagangan bebas akibat kebijakan ACFTA, mengingat tekanan akan lebih banyak dialami industri kecil yang berbasis masyarakat tersebut. Sebagaimana dikemukakan Jamaludin8, bahwa “ Bisa-bisa pelaku UMKM yang tidak dapat bertahan justru berbalik untuk menjadi pedagang yang memasarkan barang-barang produksi China karena memang harganya lebih murah”. Berdasarkan uraian latar belakang ini dan untuk mengantisipasi eksistensi dan kuatnya UMKM sehingga tidak terpinggirkan dalam persaingan bisnis global, domestik dan nasional yang sangat keras ini, perlu diadakan penelitian tentang efektivitas peraturan perundang-undangan serta kebijakan pemerintah dan implementasinya dalam rangka memberikan perlindungan kepada UMKM khususnya di Bali, agar tetap eksis9. Penelitian lebih difokuskan ke bidang/jenis usaha di sektor industri dan perdagangan yaitu industri tekstil pertenunan; industri kerajinan yang memiliki kekayaan khasanah budaya daerah; nilai seni yang menggunakan bahan baku alamiah emas dan perak maupun imitasi10. Produk-produk ini sebagai cinderamata (souvenir) yang diharapkan dapat menopang industri pariwisata di Bali yang berkelanjutan.
6 7 8 9
10
Sofyan Tan, 2008. “UU UKM Belum Memihak Usaha Kecill”. http://www.waspada.co.id, 17 Juni 2008 Cahyadi, Nur, 2010. “Potensi Bisnis UMKM Butuh Dukungan Pemerintah” http://umkm.bcbali.com, 23-01-291 Jamaludin, Jadin, 2010. “UKM Terancam Kalah Dalam Kompetisi Perdagangan Bebas” http://umkm.bcbali.com. Batu cantik 1 April, 2010 Kajian efektifitas hukum merefer pendapat Soerjono Soekanto, 1990. Polisi dan Lalu Lintas (Analisis Menurut Sosiologi Hukum). Cet I, Bandung: CV Mandar Maju, h 22; Soerjono Soekanto, 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, h 8-9; Achmad Ali, 2009. Menguak Teori Hukum. Jakarta: Kencana Persada Media Group, h.376-378. Sedangkan kajian perlindungan hukum merefer pendapat Hadjon, M Philipus, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu dan Saefuloh, AA, 2008. “Kebijakan Pemerintah Dalam Pembinaan Pengusaha Kecil Dan Menengah (Studi Kasus Di Provinsi Bali Dan Sulawesi Utara” 520 Kajian, Vol 13, No. 4, Desember 2008. Lampiran I, II Keputusan Presiden RI No 127 Tahun 2001 Tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil Dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah Atau Besar Dengan Syarat Kemitraan. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
105
KERTHA PATRIKA II.
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah efektivitas peraturan perundang-undangan tentang UMKM dalam memberikan perlindungan hukum agar UMKM tetap eksis di Bali? 2. Dalam implementasinya, apakah kebijakan (policy) pemerintah pusat dan daerah dalam pemberdayaan UMKM di Bali telah dapat mendukung kegiatan usaha UMKM secara optimal? III. HASIL DAN PEMBAHASAN Wawancara (interview) dilakukan di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Bali, Kabupaten Badung dan Gianyar; Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah Propinsi Bali, Kabupaten Badung dan Gianyar; dan Dinas Pariwisata di Bali. Interview lebih ditik beratkan pada bagaimana eksistensi UMKM, dan implementasi berbagai aspek yang diatur UU No 20 Tahun 2008 terkait efektivitas dan perlindungan hukum UMKM terutama dari aspek-aspek peraturan perundangan; pendanaan; sarana-prasarana; kemitraan atau kerjasama; pembinaan dan pengembangan. Adapun upaya menghilangkan peminggiran (marjinalisasi) terhadap UMKM terkendala dengan peraturan perundangan dan kebijakan tentang pemahaman UMKM yang masih simpang siur juga adanya dualisme insitusi. Mengenai bantuan permodalan/ pendanaan hanya dari sektor perbankan dan profit BUMN, kurang variatif. Dari segi saranaprasarana terutama pengembangan teknologi untuk peningkatan kualitas produk, Indonesia berorientasi kepada teknologi tepat guna dan teknologi informasi, sedangkan di negara-negara lain sudah berorientasi ke high technology dengan mengedepankan inovasi, hak kekayaan dan paten. Dengan minimnya mesin-mesin dan teknologi modern, maka proses produksi menjadi lambat dan kalah bersaing dengan China, India, Thailand. Minimnya pembinaan dan penyuluhan dari pemerintah tentang arti pentingnya hak kekayaan intelektual dan paten. Dalam hal kemitraan, pada umumnya pelaku UMKM pernah melakukan kemitraan/kerjasama dengan pelaku usaha besar yang cenderung pada pola perdagangan besar. Padahal pelaku UMKM dapat melakukan kerjasama dengan pelaku UMKM. Pelaku UMKM juga memerlukan wadah bagi para pelaku usaha untuk secara reguler, rutin bisa saling menjalin kerjasama dan mempromosikan produknya. Dari penelitian lapangan di Kabupaten Badung (Kuta utara, sentral Kuta, Kuta selatan), kendala/permasalahan yang dihadapi oleh pelaku UMKM produsen emas-perak ataupun textile/ tenun: 1. Menyangkut bahan baku perak, harganya tidak stabil dan tergolong mahal dibandingkan impor dari Thailand sehingga membebani para pelaku UMKM, Sehingga tidak jarang banyak produsen perak menggunakan alpaca (sebagai pengganti perak) kemudian alpaca tersebut dilapisi perak dan di plating. Dengan demikian penggunaan bahan baku dapat berkurang. Untuk bahan baku extile ada tetapi stock terbatas. Proses dari kapuk ke benang menjadi kain tidak ada di Bali karena tidak ada/terbatasnya mesin atau tidak adanya teknologi mengenai proses tersebut. Sehingga pelaku industri textile membeli kain jadi putih polos dan hanya melakukan proses pewarnaan sesuai yang diinginkan konsumen.
106 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai Penopang Industri Pariwisata Berkelanjutan di Bali
2.
3.
4.
Pemerintah kurang gencar untuk melakukan penyuluhan, pembinaan, pengembangan bagi pelaku UMKM agar pelaku usaha tersebut dapat mandiri dalam menjalankan usahanya. Pemerintah setidaknya tidak diskriminatif dalam memberikan fasilitas dan informasi kepada pelaku usaha yang terdaftar. Masalah tenaga kerja, di Badung banyak yang sebagai penjual perak, hal tersebut dikarenakan ongkos tenaga kerja yang terlalu tinggi, sehingga pelaku usaha biasanya memproduksi perak di Yogyakarta dan di jual di Bali. Masalah dana/permodalan, pemerintah mengalokasikan bantuan dana dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara, pengusaha-pengusaha besar / multinasional, dan dari insentif pajak. Namun, ternyata kredit dari bank untuk UMKM dikenakan bunga kredit lebih mahal yaitu bunga untuk UMKM 18-27% per tahun sedangkan korporasi 14-16% per tahun (sebagaimana dikemukakan oleh Wayan Suarembawa11.
Jadi, dari kendala/permasalahan di atas, pemerintah diharapkan untuk peduli terhadap para UMKM dan merealisasikan program. Pemerintah harus lebih gencar untuk melakukan pembinaan, sosialisasi, pengembangan, pemasaran untuk UMKM, dengan demikian UMKM akan menjadi usaha yang mandiri dan siap akan keadaan persaingan pasar. Namun kenyataannya pemerintah kurang peduli walaupun usaha UMKM sudah terdaftar. Masalah tenun di Bali, hanya daerah-daerah tertentu saja yang masih ada. Dari hasil survey di kawasan Kuta, pelaku usaha tidak lagi memproduksi tenun, tetapi hanya sebagai penjual. Selanjutnya, dari hasil survey di Gianyar, kendala-kendala/permasalahan yang dihadapi para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah tekstil/tenun dan emas-perak yaitu, 1. Dilihat dari aspek Pembinaan Dinas Perindustrian dan Dinas UMKM, • Bahwa dahulu lebih baik pembinaannya karena betul-betul membina, mengarahkan, dan membantu secara perorangan kepada pengusaha tenun. Sedangkan pembinaan maupun bantuan dari dinas perindustrian yang sekarang walaupun harus diajukan secara kelompok kadang-kadang bantuan itu turun dan salah sasaran (yang dapat bantuan justru kadang-kadang yang tidak tahu dan mengenal soal tenun). • Kurangnya pengaturan dari pemerintah mengenai bea cukai import sedangkan untuk eksport mudah padahal pengusaha perak sering mengimpot barang. • Kurangnya penerapan sanksi sehingga banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran mengenai ijin usaha (banyak pengusaha beralih ke Usaha Dagang padahal belum punya ijin) • Tidak adanya tanggapan dari dinas terhadap pengusaha yang mau mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual. 2. Dilihat dari Bahan Baku: • Tenun seperti benang dan warna kebanyakan pengusaha tenun mengimport bahan baku dari luar negeri karena bahan baku khususnya benang lokal kualitasnya kurang bagus dibandingkan kualitas benang luar negeri. • Meskipun benang import harganya lebih mahal dibandingkan dengan benang lokal namun pengusaha tenun tetap memilih benang import demi kualitas kain. • Mengenai bahan baku perak, harganya tidak stabil karena dipengaruhi oleh faktor harga perak sedunia; dan harga perak lokal. 11
Pengurus Forda UMKM Bali, dalam Bisnis Bali, 8 Juli 2011.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
107
KERTHA PATRIKA •
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Harga perak lokal kualitasnya lebih bagus dibandingkan dengan perak luar negeri namun pengusaha perak cenderung mengimportnya karena lebih murah.
Disamping kendala-kendala diatas, kendala lain yaitu: 1. Semenjak adanya krisis ekonomi global maka tamu wisatawan jarang ada yang mau belanja sehingga omset pengusaha baik tenun maupun perak menurun. 2. Dilihat dari tenaga kerja bahwa banyak pemuda/i tidak mau belajar dan memahami tenun sebagai warisan budaya bangsa. 3. Banyaknya persaingan tenun dengan produk Jepara; perak dengan Thailand Sehingga untuk memasarkan produk semakin sulit apalagi dengan teknologi luar negeri yang lebih canggih sehingga produk bisa cepat. Begitu juga dengan tenun mengenai produksinya kalah dengan Jepara yang memakai teknologi mesin sehingga bisa memproduksi lebih cepat dan banyak sedangkan di Gianyar alat-alat tenunnya sederhana dan cara pengerjaannya juga agak lambat. Beberapa masukan dari pengusaha: • Bahwa banyak pengusaha yang kurang tenaga kerjanya. Masukan dari perusahaan Putri Ayu yaitu agar memberikan pendidikan, penyuluhan dan gambaran kepada generasi kaum muda-mudi. • Didirikan sekolah seperti sekolah ITT (Ilmu Teknologi Tekstil) di Bandung agar ada generasi penerus untuk mempertahankan warisan budaya Bali. • Mengenai masalah perak perlu dibentuk lagi pameran khusus seni khas Bali sehingga hal ini bisa mampu menarik daya beli wisatawan. IV.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian permasalahan dan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa di Indonesia dan berbagai Negara, UMKM sangat berperanan dalam pertumbuhan ekonomi, 90% dari keseluruhan usaha dan kontribusi sektor UKM dalam pertumbuhan ekonomi negara. Dibandingkan Negara-Negara Asia, Eropa, Inggris dan Amerika, eksistensi UMKM di Indonesia ternyata terpinggirkan (termarjinalkan). Hal ini dikarenakan adanya permasalahan hukum itu sendiri, juga permasalahan praktikal, yaitu: 1. Dalam implementasinya ada permasalahan hukum (legal problem), yaitu UU UMKM tidak efektif. • Peraturan perundang-undangan dan policy pemerintah sering overlap antara satu institusi dengan institusi lainnya; • Pengertian dan pemahaman tentang UMKM beragam terutama tentang definisi dan batasan yang berbeda-beda dari Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan UKM, serta UU UMKM; • Adanya dualime institusi yang menangani UMKM yaitu Departemen Perindustrian dan Perdagangan; dan Departemen Koperasi dan UKM, sehingga menimbulkan kebingungan bagi pengambil kebijakan baik di pemerintah maupun pelaku UMKM sendiri;
108 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai Penopang Industri Pariwisata Berkelanjutan di Bali
• 2.
Penegakan hukum lemah karena aturan hukum tentang UMKM yang tumpang tindih. Ada permasalahan praktikal baik dari pelaku UMKM sendiri maupun pemeritah. • Ketaatan masyarakat terhadap peraturan belum memadai; • Kebijakan dan penanganan pengembangan UMKM juga tumpang tindih. • Policy pemerintah dalam perlindungan hukum, pemberdayaan dan pengembangan UMKM di Indonesia khususnya Bali, belum optimal. Hal ini antara lain dikarenakan: • Strategi kebijakan pemerintah juga tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat (tidak bottom-up), misalnya pengadaan sarana-prasarana bagi pengusaha tekstil endek di Gianyar dan Badung yang tidak dimanfaatkan UMKM karena tidak sesuai dengan kebutuhan para pengusaha UMKM. • Dalam perumusan strategi kebijakan, pemerintah kurang melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat, Universitas dan Swasta. • Kebijakan pemerintah dalam pengembangan UMKM masih kebijakan kesejahteraan belum pada kebijakan ekonomi. • Belum optimalnya kebijakan pemerintah disegala lini, seperti misalnya pengembangan Sumber Daya Manusia, bantuan permodalan yang hanya mengalokasikan dari bantuan kredit bank dan keringan tax. • Tidak adanya pengawasan lembaga pemerintah yang menangani UMKM.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang UKMnya sudah mapan, sangat diperlukan dukungan yang lebih serius dan komprehensip dari semua pihak terhadap UMKM. Beberapa saran antara lain: 1. Melakukan amandemen terhadap semua peraturan serta policy terkait UMKM khususnya mengenai definisi dan batasan UMKM, dan pembentukan satu lembaga professional yang mengurusi UMKM. 2. Melibatkan lembaga Swasta, Universitas dan LSM dalam merumuskan konsep/ atau model kebijakan pengembangan jangka pendek dan jangka panjang di segala lini 3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya jiwa ke-wirausaha-an (enterpreneurship) di kalangan muda 4. Di Bali, karena cinderamata (souvenir) merupakan salah satu pendukung pariwisata maka perlu pembinaan dan perlindungan hukum pemerintah pusat dan pemerintah daerah 5. Pemerintah tidak hanya sebagai regulator, fasilitator tetapi lebih berperan serta aktif dan memberikan dukungan penuh kepada UMKM segaimana pemberian dukungan bagi pengusaha besar.
DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali, 2009. Menguak Teori Hukum. Jakarta: Kencana Persada Media Group, h.376378. Anas, Pandu G, 2009. “UU No 10 Tahun 2009 Pariwisata Demi UMKM” http://m.beritajatim. com. 26 Februari 2009 Cahyadi, Nur, 2010. “Potensi Bisnis UMKM Butuh Dukungan Pemerintah” http://umkm. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
109
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
bcbali.com, 23-01-2911 Creswell, J W, 1994. Research Design. Qualitative & Quantitative Approaches. California: SAGE Publications. Dalen, Van, D.B (1973). Understanding Educational Research: An Introduction. New York: McGraw-Hill Book Company Denzin, NK, Lincoln, YS, 1994. Hanbook of Qualitative Research. California: SAGE: Publiatiions, Inc. Diswandi, 2010. “Strategi Pengembangan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (Umkm) Di Indonesia” http://diswandi.wordpress.com/2010/02/03/strategi-pengembanganusaha-mikro-kecil-dan-menengah-umkm-di-indonesia/, 17/3/2001 Hadjon, M Philipus, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu. Jamaludin, Jadin, 2010. “UKM Terancam Kalah Dalam Kompetiei Perdagangan Bebas” http:// umkm.bcbali.com. Batu cantik 1 April, 2010 Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2008. “UU UKM Dorong Kerja Sama Usaha Besar Dengan Usaha Skala Kecil http://www.indonesia.go.id/id, 25 Juli 2008 Kompas, 2001. “Memupuk UKM, Menuai Pemulihan Ekonomi”. 14 Desember 2001 Leedy, PD, 1985. Practical Research. Planning and Design. New York: Macmillan Publishing Company Mudda, 2010. “UMKM Bali Tahan Badai Ekonomi”. http://muddabima.wordpress. com/20101/10/23, 20-01-2011 Satjipto Rahardjo, 2009. Hukum dan Perubahan Sosial. Jakarta: Genta Publishing, h. 141 – 142 Saefuloh, AA, 2008. “Kebijakan Pemerintah Dalam Pembinaan Pengusaha Kecil Dan Menengah (Studi Kasus Di Provinsi Bali Dan Sulawesi Utara” 520 Kajian, Vol 13, No. 4, Desember 2008. Makalah ini merupakan ringkasan dari laporan penelitian tentang “Pengembangan UKM di Indonesia” yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI tahun 2007. Soerjono Soekanto, 1990. Polisi dan Lalu Lintas (Analisis Menurut Sosiologi Hukum). Cet I, Bandung: CV Mandar Maju, h 22 ……., 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, h 8-9 Sofyan Tan, 2008. “UU UKM Belum Memihak Usaha Kecil” http://www.waspada.co.id, 17 Juni 2008 Suhady, I, 2001. “Model Vitalisasi Usaha Kecil Menengah di Berbagai Negara (Models of Vtalizing Small-Medium Enterprises in Various Countries)” Jakarta: Lembaga Administrasi Negara -Pusat Kajian Administrasi Internasiional. Sulisto, B Suryo, 2010. “UMKM dalam Peran Selamatkan Perekonomian Bangsa” http://umkm. bcbali.com, 22-01-2011 Wikipedia, 2011. “Small and medium enterprises”. http://en.wikipedia.org/wiki/Small_and_ medium_enterprises, 15/6/2011 Undang Undang No 7 Tahun 1999 Tentang Pengesahan GATS (General Agreement on Trade in Services) Undang Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 110 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai Penopang Industri Pariwisata Berkelanjutan di Bali
Undang Undang No 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Undang Undang No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Undang Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Keputusan Presiden RI No 127 Tahun 2001 Tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil Dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah Atau Besar Dengan Syarat Kemitraan
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
111
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PARIWISATA DI BALI Oleh: I Made Subawa Gede Marhendra Wija Atmaja Ni Luh Gede Astariyani Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Nyoman Mas Aryani I Wayan Suarbha Abstract Research had the objective to determine the exercise of arrangements authority and regulation authority in the Field of Tourism by the provincial government of Bali. This Research is an empirical legal research, ie research that moved from the conditions of ignorance are assessed for academic fulfillment. Data source is that there are informers in Dinas Pariwisata and in Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Bali and legal material Bali Provincial Government in implementing regional autonomy have regulation authority in the field of tourism by issuing several local regulation in the field of tourism, and administration authority in the field of tourism by publishing all forms tourism permit issued by Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Bali. Key Words: regional autonomy , authority,
I.
PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik ( Pasal 1 ayat 1 ); Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar ( Pasal 1 ayat 2 ); Negara Indonesia adalah negara hukum ( Pasal 1 ayat 3 ). Formulasi kekuasaan dalam negara kesatuan berada ditangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Pusat melimpahkan kepada Pemerintah Daerah melalui asas desentralisasi yang melahirkan Otonomi Daerah. Landasan konstitusional Otonomi ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1 ) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945. Untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 tersebut di undangkanlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti dari UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan lebih lanjut dari pembagian urusan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Dalam PP No 38 Tahun 2007, bidang Pariwisata diatur dalam sub bidang (q.) tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata yang di dalamnya diatur mengenai Kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sesuai dengan isi dari otonomi daerah yaitu mencakup kewenangan pengaturan dan pengurusan, Pemerintahan Daerah Provinsi Bali dalam melaksanakan kewenangan di bidang pariwisata juga mencakup dua hal tersebut. Kewenangan pengaturan dilaksanakan dengan 112 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
membuat Peraturan Daerah serta peraturan di tingkat daerah lainnya di bidang pariwisata dan kewenangan pengurusan dilaksanakan dengan mengeluarkan izin-izin di bidang pariwisata. Dimana produk-produk yang dihasilkan baik dalam bidang pengaturan dan pengurusan oleh Pemerintah Daerah Provinsi tersebut tentunya tidak boleh tumpang tindih dengan yang ada di tingkat Pusat dan di tingkat Kabupaten/Kota. Oleh karena itu penting kiranya untuk mengetahui pelaksanaan kewenangan pengaturan dan pengurusan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Hal inilah yang menjadi latar belakang untuk meneliti mengenai “Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Penyelenggaraan Pariwisata di Bali”. Dalam penelitian ini dirumuskan 2 rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimanakah pelaksanakan kewenangan pengaturan di bidang pariwisata oleh Pemerintah Provinsi Bali? 2. Bagaimanakah pelaksanakan kewenangan pengurusan di bidang pariwisata oleh Pemerintah Provinsi Bali ? II.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengembangan kepariwisataan di Provinsi Bali dilakukan secara selektif dengan selalu berpedoman pada pariwisata budaya. Potensi alam, sarana rekreasi lainnya hanya merupakan fasilitas penunjang kepariwisataan di Provinsi Bali. Seperti uraian diatas, Pemerintah Daerah Provinsi Bali mengelola Pariwisata dalam kerangka menjalankan otonomi daerah. RDH Koesoemahatmadja mengemukakan bahwa istilah otonomi berasal dari Bahasa Yunani , yakni autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti peraturan perundang-undangan. Menurut beliau dilihat dari perkembangan sejarah di Indonesia, otonomi juga berarti menjalankan pemerintahan sendiri selain membuat peraturan perundang-undangan sendiri.1 Sehingga dalam mengelola pariwisata tersebut Pemerintah Provinsi Bali tidak hanya melalui segi pengaturan dengan membentuk Peraturan Daerah serta peraturan lainnya di tingkat daerah. Senada dengan itu Sjachran Basah mengemukakan bahwa: Memerintah negara berdasarkan sendi teritorial pada hakekatnya menjamin hak setiap penguasa ( Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah ) terhadap suatu daerah tertentu yang menyangkut kewenangan secara umum atas regeling dan bestuur. Kewenangan secara umum itu atas regeling dan bertuur untuk dapat mengatur dan mengurus rumah taangganya sendiri. 2 Dari uraian diatas, dapat diperoleh bahwa konsep otonomi mengandung pengertian mengatur dan mengurus. Apa saja yang dapat diatur dan diurus itu terungkapkan dalam wacana tentang sistem otonomi atau ajaran rumah tangga daerah.3 Pemerintahan daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya didasarkan pada asas otonomi daerah dan tugas pembantuan. Asas otonomi daerah tersebut adalah asas desentralisasi, dekonsentrasi. Dalam Pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 ditentukan bahwa yang 1 2 3
RDH. Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar KeArah Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung, h. 15 Sjachran Basah, 1986, Tigatulisan tentang Hukum, Armico, Bandung, h. 29. Gede Marhaendra Wija Atmaja, 1995, “ Ruang Lingkup MateriMuatan Peraturan Daerah Tingkat II ( Kasus Kabupaten Daerah Tingkat Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar )”, Thesis, ProgramPasca Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung, h. 18 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
113
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
dimaksud dengan Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan RI ( Pasal 1 angka 7 ). Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu (Pasal 1 angka 8), dan Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada Kabupaten/Kota dan/atau Desa, serta dari pemerintah Kabupaten/Kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Pengembangan dan pengelolaan pariwisata oleh Pemerintah Provinsi Bali berpedoman dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007. Dimana dari UU No. 32 Tahun 2004 serta PP No.38 Tahun 2007 tersebut dapat diketahui bahwa Pemerintah Provinsi Bali berwenang untuk menetapakan kebijakan dalam bentuk pengaturan yang berkaitan dengan kepariwisataan, urusan Pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dilihat dari UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan diketahui pula bahwa Pemerintah Daerah berwenang juga untuk mengatur jenis usaha yang berkaitan dengan kawasan pariwisata serta kaitannya dengan obyek wisata ( Pasal 14 ayat (1) huruf b) dengan cara mengurus izin-izin usaha oleh karena setiap pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan usahanya terlebih dahulu kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah 1.
Pelaksanaan Kewenangan Pengaturan Di Bidang Pariwisata
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah (pusat) menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan penegasan dianutnya ketiga asas ini secara bersama-sama, dapat dihindari timbulnya keraguan sebagai akibat tidak tercantumnya asas dekonsentrasi secara eksplisit dalam rumusan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “ Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan ini, pemerintahan daerah dinyatakan berhak menetapkan: (1) Peraturan daerah; (2) Peraturan –peraturan lain. RIA (Regulatory Impact Assessment/Analisis Dampak Regulasi) merupakan sebuah metode yang bertujuan untuk menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif peraturan yang sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan, dapat digunakan sebagai metode dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan baik mulai dari perencanaan maupun persiapan yang dapat di dahului dengan pembuatan naskah akademik. Tujuan dari RIA adalah terciptanya good regulatory governance, tata kelola pemerintahan yang mengembangkan perumusan peraturan yang efektif, berorientasi pasar, melindungi lingkungan dan kehidupan sosial.
114 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Penyelenggaraan Pariwisata di Bali
Tahapan RIA dapat digambarkan sebagai berikut:4 IDENTIFI
IDENTIFI
ALTERN
AB
PEMILI
KASI
KASI
ATIF
M
HAN
MASALA
TUJUAN
TINDAK
STRATEGI IMPLEME
TINDA H
NTASI
AN KAN
KONSULTASI PUBLIK
Dari bagan diatas dapat diterangkan sebagai berikut: Pertama : Perumusan Masalah Untuk menentukan suatu masalah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Identifikasi wewenang hukum. 2. Pemahaman tentang susunan peraturan. 3. Konsultasi dengan stakeholder Kedua : Identifikasi Tujuan Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan masalah yaitu: 1. Apakah orang-orang yang terlibat, mengerti dan sepakat bahwa memeng ada suatu masalah. 2. Apakah mereka mengerti dan mengetahui kontribusinya terhadap masalah. 3. Apakah mereka mengerti dan menerima tujuan pemerintah. 4. Apakah mereka mengerti dan menerima apa yang anda inginkan dari mereka. 5. Apakah mereka mampu berperilaku dengan cara tersebut. 6. Apakah ada faktor-faktor sosial dan psikologis yang terkait. Ketiga : Alternatif Tindakan Ada beberapa bentuk-bentuk alternatif, yaitu: 1. Self Regulation Æ Masyarakat atau kelompok masyarakat mengatur diri sendiri. 2. Quasi Regulation Æ Pengaturan yang sifatnya himbauan yang sedikit mengikat. 3. Explicit Regulation Æ Pengaturan yang tegas.
4
Marhendra Wija Atmaja, 2009, Analisis Dampak Regulasi: Metode Untuk Pembuatan Kebijakan Publik dan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, Makalah, Hukum dan Kebijakan Publik dan Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Fakultas Hukum UNUD,h.12.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
115
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Keempat : Analisis Manfaat dan Biaya Ada beberapa langkah-langkah yang dapat ditempuh: 1. Buatlah daftar sebanyak mungkin berbagai jenis manfaat yang diperoleh dari diberlakukannya suatu peraturan. 2. Buatlah daftar sebanyak mungkin berbagai jenis biaya yang dikeluarkaan sehubungan dengan diberlakukannya suatu peraturan. 3. Lakukan konsultasi dengan tenaga ahli, stakeholder, dan masyarakat untuk menyempurnakan daftar manfaat dan biaya tersebut. 4. Siapkan sebuah tabel tentang manfaaat daan biaya yang disajikan per tahun. 5. Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada kolom terakhir terdapat manfaat bersih setelah dikurangi biaya. 6. Tidak selalu alternatif yang memiliki manfaaat bersih paling besar yang akan dipilih, sebab dalam hal ini pada umumnya yang menerima manfaat bukan yang membayar biaya dan aspek-aspek seperti legalitas, efektivitas, prioritas dari setiap alternatif masih perlu dipertimbangkan. Untuk sampai kepada pilihan yang diinginkan masih ada langkah berikutnya yaitu: konsultasi dengan para ahli, stakeholder, dan masyarakat khususnya yang terkena dampak. Kelima : Konsultasi Publik Prinsip yang perlu diperhatikan adalah 1. Konsultasi ditujukan untuk mengumpulkan informasi, membangun kelompok yang memihak untuk menyetujui adanya regulasi, dan menyusun laporan yang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Konsultasi dapat dilaksanakan dalam bentuk beragam, informal maupun formal 3. Harus direncanakan pada awal RIA. 4. Rencana konsultasi harus sudah mengenali pihak-pihak mana yang akan dilibatkan partisipasinya. 5. Prosesnya transparan, dialog berkesinambungan, pro aktif.5 Di Provinsi Bali, berdasarkan hasil wawancara, menurut Bapak Drs Made Darmawan Kasubag Umum dan Kepegawaian Dinas Pariwisata Provinsi Bali, terdapat beberapa Peraturan Daerah yang berkaitan dengan bidang Kepariwisataan yang pembentukannyasudah sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada Daerah, antara lain bisa dilihat pada tabel dibawah ini:
5
Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002, Buku Pedoman Kaji Ulang Peraturan Indonesia, Makalah Seminar, Nusa Dua, h.1-13
116 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Penyelenggaraan Pariwisata di Bali
NO 1.
PERDA Perda Propinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung
MATERI MUATAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
2.
Perda Propinsi Bali Nomor 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
UU KEPARIWISATAAN
ANALISIS
1. Ketentuan Umum Fungsi dan Klasifikasi banguanan gedung Arsitektur bangunan gedung. Arsitektur warisan. Simbol fungsi dan simbol keagamaan. Pengendalian penerapan persyaratan arsitektur. Ketentuan Peralihan. Ketentuan Penutup.
Pasal 13 (1)Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksuddalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas kawasan strategis pariwisata nasional, kawasanstrategis pariwisata provinsi, dan kawasan strategis pariwisata kabupaten/kota. (2) Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksudpada ayat (1) merupakan bagian integral dari rencanatata ruang wilayah nasional, rencana tata ruangwilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayahkabupaten/kota. (3)Kawasan strategis pariwisata nasional ditetapkanoleh Pemerintah, kawasan strategis pariwisataprovinsi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi,dan kawasan strategis pariwisata kabupaten/kotaditetapkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota. (4)Kawasan pariwisata khusus ditetapkan denganundang-undang.
Berdasarkan UU Kepariwisataan Pemerintah Provinsi Bali berwenang untuk menbentuk Peraturan Daerah tentang Persyaratan arsitektur Bangunan Gedung, sesuai dengan materi muatan dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
Ketentuan Umum Jenis dan Bentuk Usaha Lokasi Usaha Perizinan Kewajiban Larangan Peranserta masyarakat Pembinaan dan koordinasi Sanksi administrasi Upaya administratif Ketentuan Penyidikan Ketentuan Pidana Ketentuan Peralihan
Pasal 14 (1) Usaha pariwisata meliputi, antara lain: a. daya tarik wisata; b. kawasan pariwisata; c. jasa transportasi wisata; d. jasa perjalanan wisata; e. jasa makanan dan minuman; f. penyediaan akomodasi; g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, i. konferensi, dan pameran; j. jasa informasi pariwisata; k. jasa konsultan pariwisata; l. jasa pramuwisata; m. wisata tirta; dan n. spa. (2)Usaha pariwisata selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Berdasarkan UU Kepariwisataan Pemerintah Provinsi Bali berwenang untuk membentuk Peraturan Daerah tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta, sesuai dengan materi muatan dan keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan yang bersangkutan
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
117
KERTHA PATRIKA
3.
Perda Propinsi Bali Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
Ketentuan Umum Penggolongan dan ruang lingkup Persyaratan Pelaksanaan tugas pramuwisata Pembinaan dan Pengawasan Ketentuan Penyidikan Ketentuan Pidana Ketentuan Peralihan Ketentuan Penutup
Pasal 14 (1) Usaha pariwisata meliputi, antara lain: a. daya tarik wisata; b. kawasan pariwisata; c. asa transportasi wisata; d. jasa perjalanan wisata; e. jasa makanan dan minuman; f. penyediaan akomodasi; g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif,konferensi, dan pameran; i. jasa informasi pariwisata; j. asa konsultan pariwisata; k. jasa pramuwisata; l. wisata tirta; dan m. spa. (2) Usaha pariwisata selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 15 (1)Untukdapatmenyelenggarakan usaha pariwisatasebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, pengusahapariwisata wajib mendaftarkan usahanya terlebihdahulu kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri
Berdasarkan UU Kepariwisataan Pemerintah Provinsi Bali berwenang untuk membentuk Peraturan Daerah tentang Pramuwisata, sesuai dengan materi muatan dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
Sumber : Diolah dari Buku Kepariwisataan I dan Buku Kepariwisataan II, Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tahun 2009-2010.
Analisi RIA terhadap Perda Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta Terhadap produk hukum mengenai Sarana Wisata Tirta di Provinsi Bali, dalam hal ini Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 359 Tahun 1993 tentang Penetapan Lokasi Wisata Tirta di Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 360 Tahun 1993 tentang Persyaratan izin Lokasi Usaha Tirta Di Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 80 Tahun 1996 tentang Pemanfaatan Sungai untuk Usaha Arum Jeram (Rafting) di Provinsi Daerah Tingkat I Bali, mendesak diadakan kaji ulang dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Perubahan paradigma otonomi daerah, yang sebelumnya dianut adalah otonomi, nyata dan bertanggung jawab menjadi seluas-luasnya yang nyata dan bertanggung jawab. Perubahan paradigma ini berimplikasi pada kewenangan Daerah, termasuk kewenangan Daerah dalam bidang pariwisata. Sebelumnya, sesuai dengan prinsip otonomi, nyata dan bertanggung jawab, kewenangan di bidang pariwisata, termasuk sarana wisata tirta, merupakan kewenangan Pusat yang didekonsentrasikan, sehingga yang melaksanakan kewenangan usaha sarana wisata tirta di Daerah adalah Kantor Wilayah yang membidangi pariwisata, yaitu Dinas yang ada di daerah yang membidangi pariwisata. 118 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Penyelenggaraan Pariwisata di Bali
2.
3.
Peningkatan aktivitas masyarakat di bidang usaha sarana tirta sehingga aturan-aturan hukum yang ada perlu diperbaiki untuk mengantisipasi segala bentuk dampak negatif yang sedang dan akan ditimbulkan. Perubahan paradigma tatanan peraturan perundang-undangan, yang menurut politik hukum yang dianut dewasa ini tidak lagi mengenal bentuk keputusan (seperti Keputusan Gubernur) sebagai jenis peraturan peraturan perundang-undangan, baik dalam makna peraturan perundang-undangan di dalam hierarki maupun perundang-undangan di luar hierarki.
Kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan metode RIA adalah: 1. Pemetaan Usaha Pariwisata dan Usaha Sarana Wisata Tirta; dalam kegiatan ini dilakukan pengkajian Undang-Undang tentang Pariwisata dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah untuk mendapatkan posisi usaha sarana wisata tirta dalam pengelompokkan usaha pariwisata, serta yang mempunyai kewenangan. 2. Kaji-ulang Produk Hukum Lama; dalam kegiatan ini dilakukan pengkajian terhadap Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 359 Tahun 1993 tentang Penetapan Lokasi Wisata Tirta di Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 360 Tahun 1993 tentang Persyaratan IJin Lokasi Usaha Wisata Tirta Di Propinsi Daerah Tingkat I Bali, dan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 80 Tahun 1996 tentang Pemanfaatan Sungai untuk Usaha Arung Jeram (Rafting) di Propinsi Daerah Tingkat I Bali, yang berkaitan dengan asas dan norma hukum maupun aspek teknik perancangan (legislative drafting). 3. Telaah identitas dan Kapasitas Produk Hukum Lama; dalam kegiatan ini dilakukan telaah untuk menilai keberadaan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali tersebut dalam tatanan peraturan perundang-undangan, dan kemampuan kandungan asas dan norma hukumnya menampung persoalan usaha sarana wisata tirta yang berkembang hingga saat ini. 4. Pemetaan Kebutuhan Revisi; dalam kegiatan ini dilakukan invetarisasi dan identifikasi halhal yang diperlukan dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Usaha Sarana Wisata Tirta. 5. Seting Kerangka dan Materi Muatan Produk Hukum Baru; dalam kegiatan ini dilakukan penyusunan kerangka dan materi muatan produk hukum baru, dalam hal ini berupa Peraturan Daerah, mengenai usaha sarana wisata tirta sesuai dengan perkembangan kebijakan dan kegiatan usaha sarana wisata tirta. 2.
Pelaksanaan Kewenangan Pengurusan Di Bidang Pariwisata
Pemerintah daerah dimaksud dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Sebagaimana ditentukan Pasal 18 ayat (5) dan kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan yang JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
119
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
menjadi urusan Pemerintah, menurut Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, meliputi: a. Politik luar negeri b. Pertahanan c. Keamanan d. Peradilan atau Yustisi e. Moneter dan fiscal nasional f. Agama Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tersebut diatas, pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah yang ada di daerah atau dapat menugaskan atau memberi penugasan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa untuk melaksanakannya. Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan tersebut, pemerintah pusat dapat: (i) Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; (ii) Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil pemerintah; atau (iii) Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kreteria tersebut, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan-urusan yang ditentukan bersifat wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi meliputi: (1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan; (2) Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; (3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; (4) Penyediaan sarana dan prasarana umum; (5) Penanganan bidang kesehatan; (6) Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; (7) Penanggulangan masalah social lintas kabupaten/kota; (8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (9) Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/ kota; (10) Pengendalian lingkungan hidup; (11) Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (12) Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; (13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan; (14) Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; (15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/ 120 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Penyelenggaraan Pariwisata di Bali
kota; (16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan-urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan memang berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Pelaksanaan ketentuan dimaksud diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Di Provinsi Bali mulai tahun 2010 segala bentuk perizinan dikeluarkan oleh UPT Perizinan Provinsi Bali, menurut bapak I Wayan Wirya Kasi Bidang Pembangunan, UPT Prizinan Provinsi Bali mengeluarkan izin di bidang Pariwisata sejak tahun 2010, izin tidak lagi ditangani oleh Dinas Pariwisata. Selama 1 (satu) tahun dari tahun 2009-2010 sudah dikeluarkan 276 izin. Ada 230 izin yang penerbitannya setelah dianalisis telah sesuai dengan Perda Propinsi Tingkat I Bali No. 8 Tahun 1999 tentang Pembinaan Usaha Pariwisata di Kawasan Pariwisata di Propinsi Daerah Tingkat I Bali dan ada 46 izin yang setelah dianalisis telah sesuai dengan Perda Propinsi Bali No. 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta. Oleh karena itu pelaksanaan kewenangan pengurusan di bidang Pariwisata oleh Provinsi Bali telah sesuai dengan pelimpahan kewenangan untuk membentuk izin. Pemerintah dilarang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat detournement de pouvoir ( melakukan sesuatu di luar tujuan kewenangan yang diberikan) atau Onrechtmatig Overheidaad ( perbuatan melawan hukum oleh penguasa) .sebab setiap perbuatan pemerintah yang merugikan warganya karena detourment de pouvoir atau Onrechtmatig Overheidaad dapat dituntut di muka hakim baik melalui peradilan administrasi negara maupun melalui peradilan Menurut Prof Koentjoro Purbopranoto6 ada 13 azas-azas umum pemeintahan yang baik antara lain ;1)Azas kepastian,2) Azas keseimbangan,3) Azas kesamaan,4) Azas bertindak cermat,5) Azas motivasi,6) Azas jangan mencampuradukkan kewenangan,7) Azas Fair Play,8) Azas keadilan atau kewajaran,9) Azas menanggapi penghargaan yang wajar,10) Azas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal ,11) Azas perlindungan atas perlindungan hidup,12) Azas kebijaksanaan,13) Azas penyelenggaraan kepentingan hukum. Dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang penyelenggraaan Negara yang bersih dan bebas dari KKN dalam Bab III Pasal 3 menyebutkan Asas-Asas Umum Penyelenggraan Negara meliputi ; 1. Azas kepastian hukum; 2. Azas tertib penyelenggaraan Negara; 3. Azas kepentingan umum; 4. Azas keterbukaan ; 5. Azas proporsionalitas ; 6. Azas profesionalitas; 7. Azas akuntabilitas. Dalam pejelasan Pasal 3 dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan masing-masing asas-asas tersebut. Sehingga dilihat dari asas-asas umum pemerintahan yang baik, pemerintah daerah provinsi dalam menerbitkan izin-izin dibidang kepariwisataan tetap berpedoman pada asas-asas tersebut.
6
Lutfi Effendi,2004,Pokok-Pokok Hukum Administrasi,Bayu Media Publishing Malang Jatim,hal 85-86 JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
121
KERTHA PATRIKA
• Volume 36 Nomor 2, September 2011
III. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat ditarik beberapa simpulan yaitu sebagai berikut: 1. Pemerintah Daerah Provinsi Bali melaksanakan kewenangan pengaturan di bidang pariwisata dengan mengeluarkan beberapa Peraturan Daerah di bidang Kepariwisataan. Untuk menganalisa kewenangan pengaturan digunakan metode RIA, merupakan sebuah metode yang bertujuan untuk menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif peraturan yang sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan. Tujuan dari RIA adalah terciptanya good regulatory governance, tata kelola pemerintahan yang mengembangkan perumusan peraturan yang efektif, berorientasi pasar, melindungi lingkungan dan kehidupan sosial. Dari beberapa Peraturan Daerah di bidang Kepariwisataan, sudah dapat memenuhi kriteria untuk perumusan suatu kebijakan publik karena sudah memenuhi isi dari metode RIA yaitu terdapat identifikasi masalah, tujuan, alternatif tindakan, alternatif biaya, pemilihan tindakan, strategi implementasi, dan semua tahap telah melalui dengan konsultasi publik. 2. Pelaksanakan kewenangan pengurusan bidang kepariwisatan di Provinsi Bali mulai tahun 2010, dimana segala bentuk perizinan dikeluarkan oleh UPT Perizinan Provinsi Bali. Sedangkan sebelumnya pada tahun 2009, segala jenis ijin di bidang kepariwisataan dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Selama 1 (satu) tahun dari tahun 2009-2010 sudah dikeluarkan 276 ijin. Semua jenis ijin tersebut setelah dianalisis, pembentukannya telah berdasarkan pelimpahan kewenangan / pendelegasian kewenangan untuk membentuk izin dari Peraturan Daerah di Bidang Kepariwisataan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik . Ada satu hal yang perlu disarankan yaitu dalam pelaksanaan kewenangan pengaturan dan pengurusan dibidang kepariwisataan di Provinsi Bali selain mendasarkan pada aspek kewenangan pembentukan, asas-asas umum pemerintahan yang baik, kerangka formal, konsultasi publik tetap juga harus memperhatikan aspek kearifan lokal Bali
DAFTAR PUSTAKA BUKU Fakultas Hukum UNUD, 2009, Pedoman pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum UNUD, Denpasar. Hadikusuma, Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung. Lutfi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayu Media Publishing Malang, Jatim. Koesoemahatmadja,RDH., 1979, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung. Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji,2001,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Jakarta,PT.Raja Grafindo Persada.
122 •
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Penyelenggaraan Pariwisata di Bali
Sjachran Basah, 1986, Tigatulisan tentang Hukum, Armico, Bandung. MAKALAH /THESIS Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002, Buku Pedoman Kaji Ulang Peraturan Indonesia, Makalah Seminar, Nusa Dua. Marhaendra Wija Atmaja, Gede, 1995, “ Ruang Lingkup MateriMuatan Peraturan Daerah Tingkat II ( Kasus Kabupaten Daerah Tingkat Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar )”, Thesis, ProgramPasca Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung. Marhendra Wija Atmaja, 2009, “Analisis Dampak Regulasi: Metode Untuk Pembuatan Kebijakan Publik dan Peraturan Perundang-undangan yang Baik”, Makalah, Hukum dan Kebijakan Publik dan Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Fakultas Hukum UNUD.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU No 28 Tahun 1999 tentang penyelenggraaan Negara yang bersih dan bebas dari KKN Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389). Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang Nomor 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844). Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966). Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737). Perda Propinsi Tingkat I Bali No. 8 Tahun 1999 tentang Pembinaan Usaha Pariwisata di Kawasan Pariwisata di Propinsi Daerah Tingkat I Bali Perda Propinsi Bali Nomor 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
123