DAFTAR ISI
JUDUL SKRIPSI .................................................................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii INTISARI ................................................................................................................ v ABSTRACT ............................................................................................................ vi DAFTAR ISI ........................................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5 C. Tujuan Penelitian ...........................................................................................6 D. Manfaat Penelitian .........................................................................................6 E. Kerangka Teori ..............................................................................................6 F. Metode Penelitian ......................................................................................... 10 BAB II DESKRIPSI SASARAN PENELITIAN A. Deskripsi Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta......................................... 23 B. Deskripsi Informan ....................................................................................... 28 BAB III KONTRIBUSI KELUARGA DALAM PENANGANAN PASIEN PENDERITA GANGGUAN JIWA A. Klasifikasi Gangguan Jiwa ........................................................................... 33
B. Kontribusi Keluarga Pasien ........................................................................ 36 BAB IV UPAYA PEMAHAMAN INSTALASI REHABILITASI TERHADAP KONDISI SOSIAL PASIEN SERTA PENANGANANNYA A. Upaya Pemahaman Terhadap Kondisi Sosial ............................................... 42 B. Bentuk Penanganan Pasien ........................................................................... 50 C. Bentuk Upaya Penanganan Tehadap Keluarga Pasien ………..................... 51 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ................................................................................................... 52 B. Saran ............................................................................................................. 53 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 55
BAB I
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Rumah sakit adalah organisasi sosial yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang dituntut untuk selalu memberikan pelayanan terbaik dan memuaskan bagi setiap pengguna yang memanfaatkannya. Berdasarkan jenis dan manfaatnya rumah sakit, Dirjen Yan. Medik Depkes RI (Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia) pada tahun 1993 membagi menjadi 3 bagian, yaitu: rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, dan rumah sakit khusus. Dari ketiga jenis rumah sakit tersebut, rumah sakit yang memiliki permasalahan yang besar dan kurang mendapatkan perhatian adalah rumah sakit jiwa. Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebutkan, prevalensi gangguan jiwa emosional berupa depresi dan cemas pada masyarakat berumur di atas 15 tahun mencapai 11,6 persen. Jika jumlah penduduk pada kelompok umur tersebut tahun 2010 ada 169 juta jiwa, jumlah penderita gangguan jiwa 19,6 juta orang. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Direktur Bina Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan bahwa di Indonesia terdapat masyarakat hidup dalam emosi dan kondisi kejiwaan bermasalah. Jumlah ini cukup moderat dan jika diperluas, maka gangguan kejiwaan pada anak dan remaja, jumlahnya bisa lebih besar lagi (Anna, 2012).
Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku. Dimana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan (Stuart & Sundeen, 1998). Gangguan jiwa dilihat dari aspek sosial pada penelelitian ini adalah ketidakmampuan
seseorang
atau
individu
berkomunikasi,
berinteraksi,
beradaptasi, dan bersosialisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berkembang di keluarga dan masyarakat. Penyebab gangguan jiwa disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor fisik, faktor psikis, dan faktor sosial. Untuk mengetahui penyebabnya secara rinci, akan dibahas pada bab pembahasan. Hal yang melatarbelakangi gangguan jiwa bermacam-macam ada yang bersumber dari berhubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak terbalas, kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan faktor organik, kelainan saraf dan gangguan pada otak (Djamaludin, 2001). Klasifikasi gangguan jiwa bervariasi tergantung pada jenis-jenis gangguan jiwa yang dialami. Secara umum fenomena ini yang terjadi di masyarakat, gangguan jiwa disebabkan karena adanya tekanan psikologis yang disebabkan oleh adanya tekanan dari luar individu maupun tekanan dari dalam individu. Beberapa hal yang menjadi penyebab adalah ketidaktahuan keluarga dan masyarakat
terhadap jenis gangguan jiwa ini, serta ada beberapa stigma mengenai gangguan jiwa ini (Hawari,2001). Kecenderungan gangguan jiwa akan semakin meningkat seiring terus berubahnya situasi ekonomi dan politik kearah tidak menentu, prevalensinya bukan saja pada kalangan menengah kebawah sebagai dampak langsung dari kesulitan ekonomi, tetapi juga kalangan menengah keatas sebagai dampak langsung atau tidak langsung ketidakmampuan individu dalam penyesuaian diri terhadap perubahan sosial yang terus berubah (Rasmun, 2011). Orang yang memiliki kesehatan mental yang baik sekalipun tidak bisa bebas dari kecemasan dan perasaan bersalah. Dia tetap mengalami kecemasan dan perasaan tetapi tidak dikuasai oleh kecemasan dan perasaan bersalah itu. Mengingat semakin pesatnya usaha pembangunan, modernisasi dan industrialisasi yang mengakibatkan semakin kompleknya masyarakat, maka banyak muncul masalah-masalah sosial dan gangguan jiwa atau disorder mental di kota-kota besar. Semakin banyak warga masyarakat yang tidak mampu melakukan penyesuaian diri dengan cepat terhadap berbagai macam perubahan sosial. Mereka itu mengalami banyak frustasi, konflik-konflik terbuka atau eksternal dan internal, ketegangan batin dan menderita gangguan mental. Masyarakat yang menderita gangguan jiwa kerap mendapatkan perlakuan yang berbeda dari masyarakat. Masyarakat lebih melihat ganguan jiwa dengan stigma negatif dan menyebut menyebut sakit jiwa atau gila. Kesehatan jiwa adalah bagian yang terintegrasi dalam semua aspek kehidupan meliputi pendidikan,
hukum, perlindungan anak dan perempuan, kesehatan, sosial, budaya, bahkan politik dan keamanan. Faktor-faktor sosial yang melatarbelakagi gangguan jiwa, seperti kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat ekonomi, kehidupan masyarakat (perkotaan dan pedesaan), masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang tidak memadai, pengaruh rasial, serta nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Adanya gangguan jiwa pada penderita gangguan jiwa dapat menimbulkan berbagai kondisi antara lain : 1. Gangguan Aktivitas Hidup Sehari-hari Adanya gangguan jiwa pada seseorang dapat mempengaruhi kemampuan orang tersebut dalam melakukan kegiatan sehari-hari kemampuan untuk merawat diri seperti mandi, berpakaian, merapikan rambut dan sebagainya atau berkurangnya kemampuan dan kemauan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti tidak mau makan, minum, buang air besar ataupun kecil, serta diam dengan sedikit gerakan. Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akhirnya dapat juga menimbulkan penyakit fisik, seperti kelaparan dan kurang gizi, sakit infeksi saluran pencernaan dan pernafasan, serta adanya penyakit kulit, atau timbul penyakit lainnya.
2. Gangguan Hubungan Interpersonal Disamping berkurangnya kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, seorang pasien gangguan jiwa juga kadang mengalami penurunan kemampuan melakukan hubungan (komunikasi) dengan orag
lain. Pasien mungkin tidak mau berbicara, tidak mau menatap orang lain
atau menghindar, dan memberontak manakala didekati orang lain. Disamping itu
mungkin juga pasien tidak mau membicarakan dengan terang-terangan
apa yang dipikirkannya. 3. Gangguan Peran atau Sosial Dengan adanya gangguan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari dan berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, maka tentu saja berakibat pada terganggunya peran dalam kehidupan, baik dalam pekerjaannya sehari-hari, kegiatan pendidikan, peran dalam keluarga (sebagai ayah, ibu, anak) dan peran dalam kehidupan sosial yang lebih luas (dalam masyarakat).
B. Rumusan Masalah Pada dasarnya penyakit gangguan jiwa banyak terjadi di Indonesia dengan berbagai macam penyebabnya. Rumah Sakit Jiwa Grhasia yang dimiliki Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi salah satu sarana menangani pasien penderita gangguan jiwa. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kontribusi keluarga dalam penanganan pasien penderita gangguan jiwa ? 2. Bagaimana upaya pemahaman instalasi rehabilitasi terhadap kondisi sosial pasien serta penanganannya ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui peran dan kontribusi keluarga dalam penanganan pasien penderita gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui kondisi sosial pasien penderita gangguan jiwa di lingkungan rehabilitasi. 3. Untuk mengetahui langkah–langkah sosiologis yang dilakukan pihak instalasi rehabilitasi dalam proses penyembuhan pasien penderita gangguan jiwa. D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan sumbangan keilmuan tentang gangguan jiwa secara sosiologis. 2. Dapat dijadikan acuan untuk menolong para penderita gangguan jiwa, agar tidak terdiskriminasi di keluarga maupun masyarakat. 3. Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan baru di bidang kesehatan dan sosial. E. Kerangka Teori Untuk mengetahui gangguan jiwa dari kacamata sosiologi, perlu diperkuat dengan teori alienasi. Alienasi atau keterasingan diri adalah perasaan ketidakpuasaan secara psikologis antara perenggangan struktur sosial yang
bertentangan, dimana individu tersebut terlibat dengan nilai-nilai yang mengatur struktur sosial tersebut (Sherif, 1969:40). Stigma mengenai penderita gangguan jiwa adalah dimana sikap keluarga dan masyarakat menganggap bahwa bila salah seorang anggota keluarganya menderita gangguan jiwa, hal ini merupakan aib bagi keluarga dan penderita. Seringkali mendapatkan perlakuan tidak manusiawi misalnya perlakuan kekerasan, diasingkan, diisolasi atau dipasung. Seringkali penderita gangguan jiwa disembunyikan tidak dibawa berobat karena malu. Sebagian masyarakat juga menganggap gangguan jiwa merupakan gangguan disebabkan hal-hal tidak rasional atau supranatural, misalnya karena guna-guna atau diteluh, kemasukan setan, melanggar larangan dan lain-lain. Sikap keluarga yang mengasingkan penderita dari lingkungan sekitar menjadikan masyarakat sekitar masih menganggap bahwa seseorang dengan gangguan jiwa harus dijauhi atau tidak didekati. Pemisahan diri sendiri dari lingkungannya, dikarenakan faktor internal dan eksternal. Ketika tidak ada solusi dari masalah yang dihadapi seseorang, baik solusi dari diri sendiri, maupun dari pihak lain, akhirnya seseorang tersebut bisa mengalami kekacauan yang menyebabkan gangguan jiwa. Dalam penelitian ini dapat dilihat dari penderita gangguan jiwa tersebut menarik dirinya sendiri, ataupun lingkungan keluarga dan masyarakat yang mengasingkan penderita gangguan jiwa. Awalnya penderita gangguan jiwa menarik dirinya bisa dikarenakan banyak faktor. Penderita yang menarik atau mengasingkan dirinya, dapat dilihat dari cara mereka
semakin sedikit melakukan interaksi sosial, baik dengan masyarakat, tetangga bahkan keluarga terdekat seperti suami atau istri, anak, saudara kandung dan orang tua. Sedangkan, alienasi yang berasal dari lingkungan masyarakat dan keluarga, seperti masyarakat dan keluarga yang mengucilkan penderita gangguan jiwa tersebut. Mereka beranggapan bahwa penderita gangguan jiwa seperti aib yang harus ditutupi, sehingga sering kali penderita gangguan jiwa tersebut tidak mendapatkan kepedulian dan perhatian dari lingkungan terdekat mereka. Hal ini juga dapat mengurangi motivasi dari penderita gangguan jiwa tersebut untuk sembuh. Bentuk alienasi yang lain, seperti keluarga memasukkan penderita gangguan jiwa ke rumah sakit jiwa, tetapi tanpa dijenguk dan diberi dukunganee. Mereka menyerahkan sepenuhnya kesembuhan pasien kepada pihak rumah sakit jiwa. Seharusnya, walaupun penderita gangguan jiwa dimasukkan ke rumah sakit jiwa, keluarga tetaplah punya peran yang sangat penting dalam proses penyembuhan pasien tersebut. Agar pasien tersebut mampu beradaptasi dan kembali ke lingkungan sosial. Maka dari itu dibutuhkan juga teori lain untuk menganalisis penelitian ini menggunakan
teori
struktural
fungsional
dari
Talcott
Parsons.
Dalam
pemikirannya, Parsons berkonsentrasi pada struktur masyarakat dan hubungan mereka satu sama lain (Ritzer, 2008:226). Dasar dari teori struktural fungsional, yaitu masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai kemasyarakatan yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-
perbedaan, sehingga masyarakat tersebut dipandang sabagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan, dengan demikian masyakarat merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang terbentuk dari tindakan-tindakan sosial individu dan satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan. Menurut teori struktural fungsional, masyarakat dan keluarga sebagai suatu sistem yang memiliki struktur dan fungsi dalam menjalankan perannya. Dalam penelitian ini, untuk menangani pasien penderita gangguan jiwa, pasien tersebut tidak hanya membutuhkan penanganan dari pihak rumah sakit jiwa (fokus penelitian di instalasi rehabilitasi), tetapi juga membutuhkan peran-peran dari pihak lain, seperti keluarga, tetangga, maupun masyarakat. Agar penanganan pasien bisa berjalan lebih efektif, karena adanya peran-peran yang saling berkontribusi antara pihak rumah sakit jiwa dan lingkungan terdekat atau keluarga pasien. Dengan ini penanganan pasien penderita gangguan jiwa berbasis kondisi lingkungan terdekat, bisa dijadikan acuan atau pilihan untuk menangangi jika ada sahabat, teman, maupun kerabat yang menderita gangguan jiwa. Bahwa peran lingkungan terdekat sangat berpengaruh terhadap penanganan dan penyembuhan pasien penderita gangguan jiwa.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2007:4) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati. Selain itu, pendekatan kualitatif dijelaskan oleh David Williams dalam Moleong (2005:5) bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar ilmiah, dengan menggunakan metode ilmiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Alasan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dikarenakan bahwa penelitian yang dilakukan peneliti berada pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Kondisi alamiah yang di maksud dalam penelitian ini adalah gejala-gejala apa yang didapat oleh peneliti yang kaitannya dengan gangguan jiwa. Sementara bersifat penemuan, dikarenakan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan suatu penemuan yaitu Penanganan Pasien Penderita Gangguan Jiwa Berbasis Kondisi Lingkungan Terdekat Di Instalasi Rehabilitasi. 2. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif (descriptive research) dijelaskan oleh Sugiyono yang dikutip oleh Pasolong (2012:75) sebagai suatu penelitian yang mendeskripsikan, mencatat, menganalisa, dan menginterprestasikan apa
yang terjadi pada saat melakukan penelitian, dimana penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan antara variabel-variabel yang ada, tetapi tidak untuk menguji hipotesa, melainkan hanya mendeskripsikan informasi secara objektif. Penjelasan tersebut juga dijelaskan oleh Zuriah (2009:47) bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang diarahkan memberikan gejala-gejala, fakta-fakta atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu, yang tidak perlu mencari saling hubungan dan menguji hipotesis. Dalam penelitian kualitatif proses analisis dan interpretasi data memerlukan cara berfikir kreatif, kritis dan sangat hati-hati. Kedua proses tersebut merupakan proses yang saling terkait dan sangat erat hubungannya. Analisis data merupakan proses untuk pengorganisasian data dalam rangka mendapatkan
pola-pola
atau
bentuk-bentuk
keteraturan.
Sedangkan,
interpretasi data adalah proses pemberian makna terhadap pola-pola atau keteraturan-keteraturan yang ditemukan dalam sebuah penelitian. Data yang terkumpul diharapkan dapat merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Proses penyusunan data dapat berbeda-beda antar peneliti tergantung selera, pengalaman dan kreatifitas berfikir sehingga data yang terkumpul dapat mempengaruhi pemilihan alat analisis data. Berdasarkan
pengertian
diatas,
maka
penelitian
ini
selain
mendeskripsikan keadaan sasaran penelitian, juga melakukan analisis dan
interpretasi. Adapun pemilihan jenis penelitian deskriptif dalam penelitian ini, berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a) Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendeskripsikan
ataupun
menginterprestasikan tentang gangguan jiwa. b) Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menginterpretasikan gangguan jiwa dilihat dari kondisi sosiologis. c) Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendeskripsikan
ataupun
menginterprestasikan peran dan dukungan lingkungan terdekat terhadap penyembuhan bersifat non medis terhadap pasien penderita gangguan jiwa. 3. Subjek Penelitian dan Teknik Penentuan Subjek a) Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini, meliputi: 1)
Pasien Penderita Gangguan Jiwa: Pasien yang dijadikan informan dalam penelitian ini berjumlah 7 orang, dengan klasifikasi gangguan jiwa yang bermacam-macam.
2)
Keluarga Pasien Keluarga pasien yang dijadikan informan berjumlah 8 orang, dengan hubungan kekeluargaan yang bermacam-macam. Tidak hanya hubungan orang tua ke anak, anak ke orang tua, kakak ke adik, adik ke kakak, suami ke istri, istri ke suami, tetapi cuma hubungan keluarga yang lain.
3)
Tim Instalasi Rehabilitasi
Dari instalasi rehabilitasi ada 7 orang yang dijadikan informan, ini berdasarkan bidangnya masing-masing. b) Teknik Penentuan Subjek Dalam menentukan subjek diperlukan teknik penentuannya. Teknik penentuan subjek adalah cara yang dilakukan untuk menentukan informan. Pemilihan informan secara parposif. Informan bisa didapatkan melalui informasi yang ada di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta, seperti data riwayat pasien. Dimulai dari pendekatan dengan pasien, tim instalasi rehabilitasi, hingga keluarga dan kerabat pasien sehingga dapat diketahui informasi apa saja yang diperlukan dalam penelitian ini. 4.
Teknik Pengumpulan Data Menurut Sugiyono (2011:224) data adalah sesuatu yang diperoleh melalui suatu metode pengumpulan data yang akan dikelola dan dianalisis dengan suatu metode tertentu sedangkan teknik pengumpulan data adalah langkah paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian ialah untuk mendapatkan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a)
Observasi Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena–fenomena sosial yang tumbuh dan
berkembang, kemudian dapat dilakukan perubahan atas penilaian tersebut. Bagi pelaksana observasi untuk melihat objek fenomena tertentu, sehingga mampu memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan (Margono dalam Moleong, 2007:159). Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi non partisipan, yakni peneliti tidak melibatkan diri dalam lingkungan yang sedang diamati dan hanya sebagai pengamat independen (Zuriah, 2009:176). Maksudnya adalah peneliti tidak ikut dalam kehidupan orang yang diobservasi dan secara terpisah berkedudukan selaku pengamat. Berdasarkan dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa observasi yang akan dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan cara mengamati bagaimana penanganan pasien penderita gangguan jiwa di Instalasi Rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta. b) Interview Guide atau Pedoman Wawancara Penggunaan interview guide atau pedoman wawancara dilakukan agar teknik pengumpulan data lebih terarah, terfokus, dan tidak melebar kemana-mana. c)
Wawancara Wawancara menurut Zuriah (2009: 179) adalah proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi penting yang diinginkan. Dalam kegiatan wawancara, terjadi hubungan antara dua
orang atau lebih, dimana keduanya berperilaku sesuai dengan status dan peranan mereka masing-masing. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini ialah wawancara yang berbentuk terstruktur dan tidak terstruktur. Menurut Sugiyono (2011: 138), wawancara terstruktur adalah wawancara yang digunakan sebagai teknik pengumpulan data dimana peneliti atau pengumpul data telah mengetahui tentang informasi apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang nantinya akan diberikan kepada setiap informan dengan pertanyaan yang sama. Peneliti disini dapat melakukan wawancara dengan menggunakan alat bantu tape recorder, gambar dan bahan lain yang dapat membantu pelaksanaan wawancara menjadi lancar. Sementara itu, wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap dalam pengumpulan data. Pedoman wawancara yang digunakan hanya pada inti permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2011:140). Wawancara seperti ini bersifat luwes dan biasanya direncanakan agar sesuai dengan subjek dan suasana pada saat wawancara dilaksanakan (Margono dalam Zuriah, 2009:180). Wawancara terstruktur dan tidak terstruktur tersebut, dalam penelitian ini ditujukan kepada pasien penderita gangguan jiwa, keluarga pasien, tim instalasi rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta.
Gambar 1. Ketika wawancara dengan salah satu pasien di halaman bermain Rumah Sakit Jiwa Grhasia Wawancara terhadap pasien seperti gambar diatas, dilakukan ketika pasien sedang berolahraga di halaman belakang Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta. Pada gambar diatas bisa dilihat bahwa penderita kooperatif menjawab pertanyaanpertanyaan dari peneliti. Hal ini menunjukkan informasi dari pasien bisa dijadikan tambahan untuk temuan lain atau penemuan baru dalam penelitian. Wawancara dilakukan kepada tiga subjek, yaitu pasien penderita gangguan jiwa, keluar pasien, dan tim instalasi rehabilitasi. Dengan informan lapangan, sebagai berikut: 1) Pasien:
KUS SAL AA VIS MM AFK DZH 2) Keluarga Pasien: LUS RSL FRK MZ AT MMA RA
3) Tim Instalasi Rehabilitasi MAI SA AW DY BJ
ZDF MY d) Dokumentasi Dokumentasi
menurut
Zuriah
(2005:191)
adalah
cara
mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti dokumen atau arsip, termasuk juga buku tentang teori, pendapat, dalil atau hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Sementara Sugiyono (2011: 240) mendefinisikan dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, yaitu bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dokumentasi dari penelitian ini adalah arsip atau catatan peristiwa serta gambar dari Penanganan Pasien Penderita Gangguan Jiwa Berbasis Kondisi Lingkungan Terdekat Di Instalasi Rehabilitasi (pada Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta).
Gambar 2. Dokumentasi pada saat melakukan wawancara dengan keluarga pasien
Foto diatas merupakan bagian dokumentasi yang dilakukan peneliti saat di lapangan, peneliti melakukan wawancara dengan langsung datang ke rumah pasien untuk bertemu dengan keluarga pasien. Cara mendapatkan data pada penelitian ini berdasarkan observasi di rumah sakit jiwa Grhasia Yogyakarta, kemudian peneliti membuat interview guide dari observasi yang telah dilakukan. Kemudian, peneliti melakukan wawancara dengan pihak instalasi rehabilitasi. 5. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan dari penelitian. Analisis data pada penelitian kualitatif dilakukan dengan cara mendeskripsikan hasil data yang telah diperoleh dengan kata-kata. Sedangkan, analisis data dalam penelitian kualitatif menurut Bogdan dalam Sugiyono (2011:244) adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan lain, sehingga dapat dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data interaktif. Sejalan dengan analisis interaktif yang dimaksud, maka dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat. Adapun alur kegiatan analisis data interaktif menurut Milles dan Huberman dalam Sugiyono (2011: 246- 253) meliputi: a)
Pengumpulan Data
Pengumpulan data yaitu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh data yang akurat. Pengumpulan data ini dilakukan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini, observasi ke lapangan, wawancara dengan informan dan dokumentasi.
Gambar 3. Pada saat pengumpalan data di Instalasi Rehabilitasi (pada Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta) b)
Reduksi Data Reduksi data yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, serta mencari tema dan polanya. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
c)
Penyajian Data
Penyajian Data yaitu berisi sekumpulan informasi tersusun dalam bentuk uraian singkat dan berbentuk teks yang bersifat naratif. Adanya penyajian data tersebut, dapat memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami. d)
Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi Dalam proses penarikan kesimpulan atau verifikasi penelitian kualitatif, kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan dapat berubah ketika tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dalam mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Namun sebaliknya, apabila kesimpulan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan awal merupakan kesimpulan kredibel.
e)
Pelaporan Hasil Penelitian Pelaporan hasil penelitian merupakan tahap akhir dari teknik analisis data. Dimana pelaporan dilakukan setelah melalui proses pengambilan data, penyajian data yang melalui tahap reduksi data. Kemudian setelah melakukan reduksi data dilakukan penarikan kesimpulan. Dari penarikan kesimpulan, didapatkan hasil penelitian yang selanjutnya dimasukkan kedalam pelaporan hasil penelitian.
Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan Pelaporan Hasil Penelitian
Gambar 4. Adaptasi Model Analisis Data Interaktif Sumber: Milles dan Huberman dalam Sugiyono (2011: 247)
BAB II DESKRIPSI SASARAN PENELITIAN
A. Deskripsi Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta Di Indonesia, salah satu organisasi pemerintah yang berupaya untuk menangani permasalahan maraknya penderita gangguan jiwa adalah Rumah Sakit
Jiwa Grhasia yang dimiliki Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Rumah Sakit Jiwa ini memiliki suatu upaya untuk melakukan penyembuhan kepada penderita gangguan jiwa, sehingga nantinya akan mengurangi jumlah pasien penderita gangguan jiwa yang ada di daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Bagian Diklat Rumah Sakit Jiwa Grhasia pada tanggal 20 Mei 2014 pukul 11.30 WIB bahwa di rumah sakit jiwa ini terdapatnya instalasi rehabilitasi yang digunakan untuk penyembuhan penderita gangguan jiwa bukan pasien sakit jiwa. Di instalasi rehabilitasi, pasien akan diberikan terapi-terapi penyembuhan. Terapi ini merupakan staregi penyembuhan yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Jiwa Grhasia agar pasien gangguan jiwa dapat sembuh. Selain itu, diperoleh informasi dari bagian diklat yang menjelaskan bahwa gangguan jiwa terdiri dari berbagai macam dan memiliki strategi yang berbeda-beda untuk mendapatkan penyembuhan (Profil RS Jiwa Grhasia Yogyakarta). Sebelum diresmikan menjadi Rumah Sakit Jiwa Grhasia, sejak masa berdirinya sebagai Koloni Orang Sakit Jiwa (KOSJ) pada tahun 1938, RS Grhasia telah melewati 3 masa dengan proses yang sangat panjang yaitu masa perjuangan (periode 1938-1945), masa perintisan (periode 1945-1989) dan masa pengembangan (1989-sekarang). Berdasarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 60 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Jiwa Grhasia berada
dibawah dan bertangung jawab kepada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta cq Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 1. Rumah Sakit Jiwa Grhasia mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan kesehatan, khususnya kesehatan jiwa 2. Rumah sakit jiwa mempunyai fungsi: a)
Penyusunan program pelayanan di bidang kesehatan khususnya kesehatan jiwa
b)
Pelayanan, pencegahan, pemulihan, dan rehabilitasi kesehatan jiwa
c)
Penyelenggaraan usaha kesehatan jiwa masyarakat
d)
Penyelanggaraan pelayanan rujukan
e)
Penyelengaraan rehabilitasi medis, korban narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA)
f)
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan spesialis lain yang berkaitan dengan kesehatan jiwa
g)
Penyelenggaraan penelitian, pendidikan, dan pelatihan tenaga di bidang kesehatan jiwa
h)
Pemberdayaan sumber daya dan mitra kerja di bidang kesehatan khususnya kesehatan jiwa
i)
Penyelengaraan kegiatan ketatausahaan
j)
Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan tugas dan fungsinya
3. Jenis-jenis layanan di Rumah Sakit Jiwa Grhasia, terdiri dari :
a)
Instalasi Gawat Darurat (24 jam) 1) Kegawatdaruratan Psikiatri dan NAPZA 2) Kegawatdaruratan Umum 3) Pelayanan Pemeriksaan Umum (False Emergency) 4) Pelayanan Ambulans 118
b)
Instalasi Rawat Jalan 1) Klinik Psikiatri atau Jiwa 2) Konsultasi Kasus Jiwa 3) KIR Bebas Narkoba 4) KIR Kesehatan Jiwa 5) Visum Et Repertum 6) Test Psikometri 7) Klinik Psikologi 8) Klinik Keperawatan Jiwa 9) Pelayanan Surat Keterangan Sehat atau KIR Jasmani 10) Klinik Akupuntur 11) Klinik Gigi dan Mulut 12) Klinik Penyakit Dalam 13) Klinik Saraf 14) Klinik Kulit dan Kelamin
15) Klinik Anak dan Tumbuh Kembang dan Pendukungnya (Okupasi Terapi, Terapi Wicara, Fisioterapi Tumbuh Kembang Anak dan Pijat Bayi) 16) Klinik VCT (Konsultasi & Test HIV) c) Instalasi Rawat Inap (Psikiatri) 1) Unit Perawatan Psikiatri Intensif (Ruang Bima) 20 TT 2) Unit Perawatan Psikiatri : Bangsal Tenang Kelas VIP, Kelas I, II & III 3) Meliputi : Ruang Sinta, Ruang Srikandi, Ruang Arimbi, Ruang Nakula, Ruang Sadewa, dan Ruang Kresna Lantai I d)
Instalasi Penanganan Korban Napza 1) Klinik NAPZA 2) Klinik Rumatan Metadon 3) Hipnoterapi 4) Rawat Inap NAPZA (Ruang Kresna) Lantai II : Kelas VIP, Kelas I, Kelas II, Kelas III
e)
Layanan Pendukung 1) Instalasi Laboratorium a.
Laboratorium Rawat Jalan
b.
Laboratorium Rawat Inap
c.
General Check Up atau GCU
2) Instalasi Radiologi
a.
Foto Rontgen
b.
USG : Ultra Sonografi 4 Dimensi
3) Instalasi Farmasi 4) Instalasi Elektromedik a. Elektro Enchepalografi (EEG) b. Elektro Myografi (EMG) c. Elektro Kardiografi (EKG) d. Treadmill e. Brainstream Evoked Response Auditory (BERA) atau Tes Pendengaran f. Fisioterapi Umum 5) Instalasi Rehabilitasi Mental a. Rehabilitasi Keterampilan b. Rehabilitasi Pertukangan atau Las c. Rehabilitasi Pertanian
6) Instalasi Kesehatan Jiwa Masyarakat 7) Jaminan Kesehatan Khusus Jiwa a.
Jamkesmas atau Jaminan Kesehatan Masyarakat
b.
Jamkesda atau Jaminan Kesehatan Daerah Kota Yogyakarta
c.
Jamkesda atau Jaminan Kesehatan Daerah Kabupaten Sleman
d.
Jamkesda atau Jaminan Kesehatan Daerah Kabupaten Gunung Kidul
e.
Jamkesda atau Jaminan Kesehatan Daerah Kabupaten Kulonprogo
f.
Jamkesda atau Jaminan Kesehatan Daerah Kabupaten Bantul
g.
Jamkesos atau Jaminan Kesehatan Sosial
h.
Askes Sosial (Asuransi Kesehatan bagi PNS)
B. Deskripsi Informan Berbagai keadaan yang timbul akibat gangguan jiwa akhirnya dapat merugikan kepentingan keluarga, kelompok dan masyarakat; sehingga peran serta aktif dari seluruh unsur masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi gangguan jiwa. Adapun deskripsi informan sebagai berikut:
1. Pasien Perilaku sosial yang tertutup dan perubahan pola tidur menjadi gejalagejala awal gangguan jiwa. Karena penyakit ini biasanya mulai berkembang pada usia remaja, gejala-gejala tersebut hanya dianggap sebagai perubahan tingkah laku remaja. Faktor lingkungan serta genetika berperan dalam pembentukan kondisi ini.
Terdapat 62 orang pasien penderita gangguan jiwa di Instalasi Rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Grhasia, yaitu 37 orang pria dan 25 orang wanita. Pasien-pasien tersebut memiliki latar belakang dan jenis gangguan jiwa yang berbeda. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil 7 orang pasien sebagai informan, yaitu 4 orang pria dan 3 orang wanita. Pasien pertama KUS (39 tahun), pasien kedua VIS(34 tahun), pasien ketiga SAL (18 tahun), pasien keempat AFK (28 tahun), pasien kelima DZH (59 tahun), pasien keenam AA (53 tahun), pasien ketujuh MM (35 tahun). Pasien-pasien ini memiliki latar belakang dan riwayat penyakit yang berbeda-beda. Ada yang pasien yang menarik diri, seperti pasien KUS dan pasien MM. Kedua pasien itu sangat diam dan sulit untuk diajak berkomunikasi bahkan mengalami kesulitan untuk makan. Mereka mengalienasikan dirinya sendiri. Berbeda dengan pasien Agus Aswanto, Djazaroh, dan Salsabilah, mereka begitu aktif dan mampu berinteraksi dengan baik antar sesama pasien, keluarga, dan lingkungan disekitar instalasi rehabilitasi. Sedangkan, pasien VIS cenderung melakukan resiko prilaku kekerasan (RPK) yang sering membuat takut keluarga, tetangga, dan lingkungan terdekatnya
ketika
mengamuk
atau
kambuh.
Pasien
AFK
lebih
mengkhawatirkan, karena sudah dua kali melakukan percobaan bunuh diri. Pertama percobaan bunuh diri dengan memakan obat nyamuk bakar. Kedua dengan terjun ke selokan mataram.
2. Keluarga Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan pasien dan merupakan perawat utama bagi pasien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan pasien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan pasien harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di rumah sakit jiwa akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat pasien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah. Pentingnya peran serta keluarga bagi penderita gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan institusi pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Clement dan Buchanan, 1982). Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat. 3. Tim Instalasi Rehabilitasi Instalasi Rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa merupakan bagian dari penyembuhan yang harus dijalani pasien penderita gangguan jiwa. Instalasi Rehabilitasi terdiri dari okupasi terapi, terapis sosial, psikolog, dan instruktur kegiatan atau pelatih kerja.
Gambar 4. Salah satu instruktur kegiatan atau pelatih kerja di Instalasi Rehabilitasi Sebelum pasien ditangani oleh instalasi rehabilitasi. Pasien terlebih dahulu harus mengikuti seleksi pasien. Dimana seleksi pasien tersebut harus berdasarkan persetujuan tim medis yang menangani pasien di bangsal. Jadwal seleksi pasien dihari rabu dan kamis. Jika pasien lolos dalam seleksi pasien, maka pasien bisa masuk ketahap rehabilitasi. Selanjutnya, mendapatkan penanganan dari tim instalasi rehabilitasi.
BAB III KONTRIBUSI KELUARGA DALAM PENANGANAN PASIEN PENDERITA GANGGUAN JIWA
A. Klasifikasi Gangguan Jiwa Sebelum membahas kontribusi keluarga dalam penanganan pasien penderita gangguan jiwa, perlu diketahui klasifikasi penyebab gangguan jiwa pada pasien yang
menjadi informan pada penelitian ini. Bisa dilihat klasifikasi penyebab gangguan jiwa pada tabel dibawah ini:
No. 1 2 3 4 5 6 7
Nama Pasien KUS AFK SAL MM DZH VIS AA
Fisik
Psikis
Sosial
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
Klasifikasi ini berdasarkan dari informasi yang didapat dari wawancara dengan pasien yang dijadikan sebagai informan, keluarga pasien, dan informasi dari instalasi rehabilitasi yang berdasarkan riwayat penyakit pasien bersangkutan. Bisa dilihat klasifikasi penyebab pasien penderita gangguan jiwa dikategorikan berdasarkan penyebab fisik, psikis, dan sosial. Waktu SMP saya pernah jatuh dari motor pas pulang dari sekolah. Lumayan lama saya dirawat setelah jatuh tersebut. Nah, sejak itu saya jadi susah untuk tidur mbak. Kepala saya sering sakit, jadi susah untuk belajar mbak. Beberapa tahun setelah kejadian itu, saya minta ke keluarga saya untuk memasukkan saya ke rumah sakit jiwa. Soalnya saya ingin sembuh mbak, tapi yaa gitu sering kambuh juga. Untungnya sekarang saya sudah punya istri dan anak-anak yang perhatian dan sayang sama saya, “tutur pasien AA.” (Wawancara dilakukan pada tanggal, 10 Maret 2015 pukul 11:06 WIB). Penyebab fisik berdasarkan riwayat pasien pernah mengalami kecelakaan, serta faktor genetik atau keturunan.
Penyebab psikis dikarenakan ketidakmampuan
mengendalikan pikirannya, mengalami trauma, dan tekanan pikiran terus menerus. Sedangkan penyebab sosial berasal dari luar diri penderita gangguan jiwa, faktor sosial berasal dari pihak lain, seperti tekanan dari keluarga, tekanan ekonomi, kekacauan, maupun konflik-konflik yang ada di lingkungan masyarakat. Jika kita menilik lebih dalam, keluarga bisa menjadi penyebab gangguan jiwa. Hal ini semakin mengalienasi dan mengucilkan pasien penderita gangguan jiwa. Karena rasa tenang dan nyaman yang harusnya didapatkan di keluarga, tetapi keluarga menjadi petaka, yang membuat semakin terganggunya kejiwaan pasien. Ini didukung dengan pernyataan beberapa pasien, bahwa mereka lebih senang dan merasa lebih sehat ketika berada di rumah sakit ketimbang mereka harus dirawat di rumah. Saya lebih senang di rawat di Grhasia, mba. Di rumah saya berantem terus dengan suami saya. Ada saja masalahnya, hal itu membuat saya lebih merasa baik disini (RSJ Grhasia), “tutur Ibu DZH.” (Wawancara dilakukan pada tanggal, 20 Maret 2015 pukul 08:32 WIB) Parsons berkonsentrasi pada struktur masyarakat dan hubungan mereka satu sama lain (Ritzer, 2008:226). Talcott Parsons memberikan gambaran bahwa diantara hubungan structural fungsional cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis, yaitu adanya fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh segolongan keluarga agar ada kelestarian sistem, diantaranya adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan laten. Dari keempat persyaratan fungsional yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem keluarga atau masyarakat yang ada. Penerapan teori struktural fungsional dalam institusi keluarga dapat terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan dalam institusi keluarga tersebut. Dijelaskan oleh
Chapman (2000) dalam Puspitawati (2006). Keluarga adalah unit universal yang didalamnya memlilki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri, orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk berkreasi, berekspresi, dan menonjolkan diri, maupun yang lainnya. Hal seperti ini tanpa adanya aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak memlliki arti (meaning) yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. (Khairuddin. 1985). Jika institusi keluarga tidak memiliki aturan dan fungsi yang dijalankan maka akan tumbuh benih-benih generasi penerus yang tidak mempunyai tujuan yang terarah, karena kehidupan kelaurga dalam lingkungan masyarakat tidak lepas dengan institusi kebudayaan. Pada dasarnya keluarga yang harmoni itu mempunyai struktur yang jelas, karena pada dasarnya didalam institusi keluarga perlu adanya pembagian peran antara ayah, ibu, suami, istri anak, dan anggota keluarga lain. Namun kenyataannya pembagian perannya berbeda-beda tergantung kepada kebijakan masing-masing institusi keluarga itu sendiri. B. Kontribusi Keluarga Pasien Disinilah kontribusi keluarga dipertanyakan dalam penaganan pasien penderita gangguan jiwa. Dalam pembahasan ini, kontribusi keluarga dimulai dari kesadaran keluarga terlebih dahulu bahwa pasien merupakan bagian dari anggota keluarga tersebut. Sehingga pasien merasa mereka punya harga dimata keluarga. Hal seperti ini merupakan langkah baik, jika fungsi-fungsi keluarga berjalan dengan tepat.
Khairuddin. (1985). Institusi keluarga dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya: 1. Aspek struktural Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga yang saling kait mengkait yaitu: a) Status sosial : Beradasarkan status soslal, diukur dari tiga struktur utama yaitu bapak atau suami, ibu atau isteri dan anak-anak. Atau bisa diaktakana ayah sebagai pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, anak sekolah, remaja, dan lain-lain. b) Fungsi sosial : Fungsi sosial ini menggambarkan perannya masingmasing individu menurut status sosialnya masing-masing. Parsons (1955) membagi dua peran orangtua dalam keluarga, yaitu peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak yaitu berperan sebgai pencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur orang tua, suami atau istri sebagai peran pemberi cinta,kelembutan, dan kasih sayang. Tujuan dari peran ini agar terciptanya
suasana
keluarga
yang
harmonis,
serta
untuk
mengantisipasi ketika akan terjadinya problem dalam sebuah keluarga atau luar keluarga. c) Norma sosial : Norma ini adalah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan
sosialnya atau bisa dikatakan standar dalam tingkahalku dalam menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. 2. Aspek Fungsional Suami saya menderita gangguan jiwa sudah 7 tahun, kami menikah sudah 9 tahun. 2 tahun awal suami saya MM masih sehatsehat saja. Kemudian, pas acara selapanan meninggalnya anak pertama saya, suami saya pingsan. Nah, setelah pingsan itu, langsung koma. Dilarikan RSUP Sardjito. Satu bulan penuh suami saya MM di ruang ICU. Menurut dokter, adanya gangguan saraf di otak yang harus dioperasi, tetapi keuangan keluarga kami tidak cukup untuk membiayai operasi. Sehingga, suami saya Malik Maksum tidak dioperasi. Selain pengobatan medis, pada waktu itu saya juga membawa suami saya ke pengobatan alternatif, dan pengobatan kampung. Tetapi, lama-kelamaan kondisi suami saya menjadi seperti ini. Saya tidak putus asa, saya menyadari suami saya tidak bisa bekerja. Sehingga, saya yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan pengobatan suami saya. Buat biaya pengobatan, sudah habis banyak sekali. Saya juga tidak malu untuk meminjam uang, demi kesembuhan suami saya. Saya juga slalu berharap agar suami saya sembuh. Jika suami saya sudah mulai diam-diam bingung, saya cepat mengajak suami untuk ngobrol dan membantu saya menyelesaikan pekerjaan rumah, seperti menjemur pakaian. Saya menyadari mungkin suami saya sedih dengan keadaannya. Tetapi, saya dan anak-anak terus memberikan semangat dan motivasi kepada suami, “tutur Ibu MZ.” (Wawancara pada hari Kamis, 9 April 2015, pukul 16:08 WIB).
Gambar 4. Ketika wawancara dengan Ibu MZ (istri dari pasien MM). Dalam sebuah struktur keluarga perlu adanya kerjasama antara suami dan istri, ataupun dengan anak dalam menjalankan struktur fungsional dalam institusi keluarga, sehingga yang nantinya akan mudah dalam memecahkan konflik yang ada dikeluarga tersebut. Alasan utama pentingnya keluarga dalam penanganan pasien penderita gangguan jiwa: 1. Keluarga merupakan lingkup yang paling banyak berhubungan dengan pasien. 2. Keluarga dianggap paling mengetahui kondisi pasien. 3. Gangguan jiwa yang timbul pada pasien bisa disebabkan karena adanya kesalahan pola asuh.
4. Pasien yang mengalami gangguan jiwa nantinya akan kembali ke masyarakaat, khususnya dalam lingkungan keluarga. 5. Keluarga merupakan pemberi perawatan utama dalam mencapai pemenuhan kebutuhan dasar dan mengoptimalkan ketenangan jiwa bagi pasien. 6. Gangguan jiwa mungkin memerlukan terapi yang cukup lama, sehingga rasa pengertian dan kerjasama keluarga sangat penting dalam penyembuhan pasien. Hal-hal yang perlu diketahui oleh keluarga dalam perawatan Gangguan Jiwa : 1. Pasien yang mengalami gangguan jiwa adalah manusia yang sama dengan orang lainnya, mempunyai martabat dan memerlukan perlakuan manusiawi. 2. Pasien yang mengalami gangguan jiwa mungkin dapat kembali ke masyarakat dan berperan dengan optimal apabila mendapatkan dukungan yang memadai dari seluruh unsur masyarakat. Pasien gangguan jiwa bukan berarti tidak dapat sembuh. 3. Pasien dengan gangguan jiwa tidak dapat dikatakan sembuh secara utuh, tetapi memerlukan bimbingan dan dukungan penuh dari orang lain dan keluarga. 4. Tujuan perawatan adalah: a) Meningkatkan kemandirian pasien
b) Pengoptimalan peran pasien dalam masyarakat c) Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah 5. Pasien memerlukan pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum dan berpakaian serta kebersihan diri dengan optimal. Keluarga berperan untuk membantu pemenuhan kebutuhan ini sesuai tahaptahap kemandirian pasien. 6. Kegiatan sehari-hari seperti melakukan pekerjaan rumah yang ringan, membantu usaha keluarga atau bekerja seperti orang normal lainnya, merupakan salah satu bentuk terapi pengobatan yang mungkin berguna bagi pasien. 7. Berilah peran dan fungsi secukupnya pada pasien sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki. Pemberian peran dan fungsi yang sesuai dapat meningkatkan harga diri dan rasa kepercayaan diri pasien. 8. Berilah motivasi pada pasien sesuai dengan kebutuhan (tidak dibuat-buat) dalam rangka meningkatkan moral dan harga diri. 9. Kembangkan kemampuan yang telah dimiliki oleh pasien pada waktu yang lalu. Kemampuan masa lalu berguna untuk menstimulasi dan meningkatkan fungsi memori pasien. Ketika keluarga inti tidak menjalankan fungsi dan perannya, pasien penderita gangguan jiwa juga membutuhkan kontribusi anggota keluarga yang lain. Seperti pasien VIS, keluarga inti tidak bisa memberikan penanganan dan penyembuhan kepada pasien.
Saya bibi dari VIS, sejak VIS mulai mengalami gangguan jiwa segala kebutuhan VIS ditanggung oleh saya Ibu AT. Selain saya, juga dibantu oleh bibi Viki yang lainnya, yaitu Ibu AS dan Ibu SB. Sejak ayah VIS meninggal dunia. Jiwa ibu kandung VIS mulai terguncang, bahkan menarik diri dari lingkungan keluarga terdekat dan tetangga. Awalnya ibunya VIS yang mengalami gangguan jiwa, kemudian kakaknya VIS yang bernama RD juga mengalami gangguan jiwa. Diikuti dengan VIS yang selanjutnya juga mengalami gangguan jiwa. Karena dirumah VIS semuanya mengalami gangguan jiwa, makanya saya dan bibinya yang lain yang mengurusi VIS, beserta ibu dan kakaknya, “tutur Ibu AT.” (Wawancara pada hari Rabu, tanggal 8 April 2015, pukul 12:07 WIB).
BAB IV UPAYA PEMAHAMAN INSTALASI REHABILITASI TERHADAP KONDISI SOSIAL PASIEN SERTA PENANGANANNYA
A. Upaya Pemahaman Terhadap Kondisi Sosial Upaya pemahaman pihak instalasi rehabilitasi terhadap kondisi sosial pasien dilakukan oleh empat pihak, meliputi: okupasi terapi, terapis sosial,
psikolog, dan
instruktur kegiatan atau pelatihan kerja. Adapun langkah-
langkahnya, sebagai berikut: 1. Upaya Pemahaman Okupasi terapi Instalasi rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Grhasia hanya memiliki satu okupasi terapi. Okupasi terapis tersebut bernama Ibu MAI. Okupasi terapi bertugas untuk memberikan dasar-dasar terapi kepada pasien rehab. Dasardasar terapi, seperti pengenalan atau identifikasi diri. Pengenalan atau identifikasi diri bertujuan untuk pasien memulai melakukan komunikasi. Saya Maya Indah satu-satunya okupasi terapi di instalasi rehabilitasi RSJ Grhasia. Sebagai okupasi terapi saya memberikan terapi melalui terapi kelompok yang temanya berbeda setiap harinya. Fokus terapi pada sosialisasi pasien terhadap pasien yang lain dan lingkungan rehabilitasi. Dengan kegiatan pengenalan diri atau identifikasi dan latihan kerja. Kemudian, kegiatan tersebut terdiri dari tiga tahap yaitu; dimulai dengan tahap pemanasan, inti, dan ditutup dengan pendinginan. Okupasi terapi merupakan dasar rehabilitasi pasien penderita gangguan jiwa, ”tutur MAI.” (Wawancara pada hari Kamis, tanggal 9 April 2015 pukul 13.09 WIB).
Gambar 5. Proses wawancara tenaga okupasi terapi di Instalasi Rehabilitasi
Okupasi
terapi
juga
memberikan
kegiatan
yang
membantu
penyembuhan pasien di instalasi rehabilitasi. Ada tahapan dalam melakukan kegiatan, dimulai dari pemanasan yang berisi pengenalan diri dan pembagian kelompok pasien, dilanjutkan dengan inti yang berisi kegiatan tema, kemudian pendinginan. Pendinginan merupakan kegiatan evaluasi kegiatan, yang bertujuan agar pasien mampu dan bisa beraspirasi dalam kegiatan yang dilaksanakan. Kegiatan dari okupasi terapi berfokus agar pasien bisa bersosialisasi, atensi, dan motivasi. Dasar-dasar okupasi terapi meliputi,
pengenalan identitas diri, inti kegiatan, dan evaluasi atas kegiatan yang dilakukan. 2. Upaya Pemahaman Terapis Sosial Di Instalasi Rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Grhasia terdapat dua orang terapis sosial. Terapis sosial terbagi dua, berdasarkan pasien putra dan putri. Terapis sosial pasien putra bernama SA., sedangkan, terapis sosial putri bernama AW. Terapi sosial putra maupun putri melakukan terapi-terapi sosial, seperti rekreasi mengunjungi objek wisata di kawasan D.I Yogyakarta & Jawa Tengah, rekreasi diadakan setahun tiga kali. Mengadakan lomba-lomba antar pasien, lomba yang diadakan mencakup lomba cerdas cermat, vokal grup, serta gerak dan lagu. Mengadakan kegiatan outbound dua minggu sekali. Mengadakan kegiatan keagamaan pada hari kamis tiap minggu kedua, berdasarkan agama masing-mssing pasien. Selain itu, juga ada kegiatan yang bekerjasama dengan BPAD (Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah) untuk memberikan dogeng kepada pasien, setiap dua bulan sekali. Berikut ini adalah pernyataan para terapis sosial: Saya SA, selaku terapis sosial untuk pasien putra. Tujuan terapi sosial memberikan pemahaman kepada pasien, dengan memberikan pengarahan dari setiap kegiatan yang dilakukan pasien, meliputi: reksreasi, lomba antar pasien, outbound, dan pelatihan kerja. Terapi sosial memberikan komunikasi terbuka bagi pasien, agar pasien lebih memiliki rasa sosial yang lebih tinggi, “tutur SA”. (Wawancara pada hari Rabu, tanggal 1 April 2015 pukul 10.11 wib).
Hal yang sama juga dilakukan oleh terapis sosial putri: Saya AW selaku terapis sosial untuk pasien putri. Saya melakukan juga kegiatan rekreasi, lomba antar pasien, out bound, dan pelatihan kerja kepada pasen. Selain sebagai terapis sosial, saya juga merupakan bagian dari tim seleksi yang bertugas menyeleksi pasien yang masuk ke instalasi rehabilitasi. Pasien yang di instalasi rawat jalan, yang menurut tim medis dan dokter jiwa di instalasi rawat sudah pantas masuk ke instalasi rehabilitasi direkomendasikan kepada tim seleksi. Kami dari tim seleksi yang menentukan pasien lolos atau tidak untuk ke tahap rehabiitasi.Tugas saya sebagai terapis sosial harus bisa memberikan edukasi, motivasi, dan juga semangat kepada pasien. Terapis sosial juga terlibat dalam semua kegiatan yang dilakukan pasien dengan pendekatan partisipasi, ”tutur AW.” (Wawancara pada hari Kamis, tanggal 9 April 2015 pukul 13.30 WIB). Pemahaman dari terapis sosial memberikan pengarahan kepada pasien dari setiap kegiatan yang dilaksanakannya. Contohnya seperti melakukan kegiatan outbound berkeliling sekitar kawasan rumah sakit. Terapis sosial dapat memberikan pengarahan kepada pasien, bagaimana cara bertegur sapa dan berinteraksi dengan warga masyarakat. 3. Upaya Pemahaman Psikolog Ibu DY merupakan psikolog di instalasi rehabilitasi. Psikolog di instalasi rehabilitasi menggunakan pendekatan behaviour (pendekatan perilaku) melalui terapi aktivitas. Terapi aktivitas dilakukan setiap hari dari senin sampai sabtu, dimulai dari pukul 09.00 – 11.30 wib. Saya Ibu DY selaku psikolog di instalasi rehabilitasi. Sebagai seorang psikolog, saya melakukan pendekatan behaviour kepada pasien melalui terapi aktivitas. Didalam kegiatan berkativitas, saya sebagai psiklog memberitahu kepada pasien
tujuan-tujuan dari tiap kegiatan yang dilakukan. Hal ini agar pasien terampil berkomunikasi, bersosialisasi, dan saling mendukung. Konseling yang saya lakukan saya selipkan disetiap kegiatan. Konseling tidak bersifat pribadi atau khusus agar pasien tidak merasa terintervensi, ”tutur DY”. (Wawancara pada hari Kamis, tanggal 9 April 2015 pukul 14.02 wib).
Gambar 6. Ketika wawancara psikolog di Instalasi Rehabilitasi Psikolog tidak memberikan konseling khusus face to face kepada pasien. Konseling diselipkan disetiap kegiatan yang dilakukan pasien di instalasi rehabilitasi. Memberikan kegiatan dengan pendekatan perilaku (behaviour) kepada pasien dengan memberitahu tujuan dari kegiatan. Dijelaskan tujuan kegiatan tersebut, seperti: a. Rekreasi bertujuan untuk melepas lelah, Sebagai pemenuh fungsi sosial (fungsi sosial ini dilakukan untuk kegiatan berkelompok serta rekreasi aktif), pentingnya menjaga kebersihan, baik kebersihan diri sendiri,
maupun kebersihan di sekitar lingkungan, kebersihan ruang publik. Selain itu, rekreasi juga memiliki tujuan yang diharapkan mampu membuat pasien lebih rileks dan tenang. b. Outbound bertujuan untuk meningkatkan interaksi sosial pasien terhadap lingkungannya, serta memotivasi diri pasien agar menjadi kuat dan tetap semangat. c. Kegiatan perlombaan bertujuan untuk meningkatkan sportifitas pasien, agar mampu lebih menghargai dan menghormati sesama. Selain itu, perlombaan juga bertujuan mengembangkan komunikasi pasien agar lebih percaya diri. d.
Kegiatan keagamaan bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan agar mendekatkan diri kepada Tuhan, dan menenangkan kondisi rohani pasien.
4. Upaya Pemahaman Instruktur Kegiatan atau Pelatih Kerja Terdapat lima pelatihan kerja di instalasi rehabilitasi. Pelatihan tersebut bersifat produktivitas. Pelatihan tersebut, terdiri dari: pelatihan keterampilan, pelatihan pertanian, pelatihan perbengkelan, pelatihan pertukangan kayu, dan pelatihan pertukangan batu. Berikut nama instruktur kegiatan atau pelatih kerja: Zulmira De Fatima (instruktur keterampilan), Barjilah (instruktur pertanian), Maryanto (instruktur perbengkelan), Mujimin (pertukangan kayu), dan Umar Yusuf (pertukangan batu). Pemilihan pelatihan kerja pasien ditentukan saat
seleksi pasien untuk masuk ke tahap rehabilitasi. Penentuan tersebut berdasarkan minat dan bakat pasien. Saya MY instruktur pelatihan pertukangan besi. Kegiatan pertukangan besi seperti pengelasan. Setiap melakukan kegiatan pertukangan ada briefing yang saya berikan kepada pasien agar kegiatan pelatihan berjalan dengan baik. Untuk pelatihan pertukangan besi, biasanya hanya terdiri dari tiga sampai empat orang pasien saja. Tujuan dari pelatihan ini, agar pasien bisa beraktivitas secara mandiri. Selain pelatihan pertukangan besi, ada juga pertukangan kayu, dan pertukangan batu. Pertukangan besi sering bekerja sama denga pertukangan kayu, seperti menghasil perabotan rumah tangga. Sedangkan, pertukangan batu memiliki jumlah pasien pelatihan yang lebih banyak dibandingkan dengan pasien pelatihan pertukangan besi dan kayu. Pelatihan kerja hanya menerima pasien yang telah diseleksi oleh tim seleksi instalasi rehabilitasi,”tutur MY.” (Wawancara pada hari Kamis, tanggal 9 April 2015 pukul 14.35 WIB). Saya BJ dari instruktur pelatihan pertanian. Kegiatan pertanian yang saya berikan seperti pengolahan jamur, pengembangan taman bunga, dan perkebunan sayur. Sebelum melakukan pelatihan kerja diberikan pengarahan terlebih dahulu kepada pasien. Contoh sederhana, seperti dilatih menyapu, menyiram tanaman, cara memupuk, dsb. Untuk kegiatan pertanian ini diikuti oleh pasien putra dan putri. Saya selaku instruktur kepelatihan pertanian tidak pernah memaksa pasien untuk mengikuti pelatihan. Jika ada yang ingin ikut kerja, mari ikut. Jika tidak berminat boleh mengikuti kegiatan yang lainnya atau hanya sekedar diam melihat saja. Saya ikut berpartisipasi dan mempraktikkan setiap kegiatan pada pasien, ”tutur BJ.” (Wawancara pada hari Kamis, tanggal 9 April 2015 tanggal 14.56 WIB). Saya ZDF selaku instruktur pelatihan keterampilan. Kegiatan keterampilan yang diberikan seperti menyulam, merenda, membatik, dan menjahit. Kegiatan dilakukan secara berkala jika tidak selesai dengan satu pasien bisa dilanjutkan oleh pasien yang lain. Karena dalam kegiatan keterampilan ini ada pasien yang senang ada juga yang cepat ngantuk. Jika saya rasa mereka mulai bosan saya mulai mengarahakan pasien tersebut. Hasil
produksi dari pelatihan keterampilan ini seperti tas rajut, daster, kimono, baju wanita, celemek, dll. Hasil produksi bukan hanya dipajang dilemari kantor instalasi rehabilitasi tapi hasil produksi dari pasien tersebut diperjual belikan. Dimana hasil penjualannya dimasukkan kedalam kas daerah melalaui badan keuangan RSJ Ghrasia,”tutur ZDF.” (Wawancara pada hari Kamis, tanggal 9 April 2015 pukul 15.12 WIB). Sehingga pilihan ditentukan oleh pasien itu sendiri. Tim instalasi rehabilitasi yang menjadi tim seleksi pasien, membagi pasien berdasarkan pelatihan kerja masing-masing. Instruktur kegiatan memberikan pengarahan saat kegiatan pelatihan berlangsung. Tidak hanya memberikan pengarahan, instruktur, tetapi juga berpartisipasi langsung. Tidak ada paksaan dari instruktur pasien untuk melaksanakan pelatihan kerja. Pelatihan kerja keterampilan mengajarkan menjahit, menyulam, dan merenda. Pelatihan kerja bertanian mengajarkan cara bercocok tanam, cara memberi pupuk, cara merawat tanaman, dan juga cara menuai hasil yang ditaman. Sedangkan pelatihan perbengkelan dan pertukangan kayu bekerja sama, seperti membuat perabotan rumah tangga. Untuk pertukangan batu mengajarkan cara membuat batako dan konblok. Beberapa pasien juga mampu menghasilkan produksi seperti tas rajut, serbet, daster, meja, lemari, rak-rak, dan juga batako. Untuk hasil produksi pasien selain dipajang di lemari kantor instalasi rehabilitasi, juga dijual. Dimana hasil penjualan dimasukkan ke kas daerah melalui badan keuangan Rumah Sakit Jiwa Grhasia.
B. Bentuk Penanganan Pasien Di instalasi rehabilitasi pasien mendapatkan penanganan yang bersifat non medis. Penanganan tersebut bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan pasien agar mampu diterima kembali di masyarakat. Penanganan dilakukan dari hari senin hingga sabtu. Bentuk penanganan tiap harinya berbeda. Jadwal penanganan dari hari senin hinga sabtu, seperti berikut: 1. Senin
: Ekspresi dengan menggambar. Pasien diharuskan menggambar
untuk mengungkapkan perasaannya, dengan media menggambar mampu untuk menggungkapkan emosi pasien. 2. Selasa
: Problem Solving diadakan permainan membentuk kelompok,
agar bisa berinteraksi dengan kelompok lain. Tujuannya untuk melihat bagaimana komunikasi terbentuk antar pasien. 3. Rabu
: IADL (Instrument Activity Daily Living) pengunanaan alat-alat
dalam kehidupan sehari-hari. Seperti cara memasak, apa alat yang digunakan untuk memasak, apa fungsi
alat tersebut, dan bagaimana cara
mengunakannya. Selain cara memasak, juga cara menggunakan transportasi, serta yang lainnya. 4. Kamis
: Dinamika kelompok melalui permainan (games) yang
dilakukan antar pasien.
5. Jum’at : Rekreasi (sesuai jadwal yang ditetepkan) dan out bound (sesuai jadwal yang telah ditetapkan). 6. Sabtu
: Ekspresi bebas. Kegiatan ekspresi bebas terdiri dari olahraga
dan bermain musik. Kegiatan ini berdasarkan minat pasien (olahraga atau bermain musik). C. Bentuk Penanganan Oleh Keluarga Pasien Bagian instalasi rawat inap (bangsal) mengajukan pasien ke instalasi rehabilitasi untuk mendapatkan penanganan selanjutnya dalam proses penyembuhan pasien tersebut. Instalasi rehabilitasi berperan penting dalam membentuk kembali kehidupan sosial pasien. Hal ini juga harus didasarkan pada dukungan keluarga pasien. Keluarga pasien dapat mengetahui perkembangan pasien melalui instalasi rawat jalan, karena instalasi rehabilitasi melaporkan perkembangan pasien tersebut tidak langsung kepada keluarga pasien.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka didapatlah kesimpulan mengenai penanganan pasien penderita gangguan jiwa berbasis kondisi lingkungan terdekat, yaitu keluarga, masyarakat luas dan rumah sakit jiwa. Dalam keluarga
penelitian
ini
menemukan
bahwa
keluarga
menjalankan sebagian menjalankan peran sesuai dengan perannya sebagai institusi yang memberikan kasih sayang, kenyamanan, dan ketenangan. Tetapi kenyataannya seringkali ada keterpaksaan didalam sebuah keluarga, yang membuat anggota didalam keluarga tersebut tertekan. Hal ini dapat menjadi salah satu pemicu gangguan jiwa. Perlunya keterbukaan, sosialisasi, dan komunikasi yang baik dalam sebuah keluarga, agar keluarga bisa menjadi obat penyembuh kejiwaan pasien (secara aspek sosial), bukan menjadi penyakit yang terus menggerogoti kejiwaan pasien. Lingkungan lain yang berpengaruh terhadap pasien gangguan jiwa asalah masyarakat luas. Masyarakat luas harus lebih tanggap dan ikut berpartisipasi memberikan dukungan kepada pasien penderita gangguan jiwa, agar pasien merasa dirinya punya harga dan fungsi di masyarakat. Pasien penderita gangguan jiwa bukan untuk diasingkan atau diabaikan, tetapi sesama makhluk sosial kita harus lebih peduli dan tidak semena-mena memperlakukan
penderita gangguan jiwa. Karena mereka juga punya kesempatan untuk sembuh atau sehat kembali. Peran dan keterbukaan masyarakat menerima penderita gangguan jiwa di lingkungan sosial dapat memberikan kemajuan dalam penyembuhan kejiwaan penderita gangguan jiwa. Selain itu, pihak rumah sakit jiwa khususnya instalasi rehabilitasi menjasi bagian yang berpengaruh terhadap penanganan pasien penderita gangguan jiwa. Pihak rumah sakit jiwa tidak hanya memberikan obat secara medis, tetapi memberikan juga memberikan penanganan berbasis sosial untuk mengetahui penyebab pasien menderita gangguan jiwa, serta metode penyembuhan yang tepat sesuai dengan penyebab dan jenis gangguan kejiwaan pasien. Karena penyebab dan jenis gangguan jiwa berbeda-beda, sehingga upaya penanganannya juga berbeda-beda. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan penulis mengemukakan saran, sebagai berikut: 1. Perlu adanya fasilitas kesehatan yang lebih memadai, khususnya fasilitas kesehatan untuk pasien penderita gangguan jiwa. Mengingat di Indonesia ini Rumah Sakit Jiwa sangat terbatas, dibandingkan dengan jumlah penderitanya. 2. Penelitian ini bisa dilanjutkan untuk menambah informasi dan pengetahuan bagi pembaca.
3. Bisa menjadi salah satu acuan untuk memahami dan menangani, jika ada salah satu anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa . 4. Buat peneliti selanjutnya informan bisa ditambah lagi, untuk lebih menambah informasi.
DAFTAR PUSTAKA LK,
Anna.
2012.
Gangguan
Jiwa
Diabaikan.
Dikutip
dar
http://regional.kompas.com/read/2012/02/11/07363466/Gangguan.Jiwa.Masih.Di abaikan pada tanggal 15 Juni 2014, pukul 14.44 WIB.
Grhasia, RSJ. 2012. Buku Profil RS Jiwa Grhasia DIY. Yogyakarta Stuart,Gail Wiscart
& Sandra J. Sundeen. 1998. Keperawatan
Jiwa edisi
3.
alih bahasa Achir Yani S Hamid. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.. Hawari, D. Hamayemen. 2001. Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Budi.
2015.
Teori
Alienasi
Kerja.
Dikutip
dari
http://rihadhi.com/index.php/2015/09/13/teori-alienasi kerja/ Diambil tanggal 28 Januari 2016 Ritzer, G. dan Goodman, D. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media Grhasia,
RSJ.
2013.
Sejarah
Berdirinya
RS
Jiwa
Grhasia.
Dikutip
http://grhasia.jogjaprov.go.id/ Diambil tanggal 19 Mei 2014. Pukul 14:05 wib Siahaan, Hotman. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga. Moleong, J. Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Prenada Media Group. Pasolong, Harbani. 2012. Metode Penelitian Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta. Saryono.
2010.
Metodologi
Penelitian
Kualitatif
dalam
Bidang
Kesehatan. Yogyakarta: Nuhe Medika. Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Saryono.
2010.
Metodologi
Penelitian
Kualitatif
dalam
Bidang
Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaf, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Zuriah, N. 2009. Metodelogi Penelitian Sosial dan Pendidikan.
Jakarta: PT Bumi
Aksara. S, Margono. 2007. Metologi Penelitian Pendidikan Komponen MKDK. Jakarta: PT. Rineka Cipta, Jakarta. Kecil,
Kubus.
2013.
Sekedar
Cretan
Ku.
http://kubuskecil.blogspot.com/2013/04/pentingnya-keluarga-dalamperawatan.html/Diakses pada hari Selasa, tanggal 21 April 2015, pukul 11:50 wib. O'dea, Thomas. (1985). Soiologi Agama. Yogyakarta: CV. Rajawali. Khairuddin. (1985). Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nurcahaya. Lestari, Sri. (2012). Psikologi Keluarga. Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group. Puspitawati, Herien. (2009). Bahan Ajar Ke-3 M.K. Pengantar Ilmu Keluarga (Ikk 211). Bogor: Instut Pertanian Bogor. Wiliam J.Goode. (1995). Sosiologi keluarga. Jakarta: Bumi Aksara, Edisi Pertama.